karsinoma nasofaring

17
REFERAT KARSINOMA NASOFARING Disusun oleh: MUHAMMAD SYAFRIL NIM: I11109081 Pembimbing: dr. Wahyu, Sp.THT-KL RS TK II KARTIKA HUSADA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TANJUNGPURA

Upload: muhammadsyafril

Post on 05-Jan-2016

43 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Referat Karsinoma Nasofaring (KNF)

TRANSCRIPT

Page 1: KARSINOMA NASOFARING

REFERAT

KARSINOMA NASOFARING

Disusun oleh:

MUHAMMAD SYAFRIL

NIM: I11109081

Pembimbing:

dr. Wahyu, Sp.THT-KL

RS TK II KARTIKA HUSADA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

PONTIANAK

2015

Page 2: KARSINOMA NASOFARING

BAB I

PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher

yang terbanyak ditemukan di Indonesia. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher

merupakan karsinoma nasofaring, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan

sinus paranasal (18%), laring (16%) dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring

dalam presentase rendah. Berdasarkan data Laboratorium Patologi Anatomi tumor

ganas nasofaring sendiri selalu berada dalam kedudukan lima besar dari tumor ganas

tubuh manusia bersama tumor ganas serviks uteri, tumor payudara, tumor getah

bening, dan tumor kulit (Averdi R, 2012).

Kejadian karsinoma nasofaring termasuk jarang di populasi dunia, sekitar kurang

dari satu per 100.000 penduduk per tahun, namun relatif tinggi di Cina Selatan, Asia

Tenggara dan Afrika Utara. Perbandingan laki-laki dan perempuan 2,2:1. Karsinoma

nasofaring lebih sering timbul pada ras Mongoloid. Insiden di Cina Selatan dan Asia

Tenggara sekitar 20 sampai 40 per 100.000 jiwa per tahun, tertinggi di provinsi

Guangdong dan wilayah Guangxi, Cina sebesar lebih dari 50 orang per 100.000 jiwa

per tahun. Pada tahun 2002, tercatat 80.000 insiden karsinoma nasofaring di seluruh

dunia dengan sekitar 50.000 kematian, yang menjadikan kanker paling sering nomor

3 di dunia dan kanker no 4 paling sering di Hong Kong (Ariwibowo H, 2013).

Pada daerah Asia Timur dan Tenggara didapatkan angka kejadian yang tinggi.

Angka kejadian tertinggi di dunia terdapat di propinsi Cina Tenggara yakni sebesar

40 – 50 kasus KNF diantara 100.000 penduduk. KNF sangat jarang ditemukan di

daerah Eropa dan Amerika Utara dengan angka kejadian sekitar <1/100.000

penduduk (KPKN, 2015). Di Cina karsinoma nasofaring meningkat setelah umur 20

tahun dan menurun setelah umur 40 tahun, rata-rata berumur 40 dan 50 tahun

(Ariwibowo H, 2013).

Diagnosis dini menentukan prognosis pasien, namun cukup sulit dilakukan

karena nasofaring tersembunyi dibelakang tabir langit-langit dan terletak di bawah

Page 3: KARSINOMA NASOFARING

dasar tengkorak serta berhubungan dengan banyak daerah penting didalam tengkorak

dan ke lateral maupun ke posterior leher (Averdi R, 2012). Sampai saat ini radioterapi

masih memegang peranan penting dalam penatalaksanaan KNF. Terapi utama untuk

KNF adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi. Kemoterapi sebagai terapi

tambahan pada KNF ternyata dapat meningkatkan hasil terapi, terutama diberikan

pada stadium lanjut atau pada keadaan kambuh (Kurniawan R, 2011).

Page 4: KARSINOMA NASOFARING

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Kanker Nasofaring adalah jenis kanker yang tumbuh di rongga belakang hidung

dan belakang langit-langit rongga mulut.Karsinoma nasofaring merupakan kanker

ganas yang tumbuh di daerah nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller

pada nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah

menjadi epitel squamosa (National Cancer Institude, 2009).

Gambar 1. Karsinoma Nasofaring

2.2 Epidemiologi

Meskipun banyak ditemukan di negara dengan penduduk non-mongoloid, namun

demikian daerah Cina bagian selatan masih menduduki tempat tertinggi yaitu dengan

2.500 kasus baru pertahun untuk provinsi Guang-dong (Kwantung) atau prevalensi

39,84/100.000 penduduk. Ras Mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya

Page 5: KARSINOMA NASOFARING

kanker nasofaring sehingga kekerapan cukup tinggi pada penduduk Cina bagian

selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura dan Indonesia (Averdi

R, 2012).

Gambar 2. Epidemiologi Karsinoma Nasofaring

Data registrasi kanker di Indonesia berdasarkan histopatologi tahun 2003

menunjukkan bahwa karsinoma nasofaring menempati urutan pertama dari semua

tumor ganas primer pada laki–laki dan urutan ke 8 pada perempuan. Karsinoma

nasofaring paling sering di fossa Rosenmuller yang merupakan daerah transisional

epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa (Yenita, 2012). Di Indonesia,

berdasarkan data dari Kemenkes tahun 2015 karsinoma nasofaring merupakan salah

satu jenis keganasan yang sering ditemukan, berada pada urutan ke – 4 kanker

terbanyak di Indonesia setelah kanker leher rahim, kanker payudara dan kanker paru

(KPKN, 2015).

Distribusi penyakit ini paling banyak dijumpai pada ras Mongoloid, di samping

Mediteranian, dan beberapa ras di Afrika di bagian Utara. Di Hongkong tercatat

sebanyak 24 pasien kanker nasofaring per tahun per 100.000 penduduk, sedangkan

angka rata-rata di Cina bagian selatan berkisar antara 20 per 100.000 penduduk,

dibandingkan dengan negara Eropa atau Amerika Utara yang mempunyai angka

Page 6: KARSINOMA NASOFARING

kejadian hanya 1 per 100.000 penduduk per tahun. Angka kejadian KNF di Indonesia

cukup tinggi, yaitu sekitar 4,7 kasus baru per tahun per 100.000 penduduk atau

diperkirakan sekitar 7000-8000 kasus per tahun di seluruh Indonesi (Melani W,

2013).

2.3 Etiologi dan Faktor Risiko

Beberapa faktor risiko karsinoma nasofaring antara lain virus Epstein Barr, ikan

asin, kurang konsumsi buah dan sayuran segar, tembakau, asap lain, alkohol, obat

herbal, paparan pekerjaan, paparan lain, familial clustering, Human Leukocyte

Antigen Genes, dan variasi genetik lain (Ariwibowo H, 2013).

Gambar 3. Virus Epstein-Barr

Sudah hampir dapat dipastikan bahwa penyebab karsinoma nasofaring adalah

virus Epstein Barr karena pada semua pasien karsinoma nasofaring didapatkan titer

anti virus EB yang cukup tinggi. Titer ini lebih tinggi dari titer orang sehat, pasien

tumor ganas leher dan kepala lainnya, tumor organ tubuh lainnya, bahkan pada

kelainan nasofaring yang lain sekalipun (Averdi R, 2012).

Page 7: KARSINOMA NASOFARING

Tabel 1. Faktor risiko karsinoma nasofaring

2.4 Manifestasi Klinis

Pada stadium dini tumor ini sulit dikenali. Penderita biasanya datang pada

stadium lanjut saat sudah muncul benjolan pada leher, terjadi gangguan saraf, atau

metastasis jauh. Gejala yang muncul dapat berupa hidung tersumbat, epistaksis

ringan, tinitus, telinga terasa penuh, otalgia, diplopia dan neuralgia trigeminal (saraf

III, IV, V, VI), dan muncul benjolan pada leher (KPKN, 2015).

Gejala dan tanda karsinoma nasofaring yang sering berupa benjolan di leher

(78%), obstruksi hidung (35,5%), epistaksis (27,5%) dan diplopia. Termasuk

Page 8: KARSINOMA NASOFARING

adenopati leher, epistaksis, otitis media efusi, gangguan pendengaran unilateral atau

bilateral, hidung tersumbat, paralisis nervus kranial, retrosphenoidal syndrome of

Jacod (kesulitan ekspresi wajah, masalah gerakan mata dan rahang), retroparotidian

syndrome of Villaret (sulit mengunyah, gangguan gerakan lidah dan leher), nyeri

telinga yang menjalar. Seperempat pasien karsinoma nasofaring mengalami gangguan

nervus kranial, 28,8% mengenai nervus V, 26,9 % mengenai nervus VI dan 25%

mengenai nervus X (Ariwibowo H, 2013).

Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi dalam 4 kelompok yaitu gejala

nasofaring sendiri, gejala telinga, gejala mata dan saraf serta metastasis atau gejala

dileher. Gejala nasofaring dapat berupa epistaksis ringan atau sumbatan hidung,

untuk itu nasofaring harus diperiksa dengan cermat, kalau perlu dengan

nasofaringoskop karena sering gejala belum ada sedangkan tumor sudah tumbuh atau

tumor tidak tampak karena masih terdapat dibawah mukosa (creeping tumor).

Gangguan pada telinga merupakan gejala dini yang timbul karena tempat asal tumor

dekat muara tuba Eustachius (fosa Rosenmoller), gangguan dapat berupa tinitus, rasa

tidak nyaman ditelinga sampai rasa nyeri ditelinga (otalgia). Karena nasofaring

berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa lobang, maka

gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut. Penjalaran melalui

foramen laserum akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI dan dapat pula ke V,

sehingga tidak jarang gejala diplopia membawa pasien lebih dahulu ke dokter mata.

Metastasis ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher juga mendorong pasien

untuk berobat (Averdi R, 2012).

2.5 Diagnosis

Ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

penunjang (KPKN, 2015).

a. Anamnesis

Terdiri dari gejala hidung, gejala telinga, gejala mata dan saraf, serta gejala

metastasis/leher. Gejala tersebut mencakup hidung tersumbat, epistaksis ringan,

Page 9: KARSINOMA NASOFARING

tinitus, telinga terasa penuh, otalgia, diplopia dan neuralgia trigeminal (saraf III, IV,

V, VI), dan muncul benjolan pada leher.

b. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan status generalis dan status lokalis.

Pemeriksaan nasofaring:

- Rinoskopi posterior

- Nasofaringoskopi fiber/rigid

c. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium

- Hematologik : darah perifer lengkap, LED, hitung jenis.

- Alkali fosfatase

- SGPT – SGOT

2. Serologi IgA VCA, IgA EA; sebagai tumor marker (penanda tumor) pada

tempat yang dicurigai KNF tidak berperan dalam menegakkan diagnosis tetapi

dilakukan sebagai data dasar untuk evaluasi pengobatan.

3. Pemeriksaan Radiologik

a. Pemeriksaan foto toraks PA.

b. Pemeriksaan CT-Scan atau Magnetic Resonance Imaging nasofaring

potongan koronal, aksial, dan sagital, tanpa dan dengan kontras.

Pemeriksaan radiologik berupa CT scan/MRI nasofaring berguna untuk

melihat tumor primer dan penyebaran ke jaringan sekitar dan penyebaran

KGB. Untuk metastasis jauh dilakukan pemeriksaan foto toraks, bone scan,

dan USG abdomen. Pemeriksaan scintigrafi MIBI merupakan pemeriksaan

radiologik yang sangat baik digunakan untuk follow up terapi pada kasus-

kasus dengan dugaan residu dan residif.

c. Pemeriksaan Bone Scan.

d. Pemeriksaan scintigraphy MIBI pada kasus follow up yang meragukan pada

kasus-kasus residif atau residu tumor.

Page 10: KARSINOMA NASOFARING

e. Pemeriksaan ultrasonografi (USG) abdomen.

4. Biopsi

Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan biopsi nasofaring. Biopsi dapat

dilakukan dengan 2 cara yaitu dari hidung atau dari mulut. Biopsi melalui

hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy). Cunam biopsi

dimasukkan melalui rongga hidung menyelusuri konka media ke nasofaring

kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsi. Biopsi melalui

mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukkan melalui

hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik keluar dan diklem

bersama-sama ujung kateter yang dihidung. Demikian juga dengan kateter dari

hidung disebelahnya sehingga palatum mole tertarik keatas , kemudian dengan

kaca laring dilihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor

melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui

mulut, massa tumor akan terlihat lebih jelas. Biopsi tumor nasofasing

umumnya dilakukan dengan analgesia topikal dengan Xylocain 10% (Averdi

R, 2012).

2.6 Klasifikasi Stadium

Untuk penentuan stadium dipakai sistem TNM menurut UICC.

T = Tumor primer

T0 = Tidak tampak tumor

T1 = Tumor terbatas di nasofaring

T2 = Tumor meluas ke jaringan lunak

T2a = Perluasan tumor ke orofaring dan/atau rongga hidung tanpa perluasan ke

Parafaring*

T2b = Disertai perluasan ke parafaring

T3 = Tumor menginvasi struktur tulang dan/atau sinus paranasal

T4 = Tumor dengan perluasan intrakranial dan/atau terdapat keterlibatan saraf

kranial, fossa infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang mastikator

Page 11: KARSINOMA NASOFARING

Catatan : *) perluasan parafaring menunjukkan infiltrasi tumor ke arah postero-lateral

melebihi fasia laringo-basilar.

N = Pembesaran kelenjar getah bening regional

Nx = Pembesaran kelenjar getah bening tidak dapat dinilai

N0 = Tidak ada pembesaran

N1 = Metastasis bilateral di KGB, 6cm atau kurang di atas fosa suprakavikula

N2 = Metastasis bilateral di KGB, 6cm atau kurang dalam dimensi terbesar di atas

fosa suprakalvikula

N3 = Metastasis di KGB, ukuran >6cm

N3a = Ukuran >6cm

N3b = Perluasan ke fosa supraklavikula

Metastasis Jauh (M)

Mx = Metastasis jauh tidak dapat dinilai

M0 = Tidak terdapat metastasis jauh

M1 = Terdapat metastasis jauh

Pengelompokkan Stadium (Stage Grouping)

Stadium 0 Tis N0 M0

Stadium I T1 N0 M0

Stadium IIA T2a N0 M0

Stadium IIB T1 N1 M0

T2a N1 M0

T2b N0 M0

T2b N1 M0

Stadium III T1 N2 M0

T2a N2 M0

T2b N2 M0

T3 N0 M0

T3 N1 M0

T3 N2 M0

Page 12: KARSINOMA NASOFARING

Stadium IVA T4 N0 M0

T4 N1 M0

T4 N2 M0

Stadium IVB Semua T N3 M0

Stadium IVC Semua T Semua N M0

(Komite Penanggulangan Kanker Nasional, 2015).

2.7 Tatalaksana

Stadium I : Radioterapi

Stadium II & III : Kemoterapi

Stadium IV dengan N<6 cm: Kemoradiasi

Stadium IV dengan N>6 cm: Kemoterapi dosis penuh dilanjutkan kemoradiasi

(Averdi R, 2012).

2.8 Prognosis

Penemuan kanker nasofaring dengan gejala dini akan sangat berarti, apabila

ditemukan pada stadium dini angka kesembuhan dapat mencapai 100%. Pengobatan

akan semakin sulit apabila ditemukan pada stadium lanjut. Angka kesembuhan

stadium IV hanya sekitar 10% (Kemenkes RI, 2011).

Angka harapan hidup dua tahun pasien KNF dengan kemoradiasi sebesar 60%.

Pada bulan ke 24, pasien stadium II memiliki angka harapan hidup diatas 80%, pasien

stadium IV sebesar 60%, dan pasien stadium III hanya sebesar 40%. Tidak terdapat

perbedaan yang bermakna pada angka harapan hidup dua tahun pasien KNF antara

stadium II, III, dan IV yang dilakukan terapi kemoradiasi (Kurniawan R, 2011).