kata pengantar - web viewi. pendahuluan ... stratifikasi social, kegiatan keagamaan, dan upacara...

41
2009 Pengaruh Modernisasi Terhadap Budaya Nenek Moyang Masyarakat Toraja KELOMPOK 3B Ngurah A. Pranata / 12206012 Gusriansyah / 12206060 Maximillian Eureka / 12205039 Fitaria Setioso / 10605074 Wahyu Hendro / 13205126

Upload: duongtuyen

Post on 30-Jan-2018

229 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KATA PENGANTAR -    Web viewI. PENDAHULUAN ... Stratifikasi social, kegiatan keagamaan, dan upacara adat yang ada tetap dipertahankan namun dengan konsep yang berbeda

MAKALAH ANTOPOLOGI

2009

Pengaruh Modernisasi Terhadap Budaya Nenek Moyang Masyarakat TorajaKELOMPOK 3BNgurah A. Pranata / 12206012 Gusriansyah / 12206060Maximillian Eureka / 12205039Fitaria Setioso / 10605074Wahyu Hendro / 13205126

DAFTAR ISI

Page 2: KATA PENGANTAR -    Web viewI. PENDAHULUAN ... Stratifikasi social, kegiatan keagamaan, dan upacara adat yang ada tetap dipertahankan namun dengan konsep yang berbeda

KATA PENGHANTAR.......................................................1

I. PENDAHULUAN.............................................................3

1.1 Latar belakang.................................................................3

1.2 Tujun...............................................................................4

1.3 Metode Penelitian...........................................................5

II. ANALISIS DATA...........................................................7

2.1 Sistem Pengetahuan dan Teknologi................................7

2.2 Sistem Masyarakat.........................................................10

2.3 Mata Pencaharian dan Ekonomi....................................11

2.4 Sistem Religi..................................................................13

2.4.1.............................................................................17

2.5 Kesenian.........................................................................18

2.6 Bahasa............................................................................22

III.KESIMPULAN & SOLUSI............................................25

3.1 Kesimpulan.....................................................................25

3.2 Solusi..............................................................................26

DAFTAR PUSTAKA...........................................................27

1 | P a g e

Page 3: KATA PENGANTAR -    Web viewI. PENDAHULUAN ... Stratifikasi social, kegiatan keagamaan, dan upacara adat yang ada tetap dipertahankan namun dengan konsep yang berbeda

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah Subhanahu wa Taala, sholawat dan salam semoga selalu

tercurah kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam. Tanpa karunia dan rahmat

Allah Subhanahu wa Taala, tidak mungkin laporan Penelitian Antropologi ini dapat

diselesaikan.

Laporan Penelitian Antropologi yang berjudul “PENGARUH MODERNISASI

TERHADAP BUDAYA NENEK MOYANG MASYARAKAT TORAJA” dibuat

dengan tujuan untuk memenuhi persyaratan kelulusan mata kuliah KU4184

Antropologi di Institut Teknologi Bandung.

Pada kesempatan kami ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Chairil N. Siregar, M.Sc selaku dosen mata kuliah KU4184

Antropologi.

2. Asisten mata kuliah KU4184 Antopologi kelas 02.

3. Teman-teman peserta kuliah Antropologi kelas 02.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa laporan Penelitian Antropologi ini jauh dari

sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun akan kami terima dengan

senang hati. Kami berharap agar Tugas Akhir ini menjadi karya yang dapat

memberikan manfaat bagi kampus ITB serta bangsa Indonesia pada umumnya.

Januari 2010

Kelompok 3B

2 | P a g e

Page 4: KATA PENGANTAR -    Web viewI. PENDAHULUAN ... Stratifikasi social, kegiatan keagamaan, dan upacara adat yang ada tetap dipertahankan namun dengan konsep yang berbeda

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Masyarakat toraja adalah salah satu suku di Sulawesi selatan yang memiliki

budaya yang berbeda secara spesifik berbeda dengan suku lain di Sulawesi Selatan. Nama

Toraja awalnya diberikan oleh suku Bugis Sidenreng. Orang Sidenreng menamakan

penduduk daerah ini dengan sebutan To Riaja yang berarti “Orang yang berdiam di negeri

atas atau pegunungan”. Terdapat juga versi lain bahwa kata Toraya asal To = Tau (orang),

Raya = dari kata Maraya (besar), yang berarti orang-orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan

penyebutan tersebut menjadi Toraja. Kata Tana yang juga berarti negeri, sehingga tempat

pemukiman suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana Toraja

Kebudayaan yang telah berkembang sangat lama ini di Tana Toraja telah mengalami

modernisasi di berbagai aspek hingga berubah menjadi kebudayaan toraja yang dikenal saat

ini. Berbagai motif dan factor pendorong terjadinya pergeseran pola pikir individu yang

berkembang menjadi pergeseran pola pikir masyarakat yang menyebabkan modernisasi ini

diteliti secara detail dalam makalah ini. Penelitian ini tidak mendalami tentang bagaimana

mensikapi modernisasi tersebut tetapi mengkaji fakta-fakta yang terjadi berdasar analisis

kualitatif berdasar teori.

.Secara kronologis, dengan kondisi alam yang kurang mendukung dan tingkat

ekonomi yang rendah, remaja toraja cenderung untuk mencari penghasilan di kota dan

kembali dengan membawa kebudayaan tempatnya bekerja. Kebudayaan lama warisan nenek

moyang suku toraja berubah sedikit demi sedikit melalui berbagai proses modernisasi yang

dibawa oleh kaum perantau tersebut. Sebagian masyarakat tetap memegang teguh prinsip

budaya yang lama dan sebagian memilih beradaptasi dengan perubahan yang ada, hal inilah

yang memicu pertentangan antara golongan masyarakat. Proses modernisasi ini mampu

merubah kebudayaan masyarakat toraja dari segi budaya, kesenian, ekomomi, mata

pencaharian, sistem religi, bahasa hingga sistem masyarakat.

Proses modernisasi yang terjadi pada masyarakat toraja ini sesuai dengan teori

Ferdinand Toennies yang membedakan kelompok social menjadi 2 tipe Gemeinschaft dan

3 | P a g e

Page 5: KATA PENGANTAR -    Web viewI. PENDAHULUAN ... Stratifikasi social, kegiatan keagamaan, dan upacara adat yang ada tetap dipertahankan namun dengan konsep yang berbeda

Gesellschaft, dimana masyarakat toraja lama yang berinteraksi berdasar kebutuhan

(Gemeinschaft) beruah menjadi berorientasi keuntungan (Gesellschaft). Analisis kualitatif ini

ditunjang dengan ferifikasi oleh narasumber native toraja yang terpercaya dengan metoda

wawancara.

Berbagai fenomena kebudayaan seperti perubahan system masyarakat adat menjadi

masyarakat formal dengan birokrasi tertentu, komersialisasi upacara adat, dualism dalam

memeluk kepercayaan, gengsi dalam berbahasa toraja, teknologi bangunan yang berbasis

alam berubah menjadi teknologi konstruksi modern, dan akulturasi kesenian modern pada

kesenian daerah.

1.2 TUJUAN

Mengetahui pengaruh modernisasi terhadap masyarakat Toraja dalam aspek:

Sistem Pengetahuan dan Teknologi

Masyarakat tana Toraja terkenal dengan kemampuan mereka untuk

menghasilkan rumah-rumah adat (tongkonan) yang sangat indah dan besar. Hal ini

mampu mereka lakukan dengan menggunakan pengetahuan mereka mengenai

beragam jenis kayu yang sebaiknya digunakan untuk menghasilkan rumah-rumah adat

tersebut. Namun setelah masuknya modernisasi proses pembuatan serta bahan baku

untuk rumah adat masyarakat tana Toraja telah banyak berubah.

Sistem Masyarakat dan religi

Dahulu masyarakat tana Toraja mengenal dengan adanya kasta-kasta. Hal ini

dipengaruhi oleh budaya nenek moyang mereka zama dahulu, yang juga mempercayai

dengan adanya satu dewa yakni Puang Matua. Pada zaman tersebut perbudakan di

tana Toraja masih berlaku. Moderniasasi terjadi ketika agama kristen mulai masuk ke

tana Toraja.

Mata Pencaharian dan Ekonomi

Kondisi geografis daerah toraja yang meruyapakan pgunungan tandus dengan

masyarakat yang rata-rata bekerja sebagai petani dan pedagang menyebabkan kondisi

masyarakat menjadi relatif miskin dengan pendapatan Rp.2.490.279/kk/tahun

4 | P a g e

Page 6: KATA PENGANTAR -    Web viewI. PENDAHULUAN ... Stratifikasi social, kegiatan keagamaan, dan upacara adat yang ada tetap dipertahankan namun dengan konsep yang berbeda

(Kabupaten termiskin ke-2 di sulawesi selatan). Karena motif ekonomi ini sebagian

besar golongan remaja di toraja melakukan urbanisasi ke kota-kota besar untuk

bekerja kebanyakan sebagai karyawan instansi pemerintah. Para perantau inilah yang

kembali ke toraja dengan membawa modernisasi terutama melalui komersialisasi

upacara adat.

Kesenian

Salah satu perubahan yang significan dengan masuknya modernisasi di tana

Toraja adalah pada saat upacara pemakaman. Dahulu pada upacara ini masyarakat

Toraja beramai-ramai mengumpulkan kerbau untuk dipersembahkan pada saat ada

salah satu saudara mereka meninggal. Namun kini karena unsur ekonomi dan

beberapa perubahan dalam adat kesenian mereka, kerbau yang disediakan sekarang

hanya seadanya.

Bahasa

Bahasa yang digunakan untuk komunikasi oleh masyarakat tana Toraja adalah

Austronesia Barat. Bahasa ini umum digunakan oleh masyarakat setempat mulai dari

zaman nenek moyang mereka hingga pada saat modernisasi masuk ke dalam tana

Toraja. Hanya saja dengan masuknya moderniasasi bahasa asli mereka mulai

bercampur dengan bahasa Indonesia. Dan intensitas penggunaan bahasa asli mereka

mulai menurun.

1.3 Metode Penelitian

A. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini kami lakukan pada akhir bulan september 2009 hingga waktu

presentasi pada 12 oktober 2009. Lokasi yang kami gunakan sebagai ruang lingkup

penelitian adalah kampus Institut Teknologi Bandung. Di kampus terdapat unit

kesenian Sulawesi Selatan yakni UKSS, disini kami melakukan diskusi dan

mendapatkan masukan mengenai budaya Toraja dari seorang mahasiswa yang berasal

dari tana Toraja.

5 | P a g e

Page 7: KATA PENGANTAR -    Web viewI. PENDAHULUAN ... Stratifikasi social, kegiatan keagamaan, dan upacara adat yang ada tetap dipertahankan namun dengan konsep yang berbeda

B. Bahan dan Peralatan

Pada Penelitian kali ini kami tidak menggunakan kuesioner, hal tersebut

diputuskan karena ruang lingkup kampus yang tidak begitu besar. Berhubung juga

tidak banyak mahasiswa ITB yang berasal dari tana Toraja. Namun sebagai alternatif

kami menggunakan metode wawancara beberapa mahasiswa ITB yang berasal dari

tana Toraja. Hal ini dilakukan sebagai pembanding antara hasil data yang kami

peroleh dari studi literatur dengan analisis langsung dari lapangan.

Peralatan yang kami gunakan dalam perolehan bahan-bahan untuk makalah ini adalah

video kamera dan kamera digital. Keduanya digunakan untuk memperoleh

bahan serata sebagai dokumentasi penelitan dan presentasi.

C. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang kami lakukan adalah dengan metode

wawancara dan studi literature melalui makalah-makalah yang berasal dari internet,

juga dengan menggunakan buku-buku literatur.

6 | P a g e

Page 8: KATA PENGANTAR -    Web viewI. PENDAHULUAN ... Stratifikasi social, kegiatan keagamaan, dan upacara adat yang ada tetap dipertahankan namun dengan konsep yang berbeda

BAB II

ANALISIS DATA

2.1 Sistem Pengetahuan dan Teknologi

Sejak dulu masyarakat Tana Toraja sangat peduli dengan kelestrian hutan. Hal ini

dibuktikan dengan diadakannya upacara adat sebelum masuk hutan untuk menebang.

Upacara yang dilakukan dimaksudkan sebagai permohonan ijin kepada Dewa Pencipta. Bagi

masyarakat tana toraja Pola pengelolaan hutan adat merupakan pengetahuan lokal

(indigenous knowledge). Kayu yang mereka tebang juga tidak berlebihan, biasanya secara

tebang pilih dan selalu memperhatikan factor permudaan alam dan luas penutupan tajuk

pohon guna menajami kelestarianmnya.

Hutan adat (kombong) merupakan hutan yang dibangun secara swadaya, oleh

masyarakat Toraja yang terhimpun dalam suatu ikatan kekerabatan keluarga. Pengetahuan

masyarakat tana toraja mengenai pegelolaan hutan merupakan dorongan agar dapat

mencukupi kebutuhan mereka berupa kayu dan hasil lainnya bagi kegiatan ritual keagamaan

serta pembuatan rumah adat (Tongkonan). Vegetasi yang umumnya dapat ditemukan disana

seperti bambu-bambuan (bambusa Sp.), Cemara Gunung/Buangin (Casuarina junghniana),

Cemapaka/Uru (Elmerillia Sp.), dan Pinus (Pinus merkusii).

(Rumah adat “Tongkonan” masyarakat tana Toraja)

7 | P a g e

Page 9: KATA PENGANTAR -    Web viewI. PENDAHULUAN ... Stratifikasi social, kegiatan keagamaan, dan upacara adat yang ada tetap dipertahankan namun dengan konsep yang berbeda

Disamping pembuatan rumah adat, masyarakat Tana Toraja juga menggunakan kayu

untuk membangun lumbung padi (Alang). Oleh sebab itu jika dalam suatu lokasi berdiri

rumah adat, umumnya terdapat juga satu buah atau lebih lumbung padi. Maka tidak pernah

tidak dijumpai adanya beberapa lumpung padi tanpa disertai oleh rumah adat.

(Rumah adat “Tongkonan” dengan beberapa lumbung padi didepannya)

Berikut adalah jenis-jenis kayu yang digunakan untuk membangun rumah adat serta

lumbung padi oleh masyarakat Tana Toraja.

Sebelum masuknya modernisasi, pada jaman sebelum tahun 1980-an hampir semua

bahan konstruksi bangunan adat diperoleh dari hutan baik itu hutan adat ataupun hutan alam.

Namun setelah modernisasi mulai masuk ke Tana Toraja, terjadi perubahan terhadap

8 | P a g e

Page 10: KATA PENGANTAR -    Web viewI. PENDAHULUAN ... Stratifikasi social, kegiatan keagamaan, dan upacara adat yang ada tetap dipertahankan namun dengan konsep yang berbeda

beberapa bahan konstruksi utama untuk pembuatan rumah adat serta lumbung padi. Penyebab

utama terjadinya perubahan ini karena kebutuhan akan kayu yang semakin meningkat seiring

dengan perkembangan jaman, serta laju pertumbuhan tanaman pada hutan adat maupun hutan

alam cenderung lebih lamban apabila dibandingkan dengan penggunaan kayu. Bahkan

terdapat juga beberapa kasus dimana pertumbuhan hutan adat serta alam semkin menurun

dari waktu ke waktu.

Dengan munculnya masalah-masalah baru setelah masuknya modernisasi. Masyarakat

Tana Toraja mulai memikirkan solusi-solusi untuk mengatasi masalah-masalah tersebut. Dan

beberapa hasil dari solusi yang mereka terapkan adalah :

1. Tiang rumah yang besar dan kokoh, dahulu diambil dari hutan adat sekarang

dibeli.

2. Atap rumah adat yang semula terbuat dari bambu disubstitusi dengan atap seng.

3. Diterapkan peraturan-peraturan baru untuk menjaga pelestarian hutan adat serta

hutan alam, supaya tidak ditebang muda atau tidak dicuri.

4. Memberikan tanda-tanda pada beberapa pohon tertentu, guna untuk memberitahu

masyarakat bahwa pohon tersebut boleh dan siap digunakan untuk pembangunan

ataupun perbaikan bangunan adat serta lumbung padi.

(Rumah adat “Tongkonan” dikelilingi oleh hutan adat dan lahan pertanian)

9 | P a g e

Page 11: KATA PENGANTAR -    Web viewI. PENDAHULUAN ... Stratifikasi social, kegiatan keagamaan, dan upacara adat yang ada tetap dipertahankan namun dengan konsep yang berbeda

2.2 Sistem Masyarakat

Dalam budaya nenek moyang orang Toraja, ada stratifikasi sosial yang cukup

menonjol. Ketika perbudakan masih berlaku di Toraja, dikenal golong puang (penguasa,

tuan) dan kaunan (budak). Namun pada zaman kolonial Belanda hal itu dilarang. Tetapi

dalam prakteknya, masyarakat adat Toraja tetap membedakan empat kasta dalam masyarakat

yang diurut dari yang tertinggi yaitu tana’ Bulaan (Keturunan Raja. Bulaan artinya Emas);

tana’ bassi (Keturunan bangsawan. Bassi artinya Besi), tana’ karurung (Bukan bangsawan,

tetapi bukan juga orang kebanyakan. Karurung adalah sejenis kayu yang keras) dan yang

terendah adalah tana’ kua-kua (kua-kua, sejenis kayu yang rapuh). Dalam hubungan dengan

upacara-upacara adat, dikenal pula golongan imam (to minaa atau to parenge’) dan orang

awam (to buda).

Kelembagaan masyarakat adat di kabupaten Tana Toraja dikenal dengan nama

Saroan. Saroan adalah suatu kumpulan orang-orang tertentu yang membentuk suatu

organisasi yang terpola dan terstruktur untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Kumpulan

orang tertentu artinya anggota saroan adalah kerabat keluarga yang masih memiliki ikatan

garis keturunan, punya adat kebiasaan yang sama. Terpola dan terstruktur artinya saroan ini

sudah terbentuk dari sejak nenek moyang dan penentuan kedudukan/status anggotanya dari

tertinggi sampai terendah ditentukan berdasarkan musyawarah berdasarkan garis keturunan

terhormat, tertua dan terpandai/terbijak serta didukung oleh finansial yang cukup. Pada

umumnya kegiatan Saroan ini masih terfokus pada kegiatan ritual adat budaya masyarakat

seperti pesta adat, baik pesta adat sukacita (rambu tuka’) maupun pesta adat duka cita (rambu

solo’). Namun demikian kegiatan tolong-menolong dalam segala segi kehidupan masih kental

akibat adanya kebersamaan yang tercipta dalam setiap kegiatan ritual adat tersebut. Kegitan

tolong-menolong ini sering disebut Sisaro, artinya saling bergantian membantu dalam bekerja

tanpa diberi upah. Anggotanya pun adalah semua dari kalangan di dalam Saroan tersebut.

Setiap lembaga adat (saroan) dipimpin oleh To Parenge’(Pemimpin Masyarakat) dan To

Makaka (Pemimpin Adat). Penentuan To Parenge’ dan To Makaka ini sudah ada sejak nenek

moyang terdahulu dan akan terus diwariskan kepada nakan cucunya berdasarkan garis

keturunan tertua. Penentuan jumlah organisasi/lembaga adat (saroan) di Tana Toraja pada

umumnya ditentukan dengan dengan dua cara yaitu:

1) Di tiap dusun terdapat satu saroan.

10 | P a g e

Page 12: KATA PENGANTAR -    Web viewI. PENDAHULUAN ... Stratifikasi social, kegiatan keagamaan, dan upacara adat yang ada tetap dipertahankan namun dengan konsep yang berbeda

2) Ditentukan berdasarkan kesepakatan beberapa rumpun keluarga untuk

membentuk saroan.

Bila masyararakat menerapkan cara (1) maka setiap kepala keluarga otomatis menjadi

anggota salah satu saroan yang terdapat di dusun tempat tinggalnya. Tetapi jika masyarakat

menerapkan cara (2) maka seorang kepala keluarga memungkinkan menjadi 14 anggota

beberapa saroan oleh karena masing-masing orang berhak menentukan jumlah saroan yang

dikehendaki. Interval rata-rata jumlah anggota setiap saroan sebanyak 40–70 kepala keluarga.

Masing-masing saroan memiliki To Parenge’ sebanyak 10 – 20 orang. Urutan nomor To

Parenge’ dalam struktur organisasi menandakan tingkat kepimpinan dan penghargaan dalam

organisasi tersebut. Struktur organisasinya sebagai berikut:

2.3 Mata Pencaharian dan Ekonomi

Adanya sistem kepercayaan yang kuat, membuat masyarakat toraja mempercayai

bahwa orang yang telah meninggal kembali berkumpul bersama para leluhur. Hal ini

menyebabkan adanya upacara rambu solo yaitu pesta adat suka cita yang didalamnya terdapat

Ma’tinggoro tedong (penyembelihan kerbau dalam jumlah besar).

11 | P a g e

Page 13: KATA PENGANTAR -    Web viewI. PENDAHULUAN ... Stratifikasi social, kegiatan keagamaan, dan upacara adat yang ada tetap dipertahankan namun dengan konsep yang berbeda

Pada awalnya, kerbau yang disembelih tersebut berupa kerbau lumpur khas toraja yang

kebanyakan berasal dari sumbangan kerabat orang yang meninggal. Namun, adanya pengaruh

modernisasi dan juga masuknya agama baru menyebabkan banyak orang yang tidak lagi

melakukan acara Ma’tinggoro tedong ini, dan hal ini menyebabkan sedikit kerabat yang

menyumbangkan kerbau untuk melakukan acara tersebut.

Peluang ini dimanfaatkan oleh para peternak kerbau untuk dijadikan mata pencaharian, yaitu

dengan menjual kerbau kepada orang yang ingin melakukan acara ma’tinggoro tedong,

kerbau yang dijualpun bukan merupakan kerbau asli toraja, namun berasal dari sumbawa dan

biasanya lebih murah. Hal ini membuktikan bahwa acara yang kelihatannya menghabiskan

banyak biaya, dilain hal bisa menjadi sarana untuk saling berbagi antara orang kaya yang

melaksanakan acara tersebut dengan para pedagang. Selain itu, acara ini juga dapat

menambah pemasukan bagi daerah, karena upacara ini telah menjadi daya tarik bagi para

wisatawan domestik ataupun mancanegara untuk datang ke tana toraja.

( pelaksanaan upacara adat rambu solo)

Dalam hal pelaksanaan acara pun kini telah mengalami kemajuan, dari biasanya pelaksanaan

acara dengan bergotong royong seluruh masyarakat, dari mulai persiapan sampai ke hal-hal

yang kecil. Sekarang, semua hal itu telah dilakukan oleh sebuah event organizer (EO). Hal ini

menjadi sebuah peluang juga bagi para masyarakat untuk meningkatkan mata pencaharian

mereka.

12 | P a g e

Page 14: KATA PENGANTAR -    Web viewI. PENDAHULUAN ... Stratifikasi social, kegiatan keagamaan, dan upacara adat yang ada tetap dipertahankan namun dengan konsep yang berbeda

Kemudian dari segi kehidupan sehari-hari, mata pencaharian masyarakat toraja juga telah

mengalami banyak perubahan. Kebanyakan penduduk toraja merupakan para petani dan

pedagang, namun dengan adanya modernisasi dan masuknya agama kristen dan islam

menjadikan masyarakat toraja lebih memikirkan berbagai kebutuhan hidup dan tidak lagi

terlalu memikirkan kegiatan acara kematian. Selain itu, semakin banyaknya pemuda yang

pergi merantau keluar daerah membawa perubahan yang cukup besar juga dalam sistem

ekonomi. Pemuda toraja yang pergi merantau umumnya pergi untuk memperoleh pendidikan

dan juga bekerja. Perantau yang pulang ke toraja membawa budaya baru yang diterapkan di

sistem perekonomian mereka. Hal ini juga menjadi bukti adanya pengaruh modernisasi

terhadap sistem mata pencaharian masyarakat toraja.

Modernisasi yang juga telah mempengaruhi pendidikan masyarakat toraja menyebabkan

adanya perubahan pemikiran dalam upaya meningkatkan kesejahteraan.

2.4 Sistem Religi

Budaya nenek moyang orang Toraja terbentuk dengan latar belakang suatu sistem

religi atau agama suku yang oleh masyarakat Toraja disebut Parandangan Ada’ (harfiah :

Dasar Ajaran/Peradaban) atau Aluk To Dolo . Aluk to Dolo percaya satu dewa yaitu Puang

Matua – sebutan yang di kemudian hari diadopsi oleh Gereja untuk menyebut Tuhan Allah.

Di samping itu dikenal juga deata (dewa-dewa) yang berdiam di alam, yang dapat

mendatangkan kebaikan maupun malapetaka, tergantung perilaku manusia terhadapnya.

Jika Durkheim membedakan antara yang sakral dan profan, maka hal itu tidak berlaku

bagi Aluk to Dolo. Tidak ada yang profan. Semua aktifitas manusia memiliki nilai sakral

mulai dari persoalan tidur sampai membangun rumah. Demikian halnya keberadaan manusia

dari lahir sampai mati, aturan-aturan etis dan ritus serta simbol-simbol yang berhubungan

dengan kesakralan itu selalu mengiringi keberadaan manusia Toraja. Aturan-aturan etis dan

ritus serta simbol-simbol itu menghubungkan manusia secara khas dengan dengan tatanan

faktual, baik dengan yang ilahi, maupun dengan sesama manusia dan alam. Kepercayaan

inilah yang membentuk way of thinking dan way of living Toraja dan menjadi budaya yang

melekat dengan begitu kuatnya.

Paradigma yang dipakai Geertz mengenai sintesa etos dan pandangan dunia daalam

sebuah kebudayaan sangat membantu kita untuk memahami makna budaya nenek moyang

13 | P a g e

Page 15: KATA PENGANTAR -    Web viewI. PENDAHULUAN ... Stratifikasi social, kegiatan keagamaan, dan upacara adat yang ada tetap dipertahankan namun dengan konsep yang berbeda

bagi orang Toraja . Simbol-simbol dan motifasi apapun yang dicerminkan pola budaya ini

sangat terkait dengan pemahaman mereka tentang tatanan faktual, dimana manusia, alam dan

yang ilahi terikat dalam sesuatu yang serba sakral. Jika kemudian Geertz mendefinisikan

agama dari paradigma ini, rasanya definisi yang dihasilkan Geertz tidak berbeda dengan

makna budaya nenek moyang bagi orang Toraja.

Agama Kristen mulai diperkenalkan di Toraja oleh seorang misionaris Belanda yang

bernama A.A.van de Lostrect pada tahu 1913. Kegiatan penginjilan terus dilakukan sampai

berdirinya Gereja Toraja tahun 1947, dengan bentuk yang amat diwarnai oleh Gereja

Gerevomeerd di Belanda. Pandangan teologia yang dibawa oleh misionaris ini sangat negatif

terhadap etika maupun ritual dari budaya nenek moyang yang dicap kafir . Berbagai larangan

yang didasarkan pada dogma Gereformeerd kemudian disusun. Kalupun ada etika dalam

budaya yang sebenarnya tidak bertentangan dengan ajaran gereja, hal itu tetap dianggap tidak

cukup. Apa yang diajarkan Gereja adalah segala-galanya. Kalaupun ada upacara-upacara

yang diijinkan, hal itu senantiasa diupayakan bersih dari nilai-nilai kekafiran budaya nenek

moyang. Jika kita menghubungkan kenyataan ini dengan analisis Richard Niegbuhr tentang

sikap terhadap budaya, maka sikap yang anut adalah “Kristus melawan Kebudayaan”.

Sekarang ini hampir semua orang Toraja memeluk agama Kristen. Tetapi tampaknya

etos dan pandangan dunia yang diharapkan Gereja dapat membentuk struktur sosial dan

pranata sosial masyarakat Toraja berdasarkan nilai-nilai Kekristenan, tetap mengalami

perlawanan dari budaya Toraja yang telah mengakar dalam diri masyarakat Toraja. Bentuk

perlawanan itu memang tidak terlihat secara eksplisit, bahkan tidak disadari. Meminjam teori

psikoanalisa Freud, penulis melihat bahwa kalaupun masyarakat Toraja telah beragama, etos

dan pandangan dunia yang berlatar belakang budaya nenek moyang, tetap tersimpan dalam

dirinya dalam alam bawah sadar. Pada saat-saat tertentu, cara berfikir dan cara bertindak

orang Toraja akan sangat dipengaruhi oleh memori yang tersimpan dalam alam bawah sadar

itu. Uniknya, memori ini tersimpan secara turun temurun.

Dalam hal ini penulis melihat bahwa perjumpaan budaya nenek moyang orang Toraja

dan agama Kristen yang datang dari konteks Barat telah menciptakan kondisi masyarakat

Toraja dalam suatu tarik menarik. Pada satu sisi agama Kristen diakui sebagai dasar iman.

Tetapi pada sisi lain, etos dan pandangan dunia yang lahir dari budaya nenek moyang tetap

berpengaruh, walaupun hal itu tidak tampak secara eksplisit. Hal ini menyebabkan kondisi

masyarakat Toraja sering menampilkan sikap yang dualisme dan juga sering dikotomis.

Contoh kasus berikut, kiranya dapat menjelaskan teori ini:

14 | P a g e

Page 16: KATA PENGANTAR -    Web viewI. PENDAHULUAN ... Stratifikasi social, kegiatan keagamaan, dan upacara adat yang ada tetap dipertahankan namun dengan konsep yang berbeda

a. Ketika seseorang telah beragama Kristen, idealnya rujukan etikanya adalah Firman

Tuhan (Alkitab). Apapun yang dipikirkan atau dilakukan idealnya selalu menempatkan

Firman Tuhan sebagai penuntun sekaligus kontrol. Tetapi hal berbeda menjadi fenomena

masyarakat Toraja. Ketika mereka berada dalam konteks gereja (misalnya ibadah atau

kegiatan keagamaan lain), rujukan etika adalah Alkitab: “Itu tidak sesuai dengan firman

Tuhan”; “Inilah kehendak Yesus”. Demikian sering dikatakan. Tetapi ketika mereka mulai

beralih dalam kehidupan sehari hari, maka hal itu berubah menjadi : ”Menurut orang tua….”.

(Maksudnya nenek moyang), “Jangan begitu, itu tidak sesuai dengan budaya kita”.. Dengan

ungkapan-ungkapan seperti ini, masyarakat Toraja telah menunjukkan keterikatannya dengan

budaya nenek moyang, walaupun ketika di tanya, bisa saja dia mengatakan : “Ah, kita kan

sudah Kristen”.

Inilah salah satu contoh karakter dualisme dalam diri orang Toraja. Pada satu sisi,

agama diakui. Namun pada sisi lain, petunjuk nenek moyang tetap menjadi pegangan.

Ironisnya, masyarakat lebih takut melanggap pamali (pantangan yang diajarkan budaya)

ketimbang larangan Alkitab. Mereka lebih taat kepada pemuka adat daripada pemuka agama.

Alasannya, pelanggaran terhadap pamali akan langsung berhadapan dengan nasib buruk.

Tetapi jika melanggar perintah Tuhan, belum tentu dihukum.

b. Dalam budaya nenek moyang orang Toraja, ada stratifikasi sosial yang cukup

menonjol. Ketika perbudakan masih berlaku di Toraja, dikenal golong puang (penguasa,

tuan) dan kaunan (budak). Namun pada zaman kolonial Belanda hal itu dilarang. Tetapi

dalam prakteknya, masyarakat adat Toraja tetap membedakan empat kasta dalam masyarakat

yang diurut dari yang tertinggi yaitu tana’ Bulaan (Keturunan Raja. Bulaan artinya Emas);

tana’ bassi (Keturunan bangsawan. Bassi artinya Besi), tana’ karurung (Bukan bangsawan,

tetapi bukan juga orang kebanyakan. Karurung adalah sejenis kayu yang keras) dan yang

terendah adalah tana’ kua-kua (kua-kua, sejenis kayu yang rapuh). Dalam hubungan dengan

upacara-upacara adat, dikenal pula golongan imam (to minaa atau to parenge’) dan orang

awam (to buda).

Dengan berkembangnya agama Kristen, orang Toraja Kristen menerima bahwa semua

manusia sama di hadapan Tuhan. Di dalam Tuhan tidak ada penggolongan seperti itu. Namun

dalam penerapannnya di masyarakat, pengakuan terhadap kasta seseorang tetap ada.

Akibatnya, ketika mereka berdiri sebagai warga gereja, yang dituruti adalah para penatua atau

pendeta, namun dalam kehidupan sehari-hari, wibawa para keturunan raja dan bangsawan

serta pemuka masyarakatlah yang berpengaruh. Hal ini menyebabkan sering terjadi benturan

15 | P a g e

Page 17: KATA PENGANTAR -    Web viewI. PENDAHULUAN ... Stratifikasi social, kegiatan keagamaan, dan upacara adat yang ada tetap dipertahankan namun dengan konsep yang berbeda

antara pemuka agama dan pemuka masyarakat. Pemuka agama berpedoman pada ajaran

agama, sedangkan pemuka masyarakat berpedoman pada budaya nenek moyang. Akibatnya,

fenomena dualisme muncul lagi. Ketika masyarakat berada dalam posisi sebagai warga

jemaat, maka keputusan pemuka agamalah yang diikuti. Entah bertentangan dengan budaya

atau tidak, yang jelas Firman Tuhan mengajarkan. Demikian pula sebaliknya. dalam posisi

sebagai anggota masyarakat, keputusan pemuka adatlah yang diikuti, entah sesuai dengan

ajaran agama atau tidak. Dari sudut pandang pemimpin, ada pula kencenderungan apatisme

pemuka agama dalam kegiatan yang berhubungan dengan budaya nenek moyang, dan juga

apatisme pemuka masyarakat dalam kegiatan gereja.

Hal ini juga berhubungan dengan asas kepemimpinan bottom up dan dan top down.

Dalam konteks gereja teori yang berlaku adalah asas bottom up yang demokratis. Sedangkan

dalam kontek kehidupan sehari-hari asas top down-lah yang berlaku. Jika demikian,

masyarakat – entah sadar atau tidak – sedang dibentuk dalam dua teori kepemimpinan yang

bertolak belakang itu. Implikasinya bisa menjadi bumerang bagi wibawa gereja atau wibawa

adat ketika terjadi persilangan. Maksudnya asas bottom up mau dipaksakan dalam komunitas

budaya, dan asas top down hendak dipaksakan dalam komunitas agama. Pemaksaan itu bisa

saja dilakukan para pemuka adat atau warga biasa dalam gereja yang tidak nyaman dengan

asas botom up. Atau oleh para pemuka agama yang merasa tidak nyaman dengan asas top

down dalam masyarakat. Kita sudah bisa menebak akibatnnya : konflik dalam gereja atau

konflik sosial dalam masyarakat, atau konflik antara institusi gereja dan institusi masyarakat.

Dengan demikian kita dapat melihat bahwa kondisi sosial masyarakat Toraja yang

terus menerus berubah saat ini senantiasa berada dalam tarik menarik antara budaya nenek

moyang dengan agama. Tarik menarik itu bisa berimplikasi pada dualisme, tetapi bisa juga

muncul dikotomi antara yang gerejani dan budayani. Di dalam gereja, mereka menjadi orang

Toraja yang berakar dalam budaya nenek moyang, tetapi tampil dengan “pakaian”

Kekristenan. Ketika mereka keluar dari wilayah gereja, maka pakaian itu kembali dilepaskan

untuk dipakai lagi ketika mereka kembali ke gereja. Jadi di dalam masyarakat, mereka

berpegang teguh pada budaya, namun ketika mereka memasuki dunia kekristenan, maka

“pakaian” Kristennya di pakai.

16 | P a g e

Page 18: KATA PENGANTAR -    Web viewI. PENDAHULUAN ... Stratifikasi social, kegiatan keagamaan, dan upacara adat yang ada tetap dipertahankan namun dengan konsep yang berbeda

2.4.1 Masyarakat Toraja dan Pola Pikir Modernitas: Implikasi ketegangan antara

budaya dan agama

Jika kembali kepada paradigma budaya Geertz, masyarakat Toraja sekarang ini –

entah sadar atau tidak, tetapi kemungkinan besar tidak disadari – sedang mengalami

kebingungan pembentukan etos dan worl view. Antara dogma agama dan budaya nenek

moyang. Antara keduanya ada tarik menarik, bahkan pertentangan. Gejala sosial yang

dilematis ini menjadikan situasi masyarakat Toraja saat ini cukup rawan ketika

diperhadapkan dengan modernitas dengan berbagai karakteristiknya.

Sejauh kita memahami modernitas sebagai sebagai keterikatan kepada rasionalitas

dalam semua sisi kehidupan, kita tidak dapat sepenuhnya mengklaim bahwa modernitas sama

sekali belum menyentuh masyarakat Toraja pada saat agama Kristen mulai berkembang.

Bagaimanapun juga, doktrin yang dibawa para zending ke Toraja tidak lepas dari pergulatan

modernitas di Barat (Belanda). Bahkan adanya tarik menarik antara pandangan dunia budaya

dan pandangan dunia agama bisa jadi disebabkan pengaruh pola pikir modern.

Tetapi jika kita mencoba memfokuskannya pada etos dan pandangan dunia yang

ditawarkan laju modernitas, maka akan segera terlihat ketidaksiapan mental masyarakat

Toraja menghadapi fenomena sosial yang ditimbulkan pola pikir atau kita sebut saja

kebudayaan modern. Ketidaksiapan itu bukan berarti penolakan, tetapi penerimaan tanpa

kritik. Gejala ini sudah menjadi fenomena yang cukup umum dalam masyarakat Toraja

sekarang ini. Tarik menarik antara paradigma budaya dan paradigma agama menyebabkan

etos dan pandangan dunia masyarakat Toraja terjebak dalam dualisme dan dikotomi. Keadaan

ini menjadi cela yang cukup besar, yang memungkinkan kebudayaan modern mulai

membentuk masyarakat tanpa ada perlawanan atau kritik yang berarti dari masyarakat, baik

dengan dasar budaya maupun agama. Para pemerhati kebudayaan daerah maupun gairah

pelayanan gereja sebenarnya cukup menyadari bahaya ini dan melakukan berbagai upaya

pembinaan. Tetapi etos dan world view yang terlanjur tidak konsisten menyebabkan

masyarakat tidak cukup kuat untuk mengajukan kritik terhadap kebudayaan modern serta

melakukan kontrol terhadap infiltrasi kebudayaan modern. Akibatnya budaya modern mulai

membentuk etos dan pandangan dunia masyarakat Toraja.

Salah satu contoh adalah individualisme. Karakter ini mulai menjadi warna

masyarakat Toraja. Padahal karakter demikian sangat bertolak belakang dengan semangat

kebersamaan orang Toraja yang terkenal dengan semboyan misa’ kada di potuo pantan kada

di po mate (artinya kurang lebih sama dengan “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh).

17 | P a g e

Page 19: KATA PENGANTAR -    Web viewI. PENDAHULUAN ... Stratifikasi social, kegiatan keagamaan, dan upacara adat yang ada tetap dipertahankan namun dengan konsep yang berbeda

Ironisnya, individualisme itu bisa tercermin dalam sebuah aktifitas yang berlatar belakang

budaya.

Salah satu contohnya adalah dalam upacara adat Toraja yaitu upacara pemakaman

(rambu solo). Dari luar kita bisa melihat adanya nilai budaya yang besar dalam upacara ini.

Ada pondok-pondok yang dirikan secara gotong royong. Hewan korban (kerbau dan babi)

disiapkan untuk menjamu tetamu yang datang sekaligus simbol penghargaan kepada si mati .

Setelah itu sanak famili dan kenalan mengungkapkan tanda dukacita melalui kehadiran dalam

upacara itu sekaligus membawa babi atau kerbau sebagai tanda simpati. Pada akhir pesta

(yang biasanya 3 sampai 4 hari), ada juga hewan korban yang disisihkan untuk disumbangkan

kepada gereja.

Tetapi jika kita mencermati motifasi dibalik persiapan dan pengorbanan itu, kita akan

menemukan bahwa unsur gengsi atau prestise sangat mengemuka. Demi martabat di mata

masyarakat, keluarga si mati akan mempersiapkan pesta dengan hewan korban sebanyak

mungkin. Walaupun merupakan sebuah pemborosan yang penting harga diri akan terjaga.

Sementara itu, sumbangan dukacita (dalam bentuk hewan korban) yang dibawa famili yang

lain atau kenalan, tidak lagi dianggap sebagai tanda simpati, tetapi hutang. Jika sekali waktu

kenalan tersebut menggelar upacara yang sama, maka mau tidak mau hutang itu harus

dibayar. Jika tidak, harga diri menjadi taruhan. Sumbangan ke Gereja pun tidak lepas dari

masalah harga diri. Menyumbang banyak artinya terhormat, prestise terjaga. Tidak

menyumbang, memalukan. Dalam hal ini individualistis berjalan bersama dengan

materialisme. Sekiranya Ferdinand Toennies menganalisis kedaan ini maka pembedaan

Gemeinshaft dan Gesselschaft dalam teorinya akan mengalami kerancuan. Masalahnya

karakteristik Gesselschaft yang diidentifikasi Toennies justru sering tercermin dalam sebuah

konteks Gemeinshaft di Toraja. Kita bisa sederhanakan fenomena ini dengan ungkapan

“modenitas yang berpakaian tradisional”. Dengan semua kenyataan ini, indikasi keterasingan

atau ketercabutan masyarakat Toraja dari akar budayanya mulai terlihat. Tetapi saya sendiri

berharap bahwa teori-Hegel tentang keterasingan masyarakat modern dari lingkungannya,

atau teori kurungan besi Weber tidak akan pernah terjadi dalam konteks masyarakat di

Toraja.

(Christian Tanduk, 2007)

18 | P a g e

Page 20: KATA PENGANTAR -    Web viewI. PENDAHULUAN ... Stratifikasi social, kegiatan keagamaan, dan upacara adat yang ada tetap dipertahankan namun dengan konsep yang berbeda

2.5 Kesenian

Tana Toraja memiliki kesenian daerah yang telah mendarah daging turun temurun pada

masyarakatnya. Berbagai macam objek yang menarik baik secara langsung diciptakan oleh-

Nya maupun secara sengaja dibuat oleh orang-orang yang memiliki cita rasa di bidang seni

yang tinggi tentang budayanya sendiri. Kesenian daerah yang ada di Toraja antara lain : 

a. Tari – Tarian pa'gellu

Gellu' Pangala' adalah salah satu tarian tradisional dari Tana Toraja yang

dipentaskan pada acara pesta "Rambu Tuka" juga tarian ini ditampilkan untuk

menyambut para patriot atau pahlawan yang kembali dari medan perang dengan

membawa kemenangan. Tetapi tarian ini tabu atau pamali dipentaskan pada acara

"Rambu Solo".

tarian ma'badong

19 | P a g e

Page 21: KATA PENGANTAR -    Web viewI. PENDAHULUAN ... Stratifikasi social, kegiatan keagamaan, dan upacara adat yang ada tetap dipertahankan namun dengan konsep yang berbeda

Penari membuat lingkaran yang saling mengkaitkan jari-jari kelingking. Penari

bisa pria juga bisa wanita setengah baya atau tua. Biasanya mereka berpakaian

serba hitam namun terkadang berpakaian bebas karena tarian ini terbuka untuk

umum. Tarian ini hanya diadakan pada upacara kematian ini bergerak dengan

gerakan langkah yang silih berganti sambil melantunkan lagu (Kadong Badong)

yang syairnya berisikan riwayat manusia mulai dari lahir hingga mati dan do'a,

agar arwah si mati diterima di negeri arwah (Puya) atau alam dialam baka.

Tarian Badong ini biasanya berlangsung berjam-jam, sering juga berlangsung

semalam suntuk. Perlu diketahui bahwa hanya pada upacara pemakaman yang

lamanya tiga hari/malam ke atas yang boleh dilaksanakan tarian Badong ini atau

khusus bagi kaum bangsawan.

b. Musik

Di samping seni tari dan seni suara serta pantun juga diperkenalkan seni musik

tradisional Toraja antara lain :

Passuling

Semua lagu-lagu hiburan duka dapat diikuti dengan suling tradisional Toraja

(Suling Lembang). Passuling ini dimainkan oleh laki-laki untuk mengiringi

lantunan lagu duka (Pa'marakka) dalam menyambut keluarga atau kerabat yang

menyatakan dukacitanya. Passuling ini dapat juga dimainkan di luar acara

20 | P a g e

Page 22: KATA PENGANTAR -    Web viewI. PENDAHULUAN ... Stratifikasi social, kegiatan keagamaan, dan upacara adat yang ada tetap dipertahankan namun dengan konsep yang berbeda

kedukaan, bahkan boleh dimainkan untuk menghibur diri dalam keluarga di

pedesaan sambil menunggu padi menguning.

Pa'pelle/Pa'barrung

Semua lagu ini sangat digemari oleh anak-anak gembala menjelang menguningnya

padi di sawah. Alat musiknya terbuat dari batang padi dan disambung sehingga

mirip terompet dengan daun enau yang besar. Pa'barrung ini merupakan musik

khusus pada upacara pentahbisan rumah adat (Tongkonan) seperti Ma'bua', Merok,

Mangara dan sejenisnya.

Pa'pompang/Pa'bas

Inilah musik bambu yang pagelarannya merupakan satu simponi orkestra.

Dimainkan oleh banyak orang biasanya murid-murid sekolah di bawah pimpinan

seorang dirigen. Musik bambu jenis ini sering diperlombakan pada perayaan

bersejarah seperti hari peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI, Peringatan Hari

Jadi tana Toraja. Lagu yang dimainkan bisa lagu-lagu nasional, lagu-lagu daerah

Tana Toraja, lagu-lagu gerejawi, dan lagu-lagu daerah di seluruh Indonesia.

Pa'karobi

Alat kecil dengan benang halus diletakkan pada bibir. Benang atau bibir disentak-

sentak sehingga menimbulkan bunyi yang berirama halus namun mengasyikkan.

Pa'tulali'

Bambu kecil yang halus, dimainkan sehingga menimbulkan bunyi/suara yang

lumayan untuk menjadi hiburan.

Pa'geso'geso'

Sejenis alat musik gesek. Terbuat dari kayu dan tempurung kelapa yang diberi

dawai. Dawai yang digesek dengan alat khusus yang terbuat dari bilah bambu dan

tali akan menimbulkan suara khas. Alat ini mengeluarkan nada sesuai dengan

tekanan jari si pemain pada dawai. Pa'geso'-geso' terkenal dari Kecamatan

Saluputti.

(Anonim 1, 2009)

21 | P a g e

Page 23: KATA PENGANTAR -    Web viewI. PENDAHULUAN ... Stratifikasi social, kegiatan keagamaan, dan upacara adat yang ada tetap dipertahankan namun dengan konsep yang berbeda

Adanya globalisasi/modernisasi tidak sepenuhnya mengubah tatanan kesenian tana toraja.

Tari – tarian dan musik khas tana toraja masih tetap dilakukan hanya saja kesenian ini

dilakukan pada saat peristiwa atau kejadian tertentu, seperti upacara perkawinan, upacara

kematian, penyambut tamu dan lain sebagainya. Salah satu contohnya adalah pada

tongkongan. Aalaupun zaman semakin berkembang namun fungsi dan bentuk tongkonandi

Lembang Pangli dan Palawa tidak dapat lepas sepenuhnya dari pengaruh kosmologi Toraja

dan kepercayaan leluhur aluk todolo. Dari seluruh aspek yang diteliti, ternyata aspek material

yang paling mudah berubah. Sedangkan aspek fungsi spasial untuk kegiatan ritual adat

khususnya ritual rambu solo'dan orientasi bangunan tongkonan paling sulit mengalami

perubahan. Faktor-faktor penyebab terjadinya perubahan terkait dengan perubahan keyakinan

pemilik tongkonan, sosial budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi serta peningkatan

penghasilan keturunan pemilik tongkonan.

2.6 Bahasa

Bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat Tana Toraja adalah bahasa

Austronesia Barat. Bahasa Austronesia memiliki banyak famili dan melingkupi daerah yang

cukup luas, mulai dari Madagascar, New Zealand serta sampai ke Hawaii. Umumnya

masyarakat yang menggunakan bahasa ini tergolongkan dalam masyarakat Malayo –

Polynesian. Famili ini merupakan salah satu yang terbesar di dunia, karena lebih dari 250 juta

orang menggunakannya untuk berkomunikasi. Bahasa Austronesia juga sangat bervariasi,

memiliki lebih dari lebih dari 1000 jenis bahasa.

22 | P a g e

Page 24: KATA PENGANTAR -    Web viewI. PENDAHULUAN ... Stratifikasi social, kegiatan keagamaan, dan upacara adat yang ada tetap dipertahankan namun dengan konsep yang berbeda

(Peta penyebaran bahasa Austronesia di dunia)

Pada umumnya bahasa Austronesia dibagi menjadi 3 bahasa utama, yakni:

o The Westren Group

Memiliki lebih dari 400 jenis bahasa. Umumnya digunakan pada

daerah-daerah sekitar Madagascar, Malaysia, Indonesia, Philipina,

Taiwan, dan sebagian dari Vietnam.

o The Eastren Group

Memiliki kurang lebih 300 jenis bahasa yang berbeda. Umumnya

digunakan pada daerah-daerah sekitar Papua, Polynesia, serta negara-

negara Oceanic lainnya.

o The Transition Group

Memiliki lebih dari 300 jenis bahasa yang berbeda. Pada umumnya

digunakan pada daerah-daerah sekitar pulau Mollucas dan Nusa

Tenggara Timur.

23 | P a g e

Page 25: KATA PENGANTAR -    Web viewI. PENDAHULUAN ... Stratifikasi social, kegiatan keagamaan, dan upacara adat yang ada tetap dipertahankan namun dengan konsep yang berbeda

Setelah masuknya modernisasi ke Tana Toraja, bahasa yang digunakan oleh

masyarakat setempat tidak banyak berubah. Hanya saja keaslian dan intensitasnya dalam

penggunaan bahasa yang cenderung berkurang, yaitu dengan mencampur bahasa asli Tana

Toraja dengan bahasa Indonesia dan umumnya hanya menggunakan bahasanya secara utuh

jika berada di dalam kelompok masyarakat Toraja (perantauan).

24 | P a g e

Page 26: KATA PENGANTAR -    Web viewI. PENDAHULUAN ... Stratifikasi social, kegiatan keagamaan, dan upacara adat yang ada tetap dipertahankan namun dengan konsep yang berbeda

BAB III

KESIMPULAN DAN SOLUSI

3.1 Kesimpulan

Modernisasi mempengaruhi kebudayaan dalam hal landasan berpikir, dimana manusia

menjadi lebih kritis dan individualis dalam menjalankan perannya dalam masyarakat.

Modernisasi yang mempengaruhi kebudayaan masyarakat antara lain adalah

masuknya zaman kolonial Belanda, masuknya agama Kristen, hingga yang paling

dominan adalah modernisasi pola pikir yang dibawa oleh generasi muda Toraja yang

umumnya kaum perantau.

Signifikansi perubahan kebudayaan dan pergeseran nilai-nilainya ada pada

penghapusan perbudakan serta sistem kemasyarakatan, religi, mata pencaharian, serta

ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan pada aspek kesenian dan bahasa, tidak

terlampau berubah jauh dibandingkan dengan pada masa nenek moyang.

Masyarakat Toraja masih menerapkan kebudayaannya namun sebatas tidak

berbenturan dengan nilai-nilai agama (Kristen pada umumnya) dan tuntutan ekonomi.

Modernisasi budaya toraja sangat unik dilihat dari berbagai aspek berbeda dengan

suku lain di Sulawesi selatan.

Aspek budaya seperti sistem pengetahuan dan teknologi, sistem masyarakat dan religi,

mata pencaharian dan ekonomi, kesenian, dan bahasa telah berubah seiring proses

modernisasi budaya yang dibawa kaum perantau.

Stratifikasi social, kegiatan keagamaan, dan upacara adat yang ada tetap

dipertahankan namun dengan konsep yang berbeda.

Modernisasi dan perubahan pola pikir tetap terus berjalan selama tidak bertentangan

dengan nilai-nilai dasar yang ada dalam masyarakat dan respon masyarakat pun akan

semakin beragam

25 | P a g e

Page 27: KATA PENGANTAR -    Web viewI. PENDAHULUAN ... Stratifikasi social, kegiatan keagamaan, dan upacara adat yang ada tetap dipertahankan namun dengan konsep yang berbeda

3.2 Solusi

Agar budaya asli masyarakat Tana Toraja tidak bergeser ataupun hilang akibat modernisasi,

maka mayarakat Toraja sebaiknya :

Dalam melakukan setiap kegiatan/peristiwa tetap berdasarkan budaya

nenek moyang. Karena pada dasarnya semua budaya dan ilmu

pengetahuan yang telah diturunkan oleh nenek moyang merupakan

harta tak ternilai harganya.

Melakukan korelasi terhadap budaya-budaya baru yang masuk dengan

budaya asli. Agar dapat lebih mudah menentukan dan mengontrol

modernisasi apa saja yang dapat diterima dan yang sebaiknya

dihindari.

Tetap mempraktekan budaya-budaya asli Tana Toraja, sebagai seni

ataupun hobby. Agar budaya tersebut masih dapat bertahan seiring

dengan perkembangan jaman.

26 | P a g e

Page 28: KATA PENGANTAR -    Web viewI. PENDAHULUAN ... Stratifikasi social, kegiatan keagamaan, dan upacara adat yang ada tetap dipertahankan namun dengan konsep yang berbeda

DAFTAR PUSTAKA

1. BPS Kabupaten Tana Toraja. (2001). “Kabupaten Tana Toraja Dalam Angka.” BPS Kabupaten Tana Toraja

2. Kusumah, Gunawan. (1992). “Upacara Tradisional Daerah Sulawesi Selatan." Tidak diterbitkan.

3. Mubyarto. (1989). “Pengantar Ekonomi Pertanian.” LP3ES. Jakarta.

4. Supriyanto, B. (2000). “Sekitar Hukum Adat dan Hutan : Isu Masyarakat Adat Tidak Populer?” Majalah Kehutanan Indonesia. Edisi 2/XIII/1999-2000.

5. A., Gani. (1994). “Pengembangan Sistem Pertanian Dalam Rangka Meningkatkan Kualitas Sumberdaya Manusia Pertanian.” Prosiding Lokakarya Nasional. PERHEPI. Jakarta.

27 | P a g e