kamis, 21 april 2011 laku sagu menunggu waktu · 4/21/2011 · padahal produksi be ras ... tempat...

1
Maluku butuh 120 ribu ton beras. Padahal produksi beras sendiri hanya 55 ribu ton.” HAMDI JEMPOT J ARUM jam menunjukkan 07.00 WIT ketika La Pine, 60, beranjak dari rumah- nya di Dusun Mamok- ing, Desa Tulehu, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku. Kakinya me- langkah, menyusuri jalan sepa- njang sekitar 2 kilometer. Sekitar 1 jam, setelah melalui jalan penuh warna--beraspal hingga berlumpur becek--Pine tiba di tempat pengolahan sagu. Di kesunyian hutan Desa Tulehu itu, pria tua ini menimba air dari Kali Rupaitu, yang membelah hutan desa. Air digelontorkan ke sahani, tempat meremas sagu parut. Sahani terbuat dari batang kayu, dengan panjang sekitar 2 meter dan diameter 50 cm. Pine meremas dan menapis sagu itu. Hasilnya, sagu yang halus masuk ke tempat penam- pungan, yang juga terbuat dari kayu dengan panjang 10 meter dan lebar 1 meter. “Sagu halus kita ambil untuk dijual. Sagu kasar dibuang jadi limbah,” kata Pine, ayah dari tujuh anak ini. Pria ini tidak menjual sendiri sagu ke pasar. Pine menyetor- kan hasil keringatnya ke se- orang penadah di desanya, yang kemudian menjual sagu ke se- jumlah pasar di Kota Ambon. Pine menjual satu tumang (bakul) sagu dengan harga Rp20 ribu. Sang penadah mengambil untung Rp5 ribu per tumang, saat menjualnya ke Ambon. Dalam sebulan, Pine bisa meng- Pangan lokal tersisih ketika kampanye beras digagas pemerintah. Kini, upaya mengembalikan pamornya menjadi persoalan yang tidak mudah. Laku Sagu Menunggu Waktu olah sagu 60-80 tumang. Menapis sagu di hutan Tulehu sudah dijalani pria ini sejak 12 tahun silam. Ia melakukannya sendiri, tidak berkelompok. Pengolah sagu lain di desa ini banyak yang memilih bekerja dalam kelompok. Pine mengaku mendapat un- tung rata-rata Rp1.500.000-Rp 1.700.000 per bulan. Tapi, kalau pasar lagi sepi, keuntungan itu menurun. Dengan uang itu, ia bisa men- cukupi kebutuhan makan ke- luarganya, juga biaya sekolah anak. Seorang anaknya duduk di perguruan tinggi di Ambon dan lima anak masih sekolah di SMP dan SMA. Sudah beberapa tahun pasar sagu kurang cerah. Permintaan terus menurun, karena konsum- si warga juga terus berkurang. Beras sudah mengganti peran sagu. “Dulu, dalam satu bulan, kita bisa menjual 200 tumang sagu. Sekarang 20 tumang saja sulit laku,” lanjut Pine. Persaingan antarperajin juga makin ketat. Dari tahun ke ta- hun, jumlah perajin sagu terus bertambah. Di bantaran Kali Rupaitu, puluhan perajin be- kerja secara berkelompok atau sendiri. Bahan baku sagu dibeli de- ngan harga Rp60 ribu per po- hon. Biaya lain dikeluarkan se- besar Rp40 ribu untuk menyewa mesin tebang pohon sagu. Orde Baru Sejak baheula, sagu adalah makanan khas warga Maluku. Sagu diolah menjadi papeda, sinoli, dan sagu lempeng. Kepala Badan Ketahanan Pa- ngan Maluku Syuryadi Sabirin mengakui adanya pergeseran pola konsumsi warga. Dulu, warga di tujuh kabupaten dan kota di Maluku, memadukan MI/HAMDI JEMPOT 8 KAMIS, 21 APRIL 2011 N USA NTARA pangan pokok beras dan sagu. Tujuh daerah itu adalah Kota Ambon, Kabupaten Maluku Tengah, Buru, Buru Selatan, Seram Bagian Barat, Seram Bagian Timur, dan Kabupaten Kepulauan Aru. Warga mengonsumsi sagu karena ke-7 daerah itu memiliki sekitar 200 ribu hektare lahan pohon sagu. “Dulu, masyarakat di dae- rah-daerah itu hanya makan nasi sehari dalam seminggu, sisanya makan sagu. Namun saat ini terbalik, sekali makan sagu, sisanya makan nasi,” kata Sabirin. Kondisi itu terjadi bermula di perkotaan, dan sudah merembet ke perdesaan. Pola konsumsi berubah drastis saat kampanye makan beras digaungkan pe- merintah Orde Baru. Beberapa tahun terakhir, semangat makan beras lebih besar lagi, karena ada pembagian beras untuk rakyat miskin. Akibatnya, pikiran warga terasuki anggapan yang salah. Makan sagu adalah imperior, terbelakang. Hasil penelitian Universitas Pattimura Ambon pada 2007 memperlihatkan, dari 1,4 juta warga Maluku, 60% mengon- sumsi beras, dan sisanya pa- ngan lokal, seperti sagu, umbi- umbian, dan jagung. Jumlah terbesar pangan lokal yang dikonsumsi adalah sagu. Tingginya konsumsi beras juga membuat harga pangan ini terus meningkat, terutama di daerah terpencil. Sabirin menyebutkan warga Maluku rata-rata mengonsumsi 135 kilogram per kapita per tahun. Dari jumlah itu, 80 ki- logram didapat dari beras dan sisanya sagu. “Dalam setahun Maluku membutuhkan 120 ribu ton beras. Padahal produksi be ras sendiri hanya 55 ribu ton, sehingga sisanya harus didatangkan dari Sulawesi dan Jawa.” Pemerintah Provinsi Maluku menargetkan peningkatan kon- sumsi karbohidrat dari pangan lokal mencapai 73 kilogram per kapita per tahun. Warga pun di- pacu untuk mengonsumsi sagu atau pangan lokal lain. Ketergantungan terhadap beras terus dikurangi, apalagi produksi dalam negerinya kian terbatas. “Sagu disiapkan menjadi stok pangan. Jika terjadi gelojak harga beras atau krisis beras, pa- ngan lokal akan menggantikan- nya karena stoknya tersedia,” tandas Sabirin. Tepung sagu Untuk meningkatkan kon- sumsi sagu, sejumlah diversi- fikasi dilakukan. Sagu diolah menjadi tepung kering, se- hingga lebih praktis, menarik, mudah, dan tahan lama. Dari tepung, sagu dibuat men- jadi mi, dan beraneka macam kue, yang bisa dikemas dan dio- lah, sehingga lebih menarik. Untuk sagu basah, kebutuh- an saat ini mencapai 73.687 ton untuk tujuh kabupaten dan kota di Maluku. Selain diversikasi, Pemerin- tah Provinsi Maluku juga terus melakukan pencitraan sagu, dengan tujuan menggairahkan kembali konsumsinya. Salah satunya dengan menyosialisa- sikan nilai gizi komoditas ini. Sagu dipromosikan memiliki keunggulan ketimbang beras. “Kandungan karbohidrat sagu lebih tinggi daripada beras dan glukosanya tidak pecah. Karena itu, sagu bagus untuk penderita diabetes,” kata Sa- birin. Selain itu, mengonsumsi sagu juga mampu mencegah wasir, kanker, dan penyakit usus. Se- lain mudah didapat dan murah harganya, sagu juga merupakan identitas budaya orang Ma- luku. Badan Ketahanan Pangan Maluku tahun ini akan memba- ngun kloster pengolahan sagu di tujuh kabupaten dan kota. Selain untuk menjaga ketersediaan pa- ngan lokal, produksi tepung sagu juga akan didagangkan ke luar Maluku, seperti di Pulau Sulawesi dan Pulau Jawa. Sabirin menyatakan pening- katan konsumsi sagu tidak hanya untuk meningkatkan ke- tahanan pangan lokal, tapi juga akan menggairahkan ekonomi warga perdesaan. Pengolahan sagu tidak hanya mendatangkan keuntungan bagi perajin, tapi juga pemilik pohon. Dengan adanya sentra pengo- lahan sagu, pemilik lahan dan perajin sama-sama dapat duit. Terjadi perputaran uang di desa, sehingga program pengentasan rakyat kemiskinan lebih cepat tuntas. (N-2) hamdi_jempot @mediaindonesia.com OLAH SAGU: Seorang perajin tengah mengolah bahan baku sagu di Dusun Mamoking, Maluku Tengah. Pasar sagu dalam beberapa tahun ini turun akibat kampanye makan beras. MI/HAMDI JEMPOT HASIL OLAHAN : Puluhan tumang disiapkan perajin untuk mewadahi hasil olahan sagu di Desa Tulehu, Kabupaten Maluku Tengah. Dalam satu bulan perajin mampu mengantongi hasil penjualan sagu sebesar Rp1,5 juta.

Upload: dinhdung

Post on 14-Jul-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KAMIS, 21 APRIL 2011 Laku Sagu Menunggu Waktu · 4/21/2011 · Padahal produksi be ras ... tempat meremas sagu parut. Sahani terbuat dari batang kayu, dengan panjang sekitar 2 meter

Maluku butuh120 ribu ton beras.

Padahal produksi be ras sendiri hanya 55 ribu ton.”

HAMDI JEMPOT

JARUM jam menunjukkan 07.00 WIT ketika La Pine, 60, beranjak dari rumah-nya di Dusun Mamok-

ing, Desa Tulehu, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku. Kakinya me-langkah, menyusuri jalan sepa-njang sekitar 2 kilometer.

Sekitar 1 jam, setelah melalui jalan penuh warna--beraspal hingga berlumpur becek--Pine tiba di tempat pengolahan sagu. Di kesunyian hutan Desa Tulehu itu, pria tua ini menimba air dari Kali Rupaitu, yang membelah hutan desa.

Air digelontorkan ke sahani, tempat meremas sagu parut. Sahani terbuat dari batang kayu, dengan panjang sekitar 2 meter dan diameter 50 cm.

Pine meremas dan menapis sagu itu. Hasilnya, sagu yang halus masuk ke tempat penam-pungan, yang juga terbuat dari kayu dengan panjang 10 meter dan lebar 1 meter.

“Sagu halus kita ambil untuk dijual. Sagu kasar dibuang jadi limbah,” kata Pine, ayah dari tujuh anak ini.

Pria ini tidak menjual sendiri sagu ke pasar. Pine menyetor-kan hasil keringatnya ke se-orang penadah di desanya, yang kemudian menjual sagu ke se-jumlah pasar di Kota Ambon.

Pine menjual satu tumang (bakul) sagu dengan harga Rp20 ribu. Sang penadah mengambil untung Rp5 ribu per tumang, saat menjualnya ke Ambon. Da lam sebulan, Pine bisa meng-

Pangan lokal tersisih ketika kampanye beras digagas pemerintah. Kini, upaya mengembalikan pamornya menjadi persoalan yang tidak mudah.

Laku Sagu Menunggu Waktu

olah sagu 60-80 tumang.Menapis sagu di hutan Tulehu

sudah dijalani pria ini sejak 12 tahun silam. Ia melakukannya sendiri, tidak berkelompok. Pe ngolah sagu lain di desa ini banyak yang memilih bekerja dalam kelompok.

Pine mengaku mendapat un-tung rata-rata Rp1.500.000-Rp 1.700.000 per bulan. Tapi, kalau pasar lagi sepi, keuntungan itu menurun.

Dengan uang itu, ia bisa men-cukupi kebutuhan makan ke-luarganya, juga biaya sekolah anak. Seorang anaknya duduk di perguruan tinggi di Ambon dan lima anak masih sekolah di SMP dan SMA.

Sudah beberapa tahun pasar sagu kurang cerah. Permintaan terus menurun, karena konsum-si warga juga terus berkurang. Beras sudah mengganti peran sagu.

“Dulu, dalam satu bulan, kita bisa menjual 200 tumang sagu. Sekarang 20 tumang saja sulit laku,” lanjut Pine.

Persaingan antarperajin juga makin ketat. Dari tahun ke ta-hun, jumlah perajin sagu terus bertambah. Di bantaran Kali Rupaitu, puluhan perajin be-kerja secara berkelompok atau sendiri.

Bahan baku sagu dibeli de-ngan harga Rp60 ribu per po-hon. Biaya lain dikeluarkan se-besar Rp40 ribu untuk menyewa mesin tebang pohon sagu.

Orde BaruSejak baheula, sagu adalah

makanan khas warga Maluku. Sagu diolah menjadi papeda, sinoli, dan sagu lempeng.

Kepala Badan Ketahanan Pa-ngan Maluku Syuryadi Sabirin mengakui adanya pergeseran pola konsumsi warga. Dulu, warga di tujuh kabupaten dan kota di Maluku, memadukan

MI/HAMDI JEMPOT

8 KAMIS, 21 APRIL 2011NUSANTARA

pangan pokok beras dan sagu. Tujuh daerah itu adalah Kota Ambon, Kabupaten Maluku Te ngah, Buru, Buru Selatan, Seram Bagian Barat, Seram Ba gian Timur, dan Kabupaten Ke pulauan Aru.

Warga mengonsumsi sagu karena ke-7 daerah itu memiliki sekitar 200 ribu hektare lahan pohon sagu.

“Dulu, masyarakat di dae-rah-daerah itu hanya makan nasi sehari dalam seminggu, sis anya makan sagu. Namun saat ini terbalik, sekali makan sagu, sisanya makan nasi,” kata Sabirin.

Kondisi itu terjadi bermula di perkotaan, dan sudah merembet ke perdesaan. Pola konsumsi

berubah drastis saat kampanye makan beras digaungkan pe-merintah Orde Baru. Beberapa tahun terakhir, semangat makan beras lebih besar lagi, karena ada pembagian beras untuk rakyat miskin.

Akibatnya, pikiran warga terasuki anggapan yang salah. Makan sagu adalah imperior, terbelakang.

Hasil penelitian Universitas Pattimura Ambon pada 2007 memperlihatkan, dari 1,4 juta warga Maluku, 60% mengon-sumsi beras, dan sisanya pa-ngan lokal, seperti sagu, umbi-umbian, dan jagung. Jumlah terbesar pangan lokal yang dikonsumsi adalah sagu.

Tingginya konsumsi beras

juga membuat harga pangan ini terus meningkat, terutama di daerah terpencil.

Sabirin menyebutkan warga Maluku rata-rata mengonsumsi 135 kilogram per kapita per tahun. Dari jumlah itu, 80 ki-logram didapat dari beras dan sisanya sagu. “Dalam setahun Maluku membutuhkan 120 ribu ton beras. Padahal produksi be ras sendiri hanya 55 ribu ton, sehingga sisanya harus di datangkan dari Sulawesi dan Jawa.”

Pemerintah Provinsi Maluku menargetkan peningkatan kon-sumsi karbohidrat dari pangan lokal mencapai 73 kilogram per kapita per tahun. Warga pun di-pacu untuk mengonsumsi sagu

atau pangan lokal lain.Ketergantungan terhadap

be ras terus dikurangi, apalagi pro duksi dalam negerinya kian terbatas.

“Sagu disiapkan menjadi stok pangan. Jika terjadi gelojak harga beras atau krisis beras, pa-ngan lokal akan menggantikan-nya karena stoknya tersedia,” tandas Sabirin.

Tepung saguUntuk meningkatkan kon-

sumsi sagu, sejumlah diversi-fikasi dilakukan. Sagu diolah menjadi tepung kering, se-hingga lebih praktis, menarik, mudah, dan tahan lama.

Dari tepung, sagu dibuat men-jadi mi, dan beraneka macam kue, yang bisa dikemas dan dio-lah, sehingga lebih menarik.

Untuk sagu basah, kebutuh-an saat ini mencapai 73.687 ton untuk tujuh kabupaten dan kota di Maluku.

Selain diversifi kasi, Pemerin-tah Provinsi Maluku juga terus melakukan pencitraan sagu, dengan tujuan menggairahkan kembali konsumsinya. Salah satunya dengan menyosialisa-sikan nilai gizi komoditas ini. Sagu dipromosikan memiliki keunggulan ketimbang beras.

“Kandungan karbohidrat sagu lebih tinggi daripada beras dan glukosanya tidak pecah.

Karena itu, sagu bagus untuk pen derita diabetes,” kata Sa-birin.

Selain itu, mengonsumsi sagu juga mampu mencegah wasir, kanker, dan penyakit usus. Se-lain mudah didapat dan murah harganya, sagu juga merupakan identitas budaya orang Ma-luku.

Badan Ketahanan Pangan Ma luku tahun ini akan memba-ngun kloster pengolahan sagu di tujuh kabupaten dan kota. Selain untuk menjaga ketersediaan pa-ngan lokal, produksi tepung sagu juga akan didagangkan ke luar Maluku, seperti di Pulau Sulawesi dan Pulau Jawa.

Sabirin menyatakan pening-katan konsumsi sagu tidak hanya untuk meningkatkan ke-tahanan pangan lokal, tapi juga akan menggairahkan ekonomi warga perdesaan.

Pengolahan sagu tidak hanya mendatangkan keuntungan ba gi perajin, tapi juga pemilik pohon.

Dengan adanya sentra pengo-lahan sagu, pemilik lahan dan perajin sama-sama dapat duit. Terjadi perputaran uang di desa, sehingga program pengentasan rakyat kemiskinan lebih cepat tuntas. (N-2)

[email protected]

OLAH SAGU: Seorang perajin tengah mengolah bahan baku sagu di Dusun Mamoking, Maluku Tengah. Pasar sagu dalam beberapa tahun ini turun akibat kampanye makan beras.

MI/HAMDI JEMPOT

HASIL OLAHAN : Puluhan tumang disiapkan perajin untuk mewadahi hasil olahan sagu di Desa Tulehu, Kabupaten Maluku Tengah. Dalam satu bulan perajin mampu mengantongi hasil penjualan sagu sebesar Rp1,5 juta.