islamisasi ilmu ekonomi (suatu kajian metodologi ...p3m.stainkudus.ac.id/files/addin anita.pdf ·...

28
1 ISLAMISASI ILMU EKONOMI (Suatu Kajian Metodologi Pengembangan Ekonomi Islam) Oleh: Anita Rahmawaty, M.Ag. Pendahuluan Islamisasi pengetahuan merupakan isu yang tidak bisa dilewatkan begitu saja dan telah lama diperbincangkan, termasuk di Indonesia. Banyak kalangan yang mencoba mengusung gagasan ini dan banyak pula yang mengkritiknya, namun tidak banyak yang memahaminya secara konseptual dalam konteks pandangan hidup dan peradaban Islam. Di antara bidang garap gagasan Islamisasi pengetahuan, ekonomi Islam adalah subjek kajian yang paling maju secara teoritis maupun praktis kendatipun masih berada di tahap awal perkembangan. Namun, sebagai ilmu, ekonomi Islam yang dewasa ini semakin banyak menarik minat orang untuk mengkajinya, ternyata masih sering disalahtafsirkan. Sebagian ada yang menganggap bahwa ekonomi Islam itu a historis. Dengan kata lain, ekonomi Islam yang dibangun oleh para pencetusnya belum dapat dikatakan sebagai sebuah disiplin ilmu yang mapan, karena dipandang tidak ditemukan adanya bangunan pemikiran ekonomi yang utuh seperti halnya dalam ilmu ekonomi modern. Sementara itu, sebagian yang lain menganggap bahwa perkembangan studi ekonomi Islam tidak lain hanyalah sebagai reaksi sesaat dalam merespon modernisme. Persepsi di atas muncul disebabkan karena ilmu ekonomi Islam sekarang ini memang masih berada dalam tahap perkembangan dan hingga kini masih terus mencari formulasi teori yang benar-benar mapan. Beberapa masalah yang penting adalah munculnya debat metodologis yang mengiringi konstruksi teoritis ekonomi Islam. Namun, di sisi yang lain justru sudah banyak bermunculan institusi- institusi (keuangan) Islam yang mengaplikasikan teori ke dalam praktek sebelum debat metodologi itu benar-benar diselesaikan (Hoetoro, 2007: 3). Namun demikian, tidak dapat disangkal lagi bahwa berkembangnya studi ekonomi Islam ini dipicu oleh gerakan Islamisasi pengetahuan yang dengan intensif diaktifkan oleh Ismail Raji al-Faruqi, Syed Muhammad Naquib al-Attas,

Upload: trankiet

Post on 03-Feb-2018

220 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

1

ISLAMISASI ILMU EKONOMI

(Suatu Kajian Metodologi Pengembangan Ekonomi Islam)

Oleh: Anita Rahmawaty, M.Ag.

Pendahuluan

Islamisasi pengetahuan merupakan isu yang tidak bisa dilewatkan begitu

saja dan telah lama diperbincangkan, termasuk di Indonesia. Banyak kalangan

yang mencoba mengusung gagasan ini dan banyak pula yang mengkritiknya,

namun tidak banyak yang memahaminya secara konseptual dalam konteks

pandangan hidup dan peradaban Islam.

Di antara bidang garap gagasan Islamisasi pengetahuan, ekonomi Islam

adalah subjek kajian yang paling maju secara teoritis maupun praktis kendatipun

masih berada di tahap awal perkembangan. Namun, sebagai ilmu, ekonomi Islam

yang dewasa ini semakin banyak menarik minat orang untuk mengkajinya,

ternyata masih sering disalahtafsirkan. Sebagian ada yang menganggap bahwa

ekonomi Islam itu a historis. Dengan kata lain, ekonomi Islam yang dibangun oleh

para pencetusnya belum dapat dikatakan sebagai sebuah disiplin ilmu yang

mapan, karena dipandang tidak ditemukan adanya bangunan pemikiran ekonomi

yang utuh seperti halnya dalam ilmu ekonomi modern. Sementara itu, sebagian

yang lain menganggap bahwa perkembangan studi ekonomi Islam tidak lain

hanyalah sebagai reaksi sesaat dalam merespon modernisme.

Persepsi di atas muncul disebabkan karena ilmu ekonomi Islam sekarang

ini memang masih berada dalam tahap perkembangan dan hingga kini masih terus

mencari formulasi teori yang benar-benar mapan. Beberapa masalah yang penting

adalah munculnya debat metodologis yang mengiringi konstruksi teoritis ekonomi

Islam. Namun, di sisi yang lain justru sudah banyak bermunculan institusi-

institusi (keuangan) Islam yang mengaplikasikan teori ke dalam praktek sebelum

debat metodologi itu benar-benar diselesaikan (Hoetoro, 2007: 3).

Namun demikian, tidak dapat disangkal lagi bahwa berkembangnya studi

ekonomi Islam ini dipicu oleh gerakan Islamisasi pengetahuan yang dengan

intensif diaktifkan oleh Ismail Raji al-Faruqi, Syed Muhammad Naquib al-Attas,

2

dan sebagainya (Hoetoro, 2007: 13). Atau dapat dikatakan bahwa ekonomi Islam

itu sendiri tidak lain adalah merupakan produk dari gerakan Islamisasi ilmu

ekonomi. Bagaimanapun juga nalar ekonomi memang harus di-Islamkan. Tetapi

pertanyaan yang muncul sekarang adalah apa yang harus di-Islamkan dan

bagaimana proses Islamisasi ilmu ekonomi itu dilakukan ? Pertanyaan-pertanyaan

seperti ini sering diajukan dan mau tidak mau memaksa sebagian orang untuk

mengupas lebih dalam masalah metodologi ekonomi Islam, sesuatu yang hingga

kini belum mencapai bentuknya yang final.

Untuk itu, tulisan ini berupaya untuk mengupas tentang pencitraan

kebangkitan Islam yang tertuang dalam gagasan Islamisasi pengetahuan,

bagaimana konsepsi Islamisasi pengetahuan dan gagasan-gagasannya,

membincang isu-isu seputar Islamisasi ilmu ekonomi, selanjutnya menawarkan

sebuah kerangka metodologis Islamisasi ilmu ekonomi, dan diakhiri dengan

beberapa kritik pemikir Muslim terhadap Islamisasi pengetahuan.

Citra Kebangkitan Islam

Sudah menjadi coretan sejarah bahwa Islam sebagai sebuah nilai sekaligus

sistem kehidupan pernah menghantarkan manusia pada satu periode kehidupan

yang sejahtera, baik lahir maupun batin, baik materi maupun rohani. Islam

memiliki sumber hukum dan pengetahuan yang sama sejak dahulu hingga kini,

yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah (Sakti, 2007: 1). Namun, sejak abad XV

peradaban dan intelektualisme umat Islam mengalami keterpurukan dan

kemunduran

Memang sangat disadari bahwa kemunduran intelektualisme Islam sejak

abad XV dan bersamaan dengan itu datang abad modern membawa dampak yang

sangat serius bagi masa depan peradaban Islam. Politik kolonialisme Eropa Barat

yang dijalankan dengan begitu masifnya memukul telak corak pemikiran ekonomi

Islam kepada situasi dan kondisi yang sangat memprihatinkan. Oleh karena itu,

segera setelah negara-negara Muslim berhasil merebut kemerdekaannya dari

kekuatan kolonial Barat, aspirasi utama yang muncul di kalangan kaum Muslimin

adalah keinginan yang sangat kuat untuk meghadirkan kembali kejayaan

3

peradaban Islam masa lalu di alam modern. Aspirasi tersebut dituangkan dalam

beragam bentuk dan aktivitas yang oleh sebagian besar kalangan, terutama para

orientalis, diberi label sebagai gerakan fundamentalisme dan kebangkitan Islam

(Hoetoro, 2007: 153).

Gerakan kebangkitan Islam sebenarnya adalah sebagai usaha-usaha aktif

kaum Muslimin untuk membangun keseluruhan tatanan sosial yang sesuai dengan

visi ideologis Islam yang diilhami secara kanonik mengenai realitas. Islam, oleh

karena itu mempunyai formulasinya sendiri yang terkait dengan tatanan budaya,

sosial, politik dan ekonomi. Sementara itu, Chandra Muzaffar sebagaimana

dikutip oleh Hoetoro (2007: 154), melihat kebangkitan sebagai suatu perjuangan

untuk menyesuaikan diri dengan apa yang dipahami sebagai perilaku Islam, untuk

taat kepada sikap dan praktek-praktek tertentu, dan untuk memajukan pandangan

dunia Islam. Dengan kata lain, gerakan kebangkitan Islam merupakan upaya

untuk penegasan eksistensi diri dan aktualisasi Islam terhadap suatu keyakinan

universal di dunia temporal (Kuntowijoyo, 1994: 48).

Pencitraan kebangkitan Islam seharusnya didasarkan pada pemahaman

seperti di atas, sebab jika tidak, maka informasi berharga tentang sisi lain dari

kebangkitan Islam yang sangat penting, yaitu kebangkitan intelektualitas akan

hilang. Kebangkitan Islam ini dimotori oleh para cendekiawan Muslim terutama

mereka yang tergabung di lembaga-lembaga riset, seperti IIIT (the International

Institute of Islamic Thought), ISTAC (International Institute of Islamic Thought

and Civilization) dan lembaga-lembaga sejenis lainnya yang menandai sebuah

apresiasi yang positif terhadap perjalanan sejarah kebudayaan dan peradaban

universal umat manusia. Kebangkitan itu juga dipandang sebagai yang paling

esensial karena sebenarnya masalah kemunduran intelektualitas di dunia Islam

telah lama menjadi keprihatinan uatama para sarjana dan cendekiawan Muslim.

Gagasan kebangkitan Islam tersebut dituangkan ke dalam suatu proyek prestisius

yang dikenal luas sebagai Islamisasi pengetahuan (Islamization of

Knowledge/IOK) (Hoetoro, 2007: 155).

4

Konsepsi Islamisasi Pengetahuan

Terdapat banyak kerancuan dalam memaknai istilah Islamisasi

pengetahuan (Islamization of Knowlegde). Sebagian menekankan perlunya

definisi yang baku tentang istilah tersebut, sebagian lainnya hanya perlu definisi

operasional dan sebagian lagi lebih mementingkan isi daripada redaksi teknis.

Namun demikian, rupanya sebuah definisi yang jelas tetap diperlukan agar

persepsi terhadap istilah ini tidak menjadi rancu.

Istilah Islamisasi dapat diacu dari al-Attas (1993: 44), yaitu pembebasan

manusia dari pikiran-pikiran magis, mitologis, animastis dan tradisi nasional yang

bertentangan dengan Islam serta penguasaan pikiran sekuler atas ide dan bahasa.

Dari definisi ini dapat dipahami bahwa makna Islamisasi pengetahuan adalah

usaha pembebasan pengetahuan dan cabang-cabang keilmuannya dari interpretasi

yang sekuler menjadi selaras dengan worldview dan idealita Islam. Pada arah ini

tampak jelas bahwa dalam proses Islamisasi, setiap pengembangan ilmu

pengetahuan seharusnya merefleksikan worldview Islam (Hoetoro, 2007: 165).

Kelemahan dalam memahami worldview Islam ini sudah pasti akan menghasilkan

produk-produk pengetahuan yang parsial.

Definisi yang lebih praktis dikemukakan oleh Ismail Raji al-Faruqi (1982:

14) bahwa Islamisasi pengetahuan adalah sebuah proses untuk menuang kembali

pengetahuan modern dan cabang-cabang keilmuannya ke dalam tata nilai Islam.

Istilah ini diantaranya untuk menjembatani dikotomi yang ada antara sistem

pendidikan modern sekuler dengan sistem pendidikan tradisional Islam.

Selanjutnya, hasil dari proses ini harus diikuti oleh proses integrasi pengetahuan

yang baru ke dalam khazanah intelektualitas Islam yang menyelaraskannya

dengan pandangan dunia (worldview) dan tata nilai Islam. Untuk merealisasikan

hal ini, proses Islamisasi pengetahuan memerlukan tiga langkah utama, yaitu

(Ahmadiono, 2003: 204):

a. Penguasaan disiplin ilmu-ilmu modern yang diikuti oleh penilaian kritis atas

metodologi, temuan ilmiah dan teori yang selaras dengan visi Islam.

5

b. Penguasaan tradisi ilmiah Islam disertai dengan evaluasi kritis pandangan

tentang doktrin-doktrin agama, kebutuhan umat saat ini, dan kemajuan ilmu

pengetahuan modern.

c. Sintesis kreatif antara warisan Islam dan pengetahuan modern sebagai

lompatan kreatif untuk menjembatani kesenjangan ilmiah yang terjadi

selama masa-masa panjang kevakuman pengembangan ilmu pengetahuan

Islam.

Berangkat dari berbagai pengertian di atas, maka dapat dikatakan bahwa

Islamisasi pengetahuan, sepertinya lebih terfokus pada persoalan-persoalan

epistemologi dan metodologi dalam membangun ilmu pengetahuan berdasarkan

pada sumber-sumber Islam dan metode ilmu pengetahuan modern. Islamisasi

adalah sebuah usaha pengembangan teori untuk merestorasi kegiatan-kegiatan

ilmiah, terutama untuk ilmu-ilmu sosial ke arah penyatuan wahyu dan observasi

dunia empiris. Kegiatan ini tidak sekedar melakukan penambahan atau

pengurangan terhadap struktur ilmu pengetahuan, melainkan perlu adanya

pengelolaan yang kreatif dalam pengembangan ilmu-ilmu sosial modern sesuai

dengan visi, pandangan dunia dan tradisi keilmuan Islam.

Dengan demikian, hakikat Islamisasi pengetahuan adalah aktivitas-

aktivitas kecendekiaan yang sistematik dari ontologi dan epistemologi non Islam

ke dalam Islam yang menjadi dasar perubahan metodologi pengembangan ilmu

pengetahuan (Hoetoro, 2007: 167). Oleh karena itu, obyek utama Islamisasi

adalah bagaimana membangun metodologi atau cara-cara "meng-Islamkan" ilmu-

ilmu sosial modern karena disiplin ilmu pengetahuan ini dipandang

mempengaruhi langsung cara pandang, pola pikir, dan gaya hidup kaum

Muslimin.

Gagasan Islamisasi Pengetahuan

Ismail Raji al-Faruqi, Ziauddin Sardar dan Syed Muhammad Naquib al-

Attas dipandang sebagai garda depan pengusung dan pengembang gagasan

Islamisasi, meskipun mereka berbeda dalam metode dan strategi

implementasinya. al-Attas menyebut gagasan awalnya sebagai "dewesternisasi

6

ilmu"; al-Faruqi berbicara tentang "Islamisasi ilmu"; sedangkan Sardar tentang

penciptaan suatu "sains Islam kontemporer" (Bagir, 2005: 24).

Gagasan para pemikir di atas tentu berbeda-beda, dan terkadang bahkan

berseberangan, meskipun terkadang secara kurang cermat dilabeli sama dengan

istilah "Islamisasi ilmu". Meski demikian, satu hal yang barangkali merupakan

kelemahan bersama gagasan ini adalah bahwa ia tampaknya terutama digagas

sebagai gagasan filosofis mengenai sains, dan hingga waktu cukup lama tak jelas

benar bagaimana gagasan filosofis itu bisa dijadikan relevan dengan aktivitas

ilmiah praktis. Kelemahan ini juga telah menyebabkan ia mudah, dan telah,

disalahpahami.

Al-Faruqi, sebenarnya hanya memformalkan gagasan yang sudah lama

muncul sejak tahun 1960-an atau bahkan sejak 1930-an ketika al-Maududi, Sayyid

Qutb, dan lain-lainnya berbicara tentang aspek-aspek Islam dalam ekonomi.

Namun jika dirunut sejak akhir periode tersebut, maka inilah respon yang paling

kredibel sebagai jawaban Islam terhadap modernitas, meskipun sampai sekarang

ini belum berhasil mencapai bentuknya yang final.

Al-Faruqi dalam "work-plan"nya menyebutkan sebab-sebab kemunduran

kaum Muslimin di hampir semua lapangan kehidupan, baik di bidang politik,

ekonomi dan religio-cultural yang disebutnya sebagai "malaise of the ummah".

Hal ini disebabkan karena mereka telah kehilangan visi dan kesalahan dalam

sistem pendidikan yang dikembangkan. Meskipun tidak dielaborasi lebih jauh, al-

Faruqi menyinggung kelemahan visi ini sebagai sebab yang penting mengapa

kaum Muslimin sekarang tidak lagi mampu menggali dan mengapresiasi warisan

kekayaan intelektualitas para pendahulu mereka yang sebenarnya berperan

strategis sebagai pijakan dasar alam modern. Sasaran al-Faruqi adalah reformasi

sistem pendidikan yang mendua. Di satu sisi, tradisional, dan di sisi yang lain,

modern (sekuler) telah menjadi gabungan sebuah sistem pendidikan yang mampu

mengintegrasikan pandangan dunia Islam dan capaian-capaian modernitas (al-

Faruqi, 1982: 1-5).

Namun demikian, al-Faruqi berpendapat bahwa ilmu pengetahuan yang

saat ini tengah berkembang tidak semuanya bertentangan dengan nilai-nilai

7

syari'ah. Dengan demikian, al-Faruqi menyarankan proses Islamisasi adalah

melakukan penyaringan dari ilmu pengetahuan yang telah ada. Jika semua aspek

ilmu tersebut bertentangan dengan nilai-nilai Islam maka otomatis ilmu tersebut

tidak dapat dipakai dan dikembangkan lebih lanjut. Namun jika tidak ada unsur

dalam suatu ilmu tersebut yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam, sebaiknya

dilakukan proses perpaduan dengan nilai-nilai Islam. Metode ini adalah oleh

Louay Safi dianggap sebagai pendekatan terpadu penyimpulan syari'ah dan sosial

(a unified approach to Shari'ah dan Social Inference) (Safi, 1996: 171).

Oleh karena itu, dalam karya awalnya tentang Islamisasi pengetahuan, ia

menuangkan tahap-tahap pencapaian yang dikenal sebagai dua belas langkah

dalam sebuah kerangka kerja (work-plan) (al-Faruqi, 1982: 39-46) yang berisikan

tentang usaha penguasaan ilmu-ilmu pengetahuan modern dengan dibarengi

penguasaan segenap warisan intelektualitas Islam sebagai proyek percontohannya.

Terlepas dari banyaknya kritik yang diarahkan kepada work-plan tersebut jelas

bahwa sasaran al-Faruqi adalah bagaimana menjembatani konfrontasi antara

tradisi Islam dan kemajuan Barat.

Karya al-Faruqi tentang Islamisasi ilmu pengetahuan yang banyak menjadi

referensi para pemikir adalah Islamization of Knowlwdge: General Principles and

Work-plan, yang diterbitkan oleh The International Institute of Islamic Thought.

Karya al-Faruqi ini banyak menjadi rujukan pakar lain dalam memahami dan

mengembangkan Islamisasi ilmu pengetahuan. Hal ini disebabkan karena konsep

al-Faruqi dinilai sangat aplikatif dibandingkan dengan konsep al-Attas dan Sardar.

Konsep al-Faruqi secara teknis tidak menafikan ilmu pengetahuan yang saat ini

sedang eksis yaitu keilmuan sekuler, yang dilakukan hanyalah pemilihan dan

pemilahan apa yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Implementasi dari pemikiran

al-Faruqi ini terwujud dengan berdirinya International Islamic University (IIU) di

Kuala Lumpur Malaysia dan Islamabad.

Di tempat lain, al-Attas, tanpa menafikan faktor eksternal yang ada lebih

menekankan pada kelemahan internal kaum Muslimin yang telah kehilangan

"adab". Istilah ini mengacu pada efek sinergi antara tubuh, pikiran dan jiwa yang

tidak seimbang karena kerancuan dalam memahami pengetahuan yang sejati (true

8

knowledge) terhadap pengetahuan yang telah dirasuki oleh visi-visi Barat

(westernized). Tak pelak lagi bahwa tekanan al-Attas di sini adalah menyoroti

persoalan apakah pengetahuan dan ilmu pengetahuan itu netral atau tidak. Dan

memang, dalam karya-karyanya sepanjang periode 1978-1999, Naquib al-Attas

secara intensif menekankan pentingnya koneksi antara worldview (visi) Islam

terhadap ilmu pengetahuan modern dan membuat perbandingannya dengan

filsafat Barat dan posisi teologinya. Dari sini, ia kemudian menegaskan

ketidaknetralan ilmu pengetahuan modern (Barat) dan karena itulah perlu

dilakukan usaha Islamisasi. Menurutnya, kegagalan kaum Muslimin dalam

memahami pengetahuan secara benar itulah yang menjadi sebab utama

kemunduran. Masalah terbesar yang dihadapi kaum Muslimin sekarang adalah

bukan lenyapnya kekuasaan politik tetapi karena adanya korupsi yang akut dalam

memaknai esensi pengetahuan, yang disebabkan oleh kerancuan internal dan

dominasi pengaruh filsafat, sains, dan ideologi Barat modern. Akibatnya,

masyarakat kini kehilangan adab yang berimplikasi pada munculnya para

pemimpin yang tidak cakap, tidak memiliki integritas moral dan standar

intelektual atau spiritual Islam tetapi terus-menerus mengontrol urusan kehidupan

umat Islam (Haneef, 2005: 13).

Oleh karena itu, al-Attas berpendapat bahwa proses Islamisasi haruslah

menyeluruh dari filosofi, paradigma hingga proses pembelajarannya yang

menyesuaikan dengan karateristik keilmuan Islam yang ada. Dengan mengetahui

pandangan dunia Islam dan Barat, maka proses Islamisasi akan bisa dilakukan.

Sebab Islamisasi ilmu ekonomi melibatkan dua proses yang saling terkait (Armas,

2005: 9-10):

a. Mengisolir unsur-unsur dan konsep-konsep kunci yang membentuk budaya

dan peradaban Barat dari setiap bidang ilmu pengetahuan modern saat ini,

khususnya di dalam ilmu pengetahuan humaniora. Bagaimanapun juga,

ilmu-ilmu alam, fisika dan aplikasinya harus di-Islamkan juga, khususnya

dalam penafsiran-penafsiran akan fakta-fakta di dalam formulasi teori-teori.

b. Memasukkan unsur-unsur Islam beserta konsep-konsep kunci dalam setiap

bidang dari ilmu pengetahuan saat ini yang relevan.

9

Pemikir-pemikir modern lainnya juga mendukung pendapat al-Attas,

seperti Brohi, melihat perlunya menyukseskan proyek Islamisasi pengetahuan ini

karena pengetahuan modern dengan berbagai macam cabang ilmunya didasarkan

pada kerangka yang tidak selaras dengan worldview Islam. Sementara itu, Ausaf

Ali menegaskan bahwa setiap sistem ilmu pengetahuan sosial (social sciences)

dan perilaku manusia sesungguhnya memerlukan sebuah kerangka konseptual

atau teori umum tentang masyarakat, dan sangat jelas bahwa tidak semua ilmu

pengetahuan modern kompatibel dengan kerangka konseptual Islam (Haneef,

2005: 14-15).

Al-Alwani mendukung pernyataan ini dengan menegaskan bahwa ilmu

pengetahuan modern kini telah menjadi pengetahuan yang sangat positivistik,

karena hanya membaca satu buku (alam semesta) sehingga tidak sesuai dengan

kerangka pengetahuan Islam yang perlu membaca dua buku, yaitu wahyu dan

alam semesta. Menurutnya bahwa ilmu sosial dan humaniora kontemporer adalah

produk dari pikiran-pikiran Barat yang memiliki filosofi, metodologi, tujuan,

penjelasan terhadap perilaku manusia, dan pandangan kehidupan sendiri yang

berseberangan dengan perspektif dan metodologi ilmiah Islam. Hanya dengan

melalui "pembacaan dua buku" itulah yang akan menyeimbangkan pemahaman

manusia terhadap realitas. Jika gagal melakukan hal itu, maka dipastikan bahwa

sistem pendidikan yang ada tidak akan dapat menghasilkan manusia-manusia

terdidik selain hanya para juru tulis dan operator teknis (Haneef, 2005: 14-15).

Meskipun sudah banyak cendekiawan Muslim yang mendukung perlunya

Islamisasi pengetahuan, namun debat dan polemik ternyata masih sering dijumpai.

Perdebatan yang sering muncul adalah seputar masalah definisi, metodologi dan

hasil-hasil yang telah dicapai oleh Islamisasi sebagaimana akan dipaparkan dalam

akhir tulisan ini.

Membincang Isu-Isu Seputar Islamisasi Ilmu Ekonomi

Setidaknya, menurut Zubair Hasan (1998: 1), terdapat 3 (tiga) isu-isu

penting dalam proses Islamisasi ilmu Ekonomi, yaitu (1) perbedaan worldview

(pandangan dunia), (2) hubungan wahyu dan akal; dan (3) persoalan metodologi.

10

1. Perbedaan Worldview

Worldview berfungsi sebagai dasar bagi keseluruhan bangunan teori

pengetahuan. Dalam worldview itulah konsep, aksioma, hukum dan teori

ekonomi dimapankan, dan setiap sistem sosial memiliki visinya sendiri.

Worldview Barat sangat dipengaruhi oleh falsafah darwinisme sosial,

materialisme dan determinisme (Ahmadiono, 2003: 208). Tolok ukur

kebenaran, kesenangan dan aspek-aspek lain dalam hidup ditentukan oleh

parameter kebendaan. Oleh karena itu, apapun yang berada di luar jangkauan

indera, sudah pasti akan ditolak. Worldview Barat ini terefleksikan oleh visi

Adam Smith, Karl Marx dan JM.Keynes. Worldview kapitalisme klasik tidak

mungkin dapat dilepaskan dari visi Adam Smith yang menurunkan postulat-

postulat hukum alam dalam hukum-hukum ekonomi. Jika Tuhan menciptakan

sebuah mekanisme yang bekerja secara harmonis dan otomatis tanpa ada

intervensi apapun, maka laissez faire merupakan kebijaksanaan yang tertinggi

dalam kehidupan sosial umat manusia (al-Faruqi, 1995: 179). Smith

selanjutnya mewacanakan pemuasan self-interest dan persaingan bebas

sebagai hukum alam yang menggerakkan motif-motif ekonomi manusia yang

dipandang selaras dengan kepentingan sosial. Pengembangan visi kapitalisme

kasik ini mencapai puncaknya ketika Leon Walras mengenalkan konsep

"Tatonnement" untuk menunjukkan bahwa seluruh kekuatan pasar dalam

ekonomi laissez faire secara simultan mampu menjaga keseimbangan

(economic equilibrium). Teoretisasi Walras ini kian memperjelas abstraksi

Smith tentang peran tangan tersembunyi (invisible hands) dalam pembentukan

harga pasar sebagai paradigma utama ekonomi kapitalis. Selanjutnya,

kelahiran Karl Marx mengoreksi visi ini bahwa dominasi kapitalisme telah

menciptakan struktur ekonomi yang sangat timpang, terutama terhadap

kelompok buruh dan kaum marjinal lainnya. Kemudian, visi Keynes tentang

peran pemerintah hadir ketika kapitalisme tengah diliputi great depression.

Sampai saat ini, meskipun belakangan juga menuai banyak kritik, teori

Keynes dipandang sebagai counter argument paling valid terhadap teori

ekonomi klasik (Hoetoro, 2007: 197-200).

11

Dengan mendasarkan pada worldview di atas, ilmu ekonomi

konvensional bercorak egoistis, yaitu aktivitas ekonomi hanya bertujuan

memenuhi kepentingan diri sendiri. Ini didukung dengan beberapa konsep

yang lahir dari worldview dan menjadi pilar paradigma ekonomi konvensional,

Salah satu pilar itu adalah rasional economic man. Ilmu ekonomi

konvensional berpandangan bahwa perilaku individu adalah rasional. Aspek

rasionalitas diartikan sebagai upaya pemenuhan kepentingan "diri sendiri"

secara bebas dan kepentingan itu berwujud maximisasi kekayaan dan

kepuasan tanpa melihat dampaknya kepada kesejahteraan orang lain

(Ahmadiono, 2003: 208-209).

Selain konsep di atas, bagian lain yang tak kalah pentingnya adalah

pengaruh positivisme dalam ekonomi konvensional. Positivisme telah menjadi

bagian integral dari paradigma ilmu ekonomi konvensional. Ini berakibat pada

pengabaian peran nilai moral sebagai alat untuk memfilter alokasi dan

distribusi sumber daya dan menganggap faktor-faktor seperti cita rasa,

preferensi dan lembaga sosio-ekonomi sebagai variabel yang tak perlu

diperdebatkan. Selain itu, positivisme mendorong ilmu ekonomi harus

mempunyai jawaban benar atau salah yang dapat ditentukan secara empiris.

Dalam ekonomi konvensional, jawaban ini otomatis menekankan pada konsep

yang dapat diukur secara material atau keuangan. Sikap demikian telah

menjauhkan dari tugas menganalisis dampak nilai-nilai sosial dan institusi

pada alokasi dan distribusi sumber daya.

Pandangan lain yang menjadi pilar paradigma ekonomi konvensional

adalah konsep pasar bebas atau non intervensi pemerintah, yang sering disebut

dengan "laissez faire". Konsep ini menilai bahwa ekonomi akan berjalan

dengan baik jika ia dibiarkan berjalan sendiri tanpa adanya campur tangan

pemerintah. Sistem ekonomi akan mampu memulihkan dirinya sendiri (self

adjustment) karena ada kekuatan pengatur yang disebut sebagai invisible

hands (tangan gaib) (Jusmaliani, 2005: 348).

Dengan berpijak pada worldview dan paradigma di atas, ekonomi

konvensional melahirkan beberapa asumsi teoritik yang menegaskan bahwa

12

watak dasar ekonomi konvensional memandang manusia sebagai bersifat

selfish. Ini terlihat dari teori harga yang menjadi cermin kepentingan individu,

teori persaingan sempurna yang mengabaikan adanya fakta bahwa tidak semua

individu mampu masuk dalam pasar dan teori nilai guna (utilitarianisme)

sebagai nilai yang sejalan dengan kesenangan materi dan teori keadilan

distributif yang hanya menganggap keadilan adanya kesempatan yang sama

setiap orang untuk mendapatkan barang ataupun jasa dalam mekanisme pasar.

Meski demikian, memang tidak dapat disangkal bahwa visi

kapitalisme ini kini telah mencapai aktualisasinya dalam sebuah peradaban

material yang paling spektakuler sepanjang sejarah. Namun sayangnya,

peradaban ini telah jauh mengubah kualitas dengan kuantitas, intuisi dengan

rasio, hidup untuk idealita dengan hidup untuk kesenangan, kebenaran dengan

kekuasaan, dan sebagainya.

Berbeda dengan scientific worldview, Islamic worldview adalah sebuah

visi yang menyatukan kebenaran wahyu dan ilmu pengetahuan secara

harmoni. Islamic worldview didasarkan kepada wahyu (al-Qur'an dan al-

Hadits), bersifat fleksibel, namun tidak bisa digantikan. Islamic worldview

dibangun oleh tiga keyakinan pokok, yaitu Tauhid, khilafah dan 'adalah

(Ahmadiono, 2003: 200). Implikasi dari Islamic worldview ini adalah

formulasi teoritis ekonomi Islam tidak hanya terfokus pada penjelasan yang

bersifat mekanistik atau positivistik terjadinya perilaku dan interaksi ekonomi,

sebagaimana terlihat dalam ekonomi modern, seperti dalam teori konsumsi,

pasar, upah, teori produksi, dan sebagainya. Namun, justru dalam ekonomi

Islam, perilaku ekonomi yang berimplikasi kepada etika, moralitas dan nilai-

nilai normatif lainnya dipandang penting dan karena itu perlu dimasukkan

dalam pengembangan teori (Hoetoro, 2007: 207).

Tauhid merupakan konsep inti dalam worldview Islam, mendasari

keyakinan manusia atas keesaan Allah dan berperilaku sesuai dengan aturan-

aturan-Nya. Tawhid juga memberikan pemahaman bahwa Allah telah

menciptakan seluruh alam semesta secara sadar dan terencana. Penciptaan

alam ditundukkan Allah sebagai sumber daya ekonomis dan keindahan bagi

13

seluruh manusia. Implikasinya adalah terbukanya kesempatan yang sama bagi

manusia dalam memperoleh rezeki Allah, meskipun ketidakmerataan ekonomi

di antara manusia tak terlepas dari kekuasaan Allah. Namun, dalam kerangka

tawhid, perbedaan kemampuan secara ekonomis ini justru mendorong pada

adanya persaudaraan, saling membantu dan bekerja sama dalam kegiatan

ekonomi melalui mekanisme syirkah, qirad, dan sebagainya (Ahmadiono,

2003: 210).

Konsep khilafah dalam Islam menempatkan manusia sebagai wakil

Allah di muka bumi. Manusia mendapat sarana sumber-sumber materi yang

dapat membantunya dalam mengemban misinya secara efektif. Pemanfaatan

sumber-sumber pemberian Allah itu harus dilakukan untuk menciptakan

kesejahteraan (falah) seluruh umat manusia, bukan untuk kepentingan pribadi

sendiri sebagaimana menjadi falsafah ekonomi konvensional. Karenanya,

untuk mewujudkan tujuan ini, Islam juga menjadikan konsep 'adalah sebagai

bagian pandangan dunianya. Dalam konteks sosio-ekonomi, tujuan keadilan

mewujud pada distribusi pendapatan, dipandang sebagai bagian tak

terpisahkan dari falsafah moral Islam yang mendasarkan pada persaudaraan

kemanusiaan universal. Adanya dorongan persaudaraan universal dan keadilan

dalam al-Qur'an dan as-Sunnah tidak akan dapat direalisir tanpa adanya

pemerataan distribusi pendapatan dan kekayaan. Dalam ekonomi Islam,

konsepsi ini berperan penting karena membedakannya dari konsep rasionalitas

ekonomi sebagaimana yang dijumpai dalam ilmu ekonomi modern (Hoetoro,

2007: 203).

Atas dasar worldview yang demikian, sebagai upaya Islamisasi ilmu

ekonomi lahir beberapa konsep yang menjadi pilar paradigma ekonomi Islam.

Pertama, Islam memandang manusia mempunyai kewajiban moral menjaga

keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat. Adanya konsep

persaudaraan dan kesejahteraan manusia, universal sebagai implikasi dari

paham tawhid dan khilafah menunjukkan penekanan Islam pada sifat

altruisme dalam diri manusia. Kedua, Islam menjadikan moral sebagai

mekanisme filter sebagai penyempurna bagi sistem pasar yang juga diakui

14

dalam Islam. Filter moral menekankan pada pendayagunaan sumber daya

ekonomi harus sejalan dengan konsep khilafah dan 'adalah. Ketiga,

mekanisme pasar bebas terkontrol. Islam menerima adanya campur tangan

pemerintah dalam pendistribusian secara merata sumber daya ekonomis. Peran

negara dalam mekanisme pasar dapat berupa bantuan untuk mewujudkan

kesejahteraan dengan memantapkan keseimbangan antara kepentingan pribadi

dan sosial, mempertahankan jalur ekonomi di atas ketentuan yang telah

disepakati, dan mencegah penyelewengan melalui kepentingan pribadi

(Ahmadiono, 2003: 210-211).

Ketiga pilar paradigma ekonomi Islam ini dipandang sangat strategis

dalam membangun sistem perekonomian Islami yang tidak hanya mencari

keuntungan pribadi, seperti yang menjadi watak dasar ekonomi konvensional.

2. Hubungan Wahyu dan Akal

Hubungan antara wahyu (revelation) dan akal (reason) adalah isu

metodologis lain yang sering ditemukan dalam wacana ilmiah Barat dan

Islam. Menurut Zubair Hasan, hubungan antara wahyu dan akal dapat ditinjau

dalam dua cara, yaitu (1) akal bekerja dari dalam sebagai sarana organik

ketika berbicara soal wahyu, atau (2) akal menolak wahyu dari luar. Tetapi,

secara metodologis, posisi keduanya berbeda; yang pertama mencerminkan

cara pandang Islami, sedangkan yang kedua merupakan cara pandang sekuler

(Hasan, 1998: 12).

Konseptualisasi akal tersebut menunjukkan bahwa ekonomi

konvensional telah menolak secara tegas pelibatan wahyu sebagai sumber

pengetahuan dan berpendapat bahwa kebenaran teori ekonomi hanya dapat

dibuktikan jika sesuai dengan fakta-fakta empiris. Analogi Adam smith

tentang self interest sebagai hukum yang mengatur tindakan ekonomi manusia

sederajat dengan hukum-hukum yang mengatur mekanisme alam semesta jelas

mengindikasikan penolakan itu. Sementara di sisi lain, ekonomi Islam

meletakkan wahyu sebagai sumber kebenaran dan pengetahuan bagi manusia,

sementara akal memperoleh penghormatan sebagai sarana untuk memahami

15

wahyu tersebut. Fungsi pokok wahyu adalah menjelaskan fenomena ekonomi

dalam perspektif transendental dan hal-hal yang tak terjawab oleh logika. Oleh

karena itu, analisis ekonomi Islam menjangkau spektrum yang lebih luas

daripada analisis ekonomi konvensional (Hoetoro, 2007: 258).

3. Persoalan Metodologi

Dalam proses Islamisasi ilmu ekonomi, metodologi ilmu ekonomi

merupakan hal yang penting dan mendasar karena melalui metodologi inilah

kebenaran hukum atau teori diharapkan tercapai. Perumusan teori-teori

ekonomi yang didasarkan kepada paradigma atau worldview Islam mau tidak

mau harus berangkat dari sebuah metodologi yang berbeda dengan metodologi

ilmu ekonomi saat ini. Secara prinsip, keduanya berbeda sama sekali dalam

banyak hal, terutama tentang tatanan nilai, filsafat dan pandangan dunia

(worldview) yang mendasari, alur sejarah perkembangannya serta posisinya

terhadap ilmu ekonomi itu sendiri. Oleh karena itu, proses Islamisasi ilmu

ekonomi diharapkan dapat mengintegrasikan keduanya yang meski berbeda,

namun juga memiliki sejumlah kesamaan yang bersifat natural (Muqorobin,

2005: 1).

Metodologi dalam ekonomi memuat seperangkat kriteria, aturan dan

prosedur yang digunakan untuk menguji sifat, ruang lingkup dan kinerja ilmu

ekonomi (Hoetoro, 2007: 245). Di bidang ilmu-ilmu sosial, termasuk

ekonomi, formulasi teori adalah pekerjaan yang berat karena terkait dengan

dinamika pelakunya dan seringkali terbatasi oleh dimensi ruang dan waktu.

Oleh karena itu, tujuan utama teori-teori sosial sebenarnya tidak untuk

memprediksi dan meramalkan apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi

lebih dimaksudkan untuk menjelaskan dinamika peristiwa yang sedang

berlangsung. Namun ironisnya, terutama di ekonomi, sudah lama muncul

kecenderungan untuk membuat banyak penelitian empiris yang digunakan

sebagai dasar pijak teoritis dalam memprediksi kemungkinan yang mungkin

terjadi.

16

Barangkali banyak ilmu sosial, termasuk ilmu ekonomi yang

mengikuti pola pikir atau penalaran yang umum dipakai dalam dunia eksakta

(kealaman), seperti fisika, kimia dam biologi, yang memiliki parameter yang

sudah baku dan pasti, seperti gaya gravitasi, yang dibuktikan dengan benda-

benda yang selalu jatuh mendekati bumi. Hal inilah yang menyebabkan

banyak lontaran kritik yang dialamatkan kepada metodologi ilmu ekonomi

karena terlalu matematik, steril dan tidak realistik serta sangat terasa kering

dari wacana etik dan nilai-nilai humanis yang semestinya tidak pernah lepas

dari kemanusiaan manusia itu sendiri (Adnan, 2000: 297).

Dalam hal metodologi ilmu ekonomi Islam, diantara tokoh yang

pernah menawarkan pemikirannya adalah Ismail Raji al-Faruqi (1982: 22-33),

yang menawarkan prinsip-prinsip dasar metodologi Islami, yaitu the unity of

Allah (SWT), the unity of creation, the unity of truth and the unity of

knowledge, the unity of life dan the unity of humanity.

Dengan menelaah pandangan ini, ternyata metodologi yang ditawarkan

al-Faruqi jauh berbeda dibandingkan dengan apa yang saat ini disebut sebagai

scientific approach. Scientific approach berbasis pada sesuatu yang empiris,

secara tidak langsung menafi'kan eksistensi Tuhan. Hal ini disebabkan karena

paham ini menilai bahwa sebuah kebenaran harus diperoleh dengan a

posteriori. Safi mencatat bahwa metodologi Barat memiliki dua kelemahan,

yaitu (1) terjebak kepada bias-bias empirisme yang mencapai puncaknya

dalam pendekatan positivisme logis, dan (2) pencabutan wahyu Ilahi sebagai

sumber pengetahuan ilmiah. Akibat dari bias-bias metodologi ini adalah

bahwa kebenaran ilmiah hanya dapat dibuktikan secara empiris dan logis atau

bahkan harus sesuai dengan fakta-fakta yang terjadi. Sementara itu,

metodologi tradisional Islam juga mengandung kelemahan yaitu membatasi

ijtihad kepada penjelasan legalistik formal, terlalu atomistik dan terpaku

kepada pemikiran analogis (Hoetoro, 2007: 250).

Untuk mengatasi persoalan ini, terdapat dua pendekatan yang populer

dalam metodologi ekonomi islam, yaitu (1) pendekatan radikal (all-or-

nothing); dan (2) pendekatan bertahap (step by step). Pendekatan pertama

17

didasarkan kepada gagasan tentang universalitas dan kesempurnaan Islam

dengan mengandaikan terbentuknya sebuah model masyarakat Islam murni

sehingga prinsip-prinsip ekonomi Islam dapat terwujud sepenuhnya.

Sementara itu, pendekatan kedua tampak lebih pragmatis. Pendekatan ini lebih

menekankan pada langkah-langkah yang evalusioner untuk memodifikasi

tatanan sosial-ekonomi modern menuju idealita Islam. Nampaknya,

pendekatan kedua ini lebih banyak diminati karena dipandang memberi ruang

yang fleksibel untuk melakukan modifikasi dan perbaruan metodologis sesuai

dengan ajaran-ajaran Islam. Pada umumnya, Islamisasi ekonomi menempuh

pendekatan ini (Hoetoro, 2007: 251).

Kerangka Metodologis Islamisasi Ilmu Ekonomi : Sebuah Tawaran

Sejauh yang penulis ketahui bahwa sampai saat ini, belum ada secara baku

apa yang disebut sebagai metodologi Islami, baik yang bersifat umum untuk

keseluruhan ilmu, apalagi yang bersifat khusus, seperti ilmu ekonomi Islam.

Namun, upaya pada arah ini telah mulai dilakukan, meskipun baru pada tahap

awal dan belum mencapai suatu hasil yang memuaskan. Oleh karena itu.

Islamisasi ilmu, pada intinya bertujuan memberikan landasan metodologi

pengembangan ilmu pengetahuan berdasarkan visi Islam. Caranya adalah dengan

mengintegrasikan nilai-nilai etika Islam (Naqvi), wahyu Islam (Louay Safi) atau

maqashid syari'ah (Umer Chapra) ke dalam konstruksi keilmuan ilmu ekonomi.

Anas az-Zarqa memberikan analisis yang menarik mengenai hubungan

antara ajaran-ajaran Islam dan sumsi-asumsi ekonomi ketika memasukkan aspek-

aspek normatif dan positif tersebut dalam pengembangan teori ekonomi Islam.

Menurutnya, banyak hal yang dianggap bersifat normatif oleh syari'ah ternyata

juga memiliki padanannya dengan asumsi ekonomi modern. Demikian juga

dengan sebagian aspek-aspek positif ekonomi, tampak kedua disiplin ilmu

ekonomi itu juga mempunyai beberapa elemen yang sama. Secara ringkas analisis

Anas az-Zarqa (2003: 12) tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

18

Hubungan Dinamik Aspek Normatif dan Positif

Asumsi-asumsi Islam Asumsi-asumsi ekonomi

Asumsi-asumsi normatif Asumsi-asumsi normatif

1 3 5

2 4 6

Asumsi-asumsi positif Asumsi-asumsi positif

Gambar tersebut memberikan enam kategori asumsi, yaitu (1) asumsi

normatif Islam; (2) asumsi positif Islam; (3) asumsi normatif Islam yang

dikonfirmasi oleh ilmu ekonomi; (4) asumsi positif Islam yang dikonfirmasi oleh

ilmu ekonomi; (5) asumsi normatif ilmu ekonomi; dan (6) asumsi positif ilmu

ekonomi. Berdasarkan gambar di atas memungkinkan teori-teori ekonomi Islam

dibangun lebih realistis, dengan penjelasan sebagai berikut:

Pertama: Asumsi Normatif Islam (kategori 1 dan 3)

Sebagian ayat Al-Qur'an dan Hadits Nabi adalah bersifat normatif. Ayat-

ayat yang berbicara tentang larangan riba (QS. Al-Baqarah (2): 275-276),

kecaman pemborosan (QS. Al-Isra' (7): 26-27), dan larangan menkonsumsi

makanan haram (QS. Al-Maidah (5): 3) adalah beberapa contoh ayat yang terkait

dengan aspek normatif ekonomi Islam. Pertanyaannya, mungkinkah aspek-aspek

normatif ini dikonfirmasi oleh ilmu ekonomi (kategori 3) ? Ternyata, banyak hal

yang dapat dirujukkan ke kasus ekonomi modern. Misalnya, teori tentang efisiensi

produktif adalah pencapaian produksi maksimal dengan biaya paling rendah yang

telah lama menjadi obsesi para ekonom, secara implisit menandakan adanya

preferensi ekonomi normatif. Ternyata, masalah ini juga dapat ditemukan

padanannya dalam ekonomi Islam, yaitu anjuran untuk memanfaatkan potensi

alam tanpa diikuti oleh tindakan-tindakan pemborosan. Jadi, jelas bahwa teori-

teori ekonomi Islam yang diformulasikan dengan memerhatikan nilai-nilai

normatif agama ternyata tidak berada di ruang hampa. Bahkan pada dasarnya

19

semua ilmu pengetahuan tidak dapat menghindari fakta ini meskipun ilmu

pengetahuan Barat cenderung untuk mengingkarinya (az-Zarqa, 2003: 12).

Kedua: Asumsi Positif Islam (kategori 2 dan 4)

Asumsi ini menjelaskan realitas dengan merujuk pada relasi antar variabel

atau fakta-fakta yang terhubung. Beberapa contoh dapat diperhatikan dalam QS.

Ali Imron (3):15-16 mengenai kecintaan manusia terhadap kekayaan. Berdasarkan

ayat ini ditemukan adanya 2 (dua) pernyataan positif, yaitu (1) manusia memiliki

hasrat yang tak terbatas terhadap kekayaan (unlimited wants); dan (2) keimanan

kepada Allah membatasi hasrat tersebut pada tingkat moderasi yang dianjurkan.

Dengan demikian, ayat di atas tampak mengakui adanya kecenderungan

manusiawi untuk memuaskan keinginan yang tak terbatas sebagaimana definisi

ekonomi konvensional. Tetapi ekonomi Islam juga mengakui sisi lain dari hasrat

manusia ini bahwa moderasi adalah jalan yang terbaik sehingga pemuasan

keinginan ini tidak hanya didorong oleh pemuasan nafsu melainkan diletakkan

secara seimbang antara kebutuhan fisik dan spiritual (az-Zarqa, 2003: 13).

Ketiga: Asumsi Positif Ilmu Ekonomi (kategori 6)

Para ekonom sepakat bahwa teori-teori ilmu ekonomi menjustifikasi apa

yang sedang berlaku di masyarakat. Hal ini menandakan kuatnya pengaruh

positivistik dalam pengambangan teori ekonomi. Menariknya, dalam proses

teoretisasi fakta-fakta ekonomi tersebut sering berangkat dari perspektifnya

masing-masing, menandakan bahwa sebenarnya mereka juga dipengaruhi oleh

sistem nilai tertentu. Karena itu dapat diterima jika banyak orang menilai bahwa

teori-teori ekonomi positif pada dasarnya merefleksikan norma-norma, tata nilai

dan worldview Barat, tidak hanya merupakan sebuah analisis positif fenomena

ekonomi.

Berangkat dari uraian di atas, maka formulasi teori tidak hanya berangkat

dari aspek-aspek positif saja melainkan juga memasukkan aspek-aspek normatif

yang diambilkan dari ketentuan syari'at. Dengan demikian, ketika nilai-nilai

masuk dalam teori dan kebijakan ekonomi, pemisahan secara tegas antara aspek

normatif dan positif menjadi tidak relevan lagi karena pada dasarnya keduanya

saling berhubungan. Hal ini justru semakin memperkuat justifikasi ekonomi Islam

20

sebab model atau hipotesis yang dibangun ditentukan oleh kesesuaiannya dengan

asumsi dan prinsip-prinsip syari'at (Hoetoro, 2007: 267-268).

Namun demikian, pemaduan aspek normatif dalam perumusan teori

ekonomi Islam harus dilakukan secara cermat dan tidak boleh dilakukan secara

serampangan dan gegabah. Kesalahan dalam memadukan aspek normatif ke

dalam perumusan teori ekonomi akan menimbulkan dampak yang serius. Sebuah

hukum ekonomi yang sudah berlaku secara umum tidak perlu dipaksa untuk

menerima nilai normatif agama ke dalam formulasi teori. Misalnya, hukum

permintaan menjelaskan hubungan antara jumlah barang dan harga; bila

permintaan terhadap barang tertentu naik/turun, maka harga barang tersebut akan

naik/turun pula, ceteris paribus. Ini merupakan sebuah hukum ekonomi yang

berlaku bagi siapa saja, baik di Barat maupun di Timur atau fitrah yang ditemukan

dalam perilaku ekonomi manusia tanpa melihat atribut apapun yang dimilikinya.

Untuk itu, perumusan teori ekonomi Islam tidak perlu memaksa diri dengan cara

membuat inkonsistensi teori bahwa untuk konsumen Muslim hukum permintaan

tidak berlaku lagi karena adanya aspek-aspek religius yang menjadi bahan

pertimbangan dalam keputusan sehingga berdampak kepada kurva permintaan

yang berbeda antara konsumen Muslim dan non-Muslim (Hoetoro, 2007: 269).

Menurut penulis, kurva permintaan tidak akan mengalami perubahan, tetapi bisa

bergerak sesuai dengan definisi terhadap realitas yang juga senantiasa berubah.

Hal ini tergantung pada asumsi-asumsi yang dibangun, misalnya, zakat dapat

membuat pola permintaan berubah yang dengan sendirinya dapat menggeser

kurva permintaan. Namun jangan dibingungkan dengan pergeseran barang yang

diminta pada kurva permintaan yang sama.

Dalam pandangan lain, Anas az-Zarqa sebagaimana dikutip oleh

Ahmadiono (2003: 208) berpendapat konsep Islamisasi al-Faruqi juga dapat

memainkan peranan dalam proses Islamisasi ilmu ekonomi. Kedua belas langkah

dalam work-plan al-Faruqi merupakan langkah-langkah ideal dan sempurna

sebagai acuan Islamisasi ekonomi. Secara fundamental, kedua belas langkah

dalam work-plan al-Faruqi berkisar pada tiga wilayah prinsip, yaitu: penguasaan

terhadap disiplin tertentu pengetahuan modern (1, 2, 6), penguasaan dan

21

penentuan relevansi Islam yang dapat ditemukan dalam warisan Islam terkait

dengan disiplin tersebut (3,4,5,7) dan adanya upaya sintesis untuk membangun

disiplin dimaksud dalam perspektif Islam (10). Sedangkan langkah 8,9,11 dan 12

merepresentasikan komitmen moral individu terhadap pilihan persoalan dan

sumber. Secara jelas, kedua belas langkah dalam work-plan al-Faruqi adalah

sebagai berikut (Haneef, 2005: 59):

The Necessary Steps Leading to Islamization of Knowledge

Mastery of the Modern Discipline

Mastery of the Islamic Legacy: the Anthology

Establishment of Specific Rele-vance of Islam to the Discipline

Disciplinary SurveyMastery of the Islamic

Legacy: Analysis

Critical Assessment of the Modern Discipline

Critical Assessment of the Islamic Legacy

Survey of the Ummah’s Major Problems

Survey of the Problems of Humankind

Creative Analysis and Synthesis

Creating Discipline under Islamic Framework

Disseminating Islamic Knowledge

8

1

2

3

4

6 7

9

10

11

12

5

Kritik terhadap Islamisasi Pengetahuan

Wacana Islamisasi pengetahuan ini tak lepas dari kritik dan memicu

banyak kontroversi. Beberapa pemikir Muslim kontemporer seperti Fazlur

Rahman, Abdus Salam, Ziauddin Sardar, Timur Kuran, Louay Safi, dan M. Arif

mengkritik Islamisasi ilmu pengetahuan. Para penentang wacana ini berpendapat

bahwa Islamisasi pengetahuan sebenarnya tidak perlu, mengingat

ketidakmampuannya dalam menciptakan disiplin ilmu yang kokoh sebagaimana

capaian ilmu-ilmu modern. Islamisasi dalam kenyataannya hanyalah memberikan

label Islam tanpa mengubah sedikitpun bangunan pengetahuan yang ingin di-

Islamkan. Bahkan dengan sengit, Kuran mengkritik bahwa nilai-nilai Islam

22

(terutama aktivitas ekonomi) sebenarnya hanya cocok diterapkan di zaman yang

masih sederhana seperti di masa awal pertumbuhan Islam sampai masa abad

pertengahan. Islam tidak sesuai untuk dunia modern yang sangat impersonal dan

karena itu usaha untuk meng-Islamkan ilmu pengetahuan modern hanya akan

memboroskan waktu, energi dan pikiran (Hoetoro, 2007: 156).

Pada dasarnya sebagian besar kritik atas Islamisasi pengetahuan diarahkan

pada tahap-tahap Islamisasi al-Faruqi yang dituangkan dalam dua belas langkah.

Sebagian mengktitisi secara menyeluruh dan sebagian lainnya memberi kritik

pada aspek-aspek tertentu dalam Islamisasi. Adalah Ziauddin Sardar yang sejak

tahun 1980 memberikan kritik paling komprehensif atas wacana Islamisasi ini.

Dalam rediscovery of Islamic Epistemology, Sardar mengkritisi gagasan al-Faruqi

yang hanya memfokuskan pada langkah-langkah mekanik Islamisasi tanpa

mempersoalkan lebih jauh nature dari epistemologi ilmu pengetahuan Barat.

Langkah-langkah tersebut sulit untuk dioperasionalkan dan batasan untuk setiap

tahapan yang dilakukan tampak kabur (Hoetoro, 2007: 175).

Kritik lainnya diberikan oleh Fazlur Rahman dalam Islamization of

Knowledge: a response, bahwa work-plan al-Faruqi sebenarnya tidaklah

mencukupi untuk Islamisasi itu sendiri sebab yang diperlukan sebenarnya bukan

penciptaan proposisi melainkan akal pikiran. Pada dasarnya, ilmu pengetahuan

adalah baik. Masalah kemudian muncul adalah disebabkan penggunaan yang

salah oleh mereka yang memiliki ilmu pengetahuan itu (Baidowi, 2002: 186).

Bagi Fazlur Rahman, ilmu pengetahuan memiliki dua kualitas seperti 'senjata

bermata dua' yang harus digunakan dengan hati-hati dan bertanggung jawab

sekaligus dalam cara menggunakannya secara benar (Armas, 2005: 10). Oleh

karena itu, sesungguhnya yang paling diperlukan adalah melahirkan para pemikir

yang tercerahkan oleh tradisi ilmiah Islam sehingga dapat mempelajari secara

kritis bangunan ilmu pengetahuan modern.

Baik Sardar maupun Rahman memberikan kritik yang menyeluruh

terhadap Islamisasi pengetahuan al-Faruqi. Jika Ziauddin Sardar mempersoalkan

epistemologi ilmu pengetahuan yang seharusnya menjadi fokus utama Islamisasi,

maka Fazlur Rahman tampaknya lebih condong pada Islamisasi moralitas

23

manusianya. Menurut Sardar, yang dikenal dengan Ijmali, perlu adanya

pendekatan yang menyeluruh dan radikal untuk berkembangnya Islamisasi ilmu

pengetahuan. Pencangkokan metodologi secara parsial hanya akan melahirkan

ilmu pengetahuan yang seolah-olah Islami tetapi sebenarnya masih berpijak pada

analisis Barat. Oleh karena itu, diperlukan pendefinisian ulang kategori ilmu-ilmu

pengetahuan yang benar-benar diperlukan oleh dunia Islam modern (Hoetoro,

2007: 177).

Pada umumnya, para pengkritik Islamisasi ilmu berpendapat bahwa sains

adalah mengkaji fakta-fakta, objektif dan independent dari manusia, budaya atau

agama dan harus dipisahkan dari nilai-nilai. Abdus Salam menyatakan,"There is

only one universal science, its problems and modalities are international and

there is no such thing as Islamic science just as there is no Hindu science, no

Jewish science, nor Christian science"(Daud, 1998: 410).

Pernyataan Abdus Salam menunjukkan bahwa tidak ada yang namanya

sains Islam. Pernyataan sekuler ini menunjukkan bahwa Abdus Salam

menceraikan pandangan dunia Islam menjadi dasar metafisis kepada sains.

Padahal pandangan dunia Islam akan selalu terkait dengan pemikiran dan aktivitas

seorang saintis. Pernyataan Abdus Salam di atas menunjukkan pernyataan seorang

saintis Muslim sekuler.

Kritik lain yang tajam dikemukakan oleh Timur Kuran tentang

inkonsistensi labelisasi Islam terhadap disiplin ilmu-ilmu sosial (ekonomi)

modern. Menurutnya, Islamisasi pengetahuan (dan ekonomi Islam) sebenarnya

merupakan dampak dari kebangkitan fundamentalisme Islam yang tumbuh subur

sejak tahun 1940 di India. Hal ini disebabkan sebelum abad 20 tidak pernah

terdengar istilah-istilah ilmu pengetahuan yang diembel-embeli label Islam. Di

masa Ibn Khaldun, misalnya tidak pernah ada ilmu sosiologi, politik atau ekonomi

Islam. Akibatnya, pengembangan ilmu pengetahuan Islam tampak lebih

bermuatan jargon-jargon ideologis-fundamentalis dan diliputi kepentingan politik

jangka pendek ketimbang semangat ilmiah sebagaimana yang telah dicapai oleh

ilmu pengetahuan Barat modern (Hoetoro, 2007: 178).

24

Sementara itu, Safi sebagaimana dikutip oleh Hoetoro (2007: 178)

memberikan kritik Islamisasi pada aspek metodologi. Dalam The Quest for an

Islamic Methodology: The Islamization of Knowledge Project in Its Second

Decade, menyatakan bahwa kemunculan ilmu pengetahuan yang sudah

terislamkan (Islamized knowledge) mustahil terjadi tanpa adanya aplikasi

metodologi yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan itu. Langkah pertama yang

diperlukan sesungguhnya adalah penciptaan metodologi yang memadukan tradisi

ilmiah Islam dan modern, sehingga dapat memfasilitasi pengembangan ilmu-ilmu

pengetahuan Islam modern. Sampai kini, kritik Safi tampak tetap relevan karena

memang bidang inilah yang sesungguhnya belum tergarap secara tuntas.

Penggunaan metodologi yang kurang seimbang, misalnya terlalu fiqhiyah –seperti

kini banyak dijumpai dalam pengembangan institusi keuangan dan perbankan

Islam – dirasakan tidak mencukupi untuk tumbuhnya ilmu pengetahuan Islam

modern yang kokoh.

Pentingnya aspek metodologi ini juga ditekankan oleh Arif yang

memandang bahwa metodologi Islamisasi pengetahuan bisa saja mencontoh

pengembangan metodologi yang dilakukan oleh ilmu pengetahuan modern.

Langkah awal yang dapat dilakukan adalah melalui proses stratifikasi sistem

ilmiah yang ditujukan untuk merepresentasikan cakupan konsep dan teorema

mendekati pengalaman yang secara logis berakar pada basis konsepsi fundamental

dan aksioma. Tujuan praktis dari proses stratifikasi ini adalah memberikan

pemahaman umum berfungsinya sistem ilmiah yang dibangun di atas dasar

filosofi dan worldview tertentu (Hoetoro, 2007: 179).

Meskipun banyak kritik yang diarahkan kepada gagasan Islamisasi

pengetahuan, namun hal ini justru menandakan bahwa sebenarnya wacana

Islamisasi pengetahuan direspon secara luas. Oleh karena itu, walaupun dalam

perjalanannya Islamisasi ini tidak semulus sebagaimana yang diharapkan, gagasan

ini ternyata masih terus dikembangkan secara spesifik pada bidang-bidang ilmu

tertentu (terutama adalah ilmu-ilmu sosial). Salah satu hasil yang dicapai dapat

dilihat dengan semakin meluasnya kajian tentang ekonomi Islam dilengkapi

25

dengan berbagai institusi Keuangan dan perbankan Islam yang semakin banyak

diminati masyarakat.

Catatan Penutup

Dari beberapa uraian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dibuat

beberapa catatan akhir sebagai berikut:

1. Islamisasi pengetahuan telah membuahkan hasil yang potensial untuk

berkembang pesat. Ekonomi Islam boleh dikatakan merupakan salah satu

hasil nyata dari gagasan Islamisasi pengetahuan tersebut. Namun demikian,

masih ada anggapan bahwa hakikat ekonomi Islam adalah ekonomi

konvensional minus riba plus zakat dan etika sehingga tidak memadai untuk

disebut sebagai disiplin ilmu ekonomi yang benar-benar baru. Untuk itu,

upaya Islamisasi ilmu ekonomi masih akan terus dilakukan dan tidak akan

pernah berhenti dalam rangka memformulasikan teori ekonomi Islam yang

benar-benar mapan.

2. Terdapat 3 (tiga) isu-isu penting dalam proses Islamisasi ilmu Ekonomi,

yaitu (1) perbedaan worldview (pandangan hidup), (2) hubungan wahyu dan

akal; dan (3) persoalan metodologi.

3. Islamisasi ilmu ekonomi kontemporer, pada akhirnya adalah sebuah upaya

untuk merumuskan kembali kajian yang mencakup semua teori ekonomi dan

aplikasinya yang didasarkan pada prinsip-prinsip Islam. Islamisasi ilmu

ekonomi diarahkan untuk mengkritisi ekonomi modern dengan

memperlihatkan keterbatasannya dan memberikan alternatif yang lebih

relevan.

26

DAFTAR PUSTAKA

Adnin Armas, "Krisis Epistemologi dan Islamisasi Ilmu", dalam Tsaqafah, Vol. 3,

No. 1, Dzulqa'dah 1427.

--------------, "Westernisasi dan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer", dalam

Workshop Pondasi Epistemologi Untuk Ilmu Ekonomi, 11 April 2005.

Ahmadiono, "Islamisasi Ilmu Pengetahuan Dalam Bidang Ekonomi (Studi atas

Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan al-Faruqi dan Relevansinya dalam

Bidang Ekonomi)", dalam Antologi Kajian Islam, Juli 2003.

Ahmad Baidowi, "Islamisasi Ilmu Pengetahuan: Sebuah Respon Terhadap

Gagasan Ismail Raji Al-Faruqi" dalam Refleksi, Vol.2, No. 2, Juli 2002.

Akhyar Adnan, "Metodologi Ekonomi Konvensional dalam Penelitian Ekonomi

Islam, dalam Antologi Studi Islam, Teori dan metodologi, Yogyakarta:

Sunan Kalijaga Press, 2000.

Ali Sakti, "Analisis Teoritis Ekonomi Islam", didownload dari

http://abiaqsa.blogspot.com/2007/07/islamisasi_ilmu pengetahuan,html.

Arif Hoetoro, Ekonomi islam, Pengantar Analisis Kesejarahan dan Metodologi,

Malang: BPFE Unibraw, 2007.

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Islam and Secularism, Malaysia:

International Institute of Islamic Thought and Civilation (ISTAC), 1993.

Chapra, M. Umer, Masa Depan Ilmu Ekonomi Islam: Sebuah Tinjauan Islam,

Jakarta: Gema Insani Press, 2001.

Al-Faruqi, Ismail Raji, Islamization of Knowledge: General Principles and

Workplan, Herndon: International Institute of Islamic Thought, 1982.

-----------------, Tawhid, Terj. Rahmani Astuti, Bandung: Penerbit Pustaka, 1995.

Haneef, Mohamed Aslaam, A Critical Survey of Islamization of Knowledge,

Malaysia: International Islamic University Malaysia, 2005.

Hasan, Zubair, "Islamization of Knowledge in Economics: Issues and Agenda",

dalam IIUM Journal of Economics and Management, 1998,Vol. 6, No.2.

Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka

Sinar Harapan, 1995.

27

Jusmaliani, dkk., Kebijakan Ekonomi dalam Islam, Yogyakarta: Kreasi Wacana,

2005.

Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpertasi Untuk Aksi, Bandung: Mizan, 1994.

Masyhudi Muqorobin, "A Two – in –One Approach to Developing Methodology

in Economics: Towards Islamization of the Discipline", dalam

Workshop Pondasi Epistemologi Untuk Ilmu Ekonomi, 11 April 2005.

---------------------, "Methodology of Economics: Seculer Versus Islamic", dalam

Jurnal Ekonomi dan Studi Pembangunan, FE UMY, Vol.2, No. 1, April

2001.

------------------, "Landscape for the Future Islamic Economics", dalam ISEFID

Review Journal of Islamic Economic Forum for Indonesian

Development, Vol. 3, No. 3, Desember 2004.

Naqvi, Syed Nawab Haider, Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2003.

Rahman, Fazlur, "Islamization of Knowledge: A Response", dalam American

Journal of Islamic Social Sciences (AJISS), 1988, 5, No. 6.

Safi, Louay, The Foundation of Knowledge: A Comparative Study in Islamic and

Western Methods of Inquiry, Malaysia: International Islamic University

Malaysia (IIUM) Press, 1996.

Syamsul Anwar, "Ekonomi dalam Studi Keislaman", makalah perkuliahan

Program Doktor Ekonomi Islam, 2007.

Ugi Suharto, "Paradigma Ekonomi Konvensional dalam Sosialisasi Ekonomi

Islam", dalam ISEFID Review Journal of Islamic Economic Forum for

Indonesian Development, Vol. 3, No. 3, Desember 2004.

Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed

Muhammad Naquib al-Attas – An Exposition of The Original Concept of

Islamization, Kuala Lumpur: ISTAC, 1998.

Zarqa, Anas, "Islamization of Economics: the Concept and Methodology", dalam

JKAU: Islamic Economics, 2003, Vol. 16, No. 1.

Zainal Abidin Bagir, et.al., Integrasi Ilmu dan Agama, Interpretasi dan Aksi,

Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2005

28

BIODATA PENULIS Anita Rahmawaty, M.Ag.: Lahir di Kudus, 12 Januari 1975. Putri kedua dari

ayahanda Drs. M. Saleh Rosyidi (alm) dan ibunda Hj. Sunifah ini meniti

pendidikan S1 di Fakultas Syari'ah Jurusan Peradilan Agama IAIN Sunan

Kalijaga Yogyakarta (1993-1998). Pendidikan S2 di IAIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta Program Studi Hukum Islam Prodi Mu'amalah (1998-2000).

Semasa kuliah pernah aktif sebagai Ketua Bidang Keuangan KOPMA

IAIN SUKA Yogyakarta (1995-1997) dan Ketua Pengawas KOPMA IAIN

SUKA Yogyakarta (1997-1998). Sejak tahun 1999 mulai diangkat sebagai

staf pengajar di STAIN Kudus dan aktif sebagai pengurus LKBH STAIN

Kudus, PSG STAIN Kudus dan Ketua IV Jaringan Perlindungan

Perempuan dan Anak (JPPA) Kab. Kudus. Saat ini, penulis sedang

menekuni studi S3 Program Doktor Ekonomi Islam di UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta.