bab ii fajar -...
TRANSCRIPT
16
BAB II
AGAMA, DAN DEMOKRASI
A. Pengertian Agama dan Demokrasi
Dilihat dari perspektif agama, umur agama setua dengan umur
manusia. Tidak ada suatu masyarakat manusia yang hidup tanpa suatu bentuk
agama. Agama ada pada dasarnya merupakan aktualisasi dari kepercayaan
tentang adanya kekuatan gaib dan supranatural yang biasanya disebut sebagai
Tuhan dengan segala konsekuensinya. Atau sebaliknya, agama yang ajaran-
ajarannya teratur dan tersusun rapi serta sudah baku itu merupakan usaha
untuk melembagakan sistem kepercayaan, membangun sistem nilai
kepercayaan, upacara dan segala bentuk aturan atau kode etik yang berusaha
mengarahkan penganutnya mendapatkan rasa aman dan tentram.1
Mengenai arti agama secara etimologi terdapat perbedaan pendapat, di
antaranya ada yang mengatakan bahwa kata agama berasal dari bahasa
sansekerta yang terdiri dari dua suku kata yaitu : “a” berarti tidak dan “gama”
berarti kacau, jadi berarti tidak kacau.2 Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, agama berarti ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan
(kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata
1Abdul Madjid, et.al, al-Islam, Jilid I, Malang: Pusat Dokumentasi dan Publikasi
Universistas Muhammadiyah, 1989, hlm. 26. 2 Taib Thahir Abdul Mu’in, Ilmu Kalam, Jakarta: Wijaya, 1992, hlm. 112. Buku lain
yang membicarakan asal kata agama dapat dilihat dalam Nasrudin Razak, Dienul Islam, Bandung: PT al-Ma’arif, 1973, hlm. 76. Zainal Arifin Abbas, Perkembangan Pikiran Terhadap Agama, jilid 1, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1984, hlm. 39.
17
kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta
lingkungannya.3
Kata agama dalam bahasa Indonesia sama dengan “diin” (dari bahasa
Arab) dalam bahasa Eropa disebut “religi”, religion (bahasa Inggris), la
religion (bahasa Perancis), the religie (bahasa Belanda), die religion, (bahasa
Jerman). Kata “diin” dalam bahasa Semit berarti undang-undang (hukum),
sedang kata diin dalam bahasa Arab berarti menguasi, menundukkan, patuh,
hutang, balasan, kebiasaan.
Meskipun terdapat perbedaan makna secara etimologi antara diin dan
agama, namun umumnya kata diin sebagai istilah teknis diterjemahkan dalam
pengertian yang sama dengan “agama”.4 Kata agama selain disebut dengan
kata diin dapat juga disebut syara, syari’at/millah. Terkadang syara itu
dinamakan juga addiin/millah. Karena hukum itu wajib dipatuhi, maka
disebut addin dan karena hukum itu dicatat serta dibukukan, dinamakan
millah. Kemudian karena hukum itu wajib dijalankan, maka dinamakan
syara.5
Dari pengertian agama dalam berbagai bentuknya itu maka terdapat
bermacam-macam definisi agama. Merumuskan definisi agama merupakan
bagian dari problema mengkaji agama secara ilmiah. Banyaknya definisi
tentang agama malah mengaburkan apa yang sebenarnya hendak dipahami
3 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta; edisi III,
Cet 2, Balai Pustaka, 2002, hlm. 12 4 Abdul Aziz Dahlan, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1997, hlm. 63. 5 Taib Thahir Abdul Mu’in, op.cit, hlm. 121.
18
dengan agama.6 Namun sebagai gambaran, Harun Nasution telah
mengumpulkan delapan macam definisi agama yaitu:
1. Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib
yang harus dipatuhi.
2. Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia.
3. Mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan
pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia dan yang
mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia.
4. Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup
tertentu.
5. Suatu sistem tingkah laku yang berasal dari suatu kekuatan gaib.
6. Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini
bersumber pada suatu kekuatan gaib.
7. Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan
perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam
sekitar manusia.
8. Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang
Rasul.7
Adapun masalah asal mula dan inti dari suatu unsur universal agama
itu, tegasnya masalah mengapakah manusia percaya kepada suatu kekuatan
yang dianggap lebih tinggi daripadanya, dan masalah mengapakah manusia
6 Adeng Muchtar Ghazali, Agama dan Keberagamaan dalam Konteks Perbandingan
Agama, Bndung: CV Pustaka Setia, 2004, hlm. 23 7 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, Jakarta: UI Press,
1985, hlm.10.
19
melakukan berbagai hal dengan cara-cara yang beraneka warna untuk
mencari hubungan dengan kekuatan-kekuatan tadi, telah menjadi obyek
perhatian para ahli pikir sejak lama. Mengenai soal itu ada berbagai pendirian
dan teori yang berbeda-beda. Teori-teori yang terpenting adalah :
a. Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena
manusia mulai sadar akan adanya faham jiwa.
b. Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena
manusia mengakui adanya banyak gejala yang tidak dapat diterangkan
dengan akalnya.
c. Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi dengan
maksud untuk menghadapi krisis-krisis yang ada dalam jangka waktu
hidup manusia.
d. Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi terjadi karena
kejadian-kejadian yang luar biasa dalam hidupnya, dan dalam alam
sekelilingnya.
e. Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi terjadi karena suatu
getaran atau emosi yang ditimbulkan dalam jiwa manusia sebagai
akibat dari pengaruh rasa kesatuan sebagai warga masyarakatnya.
f. Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi terjadi karena
manusia mendapat suatu firman dari Tuhan.8
8 Romdhon, et. al, Agama-Agama di Dunia, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga , Press,
1988, hlm. 18-19. Dadang Kahmad, Metode Penelitian Agama Perspektif Ilmu Perbandingan Agama, Bandung: CV Pustaka Setia, 2000, hlm. 40-41. Koencaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Jakarta: Dian Rakyat, 1972, hlm. 222-223. Hilman Hadi Kusuma, Antropologi Agama Bagian I (Pendekatan Budaya Terhadap Aliran kepercayaan, Agama Hindu, Buddha, Kong Hu Chu, di Indonesia), Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1993, hlm. 32-33.
20
Adapun tentang demokrasi, bahwa secara literal, demokrasi berarti
kekuasaan oleh rakyat, berasal dari bahasa Yunani Demos (rakyat) dan Kratos
(kekuasaan). Secara historis, istilah demokrasi telah dikenal sejak abad ke-5
SM., yang pada awalnya sebagai respons terhadap pengalaman buruk
monarki dan kediktatoran di Negara-Negara Kota Yunani kuno. Pada waktu
itu Demokrasi dipraktikkan sebagai sistem di mana seluruh warga negara
membentuk lembaga legislatif. Hal ini dimungkinkan oleh kenyataan jumlah
penduduk Negara-Negara Kota kurang lebih 10.000 jiwa dan bahwa wanita,
anak kecil serta para budak tidak mempunyai hak politik. Tidak ada
pemisahan kekuasaan ketika itu, dan semua pejabat bertanggung jawab
sepenuhnya pada Majelis Rakyat yang memenuhi syarat untuk mengontrol
berbagai persoalan eksekutif, yudikatif dan legislatif.9
Ide-ide demokrasi modern berkembang dengan ide-ide dan lembaga-
lembaga dari tradisi pencerahan yang dimulai pada abad ke-16. Tradisi
tersebut adalah ide-ide sekularisme yang diprakarsai oleh Niccolo Machiavelli
(1469-1527), ide Negara Kontrak oleh Thomas Hobbes (1588-1679), gagasan
tentang konstitusi negara dan liberalisme, serta pemisahan kekuasaan
legislatif, eksekutif dan lembaga federal oleh John Locke (1632-1704), yang
disempurnakan oleh Baron de Montesquieu (1689-1755), yang idenya
mengenai pemisahan kekuasaan menjadi lembaga legislatif, eksekutif dan
yudikatif, serta ide-ide tentang kedaulatan rakyat dan kontrak sosial yang
diperkenalkan oleh Jean-Jacques Rousseau (1712-1778). Meskipun dengan
9 Masykuri Abdillah, Demokrasi Di Persimpangan Makna Respon Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993), Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1999, hlm. 71
21
penafsiran yang berbeda, ada persamaan mengenai ide-ide sekularisme dan
hak-hak asasi. Ide-ide tersebut merupakan respons terhadap monarki absolut
akhir abad pertengahan dalam sejarah Eropa, yang menggantikan kekuasaan
gereja (teokrasi). Demokrasi dalam bentuknya saat ini mulai muncul sejak
Revolusi Amerika tahun 1776, kemudian disusul oleh Revolusi Perancis tahun
1789.10
Istilah demokrasi saat ini telah diterima oleh hampir seluruh
pemerintahan di dunia, bahkan pemerintahan otoriter pun menggunakan istilah
"demokrasi" untuk mengkarakterisasikan rezim dan aspirasi mereka.
Demokrasi memang merupakan slogan wacana politik kontemporer.
Akibatnya adalah menjamurnya pengertian "demokrasi", seperti "Demokrasi
Liberal", "Demokrasi Terpimpin", "Demokrasi Kerakyatan", "Demokrasi
Sosialis, dan lain sebagainya.11
Demokrasi mempunyai arti penting bagi masyarakat yang
menggunakannya sebab dengan demokrasi hak masyarakat untuk menentukan
sendiri jalannya organisasi negara dijamin. Oleh sebab itu, hampir semua
pengertian yang diberikan untuk istilah demokrasi ini selalu memberikan
posisi penting bagi rakyat kendati secara operasional implikasinya di berbagai
negara tidak selalu sama. Sekedar untuk menunjukkan betapa rakyat
diletakkan pada posisi penting dalam asas demokrasi ini berikut akan dikutip
beberapa pengertian demokrasi.12
10Ibid, hlm. 71-72 11Ibid, hlm. 72 12 Moh. Mahfud, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Yogyakarta: Penerbit Gama Media,
1999, hlm. 7
22
Demokrasi sebagai dasar hidup bernegara memberi pengertian bahwa
pada tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan dalam masalah-masalah
pokok mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijaksanaan
negara, karena kebijaksanaan tersebut menentukan kehidupan rakyat.13 Jadi,
negara demokrasi adalah negara yang diselenggarakan berdasarkan kehendak
dan kemauan rakyat, atau, jika ditinjau dari sudut organisasi, ia berarti suatu
pengorganisasian negara yang dilakukan oleh rakyat sendiri atau atas
persetujuan rakyat karena kedaulatan berada di tangan rakyat.14 Dalam kaitan
ini patut dikemukakan bahwa Henry B. Mayo memberikan pengertian sebagai
berikut.
"A democratic political system is one is wich public policies are made on a majority basis, by representatives subject to effective popular control at pereodic elections-wich are conducted on the principle of political equality and under conditions of political freedom."15 (Sistem politik demokratis adalah sistem yang menunjukkan. bahwa kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik). Sesuai dengan apa yang ditafsirkan oleh R. Kranenburg didalam
bukunya "Inleiding in de vergelijkende staatsrechtwetenschap" sebagaimana
dikutip Koentjoro Poerbopranoto bahwa perkataan "demokratie", yang
terbentuk dari dua pokok-kata Yunani "demos" (rakyat) dan "kratein"
(memerintah) itu dan yang maknanya adalah "cara memerintah negara oleh
13 Deliar Noer, Pengantar ke Pemikiran Politik, Jakarta: CV Rajawali, cet. 1, 1983, hlm.
207. 14 Amirmachmud, Demokrasi, Undang-Undang dan Peran Rakyat", dalam PR1SMA No. 8
Jakarta: LP3ES, 1984 15 Henry B. Mayo, An Introduction to Democratic Theory, New York: Oxford University
Press, I960, hlm. 70.
23
rakyat", maka definisi Celier-Vedel di dalam "Introduction a la Science
Politique" (1954 — 1955) berbunyi "la democratie c'est Ie gouvemement du
peuple par Ie people".16 Ditinjau lebih dalam lagi tentang makna definisi ini,
maka yang dianggap tidak termasuk dalam lingkungan demokrasi itu ialah
cara pemerintahan yang dilakukan oleh dan atas nama seorang diri (misalnya
oleh seorang raja yang berkuasa mutlak). Juga tidak termasuk dalam
pengertian demokrasi ialah cara pemerintahan negara yang disebut
"autocratic" atau "oligarchic", yakni pemerintahan yang dilakukan oleh
segolongan kecil manusia saja, yang menganggap dirinya sendiri tercakap dan
berhak untuk mengambil dan melakukan segala kekuasaan diatas segenap
rakyat. Cara pemerintahan yang bagaimanakah (in concreto), yang masuk
dalam arti demokrasi itu? Menurut sarjana Perancis M. Durverger di dalam
bukunya "Les Regimes Politiques" (1954), maka dalam artian demokrasi itu
ialah termasuk cara pemerintahan, di mana golongan yang memerintah dan
golongan yang terperintah itu adalah sama dan tidak terpisah-pisah. Artinya
satu sistim pemerintahan negara di mana dalam pokoknya semua orang
(rakyat) adalah berhak sama untuk memerintah dan juga untuk diperintah.
Atau sebagaimana dinyatakan oleh G. Vedel .dalam bukunya yang terkenal
"Manuel elementaire de Droit Constitutionnel" (pag. 242) "un gouvernement
de chacun par chacun, et de tous par tous". Artian demokrasi menurut faham
lama atau klasik ini adalah hanya mengandung satu arti pokok belaka, satu
16 Koentjoro Poerbopranoto, Sedikit tentang Sisitim Pemerintahan Demokrasi, Jakarta:
ERESCo, 1978, hlm. 6
24
pendirian yang di dalam praktek tentu tidak akan dapat dilaksanakan secara
mutlak.17
Kendati dari berbagai pengertian itu terlihat bahwa rakyat diletakkan
pada posisi sentral "rakyat berkuasa" (government or role by the people) tetapi
dalam. praktiknya oleh UNESCO disimpulkan bahwa ide demokrasi itu
dianggap ambiguous atau mempunyai arti ganda, sekurang-kurangnya ada
ambiguity atau ketaktentuan mengenai lembaga-lembaga atau cara-cara yang
dipakai untuk melaksanakan ide, atau mengenai keadaan kultural serta historik
yang mempengaruhi istilah ide dan praktik demokrasi.18 Hal ini bisa dilihat
betapa negara-negara yang sama-sama menganut asas demokrasi ternyata
mengimplementasikannya secara tidak sama. Ketidaksamaan tersebut bahkan
bukan hanya pada pembentukan lembaga-lembaga atau aparatur demokrasi,
tetapi juga menyangkut perimbangan porsi yang terbuka bagi peranan negara
maupun peranan rakyat.
B. Sejarah Demokrasi
Dalam beberapa tahun belakangan ini, demokrasi dan demokratisasi
kembali menjadi bahan pembicaraan penting, baik di kalangan akademisi
maupun praktisi politik. Demokrasi tidak hanya menjadi buah bibir dalam
ilmu politik, tapi dalam kehidupan politik sehari-hari juga.19 Demokrasi
semenjak pertama diperkenalkan seringkali diandaikan sebagai suatu
pandangan politik yang selalu mengedepankan prinsip-prinsip penyelesaian
17 Ibid, hlm. 6 18 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia, 1982, hlm. 50. 19Riza Noer Arfani, Demokrasi Indonesia Kontemporer, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1996, hlm. v
25
problem ke bangsaan secara adil dan bisa diterima oleh semua lapisan
masyarakat dalam bangsa tersebut.20pengertian kata demokrasi pada waktu
sekarang kiranya sudah dikenal dan dimengerti oleh kebanyakan orang yang
hidup pada abad ke-XX ini, meskipun dalam pengertiannya yang sederhana.
Apabila ditinjau tentang penerapan dan pelaksanaannya paham demokrasi
memang berbeda-beda di negara yang satu dengan lainnya, baik isi maupun
kadarnya.21
Kata "demokrasi" selamanya tidak pernah ditemukan dalam untaian
ta'bir-ta'bir tumpukan kitab yang dilalap para santri (kuning). Begitu pula
term Hak-Hak Asasi Manusia (HAM), Hak-Hak atas Rakyat (HAR), Republik
dan sebagainya.22 Dari sini tampak penting mengungkapkan selintas kilas
sejarah demokrasi. Demokrasi sebagai azas dan yang dipergunakan dalam
kehidupan ketatanegaraan berasal dari zaman Yunani. Istilah demokrasi
tersebut terdiri dari dua perkataan, yaitu demos yang berarti rakyat dan cratein
yang berarti pemerintah. Dengan demikian dilihat dari arti kata-katanya
demokrasi adalah pemerintahan rakyat, yang kemudian diartikan
pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.23
Konsep demokrasi semula lahir dari pemikiran mengenai hubungan
negara dan hukum di Yunani Kuno dan dipraktikkan dalam hidup bernegara
20Koirudin, Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004, hHlm. 19-20 21 S.Toto Pandoyo, Ulasan Terhadap Beberapa Ketentuan Undang-Undang Dasar 1945:
Sistem Politik dan Perkembangan Kehidupan Demokrasi, Yogyakarta: Liberti, 1981, hlm. 6. 22Said Aqiel Siradj, Islam Kebangsaan: Fiqih Demokratik Kaum Santri, Jakarta: Pustaka
Ciganjur, 1999, hlm. 75 23Sri Soemantri Martosoewignjo, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara,
Jakarta: CV.Rajawali, 1981, hlm. 25.
26
antara abad ke 4 sebelum masehi sampai abad 6 masehi, Pada waktu itu,
dilihat dari pelaksanaannya, demokrasi yang dipraktikkan bersifat langsung
(direct democracy); artinya hak rakyat untuk membuat keputusan-keputusan
politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak
berdasarkan prosedur mayoritas. Sifat langsung ini dapat dilaksanakan secara
efektif karena Negara Kota (City State) Yunani Kuno berlangsung dalam
kondisi sederhana dengan wilayah negara yang hanya terbatas pada sebuah
kota dan daerah sekitarnya dan jumlah penduduk yang hanya lebih kurang
300.000 orang dalam satu negara. Lebih dari itu ketentuan-ketentuan
demokrasi hanya berlaku untuk warna negara yang resmi yang merupakan
sebagian kecil dari seluruh penduduk. Sebagian besar yang terdiri dari budak
belian, pedagang asing, perempuan, dan anak-anak tidak dapat menikmati hak
demokrasi.24
Gagasan demokrasi Yunani boleh dikatakan lenyap dari muka Dunia
Barat ketika bangsa Romawi dikalahkan oleh suku bangsa Eropa Barat dan
Benua Eropa memasuki Abad Pertengahan (600 - 1400). Masyarakat Abad
Pertengahan ini dicirikan oleh struktur sosial yang feodal; kehidupan sosial
dan spiritualnya dikuasai oleh Paus dan Pejabat-pejabat Agama, sedangkan
kehidupan politiknya ditandai oleh perebutan kekuasaan di antara para
bangsawan.25 Dengan demikian, masyarakat Abad Pertengahan terbelenggu
oleh kekuasaan feodal dan kekuasaan pemimpin-pemimpin agama, sehingga
tenggelam dalam apa yang disebut sebagai masa kegelapan. Kendati begitu,
24 Miriam Budiardjo, op. cit. hlm. S4 - 55; lihat pula Sochino, IImu Negara, Yogyakarta: Liberty, 1980 hlm. 209.
25 Miriam Budihardjo, loc. cit
27
ada sesuatu yang penting berkenaan dengan demokrasi pada abad pertengahan
itu, yakni lahirnya dokumen Magna Charts (Piagam Besar), suatu piagam
yang berisi semacam perjanjian antara beberapa bangsawan dan Raja John di
Inggris bahwa Raja mengakui dan menjamin beberapa hak dan previleges
bawahannya sebagai imbalan untuk penyerahan dana bagi keperluan perang
dan lain-lain. Lahirnya piagam ini, kendati tidak berlaku bagi rakyat jelata,
dapat dikatakan sebagai lahirnya tonggak barn bagi perkembangan demokrasi,
sebab dari piagam tersebut terlihat adanya dua prinsip dasar: pertama,
kekuasaan Raja harus dibatasi; kedua, hak asasi manusia lebih penting
daripada kedaulatan Raja.26
Munculnya kembali prinsip demokrasi di Eropa Barat sangat didorong
oleh terjadinya perubahan sosial dan kultural yang berintikan pada pendekatan
pada, kemerdekaan akal dari berbagai pembatasan. Dua kejadian besar yakni
"Renaissance" dan "Reformasi" telah menandai perubahan besar tersebut.
Renaissance adalah aliran yang menghidupkan kembali minat pada
sastra dan budaya Yunani Kuno, yang berupa gelombang-gelombang
kebudayaan dan pemikiran yang dimulai di Italia pada abad ke-14 dan
mencapai puncaknya pada abad ke-15 dan 16.27 Masa Renaissance adalah
masa ketika orang mematahkan semua ikatan yang ada dan menggantikan
dengan kebebasan bertindak yang seluas-luasnya sepanjang sesuai dengan
yang dipikirkan, karena dasar ide ini adalah kebebasan berpikir dan bertindak
26 Ramdlonnaning, Cita dan Cipta Hak Azasi Manusia di Indonesia, Jakarta: Lembaga
Kriminologi UI, 1983 hlm. 9. 27 Hassan Shadily, Eksiklopedi Umum, Jakarta: Yayasan Kanisius dan Yayasan Dana
Buku Franklin, 1977, hlm. 914,
28
bagi manusia tanpa boleh ada orang lain yang menguasai atau membatasi
dengan ikatan-ikatan. Hal ini disamping mempunyai segi positif yang
cemerlang dan gemilang karena telah mengantarkan dunia pada kehidupan
yang lebih modern dan mendorong berkembang pesatnya ilmu pengetahuan
dan teknologi, juga memberi sisi buruknya sendiri, sebab dengan adanya
pemikiran untuk lepas dari semua ikatan (dan orang tak mungkin hidup tanpa
ikatan-ikatan) berkembanglah sifat-sifat buruk dan a-sosial seperti kebencian,
iri hati, atau cemburu yang dapat meracuni penghidupan yang mengakibatkan
terjadinya perjuangan sengit di setiap lapangan dengan saling bersiasat,
membujuk, menipu, atau melakukan apa saja yang diinginkan kendati melalui
cara yang tercela secara moral.28
Berkembangnya pengaruh kebudayaan Yunani Kuno yang mendorong
Renaissance disebabkan oleh terjadinya Perang Salib29, suatu perang antara
penganut agama Kristen dan Islam yang berlangsung selama 200 tahun (1096–
1291)30 dalam memperebutkan kota Yerussalem.
Dorongan Perang Salib bagi Renaissance ini muncul karena terjadinya
kontak ide antara dua pihak yang berperang. Seperti diketahui, pada abad
pertengahan dunia Barat tenggelam dalam kegelapan karena struktur sosial
yang dikuasai oleh gereja dan politik yang feodal sehingga mereka tenggelam
dalam kebodohan. Sedangkan dunia Islam pada waktu itu justru berada pada
puncak kejayaan peradabannya yang karena perhatiannya untuk
28 JJ Von Sehmidt, Ahli-ahli Pikir Besar Tentang Negara dan Hukum, ditulis dalam
Bahasa Indonesia oleh R. Wiratmo, Djamaluddin Dt. Singomangkuto dan Djamadi, Jakarta: PT. Pembangunan, 1980, hlm. 91.
29 Soehino, op. cit. hlm. 68 30 Hassan Shadily, Eksiklopedi, op.cit. hlm. 835 - 836.
29
mengembangkan ilmu pengetahuan peradaban yang berkembang di dunia
Islam pada waktu itu disebut sebagai "Peradaban Ilmu". Penyebutan ini
tidaklah berlebihan karena orang-orang Islam yang dipelopori oleh orang Arab
waktu itu (terutama pada tahun 750 - 850) bukan hanya berhasil
mengasimilasikan pengetahuan Parsi tua dan warisan klasik, tetapi kedua
macam kebudayaan itu disesuaikan juga dengan kebutuhan-kebutuhan yang
terutama dan dengan alam pikiran mereka sendiri. Dad tradisi keilmuan
Islamiah lahir nama-nama besar yang menjadi intelektual dan penemu-penemu
dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan, seperti Ibnu Khaldun, Al Razi,
Oemar Khayam, al Khawarizmi, dan sebagainya. Menurut Philip K. Hitti,
dunia Islam telah memberikan sumbangan besar terhadap Eropa dengan
terjemahan-terjemahannya atas warisan Parsi dan Yunani yang kemudian
disesuaikan dengan watak Arab serta menyeberangkannya ke Eropa melalui
Siria, Spanyol, dan Sisilia; suatu arus penyeberangan yang menjadi dasar dari
ilmu pengetahuan yang menguasai alam pikiran Eropa dalam Abad
Pertengahan.31 Dipandang dari sudut sejarah kebudayaan, tugas
menyeberangkan ilmu pengetahuan itu tidaklah lebih kecil nilainya dari tugas
menciptakan ilmu pengetahuan yang asli, sebab tanpa jasa orang-orang Arab-
Islam yang telah dengan penuh gairah mengembangkan hasil-hasil karya
ilmiah Aristoteles, Galenus, Ptolemaois dan menyeberangkannya ke Barat
ilmu-ilmu itu dapat dengan selamat diwarisi oleh generasi pencetus
Renaissance di Eropa. Tanpa jasa orang Arab-Islam sangat mungkin warisan
31 Philiip K. Hicti, The Arab A Short History, diterjemahkan dalam hahasa Indonesia dengan judul Dunia Arab, oleh Usuluddin Hutagalung dan ODP Sihombing, Bandung: Sumur cet. V, 1962, hlm. 139.
30
ilmu pengetahuan tokoh-tokoh Yunani itu hilang dan dunia akan miskin,
seolah-olah ilmu-ilmu itu tak pernah tercipta.32 Tak dapat dipungkiri bahwa
Renaissance yang berintikan pemuliaan terhadap akal pikiran untuk selalu
mencipta dan mengembangkan ilmu pengetahuan merupakan ilham bagi dunia
Barat yang bersumber dari tradisi keilmuan Islam. Hanya saja kekeliruan
Dunia Barat dalam menghadapi tradisi keilmuan itu adalah bahwa mereka
melepaskan dua prinsip dasar berikut yang sejak semula dipakai dalam
pengembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Pertama, akal pikiran sebagai
sumber kebenaran ilmiah bukanlah segala-galanya karena akal pikiran
manusia terbatas dan tak mungkin mampu menjawab segala-galanya sehingga
dalam hal (atau batas tertentu) manusia harus mencari kebenaran bukan
melalui akal pikiran melainkan melalui wahyu atau petunjuk Tuhan. Kedua,
pengembangan ilmu pengetahuan harus diorientasikan pada upaya membina
keselamatan umat manusia, tidak boleh merusak.33 Karena dua prinsip dasar
ini tidak turut diadopsi dalam pengembangan ilmu di Dunia Barat maka
Renaissance yang gemilang itu, seperti telah dikemukakan di atas,
menampilkan sisi buruknya yang sampai kini masih terus berlangsung.
Selain Renaissance, peristiwa lain yang mendorong timbulnya kembali
"demokrasi" yang dahulu tenggelam. dalam Abad Pertengahan adalah
terjadinya Reformasi, yakni revolusi agama yang terjadi di Eropa Barat pada
abad ke-l6 yang pada mulanya menunjukkan sebagai pergerakan perbaikan
keadaan dalam gereja Katolik tetapi kemudian berkembang menjadi asas-asas
32 Ibid, hlm. 140. 33 Abdurrahman Wahid, Tradisi Keilmuan Dalam Islam, makalah pada acara Study
Aqidah di UII, tanggal 25 Desember 1984.
31
Protestanisme. Reformasi dimulai ketika Martin Luther menempelkan 95 dalil
pada pintu gereja "Wittenberg (31 Oktober 1517) yang kemudian segera
memancing terjadinya serangan terhadap gereja. Luther mempunyai ajaran
tentang pengampunan dengan kepercayaan saja, sebagai pengganti upacara-
upacara, pekerjaan baik dan perantaraan gereja, serta mendesak supaya
membaca kitab suci yang ternyata telah memberikan pertanggungjawaban
lebih besar kepada perseorangan untuk keselamatan sendiri. Ajaran yang
kemudian disambut di mana-mana itu telah menyulut api pemberontakan
secara cepat dan meluas di Jerman dan sekitarnya, sengketa dengan gereja dan
kaisar berjalan lama dan getir yang tidak terselesaikan dengan
diselenggarakannya muktamar- muktamar di Speyer (1526, 1529) dan di
Augsburg (1530). Berakhirnya Reformasi ditandai dengan terjadinya
perdamaian Westphalia (1648) yang ternyata mampu menciptakan
keseimbangan setelah kelelahan akibat perang yang berlangsung selama 30
tahun. Namun, Protestanisme yang lahir dari Reformasi itu tidak hilang
dengan selesainya Reformasi, tetapi tetap menjadi kekuatan dasar di dunia
Barat sampai sekarang.34
Dua kejadian (Renaissance dan Reformasi) ini telah mempersiapkan
Eropa masuk ke dalam Aufklarung (Abad Pemikiran) dan Rasionalisme yang
mendorong mereka untuk memerdekakan pikiran dari batas-batas yang
ditentukan gereja untuk mendasarkan pada pemikiran atau akal (rasio) semata-
mata yang pada gilirannya kebebasan berpikir ini menelorkan lahirnya pikiran
34 Hassan Shadily, op.cit., hlm. 937 - 938.
32
tentang kebebasan politik. Dari sini timbul lalu gagasan tentang hak-hak
politik rakyat yang tidak boleh diselewengkan oleh raja, serta timbul kecaman-
kecaman terhadap raja yang pada waktu itu lazim memerintah dengan
kekuasaan tak terbatas dalam bentuk monarki-monarki absolut. Gagasan
kebebasan politik: dan kecaman terhadap absolutisme monarki itu telah pula
didukung oleh golongan menengah (midle-class) yang waktu itu mulai
berpengaruh karena kedudukan ekonomi dan mutu pendidikan golongan ini
relatifl baik.35
Kecaman dan dobrakan terhadap absolutisme monarki didasarkan pada
teori rasionalistis sebagai "sosial-contracf (perjanjian masyarakat) yang salah
satu asasnya menentukan bahwa dunia ini dikuasai oleh hukum yang timbul
dari alam (natural) yang mengandung prinsip-prinsip keadilan yang universal,
berlaku untuk semua waktu dan semua orang, baik raja, bangsawan. maupun
rakyat jelata. Unsur universalisme yang mempersamakan berlakunya hukum
alam? (natural-law) bagi semua orang dalam bidang politik telah melahirkan
pendapat umum bahwa hubungan antara raja dan rakyat didasarkan pada suatu
perjanjian yang mengikat kedua belah pihak: Raja diberi kekuasaan untuk
menyelenggarakan penertiban dan; menciptakan suasana yang memungkinkan
rakyat menikmati hak-hak alamnya dengan aman, sedangkan rakyat akan
mentaati pemerintahan raja asal hak-hak alamnya terjamin.36
Tampak bahwa teori hukum alam merupakan usaha untuk mendobrak
pemerintahan absolut dan menetapkan hak-hak politik rakyat dalam suatu asas
35 Miriam Budihardjo, op.cit., hlm. 55. 36 Ibid, hlm. 56
33
yang disebut demokrasi (pemerintahan rakyat). Dua filsuf besar yaitu John
Locke dan Montesquieu masing-masing dari Inggris dan Perancis telah
memberikan sumbangan yang besar bagi gagasan pemerintahan demokrasi ini.
John Locke (1632 - 1704) mengemukakan bahwa hak-hak politik rakyat
mencakup hak atas hidup, kebebasan dan hak memiliki (live, liberal,
property); sedangkan Montesquieu (1689 - 1955) mengemukakan sistem
pokok yang menurutnya dapat menjamin hak-hak politik tersebut melalui
"Trias Politika"nya, yakni suatu sistem pemisahan kekuasaan dalam negara ke
dalam kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif yang masing-masing harus
dipegang oleh organ sendiri yang merdeka, artinya secara prinsip kiranya
semua kekuasaan itu tak boleh dipegang hanya seorang saja.37
Dari pemikiran tentang hak-hak politik rakyat dan pemisahan
kekuasaan inilah terlihat munculnya kembali ide pemerintahan rakyat
(demokrasi). Tetapi dalam kemunculan-nya sampai saat ini demokrasi telah
melahirkan dua konsep demokrasi yang berkaitan dengan peranan negara dan
peranan masyarakat, yaitu demokrasi konstitusional abad ke-19 dan demokrasi
konstitusional abad ke-20 yang keduanya senantiasa dikaitkan dengan konsep
negara hukum.
C. Model Demokrasi
Pembedaan yang paling tua dalam bentuk demokrasi adalah antara
demokrasi langsung dengan demokrasi tidak langsung, mengikuti kenyataan
37 Sebenarnya John Locke-pun telah membuat poros-poros kekuasaan di dalam negara ke
dalam poros-poros Legislatif, Eksekutif (termasuk di dalamnya Yudikatif), dan Federatif. Konsep ini berbeda dengan Trias Politikanya Montesquieu yang memasukkan Yudikatif sebagai kekuasaan tersendiri sedangkan Federatif dijadikan bagian dari kekuasaan Eksekutif.
34
bahwa keseluruhan warga negara dengan nyata ikut serta atau tidak ikut serta
dalam pembentukan undang-undang.38Di antara sekian banyak model
demokrasi atau aliran yang menamakan demokrasi ada dua kelompok aliran
yang paling penting dan relatif mewakili dari beberapa konsep demokrasi
yang ada, yakni demokrasi liberal atau demokrasi konstitusional dan
demokrasi kerakyatan atau sosialis yang pada hakekatnya mendasarkan
dirinya atas komunisme. Kedua kelompok aliran demokrasi ini mula-mula
berasal dari Eropa, tetapi sesudah Perang Dunia 11 nampaknya juga didukung
oleh beberapa negara baru di Asia seperti; India, Pakistan, Philipina dan
Indonesia yang mencita-citakan demokrasi konstitusional. Di pihak lain ada
negara-negara baru di Asia yang mendasarkan diri atas azas-azas sosialisme
atau komunisme, yaitu: RRC, Korea Utara dan lainsebagainya.39
a. Demokrasi Liberal
Demokrasi ini sering juga disebut dengan demokrasi konstitusional,
yaitu demokrasi yang didasarkan pada kebebasan atau individualistis. Ciri
khas demokrasi ini adalah bahwa pemerintahannya terbatas kekuasaannya dan
tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya. Cara
yang terbaik untuk membatasi kekuasaan pemerintah tersebut ialah melalui
suatu konstitusi. Di mana konstitusi tersebut menjamin hak- hak warga
negaranya dan menyelenggarakan kekuasaan negara sedemikian rupa sehingga
38Mac Iver, The Modern State, Terj. Moertono, "Negara Modern", Jakarta: Aksara Baru,
1982, hlm. 31 39 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
1992, hlm. 51.
35
kekuasaan eksekutif diimbangi oleh kekuasaan legislatif (parlemen) dan
kekuasaan yudikatif (lembaga hukum yudikatif).40
Ciri-ciri demokrasi liberal ini menurut M. Carter dan John Herz adalah
bahwa demokrasi ditandai secara konstitusional pembahasan-pembahasan
terhadap tindakan pemerintah untuk memberi perlindungan bagi individu dan
kelompok dengan menyusun penggantian pimpinan secara berkala, tertib,
damai dan melalui alat-alat perwakilan rakyat yang efektik. Dalam hlm sikap,
demokrasi liberal memerlukan toleransi terhadap pendapat yang berlawanan,
keluwesan serta kesediaan untuk bereksperimen.41
Berkaitan dengan hlm tersebut. Henry B. Mayo menyebutkan bahwa
demokrasi adalah di mana kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas
oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-
pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan
diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik. Di samping itu,
menurutnya, demokrasi itu tidak hanya merupakan suatu bentuk negara
ataupun sistem pemerintahan, tetapi juga merupakan suatu gaya hidup serta
tata masyarakat tertentu yang mengandung unsur-unsur moril sehingga dapat
dikatakan bahwa demokrasi didasarkan oleh beberapa nilai.42
40 Moh. Kusnardi, dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Jakarta: Gaya Media Pratama,
1995, hlm. 170. 41 M. Carter and John H. Herz, Government and Politics in Twentieth Century, New York
Washington: FAPraeger, 1973, hlm. 12-27. 42 Henry B. Mayo merumuskan beberapa nilai yang mendasari demokrasi yaitu: (1)
merumuskan perselisihan dengan damai dan secara melembaga (2) Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang berubah.(3) Menyelenggarakan penggantian pimpinan secara teratur. (4) Membatasi pemakaian kekerasan sampai tingkat minimum. (5) Mengakui serta menganggap wajar adanya keaneka-ragaman (diversity) (6) Menjamin tegaknya keadilan. lihat dalam Henry B. Mayo, An Introduction to Democratic Theory, New York: Oxford University Press, 1960, hlm. 218-243.
36
b. Demokrasi Komunis
Banyak nama yang sering diberikan kepada demokrasi. Salah satu di
antaranya adalah demokrasi komunis. Tipe ini yakni demokrasi proletar,
marxis komunisme atau demokrasi sovyet. Tokoh dari aliran mi antara lain
Robert Owen (1771-1858) dari Inggris, Saint Simon (1760-1825), Fourier
(1772-1837) di Perancis dan yang terpenting adalah Kari Marx (1818-1883).
Masyarakat yang dicita-citakan oleh Marx adalah masyarakat komunis yaitu
masyarakat yang tidak ada kelas sosial di mana manusia dibebaskan dari
keterikatan kepada milik pribadi dan tidak ada eksploitasi, penindasan dan
paksaan. Ironisnya untuk mencapai masyarakat yang bebas dari paksaan itu
perlu melalui jalan paksaan serta kekuatan yaitu dengan perebutan kekuasaan
oleh kaum buruh dari tangan kaum Borjuis (Pemilik Modal).43
Demokrasi rakyat (totaliterisme komunis) dicirikan oleh dorongan
untuk memaksa persatuan, penghapusan oposisi terbuka dan suatu pimpinan
yang merasa dirinya paling tahu mengenai cara-cara menjalankan
kebijaksanaan pemerintah dan yang menjalankan kekuasaan melalui suatu elit
yang kekal. Para pemegang kekuasaan menganggap dirinya sebagai wakil
suatu gerakan yang mengusahakan terpenuhinya keinginan dan pendambaan
rakyat. Oleh sebab itu, mereka menyatakan dirinya bertindak lebih demokratis
dari pada wakil-wakil rakyat di negeri Barat yang dalam pandangan komunis
semata-mata merupakan wakil dan kaki tangan dunia perusahan dan
43 Miriam Budiardjo, Demokrasi di Indonesia: Demokrasi Parlementer dan Demokrasi
Pancasila, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996, hlm. 110.
37
kepentingan.44 Dengan demikian, komunisme adalah ideologi totaliter, karena
menuntut diakui sebagai satu-satunya pandangan hidup yang mencakup
sepenuhnya seluruh kehidupan manusia. Sehingga, seperti yang dikatakan
oleh Miriam Budiardjo bahwa komunisme tidak hanya merupakan sistem
politik tetapi juga mencerminkan suatu gaya hidup yang berdasarkan nilai-
nilai tertentu.45
Dua aliran demokrasi tersebut sangat berbeda, malahan sering
bertentangan serta berkonfrontasi satu sama lain. Perbedaan fundamendal
keduanya adalah bahwa demokrasi liberal, konstitusional mencita-citakan
pemerintah yang terbatas kekuasaannya, yakni suatu Negara Hukum
(Rechtsstaat) yang tunduk kepada Rule of law, Sebaliknya "demokrasi" yang
mendasarkan dirinya atas komunisme mencita-citakan pemerintah yang tidak
boleh dibatasi (Machtsstaat) yang bersifat totaliter.46
Dengan demikian dapat dipahami bahwa secara umum, ada dua konsep
yang dominan dalam diskursus demokrasi modern, yaitu konsep demokrasi
liberal dan konsep demokrasi komunis. Konsep liberal lebih menekankan pada
elemen-elemen prosedural bagi sebuah struktur demokratis. Sebaliknya,
konsep demokrasi komunis lebih menekankan pada elemen-elemen substantif.
44 Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, op.cit, hlm. 172. 45 Nilai-nilai tersebut yaitu: (1). Gagasan Monoisme (sebagai lawan pluralisme). Gagasan
ini menolak adanya golongan-golongan di dalam masyarakat sebab dianggap bahwa setiap golongan yang berlainan aliran pikirannya dianggap sebagai perpecahan. Akibat dari gagasan ini ialah bahwa persatuan terkesan dipaksakan dan bposisi ditindas. (2). Kekerasan dipandang sebagai alat yang sah yang harus dipakai untuk mencapai komunisme. Pelaksanaan ini dipakai dalam dua tahap: pertama terhadap musuh dan kedua terhadap pengikutnya sendiri yang dianggap masih kurang insyaf.(3). Negara merupakan alat untuk mencapai komunisme; karena itu semua alat kenegaraan seperti polisi, tentara, kejaksaan, dipakai untuk diabdikan kepada tercapainya komunisme. Lihat Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, op cit, hlm. 88.
46 Ibid, hlm. 52.
38
Perbedaan inilah oleh William Ebestein diilustrasikan pada kasus pemaknaan
"demokratisasi" untuk Jerman pasca Perang Dunia II. Setelah berhasil
melumpuhkan kekuatan Jerman pada Perang Dunia II, Amerika Serikat,
Inggris, Perancis dan Uni Soviet yang tergabung dalam kekuatan Sekutu
menguasai negeri itu. Negara-negara Sekutu itu sepakat untuk
mendemokratisasikan Jerman. Namun antara Ketiga negara Barat dan Uni
Soviet tidak sepakat tentang apa makna dan implementasi dari gagasan
demokratisasi itu. Bagi Barat, demokratisasi berarti prinsip atau metode-
metode dasar serta proses dalam kehidupan publik Jerman, seperti pemilihan
umum yang bebas, kebebasan pers, persamaan di muka hukum, kebebasan
berbicara dan berserikat, serta kebebasan beroposisi.47
Sedangkan menurut konsep komunis, demokratisasi Jerman berarti
menguatkan pemerintahan yang akan mewujudkan apa yang mereka klaim
sebagai 'kepentingan terbaik' bagi masyarakat Jerman. Dalam kacamata
komunis, kepentingan terbaik itu tidak lain adalah komunisme. Karena itu,
menurut Uni Soviet, demokratisasi Jerman berarti mengakhiri kapitalisme dan
menggantikannya dengan komunisme.48
D. Kriteria Negara Demokrasi
Wacana kriteria demokrasi tiba-tiba menjadi magnet dalam percaturan
ideologi politik dunia. Demokrasi diidentifikasi sebagai konsep politik ideal
yang dibangun di atas kesadaran manusia sebagai makhluk yang memiliki
47William Ebestein, Democracy, dalam George Thomas Kurian and Graham T.T Molitor
(Eds), Encyclopedia of he Future, Vol, New York: Simon and Schuster Macmillan, 1996, hlm. 83. 48 Ibid.
39
kebebasan berkehendak.49 Meskipun tafsir implementatif atas asas demokrasi
itu tidak tunggal bahkan sering kabur, pada umumnya yang dianggap paling
dekat dengan demokrasi adalah mekanisme demokrasi liberal. Tetapi lebih
dari itu yang secara esensial penting untuk menilai apakah suatu negara itu
demokratis atau tidak adalah dengan melihat bekerjanya kriteria demokrasi
dari negara tersebut. Amien Rais menulis bahwa, minimal, ada sepuluh
kriteria demokrasi, yaitu:50
Pertama, partisipasi dalam pembuatan keputusan. Di dalam demokrasi
perwakilan partisipasi rakyat untuk itu dilakukan oleh wakil-wakilnya. Oleh
sebab itu, diperlukan Pemilu yang luber dan jurdil agar wakil-wakil rakyat itu
representatif dalam berpartisipasi dalam pengambilan keputusan-keputusan
politik.
Kedua, persamaan kedudukan di depan hukum. Di sini hukum
diberlakukan secara sama bagi seluruh warga negara. Baik penjahat, pejabat,
dan rakyat terlepas dari kalibernya masing-masing harus berada di bawah
yurisdiksi hukum positif yang berlaku.
Ketiga, Distribusi pendapatan secara adil. Ekualitas ekonomi yang
diwujudkan dalam upaya pembagian pendapatan secara adil merupakan
bagian tak terpisahkan dari ekualitas politik dan ekualitas hukum dalam
negara demokrasi. Artinya ekualitas itu tak dapat hanya ditekankan pada satu
bidang saja.
49Tedi Kholiludin (Ed), Runtuhnya Negara Tuhan: Membongkar Otoritarianisme dalam
Wacana Politik Islam, Semarang: INSIDE PMII Komisariat Walisongo Semarang, 2005, hlm. 122
50 Moh. Mahfud, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Yogyakarta: Penerbit Gama Media, 1999, hlm. 183-186
40
Keempat, Kesempatan memperoleh pendidikan Karena pendidikan
merupakan faktor penentu bagi seseorang untuk memperoleh pelayanan dan
penghasilan yang layak, kesempatan untuk memperoleh pendidikan secara
sama antarsesama warga negara dijadikan salah satu perhatian utama oleh
penyelenggara negara.
Kelima, kebebasan. Ada empat kebebasan yang sangat penting yang
dapat menunjukkan derajat demokrasi suatu negara, yaitu kebebasan
mengemukakan pendapat, kebebasan pers, kebebasan berkumpul, dan
kebebasan beragama. Empat kebebasan ini sering dianggap sebagai hak-hak
terpenting dari Hak Asasi Manusia (HAM).
Keenam, kesediaan dan keterbukaan informasi Informasi harus
disediakan secara terbuka bagi rakyat agar selain mengetahui kualitas
pemimpinnya rakyat mengetahui pula perkembangan situasi yang
mempengaruhi kehidupannya termasuk kebijakan-kebijakan yang diambil
pemerintahnya.
Ketujuh, mengindahkan fatsoen. Yang dimaksudkan di sini adalah
tatakrama politik yang mungkin tidak tertulis tetapi jelas dirasakan baik
buruknya oleh hati nurani. Pejabat tidak boleh melakukan tindakan-tindakan
korup meskipun tindakan itu tak dapat dibuktikan secara formal, apalagi
sampai merekayasa aturan-aturan agar yang tidak benar menjadi benar secara
formal. Kesediaan mengundurkan diri harus dianggap sebagai hal yang wajar
oleh pejabat yang mengotori jabatannya dengan tindakan-tindakan korup.
41
Kedelapan, kebebasan individu. Setiap individu supaya diberi hak
untuk hidup secara bebas dan memiliki privacy seperti yang diinginkan.
Sejauh tidak merugikan orang lain, setiap individu dapat menentukan pilihan
hidupnya sendiri seperti dalam memilih pekerjaan, pendidikan, tempat tinggal
dan sebagainya.
Kesembilan, semangat kerja sama. Semangat kerjasama perlu
dipersubur untuk mempertahankan eksistensi masyarakat berdasarkan spirit
atau jiwa kemasyarakatan yang mendorong untuk saling menghargai antara
sesama warga.
Kesepuluh, hak untuk protes. Demokrasi harus membuka pintu bagi
koreksi atas terjadinya penyelewengan yang untuk keadaan tertentu, meskipun
pendekatan institusional dan legalistik tidak lagi memadai, tindakan protes
harus ditolerir agar jalannya pemerintahan yang menyimpang dapat diluruskan
lagi.
Suatu studi tentang pengaruh konfigurasi politik terhadap karakter
produk hukum yang pernah saya lakukan menyederhanakan dan melebur
kriteria tersebut ke dalam tiga indikator, yaitu peranan parpol dan lembaga
perwakilan rakyat, kebebasan pers, dan kedudukan pemerintah (eksekutif). Di
negara yang demokratis akan terdata bahwa parpol dan lembaga perwakilan
memiliki peranan yang sangat menentukan dalam penggarisan haluan negara,
kebebasan pers relatif terjamin, dan eksekutif (pemerintahnya) lebih
meletakkan diri sebagai pelaksana keputusan-keputusan lembaga perwakilan
rakyat dan tidak intervensionis
42
Robert A.Dahl sebagaimana dikutip Masykuri Abdullah menunjukkan
tujuh kriteria yang harus ada dalam sistem yang demokratis:
1. Kontrol atas keputusan pemerintyah mengenai kebijakan secara
konstitutional diberikan pada para pejabat yang dipilih.
2. Para pejabat dipilih melalui pemilihan yang teliti dan jujur di mana
paksaan dianggap sebagai sesuatu yang tidak umum.
3. Secara praktis semua orang dewasa mempunyai hak untuk mencalonkan
diri pada jabatan-jabatan di pemerintahan, walaupun batasan umur untuk
menduduki jabatan mungkin lebih ketat ketimbang hak pilihnya.
4. Secara praktis semua orang dewasa mempunyai hak untuk memilih dalam
pemilihan pejabat.
5. Rakyat mempunyai hak untuk menyuarakan pendapat tanpa ancaman
hukuman yang berat mengenai berbagai persoalan politik yang
didefinisikan secara luas, termasuk mengkritik para pejabat pemerintahan,
rezim, tatanan sosio-ekonomi dan ideologi yang berlaku.
6. Rakyat mempunyai hak untuk mendapatkan sumber-sumber informasi
alternatif. Lebih dari itu, sumber-sumber informasi alternatif yang ada dan
dilindungi oleh hukum.
7. Untuk meningkatkan hak-hak mereka, termasuk hak-hak yang dinyatakan
di atas, rakyat juga mempunyai hak untuk membentuk lembaga-lembaga
43
atau organisasi-organisasi yang relatif independen, termasuk berbagai
partai politik dan kelompok kepentingan yang independen.51
Kriteria demokrasi yang lebih menyeluruh diajukan oleh Gwendolen
M.Carter, John H.Herz dan Henry B.Mayo. Carter dan Herz52
mengkonseptualisasikan demokrasi sebagai pemerintahan yang dicirikan oleh
dijalankannya prinsip-prinsip berikut: (1) Pembatasan terhadap tindakan
pemerintah untuk memberikan perlindungan bagi individu dan kelompok
dengan jalan menyusun pergantian pimpinan secara berkala, tertib dan damai
melalui alat-alat perwakilan rakyat yang efektif. (2) Adanya sikap toleransi
terhadap pendapat yang berlawanan. (3) Persamaan di depan hukum yang
diwujudkan dengan sikap tunduk kepada rule of law tanpa membedakan
kedudukan politik. (4) Adanya pemilihan yang bebas dengan disertai adanya
model perwakilan yang efektif. (5) Diberikannya kebebasan rutine
berpartisipasi dan beroposisi bagi partai politik, organisasi kemasyarakatan,
masyarakat dan perseorangan serta prasarana pendapat umum seperti pers dan
media massa. (6) Adanya penghormatan terhadap hak rakyat untuk
menyatakan pandangannya betatapun tampak salah dan tidak populer. (7)
Dikembangkannya sikap menghargai hak-hak minoritas dan perorangan
dengan lebih mengutamakan penggunaan cara-cara persuasi dan diskusi
daripada koersi dan represi.
51 Masykuri Abdillah, Demokrasi Di Persimpangan Makna Respon Intelektual Muslim
Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993), Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1999, hlm. 73-74.
52 Gwendolen M.Carter dan John H.Herz, Demokrasi dan Totaliterisme: Dua Ujung dalam Spektrum Politik, dalam Miriam Budiardjo, Masalah Kenegaraan, Jakarta: PT Gramedia, 1977, hlm. 86-87
44
Sementara itu, Henry B. Mayo menyebutkan ada nilai-nilai yang harus
dipenuhi untuk mendefinisikan demokrasi: (1) menyelesaikan pertikaian
secara damai dan sukarela (2) Menjamin terjadinya perubahan secara damai
dalam masyarakat yang selalu berubah (3) Penggantian penguasa dengan
teratur (4) penggunaan paksaan sesedikit mungkin (5) Pengakuan dan
penghormatan terhadap nilai-nilai keanekaragaman (6) Menegakkan keadilan
(7) memajukan ilmu pengetahuan (8) Pengakuan dan penghormatan terhadap
kebebasan.53
Kemudian Alfian mendefinisikan demokrasi sebagai sebuah sistem
politik yang memelihara keseimbangan antara konflik dan konsensus.54
Dengan demikian, demokrasi memberikan peluang bagi perbedaan pendapat,
persaingan dan pertentangan di antara individu, kelompok atau di antara
keduanya, di antara individu dan pemerintah maupun antara lembaga-lembaga
pemerintahan sendiri. Akan tetapi demokrasi mensyaratkan bahwa segenap
konflik itu berada dalam tingkatan yang tidak menghancurkan sistem politik.
Sistem politik itu sendiri disebut demokrasi jika ia berkemampuan
membangun mekanisme dan prosedur yang mengatur dan menyalurkan
konflik menjadi konsensus.
Selanjutnya Ulf Sundhaussen mensyaratkan demokrasi sebagai suatu
sistem politik yang menjalankan tiga kriteria: (1) dijaminnya hak semua warga
negara untuk memilih dan dipilih dalam pemilu yang diadakan secara berkala
dan bebas; (2) semua warga negara menikmati kebebasan berbicara/
53Henry B.Mayo, Nilai-Nilai Demokrasi, dalam Miriam Budiardjo, Ibid, hlm. 165-191 54Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1986, 236-237
45
berorganisasi dan memperoleh informasi dan beragama; serta (3) dijaminnya
hak yang sama didepan hukum.55
Definisi-definisi ini mengimplikasikan bahwa demokrasi mengandung
unsur-unsur kekuasaan mayoritas, suara rakyat, pemilihan yang bebas dan
bertanggung jawab. Hal ini berarti bahwa dalam penggunaan kontemporer,
demokrasi didefinisikan lebih pragmatis ketimbang filosofis. Sebab pada
zaman pencerahan, demokrasi pada mulanya didefinisikan dalam pengertian
yang lebih filosofis yakni dengan ide kedaulatan rakyat sebagai lawan
kedaulatan Tuhan (teokrasi), dan sebagai lawan kedaulatan monarki.
Sekarang ini istilah demokrasi bagi banyak orang dianggap sebagai
kata yang mengimplikasikan nilai-nilai perjuangan untuk kebebasan dan jalan
hidup yang lebih baik. Demokrasi bukan hanya merupakan metode kekuasaan
mayoritas melalui partisipasi rakyat dan kompetisi yang bebas, tetapi juga
mengandung nilai-nilai universal, khususnya nilai-nilai persamaan, kebebasan
dan pluralisme, walauun konsep operasionalnya bervariasi menurut kondisi
budaya negara tertentu. Sehingga eksistensi demokrasi juga berkaitan dengan
eksistensi hak asasi manusia.
55Ulf Shundaussen, Demokrasi dan Kelas Menengah: Refleksi Mengenai Pembangunan
Politik: Prisma, No.2 tahun xxi, 1992, hlm. 64.