kajian trauma psikososial anak karena perceraian orang...
TRANSCRIPT
i
ii
iii
iv
v
vi
Motto
“Segala perkara dapat kutanggung di dalam
Dia yang memberi kekuatan kepadaku”
Filipi 4:13
“Ketika Tuhan membentukku… sakit, penuh penderitaan dan banyak air
mata tetapiitulah satu-satunya cara bagi-Nya untuk menjadikan kuindah
dan berharga….”
“Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu
yang mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu
bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah”.
(Roma 8:23)
“Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga tetapi
nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan
permohonan dengan ucapan syukur”
( Filipi 4: 6)
GALAU
(God Always Listening And Understanding)
vii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus, karena dengan hikmat, tuntunandan
penyertaanNya penulis dapat menyelesaikan penulisan Tugas Akhir ini. Banyak tantangan
dan cobaan yang dialami ketika penulis mengerjakan Tugas Akhir ini namun dengan usaha
dan ketekunan serta keyakinan bahwa “Tuhan selalu menyertai dan turut bekerja dalam
proses penulisan ini” sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini dengan baik,
meskipun tidak sempurna di mata manusia namun penulis yakin bahwa sang Maha Sempurna
yaitu Tuhan Yesus Kristus telah menyempurnakannya terlebih dahulu. Dengan menyertakan
Tuhan dalam setiap langkahkehidupanmakasegalasesuatunyaakanmenjadiindah.
Penulisjugaingin mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak yang telah membimbing
dan memungkinkan penulis berproses di Fakultas Teologi UKSW.
1. Papa Marthen L. Tanaem & Mama Jetie S. E. Tanaem-Benyamin Lola, terimakasih
untukdoa, cinta dan kasih sayang serta segala hal yang telah diberikan untuk nona,
maaf kalau sering buat papa dan mama kecewa. Nona tidak bisa membalas semuanya
nona hanya bisa berusaha semampu nona untuk membahagiakan papa dan mama.
Untuk kak Dedie, kak Lyly, Kak Engky, Nona Seky, Nona Marlisa, Conis, Marco,
dan Aul terimakasih untuk dukungannya. Terimakasih juga untuk seluruh keluarga
Besar Tanaem di Surabaya (bapa El dan keluarga, bapa Yos dan keluarga, bapa Nedi
dan Keluarga, bapa Theos dan Keluarga), bapa Des di Sumba, Ma Tua “Alm.
NenekOci” terimakasih karena selalu mendoakan nona semasa hidup ma tua sampai
akhir hidup ma tua 3 Januari 2015 kemarin. Ma tua adalah teladan untu knona…
Kel.Besar Tanaem di Soe (Tante Lin, tante Neta, dan tante Eky sekeluarga), bapa
Nidas, bapa Eben, Bapa Gito dan Kel.Besar Benyamin Lola, berkat doa dari
semuanya nona bisa menyelesaikan Tugas Akhir ini
2. Pdt. Dr. Retnowati Terimakasih untuk ibu selaku Pembimbing 1 yang sudah bersedia
membantu dan meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan masukan-
masukan yang bermanfaat dalam proses penulisan Tugas Akhir ini. Juga Pdt. Totok S.
Wiryasaputra, Terimakasih untuk segala ketulusan dan kebaikan selaku Pembimbing
2 dalam memberikan bimbingan dan sumbangsih-sumbangsih yang sangat bermanfaat
viii
dalam penulisan Tugas Akhir ini. Terimakasih KiranyaTuhanYesusKristus yang
akanmembalassegalakebaikan ibu dan bapak.
3. Seluruh dosen Fakultas Teologi UKSW yang telah membantu penulis selama
menjalankan pendidikan di UKSW. Banyak hal positif dan ilmu pengetahuan yang
penulis dapatkan selama berada di Fakultas Teologi UKSW berkat bimbingan dari
bapak ibu dosen terkasih. Kiranya Tuhan Yesus selalu memberkati dalam
melaksanakan segala tugas dan pelayanan bapak dan ibu.
4. Pegawai TU. Ibu Budi dan mas Eko. Terimakasih untuk setiap bantuan yang telah
diberikan guna mempermudah segala penyelesaian hal-hal yang berkaitan dengan
administrasi. TuhanYesus selalu memberkati.
5. Terimakasih untuk saudaraku S yang bersedia membagikan pengalaman hidupnya
untuk diangkat sebagai contoh dalam Tugas Akhir ini.
6. Teman-teman Fakultas Teologi UKSW angkatan 2007.Terimakasih untuk setiap
kebersamaan serta dukungan yang selalu diberikan kepada penulis, meskipun
berjauhan namun kasih Tuhan selalu mempersatukan kita semua.. PEACE IN
RAIBOW…!!!!
7. K Cicak, Dudul, dan Jojo yang selalu marah-marah kalau diriku mulai malas.
Makasih buat perhatian dan doanya yaaaa!!!. Kalian adalah sahabat terbaik.
8. Wenank (YB) terimakasih mamen untuk dukungan, doa dan motivasinya. Semoga
semua yang menjadi impian dan harapan kita bisa diberkati dan dibukakan jalan oleh
Tuhan.
Akhirnya untuk semua pihak yang terlibat, bapak-mama, saudara-saudari, seluruh
keluarga dan sahabat, dan beberapa pihak yang tidak sempat saya sebutkan namanya yang
telah mendoakan dan mendukung saya, terimakasih banyak. Kiranya tulisan yang jauh
daripada sempurna dapat berguna bagi kita semua. Tuhan Yesus Kristus yang akan membalas
segala kebaikan hati yang telah diberikan kepada saya. Tuhan Yesus memberkati kita selalu.
Salatiga, Januari 2015
LeniYunitaTanaem
ix
DAFTAR ISI
Halaman Judul i
Lembar Pengesahan ii
Pernyataan Tidak Plagiat iii
Pernyataan Persetujuan Publikasi iv
Pernyataan Persetujuan Akses v
Motto vi
Kata Pengantar vii
Daftar Isi ix
Abstrak x
Pendahuluan 1-4
Landasan Teori 4-16
Metode Penelitian 16-17
Pembahasan 17-24
Penutup 24-25
Daftar Pustaka 26
x
KAJIAN TRAUMA PSIKOSOSIAL ANAK KARENA PERCERAIAN ORANG TUA
Abstrak
Perceraian orang tua merupakan sebuah permasalahan yang terjadi dalam sebuah keluarga
baik itu pada keluarga yang telah membangun kehidupan rumah tangga dalam waktu yamg
lama maupun pada keluarga-keluarga yang baru memulai kehidupan berumahtangga.
Permasalahan yang melandasi timbulnya perceraian pada dasarnya berawal dari interaksi
yang kurang baik antar aggota keluarga terutama pasangan suami istri. Ketika terjadi
perceraian dalam sebuah keluarga maka anak adalah korban utama yang paling banyak
merasakan dampak buruk dari perceraian tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai perceraian dan dampak trauma
psikososial terhadap anak. Teori yang digunakan dalam penelitian ini berkaitan dengan teori
perkembangan anak usia 6-12 tahun, teori keluarga, trauma dan psiko-sosial. Dalam tulisan
ini penulis menggunakan metode penelitian pustaka dengan jenis penelitian deskriptif dan
pendekatan konsep. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa perceraian merupakan
sebuah fenomena perubahan sosial yang marak terjadi dalam masyarakat saat ini, perceraian
mengakibatkan rusaknya relasi antar anggota keluarga yang menjadi pendukung
pertumbuhan dan perkembangan anak, perceraian mengakibatkan disfungsi keluarga,
perceraian menciptakan jarak emosional antara anak dan orang tua, perceraian juga dapat
mengakibatkan permusuhan antara orang tua dengan anak, dan perceraian menimbulkan
jurang pemisah antara masyarakat dan keluarga yang bercerai karena pandangan masyarakat
mengenai perceraian sebagai aib sehingga berdampak pada trauma psikososial anak.
Kata Kunci: Anak, Trauma, Psikososial, Perceraian, keluarga, orang tua
1
1. PENDAHULUAN DAN PERMASALAHAN
1.1. Latar belakang
Perceraian merupakan sebuah permasalahan sosial dalam masyarakat yang terus
menerus terjadi hingga saat ini. Perceraian adalah perpisahan yang terjadi antara sepasang
suami istri yang sebelumnya telah disatukan dalam sebuah pernikahan secara hukum dan
seharusnya berdasarkan ikatan cinta kasih. Pada dasarnya perceraian merupakan sebuah
keputusan yang diambil bersama oleh pasangan suami istri. Permasalahan umum yang
biasanya mendasari sebuah perceraian adalah ketidak-sepakatan mengenai hal-hal tertentu
dalam menjalani kehidupan berumah tangga, tidak menghargai satu sama lain sehingga
menimbulkan pertengkaran terus menerus, dan adanya perselingkuhan. Interaksi yang
kurang baik antara pasangan suami istri sering menimbulkan ketidak-sepakatan dalam
menanggapi permasalahan yang terjadi dalam rumah tangga mereka.
Berdasarkan data yang penulis dapatkan dari media online republika menunjukan
bahwa angka perceraian di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya. Terhitung
sejak tahun 2009 angka perceraian sebanyak 216.286 peristiwa dari 2.162.286 peristiwa
pernikahan. Pada tahun 2010 angka perceraian sebanyak 285.184 peristiwa dari 2.207.364
pernikahan. Pada tahun 2011 angka perceraian sebanyak 158.119 dari 2.319.821
pernikahan. Pada tahun 2012 angka perceraian sebanyak 372.577 dari 2.291.265
pernikahan. Pada tahun 2013 angka perceraian sebanyak 324.527 dari 2.218.130
pernikahan.1 Dari data tersebut dapat terlihat dengan jelas bahwa tingkat perceraian di
Indonesia mengalami peningkatan, pada pendataan terakhir tahun 2013 mencapai 14,6 %
dan ini menunjukan bahwa perceraian di Indonesia telah melewati angka 10% dari setiap
jumlah peristiwa pernikahan yang terjadi. Berdasarkan data perceraian tersebut maka
penulis menyimpulkan bahwa meningkatnya jumlah perceraian maka meningkat pula
jumlah anak yang menjadi korban dari perceraian tersebut.
Perceraian yang terjadi antara pasangan suami istri yang telah memiliki anak akan
menimbulkan permasalahan yang serius menyangkut tumbuh kembang anak. Anak adalah
orang yang paling menderita ketika orang tuanya bercerai. Karena pada hakikatnya setiap
anak akan bertumbuh dan berkembang dengan baik jika didukung oleh lingkungan sosial
keluarga yang harmonis. Keluarga adalah lingkungan sosial yang paling utama bagi setiap
orang, dimana didalam lingkungan inilah seorang anak diharapkan mengalami
1 http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/11/14/nf0ij7-tingkat-perceraian-indonesia-
meningkat-setiap-tahun-ini-datanya di akses pada tanggal 16 November 2014; pukul 15.24 WIB (data
tersebut di dapatkan dari data Kementerian Agama (Kemenag) yang disampaikan oleh Kepala Subdit
Kepenghuluan Anwar Saadi, kepada surat kabar online Republika, Jumat 14-11-2014)
2
pertumbuhan dan perkembangan yang baik secara fisik, mental, sosial dan spiritual.
Orang tua memiliki peran yang sangat penting untuk membantu anak dalam berhubungan
dengan lingkungan sosial disekitarnya. Hubungan sosial yang baik dalam keluarga
merupakan hal yang penting karena pada dasarnya setiap manusia adalah mahkluk sosial
yang saling membutuhkan dan saling mendukung satu dengan lainnya.
Wuryani (2005) mengemukakan pula bahwa ketika sebuah kesatuan keluarga
terpecah maka anak akan selalu menderita karena kekurangan dukungan dalam
perkembangan dan pertumbuhan yang sehat dan anak juga akan mengalami perasaan
kehilangan yang mendalam.2 Pada umumnya anak yang mengalami pengalaman
kehilangan orang tua karena perceraian pada masa kanak-kanaknya akan mengalami luka
psikologis yang disebut trauma. Trauma tersebut akan mempengaruhi kehidupan sosial
anak dalam masyarakat.
Reaksi anak terhadap perceraian sangat bergantung pada usia, tingkat perkembangan
dan sifat pribadi mereka. Masa sekolah yang mencakup usia 6-12 merupakan masa yang
penting bagi anak karena anak mulai keluar dari lingkungan keluarga dan bermasyarakat.
Pada usia ini anak sangat bergantung pada lingkungannya baik itu masyarakat umum
maupun teman sebaya. Perceraian orang tua yang terjadi ketika anak berada pada masa
ini sangat berpengaruh pada kehidupan selanjutnya. Anak yang tidak memperoleh kasih
sayang dan kepuasan dari apa yang menjadi kebutuhan mereka dalam masa awal
kehidupannya akan sulit untuk mengembangkan kepercayaan terhadap orang lain
sehingga terganggulah hubungan sosial dikemudian hari3.
Perceraian dianggap sebagai dosa yang melanggar hukum perkawinan yang berlaku
baik dalam Negara, agama maupun dalam adat. Oleh karena itu baik dalam lingkungan
masyarakat maupun gereja perceraian di anggap sebagai aib dalam keluarga. Sekalipun
perceraian diijinkan tetapi tetap saja hal tersebut memiliki dampak yang tidak baik bagi
kehidupan sseseorang terutama anak.
Di sekitar kita sesungguhnya banyak anak yang mengalami pengalaman berupa
perceraian orang tua. Ada beberapa anak yang penulis kenal dan temui, memiliki
pengalaman traumatis karena perceraian yang terjadi pada masa kanak-kanaknya, hal ini
mengakibatkan anak mengalami gangguan secara psikis maupun sosial sehingga
kehidupannya tidak berjalan sewajarnya. Salah satuya adalah S (21th) seorang anak yang
2 Sri esti Wuryani Djiwandono. Konseling dan Terapi dengan Anak dan Orang Tua. (Jakarta, PT Grasindo,
2005) , hal 122 3 Singgih D. Gunarsa. Dasar dan Teori Perkembangan Anak. (Jakarta, Gunung Mulia, Cet IX, 2008), hal 62
3
penulis temui beberapa waktu yang lalu. Ia adalah seorang mahasiswa yang berasal dari
Nusa Tenggara Timur. Ia terpaksa harus tinggal bersama ibunya sejak orang tuanya
bercerai saat ia berusia ±6 tahun. Dengan adanya pengalaman traumatis berupa perceraian
orang tua yang dialami pada masa kanak-kanaknya maka ia cenderung menutup diri
dengan lingkungan sosialnya sehingga ketika ia melanjutkan studinya di sebuah
perguruan tinggi di Pulau Jawa banyak kendala yang ia hadapi.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian
ilmiah dengan mengangkat judul: Kajian Trauma Psikososial Anak Karena
Perceraian Orang Tua
1.2. Rumusan masalah dan Tujuan penelitian:
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka rumusan masalah dari
penelitian ini adalah:
1. Bagaimana perceraian dapat merusak relasi antar anggota keluarga yang menjadi
pendukung pertumbuhan dan perkembangan anak?
2. Bagaimana dampak trauma psikososial anak karena perceraian orang tua?
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menjelaskan dan mendeskripsikan tentang rusaknya relasi antar anggota keluarga
karena perceraian.
2. Menjelaskan dan mendeskripsikan dampak perceraian orang tua terhadap kehidupan
psikososial anak.
1.3. Metode Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data:
Untuk mencapai tujuan penulisan tersebut penulis menggunakan metode penelitian
kepustakaan, di mana data akan di ambil dari sumber-sumber yang relevan seperti buku,
dokumen, artikel, dan sumber data online yang berhubungan dengan masalah yang
diteliti. Berdasarkan data yang dikumpulkan akan diolah dan dianalisis dengan
menggunakan analisis deskriptif dengan membangun korelasi antara data-data tersebut
dengan teori-teori yang digunakan.
4
1.4. Manfaat Penelitian:
Berdasarkan tujuan penelitian tersebut diatas, maka manfaat dari penelitian ini ialah
sebagai berikut: menyumbangkan pemahaman bagi masyarakat, gereja, orang tua serta
secara khusus bagi fakultas Teologi mengenai dampak perceraian orang tua terhadap
kehidupan sosial anak dengan tujuan agar memberikan perhatian terhadap anak-anak
tersebut sehingga mereka juga dapat merasakan kehidupan yang lebih baik.
1.5. Sistematika Penulisan :
Penelitian ini akan dituliskan dalam lima bagian yaitu: Bagian pertama berisikan
latara belakang, rumusan masalah, tujuan pennelitian, metode penelitian, manfaat
penelitian dan sistematika penulisan. Bagian kedua penulis akan mendeskripsikan teori-
teori yang berkaitan dengan perceraian orang tua, anak dan trauma psikososial. Bagian
ketiga penulis akan memaparkan metode penelitian yang dipakai dalam penelitian terkait
perceraian orang tua yang memberi dampak trauma psikososial pada anak. Bagian
keempat penulis akan menganalisa permasalahan dengan teori dan rumusan masalah yang
diteliti. Bagian kelima penulis akan menuliskan kesimpulan dan saran terhadap
permasalahan yang diteliti.
2. LANDASAN TEORI
Pada bagian ini penulis memaparkan tentang teori-teori yang berkaitan dengan trauma
psikosoial anak akibat perceraian, seperti teori keluarga, teori perkembangan anak, dan
trauma psikososial.
2.1. Keluarga
Pada umumnya keluarga merupakan kumpulan orang-orang yang memiliki hubungan
darah, artinya ada keterikatan antara anggota keluarga yang satu dengan lainnya. Robert
Bellah (1989:22) mendefinisikan keluarga dari segi sosial dan etis sebagai suami, istri dan
anak-anak4. Berbicara mengenai keluarga, ada banyak ahli yang berpendapat tentang
konsep keluarga, Penulis memilih pendapat beberapa tokoh tersebut untuk menjelaskan
keluarga. pendapat tersebut diantaranya:
George Murdock (1965)
4 Marjorie L. Thompson, Family: The Forming Center. (Upper Room Books, Nashville-USA 1989)
diterjemahkan oleh Ny. Oloria Silaen-Situmorang. Keluarga sebagai Pusat Pembentukan. (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, Cet III, 2001), hal 28.
5
Keluarga merupakan kelompok sosial yang memiliki karakteristik tinggal bersama,
terdapat kerja sama ekonomi dan terjadi proses reproduksi. Melalui surveinya terhadap
250 perwakilan masyarakat sejak tahun 1973, Murdock menemukan tiga tipe keluarga,
yaitu keluarga inti (nuclear family), keluarga pilogami (polygamous family), dan keluarga
batih (extended family). Berdasarkan survei tersebut Murdock menyatakan bahwa
keluarga inti merupakan kelompok sosial yang bersifat universal. Baginya para anggota
dari keluarga inti bukan hanya membentuk kelompok sosial, melainkan juga menjalankan
empat fungsi universal dari keluarga, yaitu seksual, reproduksi, pendidikan dan ekonomi.5
Ascan F Koerner dan Mary Anne Fitzpatrick (2004)
Menurut Koerner dan Fitzpatrick keluarga dapat ditinjau berdasarkan tiga sudut
pandang, yaitu keluarga struktural, fungsional dan intersaksional. Keluarga struktural
dilihat berdasarkan kehadiran atau ketidakhadiran anggota keluarga, seperti orang tua,
anak, dan kerabat lainnya. Pendapat tersebut difokuskan pada siapa yang menjadi bagian
dari keluarga. Mereka menyebut keluarga sebagai asal usul (families of origin), keluarga
sebagai wahana melahirkan keturunan (families of procreation), dan keluarga batih
(extended family). Keluarga fungsional mereka menekankan pada terpenuhinya tugas-
tugas dan fungsi-fungsi psikososial yang dilakukan oleh keluarga. hal tersebut mencakup
perawatan, sosialisasi pada anak, dukungan emosi dan materi, dan pemenuhan-
pemenuhan peran. Keluarga transaksional, keluarga merupakan kelompok yang
mengembangkan keintiman melalui perilaku-perilaku yang memunculkan rasa identitas
sebagai keluarga (family identity), berupa ikatan emosi, pengalaman historis, maupun
cita-cita masa depan. Mereka memfokuskan pada bagaimana keluarga melaksanakan
fungsi-fungsinya.6
Donna Wong (2001)
Wong mengemukakan bahwa keluarga merupakan sebuah sistem yang memiliki
interaksi yang kontinu dengan anggota keluarga dan lingkungannya. Wong menekankan
bahwa interaksi merupakan suatu hal yang penting sehingga perubahan pada salah satu
anggota keluarga akan menimbulkan perubahan pada anggota lainnya. Baginya masalah
atau disfungsi bukan disebabkan oleh salah seorang dari anggota keluarga tetapi pada
jenis interaksi yang digunakan oleh keluarga. Menurut teori ini masalah bukan semata-
5 Sri Lestari, Psikologi Keluarga: Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik dalam Keluarga, (Jakarta:
Penerbit Kencana, 2012), hal 3-4. 6 Ibid., hal 5
6
mata terletak pada orang tua atau anak melainkan pada interaksi antara orang tua dan
anak serta pada faktor lain yang mempengaruhi hubungan mereka.7
Minuchin (1974)
Minuchin mengajukan skema konsep yang memandang keluarga sebagai sebuah
sistem yang bekerja dalam konteks sosial yang memiliki tiga komponen. Pertama,
struktur keluarga berupa sistem sosiokultural yang terbuka dalam transformasi. Kedua,
keluarga senantiasa berkembang melalui sejumlah tahap yang mensyaratkan
penstrukturan. Ketiga, keluarga beradaptasi dengan perubahan situasi kondisi dalam
usaha untuk mempertahankan kontinuitas dan meningkatkan pertumbuhan psikososial
tiap anggotanya.8
Berdasarkan teori Koerner-Fitzpatrick, Donna Wong dan Minuchin mengenai sistem
keluarga maka penulis menyimpulkan bahwa sebagai sebuah sistem yang di dalamnya
terdapat fungsi-fungsi psikososial maka keluarga memiliki peran yang sangat bagi
pertumbuhan dan perkembangan anak. Untuk menjalankan fungsi-fungsi psikososial ini
maka perlu adanya interaksi yang berkelanjutan dengan anak. Oleh karena itu perceraian
menimbulkan disfungsi keluarga sehingga anak mengalami trauma psikososial.
Dalam setiap sistem keluarga terdapat struktur keluarga yang merupakan serangkaian
tuntutan fungsional tidak terlihat yang mengorganisasi cara-cara anggota keluarga dalam
berinteraksi.9
Ditinjau dari segi keberadaan anggota keluarga, Lee (1982) menyatakan bahwa
keluarga dapat dibagi menjadi dua srtruktur keluarga yaitu10
:
1. Keluarga inti (nuclear family). Keluarga inti adalah keluarga yang di dalamnya
terdiri dari tiga posisi sosial, yaitu: suami-ayah, istri-ibu, dan anak-sibling.
2. Keluarga batih (extended family). Keluarga batih adalah keluarga yang di
dalamnya terdapat posisi lain selain ketiga posisi tersebut di atas. Keluarga batih
terdiri dari tiga bentuk antara lain: pertama keluarga bercabang, kedua keluarga
berumpun, ketiga keluarga beranting.
Bagi Lee kompleksitas struktur keluarga tidak diotentukan oleh jumlah individu di
dalamnya tetapi oleh jumlah posisi sosial didalamnya.
7 Donna L. Wong, dkk., Wong’s Essential Of Pediatric Nursing, (Mosby, 2001), hal 36
8 Sri Lestari, Psikologi Keluarga: Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik dalam Keluarga, (Jakarta:
Penerbit Kencana, 2012), hal 26 9 Ibid., hal 27
10 Ibid., hal 6-7
7
Ditinjau dari segi pemegang wewenang, Berns (2004) menyatakan bahwa struktur
keluarga dibagi menjadi tiga bagian yaitu11
: Matriarki, Patriarki, Egaliter. Ia juga
menambahkan variasi struktur keluarga lainnya yaitu: keluarga dengan orang tua tunggal
baik karena perceraian maupun kematian, keluarga dengan salah satu orang tua jarang
berada di rumah karena bekerja di luar daerah, keluarga tiri dan keluarga dengan anak
angkat.
Struktur keluarga sangat berpengaruh terhadap kualitas keluarga. Skaggs dan Jodl
(1999) mengemukakan bahwa anak yang tinggal bukan pada keluarga tiri lebih kompeten,
secara sosial lebih bertanggung jawab, dan kurang mengalami masalah perilaku daripada
anak yang tinggal pada keluarga tiri yang kompleks. Jablonska dan Lindber (2007)
menyatakan pula bahwa anak yang tinggal dengan orang tua tunggal memiliki resiko
yang lebih tinggi terhadap perilaku beresiko, menjadi korban dan mengalami distres
mental jika dibandingkan dengan anak yang tinggal bersama keluarga lengkap.12
Keluarga merupakan tempat yang penting bagi perkembangan anak secara fisik,
emosi, spiritual dan sosial. Karena keluarga adalah sumber kasih sayang, perlindungan
dan identitas bagi anggotanya. Dari kajian lintas budaya Minuchin (1974) menyatakan
dua fungsi utama keluarga yaitu: pertama, fungsi internal artinya keluarga memberikan
perlindungan psikososial bagi anggotanya; kedua, fungsi eksternal artinya keluarga
mentransmisikan nilai-nilai budaya pada generasi selanjutnya.13
Berns (2004) menyatakan bahwa keluarga memiliki lima fungsi dasar yaitu14
:
1. Reproduksi yaitu keluarga bertugas untuk mempertahankan populasi yang ada
dalam masyarakat.
2. Sosialisasi/edukasi yaitu keluarga menjadi ssarana untuk transmisi nilai,
keyakinan, sikap, pengetahuan, ketrampilan dan teknik dari generasi sebelumnya
ke generasi yang lebih muda.
3. Penugasan peran sosial yaitu keluarga memberikan identitas pada para anggotanya
seperti ras, etnik, religi, sosial ekonomi, dan peran gender.
4. Dukungan ekonomi yaitu keluarga menyediakan tempat berlindung, makanan dan
jaminan kehidupan.
11
Ibid., hal 8 12
Ibid., hal 8-9 13
Ibid., hal 22 14
Ibid.
8
5. Dukungan emosi dan pemeliharaan yaitu keluarga memberikan pengalaman
interaksi sosial yang pertama bagi anak. interaksi tersebut bersifat mendalam,
mengasuh, dan berdaya tahan sehingga memberikan rasa aman pada anak.
2.2. Anak (Usia Sekolah: 6-12 tahun)
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia anak dipahami sebagai keturunan kedua
setelah ayah dan ibu15
. Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan Nasional, UU
No.23/Tahun 2002 tentang perlindungan anak “anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 tahun termasuk yang masih berada dalam kandungan16
. Dengan demikian
maka dapat disimpulkan bahwa anak adalah manusia yang belum dewasa atau dengan
kata lain manusia yang masih berusia dibawah 18 tahun, yang merupakan generasi
penerus bagi orang tua.
Berbicara mengenai anak maka ada beberapa teori perkembangan yang penulis
gunakan sebagai dasar untuk memahami anak sesuai dengan definisi anak yang telah
disebutkan di atas. Pada tulisan ini penulis memberi batasan usia anak yaitu 6-12 tahun
dimana pada usia ini anak sudah mulai memasuki masa dimana ia akan terjun ke dalam
masyarakat di luar keluarganya. Untuk itu penulis akan memakai pendapat ahli psikologi
anak yaitu Gunarsah Singgih dan Kartini Kartono untuk menjelaskan tentang anak.
Gunarsah & Yulia (2008)
Memaparkan bahwa masa kanak-kanak di bagi menjadi dua bagian, yaitu: Pertama
masa kanak-kanak awal dimulai pada usia 2-6 tahun yang biasanya disebut sebagai masa
pra-sekolah. Masa ini detandai dengan adanya perkembangan motorik, perkembangan
bahasa dan berpikir, serta perkembangan sosial, pada masa ini anak diperhadapkan
dengan tuntutan sosial dan susunan emosi baru. Kedua, masa kanak-kanak akhir yang
dimulai pada usia 6-12 tahun atau masa sekolah, masa ini merupakan masa latent atau
masa tenang dimana apa yang terjadi dan dipupuk pada masa-masa sebelumnya akan
berlangsung terus menerus sampai masa selanjutnya.17
Kartini Kartono (1979)
Kartini Kartono menyatakan bahwa ada dua proses yang mendasari kehidupannya
anak secara berkelanjutan yaitu pertumbuhan dan perkembangan. Kedua proses ini saling
15
WJS. Purdarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 1992), hal 38-39 16
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pasal 1 ayat 1 17
Singgih D. Gunarsa. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. (Jakarta, Gunung Mulia, Cet 13, 2008),
hal 11-13
9
berkaitan satu dengan yang lainnya. Pertumbuhan dapat diartikan sebagai proses
transmisi dari konstitusi fisik (resam tubuh, keadaan jasmaniah) yang herediter atau
warisan, dalam bentuk proses aktif yang kontinu. Perkembangan diartikan sebagai
perubahan secara fisiologis sebagai hasil dari proses pematangan fungsi-fungsi fisik, yang
berlangsung secara normal pada diri anak yang sehat, dalam peredaran waktu tertentu18
.
Perkembangan anak bergantung pada beberapa faktor yaitu : pertama, faktor herediter
atau warisan sejak lahir; kedua, faktor lingkungan; ketiga, pematangan fungsi-fungsi
organis dan fungsi-fungsi psiksis; keempat, aktifitas anak sebagai subyek bebas yang
berkemauan. Dengan demikian perkembangan dapat diartikan pula sebagai perubahan
psiko-fisis yang dihasilkan dari proses pematangan fungsi-fungsi psikis dan fisis pada
anak yang didukung oleh faktor lingkungan dan proses belajar dalam peredaran waktu
tertentu menuju dewasa19
.
Usia 6-12 tahun merupakan usia sekolah dimana pada usia ini sikap hidup anak yang
sebelumnya egosentris diganti dengan sikap yang obyektif dan empiris berdasarkan
pengalaman. Emosionalitas anak makin berkurang sehingga unsur intelek dan akal
budinya semakin menonjol. Ia mengatakan bahwa usia sekolah ini merupakan periode
intelektuil bagi seorang anak. ia juga menambahkan bahwa dalam periode ini anaka tidak
begitu dikuasai oleh dorongan-dorongan endogen atau impuls-impuls intern dalam
perbuatan dan pikirannya melainkan lebih banyak dirangsang oleh stimulus-stimulus dari
luar. Anak mulai belajar untuk menjadi seorang realis-kecil, yang berhasrat untuk
mempelajari dunia secara obyektif. Oleh karena itu anak usia ini membutuhakn
bimbingan dan pengajaran baik dari keluarga, sekolah maupun lingkungan sekitarnya.20
Kartini (1979;136-138) juga menuliskan lima hal yang berkaitan dengan
perkembangan anak usia sekolah (6-12 tahun) yaitu21
:
1. Memasuki masyarakat diluar keluarga. Pada usia ini anak keluar dari lingkungan
keluarga dan mulai memasuki lingkungan sekolah yang lebih luas.
2. Pengamatan anak. Pada usia ini anak memandang semua peristiwa dengan
obyektif.
3. Fikiran, ingatan dan fantasi anak. Pada usia ini fikiran anak berkembang secara
berangsur-angsur dan tenang. Ingatan pada usia 8-12 tahun mencapai intensitas
18
Dra. Kartini Kartono,. Psikologi Anak. (Bandung, Penerbit Alumni, 1979), hal 29 19
Ibid,. hal 32-33 20
Ibid., hal 137 21
Ibid., hal 136-147
10
paling besar dan paling kuat. Fantasi anak usia 8-9 tahun mengalami perubahan
penting, ia mulai menyukai cerita-cerita dongeng.
4. Kehidupan perasaan anak - rasa takut. Perasaan takut dan cemas merupakan unsur
utama dari kehidupan perasaan yang latent pada anak usia ini. Anak usia ini
seringkali merasa cemas, kecemasannya berkaitan dengan kehilangan kasih
sayang, perhatian dan dukungan dari orang tuanya.
5. Kehidupan volutif anak (konatif, kemauan). Kemauan pada masa ini belum
berkembang secara penuh karena anak belum mempunyai kekuasaan atas dirinya
sendiri. Oleh karena itu diperlukan tuntutan yang bijaksana dan kewibawaan
untuk memupuk disiplin pada anak, jika hal tersebut tidak dilakukan maka anak
mukadah terpengaruh dengan hal-hal yang buruk.
Eksistensi diri anak ditentukan oleh kualitas herediter yang dimilikinya, pengalaman
masa lampau dan masa sekarang dalam satu lingkungan sosial tertentu sebagai proses
belajar secara kontinu dan tujuan yang ingi dicapainya.22
Dari kedua teori
perkembangan anak yang dipaparkan di atas maka dapat disimpulkan bahwa pada usia
6-12 tahun anak mulai bersekolah dan mulai bersosialisasi dengan lingkungan sosial
yang lebih luas. Pada masa ini anak mengalami perkembangan intelektual dan
perkembangan sosial sehingga lingkungan sosial baik ini masyarakat maupun sekolah
memiliki peran penting di dalamnya.
2.3. Perceraian
Secara umum perceraian merupakan sebuah perpisahan yang terjadi antara suami dan
istri yang sebelumnya telah disatukan dalam sebuah pernikahan. Perceraian biasanya
terjadi karena adanya konflik antara suami dan istri yang diakibatkan oleh ketidak-
sepakatan mengenai banyak hal yang terjadi dalam rumah tangga. Ira & Linda (2005:14)
mengatakan bahwa perceraian adalah proses legislatif yang dibuat dan dikelola secara
hukum untuk mengakhiri pernikahan. Perceraian juga dikenal sebagai pemutusan ikatan
perkawinan. Secara tradisional perceraian terjadi berdasarkan kesalahan, yang berarti
salah satu pasangan bersalah sehingga terjadilah perceraian.23
Perceraian adalah putusnya hubungan pernikahan antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan yang telah hidup bersama sebagai suami isteri. Istilah perceraian
memiliki dua pengertian yang digunakan dalam keadaan yang berbeda. Pertama,
22
Ibid,. hal 36 23
Ira Distenfield, Linda Distenfield, We The People’s Guide To Divorce. (New Jersey, Published by John
Wiley & Sons, Inc,. 2005), hal 14
11
perceraian dengan istilah “a mensa et thoro” dari meja dan tempat tidur, lebih tepat lagi
didefinisikan sebagai pemisahan. Dalam hal ini, pasangan suami isteri tersebut hidup
terpisah dan berhenti untuk tinggal bersama sebagai suami isteri atau pisah ranjang, tetapi
masih terikat dengan perkawinan dan tidak ada kebebasan untuk menikah lagi dengan
orang lain ketika pasangannya masih hidup. Keadaan seperti ini diakui oleh hukum dan
diijinkan oleh tradisi Kristen di dalam pernikahan. Kedua, istilah “a Vinculo” yang
berarti putusnya hubungan dari ikatan perkawinan secara resmi. Mereka sudah tidak
terikat satu dengan lainnya dan keduanya bebas menikah lagi dengan orang lain.24
Murdock (1950) berpendapat bahwa perceraian merupakan suatu proses yang tidak
jauh berbeda dengan perkawinan karena dalam perkawinan maupun perceraian terdapat
aspek emosi, ekonomi, sosial dan pengakuan secara resmi oleh masyarakat melalui
hukum yang berlaku. Sedangkan Goode (dalam Ihromi, 1999) berpendapat bahwa
perceraian sebagai sebuah “kegagalan” adalah bias, karena semata-mata mendasarkan
perkawinan pada cinta yang romantis. Ia juga menambahkan bahwa semua sistem
perkawinan paling sedikit terdiri dari dua orang yang hidup dan tinggal bersama dimana
masing-masing memiliki keinginan, kebutuhan, nafsu serta latar belakang dan nilai sosial
yang bisa saja berbeda satu sama lain. Dengan adanya sistem seperti ini bisa
memunculkan ketegangan-ketegangan dan ketidak-bahagiaan yang dirasakan oleh semua
anggota keluarga.25
Mel Krantzel (1973) berpendapat bahwa perceraian adalah berakhirnya hubungan
antara dua orang yang pernah hidup bersama sebagai pasangan suami istri. Perceraian
merupakan masa transisi yang penuh dengan kesedihan. Masa transisi ini merupakan
masa-masa sulit bila dikaitkan dengan harapan masyarakat tentang perceraian sebagai
sesuatu yang “tidak patut” sehingga setiap orang yang terkait dalam perceraian tersebut
baik suami istri maupun anak akan menghadapi tantangan yang berat dalam proses
penyesuaian diri terhadap perubahan tersebut.26
Sesuai dengan pemaparan mengenai
perceraian tersebut diatas maka perceraian dalam hal ini merupakan proses cerai hidup
antara suami istri akibat dari kegagalan mereka dalam menjalankan peran masing-masing.
Scanzoni & Scanzoni (1981) menggambarkan situasi yang biasanya terjadi menjelang
perceraian yaitu diawali dengan “mandeknya” proses negosiasi antara pasangan suami
istri sehingga mengakibatkan mereka tidak lagi memiliki kesepakatan yang dapat
24
Dr. Endang Sumiarti., Problematika Hukum Perceraian Kristen dan Katolik (Yogyakarta, Wonderful
Publishing Company, 2005), hal 85 25
T.O. Ihromi,. Bunga rampai Sosiologi Keluarga. (Jakarta, Yayasan obor, 1999), hal 135-136 26
Ibid., hal 157
12
memuaskan masing-masing pihak. Diantara mereka muncul perasaan-perasaan bahwa
pasangannya mulai memaksakan kehendak, mencari kesalahan pasangan, lebih
mengupayakan konflik dari pada mencari jalan keluar dan mencoba untuk menunjukan
kekuasaannya. Perasaan tersebut kemudian menumbuhkan rasa permusuhan dan
kebencian dari keduanya.27
Dari konsep perceraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa perceraian merupakan
sebuah perpisahan antara suami istri secara resmi baik ini dilakukan berdasarkan hukum
Negara, agama maupun hukum adat dengan melihat faktor penyebab yang mendukung.
2.4. Trauma Psikososial
2.4.1. Trauma
Trauma berasal dari kata Yunani yang artinya luka, sebuah istilah yang digunakan
bebas entah bagi luka fisik yang disebabkan oleh beberapa kekuatan eksternal langsung
atau luka psikologis yang disebabkan oleh emosi yang ekstrim berupa tekanan batin.28
Trauma dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah keadaan jiwa atau tingkah laku yang
tidak normal sebagai akibat dari tekanan jiwa atau cedera jasmani. Dalam kamus
kesehatan trauma adalah cedera fisik atau emosional. Secara medis, “trauma” mengacu
pada cedera serius atau kritis, luka, atau syok. Dalam psikiatri, “trauma” memiliki makna
yang berbeda dan mengacu pada pengalaman emosional yang menyakitkan,
menyedihkan, atau mengejutkan, yang sering menghasilkan efek mental dan fisik
berkelanjutan.29
Supratiknya (1999;27) mendeskripsikan trauma sebagai perasaan yang
menghancurkan rasa aman, rasa mampu dan harga diri sehingga mengakibatkan luka
psikologis yang susah disembuhkan sepenuhnya. Trauma psikologis yang dialami pada
masa kanak-kanak cenderung terbawa hingga dewasa. Dari sudut pandang psikologis
keadaan trauma merupakan suatu keadaan yang abnormal.30
(Coleman dalam Winkel 1991) memaparkan bahwa abnormalitas dapat ditentukan
dari beberapa keriteria berikut: penyimpangan norma-norma statistik, penyimpangan
norma-norma sosial, geala maladjustment, tekanan batin dan ketidakmatangan.31
27
Ibid., hal 137-138 28
Arthur S. Reber & Emily S. Reber, Kamus Psikologi. (Yogyakarta, Pustaka pelajar, cet I, 2010), hal 999 29
http://kamuskesehatan.com/arti/trauma diakses pada 12 November 2014; pukul 14:24 WIB 30
Dr. A Supratiknya, Mengenal perilaku abnormal. (Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 1999), hal 27 31
Ibid., hal 11
13
Supratiknya (1999;12-14) penyimpangan norma-norma statistik berpatokan pada
setiap hal yang luar biasa, tidak lazim atau secara harafiah menyimpang dari norma;
penyimpangan norma-norma sosial ditandai dengan adanya penyimpangan atau ketidak-
patuhan terhadap norma-norma sosial; gejala maladjustment ditandai dengan
ketidakefektifan individu dalam menghadapi, menanggapi, atau melaksanakan tuntutan-
tuntutan dari lingkungan fisik dan sosialnya maupun yang bersumber dari dirinya sendiri;
tekanan batin merupakan wujud dari perasaan-perasaan cemas, depresi atau kesedihan
atau rasa bersalah yang mendalam; ketidakmatangan biasanya terlihat dari perilaku yang
tidak sesuai dengan tingkat usianya dan juga yang tidak selaras dengan situasi yang
dihadapi.32
Trauma juga dapat dikatakan sebagai gangguan dalam hal ini gangguang terhadap
fungsi perasaan atau dapat disebut sebagai gangguan perasaan. Terkait dengan hal
tersebut Kartini Kartono (1981) mengatakan bahwa perasaan (hati) dapat disebut juga
sebagai rencana, hal ini merupakan gejala fisik yang memiliki sifat khas yaitu: dihayati
secara subyektif, umumnya berkaitan dengan fungsi pengenalan atau fungsi gnostis dan
individu mengalami hal ini dengan rasa suka atau tidak suka, duka atau gembira dalam
macam-macam gradasi atau derajat tingkatan. Singkatnya perasaan merupakan raksi-
reaksi diri dari segenap organisme psiko-fisik manusia.33
Unsur senang atau tidak senang menentukan kualitas perasaan seseorang. Kualitas
perasaan seseorang bergantung pada tiga faktor utama yaitu: kondisi fisik, pembawaan
dan stemming atau suasana hati. Perasaan juga memiliki tiga dimensi yang mendasar
yaitu: kekuatan atau intensitas, kelincahan atau kecepatan, dan kualitas. Intensitas dari
perasaan bergantung pada kondisi psikis maupun fisik seseorang. Kelincahan atau
kecepatan perasaan dapat timbul secara cepat atau lambat dalam hati seseorang.
Sedangkan kualitas perasaan ditentukan oleh senang atau tidak senang, hal ini terwujud
melalui kegembiraan, kesenangan, duka derita, kesedihan, keseganan, kejemuan, indah,
buruk dan sebagainya.34
Perasaan juga dapat digolongkan dalam beberapa kategori antara lain perasaan
indriawi dan perasaan psikis. Perasaan indriawi dihayati melalui indera dan organism
lain yang terkait dengan perangsang-perangsang fisis. Perasaan psikis dapat ditimbulkan
oleh motif-motif tertentu yang mempengaruhi kejiwaan seseorang sehingga menimbulkan
32
Ibid., hal 12-14 33
Dra. Kartini Kartono,. Gangguan-gangguan psikhis. (Bandung, Penerbit Sinar Baru,1981 ), hal 107 34
Ibid., hal 107-108
14
perasaan suka, benci, gembira, susah, kecewa, bingung dan sebagainya. Perasaan psikis
dapat digolongkan pula dalam beberapa bagian yaitu: Perasaan intelektual, perasaan
moril, perasaan estetis, perasaan sosial, perasaan individual dan perasaan religius.
Semua perasaan tersebut memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap pikiran, kemauan
dan perbuatan manusia.35
2.4.2. Psikososial
Dalam Kamus Lengkap Psikologi istilah psikosial berarti relasi sosial yang mencakup
faktor-faktor psikologis.36
Psikologi sosial merupakan suatu usaha untuk memahami
masalah pembentukan kesan, konformitas perubahan sikap, agresi, kepatuhan dan
perilaku menolong. Psikologi sosisal berkaitan dengan bagaiamana seseorang
mempresepsi orang lain, bagaimana ia mengartikan perilaku orang lain, dan bagaimana ia
membentuk dan mengubah sikapnya. Hal tersebut berupa bentuk interaksi antara orang
yang satu dengan yang lain, kasih sayang dan afiliasi, rasa suka dan hubungan yang erat,
agresi dan altruisme, konformitas dan pengaruh. Dengan adanya psikologi sosial kita
dapat memahami bagaimana orang saling mempengaruhi dan bagaimana mereka
berperilaku dalam situasi sosial.37
Oleh karena itu perubahan sosial yang terjadi dalam
suatu lingkungan akan mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang.
Untuk memahami tentang psikososial maka ada empat pendekatan teoritis yang akan
penulis gunakan dalam tulisan ini anatara lain pendekatan biologis, pendekatan belajar,
pendekatan insentif dan pendekatan kognitif.
Pendekatan biologis. Manusia dilahirkan dengan berbagai karakteristik biologis yang
membedakannya dengan hewan dan sesamanya. Karakteristik ini berperan dalam
menentukan perilaku manusia. Dua hal yang mendasar dalam pendekatan ini ialah naluri
dan perbedaan genetik. Manusia memiliki naluri untuk menjadi agresif. Menurut Konrad
Lorenz (dalam David O. Sears, dkk; 1999) dorongan agresif ada dalam diri manusia sejak
lahir dan tidak dapat diubah. Selain itu perbedaan genetic, hal ini menimbulkan
perbedaan perilaku. Penyebab semua perilaku manusia termasuk didalamnya perilaku
sosial, dapat diketahui dari sifat biologis seseorang, susunan genetik, karakteristik
bawaan, karakteristik fisik yang berkembang sejak lahir atau pertumbuhan fisik
sementara.38
35
Ibid., 109-111 36
J.P. Chaplin,. Kamus Lengkap Psikologi. (Jakarta, PT Rajagrafindo Persada, 2011), hal 407 37
David O. Sears, dkk. Psikologi Sosial. (Jakarta, Penerbit Erlangga, 1999), hal 7 38
Ibid., hal 11-12
15
Pendekatan belajar. Pemikiran pokok dalam pendekatan ini iaalah perilaku
ditentukan oleh apa yang telah dipelajari sebelumnya. Dua hal yang terdapat dalam
pendekatan belajar ialah mekanisme belajar dan ciri-ciri khusus. Ada tiga mekanisme
umum yang biasanya terjadi dalam belajar antara lain asosiasi, reinforcement dan imitasi.
Pendekatan belajar mempunyai tiga ciri khusus yaitu pertama, sebab-sebab perilaku
berasal dari pengalaman belajar individu di masa lampau. Kedua, penyebab perilaku
terutama ada pada lingkungan eksternal. Ketiga, pendekatan belajar diarahkan untuk
menjelaskan perilaku yang nyata dan bukan keadaan subjektif atau psikologis.39
Pendekatan insentif. Pendekatan ini memandang perilaku sebagai sesuatu yang
ditentukan oleh insentif yang tersedia bagi bermacam-macam tindakan. Tindakan
seseorang didasarkan pada keuntungan dan kerugian yang mereka peroleh. Dalam
pendekatan ini ada tiga versi teori insentif yang umumnya dipakai dalam psikologi sosial
yaitu: pertama, pilihan rasional (rational decision making theory) teori ini
mengemukakan bahwa orang memperhitungkan kerugian dan keutungan berbagai
tindakan dan secara rasonal mengambil tindakan yang paling baik. Kedua, theory
expectancy value (Edward, 1954) teori ini menyatakan bahwa keputusan diambil atas
dasar nilai dari berbagai akibat keputusan yang mungkin dan derajat ekspektasi atau
dugaan tentang akibat yang akan ditimbulkan oleh setiap keputusan. Ketiga, teori
pertukaran dimana teori ini menganalisis interaksi interpersonal sebagai rangkaian
keputusan rasional yang dibuat orang. Dalam hal ini perilaku seseorang terhadap orang
lain dianggap berdasarkan pertimbangan untung rugi setiap pihakyang timbul dari
berbagai kemungkinan akibat interaksi.40
Pendekatan kognitif. Dalam pendekatan ini perilaku seseorang tergantung pada
caranya mengamati situasi sosial. Teori ini mencari sebab-sebab perilaku pada persepsi
atau interpretasi individu terhadap situasi dan tidak pada realitas situasinya sendiri.
Hukum mengenai persepsi sosial sama dengan hukum persepsi objek dimana secara
spontan dan otomatis orang mengorganisasikan persepsi, pikiran dan keyakinannya
tentang situasi sosial kedalam bentuk yang sederhana dan bermakna tidak peduli
bagaimana kacau atau rancunya situasi tersebut, orang akan selalu mengadakan
pengaturan. Ada dua teori yang penting dalam psikologi sosial yaitu: Pertama,
Attribution theory (teori attribusi) teori ini dikembangkan oleh Harold Kelley, teori ini
berkaitan dengan bagaimana orang menginterpretasikan kausalitas. Kedua, teori cognitive
39
Ibid., hal 12-14 40
Ibid., hal 14-16
16
dissonance yang dikembangkan oleh Leon Festinger, teori ini membahas bagaimana
orang mengubah dan menyusun kembali pandangan-pandangannya mengenai dunia
sehingga nampak konsisten.41
Dengan demikian trauma psikososial dapat diartikan sebagai suatu keadaan emosional
maupun tingkah laku yang tidak normal atau terganggu akibat dari perubahan sosial yang
terjadi dilingkungan sehingga mengakibatkan seseorang mengalami gangguan dalam
bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Berkaiatan dengan perceraian maka trauma
psikososial dapat diartikan sebagai suatu kondisi sosio emosional yang tidak normal
akibat perubahan status sosial dalam keluarga. Oleh karena itu orang tersebut tidak dapat
bersosialisasi dengan lingkungan sosial disekitarnya secara normal. Penjelasan lebih
lanjut akan penulis sajikan analisa permasalahan.
3. METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan ialah metode penelitian kepustakaan. Penelitian
pustaka adalah penelitian yang sumber data dan kancah penelitiannya berada di
perpustakaan. Perpustakaan disini tidak harus diartikan perpustakaan formal, tetapi segala
referensi dan dokumen yang dijadikan sumber data dalam penelitian42
. Jenis penelitian
yang dipakai dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif noninteraktif dengan
pendekatan penelitian konsep. Musfiqon (2012:80) Pendekatan penelitian ini digunakan
untuk melakukan penelitian tentang konsep-konsep yang perlu diinterpretasikan dan
dijelaskan melalui pengumpulan data-data secara sistematis dan holistik43
.
Data dan Sumber data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data ini diperoleh
dari perpustakaan berupa buku dan internet berupa artikel dan berita tertulis yang
berkaitan dengan masalah perceraian.
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dalam penulisan tugas akhir ini adalah perpustakaan.
Perpustakaan disini tidak hanya perpustakaan formal tetapi segala referensi dan dokumen-
dokumen yang menjadi sumber data dalam penelitian ini.
Teknik Analisis
41
Ibid., hal 16-19 42
Dr. H. M. Musfiqon, M. Pd. Metodologi Penelitian Pendidikan. (Jakarta, Prestasi Pustaka 2012), hal 56 43
Ibid., hal 80
17
Setelah data terkumpul melalui metode pengumpulan data tersebut diatas, maka data
tersebut diolah dan dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif dengan mengaitkan
data-data tersebut dengan teori-teori yang dipakai.
4. PEMBAHASAN
Dalam bagian ini penulis akan memaparkan pembahasan permasalahan yang diteliti
berdasarkan permasalahan dan teori yang dipakai dalam penelitian ini.
4.1. Perceraian
Pada dasarnya sebuah keluarga terbentuk atas satuan sosial yang terbatas yaitu antara
dua orang yang berlainan jenis melalui sebuah ikatan perkawinan dan secara berangsur-
angsur keluarga tersebut akan meluas dengan adanya kelahiran anak atau adopsi.
Menurut Undang-Undang Perkawinan No.1 Pasal 1 Tahun 1974 perkawinan adalah
ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.44
Menurut seorang teolog bernama Bonaventura perkawinan atau pernikahan adalah
penggabungan laki-laki dan perempuan sebagai suami istri. Perkawinan ini mencakup hak
dan kewajiban timbal balik untuk hidup bersama sebagai suami istri dan tetap setia satu
sama lain sampai akhir hidup.45
Berdasarkan proses terbentuknya keluarga yang telah disebutkan di atas maka dapat
disimpulkan bahwa keluarga merupakan sebuah penyatuan dua individu yang berbeda
yaitu laki-laki dan perempuan melalui perkawinan yang didasarkan oleh ikatan cinta
kasih. Keluarga sering disebut sebagai institusi terkecil yang ada dalam masyarakat.
Berdasarkan teori yang penulis dapatkan para ahli psikologi keluarga mengatakan
bahwa keluarga merupakan sebuah sistem. Dimana dalam sistem keluarga ini terbentuk
melalui perkawinan antara laki-laki dan perempuan. Dari perkawinan tersebut maka akan
mereka akan menjalankan fungsi reproduksinya kemudian memiliki anak. Oleh karena itu
sistem keluarga tersebut terdiri dari orang tua dan anak yang saling mempengaruhi satu
dengan lainnya. Sistem keluarga ini sewaktu-waktu akan mengalami kerusakan yang
diakibatkan oleh permasalahan-permasalahan yang ada di dalamnya. Salah satu bentuk
kerusakan sistem keluarga adalah dengan adanya perceraian antara suami istri atau orang
tua.
44
Drs. Taufiq Rohman Dohiri, dkk., Sosiologi: suatu kajian kehidupan masyarakat, (Penerbit Ghalia
Indonesia, 2007), hal 44 45
Dr. C. Groenen OFM, Perkawinan Sakramental, (Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 1993), hal 224
18
Berdasarkan definisinya perceraian dapat disebut sebagai perpisahan, perceraian yang
terjadi dalam keluarga antara suami dan istri biasanya berlangsung secara legal atau
sesuai dengan hukum yang berlaku dalam masyarakat. Pada umumnya perceraian terjadi
karena adanya konflik antara suami dan istri. Konflik yang terjadi antara suami istri
dalam rumah tangga bisa terjadi karena banyak hal, diantaranya: adanya perselingkuhan
salah satu pasangan atau bisa juga karena masalah menjalankan peran masing-masing
pasangan dalam keluarga.
Banyak hal yang dapat memicu terjadinya perceraian antara suami istri, penyebab
utama perceraian ialah interaksi yang kurang baik antara pasangan suami istri. Dalam
tulisan ini penulis memakai hasil penelitian George Levinger yang dilakukan pada tahun
1966 pada 600 pasangan suami istri yang memiliki anak paling sedikit satu orang yang
berusia dibawah 14 tahun. Faktor penyebab perceraian yang diajukan dalam penelitian ini
ialah sebagai berikut46
:
1. Pasangannya sering mengabaikan kewajiban rumah tangga dan anak, seperti
jarang pulang ke rumah, tidak ada kepastian waktu berada di rumah, serta tidak
adanya kedekatan emosional dengan anak dan pasangan;
2. Masalah keuangan (tidak cukupnya penghasilan yang diterima untuk menghidupi
keluarga dan kebutuhan rumah tangga);
3. Adanya penyiksaan fisik terhadap pasangan;
4. Pasangannya sering berteriak dan mengeluarkan kata-kata kasar serta
menyakitkan;
5. Tidak setia, seperti punya kekasih lain dan sering berzina dengan orang lain;
6. Sering mabuk dan judi;
7. Ketidakcocokan dalam melaksanakan hubungan seksual;
8. Keterlibatan/ campur tangan dan tekanan sosial dari pihak kerabat pasangannya;
9. Kecurigaan, kecemburuan serta ketidakpercayaan dari pasangannya;
10. Berkurangnya perasaan cinta sehingga jarang berkomunikasi, kurangnya perhatian
dan kebersamaan di antara pasangan;
11. Tuntutan yang dianggap berlebihan sehingga pasangannya sering menjadi tidak
sabar, tidak ada toleransi dan dirasakan terlalu “menguasai”.
46
T.O. Ihromi,. Bunga rampai Sosiologi Keluarga. (Jakarta, Yayasan obor, 1999), hal 153;155
19
Apapun alasan dari setiap perceraian yang terjadi dalam sebuah pernikahan anak akan
selalu menjadi korban dan anaklah yang paling banyak merasakan dampak buruk dari
perceraian tersebut.
4.2. Dampak Perceraian bagi anak
Jika dilihat dari data statistic Republika47
, Indonesia merupakan salah satu Negara
dengan angka perceraian tertinggi di dunia. Dengan adanya kenyataan seperti ini maka
peran dan fungsi keluarga tidak lagi berjalan dengan baik sehingga memberi dampak
buruk bagi setiap individu yang terkait di dalamnya. Keluarga merupakan sebuah sistem
yang terdiri dari orang tua yaitu ayah dan ibu serta anak-anak. orang tua merupakan sub-
sistem pendukung dalam keluarga yang mempunyai peran penting dalam pertumbuhan
dan perkembangan anak. Oleh karena itu ketika orang tua bercerai maka sistem keluarga
tersebut akan hancur karena tidak ada lagi sub-sistem pendukung bagi anak sehingga ia
akan mengalami gangguan dalam pertumbuhan dan perkembangannya.
Perceraian yang terjadi saat anak memasuki usia kanak-kanak akan memberi dampak
buruk terhadap kehidupan sosialnya. Menurut Kartono Kartini, masa kanak-kanak
dimulai dari usia 6-12 tahun dimana pada usia ini anak mulai keluar dan bersosialisasi
dengan lingkungan sekitarnya. Pada usia ini anak mulai memasuki masa sekolah dan
mulai ikut serta dalam segala kegiatan sosial masyarakat. Karena itu anak disebut sebagai
makhluk sosial yang tidak bisa dipisahkan dari lingkungan sosial masyarakat. Tanpa
bantuan orang dewasa anak tidak akan dapat mencapai pertumbuhan dan perkembangan
yang normal.
Dalam keadaan normal pikiran anak usia sekolah dasar ini berkembang secara
berangsur-angsur dan secara tenang. Anak betul-betul berada dalam stadium-belajar.
Disamping keluarga, sekolah memberikan pengaruh yang sistematis terhadap
pembentukan akal budi anak sehingga pengetahuannya bertambah secara pesat. Pada usia
kanak-kanak ingatan seorang anak mencapai intensitas paling tinggi dan paling kuat.
Anak juga mudah cemas karena merasa takut kehilangan kasih sayang, perhatian dan
dukungan orang tuanya. Karena cinta kasih dan dorongan orang tua akan menambah
kepercayaan diri anak48
.
Sebagai makhluk sosial relasi dan komunikasi dengan orang lain sangat diperlukan
oleh anak untuk memanusiakan dirinya. Anak ingin dicintai, diakui dan dihargai dalam
47
www.republika.co.id diakses pada tanggal 16 November 2014; pukul 15.24 WIB 48
Dra. Kartini Kartono. Gangguan-gangguan Psikhis, (Bandung, Penerbit Sinar Baru, 1981), hal 140-143
20
lingkungannya. Hanya dengan relasi dan komunikasi inilah anak bisa berkembang
menuju kedewasaan. Keluarga merupakan lingkungan sosial yang utama bagi anak yang
berfungsi sebagai agen sosialisasi.
Anak yang bertumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga yang bermasalah
cenderung mengalami gangguan dalam kehidupan baik secara psikis maupun sosial.
Karena dalam keluarga yang bermasalah akan terjadi perubahan sosial yang berhubungan
dengan perubahan struktur keluarga sehingga mengakibatkan rusaknya sistem keluarga
dan fungsi-fungsi keluarga tidak berjalan dengan baik. Perceraian orang tua merupakan
salah satu bentuk perubahan sosial dalam masyarakat. Perubahan tersebut sangat
berpengaruh pada proses perkembangan anak. Dampak buruk dari perceraian paling
sering dirasakan oleh anak, hal ini dikarenakan anak sangat membutuhkan kehadiran
kedua orang tuanya dalam setiap proses perkembangannya.
Berikut ini adalah beberapa dampak perceraian terhadap anak yang dikemukakan oleh
beberapa ahli:
Menurut Leslie (1967) mengemukakan bahwa anak-anak yang orang tuanya bercerai
sering hidup menderita, khususnya dalam hal keuangan serta secara emosional kehilangan
rasa aman. Salah satu dampak yang dapat dilihat menurut pandangan Bumpass dan
Rindfuss (1979) juga menyatakan bahwa anak-anak dari orang tua yang bercerai
cenderung mengalami pencapaian tingkat pendidikan dan kondisi ekonomi yang rendah
serta mengalami ketidakstabilan dalam perkawinan mereka sendiri49
.
Sejalan dengan itu Landis (1960) menambahkan dampak perceraian lainnya berupa
meningkatnya “perasaan dekat” anak dengan ibu serta menurunnya jarak emosional
terhadap ayah. Hal ini terjadi bila anak ada di bawah pengasuhan ibu. Selain itu anak juga
merasa malu dengan perceraian tersebut. Oleh karena itu anak menjadi inferior (merasa
rendah diri) terhadap anak lain.50
Gardner (1977) menyatakan bahwa perceraian membuat anak merasakan kepedihan
yang mendalam. Kepedihan yang dirasakan anak antara lain terluka, bingung, marah dan
tidak aman.51
Menurutnya kepedihan yang dirasakan oleh anak seringkali membuat anak
menyalahkan diri sendiri serta menganggap bahwa mereka adalah penyebab perceraian
kedua orang tua mereka. Selain itu anak juga akan merasa bahwa orang tua tidak
menyayangi mereka sehingga pergi meninggalkan mereka
49
T.O. Ihromi,. Bunga rampai Sosiologi Keluarga. (Jakarta, Yayasan obor, 1999), hal 161 50
Ibid. 51
Ibid.
21
Menurut Leslie (1967) reaksi anak terhadap perceraian tergantung pada penilaian
anak terhadap perkawinan orang tua mereka serta rasa aman di dalam keluarga. Leslie
juga menambahkan bahwa trauma yang dialami anak karena perceraian sangat
bergantung pada kualitas hubungan dalam keluarga sebelum terjadi perceraian. 52
Secara psikis perceraian mengakibatkan gangguan pada anak, hal ini berhubungan
dengan perasaan anak. Anak dari keluarga yang bercerai akan sulit untuk menaruh
kepercayaan terhadap orang lain. Hal ini bisa terjadi karena anak merasakan kekurangan
kasih sayang dari orang tuanya. Kasih sayang orang tua merupakan hal yang penting bagi
anak, karena kasih sayang tersebut yang mampu mananamkan rasa percaya pada diri
anak.
Jika dilihat dari sudut pandang sosiologis perubahan struktur keluarga karena
perceraian akan menimbulkan kegagalan sosialisasi yang merupakan akibat dari ketidak-
hadiran salah satu orang tua yang seharusnya menjadi model atau contoh bagi anak.53
Jika dilihat dari segi psikososial, perilaku seorang anak dapat terlihat melalui beberapa
pendekatan yang telah dikemukakan sebelumnya pada bagian kedua dari tulisan ini yaitu :
Pendekatan biologis, pendekatan belajar, pendekatan insentif dan pendekatan kognitif.
Dalam kasus perceraian perilaku seseorang dapat terlihat melalui pendekatan belajar.
Perilaku anak dapat terbentuk melalui apa yang diamatinya, jika anak melihat orang
tuanya bertengkar untuk menyelesaikan masalah, maka ia akan menanamkan dalam
dirinya bahwa pertengkaran merupakan salah satu cara untuk menyelesaiakan suatu
masalah. Selain itu anak juga akan menanamkan dalam dirinya bahwa perceraian adalah
jalan keluar yang baik jika terjadi konflik antara orang tau, jika pertengkaran tersebut
berakhir pada perceraian. Hal tersebut akan menjadi modal yang buruk bagi seorang anak
dalam proses pendewasaan dirinya.
Relasi sosial antara orang tua dan anak terputus baik itu antara ayah dan anak maupun
ibu dan anak, hal ini tergantung dengan siapa anak akan tinggal dan hidup bersama.
Menurut Donna Wong interaksi merupakan hal yang penting dalam membangun relasi
yang baik antara anak dan orang tua. Pada umumnya anak yang orang tuanya bercerai
tinggal bersama ibunya, sekalipun anak tinggal bersama ayah pada awal perceraian
namun pada akhirnya anak akan memilih untuk tinggal dengan ibunya. Hal ini
dikarenakan adanya ikatan emosional yang kuat antara ibu dan anak. Ketika anak tinggal
bersama ibunya maka akan ada jarak antara anak dengan ayahnya bahkan ada anak yang
52
Ibid., hal 160 53
William J. Goode, Sosiologi Keluarga. (Jakarta, Penerbit Bina Aksara, 1983), hal 205
22
menjadikan ayahnya sebagai musuh demikian juga sebaliknya. Perceraian merupakan
penyebab yang mendasari munculnya trauma pada anak. Trauma tersebut berkaitan
dengan proses perkembangan anak yang tidak mendapat dukungan dari orang tua.
Trauma dapat dikatakan sebagai suatu keadaan yang abnormal, yang berhubungan
dengan hati dan pikiran seseorang yang terus-menerus dihantui oleh pengalaman tidak
menyenangkan atau menyakitkan yang pernah dialaminya. Trauma psikososial
merupakan suatu keadaan dimana seseorang mengalami tekanan karena perubahan sosial
dalam dirinya sehingga ia tidak dapat diterima dengan baik dalam masyarakat dan
membuat anak tersebut tidak dapat bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Trauma
psikososial yang dialami oleh anak korban perceraian akan mengakibatkan gangguan
pada perasaan sosialnya sehingga ia menjadi lebih tetutup dan tidak komunikatif . Dengan
perubahan tersebut maka aka nada jurang pemisah antara anak dan lingkungannya. Jurang
pemisah tersebut tercipta karena adanya pandangan bahwa perceraian merupakan aib
karena perceraian adalah dosa.
Trauma tersebut membuat anak mengalami kesulitan untuk menjadi manusia yang
seutuhnya. Artinya ia tidak dapat mengalami dirinya sendiri sebagai makhluk sosial yang
seharusnya berbaur dalam masyarakat, karena perceraian tersebut membuat ia menjadi
orang yang sangat tertutup. Selain itu trauma psikososial juga mengakibatkan
penyimpangan-penyimpangan perilaku anak. Anak yang mengalami trauma psikososial
cenderung memiliki perilaku yang abnormal dan menyimpang dari norma dan nilai-nilai
yang berlaku dalam masyarakat. Meskipun demikian tidak semua anak dari keluarga yang
bercerai mengalami hal tesebut namun tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar anak
korban perceraian menunjukan perilaku seperti itu.
Dalam tulisan ini penulis mengambil sebuah contoh dari pengalaman S yang
sebelumnya sudah penulis tuliskan dalam bagian pendahuluan. Orang tua S bercerai
ketika ia mulai memasuki usia sekolah yaitu 6 tahun. Sebelumnya ia tidak mengetahui
adanya konflik antara orang tuanya sehingga ia begitu terkejut akan hal tersebut. Ketika
perceraian itu terjadi S harus tinggal bersama ibunya. Sejak itu ibunya harus bekerja
untuk memenuhi kebutuhan mereka termasuk kebutuhan S mengingat ia sudah mulai
bersekolah sehingga ia terpaksa dititipkan ke salah satu kerabatnya. Hal ini membuat S
benar-benar kehilangan dukungan dari orang tuanya dalam hal kasih sayang, meskipun ia
disayangi oleh orang tua asuhnya yang adalah paman dan bibinya namun hal itu sama
sekali tidak memenuhi kebutuhan S dalam hal kasih sayang. Karena pada dasarnya kasih
23
sayang yang diperoleh seorang anak adalah dari kedua orang tuanya bukan dari paman
atau bibinya.
S bertumbuh dan berkembang dalam keluarga yang tidak utuh sehingga secara
holistic ia tidak bertumbuh dengan baik. Secara fisik S sangat lemah dan sering sakit-
sakitan, secara mental S terbentuk menjadi anak yang sering mengalami kegelisahan dan
sulit untuk menerima kenyataan yang ada dalam keluarganya, secara spiritual S
menunjukan sikap yang tidak percaya akan adanya Tuhan. Hal ini disebabkan oleh
pemikiran yang terbentuk dalam dirinya yaitu jika Tuhan ada maka Tuhan tidak akan
membiarkan keluarganya hancur sehingga ia tidak mungkin kehilangan kasih sayang
kedua orang tuanya, secara sosial S menunjukan sikap yang tertutup dan cenderung
menarik diri dari lingkungan karena merasa malu dengan keadaanya keluarganya.
Sejak perceraian orang tuanya S tidak pernah bertemu dengan ayahnya, sekalipun
mereka tinggal dalam satu daerah yang sama tetapi ayahnya tidak pernah mengunjungi
mereka. Hal tersebut membuat S merasa bahwa sebenarnya ayahnya tidak menginginkan
kehadirannya. Setelah memasuki usia remaja S sempat bertemu dengan ayahnya namun
pada setiap pertemuan itu ayahnya menunjukan sikap yang tidak jelas, terkadang ayahnya
bersikap baik padanya namun pada kesempatan lain ayahnya menunjukkan sikap
bermusuhan dengannya sehingga menimbulkan kebencian terhadap ayahnya. Sejak itu S
juga mulai menunjukan bermusuhan dengan ayahnya, permusuhan tersebut diakibatkan
oleh kebencian terhadap ayahnya baik karena sikapnya maupun karena ayahnya telah
membuat ia dan ibunya hidup menderita dan harus kehilangan kasih sayang ibunya yang
selalu meninggalkannya untuk bekerja, selain itu ia terus menerus menjadi bahan
pembicaraan oleh teman-teman dan tetangganya.
Trauma tersebut terus menerus ia rasakan sepanjang kehidupannya sampai saat ini
ketika ia sudah dewasa. Kepribadian S terbentuk dari pengalaman traumatisnya akibat
perceraian orang tuanya. Secara sosial pengalaman traumatis mengenai perceraian orang
tua memberikan pengaruh yang cukup besar dalam kehidupannya. Ia sangat sulit untuk
berinteraksi dan berkomunikasi dengan lingkungan sosialnya termasuk dengan teman-
temanya. Saat ini ia sudah memasuki usia dewasa namun pengalaman perceraian orang
tuanya masih terus menjadi penghalang baginya untuk dapat menjalani kehidupan yang
normal seperti orang lain. Ia sering mengalami kesulitan dikampus berkaitan dengan
tugas kuliah dan informasi penting lainnya karena kepribadian inferior yang dimilikinya.
Selain itu ia juga memiliki banyak musuh karena ia mudah tersinggung dan marah. Ia
24
juga tidak dapat bertahan lama dalam berhubungan dengan lawan jenis karena sikap
kasarnya.
Trauma psikososial anak karena perceraian merupakan hal yang sangat
memprihatinkan karena sesungguhnya setelah memasuki usia sekolah anak sangat
membutuhkan dukungan dari lingkungan sosialnya untuk dapat berkembang. Anak yang
mengalami trauma psikososial sering menghadapi kesulitan-kesulitan dalam perjalanan
kehidupannya baik di sekolah maupun dalam lingkungan masyarakat.
5. Penutup
Bagian ini berisi kesimpulan dan saran berdasarkan hasil penelitian yang telah
didapatkan
5.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang didapatkan dalam penelitian ini ialah perceraian mengakibatkan
disfungsi keluarga sehingga anak mengalami gangguan perkembangan dan berdampak
pada trauma psikososial. Hal ini dikarenakan pada usia sekolah anak akan mengalami
perkembangan yang pesat dan anak juga akan lebih banyak berhubungan dengan
lingkungan sosialnya oleh karena itu peran keluarga mulai berkurang sehingga sekolah
dan masyarakatlah yang menjadi pendukung utama perkembangan anak. Anak dari
keluarga yang hancur karena perceraian sering mengalami kegagalan dalam bersosialisasi
dan berinteraksi dengan lingkungan sosialnya dan sulit untuk membangun hubungan yang
baik dengan orang lain. Anak juga cenderung melakukan hal-hal yang menyimpang. Bagi
anak korban perceraian yang sudah memasuki usia dewasa akan sulit untuk membangun
rumah tangga karena trauma perceraian orang tua yang dialami pada masa kanak-
kanaknya.
Selain itu dengan adanya pandangan mengenai kesucian sebuah perkawinan maka
masyarakat dan juga gereja memandang perceraian sebagai hal yang melanggar norma
sehingga orang-orang yang mengalami perceraian kurang mendapat perhatian. Dampak
dari stigma tersebut juga merupakan salah satu faktor penyebab trauma psikososial pada
anak. Karena anak sering menjadi bahan ejekan dan gunjingan baik dari teman sekolah,
teman bermain maupun dari masyarakat sekitar.
Disini terlihat bahwa keluarga sebagai institusi sosial utama dalam masyarakat tidak
bisa menjalankan perannya dengan baik sebagai agen sosialisasi bagi anak. Dan juga
masyarakat yang seharusnya menjadi pendukung bagi seorang anak untuk menjadikan
25
dirinya sebagai makhluk sosial yang seutuhnya justru memberi jarak bahkan sama sekali
tidak peduli.
5.2. Saran
Dalam tulisan ini penulis juga menyumbangkan beberapa saran antara lain:
1. Bagi orang tua: Perlunya kesadaran akan pentingnya peran kasih sayang dan tugas
orang tua untuk membimbing anak dalam masa perkembangannya anak, sehingga
sebisa mungkin orang tua meminimalisir konflik dalam keluarga yang dapat
menimbulkan perceraian.
2. Bagi masyarakat: masyarakat merupakan agen sosialisasi terbesar dalam kehidupan
seseorang hendaknya mengembangkan pemikiran-pemikiran yang positif terhadap
keluarga yang mengalami kehancuran karena perceraian terutama bagi anak-anak
yang menjadi korban perceraian tersebut agar mereka tidak dianggap sebagai aib bagi
masyarakat. Anak-anak tersebut hendaknya dibimbing dan dilindungi karena mereka
memiliki hak yang sama dengan anak-anak lainnya, mereka juga mempunyai masa
depan, dengan demikian mereka tidak merasa tersingkirkan sehingga mereka dapat
menata kehidupan masa depan mereka sebagaimana mestinya tanpa harus terbeban
dengan status mereka sebagai anak dari keluarga yang hancur akibat perceraian orang
tua mereka.
3. Bagi gereja: Gereja sebagai salah satu lembaga keagamaan yang merupakan salah
satu pusat pembentukan rohani sebaiknya memberikan perhatian khusus bagi keluarga
yang mengalami perceraian. Gereja dapat melakukan pendampingan pastoral bagi
keluarga yang menjadi korban perceraian terutama bagi anak yang menjadi korban
perceraian agar anak tidak terus-menerus mengalami trauma akibat perceraian orang
tuanya sehingga anak dapat bertumbuh dan berkembang dengan baik secara holistik.
26
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Anshor. Maria U., & Ghalib. Abdullah., Parenting with love. Penerbit Mizania, Bandung, 2010
Chaplin,. J.P. Kamus Lengkap Psikologi. PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2011
Distenfield, Ira,. & Distenfield, Linda,. We The People’s Guide To Divorce. Published by John
Wiley & Sons, Inc, New Jersey, 2005
Djiwandono. Sri Esti Wuryani, Konseling dan Terapi dengan anak dan orang tua. Penerbit PT
Grasindo, Jakarta, 2005
Dohiri, Drs. Taufiq Rohman, dkk., Sosiologi: suatu kajian kehidupan masyarakat. Penerbit
Ghalia Indonesia, 2007
Goode. William J., Sosiologi Keluarga. Penerbit PT Bina Aksara, Jakarta, 1983
Groenen OFM, Dr. C., Perkawinan Sakramental. Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993
Gunarsa, Singgih D., Dasar dan Teori Perkembangan Anak. BPK Gunung Mulia, Jakarta,Cet IX,
2008
Gunarsa, Singgih D., Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. BPK Gunung Mulia, Jakarta,
Cet 13, 2008
Ihromi, T.O. Bunga rampai Sosiologi Keluarga. Yayasan obor, Jakarta, 2004
Kartono, Dra. Kartini, Psikologi Anak. Penerbit Alumni, Bandung, 1979
Kartono, Dra. Kartini, Gangguan-gangguan Psikhis. Penerbit Sinar Baru, Bandung, 1981
Lestari, Sri, Psikologi Keluarga. Penerbit Kencana, Jakarta, 2012
Musfiqon, H.M., Metodologi Penelitian Pendidikan. Penerbit Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta,
2012.
Purdarminta, WJS., Kamus Umum Bahasa Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta, 1992
Reber, Arthur S., & Reber, Emily S., Kamus Psikologi. Pustaka pelajar, Yogyakarta, cet I, 2010
Rezky. Bunda, Be a smart parent. Galangpress, Yogyakarta,cet I, 2010
Sears, David O.,dkk., Psikologi Sosial. Penerbit Erlangga, Jakarta, 1999
Sunarto, Kamanto., Pengantar Sosiologi (edisi revisi). Lembaga Penertbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, Jakarta, 2004
Sumiarti, Dr. Endang,. Problematika Hukum Perceraian Kristen dan Katolik . Wonderful
Publishing Company, Yogyakarta, 2005
Switzer, David K. Pastoral Care Emergencies. Fortress Press, Minneapolis, 2000
Thompson, Marjorie L. Keluarga Sebagai Pusat Pembentukan (Judul asli: Family: the Forming
Center, (Upper Room Books,Nashville-USA 1989) diterjemahkan oleh Ny. Oloria Silaen
Situmorang. Keluarga sebagai Pusat Pembentukan., BPK Gunung Mulia, Jakarta 2001
UU Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pasal 1 ayat 1
Wong, Donna L., dkk., Wong’s Essentials Of Pediatric Nursing. Mosby, 2001
Internet:
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/11/14/nf0ij7-tingkat-perceraian-indonesia-
meningkat-setiap-tahun-ini-datanya di akses pada tanggal 16 November 2014; pukul 15.24 WIB
http://kamuskesehatan.com/arti/trauma diakses pada 12 November 2014; pukul 14:24 WIB