keamanan pangan jajanan

7
30 September 2006 (Produk Pangan > umum) KEAMANAN PANGAN JAJANAN ANAK SEKOLAH (PJAS) Pangan jajanan umumnya dijual untuk langsung dikonsumsi tanpa proses penanganan atau pengolahan lebih lanjut. Untuk beberapa pangan jajanan, tahapan akhir pengolahannya dilakukan di tempat penjualan. Pangan jajanan di sekolah umumnya dapat dikelompokkan menjadi beberapa kategori, yaitu: 1. makanan utama; misalnya nasi goreng, nasi soto, mie bakso, mie ayam, gado-gado, siomay, dan sejenisnya 2. penganan atau kue-kue; seperti tahu goreng, cilok, martabak telur, apem, keripik, jelly, dan sejenisnya 3. minuman; seperti es campur, es sirup, es teh, es mambo, dan sejenisnya, buah-buahan; seperti pepaya potong, melon potong, dan sejenisnya Secara garis besar, bahaya yang terdapat pada pangan digolongkan dalam tiga jenis, yaitu bahaya fisik, bahaya kimia, dan bahaya biologis, yang bila dikonsumsi manusia, dapat menimbulkan gangguan terhadap kesehatan. Bahaya tersebut dapat terjadi melalui berbagai cara yaitu dari pekerja, makanan, peralatan, proses pembersihan dan dari rambut, kuku, perhiasan, serangga mati, batu atau kerikil, potongan ranting atau kayu, pecahan gelas atau kaca, potongan plastik dan potongan kaleng yang dapat mencederai secara fisik. Benda asing lainnya dapat menjadi pembawa mikroba berbahaya ke dalam pangan dan menyebabkan keracunan pangan. Bahaya fisik dapat terjadi apabila pangan dijual di tempat terbuka dan tidak disimpan dalam wadah tertutup, penjual mengenakan perhiasan tangan, dan penjual menangani makanan dan bahan pangan dengan ceroboh. Bahaya kimia terjadi karena penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) yang melebihi batas yang diijinkan, dan penyalahgunaan pemakaian bahan kimia berbahaya untuk pangan, karena masuknya cemaran bahan kimia ke dalam maakanan dan karena racun yang sudah terkandung di dalam bahan makanan. Bahan Tambahan Pangan (BTP) adalah bahan

Upload: enzotyo

Post on 02-Jul-2015

333 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Keamanan pangan jajanan

30 September 2006  (Produk Pangan > umum)

KEAMANAN PANGAN JAJANAN ANAK SEKOLAH (PJAS)

Pangan jajanan umumnya dijual untuk langsung dikonsumsi tanpa proses penanganan atau pengolahan lebih lanjut. Untuk beberapa pangan jajanan, tahapan akhir pengolahannya dilakukan di tempat penjualan. Pangan jajanan di sekolah umumnya dapat dikelompokkan menjadi beberapa kategori, yaitu:

1. makanan utama; misalnya nasi goreng, nasi soto, mie bakso, mie ayam, gado-gado, siomay, dan sejenisnya

2. penganan atau kue-kue; seperti tahu goreng, cilok, martabak telur, apem, keripik, jelly, dan sejenisnya

3. minuman; seperti es campur, es sirup, es teh, es mambo, dan sejenisnya, buah-buahan; seperti pepaya potong, melon potong, dan sejenisnya

Secara garis besar, bahaya yang terdapat pada pangan digolongkan dalam tiga jenis, yaitu bahaya fisik, bahaya kimia, dan bahaya biologis, yang bila dikonsumsi manusia, dapat menimbulkan gangguan terhadap kesehatan. Bahaya tersebut dapat terjadi melalui berbagai cara yaitu dari pekerja, makanan, peralatan, proses pembersihan dan dari rambut, kuku, perhiasan, serangga mati, batu atau kerikil, potongan ranting atau kayu, pecahan gelas atau kaca, potongan plastik dan potongan kaleng yang dapat mencederai secara fisik. Benda asing lainnya dapat menjadi pembawa mikroba berbahaya ke dalam pangan dan menyebabkan keracunan pangan.

Bahaya fisik dapat terjadi apabila pangan dijual di tempat terbuka dan tidak disimpan dalam wadah tertutup, penjual mengenakan perhiasan tangan, dan penjual menangani makanan dan bahan pangan dengan ceroboh.

Bahaya kimia terjadi karena penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) yang melebihi batas yang diijinkan, dan penyalahgunaan pemakaian bahan kimia berbahaya untuk pangan, karena masuknya cemaran bahan kimia ke dalam maakanan dan karena racun yang sudah terkandung di dalam bahan makanan. Bahan Tambahan Pangan (BTP) adalah bahan atau campuran bahan yang secara alami BUKAN merupakan bagian dari bahan baku pangan, tetapi ditambahkan ke dalam pangan untuk mengawetkan pangan, membentuk pangan menjadi lebih baik, renyah dan lebih enak di mulut, memberikan warna dan aroma yang lebih menarik sehingga menambah selera, meningkatkan kualitas pangan dan menghemat biaya. Biasanya gangguan kesehatan yang disebabkan oleh bahaya kimia baru akan muncul dalam waktu yang agak lama. Contoh penyalahgunaan bahan aditif non pangan adalah penggunaan pewarna tekstil untuk pangan. Bahaya kimia juga dapat berasal dari cemaran kimia yang masuk ke dalam pangan. Cemaran kimia tersebut misalnya cairan pembersih, pestisida, cat, minyak, komponen kimia dari peralatan atau kemasan yang lepas dan masuk ke dalam pangan. Logam berat masuk melalui air yang tercemar, kertas koran yang digunakan untuk mengemas pangan dan asap kendaraan bermotor. Beberapa bahan pangan secara alami mengandung toksin atau bahan beracun. Contohnya jamur beracun, singkong racun, ikan buntel, dan sebagainya. Sebagian besar toksin penyebab penyakit ini tidak berasa dan tidak dapat dihancurkan dengan proses pemasakan.

Bahaya mikrobiologi dapat disebabkan oleh mikroba dan binatang. Mikroba lebih

Page 2: Keamanan pangan jajanan

sering menyebabkan keracunan pangan dibandingkan bahan kimia (termasuk racun alami) dan bahan asing (cemaran fisik). Sebagian mikroba tersebut tidak berbahaya dan bahkan beberapa di antaranya dapat digunakan untuk membuat produk pangan seperti yoghurt dan tempe. Tetapi, banyak juga mikroba yang dapat menyebabkan infeksi dan intoksikasi pada manusia dan hewan. Pangan menjadi beracun karena tercemar oleh mikroba tertentu dan mikroba tersebut menghasilkan racun yang dapat membahayakan konsumen. Jenis mikroba penyebab keracunan pangan adalah virus, parasit, kapang dan bakteri.

Peranan pangan jajanan anak sekolah (PJAS)

Peranan pangan jajanan di Indonesia sangat strategis, sangat banyak dijumpai di lingkungan sekitar sekolah, dan umumnya rutin dikonsumsi oleh sebagian besar anak usia sekolah. Dari hasil Survei Ekonomi Sosial Nasional (SUSENAS) 2004 menunjukan bahwa pengeluaran keluarga untuk pangan jajanan di Indonesia mencapai 18.84% perkapita perminggu dari total pengeluaran untuk makanan dan minuman atau 10.36% dari total pengeluaran keluarga (BPS, 2004). Kontribusi pangan jajanan terhadap pemenuhan gizi juga dilaporkan cukup penting, misalnya rata-rata kebutuhan energi dan protein murid SD dapat terpenuhi oleh pangan jajajan hingga sekitar 36% untuk energi dan 30% untuk protein (Komalasari, 1991). Disamping itu pangan jajanan juga berperan terhadap penganekaragaman konsumsi oleh masyarakat Indonesia (TNO-IPB-VU, 1992).

Masalah keamanan pangan jajanan

Pangan merupakan sumber energi dan berbagai zat gizi untuk mendukung hidup manusia, tetapi pangan juga dapat menjadi sumber pengganggu kesehatan, bila pangan yang dikonsumsi tidak aman. Masalah keamanan pangan jajanan yang sering ditemui di lingkungan sekolah, diantaranya disebabkan karena produk pangan olahan di lingkungan sekolah yang tercemar bahan berbahaya (bahaya mikrobiologis dan kimia), pangan siap saji di lingkungan sekolah belum memenuhi syarat higienitas, dan donasi pangan yang bermasalah.

Terjadinya masalah di atas antara lain karena tata cara penanganan pangan yang mengabaikan kaidah-kaidah keamanan pangan. Kesalahan tersebut bisa dijumpai pada berbagai aspek mulai dari bahan baku, penanganan (proses produksi, penyimpanan dan penyajian) serta tata cara distribusinya. Selain itu, faktor ketidaktahuan konsumen, dalam hal ini anak-anak sekolah dan guru, akan tingkat keamanan pangan jajanan juga menyebabkan masalah keamanan pangan. Penjual pangan atau pengelola kantin perlu memahami konsep keamanan dan sanitasi pangan selama mengolah, menyajikan dan menyimpan pangan agar keamanan pangan yang dijual dapat terjaga. Selain itu, konsumen, dalam hal ini anak-anak sekolah dan guru, juga harus diberi pengetahuan yang memadai mengenai keamanan pangan agar mereka dapat memilih pangan yang aman untuk dikonsumsi.

Hasil pengawasan pangan jajanan anak sekolah tahun 2005

Keamanan pangan jajanan sampai saat ini masih perlu mendapat perhatian karena adanya penggunaan bahan tambahan ilegal, penggunaan bahan tambahan pangan

Page 3: Keamanan pangan jajanan

(BTP ) melebihi konsentrasi yang diizinkan serta mutu dan keamanan mikrobiologis yang tidak mememenuhi syarat. Setiap tahun Badan POM mengidentifikasi penggunaan formalin, boraks, rodamin B, methanil yellow dan penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) yang melebihi konsentrasi yang diizinkan seperti benzoat dan pemanis buatan; serta mengidentifikasi tingginya angka lempeng total maupun buruknya indikator mutu dan keberadaan patogen dalam pangan jajanan.

Dari hasil pengawasan pangan jajanan anak sekolah tahun 2005 yang dilakukan oleh 18 Balai Besar/Balai POM, yaitu Balai Besar POM Mataram, Padang, Banjarmasin, Pontianak, Jayapura, Makassar, Manado, Surabaya, Jakarta, Pekanbaru, Denpasar, Bandar Lampung, Semarang, Palu, Palangkaraya, Kendari, Kupang, dan Bengkulu, dengan cakupan pengambilan sampel makanan jajanan anak sekolah seluruhnya 861 sampel dimana di setiap propinsi jumlahnya bervariasi, antara 9 sampel (Kupang) sampai 144 sampel (Kendari), diperoleh data sebagai berikut : dari 861 sampel yang diperiksa/diuji, yang memenuhi syaratsebanyak 517 sampel (60.04%), dan yang tidak memenuhi syarat sebanyak 344 sampel (39.96%), terdiri dari Benzoat 10 sampel, Siklamat 93 sampel , Sakarin 29 sampel, Rhodamin B 85 sampel, Amaranth 3 sampel, Methanyl yellow 2 sampel , Boraks 34 sampel , Formalin 7 sampel , ALT 60 sampel, MPN Coliform 48 sampel, Kapang/kamir 32 sampel, E. coli 32 sampel, Salmonella thypii 12 sampel, Staphylococcus aureus 12 sampel, dan Vibrio cholerae 2 sampel.

Hasil monitoring KLB keracunan pangan tahun 2005

Dari hasil monitoring kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan tahun 2005, dilaporkan ada 184 kejadian KLB keracunan pangan dengan 23.864 orang jumlah yang makan, 8.949 orang jumlah yamg sakit, dan 49 orang jumlah yang meninggal dunia. Dari 184 kejadian tersebut, 28 kejadian disebabkan dari pangan olahan, 33 kejadian dari pangan jajanan, 39 kejadian dari pangan jasa boga, 78 kejadian dari masakan rumah tangga, dan 6 kejadian dari pangan lain-lain. Dari karakteristik epidemiologi KLB keracunan pangan, dilihat dari tempat kejadian, di rumah tangga sebesar 39.67%, di sekolah/kampus sebesar 20.11%, di perayaan sebesar 15.76%, di asrama sebesar 9.24%, di kantor/pabrik sebesar 5.98%, di hotel/restoran sebesar 2.17%, di tempat umum sebesar 2.17%, dan yang tidak dilaporkan dimana tempat kejadiannya sebesar 4.90%.. Dari data ini, menunjukkan bahwa masalah keamanan pangan jajanan, masih tinggi.

Peningkatan keamanan pangan dengan pendekatan analisis risiko

Peningkatan keamanan pangan khususnya pangan jajanan dengan pendekatan analisis risiko, dilaksanakan dengan melakukan kajian risiko mencakup karakteristik risiko dengan mengintegrasikan antara kajian paparan dan karakterisasi bahaya untuk memperkirakan risiko terhadap kesehatan (Rahayu et al, 2004). Laporan penting telah dikeluarkan oleh Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan Badan POM RI pada survei pilot terhadap tiga sekolah dasar di Malang yang menyebutkan bahwa tingkat paparan rata-rata siklamat sebesar 26.4 mg/kg berat badan perhari, melebihi nilai ambang aman sebesar 11 mg/kg berat badan perhari atau mencapai 240% dari nilai Acceptable Daily Intake (ADI) (Sparringa et al., 2004). Laporan ini menunjukkan karakteristik penting dari suatu risiko pangan yang dapat digunakan untuk intervensi dalam peningkatan keamanan pangan yang lebih efektif, misalnya regulasi dan

Page 4: Keamanan pangan jajanan

pengawasan pangan maupun dalam program komunikasi, informasi dan edukasi produsen dan konsumen sesuai dengan kelompok sasarannya.

Strategi dan rekomendasi Badan POM RI dalam peningkatan pengawasan pangan jajanan anak sekolah (PJAS)

Dalam rangka peningkatan pengawasan keamanan pangan, khususnya pangan jajanan anak sekolah, Badan POM RI menetapkan beberapa strategi dan rekomendasi, antara lain :

1. Meningkatkan aktivitas surveilan keamanan pangan jajanan anak sekolah, dengan pendekatan analisis risiko, yakni melakukan pengkajian risiko secara sistematis (identifikasi bahaya, karakterisasi bahaya, kajian paparan dan karakterisasi risiko) dan dilakukan pada pangan berisiko tinggi berdasarkan identifikasi bahaya dan tingkat paparan. Untuk melaksanakan strategi ini, Badan POM RI telah menyiapkan pedoman-pedoman, dan melatih staf Badan POM dan Balai POM untuk melaksanakan surveilan PJAS.

2. Memberdayakan sekolah dalam pengawasan pangan. Untuk pelaksanaan strategi ini, saat ini Badan POM RI telah menyiapkan Pedoman Pengelolaan Kantin Sekolah, penyiapan modul dan audiovisual untuk bahan penyuluhan, pelatihan bagi aparat sekolah (guru, pengelola kantin, komisi sekolah), pelatihan bagi pedagang di kantin dan sekitar sekolah, dan rencana pemberian Piagam Bintang Keamanan Pangan bagi kantin sekolah

3. Melakukan komunikasi risiko jajanan anak sekolah. Untuk strategi ini, Badan POM RI telah mengembangkan jejaring promosi keamanan pangan, dengan target keamanan pangan jajanan anak sekolah. Dan telah melakukan kerjasama dengan DepDiknas, DinDiknas, Badan Ketahanan Pangan serta instansi terkait lainnya untuk program terpadu, memberdayakan petugas Pemda yang sudah dilatih Badan POM RI, dan melakukan promosi keamanan pangan bagi konsumen.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PANGAN JAJANAN MENJADI TIDAK AMAN

Beberapa dari jenis pangan atau prosedur pengolahan pangan lebih berisiko dibandingkan dengan yang lain. Pangan yang kadar proteinnya tinggi, seperti produk olahan daging dan susu, serta pangan yang membutuhkan waktu lama dalam penyiapannya membutuhkan perhatian khusus dari pihak penjual.

Beberapa faktor teridentifikasi seringkali menjadi penyebab keracunan pangan. Keracunan pangan biasanya melibatkan satu atau lebih faktor-faktor berikut:

1. Pangan diolah dengan menggunakan bahan baku yang tidak aman, misalnya dari ikan dan hasil laut dari perairan tercemar atau sayur dan buah dari lingkungan yang tercemar.

2. Pendinginan pangan yang tidak sempurna dan penurunan suhu hingga suhu aman (<5oC) dilakukan terlalu lama

3. Adanya waktu tunggu dari persiapan bahan ke proses pemanasan atau pemasakan. Jarak waktu dari persiapan pangan dengan waktu konsumsinya

Page 5: Keamanan pangan jajanan

yang terlalu lama ( lebih dari 4 jam sebelum disajikan) dan disimpan pada suhu ruang memungkinkan mikroba untuk tumbuh dan berkembang biak

4. Pangan terkontaminasi dari pekerja, karena kondisi higiene dan sanitasi pekerja yang buruk. Sebagai contoh, S. aureus terdapat pada kulit dan pekerja yang sakit membawa mikroba patogen seperti Salmonella.

5. Terjadi kontaminasi silang dari pangan mentah, peralatan yang tidak saniter, atau pekerja ke pangan matang, misalnya penambahan bahan mentah yang terkontaminasi ke dalam pangan matang tanpa ada proses pemasakan lanjutan. Misalnya penambahan potongan seledri di atas mie bakso

6. Ketidakcukupan panas untuk membunuh bakteri pada waktu proses pemanasan ulang pangan matang. Jika pemanasan ulang hanya dilakukan pada suhu 60°C atau lebih rendah, hal ini akan merangsang pertumbuhan mikroba. Suhu 5 - 60°C merupakan suhu kritis untuk pertumbuhan mikroba. Suhu penyimpanan panas yang tidak tepat (< 60°C) akan memudahkan mikroba berkembangbiak

7. Penanganan pangan sisa yang tidak tepat, misalnya pangan yang sudah tidak dipakai harus dibuang atau ditempatkan jauh dari pangan yang siap dikonsumsi.

http://www.pom.go.id/public/berita_aktual/detail.asp?id=146&qs_menuid=2