kajian ekonomi regional - bi.go.id · triwulanan yang berisi analisis perkembangan ekonomi dan...
TRANSCRIPT
KAJIAN EKONOMI REGIONAL
VISI BANK INDONESIA :
nasional maupun internasional melalui penguatan nilai-nilai
strategis yang dimiliki serta pencapaian inflasi
MISI BANK INDONESIA :
pemeliharaan kestabilan moneter dan pengembangan stabilitas
sistem keuangan untuk pembangunan nasional jangka panjang yang
NILAI-NILAI STRATEGIS ORGANISASI BANK INDONESIA :
-nilai yang menjadi dasar Bank Indonesia, manajemen, dan
pegawai untuk bertindak dan atau berperilaku, yang terdiri atas
Kompetensi, Integritas, Transparansi, Akuntabilitas, dan
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Kata Pengantar
iii
BUKU Kajian Ekonomi Regional (KER) Provinsi Riau ini merupakan terbitan rutin
triwulanan yang berisi analisis perkembangan ekonomi dan perbankan di Provinsi
Riau. Terbitan kali ini memberikan gambaran perkembangan ekonomi dan
perbankan di Provinsi Riau pada triwulan I-2013 dengan penekanan kajian pada
kondisi ekonomi makro regional (PDRB dan Keuangan Daerah), Inflasi, Moneter
dan Perbankan, Sistem Pembayaran, Kesejahteraan dan Prakiraan Perkembangan
Ekonomi Daerah pada triwulan II-2013. Analisis dilakukan berdasarkan data
laporan bulanan bank umum dan BPR, data ekspor-impor yang diolah oleh Kantor
Pusat Bank Indonesia, data PDRB dan inflasi yang diterbitkan Badan Pusat Statistik
(BPS) Provinsi Riau, serta data dari instansi/lembaga terkait lainnya.
Tujuan dari penyusunan buku KER ini adalah untuk memberikan informasi kepada
stakeholders tentang perkembangan ekonomi dan perbankan di Provinsi Riau,
dengan harapan kajian tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu sumber
referensi bagi para pemangku kebijakan, akademisi, masyarakat, dan pihak-pihak
lain yang membutuhkan.
Kami menyadari masih banyak hal yang harus dilakukan untuk menyempurnakan
buku ini. Oleh karena itu kritik, saran, dukungan penyediaan data dan informasi
sangat diharapkan.
Pekanbaru,8 Mei 2013
Kantor Perwakilan Bank Indonesia
Provinsi Riau
ttd
Mahdi Muhammad Kepala Kantor
KATA PENGANTAR
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
xi
2013
Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I
Indeks Harga Konsumen :
- Kota Pekanbaru 127.44 129.35 130.20 131.64 132.81 133.68 137.18
- Kota Dumai 132.55 133.98 133.20 134.91 137.15 138.28 140.61
Laju Inflasi Tahunan (yoy, %) :
- Kota Pekanbaru 6.10 5.09 4.20 5.67 4.21 3.35 5.36
- Kota Dumai 5.78 3.10 2.75 4.38 3.47 3.21 5.56
Pertumbuhan PDRB (yoy %, dengan migas) 5.12 4.58 4.53 3.50 3.86 2.37 1.21
Pertumbuhan PDRB (yoy %, tanpa migas) 7.86 7.54 7.15 7.82 9.04 7.21 7.55
Nilai Ekspor Non Migas (Juta USD) 2,357.29 3,353.92 3,150.93 2,799.44 3,513.23 3,094.51 2,872.72
Volume Ekspor Non Migas (ribu Ton) 4,543.57 4,639.19 4,156.44 3,795.08 4,739.09 4,989.14 4,815.61
Nilai Impor Non Migas (Juta USD) 423.66 402.95 343.56 471.79 429.49 443.14 368.19
Volume Impor Non Migas (ribu Ton) 624.16 652.79 574.11 787.71 680.47 611.83 449.74
INDIKATOR 2013
(dalam Rp juta) Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw IV
Bank Umum
Total Aset 59,370,445 59,752,476 66,463,817 68,837,287 74,444,053 72,349,212 73,223,820
DPK 43,980,255 44,920,105 48,480,274 50,314,329 53,457,012 52,242,540 52,753,768
- Giro 11,567,327 10,837,130 13,012,413 14,452,073 17,014,756 14,149,049 15,784,036
- Tabungan 20,142,350 22,342,860 21,588,604 22,216,431 22,782,145 25,373,740 23,838,197
- Deposito 12,270,578 11,740,115 13,879,258 13,645,825 13,660,111 12,719,750 13,131,535
Kredit - berdasarkan lokasi proyek 50,011,231 51,090,943 51,475,647 54,197,279 59,527,235 58,954,331 60,296,662
LDR - Lokasi Proyek (%) 113.71 113.74 106.18 107.72 111.36 112.85 114.30
Kredit 33,623,173 36,082,932 37,414,869 40,303,169 41,881,367 43,443,660 44,090,792
- Modal Kerja 11,939,534 12,729,875 12,804,704 14,246,546 14,462,342 15,201,999 15,423,020
- Investasi 9,199,610 10,207,813 10,676,704 11,298,412 11,868,510 12,252,477 12,326,636
- Konsumsi 12,484,028 13,145,244 13,933,462 14,758,211 15,550,515 15,989,184 16,341,136
- LDR (%) 76.45 80.33 77.18 80.10 78.35 83.16 0.84
- NPL (%) 2.39% 1.95% 2.22% 2.35% 2.76% 2.89% 3.21%
Kredit UMKM
- Mikro 2,901,705 3,112,386 3,313,470 3,545,514 3,617,892 3,843,216 3,973,181
- Kecil 4,921,351 5,448,902 5,640,244 5,935,445 5,787,787 6,057,104 6,070,237
- Menengah 4,440,529 4,868,783 4,955,899 5,364,799 5,160,074 5,729,879 5,686,988
NPL MKM (%) 3.13% 2.40% 3.06% 3.16% 3.80% 4.03% 4.03%
BPR
Total Aset 848,125 920,404 972,275 997,840 1,008,552 1,038,271 1,019,107
DPK 624,634 642,785 685,220 692,916 692,080 694,541 688,364
Kredit - berdasarkan lokasi proyek 601,015 617,548 655,469 689,275 704,545 708,530 715,763
Rasio NPL 8.75% 8.22% 10.51% 10.88% 12.96% 13.11% 14.44%
LDR 96.22% 96.07% 95.66% 99.47% 101.80% 102.01% 103.98%
*) SBH 2007
2012
2011
B. PERBANKAN2011
A. INFLASI DAN PDRB
INDIKATOR2012
TABEL INDIKATOR EKONOMI TERPILIH
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
xii
C. SISTEM PEMBAYARAN
2013
Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I
2,500,522 1,075,807 488,702 2,419,614 2,456,644 3,291,115 (98,037)
1,270,188 1,002,685 1,084,400 828,061 1,505,849 957,321 1,640,158
3,770,710 2,078,492 1,573,102 3,247,675 3,962,492 4,248,435 1,542,121
Pemusnahan Uang (Jutaan lembar/keping) 390,321 306,454 476,657 318,844 66,850 99,164 171,690
Nominal Transaksi RTGS (Rp miliar) 65,315 76,774 53,909 70,527 82,291 84,580 90,785
Volume Transaksi RTGS (lembar) 55,387 27,151 62,391 58,345 57,267 59,648 51,596
Rata-rata Harian Nominal Transaksi RTGS (Rp miliar) 1,071 1,200 856 1,119 1,349 1,387 1,513
Rata-rata Harian Volume Transaksi RTGS (lembar) 908 424 990 926 939 978 860
Nominal Tolakan Cek/BG Kosong 131,245 146,297 138,024 161,134 152,457 159,869 165,983
Volume Tolakan Cek/BG Kosong 4,946 5,615 5,042 5,680 5,755 5,523 5,703
Rata-rata Harian Nominal Cek/BG Kosong 2,152 2,286 2,191 2,558 2,499 2,621 2,766
Rata-rata Harian Cek/BG Kosong 81 88 80 90 94 91 95
INDIKATOR2011 2012
Inflow
Outflow
Posisi Kas Gabungan
TABEL INDIKATOR EKONOMI TERPILIH
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Ringkasan Eksekutif
1
I. GAMBARAN UMUM
Mengawali tahun 2013, kinerja perekonomian Riau pada triwulan I-2013 secara
umum menunjukkan hal yang kurang menggembirakan dan berada dibawah
perkiraan Bank Indonesia. Dengan memperhitungkan unsur migas, pertumbuhan
ekonomi Riau tercatat tumbuh melambat sebesar 1,21% (yoy) atau merupakan
yang terendah selama tiga tahun terakhir. Hal ini bersumber dari masih lemahnya
perkembangan sektor tradables, khususnya sektor pertambangan migas yang
menguasai pangsa terbesar. Disamping itu, perlambatan yang terjadi juga tidak
terlepas dari kinerja neraca perdagangan yang mengalami tekanan terkait faktor
eksternal.
Sementara itu, tanpa memperhitungkan unsur migas, kondisi perekonomian Riau
menunjukkan relatif moderat dari triwulan sebelumnya sebagaimana terlihat dari
meningkatnya pertumbuhan dari 7,21% (yoy) menjadi 7,55% (yoy) serta berada
diatas pertumbuhan ekonomi tanpa migas nasional. Meningkatnya pertumbuhan
RINGKASAN EKSEKUTIF
Pertumbuhan ekonomi Riau triwulan I-2013 secara umum melambat dan dibawah prakiraan semula.
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Ringkasan Eksekutif
2
ini utamanya bersumber dari relatif kuatnya permintaan domestik khususnya
konsumsi dan membaiknya kinerja sektor industri pengolahan non migas.
II. ASSESMEN MAKROEKONOMI REGIONAL
Ditinjau dari sisi penggunaan, motor penggerak ekonomi Riau utamanya
masih berasal dari permintaan domestik terutama konsumsi. Selain itu,
investasi juga memberikan dorongan cukup berarti sejalan dengan
pesatnya pembangunan infrastruktur baik pada sektor properti residensial
(perumahan) maupun komersial. Penyaluran kredit sektor perumahan
sederhana (dibawah tipe 70) tercatat sebesar Rp230,38 miliar atau tumbuh
sebesar 45,3% (yoy), lebih tinggi dibandingkan rata-rata pertumbuhan
selama dua tahun terakhir yang mencapai 18,50% (yoy).
Meskipun demikian, di sisi eksternal, neraca perdagangan Riau pada
triwulan laporan mengalami tekanan yang cukup dalam. Dengan ataupun
tanpa memperhitungkan unsur migas, kinerja ekspor Riau mengalami
pelemahan yang signifikan dan merupakan yang terendah sejak terjadinya
krisis global tahun 2008 silam. Melemahnya ekspor diindikasikan tidak
terlepas dari beberapa faktor penting seperti relatif lambannya pemulihan
krisis zona Eropa, kebijakan pemerintah terkait kenaikan bea keluar ekspor
CPO dan hambatan non tarif yang ditetapkan oleh sejumlah negara mitra
dagang utama Riau pada produk CPO terutama di negara Cina dan
kawasan Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE).
Secara sektoral, dengan memasukkan unsur migas, sektor pertambangan
yang menguasai pangsa terbesar dalam struktur perekonomian mengalami
kontraksi tajam dan merupakan titik terendahnya selama lima tahun
terakhir. Hal ini dipengaruhi oleh faktor alamiah usia sumur minyak yang
sudah relatif tua serta minimnya penggunaan teknologi modern dalam
penggalian sumur minyak tua. Dalam triwulan laporan, pencapaian lifting
minyak bumi Riau tercatat sebesar 346,31 ribu barel per hari atau lebih
rendah dari triwulan sebelumnya dan periode yang sama tahun
Kinerja neraca perdagangan mengalami tekanan cukup dalam, yang tercermin dari melemahnya pertumbuhan ekspor Riau hingga mengalami level terendah dalam tiga tahun terakhir
Pertumbuhan sektor pertambangan terkontraksi tajam. Volume lifting minyak bumi Riau mencapai 346,31 ribu barel per hari atau lebih rendah dibandingkan
triwulan sebelumnya.
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Ringkasan Eksekutif
3
sebelumnya yang tercatat masing-masing sebesar 380,23 dan 360,13 ribu
barel per hari.
Secara sektoral, dengan mengeluarkan unsur migas, kondisi ekonomi Riau
pada triwulan laporan masih ditopang oleh sektor non-tradables khususnya
sektor perdagangan. Meskipun demikian, tanpa memperhitungkan unsur
migas, pertumbuhan sektor tradables menunjukkan perbaikan bersumber
dari meningkatnya sektor industri pengolahan. Kondisi ini tidak terlepas
dari faktor permintaan industri domestik yang sedikit banyak membantu
penyerapan output dari sektor industri pengolahan minyak sawit mentah
III. ASSESMEN INFLASI
Sejalan dengan perkiraan sebelumnya, tekanan inflasi Riau pada
triwulan I-2013 (yoy) mengalami peningkatan dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya. Secara tahunan (yoy), inflasi Riau mengalami
peningkatan yaitu dari 3,32% pada triwulan IV-2012 menjadi 5,39% pada
triwulan I-2013 yang dipengaruhi oleh implementasi kebijakan impor
hortikultura sejak awal tahun 2013. Namun demikian inflasi Riau pada
triwulan laporan masih lebih rendah dibandingkan dengan inflasi Sumatera
dan inflasi nasional yang pada triwulan I-2013 masing-masing mencapai
5,57% dan 5,90%. Inflasi Riau pada triwulan laporan juga masih tercatat
lebih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata historis triwulan I sejak
tahun 2009 yang lalu.
Berdasarkan kota yang disurvey di Provinsi Riau, inflasi tertinggi terjadi di
Kota Dumai dengan angka mencapai 5,56% (yoy) sedangkan inflasi Kota
Pekanbaru tercatat sebesar 5,36%. Ditinjau dari penyebabnya, sumber
tekanan inflasi di Kota Pekanbaru cenderung disebabkah oleh harga
bawang merah yang tercatat meningkat 119,94% (yoy).Sedangkan pada
Kota Dumai, inflasi yang terjadi utamanya disebabkan oleh kenaikan harga
harga sayuran dan buah terutama bayam dan jeruk. Berdasarkan
disagregasinya, inflasi pada kelompok volatile food tercatat memberikan
sumbangan tertinggi terhadap inflasi pada kedua kota yang disurvey.
Tekanan inflasi Riau pada triwulan I-2013 meningkat namun masih lebih rendah dibandingkan inflasi nasional dan
wilayah Sumatera
Dengan mengeluarkan unsur migas, sektor tradables mulai tumbuh positif sejalan dengan faktor permintaan industri domestik
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Ringkasan Eksekutif
4
IV. ASSESMEN KEUANGAN
Perbankan
Kegiatan usaha perbankan Riau pada triwulan I-2013 menunjukkan
perkembangan yang menggembirakan setelah mengalami penurunan pada
triwulan sebelumnya. Kondisi ini tercermin dari meningkatnya aset, dana,
kredit yang disalurkan dan jaringan kantor perbankan. Intermediasi
perbankan mengalami peningkatan yang tercermin dari meningkatnya LDR
dengan risiko yang masih terjaga. Peningkatan intermediasi ini juga
tercermin dari peningkatan yang signifikan dari pembukaan rekening dana
baru baik tabungan, giro maupun deposito. Berdasarkan penggunaan, kredit
yang disalurkan masih terus didominasi oleh kredit produktif dan tercatat
masih terus mengalami peningkatan. Penyaluran kredit UMKM juga terus
mengalami peningkatan yang mengimplikasikan tingginya keperdulian
perbankan Riau dalam mendukung kemajuan sektor UMKM.
Aset perbankan Riau meningkat sebesar 1,17% (qtq) sehingga menjadi
Rp74,24 triliun. Peningkatan aset berasal dari meningkatnya aset bank
umum yang mencapai Rp73,22 triliun, sementara aset BPR mengalami
penurunan sebesar 1,85% (qtq) menjadi Rp1,02 triliun. Peningkatan aset
terjadi seiring dengan meningkatnya Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan
Riau sebesar 0,95% (qtq) sehingga jumlahnya mencapai Rp53,44 triliun.
Peningkatan dana yang dihimpun pada akhirnya mendorong meningkatnya
jumlah kredit yang disalurkan oleh perbankan Riau pada triwulan laporan
hingga mencapai Rp44,81 triliun atau meningkat 1,48% (qtq). Rasio kredit
bermasalah atau Non Performing Loan (NPL) juga mengalami peningkatan
meskipun masih berada pada batas aman yang ditentukan oleh Bank
Indonesia yaitu sebesar 5%.
Kepedulian bank umum di Riau terhadap sektor UMKM ditunjukkan dengan
terus meningkatnya penyaluran kredit kepada UMKM yang telah mencapai
Rp15,73 triliun atau meningkat sebesar 0,64% (qtq). Pangsa kredit UMKM
pada triwulan laporan tercatat sebesar 35,68% dari total kredit bank
umum. Sebagian besar kredit UMKM tersebut disalurkan kepada sektor
perdagangan dan pertanian.
Kondisi perbankan Riau menunjukkan perkembangan yang lebih baik dari triwulan sebelumnya. Hal ini tercermin dari meningkatnya aset perbankan, DPK dan kredit. Sementara rasio kredit bermasalah masih berada dibawah batas aman yang ditetapkan Bank Indonesia.
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Ringkasan Eksekutif
5
Perbankan syariah di Riau menunjukkan perkembangan yang
menggembirakan. Aset perbankan syariah Riau pada triwulan I-2013
mencapai Rp4,64 triliun atau naik 1,23% (qtq) dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya. Peningkatan aset ini utamanya didorong oleh
meningkatnya penghimpunan dana yaitu dari Rp3,45 triliun menjadi Rp3,57
triliun atau naik 3,49% (qtq). Sejalan dengan perkembangan tersebut,
pangsa aset syariah Riau terhadap total aset perbankan tercatat sebesar
6,25%, relatif stabil dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.
Realisasi Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang disalurkan oleh 8 (delapan) bank
pelaksana KUR di Riau hingga triwulan I-2013 telah mencapai
Rp3,41 triliun, naik 10,77% (qtq) dibandingkan triwulan sebelumnya atau
berada pada urutan ke-9 di tingkat nasional dan ke-4 di Sumatera.
Sementara, realisasi Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE) telah
mencapai Rp34,54 miliar, meningkat 12,62% dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar Rp30,67 miliar.
Keuangan Daerah
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Riau pada tahun
2013 mengalami peningkatan yang signifikan bila dibandingkan dengan
tahun 2012 baik dari segi anggaran pendapatan maupun anggaran
belanja. Alokasi anggaran belanja mencatat kenaikan tertinggi sebesar
32,44% (yoy) sedangkan anggaran pendapatan tercatat naik sebesar
20,22% (yoy).
Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, realisasi anggaran belanja
Provinsi Riau pada periode laporan mencapai sekitar Rp1 triliun atau
11,86% dari total anggaran. Realisasi ini cenderung lebih tinggi bila
dibandingkan dengan realisasi tahun sebelumnya yang mencapai 6,05%.
Realisasi belanja Provinsi Riau pada triwulan I-2013 sekitar Rp1 triliun dari alokasi yang dianggarkan sebesar Rp8,43 triliun
Pada triwulan I-2013, penyaluran kredit program seperti KUR dan KKPE masing-masing mencapai Rp3.41 triliun dan 34,54 miliar
Pangsa aset perbankan Syariah Riau mencapai 6,25%,
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Ringkasan Eksekutif
6
V. PROSPEK PEREKONOMIAN DAERAH
Perkembangan ekonomi Riau pada triwulan II-2013 diperkirakan akan
tumbuh relatif moderat. Dengan memasukkan unsur migas, pertumbuhan
ekonomi Riau diperkirakan secara tahunan pada kisaran 2,0%-2,5% (yoy).
Sementara itu, dengan mengeluarkan unsur migas, pertumbuhan ekonomi
diperkirakan akan mencapai kisaran 7,5%-7,9% (yoy).
Ditinjau dari sisi penggunaan, motor penggerak pertumbuhan diperkirakan
masih ditopang oleh permintaan domestik. Hal ini tidak terlepas dari
pesatnya pembangunan sektor properti baik residensial maupun komersial
di Provinsi Riau serta masih kuatnya daya beli masyarakat seiring
membaiknya tingkat keyakinan konsumen.
Dari sisi sektoral, perekonomian Riau pada triwulan mendatang
diperkirakan masih ditopang oleh sektor non-tradables khususnya sektor
perdagangan sejalan dengan meningkatnya aktivitas perekonomian baik
yang berasal dari perdagangan domestik maupun perdagangan
internasional (ekspor dan impor). Meskipun demikian, ektor industri
pengolahan diperkirakan juga akan menopang pertumbuhan ekonomi
pada triwulan mendatang sejalan dengan optimisme pelaku terkait kondisi
negara mitra dagang utama khususnya Cina dan India.
Namun demikian, terdapat beberapa risiko yang berpotensi membawa
pertumbuhan ekonomi Riau menyentuh batas bawah proyeksi (downside
risks). Beberapa risiko tersebut diantaranya (i) kondisi sumur minyak yang
tidak produktif yang diperkirakan masih akan mengakibatkan sektor
pertambangan migas mengalami kontraksi. (ii) Regulasi pajak ekspor sawit
Indonesia masih berorientasi untuk mendukung hilirisasi CPO, dimana pajak
ekspor CPO Indonesia lebih tinggi dibandingkan Malaysia. Kebijakan ini
berpotensi mengganggu daya saing Indonesia terutama terkait harga jual
serta kemungkinan turunnya pangsa pasar CPO Indonesia, terutama pada
pasar CPO India. (iii) Kepastian hukum menyangkut lahan/tata ruang.
Masalah Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) belum juga tuntas
dalam penetapan kawasan hutan oleh Pemerintah. Hal ini berpotensi
Perkembangan ekonomi Riau pada triwulan I-2013 diperkirakan akan tumbuh moderat dengan sumber pertumbuhan yang relatif berimbang meskipun diwarnai sejumlah tantangan
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Ringkasan Eksekutif
7
mengganggu rencana investasi industri sawit. (iv) Pemberlakuan hambatan
tarif dan non-tarif yang diterapkan sejumlah negara mitra dagang utama
terkait produk CPO Riau. Sebagaimana diketahui, beberapa negara seperti
Cina telah menerapkan pengetatan standar mutu produk CPO impor guna
mendorong industri dalam negeri. Selain itu, Pakistan sebagai salah satu
potensi pasar ekspor juga menerapkan pengetatan kualitas CPO yang
masuk ke negara tersebut. Salah satu standar kualitas yang ditetapkan
adalah parameter DOBI diatas 2.5.
Selanjutnya dari sisi harga, inflasi pada triwulan mendatang diperkirakan
relatif meningkat dan diproyeksikan berada pada kisaran 5,7% - 6,5%
(yoy). Sedangkan secara triwulanan, inflasi diperkirakan berkisar 1,4% -
2,1% (qtq). Kondisi ini diperkirakan dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya Pertama, rencana kenaikan BBM sekitar Rp1.500/liter yang
sudah akan dipastikan naik setelah pembahasan APBN-P pada bulan Mei.
Dampak kenaikan ini juga akan mendorong kenaikan harga angkutan dan
kenaikan harga komoditas lainnya. Kedua, kenaikan TTL tahap ke-2 yang
juga akan mulai dirasakan dampaknya pada bulan Mei 2013. Ketiga, belum
memadainya kondisi infrastruktur seperti kondisi jalan yang masih belum
memenuhi standar yang terjadi akibat adanya ketidakseimbangan antara
tonase jalan dengan kapasitas kendaraan sehingga berpotensi menghambat
kelancaran distribusi pasokan bahan makanan.
Terdapat beberapa faktor yang berpotensi membawa inflasi melewati batas
atas kisaran proyeksi (upside risks) antara lain kenaikan ekspektasi pelaku
usaha sejalan dengan kenaikan harga BBM bersubsidi serta hambatan
distribusi dan infrastruktur. Meskipun demikian, terdapat beberapa faktor
yang berpotensi membawa inflasi ke batas bawah (downside risks) proyeksi
diantaranya adalah solusi dini (pre-emptive solution) TPID yang dihasilkan
melalui koordinasi dengan berbagai instansi terkait dan penguatan strategi
komunikasi dalam menjaga ekspektasi.
Iinflasi diproyeksikan meningkat pada kisaran 5,7% -
6,5% (yoy)
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
8
1. KONDISI UMUM
Kondisi perekonomian Riau pada triwulan I-2013 secara umum menunjukkan hal
yang kurang menggembirakan dan berada dibawah perkiraan Bank Indonesia.
Dengan memperhitungkan unsur migas, pertumbuhan ekonomi Riau tercatat
tumbuh melambat yaitu sebesar 1,21% (yoy) atau merupakan yang terendah
selama tiga tahun terakhir. Hal ini bersumber dari masih lemahnya perkembangan
sektor tradables, khususnya sektor pertambangan migas yang menguasai pangsa
terbesar perekonomian Riau. Disamping itu, perlambatan yang terjadi juga tidak
terlepas dari kinerja neraca perdagangan yang mengalami tekanan terkait faktor
eksternal.
Bab 1 KONDISI EKONOMI
MAKRO REGIONAL
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
9
Sementara itu, tanpa memperhitungkan unsur migas, kondisi perekonomian Riau
menunjukkan relatif moderat dari triwulan sebelumnya sebagaimana terlihat dari
meningkatnya pertumbuhan dari 7,21% (yoy) menjadi 7,55% (yoy) serta berada
diatas pertumbuhan ekonomi tanpa migas nasional. Meningkatnya pertumbuhan
ini utamanya bersumber dari relatif kuatnya permintaan domestik khususnya
konsumsi dan membaiknya kinerja sektor industri pengolahan non migas.
Grafik 1.1. Pertumbuhan Ekonomi Riau dan Nasional (yoy,%)
Sumber : BPS
2. PDRB SISI PENGGUNAAN
Ditinjau dari sisi penggunaan, motor penggerak ekonomi Riau utamanya masih
berasal dari permintaan domestik terutama konsumsi. Selain itu, investasi juga
memberikan dorongan cukup berarti sejalan dengan pesatnya pembangunan
infrastruktur baik pada sektor properti residensial (perumahan) maupun komersial.
Meskipun demikian, kondisi yang kontras justru terjadi di sisi eksternal yaitu ekspor
yang mencerminkan kinerja neraca perdagangan Riau. Dalam triwulan laporan,
baik dengan ataupun tanpa memperhitungkan unsur migas, kinerja ekspor Riau
mengalami pelemahan yang signifikan dan merupakan yang terendah sejak
terjadinya krisis global tahun 2008 silam. Kondisi ini cukup memprihatinkan
mengingat kontribusi ekspor mencapai 40% terhadap perekonomian Riau secara
umum.
I II III IV I II III IV I II III IV I
2010 2011 2012 2013
Riau 2,90 3,77 4,76 5,22 4,04 3,44 3,93 4,63 5,02 3,96 4,06 2,37 1,21
Nasional 5,69 6,19 5,82 6,90 6,50 6,50 6,50 6,50 6,30 6,40 6,17 6,11 6,02
Riau (Tanpa Migas) 6,01 6,75 7,95 7,84 7,51 7,54 7,64 7,40 7,36 7,50 8,26 7,21 7,55
Nasional (Tanpa Migas) 6,20 6,59 6,24 7,40 6,90 7,01 6,90 6,90 6,70 6,90 6,88 6,73 6,69
-
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
6,00
7,00
8,00
9,00
yoy
(%)
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
10
Tabel 1.1. Pertumbuhan Ekonomi Riau Sisi Penggunaan (yoy)
Tabel 1.2. Pertumbuhan Ekonomi Riau Sisi Penggunaan Tanpa Migas (yoy)
2.1. Konsumsi
Pertumbuhan konsumsi Riau pada triwulan I-2013 mengalami peningkatan yakni
dari 5,98% (yoy) menjadi 6,86% (yoy). Peningkatan ini didorong oleh menguatnya
konsumsi rumah tangga Riau yang tercatat tumbuh dari 6,80% (yoy) pada triwulan
IV-2012 menjadi 7,55% (yoy) pada triwulan I-2013. Peningkatan konsumsi pada
triwulan laporan diperkirakan tidak terlepas dari masih optimisnya tingkat
keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi Riau.
I*** II*** III*** IV*** I*** III-12 IV-12 I-13
1. Konsumsi 6.91 6.51 6.04 5.98 6.86 2.60 2.62 2.99
2. PMTB 6.27 5.98 5.49 5.64 6.11 1.58 1.62 1.78
3. Ekspor 5.64 1.36 6.07 3.60 0.33 3.43 2.01 0.19
4. Impor 5.47 7.69 7.44 6.15 5.79 2.34 1.93 1.85
4.53 3.50 3.86 2.37 1.21 3.86 2.37 1.21
Sumber : BPS Provinsi Riau
Keterangan : ***(data sangat sementara), (r) angka revisi BPS
Total
2012 (r)Komponen
Sumbangan (%)2013
2013
I*** II*** III*** IV*** I*** III-12 IV-12 I-13
1. Konsumsi 6.91 6.51 6.04 5.98 6.86 5.04 5.05 5.82
2. PMTB 10.44 11.73 15.88 13.65 13.22 4.42 3.94 3.93
3. Ekspor 13.81 6.48 9.57 4.97 2.36 4.17 2.19 1.09
4. Impor 5.08 7.24 6.31 5.17 6.03 3.67 3.03 3.58
7.15 7.82 9.04 7.21 7.55 9.04 7.21 7.55
Sumber : BPS Provinsi Riau
Keterangan : ***(data sangat sementara), (r) angka revisi BPS
Total (Tanpa Migas)
2012 (r)Komponen
Sumbangan (%)
Grafik 1.2. Pertumbuhan Komponen Konsumsi Riau Tahun 2011-2013 (yoy)
Grafik 1.3. Pergerakan Indeks Keyakinan Konsumen Riau
Sumber : BPS Provinsi Riau
(8,00)
(6,00)
(4,00)
(2,00)
-
2,00
4,00
6,00
8,00
10,00
12,00
I II III IV I II III IV I II III IV I
2010 2011 2012 2013
%
RT Swasta Pemerintah
50
70
90
110
130
150
170
I II III IV I II III IV I II III IV I
2010 2011 2012 2013
Indeks Keyakinan Konsumen Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini
Indeks Ekspektasi Konsumen Baseline
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
11
Masih optimisnya konsumen terhadap kondisi ekonomi Riau tercermin dari relatif
tingginya pembangunan perumahan serta pembelian kendaraan bermotor yang
dibiayai oleh perbankan. Dalam triwulan, kredit sektor perumahan sederhana
(dibawah tipe 70) tercatat sebesar Rp230,38 miliar atau tumbuh sebesar 45,3%
(yoy), lebih tinggi dibandingkan rata-rata pertumbuhan selama dua tahun terakhir
yang mencapai 18,50% (yoy). Kemudian, Kredit Kendaraan Bermotor juga masih
berada pada level yang tinggi dimana penyalurannya mencapai Rp568,33 miliar
atau tumbuh sebesar 58,63% (yoy). Pertumbuhan KKB tersebut tercatat lebih
rendah dari triwulan IV-2012 yang mencapai 86,45% (yoy) namun masih lebih
tinggi dibandingkan dengan periode yang sama pada dua tahun sebelumnya yang
tercatat masing-masing sebesar 33,46% (yoy) dan 13,31% (yoy).
Selain dua indikator diatas, masih
relatif tingginya konsumsi pada
triwulan laporan juga ditunjukkan oleh
konsumsi bahan bakar kendaraan jenis
premium dan pertamax yang
mencapai 214,36 KL atau diatas rata-
rata 3 tahun terakhir yang mencapai
195,15 KL. Hal ini diperkirakan tidak
terlepas dari meningkatnya trend
kepemilikan kendaraan bermotor di
Provinsi Riau.
Grafik 1.4. Perkembangan Kredit Perumahan Sederhana (dibawah tipe 70) di Riau
Grafik 1.5. Perkembangan Kredit Kendaraan Bermotor di Riau
Grafik 1.6. Perkembangan Konsumsi Bahan Bakar Kendaraan di Riau
-20
-10
0
10
20
30
40
50
0
50
100
150
200
250
I II III IV I II III IV I II III IV I
2010 2011 2012 2013
%
Rp
mil
iar
Perumahan Sederhana (kiri) g.yoy (kanan)
-60
-40
-20
0
20
40
60
80
100
-
100
200
300
400
500
600
700
I II III IV I II III IV I II III IV I
2010 2011 2012 2013
%
Rp
mil
iar
Kendaraan bermotor g.yoy (kanan)
0
2
4
6
8
10
12
14
16
-
50.000
100.000
150.000
200.000
250.000
I II III IV I II III IV I II III IV I
2010 2011 2012 2013
%
Kil
o lit
er
Konsumsi Premium dan Pertamax (Kiri) g.yoy (kanan)
Pembatasan kuota BBM
rata-rata konsumsi 195.146 KL
Sumber : PT. Pertamina Wilayah Riau
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
12
2.2. Investasi
Perkembangan investasi di Provinsi Riau pada triwulan laporan secara umum
menunjukkan peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.
Pertumbuhan investasi sebagaimana tercermin dari Pembentukan Modal Tetap
Bruto (PMTB) dalam triwulan laporan tumbuh meningkat yakni dari 5,64% (yoy)
pada triwulan IV-2012 menjadi 6,11% (yoy). Tanpa memperhitungkan unsur
migas, PMTB Riau juga masih tercatat tumbuh stabil sebesar 13,22%. Kondisi ini
secara umum terlihat dari kenaikan nilai proyek investasi langsung yang meningkat
signifikan yaitu dari Rp2,61 triliun menjadi Rp5,90 triliun pada triwulan I-2013
dengan jumlah proyek sebesar 32 proyek. Nilai investasi ini juga tercatat lebih
tinggi dibandingkan triwulan I-2012 yang mencapai Rp1,64 triliun.
Indikator lain yang mendukung meningkatnya kegiatan investasi di Riau adalah
konsumsi semen. Pada triwulan laporan, konsumsi semen di Riau mencapai
371,97 ribu ton atau lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata konsumsi semen
selama tiga tahun terakhir yang tercatat sebesar 314,52 ribu ton. Meskipun
konsumsi semen berada pada level yang cukup tinggi namun pertumbuhannya
cenderung melambat jika dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Hal ini
utamanya dipengaruhi oleh faktor percepatan pembangunan infrastruktur PON
yang terpusat sejak periode akhir 2011 hingga triwulan III-2012 (baseline factors).
Grafik 1.7. Perkembangan Penjualan Semen di Provinsi Riau
Grafik 1.8. Perkembangan PMA dan PMDN di Provinsi Riau
Sumber : Asosiasi Semen Indonesia
Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal
-20,00
-10,00
0,00
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
-
50
100
150
200
250
300
350
400
450
I II III IV I II III IV I II III IV I
2010 2011 2012 2013
%
rib
u T
on
Konsumsi Semen (kiri) g.yoy (kanan)
I II III IV I
2012 2013
Proyek (kanan) 34 56 23 62 32
Nilai (kiri) 1.64 6.26 5.97 2.61 5.90
0
10
20
30
40
50
60
70
-
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
un
it
Rp
tri
liu
n
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
13
Amerika SerikatKonsumsi minyak nabati16,94 juta ton
Non Tariff
Barrier
Amerika SelatanBrazilKonsumsi minyak nabati7,95 juta ton
EropaKonsumsi minyaknabati 30 juta ton
Non Tariff
Barrier
Timur TengahKonsumsi minyaknabati 2,18 juta ton
Tariff Barrier
RusiaKonsumsi minyaknabati 6,95 juta ton
Non Tariff
Barrier
Asia Selatan IndiaKonsumsi minyaknabati 18,09 juta ton PakistanKonsumsi minyaknabati 3,79 juta ton
Tariff barrier
Non-Tariff
barrier
Asia Timur CinaKonsumsi minyaknabati 33,36 jutaton JepangKonsumsi minyaknabati 2,70 juta
ton Korea SelatanKonsumsi minyaknabati 1,25juta ton
India & pakistan : (rencanapengenaan green tax). Pemberlakuan DOBI > 2,5
Isu negatif kampanye global anti sawit
Cina : pengetatan standar mutu minyak sawit impor Uni Eropa : EU Directive on Promotion of Renewable Energy
Source (EU RED) dan pada 2014 menysaratkan net balance
carbon footprint untuk produk minyak kelapa sawit Amerika Serikat : Batasan pengurangan gas rumah kaca dari
biodiesel minyak sawit (NODA EPA) sejak 2012
Green Palm Certification (Rp210 juta) yang memberatkan petani
Terjadinya overstock CPO pada pemain besar diSumatera sementarapermintaan stagnan
Non Tariff Barrier Tariff Barrier Hambatan lokalSumber : Pusat Data Info Sawit
2.3. Ekspor Impor
Kinerja neraca perdagangan Riau pada triwulan laporan mengalami tekanan yang
cukup signifikan. Secara spesifik, pertumbuhan tahunan ekspor Riau berada pada
titik terendahnya selama tiga tahun terakhir dengan angka masing-masing
mencapai 0,33% (yoy) dan 2,36% (yoy) (non migas). Melemahnya ekspor
diindikasikan tidak terlepas dari beberapa faktor penting diantaranya relatif
lambannya pemulihan krisis zona Eropa, kebijakan pemerintah terkait kenaikan bea
keluar ekspor CPO dan hambatan non tarif yang ditetapkan oleh sejumlah negara
mitra dagang utama Riau pada produk CPO terutama Cina dan Masyarakat
Ekonomi Eropa (MEE).
Berdasarkan grafik disamping,
diketahui bahwa penurunan
volume ekspor yang cukup
tajam terjadi pada ekspor ke
Cina dan MEE. Pada
triwulan I-2013, volume ekspor
ke Cina tercatat sebesar 677,57
ribu ton atau turun 357,91 ribu
ton dari triwulan sebelumnya.
Sedangkan volume ekspor ke MEE juga tercatat menurun sebesar 257,41 ribu ton
menjadi 643,59 ribu ton. Relatif tingginya penurunan ekspor tersebut diindikasikan
sejalan dengan kebijakan pemerintah Cina yang menerapkan pengetatan standar
mutu minyak sawit impor di negaranya.
Grafik 1.9. Perkembangan Volume Ekspor Non Migas Riau Menurut Wilayah Tujuan
629 756 931 910 786 762 1,078 1,034
678
485
1,101 713 884
511 481
787 675 835
784
534 648
638
783 733
842 922 851
510
844 856 730
734 563
600 901
644 1,019
1,465 1,396 1,477
1,343
1,257
1,433 1,457
1,829
(900)
100
1,100
2,100
3,100
4,100
5,100
I II III IV I II III IV I
2011 2012 2013
Lainnya
MEE
ASEAN
India
Cina
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
14
Sementara itu, berdasarkan kelompoknya, melemahnya kinerja ekspor pada
triwulan laporan tidak terlepas dari menurunnya volume ekspor kelompok minyak
dan lemak nabati, utamanya didominasi CPO yang menguasai pangsa terbesar
dalam struktur ekspor Riau. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, hal ini
diperkirakan tidak lepas dari beberapa faktor seperti adanya hambatan tarif dan
non tarif yang berlakukan negara mitra dagang utama serta adanya kebijakan
pemerintah dalam hal bea keluar ekspor CPO1.
Tabel 1.3. Perkembangan Volume Ekspor Non Migas di Riau (ribu Ton)
Grafik 1.10. Perkembangan Volume Ekspor CPO Riau
Grafik 1.11. Perkembangan Volume Ekspor Pulp and Paper Riau
1 Melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.011/2011 maka selisih Bea Keluar (BK) ekspor CPO Indonesia dengan Malaysia mencapai 3% lebih tinggi. Dengan asumsi harga CPO dunia sekitar USD 819/MT, maka harga CPO Indonesia (CIF) mencapai USD1.029/MT atau lebih tinggi dibandingkan harga CPO Malaysia (CIF) yang mencapai USD1.000/MT.
2013
I II III IV I IV-12 I-13
Makanan dan Hewan Bernyawa 360 278 287 407 420 9.95 8.68
Tembakau dan Minuman 4 4 3 5 6 0.14 0.12
Barang Mentah 668 600 656 735 690 15.81 14.27
Bahan Bakar Mineral dan Pelumas 321 496 474 501 467 13.06 9.66
Minyak dan Lemak Nabati 2,203 1,766 2,626 2,721 2,569 46.53 53.11
Bahan Kimia 193 252 304 251 319 6.64 6.59
Barang Manufaktur 408 399 388 368 366 10.52 7.56
Mesin dan Peralatan 0 - 0 0 0 - 0.00
Hasil Olahan Manufaktur 0 0 - 0 0 0.00 0.00
Koin, bukan mata uang - - - - - - -
4,156 3,795 4,739 4,989 4,836.1 100
2012
Total
Kelompok SITCPangsa (%)
0
500
1.000
1.500
2.000
2.500
3.000
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I
2006 2007 2008 2009 2010 2011 20122013
ribu T
on
Volume
-
100,0
200,0
300,0
400,0
500,0
600,0
700,0
800,0
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I
2006 2007 2008 2009 2010 2011 20122013
ribu T
on
Volume
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
15
Grafik 1.12. Perkembangan Volume Ekspor Batubara Riau
Grafik 1.13. Perkembangan Volume Ekspor Karet Olahan Riau
Di sisi impor, perkembangan impor Riau pada triwulan laporan menunjukkan
pelemahan sebagaimana terlihat dari melambatnya pertumbuhan impor dari
6,15% (yoy) pada triwulan IV-2012 menjadi 5,79%. Sementara, tanpa
memperhitungkan unsur migas, impor non migas cenderung tumbuh lebih tinggi
yakni sebesar 6,03% (yoy). Masih tingginya pertumbuhan impor diperkirakan tidak
terlepas dari faktor ketergantungan terhadap daerah tetangga (impor antar daerah)
dimana sebagian besar kebutuhan Riau dipasok dari daerah sekitar.
Tabel 1.4. Perkembangan Volume Impor Non Migas di Riau (ribu Ton)
3. PDRB SEKTORAL
Kondisi ekonomi sektoral Riau pada triwulan laporan secara umum menunjukkan
perkembangan yang kurang menggembirakan. Hal ini terlihat dari minimmya peran
sektor tradables dalam menopang perekonomian. Bahkan secara tahunan,
-
200,0
400,0
600,0
800,0
1.000,0
1.200,0
1.400,0
1.600,0
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I
2006 2007 2008 2009 2010 2011 20122013
Rib
u T
on
Volume
-
1,0
2,0
3,0
4,0
5,0
6,0
7,0
8,0
9,0
10,0
I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I
2006 2007 2008 2009 2010 2011 20122013
Ribu
Ton
Volume
2013
I II III IV I IV-12 I-13
Makanan dan Hewan Bernyawa 27.65 12.70 10.06 5.07 2.55 1.61 0.57
Tembakau dan Minuman 0.25 0.24 0.78 0.08 0.06 0.03 0.01
Barang Mentah 142.11 171.83 191.06 132.28 130.73 21.81 29.07
Bahan Bakar Mineral dan Pelumas - - 0.00 0.00 - 0.00 0.00
Minyak dan Lemak Nabati 0.16 0.21 0.17 0.01 - 0.03 0.00
Bahan Kimia 268.06 465.86 374.55 318.88 201.09 59.14 44.71
Barang Manufaktur 117.64 119.98 76.70 138.47 101.35 15.23 22.54
Mesin dan Peralatan 12.92 10.56 18.89 10.07 10.27 1.34 2.28
Hasil Olahan Manufaktur 5.33 6.32 8.26 6.97 3.68 0.80 0.82
Koin, bukan mata uang - - 0.00 0.00 - 0.00 0.00
574.11 787.71 680.47 611.83 449.74
2012
Total
Kelompok SITC
100
Pangsa (%)
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
16
pertumbuhan sektor tradables Riau masih mengalami kontraksi hingga mencapai
1,98% atau merupakan titik terendahnya selama lima tahun terakhir. Hal ini
utamanya disebabkan adanya penurunan kinerja sektor migas sejalan dengan
faktor alamiah yaitu usia sumur minyak yang sudah tidak produktif (natural
decline).
Tabel 1.5. Pertumbuhan Ekonomi Riau Sisi Sektoral (yoy,%)
Tabel 1.6. Pertumbuhan Ekonomi Riau Sisi Sektoral Tanpa Migas (yoy,%)
Meskipun demikian, tanpa memperhitungkan unsur migas, pertumbuhan sektor
non tradables menunjukkan perbaikan sejalan dengan membaiknya kondisi sektor
industri pengolahan. Pada triwulan laporan, pertumbuhan sektor industri
pengolahan tercatat sebesar 8,01% (yoy), lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan
triwulan IV-2012 yang mengalami kontraksi sebesar 0,38% (yoy). Membaiknya
kondisi sektor industri pengolahan Riau tidak terlepas dari faktor permintaan
industri domestik yang sedikit banyak membantu penyerapan output dari sektor
industri pengolahan minyak sawit mentah.
2013
I*** II*** III*** IV*** I*** III-12 IV-12 I-13
A. Sektor Tradables 2.73 0.75 (0.05) (0.85) (1.98) -0.04 -1.14 -1.49
1 Pertanian 3.94 2.73 2.04 1.21 2.34 0.35 0.20 0.39
2 Pertambangan 1.85 (0.87) (1.59) (2.97) (5.69) -0.75 -1.39 -2.68
3 Industri Pengolahan 4.71 4.63 3.08 0.39 7.00 0.36 0.05 0.80
B. Sektor Non Tradables 10.43 12.42 16.10 17.51 10.97 3.90 3.50 2.70
4 Listrik, Gas dan Air 5.47 3.45 2.52 3.19 4.88 0.01 0.01 0.01
5 Bangunan 12.19 14.96 15.69 13.58 9.44 0.61 0.55 0.38
6 Perdagangan, Hotel & Restoran 11.16 13.65 20.45 18.18 13.07 2.00 1.81 1.29
7 Penganggkutan dan Komunikasi 8.66 10.62 15.66 12.84 13.54 0.52 0.43 0.45
8 Keuangan dan Jasa Perusahaan 11.43 14.94 17.00 13.36 14.39 0.25 0.21 0.22
9 Jasa-jasa 8.94 9.17 9.23 9.12 6.15 0.51 0.51 0.35
4.53 3.50 3.86 2.37 1.21 3.86 2.37 1.21
Sumber : BPS Provinsi Riau
Keterangan : ***(data sangat sementara), (r) angka revisi BPS
2012 (r) Sumbangan (%)
Total
Keterangan
2013
I*** II*** III*** IV*** I*** III-12 IV-12 I-13
A. Sektor Tradables 4.31 3.80 2.80 0.88 4.41 1.48 0.47 2.30
1 Pertanian 3.94 2.73 2.04 1.21 2.34 0.67 0.39 0.76
2 Pertambangan 7.62 6.94 7.38 6.93 6.86 0.15 0.14 0.14
3 Industri Pengolahan 4.62 5.47 3.69 (0.38) 8.01 0.66 -0.07 1.39
B. Sektor Non Tradables 10.43 12.42 16.10 17.51 10.97 7.56 6.74 5.25
4 Listrik, Gas dan Air 5.47 3.45 2.52 3.19 4.88 0.01 0.01 0.02
5 Bangunan 12.19 14.96 15.69 13.58 9.44 1.18 1.05 0.73
6 Perdagangan, Hotel & Restoran 11.16 13.65 20.45 18.18 13.07 3.89 3.48 2.52
7 Penganggkutan dan Komunikasi 8.66 10.62 15.66 12.84 13.54 1.00 0.82 0.88
8 Keuangan dan Jasa Perusahaan 11.43 14.94 17.00 13.36 14.39 0.49 0.40 0.43
9 Jasa-jasa 8.94 9.17 9.23 9.12 6.15 0.99 0.98 0.67
7.15 7.82 9.04 7.21 7.55 9.04 7.21 7.55
Sumber : BPS Provinsi Riau
Keterangan : ***(data sangat sementara), (r) angka revisi BPS
2012 (r) Sumbangan (%)
Total (Tanpa Migas)
Keterangan
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
17
Sementara itu, peran sektor non-tradables terhadap perekonomian lebih tinggi
yang menunjukkan terjadinya pergeseran struktur ekonomi di Provinsi Riau. Secara
spesifik, motor penggerak utama pertumbuhan ekonomi Riau pada triwulan
laporan utamanya berasal dari sektor perdagangan. Sektor perdagangan tercatat
memberikan sumbangan terbesar dibandingkan sektor lainnya baik terhadap total
pertumbuhan maupun tanpa memperhitungkan unsur migas. Relatif besarnya
peran sektor tersebut diindikasikan tidak terlepas dari pesatnya pembangunan
ekonomi Riau yang mendorong pelaku usaha baik dari dalam maupun luar pulau
untuk .
3.1. Sektor Pertanian
Pertumbuhan sektor pertanian Riau pada triwulan laporan mengalami peningkatan
yaitu dari 1,21% (yoy) menjadi 2,34% (yoy). Peningkatan ini ditopang oleh mulai
berproduksinya tanaman perkebunan unggulan Riau seperti kelapa sawit dan karet.
Hal ini diperkirakan tidak terlepas dari faktor rendahnya curah hujan yang sedikit
banyak mempengaruhi hasil panen komoditas tersebut.
Grafik1.14. Perkembangan Kapasitas Terpakai Sektor Pertanian
Grafik 1.15. Perkembangan Nilai Tukar Petani di Provinsi Riau
Sumber : Suvei Kegiatan Dunia Usaha Sumber : BPS Provinsi Riau
3.1. Pertambangan dan Penggalian
Sektor pertambangan Riau pada triwulan laporan mengalami penurunan yang
cukup dalam. Pertumbuhan sektor pertambangan secara umum mengalami
kontraksi sebesar 5,69% (yoy) atau merupakan yang terendah sejak 5 (lima) tahun
terakhir. Secara spesifik, volume lifting minyak bumi Riau pada triwulan laporan
tercatat sebesar 31,51 juta barel atau terkontraksi sebesar 8,92% (yoy). Dengan
kondisi tersebut, maka pencapaian lifting Riau tercatat sebesar 346,31 ribu barel
86,6
86,7
(10)
(8)
(6)
(4)
(2)
-
2
4
6
8
10
80
82
84
86
88
90
92
I II III IV I II III IV I II III IV I
2010 2011 2012 2013
%SB
T
Kapasitas Terpakai (kiri) g.yoy (kanan)
(4)
(2)
-
2
4
6
8
100
101
102
103
104
105
106
107
I II III IV I II III IV I II III IV I
2010 2011 2012 2013
%
NTP (kiri) yoy (kanan)
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
18
per hari atau lebih rendah dari triwulan sebelumnya dan periode yang sama tahun
sebelumnya yang tercatat masing-masing sebesar 380,23 dan 360,13 ribu barel per
hari.
Sebagaimana periode-periode sebelumnya, kondisi ini utamanya masih bersumber
dari faktor alamiah usia sumur minyak yang sudah relatif tua serta minimnya
penggunaan teknologi modern dalam penggalian sumur minyak tua. Disamping itu
juga ditemui sejumlah kendala lain seperti adanya pengikisan lingkungan, tumpang
tindih lahan serta kendala peraturan dan birokrasi perizinan.
Grafik 1.16. Perkembangan Volume Lifting Minyak Bumi di Riau
Grafik 1.17. Perkembangan Volume Lifting Gas Bumi di Riau
Sumber : Departmen ESDM RI
Sumber : Departmen ESDM RI
Sementara itu, dengan mengeluarkan unsur migas, laju pertumbuhan sektor
pertambangan mencatat angka yang lebih tinggi yaitu sebesar 6,86% (yoy), namun
relatif melambat jika dibandingkan dengan pertumbuhan triwulan IV-2012 yang
tercatat sebesar 6,93% (yoy). Berdasarkan hasil survei kepada pelaku usaha,
diketahui bahwa kondisi ini utamanya disebabkan oleh terbatasnya produksi
batubara sejalan dengan faktor lokasi tambang yang sudah cukup dalam. Namun
mengingat pangsa pertambangan non migas yang relatif kecil, maka perubahannya
belum dapat memberikan sumbangan yang berarti.
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
-
5
10
15
20
25
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I
2008 2009 2010 2011 2012 2013
juta
bare
l
juta
bare
l
Bengkalis Indragiri Hulu Kampar
Kep. Meranti Rokan Hilir Rokan Hulu
Siak Total (kanan)
-
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
3.50
-
500
1,000
1,500
2,000
2,500
3,000
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I
2008 2009 2010 2011 2012 2013
Mili
ar BTU
Mili
ar BTU
Pelalawan Pekanbaru Kep. Meranti Total (kanan)
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
19
3.2. Industri Pengolahan
Dalam triwulan laporan, sektor industri pengolahan Riau menunjukkan hal yang
menggembirakan. Pertumbuhan sektor industri pengolahan mengalami kenaikan
yakni dari 0,39% (yoy) menjadi 7,00% (yoy). Sementara, tanpa memperhitungkan
unsur migas, pertumbuhan sektor industri mencatat angka yang lebih tinggi yakni
sebesar 8,01%. Peningkatan ini utamanya dipengaruhi oleh faktor permintaan
industri domestik yang sedikit banyak membantu penyerapan output dari sektor
industri pengolahan minyak sawit mentah. Berdasarkan hasil survei, kapasitas
terpakai sektor industri pengolahan di Riau tercatat meningkat dari 72,20%
menjadi 82,40% pada triwulan I-2013. Disamping itu, peningkatan ini juga
ditopang oleh menurunnya biaya bahan baku sejalan dengan penurunan harga TBS
lokal.
Sebagaimana diketahui, konsumsi CPO Indonesia terus menunjukkan
kecenderungan peningkatan yang cukup signifikan khususnya sejak awal tahun
2012. Bahkan, sejak awal tahun 2012 lalu, tingkat konsumsi domestik Indonesia
telah melewati Cina dengan angka mencapai 7,8 juta metrik ton.2 Hal ini
diperkirakan turut mendorong peningkatan kebutuhan minyak sawit mentah dalam
negeri yang selanjutnya akan diproses menjadi produk turunan.
2 Data diperoleh dari United States Department of Agriculture
Grafik 1.18. Kapasitas Terpakai Industri Pengolahan di Riau (%)
Sumber : SKDU
Grafik 1.19. Perkembangan harga TBS Domestik dan CPO Global
73.2
82.4
-30
-20
-10
0
10
20
30
40
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
I II III IV I II III IV I II III IV I
2010 2011 2012 2013
%SB
T
Kapasitas Terpakai (kiri) g.yoy (kanan)
-
200
400
600
800
1.000
1.200
1.400
1.000
1.100
1.200
1.300
1.400
1.500
1.600
1.700
1.800
1.900
Jan-1
0Feb-1
0M
ar-
10
Apr-
10
May-1
0Ju
n-1
0Ju
l-10
Aug-1
0Sep-1
0O
ct-
10
Nov-1
0D
ec-1
0Ja
n-1
1Feb-1
1M
ar-
11
Apr-
11
May-1
1Ju
n-1
1Ju
l-11
Aug-1
1Sep-1
1O
ct-
11
Nov-1
1D
ec-1
1Ja
n-1
2Feb-1
2M
ar-
12
Apr-
12
May-1
2Ju
n-1
2Ju
l-12
Aug-1
2Sep-1
2O
ct-
12
Nov-1
2D
ec-1
2Ja
n-1
3Feb-1
3M
ar-
13
USD
/MT
Rp
/Kg
TBS Domestik (kiri) CPO Dunia (kanan)
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
20
3.3. Perdagangan, Hotel dan Restoran (PHR)
Sektor PHR Riau pada triwulan laporan mengalami perlambatan yaitu dari
18,18% (yoy) pada triwulan IV-2012 menjadi 13,07% (yoy) pada triwulan I-2013.
Dalam triwulan laporan, tingkat hunian hotel (occupancy rate) hotel di Provinsi Riau
mengalami penurunan cukup dalam yakni dari 61% pada triwulan IV-2012 menjadi
41%. Disamping itu, kredit yang disalurkan ke sektor perdagangan oleh perbankan
juga mengalami penurunan yakni dari Rp9,51 triliun menjadi Rp9,49 triliun atau
secara tahunan tumbuh sebesar 19,61% (yoy), lebih lambat dibandingkan triwulan
sebelumnya.
Grafik.1.22. Perkembangan Tingkat Hunian Hotel Bintang 3,4,5 di Riau
Grafik.1.23. Perkembangan Kredit Sektor Perdagangan di Riau
Sumber : Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia
47%
54%
48%
56%
46%
51%
44%
52%
49%
52%52%
61%
41%
40%
45%
50%
55%
60%
65%
I II III IV I II III IV I II III IV I
2010 2011 2012 2013
-
5,00
10,00
15,00
20,00
25,00
30,00
35,00
-
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
I II III IV I II III IV I II III IV I
2010 2011 2012 2013
%
Rp
tri
liu
n
Nominal (kiri) g.yoy (kanan)
Grafik 1.20. Perkembangan Konsumsi
CPO Global
Grafik 1.21. Struktur Biaya Industri Hulu Kelapa Sawit di Riau
Sumber : USDA Sumber : Survei Liason Bank Indonesia
0
10.000
20.000
30.000
40.000
50.000
60.000
3.000
4.000
5.000
6.000
7.000
8.000
9.000
Jan
-09
Mar
-09
May
-09
Jul-
09
Sep
-09
No
v-0
9Ja
n-1
0M
ar-1
0M
ay-1
0Ju
l-1
0Se
p-1
0N
ov-
10
Jan
-11
Mar
-11
May
-11
Jul-
11
Sep
-11
No
v-1
1Ja
n-1
2M
ar-1
2M
ay-1
2Ju
l-1
2Se
p-1
2N
ov-
12
Jan
-13
Mar
-13
India China EU-27 Indonesia Total (kanan)
rata-rata konsumsi CPO47,6 juta MT
Konsumsi CPO Indonesia melewati Cina
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1800
0%
20%
40%
60%
80%
100%
2009 2010 2011 2012*
Persentase
Struktur Biaya Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit
Bahan baku Tenaga kerja Margin
Harga CPO - USD/mt (kanan) Harga TBS - Rp/kg (kanan)
Sumber : Survey Liaison Bank Indonesia dan Dinas Perkebunan Prov. Riau
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
21
3.4. Pengangkutan dan Komunikasi
Secara umum kegiatan perkembangan sektor pengangkutan dalam triwulan
laporan menunjukkan peningkatan. Pertumbuhan sektor pengangkutan dan
komunikasi di Riau mencapai 13,54% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan
pertumbuhan triwulan IV-2012 yang tercatat sebesar 12,84% (yoy) dan juga
periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 11,43% (yoy).
Salah satu indikator yang mendukung kondisi tersebut adalah masih tingginya arus
kedatangan dan keberangkatan penumpang dan pesawat di Bandara Internasional
Sultan Syarif Kasim (SSK). Pada triwulan laporan, arus kedatangan penumpang di
Bandara Internasional SSK mencapai 344.690 jiwa atau tumbuh 5,20% (yoy).
Arus kedatangan penumpang tersebut tercatat lebih tinggi dibandingkan dengan
rata-rata selama tiga tahun terakhir yang mencapai 312.162 jiwa. Sementara itu,
jumlah penumpang yang berangkat dari Bandara Internasional SSK mencapai
350.104 jiwa dan juga lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata keberangkatan
penumpang selama tiga tahun terakhir yang mencapai 312.307 jiwa.
Grafik 1.24. Arus Kedatangan dan Keberangkatan Penumpang di Bandara
Internasional Sultan Syarif Kasim
Grafik 1.25. Arus Kedatangan dan Keberangkatan Pesawat di Bandara Internasional Sultan Syarif Kasim
Sumber : PT. Angkasa Pura II
2000
2200
2400
2600
2800
3000
3200
3400
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I
2009 2010 2011 2012 2013
datang berangkat
200000
220000
240000
260000
280000
300000
320000
340000
360000
380000
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I
2009 2010 2011 2012 2013
datang berangkat
Indonesia47%
Malaysia38%Thailand
3%
Others12%
Negara Produsen Minyak Sawit Dunia
Prod. dunia = 46 juta ton/thn
Sumber : Statistik Sawit Indonesia
Riau, 25%Sumut, 17%
Kal-Teng, 14%
Sum-Sel, 12%Kal-Bar, 9%
Jambi, 9%
Kal-Tim, 8%
Kal-Sel, 6%
Luas Area Perkebunan Sawit per Provinsi
Total luas area = 9.336.965 Ha
Sumber : Statistik Sawit Indonesia
Riau, 32%
Sumut, 23%
Sum-Sel, 14%
Kal-Teng, 13%
Jambi, 9%
Kal-Bar, 9%
Produksi Sawit per Provinsi
Prod. nasional 2012 = 24.081.907 ton
Sumber : Statistik Sawit Indonesia
KELAPA SAWIT SEBAGAI SEKTOR UNGGULAN RIAU
SEKILAS KELAPA SAWIT INDONESIA
Indonesia merupakan produsen minyak sawit mentah
(CPO) terbesar di dunia dengan produksi sebesar 24
juta ton, atau sebesar 47,5% dari total produksi
dunia. Bersama dengan Malaysia, Indonesia
menguasai hampir 90% produksi CPO dunia. Luas
area
perkebunan
sawit nasional
tahun 2012 mencapai 9,3 juta ha, dengan produktifitas
sekitar 2,6 ton CPO/ha per tahun. Sumatera menjadi yang
terbesar dengan menguasai 65,4% luas area kebun
perkebunan sawit nasional dan 72,2% total produksi CPO
Indonesia. Sementara itu Kalimantan menguasai 30,3%
luas area perkebunan sawit dan 23,9% produksi CPO nasional.
SEKTOR KELAPA SAWIT PROVINSI RIAU
Luas Lahan dan Produksi
Provinsi Riau menjadi daerah penghasil kelapa sawit
terbesar dan terluas di Indonesia. Luas area perkebunan
sawit Provinsi Riau pada 2010 mencapai 2.103.175 ha,
hampir 25% dari luas area nasional. Dari luas area sawit di
Riau tersebut, hanya sekitar 76,4% merupakan tanaman
yang menghasilkan (TM), sementara 22,1% adalah
tanaman yang belum menghasilkan (TBM) dan 1,5%
adalah tanaman yang tidak menghasilkan.
Produksi tandan buah segar (TBS) Riau per tahun mencapai 36.809.252 ton dengan
produktifitas 22,8 ton TBS/ha per tahun. Dari jumlah TBS tersebut, diperoleh minyak sawit
mentah (CPO) 6.293.541 ton per tahun dengan rasio CPO/TBS sekitar 17%, sehingga
produktifitas CPO Provinsi Riau sekitar 4,1 ton/ha per tahun. Berdasarkan informasi liaison,
ditinjau siklusnya, puncak dari produksi TBS di Riau terjadi pada bulan Agustus-November,
sedangkan pada awal tahun produksi menurun. Dengan jumlah produksi CPO tersebut, Provinsi
Riau menguasai hampir 32% dari produksi CPO nasional.
Boks 1
Industri Pengolahan Kelapa Sawit
Pengembangan potensi
kelapa sawit tidak bisa
dilepaskan dari dukungan
sektor industri
pengolahannya, baik industri
hulu maupun industri hilir.
Industri hulu yang biasa
dikenal dengan Pabrik Kelapa
Sawit (PKS) mengolah
langsung hasil panen sawit
atau disebut juga dengan
tandan buah segar (TBS). Dalam ketentuannya, sebagaimana hasil Focus Group Discussion
dengan pelaku usaha, TBS harus diolah dalam waktu 8 jam setelah panen. Jika tidak TBS
akan mengalami peningkatan kandungan asam lemak bebas dan ini menyebabkan mutu TBS
menjadi turun.Untuk itu, PKS terpaksa melakukan pengulangan proses yang sama antara 2 s.d.
3 kali, yang berarti kenaikan biaya produksi.Hasil olahan TBS ini akan menjadi minyak sawit
mentah (CPO) dan biji sawit (palm kernel). CPO dapat langsung diekspor ke pasar dunia, atau
sebagai bahan baku utama bagi industri hilir, atau yang dikenal sebagai Refinery Plant,
Fraksinasi Plant, dan Oleochemical Plant. Sementara palm kernel diolah di Kernel Crushing
Plant (KCP) untuk
menghasilkan crude palm
kernel Oil (CPKO) yang
selanjutnya diolah lagi di
Cocoa Butter Substitution
Plant (CBS) Plant.
Saat ini ada sekitar 150
produk turunan dari CPO
maupun CPKO. Indonesia
baru bisa menghasilkan 47
produk turunan, lebih sedikit dibandingkan Malaysia yang sudah bisa menghasilkan sekitar
100 produk turunan CPO dan CPKO.
Luas Area Produksi TBS Jumlah PKS Kapasitas Kap. total *
(ha) (ton/thn) (tph) (ton/thn)
1 Kuantan Singingi 121,709 2,392,285 10 450 2,556,000
2 Indragiri Hulu 118,538 2,185,196 8 285 1,618,800
3 Indragiri Hilir 213,538 3,097,067 8 385 2,186,800
4 Pelalawan 184,110 3,737,648 17 715 4,061,200
5 Siak 232,857 4,035,206 15 685 3,890,800
6 Kampar 353,792 7,680,797 35 1425 8,094,000
7 Rokan Hulu 422,743 6,150,819 22 984 5,589,120
8 Bengkalis 177,130 2,303,132 8 350 1,988,000
9 Rokan Hilir 237,743 4,639,402 22 915 5,197,200
10 Kep. Meranti - - - - -
11 Pekanbaru 8,080 180,973 - - -
12 Dumai 32,935 406,727 1 60 340,800
2,103,175 36,809,252 146 6254 35,522,720
Sumber : Dinas Perkebunan Provinsi Riau, 2011
* Jam kerja 20 jam/hari, 25 hari kerja/bulan
Tabel. Industri Hulu di Prov. Riau
Kapasitas OlahProduksi TBS
No. Kabupaten/Kota
TOTAL
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1800
0%
20%
40%
60%
80%
100%
2009 2010 2011 2012*
Persentase
Struktur Biaya Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit
Bahan baku Tenaga kerja Margin
Harga CPO - USD/mt (kanan) Harga TBS - Rp/kg (kanan)
Sumber : Survey Liaison Bank Indonesia dan Dinas Perkebunan Prov. Riau
Industri Hulu Sawit di Provinsi Riau
Industri hulu sawit (PKS) di daerah Riau
berkembang cukup pesat seiring
dengan semakin luasnya area
perkebunan sawit. Data dari Dinas
Perkebunan Prov. Riau 2011
menyebutkan bahwa terdapat sebanyak
146 unit PKS yang tersebar di daerah
Riau dengan kapasitas olah TBS 6.254
ton/jam, atau sekitar 35,5 juta ton/tahun.
Dibandingkan dengan jumlah TBS yang dipanen tiap tahun (36,8 juta ton/thn), kapasitas PKS di
daerah Riau hanya bisa mengolah langsung sekitar 96,5% dari jumlah TBS tersebut – ada
sekitar 1,3 juta ton/thn yang tidak bisa langsung diolah. Jumlah ini berpotensi meningkat
mengingat baru 77,4% dari luas area perkebunan di Riau yang menghasilkan (TM). Tiap tahun
diprediksi luas area kebun yang menghasilkan akan semakin besar seiring dengan
bertambahnya umur tanaman sawit.
Struktur Biaya Industri Hulu Sawit
Biaya produksi terbesar dalam pengolahan kelapa
sawit adalah biaya bahan baku, yaitu sekitar 70%-
80% dari total biaya produksi. Biaya-biaya lain yang
muncul dalam pengolahan kelapa sawit adalah biaya
tenaga kerja (10%-25%), biaya energy (1%-5%),
dan biaya lain-lain (± 1%). Oleh karenanya
perubahan harga kelapa sawit sangat mempengaruhi
biaya produksi, harga jual, serta margin yang didapat.
Industri Hilir Sawit di Provinsi Riau
Dari data GAPKI 2009, jumlah industri
hilir sawit di daerah Riau masih sedikit
dibandingkan di daerah Sumatera Utara.
Riau hanya memiliki 8 unit industri hilir,
yang terdiri dari 4 unit industri refinery &
fraksinasi, 1 unit industri minyak goreng, dan 3 unit industri biodiesel. Sementara Sumatera
Utara memiliki sekitar 41 unit industri hilir yang terdiri dari 18 unit industri refinery & fraksinasi,
10 unit industri minyak goreng, 4 unit industri fatty acid, 3 unit industri fatty alcohol, dan 3 unit
industri biodiesel.
India, 49%
Netherlands, 23%
Malaysia, 10%
Italy, 5%
Singapore, 3%
Germany, 2%
Tanzania, 2%
Ivory Coast, 2%
Spain, 2%Finland, 2%
Negara Tujuan Ekspor CPO - Prov. Riau
Sumber : Cognos Bank Indonesia
R.R.C32%
India17%
Pakistan
9%
Egypt9%
Bangladesh8%
Malaysia6%
Ukraine6%
Saudi Arabia5%
Turkey4%
Iran
4%
Negara Tujuan Ekspor Turunan CPO - Prov. Riau
Sumber : Cognos Bank Indonesia
2011* 2012** yoy
Produksi CPO (ton) 5,391,303 5,750,082 6.65
Ekspor CPO (ton) 3,320,405 2,793,425 (15.87)
Share ekspor (%) 61.59 48.58
Share domestik (%) 38.41 51.42
Sumber : Statisitk Sawit Indonesia
* Angka sementara
** Angka perkiraan
Tabel. Angka Produksi CPO Prov Riau
Olein40%
PKE14%
RBDPO12%
Biodiesel10%
Stearin8%
Crude Olein4%
RBDPKO4%
PFAD4%
CPKO4%
Ekspor Turunan Sawit 2012 - Prov. Riau
Sumber : Disperindag Dumai
*Berdasarkan volume ekspor
Perkembangan Sektor Kelapa Sawit di Riau
Produksi dan Penjualan
Dari data statistik sawit Indonesia yang dirilis
BPS, produksi CPO daerah Riau pada tahun
2012 diperkirakan sekitar 5,75 juta ton, naik
6,65% dibandingkan produksi tahun 2011.
Peningkatan ini disebabkan karena adanya
penambahan luas lahan baru sekitar 6,13%.Dari total CPO yang dihasilkan tersebut, 48,6%
diekspor ke luar negeri, sementara 51,4% digunakan untuk kebutuhan CPO domestik.
Ekspor
Meskipun terjadi
peningkatan volume
ekspor sekitar 8,52%
(yoy) untuk komoditi
CPO dan turunannya, tetapi dari nilai penjualan terjadi
penurunan 5,28% (yoy) karena adanya trend penurunan
harga di sepanjang tahun 2012.Dari volume ekspor, terjadi
penurunan volume ekspor CPO sekitar 15,9% dari 3,32
juta ton menjadi 2,79 juta ton. Sebaliknya, terjadi
peningkatan volume ekspor produk turunan sawit
sebesar 27,9%, yaitu dari 4,18 juta ton menjadi 5,35 juta
ton.
Volume ekspor
produk turunan
sawit terbesar
adalah RBDOlein -
turunan CPO-
(40%), diikuti oleh
PKE -turunan PK-
(14%), RBDPO -
turunan CPO- (12%), dan biodiesel (10%). Sementara itu, dari sisi nilai ekspor, penurunan yang
terjadi pada nilai ekspor CPO cukup besar (-25,62%) yaitu dari USD3,46 milliar menjadi
USD2,58 milliar. Sedangkan nilai ekspor turunan CPO meningkat sekitar 10,40% dari USD4,49
milliar menjadi USD 4,96 milliar. India menjadi negara tujuan utama dari ekspor CPO dengan
volume ekspor sekitar 49% dari total ekspor CPO Prov. Riau, diikuti oleh Belanda dengan share
23% dan Malaysia 10%. Sementara itu, untuk ekspor turunan CPO, negara tujuan utama
-
5.0
10.0
15.0
20.0
25.0
30.0
35.0
40.0
45.0
50.0
600650700750800850900950
10001050110011501200
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2
2012 2013
%USD/mt Harga Patokan Ekspor (HPE) dan Tarif Pajak Ekspor
Tarif PE CPO Tarif PE Olein
HPE CPO HPE Olein
Sumber : Permendag dan Permenkeu
700
800
900
1,000
1,100
1,200
-
100,000
200,000
300,000
400,000
500,000
600,000
700,000
800,000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2
2011 2012 2013
USD/mtTon Pergerakan Harga Jual CPO - Prov Riau
Ekspor CPO Ekspor Turunan CPO Harga Jual CPO
Sumber : Cognos Bank Indonesia
200
400
600
800
1,000
1,200
1,000
1,200
1,400
1,600
1,800
2,000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1
2011 2012 2013
USD/mtRp/kg Market Price CPO
TBS Domestik (kiri) CPO dunia (kanan) Avg. Harga CPO tahunan
Sumber : Bloomberg
adalah China dengan volume sekitar 32% dari total ekspor. Diikuti oleh India dengan share
sebesar 17% dan Pakistan 9%.
Perkembangan Hilirisasi
Komposisi jumlah produksi CPOuntuk keperluan
ekspor dan untuk kebutuhan dalam negeri
mengalami perubahan yang cukup signifikan. Pada
tahun 2012, perbandingan CPO untuk ekspor dan
domestik adalah 48% : 52%. Angka ini meningkat
dari sisi CPO untuk domestik dimana pada tahun 2011
komposisi antara CPO ekspor dan domestik adalah
62% : 38%. Hal serupa juga terjadi pada perubahan
komposisi ekspor CPO dan produkturunannya
tahun 2012 dibandingkan 2011, yaitu dari 44.27% :
55.73% menjadi 34.32% : 65.68%. Ini menandakan
semakin berkembangnya industri hilir
sawitdalamnegeri.Pemerintah dengan kebijakan pajak
ekspornya dinilai cukup berhasil dalam mendorong
hilirisasi sawit ini. Untuk diketahui, tarif pajak ekspor produk turunan CPO 2012 ditetapkan
sekitar 55% lebih rendah dibandingkan tarif pajak ekspor CPO, dengan rincian 3,0%-10,0%
untuk produk turunan CPO dan 9,0%-19,5% untuk CPO. Selain itu, insentif yang diberikan
Pemerintah antara lain menghapus pengenaan PPN (10%) dalam pengolahan CPO, dan masuk
dalam industri yang mendapat fasilitas insentif PPh (tax allowance) berdasarkan revisi Peraturan
Pemerintah No.148.
Harga & Margin
Harga CPO dunia mengalami penurunan yang
cukup besar pada tahun 2012. Harga rata-rata
CPO pada tahun 2012 sekitar USD934.05/mt,
turun 13,0% dibandingkan harga rata-rata tahun
2011 yang sebesar USD1073.63/mt. Penurunan
harga ini disebabkan oleh dua faktor utama.
Pertama, perlambatan permintaan akibat lesunya
perekonomian dunia. Kedua, kebijakan Malaysia
melalui penurunan pajak ekspor dari pada triwulan 4-2012 membuat pasokan CPO dari
Malaysia membanjiri pasar dunia, dimana ekspor CPO Malaysia pada Desember 2012
menyentuh rekor 2.63 juta ton.
Kapasitas Utilisasi 2012
Rata-rata kapasitas utilisasi dari industri pengolahan kelapa sawit di daerah Riau berkisar 90% -
95%. Faktor utama yang mempengaruhi kapasitas adalah ketersediaan bahan baku TBS yang
mencukupi. PKS yang memproduksi CPO dan palm kernel terus mengolah TBS guna
mengurangi beban kerugian berupa naiknya keasaman TBS apabila tidak cepat diolah. Hasil
FGD pada Februari 2013 menunjukkan terjadinya peningkatan stok CPO sampai dengan akhir
2012. Besarnya stok CPO tersebut yang akan dipergunakan sebagai ekspor selama
triwulan I-2013. Di sisi margin, turunnya harga dan permintaan CPO berusaha diantisipasi oleh
industri dengan menurunkan margin agar pasar tidak tergerus. Meskipun margin turun, namun
level margin yang diterima perusahaan rata-rata masih diatas 10%.
OUTLOOK SEKTOR KELAPA SAWIT PROVINSI RIAU 2013
Industri sawit masih menjadi andalan sekaligus motor perekonomian daerah Riau di sektor non-
migas untuk tahun 2013. Menurut GAPKI, permintaan dunia terhadap minyak nabati
diperkirakan akan meningkat 10%, atau sekitar 3-4 juta ton per tahunnya. Peningkatan ini
berasal dari naiknya permintaan pasar tradisional ekspor Indonesia (India dan Cina), serta
adanya permintaan baru dari pasar non-tradisional seperti kawasan Afrika (Nigeria, Pantai
Gading, Kenya), kawasan MENA (Middle East and North Africa), Pakistan, Rusia, Turki, dan
lainnya. Pasar ini mempunyai potensi permintaan yang cukup besar di saat turunnya
permintaan dari Eropa dan Amerika.
Disisi produksi, peningkatan permintaan 2013 pada produk CPO dan palm kernel akan lebih
direspons dengan peningkatan kapasitas PKS. Sementara, berdasarkan informasi liaison,
investasi yang dilakukan industri pada tahun 2012 difokuskan pada pengembangan industri
turunan yang mencakup oleochemical dan biodiesel. Peningkatan produksi akan terjadi pada
produk turunan termasuk biodiesel meskipun pasar domestik untuk biodiesel masih relatif
terbatas.
Harga minyak sawit dunia diproyeksikan akan membaik pada tahun 2013 setelah pada
sepanjang tahun 2012 mengalami penurunan yang cukup signifikan. Harga CPO pada semester
I 2013 diperkirakan di kisaran USD800 – USD900 per ton, sementara pada semester II akan naik
pada kisaran USD900 – USD1000 per ton. Kenaikan harga ini dipicu oleh beberapa hal.
Pertama, kebijakan Malaysia yang menaikkan pajak ekspor dari 0% menjadi 4,5% - 8,5% pada
bulan Maret 2013 akan membuat ekspor CPO dari Malaysia sedikit menurun. Kedua, masa
panen raya yang akan segera berakhir membuat persediaan CPO akan berkurang. Ketiga,
adanya ekspektasi permintaan dunia yang meningkat. Keempat, kenaikan harga minyak kedelai
sebagai substitusi CPO bisa mendorong naik permintaan CPO.
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
22
1. KONDISI UMUM
Sejalan dengan perkiraan sebelumnya, tekanan inflasi Riau pada triwulan I-
2013 (yoy)1 mengalami peningkatan dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya. Namun demikian, inflasi Riau pada triwulan laporan tercatat
masih lebih rendah dibandingkan dengan inflasi nasional maupun inflasi
Sumatera. Berdasarkan disagregasinya, peningkatan inflasi pada kelompok
volatile food memberikan sumbangan terbesar terhadap peningkatan inflasi
Riau secara umum, diikuti oleh inflasi pada kelompok administered price.
Sementara inflasi kelompok inti (core) pada triwulan laporan relatif stabil
karena ekspektasi yang terjaga dan optimisme konsumsi yang stabil.
1 yoy (year on year) atau inflasi tahunan merupakan perbandingan Indeks Harga Konsumen (IHK) pada
bulan laporan dengan IHK di bulan yang sama tahun sebelumnya
PERKEMBANGAN
INFLASI DAERAH
Bab 2
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
23
Peningkatan inflasi pada kelompok volatile food terutama pada bumbu-
bumbuan sangat terkait dengan kebijakan pemerintah untuk membatasi
impor holtikultura. Komoditas holtikultura yang memberikan andil besar pada
inflasi umum di Riau adalah komoditas bawang merah dan bawang putih.
Selain itu, kebijakan pemerintah untuk menyesuaikan Tarif Tenaga Listrik (TTL)
secara bertahap dan adanya peningkatan tarif cukai rokok juga turut
memberikan sumbangan yang berarti terhadap inflasi Riau.
2. INFLASI TRIWULANAN (QTQ)
Tekanan inflasi Riau pada triwulan laporan tercatat mengalami peningkatan
yang berarti bila dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yaitu dari 0,68%
menjadi 2,45%, dan tercatat lebih tinggi dari rata-rata historis triwulan I dalam
kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir. Angka tersebut juga tercatat lebih tinggi
bila dibandingkan dengan inflasi Sumatera (2,35%) dan inflasi Nasional
(2,43%) pada triwulan yang sama.
Grafik 2.1. Perkembangan Inflasi Riau, Sumatera & Nasional secara Triwulanan (qtq)
Sumber : BPS, diolah
Grafik 2.2. Historis Inflasi selama Tw I di Provinsi Riau (qtq)
Sumber : BPS, diolah
Kebijakan pemerintah untuk membatasi impor produk holtikultura
berdasarkan Permentan dan Permendag No.60 tahun 20122 ditengah
terbatasnya produksi domestik telah mendorong peningkatan harga yang
signifikan pada komoditas holtikultura. Ekspektasi masyarakat akan
ketersediaan komoditas holtikultura juga dimanfaatkan oleh pedagang untuk
2 Terdapat 20 komoditas hortikultura segar yang diatur perijinan impornya berdasarkan Permentan dan Permendag No 60 Tahun 2012. Berdasarkan ketentuan tersebut sekitar 13 komoditas (antara lain cabai) ditutup impornya selama Januari – Juni 2013 sedangkan lainnya (khususnya bawang putih dan bawang merah) mengalami keterlambatan perijinan impor.
3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1
2010 2011 2012 2013
P.baru 1,70 0,30 0,79 1,72 1,83 2,48 1,51 -0,3 2,30 1,50 0,66 1,10 0,89 0,66 2,62
Dumai 3,52 -1,1 0,26 2,60 2,21 3,71 -0,2 -0,3 2,56 1,08 -0,5 1,28 1,66 0,82 1,68
Nasional 2,07 0,49 0,99 1,41 2,79 1,59 0,70 0,36 1,89 0,79 0,88 0,90 1,68 0,77 2,43
Riau 2,04 0,03 0,69 1,89 1,90 2,71 1,18 -0,3 2,35 1,43 0,43 1,13 1,03 0,68 2,45
Sumatera 2,80 0,16 0,91 1,97 2,12 2,62 0,58 0,09 2,74 0,55 0,35 1,29 1,16 0,67 2,35
-2,00
-1,00
0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
0,00
0,50
1,00
1,50
2,00
2,50
3,00
P.baru Dumai Riau
Tw I-2013
Rata2 historis tw I (2008-2012)
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
24
meningkatkan harga jual3 aneka bumbu-bumbuan tersebut. Selain itu,
kebijakan pemerintah untuk menaikkan Tarif Tenaga Listrik (TTL) sebesar 15%
secara bertahap selama tahun 2013 mulai bulan Januari 2013 juga sudah
mulai dirasakan dampaknya sejak bulan Februari 2013.
Jika dilihat berdasarkan kelompoknya, maka kelompok bahan makanan
tercatat mengalami inflasi tertinggi yaitu mencapai 5,01% (qtq). Kelompok
bahan makanan juga tercatat memberikan kontribusi tertinggi terhadap inflasi
Riau pada triwulan I-2013, diikuti oleh kelompok perumahan, air, listrik, gas
dan bahan bakar (2,91%).
Grafik 2.3. Inflasi dan Kontribusi Berdasarkan Kelompok
Sumber : BPS, diolah
Menghadapi tingginya tekanan kenaikan inflasi bahan makanan pada
subkelompok bumbu-bumbuan tersebut, pemerintah daerah telah menempuh
langkah-langkah intensif untuk memperkuat pasokan pangan domestik guna
meredam gejolak harga. TPID di Riau (TPID Provinsi Riau, TPID Kota Pekanbaru
dan TPID Kota Dumai) juga turut menempuh langkah-langkah dengan
melakukan pengelolaan ekspektasi harga.
2.1. Inflasi Kota
Berdasarkan kota yang disurvey di Provinsi Riau, inflasi tertinggi terjadi di Kota
Pekanbaru yaitu sebesar 2,62%, meningkat signifikan dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 0,66%. Seperti halnya Kota
Pekanbaru, maka tekanan inflasi di Kota Dumai juga mengalami peningkatan
3 Hasil FGD dengan asosiasi pedagang pasar di Kota Dumai
5,01
2,25
2,91
-0,72
0,820,32 0,46
1,37
0,47 0,62
-0,05
0,03 0,02 0,07
-2,00
-1,00
0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
6,00
Inflasi Kontribusi
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
25
yaitu dari 0,82% menjadi 1,68%. Bedasarkan sumbangannya, inflasi yang
terjadi di kota Pekanbaru memberikan sumbangan tertinggi terhadap inflasi
Riau secara umum.
Grafik 2.4. Inflasi dan Kontribusi inflasi Kota terhadap Inflasi Riau
Sumber : BPS, diolah
Secara triwulanan, peningkatan inflasi yang terjadi di Kota Pekanbaru dan
Kota Dumai utamanya didorong oleh peningkatan harga bawang merah, cabe
merah dan bawang putih. Kendala cuaca yang terjadi di daerah sentra
produksi telah menyebabkan terbatasnya pasokan aneka bumbu-bumbuan di
Riau. Kondisi ini juga semakin diperparah dengan tertahannya pasokan impor
holtikultura karena adanya kendala pada perizinan impor.
Provinsi Riau merupakan salah satu daerah di Sumatera yang mengalami
defisit komoditas holtikultura, sehingga pemenuhan pasokan sebagian besar
berasal dari daerah lain, termasuk bawang putih yang berasal dari China.
Sehingga pengaturan tersebut menyebabkan pasokan komoditas di Provinsi
Riau juga menurun. Selain itu, inflasi tukang bukan mandor sebagai dampak
dari kenaikan UMP juga memberikan dorongan yang berarti terhadap inflasi di
Riau terutama di Kota Pekanbaru.
Tabel 2.1. Komoditas dengan Kontribusi Inflasi Tertinggi selama Triwulan I-2013 (qtq)
Sumber : BPS, diolah
KontribusiInflasi
Pbr
Dumai
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
26
Komoditas bawang merah di Kota Pekanbaru dan Kota Dumai mengalami
inflasi yang sangat tinggi yaitu masing-masing sebesar 92,96% dan 63,16%
(qtq). Namun di sisi lain, menurunnya harga daging ayam ras dan emas
perhiasan telah menahan laju inflasi pada tingkat yang lebih tinggi lagi pada
kedua kota tersebut. Menurunnya harga emas disebabkan karena saat ini
investasi dollar dianggap sebagai save haven.
Grafik 2.5. Perkembangan Harga Komoditas Bawang Merah
Sumber : Dinas Perindag Kota Pekanbaru, Dinas Perindag Dumai dan BPS
Jika dilihat secara bulanan, Kota Pekanbaru pada bulan Januari 2013
mengalami inflasi sebesar 2,01%, meningkat cukup berarti dibandingkan
dengan inflasi pada bulan sebelumnya (Desember 2012) dan merupakan inflasi
Januari tertinggi di Kota Pekanbaru sejak tahun 2008 yang lalu. Inflasi yang
terjadi di kota Pekanbaru pada bulan Januari disebabkan oleh meningkatnya
harga cabe merah, beras dan bawang merah.
Meningkatnya harga cabe merah pada bulan Januari utamanya disebabkan
karena menurunnya pasokan komoditas tersebut sejalan dengan perilaku
petani cabe merah di Sumatera Utara yang tidak melakukan panen pada akhir
Desember 20124. Selain itu, pasokan dari wilayah lain seperti Sumatera Barat
juga mengalami gangguan akibat faktor cuaca buruk serta semakin
menurunnya luas tanam tanaman cabe merah keriting sehingga berakibat
pada tidak optimalnya produksi di Provinsi Sumatera Barat5. Ditengah kondisi
4 Berdasarkan informasi dari Dinas Perdagangan Kota Pekanbaru, sekitar 40% pasokan cabe merah keriting berasal dari Sumatera Utara, adanya masa libur pada tanggal 24-31 Desember 2012 cukup mempengaruhi pasokan cabe merah keriting di Riau mengingat petani di Sumatera Utara belum melakukan panen. 5
Liason dari KPw Wilayah VIII.
-
5.000
10.000
15.000
20.000
25.000
30.000
35.000
40.000
-30,00
-20,00
-10,00
0,00
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3
2012 2013
Harga Pekanbaru Harga Dumai
Inflasi Pekanbaru (kiri) Inflasi Dumai
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
27
tersebut, pemerintah juga melakukan pembatasan impor produk holtikultura,
sehingga semakin memberikan tekanan terhadap harga cabe merah dan
bawang merah.
Selanjutnya, pada bulan Februari dan Maret Kota Pekanbaru masing-masing
mengalami inflasi sebesar 0,55% dan 0,04%. Terbatasnya stok bawang merah
dan bawang putih karena menurunnya produksi ditengah tertahannya
pasokan akibat permasalahan izin impor holtikultura masih terus memberikan
tekanan terhadap kenaikan harga bawang merah dan bawang putih. Namun,
masih berlanjutnya penurunan harga emas dan mulai menurunnya harga cabe
merah pada bulan Maret telah menahan laju inflasi Pekanbaru pada tingkat
yang lebih tinggi.
Tabel 2.2. Komoditas dengan Kontribusi Inflasi Tertinggi di Kota Pekanbaru selama Triwulan I-2013
Sumber : BPS, diolah
Selanjutnya, inflasi yang terjadi di Kota Dumai pada bulan Januari 2013
mencapai 1,28% dan menjadi 0,42% pada bulan Februari 2013. Kenaikan
harga aneka bumbu-bumbuan (cabe merah, bawang merah, dan bawang
putih), tarif listrik, dan tukang bukan mandor memberikan sumbangan yang
besar terhadap inflasi Kota Dumai pada 2 (dua) bulan pertama di tahun 2013.
Namun demikian, pada bulan Maret, secara umum tingkat harga di Kota
Dumai mengalami penurunan sehingga mengalami deflasi sebesar 0,02%.
Komoditas cabe merah yang pada 2 (dua) bulan sebelumnya mengalami inflasi
yang cukup berarti, di bulan Maret tercatat mengalami deflasi sebesar
12,75%. Sementara itu, komoditas bawang merah masih tetap mengalami
inflasi yang berarti (35,45%), bahkan pada bulan Maret tercatat memberikan
sumbangan tertinggi terhadap inflasi Kota Dumai.
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
28
Tabel 2.3. Komoditas dengan Kontribusi Inflasi Tertinggi di Kota Dumai selama Triwulan I-2013
Sumber : BPS, diolah
2.2. Disagregasi Inflasi6
Meningkatnya tekanan
inflasi Riau pada triwulan
laporan secara umum
disebabkan oleh
meningkatnya tekanan
inflasi dari komponen
seluruh komponen inflasi
(core, volatile food,
administered price).
Namun, tekanan pada kelompok volatile food karena kenaikan harga
komoditas holtikultura menjadi pendorong utama meningkatnya inflasi Riau
secara umum.
2.1.1. Inflasi Inti (Core)
Pada triwulan laporan, inflasi inti Riau menunjukkan peningkatan setelah
mengalami penurunan pada triwulan sebelumnya. Meningkatnya tekanan
inflasi inti terjadi pada kedua kota yang disurvey yaitu Kota Pekanbaru dan
Kota Dumai. Peningkatan biaya sewa rumah, kontrak rumah, dan tukang
bukan mandor menjadi pendorong utama meningkatnya tekanan inflasi inti
Riau pada triwulan laporan. Kenaikan upah minimum di Kota Pekanbaru dan
Dumai pada tahun 2013 diperkirakan menjadi pendorong utama
meningkatnya tekanan inflasi inti Riau. Kenaikan upah tukang bukan mandor
6 Disagregasi dilakukan dengan pendekatan subkelompok
Grafik 2.6. Inlasi IHK dan Disagregasi Inflasi Riau (qtq)
Sumber : BPS, diolah
(6,00)
(4,00)
(2,00)
-
2,00
4,00
6,00
8,00
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1
2010 2011 2012 2013
Core
Volatile Food
Administered Price
IHK
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
29
juga diperkirakan karena tingginya permintaan sejalan dengan adanya proyek-
proyek konstruksi di Riau. Namun demikian, menurunnya harga emas dunia
menjadi salah satu faktor yang menahan laju inflasi inti Riau pada triwulan I-
2013. Sehingga, secara umum peningkatan inflasi inti Riau pada triwulan
laporan tercatat masih berada pada tingkat yang terjaga.
Grafik 2.7. Perkembangan Core Inflation di Riau
Sumber : BPS, diolah
Grafik 2.8. Perkembangan Harga Emas Dunia
Sumber : Bloomberg
2.1.2. Inflasi Volatile Food
Tekanan inflasi yang berasal dari komponen volatile food pada triwulan
laporan mengalami peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya. Peningkatan harga pada komoditas bawang merah,
cabe merah, dan bawang putih memberikan sumabangan tertinggi terhadap
meningkatnya inflasi kelompok volatile food di Provinsi Riau. Berdasarkan
kotanya, peningkatan terjadi pada kedua kota yang disurvey, namun kota
Pekanbaru tercatat mengalami inflasi volatile food tertinggi juga tercatat
mengalami peningkatan yang signifikan.
Grafik 2.9. Perkembangan Inflasi Volatile Food di Riau
Sumber : BPS, diolah
0,00
0,50
1,00
1,50
2,00
2,50
3,00
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1
2009 2010 2011 2012 2013
Pekanbaru
Dumai
Riau
0,00
200,00
400,00
600,00
800,00
1.000,00
1.200,00
1.400,00
1.600,00
1.800,00
2.000,00
6 8 1012 2 4 6 8 1012 2 4 6 8 1012 2 4 6 8 1012 2 4 6 8 1012 2 4 6 8 1012 2 4 6 8 1012 2
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
-6,00
-4,00
-2,00
0,00
2,00
4,00
6,00
8,00
10,00
12,00
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1
2009 2010 2011 2012 2013
Pekanbaru
Dumai
Riau
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
30
Kebijakan Pemerintah yang menetapkan Pelabuhan Belawan (Sumatera Utara)
menjadi satu-satunya yang dapat melakukan impor produk holtikultura di
Sumatera menyebabkan keterbatasan pasokan komoditas tersebut. Namun
demikian, diketahui bahwa di Kota Dumai komoditas bawang merah dan
bawang putih tersebut dapat masuk melalui pelabuhan-pelabuhan kecil secara
illegal. Kondisi ini menyebabkan ketersediaan stok komoditas tersebut di Kota
Dumai lebih terjaga7. Namun demikian, pemberitaan dimedia terkait dengan
kurangnya pasokan bumbu-bumbuan secara nasional menyebabkan para
pedagang di Kota Dumai menaikkan harga, yang tercermin tingginya harga
bawang merah di Kota Dumai pada akhir triwulan laporan (Maret 2013). Hal
ini tercermin dari lebih tingginya harga kedua komoditas tersebut di Kota
pekanbaru pada bulan Januari dan Februari.
Grafik 2.10. Perkembangan Rata-rata Harga Bawang Merah
Grafik 2.11. Perkembangan Rata-rata Harga Bawang Putih
Sumber : Disperindag Pekanbaru, diolah Sumber : Disperindag Dumai, diolah
2.1.3. Inflasi Administered Price
Kebijakan Pemerintah untuk
menyesuaikan Tarif Tenaga Listrik
(TTL) sebesar 15% secara
bertahap sejak Januari 2013
merupakan faktor utama yang
mendorong meningkatnya
tekanan inflasi kelompok
7 Hasil FGD dengan Dinas Perindag Kota Dumai, Asosiasi Pedagang Kota Dumai dan Gabungan Importir
Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) diketahui bahwa komoditas bawang merah dan bawang putih masuk secara illegal dari pelabuhan-pelabuhan tikus di Kota Dumai, sehingga stok relatif terjaga.
-
5.000
10.000
15.000
20.000
25.000
30.000
35.000
40.000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3
2011 2012 2013
Pekanbaru
Dumai
-
5.000
10.000
15.000
20.000
25.000
30.000
35.000
40.000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3
2011 2012 2013
Pekanbaru
Dumai
Grafik 2.12. Inflasi Administered Price (qtq)
Sumber : BPS, diolah
-6,00
-5,00
-4,00
-3,00
-2,00
-1,00
0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1
2009 2010 2011 2012 2013
Pekanbaru
Dumai
Riau
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
31
administered price pada triwulan laporan. Kenaikan TTL telah memberikan
tekanan berarti, mengingat pangsa biaya tenaga kerja dan biaya energi
terhadap total produksi mencapai 15%-20%8. Selain itu, kebijakan
pemerintah untuk menaikkan tarif cukai rokok untuk tahun 2013 sebesar
8,5%9 juga menjadi salah satu faktor pendorong meningkatnya tekanan inflasi
pada kelompok administered prices. Kebijakan ini telah direspon oleh pelaku
usaha dengan meningkatkan harga jual kepada konsumen untuk
mengkompensasi turunnya laba akibat kenaikan pajak.
3. INFLASI TAHUNAN (YOY)
Secara tahunan (yoy), inflasi Riau mengalami peningkatan yaitu dari 3,32%
pada triwulan IV-2012 menjadi 5,39% pada triwulan I-2013. Namun demikian
inflasi Riau pada triwulan laporan masih lebih rendah dibandingkan dengan
inflasi Sumatera dan inflasi nasional yang pada triwulan I-2013 masing-masing
mencapai 5,57% dan 5,90%. Inflasi Riau pada triwulan laporan juga masih
tercatat lebih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata historis triwulan I
sejak tahun 2009 yang lalu.
Gambar 2.1. Perkembangan Inflasi Riau, Sumatera dan Nasional secara Tahunan (yoy)
Sumber : BPS, diolah
Berdasarkan kota yang disurvey di Provinsi Riau, inflasi tertinggi terjadi di Kota
Dumai yaitu sebesar 5,56% dari 3,20% pada triwulan sebelumnya. Sementara
itu, Kota Pekanbaru tercatat mengalami inflasi sebesar 5,36% juga meningkat
8 Hasil FGD dengan APINDO dan PHRI 9 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 1790.11/2012 tentang tarif Cukai Hasil Tembakau pada 12
November 2012, dengan ketentuan tarif cukainya mulai berlaku pada tanggal 25 Desember 2012.
Sumatera
Riau
Nasional 3,32
5,39 5,42
Tw IV-12 (yoy)
Tw I-13 (yoy)
Rata-rata Tw I 2009-2012 (yoy)4,30
5,90 5,49
3,51
5,576,50
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
32
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 3,35%.
Dalam kurun waktu 1 (satu) tahun, peningkatan harga bawang merah menjadi
pendorong utama meningkatnya tekanan inflasi Riau, diikuti oleh peningkatan
upah tukang bukan mandor, sewa rumah, kontrak rumah, dan kenaikan harga
bawang putih. Peningkatan harga bawang merah dan bawang putih sangat
terkait dengan terlambatnya perizinan impor dan pembatasan impor
komoditas holtikultura. Sementara peningkatan upah tukang bukan mandor,
kontrak rumah dan sewa rumah diperkirakan sangat terkait dengan
peningkatan Upah Minimun dan kenailkan Tarif Tenaga Listrik tahun 2013
dibandingkan dengan tahun 2012 yang lalu.
Grafik 2.13. Perkembangan Inflasi di Riau, Sumatera dan Nasional secara Tahunan (yoy)
Sumber : BPS, diolah
3.1. Inflasi Kota
Berdasarkan kota yang disurvei, pada triwulan I-2013 Kota Pekanbaru
mengalami inflasi sebesar 5,36% (yoy), meningkat cukup berarti dibandingkan
dengan triwulan sebelumnya yaitu sebesar 3,35% (yoy). Selanjutnya inflasi
Kota Dumai meningkat lebih tinggi yaitu dari 3,20% (yoy) pada triwulan IV-
2012 menjadi 5,56% (yoy) pada triwulan I-2013. Jika dilihat dari
sumbangannya, maka Kota Pekanbaru tercatat memberikan sumbangan
tertinggi terhadap inflasi Riau triwulan I-2013.
Jika dilihat secara tahunan, inflasi yang terjadi di Kota Pekanbaru utamanya
disebabkan oleh kenaikan harga bawang merah yang mencapai 119,94%.
Selanjutnya diikuti oleh kenaikan upah bukan tukang bukan mandor, kontrak
rumah, sewa rumah dan rokok kretek filter. Namun demikian, penurunan
3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1
2010 2011 2012 2013
P.baru 2,20 1,94 2,26 4,58 4,72 7,00 7,76 5,61 6,10 5,09 4,20 5,67 4,21 3,35 5,36
Dumai 3,22 0,80 1,81 5,27 3,94 9,05 8,49 5,42 5,78 3,10 2,75 4,38 3,47 3,20 5,56
Riau 2,39 1,73 2,18 4,71 4,57 7,37 7,90 5,57 6,04 4,72 3,94 5,44 4,08 3,32 5,39
Sumatera 3,36 2,44 3,40 5,96 5,25 7,83 7,47 5,48 6,12 3,98 3,75 4,99 3,38 3,51 5,57
0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
6,00
7,00
8,00
9,00
10,00
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
33
harga minyak goreng dan beras telah menahan laju inflasi Kota Pekanbaru
secara umum pada tingkat yang lebih tinggi lagi.
Grafik 2.14. Sumbangan Inflasi Tahunan (yoy) Provinsi Riau
Sumber : BPS, diolah
Berbeda dengan Kota Pekanbaru, inflasi yang terjadi di Kota Dumai utamanya
didorong oleh meningkatnya harga sayuran dan buah yaitu bayam dan jeruk.
Selanjutnya, diikuti oleh kenaikan harga bahan bakar rumah tangga, bawang
merah dan bawang putih. Kondisi ini menunjukkan bahwa dampak dari
permasalahan keterlambatan izin impor dan pembatasan impor produk
holtikultura lebih terasa di Kota Pekanbaru daripada Kota Dumai.Rencana
pemerintah untuk menaikkan harga LPG diduga menjadi penyebab
meningkatnya pembelian bahan bakar rumah tangga sehingga mendorong
peningkatan yang berarti pada komoditas tersebut, dengan inflasi tertinggi
secara nasional terjadi di Kota Dumai.
Terkait dengan peningkatan harga komoditas holtikultura secara umum,
pemerintah telah mengambil langkah kebijakan untuk mengendalikan
lonjakan harga, dan hasilnya secara berangsur dapat menekan peningkatan
harga bawang putih pada akhir Maret 2013. Namun sampai sejauh ini, belum
terlihat pengaruhnya untuk komoditas bawang merah, bahkan masih terus
mengalami peningkatan sampai dengan akhir triwulan laporan. Sementara itu
panen raya beras yang bergeser ke bulan April menyebabkan penurunan
harga beras masih sangat terbatas, sehingga belum mampu mengimbangi
tekanan inflasi dari komoditas holtikultura secara umum.
KontribusiInflasi
Pbr
Dumai
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
34
Grafik 2.15. Inflasi IHK dan Disagregasi Inflasi (yoy)
Sumber : BPS, diolah
(2,00)
-
2,00
4,00
6,00
8,00
10,00
12,00
14,00
16,00
18,00
20,00
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1
2010 2011 2012 2013
Core
Volatile Food
Administered Price
IHK
Tabel 2.4. Komoditas dengan Kontribusi Inflasi Tertinggi selama tw I-2013 (yoy)
Sumber : BPS, diolah
2.1. Disagregasi Inflasi10
Pada triwulan I-2013,
peningkatan inflasi Riau
utamanya didorong oleh
tekanan inflasi yang berasal
dari kelompok volatile food
dan administered prices.
Sementara tekanan inflasi
yang berasal dari kelompok
core relatif stabil. Stabilnya
tekanan yang berasal dari kelompok core karena adanya dukungan faktor
eksternal dan terjaganya permintaan secara umum karena ekspektasi yang
masih terjaga sehingga konsumsi masih stabil. Tekanan eksternal yang
menurun, khususnya bersumber dari harga emas dan nilai tukar yang cukup
stabil menahan kenaikan inflasi inti.
2.1.1. Inflasi Inti (Core)
Laju inflasi inti (core) Riau pada triwulan I-2013, tercatat relatif stabil bila
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Relatif stabilnya tekanan yang
berasal dari inflasi inti didorong oleh adanya faktor eksternal dan terjaganya
permintaan secara umum. Menurunnya tekanan yang berasal dari eksternal
utamanya berasal dari penurunan harga emas dan nilai tukar yang cukup stabil
10 Disagregasi dilakukan dengan pendekatan subkelompok
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
35
dalam menahan kenaikan inflasi inti. Sementara, terjaganya permintaan secara
umum disebabkan karena ekspektasi yang masih terjaga sehingga konsumsi
masih stabil.
Grafik 2.16 Perkembangan Inflasi Inti (yoy) di Riau
Sumber : BPS, diolah
Ekspektasi inflasi yang relatif menurun meskipun masih berada pada level yang
tinggi ditunjukkan oleh berbagai berbagai indikator ekspektasi yang
menunjukkan penurunan. Mempertimbangkan kondisi eksternal dan domestik
pada saat itu, Bank Indonesia juga menjaga BI-Rate pada level yang tetap di
5,75%. Jika dilihat berdasarkan kotanya, tekanan inflasi inti yang terjadi di
Kota Pekanbaru tercatat lebih tinggi dibandingkan dengan Kota Dumai,
meskipun masih berada pada tingkat yang relatif stabil
Grafik 2.17 Perkembangan Nilai Tukar Rupiah Terhadap USD
Grafik 2.18 Survey Ekspektasi Konsumen
Sumber : Bank Indonesia
0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
6,00
7,00
8,00
9,00
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1
2009 2010 2011 2012 2013
Pekanbaru
Dumai
Riau
140,00
150,00
160,00
170,00
180,00
190,00
200,00
1 2 3 4 1 2 3 4 Jan Feb Maret
2011 2012 2013
Ekspektasi harga 3bulan yad Ekspektasi harga 6 bulan yad
Ekspektasi harga 12 bulan yad
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
36
2.1.2. Inflasi Volatile Food
Terkendalanya tambahan pasokan produk holtikultura karena masalah
perizinan ditengah terganggunya produksi domestik di daerah sentra produksi
akibat faktor cuaca menjadi penyebab utama meningkatnya tekanan inflasi
volatile food pada triwulan laporan. Selain karena terganggunya pasokan
impor dan gangguan cuaca, tingginya inflasi bawang merah dan cabe merah
juga disebabkan karena tingginya permintaan bawang merah untuk
pembibitan bawang merah pasca panen padi di daerah sentra produksi.
Grafik 2.19. Perkembangan Inflasi Volatile Food (yoy)
Sumber : BPS, diolah
Grafik 2.20. Perkembangan Inflasi dan Kontribusi Bawang Merah dan Bawang Putih
Sumber : BPS, diolah
2.1.3. Inflasi Administered Price
Kebijakan pemerintah untuk melakukan penyesuaian Tarif Tenaga Listrik (TTL)
sebesar 15% secara bertahap sejak Januari 2013 dan menaikkan tarif cukai
rokok merupakan faktor utama meningkatnya inflasi kelompok administered
-10,00
-5,00
0,00
5,00
10,00
15,00
20,00
25,00
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1
2009 2010 2011 2012 2013
Pekanbaru
Dumai
Riau
0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
6,00
Pbr Dumai
Tw I-2013 (yoy)
Inflasi Umum
Kontribusi Bawang Merah
Kontribusi Bawang Putih
-1,00
0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
6,00
Pbr Dumai
Tw IV-2012 (yoy)
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
37
price pada triwulan I-2012. Hal ini tercermin dari peningkatan tarif listrik dan
harga jual rokok baik dikota Pekanbaru maupun kota Dumai dalam kurun
waktu 1 (satu) tahun terakhir.
Dampak kenaikan Tarif Tenaga Listrik mulai tercatat pada inflasi bulan Februari
2013 dengan andil terhadap inflasi umum di Kota Pekanbaru sebesar 0,10%
(yoy) sementara di Kota Dumai sebesar 0,07% (yoy) dengan inflasi masing-
masing sebesar 3,60% dan 2,61%. Selain itu, rencana pemerintah untuk
menaikkan harga LPG diduga turut mendorong peningkatan pembelian bahan
bakar rumah tangga. Inflasi bahan bakar rumah tangga di Kota Dumai
mengalami peningkatan tertinggi secara nasional yaitu mencapai 17,93%
(yoy), sementara di Kota Pekanbaru hanya tercatat sebesar 2,57% (yoy).
Grafik 2.21. Perkembangan Inflasi Administered Price (yoy)
Sumber : BPS, diolah
-8,00
-3,00
2,00
7,00
12,00
17,00
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1
2009 2010 2011 2012 2013
Pekanbaru
Dumai
Riau
Peran BI Mendukung Riau Swasembada Beras
Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan
rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan secara cukup, baik dari
jumlah dan mutunya, aman, merata, dan terjangkau1. Ketahanan pangan
menjadi hal yang penting dan strategis karena berdasarkan pengalaman di
banyak negara menunjukan bahwa tidak ada satu negara pun yang dapat
melaksanakan pembangunan dengan baik sebelum mampu mewujudkan
ketahanan pangan terlebih dahulu.
Sebagai negara kepulauan yang memiliki karakteristik beragam, tidak semua
daerah di Indonesia dapat mencukupi kebutuhan pangan sendiri. Hal ini
disebabkan karena kurangnya dukungan sumber daya alam dan faktor lainnya
seperti inefisiensi2.
Provinsi Riau merupakan salah satu daerah yang dikategorikan sebagai defisit
pangan, terutama untuk komoditas beras. Meskipun memiliki kekuatan
ekonomi yang besar, namun Riau tidak didukung oleh sektor pertanian padi
yang handal. Produksi beras Riau pada tahun 2012 diperkirakan mencapai 323
ribu ton, sementara kebutuhan beras diperkirakan sekitar 614 ribu ton.
Dengan perkembangan tersebut, Provinsi Riau mengalami defisit pasokan
beras sebesar 291 ribu ton. Selama ini, defisit pasokan beras tersebut dipenuhi
dengan pasokan dari Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Jawa Barat.
1 Berdasarkan UU No.7 Tahun 1996 tentang Pangan 2 Disampaikan oleh Kepala Badan Ketahan Pangan dalam Seminar Nasional Hasil Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, 2011
Boks 2
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012*
Luas panen (ha) 136 147 148 149 156 145 144
Prod. (ku/ha) 31,5 33,3 33,4 35,6 36,8 36,9 35,6
Produksi (ton) 271 309 311 335 362 338 323
Kebutuhan (ton) 546 552 577 557 576 597 614
-
100
200
300
400
500
600
700
ribu
Grafik 1. Perkembangan Produksi dan Kebutuhan Beras di Provinsi Riau
Sumber : Departemen Pertanian dan BPS (diolah) * Angka sementara
Defisit persediaan beras di Provinsi Riau berpotensi semakin besar setiap
tahunnya jika melihat pada perkembangan yang terjadi selama beberapa
tahun terakhir. Pertama, di sisi supply, tidak terjadi peningkatan produksi beras
yang signifikan diakibatkan semakin turunnya luas lahan pertanian sawah yang
diperkirakan karena dialih fungsikan menjadi lahan sawit. Selain itu, rendahnya
produktifitas karena inefisiensi dan faktor alam turut berperan terhadap belum
optimalnya produksi padi di Riau. Kedua, di sisi demand, kebutuhan beras
setiap tahunnya terus menunjukkan peningkatan sejalan dengan laju
pertumbuhan penduduk3 Riau yang tinggi karena prospektifnya perekonomian
Riau. Dengan perkembangan tersebut, diperlukan manajemen pengelolaan
cadangan beras yang komprehensif dan program ketahanan pangan yang
berkelanjutan untuk menjamin ketersediaan beras Riau dalam jangka panjang.
Pemerintah Provinsi Riau sejak tahun 2009 telah mencanangkan program
ketahanan pangan di seluruh kabupaten/kota Provinsi Riau yaitu Operasi
Pangan Riau Makmur (OPRM). Program pemerintah yang dibiayai dari APBN
dan APBD ini selain bertujuan untuk mewujudkan swasembada pangan Riau
secara bertahap, juga untuk mendukung program nasional surplus beras 10
juta ton di tahun 2014. Rencana program yang dilakukan dalam OPRM
3 Data BKKBN 2012 menunjukan bahwa laju pertumbuhan penduduk Riau sebesar 3,59% pertahun, lebih tinggi dibandingkan nasional yang sebesar 1,5% pertahun.
Lahan
Sawah
Lahan Bukan
Sawah*Jumlah
Tanam
dua Kali
Tanam
satu kaliJumlah
1 Keritang 7,408 727 8,135 1463 5945 7408 -
2 Reteh 3,150 - 3,150 438 2712 3150 -
3 Enok 276 789 1,065 - 255 255 21
4 Tanah Merah 128 73 201 - 26 26 102
5 Kuindra 712 870 1,582 - 649 649 63
6 Tembilahan 2,189 76 2,265 423 1603 2026 163
7 Tempuling 1,715 479 2,194 - 1715 1715 -
8 Batang Tuaka 5,580 1,412 6,992 - 4176 4176 1,404
9 GAS 1,259 1,564 2,823 675 558 1233 26
10 Gaung 2,970 4,374 7,344 617 396 1013 1,957
11 Mandah 20 480 500 - - - 20
12 Kateman - - - - - - -
13 Kemuning - 1,752 1,752 - - - -
14 Tembilahan Hulu 2,517 105 2,622 622 1636 2258 259
15 Pulau Burung - - - - - - -
16 Pelangiran - 100 100 - - - -
17 Tl. Belengkong - - - - - - -
18 Concong 129 233 362 - 52 52 77
19 Kempas 1,858 65 1,923 10 1848 1858 -
20 Sungai Batang 2,320 1,030 3,350 554 1635 2189 131
32,231 14,129 46,360 4,802 23,206 28,008 4,223
*Lahan bukan sawah yang sementara tidak dusahakan namun berpotens i untuk tanaman padi
Sumber data: Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Peternakan
Potensi (Ha) Sudah Dimanfaatkan Belum
Dimanfaatkan
(Ha)
No Kecamatan
Kab. Indragiri Hilir
mencakup pencetakan sawah baru sebanyak 228 ribu ha, rehabilitasi sawah
terlantar seluas 100 ribu ha, dan perubahan indeks penanaman (IP) 100
menjadi IP 200.
Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil) merupakan salah satu sentra padi di wilayah
Provinsi Riau yang menjadi prioritas dalam OPRM. Potensi lahan yang dimiliki
adalah sebesar 46.360 ha, namun baru sekitar 60,41% atau 28.008 ha dari
lahan tersebut yang dimanfaatkan sebagai lahan sawah dengan produksi
sebesar 76 ribu ton (21,12% produksi Riau). Mayoritas lahan sawah di Kab.
Inhil digunakan untuk sistem tanam 1 (satu) kali setahun (IP 100) dengan
produktifitas sebesar 38,6 kuintal/ha4.
Tabel 1. Potensi Lahan di Kab. Indragiri Hilir
Dalam perkembangannya, terdapat beberapa tantangan yang dihadapi dalam
pengembangan pertanian di Kab. Inhil yang berdampak pada rendahnya
efisiensi, mutu produk, dan produktifitas5, yaitu (i) rendahnya pemahaman
petani tentang teknologi pertanian, (ii) masih kurangnya penerapan teknologi
dalam pertanian padi, yaitu dalam hal penggunaan benih unggul dan
bermutu, sarana pengelolaan air, dan minimnya alat mesin pertanian (alsintan)
4 Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Peternakan (TPHP) Kab. Inhil, 2011 5 Hasil dari Forum Discussion Group (FGD) antara Pemda Kab. Inhil, Kelompok Tani, dan Bank Indonesia di Tembilahan pada Februari 2013.
untuk pengolahan lahan dan penanganan pasca panen, serta (iii) permodalan
yang minim.
Bank Indonesia selaku otoritas moneter turut mendukung program ketahanan
pangan lewat peran aktif dan kerjasama baik dengan pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah. Kerjasama ini dimaksudkan untuk
mengembangkan sektor pertanian sebagaimana tertuang dalam Nota
Kesepahaman antara Gubernur Bank Indonesia dan Menteri Pertanian
Republik Indonesia tanggal 16 Maret 2011 tentang Kerjasama Pengembangan
Usaha di Sektor Pertanian. Dalam hal ini, Kantor Perwakilan Bank Indonesia
(KPwBI) Prov. Riau sejak tahun 2012 telah menjalin kerjasama dengan
Pemerintah Daerah Kab. Inhil untuk pengembangan usaha sektor pertanian
padi sesuai karakteristik lahan di Kab. Inhil serta mendorong akses
pembiayaannya. Bentuk kerjasama tersebut antara lain memberikan stimulus
bantuan teknis dan non teknis serta memperluas program keuangan inklusif
khususnya kepada petani dan LKM. Kerjasama ini semakin di perkuat dengan
Nota Kesepahaman yang ditandatangani pada 11 April 2013 dengan tujuan
mensinergikan sumber daya yang tersedia baik dari KPwBI Prov. Riau maupun
Pemda Kab. Inhil dengan lebih baik.
Dalam pelaksanaannya, KPwBI Prov. Riau bertanggung jawab untuk
meningkatkan kompetensi teknis kelompok tani dan petugas lapangan dalam
bentuk pelatihan dan sosialisasi, serta mendorong sumber-sumber pembiayaan
untuk lebih berperan dalam pengembangan usaha di sektor pertanian.
Sementara itu, Pemda Kab.Inhil bertanggung jawab untuk menyiapkan
kelompok tani pilihan dan menyusun konsep model pengembangan sektor
pertanian di Kab.Inhil, serta menfasilitasi kegiatan terkait sosialisasi dan
hubungan usaha petani dengan perusahaan mitra.
Program peningkatan kompetensi teknis petani yang akan dilakukan oleh
KPwBI Prov. Riau pada tahun 2013 adalah pelatihan penangkaran benih dan
pengelolaan lahan pasang surut. Selanjutnya pelatihan tersebut akan
diperdalam dengan melakukan studi banding ke sentra padi nasional sehingga
dapat secara langsung menyaksikan model pertanian yang sudah maju
sekaligus bertukar pikiran dengan petani setempat. Selain teknis pertanian,
pelatihan kewirausahaan dan manajemen keuangan juga diberikan sebagai
upaya untuk mendorong petani menjadi pengusaha di sektor pertanian
nantinya.
Sementara itu, untuk mendorong pembiayaan sektor pertanian dirancang juga
program berupa pelatihan mengenai konsep pembiayaan agribisnis kepada
lembaga keuangan mikro (LKM) serta penelitian lending model untuk Rice
Milling. Melalui program ini, diharapkan kendala/hambatan akses pembiayaan
kepada sektor pertanian dapat dihilangkan dan LKM dapat dibekali dengan
pengetahuan/strategi untuk mengembangkan bisnis usaha lewat kerjasama
dengan lembaga keuangan lain seperti perbankan.
Sebagai bentuk nyata (tangible) peran aktif dalam mengembangkan sektor
pertanian, KPwBI Prov. Riau lewat program sosial turut memberikan bantuan
non-teknis berupa alat dan mesin pertanian (alsintan) pra-panen dan pasca
panen kepada beberapa kelompok tani potensial. Bantuan alsintan ini
diberikan untuk memperkuat pelatihan teknis pertanian yang sudah diperoleh
sebelumnya. Dengan demikian, para petani tersebut terbekali secara
menyeluruh bukan hanya dari sisi pengetahuan tapi juga dari sisi peralatan,
dan diharapkan selanjutnya dapat menjadi mitra BI untuk mengembangkan
usaha pertanian kelompok tani yang lain.
Keberhasilan kerjasama program ketahanan pangan antara KPwBi Prov. Riau
dan Pemda Kab. Inhil pada akhirnya dapat dilihat dari meningkatnya 3 (tiga)
indikator berikut, yaitu produktifitas padi, ketersediaan benih, dan kompetensi
petani baik di bidang teknik bertani maupun manajemen keuangan.
Peningkatan pada ketiga indikator tersebut diharapkan tidak hanya mampu
mendorong Riau untuk swasembada beras, tetapi yang terpenting adalah
dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama para petani Riau.
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
38
1. Kondisi Umum
Kondisi perbankan Riau pada triwulan I-2013 menunjukkan perkembangan
yang menggembirakan setelah mengalami penurunan pada triwulan
sebelumnya. Kondisi ini tercermin dari meningkatnya aset, dana, kredit yang
disalurkan dan jaringan kantor perbankan. Intermediasi perbankan mengalami
peningkatan yang tercermin dari meningkatnya LDR dengan risiko yang masih
terjaga. Peningkatan intermediasi ini juga tercermin dari peningkatan yang
signifikan dari pembukaan rekening dana baru baik tabungan, giro maupun
deposito. Berdasarkan penggunaan, kredit yang disalurkan masih terus
didominasi oleh kredit produktif dan tercatat masih terus mengalami
peningkatan. Penyaluran kredit UMKM juga terus mengalami peningkatan yang
mengimplikasikan tingginya keperdulian perbankan Riau dalam mendukung
kemajuan sektor UMKM.
Bab 3 PERKEMBANGAN PERBANKAN
DAN SISTEM PEMBAYARAN
DAERAH
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
39
2. Perkembangan Perbankan Riau
Kinerja perbankan Riau secara umum menunjukkan perkembangnan yang
menggembirakan setelah mengalami penurunan pada triwulan sebelumnya
yang tercermin dari peningkatan aset, dana dan kredit yang disalurkan. Pada
triwulan laporan, aset perbankan Riau meningkat sebesar 1,17% (qtq) sehingga
menjadi Rp74,24 triliun. Peningkatan aset berasal dari meningkatnya aset bank
umum yang mencapai 1,21% (qtq), sementara aset BPR mengalami penurunan
sebesar 1,85%.
Peningkatan aset terjadi seiring dengan meningkatnya Dana Pihak Ketiga (DPK)
perbankan Riau sebesar 0,95% (qtq) sehingga jumlahnya mencapai Rp53,44
triliun. Peningkatan dana yang dihimpun pada akhirnya mendorong
meningkatnya jumlah kredit yang disalurkan oleh perbankan Riau pada triwulan
laporan hingga mencapai Rp44,81 triliun atau meningkat 1,48% (qtq). Kredit
perbankan Riau tercatat lebih tinggi bila dilihat berdasarkan lokasi proyek, yaitu
mencapai Rp60,30 triliun atau meningkat 0,44% (qtq).
Tabel 3.1. Perkembangan Indikator Perbankan Riau (dalam Rp Juta)
Intermediasi perbankan riau pada triwulan laporan tercatat mengalami
peningkatan yang tercermin dari meningkatnya LDR dari 83,41% menjadi
83,84%. Sementara dengan memperhitungkan kredit berdasarkan lokasi
proyek, LDR perbankan Riau tercatat lebih tinggi yaitu mencapai 112,83%.
Seiring dengan peningkatan penyaluran kredit oleh perbankan, rasio kredit
bermasalah atau Non Performing Loan (NPL) juga mengalami peningkatan yaitu
dari 3,05% menjadi 3,39%. Namun demikian, angka tersebut masih berada
pada batas aman yang ditentukan oleh Bank Indonesia yaitu sebesar 5%.
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
40
Tabel 3.2. Perkembangan Jaringan Kantor Bank Umum di Riau Triwulan I-2013
*) Kantor wilayah, Payment Point, Kantor Fungsional, Kantor Layanan syariah, Gerai, Kas Mobil
3. Perkembangan Bank Umum
3.1. Perkembangan Jaringan Kantor
Jumlah jaringan kantor bank umum di Riau pada triwulan laporan mengalami
kenaikan sebanyak 130 kantor, sehingga menjadi 806 kantor. Penambahan
jaringan kantor tersebut terjadi pada jumlah Kantor Cabang Pembantu
(6 unit), kantor kas (86 unit) dan lainnya (38 unit).
Sementara itu, pada tingkat
kabupaten/Kota, penyebaran jaringan
kantor bank umum masih terpusat di
Kota Pekanbaru dengan jumlah
jaringan kantor mencapai 315
jaringan diikuti oleh Kabupaten
Indragiri Hilir dan Kota Dumai.
Namun, perbankan juga sudah mulai
melihat potensi ekonomi pada
kabupaten/kota lain di Provinsi Riau
sebagaimana tercermin dari
meningkatnya jumlah kantor bank di
kabupaten lain.
Tabel 3.3. Perkembangan Jaringan Kantor Bank Umum Menurut Kab./Kota di Riau Triwulan I-2013
3.2. Perkembangan Aset
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
41
Aset bank umum di Riau pada triwulan I-2013 tercatat sebesar Rp73,22 triliun
meningkat 1,21% (qtq) setelah mengalami penurunan pada triwulan IV-2012
yang lalu. Jika dilihat secara tahunan, aset bank umum juga masih terus
mengalami peningkatan yaitu sebesar 10,17% (yoy), meskipun melambat bila
dibandingkan dengan pertumbuhan triwulan sebelumnya. Peningkatan aset
bank umum terjadi seiring dengan meningkatnya dana yang dihimpun oleh
perbankan sehingga mendorong peningkatan penyaluran kredit oleh bank
umum.
Grafik 3.1. Perkembangan Aset Bank Umum di Provinsi Riau
Grafik 3.2. Perkembangan Pangsa Aset Bank Umum Menurut Kelompok
Sumber : Bank Indonesia
Berdasarkan kelompoknya, komposisi aset bank umum di Riau tidak
mengalami perubahan yang signifikan dibandingkan periode-periode
sebelumnya. Aset bank milik pemerintah masih memiliki pangsa terbesar
dengan nilai mencapai Rp51,80 triliun atau sekitar 70,74% dari total aset
bank umum di Riau.
3.3. Kredit
3.3.1. Perkembangan Penyaluran Kredit
Pada triwulan I-2013, jumlah kredit yang disalurkan oleh bank umum
mencapai Rp44,09 triliun, meningkat 1,49% (qtq) dibandingkan triwulan
sebelumnya. Sebagian besar kredit disalurkan oleh bank umum milik
pemerintah yaitu mencapai Rp27,93 triliun (63,35%), meningkat 1,20% (qtq).
Namun pertumbuhan penyaluran kredit oleh bank milik swasta tercatat lebih
tinggi yaitu mencapai 2,00% (qtq) sehingga jumlahnya meningkat menjadi
Rp16,16 triliun. Jika dilihat dari jenis valutanya, sebagian besar kredit
(5,00)
-
5,00
10,00
15,00
20,00
25,00
30,00
0,00
10.000.000,00
20.000.000,00
30.000.000,00
40.000.000,00
50.000.000,00
60.000.000,00
70.000.000,00
80.000.000,00
1 2 3 4 1 2 3 4 1
2011 2012 2013
Rp
Ju
ta
%
Aset Pertumbuhan (yoy,%) Pertumbuhan (qtq,%)
0
10.000.000
20.000.000
30.000.000
40.000.000
50.000.000
60.000.000
70.000.000
80.000.000
1 2 3 4 1 2 3 4 1
2011 2012 2013
Swasta Pemerintah
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
42
disalurkan masih dalam mata uang Rupiah yaitu mencapai Rp42,80 triliun
(97,07%). Sementara, kredit yang disalurkan dalam valuta asing hanya sebesar
Rp1,29 triliun. Kredit yang disalurkan dalam bentuk Rupiah mengalami
peningkatan sebesar 1,88% (qtq), sebaliknya kredit yang disalurkan dalam
bentuk mata uang asing mengalami penurunan dsebesar 9,85% (qtq).
Tabel 3.4. Posisi Kredit Bank Umum Di Provinsi Riau (dalam Rp juta)
3.3.2. Konsentrasi Kredit
Secara sektoral, kredit yang disalurkan bank umum utamanya masih
terkonsentrasi pada sektor perdagangan, hotel dan restoran dengan nilai
kredit mencapai Rp9,49 triliun dengan porsi sekitar 21,53% terhadap total
kredit. Namun demikian, penyaluran kredit ke sektor ini mengalami penurunan
sebesar 0,20% (qtq) dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Subsektor
perdagangan besar dan eceran mendominasi penyaluran kredit kepada sektor
perdagangan dengan pangsa 91,44%. Penyaluran kredit kepada subsektor
perdagangan utamanya diberikan kepada perdagangan eceran jenis makanan
sebesar Rp1,26 triliun. Diikuti oleh penyaluran kepada perdagangan eceran
keliling sebesar Rp949,82 miliar dan perdagangan eceran bukan makanan
sebesar Rp769,02 miliar.
Sektor lain yang juga tercatat menyerap kredit cukup besar adalah sektor
pertanian, dimana sebagian besar kredit diserap oleh sub sektor perkebunan
kelapa sawit dengan nilai mencapai Rp7,06triliun dan naik 2,21% (qtq). Masih
tingginya konsentrasi penyaluran kepada sub sektor perkebunan kelapa sawit
diperkirakan tidak terlepas dari adanya kegiatan peremajaan tanaman kelapa
sawit yang membutuhkan dana cukup besar serta tingginya minat pelaku
usaha dalam melakukan ekspansi usaha melalui peningkatan luas tanam.
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
43
Tabel 3.5. Kredit Menurut Sektor Ekonomi di Provinsi Riau (Rp juta)
Ditinjau dari segi pertumbuhannya, penyaluran kredit kepada sektor listrik, gas
dan air mengalami pertumbuhan tertinggi dibandingkan dengan sektor
lainnya yakni sebesar 15,23% (qtq). Namun demikian, jika dilihat secara
tahunan (yoy) sektor konstruksi masih tercatat mengalami pertumbuhan
tertinggi yaitu mencapai 65,39%. Kondisi ini diperkirakan tidak terlepas dari
pesatnya pembangunan infrastruktur di Riau seperti pembangunan gedung
perbelanjaan dan perumahan sederhana, maupun perkantoran.
Sementara itu, berdasarkan jenis penggunaannya, penyaluran kredit produktif1
masih tetap mendominasi dengan nilai sebesar Rp27,75 triliun atau mencapai
62,94% dari total kredit yang disalurkan dan tumbuh sebesar 1,08% (qtq).
Sementara kredit konsumsi tercatat sebesar Rp16,34 triliun dan tumbuh lebih
tinggi yaitu sebesar tumbuh 2,20% (qtq). Namun, jika dilihat secara tahunan
pertumbuhan kredit produktif masih tercatat lebih tinggi (18,18%)
dibandingkan dengan pertumbuhan kredit konsumtif (17,28%) maupun
pertumbuhan kredit total (17,84%).
Garfik 3.3. Perkembangan Pangsa Kredit Menurut Jenis Penggunaan (%)
1 Terdiri dari Kredit Modal Kerja dan Kredit Investasi
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
44
DIlihat dari jenis komponennya, pertumbuhan utamanya berasal dari
meningkatnya Kredit Modal Kerja (KMK) yang disalurkan pada triwulan I-2013
yaitu sebesar Rp15,42 triliun (20,45%,yoy). Sedangkan Kredit Investasi (KI)
mencapai Rp12,33 triliun atau tumbuh sebesar 15,45% (yoy). Masih baiknya
pertumbuhan kredit modal kerja dan kredit investasi di Riau diperkirakan tidak
terlepas karena masih kuatnya daya tahan perekonomian Riau di tengah arus
krisis ekonomi global.
Grafik 3.4. Pertumbuhan Penyaluran Kredit Menurut Jenis Penggunaan (qtq)
Grafik 3.5. Pertumbuhan Penyaluran Kredit Menurut Jenis Penggunaan (yoy)
Sementara itu, jika dilihat berdasarkan lokasi proyek maka total realisasi kredit
Riau per Februari 2013 telah mencapai Rp60,30 triliun atau meningkat 0,44%
(qtq) dibandingkan triwulan sebelumnya. Berdasarkan daerahnya, kredit lokasi
proyek yang diserap di Provinsi Riau sebagian besar masih terkonsentrasi di
Kota Pekanbaru dengan nilai mencapai Rp24,03 triliun namun menurun
0,91% dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Wilayah lain yang juga
tercatat menyerap kredit cukup tinggi adalah Kota Dumai dan Kabupaten
Kampar dengan nilai masing-masing mencapai Rp7,38 triliun dan Rp7,13
triliun.
0,00
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
70,00
80,00
90,00
100,00
1 2 3 2010 1 2 3 4 1 2 3 4 1
2010 2011 2012 2013
Konsumsi Investasi Modal Kerja
(12,00)
(7,00)
(2,00)
3,00
8,00
13,00
18,00
1 2 3 2010 1 2 3 4 1 2 3 4 1
2010 2011 2012 2013
Modal Kerja Investasi
Konsumsi TOTAL
(5,00)
-
5,00
10,00
15,00
20,00
25,00
30,00
35,00
2010 1 2 3 4 1 2 3 4 1
2011 2012 2013
Modal Kerja Investasi Konsumsi TOTAL
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
45
Tabel 3.6. Distribusi Penyaluran Kredit Lokasi Proyek Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Riau (Rp juta)
*) Data s.d. bulan Februari 2013
3.3.3. Penyaluran Kredit UMKM
Penyaluran kredit kepada Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) oleh bank
umum di Riau pada triwulan I-2013 mencapai Rp15,73 triliun atau meningkat
sebesar 0,64% (qtq). Pangsa kredit ini mencapai 35,68% dari total kredit bank
umum di Riau, relatif stabil jika dibandingkan dengan tahun 2012 (35,98%).
Secara spesifik, jika dilihat menurut skala usahanya, kredit yang disalurkan
sebagian besar diserap oleh usaha kecil dengan nilai kredit sebesar Rp6,07
triliun, diikuti oleh skala usaha menengah dan mikro masing-masing sebesar
Rp5,69 triliun dan Rp3,97 triliun. Relatif besarnya penyaluran kredit UMKM di
Riau mengimplikasikan tingginya kepedulian perbankan Riau dalam
mendukung kemajuan sektor UMKM.
Tabel 3.7. Perkembangan Kredit UMKM di Provinsi Riau (Rp juta)
Ket : Kriteria UMKM mengikuti UU No.20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
Dilihat secara sektoral, kredit UMKM yang disalurkan oleh bank umum di Riau
utamanya diserap ke sektor perdagangan dan pertanian yaitu masing-masing
sebesar Rp7,20 triliun dan Rp4,88 triliun masing-masing tercatat mengalami
peningkatan sebesar 0,24% dan 3,39%. Pada sektor perdagangan,
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
46
penyaluran kredit UMKM utamanya diserap oleh sub sektor perdagangan yang
didominasi oleh makanan, minuman & tembakau serta perdagangan eceran
keliling masing-masing sebesar Rp1,12 triliun dan Rp949,79 miliar.
Selanjutnya, sektor UMKM yang juga cukup besar adalah sektor pertanian,
yaitu disalurkan pada sub sektor kelapa sawit seiring dengan masih cerahnya
prospek perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau yaitu sebesar Rp3,53 triliun
diikuti oleh perkebunan karet dan penghasil getah lainnya sebesar Rp312,31
miliar.
Tabel 3.8. Sebaran Kredit UMKM menurut Sektor Ekonomi (Rp juta)
Sementara itu dilihat dari penggunaannya, Kredit UMKM utamanya diserap
dalam bentuk kredit modal kerja yakni sebesar Rp10,81 triliun dan sisanya
merupakan kredit investasi yakni sebesar Rp4,91 triliun. Penyaluran kredit
modal kerja kepada UMKM di Riau tercatat meningkat sebesar 0,39% (qtq)
dan penyaluran kredit investasi sebesar 1,20% (qtq).
3.3.4. Kelonggaran Tarik
Jumlah kredit yang belum dicairkan (undisbursed loan) pada triwulan laporan
tercatat sebesar Rp3,76 triliun (sekitar 8,54% dari total kredit bank umum).
Jumlah undisbursed loan tersebut meningkat sebesar 0,47% dibandingkan
dengan triwulan sebelumnya, yang didorong oleh meningkatnya undisbursed
loan dari bank milik swasta (4,56%,qtq), sementara undisbursed loan milik
bank pemerintah tercatat mengalami penurunan (-13,26%,qtq).
Grafik 3.6. Jumlah Kredit yang Belum Dicairkan Bank Umum di Riau
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
47
Menurut jenis penggunaan, kredit yang belum dicairkan utamanya merupakan
kredit modal kerja dengan nilai mencapai Rp3,07triliun diikuti oleh kredit
investasi yakni sebesar Rp673,46 miliar. Sementara, jika dilihat menurut sektor
ekonomi, jumlah kredit yang belum dicairkan terbesar utamanya terdapat
pada sektor perdagangan dan industri pengolahan. Relatif tingginya jumlah
undisbursed loan diperkirakan karena pencairan kredit tersebut utamanya
bersifat termin atau bertahap.
3.3.5. Risiko Kredit
Seiring dengan peningkatan jumlah kredit yang disalurkan, risiko kredit
bermasalah (Non Performing Loans/NPLs2) bank umum juga mengalami
peningkatan, namun masih berada pada tingkat yang relatif terjaga. Pada
triwulan laporan, NPLs bank umum di Riau tercatat sebesar 3,21% sedikit
meningkat dibandingkan dengan triwulan IV-2012 (2,89%) namun masih
berada dibawah batas kewajaran yang ditetapkan Bank Indonesia yakni
sebesar 5%.
Grafik 3.7. Perkembangan NPL Gross di Provinsi Riau
2 NPL Gross
0,00
0,50
1,00
1,50
2,00
2,50
3,00
3,50
4,00
Tw I 09
Tw II 09
Tw III 09
Tw IV 09
Tw I 10
Tw II 10
Tw III 10
Tw IV 10
Tw I 11
Tw II 11
Tw III 11
Tw IV 11
Tw I 12
Tw II 12
Tw III 12
Tw IV 12
Tw I 13
Pemerintah 1,01 0,85 0,94 1,15 1,14 1,34 1,39 1,94 1,72 1,50 1,57 1,83 1,88 1,67 1,62 1,41 1,32
Swasta 0,96 1,15 0,95 0,96 1,42 1,72 1,90 1,44 1,65 1,97 2,19 2,00 2,01 1,96 2,24 2,34 2,44
Total 1,98 1,99 1,89 2,11 2,56 3,07 3,29 3,38 3,36 3,47 3,77 3,83 3,89 3,63 3,86 3,75 3,76
Rp
Tri
liu
n
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
48
Berdasarkan sektor ekonomi, diketahui bahwa sektor konstruksi masih
mengalami NPL tertinggi dibandingkan sektor-sektor lainnya yaitu sebesar
7,91%. Meskipun demikian, pangsa penyaluran kredit ke sektor ini relatif kecil
(3,36%), sehingga belum memberikan dampak yang signifikan terhadap NPL
secara umum. Namun demikian, mengingat pertumbuhan tahunan kredit di
sektor ini cukup tinggi (65,39%,yoy), maka perlu menjadi perhatian
perbankan Riau agar tingkat resikonya dapat terkontrol. Di luar sektor
tersebut, NPL sektor lainnya tercatat masih berada dibawah batas kewajaran
yang ditentukan Bank Indonesia. Meskipun demikian NPLs sektor perdagangan
sudah harus mulai mendapat perhatian mengingat besarnya pangsa sektor ini.
Tabel 3.9. NPLs Per Sektor Ekonomi di Provinsi Riau
Jika dilihat berdasarkan risiko di Kabupaten/Kota, maka risiko kredit
bermasalah tertinggi terdapat di Kabupaten Indragiri Hilir diikuti oleh Kab.
Rokan Hilir yaitu masing-masing sebesar 7,83% dan 7,02%. Angka NPL pada
kedua daerah tersebut juga tercatat mengalami peningkatan bila
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Relatif tingginya risiko kredit
3,21
-
0,50
1,00
1,50
2,00
2,50
3,00
3,50
0
100
200
300
400
500
600
700
800
900
1.000
Tw I 09
Tw II 09
Tw III 09
Tw IV 09
Tw I 10
Tw II 10
Tw III 10
Tw IV 10
Tw I 11
Tw II 11
Tw III 11
Tw IV 11
Tw I 12
Tw II 12
Tw III 12
Tw IV 12
Tw I 13
%Rp miliar
Kurang Lancar Diragukan Macet NPLs (kanan)
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
49
bermasalah di Kabupaten Indragiri Hilir dan Rokan Hilir utamanya berasal dari
sektor perdagangan besar dan eceran dengan NPL masing-masing mencapai
11,12% dan 11,77%. Sedangkan NPL terendah terdapat di Kabupaten
Pelalawan yaitu sebesar 0,76%, namun sedikit mengalami peningkatan bila
dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 0,55%.
Tabel 3.10. NPLs Berdasarkan Kota/Kabupaten di Provinsi Riau
3.4. Kondisi Likuiditas
3.4.1. Dana Pihak Ketiga
Penghimpunan DPK oleh bank umum di Riau pada triwulan laporan
mengalami peningkatan sebesar 0,98% (qtq) menjadi Rp52,75 triliun, setelah
mengalami penurunan pada triwulan sebelumnya. Dana yang dihimpun ini
utamanya masih bertumpu pada dana jangka pendek yaitu giro dan tabungan.
Secara umum, peningkatan dana yang dihimpun oleh bank umum di Riau
terjadi pada komponen giro yaitu mencapai 11,56% (qtq) sehingga menjadi
Rp15,78 triliun. Peningkatan jumlah giro bank umum terjadi seiring dengan
meningkatnya giro milik Pemda yang ditempatkan di bank umum, yang
diperkirakan karena belum optimalnya realisasi belanja pemerintah daerah di
awal tahun anggaran.
Tabel 3.11. Perkembangan DPK di Provinsi Riau (Rp miliar)
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
50
Peningkatan jumlah dana yang dihimpun juga didorong oleh meningkatnya
jumlah deposito yang dihimpun terutama deposito dengan jangka waktu
panjang dan menengah, sementara deposito dengan jangka waktu pendek
(s.d.3 bulan) cenderung mengalami penurunan. Kondisi tersebut pada
akhirnya mendorong penurunan pada komponen tabungan yang memiliki
pangsa terbesar (45,19%) dari Rp25,37 triliun menjadi Rp23,84 triliun (-
6,05%). Dilihat dari jumlah rekeningnya, terjadi peningkatan yang sangat
tinggi pada jumlah rekening deposito baru dalam kurun waktu 3 (tiga) bulan
terakhir yaitu meningkat sebesar 455,41% dari 44.051 rekening pada triwulan
IV-2012 menjadi 244.664 rekening pada triwulan I-2013. Dilihat dari
pertumbuhannya, pertumbuhan tertinggi terjadi pada rekening deposito
dengan jangka panjang yaitu mencapai 2.689,20%.
Grafik 3.8. Perkembangan Jumlah Rekening Dana
Grafik 3.9. Perkembangan Jumlah Rekening Deposito
Berdasarkan kepemilikannya, peningkatan DPK utamanya didorong oleh
meningkatnya dana yang berasal dari sektor pemerintah yaitu dana milik
pemerintah daerah sebesar 41,63% (qtq) sehingga mencapai Rp11,04 triliun.
Sementara itu sektor lainnya yaitu sektor swasta dan perorangan mengalami
penurunan masing-masing sebesar 22,72% dan 1,64%. Penurunan dana dari
sektor swasta utamanya didorong oleh menurunnya dana milik perusahaan
I II III IV I
2012 2013
Giro 56.973 57.747 58.671 59.227 60.831
Tabungan 2.411.871 2.526.522 2.668.867 2.688.790 2.849.175
Deposito 43.568 42.853 43.054 44.051 244.664
Total Dana 2.512.412 2.627.122 2.770.592 2.792.068 3.154.670
-
500.000
1.000.000
1.500.000
2.000.000
2.500.000
3.000.000
3.500.000
-
20.000
40.000
60.000
80.000
100.000
120.000
140.000
160.000
IV I
2012 2013
s.d. 3 bln (naik 316,55%)
3-6 bln (naik 306,14%)
6-12 bln (naik 1.088,72%)
>12 bln (naik 2.689,20%)
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
51
swasta sebesar 22,72% sehingga menjadi Rp5,80 triliun yang utamanya
didorong oleh penurunan giro perusahaan swasta.
Tabel 3.12. Perkembangan DPK di Provinsi Riau Menurut Kepemilikan (Rp juta)
Berdasarkan Kabupaten/Kota, penghimpunan DPK oleh bank umum di Riau
pada triwulan laporan tidak mengalami perubahan signifikan dibandingkan
dengan periode sebelumnya. Penghimpunan DPK oleh bank umum masih
terkonsentrasi di Kota Pekanbaru dengan nilai mencapai Rp31,91triliun atau
sekitar 60,50% terhadap total DPK bank umum. Daerah lain yang juga
memiliki pangsa DPK cukup besar adalah Kabupaten Bengkalis dan Kota
Dumai masing-masing sebesar 9,12% dan 8,10%. Relatif tingginya
penghimpunan DPK di ketiga kota tersebut diindikasikan tidak terlepas dari
prospek dan pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut yang juga memiliki
andil cukup signifikan terhadap perekonomian Riau.
Tabel 3.13. Penghimpunan DPK Berdasarkan Kota/Kabupaten di Provinsi Riau
3.4.2. Perkembangan Loan to Deposit Ratio (LDR)
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
52
Posisi LDR bank umum di Riau pada triwulan I-2013 tercatat cukup tinggi yaitu
sebesar 83,58%, relatif stabil dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang
tercatat sebesar 83,16%. Sementara itu, dengan memperhitungkan kredit
berdasarkan lokasi proyek3, LDR bank umum Riau dalam triwulan laporan
mencapai angka yang lebih tinggi yakni sebesar 114,91%, juga lebih tinggi
jika dibandingkan dengan LDR nasional4 yang tercatat sebesar 85,33% pada
periode yang sama. Relatif tingginya LDR berdasarkan lokasi proyek
menunjukkan semakin ekspansifnya bank umum di Riau dalam menyalurkan
kredit.
Grafik 3.10. Perkembangan LDR Di Provinsi Riau
Ket : LDR 1 = LDR berdasarkan kredit lokasi proyek *) Data s.d. Februari 2013
3.5. Profitabilitas
3.5.1. Spread Bunga
Pergerakan suku bunga rata-rata tertimbang bank umum di Riau pada
triwulan I-2013 menunjukkan penurunan baik pada suku bunga dana yang
tercermin dari deposito 3 bulan maupun suku bunga kredit. Suku bunga kredit
tertimbang bank umum pada triwulan laporan tercatat menurun sebesar
3 bps menjadi 12,19%. Sementara itu, suku bunga dana tertimbang bank
umum mencatat penurunan yang lebih tinggi yaitu sebesar 20 bps hingga
3data posisi Februari 2013 4 data posisi Februari 2013
Tw IV 09
Tw I 10Tw II 10
Tw III 10
Tw IV 10
Tw I-11
Tw II-11
Tw III-11
Tw IV-11
Tw I-12
Tw II-12
Tw III-12
Tw IV-12
Tw I-13
LDR 78,0% 73,4% 77,4% 78,5% 78,8% 75,2% 75,9% 76,5% 80,3% 77,2% 80,1% 78,3% 83,16%83,58%
LDR1*) 114,5%104,1%111,2%117,4%114,4%114,0%112,1%113,7%113,7%108,5%111,0%111,4% 114,91 114,30
Nasional*) 72,9% 75,7% 75,7% 77,4% 75,5% 77,2% 80,0% 81,7% 79,0% 80,8% 83,4% 84,36%84,51%85,33%
0,0%
20,0%
40,0%
60,0%
80,0%
100,0%
120,0%
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
53
menjadi 5,19%. Penurunan suku bunga dana yang lebih tinggi dibandingakn
dengan penurunan suku bunga kredit menyebabkan margin yang diterima
oleh perbankan mengalami peningkatan yaitu dari 6,83% menjadi 7,00% (17
bps) dan tercatat berada pada tingkat yang cukup tinggi.
Grafik 3.11. Perkembangan Suku Bunga Rata-rata Tertimbang Kredit dan Deposito 3 bulan
Dalam upaya meningkatkan good governance dan mendorong persaingan
yang sehat dalam industri perbankan, Bank Indonesia secara resmi telah
mengeluarkan kebijakan pemberlakuan transparansi Suku Bunga Dasar
Kredit5. Kebijakan ini bertujuan untuk menciptakan disiplin pasar yang lebih
baik melalui terbentuknya informasi yang simetris baik di tingkat pelaku usaha,
masyarakat umum maupun perbankan.
3.5.2. Pendapatan dan Beban Bunga
Jumlah pendapatan bunga yang diperoleh bank umum di Provinsi Riau selama
triwulan laporan mencapai Rp1,64 triliun, lebih rendah Rp36,30 miliar (2,17%)
dibandingkan dengan triwulan IV-2012. Semua komponen pendapatan bunga
mengalami penurunan, kecuali komponen kredit yang meningkat 0,43%
sehingga menjadi Rp1,47 triliun. Meningkatnya pendapatan yang berasal dari
kredit terjadi seiring dengan meningkatnya kredit yang disalurkan oleh
perbankan meskipun rata-rata suku bunga kredit mengalami penurunan.
5 Sebagaimana diatur dalam SE Ekstern No.13/5/DPNP tanggal 08 Februari 2011 tentang Transparansi Informasi Suku Bunga Dasar Kredit
2,00
4,00
6,00
8,00
10,00
12,00
14,00
16,00
18,00
20,00
%
MarginKreditDeposito 3 bulanBI rate
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
54
Persentase penurunan tertinggi terjadi pada komponen SBI dan surat berharga
(54,08%) seiring dengan menurunnya penempatan bank umum Riau di SBI.
Grafik 3.12. Komposisi Pendapatan Bunga (Rp miliar)
Di sisi lain, beban bunga yang ditanggung oleh bank umum mengalami
peningkatan hingga menjadi Rp557,3 miliar (4,77%). Peningkatan tertinggi
utamanya terjadi pada komponen antar bank yang mencapai 18,74%, diikuti
oleh komponen tabungan (0,84%). Sementara komponen lainnya, yaitu giro
dan deposito mengalami penurunan seiring dengan penurunan suku bunga.
Grafik 3.13. Komposisi Beban Bunga (Rp miliar)
Tw I 11 Tw II 11Tw III 11
Tw IV 11
Tw I 12 Tw II 12Tw III 12
Tw IV 12
Tw I 13
Lainnya 100,4 103,3 110,3 140,4 89,8 84,8 86,0 123,7 99,9
Antar Bank 28,0 40,6 43,5 34,9 21,3 43,2 47,6 51,9 51,8
Kredit 1.103,8 1.115,2 1.223,2 1.257,7 1.243,3 1.361,3 1.432,4 1.464,7 1.471,0
SBI dan surat berharga 36,1 42,7 50,4 55,1 40,5 39,9 42,5 34,6 15,9
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
Tw I 10 Tw II 10 Tw III 10 Tw IV 10 Tw I-11 Tw II-11 Tw III-11 Tw IV-11 Tw I-12 Tw II-12 Tw III-12 Tw IV-12 Tw I-13
Lainnya 72,7 77,4 88,3 83,2 113,1 110,3 114,1 125,6 101,9 110,3 93,0 102,7 151,4
Antar Bank 38,0 43,7 44,8 39,8 23,5 16,6 23,3 11,8 7,0 6,1 8,0 8,7 10,3
Tabungan 107,9 102,9 109,3 116,6 125,1 129,0 133,6 129,0 124,4 110,3 111,4 114,3 115,2
Deposito 144,7 174,2 160,2 165,4 157,2 193,3 211,7 222,6 206,0 220,2 207,2 207,9 193,6
Giro 45,3 55,6 57,0 56,1 61,7 63,2 68,2 69,2 66,4 79,2 94,4 98,4 86,8
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
55
Penurunan pendapatan bunga yang diikuti dengan peningkatan beban bunga
telah mendorong menurunnya nilai pendapatan bunga bersih6 bank umum di
Riau per Maret 2013. Nilai pendapatan bunga bersih pada triwulan I-2013
mencapai Rp1,08 triliun atau lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya
dan periode yang sama tahun sebelumnya yang masing-masing tercatat
sebesar Rp1,14triliun dan Rp889 miliar.
4. Perbankan Syariah
Kondisi perbankan syariah Riau pada triwulan I-2013 masih terus menunjukkan
perkembangan yang menggembirakan. Aset perbankan syariah Riau pada
triwulan I-2013 mencapai Rp4,64 triliun atau naik 1,23% (qtq) dibandingkan
dengan triwulan sebelumnya. Peningkatan aset ini utamanya didorong oleh
meningkatnya penghimpunan dana yaitu dari Rp3,45 triliun menjadi Rp3,57
triliun atau naik 3,49% (qtq). Sejalan dengan perkembangan tersebut, pangsa
aset syariah Riau terhadap total aset perbankan tercatat sebesar 6,25%, relatif
stabil dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.
Tabel 3.14. Indikator Kinerja Utama Perbankan Syariah di Provinsi Riau (Rp juta)
Sejalan dengan meningkatnya dana yang dihimpun, maka pembiayaan yang
disalurkan oleh perbankan Syariah di Riau juga mengalami peningkatan yaitu
dari Rp2,91 triliun menjadi Rp3,05 triliun atau meningkat 4,82% dibandingkan
dengan triwulan sebelumnya. Intermediasi perbankan syariah juga tercatat
mengalami peningkatan yang tercermin dari meningkatnya rasio FDR yaitu dari
84,30% menjadi 85,39%. Namun demikian, rasio pembiayaan bermasalah
(NPF) mengalami peningkatan yang berarti yaitu dari 2,98% menjadi 4,40%.
6 Net Interest Income atau pendapatan bunga bersih adalah pendapatan bunga dikurangi beban bunga.
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
56
Kondisi ini perlu mendapat perhatian, mengingat rasio tersebut hampir
mencapai ambang batas aman yang ditentukan oleh Bank Indonesia yaitu 5%.
Sebagian besar pembiayaan perbankan Syariah disalurkan kepada sektor
produktif yaitu mencapai pangsa 55,96% sedikit meningkat dibandingkan
dengan triwulan sebelumnya, sisanya sebesar 44,04% diserap dalam bentuk
pembiayaan konsumtif. Secara triwulanan, pembiayaan produktif yaitu modal
kerja dan investasi masing-masing mengalami peningkatan sebesar 0,55% dan
16,86%, sementara pembiayaan konsumtif hanya meningkat sebesar 0,79%.
Dilihat secara sektoral, sebagian besar pembiayaan perbankan Syariah
disalurkan kepada sektor jasa yaitu mencapai Rp784,95 miliar, sedikit menurun
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang mencapai Rp792,57 miliar (-
0,96%). Pembiayaan sektor lain yang juga relatif besar adalah pertanian yang
mencapai Rp380,84 miliar, meningkat cukup berarti dibandingkan triwulan
sebelumnya yang mencapai Rp284,53 miliar (33,85%).
5. Perkembangan Bank Perkreditan Rakyat (BPR/S)
Secara umum, kegiatan usaha BPR/S pada triwulan laporan menunjukkan
perkembangan yang kurang menggembirakan yang tercermin dari
menurunnya aset dan dana yang dihimpun dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya. Namun demikian, kredit yang disalurkan masih terus mengalami
peningkatan. Pada triwulan laporan, aset BPR/S tercatat sebesar Rp1,02 triliun,
menurun 1,85% (qtq) dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang
mencapai Rp1,04 triliun. Penurunan aset ini didorong oleh menurunnya dana
yang dihimpun yaitu dari Rp694,54 miliar menjadi Rp688,36 miliar atau turun
0,89%. Sebagian dana yang dihimpun ditanamkan dalam bentuk deposito
yaitu sebesar Rp381,05 miliar dan tabungan sebesar Rp307,32 miliar.
Disisi lain, meskipun dana yang dihimpun mengalami penurunan, kredit yang
disalurkan masih terus mengalami peningkatan hingga mencapai Rp715,76
miliar atau naik 1,02%. Sebagian kredit disalurkan kepada sektor produktif
dengan pangsa sebesar 70,08% dan sisanya kepada sektor konsumtif. Kredit
produktif yaitu modal kerja dan investasi masing-masing tercatat sebesar
Rp395,13 miliar dan Rp106,50 miliar, namun kedua komponen kredit ini
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
57
mengalami penurunan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Kredit
konsumsi yang mendorong peningkatan kredit BPR/BPRS secara umum
mengalami peningkatan sebesar 18,82% hingga mencapai Rp214,14 miliar.
Berdasarkan sektoral, kredit utamanya disalurkan kepada sektor pertanian
yaitu mencapai Rp205,11 miliar diikuti oleh sektor perdagangan yaitu sebesar
Rp170,81 miliar. Namun demikian, penyaluran kredit pada kedua sektor
utama tersebut mengalami penurunan masing-masing sebesar 1,44% dan
11,28% dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. secara sektoral
peningkatan penyaluran kredit hanya terjadi pada sektor pengangkutan yaitu
mencapai 7,16%. Namun pangsa kredit sektor ini relatif kecil hanya tercatat
sebesar 5,84% dari total kredit BPR/S, namun sedikit meningkat dibandingkan
dengan pangsa triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 5,51%.
Peningkatan penyaluran kredit yang diikuti dengan penurunan dana yang
dihimpun telah mendorong peningkatan LDR BPR/S dari 102,01% menjadi
103,98%. Namun demikian yang perlu mendapat perhatian adalah NPL BPR/S
yang terus mengalami peningkatan gingga mencapai 14,44% pada triwulan
laporan. Hal ini menunjukkan belum optimalnya kinerja debitur BPR
mengingat sebagian besar segmen kreditnya berada pada sektor informal. Jika
kondisi ini terus berlanjut diperkirakan akan menyebabkan memburuknya
Kualitas Aktiva Produktif (KAP) yang pada akhirnya akan mengganggu fungsi
intermediasi perbankan.
Tabel 3.15. Indikator Kinerja Utama BPR/S di Provinsi Riau (dalam Rp juta)
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
58
6. Kredit Program Di Riau
6.1. Perkembangan Kredit Usaha Rakyat (KUR)
Kredit Usaha Rakyat yang disalurkan oleh 8 (delapan) bank pelaksana KUR di
Riau hingga triwulan I-2013 telah mencapai Rp3,41 triliun, naik 10,77% (qtq)
dibandingkan triwulan sebelumnya atau berada pada urutan ke-9 di tingkat
nasional dan ke-4 di Sumatera. Penyaluran KUR di Riau mencakup sekitar
3,14% dari total penyaluran KUR secara nasional yang tercatat sebesar
Rp108,73 triliun. Jumlah debitur penerima KUR di Provinsi Riau s.d triwulan I-
2013 tercatat sebesar 138.403 jiwa. Dengan demikian, rata-rata KUR yang
disalurkan di Provinsi Riau Maret 2013 mencapai Rp24,65 juta/jiwa atau naik
sebesar 2,10% (qtq) dan 10,69% (yoy).
Tabel 3.16. Perkembangan Penyaluran KUR di Riau
Sumber: Kantor Menko Perekonomian
6.2. Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE)
Sampai dengan triwulan I-2013, realisasi Kredit Ketahanan Pangan dan Energi
(KKPE) yang telah disalurkan oleh perbankan telah mencapai Rp34,54 miliar,
meningkat 12,62% dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tercatat
sebesar Rp30,67 miliar. Namun demikian, jika dibandingkan dengan tahun
sebelumnya, penyaluran KKPE Riau mengalami peningkatn yang signifikan
yaitu sebesar 159,16% yaitu dari Rp13,33 miliar.
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
59
Grafik 3.14. Perkembangan Penyaluran KKPE di Riau
Sumber : bank penyalur KKPE di Riau
Dilihat dari jumlah penerimanya, maka peningkatan yang berarti hanya terjadi
pada penerima perorangan, yaitu dari 307 orang pada triwulan I-2012
menjadi 368 orang pada triwulan I-2013. Sementara penerima yang berasal
dari kelompok dalam kurun waktu 1 (satu) tahun hanya bertambah 7 orang
yaitu dari 40 kelompok pada triwulan I-2012 menjadi 47 kelompok pada
triwulan I-2013.
7. Perkembangan Transaksi Pembayaran
7.1. Kondisi Umum
Perkembangan transaksi pembayaran tunai di Provinsi Riau pada triwulan
I-2013 mengalami peningkatan dari sisi inflow sedangkan dari sisi outflow
mengalami penurunan sehingga transaksi tunai menunjukkan net inflow.
Kondisi ini berbeda dengan historis yang selalu menunjukkan net outflow.
Tingginya angka inflow Riau pada triwulan laporan diperkirakan karena
melambatnya realisasi kredit oleh perbankan dibandingkan triwulan
sebelumnya. Sementara itu, transaksi pembayaran non tunai, baik melalui
kliring maupun RTGS pada triwulan I-2013 mengalami peningkatan.
40 kel & 307 Pribadi
47 Kel & 362 pribadi
47 Kel & 368 pribadi
-
5.000.000
10.000.000
15.000.000
20.000.000
25.000.000
30.000.000
35.000.000
40.000.000
Tw I-2012 Tw IV-2012 Tw I-2013
Penyaluran
Baki Debet
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
60
7.2. Perkembangan Transaksi Pembayaran Tunai
7.2.1. Aliran Uang Masuk dan Keluar (Inflow Outflow)
Perkembangan peredaran uang kartal di Provinsi Riau dapat terlihat dari
pergerakan arus uang masuk (inflow) dan arus uang keluar (outflow)7. Pada
triwulan laporan, terjadi peningkatan pada sisi inflow dari Rp957 miliar
menjadi Rp1,64 triliun atau meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya
maupun triwulan yang sama tahun sebelumnya yaitu masing-masing sebesar
71,33% dan 51,25%.
Sementara itu sesuai dengan historisnya, jumlah outflow pada triwulan I-2013
mengalami penurunan dibandingkan triwulan sebelumnya dan triwulan yang
sama tahun sebelumnya yaitu masing-masing dari Rp4,25 triliun (63,70%)
dan Rp1,57 triliun (1,97%) menjadi Rp1,54 triliun. Penurunan pada jumlah
outflow merupakan kondisi musiman setelah pada triwulan sebelumnya terjadi
permintaan yang cukup besar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat pada
hari besar keagamaan dan tahun baru.
Tingginya peningkatan inflow pada triwulan laporan telah mendorong
terjadinya net inflow sebesar Rp98 miliar. Kondisi tersebut sangat berbeda
dengan kondisi historisnya, dimana Provinsi Riau selalu menunjukkan net
outflow. Jumlah inflow pada bulan Januari 2013 tercatat sangat besar yaitu
mencapai Rp801 miliar dan merupakan inflow tertinggi selama beberapa
tahun terakhir untuk periode bulan yang sama. Relatif meningkatnya jumlah
inflow dalam kurun waktu 1 (satu) triwulanan diperkirakan karena
melambatnya penyaluran kredit dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
7 Inflow-Outflow adalah uang tunai yang diterima dan dikeluarkan oleh KPw. Bank Indonesia Provinsi Riau untuk perbankan Riau
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
61
Grafik 3.15. Perkembangan Inflow dan Outflow
7.2.2. Penyediaan Uang Kartal Layak Edar
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau secara berkala melakukan
kegiatan pemusnahan Uang Tidak Layak Edar (UTLE). Hal ini dilakukan sejalan
dengan upaya pemenuhan jumlah nominal uang kartal menurut jenis pecahan
dan dalam kondisi layak edar (Clean Money Policy). Uang Tidak Layak Edar
(UTLE) yang diterima dari setoran bank maupun penukaran uang dari
masyarakat tersebut selanjutnya diganti dengan uang layak edar (fit for
circulation) melalui Pemberian Tanda Tidak Berharga (PTTB).
Pada triwulan laporan, jumlah PTTB tercatat sebesar Rp171,69 miliar atau
meningkat sebesar 73,14% dibandingkan dengan triwulan sebelumnya,
sejalan dengan pergerakan kenaikan inflow. Selanjutnya, jika dilihat
berdasarkan ratio PTTB terhadap inflow, pada triwulan I-2013 ratio tercatat
sebesar 10,47%, meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang
tercatat sebesar 10,36%.
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
62
Grafik 3.16. Perkembangan Pemberian Tanda Tidak Berharga (PTTB)
Terhadap Inflow di Provinsi Riau
Sejalan dengan peran Bank Indonesia dalam mengendalikan jumlah Uang
Tidak Layak Edar (UTLE) yang dimusnahkan berada pada level rendah, untuk
mewujudkan hal dimaksud, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau
giat melakukan sosialisasi kepada masyarakat dengan prinsip 3D (Didapat,
Disimpan, Disayang). Hal ini dilakukan agar masyarakat dapat memahami
dengan baik cara memperlukan uang guna memperpanjang usia manfaat fisik
uang.
7.2.3. Uang Rupiah Tidak Asli
Jumlah dan nominal uang rupiah tidak asli yang ditemukan oleh Kantor
Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau pada triwulan I-2013 tercatat
mengalami kenaikan bila dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Pada
triwulan laporan, jumlah uang rupiah tidak asli yang ditemukan mencapai 100
lembar dengan nominal sebesar Rp8,17 juta. Sementara pada triwulan
sebelumnya tercatat sebanyak 86 lembar dengan nominal tercatat sebesar
Rp7,35 juta.
Uang rupiah tidak asli yang dikonfirmasi oleh Kantor Perwakilan Bank
Indonesia Provinsi Riau dalam triwulan laporan terdiri dari pecahan Rp100.000
sebanyak 64 lembar, Rp50.000 sebanyak 35 lembar dan Rp20.000 sebanyak 1
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
63
lembar. Penemuan uang rupiah tidak asli tersebut berdasarkan permintaan
klarifikasi dari perbankan dan masyarakat serta setoran bank-bank ke Kantor
Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau.
Grafik 3.17. Perkembangan Peredaran Uang Rupiah Tidak Asli di Provinsi Riau
Dalam upaya meningkatkan awareness masyarakat dalam mengidentifikasi
keaslian uang rupiah, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau secara
rutin melakukan sosialisasi mengenai ciri-ciri keaslian uang rupiah kepada
masyarakat termasuk kalangan perbankan melalui penerapan prinsip 3D
(Dilihat, Diraba, Diterawang). Dengan adanya sosialisasi ciri keaslian uang
rupiah, masyarakat diharapkan terhindar dari penyebaran uang rupiah tidak
asli.
7.3. PERKEMBANGAN TRANSAKSI PEMBAYARAN NON TUNAI
7.3.1. Transaksi Kliring
Transaksi non tunai melalui kliring pada triwulan I-2013 mengalami
peningkatan dari sisi nominal maupun warkat. Nominal transaksi kliring pada
triwulan laporan tercatat sebesar Rp7,56 triliun, meningkat dibandingkan
dengan triwulan sebelumya maupun triwulan yang sama pada tahun
sebelumnya dengan nominal masing-masing tercatat sebesar Rp6,82 triliun
(10,80%) dan Rp7,29 triliun (3,62%). Sementara, dari sisi jumlah warkat yang
digunakan tercatat mencapai 277.144 lembar, meningkat sebesar 3,47%
dibandingkan triwulan sebelumnya namun menurun dibandingkan triwulan
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
64
yang sama pada tahun sebelumnya sebesar 3,15%. Peningkatan transaksi non
tunai melalui kliring mengindikasikan meningkatnya aktivitas masyarakat yang
menggunakan transaksi non tunai dengan transaksi sampai dengan Rp100
juta selama triwulan laporan setelah pada triwulan sebelumnya terjadi
penurunan.
Grafik 3.18. Perkembangan Transaksi Kliring di Provinsi Riau
7.3.2. Real Time Gross Settlement (RTGS)
Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) di Provinsi Riau pada
triwulan I-2013 mengalami peningkatan dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya yaitu dari Rp84,58 triliun menjadi Rp90,79 triliun atau meningkat
sebesar 7,34%. Namun, jika dilihat dari sisi jumlah warkat yang digunakan,
pada triwulan I-2013 menurun dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu dari
59.648 warkat menjadi 51.596 warkat. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa
nilai rata-rata transaksi warkat pada triwulan laporan mengalami peningkatan
yaitu dari Rp1,42 miliar per warkat pada triwulan IV-2012 menjadi Rp1,76
miliar per warkat pada triwulan I-2013.
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
65
Tabel 3.17. Perkembangan Nilai BI-RTGS di Provinsi Riau Triwulan I-2013
(dalam Rp miliar)
Tabel 3.18. Perkembangan Volume Warkat BI-RTGS di Riau Triwulan I-2013
Jika dilihat per Kabupaten/Kota, maka transaksi RTGS baik nilai maupun
volume di dominasi oleh Kota Pekanbaru, diikuti oleh Kota Dumai dan
Kabupaten Bengkalis. Tingginya nilai transaksi RTGS di Kota Pekanbaru
merupakan hal yang wajar mengingat tingginya aktivitas ekonomi di kota
tersebut yang merupakan pusat bisnis di Provinsi Riau. Transaksi RTGS di Kota
Pekanbaru mengalami peningkatan pada sisi nominal yaitu dari Rp78,47 triliun
menjadi Rp85,71 triliun atau naik sebesar 9,23%. Selanjutnya, diikuti oleh
transaksi RTGS di Kota Dumai dan Kabupaten Bengkalis yang masing-masing
tercatat sebesar Rp2,4 triliun dan Rp1,68 triliun. Transaksi RTGS di Kota Dumai
tercatat mengalami penurunan, namun transaksi di Kabupaten Bengkalis
tercatat mengalami peningkatan. Banyaknya pembangunan proyek-proyek
yang dilaksanakan di Provinsi Riau diperkirakan menjadi faktor pendorong
peningkatan tersebut.
FROM TO FROM -TO Kumultif Nilai FROM TO FROM -TO Kumultif Nilai
BENGKALIS 746,14 1162,8 283,43 1.625,51 933 1.424 682 1.675
DUMAI 1.938,24 1675,97 432,53 3.181,68 1.290 1.529 399 2.420
INDRAGIRI HULU 3,92 0,67 0 4,59 11 - - 11
INDRAGIRI HILIR 10,66 0,16 0 10,82 3 0 - 3
KAMPAR 17,67 449,73 1 466,40 13 323 0,10 336
KUANTAN SINGINGI - 0,76 0 0,76 - 3 - 3
PEKANBARU 52.650,51 41281,38 15460,07 78.471,82 57.622 43.659 15.569 85.712
PELALAWAN 0,91 31,78 0,06 32,63 1 38 0 38
ROKAN HILIR - 2,38 0 2,38 - 1 - 1
ROKAN HULU 29,14 1,43 0,11 30,46 28 1 - 29
SIAK 278,91 498,98 24,62 753,27 103 461 8 557
RIAU 55.676 45.106 16.202 84.580 60.004 47.439 16.658 90.785
IV-2012
Kabupaten/Kota
I-2013
FROM TO FROM- TOKumulatif
VolumeFROM TO FROM- TO
Kumulatif
Volume
BENGKALIS 1.267,00 612 214 1.665,00 1.004 485 190 1.299
DUMAI 2.506,28 3037 933 4.610,28 3.196 2.544 815 4.925
INDRAGIRI HULU 33,00 4 0 37,00 126 1 - 127
INDRAGIRI HILIR 201,00 6 0 207,00 32 2 - 34
KAMPAR 237,00 179 8 408,00 167 95 2 260
KUANTAN SINGINGI - 4 0 4,00 - 25 - 25
PEKANBARU 26.854,00 32759 8756 50.857,00 23.149 27.650 7.218 43.581
PELALAWAN 20,00 63 1 82,00 15 82 3 94
ROKAN HILIR - 20 0 20,00 - 12 - 12
ROKAN HULU 753,00 35 1 787,00 529 21 - 550
SIAK 671,00 326 26 971,00 477 236 24 689
RIAU 32.542 37.045 9.939 59.648 28.695 31.153 8.252 51.596
IV-2012
Kabupaten/Kota
I-2013
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
66
Sementara itu, nilai transaksi terendah tercatat di Kabupaten Rokan Hilir
dengan nilai transaksi sebesar Rp1 miliar, kemudian disusul oleh Kabupaten
Indragiri Hilir dan Kuantan Singingi yaitu dengan nilai transaksi masing-masing
sebesar Rp3 miliar. Kurangnya jaringan perbankan diperkirakan menjadi faktor
rendahnya transaksi melalui RTGS di kota tersebut. Peningkatan nominal RTGS
yang diikuti oleh penurunan warkat RTGS menunjukkan menurunnya volume
transaksi, namun nilai rata-rata transaksi perwarkat mengalami peningkatan
yang berarti yaitu dari Rp1,42 miliar menjadi Rp1,76 miliar atau meningkat
sebesar 24,09%.
Financial Inclusion di Provinsi Riau
Menurut World Bank, lebih dari setengah populasi manusia dewasa atau
sekitar 2,5 miliar penduduk dunia tidak memiliki akses kepada lembaga
keuangan formal yang memadai dan ¾ penduduk miskin tidak memiliki
rekening di bank. Sementara kondisi di Indonesia juga menunjukkan bahwa
sebagian besar masyarakat Indonesia belum memperoleh jasa keuangan.
Sehubungan dengan kondisi tersebut, maka diperlukan kerangka kebijakan
untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi melalui kemudahan mengakses
jasa keuangan.
Financial inclusion adalah seluruh upaya peniadaan segala hambatan bagi
masyarakat dalam mengakses lembaga keuangan formal1. Financial inclusion
bertujuan untuk mencapai kesejahteraan ekonomi melalui pengurangan
kemiskinan, pemerataan pendapatan dan stabilitas sistem keuangan dengan
menciptakan sistem keuangan yang dapat diakses oleh seluruh lapisan
masyarakat. Menurut Alliance for Financial Inclusion (AFI), benefit yang dapat
diperoleh dengan adanya financial inclusion adalah pertumbuhan ekonomi,
stabilitas keuangan dan kehidupan sosial yang lebih kohesif.
Terdapat 3 (tiga) indikator utama untuk melihat seberapa jauh perkembangan
financial inclusion di suatu daerah, yaitu Makroekonomi, Pelayanan Jasa
Keuangan dan Penggunaan Jasa Keuangan.
1. Indikator Makroekonomi
Berdasarkan perkembangan makroekonomi, financial inclusion Riau masih
relatif rendah yang tercermin dari rasio kredit/PDRB dan DPK/PDRB yang
masing-masing tercatat hanya sebesar 12,70 dan 11,81, dan angka ini tercatat
lebih rendah dari angka nasional.
Apabila dilihat berdasarkan Kabupaten/Kota di Riau, Financial Inclusion
Pekanbaru relatif lebih baik yang tercermin dari rasio untuk seluruh indikator
yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa keuangan di Pekanbaru sudah
cukup inklusif jika dilihat dari segi makroekonomi. Bahkan tercatat lebih baik
1 Sumber : Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan, Bank Indonesia (2012)
Boks 3
bila dibandingkan dengan nasional untuk rasio kredit/PDRB dan DPK/PDRB.
Daerah lain di Riau yang juga tercatat memiliki kondisi keuangan yang lebih
inklusif setelah Pekanbaru adalah Kota Dumai.
Tabel 1. Makroekonomi
Makroekonomi Kredit (lokasi
proyek) / PDRB (%) Total DPK / PDRB (%)
Avg Kredit / PDRB perkapita (%)
Avg DPK / PDRB perkapita (%)
Kuantan Singingi 15,99 1,13 313,96 17,68
Indragiri Hulu 16,80 10,03 213,51 25,79
Indragiri Hilir 5,85 5,08 202,80 25,17
Pelalawan 13,19 5,22 4.865,42 23,98
Siak 3,00 4,88 87,98 11,55
Kampar 15,48 4,67 340,50 17,61
Rokan Hulu 14,22 3,56 713,88 30,19
Bengkalis 2,94 7,60 58,22 14,07
Rokan Hilir 2,48 3,75 118,07 45,40
Kepulauan
Meranti 3,22 6,11 101,37 34,34
Pekanbaru 48,54 57,72 217,62 46,91
Dumai 35,07 16,50 419,43 28,32
RIAU 12,70 11,81 184,66 27,76
INDONESIA 33,32 38,38 n/a 72,98
2. Indikator Pelayanan Jasa Keuangan
Dari segi pelayanan jasa keuangan, kondisi keuangan Provinsi Riau tercatat
relatif lebih inklusif dibandingkan dengan angka nasional. Hal ini tercermin
dari rasio kantor bank/1.000 km2 dan kantor bank/10.000 penduduk dewasa
yang tercatat lebih tinggi dari rasio nasional. Sementara itu, jika dilihat
berdasarkan Kabupaten/Kota di Riau, maka Kota Pekanbaru sangat inklusif bila
dibandingkan dengan Kabupaten/Kota lainnya untuk semua indikator
pelayanan jasa keuangan yang terkait dengan jaringan kantor Bank. Hal ini
mengingat Pekanbaru merupakan pusat bisnis di Riau sehingga pembangunan
sektor keuangan sangat pesat.
Namun demikian, rasio pelayanan jasa keuangan terkait dengan kantor pos
dan bank berfasilitas internet dan mobile banking tercatat cukup beragam,
meskipun secara nasional rasio Riau lebih tinggi. Untuk rasio kantor pos/1.000
km2 Pekanbaru tercatat lebih baik diikuti oleh Kota Dumai. Sementara, rasio
kantor pos/10.000 penduduk dewasa tertinggi terdapat di Kabupaten Indragiri
Hilir, hal ini sejalan dengan jumlah kantor pos yang dimiliki Indragiri Hilir
tertinggi di Riau.
Selanjutnya untuk rasio bank berfasilitas internet dan mobile banking, Dumai
tercatat merupakan yang tertinggi.
Tabel 2. Pelayanan Jasa Keuangan
Pelayanan Jasa
Keuangan
Kantor Bank /
1.000km2
Kantor Bank / 10.000
penduduk dewasa ATM / 1.000km
2
ATM / 10.000
penduduk dewasa
Kuantan Singingi 4,04 1,05 0,58 0,15
Indragiri Hulu 3,91 1,23 1,04 0,33
Indragiri Hilir 1,59 0,48 0,80 0,24
Pelalawan 2,34 1,46 1,37 0,86
Siak 4,01 1,36 3,28 1,11
Kampar 3,20 0,77 0,92 0,22
Rokan Hulu 3,04 0,72 0,41 0,10
Bengkalis 5,22 1,34 4,03 1,03
Rokan Hilir 2,12 0,54 0,78 0,20
Kepulauan Meranti
2,22 0,66 0,83 0,25
Pekanbaru 278,04 2,77 437,59 4,36
Dumai 11,77 1,42 8,34 1,00
RIAU 5,19 1,25 4,68 1,13
INDONESIA 1,18 0,09 n/a n/a
Tabel 3. Pelayanan Jasa Keuangan
Pelayanan Jasa
Keuangan Kantor Pos / 1.000km
2
Kantor Pos / 10.000
penduduk dewasa
Bank Berfasilitas /
10.000 penduduk
Kuantan Singingi 0,96 0,25 0,15
Indragiri Hulu 0,78 0,25 0,20
Indragiri Hilir 0,94 0,29 0,07
Pelalawan 0,16 0,10 0,25
Siak 0,61 0,21 0,16
Kampar 0,37 0,09 0,07
Rokan Hulu 0,83 0,20 0,10
Bengkalis 0,47 0,12 0,24
Rokan Hilir 0,45 0,11 0,17
Kepulauan Meranti 0,55 0,17 0,33
Pekanbaru 14,22 0,14 0,30
Dumai 1,47 0,18 0,35
RIAU 0,71 0,17 0,19
INDONESIA 0,21 0,02 n/a
3. Indikator Penggunaan Jasa Keuangan
Berbeda dengan indikator pelayanan jasa keuangan, untuk indikator
penggunaan jasa keuangan, rasio yang dimiliki Provinsi Riau masih lebih
rendah dibandingkan dengan rasio nasional. Hal ini terlihat dari rasio rekening
DPK/1.000 penduduk dan rasio rekening kredit/1.000 penduduk. Hal ini
menunjukkan bahwa preferensi masyarakat untuk menggunakan jasa
perbankan baik menabung maupun kredit lebih rendah dibandingkan dengan
rata-rata daerah lain di Indonesia.
Namun jika dilihat berdasarkan Kabupaten/Kota, maka Pekanbaru tercatat
relatif inklusif dibandingkan dengan nasional, hususnya untuk indikator
rekening DPK.
Tabel 4. Penggunaan Jasa Keuangan
Penggunaan Jasa Keuangan
Rek DPK / 1.000 penduduk
Rek Kredit / 1.000 penduduk
Kuantan Singingi 63,69 50,92
Indragiri Hulu 389,04 78,70
Indragiri Hilir 201,91 28,83
Pelalawan 217,61 2,71
Siak 422,70 34,13
Kampar 265,06 45,47
Rokan Hulu 118,06 19,91
Bengkalis 540,30 50,41
Rokan Hilir 82,69 21,04
Kepulauan Meranti 177,80 31,81
Pekanbaru 1.230,34 223,05
Dumai 582,74 83,62
RIAU 425,36 68,76
INDONESIA 530 197
Secara umum, dapat dilihat bahwa financial inclusion di Provinsi Riau masih
rendah. Rendahnya akses masyarakat kepada lembaga keuangan formal ini
disebabkan oleh besarnya biaya pendirian dan operasional bank, kurangnya
edukasi perbankan, biaya administrasi yang tinggi serta jauhnya jarak lokasi
bank dari tempat tinggal mereka mengingat luasnya wilayah Riau. Sementara,
menguatnya financial inclusion diyakini dapat mendorong terjadinya aktivitas
ekonomi.
Berdasarkan studi yang dilakukan terhadap program peningkatan financial
inclusion yang dijalankan oleh Mexico, setiap 10% peningkatan angka
financial inclusion dapat mendorong jumlah bisnis/usaha sebanyak 5%,
menambah lapangan pekerjaan sebanyak 0,7% dan pertumbuhan Produk
Domestik Bruto (PDB) per kapita sebesar 0,3%2
2 Sumber : World Bank (2012)
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Kondisi Keuangan Daerah
60
1. Kondisi Umum
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Riau pada tahun 2013
mengalami peningkatan yang signifikan bila dibandingkan dengan tahun 2012
baik dari segi anggaran pendapatan maupun anggaran belanja. Alokasi
anggaran belanja mencatat kenaikan tertinggi sebesar 32,44% (yoy)
sedangkan anggaran pendapatan tercatat naik sebesar 20,22% (yoy).
Bab 4 KONDISI KEUANGAN
DAERAH
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Kondisi Keuangan Daerah
61
2. Alokasi APBD 2013
Target pendapatan Provinsi Riau pada tahun 2013 mencapai Rp6,59 triliun
atau naik sebesar 20,22% dibandingkan tahun sebelumnya. Kenaikan ini
ditopang oleh meningkatnya target Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari
Rp1,82 triliun menjadi Rp2,40 triliun atau naik sebesar 31,61%. Sementara
itu, dana perimbangan Provinsi Riau tercatat meningkat sebesar 17,95%
menjadi Rp3,54 triliun. Adapun lain-lain pendapatan yang sah justru
mengalami penurunan yakni dari Rp664,27 miliar menjadi Rp658,63 miliar
atau turun 0,85%.
Tabel 4.1. Ringkasan Realisasi APBD Provinsi Riau 2012dan 2013 (Rp miliar)
Keterangan : *) Data Sangat Sementara Sumber : Biro Perekonomian Provinsi Riau
Sementara itu, anggaran belanja sampai tahun 2013 mencapai Rp8,43 triliun
atau naik 32,44% dari anggaran belanja tahun 2012 lalu yang mencapai
Rp6,37 triliun. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, realisasi
anggaran belanja Provinsi Riau pada periode laporan mencapai
sekitar Rp1 triliun atau 11,86% dari total anggaran. Realisasi ini cenderung
Alokasi
Anggaran
Nilai
Realisasi
Realisasi
Tw I (%)
Alokasi
Anggaran Pendapatan 5,487.78 675.73 12.31 6,597.23Belanja 6,366.66 384.95 6.05 8,432.09
Surplus / Defisit (878.88) 290.78 (1,834.86)
Alokasi
Anggaran
Nilai
Realisasi
Realisasi
Tw I (%)
Alokasi
Anggaran Pendapatan Asli Daerah 1,824.50 382.08 20.94 2,401.14Dana Perimbangan 2,999.00 140.87 4.70 3,537.46Lain-Lain Pendapatan Yang Sah 664.27 152.78 23.00 658.63
Pendapatan 5,487.78 675.73 12.31 6,597.23
Alokasi
Anggaran
Nilai
Realisasi
Realisasi
Tw I (%)
Alokasi
Anggaran
Belanja Tidak Langsung 3,221.36 295.25 9.17 3,556.60Belanja Langsung 3,145.29 89.70 2.85 4,875.49
Belanja 6,366.66 384.95 6.05 8,432.09
2013
2013
2013
Uraian
2012
Uraian
2012
Uraian
2012
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Kondisi Keuangan Daerah
62
lebih tinggi bila dibandingkan dengan realisasi tahun sebelumnya yang
mencapai 6,05%.
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Kesejahteraan
Daerah
63
1. Kondisi Umum
Tingkat kesejahteraan di Provinsi Riau telah menunjukkan perkembangan yang
cukup menggembirakan, yang tercermin dari menurunnya tingkat kemiskinan
yang diikuti dengan membaiknya indeks kedalaman dan keparahan
kemiskinan. Namun demikian, indikator lainnya yaitu nilai tukar petani (NTP)
masih terus menunjukkan penurunan. Penurunan NTP Riau dalam kurun
waktu 1 (satu) tahun terakhir disebabkan karena lebih tingginya kenaikan
biaya yang harus dibayar petani akibat peningkatan harga pangan
dibandingkan dengan kenaikan pendapatan yang diterima petani. Secara
umum, membaiknya kondisi kesejahteraan masyarakat Riau mengindikasikan
semakin meningkatnya kualitas pertumbuhan ekonomi Riau (non-migas) yang
Bab 5
PERKEMBANGAN
KESEJAHTERAAN DAERAH
MONETER, PERBANKAN
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Kesejahteraan
Daerah
64
2007 2008 2009 2010 2011 2012
Riau jumlah 575 567 528 500 472 481
Riau % (kanan) 11,2 10,63 9,48 8,65 8,17 8,05
Nasional % (kanan) 16,58 15,42 14,15 13,33 12,49 11,66
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
-
100
200
300
400
500
600
700
%ribu jiwa
oleh Bappenas diklasifikasikan sebagai pertumbuhan ekonomi yang pro-
growth, pro-poor, dan pro-job. Tantangan yang mengemuka adalah
terjadinya arus migrasi penduduk yang unskill di perkotaan yang
mengakibatkan tingkat kemiskinan kota naik.
2. Kemiskinan
2.1 Penduduk Miskin Riau
Perkembangan penduduk miskin di Riau dalam kurun waktu 5 (lima) tahun
terakhir menunjukkan perkembangan yang menggembirakan yang tercermin
dari penurunan persentase penduduk miskin. Pada tahun 20121, persentase
penduduk miskin di Riau tercatat sebesar 8,05%. Angka kemiskinan di Riau
tercatat lebih rendah dari angka kemiskinan nasional yang mencapai 11,66%.
Menurunnya tingkat kemiskinan di Riau diperkirakan tidak terlepas dari
semakin prospektifnya kondisi perekonomian Riau. Namun yang menjadi
tantangan adalah jika dilihat dari jumlahnya maka penduduk miskin di Riau
tahun 2012 menunjukkan peningkatan dibandingkan tahun 2011 yang lalu,
terutama di daerah perkotaan. Manisnya ekonomi kota di Riau turut pula
menyebabkan terjadinya migrasi2 penduduk yang unskill.
Grafik 5.1 Perkembangan Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Riau
1 per September 2
Data BKKBN 2012 menunjukkan laju pertumbuhan penduduk Riau sebesar 3,59% per tahun, lebih tinggi dibandingkan nasional yang sebesar 1,5% per tahun.
Sumber : BPS, diolah
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Kesejahteraan
Daerah
65
8,26 9,37 9,53 9,12
8,04 7,17
6,37 6,01 6,43 6,68
16,82
14,40
12,90 12,16
10,93 10,15 9,83 9,56 9,36 8,94
-
2,00
4,00
6,00
8,00
10,00
12,00
14,00
16,00
18,00
-
100
200
300
400
500
600
700
2005 2006 2007 2008 2009 2010 Mar-11 Sep-11 Mar-12 Sep-12
%jiwaKota
Desa
% Kota (kanan)
% Desa (kanan)
Berdasarkan wilayahnya, sebaran penduduk miskin di Riau relatif tidak
berubah, masih di dominasi oleh penduduk miskin di pedesaan. Pada tahun
2012, penurunan angka kemiskinan di Riau di dorong oleh penurunan jumlah
penduduk miskin di daerah pedesaan. Jumlah penduduk miskin di pedesaan
pada tahun 2012 tercatat sebesar 325 ribu jiwa atau 67,57% dari jumlah
penduduk miskin Riau. Jumlah ini menurun sekitar 3,27% dibandingkan
tahun 2011 yang tercatat 336 ribu jiwa. Seiring dengan penurunan jumlah
penduduk miskin tersebut, tingkat kemiskinan di pedesaan juga menurun
yaitu dari 9,56% menjadi 8,94%.
Sementara itu, penduduk miskin Riau di daerah perkotaan mengalami
kenaikan yang cukup besar, yaitu sekitar 20 ribu jiwa (14,70%) dibandingkan
tahun 2011. Jumlah penduduk miskin daerah perkotaan pada tahun 2012
tercatat sebesar 156 ribu jiwa, sementara pada tahun 2011 sebesar 136 ribu
jiwa. Kenaikan tersebut telah mendorong peningkatan persentase penduduk
miskin di daerah perkotaan dari 6,01% menjadi 6,68%.
Grafik 5.2 Perkembangan Sebaran Penduduk Miskin di Riau
Penurunan jumlah penduduk miskin di pedesaan yang diikuti dengan
peningkatan jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan diperkirakan tidak
terlepas dari terjadinya migrasi. Hal ini terkonfirmasi oleh data BPS yang
menunjukkan persentase penduduk daerah perkotaan Provinsi Riau
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Kesejahteraan
Daerah
66
2007 2008 2009 2010 Mar-11 Sep-11 Mar-12 Sep-12
GK Kota 233.7 247.9 265.7 276.6 306.5 321.3 326.7 333.9
GK Desa 194.0 210.5 227.0 235.2 267.0 280.2 284.0 295.5
GK Riau 214.0 229.3 246.4 256.1 282.4 296.3 300.7 310.6
-
50.000
100.000
150.000
200.000
250.000
300.000
350.000
400.000
Rp.ribu/kapita/bl
Grafik 5.3. Perkembangan Garis
Kemiskinan di Riau
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah
mengalami peningkatan setiap tahunnya3. Kondisi tersebut ditengarai terjadi
karena daya tarik perkotaan sebagai pusat perekonomian, pendidikan, dan
hiburan yang jauh lebih baik dibandingkan daerah pedesaan. Namun
demikian, secara umum tingkat kemiskinan daerah pedesaan masih tetap
lebih tinggi dibandingkan tingkat kemiskinan di perkotaan.
2.2 Garis Kemiskinan (GK) Riau
Besar kecilnya jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh Garis
Kemiskinan (GK), karena penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki
rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah GK. Selama 6 (enam)
tahun terakhir, GK Riau terus menunjukkan kecenderungan yang meningkat.
Pada tahun 2012, GK Riau mencapai Rp.310.603,- perkapita/bulan,
meningkat 4,80% dibandingkan tahun sebelumnya. Secara umum,
peningkatan GK yang diikuti dengan penurunan tingkat kemiskinan
menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan penduduk Riau semakin
meningkat sebagai akibat dari pertumbuhan perekonomian Riau yang tinggi4.
Secara umum, berdasarkan
wilayahnya GK di kota lebih tinggi
dibandingkan GK di desa. Pada
tahun 2012, GK di kota mencapai
Rp.333.933,- perkapita/bulan,
meningkat 3,90% dibandingkan
tahun 2011 yang tercatat sebesar
Rp.321.390,- perkapita/bulan.
Sementara itu, GK di desa tercatat
sebesar Rp.295.582,- per
kapita/bulan, meningkat 5,46%
3 Data Statistik Indonesia yang dirilis BPS menunjukkan bahwa persentase penduduk daerah perkotaan Provinsi Riau pada tahun 2010 sebesar 56,6%, dan diperkirakan akan meningkat menjadi 62,1% pada tahun 2015. 4 Bappenas pada 2012 mengklasifikasikan Provinsi Riau sebagai salah satu provinsi yang memiliki pertumbuhan PDRB Non-Migas yang tinggi dan bersifat pro-poor (mengurangi tingkat kemiskinan) dan pro-job (mengurangi tingkat pengangguran).
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Kesejahteraan
Daerah
67
2007 2008 2009 2010Mar-
11Sep-11
Mar-12
Sep-12
GK Makanan 156.24 167.20 179.24 183.80 208.38 219.05 220.54 228.11
GK Non Makanan 57.785 62.165 67.236 72.307 74.090 77.320 80.245 82.492
GK Riau 214.03 229.37 246.48 256.11 282.47 296.37 300.79 310.60
-
50.000
100.000
150.000
200.000
250.000
300.000
350.000
Rp.ribu/kapita/bl
dibandingkan tahun sebelumnya. Namun demikian, peningkatan GK Riau
pada tahun 2012 cenderung melambat dibandingkan peningkatan GK tahun
2011, baik di daerah perkotaan maupun di pedesaan.
Meningkatnya GK Riau pada
tahun 2012 didorong oleh
kenaikan GK makanan dan GK
bukan makanan. GK makanan
tahun 2012 tercatat sebesar
Rp.228.111,- perkapita/bulan,
atau meningkat sekitar 4,13%
dibandingkan tahun sebelumnya.
Sementara itu, GK bukan
makanan tercatat sebesar
Rp.82.492,- perkapita/bulan, atau meningkat sekitar 6,69%. Kenaikan GK
bukan makanan yang lebih tinggi dibandingkan GK makanan diperkirakan
karena inflasi kelompok bahan makanan relatif lebih stabil dibandingkan
inflasi kelompok non makanan selama tahun 2012.
2.3 Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan
Kemiskinan (P2) di Riau
Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) merupakan ukuran rata-rata kesenjangan
pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan.
Semakin tinggi nilai indeks, semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk dari
garis kemiskinan. Sementara Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) memberikan
gambaran mengenai penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin.
Semakin tinggi nilai indeks, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran di
antara penduduk miskin.
Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) Riau pada tahun 2012 telah menunjukkan
perbaikan dibandingkan tahun 2011, yaitu dari 1,36% menjadi 1,13%. Dilihat
dari wilayahnya, perbaikan utamanya disebabkan karena menurunnya indeks
kedalaman kemiskinan di pedesaan, yaitu dari 1,51% menjadi 1,23%.
Sementara indeks kedalaman kemiskinan di perkotaan juga mengalami
Grafik 5.4. Perkembangan GK Makanan
dan Non Makanan di Riau
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Kesejahteraan
Daerah
68
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
2007 2008 2009 2010 Mar-11Sep-11Mar-12Sep-12
%
Kota
Desa
Riau
perbaikan, yaitu dari 1,13% menjadi 0,97%. Hal ini mengindikasikan bahwa
rata-rata pengeluaran penduduk miskin Riau semakin baik yaitu semakin
mendekati garis kemiskinan. Berdasarkan perkembangan tersebut, rata-rata
kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap GK di pedesaan lebih
tinggi daripada di perkotaan.
Di sisi lain, Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Riau pada tahun 2012 juga
menunjukkan perbaikan yaitu dari 0,39% menjadi 0,25%, yang didorong oleh
perbaikan indeks di pedesaan maupun perkotaan. Indeks keparahan
kemiskinan di pedesaan membaik dari 0,42% menjadi 0,28%, sementara
indeks keparahan kemiskinan di perkotaan dari 0,34% menjadi 0,20%.
Perbaikan indeks keparahan kemiskinan di Riau ini menandakan terjadinya
penurunan ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin.
3. Nilai Tukar Petani (NTP)
Nilai Tukar Petani (NTP)5 merupakan salah satu indikator yang digunakan
untuk melihat tingkat kesejahteraan petani dengan mengukur kemampuan
tukar produk yang dihasilkan oleh petani dengan produk yang dibutuhkan
oleh petani baik untuk proses produksi maupun untuk konsumsi rumah
5 NTP adalah perbandingan antara indeks harga yang diterima petani dengan indeks harga yang dibayar petani dan dinyatakan dalam bentuk persentase.
0
0,5
1
1,5
2
2,5
2007 2008 2009 2010 Mar-11 Sep-11 Mar-12 Sep-12
%
Kota
Desa
Riau
Grafik 5.5. Perkembangan Indeks
Kedalaman Kemiskinan (P1) Riau
Grafik 5.6. Perkembangan Indeks
Keparahan Kemiskinan (P2) Riau
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Kesejahteraan
Daerah
69
tangga petani. Semakin tinggi NTP mengindikasikan semakin meningkatnya
kemampuan daya tukar (term of trade) petani yang sejalan dengan
peningkatan kehidupan petani.
Pada triwulan I-2013, indeks NTP di Provinsi Riau tercatat sebesar 102,19,
mengalami penurunan dibandingkan triwulan sebelumnya maupun triwulan
yang sama tahun sebelumnya, yaitu masing-masing dari sebesar 102,54 dan
105,91. Penurunan ini utamanya terjadi karena lebih besarnya kenaikan biaya
yang harus dibayar petani untuk produk yang dibutuhkan atau dikonsumsi
dibandingkan kenaikan hasil atau pendapatan yang diterima. Kondisi tersebut
didorong oleh kenaikan harga komoditas konsumsi rumah tangga terutama
bahan makanan6 meskipun harga komoditas unggulan Riau terutama CPO
telah mengalami peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya.
Grafik 5.7. Perkembangan Nilai Tukar Petani di Provinsi Riau
Tabel 1. Nilai Tukar Petani Provinsi Riau
6 Inflasi pedesaan Riau pada triwulan I-2013 mencapai 5,40% (yoy) atau meningkat jika dibandingkan dengan inflasi pedesaan triwulan IV-2012 yang tercatat sebesar 3,87% (yoy).
I II III IV I II III IV I II III IV I
2010 2011 2012 2013
Indeks yang diterima 122,22 123,61 127,44 130,71 131,82 130,16 131,98 133,26 135,21 134,25 135,24 134,24 136,20
Indeks yang dibayar 117,82 119,12 121,87 123,60 125,43 124,66 125,85 126,86 127,67 128,84 130,52 130,92 133,28
Nilai Tukar Petani 103,73 103,77 104,57 105,75 105,09 104,92 104,87 105,05 105,91 104,20 103,61 102,54 102,19
90
95
100
105
110
115
120
125
130
135
140
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Kesejahteraan
Daerah
70
I II III IV I II III IV I
2011 2012 2013
Tanaman pangan 111,24 112,82 113,39 113,67 113,69 114,04 113,85 113,22 111,47
Hortikultura 113,60 112,57 115,34 118,04 119,32 117,12 116,28 115,25 115,30
Tanaman perkeb. Rakyat 105,50 104,25 101,98 101,15 103,47 99,92 98,24 95,48 95,92
Peternakan 100,57 101,57 100,92 101,05 101,1 100,95 100,87 101,13 100,80
Perikanan 91,84 91,72 92,71 92,21 91,57 90,19 91,04 91,62 91,03
Nilai Tukar Petani 105,09 104,92 104,87 105,05 105,91 104,20 103,61 102,54 102,19
40
60
80
100
120
140
-
200
400
600
800
1.000
1.200
1.400
1.000
1.100
1.200
1.300
1.400
1.500
1.600
1.700
1.800
1.900
Jan-1
0F
eb
-10
Mar-
10
Ap
r-10
May-1
0Jun-1
0Jul-10
Aug
-10
Sep
-10
Oct-
10
No
v-1
0D
ec-1
0Jan-1
1F
eb
-11
Mar-
11
Ap
r-11
May-1
1Jun-1
1Jul-11
Aug
-11
Sep
-11
Oct-
11
No
v-1
1D
ec-1
1Jan-1
2F
eb
-12
Mar-
12
Ap
r-12
May-1
2Jun-1
2Jul-12
Aug
-12
Sep
-12
Oct-
12
No
v-1
2D
ec-1
2Jan-1
3F
eb
-13
Mar-
13
US
D/M
T
Rp
/Kg
TBS Domestik (kiri) CPO Dunia (kanan)
-
10.000
20.000
30.000
40.000
50.000
60.000
Ma
r-0
4Ju
l-0
4N
op
-04
Ma
r-0
5Ju
l-0
5N
op
-05
Ma
r-0
6Ju
l-0
6N
op
-06
Ma
r-0
7Ju
l-0
7N
op
-07
Ma
r-0
8Ju
l-0
8N
op
-08
Ma
r-0
9Ju
l-0
9N
op
-09
Ma
r-1
0Ju
l-1
0N
op
-10
Ma
r-1
1Ju
l-1
1N
op
-11
Ma
r-1
2Ju
l-1
2N
op
-12
Ma
r-1
3
Cabe merah
-5.000
10.000 15.000 20.000 25.000 30.000 35.000 40.000 45.000 50.000
Ma
r-0
4Ju
l-0
4N
op
-04
Ma
r-0
5Ju
l-0
5N
op
-05
Ma
r-0
6Ju
l-0
6N
op
-06
Ma
r-0
7Ju
l-0
7N
op
-07
Ma
r-0
8Ju
l-0
8N
op
-08
Ma
r-0
9Ju
l-0
9N
op
-09
Ma
r-1
0Ju
l-1
0N
op
-10
Ma
r-1
1Ju
l-1
1N
op
-11
Ma
r-1
2Ju
l-1
2N
op
-12
Ma
r-1
3
Bawang merah
Jika dilihat secara sektoral, penurunan NTP terjadi pada hampir semua sektor,
kecuali sektor hortikultura dan tanaman perkebunan rakyat. Indeks NTP sektor
hortikultura meningkat sebesar 0,04% (qtq), dipicu oleh kenaikan harga
komoditas hortikultura terutama cabe merah selama triwulan ini. Sementara
itu, indeks NTP sektor tanaman perkebunan rakyat meningkat sebesar 0,46%
(qtq) namun indeksnya masih berada di bawah 100. Peningkatan ini didorong
oleh mulai meningkatnya harga CPO dan karet setelah mengalami penurunan
sejak pertengahan tahun 2012 yang lalu. Namun demikian, penurunan yang
terjadi pada sektor lainnya yaitu sektor tanaman pangan sebesar 1,55% (qtq),
sektor perikanan sebesar 0,64% (qtq), dan sektor peternakan sebesar 0,33%
(qtq) telah mendorong penurunan NTP secara umum pada triwulan laporan.
Grafik 5.10. Perkembangan Harga
Cabe Merah di Provinsi Riau
Sumber : Disperindag Provinsi Riau
Grafik 5.8. Perkembangan Nilai Tukar
Petani Sektoral di Provinsi Riau
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah
Sumber : Dinas Perkebunan Provinsi Riau, Bloomberg
Grafik 5.9. Perkembangan Harga
Tandan Buah Segar (TBS) Lokal
di Provinsi Riau dan Harga CPO Dunia
Grafik 5.11. Perkembangan Harga
Bawang Merah di Provinsi Riau
Sumber : Disperindag Provinsi Riau
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Prospek Perekonomian Daerah
71
1. PROSPEK MAKROREGIONAL
Kondisi ekonomi Riau pada triwulan II-2013 diperkirakan akan tumbuh relatif
moderat. Dengan memasukkan unsur migas, pertumbuhan ekonomi Riau
diperkirakan secara tahunan pada kisaran 2,0%-2,5% (yoy). Sementara itu,
dengan mengeluarkan unsur migas, pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan
mencapai kisaran 7,5%-7,9% (yoy).
PROSPEK PEREKONOMIAN
DAERAH
Bab 6
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Prospek Perekonomian Daerah
72
Tabel 6.1. Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi Triwulan II-2013
Sumber : BPS Provinsi Riau Keterangan :***) Angka Sangat Sementara, p) Perkiraan Bank Indonesia
Ditinjau dari sisi penggunaan, motor penggerak pertumbuhan diperkirakan masih
ditopang oleh permintaan domestik. Hal ini tidak terlepas dari pesatnya
pembangunan sektor properti baik residensial maupun komersial di Provinsi Riau
serta masih kuatnya daya beli masyarakat seiring membaiknya tingkat keyakinan
konsumen.
Grafik 6.1. Perkembangan Indeks Keyakinan Konsumen di Provinsi Riau
Grafik 6.2. Perkembangan Konsumsi CPO Global s.d April 2013
Sumber : USDA
Dari sisi sektoral, perekonomian Riau pada triwulan mendatang diperkirakan masih
ditopang oleh sektor non-tradables khususnya sektor perdagangan sejalan dengan
meningkatnya aktivitas perekonomian baik yang berasal dari perdagangan
domestik maupun perdagangan internasional (ekspor dan impor). Meskipun
demikian, ektor industri pengolahan diperkirakan juga akan menopang
pertumbuhan ekonomi pada triwulan mendatang sejalan dengan optimisme pelaku
terkait kondisi negara mitra dagang utama khususnya Cina dan India.
Namun demikian, terdapat beberapa risiko yang berpotensi membawa
pertumbuhan ekonomi Riau menyentuh batas bawah proyeksi (downside risks).
I II III IV I II (p)
Total 4.53 3.50 3.86 2.37 1,21 2,0 - 2,5
Tanpa Migas 7.15 7.82 9.04 7.21 7,55 7,5 - 7,9
2013***2012**Pertumbuhan
50
70
90
110
130
150
170
I II III IV I II III IV I II III IV I April
2010 2011 2012 2013
Indeks Keyakinan Konsumen Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini
Indeks Ekspektasi Konsumen Baseline
0
10.000
20.000
30.000
40.000
50.000
60.000
3.000
4.000
5.000
6.000
7.000
8.000
9.000
Feb
-09
Ap
r-0
9Ju
n-0
9A
ug-
09
Oct
-09
De
c-0
9Fe
b-1
0A
pr-
10
Jun
-10
Au
g-1
0O
ct-1
0D
ec-
10
Feb
-11
Ap
r-1
1Ju
n-1
1A
ug-
11
Oct
-11
De
c-1
1Fe
b-1
2A
pr-
12
Jun
-12
Au
g-1
2O
ct-1
2D
ec-
12
Feb
-13
Ap
r-1
3
India China EU-27 Indonesia Total (kanan)
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Prospek Perekonomian Daerah
73
Beberapa risiko tersebut diantaranya (i) kondisi sumur minyak yang tidak produktif
yang diperkirakan masih akan mengakibatkan sektor pertambangan migas
mengalami kontraksi. (ii) Regulasi pajak ekspor sawit Indonesia masih berorientasi
untuk mendukung hilirisasi CPO, dimana pajak ekspor CPO Indonesia lebih tinggi
dibandingkan Malaysia. Kebijakan ini berpotensi mengganggu daya saing Indonesia
terutama terkait harga jual serta kemungkinan turunnya pangsa pasar CPO
Indonesia, terutama pada pasar CPO India. (iii) Kepastian hukum menyangkut
lahan/tata ruang. Masalah Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) belum
juga tuntas dalam penetapan kawasan hutan oleh Pemerintah. Hal ini berpotensi
mengganggu rencana investasi industri sawit. (iv) Pemberlakuan hambatan tarif
dan non-tarif yang diterapkan sejumlah negara mitra dagang utama terkait produk
CPO Riau. Sebagaimana diketahui, beberapa negara seperti Cina telah menerapkan
pengetatan standar mutu produk CPO impor guna mendorong industri dalam
negeri. Selain itu, Pakistan sebagai salah satu potensi pasar ekspor juga
menerapkan pengetatan kualitas CPO yang masuk ke negara tersebut. Salah satu
standar kualitas yang ditetapkan adalah parameter DOBI1 diatas 2.5.
Sementara, salah satu faktor yang berpotensi membawa pertumbuhan menyentuh
batas atas (upside risks) adalah potensi pemulihan ekonomi negara mitra dagang
utama Riau dan negara berkembang (emerging market) di kawasan Asia yang
diperkirakan akan memberikan spill over positif bagi kinerja ekspor utama Riau.
Disamping itu, kondisi ekonomi domestik yang masih terjaga serta membaiknya
kondisi perekonomian Cina diperkirakan akan berdampak terhadap meningkatnya
permintaan produk unggulan Riau sehingga dapat memperbaiki kinerja neraca
perdagangan Riau.
2. PERKIRAAN INFLASI
Perkembangan inflasi Kota Pekanbaru pada triwulan mendatang diperkirakan
relatif meningkat dan diproyeksikan berada pada kisaran 5,7% - 6,5% (yoy).
Sedangkan secara triwulanan, inflasi diperkirakan berkisar 1,4% - 2,1% (qtq).
1 DOBI (deterioration of bleachability index) merupakan indeks daya pemucatan yang mengukur rasio kandungan karoten dan produk oksidasi sekunder pada produk Crude Palm Oil (CPO). Sebagaimana diketahui, CPO yang berasal dari Indonesia memiliki nilai DOBI dibawah 2 atau lebih rendah dibandingkan produk CPO milik negara kompetitor yang memiliki nilai 2,5.
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Prospek Perekonomian Daerah
74
Kondisi ini diperkirakan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya Pertama,
rencana kenaikan BBM sekitar Rp1.500/liter yang sudah akan dipastikan naik
setelah pembahasan APBN-P pada bulan Mei. Dampak kenaikan ini juga akan
mendorong kenaikan harga angkutan dan kenaikan harga komoditas lainnya.
Kedua, kenaikan TTL tahap ke-2 yang juga akan mulai dirasakan dampaknya pada
bulan Mei 2013. Ketiga, belum memadainya kondisi infrastruktur seperti kondisi
jalan yang masih belum memenuhi standar yang terjadi akibat adanya
ketidakseimbangan antara tonase jalan dengan kapasitas kendaraan sehingga
berpotensi menghambat kelancaran distribusi pasokan bahan makanan.
Tabel 6.2. Perkembangan Inflasi Aktual dan Prakiraan Inflasi Triwulan II-2013
Sumber : BPS Provinsi Riau, Keterangan : p) Proyeksi Bank Indonesia
Terdapat beberapa faktor yang berpotensi membawa inflasi melewati batas atas
kisaran proyeksi (upside risks) antara lain kenaikan ekspektasi pelaku usaha sejalan
dengan kenaikan harga BBM bersubsidi serta hambatan distribusi dan infrastruktur.
Meskipun demikian, terdapat beberapa faktor yang berpotensi membawa inflasi ke
batas bawah (downside risks) proyeksi diantaranya adalah solusi dini (pre-emptive
solution) TPID yang dihasilkan melalui koordinasi dengan berbagai instansi terkait
dan penguatan strategi komunikasi dalam menjaga ekspektasi.
I II III IV I II (p)
yoy,% 4.20 5.68 4,21 3.35 5,36 5.7 - 6.5
qtq,% 0.66 1.11 0,89 0,66 2,62 1.4 - 2.1
2013***2012**Inflasi
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Daftar Istilah
xv
Aktiva Produktif
Adalah penanaman atau penempatan yang dilakukan oleh bank dengan tujuan
menghasilkan penghasilan/pendapatan bagi bank, seperti penyaluran kredit,
penempatan pada antar bank, penanaman pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI), dan
surat-surat berharga lainnya.
Aktiva Tertimbang Menurut Resiko (ATMR)
Adalah pembobotan terhadap aktiva yang dimiliki oleh bank berdasarkan risiko dari
masing-masing aktiva. Semakin kecil risiko suatu aktiva, semakin kecil bobot
risikonya. Misalnya kredit yang diberikan kepada pemerintah mempunyai bobot
yang lebih rendah dibandingkan dengan kredit yang diberikan kepada perorangan.
Kualitas Kredit
Adalah penggolongan kredit berdasarkan prospek usaha, kinerja debitur dan
kelancaran pembayaran bunga dan pokok. Kredit digolongkan menjadi 5 kualitas
yaitu Lancar, Dalam Perhatian Khusus (DPK), Kurang Lancar, Diragukan dan Macet.
Capital Adequacy Ratio (CAR)
Adalah rasio antara modal (modal inti dan modal pelengkap) terhadap Aktiva
Tertimbang Menurut Resiko (ATMR).
Dana Pihak Ketiga (DPK)
Adalah dana yang diterima perbankan dari masyarakat, yang berupa giro,
tabungan atau deposito.
DAFTAR ISTILAH
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Daftar Istilah
xvi
Financing to Deposit Ratio (FDR)
Adalah rasio antara pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah terhadap dana
yang diterima. Konsep ini sama dengan konsep LDR pada bank umum
konvensional.
Inflasi
Kenaikan harga barang secara umum dan terus menerus (persistent).
Inflasi Administered Price
Inflasi yang terjadi pergerakan harga barang-barang yang termasuk dalam
kelompok barang yang harganya diatur oleh pemerintah (misalnya bahan bakar).
Inflasi Inti
Inflasi yang terjadi karena adanya gap penawaran aggregat and permintaan
agregrat dalam perekonomian, serta kenaikan harga barang impor dan ekspektasi
masyarakat.
Inflasi Volatile Food
Inflasi yang terjadi karena pergerakan harga barang-barang yang termasuk dalam
kelompok barang yang harganya bergerak sangat volatile (misalnya beras).
Kliring
Adalah pertukaran warkat atau Data Keuangan Elektronik (DKE) antar peserta
kliring baik atas nama peserta maupun atas nama nasabah peserta yang
perhitungannya diselesaikan pada waktu tertentu.
Kliring Debet
Adalah kegiatan kliring untuk transfer debet antar bank yang disertai dengan
penyampaian fisik warkat debet seperti cek, bilyet giro, nota debet kepada
penyelenggaran kliring lokal (unit kerja di Bank Indonesia atau bank yang
memperoleh persetujuan Bank Indonesia sebagai penyelenggara kliring lokal) dan
hasil perhitungan akhir kliring debet dikirim ke Sistem Sentral Kliring (unit kerja
yang menangani SKNBI di KP Bank Indonesia) untuk diperhitungkan secara
nasional.
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Daftar Istilah
xvii
Kliring Kredit
Adalah kegiatan kliring untuk transfer kredit antar bank yang dikirim langsung oleh
bank peserta ke Sistem Sentral Kliring di KP Bank Indonesia tanpa menyampaikan
fisik warkat (paperless).
Loan to Deposit Ratio (LDR)
Adalah rasio antara jumlah kredit yang disalurkan terhadap dana yang diterima
(giro, tabungan dan deposito).
Net Interest Income (NII)
Adalah antara pendapatan bunga dikurangi dengan beban bunga.
Non Core Deposit (NCD)
Adalah dana masyarakat yang sensitif terhadap pergerakan suku bunga. Dalam
laporan ini, NCD diasumsikan terdiri dari 30% giro, 30% tabungan dan 10%
deposito berjangka waktu 1-3 bulan.
Non Performing Loans/Financing (NLPs/Ls)
Adalah kredit/pembiayaan yang termasuk dalam kualitas Kurang Lancar, Diragukan
dan Macet
Penyisihan Pengghapusan Aktiva Produktif (PPAP)
Adalah suatu pencadangan untuk mengantisipasi kerugian yang mungkin timbul
dari tidak tertagihnya kredit yang diberikan oleh bank. Besaran PPAP ditentukan
dari kualitas kredit. Semakin buruk kualitas kredit, semakin besar PPAP yang
dibentuk. Misalnya, PPAP untuk kredit yang tergolong Kurang Lancar adalah 15%
dari jumlah kredit Kurang Lancar (setelah dikurangi agunan), sedangkan untuk
kredit Macet, PPAP yang harus dibentuk adalah 100% dari total kredit macet
(setelah dikurangi agunan).
Rasio Non Performing Loans/Financing (NPLs/Fs)
Adalah rasio kredit/pembiayaan yang tergolong NPLs/Fs terhadap total
kredit/pembiayaan. Rasio ini juga sering disebut rasio NPLs/Fs gross. Semakin
rendah rasio NPLs/Fs, semakin baik kondisi bank ysb.
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Daftar Istilah
xviii
Rasio Non Performing Loans (NPLs) Net
Adalah rasio kredit yang tergolong NPLs, setelah dikurangi pembentukan
Penyisihan Pengghapusan Aktiva Produktif (PPAP), terhadap total kredit
Sistem Bank Indonesia Real Time Settlement (BI RTGS)
Adalah proses penyelesaian akhir transaksi pembayaran yang dilakukan seketika
(real time) dengan mendebet maupun mengkredit rekening peserta pada saat
bersamaan sesuai perintah pembayaran dan penerimaan pembayaran.
Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKN-BI)
Adalah sistem kliring Bank Indonesia yang meliputi kliring debet dan kliring kredit
yang penyelesaian akhirnya dilakukan secara nasional.