kebebasan pers di indonesia hanif h

27
SELINTAS SEJARAH KEBEBASAN PERS DI INDONESIA Oleh : Hanif Hoesin * ABSTRAK Surat kabar dalam menjalankan perannya banyak ditentukan oleh kebijakan rezim dalam memberikan tafsir kebebasan untuk mendapatkan kebenaran. Kasusu di Indonesia di lihat dari sejarah kebebasan pers dari sejak pemerintah Soekarno, Soeharto sampai dengan era reformasi mengalami pasang surut perkembangan yang berbeda. Sementara akan kehidupan pers itu sendiri, pada akhirnya akan ditentukan oleh mekanisme pasar, khususnya khalayak dalam menyikapi keberadaan pers (surat kabar) PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak awal perkembangannya, suratkabar sebagai media massa tertua sudah menjadi lawan nyata atau musuh penguasa mapan. Suratkabar dan media massa seringkali berada pada posisi lemah dan amat mudah ditundukkan oleh kekuasaan. Citra pers yang dominan dalam sejarah selalu dikaitkan dengan pemberian hukuman bagi pengusaha percetakan, penyunting dan wartawan, perjuangan untuk memperoleh kebebasan penerbitan, pelbagai kegiatan suratkabar untuk memperjuangkan kemerdekaan, demokrasi dan hak-hak kelas pekerja, serta pers bawah tanah di bawah penindasan kekuatan asing atau pemerintahan diktator 1 . Tekanan terhadap pers di Indonesia sudah dimulai sejak zaman VOC melalui berbagai bentuk aturan hukum. Pada tahun 1712 VOC melarang suratkabar yang berisi berita-berita dagang, karena VOC takut kalah dalam persaingan dagang akibat berita-berita tersebut. Selanjutnya pada tahun 1856 diberlakukan Drukpers Reglement dengan sensor preventif; dan tahun 1931 Belanda mengeluarkan lagi Presbreidel Ordonantie dengan sensor represif. Selama tiga setengah tahun penjajahan Jepang, beberapa penerbitan pers “sengaja dibangun” untuk mengobarkan semangat Perang Asia Timur Raya, akan tetapi beberapa penerbitan pers nasionalis yang sudah ada, mendapat pengawasan represif yang cukup ketat. Pembatasan terhadap kebebasan pers pada era penjajahan Jepang * Peneliti pada BP2I Jakarta 1 MacQuail, Denis, 1989, Teori Komunikasi Massa, suatu Pengantar (Terjemahan), Jakarta, Airlangga: 10 1

Upload: annisa-sofia-noviantina

Post on 29-Jun-2015

539 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: KEBEBASAN PERS DI INDONESIA Hanif H

SELINTAS SEJARAH KEBEBASAN PERS DI INDONESIAOleh : Hanif Hoesin*

ABSTRAK

Surat kabar dalam menjalankan perannya banyak ditentukan oleh kebijakan rezim dalam memberikan tafsir kebebasan untuk mendapatkan kebenaran. Kasusu di Indonesia di lihat dari sejarah kebebasan pers dari sejak pemerintah Soekarno, Soeharto sampai dengan era reformasi mengalami pasang surut perkembangan yang berbeda. Sementara akan kehidupan pers itu sendiri, pada akhirnya akan ditentukan oleh mekanisme pasar, khususnya khalayak dalam menyikapi keberadaan pers (surat kabar)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak awal perkembangannya, suratkabar sebagai media massa tertua sudah menjadi lawan nyata atau musuh penguasa mapan. Suratkabar dan media massa seringkali berada pada posisi lemah dan amat mudah ditundukkan oleh kekuasaan. Citra pers yang dominan dalam sejarah selalu dikaitkan dengan pemberian hukuman bagi pengusaha percetakan, penyunting dan wartawan, perjuangan untuk memperoleh kebebasan penerbitan, pelbagai kegiatan suratkabar untuk memperjuangkan kemerdekaan, demokrasi dan hak-hak kelas pekerja, serta pers bawah tanah di bawah penindasan kekuatan asing atau pemerintahan diktator1.

Tekanan terhadap pers di Indonesia sudah dimulai sejak zaman VOC melalui berbagai bentuk aturan hukum. Pada tahun 1712 VOC melarang suratkabar yang berisi berita-berita dagang, karena VOC takut kalah dalam persaingan dagang akibat berita-berita tersebut. Selanjutnya pada tahun 1856 diberlakukan Drukpers Reglement dengan sensor preventif; dan tahun 1931 Belanda mengeluarkan lagi Presbreidel Ordonantie dengan sensor represif. Selama tiga setengah tahun penjajahan Jepang, beberapa penerbitan pers “sengaja dibangun” untuk mengobarkan semangat Perang Asia Timur Raya, akan tetapi beberapa penerbitan pers nasionalis yang sudah ada, mendapat pengawasan represif yang cukup ketat. Pembatasan terhadap kebebasan pers pada era penjajahan Jepang dilakukan melalui UU No.16 tahun 1942 dengan sensor preventif, yang dikenal dengan “Osamu Serei2”.

Selama 60 tahun merdeka, Indonesia pernah mengalami beberapa kali kebebasan pers, yaitu pada awal kemerdekaan, selama Republik lndonesia menerapkan sistem pemerintahan Kabinet Parlementer, pada awal Pemerintahan Orde Baru dan para era Reformasi saat ini. Pada waktu-waktu lainnya, kebebasan pers di Indonesia mengalami berbagai tekanan. Setidak-tidaknya ada enam

* Peneliti pada BP2I Jakarta1 MacQuail, Denis, 1989, Teori Komunikasi Massa, suatu Pengantar (Terjemahan), Jakarta, Airlangga: 102 Smith, Edwar C.,1986, Sejarah Pembredeilan Pers Di Indonesia, (Terjemahan), Jakarta, Pustaka Grafitti: 51.

1

Page 2: KEBEBASAN PERS DI INDONESIA Hanif H

ketentuan hukum yang dapat dicatat yang membatasi kebebasan pers di Indonesia, yaitu: (1) Peperti Nomor 10 tahun 1960 tentang Surat Izin Terbit; (2) Peperti Nomor 2 Tahun 1961 tentang Pengawasan Dan Promosi Perusahaan Cetak Swasta; (3) Kepres Nomor307 tahun 1962 tentang Pendirian LKBN Antara; (4) Dekrit Presiden Nomor 6 Tahun 1963 tentang Pengaturan Memajukan Pers; (6) Peraturan Menpen Tahun 1970 tentang Surat Izin Terbit, dan (6) Peraturan MenpenNomor 1 Tahun 1984 tentang SIUPP3. Dari berbagai peraturan perundangan tersebut, salah satu diantaranya yang mendapat sorotan selama pemerintahan Orde Baru adalah Peraturan Menpen Nomor 1 Tahun 1984 tentang SIUPP, karena ketentuan hukum ini memberikan kekuasaan yang amat luas kepada pemerintah dalam membatasi kebebasan pers melalui pembekuan perusahaan penerbitan pers sewaktu-waktu, yang sangat bertentangan dengan UUD 1945, khususnya pasal 28.

B. Permasalahan

Media massa di satu negara mencerminkan sistem pemerintahan negara bersangkutan. Dengan kata, lain perkembangan politik dan sistem pemerintahan amat berpengaruhi terhadap pertumbuhan media, terutama yang berkaitan dengan kebebasan. Wiio (1975,1982) sebagaimana dikutip Martin mengemukakan: “In anything, differences in mass media roles and functions in different social system support a contiugency view of communication. Lebih lanjut Martin menjelaskan: “According to this view the communication process and outcomes are influenced by internal and external contigencies (situation) as well as by the degree of freedom of the work process of the system”4 Menurut Siebert, untuk mengetahui realitas pers di suatu negara secara mendalam, terlebih dahulu harus dikaji asumsi-asumsi filosofis (dasar dan hakiki) yang diyakini dan digunakan oleh negara tersebut, terutama menyangkut hakikat manusia, hakikat negara dan masyarakat, hubungan manusia dengan negara, serta hakikat pengetahuan dan kebenaran5. Hal ini adalah karena pers selalu mengambil bentuk dan warna yang sesuai dengan asumsi-asumsi filosofis yang diyakini dan digunakan oleh negara di mana pers tersebut berada6.

Sejak Kemerdekaan, Indonesia sudah mengalami beberapa kali pergantian sistem pemerintahan, mulai dari pemerintahan yang demokratis pada awal kemerdekaan, pemerintahan yang liberal saat Kabinet Parlementer, dualisme pemerintahan selama masa penjajahan NICA/Sekutu yang otoriter dan pemerintahan republik yang demokratis. Kemudian setelah beberapa tahun kembali lagi ke pemerintahan yang otoriter yang dikenal dengan rezim Orde Lama dan selama dan hampir 25 tahun era pemerintahan rezim Orde Baru Suharto .

Setelah Presiden Soekarno mengumumkan Negara Dalam Keadaan Bahaya Perang (SOB) tanggal 14 Maret 1957 sehubungan pemberontakan di Sumatera dan Sulawesi, diikuti Dekrit Presiden 1 Juli 1959, sistem pemerintahan yang berlaku di Indonesia adalah pemerintahan yang otoriter. Sistem pers yang berlaku di Indonesia mulai saat itu juga menganut paham Otoritarian yang ditandai dengan terjadinya berbagai tindakan antipers. Kondisi demikian paling tidak berlangsung sampai awal pemerintanan Orde Baru, saat mana pemerintahan mengalami masa transisi untuk kembali melaksanakan Undang

3 Anwar, Rosihan dalam Jurnal Pers Indonesia, Nomor 5 Tahun XIX, Maret 1999

4 Martin, et al, 1983, Compartative Mass Media System, Logman Inc, New York: 86.5 Siebert, Fred S,.et.al., 1973, FourTheories Of The Press,London, University Of Illinois, London: 26 Abar, Akhmad Zaini, 1995, Kisah Pers Indonesia 1966 – 1974, LkiS, Yogyakarta, 21.

2

Page 3: KEBEBASAN PERS DI INDONESIA Hanif H

Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen. Pada masa transisi ini sistem pers di Indonesia cenderung menganut paham Libertarian, pers dengan bebas dapat melakukan kritik terhadap penguasa dan mendukung perjuangan mahasiswa “menghabisi” rezim Orde Lama. Akan tetapi kebebasan ini tidak bertahan lama, karena setelah Pemerintahan Rezim Orde Baru merasa cukup kuat, rezim pemerintahan Soeharto mulai melakukan pembatasan terhadap berbagai bidang kehidupan, sehingga pers Indonesia kembali ke paham Otoritarian.

Reformasi yang diawali pada pertengahan 1997 dengan puncaknya Mei 1998, mengusung tiga tuntutan masyarakat, yaitu demokratisasi, keterbukaan dan supremasi hukum. Terjadinya penyerahan kekuasaan dari Suharto ke Habibie, telah merobah sistem pemerintahan otoriter ke pemerintahan yang lebih demokratis. Selama era pemerintahan Presiden Habibie, terjadi perubahan yang cukup signifikan terhadap kebebasan pers. Saat ini diundangkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, menurut berbagai kalangan dikatakan sebagai undang-undang yang ‘terlalu liberal’ yang digunakan sampai sekarang.

Tulisan ini akan melihat bagaimana dan mengapa terjadi fluktuasi kebebasan pers di Indonesia pada periode Pemerintahan Soekarno, Pemerintahan Suharto dan Era Reformasi.

Dalam tulisan ini sistem pemerintahan di Indonesia sejak kemerdekaan sampai saat ini, dikelompokkan atas tiga periode: (1) Era Pemerintahan Soekarno; (2) Era Pemerintahan Suharto (Era Orde Baru), dan (3) Era Reformasi. Dalam melihat perbedaan tersebut akan diacu berbagai teori komunikasi, teori jurnalistik dan teori ilmu-ilmu sosial lainnya melalui pendekatan ‘deskripsi-historis’, yaitu dengan menelusuri data sekunder, seperti penerbitan pemerintah, peraturan perundangan, buku-buku ilmiah, serta referensi yang relevan.

Kebebasan Pers Era Pemerintahan Sukarno

Kebebasan pers pada era pemerintahan Sukarno dapat dibagi atas tiga kategori waktu: (1) Revolusi Fisik (1945 – 1950); (2) Pemerintahan RIS dan Kabinet Parlementer 1950 – 1957; dan (3) Pemerintahan Otoriter 1957 – 1966 yang dikenal sebagai era Orde Lama.

1. Era Revolusi Fisik (1945 – 1950)

Pada era Revolusi Fisik, Indonesia mengalami dualisme sistem pemerintahan, yaitu sistem pemerintahan yang demokratis berdasarkan UUD 1945, dan pemerintahan otoriter Kolonial Belanda NICA yang kembali ke Indonesia membonceng tentara Sekutu. Sebelum masuknya tentara Sekutu dan NICA, pada awal kemerdekaan, pers Indonesia mengalami euphoria kebebasan setelah terlepas dari tekanan penjajahan Belanda dan Jepang. Misi utama pers saat itu adalah menyebarluaskan proklamasi kemerdekaan dan mempersiapkan masyarakat dalam melawan Jepang yang masih berada di Indonesia. Dibandingkan dengan kebebasan saat dalam tekanan penjajah, kebebasan pers saat itu mengalami perubahan yang signifikan dari pers otoriter ke pers liberal. Pers dengan bebas menyerukan agar rakyat mengadakan pergerakan dalam merebut senjata di kamp Jepang dan memberitakan secara luas hasil pergerakan rakyat tersebut. Kondisi inilah yang menurut Muchtar Lubis merupakan awal dari perjuangan pers secara terbuka.

Pers pada awal kemerdekaan sebagai mitra bagi pemerintah dalam mencari kebenaran, mempertahankan kemerdekaan dan menggerakkan rakyat untuk melawan penjajah. Secara struktural, pers Indonesia tumbuh dengan baik, setiap

3

Page 4: KEBEBASAN PERS DI INDONESIA Hanif H

warga negara dapat menerbitkan surat kabar tanpa adanya batasan, perizinan dan semacamnya dari penguasa. Sebagaimana dikutip oleh Smith dalam Sullivian (1967), “pada tahun 1948 Indonesia menerbitkan 45 surat kabar dengan oplah 227 ribu sehari. Ditempat yang tidak ada surat kabar, orang Indonesia menerbitkan suratkabar stensilan”7. Selanjutnya, mengenagi pertumbuhan surat kabar secara fisik, dalam Garis Besar Perkembangan Pers Indonesia yang diterbitkan SPS secara luas dikemukakan bahwa di beberapa daerah pada era revolusi fisik ini terbit beberapa surat kabar Indonesia. Di Jawa misalnya, terbit beberapa surat kabar, seperti Berita Indonesia yang merupakan pelopor surat kabar dizaman kemerdekaan, Mimbar Oemoem, Sinar Deli, Berjuang, Islam Berjuang, dan Soeloeh Merdeka di Medan. Di Sumatera Tengah (Sumatera Barat, Riau dan Jambi), terbit Berjuang, Oetoesan Soematera, Pedoman Kita, Detik, Kedaulatan Rakyat dan Tjahaya Padang. Di Palembang terbit surat kabar Warta Berita, dan Soeara Rakyat. Sedangkan di Jakarta, terbit surat kabar Merdeka, Rakyat, dan Soeara Oemoem. Di Bandung antara lain, Pewarta Oemoem, di Jogyakarta terbit beberapa surat kabar seperti Kedaulatan Rakyat, Soeara Merdeka, Suara Rakyat dan di Semarang Sinar Baru. Untuk konsumsi tentara Inggeris/India dan kalangan yang berbahasa Inggeris dan Belanda, diterbitkan mingguan “Free Indonesia” di bawah pimpinan Abdul Madjid, dan penerbitan berkala “de Vrijjheid” dan disebarkan cuma-cuma di Medan.

Periode ini ditandai pula dengan lahirnya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) tanggal 9 Pebruari 1946. Pada awal kelahirannya PWI menempatkan diri sebagai organisasi kejuangan bersama organisasi lainnya. “Pada masa tersebut, NKRI yang berusia muda mengintervensi – bahkan mensubordinatkan – organisasi wartawan PWI, tetapi untuk satu tujuan yang mulia, kemerdekaan itu sendiri.8

Kondisi PWI yang demikian, tidak dapat dilepaskan dari kenyataan historis bahwa NKRI yang masih berusia muda sangat memerlukan dukungan dari seluruh segmen masyarakat, dan hal ini tidak berarti mengekang kebebasan wartawan.

Setelah Belanda kembali dengan pemerintahan NICA yang membonceng tentara Sekutu, kehidupan pers Indonesia kembali mengalami tekanan. Pemerintahan otoriter yang diterapkan Sekutu dan NICA sangat mengancam kehidupan pers saat itu, karena kebenaran dianggap bukan hasil dari masa rakyat, tetapi dari sekelompok kecil orang yang sedang berkuasa, yaitu Sekutu dan NICA. Dalam kondisi yang penuh tekanan oleh Sekutu dan NICA, pers Indonesia memproklamirkan dirinya sebagai pers perjuangan yang terfokus dalam mengobarkan semangat perjuangan melawan penjajah.

Tekanan-tekanan terhadap pers Indonesia terjadi di berbagai wilayah pendudukan. Di Jakarta pada tanggal 19 April 1946 Polisi NICA melakukan penggerebekan terhadap kantor berita APB (Arabian Press Board yang kemudian berubah menjadi Asian Press Board. Pemimpin APB, Dza Shahab ditangkap dan APB dilarang menyiarkan berita apapun terutama mengenai gerakan-gerakan TNI. Disamping itu wartawan ‘republiken’ yang bekerja di daerah pendudukan, di intimidasi dan digeledah dengan dalih kolaborasi. Di Surabaya, wartawan yang tidak mau bekerjasama dengan Belanda, menyingkir ke pedalaman dan disana mereka meneruskan perjuangan membela republik.

Di Medan, tekanan terhadap pers dilakukan Sekutu dengan membreidel “Pewarta Deli”, memenjarakan A.O Lubis (Wartawan) dan Rahmat pimpinan percetakan “Syarikat Tapanoeli”. Redaksi “Mimbar Oemum” A.Wahab, ditahan

7 Smith, Edwar C.,1986, Sejarah Pembredeilan Pers Di Indonesia, (terjemahan),Jakarta, Pustaka Grafitti: 738 Simanjuntak, Togi (Editor), WartwanTerpasung – IntervensiNegara di Tubuh PWI, Institute Studi Arus Informasi, Jakarta:

15

4

Page 5: KEBEBASAN PERS DI INDONESIA Hanif H

dan alat-alat radionya dibeslag oleh Inggeris. Demikian pula halnya Pada dengan percetakan “Soeloeh Merdeka” yang disita Inggeris pada 4 Juli 1946. Di Sumatera Tengah, percetakan “Oetoesan Soematra” dihancurkan Sekutu, dan kegiatan penerbitan terhenti pada akhir tahun 1946. Saat agresi ke – I, “Tjahaya Padang” berhenti terbit karena pimpinan dan karyawannya ditawan Belanda bersamaan dengan ditembak mati Walikota Padang Bagindo Azis Chan sebagai pendiri Tjahaya Padang. Sedangkan di Palembang, kantor surat kabar “Obor Rakjat” menjadi sasaran penembakan Belanda.

Kondisi pers pada era ini, tidak dapat dikatakan sebagai berada dalam authoritarian of the press, karena walaupun berada dalam keadaan berbagai bentuk tekanan oleh pemerintah Belanda, pers telah menempatkan diri sebagai pers perjuangan. “Kala itu pers Indonesia dengan sama sekali tidak berpretensi sebagai pahlawan, menunaikan tugas dan kewajiannya dengan segala keikhlasan dan penuh semangat pengabdian mempertahanan dan mengisi kemerdekaan yang sudah diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 itu9. Perjuangan mempertahankan kemerdekaan inilah yang menurut pers pada saat itu merupakan kebenaran yang harus dipertahankan. Kalau merujuk kepada Siebert10 dan kawan-kawan kebebasan pers saat itu dapat dikategorikan sebagai The Libertarian Theory. Karena menurut teori ini, bahwa manusia tidak perlu tergantung kepada kekuasaan (kekuasaan Belanda) dan tidak perlu dituntun dan diarahkan dalam mencari kebenaran, karena kebenaran itu merupakan hak azasi.

2. Pemerintahan RIS Tahun 1950 dan Pemerintahan Kabinet Parlementer Tahun 1950 – 1957

Pada tanggal 1 Januari 1950 Indonesia memberlakukan UUD - RIS sebagai hasil Konferensi Meja Bundar yang masih dibawah pengaruh Belanda. Berdasarkan konstitusi Indonesia terpecah menjadi beberapa negara federal, dan pers masih tetap dalam tekanan. Walaupun sudah ada jaminan dalam pasal 7 UUD RIS, bahwa: “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat”, akan tetapi peraturan pelaksanaan terhadap pasal-pasal UUD RIS belum ada. Sementara pasal-pasal karet “hatzaai artikelen” KUHP dan Presbreidel-ordonantie 1931 masih tetap berlaku. Dalam batas-batas hukum tersebut, pers Indonesia masih tetap melakukan fungsinya, namun tidak lagi semata-mata mengobarkan semangat perjuangan, tetapi sudah melaksanakan fungsi “social control” terhadap kekuasaan.

UUD RIS yang hanya berlaku satu tahun ini, kemudian diganti dengan UUD Sementara dengan Sistem Pemerintahan Parlementer yang liberal, mengadopsi sistem pemerintahan negara-negara Anglo Saxon. Perkembangan kebebasan pers pada era dapat dikatakan dalam masa yang sangat baik, termasuk perkembangan fisik. Pada tahun 1950 – 1953, surat kabar berkembang menjadi 75 penerbitan dengan oplah 630.000 eksemplar. Pada saat ini mulai terbit surat kabar partai politik dan surat kabar partisan. Satu tonggak sejarah bagi kebebasan pers pada era Kabinet Parlementer ini adalah dicabutnya Presbreidel-ordonantie - 1931 dengan UU No. 23 Tahun 1954, karena bertentangan dengan pasal 19 juncto 33 UUD Sementara RI.

Dari sisi pemerintahan, selama Kabinet Palementer telah terjadi enam kali pergantian Kabinet, kondisi ini merupakan lahan bagi pers Indonesia dalam mereguk kebebasannya. Pers dengan mudahnya memberikan pandangan, opini maupun kritik tajam terhadap kekuasaan. Bahkan muncul opini di kalangan elit politik saat itu, bahwa pers merupakan salah satu faktor penting dalam setiap pergantian kabinet. Disamping berhadapan dengan parlemen dan kabinet, 9 Serikat Penerbit Suratkabar Pusat , Garis Besar Perkembangan Pers Indonesia, Jakarta, 1971: 122.10 Siebert, Fred S,.et.al., 1973, FourTheories Of The Press,London, University Of Illinois, London: 3

5

Page 6: KEBEBASAN PERS DI INDONESIA Hanif H

dikalangan pers tidak jarang terjadi polemik, terutama antara surat kabar partai/partisan yang memerintah dengan surat kabar yang menempatkan diri sebagai oposisi. Karena “........ masing-masing media atau institusi pers tersebut memiliki ikatan primordial atau ikatan ideologis dengan partai-partai tertentu. Dan keterlibatan pers -- seperti kelompok masyarakat lainnya – dalam kehidupan kenegaraan, bukan dalam konteks partisipasi yang demokrtis, akan tetapi partisipasi yang oligarkis11. Salah satu tajuk surat kabar Times yang ditulis Muchtar Lubis sebagaimana dikutip Smith menggambarkan hal ini, bahwa: “Demonstrasi-demonstrasi massa .... dan tajuk-tajuk rencana di kebanyakan suratkabar Indonesia, yang menuntut pembubaran parlemen, merupakan gejala khas tentang buruknya reputasi yang dimiliki parlemen sekarang. Ini dengan tajam menggambarkan krisis yang dewasa ini kita alami, krisis kepemimpinan12. Dalam hal peranan pers menjatuhkan kabinet, tergambar dari ungkapan Hanna sebagaimana dikutip Smith bahwa: “Pemimpin Redaksi Muchtar Lubis mempunyai saham yang besar dalam menjatuhkan kabinet”13.

Pers sebagai lembaga social control yang legal terhadap kekuasan amat berfungsi dalam menjaga penguasa agar tidak menyalahgunakan atau melanggar batas-batas kekuasaan. Sistem pers Libertarian, yang kadangkala mengarah kepada trial by the press secara bertahap telah menggiring pers untuk berhadap-hadapan dengan negara. Hal ini pada suatu saat akan menyebabkan negara mempertajam kukunya untuk mengambil tindakan tegas terhadap pers.

3. Era Pemerintahan Otoriter 1957 – 1965

Pada tanggal 14 Maret 1957 Presiden Soekarno mengumumkan Negara Dalam Keadaan Bahaya (SOB) yang berlaku bagi seluruh Indonesia, sehubungan dengan pemberontakan PRRI di Sumatera dan Permesta di Sulawesi. Pada bulan Juli 1957 Soekarno mengumu*mkan Kabinet Juanda dan menetapkan Manipol Usdek sebagai Haluan Negara. Sistem pemerintahan yang demokratis yang dikatakan Soekarno sebagai Pemerintahan Demokrasi Terpimpin”, ternyata telah menempatkan Soekarno sebagai pemimpin yang otoriter. Kedudukan serta fungsi pers diarahkan penguasa untuk mencapai tujuan politik Demokrasi Terpimpin dan suara-suara pers yang bernada melawan harus dibungkam. Berbagai batasan dilakukan penguasa terhadap kemerdekaan pers termasuk diantaranya melakukan sensor atas infromasi ke luar negeri. Jack Russel, koresponden United Press dikecam penguasa, karena United Press mengkritik Sukarno sebagai pimpinan otoriter yang semakin dekat dengan Komunis. Selama tahun 1957, terjadi peningkatan yang signifikan terhadap tindakan anti pers oleh penguasa; yang secara keseluruhan mencapai 125 kali tindakan pembatasan kebebasan pers.

Pada tahun 1958 Penguasa Perang Daerah Djakarta (Peperada) mengeluarkan ketentuan bahwa seluruh penerbitan surat kabar dan majalah wajib mendaftarkan diri sebelum 1 Oktober 1958 untuk memperoleh SIT (Surat Izin Terbit). Tanggal 1 Oktober 1858, dapat dikatakan sebagai tanggal matinya kebebasan pers di Indonesia. Walaupun surat kabar dapat terbit, akan tetapi harus mengikuti kehendak penguasa, dan setiap saat SIT dapat dicabut tanpa alasan hukum yang jelas. “Sejak 1 Oktober 1958, sejarah pers Indonesia memasuki periode hitam”, demikian Muchtar Lubis sebagaimana dikutip Smith14.

11 Simanjuntak, Togi (Editor), WartawanTerpasung – IntervensiNegara di Tubuh PWI, Institute Studi Arus Informasi, Jakarta: 22

12

13 Ibid : 14514 Smith, Edwar C.,1986, Sejarah Pembredeilan Pers Di Indonesia, (terjemahan),Jakarta, Pustaka Grafitti: 178.

6

Page 7: KEBEBASAN PERS DI INDONESIA Hanif H

Hal serupa diikuti oleh Penguasa Perang Tertinggi (Peperti), bahwa seluruh penerbitan suratkabar dan majalah di seluruh Indonesia wajib memiliki SIT. Pada tahun 1960, secara resmi Menpen melegalisasikan ketentuan tentang SIT ini dan untuk mendapatkan SIT, semua penerbitan harus menanda tangani persetujuan atas 19 pasal pernyataan. Pernyataan tersebut adalah janji penanggung jawab penerbit surat kabar dan majalah yang berupa ancaman seandainya mereka diberi SIT. “Hal ini dilakukan oleh penguasa untuk mempercepat retooling alat-alat publikasi, terutama surat kabar dan majalah, sehingga ia dapat menjadi alat dan pendukung revolusi”15. Janji penerbit ini selanjutnya merupakan senjata bagi penguasa dalam melakukan pembredelan pers yang tidak sepaham dengan kekuasaan. Beberapa suratkabar yang dicabut SIT-nya oleh Menpen sebagai konsekuensi dari ‘janji’ tersebut, antara lain: Pedoman, Nusantara, Keng Po, Pos Indonesia, Star Weekly. Sedangkan Harian Abadi menghentikan penerbitannya karena tidak bersedia menandatangani 19 persyaratan tersebut.

Dalam melakukan pembatasan terhadap kebebasan pers, ketentuan demi ketentuan dikeluarkan penguasa. Salah satunya adalah ketentuan dari Menpen yang mewajibkan surat kabar di seluruh Indonesia berafiliasi dengan parpol atau ormas. Menurut ketentuan ini, masing-masing parpol atau ormas hanya dibenarkan memiliki satu organ resmi, dan surat kabar atau majalah lainnya harus berafiliasi kepada parpol atau ormas tersebut. Saat itu tidak kurang 80 surat kabar di Indonesia yang dimiliki oleh sembilan parpol, ormas dan Panca Tunggal (pemerintah). Selanjutnya, Deppen mengeluarkan lagi ketentuan baru, yaitu bahwa setiap surat kabar atau majalah harus didukung oleh satu parpol atau tiga ormas. Hal ini berarti bahwa masyarakat tidak dapat lagi menerbitkan surat kabar apabila tidak ada partai politik atau ormas yang mendukung. Yang lebih penting disini adalah bahwa telah terjadi pengingkaran terhadap pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara sebagaimana Dekrit 5 Juli 1959.

Tahun-tahun selanjutnya merupakan lembaran hitam bagi kebebasan pers Indonesia. Kedekatan Soekarno dengan Komunis telah menyebabkan tidak hanya pemerintah yang melakukan kontrol terhadap pers, akan tetapi tidak jarang orang-orang Komunis melakukan teror terhadap wartawan. Politik dalam negeri semakin jauh dari demokrasi, dan Soekarno semakin sering menunjukkan sikap yang tidak senang terhadap pers. Salah satu tajuk harian Cina ‘Keug’ sebagaimana dikemukakan Smith menggambarkan hal itu sebagai berikut: “Cara orang-orang PKI datang dan pergi ke Istana telah menarik perhatian umum, begitu rupa sehingga timbul kesan bahwa Bung Karno sekarang lebih dekat pada PKI daripada dengan PNI yang kadang-kadang dikecamnya karena aliran kapitalis-liberalis yang tampak di dalamnya”16.

Kebebasan Pers Era Pemerintahan Era Orde Baru

Kebebasan pers periode ini dikelompokkan atas dua kategori, yaitu (1) Periode Tahun 1966 – 1974 sebagai Pra Malari (Malapetaka Januari 14 dan 15 Januari 1974), dan (2) Periode 1974 – 1998, Post Malari. Terjadinya pengkategorian ini karena sampai dengan terjadinya Malari, pers Indonesia dengan bebas dapat melakukan kritik terhadap kekuasaan, disamping secara struktural terlihat pertumbuhan jumlah penerbittan pers yang cukup signifikan. Setelah terjadi Malari, rezim Orde Baru mulai melakukan pembatasan terhadap kebebasan pers,

15 Simanjuntak, Togi, 1995, (Editor), WartwaanTerpasung – IntervensiNegara di Tubuh PWI, Institute Studi Arus Informasi, Jakarta: 22

16 Smith, Edwar C.,1986, Sejarah Pembredeilan Pers Di Indonesia, (terjemahan),Jakarta, Pustaka Grafitti:: 144

7

Page 8: KEBEBASAN PERS DI INDONESIA Hanif H

dalam bentuk melakukan pembredelan terhadap beberapa surat kabar di Jakarta dan beberapa daerah.

1. Pra Malari Tahun 1966 – 1974

Terjadinya pemberontakan Partai Komunis melalui Gerakan 30 September (G.30S/PKI) pada tahun 1965, merupakan the turning point dari sistem pemerintahan otoriter dengan Demokrasi Terpimpin. Selama enam bulan, sejak 1 Oktober 1965 sampai 11 Maret 1966, adalah masa transisi yang sangat kacau di Indonesia, terutama di pusat kekuasaan. Di satu pihak secara de facto maupun de jure Sukarno masih memiliki kekuasaan yang cukup besar, sementara tuntutan mahasiswa dan rakyat melalui demonstrasi massa dengan Tiga Tuntutan Rakyat (Tri Tura), yaitu (1) Bubarkan PKI, (2) Turunkan harga, dan (3) Bubarkan Kabinet 100 Menteri (bentukan Soekarno), semakin berlanjut, yang menyebabkan sistim pemerintahan tidak berjalan. Angkatan Darat yang sangat dirugikan oleh pemberontakan Komunis, melakukan berbagai perlawanan terhadap rezim Soekarno. Dalam membentuk opini publik, pihak Angkatan Darat menerbitkan surat kabar harian Berita Yudha dengan tugas utama mengumandangkan Pacasilais dan perjuangan ABRI khususnya TNI AD. Sementara itu, mahasiswa menerbitkan Harian KAMI dalam memobilisir gerakan mereka yang terkenal dengan “Gerakan Ganyang PKI”. Sementara itu, Subandrio sebagai salah seorang yang berpengaruh dalam kabinet 100 menteri bentukan Sukarno, memahami betul betapa ampuhnya media massa dalam membentuk opini. Karena pada akhir 1966 ia memerintahkan sepasukan Cakrabirawa ke beberapa kantor percetakan surat kabar di Jakarta dan melarang surat kabar tersebut dicetak. Pada masa transisi ini, ternyata pers di Indonesia tidak saja mengalami tekanan terhadap content media tetapi juga mengalami tekanan fisik berupa penyerangan dan intimidasi, sebagaimana halnya yang pernah dialami pers saat revolusi fisik oleh NICA dan Sekutu.

Setelah Kolonel Soeharto “mengantongi” Surat Perintah 11 Maret 1966, yang memberi kekuasaan untuk mengamankan NKRI yang sedang kacau, merupakan momentum awal kembalinya pers Indonesia ke alam demokrasi. Langkah pertama yang diambil Soeharto adalah menyatakan partai Komunis sebagai partai terlarang di Indonesia. Langkah awal membersihkan orang-orang Komunis yang ada pada penerbitan pers, salah satunya adalah Soeharto memerintahkan penutupan sementara Kantor Berita Antara, karena menjelang pemberontakan G.30S/PKI kantor berita ini dikuasai oleh orang-orang komunis. Penutupan Antara yang berlangsung selama 10 hari, kemudian setelah seluruh karyawan yang terlibat partai Komunis “dibersihkan”, Antara beroperasi seperti sedia kala. Komitment demokrasi yang ditunjukkan Soeharto, disambut baik oleh pers Indonesia yang saat itu turut berjuang menyarakan Tri Tura. Pers saat itu bahu-membahu dengan Angkatan Darat dan mahasiswa dalam membersihkan partai komunis di Indonesia. “Mulai saat era ini sebenarnya terjadi ‘bulan madu’ antara pers dengan pemerintah, karena pemerintah memberikan “kelonggaran dan toleransi – sebagaimana komitment awal -- terhadap kritikan pers kepada negara itu sendiri”17. Lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers pada era ini, merupakan tonggak sejarah kebebasan pers Indonesia dimana pada pasal 4 dijamin bahwa: “Terhadap Pers Nasional tidak dikenakan sensor dan pembreidelan”.

Pemerintahan Orde Baru yang menitik beratkan kepada pembangunan ekonomi, dan modal asing harus masuk sebanyak-banyaknya ke Indonesia, karena pada 17 Togi Simanjuntak, 1995, (Editor), WartwaanTerpasung – IntervensiNegara di Tubuh PWI, Institute Studi Arus Informasi,

Jakarta: 90

8

Page 9: KEBEBASAN PERS DI INDONESIA Hanif H

awal Orde Baru perekonomian sangat terpuruk, dan inflasi mencapai 600%. Keamanan dalam negeri menjadi syarat utama yang diartikulasikan dengan “stabilitas nasional”. Tingkat perekonomian yang mulai membaik, membawa konsekuensi berkembangnya tindakan korupsi di kalangan pemerintahan. Sementara itu di kalangan pemerintahan sendiri terjadi perpecahan. Kondisi demikian merupakan lahan bagi pers Indonesia dalam melakukan fungsi social control. Salah satu yang fenomenal adalah dibongkarnya kasus korupsi Pertamina (investigating report) oleh surat kabar Indonesia Raya pimpinan Muchtar Lubis. Masalah lain yang menjadi sorotan surat kabar pada era ini antara lain: Menguatnya Posisi Militer Dalam Pemerintaan; Perbedaan Sosial Yang Semakin Jauh, Perkembangan Ekonomi dan Keadilan Sosial, Masalah Korupsi, Struktur Kepartaian/ Partai Politik, Masalah Pemilihan Umum, Modal Asing, Campur Tangan Pemerintah Yang Terlalu Jauh Terhadap Masalah Kemasyarakatan, Taman Mini Indonesia Indah, Konglomeratisme, Bantuan Luar Negeri, Merebaknya Invisible Cost, Masalah Pri Dan Non Pri, dan Hubungan Keluarga Presiden Dengan Beberapa Pengusaha Besar.(Sumber: Togi, 1995)

Keberanian pers dalam membongkar masalah sosial, masalah pemerintahan/ kekuasaan dan korupsi di kalangan pemerintah, mengindikasikan bahwa pada era ini pers Indonesia menganut paham Libertarian, yang menempatkan manusia tidak targantung kepada kekuasaan dan tidak perlu dituntun dan diarahkan dalam mencari kebenaran, karena kebenaran itu sendiri merupakan hak azasi. Kondisi kebebasan pers yang demikian menyebabkan pers Indonesia dikatakan oleh Togi sebagai pers populis dan sikap kritis.. “Pers populis dan kritis di Indonesia pernah pula muncul di masa penjajahan Belanda, selama berkobarnya nasionalisme Indonesia, serta masa revolusi dan masa mempertahankan kemerdekaan”18.

Pada tahun 1970, dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1970, Pemerintah mempertegas keberadaan Dewan Pers yang dibentuk dengan Peraturan Pemerintah No.5 Tahun 1967, sebagai konsekuensi diberlakukannya UU No.11 Tahun 1966. Salah satu wewenang Dewan Pers adalah: “Memberi pertimbangan kepada Badan/Instansi Pemerintah lainnya, mengenai kebijakan penindakan terhadap perbuatan-perbuatan yang melanggar UU No.11 Tahun 1966............ {Pasal 3 ayat (3)}.

Keluarnya ketentuan ini mengarah kepada upaya penguasa untuk mereduksi kebebasan pers, yang saat itu menurut penguasa “pers Indonesia terlalu bebas”. Hal ini selanjutnya menjadi kontrovesial dalam implementasi kebebasan pers di Indonesia, karena saran dan pertimbangan Dewan Pers digunakan penguasa sebagai justifikasi terhadap berbagai tindakan yang dilakukan dalam menekan kebebasan pers di Indonesia, walaupun dilakukan dengan mengingkari pasal 4 - UU No.11 Tahun1966 dan pasal 28 UUD 1945.

2. Post Malari Tahun 1974 – 1998

Peristiwa Malari merupakan koreksi atas kebijakan politik dan ekonomi terhadap pemerintahan Orde Baru setelah 12 tahun berkuasa. Kebijakan pintu terbuka terhadap modal asing, yang saat itu didominasi oleh pengusaha Jepang, telah dapat meningkatkan ekonomi Indonesia setelah terpuruk selama pemerintahan Orde Lama. Namun demikian, hal ini ternyata juga membuka kesempatan bagi pejabat pemerintah untuk melakukan korupsi dan menerima suap terutama dari pengusaha Jepang. Peristiwa Malari tanggal 14 – 15 Januari 1974, diawali dengan penolakan mahasiswa atas kedatangan PM Jepang Kakuei Tanaka.

18 Ibid: 77

9

Page 10: KEBEBASAN PERS DI INDONESIA Hanif H

Tentang hal ini pada tanggal 29 Desember 1973 surat kabar Pedoman sebagaimana dikutip Togi menulis tajuknya, antara lain: “...... Kalau dewan-dewan mahasiswa menyatakan menolak kedatangan PM Jepang Kakuei Tanaka di Jakarta tanggal 14 sampai 17 Januari nanti, maka niscaya adalah satu alasan latar belakangnya ialah sikap ‘anti Jepang’ karena menurut hemat generasi muda, Jepang melalui investasi modalnya menguras kekayaan dan sumber alam negeri ini, selanjutnya membikin jiwa beberapa pejabat negara menjadi korup melalui pemberian sogokan, ..........” 19

Peristiwa Malari dijadikan sebagai salah satu justifikasi oleh rezim Orde Baru untuk melakukan penekanan terhadap kebebasan pers di Indonesia. Hal ini dimanifestasikan dalam bentuk pembredelan surat kabar yang dikenal dengan ‘pembrangusan’, yaitu mencabut Surat Izin Terbit sekaligus Surat Izin Cetak yang dikeluarkan oleh Laksus Pangkopkamtib. Surat kabar yang dibreidel tidak hanya yang terbit di Ibukota Negara Jakarta, tetapi juga surat kabar penerbitan pers pada beberapa kota besar lainnya. Beberapa suratkabar yang dicabut SIT maupun SIC antara lain harian: Nusantara, Kami, Indonesia Raya, The Jakarta Times, Wenang, Pemuda Indonesia, Pedoman, dan majalah mingguan Ekspres, (Jakarta), harian Suluh Berita (Surabaya), Mingguan Mahasiswa Indonesia (Bandung), dan Indonesia Pos (Ujung Pandang). Langkah penguasa selanjutnya adalah memangkas demokrasi secara luas, seperti memberlakukan wadah tunggal dan fusi terhadap beberapa parpol. Pemerintah mengeluarkan dua ketentuan berupa Keputusan Menpen tentang pengukuhan PWI dan SPS sebagai satu-satunya organisasi wartawan dan penerbit pers, serta pengukuhan Serikat Penerbit Surat Kabar sebagai satu-satunya organisasi percetakan pers.

Walaupun penguasa melakukan pembatasan terhadap kebebasan pers, akan tetapi di lain pihak, pemerintah dalam menjalankan programnya sangat sangat diperlukan support dari masyarakat yang saat itu mencuat sebagai “partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan”. Dengan demikian, peranan media sangat diperlukan untuk penggalangan massa, sehingga diperlukan kerja sama dengan pers. Bentuk kerjasama tersebut dimanifestasikan dengan memberikan dukungan melalui berbagai bantuan dan fasilitas. Namun demikian, bantuan dan fasilitas yang diberikan diikuti dengan beberapa persyaratan yang tidak boleh dilanggar, yaitu: (1) Media tidak boleh menyinggung keluarga Suharto; (2) Media tidak boleh menyinggung Dwi Fungsi ABRI; dan (3) Media tidak boleh menulis hal-hal yang berkaitan dengan masalah SARA.

Pada awal tahun 1980-an, pemerintah mengembangkan pers yang bebas dan bertanggung jawab yang diadopsi dari Social Responsibility Theory of The Press. Dinegara asalnya, theory ini muncul atas reaksi terhadap enam tugas pers dari The Libertarian Theori yang sangat bebas dan terlalu terbuka sehingga kebebasan melupakan etika. Hal ini dikemukakan Komisi Kebebasan Pers Amerika dalam A Free and Responsibility Press (1947) dan William E.Hocking dalam bukunya Freedom of the Press: A Framework of Principle (1947). Walaupun secara umum keduanya menerima keenam tugas pers menurut teori tradisional (Libertarian), akan tetapi teori ini “tidak puas terhadap interpretasi para pemilik dan pelaksana media tentang fungsi itu”20.

Dalam menerapkan teori ini di Indonesia, memunculkan permasalahan besar, yaitu adanya perbedaan persepsi terhadap kedua hal pokok, yaitu tentang “bebas” dan “tanggungjawab”. Bebas dimaksudkan apakah seperti apa yang dikehendaki kaidah jurnalistik atau seperti yang dikehendaki pemerintah yang tidak ada standar yang jelas. Demikian pula halnya dengan “tanggungjawab”.

19 Ibid: 14920 Siebert, Fred S,.et.al., 1973, FourTheories Of The Press,London, University Of Illinois, London: 74

10

Page 11: KEBEBASAN PERS DI INDONESIA Hanif H

pers harus bertanggungjawab kepada siapa, apakah kepada masyarakat yang memerlukan informasi secara terbuka atau kepada pemerintah dengan pendekatan keamanan (security approach).

Tidak adanya batasan yang jelas tentang arti kebebasan dan tanggungjawab ini memberikan keleluasaan kepada penguasa untuk mengeluarkan berbagai aturan hukum dalam mengatur pers. Pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 yang mengatur tentang kehidupan pers, sebagai perubahan atas Undang-undang No. 11 Tahun 1966 dan Undang-undang No.4 Tahun 1967. Sebagai tindak lanjut dari undang-undang ini, pemerintah melalui Menpen juga mengeluarkan seperangkat ketentuan hukum yang pada intinya amat membatasi kebebasan pers. Salah satu yang paling ditakuti oleh penerbitan pers saat itu adalah Peraturan Menpen Nomor 1 Tahun 1984 tentang Ketentuan Surat Izin Perusahaan Pers (SIUPP) yang menurut versi pemerintah merupakan penjabaran atas UU Nomor 21 tahun 1982. Melalui ketentuan ini Menpen memiliki wewenang yang cukup besar dalam mengendalikan kebebasan penerbitan pers di Indonesia, yang menurut versi pemerintah dikatakan sebagai ‘pembinaan’ namun demikian dimanifestasikan dengan “pembredelan”, yaitu mencabut SIUPP penerbitan pers. Pada umumnya dasar pencabutan SIUPP adalah demi keamanan negara dan demi kelangsungan pembangunan, walaupun pada kenyataannya penerbitan pers yang dibredel isinya hanya memberitakan masalah pribadi pejabat atau keluarganya. Sedangkan beberapa penerbitan pers yang dicabut SIUPP-nya tidak lagi diberi kesempatan untuk terbit kembali.

Pembatasan kebebasan pers era ini juga dilakukan dengan “cara-cara lain” seperti “himbauan pejabat pemerintah” (lebih tepat dikatakan sebagai larangan) untuk tidak memuat suatu fakta yang menurut pemerintah menimbulkan dampak terhadap keamanan, walaupun menurut kaidah jurnalistik mempunyai nilai berita yang tinggi. Himbauan dilakukan antara lain melalui chief editors meeting, atau melalui tilpon oleh pejabat ke dewan redaksi. Hal terakhir ini oleh berbagai pihak dikatakan sebagai berkembangnya dengan subur ”budaya tilpon” di kalangan pejabat.

Berbagai tekanan terhadap kebebasan pers, mengakibat media menjadi lebih pragmatis, kontent media menjadi mandul, dan lebih euphimisme dalam melakukan kritik terhadap penguasa. Sebelum memperoleh tegoran dari penguasa media melalukan self censorship terlebih dahulu. Pendapat berbagai kalangan tentang kondisi pers pada era Orde Baru ini antara lain dinyatakan bahwa pers Indonesia “tidak memiliki kebebasan pers sama sekali; pemerintah bertindak represif terhadap pers; dan pasal 28 UUD 1945 ditafsirkan meyimpang dari esensi maksudnya dan pers yang telah berhasil dijinakkan penguasa. Kondisi ini menyebabkan pers “tiarap, menggunakan jurnalisme kepiting, pemberitaan pers cenderung bergaya euphimisme dalam menyampaikan kritik; dan pers menjauhi “kawasan terbatas”, kritik yang disampaikan tidak sesuai dengan kehendak masyarakat agar SIUPP-nya tidak dicabut penguasa21. Pada era ini tidak banyak terjadi pembreidelan, dan setelah peristiwa Malari hanya tercatat beberapa surat kabar yang dicabut SIT-nya, yaitu Sinar Harapan,. Prioritas, dan majalah Tempo, Detik serta Editor.

Selama rezim Orde Baru ini, walaupun industri pers berkembang menjadi konglomerasi pers, akan tetapi dalam hal kebebasan mengemukakan pendapat sebagai manifestasi dari social control function, tidak diperoleh sama sekali.

Kebebasan Pers Era Reformasi

21 Dirangkum dari berbagai tulisan dalam Jurnal Pers Indonesia, Nomor 5 Tahun XIX, Maret 1999

11

Page 12: KEBEBASAN PERS DI INDONESIA Hanif H

1. Era awal reformasi (1998 – 1999)

Gerakan refromasi yang terjadi pertengahan Mei 1998, merupakan titik balik dari pemerintahan Orde Baru, membawa “angin segar” bagi kebebasan pers di Indonesia. Penyerahan kekuasaan oleh Soeharto kepada Habibie, telah membuka peluang demokrasi yang selama pemerintahan Orde Baru tidak berporses sebagaimana paham demokrasi itu sendiri. Pada awal pemerintahannya, Yunus Yosfiah yang saat itu menjabat sebagai Menteri Penerangan pada Kabinet Reformasi, mengeluarkan serangkaian kebijakan yang membuka ‘kran’ kebebasan pers, yaitu dengan mencabut berbagai ketentuan hukum yang selama rezim Orde Baru dianggap membelenggu kebebasan pers, terutama: (1) Permenpen No.01/Per/Menpen/1984 Tentang Ketentuan-Ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUP); dan (2) SK. Menpen No.214A/Kep/Menpen/1984 Tentang Prosedur dan Persyaratan Untuk Mendapatkan SIUPP

Kebijakan tersebut telah membuka peluang bagi masyarakat untuk mengem-bangkan kehidupan pers nasional secara bebas, tidak saja dalam menumbuhkan penerbitan secara horizontal tetapi juga memberi kebebasan dalam melaksanakan fungsi kontrol sosial. Jumlah penerbitan pers meningkat dengan cepat, sampai 15 April 1999, Deppen sudah mengeluarkan 852 SIUPP baru, dan sampai dengan akhir tahun 2001 penerbitan pers di Indonesia diperkirakan sudah mencapai 1800 - 2000. Wilayah penerbitan pers juga semakin meluas, tidak hanya terpusat di ibukota negara dan kota propinsi, tetapi sudah sampai ke kota kabupaten, bahkan kota kecamatan juga memiliki surat kabar

Di bidang kontent media, kebebasan pers pada awal reformasi ini berada dalam kondisi euphoria, yang ditunjukkan “...... dalam isi, gaya pemberitaan serta cara-cara memperoleh informasi yang berbeda dengan masa Orde Baru. Berbagai batas wilayah pemberitaan, yang masa Orde Baru dianggap tabu dan berbahaya secara politik, kini seolah-olah sirna diterpa angin kebebasan”22 Kondisi euphoria pers ini digambarkan oleh Jalaluddin Rakhmat “........ seperti kuda lepas dari kandangnya, pers Indonesia meloncat-loncat, berlari tanpa arah dan mendengus kemana saja............. Banyak pengamat mengeluh, pers kini sudah menceritakan apa saja kecuali yang benar. Bila pada masa Orde Baru pers tidak bebas dan bertanggungjawab, pers Orde Habibie adalah pers yang bebas tapi tidak bertanggungjawab”23

Euphoria kebebasan pers ini mendapat perhatian dari Presiden B.J Habibie dan menjadi salah satu topik bahasan dalam rapat kerja antara Deppen dengan Komisi I DPR. Habibie mengingatkan pers untuk tidak menebarkan benih disintegrasi. “Saya yakin sepenuhnya tidak satupun di antara kita yang ingin media digunakan untuk membangkitkan emosi rakyat guna saling menghujat atau saling menjatuhkan dengan menyebar berita fitnah, atau hal lain yang bertentangan dengan kode etik jurnalistik24. Semenrara itu. Kalangan FKP di Komisi I DPR menilai “......... banyaknya SIUPP baru yang dikeluarkan Deppen, telah menyebabkan banyak penerbitan pers yang melanggar kode etik jurnalistik, menjadi provokator bagi tindakan brutal massa dan mengombang-ambingkan sikap masyarakat. Begitu asyiknya, pers dianggap oleh para anggota F-KP itu sampai kebablasan. Salah seorang anggota F-KP DPR yang berasal dari kalangan pers, Sofyan Lubis, juga memberikan penilaian senada, yang dalam salah satu pernyataannya mengungkapkan ..... pers yang senang membuat berita yang memanaskan suasana. “Seperti judul-judul berita yang dibuat cenderung seram-

22 Suranto, Hanif, et.al, 1999, Pers Indonesia Pasca Suharto¸ Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, Aliansi Jurnalistik Indonesia, Jakarta:2

23 Ibid: 2924 Ibid:30

12

Page 13: KEBEBASAN PERS DI INDONESIA Hanif H

seram. Bahkan ada kesan penulisnya membuat judulnya dulu, baru mencari beritanya. Berita ditulis cenderung super bebas sehingga tidak memperhatikan rambu-rambu kode etik jurnalistik”25

Terhadap berbagai tudingan tersebut, kalangan masyarakat pers mengemukakan berbagai pembelaannya, seperti yang dikemukakan antara lain oleh: RH.Siregar, Gunawan Muhammad, Rosihan Anwar, bahkan Menteri Penerangan ikut memberikan pernyataan. Menteri Penerangan misalnya mengemukakan: ”Kekhawatiran anggota F-KP mengenai kebebasan pers, merupakan wujud perilaku status quo dan mencerminkan pemikiran Orde Baru yang harus ditinggalkan di era reformasi

Terhadap statement Habibie, RH. Siregar mengungkapkan “....... pers tidak bisa dikatakan sebagai penyulut disintegrasi bangsa. Kalau memang faktanya betul, sumber informasinya kredibel dan kompeten, saya kira tidak salah Dalam hal ini Gunawan Muhammad juga mengungkapkan hal yang sama bahwa apa yang terjadi dalam pers Indonesia saat ini masih dalam batas kewajaran. “Memang ada satu dua pers yang salah dalam mengartikulasikan kebebasan. Tapi itu tidak banyak”. Sementara iitu wartawan senior Rosihan Anwar mengingatkan bahwa sejak dibukanya kran kebebasan pers, makin santer keluhan berbagai pihak atas pemberitaan pers yang semakin bebas. “Ketika pers menyiarkkan berita mengenai tuntutan mahasiswa yang berdemonstrasi dan menuntut pemberantasan KKN, adili Suharto, hapuskan Dwifungsi ABRI, ganti Habibie dan sebagainya, ada pihak yang menghendaki agar kebebasan pers kembali kendur”26.

Kendatipun secara politik pers sudah memperoleh kebebasannya, dalam arti hilangnya kontrol pemerintah, akan tetapi hambatan non politik berupa tekanan publik/oknum pemerintah masih dialami oleh pers Indonesia. Sampai dengan April 1999, terdapat sedikitnya 47 kasus intimidasi terhadap jurnalis berupa intimidasi dan kekerasan fisik. Namun demikian fenomena lain perlu mendapat perhatian kalangan pers adalah munculnya tuntutan publik melalui jalur hukum, yang selama era Orde Lama maupun Orde Baru jarang terjadi. Hal ini mengidikasikan semakin baiknya tingkat literasi publik terhadap media dalam menggunakan hak hukumnya untuk mengontrol pers. Selama tahun 2004 paling tidak tercatat lima kasus delik pers, yakni:

1. Pimpinan Redaksi Harian Rakyat Merdeka divonis lima bulan, dengan 10 bulan masa percobaan, dengan tuduhan mencemarkan nama baik dan melanggar pasal 310 ayat (2) dan pasal 310 ayat (1) KUHP (9 September 2003)

2. Redaktur Eksekutif Harian Rakyat Merdeka Supratman, divonis enam bulan dengan masa percobaan 12 bulan dengan tuduhan melanggar pasal 137 ayat (1) KUHP tentang penyebarluasan penghinaan terhadap Presiden (27 Oktober 2003)

3. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung menolak gugatan Hazmi Tholib terhadap enam media dan dua orang tergugat dari DPRD Jawa Barat. Penolakan disebabkan penggugat tidak memakai UU 40 Tahun 1999 tentang Pers sebelum mengajukan gugatan (5 Mei 2004)

4. Sebanyak 44 mantan anggota DPRD Kota Surakarta periode 1999 – 2004 yang diduga melakukan korupsi Rp.9,8 milyar, melaporkan Harian Suara Merdeka ke Polisi, karena dianggap menfitnah dan diusulkan untuk dijerat dengan pasal 310 ayat (1) dan ayat (2), jo pasal 311 ayat (1) KUHP (28 Agustus 2004).

25 Ibid:3026 Ibid 30

13

Page 14: KEBEBASAN PERS DI INDONESIA Hanif H

5. Pada tanggal 6 September 2004, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengadili kasus gugatan Tommy Winata terhadap Pimpindan Redaksi dan dua orang wartawan Majalah Tempo, pembacaan vonis ditunda sampai dengan tanggal 16 September 2004. Dalam kasus ini muncul kontroversi dalam penerapan hukum, Jaksa menuntut dengan pasal 310 KUHP, sedangkan pembela menginginkan digunakan UU. No,40 Tahun 1999 tentang Pers.

2. Lahirnya Lembaga Kontrol Publik dan Organisasi Pers

Hilangnya kontrol pemerintah terhadap pers pada awal reformasi telah menyebabkan pers berada dalam keadaan euphoria, akan tetapi tidak berarti pers tidak terkontrol sama sekali karena pada era ini publik tampil mengontrol kebebasan pers. Keluhan masyarakat terhadap kebebasan pers telah menumbuhkan lembaga masyarakat yang mengadakan kontrol terhadap kebebasan tersebut. Parni Hadi mengemukakan tentang perlunya institusi yang melakukan kontrol terhadap pers: “Maraknya penerbitan pers di era reformasi membutuhkan kontrol dari masyarakat agar tidak menimbulkan akibat buruk bagi bangsa dan negara. Untuk itu, kontrol masyarakat terhadap pemberitaan pers perlu dilembagakan”27. Lembaga ini tidak hanya beranggotakan unsur-unsur pengusaha, budayawan, dan teknokrat, akan tetapi juga dari unsur wartawan. Di Surabaya misalnya, pada 5 Maret 1999, lahir Yayasan Lembaga Konsumen Pers (YLKP) yang salah satu unsur keanggotaannya dengan dari unsur wartawan. “Menurut Direktur Eksekutif YLKP, Sirikit Syah, lembaga tersebut akan memfungsikan diri sebagai pelindung konsumen pers atas bahaya yang ditimbulkan oleh pers yang tidak bertangggungjawab”28. Dalam waktu yang relatif singkat, di Indonesia tumbuh berbagai media watch, dan melalui lembaga ini masyarakat umum dapat ikut aktif melaksanakan pengawasan terhadap kebebasan pers. Dewan Pers dalam pertemuannya bulan Maret 1999 yang dihadiri juga oleh 18 organisasi pers menyimpullkan: “Keseimbangan antara kebebasan dan tanggungjawab antara lain didasarkan pada fungsi pengawasan umum masyarakat (media watch) di samping pengawasan internal dalam bentuk ombudsman.29

Kebijakan lain Pemerintah Kabinet Reformasi dalam membuka peluang kebebasan pers adalah dengan mencabut SK Menpen Nomor 47 tahun 1975 tentang pengakuan pemerintah terhadap PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan di Indonesia. Pencabutan SK ini, mengakhiri era wadah tunggal organisasi kewartawanan, sehingga tidak sampai dalam satu tahun telah tumbuh 34 organisasi wartawan cetak dan elektronik. Walaupun kehadirannya dapat dipandang sebagai cerminan euphoria kebebasan, akan tetapi di pihak lain dapat menjadi ajang kompetisi wartawan Indonesia meningkatkan profesionalitas mereka. Terhadap hal ini Muchtar Lubis, berpendapat bahwa: “Jika jumlah anggotanya hanya belasan, organisasi itu tidak punya kekuatan menghadapi perkembangan di masyarakat. ........ kalau pemerintah mau mencoba menekan kebebasan pers, organisasi semacam ini tidak ada tenaga. Mestinya mereka bersatu dalam PWI untuk bisa memperjuangkan kepentingan atau membela diri bila ada ancaman-ancaman kepada pers dari kekuatan yang lebih kuat”30. Muchtar Lubis menginginkan adanya satu wadah wartawan yang kuat, utuh, dan kompak, yang dapat diandalkan dalam memperjuangkan pers nasional. Senada dengan itu, Loeby Loqman mengingatkan bahwa keberagaman organisasi

27Ibid:3428 Ibid: 3229 Ibid: 3330 Ibid: 26.

14

Page 15: KEBEBASAN PERS DI INDONESIA Hanif H

wartawan tidak perlu terkait dengan tumbuhnya kekuatan-kekuatan politik baru. “Jika tidak profesional dan cenderung memihak ke salah satu kelompok, pers yang kritis dan objektif akan sirna”31

Kebebasan Pers Indonesia Versi Freedom House

Freedom House adalah satu organisasi non-profit dan non-partisan yang menyuarakan demokrasi dan kebebasan ke seluruh dunia. Salah satu program institusi ini adalah melakukan penilaian atas kebebasan pers global, yang telah dipublikasikan secara luas sejak tahun 1972. Kategori umum yang digunakan dalam melakukan penilaian kebebasan pers pada setiap negara pada tahun 2005 adalah Artocle 19 of Universal Declarationsof Human Rigths: Everyone has the rights to freedom of opinion and expression; this rughts includes freedom to hold opinions without interference and to seek, receive, and impart information and ideas through any media regardless of frontiers”32

Tingkat kebebasan dari kebebasan pers pada setiap negara dikategorikan atas tiga hal, yaitu:

1. Lingkungan hukum berkaitan dengan peraturan yang dapat mempengaruhi pemberitaan media massa seperti kecenderungan pemerintah yang menggunakan hukum dan lembaga-lembaga hukum untuk membatasi media.

2. Lingkungan Politik adalah tingkat kontrol politik pada pemberitaan media massa. Termasuk dalam kategori ini misalnya independensi editorial media milik swasta dan milik pemerintah, akses terhadap informasi beserta sumbernya, lembaga sensor dan atau sensor sendiri, kebebasan reporter memberitakan sesuatu secara bebas tanpa gangguan, intimidasi terhadap wartawan oleh negara atau orang lain, termasuk penahanan sewenang-wenang, penyerangan dan ancaman lainnya.

3. Lingkungan ekonomi termasuk struktur pemilikan media, transparansi, konsentrasi kepemilikan, biaya untuk mengembangkan media seperti biaya produksi, distribusi, pemotongan pajak iklan atau subsidi dari pemerintah atau swasta, dampak korupsi dan penyuapan, dan tingkat situasi ekonomi dari satu negara yang mempengaruhi pengembangan media.

Berdasarkan kategori tersebut tingkat kebebasan pers di Indonesia ternyata mengalami penurunan dari ranking 117 tahun 2004 menjadi rangking 200 tahun 2005 dengan kategori Partly Free. Hal ini direfleksikan dengan Political Rights maupun Civil Liberties, yaitu pada rakn 3 untuk Politial Right dan 4 untuk Civil Liberties. Sejak tahun 1972 sampai dengan tahun 1984, kedua hal ini tidak mengalami perobahan sama sekali. Bahkan Political Rights mengalami penurunan sejak tahun 1991 yang mencapai puncaknya sejak tahun 1994 – 1997. Kecuali pada tahun 1998 mulai ada perubahan, bahkan pada tahun 1999 terjadi perubahan yang cukup signifikan. Sedangkan Civil Liberties, terlihat adanya penurunan pada 1985 – 1987 dan tahun 1994 – 1995. Sama dengan Political Rights, Civil Liberties juga mengalami peningkatan yang signifikan sejak 1998, saat terjadi reformasi dalam kehidupan politik kenegaraan di Indonesia.

Kesimpulan

Pendapat yang mengemukakan bahwa “sistem media di satu negara, mencermin-kan sistem pemerintahan yang dianut negara yang bersangkutan” terbukti

31 Ibid: 2732 www.freedomhouse.org: Freedom Of The Survey The Press 2005, Survey Methodology

15

Page 16: KEBEBASAN PERS DI INDONESIA Hanif H

berlaku pula di Indonesia. Sistim pemerintah yang mengalami beberapa kali perobahan, amat berpengaruh terhadap kebebasan pers di Indonesia.

Kebebasan pers di Indonesia terlihat lebih mengemuka pada saat pemerintahan sedsang mengalami krisis, dimana kontrol pemerintah sangat sedikit, bahkan tidak ada sama sekali. Hal ini terlihat pada era Revolusi Fisik, era kabinet parlementer yang mengalami enam kali pergantian kabinet, dan awal pemerintahan rezim Orde Baru saat terjadi kekacauan dan perpecahan dalam tubuh pemerintah. Pada era-era krisis pemerintahan ini pers Indonesia cenderung menganut paham Libertarian.

Pada saat sistem pemerintahan dalam keadaan mapan, penguasa akan mereduksi bahkan menghilangkan kebebasan pers secara struktural. Pembatasan kebebasan pers dilakukan penguasa melalui berbagai cara, termasuk dengan berbagai peraturan perundangan. Hal ini terjadi pada era Demokrasi Terpimpin oleh rezim Orde Lama dan 20 tahun menjelang reformasi oleh rezim Orde Baru. Pada kedua era ini, pers Indonesia terkungkung dalam paham Authoritarian

Kebebasan pers yang terjadi pada era reformasi adalah kebebasan struktural seiring dengan perobahan sistem pemerintahan. Perobahan sistem pemerintahan itu, sedikit banyaknya dipengaruhi oleh arus globalisasi, sehingga pers Indonesia pada era ini cenderung menganut paham Libertarian.

Freedom House yang melakukan rating penilaian terhadap kebebasan pers global, sampai saat ini masih menempatkan kebebasan pers indonesia pada posisi Partly Free”. Hal ini ditunjukkan dengan ranking Political Rights, Civil Liberties yang mempengaruhi kebebasan pers di Indonesia.

16

Page 17: KEBEBASAN PERS DI INDONESIA Hanif H

Tabel 1Tuduhan Terhadap Pers

1. Mei – Desember 1952Ikhtisar Tuduhan JumlahTuduhan atau alasan tidak jelas 1Pelanggaran KUHP 5Penghinaan Pemerintah atau Pejabat Pemerintah 5Macam-macam 1Pemuatan berita tanpa izin 1Penolakan menyebut sumber berita 12. Tahun 1954Ikhtisar Tuduhan JumlahMembocorkan rahasaia negara 1Penghinaan Pemerintah atau Pejabat Pemerintah 1Macam-macam 3Penolakan menyebut sumber berita 2Cenderung mengganggu keamanan dan ketertiban 13. Tahun 1955Ikhtisar Tuduhan JumlahPelanggaran KUHP 1Pemuatan Berita Tidak Benar 7Macam-macam 4Cenderung mengganggu keamanan dan ketertiban 14. Tahun 1956Ikhtisar Tuduhan JumlahPengecaman Pemerintah atau Pejabat Pemerintah 2Pemuatan Berita Tidak Benar 4Macam-macam 18Penghinaan Pemerintah atau Pejabat Pemerintah 85. Tahun 1957Ikhtisar Tuduhan JumlahPengecaman Pemerintah atau Pejabat Pemerintah 6Pemuatan Berita Tidak Benar 5Macam-macam 30Penghinaan Pemerintah atau Pejabat Pemerintah 9Tuduhan atau alasan tidak diberikan 12Berita tidak bersumber resmi 13Pemuatan berita tanpa izin 15Cenderung menggangu keamanan dan ketertiban 355. Tahun 1958Ikhtisar Tuduhan JumlahPengecaman Pemerintah atau Pejabat Pemerintah 3Pemuatan Berita Tidak Benar 7Macam-macam 34Penghinaan Pemerintah atau Pejabat Pemerintah 5Tuduhan atau alasan tidak diberikan 12Berita tidak bersumber resmi 3Pemuatan berita tanpa izin 12Cenderung menggangu keamanan dan ketertiban 35

17

Page 18: KEBEBASAN PERS DI INDONESIA Hanif H

6. Tahun 1959Ikhtisar Tuduhan JumlahPengecaman Pemerintah atau Pejabat Pemerintah 4Pemuatan Berita Tidak Benar 7Macam-macam 8Penghinaan Pemerintah atau Pejabat Pemerintah 3Tuduhan atau alasan tidak diberikan 7Pemuatan berita tanpa izin 23Cenderung menggangu keamanan dan ketertiban 217. Tahun 1960Ikhtisar Tuduhan JumlahPengecaman Pemerintah atau Pejabat Pemerintah 2Pemuatan Berita Tidak Benar 4Macam-macam 30Penghinaan Pemerintah atau Pejabat Pemerintah 9Tuduhan atau alasan tidak diberikan 4Pemuatan berita tanpa izin 2Cenderung menggangu keamanan dan ketertiban 428. Tahun 1961Ikhtisar Tuduhan JumlahPengecaman Pemerintah atau Pejabat Pemerintah 7Pemuatan Berita Tidak Benar 4Macam-macam 8Penghinaan Pemerintah atau Pejabat Pemerintah 3Tuduhan atau alasan tidak diberikan 15Pemuatan berita tanpa izin 23Cenderung menggangu keamanan dan ketertiban 219. Tahun 1962Ikhtisar Tuduhan JumlahPengecaman Pemerintah atau Pejabat Pemerintah 2Macam-macam 10Cenderung menggangu keamanan dan ketertiban 410. Tahun 1963Ikhtisar Tuduhan JumlahPemuatan Berita Tidak Benar 1Macam-macam 4Cenderung menggangu keamanan dan ketertiban 111. Tahun 1964Ikhtisar Tuduhan JumlahPengecaman Pemerintah atau Pejabat Pemerintah 1Penghinaan Pemerintah atau Pejabat Pemerintah 1Cenderung menggangu keamanan dan ketertiban 812. Tahun 1965Ikhtisar Tuduhan JumlahMacam-macam 10

Sumber: Smith, Edwar C.,1986, Sejarah Pembredeilan Pers Di Indonesia, (terjemahan), Jakarta, Pustaka Grafitti:: 144

18

Page 19: KEBEBASAN PERS DI INDONESIA Hanif H

Tabel 2:Rating Kebebasan Pers Indonesia 1972 – 2005

(Versi Freedom House)

Year Political Rights

Civil Liberties Status

1972 5 5 PF1973 5 5 PF1974 5 5 PF1975 5 5 PF1976 5 5 PF1977 5 5 PF1978 5 5 PF1979 5 5 PF1980 5 5 PF1981 5 5 PF1983 5 5 PF1983 5 5 PF1984 5 5 PF1985 5 6 PF1986 5 6 PF1987 5 6 PF1988 5 5 PF1989 5 5 PF1990 5 5 PF1991 6 5 PF1992 6 5 PF1993 6 5 PF1994 7 6 PF1995 7 6 PF1996 7 5 PF1997 7 5 PF1998 6 4 PF1999 4 4 PF2000 4 4 PF2001 3 4 PF2002 3 4 PF2003 3 4 PF2004 3 4 PF2005 3 4 PF

Notes: Political Rights and Civil Liberties are measured on a one-to-seven scale, with

one representing the highest degree and seven the lowest. “F”, “PF” and “NF”, respectively, stand for “Free”, “Partly Free”, and “Not

Free”. Ratings fall : between 5.5 to 7.0 is “Not Free”; 3.0 to 5.0 is “Partly Free” and

1.0 to 2.5 is “Free” (Diolah dari: hhtp://freedomhouse.org)

19

Page 20: KEBEBASAN PERS DI INDONESIA Hanif H

Daftar Pustaka

Abar, Akhmad Zaini, 1995; Kisah Pers Indonesia 1966 – 1974, LkiS, Yogyakarta

Anwar, Rosihan, 1999; ...................19 (5), Maret

Jurnal Pers Indonesia, 1999, Nomor 5 Tahun XIX, Maret

MacQuail, Denis, 1989, Teori Komunikasi Massa, suatu Pengantar (Terjemahan),

Jakarta, Airlangga

Martin, 1983, et al, Compartative Mass Media System, Logman Inc, New York

Serikat Penerbit Suratkabar Pusat, 1971, Garis Besar Perkembangan pers

Indonesia, Jakarta

Seibert, Fred S,.et.al, 1073, Four Theories of The Press, London, University of

Illlinois

Simanjuntak, Togi (Editor), 1998, Wartawan Terpasung – Intervensi Negara di

Tubuh PWI, Institute Studi Arus Informasi, Jakarta

Smith, Edwar C, 1986, Sejarah Pembredelan Pers Di Indonesia, (Terjemahan),

Jakarta, Pustka Grafitti

Suranto, Hanif, et.al, 1999, Pers Indonesia Pasca Suharto, Lembaga Studi Pers

dan Pembangunan Aliansi Jurnalistik Indonesia, Jakarta

www.freedomhouse: Freedom of The Survey The Press 2005, Survey

Methodology

20