kajian alqur'an di indonesia

Upload: eriis-cebong

Post on 05-Mar-2016

251 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

hgdrfh

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUANA. Latar BelakangAl Quran yang dalam memori kolektif kaum muslimin sepanjang abad sebagai kalam Allah, yang disebut sebagai pedoman dan petunjuk hidup bagi manusia telah memberikan penjelasan atas segala sesuatu sedemikian rupa sehinggga tidak ada sesuatupun yang ada dalam realitas yang luput dari penjelasannya. Bila diasumsikan bahwa kandungan al Quran bersifat universal, yang berarti aktualitas makna tersebut pada tataran kesejarahan meniscayakan dialog dengan pengalaman manusia dalam konteks waktu. Hal ini juga berlaku dengan kajian tafsir yang ada di Indonesia. Sesuai dengan kondisi sosio-historisnya, Indonesia juga mempunyai perkembangan tersendiri dalam kaitannya dengan proses untuk memahami, menelaah, dan menafsirkan isi dari ayat-ayat al Quran.Perkembangan penafsiran al Quran di Indonesia berbeda dengan perkembangan yang terjadi di dunia Arab yang merupakan tempat turunnya al Quran dan sekaligus tempat kelahiran tafsir al-Quran. Perbedaan tersebut terutama disebabkan oleh perbedaan latar belakang budaya dan bahasa. Karena bahasa Arab adalah bahasa mereka, maka mereka tidak mengalami banyak kesulitan untuk memahami bahasa al Quran sehingga proses penafsiran juga lumayan cepat dan pesat. Hal ini berbeda dengan bangsa Indonesia yang bahasa ibunya bukan bahasa Arab. Karena itu proses pemahaman al Quran terlebih dahulu dimulai dengan penerjemahan al Quran ke dalam bahasa Indonesia baru kemudian dilanjutkan dengan pemberian penafsiran yang lebih luas dan rinci. Oleh karena itu pula, maka dapat dipahami jika penafsiran al Quran di Indonesia melalui proses yang lebih lama jika dibandingkan dengan yang berlaku di tempat asalnya.Kajian tentang tafsir Indonesia umumnya masih memusatkan perhatian pada karya-karya yang muncul abad 19 ke atas. Sebut saja misalnya yang dilakukan Howard M. Federspiel atau M. Yunan Yusuf atau yang lain. Agak jarang- untuk mengatakan tidak ada sama sekali bahasan serius atas tafsir-tafsir pada abad sebelumnya.Tafsir memegang peran penting dalam kajian Islam. la merupakan salah satu cabang penting dalam pemahaman ajarannya. Jika penyebaran Islam di duga sudah mulai menyentuh wilayah nusantara sejak abad 13, maka kenyataan di atas cukup memprihatinkan. Sebab hal demikian akan menimbulkan persepsi tidak menguntungkan bagi sejarah intelektual umat Islam di Indonesia. Padahal, dalam sejarahnya, dinamika intelektual umat Islam sebelum abad 19 memiliki intensitas yang cukup tinggi, Khusus mengenai tafsir, tampaknya tidak mengalami perkembangan yang pesat. Berbeda dengan disiplin lain seperti tasawuf, fiqih atau filsafat. Namun tidak berarti tradisi penafsiran sama sekali tidak berkembang dan tidak berjalan. A.H. Johns, dalam penelusurannya menyebutkan bahwa aktifitas penafsiran di wilayah ini sudah berlangsung sedikitnya sejak abad 16. Gejala ini tampak dari beberapa karya tulis yang dihasilkan dan ditemukan pada periode itu. Karya-karya Hamzah Fansuri atau Syams al-Din al-Sumatrani, misalnya, meskipun tidak secara tegas dapat disebut karya tafsir, namun sudah dapat dijadikan indikasi sudah terbangunnya tradisi tafsir dikala itu. Dalam hal ini didukung oleh pandangan Braginsky yang menulis: Bagaimanapun, dalam pengertiannya yang luas, semua karangan mistik-keagamaan itu merupakan tafsir sui generic terhadap teks-teks kanon keagamaan, yang dari sudut pandangan Islam meliputi pelimpahan wahyu.

B. Rumusan MasalahDari uraian latar belakang diatas maka penulis meumuskan masalah sebagai berikut 1. Bagaimana Pengertian Al-Quran di Indonesia?2. Bagaimana Corak, Karakteristik, Metode dan KaryaTafsir Al-Quran di Indonesia Tahun 1960 2008?

C. Tujuan 1. Untuk mengetahui Bagaimana Pengertian Al-Quran di Indonesia2. Untuk mengetahui Bagaimana Corak, Karakteristik, Metode dan KaryaTafsir Al-Quran di Indonesia Tahun 1960 2008

BAB IIPEMBAHASAN

A. PengertianMenurut Moh. Ali Ash-Shabunie,Tafsir al-Quran adalah menerangkan atau menjelaskan kalam Allah ( Al-Quran ). Al-Quran adalah suatu kalam illahi yang diperuntukkan sebagai padoman hidup umat muslim. Tafsir al-Quran artinya menganalisa, menjelaskan isi dari ayat-ayat al-Quran baik perhuruf, perkata, perkalimat dan bahkan persurat secara terinci isi dari al-Quran dengan menggunakan aturan tata bahasa dalam ilmu tafsir.Al-Quran diturunkan di tanah Arab, sebab itulah ayat-ayat dari al-Quran berbahasa Arab yang di sesuaikan dengan bahasa penduduk setempat. Bagi mereka yang sudah fasih berbahasa Arab, maka tak heran jika mereka akan lebih mudah untuk memahami artinya. Dan bagi mereka yang belum mengenal bahasa Arab akan mengalami kesulitan untuk memahaminya. Karenanya perlu diadakan penafsiran ayat-ayat al-Quran, agar tidak salah dalam pemahaman suatu ayat.Kajian al-Quran di Indonesia bermaksud menelaah, mennjelaskan, dan memahami maksud dan tujuan kandungan makna dari al-Quran agar dapat dengan mudah dipahami oleh umat muslim di Indonesia, baik dari kronologisnya, etimologinya dan kandungan arti dari al-Quran itu sendiri dalam kontek ke Indonesiaan. Yang tidak kalah pentingnya lagi adalah pengamalan Al-Quran dalam kehidupan sehari-hari. Al-Quran merupakan mujizat yang terbesar bagi umat Islam. Salah satu kebesaranya adalah susunan kata dan bahasa merupakan sastra yang sangat indah tak satupun orang yang mampu untuk menandinginya.[footnoteRef:2] [2: M.Dahlan.Y. Al-Barry, L. Lya Sofyan Yakub, Kamus Induk Istilah Ilmiah: ( Surabaya, Target Pres 2003 ) hal. 755.]

B. SejarahPenyebaran islam dari awal kemunculannya sampai hari ini, diyakini tidak lepas dari sumber primer ajaran islam, dalam hal ini Al-Qur`an. Bisa dikatakan bahwa sejarah islam merupakan sejarah Al-Qur`an. Walaupun Al-Qur`an lebih terfokus pada peninggalan-peninggalan tertulis dari tradisi intelektual. Oleh karena itu, sejarah Al-Qur`an dalam konteks yang paling sederhana di Indonesia, dapat ditelusuri melalui sejarah masuknya islam ke Indonesia.Sepanjang yang diketahui,di Indonesia penulisan mushaf Al-Qur`an telah dimulai sejak lima abad yang lalu.Berbeda dengan mushaf di negara Islam lainnya, tradisi penulisan mushaf Al-Qur`an di Indonesia lebih mengedepankan seni hias khas Indonesia dan toleransi Islam terhadap kebudayaan setempat. Ini bisa dilihat dari seni mushaf yang terserak di berbagai daerah, seperti Mushaf Syaikh Abd al-Wahab dari Aceh, Mushaf Syaikh Nawawi Al-Bantani dari Banten, Mushaf Syaikh Muhamad Arsyad al-Banjari dari Kalimantan Selatan dan Mushaf Diponegoro dari Jawa Tengah.[1]Ada satu catatan bahwa mushaf tertua ditulis oleh seorang ulama al-Faqihal-AliAfifuddinAbdulBaqibinAbdullah al-`Adni, bertahun 1585 M, tepatnya pada 7 Zulqaidah1005 H, di Wapanwe, Kaitetu, Ambon. Lima tahun kemudian (tahun 1590 M), seorang gadis bernama Nur Cahya menyelesaikan penulisan mushaf di Pegunungan Wawane, Ambon. Berdasarkan naskah mushaf tersebut, diperkirakan bahwa abad ke-16 merupakan awal pertumbuhan penulisan mushaf Al-Qur`an di Indonesia.[2]Tidak menutup kemungkinan ulama-ulama di berbagai tempat lain di Indonesia juga melakukan hal yang sama, karena beberapa naskah Al-Qur`an kuno juga dijumpai di Jawa, Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara Barat, Bali, dan sebagainya. Motivasi yang mendorong umat Islam melakukan penyalinan Mushaf adalah untuk dakwah dan semangat mengajarkan Al-Qur`an. Dalam hal ini pesantrenyang merupakan pusat pendidikan Islam tradisional sejak berabad-abad lalu juga diduga memegang peranan penting dalam penulisan Al-Qur`an, seperti mushaf yang ada di Pesantren Buntet, Cirebon (bertarikh 1840 M).Secara singkat, aktivitas seputar Al Qur`an di Indonesia dirintis oleh Abdur Rauf al-Singkily, yang menerjemahkan Al-Qur`an ke dalam bahasa Melayu pada pertengahan abad XVII. Upaya rintisan ini kemudian diikuti oleh Munawar Chalil (Tafsir Al-Qur`n al-Hidayatur rahman), A.Hassan Bandung (Al-Furqn, 1928), Mahmud Yunus (Tafsir al-Qur`n Indonesia, 1935), Hamka (Tafsir Al-Azhr, 1973), Zainuddin Hamidi (Tafsir Al-Qu`rn, 1959), Halim Hassan (Tafsir Al-Qur`n al-Karim, 1955), Iskandar Idris (Hibarna), dan Kasim Bakry (Tafsir Al-Qur`n al-Hakim, 1960).Dalam bahasa-bahasa daerah, upaya-upaya ini dilakukan oleh Kemajuan Islam Yogyakarta (al-Qur`n kejawen dan al-Qur`n Sandawiyah), Bisyri Mustafa Rembang (al-`Ibriz, 1960), R.Muhammad Adnan (Al-Qur`an suci basa jawi, 1969) dan Bakry Syahid (Al-Hud, 1972). Sebelumnya pada 1310 H, Kiyai Mohammed Saleh Darat Semarang menulis sebuah tafsir dalam bahasa jawa huruf Arab.[3]Tokoh-tokoh besar nusantara, seperti Hamzah al-Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, al-Raniri, dan Wali Songo dikenal sebagai tokoh-tokoh sufi dan kalam dengan karakternya masing-masing. Dengan pendekatan sufisme ini, islam diterima secara damai. Pendekatan sufisme dan kalam ini, tentu saja akan mempengaruhi cara berfikir jaringan ulama generasi selanjutnya, termasuk ketika diterapkan dalam kajian Al-Qur`n. Hamzah al-Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani seringkali mengutip ayat-ayat Alquran yang kemudian difahami dalam konteks falsafi.[4]Perkembangan penafsiran al-Qur`an di Indonesia jelas berbeda dengan yang terjadi di dunia Arab (Timur Tengah), tempat turunnya al-Qur`an sekaligus tempat kelahiran tafsir al-Qur`an. Perbedaan tersebut terutama disebabkan oleh perbedaan latar belakang sosial-budaya, geografis dan bahasa. Sejarah penulisan tafsir al-Qur`an hanya mampu dibuktikan paling awal sejak masa abad ke-17, dan penulisan tafsir al-Qur`an 30 juz di Indonesia pada masa itu masih terbilang langka.[5]Hasil penelitian disertasi Azyumardi menunjukkan bahwa ulama Nusantara yang pertama kali melahirkan karya tulis di bidang tafsir al-Qur`an secara lengkap 30 juz adalah Abdul al-Rauf bin Ali al-Fansuri al-Singkili, yakni Kitab Turjum al-Mustafid yang penafsirannya menggunakan bahasa Melayu pada tahun 1661. Santri Ibrahim al-Kurani ini selain seorang ahli tafsir juga seorang sufi kenamaan pada masanya. Bahkan, aliran tarekat Syathriyah yang dikembangkannya memiliki pengaruh yang luas di Indonesia, khususnya di Jawa dan Sumatera.[6]Sebenarnya sebelum Abd al-Rauf al-Singkily menulis tafsirnya, sudah ada ulama yang menulis tafsir namun tidak dalam bentuk yang sempurna 30 juz. Beliau adalah Hamzah al-Fansuri yang hidup antara tahun 1550-1599 dengan menerjemahkan sejumlah ayat al-Qur`an yang terkait dengan tasawwuf dalam bahasa Melayu. Bukti lain yang menunjukkan bahwa sudah ada tafsir yang ditulis sebelum Abd al-Rauf al-Singkily adalah sebuah penggalan karya tafsir berupa manuskrip tertanggal sebelum tahun 1620 M dibawa ke Belanda yaitutafsir surah al-Kahfidalam bahasa Melayu namun tidak tercantum pengarangnya. Di antara pengikut Hamzah al-Fansuri adalah Syamsuddin al-Samatrani yang muncul sebagai ulama terkemuka di istana Sultan Iskandar Muda, penguasa Aceh pada tahun 1603-1636 juga menulis tafsir al-Quran [7]Sebagai seorang ahli tafsir yang mendalami tasawuf, sangat dimaklumi apabila corak tafsir al-Sinkily memang mengesankan corak tasawuf. Tetapi, sebagai karya tafsir 30 juz paling awal di negeri ini Turjuman al-Mustafid tergolong memiliki prestasi istimewa, karena beredar luas di kepulauan Melayu. Lebih dari itu, edisi cetaknya juga bisa ditemukan di beberapa negara seperti Singapura, India, Kairo, Istanbul, Makkah hingga Afrika Selatan. Ketinggian nilai karya intelektual al-Sinkili ini juga terlihat dari seringnya dicetak ulang di Timur Tengah. Bahkan, edisi terakhirnya juga bisa ditemui di Jakarta sampai tahun 1981-an. Fenomena yang tersebut belakangan ini sekaligus juga menunjukkan bahwa karya tafsir putra Aceh tersebut masih diminati kaum muslim hingga dewasa ini.[8]Pada abad ke-19 M., baru disusul dengan terbitnya karya tafsir syekh Nawawi al-Bantani di Mesir. Karya tafsir al-Nawawi yang terkenal luas di Timur Tengah dan terutama di kalangan pesantren di Indoensia, kitabnya adalah al-Tafsir al-Munir li Maalim al-Tanzil, namun karya ini ditulis di Makkah. Sebagaimana kitab-kitab klasik lainnya, tafsir al-Munir yang disebut juga oleh al-Nawawi dengan al-Kitab Marah Labid fi Kasyfi Maani al-Qur`an al-Majd tidak ditulis dengan mencantumkan daftar referensinya. Sebagian besar isi kitab tafsir ini menekankan pada penjelasan ayat demi ayat berdasarkan analisa bahasa. Tetapi, untuk beberapa ayat dan surat dikaitkan dengan hadis-hadis, sebab-sebab turunnya ayat dan pendapat para sahabat.[9]Menutut Azyumardi sejak sebelum Turjuman al-Mustafid dan sesudahnya sampai dengan tafsir al-Munr, tidak ada tafsir lain karya ulama Nusantara yang selengkap dua tafsir tersebut, kecuali tafsir-tafsir dari beberapa ayat dalam surat tertentu.[10] Baru pada awal abad ke-20, Hamka mulai mengemukakan prinsip-prinsip dasar Islam dengan cara memberi komentar terhadap ayat-ayat al-Quran. Karya putra Padang (Sumatra Barat) ini merupakan embrio baru tafsir al-Azhr yang kelak menjadi karya penting.[11]Tradisi penulisan dan penafsiran al-Qur`an tersebut sampai masa penjajahan Jepang (19421945) tidak produktif kembali. Kecuali pada masa demokrasi liberal (19501957) muncul beberapa karya tulis tentang al-Qur`an, seperti Pelajaran Tafsir al-Qur`an (1955) karya Munawar Khalil dan Ibnu Idrus, serta al-Furqn dan al-Djawhir karya Ahmad Hasan. Pada masa demokrasi terpimpin (19571966) tampil Buya Hamka dan Hasbi Ashiddiqiy. Karya Hamka yang berjudul Tafsir al-Azhr merefleksikan kekacauan politik pada masanya, karena tafsir ini ditulis pada saat Hamka berada di penjara.Selain Hamka, pada periode ini Mahmud Yunus juga sedang mengerjakan karya tafsirnya. Kerja keras Mahmud Yunus ini pada tahun 1922 membuahkan karya terjemahan al-Quran, yang kelak menjadi dasar bagi karya tafsirnya yang berjudul Tafsir al-Qur`an al-Karm. Kemudian pada tahun 1960-an Tafsir al-Qur`an al-Madjddicetak juz per juz yang mana merupakan karya Hasbi al-Shiddieqy, disamping menterjemahkan secara harfiah dengan mengelompokkan ayat-ayatnya juga menjelaskan fungsi surah atau ayat, menulis munasabah dan diakhiri dengan kesimpulan.[12]Pada masa Orde Baru (19671998), dalam program pembangunan bidang keagamaan, Menteri Agama menggagas penerbitan buku-buku teks kajian al-Qur`an. Untuk keperluan ini, pemerintah membentuk suatu badan yang terdiri dari dosen-dosen IAIN guna menyusun tafsir al-Qur`an. Pembentukan badan oleh Depag RI ini berhasil menerbitkan dua produk intelektual yang menjadi catatan penting dalam sejarah perkembangan tafsir di Indonesia. Pertama, al-Qur`an dan Terjemahannya, kedua al-Qur`an dan tafsir-nya.[13]Pada akhir abad ke-20, beberapa karya tulis yang membahas berbagai kecenderungan penafsiran dan penggunaan ayat-ayat al-Qur`an guna membahas tema tertentu - seperti poligami dan politik. Seperti Milhan Yusuf tentangMetode Hamka dalam Penafsiran Ayat-ayat Hukum, Muhammadiyah Amin & Kusmana,Penafsiran Purposif Quraysh Shihab,Harifuddin CawiduKonsep Kufr dalam al-Qur`an, M. Galib, M. Ahl al-Kitab, Makna dan Cakupannya,Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean,Pendekatan Konstekstual terhadap al-Qur`an, Rofah MudzakirIsyu Poligami: Penafsiran Aisyiyah tentang ayat al-Quran 4:3 dan 4:129, Azyumardi Azra,Penggunaan dan Penyalahgunaan Ayat-ayat a-Quran dalam Politik Kontemporer Indonesia, dan Nurcholish Madjid,Menafsirkan prinsip-prinsip al-Quran tentang Pluralisme Keagamaan.[14]Memasuki era kontemporer, berbagai kitab tafsir bermunculan, baik yang menulisnya secara tematik maupun secara tahlili, misalnyaTafsir al-Mishbhkarya Quraish Shihab yang mulai ditulis pada saat menjadi Kedubes di Arab Saudi. Namun diterbitkan pertama kali pada tahun 2002. Kemudian berbagai skripsi, tesis dan desertasi yang konsentrasi di bidang tafsir silih berganti ditulis di berbagai perguruan tinggi hingga pada saat ini.[15]

C. Pendekatan

Dekonstruksi pemahaman terhadap Al-Quran yang terpasung dalam unsur-unsur mistik, khurafat dan interpretasi literal yang mengatas namakan agama adalah sebuah keniscayaan dalam fenomena kehidupan kekinian yang semakin komplek. Pemahaman terhadap Al-Quran yang selama ini telah dianggap final dan terkesan menutup pintu ijtihad perlu dikaji kembali kebenarannya, karena semakin berkembangnya zaman maka permasalahan yang muncul akan semakin rumit dan perlu solusi baru yang lebih komprehensif. Muhammad Syahrur dalam bukunya Al Kitab Wa Al-Quran: Qiraah Muasirah bahkan menyatakan bahwa kaum muslim modern lebih memenuhi syarat untuk memahami Al-Quran yang sesuai dengan tujuan dan kepentingan mereka sendiri, karena kaum muslim di zaman modern memiliki perangkat analisis yang lebih lengkap dan lebih baik untuk memahami makna wahyu daripada pendahulunya. Landasan yang digunakan oleh Muhammad Syahrur adalah surat At-Taubah ayat 9 yang menyatakan bahwa orang baduwi, disamping lebih kufur dan munafik daripada orang arab lainnya yang memiliki kebudayaan dan peradaban yang lebih tinggi, juga lebih buta terhadap batas-batas hukum yang diturunkan Allah kepadanya. Dengan demikian, standar Al-Quran atas kesempurnaan pemahaman atas ayat yang diturunkan adalah pada level kebudayaan yang tidak dimiliki oleh orang Baduwi. Maka, ketika umat Islam pada abad ini memiliki kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang lebih tinggi daripada pendahulunya, mereka lebih siap dan memiliki perangkat pemahaman yang lebih baik daripada pendahulunya.[4]Dalam memahami studi Al-Quran diperlukan pembudayaan pemikiran liberal (free thinking), sebagai bentuk kemerdekaan berfikir, karena dalam realitasnya seperti yang dikatakan oleh Mohammed Arkoun, walupun saat ini kita merdeka secara fisik tapi dalam pemikiran kita masih terjajah, karena selalu terkungkung dalam pemahaman kaum muslim ortodoks yang telah membeku dan masih merasa pemahamannya paling benar (truth claim) dan sering menyatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup untuk melahirkan ijtihad-ijtihad baru yang lebih kontekstual. Selain itu menurut Mohammed Arkoun, free thinking merupakan tanggapan kepada dua kebutuhan makro. Pertama, kaum muslimin perlu memikirkan masalah-masalah yang selama ini tidak pernah terfikirkan. Masalah-masalah tersebut dibuat oleh pemikir muslim ortodoks. Kedua, pemikiran kontemporer perlu membuka wawasan baru, melalui pendekatan sistematis lintas budaya terhadap masalah-masalah fundamental.[5]Maka dalam memahami Al-Quran dalam pendekatan fenomenologi, perlu kiranya dikaji dari beberapa aspek pemahaman, yaitu dalam pendekatan linguistik, sosiologi dan Historis.1. a. Pendekatan Linguistik Pendekatan ini digunakan yang pertama untuk melihat bagaimana Al-Quran itu diucapkan, dilafadhkan karena pada mulanya kitab suci adalah kata terucap, sehinggap dalam memahaminya kita perlu menguasai Bahasa Arab, selain itu ilmu-ilmu lain seperti Tajwid, Nahwu, Balaghah dan lain-lain.Kedua, sangat penting untuk dipahami bahwa Al-Quran ketika dikaji melalui metode analisis bahasa, maka, Al-Quran bukan lagi sebuah teks metafisik, namun merupakan sebuah teks dengan bahasa manusia yang mana dalam memahaminya juga harus dengan bahasa manusia. Ketika Al-Quran dianggap sebuah teks metafisik, ini merupakan penekanan yang berlebihan kepada dimensi Illahi (divine dimension)[6] dan akan mengakibatkan pemikiran Islam menjadi stagnan. Padahal menurut Nasr Hamid Abu Zaid Al-Quran adalah The word of Muhammad reporting what he asserts is the word of God.[7] Ia menegaskan bahwa bagaimanapun, kalam Ilahi perlu mengadaptasi diri karena Tuhan ingin berkomunikasi kepada manusia. Jika Tuhan berbicara dengan bahasa Tuhan, manusia sama sekali tidak akan dimengerti (The word of God needed to adapt it self become human- because God wanted to communicate to human beings. If God-language, human beings would understand nothing). Jadi, dalam pandangan Nasr Hamid, Al-Quran adalah bahasa manusia (the Quran is human language). Menurutnya, teks Ilahi (divine text) berubah menjadi teks manusiawi (human text) sejak turunnya wahyu pertama kali kepada Muhammad.[8]Dengan berpendapat demikian, Nasr Hamid menegaskan bahwa teks-teks agama adalah teks-teks bahasa yang bentuknya sama dengan teks-teks yang lain di dalam budaya. Sekalipun asal muasalnya dari Tuhan, namun Nasr Hamid, berpendapat studi Al-Quran tidak memerlukan metode yang khusus, karena jika metode khusus dibutuhkan, maka hanya manusia yang mempunyai kemampuan saja yang bisa memahaminya. Manusia biasa akan tertutup untuk memahami teks agama. Nasr Hamid menyalahkan penafsiran yang telah dilakukan oleh mayoritas mufassir yang selalu menafsirkan al-Quran dengan muatan metafisis Islam, dalam pandangannya, metodologi seperti ini tidak akan melahirkan sikap ilmiah. Dengan menyamakan status AlQuran dengan teks-teks yang lain, maka Nasr Hamid menegaskan siapa saja bisa mengkaji Al-Quran. Nasr hamid menyatakan: Saya mengkaji Al-Quran sebagai sebuah teks berbahasa Arab agar dapat dikaji baik oleh kaum Muslim, kristen maupun Atheis.[9]1. b. Pendekatan Sosiologi Dalam pendekatan ini maka fenomena relasional menjadi sebuah keniscayaan, karena yang pertama, bahwa kitab suci tidak hanya merujuk terhadap teks, akan tetapi harus selalu merujuk kepada konteks yang selalu bersentuhan dengan tradisi yang terus hidup. Apabila ini dilakukan maka kitab suci akan berhubungan langsung dengan realitas masyarakat dalam kehidupan sehari-hari secara berkesinambungan. Kedua, jika kita suci dipahami sebagai fenomena relasional maka makna inklusif kitab suci akan tampak dalam berbagai sisi kehidupan bermasyarakat.[10]Fenomena relasional sebagai pijakan awal terjadinya dialektika antara teks dan konteks karena proses turunnya Al-Quran yang memakan waktu lebih dari 20 tahun, terbentuk dalam realitas dan budaya, maka Nasr Hamid abu Zaid menyimpulkan bahwa Al-Quran adalah produk budaya (muntaj thaqafi), selain itu ia juga menyebutnya produsen budaya (muntij li al-thaqafah) karena menjadi teks yang hegemonik dan menjadi rujukan bagi teks yang lain.[11]Hal ini terbukti banyak ayat-ayat dalam Al-Quran yang sangat sesuai dengan tradisi dan situasi yang terjadi di Arab pada saat itu. tentang syurga misalnya, dalam surat Al-Baqarah ayat 25 dan 266, syurga digambarkan sebagai tempat yang didalamnya terdapat sungai-sungai dan buah-buahan serta bidadari-bidadari cantik yang siap memberikan kenikamatan disetiap saat. Ayat ini jelas akan membuat masyarakat Arab tertarik, karena pada saat itu keadaan di Arab sangat kering dan tandus. Berbeda halnya seandainya ayat ini diturunkan di Indonesia, maka hal seperti ini bukanlah sesuatu yang luar biasa, karena Indonesia sebagai negara dengan iklim Tropis memiliki banyak sungai yang bahkan sering menimbulkan banjir pada saat ini, dan kaya akan bermacam-macam buah-buahan.1. c. Pendekatan HistorisPendekatan ini berasal dari para hermeneut Barat seperti Giambattista Vico (1668-1744); J. G. Herder (1744-1803); W. Dilthey (1833-1911); M. Heidegger (1889-1976), J. P. Sartre (1905-1980), R. Aron, P. Ricoeur dan lain-lain.[12] namun, sekalipun dari Barat, pendekatan ini bukan hanya sesuai untuk warisan Barat saja, pendekatan ini dapat diterapkan dalam semua sejarah umat manusia, begitu juga dengan kitab suci, karena tidak ada jalan lain dalam menafsirkan wahyu kecuali menghubungkannya dengan konteks historis.Dalam pendekatan historis menurut Arkoun, mengenai wahyu dibagi dalam dua peringkat. Peringkat pertama apa yang disebut Al-Quran sebagai Umm al-Kitab (Surat Ar-rad ayat 39 dan Az-Zuukhruf ayat 4). Dari Umm al-kitab lah Al-Quran dan Bibel berasal, karena Umm al-kitab adalah kitab langit, bersifat abadi, tidak terikat waktu, serta mengandung kebenaran tertinggi. Namun kebenaran absolut ini di luar jangkauan manusia, karena bentuk wahyu yang seperti itu diamankan dalam Lawh Mahfuz (Preselved Tablet) dan tetap berada bersama dengan Tuhan sendiri. Peringkat kedua adalah bebagai kitab termasuk Al-Quran, Bibel dan Gospel. Melalui peringkat kedua inilah wahyu dapat diketahui oleh manusia. Peringkat kedua inilah yang disebut oleh Arkoun sebagai edisi dunia (editions terrestres). Menurutnya, pada peringkat ini, wahyu telah mengalami modifikasi, revisi dan substitusi.Sedangkan mengenai sejarah Al-Quran, Arkoun membagi menjadi dua periode. Periode pertama berlangsung ketika pewahyuan (610-632 M), periode ini juga dia sebut sebagai Prophetic Discourse (Diskursus kenabian) karena dalam periode ini Muhammad sebagai pelantara sekaligus sebagai penjelas makna-makna wahyu yang diturunkan, maka tidak heran ketika dalam periode ini Arkoun menganggap Al-Quran lebih suci, lebih autentik dan lebih dapat dipercaya karena Al-Quran terbuka untuk semua arti ketika dalam bentuk lisan. Periode kedua, berlangsung ketika koleksi dan penetapan mushaf (12-324 H/632-936 M), Arkoun menyebut periode ini Official Closed Corpus (Korpus resmi tertutup). Menurutnya status Al-Quran dalam bentuk tulisan telah berkurang dari kitab yang diwahyukan (al-kitab al-muhi) menjadi sebuah buku biasa (kitab adi).[13]Dari pendekatan-pendekatan diatas telah disadari akan menantang segala bentuk pensakralan dan penafsiran transenden yang dibuat teolog tradisional, seperti yang telah diungkapkan baik oleh Richard C. Martin ataupun William A. Graham, bahwa kajian seperti ini akan menimbulkan hubungan yang tidak harmonis antara studi agama dan studi Islam. Namun jika kita berfikir lebih objektif justru pendekatan-pendekatan tersebut akan memberikan akibat yang baik terhadap Al-Quran. Metodologi tersebut adalah ijtihad, sekalipun dalam berbagai hal mengguncang cara berfikir konvensional. Selain itu pendekatan-pendekatan tersebut dapat memperkaya sejarah pemikiran dan memberikan sebuah pemahaman yang lebih baik tentang Al-Quran. Pendekatan tersebut baik karena membongkar lapisan-lapisan konsep Al-Quran yang sudah mengendap lama dalam pandangan geologis kaum muslim ortodoks yang membeku.

D. Nuansa

Al- Quran adalah sumber utama hukum Islam sejak generasi Sahabat hingga kini, Meskipun mereka hidup di jaman dan tempat yang berbeda, namun hasil kajian yang dituangkan para ulama dalam kitab-kitab tafsirnya secara prinsip tidak jauh berbeda. Adanya beberapa perbedaan penafsiran di kalangan para ulama yang bermartabat lebih bersifat variatif dan bukan kontra-diktif. Sebab dalam menafsirkan ayat-ayat, mereka mengacu pada prinsip dan kaedah Ulum al-Quran yang benar, yang diwariskan secara terpercaya dari generasi ke generasi. Perkembangan prinsip kajian al-Quran melalui metode sanad (mata rantai) dari ulama-ulama yang bermartabat senantiasa disandarkan pada konsep wahyu. Landasan sanad yang terbina dalam tradisi keilmuan Islam dengan sendirinya tidak memberi ruang bagi berkembangnya paham relativisme dan spekulasi akal yang tidak bertanggung jawab. Dalam sebuah atsar, Abu Hurairah menuturkan: Sesungguhnya ilmu ini (sanad) adalah agama. Oleh sebab itu, perhati-kanlah dari siapa kamu mengambil agamamu.Landasan sanad ini terjaga oleh tradisi ilmu yang mengakar kuat dalam masyarakat Islam hingga abad pertengahan. Pusat-pusat pembelajaran seperti masjid, halaqah (lingkar studi), madrasah, selalu penuhi penuntut ilmu. Bahkan di saat kondisi politik sedang kacau dan kerusuhan bermunculan di mana-mana, sejumlah ulama Muslim masih terus bermunculan dan memberikan konstribusinya.

E. Corak, Karakteristik, Metode dan KaryaTafsir Al-Quran di Indonesia 1. Corak Tafsir di Indonesia.Menurut Said Aqil Husain Al-Munawar corak penafsiran al-Quran berdasrkan metode dibedakan beberapa macam : a. Tafsir Tahlili yaitu mengkaji ayat-ayat al-Quran dari segi maknanya ayat demi ayat, surat demi surat sesuai dengan urutan dalam muskaf Ustmani, antara lain: tafsir bi al-Matsur, tafsir bi al-Rayi, tfsir Shufi, tfsir Fiqih, tafsir Falsafah, tafsir ilmi, tafsir Adabi.b. Tafsir Ijmali, penafsiran al-Quran secara singkat dan global tanpa uraian panjang lebar : tafsir Jalalain, tafsir Shofwah al-Bayan limani al-Quran, tafsir al-Quran al-Azhim.c. Tafsir Muqaram, membandingkan makna dari ayat ke ayat lain.d. Tafsir MaudhuI, mengumpulkan ayat-ayat al-Quran yang membahas satu masalah.e. Tafsir bi-al-Matsur, membahas suatu ayat yang samar artinya.f. Tafsir bi al-Rayi, menafsirkan ayat-ayat dimungkinkan oleh pernyataan al-Quran sendiri bahwa ia diturunkan sebagai petunjuk baik untuk individu atau kelompok.[footnoteRef:3] [3: Ibid, hal 755.]

2. Karakteristik Tafsir Dari segi generasi Howard M. Federspiel pernah melakukan pembagian kemunculan dan perkembangan tafsir al Quran di Indonesia ke dalam tiga generasi. Generasi pertama dimulai sekitar awal abad XIX sampai dengan tahun 1960-an. Era ini ditandai dengan penerjemahan dan penafsiran yang didominasi oleh model tafsir terpisah-pisah dan cenderung pada surat-surat tertentu sebagai obyek tafsir. Generasi kedua, yang muncul pada pertengahan 1960-an, merupakan penyempurnaan dari generasi pertama yang ditandai dengan adanya penambahan penafsiran berupa catatan kaki, terjemahan kata per kata dan kadang disertai dengan indeks sederhana. Tafsir generasi ketiga, mulai tahun 1970-an, merupakan penafsiran yang lengkap, dengan komentar-komentar yang luas terhadap teks yang jugadisertaidenganterjemahnya.Perkembangan terakhir dari kajian tafsir di Indonesia menunjukkan karya tafsir yang mengarah pada kajian tafsir maudhui. Hal ini banyak dipelopori oleh Quraish Shihab, yang banyak menghasilkan beberapa buku tafsir tematik seperti Lentera Hati, Membumikan al Quran dan Wawasan al Quran. Kecenderungan ini kemudian diikuti oleh para penulis yang lain dan makin disemarakkan dengan berbagai kajian tematik dari tesis dan disertasi di berbagai perguruan tinggi Islam.3. Al Quran dan Tafsirnya1) Biografi PenulisTafsir ini disusun oleh Tim Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia (UII) yang terdiri dari Prof. H. Zaini Dahlan MA., Drs. H. Zuhad Abdurrahman, Ir. RHA Sahirul Alim, M.Si., Hifni Muchtar. L.Ph., MA., Drs. H. Muhadi Zainuddin, L.Th., Drs. H. Hasan Kharomen, dan Drs. H. Darwin Harsono. Diterbitkan oleh Badan Wakaf UII tahun 1995 sebanyak 10 jilid. Secara teknis tafsir ini merupakan revisi dan penyempurnaan dari Tafsir yang diterbitkan oleh Tim Departemen Agama RI. Anggota Tim Tafsir yang dibentuk oleh Departemen Agama RI adalah Prof. H. Bustami A Gani, Prof. TM Hasbi Ash Shiddieqy, Drs. Kamal Muchtar H. Gazali Thaib, KH. Syukri Ghozali, Prof. Dr. H. Mukti Ali, Prof. Dr. H. Mukhtar yahya, Prof. H.M. Toha Yahya Umar, KH. Amin Nashir, Prof.KH. Ibrahim Hussin, LML, H.A. Timur Jailani MA., Prof. KH. A. Musaddad, Prof. R. H.A. Soenarjo SH, KH Ali Maksum, Drs. M. Sanusi Latif, Drs. Busairi Majidi dan Drs. A. Rochim.[footnoteRef:4] [4: Moh.Ali Ash-Shabunei, Pengantar Ilmu-Ilmu Al-Quran ( Surabaya: Al-Ikhlas 1983 ) hal. 123.]

2) Karakteristik Al Quran dan TafsirnyaSebagaimana yang dijelaskan di atas, tafsir ini merupakan edisi revisi dari al Quran dan tafsirnya yang disusun oleh Tim Departemen Agama RI. Perbaikan dan penyempurnaan yang dilakukan oleh Tim Universitas Islam Indonesia Yogyakarta meliputi :a) Kesalahah penulisan teks/naskah ayat al Quran Penulisan Mushaf disesuaikan dengan Mushaf Usmani yang telah distandarkan berdasarkan SK Menteri Agama No 7 tahun 1984b) Kesalahan penterjemah/kekurangan ayat-ayat al Quranc) Kesalahan penulisan hadisd) Melengkapi setiap hadis dengan perawi masing-masing.e) Melengkapi tanda-tanda baca/wakaff) Menyempurnakan redaksi dan ejaan sesuai dengan ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakang) Menyempurnakan teknis percetakan/lay out dan tulisan Arabh) Menyesuaikan ejaan dengan SKB 2 Menteri tentang Transliterasi Arab-Latini) Penyempurnaan perwajahan al Quran dan Tafsirnyaj) Melengkapi daftar bacaan/bibliografi dan penyusunanya sesuai dengan tradisi keilmuanModel penyajian yang digunakan oleh tafsir ini yaitu di setiap surat dimulai dengan mukaddimah. Dalam mukaddimah diuraikan mengenai seluk beluk sekitar surat yang akan ditafsirkan. Dalam surat al Fatihah misalnya, secara rinci dan sistematis diuraikan nama-nama surat, tempat diturunkannya surat, serta jumlah ayatnya. Setelah itu dilanjutkan dengan uraian singkat mengenai pokok isi surat al Fatihah[footnoteRef:5] [5: Ibid, hal 755.]

Berkenaan dengan metode penyampaian tafsir, dalam Al Quran dan Tafsirnya, diberikan batasan untuk setiap terjemah, tafsir dan kesimpulan dengan judul khusus, sehingga memudahkan pembaca untuk memahaminya. Dalam tafsir ini juga diadakan pengelompokan ayat-ayat dalam satu surat dengan topik tertentu yang merupakan tema yang dikandung ayat-ayat yang akan ditafsirkan. Misalnya Pengetahuan Tentang Hari Kiamat untuk QS Fussilat : 47-48 dan Sikap Manusia dalam Menerima Rahmat dan Cobaan Allah Swt untuk QS Fussilat : 49-51 Hal ini akan memudahkan pembaca untuk menangkap tema ayat yang akan ditafsirkan. Islah Gusmian melihat bahwa metode ini merupakan salah satu usaha dari tim agar tujuan al Quran dapat dipahami dengan mudah oleh ummat Islam. Hal ini terbukti juga dari adanya pemberian kesimpulan secara konsisten di setiap akahir kelompok ayat yang dikaji.Tafsir ini ditulis oleh Moh. E Hasyim. Sejauh ini belum didapatkan data utuh dari Moh. E Hasyim, hanya saja penulis memperkirakan ia berasal dari daerah Jawa Barat. Hal ini dapat dilihat dari kata pengantar yang diberikan oleh KH Miftah Farid yang menyatakan bahwa Moh. E Hasyim sebelumnya pernah menyusun tafsir berbahasa Sunda Ayat Suci Lenyepaneun yang banyak dipakai oleh masyarakat muslim Jawa Barat.Buku ini merupakan tafsir lengkap 30 juz yang ditulis runtut sesuai dengan urutan dalam mushaf uthmani. Setiap volume disesuaikan dengan pembagian juz yang ada dalam mushaf sehingga buku tafsir ini berjumlah 30 jilid. Sebelum masuk pada kajian tafsir, Hasyim menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan makhraj, misalnya tentang makhraj spesifik Arab, juga huruf arab yang biasanya ditulis dengan a tetapi bersuara o dan lain sebagainyaModel penyaijiannya adalah yang digunakan oleh Hasyim dalam tafsir ini adalah pertama teks arab setiap ayat ditulis utuh satu ayat disertai dengan aksara latin dan terjemah Indonesia. Setelah itu setiap kata ditampilkan dalam bentuk penggalan kata. Setiap penggalan kata disertai aksara latin dan terjemah perkata. Setelah menyajikan dua model penyajian terjemah ini baru dipaparkan penjelasan tentang maksud ayat. a. Tafsir Al Misbah1) Biografi PenulisPenulis tafsir ini adalah M. Quraish Shihab. Ia lahir di Rappang Sulawesi Selatan tanggal 16 Pebruari 1944. Meraih gelar sarjana Fakultas ushuluddin tahun 1967, MA dari jurusan tafsir hadith tahun 1969 dan program doktoral tahun 1982. Semuanya ia dapatkan dari Universitas al Azhar Kairo Mesir. Pada tahun 1992-1998 Ia menjadi rektor IAIN (sekarang menjadi UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Tahun 1998 Ia diangkat menjadi menteri agama, dan duta besar RI di mesir. Pada tahun 1989 sekarang ia merupakan anggota dewan pentashih al Quran dan kini sebagai Direktur Pusat Studi al Quran (PSQ) Jakarta.2) Karakteristik Tafsir al Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al QuranSebelum menulis karya tafsir ini, Quraish Shihab sudah banyak menulis tafsir al Quran, namun kebanyakan merupakan tafsir tematis. Di antaranya adalah Membumikan al Quran, Lentera Hati, dan Wawasan al Quran. Shihab juga pernah menyusun tafsir tahlili dengan metode nuzuli yaitu membahasa ayat-ayat al-Quran sesuai dengan urutan masa turunnya surat-surat al-Quran dan sempat diterbitkan oleh Pustaka Hidayah pada tahun 1997 dengan judul Tafsir al-Quran al-Karim. Namun Quraish Shihab kemudian melihat bahwa karyanya tersebut kurang menarik minat masyarakat, karena pembahasannnya banyak bertele-tele dalam persoalan kosa kata dan kaidah yang disajikan. Oleh karena itu ia tidak melanjutkan. Kemudian ia menulis dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat yang ia beri nama Tafsir al Misbah Pesan Kesan dan Keserasian al Quran Dari pemberian judul tafsirnya ini dapat diterka perhatian yang ingin ditekankan oleh Qurasih Shihab dalam tafsirnya ini.Tafsir al Misbah diterbitkan pertama kali tahun 2000 oleh Lentera Hati Jakarta. Pembagian volume tafsir al Misbah didasarkan atas ketuntasan pembahasan surat-surat dalam al-Quran sehingga masing-masing volume mempunyai kuantitas yang berbeda, tergantung dari banyaknya surat yang dibahas dalam masing-masing volume. Tercatat sebanyak 15 volume dari tafsir al Misbah.[footnoteRef:6] [6: Said Aqil Husain Al-Munawar, Al-Quran Membangun Hati Keshalehan Hakiki ( Jakarta: Ciputat Pers, 2002 ), hal. 69.]

Sesuai dengan perhatian Shihab terhadap tafsir tematis, maka Tafsir al Misbah ini pun disusun dengan tetap berusaha menghidangkan setiap bahasan surat pada apa yang disebut dengan tujuan surat atau tema pokok surat. Hal ini dapat disaksikan misalnya ketika mencoba menafsirkan surat al Baqarah, Quraish Shihab menjelaskan bahwa tema pokok surat ni adalah ayat yang membicarakan tentang kisah al Baqarah yaitu kisah bani israil dengan seekor sapi. Melalui kisah al Baqarah ditemukan bukti kebenaran petunjuk Allah, meskipun pada mulanya tidak bisa dimengerti. Kisah ini juga mebuktikan kkekuasaan Allah. Karena iulah sebenarnya surat al-Baqarah berkisar pada betapa haq dan benarnya ktab suci al quran dan betapa wajar petunjuknya untuk diikuti.Dalam tafsirnya ini Quraish Shihab banyak mengambil inspirasi dari beberapa mufassir terdahulu, di antaranya adalah Ibrahim Ibn Umar al-Biqai Muhammad Tantawi pemimpin tinggi al Azhar, Mutawalli al-Sharawi, Sayyid Qutb, Muhammada Tahir b. Ashur, dan Muhammad Husayn Tabatabai[footnoteRef:7] [7: Said Aqil Husain Al-Munawar, Al-Quran Membangun Hati Keshalehan Hakiki ( Jakarta: Ciputat Pers, 2002 ), hal. 69.]

BAB IIIPENUTUPA. KesimpulanKajian tafsir di Indonesia sebetulnya mengalami kemajuan yang cukup pesat. Hanya saja sesuai kondisi sosio-historis bangsa Indonesia, maka metode penafsiran tidak terlepas dari metode terjemah dalam rangka memudahkan pemahaman ummat Islam di Indonesia. dengan kecenderungan penafsiran yang lebih mengarah pada metode penafsiran tematis, maka kajian tafsir yang berkembang lebih banyak pada tafsir tematis.

B. SaranSetelah memahami makalah ini, maka sebaiknya kita mempelajari sumber-sumber hukum Islam, dalil-dalil yang shahih yang menunjukkan kepada kita hukum Allah swt, apa syarat-syarat ijtihad, dan bagaimana metode berijtihad yang benar sesuai batasan-batasan syariat. Kemidian mengapllikasikannya dalam kehidupan kita sehari-hari.

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan atas rahmat yang diberikan Allah SWT sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah membantu penulis dalam membuat makalah ini dan teman-teman yang telah memberi motivasi dan dorongan serta semua pihak yang berkaitan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan baik dan tepat pada waktunya.Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak demi perbaikan makalah ini dimasa yang akan datang.

Bengkulu, November 2015

Penyusun

iDAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL KATA PENGANTARiDAFATR ISIiiBAB I PENDAHULUAN1. Latar Belakang11. Rumusan Masalah11. Tujuan1

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Al-Quran di Indonesia41. Corak, Karakteristik, Metode dan KaryaTafsir Al-Quran di Indonesia Tahun 1960 20085

BAB III PENUTUP1. Kesimpulan201. Kritik dan Saran 20

DAFTAR PUSTAKA iii

iiMAKALAHSTUDI AL-QURANKajian Al-quran di Indonesia

Disusun Oleh : Mustani 215 302 0725

Dosen pembimbing :Prof. Dr. H. Rohimin, M. Ag

PENDIDIKAN AGAMA ISLAMPASCASARJANA (S2)INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI(IAIN) BENGKULU2015DAFTAR PUSTAKA

Ahmad as-Shouwy, M. Mustofa Al-Azami, Deliar Noer, Ahmad Baiquni, Jakarta: Mukjizat Al-Quran dan Sunah Tentang IPTEK, Gema Insani Press, 1995 Ahmad as-Shouwy, M. Mustofa Al-Azami, Deliar Noer, Ahmad Baiquni, Jakarta: Mukjizat Al-Quran dan Sunah Tentang IPTEK, Gema Insani Press, 1995 Amin Abdullah, Islamic Studeis di Perguruan Tinggi Pendekatan Interaktif Interkonektif, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006 ).Howard . M. Federspiel, Popular Indonesian Literature Of The Quran ( Cornell Univercity Ithaca : Cornell Modern Indonesia Project, 1994 ), M.Dahlan.Y. Al-Barry, L. Lya Sofyan Yakub, Kamus Induk Istilah Ilmiah: ( Surabaya, Target Pres 2003 )[1] Moh. Ali Ash-Shabunie, Pengantar Ilmu-Ilmu al-Quran ( Surabaya,AlIkhlas,1983 ), Moh.Ali Ash-Shabunei, Pengantar Ilmu-Ilmu Al-Quran ( Surabaya: Al-Ikhlas 1983 Moh.Ali Ash-Shabunei, Pengantar Ilmu-Ilmu Al-Quran ( Surabaya: Al-Ikhlas 1983 ) __________. Lentera Hati Kisah dan Hikmah Kehidupan. Bandung: Mizan, 1994.__________. Logika Agama (Jakarta: Lentera hati 2005__________. Perkembangan Tafsir al Quran di Indonesia. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003__________. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999.__________. Tafsir al Misbah : Pesan Kesan dan Keserasian al Quran vol.I Jakarta : Lentera Hati, 2002__________. Wawasan al-Quran. Bandung: Mizan, 1996Arifin, Bey. Samudra al Fatihah. Surabaya: Arini, 1972.Baidan, Nashruddin. Tafsir bi Al-Rayi: Upaya Penggalian Konsep Wanita dalam Al Quran. Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999Disertasi Ilmiah 4 : Tafsir al Bayan oleh Prof. Dr. TM Hasbi Ash shiddieqy , http://disertasi.blogspot.com. 28 Juni 2007Dr, Phil. Sahiron Syamsuddin, ( Yogyakarta, elSAQ Press, 2010 ), Essack, Farid. Quranic Hermeneutics, Problems and Prospect The Muslim Word, LXXXIII, 2 April, 1993Federspiel, Howard M.. Kajian Tafsir Indonesia ter. Drs. Tajul Arifin. Bandung; Mizan, 1996.Gusmian, Islah. Khazahan Tafsir Indonesia dari Hermenutika hingga Ideologi. Jakarta: Teraju, 2003Haji Abdul Malik Karim Amrullah, id.wikipedia.orgHAMKA, Tafsir Al-Azhar juz 1. Jakarta: PT Pembimbing Masa, 1967.Jalal, Abd. Tafsir al-Maraghi dan Tafsir al-Nur Sebuah Studi Perbandingan, Disertasi: IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1985Masud, Muhamad. Subhanallah: Quantum Bilangan-bilangan al-Quran. Yogyaarta: Diva Press, 2008.Purba, Radiks. Memahami Surat Yasin. Jakarta: Golden Terayon Press, 1998Rafiudin dan Rifai, Edham. Tafsir Juz Amma Disertai Asbabun Nuzul. Jakarta: Pustaka Dwi Par, 2000.Raharjo, M. Dawam. Ensiklopedi al Quran. Jakarta: Paramadina, 1996.Rakhmat, Jalaluddin. Tafsir bil Matsur Pesan Moral al Quran. Bandung : Rosdakarya, 1993.Said Aqil Husain Al-Munawar, Al-Quran Membangun Hati Keshalehan Hakiki ( Jakarta: Ciputat Pers, 2002 ), hal. 69.Shiddieqy , Hasbi Ash. Tafsir al Bayan Vol I. Bandung: PT Al Amarif, ttShihab, M. Quraish. Membumikan al Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1992Subhan, Zaitunah. Tafsir Kebencian: Studi Bias Jender dalam Tafsir. Yogyakarta: LKiS, 1999.Tafsir al Azhar, http//disertasi.blogspot.com.Tim Badan Wakaf UII., Al Quran dan Tafsirnya. Yogyakarta: UII, 1995.Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Jender, Perspektif Al Quran. Jakarta: Paramadina, 1999.Yusuf, M. Yunan. Corak Pemikiran Kalam Tafsir al Azhar. Jakarta : Pustaka Panji Mas, 1990

iii