kasus anestesi
DESCRIPTION
anestesi newTRANSCRIPT
LAPORAN KASUS BESAR ANESTESI
SEORANG PRIA 62 TAHUN DENGAN HIDROSEFALUS NON
KOMUNIKAN E.C. TUMOR SEREBELLUM YANG
DILAKUKAN VP -SHUNT DENGAN ANESTESI UMUM
Diajukan guna melengkapi syarat kepaniteraan klinik senior di bagian
Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Disusun oleh :
Fatia Dinasya 22010111200067
Pembimbing :
dr. Igun Winarno
KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU ANESTESIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
201
HALAMAN PENGESAHAN
Nama Mahasiswa : Fatia Dinasya
NIM : 22010111200067
Bagian : Anestesi RSDK / FK UNDIP
Judul kasus : Seorang Pria 62 tahun dengan hidrosefalus non
komunikan e.c tumor serebellum
Pembimbing : dr. Igun Winarno
Semarang, September 2012
Pembimbing
dr. Igun Winarno
PENDAHULUAN
Hidrosefalus terjadi bila terdapat penyumbatan aliran cairan
serebrospinal (CSS) pada salah satu tempat antara tempat pembentukan CSS
dalam sistem ventrikel dan tempat absorbsi dalam ruang subaraknoid. Akibat
penyumbatan, terjadi dilatasi ruangan CSS diatasnya (Allan H. Ropper,
2005).
Hidrosefalus secara teoritis terjadi sebagai akibat dari tiga mekanisme
yaitu :1. Produksi likuor yang berlebihan 2. Peningkatan resistensi aliran likuor 3.
Peningkatan tekanan sinus venosa. Konsekuensi tiga mekanisme di atas adalah
peningkatan tekanan intrakranial sebagai upaya mempertahankan
keseimbangan sekresi dan absorbsi. Dilatasi ini terjadi sebagai akibat dari :1.
Kompresi sistem serebrovaskuler.2. Redistribusi dari likuor serebrospinalis atau
cairan ekstraseluler 3. Perubahan mekanis dari otak.4. Efek tekanan denyut likuor
serebrospinalis5. Hilangnya jaringan otak.6. Pembesaran volume tengkorak
karena regangan abnormal sutura kranial.
Berdasarkan letak obstruksi CSF, hidrosefalus dibagi menjadi
hidrosefalus komunikan dimana tidak terdapat obstruksi pada aliran CSF tetapi
villus arachnoid untuk mengabsorbsi CSF terdapat dalam jumlah yang sangat
sedikit atau malfungsional, biasanya disebabkan karena dipenuhinya villus
arachnoid dengan darah sesudah terjadinya hemmorhage subarachnoid dan
hidrosefalus non komunikan yang diakibatkan obstruksi dalam sistem ventrikuler
yang mencegah bersikulasinya CSF, kondisi tersebut sering dijumpai pada orang
lanjut usia yang berhubungan dengan malformasi congenital pada system saraf
pusat atau diperoleh dari lesi (space occuping lesion) ataupun bekas luka.
Gejala hipertensi intrakranial lebih menonjol pada anak yang lebih besar
dibandingkan dengan bayi. Gejalanya mencakup: nyeri kepala, muntah,
gangguankesada ran , gangguan oku lomoto r , dan pada ka sus yang
t e l ah l an ju t ada ge j a l agangguan ba t ang o t ak ak iba t he rn i a s i
t ons i l e r ( b r ad ika rd i a , a r i tm ia r e sp i r a s i ) . (Darsono, 2005:213).
Pada dasarnya ada tiga prinsip dalam pengobatan hidrosefalus, yaitu :a)
Mengurangi produksi CSS. b) Mempengaruhi hubungan antara tempat produksi
CSS dengan tempat absorbsi.c) Pengeluaran likuor (CSS) kedalam organ
ekstrakranial. (Darsono, 2005). Penanganan hidrosefalus juga dapat dibagi
menjadi terapi konservatif medikamentosa ditujukan untuk membatasi
evolusi hidrosefalus melalui upaya mengurangi sekresi cairan dari
pleksus khoroid atau upaya meningkatkan resorbsinya serta operasi pintas
(shunting) bertujuan membuat saluran baru antara aliran likuor dengan kavitas
drainase dimana lokasi drainase yang terpilih adalah rongga peritoneum (Allan H.
Ropper, 2005:360).
Pada tindakan shunting tentunya memerlukan anestesi umum untuk
menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara sentral disertai hilangnya
kesadaran yang bersifat reversibel. Perbedaan dengan anestesi lokal antara lain,
pada anestesi lokal hilangnya rasa sakit setempat sedangn pada anestesi umum
seluruh tubuh. Pada anestesi lokal yang terpengaruh sistem saraf perifer, sedang
pada anestesi umum yang terpengaruh syaraf pusat dan pada anestesi lokal tidak
terjadi kehilangan kesadaran.
Pada tulisan ini akan dilaporkan pengelolaan seorang pria 62 tahun yang
menderita hidrosefalus non komunikan e.c tumor cerebellum dilakukan VP-shunt
dengan pemberat hepatitis B dan anemia normositik normokromik di RSUP dr
Kariadi Semarang dan dilakukan perawatan pasca operasi di A1 bedah saraf dr
Kariadi Semarang.
Laporan Kasus
seorang pria 62 tahun yang menderita hidrosefalus non komunikan e.c
tumor cerebellum dilakukan VP-shunt dengan pemberat hepatitis B dan anemia
normositik normokromik dibantu dengan general anestesi di RSUP dr Kariadi
Semarang dan dilakukan perawatan pasca operasi di A1 bedah saraf dr Kariadi
Semarang.
Anamnesis
Penderita rujukan dari RS PKU Muhammadiyah Gobog Purwodadi dan di
rawat di A1 bedah saraf, rencana akan dilakukan tindakan VP-shunt. Penderita
sering merasa pusing terus menerus sejak ± 3 bulan yang lalu disertai mual dan
muntah. Muntah sering terjadi pagi hari setelah pasien bangun tidur. Pasien juga
merasa nafsu makan berkurang karena mual setiap makan disertai muntah, berat
bada turun ± 7 kg selama 3 bulan terakhir. Pasien juga merasa sering merasa ingin
jatuh saat berdiri sehingga saat berjalan selalu bertopang pada tembok. Pasien
lalu memutuskan untuk berobat ke puskesmas karena sakit semakin berat namun
tidak ada perbaikan dibawa ke RS PKU Muhammadiyah Gobog Purwodadi lalu
dilakukan USG dan dikatakan ada tumor di kepala. Penderita juga menderita
hepatitis B. Pembiayaan penderita ditanggung oleh asuransi kesehatan.
Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Penderita tampak lemas namun kesadaran masih penuh dengan GCS 15,
komunikasi lancar dengan tekanan darah 130/80 mmHg, heart rate 80 x/menit,
laju respirasi 20 x/mnt, suhu 36,8 c dan berat badan 50 kg. Kondisi fisik⁰
didapatkan pupil isokor 3 mm/3mm, refleks cahaya +/+, pterigium ODS +, visus
ODS 2/60. Keadaan jantung, paru, dan abdomen dalam batas normal, didapatkan
gangguan ataksia dan disdiadokinesis. Pemeriksaan laboratorium preoperasi Hb
11,9 mg%; Ht 34,6 %; leukosit 8,6 rb/mmk; trombosit 260 rb/mmk; GDS 101;
ureum 40 mg/dl; creatinin 0,55 mg/d; Natrium 126; kalium 4,2; clorida 101; total
protein 4,3 gr/dl; studi koagulasi normal. Pemeriksaan EKG didapat NSR,
pemeriksaan cairan LCS didapatkan penurunan dari protein dan sel leukosit PMN
maupun MN.
Manajemen Anestesi
Setelah dilakukan kunjungan pra anestesi didapatkan kondisi penderita yang
baik dengan hepatitis B, gangguan gerak, anemia normositik normokromik,
hiponatremi dinyatakan dengan status ASA II. Konsul dari anestesi adalah untuk
koreksi natrium (0,6 x ΔNa x BB) yaitu 300 mg lalu berikan NaCl 3%.
Premedikasi hanya diberikan midazolam 2 mg. Durante operasi diberikan
propofol 100 mg, fentanyl 50μg, ecron 5 mg, sulfas atropin 1 mg, efedrin 0,01
mg, tramadol 50 mg, isofluran 18 cc, N2O 2 lpm, O2 6 lpm . Monitoring durante
operasi diperiksa tekanan darah, heart rate, respirasi kontrol dengan mesin, SpO2,
produksi urine, dan perdarahan
Monitoring Anestesi
0 30 60 90 120 180 180 210 225020406080100120140160180
SistolikDiastolikNadiSpO2
Infus RL ---------R------RL---------------------------------------------TUTO
Terapi cairan:
- BB : 50 kg
- EBV : 70 cc/kgBB X 50 = 3500 cc
Kebutuhan cairan
1 2 3 4
maintenance BB x 2 cc 100 100 100 100 100
def puasa LP x M 600 300 150 150
stres operas D = 4/6/4 300 300 300 300 300
A=6/4/2 700 550 550 400
1250 1850 2250
Operasi berjalan selama 90 menit dengan perdarahan ± 100 cc dan produksi urine
± 50 cc. Cairan yang masuk durante operasi : RL 1000 cc.
PEMBAHASAN
Sebelum dilakukan operasi, pasien diperiksa terlebih dahulu, meliputi
anamnesis, pemer ik saan f i s i k , pemer ik saan penun j ang un tuk
menen tukan ASA dan d ipu tu skan kond i s i pa s i en t e rmasuk ASA
I I , s e r t a d i t en tukan r encana j en i s ane s t e s i yang akan dilakukan
yaitu general anestesi dengan intubasi. Setelah dilakukan pemeriksaan
tentang keadaan umum pasien diputuskan untuk d i l akukan anes t e s i
umum dengan i n tubas i , dengan a l a san t i ndakan ope ra s i t e r s ebu t
dilakukan di regio capitis, termasuk operasi mayor, sehingga dengan
teknik tersebut diharapkan jalan napas dapat dikendalikan dengan baik.
Pertama dilaksanakan premedikasi anestesi dengan midazolam 2 mg
yang memiliki efek ansiolisis, sedasi, dan amnesia. Midazolam
merupakan salah satu golongan benzodiazepin yang menghasilkan efek
ansiolitik (mengurangi kecemasan pasien) pada dosis yang tidak
menyebabkan sedasi yang eksensif dan ini bermanfaat pada pasien
dengan fungsi respirasi yang terganggu. Selain itu obat ini juga bermanfaat
membuat keadaan amnesia selama periode perioperasi oleh karena pengalaman
yang tidak menyenangkan selama tindakan pembedahan. Selanjutnya induksi
dilakukan dengan menggunakan fentanil 5 µg , propofol 100 mg secara intravena
serta isofluran 1,2 vol % secara inhalasi. Fentanil 5µg bolus intravena digunakan
sebagai analgesi opioid. Setelah suntikan intravena, ambilan dan
distribusi Fentanyl secara kualitatif hampir sama dengan morfin, tetapi
sebagian besar dirusak paru ketika pertama kali melewatinya. Dosis
analgesi 1-3µg/kgBB intravena untuk lama kerja 30 menit, karena itu
hanya dipergunakan untuk anestesi pembedahan dan bukan untuk pasca bedah.
Penggunaan propofol 1,5 – 2,5 mg/kgBB dengan penyuntikan cepat
(<15 detik) menyebabkan turunnya kesadaran dalam waktu 30 detik
Dan sempurna mengembalikan kesadaran lebih cepat dibandingkan obat
anestesi lain yang disuntikkan secara cepat. Selain itu juga
menimbulkan gejala sisa yang minimal pada SSP juga efeknya minimal
pada mual dan muntah. Pada isofluran, induksi dan pulih dari anestesi
memang tidak lebih cepat dibandingkan dengan sevofluran, baunya juga tajam
dan dapat menimbulkan iritasi jalan nafas jika dipakai dengan konsentrasi tinggi
menggunakan sungkup muka namun dipilih pada kasus ini karena pada
konsentrasi lebih dari 1 KAM dapat meningkatkan aliran darah otak dan tekanan
intrakranial lebih rendah dibandingkan dengan enfluran, sevofluran, dan halotan.
Sebelum dilakukan intubasi diberikan pelumpuh otot terlebih dahulu
yakni pada kasus ini adalah ecron 5 mg. Pelumpuh otot nondepolarisasi
(antagonis kompetitor) bekerja kompetitif dengan asetilkolin untuk menempati
reseptor membran otot. Akibat reseptor ditempati obat ini akibatnya asetilkolin
tidak dapat menempati reseptor. Setelah pelumpuh otot bekerja barulah
dilakukan intubasi dengan laringoskopblade dengan metode chin-lift dan
jaw-trust yang berfungsi untuk meluruskan jalan nafas antara mulut
dengan trakea. Setelah jalan nafas dalam keadaan lurus barulah
dimasukkan pipa endotrakeal no 7,5. .Setelah ETT terfiksasi
dilaksanakan pembedahan yang diikuti dengan rumatan a t au yang
b i a sa d ikena l dengan maintenance menggunakan O2 + i so f l u r an
Vo l % ditambah dengan pemberian cairan parenteral yakni ringer
laktat untuk mensubstitusi cairan, baik darah maupun cairan tubuh lainnya,
yang keluar selama pembedahan. Selesai pembedahan untuk meringankan
rasa nyeri pasca pembedahan diberikan Ke to ro l ac 30 mg pe r 8 j am
seca ra i n t r avena me la lu i i n fu s . Ke to ro l ac merupakan analgetik non-
opioid turunan asam propionate. Golongan obat non-opioid inidigunakan
sebagai tambahan penggunaan opioid dosis rendah untuk menghindari
efek samping opioid yang berupa depresi pernafasan. Golongan
analgetik non-opioid selain bersifat anti inflamasi juga bersifat
analgesik, antipiretik, dan anti pembekuan darah. Mekanisme kerja
obat ini adalah dengan menghambat aktivitas enzim siklo-
oksigenase,sehingga terjadi penghambatan sintesis prostaglandin
perifer. Prostaglandin dihasilkan oleh fosfolipid dari dinding sel yang
rusak akibat trauma bedah. Prostaglandin sendiri secara langsung tidak
menyebabkan nyeri, tetapi menurunkan respons terhadap inflamasi,sehingga
mengurangi nyeri perifer. Setelah selesai anestesia dan keadaan umum baik,
penderita dipindahkan ke ruang pulih. Disini diawasi seperti di kamar
bedah, walaupun kurang intensif dibandingkan dengan pengawasan
sebelumnya. Untuk memindahkan penderita ke ruangan biasa(bangsal) dihitung
dulu skorya menurut Adrete.
DAFTAR PUSTAKA
1.