kasus malpraktik dalam bidang orthopedy

9
Kasus Malpraktik dalam bidang Orthopedy Gas Medik yang Tertukar Seorang pasien menjalani suatu pembedahan di sebuah kamar operasi. Sebagaimana layaknya, sebelum pembedahan dilakukan anastesi terlebi dahulu. Pembiusan dilakukan oleh dokter anastesi, sedangkan operasi dipimpin oleh dokter ahli bedah tulang (orthopedy). Operasi berjalan lancar. Namun, tiba-tiba sang pasien mengalami kesulitan bernafas. Bahkan setelah operasi selesai dilakukan, pasien tetap mengalami gangguan pernapasan hingga tak sadarkan diri. Akibatnya, ia harus dirawat terus menerus di perawatan intensif dengan bantuan mesin pernapasan (ventilator). Tentu kejadian ini sangat mengherankan. Pasalnya, sebelum dilakukan operasi, pasien dalam keadaan baik, kecuali masalah tulangnnya. Usut punya usut, ternyata kedapatan bahwa ada kekeliruan dalam pemasangan gas anastesi (N2O) yang dipasang pada mesin anastesi. Harusnya gas N2O, ternyata yang diberikan gas CO2. Padahal gas CO2 dipakai untuk operasi katarak. Pemberian CO2 pada pasien tentu mengakibatkan tertekannya pusat-pusat pernapasan sehingga proses oksigenasi menjadi sangat terganggu, pasien jadi tidak sadar dan akhirnya meninggal. Ini sebuah fakta penyimpangan sederhana namun berakibat fatal. Dengan kata lain ada sebuah kegagalan dalam proses penetapan gas anastesi. Dan ternyata, di rumah sakit tersebut tidak ada standar-standar pengamanan pemakaian gas yang dipasang di mesin anastesi. Padahal seharusnya ada standar, siapa yang harus

Upload: khalimah-ganies

Post on 22-Jan-2016

41 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kasus Malpraktik Dalam Bidang Orthopedy

   Kasus Malpraktik dalam bidang Orthopedy

Gas Medik yang Tertukar

Seorang pasien menjalani suatu pembedahan di sebuah kamar operasi. Sebagaimana layaknya,

sebelum pembedahan dilakukan anastesi terlebi dahulu. Pembiusan dilakukan oleh dokter

anastesi, sedangkan operasi dipimpin oleh dokter ahli bedah tulang (orthopedy).

Operasi berjalan lancar. Namun, tiba-tiba sang pasien mengalami kesulitan bernafas. Bahkan

setelah operasi selesai dilakukan, pasien tetap mengalami gangguan pernapasan hingga tak

sadarkan diri. Akibatnya, ia harus dirawat terus menerus di perawatan intensif dengan bantuan

mesin pernapasan (ventilator). Tentu kejadian ini sangat mengherankan. Pasalnya, sebelum

dilakukan operasi, pasien dalam keadaan baik, kecuali masalah tulangnnya.

Usut punya usut, ternyata kedapatan bahwa ada kekeliruan dalam pemasangan gas anastesi

(N2O) yang dipasang pada mesin anastesi. Harusnya gas N2O, ternyata yang diberikan gas CO2.

Padahal gas CO2 dipakai untuk operasi katarak. Pemberian CO2 pada pasien tentu

mengakibatkan tertekannya pusat-pusat pernapasan sehingga proses oksigenasi menjadi sangat

terganggu, pasien jadi tidak sadar dan akhirnya meninggal. Ini sebuah fakta penyimpangan

sederhana namun berakibat fatal.

Dengan kata lain ada sebuah kegagalan dalam proses penetapan gas anastesi. Dan ternyata, di

rumah sakit tersebut tidak ada standar-standar pengamanan pemakaian gas yang dipasang di

mesin anastesi. Padahal seharusnya ada standar, siapa yang harus memasang, bagaimana

caranya, bagaimana monitoringnya, dan lain sebagainya. Idealnya dan sudah menjadi keharusan

bahwa perlu ada sebuah standar yang tertulis (misalnya warna tabung gas yang berbeda), jelas,

dengan formulir yang memuat berbagai prosedur tiap kali harus ditandai dan ditandatangani.

Seandainya prosedur ini ada, tentu tidak akan ada, atau kecil kemungkinan terjadi kekeliruan.

Dan kalaupun terjadi akan cepat diketahui siapa yang bertanggung jawab.

Tinjauan Kasus

Ditinjau dari Sudut Pandang Hukum

a.       Tinjauan Malpraktik Pidana dan Sanksi Hukumnya

Kasus tersebut merupakan bentuk malpraktik pidana sebab telah melanggar beberapa aturan

dalam KUHP untuk kelalaian yang berlaku bagi setiap orang, yang diatur dalam Pasal 359, 360,

dan 361 KUHP

Page 2: Kasus Malpraktik Dalam Bidang Orthopedy

Dalam Kitab-Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) kelalaian yang mengakibatkan celaka

atau bahkan hilangnya nyawa orang lain. Pasal 359, misalnya menyebutkan, “Barangsiapa

karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling

lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”.

 Sedangkan kelalaian yang mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa seseorang dapat

diancam dengan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 360 Kitab-Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP):

 (1) ‘Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat,

diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun’.

(2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa

sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian selama

waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau kurungan paling

lama enam bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.

Pemberatan sanksi pidana juga dapat diberikan terhadap dokter yang terbukti melakukan

malpraktik, sebagaimana Pasal 361 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), “Jika

kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau

pencarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat dicabut hak untuk

menjalankan pencarian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya

putusannya diumumkan.” Namun, apabila kelalaian dokter tersebut terbukti merupakan

malpraktik yang mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa dan atau hilangnya nyawa orang

lain maka pencabutan hak menjalankan pencaharian (pencabutan izin praktik) dapat dilakukan.

Jika perbuatan malpraktik yang dilakukan dokter terbukti dilakukan dengan unsur

kesengajaan (dolus) dan ataupun kelalaian (culpa) seperti dalam kasus malpraktek dalam bidang

orthopedy tersebut, maka adalah hal yang sangat pantas jika dokter yang bersangkutan dikenakan

sanksi pidana karena dengan unsur kesengajaan ataupun kelalaian telah melakukan perbuatan

melawan hukum yaitu menghilangkan nyawa seseorang. Perbuatan tersebut telah nyata-nyata

mencoreng kehormatan dokter sebagai suatu profesi yang mulia.

Pekerjaan profesi bagi setiap kalangan terutama dokter tampaknya harus sangat berhati-hati

untuk mengambil tindakan dan keputusan dalam menjalankan tugas-tugasnya karena

Page 3: Kasus Malpraktik Dalam Bidang Orthopedy

sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Tuduhan malpraktik bukan hanya ditujukan terhadap

tindakan kesengajaan (dolus) saja.Tetapi juga akibat kelalaian (culpa) dalam menggunakan

keahlian, sehingga mengakibatkan kerugian, mencelakakan, atau bahkan hilangnya nyawa orang

lain. Selanjutnya, jika kelalaian dokter tersebut terbukti merupakan tindakan medik yang tidak

memenuhi SOP yang lazim dipakai, melanggar Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang

Kesehatan, maka dokter tersebut dapat terjerat tuduhan malpraktik dengan sanksi pidana.

b.      Tinjauan Malpraktik Perdata dan sanksi Hukumnya

Kasus di atas juga dapat dikategorikan sebagai malpraktik perdata ketika Seorang dokter

orthopedy yang telah terbukti melakukan kelalaian sehingga pasiennya menderita luka atau mati.

Tindakan malpraktik tersebut juga dapat berimplikasi pada gugatan perdata oleh seseorang

(pasien) terhadap dokter yang dengan sengaja (dolus) telah menimbulkan kerugian kepada pihak

korban, sehingga mewajibkan pihak yang menimbulkan kerugian (dokter) untuk mengganti

kerugian yang dialami kepada korban, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365 Kitab-

Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang

membawa kerugian pada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan

kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”

 Seorang dokter yang telah terbukti melakukan kelalaian sehingga pasiennya menderita luka

atau mati, dapat digugat secara perdata berdasarkan Pasal 1366 atau 1370 KUH Perdata

Pasal 1366 KUH Perdata

Kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian (culpa) diatur oleh Pasal 1366 yang berbunyi: “Setiap

orang bertanggung jawab tidak saja atas kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi

juga atas kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya.”

Pasal 1370 KUH Perdata

Dalam hal pembunuhan (menyebabkan matinya orang lain) dengan sengaja atau kurang hati-hati

seseorang, maka suami dan istri yang ditinggalkan, anak atau orang tua yang biasanya mendapat

nafkah dari pekerjaan korban, mempunyai hak untuk menuntut suatu ganti rugi, yang harus

dinilai menurut kedudukannya dan kekayaan kedua belah pihak serta menurut keadaan.

Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan :

Menurut Pasal Undang-undang tersebut diatas :

Page 4: Kasus Malpraktik Dalam Bidang Orthopedy

Ayat (1)

Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga

kesehatan

Ayat (2)

Ganti rugi yang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku

Penjelasan

Ayat (1)

Pemberian hak atas ganti rugi merupakan suatu upaya untuk memberi perlindungan bagi setiap

orang atas suatu akibat yang timbul, baik fisik maupun nonfisik karena kesalahan atau kelalaian

tenaga kesehatan. Perlindungan ini sangat penting karena akibat kesalahan atau kelalaian itu

mungkin dapat menyebabkan kematian atau menimbulkan cacat dan permanen

Yang dimaksud dengan kerugian fisik adalah hilangnya atau tidak berfungsinya seluruh atau

sebagian organ tubuh, sedangkan kerugian nonfisik berkaitan dengan martabat seseorang

Ayat (2)

Cukup jelas

c.       Tinjauan Malpraktik Etik dan Sanksinya

Etika punya arti yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang pengguna yang berbeda

dari istilah itu. Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian formal tentang moralitas.

Moralitas adalah hal-hal yang menyangkut moral, dan moral adalah sitem tentang motifasi,

perilaku dan perbuatan manusia yang dianggap baik atau buruk. Franz Magnis Suseno menyebut

etika sebagai ilmu yang mencari orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan yang

amat fundamental: bagaimana saya harus hidup dan bertindak?. Bagi seorang sosiolog, etika

adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan budaya tertentu. Bagi praktisi

professional termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya, etika berarti kewajiban dan

tanggungjawab memenuhi harapan profesi dan masyarakat, serta bertindak dengan cara-cara

yang professional, etika adalah salah satu kaidah yang menjaga terjadinya interaksi antara

pemberi dan penerima jasa profesi secara wajar, jujur, adil, professional dan terhormat.

Page 5: Kasus Malpraktik Dalam Bidang Orthopedy

Selain melanggar UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, ditinjau dari Sudut Pandang

Etika (Kode Etik Kedokteran Indonesia /KODEKI), tindakan tersebut juga dapat menjadi bentuk

malpraktik etik karena dokter tersebut tidak melaksanakan profesinya sesuai dengan standar

profesi tertinggi.

Dalam KODEKI pasal 2 dijelaskan bahwa; “ seorang dokter harus senantiasa berupaya

melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi tertinggi”. Jelasnya bahwa seorang

dokter dalam melakukan kegiatan kedokterannya seebagai seorang proesional harus sesuai

dengan ilmu kedokteran mutakhir, hukum dan agama. KODEKI pasal 7d juga menjelaskan

bahwa “setiap dokter hrus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup insani”.

Artinya dalam setiap tindakan dokter harus betujuan untuk memelihara kesehatan dan

kebahagiaan manusia.

Peran pengawasan terhadap pelanggaran kode etik (KODEKI) sangatlah perlu ditingkatkan

untuk menghindari terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang mungkin sering terjadi yang

dilakukan oleh setiap kalangan profesi-profesi lainnya seperti halnya advokat/pengacara, notaris,

akuntan, dll. Pengawasan biasanya dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk memeriksa

dan memutus sanksi terhadap kasus tersebut seperti Majelis Kode Etik. Dalam hal ini Majelis

Kode Etik Kedokteran (MKEK). Jika ternyata terbukti melanggar kode etik maka dokter yang

bersangkutan akan dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam Kode Etik Kedokteran

Indonesia. Karena itu seperti kasus yang ditampilkan maka juga harus dikenakan sanksi

sebagaimana yang diatur dalam kode etik.

Namun, jika kesalahan tersebut ternyata tidak sekedar pelanggaran kode etik tetapi juga

dapat dikategorikan malpraktik maka MKEK tidak diberikan kewenangan oleh undang-undang

untuk memeriksa dan memutus kasus tersebut. Lembaga yang berwenang memeriksa dan

memutus kasus pelanggaran hukum hanyalah lembaga yudikatif. Dalam hal ini lembaga

peradilan. Jika ternyata terbukti melanggar hukum maka dokter yang bersangkutan dapat

dimintakan pertanggungjawabannya. Baik secara pidana maupun perdata. Sudah saatnya pihak

berwenang mengambil sikap proaktif dalam menyikapi fenomena maraknya gugatan malpraktik.

Dengan demikian kepastian hukum dan keadilan dapat tercipta bagi masyarakat umum dan

komunitas profesi. Dengan adanya kepastian hukum dan keadilan pada penyelesaian kasus

malpraktik ini maka diharapkan agar para dokter tidak lagi menghindar dari tanggung jawab

hukum profesinya.

Page 6: Kasus Malpraktik Dalam Bidang Orthopedy