kasus 1 step 246

21
Kasus 1 Gatal setelah minum obat Seorang wanita usia 32 tahun datang ke tempat pratik dokter dengan keluhan gatal. Keluhan disertai kulit kemerahan, mual dan agak sesak. Keluhan muncul setelah minum obat. Pada pemerksaan fisik didapatkan ujud kelainan kulit (UKK)makulo papuler dengan dasar eritema di seluruh tubuh dokter menyarankan untuk hati-hati dalam mengkonsumsi obat. STEP 1 GATAL : Rasa yang tidak nyaman, sehingga ingin menggaruk MAKULOPAPULER: MAKULO: Merah, Batas tegas, Tanpa peninggian ERITEMA : Merah pada kulit akibat vasodilatasi STEP 2 1. Mengapa bisa terjadi keluhan gatal kulit kemerahan, makuopapuler, dan agak sesak nafas setelah minum obat? 2. Apasaja faktor resiko yang dapat menimbulkan gejala-gajala pada kasus? 3. Apasaja bentuk dari ujud kelainan kulit? 4. Obat apa saja yang dapat menimbulkan gejala-gejal pada kasus? 5. Bagaimana diagnosis dan tatalaksana pada kasus tersebut? STEP 3 1. Karena terjadi suatu proses reaksi hipersensitivitas (tipe 1), yaitu pengaktivan Ig E yang menempel ke sel-sel gr anulosit sehingga granul –granul di dalam nya (berupa mediator inflamasi; seperti histamin, prostalglandin, interleukin ) terlepas dan ditangkap oleh reseptor (otot polos, kulit mukosa, dindind pembuluh darah dan lain-lain) dan terjadilah reaksi alergi disertai sifat –sifat inflamasi.

Upload: endah-risky-gustiyanti

Post on 11-Nov-2015

224 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

case

TRANSCRIPT

Kasus 1Gatal setelah minum obatSeorang wanita usia 32 tahun datang ke tempat pratik dokter dengan keluhan gatal. Keluhan disertai kulit kemerahan, mual dan agak sesak. Keluhan muncul setelah minum obat. Pada pemerksaan fisik didapatkan ujud kelainan kulit (UKK)makulo papuler dengan dasar eritema di seluruh tubuh dokter menyarankan untuk hati-hati dalam mengkonsumsi obat.STEP 1 GATAL: Rasa yang tidak nyaman, sehingga ingin menggaruk MAKULOPAPULER: MAKULO: Merah, Batas tegas, Tanpa peninggian ERITEMA: Merah pada kulit akibat vasodilatasiSTEP 21. Mengapa bisa terjadi keluhan gatal kulit kemerahan, makuopapuler, dan agak sesak nafas setelah minum obat?2. Apasaja faktor resiko yang dapat menimbulkan gejala-gajala pada kasus?3. Apasaja bentuk dari ujud kelainan kulit?4. Obat apa saja yang dapat menimbulkan gejala-gejal pada kasus?5. Bagaimana diagnosis dan tatalaksana pada kasus tersebut?STEP 31. Karena terjadi suatu proses reaksi hipersensitivitas (tipe 1), yaitu pengaktivan Ig E yang menempel ke sel-sel gr anulosit sehingga granul granul di dalam nya (berupa mediator inflamasi; seperti histamin, prostalglandin, interleukin ) terlepas dan ditangkap oleh reseptor (otot polos, kulit mukosa, dindind pembuluh darah dan lain-lain) dan terjadilah reaksi alergi disertai sifat sifat inflamasi. Reaksi hipersensitivitas Melepaskan Ig E, Ig E + Antigen menempel di sel mast pelepasan mediator-mediato inflamasi ditangkap oleh reseptor-reseptor seluruh tubuh2. Faktor resiko Usia : anak anak cenderung tidak alergi, karena immaturitas sistem imun Obat: Substansi Obat: jenis, efek samping, dan dosisBesar molekul: semakin kicil molekul kimia dari suatu obat semakin mudah untuk menimbulkan alergi Gangguan metabolik : DM , malnutrisi Turunan : yang memiliki turunan lebih beresiko3. Macam-macam klasifikasi UKKa. UKK primer: makula, papula, bulla, plaque, kunikuli, kista, tumor, nodul, vesika,b. UKK sekunder: squama, krsta , sikatrik, ulkus, erosi, ekskoriasi, fissura, likenifikasi, abses, guma4. obat yang menyebabkan alergi- Antibiotik: penisilin, kortimoksazol, eritromisin-OAINS : asam mefenemat, ibuprofen, parasetamol-Topikal : Mengandung bahan-bahan iritan seperti alkohol5. pencegahan mengganti dan menghindari obat penyebab alergi atau gatalPenegak diagnosis Anamnesis: gejala yang timbul setelah minum obat alergi, riwayat alergi obat PF : Vital Sign, Inspeksi dan palpasi makulopapuler, dengan dasar eritema Pemeriksaan Penunjang : test alergi, darah rutin, mentoux, tzank Penatalaksanaan Obat simtomatik: antihistamin, antiemetik Pemberian obat, ganti jenis Bed rest Monitoring

STEP 5

STEP 61 . REFLEKSI1. BAGAIMANA KEMAJUAN YANG DICAPAI SEJAUH INI? Kemajuan yang telah kami capai saat ini kami rasa cukup baik, 2. APAKAH JANGKA WAKTUNYA MEMADAI? Ya untuk PBL kasus 1 blok 246 ini waktunya cukup memadai3. APAKAH SAYA PERLU MENGUBAH STRATEGI BELAJAR? Ya, karena ada sedikit perbedaan dalam diskusi PBL pada blok ini, sedangkan dari sisi pribadi kami sendiri terdapat banyak perbedaan dalam strategi belajar, mungin perlu perubahan agar lebih baik lagi.4. APA YANG MENJADI FAKTOR PENENTU KABERHASILAN DAN KEGAGALAN SAYA? Faktor penentu jalannya diskusi kami adalah sikap dan sara terbuka untuk menyampaikan pendapat dan menerima pendapat orang lain. Sedangkan ,keberhasilan kami untuk memahami sesuatu materi ataupun kasus faktor penentunya adalah rasa ingin tahu yang besar, tindakan untuk memenuhi keingintahuan itu, dan lingkungan yang mendukung seperti teman, dosen serta sarana dan prasarana.5. APA YANG SAYA PELAJARI DARI PROSES YANG DAPAT MEMBANTU SAYA DI MASA DEPAN? Yang kami pelajari dari diskusi ini adalaha. Setiap manusia adalah pribadi yang berbeda dan patut dihargaib. Kc. L Yang kami pelajari dari diskusi kasus ini adalaha. Bentuk ujud kelainan kulitb. Mekanisme timbulnya gejala pada kasusc. Obat-obat yang dapat menimbulkan alergid. Cara mendiagnosa pasien dengan keluhan gatal/eritema/kelainan kulit laine. Penatalaksanaan atau terapi bagi penderita Step 51. Mekanismealergiobat / hipersensitibilitas2. Faktor resiko3. Ukk4. Obatpenyebabalergi5. Diagnosis6. Perbedaanreaksiobatdanalergiobat

1. Mekanisme alergi obatAda dua macam mekanisme dalam alergi obat, pertma mewkanisme imunologis dan kedua mekanisme non imunologis. Umumnya alergi obat timbul karena reaksi hipersensitivitas berdasarkan mekanisme imunologis. Obat dan metabolit obat yang berfungsi sebagai hapten, yang menginduksi antibodi humoral. Karena berat molekulnya yang rendah (di bawah 2000) biasanya obat itu sendiri tidak mempunyai kemampuan antigenik (immunogenik). Mereka bertindak sebagai hapten, dan sesudah membentuk ikatan kovalen dengan suatu protein, peptide atau karbohidrat di jaringan atau darah, akan merangsang pembentukab antibodi atau sel limfosit yang sangat spesifik untuk kompleks antigen tersebut.Antibodi pada manusia terdiri dari 5 jenis golongan protein yaitu immunoglobulin A, D, E, G, M yang dihasilkan oleh sel-sel plasma(jaringan Thymic-Independent). Sedangkan sel limfosit (jaringan Thymic-Dependent) membentuk kekebalan selluler (Cell-mediated-immunity), penyebab dari delayed hypersensitivity. Maka akan timbul reaksi alergik bila obat yang sama diberikan kembali. (Purwanto, 1976) Reaksi ini juga dapat melalui mekanisme non imunologis yang disebabkan karena toksisistas obat, over dosis, interaksi antar obat dan perubahan dalam metabolisme. (Revus, 2003)

Tabel 1. Reaksi imunologis dan non imunologis

A. Mekanisme Imunologis Tipe I (Reaksi Anafilaksis)Mekanisme ini paling banyak di temukan. Yang paling berperan ialah Ig E yang mempunyai afinitas yang tinggi terhadap sel mast dan sel basofil yang banyak terletak pada pembuluh darah. Pajanan pertama dari obat tidak menimbulkan reaksi . Tetapi bila dilakukan pemberian kembali obat yang sama, maka obat tersebut akan dianggap sebagai antigen yang akan merangsang pelepasan bermacam-macam mediator seperti histamin, serotonin, bradikinin dan heparin dan SRSA. Mediator yang dilepaskan ini akan menimbulkan bermacam-macam efek, misalnya eritema, sesak nafas, utrikaria. Reaksi anafilaksis yang paling ditakutkan adalah timbulnya syok. (Baratawidjaja, 2010) Tipe II (Reaksi Autositoksis)Terjadi adanya ikatan antara ig G dan ig M dengan antigen yang melekat pada sel. Hal ini menyebabkan efek sitolitik atau sitotoksik oleh sel efektor yang diperantarai oleh komplemen. Reaksi sitotoksik memiliki 3 kemungkinan mekanisme; pertama, obat terikat secara kovalen pada membran sel dan antibodi yang kemudian mengikat obat dan mengaktivasi komplemen (misalnya penisilin); kedua kompleks obat antibodi yang terbentuk, terikat pada permukaan sel dan mengaktivasi komplemen (misalnya sefalosporin); ketiga obat yang terikat pada permukaan sel menginduksi respon imunyang mengikat langsung antigen spesifik jaringan (misalnya -metyl-dopa). Antibodi yang terbentuk mengaktifkan sel K yang mempunyai reseptor Fc sebagai efektor antibody dependent cellular cytotoxicity (ADCC). Selanjutnya ikatan antigen antibodi mengaktifkan komplemen melalui reseptor C3b sehingga memudahkan fagositosis dan menimbulkan lisis. (Baratawidjaja, 2010) Tipe III (Reaksi Kompleks Imun)Tipe III ditandai dengan pembentukan kompleks antigen-antibodi (antibodi IgG atau ig M) dalam sirkulasi yang dideposit dalam jaringan. Komplemen yang teraktivasi melepas macrophage chemotatic factor. Makrofag dikerahkan ketemmpat tersebut melepas enzim yang dapat merusak jaringan. Komplemen juga membentuk C3a dan C5a (anafilatoksin) yang merangsang sel mast dan basofil melepas granul. Komplemen juga dapat menimbulkan lisis sel bila kompleks diendapkan di jaringan. (Baratawidjaja, 2010) Tipe IV (Reaksi Alergi Seluler Tipe lambat)Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang tersensitasi mengadakan reaksi dengan antigen dan menyebabkan pembebasan serangkaian limfokin, antara lain macrophage inhibition factor dan macrophage activation factor. Makrofag yang diaktifkan dapat menimbulkan kerusakan jaringan, contoh klasik dermatitis kontak alergik. Erupsi eksamatosa, eritodermik, dan fotoalergik merupakan reaksi tipe IV. Reaksi tipe ini melibatkan limfosit efektor yang spesifik yang juga terliabat pada purpura, sindrom Lyells, bulosa, likhhenoid, dan erupsi obat yang menyerupai lupus. Mekanisme tipe IV bersama-sama tipe III terlibat pada erupsi makulo-papular, fixed drug eruption dan eritema nodusum. Pada kenyataannya, reaksi-reaksi ini tidak selalu berdiri sendiri, namun dapat bersama-sama. Limfosit T berperan pada inisiasi respon antibodi, dan antibodi bekerja sebagai essensial link pada beberapa reaksi yang diperantarai sel, misalnya ADCC. (Baratawidjaja, 2010)

B. Mekanisme Non ImunologisReaksi Pseudo-Allergic menstimulasi reaksi alergi yang bersifat antibody-dependent. Salah satunya obat yang dapat menimbulkannya adalah aspirin dan kontras media. Teori yang ada menyatakan bahwa ada satu atau lebih mekanisme yang terlibat; pelepasanmediator sel mast dengan cara langsung, aktifitas langsung dari sistem komplemen, atau pengaruh langsung pada metabolisme enzim asam arachidonat sel. Efek kedua, diakibatkan proses farmakologis obat terhadap tubuh yang dapat menimbulkan gangguan seperti alopesia yang timbul karena penggunaan kemoterapi anti kanker. Penggunaan obat-obatan tertentu secara progresif ditimbun di bawah kulit, dalam jangka waktu yang lama akan mengakibatkan gangguan lain seperti hiperpigmentasi generalisata diffuse. (Andrew, 1993)

C. Unkwown MechanismsSelain dua mekanisme di atas, masih terdapat mekanisme yang lain yang belum dapat dijelaskan. (Andrew, 1993)

FAKTOR RISIKO REAKSI OBAT ALERGIK (SB 2)Beberapa faktor risiko dapat mempengaruhi respons imun terhadap obat, yaitu faktor yang berhubungan dengan obat dan pengobatan (sifat obat, dan pajanan obat), serta faktor yang berhubungan dengan pasien (usia, genetik, reaksi obat sebelumnya, penyakit dan pengobatan medis yang menyertai).2 Sifat obat Obat dengan berat molekul besar (makromolekul) misalnya antiserum, kimopapain, streptokinase, L-asparaginase dan insulin, merupakan antigen kompleks yang potensial untuk menyebabkan sensitisasi pada pasien.2-5Obat- obatan dengan berat molekul dibawah 1000 dalton merupakan imunogen lemah atau tidak imunogenik

Pemberian parenteral, misalnya pada pemberian oral.

4,15,16

Pemberian oral atau nasal

menstimulasi produksi imunoglobulin spesifik obat, yaitu IgA dan IgE, kadang kadang IgM.

Dosis dan lamanya pengobatan berperan pada perkembangan respons imunologik spesifik obat. pada lupus eritematosus yang diinduksi obat, dosis dan lamanya pengobatan hidralazin merupakan faktor penting, demikian juga pada anemia hemolitik yang diinduksi penisilin.2,4Dosis profilaksis tunggal antibiotika kurang mensensitisasi dibandingkan dengan pengobatan parenteral lama dengan dosis tinggi.4 Frekuensi pemberian obat dapat berdampak sensitisasi. Kerapnya pemberian obat lebih memicu reaksi alergi, interval pengobatan makin lama, maka reaksi alergi lebih jarang terjadi.2,4Usia Umumnya anak - anak kurang tersensitisasi oleh obat dibandingkan dengan dewasa, walaupun demikian ROA yang serius dapat juga terjadi pada anak - anak.2,4Bayi dan usia lanjut jarang mengalami alergi obat, dan kalaupun terjadi lebih ringan, hal tersebut dikaitkan dengan irnaturitas atau involusi sistem imun.4 Ruam yang terjadi akibat infeksi virus pada anak - anak dapat dikelirukan dengan anggapan bahwa hal tersebut terjadi akibat pemberian antibiotika sebagai pengobatan.2Genetik ROA hanya terjadi pada sebagian kecil pasien yang mendapat pengobatan. Banyak faktor, baik genetik dan lingkungan, yang dapat berperan untuk berkembangnya suatu reaksi alergi.17 Proses asetilasi diperlukan untuk metabolisme beberapa obat, misalnya sulfonamid, INH, dapson, hidralazin, prokainamid, klonazepan. Asetiase obat-obatan tersebut dikatalisis oleh enzim N-asetiliransferase(N AT). Fenotipe utama yang telah diketahui adalah asetilator lambat dan asetilator cepat.17 Pasien yang secara genetik merupakana setilator lambat lebih berpeluang berkembang menjadi LE yang

2,17diinduksi obat, sehubungan dengan pemberian hidralizin

dan prokainamid.17 ROA

terhadap sulfonamid dapat lebih berat di antara asetilator lambat. Penurunan kapasitas N-acetilating merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya EOA yang serius. Kapasitas N-acetilating yang rendah mengakibatkan peningkatan konsentrasi tertentu.

Kemungkinan alergi obat familial pernah dilaporkan. Di antara individu dewasa yang orangtuanya rentan terhadap reaksi alergi terhadap antibiotika, 25,6 % mengalami reaksi alergi terhadap agen antimikrobial ; sedangkan individu dengan orangtua tanpa reaksi alergi, hanya 1,7% mengalami reaksi alergi.2,4Reaksi obat sebelumnya Faktor risiko terpenting adalah adanya riwayat reaksi terhadap obat sebelumnya. Hipersensitivitas terhadap obat tidak sama dalam jangka waktu tidak terbatas. Telah diketahui bahwa setelah reaksi alergi terhadap fenisilin, waktu paruh antibodi IgE antipenisiloil dalam serum berkisar 55 hari hingga jangka waktu lebih dari 2000 hari.2 Sensitisasi silang antara obat dapat terjadi, misalnya antara berbagai kelompok sulfonamid. Pasien dengan riwayat hipersensitivitas memiliki peningkatan tendensi untuk terjadinya sensitivitas terhadap obat baru, contohnya pasien dengan alergi penisilin memiliki peningkatan risiko 10 kali untuk terjadinya alergi terhadap antimikroba non--laktam. Limapuluh tujuh persen bereaksi silang dengan sulfonamid. Reaksinya tidak terbatas pada hipersensitivitas tipe cepat.2Penyakit medis yang menyertai Anak - anak dengan fibrosis kistik lebih mudah mengalarni ROA terutama selama desensitisasi obat. Ruam makulopapular setelah pemberian ampisilin terjadi lebih sering selama infeksi virus Epstein-Barr dan di antara pasien dengan leukemia. UJUD KELAINAN KULITBerdasarkan Morfologi lesinya, UKK dapat dibagi menjadi:a. Lesi meninggi : Papul, Plak, Nodul, Kista, Urtika, Komedob. Lesi mencekung : Erosi, Ulkus, Atrofi, Poikiloderma, Striae, Burrow, Sklerosisc. Lesi mendatar : Makula, Patchd. Perubahan permukaan : Skuama, Krusta, Ekskoriasi, Fisura, Likenifikasi, Keratodermae. Berisi cairan : Vesikel, Bula, Pustula, Absesf. Vaskular : Purpura, Telangiekstasia (Rosmelia, 2010)Berdasarkan Permukaan Kulit lesinya, UKK dapat dibagi menjadi:a. Setinggi permukaan kulit : Makulab. Bentuk peralihan, tidak terbatas pada permukaan kulit : Eritema, Telangiektasisc. Diatas permukaan kulit: Urtika, Vesikel, Bula, Kista, Pustul, Abses, Papul, Nodus, Tumor, Vegetasid. Bentuk peralihan: Sikatriks, Hipotrofi, Anetoderma, Erosi, Ekskoriasi, Ulkus, Skuama, Krusta, Sel-sel asing dan hasil metabolism, Kotoran (Adhi Djuanda, 2009).Berdasarkan Kejadiannya, UKK dibagi atas UKK primer, sekunder, dan UKK khusus. UKK primer adalah bentuk lesi awal, sebelum mengalami perubahan karena trauma, manipulasi (garukan, gesekan), infeksi sekunder, atau perubahan alamiah. UKK khusus merupakan UKK yang terjadi pada kondisi atau penyakit tertentu saja. (Adhi Djuanda, 2009)a. Lesi primer: Makula, Papula, Urtika, Patch, Plak, Vesikel, Bula, Pustula, Nodul, Kistab. Lesi sekunder: Krusta, Skuama, Ulkus, Erosi, Fisura, Ekskoriasi, Skar, Likenifikasi, Atrofic. Lesi khusus: Teleangiektasia, Purpura, Ptekie, Komedo, Burrow, Lesi target. (Adhi Djuanda, 2009) Dibawah ini akan diberikan definisi kelainan kulit dan istilah-istilah yang berhubungan dengan kelainan tersebut.1. Makula adalah efloresensi primer yang hanya berupa perubahan warna kulit tanpa perubahan bentuk, seperti pada tinea versikolor, morbus Hansen.2. Eritema adalah makula yang berwarna merah, seperti pada dermatitis, lupus eritomatosus.3. Papula adalah penonjolan padat di atas permukaan kulit, berbatas tegas, berukuran kurang dari 1 cm.4. Nodula sama seperti papula tetapi diameternya lebih besar dari 1 cm, misalnya pada prurigo nodularis.5. Vesikula adalah gelembung yang berisi cairan serosa dengan diameter kurang dari 1 cm, misalnya pada varisela, herpes zoster.6. Bula adalah vesikel dengan diameter lebih dari 1 cm, misal pada pemfigus, luka bakar. Jika vesikel atau bula berisi darah disebut vesikel atau bula hemoragik. Jika bula berisi nanah disebut bula purulen.7. Pustula adalah vesikel berisi nanah, seperti pada variola, varisela, psoriasis pustulosa.8. Urtika adalah penonjolan di atas permukaan kulit akibat edema setempat dan dapat hilang perlahan-lahan, misalnya pada dermatitis medikamentosa, dan gigitan serangga.9. Tumor adalah penonjolan di atas permukaan kulit berdasarkan pertumbuhan sel maupun jaringan tubuh.10. Kista adalah penonjolan di atas permukaan kulit berupa kantong yang berisi cairan serosa atau padat atau setengah padat, seperti pada kista epidermoid.11. Skuama adalah pelepasan lapisan tanduk dari permukaan kulit. Dapat berupa sisik halus (TV), sedang (dermatitis) atau kasar (psoriasis). Skuama dapat berwarna putih (psoriasis), coklat (TV), atau seperti sisik ikan (iktiosis).12. Krusta adalah onggokan cairan darah, kotoran, nanah, dan obat yang sudah mengering di atas permukaan kulit, misalnya pada impetigo krustosa, dermatitis kontak. Krusta dapat berwarna hitam (pada jaringan nekrosis), merah (asal darah) atau coklat (asal darah, nanah, serum).13. Erosi adalah kerusakan kulit sampai stratum spinosum. Kulit tampak menjadi merah dan keluar cairan serosa, misalnya pada dermatitis kontak.14. Ekskoriasi adalah kerusakan kulit sampai ujung stratum papilaris sehingga kulit tampak merah disertai bintik-bintik perdarahan. Ditemukan pada dermatitis kontak dan ektima.15. Ulkus adalah kerusakan kulit (epidermis dan dermis) yang memiliki dasar, dinding, tepi dan isi. Misal, ulkus tropikum, ulkus durum.16. Rhagaden adalah belahan-belahan kulit dengan dasar yang sangat kecil atau dalam misal pada keratoskisis, keratodermia.17. Parut (sikatriks) adalah jaringan ikat yang menggantikan epidermis dan dermis yang sudah hilang. Jaringan ikat ini dapat lebih cekung dari kulit sekitarnya (sikatriks atrofi), dapat lebih menonjol (sikatriks hipertrofi), dan dapat normal (eutrofi atau luka sayat). Sikatriks tampak licin, garis kulit dan adneksa hilang.18. Keloid adalah hipertrofi yang pertumbuhannya melampaui batas.19. Abses adalah efloresensi sekunder berupa kantong berisi nanah di dalam jaringan. Misalnya abses Bartholini dan abses banal.20. Likenifikasi adalah penebalan kulit sehingga garis-garis lipatan atau relif kulit tampak lebih jelas, seperti pada prurigo, neurodermatitis.21. Guma adalah efloresensi sekunder berupa kerusakan kulit yang destruktif, kronik, dengan penyebaran serpiginosa. Misal, pada sifilis gumosa.22. Hiperpigmentasi adalah penimbunan pigmen berlebihan sehingga kulit tampak lebih hitam dari sekitarnya. Misal, pada melasma dan pascainflamasi.23. Hipopigmentasi adalah kelainan yang menyebabkan kulit manjadi lebih putih dari sekitarnya, misal pada skleroderma dan vitiligo.24. Kanalikuli yaitu ruam kulit berupa saluran-saluran pada stratum korneum, yang timbul sejajar dengan permukaan kulit, seperti yang terdapat pada skabies. 25. Milia (white head) ialah penonjolan di atas permukaan kulit yang berwarna putih yang ditimbulkan oleh penyumbatan saluran kelenjar sebasea, seperti pada akne sistika.26. Komedo (black head) ialah ruam kulit berupa bintik-bintik hitam yang timbul akibat proses oksidasi udara terhadap sekresi kelenjar sebasea di permukaan kulit, seperti pada akne.27. Eksantema adalah ruam permukaan kulit yang timbul serentak dalam waktu singkat dan tidak berlangsung lama, biasanya didahului demam, seperti pada demam berdarah.28. Roseola ialah eksantema lentikular berwarna merah tembaga seperti pada sifilis dan frambusia.29. Purpura yaitu perdarahan di dalam atau di bawah kulit yang tampak kemerahan, dan tidak hilang pada penekanan kulit, seperti pada dermatitis medikamentosa. (R.S Siregar, 2005)

Banyak obat yang dilaporkan dapat menyebabkan FDE. Yang paling sering dilaporkan adalah phenolpthalein, barbiturate, sulfonamide, tetrasiklin, antipiretik pyrazolone dan obat anti inflamasi non steroid.Obat antibakteri

Obat anti inflamasi non steroid

Barbiturat dan tranquilizer lainnya

Sulfonamid (co-trimoxazole) Tetrasiklin Penisilin Ampisilin Amoksisilin Eritomisin Trimethoprim Nistatin Griseofulvin Dapson Arsen Garam Merkuri P amino salicylic acid Thiacetazone Quinine Metronidazole ClioquinolDerivat Barbiturat Opiat Chloral hidrat Benzodiazepine Chlordiazepoxide Anticonvulsan Dextromethoephan

Aspirin Oxyphenbutazone Phenazone Metimazole Paracetamol Ibuprofen Phenolpthalein Codein Hydralazin Oleoresin Symphatomimetic Symaphatolitic ParasymphatoliticHyoscine butylbromide Magnesium hydroxide Magnesium trisilicate AnthralinChlorthiazone Chlorphenesin carbamate

Daftar Pustaka:Djuanda, Adhi. 2009. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Kelima. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. JakartaRosmelia. 2010. Dasar-Dasar Diagnosis Dalam Dermatologi. Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta.Siregar, R.S. 2005. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit Edisi 2. EGC. Jakarta.

Daftar PustakaAndrew J.M, Sun. Cutaneous Drugs Eruption. In: Hong kong Practitioner. Volume 15. Departement of Dermatology University of Wales College of Medicine. Cardiff CF4 4XN, UK. 1993. Access on: June 24, 2012. Available at: http://sunzil.lib.hku.hk/hkjo/view/23/2301319.pdfBaratawidjaja, Karnen Garna dkk. 2010. Imunologi Dasar edisi IX. Jakarta. FKUI.Purwanto, SL. 1976. Alergi Obat. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UNIKA Atma Jaya. JakartaRevus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume 1st. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003