kanflik garapan lahan di kampung banjar...

25
KANFLIK GARAPAN LAHAN DI KAMPUNG BANJAR KELURAHAN AIR RAJA KOTA TANJUNGPINANG Naskah Publikasi Oleh ASIS NIM: 100569201062 PROGRAM STUDI ILMU SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI TANJUNGPINANG 2016

Upload: doanque

Post on 03-Mar-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

KANFLIK GARAPAN LAHAN DI KAMPUNG BANJAR

KELURAHAN AIR RAJA KOTA TANJUNGPINANG

Naskah Publikasi

Oleh

ASIS

NIM: 100569201062

PROGRAM STUDI ILMU SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI

TANJUNGPINANG

2016

1

SURAT PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING

Yang bertanda tangan dibawah ini adalah Dosen Pembimbing Skripsi mahasiswa yang disebut

dibawah ini:

Nama : ASIS

NIM : 100569201062

Jurusan/Prodi : SOSIOLOGI

Alamat : Kampung Bugis

Nomor TELP : 081270056949

Email : [email protected]

Judul Naskah : Konflik Garapan Lahan di Kampung Banjar Kelurahan Air Raja Kota

Tanjungpinang

Menyatakan bahwa judul tersebut sudah sesuai dengan aturan tata tulis naskah ilmiah dan untuk

dapat diterbitkan.

Tanjungpinang, 26 Febuari 2016

Yang menyatakan,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Siti Arieta, M.A Marisa Elsera, S.Sos, M.Si

NIP.198304062015042002 NIP.198710192014042001

2

KONFLIK GARAPAN LAHAN DI KAMPUNG BANJAR

KELURAHAN AIR RAJA KOTA TANJUNGPINANG

Asis [email protected]

Siti Arieta,M.A [email protected]

Marisa Elsera, S.Sos, M.Si [email protected]

Mahasiswa Sosiologi, FISIP UMRAH

ABSTRAK

Permasalahan mengenai tanah pada dewasa ini semakin komplek, hal ini disebabkan

keadaan tanah yang terbatas sedangkan jumlah penduduk semakin bertambah, harga tanah yang

meningkat dengan cepat dan kondisi masyarakat yang semakin sadar dan peduli akan

kepentingan/haknya, berkaitan dengan hak tersebut tentunya tidak terlepas dengan semakin

banyaknya kasus-kasus pertanahan. Awal mula terjadinya konflik di Kampung Banjar Kelurahan

Air Raja pada awal tahun 2014 dengan kedatangan surat pemberitahuan dari PT.CDA kepada

masyarakat untuk mengosongkan atau meninggalkan lahan yang telah masyarakat garap, karena

lahan seluas 253 HA yang sebagian digarap masyarakat milik PT.CDA, masyarakat Kampung

Banjar menolak dan belum jaga ingin meninggalkan lahan tersebut. Hingga proses pembangunan

pagar di sekitar lahan lokasi penggarapan Kampung Banjar Kelurahan Air Raja, Kecamatan

Tanjungpinang Timur menuai protes dari masyarakat Kampung Banjar KM 15. Adapun tujuan

dari penelitian yang dilakukan adalah Untuk mengetahui Konflik Garapan Lahan di Kampung

Banjar Kelurahan Air Raja Kota Tanjungpinang.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik purposive sampling, karena peneliti

memilih subjek yang memiliki pengetahuan dan informasi tentang apa yang diteliti. Informan

dalam penelitian ini berjumlah 6 (enam) orang yang terdiri dari 5 orang masyarakat kampung

banjar serta 1 (satu) orang yang bertugas menjaga lahan dari pihak PT.CDA yang diharapkan dapat

menjawab hasil penelitian peneliti.

Pada penelitian ini konsep teori yang digunakan adalah merupakan teori Konflik Menurut

Otomar J. Bartos dan Paul Wehr yang berasumsi bahwasannya teori konflik perhatiannya tertuju

pada dinamika konflik yang terbagi atas Eskalasi Konflik dan Deeskalasi Konflik.

Konflik garapan lahan di Kampung Banjar merupakan konflik antara masyarakat dengan

PT.CDA didasari oleh adanya masyarakat yang menggarap dan memanfaatkan lahan sebagai

sumber mata pencaharian masyarakat sehari-hari seperti berkebun, berternak dan tempat tinggal

demi kelangsungan hidup masyarakat di atas lahan PT.CDA.

Kata Kunci: Konflik, Masyarakat, Lahan

3

WORKING LAND CONFLICT IN VILLAGE BANJAR

VILLAGE AIR KING CITY TANJUNGPINANG

Asis [email protected]

Siti Arieta,M.A [email protected]

Marisa Elsera, S.Sos, M.Si [email protected]

ABSTRACT

Problems concerning land in today's increasingly complex, it is caused when the ground

is limited, while the total population grew, land prices are rising rapidly and the condition of

society is increasingly aware of and concerned about the interests / rights, relating to such rights

must not be separated by more many cases of land. The beginning of the conflict in Kampung

Banjar Village Air King in early 2014 with the arrival of the notice from PT.CDA to the public to

vacate or leave public land that had been worked on, because the land area of 253 HA that most

cultivated people belonging PT.CDA, Village community Banjar guard resisted and has not

wanted to leave the land. Until the process to build a fence around the land location of the

cultivation of Kampung Banjar Village Water King, District East Tanjungpinang protests from

people in Kampung Banjar KM 15. The purpose of this research is to determine Garapan Land

Conflicts in Kampung Banjar Village Air King Tanjungpinang.

In this study, researchers used a purposive sampling techniques, because the researchers

chose a subject that has the knowledge and information about what is being investigated. The

informant in this research consisted of 6 (six) people consisting of 5 people banjar village

communities as well as one (1) person in charge of maintaining the land of the PT.CDA are

expected to answer the results of the study investigators.

In this study, theoretical concept used is the theory of conflict According Otomar J.

Bartos and Paul Wehr bahwasannya conflict theory that assumes attention focused on the

dynamics of the conflict that divided Deeskalasi Conflict and Conflict Escalation.

Conflict of arable land in Kampung Banjar is a conflict between society and PT.CDA

constituted by the people who work and use the land as a source of livelihood of everyday people

such as gardening, livestock and shelter for survival of the people on the land PT.CDA.

Keywords: Conflict, Society, Land

4

I. PENDAHULUAN

A. latar Belakang

Tanah memiliki posisi yang sangat

penting dan menyangkut hajat hidup orang

banyak setiap aktivitas pembangunan

senantiasa memerlukannya, termasuk rakyat

memerlukannya baik untuk tempat tinggal

maupun sebagai lahan usaha (sumber

penghasilan penghidupan). Sesuai dengan

kemajuan pembangunan dan pertambahan

penduduk, maka kebutuhan tanah dari tahun

ke tahun terus meningkat, sedangkan disisi

lain persediaan tanah terbatas dan bahkan

semakin berkurang, tetapi uniknya harus

tetap tersedia. Dalam rangka memenuhi

kebutuhan akan tanah, maka tidak jarang

terjadi benturan kepentingan dari pihak-

pihak yang memerlukan tanah dan berlanjut

pada terjadinya masalah/sengketa.

Dengan demikian maka sering terjadi

konflik antara pemilik lahan perorangan,

swasta maupun batas-batas tanah, dan yang

kerap terjadi adalah masalah lahan yang

tidak diurus selama belasan tahun bahkan

puluhan tahun sehingga sering terjadi

tumpang tindih pada tanah/lahan yang sama.

Hal ini terjadi karena tidak adanya kekuatan

hukum terhadap tanah tersebut sehingga

rawan terjadinya permasalahan tumpang

tindih tanah.

Permasalahan mengenai tanah pada

dewasa ini semakin komplek, hal ini

disebabkan keadaan tanah yang terbatas

sedangkan jumlah penduduk semakin

bertambah, harga tanah yang meningkat

dengan cepat dan kondisi masyarakat yang

semakin sadar dan peduli akan

kepentingan/haknya, berkaitan dengan hak

tersebut tentunya tidak terlepas dengan

semakin banyaknya kasus-kasus pertanahan.

Pada hakikatnya, kasus pertanahan

merupakan benturan kepentingan di bidang

pertanahan antara siapa dengan siapa,

sebagai contoh konkrit antara perorangan

dengan perorangan, perorangan dengan

badan hukum, badan hukum dengan badan

hukum dan lain sebagainya.

Ketidakjelasan kepemilikan lahan disini

tidaklah lain diakibatkan oleh minimnya

pengetahuan warga terhadap pentingnya

pengurusan kepemilikan lahan serta rasa

percaya warga saat menitipkan surat

tanahnya kepada orang lain tanpa surat-surat

perjanjian.

Pada awalnya masyarakat tertentu tidak

begitu memedulikan keberadaan tanahnya,

namun sejak terjadinya perubahan terhadap

nilai tanah itu sendiri maka masyarakat

tersebut akan mengubah cara pandangnya

terhadap tanah. Mereka cenderung akan

mempertahankan/menjual tanah tersebut

dengan maksud untuk memperoleh

keuntungan yang besar, bahkan tak jarang

yang sebelumnya antar warga/keluarga tidak

terdapat persengketaan (perebutan) hak atas

tanah namun kini mereka berbondong-

bondong untuk bersaing memperoleh hak

atas tanah untuk dijual mahal dengan tujuan

mendapat keuntungan yang besar.

Kecenderungan ini merupakan hal yang

diakibatkan oleh faktor-faktor ekonomi.

Namun jika dianalisa secara sosiologi

perubahan sosial, maka hal ini terdapat

kecocokan dengan pola-pola perubahan

5

sosial yang menghasilkan pandangan dan

perhatian masyarakat mengenai masa

lampau dan masa depan yang berbeda dari

sebelum terjadi perubahan sosial. Orang

modern telah mulai menilai bahwa tradisi

nenek moyang ada kalanya dapat

ditinggalkan tergantung kepada tingkat

kebutuhan yang dirasakan (Salim, 2002:

152).

Sengketa tanah antar masyarakat

cenderung didalangi oleh perasaan dirugikan

atas tidak meratanya pembagian uang ganti

rugi, dan untuk mencari keuntungan

terhadap nilai tanah tersebut. Secara kasat

mata memang sengketa yang terjadi timbul

dari sisi ekonomis, namun untuk

menyimpulkan ini semua perlu dilakukan

sebuah penelitian untuk mengkaji penyebab

perubahan orientasi/pandangan masyarakat

terhadap tanah, mengingat arti dan makna

tanah bagi seseorang sangatlah tinggi.

Penggarapan lahan yang terjadi di daerah

Kampung Banjar sudah sejak tahun 1988

yang berada di jalan arah Senggarang KM

15 Kelurahan Air Raja merupakan bekas

lahan pertambangan yang telah ditinggalkan

bertahun-tahun oleh pengusaha

pertambangan, lahan tersebut dibiarkan

begitu saja tanpa ada tanda-tanda

kepemilikan seperti tanda batas-batas tanah

atau plang nama yang bertuliskan

kepemilikan tanah, sehingga masyarakat

berfikir untuk memanfaatkan lahan kosong

tersebut sebagai sumbermata pencaharian

sehari-hari seperti berkebun, berternak serta

tempat tinggal masyarakat.

Hingga akhirnya pada awal tahun 2014

pihak PT.CDA datang dan menyurati

masyarakat Kampung Banjar agar dapat

mengosongkan atau meninggalkan lahan

yang telah masyarakat garap di karenakan

lahan yang di gunakan masyarakat

merupakan lahan milik PT.CDA

berdasarkan surat Hak Guna Bangunan

(HGB) yang dikeluarkan oleh BPN Kota

Tanjungpinang sejak tahun 1994 hingga

2024, rencananya lahan tersebut akan di

bangun perumahan oleh PT.CDA.

Adapun pemicu terjadinya konflik

garapan lahan di Kampung Banjar Keluraha

Air Raja antara masyarakat Kampung Banjar

dengan PT.CDA ialah:

1. Adanya ketidak sesuaian ganti rugi

Adanya pemberian ganti rugi yang

diberikan oleh pihak PT.CDA sebesar dua

juta rupiah hingga sepuluh juta rupiah

terhadap masyarakat Kampung Banjar

tergantung besar kecilnya lahan yang

digunakan masyarakat sebagai sumber

penghasilan serta tempat tinggal masyarakat

Kampung Banjar di nilai tidak sesuai dengan

apa yang telah dihasilkan oleh masyarakat

selama menggarap lahan dilokasi tersebut

sehingga menimbulkan penolakan dari

masyarakat Kampung Banjar, sedangkan

masyararakat Kampung Banjar hanya

menginginkan lahan yang telah mereka

tempati selama ini..

2. Adanya ancaman dari PT.CDA

Adanya ancaman dari pihak PT.CDA

terhadap masyarakat yang menyatakan

bahwa jika masyarakat tidak juga

meninggalkan atau mengosongkan lahan

6

yang secara sah milik pihak PT.CDA

berdasarkan sertifikat HGB yang

dikeluarkan oleh BPN Kota Tanjungpinang,

pihak PT.CDA akan menuntut masyarakat

dan bisa di kenakan sangsi penjara hal ini

membuat emosi masyarakat karena

masyarakat telah menempati lahan tersebut

selama bertahun-tahun lamanya sehingga

masyarakat melakukan perlawanan dan

menolak untuk meninggalkan lahan tersebut.

3. Terjadinya pemagaran oleh PT.CDA

Terjadinya pemagaran beton di

Kampung Banjar yang dilakukan pihak

PT.CDA terhadap lahan yang masyarakat

garap selama ini sebagai batas-batas atas

kepemilikan lahan PT.CDA berdasarkan

surat sertifikan HGB yang dikeluarkan oleh

BPN Kota Tanjungpinang dari 1994 hingga

2024, hal membuat seluruh masyarakat turun

serta melakukan perlawanan untuk melawan

PT.CDA dan berupaya untuk menghentikan

proses pemagaran oleh PT.CDA, masyarakat

menyatakan pihak PT.CDA telah bertindak

sebelah pihak tanpa persetujuan dari

masyarakat. (Sumber:Hasil data lapangan)

Dari 253 Ha diakui kepemilikannya dari

pihak swasta yaitu PT.CDA dan masyarakat.

Sepengetahuan masyarakat sejak puluhan

tahun silam, lahan ini tidak ada yang

memiliki. Hal ini ditandai tidak adanya

tanda-tanda patok, atau sejenis tanaman

tahunan yang tumbuh di areal ini. Namun

setelah digarap oleh warga, PT.CDA

tersebut mengklaim bahwa lahan seluas 75

hektar yang telah digarap atau dimanfaatkan

masyarakat itu miliknya. Ratusan warga

yang telah tinggal dan menggarap lahan

tersebut telah lama membuahkan hasil,

sebagai mata pencarian mereka dengan

berkebun dari jenis tanaman sayur-sayuran

dan buah-buahan serta beternak selama ini.

Namun selama itu pula, tidak pernah adanya

protes atau klaim dari pihak lain yang

mengaku bahwa lahan tersebut milik

mereka. (www.haluankepri.com).

Dari permasalahan diatas maka

penelitian ini mengambil sebuah judul

permasalahan yaitu: Konflik Garapan

Lahan di Kampung Banjar Kelurahan

Air Raja Kota Tanjungpinang.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang

tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian dengan merumuskan masalah

sebagai berikut: Bagaimana Konflik

Garapan Lahan di Kampung Banjar

Kelurahan Air Raja Kota Tanjungpinang?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian yang

dilakukan adalah: Untuk mengetahui

Konflik Garapan Lahan di Kampung Banjar

Kelurahan Air Raja Kota Tanjungpinang.

2. Kegunaan Penelitian

a. Kegunaan Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat

memberikan sumbangan pemikiran dalam

pengembangan ilmu pengetahuan sosiologi

mengenai teori konflik sosial

b. Kegunaan Akademis

Penelitian ini juga diharapkan dapat

menjadi acuan informasi dalam penelitian-

penelitian berikutnya dengan permasalahan

penelitian yang sama serta menjadi referensi

7

pustaka bagi pemenuhuan kebutuhan

penelitian lanjutan.

II. KONSEP TEORI

A. Teori konflik

Secara umum, para ilmuwan sosiologi

konflik lahir dari konteks masyarakat yang

mengalami pergeseran-pergeseran nilai-nilai

dan struktural dan dinamika kekuasaan

dalam negara. Istilah konflik pertama kali

digunakan oleh George Simmel dalam

American Journal of Sosiology pada tahun

1903.

Konflik berasal dari kata latin configure

yang berarti saling memukul. Secara

sosiologis konflik dapat diartikan sebagai

suatu proses sosial antara dua orang atau

lebih (bisa juga kelompok) dimana salah

satu pihak berusaha menyingkirkan pihak

yang lain dengan menghancurkannya atau

membuatnya tidak berdaya.

Konflik dapat diartikan sebagai

pertarungan antara dua pihak atau lebih,

baik individu maupun kelompok yang

biasanya disebabkan oleh perbedaan nilai,

pandangan, aktivitas, status, dan kelangkaan

sumber daya alam. Pernyataan ini diperkuat

oleh pernyataan Fuad dan Maskanah (2000),

Ibrahim (2002) sebagaimana dikutip Ilham

(2006) serta Fisher et al. (2001) yang

mengungkapkan bahwa konflik muncul

karena ada sasaran-sasaran yang tidak

sejalan atau tidak sama. Konflik akan selalu

ditemui selama manusia menjalankan

peranannya di dalam kehidupan. Manusia

melakukan berbagai usaha untuk memenuhi

kebutuhnnya, yang dalam pelaksanaannya

manusia harus melaksanakan hak dan

kewajibannya. Ketika merealisasikan hak-

hak manusia yang merupakan bagian dari

komunal, sering terjadi benturan- benturan

antara pemenuhan hak-hak tersebut.

Manusia adalah makhluk konfliktis

(homo conflictus) yaitu makhluk yang

terlibat dalam perbedaan, pertentangan dan

persaingan baik suka rela maupun terpaksa.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

(Poerwadarminta, 1976 dalam Susan,

2010:8) konflik berarti pertentangan atau

percekcokan, pertentangan itu sendiri bisa

muncul dalam bentuk ide maupun fisik

antara kedua belah pihak yang

berseberangan.

B. Konflik Menurut Konflik Menurut

Lewis A. Coser

Dalam konflik sosial biasanya

membentuk opini yang berbeda, misalnya

orang yang setuju dan yang tidak

mendukung konflik, adapula yang menaruh

simpati kepada kedua belah pihak, ada

pribadi-pribadi yang tahan menghadapi

situasi konflik, akan tetapi ada yang merasa

tertekan, sehingga menimbulkan penderitaan

(Soekanto, 2006:95). Lewis A. Coser

menggambarkan kondisi-kondisi dimana

konflik secara positif dapat membantu

struktur sosial dan apabila secara negatif

maka akan memperlemah kerangka

masyarakat. Walaupun begitu tidak

selamanya akibat konflik bersifat negatif,

adapun sisi positif dari konflik adalah

bertambahnya solidaritas anggota kelompok

yang berkonflik. Jika suatu kelompok

terlibat konflik dengan kelompok yang lain,

maka solidaritas antar warga kelompok

tersebut akan meningkat dan bertambah erat,

8

bahkan setiap anggota bersedia berkorban

demi keutuhan kelompok dalam menghadapi

tantangan dari luar.

Lewis A. Coser (Margaret M. Poloma,

1992:103) mengakui ada beberapa susunan

struktural merupakan hasil suatu persetujuan

atau konsensus, sehingga terciptanya konflik

realitas.

Konflik ini mempunyai ciri-ciri sebagai

berikut:

a. Konflik muncul dari frustasi atas

tuntutan-tuntutan khusus dalam

hubungan. Disamping itu konflik

merupakan keinginan untuk

mendapatkan sesuatu.

b. Konflik merupakan alat untuk

mendapatkan hasil-hasil tertentu,

konflik realistis sebenarnya

mengejar: power, status langka

c. Konflik akan berhentti jika aktor

dapat menemukan pengganti yang

sejajar dan memuaskan untuk

mendapatkan hasil.

d. Karena itu, pada konflik realitis

terdapat pilihan-pilihan fungsional

sebagai alat untuk mencapai tujuan,

pilihan-pilihan amat bergantung

pada penilaian partisipan atas

pilihan yang tersedia.

Konflik realitas memiliki sumber yang

konkrit atau bersifat material, seperti

perebutan sumber ekonomi atau wilayah.

Jika mereka telah memperoleh sumber

rebutan tersebut dan bila diperoleh tanpa

perkelahian maka konflik akan segera diatasi

dengan baik (Susilo, 2008:232).

Lebih lanjut Lewis A. Coser

menggambarkan kondisi-kondisi dimana

konflik secara positif membantu struktur

sosial dan bila terjadi secara negatif maka

akan memperlemah kerangka masyarakat.

Walaupun begitu tidak selamanya akibat

konflik bersifat negatif, adapun sisi positif

dari konflik adalah bertambahnya solidaritas

anggota kelompok yang berkonflik. Jika

suatu kelompok terlbat konflik dengan

kelompok lain, maka solidaritas antar warga

kelompok tersebut akan meningkat dan

bertambah erat, bahkan setiap anggota

bersedia berkorban demi keutuhan kelompok

dalam menghadapi kelompok dari luar.

Apa yang dikatakan oleh Soejono

Soekanto sama halnya dengan apa yang

dikatakan oleh Lewis A. Coser. Menurut

Coser, konflik tidak hanya berwajah negatif

konflik juga memiliki wajah positif terhadap

masyarakat melalui perubahan-perubahan

sosial yang diakibatkannya, pendapat ini

sebenarnya berangkat dari sosiologi

simmel”… konflik itu sesungguhnya

menunjuk dirinya sebagai suatu aktor

positif…” bisa disebutkan bahwa dalam

banyak sejarah sesungguhnya dipengaruhi

oleh faktor positif konflik (Simmel, 1903:

490-491 dalam Susan, 2010: 60). Sehingga

Coser sepakat pada fungsi sosial dalam

sistem sosial, lebih khususnya pada

kelembagaan yang kaku dan kemudian

memerhatikan hubungan antara konflik dan

perubahan sosial (Wallace dan Wolf, 1995

dalam Susan, 2010: 60).

9

Lewis A. Coser (1957) memberikan

perhatian terhadap asal muasal konflik

sosial, bahwa ada keagresifan atau

bermusuhan dalam diri seseorang (hostile

feeling), Coser memerhatikan bahwa dalam

hubungan intim dan tertutup antara cinta dan

rasa benci hadir, Coser mempunyai pendapat

yang sama dengan Simmel dalam melihat

unsur dasar konflik yaitu bermusuhan dalam

diri orang, bagi Coser hostile feeling belum

tentu menyebabkan konflik terbuka (overt

conflict) sehingga Coser menambah perilaku

permusuhan, perilaku permusuhan inilah

yang menyebabkan masyarakat mengalami

situasi konflik (Susan, 2010:60).

Lewis Coser melihat konflik memiliki

fugsi positif ketika bisa dikelola dan

diekspresikan sewajarnya, seorang ilmuan

sosiologi konflik lainya menyatakan bahwa

sesungguhnya konflik itu berkaitan dengan

tujuan-tujuan dari seorang maupun

kelompok dalam masyarakat. Tujuan-tujuan

tersebut diperjuangkan tatkala bergesekan

dengan tujuan orang atau kelompok lain.

Selain itu Otoma J. Bartos dan Paul

Wehr mendefinisikan konflik sebagai

“situasi dimana para aktor menggunakan

prilaku konflik melawan satu sama lain

untuk menyelesaikan tujuan yang

berseberangan atau mengekspresikan naluri

permusuhan”. Dalam definisi itu sebenarnya

Bartos dan Wehr memasukan unsur dalam

perilaku konflik sebagai unsur pemicu

konflik. Karena incompatibel goal dan

hostility feeling membutuhkan perilaku

konflik secara sosial. Perilaku konflik

merupakan berbagai bentuk perilaku yang

diciptakan oleh seseorang atau kelompok

untuk membantu mencapai apa yang

menjadi tujuan atau mengekspresikan

permusuhan pada musuh atau para pesaing

mereka. Perilaku konflik dipilah menjadi

tindakan koersif dan non koersif. Menurut

Bartos dan Wehr (dalam Susan: 2009: 56)

a. Tindakan Koersif dan Nonkoersif

Menurut Bartos dan Wehr tindakan

koersif (coersive action) merupakan bentuk

tindakan sosial yang memaksa pihak lawan

untuk melakukan sesuatu yang pihak lawan

tidak ingin melakukannya. Bartos dan Wehr

kemudian membagi bentuk tindakan koersif

menjadi dua yaitu actual coercion (koersi

nyata) dan threat coercion (koersi ancaman).

Actual coercion muncul dalam bentuk

melukai atau membunuh lawan. Selain itu

bisa juga muncul dalam bentuk penyiksaaan

psikologis yang menimbulkan luka simbolis

(symbolis injury). Tujuan utama dari actual

coercion adalah menghentikan kemampuan

lawan untuk meneruskan konflik. Threat

coercion (koersi ancaman) bertujuan

menekan agar lawan menurunkan keinginan

mencapai tujuan pada tingkat tertentu.

Bentuk koersif ini muncul dalam bentuk

intimidasi dan negoisasi sekaligus.

Non coercive action adalah upaya

mencari jalan keluar dari hubungan konflik.

Bartos dan Wehr membagi tiga model non

coercive action. Yaitu, persuasi,

menjanjikan penghargaan, dan murni

kerjasama. Biasanya tindakan model ini

dilakukan dalam suatu negoisasi yang

seluruh pihak menyadari pentingnya

pemecahan masalah. Walaupun demikian

10

model tindakan ini juga bisa muncul sebagai

strategi konflik sebelum suatu kelompok

menggunakan coercive action.

b. Solidaritas Konflik dan Sumber

Konflik

Wehr dan Bartos (dalam Susan, 2009:

59-60) menggunakan logika sebab akibat

untuk melihat tingkat tindakan koersif

(degree coersiveness) dari suatu hubungan

konflik. Tindakan koersif ketika berada

dalam suatu hubungan konflik akan

menciptakan dinamika konflik. Dinamika

konflik adalah segala macam interaksi

pertentangan antara dua atau lebih pihak.

Timbulnya konflik atau pertentangan

merupakan suatu kelanjutan dari adanya

komunikasi dan informasi yang tidak

menemui sasarannya. Konflik dilatar

belakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang di

bawa individu dalam suatu interaksi.

Dinamika konflik ditandai terlebih

dahulu oleh fase-fase konflik. Wehr dan

Bartos membagi konflik menjadi dua fase

yaitu, fase solidaritas konflik, dan fase

sumber-sumber konflik. Solidaritas konflik

adalah terciptanya konflik, menuju

kompleksitas, melalui keterlibatan individu-

individu lain. Proses tersebut akan

teraktualisasikan, dipicu oleh adanya fakta

kekejian yaitu frustasi dan keluhan.

Solidaritas konflik dicirikan oleh

beroperasinya idiologi dalam kelompok,

memberi doktrin dan semangat perlawanan.

Selanjutnya terdapat pengorganisasian

anggota dan struktur sehingga bisa

dirumuskan sebagai strategi konflik.

Kemudian yang terakhir adalah mobilisasi

massa dengan mengefektifkan seluruh

sumber dayanya untuk memenangkan

konflik. Fase selanjutnya adalah sumber

konflik yaitu proses kelompok-kelompok

berkonflik memanfaatkan instrumen tertentu

untuk menghadapi konflik .

Lewis Coser dalam The Functions Of

Social Conflict (1956) bahwa fungsi konflik

eksternal adalah untuk memperkuat

kekuatan kekompokan internal dan

meningkatkan moral kelompok yang

memegang peranan demikian pentingnya.

Tidak sedikit penciptaan antagonisme

dengan kelompok-kelompok luar untuk

mempertahankan dan meningkatkan

solidaritas internal. Karena itu, menurutnya

konflik tidak harus selalu merusak atau

bersifat disfungsional untuk suatu sistem,

melainkan fungsi positif dan

menguntungkan sistem tersebut, namun

tidak berarti berimplikasi baik pula secara

moral (Hasan, 2009: 142).

Konflik membuat anggota kelompok

lebih sadar ikatan mereka dan meningkatkan

partisipasi mereka, konflik dengan

kelompok luar memiliki pengaruh yang

dapat mengerakan pertahanan kelompok atas

musuh mereka (Susilo, 2008:237). Lewis A.

Coser juga mengatakan bahwa konflik

dengan pihak luar akan membuat

pemantapan batas-batas struktural.

Sebaliknya konflik dapat mempertinggi

integrasi dalam kelompok. (Coser 1956: 92-

93) berpendapat bahwa ”tingkat konsensus

kelompok selama konflik terjadi”

merupakan hubungan timbal balik paling

penting dalam konteks apakah konflik dapat

11

mempertinggi kohesi kelompok. Lewis A.

Coser mengatakan bilamana konsensus dasar

suatu kelompok lemah, maka ancaman dari

luar akan sangat mudah masuk dan

kelompok akan teracam oleh perpecahan.

c. Eskalasi Konflik dan Deeskalasi

Konflik

Eskalasi Konflik merupakan

meningkatnya berbagai tindakan koersif

kedua belah pihak sehingga aksi kekerasan

timbal balik bisa muncul dalam situasi ini.

Dimana eskalasi meningkatkan ketegangan

dan fokus pada masalah saja. Memfokus

pada perbedaan dan mengabaikan hal yang

sudah disetujui, negosiasi gagal, tidak mau

berbicara lagi dan langsung bertindak

semaunya sendiri melakukan tindakan

sepihak. Membesar-besarkan permasalahan

yang perundingannya gagal dan tindakan

sepihak. Membentuk koalisi mencari

dukungan karena kedua kelompok tidak mau

berbicara lagi. Eskalasi konflik selalu

ditandai dan disebabkan oleh meningkatkan

aktivitas solidaritas konflik, pergerakan

sumber daya konflik, dan ekskalasi strategis.

Strategi ekskalasi adalah respon rasional dari

satu pihak berkonflik yang melihat tindakan

lawan. Suatu kasus bisa dicermati berbagai

bentuk tindakan yang bisa meningkatkan

ekskalasi dan deeskalasi konflik. (Bartos dan

Wehr : 2003: 111-114)

Deeskalasi konflik akan muncul dengan

ditandai dan disebabkan oleh penurunan

aktivitas solidaritas konflik, sumber daya

konflik dan eskalasi strategis. Sedangkan

deeskalasi Konflik. Ditahap pertama, konflik

yang terjadi masih diwarnai oleh pertikaian

sehingga pengusung resolusi konflik

berupaya untuk menemukan waktu yang

tepat untuk memulai (entry point) proses

resolusi konflik. Tahap ini masih berurusan

dengan adanya konflik sehingga proses

resolusi konflik terpaksa harus

bergandengan tangan dengan pihak-pihak

yang berwenang. Proses resolusi konflik

dapat dimulai jika mulai didapat indikasi

bahwa pihak-pihak yang bertikai akan

menurunkan tingkat eskalasi konflik.

Resolusi konflik adalah suatu cara

individu untuk menyelesaikan masalah yang

sedang dihadapi dengan individu lain secara

suka rela. Resolusi konflik juga

menyarankan penggunaan cara-cara yang

lebih demokratis dan konstruktif untuk

menyelesaikan konflik dengan memberikan

kesempatan kepada pihak-pihak yang

berkonflik untuk memecahkan masalah

mereka oleh mereka sendiri atau dengan

melibatkan pihak ketiga yang bijak, netral

dan adil untuk membantu pihak-pihak yang

berkonflik memecahkan masalahnya (dalam

M.Muksin Jamil: 2007:85).

Tak jarang konflik yang tidak dikelola

dengan baik, baik melalui negoisasi maupun

mediasi untuk mencari jalan solusi yang

saling menguntungkan dapat bereskalasi

pada tindakan kekerasan. Secara harfiyah,

negoisasi berasal dari bahasa inggris

negosiation yang artinnya discussion in

order to come to an agreement, yaitu suatu

perundingan untuk mendapatkan suatu

kesepakatan. Secara temynologi negoisasi

dapat didefinisikan adalah proses

perundingan dua pihak yang bertikai baik

12

sifatnya individual maupun kolektif untuk

mencari solusi penyelesaian bersama yang

saling menguntungkan. Negoisasi bukan

berarti hasus mengalah namun juga berarti

harus menang dengan mengalahkan pihak

lain.negoisasi adalah kesediaan dan

kemauan untuk mencari option secara kreatif

untuk menemuka solusi (M.Muksin

Jamil:2007: 85).

Adapun hambatan-hambatan yang terjadi

dalam negosiasi yakni:

a. Perilaku pihak-pihak yang bertikai akan

dipengaruhi oleh jalannya proses

negosiasi, dimana kedua belah pihak

tidak dapat mencari solusi dalam waktu

yang bersamaan sehingga biasanya hasil

kesepakatan akan merugikan salah satu

pihak;

b. Adanya agent problem;

c. Hambatan kognitif yakni dikarenakan

oleh pikiran yang sibuk memproses

informasi, resiko yang dihadapi,

ketidakpastian, dan pada akhirnya akan

ada pembuatan keputusan.

Menurut David Spencer dan Michael

Bragon, mediasi merupakan sebuah proses

dimana pihak-pihak yang bertikai, dengan

bantuan dari seorang praktisi resolusi

pertikaian (mediator) mengidentifikasi isu-

isu yang dipersengketakan, mengembangkan

opsi-opsi, mempertimbangkan alternatif-

alternatif dan upaya untuk mencapai sebuah

kesepakatan. Dalam hal ini sang mediator

tidak memiliki peran menentukan dalam

kaitannya dengan isi/materi persengketaan

atau hasil dari resolusi persengketaan

tersebut, tetapi mediator dapat memberi

saran atau menentukan sebuah proses

mediasi untuk mengupayakan sebuah

resolusi/penyelesain (dalam Jamil, 2007:

107).

Terdapat unsur-unsur di dalam mediasi,

pertama ialah mediasi merupakan proses

penyelesaian sengketa di luar pengadilan

berdasarkan perundingan. Kedua ialah

kehadiran seorang mediator yang terlibat di

dalam proses penyelesaian konflik diterima

oleh pihak-pihak yang bertikai. Ketiga ialah

seorang mediator bertugas untuk membantu

pihak-pihak yang bersengketa dalam

mencari sebuah solusi. Keempat ialah

seorang negosiator bersifat pasif dan hanya

berfungsi sebagai fasilitator dan

penyambung lidah dari pihak-pihak yang

bertikai sehingga ia tidak ikut terlibat di

dalam merumuskan sebuah kesepakatan.

Kelima ialah seorang mediator tidak

memiliki kewenangan dalam membuat

keputusan selama proses perundingan

berlangsung. Dan terakhir ialah tujuan

daripada mediasi itu sendiri ialah untuk

mencapai dan menghasilkan kesepakatan

yang dapat diterima oleh kedua belah pihak

sehingga berujung pada penyelesaian

persuasif (Sutiyoso, 2008). Hubungan antara

mediasi dan negosiasi disini ialah ketika ada

pihak yang sedang melakukan negosiasi,

kemudian diantara pihak-pihak yang

bernegosiasi tersebut mengalami masalah

dikarenakan kesepakatan yang didapatkan

tidak memuaskan salah satu pihak, maka

masalah tersebut dapat diselesaikan dengan

13

mediasi. Mediasi dilakukan sebagai sarana

penyelesaian konflik agar konflik tersebut

tidak berkepanjangan. (M. Muksin Jamil,

2007: 110)

III. METODE PENELITIAN

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam

penelitian ini adalah deskriptif. Menurut

Sugiyono (2012:35) penelitian deskriptif

adalah metode penelitian yang dilakukan

untuk mengetahui nilai variable mandiri atau

lebih (independen) tanpa membuat

perbandingan atau menggabungkan antara

variable satu dengan yang lain. Pendekatan

yang dilakukan adalah metodologi kualitatif,

penelitian melakukan prosedur penelitian

yang menghasilkan data deskriptif berupa

kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-

orang dan perilaku yang diamati. Pendekatan

kualitatif akan memperoleh suatu

pemahaman yang berdasarkan pada

metodologi yang menyelidiki suatu

fenomena sosial dan masalah manusia. Pada

pendekatan ini, peneliti membuat suatu

gambaran, meneliti kata-kata, laporan terinci

dari pandangan informan, dan melakukan

studi pada situasi yang alami.

Dengan menggunakan jenis penelitian

deskriptif kualitatif penelitian ini dapat

menemukan pemecahan masalah yang

diselidiki dengan menggambarkan keadaan

pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta

yang ditemukan berkaitan dengan adanya

konflik garapan lahan di Kampung Banjar

Kelurahan Air Raja Kota Tanjungpinang.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kampung

Banjar Kelurahan Air Raja yang saat ini

sedang mengalami konflik yaitu Konflik

Garapan Lahan di Kampung Banjar

Kelurahan Air Raja Kota Tanjungpinang

yang melibatkan masyarakat. Alasan

pengambilan lokasi penelitian adalah karena

adanya proses pembangunan pagar di sekitar

Kampung Banjar, Kelurahan Air Raja,

Kecamatan Tanjungpinang, menuai protes

masyarakat. Sejumlah warga yang

mengklaim lahan tidak bertuan ini malah

belum berniat pindah. Akhirnya, pihak

perusahaan membangun pagar beton untuk

mempertegas batas-batas lahan dan legalitas

kepemilikan lahan seluas 253 hektare di KM

15 Kelurahan Air Raja. Permasalahan ini

memicu konflik antara masyarakat dengan

pihak swasta. Pihak perusahaan yakni

PT.CDA datang bertujuan ingin melihat

bukti kepemilikan lahan yang telah

digunakan masyarakat selama ini.

3. Populasi dan Sampel

Sesuai dengan jenis penelitian bahwa

penelitian kualitatif tidak menggunakan

pendekatan populasi, tetapi masih mengenal

istilah sampel. Sampel dalam penelitian

yang kualitatif lebih kepada pendekatan

secara intensif ke informan yang akan

dijadikan sebagai sumber data dalam

penelitian ini. Dalam penelitian ini informan

merupakan subjek yang menjadi sumber

peneliti dalam mendapatkan informasi

sebagai data yang diperlukan sesuai dengan

permasalahan dan kebutuhan peneliti

(Sugiyono, 2009:216).

14

Teknik yang digunakan oleh peneliti

adalah purposive sampling. Menurut

Sugiyono, 2012:85 purposive sampling

adalah teknik penentuan sampel dengan

pertimbangan tertentu. Kriteria informan

dalam penelitian ini berkaitan dengan

konflik garapan lahan di Kampung Banjar

Air Raja berjumlah 6 (enam) orang

diantaranya 5 (lima) orang masyarakat

Kampung Banjar Kelurahan Air Raja yang

menempati serta memanfaatkan lahan lebih

dari 10 tahun yang terlibat langsung dengan

konflik yang saat ini menjadi sengketa

dengan PT.CDA serta 1 (satu) orang yang

bertugas menjaga lahan dari pihak PT.CDA,

hal ini dikarenakan sulitnya menemui

pemilik PT.CDA yang beralamatkan di

Jakarta Pusat.

4. Sumber data

a. Data Primer

Data Primer yaitu data yang diperoleh

melalui wawancara langsung dengan para

informan mengenai Konflik Garapan Lahan

di Kampung Banjar Kelurahan Air Raja

Kota Tanjungpinang. Data primer digunakan

untuk mengetahui konflik antara masyarakat

dengan PT.CDA. Dalam data primer juga

akan dicari tentang apa saja upaya yang

telah dilakukan dalam konflik ini.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data pendukung

dari data primer yang bersumber dari

buku-buku dan internet, dokumen-dokumen

dan literatur, seperti gambaran masyarakat

Kampung Banjar Kelurahan Air Raja

Tanjungpinang, jumlah penduduk Kampung

Banjar, luas kawasan yang menjadi

sengketa.

5. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data-data yang

berhubungan dengan penelitian ini, maka

digunakan alat sebagai berikut:

a. Observasi

Observasi merupakan teknik

pengumpulan data yang dilakukan melalui

pengamatan terhadap subjek maupun objek

penelitian sehingga dapat diperoleh data atau

keterangan serta informasi yang jelas

tentang konflik garapan lahan di Kampung

Banjar Kelurahan Air Raja. Dalam

penelitian ini penulis menggunakan

observasi non partisipan yaitu penulis tidak

melakukan aktivitas yang bisa

mempengaruhi objek yang diteliti.

b. Wawancara

Merupakan teknik pengumpulan data

dengan melakukan pembicaraan berupa

tanya jawab secara langsung dengan

informan mengenai Konflik Garapan Lahan

di Kampung Banjar Kelurahan Air Raja

Kota Tanjungpinang. Dalam penelitian ini,

penulis menggunakan pendekatan

menggunakan petunjuk umum wawancara

sebagai teknik pengumpulan data utama

kepada semua informan. Wawancara ini

berpedoman kepada daftar pertanyaan yang

telah disusun sedemikian rupa. Dalam

penelitian ini peneliti mewawancarai 6

(enam) orang yang terdiri dari 1 (satu) orang

ketua LSM DERU-HAT dan 4 (empat)

orang masyarakat Kampung Banjar Air Raja

yang terlibat langsung dengan konflik serta 1

(satu) orang dari pihak PT.CDA.

15

c. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan kegiatan untuk

melengkapi informasi dan data yang

diperoleh berkaitan dengan konflik garapan

lahan Kampung Banjar Kelurahan Air Raja

melalui dokumen lain yang relevan dengan

obyek dan masalah penelitian di Kampung

Banjar.

F. Teknik Analisa Data

Pada prinsipnya analisis merupakan

proses mengolah data dan menyusun data

secara sistematis untuk mempermudah di

baca dan diinterprestasikan. Untuk

mewujudkan ini peneliti menggunakan

analisis data secara kualitatif. Metode ini

digunakan untuk menjelaskan data yang

telah di susun dalam kalimat-kalimat yang

mengandung pengertian dan dapat

disimpulkan. Dengan analisis secara

kualitatif, peneliti berharap dapat

memberikan penjelasan yang akan mudah

untuk dicerna dan dimengerti oleh

masyarakat.

Adapun tahap-tahap analisis adalah

dimulai dengan cara antara lain:

a. Pengumpulan data, peneliti mencatat

semua data secara objektif sesuai dengan

hasil observasi dan wawancara

dilapangan.

b. Menelaah seluruh data yang tersedia dari

berbagai sumber yang telah dipelajari.

c. Mengadakan reduksi data dengan

membuat abstraki yaitu rangkuman inti,

proses dan pernyataan perlu dijaga

sehingga tetap berada didalamnya.

d. Menyusun data tersebut kedalam satun-

satuan yang selanjutnya satuan tersebut

dikategorisasikan pada langkah

berikutnya.

e. Mengadakan pemeriksaan keabsahan

data.

f. Penyajian data, sekumpulan informasi

yang telah tersusun dan memberi

kemungkinan adanya penarikan

kesimpulan dan pengambilan tindakan.

IV. PEMBAHASAN

A. Karakteristik Informan

Karakteristik informan merupakan

sumber data yang diharapkan dapat

menggambarkan pemahaman terhadap data

dari hasil penelitian, sehingga dapat

diletakkan pertimbangan-pertimbangan yang

logis dan proposional atas hasil penelitian

ini. Dari kategori pengelompokkan informan

dalam penelitian ini diambil sebanyak5

(Lima) informan seorang tokoh masyarakat

Kampung Banjar Kelurahan Air Raja yaitu

ketua DERU-HAT (Dewan Rakyat Untuk

Hak Atas Tanah) dan4 (empat) informan

yang berasal dari masyarakat Kampung

Banjar Kelurahan Air Raja yang terlibat

langsung dengan konflik dan masyarakat

yang telah memanfaatkan lahan sebagai

sumber penghasilan lebih dari 10 (Sepuluh)

tahun di atas lahan PT.CDA yang sekarang

menjadi konflik.

C. Konlik Garapan Lahan di Kampung

Banjar

Konflik lahan yang terjadi ialah konflik

antara masyarakat Kampung Banjar dengan

PT Citra Daya Aditya yang terjadi di

Kelurahan Air Raja Kecamatan

Tanjungpinang Timur, Kota Tanjungpinang

Kepulauan Riau ini memiliki kesamaan

16

dengan konflik-konflik lahan di daerah

lainnya di Indonesia. Kesamaan ini didasari

dengan persoalan yang dialami, yaitu

penggarapan lahan oleh masyarakat

Kampung Banjar KM 15 Jalan Senggarang

di atas lahan PT.CDA seluas 253 HA.

PT.CDA merupakan salah satu

perusahaan yang bergerak dibidang

pertambangan yang berasal dari luar Kota

Tanjungpinang yang beralamatkan di Jl.

Asemka No.21, Kelurahan Pinangsia,

Jakarta Barat, Kota Administrasi Jakarta

Barat, DKI Jakarta. PT.CDA ialah pemilik

lahan sebesar 253 HA yang terletak di

wilayah Kampung Banjar KM 15 Jalan

Senggarang Kecamatan Tanjungpinang

Timur Kota Tanjungpinang, PT.CDA

memiliki surat sertifikat berdasarkan surat

HGB (Hak Guna Bangunan) yang

dikeluarkan oleh BPN (Badan Pertanahan

Negara) Kota Tanjungpinang yang

berbentuk HGB (Hak Guna Bangunan)

dengan Nomor 753 tahun 1994 berlaku

hingga 2024 kepada PT.CDA sebesar

253.(www.opinipublik.co.id)

Masyarakat yang melakukan

penggarapan KM 15 Jalan Senggarang

Kampung Banjar Kelurahan Air Raja

Kecamatan Tanjungpinang Timur sudah

sejak tahun 1988, namun mulai ramai

penggarapan yang dilakukan masyarakat di

tahun 2000, masyarakat memanfaatkan

lahan sebagai sumber penghasilan dengan

mengelolah lahan garapan menjadi

perkebunan, peternakan, tempat usaha serta

tempat tinggal demi kelangsungan hidup

masyarakat, hingga sekarang jumlah yang

telah memanfaatkan lahan tersebut tercatat

sebanyak 845 orang dengan luas lahan yang

digunakan masyarakat lebih kurang berkisar

75 HA.

Selama masyarakat mengggrap lahan

belum ada pihak individu, kelompok,

pengusaha bahkan pemerintah daerah yang

mengklaim lahan tersebut namun semua

berubah ketika PT.CDA datang menuntut

masyarakat agar meninggalkan lahan yang

telah digarap oleh masyarakat Kampung

Banjar, masyarakat yang menolak untuk

meninggalkan lahan tersebut melakukan

perlawanan sehingga terjadi konflik antara

masyarakat dengan PT.CDA. Masing-

masing pihak saling mempertahankan

haknya dan berbagai tindakan yang

dilakukan kedua belah pihak untuk

mendapatkan haknya. (sumber: hasil data

lapangan)

Manusia adalah makhluk konfliktis

(homo conflictus) yaitu makhluk yang

terlibat dalam perbedaan, pertentangan dan

persaingan baik suka rela maupun terpaksa.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

(Poerwadarminta, 1976 dalam Rachmad ,

2008:187) konflik berarti pertentangan atau

percekcokan, pertentangan itu sendiri bisa

muncul dalam bentuk ide maupun fisik

antara kedua belah pihak yang

berseberangan.

B. Eskalasi Konflik Garapan Lahan di

Kampung Banjar

Eskalasi konflik selalu ditandai dan

disebabkan oleh meningkatkan aktivitas

solidaritas konflik, pergerakan sumber daya

konflik, dan ekskalasi strategis. Strategi

17

ekskalasi adalah respon rasional dari satu

pihak berkonflik yang melihat tindakan

lawan. Suatu kasus bisa dicermati berbagai

bentuk tindakan yang bisa meningkatkan

ekskalasi dan deeskalasi konflik. (Bartos dan

Wehr : 2003: 111-114)

Eskalasi Konflik merupakan

meningkatnya berbagai tindakan koersif

kedua belah pihak sehingga aksi kekerasan

timbal balik bisa muncul dalam situasi ini.

Dimana eskalasi meningkatkan ketegangan

dan fokus pada masalah saja. Memfokus

pada perbedaan dan mengabaikan hal yang

sudah disetujui, negosiasi gagal, tidak mau

berbicara lagi dan langsung bertindak

semaunya sendiri melakukan tindakan

sepihak. Membesar-besarkan permasalahan

yang perundingannya gagal dan tindakan

sepihak, adapun eskalasi konflik garapan

lahan di Kampung Banjar antara masyarakat

dengan PT.CDA dapat dilihat dengan

adanya tuntutan dan upaya mewujudkan

kepentingan.

1. Tuntutan

Awal mula terjadinya konflik antara

masyarakat kampung Banjar KM 15 Jalan

Senggarang dengan PT.Citra Daya Aditya,

bermula ketika adanya tuntutan dari pihak

PT.Citra Daya Aditya yang mengirimkan

sebuah surat pemberitahuan pada tanggal 14

februari 2014 kepada masyarakat Kampung

Banjar yang telah menggarap lahan di atas

tanah PT.CDA, agar masyarakat dapat

mengosongkan atau meninggalkan lahan

yang telah digunakan sebagai lahan

perkebunan, peternakan dan tampat tinggal

masyarakat, karena lahan sebesar 350 HA

yang digunakan masyarakat Kampung

Banjar ialah milik PT. Citra Daya Aditya

mendapat penolakan dari masyarakat

Kampung Banjar yang hingga sekarang

belum juga berniat meninggalakan lahan

yang di tempati masyarakat.

Datangnya surat pemberitahuan dari

pihak PT.CDA agar masyarakat dapat

meninggalkan atau mengosongkan lahan

yang selama ini dipergunakan sebagai

sumber mata pencaharian masyarakat sehari-

hari membuat masyarakat mulai merasa

terancam akan kehilangan lahan mereka, hal

ini membuat seluruh masyarakat Kampung

Banjar menolak untuk meninggalkan atau

mengosongkan lahan yang mereka tempati

selama bertahun-tahun.

2. Upaya Mewujudkan Kepentingan

a. Tindakan Nonkoersif

Setelah PT.CDA mengirimkan surat

pemberitahuan kepada masyarakat Kampung

Banjar KM 15, namun tidak ada tanggapan

sedikit pun dari masyarakat yang berniat

meninggalkan lahan garapannya sampai saat

ini, akhirnya pihak PT.Citra Daya Aditya

mendatangi masyarakat untuk memberikan

penjelasan serta melakukan negosisasi agar

tidak terjadi kesalah pahaman antara

masyarakat dengan pihak PT.CDA

mengenai kepemilikan lahan seluas 253 HA

tersebut.

Kedatangan pihak PT.CDA untuk

menjelaskan tentang kepemilikan lahan

seluas 253 HA yang telah digarap oleh

masyarakat Kampung Banjar KM 15,

mendapatkan penolakan dari masyarakat.

18

b. Tindakan Koersif

Konflik yang terjadi antara masyarakat

Kampung Banjar dengan PT.CDA semakin

memanas ketika pihak PT.CDA dengan

masyarakat tidak menemui titik penyelesaian

dengan masyarakat Kampung Banjar, sudah

berbagai cara yang dilakukan pihak PT.CDA

dari memberikan surat pemberitahuan

kepada masyarakat, melakukan proses

negoisasi, serta akan memberikan ganti rugi

akhirnya pihak PT.CDA mengatakan akan

membawa permasalahan ini ke jalur hukum

(pengadilan negeri) dan mengancam

masyarakat jika tidak juga meninggalkan

lahan tersebut, pihak PT.CDA akan tuntutan

dan masyarakat bisa dikenakan hukuman

penjara karena menggunakan lahan PT.CDA

dan tidak mau meninggalkan lahan tersebut.

Setelah PT.CDA memberikan peringatan

kepada msyarakat bahwa akan membawa

kasus garapan lahan ini ke jalur hukum

tehadap masayarakat kampung banjar yang

masih juga belum beniat pindah, membuat

masyarakat semakin emosi terhadap

PT.CDA.

Setelah proses negoisasi pihak PT.CDA

dengan masyarakat Kampung Banjar gagal,

masyarakat masih juga mempertahankan

lahan garapan mereka, akhirnya pihak

PT.CDA melakukan proses pembangunan

pagar beton sebagai batas-batas kepemilikan

lahan yang dimiliki PT.CDA.

Hal ini jelas membuat emosi masyarakat

Kampung Banjar menjadi memuncak,

karena lahan yang mereka garap ini sedang

berlangsung proses pemagaran beton oleh

PT.CDA, masyarakat merasa pihak PT.CDA

sudah bertindak semaunya tanpa ada

pemberitahuan kepada masayarakat

Kampung Banjar bahwa pihak PT.CDA

akan membangun pagar beton, akhirnya

masyarakat mendatangi tempat proses

pemagaran beton dan memaksa pihak

PT.CDA untuk menghentikan pemagaran.

Dari fenomena di atas terlihan adanya

tindakan-tindakan yang dilakukan PT.CDA

tersebut yang berusaha mendapatkan lahan

yang telah masyarakat garap selama ini

merupakan suatu tindakan yang memaksa

masyarakat untuk meninggalkan lahan

garapan masyarakat, sehingga seluruh

masyarakat melakukan perlawanan kepada

PT.CDA agar dapat mempertahan kan lahan

yang masyarakat tempati selama ini, hal ini

seperti yang di katakan Wehr dan Bartos

tentang tindakan koersif (coersive action)

yang merupakan bentuk tindakan sosial yang

memaksan pihak lawan untuk melakukan

sesuatu yang pihak lawan tidak ingin

melakukannya (dalam Susan, 2009: 57-58).

Adanya tindakan yang dilakukan

PT.CDA sehingga mendapat perlawana dari

masyarakat Kampung Banjar merupakan

bentuk sebab akibat suatu hubungan konflik

seperti yang dikatakan Wehr dan Bartos

yang menggunakan logika sebab akibat

untuk melihat tingkat tindakan koersif

(degree coersiveness) dari suatu hubungan

konflik (dalam Susan, 2009:58).

3. Solidaritas Konflik dan Sumber

Konflik

Tindakan koersif ketika berada dalam

suatu hubungankonflik akan menciptakan

dinamika konflik. Dinamika konflik adalah

19

segala macam interaksi pertentangan antara

dua atau lebih pihak. Timbulnya konflik atau

pertentangan merupakan suatu kelanjutan

dari adanya komunikasi dan informasi yang

tidak menemui sasarannya. Dinamika

konflik ditandai terlebih dahulu oleh fase-

fase konflik.

Setelah adanya pemagaran yang

dilakukan oleh PT.CDA, akhirnya

masyarakat Kampungn Banjar KM 15 Jalan

Senggarang yang tergolong dalam

penggarapan lahan Kampung Banjar

bersama-sama membentuk sebuah Lembaga

Swadaya Masyarakat yaitu DERU-HAT

(Dewan Rakyat Untuk Hak Atas Tanah)

sebagai tempat penampung aspirasi

masyarakat dan penggerak massa dalam

memperjuangkan hak-hak masyarakat yang

telah menggarap lahan tersebut dan bersatu

untuk melawan PT.CDA.

Dari hasil wawancara sebelumnya

terlihat bahwa adanya konflik yang terjadi

antara masyarakat dengan PT.CDA akhirnya

masyarakat Kampung Banjar mengkerahkan

seluruh masyarakat yang memanfaatkan

lahan tersebut untuk melawan PT.CDA,

dimana LSM DERU-HAT dan masyarakat

Kampung Banjar sendiri sebagai sebuah

istrumen yang digunakan untuk menghadapi

permasalahan dengan PT.CDA,

Selanjutnya adanya pergerakan yang di

pelopori oleh lembanga swadaya masyarakat

DERU-HAT yang mengajak ratusan ratusan

masayarakat Kampung Banjar melakukan

aksi demonstrasi sebagai bentuk perotes atas

tindakan pembanguna pagar beton yang

dilakukan oleh pihak PT.CDA di depan

kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(DPRD) Kota Tanjungpinang, masyarakat

menyampaikan aspirasi terkait tentang hak

atas lahan yang masyarakat garap selama ini

sebagai sumber mata pencaharian

masyarakat yang sekarang sedang dibangun

pagar beton oleh PT.CDA , dengan

mengajak seluruh masyarakat yang terkait

yang menempati lahan garapan di KM 15

Kampung Banjar serta masyarakat meminta

DPRD Kota Tanjungpinang untuk

membantu menyelesaikan masalah yang

terjadi.

Konflik yang terjadi antara masyarakat

dengan PT.CDA perebutan hak atas lahan

mengalami peningkatan konflik dimana

terlihat dari awal PT.CDA mengirim sebuah

surat pemberitahuan ke masyarakat,

melakukan negoisasi dan pemberian ganti

rugi kemasayarakat, namun semua ditolak

oleh masyarakat sehingga sempat terjadi

ancaman dari PT.CDA, membuat PT.CDA

melakukan pemagaran beton di lahan yang

ditempati masyarakat secara sepihak

sehingga seluruh masyarakat melakukan

perlawanan serta melakukan demonstrasi di

DPRD Kota Tanjungpinang.

D. Deeskalasi Konflik Garapan Lahan di

Kampung Banjar

Deeskalasi konflik merupakan

menurunya aktivitas solidaritas konflik,

sumber konflik dan strategi konflik,

sehingga berupaya untuk menemukan waktu

yang tepat untuk memulai (entry point)

proses resolusi konflik. Dalam tahap ini

masih berurusan dengan adanya konflik

antara masyarakat Kampung Banjar dengan

20

PT.CDA sehingga proses resolusi konflik

terpaksa harus bergandengan tangan dengan

bantuan pihak ketiga seperti DPRD, DPR-RI

serta Menteri Agraria dan instansi lain yang

berwenang dan terkait seperti melakukan

musyawarah dan mediasi. Proses resolusi

konflik dapat dimulai jika mulai didapat

indikasi bahwa pihak-pihak yang bertikai

akan menurunkan tingkat eskalasi konflik.

1. Upaya Menurunkan Kepentingan

Adapun upaya untuk menurunkan

ketegangan masyarakat sudah terlihat dari

penjelasan sebelumnya dimana masyarakat

Kampung Banjar bersama-sama membentuk

LSM DERU-HAT yang berfungsi sebagai

wadah penampung aspirasi masyarakat

sekaligus sebagai penggerak masyarakat

untuk menghentikan proses pemagaran yang

dilakukan oleh PT.CDA dan menggerakan

masyarakat untuk melakukan aksi

demonstrasi di depan Kantor DPRD agar

pemerintah dapat mendengarkan aspirasi

masyarakat terkait pengklaiman PT.CDA

terhadap lahan yang masyarakat gunakan

selama ini sebagai sumber penghasilan serta

tempat tinggal yang sekarang telah di

bangun sebuah pagar beton sebagai batas-

batas hak kepemilikan lahan PT.CDA.

Setelah masyarakat Kampung Banjar

melakukan berbagai perlawanan serta aksi

protes bersama lembaga swadaya

masyarakat DERU-HAT kepada DPRD kota

Tanjungpinang terhadap tindakan

pemagaran yang dilakukan oleh PT.CDA,

akhirnya pihak PT.CDA menghentikan

pemagaran dan tindakan yang membuat

masyarakat merasa terganggu serta terusir di

lokasi Kampung Banjar.

Setelah tidak adanya tindakan-tindakan

yang dilakukan PT.CDA atau tindakan

lainnya yang dapat memancing emosi

masyarakat, akhirnya masyarakat juga

merasa sedikit tenang dan tidak lagi

melakukan aksi demonstrasi dan serta

perlawanan terhadap PT.CDA.

Setelah penurunan konflik terjadi antara

masyarakat dan PT.CDA bukan berarti

konflik juga berhenti, akhinya pemerintah

daerah yaitu DPRD Kota Tanjungpinang

menyurati masyarakat Kampung Banjar dan

Pihak PT.CDA serta meminta BPN Kota

Tanjungpinang juga dapat hadir agar konflik

lahan yang di hadapi kedua belah pihak

tidak berkelanjutan.

2. Pihak Ketiga Yang Terlibat Dalam

Penyelesaian Konflik.

Setelah adanya rapat yang dilakukan oleh

DPRD Kota Tanjungpinang dengan

mepertemukan kedua belah pihak yang

berkonflik yaitu masyatrakat Kampung

Banjar dengan PT.CDA agar dapat

menyelesaikan permasalahnya, setelah

berlangsungnya rapat di gedung DPRD

kedua belah pihak belum juga menemukan

titik penyaelesain dimana kedua belah pihak

masih mempertahankan haknya masing-

masing.

Dari penjelasan diatas bahwa tidak

adanya penyelesaian dari pemerintah daerah

yaitu DPRD Kota Tanjungpinang terhadap

permasalahan antara masyarakat dan

PT.CDA karena DPRD tidak mempunyai

wewenang untuk menyatakan lahan tersebut

21

merupakan lahan terlantar atau tidak dan

siapa yang berhak atas lahan tersebut,

akhirnya Drs. H. Nyat Kadir selaku aggota

DPR-RI bersedia datang ke Tanjungpinang

untuk melihat permasalahan yang terjadi

antara masyarakat dengan PT.CDA, setelah

mendengar penjelasan serta hasil survei di

lapangan akhirnya Drs. H. Nyat Kadir

menyurati Mentri Agraria berdasarkan

No:003/A-10/DPR-RI/6/2015 agar dapat

menindak lanjuti laporan masyarakat

terhadap indikasi tanah terlantar yang

berstatus HGB di KM 15 Kelurahan Air,

Drs. H. Nyat Kadir juga menegaskan bahwa

masyarakat yang telah melakukan

pengarapan di atas lahan PT.CDA untuk

sementara diperbolehkan menggunakan

lahan tersebut dan sisanya akan diambil

PT.CDA sampai adanya keputusan dari

mentri agraria yang menyatakan apakah

tanah tersebut masih berstatus terlantar atau

tidak, Dengan adanya keputusan sementara

yang diberikan oleh Drs. H. Nyat Kadir

selaku anggota DPR-RI hingga mendapatkan

keputusan dari Mentri Agraria yang

menyatakan lahan milik PT.CDA terlantar

atau tidak, membuat kedua belah pihak

sudah memperlihatkan penurunan konflik

hingga menunggu keputusan dari mentri

agraria. Hanya saja masyarakat tidak puas

dengan menunggu keputusan dari Mentri

Agraria yang begitu lama akhirnya ratusan

warga bersama LSM DERU-HAT kembali

melakukan aksi demonstrasi.

Konflik yang terjadi antara masyarakat

dengan PT.CDA tidak berhenti begitu saja

konflik ini hanya meredam untuk sementara

waktu, namun sewaktu-waktu konflik

tersebut bisa saja bereskalasi kembali, ketika

telah ditetepkan oeh Mentri Agraria apakah

lahan tersebut terlantar atau tidak pasti ada

salah satu pihak yang tidak akan terima

dengan keputusan tersebut hingga

menimbulkan eskalasi konflik antara

masyarakat Kampung Banjar dengan pihak

PT.CDA.

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Konflik garapan lahan di Kampung

Banjar Kelurahan Air Raja kecamatan

Tanjungpinang Timur, merupakan konflik

antara masyarakat dengan PT.CDA di dasari

oleh adanya masyarakat yang menggarap

dan memanfaatkan lahan sebagai sumber

mata pencaharian masyarakat sehari-hari

seperti berkebun, berternak dan tempat

tinggal demi kelangsungan hidup

masyarakat di atas lahan PT.CDA.

Konflik bermula dari kedatangan

PT.CDA untuk mengambil hak atas lahan

seluas 253 HA yang sebagian telah di garap

dan di manfaatkan masyarakat Kampung

Banjar mendapat penolakan dari masyarakat,

sehinnga membuat pihak PT.CDA

melakukan tindakan non koersif dan koersif

di antara kedua belah pihak karena

mempertahankan hak-hak atas lahan

tersebut, hingga akhirnya pihak PT.CDA

terpaksa membangun pagar beton sebagai

legitimasi hak atas lahan yang digunakan

masyarakat.

Untuk menghentikan proses pemagaran

oleh PT.CDA maka masyarakat bersatu dan

bersama-sama membentuk lembaga swadaya

22

masyarakat DERU-HAT (Dewan Rakyat

Untuk Hak Atas Tanah) sebagai penggerak

masa untuk melakukan perlawanan terhadap

PT.CDA serta melakukan aksi demonstrasi

di depan kantor DPRD Kota Tanjungpinang

agar pemerintah dapat menyelesaikan

permasalahan ini.

Akhirnya DPRD Kota Tanjungpinang

dan DPR-RI harus ikut turun tangan untuk

menyelesaikan permasalahan yang di alami

oleh masyarakat dengan PT.CDA dan

menminta Mentri Agraria dapat segera

menetapkan apakah lahan yang di miliki

PT.CDA murupakan lahan terlantar atau

tidak, agar tidak terjadinya konflik yang

berkepanjangan antara masyarakat dengan

PT.CDA.

Konflik yang terjadi antara masyarakat

dengan PT.CDA tidak berhenti begitu saja

konflik ini hanya meredam untuk sementara

waktu, namun sewaktu-waktu konflik

tersebut bisa saja bereskalasi kembali, ketika

telah ditetepkan oeh Mentri Agraria apakah

lahan tersebut terlantar atau tidak pasti ada

salah satu pihak yang tidak akan terima

dengan keputusan tersebut hingga

menimbulkan eskalasi konflik antara

masyarakat Kampung Banjar dengan pihak

PT.CDA.

B. Saran

1. Diharapkan kepada masyarakat

Kampung Banjar yang melakukan

aktivitas penggarapan lahan di atas lahan

tersebut agar dapat menjaga solidaritas

kelompok yang telah di bentuk dan

menjaga kesepakatan yang telah di

sepakati kedua belah pihak melalui

mediasi dalam hal ini pemerintah (DPRD

dan DPR-RI)

2. Diharapkan kepada PT.CDA agar tidak

melakukan tindakan yang menimbulkan

konflik seperti melanjutkat proses

pemagaran dan mengusir paksa serta

tidak melakukan proses hukum selama

belum adanya surat keputusan yang di

tetapkan oleh Mentri Agraria.

3. Diharapkan kepada pemerintah setempat

atau instansi terkait dalam hal ini dapat

bersifat netral (tidak memihak kepada

salah satu pihak) yang dapat merugikan

masyarakat maupun pihak PT.CDA.

23

DAFTAR PUSTAKA

Hunt, M.P. and Metcalf, L. (1996). Ratio and Inquiry on Society’s Closed Areas dalam Educating

the Democratic Mind (Parker, W.). New York: State University of New York Press.

Maftuh, Bunyamin. (2008). Pendidikan Resolusi Konflik. Bandung: CV Yasindo. Multi Aspek.

Parker, S.R. 1992. Sosiologi Industri. Jakarta: Rineka Cipta.

Pruitt, Dean G. dan Rubin, Jeffrey Z. 2009. Teori Konflik Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

-------------------. 2012. Teori Sosiologi. Terjemah: Saut Pasaribu dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Salim, Agus. 2002. Perubahan Sosial. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.

Scannell, Mary. (2010). The Big Book of Conflict Resolution Games. United States of America:

McGraw – Hill Companies, Inc.

Soekanto, Soerjono, dan Lestarini, Ratih. 1968. Fungsionalisme dan Teori Konflik dalam

Perkembangan Sosiologi. Jakarta: Sinar Grafika.

Soeprapto,Riyadi. 2001. Interaksionisme Simbolik Perspektif Sosiologi Modern. Malang:

Averroes Press

Susan, Novri. 2009. pengantar sosiologi konflik dan isu-isu kontemporer. Kencana: Jakarta.

Muryanti, Damar Dwi Nugroho dan rokhman, 2013. Teori Konflik & Konflik agraria di Pedesaan.

Kreasi Wacana: Bantul.

M.Muksin Jamil, 2007. Mengelola Konflik Membangun Damai. WCM (Walisongo Mediation

Center):Semarang.

Dwi Susilo, K Rahmad, 2008, 20 Tokoh sosiologi modern, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media

24

Sumber lain:

Monografi Kelurahan Air Raja, Kecamatan Tanjungpinang Timur, Kabupaten Kepulauan Riau

Tahun 2014

http://haluankepri.com/tanjungpinang/74231-ratusan-warga-kecam-tindakan-pt-cda-.html. Diakses

25 April 2015

http://opinipublik.co.id/index.php/hukum/item/207-bpn-akui-hgb-pt-cda-masih-berlaku/207-bpn-

akui-hgb-pt-cda-masih-berlaku. Diakses 20 Agustus 2015, 21.24 WIB