bab ii fajar -...

30
16 BAB II AGAMA, DAN DEMOKRASI A. Pengertian Agama dan Demokrasi Dilihat dari perspektif agama, umur agama setua dengan umur manusia. Tidak ada suatu masyarakat manusia yang hidup tanpa suatu bentuk agama. Agama ada pada dasarnya merupakan aktualisasi dari kepercayaan tentang adanya kekuatan gaib dan supranatural yang biasanya disebut sebagai Tuhan dengan segala konsekuensinya. Atau sebaliknya, agama yang ajaran- ajarannya teratur dan tersusun rapi serta sudah baku itu merupakan usaha untuk melembagakan sistem kepercayaan, membangun sistem nilai kepercayaan, upacara dan segala bentuk aturan atau kode etik yang berusaha mengarahkan penganutnya mendapatkan rasa aman dan tentram. 1 Mengenai arti agama secara etimologi terdapat perbedaan pendapat, di antaranya ada yang mengatakan bahwa kata agama berasal dari bahasa sansekerta yang terdiri dari dua suku kata yaitu : “a” berarti tidak dan “gama” berarti kacau, jadi berarti tidak kacau. 2 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, agama berarti ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata 1 Abdul Madjid, et.al, al-Islam, Jilid I, Malang: Pusat Dokumentasi dan Publikasi Universistas Muhammadiyah, 1989, hlm. 26. 2 Taib Thahir Abdul Mu’in, Ilmu Kalam, Jakarta: Wijaya, 1992, hlm. 112. Buku lain yang membicarakan asal kata agama dapat dilihat dalam Nasrudin Razak, Dienul Islam, Bandung: PT al-Ma’arif, 1973, hlm. 76. Zainal Arifin Abbas, Perkembangan Pikiran Terhadap Agama, jilid 1, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1984, hlm. 39.

Upload: vanthien

Post on 12-Mar-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

16

BAB II

AGAMA, DAN DEMOKRASI

A. Pengertian Agama dan Demokrasi

Dilihat dari perspektif agama, umur agama setua dengan umur

manusia. Tidak ada suatu masyarakat manusia yang hidup tanpa suatu bentuk

agama. Agama ada pada dasarnya merupakan aktualisasi dari kepercayaan

tentang adanya kekuatan gaib dan supranatural yang biasanya disebut sebagai

Tuhan dengan segala konsekuensinya. Atau sebaliknya, agama yang ajaran-

ajarannya teratur dan tersusun rapi serta sudah baku itu merupakan usaha

untuk melembagakan sistem kepercayaan, membangun sistem nilai

kepercayaan, upacara dan segala bentuk aturan atau kode etik yang berusaha

mengarahkan penganutnya mendapatkan rasa aman dan tentram.1

Mengenai arti agama secara etimologi terdapat perbedaan pendapat, di

antaranya ada yang mengatakan bahwa kata agama berasal dari bahasa

sansekerta yang terdiri dari dua suku kata yaitu : “a” berarti tidak dan “gama”

berarti kacau, jadi berarti tidak kacau.2 Dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia, agama berarti ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan

(kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata

1Abdul Madjid, et.al, al-Islam, Jilid I, Malang: Pusat Dokumentasi dan Publikasi

Universistas Muhammadiyah, 1989, hlm. 26. 2 Taib Thahir Abdul Mu’in, Ilmu Kalam, Jakarta: Wijaya, 1992, hlm. 112. Buku lain

yang membicarakan asal kata agama dapat dilihat dalam Nasrudin Razak, Dienul Islam, Bandung: PT al-Ma’arif, 1973, hlm. 76. Zainal Arifin Abbas, Perkembangan Pikiran Terhadap Agama, jilid 1, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1984, hlm. 39.

17

kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta

lingkungannya.3

Kata agama dalam bahasa Indonesia sama dengan “diin” (dari bahasa

Arab) dalam bahasa Eropa disebut “religi”, religion (bahasa Inggris), la

religion (bahasa Perancis), the religie (bahasa Belanda), die religion, (bahasa

Jerman). Kata “diin” dalam bahasa Semit berarti undang-undang (hukum),

sedang kata diin dalam bahasa Arab berarti menguasi, menundukkan, patuh,

hutang, balasan, kebiasaan.

Meskipun terdapat perbedaan makna secara etimologi antara diin dan

agama, namun umumnya kata diin sebagai istilah teknis diterjemahkan dalam

pengertian yang sama dengan “agama”.4 Kata agama selain disebut dengan

kata diin dapat juga disebut syara, syari’at/millah. Terkadang syara itu

dinamakan juga addiin/millah. Karena hukum itu wajib dipatuhi, maka

disebut addin dan karena hukum itu dicatat serta dibukukan, dinamakan

millah. Kemudian karena hukum itu wajib dijalankan, maka dinamakan

syara.5

Dari pengertian agama dalam berbagai bentuknya itu maka terdapat

bermacam-macam definisi agama. Merumuskan definisi agama merupakan

bagian dari problema mengkaji agama secara ilmiah. Banyaknya definisi

tentang agama malah mengaburkan apa yang sebenarnya hendak dipahami

3 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta; edisi III,

Cet 2, Balai Pustaka, 2002, hlm. 12 4 Abdul Aziz Dahlan, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van

Hoeve, 1997, hlm. 63. 5 Taib Thahir Abdul Mu’in, op.cit, hlm. 121.

18

dengan agama.6 Namun sebagai gambaran, Harun Nasution telah

mengumpulkan delapan macam definisi agama yaitu:

1. Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib

yang harus dipatuhi.

2. Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia.

3. Mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan

pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia dan yang

mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia.

4. Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup

tertentu.

5. Suatu sistem tingkah laku yang berasal dari suatu kekuatan gaib.

6. Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini

bersumber pada suatu kekuatan gaib.

7. Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan

perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam

sekitar manusia.

8. Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang

Rasul.7

Adapun masalah asal mula dan inti dari suatu unsur universal agama

itu, tegasnya masalah mengapakah manusia percaya kepada suatu kekuatan

yang dianggap lebih tinggi daripadanya, dan masalah mengapakah manusia

6 Adeng Muchtar Ghazali, Agama dan Keberagamaan dalam Konteks Perbandingan

Agama, Bndung: CV Pustaka Setia, 2004, hlm. 23 7 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, Jakarta: UI Press,

1985, hlm.10.

19

melakukan berbagai hal dengan cara-cara yang beraneka warna untuk

mencari hubungan dengan kekuatan-kekuatan tadi, telah menjadi obyek

perhatian para ahli pikir sejak lama. Mengenai soal itu ada berbagai pendirian

dan teori yang berbeda-beda. Teori-teori yang terpenting adalah :

a. Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena

manusia mulai sadar akan adanya faham jiwa.

b. Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena

manusia mengakui adanya banyak gejala yang tidak dapat diterangkan

dengan akalnya.

c. Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi dengan

maksud untuk menghadapi krisis-krisis yang ada dalam jangka waktu

hidup manusia.

d. Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi terjadi karena

kejadian-kejadian yang luar biasa dalam hidupnya, dan dalam alam

sekelilingnya.

e. Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi terjadi karena suatu

getaran atau emosi yang ditimbulkan dalam jiwa manusia sebagai

akibat dari pengaruh rasa kesatuan sebagai warga masyarakatnya.

f. Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi terjadi karena

manusia mendapat suatu firman dari Tuhan.8

8 Romdhon, et. al, Agama-Agama di Dunia, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga , Press,

1988, hlm. 18-19. Dadang Kahmad, Metode Penelitian Agama Perspektif Ilmu Perbandingan Agama, Bandung: CV Pustaka Setia, 2000, hlm. 40-41. Koencaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Jakarta: Dian Rakyat, 1972, hlm. 222-223. Hilman Hadi Kusuma, Antropologi Agama Bagian I (Pendekatan Budaya Terhadap Aliran kepercayaan, Agama Hindu, Buddha, Kong Hu Chu, di Indonesia), Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1993, hlm. 32-33.

20

Adapun tentang demokrasi, bahwa secara literal, demokrasi berarti

kekuasaan oleh rakyat, berasal dari bahasa Yunani Demos (rakyat) dan Kratos

(kekuasaan). Secara historis, istilah demokrasi telah dikenal sejak abad ke-5

SM., yang pada awalnya sebagai respons terhadap pengalaman buruk

monarki dan kediktatoran di Negara-Negara Kota Yunani kuno. Pada waktu

itu Demokrasi dipraktikkan sebagai sistem di mana seluruh warga negara

membentuk lembaga legislatif. Hal ini dimungkinkan oleh kenyataan jumlah

penduduk Negara-Negara Kota kurang lebih 10.000 jiwa dan bahwa wanita,

anak kecil serta para budak tidak mempunyai hak politik. Tidak ada

pemisahan kekuasaan ketika itu, dan semua pejabat bertanggung jawab

sepenuhnya pada Majelis Rakyat yang memenuhi syarat untuk mengontrol

berbagai persoalan eksekutif, yudikatif dan legislatif.9

Ide-ide demokrasi modern berkembang dengan ide-ide dan lembaga-

lembaga dari tradisi pencerahan yang dimulai pada abad ke-16. Tradisi

tersebut adalah ide-ide sekularisme yang diprakarsai oleh Niccolo Machiavelli

(1469-1527), ide Negara Kontrak oleh Thomas Hobbes (1588-1679), gagasan

tentang konstitusi negara dan liberalisme, serta pemisahan kekuasaan

legislatif, eksekutif dan lembaga federal oleh John Locke (1632-1704), yang

disempurnakan oleh Baron de Montesquieu (1689-1755), yang idenya

mengenai pemisahan kekuasaan menjadi lembaga legislatif, eksekutif dan

yudikatif, serta ide-ide tentang kedaulatan rakyat dan kontrak sosial yang

diperkenalkan oleh Jean-Jacques Rousseau (1712-1778). Meskipun dengan

9 Masykuri Abdillah, Demokrasi Di Persimpangan Makna Respon Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993), Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1999, hlm. 71

21

penafsiran yang berbeda, ada persamaan mengenai ide-ide sekularisme dan

hak-hak asasi. Ide-ide tersebut merupakan respons terhadap monarki absolut

akhir abad pertengahan dalam sejarah Eropa, yang menggantikan kekuasaan

gereja (teokrasi). Demokrasi dalam bentuknya saat ini mulai muncul sejak

Revolusi Amerika tahun 1776, kemudian disusul oleh Revolusi Perancis tahun

1789.10

Istilah demokrasi saat ini telah diterima oleh hampir seluruh

pemerintahan di dunia, bahkan pemerintahan otoriter pun menggunakan istilah

"demokrasi" untuk mengkarakterisasikan rezim dan aspirasi mereka.

Demokrasi memang merupakan slogan wacana politik kontemporer.

Akibatnya adalah menjamurnya pengertian "demokrasi", seperti "Demokrasi

Liberal", "Demokrasi Terpimpin", "Demokrasi Kerakyatan", "Demokrasi

Sosialis, dan lain sebagainya.11

Demokrasi mempunyai arti penting bagi masyarakat yang

menggunakannya sebab dengan demokrasi hak masyarakat untuk menentukan

sendiri jalannya organisasi negara dijamin. Oleh sebab itu, hampir semua

pengertian yang diberikan untuk istilah demokrasi ini selalu memberikan

posisi penting bagi rakyat kendati secara operasional implikasinya di berbagai

negara tidak selalu sama. Sekedar untuk menunjukkan betapa rakyat

diletakkan pada posisi penting dalam asas demokrasi ini berikut akan dikutip

beberapa pengertian demokrasi.12

10Ibid, hlm. 71-72 11Ibid, hlm. 72 12 Moh. Mahfud, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Yogyakarta: Penerbit Gama Media,

1999, hlm. 7

22

Demokrasi sebagai dasar hidup bernegara memberi pengertian bahwa

pada tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan dalam masalah-masalah

pokok mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijaksanaan

negara, karena kebijaksanaan tersebut menentukan kehidupan rakyat.13 Jadi,

negara demokrasi adalah negara yang diselenggarakan berdasarkan kehendak

dan kemauan rakyat, atau, jika ditinjau dari sudut organisasi, ia berarti suatu

pengorganisasian negara yang dilakukan oleh rakyat sendiri atau atas

persetujuan rakyat karena kedaulatan berada di tangan rakyat.14 Dalam kaitan

ini patut dikemukakan bahwa Henry B. Mayo memberikan pengertian sebagai

berikut.

"A democratic political system is one is wich public policies are made on a majority basis, by representatives subject to effective popular control at pereodic elections-wich are conducted on the principle of political equality and under conditions of political freedom."15 (Sistem politik demokratis adalah sistem yang menunjukkan. bahwa kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik). Sesuai dengan apa yang ditafsirkan oleh R. Kranenburg didalam

bukunya "Inleiding in de vergelijkende staatsrechtwetenschap" sebagaimana

dikutip Koentjoro Poerbopranoto bahwa perkataan "demokratie", yang

terbentuk dari dua pokok-kata Yunani "demos" (rakyat) dan "kratein"

(memerintah) itu dan yang maknanya adalah "cara memerintah negara oleh

13 Deliar Noer, Pengantar ke Pemikiran Politik, Jakarta: CV Rajawali, cet. 1, 1983, hlm.

207. 14 Amirmachmud, Demokrasi, Undang-Undang dan Peran Rakyat", dalam PR1SMA No. 8

Jakarta: LP3ES, 1984 15 Henry B. Mayo, An Introduction to Democratic Theory, New York: Oxford University

Press, I960, hlm. 70.

23

rakyat", maka definisi Celier-Vedel di dalam "Introduction a la Science

Politique" (1954 — 1955) berbunyi "la democratie c'est Ie gouvemement du

peuple par Ie people".16 Ditinjau lebih dalam lagi tentang makna definisi ini,

maka yang dianggap tidak termasuk dalam lingkungan demokrasi itu ialah

cara pemerintahan yang dilakukan oleh dan atas nama seorang diri (misalnya

oleh seorang raja yang berkuasa mutlak). Juga tidak termasuk dalam

pengertian demokrasi ialah cara pemerintahan negara yang disebut

"autocratic" atau "oligarchic", yakni pemerintahan yang dilakukan oleh

segolongan kecil manusia saja, yang menganggap dirinya sendiri tercakap dan

berhak untuk mengambil dan melakukan segala kekuasaan diatas segenap

rakyat. Cara pemerintahan yang bagaimanakah (in concreto), yang masuk

dalam arti demokrasi itu? Menurut sarjana Perancis M. Durverger di dalam

bukunya "Les Regimes Politiques" (1954), maka dalam artian demokrasi itu

ialah termasuk cara pemerintahan, di mana golongan yang memerintah dan

golongan yang terperintah itu adalah sama dan tidak terpisah-pisah. Artinya

satu sistim pemerintahan negara di mana dalam pokoknya semua orang

(rakyat) adalah berhak sama untuk memerintah dan juga untuk diperintah.

Atau sebagaimana dinyatakan oleh G. Vedel .dalam bukunya yang terkenal

"Manuel elementaire de Droit Constitutionnel" (pag. 242) "un gouvernement

de chacun par chacun, et de tous par tous". Artian demokrasi menurut faham

lama atau klasik ini adalah hanya mengandung satu arti pokok belaka, satu

16 Koentjoro Poerbopranoto, Sedikit tentang Sisitim Pemerintahan Demokrasi, Jakarta:

ERESCo, 1978, hlm. 6

24

pendirian yang di dalam praktek tentu tidak akan dapat dilaksanakan secara

mutlak.17

Kendati dari berbagai pengertian itu terlihat bahwa rakyat diletakkan

pada posisi sentral "rakyat berkuasa" (government or role by the people) tetapi

dalam. praktiknya oleh UNESCO disimpulkan bahwa ide demokrasi itu

dianggap ambiguous atau mempunyai arti ganda, sekurang-kurangnya ada

ambiguity atau ketaktentuan mengenai lembaga-lembaga atau cara-cara yang

dipakai untuk melaksanakan ide, atau mengenai keadaan kultural serta historik

yang mempengaruhi istilah ide dan praktik demokrasi.18 Hal ini bisa dilihat

betapa negara-negara yang sama-sama menganut asas demokrasi ternyata

mengimplementasikannya secara tidak sama. Ketidaksamaan tersebut bahkan

bukan hanya pada pembentukan lembaga-lembaga atau aparatur demokrasi,

tetapi juga menyangkut perimbangan porsi yang terbuka bagi peranan negara

maupun peranan rakyat.

B. Sejarah Demokrasi

Dalam beberapa tahun belakangan ini, demokrasi dan demokratisasi

kembali menjadi bahan pembicaraan penting, baik di kalangan akademisi

maupun praktisi politik. Demokrasi tidak hanya menjadi buah bibir dalam

ilmu politik, tapi dalam kehidupan politik sehari-hari juga.19 Demokrasi

semenjak pertama diperkenalkan seringkali diandaikan sebagai suatu

pandangan politik yang selalu mengedepankan prinsip-prinsip penyelesaian

17 Ibid, hlm. 6 18 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia, 1982, hlm. 50. 19Riza Noer Arfani, Demokrasi Indonesia Kontemporer, Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 1996, hlm. v

25

problem ke bangsaan secara adil dan bisa diterima oleh semua lapisan

masyarakat dalam bangsa tersebut.20pengertian kata demokrasi pada waktu

sekarang kiranya sudah dikenal dan dimengerti oleh kebanyakan orang yang

hidup pada abad ke-XX ini, meskipun dalam pengertiannya yang sederhana.

Apabila ditinjau tentang penerapan dan pelaksanaannya paham demokrasi

memang berbeda-beda di negara yang satu dengan lainnya, baik isi maupun

kadarnya.21

Kata "demokrasi" selamanya tidak pernah ditemukan dalam untaian

ta'bir-ta'bir tumpukan kitab yang dilalap para santri (kuning). Begitu pula

term Hak-Hak Asasi Manusia (HAM), Hak-Hak atas Rakyat (HAR), Republik

dan sebagainya.22 Dari sini tampak penting mengungkapkan selintas kilas

sejarah demokrasi. Demokrasi sebagai azas dan yang dipergunakan dalam

kehidupan ketatanegaraan berasal dari zaman Yunani. Istilah demokrasi

tersebut terdiri dari dua perkataan, yaitu demos yang berarti rakyat dan cratein

yang berarti pemerintah. Dengan demikian dilihat dari arti kata-katanya

demokrasi adalah pemerintahan rakyat, yang kemudian diartikan

pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.23

Konsep demokrasi semula lahir dari pemikiran mengenai hubungan

negara dan hukum di Yunani Kuno dan dipraktikkan dalam hidup bernegara

20Koirudin, Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2004, hHlm. 19-20 21 S.Toto Pandoyo, Ulasan Terhadap Beberapa Ketentuan Undang-Undang Dasar 1945:

Sistem Politik dan Perkembangan Kehidupan Demokrasi, Yogyakarta: Liberti, 1981, hlm. 6. 22Said Aqiel Siradj, Islam Kebangsaan: Fiqih Demokratik Kaum Santri, Jakarta: Pustaka

Ciganjur, 1999, hlm. 75 23Sri Soemantri Martosoewignjo, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara,

Jakarta: CV.Rajawali, 1981, hlm. 25.

26

antara abad ke 4 sebelum masehi sampai abad 6 masehi, Pada waktu itu,

dilihat dari pelaksanaannya, demokrasi yang dipraktikkan bersifat langsung

(direct democracy); artinya hak rakyat untuk membuat keputusan-keputusan

politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak

berdasarkan prosedur mayoritas. Sifat langsung ini dapat dilaksanakan secara

efektif karena Negara Kota (City State) Yunani Kuno berlangsung dalam

kondisi sederhana dengan wilayah negara yang hanya terbatas pada sebuah

kota dan daerah sekitarnya dan jumlah penduduk yang hanya lebih kurang

300.000 orang dalam satu negara. Lebih dari itu ketentuan-ketentuan

demokrasi hanya berlaku untuk warna negara yang resmi yang merupakan

sebagian kecil dari seluruh penduduk. Sebagian besar yang terdiri dari budak

belian, pedagang asing, perempuan, dan anak-anak tidak dapat menikmati hak

demokrasi.24

Gagasan demokrasi Yunani boleh dikatakan lenyap dari muka Dunia

Barat ketika bangsa Romawi dikalahkan oleh suku bangsa Eropa Barat dan

Benua Eropa memasuki Abad Pertengahan (600 - 1400). Masyarakat Abad

Pertengahan ini dicirikan oleh struktur sosial yang feodal; kehidupan sosial

dan spiritualnya dikuasai oleh Paus dan Pejabat-pejabat Agama, sedangkan

kehidupan politiknya ditandai oleh perebutan kekuasaan di antara para

bangsawan.25 Dengan demikian, masyarakat Abad Pertengahan terbelenggu

oleh kekuasaan feodal dan kekuasaan pemimpin-pemimpin agama, sehingga

tenggelam dalam apa yang disebut sebagai masa kegelapan. Kendati begitu,

24 Miriam Budiardjo, op. cit. hlm. S4 - 55; lihat pula Sochino, IImu Negara, Yogyakarta: Liberty, 1980 hlm. 209.

25 Miriam Budihardjo, loc. cit

27

ada sesuatu yang penting berkenaan dengan demokrasi pada abad pertengahan

itu, yakni lahirnya dokumen Magna Charts (Piagam Besar), suatu piagam

yang berisi semacam perjanjian antara beberapa bangsawan dan Raja John di

Inggris bahwa Raja mengakui dan menjamin beberapa hak dan previleges

bawahannya sebagai imbalan untuk penyerahan dana bagi keperluan perang

dan lain-lain. Lahirnya piagam ini, kendati tidak berlaku bagi rakyat jelata,

dapat dikatakan sebagai lahirnya tonggak barn bagi perkembangan demokrasi,

sebab dari piagam tersebut terlihat adanya dua prinsip dasar: pertama,

kekuasaan Raja harus dibatasi; kedua, hak asasi manusia lebih penting

daripada kedaulatan Raja.26

Munculnya kembali prinsip demokrasi di Eropa Barat sangat didorong

oleh terjadinya perubahan sosial dan kultural yang berintikan pada pendekatan

pada, kemerdekaan akal dari berbagai pembatasan. Dua kejadian besar yakni

"Renaissance" dan "Reformasi" telah menandai perubahan besar tersebut.

Renaissance adalah aliran yang menghidupkan kembali minat pada

sastra dan budaya Yunani Kuno, yang berupa gelombang-gelombang

kebudayaan dan pemikiran yang dimulai di Italia pada abad ke-14 dan

mencapai puncaknya pada abad ke-15 dan 16.27 Masa Renaissance adalah

masa ketika orang mematahkan semua ikatan yang ada dan menggantikan

dengan kebebasan bertindak yang seluas-luasnya sepanjang sesuai dengan

yang dipikirkan, karena dasar ide ini adalah kebebasan berpikir dan bertindak

26 Ramdlonnaning, Cita dan Cipta Hak Azasi Manusia di Indonesia, Jakarta: Lembaga

Kriminologi UI, 1983 hlm. 9. 27 Hassan Shadily, Eksiklopedi Umum, Jakarta: Yayasan Kanisius dan Yayasan Dana

Buku Franklin, 1977, hlm. 914,

28

bagi manusia tanpa boleh ada orang lain yang menguasai atau membatasi

dengan ikatan-ikatan. Hal ini disamping mempunyai segi positif yang

cemerlang dan gemilang karena telah mengantarkan dunia pada kehidupan

yang lebih modern dan mendorong berkembang pesatnya ilmu pengetahuan

dan teknologi, juga memberi sisi buruknya sendiri, sebab dengan adanya

pemikiran untuk lepas dari semua ikatan (dan orang tak mungkin hidup tanpa

ikatan-ikatan) berkembanglah sifat-sifat buruk dan a-sosial seperti kebencian,

iri hati, atau cemburu yang dapat meracuni penghidupan yang mengakibatkan

terjadinya perjuangan sengit di setiap lapangan dengan saling bersiasat,

membujuk, menipu, atau melakukan apa saja yang diinginkan kendati melalui

cara yang tercela secara moral.28

Berkembangnya pengaruh kebudayaan Yunani Kuno yang mendorong

Renaissance disebabkan oleh terjadinya Perang Salib29, suatu perang antara

penganut agama Kristen dan Islam yang berlangsung selama 200 tahun (1096–

1291)30 dalam memperebutkan kota Yerussalem.

Dorongan Perang Salib bagi Renaissance ini muncul karena terjadinya

kontak ide antara dua pihak yang berperang. Seperti diketahui, pada abad

pertengahan dunia Barat tenggelam dalam kegelapan karena struktur sosial

yang dikuasai oleh gereja dan politik yang feodal sehingga mereka tenggelam

dalam kebodohan. Sedangkan dunia Islam pada waktu itu justru berada pada

puncak kejayaan peradabannya yang karena perhatiannya untuk

28 JJ Von Sehmidt, Ahli-ahli Pikir Besar Tentang Negara dan Hukum, ditulis dalam

Bahasa Indonesia oleh R. Wiratmo, Djamaluddin Dt. Singomangkuto dan Djamadi, Jakarta: PT. Pembangunan, 1980, hlm. 91.

29 Soehino, op. cit. hlm. 68 30 Hassan Shadily, Eksiklopedi, op.cit. hlm. 835 - 836.

29

mengembangkan ilmu pengetahuan peradaban yang berkembang di dunia

Islam pada waktu itu disebut sebagai "Peradaban Ilmu". Penyebutan ini

tidaklah berlebihan karena orang-orang Islam yang dipelopori oleh orang Arab

waktu itu (terutama pada tahun 750 - 850) bukan hanya berhasil

mengasimilasikan pengetahuan Parsi tua dan warisan klasik, tetapi kedua

macam kebudayaan itu disesuaikan juga dengan kebutuhan-kebutuhan yang

terutama dan dengan alam pikiran mereka sendiri. Dad tradisi keilmuan

Islamiah lahir nama-nama besar yang menjadi intelektual dan penemu-penemu

dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan, seperti Ibnu Khaldun, Al Razi,

Oemar Khayam, al Khawarizmi, dan sebagainya. Menurut Philip K. Hitti,

dunia Islam telah memberikan sumbangan besar terhadap Eropa dengan

terjemahan-terjemahannya atas warisan Parsi dan Yunani yang kemudian

disesuaikan dengan watak Arab serta menyeberangkannya ke Eropa melalui

Siria, Spanyol, dan Sisilia; suatu arus penyeberangan yang menjadi dasar dari

ilmu pengetahuan yang menguasai alam pikiran Eropa dalam Abad

Pertengahan.31 Dipandang dari sudut sejarah kebudayaan, tugas

menyeberangkan ilmu pengetahuan itu tidaklah lebih kecil nilainya dari tugas

menciptakan ilmu pengetahuan yang asli, sebab tanpa jasa orang-orang Arab-

Islam yang telah dengan penuh gairah mengembangkan hasil-hasil karya

ilmiah Aristoteles, Galenus, Ptolemaois dan menyeberangkannya ke Barat

ilmu-ilmu itu dapat dengan selamat diwarisi oleh generasi pencetus

Renaissance di Eropa. Tanpa jasa orang Arab-Islam sangat mungkin warisan

31 Philiip K. Hicti, The Arab A Short History, diterjemahkan dalam hahasa Indonesia dengan judul Dunia Arab, oleh Usuluddin Hutagalung dan ODP Sihombing, Bandung: Sumur cet. V, 1962, hlm. 139.

30

ilmu pengetahuan tokoh-tokoh Yunani itu hilang dan dunia akan miskin,

seolah-olah ilmu-ilmu itu tak pernah tercipta.32 Tak dapat dipungkiri bahwa

Renaissance yang berintikan pemuliaan terhadap akal pikiran untuk selalu

mencipta dan mengembangkan ilmu pengetahuan merupakan ilham bagi dunia

Barat yang bersumber dari tradisi keilmuan Islam. Hanya saja kekeliruan

Dunia Barat dalam menghadapi tradisi keilmuan itu adalah bahwa mereka

melepaskan dua prinsip dasar berikut yang sejak semula dipakai dalam

pengembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Pertama, akal pikiran sebagai

sumber kebenaran ilmiah bukanlah segala-galanya karena akal pikiran

manusia terbatas dan tak mungkin mampu menjawab segala-galanya sehingga

dalam hal (atau batas tertentu) manusia harus mencari kebenaran bukan

melalui akal pikiran melainkan melalui wahyu atau petunjuk Tuhan. Kedua,

pengembangan ilmu pengetahuan harus diorientasikan pada upaya membina

keselamatan umat manusia, tidak boleh merusak.33 Karena dua prinsip dasar

ini tidak turut diadopsi dalam pengembangan ilmu di Dunia Barat maka

Renaissance yang gemilang itu, seperti telah dikemukakan di atas,

menampilkan sisi buruknya yang sampai kini masih terus berlangsung.

Selain Renaissance, peristiwa lain yang mendorong timbulnya kembali

"demokrasi" yang dahulu tenggelam. dalam Abad Pertengahan adalah

terjadinya Reformasi, yakni revolusi agama yang terjadi di Eropa Barat pada

abad ke-l6 yang pada mulanya menunjukkan sebagai pergerakan perbaikan

keadaan dalam gereja Katolik tetapi kemudian berkembang menjadi asas-asas

32 Ibid, hlm. 140. 33 Abdurrahman Wahid, Tradisi Keilmuan Dalam Islam, makalah pada acara Study

Aqidah di UII, tanggal 25 Desember 1984.

31

Protestanisme. Reformasi dimulai ketika Martin Luther menempelkan 95 dalil

pada pintu gereja "Wittenberg (31 Oktober 1517) yang kemudian segera

memancing terjadinya serangan terhadap gereja. Luther mempunyai ajaran

tentang pengampunan dengan kepercayaan saja, sebagai pengganti upacara-

upacara, pekerjaan baik dan perantaraan gereja, serta mendesak supaya

membaca kitab suci yang ternyata telah memberikan pertanggungjawaban

lebih besar kepada perseorangan untuk keselamatan sendiri. Ajaran yang

kemudian disambut di mana-mana itu telah menyulut api pemberontakan

secara cepat dan meluas di Jerman dan sekitarnya, sengketa dengan gereja dan

kaisar berjalan lama dan getir yang tidak terselesaikan dengan

diselenggarakannya muktamar- muktamar di Speyer (1526, 1529) dan di

Augsburg (1530). Berakhirnya Reformasi ditandai dengan terjadinya

perdamaian Westphalia (1648) yang ternyata mampu menciptakan

keseimbangan setelah kelelahan akibat perang yang berlangsung selama 30

tahun. Namun, Protestanisme yang lahir dari Reformasi itu tidak hilang

dengan selesainya Reformasi, tetapi tetap menjadi kekuatan dasar di dunia

Barat sampai sekarang.34

Dua kejadian (Renaissance dan Reformasi) ini telah mempersiapkan

Eropa masuk ke dalam Aufklarung (Abad Pemikiran) dan Rasionalisme yang

mendorong mereka untuk memerdekakan pikiran dari batas-batas yang

ditentukan gereja untuk mendasarkan pada pemikiran atau akal (rasio) semata-

mata yang pada gilirannya kebebasan berpikir ini menelorkan lahirnya pikiran

34 Hassan Shadily, op.cit., hlm. 937 - 938.

32

tentang kebebasan politik. Dari sini timbul lalu gagasan tentang hak-hak

politik rakyat yang tidak boleh diselewengkan oleh raja, serta timbul kecaman-

kecaman terhadap raja yang pada waktu itu lazim memerintah dengan

kekuasaan tak terbatas dalam bentuk monarki-monarki absolut. Gagasan

kebebasan politik: dan kecaman terhadap absolutisme monarki itu telah pula

didukung oleh golongan menengah (midle-class) yang waktu itu mulai

berpengaruh karena kedudukan ekonomi dan mutu pendidikan golongan ini

relatifl baik.35

Kecaman dan dobrakan terhadap absolutisme monarki didasarkan pada

teori rasionalistis sebagai "sosial-contracf (perjanjian masyarakat) yang salah

satu asasnya menentukan bahwa dunia ini dikuasai oleh hukum yang timbul

dari alam (natural) yang mengandung prinsip-prinsip keadilan yang universal,

berlaku untuk semua waktu dan semua orang, baik raja, bangsawan. maupun

rakyat jelata. Unsur universalisme yang mempersamakan berlakunya hukum

alam? (natural-law) bagi semua orang dalam bidang politik telah melahirkan

pendapat umum bahwa hubungan antara raja dan rakyat didasarkan pada suatu

perjanjian yang mengikat kedua belah pihak: Raja diberi kekuasaan untuk

menyelenggarakan penertiban dan; menciptakan suasana yang memungkinkan

rakyat menikmati hak-hak alamnya dengan aman, sedangkan rakyat akan

mentaati pemerintahan raja asal hak-hak alamnya terjamin.36

Tampak bahwa teori hukum alam merupakan usaha untuk mendobrak

pemerintahan absolut dan menetapkan hak-hak politik rakyat dalam suatu asas

35 Miriam Budihardjo, op.cit., hlm. 55. 36 Ibid, hlm. 56

33

yang disebut demokrasi (pemerintahan rakyat). Dua filsuf besar yaitu John

Locke dan Montesquieu masing-masing dari Inggris dan Perancis telah

memberikan sumbangan yang besar bagi gagasan pemerintahan demokrasi ini.

John Locke (1632 - 1704) mengemukakan bahwa hak-hak politik rakyat

mencakup hak atas hidup, kebebasan dan hak memiliki (live, liberal,

property); sedangkan Montesquieu (1689 - 1955) mengemukakan sistem

pokok yang menurutnya dapat menjamin hak-hak politik tersebut melalui

"Trias Politika"nya, yakni suatu sistem pemisahan kekuasaan dalam negara ke

dalam kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif yang masing-masing harus

dipegang oleh organ sendiri yang merdeka, artinya secara prinsip kiranya

semua kekuasaan itu tak boleh dipegang hanya seorang saja.37

Dari pemikiran tentang hak-hak politik rakyat dan pemisahan

kekuasaan inilah terlihat munculnya kembali ide pemerintahan rakyat

(demokrasi). Tetapi dalam kemunculan-nya sampai saat ini demokrasi telah

melahirkan dua konsep demokrasi yang berkaitan dengan peranan negara dan

peranan masyarakat, yaitu demokrasi konstitusional abad ke-19 dan demokrasi

konstitusional abad ke-20 yang keduanya senantiasa dikaitkan dengan konsep

negara hukum.

C. Model Demokrasi

Pembedaan yang paling tua dalam bentuk demokrasi adalah antara

demokrasi langsung dengan demokrasi tidak langsung, mengikuti kenyataan

37 Sebenarnya John Locke-pun telah membuat poros-poros kekuasaan di dalam negara ke

dalam poros-poros Legislatif, Eksekutif (termasuk di dalamnya Yudikatif), dan Federatif. Konsep ini berbeda dengan Trias Politikanya Montesquieu yang memasukkan Yudikatif sebagai kekuasaan tersendiri sedangkan Federatif dijadikan bagian dari kekuasaan Eksekutif.

34

bahwa keseluruhan warga negara dengan nyata ikut serta atau tidak ikut serta

dalam pembentukan undang-undang.38Di antara sekian banyak model

demokrasi atau aliran yang menamakan demokrasi ada dua kelompok aliran

yang paling penting dan relatif mewakili dari beberapa konsep demokrasi

yang ada, yakni demokrasi liberal atau demokrasi konstitusional dan

demokrasi kerakyatan atau sosialis yang pada hakekatnya mendasarkan

dirinya atas komunisme. Kedua kelompok aliran demokrasi ini mula-mula

berasal dari Eropa, tetapi sesudah Perang Dunia 11 nampaknya juga didukung

oleh beberapa negara baru di Asia seperti; India, Pakistan, Philipina dan

Indonesia yang mencita-citakan demokrasi konstitusional. Di pihak lain ada

negara-negara baru di Asia yang mendasarkan diri atas azas-azas sosialisme

atau komunisme, yaitu: RRC, Korea Utara dan lainsebagainya.39

a. Demokrasi Liberal

Demokrasi ini sering juga disebut dengan demokrasi konstitusional,

yaitu demokrasi yang didasarkan pada kebebasan atau individualistis. Ciri

khas demokrasi ini adalah bahwa pemerintahannya terbatas kekuasaannya dan

tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya. Cara

yang terbaik untuk membatasi kekuasaan pemerintah tersebut ialah melalui

suatu konstitusi. Di mana konstitusi tersebut menjamin hak- hak warga

negaranya dan menyelenggarakan kekuasaan negara sedemikian rupa sehingga

38Mac Iver, The Modern State, Terj. Moertono, "Negara Modern", Jakarta: Aksara Baru,

1982, hlm. 31 39 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,

1992, hlm. 51.

35

kekuasaan eksekutif diimbangi oleh kekuasaan legislatif (parlemen) dan

kekuasaan yudikatif (lembaga hukum yudikatif).40

Ciri-ciri demokrasi liberal ini menurut M. Carter dan John Herz adalah

bahwa demokrasi ditandai secara konstitusional pembahasan-pembahasan

terhadap tindakan pemerintah untuk memberi perlindungan bagi individu dan

kelompok dengan menyusun penggantian pimpinan secara berkala, tertib,

damai dan melalui alat-alat perwakilan rakyat yang efektik. Dalam hlm sikap,

demokrasi liberal memerlukan toleransi terhadap pendapat yang berlawanan,

keluwesan serta kesediaan untuk bereksperimen.41

Berkaitan dengan hlm tersebut. Henry B. Mayo menyebutkan bahwa

demokrasi adalah di mana kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas

oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-

pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan

diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik. Di samping itu,

menurutnya, demokrasi itu tidak hanya merupakan suatu bentuk negara

ataupun sistem pemerintahan, tetapi juga merupakan suatu gaya hidup serta

tata masyarakat tertentu yang mengandung unsur-unsur moril sehingga dapat

dikatakan bahwa demokrasi didasarkan oleh beberapa nilai.42

40 Moh. Kusnardi, dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Jakarta: Gaya Media Pratama,

1995, hlm. 170. 41 M. Carter and John H. Herz, Government and Politics in Twentieth Century, New York

Washington: FAPraeger, 1973, hlm. 12-27. 42 Henry B. Mayo merumuskan beberapa nilai yang mendasari demokrasi yaitu: (1)

merumuskan perselisihan dengan damai dan secara melembaga (2) Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang berubah.(3) Menyelenggarakan penggantian pimpinan secara teratur. (4) Membatasi pemakaian kekerasan sampai tingkat minimum. (5) Mengakui serta menganggap wajar adanya keaneka-ragaman (diversity) (6) Menjamin tegaknya keadilan. lihat dalam Henry B. Mayo, An Introduction to Democratic Theory, New York: Oxford University Press, 1960, hlm. 218-243.

36

b. Demokrasi Komunis

Banyak nama yang sering diberikan kepada demokrasi. Salah satu di

antaranya adalah demokrasi komunis. Tipe ini yakni demokrasi proletar,

marxis komunisme atau demokrasi sovyet. Tokoh dari aliran mi antara lain

Robert Owen (1771-1858) dari Inggris, Saint Simon (1760-1825), Fourier

(1772-1837) di Perancis dan yang terpenting adalah Kari Marx (1818-1883).

Masyarakat yang dicita-citakan oleh Marx adalah masyarakat komunis yaitu

masyarakat yang tidak ada kelas sosial di mana manusia dibebaskan dari

keterikatan kepada milik pribadi dan tidak ada eksploitasi, penindasan dan

paksaan. Ironisnya untuk mencapai masyarakat yang bebas dari paksaan itu

perlu melalui jalan paksaan serta kekuatan yaitu dengan perebutan kekuasaan

oleh kaum buruh dari tangan kaum Borjuis (Pemilik Modal).43

Demokrasi rakyat (totaliterisme komunis) dicirikan oleh dorongan

untuk memaksa persatuan, penghapusan oposisi terbuka dan suatu pimpinan

yang merasa dirinya paling tahu mengenai cara-cara menjalankan

kebijaksanaan pemerintah dan yang menjalankan kekuasaan melalui suatu elit

yang kekal. Para pemegang kekuasaan menganggap dirinya sebagai wakil

suatu gerakan yang mengusahakan terpenuhinya keinginan dan pendambaan

rakyat. Oleh sebab itu, mereka menyatakan dirinya bertindak lebih demokratis

dari pada wakil-wakil rakyat di negeri Barat yang dalam pandangan komunis

semata-mata merupakan wakil dan kaki tangan dunia perusahan dan

43 Miriam Budiardjo, Demokrasi di Indonesia: Demokrasi Parlementer dan Demokrasi

Pancasila, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996, hlm. 110.

37

kepentingan.44 Dengan demikian, komunisme adalah ideologi totaliter, karena

menuntut diakui sebagai satu-satunya pandangan hidup yang mencakup

sepenuhnya seluruh kehidupan manusia. Sehingga, seperti yang dikatakan

oleh Miriam Budiardjo bahwa komunisme tidak hanya merupakan sistem

politik tetapi juga mencerminkan suatu gaya hidup yang berdasarkan nilai-

nilai tertentu.45

Dua aliran demokrasi tersebut sangat berbeda, malahan sering

bertentangan serta berkonfrontasi satu sama lain. Perbedaan fundamendal

keduanya adalah bahwa demokrasi liberal, konstitusional mencita-citakan

pemerintah yang terbatas kekuasaannya, yakni suatu Negara Hukum

(Rechtsstaat) yang tunduk kepada Rule of law, Sebaliknya "demokrasi" yang

mendasarkan dirinya atas komunisme mencita-citakan pemerintah yang tidak

boleh dibatasi (Machtsstaat) yang bersifat totaliter.46

Dengan demikian dapat dipahami bahwa secara umum, ada dua konsep

yang dominan dalam diskursus demokrasi modern, yaitu konsep demokrasi

liberal dan konsep demokrasi komunis. Konsep liberal lebih menekankan pada

elemen-elemen prosedural bagi sebuah struktur demokratis. Sebaliknya,

konsep demokrasi komunis lebih menekankan pada elemen-elemen substantif.

44 Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, op.cit, hlm. 172. 45 Nilai-nilai tersebut yaitu: (1). Gagasan Monoisme (sebagai lawan pluralisme). Gagasan

ini menolak adanya golongan-golongan di dalam masyarakat sebab dianggap bahwa setiap golongan yang berlainan aliran pikirannya dianggap sebagai perpecahan. Akibat dari gagasan ini ialah bahwa persatuan terkesan dipaksakan dan bposisi ditindas. (2). Kekerasan dipandang sebagai alat yang sah yang harus dipakai untuk mencapai komunisme. Pelaksanaan ini dipakai dalam dua tahap: pertama terhadap musuh dan kedua terhadap pengikutnya sendiri yang dianggap masih kurang insyaf.(3). Negara merupakan alat untuk mencapai komunisme; karena itu semua alat kenegaraan seperti polisi, tentara, kejaksaan, dipakai untuk diabdikan kepada tercapainya komunisme. Lihat Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, op cit, hlm. 88.

46 Ibid, hlm. 52.

38

Perbedaan inilah oleh William Ebestein diilustrasikan pada kasus pemaknaan

"demokratisasi" untuk Jerman pasca Perang Dunia II. Setelah berhasil

melumpuhkan kekuatan Jerman pada Perang Dunia II, Amerika Serikat,

Inggris, Perancis dan Uni Soviet yang tergabung dalam kekuatan Sekutu

menguasai negeri itu. Negara-negara Sekutu itu sepakat untuk

mendemokratisasikan Jerman. Namun antara Ketiga negara Barat dan Uni

Soviet tidak sepakat tentang apa makna dan implementasi dari gagasan

demokratisasi itu. Bagi Barat, demokratisasi berarti prinsip atau metode-

metode dasar serta proses dalam kehidupan publik Jerman, seperti pemilihan

umum yang bebas, kebebasan pers, persamaan di muka hukum, kebebasan

berbicara dan berserikat, serta kebebasan beroposisi.47

Sedangkan menurut konsep komunis, demokratisasi Jerman berarti

menguatkan pemerintahan yang akan mewujudkan apa yang mereka klaim

sebagai 'kepentingan terbaik' bagi masyarakat Jerman. Dalam kacamata

komunis, kepentingan terbaik itu tidak lain adalah komunisme. Karena itu,

menurut Uni Soviet, demokratisasi Jerman berarti mengakhiri kapitalisme dan

menggantikannya dengan komunisme.48

D. Kriteria Negara Demokrasi

Wacana kriteria demokrasi tiba-tiba menjadi magnet dalam percaturan

ideologi politik dunia. Demokrasi diidentifikasi sebagai konsep politik ideal

yang dibangun di atas kesadaran manusia sebagai makhluk yang memiliki

47William Ebestein, Democracy, dalam George Thomas Kurian and Graham T.T Molitor

(Eds), Encyclopedia of he Future, Vol, New York: Simon and Schuster Macmillan, 1996, hlm. 83. 48 Ibid.

39

kebebasan berkehendak.49 Meskipun tafsir implementatif atas asas demokrasi

itu tidak tunggal bahkan sering kabur, pada umumnya yang dianggap paling

dekat dengan demokrasi adalah mekanisme demokrasi liberal. Tetapi lebih

dari itu yang secara esensial penting untuk menilai apakah suatu negara itu

demokratis atau tidak adalah dengan melihat bekerjanya kriteria demokrasi

dari negara tersebut. Amien Rais menulis bahwa, minimal, ada sepuluh

kriteria demokrasi, yaitu:50

Pertama, partisipasi dalam pembuatan keputusan. Di dalam demokrasi

perwakilan partisipasi rakyat untuk itu dilakukan oleh wakil-wakilnya. Oleh

sebab itu, diperlukan Pemilu yang luber dan jurdil agar wakil-wakil rakyat itu

representatif dalam berpartisipasi dalam pengambilan keputusan-keputusan

politik.

Kedua, persamaan kedudukan di depan hukum. Di sini hukum

diberlakukan secara sama bagi seluruh warga negara. Baik penjahat, pejabat,

dan rakyat terlepas dari kalibernya masing-masing harus berada di bawah

yurisdiksi hukum positif yang berlaku.

Ketiga, Distribusi pendapatan secara adil. Ekualitas ekonomi yang

diwujudkan dalam upaya pembagian pendapatan secara adil merupakan

bagian tak terpisahkan dari ekualitas politik dan ekualitas hukum dalam

negara demokrasi. Artinya ekualitas itu tak dapat hanya ditekankan pada satu

bidang saja.

49Tedi Kholiludin (Ed), Runtuhnya Negara Tuhan: Membongkar Otoritarianisme dalam

Wacana Politik Islam, Semarang: INSIDE PMII Komisariat Walisongo Semarang, 2005, hlm. 122

50 Moh. Mahfud, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Yogyakarta: Penerbit Gama Media, 1999, hlm. 183-186

40

Keempat, Kesempatan memperoleh pendidikan Karena pendidikan

merupakan faktor penentu bagi seseorang untuk memperoleh pelayanan dan

penghasilan yang layak, kesempatan untuk memperoleh pendidikan secara

sama antarsesama warga negara dijadikan salah satu perhatian utama oleh

penyelenggara negara.

Kelima, kebebasan. Ada empat kebebasan yang sangat penting yang

dapat menunjukkan derajat demokrasi suatu negara, yaitu kebebasan

mengemukakan pendapat, kebebasan pers, kebebasan berkumpul, dan

kebebasan beragama. Empat kebebasan ini sering dianggap sebagai hak-hak

terpenting dari Hak Asasi Manusia (HAM).

Keenam, kesediaan dan keterbukaan informasi Informasi harus

disediakan secara terbuka bagi rakyat agar selain mengetahui kualitas

pemimpinnya rakyat mengetahui pula perkembangan situasi yang

mempengaruhi kehidupannya termasuk kebijakan-kebijakan yang diambil

pemerintahnya.

Ketujuh, mengindahkan fatsoen. Yang dimaksudkan di sini adalah

tatakrama politik yang mungkin tidak tertulis tetapi jelas dirasakan baik

buruknya oleh hati nurani. Pejabat tidak boleh melakukan tindakan-tindakan

korup meskipun tindakan itu tak dapat dibuktikan secara formal, apalagi

sampai merekayasa aturan-aturan agar yang tidak benar menjadi benar secara

formal. Kesediaan mengundurkan diri harus dianggap sebagai hal yang wajar

oleh pejabat yang mengotori jabatannya dengan tindakan-tindakan korup.

41

Kedelapan, kebebasan individu. Setiap individu supaya diberi hak

untuk hidup secara bebas dan memiliki privacy seperti yang diinginkan.

Sejauh tidak merugikan orang lain, setiap individu dapat menentukan pilihan

hidupnya sendiri seperti dalam memilih pekerjaan, pendidikan, tempat tinggal

dan sebagainya.

Kesembilan, semangat kerja sama. Semangat kerjasama perlu

dipersubur untuk mempertahankan eksistensi masyarakat berdasarkan spirit

atau jiwa kemasyarakatan yang mendorong untuk saling menghargai antara

sesama warga.

Kesepuluh, hak untuk protes. Demokrasi harus membuka pintu bagi

koreksi atas terjadinya penyelewengan yang untuk keadaan tertentu, meskipun

pendekatan institusional dan legalistik tidak lagi memadai, tindakan protes

harus ditolerir agar jalannya pemerintahan yang menyimpang dapat diluruskan

lagi.

Suatu studi tentang pengaruh konfigurasi politik terhadap karakter

produk hukum yang pernah saya lakukan menyederhanakan dan melebur

kriteria tersebut ke dalam tiga indikator, yaitu peranan parpol dan lembaga

perwakilan rakyat, kebebasan pers, dan kedudukan pemerintah (eksekutif). Di

negara yang demokratis akan terdata bahwa parpol dan lembaga perwakilan

memiliki peranan yang sangat menentukan dalam penggarisan haluan negara,

kebebasan pers relatif terjamin, dan eksekutif (pemerintahnya) lebih

meletakkan diri sebagai pelaksana keputusan-keputusan lembaga perwakilan

rakyat dan tidak intervensionis

42

Robert A.Dahl sebagaimana dikutip Masykuri Abdullah menunjukkan

tujuh kriteria yang harus ada dalam sistem yang demokratis:

1. Kontrol atas keputusan pemerintyah mengenai kebijakan secara

konstitutional diberikan pada para pejabat yang dipilih.

2. Para pejabat dipilih melalui pemilihan yang teliti dan jujur di mana

paksaan dianggap sebagai sesuatu yang tidak umum.

3. Secara praktis semua orang dewasa mempunyai hak untuk mencalonkan

diri pada jabatan-jabatan di pemerintahan, walaupun batasan umur untuk

menduduki jabatan mungkin lebih ketat ketimbang hak pilihnya.

4. Secara praktis semua orang dewasa mempunyai hak untuk memilih dalam

pemilihan pejabat.

5. Rakyat mempunyai hak untuk menyuarakan pendapat tanpa ancaman

hukuman yang berat mengenai berbagai persoalan politik yang

didefinisikan secara luas, termasuk mengkritik para pejabat pemerintahan,

rezim, tatanan sosio-ekonomi dan ideologi yang berlaku.

6. Rakyat mempunyai hak untuk mendapatkan sumber-sumber informasi

alternatif. Lebih dari itu, sumber-sumber informasi alternatif yang ada dan

dilindungi oleh hukum.

7. Untuk meningkatkan hak-hak mereka, termasuk hak-hak yang dinyatakan

di atas, rakyat juga mempunyai hak untuk membentuk lembaga-lembaga

43

atau organisasi-organisasi yang relatif independen, termasuk berbagai

partai politik dan kelompok kepentingan yang independen.51

Kriteria demokrasi yang lebih menyeluruh diajukan oleh Gwendolen

M.Carter, John H.Herz dan Henry B.Mayo. Carter dan Herz52

mengkonseptualisasikan demokrasi sebagai pemerintahan yang dicirikan oleh

dijalankannya prinsip-prinsip berikut: (1) Pembatasan terhadap tindakan

pemerintah untuk memberikan perlindungan bagi individu dan kelompok

dengan jalan menyusun pergantian pimpinan secara berkala, tertib dan damai

melalui alat-alat perwakilan rakyat yang efektif. (2) Adanya sikap toleransi

terhadap pendapat yang berlawanan. (3) Persamaan di depan hukum yang

diwujudkan dengan sikap tunduk kepada rule of law tanpa membedakan

kedudukan politik. (4) Adanya pemilihan yang bebas dengan disertai adanya

model perwakilan yang efektif. (5) Diberikannya kebebasan rutine

berpartisipasi dan beroposisi bagi partai politik, organisasi kemasyarakatan,

masyarakat dan perseorangan serta prasarana pendapat umum seperti pers dan

media massa. (6) Adanya penghormatan terhadap hak rakyat untuk

menyatakan pandangannya betatapun tampak salah dan tidak populer. (7)

Dikembangkannya sikap menghargai hak-hak minoritas dan perorangan

dengan lebih mengutamakan penggunaan cara-cara persuasi dan diskusi

daripada koersi dan represi.

51 Masykuri Abdillah, Demokrasi Di Persimpangan Makna Respon Intelektual Muslim

Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993), Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1999, hlm. 73-74.

52 Gwendolen M.Carter dan John H.Herz, Demokrasi dan Totaliterisme: Dua Ujung dalam Spektrum Politik, dalam Miriam Budiardjo, Masalah Kenegaraan, Jakarta: PT Gramedia, 1977, hlm. 86-87

44

Sementara itu, Henry B. Mayo menyebutkan ada nilai-nilai yang harus

dipenuhi untuk mendefinisikan demokrasi: (1) menyelesaikan pertikaian

secara damai dan sukarela (2) Menjamin terjadinya perubahan secara damai

dalam masyarakat yang selalu berubah (3) Penggantian penguasa dengan

teratur (4) penggunaan paksaan sesedikit mungkin (5) Pengakuan dan

penghormatan terhadap nilai-nilai keanekaragaman (6) Menegakkan keadilan

(7) memajukan ilmu pengetahuan (8) Pengakuan dan penghormatan terhadap

kebebasan.53

Kemudian Alfian mendefinisikan demokrasi sebagai sebuah sistem

politik yang memelihara keseimbangan antara konflik dan konsensus.54

Dengan demikian, demokrasi memberikan peluang bagi perbedaan pendapat,

persaingan dan pertentangan di antara individu, kelompok atau di antara

keduanya, di antara individu dan pemerintah maupun antara lembaga-lembaga

pemerintahan sendiri. Akan tetapi demokrasi mensyaratkan bahwa segenap

konflik itu berada dalam tingkatan yang tidak menghancurkan sistem politik.

Sistem politik itu sendiri disebut demokrasi jika ia berkemampuan

membangun mekanisme dan prosedur yang mengatur dan menyalurkan

konflik menjadi konsensus.

Selanjutnya Ulf Sundhaussen mensyaratkan demokrasi sebagai suatu

sistem politik yang menjalankan tiga kriteria: (1) dijaminnya hak semua warga

negara untuk memilih dan dipilih dalam pemilu yang diadakan secara berkala

dan bebas; (2) semua warga negara menikmati kebebasan berbicara/

53Henry B.Mayo, Nilai-Nilai Demokrasi, dalam Miriam Budiardjo, Ibid, hlm. 165-191 54Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1986, 236-237

45

berorganisasi dan memperoleh informasi dan beragama; serta (3) dijaminnya

hak yang sama didepan hukum.55

Definisi-definisi ini mengimplikasikan bahwa demokrasi mengandung

unsur-unsur kekuasaan mayoritas, suara rakyat, pemilihan yang bebas dan

bertanggung jawab. Hal ini berarti bahwa dalam penggunaan kontemporer,

demokrasi didefinisikan lebih pragmatis ketimbang filosofis. Sebab pada

zaman pencerahan, demokrasi pada mulanya didefinisikan dalam pengertian

yang lebih filosofis yakni dengan ide kedaulatan rakyat sebagai lawan

kedaulatan Tuhan (teokrasi), dan sebagai lawan kedaulatan monarki.

Sekarang ini istilah demokrasi bagi banyak orang dianggap sebagai

kata yang mengimplikasikan nilai-nilai perjuangan untuk kebebasan dan jalan

hidup yang lebih baik. Demokrasi bukan hanya merupakan metode kekuasaan

mayoritas melalui partisipasi rakyat dan kompetisi yang bebas, tetapi juga

mengandung nilai-nilai universal, khususnya nilai-nilai persamaan, kebebasan

dan pluralisme, walauun konsep operasionalnya bervariasi menurut kondisi

budaya negara tertentu. Sehingga eksistensi demokrasi juga berkaitan dengan

eksistensi hak asasi manusia.

55Ulf Shundaussen, Demokrasi dan Kelas Menengah: Refleksi Mengenai Pembangunan

Politik: Prisma, No.2 tahun xxi, 1992, hlm. 64.