jurnal kajian puisi indonesia

22
SINDIRAN SEBAGAI PENEGAS KRITIK SOSIAL TERHADAP KEBOBROKAN MORAL: Tinjauan Semiotik dan Stilistik terhadap Antologi Puisi Sosial 51 Penyair Pilihan, Bangga Aku Jadi Rakyat Indonesia oleh: Desi Sri Cahyani Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap aspek semiotik dan stilistik Antologi Puisi Sosial 51 Penyair Pilihan, Aku Bangga Jadi Rakyat Indonesia. Proses pengkajian puisi ini menggunakan pendekatan stilistika dan semiotika. Pada penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif, yaitu mendeskripsikan dan menganalisis puisi menggunakan pendekatan semiotika dan stilistika. Pada puisi-puisi Soni Farid Maulana dalam Antologi Puisi Sosial 51 Penyair pilihan, Bangga Aku Jadi Rakyat Indonesia secara semiotik didominasi oleh tema-tema tentang kritik sosial terhadap kondisi sosial yang terjadi pada suatu masyarakat. Kritik sosial yang dimunculkan lewat penggambaran diri si “aku” dengan kondisi sosialnya. Dalam aspek stilistika terdapat beberapa penggunaan diksi-diksi yang menarik dan majas ironi serta majas hiperbol sangat dominan. Kritik sosial terhadap kebobrokan moral yang terjadi di masyarakat sangat tergambar jelas melalui penggambaran yang sederhana. Kata Kunci: puisi, semiotika, stilistika, kritik sosial, kebobrokan moral PENDAHULUAN Bahasa merupakan medium utama dari karya sastra. Bahasa sebagai ujaran yang dihasilkan dari alat ucap manusia mengandung suatu kekuatan tanda di dalamnya. Kekuatan tanda itu muncul dari hubungan tanda dengan tanda (sintaksis), hubungan tanda dengan maknanya 1

Upload: desy-sri-cahyani

Post on 29-Jun-2015

598 views

Category:

Education


49 download

TRANSCRIPT

Page 1: Jurnal Kajian Puisi Indonesia

SINDIRAN SEBAGAI PENEGAS KRITIK SOSIAL TERHADAP KEBOBROKAN MORAL:

Tinjauan Semiotik dan Stilistik terhadap Antologi Puisi Sosial 51 Penyair Pilihan, Bangga Aku Jadi Rakyat Indonesia

oleh:Desi Sri Cahyani

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap aspek semiotik dan stilistik Antologi Puisi Sosial 51 Penyair Pilihan, Aku Bangga Jadi Rakyat Indonesia. Proses pengkajian puisi ini menggunakan pendekatan stilistika dan semiotika. Pada penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif, yaitu mendeskripsikan dan menganalisis puisi menggunakan pendekatan semiotika dan stilistika. Pada puisi-puisi Soni Farid Maulana dalam Antologi Puisi Sosial 51 Penyair pilihan, Bangga Aku Jadi Rakyat Indonesia secara semiotik didominasi oleh tema-tema tentang kritik sosial terhadap kondisi sosial yang terjadi pada suatu masyarakat. Kritik sosial yang dimunculkan lewat penggambaran diri si “aku” dengan kondisi sosialnya. Dalam aspek stilistika terdapat beberapa penggunaan diksi-diksi yang menarik dan majas ironi serta majas hiperbol sangat dominan. Kritik sosial terhadap kebobrokan moral yang terjadi di masyarakat sangat tergambar jelas melalui penggambaran yang sederhana.

Kata Kunci: puisi, semiotika, stilistika, kritik sosial, kebobrokan moral

PENDAHULUANBahasa merupakan medium utama dari karya sastra. Bahasa sebagai ujaran

yang dihasilkan dari alat ucap manusia mengandung suatu kekuatan tanda di dalamnya. Kekuatan tanda itu muncul dari hubungan tanda dengan tanda (sintaksis), hubungan tanda dengan maknanya (semantik), dan hubungan tanda dengan pengguna (pragmatik).

Begitu juga dengan puisi yang menggunakan medium bahasa sebagai alat penyampaiannya. Puisi merupakan salah satu genre sastra yang memiliki tingkat kepekatan yang tinggi dalam penggunaan tanda karena hakekat puisi adalah ekspresi tidak langsung. Hakikat ini terkait dengan penyampaian suatu hal melalui atau dengan sesuatu hal yang lain. Kehadiran puisi tidak terlepas dari makna simbol-simbol (kata-kata) yang terkandung dalam puisi tersebut serta hubungannya dengan hal-hal atau kejadian-kejadian di luar sastra. Oleh karena itu, puisi perlu ditinjau dari segi hermeneutik atau keterkaitkan antara simbol-simbol yang terkandung dalam sebuah karya sastra dengan hal-hal yang ada di luar sastra.

Berawal dari pernyataan-pernyataan di atas, Antologi Puisi Sosial 51 Penyair Pilihan, Bangga Aku Jadi Rakyat Indonesia yang merupakan kumpulan puisi dari 51 penyair ini menggambarkan kehidupan masyarakat yang dirangkai dalam kata-kata berbentuk puisi. Yang menarik untuk dikaji antologi puisi ini

1

Page 2: Jurnal Kajian Puisi Indonesia

memiliki tema-tema yang hampir sama yaitu tentang kondisi sosial suatu masyarakat.

Dari pemaparan tersebut, ada dua permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Yang pertama adalah menganalisis dari aspek semiotik dan yang kedua dari aspek stilistik pada puisi-puisi karya Soni Farid Maulana dalam Antologi Puisi Sosial 51 Penyair Pilihan, Bangga Aku Jadi Rakyat Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengupas aspek-aspek semiotik dan stilistik yang terdapat dalam Antologi Puisi ini.

KAJIAN TEORIA. Hakikat Puisi

Puisi pada hakikatnya adalah suatu pernyataan perasaan dan pandangan hidup seorang penyair yang memandang satu peristiwa alam dengan ketajaman perasaannya. Perasaan yang tajam inilah yang menggetar rasa hatinya, yang menimbulkan semacam gerak dalam daya rasanya. Lalu ketajaman tanggapan ini berpadu dengan sikap hidupnya mengalir melalui bahasa, menjadilah ia sebuah puisi, satu pengucapan seorang penyair.

Hingga saat ini, tidak ada definisi yang baku mengenai apa itu puisi. Banyak ahli-ahli sastra yang memberikan definisi puisi.Namun, seperti yang dikemukakan oleh Shahnon Ahmad (dalam Pradopo.2010:7) bahwa bila unsur-unsur dari pendapat-pendapat itu dipadukan, maka akan didapat garis-garis besar tentang pengertian puisi yang sebenarnya. Unsur-unsur tersebut dapat berupa: emosi, imajinasi, pemikiran, ide, nada, irama, kesan pancaindera, susunan kata, kata-kata kiasan, kepadatan, dan perasaaan yang bercampur-baur. Sehingga dapat disimpulkan ada tiga unsur yang pokok. Pertama, hal yang meliputi pemikiran, ide, atau emosi; kedua, bentuknya; dan ketiga ialah kesannya.

Hakikat puisi ialah apa yang menyebabkan puisi itu disebut puisi.  Puisi merupakan karya seni  (mengandung unsur estetik) yang unsur seni dominannya mengandalkan keindahan kata, gaya bunyi, gaya kata, gaya kalimat, wacana dan tipografinya.  Kepuitisan dapat dicapai dengan bermacam-macam cara, misalnya dengan bentuk visual: tipografi, susunan bait; dengan bunyi: persajakan, asonansi, aliterasi, kiasan bunyi, lambang rasa, dan orkestrasi; dengan pemilihan kata (diksi), bahasa kiasan, sarana retorika, unsur-unsur ketatabahasaan, gaya bahasa dan sebagainya. Dalam mencapai kepuitisan itu penyair menggunakan banyak cara sekaligus secara bersamaan untuk mendapatkan jaringan efek puitis yang sebanyak-banyaknya, yang lebih besar daripada pengaruh beberapa komponen secara terpisah penggunaannya.  Antara unsur pernyataan (ekspresi), sarana kepuitisan, yang satu dengan yang lainnya saling membantu, saling memperkuat dengan kesejajarannya ataupun pertentangannya, semuanya itu untuk mendapatkan kepuitisan yang seefektif mungkin, seintensif mungkin (Pradopo. 2010: 13).

Ada tiga aspek yang perlu diperhatikan untuk mengerti hakikat puisi, antara lain :1.      Fungsi Estetik

Dalam sebuah karya sastra khususnya puisi, fungsi estetiknya dominan dan di dalamnya ada unsur-unsur estetik.  Unsur-unsur keindahan ini merupakan

2

Page 3: Jurnal Kajian Puisi Indonesia

unsur-unsur kepuitisan, misalnya persajakan, diksi (pilihan kata), irama dan gaya bahasa. Gaya bahasa meliputi semua penggunaan bahasa secara khusus untuk mendapatkan efek tertentu, yaitu efek estetika atau aspek kepuitisannya.  Jenis-jenis gaya bahasa itu meliputi semua aspek bahasa, yaitu bunyi, kata, kalimat dan wacana yang dipergunakan secara khusus untuk mendapatkan efek tertentu itu (Pradopo. 2010: 315).2.      Kepadatan

Karya sastra berupa puisi menjadi berbeda dengan karya sastra lain seperti prosa dan drama karena terdapat aktivitas pemadatan.  Puisi merupakan ekspresi esensi, tidak semua peristiwa diceritakan panjang lebar oleh penyairnya.  Hanya inti masalah, peristiwa atau inti cerita dan esensi yang dikemukakan dalam puisi.  3.      Ekspresi Tidak Langsung

Ekspresi tidak langsung dapat berupa kiasan. Riffaterre (dalam Pradopo. 2010: 318) mengemukakan bahwa sepanjang waktu, dari waktu ke waktu, puisi itu selalu berubah.  Perubahan ini disebabkan oleh evolusi selera dan perubahan konsep estetik.  Akan tetapi, satu hal yang tidak berubah, yaitu puisi itu mengucapkan sesuatu secara tidak langsung.  Ucapan tidak langsung ialah menyatakan suatu hal dengan arti lain.  Ketidaklangsungan ekspresi ini disebabkan oleh tiga hal yaitu (1) penggantian arti (displacing of meaning), (2) penyimpangan atau pemencongan arti (distorting of meaning), dan (3) penciptaan arti (creating of meaning).

B. Kajian SemiotikaPeirce merupakan seorang ahli filsafat atau logika. Istilah semiotika dia

munculkan sebagai padanan kata untuk logika. Menurut Peirce logika mempelajari cara bernalar dan sesuai dengan hipotesisnya, penalaran dilakukan melalui tanda-tanda.

Semiotika merupakan suatu cabang ilmu yang mempelajari tanda. Peirce mengklasifikasikan tanda menjadi beberapa kategori yang berdasar pada beberapa hal. Klasifikasi yang dimunculkan oleh Peirce dikenal dengan konsep triadiknya. Klasifikasi trikotomi yang pertama, Peirce membagi tanda berdasarkan representamen (tanda itu sendiri) menjadi qualisign, sinsign, dan legisign (Noth dalam Nugroho). Qualisign adalah suatu kualitas yang merupakan tanda, walaupun pada dasarnya ia belum dapat menjadi tanda sebelum mewujud. Sinsign adalah suatu hal yang ada (exist) secara aktual yang berupa tanda tunggal. Legisign adalah suatu hukum (law), seperangkat kaidah atau prinsip yang merupakan tanda; setiap tanda konvensional kebahasaan (Budiman dalam Nugroho).

Trikotomi yang kedua didasarkan pada hubungan tanda dengan objeknya. “This tricotomy classifies signs with respect to the relation between the representamen and object” (Noth dalam Nugroho). Pada klasifikasi ini, terdapat ikon, indeks, dan simbol. Ikon hubungan karena keserupaan, indeks berdasarkan hubungan sebab akibat, dan simbol hubungan berdasarkan kesepakatan (Ratna dalam Nugroho).

Lebih lanjut, ikon dibagi lagi menjadi beberapa macam yaitu citra, diagram, dan metafora. Citra atau imaji adalah tanda yang secara langsung bersifat ikonis,

3

Page 4: Jurnal Kajian Puisi Indonesia

yang menampilkan kualitas-kualitas simpel seperti dapat dilihat pada gambar dan karya seni rupa pada umumnya. Macam ikon yang kedua adalah diagram. Diagram adalah ikon yang menampilkan relasi-relasi, terutama relasi diadik atau yang kurang lebih demikian, di antara bagian-bagiannya sendiri. Jenis ikon yang ketiga adalah metafora. Jenis ini merupakan suatu meta-tanda (metasign) yang ikonisitasnya berdasarkan pada kemiripan atau similaritas di antara objek-objek dari dua tanda simbolis (Budiman dalam Nugroho).

Menurut Zaimar (1991), analisis semiotika terhadap karya sastra sebaiknya dimulai dengan analisis bahasa dan menggunakan langkah-langkah seperti dalam tataran linguistik wacana. Pertama, menganalisis aspek sintaksis. Kedua, menganalisis aspek semantik. Ketiga, menganalisis aspek pragmatik.

Analisis aspek sintaksis mengungkapkan hubungan tanda yang satu dengan tanda yang lain dalam satu karya tersebut. Analisis sintaksis ini lebih mengarah kepada bentuk-bentuk kata yang digunakan. Selain itu dapat juga diarahkan pada kedudukan dan fungsi dari kata atau frasa tersebut dalam suatu ujaran (kalimat). Analisis aspek ini akan menghasilkan suatu pemahaman terhadap kedudukan suatu tanda di antara tanda-tanda yang lain dengan mengetahui fungsi masing-masing tanda tersebut.

Dalam menganalisis aspek semantik, hal pertama yang harus dilakukan adalah analisis komponen makna kata yang terdapat dalam puisi. Lalu, analisis dilanjutkan dengan penemuan isotopi hingga motif pun akan diketahui, bahkan tema pun kemungkinan besar dapat ditemukan.

Analisis pragmatik lebih mengungkapkan siapa tokoh utama dalam puisi ini dan siapa lawan bicaranya, lalu timbul ujaran-ujaran yang diungkapkan pada puisi ini. Seperti ujaran pertanyaan atau ujaran yang menunjukkan siapa tokoh utama dan siapa atau apa lawan bicara dari tokoh utama.

C. Kajian StilistikaMenurut Abrams stilistika kesastraan merupakan sebuah metode analisis

karya sastra yang mengkaji berbagai bentuk dan tanda-tanda kebahasaan yang digunakan seperti yang terlihat pada struktur lahirnya. Metode analisis ini menjadi penting, karena dapat memberikan informasi tentang karakteristik khusus sebuah karya sastra. Bahkan, menurut Wellek dan Warren, ia dapat memberikan manfaat yang besar bagi studi sastra jika dapat menentukan prinsip yang mendasari kesatuan karya sastra dan jika dapat menemukan suatu tujuan estetika umum yang menonjol dalam sebuah karya sastra dari keseluruhan unsurnya.

Pada awalnya, langkah pertama dalam menganalisis stilistika adalah mengamati devasi-deviasi seperti pengulangan bunyi inversi susunan kata, susunan hierarki klausa, yang semuanya mempunyai fungsi estetis seperti penekanan, atau membuat kejelasan atau justru kebalikannya: usaha estetis untuk mengaburkan dan membuat makna menjadi tidak jelas

Keraf (2009 : 113) menyatakan bahwa gaya bahasa dapat dibatasi sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakain bahasa). Pernyataan tersebut secara khusus mengarah pada kekhasan yang dimiliki oleh setiap penulis dalam penggunaan bahasa dalam komunikasi yang dilakukan. Memang benar apa yang

4

Page 5: Jurnal Kajian Puisi Indonesia

diungkapkan Keraf, pada akhirnya, penggunaan bahasa dengan kekhususan tertentu dapat mengantarkan seorang pemakain bahasa mencapai kekhasan bahasa yang dimilikinya. Hal tersebut tentunya dengan suatu intensitas dan konsistensi yang menyertainya. Sehingga tidak sedikit orang yang mampu menunjukkan gaya bahasa yang khas yang berbeda dari bahasa yang digunakan orang pada umumnya.

METODE PENELITIANPendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan objektif.

Pendekatan objektif merupakan pendekatan yang sangat mengutamakan penyelidikan karya sastra berdasarkan kenyataan teks sastra itu sendiri. Hal-hal yang diluar karya sastra walaupun masih ada hubungan dengan sastra dianggap tidak perlu untuk dijadikan pertimbangan dalam menganalisis. Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif dengan teknik pengolahan data analisis deksriptif. Metode penelitian sastra yang digunakan adalah metode deskriptif analisis. Metode penelitian deskriptif analisis merupakan metode yang dilakukan dengan cara mendeskrisikan fakta-fakta, setelah itu disusul dengan melakukan analisis.

Di dalam metode ini peneliti tidak hanya menguraikan, namun ia juga bisa memberikan pemahaman dan penjelasan. Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: 1) menentukan teks yang dipakai sebagai objek penelitian, yaitu Antologi Puisi Sosial 51 Penyair Pilihan, Bangga Aku Jadi Rakyat Indonesia; 2) menentukan fokus penelitian, yakni menelaah aspek stilistika dan semiotika; 3) menganalisis objek penelitian; dan 4) menyusun dan membuat laporan penelitian. Langkah-langkah analisis melalui pengkajian gaya bahasa (stilistika) dan pemaknaan terhadap tanda (semiotika) yang ada dalam karya. Analisis yang dilakukan akan melewati tiga tahap yaitu analisis aspek sintaksis, analisis aspek semantik dan aspek pragmatik.

DESKRIPSI DATAData yang menjadi objek penelitian ini adalah puisi-puisi pada Antologi

Puisi Sosial 51 Penyair Pilihan, Bangga Aku Jadi Rakyat Indonesia. Dalam antologi puisi ini terdapat 51 penyair dan terdapat tiga sampai empat buah puisi dari tiap penyairnya. Puisi-puisi tersebut dikumpulkan berdasarkan tema-tema yang sama. Pada penelitian ini, penulis akan menganalisis tiga puisi Soni Farid Maulana yaitu Stasiun Kota Praja, Air Mata, dan Tulang Belakang.

HASIL PENELITIANPada hasil penelitian ini penulis akan memaparkan sampel-sampel analisis

puisi melalui pendekatan semiotik dan stilistika. Pada tahap ini penulis akan memaparkan tiga buah puisi karya Soni Farid Maulana yang akan dianalisis yaitu; “Stasiun Kota Praja”, “Air Mata”, dan “Tulang Belakang”. Berikut ini adalah pemaparannya.

5

Page 6: Jurnal Kajian Puisi Indonesia

1. Puisi “Stasiun Kota Praja”a. Deskripsi Data

Stasiun Kota Praja

Apa yang kau ingin dengan tatap matamu setajammata belati mengincar isi dompetku? Sungguh tak ada uangselain bon utang, alamat lama, kawan masa silam

Sekali lagi apa yang kau ingin dengan tatap matamu itu?Sungguh, aku tak akan lengah dengan dompetku, walautanganmu segarang maut menyabit nyawaku di situ

2010

b. Analisis SemiotikBerdasarkan langkah-langkah pengkajian semiotik yang sudah

dipaparkan di dalam kajian teori, dalam mengkaji puisi di atas menggunakan beberapa aspek yaitu berdasarkan aspek sintaksis, aspek semantik, dan aspek pragmatik. Secara sintaksis, puisi di atas tersusun atas rangkaian kata-kata dengan berbagai kategorinya. Puisi tersebut dapat dibagi ke dalam satuan sintaksis yang lebih kecil untuk mempermudah pemahaman. Satuan-satuan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut : /Apa yang kau ingin dengan tatap matamu setajam mata belati mengincar isi dompetku?/, /Sungguh tak ada uang, selain bon utang, alamat lama, kawan masa silam/, /Sekali lagi apa yang kau ingin dengan tatap matamu itu?/, /Sungguh, aku tak akan lengah dengan dompetku. walau tanganmu segarang maut menyabit nyawaku di situ/.

Secara sintaksis puisi “Stasiun Kota Praja” memiliki dua bait yang setiap baitnya terdiri atas dua kalimat. Kalimat pertama pada kedua bait merupakan kalimat tanya. Kalimat tanya atau sering disebut kalimat interogatif adalah kalimat yang isinya menanyakan sesuatu atau seseorang (Damaianti. 2006: 106). Dalam kalimat pertama kedua bait puisi ini, ditandai dengan kata tanya apa yang digunakan untuk menanyakan sesuatu. Perasaan merasa diawasi dan kecurigaan si aku dalam puisi tersebut tergambar jelas dalam kalimat pertama dan ketiga berikut ini : / Apa yang kau ingin dengan tatap matamu setajam mata belati mengincar isi dompetku?/,/ Sekali lagi apa yang kau ingin dengan tatap matamu itu?. Pada kalimat kedua dalam bait pertama berikut ini: /Sungguh tak ada uang, selain bon utang, alamat lama, kawan masa silam/, terlihat kepolosan si aku dengan pengakuannya bahwa dia tidak memiliki sesuatu yang berharga. Namun, si aku bukanlah seorang yang penakut dan menyerah begitu saja dengan bahaya yang mungkin akan dihadapi. Kewaspadaannya tergambar jelas dalam kalimat keempat, /Sungguh, aku tak akan lengah dengan dompetku. walau tanganmu segarang maut menyabit nyawaku di situ/

Dikaji secara semantik, ada beberapa isotopi dalam puisi tersebut. Ada isotopi tempat, kecurigaan, keluguan, kewaspadaan, kekejaman dan kejahatan. Dari isotopi-isotopi tersebut dapat ditarik sebuah makna secara

6

Page 7: Jurnal Kajian Puisi Indonesia

garis besar bahwa puisi ini mengisahkan sebuah kecurigaan yang dirasakan oleh si aku yang merasakan diawasi. Penggambaran suasana dalam puisi tersebut digambarkan secara gamblang. Kejahatan yang merajalela akibat dari kebobrokan moral sehingga kita harus selalu waspada dimana pun kita berada.

Secara pragmatik berdasarkan tanda dan penanda yang muncul, puisi ini menceritakan sebuah suasana di Stasiun Kota Praja. Bukan hanya suasana kesibukan orang-orang yang akan melakukan perjalanan, namun terdapat kesibukan sekelompok orang yang melakukan kesempatan dalam kesempitan. Kehidupan yang serba sulit ini, lengah sedikit saja kita di tempat umum sudah habislah semua barang berharga kita. Pembaca puisi ini diharapkan masuk ke dalam sebuah suasana tersebut, lewat penggambaran yang menegangkan diharapkan pembaca dapat masuk merasakan apa yang dirasakan si aku.

c. Analisis StilistikKajian stilistik tidak hanya sekedar melihat gaya bahasa dalam arti

sempit yaitu bahasa figuratif atau majas. Namun dapat melangkah pada satuan-satuan bahasa yang lebih detail. Analisis stilistik pada puisi ini, terdapat majas hiperbol pada larik berikut: /Apa yang kau ingin dengan tatap matamu setajam mata belati mengincar isi dompetku?/ dan /walau tanganmu segarang maut menyabit nyawaku di situ/. Majas hiperbol yang dihadirkan memang berfungsi untuk lebih menguatkan suasana tegang karena kecurigaan si aku pada seseorang yang sedang mengamatinya. Larik ini, /walau tanganmu segarang maut menyabit nyawaku di situ/ dapat dikategorikan pula mengadung majas persamaan atau simile. Diksi tanganmu diumpamakan seperti segarang maut menyabit nyawaku di situ. Lebih menguatkan bahwa seseorang yang mengamati si aku benar-benar orang yang kejam. Puisi ini menggunakan gaya bahasa yang dapat dipahami karena langsung menjelaskan secara gamblang situasi suatu tempat yang terjadi melalui penggambaran suasana yang dirasakan tokoh aku.

2. Puisi “Air Mata”a. Deskripsi Data

Air Mata

Demi hukum dan HAM kau bela para koruptorhingga titik darah penghabisan. Hmm, sungguhkah?Tidak, tidak demi semua itu. Tapi demi segepok uang,Demi asap dapurmu dan demi gizi anak-bini tuamu

Juga demi mobil barumu dan villa bini mudamu. Nun di sebuah ranjang rumah sakit di jantung metropolitansiapa yang menunggumu dengan empat sayap putihtumbuh indah di pundaknya? Kau masih teler

2010

7

Page 8: Jurnal Kajian Puisi Indonesia

b. Analisis SemiotikPuisi di atas mengisahkan seorang penyair kesal atas ketidakadilan

yang sering dilakukan dan kepentingan pribadi yang selalu diutamakan oleh para pelaku hukum. Puisi ini bila dilihat dari judulnya “Air Mata” menjadi sebuah ungkapan kekecewaan pada kondisi yang terjadi.

Bila dianalisis secara sintaksis, pada kalimat pertama penyair mengatakan: /Demi hukum dan HAM kau bela para koruptor hingga titik darah penghabisan/, menunjukkan penggambaran peran tokoh si “kau”. Namun terdapat keraguan yang dirasakan penyair sehingga muncul kalimat, “Hmm, sungguhkah?”. Akhirnya pernyataan pertama yang menggambarkan peran si “kau” dibantah pada keterangan kalimat berikutnya, “Tidak, tidak demi semua itu. Tapi demi segepok uang, demi asap dapurmu dan demi gizi anak-bini tuamu. Juga demi mobil barumu dan villa bini mudamu”. Pada kalimat terakhir: “Nun di sebuah ranjang rumah sakit di jantung metropolitan siapa yang menunggumu dengan empat sayap putih tumbuh indah di pundaknya? Kau masih teler, menjelaskan kondisi ketika si “aku” terlena dengan keserakahannya sampai melupakan kuasa Yang Maha Kuasa. Kuasa yang suatu saat akan mencabut segala yang dia punya termasuk nyawanya.

Bila dikaji secara semantik, ada beberapa hal yang menjadi menarik untuk dibahas. Ada beberapa pilihan kata seperti kata yang dijadikan judul puisi ini “Air Mata”, air mata disini bukan hanya bermakna air yang keluar dari mata tetapi memiliki makna jauh lebih dari itu. Air mata dapat bermakna sebuah kekecewaan, kekesalan atau kesedihan. Dalam puisi ini jelas air mata yang dimaksud adalah sebuah kekesalan terhadap pelaku yang seharusnya bisa mengayomi masyarakat namun malah mencurangi dengan segala keserakahannya.

Dalam puisi tersebut terdapat beberapa isotopi yaitu isotopi perjuangan, keraguan, penolakan, kemanusiaan, keserakahan, dan ancamana. Jadi secara umum dapat ditarik makna bahwa keserakahan dapat menimbulkan suatu tindakan yang bertentangan dengan yang seharusnya diperbuat dan menghalalkan segala cara demi meraih keuntungan pribadi tanpa memikirkan akibat dari perbuatannya.

Secara pragmatik, puisi ini menjelaskan kekesalan dari penyair terhadap prilaku para pelaku hukum. Ketidakadilan yang sering dilakukan dan kepentingan pribadi yang selalu diutamakan oleh para pelaku hukum. Pembaca puisi ini diharapkan terbuka pikirannya, betapa pentingnya kita menjalankan suatu kewajiban dengan benar. Selalu ingat sang Maha Penguasa selalu mengawasi kita dan kematian pasti akan datang. Sehingga jangan terlalu terlena dengan keserakahan yang dapat membuat kita lupa pada Maha Kuasa.

c. Analisis StilistikGaya bahasa dalam puisi ini sangat sederhana sehingga mudah untuk

dipahami. Terdapat majas hiperbol pada larik pertama, /Demi hukum dan HAM kau bela para koruptor hingga titik darah penghabisan/, majas hiperbol pada larik ini bertujuan untuk melebih-lebihkan sesuatu yang

8

Page 9: Jurnal Kajian Puisi Indonesia

dikerjakan oleh si “kau” namun akhirnya ini menjadi sebuah sindiran atau disebut dengan majas ironi. Karena di kalimat berikutnya digambarkan keserakan yang dilakukan si “kau”. Selain itu di larik terakhir: “Nun di sebuah ranjang rumah sakit di jantung metropolitan siapa yang menunggumu dengan empat sayap putih tumbuh indah di pundaknya?/ . terdapat diksi empat sayap putih tumbuh indah di pundaknya yang menggantikan sebagai sebutan kepada malaikat khususnya malaikat pencabut nyawa karena larik sebelumnya mengatakan: Nun di sebuah ranjang rumah sakit di jantung metropolitan siapa yang menunggumu.

3. Puisi “Tulang Belakang”a. Deskripsi Data

Tulang Belakang

Puisi adalah indah matamu di sisiku.Tidak, ia adalah luka bakarDalam hati si miskin,Gelombang banjir, lautan sampah, lakon edan orang berduitdi gedung-gedung pemerintahan,para penegak hukum mati kutu karenanya,Tidak, ia adalah kau yang merasa cerdas,padahal kau tak berguna bagi siapa pun,selain parasit, semacam lintah,atau buaya darat, ah malahserupa iblis keparat. Tidak,ia adalah mulut kerasmumengutuki berbagai proyek kesenian, yang dengan itukau berdiri dalam barisan paling depan,mengajukan proposal temu kreatif para demit:demi perbaikan gizi anak-binimu. Hhhhmmmmm, Puisi bukan semua itu, ia adalah nyeri kematian,yang sejak lahir mengincar kita dari arahtulang belakang. Dan kau, cintaku,di sisiku, mendaras ayat kursi.

2011

b. Analisis SemiotikDalam puisi di atas Soni Farid Maulana ingin mengungkapkan makna

dari sebuah kata puisi. Di awal larik penyair mengatakan: /Puisi adalah indah matamu di sisiku/. Namun di larik berikutnya terdapat pertengkaran batin si penyair, sehingga puisi tersebut membentuk suatu monolog. Secara sintaksis, larik kedua sampai larik terakhir merupakan keterangan dari subjek. Kata puisi yang menjadi subjek mengalami pelesapan sehingga menggunakan kata ganti ia. Pertama, batinnya mengatakan: /Tidak, ia adalah luka bakar dalam hati si miskin/, /gelombang banjir/, /lautan sampah/, /lakon edan orang berduit di gedung-gedung pemerintahan/, /para penegak hukum mati kutu karenanya/. Keterangan subjek lebih mengarah

9

Page 10: Jurnal Kajian Puisi Indonesia

pada kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh keserakahan manusia. Kedua, batinnya mengatakan: /Tidak, ia adalah kau yang merasa cerdas, padahal kau tak berguna bagi siapa pun, selain parasit, semacam lintah, atau buaya darat, ah malah serupa iblis keparat/. Keterangan subjek mengarah pada keterangan sifat manusia yang sombong dan licik. Ketiga, batinnya mengatakan: / Tidak, ia adalah mulut kerasmu mengutuki berbagai proyek kesenian, yang dengan itu kau berdiri dalam barisan paling depan, mengajukan proposal temu kreatif para demit: demi perbaikan gizi anak-binimu/. Keterangan subjek mengarah pada kelicikan seorang yang serakah demi kepentingannya pribadi. Di akhir larik penyair mengatakan penolakan terhadap pendapat-pendapat batinnya, /Puisi bukan semua itu, ia adalah nyeri kematian, yang sejak lahir mengincar kita dari arah tulang belakang. Dan kau, cintaku, di sisiku, mendaras ayat kursi/.

Bila dikaji secara semantik, larik /puisi adalah indah di matamu/ ingin menggambarkan bahwa puisi itu merupakan sesuatu yang indah. Namun dalam kenyataannya sesuatu yang indah belum tentu indah. Sehingga terdapat dalam diri penyair sendiri sebuah kegalauan mengenai makna dari sebuah puisi. Diksi puisi dalam puisi ini dapat diartikan seperti kehidupan. Kehidupan yang terlihat indah dan terkadang melenakan ini sebenarnya hanya bersifat semu. Pada kenyataannya kehancuran terjadi dimana-mana akibat dari keserakahan yang hanya mementingkan diri sendiri.

Diksi Tulang Belakang yang menjadi judul dalam puisi ini pun memiliki makna lebih dari tulang belakang yang berfungsi sebagai penyokong tubuh. Dalam puisi ini tulang belakang bisa berarti sebuah prinsip hidup. Kehidupan yang melenakan selalu menyerang kita mulai dari prinsip hidup yang menjadi pegangan.

Dalam puisi tersebut terdapat beberapa isotopi, seperti isotopi pernyataan, isotopi penolakan, isotopi kegalauan, isotopi kejahatan, isotopi keserakahan, isotopi penderitaan, isotopi kerusakan, isotopi bencana, isotopi kemanusiaan dan isotopi kecurangan. Jadi secara umum dapat ditarik makna bahwa kehidupan yang terlihat indah belum tentu indah dalam kenyataanya.

Secara pragmatik setelah melihat tanda dan penanda yang terdapat pada puisi ini, mengisahkan kegalauan si “aku” memaknai kata “puisi” yang berarti kehidupan. Pembaca puisi ini diharapkan dapat ikut merenungkan makna dari sebuah kehidupan itu apa. Karena kehidupan yang terlihat indah dan terkadang melenakan ini sebenarnya hanya bersifar semu.

c. Analisis StilistikPuisi di atas dalam penggunaan gaya bahasa dan diksi-diksinya sangat

menarik. Rangkaian kata-kata dalam puisi ini membentuk sebuah monolog si penyair dengan batinnya. Diksi Tulang Belakang yang menjadi judul dalam puisi ini pun memiliki makna lebih dari tulang belakang, dalam puisi ini tulang belakang dapat diartikan seperti kehidupan. Puisi ini banyak sekali menggunakan majas sindiran atau ironi, seperti dalam larik berikut: /Tidak, ia adalah kau yang merasa cerdas, padahal kau tak berguna bagi siapa pun, selain parasit, semacam lintah, atau buaya darat, ah malah serupa iblis keparat/.

10

Page 11: Jurnal Kajian Puisi Indonesia

PEMBAHASAN

A. Kritik Sosial terhadap Kebobrokan Moral: Tinjauan Semiotik Antologi Puisi Sosial 51 Penyair Pilihan, Bangga Aku Jadi Rakyat Indonesia

Puisi merupakan suatu ungkapan yang bermedium bahasa. Kata-kata merupakan unsur yang cukup penting dalam puisi. Suatu pemilihan kata yang tepat akan sangat membantu kualitas dari puisi.

Berawal dari analisis puisi-puisi yang ada dalam Antologi Puisi Sosial 51 Penyair Pilihan, Bangga Aku Jadi Rakyat Indonesia melalui pendekatan semiotika dan stilistika, penulis menemukan beberapa hal yang dapat diambil. Hal-hal tersebut berkaitan dengan tanda-tanda dan gaya bahasa yang dimunculkan oleh puisi-puisi Soni Farid Maulana.

Analisis semiotik pada puisi-puisi tersebut bertujuan untuk mengungkap tanda dan petanda yang terdapat dalam puisi. Pengungkapan tanda ini dimaksudkan agar pembaca dapat menafsirkan suatu makna yang terkandung dalam puisi. Pengungkapan tanda-tanda tersebut melahirkan berbagai isotopi yang kemudian memunculkan tema dalam puisi. Tema ini menjadi sebuah unsur dalam puisi agar pembaca dapat memaknai puisi tersebut.

Puisi-puisi dalam Antologi Puisi Sosial 51 Penyair Pilihan, Bangga Aku Jadi Rakyat Indonesia ini memiliki tema yang hampir sama yaitu sebuah kritik sosial terhadap suatu kondisi sosial masyarakat. Pada Antologi puisi ini Soni Farid Maulana memasukan empat buah puisi yaitu Tulang Belakang, Stasiun Kota Praja, Air Mata dan Sirte.

Setelah dilakukan analisis semiotik terhadap puisi-puisi yang terdapat dalam Antologi Puisi Sosial 51 Penyair Pilihan, Bangga Aku Jadi Rakyat Indonesia, didapatkan peta kesamaan dari puisi-puisi yang ada dalam antologi tersebut. Peta kesamaan ini lebih didasarkan pada analisis semiotik yang lebih khusus diorientasikan pada pengungkapan tematik puisi. Tema-tema yang dimunculkan dalam antologi puisi ini banyak memiliki kesamaan yaitu tentang kondisi sosial masyarakat. Sehingga dengan adanya peta kesamaan tema tersebut dapat mempermudah dalam proses pengkajian antologi puisi ini.

Dari hasil analisis telah didapatkan bahwa tema-tema seputar kritik sosial lewat penggambaran secara langsung sangat mendominasi puisi-puisi dalam Antologi Puisi Sosial 51 Penyair Pilihan, Bangga Aku Jadi Rakyat Indonesia. Soni Farid Maulana menggunakan penggambaran kondisi sosial secara langsung dan benar-benar real.

Dalam puisi Stasiun Kota Praja mengandung tema kritik sosial. Puisi ini menceritakan sebuah suasana di Stasiun Kota Praja. Bukan hanya suasana kesibukan orang-orang yang akan melakukan perjalanan, namun terdapat kesibukan sekelompok orang yang melakukan kesempatan dalam kesempitan. Sebuah potret kehidupan yang mencerminkan kebobrokan moral manusia. Di tempat itu dikisahkan seseorang yang merasakan diawasi. Kecurigaannya datang ketika seseorang menatapnya dengan tajam seperti mengincar sesuatu yang dia miliki.

11

Page 12: Jurnal Kajian Puisi Indonesia

Tanda- tanda kecurigaan ini dimunculkan pada larik pertama dan ketiga, /Sekali lagi apa yang kau ingin dengan tatap matamu itu?/ dan /Apa yang kau ingin dengan tatap matamu setajam mata belati mengincar isi dompetku?/. Tanda- tanda kejahatan dan kegarangan dimunculkan pada larik terakhir, /walau tanganmu segarang maut menyabit nyawaku di situ/.

Dalam puisi Air Mata pun mengandung kritik sosial. Penggambaran kondisi sosial digambarkan secara jelas. Puisi ini mengisahkan seorang penyair kesal atas ketidakadilan yang sering dilakukan dan kepentingan pribadi yang selalu diutamakan oleh para pelaku hukum. Puisi ini bila dilihat dari judulnya “Air Mata” menjadi sebuah ungkapan kekecewaan pada kondisi yang terjadi.

Diksi air mata disini bukan hanya bermakna air yang keluar dari mata tetapi memiliki makna jauh lebih dari itu. Air mata dapat bermakna sebuah kekecewaan, kekesalan atau kesedihan. Dalam puisi ini jelas air mata yang dimaksud adalah sebuah kekesalan terhadap pelaku yang seharusnya bisa mengayomi masyarakat namun malah mencurangi dengan segala keserakahannya.

Tema- tema kritik sosial terhadap kebobrokan moral muncul juga pada puisi Tulang Belakang. Puisi ini ingin menggambarkan bahwa puisi itu merupakan sesuatu yang indah. Namun dalam kenyataannya sesuatu yang indah belum tentu indah. Sehingga terdapat dalam diri penyair sendiri sebuah kegalauan mengenai makna dari sebuah puisi. Diksi puisi dalam puisi ini dapat diartikan seperti kehidupan. Kehidupan yang terlihat indah dan terkadang melenakan ini sebenarnya hanya bersifat semu. Pada kenyataannya kehancuran terjadi dimana-mana akibat dari keserakahan yang hanya mementingkan diri sendiri.

Dalam puisi ini gambaran mengenai kerusakan, keserakahan digambarkan secara gamblang. Tanda- tanda kerusakan ini dimunculkan pada larik berikut: /Tidak, ia adalah luka bakar dalam hati si miskin/, /gelombang banjir/, /lautan sampah/, /lakon edan orang berduit di gedung-gedung pemerintahan/, /para penegak hukum mati kutu karenanya/. Lalu tanda- tanda keserakahan dimunculkan pada larik berikut: Tidak, ia adalah kau yang merasa cerdas, padahal kau tak berguna bagi siapa pun, selain parasit, semacam lintah, atau buaya darat, ah malah serupa iblis keparat/ dan / Tidak, ia adalah mulut kerasmu mengutuki berbagai proyek kesenian, yang dengan itu kau berdiri dalam barisan paling depan, mengajukan proposal temu kreatif para demit: demi perbaikan gizi anak-binimu/.

Secara garis besarnya puisi-puisi karya Soni Farid Maulana dalam Antologi Puisi Sosial 51 Penyair Pilihan, Bangga Aku Jadi Rakyat Indonesia ini mengangkat tema-tema tentang kritik sosial. Kritik sosial ini diungkapkan melalui gambaran yang sederhana dan benar-benar real digambarkan bagaimana kebobrokan moral manusia. Hal ini membantu kita sebagai pembacanya mudah memahami isi dari puisi-puisi tersebut.

12

Page 13: Jurnal Kajian Puisi Indonesia

B. Sindiran sebagai Penegas Sebuah Kritik Sosial terhadap Kebobrokan Moral: Tinjauan Stilistika Antologi Puisi Sosial 51 Penyair Pilihan, Bangga Aku Jadi Rakyat Indonesia

Dalam karya sastra, gaya bahasa memiliki peran yang sangat penting untuk mencapai tingkat estetika tertentu. Terkait dengan penggunaan gaya bahasa dalam puisi, orang sering kali memahaminya sebagai penggunaan bahasa kias atau sering juga orang menyebutnya majas. Stilistika sebagai suatu ilmu yang mempelajari gaya bahasa menjadi pilihan yang dipakai oleh penyair dalam memperindah penyampaian gagasan dalam puisi.

Analisis terhadap puisi-puisi yang ada dalam Antologi Puisi Sosial 51 Penyair Pilihan, Bangga Aku Jadi Rakyat Indonesia secara stilistik didapatkan berbagai gaya yang dieksplorasi. Majas sebagai bagian dari gaya bahasa ada dalam setiap puisi. Eksplorasi majas terkait dengan pilihan-pilihan seperti diksi.

Sebagian besar puisi- puisi dalam Antologi Puisi Sosial 51 Penyair Pilihan, Bangga Aku Jadi Rakyat Indonesia menggunakan diksi-diksi yang sederhana sehingga mudah untuk dipahami. Penggambaran kondisi sosial yang terdapat pada puisi-puisi Soni Farid Maulana dalam antologi tersebut digambarkan secara gamblang.

Puisi-puisi dalam antologi puisi ini pun tak terlepas dari majas yang memperindah puisi. Dalam KBBI Luar Jaringan Versi 1.5 mencatat bahwa majas adalah cara melukiskan sesuatu dengan jalan menyamakannya dengan sesuatu yang lain atau disebut juga kiasan. Bahasa kiasan ada bermacam-macam, namun meskipun bermacam- macam, mempunyai sesuatu hal (sifat) yang umum, yaitu bahasa-bahasa kiasan tersebut mempertalikan sesuatu dengan cara menghubungkannya dengan sesuatu yang lain (Altenbernd dalam Pradopo, 1970: 15).

Majas-majas yang dominan muncul yaitu majas hiperbol dan majas ironi. Majas hiperbol merupakan gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu hal. Sedangkan majas ironi merupakan gaya bahasa yang menjadi acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya.

Majas hiperbol dan majas ironi dalam puisi-puisi Soni Farid Maulana in bertujuan untuk lebih menegaskan hal yang ingin diungkapkan berkaitan dengan tema-tema kritik sosial yang terdapat dalam Antologi Puisi Sosial 51 Penyair Pilihan, Bangga Aku Jadi Rakyat Indonesia .

13

Page 14: Jurnal Kajian Puisi Indonesia

SIMPULANDari pengkajian-pengkajian yang dilakukan di awal dapat disimpulkan

beberapa hal yaitu sebagai berikut:1. Pada pengkajian secara semiotik puisi-puisi karya Soni Farid Maulana dalam

Antologi Puisi Sosial 51 Penyair Pilihan, Bangga Aku Jadi Rakyat Indonesia banyak didominasi oleh tema-tema tentang kritik terhadap kondisi sosial yang terjadi pada suatu masyarakat. Hal ini karena antologi puisi tersebut adalah antologi puisi yang bertemakan sama yaitu tentang kondisi sosial masyarakat.

2. Pada pengkajian secara stilistik puisi-puisi karya Soni Farid Maulana dalam Antologi Puisi Sosial 51 Penyair Pilihan, Bangga Aku Jadi Rakyat Indonesia terdapat beberapa pemakaian diksi-diksi yang menarik dan dominan menggunakan majas hiperbol untuk lebih menegaskan hal yang ingin diungkapkan serta majas ironi atau sindiran karena majas ini berkaitan dengan tema-tema kritik sosial yang terdapat dalam puisi-puisi Soni Farid Maulana.

DAFTAR PUSTAKADamaianti, Viesmaia S. Dan Nunung Sitaresmi. 2005. Sintaksis Bahasa

Indonesia. Bandung: Pusat Studi Literasi.Keraf, G. (2009). Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta : Gramedia.Maulida,Avira.N. (2012). Hakikat Puisi. [Online].

Tersedia:[http://duniaevira.blogspot.com/2012/05/hakikat-puisi.html] yang direkam pada 17 Mei 2012. [3 Januari 2014]

Nugroho, Rudi A. (2013). CINTA, ALAM, DAN INTERTEKS: Tinjauan Semiotik dan Stilistik terhadap Antologi Puisi Situ Waktu. Jurnal. Bandung.

Pradopo, R.D. (2010). Pengkajian Puisi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Ramlan. 2005. Ilmu Bahasa Indonesia Sintaksis. Yogyakarta: C.V. Karyono.Wellek, Rene dan Austin Warren. (1990) Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.

14