kebebasan “fiktif” pers indonesia (keterasingan pekerja …isip.usni.ac.id/jurnal/addin...

16
1 KEBEBASAN “FIKTIF” PERS INDONESIA (Keterasingan Pekerja Pers Dari Pekerjaan Dan Dirinya Sendiri Sebagai Bentuk Dari Konglomerasi Media) Addin Maulana Mahasiswa Pascasarjana Universitas Sahid Jalan Jendral Sudirman. No 86 Jakarta [email protected] ABSTRAK Kajian ini memfokuskan pada praktik konglomerasi media yang terjadi di Indonesia. Beberapa penelitian terkait hal tersebut menunjukkan bahwa praktik ini terjadi di Indonesia, hal ini juga sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Bagdikian dalam tulisannya terkait Teori Endless Chain, bahwa konsekuensi dari praktik ini adalah apa yang disampaikan oleh media sangat bergantung kepada kepentingan-kepentingan penguasanya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Kebebasan yang diapat dalam mengeluarkan pendapat, ide dan gagasan tidak sepenuhnya dapat dilakukan oleh para pekerja di dalamnya. Kebebasan hanya dapat dimiliki oleh meraka yang hanya ketegantungan besar pada dirinya sendiri. Oleh karena itu, kebebasan pers yang ada saat ini dapat dikatakan sebagai kebebasan “fiktif”, kebebasan yang tidak hakiki, kebebasan yang tidak nyata, atau kebebasan yang hanya menjadi wacana saja, yang dipengaruhi oleh pihak-pihak dimana penulis / penerbit berita memiliki ketergantungan besar atas keberlangsungan hidup dan karirnya. Kata Kunci: Konglomerasi media, Teori Endless Chain, Kebebasan Pers. ABSTRAC This study focuses on media conglomeration practices occurring in Indonesia. Some things related to the things that happen in Indonesia, this is also in line with The Bagdikian’s Endless Chain Theory, what is conveyed by the media is depend on the benefit of its owner. Thus it can be said that the freedom that comes in expressing opinions and ideas can not be done by the workers in it. Freedom can only be done by those who is only a great dependence on himself. Therefore, the current freedom of the press can be regarded as "fictitious" freedom, unwarranted freedom, unreal freedom, or freedom which is only a discourse, altered by the parties where the author / publisher of the news has on the sustainability life and career. Keywords: Conglomeration Media, Endless Chain Theory, Press Freedom.

Upload: phamkhue

Post on 13-Mar-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KEBEBASAN “FIKTIF” PERS INDONESIA (Keterasingan Pekerja …isip.usni.ac.id/jurnal/Addin Maulana.pdf · ditetapkannya TVRI sebagai televisi berbadan hukum yayasan melalui Keputusan

1

KEBEBASAN “FIKTIF” PERS INDONESIA

(Keterasingan Pekerja Pers Dari Pekerjaan Dan Dirinya Sendiri Sebagai

Bentuk Dari Konglomerasi Media)

Addin Maulana

Mahasiswa Pascasarjana Universitas Sahid

Jalan Jendral Sudirman. No 86 Jakarta

[email protected]

ABSTRAK

Kajian ini memfokuskan pada praktik konglomerasi media yang terjadi di Indonesia.

Beberapa penelitian terkait hal tersebut menunjukkan bahwa praktik ini terjadi di Indonesia, hal ini

juga sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Bagdikian dalam tulisannya terkait Teori Endless Chain, bahwa konsekuensi dari praktik ini adalah apa yang disampaikan oleh media sangat

bergantung kepada kepentingan-kepentingan penguasanya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa

Kebebasan yang diapat dalam mengeluarkan pendapat, ide dan gagasan tidak sepenuhnya dapat

dilakukan oleh para pekerja di dalamnya. Kebebasan hanya dapat dimiliki oleh meraka yang hanya ketegantungan besar pada dirinya sendiri. Oleh karena itu, kebebasan pers yang ada saat ini dapat

dikatakan sebagai kebebasan “fiktif”, kebebasan yang tidak hakiki, kebebasan yang tidak nyata, atau

kebebasan yang hanya menjadi wacana saja, yang dipengaruhi oleh pihak-pihak dimana penulis / penerbit berita memiliki ketergantungan besar atas keberlangsungan hidup dan karirnya.

Kata Kunci: Konglomerasi media, Teori Endless Chain, Kebebasan Pers.

ABSTRAC

This study focuses on media conglomeration practices occurring in Indonesia. Some things

related to the things that happen in Indonesia, this is also in line with The Bagdikian’s Endless Chain Theory, what is conveyed by the media is depend on the benefit of its owner. Thus it can be said that

the freedom that comes in expressing opinions and ideas can not be done by the workers in it.

Freedom can only be done by those who is only a great dependence on himself. Therefore, the current

freedom of the press can be regarded as "fictitious" freedom, unwarranted freedom, unreal freedom, or freedom which is only a discourse, altered by the parties where the author / publisher of the news

has on the sustainability life and career.

Keywords: Conglomeration Media, Endless Chain Theory, Press Freedom.

Page 2: KEBEBASAN “FIKTIF” PERS INDONESIA (Keterasingan Pekerja …isip.usni.ac.id/jurnal/Addin Maulana.pdf · ditetapkannya TVRI sebagai televisi berbadan hukum yayasan melalui Keputusan

2

I. PENDAHULUAN

Era demokrasi merupakan era

dimana setiap warga negara memiliki hak

yang sama dalam mengambil keputusan,

berpendapat, serta berpartisipasi terhadap

jalannya roda pemerintahan suatu negara.

Kebebasan yang bertanggung merupakan

kunci dari sebuah demokrasi. Setiap warga

negara memiliki perannya sendiri dalam

berdemokrasi, diharapkan mereka semua

mampu menjalankan perannya secara

optimal untuk ikut serta dalam

menjalankan roda pemerintahan.

Media massa memiliki peran yang

sangat kuat dalam demokrasi,

keberadaanya merupakan bagian penting

dalam penyampaian informasi kepada

masyarakat sebagai subyek dan obyek

pembangunan dalam demokrasi.

Kebebasan mengemukakan pendapat tentu

merupakan peluang yang dapat

dimanfaatkan oleh media massa untuk

mengemukakan informasi yang benar

kepada masyarakat. Namun, pemerintah

tetap harus memberikan garis pandu bagi

mereka, sehingga keberadaannya juga

dapat dipertanggung jawabkan. Oleh

karena itu, pemerintah mengeluarkan

peraturan terkait Pers atau lembaga yang

memiliki fungsi jurnalistik yang

dirumuskan dalam Undang-Undang

Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.

Terdapat beberapa poin penting

kenapa Undang-Undang Nomor 40 tahun

1999 tentang Pers perlu dibentuk,

diantaranya adalah sebagai bentuk

kedaulatan rakyat, kebebasan berpendapat

sesuai hari nurani, hak memperoleh

informasi sebagai salah satu hak asasi

manusia dalam upayanya untuk

mencerdaskan dan mensejahterakan

masyarakat, peran profesional pers

nasional sebagai wahana komunikasi

massa (penyebar informasi dan pembentuk

opini), serta peran pers nasional dalam ikut

menjaga ketertiban.

Pada UU No. 40/199 tentang Pers,

pasal 3 (1) menyebutkan bahwa Pers

nasional mempunyai fungsi sebagai media

informasi, pendidikan, hiburan, dan

kontrol sosial. Kebebasan Pers sendiri

dijamin sebagai salah satu Hak Asasi

Warga negara sesuai dengan pasal 4 (1).

Yang dimaksud dengan -kemerdekaan pers

dijamin sebagai hak asasi warga negara-

adalah bahwa pers bebas dari tindakan

pencegahan, pelarangan, dan atau

penekanan agar hak masyarakat untuk

memperoleh informasi terjamin.

Kemerdekaan pers adalah kemerdekaan

yang disertai kesadaran akan pentingnya

penegakan supremasi hukum yang

dilaksanakan oleh pengadilan, dan

tanggung jawab profesi yang dijabarkan

Page 3: KEBEBASAN “FIKTIF” PERS INDONESIA (Keterasingan Pekerja …isip.usni.ac.id/jurnal/Addin Maulana.pdf · ditetapkannya TVRI sebagai televisi berbadan hukum yayasan melalui Keputusan

3

dalam Kode Etik Jurnalistik serta sesuai

dengan hati nurani insan pers.

Pasal 5 (1) kemudian menyebutkan

bahwa Pers nasional berkewajiban

memberitakan peristiwa dan opini dengan

menghormati norma-norma agama dan

rasa kesusilaan masyarakat serta asas

praduga tak bersalah. Artinya adalah tidak

menghakimi atau membuat kesimpulan

atas kesalahan seseorang, terlebih lagi

untuk kasus-kasus yang masih dalam

proses peradilan, serta dapat

mengakomodasikan kepentingan semua

pihak yang terkait dalam pemberitaan

tersebut. Pada pasal 6, disebutkan

beberapa peranan Pers nasional, antara

lain: (1) Memenuhi hak masyarakat untuk

mengetahui; (2) Menegakkan nilai-nilai

dasar demokrasi, mendorong terwujudnya

supremasi hukum, dan Hak Asasi

Manusia, serta menghormat kebhinekaan;

(3) Mengembangkan pendapat umum

berdasarkan informasi yang tepat, akurat

dan benar; (4) Melakukan pengawasan,

kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal

yang berkaitan dengan kepentingan umum;

(5) Memperjuangkan keadilan dan

kebenaran.

Pers yang memiliki kemerdekaan

untuk mencari dan menyampaikan

informasi juga sangat penting untuk

mewujudkan Hak Asasi Manusia. Pers

yang juga melaksanakan kontrol sosial

sangat penting pula untuk mencegah

terjadinya penyalahgunaan kekuasaan baik

korupsi, kolusi, nepotisme, maupun

penyelewengan dan penyimpangan

lainnya. Dalam melaksanakan fungsi, hak,

kewajiban dan peranannya, pers

menghormati hak asasi setiap orang,

karena itu dituntut pers yang profesional

dan terbuka dikontrol oleh masyarakat.

Oleh karena itu, penulis merasakan

perlunya membuat kajian tentang

bagaimana perkembangan, pelaksanaan,

dan penerjemahan dari kebebasan pers

yang merupakan salah satu hak asasi

manusia, terutama pada saat ini dimana

peranan media massa di Indonesia

dirasakan semakin penting baik dalam

kehidupan ekonomi, sosial maupun politik.

I. KERANGKA TEORITIS

Perkembangan Media Massa Di

Indonesia

Triwiboro dan Dhewanto (2015),

menyatakan bahwa perkembangan industri

televisi dan radio di Indonesia dimulai

ketika Angkatan Laut Kerajaan Belanda

pertama kali mengoperasikan fasilitas

radio komunikasi di Sabang pada tahun

1911. Pada saat itu, fasilitas radio

digunakan sebagai alat komunikasi untuk

mengatur lalu lintas kapal laut yang

melintas Selat Malaka, jalur perdagangan

yang sangat padat pada masanya. Setelah

Page 4: KEBEBASAN “FIKTIF” PERS INDONESIA (Keterasingan Pekerja …isip.usni.ac.id/jurnal/Addin Maulana.pdf · ditetapkannya TVRI sebagai televisi berbadan hukum yayasan melalui Keputusan

4

Perang Dunia I usai, tepatnya pada tahun

1925, Batavia Radio Society atau Radio

Batavia Vereniging (BRV) mulai didirikan

di Jakarta. Lahirnya BRV inilah yang

mulai mengawali keberadaan radio siaran

di Hindia Belanda (Indonesia). Sejarah

sistem penyiaran televisi di Indonesia

dimulai pada 17 Agustus 1962. Pada saat

itu, Televisi Republik Indonesia (TVRI)

lahir dan untuk pertama kalinya mulai

beroperasi. Siaran pertama dilakukan

untuk menyiarkan peringatan hari ulang

tahun ke-17 proklamasi kemerdekaan

Republik Indonesia dari halaman Istana

Merdeka Jakarta. Pada awalnya TVRI

adalah proyek khusus untuk

menyukseskan penyelenggaraan Asian

Games IV di Jakarta. Siaran TVRI pada

saat itu hanya terkait seputar Asian Games

yang dikoordinir oleh Organizing

Committee Asian Games IV, di bawah

naungan Biro Radio dan Televisi

Departemen Penerangan. Mulai 12

November 1962, TVRI mengudara secara

reguler setiap hari dengan variasi konten

yang berbeda. Pada 1 Maret 1963 TVRI

mulai menayangkan iklan seiring dengan

ditetapkannya TVRI sebagai televisi

berbadan hukum yayasan melalui

Keputusan Presiden RI Nomor 215 Tahun

1963.

Media cetak di Indonesia telah ada

sejak tahun 1744. Saat itu media massa

cetak telah dikuasai sepenuhnya oleh

kolonialisme Belanda. Media massa cetak

yang pertama kali terbit di Batavia pada

tahun 1744 adalah “Batavia Nouvelles”

yang tentu saja berbahasa belanda yang

hanya bertahan 2 tahun. Selanjutnya di

tahun 1828, terbit “Javasche Courant” di

Batavia. Sementara itu pada periode yang

sama di Surabaya telah terbit media massa

cetak “Soerabajasch Advertantiland” yang

kemudian berganti nama menjadi

“Soerabajasch Niews en Advertantiland”.

Adapun di Semarang media cetak yang

bertajuk “Semarangsche Courant” telah

terbit. Di Sumatra terbit “Soematra

Courant” dan di Padang terbit

“Handeslsbland”. Di Makassar terbit

“Celebes courant” dan “Makassar

Handelsbland”. Baru pada tahun 1858

media massa cetak berbahasa melayu

mulai diterbitkan.

Sejak awal penerbitannya, jelas

bahwa apa yang menjadi isi pemberitaan

sangat dipengaruhi oleh siapa yang

berkuasa saat itu. Jika pada jaman belanda,

semua seolah dipaksakan untuk menerima

informasi yang diinginkan oleh penguasa

saat itu, maka tidak berbeda juga dengan

pada saat pendudukan Jepang. Pada jaman

orde baru, terdapat perubahan yang

signifikan pada media massa cetak dengan

dikeluarkanya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Isi Dekrit itu antara lain adalah larangan

Page 5: KEBEBASAN “FIKTIF” PERS INDONESIA (Keterasingan Pekerja …isip.usni.ac.id/jurnal/Addin Maulana.pdf · ditetapkannya TVRI sebagai televisi berbadan hukum yayasan melalui Keputusan

5

pers untuk turut berpatisipasi dalam

kegiatan politik. Dengan kata lain, media

massa cetak dilarang menjadi alat

propaganda kepentingan politik manapun.

Kehidupan pers setelah Reformasi,

mengalami perubahan yang besar. Suatu

kebijakan yang monumental karena

dianggap sebagai tonggak dimulainya

kebebesan pers di Indonesia yakni

dikeluarkannya Permenpen No.

01/per/Menpen/1998, tentang Kententuan-

Ketentuan SIUPP . Pada Permenpen ini,

sanksi pencabutan SIUPP maupun

pembreidelan bagi pers ditiadakan. Ada

lima peraturan, baik berupa Peraturan

Menteri maupun Surat Keputusan Menteri,

yang keseluruhannya menghambat ruang

gerak pers, dicabut. Puncaknya adalah

dikeluarkannya Undang- Undang No. 40

Tahun 1999 tentang Pers. Terdapat pasal

di dalam undang-undang ini yang

menyatakan pencabutan semua undang-

undang pers yang ada sebelumnya.

Dengan demikian, pada rezim ini tidak ada

lagi peraturan yang membatasi ruang gerak

pers. Perubahan-perubahan yang begitu

besar dan berlangsung dalam masa yang

sedemikian singkat tersebut, ternyata telah

meningkatkan keinginan orang-orang

maupun lembaga- lembaga yang ada di

masyarakat untuk mendirikan penerbitan

pers.

Teori Ekonomi Politik Komunikasi

Mosco (2009) dalam bukunya The

Political Economy of Communication,

memberikan pengertian ekonomi politik

komunikasi dalam arti sempit yaitu “The

study of the social relations, par- ticularly

the power relations, that mutually

constitute the production, distribution, and

con- sumption of resources, including

communication resources (Halaman:2)”,

artinya bahwa studi tentang hubungan

sosial, terutama hubungan kekuasaan,

yang saling membentuk produksi,

distribusi, dan konsumsi sumber daya,

termasuk sumber daya komunikasi. Secara

luas dan umum, Mosco memberikan

pengertian ekonomi politik komunikasi

sebagai “the study of control and survival

in social life (Halaman:3)”, atau studi

tentang kontrol dan kelangsungan hidup

dalam kehidupan sosial. Kontrol mengacu

secara khusus pada bagaimana masyarakat

mengatur dirinya sendiri, mengelola

urusannya dan beradaptasi, terhadap

perubahan yang tak terelakkan yang

dihadapi semua masyarakat, menurut

interpretasi ini, kontrol adalah proses

politik karena membentuk hubungan

dalam suatu komunitas. Sedangkan

kelangsungan hidup berarti bagaimana

orang menghasilkan apa yang mereka

butuhkan untuk mereproduksi diri mereka

sendiri dan untuk menjaga masyarakat

Page 6: KEBEBASAN “FIKTIF” PERS INDONESIA (Keterasingan Pekerja …isip.usni.ac.id/jurnal/Addin Maulana.pdf · ditetapkannya TVRI sebagai televisi berbadan hukum yayasan melalui Keputusan

6

mereka pergi. Menurut interpretasi ini

kelangsungan hidup terutama ekonomi

karena melibatkan proses produksi dan

reproduksi.

Mosco juga dalam buku yang sama

menyatakan bahwa terdapat 3 (tiga) proses

utama yang membentuk Ekonomi Politik

Komunikasi, yaitu:

Commodification is the

process of transforming

things valued for their use

into marketable products

that are valued for what

they can bring in

exchange……

Spatialization is the

process of over- coming the

constraints of geographical

space with, among other

things, mass media and

communication

technologies…… Finally

structuration is the process

of creating social relations,

mainly those organized

around social class,

gender, and

race..(Halaman: 2)

Komodifikasi adalah proses

mengubah hal-hal yang bernilai untuk

digunakan ke dalam produk-produk yang

dapat dipasarkan yang bernilai untuk apa

yang dapat mereka hasilkan. Lebih lanjut

dalam bukunya Mosco menjelaskan bahwa

komodifikasi merupakan titik awal untuk

mulai berteori ekonomi politik

komunikasi. Komodifikasi didefinisikan

sebagai proses transformasi barang dan

jasa, termasuk komunikasi, yang memiliki

nilai untuk penggunaannya, menjadi

komoditas yang dinilai untuk apa yang

akan mereka bawa di pasar, atau dengan

kata lain, mengubah nilai guna menjadi

nilai tukar. Ada tiga jenis komodifikasi

yang penting dalam komunikasi, yaitu:

komodifikasi konten, audiens, dan tenaga

kerja. Komoditas menimbulkan komoditas

baru, dalam apa yang disebut komodifikasi

immanen, dan mereka diciptakan dalam

hubungan dengan barang dan jasa yang

tidak dikomodifikasi, dalam apa yang

disebut komodifikasi eksternal.

Spasialisasi adalah proses mengatasi

kendala ruang geografis antara lain dengan

media massa dan teknologi komunikasi.

Proses ini dilakukan untuk mengatasi

kesenjangan antara jarak dan waktu

dengan mengoptimalisasi teknologi.

Strukturasi adalah proses dimana

struktur sosial terbentuk dari agensi

manusia, bahkan ketika mereka berfungsi

sebagai medium konstitusi sosial.

Ekonomi politik membawa penekanan

pada kekuasaan pada struktur dualisme

agensi. Struktur membatasi individu

Page 7: KEBEBASAN “FIKTIF” PERS INDONESIA (Keterasingan Pekerja …isip.usni.ac.id/jurnal/Addin Maulana.pdf · ditetapkannya TVRI sebagai televisi berbadan hukum yayasan melalui Keputusan

7

dengan menggunakan kekuatan ekonomi,

politik, dan budaya. Salah satu

konsekuensi dari penggunaan ini adalah

pembentukan kelas sosial, gender, ras, dan

kategori sosial lainnya yang membentuk

divisi utama di bidang sosial. Tetapi kelas

sosial dan divisi lain bukan hanya

konsekuensi dari tekanan struktural,

mereka juga hasil dari agen individu dan

kelompok sosial yang menggunakan

kekuatan mereka sendiri untuk membentuk

diri mereka di dunia dan dalam hubungan

dengan orang lain.

The Endless Chain Theory

Merangkum dari apa yang

disampaikan oleh Bagdikian dimana salah

satu tulisannya di muat dalam buku The

Political Economy of The Media yang di

susun oleh Golding dan Murdok (1997).

Bagdikian menulis tentang keresahannya

terhadap kondisi penguasaan media oleh

perusahaan-perusahaan besar, dimana

dengan demikian fungsi utama dari media

lama kelamaan menjadi terbiaskan oleh

kepentingan perusahaan yang memiliki

media tersebut. Peran media sebagai

penyampai informasi dan pembentukan

pola pikir masyarakat, menjadikan media

sebagai salah satu alat perusahaan yang

berorientasi laba untuk mendapatkan

keuntungan yang sebesar-besarnya.

Dalam tulisannya, Bagdikian

menceritakan bagaimana kondisi lima

puluh tahun yang lalu, dimana para editor

lebih berterus terang tentang apa yang

wartawan dapat cetak dan tidak karena

kepentingan beberapa pemilik. Ironisnya,

standar jurnalistik yang lebih tinggi saat

ini membuat ini hampir tidak mungkin

dilakukan dalam segala jenis mode

terbuka. Sebaliknya, alasan untuk tidak

mencetak sebuat berita karena kepentingan

pemilik dijelaskan sebagai, "tidak ada

yang tertarik dengan cerita itu". Apakah

ini berarti bahwa berita tersebut

bertentangan dengan kepentingan pemilik

tidak pernah dipublikasikan? Tidak. Tetapi

ini berarti bahwa agar berita tersebut dapat

diterbitkan, mereka harus "lebih mendesak

dan melodramatis" pada berita-berita yang

mendukung minat mereka (pemilik).

Dengan praktik semacam ini, maka

"gambaran total berita yang diterima

masyarakat, dicondongkan ke arah

kepentingan perusahaan."

Bagdikian juga menyampaikan

bahwa sangat sulit bagi publik untuk

mengetahui apakah penerbit menggunakan

pandangan politik perusahaannya untuk

mempengaruhi berita atau tidak. Lagi pula

menurutnya, editor membuat ratusan

keputusan setiap harinya terkait masalah

ini yang merupakan pekerjaan mereka.

Sangat mudah untuk menyembunyikan

Page 8: KEBEBASAN “FIKTIF” PERS INDONESIA (Keterasingan Pekerja …isip.usni.ac.id/jurnal/Addin Maulana.pdf · ditetapkannya TVRI sebagai televisi berbadan hukum yayasan melalui Keputusan

8

sudut pandang perusahaan di bawah alasan

lainnya. Ada banyak laporan setiap tahun

tentang reporter, editor, produser televisi

dan penulis yang dipecat atau didemosikan

karena mereka “menginjak kaki”

perusahaan pemiliknya, hasilnya adalah

swasensor (Self-cencorship).

Apakah Korporasi / perusahaan

mempengaruhi Media yang “mereka

miliki”? Untuk pertanyaan tersebut

Bagdikian dengan yakin menjawab bahwa

Korporasi memperngaruhi media yang

dimilikinya. Mungkin salah satu kekuatan

paling penting yang dimiliki perusahaan

media adalah kekuatan untuk menciptakan

ide dan gerakan, yang, jika perlu, "dapat

mencerminkan keinginan yang sangat

pribadi dari pemilik media". Bagdikian

bersama George Orwell pada 1984 dan

gagasannya tentang satu pemilik dari

semua media dan kerusakan yang

dilakukan - dan menjelaskan bahwa

segelintir perusahaan terikat dengan bisnis

dan perbankan memiliki sebagian besar

media mainstream Amerika. Dia

berpendapat bahwa itu bukan konspirasi -

perusahaan besar telah berbagi nilai-nilai

yang tercermin dalam berita mereka dan

budaya populer. Mereka adalah pembentuk

utama opini publik tentang peristiwa dan

maknanya. Mereka memiliki pengaruh

besar dalam pemerintahan. Ketika

kepentingan perusahaan mereka

dipertaruhkan - dalam bentuk pajak,

regulasi dan antitrust - mereka

menggunakan kekuasaan dalam selisih

berita dan dalam kekuatan lobi pribadi

untuk mempengaruhi politisi dan proses

politik.

Dua alasan, menurut Bagdikian,

mengapa perusahaan mencoba untuk

mendominasi media: Alasan pertama

adalah, Uang – Keuntungan / Profit, jelas

bahwa siapapun yang mampu

mendominasi pasar akan mendapatkan

persentasi keuntungan yang jauh lebih

besar dari pada yang tidak. Alasan kedua

adalah, Kekuasaan untuk mempengaruhi -

perusahaan dominan memiliki pengaruh

dominan atas berita, informasi, gagasan,

budaya populer, dan sikap politik publik -

dan memiliki pengaruh dalam

pemerintahan karena mereka

mempengaruhi persepsi audiens mereka

tentang kehidupan publik, persepsi politik

dan politisi.

II. HASIL PENELITIAN DAN

PEMBAHASAN

Pada bagian ini, penulis

menyampaikan beberapa penelitian

terdahulu terkait praktik konglomerasi

media di Indonesia, dengan harapan akan

mampu memberikan gambaran terakit

praktik konglomerasi media di Indonesia,

sesuai dengan judul yang penulis ambil.

Page 9: KEBEBASAN “FIKTIF” PERS INDONESIA (Keterasingan Pekerja …isip.usni.ac.id/jurnal/Addin Maulana.pdf · ditetapkannya TVRI sebagai televisi berbadan hukum yayasan melalui Keputusan

9

Nugroho, dkk (2013) dalam

penelitiannya yang berjudul “Memetakan

Landskap Industri Media Kontemporer

di Indonesia” menyatakan:

Riset kami menemukan

bahwa pemilik media

membuat media menjadi

sebuah komoditas, dengan

pemirsa diperlakukan

hanya sebagai konsumen,

bukan sebagai warga

negara yang sah… Sebagai

alat untuk kekuasaan,

media menanggung bias

yang tidak dapat dihindari

karena adanya intervensi

dari pemilik media, yang

juga termasuk keharusan

untuk mendukung

kebijakan pemerintah dan

korporasi ketika

menciptakan konten

(terutama konten berita),

serta mendistribusikannya

kepada pemirsa. Informasi

publik di media menjadi

hak istimewa dari

industri..... Warga negara

hanya terpapar oleh

informasi yang terbatas,

karena kebanyakan isu-isu

penting yang berkaitan

dengan sosial, ekonomi,

dan politik disampaikan

oleh media secara

selektif…. Kekuasaan

untuk mengendalikan

media tampaknya telah

menjadi kekuasaan untuk

juga mengendalikan

kebijakan serta Undang-

Undang media, sehingga

menegaskan regulasi ini

lebih berorientasi pada

perusahaan daripada

kepada publik. (Hal. Vii-

ix).

Lebih lanjut, Nugroho (2013)

menjelaskan bahwa struktur konsentrasi

kepemilikan media di Indonesia, yang

didominasi oleh dua belas kelompok

terbesar. Mencerminkan sebuah kendali

tinggi pada tindakan maupun aliran

informasi dari titik pusat hingga ke

periferal. Jaringan seperti yang seperti

pada Gambar 2 tidak hanya menampilkan

hubungan konsentrasi kepemilikan dalam

kerja media, tetapi juga memperlihatkan

secara logis bagaimana kendali medium

dan konten terjadi.

Page 10: KEBEBASAN “FIKTIF” PERS INDONESIA (Keterasingan Pekerja …isip.usni.ac.id/jurnal/Addin Maulana.pdf · ditetapkannya TVRI sebagai televisi berbadan hukum yayasan melalui Keputusan

10

Gambar 2. Struktur jaringan kepemilikan media di Indonesia: 2011, Nugroho (2013)

Page 11: KEBEBASAN “FIKTIF” PERS INDONESIA (Keterasingan Pekerja …isip.usni.ac.id/jurnal/Addin Maulana.pdf · ditetapkannya TVRI sebagai televisi berbadan hukum yayasan melalui Keputusan

11

Yasir (2017) mengatakan Adanya

monopoli dan pemusatan kepemilikan dan

penguasaan lembaga penyiaraan oleh satu

orang jelas melanggar UU Penyiaran

nomor 32 tahun 2002 pasal 5 butir ketujuh

(g) yaitu: “mencegah monopoli

kepemilikan dan mendukung persaingan

yang sehat di bidang penyiaran”. Selain

itu, Pasal 18 ayat 1 (satu) menjelaskan

“Pemusatan kepemilikan dan penguasaan

Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu

orang atau badan hukum, baik di satu

wilayah siaran maupun di beberapa

wilayah, dibatasi”. Pengaturan seperti ini

jelas berguna untuk mengatur kekuatan

hegomonis media, karena kekuasaan

tersebut dapat mengeksploitasi khalayak

dan pekerjanya yang juga akan

mengabaikan isi atau kepentingan publik

(publik interest). Kepentingan publik

diabaikan dan hanya dieksploitasi untuk

menjadikan kepentingan publik sebagai

komoditas atau buruh kapital dan juga

menjadi komoditas kepentingan politik

pemilik media.

Valerisha (2017) dalam

penelitiannya mengidentifikasi beberapa

temuan dimana peran “penguasa” yang

berada di belakang media, baik secara

eksplisit maupun implisit, mempengaruhi

informasi yang disampaikan oleh media

dalam kasus luapan lumpur di Poring -

Sidoarjo, serta terkait pemberitaan politik

pemilihan Presiden Indonesia tahun 2014

lalu, sebagai berikut:

Temuan yang pertama kali

didapat ditunjukkan oleh

kasus pemberitaan luapan

lumpur di Porong, Sidoarjo.

Peristiwa meluapnya

lumpur tersebut diakibatkan

oleh kegiatan pengeboran

gas yang dilakukan oleh

PT. Lapindo Brantas.

Menariknya, stasiun

televisi TV One dan ANTV

tidak pernah memasang

headline atau judul berita

dengan kalimat “Lumpur

Lapindo”, melainkan

dengan kalimat “Lumpur

Sidoarjo”. Untuk diingat,

PT. Lapindo Brantas adalah

anak perusahaan

pertambangan PT. Energi

Mega Persada yang

bergerak di bidang industri

minyak dan gas bumi.

Perusahaan ini dimiliki

oleh Bakrie & Brothers,

salah satu perusahaan yang

dimiliki oleh keluarga

Bakrie. Yang patut menjadi

perhatian adalah bahwa

Aburizal Bakrie merupakan

anggota dan juga ketua

Page 12: KEBEBASAN “FIKTIF” PERS INDONESIA (Keterasingan Pekerja …isip.usni.ac.id/jurnal/Addin Maulana.pdf · ditetapkannya TVRI sebagai televisi berbadan hukum yayasan melalui Keputusan

12

partai Golkar sekaligus

pemilik dari stasiun televisi

TV One.

Temuan kedua ditunjukkan

oleh stasiun televisi Metro

TV yang seringkali

menyiarkan pemberitaan

tentang Partai Nasional

Demokrat (Nasdem) dalam

rupa iklan yang

menunjukkan citra atau

image ketua partai.

Pemberitaan tersebut jika

diperhatikan dari sudut

nilai dan tingkat urgensi,

sebetulnya tidak terlalu

urgen untuk ditampilkan.

Tetapi karena kepentingan

dari sang pemilik, maka

konten tersebut dirasa perlu

dimnuculkan di layar kaca.

Motif di baliknya bisa

macam- macam, mulai dari

memperkenalkan nama

partai kepada audiens,

memberikan informasi

kepada audiens mengenai

kegiatan partai, apa visi

misi partai, bahkan seruan

yang bersifat persuasif

terkait isu-isu tertentu,

khususnya isu yang “dekat”

dengan masyarakat seperti

kepedulian terhadap

masyarakat misalnya. Dan

itu semua dipertontonkan

dengan tujuan membangun

citra atau image sang tokoh

atau partainya.

Sebagaimana diketahui,

bahwa pemilik stasiun

televisi Metro TV adalah

Surya Paloh, ketua Partai

Nasdem.

Temuan-temuan berikutnya

banyak ditunjukkan ketika

memasuki masa kampanye

Pemilu capres dan

cawapres tahun 2014.

Kedua pemilik media berita

utama di Indonesia, yaitu

Surya Paloh (pemilik

MetroTV sekaligus Ketua

Umum Partai Nasdem) dan

Aburizal Bakrie (pemilik

TV One sekaligus Ketua

Umum Partai Golkar),

masing-masing

menggunakan media

televisi miliknya sebagai

alat kampanye politik untuk

memengaruhi opini public,

dengan jalan memasang

iklan. Pada saat itu, partai

Nasdem menjadi

pendukung pasangan calon

Page 13: KEBEBASAN “FIKTIF” PERS INDONESIA (Keterasingan Pekerja …isip.usni.ac.id/jurnal/Addin Maulana.pdf · ditetapkannya TVRI sebagai televisi berbadan hukum yayasan melalui Keputusan

13

presiden Joko Widodo

(Jokowi) dari PDI

Perjuangan dan calon wakil

presiden Jusuf Kalla

(Kalla) dari Partai Golkar.

Sedangkan pada saat itu

kubu pasangan Prabowo-

Hatta didukung oleh

Aburizal Bakrie (TV One)

dan Hary Tanoesudibjo

(MNC Group) yang saat itu

masih menjadi anggota

Partai Hanura.

Dari penelitian-penelitian tersebut

dapat diketahui bahwa praktik

konglomerasi media terjadi di Indonesia.

Kepentingan-kepentingan penguasa media

memperngaruhi apa yang disampaikan

oleh media. Konsekuensi dari praktik

tersebut adalah kebebasan yang ada pada

pembuat berita menjadi terbatas dengan

kepentingan-kepentingan tersebut.

III. KESIMPULAN

Ada hal penting yang perlu diingat

dalam pengelolaan suatu lembaga yang

berorientasi kepada laba, bahwa pada

umumnya jenis usaha ini dilakukan oleh

swasta, dan penguasaan pasar merupakan

salah satu jalan untuk mendapatkan

keuntungan. Beranjak dari pemikiran Karl

Marx, dan teorinya tentang kelas dimana

terdapat 2 (dua) jenis kelas yaitu kelas

proletar dan kelas burjois. Keras proletar

merupakan keras pekerja yang miskin,

yang terasing dari pekerjaan dan dirinya

sendiri. Sementara borjouis merupakan

kelas yang kaya yang menindas yang

memiliki alat-alat produksi. Revolusi

dimulai dari semakin besarnya jarak antara

kedua kelas ini.

Dengan kepemilikan media saat ini,

bukan tidak mungkin pekerja yang

terdapat didalamnya merupakan mereka

yang terasing dari pekerjaan dan dirinya

sendiri. Bukan tidak mungkin pemiliki

media massa memiliki kendali penuh

terhadap setiap hasil pekerjaan

perusahaannya guna memperoleh

keuntungan yang sebesar-besarnya. Media

massa, merupakan alat yang sangat

berbahaya apabila difungsikan dengan cara

yang tidak semestinya. Media massa

mampu menjadi jembatan penyampaian

ideologi-ideologi baik yang dilakukan

secara paksa maupun tidak kepada

khalayak, yang ditujukan guna

mempengaruhi pasar yang nantinya akan

melahirkan keuntungan bagi

perusahaannya. Media massa juga dapat

dijadikan sebagai alat untuk membentuk

persepsi khalayak terhadap sesuatu,

dimana nantinya dapat mempengaruhi

lahirnya kebijakan-kebijakan yang pro

Page 14: KEBEBASAN “FIKTIF” PERS INDONESIA (Keterasingan Pekerja …isip.usni.ac.id/jurnal/Addin Maulana.pdf · ditetapkannya TVRI sebagai televisi berbadan hukum yayasan melalui Keputusan

14

terhadap pengusaha yang terkait dengan

media massa tersebut.

Penelitian-penelitian terdahulu

menunjukkan bahwa konglomerasi media

di Indonesia sungguh tengah terjadi,

bahkan sejak beberapa tahun belakangan

ini. Kaum borjouis seolah melihat peluang

besar dari penguasaan media bagi

pencapaian tujuannya, dan dalam hal ini

khalayaklah yang paling banyak dirugikan.

Media massa menjadi senjata yang paling

ampuh saat ini untuk dijadikan sebagai alat

bagi pemilik/penguasa media untuk

menanamkan ideologi-ideologinya

kedalam benak masyarakat sebagai

konsumen bagi media serta konsumen bagi

perusahaan-perusahaan lain yang dimiliki

oleh pemiliki media. Bottomore (1956: 70)

dalam bukunya Karl Marx, Selected

Writings on Sociology and Social

Philosophy, menyampaikan pendapat Karl

Marx tentang keterasingan pekerja sebagai

kondisi dimana “The work is external to

the worker, that is not a part of his nature,

that consequently he does not fulfil himself

in his work but denies himself….. it is not

the satisfaction of a need, but only a means

for satisfying other needs”.

Dengan demikian dapat dikatakan

bahwa Kebebasan yang diapat dalam

mengeluarkan pendapat, die dan gagasan

tidak sepenuhnya bebas. Kebebasan selalu

terkait dengan apa dan siapa kita

berhubungan, dan seberapa besar pengaruh

hubungan tersebut terhadap dirinya.

Hubungan yang dimaksud dapat berupa

ketergantungan. Kebebasan hanya dapat

dimiliki oleh meraka yang hanya

ketegantungan besar pada dirinya sendiri.

Oleh karena itu, kebebasan pers yang ada

saat ini dapat dikatakan sebagai kebebasan

“fiktif”, kebebasan yang tidak hakiki,

kebebasan yang tidak nyata, atau

kebebasan yang hanya menjadi wacana

saja, yang dipengaruhi oleh pihak-pihak

dimana penulis / penerbit berita memiliki

ketergantungan besar atas

keberlangsungan hidup dan karirnya.

Kebebasan tidak didapat bagi

mereka yang bekerja di perusahaan media

massa, untuk melaksanakan hak asasi nya

dalam mengemukakan pendapat,

memberitakan isu sesuai dengan apa yang

didapatkan, menterjemahkan informasi

sesuai dengan ideologi yang dijunjung

tinggi oleh setiap pribadinya. Kebebasan

hanya didapat oleh pemilik/penguasa

media, dimana dengan bebas dapat

mengemukakan apa yang menjadi

pendapatnya, memberitakan isu sesuai

dengan apa yang dikehendaki, serta

menterjemahkan informasi sesuai dengan

ideologi yang dimilikinya, dan semua itu

dilakukan untuk kepentingannya sendiri,

untuk mencapai tujuannya baik tujuan

ekonomi, sosial, maupun politik, dengan

Page 15: KEBEBASAN “FIKTIF” PERS INDONESIA (Keterasingan Pekerja …isip.usni.ac.id/jurnal/Addin Maulana.pdf · ditetapkannya TVRI sebagai televisi berbadan hukum yayasan melalui Keputusan

15

mengesampingkan tujuan mulia dari

kebebasan pers, hak khalayak untuk

mendapatkan informasi yang sebenar-

benarnya, serta hak dari penulis media

untuk mengemukakan pendapat, ide, dan

gagasannya atas suatu isu.

Dampak dari hal ini adalah, apa yang

disajikan dan diberitakan oleh media

massa memiliki maksud/tujuan tertentu

didalamnya, dan tujuan tersebut sangat

erat kaitannya dengan kepentingan pemilik

media. Kita dituntut untuk dapat lebih

pandai dan bijaksana dalam menyikapi

setiap berita ataupun informasi yang

disampaikan melalui media massa.

Memperkaya informasi dengan tidak

hanya dari satu sumber informasi dapat

memberikan pengkayaan bagi kita selaku

khalayak. Informasi yang berupa hiburan,

tidak hanya hiburan, begitu pula dengan

informasi lainnya.

Mari kita kembali merujuk UUD

1945 yang pada pasal 33 ayat 1

menyatakan: ”Perekonomian disusun

sebagai usaha bersama berdasar atas asas

kekeluargaan”, kemudian pada ayat 2,

menyatakan: ”Cabang-cabang produksi

yang penting bagi negara dan yang

menguasai hajat hidup orang banyak

dikuasai oleh negara”, Dasar negara kita

sebenarnya sudah menolak sistem

konglomerasi sektor ekonomi, tak

terkecuali media. Perlu menjadi perhatian

penting bahwa media mampu menguasai

hajat hidup orang banyak dilihat dari efek

yang mampu dihasilkan, seperti yang

dikatakan oleh Harold Lasswell (1927)

dalam Perloff (2014) bahwa “the power

communications could exert on the mass

soul. Lasswell and others used the term

“propaganda” to describe these effects,

although today these might be referred to

as persuasion or social influence”, yang

artinya, kekuatan komunikasi mampu

menggerakan banyak jiwa, efek ini yang

kemudian dikenal dengan ‘propaganda’

atau yang saat ini lebih dikenal dengan

persuasi atau pengaruh sosial. Begitu pula

yang dinyatakan oleh Littlejohn dan Foss

(2009:79) bahwa “Mass media had

relatively powerful effects in terms of

forming and changing beliefs and that the

audience was relatively passive in terms of

processing messages and accepting them”.

Jika demikian, perlu kajian lebih

lanjut bagaimana sebenarnya pemerintah

bersikap akan hal ini, karena ketika mulai

memerintah, mereka sudah harus

mencopot atribut politiknya dan bekerja

demi kepentingan dan kesejahteraan

masyarakat, karena itulah alasan mengapa

mereka berada dalam posisi saat ini.

Sehingga, pemerintah sudah seharusnya

berada di tengah masyarakat, melindungi

hak masyarakat untuk mendapatkan

informasi yang sebenarnya, serta

Page 16: KEBEBASAN “FIKTIF” PERS INDONESIA (Keterasingan Pekerja …isip.usni.ac.id/jurnal/Addin Maulana.pdf · ditetapkannya TVRI sebagai televisi berbadan hukum yayasan melalui Keputusan

16

melindungi kebebasan pers untuk

mengemukakan pendapat, ide, dan

gagasannya terhadap suatu isu tertentu,

serta menjadi katalisator proses demokrasi.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Bottomore. 1956. Karl Marx Selected

Writings in Sociology and Social

Philosophy. London: McGraw-Hill,

Inc.

Littlejohn, Stephen W. dan Foss, Karen A.

2009. Encyclopedia of

Communiation Theory. USA: SAGE

Publications, Inc.

Mosco, Vincent. 2009. The Political

Economy of Communication, 2nd

Edition. London, SAGE Publication

Ltd.

Nugroho dkk. 2013. Memetakan Lanskap

Industri Media Kontemporer di

Indonesia. Jakarta: Creative

Commons Attribution 3.0.

Perloff, Richard M. 2014. The Dinamic of

Political Communication: Media and

Politic in a Digital Age. Routledge:

New York

Triwibowo, Edwina dan Dhewanto,

Wawan. 2015. Ekonomi Kreatif.

Rencana Pengembangan televise dan

Radio Nasional 2015-2019. Jakarta:

PT Republik Solusi.

Jurnal

Golding, Peter dan Murdock, Graham.

1997. The Political Economy of The

Media, Volume I. p 283-306

Purba, Amir. 2006. Perkembangan

Kehidupan Pers dari Masa Rezim

Orde Baru ke Masa Rezim

Reformasi. Jurnal Wawasan. Vo. 12,

No. 1, p 40-46

Valerisha, Anggia. 2017. Dampak Praktik

Konglomerasi Media Terhadap

Pencapaian Konsolidasi Demokrasi

di Indonesia. Jurnal Ilmiah

Hubungan Internasional, Universitas

Parahyangan.

http://journal.unpar.ac.id/index.php/J

urnalIlmiahHubunganInternasiona/ar

ticle/download/2546/2396. Diakses

pada 28 Mei 2018.

Yasir. 2017. Konglomerasi Media dan

Kepentingan Politik Pemilik.

Repository Universitas Riau.

https://repository.unri.ac.id/xmlui/ha

ndle/123456789/8964. Diakses pada

28 Mei 2018.

Peraturan / Undang-undang

Undang-Undang No. 40/199 tentang Pers.

Website

http://www.anneahira.com/media-

massa.htm, diakses pada 28 Mei 2018.