kajian ekonomi regional - bi.go.id · triwulanan yang berisi analisis perkembangan ekonomi dan...

105
KAJIAN EKONOMI REGIONAL TRIWULAN I KAJIAN EKONOMI REGIONAL 2013

Upload: doankhuong

Post on 24-Mar-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

KAJIAN EKONOMI REGIONAL

TRIWULAN I

KAJIAN EKONOMI REGIONAL

2013

KAJIAN EKONOMI REGIONAL

VISI BANK INDONESIA :

nasional maupun internasional melalui penguatan nilai-nilai

strategis yang dimiliki serta pencapaian inflasi

MISI BANK INDONESIA :

pemeliharaan kestabilan moneter dan pengembangan stabilitas

sistem keuangan untuk pembangunan nasional jangka panjang yang

NILAI-NILAI STRATEGIS ORGANISASI BANK INDONESIA :

-nilai yang menjadi dasar Bank Indonesia, manajemen, dan

pegawai untuk bertindak dan atau berperilaku, yang terdiri atas

Kompetensi, Integritas, Transparansi, Akuntabilitas, dan

GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL

Kata Pengantar

iii

BUKU Kajian Ekonomi Regional (KER) Provinsi Riau ini merupakan terbitan rutin

triwulanan yang berisi analisis perkembangan ekonomi dan perbankan di Provinsi

Riau. Terbitan kali ini memberikan gambaran perkembangan ekonomi dan

perbankan di Provinsi Riau pada triwulan I-2013 dengan penekanan kajian pada

kondisi ekonomi makro regional (PDRB dan Keuangan Daerah), Inflasi, Moneter

dan Perbankan, Sistem Pembayaran, Kesejahteraan dan Prakiraan Perkembangan

Ekonomi Daerah pada triwulan II-2013. Analisis dilakukan berdasarkan data

laporan bulanan bank umum dan BPR, data ekspor-impor yang diolah oleh Kantor

Pusat Bank Indonesia, data PDRB dan inflasi yang diterbitkan Badan Pusat Statistik

(BPS) Provinsi Riau, serta data dari instansi/lembaga terkait lainnya.

Tujuan dari penyusunan buku KER ini adalah untuk memberikan informasi kepada

stakeholders tentang perkembangan ekonomi dan perbankan di Provinsi Riau,

dengan harapan kajian tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu sumber

referensi bagi para pemangku kebijakan, akademisi, masyarakat, dan pihak-pihak

lain yang membutuhkan.

Kami menyadari masih banyak hal yang harus dilakukan untuk menyempurnakan

buku ini. Oleh karena itu kritik, saran, dukungan penyediaan data dan informasi

sangat diharapkan.

Pekanbaru,8 Mei 2013

Kantor Perwakilan Bank Indonesia

Provinsi Riau

ttd

Mahdi Muhammad Kepala Kantor

KATA PENGANTAR

GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL

xi

2013

Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I

Indeks Harga Konsumen :

- Kota Pekanbaru 127.44 129.35 130.20 131.64 132.81 133.68 137.18

- Kota Dumai 132.55 133.98 133.20 134.91 137.15 138.28 140.61

Laju Inflasi Tahunan (yoy, %) :

- Kota Pekanbaru 6.10 5.09 4.20 5.67 4.21 3.35 5.36

- Kota Dumai 5.78 3.10 2.75 4.38 3.47 3.21 5.56

Pertumbuhan PDRB (yoy %, dengan migas) 5.12 4.58 4.53 3.50 3.86 2.37 1.21

Pertumbuhan PDRB (yoy %, tanpa migas) 7.86 7.54 7.15 7.82 9.04 7.21 7.55

Nilai Ekspor Non Migas (Juta USD) 2,357.29 3,353.92 3,150.93 2,799.44 3,513.23 3,094.51 2,872.72

Volume Ekspor Non Migas (ribu Ton) 4,543.57 4,639.19 4,156.44 3,795.08 4,739.09 4,989.14 4,815.61

Nilai Impor Non Migas (Juta USD) 423.66 402.95 343.56 471.79 429.49 443.14 368.19

Volume Impor Non Migas (ribu Ton) 624.16 652.79 574.11 787.71 680.47 611.83 449.74

INDIKATOR 2013

(dalam Rp juta) Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw IV

Bank Umum

Total Aset 59,370,445 59,752,476 66,463,817 68,837,287 74,444,053 72,349,212 73,223,820

DPK 43,980,255 44,920,105 48,480,274 50,314,329 53,457,012 52,242,540 52,753,768

- Giro 11,567,327 10,837,130 13,012,413 14,452,073 17,014,756 14,149,049 15,784,036

- Tabungan 20,142,350 22,342,860 21,588,604 22,216,431 22,782,145 25,373,740 23,838,197

- Deposito 12,270,578 11,740,115 13,879,258 13,645,825 13,660,111 12,719,750 13,131,535

Kredit - berdasarkan lokasi proyek 50,011,231 51,090,943 51,475,647 54,197,279 59,527,235 58,954,331 60,296,662

LDR - Lokasi Proyek (%) 113.71 113.74 106.18 107.72 111.36 112.85 114.30

Kredit 33,623,173 36,082,932 37,414,869 40,303,169 41,881,367 43,443,660 44,090,792

- Modal Kerja 11,939,534 12,729,875 12,804,704 14,246,546 14,462,342 15,201,999 15,423,020

- Investasi 9,199,610 10,207,813 10,676,704 11,298,412 11,868,510 12,252,477 12,326,636

- Konsumsi 12,484,028 13,145,244 13,933,462 14,758,211 15,550,515 15,989,184 16,341,136

- LDR (%) 76.45 80.33 77.18 80.10 78.35 83.16 0.84

- NPL (%) 2.39% 1.95% 2.22% 2.35% 2.76% 2.89% 3.21%

Kredit UMKM

- Mikro 2,901,705 3,112,386 3,313,470 3,545,514 3,617,892 3,843,216 3,973,181

- Kecil 4,921,351 5,448,902 5,640,244 5,935,445 5,787,787 6,057,104 6,070,237

- Menengah 4,440,529 4,868,783 4,955,899 5,364,799 5,160,074 5,729,879 5,686,988

NPL MKM (%) 3.13% 2.40% 3.06% 3.16% 3.80% 4.03% 4.03%

BPR

Total Aset 848,125 920,404 972,275 997,840 1,008,552 1,038,271 1,019,107

DPK 624,634 642,785 685,220 692,916 692,080 694,541 688,364

Kredit - berdasarkan lokasi proyek 601,015 617,548 655,469 689,275 704,545 708,530 715,763

Rasio NPL 8.75% 8.22% 10.51% 10.88% 12.96% 13.11% 14.44%

LDR 96.22% 96.07% 95.66% 99.47% 101.80% 102.01% 103.98%

*) SBH 2007

2012

2011

B. PERBANKAN2011

A. INFLASI DAN PDRB

INDIKATOR2012

TABEL INDIKATOR EKONOMI TERPILIH

GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL

xii

C. SISTEM PEMBAYARAN

2013

Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I

2,500,522 1,075,807 488,702 2,419,614 2,456,644 3,291,115 (98,037)

1,270,188 1,002,685 1,084,400 828,061 1,505,849 957,321 1,640,158

3,770,710 2,078,492 1,573,102 3,247,675 3,962,492 4,248,435 1,542,121

Pemusnahan Uang (Jutaan lembar/keping) 390,321 306,454 476,657 318,844 66,850 99,164 171,690

Nominal Transaksi RTGS (Rp miliar) 65,315 76,774 53,909 70,527 82,291 84,580 90,785

Volume Transaksi RTGS (lembar) 55,387 27,151 62,391 58,345 57,267 59,648 51,596

Rata-rata Harian Nominal Transaksi RTGS (Rp miliar) 1,071 1,200 856 1,119 1,349 1,387 1,513

Rata-rata Harian Volume Transaksi RTGS (lembar) 908 424 990 926 939 978 860

Nominal Tolakan Cek/BG Kosong 131,245 146,297 138,024 161,134 152,457 159,869 165,983

Volume Tolakan Cek/BG Kosong 4,946 5,615 5,042 5,680 5,755 5,523 5,703

Rata-rata Harian Nominal Cek/BG Kosong 2,152 2,286 2,191 2,558 2,499 2,621 2,766

Rata-rata Harian Cek/BG Kosong 81 88 80 90 94 91 95

INDIKATOR2011 2012

Inflow

Outflow

Posisi Kas Gabungan

TABEL INDIKATOR EKONOMI TERPILIH

GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL

Ringkasan Eksekutif

1

I. GAMBARAN UMUM

Mengawali tahun 2013, kinerja perekonomian Riau pada triwulan I-2013 secara

umum menunjukkan hal yang kurang menggembirakan dan berada dibawah

perkiraan Bank Indonesia. Dengan memperhitungkan unsur migas, pertumbuhan

ekonomi Riau tercatat tumbuh melambat sebesar 1,21% (yoy) atau merupakan

yang terendah selama tiga tahun terakhir. Hal ini bersumber dari masih lemahnya

perkembangan sektor tradables, khususnya sektor pertambangan migas yang

menguasai pangsa terbesar. Disamping itu, perlambatan yang terjadi juga tidak

terlepas dari kinerja neraca perdagangan yang mengalami tekanan terkait faktor

eksternal.

Sementara itu, tanpa memperhitungkan unsur migas, kondisi perekonomian Riau

menunjukkan relatif moderat dari triwulan sebelumnya sebagaimana terlihat dari

meningkatnya pertumbuhan dari 7,21% (yoy) menjadi 7,55% (yoy) serta berada

diatas pertumbuhan ekonomi tanpa migas nasional. Meningkatnya pertumbuhan

RINGKASAN EKSEKUTIF

Pertumbuhan ekonomi Riau triwulan I-2013 secara umum melambat dan dibawah prakiraan semula.

GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL

Ringkasan Eksekutif

2

ini utamanya bersumber dari relatif kuatnya permintaan domestik khususnya

konsumsi dan membaiknya kinerja sektor industri pengolahan non migas.

II. ASSESMEN MAKROEKONOMI REGIONAL

Ditinjau dari sisi penggunaan, motor penggerak ekonomi Riau utamanya

masih berasal dari permintaan domestik terutama konsumsi. Selain itu,

investasi juga memberikan dorongan cukup berarti sejalan dengan

pesatnya pembangunan infrastruktur baik pada sektor properti residensial

(perumahan) maupun komersial. Penyaluran kredit sektor perumahan

sederhana (dibawah tipe 70) tercatat sebesar Rp230,38 miliar atau tumbuh

sebesar 45,3% (yoy), lebih tinggi dibandingkan rata-rata pertumbuhan

selama dua tahun terakhir yang mencapai 18,50% (yoy).

Meskipun demikian, di sisi eksternal, neraca perdagangan Riau pada

triwulan laporan mengalami tekanan yang cukup dalam. Dengan ataupun

tanpa memperhitungkan unsur migas, kinerja ekspor Riau mengalami

pelemahan yang signifikan dan merupakan yang terendah sejak terjadinya

krisis global tahun 2008 silam. Melemahnya ekspor diindikasikan tidak

terlepas dari beberapa faktor penting seperti relatif lambannya pemulihan

krisis zona Eropa, kebijakan pemerintah terkait kenaikan bea keluar ekspor

CPO dan hambatan non tarif yang ditetapkan oleh sejumlah negara mitra

dagang utama Riau pada produk CPO terutama di negara Cina dan

kawasan Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE).

Secara sektoral, dengan memasukkan unsur migas, sektor pertambangan

yang menguasai pangsa terbesar dalam struktur perekonomian mengalami

kontraksi tajam dan merupakan titik terendahnya selama lima tahun

terakhir. Hal ini dipengaruhi oleh faktor alamiah usia sumur minyak yang

sudah relatif tua serta minimnya penggunaan teknologi modern dalam

penggalian sumur minyak tua. Dalam triwulan laporan, pencapaian lifting

minyak bumi Riau tercatat sebesar 346,31 ribu barel per hari atau lebih

rendah dari triwulan sebelumnya dan periode yang sama tahun

Kinerja neraca perdagangan mengalami tekanan cukup dalam, yang tercermin dari melemahnya pertumbuhan ekspor Riau hingga mengalami level terendah dalam tiga tahun terakhir

Pertumbuhan sektor pertambangan terkontraksi tajam. Volume lifting minyak bumi Riau mencapai 346,31 ribu barel per hari atau lebih rendah dibandingkan

triwulan sebelumnya.

GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL

Ringkasan Eksekutif

3

sebelumnya yang tercatat masing-masing sebesar 380,23 dan 360,13 ribu

barel per hari.

Secara sektoral, dengan mengeluarkan unsur migas, kondisi ekonomi Riau

pada triwulan laporan masih ditopang oleh sektor non-tradables khususnya

sektor perdagangan. Meskipun demikian, tanpa memperhitungkan unsur

migas, pertumbuhan sektor tradables menunjukkan perbaikan bersumber

dari meningkatnya sektor industri pengolahan. Kondisi ini tidak terlepas

dari faktor permintaan industri domestik yang sedikit banyak membantu

penyerapan output dari sektor industri pengolahan minyak sawit mentah

III. ASSESMEN INFLASI

Sejalan dengan perkiraan sebelumnya, tekanan inflasi Riau pada

triwulan I-2013 (yoy) mengalami peningkatan dibandingkan dengan

triwulan sebelumnya. Secara tahunan (yoy), inflasi Riau mengalami

peningkatan yaitu dari 3,32% pada triwulan IV-2012 menjadi 5,39% pada

triwulan I-2013 yang dipengaruhi oleh implementasi kebijakan impor

hortikultura sejak awal tahun 2013. Namun demikian inflasi Riau pada

triwulan laporan masih lebih rendah dibandingkan dengan inflasi Sumatera

dan inflasi nasional yang pada triwulan I-2013 masing-masing mencapai

5,57% dan 5,90%. Inflasi Riau pada triwulan laporan juga masih tercatat

lebih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata historis triwulan I sejak

tahun 2009 yang lalu.

Berdasarkan kota yang disurvey di Provinsi Riau, inflasi tertinggi terjadi di

Kota Dumai dengan angka mencapai 5,56% (yoy) sedangkan inflasi Kota

Pekanbaru tercatat sebesar 5,36%. Ditinjau dari penyebabnya, sumber

tekanan inflasi di Kota Pekanbaru cenderung disebabkah oleh harga

bawang merah yang tercatat meningkat 119,94% (yoy).Sedangkan pada

Kota Dumai, inflasi yang terjadi utamanya disebabkan oleh kenaikan harga

harga sayuran dan buah terutama bayam dan jeruk. Berdasarkan

disagregasinya, inflasi pada kelompok volatile food tercatat memberikan

sumbangan tertinggi terhadap inflasi pada kedua kota yang disurvey.

Tekanan inflasi Riau pada triwulan I-2013 meningkat namun masih lebih rendah dibandingkan inflasi nasional dan

wilayah Sumatera

Dengan mengeluarkan unsur migas, sektor tradables mulai tumbuh positif sejalan dengan faktor permintaan industri domestik

GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL

Ringkasan Eksekutif

4

IV. ASSESMEN KEUANGAN

Perbankan

Kegiatan usaha perbankan Riau pada triwulan I-2013 menunjukkan

perkembangan yang menggembirakan setelah mengalami penurunan pada

triwulan sebelumnya. Kondisi ini tercermin dari meningkatnya aset, dana,

kredit yang disalurkan dan jaringan kantor perbankan. Intermediasi

perbankan mengalami peningkatan yang tercermin dari meningkatnya LDR

dengan risiko yang masih terjaga. Peningkatan intermediasi ini juga

tercermin dari peningkatan yang signifikan dari pembukaan rekening dana

baru baik tabungan, giro maupun deposito. Berdasarkan penggunaan, kredit

yang disalurkan masih terus didominasi oleh kredit produktif dan tercatat

masih terus mengalami peningkatan. Penyaluran kredit UMKM juga terus

mengalami peningkatan yang mengimplikasikan tingginya keperdulian

perbankan Riau dalam mendukung kemajuan sektor UMKM.

Aset perbankan Riau meningkat sebesar 1,17% (qtq) sehingga menjadi

Rp74,24 triliun. Peningkatan aset berasal dari meningkatnya aset bank

umum yang mencapai Rp73,22 triliun, sementara aset BPR mengalami

penurunan sebesar 1,85% (qtq) menjadi Rp1,02 triliun. Peningkatan aset

terjadi seiring dengan meningkatnya Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan

Riau sebesar 0,95% (qtq) sehingga jumlahnya mencapai Rp53,44 triliun.

Peningkatan dana yang dihimpun pada akhirnya mendorong meningkatnya

jumlah kredit yang disalurkan oleh perbankan Riau pada triwulan laporan

hingga mencapai Rp44,81 triliun atau meningkat 1,48% (qtq). Rasio kredit

bermasalah atau Non Performing Loan (NPL) juga mengalami peningkatan

meskipun masih berada pada batas aman yang ditentukan oleh Bank

Indonesia yaitu sebesar 5%.

Kepedulian bank umum di Riau terhadap sektor UMKM ditunjukkan dengan

terus meningkatnya penyaluran kredit kepada UMKM yang telah mencapai

Rp15,73 triliun atau meningkat sebesar 0,64% (qtq). Pangsa kredit UMKM

pada triwulan laporan tercatat sebesar 35,68% dari total kredit bank

umum. Sebagian besar kredit UMKM tersebut disalurkan kepada sektor

perdagangan dan pertanian.

Kondisi perbankan Riau menunjukkan perkembangan yang lebih baik dari triwulan sebelumnya. Hal ini tercermin dari meningkatnya aset perbankan, DPK dan kredit. Sementara rasio kredit bermasalah masih berada dibawah batas aman yang ditetapkan Bank Indonesia.

GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL

Ringkasan Eksekutif

5

Perbankan syariah di Riau menunjukkan perkembangan yang

menggembirakan. Aset perbankan syariah Riau pada triwulan I-2013

mencapai Rp4,64 triliun atau naik 1,23% (qtq) dibandingkan dengan

triwulan sebelumnya. Peningkatan aset ini utamanya didorong oleh

meningkatnya penghimpunan dana yaitu dari Rp3,45 triliun menjadi Rp3,57

triliun atau naik 3,49% (qtq). Sejalan dengan perkembangan tersebut,

pangsa aset syariah Riau terhadap total aset perbankan tercatat sebesar

6,25%, relatif stabil dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.

Realisasi Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang disalurkan oleh 8 (delapan) bank

pelaksana KUR di Riau hingga triwulan I-2013 telah mencapai

Rp3,41 triliun, naik 10,77% (qtq) dibandingkan triwulan sebelumnya atau

berada pada urutan ke-9 di tingkat nasional dan ke-4 di Sumatera.

Sementara, realisasi Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE) telah

mencapai Rp34,54 miliar, meningkat 12,62% dibandingkan dengan

triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar Rp30,67 miliar.

Keuangan Daerah

Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Riau pada tahun

2013 mengalami peningkatan yang signifikan bila dibandingkan dengan

tahun 2012 baik dari segi anggaran pendapatan maupun anggaran

belanja. Alokasi anggaran belanja mencatat kenaikan tertinggi sebesar

32,44% (yoy) sedangkan anggaran pendapatan tercatat naik sebesar

20,22% (yoy).

Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, realisasi anggaran belanja

Provinsi Riau pada periode laporan mencapai sekitar Rp1 triliun atau

11,86% dari total anggaran. Realisasi ini cenderung lebih tinggi bila

dibandingkan dengan realisasi tahun sebelumnya yang mencapai 6,05%.

Realisasi belanja Provinsi Riau pada triwulan I-2013 sekitar Rp1 triliun dari alokasi yang dianggarkan sebesar Rp8,43 triliun

Pada triwulan I-2013, penyaluran kredit program seperti KUR dan KKPE masing-masing mencapai Rp3.41 triliun dan 34,54 miliar

Pangsa aset perbankan Syariah Riau mencapai 6,25%,

GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL

Ringkasan Eksekutif

6

V. PROSPEK PEREKONOMIAN DAERAH

Perkembangan ekonomi Riau pada triwulan II-2013 diperkirakan akan

tumbuh relatif moderat. Dengan memasukkan unsur migas, pertumbuhan

ekonomi Riau diperkirakan secara tahunan pada kisaran 2,0%-2,5% (yoy).

Sementara itu, dengan mengeluarkan unsur migas, pertumbuhan ekonomi

diperkirakan akan mencapai kisaran 7,5%-7,9% (yoy).

Ditinjau dari sisi penggunaan, motor penggerak pertumbuhan diperkirakan

masih ditopang oleh permintaan domestik. Hal ini tidak terlepas dari

pesatnya pembangunan sektor properti baik residensial maupun komersial

di Provinsi Riau serta masih kuatnya daya beli masyarakat seiring

membaiknya tingkat keyakinan konsumen.

Dari sisi sektoral, perekonomian Riau pada triwulan mendatang

diperkirakan masih ditopang oleh sektor non-tradables khususnya sektor

perdagangan sejalan dengan meningkatnya aktivitas perekonomian baik

yang berasal dari perdagangan domestik maupun perdagangan

internasional (ekspor dan impor). Meskipun demikian, ektor industri

pengolahan diperkirakan juga akan menopang pertumbuhan ekonomi

pada triwulan mendatang sejalan dengan optimisme pelaku terkait kondisi

negara mitra dagang utama khususnya Cina dan India.

Namun demikian, terdapat beberapa risiko yang berpotensi membawa

pertumbuhan ekonomi Riau menyentuh batas bawah proyeksi (downside

risks). Beberapa risiko tersebut diantaranya (i) kondisi sumur minyak yang

tidak produktif yang diperkirakan masih akan mengakibatkan sektor

pertambangan migas mengalami kontraksi. (ii) Regulasi pajak ekspor sawit

Indonesia masih berorientasi untuk mendukung hilirisasi CPO, dimana pajak

ekspor CPO Indonesia lebih tinggi dibandingkan Malaysia. Kebijakan ini

berpotensi mengganggu daya saing Indonesia terutama terkait harga jual

serta kemungkinan turunnya pangsa pasar CPO Indonesia, terutama pada

pasar CPO India. (iii) Kepastian hukum menyangkut lahan/tata ruang.

Masalah Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) belum juga tuntas

dalam penetapan kawasan hutan oleh Pemerintah. Hal ini berpotensi

Perkembangan ekonomi Riau pada triwulan I-2013 diperkirakan akan tumbuh moderat dengan sumber pertumbuhan yang relatif berimbang meskipun diwarnai sejumlah tantangan

GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL

Ringkasan Eksekutif

7

mengganggu rencana investasi industri sawit. (iv) Pemberlakuan hambatan

tarif dan non-tarif yang diterapkan sejumlah negara mitra dagang utama

terkait produk CPO Riau. Sebagaimana diketahui, beberapa negara seperti

Cina telah menerapkan pengetatan standar mutu produk CPO impor guna

mendorong industri dalam negeri. Selain itu, Pakistan sebagai salah satu

potensi pasar ekspor juga menerapkan pengetatan kualitas CPO yang

masuk ke negara tersebut. Salah satu standar kualitas yang ditetapkan

adalah parameter DOBI diatas 2.5.

Selanjutnya dari sisi harga, inflasi pada triwulan mendatang diperkirakan

relatif meningkat dan diproyeksikan berada pada kisaran 5,7% - 6,5%

(yoy). Sedangkan secara triwulanan, inflasi diperkirakan berkisar 1,4% -

2,1% (qtq). Kondisi ini diperkirakan dipengaruhi oleh beberapa faktor

diantaranya Pertama, rencana kenaikan BBM sekitar Rp1.500/liter yang

sudah akan dipastikan naik setelah pembahasan APBN-P pada bulan Mei.

Dampak kenaikan ini juga akan mendorong kenaikan harga angkutan dan

kenaikan harga komoditas lainnya. Kedua, kenaikan TTL tahap ke-2 yang

juga akan mulai dirasakan dampaknya pada bulan Mei 2013. Ketiga, belum

memadainya kondisi infrastruktur seperti kondisi jalan yang masih belum

memenuhi standar yang terjadi akibat adanya ketidakseimbangan antara

tonase jalan dengan kapasitas kendaraan sehingga berpotensi menghambat

kelancaran distribusi pasokan bahan makanan.

Terdapat beberapa faktor yang berpotensi membawa inflasi melewati batas

atas kisaran proyeksi (upside risks) antara lain kenaikan ekspektasi pelaku

usaha sejalan dengan kenaikan harga BBM bersubsidi serta hambatan

distribusi dan infrastruktur. Meskipun demikian, terdapat beberapa faktor

yang berpotensi membawa inflasi ke batas bawah (downside risks) proyeksi

diantaranya adalah solusi dini (pre-emptive solution) TPID yang dihasilkan

melalui koordinasi dengan berbagai instansi terkait dan penguatan strategi

komunikasi dalam menjaga ekspektasi.

Iinflasi diproyeksikan meningkat pada kisaran 5,7% -

6,5% (yoy)

GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL

Kondisi Ekonomi Makro Regional

8

1. KONDISI UMUM

Kondisi perekonomian Riau pada triwulan I-2013 secara umum menunjukkan hal

yang kurang menggembirakan dan berada dibawah perkiraan Bank Indonesia.

Dengan memperhitungkan unsur migas, pertumbuhan ekonomi Riau tercatat

tumbuh melambat yaitu sebesar 1,21% (yoy) atau merupakan yang terendah

selama tiga tahun terakhir. Hal ini bersumber dari masih lemahnya perkembangan

sektor tradables, khususnya sektor pertambangan migas yang menguasai pangsa

terbesar perekonomian Riau. Disamping itu, perlambatan yang terjadi juga tidak

terlepas dari kinerja neraca perdagangan yang mengalami tekanan terkait faktor

eksternal.

Bab 1 KONDISI EKONOMI

MAKRO REGIONAL

GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL

Kondisi Ekonomi Makro Regional

9

Sementara itu, tanpa memperhitungkan unsur migas, kondisi perekonomian Riau

menunjukkan relatif moderat dari triwulan sebelumnya sebagaimana terlihat dari

meningkatnya pertumbuhan dari 7,21% (yoy) menjadi 7,55% (yoy) serta berada

diatas pertumbuhan ekonomi tanpa migas nasional. Meningkatnya pertumbuhan

ini utamanya bersumber dari relatif kuatnya permintaan domestik khususnya

konsumsi dan membaiknya kinerja sektor industri pengolahan non migas.

Grafik 1.1. Pertumbuhan Ekonomi Riau dan Nasional (yoy,%)

Sumber : BPS

2. PDRB SISI PENGGUNAAN

Ditinjau dari sisi penggunaan, motor penggerak ekonomi Riau utamanya masih

berasal dari permintaan domestik terutama konsumsi. Selain itu, investasi juga

memberikan dorongan cukup berarti sejalan dengan pesatnya pembangunan

infrastruktur baik pada sektor properti residensial (perumahan) maupun komersial.

Meskipun demikian, kondisi yang kontras justru terjadi di sisi eksternal yaitu ekspor

yang mencerminkan kinerja neraca perdagangan Riau. Dalam triwulan laporan,

baik dengan ataupun tanpa memperhitungkan unsur migas, kinerja ekspor Riau

mengalami pelemahan yang signifikan dan merupakan yang terendah sejak

terjadinya krisis global tahun 2008 silam. Kondisi ini cukup memprihatinkan

mengingat kontribusi ekspor mencapai 40% terhadap perekonomian Riau secara

umum.

I II III IV I II III IV I II III IV I

2010 2011 2012 2013

Riau 2,90 3,77 4,76 5,22 4,04 3,44 3,93 4,63 5,02 3,96 4,06 2,37 1,21

Nasional 5,69 6,19 5,82 6,90 6,50 6,50 6,50 6,50 6,30 6,40 6,17 6,11 6,02

Riau (Tanpa Migas) 6,01 6,75 7,95 7,84 7,51 7,54 7,64 7,40 7,36 7,50 8,26 7,21 7,55

Nasional (Tanpa Migas) 6,20 6,59 6,24 7,40 6,90 7,01 6,90 6,90 6,70 6,90 6,88 6,73 6,69

-

1,00

2,00

3,00

4,00

5,00

6,00

7,00

8,00

9,00

yoy

(%)

GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL

Kondisi Ekonomi Makro Regional

10

Tabel 1.1. Pertumbuhan Ekonomi Riau Sisi Penggunaan (yoy)

Tabel 1.2. Pertumbuhan Ekonomi Riau Sisi Penggunaan Tanpa Migas (yoy)

2.1. Konsumsi

Pertumbuhan konsumsi Riau pada triwulan I-2013 mengalami peningkatan yakni

dari 5,98% (yoy) menjadi 6,86% (yoy). Peningkatan ini didorong oleh menguatnya

konsumsi rumah tangga Riau yang tercatat tumbuh dari 6,80% (yoy) pada triwulan

IV-2012 menjadi 7,55% (yoy) pada triwulan I-2013. Peningkatan konsumsi pada

triwulan laporan diperkirakan tidak terlepas dari masih optimisnya tingkat

keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi Riau.

I*** II*** III*** IV*** I*** III-12 IV-12 I-13

1. Konsumsi 6.91 6.51 6.04 5.98 6.86 2.60 2.62 2.99

2. PMTB 6.27 5.98 5.49 5.64 6.11 1.58 1.62 1.78

3. Ekspor 5.64 1.36 6.07 3.60 0.33 3.43 2.01 0.19

4. Impor 5.47 7.69 7.44 6.15 5.79 2.34 1.93 1.85

4.53 3.50 3.86 2.37 1.21 3.86 2.37 1.21

Sumber : BPS Provinsi Riau

Keterangan : ***(data sangat sementara), (r) angka revisi BPS

Total

2012 (r)Komponen

Sumbangan (%)2013

2013

I*** II*** III*** IV*** I*** III-12 IV-12 I-13

1. Konsumsi 6.91 6.51 6.04 5.98 6.86 5.04 5.05 5.82

2. PMTB 10.44 11.73 15.88 13.65 13.22 4.42 3.94 3.93

3. Ekspor 13.81 6.48 9.57 4.97 2.36 4.17 2.19 1.09

4. Impor 5.08 7.24 6.31 5.17 6.03 3.67 3.03 3.58

7.15 7.82 9.04 7.21 7.55 9.04 7.21 7.55

Sumber : BPS Provinsi Riau

Keterangan : ***(data sangat sementara), (r) angka revisi BPS

Total (Tanpa Migas)

2012 (r)Komponen

Sumbangan (%)

Grafik 1.2. Pertumbuhan Komponen Konsumsi Riau Tahun 2011-2013 (yoy)

Grafik 1.3. Pergerakan Indeks Keyakinan Konsumen Riau

Sumber : BPS Provinsi Riau

(8,00)

(6,00)

(4,00)

(2,00)

-

2,00

4,00

6,00

8,00

10,00

12,00

I II III IV I II III IV I II III IV I

2010 2011 2012 2013

%

RT Swasta Pemerintah

50

70

90

110

130

150

170

I II III IV I II III IV I II III IV I

2010 2011 2012 2013

Indeks Keyakinan Konsumen Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini

Indeks Ekspektasi Konsumen Baseline

GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL

Kondisi Ekonomi Makro Regional

11

Masih optimisnya konsumen terhadap kondisi ekonomi Riau tercermin dari relatif

tingginya pembangunan perumahan serta pembelian kendaraan bermotor yang

dibiayai oleh perbankan. Dalam triwulan, kredit sektor perumahan sederhana

(dibawah tipe 70) tercatat sebesar Rp230,38 miliar atau tumbuh sebesar 45,3%

(yoy), lebih tinggi dibandingkan rata-rata pertumbuhan selama dua tahun terakhir

yang mencapai 18,50% (yoy). Kemudian, Kredit Kendaraan Bermotor juga masih

berada pada level yang tinggi dimana penyalurannya mencapai Rp568,33 miliar

atau tumbuh sebesar 58,63% (yoy). Pertumbuhan KKB tersebut tercatat lebih

rendah dari triwulan IV-2012 yang mencapai 86,45% (yoy) namun masih lebih

tinggi dibandingkan dengan periode yang sama pada dua tahun sebelumnya yang

tercatat masing-masing sebesar 33,46% (yoy) dan 13,31% (yoy).

Selain dua indikator diatas, masih

relatif tingginya konsumsi pada

triwulan laporan juga ditunjukkan oleh

konsumsi bahan bakar kendaraan jenis

premium dan pertamax yang

mencapai 214,36 KL atau diatas rata-

rata 3 tahun terakhir yang mencapai

195,15 KL. Hal ini diperkirakan tidak

terlepas dari meningkatnya trend

kepemilikan kendaraan bermotor di

Provinsi Riau.

Grafik 1.4. Perkembangan Kredit Perumahan Sederhana (dibawah tipe 70) di Riau

Grafik 1.5. Perkembangan Kredit Kendaraan Bermotor di Riau

Grafik 1.6. Perkembangan Konsumsi Bahan Bakar Kendaraan di Riau

-20

-10

0

10

20

30

40

50

0

50

100

150

200

250

I II III IV I II III IV I II III IV I

2010 2011 2012 2013

%

Rp

mil

iar

Perumahan Sederhana (kiri) g.yoy (kanan)

-60

-40

-20

0

20

40

60

80

100

-

100

200

300

400

500

600

700

I II III IV I II III IV I II III IV I

2010 2011 2012 2013

%

Rp

mil

iar

Kendaraan bermotor g.yoy (kanan)

0

2

4

6

8

10

12

14

16

-

50.000

100.000

150.000

200.000

250.000

I II III IV I II III IV I II III IV I

2010 2011 2012 2013

%

Kil

o lit

er

Konsumsi Premium dan Pertamax (Kiri) g.yoy (kanan)

Pembatasan kuota BBM

rata-rata konsumsi 195.146 KL

Sumber : PT. Pertamina Wilayah Riau

GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL

Kondisi Ekonomi Makro Regional

12

2.2. Investasi

Perkembangan investasi di Provinsi Riau pada triwulan laporan secara umum

menunjukkan peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.

Pertumbuhan investasi sebagaimana tercermin dari Pembentukan Modal Tetap

Bruto (PMTB) dalam triwulan laporan tumbuh meningkat yakni dari 5,64% (yoy)

pada triwulan IV-2012 menjadi 6,11% (yoy). Tanpa memperhitungkan unsur

migas, PMTB Riau juga masih tercatat tumbuh stabil sebesar 13,22%. Kondisi ini

secara umum terlihat dari kenaikan nilai proyek investasi langsung yang meningkat

signifikan yaitu dari Rp2,61 triliun menjadi Rp5,90 triliun pada triwulan I-2013

dengan jumlah proyek sebesar 32 proyek. Nilai investasi ini juga tercatat lebih

tinggi dibandingkan triwulan I-2012 yang mencapai Rp1,64 triliun.

Indikator lain yang mendukung meningkatnya kegiatan investasi di Riau adalah

konsumsi semen. Pada triwulan laporan, konsumsi semen di Riau mencapai

371,97 ribu ton atau lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata konsumsi semen

selama tiga tahun terakhir yang tercatat sebesar 314,52 ribu ton. Meskipun

konsumsi semen berada pada level yang cukup tinggi namun pertumbuhannya

cenderung melambat jika dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Hal ini

utamanya dipengaruhi oleh faktor percepatan pembangunan infrastruktur PON

yang terpusat sejak periode akhir 2011 hingga triwulan III-2012 (baseline factors).

Grafik 1.7. Perkembangan Penjualan Semen di Provinsi Riau

Grafik 1.8. Perkembangan PMA dan PMDN di Provinsi Riau

Sumber : Asosiasi Semen Indonesia

Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal

-20,00

-10,00

0,00

10,00

20,00

30,00

40,00

50,00

-

50

100

150

200

250

300

350

400

450

I II III IV I II III IV I II III IV I

2010 2011 2012 2013

%

rib

u T

on

Konsumsi Semen (kiri) g.yoy (kanan)

I II III IV I

2012 2013

Proyek (kanan) 34 56 23 62 32

Nilai (kiri) 1.64 6.26 5.97 2.61 5.90

0

10

20

30

40

50

60

70

-

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

6.00

7.00

un

it

Rp

tri

liu

n

GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL

Kondisi Ekonomi Makro Regional

13

Amerika SerikatKonsumsi minyak nabati16,94 juta ton

Non Tariff

Barrier

Amerika SelatanBrazilKonsumsi minyak nabati7,95 juta ton

EropaKonsumsi minyaknabati 30 juta ton

Non Tariff

Barrier

Timur TengahKonsumsi minyaknabati 2,18 juta ton

Tariff Barrier

RusiaKonsumsi minyaknabati 6,95 juta ton

Non Tariff

Barrier

Asia Selatan IndiaKonsumsi minyaknabati 18,09 juta ton PakistanKonsumsi minyaknabati 3,79 juta ton

Tariff barrier

Non-Tariff

barrier

Asia Timur CinaKonsumsi minyaknabati 33,36 jutaton JepangKonsumsi minyaknabati 2,70 juta

ton Korea SelatanKonsumsi minyaknabati 1,25juta ton

India & pakistan : (rencanapengenaan green tax). Pemberlakuan DOBI > 2,5

Isu negatif kampanye global anti sawit

Cina : pengetatan standar mutu minyak sawit impor Uni Eropa : EU Directive on Promotion of Renewable Energy

Source (EU RED) dan pada 2014 menysaratkan net balance

carbon footprint untuk produk minyak kelapa sawit Amerika Serikat : Batasan pengurangan gas rumah kaca dari

biodiesel minyak sawit (NODA EPA) sejak 2012

Green Palm Certification (Rp210 juta) yang memberatkan petani

Terjadinya overstock CPO pada pemain besar diSumatera sementarapermintaan stagnan

Non Tariff Barrier Tariff Barrier Hambatan lokalSumber : Pusat Data Info Sawit

2.3. Ekspor Impor

Kinerja neraca perdagangan Riau pada triwulan laporan mengalami tekanan yang

cukup signifikan. Secara spesifik, pertumbuhan tahunan ekspor Riau berada pada

titik terendahnya selama tiga tahun terakhir dengan angka masing-masing

mencapai 0,33% (yoy) dan 2,36% (yoy) (non migas). Melemahnya ekspor

diindikasikan tidak terlepas dari beberapa faktor penting diantaranya relatif

lambannya pemulihan krisis zona Eropa, kebijakan pemerintah terkait kenaikan bea

keluar ekspor CPO dan hambatan non tarif yang ditetapkan oleh sejumlah negara

mitra dagang utama Riau pada produk CPO terutama Cina dan Masyarakat

Ekonomi Eropa (MEE).

Berdasarkan grafik disamping,

diketahui bahwa penurunan

volume ekspor yang cukup

tajam terjadi pada ekspor ke

Cina dan MEE. Pada

triwulan I-2013, volume ekspor

ke Cina tercatat sebesar 677,57

ribu ton atau turun 357,91 ribu

ton dari triwulan sebelumnya.

Sedangkan volume ekspor ke MEE juga tercatat menurun sebesar 257,41 ribu ton

menjadi 643,59 ribu ton. Relatif tingginya penurunan ekspor tersebut diindikasikan

sejalan dengan kebijakan pemerintah Cina yang menerapkan pengetatan standar

mutu minyak sawit impor di negaranya.

Grafik 1.9. Perkembangan Volume Ekspor Non Migas Riau Menurut Wilayah Tujuan

629 756 931 910 786 762 1,078 1,034

678

485

1,101 713 884

511 481

787 675 835

784

534 648

638

783 733

842 922 851

510

844 856 730

734 563

600 901

644 1,019

1,465 1,396 1,477

1,343

1,257

1,433 1,457

1,829

(900)

100

1,100

2,100

3,100

4,100

5,100

I II III IV I II III IV I

2011 2012 2013

Lainnya

MEE

ASEAN

India

Cina

GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL

Kondisi Ekonomi Makro Regional

14

Sementara itu, berdasarkan kelompoknya, melemahnya kinerja ekspor pada

triwulan laporan tidak terlepas dari menurunnya volume ekspor kelompok minyak

dan lemak nabati, utamanya didominasi CPO yang menguasai pangsa terbesar

dalam struktur ekspor Riau. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, hal ini

diperkirakan tidak lepas dari beberapa faktor seperti adanya hambatan tarif dan

non tarif yang berlakukan negara mitra dagang utama serta adanya kebijakan

pemerintah dalam hal bea keluar ekspor CPO1.

Tabel 1.3. Perkembangan Volume Ekspor Non Migas di Riau (ribu Ton)

Grafik 1.10. Perkembangan Volume Ekspor CPO Riau

Grafik 1.11. Perkembangan Volume Ekspor Pulp and Paper Riau

1 Melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.011/2011 maka selisih Bea Keluar (BK) ekspor CPO Indonesia dengan Malaysia mencapai 3% lebih tinggi. Dengan asumsi harga CPO dunia sekitar USD 819/MT, maka harga CPO Indonesia (CIF) mencapai USD1.029/MT atau lebih tinggi dibandingkan harga CPO Malaysia (CIF) yang mencapai USD1.000/MT.

2013

I II III IV I IV-12 I-13

Makanan dan Hewan Bernyawa 360 278 287 407 420 9.95 8.68

Tembakau dan Minuman 4 4 3 5 6 0.14 0.12

Barang Mentah 668 600 656 735 690 15.81 14.27

Bahan Bakar Mineral dan Pelumas 321 496 474 501 467 13.06 9.66

Minyak dan Lemak Nabati 2,203 1,766 2,626 2,721 2,569 46.53 53.11

Bahan Kimia 193 252 304 251 319 6.64 6.59

Barang Manufaktur 408 399 388 368 366 10.52 7.56

Mesin dan Peralatan 0 - 0 0 0 - 0.00

Hasil Olahan Manufaktur 0 0 - 0 0 0.00 0.00

Koin, bukan mata uang - - - - - - -

4,156 3,795 4,739 4,989 4,836.1 100

2012

Total

Kelompok SITCPangsa (%)

0

500

1.000

1.500

2.000

2.500

3.000

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I

2006 2007 2008 2009 2010 2011 20122013

ribu T

on

Volume

-

100,0

200,0

300,0

400,0

500,0

600,0

700,0

800,0

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I

2006 2007 2008 2009 2010 2011 20122013

ribu T

on

Volume

GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL

Kondisi Ekonomi Makro Regional

15

Grafik 1.12. Perkembangan Volume Ekspor Batubara Riau

Grafik 1.13. Perkembangan Volume Ekspor Karet Olahan Riau

Di sisi impor, perkembangan impor Riau pada triwulan laporan menunjukkan

pelemahan sebagaimana terlihat dari melambatnya pertumbuhan impor dari

6,15% (yoy) pada triwulan IV-2012 menjadi 5,79%. Sementara, tanpa

memperhitungkan unsur migas, impor non migas cenderung tumbuh lebih tinggi

yakni sebesar 6,03% (yoy). Masih tingginya pertumbuhan impor diperkirakan tidak

terlepas dari faktor ketergantungan terhadap daerah tetangga (impor antar daerah)

dimana sebagian besar kebutuhan Riau dipasok dari daerah sekitar.

Tabel 1.4. Perkembangan Volume Impor Non Migas di Riau (ribu Ton)

3. PDRB SEKTORAL

Kondisi ekonomi sektoral Riau pada triwulan laporan secara umum menunjukkan

perkembangan yang kurang menggembirakan. Hal ini terlihat dari minimmya peran

sektor tradables dalam menopang perekonomian. Bahkan secara tahunan,

-

200,0

400,0

600,0

800,0

1.000,0

1.200,0

1.400,0

1.600,0

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I

2006 2007 2008 2009 2010 2011 20122013

Rib

u T

on

Volume

-

1,0

2,0

3,0

4,0

5,0

6,0

7,0

8,0

9,0

10,0

I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I

2006 2007 2008 2009 2010 2011 20122013

Ribu

Ton

Volume

2013

I II III IV I IV-12 I-13

Makanan dan Hewan Bernyawa 27.65 12.70 10.06 5.07 2.55 1.61 0.57

Tembakau dan Minuman 0.25 0.24 0.78 0.08 0.06 0.03 0.01

Barang Mentah 142.11 171.83 191.06 132.28 130.73 21.81 29.07

Bahan Bakar Mineral dan Pelumas - - 0.00 0.00 - 0.00 0.00

Minyak dan Lemak Nabati 0.16 0.21 0.17 0.01 - 0.03 0.00

Bahan Kimia 268.06 465.86 374.55 318.88 201.09 59.14 44.71

Barang Manufaktur 117.64 119.98 76.70 138.47 101.35 15.23 22.54

Mesin dan Peralatan 12.92 10.56 18.89 10.07 10.27 1.34 2.28

Hasil Olahan Manufaktur 5.33 6.32 8.26 6.97 3.68 0.80 0.82

Koin, bukan mata uang - - 0.00 0.00 - 0.00 0.00

574.11 787.71 680.47 611.83 449.74

2012

Total

Kelompok SITC

100

Pangsa (%)

GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL

Kondisi Ekonomi Makro Regional

16

pertumbuhan sektor tradables Riau masih mengalami kontraksi hingga mencapai

1,98% atau merupakan titik terendahnya selama lima tahun terakhir. Hal ini

utamanya disebabkan adanya penurunan kinerja sektor migas sejalan dengan

faktor alamiah yaitu usia sumur minyak yang sudah tidak produktif (natural

decline).

Tabel 1.5. Pertumbuhan Ekonomi Riau Sisi Sektoral (yoy,%)

Tabel 1.6. Pertumbuhan Ekonomi Riau Sisi Sektoral Tanpa Migas (yoy,%)

Meskipun demikian, tanpa memperhitungkan unsur migas, pertumbuhan sektor

non tradables menunjukkan perbaikan sejalan dengan membaiknya kondisi sektor

industri pengolahan. Pada triwulan laporan, pertumbuhan sektor industri

pengolahan tercatat sebesar 8,01% (yoy), lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan

triwulan IV-2012 yang mengalami kontraksi sebesar 0,38% (yoy). Membaiknya

kondisi sektor industri pengolahan Riau tidak terlepas dari faktor permintaan

industri domestik yang sedikit banyak membantu penyerapan output dari sektor

industri pengolahan minyak sawit mentah.

2013

I*** II*** III*** IV*** I*** III-12 IV-12 I-13

A. Sektor Tradables 2.73 0.75 (0.05) (0.85) (1.98) -0.04 -1.14 -1.49

1 Pertanian 3.94 2.73 2.04 1.21 2.34 0.35 0.20 0.39

2 Pertambangan 1.85 (0.87) (1.59) (2.97) (5.69) -0.75 -1.39 -2.68

3 Industri Pengolahan 4.71 4.63 3.08 0.39 7.00 0.36 0.05 0.80

B. Sektor Non Tradables 10.43 12.42 16.10 17.51 10.97 3.90 3.50 2.70

4 Listrik, Gas dan Air 5.47 3.45 2.52 3.19 4.88 0.01 0.01 0.01

5 Bangunan 12.19 14.96 15.69 13.58 9.44 0.61 0.55 0.38

6 Perdagangan, Hotel & Restoran 11.16 13.65 20.45 18.18 13.07 2.00 1.81 1.29

7 Penganggkutan dan Komunikasi 8.66 10.62 15.66 12.84 13.54 0.52 0.43 0.45

8 Keuangan dan Jasa Perusahaan 11.43 14.94 17.00 13.36 14.39 0.25 0.21 0.22

9 Jasa-jasa 8.94 9.17 9.23 9.12 6.15 0.51 0.51 0.35

4.53 3.50 3.86 2.37 1.21 3.86 2.37 1.21

Sumber : BPS Provinsi Riau

Keterangan : ***(data sangat sementara), (r) angka revisi BPS

2012 (r) Sumbangan (%)

Total

Keterangan

2013

I*** II*** III*** IV*** I*** III-12 IV-12 I-13

A. Sektor Tradables 4.31 3.80 2.80 0.88 4.41 1.48 0.47 2.30

1 Pertanian 3.94 2.73 2.04 1.21 2.34 0.67 0.39 0.76

2 Pertambangan 7.62 6.94 7.38 6.93 6.86 0.15 0.14 0.14

3 Industri Pengolahan 4.62 5.47 3.69 (0.38) 8.01 0.66 -0.07 1.39

B. Sektor Non Tradables 10.43 12.42 16.10 17.51 10.97 7.56 6.74 5.25

4 Listrik, Gas dan Air 5.47 3.45 2.52 3.19 4.88 0.01 0.01 0.02

5 Bangunan 12.19 14.96 15.69 13.58 9.44 1.18 1.05 0.73

6 Perdagangan, Hotel & Restoran 11.16 13.65 20.45 18.18 13.07 3.89 3.48 2.52

7 Penganggkutan dan Komunikasi 8.66 10.62 15.66 12.84 13.54 1.00 0.82 0.88

8 Keuangan dan Jasa Perusahaan 11.43 14.94 17.00 13.36 14.39 0.49 0.40 0.43

9 Jasa-jasa 8.94 9.17 9.23 9.12 6.15 0.99 0.98 0.67

7.15 7.82 9.04 7.21 7.55 9.04 7.21 7.55

Sumber : BPS Provinsi Riau

Keterangan : ***(data sangat sementara), (r) angka revisi BPS

2012 (r) Sumbangan (%)

Total (Tanpa Migas)

Keterangan

GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL

Kondisi Ekonomi Makro Regional

17

Sementara itu, peran sektor non-tradables terhadap perekonomian lebih tinggi

yang menunjukkan terjadinya pergeseran struktur ekonomi di Provinsi Riau. Secara

spesifik, motor penggerak utama pertumbuhan ekonomi Riau pada triwulan

laporan utamanya berasal dari sektor perdagangan. Sektor perdagangan tercatat

memberikan sumbangan terbesar dibandingkan sektor lainnya baik terhadap total

pertumbuhan maupun tanpa memperhitungkan unsur migas. Relatif besarnya

peran sektor tersebut diindikasikan tidak terlepas dari pesatnya pembangunan

ekonomi Riau yang mendorong pelaku usaha baik dari dalam maupun luar pulau

untuk .

3.1. Sektor Pertanian

Pertumbuhan sektor pertanian Riau pada triwulan laporan mengalami peningkatan

yaitu dari 1,21% (yoy) menjadi 2,34% (yoy). Peningkatan ini ditopang oleh mulai

berproduksinya tanaman perkebunan unggulan Riau seperti kelapa sawit dan karet.

Hal ini diperkirakan tidak terlepas dari faktor rendahnya curah hujan yang sedikit

banyak mempengaruhi hasil panen komoditas tersebut.

Grafik1.14. Perkembangan Kapasitas Terpakai Sektor Pertanian

Grafik 1.15. Perkembangan Nilai Tukar Petani di Provinsi Riau

Sumber : Suvei Kegiatan Dunia Usaha Sumber : BPS Provinsi Riau

3.1. Pertambangan dan Penggalian

Sektor pertambangan Riau pada triwulan laporan mengalami penurunan yang

cukup dalam. Pertumbuhan sektor pertambangan secara umum mengalami

kontraksi sebesar 5,69% (yoy) atau merupakan yang terendah sejak 5 (lima) tahun

terakhir. Secara spesifik, volume lifting minyak bumi Riau pada triwulan laporan

tercatat sebesar 31,51 juta barel atau terkontraksi sebesar 8,92% (yoy). Dengan

kondisi tersebut, maka pencapaian lifting Riau tercatat sebesar 346,31 ribu barel

86,6

86,7

(10)

(8)

(6)

(4)

(2)

-

2

4

6

8

10

80

82

84

86

88

90

92

I II III IV I II III IV I II III IV I

2010 2011 2012 2013

%SB

T

Kapasitas Terpakai (kiri) g.yoy (kanan)

(4)

(2)

-

2

4

6

8

100

101

102

103

104

105

106

107

I II III IV I II III IV I II III IV I

2010 2011 2012 2013

%

NTP (kiri) yoy (kanan)

GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL

Kondisi Ekonomi Makro Regional

18

per hari atau lebih rendah dari triwulan sebelumnya dan periode yang sama tahun

sebelumnya yang tercatat masing-masing sebesar 380,23 dan 360,13 ribu barel per

hari.

Sebagaimana periode-periode sebelumnya, kondisi ini utamanya masih bersumber

dari faktor alamiah usia sumur minyak yang sudah relatif tua serta minimnya

penggunaan teknologi modern dalam penggalian sumur minyak tua. Disamping itu

juga ditemui sejumlah kendala lain seperti adanya pengikisan lingkungan, tumpang

tindih lahan serta kendala peraturan dan birokrasi perizinan.

Grafik 1.16. Perkembangan Volume Lifting Minyak Bumi di Riau

Grafik 1.17. Perkembangan Volume Lifting Gas Bumi di Riau

Sumber : Departmen ESDM RI

Sumber : Departmen ESDM RI

Sementara itu, dengan mengeluarkan unsur migas, laju pertumbuhan sektor

pertambangan mencatat angka yang lebih tinggi yaitu sebesar 6,86% (yoy), namun

relatif melambat jika dibandingkan dengan pertumbuhan triwulan IV-2012 yang

tercatat sebesar 6,93% (yoy). Berdasarkan hasil survei kepada pelaku usaha,

diketahui bahwa kondisi ini utamanya disebabkan oleh terbatasnya produksi

batubara sejalan dengan faktor lokasi tambang yang sudah cukup dalam. Namun

mengingat pangsa pertambangan non migas yang relatif kecil, maka perubahannya

belum dapat memberikan sumbangan yang berarti.

28

29

30

31

32

33

34

35

36

37

38

-

5

10

15

20

25

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I

2008 2009 2010 2011 2012 2013

juta

bare

l

juta

bare

l

Bengkalis Indragiri Hulu Kampar

Kep. Meranti Rokan Hilir Rokan Hulu

Siak Total (kanan)

-

0.50

1.00

1.50

2.00

2.50

3.00

3.50

-

500

1,000

1,500

2,000

2,500

3,000

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I

2008 2009 2010 2011 2012 2013

Mili

ar BTU

Mili

ar BTU

Pelalawan Pekanbaru Kep. Meranti Total (kanan)

GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL

Kondisi Ekonomi Makro Regional

19

3.2. Industri Pengolahan

Dalam triwulan laporan, sektor industri pengolahan Riau menunjukkan hal yang

menggembirakan. Pertumbuhan sektor industri pengolahan mengalami kenaikan

yakni dari 0,39% (yoy) menjadi 7,00% (yoy). Sementara, tanpa memperhitungkan

unsur migas, pertumbuhan sektor industri mencatat angka yang lebih tinggi yakni

sebesar 8,01%. Peningkatan ini utamanya dipengaruhi oleh faktor permintaan

industri domestik yang sedikit banyak membantu penyerapan output dari sektor

industri pengolahan minyak sawit mentah. Berdasarkan hasil survei, kapasitas

terpakai sektor industri pengolahan di Riau tercatat meningkat dari 72,20%

menjadi 82,40% pada triwulan I-2013. Disamping itu, peningkatan ini juga

ditopang oleh menurunnya biaya bahan baku sejalan dengan penurunan harga TBS

lokal.

Sebagaimana diketahui, konsumsi CPO Indonesia terus menunjukkan

kecenderungan peningkatan yang cukup signifikan khususnya sejak awal tahun

2012. Bahkan, sejak awal tahun 2012 lalu, tingkat konsumsi domestik Indonesia

telah melewati Cina dengan angka mencapai 7,8 juta metrik ton.2 Hal ini

diperkirakan turut mendorong peningkatan kebutuhan minyak sawit mentah dalam

negeri yang selanjutnya akan diproses menjadi produk turunan.

2 Data diperoleh dari United States Department of Agriculture

Grafik 1.18. Kapasitas Terpakai Industri Pengolahan di Riau (%)

Sumber : SKDU

Grafik 1.19. Perkembangan harga TBS Domestik dan CPO Global

73.2

82.4

-30

-20

-10

0

10

20

30

40

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

I II III IV I II III IV I II III IV I

2010 2011 2012 2013

%SB

T

Kapasitas Terpakai (kiri) g.yoy (kanan)

-

200

400

600

800

1.000

1.200

1.400

1.000

1.100

1.200

1.300

1.400

1.500

1.600

1.700

1.800

1.900

Jan-1

0Feb-1

0M

ar-

10

Apr-

10

May-1

0Ju

n-1

0Ju

l-10

Aug-1

0Sep-1

0O

ct-

10

Nov-1

0D

ec-1

0Ja

n-1

1Feb-1

1M

ar-

11

Apr-

11

May-1

1Ju

n-1

1Ju

l-11

Aug-1

1Sep-1

1O

ct-

11

Nov-1

1D

ec-1

1Ja

n-1

2Feb-1

2M

ar-

12

Apr-

12

May-1

2Ju

n-1

2Ju

l-12

Aug-1

2Sep-1

2O

ct-

12

Nov-1

2D

ec-1

2Ja

n-1

3Feb-1

3M

ar-

13

USD

/MT

Rp

/Kg

TBS Domestik (kiri) CPO Dunia (kanan)

GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL

Kondisi Ekonomi Makro Regional

20

3.3. Perdagangan, Hotel dan Restoran (PHR)

Sektor PHR Riau pada triwulan laporan mengalami perlambatan yaitu dari

18,18% (yoy) pada triwulan IV-2012 menjadi 13,07% (yoy) pada triwulan I-2013.

Dalam triwulan laporan, tingkat hunian hotel (occupancy rate) hotel di Provinsi Riau

mengalami penurunan cukup dalam yakni dari 61% pada triwulan IV-2012 menjadi

41%. Disamping itu, kredit yang disalurkan ke sektor perdagangan oleh perbankan

juga mengalami penurunan yakni dari Rp9,51 triliun menjadi Rp9,49 triliun atau

secara tahunan tumbuh sebesar 19,61% (yoy), lebih lambat dibandingkan triwulan

sebelumnya.

Grafik.1.22. Perkembangan Tingkat Hunian Hotel Bintang 3,4,5 di Riau

Grafik.1.23. Perkembangan Kredit Sektor Perdagangan di Riau

Sumber : Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia

47%

54%

48%

56%

46%

51%

44%

52%

49%

52%52%

61%

41%

40%

45%

50%

55%

60%

65%

I II III IV I II III IV I II III IV I

2010 2011 2012 2013

-

5,00

10,00

15,00

20,00

25,00

30,00

35,00

-

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

I II III IV I II III IV I II III IV I

2010 2011 2012 2013

%

Rp

tri

liu

n

Nominal (kiri) g.yoy (kanan)

Grafik 1.20. Perkembangan Konsumsi

CPO Global

Grafik 1.21. Struktur Biaya Industri Hulu Kelapa Sawit di Riau

Sumber : USDA Sumber : Survei Liason Bank Indonesia

0

10.000

20.000

30.000

40.000

50.000

60.000

3.000

4.000

5.000

6.000

7.000

8.000

9.000

Jan

-09

Mar

-09

May

-09

Jul-

09

Sep

-09

No

v-0

9Ja

n-1

0M

ar-1

0M

ay-1

0Ju

l-1

0Se

p-1

0N

ov-

10

Jan

-11

Mar

-11

May

-11

Jul-

11

Sep

-11

No

v-1

1Ja

n-1

2M

ar-1

2M

ay-1

2Ju

l-1

2Se

p-1

2N

ov-

12

Jan

-13

Mar

-13

India China EU-27 Indonesia Total (kanan)

rata-rata konsumsi CPO47,6 juta MT

Konsumsi CPO Indonesia melewati Cina

0

200

400

600

800

1000

1200

1400

1600

1800

0%

20%

40%

60%

80%

100%

2009 2010 2011 2012*

Persentase

Struktur Biaya Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit

Bahan baku Tenaga kerja Margin

Harga CPO - USD/mt (kanan) Harga TBS - Rp/kg (kanan)

Sumber : Survey Liaison Bank Indonesia dan Dinas Perkebunan Prov. Riau

GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL

Kondisi Ekonomi Makro Regional

21

3.4. Pengangkutan dan Komunikasi

Secara umum kegiatan perkembangan sektor pengangkutan dalam triwulan

laporan menunjukkan peningkatan. Pertumbuhan sektor pengangkutan dan

komunikasi di Riau mencapai 13,54% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan

pertumbuhan triwulan IV-2012 yang tercatat sebesar 12,84% (yoy) dan juga

periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 11,43% (yoy).

Salah satu indikator yang mendukung kondisi tersebut adalah masih tingginya arus

kedatangan dan keberangkatan penumpang dan pesawat di Bandara Internasional

Sultan Syarif Kasim (SSK). Pada triwulan laporan, arus kedatangan penumpang di

Bandara Internasional SSK mencapai 344.690 jiwa atau tumbuh 5,20% (yoy).

Arus kedatangan penumpang tersebut tercatat lebih tinggi dibandingkan dengan

rata-rata selama tiga tahun terakhir yang mencapai 312.162 jiwa. Sementara itu,

jumlah penumpang yang berangkat dari Bandara Internasional SSK mencapai

350.104 jiwa dan juga lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata keberangkatan

penumpang selama tiga tahun terakhir yang mencapai 312.307 jiwa.

Grafik 1.24. Arus Kedatangan dan Keberangkatan Penumpang di Bandara

Internasional Sultan Syarif Kasim

Grafik 1.25. Arus Kedatangan dan Keberangkatan Pesawat di Bandara Internasional Sultan Syarif Kasim

Sumber : PT. Angkasa Pura II

2000

2200

2400

2600

2800

3000

3200

3400

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I

2009 2010 2011 2012 2013

datang berangkat

200000

220000

240000

260000

280000

300000

320000

340000

360000

380000

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I

2009 2010 2011 2012 2013

datang berangkat

Indonesia47%

Malaysia38%Thailand

3%

Others12%

Negara Produsen Minyak Sawit Dunia

Prod. dunia = 46 juta ton/thn

Sumber : Statistik Sawit Indonesia

Riau, 25%Sumut, 17%

Kal-Teng, 14%

Sum-Sel, 12%Kal-Bar, 9%

Jambi, 9%

Kal-Tim, 8%

Kal-Sel, 6%

Luas Area Perkebunan Sawit per Provinsi

Total luas area = 9.336.965 Ha

Sumber : Statistik Sawit Indonesia

Riau, 32%

Sumut, 23%

Sum-Sel, 14%

Kal-Teng, 13%

Jambi, 9%

Kal-Bar, 9%

Produksi Sawit per Provinsi

Prod. nasional 2012 = 24.081.907 ton

Sumber : Statistik Sawit Indonesia

KELAPA SAWIT SEBAGAI SEKTOR UNGGULAN RIAU

SEKILAS KELAPA SAWIT INDONESIA

Indonesia merupakan produsen minyak sawit mentah

(CPO) terbesar di dunia dengan produksi sebesar 24

juta ton, atau sebesar 47,5% dari total produksi

dunia. Bersama dengan Malaysia, Indonesia

menguasai hampir 90% produksi CPO dunia. Luas

area

perkebunan

sawit nasional

tahun 2012 mencapai 9,3 juta ha, dengan produktifitas

sekitar 2,6 ton CPO/ha per tahun. Sumatera menjadi yang

terbesar dengan menguasai 65,4% luas area kebun

perkebunan sawit nasional dan 72,2% total produksi CPO

Indonesia. Sementara itu Kalimantan menguasai 30,3%

luas area perkebunan sawit dan 23,9% produksi CPO nasional.

SEKTOR KELAPA SAWIT PROVINSI RIAU

Luas Lahan dan Produksi

Provinsi Riau menjadi daerah penghasil kelapa sawit

terbesar dan terluas di Indonesia. Luas area perkebunan

sawit Provinsi Riau pada 2010 mencapai 2.103.175 ha,

hampir 25% dari luas area nasional. Dari luas area sawit di

Riau tersebut, hanya sekitar 76,4% merupakan tanaman

yang menghasilkan (TM), sementara 22,1% adalah

tanaman yang belum menghasilkan (TBM) dan 1,5%

adalah tanaman yang tidak menghasilkan.

Produksi tandan buah segar (TBS) Riau per tahun mencapai 36.809.252 ton dengan

produktifitas 22,8 ton TBS/ha per tahun. Dari jumlah TBS tersebut, diperoleh minyak sawit

mentah (CPO) 6.293.541 ton per tahun dengan rasio CPO/TBS sekitar 17%, sehingga

produktifitas CPO Provinsi Riau sekitar 4,1 ton/ha per tahun. Berdasarkan informasi liaison,

ditinjau siklusnya, puncak dari produksi TBS di Riau terjadi pada bulan Agustus-November,

sedangkan pada awal tahun produksi menurun. Dengan jumlah produksi CPO tersebut, Provinsi

Riau menguasai hampir 32% dari produksi CPO nasional.

Boks 1

Industri Pengolahan Kelapa Sawit

Pengembangan potensi

kelapa sawit tidak bisa

dilepaskan dari dukungan

sektor industri

pengolahannya, baik industri

hulu maupun industri hilir.

Industri hulu yang biasa

dikenal dengan Pabrik Kelapa

Sawit (PKS) mengolah

langsung hasil panen sawit

atau disebut juga dengan

tandan buah segar (TBS). Dalam ketentuannya, sebagaimana hasil Focus Group Discussion

dengan pelaku usaha, TBS harus diolah dalam waktu 8 jam setelah panen. Jika tidak TBS

akan mengalami peningkatan kandungan asam lemak bebas dan ini menyebabkan mutu TBS

menjadi turun.Untuk itu, PKS terpaksa melakukan pengulangan proses yang sama antara 2 s.d.

3 kali, yang berarti kenaikan biaya produksi.Hasil olahan TBS ini akan menjadi minyak sawit

mentah (CPO) dan biji sawit (palm kernel). CPO dapat langsung diekspor ke pasar dunia, atau

sebagai bahan baku utama bagi industri hilir, atau yang dikenal sebagai Refinery Plant,

Fraksinasi Plant, dan Oleochemical Plant. Sementara palm kernel diolah di Kernel Crushing

Plant (KCP) untuk

menghasilkan crude palm

kernel Oil (CPKO) yang

selanjutnya diolah lagi di

Cocoa Butter Substitution

Plant (CBS) Plant.

Saat ini ada sekitar 150

produk turunan dari CPO

maupun CPKO. Indonesia

baru bisa menghasilkan 47

produk turunan, lebih sedikit dibandingkan Malaysia yang sudah bisa menghasilkan sekitar

100 produk turunan CPO dan CPKO.

Luas Area Produksi TBS Jumlah PKS Kapasitas Kap. total *

(ha) (ton/thn) (tph) (ton/thn)

1 Kuantan Singingi 121,709 2,392,285 10 450 2,556,000

2 Indragiri Hulu 118,538 2,185,196 8 285 1,618,800

3 Indragiri Hilir 213,538 3,097,067 8 385 2,186,800

4 Pelalawan 184,110 3,737,648 17 715 4,061,200

5 Siak 232,857 4,035,206 15 685 3,890,800

6 Kampar 353,792 7,680,797 35 1425 8,094,000

7 Rokan Hulu 422,743 6,150,819 22 984 5,589,120

8 Bengkalis 177,130 2,303,132 8 350 1,988,000

9 Rokan Hilir 237,743 4,639,402 22 915 5,197,200

10 Kep. Meranti - - - - -

11 Pekanbaru 8,080 180,973 - - -

12 Dumai 32,935 406,727 1 60 340,800

2,103,175 36,809,252 146 6254 35,522,720

Sumber : Dinas Perkebunan Provinsi Riau, 2011

* Jam kerja 20 jam/hari, 25 hari kerja/bulan

Tabel. Industri Hulu di Prov. Riau

Kapasitas OlahProduksi TBS

No. Kabupaten/Kota

TOTAL

0

200

400

600

800

1000

1200

1400

1600

1800

0%

20%

40%

60%

80%

100%

2009 2010 2011 2012*

Persentase

Struktur Biaya Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit

Bahan baku Tenaga kerja Margin

Harga CPO - USD/mt (kanan) Harga TBS - Rp/kg (kanan)

Sumber : Survey Liaison Bank Indonesia dan Dinas Perkebunan Prov. Riau

Industri Hulu Sawit di Provinsi Riau

Industri hulu sawit (PKS) di daerah Riau

berkembang cukup pesat seiring

dengan semakin luasnya area

perkebunan sawit. Data dari Dinas

Perkebunan Prov. Riau 2011

menyebutkan bahwa terdapat sebanyak

146 unit PKS yang tersebar di daerah

Riau dengan kapasitas olah TBS 6.254

ton/jam, atau sekitar 35,5 juta ton/tahun.

Dibandingkan dengan jumlah TBS yang dipanen tiap tahun (36,8 juta ton/thn), kapasitas PKS di

daerah Riau hanya bisa mengolah langsung sekitar 96,5% dari jumlah TBS tersebut – ada

sekitar 1,3 juta ton/thn yang tidak bisa langsung diolah. Jumlah ini berpotensi meningkat

mengingat baru 77,4% dari luas area perkebunan di Riau yang menghasilkan (TM). Tiap tahun

diprediksi luas area kebun yang menghasilkan akan semakin besar seiring dengan

bertambahnya umur tanaman sawit.

Struktur Biaya Industri Hulu Sawit

Biaya produksi terbesar dalam pengolahan kelapa

sawit adalah biaya bahan baku, yaitu sekitar 70%-

80% dari total biaya produksi. Biaya-biaya lain yang

muncul dalam pengolahan kelapa sawit adalah biaya

tenaga kerja (10%-25%), biaya energy (1%-5%),

dan biaya lain-lain (± 1%). Oleh karenanya

perubahan harga kelapa sawit sangat mempengaruhi

biaya produksi, harga jual, serta margin yang didapat.

Industri Hilir Sawit di Provinsi Riau

Dari data GAPKI 2009, jumlah industri

hilir sawit di daerah Riau masih sedikit

dibandingkan di daerah Sumatera Utara.

Riau hanya memiliki 8 unit industri hilir,

yang terdiri dari 4 unit industri refinery &

fraksinasi, 1 unit industri minyak goreng, dan 3 unit industri biodiesel. Sementara Sumatera

Utara memiliki sekitar 41 unit industri hilir yang terdiri dari 18 unit industri refinery & fraksinasi,

10 unit industri minyak goreng, 4 unit industri fatty acid, 3 unit industri fatty alcohol, dan 3 unit

industri biodiesel.

India, 49%

Netherlands, 23%

Malaysia, 10%

Italy, 5%

Singapore, 3%

Germany, 2%

Tanzania, 2%

Ivory Coast, 2%

Spain, 2%Finland, 2%

Negara Tujuan Ekspor CPO - Prov. Riau

Sumber : Cognos Bank Indonesia

R.R.C32%

India17%

Pakistan

9%

Egypt9%

Bangladesh8%

Malaysia6%

Ukraine6%

Saudi Arabia5%

Turkey4%

Iran

4%

Negara Tujuan Ekspor Turunan CPO - Prov. Riau

Sumber : Cognos Bank Indonesia

2011* 2012** yoy

Produksi CPO (ton) 5,391,303 5,750,082 6.65

Ekspor CPO (ton) 3,320,405 2,793,425 (15.87)

Share ekspor (%) 61.59 48.58

Share domestik (%) 38.41 51.42

Sumber : Statisitk Sawit Indonesia

* Angka sementara

** Angka perkiraan

Tabel. Angka Produksi CPO Prov Riau

Olein40%

PKE14%

RBDPO12%

Biodiesel10%

Stearin8%

Crude Olein4%

RBDPKO4%

PFAD4%

CPKO4%

Ekspor Turunan Sawit 2012 - Prov. Riau

Sumber : Disperindag Dumai

*Berdasarkan volume ekspor

Perkembangan Sektor Kelapa Sawit di Riau

Produksi dan Penjualan

Dari data statistik sawit Indonesia yang dirilis

BPS, produksi CPO daerah Riau pada tahun

2012 diperkirakan sekitar 5,75 juta ton, naik

6,65% dibandingkan produksi tahun 2011.

Peningkatan ini disebabkan karena adanya

penambahan luas lahan baru sekitar 6,13%.Dari total CPO yang dihasilkan tersebut, 48,6%

diekspor ke luar negeri, sementara 51,4% digunakan untuk kebutuhan CPO domestik.

Ekspor

Meskipun terjadi

peningkatan volume

ekspor sekitar 8,52%

(yoy) untuk komoditi

CPO dan turunannya, tetapi dari nilai penjualan terjadi

penurunan 5,28% (yoy) karena adanya trend penurunan

harga di sepanjang tahun 2012.Dari volume ekspor, terjadi

penurunan volume ekspor CPO sekitar 15,9% dari 3,32

juta ton menjadi 2,79 juta ton. Sebaliknya, terjadi

peningkatan volume ekspor produk turunan sawit

sebesar 27,9%, yaitu dari 4,18 juta ton menjadi 5,35 juta

ton.

Volume ekspor

produk turunan

sawit terbesar

adalah RBDOlein -

turunan CPO-

(40%), diikuti oleh

PKE -turunan PK-

(14%), RBDPO -

turunan CPO- (12%), dan biodiesel (10%). Sementara itu, dari sisi nilai ekspor, penurunan yang

terjadi pada nilai ekspor CPO cukup besar (-25,62%) yaitu dari USD3,46 milliar menjadi

USD2,58 milliar. Sedangkan nilai ekspor turunan CPO meningkat sekitar 10,40% dari USD4,49

milliar menjadi USD 4,96 milliar. India menjadi negara tujuan utama dari ekspor CPO dengan

volume ekspor sekitar 49% dari total ekspor CPO Prov. Riau, diikuti oleh Belanda dengan share

23% dan Malaysia 10%. Sementara itu, untuk ekspor turunan CPO, negara tujuan utama

-

5.0

10.0

15.0

20.0

25.0

30.0

35.0

40.0

45.0

50.0

600650700750800850900950

10001050110011501200

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2

2012 2013

%USD/mt Harga Patokan Ekspor (HPE) dan Tarif Pajak Ekspor

Tarif PE CPO Tarif PE Olein

HPE CPO HPE Olein

Sumber : Permendag dan Permenkeu

700

800

900

1,000

1,100

1,200

-

100,000

200,000

300,000

400,000

500,000

600,000

700,000

800,000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2

2011 2012 2013

USD/mtTon Pergerakan Harga Jual CPO - Prov Riau

Ekspor CPO Ekspor Turunan CPO Harga Jual CPO

Sumber : Cognos Bank Indonesia

200

400

600

800

1,000

1,200

1,000

1,200

1,400

1,600

1,800

2,000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1

2011 2012 2013

USD/mtRp/kg Market Price CPO

TBS Domestik (kiri) CPO dunia (kanan) Avg. Harga CPO tahunan

Sumber : Bloomberg

adalah China dengan volume sekitar 32% dari total ekspor. Diikuti oleh India dengan share

sebesar 17% dan Pakistan 9%.

Perkembangan Hilirisasi

Komposisi jumlah produksi CPOuntuk keperluan

ekspor dan untuk kebutuhan dalam negeri

mengalami perubahan yang cukup signifikan. Pada

tahun 2012, perbandingan CPO untuk ekspor dan

domestik adalah 48% : 52%. Angka ini meningkat

dari sisi CPO untuk domestik dimana pada tahun 2011

komposisi antara CPO ekspor dan domestik adalah

62% : 38%. Hal serupa juga terjadi pada perubahan

komposisi ekspor CPO dan produkturunannya

tahun 2012 dibandingkan 2011, yaitu dari 44.27% :

55.73% menjadi 34.32% : 65.68%. Ini menandakan

semakin berkembangnya industri hilir

sawitdalamnegeri.Pemerintah dengan kebijakan pajak

ekspornya dinilai cukup berhasil dalam mendorong

hilirisasi sawit ini. Untuk diketahui, tarif pajak ekspor produk turunan CPO 2012 ditetapkan

sekitar 55% lebih rendah dibandingkan tarif pajak ekspor CPO, dengan rincian 3,0%-10,0%

untuk produk turunan CPO dan 9,0%-19,5% untuk CPO. Selain itu, insentif yang diberikan

Pemerintah antara lain menghapus pengenaan PPN (10%) dalam pengolahan CPO, dan masuk

dalam industri yang mendapat fasilitas insentif PPh (tax allowance) berdasarkan revisi Peraturan

Pemerintah No.148.

Harga & Margin

Harga CPO dunia mengalami penurunan yang

cukup besar pada tahun 2012. Harga rata-rata

CPO pada tahun 2012 sekitar USD934.05/mt,

turun 13,0% dibandingkan harga rata-rata tahun

2011 yang sebesar USD1073.63/mt. Penurunan

harga ini disebabkan oleh dua faktor utama.

Pertama, perlambatan permintaan akibat lesunya

perekonomian dunia. Kedua, kebijakan Malaysia

melalui penurunan pajak ekspor dari pada triwulan 4-2012 membuat pasokan CPO dari

Malaysia membanjiri pasar dunia, dimana ekspor CPO Malaysia pada Desember 2012

menyentuh rekor 2.63 juta ton.

Kapasitas Utilisasi 2012

Rata-rata kapasitas utilisasi dari industri pengolahan kelapa sawit di daerah Riau berkisar 90% -

95%. Faktor utama yang mempengaruhi kapasitas adalah ketersediaan bahan baku TBS yang

mencukupi. PKS yang memproduksi CPO dan palm kernel terus mengolah TBS guna

mengurangi beban kerugian berupa naiknya keasaman TBS apabila tidak cepat diolah. Hasil

FGD pada Februari 2013 menunjukkan terjadinya peningkatan stok CPO sampai dengan akhir

2012. Besarnya stok CPO tersebut yang akan dipergunakan sebagai ekspor selama

triwulan I-2013. Di sisi margin, turunnya harga dan permintaan CPO berusaha diantisipasi oleh

industri dengan menurunkan margin agar pasar tidak tergerus. Meskipun margin turun, namun

level margin yang diterima perusahaan rata-rata masih diatas 10%.

OUTLOOK SEKTOR KELAPA SAWIT PROVINSI RIAU 2013

Industri sawit masih menjadi andalan sekaligus motor perekonomian daerah Riau di sektor non-

migas untuk tahun 2013. Menurut GAPKI, permintaan dunia terhadap minyak nabati

diperkirakan akan meningkat 10%, atau sekitar 3-4 juta ton per tahunnya. Peningkatan ini

berasal dari naiknya permintaan pasar tradisional ekspor Indonesia (India dan Cina), serta

adanya permintaan baru dari pasar non-tradisional seperti kawasan Afrika (Nigeria, Pantai

Gading, Kenya), kawasan MENA (Middle East and North Africa), Pakistan, Rusia, Turki, dan

lainnya. Pasar ini mempunyai potensi permintaan yang cukup besar di saat turunnya

permintaan dari Eropa dan Amerika.

Disisi produksi, peningkatan permintaan 2013 pada produk CPO dan palm kernel akan lebih

direspons dengan peningkatan kapasitas PKS. Sementara, berdasarkan informasi liaison,

investasi yang dilakukan industri pada tahun 2012 difokuskan pada pengembangan industri

turunan yang mencakup oleochemical dan biodiesel. Peningkatan produksi akan terjadi pada

produk turunan termasuk biodiesel meskipun pasar domestik untuk biodiesel masih relatif

terbatas.

Harga minyak sawit dunia diproyeksikan akan membaik pada tahun 2013 setelah pada

sepanjang tahun 2012 mengalami penurunan yang cukup signifikan. Harga CPO pada semester

I 2013 diperkirakan di kisaran USD800 – USD900 per ton, sementara pada semester II akan naik

pada kisaran USD900 – USD1000 per ton. Kenaikan harga ini dipicu oleh beberapa hal.

Pertama, kebijakan Malaysia yang menaikkan pajak ekspor dari 0% menjadi 4,5% - 8,5% pada

bulan Maret 2013 akan membuat ekspor CPO dari Malaysia sedikit menurun. Kedua, masa

panen raya yang akan segera berakhir membuat persediaan CPO akan berkurang. Ketiga,

adanya ekspektasi permintaan dunia yang meningkat. Keempat, kenaikan harga minyak kedelai

sebagai substitusi CPO bisa mendorong naik permintaan CPO.

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah

22

1. KONDISI UMUM

Sejalan dengan perkiraan sebelumnya, tekanan inflasi Riau pada triwulan I-

2013 (yoy)1 mengalami peningkatan dibandingkan dengan triwulan

sebelumnya. Namun demikian, inflasi Riau pada triwulan laporan tercatat

masih lebih rendah dibandingkan dengan inflasi nasional maupun inflasi

Sumatera. Berdasarkan disagregasinya, peningkatan inflasi pada kelompok

volatile food memberikan sumbangan terbesar terhadap peningkatan inflasi

Riau secara umum, diikuti oleh inflasi pada kelompok administered price.

Sementara inflasi kelompok inti (core) pada triwulan laporan relatif stabil

karena ekspektasi yang terjaga dan optimisme konsumsi yang stabil.

1 yoy (year on year) atau inflasi tahunan merupakan perbandingan Indeks Harga Konsumen (IHK) pada

bulan laporan dengan IHK di bulan yang sama tahun sebelumnya

PERKEMBANGAN

INFLASI DAERAH

Bab 2

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah

23

Peningkatan inflasi pada kelompok volatile food terutama pada bumbu-

bumbuan sangat terkait dengan kebijakan pemerintah untuk membatasi

impor holtikultura. Komoditas holtikultura yang memberikan andil besar pada

inflasi umum di Riau adalah komoditas bawang merah dan bawang putih.

Selain itu, kebijakan pemerintah untuk menyesuaikan Tarif Tenaga Listrik (TTL)

secara bertahap dan adanya peningkatan tarif cukai rokok juga turut

memberikan sumbangan yang berarti terhadap inflasi Riau.

2. INFLASI TRIWULANAN (QTQ)

Tekanan inflasi Riau pada triwulan laporan tercatat mengalami peningkatan

yang berarti bila dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yaitu dari 0,68%

menjadi 2,45%, dan tercatat lebih tinggi dari rata-rata historis triwulan I dalam

kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir. Angka tersebut juga tercatat lebih tinggi

bila dibandingkan dengan inflasi Sumatera (2,35%) dan inflasi Nasional

(2,43%) pada triwulan yang sama.

Grafik 2.1. Perkembangan Inflasi Riau, Sumatera & Nasional secara Triwulanan (qtq)

Sumber : BPS, diolah

Grafik 2.2. Historis Inflasi selama Tw I di Provinsi Riau (qtq)

Sumber : BPS, diolah

Kebijakan pemerintah untuk membatasi impor produk holtikultura

berdasarkan Permentan dan Permendag No.60 tahun 20122 ditengah

terbatasnya produksi domestik telah mendorong peningkatan harga yang

signifikan pada komoditas holtikultura. Ekspektasi masyarakat akan

ketersediaan komoditas holtikultura juga dimanfaatkan oleh pedagang untuk

2 Terdapat 20 komoditas hortikultura segar yang diatur perijinan impornya berdasarkan Permentan dan Permendag No 60 Tahun 2012. Berdasarkan ketentuan tersebut sekitar 13 komoditas (antara lain cabai) ditutup impornya selama Januari – Juni 2013 sedangkan lainnya (khususnya bawang putih dan bawang merah) mengalami keterlambatan perijinan impor.

3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1

2010 2011 2012 2013

P.baru 1,70 0,30 0,79 1,72 1,83 2,48 1,51 -0,3 2,30 1,50 0,66 1,10 0,89 0,66 2,62

Dumai 3,52 -1,1 0,26 2,60 2,21 3,71 -0,2 -0,3 2,56 1,08 -0,5 1,28 1,66 0,82 1,68

Nasional 2,07 0,49 0,99 1,41 2,79 1,59 0,70 0,36 1,89 0,79 0,88 0,90 1,68 0,77 2,43

Riau 2,04 0,03 0,69 1,89 1,90 2,71 1,18 -0,3 2,35 1,43 0,43 1,13 1,03 0,68 2,45

Sumatera 2,80 0,16 0,91 1,97 2,12 2,62 0,58 0,09 2,74 0,55 0,35 1,29 1,16 0,67 2,35

-2,00

-1,00

0,00

1,00

2,00

3,00

4,00

0,00

0,50

1,00

1,50

2,00

2,50

3,00

P.baru Dumai Riau

Tw I-2013

Rata2 historis tw I (2008-2012)

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah

24

meningkatkan harga jual3 aneka bumbu-bumbuan tersebut. Selain itu,

kebijakan pemerintah untuk menaikkan Tarif Tenaga Listrik (TTL) sebesar 15%

secara bertahap selama tahun 2013 mulai bulan Januari 2013 juga sudah

mulai dirasakan dampaknya sejak bulan Februari 2013.

Jika dilihat berdasarkan kelompoknya, maka kelompok bahan makanan

tercatat mengalami inflasi tertinggi yaitu mencapai 5,01% (qtq). Kelompok

bahan makanan juga tercatat memberikan kontribusi tertinggi terhadap inflasi

Riau pada triwulan I-2013, diikuti oleh kelompok perumahan, air, listrik, gas

dan bahan bakar (2,91%).

Grafik 2.3. Inflasi dan Kontribusi Berdasarkan Kelompok

Sumber : BPS, diolah

Menghadapi tingginya tekanan kenaikan inflasi bahan makanan pada

subkelompok bumbu-bumbuan tersebut, pemerintah daerah telah menempuh

langkah-langkah intensif untuk memperkuat pasokan pangan domestik guna

meredam gejolak harga. TPID di Riau (TPID Provinsi Riau, TPID Kota Pekanbaru

dan TPID Kota Dumai) juga turut menempuh langkah-langkah dengan

melakukan pengelolaan ekspektasi harga.

2.1. Inflasi Kota

Berdasarkan kota yang disurvey di Provinsi Riau, inflasi tertinggi terjadi di Kota

Pekanbaru yaitu sebesar 2,62%, meningkat signifikan dibandingkan dengan

triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 0,66%. Seperti halnya Kota

Pekanbaru, maka tekanan inflasi di Kota Dumai juga mengalami peningkatan

3 Hasil FGD dengan asosiasi pedagang pasar di Kota Dumai

5,01

2,25

2,91

-0,72

0,820,32 0,46

1,37

0,47 0,62

-0,05

0,03 0,02 0,07

-2,00

-1,00

0,00

1,00

2,00

3,00

4,00

5,00

6,00

Inflasi Kontribusi

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah

25

yaitu dari 0,82% menjadi 1,68%. Bedasarkan sumbangannya, inflasi yang

terjadi di kota Pekanbaru memberikan sumbangan tertinggi terhadap inflasi

Riau secara umum.

Grafik 2.4. Inflasi dan Kontribusi inflasi Kota terhadap Inflasi Riau

Sumber : BPS, diolah

Secara triwulanan, peningkatan inflasi yang terjadi di Kota Pekanbaru dan

Kota Dumai utamanya didorong oleh peningkatan harga bawang merah, cabe

merah dan bawang putih. Kendala cuaca yang terjadi di daerah sentra

produksi telah menyebabkan terbatasnya pasokan aneka bumbu-bumbuan di

Riau. Kondisi ini juga semakin diperparah dengan tertahannya pasokan impor

holtikultura karena adanya kendala pada perizinan impor.

Provinsi Riau merupakan salah satu daerah di Sumatera yang mengalami

defisit komoditas holtikultura, sehingga pemenuhan pasokan sebagian besar

berasal dari daerah lain, termasuk bawang putih yang berasal dari China.

Sehingga pengaturan tersebut menyebabkan pasokan komoditas di Provinsi

Riau juga menurun. Selain itu, inflasi tukang bukan mandor sebagai dampak

dari kenaikan UMP juga memberikan dorongan yang berarti terhadap inflasi di

Riau terutama di Kota Pekanbaru.

Tabel 2.1. Komoditas dengan Kontribusi Inflasi Tertinggi selama Triwulan I-2013 (qtq)

Sumber : BPS, diolah

KontribusiInflasi

Pbr

Dumai

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah

26

Komoditas bawang merah di Kota Pekanbaru dan Kota Dumai mengalami

inflasi yang sangat tinggi yaitu masing-masing sebesar 92,96% dan 63,16%

(qtq). Namun di sisi lain, menurunnya harga daging ayam ras dan emas

perhiasan telah menahan laju inflasi pada tingkat yang lebih tinggi lagi pada

kedua kota tersebut. Menurunnya harga emas disebabkan karena saat ini

investasi dollar dianggap sebagai save haven.

Grafik 2.5. Perkembangan Harga Komoditas Bawang Merah

Sumber : Dinas Perindag Kota Pekanbaru, Dinas Perindag Dumai dan BPS

Jika dilihat secara bulanan, Kota Pekanbaru pada bulan Januari 2013

mengalami inflasi sebesar 2,01%, meningkat cukup berarti dibandingkan

dengan inflasi pada bulan sebelumnya (Desember 2012) dan merupakan inflasi

Januari tertinggi di Kota Pekanbaru sejak tahun 2008 yang lalu. Inflasi yang

terjadi di kota Pekanbaru pada bulan Januari disebabkan oleh meningkatnya

harga cabe merah, beras dan bawang merah.

Meningkatnya harga cabe merah pada bulan Januari utamanya disebabkan

karena menurunnya pasokan komoditas tersebut sejalan dengan perilaku

petani cabe merah di Sumatera Utara yang tidak melakukan panen pada akhir

Desember 20124. Selain itu, pasokan dari wilayah lain seperti Sumatera Barat

juga mengalami gangguan akibat faktor cuaca buruk serta semakin

menurunnya luas tanam tanaman cabe merah keriting sehingga berakibat

pada tidak optimalnya produksi di Provinsi Sumatera Barat5. Ditengah kondisi

4 Berdasarkan informasi dari Dinas Perdagangan Kota Pekanbaru, sekitar 40% pasokan cabe merah keriting berasal dari Sumatera Utara, adanya masa libur pada tanggal 24-31 Desember 2012 cukup mempengaruhi pasokan cabe merah keriting di Riau mengingat petani di Sumatera Utara belum melakukan panen. 5

Liason dari KPw Wilayah VIII.

-

5.000

10.000

15.000

20.000

25.000

30.000

35.000

40.000

-30,00

-20,00

-10,00

0,00

10,00

20,00

30,00

40,00

50,00

60,00

2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3

2012 2013

Harga Pekanbaru Harga Dumai

Inflasi Pekanbaru (kiri) Inflasi Dumai

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah

27

tersebut, pemerintah juga melakukan pembatasan impor produk holtikultura,

sehingga semakin memberikan tekanan terhadap harga cabe merah dan

bawang merah.

Selanjutnya, pada bulan Februari dan Maret Kota Pekanbaru masing-masing

mengalami inflasi sebesar 0,55% dan 0,04%. Terbatasnya stok bawang merah

dan bawang putih karena menurunnya produksi ditengah tertahannya

pasokan akibat permasalahan izin impor holtikultura masih terus memberikan

tekanan terhadap kenaikan harga bawang merah dan bawang putih. Namun,

masih berlanjutnya penurunan harga emas dan mulai menurunnya harga cabe

merah pada bulan Maret telah menahan laju inflasi Pekanbaru pada tingkat

yang lebih tinggi.

Tabel 2.2. Komoditas dengan Kontribusi Inflasi Tertinggi di Kota Pekanbaru selama Triwulan I-2013

Sumber : BPS, diolah

Selanjutnya, inflasi yang terjadi di Kota Dumai pada bulan Januari 2013

mencapai 1,28% dan menjadi 0,42% pada bulan Februari 2013. Kenaikan

harga aneka bumbu-bumbuan (cabe merah, bawang merah, dan bawang

putih), tarif listrik, dan tukang bukan mandor memberikan sumbangan yang

besar terhadap inflasi Kota Dumai pada 2 (dua) bulan pertama di tahun 2013.

Namun demikian, pada bulan Maret, secara umum tingkat harga di Kota

Dumai mengalami penurunan sehingga mengalami deflasi sebesar 0,02%.

Komoditas cabe merah yang pada 2 (dua) bulan sebelumnya mengalami inflasi

yang cukup berarti, di bulan Maret tercatat mengalami deflasi sebesar

12,75%. Sementara itu, komoditas bawang merah masih tetap mengalami

inflasi yang berarti (35,45%), bahkan pada bulan Maret tercatat memberikan

sumbangan tertinggi terhadap inflasi Kota Dumai.

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah

28

Tabel 2.3. Komoditas dengan Kontribusi Inflasi Tertinggi di Kota Dumai selama Triwulan I-2013

Sumber : BPS, diolah

2.2. Disagregasi Inflasi6

Meningkatnya tekanan

inflasi Riau pada triwulan

laporan secara umum

disebabkan oleh

meningkatnya tekanan

inflasi dari komponen

seluruh komponen inflasi

(core, volatile food,

administered price).

Namun, tekanan pada kelompok volatile food karena kenaikan harga

komoditas holtikultura menjadi pendorong utama meningkatnya inflasi Riau

secara umum.

2.1.1. Inflasi Inti (Core)

Pada triwulan laporan, inflasi inti Riau menunjukkan peningkatan setelah

mengalami penurunan pada triwulan sebelumnya. Meningkatnya tekanan

inflasi inti terjadi pada kedua kota yang disurvey yaitu Kota Pekanbaru dan

Kota Dumai. Peningkatan biaya sewa rumah, kontrak rumah, dan tukang

bukan mandor menjadi pendorong utama meningkatnya tekanan inflasi inti

Riau pada triwulan laporan. Kenaikan upah minimum di Kota Pekanbaru dan

Dumai pada tahun 2013 diperkirakan menjadi pendorong utama

meningkatnya tekanan inflasi inti Riau. Kenaikan upah tukang bukan mandor

6 Disagregasi dilakukan dengan pendekatan subkelompok

Grafik 2.6. Inlasi IHK dan Disagregasi Inflasi Riau (qtq)

Sumber : BPS, diolah

(6,00)

(4,00)

(2,00)

-

2,00

4,00

6,00

8,00

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1

2010 2011 2012 2013

Core

Volatile Food

Administered Price

IHK

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah

29

juga diperkirakan karena tingginya permintaan sejalan dengan adanya proyek-

proyek konstruksi di Riau. Namun demikian, menurunnya harga emas dunia

menjadi salah satu faktor yang menahan laju inflasi inti Riau pada triwulan I-

2013. Sehingga, secara umum peningkatan inflasi inti Riau pada triwulan

laporan tercatat masih berada pada tingkat yang terjaga.

Grafik 2.7. Perkembangan Core Inflation di Riau

Sumber : BPS, diolah

Grafik 2.8. Perkembangan Harga Emas Dunia

Sumber : Bloomberg

2.1.2. Inflasi Volatile Food

Tekanan inflasi yang berasal dari komponen volatile food pada triwulan

laporan mengalami peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan

triwulan sebelumnya. Peningkatan harga pada komoditas bawang merah,

cabe merah, dan bawang putih memberikan sumabangan tertinggi terhadap

meningkatnya inflasi kelompok volatile food di Provinsi Riau. Berdasarkan

kotanya, peningkatan terjadi pada kedua kota yang disurvey, namun kota

Pekanbaru tercatat mengalami inflasi volatile food tertinggi juga tercatat

mengalami peningkatan yang signifikan.

Grafik 2.9. Perkembangan Inflasi Volatile Food di Riau

Sumber : BPS, diolah

0,00

0,50

1,00

1,50

2,00

2,50

3,00

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1

2009 2010 2011 2012 2013

Pekanbaru

Dumai

Riau

0,00

200,00

400,00

600,00

800,00

1.000,00

1.200,00

1.400,00

1.600,00

1.800,00

2.000,00

6 8 1012 2 4 6 8 1012 2 4 6 8 1012 2 4 6 8 1012 2 4 6 8 1012 2 4 6 8 1012 2 4 6 8 1012 2

2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

-6,00

-4,00

-2,00

0,00

2,00

4,00

6,00

8,00

10,00

12,00

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1

2009 2010 2011 2012 2013

Pekanbaru

Dumai

Riau

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah

30

Kebijakan Pemerintah yang menetapkan Pelabuhan Belawan (Sumatera Utara)

menjadi satu-satunya yang dapat melakukan impor produk holtikultura di

Sumatera menyebabkan keterbatasan pasokan komoditas tersebut. Namun

demikian, diketahui bahwa di Kota Dumai komoditas bawang merah dan

bawang putih tersebut dapat masuk melalui pelabuhan-pelabuhan kecil secara

illegal. Kondisi ini menyebabkan ketersediaan stok komoditas tersebut di Kota

Dumai lebih terjaga7. Namun demikian, pemberitaan dimedia terkait dengan

kurangnya pasokan bumbu-bumbuan secara nasional menyebabkan para

pedagang di Kota Dumai menaikkan harga, yang tercermin tingginya harga

bawang merah di Kota Dumai pada akhir triwulan laporan (Maret 2013). Hal

ini tercermin dari lebih tingginya harga kedua komoditas tersebut di Kota

pekanbaru pada bulan Januari dan Februari.

Grafik 2.10. Perkembangan Rata-rata Harga Bawang Merah

Grafik 2.11. Perkembangan Rata-rata Harga Bawang Putih

Sumber : Disperindag Pekanbaru, diolah Sumber : Disperindag Dumai, diolah

2.1.3. Inflasi Administered Price

Kebijakan Pemerintah untuk

menyesuaikan Tarif Tenaga Listrik

(TTL) sebesar 15% secara

bertahap sejak Januari 2013

merupakan faktor utama yang

mendorong meningkatnya

tekanan inflasi kelompok

7 Hasil FGD dengan Dinas Perindag Kota Dumai, Asosiasi Pedagang Kota Dumai dan Gabungan Importir

Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) diketahui bahwa komoditas bawang merah dan bawang putih masuk secara illegal dari pelabuhan-pelabuhan tikus di Kota Dumai, sehingga stok relatif terjaga.

-

5.000

10.000

15.000

20.000

25.000

30.000

35.000

40.000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3

2011 2012 2013

Pekanbaru

Dumai

-

5.000

10.000

15.000

20.000

25.000

30.000

35.000

40.000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3

2011 2012 2013

Pekanbaru

Dumai

Grafik 2.12. Inflasi Administered Price (qtq)

Sumber : BPS, diolah

-6,00

-5,00

-4,00

-3,00

-2,00

-1,00

0,00

1,00

2,00

3,00

4,00

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1

2009 2010 2011 2012 2013

Pekanbaru

Dumai

Riau

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah

31

administered price pada triwulan laporan. Kenaikan TTL telah memberikan

tekanan berarti, mengingat pangsa biaya tenaga kerja dan biaya energi

terhadap total produksi mencapai 15%-20%8. Selain itu, kebijakan

pemerintah untuk menaikkan tarif cukai rokok untuk tahun 2013 sebesar

8,5%9 juga menjadi salah satu faktor pendorong meningkatnya tekanan inflasi

pada kelompok administered prices. Kebijakan ini telah direspon oleh pelaku

usaha dengan meningkatkan harga jual kepada konsumen untuk

mengkompensasi turunnya laba akibat kenaikan pajak.

3. INFLASI TAHUNAN (YOY)

Secara tahunan (yoy), inflasi Riau mengalami peningkatan yaitu dari 3,32%

pada triwulan IV-2012 menjadi 5,39% pada triwulan I-2013. Namun demikian

inflasi Riau pada triwulan laporan masih lebih rendah dibandingkan dengan

inflasi Sumatera dan inflasi nasional yang pada triwulan I-2013 masing-masing

mencapai 5,57% dan 5,90%. Inflasi Riau pada triwulan laporan juga masih

tercatat lebih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata historis triwulan I

sejak tahun 2009 yang lalu.

Gambar 2.1. Perkembangan Inflasi Riau, Sumatera dan Nasional secara Tahunan (yoy)

Sumber : BPS, diolah

Berdasarkan kota yang disurvey di Provinsi Riau, inflasi tertinggi terjadi di Kota

Dumai yaitu sebesar 5,56% dari 3,20% pada triwulan sebelumnya. Sementara

itu, Kota Pekanbaru tercatat mengalami inflasi sebesar 5,36% juga meningkat

8 Hasil FGD dengan APINDO dan PHRI 9 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 1790.11/2012 tentang tarif Cukai Hasil Tembakau pada 12

November 2012, dengan ketentuan tarif cukainya mulai berlaku pada tanggal 25 Desember 2012.

Sumatera

Riau

Nasional 3,32

5,39 5,42

Tw IV-12 (yoy)

Tw I-13 (yoy)

Rata-rata Tw I 2009-2012 (yoy)4,30

5,90 5,49

3,51

5,576,50

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah

32

dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 3,35%.

Dalam kurun waktu 1 (satu) tahun, peningkatan harga bawang merah menjadi

pendorong utama meningkatnya tekanan inflasi Riau, diikuti oleh peningkatan

upah tukang bukan mandor, sewa rumah, kontrak rumah, dan kenaikan harga

bawang putih. Peningkatan harga bawang merah dan bawang putih sangat

terkait dengan terlambatnya perizinan impor dan pembatasan impor

komoditas holtikultura. Sementara peningkatan upah tukang bukan mandor,

kontrak rumah dan sewa rumah diperkirakan sangat terkait dengan

peningkatan Upah Minimun dan kenailkan Tarif Tenaga Listrik tahun 2013

dibandingkan dengan tahun 2012 yang lalu.

Grafik 2.13. Perkembangan Inflasi di Riau, Sumatera dan Nasional secara Tahunan (yoy)

Sumber : BPS, diolah

3.1. Inflasi Kota

Berdasarkan kota yang disurvei, pada triwulan I-2013 Kota Pekanbaru

mengalami inflasi sebesar 5,36% (yoy), meningkat cukup berarti dibandingkan

dengan triwulan sebelumnya yaitu sebesar 3,35% (yoy). Selanjutnya inflasi

Kota Dumai meningkat lebih tinggi yaitu dari 3,20% (yoy) pada triwulan IV-

2012 menjadi 5,56% (yoy) pada triwulan I-2013. Jika dilihat dari

sumbangannya, maka Kota Pekanbaru tercatat memberikan sumbangan

tertinggi terhadap inflasi Riau triwulan I-2013.

Jika dilihat secara tahunan, inflasi yang terjadi di Kota Pekanbaru utamanya

disebabkan oleh kenaikan harga bawang merah yang mencapai 119,94%.

Selanjutnya diikuti oleh kenaikan upah bukan tukang bukan mandor, kontrak

rumah, sewa rumah dan rokok kretek filter. Namun demikian, penurunan

3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1

2010 2011 2012 2013

P.baru 2,20 1,94 2,26 4,58 4,72 7,00 7,76 5,61 6,10 5,09 4,20 5,67 4,21 3,35 5,36

Dumai 3,22 0,80 1,81 5,27 3,94 9,05 8,49 5,42 5,78 3,10 2,75 4,38 3,47 3,20 5,56

Riau 2,39 1,73 2,18 4,71 4,57 7,37 7,90 5,57 6,04 4,72 3,94 5,44 4,08 3,32 5,39

Sumatera 3,36 2,44 3,40 5,96 5,25 7,83 7,47 5,48 6,12 3,98 3,75 4,99 3,38 3,51 5,57

0,00

1,00

2,00

3,00

4,00

5,00

6,00

7,00

8,00

9,00

10,00

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah

33

harga minyak goreng dan beras telah menahan laju inflasi Kota Pekanbaru

secara umum pada tingkat yang lebih tinggi lagi.

Grafik 2.14. Sumbangan Inflasi Tahunan (yoy) Provinsi Riau

Sumber : BPS, diolah

Berbeda dengan Kota Pekanbaru, inflasi yang terjadi di Kota Dumai utamanya

didorong oleh meningkatnya harga sayuran dan buah yaitu bayam dan jeruk.

Selanjutnya, diikuti oleh kenaikan harga bahan bakar rumah tangga, bawang

merah dan bawang putih. Kondisi ini menunjukkan bahwa dampak dari

permasalahan keterlambatan izin impor dan pembatasan impor produk

holtikultura lebih terasa di Kota Pekanbaru daripada Kota Dumai.Rencana

pemerintah untuk menaikkan harga LPG diduga menjadi penyebab

meningkatnya pembelian bahan bakar rumah tangga sehingga mendorong

peningkatan yang berarti pada komoditas tersebut, dengan inflasi tertinggi

secara nasional terjadi di Kota Dumai.

Terkait dengan peningkatan harga komoditas holtikultura secara umum,

pemerintah telah mengambil langkah kebijakan untuk mengendalikan

lonjakan harga, dan hasilnya secara berangsur dapat menekan peningkatan

harga bawang putih pada akhir Maret 2013. Namun sampai sejauh ini, belum

terlihat pengaruhnya untuk komoditas bawang merah, bahkan masih terus

mengalami peningkatan sampai dengan akhir triwulan laporan. Sementara itu

panen raya beras yang bergeser ke bulan April menyebabkan penurunan

harga beras masih sangat terbatas, sehingga belum mampu mengimbangi

tekanan inflasi dari komoditas holtikultura secara umum.

KontribusiInflasi

Pbr

Dumai

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah

34

Grafik 2.15. Inflasi IHK dan Disagregasi Inflasi (yoy)

Sumber : BPS, diolah

(2,00)

-

2,00

4,00

6,00

8,00

10,00

12,00

14,00

16,00

18,00

20,00

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1

2010 2011 2012 2013

Core

Volatile Food

Administered Price

IHK

Tabel 2.4. Komoditas dengan Kontribusi Inflasi Tertinggi selama tw I-2013 (yoy)

Sumber : BPS, diolah

2.1. Disagregasi Inflasi10

Pada triwulan I-2013,

peningkatan inflasi Riau

utamanya didorong oleh

tekanan inflasi yang berasal

dari kelompok volatile food

dan administered prices.

Sementara tekanan inflasi

yang berasal dari kelompok

core relatif stabil. Stabilnya

tekanan yang berasal dari kelompok core karena adanya dukungan faktor

eksternal dan terjaganya permintaan secara umum karena ekspektasi yang

masih terjaga sehingga konsumsi masih stabil. Tekanan eksternal yang

menurun, khususnya bersumber dari harga emas dan nilai tukar yang cukup

stabil menahan kenaikan inflasi inti.

2.1.1. Inflasi Inti (Core)

Laju inflasi inti (core) Riau pada triwulan I-2013, tercatat relatif stabil bila

dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Relatif stabilnya tekanan yang

berasal dari inflasi inti didorong oleh adanya faktor eksternal dan terjaganya

permintaan secara umum. Menurunnya tekanan yang berasal dari eksternal

utamanya berasal dari penurunan harga emas dan nilai tukar yang cukup stabil

10 Disagregasi dilakukan dengan pendekatan subkelompok

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah

35

dalam menahan kenaikan inflasi inti. Sementara, terjaganya permintaan secara

umum disebabkan karena ekspektasi yang masih terjaga sehingga konsumsi

masih stabil.

Grafik 2.16 Perkembangan Inflasi Inti (yoy) di Riau

Sumber : BPS, diolah

Ekspektasi inflasi yang relatif menurun meskipun masih berada pada level yang

tinggi ditunjukkan oleh berbagai berbagai indikator ekspektasi yang

menunjukkan penurunan. Mempertimbangkan kondisi eksternal dan domestik

pada saat itu, Bank Indonesia juga menjaga BI-Rate pada level yang tetap di

5,75%. Jika dilihat berdasarkan kotanya, tekanan inflasi inti yang terjadi di

Kota Pekanbaru tercatat lebih tinggi dibandingkan dengan Kota Dumai,

meskipun masih berada pada tingkat yang relatif stabil

Grafik 2.17 Perkembangan Nilai Tukar Rupiah Terhadap USD

Grafik 2.18 Survey Ekspektasi Konsumen

Sumber : Bank Indonesia

0,00

1,00

2,00

3,00

4,00

5,00

6,00

7,00

8,00

9,00

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1

2009 2010 2011 2012 2013

Pekanbaru

Dumai

Riau

140,00

150,00

160,00

170,00

180,00

190,00

200,00

1 2 3 4 1 2 3 4 Jan Feb Maret

2011 2012 2013

Ekspektasi harga 3bulan yad Ekspektasi harga 6 bulan yad

Ekspektasi harga 12 bulan yad

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah

36

2.1.2. Inflasi Volatile Food

Terkendalanya tambahan pasokan produk holtikultura karena masalah

perizinan ditengah terganggunya produksi domestik di daerah sentra produksi

akibat faktor cuaca menjadi penyebab utama meningkatnya tekanan inflasi

volatile food pada triwulan laporan. Selain karena terganggunya pasokan

impor dan gangguan cuaca, tingginya inflasi bawang merah dan cabe merah

juga disebabkan karena tingginya permintaan bawang merah untuk

pembibitan bawang merah pasca panen padi di daerah sentra produksi.

Grafik 2.19. Perkembangan Inflasi Volatile Food (yoy)

Sumber : BPS, diolah

Grafik 2.20. Perkembangan Inflasi dan Kontribusi Bawang Merah dan Bawang Putih

Sumber : BPS, diolah

2.1.3. Inflasi Administered Price

Kebijakan pemerintah untuk melakukan penyesuaian Tarif Tenaga Listrik (TTL)

sebesar 15% secara bertahap sejak Januari 2013 dan menaikkan tarif cukai

rokok merupakan faktor utama meningkatnya inflasi kelompok administered

-10,00

-5,00

0,00

5,00

10,00

15,00

20,00

25,00

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1

2009 2010 2011 2012 2013

Pekanbaru

Dumai

Riau

0,00

1,00

2,00

3,00

4,00

5,00

6,00

Pbr Dumai

Tw I-2013 (yoy)

Inflasi Umum

Kontribusi Bawang Merah

Kontribusi Bawang Putih

-1,00

0,00

1,00

2,00

3,00

4,00

5,00

6,00

Pbr Dumai

Tw IV-2012 (yoy)

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah

37

price pada triwulan I-2012. Hal ini tercermin dari peningkatan tarif listrik dan

harga jual rokok baik dikota Pekanbaru maupun kota Dumai dalam kurun

waktu 1 (satu) tahun terakhir.

Dampak kenaikan Tarif Tenaga Listrik mulai tercatat pada inflasi bulan Februari

2013 dengan andil terhadap inflasi umum di Kota Pekanbaru sebesar 0,10%

(yoy) sementara di Kota Dumai sebesar 0,07% (yoy) dengan inflasi masing-

masing sebesar 3,60% dan 2,61%. Selain itu, rencana pemerintah untuk

menaikkan harga LPG diduga turut mendorong peningkatan pembelian bahan

bakar rumah tangga. Inflasi bahan bakar rumah tangga di Kota Dumai

mengalami peningkatan tertinggi secara nasional yaitu mencapai 17,93%

(yoy), sementara di Kota Pekanbaru hanya tercatat sebesar 2,57% (yoy).

Grafik 2.21. Perkembangan Inflasi Administered Price (yoy)

Sumber : BPS, diolah

-8,00

-3,00

2,00

7,00

12,00

17,00

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1

2009 2010 2011 2012 2013

Pekanbaru

Dumai

Riau

Peran BI Mendukung Riau Swasembada Beras

Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan

rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan secara cukup, baik dari

jumlah dan mutunya, aman, merata, dan terjangkau1. Ketahanan pangan

menjadi hal yang penting dan strategis karena berdasarkan pengalaman di

banyak negara menunjukan bahwa tidak ada satu negara pun yang dapat

melaksanakan pembangunan dengan baik sebelum mampu mewujudkan

ketahanan pangan terlebih dahulu.

Sebagai negara kepulauan yang memiliki karakteristik beragam, tidak semua

daerah di Indonesia dapat mencukupi kebutuhan pangan sendiri. Hal ini

disebabkan karena kurangnya dukungan sumber daya alam dan faktor lainnya

seperti inefisiensi2.

Provinsi Riau merupakan salah satu daerah yang dikategorikan sebagai defisit

pangan, terutama untuk komoditas beras. Meskipun memiliki kekuatan

ekonomi yang besar, namun Riau tidak didukung oleh sektor pertanian padi

yang handal. Produksi beras Riau pada tahun 2012 diperkirakan mencapai 323

ribu ton, sementara kebutuhan beras diperkirakan sekitar 614 ribu ton.

Dengan perkembangan tersebut, Provinsi Riau mengalami defisit pasokan

beras sebesar 291 ribu ton. Selama ini, defisit pasokan beras tersebut dipenuhi

dengan pasokan dari Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Jawa Barat.

1 Berdasarkan UU No.7 Tahun 1996 tentang Pangan 2 Disampaikan oleh Kepala Badan Ketahan Pangan dalam Seminar Nasional Hasil Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, 2011

Boks 2

2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012*

Luas panen (ha) 136 147 148 149 156 145 144

Prod. (ku/ha) 31,5 33,3 33,4 35,6 36,8 36,9 35,6

Produksi (ton) 271 309 311 335 362 338 323

Kebutuhan (ton) 546 552 577 557 576 597 614

-

100

200

300

400

500

600

700

ribu

Grafik 1. Perkembangan Produksi dan Kebutuhan Beras di Provinsi Riau

Sumber : Departemen Pertanian dan BPS (diolah) * Angka sementara

Defisit persediaan beras di Provinsi Riau berpotensi semakin besar setiap

tahunnya jika melihat pada perkembangan yang terjadi selama beberapa

tahun terakhir. Pertama, di sisi supply, tidak terjadi peningkatan produksi beras

yang signifikan diakibatkan semakin turunnya luas lahan pertanian sawah yang

diperkirakan karena dialih fungsikan menjadi lahan sawit. Selain itu, rendahnya

produktifitas karena inefisiensi dan faktor alam turut berperan terhadap belum

optimalnya produksi padi di Riau. Kedua, di sisi demand, kebutuhan beras

setiap tahunnya terus menunjukkan peningkatan sejalan dengan laju

pertumbuhan penduduk3 Riau yang tinggi karena prospektifnya perekonomian

Riau. Dengan perkembangan tersebut, diperlukan manajemen pengelolaan

cadangan beras yang komprehensif dan program ketahanan pangan yang

berkelanjutan untuk menjamin ketersediaan beras Riau dalam jangka panjang.

Pemerintah Provinsi Riau sejak tahun 2009 telah mencanangkan program

ketahanan pangan di seluruh kabupaten/kota Provinsi Riau yaitu Operasi

Pangan Riau Makmur (OPRM). Program pemerintah yang dibiayai dari APBN

dan APBD ini selain bertujuan untuk mewujudkan swasembada pangan Riau

secara bertahap, juga untuk mendukung program nasional surplus beras 10

juta ton di tahun 2014. Rencana program yang dilakukan dalam OPRM

3 Data BKKBN 2012 menunjukan bahwa laju pertumbuhan penduduk Riau sebesar 3,59% pertahun, lebih tinggi dibandingkan nasional yang sebesar 1,5% pertahun.

Lahan

Sawah

Lahan Bukan

Sawah*Jumlah

Tanam

dua Kali

Tanam

satu kaliJumlah

1 Keritang 7,408 727 8,135 1463 5945 7408 -

2 Reteh 3,150 - 3,150 438 2712 3150 -

3 Enok 276 789 1,065 - 255 255 21

4 Tanah Merah 128 73 201 - 26 26 102

5 Kuindra 712 870 1,582 - 649 649 63

6 Tembilahan 2,189 76 2,265 423 1603 2026 163

7 Tempuling 1,715 479 2,194 - 1715 1715 -

8 Batang Tuaka 5,580 1,412 6,992 - 4176 4176 1,404

9 GAS 1,259 1,564 2,823 675 558 1233 26

10 Gaung 2,970 4,374 7,344 617 396 1013 1,957

11 Mandah 20 480 500 - - - 20

12 Kateman - - - - - - -

13 Kemuning - 1,752 1,752 - - - -

14 Tembilahan Hulu 2,517 105 2,622 622 1636 2258 259

15 Pulau Burung - - - - - - -

16 Pelangiran - 100 100 - - - -

17 Tl. Belengkong - - - - - - -

18 Concong 129 233 362 - 52 52 77

19 Kempas 1,858 65 1,923 10 1848 1858 -

20 Sungai Batang 2,320 1,030 3,350 554 1635 2189 131

32,231 14,129 46,360 4,802 23,206 28,008 4,223

*Lahan bukan sawah yang sementara tidak dusahakan namun berpotens i untuk tanaman padi

Sumber data: Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Peternakan

Potensi (Ha) Sudah Dimanfaatkan Belum

Dimanfaatkan

(Ha)

No Kecamatan

Kab. Indragiri Hilir

mencakup pencetakan sawah baru sebanyak 228 ribu ha, rehabilitasi sawah

terlantar seluas 100 ribu ha, dan perubahan indeks penanaman (IP) 100

menjadi IP 200.

Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil) merupakan salah satu sentra padi di wilayah

Provinsi Riau yang menjadi prioritas dalam OPRM. Potensi lahan yang dimiliki

adalah sebesar 46.360 ha, namun baru sekitar 60,41% atau 28.008 ha dari

lahan tersebut yang dimanfaatkan sebagai lahan sawah dengan produksi

sebesar 76 ribu ton (21,12% produksi Riau). Mayoritas lahan sawah di Kab.

Inhil digunakan untuk sistem tanam 1 (satu) kali setahun (IP 100) dengan

produktifitas sebesar 38,6 kuintal/ha4.

Tabel 1. Potensi Lahan di Kab. Indragiri Hilir

Dalam perkembangannya, terdapat beberapa tantangan yang dihadapi dalam

pengembangan pertanian di Kab. Inhil yang berdampak pada rendahnya

efisiensi, mutu produk, dan produktifitas5, yaitu (i) rendahnya pemahaman

petani tentang teknologi pertanian, (ii) masih kurangnya penerapan teknologi

dalam pertanian padi, yaitu dalam hal penggunaan benih unggul dan

bermutu, sarana pengelolaan air, dan minimnya alat mesin pertanian (alsintan)

4 Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Peternakan (TPHP) Kab. Inhil, 2011 5 Hasil dari Forum Discussion Group (FGD) antara Pemda Kab. Inhil, Kelompok Tani, dan Bank Indonesia di Tembilahan pada Februari 2013.

untuk pengolahan lahan dan penanganan pasca panen, serta (iii) permodalan

yang minim.

Bank Indonesia selaku otoritas moneter turut mendukung program ketahanan

pangan lewat peran aktif dan kerjasama baik dengan pemerintah pusat

maupun pemerintah daerah. Kerjasama ini dimaksudkan untuk

mengembangkan sektor pertanian sebagaimana tertuang dalam Nota

Kesepahaman antara Gubernur Bank Indonesia dan Menteri Pertanian

Republik Indonesia tanggal 16 Maret 2011 tentang Kerjasama Pengembangan

Usaha di Sektor Pertanian. Dalam hal ini, Kantor Perwakilan Bank Indonesia

(KPwBI) Prov. Riau sejak tahun 2012 telah menjalin kerjasama dengan

Pemerintah Daerah Kab. Inhil untuk pengembangan usaha sektor pertanian

padi sesuai karakteristik lahan di Kab. Inhil serta mendorong akses

pembiayaannya. Bentuk kerjasama tersebut antara lain memberikan stimulus

bantuan teknis dan non teknis serta memperluas program keuangan inklusif

khususnya kepada petani dan LKM. Kerjasama ini semakin di perkuat dengan

Nota Kesepahaman yang ditandatangani pada 11 April 2013 dengan tujuan

mensinergikan sumber daya yang tersedia baik dari KPwBI Prov. Riau maupun

Pemda Kab. Inhil dengan lebih baik.

Dalam pelaksanaannya, KPwBI Prov. Riau bertanggung jawab untuk

meningkatkan kompetensi teknis kelompok tani dan petugas lapangan dalam

bentuk pelatihan dan sosialisasi, serta mendorong sumber-sumber pembiayaan

untuk lebih berperan dalam pengembangan usaha di sektor pertanian.

Sementara itu, Pemda Kab.Inhil bertanggung jawab untuk menyiapkan

kelompok tani pilihan dan menyusun konsep model pengembangan sektor

pertanian di Kab.Inhil, serta menfasilitasi kegiatan terkait sosialisasi dan

hubungan usaha petani dengan perusahaan mitra.

Program peningkatan kompetensi teknis petani yang akan dilakukan oleh

KPwBI Prov. Riau pada tahun 2013 adalah pelatihan penangkaran benih dan

pengelolaan lahan pasang surut. Selanjutnya pelatihan tersebut akan

diperdalam dengan melakukan studi banding ke sentra padi nasional sehingga

dapat secara langsung menyaksikan model pertanian yang sudah maju

sekaligus bertukar pikiran dengan petani setempat. Selain teknis pertanian,

pelatihan kewirausahaan dan manajemen keuangan juga diberikan sebagai

upaya untuk mendorong petani menjadi pengusaha di sektor pertanian

nantinya.

Sementara itu, untuk mendorong pembiayaan sektor pertanian dirancang juga

program berupa pelatihan mengenai konsep pembiayaan agribisnis kepada

lembaga keuangan mikro (LKM) serta penelitian lending model untuk Rice

Milling. Melalui program ini, diharapkan kendala/hambatan akses pembiayaan

kepada sektor pertanian dapat dihilangkan dan LKM dapat dibekali dengan

pengetahuan/strategi untuk mengembangkan bisnis usaha lewat kerjasama

dengan lembaga keuangan lain seperti perbankan.

Sebagai bentuk nyata (tangible) peran aktif dalam mengembangkan sektor

pertanian, KPwBI Prov. Riau lewat program sosial turut memberikan bantuan

non-teknis berupa alat dan mesin pertanian (alsintan) pra-panen dan pasca

panen kepada beberapa kelompok tani potensial. Bantuan alsintan ini

diberikan untuk memperkuat pelatihan teknis pertanian yang sudah diperoleh

sebelumnya. Dengan demikian, para petani tersebut terbekali secara

menyeluruh bukan hanya dari sisi pengetahuan tapi juga dari sisi peralatan,

dan diharapkan selanjutnya dapat menjadi mitra BI untuk mengembangkan

usaha pertanian kelompok tani yang lain.

Keberhasilan kerjasama program ketahanan pangan antara KPwBi Prov. Riau

dan Pemda Kab. Inhil pada akhirnya dapat dilihat dari meningkatnya 3 (tiga)

indikator berikut, yaitu produktifitas padi, ketersediaan benih, dan kompetensi

petani baik di bidang teknik bertani maupun manajemen keuangan.

Peningkatan pada ketiga indikator tersebut diharapkan tidak hanya mampu

mendorong Riau untuk swasembada beras, tetapi yang terpenting adalah

dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama para petani Riau.

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah

38

1. Kondisi Umum

Kondisi perbankan Riau pada triwulan I-2013 menunjukkan perkembangan

yang menggembirakan setelah mengalami penurunan pada triwulan

sebelumnya. Kondisi ini tercermin dari meningkatnya aset, dana, kredit yang

disalurkan dan jaringan kantor perbankan. Intermediasi perbankan mengalami

peningkatan yang tercermin dari meningkatnya LDR dengan risiko yang masih

terjaga. Peningkatan intermediasi ini juga tercermin dari peningkatan yang

signifikan dari pembukaan rekening dana baru baik tabungan, giro maupun

deposito. Berdasarkan penggunaan, kredit yang disalurkan masih terus

didominasi oleh kredit produktif dan tercatat masih terus mengalami

peningkatan. Penyaluran kredit UMKM juga terus mengalami peningkatan yang

mengimplikasikan tingginya keperdulian perbankan Riau dalam mendukung

kemajuan sektor UMKM.

Bab 3 PERKEMBANGAN PERBANKAN

DAN SISTEM PEMBAYARAN

DAERAH

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah

39

2. Perkembangan Perbankan Riau

Kinerja perbankan Riau secara umum menunjukkan perkembangnan yang

menggembirakan setelah mengalami penurunan pada triwulan sebelumnya

yang tercermin dari peningkatan aset, dana dan kredit yang disalurkan. Pada

triwulan laporan, aset perbankan Riau meningkat sebesar 1,17% (qtq) sehingga

menjadi Rp74,24 triliun. Peningkatan aset berasal dari meningkatnya aset bank

umum yang mencapai 1,21% (qtq), sementara aset BPR mengalami penurunan

sebesar 1,85%.

Peningkatan aset terjadi seiring dengan meningkatnya Dana Pihak Ketiga (DPK)

perbankan Riau sebesar 0,95% (qtq) sehingga jumlahnya mencapai Rp53,44

triliun. Peningkatan dana yang dihimpun pada akhirnya mendorong

meningkatnya jumlah kredit yang disalurkan oleh perbankan Riau pada triwulan

laporan hingga mencapai Rp44,81 triliun atau meningkat 1,48% (qtq). Kredit

perbankan Riau tercatat lebih tinggi bila dilihat berdasarkan lokasi proyek, yaitu

mencapai Rp60,30 triliun atau meningkat 0,44% (qtq).

Tabel 3.1. Perkembangan Indikator Perbankan Riau (dalam Rp Juta)

Intermediasi perbankan riau pada triwulan laporan tercatat mengalami

peningkatan yang tercermin dari meningkatnya LDR dari 83,41% menjadi

83,84%. Sementara dengan memperhitungkan kredit berdasarkan lokasi

proyek, LDR perbankan Riau tercatat lebih tinggi yaitu mencapai 112,83%.

Seiring dengan peningkatan penyaluran kredit oleh perbankan, rasio kredit

bermasalah atau Non Performing Loan (NPL) juga mengalami peningkatan yaitu

dari 3,05% menjadi 3,39%. Namun demikian, angka tersebut masih berada

pada batas aman yang ditentukan oleh Bank Indonesia yaitu sebesar 5%.

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah

40

Tabel 3.2. Perkembangan Jaringan Kantor Bank Umum di Riau Triwulan I-2013

*) Kantor wilayah, Payment Point, Kantor Fungsional, Kantor Layanan syariah, Gerai, Kas Mobil

3. Perkembangan Bank Umum

3.1. Perkembangan Jaringan Kantor

Jumlah jaringan kantor bank umum di Riau pada triwulan laporan mengalami

kenaikan sebanyak 130 kantor, sehingga menjadi 806 kantor. Penambahan

jaringan kantor tersebut terjadi pada jumlah Kantor Cabang Pembantu

(6 unit), kantor kas (86 unit) dan lainnya (38 unit).

Sementara itu, pada tingkat

kabupaten/Kota, penyebaran jaringan

kantor bank umum masih terpusat di

Kota Pekanbaru dengan jumlah

jaringan kantor mencapai 315

jaringan diikuti oleh Kabupaten

Indragiri Hilir dan Kota Dumai.

Namun, perbankan juga sudah mulai

melihat potensi ekonomi pada

kabupaten/kota lain di Provinsi Riau

sebagaimana tercermin dari

meningkatnya jumlah kantor bank di

kabupaten lain.

Tabel 3.3. Perkembangan Jaringan Kantor Bank Umum Menurut Kab./Kota di Riau Triwulan I-2013

3.2. Perkembangan Aset

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah

41

Aset bank umum di Riau pada triwulan I-2013 tercatat sebesar Rp73,22 triliun

meningkat 1,21% (qtq) setelah mengalami penurunan pada triwulan IV-2012

yang lalu. Jika dilihat secara tahunan, aset bank umum juga masih terus

mengalami peningkatan yaitu sebesar 10,17% (yoy), meskipun melambat bila

dibandingkan dengan pertumbuhan triwulan sebelumnya. Peningkatan aset

bank umum terjadi seiring dengan meningkatnya dana yang dihimpun oleh

perbankan sehingga mendorong peningkatan penyaluran kredit oleh bank

umum.

Grafik 3.1. Perkembangan Aset Bank Umum di Provinsi Riau

Grafik 3.2. Perkembangan Pangsa Aset Bank Umum Menurut Kelompok

Sumber : Bank Indonesia

Berdasarkan kelompoknya, komposisi aset bank umum di Riau tidak

mengalami perubahan yang signifikan dibandingkan periode-periode

sebelumnya. Aset bank milik pemerintah masih memiliki pangsa terbesar

dengan nilai mencapai Rp51,80 triliun atau sekitar 70,74% dari total aset

bank umum di Riau.

3.3. Kredit

3.3.1. Perkembangan Penyaluran Kredit

Pada triwulan I-2013, jumlah kredit yang disalurkan oleh bank umum

mencapai Rp44,09 triliun, meningkat 1,49% (qtq) dibandingkan triwulan

sebelumnya. Sebagian besar kredit disalurkan oleh bank umum milik

pemerintah yaitu mencapai Rp27,93 triliun (63,35%), meningkat 1,20% (qtq).

Namun pertumbuhan penyaluran kredit oleh bank milik swasta tercatat lebih

tinggi yaitu mencapai 2,00% (qtq) sehingga jumlahnya meningkat menjadi

Rp16,16 triliun. Jika dilihat dari jenis valutanya, sebagian besar kredit

(5,00)

-

5,00

10,00

15,00

20,00

25,00

30,00

0,00

10.000.000,00

20.000.000,00

30.000.000,00

40.000.000,00

50.000.000,00

60.000.000,00

70.000.000,00

80.000.000,00

1 2 3 4 1 2 3 4 1

2011 2012 2013

Rp

Ju

ta

%

Aset Pertumbuhan (yoy,%) Pertumbuhan (qtq,%)

0

10.000.000

20.000.000

30.000.000

40.000.000

50.000.000

60.000.000

70.000.000

80.000.000

1 2 3 4 1 2 3 4 1

2011 2012 2013

Swasta Pemerintah

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah

42

disalurkan masih dalam mata uang Rupiah yaitu mencapai Rp42,80 triliun

(97,07%). Sementara, kredit yang disalurkan dalam valuta asing hanya sebesar

Rp1,29 triliun. Kredit yang disalurkan dalam bentuk Rupiah mengalami

peningkatan sebesar 1,88% (qtq), sebaliknya kredit yang disalurkan dalam

bentuk mata uang asing mengalami penurunan dsebesar 9,85% (qtq).

Tabel 3.4. Posisi Kredit Bank Umum Di Provinsi Riau (dalam Rp juta)

3.3.2. Konsentrasi Kredit

Secara sektoral, kredit yang disalurkan bank umum utamanya masih

terkonsentrasi pada sektor perdagangan, hotel dan restoran dengan nilai

kredit mencapai Rp9,49 triliun dengan porsi sekitar 21,53% terhadap total

kredit. Namun demikian, penyaluran kredit ke sektor ini mengalami penurunan

sebesar 0,20% (qtq) dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Subsektor

perdagangan besar dan eceran mendominasi penyaluran kredit kepada sektor

perdagangan dengan pangsa 91,44%. Penyaluran kredit kepada subsektor

perdagangan utamanya diberikan kepada perdagangan eceran jenis makanan

sebesar Rp1,26 triliun. Diikuti oleh penyaluran kepada perdagangan eceran

keliling sebesar Rp949,82 miliar dan perdagangan eceran bukan makanan

sebesar Rp769,02 miliar.

Sektor lain yang juga tercatat menyerap kredit cukup besar adalah sektor

pertanian, dimana sebagian besar kredit diserap oleh sub sektor perkebunan

kelapa sawit dengan nilai mencapai Rp7,06triliun dan naik 2,21% (qtq). Masih

tingginya konsentrasi penyaluran kepada sub sektor perkebunan kelapa sawit

diperkirakan tidak terlepas dari adanya kegiatan peremajaan tanaman kelapa

sawit yang membutuhkan dana cukup besar serta tingginya minat pelaku

usaha dalam melakukan ekspansi usaha melalui peningkatan luas tanam.

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah

43

Tabel 3.5. Kredit Menurut Sektor Ekonomi di Provinsi Riau (Rp juta)

Ditinjau dari segi pertumbuhannya, penyaluran kredit kepada sektor listrik, gas

dan air mengalami pertumbuhan tertinggi dibandingkan dengan sektor

lainnya yakni sebesar 15,23% (qtq). Namun demikian, jika dilihat secara

tahunan (yoy) sektor konstruksi masih tercatat mengalami pertumbuhan

tertinggi yaitu mencapai 65,39%. Kondisi ini diperkirakan tidak terlepas dari

pesatnya pembangunan infrastruktur di Riau seperti pembangunan gedung

perbelanjaan dan perumahan sederhana, maupun perkantoran.

Sementara itu, berdasarkan jenis penggunaannya, penyaluran kredit produktif1

masih tetap mendominasi dengan nilai sebesar Rp27,75 triliun atau mencapai

62,94% dari total kredit yang disalurkan dan tumbuh sebesar 1,08% (qtq).

Sementara kredit konsumsi tercatat sebesar Rp16,34 triliun dan tumbuh lebih

tinggi yaitu sebesar tumbuh 2,20% (qtq). Namun, jika dilihat secara tahunan

pertumbuhan kredit produktif masih tercatat lebih tinggi (18,18%)

dibandingkan dengan pertumbuhan kredit konsumtif (17,28%) maupun

pertumbuhan kredit total (17,84%).

Garfik 3.3. Perkembangan Pangsa Kredit Menurut Jenis Penggunaan (%)

1 Terdiri dari Kredit Modal Kerja dan Kredit Investasi

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah

44

DIlihat dari jenis komponennya, pertumbuhan utamanya berasal dari

meningkatnya Kredit Modal Kerja (KMK) yang disalurkan pada triwulan I-2013

yaitu sebesar Rp15,42 triliun (20,45%,yoy). Sedangkan Kredit Investasi (KI)

mencapai Rp12,33 triliun atau tumbuh sebesar 15,45% (yoy). Masih baiknya

pertumbuhan kredit modal kerja dan kredit investasi di Riau diperkirakan tidak

terlepas karena masih kuatnya daya tahan perekonomian Riau di tengah arus

krisis ekonomi global.

Grafik 3.4. Pertumbuhan Penyaluran Kredit Menurut Jenis Penggunaan (qtq)

Grafik 3.5. Pertumbuhan Penyaluran Kredit Menurut Jenis Penggunaan (yoy)

Sementara itu, jika dilihat berdasarkan lokasi proyek maka total realisasi kredit

Riau per Februari 2013 telah mencapai Rp60,30 triliun atau meningkat 0,44%

(qtq) dibandingkan triwulan sebelumnya. Berdasarkan daerahnya, kredit lokasi

proyek yang diserap di Provinsi Riau sebagian besar masih terkonsentrasi di

Kota Pekanbaru dengan nilai mencapai Rp24,03 triliun namun menurun

0,91% dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Wilayah lain yang juga

tercatat menyerap kredit cukup tinggi adalah Kota Dumai dan Kabupaten

Kampar dengan nilai masing-masing mencapai Rp7,38 triliun dan Rp7,13

triliun.

0,00

10,00

20,00

30,00

40,00

50,00

60,00

70,00

80,00

90,00

100,00

1 2 3 2010 1 2 3 4 1 2 3 4 1

2010 2011 2012 2013

Konsumsi Investasi Modal Kerja

(12,00)

(7,00)

(2,00)

3,00

8,00

13,00

18,00

1 2 3 2010 1 2 3 4 1 2 3 4 1

2010 2011 2012 2013

Modal Kerja Investasi

Konsumsi TOTAL

(5,00)

-

5,00

10,00

15,00

20,00

25,00

30,00

35,00

2010 1 2 3 4 1 2 3 4 1

2011 2012 2013

Modal Kerja Investasi Konsumsi TOTAL

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah

45

Tabel 3.6. Distribusi Penyaluran Kredit Lokasi Proyek Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Riau (Rp juta)

*) Data s.d. bulan Februari 2013

3.3.3. Penyaluran Kredit UMKM

Penyaluran kredit kepada Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) oleh bank

umum di Riau pada triwulan I-2013 mencapai Rp15,73 triliun atau meningkat

sebesar 0,64% (qtq). Pangsa kredit ini mencapai 35,68% dari total kredit bank

umum di Riau, relatif stabil jika dibandingkan dengan tahun 2012 (35,98%).

Secara spesifik, jika dilihat menurut skala usahanya, kredit yang disalurkan

sebagian besar diserap oleh usaha kecil dengan nilai kredit sebesar Rp6,07

triliun, diikuti oleh skala usaha menengah dan mikro masing-masing sebesar

Rp5,69 triliun dan Rp3,97 triliun. Relatif besarnya penyaluran kredit UMKM di

Riau mengimplikasikan tingginya kepedulian perbankan Riau dalam

mendukung kemajuan sektor UMKM.

Tabel 3.7. Perkembangan Kredit UMKM di Provinsi Riau (Rp juta)

Ket : Kriteria UMKM mengikuti UU No.20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah

Dilihat secara sektoral, kredit UMKM yang disalurkan oleh bank umum di Riau

utamanya diserap ke sektor perdagangan dan pertanian yaitu masing-masing

sebesar Rp7,20 triliun dan Rp4,88 triliun masing-masing tercatat mengalami

peningkatan sebesar 0,24% dan 3,39%. Pada sektor perdagangan,

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah

46

penyaluran kredit UMKM utamanya diserap oleh sub sektor perdagangan yang

didominasi oleh makanan, minuman & tembakau serta perdagangan eceran

keliling masing-masing sebesar Rp1,12 triliun dan Rp949,79 miliar.

Selanjutnya, sektor UMKM yang juga cukup besar adalah sektor pertanian,

yaitu disalurkan pada sub sektor kelapa sawit seiring dengan masih cerahnya

prospek perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau yaitu sebesar Rp3,53 triliun

diikuti oleh perkebunan karet dan penghasil getah lainnya sebesar Rp312,31

miliar.

Tabel 3.8. Sebaran Kredit UMKM menurut Sektor Ekonomi (Rp juta)

Sementara itu dilihat dari penggunaannya, Kredit UMKM utamanya diserap

dalam bentuk kredit modal kerja yakni sebesar Rp10,81 triliun dan sisanya

merupakan kredit investasi yakni sebesar Rp4,91 triliun. Penyaluran kredit

modal kerja kepada UMKM di Riau tercatat meningkat sebesar 0,39% (qtq)

dan penyaluran kredit investasi sebesar 1,20% (qtq).

3.3.4. Kelonggaran Tarik

Jumlah kredit yang belum dicairkan (undisbursed loan) pada triwulan laporan

tercatat sebesar Rp3,76 triliun (sekitar 8,54% dari total kredit bank umum).

Jumlah undisbursed loan tersebut meningkat sebesar 0,47% dibandingkan

dengan triwulan sebelumnya, yang didorong oleh meningkatnya undisbursed

loan dari bank milik swasta (4,56%,qtq), sementara undisbursed loan milik

bank pemerintah tercatat mengalami penurunan (-13,26%,qtq).

Grafik 3.6. Jumlah Kredit yang Belum Dicairkan Bank Umum di Riau

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah

47

Menurut jenis penggunaan, kredit yang belum dicairkan utamanya merupakan

kredit modal kerja dengan nilai mencapai Rp3,07triliun diikuti oleh kredit

investasi yakni sebesar Rp673,46 miliar. Sementara, jika dilihat menurut sektor

ekonomi, jumlah kredit yang belum dicairkan terbesar utamanya terdapat

pada sektor perdagangan dan industri pengolahan. Relatif tingginya jumlah

undisbursed loan diperkirakan karena pencairan kredit tersebut utamanya

bersifat termin atau bertahap.

3.3.5. Risiko Kredit

Seiring dengan peningkatan jumlah kredit yang disalurkan, risiko kredit

bermasalah (Non Performing Loans/NPLs2) bank umum juga mengalami

peningkatan, namun masih berada pada tingkat yang relatif terjaga. Pada

triwulan laporan, NPLs bank umum di Riau tercatat sebesar 3,21% sedikit

meningkat dibandingkan dengan triwulan IV-2012 (2,89%) namun masih

berada dibawah batas kewajaran yang ditetapkan Bank Indonesia yakni

sebesar 5%.

Grafik 3.7. Perkembangan NPL Gross di Provinsi Riau

2 NPL Gross

0,00

0,50

1,00

1,50

2,00

2,50

3,00

3,50

4,00

Tw I 09

Tw II 09

Tw III 09

Tw IV 09

Tw I 10

Tw II 10

Tw III 10

Tw IV 10

Tw I 11

Tw II 11

Tw III 11

Tw IV 11

Tw I 12

Tw II 12

Tw III 12

Tw IV 12

Tw I 13

Pemerintah 1,01 0,85 0,94 1,15 1,14 1,34 1,39 1,94 1,72 1,50 1,57 1,83 1,88 1,67 1,62 1,41 1,32

Swasta 0,96 1,15 0,95 0,96 1,42 1,72 1,90 1,44 1,65 1,97 2,19 2,00 2,01 1,96 2,24 2,34 2,44

Total 1,98 1,99 1,89 2,11 2,56 3,07 3,29 3,38 3,36 3,47 3,77 3,83 3,89 3,63 3,86 3,75 3,76

Rp

Tri

liu

n

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah

48

Berdasarkan sektor ekonomi, diketahui bahwa sektor konstruksi masih

mengalami NPL tertinggi dibandingkan sektor-sektor lainnya yaitu sebesar

7,91%. Meskipun demikian, pangsa penyaluran kredit ke sektor ini relatif kecil

(3,36%), sehingga belum memberikan dampak yang signifikan terhadap NPL

secara umum. Namun demikian, mengingat pertumbuhan tahunan kredit di

sektor ini cukup tinggi (65,39%,yoy), maka perlu menjadi perhatian

perbankan Riau agar tingkat resikonya dapat terkontrol. Di luar sektor

tersebut, NPL sektor lainnya tercatat masih berada dibawah batas kewajaran

yang ditentukan Bank Indonesia. Meskipun demikian NPLs sektor perdagangan

sudah harus mulai mendapat perhatian mengingat besarnya pangsa sektor ini.

Tabel 3.9. NPLs Per Sektor Ekonomi di Provinsi Riau

Jika dilihat berdasarkan risiko di Kabupaten/Kota, maka risiko kredit

bermasalah tertinggi terdapat di Kabupaten Indragiri Hilir diikuti oleh Kab.

Rokan Hilir yaitu masing-masing sebesar 7,83% dan 7,02%. Angka NPL pada

kedua daerah tersebut juga tercatat mengalami peningkatan bila

dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Relatif tingginya risiko kredit

3,21

-

0,50

1,00

1,50

2,00

2,50

3,00

3,50

0

100

200

300

400

500

600

700

800

900

1.000

Tw I 09

Tw II 09

Tw III 09

Tw IV 09

Tw I 10

Tw II 10

Tw III 10

Tw IV 10

Tw I 11

Tw II 11

Tw III 11

Tw IV 11

Tw I 12

Tw II 12

Tw III 12

Tw IV 12

Tw I 13

%Rp miliar

Kurang Lancar Diragukan Macet NPLs (kanan)

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah

49

bermasalah di Kabupaten Indragiri Hilir dan Rokan Hilir utamanya berasal dari

sektor perdagangan besar dan eceran dengan NPL masing-masing mencapai

11,12% dan 11,77%. Sedangkan NPL terendah terdapat di Kabupaten

Pelalawan yaitu sebesar 0,76%, namun sedikit mengalami peningkatan bila

dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 0,55%.

Tabel 3.10. NPLs Berdasarkan Kota/Kabupaten di Provinsi Riau

3.4. Kondisi Likuiditas

3.4.1. Dana Pihak Ketiga

Penghimpunan DPK oleh bank umum di Riau pada triwulan laporan

mengalami peningkatan sebesar 0,98% (qtq) menjadi Rp52,75 triliun, setelah

mengalami penurunan pada triwulan sebelumnya. Dana yang dihimpun ini

utamanya masih bertumpu pada dana jangka pendek yaitu giro dan tabungan.

Secara umum, peningkatan dana yang dihimpun oleh bank umum di Riau

terjadi pada komponen giro yaitu mencapai 11,56% (qtq) sehingga menjadi

Rp15,78 triliun. Peningkatan jumlah giro bank umum terjadi seiring dengan

meningkatnya giro milik Pemda yang ditempatkan di bank umum, yang

diperkirakan karena belum optimalnya realisasi belanja pemerintah daerah di

awal tahun anggaran.

Tabel 3.11. Perkembangan DPK di Provinsi Riau (Rp miliar)

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah

50

Peningkatan jumlah dana yang dihimpun juga didorong oleh meningkatnya

jumlah deposito yang dihimpun terutama deposito dengan jangka waktu

panjang dan menengah, sementara deposito dengan jangka waktu pendek

(s.d.3 bulan) cenderung mengalami penurunan. Kondisi tersebut pada

akhirnya mendorong penurunan pada komponen tabungan yang memiliki

pangsa terbesar (45,19%) dari Rp25,37 triliun menjadi Rp23,84 triliun (-

6,05%). Dilihat dari jumlah rekeningnya, terjadi peningkatan yang sangat

tinggi pada jumlah rekening deposito baru dalam kurun waktu 3 (tiga) bulan

terakhir yaitu meningkat sebesar 455,41% dari 44.051 rekening pada triwulan

IV-2012 menjadi 244.664 rekening pada triwulan I-2013. Dilihat dari

pertumbuhannya, pertumbuhan tertinggi terjadi pada rekening deposito

dengan jangka panjang yaitu mencapai 2.689,20%.

Grafik 3.8. Perkembangan Jumlah Rekening Dana

Grafik 3.9. Perkembangan Jumlah Rekening Deposito

Berdasarkan kepemilikannya, peningkatan DPK utamanya didorong oleh

meningkatnya dana yang berasal dari sektor pemerintah yaitu dana milik

pemerintah daerah sebesar 41,63% (qtq) sehingga mencapai Rp11,04 triliun.

Sementara itu sektor lainnya yaitu sektor swasta dan perorangan mengalami

penurunan masing-masing sebesar 22,72% dan 1,64%. Penurunan dana dari

sektor swasta utamanya didorong oleh menurunnya dana milik perusahaan

I II III IV I

2012 2013

Giro 56.973 57.747 58.671 59.227 60.831

Tabungan 2.411.871 2.526.522 2.668.867 2.688.790 2.849.175

Deposito 43.568 42.853 43.054 44.051 244.664

Total Dana 2.512.412 2.627.122 2.770.592 2.792.068 3.154.670

-

500.000

1.000.000

1.500.000

2.000.000

2.500.000

3.000.000

3.500.000

-

20.000

40.000

60.000

80.000

100.000

120.000

140.000

160.000

IV I

2012 2013

s.d. 3 bln (naik 316,55%)

3-6 bln (naik 306,14%)

6-12 bln (naik 1.088,72%)

>12 bln (naik 2.689,20%)

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah

51

swasta sebesar 22,72% sehingga menjadi Rp5,80 triliun yang utamanya

didorong oleh penurunan giro perusahaan swasta.

Tabel 3.12. Perkembangan DPK di Provinsi Riau Menurut Kepemilikan (Rp juta)

Berdasarkan Kabupaten/Kota, penghimpunan DPK oleh bank umum di Riau

pada triwulan laporan tidak mengalami perubahan signifikan dibandingkan

dengan periode sebelumnya. Penghimpunan DPK oleh bank umum masih

terkonsentrasi di Kota Pekanbaru dengan nilai mencapai Rp31,91triliun atau

sekitar 60,50% terhadap total DPK bank umum. Daerah lain yang juga

memiliki pangsa DPK cukup besar adalah Kabupaten Bengkalis dan Kota

Dumai masing-masing sebesar 9,12% dan 8,10%. Relatif tingginya

penghimpunan DPK di ketiga kota tersebut diindikasikan tidak terlepas dari

prospek dan pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut yang juga memiliki

andil cukup signifikan terhadap perekonomian Riau.

Tabel 3.13. Penghimpunan DPK Berdasarkan Kota/Kabupaten di Provinsi Riau

3.4.2. Perkembangan Loan to Deposit Ratio (LDR)

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah

52

Posisi LDR bank umum di Riau pada triwulan I-2013 tercatat cukup tinggi yaitu

sebesar 83,58%, relatif stabil dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang

tercatat sebesar 83,16%. Sementara itu, dengan memperhitungkan kredit

berdasarkan lokasi proyek3, LDR bank umum Riau dalam triwulan laporan

mencapai angka yang lebih tinggi yakni sebesar 114,91%, juga lebih tinggi

jika dibandingkan dengan LDR nasional4 yang tercatat sebesar 85,33% pada

periode yang sama. Relatif tingginya LDR berdasarkan lokasi proyek

menunjukkan semakin ekspansifnya bank umum di Riau dalam menyalurkan

kredit.

Grafik 3.10. Perkembangan LDR Di Provinsi Riau

Ket : LDR 1 = LDR berdasarkan kredit lokasi proyek *) Data s.d. Februari 2013

3.5. Profitabilitas

3.5.1. Spread Bunga

Pergerakan suku bunga rata-rata tertimbang bank umum di Riau pada

triwulan I-2013 menunjukkan penurunan baik pada suku bunga dana yang

tercermin dari deposito 3 bulan maupun suku bunga kredit. Suku bunga kredit

tertimbang bank umum pada triwulan laporan tercatat menurun sebesar

3 bps menjadi 12,19%. Sementara itu, suku bunga dana tertimbang bank

umum mencatat penurunan yang lebih tinggi yaitu sebesar 20 bps hingga

3data posisi Februari 2013 4 data posisi Februari 2013

Tw IV 09

Tw I 10Tw II 10

Tw III 10

Tw IV 10

Tw I-11

Tw II-11

Tw III-11

Tw IV-11

Tw I-12

Tw II-12

Tw III-12

Tw IV-12

Tw I-13

LDR 78,0% 73,4% 77,4% 78,5% 78,8% 75,2% 75,9% 76,5% 80,3% 77,2% 80,1% 78,3% 83,16%83,58%

LDR1*) 114,5%104,1%111,2%117,4%114,4%114,0%112,1%113,7%113,7%108,5%111,0%111,4% 114,91 114,30

Nasional*) 72,9% 75,7% 75,7% 77,4% 75,5% 77,2% 80,0% 81,7% 79,0% 80,8% 83,4% 84,36%84,51%85,33%

0,0%

20,0%

40,0%

60,0%

80,0%

100,0%

120,0%

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah

53

menjadi 5,19%. Penurunan suku bunga dana yang lebih tinggi dibandingakn

dengan penurunan suku bunga kredit menyebabkan margin yang diterima

oleh perbankan mengalami peningkatan yaitu dari 6,83% menjadi 7,00% (17

bps) dan tercatat berada pada tingkat yang cukup tinggi.

Grafik 3.11. Perkembangan Suku Bunga Rata-rata Tertimbang Kredit dan Deposito 3 bulan

Dalam upaya meningkatkan good governance dan mendorong persaingan

yang sehat dalam industri perbankan, Bank Indonesia secara resmi telah

mengeluarkan kebijakan pemberlakuan transparansi Suku Bunga Dasar

Kredit5. Kebijakan ini bertujuan untuk menciptakan disiplin pasar yang lebih

baik melalui terbentuknya informasi yang simetris baik di tingkat pelaku usaha,

masyarakat umum maupun perbankan.

3.5.2. Pendapatan dan Beban Bunga

Jumlah pendapatan bunga yang diperoleh bank umum di Provinsi Riau selama

triwulan laporan mencapai Rp1,64 triliun, lebih rendah Rp36,30 miliar (2,17%)

dibandingkan dengan triwulan IV-2012. Semua komponen pendapatan bunga

mengalami penurunan, kecuali komponen kredit yang meningkat 0,43%

sehingga menjadi Rp1,47 triliun. Meningkatnya pendapatan yang berasal dari

kredit terjadi seiring dengan meningkatnya kredit yang disalurkan oleh

perbankan meskipun rata-rata suku bunga kredit mengalami penurunan.

5 Sebagaimana diatur dalam SE Ekstern No.13/5/DPNP tanggal 08 Februari 2011 tentang Transparansi Informasi Suku Bunga Dasar Kredit

2,00

4,00

6,00

8,00

10,00

12,00

14,00

16,00

18,00

20,00

%

MarginKreditDeposito 3 bulanBI rate

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah

54

Persentase penurunan tertinggi terjadi pada komponen SBI dan surat berharga

(54,08%) seiring dengan menurunnya penempatan bank umum Riau di SBI.

Grafik 3.12. Komposisi Pendapatan Bunga (Rp miliar)

Di sisi lain, beban bunga yang ditanggung oleh bank umum mengalami

peningkatan hingga menjadi Rp557,3 miliar (4,77%). Peningkatan tertinggi

utamanya terjadi pada komponen antar bank yang mencapai 18,74%, diikuti

oleh komponen tabungan (0,84%). Sementara komponen lainnya, yaitu giro

dan deposito mengalami penurunan seiring dengan penurunan suku bunga.

Grafik 3.13. Komposisi Beban Bunga (Rp miliar)

Tw I 11 Tw II 11Tw III 11

Tw IV 11

Tw I 12 Tw II 12Tw III 12

Tw IV 12

Tw I 13

Lainnya 100,4 103,3 110,3 140,4 89,8 84,8 86,0 123,7 99,9

Antar Bank 28,0 40,6 43,5 34,9 21,3 43,2 47,6 51,9 51,8

Kredit 1.103,8 1.115,2 1.223,2 1.257,7 1.243,3 1.361,3 1.432,4 1.464,7 1.471,0

SBI dan surat berharga 36,1 42,7 50,4 55,1 40,5 39,9 42,5 34,6 15,9

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

Tw I 10 Tw II 10 Tw III 10 Tw IV 10 Tw I-11 Tw II-11 Tw III-11 Tw IV-11 Tw I-12 Tw II-12 Tw III-12 Tw IV-12 Tw I-13

Lainnya 72,7 77,4 88,3 83,2 113,1 110,3 114,1 125,6 101,9 110,3 93,0 102,7 151,4

Antar Bank 38,0 43,7 44,8 39,8 23,5 16,6 23,3 11,8 7,0 6,1 8,0 8,7 10,3

Tabungan 107,9 102,9 109,3 116,6 125,1 129,0 133,6 129,0 124,4 110,3 111,4 114,3 115,2

Deposito 144,7 174,2 160,2 165,4 157,2 193,3 211,7 222,6 206,0 220,2 207,2 207,9 193,6

Giro 45,3 55,6 57,0 56,1 61,7 63,2 68,2 69,2 66,4 79,2 94,4 98,4 86,8

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah

55

Penurunan pendapatan bunga yang diikuti dengan peningkatan beban bunga

telah mendorong menurunnya nilai pendapatan bunga bersih6 bank umum di

Riau per Maret 2013. Nilai pendapatan bunga bersih pada triwulan I-2013

mencapai Rp1,08 triliun atau lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya

dan periode yang sama tahun sebelumnya yang masing-masing tercatat

sebesar Rp1,14triliun dan Rp889 miliar.

4. Perbankan Syariah

Kondisi perbankan syariah Riau pada triwulan I-2013 masih terus menunjukkan

perkembangan yang menggembirakan. Aset perbankan syariah Riau pada

triwulan I-2013 mencapai Rp4,64 triliun atau naik 1,23% (qtq) dibandingkan

dengan triwulan sebelumnya. Peningkatan aset ini utamanya didorong oleh

meningkatnya penghimpunan dana yaitu dari Rp3,45 triliun menjadi Rp3,57

triliun atau naik 3,49% (qtq). Sejalan dengan perkembangan tersebut, pangsa

aset syariah Riau terhadap total aset perbankan tercatat sebesar 6,25%, relatif

stabil dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.

Tabel 3.14. Indikator Kinerja Utama Perbankan Syariah di Provinsi Riau (Rp juta)

Sejalan dengan meningkatnya dana yang dihimpun, maka pembiayaan yang

disalurkan oleh perbankan Syariah di Riau juga mengalami peningkatan yaitu

dari Rp2,91 triliun menjadi Rp3,05 triliun atau meningkat 4,82% dibandingkan

dengan triwulan sebelumnya. Intermediasi perbankan syariah juga tercatat

mengalami peningkatan yang tercermin dari meningkatnya rasio FDR yaitu dari

84,30% menjadi 85,39%. Namun demikian, rasio pembiayaan bermasalah

(NPF) mengalami peningkatan yang berarti yaitu dari 2,98% menjadi 4,40%.

6 Net Interest Income atau pendapatan bunga bersih adalah pendapatan bunga dikurangi beban bunga.

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah

56

Kondisi ini perlu mendapat perhatian, mengingat rasio tersebut hampir

mencapai ambang batas aman yang ditentukan oleh Bank Indonesia yaitu 5%.

Sebagian besar pembiayaan perbankan Syariah disalurkan kepada sektor

produktif yaitu mencapai pangsa 55,96% sedikit meningkat dibandingkan

dengan triwulan sebelumnya, sisanya sebesar 44,04% diserap dalam bentuk

pembiayaan konsumtif. Secara triwulanan, pembiayaan produktif yaitu modal

kerja dan investasi masing-masing mengalami peningkatan sebesar 0,55% dan

16,86%, sementara pembiayaan konsumtif hanya meningkat sebesar 0,79%.

Dilihat secara sektoral, sebagian besar pembiayaan perbankan Syariah

disalurkan kepada sektor jasa yaitu mencapai Rp784,95 miliar, sedikit menurun

dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang mencapai Rp792,57 miliar (-

0,96%). Pembiayaan sektor lain yang juga relatif besar adalah pertanian yang

mencapai Rp380,84 miliar, meningkat cukup berarti dibandingkan triwulan

sebelumnya yang mencapai Rp284,53 miliar (33,85%).

5. Perkembangan Bank Perkreditan Rakyat (BPR/S)

Secara umum, kegiatan usaha BPR/S pada triwulan laporan menunjukkan

perkembangan yang kurang menggembirakan yang tercermin dari

menurunnya aset dan dana yang dihimpun dibandingkan dengan triwulan

sebelumnya. Namun demikian, kredit yang disalurkan masih terus mengalami

peningkatan. Pada triwulan laporan, aset BPR/S tercatat sebesar Rp1,02 triliun,

menurun 1,85% (qtq) dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang

mencapai Rp1,04 triliun. Penurunan aset ini didorong oleh menurunnya dana

yang dihimpun yaitu dari Rp694,54 miliar menjadi Rp688,36 miliar atau turun

0,89%. Sebagian dana yang dihimpun ditanamkan dalam bentuk deposito

yaitu sebesar Rp381,05 miliar dan tabungan sebesar Rp307,32 miliar.

Disisi lain, meskipun dana yang dihimpun mengalami penurunan, kredit yang

disalurkan masih terus mengalami peningkatan hingga mencapai Rp715,76

miliar atau naik 1,02%. Sebagian kredit disalurkan kepada sektor produktif

dengan pangsa sebesar 70,08% dan sisanya kepada sektor konsumtif. Kredit

produktif yaitu modal kerja dan investasi masing-masing tercatat sebesar

Rp395,13 miliar dan Rp106,50 miliar, namun kedua komponen kredit ini

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah

57

mengalami penurunan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Kredit

konsumsi yang mendorong peningkatan kredit BPR/BPRS secara umum

mengalami peningkatan sebesar 18,82% hingga mencapai Rp214,14 miliar.

Berdasarkan sektoral, kredit utamanya disalurkan kepada sektor pertanian

yaitu mencapai Rp205,11 miliar diikuti oleh sektor perdagangan yaitu sebesar

Rp170,81 miliar. Namun demikian, penyaluran kredit pada kedua sektor

utama tersebut mengalami penurunan masing-masing sebesar 1,44% dan

11,28% dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. secara sektoral

peningkatan penyaluran kredit hanya terjadi pada sektor pengangkutan yaitu

mencapai 7,16%. Namun pangsa kredit sektor ini relatif kecil hanya tercatat

sebesar 5,84% dari total kredit BPR/S, namun sedikit meningkat dibandingkan

dengan pangsa triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 5,51%.

Peningkatan penyaluran kredit yang diikuti dengan penurunan dana yang

dihimpun telah mendorong peningkatan LDR BPR/S dari 102,01% menjadi

103,98%. Namun demikian yang perlu mendapat perhatian adalah NPL BPR/S

yang terus mengalami peningkatan gingga mencapai 14,44% pada triwulan

laporan. Hal ini menunjukkan belum optimalnya kinerja debitur BPR

mengingat sebagian besar segmen kreditnya berada pada sektor informal. Jika

kondisi ini terus berlanjut diperkirakan akan menyebabkan memburuknya

Kualitas Aktiva Produktif (KAP) yang pada akhirnya akan mengganggu fungsi

intermediasi perbankan.

Tabel 3.15. Indikator Kinerja Utama BPR/S di Provinsi Riau (dalam Rp juta)

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah

58

6. Kredit Program Di Riau

6.1. Perkembangan Kredit Usaha Rakyat (KUR)

Kredit Usaha Rakyat yang disalurkan oleh 8 (delapan) bank pelaksana KUR di

Riau hingga triwulan I-2013 telah mencapai Rp3,41 triliun, naik 10,77% (qtq)

dibandingkan triwulan sebelumnya atau berada pada urutan ke-9 di tingkat

nasional dan ke-4 di Sumatera. Penyaluran KUR di Riau mencakup sekitar

3,14% dari total penyaluran KUR secara nasional yang tercatat sebesar

Rp108,73 triliun. Jumlah debitur penerima KUR di Provinsi Riau s.d triwulan I-

2013 tercatat sebesar 138.403 jiwa. Dengan demikian, rata-rata KUR yang

disalurkan di Provinsi Riau Maret 2013 mencapai Rp24,65 juta/jiwa atau naik

sebesar 2,10% (qtq) dan 10,69% (yoy).

Tabel 3.16. Perkembangan Penyaluran KUR di Riau

Sumber: Kantor Menko Perekonomian

6.2. Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE)

Sampai dengan triwulan I-2013, realisasi Kredit Ketahanan Pangan dan Energi

(KKPE) yang telah disalurkan oleh perbankan telah mencapai Rp34,54 miliar,

meningkat 12,62% dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tercatat

sebesar Rp30,67 miliar. Namun demikian, jika dibandingkan dengan tahun

sebelumnya, penyaluran KKPE Riau mengalami peningkatn yang signifikan

yaitu sebesar 159,16% yaitu dari Rp13,33 miliar.

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah

59

Grafik 3.14. Perkembangan Penyaluran KKPE di Riau

Sumber : bank penyalur KKPE di Riau

Dilihat dari jumlah penerimanya, maka peningkatan yang berarti hanya terjadi

pada penerima perorangan, yaitu dari 307 orang pada triwulan I-2012

menjadi 368 orang pada triwulan I-2013. Sementara penerima yang berasal

dari kelompok dalam kurun waktu 1 (satu) tahun hanya bertambah 7 orang

yaitu dari 40 kelompok pada triwulan I-2012 menjadi 47 kelompok pada

triwulan I-2013.

7. Perkembangan Transaksi Pembayaran

7.1. Kondisi Umum

Perkembangan transaksi pembayaran tunai di Provinsi Riau pada triwulan

I-2013 mengalami peningkatan dari sisi inflow sedangkan dari sisi outflow

mengalami penurunan sehingga transaksi tunai menunjukkan net inflow.

Kondisi ini berbeda dengan historis yang selalu menunjukkan net outflow.

Tingginya angka inflow Riau pada triwulan laporan diperkirakan karena

melambatnya realisasi kredit oleh perbankan dibandingkan triwulan

sebelumnya. Sementara itu, transaksi pembayaran non tunai, baik melalui

kliring maupun RTGS pada triwulan I-2013 mengalami peningkatan.

40 kel & 307 Pribadi

47 Kel & 362 pribadi

47 Kel & 368 pribadi

-

5.000.000

10.000.000

15.000.000

20.000.000

25.000.000

30.000.000

35.000.000

40.000.000

Tw I-2012 Tw IV-2012 Tw I-2013

Penyaluran

Baki Debet

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah

60

7.2. Perkembangan Transaksi Pembayaran Tunai

7.2.1. Aliran Uang Masuk dan Keluar (Inflow Outflow)

Perkembangan peredaran uang kartal di Provinsi Riau dapat terlihat dari

pergerakan arus uang masuk (inflow) dan arus uang keluar (outflow)7. Pada

triwulan laporan, terjadi peningkatan pada sisi inflow dari Rp957 miliar

menjadi Rp1,64 triliun atau meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya

maupun triwulan yang sama tahun sebelumnya yaitu masing-masing sebesar

71,33% dan 51,25%.

Sementara itu sesuai dengan historisnya, jumlah outflow pada triwulan I-2013

mengalami penurunan dibandingkan triwulan sebelumnya dan triwulan yang

sama tahun sebelumnya yaitu masing-masing dari Rp4,25 triliun (63,70%)

dan Rp1,57 triliun (1,97%) menjadi Rp1,54 triliun. Penurunan pada jumlah

outflow merupakan kondisi musiman setelah pada triwulan sebelumnya terjadi

permintaan yang cukup besar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat pada

hari besar keagamaan dan tahun baru.

Tingginya peningkatan inflow pada triwulan laporan telah mendorong

terjadinya net inflow sebesar Rp98 miliar. Kondisi tersebut sangat berbeda

dengan kondisi historisnya, dimana Provinsi Riau selalu menunjukkan net

outflow. Jumlah inflow pada bulan Januari 2013 tercatat sangat besar yaitu

mencapai Rp801 miliar dan merupakan inflow tertinggi selama beberapa

tahun terakhir untuk periode bulan yang sama. Relatif meningkatnya jumlah

inflow dalam kurun waktu 1 (satu) triwulanan diperkirakan karena

melambatnya penyaluran kredit dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

7 Inflow-Outflow adalah uang tunai yang diterima dan dikeluarkan oleh KPw. Bank Indonesia Provinsi Riau untuk perbankan Riau

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah

61

Grafik 3.15. Perkembangan Inflow dan Outflow

7.2.2. Penyediaan Uang Kartal Layak Edar

Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau secara berkala melakukan

kegiatan pemusnahan Uang Tidak Layak Edar (UTLE). Hal ini dilakukan sejalan

dengan upaya pemenuhan jumlah nominal uang kartal menurut jenis pecahan

dan dalam kondisi layak edar (Clean Money Policy). Uang Tidak Layak Edar

(UTLE) yang diterima dari setoran bank maupun penukaran uang dari

masyarakat tersebut selanjutnya diganti dengan uang layak edar (fit for

circulation) melalui Pemberian Tanda Tidak Berharga (PTTB).

Pada triwulan laporan, jumlah PTTB tercatat sebesar Rp171,69 miliar atau

meningkat sebesar 73,14% dibandingkan dengan triwulan sebelumnya,

sejalan dengan pergerakan kenaikan inflow. Selanjutnya, jika dilihat

berdasarkan ratio PTTB terhadap inflow, pada triwulan I-2013 ratio tercatat

sebesar 10,47%, meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang

tercatat sebesar 10,36%.

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah

62

Grafik 3.16. Perkembangan Pemberian Tanda Tidak Berharga (PTTB)

Terhadap Inflow di Provinsi Riau

Sejalan dengan peran Bank Indonesia dalam mengendalikan jumlah Uang

Tidak Layak Edar (UTLE) yang dimusnahkan berada pada level rendah, untuk

mewujudkan hal dimaksud, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau

giat melakukan sosialisasi kepada masyarakat dengan prinsip 3D (Didapat,

Disimpan, Disayang). Hal ini dilakukan agar masyarakat dapat memahami

dengan baik cara memperlukan uang guna memperpanjang usia manfaat fisik

uang.

7.2.3. Uang Rupiah Tidak Asli

Jumlah dan nominal uang rupiah tidak asli yang ditemukan oleh Kantor

Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau pada triwulan I-2013 tercatat

mengalami kenaikan bila dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Pada

triwulan laporan, jumlah uang rupiah tidak asli yang ditemukan mencapai 100

lembar dengan nominal sebesar Rp8,17 juta. Sementara pada triwulan

sebelumnya tercatat sebanyak 86 lembar dengan nominal tercatat sebesar

Rp7,35 juta.

Uang rupiah tidak asli yang dikonfirmasi oleh Kantor Perwakilan Bank

Indonesia Provinsi Riau dalam triwulan laporan terdiri dari pecahan Rp100.000

sebanyak 64 lembar, Rp50.000 sebanyak 35 lembar dan Rp20.000 sebanyak 1

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah

63

lembar. Penemuan uang rupiah tidak asli tersebut berdasarkan permintaan

klarifikasi dari perbankan dan masyarakat serta setoran bank-bank ke Kantor

Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau.

Grafik 3.17. Perkembangan Peredaran Uang Rupiah Tidak Asli di Provinsi Riau

Dalam upaya meningkatkan awareness masyarakat dalam mengidentifikasi

keaslian uang rupiah, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau secara

rutin melakukan sosialisasi mengenai ciri-ciri keaslian uang rupiah kepada

masyarakat termasuk kalangan perbankan melalui penerapan prinsip 3D

(Dilihat, Diraba, Diterawang). Dengan adanya sosialisasi ciri keaslian uang

rupiah, masyarakat diharapkan terhindar dari penyebaran uang rupiah tidak

asli.

7.3. PERKEMBANGAN TRANSAKSI PEMBAYARAN NON TUNAI

7.3.1. Transaksi Kliring

Transaksi non tunai melalui kliring pada triwulan I-2013 mengalami

peningkatan dari sisi nominal maupun warkat. Nominal transaksi kliring pada

triwulan laporan tercatat sebesar Rp7,56 triliun, meningkat dibandingkan

dengan triwulan sebelumya maupun triwulan yang sama pada tahun

sebelumnya dengan nominal masing-masing tercatat sebesar Rp6,82 triliun

(10,80%) dan Rp7,29 triliun (3,62%). Sementara, dari sisi jumlah warkat yang

digunakan tercatat mencapai 277.144 lembar, meningkat sebesar 3,47%

dibandingkan triwulan sebelumnya namun menurun dibandingkan triwulan

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah

64

yang sama pada tahun sebelumnya sebesar 3,15%. Peningkatan transaksi non

tunai melalui kliring mengindikasikan meningkatnya aktivitas masyarakat yang

menggunakan transaksi non tunai dengan transaksi sampai dengan Rp100

juta selama triwulan laporan setelah pada triwulan sebelumnya terjadi

penurunan.

Grafik 3.18. Perkembangan Transaksi Kliring di Provinsi Riau

7.3.2. Real Time Gross Settlement (RTGS)

Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) di Provinsi Riau pada

triwulan I-2013 mengalami peningkatan dibandingkan dengan triwulan

sebelumnya yaitu dari Rp84,58 triliun menjadi Rp90,79 triliun atau meningkat

sebesar 7,34%. Namun, jika dilihat dari sisi jumlah warkat yang digunakan,

pada triwulan I-2013 menurun dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu dari

59.648 warkat menjadi 51.596 warkat. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa

nilai rata-rata transaksi warkat pada triwulan laporan mengalami peningkatan

yaitu dari Rp1,42 miliar per warkat pada triwulan IV-2012 menjadi Rp1,76

miliar per warkat pada triwulan I-2013.

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah

65

Tabel 3.17. Perkembangan Nilai BI-RTGS di Provinsi Riau Triwulan I-2013

(dalam Rp miliar)

Tabel 3.18. Perkembangan Volume Warkat BI-RTGS di Riau Triwulan I-2013

Jika dilihat per Kabupaten/Kota, maka transaksi RTGS baik nilai maupun

volume di dominasi oleh Kota Pekanbaru, diikuti oleh Kota Dumai dan

Kabupaten Bengkalis. Tingginya nilai transaksi RTGS di Kota Pekanbaru

merupakan hal yang wajar mengingat tingginya aktivitas ekonomi di kota

tersebut yang merupakan pusat bisnis di Provinsi Riau. Transaksi RTGS di Kota

Pekanbaru mengalami peningkatan pada sisi nominal yaitu dari Rp78,47 triliun

menjadi Rp85,71 triliun atau naik sebesar 9,23%. Selanjutnya, diikuti oleh

transaksi RTGS di Kota Dumai dan Kabupaten Bengkalis yang masing-masing

tercatat sebesar Rp2,4 triliun dan Rp1,68 triliun. Transaksi RTGS di Kota Dumai

tercatat mengalami penurunan, namun transaksi di Kabupaten Bengkalis

tercatat mengalami peningkatan. Banyaknya pembangunan proyek-proyek

yang dilaksanakan di Provinsi Riau diperkirakan menjadi faktor pendorong

peningkatan tersebut.

FROM TO FROM -TO Kumultif Nilai FROM TO FROM -TO Kumultif Nilai

BENGKALIS 746,14 1162,8 283,43 1.625,51 933 1.424 682 1.675

DUMAI 1.938,24 1675,97 432,53 3.181,68 1.290 1.529 399 2.420

INDRAGIRI HULU 3,92 0,67 0 4,59 11 - - 11

INDRAGIRI HILIR 10,66 0,16 0 10,82 3 0 - 3

KAMPAR 17,67 449,73 1 466,40 13 323 0,10 336

KUANTAN SINGINGI - 0,76 0 0,76 - 3 - 3

PEKANBARU 52.650,51 41281,38 15460,07 78.471,82 57.622 43.659 15.569 85.712

PELALAWAN 0,91 31,78 0,06 32,63 1 38 0 38

ROKAN HILIR - 2,38 0 2,38 - 1 - 1

ROKAN HULU 29,14 1,43 0,11 30,46 28 1 - 29

SIAK 278,91 498,98 24,62 753,27 103 461 8 557

RIAU 55.676 45.106 16.202 84.580 60.004 47.439 16.658 90.785

IV-2012

Kabupaten/Kota

I-2013

FROM TO FROM- TOKumulatif

VolumeFROM TO FROM- TO

Kumulatif

Volume

BENGKALIS 1.267,00 612 214 1.665,00 1.004 485 190 1.299

DUMAI 2.506,28 3037 933 4.610,28 3.196 2.544 815 4.925

INDRAGIRI HULU 33,00 4 0 37,00 126 1 - 127

INDRAGIRI HILIR 201,00 6 0 207,00 32 2 - 34

KAMPAR 237,00 179 8 408,00 167 95 2 260

KUANTAN SINGINGI - 4 0 4,00 - 25 - 25

PEKANBARU 26.854,00 32759 8756 50.857,00 23.149 27.650 7.218 43.581

PELALAWAN 20,00 63 1 82,00 15 82 3 94

ROKAN HILIR - 20 0 20,00 - 12 - 12

ROKAN HULU 753,00 35 1 787,00 529 21 - 550

SIAK 671,00 326 26 971,00 477 236 24 689

RIAU 32.542 37.045 9.939 59.648 28.695 31.153 8.252 51.596

IV-2012

Kabupaten/Kota

I-2013

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah

66

Sementara itu, nilai transaksi terendah tercatat di Kabupaten Rokan Hilir

dengan nilai transaksi sebesar Rp1 miliar, kemudian disusul oleh Kabupaten

Indragiri Hilir dan Kuantan Singingi yaitu dengan nilai transaksi masing-masing

sebesar Rp3 miliar. Kurangnya jaringan perbankan diperkirakan menjadi faktor

rendahnya transaksi melalui RTGS di kota tersebut. Peningkatan nominal RTGS

yang diikuti oleh penurunan warkat RTGS menunjukkan menurunnya volume

transaksi, namun nilai rata-rata transaksi perwarkat mengalami peningkatan

yang berarti yaitu dari Rp1,42 miliar menjadi Rp1,76 miliar atau meningkat

sebesar 24,09%.

Financial Inclusion di Provinsi Riau

Menurut World Bank, lebih dari setengah populasi manusia dewasa atau

sekitar 2,5 miliar penduduk dunia tidak memiliki akses kepada lembaga

keuangan formal yang memadai dan ¾ penduduk miskin tidak memiliki

rekening di bank. Sementara kondisi di Indonesia juga menunjukkan bahwa

sebagian besar masyarakat Indonesia belum memperoleh jasa keuangan.

Sehubungan dengan kondisi tersebut, maka diperlukan kerangka kebijakan

untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi melalui kemudahan mengakses

jasa keuangan.

Financial inclusion adalah seluruh upaya peniadaan segala hambatan bagi

masyarakat dalam mengakses lembaga keuangan formal1. Financial inclusion

bertujuan untuk mencapai kesejahteraan ekonomi melalui pengurangan

kemiskinan, pemerataan pendapatan dan stabilitas sistem keuangan dengan

menciptakan sistem keuangan yang dapat diakses oleh seluruh lapisan

masyarakat. Menurut Alliance for Financial Inclusion (AFI), benefit yang dapat

diperoleh dengan adanya financial inclusion adalah pertumbuhan ekonomi,

stabilitas keuangan dan kehidupan sosial yang lebih kohesif.

Terdapat 3 (tiga) indikator utama untuk melihat seberapa jauh perkembangan

financial inclusion di suatu daerah, yaitu Makroekonomi, Pelayanan Jasa

Keuangan dan Penggunaan Jasa Keuangan.

1. Indikator Makroekonomi

Berdasarkan perkembangan makroekonomi, financial inclusion Riau masih

relatif rendah yang tercermin dari rasio kredit/PDRB dan DPK/PDRB yang

masing-masing tercatat hanya sebesar 12,70 dan 11,81, dan angka ini tercatat

lebih rendah dari angka nasional.

Apabila dilihat berdasarkan Kabupaten/Kota di Riau, Financial Inclusion

Pekanbaru relatif lebih baik yang tercermin dari rasio untuk seluruh indikator

yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa keuangan di Pekanbaru sudah

cukup inklusif jika dilihat dari segi makroekonomi. Bahkan tercatat lebih baik

1 Sumber : Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan, Bank Indonesia (2012)

Boks 3

bila dibandingkan dengan nasional untuk rasio kredit/PDRB dan DPK/PDRB.

Daerah lain di Riau yang juga tercatat memiliki kondisi keuangan yang lebih

inklusif setelah Pekanbaru adalah Kota Dumai.

Tabel 1. Makroekonomi

Makroekonomi Kredit (lokasi

proyek) / PDRB (%) Total DPK / PDRB (%)

Avg Kredit / PDRB perkapita (%)

Avg DPK / PDRB perkapita (%)

Kuantan Singingi 15,99 1,13 313,96 17,68

Indragiri Hulu 16,80 10,03 213,51 25,79

Indragiri Hilir 5,85 5,08 202,80 25,17

Pelalawan 13,19 5,22 4.865,42 23,98

Siak 3,00 4,88 87,98 11,55

Kampar 15,48 4,67 340,50 17,61

Rokan Hulu 14,22 3,56 713,88 30,19

Bengkalis 2,94 7,60 58,22 14,07

Rokan Hilir 2,48 3,75 118,07 45,40

Kepulauan

Meranti 3,22 6,11 101,37 34,34

Pekanbaru 48,54 57,72 217,62 46,91

Dumai 35,07 16,50 419,43 28,32

RIAU 12,70 11,81 184,66 27,76

INDONESIA 33,32 38,38 n/a 72,98

2. Indikator Pelayanan Jasa Keuangan

Dari segi pelayanan jasa keuangan, kondisi keuangan Provinsi Riau tercatat

relatif lebih inklusif dibandingkan dengan angka nasional. Hal ini tercermin

dari rasio kantor bank/1.000 km2 dan kantor bank/10.000 penduduk dewasa

yang tercatat lebih tinggi dari rasio nasional. Sementara itu, jika dilihat

berdasarkan Kabupaten/Kota di Riau, maka Kota Pekanbaru sangat inklusif bila

dibandingkan dengan Kabupaten/Kota lainnya untuk semua indikator

pelayanan jasa keuangan yang terkait dengan jaringan kantor Bank. Hal ini

mengingat Pekanbaru merupakan pusat bisnis di Riau sehingga pembangunan

sektor keuangan sangat pesat.

Namun demikian, rasio pelayanan jasa keuangan terkait dengan kantor pos

dan bank berfasilitas internet dan mobile banking tercatat cukup beragam,

meskipun secara nasional rasio Riau lebih tinggi. Untuk rasio kantor pos/1.000

km2 Pekanbaru tercatat lebih baik diikuti oleh Kota Dumai. Sementara, rasio

kantor pos/10.000 penduduk dewasa tertinggi terdapat di Kabupaten Indragiri

Hilir, hal ini sejalan dengan jumlah kantor pos yang dimiliki Indragiri Hilir

tertinggi di Riau.

Selanjutnya untuk rasio bank berfasilitas internet dan mobile banking, Dumai

tercatat merupakan yang tertinggi.

Tabel 2. Pelayanan Jasa Keuangan

Pelayanan Jasa

Keuangan

Kantor Bank /

1.000km2

Kantor Bank / 10.000

penduduk dewasa ATM / 1.000km

2

ATM / 10.000

penduduk dewasa

Kuantan Singingi 4,04 1,05 0,58 0,15

Indragiri Hulu 3,91 1,23 1,04 0,33

Indragiri Hilir 1,59 0,48 0,80 0,24

Pelalawan 2,34 1,46 1,37 0,86

Siak 4,01 1,36 3,28 1,11

Kampar 3,20 0,77 0,92 0,22

Rokan Hulu 3,04 0,72 0,41 0,10

Bengkalis 5,22 1,34 4,03 1,03

Rokan Hilir 2,12 0,54 0,78 0,20

Kepulauan Meranti

2,22 0,66 0,83 0,25

Pekanbaru 278,04 2,77 437,59 4,36

Dumai 11,77 1,42 8,34 1,00

RIAU 5,19 1,25 4,68 1,13

INDONESIA 1,18 0,09 n/a n/a

Tabel 3. Pelayanan Jasa Keuangan

Pelayanan Jasa

Keuangan Kantor Pos / 1.000km

2

Kantor Pos / 10.000

penduduk dewasa

Bank Berfasilitas /

10.000 penduduk

Kuantan Singingi 0,96 0,25 0,15

Indragiri Hulu 0,78 0,25 0,20

Indragiri Hilir 0,94 0,29 0,07

Pelalawan 0,16 0,10 0,25

Siak 0,61 0,21 0,16

Kampar 0,37 0,09 0,07

Rokan Hulu 0,83 0,20 0,10

Bengkalis 0,47 0,12 0,24

Rokan Hilir 0,45 0,11 0,17

Kepulauan Meranti 0,55 0,17 0,33

Pekanbaru 14,22 0,14 0,30

Dumai 1,47 0,18 0,35

RIAU 0,71 0,17 0,19

INDONESIA 0,21 0,02 n/a

3. Indikator Penggunaan Jasa Keuangan

Berbeda dengan indikator pelayanan jasa keuangan, untuk indikator

penggunaan jasa keuangan, rasio yang dimiliki Provinsi Riau masih lebih

rendah dibandingkan dengan rasio nasional. Hal ini terlihat dari rasio rekening

DPK/1.000 penduduk dan rasio rekening kredit/1.000 penduduk. Hal ini

menunjukkan bahwa preferensi masyarakat untuk menggunakan jasa

perbankan baik menabung maupun kredit lebih rendah dibandingkan dengan

rata-rata daerah lain di Indonesia.

Namun jika dilihat berdasarkan Kabupaten/Kota, maka Pekanbaru tercatat

relatif inklusif dibandingkan dengan nasional, hususnya untuk indikator

rekening DPK.

Tabel 4. Penggunaan Jasa Keuangan

Penggunaan Jasa Keuangan

Rek DPK / 1.000 penduduk

Rek Kredit / 1.000 penduduk

Kuantan Singingi 63,69 50,92

Indragiri Hulu 389,04 78,70

Indragiri Hilir 201,91 28,83

Pelalawan 217,61 2,71

Siak 422,70 34,13

Kampar 265,06 45,47

Rokan Hulu 118,06 19,91

Bengkalis 540,30 50,41

Rokan Hilir 82,69 21,04

Kepulauan Meranti 177,80 31,81

Pekanbaru 1.230,34 223,05

Dumai 582,74 83,62

RIAU 425,36 68,76

INDONESIA 530 197

Secara umum, dapat dilihat bahwa financial inclusion di Provinsi Riau masih

rendah. Rendahnya akses masyarakat kepada lembaga keuangan formal ini

disebabkan oleh besarnya biaya pendirian dan operasional bank, kurangnya

edukasi perbankan, biaya administrasi yang tinggi serta jauhnya jarak lokasi

bank dari tempat tinggal mereka mengingat luasnya wilayah Riau. Sementara,

menguatnya financial inclusion diyakini dapat mendorong terjadinya aktivitas

ekonomi.

Berdasarkan studi yang dilakukan terhadap program peningkatan financial

inclusion yang dijalankan oleh Mexico, setiap 10% peningkatan angka

financial inclusion dapat mendorong jumlah bisnis/usaha sebanyak 5%,

menambah lapangan pekerjaan sebanyak 0,7% dan pertumbuhan Produk

Domestik Bruto (PDB) per kapita sebesar 0,3%2

2 Sumber : World Bank (2012)

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Kondisi Keuangan Daerah

60

1. Kondisi Umum

Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Riau pada tahun 2013

mengalami peningkatan yang signifikan bila dibandingkan dengan tahun 2012

baik dari segi anggaran pendapatan maupun anggaran belanja. Alokasi

anggaran belanja mencatat kenaikan tertinggi sebesar 32,44% (yoy)

sedangkan anggaran pendapatan tercatat naik sebesar 20,22% (yoy).

Bab 4 KONDISI KEUANGAN

DAERAH

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Kondisi Keuangan Daerah

61

2. Alokasi APBD 2013

Target pendapatan Provinsi Riau pada tahun 2013 mencapai Rp6,59 triliun

atau naik sebesar 20,22% dibandingkan tahun sebelumnya. Kenaikan ini

ditopang oleh meningkatnya target Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari

Rp1,82 triliun menjadi Rp2,40 triliun atau naik sebesar 31,61%. Sementara

itu, dana perimbangan Provinsi Riau tercatat meningkat sebesar 17,95%

menjadi Rp3,54 triliun. Adapun lain-lain pendapatan yang sah justru

mengalami penurunan yakni dari Rp664,27 miliar menjadi Rp658,63 miliar

atau turun 0,85%.

Tabel 4.1. Ringkasan Realisasi APBD Provinsi Riau 2012dan 2013 (Rp miliar)

Keterangan : *) Data Sangat Sementara Sumber : Biro Perekonomian Provinsi Riau

Sementara itu, anggaran belanja sampai tahun 2013 mencapai Rp8,43 triliun

atau naik 32,44% dari anggaran belanja tahun 2012 lalu yang mencapai

Rp6,37 triliun. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, realisasi

anggaran belanja Provinsi Riau pada periode laporan mencapai

sekitar Rp1 triliun atau 11,86% dari total anggaran. Realisasi ini cenderung

Alokasi

Anggaran

Nilai

Realisasi

Realisasi

Tw I (%)

Alokasi

Anggaran Pendapatan 5,487.78 675.73 12.31 6,597.23Belanja 6,366.66 384.95 6.05 8,432.09

Surplus / Defisit (878.88) 290.78 (1,834.86)

Alokasi

Anggaran

Nilai

Realisasi

Realisasi

Tw I (%)

Alokasi

Anggaran Pendapatan Asli Daerah 1,824.50 382.08 20.94 2,401.14Dana Perimbangan 2,999.00 140.87 4.70 3,537.46Lain-Lain Pendapatan Yang Sah 664.27 152.78 23.00 658.63

Pendapatan 5,487.78 675.73 12.31 6,597.23

Alokasi

Anggaran

Nilai

Realisasi

Realisasi

Tw I (%)

Alokasi

Anggaran

Belanja Tidak Langsung 3,221.36 295.25 9.17 3,556.60Belanja Langsung 3,145.29 89.70 2.85 4,875.49

Belanja 6,366.66 384.95 6.05 8,432.09

2013

2013

2013

Uraian

2012

Uraian

2012

Uraian

2012

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Kondisi Keuangan Daerah

62

lebih tinggi bila dibandingkan dengan realisasi tahun sebelumnya yang

mencapai 6,05%.

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Kesejahteraan

Daerah

63

1. Kondisi Umum

Tingkat kesejahteraan di Provinsi Riau telah menunjukkan perkembangan yang

cukup menggembirakan, yang tercermin dari menurunnya tingkat kemiskinan

yang diikuti dengan membaiknya indeks kedalaman dan keparahan

kemiskinan. Namun demikian, indikator lainnya yaitu nilai tukar petani (NTP)

masih terus menunjukkan penurunan. Penurunan NTP Riau dalam kurun

waktu 1 (satu) tahun terakhir disebabkan karena lebih tingginya kenaikan

biaya yang harus dibayar petani akibat peningkatan harga pangan

dibandingkan dengan kenaikan pendapatan yang diterima petani. Secara

umum, membaiknya kondisi kesejahteraan masyarakat Riau mengindikasikan

semakin meningkatnya kualitas pertumbuhan ekonomi Riau (non-migas) yang

Bab 5

PERKEMBANGAN

KESEJAHTERAAN DAERAH

MONETER, PERBANKAN

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Kesejahteraan

Daerah

64

2007 2008 2009 2010 2011 2012

Riau jumlah 575 567 528 500 472 481

Riau % (kanan) 11,2 10,63 9,48 8,65 8,17 8,05

Nasional % (kanan) 16,58 15,42 14,15 13,33 12,49 11,66

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

-

100

200

300

400

500

600

700

%ribu jiwa

oleh Bappenas diklasifikasikan sebagai pertumbuhan ekonomi yang pro-

growth, pro-poor, dan pro-job. Tantangan yang mengemuka adalah

terjadinya arus migrasi penduduk yang unskill di perkotaan yang

mengakibatkan tingkat kemiskinan kota naik.

2. Kemiskinan

2.1 Penduduk Miskin Riau

Perkembangan penduduk miskin di Riau dalam kurun waktu 5 (lima) tahun

terakhir menunjukkan perkembangan yang menggembirakan yang tercermin

dari penurunan persentase penduduk miskin. Pada tahun 20121, persentase

penduduk miskin di Riau tercatat sebesar 8,05%. Angka kemiskinan di Riau

tercatat lebih rendah dari angka kemiskinan nasional yang mencapai 11,66%.

Menurunnya tingkat kemiskinan di Riau diperkirakan tidak terlepas dari

semakin prospektifnya kondisi perekonomian Riau. Namun yang menjadi

tantangan adalah jika dilihat dari jumlahnya maka penduduk miskin di Riau

tahun 2012 menunjukkan peningkatan dibandingkan tahun 2011 yang lalu,

terutama di daerah perkotaan. Manisnya ekonomi kota di Riau turut pula

menyebabkan terjadinya migrasi2 penduduk yang unskill.

Grafik 5.1 Perkembangan Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Riau

1 per September 2

Data BKKBN 2012 menunjukkan laju pertumbuhan penduduk Riau sebesar 3,59% per tahun, lebih tinggi dibandingkan nasional yang sebesar 1,5% per tahun.

Sumber : BPS, diolah

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Kesejahteraan

Daerah

65

8,26 9,37 9,53 9,12

8,04 7,17

6,37 6,01 6,43 6,68

16,82

14,40

12,90 12,16

10,93 10,15 9,83 9,56 9,36 8,94

-

2,00

4,00

6,00

8,00

10,00

12,00

14,00

16,00

18,00

-

100

200

300

400

500

600

700

2005 2006 2007 2008 2009 2010 Mar-11 Sep-11 Mar-12 Sep-12

%jiwaKota

Desa

% Kota (kanan)

% Desa (kanan)

Berdasarkan wilayahnya, sebaran penduduk miskin di Riau relatif tidak

berubah, masih di dominasi oleh penduduk miskin di pedesaan. Pada tahun

2012, penurunan angka kemiskinan di Riau di dorong oleh penurunan jumlah

penduduk miskin di daerah pedesaan. Jumlah penduduk miskin di pedesaan

pada tahun 2012 tercatat sebesar 325 ribu jiwa atau 67,57% dari jumlah

penduduk miskin Riau. Jumlah ini menurun sekitar 3,27% dibandingkan

tahun 2011 yang tercatat 336 ribu jiwa. Seiring dengan penurunan jumlah

penduduk miskin tersebut, tingkat kemiskinan di pedesaan juga menurun

yaitu dari 9,56% menjadi 8,94%.

Sementara itu, penduduk miskin Riau di daerah perkotaan mengalami

kenaikan yang cukup besar, yaitu sekitar 20 ribu jiwa (14,70%) dibandingkan

tahun 2011. Jumlah penduduk miskin daerah perkotaan pada tahun 2012

tercatat sebesar 156 ribu jiwa, sementara pada tahun 2011 sebesar 136 ribu

jiwa. Kenaikan tersebut telah mendorong peningkatan persentase penduduk

miskin di daerah perkotaan dari 6,01% menjadi 6,68%.

Grafik 5.2 Perkembangan Sebaran Penduduk Miskin di Riau

Penurunan jumlah penduduk miskin di pedesaan yang diikuti dengan

peningkatan jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan diperkirakan tidak

terlepas dari terjadinya migrasi. Hal ini terkonfirmasi oleh data BPS yang

menunjukkan persentase penduduk daerah perkotaan Provinsi Riau

Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Kesejahteraan

Daerah

66

2007 2008 2009 2010 Mar-11 Sep-11 Mar-12 Sep-12

GK Kota 233.7 247.9 265.7 276.6 306.5 321.3 326.7 333.9

GK Desa 194.0 210.5 227.0 235.2 267.0 280.2 284.0 295.5

GK Riau 214.0 229.3 246.4 256.1 282.4 296.3 300.7 310.6

-

50.000

100.000

150.000

200.000

250.000

300.000

350.000

400.000

Rp.ribu/kapita/bl

Grafik 5.3. Perkembangan Garis

Kemiskinan di Riau

Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah

mengalami peningkatan setiap tahunnya3. Kondisi tersebut ditengarai terjadi

karena daya tarik perkotaan sebagai pusat perekonomian, pendidikan, dan

hiburan yang jauh lebih baik dibandingkan daerah pedesaan. Namun

demikian, secara umum tingkat kemiskinan daerah pedesaan masih tetap

lebih tinggi dibandingkan tingkat kemiskinan di perkotaan.

2.2 Garis Kemiskinan (GK) Riau

Besar kecilnya jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh Garis

Kemiskinan (GK), karena penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki

rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah GK. Selama 6 (enam)

tahun terakhir, GK Riau terus menunjukkan kecenderungan yang meningkat.

Pada tahun 2012, GK Riau mencapai Rp.310.603,- perkapita/bulan,

meningkat 4,80% dibandingkan tahun sebelumnya. Secara umum,

peningkatan GK yang diikuti dengan penurunan tingkat kemiskinan

menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan penduduk Riau semakin

meningkat sebagai akibat dari pertumbuhan perekonomian Riau yang tinggi4.

Secara umum, berdasarkan

wilayahnya GK di kota lebih tinggi

dibandingkan GK di desa. Pada

tahun 2012, GK di kota mencapai

Rp.333.933,- perkapita/bulan,

meningkat 3,90% dibandingkan

tahun 2011 yang tercatat sebesar

Rp.321.390,- perkapita/bulan.

Sementara itu, GK di desa tercatat

sebesar Rp.295.582,- per

kapita/bulan, meningkat 5,46%

3 Data Statistik Indonesia yang dirilis BPS menunjukkan bahwa persentase penduduk daerah perkotaan Provinsi Riau pada tahun 2010 sebesar 56,6%, dan diperkirakan akan meningkat menjadi 62,1% pada tahun 2015. 4 Bappenas pada 2012 mengklasifikasikan Provinsi Riau sebagai salah satu provinsi yang memiliki pertumbuhan PDRB Non-Migas yang tinggi dan bersifat pro-poor (mengurangi tingkat kemiskinan) dan pro-job (mengurangi tingkat pengangguran).

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Kesejahteraan

Daerah

67

2007 2008 2009 2010Mar-

11Sep-11

Mar-12

Sep-12

GK Makanan 156.24 167.20 179.24 183.80 208.38 219.05 220.54 228.11

GK Non Makanan 57.785 62.165 67.236 72.307 74.090 77.320 80.245 82.492

GK Riau 214.03 229.37 246.48 256.11 282.47 296.37 300.79 310.60

-

50.000

100.000

150.000

200.000

250.000

300.000

350.000

Rp.ribu/kapita/bl

dibandingkan tahun sebelumnya. Namun demikian, peningkatan GK Riau

pada tahun 2012 cenderung melambat dibandingkan peningkatan GK tahun

2011, baik di daerah perkotaan maupun di pedesaan.

Meningkatnya GK Riau pada

tahun 2012 didorong oleh

kenaikan GK makanan dan GK

bukan makanan. GK makanan

tahun 2012 tercatat sebesar

Rp.228.111,- perkapita/bulan,

atau meningkat sekitar 4,13%

dibandingkan tahun sebelumnya.

Sementara itu, GK bukan

makanan tercatat sebesar

Rp.82.492,- perkapita/bulan, atau meningkat sekitar 6,69%. Kenaikan GK

bukan makanan yang lebih tinggi dibandingkan GK makanan diperkirakan

karena inflasi kelompok bahan makanan relatif lebih stabil dibandingkan

inflasi kelompok non makanan selama tahun 2012.

2.3 Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan

Kemiskinan (P2) di Riau

Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) merupakan ukuran rata-rata kesenjangan

pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan.

Semakin tinggi nilai indeks, semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk dari

garis kemiskinan. Sementara Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) memberikan

gambaran mengenai penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin.

Semakin tinggi nilai indeks, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran di

antara penduduk miskin.

Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) Riau pada tahun 2012 telah menunjukkan

perbaikan dibandingkan tahun 2011, yaitu dari 1,36% menjadi 1,13%. Dilihat

dari wilayahnya, perbaikan utamanya disebabkan karena menurunnya indeks

kedalaman kemiskinan di pedesaan, yaitu dari 1,51% menjadi 1,23%.

Sementara indeks kedalaman kemiskinan di perkotaan juga mengalami

Grafik 5.4. Perkembangan GK Makanan

dan Non Makanan di Riau

Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Kesejahteraan

Daerah

68

0

0,1

0,2

0,3

0,4

0,5

0,6

0,7

0,8

2007 2008 2009 2010 Mar-11Sep-11Mar-12Sep-12

%

Kota

Desa

Riau

perbaikan, yaitu dari 1,13% menjadi 0,97%. Hal ini mengindikasikan bahwa

rata-rata pengeluaran penduduk miskin Riau semakin baik yaitu semakin

mendekati garis kemiskinan. Berdasarkan perkembangan tersebut, rata-rata

kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap GK di pedesaan lebih

tinggi daripada di perkotaan.

Di sisi lain, Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Riau pada tahun 2012 juga

menunjukkan perbaikan yaitu dari 0,39% menjadi 0,25%, yang didorong oleh

perbaikan indeks di pedesaan maupun perkotaan. Indeks keparahan

kemiskinan di pedesaan membaik dari 0,42% menjadi 0,28%, sementara

indeks keparahan kemiskinan di perkotaan dari 0,34% menjadi 0,20%.

Perbaikan indeks keparahan kemiskinan di Riau ini menandakan terjadinya

penurunan ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin.

3. Nilai Tukar Petani (NTP)

Nilai Tukar Petani (NTP)5 merupakan salah satu indikator yang digunakan

untuk melihat tingkat kesejahteraan petani dengan mengukur kemampuan

tukar produk yang dihasilkan oleh petani dengan produk yang dibutuhkan

oleh petani baik untuk proses produksi maupun untuk konsumsi rumah

5 NTP adalah perbandingan antara indeks harga yang diterima petani dengan indeks harga yang dibayar petani dan dinyatakan dalam bentuk persentase.

0

0,5

1

1,5

2

2,5

2007 2008 2009 2010 Mar-11 Sep-11 Mar-12 Sep-12

%

Kota

Desa

Riau

Grafik 5.5. Perkembangan Indeks

Kedalaman Kemiskinan (P1) Riau

Grafik 5.6. Perkembangan Indeks

Keparahan Kemiskinan (P2) Riau

Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah

Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Kesejahteraan

Daerah

69

tangga petani. Semakin tinggi NTP mengindikasikan semakin meningkatnya

kemampuan daya tukar (term of trade) petani yang sejalan dengan

peningkatan kehidupan petani.

Pada triwulan I-2013, indeks NTP di Provinsi Riau tercatat sebesar 102,19,

mengalami penurunan dibandingkan triwulan sebelumnya maupun triwulan

yang sama tahun sebelumnya, yaitu masing-masing dari sebesar 102,54 dan

105,91. Penurunan ini utamanya terjadi karena lebih besarnya kenaikan biaya

yang harus dibayar petani untuk produk yang dibutuhkan atau dikonsumsi

dibandingkan kenaikan hasil atau pendapatan yang diterima. Kondisi tersebut

didorong oleh kenaikan harga komoditas konsumsi rumah tangga terutama

bahan makanan6 meskipun harga komoditas unggulan Riau terutama CPO

telah mengalami peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya.

Grafik 5.7. Perkembangan Nilai Tukar Petani di Provinsi Riau

Tabel 1. Nilai Tukar Petani Provinsi Riau

6 Inflasi pedesaan Riau pada triwulan I-2013 mencapai 5,40% (yoy) atau meningkat jika dibandingkan dengan inflasi pedesaan triwulan IV-2012 yang tercatat sebesar 3,87% (yoy).

I II III IV I II III IV I II III IV I

2010 2011 2012 2013

Indeks yang diterima 122,22 123,61 127,44 130,71 131,82 130,16 131,98 133,26 135,21 134,25 135,24 134,24 136,20

Indeks yang dibayar 117,82 119,12 121,87 123,60 125,43 124,66 125,85 126,86 127,67 128,84 130,52 130,92 133,28

Nilai Tukar Petani 103,73 103,77 104,57 105,75 105,09 104,92 104,87 105,05 105,91 104,20 103,61 102,54 102,19

90

95

100

105

110

115

120

125

130

135

140

Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah

Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Kesejahteraan

Daerah

70

I II III IV I II III IV I

2011 2012 2013

Tanaman pangan 111,24 112,82 113,39 113,67 113,69 114,04 113,85 113,22 111,47

Hortikultura 113,60 112,57 115,34 118,04 119,32 117,12 116,28 115,25 115,30

Tanaman perkeb. Rakyat 105,50 104,25 101,98 101,15 103,47 99,92 98,24 95,48 95,92

Peternakan 100,57 101,57 100,92 101,05 101,1 100,95 100,87 101,13 100,80

Perikanan 91,84 91,72 92,71 92,21 91,57 90,19 91,04 91,62 91,03

Nilai Tukar Petani 105,09 104,92 104,87 105,05 105,91 104,20 103,61 102,54 102,19

40

60

80

100

120

140

-

200

400

600

800

1.000

1.200

1.400

1.000

1.100

1.200

1.300

1.400

1.500

1.600

1.700

1.800

1.900

Jan-1

0F

eb

-10

Mar-

10

Ap

r-10

May-1

0Jun-1

0Jul-10

Aug

-10

Sep

-10

Oct-

10

No

v-1

0D

ec-1

0Jan-1

1F

eb

-11

Mar-

11

Ap

r-11

May-1

1Jun-1

1Jul-11

Aug

-11

Sep

-11

Oct-

11

No

v-1

1D

ec-1

1Jan-1

2F

eb

-12

Mar-

12

Ap

r-12

May-1

2Jun-1

2Jul-12

Aug

-12

Sep

-12

Oct-

12

No

v-1

2D

ec-1

2Jan-1

3F

eb

-13

Mar-

13

US

D/M

T

Rp

/Kg

TBS Domestik (kiri) CPO Dunia (kanan)

-

10.000

20.000

30.000

40.000

50.000

60.000

Ma

r-0

4Ju

l-0

4N

op

-04

Ma

r-0

5Ju

l-0

5N

op

-05

Ma

r-0

6Ju

l-0

6N

op

-06

Ma

r-0

7Ju

l-0

7N

op

-07

Ma

r-0

8Ju

l-0

8N

op

-08

Ma

r-0

9Ju

l-0

9N

op

-09

Ma

r-1

0Ju

l-1

0N

op

-10

Ma

r-1

1Ju

l-1

1N

op

-11

Ma

r-1

2Ju

l-1

2N

op

-12

Ma

r-1

3

Cabe merah

-5.000

10.000 15.000 20.000 25.000 30.000 35.000 40.000 45.000 50.000

Ma

r-0

4Ju

l-0

4N

op

-04

Ma

r-0

5Ju

l-0

5N

op

-05

Ma

r-0

6Ju

l-0

6N

op

-06

Ma

r-0

7Ju

l-0

7N

op

-07

Ma

r-0

8Ju

l-0

8N

op

-08

Ma

r-0

9Ju

l-0

9N

op

-09

Ma

r-1

0Ju

l-1

0N

op

-10

Ma

r-1

1Ju

l-1

1N

op

-11

Ma

r-1

2Ju

l-1

2N

op

-12

Ma

r-1

3

Bawang merah

Jika dilihat secara sektoral, penurunan NTP terjadi pada hampir semua sektor,

kecuali sektor hortikultura dan tanaman perkebunan rakyat. Indeks NTP sektor

hortikultura meningkat sebesar 0,04% (qtq), dipicu oleh kenaikan harga

komoditas hortikultura terutama cabe merah selama triwulan ini. Sementara

itu, indeks NTP sektor tanaman perkebunan rakyat meningkat sebesar 0,46%

(qtq) namun indeksnya masih berada di bawah 100. Peningkatan ini didorong

oleh mulai meningkatnya harga CPO dan karet setelah mengalami penurunan

sejak pertengahan tahun 2012 yang lalu. Namun demikian, penurunan yang

terjadi pada sektor lainnya yaitu sektor tanaman pangan sebesar 1,55% (qtq),

sektor perikanan sebesar 0,64% (qtq), dan sektor peternakan sebesar 0,33%

(qtq) telah mendorong penurunan NTP secara umum pada triwulan laporan.

Grafik 5.10. Perkembangan Harga

Cabe Merah di Provinsi Riau

Sumber : Disperindag Provinsi Riau

Grafik 5.8. Perkembangan Nilai Tukar

Petani Sektoral di Provinsi Riau

Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah

Sumber : Dinas Perkebunan Provinsi Riau, Bloomberg

Grafik 5.9. Perkembangan Harga

Tandan Buah Segar (TBS) Lokal

di Provinsi Riau dan Harga CPO Dunia

Grafik 5.11. Perkembangan Harga

Bawang Merah di Provinsi Riau

Sumber : Disperindag Provinsi Riau

GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL

Prospek Perekonomian Daerah

71

1. PROSPEK MAKROREGIONAL

Kondisi ekonomi Riau pada triwulan II-2013 diperkirakan akan tumbuh relatif

moderat. Dengan memasukkan unsur migas, pertumbuhan ekonomi Riau

diperkirakan secara tahunan pada kisaran 2,0%-2,5% (yoy). Sementara itu,

dengan mengeluarkan unsur migas, pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan

mencapai kisaran 7,5%-7,9% (yoy).

PROSPEK PEREKONOMIAN

DAERAH

Bab 6

GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL

Prospek Perekonomian Daerah

72

Tabel 6.1. Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi Triwulan II-2013

Sumber : BPS Provinsi Riau Keterangan :***) Angka Sangat Sementara, p) Perkiraan Bank Indonesia

Ditinjau dari sisi penggunaan, motor penggerak pertumbuhan diperkirakan masih

ditopang oleh permintaan domestik. Hal ini tidak terlepas dari pesatnya

pembangunan sektor properti baik residensial maupun komersial di Provinsi Riau

serta masih kuatnya daya beli masyarakat seiring membaiknya tingkat keyakinan

konsumen.

Grafik 6.1. Perkembangan Indeks Keyakinan Konsumen di Provinsi Riau

Grafik 6.2. Perkembangan Konsumsi CPO Global s.d April 2013

Sumber : USDA

Dari sisi sektoral, perekonomian Riau pada triwulan mendatang diperkirakan masih

ditopang oleh sektor non-tradables khususnya sektor perdagangan sejalan dengan

meningkatnya aktivitas perekonomian baik yang berasal dari perdagangan

domestik maupun perdagangan internasional (ekspor dan impor). Meskipun

demikian, ektor industri pengolahan diperkirakan juga akan menopang

pertumbuhan ekonomi pada triwulan mendatang sejalan dengan optimisme pelaku

terkait kondisi negara mitra dagang utama khususnya Cina dan India.

Namun demikian, terdapat beberapa risiko yang berpotensi membawa

pertumbuhan ekonomi Riau menyentuh batas bawah proyeksi (downside risks).

I II III IV I II (p)

Total 4.53 3.50 3.86 2.37 1,21 2,0 - 2,5

Tanpa Migas 7.15 7.82 9.04 7.21 7,55 7,5 - 7,9

2013***2012**Pertumbuhan

50

70

90

110

130

150

170

I II III IV I II III IV I II III IV I April

2010 2011 2012 2013

Indeks Keyakinan Konsumen Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini

Indeks Ekspektasi Konsumen Baseline

0

10.000

20.000

30.000

40.000

50.000

60.000

3.000

4.000

5.000

6.000

7.000

8.000

9.000

Feb

-09

Ap

r-0

9Ju

n-0

9A

ug-

09

Oct

-09

De

c-0

9Fe

b-1

0A

pr-

10

Jun

-10

Au

g-1

0O

ct-1

0D

ec-

10

Feb

-11

Ap

r-1

1Ju

n-1

1A

ug-

11

Oct

-11

De

c-1

1Fe

b-1

2A

pr-

12

Jun

-12

Au

g-1

2O

ct-1

2D

ec-

12

Feb

-13

Ap

r-1

3

India China EU-27 Indonesia Total (kanan)

GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL

Prospek Perekonomian Daerah

73

Beberapa risiko tersebut diantaranya (i) kondisi sumur minyak yang tidak produktif

yang diperkirakan masih akan mengakibatkan sektor pertambangan migas

mengalami kontraksi. (ii) Regulasi pajak ekspor sawit Indonesia masih berorientasi

untuk mendukung hilirisasi CPO, dimana pajak ekspor CPO Indonesia lebih tinggi

dibandingkan Malaysia. Kebijakan ini berpotensi mengganggu daya saing Indonesia

terutama terkait harga jual serta kemungkinan turunnya pangsa pasar CPO

Indonesia, terutama pada pasar CPO India. (iii) Kepastian hukum menyangkut

lahan/tata ruang. Masalah Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) belum

juga tuntas dalam penetapan kawasan hutan oleh Pemerintah. Hal ini berpotensi

mengganggu rencana investasi industri sawit. (iv) Pemberlakuan hambatan tarif

dan non-tarif yang diterapkan sejumlah negara mitra dagang utama terkait produk

CPO Riau. Sebagaimana diketahui, beberapa negara seperti Cina telah menerapkan

pengetatan standar mutu produk CPO impor guna mendorong industri dalam

negeri. Selain itu, Pakistan sebagai salah satu potensi pasar ekspor juga

menerapkan pengetatan kualitas CPO yang masuk ke negara tersebut. Salah satu

standar kualitas yang ditetapkan adalah parameter DOBI1 diatas 2.5.

Sementara, salah satu faktor yang berpotensi membawa pertumbuhan menyentuh

batas atas (upside risks) adalah potensi pemulihan ekonomi negara mitra dagang

utama Riau dan negara berkembang (emerging market) di kawasan Asia yang

diperkirakan akan memberikan spill over positif bagi kinerja ekspor utama Riau.

Disamping itu, kondisi ekonomi domestik yang masih terjaga serta membaiknya

kondisi perekonomian Cina diperkirakan akan berdampak terhadap meningkatnya

permintaan produk unggulan Riau sehingga dapat memperbaiki kinerja neraca

perdagangan Riau.

2. PERKIRAAN INFLASI

Perkembangan inflasi Kota Pekanbaru pada triwulan mendatang diperkirakan

relatif meningkat dan diproyeksikan berada pada kisaran 5,7% - 6,5% (yoy).

Sedangkan secara triwulanan, inflasi diperkirakan berkisar 1,4% - 2,1% (qtq).

1 DOBI (deterioration of bleachability index) merupakan indeks daya pemucatan yang mengukur rasio kandungan karoten dan produk oksidasi sekunder pada produk Crude Palm Oil (CPO). Sebagaimana diketahui, CPO yang berasal dari Indonesia memiliki nilai DOBI dibawah 2 atau lebih rendah dibandingkan produk CPO milik negara kompetitor yang memiliki nilai 2,5.

GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL

Prospek Perekonomian Daerah

74

Kondisi ini diperkirakan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya Pertama,

rencana kenaikan BBM sekitar Rp1.500/liter yang sudah akan dipastikan naik

setelah pembahasan APBN-P pada bulan Mei. Dampak kenaikan ini juga akan

mendorong kenaikan harga angkutan dan kenaikan harga komoditas lainnya.

Kedua, kenaikan TTL tahap ke-2 yang juga akan mulai dirasakan dampaknya pada

bulan Mei 2013. Ketiga, belum memadainya kondisi infrastruktur seperti kondisi

jalan yang masih belum memenuhi standar yang terjadi akibat adanya

ketidakseimbangan antara tonase jalan dengan kapasitas kendaraan sehingga

berpotensi menghambat kelancaran distribusi pasokan bahan makanan.

Tabel 6.2. Perkembangan Inflasi Aktual dan Prakiraan Inflasi Triwulan II-2013

Sumber : BPS Provinsi Riau, Keterangan : p) Proyeksi Bank Indonesia

Terdapat beberapa faktor yang berpotensi membawa inflasi melewati batas atas

kisaran proyeksi (upside risks) antara lain kenaikan ekspektasi pelaku usaha sejalan

dengan kenaikan harga BBM bersubsidi serta hambatan distribusi dan infrastruktur.

Meskipun demikian, terdapat beberapa faktor yang berpotensi membawa inflasi ke

batas bawah (downside risks) proyeksi diantaranya adalah solusi dini (pre-emptive

solution) TPID yang dihasilkan melalui koordinasi dengan berbagai instansi terkait

dan penguatan strategi komunikasi dalam menjaga ekspektasi.

I II III IV I II (p)

yoy,% 4.20 5.68 4,21 3.35 5,36 5.7 - 6.5

qtq,% 0.66 1.11 0,89 0,66 2,62 1.4 - 2.1

2013***2012**Inflasi

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Daftar Istilah

xv

Aktiva Produktif

Adalah penanaman atau penempatan yang dilakukan oleh bank dengan tujuan

menghasilkan penghasilan/pendapatan bagi bank, seperti penyaluran kredit,

penempatan pada antar bank, penanaman pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI), dan

surat-surat berharga lainnya.

Aktiva Tertimbang Menurut Resiko (ATMR)

Adalah pembobotan terhadap aktiva yang dimiliki oleh bank berdasarkan risiko dari

masing-masing aktiva. Semakin kecil risiko suatu aktiva, semakin kecil bobot

risikonya. Misalnya kredit yang diberikan kepada pemerintah mempunyai bobot

yang lebih rendah dibandingkan dengan kredit yang diberikan kepada perorangan.

Kualitas Kredit

Adalah penggolongan kredit berdasarkan prospek usaha, kinerja debitur dan

kelancaran pembayaran bunga dan pokok. Kredit digolongkan menjadi 5 kualitas

yaitu Lancar, Dalam Perhatian Khusus (DPK), Kurang Lancar, Diragukan dan Macet.

Capital Adequacy Ratio (CAR)

Adalah rasio antara modal (modal inti dan modal pelengkap) terhadap Aktiva

Tertimbang Menurut Resiko (ATMR).

Dana Pihak Ketiga (DPK)

Adalah dana yang diterima perbankan dari masyarakat, yang berupa giro,

tabungan atau deposito.

DAFTAR ISTILAH

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Daftar Istilah

xvi

Financing to Deposit Ratio (FDR)

Adalah rasio antara pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah terhadap dana

yang diterima. Konsep ini sama dengan konsep LDR pada bank umum

konvensional.

Inflasi

Kenaikan harga barang secara umum dan terus menerus (persistent).

Inflasi Administered Price

Inflasi yang terjadi pergerakan harga barang-barang yang termasuk dalam

kelompok barang yang harganya diatur oleh pemerintah (misalnya bahan bakar).

Inflasi Inti

Inflasi yang terjadi karena adanya gap penawaran aggregat and permintaan

agregrat dalam perekonomian, serta kenaikan harga barang impor dan ekspektasi

masyarakat.

Inflasi Volatile Food

Inflasi yang terjadi karena pergerakan harga barang-barang yang termasuk dalam

kelompok barang yang harganya bergerak sangat volatile (misalnya beras).

Kliring

Adalah pertukaran warkat atau Data Keuangan Elektronik (DKE) antar peserta

kliring baik atas nama peserta maupun atas nama nasabah peserta yang

perhitungannya diselesaikan pada waktu tertentu.

Kliring Debet

Adalah kegiatan kliring untuk transfer debet antar bank yang disertai dengan

penyampaian fisik warkat debet seperti cek, bilyet giro, nota debet kepada

penyelenggaran kliring lokal (unit kerja di Bank Indonesia atau bank yang

memperoleh persetujuan Bank Indonesia sebagai penyelenggara kliring lokal) dan

hasil perhitungan akhir kliring debet dikirim ke Sistem Sentral Kliring (unit kerja

yang menangani SKNBI di KP Bank Indonesia) untuk diperhitungkan secara

nasional.

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Daftar Istilah

xvii

Kliring Kredit

Adalah kegiatan kliring untuk transfer kredit antar bank yang dikirim langsung oleh

bank peserta ke Sistem Sentral Kliring di KP Bank Indonesia tanpa menyampaikan

fisik warkat (paperless).

Loan to Deposit Ratio (LDR)

Adalah rasio antara jumlah kredit yang disalurkan terhadap dana yang diterima

(giro, tabungan dan deposito).

Net Interest Income (NII)

Adalah antara pendapatan bunga dikurangi dengan beban bunga.

Non Core Deposit (NCD)

Adalah dana masyarakat yang sensitif terhadap pergerakan suku bunga. Dalam

laporan ini, NCD diasumsikan terdiri dari 30% giro, 30% tabungan dan 10%

deposito berjangka waktu 1-3 bulan.

Non Performing Loans/Financing (NLPs/Ls)

Adalah kredit/pembiayaan yang termasuk dalam kualitas Kurang Lancar, Diragukan

dan Macet

Penyisihan Pengghapusan Aktiva Produktif (PPAP)

Adalah suatu pencadangan untuk mengantisipasi kerugian yang mungkin timbul

dari tidak tertagihnya kredit yang diberikan oleh bank. Besaran PPAP ditentukan

dari kualitas kredit. Semakin buruk kualitas kredit, semakin besar PPAP yang

dibentuk. Misalnya, PPAP untuk kredit yang tergolong Kurang Lancar adalah 15%

dari jumlah kredit Kurang Lancar (setelah dikurangi agunan), sedangkan untuk

kredit Macet, PPAP yang harus dibentuk adalah 100% dari total kredit macet

(setelah dikurangi agunan).

Rasio Non Performing Loans/Financing (NPLs/Fs)

Adalah rasio kredit/pembiayaan yang tergolong NPLs/Fs terhadap total

kredit/pembiayaan. Rasio ini juga sering disebut rasio NPLs/Fs gross. Semakin

rendah rasio NPLs/Fs, semakin baik kondisi bank ysb.

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Daftar Istilah

xviii

Rasio Non Performing Loans (NPLs) Net

Adalah rasio kredit yang tergolong NPLs, setelah dikurangi pembentukan

Penyisihan Pengghapusan Aktiva Produktif (PPAP), terhadap total kredit

Sistem Bank Indonesia Real Time Settlement (BI RTGS)

Adalah proses penyelesaian akhir transaksi pembayaran yang dilakukan seketika

(real time) dengan mendebet maupun mengkredit rekening peserta pada saat

bersamaan sesuai perintah pembayaran dan penerimaan pembayaran.

Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKN-BI)

Adalah sistem kliring Bank Indonesia yang meliputi kliring debet dan kliring kredit

yang penyelesaian akhirnya dilakukan secara nasional.