kasus malpraktek indonesia

8
Potong Jari Edwin, RS Harapan Bunda Tak Minta Maaf KAMIS, 18 APRIL 2013 | 22:59 WIB TEMPO.CO , Jakarta - Rumah Sakit Harapan Bunda akan merujuk dan menanggung biaya perawatan bayi Edwin Timothy Sihombing yang diduga menjadi korban malpraktek di RS Harapan Bunda ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Edwin yang masih berusia 2,5 bulan telah kehilangan setengah jari telunjuk kanannya karena diamputasi oleh dokter RS Harapan Bunda tanpa sepengetahuan orang tuanya. (Baca: Orang Tua Edwin: Dokter Tak Bilang Akan Potong Jari) Kuasa Hukum orangtua Edwin, Happy Sihombing, mengatakan rujukan Edwin ke RSCM ini sesuai kesepakatan dari pertemuan selama empat jam yang dihadiri oleh manajemen rumah sakit, orangtua Edwin dan kuasa hukumnya, Dinas Kesehatan DKI, dan katan Dokter Indonesia. "Dari perundingan yang alot ini kami semua sepakat bahwa Edwin dirujuk ke RSCM sampai sembuh dan semua biaya ditanggung oleh RS Harapan Bunda," kata Happy saat ditemui di RS Harapan Bunda, Rabu, 17 April 2013. Menurut dia, pemilihan RSCM karena RSCM sebagai barometer rumah sakit di Indonesia dan menghasilkan sokter-dokter terbaik. "Nanti akan dirujuk ke bedah plastik. RS Harapan Bunda tidak punya keahlian itu. Bedah plastik dilakukan hanya untuk penutupan tulang jari Edwin yang telah terpotong," ujarnya. Sedangkan Rumah Sakit Harapan Bunda tetap kukuh tak mau mengakui kesalahannya atas terpotongnya setengah jari telunjuk kanan bayi Edwin Timothy Sihombing, 2,5 bulan. Direksi RS Harapan Bunda, Edi Suharso, mengatakan kesanggupan rumah sakit membiayai pengobatan bayi Edwin ke RSCM karena hasil musyawarah dengan orangtua Edwin. "Dirujuk dan dibiayai ke RSCM ini bukan sebagai wujud permintaan maaf," kata Edi saat dihubungi, Rabu, 17 April 2013. (Baca juga: Komnas Anak: Tak Mungkin Jari Terlepas Sendiri) Dia mengklaim penanganan dan pengobatan yang dilakukan RS Harapan Bunda terhadap Edwin sudah sesuai prosedur. "Tidak ada kesalahan prosedur. Setengah jari telunjuk Edwin tidak diamputasi tapi putus dengan sendirinya," ujar Edi. (Baca: RS Harapan Bunda Bantah Amputasi Jari Bayi Edwin) Ayah Edwin, Gonti Laurel Sihombing, 34 tahun, mengatakan jari putranya tidak akan kembali seperti semula. Bedah plastik yang akan dilakukan RSCM untuk menyembuhkan dan menutupi tulang di sisa jari telunjuknya. "Puas tidak puas, jarinya sudah hilang. Jadi ada usaha maksimal dan

Upload: daniel-ping

Post on 29-Nov-2015

222 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

malpraktek

TRANSCRIPT

Page 1: Kasus Malpraktek Indonesia

Potong Jari Edwin, RS Harapan Bunda Tak Minta Maaf

KAMIS, 18 APRIL 2013 | 22:59 WIB

TEMPO.CO, Jakarta -  Rumah Sakit Harapan Bunda akan merujuk dan menanggung biaya perawatan bayi Edwin Timothy Sihombing   yang diduga menjadi korban malpraktek di RS Harapan Bunda ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Edwin yang masih berusia 2,5 bulan telah kehilangan setengah jari telunjuk kanannya karena diamputasi oleh dokter RS Harapan Bunda tanpa sepengetahuan orang tuanya. (Baca: Orang Tua Edwin: Dokter Tak Bilang Akan Potong Jari)

Kuasa Hukum orangtua Edwin, Happy Sihombing, mengatakan rujukan Edwin ke RSCM ini sesuai kesepakatan dari pertemuan selama empat jam yang dihadiri oleh manajemen rumah sakit, orangtua Edwin dan kuasa hukumnya, Dinas Kesehatan DKI, dan katan Dokter Indonesia. "Dari perundingan yang alot ini kami semua sepakat bahwa Edwin dirujuk ke RSCM sampai sembuh dan semua biaya ditanggung oleh RS Harapan Bunda," kata Happy saat ditemui di RS Harapan Bunda, Rabu, 17 April 2013.

Menurut dia, pemilihan RSCM karena RSCM sebagai barometer rumah sakit di Indonesia dan menghasilkan sokter-dokter terbaik. "Nanti akan dirujuk ke bedah plastik. RS Harapan Bunda tidak punya keahlian itu. Bedah plastik dilakukan hanya untuk penutupan tulang jari Edwin yang telah terpotong," ujarnya.

Sedangkan Rumah Sakit Harapan Bunda tetap kukuh tak mau mengakui kesalahannya atas terpotongnya setengah jari telunjuk kanan bayi Edwin Timothy Sihombing, 2,5 bulan. Direksi RS Harapan Bunda, Edi Suharso, mengatakan kesanggupan rumah sakit  membiayai pengobatan bayi Edwin ke RSCM karena hasil musyawarah dengan orangtua Edwin. "Dirujuk dan dibiayai ke RSCM ini bukan sebagai wujud permintaan maaf," kata Edi saat dihubungi, Rabu, 17 April 2013. (Baca juga: Komnas Anak: Tak Mungkin Jari Terlepas Sendiri)

Dia mengklaim penanganan dan pengobatan yang dilakukan RS Harapan Bunda terhadap Edwin sudah sesuai prosedur. "Tidak ada kesalahan prosedur. Setengah jari telunjuk Edwin tidak diamputasi tapi putus dengan sendirinya," ujar Edi. (Baca:RS Harapan Bunda Bantah Amputasi Jari Bayi Edwin)

Ayah Edwin, Gonti Laurel Sihombing, 34 tahun, mengatakan jari putranya tidak akan kembali seperti semula. Bedah plastik yang akan dilakukan RSCM untuk menyembuhkan dan menutupi tulang di sisa jari telunjuknya. "Puas tidak puas, jarinya sudah hilang. Jadi ada usaha maksimal dan mencari jalan terbaik. Saya hanya minta pertanggungjawaban kesembuhan anak saya, tidak mencari materi," kata Gonti.

Bayi pasangan dari suami istri Gonti Laurel Sihombing, 34 tahun dan Romauli Manurung, 28 tahun, diduga menjadi korban malpraktek karena telah kehilangan separuh jari telunjuk kanan usai mendapatkan perawatan di RS Harapan Bunda. Edwin dilarikan ke rumah sakit Harapan Bunda karena mengalami sakit panas, batuk, dan pilek. Namun, selang infus yang dipasang di telapak kanannya membuat tangan Edwin bengkak, membiru hingga seperti infeksi. Kemudian, pada 31 Maret lalu, dokter memotong dua ruas jari telunjuk kanan Edwin tanpa persetujuan dan sepengetahuan orang tuanya. (Baca juga: 3 Tuntutan Ortu Bayi Edwin ke RS Harapan Bunda)

Orang tua bayi Edwin Timothy Sihombing meminta anaknya dirawat di Rumah Sakit Aventis, Penang, Malaysia. Permintaan ini merupakan satu dari tiga poin yang disampaikan keluarga ke pihak Rumah Sakit Harapan Bunda dalam mediasi tertutup.

Page 2: Kasus Malpraktek Indonesia

"Kami ingin kesembuahan maksimal bagi anak saya," kata Gonti Laurel Sihombing, Sabtu, 13 April 2013 di Rumah Sakit Harapan Bunda, Jakarta Timur. Dia menawarkan Rumah Sakit agar merujuk ke Malaysia.

Untuk biaya penyembuhannya pun keluarga meminta Rumah Sakit yang menanggung. Menurut Gonti, nama rumah sakit Aventis muncul setelah dirembuk diinternal keluarga. "Tapi jika Rumah Sakit punya rujukan yang lebih baik, kami terima," ujar Gonti. Sehingga dia bisa menerima jika rujukannya masih di Indonesia. "Yang penting anak sembuh." 

Kuasa hukum Gonti, Renatha Yudistri, menambahkan poin kedua adalah pihak Rumah Sakit harus menyampaikan minta maaf. "Rumah Sakit juga harus berani terbuka," katanya.

Page 3: Kasus Malpraktek Indonesia

Kasus Gugatan Malpraktek Atlet Adinda ke Meja HijauKamis, 25 Juli 2013 | 11:07

Nomor equestrian Show Jumping dipertandingkan di

ajang Kualifikasi SEA Games putaran ketiga di Tigaraksa, Tangerang, Minggu (28/4) WIB, [Istimewa]

[JAKARTA] Keluarga besar Adinda Yuanita akhirnya menunjuk Susy Tan sebagai kuasa hukum untuk memasukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kasus malpraktek yang menimpa atlet dan pelatih cabang olahraga Equestrian (berkuda) nasional, Adinda Yuanita memasuki babak baru.   

Adinda melalui pengacaranya menggugat dr. Guntur Eric Luis Adiwati (Tergugat-1) dan pihak Rumah Sakit Sahid Memorial Jakarta (Tergugat-II). Gugatan Adinda resmi dimasukkan ke PN Jakarta Pusat satu bulan yang lalu, setelah kedua belah pihak gagal melakukan mediasi.   

Kasus malpraktek yang menimpa Adinda Yuanita memasuki masa persidangan dengan sidang pertama untuk medengarkan pembacaan gugatan yang digelar, Rabu (24/7/2013). Sidang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim, Iim Nurohim dengan anggota Purwono Edi Santosa dan Amin Ismanto.   

Seperti diketahui, 6 November 2012 Adinda terjatuh saat melakukan persiapan bertanding untuk kejuarana Nasional (KEJURNAS) EFI-JPEC di Sentul, Jawa Barat. Namun, pada saat itu Adinda tidak merasakan apa-apa. Malah di kejuaraan itu yang dihelat pada 9-11 November, Adinda berhasil menyabet beberapa emas.   

Tapi, dengan saran dari keluarga, Adinda akhirnya menemui dr. Guntur di Rumah Sakit Sahid Memorial Jakarta, 13 November 2012. Adinda pun mendapatkan serangkaian tindakan medis berupa penyuntikan dan infus dari dokter tersebut sehabis menyabet empat medali pada Kejuaraan Nasional EFI.   

Tiga minggu setelah itu, Adinda merasakan wajahnya membengkak dan mati rasa, tumbuh gundukan, daging pada punuk, badan biru-biru. Dia juga mengalami tremor, sakit kepala yang luar biasa, berat badan naik secara drastis, serta ngilu pada tulang dan otot.   Adinda pun kini harus berobat ke Singapura secara rutin dan harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Perempuan yang juga aktif berperan sebagai manajer dan tim pelatih atlet berkuda itu kemudian dibawa ke Singapura pada Januari 2013.   

Dia melakukan sejumlah pemeriksaan termasuk salah satunya tes darah khusus yang tidak ada di Indonesia. Beberapa dokter spesialis endokrinolog di Singapura memvonis Adinda terkena penyakit "iatrogenic cushing syndrome".   Penyakit itu diduga merupakan akibat dari tindakan medis dokter spesialis tulang di rumah sakit swasta tersebut. Semua hasil tes darah Adinda berada jauh di atas batas normal.   

Di luar sepengetahuan Adinda, dokter tersebut ternyata melakukan tindakan medis berupa rangkaian

Page 4: Kasus Malpraktek Indonesia

suntikan secara intra-articular atau intramuscular injections dan infus Aclasta yang mengandung zat-zat dosis tinggi TCA (Triamcinolone Acetonide) atau pengobatan steroid, obat anastesi lokal Lidocaine dan pain killer Tramal.   

Jenis steroid TCA ini berbeda dengan jenis steroid yang sering digunakan oleh para atlit untuk doping atau dikenal dengan nama Anabolic Steroid.   

Salah satu prestasi Adinda adalah menempatkan tim kuda "Equinara Zandor" dengan rider Ferry Wahyu Hadiyanto pada rangking pertama di Liga Asia Tenggara Rolex Show Jumping Ranking, dengan mengumpulkan poin tertinggi 19.   Hal ini secara otomatis mengantarkan mereka sebagai tim Indonesia pertama dalam sejarah equestrian Indonesia yang lolos sebagai finalis pada ajang paling bergengsi Piala Dunia FEI Rolex World Cup 2013 di Swedia.   

"Akibat dari adanya tindakan dokter itu Adinda telah mengalami kerugian material dan imaterial. Yang terpenting, Adinda bersama tim Equestrian Indonesia kehilangan kesempatan untuk mengibarkan Merah Putih di kancah internasional," kata kuasa hukum Adinda, Susy Tan kepada wartawan usai sidang.   

"Pemberian obat yang dikatakan oleh dr. Guntur sebagai "Anti Inflamatory" (anti pembengkakan atau peradangan yang disebabkan oleh patah tulang) yang diberikan melalui 15 kali suntikan dalam 7 hari, ternyata mengandung steroid dosis tinggi. Hal ini adalah penyebab dari berbagai efek samping yang diderita Adinda yang pada akhirnya Adinda didiagnosa mengalami Iatrogenic Cushing's Syndrom," tambahnya.   

Kerugian imaterial yang dialami oleh Adinda diantaranya kehilangan kesehatan, gagal tampil di kejuaraan internasional termasuk didalamnya kehilangan kesempatan bagi atlet lain berlaga di event internasional. Sebab Adinda Yuanita juga adalah pemilik kuda yang dipakai atlet equestrian lainnya untuk mengikuti event Internasional.   

"Bahwa ternyata Adinda tidak mengalami patah/retak 3 tulang rusuk dan tulang ekor juga tidak menderita osteoporosis sehingga semestinya tidak memerlukan tindakan medis seperti yang telah diberikan oleh dr. Guntur yang dikatakannya sebagai "Anti Inflamatory" (suntikan) dan "Suplemen Tulang" (infus)," ujarnya.   

"Adinda sendiri tidak hadir dalam sidang pertama ini karena masih mengalami shock akibat kejadian yang dialaminya," tandasnya. [Ant/IB/L-9]  

Page 5: Kasus Malpraktek Indonesia

Butakan Pasien, Dokter Dihukum Denda Rp 750 Juta

TEMPO.CO , Bandung:Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung menghukum spesialis mata Dokter Maryono Sumarmo dan Rumah Sakit Rajawali, Bandung, untuk membayar ganti-rugi Rp 750 juta kepada seorang pria tuna netra bernama Agus Ramlan, kemarin. Hukuman itu menunjukan dikabulkannya sebagian gugatan Agus yang mengalami kebutaan sejak diperiksa mata oleh Maryono di RS Rajawali pada 1992 lampau.

"Majelis Hakim tadi memutuskan tergugat I dan II terbukti melawan hukum dan menghukum tergugat I dan II supaya membayar ganti rugi materil Rp 250 juta dan immateriil Rp 500 jt kepada penggugat," ujar Ucok Rolando, kuasa hukum penggugat seusai sidang di PN Bandung, kemarin.

Tergugat I adalah dr. Maryono Sumarmo Sp.M, dan Tergugat II RS Rajawali, sedangkan  penggugat adalah Agus Marwan. Majelis pimpinan Hakim Heri Sutanto mengabulkan gugatan kliennya, kata Ucok, di antaranya karena nilai-nilai kemanusiaan dan kepastian keadilan. Satu lagi yang dipertimbangkan  adalah tak diberikannya hak informasi oleh tergugat I dan II kepada penggugat. "Ternyata rekam medis yang berisi hasil diagnosa dan terapi terhadap penggugat telah dimusnahkan oleh tergugat I, " kata  Ucok.

Gugatan terakhir ini terkait perbuatan melawan hukum para tergugat karena telah memusnahkan rekam medik yang notabene hak milik Agus sebagai pasien. Gugatan kedua dimenangkan Agus kemarin  petang.

Pada 18 Agustus 1992 lampau, Agus berobat ke RS Rajawali karena  mata kirinya mengalami gangguan dan memerah. Saat itu kedua mata pria yang kini berusia 37 tahun itu masih bisa melihat. Bahkan, mata kanan dia tak mengalami gangguan apapun. Agus lalu ditangani dokter spesialis mata rumah sakit itu yakni Maryono.

Maryono memberikan terapi tablet dan obat tetes mata. Namun setelah sepekan terapi selesai dan obat habis, sakit mata Agus tambah parah, bahkan mata kanan pun ikut memerah. Agus pun lalu kembali menemui Maryono. Sang dokter lalu memberikan resep salep mata untuk terapi sepekan. namun sakit mata Agus kian memburuk.

Awal September, Agus kembali ke Maryono. Kali ini Maryono memberikan terapi obat tetes. Namun sakit Agus kiat berat. Agus bahkan mulai menderita kebutaan hingga dirawat selama dua pekan di RS Rajawali. Keluar dari rumah sakit, Agus tetap tak bisa melihat lagi, hingga kini.

Jhony Alwi, kuasa hukum Maryono (tergugat I), mengaku belum bisa mengambil sikap apakah akan banding atau tidak. "Karena saya masih harus membahas putusan itu dengan klien saya. Saya belum ketemu klien saya. Jadi saya belum bisa menentukan sikap," ujarnya kepada Tempo.

Page 6: Kasus Malpraktek Indonesia

Jumat, 22/03/2013 12:39 WIB

Pasien Meninggal karena Malpraktik, Dokter Wida Dibui 10 Bulan

Jakarta - Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi jaksa atas kasus malpraktik dengan terdakwa dr Wida Parama Astiti. MA memutuskan dr Wida telah melakukan malpraktik sehingga pasien berusia 3 tahun meninggal dunia dan dijatuhi 10 bulan penjara.

Seperti dilansir dalam website Mahkamah Agung (MA), Jumat (22/3/2013), kasus tersebut bermula saat dr Wida menerima pasien Deva Chayanata (3) pada 28 April 2010 pukul 19.00 WIB datang ke RS Krian Husada, Sidoarjo, Jatim. Deva datang diantar orang tuanya karena mengalami diare dan kembung dan dr Deva langsung memberikan tindakan medis berupa pemasangan infuse, suntikan, obat sirup dan memberikan perawatan inap.

Keesokan harinya, dr Wida mengambil tindakan medis dengan meminta kepada perawat untuk melakukan penyuntikan KCL 12,5 ml. Saat itu, dr Wida berada di lantai 1 dan tidak melakukan pengawasan atas tindakan perawat tersebut dan Deva kejang-kejang. Akibat hal ini, Deva pun meninggal dunia. 

"Berdasarkan keterangan ahli, seharusnya penyuntikan KCL dapat dilakukan dengan cara mencampurkan ke dalam infuse sehingga cairan KCL dapat masuk ke dalam tubuh penderita dengan cara masuk secara pelan-pelan," demikian papar dakwaan jaksa.

Lantas, dr Wida diproses secara hukum dan pada 1 Juni 2011 Kejaksaan Negeri Sidoarjo menuntut dr Wida dijatuhkan hukuman 18 bulan penjara karena melanggar Pasal 359 KUHP. Tuntutan ini dipenuhi majelis hakim Pengadilan Negeri Sidoarjo pada 19 Juli 2011. Namun terkait lamanya hukuman, majelis hakim memutuskan dr Wida harus mendekam 10 bulan karena menyebabkan matinya orang yang dilakukan dalam melakukan suatu jabatan atau pekerjannya.

Putusan ini dikuatkan Pengadilan Tinggi Surabaya pada 7 November 2011. Namun jaksa tidak puas dan melakukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). "Putusan Pengadilan Tinggi sangat ringan sehingga tidak memenuhi rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat dan tidak membuat jera pelaku atau orang lain yang akan melakukan perbuatan yang sama," demikian alasan kasasi jaksa. Namun, MA berkata lain.

"Menolak permohonan kasasi dari Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Sidoarjo," demikian putus MA yang diketok olah majelis hakim Dr Artidjo Alkostar, Dr Sofyan Sitompul dan Dr Dudu D Machmuddin pada 28 September 2012 lalu.