kampung warsambin lokasi penelitian -...

21
53 Bab Empat Kampung Warsambin Lokasi Penelitian Pengantar Perjalanan 1 jam 40 menit adalah jarak tempuh yang harus dilalui ketika penulis berangkat dari Kota Waisai ke lokasi penelitian di Kampung Warsambin, Distrik Teluk Mayalibit. Jarak tempuh itu jika penulis memacu kendaraan dengan kecepatan 60km/jam dan disaat cuaca cerah.Tetapi jarak tempuh bisa menjadi lebih lama ketika perjalanan dilakukan dibawah guyuran hujan. Hal ini disebabkan kondisi jalan dari Waisai ke Warsambin bukanlah jalan aspal seperti di Kota Waisai. Kondisi jalan masih terbuat dari tumpukan sirtu (batu kerikil) sehingga ketika hujan beberapa kondisi jalan sangat licin dan berbahaya. Kondisi jalan sirtu ini pun tidak sampai di Kampung Warsambin, melainkan hanya seperempat perjalanan. Sisanya kondisi jalan adalah tumpukan tanah dan bebatuan besar yang cukup tajam namun tetap masih bisa dilewati baik kendaraan roda 4 dan roda 2. Namun ketika melihat pada saat awal pemekaran Kabupaten Raja Ampat, tidak ada akses dengan menggunakan kendaraan darat jika ingin ke Teluk Mayalibit. Satu-satunya cara jika ingin ke Teluk Mayalibit adalah melalui laut. Semenjak dilakukan mega proyek Trans- Waigeo, akses jalan mulai dibangun pada tahun 2009 untuk

Upload: vuongliem

Post on 30-Mar-2019

236 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kampung Warsambin Lokasi Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/4/T2_092009110_BAB IV...penulis memacu kendaraan dengan kecepatan 60km/jam dan

53

Bab Empat

Kampung Warsambin

Lokasi Penelitian

Pengantar

Perjalanan 1 jam 40 menit adalah jarak tempuh yang harus

dilalui ketika penulis berangkat dari Kota Waisai ke lokasi penelitian di

Kampung Warsambin, Distrik Teluk Mayalibit. Jarak tempuh itu jika

penulis memacu kendaraan dengan kecepatan 60km/jam dan disaat

cuaca cerah.Tetapi jarak tempuh bisa menjadi lebih lama ketika

perjalanan dilakukan dibawah guyuran hujan. Hal ini disebabkan

kondisi jalan dari Waisai ke Warsambin bukanlah jalan aspal seperti di

Kota Waisai. Kondisi jalan masih terbuat dari tumpukan sirtu (batu

kerikil) sehingga ketika hujan beberapa kondisi jalan sangat licin dan

berbahaya. Kondisi jalan sirtu ini pun tidak sampai di Kampung

Warsambin, melainkan hanya seperempat perjalanan. Sisanya kondisi

jalan adalah tumpukan tanah dan bebatuan besar yang cukup tajam

namun tetap masih bisa dilewati baik kendaraan roda 4 dan roda 2.

Namun ketika melihat pada saat awal pemekaran Kabupaten

Raja Ampat, tidak ada akses dengan menggunakan kendaraan darat jika

ingin ke Teluk Mayalibit. Satu-satunya cara jika ingin ke Teluk

Mayalibit adalah melalui laut. Semenjak dilakukan mega proyek Trans-

Waigeo, akses jalan mulai dibangun pada tahun 2009 untuk

Page 2: Kampung Warsambin Lokasi Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/4/T2_092009110_BAB IV...penulis memacu kendaraan dengan kecepatan 60km/jam dan

BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam

54

menghubungkan Teluk Mayalibit dengan kota Waisai. Pembukaan

akses Trans-Waigeo ini akhirnya secara langsung memberikan dampak

kepada masyarakat di Teluk Mayalibit. Perubahan ini akan penulis

sampaikan pada sub-bab selanjutnya. Yang menjadi pengalaman

penulis dalam perjalanan ketika menuju ke lokasi penelitian adalah

siapapun yang hendak melakukan perjalanan ini, harus mempersiapkan

mental dan keberanian seperti yang penulis alami.

Namun perjalanan yang cukup menegangkan tersebut rasanya

lenyap seketika saat mata ini memandang sebuah pereng putih di

Gunung Nok yang menjadi tanda bahwa penulis telah sampai di

Kampung Warsambin, Distrik Teluk Mayalibit.

Gambar 4.1. Pemandangan Pintu Masuk Teluk Mayalibit

(Sumber A.F. Binter)

Panorama ciri khas perkampungan mulai terasa ketika

memasuki Kampung ini. Karakter wilayah pesisir merupakan ciri khas

yang tidak terlepas dari keberadaan kampung Warsambin. Rumah

panggung yang dibangun dengan menancapkan kaki-kaki rumah di

pinggiran pantai, katinting dan body58 masyarakat ditambatkan di

58

Katinting sebutan masyarakat lokal di Raja Ampat untuk perahu kecil.Dan untuk

menjalankannya menggunakan dayung oleh tenaga manusia. Sedangkan body

sebutan masyarakat lokal di Raja Ampat untuk perahu yang berukuran lebih besar.

Dan menggunakan mesin untuk menggerakkannya. Body pun terbagi dalam 2

jenis, yaitu yang terbuat dari kayu dan fiber. Kebanyakan yang dimiliki masyarakat

adalah dari kayu, sedangkan yang terbuat dari fiber biasanya dimiliki oleh instansi

pemerintahan yang bertugas di Kampung-Kampung pedalaman. Seperti Camat,

Dokter/Mantri yang bertugas di Puskesmas.

Page 3: Kampung Warsambin Lokasi Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/4/T2_092009110_BAB IV...penulis memacu kendaraan dengan kecepatan 60km/jam dan

Kampung Warsambin Lokasi Penelitian

55

pinggiran pantai, dan beberapa tambak ikan untuk penyimpanan

sementara ikan hasil tangkapan masyarakat.

Gambar 4.2. Kondisi Kampung Warsambin

(Sumber A.F. Binter)

Gambar 4.3. Body Fiber milik masyarakat yang sedang ditambatkan

(Sumber A.F. Binter)

Kampung Warsambin adalah ibu kota distrik Teluk Mayalibit

dan kampung pertama yang akan kita temui ketika ingin berkunjung di

Teluk Mayalibit. Sebagai ibu kota distrik, Warsambin cukup

berkembang dibandingkan dengan kampung-kampung lainnya yang

berada di wilayah administratif distrik Teluk Mayalibit. Dalam

perkembangannya terjadi perubahan-perubahan pada perilaku

masyarakatnya. Bab ini akan mendeskripsikan tentang kampung

Warsambin, mulai dari sejarah pembentukan kampung sampai kondisi

Warsambin kekinian.

Page 4: Kampung Warsambin Lokasi Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/4/T2_092009110_BAB IV...penulis memacu kendaraan dengan kecepatan 60km/jam dan

BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam

56

Sejarah Kampung Warsambin Agus, seorang bapak dengan perawakan berbadan kurus dan

pendek adalah seorang tokoh masyarakat Teluk Mayalibit yang

terkenal asal kampung Warsambin. Diusianya yang tak lagi muda,

beliau masih tampak bersemangat dalam menjalani aktifitasnya.

Bekerja sebagai nelayan dalam waktu tertentu sekaligus juga menjadi

petani beliau menghidupi keluarganya. Ditengah aktifitas yang

dilakukan beliau, penulis mendapatkan kesempatan untuk berbincang-

bincang tentang sejarah Kampung Warsambin. Sebagai saksi hidup,

beliau dengan fasih dan lancar menceritakan bagaimana kampung

Warsambin terbentuk. Perbincangan yang sangat hangat, dapat

dirasakan ketika beliau memanggil penulis dengan sebutan anak.

Terkadang tawa menghiasi setiap perbincangan kami, tentu tetap

ditemani beberapa buah pinang, sirih dan kapur serta rokok sebagai

makanan ringan menemani obrolan kami.

Gambar 4.4. Penulis bersama salah satu narasumber

(Sumber A.F. Binter)

Pertanyaan pertama dari penulis tentang bagaimana awal mula

Kampung Warsambin ini terbentuk, sepertinya membangunkan

kembali memori Agus pada tahun 1970-an dimasa mudanya.

“Sa lahir tahun 1953 dan besar di Kampung lama Lensok”

begitu ujar Agus memulai menjawab pertanyaan penulis. “Sa masih

ingat sekitar tahun 70-an pemerintah pernah menyelenggarakan

program yang disebut pembangunan Kampung Gaya Baru, dan waktu

itu torang yang ada di kampung Lensok diminta pindah ke tempat yang

Page 5: Kampung Warsambin Lokasi Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/4/T2_092009110_BAB IV...penulis memacu kendaraan dengan kecepatan 60km/jam dan

Kampung Warsambin Lokasi Penelitian

57

pemerintah dorang buat” lanjut Agus.59 Ketika menulis kembali isi

wawancara ini, penulis kemudian mencoba untuk mencari informasi

tentang program pemerintah seperti yang dimaksudkan oleh Agus

dalam wawancara. Kemudian penulis menemukan dokumen ini disalah

satu situs resmi milik Dinas Pekerjaan Umum Pemerintah Pusat60 :

“P3KT yang mulai disiapkan sejak tahun 1970-an, terus diperluas pelaksanaannya ke seluruh wilayah Indonesia. Dimulai dengan P3KT generasi pertama, yaitu program perbaikan kampung (Urban I). Kemudian generasi kedua, berupa proyek pembangunan perkotaan gaya lama (Urban II, Bandung, Medan, Urban III, Urban IV dan Urban V). Disusul generasi ketiga, yaitu program pembangunan perkotaan untuk melancarkan P3KT secara nasional (tidak terbatas pada proyek dengan bantuan luar negeri, tetapi juga proyek APBN dan APBD). Lantas generasi keempat dengan proyek pembangunan perkotaan gaya baru (Surabaya, East Java Bali, Kalimantan, Sulawesi Irian Jaya, Bali tahap kedua, Sumatera dan Jawa Barat, Botabek, JUDP I,II dan III). Akhirnya, generasi kelima berupa program sektor pembangunan perkotaan yang ditandai dengan pinjaman Urban Sector Loan pada tahun 1987. Persiapan semua proyek P3KT melibatkan konsultan luar dan dalam negeri. Hal ini menjadi pendorong kuat bagi peran konsultan untuk membantu pemerintah dalam penataan ruang.”

P3KT (Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu) adalah

sebuah program pemerintah pusat pada era pemerintahan orde baru

tahun 1970-1990. Program ini dibawah pengawasan dan pelaksana

Kementerian Pekerjaan Umum yang bertujuan untuk menata kembali

tata ruang kota di daerah-daerah guna memperpendek rentang kendali

pemerintahan. Program ini dilakukan dengan cara memindahkan

penduduk yang berada di pedalaman ke daerah yang lebih mudah di

jangkau. Dan kampung Warsambin adalah satu kampung bentukan

59

Wawancara dengan Agus, Sabtu, 17 Januari 2015, Pukul. 15.00 WIT. 60

Sumber : http://penataanruang.pu.go.id/taru/sejarah/BAB4.6footer.pdf

Page 6: Kampung Warsambin Lokasi Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/4/T2_092009110_BAB IV...penulis memacu kendaraan dengan kecepatan 60km/jam dan

BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam

58

dari program tersebut yang saat itu dikenal dengan program Kampung

Gaya Baru.

Jika dilihat secara geografis memang perpindahan masyarakat

dari Kampung lama yang bernama Lensok ke kampung Warsambin

sangat beralasan.

Gambar 4.5. Peta Pulau Waigeo

Pada gambar peta di atas memang kampung Lensok sudah tidak

tercantum di distrik Teluk Mayalibit. Letak kampung Lensok itu tepat

berdampingan dengan kampung Kalitoko yang jaraknya memang lebih

masuk ke dalam teluk. Sehingga memang sangat beralasan dalam

program Kampung Gaya Baru masyarakat dari Lensok dipindahkan

lebih dekat dengan pintu masuk Teluk Mayalibit.

“Tepat pada tahun 1973, torang dapa suruh pindah dari kampung Lensok ke kampung yang sekarang tong sebut Warsambin itu. Sa ingat persis dulu kepala kampung itu Bapa Lambert Metansan asli orang teluk suku Maya. Dia yang bawa torang semua pindah kesini. Tempo itu juga bukan torang sendiri dari Lensok saja, tapi ada juga masyarakat dari kampung Mumes yang datang juga ikut tinggal sama torang di Warsambin. Saat itu kepala kampung Mumes, bapa Lambert pu anak mantu, jadi pace bilang sudah kam datang juga tinggal deng katong disini saja.” Cerita Agus.61

61 Wawancara dengan Agus, Sabtu, 17 Januari 2015, Pukul. 15.00 WIT.

Page 7: Kampung Warsambin Lokasi Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/4/T2_092009110_BAB IV...penulis memacu kendaraan dengan kecepatan 60km/jam dan

Kampung Warsambin Lokasi Penelitian

59

Dari cerita yang disampaikan Agus, itu berarti kampung

Warsambin adalah kampung baru yang berisi penduduk dari 2

kampung yaitu kampung Lensok dan Mumes. Namun ada perbedaan

dari 2 kampung asal ini. Masyarakat dari kampung Lensok seluruhnya

pindah ke Warsambin, tetapi kampung Mumes tidak seluruh

masyarakatnya pindah, ada yang memilih untuk menetap di Mumes.

Kini kampung lama Lensok kini hanya berisi dusun sagu yang tidak

terurusi dan tidak berpenghuni. Perpindahan masyarakat dari Lensok

ke Warsambin ternyata juga berpengaruh pada mata pencaharian dan

kondisi sosial masyarakat yang akan dijelaskan penulis pada sub-bab

setelah ini.

Gambaran Umum Distrik Teluk Mayalibit Geografi Teluk Mayalibit

Distrik Teluk Mayalibit merupakan salah satu dari 24

distrik di Kabupaten Raja Ampat. Wilayah Teluk Mayalibit di

bagian Selatan berbatasan dengan distrik Waigeo Selatan, di bagian

Utara berbatasan dengan distrik Waigeo Utara, di bagian Barat

berbatasan dengan distrik Tiplol Mayalibit dan di bagian Timur

berbatasan dengan Waigeo Timur. Luas wilayah Teluk Mayalibit

917,05 Km². Kampung Kalitoko merupakan kampung terluas di

distrik Teluk Mayalibit (51%), sedangkan kampung yang

wilayahnya paling kecil adalah kampung Mumes (11%).

Berdasarkan topografi wilayah semua kampung di distrik Teluk

Mayalibit merupakan kampung pesisir atau berbatasan langsung

dengan laut. Keadaan tinggi air laut dari daratan pada umumnya

sekitar satu meter dari permukaan laut. Dimana letak kampung

Warsambin yang paling tinggi yaitu sekitar 3 meter. Pada

umumnya bentuk permukaan tanah kampung-kampung di distrik

ini adalah dataran. Hanya kampung Warsambin yang sebagian

kecil keadaan tanahnya adalah perbukitan yaitu 5%.62

62

BPS Kabupaten Raja Ampat, “Statistik Daerah Distrik Teluk Mayalibit 2014”, Hal 1-

2, Raja Ampat, 2014.

Page 8: Kampung Warsambin Lokasi Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/4/T2_092009110_BAB IV...penulis memacu kendaraan dengan kecepatan 60km/jam dan

BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam

60

Pemerintahan

Distrik Teluk Mayalibit adalah distrik pemekaran dari

Waigeo Selatan. Pemekaran distrik ini berdasarkan Perda No. 3

Tahun 2006 yang terdiri dari 10 Kampung. Sekarang distrik Teluk

Mayalibit terdiri dari 4 Kampung, karena mengalami pemekaran

distrik sesuai dengan Perda No. 2 Tahun 2012. Enam kampung

yang mengalami pemekaran tersebut antara lain Arawai, Beo,

Kabilol, Go, Waifoi dan Warimak menjadi distrik sendiri yaitu

distrik Tiplol Mayalibit. Sedangkan distrik Teluk Mayalibit terdiri

dari Warsambin, Lopintol, Kalitoko dan Mumes.

Dan untuk melengkapi organisasi pemerintahan di tingkat

kampung maka disediakan aparat pemerintah sekaligus juga

pembagian wilayahnya. Di distrik Teluk Mayalibit setiap kampung

dipimpin oleh kepala kampung yang membawahi Rukun Warga

(RW) dan Rukun Tetangga (RT). Demi ketertiban dan keamanan

kampung, juga disediakan hansip pada setiap kampung bersama

dengan sarana pos keamanannya.Tapi untuk pos keamanannya

hanya terdapat di 2 kampung saja. Berikut data yang diperoleh dari

statistik yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik kabupaten

Raja Ampat :

Tabel 4.1 Jumlah Rukun Warga (RW) dan Rukun Tetangga (RT) di Distrik Teluk

Mayalibit63 Tahun 2013

Kampung Rukun Warga (RW) Rukun Tetangga (RT)

Warsambin 2 4 Lopintol 2 4 Kalitoko 2 2 Mumes 1 2

Jumlah 7 12

Sumber : Kantor Kelurahan

63

Sda, Hal 3, Raja Ampat 2014

Page 9: Kampung Warsambin Lokasi Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/4/T2_092009110_BAB IV...penulis memacu kendaraan dengan kecepatan 60km/jam dan

Kampung Warsambin Lokasi Penelitian

61

Tabel 4.2 Jumlah Personil Hansip dan Pos Keamanan di Distrik Teluk Mayalibit64

Tahun 2013

Kampung Hansip Pos Keamanan

Warsambin 4 1 Lopintol 3 - Kalitoko 5 - Mumes 4 -

Jumlah 16 1

Sumber : Kantor Kampung

Dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab sebagai

bagian dari pemerintahan, Kepala Kampung, RW, RT, maupun

hansip lebih cenderung pada persoalan-persoalan administratif.

Seperti halnya pembuatan KTP atau Kartu Keluarga. Sedangkan

jika terjadi persoalan didalam kehidupan bermasyarakat lebih

cenderung diselesaikan secara kekeluargaan ataupun memakai

pendekatan adat. Dan selama melakukan penelitian lapangan, tidak

ada gejolak yang terjadi dalam masyarakat.

Penduduk dan Kondisi Sosial Masyarakat

Ada hal yang memang menarik ketika penulis berkunjung

ke beberapa kampung di distrik Teluk Mayalibit. Yang menarik

adalah dari 3 kampung yaitu Warsambin, Lopintol dan Kalitoko

lebih terlihat banyak penduduk laki-laki dibandingkan perempuan.

Misalnya ketika penulis berada di Kalitoko akhir Agustus 2011,

dalam amatan penulis yang terlihat beraktifitas di luar rumah

kebanyakan penduduk laki-laki. Kebetulan ketika itu ada juga

dilaksanakan pelepasan tim pendidik dari Kapal Kalabia yang

hendak meninggalkan Kampung Kalitoko. Semua masyarakat

terlibat dalam acara pelepasan itu dengan diiring suling tambur.

Dan dalam amatan penulis dari lokasi acara tersebut berlangsung

memang jumlah laki-laki lebih banyak dibanding jumlah

perempuan.

64

Sda, Hal 3, Raja Ampat 2014

Page 10: Kampung Warsambin Lokasi Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/4/T2_092009110_BAB IV...penulis memacu kendaraan dengan kecepatan 60km/jam dan

BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam

62

Gambar 4.6. Tarian Yosim Pancar dengan iringan musik Suling Tambur di

Kalitoko

(Sumber A.F. Binter)

Amatan penulis tersebut ternyata senada dengan data yang

dipaparkan oleh BPS Kabupaten Raja Ampat tentang jumlah

penduduk di distrik Teluk Mayalibit.

Tabel 4.3 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin di Distrik Teluk Mayalibit65

Kampung Laki-Laki Perempuan Jumlah Sex Rasio

Warsambin 294 300 594 98 Lopintol 97 74 191 131,08 Kalitoko 223 161 384 138,50 Mumes 50 45 95 111,11

Jumlah 664 580 1.244 114,48

Sumber : Pendataan Potensi Kampung 2013

Pada sub-bab sebelumnya penulis menyampaikan bahwa

perpindahan masyarakat dari kampung Lensok dan Mumes ke

kampung Warsambin dalam program Kampung Gaya Baru,

ternyata memberikan perubahan besar pada kondisi sosial

masyarakat. Perubahan ini semakin nampak terlebih ketika

dibangun akses transportasi darat dari kota Waisai ke ibu kota

distrik Teluk Mayalibit yaitu kampung Warsambin.

65 BPS Kabupaten Raja Ampat, “Statistik Daerah Distrik Teluk Mayalibit 2014”, Hal 4,

Raja Ampat, 2014

Page 11: Kampung Warsambin Lokasi Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/4/T2_092009110_BAB IV...penulis memacu kendaraan dengan kecepatan 60km/jam dan

Kampung Warsambin Lokasi Penelitian

63

“Sekarang mata pencaharian masyarakat itu nelayan. Padahal dulu tra ada yang nelayan, semua itu tokok sagu. Cari ikan itu hanya untuk makan setiap hari saja tapi tra jual. Karna waktu di kampung lama, Lensok, itu semua hanya hidup dari sagu saja. Dulu itu tong pu makanan pokok itu sagu yang nanti tong olah jadi papeda, sagu kering, sinole. Sisa dari tong pu hasil kebun itu yang tong pi bawa ke Sorong untuk jual akang di pasar. Tapi semenjak tong pindah ke Warsambin sini su jarang yang tokok sagu lagi, semua pi lobe ikan lema.” terang bapa Agus.66

Perubahan pertama yang terjadi dalam masyarakat adalah

berubahnya mata pencaharian masyarakat yang sebelumnya

mereka tokok sagu kini hampir semuanya menjadi nelayan. Alasan

perubahan mata pencaharian masyarakat ini karena 2 hal: yang pertama, jarak dari kampung Warsambin ke kampung lama

(Lensok) yang juga kebun sagu cukup jauh dan hanya bisa

ditempuh dengan menggunakan perahu. Yang kedua, oleh karena

alasan ekonomi yaitu hasil dari penjualan ikan lebih banyak

daripada hasil menjual sagu. Belakangan ini, alasan ekonomi adalah

motif yang paling kuat mendukung perubahan mata pencaharian

dari tokok sagu menjadi nelayan.

Perubahan selanjutnya yang terjadi dan juga dirasakan

masyarakat Kampung Warsambin adalah berubahnya konsumsi

makanan pokok dari sagu ke beras. Perubahan ini mulai dirasakan

semenjak program Kampung Gaya Baru dilaksanakan. Pada

awalnya masyarakat mengkonsumsi sagu sebagai bahan makanan

pokok yang kemudian diolah menjadi olahan makanan jadi seperti

papeda, sagu kering, sinole. Namun ketika masyarakat

dipindahkan, konsumsi makanan pokok sagu mulai menjadi

berkurang dan beralih ke beras walau tidak serutin seperti

sekarang ini.

66 Wawancara dengan Agus, Sabtu, 17 Januari 2015, Pukul. 15.00 WIT.

Page 12: Kampung Warsambin Lokasi Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/4/T2_092009110_BAB IV...penulis memacu kendaraan dengan kecepatan 60km/jam dan

BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam

64

“Sa dari kecil itu orang tua su kasih makan sagu. Torang ini, Sa deng anak-anak pu mama, tong besar cuma dengan makan sagu yang orang tua dong ambil di kebun. Dulu tu juga dirumah itu mo makan nasi itu sangat jarang sekali. Biasa torang makan nasi itu kalau misalnya ada acara-acara besar di kampung. Misalnya acara gereja ka, acara adat, atau pesta nikah. Jadi kadang tu liat beras dalam karung di rumah jarang sekali. Semua makan sagu yang dong bikin jadi macam-macam, ada papeda, sinole, dan sagu kering. Apalagi sekarang ini? Sekarang tong liat sagu yang jarang, setiap hari su makan nasi. Mo pi ke Waisai lebih gampang to, su ada jalan darat. Jadi kapan saja mo beli beras gampang.” tukas Agus.67

Dalam wawancara bersama Agus juga terungkap bahwa,

perubahan yang terjadi pada masyarakat salah satu kontribusinya

adalah ketika Raja Ampat terbuka dan mudah diakses. Hal ini

tebukti dengan apa yang dialami oleh masyarakat di kampung

Warsambin. Ketika kampung Warsambin mulai terhubung dengan

Waisai (ibu kota kabupaten Raja Ampat), perubahan demi

perubahan mulai terjadi. Akses transportasi darat tanpa disadari

memberikan dampak bagi masyarakat Warsambin, terlebih ketika

masyarakatnya belum siap untuk menghadapi setiap perubahan

yang terjadi. Perubahan-perubahan ini bisa memberikan dampak

positif dan negatif, tergantung kearah mana perubahan itu.

Sebenarnya, jikalau mau diperhatikan lebih seksama masyarakat

kampung Warsambin masih termasuk masyarakat tradisional yang

sangat memegang teguh nilai-nilai budaya yang ada. Dialektika

agama dan budaya sangat nampak dalam pengambilan keputusan-

keputusan dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh

masyarakat. Pemimpin adat dan pemimpin agama sangat memiliki

peran yang penting dalam kehidupan masyarakat di kampung

Warsambin. Nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat adalah

hasil pikiran antara pemahaman budaya dan nilai-nilai agama.

Dari nilai-nilai yang berkembang lewat pemahaman

budaya menghasilkan perilaku budaya yang kita sebut dengan

67 Wawancara dengan Agus, Sabtu, 17 Januari 2015, Pukul. 15.00 WIT.

Page 13: Kampung Warsambin Lokasi Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/4/T2_092009110_BAB IV...penulis memacu kendaraan dengan kecepatan 60km/jam dan

Kampung Warsambin Lokasi Penelitian

65

kearifan lokal. Selain itu pengetahuan lokal yang berkembang di

masyarakat kampung Warsambin didapatkan dengan cara

tradisional seperti membaca fenomena-fenomena alam. Seperti

ketika ingin mengetahui apakah lautan berombak ataukah tidak?

Masyarakat di Kampung Warsambin dapat mengetahuinya dengan

melihat pohon bok (sejenis pohon pinang) yang tinggi dan biasanya

ada di puncak dataran tinggi. Ketika daun dari pohon bok menghempas kencang itu pertanda di laut sedang berombak

kencang. Sampai sekarang ini masyarakat masih hidup dengan

kearifan lokal lainnya yang terwujud dalam produk budaya lokal.

Salah satunya adalah budaya Sasi.

Potensi Kampung Warsambin

Sebagai ibu kota distrik Teluk Mayalibit tentu Kampung

Warsambin memiliki potensi yang kuat untuk menopang

pembangunan Raja Ampat. Untuk melihat potensi apa yang

dimiliki oleh Kampung Warsambin penulis hanya bisa

mendapatkannya lewat pengamatan dan pengalaman ketika berada

di tempat penelitian. Penulis mendefenisikan potensi kampung

adalah suatu daya dalam bentuk materiil dan moriil yang dapat

menunjang pembangunan di kabupaten Raja Ampat dan lebih

khususnya dapat mendatangkan kemakmuran serta kesejahteraan

bagi kemashalatan masyarakat. Dalam amatan dan pengalaman

penulis mendapatkan dua potensi yang dimiliki oleh Kampung

Warsambin. Dua potensi tersebut adalah budaya lokal dan sumber

daya alam. Berikut penulis akan mendeskripsikan potensi-potensi

yang dimiliki Kampung Warsambin:

a) Potensi Wisata Budaya Lokal

Pengalaman dalam melakukan penelitian dan hidup

bersama masyarakat Kampung Warsambin, membawa penulis pada

sebuah pengalaman yang baru. Meninggalkan sejenak hiruk-pikuk

perkotaan ternyata menjadi sebuah pengalaman pribadi yang luar

biasa. Karakteristik masyarakat perkampungan melekat dan

Page 14: Kampung Warsambin Lokasi Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/4/T2_092009110_BAB IV...penulis memacu kendaraan dengan kecepatan 60km/jam dan

BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam

66

nampak pada perilaku masyarakat Warsambin. Memegang teguh

nilai-nilai moral yang menjadi pranata kehidupan masyarakat

merupakan sesuatu yang harus dimiliki sebagai masyarakat.

Keteguhan terhadap nilai-nilai moral ini nampak dan terlihat jelas

pada sudut pandang masyarakat untuk melihat relasi antara seorang

manusia dengan leluhur, dengan alam, serta dengan sesama

manusia. Dan juga sudut pandang dalam menyelesaikan suatu

permasalahan yang terjadi dalam masyarakat. Demikian pula yang

terjadi dengan masyarakat di kampung Warsambin.

Budaya tradisional sangat kental masih terasakan dalam

kehidupan bermasyarakat di kampung Warsambin. Mulai dari

bagaimana mereka berelasi antar sesama bahkan bagaimana mereka

memperlakukan alam sebagai tempat mereka hidup. Yang pertama

adalah bagaimana mereka memaknai sang pencipta kehidupan dan

alam semesta. Sebelum mengetahui lebih jauh ke dalam, sebagai

informasi bagi para pembaca, pemahaman yang ada pada

masyarakat tidak lepas dari pengaruh masuknya salah satu agama

besar di dunia yaitu Kristen Protestan. Datangnya para penginjil di

kampung Warsambin, Teluk Mayalibit, ternyata memberikan

kontribusi terhadap perkembangan peradaban dan budaya

masyarakat Warsambin. Kontribusi yang paling besar dalam bagi

masyarakat adalah ketika mereka diajarkan untuk lebih

menghargai kehidupan dengan cara memaksimalkan kemampuan

yang dimilikinya untuk berbuat baik bagi sesama dan juga

bertanggungjawab terhadap alam yang sudah diberikan Tuhan bagi

mereka.

Budaya yang adalah hasil cipta, rasa dan karsa, menjadi

potensi yang besar dimiliki oleh masyarakat Kampung Warsambin.

Budaya ini selain dilaksanakan untuk menjaga kestabilan akan

kehidupan, juga agar manusia dapat hidup akur dengan alamnya.

Selain itu budaya yang dibalut dengan cerita-cerita sejarah tempo

dulu dan menyisakan jejak cerita berupa situs-situs khusus

merupakan daya tarik tersendiri untuk dinikmati. Misalnya sebuah

pulau kecil tak berpenghuni yang digunakan sebagai makam para

leluhur.

Page 15: Kampung Warsambin Lokasi Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/4/T2_092009110_BAB IV...penulis memacu kendaraan dengan kecepatan 60km/jam dan

Kampung Warsambin Lokasi Penelitian

67

Gambar 4.7. Makam Leluhur Di Teluk Mayalibit

(Sumber A.F. Binter)

Selain itu terdapat budaya lokal yang biasa disebut budaya

Sasi. Budaya Sasi adalah pelarangan ambil hasil alam baik yang di

darat dan di laut berdasarkan dengan kesepakatan bersama

masyarakat atau keputusan pemilik hak lahan serta diberlakukan

dalam waktu tertentu. Sasi dalam pelaksanaannya secara substansi

sama dengan proses yang kita sebut dengan konservasi. Dimana

ketika Sasi dilakukan, sama dengan memberikan kesempatan bagi

makhluk hidup seperti tumbuhan dan ikan di laut untuk

bertumbuh dan berkembang. Pelaksanaan Sasi di era sekarang ini

menarik untuk diikuti terlebih ketika semua pemerintahan sedang

berbicara tentang sustainable development (pembangunan

berkelanjutan). Inilah potensi budaya lokal yang kemudian

nantinya bisa diangkat sebagai wisata budaya lokal dari kampung

Warsambin.

b) Potensi Sumber Daya Alam

Seperti yang sudah dijelaskan diatas mengenai geografis

kampung Warsambin memiliki karakteristik masyarakat pesisir

pantai, tentu potensi sumber daya alamnya adalah laut. Ditambah

lagi kampung Warsambin letaknya di pintu masuk Teluk Mayalibit

tempat dimana pertemuan arus antara air dibeberapa aliran sungai

yang terdapat di Teluk Mayalibit dan aliran air laut ketika pasang,

mengakibatkan teluk dipenuhi oleh berbagai spesies ikan. Salah

Page 16: Kampung Warsambin Lokasi Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/4/T2_092009110_BAB IV...penulis memacu kendaraan dengan kecepatan 60km/jam dan

BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam

68

satu spesies ikan yang paling banyak ditangkap nelayan dari

kampung Warsambin adalah ikan Lema (Ikan Kembung). Dalam

wawancara penulis bersama salah seorang pengepul ikan asal

Makassar yang berdomisili di Waisai Daeng Agus68, beliau

mengungkapkan bahwa dalam semalam seorang nelayan bisa

menangkap ikan Lema 800-1000 ekor. Dan dijual ke pengepul

seharga Rp. 1000,-/ekor. Ini belum termasuk jenis ikan lain yang

ditangkap oleh nelayan untuk dijual. Selain itu Kampung yang

terletak di Teluk Mayalibit ini ternyata menyimpan puluhan

spesies ikan langka dari ribuan spesies ikan yang hanya terdapat di

perairan Teluk Mayalibit. Ribuan spesies ikan inilah yang menjadi

potensi sumber daya alam laut yang bukan dilihat dari sisi

ekonomis, melainkan juga ditinjau dari kekanekaragaman hayati.

Daya tarik inilah yang mampu mendatangkan ilmuwan dari

seluruh belahan dunia untuk meneliti dibidang perikanan.

Hanya laut saja kah? Tentu tidak. Sekalipun sebagian besar

warga Kampung Warsambin adalah nelayan. Tetapi ketika musim

angin selatan mulai berhembus, kebanyakan warga beralih untuk

berkebun. Mengapa demikian? Pada musim angin selatan bagi

masyarakat di Raja Ampat, itu saat dimana perahu ditambatkan,

karena gelombang di laut mencapai tinggi maksimum dan tidak

disarankan untuk mencari ikan. Potensi yang terdapat di darat pun

bisa menjadi lahan pencarian sementara ketika gelombang di laut

sedang bergelora. Walaupun warga mengakui hasilnya tidak

seberapa karena mereka lebih fokus pada hasil di laut yang secara

hitung-hitungan ekonomi lebih menguntungkan. Itu berbicara

lahan kebun olahan warga, tetapi ketika berbicara hasil hutan

maka jelas Kampung Warsambin juga memiliki potensi hasil hutan

yang tidak sedikit.

Laut dan darat yang menyimpan potensi kekayaan sumber

daya alam yang tidak sedikit. Dibutuhkan pemahaman yang baik

dalam persoalan pemanfaatan sumber daya alam sehingga hasil

sumber daya alam bisa menjadi berguna bagi kemasahalatan orang

68

Wawancara dengan Daeng Agus, 24 Agustus 2011 Pukul 08.00 WIT

Page 17: Kampung Warsambin Lokasi Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/4/T2_092009110_BAB IV...penulis memacu kendaraan dengan kecepatan 60km/jam dan

Kampung Warsambin Lokasi Penelitian

69

banyak sekaligus juga adanya kesinambungan hasil sumber daya

alamnya.

Ancaman Eksploitasi dan Kerusakan Lingkungan di

Kampung Warsambin Ketika melihat potensi sumber daya alam yang dimiliki

Kampung Warsambin, bersamaan itu pula disadari ada begitu banyak

ancaman terhadap potensi tersebut. Baik itu potensi sumber daya alam

yang ada di laut dan di darat. Secara garis besar ketika melihat ancaman

yang ada, penulis dapat menyimpulkan ancaman itu oleh karena faktor

internal dan eksternal. Berikut penulis akan memaparkan beberapa

ancaman serius selama penulis berada di lapangan.

Penebangan Hutan dari Hutan Produksi kah?

Ketika melakukan perjalanan dari ibu kota kabupaten Raja

Ampat, Waisai sampai ke tempat penelitian di Kampung

Warsambin, penulis menemukan banyak sekali tumpukan-

tumpukan papan kayu (kayu olahan) di pinggiran jalan. Tidak

hanya itu penulis juga melihat ada beberapa tumpukan kayu

gelondongan yang dibiarkan dibahu jalan. Sejenak penulis

memikirkan apakah semua kayu tebangan ini memiliki surat dan

ijin resmi ataukah tidak? Sejenak penulis menunggu disekitar

tumpukan kayu tersebut, berharap bertemu orang yang bisa

ditanyakan perihal kayu-kayu tersebut. Namun setelah ditunggu

lebih dari 1 jam, tak ada satupun orang yang nampak. Sesampainya

Kampung Warsambin, penulis mampir sejenak di kantor distrik

berharap mendapatkan informasi mengenai penebangan tersebut.

Penulis bertemu dengan salah satu seorang pegawai yang

belakangan diketahui adalah seorang Polisi Hutan yang

ditempatkan bekerja di distrik Teluk Mayalibit. Setelah

dikonfirmasi dengan PolHut tersebut, beliau juga tidak mengetahui

bahwa ada beberapa tumpukan kayu gelondongan. Sebab ketika

beliau patroli sehari sebelumnya beliau tidak menemukan seperti

yang saya sampaikan. Sambil beliau berkata : “Saya akan patroli ke

Page 18: Kampung Warsambin Lokasi Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/4/T2_092009110_BAB IV...penulis memacu kendaraan dengan kecepatan 60km/jam dan

BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam

70

tempat yang ade bilang. Tapi kalau melihat lokasi yang ade bilang,

sepertinya daerah itu tidak boleh ada penebangan, karena masih

masuk dalam kawasan hutan lindung dan bukan hutan produksi.

Nanti saya cek ade…”.

Terlepas dari apakah kayu-kayu tersebut memiliki surat

ataukah tidak, penebangan hutan tanpa sebuah perencanaan dan

melakukan pemilahan manakah pohon yang sudah bisa ditebang

atau pohon yang tidak boleh ditebang tetaplah menjadi sebuah

ancaman yang serius bagi lingkungan. Memang harus dipahami

Raja Ampat sedang memulai membangun dan membutuhkan

sumber daya alam untuk pembangunan infrastruktur serta

meningkatkan PAD. Tetapi bukan berarti itu harus mengabaikan

ancaman terhadap kerusakan lingkungan. Terlebih ketika

berhadapan dengan eksploitasi sumber daya alam yang

mengabaikan keberlangsungan sumber daya alam itu sendiri.

Ancaman yang hampir sama juga dapat dilihat ketika

terjadi pembukaan lahan baru, baik untuk pembangunan fasilitas

pemerintah, perumahan ataupun pembangunan tempat usaha.

Apakah semuanya itu dilakukan dengan terlebih dahulu

melakukan analisis dampak lingkungan ataukah tidak?

Rusaknya Terumbu Karang dan Ilegal Fishing

“Kalo dulu iyo, ada yang pake bom ikan deng akar bore untuk tangkap ikan. Sekarang su tra boleh lagi. Karna memang kalo deng bom lebih gampang, tong tra tunggu lama-lama. Tinggal ke laut, cari dimana karang banyak, sudah, lempar bom nanti ikan dong timbul semua” ungkap Marthinus Waropen.69

(Dahulu, ada yang menggunakan bom ikan dan akar boreuntuk tangkap ikan. Sekarang tidak boleh. Karena memang

kalau dengan bom lebih mudah, kita tidak perlu menunggu lama.

Pergi ke laut, lalu carilah dimana banyak karang, kemudian,

69 Wawancara dengan Marthinus Waropen, Kamis 1 September 2011, Pukul. 10.00

WIT.

Page 19: Kampung Warsambin Lokasi Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/4/T2_092009110_BAB IV...penulis memacu kendaraan dengan kecepatan 60km/jam dan

Kampung Warsambin Lokasi Penelitian

71

bomnya dilempar nanti ikan yang mati akan muncul ke

permukaan). Waropen menceritakan bagaimana perilaku nelayan

lokal melakukan penangkapan ikan yang ternyata memberikan

dampak kerusakan yang besar bagi habitat ikan. Sekalipun

dilarang, ternyata fakta dilapangan masih saja ada oknum-oknum

masyarakat yang melakukan praktek penangkapan ikan dengan

menggunakan bom ikan. Terumbu karang adalah rumah bagi ikan

untuk berkembang biak, penggunaan bom ikan tentu akan merusak

semua ekosistem laut termasuk terumbu karang. Rusaknya

terumbu karang akan jelas sangat mempengaruhi jumlah produksi

ikan. Kuantitas ikan akan berkurang seiring dengan meningkatnya

jumlah kerusakan terumbu karang. Oleh sebab itu kerusakan

terumbu karang merupakan ancaman paling besar yang dirasakan

belakangan ini.Kekhawatiran ini hampir dirasakan diseluruh

bagian kabupaten Raja Ampat termasuk kampung Warsambin di

Teluk Mayalibit.

Sepertinya sumber daya alam laut yang kaya bagaikan dua

sisi mata uang yang tidak terpisahkan dengan illegal fishing. Semakin kaya suatu wilayah perairan maka semakin rentan pula

terjadinya illegal fishing.

Siang itu, 25 Agustus 2011, langit cerah matahari

menampakan kegagahannya dengan sinar dan teriknya. Perairan di

Teluk Mayalibit sangat tenang, terlihat beberapa orang sedang

sibuk di dermaga Pos Conservation International, Side Teluk

Mayalibit. “Ade, torang mo patroli dulu. Mo ikut ka trada?” teriak

seorang diantara mereka kepada penulis. “Ok kaka sa mo ikut” sahut penulis. Speedboat dinyalakan dan bergerak menuju arah

dalam teluk. “Seharusnya tong patroli besok, tapi tadi pagi masyarakat ada yang datang ke pos kasi tau sa kalo subuh tadi ada kapal kecil satu yang masuk ke dalam. Dong tra kenal itu sapa pu kapal. Jadi ini tong mo pi cek dulu” ujar Dortheus Metansan salah

satu petugas CI.

Setelah menempuh perjalanan ± 20 menit dari Pos CI,

terlihat sebuah kapal kecil bermesin dengan cabin tertutup oleh

Page 20: Kampung Warsambin Lokasi Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/4/T2_092009110_BAB IV...penulis memacu kendaraan dengan kecepatan 60km/jam dan

BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam

72

terpal. Lalu seorang petugas CI pun berdiri dan menuju ke

anjungan speedboat. Sambil menggunakan Binocular yang

diarahkan ke kapal kecil tersebut, sepertinya ia sedang

mengidentifikasi kapal tersebut dari kejauhan. “Itu bukan masyarakat pung kapal. Itu kapal dari luar. Dong ada buang jangkar itu. Tong merapat…” ujar dia sambil kembali ke bangku dan

mempersiapkan beberapa kertas, yang kemudian penulis ketahui

sebagai form pencatatan laporan patroli. Speedboat patroli pun

mulai merapat secara perlahan mendekati kapal kecil tersebut.

“Selamat siang…” sapa seorang petugas.

“Siang bapa…” sahut seorang diantara mereka. Terdapat 3

orang diatas kapal tersebut. Dari tampilan fisik mereka adalah

nelayan yang berasal dari luar Raja Ampat.

“Bapa dong ada keperluan apa masuk ke Teluk?” tanya

petugas selidik.

“Kita cuma numpang mi bapa, abis diluar ombak besar jadi

kita masuk sini” jawab nelayan tersebut.

“Kalau mau numpang kenapa tidak di kampung saja lebih

aman to? Kenapa harus masuk kedalam sini. Itu dong bawa apa

dalam kabin itu?” selidik petugas seperti melihat ada kejanggalan

dari nelayan ini.

“Ini kita punya ikan hasil tangkap di luar (luar teluk) bapa,

su dalam es bapa” jawab nelayan itu tapi sambil terbata-bata.

“Kami petugas dari CI yang sedang patroli disini. Bapak

memasuki zona No Take Zone, aturannya daerah sini tidak boleh

ada nelayan yang masuk untuk mencari ikan. Kami akan periksa

muatan bapak” sambil menunjuk pada cabin yang tertutup terpal

berwarna biru.

“Ah tidak ada apa-apa ji didalam mi bapa. Cuma ikan mi, yang kita tangkap di luar tadi bapa” jawab nelayan dengan suara

yang bergetar.

Terlambat, karena beberapa petugas lainnya sudah

melompat ke atas kapal tersebut dan langsung membuka cabin

yang dimaksud. Di dalam kabin tersebut memang terdapat hasil

tangkapan mereka. Namun sebagian besar hasil tangkapan tersebut

Page 21: Kampung Warsambin Lokasi Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/4/T2_092009110_BAB IV...penulis memacu kendaraan dengan kecepatan 60km/jam dan

Kampung Warsambin Lokasi Penelitian

73

adalah ikan yang hidup seperti baru ditangkap. Dan ditemukan

beberapa alat pancing dan jaring yang masih basah. Para nelayan

tersebut sudah tidak bisa mengelak lagi.

“Kamorang angka jangkar dan ikut torang ke pos jaga”

bentak petugas.

Ancaman illegal fishing kini terpampang jelas di depan

mata. Setiap hari semakin bertambah potensi kehilangan ikan

dengan cara yang ilegal. Akankah kampung Warsambin dapat

menghilangkan resiko atas ancaman eksploitasi dan ancaman

kerusakan lingkungan?

Pada bab selanjutnya penulis akan menyampaikan tentang

kearifan lokal yang dimiliki masyarakat kampung Warsambin untuk

melindungi dan memelihara sumber daya laut mereka. Kearifan lokal

tersebut yang kemudian dikenal dengan Budaya Sasi yang sudah hadir

dalam kehidupan masyarakat sejak dahulu.