stratifikasi sosial dan agama

239
Stratifikasi Sosial dan Agama Mariatul Qibtiyah

Upload: others

Post on 01-Dec-2021

24 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Stratifikasi Sosial dan Agama

Stratifikasi Sosial dan Agama

Mariatul Qibtiyah

Page 2: Stratifikasi Sosial dan Agama

ii

STRATIFIKASI SOSIAL DAN AGAMA

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

ISBN : 978-602-9606-76-8

16,5 x 23,5 cm

xv, 233 hlm

cetakan Ke-1, November 2014

Cinta Buku Media, November 2014

Penulis

Mariatul Qibtiyah

Editor

Abd. Azim Amin

Desain Cover

Fitrul Quraisy

Penerbit

Cinta Buku Media

Jl. Musyawarah, Komplek Pratama A1 No.8

Kp. Sawah, Ciputat, Tangerang Selatan

Hotline CBMedia 0858-1413-1928

Email: [email protected]

© Hak Pengarang dan Penerbit dilindungi oleh UU

Page 3: Stratifikasi Sosial dan Agama

iii

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT penulis panjatkan kehadirat-

Nya yang telah memberikan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya,

sehingga penulis dapat menerbitkan buku ini. Buku ini awalnya

merupakan karya tesis penulis yang kemudian diterbitkan menjadi

buku dengan judul Stratifikasi Sosial dan Agama. Buku ini

merupakan pergulatan akademik selama masa penelitian tesis

penulis pada pengkajian Islam Sekolah Pascasarjana UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta. Tesis yang kemudian menjadi buku ini

merupakan analisis terhadap adanya interelasi stratifikasi sosial

dan agama dalam masyarakat. Stratifikasi sosial dianggap sebagai

faktor yang menentukan kecenderungan-kecenderungan

keagamaan dan orientasinya. Semakin tinggi hierarki strata suatu

masyarakat maka akan semakin rasional pola kepercayaannya.

Berkaitan dengan interdependensi antara sratifikasi sosial

dan agama, menurut Azyumardi Azra, semula kelas-kelas yang ada

dalam masyarakat tidaklah dipisahkan atau dibedakan karena

pengetahuan atau keimanan. Namun hal-hal ini berubah tatkala

masyarakat yang bersangkutan semakin besar dan hasilnya

semakin terdiferensiasi. Sekarang ini terdapat bukti-bukti yang

kuat, bahwa kelompok etnis, kelas-kelas masyarakat, kedudukan

dan pekerjaan – untuk menyebut bagaimana masyarakat dapat

dibagi atau dibedakan – sering menunjukkan kecenderungan

keagamaan yang berbeda, dan dengan demikian, mengekspresikan

agama dalam cara-cara yang berbeda pula. Analisis yang

mencakup hanya salah satu dari pembagian-pembagian masyarakat

itu jelas tidak memadai; karena sangat besar kemungkinan bahwa

variabel-variabel itu saling mempengaruhi. Sehingga, interelasi

antara stratifikasi sosial dan agama bukanlah merupakan suatu hal

yang bersifat linear namun dapat bersifat overlapping antar

variabelnya.

Page 4: Stratifikasi Sosial dan Agama

iv

Adapun selama studi, penulis banyak mendapatkan inspirasi

dan pencerahan yang sangat berarti. Begitu juga masa penjajakan

untuk bertukar pikiran terutama dengan orang-orang yang cukup

menaruh perhatian terhadap penelitian ini. Komentar-komentar

yang sangat berarti, menjadi catatan penting bagi penulis. Oleh

karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyatakan rasa hormat

dan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah berjasa tersebut.

Terima kasih yang setulusnya penulis ucapkan kepada:

1. Prof. Komaruddin Hidayat selaku rektor UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta dan Prof. Azyumardi Azra selaku direktur

SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Juga kepada seluruh

jajaran pimpinan SPs, Prof. Suwito, M.A., Dr. Yusuf Rahman,

M.A., seluruh karyawan dan karyawati tata usaha, dan

perpustakan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, MA selaku pembimbing dan

promotor dalam penulisan karya ini yang telah memberikan

gagasan, saran, dan kritikan yang sangat berguna demi

berkualitasnya penulisan karya ini.

3. Kedua orang tuaku tercinta, Ayahanda Drs. Abd. Azim Amin,

M.Hum dan Ibunda Latifah yang tidak pernah lelah

memberikan motivasi, dukungan, dan doa dalam setiap sujud

mereka. Kepada saudara-saudaraku yang selalu

menyemangatiku dan memberikan dukungan kakak Abdur

Rohim, SE,. kakcik M.Nur Kholis, S.Hi, serta adik-adikku

M.Fitrul Quraisy, Nurul Hidayati, dan Aisyahtul Fadillah dan

keluarga besarku yang tidak bisa disebutkan satu persatu,

terima kasih atas dukungan moril dan materilnya.

4. Buat sahabat-sahabatku Yuk Her, Iffa, Yuk Nisa, Onnie Sarah,

Albab, Mami Ita, Mbak Zahra, Tante Fatma, Isti, Nadia, dan

teman-teman angkatan 2012 SPS UIN Syarif Hidayatullah yang

telah bersama-sama berjuang memberikan masukan-masukan

pada penulis semoga kita dipertemukan lagi di lain waktu.

Akhirnya, seraya mengharap ridha Allah penulis

persembahkan karya ini kepada mereka yang memiliki perhatian

pada kajian keislaman, disertai harapan semoga kehadiran karya

kecil ini bermanfaat dalam memperkaya wacana intelektual,

Page 5: Stratifikasi Sosial dan Agama

v

khususnya bagi pengembangan sosiologi-antropologi agama.

Namun, buku ini bukanlah karya yang sempurna sehingga penulis

mengharapkan masukan dan saran dari para pembaca agar buku ini

dapat menjadi bahan rujukan yang lebih baik lagi bagi

pengembangan studi lanjutan.

Jakarta, 18 November 2014 M

25 Muharram 1436 H

Mariatul Qibtiyah

Page 6: Stratifikasi Sosial dan Agama

vii

PEDOMAN TRANSLITERASI

Pedoman transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam

penelitian ini adalah ALA–LC ROMANIZATION tables yaitu

sebagai berikut:

A. Konsonan

Initial Romanization Initial Romanization

}d ض Omit ا

}t ط B ب

}z ظ T ت

‘ ع Th ث

gh غ J ج

f ف {h ح

q ق Kh خ

k ك D د

l ل Dh ذ

m م R ر

n ن Z ز

,ه S س ة h

w و Sh ش

y ى {s ص

B. Vokal

1. Vokal Tunggal

Tanda Nama Huruf Latin Nama

Fath}ah A A

Kasrah I I

D{ammah U U

2. Vokal Rangkap

Tanda Nama Gabungan

Huruf

Nama

...ى Fath}ah dan ya Ai A dan I

…و Fath}ah dan wau Au A dan W

Contoh :

ول H{usain : حسين H{aul : ح

Page 7: Stratifikasi Sosial dan Agama

viii

C. Vokal Panjang

Tanda Nama Gabungan

Huruf

Nama

Fath}ah dan alif a> a dan garis di atas ىآ

Kasrah dan ya i> i dan garis di atas ى ى

D{ammah dan ى و

wau

u> u dan garis diatas

D. Ta>’ marbu >t}ah (ة)

Transliterasi ta’ marbut }ah (ة) di akhir kata bila

dimatikan ditulis h.

Contoh : مرأة : mar’ah مدرسة : madrasah

(Ketentuan ini tidak digunakan terhadap kata-kata Arab

yang sudah terserap ke dalam bahasa Indonesia seperti shalat,

zakat dan sebagainya kecuali dikehendaki lafadz aslinya)

E. Shaddah

Shaddah/tasydi>d di transliterasi ini dilambangkan dengan

huruf, yaitu huruf yang sama dengan huruf bershaddah itu.

Contoh:

شوال rabbana : ربنا : shawwa>l

F. Kata Sandang Alif + La>m

Apabila diikuti dengan huruf qamariyah ditulis al.

Contoh :

al-Qalam : القلم

Apabila diikuti oleh huruf shamsiyah ditulis dengan

menggandeng huruf shamsiyah yang mengikutinya

serta menghilangkan huruf l-nya

Contoh:

An-Na>s : الناس Ash-Shams : الشمس

G. Pengecualian Transliterasi

Adalah kata-kata bahasa Arab yang telah lazim digunakan

di dalam bahasa Indonesia, seperti الله, asma>’ al-husna> dan ibn,

kecuali menghadirkannya dalam konteks aslinya dan dengan

pertimbangan konsistensi dalam penulisan.

Page 8: Stratifikasi Sosial dan Agama

ix

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................... iii

PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................... vii

DAFTAR ISI .................................................................................. ix

DAFTAR TABEL ........................................................................ xiii

DAFTAR GAMBAR ..................................................................... xv

BAB I

PENDAHULUAN

A. Penelitian Terdahulu yang Relevan .......................................... 11

B. Metode Penelitian ..................................................................... 17

1) Desain Penelitian................................................................... 17

2) Pendekatan ............................................................................ 19

3) Unit Analisis ......................................................................... 20

4) Sumber dan Jenis Data .......................................................... 23

5) Teknik Pengumpulan Data .................................................... 24

6) Teknik Analisis Data ............................................................ 26

BAB II

PARADIGMA DAN KERANGKA TEORITIS

STRATIFIKASI SOSIAL DAN AGAMA

A. Paradigma Stratifikasi Sosial .................................................... 31

B. Pola Kepercayaan dalam Sistem Sosial Masyarakat ................ 43

C. Masyarakat dan Stratifikasi Keagamaan .................................. 52

D. Islam dan Stratifikasi Sosial ..................................................... 69

BAB III

POTRET MASYARAKAT PALEMBANG

A. Profil Kota Palembang .............................................................. 77

\B. Sistem Stratifikasi Masyarakat Palembang .............................. 81

C. Perkembangan Sistem Kepercayaan Masyarakat Palembang .. 94

1) Kehidupan Pra-Islam di Palembang ...................................... 94

2) Islamisasi di Kota Palembang ............................................... 97

3) Akulturasi Islam dan Budaya Palembang............................ 102

Page 9: Stratifikasi Sosial dan Agama

x

BAB IV

ENKULTURASI ZIARAH SEBAGAI TRADISI

ISLAM DALAM MASYARAKAT PALEMBANG

A. Ziarah Sebagai Ritual Keagamaan dan Wisata Religi ........... 111

B. Makam Keramat Sebagai Simbol dan Sarana Instrumental ... 120

C. Motif Peziarah ......................................................................... 129

D. Masyarakat dan Enkulturasi Tradisi Ziarah ........................... 140

BAB V

INTERDEPENDENSI STRATIFIKASI SOSIAL

TERHADAP POLA KEPERCAYAAN MASYARAKAT

A. Stratifikasi dan Perilaku Ziarah Masyarakat Palembang ....... 157

1) Interdependensi Strata Berdasarkan Sosio-Ekonomi

Terhadap Perilaku Ziarah .................................................... 168

2) Interdependensi Strata Berdasarkan Pendidikan

Terhadap Perilaku Ziarah .................................................... 171

3) Interdependensi Strata Berdasarkan Sosio-Religius

Terhadap Perilaku Ziarah .................................................... 174

4) Interdependensi Strata Berdasarkan Etnis

Terhadap Perilaku Ziarah .................................................... 178

5) Interdependensi Strata Berdasarkan Sosio-Kultural

Terhadap Perilaku Ziarah .................................................... 181

6) Interdependensi Strata Berdasarkan Politik

Terhadap Perilaku Ziarah .................................................... 183

B. Stratifikasi Keagamaan dan Pola Kepercayaan ...................... 187

1) Traditional Action .............................................................. 190

2) Affectual Action ................................................................. 191

3) Werkrational Action ........................................................... 191

4) Zwerkrational Action ......................................................... 192

C. Transisi Kepercayaan: Tradisional – Rasional ....................... 192

BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan .............................................................................. 205

B. Saran ....................................................................................... 206

Page 10: Stratifikasi Sosial dan Agama

xi

DAFTAR PUSTAKA .................................................................. 209

GLOSSARIUM ............................................................................ 223

INDEKS ....................................................................................... 229

BIODATA PENULIS .................................................................. 233

Page 11: Stratifikasi Sosial dan Agama

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Profil Informan Berdasarkan Stratifikasi

Jenis Kelamin,Umur, Agama, Pendidikan, Jenis

Pekerjaan, dan Asal ......................................................... 21

Tabel 2. Kategorisasi Informan Berdasarkan Stratifikasi ............ 22

Tabel 3. World View dan Dampak Sosial .................................... 48

Tabel 4. Stratifikasi Keimanan dalam Masyarakat dan

Masyarakat Muslim ........................................................ 72

Tabel 5. Data Keluarga Pra Sejahtera dan Keluarga Sejahtera

di Kota Palembang Tahun 2011...................................... 93

Tabel 6. Motif dan Tujuan Peziarah ........................................... 134

Tabel 7. Dialektika Tradisi Ziarah ............................................. 147

Page 12: Stratifikasi Sosial dan Agama

xv

DAFTAR BAGAN

Bagan 1. Struktur Stratifikasi di Palembang Pada Masa

Kesultanan Palembang Darussalam ............................... 89

Bagan 2. Trikotomi Pola Hubungan Tuhan – Manusia .............. 115

Bagan 3. Kerangka Teori Tindakan

(Frame of Reference of The Theory of Action) ........... 147

Bagan 4. Konsekuensi Outcome Stratifikasi .............................. 160

Bagan 5. Konsep Tindakan Voluntarism Parson ....................... 165

Bagan 6. Interdependensi Hierarki Strata Peziarah Terhadap

Pola Kepercayaan di Palembang ................................. 167

Bagan 7. Sistem Stratifikasi Kekuasaan dan

Interdependensinya Terhadap Pola Kepercayaan ........ 185

Bagan 8. Dimensi Budaya ........................................................... 199

Page 13: Stratifikasi Sosial dan Agama

BAB I

“Pada umumnya stratifikasi dilihat berdasarkan determinan

ekonomi, politik, dan prestis sosial. Namun, buku ini mencoba

menggali interelasi stratifikasi sosial dan determinan agama yang

dilihat dari pendekatan sosiologi dan antropologi”

-- Penulis --

Page 14: Stratifikasi Sosial dan Agama

PENDAHULUAN

gama Islam dianut oleh mayoritas penduduk

Indonesia (statistik resmi mencatat lebih dari

87,18% orang Islam)1, namun sikap masyarakat

terhadap dunia sakral memiliki ciri-ciri budaya lokal khas yang

terbentuk oleh sejarah. Sebagai negara yang penduduknya

mayoritas muslim, fenomena ziarah2 sudah menjadi fenomena

tersendiri yang unik bagi masyarakat muslim di Indonesia pada

umumnya. Kehadiran peziarah bukan hanya didorong oleh motif

sejarah, melainkan juga karena ada tradisi untuk mengunjungi

makam3 keluarga atau tokoh yang dianggap berperan penting

1 Menurut BPS, pada akhir tahun 2010, penduduk Indonesia mencapai

237.641.326 orang dengan jumlah pemeluk agama Islam menjadi sekitar 87.18

% persen, Kristen (6.96%), Katolik (2.9%), Hindu (1.69%) Budha (0.72%),

Kong Hu Cu (0.05%), Lain-lain (0.13%). Sumber: http://www.bps.go.id

(diakses pada tanggal 04 Juni 2012). 2 Kata ziarah dipinjam dari bahasa Arab ziyara yang berarti kunjungan.

Kata ini pada dasarnya dapat diterapkan untuk segala bentuk kunjungan ke

semua objek, baik berupa tempat maupun orang. Namun, sebagian istilah lokal,

ziarah merujuk kepada kunjungan resmi kepada orang terkemuka (seperti

seorang Kyai yang dihormati) atau ke sebuah tempat suci (makam atau

peninggalan kramat wali atau orang suci) yang mengisyaratkan harapan untuk

mendapatkan barakah (berkah). Walaupun kunjungan kepada seseorang yang

masih hidup seperti kepada seorang Kyai yang dihormati juga dilakukan, ini

hanyalah bentuk penghormatan biasa, bukan praktik yang penting. AG.

Muhaimin, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal: Potret dari Cirebon,(Jakarta:

Logos, 2002), 228. 3 Dalam bahasa Arab, makam berasal dari kata maqam yang berarti

tempat, status, atau hirarki. Tempat menyimpan jenazah sendiri dalam bahasa

Arab disebut Qabr, yang di dalam lidah orang Indonesia disebut kubur atau

A

Page 15: Stratifikasi Sosial dan Agama

2 Pendahuluan

dalam sejarah hidupnya dan sejarah masyarakatnya. Kebudayaan

ini berkembang dikarenakan masyarakat meyakini tradisi tersebut

dan selalu ada pesan dan harapan untuk mengikutinya4.

Masyarakat Indonesia tersegmentasi tidak hanya secara

vertikal tetapi juga secara horizontal. Hal ini dapat dilihat dari

berbagai determinan, seperti ekonomi, politik, agama, gaya hidup,

perilaku dan gender, dan lain-lain. Segmentasi seperti ini ternyata

tidak hanya mempengaruhi pola pikir mereka melainkan dapat

mempengaruhi hal lainnya, seperti gaya hidup dan pola

kepercayaan. Fakta sosial yang memperlihatkan segmentasi dan

pola pikir masyarakat dapat terdeskripsi melalui fenomena ziarah.

Aktivitas ziarah di makam-makam istimewa sangatlah berbeda-

beda di mana tingkah laku dari masing-masing peziarah ini

berbeda-beda, hal ini tentunya dipengaruhi oleh latar belakang dari

masing-masing individu yang berbeda-beda, tak hanya itu keadaan

sosial, pengalaman serta motif mereka berziarah pun sangat

bervariasi. Namun adanya berbagai motif berziarah ke makam

keramat ini dari penjuru masyarakat seolah-olah menginstitusikan

makam ini sebagai makam yang sakral dan istimewa dibandingkan

makam orang-orang biasa.

Sebagai suatu fenomena agama, ziarah merupakan realitas

sosial yang berkembang dan menjadi hal unik di dalam masyarakat

karena ziarah merupakan bentuk akulturasi antara budaya dan

agama. Alasan sementara masyarakat merasa perlu menghadap

lebih tegas disebut kuburan. Baik kata makam atau kubur – biasanya

memperoleh akhiran an, sehingga diungkapkan kuburan atau makaman –

umumnya digunakan untuk menyebut tempat menguburkan atau memakamkan

mayat. Keduanya tidak dibedakan secara tegas, sehingga orang yang berziarah

bisa menyatakan akan ke makaman atau ke kuburan. Namun demikian, ada

kekhususan, yakni jika yang dikuburkan adalah seorang wali atau orang suci

maka tempat penguburannya disebut makam wali dan bukan kuburan wali. Padahal semestinya, jika mengikuti tradisi bahasa Arab tempat tersebut disebut

qabr, seperti qabr Hud di Hadramaut, bukan maqam Hud dan maqam Ibrahim di

Makah. Nur Syam, Islam Pesisir, (Yogyakarta: LKiS, 2005), 139, 4 Ruslan, dan Arifin Suryo Nugroho, Ziarah Wali: Wisata Spiritual

Sepanjang Masa, (Yogyakarta: Pustaka Timur, 2007), 41.

Page 16: Stratifikasi Sosial dan Agama

Pendahuluan 3

seorang wali atau orang suci5 – bahkan lebih sering bukan

orangnya sendiri tetapi makamnya – daripada langsung

menghadap Tuhan, tentu berhubungan dengan perasaan orang itu

memerlukan perantaraan karena Tuhan dianggap tidak

terjangkau6. Paham perantaraan atau wasilah sangat utama dalam

hal itu. Tetapi fenomena ziarah bukan saja soal ibadah dan

perilaku agama. Hal ini dapat dilihat dari perkembangannya

melalui peranan berbagai tarekat. Sifat ini pun dapat membawa

sorotan baru pada sejarah perkembangan fenomena ziarah,

khususnya di Palembang. Pada masa kini, makam-makam keramat

yang terkenal dijadikan obyek pariwisata, sedangkan perilaku

ziarah dipromosikan sebagai program unggulan pariwisata daerah.

Makam-makam yang dikeramatkan biasanya merupakan

makam yang diyakini sebagai seorang wali atau tokoh yang

5 Pada dasarnya, tiada yang bersifat suci melainkan hanya Allah SWT.

Tiada siapa pun selain Dia yang bernama al-quddu>s5, nama satu-satunya yang

mengungkapkan kesucian-Nya. Ayat-ayat kitab suci mengenai kesucian Allah

dan kesucian manusia tampaknya melarang upaya untuk menghubungkan kedua

konsep tersebut. Konsep yang pertama, yaitu kesucian Allah, sebagaimana

tercantum dalam al-Qur’an (59: 23; 62:1). Sedangkan kata-kata yang

mengungkapkan konsep kedua, yaitu kesucian manusia, bukan sekedar dibentuk

dari akar kata yang berbeda, namun bahkan berasal dari akar kata yang makna

aslinya dapat dianggap sama sekali bertolak belakang: quddu>s (QDS), seperti

padanannya dalam bahasa Ibrani, mempunyai makna dasar yang berarti

“pemisahan” dan selanjutnya menjadi keluhuran yang tertinggi dan kemurnian

absolut. Sebaliknya wala>yah (WLY) mempunyani makna dasar yang berarti

“kedekatan”. Dalam al-Qur’an, istilah-istilah kata WLY cukup banyak

jumlahnya. Istilah wala>yah hanya muncul dua kali (8:27; 18:44), baik sebagai

ungkapan kesetiakawanan antar sesama umat muslim, maupun untuk

menyebutkan perlindungan yang diberikan Allah kepada umat. Istilah wali> dengan jamaknya awliya>’ sebaliknya muncul berkali-kali, namun harus

diterjemahkan dengan cara yang berbeda-beda sesuai dengan konteksnya. Henri

Chambert-Loir dan Claude Guillot, Ziarah dan Wali di Dunia Islam (Jakarta:

Komunitas Bambu, 2010), 10. 6 Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an (2: 186), “Dan apabila

hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendo’a kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”.

Page 17: Stratifikasi Sosial dan Agama

4 Pendahuluan

dianggap telah berhasil menghimpun dirinya dengan berbagai

kesaktian, baik karena bakat lahiriah, maupun sebagai hasil suatu

perjalanan batin tertentu. Kesaktian yang tadinya berada dalam

dirinya itu kemudian bersemayam pula dalam makamnya. Itulah

sebabnya, dengan beberapa perkecualian, ziarah hanya diadakan di

satu-satunya tempat, yaitu di kuburannya7. Di daerah Jawa yang

terkenal adalah makam walisongo8, sementara obyek ziarah yang

mendapat sorotan bagi masyarakat di kota Palembang dan

sekitarnya adalah makam Kyai Marogan.9 Makam Kyai Marogan

adalah makam seorang ulama dan waliyullah di Bumi Sriwijaya.

Beliau merupakan sosok yang karismatik dan penyebar agama

Islam di wilayah Sumatera bagian Selatan ini. Lokasi tersebut

memiliki nilai historis tersendiri sehingga menjadi magnet bagi

peziarahnya. Setiap hari peziarah mengunjungi makam tersebut

agar mendapat berkah dari keistimewaannya.

Dalam suatu masyarakat terdapat figur yang dihormati dan

dianggap sebagai istimewa daripada yang lain sehingga figur ini

diberi kepercayaan penuh oleh masyarakat. Eksistensi orang yang

7 Kuburan tokoh-tokoh itu disebut dengan istilah umum “keramat” (dari

bahasa Arab karomah jamak karamat yaitu “keajaiban”) yang di Indonesia

menunjuk baik tempat dan benda maupun manusia dan bukan hanya wali-wali

Islam ataupun makam saja. Seorang individu yang memiliki kekuatan

paranormal disebut keramat, seperti juga suatu pertemuan dengan dunia ghaib.

Dengan kata lain, terdapat kesinambungan antara makam-makam wali di satu

pihak dan tempat-tempat keramat lainnya yang tidak berkaitan dengan sosok

manusia. Loir dan Guillot, Ziarah dan Wali di Dunia Islam, 229. 8 Menurut Amin Abdullah, walisongo adalah para pembawa dan

penyebar agama Islam di pesisir Jawa bagian utara, yang dikenal cukup intens

dalam melakukan kontekstualisasi nilai-nilai Islam secara kreatif ke dalam

kompleksitas kehidupan masyarakatnya. (Ruslan dan Arifin, Ziarah Wali: Wisata Spiritual Sepanjang Masa), 4.

9 Lihat Abdul Karim Nasution, Kiprah Ki Marogan Mengembangkan Islam di Uluan Palembang, dalam Jurnal Intizar Pusat Penelitian IAIN Raden

Fatah Palembang, volume 10 Nomor 2, Desember 2004, 267-269. Lihat juga

Masagus Fauzan, Sekilas Tentang Ki Marogan, http://kiaimarogan.com/

index.php?option=com_content&task=view&id=13&Ittemid=26. Lihat juga

Ahmad, Memet, Sejarah Masjid Muara Ogan dan Masjid Lawang Kidul serta Biografi Kyai Muara Ogan. Palembang: Yayasan Kyai Muara Ogan, 2005.

Page 18: Stratifikasi Sosial dan Agama

Pendahuluan 5

terpilih atau “orang suci”10 di dalam masyarakat menciptakan

suatu pola tersendiri di dalamnya. Geertz11 mengungkapkan bahwa

agama tampak tumpang tindih dengan kebudayaan karena sifatnya

yang kompleks dan ruang lingkup yang mendalam, khususnya

dalam ajaran agama Islam. Aspek kehidupan beragama tidak hanya

ditemukan dalam setiap masyarakat, tetapi juga berinteraksi

secara signifikan dengan institusi budaya material, perilaku

manusia, nilai, moral, sistem keluarga, ekonomi, hukum, politik,

pengobatan, sains, teknologi, seni, pemberontakan, perang dan lain

sebagainya. Tidak ada aspek kebudayaan lain dari agama yang

lebih luas pengaruh dan implikasinya dalam kehidupan manusia.

Fenomena ziarah kubur tidak terkait langsung dengan al-

Qur’an dan pelaksanaannya kadang-kadang demikian khas

sehingga orang yang menentangnya tidak kekurangan alasan untuk

mencapnya sebagai perilaku keagamaan yang menyimpang atau

bahkan syirik. Praktiknya juga sering spektakuler, terutama pada

waktu perayaan-perayaan besar, bila kerumunan besar peziarah

memperagakan imannya dengan emosi yang meluap sehingga

mengganggu mereka yang lebih bersikap spiritual maupun

rasional.12 Kegiatan ini rutin dilakukan oleh masyarakat,

khususnya masyarakat yang memiliki kepercayaan yang kuat

terhadap hal-hal yang berbau sakral. Kepercayaan tersebut

diaktualisasikan oleh peziarah melalui perilaku keagamaan yang

beragam, mulai dari menabur kembang, mengusap nisan, membaca

10 Orang yang terpilih ini dianggap sebagai orang yang memiliki

keistimewaan dan dekat sang Pencipta, sehingga ketika orang tersebut

meninggal maka dengan berdoa di makamnya maka harapan dan doa si pendoa

akan terkabul. Konsep “orang suci” merujuk pada konsep “wali Allah” yang

berarti orang yang mendekat dan menolong (agama) Allah atau orang yang

didekati dan ditolong Allah. Definisi ini semakna dengan pengertian wali dalam

terminologi Al Qur’an, sebagaimana Allah berfirman, “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang beriman dan selalu bertaqwa.”

(Yunus: 62 – 64) 11 Sebagaimana dikutip dalam Bustanuddin Agus, Agama Dalam

Kehidupan Manusia (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), 9. 12 Henri Chambert-loir dan Claude Guillot, Ziarah dan Wali di Dunia

Islam, 2010: 1

Page 19: Stratifikasi Sosial dan Agama

6 Pendahuluan

do’a, memuja, serta menimbulkan sikap mental tertentu, seperti

rasa takut, optimis, atau pasrah. Kepercayaan semacam ini tampak

aneh, tidak alamiah dan tidak rasional dalam pandangan

masyarakat modern yang terlalu dipengaruhi oleh pandangan

bahwa sesuatu diyakini ada kalau konkret, rasional, ilmiah atau

terbukti secara empirik13. Hal ini dianggap suatu tradisi yang tak

bisa dilepaskan dan masih melekat dalam masyarakat sebagai

suatu kebudayaan. Akhirnya fenomena tersebut seringkali

mewarisi praktik agama pra-Islam, sambil mengambil alih tempat

serta ritus-ritusnya. Singkatnya, fenomena itu dapat saja dicap

kurang murni dari sudut akidah, bahkan kurang serius, sehingga

umumnya paling-paling ditolerir sebagai sarana yang dibutuhkan

umat yang goyah imannya, agar dapat mengamalkan dan

memperkuat imannya.14

Terlepas dari anggapan dan penilaian agama terhadap

praktik ziarah yang menyimpang atau tidak, fenomena seperti ini

kerap muncul dalam kehidupan sehari-hari bahkan telah

membudaya. Kekeramatan makam dianggap sebagai magnet kuat

yang menarik masyarakat untuk menziarahinya. Berziarah ke

makam-makam keramat adalah suatu kebiasaan yang sangat

umum di masyarakat, sehingga siapa pun dapat menjadi peziarah.

Makam keramat Kyai Marogan dianggap sebagai magnet yang

telah menarik perhatian masyarakat Palembang dan sekitarnya

untuk berziarah di sana. Semua lapisan masyarakat15 terkena

13 Bustanuddin, Agus, Agama Dalam kehidupan Manusia, 2006: 2 14 Henri Chambert-Loir dan Claude Guillot, Ziarah dan Wali di Dunia

Islam, 2010: 1 15 Lapisan masyarakat juga dapat disebut sebagai stratifikasi sosial, yaitu

tingkatan yang ada di dalam masyarakat yang diukur atau diakui berdasarkan 4

unsur, yaitu kekayaan, kekuasaan, kehormatan dan pendidikan. Dalam hal ini

pola pikir dan cara pandang masyarakat juga dipengaruhi oleh stratifikasi yang

mereka duduki. (Elly M.Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya (Jakarta: Kencana, 2011), 399. Menurut Jeffries dan Ransford,

stratifikasi sosial di masyarakat secara hirarkis terdiri dari stratifikasi kelas

(aset ekonomi, posisi pekerjaan, tingkat pendidikan, dan gaya hidup), etnis,

jenis kelamin, dan usia. (Jeffries and Ransford, Social Stratification : a Multiple

Page 20: Stratifikasi Sosial dan Agama

Pendahuluan 7

fenomena ziarah, namun ternyata anggota-anggota kelas sosial

tertentu lebih sering ditemukan daripada anggota-anggota kelas

sosial yang lain. Kecenderungan peziarah mayoritas dari kelas

sosial bawah di mana pola kepercayaan mereka umumnya masih

bersifat tradisional dan primitif. Berbeda dengan masyarakat

dengan kelas sosial atas yang memiliki pola kepercayaan modern

di mana segala sesuatu harus berasaskan pada rasionalitas dan

terbukti secara ilmiah. Namun pada kenyataan, mereka yang

berstatus sosial tinggi juga tampak terlihat berziarah ke makam

keramat. Kehadiran peziarah dari beraneka ragam lapisan ini tidak

terlepas dari motif pribadi yang terkadang sukar untuk diketahui.

Struktur masyarakat Palembang yang multikultur

menjadikan masyarakatnya terstratifikasi ke dalam beberapa

lapisan sosial. Stratifikasi sosial masyarakat yang dapat dilihat

dalam berbagai determinan - baik determinan ekonomi, sosial,

pendidikan dan budaya - tidak membuat masyarakat sungkan

untuk berkunjung ke makam keramat. Beragam lapisan

masyarakat yang hadir ternyata memiliki karakter pola

kepercayaan yang berbeda dalam menginterpretasikan ritual

ziarah. Hal ini terlihat ketika masyarakat yang tergolong dalam

kelas atas berziarah ke makam keramat di mana interpretasi

tindakannya berbeda dengan masyarakat kelas bawah. Pada

umumnya masyarakat kelas bawah masih terpengaruh dengan pola

pikir yang tradisional, yakni masih percaya kepada hal-hal yang

berbau mistik, seperti membawa sesajen atau membeli benda-

benda yang dianggap sakral. Hal ini berbeda dengan masyarakat

yang berada di strata atas, di mana pada umumnya mereka

memiliki pola kepercayan yang lebih rasional dan modern. Mereka

percaya kepada sesuatu yang ghaib namun dengan rasionalitas

mereka; mereka enggan untuk membawa hal-hal yang bersifat

tradisional seperti sesajen atau membeli barang-barang yang

mengandung kekuatan mistis karena hal tersebut tidak dapat

dibuktikan secara empirik manfaatnya.

Hierarchy Approach. Allyn and Bacon, INC. United States of America. 1980),

3-4.

Page 21: Stratifikasi Sosial dan Agama

8 Pendahuluan

Status sosial peziarah juga bervariasi mulai dari golongan

petani, pedagang, pegawai, buruh, ulama, pejabat dan lain-lain

berziarah dan membentuk stratifikasi sosial. Tingkah laku

peziarah ini sedikit banyak dipengaruhi oleh status sosial dan pola

kepercayaan mereka. Terdapatnya tingkah laku berbeda dari

peziarah ketika melakukan ziarah dapat berdampak terhadap

enkulturasi ziarah itu sendiri. Perilaku peziarah di makam keramat

akan menjadi suatu kebiasaan sehingga terenkulturasilah menjadi

suatu tradisi budaya sebagai bagian dari budaya ziarah.

Bentuk-bentuk pola perilaku yang merupakan cermin dari

pola kepercayaan dan stratifikasi sosial masyarakat ketika

berziarah dapat terlihat di makam. Peziarah yang memiliki

stratifikasi sosial yang tinggi melakukan ziarah hanya untuk

berkunjung dan mendoakan orang yang berada di dalam makam

tersebut sebagai bentuk penghormatan. Lain halnya dengan

peziarah yang berada pada stratifikasi sosial yang rendah, motif

berziarah pun agak sedikit menyimpang dari adab berziarah. Motif

peziarah dari kelas ini adalah karena niat mereka yang

menginginkan sesuatu seperti kesembuhan, kelancaran rezeki,

kemudahan dalam berjodoh yangmana motif tersebut mereka

sampaikan bukan kepada Allah SWT, tetapi terkadang ada yang

menyampaikannya kepada orang yang dimakamkan di dalam

makam tersebut. Adanya penyimpangan niat seperti ini

kebanyakan disampaikan oleh orang-orang yang berada dalam

status sosial rendah. Tak hanya itu, selain menyampaikan hajat

mereka kepada sang Kyai yang berada di dalam makam, mereka

juga kerap mengambil batu kerikil yang ada di dalam makam

keramat tersebut. Selain itu mereka juga membeli kembang,

kemenyan, dan lain sebagainya sebagai ‘oleh-oleh’ dari

kunjungannya di makam keramat tersebut untuk mengambil

berkat/barokahnya.

Fenomena ziarah sebagai bentuk fakta sosial dalam

masyarakat memperlihatkan bahwa terdapat hubungan antara

stratifikasi dengan agama. Keith A.Roberts menyatakan bahwa

ada hubungan antara keadaan sosial ekonomi dan ketaatan

beragama. Agama mempengaruhi dan dipengaruhi oleh sistem

Page 22: Stratifikasi Sosial dan Agama

Pendahuluan 9

sosial ekonomi. 16 Menurutnya religiusitas seseorang dipengaruhi

secara signifikan oleh agama atau posisinya dalam sistem

stratifikasi. Selain itu, Max Weber17 mengemukakan bahwa

faktor-faktor ekonomi tidak dapat menerangkan ciri-ciri khusus

dari formasi group, kolektivitas dan komunitas tertentu, perlu

menguji ranking status dan macam-macam status kepercayaan

mereka, upacara-upacara keagamaan dan simbol-simbol yang

memperlihatkan ide dari kedudukan sosial. Hal ini bertolak

belakang dengan Karl Marx yang menyatakan bahwa hanya

kepentingan ekonomi yang mempengaruhi agama lebih daripada

agama yang mempengaruhi perilaku ekonomi.18 Marx

mengemukakan bahwa dasar pembentukan kelas sosial bukanlah

konsensus tetapi penghisapan suatu kelas oleh kelas sosial lain

yang lebih tinggi.19 Selain itu, C. Wright Mills dan Gerhard E.

Lenski memberikan pandangan mengenai hubungan antara ketiga

dimensi stratifikasi sosial (privilese, kekuasaan dan prestise)

dengan menekankan aspek kekuasaan. Pendapat-pendapat ini

kemudian diadaptasi oleh Robert MZ Lawang yang menekankan

pentingnya dimensi privilese ekonomi dalam menentukan

dinamika hubungan ketiga dimensi stratifikasi sosial seperti yang

dikemukakan oleh Gerhard E. Lenski dan C. Wright Mills.20

Dalam fenomena sosial budaya di zaman modern ini,

kehidupan beragama menjadi menciut dalam aspek kecil dari

kehidupan sehari-hari. Fenomena penciutan kehidupan beragama

ini karena pengaruh budaya modern yang kadang kala mendekati

modernisme21 dan sekulerisme. Kemajuan ilmu pengetahuan,

16 Keith A. Robert, Religion In Sociological Perspective, (USA:

Wadsworth, 2004), 218 17 Dalam Bryan S. Turner, Weber and Islam, (Jakarta: Direktorat

Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam. 1983), 148 18 Keith A. Robert, Religion In Sociological Perspective, 218 19 J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi: Teks Pengantar dan

Terapan, (Jakarta: Kencana, 2011), 166. 20 Robert M.Z. Lawang, Stratifikasi Sosial di Cancar Manggarai Flores

Barat Tahun 1950-an dan 1980-an, (Jakarta: FISIP UI Press, 2004), 7. 21 Modernisme berbeda dengan modern. Yang pertama telah menjadi

anutan dan paham yang dipakai dalam memandang manusia, alam dan

Page 23: Stratifikasi Sosial dan Agama

10 Pendahuluan

industrialisasi, urbanisasi, dan rasionalisasi dan modernisasi

masyarakat telah menyebabkan agama semakin surut dari arena

kehidupan sosial yang dikuasainya secara tradisional. Lebih lanjut

Durkheim mengatakan bahwa agama mati perlahan-lahan dalam

dunia modern di bawah pengaruh ilmu dan teknologi modern.22

Mereka yang terpengaruh budaya modern lebih memiliki pola pikir

yang rasional dan ilmiah sehingga mempengaruhi pola

kepercayaan mereka terhadap hal-hal yang sakral yang dianggap

irrasional dan jauh dari kata ilmiah. Adanya perubahan

intelektualitas masyarakat dari irasional ke rasional mempengaruhi

perubahan fungsi sosial di dalam masyarakat.

Kekeramatan makam menjadi potret terjadinya interelasi

antara pola kepercayaan masyarakat Palembang dan stratifikasi

sosial. Fenomena ziarah ke makam keramat menunjukkan bahwa

berbagai kelompok masyarakat dan stratifikasi sosial tertentu

memiliki pola kepercayaannya sendiri dalam mengaktualisasikan

perilaku ziarahnya. Fenomena makam keramat ini juga terjadi di

Kota Palembang sehingga menarik untuk diteliti dari perspektif

sosiologis-antropologis. Ketertarikan peneliti terhadap fenomena

kekeramatan makam ini karena masyarakat Kota Palembang

terstratifikasi dalam beberapa kelas dan memiliki interpretasi pola

kepercayaan yang berbeda-beda terhadap keberadaan makam

keramat tersebut.

kehidupan secara keseluruhan. Kalau istilah modernisme dipasangkan dengan

tradisionalisme, ia adalah sifat masyarakat yang berorientasi kepada yang

konkret, otomatisasi, kecenderungan kepada perubahan. Akan tetapi modern

hanya sekedar sikap bersedia atau sekadar menggunakan alat dan produk yang

dihasilkan oleh teknologi modern sehingga tenaga untuk mengerjakan sesuatu

bisa terhemat, seperti handphone dan internet untuk berkomunikasi. Orang

Islam didorong untuk hemat dan melakukan sesuatu dengan sempurna yang

tentunya dengan menggunakan hasil teknologi modern, tetapi mereka tidak

direstui, bahkan diharamkan untuk berpandangan hidup atau berideologi

modernisme karena mengabaikan Allah dan agama sebagai pegangan hidup.

Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia, 10. 22 Stephen K Sanderson, Macrosociology, diterjemahkan oleh Farid

Wajidi, S. Menno (Jakarta, PT RajaGrafindo, 2000), 555.

Page 24: Stratifikasi Sosial dan Agama

Pendahuluan 11

A. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Penelitian ini pada dasarnya mengamati hubungan

stratifikasi sosial dan pola kepercayaan masyarakat. Sebelumnya

ada beberapa penelitian sejenis mengenai stratifikasi sosial namun

tidak secara spesifik membahas hubungan stratifikasi dengan pola

kepercayaan. Diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Sayyed

Zainuddin mengenai “Islam, Social Stratification and

Empowerment of Muslim OBCs”. Tulisan ini bertujuan untuk

menempatkan pertumbuhan dan perkembangan stratifikasi sosial

dalam Islam dari waktu ke waktu, membawa keluar dimensi kasta

di kalangan umat Islam di India Utara dan membuat kasus untuk

pemesanan terpisah untuk pemberdayaan OBCs Muslim.

Pertanyaan mendasar yang perlu ditangani sejak awal adalah

bahwa posisi ideologis Islam berkaitan dengan stratifikasi sosial.

Hal ini terjadi karena umat Islam secara keseluruhan mematuhi

prinsip-prinsip dasar agama Islam dan cukup sering memanggil

ideologi iman mereka untuk menjelaskan praktek-praktek sosial

mereka. Oleh karena itu, diperlukan kepastian posisi Islam pada

pertanyaan tentang stratifikasi sosial, dan pada poin apa

stratifikasi sosial masuk ke dalam skema Islam seperti yang kita

kenal sekarang.23 Selain itu, Jerome Rousseau melihat stratifikasi

secara herediter yang biasanya dijelaskan dalam kaitannya dengan

kompleksitas ekonomi. Namun, bukti etnografis tidak mudah

mendukung penjelasan tersebut. Ia mencontohkan masyarakat di

Asia Tenggara, Melanesia, Polinesia, dan Pantai Barat Kanada

yang menunjukkan bahwa stratifikasi turun temurun berasal dari

konstruksi sosial kepemimpinan.24

Relevansi penelitian terdahulu yang juga banyak dilakukan

adalah mengenai ziarah. Banyak peneliti yang menggunakan

23 Sayyed, Zainuddin. “Islam, Social Stratification and Empowerment of

Muslim OBCs”, Economic and Political Weekly, Vol. 38, No. 46 (November

2003): 4898-4901. http://www.jstor.org/stable/4414285 (diakses pada 02 April

2012). 24 Rousseau, Jerome. “Hereditary Stratification in Middle-Range

Societies.” The Journal of the Royal Anthrolofical Institute, Vol. 7, No. 1

(Maret 2001): 117-131. http://www.jstor.org/stable/2660839. (diakses pada 03

April 2012).

Page 25: Stratifikasi Sosial dan Agama

12 Pendahuluan

konsep ziarah sebagai acuannya melakukan penelitian. Namun,

untuk korelasi konsep ziarah dengan konsep stratifikasi sosial,

jarang dijumpai. Beberapa penelitian antropologis yang mengkaji

karakter keberagamaan kelompok muslim seringkali atau bahkan

tidak bisa menghindari penelusuran mengenai stratifikasi dan

ziarah (pola kepercayaannya). The Religion of Java Clifford

Geertz25 adalah riset pertama yang dilakukan selama tiga tahun

(1951-1954). Geertz menetapkan Mojokuto (satu kota kecil di

Jawa Timur) sebagai lokus utama dalam penelitian lapangannya.

Geertz pertama-tama menemukan bahwa ada tiga tipe kelas

perekonomian di Jawa (baca Mojokuto), yakni petani dan buruh,

pedagang, serta birokrat atau ningrat Jawa. Masing-masing

menjalankan tipe kebudayannya sendiri, yakni perilaku keagamaan

berupa ritual-ritual dan kepercayaan-kepercayaan yang dijalani

masing-masing. Muncullah penamaan Abangan untuk kelas

pertama, Santri untuk kelas kedua, dan Priyayi untuk kelas ketiga.

Semuanya ditujukan untuk menjelaskan aspek keagamaan dan

bukan lagi ekonomi. Geertz mencatat, trikotomi itu sekaligus

mencerminkan organisasi moral kebudayaan Jawa.26

Perihal ziarah kubur yang menjadi fokus penelitian ini,

Geertz menuliskan hasil pengamatan khusus bertajuk

“Pemakaman: Layatan” yang dituangkan dalam paparannya

mengenai Abangan. Setelah pemakaman, kalangan Abangan

menggelar selametan hingga tujuh hari setelah dari kematian, lalu

disusul seratus hari, satu tahun dan seribu hari. Tidak ada

pembahasan khusus yang menjelaskan mengenai ziarah kubur yang

dilakukan kaum Santri dalam paparan Geertz, meskipun ia sedikit

25 Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa

(Jakarta: Pustaka Jaya, 1983). 26 Menurut Geertz, golongan pertama, Abangan, mewakili suatu titik

berat pada aspek animistik dari sinkretisme Jawa. Abangan menjalani

kepercayaan keagamaan Jawa yang asli, secara luas Abangan dihubungkan

dengan elemen petani. Golongan kedua, Santri, mewakili suatu titik berat pada

aspek Islam yang sinkretis dan terutama dihubungkan dengan elemen dagang.

Sementara golongan ketiga, Priyayi, dihubungkan dengan elemen birokratik.

(Clifford Geertz, The Religion of Java, diterjemahkan Aswab Mahasin & Bur

Rasuanto, Jakarta: Komunitas Bambu, 2013)

Page 26: Stratifikasi Sosial dan Agama

Pendahuluan 13

menyinggung keterlibatan kaum Santri dalam ritual ziarah yang

dilakukan kaum Abangan. Ketaatan pada diri Santri dalam

pengertian Geertz lebih dekat dengan kelompok pemurnian Islam

yang menolak ritual ziarah kubur. Pembahasan serupa juga tidak

ada dalam paparan Geertz mengenai Priyayi. Namun di awal

pembahasan mengenai Priyayi ia menekankan bahwa Priyayi

menjalani ritual keagamaan yang sama dengan Abangan dengan

tingkat atau kelas sosial yang lebih tinggi.27

Jeroen Peeters dalam bukunya “Kaum Tuo – Kaum Mudo :

Perubahan Religius di Palembang 1821-1942” menggambarkan

bahwa proses Islamisasi di sana diawali oleh stratifikasi sosial

yang merupakan ciri-ciri Kesultanan Palembang; sekelompok

dominan di puncak, yang memperoleh jati dirinya dari konsepsi

masyarakat yang hierarkis. Stratifikasi sosial yang ketat ini

khususnya menyebabkan adanya seleksi ketat terhadap orang atau

kelompok di mana komunikasi terjadi. Dengan kondisi ini, sangat

mustahil anggota lapisan sosial yang lebih tinggi dapat sering

berkomunikasi satu dan yang lainnya, mengenai tingkah laku, nilai

dan norma kelompok sosial yang lebih rendah. Sebaliknya,

diskriminasi simbolik mengenai distribusi pengetahuan tentang

berbagai kelompok, lebih dimaksudkan untuk merumuskan dan

memantapkan tempat kelompok lain dalam tata susunan sosial.

Sebelumnya, Peeters membagi Palembang dalam dikotomi

perkotaan-pedesaan yang reformis, dengan mendefinisikan NU

sebagai organisasi pedesaan dan Muhammadiyah sebagai gerakan

perkotaan. Namun dikotomi ini menjadi kabur dan sebagai

gantinya terbentur pada religius dan mental antara Iliran dan

Uluan sebagai susunan religius yang pada gilirannya merupakan

27 Menurut Geertz, golongan pertama, Abangan, mewakili suatu titik

berat pada aspek animistik dari sinkretisme Jawa. Abangan menjalani

kepercayaan keagamaan Jawa yang asli, secara luas Abangan dihubungkan

dengan elemen petani. Golongan kedua, Santri, mewakili suatu titik berat pada

aspek Islam yang sinkretis dan terutama dihubungkan dengan elemen dagang.

Sementara golongan ketiga, Priyayi, dihubungkan dengan elemen birokratik.

(Clifford Geertz, The Religion of Java, diterjemahkan Aswab Mahasin & Bur

Rasuanto, Jakarta: Komunitas Bambu, 2013)

Page 27: Stratifikasi Sosial dan Agama

14 Pendahuluan

ungkapan perbandingan kekuasaan religius di bawah negara

kolonial.28

Terhadap konsep ziarah sendiri, banyak peneliti yang

memusatkan perhatiannya di Jawa. Beberapa penelitian

pendahuluan ini sangat penting dan menjadi pintu masuk untuk

melakukan penelitian ini. Mark Woodward dalam Java, Indonesia and Islam mencatat beberapa perbedaan dalam tradisi ziarah kubur

di makam keluarga Keraton Yogyakarta dan tradisi ziarah pada

umumnya yang berlaku di Jawa Timur. Para peziarah, baik di

Yogyakarta maupun di Jawa Timur, berharap mendapatkan berkah

untuk mengatasi berbagai problem hidup yang mereka hadapi.

Namun beberapa perbedaan ditemukan. Di Yogyakarta dan

Surakarta tujuan para peziarah adalah makam para petinggi

kerajaan Mataram. Para peziarah juga harus mematuhi ketentuan

yang ditetapkan oleh pengelola makam misalnya hanya boleh

berziarah pada hari tertentu atau jam-jam tertentu. Para peziarah

di makam keluarga keraton juga harus mengenakan pakaian resmi

dengan mengenakan pakaian adat Jawa. Para lelaki membawa

keris di belakang mereka. Sementara para perempuan tidak

mengenakan penutup kepala. Para peziarah yang datang juga harus

ditemani oleh juru kunci yang telah ditunjuk di makam itu, dan

proses peziarahan berlangsung singkat. Tradisi ziarah di keraton

Yogyakarta itu berbeda dengan yang terjadi di Jawa Timur. Para

peziarah tidak dibatasi oleh peraturan-peraturan tertentu. Makam-

makam yang diziarahi adalah makam para wali yang menyebarkan

agama Islam di kawasan ini. Ribuan peziarah datang ke makam-

makam para wali dengan bus-bus dari berbagai daerah di Jawa dan

daerah lain di Indonesia. Tidak ada aturan khusus dalam berbusana

pada saat berziarah. Para lelaki pada umumnya mengenakan kain

sarung dan perempuannya menggunakan busana muslim yang

menutupi rambut dan seluruh tubuh, selain muka dan telapak

tangan. Para peziarah tidak dibatasi untuk melakukan ritual

tertentu. Masing-masing tradisi ziarah di dua tempat ini memuat

unsur Islam dan unsur Jawa. Perbedaannya, pemegang otoritas

28 Jeroen Peeters, Kaum Tuo-Kaum Mudo: Perubahan Religius di

Palembang 1821-1942, (Jakarta: INIS, 1997), 234.

Page 28: Stratifikasi Sosial dan Agama

Pendahuluan 15

keagamaan --dan pada beberapa aspek juga otoritas politik—di

Jawa Timur adalah para kyai, sementara di Yogyakarta, otoritas

keagamaan dan politik dipegang oleh sultan. Jika di Yogyakarta

dan Surakarta perilaku peziarah dikontrol oleh pihak istana, di

Jawa Timur, perilaku peziarah berdasar pada tradisi yang berlaku

dalam masyarakat setempat.29

Nur Syam, dalam penelitiannya tentang Tradisi Islam Lokal Pesisiran Jawa, mencatat ada tiga lokus penting yang

disakralkan oleh masyarakat dan menjadi medan budaya (cultural sphere), yaitu masjid, sumur dan makam. Masjid menjadi medan

pertemuan umat Islam, meskipun berbeda paham keagamaan. Ia

menyebut adanya ‘wong NU’ dan ‘wong Muhammadiyah’.

Sementara sumur dan makam sangat akrab dalam tradisi ‘wong

Abangan’ dan ‘wong NU’. Tiga medan budaya ini sekaligus

menjadi simbol-simbol Islam lokal yang didalamnya melibatkan

hubungan berbagai penggolongan sosial, agen-agen dan berbagai

tindakan di dalamnya. Tiga medan budaya itu pada umumnya

selalu terkait dengan keberadaan wali atau orang suci. Wali

meskipun telah meninggal – akan tetapi karena keramatnya—

mereka diyakini akan tetap memberikan berkah.30

Badruddin dalam disertasinya mengenai “Pandangan

Peziarah Terhadap Kewalian Kyai Abdul Hamid Bin Abdullah Bin

Umar Basyaiban Pasuruan Jawa Timur: Persepektif

Fenomenologis” menganalisis berdasarkan teori konstruksi sosial,

aktivitas ziarah di makam Kyai Hamid terbentuk dari perilaku

individu yang didasari keinginan tertentu dan didukung oleh teks-

teks suci atau ajaran normatif dari para pendahulu. Aktivitas

individu itu dilakukan berulang-ulang sampai membentuk pola

tertentu dan bisa dimengerti bersama. Teori konstruksi sosial juga

menjelaskan suatu proses pewarisan suatu dari generasi ke

generasi melalui suatu proses sosialisasi tertentu. Inti dari teori ini

adalah menjelaskan terjadinya proses dialektika, yakni

eksternalisasi, objektifasi dan internalisasi yang ada dalam suatu

29 Mark Woodward, Java, Indonesia and Islam (New York: Springer,

2010) 30 Nur Syam, Islam Pesisir, (Yogyakarta: LKiS, 2005)

Page 29: Stratifikasi Sosial dan Agama

16 Pendahuluan

tradisi. Bahwa ziarah kubur di makam Kyai Hamid berawal dari

tindakan individu-individu kemudian terakumulasi menjadi suatu

realitas obyektif. Selanjutnya, realitas obyektif itu ditarik kembali

ke dalam diri individu, dan diinterpretasikan menurut tingkat

pengetahuan, pengalaman dan kepentingan mereka masing-

masing.31

Karya Tashadi, dkk berjudul Budaya Spiritual dalam Situs Keramat di Gunung Kawi Jawa Timur (1994/1995) memperjelas

fakta bahwa keyakinan masyarakat terhadap kekeramatan masih

sangat kuat, yang mana banyak motivasi yang melatari tradisi ini -

-meskipun motivasi ekonomi sangat dominan. Karya lain yang

senada ditulis oleh Jamhari, The Meaning Interpreted: The Concept of Barakah in Ziarah (2001).32 Studi lapangan di Bayat

Klaten Jawa Tengah ini menfokuskan pada pemahaman barokah oleh para peziarah makam Sunan Bayat. Karya-karya di atas

menekankan aspek tradisi ziarah yang dipertahankan, segi

ritualisme dalam pemujaan makam, dan pemahaman konsep

barokah dalam ziarah.

Ahmad Amir Aziz, dkk melakukan penelitian terhadap

“Kekeramatan Makam (Studi Kepercayaan Masyarakat terhadap Kekeramatan Makam-makam Kuno di Lombok). Penelitian ini

mengambil bidang khusus yang berhubungan dengan motivasi,

kepercayaan-keyakinan serta bentuk ritual yang dipraktekkan oleh

para peziarah. Perihal istilah “keramat” sesungguhnya merupakan

suatu istilah yang lazim dipakai kalangan masyarakat untuk

menyebut hal-hal yang berbau mistis. Terlebih bagi umat Islam

yang cukup kaya dengan berbagai pandangan teologis perihal

keabsahan suatu karomah. Persoalan kekeramatan ini tidak

31 Badruddin, “Pandangan Peziarah Terhadap Kewalian Kyai Abdul

Hamid Bin Abdullah Bin Umar Basyaiban Pasuruan Jawa Timur: Persepektif Fenomenologis”. Disertasi program pascasarjana IAIN Sunan Ampel,

Surabaya. 2011 32 Jamhari, “The Meaning Interpreted: The Concept of Barakah in

Ziarah”, Studia Islamika (Indonesian Journal for Islamic Studies), Vol.8, No.1,

(2001), 87-123.

Page 30: Stratifikasi Sosial dan Agama

Pendahuluan 17

samata-mata persoalan agama tetapi sekaligus juga berhubungan

tradisi dan budaya.33

Berbeda dari penelitian-penelitian sebelumnya, fokus

dalam penelitian ini terletak pada hubungan stratifikasi dan pola

kepercayaan masyarakat ketika berziarah ke makam keramat di

Kota Palembang. Peneliti akan menggunakan analisis berdasarkan

perspektif sosiologi dengan pendekatan antropologis. Berdasarkan

perspektif dan pendekatan tersebut, peneliti melihat ziarah yang

dilakukan ke makam keramat merupakan suatu fenomena

keagamaan yang di dalamnya terdapat sistem sosial dan sistem

budaya yang mempengaruhi pola tindakan masyarakat ketika

berziarah.

B. Metode Penelitian

1) Desain Penelitian a. Lokasi Penelitian

Peneliti akan mengamati fenomena kekeramatan makam

yang ada di Kota Palembang. Alasan peneliti mengambil Kota

Palembang sebagai lokasi penelitian karena Kota Palembang

dulunya merupakan pusat kerajaan Sriwijaya dan terjadi akulturasi

antara Hindu-Buddha dengan Islam. Sebagai kota tertua di

Indonesia34, Palembang memiliki kompleks makam yang dianggap

keramat, antara lain makam Kyai Marogan. Makam Kyai Marogan

adalah makam seorang ulama Palembang yang menyebarkan

ajaran Islam hingga ke pelosok desa di wilayah Sumatera Selatan.

Makamnya dianggap penting bagi peneliti untuk diteliti karena

semasa hidupnya sosok Kyai Marogan diyakini oleh masyarakat

33 Ahmad Amir Aziz, dkk. “Kekeramatan Makam (Studi Kepercayaan

Masyarakat terhadap Kekeramatan Makam-makam Kuno di Lombok)”. Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 1, No. 1, (Desember 2004), 59-77.

34 Kota Palembang merupakan kota tertua di Indonesia berumur

setidaknya 1383 tahun jika berdasarkan prasasti Sriwijaya yang dikenal sebagai

prasasti Kedukan Bukit. Menurut Prasasti yang berangka tahun 16 Juni 682.

Pada saat itu oleh penguasa Sriwijaya didirikan Wanua di daerah yang sekarang

dikenal sebagai kota Palembang. (Sumber: Hapsa D, Asal Usul Kota Palembang, http://freakingothic.blog.esaunggul.ac.id/2011/02/16/asal-usul-kota-

palembang/ (diakses pada tanggal 25 Maret 2012))

Page 31: Stratifikasi Sosial dan Agama

18 Pendahuluan

memiliki karomah yang luar biasa dan membekas di benak

masyarakat sehingga, meskipun sudah wafat, masyarakat masih

menganggap bahwa makamnya dapat memberikan barokah bagi

mereka. Masyarakat yang datang ke makam-makam ini berasal

dari berbagai stratifikasi dan mereka juga memiliki pola

kepercayaan yang bervariasi terhadap kekeramatan makam.

b. Jenis dan Sifat Penelitian

Berdasarkan masalah yang dikaji dalam penelitian ini,

maka jenis metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif35.

Penelitian ini bersifat deskriptif36 yang berusaha menemukan fakta

serta memberikan gambaran suatu pengalaman atau peristiwa dari

kehidupan masyarakat, yang dalam hal ini adalah perilaku maupun

pengalaman masyarakat terhadap kekeramatan makam yang

terdeskripsi ke dalam stratifikasi sosial dan pola kepercayaan yang

akan tergambar dalam situasi yang wajar (natural setting).

Landasan teoritis dari penelitian kualitatif ini bertumpu

secara mendasar pada fenomenologi yang berusaha memahami dan

menafsirkan makna suatu peristiwa interaksi serta tingkah laku

manusia dalam situasi tertentu menurut perspektif peneliti sendiri.

Karena itu pada penelitian ini fenomenologi dijadikan sebagai

dasar teoritis utama sedangkan pendekatan etnografi dijadikan

sebagai dasar tambahan dalam menganalisis dan melatarbelakangi

secara teoritis penelitian kualitatif.37 Pendekatan etnografi38

35 Bogdan dan Taylor mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai

prosedur penelitian yang menghadirkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis

atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. (Moleong. “

Metodologi Penelitian Kualitatif” (Bandung: PT remaja Rosdakarya. 2010), 4) 36 Penelitian deskriptif (descriptive research) disini bermaksud membuat

penggambaran secara sistematis, factual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan

sifat-sifat populasi tertentu. (Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar.

“Metodologi Penelitian Sosial” (Jakarta: Bumi Aksara. 2008), 4. 37 Pendekatan fenomenologi yang akan digunakan dalam penelitian ini

adalah fenomenologi menurut Peter L. Berger yang lebih menekankan

rasionalisme dan realitas yang ada. Hal ini sejalan dengan penelitian etnografi

yang menitikberatkan pandangan masyarakat setempat. Realitas dipandang

lebih penting dan dominan dibanding teori-teori melulu. (Endraswara,

Metodologi Penelitian Kebudayaan, 2006: 42). Pendekatan fenomenologi

dijadikan pendekatan utama dibanding pendekatan etnografi karena

Page 32: Stratifikasi Sosial dan Agama

Pendahuluan 19

digunakan untuk mendeskripsikan kebudayaan sebagaimana

adanya dan berupaya mempelajari peristiwa kultural, yang

menyajikan pandangan hidup subjek sebagai objek studi. Oleh

karena itu, peneliti dituntut untuk terlibat di dalam kehidupan

masyarakat sehari-hari dengan melakukan pengamatan terlibat

terhadap kehidupan masyarakat. Di makam Kyai Marogan ini

peneliti dengan leluasa bisa melakukan pengamatan terhadap

berbagai tindakan para peziarah, baik peziarah lokal maupun

regional. Melalui pengamatan terlibat secara seksama diperoleh

gambaran tentang bagaimana tindakannya ketika ziarah, apa saja

yang dilakukan peziarah serta motif-motif peziarah. Semuanya

ditangkap sangat memadai di ruang budaya ini.

2) Pendekatan Selain bersifat deskriptif-kualitatif, pendekatan yang

digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologi dan

antropologi.39 Pendekatan sosiologi di sini melihat pola interaksi

antara agama dan masyarakat. Pra-anggapan dasar perspektif

sosiologis adalah concern-nya pada struktur sosial, konstruksi

pengalaman manusia dan kebudayaan termasuk agama. Objek-

objek, pengetahuan, praktik-praktik dan institusi-institusi dalam

dunia sosial, oleh para sosiolog dipandang sebagai produk interaksi

manusia dan konstruksi sosial. Para sosiolog mengkaji praktik-

praktik keagamaan untuk membuktikan hubungannya dengan

fenomenologi merupakan landasan teoritis dari penelitian kualitatif . (Moleong,

Metodologi Penelitian Kualitatif, 2010: 14). 38 Sebagai suatu pendekatan, etnografi memiliki karakter dan langkah-

langlah tersendiri dalam penelitian, seperti yang dikemukakan oleh Spradley

dalam buku Metode Etnografi; (1) menetapkan informan; (2) melakukan

wawancara kepada informan; (3) membuat catatan etnografis; (4) mengajukan

pertanyaan deskriptif; (5) melakukan analisis wawancara etnografis; (6)

membuat analisis domain; (7) mengajukan pertanyaan struktural; (8) membuat

analisis taksonomik; (9) mengaukan pertanyaan kontras; (10) membuat analisis

komponen; (11) menemukan tema-tema budaya; (12) menulis etnografi.

(Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan, (Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press, 2006), 54-57. 39 Peter Connoly (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama, (Yogyakarta:

LkiS, 2002), 267

Page 33: Stratifikasi Sosial dan Agama

20 Pendahuluan

institusi, struktur, ideology, kelas, dan perbedaan kelompok yang

dengannya masyarakat terbentuk. Tak hanya itu, penelitian ini

juga menggunakan pendekatan antropologi karena penelitian ini

berusaha memotret apa adanya tentang dimensi-dimensi

kepercayaan, keyakinan, ritual, dan tradisi yang telah berlangsung

lama dan diikuti banyak orang. Di dalam fenomena kekeramatan

makam, terdapat makna-makna terdalam dari aktivitas

masyarakatnya. Hal ini harus diungkap berdasarkan pelbagai

penilaian dari sudut pandang antropologis. Bahkan, bila persoalan

ini memiliki kerumitan yang berhubungan dengan konstruksi

sosial dan kebudayaan masyarakat, maka pertimbangan-

pertimbangan sosiologis sangat diperlukan untuk melihat gejala-

gejala, faktor-faktor pembentuk, tingkah laku, pola-pola dan

implikasi-implikasinya.

3) Unit Analisis Unit analisis adalah pada level mana peneliti ingin

mengumpulkan data. Penentuan unit analisis ini penting agar

peneliti tidak salah dalam pengumpulan data dan pengambilan

simpulan nantinya saat penelitian dilakukan. Dalam penelitian ini

unit analisis yang diambil yakni pada tataran individu, yaitu para

peziarah yang datang ke makam keramat dan masyarakat yang

mengetahui tentang kekeramatan makam di Kota Palembang.

Pendekatan yang peneliti gunakan untuk mempelajari

stratifikasi peziarah adalah pendekatan objektif.40 Artinya, usaha

untuk memilah-milah masyarakat ke dalam beberapa lapisan

dilakukan menurut ukuran-ukuran yang objektif berupa variabel

yang mudah diukur, seperti kategori umur, jenis kelamin,

pendidikan, dan pekerjaan. Pihak yang dikategorikan menurut

pendekatan objektif ini secara tidak sadar termasuk ke dalam

kategori tertentu yang dibuat secara objektif.

40 Menurut Zanden, di dalam sosiologi dikenal tiga pendekatan untuk

mempelajari stratifikasi sosial, yaitu pendekatan objektif, pendekatan subjektif,

dan pendekatan reputasional. Dalam Narwoko, Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan, 166

Page 34: Stratifikasi Sosial dan Agama

Pendahuluan 21

20

.

19

.

18

.

17

.

16

.

15

.

14

.

13

.

12

.

11

.

10

.

9.

8.

7.

6.

5.

4.

3.

2.

1.

No

.

Tab

el 1. P

rofil In

form

an B

erdasark

an S

tratifikasi Jen

is Kela

min

, Um

ur, A

gam

a. Pen

did

ikan

, Jenis P

ekerja

an, d

an A

sal

RD

MR

SJ

MM

AT

IW

DD

HM

YT

SK

KL

BM

ST

YL

FD

DN

ZN

SW

CN

RN

Info

rman

Lak

i-laki

Perem

pu

an

Lak

i-laki

Lak

i-laki

Perem

pu

an

Lak

i-laki

Lak

i-laki

Lak

i-laki

Lak

i-laki

Perem

pu

an

Perem

pu

an

Lak

i-laki

perem

pu

an

Perem

pu

an

Lak

i-laki

Lak

i-laki

Perem

pu

an

Lak

i-laki

Lak

i-laki

Perem

pu

an

Jenis

Kelam

in

58

36

39

51

40

38

35

28

72

27

42

44

54

34

44

42

36

65

38

22

Um

ur

(tahu

n)

Ko

ng

hu

chu

Islam

Islam

Islam

Islam

Islam

Islam

Islam

Islam

Islam

Islam

Islam

Islam

Islam

Islam

Islam

Islam

Islam

Islam

Islam

Ag

ama

SM

A

S-1

S1

S-1

SM

A

SM

A

SM

P

S-1

Tid

ak S

eko

lah

S-1

SM

A

D-3

SM

P

SM

A

SD

SM

A

S1

Tid

ak S

eko

lah

SD

D-3

Pen

did

ikan

Ped

agan

g

Caleg

Caleg

PN

S

Ibu

Ru

mah

Tan

gg

a

Ped

agan

g K

eliling

Bu

ruh

Wirau

saha

Petan

i

PN

S

Pen

jaga T

ok

o

Kep

ala Desa

Ibu

Ru

mah

Tan

gg

a

Ibu

Ru

mah

Tan

gg

a

Pen

gem

ud

i Ketek

Su

pir

Gu

ru

Petan

i

Bu

ruh

Mah

asiswi

Pek

erjaan

Cin

a Palem

ban

g

Palem

ban

g

Palem

ban

g

Ind

eralaya

Palem

ban

g

Ban

yu

asin

Mu

si Ban

yu

asin

Palem

ban

g

Ko

merin

g

Palem

ban

g

Palem

ban

g

Ba n

yu

asin

Pem

ulu

tan

Palem

ban

g

Og

an Ilir

Kay

u A

gu

ng

Palem

ban

g

Tan

jun

g R

aja

Sek

ayu

Palem

ban

g

Asa

l

Page 35: Stratifikasi Sosial dan Agama

22 Pendahuluan

Berdasarkan tabel profil informan berdasarkan stratifikasi

tersebut di atas, informan-informan tersebut dapat

dikategorisasikan sebagai berikut:

Tabel 2. Kategorisasi Informan Berdasarkan Stratifikasi

2.1. Kategorisasi Informan 2.2. Kategorisasi Informan

Berdasarkan Jenis Kelamin Berdasarkan Agama No. Informan Jenis Kelamin No. Informan Agama

1. CN Laki-laki 1. CN Islam

2. SW Laki-laki 2. SW Islam

3. DN Laki-laki 3. DN Islam

4. FD Laki-laki 4. FD Islam

5. BM Laki-laki 5. BM Islam

6. YT Laki-laki 6. YT Islam

7. HM Laki-laki 7. HM Islam

8. DD Laki-laki 8. DD Islam

9. IW Laki-laki 9. IW Islam

10. MM Laki-laki 10. MM Islam

11. SJ Laki-laki 11. SJ Islam

12. RD Laki-laki 12. MR Islam

13. RN Perempuan 13. RN Islam

14. ZN Perempuan 14. ZN Islam

15. YL Perempuan 15. YL Islam

16. ST Perempuan 16. ST Islam

17. KL Perempuan 17. KL Islam

18. SK Perempuan 18. SK Islam

19. AT Perempuan 19. AT Islam

20. MR Perempuan 20. RD Konghuchu

Page 36: Stratifikasi Sosial dan Agama

Pendahuluan 23

2.3. Kategorisasi Informan 2.4. Kategorisasi Informan

Berdasarkan Pendidikan Berdasarkan Pekerjaan No. Informan Pendidikan No. Informan Agama

1. ZN S1 1. SJ Caleg

2. SK S1 2. MR Caleg

3. HM S1 3. HM Wirausaha

4. MM S1 4. BM Kepala Desa

5. SJ S1 5. MM PNS

6. MR S1 6. SK PNS

7. RN D3 7. ZN Guru

8. BM D3 8. RN Mahasiswi

9. DN SMA 9. RD Pedagang

10. YL SMA 10. KL Penjaga Toko

11. KL SMA 11. DN Sopir

12. IW SMA 12. IW Pedagang Keliling

13. AT SMA 13. FD Pengemudi Ketek

14. RD SMA 14.. YL IRT

15. ST SMP 15. AT IRT

16. DD SMP 16. ST IRT

17. CN SD 17. DD Buruh

18. FD SD 18. CN Buruh

19. SW Tidak Sekolah 19. SW Petani

20. YT Tidak Sekolah 20. YT Petani

4) Sumber dan Jenis Data Sumber data dalam penelitian adalah subyek darimana data

diperoleh. Menurut Lotfand dan Lotfand sumber data utama dalam

penelitian kualitatif ialah data primer dan data sekunder.41

1. Data primer, yaitu sumber data utama yang berupa hasil

wawancara mendalam dan tindakan serta beberapa

keterangan yang diperoleh langsung dari informan

(peziarah yang berkunjung ke makam keramat di Kota

Palembang). Sumber data utama dicatat melalui catatan

tertulis atau melalui pengambilan foto.

2. Data sekunder, yaitu sumber data yang diperoleh bersifat

secara tidak langsung dan mampu melengkapi data primer.

Data sekunder diperoleh dari sumber tertulis yang

41 Dikutip dari Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif, 112

Page 37: Stratifikasi Sosial dan Agama

24 Pendahuluan

merupakan sumber data pendukung dalam penelitian

kualitatif. Sumber data tertulis ini berupa sumber buku,

majalah ilmiah, sumber dari arsip, dokumen pribadi,

maupun dokumen resmi yang berkaitan dengan penelitian.

5) Teknik Pengumpulan Data Pada penelitian ini dalam proses pengumpulan data akan

digunakan observasi, metode wawancara, dan dokumentasi.42

a. Observasi

Observasi43 yang digunakan dalam pengumpulan data pada

penelitian ini adalah teknik participation observation. Pengamatan

berpartisipasi ini dilakukan pada saat mengamati mengamati pola

tindakan, perilaku spiritual, pengalaman, serta pandangan

masyarakat Kota Palembang ketika berziarah ke makam keramat.

Analisis dilakukan secara deskriptif etnografik, yaitu analisis

dilakukan secara terus menerus baik pada saat di lapangan dan

setelah di lapangan. Dalam melakukan partisipant observation, peneliti berusaha menyimpan pembicaraan informan, membuat

penjelasan berulang, menegaskan pembicaraan informan, dan tidak

menanyakan makna tetapi gunanya. Pengamatan berpartisipasi

dipilih untuk menjalin hubungan baik dengan informan. Dalam hal

ini, peneliti melakukan pengamatan berpartisipasi pada saat

berziarah ke makam keramat. Pada saat itu, peneliti ikut

melakukan ziarah, ikut berdoa bersama peziarah yang lain, dan

ikut melihat benda-benda di sekitar makam keramat yang

dianggap memiliki kekuatan. Pengamatan terlibat ini dibantu

dengan catatan lapangan dan pendokumentasian melalui foto.

Catatan mengenai apa yang peneliti lihat ini berupa catatan

singkat yang berkaitan dengan nama-nama pelaku utama, tindakan

yang mereka lakukan, ungkapan-ungkapan yang mempengaruhi

42 Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif, 135 43 Observasi diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara

sistematik terhadap gejala-gejala yang tampak pada obyek penelitian. Observasi

dilakukan melalui pengamatan secara langsung terhadap fenomena-fenomena

yang akan diteliti di mana peneliti melakukan pengamatan atau pemusatan

perhatian terhadap objek dengan menggunakan alat indera (mata dan telinga).

(Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, 176.

Page 38: Stratifikasi Sosial dan Agama

Pendahuluan 25

peristiwa yang menjadi sasaran pengamatan, dan nama beberapa

objek fisik untuk mengingatkan seluruh lingkungan tempat

peristiwa sasaran pengamatan tadi terjadi. Catatan-catatan ini

dibuat sesingkat mungkin agar tidak terlalu teralih perhatian dari

pengamatan kepada pencatatan.44 Selain itu, pendokumentasian

foto juga membantu dalam melakukan pengamatan. Hanya saja,

peneliti harus berhati-hati untuk mengambil gambar agar tidak

mengganggu kekhusukan peziarah. Bahkan peneliti juga

melakukan konfirmasi kepada informan untuk mengambil gambar

mana saja yang diperbolehkan dan saat mana yang tidak

diperbolehkan.

b. Wawancara mendalam (indepth interview)

Peneliti akan menggunakan metode wawancara

berstruktur, yaitu pertanyaan yang telah dirumuskan sebelum

berhadapan dengan informan. Selain itu, peneliti juga akan

menggunakan teknik tidak berstruktur untuk mendapatkan

jawaban yang lebih terbuka dengan tujuan untuk memahami

karakter asli peziarah. Dalam wawancara, peneliti menggunakan

bahasa Indonesia dan bahasa Palembang. Oleh karena, ada hal-hal

dan ungkapan-ungkapan tertentu yang harus diungkap

menggunakan bahasa Palembang. Hasil wawancara yang

berbahasa Indonesia kemudian ditranskipkan, dan yang berbahasa

Palembang dialihbahasakan terlebih dahulu ke dalam bahasa

Indonesia untuk memudahkan analisis.

Pedoman wawancara disesuaikan dengan fokus penelitian,

dirumuskan atas tiga fokus dan pokok pertanyaan yakni :

1. Determinasi stratifikasi;

2. Pola kepercayaan masyarakat terhadap makam;

3. Interelasi stratifikasi dan pola kepercayaan melalui pola

tindakan peziarah.

Pertanyaan yang telah dirumuskan di atas lebih

memudahkan dalam pengolahan data. Wawancara akan dilakukan

dengan pihak-pihak yang terkait secara langsung maupun tidak

44 Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama, 1997), 114.

Page 39: Stratifikasi Sosial dan Agama

26 Pendahuluan

langsung dengan kajian penelitian, seperti peziarah, juru kunci

makam, dan tokoh masyarakat.

Wawancara mendalam, dilakukan sebelum dan sesudah

pelaksanaan ziarah. Wawancara awal dilakukan kepada informan

kunci yakni peziarah dan juru kunci makam, kemudian dilanjutkan

atas rekomendasi informan kunci ini secara snowballing. Atas

dasar rekomendasi informan ini, peneliti baru meneruskan

wawancara kepada informan berikutnya, dan seterusnya, sampai

mendapatkan “data jenuh”, 45 yakni tidak ditemukan informasi

baru lagi.

Untuk mencapai kredibilitas data dilakukan dengan cara

pengamatan secara terus menerus dan triangulasi.46 Pengamatan

terus menerus ditempuh dengan cara beberapa kali berkunjung ke

makam keramat. Triangulasi dilakukan dengan cara pengecekan

ulang oleh informan setelah hasil wawancara ditranskip. Di

samping itu juga berkonsultasi kepada pembimbing.

c. Dokumentasi

Dokumentasi menjadi salah satu rujukan penulis dalam

meneliti, di mana penulis akan mengkaji berbagai referensi

tertentu yang berkaitan dengan penelitian ataupun menjadi sumber

dalam menjawab tinjauan teoritis permasalahan yang diteliti.

6) Teknik Analisis Data Penelitian ini, menggunakan metode penelitian kualitatif

yang berupa deskripsi mendalam terhadap fenomena kekeramatan

makam. Dalam kaitan ini diterapkan konsep analisis47 budaya

Geertz48 yang disebut model for dan model of. Model for artinya

konsep yang telah ada diterapkan ke dalam relitas fenomena sosial

45 Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan, 240. 46 Husaini dan Purnomo, Metodologi Penelitian Sosial, 98. 47 Menurut Bogdan dan Biklen47, analisis data ialah proses pencarian dan

penyusunan data yang sistematis melalui transkrip wawancara, catatan

lapangan, dan dokumentasi yang secara akumulasi menambah pemahaman

peneliti terhadap yang ditemukan. (Husaini Usman dan Purnomo Setiady

Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, 32 48 Dikutip dari Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan,

242.

Page 40: Stratifikasi Sosial dan Agama

Pendahuluan 27

budaya. Model of artinya realitas fenomena sosial budaya

ditafsirkan atau dipahami. Penelitian ini menggunakan model of yakni mengadakan pengamanatan terlibat, kemudian secara emik

menanyakan kepada pelaku yang berada dalam fenomena

kekeramatan makam untuk mengungkapkan peran dan tujuan

terlibat dalam fenomena tersebut, sesuai dengan stratifikasi dan

pola kepercayaannya. Peneliti melakukan refleksi dengan informan

terhadap sikap, ucapan, dan tindakan peziarah, sehingga terjadi

penafsiran intersubjektif. Hasil penafsiran ini kemudian

direlasikan dengan kerangka teori yang telah dibangun untuk

menemukan relasi stratifikasi sosial dan pola kepercayaan

masyarakat secara keseluruhan.

Untuk mengungkap relasi stratifikasi sosial dan pola

kepercayaan masyarakat secara struktural fungsional, digunakan

teknik analisis kualitatif etnografik. Maksudnya, peneliti berusaha

mendeskripsikan secara etnografik tentang sikap, kata-kata, dan

perbuatan peziarah. Deskripsi tersebut digambarkan secara holistik

dan mendalam. Analisis ini dilakukan secara terus menerus baik

pada saat di lapangan.

Sajian data analisis dilakukan secara deskriptif yang

mendalam. Proses analisis data dilakukan terus menerus baik di

lapangan maupun setelah di lapangan. Analisis dilakukan dengan

cara mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, memberi kode,

dan mengkategorikan data. Setelah itu baru dicari tema-tema

budaya yang kemungkinan menjadi fokus penelitian. Fokus

penelitian ini, diperdalam melalui pengamatan dan wawancara

berikutnya.

Dalam analisis ini, yang berbicara adalah data dan peneliti

tidak melakukan penafsiran. Jika ada penafsiran, adalah hasil

pemahaman dari interpretasi informan terhadap fenomena yang

dialami. Dengan cara semacam ini, akan terlihat relasi stratifikasi

sosial dan pola kepercayaan masyarakat terhadap fenomena

kekeramatan makam tanpa intervensi peneliti.

Page 41: Stratifikasi Sosial dan Agama

28 Pendahuluan

Page 42: Stratifikasi Sosial dan Agama

BAB II

“...faktor-faktor ekonomi sendiri tidak dapat menerangkan ciri-ciri

khusus dari formasi grup dan kesadaran grup. Untuk memahami solidaritas grup, kolektivitas dan komunitas tertentu, perlu

menguji ranking status dan macam-macam status kepercayaan mereka, upacara-upacara keagamaan dan simbol-simbol yang

memperlihatkan idea dari kedudukan sosial...” -- Max Weber –

Page 43: Stratifikasi Sosial dan Agama

PARADIGMA DAN KERANGKA TEORITIS

STRATIFIKASI SOSIAL DAN AGAMA

iskursus mengenai stratifikasi sosial seringkali

dikaitkan dengan determinan ekonomi dan

kekuasaan. Padahal stratifikasi sosial dapat juga

dipengaruhi oleh determinan lain, seperti aspek keagamaan.

Stratifikasi sosial dalam penelitian ini difokuskan pada

pembahasan tentang adanya stratifikasi keagamaan sebagai relasi

antara stratifikasi sosial dan agama yang ada di dalam masyarakat.

Untuk mengetahui adanya keterhubungan antara

stratifikasi sosial dan agama, maka penting untuk diuraikan

mengenai paradigma stratifikasi sosial dan agama dalam sistem

sosial masyarakat serta pandangan Islam terhadap stratifikasi

sosial sehingga didapat keterhubungan masyarakat dan stratifikasi

keagamaan.

A. Paradigma Stratifikasi Sosial

Kehidupan sosial merupakan suatu tingkat realitas yang

tidak dapat diinterpretasikan dalam hubungannya dengan

karakteristik individu-individu. Dalam kehidupan sosial,

masyarakat senantiasa mempunyai penghargaan tertentu terhadap

hal-hal tertentu dalam masyarakat yang bersangkutan.

Penghargaan yang lebih tinggi terhadap hal-hal tertentu, akan

D

Page 44: Stratifikasi Sosial dan Agama

32 Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi

Sosial dan Agama

menempatkan hal tersebut pada kedudukan yang lebih tinggi dari

hal-hal lainnya. Sesuatu yang dihargai di dalam masyarakat akan

menjadi bibit yang dapat menumbuhkan adanya sistem lapisan di

dalam masyarakat itu.1 Sesuatu yang dihargai di dalam masyarakat

dapat berupa uang atau benda-benda yang bernilai ekonomis,

tanah, kekuasaan, ilmu pengetahuan, kesalehan dalam agama atau

mungkin juga keturunan yang terhormat.2

Pitirim A.Sorokin mengemukakan bahwa sistem pelapisan

dalam masyarakat di dalam sosiologi dikenal dengan social stratification3. Dasar dari inti lapisan masyarakat ini tidak adanya

keseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban, dan tanggung

jawab nilai-nilai sosial pengaruhnya di antara anggota-anggota

masyarakat. Selanjutnya, Talcott Parson menilai bahwa pelapisan

sosial dianggap sebagai kedudukan yang berbeda-beda, mengenai

pribadi-pribadi manusia yang merangkaikan suatu sistem sosial

1 Pitirim A. Sorokin, Social Mobility (New York, 1927), telah

membedakan apa yang di sini disebut sebagai pelapisan sebagai poros “vertikal”

dan poros “horizontal”. Poros vertikal muncul karena ketimpangan distribusi

dan kelangkaan barang berharga yang dibutuhkan oleh masyarakat seperti uang,

kekuasaan, pendidikan, keterampilan, dan semacamnya. Sementara itu poros

horizontal muncul karena pembagian kerja, perbedaan agama, ras, etnis, atau

perbedaan jenis kelamin. Menurutnya dalam masyarakat yang masih sederhana,

perbedaan kedudukan dan peran bersifat sederhana, mengingat warganya masih

sedikit dan mereka yang mempunyai kedudukan tinggi pun tidak banyak

jumlahnya. Sebaliknya, semakin kompleks suatu masyarakat, semakin kompleks

pula sistem lapisan-lapisan dalam masyarakat. Talcott Parson, Esei-Esei Sosiologi, diterjemahkan S. Aji (Jakarta: Aksara Persada Press, 1985), 70. Lihat

juga Vincent Jeffries dan Edward Randsford, Social Stratification: A Multiple Hierarchy Approach, (USA: Allyn and Bacon, Inc, 1980)

2 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali

Pers,2012), 199. Lihat juga H{usain S{iddiq, “al-Inja>ha>t al-Naz{a>riyah lidira>sah al-

Tanz{i>ma>t al-Ijtima>‘iyah ‘Ard{u - wa Taqwi>m”, Majallah Ja>mi‘ah Dimishqa 27,

al-‘Adad al-Tha>lith 2011. 3 Kata stratification berasal dari kata stratum (jamaknya: strata yang

berarti lapisan). Pitirim A.Sorokin menyatakan bahwa social stratification adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara

bertingkat (hierarkis). Perwujudannya adalah kelas-kelas tinggi dan kelas yang

lebih rendah. (Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, 198). Lihat juga

Pitirim A. Sorokin, Social and Cultural Mobility, (Collier-Macmillan Limited

London: The Free Press of Glencoe, 1959), 11.

Page 45: Stratifikasi Sosial dan Agama

Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi Sosial dan Agama

33

yang ada dan perlakuannya sebagai hubungan orang atasan

(superior) dan orang bawahan (inferior) satu sama lain dalam hal-

hal tertentu yang oleh masyarakat dianggap penting. Kedudukan4

yang bermacam-macam itu dianggap suatu fenomena sistem-

sistem sosial yang benar-benar mendasar. Kedudukan merupakan

salah satu di antara banyak dasar yang memungkinkan di mana

individu dapat dibeda-bedakan berdasarkan stratanya. Namun,

perbedaan kedudukan seseorang hanya berlaku sepanjang

perbedaan-perbedaan tersebut masih berhubungan dengan

superioritas dan inferioritas yang relevan dengan teori pelapisan.5

Pada tiap-tiap kelompok masyarakat selalu akan dijumpai

variasi stratifikasi sosial. Faktor-faktor yang menjadi determinan

stratifikasi sosial memang relatif beragam baik berdasarkan

dimensi usia, gender6, agama7, kelompok etnis atau ras8,

4 Kedudukan (status) sering kali dibedakan dengan kedudukan sosial

(social status). Kedudukan adalah sebagai tempat atau posisi seseorang dalam

suatu kelompok sosial, sehubungan dengan orang lain dalam kelompok tersebut.

Sedangkan kedudukan sosial adalah tempat seseorang secara umum dalam

masyarakat sehubungan dengan orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya,

prestisenya, hak-hak, dan kewajiban-kewajibannya. J. Dwi Narwoko dan

Bagong Suyanto (Ed), Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, (Jakarta:

Kencana, 2004), 156. 5 ‘A>yid al-Wariyka>t Wara>id al-Khama>yisah, “al-Tabaqah al-Ijtima>‘iyah

Watadni> Mafhu>mu al-Dza>t wa ‘Ala>qatuhuma> Biinhira>fi al-Ahda>th Dira>sah

Mayda>niyah Ujribat ‘ala> al-Tabaqah al-Dzuku>r fi Tarbiyah ‘Ama>n al-Tha>niyah-

al-Urdun”, Dira>sat al-‘Ulu>m al-Tarbiyah al-Mujalad 35, al-‘Adad 1, 2008. 6 Lihat Collins, Randals and others. “Toward an Integrated Theory of

Gender Stratification”. Sociological Perspectives, Vol. 36, No. 3 (Autumn,

1993): 185-216. http://www.jstor.org/stable/1389242 (diakses pada 02 April

2012). 7 Lihat Pyle, Ralph E and James D. Davidson. “The Origins of Religious

Stratification in Colonial America”. Journal for the Scientific Study of Religion, Vol. 42, No. 1 (March, 2003): 57-76. http://www.jstor.org/stable/

1387985. (diakses pada 02 April 2012). 8 Lihat Levin, Shana. “Perceived Group Status Differences and the

Effects of Gender, Ethnicity, and Religion on Social Dominance Orientation”.

Political Psychology, Vol. 25, No. 1 (Feb., 2004): 31-48. http://www/jstor.org/

stable/ 37925222 (diakses pada tanggal 02 April 2012).

Page 46: Stratifikasi Sosial dan Agama

34 Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi

Sosial dan Agama

pendidikan formal9, status dan kekuasaan10, pekerjaan serta

dimensi ekonomi11. Berbagai dimensi ini, signifikansi dan kadar

pengaruhnya dalam pembentukan stratifikasi sosial sudah tentu

tidak sama kuat dan berbeda-beda tergantung pada tahap

perkembangan masyarakat dan konteks sosial yang berlaku.12 Di

lingkungan masyarakat pedesaan, tanah sewa dan hewan ternak

seringkali dianggap jauh lebih berharga daripada gelar akademis,

misalnya. Sementara itu, di lingkungan masyarakat kota yang

modern, yang terjadi seringkali sebaliknya.

Pada kelompok masyarakat yang lain, kelas tertentu lebih

didominasi oleh kelompok keagamaan tertentu. Karakteristik yang

demikian ini akan menghasilkan suatu stratifikasi sosial yang khas

pada setiap kelompok masyarakat. Stratifikasi sosial ini dalam

suatu masyarakat pada akhirnya akan membentuk stratifikasi

sosial dari yang berada pada strata tinggi sampai yang berada pada

strata bawah.13 Mereka yang berada pada strata atas adalah

mereka yang lebih banyak memiliki aset kekayaan, kekuasaan, dan

atau status sosial di masyarakat tersebut. Sedangkan mereka yang

berada pada strata bawah atau berada pada status yang inferior di

masyarakat adalah mereka yang kurang memiliki aset baik pada

kekayaan, kekuasaan, dan atau status sosial di masyarakat.

9 Lihat Bond, George C. “Education and Social Stratification in Northern

Zambia: The Case of The Uyombe”. Anthropology and Education Quarterly, Vol. 13, No. 3, (Autumn, 1982): 251-267. http://www.jstor.org/ stable/3216637.

(diakses pada 02 April 2012). 10 Lihat Trujillo, Joaquin. “Accomplishing Meaning in a Stratified

World: An Existential Phenomenological Reading of Weber’s Class, Status,

Party”. Human Studies, Vol. 30, No. 4 (Dec., 2007): 345-356.

http://www.jstor.org/stable/27642807. (diakses pada 02 April 2012) 11 Lihat Hostettler, Ueli. “Labor Regime and Social Justice.

Consequences of Economic and Social Stratification among Maya Peasents in

Central Quintana Roo, Mexico”. Anthropos, Bd. 97, H. 1. (2002) 107-116.

http://www.jstor.org/ stable/40465619. (diaksess pada 02 April 2012). 12 Jeffries dan Ransford, Social Stratification: A Multiple Hierarchy

Approach, 3-4 13 Jeffries dan Ransford, Social Stratification: A Multiple Hierarchy

Approach, 10.

Page 47: Stratifikasi Sosial dan Agama

Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi Sosial dan Agama

35

Dalam masyarakat yang makin modern, perbedaan strata

yang terbentuk dan berkembang di masyarakat umumnya tidak

lagi atas dasar hal-hal yang bersifat kodrati, seperti perbedaan

jenis kelamin atau usia. Akan tetapi, determinan stratifikasi sosial

menjadi makin kompleks dan tidak lagi bersifat given. Secara

umum, determinan yang menurut para ahli banyak berpengaruh

dalam pembentukan stratifikasi sosial di masyarakat yang makin

modern adalah: dimensi privilese (kelas-kelas sosial), prestise

(status sosial) dan power (kekuasaan). Seperti dikatakan Jeffries

dan Ransford14, di dalam masyarakat pada dasarnya bisa

tiga macam stratifikasi sosial, yaitu (1) Hierarki kelas (privilese),

yang didasarkan pada penguasaan atas barang dan jasa; (2)

Hierarki kekuasaan (power), yang didasarkan pada penguasa dan

yang dikuasai; (3) Hierarki status (prestise), yang didasarkan atas

pembagian kehormatan dan status sosial.

Pada umumnya mereka yang menduduki lapisan atas tidak

hanya memiliki satu macam saja dari sesuatu yang dihargai oleh

masyarakat, akan tetapi kedudukan yang tinggi tersebut bersifat

kumulatif. Artinya mereka yang mempunyai uang banyak,

misalnya, akan mudah mendapatkan tanah, kekuasaan, ilmu

pengetahuan, bahkan mungkin kehormatan tertentu. Bentuk

konkret lapisan-lapisan dalam masyarakat tersebut bermacam-

macam. Namun, pada prinsipnya bentuk-bentuk tersebut ada yang

menekankan pentingnya dimensi privilese15 ekonomi dalam

14 Jeffries dan Ransford, Social Stratification: A Multiple Hierarchy

Approach, 36. 15 Konsep privelese dalam studi Weber mengenai stratifikasi sosial,

dihubungkannya dengan kesempatan dalam bidang ekonomi. Penyebaran

kesempatan ekonomi ini dalam masyarakat berkaitan erat dengan apa yang

dinamakannya dengan konsep “kelas”. Kita dapat berbicara mengenai “kelas”

apabila (1) sejumlah orang sama-sama memiliki faktor penunjang khusus

terhadap kesempatan-kesempatan hidupnya, yang (2) secara istimewa tercermin

dalam kepentingan-kepentingan ekonomi berupa pemilikan barang-barang dan

kesempatan-kesempatan untuk memperoleh pendapatan, dan (3) yang tercermin

dalam kondisi-kondisi komoditi atau pasaran-pasaran tenaga kerja. Dalam nada

yang kurang lebih sama, G. E. Lenski mendifinisikan privelese sebagai

pemilikan atau kontrol terhadap sebagai surplus yang dihasilkan oleh

masyarakat. Definisi Lenski ini jelas dipengaruhi oleh pandangan Weber.

Page 48: Stratifikasi Sosial dan Agama

36 Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi

Sosial dan Agama

menentukan dinamika hubungan ketiga dimensi stratifikasi sosial

seperti yang dikemukakan oleh Gerhard E. Lenski dan C. Wright

Mills. Sedangkan E. A. Ross menekankan pentingnya dimensi

prestise16. Konsep ini menunjukkan kehormatan sosial yang

diterima seseorang dalam suatu struktur sosial tertentu. Khusus

hubungan antara dimensi kekuasaan dan prestise , E. A. Ross

dalam studinya mengenai kontrol sosial mengemukakan bahwa

dimensi prestise itu mempunyai peranan penting dalam

masyarakat. Mereka yang memiliki prestise yang tinggi, akan

mempunyai kekuasaan yang tinggi pula. Robert Bierstedt

menambahkan bahwa prestise yang merupakan sumber kekuasaan

sosial itu sangat penting dalam kehidupan sosial modern. Tetapi

kedua dimensi itu harus dilihat sebagai variabel yang berdiri

sendiri. Sering prestise itu tidak dibarengi kekuasaan dan apabila

keduanya muncul bersamaan, maka dimensi kekuasaan biasanya

merupakan dasar bagi dimensi prestise lebih daripada sebaliknya.

Selain itu, Jerome Rousseau melihat stratifikasi secara herediter

yang biasanya dijelaskan dalam kaitannya dengan kompleksitas

ekonomi. Stratifikasi turun temurun ini berasal dari konstruksi

sosial kepemimpinan. Ia mencontohkan masyarakat di Asia

Tenggara, Melanesia, Polinesia, dan Pantai Barat Kanada

meskipun bukti etnografis tidak mudah mendukung penjelasan

tersebut.17

Struktur atau sistem ekonomi yang ada dalam suatu masyarakat tertentulah

yang merupakan landasan di mana orang dapat merebut kesempatan-

kesempatan ekonomi itu. Robert MZ. Lawang, Stratifikasi Sosial di Cancar Manggarai Flores Barat Tahun 1950-an dan 1980-an, (Jakarta: FISIP UI Press,

2004), 10. Lihat juga G. E. Lenski, Power and Priveledge: A Theory of Social Stratification, New York: McGraw-Hill, 1966: 45 dan Weber, Economy and Society, New York: Bedminister, 1978: 927.

16 Lawang, Stratifikasi Sosial di Cancar Manggarai Flores Barat, 6.

Untuk lebih jelas lihat juga Robert Bierstedt, An Analysis of Social Power”, (dalam Marvine E. Olsen (Ed), Power in Societies, New York: The Macmillan

Company, 1970), 12. Lihat juga Weber, Economy and Society, 932. 17 Rousseau, Jerome. “Hereditary Stratification in Middle-Range

Societies.” The Journal of the Royal Anthrolofical Institute, Vol. 7, No. 1

(Maret 2001): 117-131. http://www.jstor.org/stable/2660839. (diakses pada 03

April 2012).

Page 49: Stratifikasi Sosial dan Agama

Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi Sosial dan Agama

37

Studi tentang stratifikasi sosial yang dikembangkan

Jeffries dan Ransford memperlihatkan kecenderungan agak lain

yang bertalian dengan ketiga dimensi stratifikasi sosial itu.

Mereka melihat dimensi stratifikasi sosial itu dalam kaitannya

dengan teori konflik dan fungsional. Para ahli teori fungsional

memberi tekanan pada dimensi prestise. Sedangkan dimensi

privelese kurang diperhatikan. Dimensi kekuasaan sangat kurang

diperhatikan, dan malah cenderung untuk diabaikan. Sebaliknya,

para ahli teori konflik memberi perhatian utama pada dimensi

kekuasaan. Sesudah itu baru memperhatikan dimensi privelese,

dan yang terakhir adalah prestise.18 Kecenderungan yang berbeda-

beda ini nampaknya dapat diterima sepanjang hasil penelitian dan

asumsi teoritis yang dikembangkan masing-masing oleh kedua

paradigma itu menunjukkan adanya tekanan pada salah satu

dimensi lebih daripada yang lainnya.19 Tetapi masalahnya adalah

ketidakkonsistenan mereka untuk menghubungkan dimensi

privelese dengan suatu kecenderungan paradigmatis tertentu.

Pendekatan konflik yang dipelopori oleh Karl Marx

berpandangan bahwa bukan kegunaan fungsional yang

menciptakan stratifikasi sosial, melainkan dominasi kekuasaan.

18 Jeffries and Randsford, Social Stratification: A Multiple Hierarchy

Approach, 64 19 Tekanan yang diberikan oleh teori fungsional dan konflik mengenai

stratifikasi sosial: (1) Stratifikasi adalah struktur sosial yang memiliki nilai-

nilai dan tradisi bersama yang digunakan sebagai dasar untuk integrasi dan

stabilitas sosial. (2) Penyebaran kekuasaan, privilese dan prestise dalam

masyarakat pada dasarnya bersifat adil, merupakan keharusan dan berguna bagi

kesejahteraan individu di satu pihak dan bagi masyarakat di lain pihak. (3)

Penggunaan kekuasaan untuk mempertahankan sistem privilese yang ada dalam

masyarakat bersifat minimal. (4) Institusi-institusi sosial yang ada dalam

masyarakat mengandung nilai-nilai konsensus dan melaksanakan kebijaksanaan

yang mendukung kebaikan bersama. (5) Penghargaan yang tidak merata untuk

posisi-posisi sosial dalam masyarakat membantu mempertahankan dan

meningkatkan kepentingan lapisan atas. (6). Posisi-posisi individu dalam

masyarakat pada dasarnya tidak memberikan kesempatan yang sama dalam

mencapai motivasi, latihan dan saluran-saluran perkembangan bagi mereka.

Tentang pandangan kedua teori itu, lihat Jeffries dan Randsford, Social Stratification: A Multiple Hierarchy Approach, 57-60.

Page 50: Stratifikasi Sosial dan Agama

38 Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi

Sosial dan Agama

Selain itu, C. Wright Mills dan Gerhard E. Lenski memberikan

pandangan mengenai hubungan antara ketiga dimensi stratifikasi

sosial (privilese, kekuasaan dan prestise) dengan menekankan

aspek privelese. Pendapat-pendapat ini kemudian diadaptasi oleh

Robert MZ Lawang20 yang menekankan pentingnya dimensi

privilese ekonomi dalam menentukan dinamika hubungan ketiga

dimensi stratifikasi sosial. Artinya, menurut pendekatan konflik,

adanya pelapisan sosial bukan dipandang sebagai hasil konsensus –

karena semua masyarakat menyetujui dan membutuhkan hal itu –

tetapi lebih dikarenakan anggota masyarakat terpaksa harus

menerima adanya perbedaan itu sebab mereka tidak memiliki

kemampuan untuk menentangnya. Karl Marx mengemukakan

bahwa dasar pembentukan kelas sosial terjadi karena adanya

penghisapan suatu kelas oleh kelas lain yang lebih tinggi.

Pemberian kesempatan yang tidak sama dan semua bentuk

diskriminasi dinilai menghambat orang-orang dari strata rendah

untuk mengembangkan bakat dan potensi mereka semaksimal

mungkin. Menurut Marx, di dalam masyarakat kapitalis, para

pemilik sarana produksi pada hakikatnya adalah wakil dari kelas

atas yang melakukan tekanan serta dapat memaksakan kontrol

terhadap kelas buruh yang posisinya dalam lapisan masyarakat

lebih rendah.21

Tesis utama Marx adalah struktur internal sistem ekonomi

terdiri dari kelas-kelas sosial yang muncul dari perbedaan dalam

kesempatan memiliki alat produksi serta ketidaksesuaian yang

dihasilkan dalam kepentingan ekonomi. Di dalam bukunya yang

terkenal, Das Kapital, Marx menyatakan bahwa kehancuran

feodalisme yang diikuti dengan berkembangnya kapitalisme dan

sektor industri modern telah mengakibatkan terpecahnya

masyarakat ke dalam dua kelas ekstrem, yaitu kelas borjuis yang

20 Lawang, Stratifikasi Sosial di Cancar Manggarai Flores Barat, 7 21 Narwoko dan Suyanto (Ed), Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan,

166.

Page 51: Stratifikasi Sosial dan Agama

Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi Sosial dan Agama

39

memiliki dan mengendalikan alat produksi dan kelas proletar yang

tidak memiliki alat produksi.22

Pendekatan Marx ini sama dengan pendapat Ali Syari’ati.

Menurut Ali Syari’ati23, hanya ada dua struktur yang mungkin

terdapat dalam suatu masyarakat, yaitu struktur Qabil dan struktur

Habil.24 Pada struktur pertama masyarakat menjadi penentu

nasibnya sendiri, segenap warganya beramal untuk masyarakat dan

demi kepentingan masyarakat. Namun, di dalam masing-masing

struktur tersebut terdapat aneka ragam cara produksi, bentuk

hubungan, alat, sumber dan barang: semua ini merupakan

superstruktur. Di dalam struktur Habil bisa saja berlaku sosialisme

ekonomi (yakni sistem milik kolektif), tetapi mungkin pula

terdapat cara produksi yang berbeda seperti penggembalaan dan

perburuan dalam komunitas primitif, atau cara produksi industrial

dalam masyarakat post-kapitalis, tanpa kelas. Pada struktur kedua,

para perseoranganlah yang menjadi pemilik dan penentu nasib

mereka masing-masing maupun nasib masyarakat. Pada kutub

yang berlawanan, yakni struktur Qabil, atau sistem monopoli dan

milik pribadi, mungkin pula terdapat berbagai sistem ekonomi,

bentuk hubungan kelas, alat, tipe dan sumber produksi.

Perbudakan, perhambaan, feodalisme, borjuasi, kapitalisme

industrial dan – sebagai puncaknya – imperialisme, semuanya

termasuk dalam struktur Qabil.

Demikianlah sesuai dengan kedua struktur tersebut,

masyarakat bisa dibagi atas dua kutub, yakni kutub Qabil dan

kutub Habil. Kutub Qabil berarti yang berkuasa = raja, pemilik,

sang ningrat. Pada tahap perkembangan sosial yang masih primitif

dan terbelakang kutub ini cukup diwakili oleh seorang saja yang

22 Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, (Jakarta: PT. Gramedia,

1986), 120-159. 23 Ali Syari’ati adalah seorang Muslim Iran dan sarjana di bidang

sosiologi agama dan mendapat pendidikan di Masyhad dan Paris. Melalui

kuliah-kuliah, ceramah-ceramah dan tulisan-tulisannya dia menganalisa

masyarakat dengan mempergunakan istilah-istilah,konsep-konsep dan

pengalaman-pengalaman Islamiah. 24 Syari’ati, Ali. 1982. Tentang Sosiologi Islam, terj.Saifullah Mahyudin,

Yogyakarta: Ananda, 147-150

Page 52: Stratifikasi Sosial dan Agama

40 Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi

Sosial dan Agama

merupakan kekuatan tunggal,yang menjalankan kekuasaan dan

menyerap ketiga kekuasaan (raja, pemilik, sang ningrat) tersebut.

Tetapi pada tahap berikutnya dalam perkembangan serta evolusi

sistem sosial, peradaban dan kebudayaan, maupun dalam

pertumbuhan sebagai dimensi kehidupan sosial dan struktur kelas,

maka kutub ini memerlukan tiga dimensi terpisah dan tampak

pada tiga aspek yang berlainan. Manifestasi politiknya adalah

kekuasaan, manifestasi ekonominya harta dan manifestasi

keagamaannya adalah kependetaan.25 Kutub Habil adalah mereka

yang dikuasai dan tertindas. Berhadapan dengan kelas tritunggal

raja-pemilik-sang ningrat adalah kelas rakyat, an-nas. Sepanjang

sejarah, kedua kelas ini selalu bertentangan dan berkonfrontasi.

Meskipun demikian, Syari'ati mengklaim bahwa analisisnya

mengenai dialektika Qabil dan Habil sebagai sebuah simbol

pertentangan yang terus-menerus adalah pemikiran orisinil dalam

konteks pemahaman Islam yang diambil dari intisari beberapa ayat

dalam al-Qur’an.

Dalam pertarungan antara dualisme kosmik ini, agama

menjadi faktor determinan dalam menanamkan kekuatan suci

untuk membangun sikap keberagaman yang penuh harmoni.

Dualisme kelas Habil dan Qabil dijadikan oleh Syari’ati sebagai

cara baca dalam melihat kecenderungan manusia modern yang

hakikatnya menelma dalam pertarungan antara kelas feodal

dengan kelas borjuis. Pada abad pertengahan, feodalisme

merupakan kelas dominan yang merupakan infrastruktur

masyarakat, sedangkan suprastrukturnya adalah agama yang

berfungsi sebagai legitimasi. Namun kekuasaan kelas feodalisme

tergeser dengan lahirnya kelas borjuis baru yang lahir sebagai

akibat kontak hubungan perdagangan antara Timur dan Barat.

25 Dalam al-Qur’an, Fir’aun adalah lambang kekuasaan politik; Qarun

melambangkan kekuasaan ekonomi; sedang Bal’am melambangkan jabatan

kependetaan rasmi. Ketiganya merupakan manifestasi tritunggal dari Qabil

yang sama. Ketiga manifestasi ini dalam al-Qur’an disebut sebagai mala’ (37:66, 56:53), mutraf (17: 16; 34:34; 56:45), dan rahib (9: 34, 35), yang

masing-masing berarti: yang serakah dan kejam, yang rakus dan buncit

kekenyangan, dan pendeta rasmi. Ketiga kelas ini masing-masing selalu saja

berusaha untuk menguasai, memeras dan mengelabui rakyat.

Page 53: Stratifikasi Sosial dan Agama

Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi Sosial dan Agama

41

Kontak ini telah meruntuhkan tatanan nilai pedesaan, monastik,

mistik dan kepausan dan menggantinya dengan tradisi industrial,

urban, sekuler, intelektual dan nasional. Borjuasi baru sebagai

kelas penguasa telah meletakkan prinsip-prinsip dan keyakinan

norma moral dan kultural di atas individualisme, materialisme dan

liberalisasi ekonomi serta politik. Sampai sekarang ini spirit yang

mendominasi kebudayaan dan peradaban adalah spirit borjuasi

yang melahirkan semangat dehumanisasi.26

Berbeda dengan pendekatan konflik yang menyatakan

bahwa timbulnya pelapisan sosial sesungguhnya hanyalah ulah

kelompok-kelompok elite masyarakat yang berkuasa untuk

mempertahankan dominasinya, para penganut pendekatan

fungsional biasanya akan menjawab bahwa pelapisan sosial adalah

sesuatu yang inheren dan diperlukan demi kelangsungan sistem.

Pelopor pendekatan fungsionalis, Davis dan Moore, menyatakan

bahwa stratifikasi dibutuhkan demi kelangsungan hidup

masyarakat yang membutuhkan pelbagai macam jenis pekerjaan.27

Tanpa adanya stratifikasi sosial, masyarakat tidak akan terangsang

untuk menekuni pekerjaan-pekerjaan sulit atau yang

membutuhkan proses belajar yang lama dan mahal. Sistem

pelapisan dengan demikian adalah suatu ganjaran (hukuman) bagi

pelayanan yang diberikan agar memperlancar masyarakat

berfungsi.

Konsep utama yang mendominasi penjelasan teoritis

mengenai stratifikasi sosial – yakni kekuasaan, privelese dan

prestise – berasal dari Weber.28 Mengenai hubungan ketiga konsep

itu dalam sistem stratifikasi sosial, di satu pihak ketiganya

memperlihatkan adanya hubungan timbal balik. Dalam hubungan

ini, privilese dalam bidang ekonomi memperlihatkan pengaruhnya

yang besar. Tetapi di lain pihak, ketiganya perlu dilihat secara

terpisah. Walaupun ekonomi mempunyai pengaruh yang sangat

26 Ali Syari’ati, Man In Islam. Terj. M. Amin Rais, Tugas Cendekiawan

Muslim, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001), 37-44. 27 Narwoko dan Suyanto (Ed), Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan,

154-166 28 Weber, Economy and Society, 926-940

Page 54: Stratifikasi Sosial dan Agama

42 Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi

Sosial dan Agama

besar, ekonomi bukan satu-satunya yang menentukan kedua

dimensi lainnya. Baik dimensi kekuasaan maupun dimensi prestise

perlu dilihat secara terlepas dari dimensi privelese.29

Weber melihat kelas sebagai suatu konsep dengan

penggunaan terbatas yang agak baik. Dasar dari konsep analitis

Weber adalah suatu perbedaan antara kelas sebagai suatu aspek

situasi pasar dan status sebagai suatu aspek dari situasi status.

Bagi Weber, kekuasaan yang timbul dari suatu kelas pelaku utama

tidak identik dengan kekuasaan yang dihasilkan dari hak-hak

istimewa status. Akibatnya stratifikasi sistem-sistem masyarakat

kelas dan status masyarakat secara fundamental mempunyai ciri-

ciri yang berbeda.30 Khususnya Weber mengemukakan bahwa

faktor-faktor ekonomi sendiri tidak dapat menerangkan ciri-ciri

khusus dari formasi grup dan kesadaran grup. Untuk memahami

solidaritas grup, kolektivitas dan komunitas tertentu, perlu

menguji ranking status dan macam-macam status kepercayaan

mereka, upacara-upacara keagamaan dan simbol-simbol yang

memperlihatkan idea dari kedudukan sosial.31 Senada dengan

29 Lawang, Stratifikasi Sosial di Cancar Manggarai Flores Barat, 3 30 Bryan S. Turner, Weber and Islam, (Jakarta: Direktorat Pembinaan

Perguruan Tinggi Agama Islam), 148 31 Berbeda dengan kelas-kelas, Stande (kelompok status) biasanya adalah

kelompok. Bagaimana pun juga mereka terbentuk dari suatu golongan tanpa

bentuk. Berbeda dengan istilah ‘situasi kelas’ secara ekonomis semata-mata,

kita ingin menunjukkan status situation setiap komponen kehidupan manusia

yang khas yang ditentukan oleh suatu perkiraan prestise yang spesifik, positif

atau negatif. Prestise biasanya diekspresikan melalui kenyataan bahwa yang

terpenting sekali suatu cara hidup yang khas diharapkan dari semua mereka

yang ingin sekali berada dalam lingkungan itu. (Weber, Economy and Society,

932)

Keanggotaan masyarakat pada grup-grup tertentu akan menunjukkan

eksibisi kebiasaan berbicara, berpakaian, bertingkah laku dan gaya hidup

berdasarkan kelompok statusnya. Prestise yang dimiliki oleh orang-orang

terhormat akan mendapatkan tuntutan-tuntutan kekuasaan yang didasarkan

pada kesejahteraan. Agar orang-orang yang berkuasa secara ekonomi

mendapatkan kehormatan sosial, mereka harus menunjukkan suatu cara hidup

yang terhormat pula. (Turner, Weber dan Islam), 149.

Page 55: Stratifikasi Sosial dan Agama

Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi Sosial dan Agama

43

Weber, Paul B. Horton dan Chester L. Hunt32 menyatakan bahwa

terbentuknya stratifikasi dan kelas-kelas sosial di dalamnya

sesungguhnya tidak hanya berkaitan dengan uang (ekonomi).

Stratifikasi sosial adalah suatu strata atau pelapisan orang-orang

yang berkedudukan sama dalam kontinum atau rangkaian kesatuan

status sosial. Para anggota suatu strata sosial tertentu acapkali

memiliki jumlah penghasilan atau uang yang relatif sama. Namun,

lebih penting dari itu, mereka memiliki sikap, nilai-nilai, dan gaya

hidup yang berbeda. Semakin rendah kedudukan seseorang di

dalam pelapisan sosial, biasanya semakin sedikit pula

perkumpulan dan hubungan sosialnya. Orang-orang dari lapisan

sosial rendah lebih sedikit berpartisipasi dalam jenis organisasi apa

pun – klub, organisasi sosial, lembaga formal, atau bahkan

lembaga keagamaan – daripada orang-orang strata menengah dan

atas.

B. Agama dalam Sistem Sosial Masyarakat

Keberadaan agama dalam sistem sosial budaya tidak hanya

ditemukan dalam setiap masyarakat, tetapi juga berinteraksi

secara signifikan dengan aspek budaya yang lain. Ekspresi religius

ditemukan dalam budaya material, perilaku manusia, nilai moral,

sistem keluarga, ekonomi, hukum, politik, pengobatan, sains,

teknologi, seni, pemberontakan, perang, dan lain sebagainya.

Tidak ada aspek kebudayaan lain dari agama yang lebih luas

pengaruh dan implikasinya dalam kehidupan manusia.33

Dalam sejarahnya, definisi agama pertama kali

dikemukakan oleh EB. Taylor (1832-1917), “religion is the belief

in spiritual being”34 dan, apa yang disebutkan EB. Taylor tersebut

32 Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, Sosiologi, 6th edition

(terjemahan), (Jakarta: Erlangga, 1991). 33 Malefijt dalam Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia,

(Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 2006), 201. 34 “Agama adalah suatu kepercayaan kepada wujud-wujud spiritual”.

Untuk melihat lebih jelas, Ogburn dan Nimhoff menjelaskan bahwa “agama

adalah suatu pola aqidah-aqidah (kepercayaan-kepercayaan), sikap-sikap

emosional dan praktek-praktek yang dipakai oleh sekelompok manusia untuk

mencoba memecahkan soal-soal “ultimate dan kehidupan manusia”. Lihat

Page 56: Stratifikasi Sosial dan Agama

44 Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi

Sosial dan Agama

merupakan salah satu aspek dari agama. Haviland juga

mengungkap bahwa agama dapat dipandang sebagai kepercayaan

dan pola perilaku yang diusahakan oleh suatu masyarakat untuk

menangani masalah penting yang tidak dapat dipecahkan oleh

teknologi dan teknik organisasi yang diketahuinya. Untuk

mengatasi keterbatasan itu, orang berpaling kepada manipulasi

kekuatan supernatural.35

Emile Durkeim,36 menyimpulkan bahwa agama adalah

sistem simbol di mana masyarakat bisa menjadi sadar akan

dirinya; ia adalah cara berpikir tentang eksistensi kolektif. Agama

tidak lain adalah proyeksi masyarakat sendiri dalam kesadaran

manusia. Selama masyarakat masih berlangsung, agama pun akan

tetap lestari. Masyarakat, bagaimanapun, akan tetap menghasilkan

simbol-simbol pengertian diri kolektifnya; dan dengan demikian

menciptakan agama. Konsepsi Durkheim ini sama seperti Geertz

yang menyebutkan bahwa agama merupakan bagian dari sistem

kebudayaan, dalam arti agama merupakan pedoman yang dijadikan

sebagai kerangka interpretasi tindakan manusia. Selaras dengan

itu, Geertz juga mengungkapkan bahwa agama adalah suatu sistem

simbol yang berfungsi untuk mengukuhkan suasana hati dan

motivasi yang kuat dan mendalam pada diri manusia dengan

memformulasikan konsepsi tentang tatanan umum eksistensi dan

James Hastings, (ed) Encyclopedia of Religion and Ethics, vol. 10, New York,

Charles Sribner’s sons, tanpa tahun, 663. 35 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, Bandung: PT Remaja Rosdakarya,

2002, 119. 36 Emile Durkheim adalah sosiolog Perancis (1961) yang telaahnya

terfokus pada unsur-unsur sosial yang menghasilkan solidaritas. Ia melihat

agama sebagai faktor esensial bagi identitas dan integrasi masyarakat.

Menurutnya agama merupakan suatu sistem interpretasi diri kolektif. Tujuan

utama agama dalam masyarakat primitif adalah membantu orang berhubungan

bukan dengan Tuhannya, melainkan dengan sesamanya. Ritual-ritual religius

membantu orang untuk mengembangkan rasa sepaguyuban (sense of community), misalnya mereka bersama-sama ambil bagian dalam pesta

perkawinan, kelahiran, dan kematian; dan bersama-sama merayakan musim

tanam dan panen. Hal itu mempersatukan kelompok dengan cara kontraksi

religius. Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life, (Free Press

of Glencoe, 1961), 315.

Page 57: Stratifikasi Sosial dan Agama

Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi Sosial dan Agama

45

membungkus konsepsi itu dengan aura aktualitas yang bagi

perasaan dan motivasi tampak realistis.37 Oleh karenanya,

kepercayaan atau agama berfungsi untuk memberikan signifikansi

pemaknaan, serta menawarkan penjelasan terhadap peristiwa-

peristiwa dan pengalaman yang menyimpang dari tradisi. Di

samping itu agama juga dapat memberikan suatu kriteria etis

untuk menjelaskan diskontinuitas beberapa kelompok budaya

tertentu.38

Tingkat atau aspek lain yang terdapat dalam pelembagaan

agama ialah tingkat keyakinan atau tingkat intelektual.39 Weber

berupaya melihat tingkatan ini, namun terjadi ketidakkonsistenan

dalam penggunaan istilahnya. Weber mencampuradukkan berbagai

istilah antara system of belief, world-view, dan kadang-kadang

ideologi. Sistem kepercayaan atau world-view dalam kehidupan

sosial dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu magic, religion, dan science.40 Dalam pengalaman manusia, di samping

mitos berkembang cara-cara pemahaman bentuk pemikiran dan

mode penjelasan lainnya. Perkembangan yang demikian sering

dihubungkan dengan kontak kebudayaan antara berbagai ragam

manusia, dan dengan perubahan batin yang tumbuh di masyarakat

ke dalam strata dengan gaya dan pengalaman hidup yang berbeda.

Auguste Comte berbicara tentang “Hukum Tiga Tahap”

yang terdiri dari tahap keagamaan, tahap metafisik, dan tahap positif. Comte mengartikan tahap keagamaan (atau theological) sebagai periode pandangan dan pemahaman mistis; tahap

metafisik, merupakan periode di mana yang digunakan untuk

37 Clifford Geertz, The Interpretation of Culture, (New York: Basic

Books, 1970), 90. 38 Sutiyono, Benturan Budaya Islam: Puritan dan Sinkretis, (Jakarta: PT

Kompas Media Nusantara, 2010), 38. 39 Menurut Thomas F.O’Dea, pengungkapan intelektual dari agama

dapat dibagi dalam dua bagian utama, yaitu mitos dan rasional. Sedangkan

Weber menganggap tingkatan intelektual ini dengan istilah tingkat rasionalitas

yang terbagi menjadi tiga, yaitu mitos, agama, dan rasional. Sosiologi Agama, diterjemahkan Tim Penerjemah Yasogama, (Jakarta: CV. Rajawali, 1985), 80.

40 Ralph Schroeder, Weber Tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan, terjemahan Ratna Noviani, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), xi.

Page 58: Stratifikasi Sosial dan Agama

46 Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi

Sosial dan Agama

mengorganisasi dunia pengalaman bukannya kategori rasional

subjektif, tetapi kategori dan konsep yang abstrak; sedang tahap

positif merupakan periode di mana dikembangkan mode

pemahaman ilmiah dan pembentukan konsep modern.41

Perkembangan pikiran yang demikian itu jelas telah terjadi. Tetapi

kita tidak harus mempostulatkan hukum gerak kepada kemajuan,

dan tidak pula mengabaikan kenyataan bahwa tahap-tahap itu

sering tumpang tindih, dan dalam pengalaman manusia memang

sering terjadi secara bersamaan. Weber juga melihat tahap-tahap

perkembangan tersebut linear, tetapi bisa juga mengalami

tumpang tindih (overlapping) dalam suatu masa tertentu. Harus

diakui bahwa tahap awal perkembangan rasionalitas manusia

diawali dan didominasi oleh magis, sedang perwujudan nyata

magis meliputi simbol-simbol, cara-cara pemujaan, dan orangnya

sendiri (magician). Sementara dampak kekuatan magis dalam

kehidupan sosial adalah meningkatkan stabilitas hubungan-

hubungan magis di sekitar manusia yang dimanipulasi untuk

tujuan duniawi.

Mitos42 merupakan bentuk pengungkapan intelektual yang

primordial dari berbagai aspek dan kepercayaan keagamaan. Mitos

telah dianggap sebagai “filsafat primitif, bentuk pengungkapan

pemikiran yang paling sederhana, serangkaian usaha untuk

memahami dunia, untuk menjelaskan kehidupan dan kematian,

takdir dan hakikat, dewa-dewa dan ibadah”.43 Tetapi mitos juga

merupakan jenis pernyataan manusia yang kompleks. Merupakan

41 O’Dea, Sosiologi Agama, 82. 42 Menurut Cassier mitos berasal dari emosi dan latar belakang

emosionalnya mengilhami semua hasilnya dengan warnanya yang khusus.

Manusia primitif bukan kurang memiliki kesanggupan untuk memahami

berbagai perbedaan empiris dari sesuatu. Tetapi dalam konsepsinya tentang

alam dan kehidupan semua perbedaan ini dihilangkan oleh perasaan yang lebih

kuat: Keyakinan yang dalam terhadap solidaritas kehidupan yang fundamental

dan tidak terelakkan, yang menjembatani keberagaman dan variasi bentuk-

bentuk tunggal . . . kelihatannya merupakan suatu perkiraan umum dari

pemikiran mitos. O’Dea, Sosiologi Agama, 80. Lebih lanjut lihat juga Ernst

Cassier, An Essay on Man (Garden City, New York: Doubleday Anchor Books,

1953), 109. 43 O’Dea, Sosiologi Agama, 80

Page 59: Stratifikasi Sosial dan Agama

Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi Sosial dan Agama

47

pernyataan yang dramatis, bukan hanya sebagai pernyataan yang

rasional.44 Sangat disesalkan bahwa Levy-Bruhl, yang dengan

tepat mengenali unsur-unsur partisipasi mistik dalam komunikasi

mitos dari mereka yang mendengar dan yang menyampaikannya,

hanya mengkonsep-tualisasikan berbagai pandangannya dalam

hubungannya dengan bentuk pemikiran yang logis dan pralogis.45

Determinan agama sangat berbeda secara kontras dengan

magis atau mitos. Agama mengarahkan kehidupan pemeluknya

agar sesuai dengan tujuan-tujuan keselamatan. Reorientasi batin

seseorang akan mengubah perilaku luarnya dan dapat membentuk

kembali hubungan-hubungan sosial yang kemudian berpengaruh

pada perubahan sosial dan ekonomi. Seluruh legitimasi kekuatan

agama diturunkan dari sumber-sumber yang sakral dan

transendental, yaitu dari Tuhan dan Dewa. Selain itu, sumber-

sumber tersebut dibebaskan dari perwujudan konkret sehingga

dapat menjadi subjek interpretasi pada jenjang yang abstrak.46

Munculnya sistem kepercayaan baru, yaitu ilmu

pengetahuan (science) yang menawarkan teknik rasional,47 seperti

44 Disebut sebagai pernyataan yang dramatis sebab melibatkan pikiran

dan perasaan, sikap dan sentimen. Lebih lanjut Cassier juga menyatakan bahwa

mitos memahami dan menggambarkan dunia sebagai yang “cair dan tidak

tetap” tidak seperti dunia menurut teori filsafat tradisional. Bahkan selanjutnya

ia mengatakan bahwa dunia mitos adalah dunia yang dramatis – sebuah dunia

tindakan, kekuatan, kekuasaan yang saling bertentangan . . . . Apapun yang

dilihat atau dirasakan dikelilingi oleh suasana khusus – suasana gembira atau

duka cita, kesedihan, kegairahan, kegembiraan atau depresi. Di sini kita tidak

dapat membirakan “sesuatu” sebagai yang mati atau sebagai bahan yang tidak

perlu ditanggapi. Semua objek bersifat ganda, bersahabat atau bermusuhan,

familiar atau tidak, memikat dan menjemukan atau menjijikan dan menakutkan.

O’Dea, Sosiologi Agama, 81. 45 O’Dea, Sosiologi Agama, 79 46 Ralph Schroeder, Weber Tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan, xii. 47 Menurut Weber, rasionalitas menawarkan kepada manusia modern

kemungkinan adanya kontrol yang efektif terhadap alam dan masyarakat,

membebaskan manusia daripada rasa khawatir akan suatu dunia yang tidak

dapat diperhitungkan dan membebaskannya daripada dominasi tenaga-

tenaga/kekuatan-kekuatan magis. Namun, problem yang dihadapi manusia

modern adalah bahwa dunia privat dan sosialnya secara fundamental telah

menjadi tidak bermakna. Kodifikasi hukum, pengetahuan ilmiah, organisasi

Page 60: Stratifikasi Sosial dan Agama

48 Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi

Sosial dan Agama

kalkulasi sarana-tujuan (means-ends calculation), telah

menurunkan peran magis dan agama dalam hal memahami realitas

dunia. Ini merupakan gejala memudarnya daya-daya magis dunia

karena dengan penerapan metode ilmu untuk menguak berbagai

fenomena yang sebelumnya dianggap misteri menjadi dapat

dijelaskan secara rasional. Fenomena seperti ini oleh Weber

dinamakan disenchantment of the world. Semua kenyataan di

dunia dapat diketahui (knowable), dipelajari, diperhitungkan

(calculable), bahkan dapat diprediksi ke arah mana kecenderungan

suatu gejala. Maka penjelasan terhadap isi dunia secara drastis

berubah dari cara berpikir yang dogmatik menjadi kausalistik, dari

metafisik menjadi empirik, atau dari irasional menjadi rasional.

Bahkan, eliminasi kekuatan-kekuatan irasional telah mewujudkan

bentuk-bentuk efisiensi dalam administrasi dan organisasi.48

Tabel 3. World View dan Dampak Sosial49 World-views Cara Tujuan Dampak Sosial

Magis Tidak Rasional

(misal sesaji,

bakar

kemenyan, dll)

Rasional

(misal:

keselamatan

dunia, sehat,

kaya, dll)

Otoritas dukun atau

magician, pengokohan

hubungan-hubungan

sosial, struktur sosial

komunitas magis

Agama Rasional

(misal: puasa,

zakat, ziarah,

dll)

Tidak

Rasional

(misal:

masuk surga)

Otoritas ulama atau elit

agama, pengokohan

kekuasaan politis, struktur

sosial, keagamaan,

perubahan budaya

Ilmu Rasional Rasional Otoritas ilmuwan,

rasional dapat menolong merumuskan cara-cara yang cocok tujuan-tujuan sosial

dan tujuan-tujuan hidup, tapi prosedur-prosedur demikian tidak menolong kita

memilih di antara nilai-nilai absolut atau antara tujuan-tujuan yang saling

diperebutkan. Pengetahuan ilmiah tidak dapat menolong kita membuat putusan-

putusan moral bila kita dihadapkan pada cara-cara bersikap yang tidak sama;

akhirnya ilmu pengetahuan tidak relevan untuk mempermasalahkan perumusan

kehidupan yang baik. Lihat Bryan S. Turner, Weber and Islam, 231-234. 48 Schroeder, Weber Tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan, xii. 49 Heru Nugroho, Rasionalisasi dan Pemudaran Pesona Dunia: Pengantar

untuk Weber dalam Schroeder, Weber Tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan, ix.

Page 61: Stratifikasi Sosial dan Agama

Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi Sosial dan Agama

49

Pengetahuan (misal: metode

ilmu)

(misal:

pemecahan

problem

duniawi)

pengokohan hubungan

politis, struktur sosial

komunitas keilmuwan,

perubahan budaya, dan

disenchantment)

Tiap-tiap tingkat perkembangan rasionalitas manusia ditandai

dengan bentuk-bentuk sosial yang berbeda. Tingkat perkembangan

magis ditandai dengan adaptasi individu atas norma-norma dan

kekuatan-kekuatan di luar kemampuan manusia. Menurut sistem

kepercayaan magis, manusia dikelilingi oleh kekuatan-kekuatan

supranatural yang belum disistematisasikan sehingga kekuatan-

kekuatan itu bisa bersifat konstruktif atau destruktif terhadap

manusia. Magis memanipulasi kekuatan-kekuatan ini secara

sistematik dalam rangka mencapai tujuan-tujuan praktis yang

spesifik, seperti sistematisasi kekuatan-kekuatan alam untuk

mewujudkan kekayaan, kesehatan, keselamatan, dijauhkan dari

gangguan setan, dan lain-lain.50

Sedangkan tingkat perkembangan agama, keberadaan

norma-normanya telah diinternalisasi dan disistematisasi. Norma-

norma yang telah sistematis itu kemudian menjadi guide dalam

perilaku sosial tiap-tiap pemeluknya. Selain itu, norma-norma itu

juga menjadi sumber interpretasi atas realitas yang ada di dunia.

Bahkan, perubahan sosial yang terjadi juga dapat diinterpretasikan

lewat norma-norma tersebut.51

Ada pun dalam dunia modern, ilmu pengetahuan telah

mendominasi hampir seluruh aspek kehidupan manusia. Meskipun

demikian, ilmu pengetahuan hanya mencurahkan kepentingan

material dan kegiatan praktis sehari-hari. Dalam hal ini, Weber

juga melihat sisi pesimis dari dominasi ilmu terhadap kehidupan

50 Schroeder, Weber Tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan, xii 51 Dalam hal ini, Weber mendemonstrasikan bagaimana etika Protestan

menjadi sumber rujukan berperilaku ekonomi dan sekaligus subjek reinterpretasi

atas terjadinya proses sekulerisasi dalam masyarakat pada waktu itu. Lihat

Weber, Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, terjemahan Yusup

Priyadisudiarja, (Yogyakarta: Jejak, 2007).

Page 62: Stratifikasi Sosial dan Agama

50 Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi

Sosial dan Agama

manusia, yaitu merebaknya sekulerisme52, materialisme, dan

menurunnya peran agama sebagai rujukan memahami dunia.

Namun, menurut Weber dalam kehidupan modern masih tersisa

adanya idealisme etik (ethical ideal) yang telah diinternalisasi oleh

masyarakat pada masa perkembangan dan dominasi agama yang

lalu dan menjadi personality guide bagi setiap individu. Idealisme

etik ini cenderung akan menghindarkan individu jatuh pada

tingkat tindakan pragmatis yang buta. Pada tahap perkembangan

sosial ini, agama cenderung tertekan menjadi bidang kehidupan

privat.53

Teologi rasional54 berkembang sebagai bagian dari

rasionalisasi55 pemikiran dan dapat dijumpai di semua agama di

52 Dalam diskusi Weber tentang sekulerisasi, argumentasinya tidak

secara positif menyatakan bahwa “Tuhan mati” (‘God is dead’), namun

hanyalah menyatakan bahwa masyarakat modern menghasilkan sejumlah Tuhan

yang saling berlomba yang tidak memiliki kekuasaan, baik secara individu

maupun secara kelompok. Perkembangan pengetahuan yang progresif dan

bertambahnya spesialisasi disegenap lapangan pengetahuan melahirkan

pandangan-pandangan dunia dan tafsiran-tafsiran tentang realitas yang tak

terhitung banyaknya, namun tepatnya karena tafsiran-tafsiran ini belum final

mereka tidak bisa menuntut adanya suatu nilai yang mutlak. Dalam pelayanan

singkat Weber terhadap kesadaran modern, ia mencatat tiga fase penting yang

terdapat pada perkembangan sekulerisasi, yaitu ketidakajaiban, fragmentasi dan

konflik di antara pandangan-pandangan dunia yang tidak utuh (partial world-views). Lihat Bryan S. Turner, Islam and Weber, 235-236. Lihat juga Peter L.

Berger, The Sociall Reality of Religion, London, 1969. 53 Dalam dunia sekuler, satu-satunya tempat bagi agama adalah dalam

daerah hubungan-hubungan interpersonal dan bukan dalam hubungan-hubungan

umum. Secara paradoksal, penghapusan agama sebagai ikatan sosial yang

menghubungkan semua aspek kehidupan manusia disediakan oleh pembaharuan

itu sendiri. Tesis Weber bahwa sekulerisasi yang melibatkan pluralisme nilai-

nilai yang saling bertentangan dan penurunan nilai derajat institusional agama

menjadi semata-mata bersifat pilihan pribadi. Lihat Bryan S. Turner, Weber and Islam, 239.

54 Perkembangan teologi rasional dihubungkan dengan perubahan-

perubahan batin atau internal yang terjadi di dalam organisasi keagamaan, di

mana lapisan kependetaan profesional sangat dibedakan dari lapisan anggota

biasa. Walaupun mitos tidak tertutup bagi logika, dan pandangan mitos bisa

dirasionalisasikan, namun gerak maju dari mitos menuju logos ini biasanya

menunggu perkembangan kelompok kependetaan. Perkembangan penuh

Page 63: Stratifikasi Sosial dan Agama

Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi Sosial dan Agama

51

dunia ini dalam berbagai bentuk. Ia mencerminkan kesungguhan

kelompok spesialis agama yang membuat implikasi intelektual dan

esensial pada sejumlah tradisi keagamaan yang eksklusif dan

konsisten. Perkembangan teologi rasional juga mencakup

pengembangan etika rasional (teologi moral) yang disandarkan

pada implikasi praktis pengalaman keagamaan dan tradisi. Batasan

eksistensi dan etika tentang apa adanya dan apa yang seharusnya terbentuk di dalam evolusi tradisi teologi yang kemudian jadi

doktrin organisasi keagamaan. Dengan demikian, ia ditujukan

untuk pendidikan keanggotaaan. Dengan cara ini mereka masuk ke

dalam batasan situasi di mana manusia bertindak, konsepsi mereka

tentang tujuan yang tepat dan sarana untuk mencapainya, dan

dengan demikian menjadi “terikat dengan sifat-sifat praktis

terhadap hampir semua aspek kehidupan sehari-hari”.56

Perkembangan teologi rasional yang demikian merupakan

pergeseran pemikiran dari mitos menuju logos, dari yang bersifat

mitologi menuju rasional.

Dalam fenomena sosial budaya di zaman modern ini,

kehidupan beragama menjadi menciut dalam aspek kecil dari

kehidupan sehari-hari. Fenomena penciutan kehidupan beragama

ini karena pengaruh budaya modern yang kadang kala mendekati

modernisme57 dan sekulerisme. Kemajuan ilmu pengetahuan,

rasionalisasi metafisik dan etika keagamaan membutuhkan lembaga

kependetaan yang bebas dan terlatih serta profesional, secara permanen

dipenuhi dengan pemujaan dan dengan masalah praktis yang terdapat dalam

perawatan jiwa. Weber, The Sociology of Religion, 30. 55 Proses rasionalisasi merupakan suatu istilah yang berasal dari

Emmanual Kant dalam bukunya Essay on Universal History. Pikiran manusia

dengan cepat telah mengalami rasionalisasi, baik dalam arti formal sehubungan

dengan konsistensinya dan sifat sistematisnya, maupun dalam arti substansi

dalam menyisihkan unsur-unsur fantasi dan mitosnya. O’Dea, Sosiologi Agama,

83 56 Talcott Parsons, Essai-Essai Sosiologi, 209 57 Menurut Bustanuddin Agus, modernisme berbeda dengan modern.

Yang pertama telah menjadi panutan dan paham yang dipakai dalam

memandang manusia, alam dan kehidupan secara keseluruhan. Kalau istilah

modernisme dipasangkan dengan tradisionalisme, ia adalah sifat masyarakat

yang berorientasi kepada yang konkret, otomatisasi, kecenderungan kepada

Page 64: Stratifikasi Sosial dan Agama

52 Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi

Sosial dan Agama

industrialisasi, urbanisasi, dan rasionalisasi dan modernisasi

masyarakat telah menyebabkan agama semakin surut dari arena

kehidupan sosial yang dikuasainya secara tradisional. Lebih lanjut

Durkheim mengatakan bahwa agama mati perlahan-lahan dalam

dunia modern di bawah pengaruh ilmu dan teknologi modern.58

Mereka yang terpengaruh budaya modern lebih memiliki pola pikir

yang rasional dan ilmiah sehingga mempengaruhi pola

kepercayaan mereka terhadap hal-hal yang sakral yang dianggap

irrasional dan jauh dari kata ilmiah. Adanya perubahan

intelektualitas masyarakat dari irasional ke rasional mempengaruhi

perubahan fungsi sosial di dalam masyarakat.

C. Masyarakat dan Stratifikasi Keagamaan

Lapisan sosial atau stratifikasi sosial di dalam masyarakat

terbentuk karena adanya sesuatu yang dihargai di dalam

masyarakat. Hal ini tentunya tidak hanya berkaitan dengan

kepemilikan materil saja tetapi juga dapat berupa immateril,

seperti kesalehan dalam agama atau mungkin juga keturunan yang

terhormat. Agama muncul karena manusia hidup di dalam

masyarakat dan dengan demikian mengembangkan kebutuhan-

kebutuhan dasar tertentu sebagai akibat dari kehidupan kolektif

mereka. Agama ada karena agama dapat memenuhi fungsi-fungsi

sosial tertentu yang penting yang tak dapat dipenuhi tanpa agama.

Peranan utama agama, menurut Durkheim, sebagai integrator

kemasyarakatan. Agama mengikat orang-orang menjadi satu

dengan mempersatukan mereka dengan melalui seperangkat

perubahan. Akan tetapi modern hanya sekedar sikap bersedia atau sekadar

menggunakan alat dan produk yang dihasilkan oleh teknologi modern sehingga

tenaga untuk mengerjakan sesuatu bisa terhemat, seperti handphone dan

internet untuk berkomunikasi. Orang Islam didorong untuk hemat dan

melakukan sesuatu dengan sempurna yang tentunya dengan menggunakan hasil

teknologi modern, tetapi mereka tidak direstui, bahkan diharamkan untuk

berpandangan hidup atau berideologi modernisme karena mengabaikan Allah

dan agama sebagai pegangan hidup. Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), 10.

58 Stephen K Sanderson, Macrosociology, diterjemahkan oleh Farid

Wajidi, S. Menno (Jakarta, PT RajaGrafindo, 2000), 555.

Page 65: Stratifikasi Sosial dan Agama

Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi Sosial dan Agama

53

kepercayaan, nilai, dan ritual bersama. Dengan demikian agama

membantu memelihara masyarakat atau kelompok sebagai suatu

komunitas moral.59

Masyarakat bukan saja suatu struktur sosial stabil, tetapi

suatu struktur yang berkembang dan berubah terus menerus

sebagai akibat dari kekuatan hukum masyarakat yang disebut

proses sosial dan perubahan sosial baik dalam ritme yang cepat

maupun lambat. Laju proses sosial (social process) dan perubahan

sosial (social change) itu sendiri tidak terlepas dari perubahan

sosio-kultural, bahkan justru karena dipengaruhi secara langsung

oleh sosio-budaya, teristimewa apabila kebudayaan asli bertemu

dengan kebudayaan asing. Unsur-unsur kebudayaan agama

memainkan peranan dominan atas masyarakat, baik itu agama asli

maupun agama asing. Sebagaimana defakto unsur kebudayaan

nonreligius mempengaruhi dan mengubah masyarakat melalui

lapisan-lapisan sosial, demikian pula agama sebagai unsur

kebudayaan religius hanya dapat masuk dan meresap dalam

masyarakat melalui lapisan-lapisan masyarakat.60

Pandangan lebih konkrit mengenai hubungan agama

dengan stratifikasi sosial dikatakan Weber tentang agama dari

berbagai kelas yang ia amati.61 Weber mengungkapkan bahwa

59 Stephen K Sanderson, Macrosociology, diterjemahkan Farid Wajidi, S.

Menno (Jakarta, PT RajaGrafindo, 2000), 554. 60 Hendropuspito, Sosiologi Agama, (Jakarta: Penerbit Kanisius, 1983),

58. 61 Weber telah melakukan penelitian tentang agama-agama dunia dan

dapat ditarik dua kesimpulan penting berkenaan dengan penelitiannya tersebut,

yaitu: yang pertama terdapat dalam sejarah agama Kristen, Yahudi, Islam,

Hinduisme, Buddha, Konfusianisme, dan Toisme – suatu hubungan yang jelas

dan dapat diamati di antara posisi misalnya dengan kecenderungan menerima

pandangan keagamaan yang berbeda. Yang kedua, ini bukanlah suatu penentuan

yang tepat tentang pandangan keagamaan oleh stratifikasi sosial. Misalnya,

kelas menengah rendah yang dianggap Weber memainkan peranan strategis

dalam sejarah agama Kristen, melihatkan suatu kecenderungan yang pasti ke

arah “congregational religion”, ke arah agama keselamatan, dan akhirnya ke

arah agama “etika rasional”. Ini berbeda sekali dengan kecenderungan

keagamaan kaum petani. Tetapi Weber menegaskan bahwa hal ini jauh dari

setiap/determinisme yang serupa. Dia menegaskan bahwa dalam kelas

Page 66: Stratifikasi Sosial dan Agama

54 Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi

Sosial dan Agama

stratifikasi dibentuk tidak hanya dilihat dari faktor ekonomi saja

melainkan juga dapat dilihat berdasarkan ciri-ciri khusus seperti

world view, upacara-upacara keagamaan dan simbol-simbol yang

menggambarkan kedudukan sosial masyarakat dalam stratifikasi

tersebut. Berbagai studi memperlihatkan bahwa stratifikasi sosial

mempengaruhi agama. Studi yang dilakukan Sayyed Zainuddin

mengenai Islam, Social Stratification and Empowerment of Muslim OBCs62, menempatkan pertumbuhan dan perkembangan

stratifikasi sosial dalam Islam dari waktu ke waktu. Penelitian ini

membawa keluar dimensi kasta di kalangan umat Islam di India

Utara dan membuat kasus untuk pemesanan terpisah untuk

pemberdayaan OBCs Muslim. Posisi ideologis Islam berkaitan

dengan stratifikasi sosial karena umat Islam secara keseluruhan

mematuhi prinsip-prinsip dasar agama Islam dan cukup

mengideologikan iman mereka untuk menjelaskan praktek-praktek

sosial mereka.

Kingsley Davis dan Wilbert E. Moore menyebut interelasi

agama dan stratifikasi sebagai religious stratification. Menurut

Davis dan Moore stratifikasi agama adalah pembagian masyarakat

ke dalam lapisan hirarkis pada premis keyakinan agama, afiliasi,

atau praktik iman. Alasan mengapa agama diperlukan ternyata

dapat ditemukan dalam kenyataan bahwa masyarakat manusia

mencapai kesatuan terutama melalui kepemilikan oleh anggotanya

nilai utama tertentu dan berakhir kesamaan. Selanjutnya, Davis

dan Moore berpendapat bahwa stratifikasi keagamaan merupakan

“peran keyakinan agama dan ritual untuk menyediakan dan

memperkuat penampilan realitas bahwa nilai-nilai utama tertentu

telah dimiliki. Ini merupakan salah satu penjelasan mengapa

agama merupakan salah satu faktor yang mendasari dan

menengah rendah, dan khususnya di kalangan pengrajin, terdapat perbedaan

besar yang saling berdampingan, dan bahwa para pengrajin ini memperlihatkan

suatu diversifikasi yang sangat nyata. (Lihat O’Dea, Sosiologi Agama, 109. Lebih lanjut lihat Juga Weber, The Sociology of Religion, 95-96)

62 Sayyed, Zainuddin. “Islam, Social Stratification and Empowerment of

Muslim OBCs”, Economic and Political Weekly, Vol. 38, No. 46 (November

2003): 4898-4901. http://www.jstor.org/stable/4414285 (diakses pada 02 April

2012).

Page 67: Stratifikasi Sosial dan Agama

Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi Sosial dan Agama

55

menghubungkan berbagai bentuk ketidaksetaraan dalam

stratifikasi. 63

Para sosiolog terdahulu biasanya lebih memperhatikan

stratifikasi berdasarkan ras, kelas, gender, etnis, dan ekonomi

dibanding agama. Namun, penelitian terbaru menunjukkan bahwa

stratifikasi agama layak untuk mendapatkan perhatian lebih dari

biasanya. Ini merupakan pengembangan umum dalam agama

masyarakat yang sangat beragam. Sosiolog James D. Davidson

dan Ralph E. Pyle (2011) berpendapat bahwa akhir dekade ini ada

kemungkinan untuk mengkalkulasikan status sosial ekonomi dan

menemukan perwakilan identifikasi keagamaan penduduk

Amerika. 64 Menurut Davidson dan Pyle, stratifikasi agama sudah

muncul selama masa kolonial Amerika, sebagai akibat dari

etnosentrisme agama, persaingan agama, dan sumber daya yang

tidak merata. Mereka menunjukkan bahwa kelompok Anglikan,

Kongregasionalis, dan Presbiterian lebih terwakili di kalangan elit

ekonomi, politik, dan pendidikan. Sedangkan kelompok-kelompok

lain seperti Protestan, Katolik, Yahudi, dan orang-orang tanpa

preferensi agama memiliki peringkat yang jauh lebih rendah dalam

status sosial.65

Selain itu, Keith A.Roberts66 juga menyatakan bahwa ada

hubungan antara keadaan sosial ekonomi dan ketaatan beragama.

Agama dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh sistem sosial

ekonomi masyarakat. Untuk mengetahui pengaruh agama terhadap

masyarakat, ada tiga aspek yang perlu dipelajari, yaitu

kebudayaan, sistem sosial, dan kepribadian. Ketiga aspek itu

63 Davis, Kingsley and Wilbert E Moore, 1945. “Some Principles of

Stratification,” American Sociological Review 10 (April): 242-249.

http://en.wikipedia.org/wiki/ religious_stratification (diakses pada 02 April

2012) 64 Davidson, James.D and Pyle, R.E., Ranking Faiths: Religious

Stratification in America (Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 2011), pp. 219. 65 Davidson, James D, Religious Stratification: Its Origins, Persistence,

and Consequences, Sociology of Religion; Winter 2008; 69, 4; ProQuest

Research Library, 371. 66 Keith A. Robert, Religion In Sociological Perspective, (USA:

Wadsworth, 2004), 218

Page 68: Stratifikasi Sosial dan Agama

56 Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi

Sosial dan Agama

merupakan fenomena sosial yang kompleks dan terpadu yang

pengaruhnya dapat diamati pada perilaku manusia. Berkaitan

dengan hal ini, Nottingham menjelaskan secara umum tentang

hubungan agama dengan masyarakat – yang menurutnya, terbagi

tiga tipe. Tipe-tipe yang dimaksud Nottingham67 tersebut, yaitu:

1. Masyarakat yang terbelakang dan nilai-nilai sakral. Tipe

masyarakat ini kecil, terisolasi, dan terbelakang. Anggota

masyarakatnya menganut agama yang sama. Tidak ada

lembaga lain yang relatif berkembang selain lembaga

keluarga; agama menjadi fokus utama bagi pengintegrasian

dan persatuan masyarakat dari masyarakat secara

keseluruhan. Oleh karena itu, kemungkinan agama

memasukkan pengaruh yang sakral ke dalam sistem nilai-

nilai masyarakat sangat mutlak.

2. Masyarakat pra-industri yang sedang berkembang.

Keadaan masyarakatnya tidak terisolasi, ada

perkembangan teknologi yang lebih tinggi daripada tipe

pertama. Agama memberikan arti dan ikatan kepada sistem

nilai dalam tipe masyarakat ini. Tetapi, pada saat yang

sama, lingkungan yang sakral dan yang sekuler sedikit

banyak masih dapat dibedakan. Misalnya, pada fase-fase

kehidupan sosial masih diisi oleh upacara-upacara

keagamaan, tetapi pada sisi kehidupan lain, pada aktivitas

sehari-hari, agama kurang mendukung. Agama hanya

mendukung masalah adat-istiadat saja. Nilai-nilai

keagamaan dalam masyarakat menempatkan fokus

67 Pembagian Nottingham ini tampaknya mengikuti konsep August

Comte tentang proses tahapan pembentukan masyarakat, yaitu tahap teologis

(di mana tingkat pemikiran manusia menganggap bahwa semua benda di dunia

mempunyai jiwa dan itu disebabkan oleh suatu kekuatan yang berada di atas

manusia); tahap metafisis (merupakan transisi dari teologis ke tahap positif

yang ditandai oleh satu kepercayaan akan hukum-hukum alam yang asasi yang

dapat ditemukan dalam akal budi); dan tahap positif (tahap di mana manusia

mulai berpikir secara ilmiah). Lebih lanjut Nottingham membahas tipe-tipe ini

dalam satu bab yang berjudul “Tipe-Tipe Masyarakat dan Agama” di dalam

bukunya Agama dan Masyarakat, terjemahan Abdul Muis Naharong, Jakarta:

CV. Rajawali, 1985, 41-58.

Page 69: Stratifikasi Sosial dan Agama

Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi Sosial dan Agama

57

utamanya pada pengintegrasian tingkah laku perseorangan,

dan pembentukan citra pribadi mempunyai konsekuensi

penting bagi agama. Salah satu akibatnya, anggota

masyarakat semakin terbiasa dengan penggunaan metode

empiris yang berdasarkan penalaran dan efisiensi dalam

menanggapi masalah-masalah kemanusiaan sehingga

lingkungan yang bersifat sekuler semakin meluas.

3. Masyarakat Industri-Sekuler. Masyarakat tipe ini

merupakan masyarakat yang paling agresif dan dinamik di

dunia sekarang ini, dengan menggunakan ilmu

pengetahuan, teknologi dan nilai-nilai sekuler mereka,

terus-menerus memusuhi masyarakat-masyarakat tipe

kedua dan sebagian kecil masyarakt tipe pertama yang

lebih berorientasi kepada agama.

Dari gambaran kondisi dan tingkat persepsi keagamaan di

atas dan memperhatikan perkembangannya sekarang ini, maka

dapat dijelaskan bahwa agama sekarang ini di suatu tempat telah

mengalami modernisasi pemahaman yang mendorong masyarakat

kepada masyarakat maju, sementara sebaliknya di tempat lain,

agama masih hanya sebagai pendukung status quo. Ternyata

agama pada suatu saat bisa berfungsi sebagai pendorong

perubahan dan pada saat lain bisa berfungsi sebagai penjaga status quo. Perbedaan posisi terhadap status quo tersebut dijelaskan

dengan melihat lokasi sosial agama. Pertama, keterpisahan agama

dengan elemen-elemen masyarakat yang lain. Bila agama dalam

pengertian nilai agama, terdifusi secara baik dalam keseluruhan

lembaga-lembaga sosial yang lain, maka kemungkinan kecil akan

mendorong perubahan sosial. Ini dapat dimengerti karena

sesungguhnya target agama adalah mendifusikan nilai-nilai dan

cita-cita agama ke dalam tatanan sosial. Bila ini sudah tercapai,

agama akan cenderung jalan di tempat dan mempertahankan

kondisi ini. Sebaliknya bila agama terpojok dan hanya menjadi

satu bagian yang terpisah dari masyarakat, agama akan mendorong

perubahan ke arah terdifusinya nilai agama dalam masyarakat.

Kedua, adalah kedudukan agama sebagai motivator aktivitas

Page 70: Stratifikasi Sosial dan Agama

58 Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi

Sosial dan Agama

masyarakat. Dalam masyarakat terdapat sesuatu bentuk

kepercayaan (belief) yang berfungsi sebagai motivator bertindak.

Weber misalnya, menggambarkan motivasi masyarakat untuk

melakukan berbagai tindakan ekonomis adalah untuk meraih

kesejahteraan duniawi berdasarkan imannya, atau menurut istilah

Weber disebut inner-worldly ascetism68. Relevansi antara stratifikasi sosial dan pola kepercayaan

masyarakat (world view) dapat dianalisis dengan menggunakan

struktural fungsional. Asumsi dasar teori fungsional terletak pada

cara pandang yang menyatakan bahwa masyarakat (sebagai sistem

sosial) terintegrasi oleh adanya kesepakatan bersama, collective consciousness. Kebersamaan dan kohesi sosial dimungkinkan

karena adanya hubungan fungsional antarbagian pembentuk

sistem, interdependency. Dengan demikian, kondisi masyarakat

akan selalu dalam keadaan equilibrium. Seandainya ada

perubahan-perubahan – baik karena faktor internal maupun

eksternal – perubahan itu diyakini tidak akan sampai mengganggu

integritas sosial atau keseimbangan sosial, sebab sifat perubahan

yang terjadi lebih bersifat gradual ketimbang mendasar.69 Hal ini

68 Inner worldly-asceticism merupakan asketisisme yang terarah ke

dalam dunia. Pola asketisisme ini diperkenalkan oleh Protestanisme (golongan

Calvin dan Luther). Sikap dasarnya, yaitu asketisisme dalam pengertian: tekun,

disiplin diri, menolak godaan kenikmatan. Tetapi orientasi asketisismenya

berbeda dari “asketisisme yang terarah ke luar-dunia” (other-worldly asceticism). Sikap bertarak dari Protestanisme tidak lagi diarahkan kepada

kehidupan “syurga”; tetapi terarah kepada kehidupan masa kini di dunia.

Sehingga orang disebut beriman apabila kehidupannya di masa kini senantiasa

ditandai oleh tanggungjawab yang optimal terhadap seluruh pekerjaan yang

dipercayakan Tuhan kepadanya. Etos kerja inilah yang menurut Weber

kemudian mampu mengubah wajah dan peradaban Eropa, bahkan kemudian

mengubah seluruh dunia. Makna kerja bukan lagi dianggap sebagai hal yang

duniawi, tetapi dihayati sebagai hal yang suci. Karena nilai pekerjaan adalah

suci, maka setiap orang beriman harus melakukan pekerjaannya dengan

sungguh-sungguh dan benar secara moral. Kerja menjadi manifestasi dari

ibadah. Hasilnya adalah penanganan pekerjaan yang makin profesional dan

didasari oleh moralitas yang tinggi. Lihat Weber, The Sociology of Religion, 242.

69 Narwoko dan Suyanto (Ed), Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan, , 257.

Page 71: Stratifikasi Sosial dan Agama

Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi Sosial dan Agama

59

dapat dilihat pada fenomena ziarah di Kota Palembang.

Masyarakat yang memiliki perbedaan strata dan pola kepercayaan

tetap berada dalam equilibrium dan hal ini tidak mengakibatkan

terpecahnya integritas dalam masyarakat ketika berziarah

walaupun pola tindakan yang mereka aplikasikan beraneka ragam.

Analisis struktural fungsional terhadap interelasi antara

stratifikasi sosial dan pola kepercayaan dapat dilihat dari pola

tindakan masyarakat. Dalam hal ini, hubungan tersebut tercermin

dalam fenomena ziarah di mana masyarakat yang terstratifikasi

memiliki world view atau pola kepercayaan yang bervariasi, yang

mereka refleksikan dalam tindakan mereka ketika berziarah.

Talcott Parsons yang mengajukan teori tentang tindakan manusia

dalam hal ini membedakan ke dalam empat subsistem: organisme, personality, sistem sosial, dan sistem kultural. Keempat unsur ini

tersusun dalam urutan sibernetika (cybernetic order) yang menurut

Parson sebagai unsur yang mengendalikan tindakan manusia.70

Tindakan sosial yang diajukan oleh Talcott Parson

sepenuhnya mengikuti karya Weber. Tindakan sosial yang

dimaksudkan Weber dapat berupa tindakan yang nyata-nyata

diarahkan kepada orang lain. Juga dapat berupa tindakan yang

bersifat membatin atau bersifat subyektif yang mungkin terjadi

karena pengaruh positif dari situasi tertentu. Atau merupakan

tindakan perulangan dengan sengaja sebagai akibat dari pengaruh

situasi yang serupa. Atau berupa persetujuan secara pasif dalam

situasi tertentu. Atas dasar rasionalitas tindakan sosial, Weber

membedakannya ke dalam empat tipe. Semakin rasional tindakan

sosial itu semakin mudah dipahami.71

1. Zwerk rational, yakni tindakan sosial murni. Dalam

tindakan ini aktor tidak hanya sekedar menilai cara yang

baik untuk mencapai tujuannya tapi juga menentukan nilai

dari tujuan itu sendiri. Tujuan dalam zwerk rational tidak

absolut. Ia dapat juga menjadi cara dari tujuan lain

70 Narwoko dan Suyanto (Ed), Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan,

262. 71 George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda,

(Jakarta: PT RajaGrafindo, 2007), 39.

Page 72: Stratifikasi Sosial dan Agama

60 Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi

Sosial dan Agama

berikutnya. Bila aktor berkelakuan dengan cara yang paling

rasional maka mudah memahami tindakannya.

2. Werkrational action, dalam tindakan tipe ini aktor tidak

dapat menilai apakah cara-cara yang dipilihnya itu

merupakan yang paling tepat ataukah lebih tepat untuk

mencapai tujuan yang lain. Ini menunjuk kepada tujuan itu

sendiri. Dalam tindakan ini memang antara tujuan dan

cara-cara mencapainya cenderung menjadi sukar untuk

dibedakan. Namun tindakan ini rasional, karena pilihan

terdapat cara-cara kiranya sudah menentukan tujuan yang

diinginkan. Tindakan tipe kedua ini masih rasional meski

tidak serasional yang pertama. Karena itu dapat

dipertanggungjawabkan untuk dipahami.

3. Affectual action, tindakan yang dibuat-buat dipengaruhi

oleh perasaan emosi dan kepura-puraan si aktor. Tindakan

ini sukar dipahami. Kurang atau tidak rasional.

4. Traditional action, tindakan yang didasarkan atas

kebiasaan-kebiasan dalam mengerjakan sesuatu di masa

lalu saja.

Kedua tipe tindakan yang terakhir sering hanya merupakan

tanggapan secara otomatis terhadap rangsangan dari luar. Semua

tindakan manusia ditentukan oleh keempat subsistem: budaya,

sosial, kepribadian, dan organisme. Sistem kultural merupakan

sumber ide, pengetahuan, nilai, kepercayaan, dan simbol-simbol.

Sistem ini penuh dengan gagasan dan ide, karena itu kaya akan

informasi, tetapi lemah dalam energi dan aksi. Untuk sampai pada

tindakan nyata, personality, sistem sosial berfungsi sebagai

mediator terhadap sistem kultural. Artinya simbol-simbol

budayawi diterjemahkan begitu rupa dalam sistem sosial yang

kemudian disampaikan kepada individu-individu warga

masyarakat (sistem sosial) melalui proses sosialisasi dan

internalisasi.72

72 Pertimbangan aspek-aspek tertentu sistem-sistem sosial digambarkan

dalam kerangka teori tindakan yang menunjukkan dengan mudah mengapa

pelapisan merupakan suatu fenomena mendasar. Pada tempat pertama, evaluasi

Page 73: Stratifikasi Sosial dan Agama

Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi Sosial dan Agama

61

Berdasarkan hal tersebut, deskripsi mengenai interelasi

stratifikasi sosial dan pola kepercayaan masyarakat dapat dilihat

dari apa yang dikatakan Weber tentang berbagai kelas yang

diamatinya. Golongan yang pertama adalah golongan Petani dan Nelayan yang pada umumnya golongan petani termasuk

masyarakat yang terbelakang. Hal ini disebabkan lokasinya berada

di daerah yang terisolasi, sistem masyarakatnya masih sederhana,

lembaga-lembaga sosialnya pun belum banyak berkembang. Di

samping alasan-alasan tersebut, unsur-unsur ketidakpastian,

ketidakmampuan, dan kelangkaan, sangat erat dengan kehidupan

petani. Mata pencaharian utamanya bergantung pada alam yang

tidak bisa dipercepat, diperlambat, atau diperhitungkan secara

cermat sesuai dengan keinginan petani. Faktor cuaca, faktor

pertumbuhan tanaman, faktor hewan – baik sebagai alat pembantu

maupun sebagai hama – faktor subur tidaknya tanah, dan

sebagainya merupakan faktor-faktor yang berada di luar jangkauan

petani. Oleh sebab itu, mereka mencari kekuatan dan kemampuan

di luar dirinya yang dipandang mampu dan dapat mengatasi semua

persoalan yang telah atau akan menimpa dirinya. Maka,

diadakanlah upacara-upacara atau ritus-ritus yang dianggap

sebagai tolak bala atau menghormati dewa. Menyediakan sesajen

bagi Dewi Sri, yang dipercaya sebagai pelindung sawah dan

ladang, pada waktu akan panen menjadi keharusan bagi mereka ,

agar hasil panennya berlimpah. Upacara-upacara semacam itu

kerap dilakukan sebagai suatu tradisi; meninggalkan upacara-

upacara tersebut diyakini akan mendatangkan bala atau panennya

moral merupakan suatu aspek penting tindakan dalam sistem-sistem sosial. Ia

merupakan suatu aspek utama fenomena yang lebih luas orientasi normatif,

karena tidak semua pola normatif yang relevan dengan tindakan merupakan

objek sentimen-sentimen moral. Fakta penting kedua adalah pentingnya pribadi

manusia sebagai suatu unit sistem-sistem sosial yang konkret. Jika pribadi-

pribadi manusia sebagai unit-unit dan evaluasi moral esensial bagi sistem-

sistem sosial, maka pribadi-pribadi itu dievaluasikan sebagai unit-unit dan tidak

hanya menghormati kualitas-kualitas, tindakan-tindakan khusus dan

sebagainya. Pelapisan sebagaimana diberlakukan di sini, merupakan suatu aspek

dari konsep struktur sebuah sistem sosial yang digeneralisasikan. Parson, Essei-Essei Sosiologi, 73.

Page 74: Stratifikasi Sosial dan Agama

62 Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi

Sosial dan Agama

tidak berhasil. Dengan pengamatan selintas, pengaruh agama

terhadap golongan petani cukup besar. Jiwa keagamaan mereka

relatif lebih besar karena kedekatannya dengan alam. Menurut

Weber petani sebagai kelas sosial tidak begitu sudi menjadi

penyebar agama yang aktif kecuali kalau tidak diancam

perbudakan atau dirampas harta miliknya. Untuk golongan

nelayan, karakter pekerja golongan nelayan hampir sama dengan

karakter golongan petani. Mata pencahariannya bergantung pada

keramahan alam. Jika musimnya sedang bagus, tidak ada badai,

boleh jadi hasil tangkapan ikannya melimpah. Biasanya pada

waktu-waktu tertentu ada semacam upacara untuk menghormati

penguasa laut, yang – pada masyarakat Indonesia – dikenal

sebagai Nyi Roro Kidul. Berdasarkan fakta tersebut, pengaruh

agama terhadap kehidupan nelayan dapat dikatakan signifikan.73

Apabila dilihat menurut konsep Nottingham, baik

golongan petani atau golongan nelayan, termasuk tipe masyarakat

terbelakang, yang nilai-nilai sakral sangat memasuki sistem nilai

masyarakatnya. Kalangan petani perlu dirembesi oleh pengaruh

luar yang sangat kuat sehingga dalam penyampaian ajaran agama

kepada mereka dapat dilakukan dengan cara yang sederhana dan

memakai contoh-contoh yang bisa diambil dari lingkungan

alamnya.74

Golongan selanjutnya adalah Pengrajin dan Pedagang Kecil. Hidup mereka didasarkan atas landasan ekonomi yang

memerlukan perhitungan rasional. Mereka tidak menyandarkan

diri pada keramahan alam yang tidak bisa dipastikan, tetapi lebih

mempercayai perencanaan yang teliti dan pengarahan yang pasti.

Menurut Weber, golongan pengrajin dan pedagang kecil suka

menerima pandangan hidup yang mencakup etika pembalasan.75

73 Lihat Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, 132. Lihat juga Weber, The

Sociology of Religion, 80, 97. 74 Nottingham, Agama dan Masyarakat, 43. 75 Golongan pengrajin dan pedagang kecil hidup dalam situasi yang

berbeda dengan golongan petani. Kehidupan golongan ini tidak terlalu berkutat

dengan situasi alam dan tidak terlalu bergantung pada hukum alam. Mereka

menaati kaidah moral dan pola sopan santun dan percaya bahwa pekerjaan yang

baik dilakukan dengan tekun dan teliti akan membawa balas jasa yang setimpal.

Page 75: Stratifikasi Sosial dan Agama

Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi Sosial dan Agama

63

Hal ini serupa dengan tipe masyarakat pra-industri yang sedang

berkembang. Bagi mereka, dalam persoalan-persoalan yang

menyangkut kehidupan materi/sehari-hari, agama tidak dijadikan

rujukan utama tapi rasiolah yang menjadi pegangannya. Meskipun

demikian, pada sisi lain, misalnya berkenaan dengan tahapan-

tahapan kehidupan sosial – seperti kelahiran, pertumbuhan anak,

perkawinan, dan kematian – masih diliputi oleh perasaan

keagamaan yang kental. Dalam hal ini, mereka masih mengadakan

upacara-upacara keagamaan.

Kategori berikutnya menurut Weber adalah golongan

Pedagang Besar76 yang lebih berorientasi pada kehidupan duniawi

(mundane) dan cenderung menutup agama profetis dan etis.

Perasaan keagamaannya lebih bersifat fungsional.77 Kemampuan

yang mereka miliki terletak pada kekuatan ekonominya.

Selanjutnya Weber menyebut golongan karyawan sebagai

kaum birokrat. Jika dilihat dari teori Nottingham, golongan ini

dapat dimasukkan pada masyarakat industri, karena sistem sosial

yang ada sudah bersifat modern. Hal ini dilihat dari pembagian

fungsi-fungsi kerja yang ada sudah jelas dan adanya penyelesaian

suatu masalah kemanusiaan berdasarkan penalaran dan efisiensi.

Berdasarkan asumsi ini, dapat dipastikan bahwa rasa

keberagamaan golongan karyawan berbeda dengan golongan-

golongan lain. Penelitian Weber di China, khususnya tentang

Akhirnya, agama yang mereka pilih adalah agama etis yang rasional. Dengan

kata lain, unsur emosi tidak memainkan peranan terpenting dan utama seperti

pada golongan petani dan nelayan. Weber, The Sociology of Religion, 97. 76 Golongan ini memiliki sikap yang lain terhadap agama. Pada

umumnya kelompok ini mempunyai jiwa yang jauh dari gagasan tentang

imbalan jasa (compensation) moral, seperti yang dimiliki golongan tingkat

menengah bawah. Menurut Weber, semakin tinggi posisi privilese kelas

tersebut, semakin kurang kemungkinan mereka untuk mengembangkan agama

keduniawian lainnya. Weber, The Sociology of Religion, 91. 77 Biasanya, sebagai formalitas, mereka tidak segan-segan menyumbang

sejumlah dana untuk kepentingan kegiatan agama, tetapi mereka sendiri tidak

terlibat langsung pada kegiatan tersebut. Pemberian dana dianggapnya cukup

untuk mewakili perasaan keagamaannya.

Page 76: Stratifikasi Sosial dan Agama

64 Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi

Sosial dan Agama

penganut agama Konfusius,78 menyimpulkan bahwa

kecenderungan rasa keagamaan birokrasi bersifat “serba mencari

untung dan enak”. Yang menjadi penyebabnya, karena rasa

kekhawatiran akan ketidakpastian, ketidakmampuan, dan

kelangkaan dalam kehidupan sehari-harinya dapat dikatakan tidak

pernah mereka alami. Mereka sudah terjamin dengan kepastian

datangnya sejumlah gaji pada setiap bulan. Maka budaya yang

dikembangkan, boleh jadi – seperti penemuan Weber tersebut –

adalah serba mencari keuntungan dan keenakan. Akan tetapi,

golongan karyawan di Indonesia, terutama pada masa sekarang,

tampaknya cukup religius. Di kantor-kantor sudah terdapat

tempat-tempat sholat. Instansi-instansi tertentu kadang ikut aktif

dalam mengumpulkan dana zakat fitrah atau zakat harta, atau

menyelenggarakan sholat Adha dan Kurban, menghajikan

karyawan-karyawannya yang beragama Islam secara bergilir atau

berdasarkan prestasi kerja, membolehkan karyawan wanita

menggunakan jilbab sebagai salah satu kewajiban yang

diperintahkan dalam ajaran Islam.79

Penggolongan berikutnya Weber menemukan kelas buruh

industri modern di Eropa yang memperlihatkan pra-disposisi bagi

doktrin keselamatan, tetapi lebih sering bersifat semu-agama

ketimbang bersifat agama.80 Weber juga berbicara secara umum

78 Weber sangat tertarik mengkaji birokrasi di masyarakat Barat dan di

dunia peradaban lainnya. Dia melihat kecenderungan agama di kalangan

birokrat yang “secara klasik dirumuskan dalam paham Kong Hu Cu

(Confuciasm). Akibatnya, walaupun menarik secara estetika, adalah sikap

opputunitis dan utilitarian. Ini memperlihatkan “tidak adanya perasaan butuh

bagi keselamatan atau bagi setiap penempatan transenden bagi etika”. Artinya

agama personal yang sifatnya emosional cenderung dihilangkan. Menurut

Weber di Cina pejabat menjunjung tinggi upacara menghormati (ritus) arwah

leluhur dan orang-orang tua demi: terpeliharanya tertib sosial, tetapi sungguh

dirasakan adanya jarak tertentu dari roh”. Weber, The Sociology of Religion, 90.

79 Lihat Hendropuspito, Sosiologi Agama, (Jakarta: Kanisius, 1983), 62.

Lihat juga Thomas F.O’Dea, The Sociology of Religion, diterjemahkan oleh

Tim Yasogama, Jakarta: PT. RajaGrafindo, 1995. 80 Dalam lingkungan rasionalisme proletar, agama pada umumnya

digantikan oleh ideologi lainnya”. Marx menyebut kelas buruh Eropa sebagai

Page 77: Stratifikasi Sosial dan Agama

Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi Sosial dan Agama

65

tentang kaum elit dan kelas yang tidak memiliki hak istimewa.

Ide-ide seperti keselamatan, dosa dan kerendahan hati ditemukan

Weber jauh dari semua kelas elite politik dan sebenarnya layak

dicela sesuai dengan rasa kehormatan diri kelas yang demikian.

Dia mengatakan: “Jika hal-hal lain tetap sama, maka kelas-kelas

yang punya status sosial tinggi dan yang memiliki privilese

ekonomi akan kurang cenderung mengembangkan gagasan

keselamatan. Sebaliknya, mereka memanfaatkan fungsi agama

sebagai pengabsah pola kehidupan dan kondisi mereka di dunia”.81

Sebaliknya, kelas yang tidak mempunyai hak istimewa atau yang

sudah tergusur, menunjukkan kecenderungan untuk merangkul dan

mengembangkan agama-agama penyelamat, menerima pandangan

dunia rasional yang dijiwai oleh etika kompensansi.82 Untuk

memberikan persamaan derajat pada wanita dalam partisipasi

keagamaan.83 Weber menyatakan: ”selama setiap kebutuhan untuk

keselamatan merupakan ungkapan dari beberapa keadaan yang

sulit, maka tekanan sosial atau ekonomis merupakan sumber yang

efektif bagi keselamatan keyakinan, walaupun bukan sebagai

sumber eksklusif satu-satunya”.84 Sebaliknya, Weber

menyimpulkan “kelas-kelas yang secara ekonomis paling tidak

mampu, seperti para budak dan buruh harian, tidak akan pernah

bertindak sebagai pembawa panji-panji agama tertentu”.85

Selain penggolongan yang telah dijabarkan oleh Weber

tersebut, terdapat juga penggolongan lain yang berlaku di

masyarakat. Golongan tua-muda misalnya, meskipun secara sosial

penggolongan tua-muda ini ada, namun susah ditentukan

“proletariat”, yang dimaksudkannya dengan istilah ini ialah kelas yang tidak

memperoleh “bagian” dalam sistem sosial yang ada. Buruh bekerja dan hidup di

suatu masyarakat di mana ia tidak merasa sebagai bagian dari masyarakat itu.

Marxisme menjadi ajaran penyelamat sekuler bagi sejumlah besar kelas buruh di

masa pertengahan abad kesembilan belas dan perang dunia kedua. Max Weber,

The Sociology of Religion, 101. 81 Weber, The Sociology of Religion, 107. 82 Weber, The Sociology of Religion, 97. 83 Weber, The Sociology of Religion, 12. 84 Weber, The Sociology of Religion, 107. 85 Weber, The Sociology of Religion, 99.

Page 78: Stratifikasi Sosial dan Agama

66 Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi

Sosial dan Agama

batasannya secara praktis. Kesulitan ini akhirnya mengimbas pada

pernyataan tingkat pengaruh kepada masing-masing golongan. Di

Indonesia, usia 40 tahun ke atas biasanya dianggap telah tua, dan

usia 40 tahun ke bawah dianggap muda. Usia 40 tahun ini

seringkali dijadikan patokan oleh penganut agama untuk

mempelajari agamanya secara intensif dan berupaya

menghayatinya secara mendalam dengan mengamalkan perintah

dan larangan ajaran agamanya. Misalnya saja, sholat berjamaah di

mesjid-mesjid seringkali lebih banyak diisi oleh golongan tua

daripada golongan muda. Golongan muda lebih banyak mengisi

kegiatan yang bersifat duniawi. Berdasarkan pengamatan sepintas

tersebut, dapat dikatakan bahwa agama pada golongan tua lebih

kental dibandingkan dengan golongan muda. Namun, bila asumsi

ini diterapkan pada zaman sekarang, ternyata mengalami kesulitan

juga, karena tidak jarang banyak orang yang berumur 40 tahun ke

atas berlaku seperti anak muda, pergi ke pesta-pesta, diskotik atau

cafe-cafe untuk berhura-hura. Sebaliknya, banyak di antara

golongan muda mengikuti, melaksanakan, dan mengisi waktunya

dengan kegiatan-kegiatan keagamaan. Misalnya, kini bermunculan

kelompok pengajian remaja masjid yang mengadakan berbagai

kegiatan keagamaan, seperti pesantren kilat, tabligh akbar, dan

lain sebagainya. Bahkan, kini jilbab sudah menjadi mode yang

trend di kalangan anak muda.86

Perbedaan status dalam masyarakat juga dapat dilihat

berdasarkan jenis kelaminnya, yaitu pria dan wanita.87 Secara

psikologis, watak umum pria dan wanita berbeda. Dalam

menghadapi suatu keadaan, watak pria lebih dominan

menggunakan pertimbangan rasional, sedangkan wanita lebih

dominan emosionalnya. Jika dilihat secara keseluruhan, tujuan

beragama seseorang itu rata-rata mencari untuk ketenangan batin.

Dalam masalah penghayatan keagamaan, tampaknya golongan

wanita lebih dominan karena faktor pembawaan mereka umumnya

cenderung emosional. Bagi wanita, yang terpenting dari

86 Kahmad, Sosiologi Agama, 134. Lihat juga Hendropuspito, Sosiologi

Agama, 66. 87 O’Dea, Sosiologi Agama, 114

Page 79: Stratifikasi Sosial dan Agama

Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi Sosial dan Agama

67

keberagaman itu dapat merasakannya secara langsung. Sementara

golongan pria kurang menghayati rasa-rasa keagamaan seperti itu.

Mereka memerlukan dasar rasionalnya terlebih dahulu. Oleh

karena itu, pengaruh agama terhadap golongan wanita cukup

signifikan, sebaliknya golongan pria cenderung mengarah ke arah

sekuler.

Selain Weber, Geertz juga melihat agama sebagai pola

untuk melakukan tindakan (pattern for behaviour) atau interpretasi

tindakan manusia. Geertz menggambarkan praktik keagamaan di

Jawa sebagai suatu kebudayaan yang kompleks. Ia menunjuk pada

banyaknya variasi dalam upacara, pertentangan dalam

kepercayaan, serta konflik-konflik nilai yang muncul sebagai

akibat perbedaan tipe kebudayaan atau golongan sosial. Ia

memilah tradisi Jawa menjadi tiga varian, yakni abangan, santri, dan priyayi.88 Tipologi ini berpegang pada konsep Parsonian, yang

menyebutkan bahwa ketiga tipe tersebut mencerminkan level nilai

(kultur) yang berbeda. Oleh karenanya, Geertz ingin

menginterpretasikan level nilai yang berbeda pada ketiga tipe

kebudayaan Jawa tersebut berdasarkan kepercayaan agama,

preferensi etis dan ideologi politik. Tipe abangan orientasi

sosialnya adalah petani. Sistem keagamaan masyarakat Jawa pada

saat itu juga lazimnya terdiri atas sebuah integrasi yang berimbang

antara unsur-unsur animisme, Hindu dan Islam.89 Tipe santri

orientasi sosialnya adalah pedagang dengan menonjolkan

kemurnian Islam yang tidak begitu terkontaminasi oleh animisme

88 Geertz, The Religion of Java, terj. Aswab dan Bur, (Jakarta:

Komunitas Bambu: 2013), v 89 Sebuah sinkretisme dasar orang Jawa yang merupakan tradisi rakyat

yang sebenarnya di pulau itu. Namun situasinya lebih kompleks dari ini, tidak

hanya banyak petani yang tidak mengikuti sinkretisme ini, tetapi juga banyak

orang kota – kebanyakan para petani kelas rendah yang tersingkir atau anak-

anak petani yang tersingkir – mengikutinya. Tradisi keagamaan abangan, yang

terutama sekali atas pesta keupacaraan yang disebut slametan, kepercayaan

yang luas dan kompleks terhadap makhluk halus serta serangkaian teori dan

praktik pengobatan, sihir serta magi, adalah subvarian pertama dalam sistem

keagamaan umum orang Jawa. Geertz, The Relligion of Java, xxx.

Page 80: Stratifikasi Sosial dan Agama

68 Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi

Sosial dan Agama

atau mistisisme, dalam masyarakat Jawa.90 Tipe priyayi orientasi

sosialnya adalah birokrat.Pada mulanya, priyayi hanya merujuk

pada kalangan aristokrasi turun temurun yang oleh Belanda

dicomot dengan mudah dari raja-raja pribumi yang ditaklukkan,

untuk kemudian diangkat sebagai pegawai sipil yang digaji.

Mereka tidak menekankan elemen animistis dari sinkretisme Jawa

yang serba melingkupi seperti kaum abangan, tetapi tidak pula

menekankan elemen Islam sebagaimana kaum santri, melainkan

menitikberatkan pada elemen Hinduisme.91

Apa yang ditawarkan oleh para tokoh di atas, seperti

Nottingham, Weber dan Geertz, pada pembaca adalah pandangan

yang mendalam kepada kecenderungan hubungan antara

stratifikasi sosial dan doktrin keagamaan. Ini bukan hukum-hukum

sosiologis; mereka tidak mengklaim faktor sederhana dan faktor

kedaulatan yang membentuk sifat sensitif keagamaan manusia.

Kondisi kehidupan mempengaruhi kecenderungan agama manusia,

dan kondisi kehidupan memiliki korelasi yang cukup berarti

dengan fakta stratifikasi sosial di semua masyarakat. Namun,

perkembangan ide, nilai dan praktek tertentu di suatu masyarakat

dapat mempengaruhi semua kelas, strata dan kelompok yang ada

di masyarakat tersebut. Bila manusia disosialisir dalam suatu

kebudayaan dan masyarakat tertentu, mereka akan belajar

menerima ide-ide dan nilai-nilainya yang dominan, dan pelajaran

mana ditunjang oleh pendapat umum para sahabat mereka –

melalui pensahihan konsensus. Weber menunjukkan kelas-kelas

yang mungkin tidak berasal dari suatu tipe agama tertentu dalam

90 Tidak semua pedagang betul-betul merupakan pemeluk subvarian itu.

Ada elemen santri yang kuat di desa-desa. Mereka seringkali berada di bawah

pimpinan para petani yang lebih kaya yang sudah mampu naik haji ke Mekkah

dan setelah kembali, mendirikan sekolah-sekolah agama. Geertz, The Relligion of Java, xxxi.

91 Elite pegawai kerah putih ini, yang ujung akarnya terletak pada

keraton Hindu-Jawa sebelum masa kolonial, memelihara serta mengembangkan

etiket keraton yang sangat halus, sebuah seni tari, sandiwara, musik dan puisi,

yang sangat kompleks dan mistisisme Hindu-Buddha. Geertz, The Religion of Java, xxxii.

Page 81: Stratifikasi Sosial dan Agama

Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi Sosial dan Agama

69

hal ini dapat dipengaruhi oleh agama.92 Tambahan lagi ide-ide

agama tertentu cenderung memiliki daya tarik yang universal.

Misalnya bila ide-ide tersebut telah dimapankan maka agama

keselamatan (solvation religion) akan mempunyai daya pikat yang

sangat luas.

D. Islam dan Stratifikasi Sosial

Menurut Kuntowijoyo93, sampai sejauh ini tampak sulit

mendapatkan definisi yang jelas mengenai konsep kelas di dalam

al-Qur’an, apalagi jika dikaitkan dengan pengertian yang lazim

dipahami dalam khazanah ilmu-ilmu sosial modern. Dalam

pengertian tersebut, konsep kelas selalu dihubungkan dengan

masalah ketidaksamaan sosial (social inequality). Tentu saja tidak

bisa dikatakan bahwa Islam tidak memiliki pandangan mengenai

masalah ketidaksamaan sosial tersebut. Tapi yang menjadi

pertanyaan apakah konsep ketidaksamaan sosial di dalam al-

Qur’an dapat disejajarkan dengan konsep perbedaan kelas dalam

definisi ilmu sosial modern saat ini.

Al-Qur’an jelas diturunkan di dalam setting sosial yang

aktual. Terkadang respon normatifnya merefleksikan kondisi sosial

yang aktual tersebut, meskipun jelas sekali al-Qur’an memiliki

cita-cita sosialnya sendiri. Untuk memahami konsep-konsep sosial

dalam al-Qur’an dapat dilihat dalam setting sosial masyarakat

Arab ketika al-Qur’an diturunkan. Pada zaman Rasululah,

masyarakat Arab pada umumnya terbagi dalam dua kelas sosial.

Yang pertama adalah kelas bangsawan dan yang kedua adalah

kelas budak. Istilah yang digunakan oleh Ali Syari’ati untuk

menjelaskan kedua konsep kelas tersebut adalah kelas Qabil dan

kelas Habil.94 Kelas pertama merupakan kelas aristokrat yang

terdiri atas para elit suku yang menguasai sumber-sumber ekonomi

92 Weber mengatakan: periode agitasi pembaharuan agama atau agitasi

risalat sering menarik kebangsawanan ke jalur agama etika risalat, karena tipe

agama seperti ini merembes ke seluruh kelas dan estate, oleh sebab itu

kebangsawanan umum dianggap sebagai pembawa pendidikan pertama bagi

awam”. Weber, The Sociology of Religion,86. 93 Kuntowijoyo, Paradigma Islam, 487. 94 Syari’ati, Tentang Sosiologi Islam, 147.

Page 82: Stratifikasi Sosial dan Agama

70 Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi

Sosial dan Agama

dan perdagangan. Mereka menjadi warga kelas satu. Sedangkan

kelas budak adalah warga kelas dua yang jumlahnya tidak begitu

banyak dan tidak memiliki kekuatan yang besar.

Konsep kelas aristokrat dan kelas budak nampaknya

memiliki kesamaan dengan konsep Qabil dan Habil yang

diungkapkan oleh Ali Syari’ati maupun konsep borjuis dan

proletar yang dikemukakan oleh Karl Marx. Pada konsep Karl

Marx, ia menempatkan penguasaan alat produksi sebagai sumber

kesejahteraan dan kekuasaan, namun tidak demikian dengan Ibn

Khaldun yang lebih menempatkan status (kelas) sebagai sumber

kesejahteraan dan kekuasaan. Pandangan Ibn Khaldun

menunjukkan bahwa modal sosial jauh lebih penting daripada

modal material seperti yang dianut oleh Karl Marx. Perbedaan lain

adalah pandangan mereka tentang relasi antar kelas. Ibn Khaldun

melihat kecenderungan masyarakat dari kelas rendah untuk

mendekati dan meminta perlindungan kepada masyarakat dari

kelas yang lebih tinggi. Imbalan terhadap perlindungan itu adalah

berbagai layanan gratis yang nilai lebihnya secara ekonomis, sosial

dan politik yang dapat dinikmati oleh kelas yang lebih atas. Di sisi

lain, Karl Marx lebih melihat relasi antar kelas sebagai lebij dijiwa

oleh semangat kompetisi dan konflik.95

Meskipun mengenal adanya kelas budak, pembedaan kelas

dalam masyarakat Arab lebih didasarkan pada kategori

kekerabatan etnik dan kesukuan. Pembedaan kelas berdasarkan

suku ini misalnya terefleksi di dalam sebuah ayat yang

menyatakan bahwa meskipun manusia itu diciptakan dari satu diri,

tapi mereka terpilah-pilah dan terpecah dalam kelompok-

kelompok suku dan bangsa.96 Kesukuan dan kabilah inilah yang

menjadi kriteria pokok pembagian sosial masyarakat Arab saat itu.

95 Ibn Khaldu>n., Muqaddimah, chapter V-5, Damaskus: Da>r Ya‘rub.

2004. 96 Allah SWT berfirman: “Hai manusia, sesungguhnya Kami

menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. QS. Al-H}ujura>t: 13

Page 83: Stratifikasi Sosial dan Agama

Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi Sosial dan Agama

71

Oleh karena itu, secara politis, stratifikasi sosial yang terbentuk

dari pembagian kemasyarakatan berdasarkan suku dan kabilah lalu

menyebabkan munculnya kelas-kelas bangsawan yang berkuasa.

Secara ekonomis, oleh karena basis ekonomi masyarakat

Arab adalah perdagangan, maka terbentukalah kelas aristokrasi

pedagang sebagai elit yang paling berpengaruh dalam masyarakat

Arab. Tapi kemudian al-Qur’an juga merefleksikan kenyataan

sosial lain mengenai strata sosial atas pemilikan dasar ekonomi.97

Tak hanya itu, terdapat pula konsep-konsep seperti golongan

dhu’afa, mustadh’afin, kaum fakir, dan kaum masakin yang

menggambarkan golongan berdasarkan ekonomi.98 Selain secara

ekonomi, strata sosial atas kepemilikan ilmu pengetahuan pun

dijelaskan dalam al-Qur’an di mana Allah akan meninggikan

derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi

ilmu pengetahuan.99

97 Allah SWT berfirman: “ Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari

sebahagian yang lain dalam hal rezeki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezekinya itu) tidak mau memberikan rezeki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezeki itu. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah”. (QS. An-Nahl: 71).

98 Kuntowijoyo, Paradigma Islam, 489. Dalam Al-Qur’an Allah

berfirman: “Bukanlah kebaikan-kebaikan itu menghadapkan ke waah kamu ke arah timur dan barat, tetapi kebaikan itu adalah barang siapa yang beriman kepada Allah, hari akhirat, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada para kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang membutuhkan pertolongan), orang-orang yang meminta-minta, dan membebaskan perbudakan, mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan orang-orang yang memenuhi janjinya bila mereka berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam mengahadapi kesempitan, penderitaan, dan pada waktu peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya) dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa”. (QS. Al-Baqarah:

177). 99 Allah SWT berfirman “Hai orang-orang yang beriman, apabila

dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majelis”, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS.

Al-Mujadilah: 11).

Page 84: Stratifikasi Sosial dan Agama

72 Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi

Sosial dan Agama

Stratifikasi dalam Al-Qur’an juga dapat dilihat dari adanya

stratifikasi dalam keimanan individu. Menurut Syed Nizar

Hussaini Hamdani stratifikasi keimanan muslim di ukur

berdasarkan pengetahuan agama dan praktek terhadap

pengetahuan agama tersebut. Stratifikasi keimanan ini di bagi

dalam tiga kategori yaitu yang mempercayai agama, strata

munafik, dan strata yang tidak mempercayai agama.Hierarki

stratifikasi keimanan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut

ini:100

Tabel 4.

Stratifikasi Keimanan dalam Masyarakat dan Masyarakat Muslim Dalam Masyarakat Dalam Masyarakat Muslim

Believer

Sangat Religius Muttaqi>n

Mukmin

Lahir dan bathin shaleh

Sholeh

Religius Moderat Muslim Setiap orang yang

menerima Islam secara

lisan

Kurang Religius Fa>siq

Fa>jir

Pendusta agama

Lahir dan bathin tidak

baik

Hypocrit Munafik oportunis

Non-Believer

Kafir Tidak memeluk agama

Islam

Masyarakat muslim yang sangat religius adalah muslim

yang memiliki sikap positif, berperilaku baik, praktek keagamaan

yang sangat baik, jujur dalam semua urusan, memiliki kepribadian

yang bisa diandalkan. Muslim yang religiusitasnya moderat adalah

mereka yang dikenal sebagai muslim yang menerima doktrin

Islam, bertindak sesuai ajaran Islam, mematuhi sebagian ajaran

Islam namun tidak mematuhi sebagian ajaran Islam yang lainnya.

Muslim yang kurang religius adalah yang mengaku beragama

100 Syed Nizar Hussaini Hamdani, “Religious Orientation as a Factor in

Time Allocation: Evidence from Cross-Section Pakistani Data,” Ph. D.

Dissertation in Quiad-i-Azzam University Pakistan, (2000): 61.

Page 85: Stratifikasi Sosial dan Agama

Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi Sosial dan Agama

73

Islam, kadang-kadang menjalankan ajaran Islam,tetapi tidak jujur,

dan sering melanggar syariah.101

Islam mengakui adanya diferensiasi dan bahkan polarisasi

sosial. Banyak ayat Al-Quran yang memaklumkan dilebihkannya

derajat sosial, ekonomi, atau kapasitas-kapasitas lainnya dari

sebagian orang atas sebagian yang lainnya. Kendatipun demikian,

ini tidak dapat diartikan bahwa Al-Quran menoleransi social inequality.102 Islam justru memiliki cita-cita sosial untuk secara

terus menerus menegakkan egalitarinisme. Namun, konsep-konsep

yang ada di dalam Al-Qur’an tersebut tidak dapat dengan begitu

saja diadaptasi untuk mengidentifikasi fenomena kelas di dalam

masyarakat modern dan disamakan konsepnya dengan

penggolongan sosial yang merujuk pada adanya sistem kelas

seperti konsep-konsep ilmu sosial. Apalagi konsep kelas baru

muncul sekitar abad kesembilan belas dalam setting masyarakat

Eropa.103

101 Syed Nizar Hussaini Hamdani, “Religious Orientation as a Factor in

Time Allocation: Evidence from Cross-Section Pakistani Data,” PhD.

Dissertation, Quiad-i-Azzam University-Islamabad, Pakistan, 2000, 62 102 Dalam Islam dikatakan bahwa Allah tidak memandang derajat

manusia, karena dimata-Nya semua manusia derajatnya sama dan hanya

ketaqwaan dan keimanan setiap umat-Nyalah yang membedakannya.

Sebagaimana firman Allah: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. QS. Al-H}ujura>t: 13

103 Kuntowijoyo, Paradigma Islam, 500.

Page 86: Stratifikasi Sosial dan Agama

74 Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi

Sosial dan Agama

Page 87: Stratifikasi Sosial dan Agama

BAB III

“...proses Islamisasi di Palembang diawali oleh stratifikasi sosial

yang merupakan ciri-ciri Kesultanan Palembang; sekelompok dominan di puncak, yang memperoleh jati dirinya dari konsepsi

masyarakat yang hierarkis...” -- Jeroen Peeters –

Page 88: Stratifikasi Sosial dan Agama

POTRET MASYARAKAT PALEMBANG

ab ini membahas mengenai sistem stratifikasi

masyarakat yang ada di kota Palembang. Namun,

sebelum masuk ke pembahasan lebih lanjut

mengenai sistem stratifikasi, terlebih dahulu akan dideskripsikan

sekilas mengenai kota Palembang. Selanjutnya juga akan dibahas

mengenai perkembangan sistem kepercayaan masyarakat

Palembang sebagai suatu deskripsi adanya unsur kepercayaan yang

masuk dalam tradisi ziarah. Bab ini juga membahas mengenai

akulturasi Islam dan budaya Palembang sebagai bagian yang ada

dalam masyarakat Palembang hingga sekarang.

A. Profil Kota Palembang

Kota Palembang merupakan ibu kota provinsi Sumatera

Selatan, dengan luas wilayah menurut Peraturan Pemerintah (PP)

No. 23 tahun 1988 sebesar 400, 61 km2 atau 40.061 Ha yang

terbagi ke dalam 16 kecamatan dan 107 kelurahan.1 Dalam segi

budaya, Kota Palembang terdiri dari berbagai unsur budaya

penduduk, menurut suku dan daerahnya. Palembang merupakan

kota pluralistik karena hidup berbagai suku dan daerah yang

berasal dari dalam maupun luar Provinsi Sumatera Selatan, antara

lain Jawa, Sunda, Minang, Bugis, China, Arab, Komering, Ogan,

Lahat, Pasemah, penduduk asli Melayu Palembang dan lain

1 BPS Kota Palembang, Palembang dalam Angka (Palembang In Figure)

2012.

B

Page 89: Stratifikasi Sosial dan Agama

78 Potret Masyarakat Palembang

sebagainya yang semuanya itu bersatu dalam satu simpul harmonis

dengan bahasa Palembang sebagai mata rantai pengikat dari setiap

suku dan budaya yang ada.

Penduduk Palembang termasuk dalam etnis Melayu

sehingga Bahasa Melayu menjadi bahasa ibu di daerah ini. Bahasa

Melayu ini kemudian telah disesuaikan dengan dialek setempat

dan kini dikenal sebagai Bahasa Palembang. Namun para

pendatang seringkali menggunakan bahasa daerahnya sebagai

bahasa sehari-hari, seperti bahasa Komering, Rawas, Musi,

Pasemah, dan Semendo. Pendatang dari luar Sumatera Selatan pun

kadang-kadang juga menggunakan bahasa daerahnya sendiri

sebagai bahasa sehari-hari dalam keluarga atau komunitas

kedaerahannya. Akan tetapi, untuk berkomunikasi dengan warga

Palembang lainnya, penduduk umumnya menggunakan bahasa

Palembang sebagai bahasa pengantar sehari-hari. Selain penduduk

asli, di Palembang terdapat pula warga pendatang dan warga

keturunan, seperti dari Jawa, Minangkabau, Madura, Bugis dan

Banjar. Warga keturunan yang banyak tinggal di Palembang

adalah Tionghoa, Arab dan India. Kota Palembang juga memiliki

beberapa wilayah yang menjadi ciri khas dari suatu komunitas

seperti Kampung Kapitan yang merupakan wilayah Komunitas

Tionghoa serta Kampung Al Munawwar, Kampung Assegaf,

Kampung Al Habsyi, Kuto Batu, 19 Ilir Kampung Jamalullail dan

Kampung Alawiyyin Sungai Bayas 10 Ilir yang merupakan

wilayah Komunitas Arab.

Asal usul nama Palembang lahir tepatnya belum dapat

diperkirakan. Apakah nama Palembang lahir sejak Sriwijaya

runtuh atau sebaliknya nama Palembang lahir lebih dahulu

sebelum nama Sriwijaya lahir sehingga nama Palembang pun

banyak memiliki arti. Menurut R.J.Wilkinson2 dalam kamusnya A Malay English Dictionary: lembang adalah tanah yang berlekuk,

tanah yang rendah, akar yang membengkak karena terendam lama

di dalam air. Sedangkan menurut cerita pemuka-pemuka adat, kata

Palembang berasal dari kata limbang yang artinya memisahkan

2 Dalam Djohan Hanafiah, Melayu-Jawa: Citra Budaya dan Sejarah

Palembang, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995), 15.

Page 90: Stratifikasi Sosial dan Agama

Potret Masyarakat Palembang 79

atau mencuci dalam air untuk mengambil sesuatu, dalam hal ini

logam mas dari dalam lumpur sungai. Arti Pa atau Pe menunjukkan keadaan atau tempat. Menurut cerita masyarakat

setempat, dulu penduduk kota Palembang mempunyai mata

pencaharian melimbang emas, terutama di sekitar Muara Ogan

Kertapati. Tempat inilah yang kemudian disebut Palimbang yang

kemudian berubah menjadi Palembang yang kini dipakai menjadi

nama ibukota Provinsi Sumatera Selatan. Selanjutnya berdasarkan

kronik Tiongkok terdapat nama Pa-lin-fong dalam buku Chu-fan-chi, yang ditulis pada tahun 1225 oleh Chau-Ju-Kua, dan nama ini

dirujuk sebagai Palembang.3

Menurut sejarahnya, Kota Palembang bermula dari

kerajaan Sriwijaya yang ada pada tahun 450 M dan mencapai

puncak kejayaannya pada tahun 550 M dan berhasil mendominasi

Nusantara dan Semenanjung Malaya pada abad ke-9. Kerajaan

Sriwijaya terus berkembang hingga hampir meliputi seluruh

wilayah Nusantara bahkan sampai keluar negeri. Sejarah

Palembang yang pernah menjadi ibu kota kerajaan bahari Buddha

terbesar di Asia Tenggara pada saat itu membuat kota ini dikenal

dengan julukan "Bumi Sriwijaya". Bukti-bukti adanya suatu

kerajaan besar tersebut adalah dengan adanya beberapa prasasti

yang ditemukan. Prasasti tersebut antara lain Prasasti Kedukan

Bukit yang bertarikh 11 bulan Wai caka tahun 605 atau 683 M.

Batu ini merupakan prasasti yang mengandung kata-kata Dapunta

Hiyang Sidhyarta dan termasuk batu tertulis berangka tertua di

Indonesia. Prasasti lain yang ditemukan juga adalah Prasasti

Talang Tuo yang ditemukan di dekat Bukit Siguntang. Namanya

Dapunta Hijang Djajanaga Criksetra yang tujuannya adalah

mengatur kesejahteraan dan kemakmuran seluruh makhluk hingga

tidak terdapat orang yang buta huruf. Selain itu ada juga prasasti

Sabokingking di 2 Ilir Palembang yang berbentuk telapak kaki dan

pinggiran atas berbentuk kepala ular kobra yang berbahasa Melayu

kuno. Namun, adanya penghancuran bangunan-bangunan

Sriwijaya oleh pasukan Lie Tao Ming dan jatuhnya Kerajaan

Sriwijaya, Palembang yang tadinya hanya merupakan sarang

3 Djohan, Melayu-Jawa: Citra Budaya dan Sejarah Palembang , 20.

Page 91: Stratifikasi Sosial dan Agama

80 Potret Masyarakat Palembang

penyamun, pada abad ke-16 M berdiri kerajaan Islam yang dikenal

dengan Kesultanan Palembang.4

Terkenal dengan berbagai kekhasan budaya dan latar

belakang sejarah yang panjang melalui suku, adat dan agama yang

beragam, Kota Palembang terbelah menjadi dua pemukiman oleh

Sungai Musi, yang menjadi salah satu ciri khas serta merupakan

salah satu sungai yang terbesar di Provinsi Sumatera Selatan,

yaitu daerah Ilir dan daerah Ulu. Tak hanya itu, sebagai salah satu

kota terbesar di Indonesia, pada tahun 2011 tercatat Palembang

memiliki jumlah penduduk sebanyak 1.481.814 jiwa5 dengan

jumlah penduduk laki-laki sebanyak 741.356 jiwa dan perempuan

sebesar 740.458 jiwa. Rasio jenis kelamin di Kota Palembang pada

tahun 2011 sebesar 100,12 persen yang berarti jumlah penduduk

laki-laki lebih besar dibanding dengan jumlah penduduk

perempuan. Sedangkan untuk jumlah penduduk Kota Palembang

menurut agama yang dianut pada tahun 2011 sebanyak 1.354.586

jiwa menganut agama Islam, 16.884 jiwa beragama Katolik,

28.724 jiwa beragama Kristen Protestan, 792 jiwa beragama

Hindu, 49.638 beragama Buddha, dan 533 beragama Kong Hu

Chu.6 Namun, keberagaman yang ada dalam masyarakat tetap

membuat Kota Palembang berada dalam harmonisasi sosial dan

tidak memicu terjadinya konflik sosial antar masyarakat meskipun

4 Bappeda & BPS Kota Palembang, Monografi Kota Palembang, 14.

Lebih lanjut lihat Slamet Muljana, Sriwijaya, Yogyakarta: LkiS. 2006. Lihat

KHO. Gadjahnata dan Sri Edi Swasono. Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan. 1986. Jakarta: UI-Press. Lihat juga Husni Rahim. Sistem Otoritas dan Administrasi Islam: Studi Tentang Pejabat Agama Masa Kesultanan dan Kolonial di Palembang. 1998. Jakarta: Logos. Lebih lanjut lihat

Taufik Abdullah. Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia. 1987.

Jakarta: LP3ES. Selain itu lihat juga Abdullah, Makmun., dkk. Kota Palembang Sebagai Kota Dagang dan Industri. Jakarta: Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan

Dokumentasi Sejarah Nasional. 1985. 5 Jumlah penduduk Palembang pun mengalami peningkatan dari tahun ke

tahun. Tercatat pada Januari 2013, jumlah penduduk Palembang mencapai

1.703.740 jiwa dengan rasio penduduk laki-laki sebanyak 868.197 jiwa dan

jumlah penduduk perempuan sebanyak 840.216 jiwa. 6 BPS Kota Palembang. Palembang Dalam Angka 2011.

Page 92: Stratifikasi Sosial dan Agama

Potret Masyarakat Palembang 81

perubahan demi perubahan terjadi di sini. Kehidupan sosial

keagamaan dijaga dengan baik. Agama yang lebih dahulu

berkembang dihormati dengan sebenarnya, seperti tampak pada

diperbolehkannya berdiri bangunan-bangunan tempat ibadah selain

masjid. Penganut agama Buddha, Hindu dan Khong Fucu

dihormati. Tempat-tempat ibadah mereka berdiri dengan

megahnya yang sampai kini bisa dilihat di kawasan 10 Ulu dan

Pulau Kemaro Palembang.

B. Sistem Stratifikasi Masyarakat Palembang

Sifat sistem stratifikasi di dalam suatu masyarakat dapat

bersifat tertutup (closed social stratification) dan terbuka (open social stratification).7 Sistem lapisan yang bersifat tertutup

membatasi kemungkinan pindahnya seseorang dari satu lapisan ke

lapisan yang lain, baik yang merupakan gerak ke atas maupun ke

bawah. Di dalam sistem yang demikian, satu-satunya jalan untuk

menjadi anggota suatu lapisan dalam masyarakat adalah kelahiran.

Sebaliknya di dalam sistem terbuka, setiap anggota masyarakat

mempunyai kesempatan untuk berusaha dengan kecakapan sendiri

untuk naik lapisan. Atau, bagi mereka yang tidak beruntung jatuh

dari lapisan yang atas ke lapisan di bawahnya. Pada umumnya

sistem terbuka ini memberi perangsang yang lebih besar kepada

setiap anggota masyarakat untuk dijadikan landasan pembangunan

masyarakat daripada sistem yang tertutup. Kedua sifat stratifikasi

sosial ini terdapat pada masyarakat Palembang. Sistem stratifikasi

sosial masyarakat Palembang yang bersifat tertutup dapat dilihat

secara historis dari sistem gelar yang ada di wilayah ini. Gelar

hanya didapat atas dasar kelahiran dan diturunkan secara

patrilineal. Kedudukan orang-orang yang memiliki gelar disebut

sebagai ascribed status, yaitu hanya orang-orang tertentu yang

memiliki gelar yang bisa berada dalam sistem stratifikasi. Namun,

sejalan dengan perkembangan masyarakat dan kemajuan teknologi

maka stratifikasi sosial sekarang adalah kemampuan atau peranan

7 Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: CV. Rajawali. 2012),

202. Lihat juga Vincent Jeffries dan Edward Ransford, Social Stratification: A Multiple Hierarchy Approach, (USA: Allyn and Bacon, Inc, 1980), 155.

Page 93: Stratifikasi Sosial dan Agama

82 Potret Masyarakat Palembang

seseorang atau didasarkan kepada status dan peranan seseorang

dalam masyarakat, dapat berupa ilmunya, kekayaan atau

peranannya di lingkungan sekitar. Pelapisan masyarakat seperti ini

disebut stratifikasi sosial yang bersifat terbuka dan disebut sebagai

achieved status. Selain itu kadang-kadang dibedakan lagi satu

macam kedudukan, yaitu assigned status yang merupakan

kedudukan yang diberikan.8

Secara historis, sistem stratifikasi Palembang berdasarkan

jumlah penduduk pada saat itu dapatlah dibagi dalam tiga

golongan besar: golongan priyayi dan pengeran yang berasal dari

keluarga sultan, golongan pedagang yang terdiri dari orang-orang

Palembang, orang Arab, orang Cina dan India, dan rakyat biasa.

Pada zaman Kesultanan Palembang abad ke-19, penduduk ibukota

sebagai pusat konsentrasi pemerintahan kesultanan berjumlah +

53.788 jiwa yang terdiri dari 242 orang Eropa, 46.870 penduduk

bumiputera, 4.726 orang China, 1.825 orang arab dan 126 orang

keturunan India Keling. Pada saat itu Palembang sebagai bekas

ibukota kesultanan yang dibangun oleh sekelompok aristokrasi

yang berasal dari Demak, pernah berkembang menjadi kerajaan

yang cukup besar. Kerajaan seperti ini, tidak memiliki basis

agraris, di mana pengawasan terhadap pelayaran dan perdagangan

merupakan sendi-sendi kekuasaan, yang memungkinkan kerajaan

ini memperoleh penghasilan yang cukup besar. Perdagangan yang

menjadi basis kekuasaan politik dan hubungan yang tetap dengan

orang-orang asing, telah meninggalkan pula jejak-jejaknya pada

struktur sosial masyarakat di daerah ini. Oleh karena itu penduduk

yang mendiami kota sebagai bekas pusat konsentrasi pemerintah

kesultanan, menunjukkan adanya struktur yang bersifat vertikal

dan horizontal, di mana komunitas politik sebagai titik sentral

terciptanya penggolongan-penggolongan masyarakat berdasarkan

status. 9

8 Soekanto, 211. Lebih lanjut lihat Pitirim A. Sorokin, Social and

Cultural Mobility (London: The Free Press of Glencoe, 1959). 9 Abdullah, Makmun., dkk. Kota Palembang Sebagai Kota Dagang dan

Industri. (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah

Page 94: Stratifikasi Sosial dan Agama

Potret Masyarakat Palembang 83

Seperti lazimnya masyarakat tradisional di Indonesia,

masyarakat di daerah ini terdiri dari kelompok-kelompok

masyarakat menurut suku, menurut kepercayaan, menurut

pekerjaan, dan menurut struktur sosial-politik. Dalam hubungan

ini dapat dibedakan antara masyarakat yang tinggal di pusat

kerajaan dengan masyarakat yang tinggal di daerah Uluan yang

belum begitu banyak mendapat pengaruh dari luar. Palembang

sebagai bekas kerajaan tradisional, masyarakatnya lebih banyak

seluk beluknya daripada masyarakat modern sekarang ini. Oleh

sebab itu baik masyarakat pedusunan maupun di pusat kerajaan,

dapat dibagi atas dua golongan besar, yaitu: golongan penguasa

dan golongan yang diperintah. Struktur teritorial kesultanan

bertalian dengan kepercayaan yang bersifat kosmopolitan, yang

merupakan prototip daripada sifat kedaerahan yang pernah

dikuasai oleh Sultan Palembang. Ibukota sebagai tempat kediaman

sultan terletak jauh dari daerah sekitarnya seperti daerah Musi,

Pasemah, Komering dan lain sebagainya. Daerah-daerah tersebut

dipimpin oleh anggota keluarga raja atau orang-orang tertentu

yang disayang oleh raja.10

Dalam struktur politik ini, kaum ningrat menduduki tempat

yang tertinggi dalam tata urutan sosial. Di lingkungan keraton,

lapisan atas aristokrasi dibentuk oleh golongan priyayi, yang

terdiri atas keturunan raja dengan gelar pangeran dan raden. Sebagai imbangan politik kaum ningrat, raja Palembang

menciptakan jabatan bangsawan sendiri, yang secara kolektif

dikenal sebagai para mantri. Dalam golongan ini dapat diangkat

orang dari semua lapisan penduduk sesuai keinginan sultan,

dengan satu-satunya syarat bahwa mantri harus beragama Islam.

Nasib mantri sama sekali tergantung dari kebaikan sultan sebagai

pelindungnya, sehingga raja lebih suka memilih calon dari

golongan ini untuk memangku jabatan penting. Golongan mantri

dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.

1985), 81. 10 J.I. Sevenhoven, dalam Jeroen Peeters, Kaum Tuo – Kaum Mudo:

Perubahan Religius di Palembang 1821-1942. Diterjemahkan oleh Sutan

Maimoen, (Jakarta: INIS, 1997), 25-26.

Page 95: Stratifikasi Sosial dan Agama

84 Potret Masyarakat Palembang

dibagi menurut status ibu mereka. Dalam hierarki sosial, tempat

pertama diduduki oleh bangsawan yang berasal dari perkawinan

priyayi dengan wanita dari golongan mantri. Golongan ini dengan

gelar masagus sebenarnya merupakan kategori yang tersendiri.

Meskipun para masagus berasal dari lingkungan priyayi, status

mereka tetap di bawah raden, dan dalam pergaulan sehari-hari

status mereka lebih mendekati para mantri. Di bawah masagus terdapat lapisan kemas, yang berasal dari perkawinan kedua

pasangan dari golongan mantri. Pangkat bangsawan yang lebih

rendah lagi ialah kiagus, yang berasal dari perkawinan kemas dengan wanita rakyat biasa.11

Mengganti gelar yang dimiliki oleh kaum wanita dari

golongan priyayi, yaitu istri sultan lazim disebut ratu. Anak-anak

perempuan dari pangeran dan raden disebut raden ayu dan anak-

anak perempuan dari golongan masagus disebut masayu. Anak-

anak perempuan dari lapisan kemas diberi gelar nyimas, dan anak-

anak perempuan dari lapisan kiagus diberi gelar nyiayu. Mengingat

golongan feodal ini hidup dalam masyarakat kota, yang sebagian

besar berkecimpung dalam dunia dagang dan peranan uang turut

menentukan harga diri seseorang, di mana kesenjangan tidak

begitu tajam antar kelompok, maka gelar-gelar yang merupakan

hiasan teoritis itu secara demokratis dipanggil dengan istilah “cek”

yang berasal dari kata “encik” (panggilan terhadap laki-laki

berdasarkan kedudukannya yang sedang). Gelar-gelar tersebut

bersifat ascribed status di mana hanya diturunkan secara

patrilineal. Apabila seorang perempuan yang bergelar menikah

dengan pria dari lapisan sosial rakyat biasa maka secara otomatis

anaknya tidak mendapatkan gelar apapun.12

Assigned status yang diberikan secara pribadi oleh sultan

kepada priyayi pilihan, biasanya memperoleh tanah sebagai

11 Jeroen Peeters, Kaum Tuo-Kaum Mudo: Perubahan Religius di

Palembang 1821-1942, 9. 12 Abdullah, Makmun., dkk. Kota Palembang Sebagai Kota Dagang dan

Industri. (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah

dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.

1985), 83.

Page 96: Stratifikasi Sosial dan Agama

Potret Masyarakat Palembang 85

sumber penghasilannya dan berperan sebagai penguasa tradisional

di daerah pedalaman (kepala marga atau dusun) dan

mempergunakan kekuasaannya untuk mengambil dan mengatur

produksi dari marga dusun yang dikuasainya.13 Assigned status juga diberikan untuk posisi fungsional agama dalam lapangan

pemerintahan pada zaman kesultanan yang nampaknya lebih

menonjol daripada golongan yang lain berdasarkan status. Sebagai

kepala agama ia diberi gelar Pangeran Penghulu Nata Agama,

yang pada zaman kesultanan biasanya berasal dari keluarga sultan.

Pada golongan ulama (golongan agama Islam) kedudukannya sama

dengan golongan pangeran, bahkan dalam trilogi pemerintahan

kesultanan terdapat unsur pemerintahan, agama dan pengadilan

raja (Koningsrecht).14 Golongan yang termasuk kelompok dagang terdiri atas

penduduk pribumi dan orang asing seperti: orang Arab, India, dan

Cina.15 Di samping orang Palembang, banyak sekali turunan Arab

13 Hasil produksi yang dimaksud tidak hanya terbatas pada hasil-hasil

saja, tetapi juga menyangkut konsumsi keraton seperti: kayu bakar, kayu balok

untuk perahu, bahan makanan dan laskar-laskar yang memiliki perlengkapan

perang. Dalam hal ini nampak bentuk terlihat betapa penting peranan dan fungsi

mereka sebagai pembantu sultan dalam keadaan yang sangat diperlukan.

Dengan kata lain mereka merupakan agen-agen sultan di daerah. 14 Ulama menduduki tempat khusus dalam sistem pemerintahan

tradisional, sehingga wewenang penguasa selalu dikaitkan dengan unsur agama

(Islam) atau sekurang-kurangnya tokoh agama sebagai tangan kanan penguasa.

Fenomena budaya ini nampak jelas, setelah agama Islam diakui sebagai agama

resmi dalam sistem Kesultanan Palembang. Para pangeran penghulu bekerja di

pengadilan khusus dengan dibantu oleh para khatib atau ulama-ulama tingkat

rendah dalam menjalankan tugas pemerintah. Segala perkara yang berhubungan

dengan perkawinan, kematian, tempat ibadah, kelahiran dan kejahatan

penduduk terhadap agama, ditangani oleh lembaga ini berdasarkan hukum

Islam. Jeroen Peeters, Kaum Tuo-Kaum Mudo: Perubahan Religius di Palembang 1821-1942, 10.

15 Biasanya orang-orang asing membentuk daerah perkampungan

tersendiri, kecuali orang-orang Cina yang bertempat tinggal di rakit-rakit di tepi

sungai. Memang sejak semula orang-orang Cina walaupun mereka sudah

memeluk agama Islam, tidak banyak diberi kesempatan untuk berpartisipasi

dalam mempertahankan negara di daerah ini, karena kepatuhannya sangat

diragukan. Lain halnya orang Arab atau India yang oleh sultan sering diberi

Page 97: Stratifikasi Sosial dan Agama

86 Potret Masyarakat Palembang

dan Cina yang diberi ascribed status oleh sultan Palembang.

Orang-orang asing yang dimaksudkan itu mendapat perlakuan

yang sama dengan penduduk lainnya, bahkan ada di antara orang-

orang Cina yang memeluk agama Islam diberi gelar Demang (anak

laki-laki dari Demang diberi gelar Baba dan anak perempuannya

diberi gelar nona ayu) dan orang-orang Arab diberi gelar Pangeran

oleh sultan. Itulah sebabnya pemberian gelar itu tidak hanya

terbatas pada kerabat raja saja, tetapi dapat pula diberikan kepada

siapa saja yang menurut pertimbangan penguasa berjasa kepada

keraton, seperti kebiasaan yang berlaku dalam kerajaan Mataram.

Golongan yang termasuk rakyat biasa, yang jumlahnya

jauh lebih besar dari golongan priyayi, diharuskan ikut serta dalam

pekerjaan-pekerjaan tertentu pada alingan raja atau bangsawan.

Golongan rakyat ini terbagi lagi dalam beberapa strata, yaitu

orang-orang Miji, Senan dan orang-orang Cili.16 Golongan ini

bertugas untuk mengabdi kepada Sultan sebagai bentuk atas

diberikannya dispensasi sosial oleh Sultan kepada mereka.

tempat tertentu di antara pemukiman penduduk pribumi, bahkan tidak sedikit

orang Arab yang aktif mempertahankan daerah ini di masa Sultan Mahmud

Badaruddin II berkuasa. 16 Orang-orang Miji (kepala keluarga) yang tinggal di dalam kota

dipersamakan kedudukannya dengan rakyat di daerah Uluan yang tidak

dikenakan pajak. Dispensasi yang dimiliki oleh mereka ini, karena mereka itu

sewaktu-waktu dapat dipanggil oleh penguasa (sultan) memikul tanggung awab

sebagai laskar untuk berperang atau dapat dipekerjakan dalam hal-hal yang

sangat diperlukan. Sejauh mana hubungan mereka dengan alingannya (raja

bangsawan), menunjukkan hubungan yang tidak terlalu terikat dalam arti

mereka bebas memilih tuannya sebagai pelindung. Sebaliknya orang-orang

Senan yang dianggap lebih rendah daripada orang Miji, secara riil golongan ini

dimonopoli oleh raja tanpa dikenakan pajak. Tugas mereka mengabdi kepada

raja seperti membuat perahu sampan, tukang dayung, memperbaiki istana dan

lain-lain. Sedangkan orang-orang yang menggadaikan diri karena hutang

piutang atau melanggar adat dan golongan budak belian yang sebagian besar

termasuk golongan cili, secara kultural merupakan strata sosial yang paling

rendah dalam kelompok rakyat biasa. Mereka dilarang berhubungan dengan

golongan ningrat dan hubungannya terbatas pada orang tuannya atau orang

yang membelinya. Abdullah, Makmun., dkk. Kota Palembang Sebagai Kota Dagang dan Industri, 84

Page 98: Stratifikasi Sosial dan Agama

Potret Masyarakat Palembang 87

Terdapat suatu sistem distribusi simbol-simbol sosial yang

memungkinkan para bangsawan membedakan gaya hidup mereka

dari rakyat biasa sampai detail-detail yang kecil. Van Sevenhoven

dalam sketsanya tentang Palembang misalnya mencatat bahwa

hanya sang raja berhak untuk mendiami gedung terbuat dari batu,

sedangkan anggota ningrat lain menikmati hak istimewa untuk

mendiami rumah yang dibangun dengan jenis kayu yang mahal

seperti kayu besi dan tembesu.17

Namun, direbutnya keraton oleh pasukan Belanda pada

tahun 1821, tidak saja mempunyai dampak politik, tetapi juga

mempunyai implikasi yang kuat untuk kebudayaan keraton

Palembang. Pertama- tama, jatuhnya kesultanan juga

mengakibatkan keruntuhan istana secara fisik.18 Setelah

pengambilalihan kekuasaan oleh pemerintahan kolonial, perlahan-

lahan mulai diberlakukan proses mobilisasi sosial bagi kaum

ningrat yang tidak dapat dielakkan. Hubungan vertikal ini diakhiri

secara resmi pada tahun 1824, waktu pembagian dalam kelompok

sosial seperti miji (kepala keluarga) dan alingan (anggota keluarga

dan pelindung) dihapuskan oleh pemerintah kolonial, dan

kemudian diganti dengan pembayaran pensiun yang diberikan

kepada sebagian kecil kaum ningrat. Dengan demikian hilang pula

dasar material dan fisik untuk kekuasaan kaum ningrat, yang tidak

mampu lagi memberikan bantuan materiil dan perlindungan politik

17 Peeters, Kaum Tuo-Kaum Mudo: Perubahan Religius di Palembang

1821-1942, 10 18 Ketika Mayor Jenderal De Kock berhasil menduduki keraton pada

bulan juni 1821, istana kerajaan langsung dimanfaatkan sebagai kediaman

komisaris Belanda serta stafnya. Kemudian diambil kangkah untuk

mentransformasikan keraton menjadi pusat kekuasaan kolonial. Dengan

pembongkaran istana, lenyap pula kebudayaan keraton. Korban pertama dari

perkembangan ini ialah pengetahuan bahasa dan sastra Jawa di kalangan

priyayi. Sesudah keraton atuh, tidak ada alasan lagi untuk memakai bahasa

Jawa sebagai bahasa etiket dan seremoni, dan dengan pengasingan Sultan

Mahmud Badaruddin, menghilang pula pelindung utama sastra Jawa. Peeters,

Kaum Tuo-Kaum Mudo: Perubahan Religius di Palembang 1821-1942, 12

Page 99: Stratifikasi Sosial dan Agama

88 Potret Masyarakat Palembang

kepada pengikut mereka. Kaum priyayi ini pun jatuh miskin dan

mati-matian berusaha memelihara kedudukan sosial mereka.19

Kelas sosial yang dikenal dalam masyarakat Palembang

asli, berdasarkan status dan pokok pangkal posisi fungsional pada

struktur sosial yang ada, maka posisi fungsional memiliki berbagai

fungsi seperti: fungsi politik, fungsi militer, fungsi agama dan

ekonomi. Dalam membicarakan sistem status pada masyarakat

Palembang, secara mutlak tidak dapat diterapkan beberapa definisi

yang berhubungan dengan pengertian status yang ada. Diferensiasi

dan stratifikasi sosial yang ada di daerah ini, agaknya lebih

sederhana daripada stratifikasi yang terdapat dalam masyarakat

industri. Peranan sosial dan status yang tergambar dalam

masyarakat di daerah ini adalah suatu fenomena kultural.

Namun masyarakat Palembang yang mengenal berbagai

strata sosial dalam lingkungan feodal pada zaman keemasaannya

barangkali sudah tidak lagi mempunyai arti seperti dulu dan

sekarang hanya terbatas pada sebutan gelar saja tanpa ada makna

fungsional. Mobilitas antar lapisan di kalangan masyarakat yang

terjadi di dalam kota akhir-akhir ini menunjukkan tidak adanya

rintangan antar golongan penguasa dengan golongan yang

dikuasai, antara golongan berpendidikan dengan golongan agamis,

kecuali proses pembauran itu masih dianggap tabu di kalangan

penduduk dengan orang-orang Cina. Pembauran dengan Cina di

daerah ini sangat langka, mungkin salah satu faktor yang

menyebabkan adalah faktor religius yang berakar pada tradisi

rakyat yang kompleks. Pelapisan masyarakat yang berdasarkan

status, nampaknya sedang mengalami transformasi, sebagai akibat

perkembangan yang pesat di bidang pendidikan dan pengajaran.

Sementara itu pula stratifikasi sosial yang baru dan condong untuk

berkembang atas dasar tinggi rendahnya pangkat dalam sistem

birokrasi kepegawaian, atau atas dasar pendidikan sekolah belum

lagi mendapat wujud yang mantap.

19 Peeters, Kaum Tuo-Kaum Mudo: Perubahan Religius di Palembang

1821-1942, 14

Page 100: Stratifikasi Sosial dan Agama

Potret Masyarakat Palembang 89

Bagan 1. Struktur Stratifikasi di Palembang Pada Masa

Kesultanan Palembang Darussalam20

Keterangan:

: Golongan Priyayi

: Golongan Pedagang

: Golongan Rakyat

: Assigned Status21

20 Bagan ini peneliti buat berdasarkan deskripsi naratif Peeters dalam

bukunya “Kaum Tuo-Kaum Mudo: Perubahan Religius di Palembang 1821-1942” mengenai sistem stratifikasi sosial yang ada pada masyarakat Palembang

pada zaman Kesultanan Palembang Darussalam.

Cina

Arab

Demang

Pangeran

Pangeran

Kiagus

Sultan

Raden

Masagus

♂ Raden + ♀ Mantri

Mantri

Kemas

♂ Mantri + ♀ Mantri

Kiagus Demang

Demang

Pangeran Arab

Cina

Kemas

♂ Mantri + ♀ Rakyat Pribumi

Palembang

Miji

Senan

Cili

Page 101: Stratifikasi Sosial dan Agama

90 Potret Masyarakat Palembang

Stratifikasi sosial pada masyarakat Palembang telah

mengalami transformasi, setelah Belanda menduduki Kota

Palembang, stratifikasi masyarakat pun menjadi tidak bernilai lagi

dan yang ada hanya golongan penjajah dan yang dijajah. Namun,

setelah Belanda keluar dari tanah Palembang, sifat stratifikasi

masyarakat Palembang pun mulai terbuka. Sistem stratifikasi yang

tadinya tertutup (ascribed status) di mana status hanya dimiliki

oleh orang-orang berketurunan tertentu, yang ditandai dengan

gelar Pangeran, Raden, Kemas, Masagus, dan Kiagus, tidak

memiliki kekuatan fungsional tertentu untuk saat ini. Meskipun

demikian, gelar-gelar ini masih dilestarikan oleh masyarakat

Palembang. Sistem stratifikasi terbuka memberikan peluang bagi

usaha orang-orang untuk meningkatkan status sosialnya atau

malah menjatuhkan status sosialnya. Stratifikasi sosial pada saat

ini lebih merupakan usaha yang didapat baik berupa kekayaan,

jabatan, pendidikan maupun kehormatan. Orang-orang yang

berada pada strata atas biasanya ditandai dengan memiliki

pendidikan yang tinggi, kekayaan yang mewah, dan jabatan yang

tinggi. Selain itu dapat juga dilihat dari gaya hidup mereka mulai

dari cara berpakaian dan bergaul.

Sistem stratifikasi yang nampak saat ini berupa adanya

class systems22 yang ada di kota Palembang. Class systems ini

21 Assigned Status merupakan gelar pemberian yang diberikan oleh

Sultan kepada orang-orang yang dipilih. Dalam hal ini, Sultan memberikan

gelar kepada para pendatang, seperti pendatang Arab yang diberi gelar Pangeran

dan gelar Demang yang diberikan kepada pendatang Cina. Selain itu Sultan uga

memberikan gelar kehormatan kepada orang-orang pribumi dengan gelar

Kiagus. Orang-orang ini memiliki tugas sebagai pengawas di daerah-daerah

(dusun). 22 Istilah kelas tidak selalu mempunyai arti yang sama, walaupun pada

hakikatnya mewujudkan sistem kedudukan-kedukan yang pokokdalam

masyarakat. Penjumlahan kelas-kelas dalam masyarakat inilah yang disebut

class systems. Artinya, semua orang dan keluarga yang sadar akan kedudukan

mereka itu diketahui dan diakui oleh masyarakat umum. Joseph Schumpeter

mengatakan bahwa kelas-kelas dalam masyarakat terbentuk karena diperlukan

untuk menyesuaikan masyarakat dengan keperluan-keperluan yang nyata.

Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, 205. Lihat juga Joseph Schumpeter, The Problem of Classes, yang dikutip Selo Soemardjan dan Soelaeman, Setangkai

Page 102: Stratifikasi Sosial dan Agama

Potret Masyarakat Palembang 91

mempengaruhi gaya dan tingkah laku hidup masing-masing

masyarakat karena kelas-kelas yang ada dalam masyarakat

mempunyai perbedaan dalam kesempatan-kesempatan menjalani

jenis pendidikan atau rekreasi tertentu. Dalam masyarakat

Palembang perbedaan tersebut dapat dilihat dari data mengenai

tingkat kesejahteraan keluarga yang ada di Palembang. Menurut

BKKBN, berdasarkan UU No.10 Tahun 1992, indikator tingkat

kesejahteraan keluarga terbagi ke dalam 5 kategori, yaitu keluarga

pra sejahtera, sejahtera tahap I, Sejahtera Tahap II, Sejahtera

Tahap III, dan Sejahtera Tahap III Plus.23

Keluarga Pra Sejahtera (sering dikelompokkan “sangat miskin”) adalah keluarga yang belum dapat memenuhi salah satu

atau lebih dari 5 kebutuhan dasarnya (basic needs) Sebagai

keluarga Sejahtera I, seperti kebutuhan akan pengajaran agama,

pangan, papan, sandang dan kesehatan. Selanjutnya Keluarga Sejahtera Tahap I (dikelompokkan sebagai miskin) adalah

keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya

secara minimal yaitu (1) melaksanakan ibadah menurut agama

oleh masing-masing anggota keluarga; (2) pada umumnya seluruh

anggota keluarga makan 2 (dua) kali sehari atau lebih; (3) seluruh

anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah,

bekerja/sekolah dan bepergian; (4) bagian yang terluas dari lantai

rumah bukan dari tanah; dan (5) bila anak sakit atau pasangan usia

subur ingin ber KB dibawa kesarana/petugas kesehatan.

Indikator berikutnya Keluarga Sejahtera Tahap II, yaitu

keluarga - keluarga yang disamping telah dapat memenuhi kriteria

keluarga sejahtera I, harus pula memenuhi syarat sosial psykologis

6 sampai 14 yaitu: (6) Anggota Keluarga melaksanakan ibadah

secara teratur; (7) paling kurang, sekali seminggu keluarga

menyediakan daging/ikan/telur sebagai lauk pauk; (8) seluruh

anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru

per tahun; (9) luas lantai rumah paling kurang delapan meter

persegi tiap penghuni rumah; (10) seluruh anggota keluarga dalam

Bunga Sosiologi (Jakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1964), 293.

23 www.bkkbn.go.id

Page 103: Stratifikasi Sosial dan Agama

92 Potret Masyarakat Palembang

3 bulan terakhir dalam keadaan sehat; (11) paling kurang 1 (satu)

orang anggota keluarga yang berumur 15 tahun keatas mempunyai

penghasilan tetap; (12) seluruh anggota keluarga yang berumur 10-

60 tahun bisa membaca tulisan latin; (13) seluruh anak berusia 5 -

15 tahun bersekolah pada saat ini; dan (14) bila anak hidup 2 atau

lebih, keluarga yang masih pasangan usia subur memakai

kontrasepsi (kecuali sedang hamil).

Selanjutnya Keluarga Sejahtera Tahap III merupakan

keluarga yang memenuhi syarat 1 sampai 14 dan dapat pula

memenuhi syarat 15 sampai 21, syarat pengembangan keluarga

yaitu: (15) mempunyai upaya untuk meningkatkan pengetahuan

agama; (16) sebagian dari penghasilan keluarga dapat disisihkan

untuk tabungan keluarga untuk tabungan keluarga; (17) biasanya

makan bersama paling kurang sekali sehari dan kesempatan itu

dimanfaatkan untuk berkomunikasi antar anggota keluarga; (18)

ikut serta dalam kegiatan masyarakat di lingkungan tempat

tinggalnya; (19) mengadakan rekreasi bersama diluar rumah paling

kurang 1 kali/6 bulan; (20) dapat memperoleh berita dari surat

kabar/TV/majalah; dan (21) anggota keluarga mampu

menggunakan sarana transportasi yang sesuai dengan kondisi

daerah setempat. Indikator terakhir Keluarga Sejahtera Tahap III Plus adalah keluarga yang dapat memenuhi kriteria I sampai 21

dan dapat pula memenuhi kriteria 22 dan 23 kriteria

pengembangan keluarganya yaitu: (22) secara teratur atau pada

waktu tertentu dengan sukarela memberikan sumbangan bagi

kegiatan sosial masyarakat dalam bentuk materiil; dan (23) kepala

Keluarga atau anggota keluarga aktif sebagai pengurus

perkumpulan/yayasan/institusi masyarakat.

Page 104: Stratifikasi Sosial dan Agama

Potret Masyarakat Palembang 93

Tabel 5. Data Keluarga Pra Sejahtera dan Keluarga Sejahtera di

Kota Palembang Tahun 201124 No. Keluarga Jumlah

1. Pra Sejahtera 27.919

2. Sejahtera I 95.367

3. Sejahtera II 147.418

4. Sejahtera III 65.227

5. Sejahtera III Plus 5.048

Jumlah 340.979

Berdasarkan data tersebut, kategori Keluarga Pra Sejahtera

dan Sejahtera I merupakan masyarakat yang berada dalam kelas

bawah, sedangkan Keluarga Sejahtera II dan Sejahtera III dapat

digolongkan sebagai kelas menengah dan Keluarga Sejahtera III

Plus sebagai golongan kelas atas. Data tersebut menunjukkan

bahwa 36,15% masyarakat Palembang berada dalam kelas bawah,

62,36% berada dalam kelas menengah dan 1,48% berada dalam

kelas atas. Sehubungan dengan data tersebut, hal ini menunjukkan

bahwa mayoritas masyarakat Kota Palembang termasuk dalam

kategori kelas menengah di mana masyarakat Palembang selain

sudah mampu memenuhi 5 kebutuhan dasar (basic needs) -

pengajaran agama, pangan, papan, sandang, dan kesehatan - dapat

pula memenuhi syarat sosial psikologis.

Pertumbuhan sistem stratifikasi yang terbuka di kalangan

masyarakat Palembang saat ini sangat membuka peluang adanya

mobilisasi secara besar-besaran. Mobilisasi ini pun dapat berupa

perpindahan penduduk dari desa ke kota (urbanisasi) yang

membuka peluang bagi penduduk desa untuk bersifat lebih terbuka

dan mendapatkan akses informasi yang lebih baik. Kota

Palembang sebagai salah satu kota metropolitan, membuat

masyarakat desa, khususnya yang berasal dari Uluan tertarik untuk

menetap di daerah Iliran ini. Adanya mobilisasi ini mengakibatkan

terjadinya transformasi strata dari yang tadinya berada di strata

bawah kemudian meningkat menjadi strata menengah.

Perkembangan strata menengah ini pun berperan aktif dalam

24 Sumber: BPS Kota Palembang, Palembang Dalam Angka 2011.

Page 105: Stratifikasi Sosial dan Agama

94 Potret Masyarakat Palembang

memotori perubahan sosial, ekonomi, dan politik. Menurut

Fachran Bulkin, kelas menengah25 di Indonesia merupakan

kelompok sosial yang terdiri dari kaum intelektual, mahasiswa,

pemimpin surat kabar, pengusaha dan pedagang, serta kelompok

profesional lainnya.26

C. Perkembangan Sistem Kepercayaan Masyarakat

Palembang

1) Kehidupan Pra-Islam di Palembang Berdasarkan letak dan keadaan lingkungan geografis kota

Palembang, yaitu banyaknya anak-anak sungai yang melintasi

pusat perkampungan di dalam kota yang oleh penduduk dipakai

sebagai jalur lalu lintas antar kampung, maka sedikit banyaknya

akan mempengaruhi perilaku penduduk kota yang menampilkan

budaya majemuk bertumbuh dan berkembang dengan segala

macam pemilikan tradisi masa lampaunya dan proses adaptasi

sosialnya terhadap penerimaan hal-hal baru yang berasal dari luar,

menunjukkan penduduk kota jauh lebih dinamis daripada

masyarakat pedusunan.27

25 Bank Dunia mendefinisikan kelas menengah adalah mereka dengan

pengeluaran harian per kapita antara US$2 hingga US$20. Namun, kelas

menengah Indonesia masih didominasi kelas menengah rendah, yaitu mereka

yang pengeluaran harian per kapita sebesar US$2–4. Berdasarkan analisis

McKinsey Global Institute, kelas menengah Indonesia umumnya berprofesi

sebagai profesional dalam sektor perbankan, rekayasa rancang bangun,

akuntansi, dan lainnya, yang kemampuan mereka sangat dibutuhkan untuk

menggerakkan perekonomian. Selain profesi tersebut, ada hipotesis bahwa

kenaikan kelas menengah Indonesia ini didukung kuat oleh naiknya tunjangan

bagi PNS khususnya guru dengan sertifikasinya. Pada tahun 2012 lebih kurang

dari 60% penduduk Indonesia akan mempunyai pendapatan lebih dari US$3.000

per tahun. Hal ini didukung oleh fakta bahwa konsumerisme meningkat dari

tahun ke tahun, masyarakat cenderung konsumtif dalam berbagai bidang

kehidupan. http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2012/10/07/siapakah-kelas-

menengah-di-indonesia-493650.html 26 Faisal Siagian, Kelas Menengah Digugat, 145. 27 Abdullah, Makmun., dkk. Kota Palembang Sebagai Kota Dagang dan

Industri, 84

Page 106: Stratifikasi Sosial dan Agama

Potret Masyarakat Palembang 95

Palembang merupakan ibukota dari Kerajaan Sriwijaya.

Keberhasilan raja-raja Sriwijaya dalam menguasai kepulauan

Melayu melalui perdagangan dan penaklukkan dari kurun abad ke-

7 hingga abad ke-9, turut serta mengembangkan kebudayaannya di

Nusantara. Sebagai pusat pengajaran Buddha Vajrayana, Sriwijaya

menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia.

Salah satunya adalah It-Sing dari Tiongkok yang mampir dahulu

ke Palembang selama 6 bulan untuk kemudian melanjutkan

perjalanannya ke India. Selain itu ajaran Buddha aliran Buddha

Hinayana dan Buddha Mahayana juga turut berkembang di

Sriwijaya, dengan Mahagurunya yang terkenal Dharmapala.

Namun, sebelum Buddha berkembang, Kerajaan Sriwijaya banyak

dipengaruhi oleh budaya Hindu dari India. Perkembangan agama

Buddha di tanah Swarnadwipa ini dapat dibuktikan dengan

dibangunnya tempat pemujaan agama Buddha di Ligor,

Thailand.28 Namun sayangnya, peninggalan-peninggalan

kebesaran zaman Buddha tersebut sudah tidak ada lagi dan hanya

meninggalkan prasasti-prasasti sebagai bukti berkembangnya

ajaran tersebut.

Runtuhnya kerajaan Sriwijaya menjadikan Palembang

berada pada titik kemerosotan. Penulis Belanda menyebutkan

bahwa di abad ke-15 dan 16 sebagai masa gelap sejarah

Palembang, karena mereka tidak mendapatkan catatan tentang

sejarah Palembang kurun waktu tersebut. Sebaliknya penduduk

setempat mempunyai catatan historiografi tradisional mereka baik

yang tercatat di atas lontar ataupun potongan bambu bahkan cerita

tutur. Menurut Raymond Williams29 historiografi tradisional pada

umumnya memperlihatkan apa yang disebut the myth of concern, yang berfungsi bagi kemantapan nilai dan taat. Keseimbangan dan

kewajaran kosmos adalah tujuan utama. Dengan demikian

historiografi tradisional harus selalu memberikan kesahan bagi

struktur yang selalu mendukung tuntutan kultural. Struktur

tersebut bisa diwakili oleh raja, bangsawan, atau kelas pemelihara,

28 Lebih lanjut lihat Slamet Muljana, Sriwijaya, Yogyakarta: LkiS. 2006. 29 Taufik Abdullah, Sejarah Lokal di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah

Mada Univ. Press, 1986), 23.

Page 107: Stratifikasi Sosial dan Agama

96 Potret Masyarakat Palembang

atau semua, yang penting ialah kemantapan kosmos. Bagi daerah

Sumatera Selatan umumnya struktur ini diwakili dengan tokoh

puyang, tokoh nenek moyang, pendiri suku, wilayah dam

kekuasaan setempat. Tokoh puyang ini dalam cerita tutur dan

catatan setempat menjadi mitos dan legenda setempat. Menurut O.

W. Wolters, tokoh puyang tidak hanya ada di Sumatera Selatan,

tetapi juga merupakan kebudayaan Asia Tenggara. Menurutnya,

kepemimpinan dari big men atau mempergunakan terminologi O.

W. Walters pilih men of prowess, tergantung dari asalnya yang

luar biasa dari pribadi soul stuff (pemimpin yang berkeahlian dan

berkemampuan penuh dedikasi), tampak dalam penampilan yang

sangat berbeda/istimewa di antara generasinya, teristimewa di

antara kerabatnya. Walaupun demikian, seorang yang mempunyai

identitas spiritual dan kapasitas leadership dapat dimantapkan

apabila para pengikutnya mengakui kelebihan bakat dan

merasakan dekat dengan tokoh ini, adalah merupakan satu

keuntungan, bukan hanya disebabkan mendampinginya yang

mendatangkan hasil material, tapi juga disebabkan hal-hal

spiritualnya. Setelah kematiannya dia sangat dihormati oleh para

pengikutnya. Statusnya sebagai nenek moyang dan tempatnya di

daerah-daerah seperti pedalaman, dapat memberikan tambahan

identitas pada pemukiman itu.30

Pada dasarnya sebelum agama Islam, Kristen, Hindu dan

Buddha masuk ke Palembang, masyarakatnya telah menganut

kepercayaan animisme dan dinamisme. Walaupun penduduk asli

Palembang telah memeluk agama Islam sejak lama, namun masih

nampak adanya sisa-sisa sistem religi (kepercayaan) yang asli dari

zaman sebelum masyarakat memeluk agama Islam. Sisa-sisa religi

itu dapat dilihat dari tingkah laku dalam proses penyembuhan

penyakit yang menimpa keluarganya. Mereka lebih banyak

berorientasi pada dukun, melakukan sesajen di atas kuburan

tertentu, memegang teguh larangan-larangan (pemali) dalam

lingkaran hidup dan lain-lain.

30 Djohan Hanafiah, Melayu Jawa, 8 Lihat O. W. Wolters, History,

Culture, and Region in Southeast Asian Perspective, (Singapore: ISAS, 1982),

6-7.

Page 108: Stratifikasi Sosial dan Agama

Potret Masyarakat Palembang 97

Masyarakat pedusunan di Palembang lebih bersifat agraris-

tradisional yang masih memegang teguh adat istiadat Palembang,

sehingga mereka nampaknya masih belum mau melepaskan sama

sekali tradisinya. Meskipun proses interaksi antar masyarakat

maupun antara masyarakat dengan lingkungan alamnya terus

berlangsung, pada dasarnya penduduk asli pedusunan belum begitu

banyak mempergunakan ilmu pengetahuan dalam memecahkan

suatu permasalahan hidup. Mereka masih mengikuti cara-cara

lama, di mana unsur agama dan kepercayaan setempat telah

mencampuri segala aspek kehidupan di kampung-kampung dan

telah memberikan warna yang jelas dalam kehidupan sosial-

kultural. Agama yang dianut oleh penduduk kota adalah agama

Islam yang telah berkembang pesat semenjak agama itu diakui

oleh Kesultanan Palembang sebagai agama resmi. Disamping itu,

terdapat pula golongan minoritas asing yang memiliki kepercayaan

lain dari golongan mayoritas penduduk.

2) Islamisasi di Kota Palembang Berdasarkan sumber-sumber Arab dan China, pada abad

ke-19 M di Palembang, ibukota Kerajaan Buddha Sriwijaya , telah

terdapat sejumlah Muslim pribumi di kalangan penduduk kerajaan.

Ini merupakan konsekuensi dari interaksi antara penduduk

Sriwijaya dengan kaum muslimin Timur Tengah yang sudah

berlangsung sejak masa awal kelahiran Islam. Meskipun Sriwijaya

merupakan pusat keilmuan Buddha terkemuka di Nusantara, ia

merupakan kerajaan yang kosmopolitan. Penduduk muslim tetap

dihargai hak-haknya sebagai warga kerajaan sehingga sebagian

dari mereka tidak hanya berperan dalam bidang perdagangan

tetapi juga dalam hubungan diplomatik dan politik kerajaan.

Sejumlah warga muslim telah dikirim oleh pemerintah Sriwijaya

sebagai duta kerajaan baik ke Cina maupun ke Arab.31

Bukti-bukti historis tersebut membantah pendapat

sejarawan terkenal Thomas Arnold yang menyatakan bahwa Islam

31 Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan

Nusantara Abad XVII dan XVIII. Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1994), 36-43.

Page 109: Stratifikasi Sosial dan Agama

98 Potret Masyarakat Palembang

pertama kali masuk ke Sumatera Selatan dibawa oleh Raden

Rahmat atau Sunan Ampel kira-kira tahun 1440 M. Pendapat ini

juga dibantah oleh Taufik Abdullah yang menyatakan bahwa Islam

masuk ke Sumatera Selatan lebih dahulu dari Minangkabau,

pedalaman Jawa, dan bahkan Sulawesi Selatan. Sejarawan

Indonesia terkenal ini bahkan menduga bahwa sejak akhir abad ke

15 M, Palembang telah menjadi enklave Islam terpenting di

Nusantara sehingga Raden Fatah yang lahir di awal belajar agama

Islam di Palembang.32

Akan tetapi, tidak banyak diketahui mengenai

perkembangan Islam di Sumatera Selatan sampai menjelang

berdirinya Kesultanan Palembang Darussalam. Selama kira-kira

dua abad Palembang menjadi wilayah kekuasaan kerajaan-kerajaan

Islam di Jawa. Palembang baru resmi menjadi kesultanan yang

berdiri sendiri ketika Raden Tumenggung memproklamasikan

dirinya menjadi Sultan Ratu Abdurrahman pada tahun 1666 M dan

kemudian mengambil gelar Sultan Jamaluddin 1681 M. Tidak jelas

apakah ini menunjukkan bahwa Islam sebagai kekuatan politik di

Palembang termasuk lemah atau kuatnya pengaruh kultur Jawa di

Palembang dan lemahnya identitas Melayu Palembang. Namun

yang menarik adalah bahwa sejak Palembang resmi memisahkan

diri dari protektorat Kerajaan Mataram, semakin ditingkatkan

usaha menerapkan hukum Islam di kesultanan. Struktur

Kesultanan Palembang terus disesuaikan dengan ketentuan ajaran

Islam.33

Hasil penelitian Peeters di Palembang memperlihatkan

sejak paruh pertama abad ke-20 (1925-1935), Islam di Palembang

terdikotomis ke dalam dua kubu, yaitu Kaum Tuo (yang mewakili

kaum tradisionalis) dan Kaum Mudo (yang mewakili kaum

reformis).34 Taufik Abdullah berkesimpulan bahwa perkembangan

32 Taufik Abdullah , Perkembangan Islam di Sumatera Selatan pada Abad ke-19, dalam buku Islam dan Masyarakat, Pantulan Sejarah Indonesia,

(Jakarta: LP3ES, 1987), 206. 33 Abdullah, Perkembangan Islam di Sumatera Selatan pada Abad ke-19,

dalam buku Islam dan Masyarakat, 202. 34 Lihat penelitian ini dalam Jeroem Peeters, “Kaum Tuo-Kaum Mudo,

Social Religiewze verandering in Palembang, 1821-1942,” diterjemahkan oleh

Page 110: Stratifikasi Sosial dan Agama

Potret Masyarakat Palembang 99

Islam di Sumatera Selatan pada periode klasik kesultanan

berlangsung tersendat-sendat tidak hanya karena kecilnya peranan

istana dalam proses tersebut tetapi juga karena ulama sibuk

melayani kebutuhan dan tugas dari istana. Menurut sejarawan ini,

para Sultan Palembang terlalu sibuk dengan persoalan-persoalan

politik dan ekonomi dengan kesultanan-kesultanan lain dan

pemerintah Hindia Belanda sehingga kesempatan untuk

mengadakan Islamisasi menjadi berkurang. Di samping itu, sultan

juga harus menyelesaikan persoalan kesetiaan daerah pedalaman

yang merupakan daerah sumber ekspor. Ulama pada periode ini

juga tergolong ulama birokrat yang waktu dan pikirannya lebih

tercurahkan pada persoalan-persoalan di istana. Sementara ulama

tidak mempunyai corak hubungan yang intim dengan sultan dan

pengaruh mereka sangat tergantung dengan kemampuannya

meyakinkan sultan.35

Betapapun lambannya perkembangan Islam di Sumatera

Selatan hasil usaha para sultan dan ulama masih nampak dalam

realitas historis. Di samping peningkatan kualitas Islam kultural

maupun politis, Islam menjadi agama yang dianut penduduk di

berbagai daerah di pedalaman Sumatera Selatan. Institusi-institusi

keislaman seperti masjid turut mengalami perkembangan. Dapat

dipastikan bahwa telah ada masjid di Palembang apapun bentuk

dan ukurannya, pada periode awal proses Islamisasi.

Dalam batas-batas tertentu, perkembangan Islam di

Sumatera Selatan zaman kesultanan tidak dapat lepas dari peranan

dan pengaruh ulama. Dalam Islam dan masyarakat muslim

manapun ulama menempati posisi yang sangat penting. Dalam

ajaran Islam kedudukan ulama ditempatkan sebagai warathah al anbi>ya (pewaris para Nabi)36 yang secara historis-sosiologis

Sutan Maimoen dengan judul, Kaum Tuo-Kaum Mudo: Perubahan Religius di Palembang 1821-1942 (Jakarta: INIS, 1997), h. 143

35 Abdullah, Perkembangan Islam di Sumatera Selatan pada Abad ke-19, dalam buku Islam dan Masyarakat, 207-210.

36 Rasulullah SAW bersabda:

ه ب ذ أخ نا ورثوا العلم فممإن امهلم يورثوا دينارا ولا در ءاء، إن الأنبيايلأنبثة اإن العلماء ورظ وافر حب ذفقد أخ

Page 111: Stratifikasi Sosial dan Agama

100 Potret Masyarakat Palembang

memiliki otoritas dalam bidang keagamaan. Mereka tidak hanya

sekedar dihormati dan disegani, tetapi gagasan dan pemikiran

keagamaannya dalam berbagai dimensi dipandang sebagai

kebenaran, dipegang dan diikuti secara ketat dan mengikat.

Artinya baik secara teologis maupun secara historis-sosiologis,

ulama merupakan kelompok elit keagamaan yang sangat penting

dan sangat memiliki pengaruh yang besar terhadap masyarakat.37

Ulama tidak ada catatan yang meyakinkan tentang

kehidupan dan pemikiran ulama Sumatera Selatan hingga awal

abad ke-18 M. Pada abad ini para ulama dan cendikiawan

mendapat dorongan dan perhatian yang besar dari pihak

kesultanan sehingga muncul ulama dan penulis Sumatera Selatan

yang karya-karyanya masih tetap dibaca dan diajarkan di

masyarakat hingga sekarang. Paling tidak, terdapat tiga ulama dan

penulis Sumatera Selatan yang membuktikan kemajuan

perkembangan Islam di Sumatera Selatan pada abd ke-18, yaitu

Abdus Shamad, Muhammad Muhyiddin bin Syihabuddin, dan

Kemas Muhammad bin Ahmad.38

“Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak

mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu maka barangsiapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.” (Hadits ini diriwayatkan Al-Imam At-Tirmidzi). Abu> ‘I<sa> at-Tirmidhi>,

Sunan Tirmidhi>, ba>b Fad}l al-Fiqh ‘ala> al-‘Iba>dah vol 5,48. Beirut: Da>r al-Gharb

al-Isla>mi>, 1998. 37 Zulkifli, Ulama Sumatera Selatan, 4. 38 Tidak banyak diketahui tentang kehidupan dua ulama yang disebut

terakhir kali kecuali keterkaitan mereka dengan Tarekat Sammaniyah.

Keduanya menulis biografi dan kekeramatan pendiri tarekat tersebut yakni

Syaikh Muhammad Samman. Adalah Abdus-Shamad, salah satu murid terkenal

Syaikh Muhammad Samman, yang berperan besar dalam penyebaran Tarekat

Sammaniyah di Nusantara terutama melalui karya-karyanya. Mengenai

pemikiran dan kehidupan Abdus-Shamad, terutama tasawuf, jauh lebih jelas

dibandingkan ulama-ulama Sumatera Selatan lainnya. Ulana yang menulis

paling sedikit delapan karya ini adalah seorang tokoh sufi yang berhasil

mengkombinasikan ajaran-ajaran tasawuf al-Ghazali dan Ibnu ‘Arabi, yang

sebelumnya dipanadang sebagai dua corak tasawuf yang bertentangan. Zulkifli,

Ulama Sumatera Selatan,6. Lebih lanjut lihat H.M. Quzwain. Mengenal Allah: Suatu Studi Mengenai Ajaran Tasawuf Syaikh Abdus-Shamad Al-Palimbani. Jakarta: Bulan Bintang. 1985.

Page 112: Stratifikasi Sosial dan Agama

Potret Masyarakat Palembang 101

Salah satu ulama yang melanjutkan penyebaran agama

Islam di Sumatera Selatan adalah Masagus Haji Abdul Hamid atau

yang lebih dikenal sebagai Kyai Marogan. Masagus Haji Abdul

Hamid adalah putra seorang bangsawan Palembang yang bernama

Masagus Haji Mahmud bin Kanan al-Palimbani, yang merupakan

salah satu murid Syaikh Abdus Shamad.39 Menurut Gadjahnata,

Kyai Marogan memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi sehingga

ia dapat menyerap ilmu-ilmu yang dipelajarinya dengan mudah.

Semasa mudanya, Beliau adalah seorang pengusaha yang sukses di

bidang saw-mill. Bakat pengusaha tersebut mungkin didapat dari

ibunya, seorang wanita Cina bernama Perawati. Kesuksesan

tersebut telah memungkinkannya untuk pulang pergi ke tanah suci

dan banyak berkelana di tanah Arab guna mempelajari berbagai

ilmu agama Islam. Kehadirannya sebagai ulama memang sangat

diperlukan masyarakat Palembang yang, setelah terjadi

peperangan, dikuasai oleh kolonial Belanda. Beliau aktif dan gigih

mengajar, berdakwah dan memberikan bimbingan kepada

masyarakat bahkan hingga ke pelosok desa. Dalam berdakwah,

Beliau menggunakan perahu untuk mencapai pelosok desa dan

membangun masjid sebagai tempat ibadah dan belajar para

muridnya. Kyai Marogan merupakan ulama yang zuhud sehingga

ia sangat dihormati dan menjadi populer di kalangan masyarakat

Sumatera Selatan. Ada tiga faktor yang membuat dirinya populer

pertama, ia mewariskan dua buah karya monumental saat ini yang

masih terpelihara dengan baik yaitu masjid Ki Marogan di daerah

Kertapati Palembang dan masjid Lawang Kidul di 5 Ilir

Palembang. Kedua, semasa hidupnya, ia disebut-sebut banyak

melakukan penyiaran ke daerah-daerah Uluan, suatu aktivitas yang

39 Pada waktu Kyai Marogan lahir (diperkirakan tahun 1812 M),

kesultanan Palembang sedang dalam peperangan yang sengit dengan kolonial

Belanda. Dilahirkan oleh seorang ibu berama Perawati yang keturunan Cina dan

ayah yang bernama Masagus H. Mahmud alian Kanang, keturunan priyayi atau

ningrat. Dari surat panjang hasil keputusan Mahkamah Agama Saudi Arabia,

diketahui silsilah keturunan Masagus H. Mahmud berasal dari sultan-sultan

Palembang yang bernama susuhan Abdurrahman Candi Walang, Masagus

Fauzan, Sekilas Tentang Ki Marogan, http://kiaimarogan.com/

index.php?option=com_content&task=view&id=13&Ittemid=26

Page 113: Stratifikasi Sosial dan Agama

102 Potret Masyarakat Palembang

membuat dirinya dikenal sampai ke pedalaman, dan ketiga, ia

diyakini sejumlah kalangan masyarakat sebagai ulama yang

memiliki kekeramatan. Bahkan setelah beliau wafat pada usia 89

tahun - pada 17 Rajab 1319H atau 21 Oktober 1901M – makam

Beliau masih ramai diziarahi orang hingga sekarang.40

3) Akulturasi Islam dan Budaya Palembang

Menurut KH. Saifuddin Zuhri dalam bukunya Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, masyarakat Islam mulai terbentuk di beberapa tempat, pada

umumnya terletak di daerah pantai. Di daerah-daerah yang tidak

terjangkau oleh kekuasaan Sriwijaya seperti Aceh lebih mudah

membentuk masyarakat Islam daripada daerah lainnya. Di daerah-

daerah di mana pengaruh Hindu-Buddha terbilang kuat, apalagi di

daerah kekuasaan Sriwijaya, para mubaligh Islam bersikap lebih

luwes. Mereka sangat toleran tetapi tidak mengorbankan prinsip.41

Di daerah-daerah yang belum terpengaruh oleh kebudayaan

Hindu, agama Islam mempunyai pengaruh yang mendalam, seperti

di Aceh, Banten, dan Kalimantan Barat. Di daerah-daerah yang

pengaruh kebudayaan pra-Islam telah kuat seperti di Jawa Tengah

dan Jawa Timur, agama Islam bersentuhan dengan unsur-unsur

budaya pra Islam sekaligus menciptakan tatanan kehidupan sosial

budaya yang penuh toleransi, termasuk di Palembang. Proses

akulturasi42 antara agama dan budaya pra-islam dan Islam

40 Zulkifli, Ulama Sumatera Selatan, 20. Lihat juga, KHO. Gadjahnata,

Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan, Jakarta: UI-Press, 1986.

Lihat Abdul Karim Nasution, Kiprah Ki Marogan Mengembangkan Islam di Uluan Palembang, dalam Jurnal Intizar Pusat Penelitian IAIN Raden Fatah

Palembang, volume 10 Nomor 2, Desember 2004, 267-269. Lihat juga Ahmad,

Memet, Sejarah Masjid Muara Ogan dan Masjid Lawang Kidul serta Biografi Kyai Muara Ogan. Palembang: Yayasan Kyai Muara Ogan, 2005.

41 KH. Saifuddin Zuhri dalam tulisan Ali Amin “Sejarah Kesultanan

Palembang Darussalam dan Beberapa Aspek Hukumnya” dalam KHO.

Gadjahnata dan Sri Edi Swasono (editor). Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan. 1986. Jakarta: UI-Press. 70.

42 Menurut Koentjaraningrat akulturasi merupakan proses sosial yang

timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu

dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan asing dengan sedemikian rupa,

Page 114: Stratifikasi Sosial dan Agama

Potret Masyarakat Palembang 103

mengembangkan corak kehidupan keagamaan yang khas.

Misalnya, tradisi pemakaman dengan segala atributnya yang serba

menonjol sebenarnya tidak dikenal dalam ajaran Islam. Islam juga

tidak mengenal kegiatan perkabungan dalam bentuk

persedekahan.43

Pada umumnya, Islam di Nusantara berkembang melalui

pendekatan-pendekatan kultural yang dikembangkan dan

dilakukan oleh ulama. Ketika itu, aset-aset lokal yang tersedia

dimodifikasi menjadi sarana untuk penyebaran ajaran agama.

Dalam kondisi seperti ini, ajaran agama terkesan sangat adaptif

terhadap aspirasi dan inspirasi umatnya. Hal ini berbeda dengan

pendekatan meliterisme yang acapkali radikal dan sering

berbenturan dengan kearifan lokal. Berdasarkan kasus pendekatan

kultural yang dilakukan oleh ulama ini, Taufik Abdullah44

memberi kesimpulan tentang adanya tiga pola penyebaran Islam di

Nusantara. Tiga pola yang dimaksud adalah pola Pasai, Malaka,

dan Jawa. Berdasarkan tiga pola penyebaran Islam ini, Taufik

Abdullah, menemukan dua bentuk penerimaan Islam yang

berkembang di dalam kehidupan masyarakat. Di dalam pola Pasai

dan Malaka, formasi sosial Islam di dalam kehidupan masyarakat

bersifat lebih integritas. Dengan pola ini terjadilah pengisian-

pengisian terhadap kultur-lokal (integrative tradition). Jelas sekali

bahwa di dalam pola ini terjadi tradisi integratif yang sangat

masif. Sebaliknya, pola Jawa dengan titik fokus pada upaya

penaklukan pusat kerajaan, formasi sosial Islam lebih cenderung

untuk mengembangkan pola dialog. Pola dialog ini biasa disebut

tradition of dialogue.

sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke

dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian

kebudayaan itu sendiri. Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, (Jakarta:

Rineka Cipta, 2009), 202. 43 Salleh dalam Hanani, Silfia, Menggali Interelasi Sosiologi dan Agama.

(Bandung: Humaniora. 2011), 59 44 Taufik Abdullah, dalam seminar “Masuk dan Berkembangnya Islam di

Asia Tenggara” di Jakarta, 17 November 1999. Dikutip dari Hanani, Silfia,

Menggali Interelasi Sosiologi dan Agama. (Bandung: Humaniora.

2011),.hlm.93.

Page 115: Stratifikasi Sosial dan Agama

104 Potret Masyarakat Palembang

Taufik Abdullah memberikan gambaran mengenai tingkat

perkembangan Islam di daerah Sumatera Selatan. Pertama, Islam

di awal abad 19 merupakan agama resmi, yang harus dipelihara

dalam struktur kekuasaan. Maka kelihatanlah bahwa peranan

birokrat agama tidak saja terdapat pada tingkat pusat kerajaan,

tetapi juga di tingkat marga dan bahkan di tingkat dusun. Kedua, jarak yang cukup besar antara struktur kekuasaan yang didasarkan

atas keinginan mengadakan adaptasi ajaran agama dengan sistem

yang telah ada, dengan pola perilaku pribadi memang masih jauh.

Demikian halnya pada golongan priyayi dan tak jauh bedanya

dengan golongan rakyat biasa. Ketiga, tradisi keraton Melayu-

Jawa, yang mementingkan ilmu agama dan sastra juga

berkembang di pusat kerajaan. Maka di bawah naungan para

sultan, ulama dan pengarang, baik keturunan asing maupun

pribumi menghasilkan karya sastra dan uraian keagamaan tentang

akhlak, tauhid dan syariah.45

Ada beberapa faktor yang memupuk kelanjutan tradisi

keraton Melayu-Jawa ini berkembang di Palembang. Di samping

kontinuitas kultural dari keraton Palembang yang berorientasi

pada Jawa, tetapi tak terlepas dari dunia Selat Malaka,

heterogenitas penduduk serta terbukanya Palembang sebagai kota

pelabuhan, adalah faktor-faktor penunjang.46 Palembang sebagai

kota pelabuhan yang banyak dikunjungi pendatang membuat Islam

mulai berkembang. Kontak kebudayaan antara para pendatang

yang sering singgah di wilayah ini menyebabkan adanya proses

tarik menarik antara budaya lokal dengan budaya luar yang tak

jarang menghasilkan dinamika budaya masyarakat setempat.

Kemudian yang terjadi adalah akulturasi budaya seperti praktik

meyakini iman di dalam ajaran Islam akan tetapi masih

mempercayai berbagai keyakinan lokal.

Dalam perkembangan kebudayaan, dengan adanya kontak-

kontak sosial, ekonomi, budaya dan politik, ditambah pula

45 Taufik Abdullah dalam “Masuk dan Berkembangnya Islam di

Sumatera Selatan”. 56. 46 Taufik Abdullah dalam “Masuk dan Berkembangnya Islam di

Sumatera Selatan”. 57.

Page 116: Stratifikasi Sosial dan Agama

Potret Masyarakat Palembang 105

keterbukaan dan ketergantungan dalam kehidupan, terjadilah

proses perkawinan dari kebudayaan-kebudayaan yang ada

(terjadinya akulturasi). Bentuk dan isi kebudayaan menurut para

ahli antropologi, suatu kebudayaan sedikit-dikitnya mempunyai

tiga bentuk, yaitu cultural system, social system, dan material culture.47 Ketiga bentuk kebudayaan tersebut merupakan satu

sistem yang sangat erat kaitannya satu sama lain. Sistem budaya

yang paling abstrak seakan-akan berada di atas untuk mengatur

sistem sosial yang lebih konkret. Selanjutnya aktivitas sistem

sosial tersebut menghasilkan kebudayaan materialnya. Sebaliknya

dari sini, yaitu yang bersifat konkret ini memberi energi kepada

yang di atas.

Material culture yang berkenaan dengan wujud budaya

yang monumental, salah satu bentuknya terdapat pada bidang seni

bangun, sebagai contoh penampilan arsitektur masjid Agung

Palembang yang memperlihatkan adanya wujud akulturasi lokal,

Cina, maupun Eropa. Dari segi arsitektur masjid Agung

Palembang merupakan perpaduan Timur dan Barat. Budaya Cina,

Eropa, Arab, dan lokal menyemat pada garis arsitektur, dengan

komposisi yang nyaris tanpa cacat. Di atas sisi limas masjid ada

jurai daun simbar atau semacam hiasan menyerupai tanduk

47 Koentjaraningrat sependapat dengan J.J. Honigmann, dalam buku

antropologinya berjudul The World of Man (1959: 11-12), yang membedakan

adanya tiga gejala kebudayaan, yaitu (1) ideas, (2) activities, dan (3) artifacts. Wujud pertama merupakan wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide,

gagasan, nilai, norma, peraturan dan sebagainya. Gagasan ini satu sama lain

selalu berkaitan menjadi suatu sistem yang disebut sebagai cultural system atau

sistem budaya. Wujud kedua dari kebudayaan adalah wujud kebudayaan sebagai

suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam

masyarakat yang disebut juga sebagai social system atau sistem sosial. Wujud

ketiga dari kebudayaan adalah wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil

karya manusia yang disebut sebagai material culture atau kebudayaan fisik.

Sedangkan isi dari semua kebudayaan universal yang ada di semua kebudayaan

dunia, sederhana, terisolasi, mau besar maupun kompleks menurut para ahli

antropologi terdiri dari tujuh unsur, yaitu: bahasa, sistem teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi, dan kesenian. Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), 150-

152.

Page 117: Stratifikasi Sosial dan Agama

106 Potret Masyarakat Palembang

kambing yang melengkung dan lancip sebanyak 13 buah di setiap

sisinya. Struktur ini menyerupai atap kelenteng dan bangunan

tradisional Cina lainnya. Masjid Agung Palembang juga memiliki

serambi seperti arsitektur klasik Yunani-Dorik, gaya seperti itu

juga banyak ditemui pada bangunan Hindia buatan abad XVIII

hingga awal abad XX. Sedangkan budaya Arab berpadu dengan

budaya lokal terasa dalam beragam lengkungan halus gaya

kaligrafi yang terdapat pada leher mustaka, jendela, mimbar,

mihrab, dan pintu masuk masjid. Perpaduan budaya ini menjadi

ciri khas Masjid Agung Palembang.48

Adanya proses akulturasi antara Islam dan budaya lokal di

Palembang membentuk suatu identitas baru lahirnya Islam yang

bercorak lokal. Penekanan terhadap ajaran-ajaran Islam yang

subtantif dikemas melalui budaya yang berubah menjadi suatu

tradisi. Bahkan enkulturasi tradisi ini pun bersifat dinamis dan

terus mengalami perkembangan. Social system atau praktik

keagamaan merupakan suatu bentuk kebudayaan yang kompleks.

Akulturasi antara budaya dan Islam dapat dilihat dalam kegiatan

keagamaan yang dilakukan, masyarakat Palembang mengenal

berbagai upacara seperti upacara pertanian, upacara leluhur, dan

upacara-upacara menurut siklus penanggalan agama. Upacara

pertanian biasanya dilakukan setelah selesai panen. Upacara

leluhur, dilakukan oleh kalangan penganut agama Islam berupa

upacara nigo hari, nujuh hari, empat puluh hari, dan nyeratus hari. Dalam upacara itu dibacakan ayat-ayat suci al-Qur’an, surat

Yasin, dan tahlil. Upacara menurut siklus penanggalan agama

antara lain diwujudkan dalam bentuk peringatan hari-hari raya,

Isra’ Mi’raj, Maulid Nabi Muhammad SAW, Nisfu Sya’ban, dan

Nuzulul Qur’an.

Palembang yang mayoritas penduduknya menganut agama

Islam, di dalam catatan sejarahnya, Palembang pernah menerapkan

undang-undang tertulis berlandaskan Syariat Islam, yang

48 Lebih lanjut lihat Djohan Hanafiah, Masjid Agung Palembang: Sejarah

dan Masa Depannya, (Palembang: Haji Masagung, 1988).

Page 118: Stratifikasi Sosial dan Agama

Potret Masyarakat Palembang 107

bersumber dari kitab Simbur Cahaya.49 Simbur Cahaya ini

merupakan cultural systems yang mengandung nilai-nilai sosial

dan pola kehidupan yang berlaku dalam kehidupan masyarakat

Palembang. Masyarakat Sumatera Selatan dapat dibedakan atau

dua macam, yaitu masyarakat kota dan masyarakat desa.

Masyarakat kota atau masyarakat Ilir adalah masyarakat yang

mendiami kota-kota seperti Palembang dan kota-kota kabupaten.

Masyarakat kota itu bercorak heterogen, berasal dari berbagai

suku. Mereka itu adalah kaum cerdik pandai, pedagang (besar dan

kecil), pengusaha, buruh, dan karyawan/pegawai. Meskipun

masyarakat kota pada umumnya bersifat individualis, masyarakat

kota di Sumatera tidak/belum memperlihatkan sifat-sifat itu

secara mencolok. Apabila ada anggota keluarga yang ditimpa

kematian, misalnya, bukan saja kaum kerabat (dekat dan jauh)

yang datang melayat dan memberikan bantuan, para tetangga,

kenalan dan handai tolan juga ikut melayat. Mereka memberikan

bantuan dan bahkan sampai mengantar jenazah ke kuburan serta

ikut takziah tiga malam berturut-turut. Dengan kata lain, para

kerabat, tetangga, kenalan, dan handai tolan, semua masih peduli.

Demikian juga situasi dalam masyarakat desa atau uluan yang

pada umumnya adalah petani. Sifat kegotongroyongan dalam

masyarakat desa masih hidup, walaupun kondisi tersebut sekarang

sudah agak longgar.

Masyarakat Palembang memiliki ciri khas dalam kegiatan

upacara-upacaranya. Kekhasan itu tentunya dipandu oleh

49 Pada mulanya di Sumatera Selatan keberadaan adat-istiadat diatur

dalam Undang-Undang Simbur Cahaya, yaitu undang-undang adat asli yang

tertulis dan tertua. Pengkodifikasian undang-undang itu dilakukan pada abad

ke-17 oleh Ratu Sinuhun Sindang Kenayan. Undang-undang Simbur Cahaya

terdiri dari lima bab yang mengatur (1) adat bujang gadis dan kawin, (2) aturan

marga, (3) aturan dusun dan berladang, (4) aturan kaum, dan (5) adat

perhukuman. Secara garis besar hukum adat di Provinsi Sumatera Selatan

meliputi (1) hukum tanah, (2) hubungan kekerabatan, (3) hukum perkawinan,

(4) hukum waris, dan (5) hukum pelanggaran. Namun, kenyataan yang muncul

sekarang ada beberapa hukum adat yang ditinggalkan oleh masyarakat

pendukungnya. Misalnya, aturan marga tidak dipakai lagi karena adanya

pemberlakuan Undang-Undang No. 5/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan

di Daerah.

Page 119: Stratifikasi Sosial dan Agama

108 Potret Masyarakat Palembang

kebudayaan lokal yang berbeda dengan masyarakat lainnya.

Sebagaimana dikatakan oleh Taufik Abdullah bahwa terdapat tiga

pola dalam penyebaran Islam di Nusantara, yaitu pola Pasai,

Malaka, dan Jawa. Untuk pola Pasai dan Malaka, kedua pola ini

memiliki kesamaan, khususnya dalam adat istiadatnya. Hal ini

berbeda dengan pola Jawa di mana Islam harus lebih mampu untuk

berdialog dengan budaya setempat sehingga memunculkan Islam

yang kolaboratif. Palembang merupakan salah satu kota yang

penting untuk disinggahi pada saat Kerajaan Malaka masih

berjaya. Penyebaran Islam dalam pola Malaka merupakan

penyebaran yang sentrifugal, yaitu penyebarannya berpusat pada

kesultanan sebagai pusat struktural kekuasaan dan menyebar ke

luar (rakyat). Penyebaran Islam pun kemudian mendapat otoritas

penuh dari Sultan yang memimpin, yang pada akhirnya mengajak

rakyat untuk ikut memeluk ajaran Islam. Di antara yang menonjol

– terutama dalam kaitannya dengan Islam – ialah ciri masyarakat

Palembang yang adaptif terhadap ajaran Islam dibanding dengan

masyarakat Jawa. Integrative tradition tersebut tampak dalam

tradisi-tradisi lokal yang dijiwai oleh Islam dalam corak lokal.

Dalam hal ini terjadi akulturasi antara Islam dan budaya setempat.

Kolaboratif ini terjadi tanpa meninggalkan unsur masing-masing

corak (Islam dan budaya lokal). Akulturasi antara budaya Islam

dengan budaya lokal sangat dinamis, misalnya saja tradisi

slametan, yasinan, tahlilan, ziarah, dan lain sebagainya. Orang

mengetahui bahwa tradisi tersebut adalah apa yang terlihat

sekarang. Mereka tidak mengetahui bahwa tradisi tersebut

sebenarnya telah turun temurun serta mengalami berbagai tahap

perubahan. Namun demikian, tradisi yang turun temurun tetap

memperlihatkan adanya benang merah, yaitu hadirnya doa-doa

Islami sebagai ruh serta perangkat-perangkat lokal sebagai wadah

dalam budaya Islam lokal.

Page 120: Stratifikasi Sosial dan Agama

BAB IV

“Enkulturasi (enculturation) merupakan suatu proses bagi seorang

baik secara sadar maupun tidak sadar mempelajari seluruh kebudayaan masyarakat”

-- M.J. Herskovits –

Page 121: Stratifikasi Sosial dan Agama

ENKULTURASI ZIARAH SEBAGAI TRADISI ISLAM

DALAM MASYARAKAT PALEMBANG

emaparan hasil penelitian lapangan dalam bab ini

menganalisa mengenai fenomena kekeramatan

makam yang terdeskripsi melalui tradisi ziarah di

Kota Palembang. Pada bab ini akan dibahas mengenai ziarah

sebagai bentuk ritual keagamaan dan memiliki potensi sebagai

wisata religi. Selain itu, aktivitas peziarah membuktikan bahwa

makam dianggap sebagai suatu simbol dan sarana instrumental

bagi masyarakat untuk mewujudkan keinginnya melalui motif-

motif tertentu. Motif inilah yang kemudian menginterprest\asikan

tindakan-tindakan masyarakat dalam berziarah melalui proses

habitualisasi sehingga terenkulturasi sebagai suatu tradisi.

A. Ziarah Sebagai Ritual Keagamaan dan Wisata Religi

Kata ziarah dipinjam dari bahasa Arab ziya>rah yang

mengandung arti bepergian dari satu tempat ke tempat lain dengan

melakukan suatu perjalanan.1 Kata ini pada dasarnya dapat

diterapkan untuk segala bentuk kunjungan ke semua objek, baik

berupa tempat maupun orang. Istilah ini juga mengacu baik pada

1 Syekh Muh}ammad Hisya>m Kabba>ni>, Maulid dan Ziarah ke Makam

Nabi, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2007), 119.

P

Page 122: Stratifikasi Sosial dan Agama

112 Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam

Masyarakat Palembang

kunjungan ke makam wali; juga digunakan untuk menyebut

kunjungan pemimpin tarekat kepada para pengikutnya. 2 ‘Abd al-

H>>}aqq al-Isybili> menyatakan bahwa ziarah ialah suatu sunah yang

diharuskan (sunnah wajibah).3 Adapun menurut mazhab-mazhab

fikih, hukumnya berbeda-beda antara wajib (menurut beberapa

ulama Ma>liki> dan Zha>hiri>), mendekati wajib (menurut ulama

H}anafi), dan sunnah mandu>bah (menurut ulama Sya>fi.’i> dan

H}anbali>).4 Namun terdapat sebagian ulama yang mengatakan

bahwa hukum ziarah bagi perempuan adalah makruh.5 Ziarah merupakan sebuah konsep kunjungan yang lazimnya

untuk menyebut hubungan yang ada antara anggota masyarakat,

baik laki-laki maupun perempuan, dengan sejumlah tokoh – baik

yang masih hidup maupun yang sudah meninggal – yang konon

2 Henri Chambert-Loir dan Claude Guillot (ed), Ziarah dan Wali di

Dunia Islam,(Jakarta: Komunitas Bambu, 2010), 95. 3 Rasullullah bersabda: “Sesungguhnya aku (Nabi Muhammad SAW)

melarang kamu menziarahi kubur, kemudian sungguh diizinkan bagi Muhammad SAW menziarahi kubur ibunya, maka ziarahilah oleh kamu akan kubur, karena dia akan mengingatkanmu kepada hari kiamat.” (H.R. Tirmidi, Muslim, Abu Dauz, Ibnu Hibban dan Hakim). Abu Umar Shalih, Ziarah Kubur Yang Dicontohkan Rasulullah, (Solo: At-Tibyan, 2001).

4 Adapun berkaitan dengan ziarah ke makam Nabi saw., menurut

mayoritas ulama dari mazhab-mazhab utama, hal tersebut diperbolehkan dan

dianggap baik dalam Islam. Pandangan mayoritas kitab fikih mengenai hal ini

adalah: ziya>rat qabr al-Nabi shalla Allah ‘alayhi wa sallama masyru>’ah bi al-ijma>’ wa hiya min afd}al al-a’ma>l bi al-ijma>’ (ziarah ke makam Nabi saw. Itu

disyariatkan berdasarkan ijmak, dan termasuk amal paling utama berdasarkan

ijmak). Syekh Muhammad Hisyam Kabbani. Maulid dan Ziarah ke Makam Nabi. 112-114.

5 Ziarah kubur diperbolehkan bagi kaum perempuan dengan tetap

menjaga kesopanan guna mencegah terjadinya fitnah. Para perempuan

hendaknya menghindari dari ratapan. Hadist Nabi juga menjelaskan:

“Bahwasanya Siti Asyah pada suatu hari kembali dari pekuburan, maka aku bertanya kepadanya: Wahai Ummul Mukminin, dari mana engkau? Ia menjawab: dari kubur saudaraku Abdurrahman. Lalu aku bertanya lagi: Bukankah Rasulullah telah melarang kita menziarahi kubur? Ia menjawab: Benar Nabi telah melarang kita menziarahinya kemudian Nabi menyuruh kita menziarahinya.” (H.R. Asra) (Hadis ini juga diriwayatkan oleh Hakim dan Ibnu

Majjah). Syaikh Abu Umar Shalih, Ziarah Kubur Yang Dicontohkan Rasulullah, (Solo: At-Tibyan, 2001).

Page 123: Stratifikasi Sosial dan Agama

Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam Masyarakat Palembang

113

dikaruniai suatu karomah serta memberikan suatu keberkahan6

bagi yang mengunjunginya dan dikategorikan oleh masyarakatnya

sebagai awliya>’, murabitu>n (ra>biti>n), syurafah (chorfa), shalihi>n

(sa>lihi>n), asya>d, atau syuyu>kh (chyou>kh, plural dari syekh)... yaitu

istilah yang mengandung makna simbolis yang berbeda-beda. 7

Konsep ziarah menyangkut kunjungan individual atau kolektif ke

makam wali atau kepada wakil-wakilnya yang masih hidup, yang

dilakukan oleh mereka yang mencari berkah dengan tujuan

memohon sesuatu atau mengucapkan terima kasih telah

terkabulnya suatu permohonan. Di Indonesia sendiri, makam wali

yang ramai dikunjungi masyarakat adalah makam walisongo8 yang

tersebar di berbagai daerah di Pulau Jawa. Namun, tak hanya

makam walisongo yang dianggap keramat atau suci, makam ulama

atau yang kerap dijuluki Kyai oleh masyarakat juga menyita

perhatian ribuan peziarah untuk menziarahinya, khususnya

peziarah yang berasal dari pulau Jawa.

Keberadaan ulama diyakini oleh masyarakat sebagai para

tokoh mata rantai yang menyambungkan ajaran Islam sampai

6 Menurut Sossie Ande\zian yang melakukan penelitian di kawasan

Magribi (Aljazair, Maroko, Tunisia) dalam kepercayaan masyarakat magribi,

berkah (barakah) adalah kekuatan bermanfaat yang bersal dari kekuasaan

supranatural, yang memberikan kebaikan berlimpah-limpah pada semua bidang

kehidupan. Berkah konon terutama terpusat dalam diri Nabi Muhammad dan

wali-wali yang mampu menyampaikannya kepada orang-orang yang memohon

berkah itu. Para pemimpin tarekat juga dianggap memiliki kekuatan

supranatural ini, yang menjadi sumber dari semua karomah yang mereka

lakukan. Sossie Ande\zian dalam Loir dan Guillot (ed), Ziarah dan Wali di Dunia Islam, 95.

7 Sossie Ande\zian dalam Loir dan Guillot (ed), Ziarah dan Wali di Dunia Islam, 96.

8 Walisongo dikenal sebagai wali yang berjasa menyebarkan Islam di

tanah Jawa dan sekitarnya. Mereka jumlahnya ada sembilan wali. Antara lain

Sunan Maulana Malik Ibrahim, Sunan Bonang, Sunan Derajat, Sunan Giri,

Sunan Ampel, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Kaliaga dan Sunan Gunung

Jati. Ahmad Falah, “Spiritualitas Muria: Akomodasi Tradisi dan Wisata”,

Walisongo, Volume 20, Nomor 2, November 2012, 430..

Page 124: Stratifikasi Sosial dan Agama

114 Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam

Masyarakat Palembang

kepada ajaran nabi.9 Ada sebuah hadits yang mengatakan bahwa

“Ulama adalah pewaris para nabi”: hadis ini memberikan

gambaran yang jelas mengenai masalah wali, meskipun mesti

ditambahkan bahwa di mata para sufi “ulama itu bukanlah

“ulama” biasa, tetapi “mereka yang bermakrifat” yaitu telah

mencapai tingkat pengetahuan tertentu (mar’rifah).10 Oleh karena

itu, keberadaan makam ulama atau orang-orang suci ini yang

tersebar di beberapa tempat, dan mendorong lahirnya tradisi

berkunjung ke makam-makam tersebut atau disebut dengan tradisi

ziarah. Tradisi ini membuktikan, khususnya kepada masyarakat

modern saat ini, bahwa eksistensi “orang-orang suci” yang

dikenalkan lewat kitab suci sebagai para nabi utusan Allah itu

memang benar-benar ada.

Hubungan antara umat dengan tokoh-tokoh agama adalah

hubungan yang dilandasi oleh dua dimensi, yaitu dimensi

keagamaan dan dimensi sosial.11 Pada dimensi keagamaan,

hubungan itu dikukuhkan oleh ajaran-ajaran keagamaan, yaitu

konsep derajat manusia atas dasar ketakwaan dan konsep wasilah

atau tawassul12. Sampai saat ini., pandangan umat Islam tentang

tawassul kepada para wali masih belum mencapai kata sepakat.

Sebagian menganggapnya tidak masalah, sebagian kalangan lain

menganggap kunjungan ini bisa merusak akidah, terutama akibat

9 Azyumardi Azra, 1994, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan

Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia. Bandung: Mizan.

10 Eric Geoffroy dalam Loir dan Fuillot (ed), Ziarah dan Wali di Dunia Islam, 33.

11 Mudjahirin Tohir, Orang Islam Jawa Pesisiran (Semarang: Fasindo

Press, 2006),. 41-42. 12 Dalam al-Qur’an, kata al-wasilah ini ditemukan di dua tempat. Yakni,

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan

yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya

kamu mendapat keberuntungan” (Q.S. al-Maidah: 35), dan “Orang-orang yang

mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di

antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya

dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang

(harus) ditakuti” (Q.S. al-Isra’: 57). Purwadi, dkk, Jejak Para Wali dan Ziarah Spiritual, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2006), 4.

Page 125: Stratifikasi Sosial dan Agama

Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam Masyarakat Palembang

115

terpesona “secara berlebihan” oleh karomah yang dimiliki para

kekasih Allah tersebut. Pertentangan dua pendapat tentang

tawassul ini tentu memiliki argumen masing-masing. Namun,

seiring dengan keterbukaan dari kedua belah pihak, perbedaan

tersebut sudah mulai mencair dengan ditandai oleh maraknya

wisata religius yang diikuti oleh hampir semua aliran dalam Islam.

Dalam dimensi sosial, orang-orang suci direpsentatifkan

sebagai nabi, wali sampai Kyai. Mereka dinilai lebih dekat dengan

Tuhannya dan karena itu mereka lebih didengarkan atau

dikabulakn permohonannya. Logika keagamaan ini menjadi alasan

bagi umat untuk memposisikan mereka, khususnya para nabi dan

ulama sebagai mutawassul (mediator) dalam berbagai kegiatan

atau upacara keagamaan maupun dalam upacara semi keagamaan

yang selama ini banyak mewarnai kehidupan keagamaan

masyarakat. Konsep tawassul (mediasi) dan mutawassul (mediator) digerakkan oleh sistem berpikir bipolar tentang Tuhan

– manusia, yaitu: atas – bawah; suci – kotor; sakral – profan; dan

jauh – dekat. Sistem klasifikasi simbolik yang dipakai untuk

menjelaskan tingkat atau bentuk hubungan Tuhan – manusia

dalam perwujudan seperti ini, menuntun mereka untuk

menciptakan moderasi (penengah) yang mengantarai, sehingga

melahirkan klasifikasi tiga (trikotomi).13

Bagan 2. Trikotomi Pola Hubungan Tuhan – Manusia

13 Falah, “Spiritualitas Muria: Akomodasi Tradisi dan Wisata”, 430-451.

Tuhan

Tokoh Suci

Umat

Hubungan

Langsung

Hubungan

Berperantara

Page 126: Stratifikasi Sosial dan Agama

116 Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam

Masyarakat Palembang

Menurut Henri Chamber-Loir dan Claude Guillot,14

fenomena ziarah berkaitan dengan konsep kewalian. Mereka

memandang bagaimana para wali membentuk sebuah jaringan

rantai panjang melalui fenomena pengeramatannya dan

menghubungkan para peziarah dengan sang Ilahi. Para ulama

memiliki peziarah setia atau client yang terikat oleh suatu janji

kesetiaan pribadi. Namun para ulama dengan rela hati juga

menerima siapa saja yang meminta mereka menjadi perantara

Allah. Ziarah dapat dilakukan oleh seseorang hanya dengan tujuan

mengungkapkan kesetiaannya kepada sang wali, dalam kerangka

suatu hubungan yang berkelanjutan. Begitu pula halnya dengan

peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan pribadi seseorang

atau keluarganya, semua ini dapat dipercayakan kepada seorang

ulama tertentu. Upacara-upacara agama adalah kesempatan yang

baik untuk melakukan kunjungan untuk memperingati sang ulama;

dalam hal ini, ziarah menyerupai fungsi ritus ziarah kepada

leluhur. Akhirnya, ziarah dapat pula berupa kegiatan yang bersifat

hiburan. Maka, ziarah ke ulama sekaligus merupakan kegiatan

penghormatan, upaya permohonan, dan hiburan.15

Berbagai praktik ziarah, yang dijalankan baik oleh laki-laki

maupun perempuan, penduduk kota maupun penduduk desa,

kalangan terdidik maupun buta huruf, mencakup kegiatan-kegiatan

beragam mulai dari yang bersifat informal sampai yang

sepenuhnya terorganisir. Secara Islam, adab berziarah adalah

dengan memberikan salam dan membuka alas kaki serta masuk

dengan hati yang tunduk. Tidak dipebolehkan untuk duduk di atas

kubur, menginjak ataupun melangkahinya. Tujuan berziarah

adalah untuk mengingat akan adanya akhirat dan hari kiamat

sehingga tujuan-tujuan lain yang dianggap sebagai perbuatan

syirik16 di areal pekuburan (hal-hal yang dimurkai oleh Allah

SWT).17

14 Loir dan Guillot, Ziarah dan Wali di Dunia Islam, 9 15 Sossie Ande\zian dalam Loir dan Guillot, Ziarah dan Wali di Dunia

Islam, 96. 16 Menurut sebagaian umat Islam, ziarah adalah bagian dari bid’ah

karena dapat memicu adanya perbuatan syirik . Gerakan menentang konsep

Page 127: Stratifikasi Sosial dan Agama

Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam Masyarakat Palembang

117

Ziarah seolah-olah telah menjadi tradisi yang tidak bisa

dilepaskan bagi masyarakat. Praktik ziarah pun telah menyatu atau

terenkulturasi dengan baik di dalam kehidupan masyarakat.

Perilaku keagamaan di makam-makam juga menarik perhatian

pengamat. Di Palembang, pengunjung makam ada yang tidak

terlalu peduli pada perantara sewaktu berziarah; ada yang

menggunakan jasa juru kunci makam untuk membantu peziarah itu

berdoa; ada juga yang membaca Yasin18 dan doa-doa langsung di

depan makam; bahkan ada yang mengutarakan beberapa

ziarah ini mulai muncul pada 1744 TU (Tahun Umum) di Arabia Tengah.

Muhammad ibn Abd al-Wahab dengan sokongan keluarga kerajaan Su’usd,

Emir setempat dari Dar’ijah, memulai suatu pergerakan pembaharuan

berdasarkan mazhab Hambali yang sederhana dan pelajaran anti Sufi dari Ibn

Taimiyah beserta penganutnya di abad XIV. Pergerakan Wahabi ini

(Sebagaimana pergerakan ini seterusnya terkenal) pertama-tama ditujuan untuk

menghadapi kemunduran tata susila dan kemerosotan agama di pedesaan dan

suku-suku terpencil, mengutuk pemujaan orang suci dan bid’ah-bid’ah lain yang

dianggap sebagai penyelewengan dan kekufuran. Gerakan ini pada akhirnya juga

menyerang mazhab-mazhab lain karena komprominya dengan bid’ah-bid’ah

yang dibenci tersebut. Purwadi, dkk, Jejak Para Wali dan Ziarah Spiritual, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2006), 4. Lihat juga Subhani, S.J.

Tawassul, Tabarruk, Ziarah Kubur, Karomah Wali, Termasuk Ajaran Islam: Kritik Atas Paham Wahabi, (Jakarta: Pustaka Al Hidayah, 1989), 7.

17 Pucuk Pimpinan Muslimat NU Bidang Sosial, Budaya dan Lingkungan

Hidup, Pedoman Merawat Jenazah Menurut Syari’at Islam. (Jakarta: Suara

Bebas, 2006), 115. 18 Dalam hadits Nabi disebutkan :

كم يس قلب القرءان لا يقرؤها رجل يريد الله و الدار الآخرة إلا غفر له، واقرءوها على موتا "

" )رواه أحمد(

Artinya: "Yasin adalah hatinya al Qur'an, tidaklah dibaca oleh seorangpun karena mengharap ridla Allah dan akhirat kecuali diampuni oleh Allah dosa– dosanya, dan bacalah Yasin ini untuk mayit–mayit kalian " (H.R.

Ahmad). Perihal ini, al-Hasan bin as-Shabah az-Za’faroni bertanya kepada

Imam Syafii tentang membacakan al-Qur’an di atas kubur, beliau menjawab:

“Tidak Masalah.”. Rasulullah bersabda: “Siapa yang memasuki pemakaman dan membacakan surat Yasin niscaya Allah akan memberikan keringanan kepada parapenghuni pemakaman tersebut pada hari itu, serta baginya (yang membaca) akan mendapatkan sejumlah kebaikan sejumlah dai huruf (yang dibacanya).”

Pucuk Pimpinan Muslimat NU Bidang Sosial, Budaya dan Lingkungan Hidup.

Pedoman Merawat Jenazah Menurut Syari’at Islam. (Jakarta: Suara Bebas, 2006), 113.

Page 128: Stratifikasi Sosial dan Agama

118 Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam

Masyarakat Palembang

“hajatnya” langsung kepada makam. Pada umumnya para peziarah

yang mengunjungi makam dikarenakan hal tersebut merupakan

suatu kebiasaan atau tradisi lama seperti membeli kembang yang

kemudian diletakkan di makam sambil berdoa “memohon hajatnya

terkabul”; mereka menyentuh batu nisan dan menggosok-

gosokkannya sambil mengusapkannya di wajah mereka. Para

peziarah menunjukkan sikap yang amat beragam: ada yang

berbicara dengan lantang atau justru berdiam diri, ada yang duduk

di dekat batu nisan, ada yang berdoa membaca paling sedikit Surat

al-Fa>tihah atau beberapa surat lain yang dapat membawa berkah

seperti surat Yasin, dan ada yang menyisipkan sedikit uang di

celengan Kyai (sebuah kotak yang ditujukan bagi orang-orang

yang bernazar untuk menyumbangkan uangnya sebagai suatu

imbalan); ada yang bahkan menyampaikan permohonan kepada

sang Kyai. Aktivitas peziarah yang dilakukan di makam

sebenarnya merupakan akulturasi antara budaya masyarakat

setempat dengan Islam. Terdapat tradisi khas Islam yang

ditemukan dalam ziarah kubur, seperti ketika orang-orang

membaca Surat al-Fa>tihah di makam maka mereka sesungguhnya

menghormati al-Qur’an dengan membaca salah satu surat yang ada

di dalamnya sehingga untuk meremehkan hal-hal tersebut

merupakan suatu sikap yang kurang objektif.

Kota Palembang sebagai kota yang penuh dengan sejarah,

memiliki beberapa kompleks pemakaman yang dianggap keramat

dan dipercaya oleh sebagian masyarakat setempat sebagai tempat

yang sakral sehingga banyak dikunjungi oleh peziarah. Makam-

makam yang ada di Kota Palembang tidak hanya terdiri dari

kompleks-kompleks pemakaman Kesultanan Palembang, namun

juga kompleks-kompleks pemakaman masyarakat lainnya.

Pemakaman kesultanan itu antara lain: Kompleks makam

kesultanan di Candi Walang, Kebon Gede, Ilir I, dan Kawah

Tengkurep. Sementara itu kompleks-kompleks pemakaman

lainnya antara lain pemakaman Arab di 14 dan 16 Ulu, dan makam

KH. Masagus Abdul Hamid bin Mahmud atau lebih dikenal

Page 129: Stratifikasi Sosial dan Agama

Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam Masyarakat Palembang

119

sebagai makam Kyai Marogan.19 Berbagai makam yang

dikeramatkan tersebut hingga sekarang tetap mendapatkan

perhatian dari sebagaian umat Islam melalui tradisi ziarah.

Kunjungan ke makam dapat dilaksanakan pada hari apa

pun, namun ada hari yang lebih disukai dan ramai dikunjungi oleh

peziarah, seperti hari raya ied dan peringatan-peringatan Islam

lainnya. Tak hanya itu, makam Kyai Marogan misalnya ramai

dikunjungi ketika bertepatan dengan khaul Beliau. Khaul adalah

pola penghubung bagi generasi penerus dengan generasi pendiri

sebuah orde keagamaan yang pada masanya memiliki karisma

yang sangat tinggi. Khaul menghadirkan nuansa kharismma itu

datang lagi dan dianggap sebagai pengejewantah karisma

tersebut.20 Khaul Kyai Masagus Haji Abdul Hamid bin Mahmud

(Kyai Marogan) biasa dilaksanakan setiap tanggal 17 Rajab di

Masjid Kyai Muara Ogan Kertapati, Palembang. Secara

antropologis dan sosiologis, kehadiran peziarah ke acara ini

membuktikan bahwa semakin banyaknya orang yang merasa

membutuhkan penyelesaian masalah-masalah di dalam

kehidupannya, seperti persoalan ekonomi, religiusitas, psikologis,

dan bahkan politik. Ketika khaul dilaksanakan, banyak peziarah

yang hadir sebagai bentuk untuk menghormati dan mengenang

19 Karena berbagai keterbatasan, dalam penelitian ini peneliti berfokus

pada makam Kyai Marogan (Masagus Haji Abdul Hamid bin Mahmud) di Kota

Palembang. Makamnya sendiri tidak begitu istimewa, namun sesuai dengan

tuntunan Islam. Dalam ajaran Islam, di atas liang lahat suatu makam tidak

boleh disemen, tidak boleh dibangun apapun, dan di atas makam bagian kepala

diberi tanda dengan batu atau kayu. Makam Kyai Marogan ini ditandai dengan

dua buah nisan dari batu andesit berwarna hitam, tidak dibentuk layaknya

menhir yang dipasang di atas makam bagian kepala dan kaki. Nisan kepala

berukuran tinggi 0,17 meter, lebar 0,12 meter, lebar 0,8 meter, dan tebal 0,5

meter. Karena ketokohan Kyai itu maka makam tersebut dikeramatkan orang,

sehingga sampai sekarang makam ini masih ramai diziarahi banyak orang.

Makalah memperingati wafatnya Asy-Syeikhul Imam al’allamah al’aruf Billah

Kiai Masagus Haji Abdul Hamid bin Mahmud (Kiai Muara Ogan) yang ke-109

(17 Rajab 1319 – 17 Rajab 1428). Lihat juga Zulkifli Abdul Karim Nasution,

Islam dalam Sejarah dan Budaya Masyarakat Sumatera Selatan. (Palembang:

UNSRI Press, 2001), 32. 20 Nur Syam, Islam Pesisir, (Yogyakarta: Lkis, 2005), 184.

Page 130: Stratifikasi Sosial dan Agama

120 Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam

Masyarakat Palembang

perjuangan Kyai Marogan yang menyebarkan agama Islam hingga

ke pelosok-pelosok daerah di Sumatera Selatan.

Ziarah tidak hanya dilakukan secara individual saja

melainkan juga dapat dilakukan secara massal. Bahkan kegiatan

ziarah secara massal ini merupakan kegiatan wisata religius yang

dapat mendatangkan keuntungan tersendiri bagi berkembangnya

pariwisata suatu daerah. Ziarah yang dilakukan secara massal

umumnya disebut sebagai ziarah kubra yang oleh pemerintah

setempat biasanya dijadikan sebagai agenda tahunan. Kota

Palembang yang memiliki beberapa makam ulama kerap

menjadikan kegiatan ziarah sebagai agenda tahunan wisata religi

bagi masyarakat. Peziarah pun tak hanya datang dari penjuru

Sumatera Selatan, bahkan peziarah juga datang dari berbagai

daerah di Indonesia, terutama dari Pulau Sumatera, Jawa, dan

Kalimantan, dan juga dari luar negeri seperti Malaysia, Singapura,

Thailand, Yaman, Arab Saudi dan negara-negara lainnya.21

Agenda wisata religi ziarah kubra ‘Ulama dan Auliya’ Palembang

Darussalam ini biasanya dilakukan setiap mendekati bulan

Ramadhan dan terkhusus bagi kaum laki-laki saja. Wisata religius

ini dimaksudkan untuk menghadirkan kembali kesadaran

beragama setelah mereka disibukkan dengan rutinitas yang

melelahkan. Dengan mengunjungi makam ulama, melihat situ dan

peninggalan mereka, diharapkan ada stimulus baru yang masuk ke

dalam benak kesadaran peziarah sehingga memunculkan kekuatan

baru dalam beragama. Dengan cara ini, ziarah akan memberikan

arah, motivasi dan akhirnya tumbuh kesadaran secara penuh untuk

patuh, tunduk dan menjalankan perintah Allah SWT.

B. Makam Keramat Sebagai Simbol dan Sarana Instrumental

Corak kehidupan dan kebudayaan bangsa Indonesia sangat

dipengaruhi oleh perpaduan tradisi lokal, Hindu-Buddha, dan

Islam di masyarakat. Masuk dan berkembangnya Islam tidak

menyebabkan hilangnya kebudayaan Indonesia pra-Islam

(prasejarah dan Hindu-Buddha), tetapi justru memperkaya

21 http://ziarahkubrapalembang.wordpress.com/ diakses pada tanggal 10

Juni 2013.

Page 131: Stratifikasi Sosial dan Agama

Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam Masyarakat Palembang

121

keanekaragaman budaya bangsa Indonesia. Kebudayaan pra-Islam

yang baik terus dipertahankan dan dikembangkan sesuai dengan

pola budaya Islam dalam wujud akulturasi kebudayaan.

Perwujudan akulturasi kebudayaan itu sendiri terlihat dari

berbagai aspek kehidupan, seperti ziarah sebagai bentuk akulturasi

budaya Hindu dan Islam.22 Tak hanya dalam bentuk tradisi, seni

bangunan Islam juga menunjukkan akulturasi dengan budaya pra-

Islam, seperti halnya makam. Makam sebagai hasil kebudayaan

zaman Islam mempunyai ciri-ciri perpaduan antara unsur budaya

Islam dan unsur budaya sebelumnya. Misalnya dilihat dari segi

fisik, tata upacara pemakaman, dan letak makam.

Menurut Nur Syam, dalam tradisi ziarah, pemakaian istilah

makam dan kuburan sering dibedakan. Kuburan sering dikaitkan

dengan tempat menyimpan jenazah orang biasa. Sementara istilah

makam, dimaksudkan dengan tempat menyimpan jenazah orang

wali, orang suci atau tokoh masyarakat yang dihormati.23 Istilah

kuburan sering dikesankan sebagai tempat yang gelap, seram dan

berada di pinggiran atau di sudut terluar dari suatu perkampungan.

Hal ini tidak berlaku bagi makam ulama atau orang-orang salih

yang dihormati oleh masyarakat. Mereka justru dimakamkan di

tengah-tengah kawasan yang ditinggali warga masyarakat, bahkan

dibuatkan tempat khusus yang letaknya cukup strategis dan mudah

dijangkau dan senantiasa didatangi oleh para peziarah.

Makam ulama bukanlah tempat yang sepi. Bahkan makam

bisa menjadi pusat alternatif sebagai tempat menggelar berbagai

22 Tradisi ziarah merupakan bentuk akulturasi budaya yang sudah

dilakukan para wali untuk menyiarkan agama Islam pada masanya. Menurut

Koentjaraningrat, ziarah ke makam suci sebenarnya telah menjadi bagian dari

tradisi leluhur yang diwarisinya jauh sebelum Islam datang. Ziarah ke makam

wali merupakan kepanjangan dari tradisi Hinduisme bernama upacara srada.

Tradisi ini sudah ada pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, raja yang

memerintah Majapahit sekitar pertengahan abad ke-14. Srada adalah upacara

untuk memuliakan leluhur yang sudah meninggal. Dari kata srada itulah,

masyarakat Jawa mengenal nyadran, yaitu kegiatan menziarahi makam leluhur.

Biasanya nyadran ini dilakukan mendekati bulan puasa. Koentjaraningrat,

Kebudayaan Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), 105. 23 Nur Syam, Islam Pesisir, 139.

Page 132: Stratifikasi Sosial dan Agama

122 Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam

Masyarakat Palembang

acara keagamaan. Tidak hanya berupa ritual tahlil atau tawassul

yang sangat berkaitan dengan makam, beberapa pemakaman juga

dimanfaatkan untuk kegiatan ta’lim dan dakwah, seperti khataman

al-Qur’an dan peringatan hari besar Islam. Makam Kyai Marogan

merupakan salah satu makam yang memenuhi penjelasan tersebut.

Makam Kyai Marogan adalah makam yang disakralkan oleh

masyarakat Palembang. Makamnya sendiri juga terkadang disebut

gubah24 oleh sebagian masyarakat dan terletak bersebelahan

dengan masjid Marogan. Selain makamnya dikunjungi oleh

peziarah, masjid Marogan juga dijadikan sebagai pusat kegiatan

keagamaan, seperti pengajian, dakwah, pusat tahfiz al-Qur’an dan

lain sebagainya. Bahkan dibangun pula sekolah tingkat TK,

ibtidaiyah, dan tsanawiyah di sekitar komplek pemakaman. Selain

berkontribusi dalam dunia pendidikan, kehadiran makam Kyai

Marogan juga memberikan dampak ekonomi terhadap masyarakat

yang tinggak di sekitar komplek pemakaman tersebut. Banyaknya

peziarah yang berkunjung membuka peluang ekonomi bagi

masyarakat sekitar. Kompleks pemakaman Kyai Marogan ini

memberikan dampak yang besar terhadap kehidupan masyarakat

yang tinggal di sekitar makam.

Ritual berziarah ke makam keramat merupakan pendekatan

dimensi kebudayaan dalam agama. Geertz25 mengartikannya

dalam bentuk sebuah definisi agama yang cukup kompleks, yaitu

sistem simbol-simbol yang bertindak untuk menciptakan perasaan

dan motivasi pada manusia dengan memformulasikan konsepsi

24 Gubah adalah sebutan masyarakat Palembang terhadap makam. Istilah

gubah ini berbeda dengan istilah kuburan biasa. Istilah gubah biasanya

mengacu pada makam yang berada di dalam bangunan. Kata gubah merupakan

pengaksentualisasian masyarakat Palembang dari kata “kubah” di mana dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kubah berarti 1 lengkung (atap); 2 atap

yang melengkung merupakan setengah bulatan (kupel). Masyarakat Palembang

biasa menyebut gubah Kyai yang dimaksudkan untuk berziarah ke makam Kyai

yang berada di dalam bangunan di mana atapnya melengkung seperti kubah

masjid, apalagi letak makam Kyai persis bersebelahan dengan masjid yang

sama-sama memiliki kubah. 25 Clifford Geertz, The Interpretation of Culture, (New York: Basic

Books, 1970), 91.

Page 133: Stratifikasi Sosial dan Agama

Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam Masyarakat Palembang

123

mengenai aturan umum dari eksistensi dan memakaikan konsepsi-

konsepsi ini dengan nuansa faktualistas sehingga perasaan dan

motivasi itu secara unik nampak realistik. Simbol bisa berarti

banyak hal. Bisa berarti representasi dari asosiasi antara dua hal

terkait, bisa juga berarti sesuatu yang mengekspresikan hal-hal

yang tidak dapat dijelaskan lewat verbal atau dijelaskan secara

langsung.

Geertz melihat simbol sebagai dasar yang digunakan dalam

apa yang disebut konsepsi. Konsepsi itu yang menjadi arti dari

simbol. Konsepsi itu merupakan ide, sikap, penilaian, formulasi

dan abstraksi dari pikiran dan pengalaman yang dituangkan dalam

representasi konkrit. Ketika berbicara mengenai makam secara

umum, maka konsepsi spesial terhadap makam tidak begitu

berarti. Namun, ketika makam tersebut adalah makam orang yang

dianggap suci oleh masyarakat. Maka makam ini berubah menjadi

suatu simbol yang dikonsepsikan sebagai makam keramat atau

makam suci oleh masyarakat. Masyarakat memperlakukan simbol

makam keramat ini dengan sikap yang khas dan dengan

pengalaman yang dituangkan dalam representasi konkrit terhadap

makam keramat, simbol ini pun kemudian menjadi terinternalisasi

dalam masyarakat. Hal ini disebabkan karena pola-pola budaya

(sistem-sistem simbol) memiliki sifat bahwa ia merupakan sumber

informasi yang eksternal dan dapat memberikan konsepsi yang

bisa didefinisikan secara internal. Masyarakat membutuhkan

konsepsi-konsepsi yang masuk internal ini melalui

simboleksternal. Selanjutnya, simbol-simbol ini kemudian

membentuk perasaan dan motivasi yang kuat dan bertahan dalam

masyarakat. Makam keramat sebagai simbol suci mampu

terinternalisasi dengan baik kepada masyarakat melalui disposisi

aktivitas dan pengalaman masyarakat yang berziarah ke makam

tersebut. Disposisi ini sendiri sebenarnya merupakan pola dari

aktivitas atau kejadian, bukan hanya sekedar satu kejadian atau

aktivitas tertentu. Disposisi ini merupakan motivasi yang berupa

kecenderungan di mana terdapat kemampuan untuk melakukan

tindakan tertentu.

Page 134: Stratifikasi Sosial dan Agama

124 Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam

Masyarakat Palembang

Makam sebagai suatu simbol dapat membangun suasana hati

dan motivasi yang kuat, pervasif dan tahan lama. Berziarah ke

makam dapat membuat orang merasakan sesuatu dan juga ingin

melakukan sesuatu. Motivasi ini memiliki tujuan tertentu, seperti

berharap akan kesembuhan, usaha lancar, meminta jodoh, dan lain

sebagainya. Pengalaman-pengalaman peziarah yang berkunjung ke

makam keramat tersebut kemudian terkonsepsikan dengan baik

dan apabila motif peziarah tersebut terpenuhi maka mereka akan

membagikan pengalamannya tersebut kepada orang lain melalui

proses interaksi dan internalisasi. Konsepsi mengenai eksistensi

makam keramat inilah yang akan menciptakan suatu tatanan

sistem simbol dalam suatu struktur masyarakat di mana simbol ini

selalu memberikan orientasi atau petunjuk bagi masyarakat untuk

mengatasi permasalahan yang mereka hadapi.

Dalam menjaga kelestarian sejarah dan kebersihan makam,

biasanya terdapat juru kunci26 makam yang menjaga makam

tersebut. Hefner memandang juru kunci sebagai kasus kompromi

budaya antara agama Islam dan tradisi sebelumnya, barangkali

mengingatkan pada suatu masa ketika pengetahuan tentang Islam

memerlukan para ahli. Para ahli ritual tersebut biasanya menguasai

bahasa dan doa-doa berbahasa Arab yang dipelajari dari pedoman

agama.27Juru kunci di makam ini biasanya lebih mengetahui doa-

doa yang bisa dipanjatkan. Juru kunci ini memiliki hubungan

pribadi yang bersifat keturunan dengan Kyai Marogan. Kadang-

kadang, para peziarah umum meminta juru kunci setempat, (yang

kadang disebut Yai atau Ustad di Palembang), agar menjadi

26 Juru kunci juga disebut sebagai kha>dim atau mutawalli> di Irak. Di

makam yang besar jabatan kha>dim merupakan posisi yang amat penting dan

sekaligus suatu penghormatan untuk orang yang diberi tugas itu. Oleh

karenanya kedudukan itu sering ditempati oleh seorang ulama atau syekh: Ibn

Battuta menyatakan bahwa kha>dim makam Ibra>him Ibn Adham di Jabala adlah

“orang yang sangat saleh”. Posisi juru kunci (kha>dim) juga merupakan tugas

yang diwarisi secara turun temurun dalam keluarga yang sama. Wajar apabila

keturunan seorang wali tetap menjaga makamnya. Lihat Loir dan Guillot (ed),

Ziarah dan Wali di Dunia Islam, 54. 27 Hefner Andrew Beatty, Varieties of Javanese Religion (Princeton:

Princeton University Press, 1999), 139.

Page 135: Stratifikasi Sosial dan Agama

Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam Masyarakat Palembang

125

perantara dalam ritus ziarah. Walaupun orang itu tak lain daripada

penjaga makam biasa, di mata peziarah, dia tak terpisahkan dari

makam; maka orang yang meminta bantuan tersebut lazim

memberikan sesuatu pada penjaga makam. Penjaga makam yang

acap kali berada di dekat makam merupakan pemandu yang

jasanya paling diminati oleh peziarah; orang-orang yang

membayar nazar dengan meminta bantuan kepada penjaga makam

untuk membaca doa atau hanya sekedar meminta bantuan juru

kunci untuk sekedar membacakan doa tolak balak;28 dan jasa itu

dibalas dengan memberikan sejumlah uang. Dalam menilai makna

komparatif peranan juru kunci ini, juga penting dicatat bahwa juru

kunci tidak dipandang sebagai dukun, ahli magic atau penyembuh.

Fungsinya sebagai ahli kepercayaan tidak berdasarkan pada

kekuatan pribadi atau karisma, dan ia bebas dari kecurigaan dan

tudingan melakukan praktek magic yang kerapkali menimpa

dukun.

Bagi banyak peziarah, makam merupakan sebuah simbol

tempat mustajaba>h untuk berdoa. Menurut Beatty, makam

merupakan titik persandian dari suatu sistem yang menciptakan

makna dengan bantuan konstruksi simbolis.29 Makam tidak hanya

menjadi tempat untuk mendoakan jenazah, tetapi juga menjadi

tempat yang dianggap cocok untuk mengungkapkan dan

menghayati berbagai problematika hidup yang dihadapi oleh

mereka. Hal ini dikarenakan jasad orang yang berada di dalam

makam keramat tersebut itu tidak rusak, makamnya juga dianggap

28 Dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda:

ه تلاه به وفضلني على كثير من خلقمن رأى مبتلى فقال: )الحمد لله الذي عافاني مما اب تفضيلا(، لم يصبه ذلك البلاء

“Barangsiapa yang melihat orang yang tertimpa bala lalu membaca: ALH{AMDULILLA<HILLADHI ‘A<FA<NI MIMMABTALA<HU BIHI WAFAD}D}ALANI< ‘ALA KATHI<RIN MIN KHALQIHI TAFD}I<LAN (Segala pujian hanya milik Allah yang memberikan keselamatan kepadaku dari bala yang menimpa orang itu, dan Dia telah mengutamakan saya di atas kebanyakan makhluknya dengan keutamaan yang besar), niscaya bala itu tidak akan menimpanya.” (HR. At-Tirmizi no. 3431 dan dinyatakan hasan oleh Al-Albani

dalam Shahih Al-Jami’ no. 6248). 29 Beatty, Varieties of Javanese Religion, 140.

Page 136: Stratifikasi Sosial dan Agama

126 Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam

Masyarakat Palembang

memiliki kekuatan magis sehingga peziarah ramai mendatangi

makamnya. Sebagian masyarakat percaya bahwa roh orang yang

dianggap suci itu mengetahui siapa saja yang datang ke makamnya

dan mendengarkan bagaimana doanya. Sebagai orang yang sangat

dekat dengan Allah, orang suci bisa menjadi perantara agar doanya

cepat samapai kepada Allah. Memang, tak semua yang menziarahi

makam itu “benar” tujuannya, sebab ada di antara mereka yang

justru meminta kepada roh para wali untuk mengabulkan

permohonannya. Bahkan ada juga di antara mereka yang

mengambil barang tertentu untuk di bawa pulang, bisa air, batu,

atau bunga yang ada di makam tersebut. Benda-benda itu pun

dianggap sebagai “jimat” atau simbol yang dapat memberikan

ketenangan di dalam hidup peziarah sesuai dengan motif penziarah

tersebut. Adapun keteladanan dari sosok orang suci yang berada di

dalam makam tersebut menjadi mediator (tawassul) dalam

mengajukan permohonan kepada Allah. Orang-orang suci yang

diziarahi seakan hadir kembali dalam batin peziarah dalam bentuk

optimisme (tafa>’ul) yang diinginkan, yaitu meminta suatu

kebaikan kepada Allah sebagaimana Dia telah menghadirkan

kebaikan ke muka bumi ini berupa para kekasih-Nya.30

Makam bagi sebagian masyarakat yang mempercayainya

bukan hanya sekedar tempat menyimpan mayat, tetapi merupakan

suatu simbol yang dianggap suci dan keramat. Pada awalnya, kata

keramat mengacu kepada sesuatu yang “suci” dan dapat berupa

kata, benda, orang, ataupun tempat. Secara etimologis, kata

kramat yang diacu sebagai “tempat suci” dapat dilacak dari kata

Arab haramat (jamak dari haram), berarti “suci” atau “terlarang”,

atau karamat (jamak dari karomah), yang berarti kemuliaan atau

kehormatan (dari Allah).31 Tempat-tempat yang dianggap suci

30 Badruddin, “Pandangan Peziarah Terhadap Kewalian Kyai Abdul

Hamid Bin Abdullah Bin Umar Basyaiban Pasuruan Jawa Timur: Persepektif Fenomenologis”. Disertasi program pascasarjana IAIN Sunan Ampel,

Surabaya. 2011, 25. 31 Dalam Islam ada tiga tempat yang secara formal diakui sebagai tempat

suci: dua di Arab disebut haramain, artinya “dua tempat suci” dan satu lagi di

Palestina. Dua pertama tersebut adalah Masjid Suci (Masjid al-Haram) di

Mekkah, dengan objek yang paling dipuja di dalmnya, Ka’bah, atau disebut juga

Page 137: Stratifikasi Sosial dan Agama

Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam Masyarakat Palembang

127

kemudian diaksentuasikan dari karomah, keajaiban yang berasal

dari karunia Allah di seputar kehidupan para wali. Kara Arab

karomah (jamak: karamat) yang berarti “kemuliaan” atau

“kehormatan (dari Allah)” mengalamai pergeseran menjadi

“kramat”. Dengan demikian, kata-kata haramat dan karamat digabungkan menjadi istilah kramat, yang berarti tempat suci

(haram) atau keajaiban (karamat) menyangkut kehidupan para wali

Allah. 32

Dalam perspektif antropologi, pengkultusan makam-makam

keramat yang diyakini sebagai makam orang suci, telah membawa

ingatan bersama pada segenap hubungan antara “orang suci” dan

“tempat suci” dalam pemaknaan ruang dan waktu.33 Tidak ada

satu pun tempat suci dalam tradisi ritus agama-agama besar yang

tidak berhubungan dengan peristiwa bersejarah dalam hidup

orang-orang suci. Misalnya saja Kyai Marogan sebagai ulama yang

diakui eksistensinya oleh masyarakat Palembang dan sekitarnya

adalah agen dakwah agama Islam. Beliau melakukan dakwahnya

hingga ke pelosok daerah terpencil di Sumatera Selatan dan

sekitarnya, seperti di Pemulutan, Jejawi, dan lain sebagainya

sekitar Batang Hari Sembilan. Selain mengaarkan agama Islam,

beliau juga mendirikan dan memperbaiki masjid-masjid di daerah

tempat beliau berdakwah. Sosok Kyai Marogan sebagai ulama

besar dan karismatis, membuat masyarakat kagum terhadapnya,

sampai-sampai pemerintah Hindia Belanda mengurungkan niatnya

untuk membongkar atau menggusur makam dan masjid beliau.

Padahal, jika dilihat dari sudut ekonomi, lokasi makam dan masjid

ini sangat strategis dan menguntungkan jika dibongkar karena

Rumah Allah (Bayt Allah); dan Masjid Nabi (Masjid al Nabawy) di Madinah,

tempat Rasulullah dimakamkan. Satu lagi yang berada di Palestina adalah

Masjid al-Aqsa (Kubah Batu), yang dahulu menjadi kiblat sholat kaum muslim

dan tempat persinggahan nabi dalam perjalanan Isra’ Mi’raj. Pengakuan atas

tempat-tempat suci ini ikut membentuk keyakinan bahwa makam-makam

setempat, khususnya makam dan peninggalan wali Allah, memiliki derajat

kesucian, walaupun derajatnya itu jauh di bawah ketika tempat suci tersebut.

AG Muhaimin, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal, 253. 32 AG Muhaimin, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal, 254. 33 Falah, Spiritualitas Muria: Akomodasi Tradisi dan Wisata, 434.

Page 138: Stratifikasi Sosial dan Agama

128 Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam

Masyarakat Palembang

letaknya di tepian Sungai Ogan dan berdekatan dengan stasiun

kereta api. Salah satu karomah yang dimiliki oleh Kyai Marogan

di mana pada waktu Kyai Marogan berdakwah mengajar agama ke

arah pedalaman Sungai Musi. Ketika dalam perjalanan pulang ada

yang memberi sayur mayur. Kyai pun menyuruh muridnya untuk

meletakkan sayur tersebut di bawah petak (lantai) perahu. Namun,

setelah sampai di Palembang, petak yang berisi sayur mayur

tersebut telah berubah menjadi emas murni. Para murid Kyai ini

pun melaporkanya kepada Kyai Marogan. Kyai Marogan kemudian

menyuruh muridnya untuk membuang semua sayuran yang telah

menjadi emas tersebut ke sungai Musi. Murid-murid Kyai

Marogan pun merasa heran kenapa emas-emas tersebut harus

dibuang. Lalu Kyai Marogan pun menjelaskan bahwa hal ini

mengandung sebuah filosofis bahwa kita harus bekerja keras dan

beruang untuk mendapatkan hasil yang baik, kita tidak boleh tidak

berusaha tetapi ingin mendapatkan hasil yang banyak. Karomah

beliau34 yang diinterpretasikan oleh masyarakat ini terus

34 Menurut beberapa cerita yang beredar di lingkungan sosial masyarakat

di Palembang, ada beberapa kisah menarik seputar kehidupan maupun sesudah

wafatnya Kyai Marogan. Diantara kisah-kisah kemasyhuran Kyai Marogan yang

masih diingat oleh penduduk adalah kisah tentang ikan. Pada suatu hari seorang

pedagang ikan di daerah Ogan Komering Ilir membawa ikan-ikannya untuk

diual di pasar ikan di Palembang. Ikan-ikan itu dimuatkannya di dalam bagian

dasar perahunya lalu dikayuhkanlah perahu tersebut menuju Palembang.

Mendekati kota Palembang si pedagang menyaksikan bahwa ham[ir semua

ikannya dalam keadaan mati. Si pedagang telah membayangkan bahwa dia akan

menderita kerugian yang cukup besar kalau ikan –ikan yang mati itu dijual ke

Palembang, maklum karena ikan yang sudah mati harganya jauh lebih murah

dibandingkan ikan yang hidup dan segar. Tiba-tiba ia teringat akan

kemasyhuran dan kekeramatan Kyai Marogan, maka tanpa pikir panjang

diarahkanlah perahunya menuju Masjid Kyai Marogan mengharapkan nasihat

dari Kyai. Seteah perahunya diikatkan di tangga masjid maka dia pun segera

naik untuk menemui Kyai yang biasanya pada pagi hari seperti itu selalu

memberikan pelayaran kepada murid-muridnya. Tetapi aneh sekali sebelum dia

sempat menyapa dan mengemukakan maksudnya, maka Kyai pun menegurnya:

“Ki Sanak, ikan-ikan yang kau bawa dalam perahumu tidaklah mati, InsyaAllah

ikanmu hidup, juallah ke pasar dan peliharalah keluargamu baik-baik”. Sambil

mengucapkan salam si pedagang menuju ke perahunya sambil terheran-heran.

Benar saa setelah tiba di perahunya dilihatnya semua ikan yang dibawanya

Page 139: Stratifikasi Sosial dan Agama

Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam Masyarakat Palembang

129

mengalami sosialisasi dari mulut ke mulut sehingga ceritanyapun

berkembang yang mengakibatkan munculnya stereotype

”suci/keramat” atas makam beliau. Dari sini nampak bahwa

sebenarnya dalam Islam tidak ada lembaga yang bertugas

mengesahkan kewalian, masyarakatlah yang mengangkatnya

menjadi wali yang erat kaitannya dengan jaringan kehidupan.

C. Motif Peziarah

Menurut Weber motif-motif dan sikap-sikap yang dominan

bersatu dengan aneka tradisi-tradisi agama dan dapat dihasilkan

oleh pelaku-pelaku sosial. Menurutnya, motif rasional keduniaan

yang aktif (an active, this worldly rational motive) tampak dalam

konsep Protestan mengenai keahlian/pekerjaan (calling) yang

bertentangan secara diametral dengan motif-motif keakhiratan

dari aneka agama. Mengenai motif ini, Weber menjelaskan bahwa

(1) istilah motif berarti sebuah kompleks arti yang subjektif yang

nampaknya bagi si pelaku sendiri atau bagi si pengamat

merupakan suatu dasar yang kuat bagi adanya tingkah laku yang

dipermasalahkan; (2) motif bila ditafsirkan secara sosiologis

adalah suatu uraian yang bersifat kata-kata (a verbal account) yang menyediakan deskripsi, eksplanasi atau pembenaran

(justifikasi) tingkah laku yang menarik perhatian seorang pelaku

sosial; dan (3) motif-motif adalah jawaban yang dapat diterima

terhadap pertanyaan dalam konteks dan situtasi khusus sehingga

pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban tertentu dianggap

dalam keadaan hidup dan aktif bergerak. Maka dijualnya ikan-ikan tersebut

dengan harga pantas dan dia mendapat untung yang besar.

Karomah Kyai Marogan pun tidak hanya berhenti sebatas masa

hidupnya. Setelah beliau wafat pun, karomahnya masih bisa dirasakan. Hal ini

dituturkan oleh masyarakat setempat, bahwa kawasan makam dan masjid Kyai

Marogan ini tidak pernah kebanjiran. Padahal ketika Sungai Ogan meluap dan

hujan turun deras, perkampungan lain di dekat makam Kyai ini kebanjiran. Hal

ini pun sangat dirasakan oleh penduduk sekitar makam dan masjid karena

mereka tidak perlu untuk mengungsi atau membersihkan rumah mereka yang

terkena banjir. Makalah memperingati wafatnya Asy-Syeikhul Imam al’allamah

al’aruf Billah Kiai Masagus Haji Abdul Hamid bin Mahmud (Kiai Muara Ogan)

yang ke-109 (17 Rajab 1319 – 17 Rajab 1428).

Page 140: Stratifikasi Sosial dan Agama

130 Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam

Masyarakat Palembang

wajar.35 Dalam kebudayaan-kebudayaan yang masih didominasi

oleh lembaga-lembaga agama dan sistem-sistem kepercayaan

agama, penyelidikan-penyelidikan terhadap motif-motif seseorang

yang mengunjungi makam keramat akan dianggap sebagai tidak

wajar. Namun seorang ahli sosiologi modern merasa perlu

mengabsahkan tingkah laku tersebut dengan cara beralasan pada

motif yang masuk akal. Untuk memahami suatu motif seseorang,

analisa terhadap konteks-konteks sosial dalam konteks mana

motif-motif tadi sangat dipertimbangkan, lebih lanjut apabila

motif-motif tersebut menyangkut hubungan interperson yang

subjektif secara fundamental dipengaruhi oleh perubahan-

perubahan makro sosial dalam kondisi-kondisi kebudayaan dan

ekonomi masyarakat.

Menurut Weber tindakan identik dengan motif untuk

tindakan atau in order to motive, artinya untuk memahami

tindakan individu haruslah dilihat dari motif apa yang mendasari

tindakan itu, sedangkan Schultz menambahkan dengan because-motive atau motif asli yang benar-benar mendasari tindakan yang

dilakukan oleh individu. Misalnya pernyataan WW (lk/43) sebagai

berikut:

“aku kesini tu supayo ketek aku ni selamet teros, kan aku ngeteknyo disekiter sungi Kyai inila”

“saya berziarah kesini supaya perahu saya selamat selalu

karena saya bawa perahunya di sungai Kyai ini”.36

Dari pernyataan tersebut maka sesungguhnya terdapat

motif dasar ialah penghormatan kepada Kyai Marogan sebagai

ulama yang tinggal di tepian Sungai Ogan Palembang. Jadi

kedatangannya berziarah ke makam Kyai Marogan disebabkan

oleh penghormatannya terhadap sang tokoh dan itu berakibat

terhadap keselamatannya di sungai. Penghormatan kepada sang

35 Bryan S Turner, Weber dan Islam, (Jakarta: Direktorat Pembinaan

Perguruan Tinggi Agama Islam, 1983), 211. 36 Wawancara dengan WW, 21 Agustus 2013.

Page 141: Stratifikasi Sosial dan Agama

Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam Masyarakat Palembang

131

tokoh (Kyai Marogan) adalah first type of motive, sedangkan

keselamatan ialah second of motive. 37 Praktik ziarah ke makam yang dianggap keramat beragam

bentuknya: dapat merupakan kegiatan individual maupun kolektif;

dapat merupakan kegiatan informal atau kegiatan yang

diselenggarakan secara periodik. Mencermati apa yang terjadi

dalam fenomena ziarah pada makam keramat, terdapat motif-

motif yang kadangkala bersifat kolektif maupun motif yang

bersifat personal. Dalam motif yang bersifat kolektif, Gerungan38

berpandangan bahwa dorongan atau motif bersama itu menjadi

pengikat dan sebab utama terbentuknya kelompok sosial. Tanpa

adanya motif yang sama antara sejumlah individu itu akan sukar

terbentuk kelompok sosial yang khas. Gejala inilah yang kemudian

melatari identitas sosial budaya pelaku ziarah. Sementara motif

yang bersifat personal bentukkannya menjadi sangat beragam,

tergantung kecenderungan para peziarah.39

Motif yang paling mendasari peziarah ke makam keramat

adalah untuk mendapatkan berkah dengan makam keramat sebagai

simbol mediatornya. Berkah dalam khazanah istilah Islam berasal

dari kata baraka (kata kerja, fi’il madhi) yang berarti telah

memperoleh karunia yang bermakna kebaikan. Barakah adalah

kata benda (isim), yang berarti kebahagiaan (saidah) dan nilai

tambah (ziyadah).40 Nilai tambah tidak disebut barakah41 jika

37 Waters dalam Syam, Islam Pesisir, 36. Lebih lanjut lihat Malcom

Waters, Modern Sociological Theory..., 33-34. Periksa juga Finn Collin, Social Reality..., 110-114.

38 W.A. Gerungan, Psikologi Sosial, (Bandung: PT Refika Aditama,

2009), 151 39 Falah, Spiritualitas Muria: Akomodasi Tradisi dan Wisata, 436. 40 Menurut Musthafa al-Maraghi, ada dua jenis barakah, yaitu: barakatus

sama’ (berkah-berkah dari langit) yang berupa ilmu pengetahuan produk akal

yang berdasarkan wahyu dan anugerah Ilahi yang berupa ilham-ilham dan juga

hujan dan sebagainya yang menyebabkan kesuburan dan timbulnya kekayaan di

muka bumi. Barakatu fil ardi (berkah-berkah dari bumi) ialah kesuburan, hasil

tambang dan sebagainya). Agar diperoleh barakah itu, maka penduduk bumi

harus bertaqwa kepada Allah, sehingga akan dibuka pintu-pintu kenikmatan dan

keberkahan, yaitu dengan diturunkannya hujan yang bermanfaat yang dapat

menyuburkan tanah dan memberi kemakmuran hidup di dalam negeri, dan akan

Page 142: Stratifikasi Sosial dan Agama

132 Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam

Masyarakat Palembang

tidak diikuti dengan kebahagiaan, ketenangan dan kebaikan.

Misalnya seseorang memperoleh tambahan rezeki, akan tetapi jika

tidak memperoleh ketenangan atau kebahagiaan dengan tambahan

rezeki tersebut, maka tidak bisa dinyatakan memperoleh barakah atau berkah. Dengan demikian, untuk memahami sebuah nilai

tambah itu barakah atau tidak tergantung dari apakah nilai tambah

tersebut membawa serta kebahagiaan atau tidak. Dari konteks

inilah, barakah berubah menjadi berkah, yang memiliki banyak

arti, misalnya berkah kesembuhan dari penyakit, terselesaikannya

problem individu, keluarga atau masyarakat, memperoleh

kenikmatan dalam kehidupan, seperti memperoleh jodoh, lulus

ujian, usahanya berhasil, panen banyak, dan sebagainya.42

Makam Kyai Marogan selalu ramai dikunjungi masyarakat,

tidak hanya masyarakat lokal namun juga masyarakat di luar

Palembang. Pada hari-hari biasa selalu ada saja peziarah yang

datang, meskipun yang paling ramai adalah pada hari libur.

Mereka pada umumnya datang secara kolektif bersama keluarga,

kerabat maupun teman/tetangga. Menurut juru kunci makam Kyai

Marogan, jumlah pengunjung pada hari-hari biasa, selain hari libur

tidaklah terlalu banyak. Jika dibuat rata-rata, kurang lebih sekitar

didatangkan ilmu-ilmu, bermacam-macam pengetahuan tentang banyak hal.

Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al Maraghi, Juz VII, (Mesir. Darul Hikam,

1974), 14-15. 41 Jamhari dalam penelitiannya mengenai ziarah ke Sunan Tembayat di

Bayat Klaten menemukan perbedaan antara “barakah” dan “perolehan”.

Barakah adalah hasil yang didapat setelah melakukan ziarah. Barakah ini

berasal dari Tuhan, baik secara langsung maupun melalui perantaraan wali, yang

memberikan manfaat pada ketenangan jiwa. Selain itu, barakah, seperti halnya

pahala yang didapat ketika melakukan ibadah, akan bermanfaat pada hari

kiamat nanti. Sementara itu, “perolehan” adalah hasil yang didapat dari ziarah

yang bersifat duniawi, yaitu “sesuatu” yang dapat dimanfaatkan untuk mencari

kekayaan, menarik lawan jenis, sukses dalam berbisnis maupun sekolah, dan

semacamnya. Jadi bagi peziarah di Bayat, barakah bersifat suci dan mungkin

saja didapat tidak kasat mata, sedangkan perolehan bersifat duniawi. Tidak

seperti barakah, perolehan mempunyai sifat “panas” yang dapat membahayakan

manusia yang mencarinya. Jamhari, “The Meaning Interpreted: The Concept of

Barakah in Ziarah”, Studia Islamika, (Vol. 8, No. 1, 2001), 87. 42 Syam, Islam Pesisir, 158.

Page 143: Stratifikasi Sosial dan Agama

Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam Masyarakat Palembang

133

100 orang per hari. Tetapi jumlah tersebut akan meningkat jauh

pada saat hari libur. Apalagi sejak beberapa tahun terakhir ini,

ziarah (ziarah kubro) dijadikan program wisata oleh pemerintah

Palembang sehingga mengakibatkan membludaknya peziarah yang

datang ke makam ini.43

Kebanyakan peziarah yakin bahwa dengan berziarah ke

makam keramat, mereka akan mendapatkan berkah atau

keberuntungan sesuai yang dihajatkan. Pada dasarnya barakah

sering dimaksudkan sebagai sesuatu yang mendatangkan kebaikan.

Namun para peziarah tidak banyak yang peduli dengan definisi

normatif itu. Berkah lebih dimaksudkan sebagai berbagai

keinginan material peziarah yang diharapkan dapat terkabul

dengan cara berdoa di makam Kyai Marogan. Peneliti sempat

berbincang dengan IW (lk/38). Ia berziarah bersama anak dan

istrinya dari Banyuasin. IW adalah seorang pedagang keliling yang

mengungkapkan bahwa maksud dan tujuannya berziarah ke

makam Kyai Marogan adalah berharap mendapatkan berkah dari

Kyai Marogan. Menurut penuturannya, hasil dagangannya akhir-

akhir ini kurang menguntungkan. Ketika ditanya “apa maksud

berkahnya?” IW menjawab “Mudah-mudahan saja dengan

berziarah kesini, usaha saya lancar, dagangan saya habis terus”.44

Peziarah yang mengunjungi makam pada umumnya telah dilandasi

dengan niat dan tujuan yang didorong oleh kemauan batin yang

mantap. Masing-masing memiliki motivasi yang belum tentu

sama. Secara umum, motivasi ziarah ke makam Kyai Marogan ini

sesungguhnya hampir sama, yaitu seputar untuk mendapatkan

keselamatan, kesehatan, keberkahan, kesembuhan, ungkapan

syukur, kemudahan rezeki, jodoh, dan nasib baik. Namun

demikian, tidak sedikit ditemukan bahwa motivasi para peziarah

tidaklah tunggal, misalnya karena keinginan untuk sembuh saja,

tetapi biasanya termasuk keinginan banyak rezeki, keselamatan

dan lain sebagainya. Bila dirinci secara detail, tujuan/motif yang

beragam tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut:

43 Wawancara dengan IS, juru kunci makam Kyai Marogan pada tanggal

21 Agustus 2013. 44 Wawancara dengan IW, Rabu (21 Agustus 2013).

Page 144: Stratifikasi Sosial dan Agama

134 Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam

Masyarakat Palembang

Tabel 6. Motif dan Tujuan Peziarah NO MOTIF DAN TUJUAN

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

16.

17.

18.

19.

20.

21.

Meminta keselamatan dan kesehatan

Bayar nazar

Syukuran

Kelancaran rezeki, usaha, dan panen yang melimpah

Segera mendapatkan jodoh

Sebagai rutinitas

Minta kesembuhan

Mendapatkan berkah

Kagum terhadap sang tokoh

Agar anak pintar dan tidak nakal

Nyukur anak (slametan dengan menggunting rambut bayi dan

memberi nama si bayi)

Membeli benda yang dianggap sarat, seperti kembang gantung,

kemenyan, kembang keramas, gelang dan kalung untuk bayi, dan

lain sebagainya.

Ingin mendapatkan anak (laki-laki/perempuan)

Agar rumah tangga harmonis

Meminta restu karena akan melakukan perjalanan jauh

Mencari peruntungan

Supaya anak (bayi) tidak nangis terus

Ikut-ikutan / diajak keluarga/teman

Mengambil/mengembalikan batu kerikil makam

Ngeramas (mencuci) kendaraan (motor, mobil, truk, ketek, perahu,

tongkang) yang baru dibeli ataupun dikeramas karena baru saja

mengalami kecelakaan.

Meminta restu agar dapat menduduki posisi jabatan tertentu

Doa-doa yang dipanjatkan untuk mendapatkan berkah itu

sering dijelaskan dalam satu konsep mengenai tawassul atau

berdoa dengan perantara. Namun lagi-lagi para peziarah tidak

banyak yang peduli dengan konsep normatif ini, kecuali membaca

doa-doa tawassul secara praktis yang terangkum dalam bacaan

tahlil. Tapi terkadang kebanyakan peziarah hanya memanjatkan

doa mereka tanpa membaca tahlil. Para peziarah memahami

tawassul secara praktis, yakni berdoa di sisi makam Kyai

Marogan. Dengan berdoa di sisi makam Kyai Marogan yang

dinilai dekat dan mempunyai posisi terhormat di sisi Allah, para

peziarah berharap doa-doa mereka dikabulkan. Para peziarah

mendatangi makam sendiri-sendiri, bersama keluarga, atau

Page 145: Stratifikasi Sosial dan Agama

Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam Masyarakat Palembang

135

bersama para tetangga dengan menggunakan angkutan darat

(seperti becak, motor, mobil, atau angkot) maupun angkutan laut

(seperti kapal, speedboat, atau ketek-perahu kecil). YL (pr/34)

misalnya ia datang dengan menggunakan jasa ketek dari 16 Ilir

menuju Kertapati tempat makam Kyai Marogan yang melintasi

Sungai Musi menuju Sungai Ogan. Ia datang bersama anaknya.45

Terdapat beberapa klasifikasi motif peziarah yang

berziarah ke makam keramat Kyai Marogan. Pertama berkah

keselamatan. Bagi peziarah yang datang ke makam Kyai Marogan,

motif untuk mendapatkan keselamatan seringkali dilontarkan

kepada juru kunci. Kyai Merogan adalah ulama yang tinggal di

tepian Sungai Ogan, sehingga siapapun yang datang – khususnya

orang yang bekerja membawa kapal, baik kapal kecil (ketek)

maupun kapal besar (seperti tongkang) – mereka menganggap

seperti suatu keharusan tersendiri untuk meminta izin dari sang

Kyai agar ia selamat di sungai. Kyai Marogan dipercaya

masyarakat sebagai “pemilik” Sungai Ogan sehingga siapapun

yang berlayar di sungai Ogan, dipercaya harus berziarah dahulu ke

makam Kyai agar selamat. Namun, tak hanya pelayar di sungai

saja yang datang untuk mendapat berkat keselamatan. Ada juga

sopir truk yang datang untuk keramas (memandikan truknya) agar

ia selamat sampai tujuan. Atau ada juga yang mengharapkan

keselamatan dalam perjalanannya.46 Adapun, setelah mendapat

berkah keselamatan, peziarah melakukan syukuran dengan

berziarah.47

45 Wawancara dengan YL (pr/48) pada tanggal 21 Agustus 2013.

46 “Mamang nak bejalan jaoh bawa truk ni nak ke Jawo sano, jadi sebelum pegi truk ni dikeramaske dulu. Yo kato wong tu biar selamet la katek hambatannyo di perjalanan agek. Tau la dewek dek sekarang tu rawan nian. Minta berkat selametnyo samo Kyai ni”

(Paman akan melakukan perjalan jauh dengan truk ini ke daerah

Jawa, jadi sebelum pergi truk ini dikeramas dulu. Ya kata orang sih biar

selamat tidak ada hambatan di perjalanan nanti. Tau sendiri lah kalau

sekarang itu sangat rawan. Minta berkah selamatnya saja dari Kyai ini).

Wawancara dengan DN (lk, 42) pada tanggal 21 Agustus 2013. 47 “perahu aku ni ilang dipaleng wong di sungi musi, jadi aku

beniat kalu prahu ni balek, aku nak ke Kyai ni, nah dak taunyo sukur nian sekarang tu la dibalekke wong prahu tu”

Page 146: Stratifikasi Sosial dan Agama

136 Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam

Masyarakat Palembang

Kedua, berkah untuk menjadi keluarga yang sakinah dan

bahagia. Bagi peziarah yang telah membina rumah tangga,

umumnya mereka berziarah untuk berdoa mengharapkan

keberkahan di makam Kyai Marogan agar keluarganya

mendapatkan kebahagiaan. Keutuhan dan kebahagiaan dalam

perjalanan pernikahan sebuah keluarga menjadi motive in order dalam ziarah. Pernah ada seorang ibu yang datang karena sedang

mengalami masalah keluarga, ia sering bertengkar dengan

suaminya bahkan sang suami mau menceraikannya. Ia berziarah ke

makam Kyai Marogan agar permasalahan rumah tangganya

terselesaikan dengan baik dan meminta untuk didoakan agar hati

sang suami terbuka sehingga keluarganya bisa kembali harmonis.48

Ada juga yang datang untuk minta didoakan agar segera memiliki

anak dari rahim sendiri. Ia telah dua belas tahun menikah namun

belum juga memiliki anak meskipun ia telah mengadopsi anak

laki-laki, namun ia berharap untuk mendapatkan anak kandung. Ia

pun berziarah ke makam Kyai Marogan agar dipermudah untuk

mendapatkan anak sekaligus ia juga mendoakan anak angkatnya

yang nakal agar keluarganya menjadi keluarga yang sakinah.49

Ketiga, berkah untuk mendapatkan jodoh. Bagi perempuan

maaupun laki-laki yang telah menginjak usia matang, mereka

berharap agar segera mendapatkan jodoh atau pasangan hidup. Tak

hanya itu, orang tua yang memiliki anak yang berusia dewasa juga

berharap agar anaknya segera menemukan jodohnya. Menurut

keyakinan banyak orang, urusan jodoh adalah takdir yang telah

diatur oleh Allah. Oleh karena itu agar segera mendapatkan jodoh

banyak cara yang dilakukan sebagai bentuk ikhtiar. Berziarah ke

makam Kyai Marogan adalah salah satu cara yang dilakukan

peziarah yang menghendaki cepat mendapatkan pasangan dalam

hidupnya. Mereka berharap, dengan berziarah ke makam Kyai

(Perahu saya hilang dicuri orang di Sungai Musi, jadi saya

bernazar jika perahu ini kembali (ke tangan saya), saya mau (ziarah) ke

(makam) Kyai ini, saya bersyukur sekarang perahu ini kembali ke saya).

Wawancara dengan ST (pr/54) pada tanggal 23 Agustus 2013. 48 Wawancara dengan SK (pr/27) pada tanggal 21 Agustus 2013. 49 Wawancara dengan AT (pr/40) pada tanggal 23 Agustus 2013.

Page 147: Stratifikasi Sosial dan Agama

Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam Masyarakat Palembang

137

Marogan bisa memperoleh berkah dan kemudahan dalam

menemukan jodoh yang terbaik dan bisa membangun rumah

tangga yang sakinah. ZN (pr/36) misalnya adalah seorang peziarah

dari Plaju. Guru di sebuah sekolah swasta Palembang ini mengaku

berziarah ke makam Kyai Marogan untuk menyampaikan keluh

kesahnya karena hingga saat ini ia belum mendapatkan jodohnya.

Ia berharap, dengan berziarah ke makam Kyai Marogan, doanya

terkabul untuk segera mendapatkan jodoh. “Jodoh itu di tangan

Allah, siapa tahu dengan berziarah kesini doa saya semakin

dikabulkan sama Allah. Kan Kyai sudah dekat dengan Allah,

mudah-mudahan doa saya disampaikan oleh Kyai kepada Allah”,

katanya.50

Keempat, berkah agar hasil panen melimpah. Bagi petani

yang sedang berada dalam masa tanam, berziarah merupakan salah

satu cara memohon kepada Allah agar tanaman yang mereka

tanam nantinya menghasilkan panen yang melimpah. Mereka

biasanya membeli kemenyan dan kembang keramas untuk

diletakkan di petakan sawahnya. Setelah masa panen, biasanya

petani tersebut membawakan beras hasil panennya sebagai

ungkapan syukur karena telah diberi kemudahan ketika bercocok

tanam.51

Kelima, berkah agar usaha/dagangannya lancar. Banyak

pedagang yang berziarah ke makam Kyai Marogan untuk

memohon berkah agar usaha maju dan dagangannya laris. Mereka

meyakini bahwa berkah Kyai bisa memberikan dampak kemajuan

pada usaha dagangannya. Persaingan yang ketat dalm dunia

perdagangan menjadikan beberapa pedagang mencari cara lain

yang bersifat “spiritual” untuk dapat memajukan usahanya. HM

(lk/28), peziarah dari Lemabang-Palembang yang sehari-harinya

bekerja sebagai pedagang menganggap Kyai Marogan sebagai

sosok yang penuh dengan karismatik dan karomah. Ia kagum akan

sosok Kyai Marogan. “Kyai ini adalah orang yang pantas dikagumi

karena memiliki karomah yang luar biasa dari Allah”, katanya.

50 Wawancara dengan ZN (pr/36) pada tanggal 22 Agustus 2013. 51 Wawancara dengan YT (lk/72) pada tanggal 23 Agustus 2013.

Page 148: Stratifikasi Sosial dan Agama

138 Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam

Masyarakat Palembang

Ketika berziarah, ia membaca surat Yasin dan tahlil untuk

beliau.52

Keenam, berkah akan pekerjaan. Motif sebagian pelaku

ziarah adalah meminta berkah agar pekerjaannya dimudahkan dan

bagi yang belum bekera, mereka biasanya meminta berkah agar

mendapatkan pekerjaan. Kunjungan peziarah yang meohon berkah

pekerjaan ini akan meningkat ketika musim kelulusan sekolah atau

setelah wisuda sebuah universitas, bahkan ketika musim

pembukaan lowongan CPNS, peziarah yang datang pun semakin

banyak. Harapan untuk mendapatkan pekerjaan menyebabkan

orang-orang berziarah sebagai salah satu bentuk ikhtiar mereka

agar mendapatkan pekerjaan yang berkah. Tak hanya mendapatkan

pekerjaan, peziarah yang datang pun bahkan sudah memiliki

pekerjaan dan berharap mendapatkan berkah agar memiliki jabatan

di instansinya. Selain itu juga, pada saat gencar-gencarnya pemilu

legislatif, banyak calon anggota legislatif yang berziarah untuk

meminta berkah agar terpilih menjadi wakil rakyat.

Jika dijabarkan satu persatu motif peziarah yang datang ke

makam Kyai Marogan sangatlah banyak. Hal ini dikarenakan

setiap peziarah yang datang memiliki motif-motif tersendiri. Hal

ini diakui oleh juru kunci makam Kyai Marogan. Menurutnya,

orang-orang yang berziarah ke makam Kyai Marogan memiliki

latar belakang yang berbeda-beda, ada pengusaha, pedagang,

petani, pengemudi perahu, sopir, ibu rumah tangga, PNS, anggota

DPRD, ustaz/pekerja sosial keagamaan, buruh, dan lain

sebagainya. Masing-masing memiliki tujuan sendiri-sendiri, sesuai

dengan kebutuhannya. Jika pedagang atau pengusaha, mereka

umumnya minta didoakan agar usahanya lancardan maju. Petani

minta didoakan agar bisa menghasilkan panen yang melimpah.

Seorang ibu meminta untuk kesembuhan anaknya, dan lain

sebagainya. Mereka percaya bahwa berziarah ke makam Kyai

Marogan adalah cara yang dianggap tepat untuk menyampaikan

hajat karena Kyai Marogan adalah mediator doa kepada Allah

52 Wawancara dengan HM, Kamis (22 Agustus 2013).

Page 149: Stratifikasi Sosial dan Agama

Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam Masyarakat Palembang

139

SWT. Paling tidak, cara ini bisa membuat hati mereka lebih

tenang.53

Ziarah ke makam Kyai Marogan (tokoh yang dianggap

suci) didasari oleh motif-motif yang lahir dari dalam diri para

peziarah, baik yang bersifat kolektif, yakni motif tradisi ataupun

motif yang bersifat personal yang sifatnya sangat beragama karena

latar belakang dan orientasi peziarah yang berbeda-beda. Untuk

motif kolektif, ziarah cenderung dilakukan bersama anggota

keluarga, teman-teman atau para tetangga. Ada pendapat bahwa

permohonan-permohonan akan lebih mudah terkabul apabila

disampaikan secara kolektif, dan berkah yang akan diperoleh juga

lebih besar. Mengantar seseorang berziarah berarti memberikan

dukungan baik fisik maupun moral kepada orang yang

bersangkutan. Sekalipun dilakukan secara perorangan, ziarah tetap

merupakan suatu tindakan yang bersifat sosial. Namun sifat

sementara dari hubungan antar pengunjung itu bukanlah kendala

bagi adanya intensitas yang tinggi dalam komunikasi dan

kesungguhan dalam ucapan-ucapan. Para peziarah secara sosial

diketahui identitasnya, dipahami keprihatinannya, dan

terungkapkan keinginannya. Baik datang seorang diri maupun

dalam kelompok, ketika pulang para pengunjung diliputi perasaan

bahwa mereka adalah bagian dari suatu komunitas. Maka ziarah

merupakan suatu kesempatan untuk mengalami perasaan

kebersamaan kolektif dan menghidupkan kembali hubungan

keakraban yang sulit dipertahankan di tengah kehidupan modern.

Ziarah mengaitkan individu pada suatu kelompok spiritual.

Meskipun praktik ziarah tampaknya memainkan peran perekat

sosial dan memperbanyak kesempatan menghidupkan kembali rasa

kebersamaan kolektif, hal itu hanya dimungkinkan oleh adanya

ruang dan waktu yang secara fungsional masih memungkinkan

modus pertukaran kolektif, baik ekonomis sosial maupun simbolis

di tengah masyarakat.54

53 Wawancara dengan IS juru kunci makam Kyai Marogan pada tanggal

21 Agustus 2013. 54 Loir dan Guillot (ed), Ziarah dan Wali di Dunia Islam, 6.

Page 150: Stratifikasi Sosial dan Agama

140 Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam

Masyarakat Palembang

Keseluruhan dari motif-motif peziarah ini umumnya

berangkat dari sistem kepercayaan yang meyakini jika makam

orang suci itu bersifat sakral dan bisa menjadi media tawassul mereka untuk menyampaikan doa dan hajatnya. Orang-orang yang

dianggap suci ini adalah mediator yang bisa menghubungkan

dalam relasinya kepada Allah. Kebiasaan untuk memohon bantuan

kepada wali tidak dapat begitu saja dicari penyebabnya pada

ketidakmampuan golongan-golongan tertentu masyarakat untuk

mencapai rasionalitas, ataupun pada kecenderungan untuk

menyukai kejadian-kejadian luar biasa, yang menandakan suatu

pola berpikir yang bertumpu pada kekuatan magis. Kebiasaan itu

tidak juga dapat dikatakan sebagai sekedar suatu strategi untuk

melepaskan diri dari masalah-masalah kehidupan sehari-hari di

kalangan masyarakat yang putus asa dan tertindas itu, yang

berupaya menyalurkan hasrat dan keinginan yang tak terpenuhi

melalui hubungan dengan sesuatu yang disakralkan.

D. Masyarakat dan Enkulturasi Tradisi Ziarah

Geertz menyebutkan bahwa agama merupakan bagian dari

sistem kebudayaan, dalam arti agama merupakan pedoman yang

dijadikan sebagai kerangka interpretasi tindakan manusia.55

Selaras dengan hal tersebut Geertz juga mengungkapkan bahwa

agama adalah suatu sistem simbol yang berfungsi untuk

mengukuhkan suasana hati dan motivasi yang kuat dan mendalam

pada diri manusia dengan memformulasikan konsepsi tentang

tatanan umum eksistensi dan membungkus konsepsi itu dengan

aura aktualitas yang bagi perasaan dan motivasi tampak realistis.56

Sistem simbol di dalam agama merupakan bentuk simbol

suci57 yang biasanya terinternalisasi di dalam tradisi masyarakat

55 Geertz, The Interpretation of Culture, 87-125. 56 Geertz, The Interpretation of Culture, 90. 57 Menurut Nur Syam, yang suci atau sakral adalah sesuatu yang berbeda

dengan yang profan. Yang sakral itu mencakup keyakinan, mitos, dogma dan

legenda-legenda yang mengekspresikan representasi atau sistem representasi di

mana hakikat yang sakral itu terdapat dan kekuatan-kekuatan yang

dilambangkandan saling hubungannya dengan lainnya dan dunia profan. Akan

tetapi untuk memahami yang sakral tersebut tidak sederhana, sebab banyak

Page 151: Stratifikasi Sosial dan Agama

Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam Masyarakat Palembang

141

yang disebut sebagai tradisi keagamaan. Yang dimaksud dengan

tradisi keagamaan ialah kumpulan atau hasil perkembangan

sepanjang sejarah: ada unsur baru yang masuk, ada yang

ditinggalkan juga.58 Hampir sama dengan pendapat Steenbrink –

yang mengedepankan dimensi historis- maka menurut konsepsi

Fazzlurrahman bahwa tradisi Islam bisa terdiri dari elemen yang

tidak Islami dan tidak didapatkan dasarnya di dalam al-Qur’an dan

Sunnah. Jadi, perlu dibedakan antara Islam itu sendiri dengan

sejarah Islam yang termuat di dalam teks al-Qur’an dan al-Hadith

adalah ajaran yang merupakan sumber asasi, dan ketika sumber itu

digunakan atau diamalkan di suatu wilayah – sebagai pedoman

kehidupan – maka bersamaan dengan itu, tradisi setempat bisa saja

mewarnai penafsiran masyarakat lokalnya. Karena penafsiran itu

bersentuhan dengan teks suci, maka simbol yang diwujudkannya

juga merupakan sesuatu yang sakral.59

Setiap tradisi keagamaan60 memuat simbol-simbol suci

yang dengannya orang melakukan serangkaian tindakan untuk

menumpahkan keyakinan dalam bentuk ritual, penghormatan, dan

penghambaan. Menurut Beatty, sebuah tradisi terdiri dari makna-

makna yang berbeda-beda adalah persoalan perbedaan interpretasi.

Makna suatu simbol tergantung pada tingkat strategi apa

benda-benda profan yaang diatribusikan dengan kesakralan, misalnya batu,

gunung, pohon dan sebagainya yang dianggap memiliki spirit atau bahkan

dinyatakan sebagai Tuhan. Lebih lanjut lihat Emile Durkheim, The Elementary Form of Religious Life (London: George Allen and Unwin, Ltd., 1976), 37.

Menurut Mircea Eliade, yang profan adalah wilayah urusan setiap hari, hal-hal

yang biasa, tak disengaja dan pada umumnya tidak penting, yang sakral ialah

sebaliknya, wilayah supernatural, hal-hal yang luar biasa, mengesankan dan

penting. Periksa Daniele L.Pals, Seven Theories of Religion (Jakarta: Qalam,

2001), 275. 58 Karel Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad

ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang, 2000), 42. 59 Syam, Islam Pesisir, 17. 60 Menurut Nur Syam, tradisi keagamaan yang bersumber dari ajaran

agama disebut Islam offisial atau Islam Murni, sedangkan yang dianggap tidak

memiliki sumber asasi di dalam ajaran agama disebut sebagai Islam Popular

atau Islam Rakyat. Syam, Islam Pesisir, 17.

Page 152: Stratifikasi Sosial dan Agama

142 Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam

Masyarakat Palembang

seseorang menggunakannya dalam pembicaraan.61 Salah satu

contoh ialah melakukan upacara lingkaran hidup dan upacara

intensifikasi, baik yang memiliki sumber asasi di dalam ajaran

agama atau yang dianggap tidak memiliki sumber asasi di dalam

ajaran agama.

Tradisi lahir sebagai akibat dari dinamika yang

berkembang di suatu komunitas atau lingkungan masyarakat

tertentu. Tradisi merupakan identitas dan ciri khas suatu

komunitas yang terdiri dari perilaku, kebiasaan, atau khazanah

yang dijumpai secara turun temurun dan merupakan warisan dari

para pendahulu. Menurut Shils, tradisi berarti segala sesuatu yang

disalurkan atau diwariskan dari masa lalu ke masa kini. Dalam

pengertian yang lebih sempit ini tradisi hanya berarti bagian-

bagian warisan sosial khusus yang memenuhi syarat saja yakni

yang tetap bertahan hidup di masa kini, yang masih kuat ikatannya

dengan kehidupan masa kini. Dilihat dari aspek benda material

yang menunjukkan dan mengingatkan kaitan khususnya dengan

kehidupan masa lalu adalah bangunan istana, tembok kota abad

pertengahan, candi, puing kuno, kereta kencana serta sejumlah

benda peninggalan lainnya, jelas termasuk ke dalam pengertian

tradisi. Dilihat dari aspek gagasan (termasuk keyakinan,

kepercayaan, simbol, norma, nilai, aturan dan ideologi) haruslah

yang benar-benar memengaruhi pikiran dan perilaku dan yang

melukiskan makna khusus atau legitimasi masa lalunya. Gagasan

kuno mengenai demokrasi, keadilan, teknik pedukunan dan resep

masakan kuno merupakan contoh tradisi pertama yang muncul

dalam pikiran. Termasuk pula benda atau gagasan baru yang

diyakini berasal dari masa lalu dan yang diperlakukan secara

khidmat. 62

Dalam hal ini makam merupakan tradisi yang dilihat dari

aspek benda material yang menunjukkan dan mengingatkan kaitan

khususnya dengan kehidupan masa lalu. Makam sebagai simbol

keagamaan, khususnya Islam, menjadikannya sebagai bagian

tradisi keagamaan (Islam). Dilihat dari aspek gagasan, keyakinan,

61 Beatty, Variasi Agama di Jawa, 60. 62 Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, 66- 70.

Page 153: Stratifikasi Sosial dan Agama

Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam Masyarakat Palembang

143

dan kepercayaan, berziarah ke makam keramat memiliki makna

tersendiri bagi para peziarah. Mereka menginterpretasikan makna

ziarah melalui motif-motif tertentu sehingga ketika motif tersebut

terwujud dalam suatu realitas sosial maka mereka akan

melegitimasi ziarah sebagai bentuk aktivitas. Makam sebg\agai

simbol ini terlegitimasi dalam masyarakat sehingga masyarakat

membentuk suatu pola tindakan tertentu ketika melakukan

aktivitas ziarah, khususnya ketika berziarah ke makam yang

dianggap keramat.

Menurut Giddens,63 penyebaran tradisi melalui lisan jauh

lebih terbatas ketimbang melalui tulisan. Meskipun penyebaran

tradisi melalui lisan digunakan manusia untuk mengobjektivasikan

pengalaman-pengalamannya kepada yang lain, namun selain

sangat terbatas cakupan penerimanya, juga terbatas jangka

waktunya. Masyarakat Palembang yang mengganggap makam

Kyai Marogan sebagai makam yang penuh dengan karomah karena

historisitas karomah atau kemampuan Kyai Marogan yang berada

di luar batas kemampuan manusia biasa. Cerita mengenai karomah

Kyai Marogan ini pun mulai menyebar setelah beliau meninggal

dan makamnya pun menjadi sasaran peziarah untuk dikunjungi.

Masyarakat Palembang yang senang mengembangkan cerita

tentang karomah merupakan faktor penting dalam mengangkat

makam Kyai Marogan sebagai makam yang keramat dan membuat

para peziarah ke makamnya terus mengalir. Peziarah yang datang

berkunjung pun tak hanya berasal dari wilayah sekitar makam,

terdapat banyak peziarah luar daerah yang datang berkunjung,

khususnya masyarakat yang berasal dari daerah pedesaan yang ada

di Sumatera Selatan.

Menurut Piotr, masa lalu memasuki masa kini melalui rute

ideal (psikologis) dan material.64 Melalui mekanisme ideal

63 Anthony Giddens, Central Problems in Social Theory, (London:

Macmillan, 1979), 204. 64 Dapat dikatakan, “keberadaan di masa kini” mengandung dua arti:

objektif bila objek dari masa lalu secara material dilestarikan, dan subjektif bila

gagasan dari masa llau diingat dan tertanam dalam kesadaran anggota

masyarakat sehingga menjadi bagian kultur. Piotr, 67

Page 154: Stratifikasi Sosial dan Agama

144 Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam

Masyarakat Palembang

(psikologis) orang mewarisi keyakinan, pengetahuan, simbol,

norma, dan nilai masa lalu. Kesemua warisan ini dipelihara,

ditafsirkan digunakan, dan diwariskan melalui berbagai agen

seperti keluarga, masjid, sekolah, media massa, dan lain

sebagainya. Mekanisme pewarisan benda material dan gagasan

dari masa lalu saling berinteraksi. Artefak di sekitar yang berasal

dari masa lalu mengaitkan ingatan pada masyarakat terdahulu.

Yang penting dalam memahami tradisi adalah sikap atau orientasi

pikiran tentang benda material atau gagasan yang berasal dari

masa lalu yang dipungut orang di masa kini. Sikap atau orientasi

ini menempati bagian khusus dari keseluruhan warisan historis dan

mengangkatnya menjadi tradisi. Arti penting penghormatan atau

penerimaan sesuatu yang secara sosial ditetapkan sebagai tradisi

menjelaskan betapa menariknya fenomena tradisi itu.

Ziarah menjadi bagian dari aktivitas keagamaan yang

dianggap penting oleh sebagian besar umat Islam di berbagai

belahan dunia Islam.65 Meskipun ritual ini hanya disunnahkan,

atau tidak menjadi suatu keharusan, namun bagi sebagaian

kalangan umat Islam, ziarah menjadi pilihan ritual yang sangat

penting dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT,

khususnya ziarah ke makam ulama yang dianggap sebagai “orang

suci dan pilihan”.

Ziarah ke makam bagi masyarakat Indonesia telah menjadi

tradisi dengan beragam motivasi. Selain untuk meminta berkah

hidup, peziarah juga dapat menyaksikan warisan budaya, baik

yang kasat mata (tangible heritage) maupun yang tidak kasat mata

(intangible heritage).66 Tradisi ziarah terutama dilakukan terhadap

leluhur, orang tua atau anggota keluarga yang dicintai. Maksud

ziarah adalah untuk mengenang kebesaran Tuhan, dan

menyampaikan doa agar arwah ahli kubur diterima di sisi Allah.

65 Lebih lanjut bisa dilihat dalam buku yang dikumpulkan oleh Henri

Chambert-Loir dan Claude Guillot, Ziarah dan Wali di Dunia Islam. Buku ini

menjelaskan mengenai tradisi ziarah di belahan dunia Islam, seperti di negara

Timur Tengah, Mesir, Sudan, kawasan Magribi, Afrika Barat, Iran, India, Turki,

Tiongkok, termasuk Indonesia. 66 Dawson Munjeri, “Tangible and Intangible Heritage”, Museum

International (2004), 56, 1-2, pp. 221-222.

Page 155: Stratifikasi Sosial dan Agama

Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam Masyarakat Palembang

145

Dal hal ini ziarah adalah perbuatan sunnah, artinya jika dilakukan

mendapat pahala dan kalau ditinggalkan tidak berdosa. Ziarah

dalam arti umum di Indonesia berupa kunjungan ke makam,

masjid, relik-relik tokoh agama, raja dan keluarganya, dan

terutama ke makam para wali penyebar agama Islam.

Tradisi ziarah kubur erat hubungannya dengan karisma

leluhur yang makamnya banyak dikunjungi orang. Karisma leluhur

ini dapat pula diwujudkan dengan bentuk dan hiasan bangunan

makam yang beraneka ragam, sesuai dengan tradisi seni bangun

yang dikuasai atau yang disukai. Karisma para tokoh agama yang

berkarisma begitu melekat di hati masyarakat sampai sekarang.\,

sehingga banyak di antaranya yang berkunjung dan mengadakan

ziarah ke makam-makam tersebut. Sebagai dampak dari adanya

dan berkembangnya budaya ziarah ke makam, pemerintah maupun

swasta merespons positif dengan mengembangkan tempat ziarah

sebagai obyek wisata ziarah, dengan cara pengelolaan sedemikian

rupa sehingga para peziarah dapat melaksanakan aktivitas

ziarahnya dengan nyaman dan aman.

Tradisi ziarah terenkulturasi dengan baik di dalam

masyarakat. Istilah enkulturasi (dalam bahasa Inggris digunakan

istilah institutionalization)67 sebagai suatu konsep, secara harfiah

dapat dipadankan artinya dengan proses pembudayaan.68 Menurut

M.J. Herskovits,69 enkulturasi (enculturation) adalah suatu proses

bagi seorang baik secara sadar maupun tidak sadar mempelajari

seluruh kebudayaan masyarakat. Enkulturasi ini merupakan suatu

proses sosial melalui mana manusia sebagai makhluk yang

bernalar, punya daya refleksi dan intelegensia, belajar memahami

67 Menurut Koentjaraningrat, dalam bahasa Indonesia sekarang istilah

institualization sering diterjemahkan dengan “pelembagaan”. Hal itu salah,

karena “lembaga” adalah istilah Indonesia untuk institute” dan bukan untuk

institution, yang mempunyai arti yang lain sama sekali. Istilah Indonesia untuk

institution adalah pranata. Koentjaraningrat, Antropologi, 189. 68 Koentjaraningrat, Antropologi, 233. 69 M.J. Herskovits, Man and His Work, 39, dikutip dalam Herbert

Alphonso and Robert Faricy, Priest as Leader: The Process of the Inculturation of a Spiritual-Theological Theme of Priesthood in a United States Context, (Rome: Gregorian University Press, 1997), 29.

Page 156: Stratifikasi Sosial dan Agama

146 Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam

Masyarakat Palembang

dan mengadaptasi pola pikir, pengetahuan, dan kebudayaan

sekelompok manusia lain.70

Berkaitan dengan enkulturasi, Talcott Parsons dalam teori

tindakan sosialnya merumuskan suatu konsep kebudayaan sebagai

tindakan manusia yang berpola, yang disebut sebagai Kerangka

Teori Tindakan (Frame of Reference of the Theory of Action). Di

dalamnya terkandung konsepsi bahwa dalam hal menganalisis

suatu kebudayaan dalam keseluruhan perlu dibedakan secara tajam

antara empat komponen, yaitu: (1) sistem budaya;71 (2) sistem

sosial;72 (3) sistem kepribadian;73 dan (4) sistem organisme74.

70 Definisi sederhananya “enculutration refers to the process of learning a

culture consisting in socially distribute and shared knowledge manifested in those perceptions, understandings, feeling intentions, and orientations that inform and shape the imagination and pragmatics of social life” . Peter Poole,

“Socialisation, Enculturation and the Development of Personal Identity”, In

Tim Ingold (ed). Companion Encyclopedia of Anthropology: Humanity, Culture and Social Life. Pp. 831-860. London and New York: Routledge.

71 Sistem budaya (cultural system) merupakan komponen yang abstrak

dari kebudayaan dan terdiri dari pikiran-pikiran, gagasan-gagasan, konsep-

konsep, tema-tema berpikir, dan keyakinan-keyakinan. Fungsi dari budaya

adalah menata dan memantapkan tindakan-tindakan serta tingkah laku

masyarakat. 72 Sistem sosial (social system) merupakan aktivitas manusia atau

tindakan-tindakan dan tingkah laku berinteraksi antarindividu dalam kehidupan

masyarakat.Sistem sosial bersifat lebih konkret dan nyata daripada sistem

budaya, dalam arti bahwa tindakan manusia itu dapat dilihat dan diobservasi.

Interaksi manusia itu di satu pihak ditata dan diatur oleh sistem budaya, tetapi

di p\ihak lain dibudayakan menjadi pranata oleh nilai dan norma tersebut. 73 Sistem kepribadian (personality system) mengenai isi jiwa dan watak

individu yang berinteraksi sebagai warga masyaarakat. Kepribadian individu

dalam suatu masyarakt, walaupun berbeda-beda satu sama lain, namun juga

distimulais dan dipengaruhi oleh nilai dan norma dalam sistem budaya, serta

oleh pola-pola bertindak dalam sistem sosial yang telah diinternalisasinya

melalui sosialisasi dan enkulturasi selama hidup sejak masa kecilnya. Dengan

demikian sistem kepribadian ini berfungsi sebagai motivasi dari tindakan

sosialnya. 74 Sistem organik (organic system) melengkapi seluruh kerangka dengan

mengikutsertakan ke dalamnya proses biologis dalam organisme manusia

sebagai makhluk alamiah. Hal ini juga ikut menentukan kepribadian individu,

pola-pola tindakan manusia, dan bahkan juga gagasan-gagasan yang dicetuskan

Page 157: Stratifikasi Sosial dan Agama

Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam Masyarakat Palembang

147

Keempat komponen tersebut, walaupun berkaitan satu dengan

yang lain, tetapi merupakan entitas yang khusus, masing-masing

dengan sifat-sifatnya sendiri. Berikut bagan yang menggambarkan

kerangka teori tindakan sosial.

Bagan 3. Kerangka Teori Tindakan

(Frame of Reference of The Theory of Action) KEBUDAYAAN

DALAM ARTI

LUAS

KOMPONEN WUJUD FUNGSI PROSES

BELAJAR

Kebudayaan

Masyarakat

Sistem Budaya

(Culture System)

Sistem Sosial

(Social

System)

Sistem

Kepribadian

(Personality System)

Sistem

Organik

(Organic

System)

Gagasan

Konsep

Aturan

Tindakan

antarindivi

du yang

berpola

Tindakan

pribadi

Organisme

Manusia

Menata

Memantapkan

Interaksi

antarindividu

Memenuhi

hasrat dan

motivasi

Adaptasi

terhadap

lingkungan

Pembudayaan

(Enkulturasi)

Sosialisasi

Internalisasi

Proses belajar seorang individu dalam suatu masyarakat

bermula dari cara individu tersebut beradaptasi terhadap

lingkungannya. Individu ini belajar menanamkan dalam

kepribadiannya segala perasaan, hasrat, nafsu, dan emosi yang

diperlukan sepanjang hidupnya. Proses belajar selanjutnya adalah

sosialisasi di mana individu melakukan interaksi terhadap individu

karena manusia secara alamiah menghadapi adaptasi terhadap lingkungan

sekitarnya.

Page 158: Stratifikasi Sosial dan Agama

148 Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam

Masyarakat Palembang

lain di lingkungan sosialnya (masyarakat) untuk belajar mengenai

pola-pola tindakan dalam interaksi dengan segala macam individu

sekelilingnya yang menduduki beraneka macam peranan sosial

yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian individu ini pun

melakukan penyesuaian sikapnya terhadap nilai dan norma yang

ada dalam kehidupan kebudayaan dalam suatu masyarakat.

Enkulturasi merupakan proses seorang individu

mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya

dengan adat, sistem norma, dan peraturan yang hidup dalam

kebudayaannya. Proses ini juga disebut pembudayaan yang sudah

dimulai sejak kecil dalam alam pikiran warga suatu masyarakat;

mula-mula dari orang-orang di dalam lingkungan keluarganya

hingga ke lingkungan sosial. Terdapat beberapa penggolongan

enkulturasi atau institusionalisasi berdasarkan atas fungsi dan

pranata-pranata untuk memenuhi keperluan-keperluan hidup

manusia sebagai masyarakat, salah satunya adalah religious institutions yang berfungsi memenuhi keperluan manusia untuk

berhubungan dengan dan berbakti kepada Tuhan atau dengan alam

gaib, seperti doa, kenduri, penyiaran agama, ilmu gaib, dan lain

sebagainya.75 Ziarah merupakan salah satu bentuk religious institutions. Sebagai suatu proses enkulturasi, ziarah awalnya

merupakan suatu kunjungan biasa yang berubah menjadi suatu

tradisi atau kebiasaan. Tradisi ini diselimuti oleh motif para

pelaku ziarah yang menginginkan niatnya tersebut “terkabul” atau

terwujud. Ketika hal itu terwujud maka masyarakat lain akan

mulai melakukan suatu imitasi (peniruan) mulai dari niat hingga

tindakannya. Seringkali seorang individu dalam suatu masyarakat

belajar dengan meniru berbagai macam tindakan, setelah perasaan

dan nilai budaya pemberi motivasi akan tindakan meniru maka

tindakannya menjadi suatu pola yang mantap, dan norma yang

mengatur tindakannya “dibudayakan”. Kadang-kadang berbagai

norma juga dipelajari seorang individu secara sebagian-sebagian.

Caranya dengan mendengar berbagai orang dalam lingkungan

75 S.F Nadel dalam Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, 136.

Page 159: Stratifikasi Sosial dan Agama

Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam Masyarakat Palembang

149

sosialnya pada saat-saat yang berbeda-beda, menyinggung atau

membicarakan norma tadi.76

Enkulturasi mengacu pada proses dengan mana kultur

(budaya) ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Seperti yang dilakukan oleh seorang peziarah SW (lk/65) yang

berziarah bersama keluarga besarnya, ia berasal dari luar Kota

Palembang, dusun Tanjung Rajo, mereka menyewa 1 mobil angkot

yang diisi sekitar 16 orang (pria, wanita, anak-anak dan dewasa).

Mereka masuk ke makam Kyai sambil membawa sesaji yang

berisikan ketan kunyit panggang ayam dan nasi gemuk untuk

diberikan kepada juru kunci. Juru kunci mengambil setengah dari

makanan-makanan tersebut untuk kemudian dikembalikan lagi

kepada peziarah tersebut untuk dimakan oleh mereka sebagai

berkah dari kunjungan mereka ke makam Kyai Marogan. SW

sudah sangat rutin berziarah ke makam Kyai Marogan ini,

terkadang ia sendiri dan terkadang mengajak keluarganya.

Berbagai hajat telah ia sampaikan di depan makam Kyai dan

kemudian menyuruh anak cucunya untuk melakukan hal yang

sama dengan apa yang telah ia lakukan. Hal ini menunjukkan

adanya transmisi enkulturasi ziarah dari satu generasi ke generasi

berikutnya. SW mentransmisikan nilai-nilai ziarah kepada anak

cucunya sehingga nantinya anak cucunya tersebut tetap

melestarikan tradisi ziarah ini. 77 Berdasarkan hal tersebut tampak

bahwa proses enkulturasi merupakan proses pembudayaan yang

tanpa disadari sudah ditanamkan sejak kecil terhadap individu.

Pada tahapan selanjutnya si individu tersebut melakukan peniruan

dan membudayakannya melalui berbagai macam tindakan di mana

tindakan tersebut telah diselubungi dengan perasaan dan nilai

budaya yang memberi motivasi akan tindakan meniru yang telah

terinternalisasi dalam kepribadiannya.

Berkaitan dengan enkulturasi yang berkembang menjadi

suatu tradisi, termasuk tradisi ziarah, dalam teori konstruksi sosial

yang diungkap Peter L Berger dalam bukunya The Social Construction of Reality, tradisi dimulai dengan proses

76 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, 189 77 Wawancara dengan SW, 21 Agustus 2013

Page 160: Stratifikasi Sosial dan Agama

150 Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam

Masyarakat Palembang

eksternalisasi atau pencurahan kedirian orang-perorang secara

terus menerus ke dalam dunia, baik dalam aktivitas fisik maupun

mental. Selanjutnya eksternalisasi ini dilakukan berulang-ulang

atau mengalami proses habitualisasi sehingga terlihat polanya dan

dipahami bersama. Habitualisasi yang telah berlangsung inilah

yang kemudian memunculkan pengendapan yang disebut sebagai

tradisi.78

Tradisi dikonstruksikan oleh Berger sebagai suatu dialektik

yang di dalamnya terdapat tiga momen, yaitu eksternalisasi,

objektivasi, dan internalisasi. Eksternalisasi merupakan momen

pencurahan diri manusia secara terus menerus ke dalam dunia yang

ditempatinya, baik dalam aktivitas fisik maupun mental.79 Ritual

ziarah, disamping dilakukan oleh para peziarah melalui proses

menyesuaikan diri dengan teks-teks normatif80, dasar

legitimasinya juga diperoleh melalui proses penyesuaian diri

terhadap nilai-nilai lama yang tertanam di dalam tradisi

masyarakat.

78 Peter L. Berger and Thomas Luckmann, The Social Construction of

Reality, 70. 79 “Externalization is the ongoing outpouring of human being into the

world, both ini the physical and the mental activity of men.” Peter L. Berger,

The Social Reality of Religion, 14. 80 Pada permulaan Islam, syari’at telah melarang untuk melakukan ziarah

kubur, karena pada masa itu manusia baru saja terlepas dari peribadatan kepada

berhala. Kemudian hukum tersebut dihapus berdasarkan sabda

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam :“Dahulu aku melarang kalian untuk berziarah kubur. Maka sekarang berziarahlah kalian, karena sesungguhnya hal itu mengingatkan kalian akan hari akhirat”. [HR. Muslim (977), Abu Dawud

(3235), Tirmidzi (1054), Nasaai (4/89), Ahmad (5/356) dan selain mereka dari

hadits Buraidah]. http://supriyanto2koma.wordpress.com/tag/hadist-tentang-

ziarah-kubur/

Page 161: Stratifikasi Sosial dan Agama

Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam Masyarakat Palembang

151

Tabel 7. Dialektika Tradisi Ziarah MOMEN DEFINISI FENOMENA

Eksternalisasi Pencurahan diri

manusia secara

terus menerus ke

dalam dunia yang

ditempatinya,

baik dalam

aktivitas fisik

maupun mental

Para peziarah berkunjung ke makam

Kyai Marogan untuk berdoa dan

bertawassul atau sekedar membayar

niatnya. Mereka memiliki pilihan doa

sendiri-sendiri dengan motif/niat yang

berbeda-beda. Mereka menyesuaikan

tindakan mereka di makam dengan

teks-teks normatif yang bersumber

dari al-Qur’an atau hadist, bahkan

dengan tradisi yang telah/memang

terbentuk sebelumnya.

Objektivasi Produk dari

berbagai

aktivitas-aktivitas

tersebut telah

membentuk suatu

fakta yang

bersifat eksternal

dan lain dari

prosedur itu

sendiri

Aktivitas ziarah di makam Kyai

Marogan dipahami bersama sebagai

ritual yang mempunyai sebuah makna

penting di dalamnya. Para peziarah

bersama-sama datang ke makam Kyai

Marogan didasarkan bahwa Kyai

Marogan adalah sosok ulama yang bia

menjadi panutan dan sosok wali yang

krtika diziarahi dan didoakan bisa

mendatangkan berkah. Ziarah di

makam Kyai Marogan tersebut

dipahami oleh para peziarah sebagai

suatu kenyataan objektif atau sebagai

sesuatu yang begitulah adanya,

seakan-akan terpisah dari keinginan-

keinginan individual peziarah.

Internalisasi Penyerapan

kembali realitas

tersebut oleh

manusia dan

mentransformasik

annya sekali lagi

dari struktur-

struktur dunia

objektif ke dalam

struktur

kesadaran

subjektif.

Beralihnya kenyataan objektif yang

ada di seputar makam Kyai Marogan

ke dalam kenyataan subjektif para

peziarah. Para peziarah melakukan

pemaknaan sendiri-sendirimengenai

kenyataan objektif yang mereka hayati

di makam tersebut dan disesuaikan

dengan kesadaran subjektifnya dan

keinginan-keinginannya. Mereka juga

memproduksi pengalaman-pengalaman

sendiri yang disesuaikan dengan

format pengalaman umum para

peziarah lainnya.

Page 162: Stratifikasi Sosial dan Agama

152 Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam

Masyarakat Palembang

Peter L. Berger dalam teori konstruksi sosialnya

merumuskan suatu konsep dialektik, yaitu eksternalisasi,

objektivasi dan internalisasi. Konstruksi sosial, menurut Berger,

berlangsung secara dialektik dalam tiga momen tersebut. Pertama

adalah bahwa manusia membentuk sebuah masyarakat. Kedua

adalah kebalikannya bahwa masyarakatlah yang membentuk

manusia. Ketiga merupakan penyempurnaan dari kedua proposisi

tersebut adalah bahwa manusia membentuk masyarakat sekaligus

masyarakat membentuk manusia.81

Dalam moment eksternalisasi, realitas sosial itu ditarik ke

luar diri individu. Di dalam moment ini, realitas sosial berupa

proses adaptasi dengan teks-teks suci (bisa berupa al-Qur’an, al-

Hadits, kesepakatan ulama, hukum, norma, nilai, dan sebagainya)

yang hal itu berada di luar diri manuisa, sehingga dalam proses

konstruksi sosial melibatkan momen adaptasi diri atau

diadaptasikan antara teks tersebut dengan dunia sosio-kultural.

Adaptasi tersebut dalat melalui lisan, tindakan dan pentradisian

yang disebut sebagai enkulturasi. Karena adaptasi merupakan

proses penyesuaian berdasar atas penafsiran, maka sangat

dimungkinkan terjadinya variasi-variasi adaptasi dan hasil

adaptasi atau tindakan pada masing-masing individu.

Pada moment objektivasi, ada proses pembedaan dua

realitas sosial, yaitu realitas diri individu dan realitas sosial lain

yang berada di luarnya, sehingga realitas sosial itu menjadi sesuatu

yang objektif. Sebagai momen interaksi dengan dunia sosio-

kultural, maka di dalamnya melibatkan tarik-menarik anar agen

seperti tokoh agama, masyarakat, politisi, pemuda, wanita, dan

lain sebagainya. Dalam proses konstruksi sosial, momen ini

disebut sebagai interaksi sosial melalui pelembagan dan legitimasi.

Dalam hal ini, agen-agen pelembagaannya bisa berasal dari

peziarah itu sendiri atau bahkan dalam bentuk kelembagaan

seperti NU82 atau Muhammadiyah83, dan lain sebagainya.

81 Nur Syam, Islam Pesisir, 41-45. 82 NU adalah ormas Islam yang paling dekat dengan tradisi, budaya, dan

kearifan lokal. Cara berpikir NU untuk mempertahankan tradisi tak lain adalah

menjaga warisan leluhur yang telah mengembangkan Islam sambil terus

Page 163: Stratifikasi Sosial dan Agama

Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam Masyarakat Palembang

153

Dalam momen internalisasi, dunia realitas sosial yang

objektif tersebut ditarik kembali ke dalam diri individu, sehingga

seakan-akan berada di dalam individu. Untuk melestarikan

identifikasi tersebut digunakanlah sosialisasi dan transformasi,

artinya bahwa agar individu selalu berada di dalam identifikasi

lembaga atau institusi, maka selalu dilakukan sosialisasi dan

transformasi. Tahap inilah yang kemudian menghasilkan

identifikasi orang atau individu sebagai bagian dari organisasi

agama, sosial, dan politik atau lainnya yang secara konseptual

disebut sebagai wong NU atau wong Muhammadiyah. Masing-

masing golongan kemudian berusaha mengembangkan

tindakannya kepada orang lain.

melakukan perubahan yang lebih baik. Kaidah yang akrab di kalangan

Nahdliyyin adalah “mempertahankan warisan lama yang baik dan mengambil

sesuatu yang baru yang lebih baik”. Inilah yang menjadi pondasi NU tetap

mempertahankan tradisi meski tetap melahirkan sesuatu yang baru. Khamami

Zada dan A. Fawaid Sjadzili (ed), Nahdlatul Ulama: Dinamika Ideologi dan Politik Kenegaraan, Jakarta: Kompas, 2010), 131.

83 Muhammadiyah pada awalnya lahir dalam rangka merespons kondisi

sosial keagamaan umat Islam, yang pada masa itu (pemerintahan Hindia

Belanda), tidak mempraktikkan agama secara murni, bertaburnya mistisme

dalam ritual keagamaan, pengamalan Islam yang bercampur dengan bid’ah-

khurafat-syirik, akal tidak berdaya menghadapi tradisi yang penuh dengan

kestatisan dan kepasifan. KH. Ahmad Dahlan (sebagai pendiri Muhamadiyah)

kemudian menemukan metode yang tepat bagi pembebasan umat Islam dari

kestatisannya dan membentengi umat dari pengaruh luar dengan cara-cara

rasional. Majelis Diktilitbang dan LPI PP Muhammadiyah, 1 Abad Muhammadiyah, (Jakarta: Kompas, 2010), xiii.

Page 164: Stratifikasi Sosial dan Agama

154 Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam

Masyarakat Palembang

Page 165: Stratifikasi Sosial dan Agama

BAB V

“...kelompok-kelompok etnis, kelas-kelas masyarakat, kedudukan

dan pekerjaan, kelompok mayoritas dan minoritas, perbedaan umur, perbedaan jenis kelamin (gender) – untuk menyebut

bagaimana masyarakat dapat dibagi atau dibedakan – sering menunjukkan kecenderungan keagamaan yang berbeda, dan

dengan demikian, mengekspresikan agama dalam cara-cara yang berbeda pula...”

-- Azyumardi Azra –

Page 166: Stratifikasi Sosial dan Agama

INTERDEPENDENSI STRATIFIKASI SOSIAL DAN

POLA KEPERCAYAAN MASYARAKAT

nterdependensi antara stratifikasi sosial dan pola

kepercayaan masyarakat dianalisis melalui kerangka

hubungan kelas dan pola kepercayaannya dalam

kehidupan keagamaan. Ziarah merupakan tradisi yang paling

menonjol karena ziarah dilakukan oleh semua lapisan masyarakat

dan terjadi setiap hari di berbagai tempat keramat. Hubungan

tersebut dideskripsikan melalui stratifikasi dan perilaku ziarah

masyarakat. Hal ini kemudian memperlihatkan adanya stratifikasi

keagamaan dalam masyarakat sehingga dari sini nampak bahwa

masyarakat memilliki pola kepercayaan yang bervariasi bahkan di

dalam prosesnya masyarakat secara tidak sadar telah berada dalam

proses perubahan sosial, yaitu telah melakukan suatu transisi

kepercayaan dari tradisional menuju rasional.

A. Stratifikasi dan Perilaku Ziarah Masyarakat Palembang

Fenomena kekeramatan makam di Kota Palembang

memperlihatkan bahwa kehadiran peziarah dengan berbagai latar

belakang membentuk suatu pola perilaku tertentu. Menurut Ralph

Linton, latar belakang tersebut telah diperoleh sejak lahir tanpa

I

Page 167: Stratifikasi Sosial dan Agama

158 Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola

Kepercayaan Masyarakat

memandang perbedaan antar individu atau kemampuan.1 Peziarah-

peziarah yang hadir secara tidak sadar memiliki suatu kesamaan

yang kemudian tersegmentasi, baik secara horizontal maupun

vertikal. Secara horizontal, perbedaan yang tampak dalam

masyarakat (peziarah) ini disebut sebagai diferensiasi sosial

sedangkan perbedaan masyarakat (peziarah) berdasarkan vertikal

disebut sebagai stratifikasi sosial. Baik secara horizontal maupun

secara vertikal, individu (peziarah) sebagai anggota dalam suatu

masyarakat (komunitas peziarah) memperoleh status yang telah

dibawanya sejak lahir. Berdasarkan status yang diperoleh secara

lahiriah tersebut, anggota masyarakat dibeda-bedakan berdasarkan

perolehan2, jenis kelamin3, hubungan kekerabatan4, dan

1 Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, (Jakarta: Lembaga Penerbit

Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1993), 85-86. Lihat juga Ya>ni>k Lu>mi>l,

al-Tabaqa>t al-Ijtima>‘iyah, (Fa>ransiyah: Da>r al-Kita>b al-Jadi>d al-Muttahidah,

2008) 2 Stratifikasi berdasarkan perolehan ialah stratifikasi usia (age

stratification). Dalam sistem ini anggota masyarakat yang berusia lebih muda

mempunyai hak dan kewajiban berbeda dengan anggota masyarakat yang lebih

tua. Asas senioritas dijumpai pula dalam stratifikasi berdasarkan usia. Matilda

White Riley, “The Perspective of Age Stratification”, The School Review Vol.

83, No. 1, Responses to "Symposium on Youth: Transition to Adulthood"

(Nov., 1974), pp. 85-91 Published by: The University of Chicago Press.

http://www.jstor.org/stable/1084143 (diakses pada tanggal 20 Juli 2013). 3 Stratifikasi jenis kelamin (sex stratification) pun didasarkan pada

faktor perolehan: sejak lahir laki-laki dan perempuan memperoleh hak dan

kewajiban yang berbeda-beda, dan perbedaan tersebut sering mengarah ke suatu

hierarki. Joan Huber, “Lenski Effects on Sex Stratification Theory”,

Sociological Theory Vol. 22, No. 2, Religion, Stratification, and Evolution in

Human Societies: Essays in Honor of Gerhard E. Lenski (Jun., 2004), pp. 258-

268, Published by: American Sociological Association,

http://www.jstor.org/stable/3648946 (diakses pada tanggal 20 Juli 2013). 4 Stratifikasi yang didasarkan atas hubungan kekerabatan. Perbedaan hak

dan kewajiban antar anak, ayah, ibu, paman, kakek dan sebagainya sering

mengarah ke suatu hierarki. Constantina Safilios-Rothschild, “Family and

Stratification: Some Macrosociological Observations and Hypotheses”, Journal of Marriage and Family Vol. 37, No. 4, Special Section: Macrosociology of the

Family (Nov., 1975), pp. 855-860, Published by: National Council on Family

Relations, http://www.jstor.org/stable/350837 (diakses pada tanggal 20 Juli

2013).

Page 168: Stratifikasi Sosial dan Agama

Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola Kepercayaan Masyarakat

159

keanggotaan dalam kelompok tertentu seperti kasta5, strata

berdasarkan pekerjaan6 dan ekonomi7. Namun, stratifikasi8

bukanlah hanya sekedar menempatkan individu sebagai anggota

kelompok tertentu, akan tetapi adalah rangkaian pengaruh atas

tingkah laku individu, termasuk mengapa individu itu berkaitan

dengan yang lain dengan cara-cara tertentu. Tingkah laku individu

dipengaruhi oleh rangkaian pengalaman yang dimilikinya. Setiap

individu mempunyai rangkaian pengalaman yang unik (unique set

5 Sistem stratifikasi yang didasarkan atas keanggotaan dalam kelompok

tertentu, seperti stratifikasi keagamaan (religious stratification), stratifikasi

etnis (ethnic stratification) atau stratifikasi ras (racial stratification). Hugo G.

Nutini, “Social Stratification and Mobility in Central Veracruz “, Social Sciences - Anthropology , 2009, Published by: University of Texas Press ,

http://www.jstor.org/stable/10.7560/706958 (diakses pada tanggal 20 Juli 2013) 6 Stratifikasi pekerjaan (occupational stratification). Di bidang pekerjaan

modern ini terdapat berbagai klasifikasi yang mencerminkan stratifikasi

pekerjaan, seperti perbedaan antara manajer serta tenaga eksekutif dan tenaga

administratif, antar guru besar, lektor, dan asisten dosen, antar bintara, perwira

pertama, perwira menengah, perwira tinggi. John Robert Warren, Jennifer T.

Sheridan and Robert M. Hauser, “Occupational Stratification across the Life

Course: Evidence from the Wisconsin Longitudinal Study, American Sociological Review, Vol. 67, No. 3 (Jun., 2002), pp. 432-455, Published by:

American Sociological Association, http://www.jstor.org/stable/3088965

(diakses pada tanggal 20 Juli 2013). 7 Stratifikasi ekonomi (economic stratification), yaitu perbedaan warga

masyarakat berdasarkan penguasaan dan pemilikan materi, pun merupakan

suatu kenyataan sehari-hari. Dalam kaitan ini terdapat perbedaan warga

masyarakat berdasarkan penghasilan, dan kekayaan mereka menjadi kelas atas,

kelas menengah, dan kelas bawah. Wilbert Santiago Poot-Pool, Hans van der

Wal, Salvador Flores-Guido, Juan Manuel Pat-Fernández and Ligia Esparza-

Olguín, “Economic Stratification Differentiates Home Gardens in the Maya

Village of Pomuch, Mexico”, Economic Botany, Vol. 66, No. 3 (15 September

2012), pp. 264-275, Published by: Springer on behalf of New York Botanical

Garden Press. http://www.jstor.org/stable/23324988 (diakses pada tanggal 20

Juli 2013). 8 Teori stratifikasi dalam fenomenologi memperlakukan tingkah laku

individu yang dapat diamati dalam kehidupan sehari-hari sebagai pokok

pembahasan (subject matter). Kelas, institusi, atau kelompok adalah rangkaian

individu yang memiliki sesuatu yang sama atau tingkah laku individu dalam

kaitannya dengan yang lain. Billah, dkk, Kelas Menengah Digugat, (Jakarta: PT

Fikahati Aneska, 1993), 43.

Page 169: Stratifikasi Sosial dan Agama

160 Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola

Kepercayaan Masyarakat

of experience) yang dijadikan dasar bagi interaksinya dengan

orang lain. Sehingga pengalaman ini menjadi penting dalam

menentukan tingkah laku. Oleh karena itu, menurut

fenomenologi9 masyarakat adalah bentuk abstrak dari saling

interaksi, dan individu-individu di dalamnya dipengaruhi oleh

individu lain yang dijumpainya. Hubungan-hubungan dengan

orang lain itu membentuk pikiran dan tingkah lakunya. Hubungan

dengan orang-orang lain di tempat kerja adalah satu jenis

pengalaman tersendiri, yang berbeda dengan hubungan dengan

orang lain di mana seseorang tinggal, bermain, dan berbeda pula

dengan hubungan di dalam keluarga. Hubungan yang berulang-

ulang itu akan membentuk pola yang merupakan struktur yang

mengacu kepada “kelas” atau status group. Sedangkan hubungan

kekuasaan (power relation) adalah hubungan yang ditandai oleh

suatu situasi hubungan yang ditandai oleh suatu situasi hubungan

‘memberi perintah’ dan ‘menerima perintah’.10

Bagan 4. Konsekuensi Outcome Stratifikasi11 HIERARKI OUTCOME

DETERMINAN

STRATIFIKASI

Sosio-Ekonomi

konsekuensi

Pola Kepercayaan

Tindakan

Pola Asuh

Gaya hidup

Mental/Pola Pikir

Sosio-Kultural

Sosio-Religius

Etnisitas

Pendidikan

Politik

Bagan tersebut menurut Jeffries dan Ransford menunjukkan

arah kausal yang jelas (dari posisi stratifikasi ke hasil). Korelasi

9 Fenomenologi mendasarkan semua konsep pada kehidupan sehari-hari

yang bisa teramati (observable everyday life). Fenomenologi adalah satu bentuk

empirisme radikal, yang berpendapat bahwa tidak satu pun dapat diterima

kecuali bila sesuatu itu bisa diamati. Struktur sosial, oleh karena itu, bukanlah

mitos yang dibangun oleh orang akan tetapi adalah struktur nyata yang dapat

ditemukan dalam tingkah laku nyata sehari-hari, khususnya di dalam interaksi

yang berulang-ulang. Collins dalam Billah, dkk, Kelas Menengah Digugat, 43. 10 Collins dalam Billah, dkk, Kelas Menengah Digugat, 44. 11 Bagan ini terinspirasi dari bagan Jeffries dan Ransford dalam Social

Stratification: A Multiple Hierarchy Approach.

Page 170: Stratifikasi Sosial dan Agama

Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola Kepercayaan Masyarakat

161

berarti bahwa ada hubungan statistik antara dua variabel; mungkin

sebuah contoh dari sebab dan akibat, atau mungkin juga tidak ada

hubungan. Istilah korelasi kemudian dipilih sebagai yang paling

tepat untuk menjelaskan hubungan sebab-akibat yang menyiratkan

bahwa posisi dalam hirarki stratifikasi menentukan suatu hasil.

Strata sosial memiliki dampak terhadap perilaku manusia dan

sikapnya. Kelas menciptakan dunia sosial yang membentuk

pandangan dan nilai seseorang.12 Hubungan strata sosial dan

pandangan seseorang dapat dilihat dari perilaku yang teraplikasi

dalam sebuah tradisi yang ada di dalam masyarakat.

Keseluruhan tradisi dan budaya masyarakat Indonesia,

termasuk ziarah ke makam keramat bisa dikatakan sebagai sarana

pengikat bagi orang awam yang memiliki status sosial yang

berbeda dan begitu juga memiliki keyakinan yang berbeda.

Kebersamaan di antara mereka tampak ketika pada momen-

momen tertentu mereka mengadakan upacara-upacara (perayaan)

baik yang bersifat ritual maupun seremonial yang sarat dengan

nuansa keagamaan. Peziarah di makam Kyai Marogan jika

dikategorikan dari status sosial peziarah tercatat dari status sosial

paling rendah sampai pejabat negara. Mereka datang ke makam

dengan tujuan sama yakni berziarah dan membaca doa, walaupun

status dan motif mereka bisa berbeda. Sungguh pun tradisi seperti

ini sekarang ada di pusaran modernisasi dan rasionalisasi, namun

faktanya tradisi seperti ini sampai sekarang masih bertahan bahkan

kegiatan ini menjadi agenda tersendiri dalam memenuhi kegiatan

keagamaan. Munculnya motif di luar tujuan utama ziarah, terlebih

ketika sudah diiringi dengan praktik-praktik yang meniru tradisi

pra-Islam, sehingga tidak pelak timbul tudingan yang berdasar

pada suatu pandangan yang menganggap “syirik” dalam fenomena

ziarah ini.

Menurut Weber yang mengendalikan perilaku seseorang

secara langsung adalah keinginan-keinginan material dan ideal dari

orang itu bukan oleh ide-ide atau ajaran. Weber kembali

menandaskan pemikirannya bahwa pandangan-peandangan

12 Jeffries dan Ransford, Social Stratification: a Multiple Hierarchy

Approach, 268.

Page 171: Stratifikasi Sosial dan Agama

162 Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola

Kepercayaan Masyarakat

tentang dunia (serta kata-kata yang diungkapkan sehubungan

dengan motif mereka) yang berpengaruh dalam tindakan, adalah

dengan sendirinya terbentuk oleh adanya keinginan dari suatu

lapisan sosial yang merupakan bagian dari sejarah hidup mereka.

Weber beranggapan bahwa untuk menerangkan tindakan-tindakan

sosial terlebih dahulu memahami nilai dan keinginan (motif)

subjektif dari tindakan sosial tersebut, tetapi ungkapan tindakan-

tindakan tersebut juga dengan sendirinya terbentuk oleh kondisi-

kondisi sosial dan ekonomi.13

Dalam menganalisis perilaku peziarah ke makam Kyai

Marogan Palembang melalui perspektif theory of volunterism dapat dilihat bahwa peziarah memiliki motif-motif yang berbeda

untuk berkunjung ke makam Kyai Marogan. Motif untuk datang

ke makam Kyai Marogan bukan suatu hasil yang bersifat

individualis semata melainkan karena adanya pengalaman-

pengalaman orang lain yang telah membuktikan ‘kesakralitasan’

makam tersebut sehingga ‘keinginan’ seseorang tercapai.

Jika dijabarkan satu persatu motif peziarah yang datang ke

makam Kyai Marogan sungguh amatlah banyak. Hal ini diakui

oleh IS selaku juru kunci makam Kyai Marogan. Orang-orang yang

berziarah ke makam Kyai Marogan mempunyai latar belakang

yang berbeda-beda, ada pengusaha, pedagang, petani, pegawai

negeri, buruh, pejabat, anggota DPR dan lain sebagainya. Masing-

masing mempunyai tujuan sendiri-sendiri, sesuai dengan

kebutuhannya. Jika pedagang atau pengusaha, yang berziarah

umumnya mereka minta didoakan agar usahanya lancar dan maju

pesat. Petani biasanya minta didoakan agar tanamannya selamat

dan mendapatkan panen yang melimpah. Pegawai, minta didoakan

agar bisa mendapatkan jabatan atau selamat dalam jabatannya dan

sebagainya. Mereka percaya bahwa berziarah ke makam Kyai

Marogan adalah cara yang dianggap tepat untuk menyampaikan

hajat. Paling tidak, cara ini bisa membuat hati mereka lebih

tenang. Seperti yang dikatakan oleh Berger bahwa sebuah

13 Bryan S.Turner, Agama dan Teori Sosial. (Yogyakarta: IRCiSoD.

2006), 31.

Page 172: Stratifikasi Sosial dan Agama

Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola Kepercayaan Masyarakat

163

kebiasaan dapat melindungi manusia dari ketidakpastian.14 Motif-

motif seperti keberhasilan dalam usaha, mendapatkan jodoh,

keselamatan, dan lain sebagainya merupakan hal-hal yang tidak

pasti. Namun kehadiran peziarah untuk melakukan tradisi ziarah

seolah-olah melepaskan ketidakpastian itu. Mereka menganggap

bahwa tradisi ziarah setidaknya merupakan usaha untuk

melepaskan ketidakpastiannya. Hal ini berarti ziarah ke makam

keramat merupakan suatu tradisi yang tidak bisa dilepaskan dalam

kehidupan masyarakat. Kebiasaan berziarah yang dilakukan pelaku

ziarah – yang memiliki motif dan tujuan beragam – membuat

mereka merasa terlindungi dari berbagai ketidakpastian. Misalnya

ketika seorang pengusaha yang tidak tahu kepastian akan

keberhasilan usahanya, ia mencoba untuk berziarah agar

ketidakpastian-ketidakpastian itu setidaknya terobati.

Untuk menjelaskan keterhubungan antara stratifikasi dan

perilaku ziarah, dapat dianalisis melalui teori voluntarism yang

dikemukakan oleh Talcott Parson15. Menurut Parson, aktor

mengejar tujuan dalam situasi di mana norma-norma mengarahkan

dalam memilih alternatif cara dan alat dalam mencapai tujuan.

Norma-norma tersebut tidak dapat menentukan pilihannya

terhadap cara atau alat, tetapi ditentukan oleh kemampuan aktor

untuk memilih. Kemampuan ini oleh Parson disebut voluntarism,

yaitu kemampuan individu melakukan suatu tindakan berdasarkan

14 Geger, Peter L Berger: Perspektif Metateori, 107. 15 Talcot Parson sebagai tokoh teori aksi menginginkan pemisahan

antara teori aksi dan aliran behaviorisme, karena menurutnya mempunyai

konotasi yang berbeda. Menurut Parson suatu teori yang menghilangkan sifat-

sifat kemanusiaan dan mengabaikan aspek subjektif tindakan manusia tidak

termasuk kedalam teori aksi, sehubungan dengan itu Parson menyusun skema

unit unit dasar tindakan sosial dengan karakteristik sebagai berikut: (a) adanya

individu sebagai aktor; (b) aktor dipandang sebagai pemburu tujuan tersebut; (c)

aktor memiliki alternatif cara,alat serta tehnik untuk mempunyai tujuan; (d)

aktor berhadapan dengan sejumlah kondisi situasional yang dapat membatasi

tindakan dalam mencapai tujuan; dan (e) aktor dibawah kendali dari nilai

nilai,norma-norma dan berbagai ide abstrak yang mempengaruhinya dalam

memilih dan menentukan tujuan serta tindakan alternatif untuk mencapai tujuan

George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. (Jakarta: PT

RajaGrafindo Persada, 2007), 48-49.

Page 173: Stratifikasi Sosial dan Agama

164 Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola

Kepercayaan Masyarakat

berdasarkan lingkungan, pengalaman, persepsi, pemahaman dan

penafsiran atas suatu objek stimulus atau situasi tertentu seperti

kondisi situasional lingkungan budaya, tradisi, dan agama.

Tindakan individu itu merupakan tindakan sosial yang rasional,

yaitu mencapai tujuan atas sasaran dengan sarana-sarana yang

paling tepat. Walaupun tidak mempunyai kebebasan total, karena

masih dibatasi oleh kondisi-kondisi tertentu, tetapi aktor adalah

perilaku aktif, kreatif dan evaluatif serta mempunyai kemampuan

menilai dan memilih alternatif tindakan.16 Parson beranggapan

bahwa yang utama bukanlah tindakan individu melainkan norma-

norma dan nilai-nilai sosial yang menuntut dan mengatur perilaku

itu. Kondisi objektif disatukan dengan komitmen kolektif terhadap

suatu nilai akan mengembangkan suatu bentuk tindakan sosial

tertentu. Talcott Parson juga beranggapan bahwa tindakan

individu dan kelompok itu dipengaruhi oleh system sosial, system

budaya dan system kepribadian dari masing-masing individu

tersebut.17

16 Beberapa asumsi dasar tindakan aktif, kreatif dan evaluatif menurut

parson, antara lain : (1) Tindakan manusia atau aksi muncul dari kesadarannya

sendiri sebagai subjek, dan dari situasi eksternal dalam posisinya sebagai objek;

(2) Sebagai subjek manusia bertindak atau berperilaku untuk mencapai tujuan –

tujuan tertentu, jadi tindakan manusia atau aksi bukan tanpa tujuan; (3) Dalam

bertindak, manusia menggunakan cara, tehnik, prosedur, metode serta

instrumen yang diperkirakan cocok untuk mencapai tujuan tersebut; (4)

Kelangsungan tindakan manusia hanya dibatasi kondisi yang tak dapat diubah

dengan sendirinya atau circumstances; (5) Manusia, memilih, menilai dan

mengevaluasi terhadap tindakan yang akan, sedang dan yang telah

dilakukannya; (6) Ukuran – ukuran, aturan – aturan atau prinsip – prinsip moral

diharapkan timbul pada saat pengambilan keputusan; (7) Studi antar hubungan

sosial memerlukan pemakaian tehnik penemuan yang bersifat subyektif seperti

metode verstehen, imajinasi, sympathetic reconstruction atau seakan – akan

mengalami sendiri ( variacious experience ). Sumandiyo Hadi, Seni dalam Ritual Agama, (Yogyakarta: Buku Pustaka, 2006), 59. Lebih lanjut lihat Parson,

T. (2011). Actor, situation and normative pattern: an essay in the theory of

social action. Editedand Introduction by Victor Lidz and Helmut Staubmann.

Wien. Lit Verlag (Volume Two in the seriesStudy in the Theory of Action

edited by Staubmann and Lidz). ASNP 17Bruce C. Wearne, Exegetical Explorations: Parson' Convergence

Concept, The American Sociologist Vol. 44, No. 3 (September 2013) (pp. 233-

Page 174: Stratifikasi Sosial dan Agama

Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola Kepercayaan Masyarakat

165

Bagan 5. Konsep Tindakan Voluntarism Parson18

Dalam hal ini perilaku ziarah yang dilakukan oleh seorang

individu sebagai aktor merupakan perilaku yang memiliki motif.

Motif peziarah inilah yang memicu mereka untuk melakukan suatu

tindakan dengan cara-cara tertentu sesuai dengan kondisi atau

situasi yang mempengaruhinya. Seperti RN (pr/22) yang

melakukan ziarah karena memiliki motif. Tujuannya berziarah

adalah agar ia dapat dengan lancar menyelesaikan studinya di

sebuah perguruan tinggi. Si aktor melakukan ziarah karena

berdasarkan atas situasional dan kondisi tertentu. Dalam situasi

akan menempuh ujian, ia datang berziarah dan tidak hanya itu,

terdapat norma dan nilai yang telah ditanamkan oleh orang tuanya

kepada dirinya. Menurutnya, ziarah merupakan tradisi di

keluarganya jika mereka menghadapi suatu masalah atau pun

sebagai ucapan syukur karena telah menyelesaikan suatu masalah.

Keberhasilan orang-orang terdahulu atas pengalaman-pengalaman

terkabulnya motif-motif berziarah dapat mempengaruhi persepsi si

aktor untuk melanjutkan tradisi ziarah dengan cara-cara tertentu.

Tak hanya sebagai suatu tradisi, kemasyhuran sang tokoh akan

karomahnya, Kyai Marogan, juga merupakan bentuk persepsi yang

244) Published by: Springer. http://www.jstor.org/stable/42635360 (diakses

pada tanggal 12 Juli 2014) 18 Sumber gambar: http://en.wikibooks.org/wiki/Social_Psychology/

Action_ and_person

Page 175: Stratifikasi Sosial dan Agama

166 Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola

Kepercayaan Masyarakat

telah ditransformasikan. Aktor (peziarah) yang saat ini melakukan

ritual ziarah bukan saja sebagai accepted history,19 tetapi telah

menjadi kepercayaan peneguh iman. Makam Kyai Marogan adalah

potret bahwa kekeramatan dan kemasyhuran leluhur itu dibentuk

melalui suatu kontruksi memori.

Parson melihat agama dalam pengertian apakah kosmologi

masyarakat mengandaikan yang suci itu bersifat imanen atau

transenden, ia mengawali uraiannya dengan paradigma kultural.20

Ziarah pada awalnya merupakan suatu ritual keagamaan. Namun,

ritual keagamaan ini terakulturasi oleh budaya setempat sehingga

ziarah bukan hanya kunjungan biasa namun memiliki makna yang

mendalam. Konsep ziarah ini akan memiliki makna yang lebih

mendalam apabila yang dikunjungi merupakan makam orang suci,

orang yang memiliki karisma dan karomah atau orang-orang yang

dianggap berjasa dalam suatu masyarakat. Masyarakat pada

umumnya akan menganggap makam-makam tersebut sebagai

makam keramat bahkan makam suci.

Pola perilaku peziarah di makam keramat tidak hanya

dapat dianalisis melalui tindakan voluntarism sebagaimana yang

diungkap oleh Parson bahwa aktor memiliki motif untuk

melakukan suatu tindakan. Namun, dalam suatu tradisi, terdapat

identitas yang telah dibawa oleh si aktor sehingga menyebabkan ia

melakukan tindakan tersebut. Identitas ini dapat berupa strata

yang telah melekat pada dirinya (meskipun secara tidak sadar ia

tidak menyadari strata mana ia berada) sehingga menyebabkan

pembentukan suatu pola tindakan dan pola pikir maupun pola

kepercayaannya. Interdependensi strata terhadap perilaku ziarah -

dalam hal ini berkaitan dengan pola kepercayaannya – dapat

dilihat melalui bagan berikut:

19 JJ Rizal dalam seminar “Tradisi Ziarah dalam Masyarakat Indonesia”

yang digelar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Syahida Inn, Kamis

(28/4). Berita UIN Online, Tradisi Ziarah Masyarakat Indonesia Sudah

Dipolitisasi, Diposting oleh rulam pada tanggal: 29 April 2011.

http://www.uinjkt.ac.id/index.php/component/content/article/1-headline/1914-

tradisi-ziarah-masyarakat-indonesia-sudah-dipolitisasi-.html 20Scott Lash, The Sociology of Postmodernism, (London: Rotledge,

1990), 17.

Page 176: Stratifikasi Sosial dan Agama

Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola Kepercayaan Masyarakat

167

Bagan 6. Interdependensi Hierarki Strata Peziarah Terhadap Pola

Kepercayaan di Palembang21 POLA KEPERCAYAAN

Rasional

Tradisionalisme Islam

Magis

DETERMINAN STRATIFIKASI

SOSIO-

EKONOMI

PENDI-

DIKAN

SOSIO

RELIGIUS

ETNIS SOSIO

KUL-

TURAL

POLITIK

STRATA

ATAS

STRATA

BAWAH

Kelas Atas

Kelas

Menengah

Kelas

Bawah

Berpendi-

dikan

Tinggi

(Lulusan

sarjana ke

atas)

Berpendi-

dikan

sedang

(lulusan

SMA)

Berpendidik

an rendah

(lulusan

SMP, SD

dan tidak

bersekolah

Sangat

religius

(Ulama)

Religius

Moderat

Kurang

Religius

(awam)

Melayu

Palem-

bang

Cina

Iliran

Uluan

Pejabat

negara,

pemimpin

organisasi,

kelas atas

dasar

keahlian

Pedagang,

ahli-ahli

teknik,

petani

pemilik

lahan

Pekerja

rendahan,

buruh,

petani

penggarap

Berkaitan dengan interdependensi antara sratifikasi sosial

dan pola kepercayaan, menurut Azyumardi Azra, semula kelas-

21 Diadaptasi dari bagan multiple Hierarchie of Stratification Jeffries dan

Ransford, 10.

Page 177: Stratifikasi Sosial dan Agama

168 Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola

Kepercayaan Masyarakat

kelas yang ada dalam masyarakat tidaklah dipisahkan atau

dibedakan karena pengetahuan atau keimanan. Namun hal-hal ini

berubah tatkala masyarakat yang bersangkutan semakin besar dan

hasilnya semakin terdiferensiasi. Sekarang ini terdapat bukti-bukti

yang kuat, bahwa kelompok etnis, kelas-kelas masyarakat,

kedudukan dan pekerjaan – untuk menyebut bagaimana

masyarakat dapat dibagi atau dibedakan – sering menunjukkan

kecenderungan keagamaan yang berbeda, dan dengan demikian,

mengekspresikan agama dalam cara-cara yang berbeda pula.

Analisis yang mencakup hanya salah satu dari pembagian –

pembagian masyarakat itu jelas tidak memadai; karena sangat

besar kemungkinan bahwa variabel-variabel itu saling

mempengaruhi. Sebagai contoh, orang-orang dari status kelas yang

berbeda dapat sama-sama religius, karena, misalnya, tinggal di

wilayah pemukiman yang sama, atau tingkat pendidikan yang

sama, atau bahkan karena kecenderungan kepribadian yang sama.22

1) Interdependensi Strata Berdasarkan Sosio-Ekonomi Terhadap Perilaku Ziarah

Menurut Karl Marx, ekonomi merupakan faktor

determinan yang mempengaruhi terbentuknya stratifikasi sosial di

dalam suatu masyarakat. Meskipun hal ini dibantah oleh beberapa

tokoh yang menganggap bukan hanya ekonomi yang menjadi

determinan stratifikasi, namun dalam kehidupan sehari-hari,

stratifikasi selalu dilihat dari kepemilikian ekonomi atau prestise

seseorang dalam suatu masyarakat. Indikator pemilahan strata

berdasarkan sosio-ekonomi (economic stratification) umumnya

dipilah berdasarkan pemilikan kekayaan dan penghasilan yang

kemudian dibagi menjadi kelas atas, kelas menengah, dan kelas

bawah.23 Indikator kelas berdasarkan strata sosio-ekonomi ini bisa

22 Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam,

(Jakarta: Paramadina, 1999), 23-24. 23 Wilbert Santiago Poot-Pool, Hans van der Wal, Salvador Flores-

Guido, Juan Manuel Pat-Fernández and Ligia Esparza-Olguín, “Economic

Stratification Differentiates Home Gardens in the Maya Village of Pomuch,

Mexico”, Economic Botany, Vol. 66, No. 3 (15 September 2012), pp. 264-275,

Page 178: Stratifikasi Sosial dan Agama

Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola Kepercayaan Masyarakat

169

dilihat berdasarkan indikator keluarga yang terbagi menjadi

keluarga pra-sejahtera dan sejahtera I sebagai kelas bawah,

keluarga sejahtera II dan sejahtera III sebagai kelas menengah, dan

keluarga sejahtera III Plus sebagai kelas atas.24

Dalam masyarakat tradisional, agama berfungsi untuk

mendorong manusia terlibat peran-peran dan tingkah laku

ekonomi karena agama mengurangi rasa cemas dan rasa takut.

Meskipun tidak ada kategori sosial ekonomi penduduk yang

memonopoli kealiman. Namun, jika dilihat berdasarkan kategori

sosial-ekonomi ini, orang-orang yang berada dalam strata kelas

atas, seperti pengusaha, cendikia, dan lain sebagainya, pada

umumnya mereka lebih bersifat rasional.

Peziarah yang datang ke makam keramat ini tersegmentasi

ke dalam beberapa kelas, yaitu kelas atas, kelas menengah dan

kelas bawah sehingga membawa karakteristik tersendiri bagi pola

kepercayaan yang teraplikasi melalui tingkah laku ziarahnya.

Pedagang kecil, pengemudi perahu (ketek maupun speed boat), petani, nelayan, sopir yang tergolong dalam strata sosial bawah

pada umumnya masih memiliki pola kepercayaan tradisional.25

Pedagang misalnya, mereka biasanya memiliki kebiasaan untuk

berziarah agar usaha mereka lancar. Untuk pedagang yang berada

dalam taraf usaha kecil-kecilan (seperti membuka warung makan,

jualan keliling, dan lain sebagainya), mereka seperti peziarah

tradisionalis pada umumnya yang masih mempercayai bahwa

sosok Kyai Marogan adalah sosok yang mampu mengabulkan

motif mereka sehingga dengan meminta pertolongan Kyai

Marogan, rezeki mereka pun menjadi lancar. Biasanya mereka

berziarah sambil membawa sesaji (seperti nasi gemuk atau ayam kampung item) sebagai syarat mereka.26 Sebenarnya tradisi ini

tidak ada di dalam Islam, namun hal ini hanya suatu kebiasaan Published by: Springer on behalf of New York Botanical Garden Press.

http://www.jstor.org/stable/23324988 (diakses pada tanggal 20 Juli 2013). 24 Lihat Bab 3. 25 Berdasarkan wawancara dan observasi terhadap SW (lk/65/petani), FD

(lk/44/pengemudi ketek), DN (lk/42/sopir). 26 Hasil wawancara dan observasi terhadap IW (lk/38/pedagang keliling),

RD (lk/58/pedagang), KL (pr/42/penjaga toko).

Page 179: Stratifikasi Sosial dan Agama

170 Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola

Kepercayaan Masyarakat

yang telah terenkulturasi. Sedangkan untuk pedagang dalam skala

besar (seperti usaha kayu, tanah perkebunan, dan lain sebagainya)

pada umumnya mereka telah melepaskan diri dari membawa

sesaji. Namun, baik pedagang kecil maupun besar, mereka tetap

membawa oleh-oleh (membeli barang yang mengandung makna

simbolis di makam keramat, seperti kembang, penglaris, kemenyan, dan lain-lain) untuk diletakkan di tempat usaha

mereka.

Untuk kategori pegawai, umumnya mereka berada dalam

strata kelas menengah sehingga pola kepercayaan mereka pun

merupakan gabungan dari tradisionalis-modernis, di mana mereka

hanya mengikuti apa yang telah dianjurkan oleh orang-orang

sebelumnya untuk melakukan perilaku seperti itu. Mereka

terkadang masih ada yang membawa nasi gemuk namun ritualnya

dipadu padankan dengan membaca Yasin maupun sekedar al-

fatihah di makam tersebut. Berbeda dengan yang tradisionalis di

mana pada umumnya mereka minta kepada juru kunci agar

dibacakan doa.27

Kategori strata atas dikelompokkan dalam indikator

keluarga sejahtera tahap III Plus, yaitu dapat memenuhi 5

kebutuhan dasar (basic needs) – pengajaran agama, pangan,

papan,sandang, dan kesehatan – selain itu juga dapat memenuhi

syarat sosial psikologis dan memiliki kriteria pengembangan

keluarga. Salah satu informan yang tergolong dalam strata atas ini

adalah SJ (lk/39) yang merupakan seorang pengusaha yang ingin

menjadi caleg dalam pileg 2014.28 Interdependensi antara strata

dan pola kepercayaan yang dapat dilihat adalah bahwa keinginan

SJ yang ingin mencalonkan diri sebagai caleg. Ia berziarah ke

makam Kyai Marogan karena ia ingin meminta restu agar jalannya

dipermudah. Memang, di satu sisi, pola kepercayaannya bersifat

overlapping dengan stratanya, di mana ia memiliki pola perilaku

ziarah yang tidak sama seperti pengikut tradisionalis lainnya. Ia

meminta izin kepada juru kunci untuk berziarah ke makam Kyai

27 Hasil wawancara dan observasi terhadap ZN (pr/36/guru), SK

(pr/27/PNS), HM (lk/28/wirausaha). 28 Wawancara dengan SJ (lk/39) pada April 2014.

Page 180: Stratifikasi Sosial dan Agama

Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola Kepercayaan Masyarakat

171

Marogan. Hal ini ia lakukan karena di daerah sekitar makam

tersebut merupakan Dapilnya sehingga dirasa perlu untuk meminta

restu ke makam Kyai Marogan yang dimakamkan di sana.

Pola kepercayaan masyarakat yang tradisional juga

mempengaruhi adanya keterbukaan peluang mengubah strata.

Mislanya saja apa yang dilakukan IW di makam tersebut. IW

sehari-harinya adalah pedagang keliling. Ia berkeyakinan bahwa

dengan berziarah ke makam Kyai Marogan, dagangannya akan

laris. Ia pun membeli penglaris sebagai bentuk kepercayaannya

bahwa penglaris ini membawa berkah.29

Ziarah bukan hanya bagian dari tradisi keagamaan, namun

ziarah juga merupakan bagian dari wisata spiritual. Eksistensi

ziarah sebagai bentuk wisata memberikan keuntungan ekonomi,

tidak hanya bagi pemerintah yang menjadikan ziarah sebagai aset

wisata, namun juga memberikan dampak terhadap perubahan

ekonomi masyarakat di sekitar makam keramat tersebut. Hal ini

dikarenakan kultus orang suci merupakan tradisi yang kuat berdiri

di belakang layar kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.

Mereka tak peduli dengan persoalan fakta atau fiksi di dalam

semangat ekonomi untuk memenuhi kebutuhan spiritual.30

2) Interdependensi Strata Berdasarkan Pendidikan Terhadap Perilaku Ziarah

Dalam suatu masyarakat selalu terdapat ketidaksamaan

(inequality) status atau kedudukan anggota masyarakatnya

meskipun pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang sama

(equality). Ketidaksamaan status ini bisa berdasarkan ekonomi,

jabatan pekerjaan, tingkat pendidikan, dan lain sebagainya. Pada

stratifikasi sosial yang bersifat terbuka, setiap orang memiliki

peluang yang sama untuk naik maupun turun dari status yang ia

29 Wawancara dengan IW, Rabu (21 Agustus 2013). 30 JJ Rizal dalam seminar “Tradisi Ziarah dalam Masyarakat Indonesia”

yang digelar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Syahida Inn, Kamis

(28/4). Berita UIN Online, Tradisi Ziarah Masyarakat Indonesia Sudah

Dipolitisasi, Diposting oleh rulam pada tanggal: 29 April 2011.

http://www.uinjkt.ac.id/ index.php/ component/content/article/1-headline/1914-

tradisi-ziarah-masyarakat-indonesia-sudah-dipolitisasi-.html

Page 181: Stratifikasi Sosial dan Agama

172 Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola

Kepercayaan Masyarakat

miliki. Menurut Ralph Turner dalam masyarakat dengan sistem

stratifikasi sosial terbuka, pendidikan dipandang sebagai suatu

sarana mobilitas sosial.31 Pendidikan dipandang sebagai jalan

untuk mencapai kedudukan yang lebih baik serta mampu

mempengaruhi pola pikir maupun pola kepercayaan seseorang.

Interdependensi strata berdasarkan pendidikan sangat

mempengaruhi pola perilaku ziarah seseorang. Hal ini dikarenakan,

orang yang berada dalam strata atas (dalam hal ini berpendidikan

tinggi)32 lebih cenderung responsif terhadap perubahan yang ada.

Orang yang berpendidikan lebih bersifat terbuka pemikirannya

sehingga cara berpikirnya pun lebih rasional dibandingkan dengan

orang yang berada dalam strata bawah (kurang berpendidikan

maupun tidak berpendidikan sama sekali)33. Pola kepercayaan

dapat mempengaruhi strata seseorang, seperti pola kepercayaan

yang rasional yang didasarkan atas keinginan mendapatkan ilmu

pengetahuan mampu memobilisasi strata seseorang dari bawah ke

atas. Ini dikarenakan stratifikasi bersifat terbuka yang membuka

peluang bagi siapapun untuk naik atau turun stratanya tergantung

pola pikirnya.

Perilaku peziarah berdasarkan strata pendidikan memang

nampak di makam keramat Kyai Marogan. Orang yang

berpendidikan tinggi (seperti sarjana) menganggap bahwa makam

Kyai Marogan sebagai mediator doa bukan sebagai pengabul doa,

seperti ZN (pr/36/S1)34 yang berziarah ke makam Kyai Marogan

karena menganggap bahwa sosok Kyai Marogan adalah sosok

mediator yang mampu menyampaikan doanya kepada Allah. Ia

pun hanya membacakan Yasin sebagai bentuk tawassulnya.

Sedangkan orang yang berpendidikan menengah (seperti SMA),

pola kepercayaannya terhadap makam keramat merupakan bagian

31 Adiwikarta Sudarja, Sosiologi Pendidikan: Isyu dan Hipotesis Tentang

Hubungan Pendidikan dengan Masyarakat, (Jakarta: Proyek Pengembangan

Lembaga Pendidikan, 1988). 32 Hasil wawancara dan observasi terhadap ZN (pr/36/S1), SK

(pr/27/S1), HM (lk/28/S1), MM (lk/51/S1), MR (pr/36/S1). 33 Hasil wawancara dan observasi terhadap SW (lk/65/Tidak Sekolah),

CN (lk/38/SD), FD (lk/44/SD), YT (lk/72/Tidak Sekolah). 34 Wawancara dengan ZN (pr/36/S1) pada tanggal 22 Agustus 2013.

Page 182: Stratifikasi Sosial dan Agama

Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola Kepercayaan Masyarakat

173

dari tradisi. Mereka tetap menjalankan ziarah sebagai suatu tradisi

namun pola perilakunya tidak sama dengan yang bersifat

tradisional, seperti membawa sesaji. Pada umumnya ada beberapa

motif yang mengharuskan mereka berpola tradisional dan ada

beberapa motif yang dirasa bisa dirasionalkan polanya. Seperti

ziarah yang dilakukan oleh KL (pr/42)35 karena motif

keharmonisan rumah tangga. Ia berziarah ke makam Kyai

Marogan agar rumah tangganya tidak hancur berantakan. Ia pun

membawa nasi gemuk karena menurut nya ini merupakan suatu

tradisi. Secara rasional, berziarah ke makam keramat memang

membawa suatu ketenangan karena makam merupakan tempat

yang sepi sehingga cocok sebagai tempat untuk menenangkan diri.

Hal ini tentunya berbeda dengan orang-orang yang berasal

dari strata bawah. Mayoritas orang yang berasal dari strata

pendidikan rendah menganggap bahwa makam keramat Kyai

Marogan adalah tempat meminta terkabulnya keinginan maupun

motif mereka. Perilaku ziarahnya pun bersifat tradisional dengan

masih membawa hal-hal yang berbau tradisi, seperti membawa

sesaji (nasi kunyit panggang ayam dan nasi gemuk) sebagai bentuk

persembahan/ucapan terima kasih kepada Kyai untuk

mengabulkan doanya. Hal ini pun dilakukan oleh SW (lk/65/tidak

sekolah)36 yang membawa makanan ke makam Kyai Marogan

untuk mendapatkan berkah. SW juga membeli barang-barang yang

dianggap membawa berkah setelah berziarah dari makam Kyai

Marogan. Sebenernya, barang-barang ini merupakan suatu simbol

dari keberkahan. Misalnya saja SW yang membeli kembang keramas untuk ditaburkan di ladangnya agar panennya berhasil.

Perilaku-perilaku sepoerti ini merupakan perilaku tradisional yang

berasal dari pra-Islam dan berkembang menjadi suatu tradisi. Bentuk interdependensi antara strata pendidikan dan pola

kepercayaan pun tampak pada perilaku ziarah yang dilakukan oleh

RN (pr/22/D-3). RN berziarah karena ziarah merupakan tradisi

yang disarankan oleh keluarganya. Ia berziarah karena studinya

akan segera selesai. Ada anggapan bahwa dengan berziarah akan

35 Wawancara dengan KL (pr/42) pada tanggal 23 Agustus 2013. 36 Wawancara dengan SW, 21 Agustus 2013

Page 183: Stratifikasi Sosial dan Agama

174 Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola

Kepercayaan Masyarakat

membawa keberkahan, termasuk berkah menyelesaikan

pendidikan.37 Hal ini menunjukkan bahwa pola kepercayaan

terhadap adanya keberkahan dalam berziarah memudahkan

urusannya, termasuk di bidang pendidikan.

3) Interdependensi Strata Berdasarkan Sosio-Religius Terhadap Perilaku Ziarah

Stratifikasi sosial dan agama merupakan dua hal yang

berbeda. Namun agama dan masyarakat adalah dua unsur yang

saling mempengaruhi satu sama lain. Agama di definisikan sebagai

sistem kepercayaan yang di dalamnya meliputi aspek-aspek

hukum, moral, budaya dan sebagainya. Sedangkan stratifikasi

sosial dipahami sebagai strata orang-orang yang berkedudukan

sama dalam rangkaian status sosial. Manusia sering secara tidak

sengaja dan tanpa sadar mengklasifikasikan orang lain ke dalam

suatu kelas sosial tertentu ataupun golongan tertentu berdasarkan

pada statusnya sendiri sebagai bagian dari anggota masyarakat.

Hubungan antara strata dan pola kepercayaan sendiri lebih tepat

jika bukan disebut sebagai strata maupun kelas sosial, melainkan

lebih disebut sebagai penggolongan saja. Hal ini dikarenakan

definisi strata dan kelas lebih merujuk kepada definisi yang

bersifat vertikal atau hierarki sehingga terkesan ada tingkatan

tersendiri yang tercipta di dalam agama. Sedangkan kata

“penggolongan” lebih merujuk kepada definisi yang bersifat

horizontal di mana setiap pola kepercayaan memiliki tujuan yang

sama akan kebaikan manusia namun mempunyai cara yang

berbeda dalam mencapai tujuan tersebut.

Secara vertikal, strata berdasarkankan sosio-religius ini

dilihat dari pemahaman agama yang dimiliki oleh seseorang.

Hierarki strata sosio-religius ini dibagi menjadi ulama (yang

memiliki pemahaman agama yang tinggi), orang biasa (memiliki

pemahaman agama yang sedang), dan orang awam (yang kurang

memiliki pemahaman agama). Dalam istilah Syed Nizar Hussaini

Hamdani, strata sosio-religius dalam masyarakat muslim terbagi

37 Wawancara dengan RN, 23 Agustus 2013.

Page 184: Stratifikasi Sosial dan Agama

Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola Kepercayaan Masyarakat

175

ke dalam tiga kategori, yaitu sangat religius (muttaqi>n/mukmin),

religius moderat (muslim), dan kurang religius (fa>siq/fa>jir).38

Strata sosio-religius yang berada di strata atas adalah

sangat religius, yaitu muslim yang terkenal memiliki sikap positif,

berperilaku baik, rajin beribadah, jujur dalam bertransaksi,

memiliki kepribadian yang bisa diandalkan dan dipercaya

(amanah). Umumnya ulama menempati hierarki strata atas karena

secara agama, ulama memiliki pemahaman agama yang tinggi

dibandingkan orang biasa dan ulama juga disebut sebagai pewaris

para nabi. Secara sosial, ulama mendapatkan suatu prestise dari

masyarakat atau mendapatkan kehormatan di lingkungan

masyarakat di mana peran ulama selalu diprioritaskan

dibandingkan peran lain dalam masyarakat. Menurut E. A. Ross,

konsep prestise ini merupakan suatu konsep kehormatan sosial

yang memiliki peranan penting dalam masyarakat.39 Secara

ekonomi pun, ulama pada umumnya telah mampu untuk

menunaikan ibadah haji. Hal ini menunjukkan bahwa secara

ekonomi, ulama memiliki kemampuan finansial untuk berangkat

haji bahkan umroh.

Strata menengah dalam sosio-religius disebut sebagai

muslim yang religiusnya moderat, yaitu seseorang yang

menerima/mengakui doktrin, pesan-pesan dan prinsip-prinsip

Islam (Islamic Message), bertindak sesuai ajaran Islam, mematuhi

sebagian asas/prinsip serta aturan/ketentuan Islam; namun juga

tidak patuh pada sebagian prinsip-prinsip Islam yang lainnya dan

tidak terlalu sensitif terhadap ajaran Islam. Misalnya tidak terlalu

memperhatikan apakah ini wajib, sunah, mubah, atau syubhat.

Kelompok ini cenderung mematuhi ajaran Islam sebagaimana

orang-orang di sekitarnya, jadi hanya mencontoh dan meniru apa

yang dianggapnya sesungguhnya (esensi) dari amal perbuatannya

tersebut.

Strata sosio-religius yang rendah adalah muslim yang

kurang religius yang ditempati oleh golongan awam, yaitu mereka

38 Syed Nizar Hussaini Hamdani, “Religious Orientation as a Factor in

Time Allocation: Evidence from Cross-Section Pakistani Data,” 62. 39 Lawang, Stratifikasi Sosial di Cancar Manggarai Flores Barat, 6.

Page 185: Stratifikasi Sosial dan Agama

176 Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola

Kepercayaan Masyarakat

yang diketahui/mengaku muslim, kadang kala atau secara parsial

menjalankan ritual Islam, tetapi juga tidak jujur dan sering

melanggar syariat Islam. Dalam istilah yang digunakan oleh

Geertz, bisa dikatakan bahwa golongan awam ini bisa termasuk ke

dalam golongan abangan, di mana agama (dalam hal ini Islam)

hanya tampak di permukaan saja artinya yang termasuk dalam

golongan awam ini hanya beragama Islam saja tanpa menjalankan

Islam secara substansi.

Interdependensi strata sosio-religius dan pola kepercayaan

dapat dilihat berdasarkan perilaku ziarah dalam masyarakat. Sikap

ulama Indonesia sebagai strata atas sebenarnya berbeda-beda

dalam cara menilai kesahihan konsep dan praktik ziarah. Bahkan

ada pertentangan yang nyata antara Nahdlatul Ulama (NU) yang

mewakili kelompok tradisionalis di satu pihak, dan

Muhammadiyah yang merupakan penyambung lidah dari

kelompok modernis dan rasionalis di lain pihak. Nahdlatul Ulama

memperkenankan dan bahkan mendukung praktik-praktik yang

memfokuskan perhatian masyarakat Islam pada tokoh-tokoh besar

Islam, sedangkan Muhammadiyah sebaliknya menentang dengan

gigih apa yang dianggapnya sebagai bid’ah: apabila mengunjungi

makam-makam para mukmin dianjurkan agar berdoa demi

keselamatan orang mati sambil menyadari nasib mereka masing-

masing sebagai makhluk yang menuju ajal, dan mereka dilarang

keras memuja orang mati ataupun mengalamatkan doa kepada

mereka.40 Pola pikir golongan ulama ini merupakan pola pikir yang

agamis Islam karena mereka memiliki dalil tertentu berdasarkan

Al-Qur’an dan Hadist.

Kelompok muslim yang religiusitasnya moderat pada

umumnya memiliki pola kepercayaan yang menganggap bahwa

ziarah merupakan suatu tradisi karena telah dilakukan oleh

generasi sebelumnya. Seperti yang dilakukan oleh RN (pr/22)41

yang berziarah ke makam Kyai Marogan karena menganggap hal

tersebut sebagai tradisi dari keluarganya. Sedangkan golongan

awam yang secara strata termasuk strata bawah merupakan

40 Loir dan Guillot, Ziarah dan Wali di Dunia Islam, 359 41 Wawancara dengan RN, 23 Agustus 2013.

Page 186: Stratifikasi Sosial dan Agama

Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola Kepercayaan Masyarakat

177

golongan yang kurang memiliki pemahaman agama. Pada

umumnya, orang awam ini merupakan masyarakat yang tinggal di

daerah pedesaan di mana kurang memiliki akses terhadap

pemahaman agama. Masyarakat pedesaan ini pada umumnya

merupakan petani yang menganggap ziarah sebagai suatu tradisi

turun menurun guna memperlancar kehidupan sehari-hari mereka.

Ziarah sebagai suatu tradisi membentuk pola perilaku para

peziarah awam bersifat tradisional. Artinya, perilaku yang

ditampilkan merupakan perilaku turun temurun dari generasi

sebelumnya. Misalnya saja YT (lk/72) yang berziarah ke makam

keramat Kyai Marogan. YT adalah seorang petani yang sudah

baya sehingga pola kepercayaannya sangat tradisional.

Menurutnya tradisi ziarahnya sudah dilakukan pleh orang-orang

sebelumnya sehingga baik pola kepercayaan maupun pola

perilakunya sesuai dengan apa yang diturunkan dari generasi

sebelumnya. Hal ini sebenarnya karena YT kurang memiliki

pemahaman agama. Interpretasinya terhadap ziarah hanyalah

sebagai suatu tradisi yang telah ada dan dilakukan oleh orang-

orang sebelumnya.42

Sebenarnya, pola kepercayaan orang awam yang

diaktualisasi melalui perilaku ziarahnya dapat bersifat ambigu. Hal

ini disebabkan karean ritual ziarah yang dilakukan oleh awam

dapat mengarah kepada hal-hal yang berbau syirik. Untuk

menghindari perbuatan syirik di makam, pihak zuriyat Kyai

Marogan telah memasang pengumuman yang bertuliskan perintah

“berdoalah kepada Allah”, dan memasang pengumuman tentang

tata cara berziarah secara Islam, bahkan ada juru kunci yang turut

memperkuat perintah itu ketika para peziarah menyampaikan

motifnya kepada juru kunci, juru kunci tersebut meluruskan motif

si peziarah dengan mengarahkannya agar memohon kepada Allah

bukan kepada Kyai Marogan karena Kyai Marogan hanyalah

sebagai perantara.

Menurut ajaran Islam, mengunjungi kuburan memiliki dua

fungsi. Pertama, untuk mengingatkan kita bahwa suatu hari nanti

kita juga akan mati. Kedua, untuk mendoakan si mati supaya

42 Wawancara dengan YT (lk/72) pada tanggal 23 Agustus 2013.

Page 187: Stratifikasi Sosial dan Agama

178 Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola

Kepercayaan Masyarakat

memperoleh pengampunan Tuhan. Kaum Muslim tradisional juga

percaya bahwa Allah akan memberkati para peziarah melalui

perantaraan roh keramat yang terkubur disitu. Dengan demikian

para wali itu dianggap merupakan perantara (tawassul) antara

Allah dengan mereka yang masih hidup di dunia ini. Selain itu

mereka juga mengharap berkah karunia Allah dalam berdagang

supaya mereka memperoleh banyak keuntungan. Menurut HM

(lk/28)43 tampaknya inilah motivasi utama para pedagang yang

berziarah itu. Seorang informan lain, IW (lk/38),44 mengatakan

bahwa dalam berdagang seseorang harus memiliki penglaris.

Menurut informan ini, penglaris ini penting karena terdapatnya

persaingan sengit di antara para pedagang. Jika ada penglaris maka

dagangan akan menjadi lancar. Dalam pengertian ini, ziarah bisa

dilihat sebagai penggambaran dari pandangan dunia mereka. Pada

saat yang sama, ziarah juga mengungkapkan bahwa dalam hal-hal

yang tampaknya berlatar belakang keagamaan terdapat juga

motivasi-motivasi ekonomi.45

4) Interdependensi Strata Berdasarkan Etnis Terhadap Perilaku Ziarah

Palembang sangat kental dengan sebutan etnis Melayu

Palembang46 atau yang lebih dikenal dengan Suku Melayu

43 Wawancara dengan HM, Kamis (22 Agustus 2013). 44 Wawancara dengan IW, Rabu (21 Agustus 2013). 45 Mohammad Sobary, Kesalehan Sosial, (Jakarta: LkiS, 2007), 150. 46 Suku Melayu, dalam hal ini secara spasial, boleh dikatakan hampir

mencakup seluruh kawasan Asia Tenggara, namun konsentrasi terbesar dan

dianggap sebagai keturunan Melayu Asli mencakup kawasan Semenanjung

Malaya dan Pulau Sumatera. Suku Melayu di Pulau Sumatera, lebih banyak

dilekatkan pada kawasan yang lebih dikenal sebagai Sumatera Timur pada masa

lalu. Penghubungan Palembang dengan Melayu, tidak dapat diketahui secara

pasti. Bukti tertua dari hal ini didapat sejak masa Kerajaan Sriwijaya. Prasasti-

prasasti yang terdapat dalam Kedukan Bukit, Telaga Batu, Kota Kapur, Karang

Birahi, dan Palas Pasemah misalnya yang terdapat di Kota Palembang,

walaupun ditulis dalam huruf Pallawa, namun jelas menggunakan Bahasa

Melayu yang termasuk Melayu Tua. Dalam berita Cina, meskipun Melayu,

dalam hal ini Kerajaan Melayu lebih banyak diidentikkan dengan Jambi, namun

acapkali memiliki relevansi jelas dengan Palembang. Dedi Irwanto, dkk. Iliran

Page 188: Stratifikasi Sosial dan Agama

Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola Kepercayaan Masyarakat

179

Palembang.47 Namun Palembang sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya

memiliki banyak jaringan dagang di Asia, tak terkecuali dengan

Cina (sebagai etnis besar di Asia). Keberadaan etnis Cina di

Palembang tidaklah mengherankan karena secara historis,

hubungan dagang antara Sriwijaya dan Cina tersebut sudah

dimulai sejak abad pertama. Ketika Sriwijaya menjadi pusat ajaran

Buddha abad ke-7, banyak pelajar dari Cina yang datang ke hulu

Sungai Musi untuk belajar tentang Sansekerta dan Buddha. Dari

sini mulailah terjadi perkenalan budaya Cina ke masyarakat

setempat yang kemudian melahirkan akulturasi budaya.

Etnis Melayu Palembang merupakan in-group yang

mayoritas dan penduduk aslinya tinggal di Palembang. Sebagai

out-groupnya, kelompok etnis Cina merupakan kelompok

minoritas yang kehadirannya dianggap berbeda. Sikap out-group selalu ditandai dengan suatu kelainan yang berwujud antagonisme

atau antipati. Perasaan in-group atau out-group dapat merupakan

dasar suatu sikap etnosentrisme, yaitu suatu sikap untuk menilai

unsur-unsur kebudayaan lain dengan mempergunakan ukuran-

ukuran kebudayaan sendiri.48

Dari sinilah muncul suatu perasaan yang meletakkan in-group tertentu sebagai suatu kelas tertentu. Etnis Cina, misalnya,

yang merupakan kaum minoritas di Kota Palembang, secara

kelompok sosial berada dalam strata bawah karena merupakan

outgroup dari mayoritas penduduk Palembang. Meskipun secara

ekonomi, penduduk Cina menguasai pasar dan menduduki kelas dan Uluan: Dinamika dan Dikotomi Sejarah Kultural Palembang. (Yogyakarta:

Eja Publisher, 2010), 65. 47 Untuk mengenali suku Palembang ini, biasanya terdapat gelar di depan

namanya (yang dulunya berdasarkan strata tertentu namun seiring berjalannya

waktu, strata gelar tersebut memudar fungsinya sehingga saat ini hanya sebatas

gelar biasa), seperti Kiagus-Nyayu, Masagus-Masayu, Kemas-Nyimas, Baba-Nona Ayu, dan Raden-Raden Ayu. Suku Palembang ini semakin lama semakin

berkurang. Hal ini dikarenakan adanya perkawinan amalgamasi yang dilakukan

oleh orang Palembang sehingga gelar tersebut lama-lama hilang (karena

Palembang menerapkan budaya patriarki sehingga jika seorang perempuan

Palembang menikah dengan laki-laki yang tidak bergelar maka gelar perempuan

tersebut tidak dapat diturunkan kepada anaknya atau terputus). Lihat Bab 3. 48 Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, 108.

Page 189: Stratifikasi Sosial dan Agama

180 Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola

Kepercayaan Masyarakat

atas, namun jika dilihat secara etnisitas, etnis Cina ini tetap

tergolong ke dalam strata bawah. Menurut RD (lk/58), Cina

merupakan kaum yang minoritas apalagi ketika krisis tahun 1998,

kelompok Cina menjadi kelompok yang terdeskriminasi sehingga

membuat mereka merasa berada di strata bawah.

Di kalangan muslim etnis Palembang, ziarah merupakan

tradisi yang umumnya dilakukan untuk menghormati tokoh yang

dianggap suci (seperti ulama, Raja, maupun pahlawan yang

dianggap berjasa). Pola kepercayaan yang berkembang pun lebih

bersifat agamis (tradisionalisme Islam) karena pola perilaku ziarah

yang dilakukan etnis Melayu Palembang cenderung agamis dengan

menyelipkan pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an (seperti Ya>si>n dan

Al-Fa>tih{ah) ketika berada di makam keramat tersebut.49 Hal ini

menurut Azra, dikarenakan Islam dan Melayu menjadi identitas

yang sama. Melayu identik dengan Islam; dan menjadi Islam

berarti manjadi penganut Islam; dan manjadi Islam sekaligus

menjadi Melayu.50

Interdependensi strata berdasarkan etnis ini juga

mempengaruhi perilaku ziarah. Rasa hormat dan pemujaan

terhadap nenek moyang sudah mengakar dalam masyarakat serta

membuat jalan berbagai mitos untuk dikreasikan terus dan

mempunyai nilai komersil serta bersifat omnipresent alias ada di

mana-mana di Indonesia.51 Masyarakat Cina yang menjadi bagian

dari penduduk Palembang masih memegang teguh nilai-nilai

keluhurannya. Pada tradisi Cina terdapat tradisi pemujaan

terhadap leluhur yang berfungsi untuk mengingat kembali asal

usulnya. Pemujaan masyarakat Cina terhadap leluhur ini dilakukan

oleh masyarakat Cina tidak hanya dengan menghormati leluhurnya

49 Hasil wawancara dan observasi terhadap SK (pr/27), RN (pr/22), SJ

(lk/39), MR (pr/36), HM (lk/28), dan lain sebagainya. 50 Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, 19. 51 JJ Rizal dalam seminar “Tradisi Ziarah dalam Masyarakat Indonesia”

yang digelar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Syahida Inn, Kamis

(28/4). Berita UIN Online, Tradisi Ziarah Masyarakat Indonesia Sudah

Dipolitisasi, Diposting oleh rulam pada tanggal: 29 April 2011.

http://www.uinjkt.ac.id/index.php/ component/content/article/1-headline/1914-

tradisi-ziarah-masyarakat-indonesia-sudah-dipolitisasi-.html

Page 190: Stratifikasi Sosial dan Agama

Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola Kepercayaan Masyarakat

181

sendiri melainkan juga menghormati leluhur di tanah tempat ia

tinggal. Misalnya saja sosok Kyai Marogan yang dianggap oleh

sebagaian orang Cina sebagai leluhur yang harus dihormati.

Perilaku ziarah yang ditampilkan oleh orang-orang Cina yang

berziarah ke makam keramat Kyai Marogan adalah dengan

menghormati Kyai dengan hanya menaburkan kembang di makam

Kyai.52

5) Interdependensi Strata Berdasarkan Sosio-Kultural

Terhadap Perilaku Ziarah Kota Palembang terdikotomis ke dalam dua konsep

kewilayahan, yaitu Uluan dan Iliran. Pada perkembangannya

Uluan dan Iliran tidak hanya menjadi konsep kewilayahan semata

melainkan menjadi konsep sosio-kultural. Secara kewilayahan,

konsep Uluan adalah daerah yang terletak di pedalaman Sumatera

Selatan di sepanjang aliran Batanghari Sembilan. Sedangkan

konsep Iliran merujuk kepada Kota Palembang yang memiliki

Sungai Musi sebagai muara dari Batanghari Sembilan. Daerah

Iliran tersebut, kerapkali juga disandingkan dengan kedatangan

kemajuan, sebab yang paling pertama menerima perubahan

seringkali datang dari daerah aliran sungai, yang kemudian baru

menyentuh ke arah Uluan.53

Inilah realitas historisnya, iliran diidentifikasikan

mendapat pengaruh kuat dari pusat ibukota sehingga lebih

bercorak modern, cenderung terbuka, lebih maju, lebih intelek.

Sementara uluan dikategorikan masih berada dalam alam

tradisional, karena sedikit mendapat sentuhan pusat ibukota

keresidenan. Meskipun tidak sesempit itu, teori dikotomis tersebut

masih menyimpan kenyataan berambigu seperti itu. Modernis di

iliran, bukanlah secara keseluruhan, karena sifat tradisional tidak

dapat disisihkan begitu saja.

52 Hasil wawancara dan observasi terhadap RD (lk/58) pada tanggal 21

Agustus 2013. 53 Dedi Irwanto, dkk. Iliran dan Uluan: Dinamika dan Dikotomi Sejarah

Kultural Palembang. (Yogyakarta: Eja Publisher, 2010), 3.

Page 191: Stratifikasi Sosial dan Agama

182 Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola

Kepercayaan Masyarakat

Terdapat penjustifikasikan terhadap dikotomi tersebut.

Secara ideologis, orang iliran menganggap dirinya lebih modern,

cenderung terbuka, lebih maju, lebih intelek sehingga secara

politis mereka merasa lebih berkuasa, superioritas dengan segala

kebijakan dan kewenangan, sementara secara ekonomis mereka

menganggap dirinya lebih makmur dan kaya sehingga secara

stratifikasi, iliran termasuk ke dalam strata atas. Sebaliknya, orang

uluan sering dihadapkan dengan konsepsi keterbelakangan dan

ketinggalan, cenderung tertutup, dan miskin. Orang uluan selalu

disusukan pada posisi inferior sebagai orang yang tidak tahu

perkembanganyang berhubungan dengan kemajuan dan secara

stratifikasi, uluan termasuk dalam strata bawah.

Mayoritas orang-orang Melayu Palembang memeluk agama

Islam sehingga tradisi ziarah pun kerap dilakukan oleh orang-

orang Palembang. Dengan latar sosio-kultural Palembang yang

berbeda, yaitu terbagi menjadi dua bagian Uluan dan Iliran, menyebabkan adanya perbedaan dalam pola perilaku ketika

berziarah. Orang uluan biasanya melakukan ziarah dengan

membawa makanan yang diberikan kepada juru kunci, seperti nasi gemuk dan ketan kunyit panggang ayam.54 Sedangkan orang iliran umumnya melakukan tradisi ziarah dengan mengunjungi makam

tanpa membawa apapun. Namun, hal ini tidak serta merta

mentipologikan pola perilaku ke dalam dua kubu tersebut.

Terkadang terjadi overlapping juga terhadap pola perilaku ziarah

orang Palembang.

Kyai Marogan adalah sosok ulama yang tidak hanya

menyebarkan agama Islam di wilayah Palembang semata. Beliau

juga menyebarkan Islam hingga ke pelosok-pelosok daerah di

Sumatera Selatan. Kebanyakan daerah yang dikunjungi Beliau

untuk berdakwah adalah pedalaman yang mayoritas penduduknya

bertani, seperti Pemulutan, Pesemah, Komering, Sekayu,

Meranjat, dan lain sebagainya. Etnis-etnis daerah tersebut juga

sering berziarah untuk mengunjungi Kyai Marogan. Namun

terkadang, sosok Kyai Marogan dianggap sebagai “tokoh suci”

54 Hasil wawancara dan observasi terhadap SW (lk/65/Tanjung Raja-

Uluan) pada tanggal 21 Agustus 2013.

Page 192: Stratifikasi Sosial dan Agama

Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola Kepercayaan Masyarakat

183

yang memiliki kekuatan tertentu. Persepsi masyarakat daerah ini

pun menjadi ambivalen dan berlebihan. Karomah yang dimiliki

beliau disalahpersepsikan sehingga seakan-akan beliau memiliki

kekuatan yang dapat memecahkan masalah mereka. Seperti yang

diungkap oleh YT (lk/72)55, ia meminta kepada sang Kyai bukan

kepada Allah. Padahal, dalam konsep tawassul, sang ulama bisa

menjadi perantara doa, namun perantara ini disalahpersepsikan

sehingga memintanya bukan kepada Allah melainkan kepada sang

tokoh yang dianggap “suci” tersebut. Hal ini membuktikan bahwa

orang uluan memiliki pola kepercayaan yang masih magis yang

manganggap bahwa “makam” dapat mengabulkan permintaan

mereka.

Berbeda dengan orang uluan yang terlalu mengagungkan

sosok tokoh sehingga menjadikan pola kepercayaannya ambivalen,

orang iliran lebih bersifat rasionalis dan agamis dalam menyikapi

ulama yang penuh dengan karomah tersebut. Orang iliran ini pada

umumnya mengenal konsep tawassul sebagai konsep perantara doa

sehingga pola perilaku ziarah yang dilakukan di makam keramat

Kyai Marogan pun cenderung lebih rasional-agamis, seperti hanya

membaca doa atau hanya membaca beberapa lantun ayat tanpa

membawa atau membeli sesuatu sebagai simbol berkah dari ritual

ziarah.56

6) Interdependensi Strata Berdasarkan Politik Terhadap Perilaku Ziarah

Dalam konsep sosiologi terdapat perbedaan antara “kelas”

dan “elite”. Konsep ini dikemukakan oleh sosiolog Itali, Pareto

dan Mosca yang menjelaskan bahwa konsep kelas didasarkan pada

batasan ekonomi dan konsep elite didasarkan pada pengertian non

ekonomi. Golongan borjuasi sebagai suatu kelas, bisa merupakan

elite ekonomi, tapi belum tentu sekaligus menjadi elite politik,

karena elite politik bisa dipegang, umpamanya oleh golongan

55 Hasil wawancara dan observasi terhadap YT (lk/72/Komering) pada

tanggal 23 Agustus 2013. 56 Hasil wawancara dan observasi terhadap ZN (pr/36/Palembang), HM

(lk/28/Palembang), dan lain sebagainya.

Page 193: Stratifikasi Sosial dan Agama

184 Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola

Kepercayaan Masyarakat

agama atau militer. Ada elite bersifat plural dan kelas

mengandung pengertian homogen.57

Indikator yang dipergunakan untuk memilah masyarakat

atas dasar dimensi politik adalah distribusi kekuasaan. Menurut

Weber yang dimaksud dengan kekuasaan adalah peluang bagi

seseorang atau sejumlah orang untuk mewujudkan keinginan

mereka sendiri melalui suatu tindakan komunal meskipun

mengalami tantangan dari orang lain yang ikut serta dalam

tindakan komunal itu.58 Bentuk-bentuk kekuasaan pada

masyarakat tertentu sangat beraneka ragam dengan masing-

masing polanya. Gejala demikian menimbulkan lapisan kekuasaan

atau piramida kekuasaan, yang didasarkan pada rasa kekhawatiran

masyarakat akan terjadinya disintegrasi bila tidak ada kekuasaan

yang menguasainya. Karena integrasi masyarakat dipertahankan

oleh tata tertib sosial yang dijalankan oleh penguasa, masyarakat

mengakui adanya lapisan kekuasaan tersebut, walaupun kadang-

kadang kenyataan demikian merupakan beban. Kekuasaan disini

bukanlah semata-mata berarti bahwa banyak orang tunduk di

bawah penguasa, namun kekuasaan selalu berarti suatu sistem

lapisan bertingkat (hierarkis). Adapun stratifikasi kekuasaan

tersebut senantiasa ada dasar-dasarnya sehingga dapat berproses.

57 Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan

Perubahan Sosial, (Jakarta: LP3ES, 1999), 269. 58 Kekuasaan berbeda dengan kewenangan. Seseorang yang berkuasa

tidak selalu memiliki kewenangan atau menduduki jabatan formal. Yang

dimaksud dengan kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi individu-

individu lain mempengaruhi pembuatan keputusan kolektif. Dikatakan Robert

D. Putnam bahwa kekuasaan adalah probabilitas untuk mempengaruhi alokasi

nilai-nilai otoritatif. Narwoko dan Suyanto, Sosiologi Teks Terapan, 174.

Page 194: Stratifikasi Sosial dan Agama

Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola Kepercayaan Masyarakat

185

Bagan 7. Sistem Stratifikasi Kekuasaan dan Interdependensinya

Terhadap Pola Kepercayaan 59

pemimpin politik,

pemimpin partai,

orang kaya, pemimpin

organisasi besar

pejabat administratif,

kelas-kelas atas dasar

keahlian

ahli-ahli teknik, petani-petani,

pedagang-pedagang

pekerja-pekerja rendahan dan

petani-petani rendahan

Gambar tersebut menunjukkan kenyataan akan adanya

garis pemisah antara lapisan yang sifatnya terbuka dan

memungkinkan adanya mobilitas. Kelahiran tidak menentukan

seseorang, yang terpenting adalah kemampuan dan kadang-kadang

juga faktor keberuntungan. Tipe ini terbukti dari anggota-anggota

partai politik yang dalam suatu masyarakat demokratis dapat

mencapai kedudukan-kedudukan tertentu melalui partai.

Peziarah yang berada dalam strata berdasarkan politik ini

(yang memiliki wewenang maupun jabatan fungsional) juga kerap

datang berziarah ke makam keramat Kyai Marogan. Motif mereka

pun beragam, mulai dari memohon restu Kyai Marogan agar

terpilih kembali untuk menduduki jabatan tertentu60 sampai

mengucapkan nazar tertentu jika ia menduduki suatu jabatan61.

Pada momen pencalonan anggota legislatif misalnya, banyak caleg

yang mengunjungi makam Kyai Marogan untuk meminta restu

59 Gambar ini diadaptasi dari The Web of Government, 102. 60 Wawancara dengan SJ (lk/39) pada April 2014. 61 Wawancara dengan BM (lk/44) pada tanggal 22 Agustus 2013.

Rasional

Tradisionalis

me Islam

Tradisional

Page 195: Stratifikasi Sosial dan Agama

186 Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola

Kepercayaan Masyarakat

agar dapat mewakili daerahnya ke kursi DPR.62 Pola perilaku yang

mereka lakukan di makam ini adalah ketika masuk makam, mereka

datang ke juru kunci guna menyampaikan hajat mereka. Setelah

itu hajat diterima juru kunci kemudian juru kunci membacakan

doa kepada si caleg. Ada beberapa caleg yang langsung pulang

setelah dibacakan doa, namun ada pula caleg yang membaca yasin di makam Kyai Marogan. Berbeda dengan momen tersebut, ada

juga peziarah yang naik pangkat memutuskan untuk berziarah ke

makam Kyai Marogan. Hal ini ia lakukan sebagai bentuk

syukurnya atas restu dari sang Kyai. Menurut Bambang Pranowo,

ia menyikapi bahwa tradisi ziarah masyarakat Indonesia pada

dasarnya bisa diaktualisasikan yang lebih bermakna dan ambil sisi

positifnya saja. Hal ini dikarenakan di dalamnya ada makna

sejarah maupun ritual, yang disebabkan beberapa faktor seperti

faktor sosial, nilai-nilai agama, religius, serta tradisi yang sudah

melekat di kalangan masyarakat.63

Interdependensi antara stratifikasi kekuasaan dengan pola

kepercayaan dapat dilihat keterhubungannya. Pada umumnya

elite-elite birokrat memiliki pola kepercayaan yang rasional. Hal

ini dikarenakan elite birokrat telah mengalami adaptasi yang

tinggi di lingkungan tempat ia berinteraksi sehingga semakin

longgarnya pola kepercayaan tradisional. Sebaliknya, perubahan

pola pikir, termasuk pola kepercayaan, akan mempengaruhi pula

posisi seseorang dalam suatu hierarki, seperti adanya pola rasional

membuat individu/masyarakat lebih kritis dan mempertimbangkan

hal-hal yang akan menguntungkan untuk ke depannya. Pola pikir

yang rasional mampu memobilisasi masyarakat dari yang tadinya

hanya petani rendahan mampu menjadi elite birokrat. Namun, tak

hanya pola kepercayaan rasional saja yang mampu memobilisasi

62 Hasil wawancara dan observasi terhadap SJ (lk/39) dan MR (pr/36) di

bulan April 2014. 63 Berita UIN Online, Tradisi Ziarah Masyarakat Indonesia Sudah

Dipolitisasi, Diposting oleh rulam pada tanggal: 29 April 2011.

http://www.uinjkt.ac.id/index.php/component/content/article/1-headline/1914-

tradisi-ziarah-masyarakat-indonesia-sudah-dipolitisasi-.html

Page 196: Stratifikasi Sosial dan Agama

Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola Kepercayaan Masyarakat

187

hierarki seseorang. Individu memiliki berbagai alternatif cara

untuk mencapai tujuan tertentu.

Dalam kaitan ini, yang termasuk dalam strata menengah

adalah karyawan dan Weber menyebutnya sebagai kaum birokrat.

Weber menyimpulkan bahwa kecenderungan rasa keagamaan

birokrasi bersifat serba mencari untung dan enak. Hal ini

dikarenakan adanya rasa kekhawatiran, ketidakpastian, dan

ketidakmampuan mereka dalam menyelesaikan suatu

permasalahan. SK (pr/27) yang seorang pegawai birokrat,

misalnya, ia berziarah karena memiliki motif tertentu, yaitu

memiliki masalah rumah tangga. Ketidakmampuan SK dalam

menyelesaikan masalahnya membuat SK memilih berziarah untuk

sejenak menenangkan pikirannya.64 Selain ada karyawan, ada pula

pedagang/wirausaha, dan petani (pemilik lahan) yang menduduki

posisi strata menengah ini. Pola kepercayaannya pun seperti

halnya karyawan, karena memiliki suatu motif tertentu sehingga

pola kepercayaannya bisa bersifat overlapping antara magis,

tradisionalisme Islam, dan rasional. Berbeda halnya dengan strata

bawah yang diduduki oleh petani penggarap dan buruh. Mereka

cenderung memiliki pola kepercayaan yang magis karena

keterbatasan akses mereka.

B. Stratifikasi Keagaamaan dan Pola Kepercayaan

Kingsley Davis dan Wilbert E. Moore65 menyebut

interelasi agama dan stratifikasi sebagai religious stratification. Menurut Davis dan Moore stratifikasi agama adalah pembagian

masyarakat ke dalam lapisan hirarkis pada premis keyakinan

agama, afiliasi, atau praktik iman. Alasan mengapa agama

diperlukan ternyata dapat ditemukan dalam kenyataan bahwa

masyarakat manusia mencapai kesatuan terutama melalui

64 Hasil wawancara dan observasi terhadap SK (pr/27) pada tanggal 23

Agustus 2013. 65 Davis, Kingsley and Wilbert E Moore, 1945. “Some Principles of

Stratification,” American Sociological Review 10 (April): 242-249.

http://en.wikipedia.org/wiki/ religious_stratification (diakses pada 02 April

2012)

Page 197: Stratifikasi Sosial dan Agama

188 Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola

Kepercayaan Masyarakat

kepemilikan oleh anggotanya nilai utama tertentu dan berakhir

kesamaan. Selanjutnya, Davis dan Moore berpendapat bahwa

stratifikasi keagamaan merupakan “peran keyakinan agama dan

ritual untuk menyediakan dan memperkuat penampilan realitas

bahwa nilai-nilai utama tertentu telah dimiliki. Ini merupakan

salah satu penjelasan mengapa agama merupakan salah satu faktor

yang mendasari dan menghubungkan berbagai bentuk

ketidaksetaraan dalam stratifikasi.

Menurut Bryan S. Turner, stratifikasi keagamaan erat

kaitannya dengan sistem status sekuler. Pada satu sisi, terdapat

suatu kecenderungan dalam kelompok elite keagamaan untuk

direkrut besar-besaran dari elite-elite sekuler. Misalnya saja ulama

yang dijadikan ikon dalam suatu partai politik, namun pada sisi

yang lain, ahli agama “mengundurkan diri” dari pekerjaan untuk

mengembangkan bakat-bakat mereka membentuk suatu kelas tak-

produktif. Dengan demikian, dalam bahasa Marx, kelas penguasa

itu tidak produktif karena mereka tidak menghasilkan nilai

surplus. Kesulitan pun muncul berkaitan dengan usaha Hodgson

mempertahankan otonomi kesalehan dari penjelasan sosiologis,

yang berhubungan secara langsung dengan pemahamannya

terhadap pemisahan Weber antara kepentingan-kepentingan

“material” dan “spiritual”. Akibat-akibat yang ditimbulkan oleh

kepercayaan terhadap argumentasi metodologis bahwa komitmen-

komitmen nilai secara total terlpas dari fakta-fakta empirik.

Kepercayaan itu mengakibatkan seseorang tidak memiliki kriteria

untuk melakukan seleksi terhadap penafsiran-penafsiran yang

saling bersaing. Turner menegaskan bahwa seluruh kepercayaan

sosial merupakan sesuatu yang ditentukan, akan tetapi determinasi

sosial ini seharusnya tidak dirancukan dengan pertanyaan-

pertanyaan tentang rasionalitas, kebenaran, dan autentisitas.66

Analisis struktural fungsional terhadap interelasi antara

stratifikasi sosial dan pola kepercayaan dapat dilihat dari pola

tindakan masyarakat. Dalam hal ini, hubungan tersebut tercermin

dalam fenomena ziarah di mana masyarakat yang terstratifikasi

memiliki world view atau pola kepercayaan yang bervariasi, yang

66 Bryan S. Turner, Runtuhnya Universalitas Sosiologi Barat, 130.

Page 198: Stratifikasi Sosial dan Agama

Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola Kepercayaan Masyarakat

189

mereka refleksikan dalam tindakan mereka ketika berziarah.

Talcott Parson yang mengajukan teori tentang tindakan manusia

dalam hal ini membedakan ke dalam empat subsistem: organisme, personality, sistem sosial, dan sistem kultural. Keempat unsur ini

tersusun dalam urutan sibernetika (cybernetic order) yang menurut

Parson sebagai unsur yang mengendalikan tindakan manusia.67

Weber mengupas elemen-elemen petunjuk dalam perilaku

kehidupan dari strata sosial sangat mempengaruhi etika praktis

keagamaan masing-masing.68 Berbagai elemen ini menunjukkan

berbagai ciri yang lebih berkarakter dalam etika praktis, ciri etika

yang membedakan stau etika dari etika yang lain; dan, pada saat

yang sama, elemen-elemen ini begitu penting bagi etika ekonomi

masing-masing.

Tindakan sosial yang diajukan oleh Talcott Parson

sepenuhnya mengikuti karya Weber. Tindakan sosial yang

dimaksudkan Weber dapat berupa tindakan yang nyata-nyata

diarahkan kepada orang lain. Juga dapat berupa tindakan yang

bersifat membatin atau bersifat subyektif yang mungkin terjadi

karena pengaruh positif dari situasi tertentu. Atau merupakan

tindakan perulangan dengan sengaja sebagai akibat dari pengaruh

situasi yang serupa. Atau berupa persetujuan secara pasif dalam

situasi tertentu. Atas dasar rasionalitas tindakan sosial, Weber

membedakannya ke dalam empat tipe, yaitu traditional action, affectual action, werkrational action, dan zwerk rational. Kedua

tipe tindakan yang awal sering hanya merupakan tanggapan secara

otomatis terhadap rangsangan dari luar. Semua tindakan manusia

ditentukan oleh keempat subsistem: budaya, sosial, kepribadian,

dan organisme.69 Sistem kultural merupakan sumber ide,

pengetahuan, nilai, kepercayaan, dan simbol-simbol. Sistem ini

67 Narwoko dan Suyanto (Ed), Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan,

262. 68 Weber, studi Komprehensif Sosiologi Kebudayaan, 9. 69 Pertimbangan aspek-aspek tertentu sistem-sistem sosial digambarkan

dalam kerangka teori tindakan yang menunjukkan dengan mudah mengapa

pelapisan merupakan suatu fenomena mendasar. Pelapisan sebagaimana

diberlakukan di sini, merupakan suatu aspek dari konsep struktur sebuah sistem

sosial yang digeneralisasikan. Parson, Essei-Essei Sosiologi, 73.

Page 199: Stratifikasi Sosial dan Agama

190 Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola

Kepercayaan Masyarakat

penuh dengan gagasan dan ide, karena itu kaya akan informasi,

tetapi lemah dalam energi dan aksi. Untuk sampai pada tindakan

nyata, personality, sistem sosial berfungsi sebagai mediator

terhadap sistem kultural. Artinya simbol-simbol budayawi

diterjemahkan begitu rupa dalam sistem sosial yang kemudian

disampaikan kepada individu-individu warga masyarakat (sistem

sosial) melalui proses sosialisasi dan internalisasi. Semakin

rasional tindakan sosial itu semakin mudah dipahami.70

1) Traditional Action Traditional action, tindakan yang didasarkan atas

kebiasaan-kebiasan dalam mengerjakan sesuatu di masa lalu saja.

Mayoritas peziarah yang berziarah ke makam keramat Kyai

Marogan, menganggap ritual ziarah sebagai suatu tradisi yang

telah dilakukan oleh orang-orang sebelumnya. Sehingga tradisi

ziarah ini memiliki cara dan praktik tertentu dalam

mengaplikasikan persepsi ziarahnya. Cara ini didapatkan dari

proses enkulturasi yang telah ditanamkan dari generasi ke

generasi. Tindakan tradisional yang telah terenkulturasi dan

diaplikasikan di makam keramat Kyai Marogan dapat berupa

mengambil batu, menabur kembang, keramas kendaraan (mobil,

motor, perahu ketek, tongkang, becak, dan lain sebagainya),

mawa’ ayam item (membawa ayam hitam), membeli kemenyan,

penglaris, dan lain sebagainya.71 Tindakan tradisional seperti ini

mereka lakukan karena hal ini merupakan suatu tradisi yang telah

dilakukan oleh orang-orang sebelum mereka. Tradisi ini pun

semakin melekat karena pengalaman-pengalaman masyarakat yang

telah merasakan berkat/keberkahan atau keberhasilan dari tradisi

ziarah.

70 George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda,

(Jakarta: PT RajaGrafindo, 2007), 39. 71 Hasil wawancara dan observasi di lapangan.

Page 200: Stratifikasi Sosial dan Agama

Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola Kepercayaan Masyarakat

191

2) Affectual action Affectual action, tindakan yang dibuat-buat dipengaruhi

oleh perasaan emosi dan kepura-puraan si aktor. Tindakan ini

sukar dipahami, kurang atau tidak rasional. Tindakan yang

dilakukan oleh peziarah melalui affectual action ini adalah

berkenaan dengan persepsi dan motif mereka berziarah. Salah

seorang peziarah, YT (lk/72) misalnya berziarah ke makam Kyai

Marogan karena motif tertentu. Ia mempersepsikan motif

ziarahnya dikarenakan ia bermimpi dihampiri oleh sosok Kyai

Marogan yang menyuruhnya untuk datang ke makam Kyai

Marogan ini. Sebelumnya memang YT ini pernah mengambil batu

kerikil dari makam Kyai Marogan. Berdasarkan mimpinya

tersebut, ia kemudian mempersepsikannya sebagai suatu suruhan

agar ia berziarah ke makam Kyai Marogan guna mengembalikan

batu tersebut. Motif mimpi seperti ini sebenarnya tidak rasional

dan tidak logis karena tidak dapat dibuktikan secara empiris.

Sehingga perilaku ziarahnya pun menjadi sesuatu yang tidak

rasional.72

3) Werkrational action Werkrational action, dalam tindakan tipe ini aktor tidak

dapat menilai apakah cara-cara yang dipilihnya itu merupakan

yang paling tepat ataukah lebih tepat untuk mencapai tujuan yang

lain. Ini menunjuk kepada tujuan itu sendiri. Dalam tindakan ini

memang antara tujuan dan cara-cara mencapainya cenderung

menjadi sukar untuk dibedakan. Namun tindakan ini rasional,

karena pilihan terdapat cara-cara kiranya sudah menentukan tujuan

yang diinginkan. Tindakan tipe ini masih rasional karena itu dapat

dipertanggungjawabkan untuk dipahami. Pengaplikasian pola

tindakan ini dapat dilihat dari apa yang terjadi terhadap KL (pr/42)

yang berziarah ke makam keramat Kyai Marogan. Ia berziarah

bersama tetangganya karena motif adanya konflik dalam rumah

tangganya. Tujuannya berziarah ke makam ini adalah agar diberi

ketenangan jiwa dan ketenangan dalam rumah tangganya. Ia

72 Hasil wawancara dan observasi terhadap YT (lk/72) pada tanggal 23

Agustus 2013.

Page 201: Stratifikasi Sosial dan Agama

192 Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola

Kepercayaan Masyarakat

membawa nasi gemuk sebagai ungkapan lepas bala’ (masalah

hidup) kemudian ia membaca Yasin di makam Kyai Marogan.

Dalam tindakan ini memang antara tujuan dan cara yang dilakukan

dirasa tidak sinkron. Namun, tindakan ini bersifat rasional karena

makam merupakan tempat yang sunyi sehingga cocok untuk

menghadirkan suasana tenang.

4) Zwerk rational Zwerk rational, yakni tindakan sosial murni. Dalam

tindakan ini aktor tidak hanya sekedar menilai cara yang baik

untuk mencapai tujuannya tapi juga menentukan nilai dari tujuan

itu sendiri. Tujuan dalam zwerk rational tidak absolut. Ia dapat

juga menjadi cara dari tujuan lain berikutnya. Bila aktor

berkelakuan dengan cara yang paling rasional maka mudah

memahami tindakannya. Hal ini biasanya dilakukan oleh kaum

modernis yang melakukan tindakan ziarah yang berbeda dengan

tindakan-tindakan tradisional lainnya. Kaum modernis lebih

melihat bahwa ziarah bukanlah sesuatu yang diwajibkan dan dapat

mengabulkan permintaan seseorang. Kaum modernis lebih bersifat

rasional karena mereka menganggap ziarah bertujuan untuk

mengingatkan manusia kepada kematian. Tak hanya itu,

mendoakan orang yang telah meninggal tidak harus datang ke

makamnya tetapi bisa juga dilakukan oleh seorang individu di

mana saja.

C. Transisi Kepercayaan: Tradisional – Rasional

Pada umumnya, Islam di Nusantara berkembang melalui

pendekatan-pendekatan kultural yang dikembangkan dan

dilakukan oleh ulama. Ketika itu, aset-aset lokal yang tersedia

dimodifikasi menjadi sarana untuk penyebaran ajaran agama.

Dalam kondisi seperti ini, ajaran agama terkesan sangat adaptif

terhadap aspirasi dan inspirasi umatnya. Hal ini berbeda dengan

pendekatan meliterisme yang acapkali radikal dan sering

berbenturan dengan kearifan lokal. Berdasarkan kasus pendekatan

Page 202: Stratifikasi Sosial dan Agama

Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola Kepercayaan Masyarakat

193

kultural yang dilakukan oleh ulama ini, Taufik Abdullah73

memberi kesimpulan tentang adanya tiga pola penyebaran Islam di

Nusantara. Tiga pola yang dimaksud adalah pola Pasai, Malaka,

dan Jawa. Di dalam ketiga bentuk atau pola pendekatan itu

ulamalah yang menjadi figur sentral dalam pembumian ajaran

Islam. Ulama juga dipandang sangat menentukan arah dan laju

proses transformasi sosial yang dilaksanakan. Transformasi sosial

erat kaitannya dengan perubahan sosial yang bersifat profetik74.

Sulit dipungkiri bahwa perubahan sosial sangat menghendaki

kehadiran spirit profetik itu. Atas dasar itu, penggunaan

paradigma profetik akan mempermudah penjelasan perubahan

sosial ini. Paradigma yang dimaksud adalah mode of though, dan

mode of inquiry yang diharapkan bisa menghasilkan mode of knowing.

Peran ulama dalam menyebarkan agama Islam di Nusantara

sangatlah besar. Karisma yang dimiliki oleh ulama tersebut tidak

akan hilang meskipun mereka telah meninggal dunia. Bahkan

untuk menghormati para ulama tersebut, masyarakat kerap kali

mengunjungi makam ulama tersebut karena mereka meyakini

bahwa meskipun ulama tersebut telah tiada namun karomah beliau

akan tetap ada di makamnya. Kepercayaan yang dipegang oleh

masyarakat ini dikarenakan masyarakat Indonesia pada umumnya

masih berada dalam tatanan masyarakat tradisional agraris, yang

mendasarkan kebudayaannya pada hal-hal yang lebih bersifat

emosional daripada rasional. Aspek keharmonisan yang membuat

kebanyakan masyarakat tradisional agraris merasa dekat dengan

kelompok masyarakat Islam. Hal ini pula yang merupakan alasan

73 Hanani, Silfia, Menggali Interelasi Sosiologi dan Agama. (Bandung:

Humaniora. 2011), 93. 74 Kata profetik berasal dari bahasa Inggris ‘prophet’, yang berarti nabi.

Menurut Ox-ford Dictionary ‘prophetic’ adalah (1) “Of, pertaining or proper to

a prophet or prophe-cy”; “having the character or function of a prophet”; (2)

“Characterized by, containing, or of the nature of prophecy; predictive”. Jadi,

makna profetik adalah mempunyai sifat atau ciri seperti nabi, atau bersifat

prediktif, memrakirakan. Profetik di sini dapat kita terjemahkan menjadi

‘kenabian’. (sumber: http://edymei.blog.ugm.ac.id/2011/04/01/diskusi-kajasha-

paradigma-ilmu-profetik/, diakses pada tanggal 11 Mei 2012)

Page 203: Stratifikasi Sosial dan Agama

194 Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola

Kepercayaan Masyarakat

mereka untuk mempertahankan upacara-upacara tradisional,

terutama kepercayaan terhadap wali atau para tokoh Islam, serta

kebiasaan ziarah, meskipun tradisi tersebut selalu dikecam oleh

kaum modernis.75 Begitu kuatnya tradisi ini di dalam masyarakat

setempat, sehingga kelompok masyarakat Islam tradisional

tersebut nyaris telah menjadi penyangga sistem budaya Islam

tradisional.76

Secara teologis keyakinan-keimanan para peziarah masih

ambivalen, campur aduk, dan tidak murni. Satu sisi mereka

menyatakan ketauhidannya secara mutlak akan tetapi di sisi lain

mereka menyimpan kepercayaan-kepercayaan tertentu terhadap

makam-makam yang dianggap keramat tersebut untuk

keberhasilan maksud dan tujuan yang mereka inginkan.

Persoalannya adalah bila mereka melakukan ziarah ke makam

keramat yang diyakini masyarakat luas berada pada garis yang

lurus, atau mungkin juga telah penyimpangan sehingga dapat

membahayakan kemurnian tauhid mereka karena ritualnya terjadi

tumpang tindih antara hal-hal yang berasal dari religi dan dari

tradisi.77

Pola kepercayaan masyarakat terhadap kekeramatan makam

dapat ditipologikan menjadi beberapa pola.78 Weber berupaya

75 Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta:

Pustaka Jaya. 1983) 76 Sutiyono, Benturan Budaya Islam: Puritan dan Sinkretis, (Jakarta: PT

Kompas Media Nusantara. 2010), 7 77 Ahmad Amir Azis, dkk. Kekeramatan Makam (Studi Kepercayaan

Masyarakat terhadap Kekeramatan Makam-makam Kuno di Lombok), (Jurnal

Penelitian Keislaman, Vol 1, No. 1, Desember 2004: 59-77. 78 Menurut Azis, sistem kepercayaan kekeramatan para peziarah dapat

ditipologikan ke dalam tiga kelompok, yaitu tradisionalisme Islam, mistis, dan

rasional. Ahmad Amir Azis, dkk. Kekeramatan Makam (Studi Kepercayaan Masyarakat terhadap Kekeramatan Makam-makam Kuno di Lombok), (Jurnal

Penelitian Keislaman, Vol 1, No. 1, Desember 2004: 59-77. Sekilas jauh ke

belakang tipologi ini juga sama dengan apa yang dicetuskan oleh Auguste

Comte yang berbicara tentang “Hukum Tiga Tahap” yang terdiri dari tahap keagamaan, tahap metafisik, dan tahap positif. Comte mengartikan tahap

keagamaan (atau theological) sebagai periode pandangan dan pemahaman

mistis; tahap metafisik, merupakan periode di mana yang digunakan untuk

Page 204: Stratifikasi Sosial dan Agama

Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola Kepercayaan Masyarakat

195

melihat tingkatan pola ini, namun terjadi ketidakkonsistenan

dalam penggunaan istilahnya. Weber mencampuradukkan berbagai

istilah antara system of belief, world-view, dan kadang-kadang

ideologi. Sistem kepercayaan atau world-view dalam kehidupan

sosial dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu magic, religion, dan science.79 Pola kepercayaan masyarakat/peziarah

yang pertama adalah pola kepercayaan magic. Pola magic ini

menekankan pada aspek kekayaan batin dan kekuatan supra

dengan tanpa didasari alur logika. Pola perilaku dan kepercayaan

ditunjukkan melalui pengkultusan makam seperti mengambil batu

kerikil makam, menabur kembang, membeli barang-barang

simbolik yang dianggap memiliki suatu kekuatan atau dapat

mengabulkan keinginannya, membawa makanan, hewan, dan lain

sebagainya. Hal ini merupakan potret kepercayaan masyarakat

yang berbau mistis. Membeli penglaris dagang misalnya

merupakan usaha peziarah agar usaha/dagangannya semakin lancar

dan sukses. Pola kepercayaan seperti ini sebenarnya merupakan

pola kepercayaan kuno di mana sebelum masyarakat mengenal

agama (Islam), mereka menganut paham animisme. Dalam

perspektif teologi Islam, pola kepercayaan ini dipandang – atau

mendekati ke arah – syirik. Selanjutnya, tipologi yang kedua adalah religion atau agama,

yang dalam hal ini adalah tradisionalisme Islam. Dalam hubungan

ini, mereka mengakui pentingnya intensitas hubungan dan kontak

spiritual dari orang yang masih hidup kepada mereka yang sudah

meninggal. Kelompok peziarah yang termasuk dalam tipologi ini,

sistem kepercayaan yang diyakininya adalah bahwa yang

dilakukan di makam keramat ini adalah mendo’akan arwah yang

dimakamkan disini. Tokoh yang dimakamkan sudah selayaknya

diziarahi makamnya karena mereka adalah ulama yang memiliki

mengorganisasi dunia pengalaman bukannya kategori rasional subjektif, tetapi

kategori dan konsep yang abstrak; sedang tahap positif merupakan periode di

mana dikembangkan mode pemahaman ilmiah dan pembentukan konsep

modern. Thomas F.O’Dea, Sosiologi Agama, diterjemahkan Tim Penerjemah

Yasogama, (Jakarta: CV. Rajawali, 1985), 82 79 Ralph Schroeder, Max Weber Tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan,

terjemahan Ratna Noviani, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), xi.

Page 205: Stratifikasi Sosial dan Agama

196 Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola

Kepercayaan Masyarakat

kedekatan hubungan dengan Allah dan mereka juga memiliki jasa

besar dalam mengembangkan Islam. Alasan sebagian lainnya

menegaskan bahwa orang yang masih hidup perlu menunjukkan

bukti kebaktian, penghormatan dan kecintaan kepada mereka yang

sudah meninggal.

Pola kepercayaan yang ketiga adalah pola kepercayaan

science atau yang mendasarkan sesuatu berdasarkan rasional. Pola

ini dianut oleh para peziarah yang memandang kekeramatan

makam sebagai hal yang biasa, bukan hal yang luar biasa. Para

peziarah biasanya menghormati makam ini dengan penghormatan

yang wajar tanpa melibatkan emosi keagamaan yang berlebihan.

Kelompok yang menganut pola kepercayaan rasional ini sama

sekali tidak meyakini bahwa makam dapat menjadi suatu

instrumen yang memiliki kekuatan tertentu, seperti

menyembuhkan orang sakit, mendatangkan keselamatan, dan

mengabulkan keinginan-keinginan peziarah lainnya. Menurut

kelompok ini, makam hanyalah suatu simbol yang tidak fungsional

dan untuk mengabulkan keinginannya, kelompok ini lebih percaya

kepada usaha yang telah dilakukan.

Perkembangan tipologi tersebut merupakan suatu proses

sosial yang telah terjadi dalam kehidupan masyarakat. Tetapi hal

tersebut tidak dapat dipostulatkan sebagai hukum gerak kepada

kemajuan, dan tidak pula mengabaikan kenyataan bahwa tahap-

tahap itu sering tumpang tindih, dan dalam pengalaman manusia

memang sering terjadi secara bersamaan. Weber juga melihat

tahap-tahap perkembangan tersebut linear, tetapi bisa juga

mengalami tumpang tindih (overlapping) dalam suatu masa

tertentu. Harus diakui bahwa tahap awal perkembangan

rasionalitas manusia diawali dan didominasi oleh magis, sedang

perwujudan nyata magis meliputi simbol-simbol, cara-cara

pemujaan, dan orangnya sendiri (magician). Magis kemudian

menghasilkan mitos yang dikembangkan oleh masyarakat.

Sebenarnya mitos merupakan bentuk pengungkapan intelektual

yang primordial dari berbagai aspek dan kepercayaan keagamaan.

Mitos telah dianggap sebagai “filsafat primitif, bentuk

pengungkapan pemikiran yang paling sederhana, serangkaian

Page 206: Stratifikasi Sosial dan Agama

Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola Kepercayaan Masyarakat

197

usaha untuk memahami dunia, untuk menjelaskan kehidupan dan

kematian, takdir dan hakikat, dewa-dewa dan ibadah”.80

Agama mengarahkan kehidupan pemeluknya agar sesuai

dengan tujuan-tujuan keselamatan. Reorientasi batin seseorang

akan mengubah perilaku luarnya dan dapat membentuk kembali

hubungan-hubungan sosial yang kemudian berpengaruh pada

perubahan sosial dan ekonomi.81 Setelah tipologi agama, terdapat

sistem kepercayaan baru, yaitu ilmu pengetahuan (science) yang

menawarkan teknik rasional, seperti kalkulasi sarana-tujuan

(means-ends calculation), telah menurunkan peran magis dan

agama dalam hal memahami realitas dunia. Ini merupakan gejala

memudarnya daya-daya magis dunia karena dengan penerapan

metode ilmu untuk menguak berbagai fenomena yang sebelumnya

dianggap misteri menjadi dapat dijelaskan secara rasional.82

Overlapping maupun transisi pola kepercayaan merupakan

bagian dari perubahan sosial dalam suatu masyarakat. Ogburn

mengemukakan bahwa ruang lingkup perubahan-perubahan sosial

meliputi unsur-unsur kebudayaan baik yang material maupun yang

non-material.83 Yang ditekankannya adalah pengaruh besar unsur-

unsur kebudayaan material terhadap unsur-unsur non-material.

Dengan pengertian ini, Ogburn sebenarnya ingin mengatakan

bahwa perubahan-perubahan sosial terkait dengan unsur-unsur

fisik dan rohaniah manusia akibat pertautannya dengan dinamika

manusia sebagai suatu totalitas. Perubahan pola pikir, pola sikap

dan pola tingkah laku manusia (yang bersifat rohaniah) lebih besar

dipengaruhi oleh perubahan-perubahan kebudayaan yang bersifat

material. Menurut Scott, proses diferensiasi kultural merupakan

bagian dari modernisasi.84 Hal ini dapat dilihat dari pola tindakan

80 O’Dea, Sosiologi Agama, 80 81 Ralph Schroeder, Max Weber Tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan,

xii. 82 Schroeder, Max Weber Tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan, xii. 83 Jelamu Ardu Marius. Perubahan Sosial, September 2006, Vol. 2, No. 2.

Kajian Analitik/Jurnal Penyuluhan. Institut Pertanian Bogor. 125. 84 Dalam kerangka ini menurut Scott, modernisasi terdiri dari tiga tahap:

tahap primitif, tahap religio-metafisis, dan tahap modern. Secara garis besar,

dalam masyarakat primitif, budaya dan sosial belum terdiferensiasi. Sebenarnya

Page 207: Stratifikasi Sosial dan Agama

198 Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola

Kepercayaan Masyarakat

peziarah yang mengalami transisi. Keadaan ekonomi, psikologi,

dan geografi (unsur-unsur kebudayaan material) dari peziarah

membuat mereka berkunjung ke makam keramat agar bisa

mendapatkan keberkahan hidup. Keadaan-keadaan seperti ini turut

menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan pada aspek-aspek

kehidupan sosial lainnya seperti mengubah pola pikir masyarakat

yang teraktualisasi melalui pola tindakan ziarah mereka.

Kehadiran Islam di wilayah Indonesia berkembang melalui

sendi-sendi budaya yang ada dalam masyarakat. Islam

terakulturasi dalam budaya-budaya masyarakat lokal. Masuk dan

berkembangnya Islam dalam masyarakat bukan sesuatu yang

dipaksakan tetapi lebih dikarenakan kedekatan Islam yang

menggunakan budaya lokal sebagai suatu sarana sehingga

mendapat tempat di hati masyarakat. Ritual-ritual keagamaan pun

dimodifikasi menggunakan budaya setempat dan terus

terenkulturasi dalam masyarakat hingga saat ini. Ziarah sebagai

bentuk dari akulturasi antara ritual keagamaan dan budaya

menjadi contoh konkrit dari enkulturasi yang tumbuh dan

berkembang dalam masyarakat – khususnya masyarakat muslim

Indonesia. Namun, meskipun hal itu telah terenkulturasi dalam

masyarakat, pada prinsipnya suatu tradisi, termasuk tradisi ziarah,

bukanlah suatu hal yang sifatnya statis dan tidak berubah sama

sekali. Perubahan ini merupakan bagian dari dinamika kultural

yang tak dapat dihindari. Tradisi ini memang terenkulturasi atau

diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya namun dalam

agama dan ritual-ritualnya merupakan bagian dari sosial. Yang suci ada secara

imanen dalam yang profan. Lebih jauh lagi, alam dan lingkup spiritual dalam

animisme dan totenisme masih tidak terdiferensiasi. Peranan dukun

menggarisbawahi ambiguitas pembedaan antara yang-ada-di-dunia ini dan

yang-di-luar-dunia. Pada tahap kedua, tahap religio-metafisi, modernisasi

mengakibatkan munculnya diferensiasi kultural dari sosial, dna yang suci dari

yang profan pada agama-agama dunia. Dalam hal ini, proses modernisasi

tampaknya terjadi melalui diferensiasi spiritual dari yang sosial. Dalam arah ini,

modernisasi lebih lanjut terjadi dalam otonomisasi Renaissans kultur sekuler

dari budaya religius. Proses diferensiasi dan otonomisasi membuka

kemungkinan adanya perkembangan “realisme” baik dalam seni maupun

epistemologi. Scott Lash, The Sociology of Postmodernism, (London: Rotledge,

1990), 19.

Page 208: Stratifikasi Sosial dan Agama

Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola Kepercayaan Masyarakat

199

situasi, kondisi dan waktu yang berbeda dengan sebelumnya.

Akibatnya akan ada perubahan-perubahan baik dalam skala kecil

atau besar. Perubahan-perubahan ini sedikitnya dipengaruhi oleh

dua hal mendasar:85 pertama, tuntutan modernitas yang mendesak,

sehingga diniscayakan adanya penyesuaian-penyesuaian dalam

tradisi itu sendiri. Kedua, tidak sempurnanya proses pewarisan

tradisi dari generasi tua kepada generasi selanjutnya. Hal ini

terjadi lantaran kurangnya minat generasi muda untuk

mempelajari dan mempraktikkan nilai-nilai tradisi tersebut.

Namun demikian, yang perlu dipahami disini, dalam proses

pewarisan, memang ada hubungan dialektik yang terjadi terus

menerus antara tradisi, masyarakat dan zaman di mana proses

tersebut berlangsung. Antar ketiganya meniscayakan adanya

dialog yang terjadi secara dinamis sehingga menghasilkan nilai-

nilai dan tradisi baru yang disepakati bersama, yang sesuai zaman.

Menurut Dawam Rahardjo, terdapat tiga dimensi masalah

identitas yang dihadapi umat Islam di Indonesia saat ini, yaitu

tradisi, Islam, dan modernitas. Dalam menghadapi tiga dimensi

budaya tersebuit, gerakan Islam sebenarnya masih berada dalam

proses belajar dan mencari identitasnya. 86

Bagan 8. Dimensi Budaya

85 Paisun, Dinamika Islam Kultural (Studi Atas Dialektika Islam dan

Budaya Lokal Madura), Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) Ke-10,

Banjarmasin, 1-4 November 2010, 230. 86 Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan

Perubahan Sosial, 219.

Tradisi Modernitas

Islam

Page 209: Stratifikasi Sosial dan Agama

200 Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola

Kepercayaan Masyarakat

Tradisi adalah seperangkat sistem perilaku, kepercayaan,

kelembagaan atau keterampilan yang dialihkan secara turun

temurun dari satu generasi ke generasi sesudahnya dan dirasakan

sebagai warisan bersama kelompok-kelompok sosial di Nusantara.

Dalam teori modernisasi, tradisi dianggap sebagai faktor

penghambat dan merupakan sesuatu yang perlu ditinggalkan. Tapi

tidak satu masyarakat pun mampu meninggalkan tradisi tanpa

ketegangan, karena ia sudah merupakan bagian dari kepribadian.

Oleh sebab itu pada akhirnya masyarakat, terutama lapisan

cendikiawan pada akhirnya akan selalu bersikap untuk

mempertimbangkan tradisi. Tradisi dipertimbangkan kembali

untuk diaktualisasikan atau dimodernisasikan.87

Gerakan Islam juga melihat tradisi sebagai masalah.

Masalah itu baru tampak dengan timbulnya gerakan

Muhammadiyah yang melihat unsur-unsur bid’ah, khurafat dan

takhayul yang bertentangan dengan ajaran tauhid murni.

Pandangan gerakan modernis Islam ini tak urung menimbulkan

reaksi juga di lingkungan kaum muslimin sendiri dan mendorong

prakarsa untuk mempertahankan dan memelihara tradisi, dengan

lahirnya gerakan Nahdhatul Ulama, sebagai pemelihara tradisi

Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Hal ini dilakukan oleh kelompok

Nahdlatul Ulama (NU) yang memiliki prinsip “mempertahankan

warisan lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang

lebih baik”.88

Bagi kaum tradisi umumnya dan kaum muslimin, proses

modernisasi tetap tak bisa dihindarkan. Namun mereka sadar

terhadap berbagai unsur yang dianggap negatif dengan modernitas.

Karena itu ditempuh untuk menghadapi tiga dimensi budaya itu

adalah membumikan atau mempribumisasikan ajaran Islam dalam

arti memberikan warna budaya dalam pelaksanaan ajaran-ajaran

Islam tanpa merusak esensinya, menyeleksi unsur-unsur tradisi.

Itulah arah sintesa yang selama ini ditempuh. Sungguhpun

87 Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan

Perubahan Sosial, 220. 88 Zada Khamami dan A. Fawaid Sjadzili (Ed), Nahdlatul Ulama:

Dinamika Ideologi dan Politik Kenegaraan, (Jakarta: Kompas, 2010), 131.

Page 210: Stratifikasi Sosial dan Agama

Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola Kepercayaan Masyarakat

201

demikian, dalam masyarakat akan tetap ada gerakan-gerakan yang

menitikberatkan dan mengambil corak tebal tradisional, Islam

ortodoks dan modernitas-westernis. Di lingkungan gerakan Islam,

warna budaya yang menonjol adalah Islam tradisional, yang

barangkali diwakili oleh NU. 89

Kecenderungan perkembangan masyarakat modern saat ini

mendorong kehidupan sosial yang kian tersegmentasi, sehingga

semakin mencerai-beraikan ikatan sosial dan keagamaan yang

sebelumnya tampak kokoh. Kuntowijoyo90 menilai bahwa muslim

di Indonesia tersegmentasi ke dalam beberapa golongan.

Penilaiannya melihat bahwa perlu adanya pembeda antar golongan

muslim yang berorientasi kebudayaan Islam dan golongan muslim

yang berorientasi pemikiran sekuler barat.

Transisi maupun perubahan sosial yang terjadi di dalam

masyarakat, yang dalam hal ini adalah adanya transisi pola

kepercayaan masyarakat, dikhawatirkan mengarah pada proses

sekulerisasi. Sekulerisasi ini mengacu pada proses di mana agama

kehilangan dominasi atau signifikansi sosial dalam masyarakat.91

Bryan Wilson, Peter Berger, David Martin, dan Steve Bruce

melihat sekulerisasi sebagai suatu bentuk konsekuensi atas

89 Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial, 223.

90 Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, (Bandung:

Mizan, 2008), 487. 91 Menurut Northcott, mundurnya pengaruh agama dapat diamati dengan

indikator-indikator berikut ini (1) Kemunduran partisipasi dalam aktivitas dan

upacara-upacara keagamaan; (2) Kemunduran keanggotaan organisasi-

organisasi keagamaan; (3) Kemunduran pengaruh institusi-institusi keagamaan

dalam kehidupan dan institusi-institusi sosial; (4) Berkurangnya otoritas yang

dimiliki dan menurunnya keyakinan terhadap ajaran-ajaran keagamaan; (5)

Berkurangnya ketaatan privat, doa, dan keyakinan; (6) Kemunduran otoritas

tradisional yang didukung oleh nilai-nilai moral serta keagamaan; (7)

Berkurangnya signifikansi sosial dari profesional-profesional keagamaan,

kekurangan dalam lapangan kerja, dam di beberapa negara anti klerikalisme

(mereka yang menentang paham yang mendukung campur tangan kaum

rohaniawan [Katolik Roma] dalam urusan politik); dan (8) Privatisasi atau

sekulerisasi internal terhadap ritual-ritual dan sistem keyakinan keagamaan.

Michael S. Northcott dalam Peter Connoly (ed), Approaches to the Study of Religion, Imam Khoiri (penerjemah), Yogyakarta: LkiS, 2002. 299.

Page 211: Stratifikasi Sosial dan Agama

202 Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola

Kepercayaan Masyarakat

hadirnya modernisasi. Pergeseran yang terjadi dalam masyarakat –

dari pedesaan ke perkotaan, dan dari pertanian ke industrial –

dilihat signifikan. Di daerah pedesaan, masyarakat hidup secara

berdampingan di mana komunitas-komunitas organik yang kecil,

dan kehidupan mereka ditentukan oleh liturgi, musim-musim

alamiah, ritual-ritual keagamaan, takhayul, dan legenda.

Kepercayaan masyarakat pedesaan pada orang-orang yang

dianggap “suci” juga masih sangat kuat dan tradisi-tradisi pada

masyarakat desa seperti melaksakan tradisi yang berkaitan dengan

siklus hidup (mulai dari prosesi kelahan sampai pada

memperingati kematian), tradisi yang mengharapkan keberkahan

(sedekah), dan memperingati hari-hari keagamaan diekspresikan

oleh masyarakat desa sebagai bentuk ritual yang menjadi tradisi.

Dalam hal ini nilai-nilai keagamaan mengontrol hubungan dan

peran dalam kehidupan masyarakat pedesaan. Hal ini tentunya

berbeda dengan masyarakat perkotaan yang berada dalam

komunitas mekanik. Pengaruh industrialisasi dan modernisasi di

perkotaan, menjadikan masyarakat perkotaan bersifat dinamis,

cenderung individualistik, dan rasional. Kecenderungan ini

menjadikan masyarakat perkotaan apatis terhadap urusan yang

berbau ritual keagamaan seperti yang dilakukan oleh masyarakat

pedesaan. Ritual-ritual yang sifatnya periodik dan penuh dengan

massifikasi dianggap sebagai sesuatu yang tidak penting untuk

dilaksanakan dan nilai-nilai keagamaan menjadi dianggap kurang

signifikan bagi masyarakat perkotaan.

Page 212: Stratifikasi Sosial dan Agama

BAB VI

“Interdependensi antara stratifikasi sosial dan agama tidak hanya

bersifat linear namun juga dapat bersifat overlapping” -- Penulis –

Page 213: Stratifikasi Sosial dan Agama

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa

terdapat interelasi antara stratifikasi sosial dan pola kepercayaan

yang ada di dalam masyarakat, yaitu semakin tinggi strata

seseorang maka akan semakin rasional pola kepercayaannya.

Namun, pernyataan ini bukanlah suatu generalisasi yang bersifat

linear karena dapat pula bersifat overlapping. Hal ini disebabkan

kepercayaan masyarakat terhadap kekeramatan makam tidaklah

bersifat tunggal. Makam merupakan suatu simbol yang

diinternalisasi oleh suatu masyarakat sehingga menjadi suatu

enkulturasi atau tradisi. Dalam hal ini ziarah telah terenkulturasi

dengan baik di kalangan masyarakat sehingga menjadi suatu

tradisi yang sulit dilepaskan dalam masyarakat.

Banyak motif dan tujuan yang diinginkan oleh tiap-tiap

peziarah. Praktisnya pun dilakukan oleh peziarah berdasarkan

strata dan pola kepercayaannya. Interdependensi strata terhadap

pola kepercayaan masyarakat sangatlah signifikan sehingga

berdampak pada pola tindakan mereka di makam keramat. Hal ini

menunjukkan bahwa stratifikasi sosial tidak hanya ditentukan oleh

determinan ekonomi semata, namun juga dapat ditentukan oleh

determinan-determinan lain, seperti sosio-religius, sosio-kultural,

politik, pendidikan dan etnisitas. Interdependensi strata ini dapat

mendeskripsikan pola kepercayaan yang dimiliki oleh suatu

masyarakat, seperti pola kepercayaan mistis atau magic, agama

atau tradisionalis Islam, dan science atau rasional.

Praktik ziarah yang dilakukan oleh masyarakat di makam

Kyai Marogan menunjukkan keterkaitan antara stratifikasi dan

Page 214: Stratifikasi Sosial dan Agama

206 Penutup

pola kepercayaan tersebut yang teraplikasi melalui perilaku

ziarahnya. Masyarakat yang memiliki strata rendah pada

umumnya masih memiliki pola kepercayaan terhadap hal-hal yang

berbau magis. Sebaliknya masyarakat yang berada pada strata atas

memiliki pola kepercayaan yang lebih rasional. Hal ini disebabkan

karena masyarakat yang berada pada strata bawah kurang

memiliki akses dan lebih bersifat tertutup sehingga pola

kepercayaannya cenderung normatif terhadap hal-hal yang bersifat

tradisi. Sedangkan masyarakat yang berada dalam strata atas,

mereka lebih bersifat terbuka dan memiliki akses terhadap

berbagai informasi sehingga bisa lebih rasional.

Namun, interdependensi stratifikasi terhadap pola

kepercayaan tidak bersifat mutlak bahkan bisa terjadi overlapping antara strata tertentu dengan pola kepercayaan tertentu. Hal ini

menunjukkan bahwa tidak ada generalisasi atau klaim-klaim

tertentu terhadap peziarah.

B. Saran

Buku ini merupakan penelitian kualitatif-deskriptif yang

menggunakan pendekatan sosiologi dan antropologi sehingga

proposisi-proposisi yang dihasilkannya baru memasuki tahapan

sebagai hipotesis yang sebenarnya memerlukan kajian lebih lanjut.

Ziarah perlu dikemas lebih lengkap lagi, sehingga selain

berziarah ke makam, para peziarah juga dapat memperoleh

pemahaman yang lebih baik terhadap perjuangan tokoh

panutannya dalam pengembangan agama Islam. Peziarah juga

dapat memperoleh sensasi spiritual yang dapat menimbulkan

kedamaian dan kesejukan hati yang dalam.

Adanya kategorisasi strata dan pola kepercayaan yang

dideskripsikan dalam buku ini bukan sebuah klaim yang mutlak.

Stratifikasi masyarakat dapat bersifat terbuka dan pola

kepercayaannya pun dapat mengalami transisi. Namun, semoga

buku ini dapat lebih memberikan pemahaman yang komprehensif

tentang stratifikasi dan pola kepercayaan melalui tradisi ziarah

dalam usaha menciptakan wawasan budaya untuk membangun

masyarakat religious dan modern.

Page 215: Stratifikasi Sosial dan Agama

DAFTAR PUSTAKA

GLOSARIUM

INDEKS

BIODATA PENULIS

Page 216: Stratifikasi Sosial dan Agama

Daftar Pustaka 209

DAFTAR PUSTAKA

REFERENSI BUKU:

‘Abd Ba>sit, dan ‘Abd Mu’ti. “Itija>ha>t Naz}ariyah fi> ‘Ilm al-Ijtima>’”. Kuwait: alMajlis al-wat{ani lil thaqa>fah wa al-

funu>n wa al-ada>b. 1981.

al-Maraghi, Ahmad Musthafa. Tafsir al Maraghi, Juz VII. Mesir:

Darul Hikam. 1974.

Abdullah, Makmun., dkk. Kota Palembang Sebagai Kota Dagang dan Industri. Jakarta: Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional

Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.

1985.

Abdullah, Taufik. Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia.. Jakarta: LP3ES. 1987.

________. Sejarah Lokal di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada

Univ. Press. 1986.

AG, Muhaimin. Islam dalam Bingkai Budaya Lokal: Potret dari Cirebon. Jakarta: Logos. 2002.

Agus, Bustanuddin. Agama Dalam Kehidupan Manusia. Jakarta:

PT RajaGrafindo Persada. 2006.

Al-Barry, Dahlan Yacub. Kamus Sosiologi dan Antropologi. Surabaya: Indah. 2001.

al-Shima>s, Isa. “Madkhal Ila< ‘Ilm al-Insa>n (al-Antru>bu>lu>jiya>)”.

Damaskus: Ittih{a>d al-Kita>b al-‘arab. 2004.

Alphonso, Herbert and Robert Faricy. Priest as Leader: The Process of the Inculturation of a Spiritual-Theological Theme of Priesthood in a United States Context. Rome:

Gregorian University Press. 1997.

Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia. Bandung: Mizan.

1994.

Page 217: Stratifikasi Sosial dan Agama

210 Daftar Pustaka

‘A>yid al-Wariyka>t Wara>id al-Khama>yisah, “al-Tabaqah al-

Ijtima>‘iyah Watadni> Mafhu>mu al-Dza>t wa ‘Ala>qatuhuma>

Biinhira>fi al-Ahda>th Dira>sah Mayda>niyah Ujribat ‘ala> al-

Tabaqah al-Dzuku>r fi Tarbiyah ‘Ama>n al-Tha>niyah-al-

Urdun”, Dira>sat al-‘Ulu>m al-Tarbiyah al-Mujalad 35, al-

‘Adad 1, 2008.

Beatty, Andrew. Varieties of Javanese Religion. Princeton:

Princeton University Press. 1999.

Berger, Peter L. The Social Reality of Religion. London. 1969.

Billah, dkk. Kelas Menengah Digugat. Jakarta: PT Fikahati

Aneska, 1993.

Bungin, Burhan. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rajawali

Press, 2003.

Cassier, Ernst. An Essay on Man. Garden City, New York:

Doubleday Anchor Books, 1953.

Chambert-Loir, Henri dan Claude Guillot. Ziarah dan Wali di Dunia Islam. Jakarta: Komunitas Bambu. 2010

Connoly, Peter (ed.). Aneka Pendekatan Studi Agama. Yogyakarta: LkiS. 2002.

Davidson, James.D and Pyle, R.E., Ranking Faiths: Religious Stratification in America (Lanham, MD: Rowman &

Littlefield, 2011.

Durkheim, Emile. Sejarah Agama: The Elementary Forms of the religious Life. Penerjemah: Inyiak Ridwan Muzir.

Yogyakarta: IRCiSoD. 2003.

Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta Gadjah Mada University Press. 2003.

Fahim, Husein. Qis{ah al-Antru>bu>lu>jiya> fus{u>l fi Ta>rikh ‘Ilm al-Insa>n”. Kuwait: alMajlis al-wat{ani lil thaqa>fah wa al-funu>n

wa al-ada>b. 1986.

Gadjahnata, KHO dan Sri Edi Swasono. Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan. Jakarta: UI-

Press. 1986.

Geertz, Clifford. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya. 1983.

Page 218: Stratifikasi Sosial dan Agama

Daftar Pustaka 211

________. The Religion of Java, diterjemahkan Aswab Mahasin

& Bur Rasuanto. Jakarta: Komunitas Bambu: 2013.

________. The Interpretation of Culture. New York: Basic Books.

1970.

Gerungan, W.A. Psikologi Sosial. Bandung: PT Refika Aditama,

2009.

Gha>zi> al-S{u>ra>ni>, al-Tahawula>t al-Ijtima >‘iyah wa al-Tabaqiyah fi> al-D{afah al-Gharbiyah wa Qita>‘u Ghazah (Ru’yah Naqdiyah). Dimashqa: Nad{a>l Nabi>l

abu> Ma>yilah, 2010. Giddens, Anthony. Central Problems in Social Theory. London:

Macmillan. 1979.

Hadi, Sumandiyo. Seni dalam Ritual Agama. Yogyakarta: Buku

Pustaka. 2006.

Hanafiah, Djohan. Masjid Agung Palembang: Sejarah dan Masa Depannya. Palembang: Haji Masagung. 1988.

________. Melayu-Jawa: Citra Budaya dan Sejarah Palembang. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 1995.

Hanani, Silfia. Menggali Interelasi Sosiologi dan Agama. Bandung: Humaniora. 2011.

Hendropuspito. Sosiologi Agama. Jakarta: Penerbit Kanisius.

1983.

Horton, Paul B dan Chester L. Hunt, Sosiologi, 6th edition (terjemahan). Jakarta: Erlangga. 1991.

Ibn Khaldu>n, Muqaddimah Ibn Khaldu>n. Damaskus: Da>r Ya‘rub.

2004.

Irwanto, Dedi, dkk. Iliran dan Uluan: Dinamika dan Dikotomi

Sejarah Kultural Palembang. Yogyakarta: Eja Publisher.

2010.

Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: PT.

Gramedia. 1986.

Kabba>ni>, Syekh Muh}ammad Hisya>m. Maulid dan Ziarah Ke Makam Nabi. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. 2007.

Kahmad, Dadang. Sosiologi Agama. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya. 2002.

Page 219: Stratifikasi Sosial dan Agama

212 Daftar Pustaka

Koentjaraningrat. Kebudayaan Jawa. Jakarta: PN: Balai Pustaka.

1984.

________. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama. 1997.

________. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.

1979.

Kuntowijoyo. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung:

Mizan. 2008.

Kuswarno Engkus. Fenomenologi Konsep, Pedoman dan Contoh Penelitiannya. Bandung: Widya Padjajaran.s. 2009.

Lawang, Robert M.Z. Stratifikasi Sosial di Cancar Manggarai Flores Barat Tahun 1950-an dan 1980-an. Jakarta: FISIP

UI Press. 2004.

Lash, Scott. The Sociology of Postmodernism. London: Rotledge.

1990.

Lenski, G.E. Power and Priveledge: A Theory of Social Stratification. New York: McGraw-Hill. 1966.

Loir, Henri Chambert dan Claude Guillot. Ziarah dan Wali di Dunia Islam. Jakarta: Komunitas Bambu. 2010.

Machadi Suhadi, Halina Hambali. Makam-Makam Wali Songo di Jawa. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan. 1998.

Majelis Diktilitbang dan LPI PP Muhammadiyah. 1 Abad Muhammadiyah. Jakarta: Kompas. 2010.

Marvine E. Olsen (Ed). Power in Societies. New York: The

Macmillan Company, 1970.

Memet, Ahmad. Sejarah Masjid Muara Ogan dan Masjid Lawang Kidul serta Biografi Kyai Muara Ogan. Palembang:

Yayasan Kyai Muara Ogan. 2005.

Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT.

Remaja Rosdakarya. 1998.

Muljana, Slamet. Sriwijaya. Yogyakarta: LkiS. 2006.

Narwoko, J. Dwi dan Bagong Suyanto (Ed). Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana. 2011.

Page 220: Stratifikasi Sosial dan Agama

Daftar Pustaka 213

Nasution, Zulkifli Abdul Karim. Islam dalam Sejarah dan Budaya Masyarakat Sumatera Selatan. Palembang: UNSRI Press,

2001.

Nottingham, Elizabeth K. Agama dan Masyarakat (terjemahan

Abdul Muis Naharong). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

2002.

O’Dea, Thomas F. Sosiologi Agama. diterjemahkan Tim

Penerjemah Yasogama. Jakarta: CV. Rajawali. 1985.

Pals, Daniele L. Seven Theories of Religion. Jakarta: Qalam. 2001.

Parson, Talcott. Actor, situation and normative pattern: an essay

in the theory of social action. Editedand Introduction by

Victor Lidz and Helmut Staubmann. Wien. Lit Verlag

(Volume Two in the seriesStudy in the Theory of Action

edited by Staubmann and Lidz). ASNP. 2011.

________. Esei-Esei Sosiologi, diterjemahkan S. Aji (Jakarta:

Aksara Persada Press. 1985.

Peeters, Jeroen. Kaum Tuo-Kaum Mudo: Perubahan Religius di Palembang 1821-1942. Jakarta: INIS, 1997.

Pucuk Pimpinan Muslimat NU Bidang Sosial, Budaya dan

Lingkungan Hidup. Pedoman Merawat Jenazah Menurut Syari’at Islam.. Jakarta: Suara Bebas. 2006.

Purnama, Dadang Hikmah. Modul Ajar Metode Penelitian Kualitatif. Palembang: UNSRI. 2009.

Rahardjo, Dawam. Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial. Jakarta: LP3ES, 1999.

Rahim, Husni. Sistem Otoritas dan Administrasi Islam: Studi Tentang Pejabat Agama Masa Kesultanan dan Kolonial di Palembang. Jakarta: Logos. 1998.

Raho, Bernard. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi

Pustakarya. 2007.

Ritzer, George. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda.

Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2007.

Riyanto, Geger. Peter L Berger: Perspektif Metateori. Jakarta:

LP3ES. 2009.

Robert, Keith A. Religion In Sociological Perspective. New York:

Wadsworth. 2004.

Page 221: Stratifikasi Sosial dan Agama

214 Daftar Pustaka

Roland Robertson. Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 1993.

Ruslan dan Arifin Suryo Nugroho. Ziarah Wali: Wisata Spiritual Sepanjang Masa. Yogyakarta: Pustaka Timur. 2007.

Said, Nurman. Masyarakat Muslim Makassar: Studi Pola-Pola Integrasi Sosial antara Muslim Pagama dengan Muslim Sossorang. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen

Agama RI. 2009.

Sanderson, Stephen K. Macrosociology. trans. Farid Wajidi, S.

Menno. Jakarta: PT RajaGrafindo. 2000.

Schroeder, Ralph. Max Weber Tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan. Yogyakarta: Kanisius. 2002.

Setiadi, Elly M dan Usman Kolip. Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahanny. Jakarta: Kencana. 2011.

Shalih, Syaikh Abu Umar. Ziarah Kubur Yang Dicontohkan Rasulullah. Solo: At-Tibyan . 2001.

S{iddiq, H{usain. “al-Inja>ha>t al-Naz{a>riyah lidira>sah al-Tanz{i>ma>t al-

Ijtima>‘iyah ‘Ard{u - wa Taqwi>m”, Majallah Ja >mi‘ah Dimishqa 27, al-‘Adad al-Tha>lith 2011.

Sobary, Mohammad. Kesalehan Sosial. Jakarta: LkiS. 2007.

Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: CV.

Rajawali. 2012.

Soemardjan, Selo dan Soelaeman, Setangkai Bunga Sosiologi (Jakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 1964.

Sorokin, Pitirim A. Social and Cultural Mobility. Collier-

Macmillan Limited London: The Free Press of Glencoe,

1959.

Steenbrink, Karel. Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19. Jakarta: Bulan Bintang. 2000.

Subhani, S.J. Tawassul, Tabarruk, Ziarah Kubur, Karamah Wali, Termasuk Ajaran Islam: Kritik Atas Paham Wahabi. Jakarta: Pustaka Al Hidayah. 1989.

Page 222: Stratifikasi Sosial dan Agama

Daftar Pustaka 215

Sudarja, Adiwikarta. Sosiologi Pendidikan: Isyu dan Hipotesis Tentang Hubungan Pendidikan dengan Masyarakat. Jakarta: Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan. 1988.

Sunarto, Kamanto. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga

Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 1993.

Sutiyono. Benturan Budaya Islam: Puritan dan Sinkretis. Jakarta:

PT Kompas Media Nusantara. 2010.

Syam, Nur. Islam Pesisir. Yogyakarta: LKiS. 2005.

Syari’ati, Ali. 1982. Tentang Sosiologi Islam, terj.Saifullah

Mahyudin, Yogyakarta: Ananda.

Sztompka, Piotr. Sosiologi Perubahan Sosial. Tashadi, dkk. Budaya Spiritual Dalam Situs Keramat Di Gunung

Kawi Jawa Timur. Jakarta: Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan. 1995.

Tirmidhi>, Sunan. Ba>b Fad}l al-Fiqh ‘ala> al-‘Iba>dah vol 5,48. Beirut:

Da>r al-Gharb al-Isla>mi>, 1998.

Tobroni dan Imam Suprayogo. Metodologi Penelitian Sosial-Agama. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2003.

Tohir, Mudjahirin. Orang Islam Jawa Pesisiran. Semarang: Fasindo

Press. 2006.

Turner, Bryan S. Agama dan Teori Sosial. Yogyakarta: IRCiSoD.

2006.

____________. Weber and Islam. Jakarta: Direktorat Pembinaan

Perguruan Tinggi Agama Islam. 1983.

Usman, Husaini dan Purnomo Setady Akbar. “Metodologi Penelitian Sosial”. Jakarta: Bumi Aksara. 2008.

Vincent Jeffries and H. Edward Ransford. Social Stratification : a Multiple Hierarchy Approach. Allyn and Bacon, INC.

United States of America. 1980.

Weber, Max. Economy and Society. New York: Bedminister.

1978.

________. Essays From Max Weber. Cambridge: Polity Press. 2002.

________. Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, terjemahan Yusup Priyadisudiarja, Yogyakarta: Jejak,

2007.

Page 223: Stratifikasi Sosial dan Agama

216 Daftar Pustaka

________. Sosiologi Agama. Terjemahan Muhammad Yamin.

Yogyakarta: IRCiSoD. 2002.

Wolters, O. W. History, Culture, and Region in Southeast Asian Perspective. Singapore: ISAS. 1982.

Woodward, Mark. Java, Indonesia and Islam. New York:

Springer. 2010.

Ya>ni>k Lu>mi>l, al-Tabaqa>t al-Ijtima>‘iyah. Fa>ransiyah: Da>r al-Kita>b

al-Jadi>d al-Muttahidah. 2008.

Zada, Khamami dan A. Fawaid Sjadzili (ed). Nahdlatul Ulama: Dinamika Ideologi dan Politik Kenegaraan. Jakarta:

Kompas, 2010.

Page 224: Stratifikasi Sosial dan Agama

Daftar Pustaka 217

JURNAL, ARTIKEL DAN HASIL PENELITIAN:

Ahmad Amir Aziz, dkk. “Kekeramatan Makam (Studi

Kepercayaan Masyarakat terhadap Kekeramatan Makam-

makam Kuno di Lombok)”. Jurnal Penelitian Keislaman,

Vol. 1, No. 1, (Desember 2004), 59-77.

Ahmad Falah, “Spiritualitas Muria: Akomodasi Tradisi dan

Wisata”, Walisongo, Volume 20, Nomor 2, November

2012, 430.

Badruddin. “Pandangan Peziarah Terhadap Kewalian Kyai Abdul Hamid Bin Abdullah Bin Umar Basyaiban Pasuruan Jawa Timur: Persepektif Fenomenologis”. Disertasi program

pascasarjana IAIN Sunan Ampel, Surabaya. 2011.

Blumberg, Rae Lesser. “Extending Lenski’s Schema to Hold up

Both Halves of the Sky: A Theory-Guided Way of

Conceptualizing Agrarian Societies That Illuminates a

Puzzle about Gender Stratification”. Sociological Theory, Vol. 22, No. 2, Religion, Stratification, and Evolution in

Human Societies: Essays in Honor of Gerhard E. Lenski

(Jun., 2004): 278-291.

http://www.jstor.org/stable/3648948. (diakses pada 02

April 2012).

Bond, George C. “Education and Social Stratification in Northern

Zambia: The Case of The Uyombe”. Anthropology and Education Quarterly, Vol. 13, No. 3, African Education and

Social Stratification (Autumn, 1982): 251-267.

http://www.jstor.org/stable/3216637. (diakses pada 02

April 2012).

Bruce C. Wearne, Exegetical Explorations: Parson' Convergence Concept, The American Sociologist Vol. 44, No. 3

(September 2013) (pp. 233-244) Published by: Springer.

http://www.jstor.org/stable/42635360 (diakses pada

tanggal 12 Juli 2014)

Collins, Randals and others. “Toward an Integrated Theory of

Gender Stratification”. Sociological Perspectives, Vol. 36,

No. 3 (Autumn, 1993): 185-216.

Page 225: Stratifikasi Sosial dan Agama

218 Daftar Pustaka

http://www.jstor.org/stable/1389242 (diakses pada 02 April

2012).

Constantina Safilios-Rothschild, “Family and Stratification: Some

Macrosociological Observations and Hypotheses”, Journal of Marriage and Family Vol. 37, No. 4, Special Section:

Macrosociology of the Family (Nov., 1975), pp. 855-860,

Published by: National Council on Family Relations,

http://www.jstor.org/stable/350837 (diakses pada tanggal

20 Juli 2013).

Davidson, James.D and Pyle, R.E., Ranking Faiths: Religious Stratification in America (Lanham, MD: Rowman &

Littlefield, 2011), pp. 219. Davidson, James D. Religious Stratification: Its Origins,

Persistence, and Consequences, Sociology of Religion; Winter 2008; 69, 4; ProQuest Research Library.

Davis, Kingsley and Wilbert E Moore, 1945. “Some Principles of

Stratification,” American Sociological Review 10 (April):

242-249. http://en.wikipedia.org/wiki/

religious_stratification (diakses pada 02 April 2012).

Dawson Munjeri, “Tangible and Intangible Heritage”, Museum International (2004), 56, 1-2, pp. 221-222.

Hapsa, Asal Usul Kota Palembang, http://freakingothic.blog.esaunggul.ac.id /2011/02/16/asal-

usul-kota-palembang/ (diakses pada tanggal 25 Maret

2012).

Hastings, James (ed). Encyclopedia of Religion and Ethics, vol.

10, New York, Charles Sribner’s sons, tanpa tahun, 663.

Hostettler, Ueli. “Labor Regime and Social Justice. Consequences

of Economic and Social Stratification among Maya

Peasents in Central Quintana Roo, Mexico”. Anthropos, Bd. 97, H. 1. (2002) 107-116.

http://www.jstor.org/stable/40465619. (diaksess pada 02

April 2012).

Hugo G. Nutini, “Social Stratification and Mobility in Central

Veracruz “, Social Sciences - Anthropology , 2009,

Published by: University of Texas Press ,

Page 226: Stratifikasi Sosial dan Agama

Daftar Pustaka 219

http://www.jstor.org/stable/10.7560/706958 (diakses pada

tanggal 20 Juli 2013)

Jamhari, “The Meaning Interpreted: The Concept of Barakah in

Ziarah”, Studia Islamika (Indonesian Journal for Islamic Studies), Vol.8, No.1, (2001), 87-123.

Jelamu Ardu Marius. Perubahan Sosial, September 2006, Vol. 2,

No. 2. Kajian Analitik/Jurnal Penyuluhan. Institut

Pertanian Bogor. 125.

Joan Huber, “Lenski Effects on Sex Stratification Theory”,

Sociological Theory Vol. 22, No. 2, Religion,

Stratification, and Evolution in Human Societies: Essays in

Honor of Gerhard E. Lenski (Jun., 2004), pp. 258-268,

Published by: American Sociological Association,

http://www.jstor.org/stable/3648946 (diakses pada tanggal

20 Juli 2013).

John Robert Warren, Jennifer T. Sheridan and Robert M. Hauser,

“Occupational Stratification across the Life Course:

Evidence from the Wisconsin Longitudinal Study,

American Sociological Review, Vol. 67, No. 3 (Jun., 2002),

pp. 432-455, Published by: American Sociological

Association, http://www.jstor.org/stable/3088965 (diakses

pada tanggal 20 Juli 2013).

Keating, Elizabeth. “Moments of Hierarchy: Constructing Social

Stratification by Means of Language, Food, Space, and the

Body in Pohnpei, Micronesia”. American Anthropologist, New Series, Vol. 102, No. 2 (Jun., 2000): 303-320.

http://www.jstor.org/stable/683680. (diakses pada 02 April

2012).

Levin, Shana. “Perceived Group Status Differences and the Effects

of Gender, Ethnicity, and Religion on Social Dominance

Orientation”. Political Psychology, Vol. 25, No. 1 (Feb.,

2004): 31-48. http://www/jstor.org/stable/37925222.

Matilda White Riley, “The Perspective of Age Stratification”, The School Review Vol. 83, No. 1, Responses to "Symposium

on Youth: Transition to Adulthood" (Nov., 1974), pp. 85-

91 Published by: The University of Chicago Press.

Page 227: Stratifikasi Sosial dan Agama

220 Daftar Pustaka

http://www.jstor.org/stable/1084143 (diakses pada tanggal

20 Juli 2013).

Mines, Mattison. “Muslim Social Stratification in India: The Basis

for Variation.”Southwestern Journal of Anthropology, Vol.

28, No. 4 (Winter, 1972): 333-349.

http://www.jstor.org/stable/3629316 (diakses pada 03 April

2012).

Nasution, Abdul Karim. Kiprah Ki Marogan Mengembangkan Islam di Uluan Palembang, dalam Jurnal Intizar Pusat

Penelitian IAIN Raden Fatah Palembang, volume 10 Nomor 2, Desember 2004, 267-269.

Paisun, Dinamika Islam Kultural (Studi Atas Dialektika Islam dan Budaya Lokal Madura), Annual Conference on Islamic

Studies (ACIS) Ke-10, Banjarmasin, 1-4 November 2010,

230.

Peter Poole, “Socialisation, Enculturation and the Development of Personal Identity”, In Tim Ingold (ed). Companion Encyclopedia of Anthropology: Humanity, Culture and Social Life. Pp. 831-860. London and New York:

Routledge.

Pyle, Ralph E and James D. Davidson. “The Origins of Religious

Stratification in Colonial America”. Journal for the Scientific Study of Religion, Vol. 42, No. 1 (Mar., 2003):

57-76. http://www.jstor.org/stable/1387985. (diakses pada

02 April 2012).

Rousseau, Jerome. “Hereditary Stratification in Middle-Range

Societies.” The Journal of the Royal Anthrolofical Institute, Vol. 7, No. 1 (Maret 2001): 117-131.

http://www.stor.org/stable/2660839. (diakses pada 03 April

2012).

Trujillo, Joaquin. “Accomplishing Meaning in a Stratified World:

An Existential Phenomenological Reading of Max Weber’s

Class, Status, Party”. Human Studies, Vol. 30, No. 4 (Dec.,

2007): 345-356. http://www.jstor.org/stable/27642807.

(diakses pada 02 April 2012).

Page 228: Stratifikasi Sosial dan Agama

Daftar Pustaka 221

Wilbert Santiago Poot-Pool, Hans van der Wal, Salvador Flores-

Guido, Juan Manuel Pat-Fernández and Ligia Esparza-

Olguín, “Economic Stratification Differentiates Home

Gardens in the Maya Village of Pomuch, Mexico”,

Economic Botany, Vol. 66, No. 3 (15 September 2012), pp.

264-275, Published by: Springer on behalf of New York

Botanical Garden Press.

http://www.jstor.org/stable/23324988 (diakses pada

tanggal 20 Juli 2013).

Yeld, E.R. “Islam and Social Stratification in Northern Nigeria”,

the British Journal of Sociology, Vol. 11, No. 2 (Juni 1960): 112-128. http://www.jstor.org/stable/587419

(diakses pada 03 April, 2012).

Zainuddin, Sayyed. “Islam, Social Stratification and

Empowerment of Muslim OBCs”, Economic and Political Weekly, Vol. 38, No. 46 (November 2003): 4898-4901.

http://www.jstor.org/stable/4414285 (diakses pada 02 April

2012).

Page 229: Stratifikasi Sosial dan Agama

222 Daftar Pustaka

REFERENSI SITUS INTERNET:

www.bkkbn.go.id

http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2012/10/07/siapakah-kelas-

menengah-di-indonesia-493650.html

http://www.bps.go.id (diakses pada tanggal 04 Juni 2012).

http://kiaimarogan.com/index.php?option=com_content&task=vie

w&id=13&Ittemid=26.

http://supriyanto2koma.wordpress.com/tag/hadist-tentang-ziarah-

kubur/

http://ziarahkubrapalembang.wordpress.com/ diakses pada tanggal

10 Juni 2013.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

http://www.uinjkt.ac.id/index.php/component/content/article/1-headline/1914-

tradisi-ziarah-masyarakat-indonesia-sudah-dipolitisasi-.html

http://belokkirikanan.blogspot.com/2012/09/wacana-sunni-syiah-di-indonesia-

3.html

http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,10-id,52870-

lang,id-c,ubudiyaht,Ziarah+Kubur+Menjelang+Ramadhan-

.phpx

http://edymei.blog.ugm.ac.id/2011/04/01/diskusi-kajasha-

paradigma-ilmu-profetik/, diakses pada tanggal 11 Mei

2012)

Page 230: Stratifikasi Sosial dan Agama

Glosarium 223

GLOSARIUM

Agama : sistem atau prinsip kepercayaan kepada

Tuhan dengan ajaran kebaktian dan

kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan

kepercayaan itu

Amalgamasi : perkawinan diantara dua pihak yang berbeda

agama, suku, budaya, status sosial-ekonomi

dan sebagainya

Akulturasi : proses percampuran dua kebudayaan atau

lebih yang saling bertemu dan saling

mempengaruhi; proses masuknya pengaruh

kebudayaan asing terhadap suatu masyarakat,

sebagian mengabsorpsi secara selektif sedikit

atau banyak unsur kebudayaan asing itu, dan

sebagian berusaha menolak pengaruh itu

Asketisisme : paham yang menekankan dan

mempraktekkan hidup sederhana, keujuran

dan kerelaberkobanan

Alingan : Dialingi, dilindungi. Orang yang dilindungi

oleh pembesar kesultanan

Determinan : sesuatu (kekuatan, kondisi, atau keadaan)

yang turut mendukung dalam menimbulkan

atau menghasilkan suatu resultan

Dikotomi : pembagian atau pemisahan dalam dua

kelompok

Emosi keagamaan : getaran jiwa yang menyebabkan seseorang

berperilaku religius

Enklave : wilayah budaya yang terletak di wilayah

kebudayaan lain

Enkulturasi : Proses pembudayaan

Etnik : menyangkut kelompok ras atau kelompok

sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan

yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu

karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan

sebagainya; kesukuan

Page 231: Stratifikasi Sosial dan Agama

224 Glosarium

Fenomena : suatu fakta, gejala-gejala, atau peristiwa-

peristiwa adat serta bentuk keadaan yang

dapat diamati dengan kacamata ilmiah

Habitualisasi : proses menjadi semakin terbiasa atau efektif

menyesuaikan diri kepada kondisi yang

menyangkutpengalaman, pekerjaan, atau

proses belajar

Hierarki : urutan bertingkat/berjenjang (abatan,

kedudukan, kelas sosial maupun ekonomi)

Interaksi sosial : hubungan sosial yang dinamis antara orang

perorangan, antara perseorangan dengan

kelompok

Interdependensi : keadaan saling bergantung; suatu pola

hubungan antara unit-unit sosial tertentu yang

saling bergantung antara satu sama lain

Jurai : Satu keturunan

Karisma : keadaan atau bakat yang dimiliki oleh

seseorang yang dihubungkan dengan

kemampuannya yang luar biasa dalam hal

kepemimpinan, sehingga menimbulkan

simpati, kepercayaan, pengakuan dan bahkan

kekaguman masyarakat luas terhadapnya

Kelas sosial : penggolongan masyarakat/kelompok

masyarakat berdasarkan kedudukan dalam

masyarakat, pendidikan, ekonomi, dan

sebagainya. Kepercayaan : suatu sistem

religi atau keyakinan yang dianut oleh suatu

masyarakat

Keramat : suci dan bertuahyang dipercaya mampu

memberikan efek magis dan psikologis bagi

orang yang mempercayainya; suci-pemisahan

segala unsur kehidupan biasa, karena

mempunyai signifikansi supernatural

Keyakinan : bagian agama atau religi yang berwujud

konsep-konsep yang menjadi kepercayaan

penganutnya

Page 232: Stratifikasi Sosial dan Agama

Glosarium 225

Kultus : sekumpulan keyakinan, ritus, dan sebagainya

yang berkaitan dengan suatu obyek (paham,

benda, orang, dan sebagainya); pernyataan

hormat yang berlebih-lebihan terhadap

sesuatu (benda, manusia, paham, dan

sebagainya); upacara yang bersifat

keagamaan.

Magic/magis : istilah yang dipakai dalam praktek-praktek

takhayul berdasarkan pada kepercayaan dalam

perantara supernatural dimana dapat

menimbulkan kekuatan ghaib dan dapat

mempengaruhi atau menguasai alam di

sekitarnya termasuk alam pikiran dan tingkah

laku manusia

Masyarakat : sejumlah manusia dalam arti yang seluas-

luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan

yang mereka anggap sama.

Masyarakat modern : masyarakat yang perekonomiannya

berdasarkan pasar secara luas, spesialisasi di

bidang industri, dan pemakaian teknologi

canggih

Masyarakat tradisional : masyarakkat yang lebih banyak

dikuasai oleh adat istiadat lama

Mata Gawe : Orang yang memiliki kewajiban kerja kepada

Sultan. Penduduk di daerah sikap Mobilitas sosial : gerakan perubahan yang terjadi di antara

masyarakat baik secara fisik maupun secara

sosial; perubahan kedudukan warga

masyarakat

Modernisasi : proses pergeseran sikap dan mentalitas

sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup

sesuai dengan tuntutan zaman kini

Motif : faktor afektif-konatif (hasrat dan kemauan)

yang digunakan dalam menentukan arah

tingkah laku individu terhadap akhir atau

tujuan, dengan sadar dilihat atau tidak sadar

Page 233: Stratifikasi Sosial dan Agama

226 Glosarium

Motivasi : dorongan yang timbul pada diri seseorang

secara sadar atau tidak untuk melakukan suatu

tindakan dengan tuuan tertentu

Nilai : sifat-sifat atau hal-hal yang penting atau

berguna bagi kemanusiaan

Norma : pola atau nilai standar atau yang bersifat

mewakili bagian kelompok atau jenis; aturan

atau ketentuan yang mengikat warga

kelompok dalam masyarakat, dipakai sebagai

panduan, tatanan dan pengendali tingkah laku

yang sesuai dan diterima; kaidah

Patrilineal : mengenai hubungan atau garis keturunan

melalui garis keturunan ayah dan penghubung

laki-laki

Perilaku : tanggapan atau reaksi individu terhadap

lingkungannya

Persepsi : proses seseorang mengetahui beberapa hal

melalui panca inderanya; tanggapan langsung

dari sesuatu

Perubahan sosial : perubahan pada berbagai institusi

kemasyarakatan, yang mempengaruhi sistem

sosial masyarakat, termasuk di dalamnya

nilai-nilai, sikap, pola,perilaku diantara

kelompok dalam masyarakat

Puyang/Buyut : orang yang dituakan, pendiri kampung,

makam keramat, orang tua dari kakek nenek

dan seterusnya

Privelese : hak istimewa; keistimewaan yang diberikan

kepada seseorang yang mungkin bersifat

positif maupun negatif

Rasional : menurut pikiran dan pertimbangan akal;

kemampuan untuk mempertimbangkan;

berkaitan dengan kepercayaan terhadap

sesuatu yang disertai dengan pembuktian

Rasionalisasi : proses pembenaran dengan pertimbangan

akal terhadap segala sesuatu

Page 234: Stratifikasi Sosial dan Agama

Glosarium 227

Ritual : suatu sistem upacara atau prosedur magis

atau religiius yang biasanya dengan bentuk-

bentuk khusus dan biasanya dihubungankan

dengan tindakan-tindakan penting

Segmentasi : pembagian struktur sosial dalam kelompok-

kelompok atau unit-unit yang mempunyai

fungsi yang sama

Sekularisasi : hal-hal yang membawa ke arah kehidupan

yang tidak didasarkan pada aaran agama\

Simbol : suatu benda atau aktifitas yang

melambangkan dan sebagai pengganti sesuatu

yang lain

Sosio-ekonomi : segala sesuatu yang berhubungan dengan

sosial dan ekonomi

Sosio-kultural : berkenaan dengan segi-segi sosial dan

budaya masyarakat

Stratifikasi : pembedaan (penggolongan) penduduk atau

masyarakat ke dalam kelas-kelas secara

bertingkat berdasarkan status sosial ekonomi,

kekuasaan, prestise, agama, pendidikan dan

lain sebagainya

Tawassul : memohon pada perantara agar doanya cepat

terkabul

Tradisi : adat kebiasaan turun temurun yang masih

terus dilestarikan dalam masyarakat

Tradisional : sikap dan cara berpikir serta bertindak yang

senantiasa berpegang teguh pada norma-

norma dan adat istiadat atau kebiasaan yang

telah ada secara turun temurun; menurut

tradisi atau bercorak tradisi

Voluntarism : kemampuan individu melakukan suatu

tindakan berdasarkan berdasarkan

pengalaman, persepsi, pemahaman dan

penafsiran atas suatu objek stimulus atau

situasi tertentu seperti kondisi situasional

lingkungan budaya, tradisi, dan agama.

Page 235: Stratifikasi Sosial dan Agama

Indeks 229

INDEKS

A

Abd al-H>>}aqq al-Isybili 112

Affectual action 60, 191

agama 1, 2, 4, 5, 6, 9, 10, 11, 14, 17, 19,

32, 33, 39, 43, 44, 45, 47, 48, 49, 50,

51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 62, 63, 64,

65, 66, 67, 68, 69, 80, 85, 86, 88, 91,

92, 93, 95, 96, 97, 98, 99, 102, 103,

104, 106, 107, 114, 116, 117, 120,

121, 122, 124, 127, 129,놀140, 141,

142, 145, 148, 152, 153, 164, 166,

169, 174, 182, 184, 186, 187, 188,

192, 193, 195, 197, 198, 201, 205,

206

akulturasi 2, 17, 77, 103, 105, 106, 108,

118, 121, 179, 198

alingan 86, 87

amalgamasi 179

asketisisme 58

Aziz 16, 17

Azra 98, 114, 167, 168, 180

B

Badruddin 15, 16, 126

barokah 16, 18

Beatty 124, 125, 141, 142

Berger 18, 50, 149, 150, 152, 162, 163,

201

berkah 1, 4, 14, 15, 113, 118, 131, 133,

134, 135, 136, 137, 138, 139, 144,

149, 151, 171, 173, 174, 178, 183

berkat 8, 135, 190

Bruce 164, 201

Bruhl 47

C

client 116

Comte 45, 56, 194

D

Davidson 33, 55, 56

Davis 41, 55, 187

determinan 2, 7, 31, 33, 35, 168, 205

dikotomi 13, 182

Durkheim 10, 44, 52, 53, 141

E

eksternalisasi 15, 150, 152

emosi keagamaan 196

enklave 98

enkulturasi 8, 106, 145, 146, 148, 149,

152, 190, 198, 205

etnis 6, 32, 33, 55, 78, 159, 178, 182

F

fenomena 1, 2, 6, 9, 10, 17, 20, 24, 26,

27, 33, 48, 52, 56, 59, 61, 88, 111,

116, 131, 144, 161, 188, 189, 197

G

Geertz 5, 12, 13, 26, 44, 45, 67, 68, 69,

122, 123, 140, 176, 194

Giddens 143

Page 236: Stratifikasi Sosial dan Agama

230 Indeks

Guillot 3, 4, 5, 6, 112, 113, 116, 124,

139, 144, 176

H

habitualisasi 111, 150

Hamdani 72, 73, 174, 175

Haviland 44

hierarki 84, 158, 174

horizontal 2, 32, 82, 158, 174

I

Iliran 13, 94, 167, 178, 181, 182

inferior 33, 34, 182

interaksi 18, 19, 97, 124, 147, 152, 160

interaksi sosial 152

Interdependensi 168, 171, 172, 174,

178, 181, 183

internalisasi 15, 61, 124, 150, 152, 153,

190

Islam 1, 2, 3, 4, 5, 6, 9, 10, 11, 12, 13,

14, 15, 16, 17, 21, 22, 31, 39, 40, 41,

42, 45, 48, 50, 51, 52, 54, 65, 68, 69,

70, 71, 73, 74, 77, 80, 83, 85, 86, 94,

96, 97, 98, 99, 100, 101, 102, 103,

104, 106, 107, 108, 112, 113, 114,

116, 117, 118, 119, 120, 121, 122,

124, 126, 127, 130, 131, 132, 139,

141, 142, 144, 145, 150, 152, 153,

161, 167, 168, 170, 173, 175, 176,

177, 180, 182, 187, 192, 193, 194,

195, 198, 199, 200, 201, 205, 206

J

Jamhari 16, 132

Jeffries 6, 32, 34, 35, 37, 81, 160, 161,

167

jurai 106

K

karisma 119, 125, 145, 166

karomah 4, 16, 18, 113, 115, 126, 128,

137, 143, 166, 193

kelas sosial 7, 9, 13, 35, 38, 43, 62, 174

keramat 2, 3, 4, 6, 7, 8, 10, 16, 17, 20,

23, 24, 26, 113, 118, 122, 123, 124,

125, 126, 127, 130, 131, 133, 135,

143, 157, 161, 163, 166, 169, 171,

172, 178, 185, 190, 191, 194, 195,

198, 205

keyakinan 16, 20, 45, 55, 66, 105, 127,

136, 140, 141, 142, 144, 146, 161,

187, 194, 201

Koentjaraningrat 25, 103, 105, 121,

145, 148, 149

kultus 171

Kuntowijoyo 69, 71, 74, 201

L

Lawang 4, 9, 36, 38, 42, 102, 175

Lenski 9, 36, 38, 158

Linton 157

Loir 3, 4, 6, 112, 113, 114, 116, 124,

139, 144, 176

M

magic 45, 125, 195, 205

magis 46, 47, 48, 49, 126, 140, 196,

197, 206

Martin 201

Marx 9, 38, 39, 65, 70, 168, 188

Mills 9, 36, 38

mobilitas sosial 172

Page 237: Stratifikasi Sosial dan Agama

Indeks 231

modern 6, 7, 9, 34, 35, 36, 39, 46, 47,

50, 52, 64, 65, 83, 114, 130, 139,

159, 181, 182, 195, 197, 201, 206

modernisasi 10, 52, 57, 161, 197, 200,

202

Moore 41, 55, 187

Mosca 183

motif 1, 2, 7, 8, 19, 111, 124, 126, 129,

130, 131, 133, 135, 138, 139, 140,

143, 148, 151, 161, 162, 165, 166,

169, 173, 177, 191, 205

motivasi 16, 37, 44, 58, 120, 122, 123,

124, 133, 140, 144, 146, 147, 148,

149, 178

N

nilai 4, 5, 13, 33, 37, 43, 48, 50, 51, 53,

55, 56, 57, 58, 60, 61, 63, 67, 69, 96,

105, 107, 131, 142, 144, 146, 148,

149, 150, 152, 161, 162, 163, 164,

165, 180, 184, 186, 188, 189, 192,

199, 201, 202

norma 13, 49, 105, 142, 144, 146, 148,

152, 163, 165

Nottingham 56, 63, 64, 69

O

O’Dea 45, 46, 47, 51, 54, 65, 67, 195,

197

objektifasi 15

P

Pareto 183

Parson 32, 33, 59, 60, 61, 163, 164, 165,

166, 189

patrilineal 81, 84

Peeters 13, 14, 83, 84, 85, 87, 88, 89, 99

persepsi 57, 164, 165, 190, 191

perubahan sosial 47, 50, 53, 58, 157,

193, 197, 201

Piotr 142, 143

prestise 9, 35, 36, 37, 38, 41, 42, 168

privelese 35, 37, 38, 41

puyang 96

Pyle 33, 55

R

Rahardjo 184, 199, 200, 201

Ralph Turner 172

Ransford 6, 34, 35, 37, 81, 160, 161,

167

rasional 5, 7, 10, 45, 46, 47, 48, 51, 52,

54, 60, 63, 66, 67, 129, 153, 157,

164, 169, 172, 190, 191, 192, 193,

194, 196, 197, 202, 205, 206

rasionalisasi 10, 51, 52, 161

religius 13, 43, 44, 53, 65, 73, 90, 115,

120, 167, 168, 174, 175, 176, 186,

198

religius moderat 73, 167

ritual 7, 12, 13, 14, 16, 20, 44, 53, 55,

111, 122, 124, 141, 144, 151, 153,

161, 166, 186, 188, 190, 198, 201,

202

Roberts 8, 56

Ross 36, 175

Rousseau 11, 36, 37

S

segmentasi 2

sekuler 50, 57, 65, 67, 188, 198, 201

sekulerisasi 50, 51, 201

sekulerisme 9, 50, 52

sesajen 7, 62, 97

Page 238: Stratifikasi Sosial dan Agama

232 Indeks

simbol 9, 15, 42, 44, 46, 54, 61, 87, 111,

122, 123, 124, 125, 126, 131, 140,

141, 142, 144, 189, 196, 205

Sorokin 32, 82

sosio-ekonomi 168

sosio-kultural 53, 152, 181, 182, 205

sosio-religius 205

status sosial 8, 34, 35, 43, 55, 65, 161,

174

strata atas 7, 34, 90, 170, 172, 175, 176,

182, 206

strata bawah 34, 94, 172, 173, 176, 179,

182, 187, 206

strata menengah 43, 94, 187

stratifikasi 6, 8, 10, 11, 12, 13, 17, 18,

20, 22, 25, 27, 31, 33, 34, 35, 36, 37,

38, 41, 42, 53, 54, 55, 59, 61, 69, 71,

72, 77, 81, 82, 88, 89, 90, 91, 93,

157, 158, 159, 160, 163, 168, 171,

172, 174, 182, 184, 186, 187, 188,

205, 206

superior 33

Syam 2, 15, 119, 121, 131, 132, 140,

141, 152

Syari’ati 39, 40, 41, 70

syirik 5, 116, 153, 161, 177, 195

T

Tashadi 16

tawassul 114, 115, 122, 126, 134, 140,

178

Taylor 18, 43

tradisi 1, 2, 6, 8, 14, 15, 16, 17, 20, 37,

45, 51, 62, 67, 68, 77, 90, 94, 103,

104, 106, 108, 111, 114, 117, 119,

120, 121, 124, 127, 129, 139, 140,

141, 142, 143, 144, 145, 148, 149,

150, 151, 152, 153, 157, 161, 163,

164, 165, 166, 169, 171, 180, 182,

186, 190, 194, 198, 199, 200, 202,

205, 206

tradisional 7, 10, 47, 52, 83, 85, 95, 97,

106, 157, 169, 178, 181, 190, 192,

193, 201

traditional action 61, 189, 190

U

Uluan 4, 13, 83, 86, 94, 102, 167, 179,

181, 182

V

vertikal 2, 32, 82, 87, 158, 174

voluntarism 163, 166

W

walisongo 4, 113

wasilah 3, 114

Weber 9, 34, 35, 36, 41, 42, 45, 46, 47,

48, 49, 50, 51, 54, 58, 60, 61, 62, 63,

64, 65, 66, 67, 69, 129, 130, 161,

184, 187, 188, 189, 194, 195, 196,

197

werkrational action 189

Wilson 201

Woodward 14, 15

Z

Zainuddin 11, 54

zwerk rational 60, 189, 192

Page 239: Stratifikasi Sosial dan Agama

Biodata Penulis 233

BIODATA PENULIS

Data Pribadi

Nama : Mariatul Qibtiyah, S.Sos, MA.Si

Tempat & Tanggal Lahir : Palembang, 11 April 1990

Alamat : Jl. KH. Wahid Hasyim

Lr. Jambangan Rt.36 Rw.11

No. 2152A Kel. 3-4 Ulu

Kec. Seberang Ulu I Palembang

30255

No HP : 085268352998

Email : [email protected]

Nama Orang Tua :

Ayah : Drs. Abd. Azim Amin, M.Hum

Ibu : Latifah, Az

Latar Belakang Pendidikan

M.I Najahiyah Palembang (1995-2001)

SLTP Negeri 44 Palembang (2001-2004)

SMA Negeri 19 Palembang (2004-2007)

S1 Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sriwijaya Palembang (2007-2011)

S2 Konsentrasi Sosiologi-Antropologi Agama Sekolah

Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta (2012-2014)