kajian akademis rancangan peraturan daerah tentang pajak …
TRANSCRIPT
KEJASAMA BADAN PENDAPATAN DAERAH KABUPATEN BADUNG DENGAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA 2018
TIM PENELITI:
PROF. DR.I MADE ARYA UTAMA, SH.,MHum.
PROF. DR. I KETUT YADNYANA, SE.,MSi., Ak.,CA.
DR. I DEWA GDE RUDY, SH.,MHum.
I KETUT SUARDITA, SH.,MH.
NYOMAN MAS ARYANI, SH.,MH.
KAJIAN AKADEMIS RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK HIBURAN
P a g e | ii
KAJIAN AKADEMIS RANCANGAN PERATURAN
DAERAH KABUPATEN BADUNG TENTANG
PAJAK HIBURAN
KERJASAMA ANTARA
BADAN PENDAPATAN DAERAH KABUPATEN BADUNG
DENGAN
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA
2018
P a g e | iii
KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/Ida
Sang Hyang Widhi Waça, karena atas berkat dan rahmat-Nya, Kajian
Akademis Peraturan Daerah Kabupaten Badung tentang Pajak
Hiburan ini dapat diselesaikan tepat waktu. Kajian Akademis ini
merupakan hasil kajian ilmiah yang dilaksanakan atas kerjasama
Pemerintah Kabupaten Badung cq Badan Pendapatan Daerah
(Pesedahan Agung) dengan Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah telah memberikan kewenangan kepada
Pemerintah Kabupaten didalam membiayai tugas-tugas
pemerintahan yang menjadi kewenangannya melalui pemungutan
pajak daerah berupa Pajak Hiburan. Oleh karena itu, ketepatan
dalam menentukan nilai atau jumlah Pajak Hiburan yang ditanggung
oleh penikmat hiburan menjadi dasar dari penyusunan kajian
Akademis terkait Pajak Hiburan ini, khususnya berkaitan dengan
dasar kewenangan dari Pemerintah Kabupaten Badung dan
rasionalisasi tarif Pajak Hiburan saat ini dan 5-10 tahun kedepan.
Pada kesempatan ini, Tim Peneliti mengucapkan terima kasih
kepada Bapak Bupati Badung, Kepala Badan Pendapatan Daerah
Kabupaten Badung atas kepercayaan yang diberikan kepada Tim
Peneliti sehingga dapat mengabdikan ilmu hukum dan ekonomi
untuk kemanfaatan pemerintah daerah dan masyarakat. Pada pihak
lain, kepercayaan ini sekaligus menjadi masukan dalam rangka
pengayaan ilmu yang berorientasi pada kepentingan masyarakat.
Akhirnya, kami mohon maaf atas segala kekurangan yang
masih dijumpai dalam penyusunan Kajian Akademis ini. Kami
berharap hasil kajian ini dapat bermanfaat untuk semua pihak,
sehingga kami sangat terbuka terhadap masukan baik lisan maupun
tertulis yang dapat menyempurnakan kajian ini.
Denpasar, 14 Desember 2018
Hormat kami,
Tim Peneliti
P a g e | iv
DAFTAR ISI
Kata Pengantar……………………………………………………….. iii
Daftar Isi………………………………………………………………… iv
Daftar Tabel……………………………………………………………. v
Daftar Gambar………………………………………………………… vi
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………… 1
A. Latar Belakang……………………………………………. 1
B. Identifikasi Masalah……………..………………………… 6
C. Tujuan dan Kegunaan ………………………..………… 6
D. Landasan Konseptual……………………………………. 7
1. Pajak Hiburan……………….………………………. 8
2. Pajak Daerah……………………………… ……….. 10
3. Pendapatan Asli Daerah………………………….. 12
E. Metode Penelitian………………….………………………. 15
1. Jenis Penelitian…… ………………………………. 15
2. Jenis Pendekatan……………………………………. 15
3. Sumber Bahan Hukum………………………….. 16
4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum…………… 17
5. Teknik Analisis Bahan Hukum…………………… 17
BAB II. KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS…………….. 18
A. Kajian Teoritis…………………………...….………………. 18
B. Kondisi Eksisting Kabupaten Badung………………….. 28
C. Kajian Terhadap Praktek Penyelenggaraan Pajak
Hiburan………………………………………………………… 34
BAB III. LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS 54
A. Landasan Filosofis ………………………………………… 54
B. Landasan Sosiologis………………………………………… 56
C. Landasan Yuridis…………………………………………… 58
BAB IV. PENUTUP
A. Simpulan… …………………………………………………… 60
B. Saran ………………………………………………………….. 60
DAFTAR PUSTAKA
P a g e | v
DAFTAR TABEL
Tabel 1 : Perbandingan Jenis Pajak dan Retribusi………………… 4
Tabel 2 : Demografi Kabupaten Badung Tahun 2018…………… 30
Tabel 3 : Kontribusi Penerimaan Pajak Hiburan Terhadap Pajak
Daerah Kabupaten Badung 2013-2018………………
36
Tabel 4 : Target Realisasi Pajak Hiburan Kabupaten Badung
2013-2018………………………………………………………
39
Tabel 5 : Kontribusi Pajak Hiburan sebagai sumber PAD
Kabupaten Badung 2013-2018…………………………
40
Tabel 6 : Kontribusi Pajak Daerah Terhadap PAD Kabupaten
Badung tahun 2013 – tahun 2018………………………
43
Tabel 7 : Prediksi Target Pajak Hiburan Kabupaten Badung
2019-2023………………………………………………………
46
Tabel 8 : Prediksi DPP Pajak Hiburan Kabupaten Badung 2019-
2023…………………………………………………………
47
Tabel 9 : Perhitungan Tarif Pajak Hiburan Kabupaten Badung
2019-2023…………………………………………………….
48
Tabel 10 : Perkembangan Upah Minimum Regional Kabupaten
Badung 2011-2018…………………………………………
50
Tabel 11 : Perkembangan Kurs Rata-rata Dollar Amerika Serikat
Terhadap Rupiah Tahun 2011-2018…………………….
51
Tabel 12 : Kunjungan Wisatawan Domestik Ke Bali Tahun 2011-
2017………………………………………………………………
52
Tabel 13 : Kunjungan Wisatawan Asing Ke Bali Tahun 2011-
2017 …………………………………………………………..
53
P a g e | vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 : Peta Wilayah Kabupaten Badung……………………. 28
P a g e | 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Otonomi daerah memberikan pelimpahan kewenangan dari
pemerintah pusat kepada Pemerintah Daerah untuk mengatur
urusan pelayanan dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam
penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan adanya peran-serta
masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta pemberdayaan potensi
dan keanekaragaman daerah. Untuk mendukung penyelenggaraan
otonomi daerah di Indonesia, secara normatif telah ditetapkan
berbagai produk hukum yang mengatur penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Berbagai produk hukum yang dimaksudkan
antara lain Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU Pemerintahan
Daerah).
Mengkaji substansi UU Pemerintahan Daerah dapat disimak
bahwa kepada Pemerintah Daerah diberikan kewenangan yang luas
sesuai dengan kondisi nyata daerah dengan tetap dalam kerangka
menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keluasan
kewenangan yang diberikan meliputi juga kewenangan dalam
pengaturan, pembagian dan pemanfaatan potensi sumber daya
untuk dapat membiayai otonomi daerah sesuai dengan tingkatan
pemerintahan. Dalam rangka pelaksanaan pemerintahan di daerah
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Daerah, maka kepada Pemerintah Daerah diberikan sumber-sumber
P a g e | 2
penerimaan daerah yang terdiri dari: 1) Pendapatan Asli Daerah
(PAD), 2) Dana Perimbangan dan 3) Lain-lain Pendapatan Daerah
Yang Sah. Dengan demikian, salah satu sumber pendapatan
keuangan daerah yang dipergunakan untuk membiayai
penyelenggaraan otonomi daerah adalah dari Pendapatan Asli Daerah
(PAD) yang digali dari dalam wilayah daerah yang bersangkutan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini
dapat disimak dari ketentuan Pasal 285 UU Pemerintahan Daerah
yang menetapkan sumber pendapatan keuangan daerah pada
hakikatnya ditetapkan berasal dari 3 (tiga) sumber, yakni :
a. Pendapatan Asli Daerah (PAD), yaitu:
1). Hasil pajak daerah;
2). Hasil retribusi daerah;
3). Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan
4). Lain-lain PAD yang sah;
b. dana perimbangan; dan
c. lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Sehubungan dengan sumber pendapatan asli daerah seperti di
atas maka keberadaan pajak daerah sangatlah strategis. Sebagian
besar daerah di Indonesia dan di Bali mengandalkan pajak daerah
sebagai sumber utama pendapatan asli daerahnya.
Mengenai produk hukum yang mengatur kewenangan
pemungutan pajak daerah saat ini adalah UU Nomor 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 No. 130, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5049). Keberadaan UU Nomor 28
Tahun 2009 adalah untuk menggantikan UU Nomor 18 Tahun 1997
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara
P a g e | 3
Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 41, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3685) sebagaimana telah diubah
dengan UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas UU Nomor
18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 246,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4048).
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 telah diberlakukan
terhitung mulai 1 Januari 2009 sehingga kepada Daerah
Kabupaten/Kota diberikan Sumber-Sumber Pendapatan Asli Daerah
(PAD) baru terdiri dari Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Mengenai
jenis Pajak yang menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah secara
kuantitatif sebanyak 11 jenis, sehingga ada penambahan 4 jenis
pajak daerah baru sebagai sumber pendapatan asli daerah yakni :
1. Pajak Bumi dan Bangunan mulai efektif diserahkan menjadi
Pajak Daerah Tahun 2014.
2. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan mulai efektif
diserahkan kepada daerah mulai Tahun 2011.
3. Pajak Air Permukaan secara efektif diserahkan ke daerah
mulai Tahun 2014.
4. Pajak Sarang Burung Walet.
Dengan demikian setelah diberlakukan UU Nomor 28 Tahun
2009 maka Pajak Daerah yang potensial menjadi Pajak Daerah
Pemerintah Kabupaten/Kota adalah :
1. Pajak Hotel
2. Pajak Restoran
3. Pajak Hiburan
4. Pajak Reklame
5. Pajak Penerangan Jalan
P a g e | 4
6. Pajak Bumi dan Bangunan
7. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
8. Pajak Air Tanah
Dalam bentuk tabel, perbandingan jenis pajak dan retribusi
daerah dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 dengan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 yang menjadi potensi obyek
pendapatan asli daerah Pemerintah Kabupaten Badung dapat
disimak sebagai berikuti :
Tabel 1 Perbandingan Jenis Pajak dan Retribusi
NO UU NO. 34 TAHUN 2000 UU NO. 28 TAHUN 2009
1. Pajak Hotel Pajak Hotel
2. Pajak Restoran Pajak Restoran 3. Pajak Hiburan Pajak Hiburan
4. Pajak Reklame Pajak Reklame 5. Pajak Penerangan Jalan Pajak Penerangan Jalan
6. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
7. Pajak Parkir Pajak Parkir 8. PBB 9. BPHTB
10. Pajak Air Tanah 11. Pajak Sarang Burung Walet
Sumber : UU No. 34 Tahun 2000 dan UU No. 28 Tahun 2009
Data di atas menunjukkan Hiburan merupakan salah satu obyek
pajak yang diakui menjadi kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota
untuk memungutnya baik dalam pelaksanaan UU No. 34 Tahun
2000 maupun undang-undang pengantinya yakni UU No. 28 Tahun
2009. Pada hakikatnya Pajak Hiburan merupakan sumber
P a g e | 5
pendapatan asli daerah yang dikenakan kepada penyelenggara
hiburan.
Pemerintah Kabupaten Badung berkaitan dengan kewenangan
itu telah menetapkan Perturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 17
Tahun 2011 tentang Pajak Hiburan. Peraturan Daerah Kabupaten
Badung tentang Pajak Hiburan ini diundangkan pada Lembaran
Daerah Kabupaten Badung Tahun 2011 Nomor 17 dan Tambahan
Lembaran Daerah Kabupaten Badung Nomor 17. Bagi Pemerintah
Daerah Kabupaten Badung, kedudukan hasil Pajak Hiburan ini
sangat besar dukungannya terhadap Pendapatan Asli Daerah
Kabupaten Badung, mengingat wilayah Kabupaten Badung
disamping memiliki obyek wisata dengan hiburan pendukungnya
juga menjadi lokasi akomodasi bagi para wisatawan sehingga
membutuhkan adanya atraksi tambahan saat melakukan makan
malam atau sebelum tidur berupa hiburan.
Pemerintah Daerah Kabupaten Badung c.q. Badan Pendapatan
Daerah sebagai unsur pemungut pajak daerah untuk meningkatkan
kontribusi Pajak Hiburan, saat ini sedang berupaya melakukan
rasionalisasi tarif Pajak Hiburan melalui pengkajian terhadap
kelayakan jumlah yang dipungut atas Pajak Hiburan. Berita Bali Post
tanggal 25 Agustus 2017 mewartakan bahwa “Kepala Bapenda dan
Pesedahan Agung I Made Sutama, mengatakan pihaknya
mengusulkan kenaikan maksimal 25 persen, atau naik 100 persen
dari pajak saat ini yang sebesar 12,5 persen”1. Usulan ini sejalan
dengan pemikiran Pansus Perda Pajak Hiburan DPRD Badung pada
1http://www.balipost.com/news/2017/08/25/19320/Tarif-Pajak-Hiburan-Masih-
Sangat-Kecil-Bapenda-Badung-Sepakati-Kenaikan, didownload tanggal 12 Nopember 2018.
P a g e | 6
hari Selasa, 25 Juli 2017 yang mengusulkan “rasionalisasi tarif
terjadap Pajak Hiburan dari yang awalnya 12,5 persen menjadi 35
persen”.2 Kebutuhan penyesuaian tarif Pajak Hiburan Kabupaten
Badung dari kedua lembaga tersebut tentu seiring dengan berbagai
perkembangan global dan usaha Pemerintah untuk memberikan
pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat. Persoalan yang tersisa
terkait besaran kenaikannya agar realistis, masuk akal, dan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pada pihak lain,
apabila tarif Pajak Hiburan yang terlalu tinggi, tidak mustahil akan
dapat berdampak negatif terhadap usaha hiburan yang secara
perlahan-lahan membuat pengusaha menutup usaha hiburannya.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan isu rasionalisasi tarif Pajak Hiburan yang telah
diuraikan di atas, adapun permasalahan yang dikaji dari penelitian
ini adalah :
1. Dasar kewenangan dari Pemerintah Kabupaten Badung
dalam merasionalisasi tarif Pajak Hiburan?
2. Bagaimana potensi Pajak Hiburan terhadap penerimanan
Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Badung?
3. Batas kepatutan rasionalisasi atas tarif Pajak Hiburan untuk
dapat memberikan pelayanan yang optimal kepada
masyarakat dan meningkatkan pendapatan daerah?
C. Tujuan dan Kegunaan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian terhadap
ketiga permasalahan tersebut, yaitu :
2https://baliexpress.jawapos.com/read/2017/07/25/3439/dewan-badung-usulkan-
pajak-hiburan-naik-35-persen, didownload tanggal 12 Nopember 2018.
P a g e | 7
1. Mengkaji dan mengetahui dasar kewenangan dari
Pemerintah Kabupaten Badung dalam merasionalisasi tarif
Pajak Hiburan.
2. Mengkaji dan mengetahui potensi Pajak Hiburan terhadap
penerimaan Pendapatan Asli Daerah di Kabupaten Badung.
3. Mengkaji dan menganalisis batas kepatutan rasionalisasi
atas tarif Pajak Hiburan untuk dapat memberikan pelayanan
yang optimal kepada masyarakat dan meningkatkan
pendapatan daerah.
Adapun kegunaan penelitian terhadap ketiga permasalahan
tersebut, yaitu:
1. Hasil kajian ini diharapkan dapat berguna sebagai masukan
bagi pembuat kebijakan khususnya berkaitan dengan
kewenangan Kabupaten Badung merasionalkan tarif Pajak
Hiburan.
2. Hasil kajian ini diharapkan dapat berguna sebagai masukan
bagi pembuat kebijakan berkaitan dengan potensi Pajak
Hiburan terhadap penerimaan Pendapatan Asli Daerah di
Kabupaten Badung.
3. Hasil kajian ini diharapkan dapat sebagai masukan bagi
pembuat kebijakan berkaitan dengan batas kepatutan
rasionalisasi atas tarif Pajak Hiburan.
D. Landasan Konseptual
Keberadaan Pajak Hiburan sebagai pajak daerah mempunyai
peran yang sangat penting dalam rangka Pendapatan Asli Daerah
(PAD). PAD menurut Halim adalah penerimaan yang diperoleh daerah
yang berasal dari sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut
P a g e | 8
berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.3 PAD itu sendiri sesungguhnya merupakan
pendapatan yang berasal dari pemanfaatan potensi yang dimiliki oleh
suatu daerah. Dalam otonomi daerah, suatu daerah dituntut untuk
mencari cara yang dapat dimanfaatkan dengan baik atau strategi
daerah guna meningkatkan PAD. Sebelum mencermati lebih jauh
tentang keberadaan Pajak Hiburan dalam kontribusinya sebagai
pajak daerah dan pendapatan asli daerah (PAD), maka penting untuk
dipahami terlebih dahulu tentang konsepsi Pajak Hiburan, pajak
daerah dan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
1. Pajak Hiburan.
Pajak Hiburan adalah salah satu komponen pajak darah. Pajak
Hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan.4 Sementara
hiburan itu sendiri adalah semua jenis tontonan, pertunjukan,
permainan, dan/atau keramaian yang dinikmati dengan dipungut
bayaran.5 Menurut Darwin memberikan pengertian hiburan sebagai
semua jenis pertunjukan, permainan, permainan ketangkasan, atau
keramaian dengan nama dan bentuk kapapun yang ditonton atau
dinikmati oleh setiap orang dengan dipungut bayaran.6
Sementara itu, berdasarkan ketentuan Pasal 42 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, obyek Pajak Hiburan adalah
penyelenggaraan hiburan yang dipungut bayaran, meliputi :
a. Tontonan film;
b. Pagelaran kesenian musik, tari, dan/atau busana; c. Kontes kecantikan, binaraga, dan sejenisnya;
3 Halim, Abdul 2004, Manajemen Keuangan Daerah, YKPN, Yogyakarta, h. 96
4 Lihat ketentuan Pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah.
5 Lihat ketentuan Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah.
6 Darwin, 2010, Pajak Daerah dan Rebribusi Daerah, Mitra Wacana Media, Jakarta, h.121.
P a g e | 9
d. Pameran; e. Diskotik, karaoke, klub malam, dan sejenisnya;
f. Sirkus, akrobat, dan sulap; g. Permainan bilyar, golf, dan bolling;
h. Pacuan kuda, kendaraan bermotor, dan permainan ketangkasan;
i. Panti pijat, refleksi, mandi uap/Spa, dan pusat kebugaran (fitnes center);
j. Pertandingan olah raga.7
Penyelenggaraan hiburan seperti terurai di atas, tidak berarti
kesemuanya menjadi wajib Pajak Hiburan oleh daerah. Pemerintah
Daerah dapat memilah jenis penyelenggaraan hiburan mana saja
yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah untuk dipungut Pajak
Hiburan. Apabila penyelenggaraan suatu hiburan atau tontonan
tidak memungut pembayaran kepada para penonton seperti hiburan
atau tontonan dalam rangka acara pernikahan, upacara adat,
kegiatan keagamaan dan lain-lain, maka penyelenggaraan acara
tersebut juga dapat tidak dikenakan Pajak Hiburan.
Mengenai subyek Pajak Hiburan adalah orang/pribadi atau
badan yang menikmati hiburan yaitu konsumen penikmat hiburan.
Wajib Pajak Hiburan adalah orang/pribadi atau badan yang
menyelenggarakan hiburan yaitu pengusaha penyelenggaraan
hiburan.
Tarif Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 35%.
Khusus untuk hiburan berupa permainan ketangkasan, diskotik,
klab malam, karaoke, mandi uap, panti pijat, pagelaran busana, dan
kontes kecantikan, tarif Pajak Hiburan dapat ditetapkan paling tinggi
75%. Sedangkan khusus hiburan kesenian rakyat/tradisional
7 Lihat ketentuan Pasal 42 angka 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah.
P a g e | 10
dikenakan tarif pajak paling tinggi sebesar 10%. Tarif Pajak Hiburan
ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
2. Pajak Daerah
Definisi pajak daerah menurut Mardiasmo adalah kontribusi
atau iuran wajib oleh orang pribadi dan badan kepada daerah tanpa
imbalan secara langsung, yang dapat dipaksakan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan digunakan untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan
daerah.8 Sementara itu ketentuan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang
Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Rebribusi Daerah,
menetapkan pajak daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah
yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan
secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.9
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009, Pajak Daerah terbagi atas pajak provinsi yang
terdiri atas; pajak kendaraan bermotor, bea balik nama atas
kendaraan bermotor, pajak bahan bakar atas kendaraan bermotor,
pajak air permukaan, dan pajak rokok, dan pajak Kabupaten/kota
yang terdiri atas: pajak hotel, Pajak Hiburan, pajak restoran, pajak
reklame, pajak parkir, pajak mineral bukan logam dan bantuan,
pajak air tanah, pajak sarang burung walet, pajak bumi dan
bangunan perdesaan dan perkotaan serta bea perolehan hak atas
tanah dan bangunan, yang berguna dalam menunjang penerimaan
8 Mardiasmo, 2002, Otonomi dan Keuangan Daerah, Andi, Yogyakarta, h. 5.
9 Lihat Ketentuan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah.
P a g e | 11
Pendapatan Asli Daerah (PAD).10 Pemerintah Daerah dilarang
memungut pajak selain jenis pajak sebagaimana dimaksud pada
ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) diatas. Jenis pajak
sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) tersebut dapat
tidak dipungut apabila potensinya kurang memadai dan/atau
disesuaikan dengan kebijakan daerah yang ditetapkan Peraturan
Daerah.
Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, Pemerintah Pusat telah
memberi kewenangan yang lebih besar kepada Pemerintah Daerah
untuk mengoptimalkan pendapatan daerah melalui :
1. Perluasan jenis dan cakupan pajak daerah dan retribusi
daerah
2. Pemberian fleksibelitas bagi daerah untuk memungut jenis
pajak daerah dan retribusi daerah.11
Dengan demikian, pajak daerah mempunyai peran yang sangat
penting dalam membiayai penyelenggaraan pemerintahan serta
pembangunan di daerah. Kemampuan pemerintah daerah dalam
memungut pajak daerah merupakan salah satu tolok ukur dalam
pelaksanaan otonomi daerah. Pemerintah daerah perlu untuk
meningkatkan secara maksimal potensi yang ada, khususnya potensi
yang akan dikenakan pajak daerah.
Salah satu sumber penerimaan daerah diantaranya adalah dari
sektor pajak. Bagi daerah pajak merupakan bukti nyata peran aktif
masyarakat dalam membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah
10 Lihat Ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah.
11
Darwin, Op.Cit, h. 42.
P a g e | 12
baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan seperti
penyediaan infrastruktur pelayanan pendidikan dan kesehatan.
Pemerintah daerah memiliki kewenangan dalam menetapkan
pajak daerah dan siapa wajib pajaknya sesuai dengan undang-
undang perpajakan yang berlaku. Jenis tarif dan sistem pemungutan
pajak daerah yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah harus lebih
bersahabat dengan pelaku dunia usaha sehingga pelaksanaannya
dapat lebih efisien, murah dan transparan.12
3. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 18 Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah menegaskan bahwa
Pendapatan Asli Daerah, yang selanjutnya disebut PAD adalah
pendapatan yang diperoleh yang dipungut berdasarkan peraturan
daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.13
Menurut Warsito, Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah
pendapatan yang bersumber dan dipungut sendiri oleh pemerintah
daerah. Sedangkan menurut Herlina Rachman, Pendapatan Asli
Daerah merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari hasil
pajak daerah, hasil distribusi pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan dan lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah dalam
menggali pendanaan terkait pelaksanaan otonomi daerah sebagai
perwujudan azas desentralisasi.14
12 Dara Rizky Supriadi, Dwiatmanto, Sukartini Karjo, 2015, Kontribusi Pajak Hiburan Dalam
Meningkatkan PAD Kota Malang, Jurnal Perpajakan (Jejak), volume 1 nomor 1, 2015, h. 3.
13
Lihat Ketentuan Pasaal 1 angka 18 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah.
14
http://primalifejournal.wordpress.com2013/03/26,pendapatan-asli-daerah-pad/ ,didownload
tanggal 12 November 2018.
P a g e | 13
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah, sumber-sumber penerimaan daerah terbagi menjadi :
a. Pendapatan Asli Daerah (PAD), terdiri dari :
1) Pajak Daerah
2) Retribusi Daerah
3) Hasil Perusahaan Daerah
4) Lain-lain Hasil Usaha Daerah yang sah
b. Pendapatan yang berasal dari Pemberian Pemerintah Pusat,
terdiri dari :
1) Sumbangan Pemerintah
2) Sumbangan lain, yang diatur oleh peraturan perundang-
undangan.
3) Lain-lain Pendapatan yang sah
PAD merupakan semua penerimaan keuangan asli suatu daerah yang
merupakan tolak ukur dalam pelaksanaan otonomi daerah yang
nyata. Suatu daerah dikatakan siap untuk melaksanakan otonomi
daerah apabila PAD dapat memberikan sumbangan yang cukup
untuk penyelenggaraan pemerintahan serta pembangunan daerah.
Secara umum, Landiyanto menyatakan bahwa “semakin tinggi
kontribusi yang diberikan PAD maka semakini tinggi kemampuan
daerah untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan daerahnya, sehingga akan menunjukkan kinerja
keuangan daerah yang positif.15
Pelaksanaan otonomi daerah telah memberikan wewenang
kepada Pemerintah kabupaten atau kota untuk melakukan berbagai
15Landiyanto, Erlangga Agustino, 2005, Kinerja Keuangan dan Strategi Pembangunan Kota
di Era Otonomi Daerah : Studi Kasus Kota Surabaya, Curies Working Paper, Surabaya, h. 19.
P a g e | 14
upaya-upaya didalam meningkatkan perolehan PAD, yang sangat
menentukan lancar tidaknya suatu pemerintahan. Pelayanan kepada
masyarakat akan terhambat akibat terbatasnya kemampuan dalam
bidang pendanaan. Terbatasnya sumber PAD tidak banyak yang
dapat dilakukan dalam memberikan yang optimal maupun
kemudahan bagi masyarakat. Kendala yang dihadapi pemerintah
dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah tingkat kesiapan
keuangan yang berbeda pada setiap daerah. Kebijakan ekonomi
daerah adalah kebijakan yang menguntungkan daerah-daerah yang
mempunyai sumber daya potensial namun bagi daerah yang tidak
memilikinya menganggap kebijakan otonomi daerah merupakan
kebijakan yang tidak menguntungkan.
Peran Pemerintah Daerah dalam era otonomi sangat besar
karena di tuntut kemandiriannya dalam melaksanakan fungsi dan
memberlakukan pembiayaan seluruh kegiatan daerah. Pemerintah
daerah diharapkan mampu meningkatkan PAD dengan
memaksimalkan potensi daerah yang tersedia. PAD dapat diperoleh
dengan mengoptimalkan sumber-sumber pendapatan daerah yang
dikelola ataupun yang berpotensi untuk dipungut pajak daerah agar
dapat digunakan secara efisien dan efektif.
E. Metode
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian hukum, maka hukum dikonsepkan sebagai
apa yang tertulis di dalam peraturan perundang-undangan atau
hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan
P a g e | 15
pedoman berperilaku manusia yang dianggap pantas.16 Dalam kaitan
itu, penelitian ini merupakan penelitian sosio-legal yang
mengintegrasikan persoalan sosial kemasyarakatan dalam ranah
kajian hukum. Dengan kata lain, penelitian hukum ini mengadopsi
dan/atau menginternalisasikan pertimbangan ekonomi, sosial,
budaya, dan keberlanjutan kepariwisataan kedalam substansi
hukum yang akan ditetapkan untuk menjadi pijakan aparatur sipil
negara dalam bertindak.
2. Jenis Pendekatan
Jenis pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu
pendekatan perundang-undangan (the statute approach). Menurut
Peter Mahmud Marzuki, pendekatan undang-undangan dilakukan
dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang
bersangkutan dengan isi hukum yang sedang ditangani.17
Pendekatan undang-undang dilakukan dengan mengkaji peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan permasalahan yang
diangkat. Disamping itu, pendekatan yang diterapkan adalah
pendekatan sosial untuk mampu memahami secara obyektif kondisi
dalam kehidupan bermasyarakat, berpemerintahan, dan bernegara.
Pendekatan ini diterapkan karena menyadari eksistensi manusia
tidak dapat dilepaskan dari kondisi lingkungannya, sehingga hukum
16
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2016, Pengantar Metode Penelitian Hukum, cet.
IX, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, h. 118. 17
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, cet. IV, Persada Media Group,
Jakarta, h. 93.
P a g e | 16
yang baik adalah hukum yang sesuai dengan kondisi
masyarakatnya18.
3. Sumber Bahan Hukum
Data dari penelitian ini akan diperoleh dari pengkajian atas
bahan-bahan hukum, diantaranya adalah :
a. Bahan hukum primer, merupakan bahan hukum positif yang
mengikat dan masih berlaku di Indonesia. Adapun peraturan
hukumnya yakni UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan
Retribusi Daerah, UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, Peraturan Daerah Kabupaten Badung
Nomor 17 Tahun 2011 tentang Pajak Hiburan.
b. Bahan hukum sekunder yaitu memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer seperti buku literatur dan
jurnal ilmiah.19 Bahan hukum sekunder yang dimaksudkan
antara lain literatur Hukum Perpajakan, Hukum
Pemerintahan Daerah, Ekonomi, Perpajakan.
Untuk memperkuat bahan hukum yang diatas, maka dilakukan
penelitian lapangan untuk mendapatkan informasi dari lembaga atau
pejabat dari Pemerintah Daerah Kabupaten Badung maupun para
pihak yang membidangi tentang Pajak Hiburan.
4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Penelitian ini mempergunakan penulisan hukum normatif
berdasarkan hasil penelitian non hukum, yang dilakukan dengan
mencari dan mengumpulkan literatur yang memiliki keterkaitan
18
Moh. Padil dan Triyo Supriyanto, 2010, Sosiologi Pendidikan, UIN Maliki Press,
Yogyakarta, h. 19. 19
Soerjono Soekanto, 2015, Pengantar Penelitian Hukum, cet. III, Universitas
Indonesia (UI-Press), Jakarta, h. 52.
P a g e | 17
dengan permasalahan yang dikaji. Setelah itu diteliti dengan
mencermati serta mencatat hal-hal apa saja yang patut untuk
dijadikan pembahasan dan kemudian untuk selanjutnya dapat diulas
secara sistematis.
5. Teknik Analisis Bahan Hukum
Untuk menganalisis bahan-bahan hukum dan non hukum yang
telah terkumpul, kemudian digunakan teknik analisis yaitu teknik
deskripsi. Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis yang tidak
dapat dihindari penggunaannya. Deskripsi berarti uraian apa adanya
terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum
atau non hukum.
P a g e | 18
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
A. KAJIAN TEORITIS
1. Teori Kewenangan
Dalam konsep hukum publik wewenang merupakan konsep inti
dari hukum tata negara dan hukum administrasi negara.20 Tanpa
adanya kewenangan yang dimiliki, maka Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara tidak dapat melaksanakan suatu perbuatan atau
tindakan pemerintahan. Menurut Donner, ada dua fungsi berkaitan
dengan kewenangan, yakni fungsi pembuatan kebijakan (policy
making) yaitu kekuasaan yang menentukan tugas (taakstelling) dari
alat-alat pemerintah atau kekuasaan yang menentukan politik negara
dan fungsi pelaksanaan kebijakan (policy exsecuting) yaitu kekuasaan
yang bertugas untuk merealisasikan politik negara yang telah
ditentukan (verwezenlijkking van de taak). 21
Kewenangan terdiri atas beberapa wewenang, adalah kekuasaan
terhadap segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap
suatu bidang pemerintahan atau urusan tertentu yang bulat.22 Hal
senada juga dikemukakan oleh Indroharto tanpa membedakan secara
teknis istilah kewenangan dan wewenang, bahwa dalam artian
yuridis wewenang adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan
perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum.23
20 Philipus M. Hadjon, 1998, Tentang Wewenang Pemerintahan (bestuurbevoegheid) Pro
Justitia, Tahun XVI Nomor 1 Januari 1998, (selanjutnya disebut Philipus M. Hadjon I), h. 90.
21
Victor Situmorang, 1989, Dasar-Dasar Hukum Administrasi Negara, Bina Aksara, Jakarta,
h. 30.
22
Prajudi Atmosudirdjo, 1983, Hukum Administrasi Negara, Cet. 6, Ghalia Indonesia, Jakarta,
h. 73.
23
Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
Buku I. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, h. 68.
P a g e | 19
Kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah dalam melakukan
tindakan nyata, mengadakan pengaturan ataupun mengeluarkan
keputusan tata usaha negara dapat dilandasi oleh kewenangan yang
diperoleh secara atribusi, delegasi, maupun mandat.24 Namun dalam
hal kewenangan untuk membuat keputusan hanya dapat diperoleh
melalui kewenangan atribusi dan delegasi.25
Disisi lain, pelimpahan wewenang pusat kepada daerah
didasarkan pada teori kewenangan, yaitu pertama kekuasaan
diperoleh melalui atribusi oleh lembaga negara sebagai akibat dari
pilihan sistem pemerintahan, setelah menerima kewenangan atribusi
berdasarkan UUD untuk kemudian dilakukan pelimpahan (afgeleid)
yang dapat dilakukan melalui dua cara yaitu delegasi dan mandat.26
Dalam hal perpajakan pemerintah pusat mendapatkan kewenangan
berdasarkan atribusi dari UUD NRI 1945 (Pasal 23 A) dan untuk
selanjutnya mendelegasikan kepada pemerintah daerah provinsi
maupun kabupaten/kota. Berkaitan dengan kewenangan
menjalankan prinsip negara hukum, baik kewenangan atribusi,
delegasi maupun mandat akan melahirkan pemberlakuan asas dalam
hukum Pemerintahan Daerah, baik asas desentalisasi, asas
dekonsentrasi maupun asas tugas pembantuan.
Kewenangan mempunyai kedudukan yang sangat penting
dalam kajian hukum h. X – XII tata negara dan hukum administrasi,
seperti yang dikemukakan oleh F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek,
24
I Made Arya Utama, 2007, Hukum LingkunganSistem hukum Perizinan Berwawasan
Lingkungan Untuk Pembangunan Berkelanjutan, Cet. 1, Pustaka Sutra, Bandung, h. 82.
25
Philipus M. Hadjon, at al, 1997, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to
the Indonesian Administrative Law), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, (selanjutnya disebut
Philipus M. Hadjon II). h. 130
26
Ibrahim R, 2009, Hubungan Pemerintah Pusat – Daerah Dan Konstalasi Demokrasi Di
Indonesia, Makalah Dibawakan Dalam Diskusi Panel Pada Perancangan Dan Advokasi Hubungan
Pusat-Daerah Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Di Denpasar 7 Pebruari 2009.
P a g e | 20
dalam konsep hukum publik wewenang merupakan konsep inti dari
hukum tata negara dan hukum administrasi negara.27 Dalam hal ini
tanpa adanya kewenangan yang dimiliki, maka Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara tidak dapat melaksanakan suatu perbuatan atau
tindakan pemerintahan. Dalam kamus Bahasa Indonesia kata
wewenang sama artinya dengan kewenangan, yaitu hak dan
kekuasaan untuk bertindak. Disamping itu kewenangan juga
diartikan sebagai kekuasaan membuat keputusan, memerintah, dan
melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain.28 Dengan demikian
maka setiap penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan harus
memiliki legitimasi yakni kewenangan yang diberikan oleh undang-
undang.
Wewenang adalah kemampuan untuk melakukan suatu
tindakan hukum publik atau secara yuridis wewenang adalah
kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang
berlaku untuk melakukan hubungan-hubungan hukum.29 Secara
etimologis kata wewenang berasal dari kata dasar “wenang” yang
merupakan terjemahan dari competentie (bahasa Inggris) atau
bevoegheid serta gezag dari bahasa Belanda.30 Sejalan dengan
pengertian tersebut dalam Fockema Andreal dinyatakan bahwa
bevoegheid berarti wewenang. Sedangkan absolute bevoegheid berarti
kekuasaan kehakiman menentukan pengadilan mana yang berhak
untuk menangani suatu perkara. Disebutkan pula bahwa bevoegheid
27 Philipus M. Hadjon I,… Loc.Cit.
28
Tim Penyusun kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus besar Bahasa
Indonesia, Edisi kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1995, h. 1128
29
S.F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif Di Indonesia,
Liberty, Yogyakarta, h. 154.
30
I Made Arya Utama, Op.Cit, h. 79.
P a g e | 21
sama artinya dengan competentie yakni wewenang, kekuasaan.31
Dengan demikian wewenang berarti identik dengan kekuasaan.
Dari segi hukum berdasarkan Ketetapan MPR Nomor
V/MPR/2000, pengertian wewenang dibedakan dengan pengertian
tugas. Wewenang diartikan sebagai fungsi yang boleh tidak
dilakukan. Menurut Philipus M. Hadjon, kata tugas dan wewenang
dalam Ketetapan MPR tersebut dimaksudkan sebagai kekuasaan.
Pembedaan kekuasaan atas tugas dan wewenang merupakan
pengaruh konsep hukum privat, dimana tugas dikaitkan dengan
kewajiban, sedangkan wewenang dikaitkan dengan hak.32 Pada buku
yang lain Philipus M. Hadjon menyebutkan bahwa wewenang berarti
kewenangan untuk membuat keputusan yang dapat diperoleh
dengan dua cara yaitu secara atribusi dan delegasi.33
Lebih lanjut Indroharto melihat wewenang sebagai kemampuan
atau kecakapan atau kesanggupan, dimana kemampuan atau
kecakapan atau kesanggupan tersebut hanya diberikan oleh
peraturan perundang-undangan. Kemampuan atau kecakapan atau
kesanggupan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan
tersebut dapat menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum
sebagaimana dikatakan oleh Abdul Kadir Muhammad, diartikan
sebagai akibat yang ditimbulkan oleh hukum berupa hak dan
kewajiban34, seperti misalnya produk hukum yang dibuat oleh Badan
31NE. Algra, H.R.W. Gokkel, Saleh Adiwinata, Boerhanoedin St. Batoeh, 1983, Kamus Istilah
Hukum Belanda – Indonesia, Fockema Andreal Belanda, Binacipta, Jakarta, h. 74.
32
Philipus M. Hadjon, 1992, Lembaga Tertinggi Dan Lembaga-Lembaga Tinggi Negara
menurut undang-Undang Dasar 1945 Suatu analisa Hukum dan kenegaraan, Bina Ilmu, Surabaya,
(selanjutnya disebut Phlipus M. Hadjon III), h. X – XII
33
Philipus M. Hadjon II, Loc.Cit.
34
Abdul Kadir Muhammad, 2001, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bhakti, Bandung, h.
51.
P a g e | 22
atau Pejabat Tata Usaha Negara dari yang bersifat mengatur (umum)
sampai dengan yang sifatnya individual konkrit.
Prajudi Atmosudirdjo memberikan pengertian wewenang dilihat
dari segi kompetensi suatu badan administrasi dengan mengatakan
bahwa wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu
tindakan hukum publik. Jadi wewenang hanya meliputi atau hanya
mengenai satu onderdil saja.35 Hal yang sama juga dikatakan oleh
Juanda yang memberikan definisi mengenai wewenang bila dilihat
dari segi hubungan kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat dengan
Kepala Daerah, dengan mengatakan bahwa wewenang adalah
kekuasaan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik,
misalnya wewenang menandatangani/menerbitkan izin atas nama
pejabat tertentu.36 Menurut Juanda,37 kewenangan adalah
kekuasaan formal yang berasal dari atau diberikan oleh undang-
undang misalnya kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif,
kekuasaan yudikatif. Dengan demikian dalam kewenangan ada
kekuasaan dan dalam kewenangan lahirlah wewenang.
Disisi lain Prajudi Atmosudirdjo, berpendapat tentang pengertian
wewenang dalam kaitanya dengan kewenangan adalah sebagai
berikut, bahwa kewenangan (authority, gezag) adalah kekuasaan
formal, yakni kekuasan yang berasal dari kekuasaan legislatif atau
kekuasaan eksekutif/administratif. 38
Dalam kaitannya dengan pajak, berdasarkan kewenangan
memungut pajak dibagi atas pajak pusat dan pajak daerah. Pajak
daerah dibagi atas pajak provinsi dan pajak kabupaten/kota.
35 Prajudi Atmosudirdjo, Op.Cit, h. 74
36
Juanda, 2004, Hukum Pemerintahan Daerah, Alumni, Bandung, h. 265.
37
Ibid.
38
Prajudi Atmosudirdjo, Loc.Cit.
P a g e | 23
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah. Dalam pasal 2
ayat (1) pemerintah Provinsi diberikan kewenangan dalam memungut
pajak yang terdiri atas :
1. Pajak Kendaraan Bermotor;
2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
4. Pajak Air Permukaan; dan
5. Pajak Rokok.
Sedangkan untuk kabupaten/kota daam Pasal 2 ayat (2) diberikan
diberikan kewenngan untuk memungut pajak yang terdiri atas:
1. Pajak Hotel;
2. Pajak Restoran;
3. Pajak Hiburan;
4. Pajak Reklame;
5. Pajak Penerangan Jalan;
6. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
7. Pajak Parkir;
8. Pajak Air Tanah;
9. Pajak Sarang Burung Walet;
10. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan
11. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Kecuali untuk Provinsi DKI Jakarta semua kewenangan memungut
pajak daerah berada pada pemerintah Provinsi.
Pemerintah daerah sebagai penyelenggara pemerintahan daerah
tidak terlepas dari tugas untuk membina ketentraman dan ketertiban
masyarakat di daerahnya. Maka dari itu Perda harus sesuai dengan
keadaan-keadaan masyarakat dimana Perda tersebut diberlakukan.
P a g e | 24
Sebagai penyelenggara pemerintahan daerah maka pemerintah
daerah dituntut untuk memahami dukungan dan tuntutan yang
berkembang dalam masyarakat, namun dalam kenyataannya sering
terjadi bahwa setelah diberlakukannya suatu Perda timbul
ketidakpuasan warga masyarakat karena materi muatan (substansi)
dari Perda tersebut dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan
masyarakat.39 Setiap pembentukan Perda terutama yang bersifat
membebani masyarakat harus memperhatikan aspirasi masyarakat,
dalam artian masyarkat ikut berperan serta dalam memberikan
saran, pendapat maupun masukan-masukan sehingga Perda yang
dibentuk bersifat responsif.
2. Teori Utility
Dalam aliran utilitarianisme seperti yang diungkapkan oleh
Jeremy Bentham dan juga oleh John Stuart Mill maupun Rudolf von
Jhering, dikatakan bahwa pada prinsifnya manusia melakukan
tindakan untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya
dan mengurangi penderitaan (essence of utilitarianisme… … is a moral
philosophy that defines the Rightness of an action is term of is
contribution to general happiness.....).40 Seperti yang dikatakan oleh
Jeremy Bentham,41 bahwa tujuan hukum adalah untuk memberikan
kebahagiaan yang sebesar-besarnya kepada jumlah yang sebanyak-
banyaknya (the greatest happiness for the gratest number) dengan
kata lain bahwa hukum itu harus dapat memberikan manfaat bagi
masyarakat. Disisi lain J. Schrassert, Bellefroid dan juga V.
39 I Wayan Suandi, 2008, Pendekatan Sstem Dalam Pembentukan Peraturan Daerah, Kertha
Patrika, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Vol. 33 No. 1 Januari 2008, h. 8.
40
LB. Curson. 1979, Yurisprudence, M&E Handbooks, Mac Donald and Evans, Ltd., Estover,
Plymouth PL6 7PZ, h. 93 -94.
41
Achmad Roestandi, 1992, Responsi Filsafat Hukum, Cet. 3, Armico, Bandung, h. 18.
P a g e | 25
Apelldoorn menyatakan bahwa tujuan terpenting dari pada hukum
itu sediri adalah keadilan (justitia) dan manfaat (utilitas).42 Oleh
karena itu tidak akan ada gunanya menerapkan berbagai konsep
apabila tidak memberikan suatu manfaat bagi kehidupan umat
manusia, dengan berpegang pada prinsip bahwa manusia akan
melakukan tindakan untuk mendapatkan kebahagiaan yang
sebesar-besarnya serta mengurangi penderitaan.43 Dengan demikian
dalam pengelolahan pajak daerah agar sesuai dengan makna
pelaksanan otonomi daerah, maka pemanfaatannya agar dapat
dirasakan oleh masyarakat, sehingga akan timbul kesadaran untuk
melakukan kewajiban pembayaran pajak secara sukarela. Disamping
itu dalam pemungutan pajak daerah harus mempertimbangkan asas
kemanfaatan bagi pemerintah daerah tersebut yang secara umum
dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi hasil guna dan sisi daya guna
bagi pemerintah daerah dan masyarakat daerah bersangkutan. 44
3. Teori pemungutan Pajak
Dalam melakukan pemungutan pajak ada beberapa teori yang
dapat dijadikan dasar pembenaran untuk melakukan pemungutan
pajak yakni45 :
1. Teori Asuransi, dalam teori ini pajak diibaratkan sebagai suatu premi asuransi yang harus dibayar oleh setiap orang
untuk mendapatkan jaminan perlindungan. Teori ini tidak sesuai dengan sifat-sifat dari pajak itu sendiri, sebab premi
yang dibayar dalam asuransi untuk mendapatkan imbalan
42 Sudarsono, 2004, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. 4, Rineka Cipta, Jakarta, h. 102.
43
Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, 2001, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Cira Aditya
Bakti, Bandung, h. 64.
44
Tjip Ismail, 2007, Pengaturan Pajak Daerah Di Indonesia, Cet. 2, Yellow Printing, Jakarta,
h. 42.
45
R. Santoso Brotodihardjo, 1995, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, PT Eresco Bandung, h. 30-35
P a g e | 26
yang langsung dapat diterima sedangkan dalam pajak tidak ada kontra prestasi langsung yang dapat diterima.
2. Teori Kepentingan, teori ini mengukur besarnya pajak sesuai dengan besarnya kepentingan wajib pajak yang dilindungi.
Jadi lebih besar kepentingan yang dilindungi maka lebih besar pula pajak yang harus dibayar.
3. Teori daya pikul, dalam teori ini menekankan bahwa pembayaran pajak disesuaikan dengan kemampuan serta daya pikul masing-masing. Menurut “De Langen”, daya pikul
dikatakan sebagai kekuatan seseorang untuk memikul suatu beban dari apa yang tersisa setelah seluruh penghasilannya
dikurangi dengan pengeluaran-pengeluaran yang mutlak untuk kebutuhan primer diri sendiri beserta keluarganya.
4. Teori daya Beli, dalam teori ini pajak diibaratkan sebagai sebuah pompa yang menyedot daya beli seseorang atau anggota masyarakat, kemudian mengembalikannya lagi ke
masyarakat secara tidak langsung berupa pasilitas-pasilitas umum dalam rangka ameningkatkan kesejahteraan rakyat.
5. Teori Kewajiban Pajak Mutlak/Teori Bakti, teori ini didasarkan pada teori organ (organtheorie) dari “Otto Von Gierke” 46, yang
menyatakan bahwa negara merupakan suatu kesatuan yang didalamnya terdapat masyarakat yang terdiri dari individu.
Individu tidak mungkin bisa hidup tanpa masyarakat sehingga individu tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Demikian juga masyarakat dalam arti yang luas (negara),
untuk dapat melangsungkan hidupnya (berfungsinya organ-organ negara) perlu biaya, salah satunya adalah berasal dari
rakyat melalui pajak. 47
Dalam kaitanya dengan kajian tersebut diatas sangat relevan
untuk dijadikan pertimbangan dalam penetapan tarif pajak, Karena
lebih menekankan pada aspek keadilan, aspek kepentingan serta
kenikmatan dan juga berkaitan dengan hak dan kewajiban sebagai
warga negara. Disamping juga berkaitan dengan tujuan negara
46 Rochmat Soemitro, 1992, Pengantar Singkat Hukum Pajak, Cet Ketiga, PT. Eresco,
Bandung, h. 1.
47
H. Hamdan Aini, 1985, Perpajakan, Bina Aksara, Jakarta, h. 4
P a g e | 27
sebagaimana termaktub dalam alinea ke empat Pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
4. Asas Pemungutan Pajak
Disamping teori tersebut diatas ada beberapa asas yang sangat
relevan yang harus dipenuhi dalam malakukan pemungutan pajak
sebagaimana dikemukakan oleh Adam Smith, dengan ajarannya
mengenai asas pemungutan pajak “The Four Maxims”, yakni :
1. Asas Equality and Equity (asas persamaan dan kesamaan); 2. Asas Certainty (asas kepastian hukum);
3. Asas Convenience of payment (saat yang tepat); dan 4. Asas Efisiensi. (efisien) 48
Berkaitan dengan rencana rasionalisasi tarif untuk Pajak Hiburan
maka asas ini sangat relevan untuk dijadikan pertimbangan dalam
melakukan kajian Akademis.
5. Pajak Hiburan
Pajak Hiburan secara konseptual menurut Pasal 1 angka 24
UU No. 28 Tahun 2009 adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan.
Dengan kata lain, Pajak Hiburan dipungut atas penyelenggaraan
suatu hiburan. Sementara itu, hiburan pada dasarnya merupakan
semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, dan/atau
keramaian yang dinikmati oleh seseorang dan/atau sekelompok
orang dengan dipungut sejumlah bayaran. Dengan demikian,
mengeni dasar pengenaan Pajak Hiburan adalah jumlah uang
yang diterima atau yang seharusnya diterima oleh penyelenggara
hiburan. Adapun yang dimaksud dengan jumlah uang yang
seharusnya diterima termasuk juga potongan harga dan tiket
cuma-cuma yang diberikan kepada penerima jasa hiburan.
48 R. Santoso Brotodihardjo, Op.Cit, h. 27.
P a g e | 28
Adanya Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah telah mengakibatkan melambungnya
tarif Pajak Hiburan hingga maksimal menjadi 75 persen. Adapun
ketentuan selengkapnya tentang tarif Pajak Hiburan dapat dijumpai
pada Pasal 45 UU No. 28 Tahu 2009 yang menetapkan sebagai
berikut :
(1) Tarif Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 35% (tiga puluh lima persen).
(2) Khusus untuk Hiburan berupa pagelaran busana, kontes kecantikan, diskotik, karaoke, klab malam, permainan ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa, tarif Pajak Hiburan dapat ditetapkan paling tinggi sebesar 75% (tujuh puluh lima persen).
(3) Khusus Hiburan kesenian rakyat/tradisional dikenakan tarif Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).
(4) Tarif Pajak Hiburan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Lebih lanjut mengenai besaran pokok Pajak Hiburan yang terutang dihitung
dengan cara mengalikan tarif yang ditetapkan dengan dasar pengenaan
pajak. Sebagai contoh simulasi cara penghitungan Pajak Hiburan adalah
sebagao berikut :
Pajak = Dasar Pengenaan Pajak X Tarif Pajak
Jumlah Uang yang diterima penyelenggara hiburan sesuai Karcis/
dokumen lain misalnya sebesar 50.000.000
Tarif Pajak = 10 %
Jumlah Pajak = 50.000.000 X 10 % = Rp. 5.000.000
Pajak Hiburan dipungut dalam masa pajak yakni jangka waktu 1
(satu) bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur
dengan produk hukum lain yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak
untuk menghitung, menyetor dan melaporkan pajak yang
terutang. Sementara itu, adapun saat terutangnya Pajak Hiburan
ditetapkan pada saat terjadi penyelenggaraan hiburan.
P a g e | 29
B. KONDISI EKSISTING KABUPATEN BADUNG
1. Letak Geografis
Sebagai salah satu dari kabupaten di Bali, Kabupaten Badung
secara fisik memiliki bentuk wilayah menyerupai sebilah keris.
Keunikan ini kemudian diangkat menjadi lambang daerah, yang di
dalamnya terkandung semangat dan jiwa ksatria berkaitan dengan
peristiwa Puputan Badung. Semangat ini kemudian melandasi moto
Kabupaten Badung, Cura Dharma Raksaka, yang berarti kewajiban
pemerintah untuk melindungi kebenaran dan rakyatnya.49
Gambar 1: Peta Wilayah Kabupaten Badung
Wilayah Kabupaten Badung terletak pada posisi 08o14'17"-
08o50'57"Lintang Selatan (LS) dan 115o05'02"--15o15' 09" Bujur
Timur (BT) membentangdi tengah-tengah Pulau Bali. Secara umum
Kabupaten Badung merupakan daerah beriklim tropis yang memiliki
49
Kabupaten Badung, 2017, Profil Badan Pendapatan Daerah (Pasedahan Agung), h.11.
P a g e | 30
dua musim, yaitu musim kemarau (April–Oktober) dan musim hujan
(Nopember – Maret). Curah hujannya rata-rata 893,4 – 2.702,6mm
per tahun. Kemudian suhu udaranya berkisar 25o C – 30o C dengan
kelembapan udara rata-rata mencapai 79%. Khusus kedudukan atau
lokasi Puspem Kabupaten Badung “Mangupraja” di wilayah
Mangupura terletak pada koordinat 08º36’10” LS dan 115º10’43” BT.
Wilayah Mangupura ini meliputi Desa Mengwi, Desa Gulingan, Desa
Mengwitani, Desa Kekeran, Kelurahan Kapal, Kelurahan Abianbase,
Kelurahan Lukluk, Kelurahan Sempidi, dan Kelurahan Sading.50
2. Luas Wilayah
Luas wilayah Kabupaten Badung adalah 418,52 km2 (7,43% dari
luas Pulau Bali). Bagian utara Kabupaten Badung merupakan daerah
pegunungan yang berudara sejuk, berbatasan dengan Kabupaten
Buleleng. Wilayah di bagian selatan merupakan dataran rendah
dengan pantai berpasir putih dan berbatasan langsung dengan
Samudra Indonesia. Sebelah timur wilayahnya berbatasan dengan
Kabupaten Gianyar dan Kota Denpasar. Bagian tengah wilayah
Badung merupakan daerah persawahan. Di sebelah barat berbatasan
dengan Kabupaten Tabanan. 51
3. Penduduk
Penduduk dapat menentukan dinamika suatu wilayah atau
sebuah kota. Selaku individu dan kelompok, penduduk menjadi
pelaku utama dalam kehidupan sebuah kota atau wilayah.
Berdasarkan data Badan pusat Statistik Kabupaten Badung 2018,
jumlah penduduk Badung 656,40 ribu jiwa. Wilayah yang paling
banyak penduduknya adalah Mengwi, yaitu 131,93 ribu jiwa,
50
Ibid.,h.12. 51
Ibid.
P a g e | 31
sedangkan yang paling sedikit penduduknya adalah wilayah Petang,
yaitu 25,76 ribu jiwa.
Tabel 2
Demografi Kabupaten Badung Tahun 2018
KECAMATAN LUAS WILAYAH JUMLAH PENDUDUK
KM2 (dalam ribuan)
KUTA SELATAN 101,13 164,78
KUTA 17,52 107,66
KUTA UTARA 33,86 134,73
MENGWI 82,00 131,93
ABIANSEMAL 69,01 92,04
PETANG 115,00 25,76
TOTAL 418,52 656,90
Sumber data: data diolah (badungkab.bps.go.id)
4. Perekonomian
Pada masa kerajaan, kekuatan ekonomi Badung banyak
didukung oleh sektor pertanian (agraris) berkombinasi dengan sektor
perdagangan. Ketika pusat pemerintahan Badung berada di Puri
Denpasar, aktivitas perdagangan berupa pasar sore (tenten) berada di
sebelah selatan puri. Hal inilah yang menyebabkan pusat
pemerintahan Badung disebut Puri Denpasar, yang berarti puri dajan
pasar (di sebelah utara pasar). Perekonomian Badung juga didukung
pelabuhan laut di Kuta, yang banyak berhubungan dengan pedagang
dari luar daerah, bahkan dari negara asing. Setelah Indonesia
merdeka, khususnya sejak dekade 1980-an, perekonomian Badung
lebih banyak didukung oleh sektor pariwisata budaya. Sektor inilah
P a g e | 32
yang banyak memberikan kontribusi pada pendapatan asli daerah
(PAD) Kabupaten Badung.52
Bersumber dari kontribusi pajak hotel dan restoran Tingginya
PAD Badung yang berasal dari kontribusi pajak hotel dan restoran
(PHR) menyebabkan Pemda Bali berinisiatif mewajibkan Kabupaten
Badung menyisihkan PAD yang berasal dari PHR untuk
disumbangkan kepada kabupaten lain di Bali (selain Denpasar)
melalui Pemda Bali. Kewajiban tersebut dituangkan dalam
Keputusan Gubernur Bali Nomor 16 Tahun 2003. Setelah terjadinya
peristiwa Bom Bali pada 2002, pemanfaatan sumbangan Kabupaten
Badung kepada Pemda Bali untuk didistribusikan kepada enam
kabupaten di Bali, pemanfaatannya diprioritaskan untuk promosi
pariwisata bersama dan peningkatan keamanan. Hal ini diputuskan
berdasarkan SK Gubernur No. 285/01-F/HK/2009, 11 Maret 2009.53
5. Visi Misi Pemerintah Kabupaten Badung
Sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 Visi
adalah cara pandang jauh kedepan kemana Instansi Pemerintah atau
suatu organisasi harus dibawa agar dapat eksis, antisipatif, dan
inovatif. Visi adalah gambaran tentang masa depan yang ingin
dicapai. Sebagaimana diketahui bahwa berdasarkan hasil Pilkada
serentak Tahun 2015, telah terjadi suksesi kepemimpinan di
Kabupaten Badung dengan dilantiknya Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah yang baru pada tanggal 17 Pebruari 2016, yakni I
Nyoman Giri Prasta, S.Sos. dan Drs. I Ketut Suiasa, SH., selaku
Bupati dan Wakil Bupati Badung periode 2016 – 2021.
52
Ibid.,h.16. 53
Ibid.,h. 17.
P a g e | 33
Visi dari Bupati dan Wakil Bupati Badung “MEMANTAPKAN ARAH
PEMBANGUNAN BADUNG BERLANDASKAN TRI HITA KARANA
MENUJU MASYARAKAT YANG MAJU, DAMAI, SEJAHTERA”. Visi
tersebut selanjutnya dijabarkan dalam misi, sebagai berikut :54
a. Memperkokoh kerukunan hidup bermasyarakat dalam jalinan
keagamaan adat, budaya dan agama
b. Memantapkan kualitas pelayanan publik dengan menerapkan
Teknologi Informasi dan Komunikasi
c. Memantapkan tata kelola pemerintahan dengan menerapkan
prinsip Good Governance dan Clean Government
d. Meningkatkan pelaksanaan program keluarga berencana (KB)
dalam pengelolaan kependudukan
e. Memperkuat usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) sebagai
pilar ekonomi kerakyatan
f. Mewujudkan tatanan kehidupan bermasyarakat yang menjunjung
tinggi penegakan hukum dan HAM (Hak Asasi Manusia)
g. Meningkatkan perlindungan dan pengelolaan Sumber Daya Alam
dan lingkungan hidup
h. Memperkuat daya saing daerah melalui peninngkatan mutu
sumber daya manusia dan infrastruktur wilayah
i. Meningkatkan sinergitas potensi budaya, pertanian dalam artian
luas dan pariwisata
Terkait dengan pelaksanaan Misi tersebut, Pemerintah Kabupaten
Badung bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten Badung sedang menyusun Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2016 – 2021, sebagai perwujudan
dari visi dan misi Bupati Badung dan Wakil Bupati untuk 5 (lima )
54
Ibid.,h. 18-20.
P a g e | 34
tahun mendatang. Dalam RPJMD akan ditentukan mengenai tujuan
dan sasaran yang akan dicapai, sebagai pedoman dalam menentukan
arah pembangunan kedepan.
Badan Pendapatan Daerah/Pasedahan Agung selaku SKPD
pengelola pendapatan, memiliki tujuan pokok yakni Peningkatan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Badung. Peningkatan PAD
merupakan syarat utama dalam mewujudkan pengelolaan tata kelola
pemerintahan yang mantap, karena PAD merupakan cerminan dari
kemandirian daerah dalam melaksanakan otonomi daerah. Dalam
kaitan itu, dari beberapa misi Bupati dan Wakil Bupati Badung,
maka sesuai dengan Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) Badan
Pendapatan Daerah/Pasedahan Agung Kabupaten Badung, mengacu
pada pelaksanaan misi ke 1, 2 dan 3, yaitu :55
a. Memperkokoh kerukunan hidup bermasyarakat dalam jalinan
keagamaan adat, budaya dan agama
b. Memantapkan kualitas pelayanan publik dengan menerapkan
Teknologi Informasi dan Komunikasi
c. Memantapkan tata kelola pemerintahan dengan menerapkan
prinsip Good Governance dan Clean Government
C. KAJIAN TERHADAP PRAKTEK PENYELENGGARAAN PAJAK HIBURAN
1. Kontribusi Pajak Hiburan Terhadap Pajak Daerah di Kabupaten
Badung
Otonomi daerah menuntut untuk mengedepankan kemandirian
daerah. Dampak dari adanya otonomi daerah adalah semakin
besarnya wewenang dan tanggung jawab yang diberikan kepada
55
Ibid.,h.20.
P a g e | 35
daerah untuk dapat memaksimalkan potensi yang ada serta
mempunyai wewenang untuk mengatur dan memberikan suatu
kebijakan tertentu, termasuk di sektor perpajakan.
Otonomi daerah menghendaki daerah untuk berkreasi dalam
mencari sumber penerimaan yang dapat membiayai pengeluaran
pemerintah daerah dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan
dan pembangunan. Dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pajak dan retribusi
daerah merupakan dua sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD),
disamping penerimaan dari kekayaan daerah yang dipisahkan serta
PAD lain-lain yang sah. Semakin tinggi peranan PAD dalam
pendapatan daerah merupakan cermin keberhasilan usaha-usaha
atau tingkat kemampuan daerah dalam pembiayaan penyelengaraan
pemerintahan dan pembangunan.
Salah satu komponen pajak daerah adalah Pajak Hiburan,
yang merupakan salah satu pendapatan asli daerah. Hal ini sesuai
dengan Peraturan Daerah Kabupaten Badung No. 17 Tahun 2011,
bahwa Pajak Hiburan yang selanjutnya disebut pajak adalah pajak
atas penyelenggaran hiburan. Pajak Hiburan ini dikenakan pada
semua penyelenggaraan hiburan yang dipungut bayaran.56
Pemerintah Kabupaten Badung mengeluarakan Peraturan
Daerah tentang Pajak Hiburan sebagai landasan hukum operasional
dalam tehnis pengenaan dan pemungutan Pajak Hiburan.
Keberadaan Pajak Hiburan ini diharapkan mampu memberikan
kontribusi lebih terhadap pendapatan asli daerah dan kontribusi
56Ketentuan Pasal 1 Angka 7 dan Angka 8 Peraturan Daerah Kabupaten Badung No. 17
Tahun 2011 Tentang Pajak Hiburan.
P a g e | 36
inilah yang nantinya akan digunakan untuk penyelengaraan
pembangunan daerah.
Pajak Hiburan merupakan salah satu pajak daerah yang
dipungut oleh Pemerintah Kabupaten Badung. Cara untuk
menghitung tingkat kontribusi Pajak Hiburan terhadap penerimaan
pajak daerah yaitu dengan membandingkan antara realisasi Pajak
Hiburan dengan realisasi pajak daerah. Berikut tabel yang
menunjukkan besarnya kontribusi Pajak Hiburan terhadap pajak
daerah Kabupaten Badung.
Tabel 3
Kontribusi Penerimaan Pajak Hiburan Terhadap Pajak Daerah
Kabupaten Badung 2013-2018.
Tahun
Anggaran
Realisasi
Pajak Hiburan
Realisasi
Pajak Daerah
Kontribusi
%
2013 25.755.951.881 2.010.554.251.067 1,28 %
2014 30.338.040.073 2.339.332.864.903 1,30%
2015 40.083.804.464 2.339.332.864.903 1,71%
2016 49.931.515.970 2.968.152.917.833 1,68%
2017 58.585.763.642 3.490.156.150.276 1,68%
2018 59.419.893.304 3.033.180.689.866 1.96%
Rata-Rata 1,60%
Sumber : Bapenda Kabupaten Badung (Data Diolah) 2018
Dari tabel di atas, untuk Pajak Hiburan tingkat prosentase
kontribusinya untuk tahun 2013 sebesar 1,28%,tahun 2014 sebesar
1,30% tahun 2014 sebesar 1,30% tahun 2015 sebesar 1,71%, tahun
2016 sebesar 1,68%, tahun 2017 sebesar 1,68% dan tahun 2018
sebesar 1,96%. Kontribusi terbesar terjadi pada tahun 2018 sebesar
P a g e | 37
1,96% sedangkan terendah terjadi pada tahun 2013 yaitu sebesar
1,28%.
Berdasarkan perhitungan kontribusi penerimaan Pajak Hiburan
terhadap pajak daerah diatas, maka mulai tahun 2013 hingga tahun
2018 Pajak Hiburan memberikan kontribusi sebesar 1,60% dari
penerimaan pajak daerah. Rata-rata kontribusi dalam kurun waktu 6
tahun terakhir menunjukkan bahwa prosentasenya tergolong kriteria
0 – 10 % atau sangat kurang.
2. Kontribusi Pajak Hiburan Terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Badung
Adanya diskresi yang berupa keleluasaan penetapan tarif Pajak
Hiburan dapat dilihat dari fungsi regulerand dari pajak. Pemerintah
Daerah diberi kewenangan untuk menetapkan klasifikasi jenis
hiburan tertentu dan tarif pajaknya dengan tetap memperhatikan
ketentuan undang-undang dan Peraturan Daerah yang mengaturnya.
Seperti tentang tarif Pajak Hiburan yang diatur dalam ketentuan
Pasal 6 Peraturan Daerah Kabupaten Badung No. 17 Tahun 2011
Tentang Pajak Hiburan sebagai berikut :
1) Tarif pajak ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen)
2) Khusus tarif Pajak Hiburan berupa mandi uap, diskotik,
karaoke, klab malam dan panti pijat, ditetapkan sebesar
12,5% (dua belas koma lima persen).
3) Khusus hiburan rakyat/tradisional tarif pajaknya ditetapkan
sebesar 5% (lima persen).
4) Hiburan kesenian rakyat/tradisional sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) yang diselenggarakan oleh desa adat tarif
pajaknya ditetapkan 0% (nol persen).
P a g e | 38
Tarif Pajak Hiburan yang ditetapkan Pemerintah Kabupaten Badung
mulai tahun 2011 masih dibawah batas maksimal tarif Pajak
Hiburan yang dijumpai pada Pasal 45 UU No. 28 Tahun 2009, yakni :
(1) Tarif Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 35% (tiga puluh lima persen).
(2) Khusus untuk Hiburan berupa pagelaran busana, kontes kecantikan, diskotik, karaoke, klab malam, permainan
ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa, tarif Pajak Hiburan dapat ditetapkan paling tinggi sebesar 75% (tujuh
puluh lima persen). (3) Khusus Hiburan kesenian rakyat/tradisional dikenakan tarif
Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh
persen).
Menyimak pengaturan tersebut dapat kiranya dimaknai bahwa
Pemerintah Daerah Kabupaten Badung memberikan perhatian yang
positif terhadap hiburan kesenian rakyat/tradisional dengan
menetapkan tarif pajak yang berbeda dengan jenis hiburan yang
lainnya. Hiburan berupa kesenian rakyat/tradisional adalah jenis
hiburan yang perlu dilestarikan dan diselenggarakan di tempat yang
dapat dikunjungi oleh semua lapisan masyarakat.
Sebagaimana ditegaskan dalam Penjelasan Perda Kabupaten
Badung No. 17 Tahun 2011 Tentang Pajak Hiburan, bahwa dengan
makin meningkatnya pelaksanaan tugas pemerintahan,
pembangunan serta pelayanan kepada masyarakat, maka menuntut
tersedianya dana yang lebih memadai. Oleh karenanya sumber
pembiayaan untuk pelaksanaan kegiatan tersebut diatas dapat digali
dari PAD, dimana salah satunya berasal dari Pajak Hiburan yang
merupakan potensi pajak yang cukup besar di Kabupaten Badung.
Bila dilihat faktanya di Kabupaten Badung, hiburan merupakan
sektor potensial dalam penerimaan Pajak Hiburan dan hal tersebut
dapat memberikan kontribusi bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) bila
P a g e | 39
dapat dimanfaatkan secara efektif. Kontribusinya yang dimaksud
adalah besarnya sumbangan atau partisipasi Pajak Hiburan terhadap
Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dalam pelaksanana otonomi daerah
dimana Pemerintah Daerah diharapkan dapat mengupayakan
peningkatan PAD yang bersumber dari pajak, terutama Pajak
Hiburan.
Pengertian Pendapatan Asli Daerah berdasarkan Undang-
Undang No. 28 Tahun 2009 yaitu sumber keuangan daerah yang
digali dari wilayah daerah yang bersangkutan. Sumber keuangan
daerah tersebut terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah,
hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain
pendapatan asli daerah yang sah. Kebijakan keuangan daerah
diarahkan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah sebagai
sumber utama pendapatan daerah sebagai sumber utama
pendapatan daerah yang dapat dipergunakan oleh daerah dalam
melaksanakan pemerintahan dan pembangunan daerah sesuai
dengan kebutuhannya guna memperkecil ketergantungan dalam
mendapatkan dana dan pemerintah tingkat atas (subsidi).
Untuk mengetahui mengenai besaran kontribusi Pajak Hiburan
terhadap PAD Kabupaten Badung dapat dilihat dari target dan
realisasi Pajak Hiburan serta realisasi PAD pada tabel 4 dan tabel 5
dibawah ini :
Tabel 4
Target Realisasi Pajak Hiburan Kabupaten Badung 2013-2018.
Tahun Anggaran
Target Realisasi Prosentase %
2013 23.000.000.000 25.755.951.881 112 %
2014 29.000.000.000 30.338.040.073 94%
P a g e | 40
Tahun
Anggaran Target Realisasi Prosentase %
2015 35.000.000.000 40.083.804.464 115%
2016 45.425.540.098 49.931.515.970 118%
2017 57.156.365.805 58.585.763.642 103%
2018 75.727.677.208 59.419.893.304 78%
Rata-Rata 103,3%
Sumber : Bapenda Kabupaten Badung (Data Diolah) 2018
Dari data diatas, tahun 2013, 2015, 2016, dan 2017 realisasi
Pajak Hiburan melebihi target dengan prosentase 112%, 115%, 118%
dan 103%. Sedangkan pada tahun 2014 dan 2018, realiasasinya
tidak mencapai target dengan prosentase 94% dan 78%. Berdasarkan
data ini dapat dilihat bahwa enam tahun terakhir telah terjadi 4 kali
realisasi melebihi target dan 2 (dua) kali realisasi tidak mencapai
target.
Tabel 5
Kontribusi Pajak Hiburan sebagai sumber PAD
Kabupaten Badung 2013-2018.
Tahun
Anggaran Realisasi PAD
Realisasi Pajak
Hiburan
Prosentase
%
2013 2.279.053.294.586 25.755.951.881 1,13%
2014 2.722.625.562.621 30.338.040.073 1,11%
2015 2.722.625.562.621 40.083.804.464 1,47%
2016 3.563.459.644.192 49.931.515.970 1,40%
2017 4.172.244.031.125 58.585.763.642 1,40%
2018 3.538.107.107.503 59.419.893.304 1,68%
Rata-Rata 1,37%
Sumber : Bapenda Kabupaten Badung (Data Diolah) 2018
P a g e | 41
Dari tabel diatas, untuk Pajak Hiburan, tingkat prosentase
kontribusi. Untuk tahun 2013 sebesar 1,13%, tahun 2014 sebesar
1,11%, tahun 2015 sebesar 1,47%, tahun 2016 sebesar 1,40%, tahun
2017 sebesar 1,40% dan tahun 2018 sebesar 1,69%, sedangkan
terendah terjadi pada tahun 2014, yaitu sebesar 1,11%. Dari data ini
kontribusi Pajak Hiburan sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah
(PAD) selama enam tahun terakhir dinilai tidak maksimal dan masuk
kategori kriteria kontribusi sangat kurang. Hasil analisis diperoleh
tingkat kontribusi rata-rata hanya sebesar 1,37%.
Mengingat rendahnya tingkat kontribusi Pajak Hiburan terhadap
PAD, maka perlu dilakukan berbagai upaya dalam rangka
meningkatkan penerimaan Pajak Hiburan tersebut diantaranya
adalah :
1. Ekstensifikasi wajib pajak yang berupa penambahan jumlah
wajib pajak terdaftar dan perluasan objek pajak di
Kabupaten Badung dengan mencari jenis-jenis atau tempat-
tempat hiburan baru yang potensial.
2. Meningkatkan/menaikkan tarif pajak yang sudah ada.
Terkait dengan adanya keinginan untuk menaikkan tarif
pajak ini, dapat dilakukan untuk jenis Pajak Hiburan
tertentu dengan tetap memperhatikan batas maksimal
penganaan tarif berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
3. Kontribusi Pajak Daerah Terhadap Pendapatan Asli Daerah
(PAD) Kabupaten Badung
Pajak bagi pemerintah daerah berperan sebagai sumber
pendapatan (budgetary function) yang utama dan juga sebagai alat
P a g e | 42
pengatur (regulatory function). Pajak sebagai salah satu sumber
pendapatan daerah digunakan untuk membiayai pengeluaran-
pengeluaran pemerintah, kseperti membiayai administrasi
pemerintah, pembangunan infrastruktur, menyediakan fasilitas
pendidikan, kesehatan, dan membiayai kegiatan pemerintah daerah.
Salah satu sumber penerimaan daerah berasal dari pajak daerah
yang dipakai untuk membiayai pembangunan di daerah. Kegiatan
pembangunan daerah merupakan upaya untuk memanfaatkan
potensi yang ada di daerah, yang sesuai keuangannya untuk
mengurus rumah tangganya sendiri, termasuk mengurus dan
mengelola sumber-sumber penerimaan potensial daerah, seperti
pajak daerah.
Sebagaimana dimaksudkan oleh Suandy, pajak daerah adalah
kontribusi wajib oleh orang pribadi atau badan yang berwenang,
pemungutannya ada pada Pemerintah Daerah yang pelaksanaannya
dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah.57 Pajak daerah
mempunyai peranan sangat penting dalam pembiayaan
pembangunan di daerah. Seiring perjalanan otonomi daerah
diharapkan daerah mampu memanfaatkan segala potensi yang ada
terhadap sumber-sumber penerimaan daerah, yang salah satunya
sumber penerimaan yang berasal dari pajak daerah.
Provinsi Bali, daerah yang setiap tahunnya memberikan
sumbangan tertinggi kepada PAD dibandingkan daerah lainnya, yaitu
Kabupaten Badung. PAD Kabupaten Badung selalu berada di posisi
pertama bila dibandingkan dengan kabupaten lainnya. Pemerintah
PAD Kabupaten Badung terbilang sangat besar dan memiliki selisih
57 Suandy, Erly, 2011, Hukum Pajak, Edisi 5, Salemba Empat, Jakarta, h. 37.
P a g e | 43
jauh dengan kabupaten lainnya. Hal ini disebabkan karena
Kabupaten Badung merupakan pusat daerah pariwisata potensial
dalam penerimaan PAD.
Salah satu sumber PAD Kabupaten Badung adalah dari pajak
daerah. Pemerintah Kabupaten Badung harus dapat mengoptimalkan
penerimaan pajak daerah sebagai sumber penerimaan PAD. Pajak
daerah memiliki peranan yang sangat penting dalam membiayai
pembangunan daerah, karena pajak daerah memberikan sumbangan
tertinggi kepada PAD. Mengingat begitu besarnya kontribusi pajak
daerah terhadap penerimaan PAD, maka dari itu pajak daerah harus
dapat dikelola secara tepat sehingga dapat dimanfaatkan secara
maksimal untuk pembiayaan pembangunan daerah.
Kajian ini bertujuan untuk mengetahui kontribusi pajak daerah
terhadap PAD Kabupaten Badung, yang selama ini dinilai
memberikan kontribusi atau sumbangan yang besar dan cukup
untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan
daerah di Kabupaten Badung. Adapun kontribusi pajak daerah
terhadap PAD di Kabupaten Badung dapat dilihat dalam tabel di
bawah ini:
Tabel 6
Kontribusi Pajak Daerah Terhadap PAD Kabupaten Badung Tahun 2013 – Tahun 2018
Tahun
Anggaran
Realisasi
Pajak Daerah Realisasi PAD
Kontribusi
%
2013 2.010.554.251.067 2.279.053.294.586 88,21%
2014 2.339.332.864.903 2.722.625.562.621 85,92%
2015 2.339.332.864.903 2.722.625.562.621 85,92%
2016 2.968.152.917.833 3.563.459.644.192 83,29%
P a g e | 44
2017 3.490.156.150.276 4.172.244.031.125 83,65%
2018 3.033.180.689.866 3.538.107.107.503 85,72%
Rata-Rata 85,45%
Sumber : Bapenda Kabupaten Badung (data diolah 2018)
Mengacu kepada tabel di atas, terkait perhitungan pajak daerah
terhadap PAD Kabupaten Badung dari tahun 2013 sampai dengan
tahun 2018 memberikan kontribusi yang cukup besar. Meskipun
bersifat fluktuatif, setiap tahunnya pajak daerah memberikan
kontribusi yang cukup besar terhadap PAD Kabupaten Badung.
Berdasarkan analisis tingkat kontribusi pajak daerah terhadap
PAD Kabupaten Badung tahun 2013 – 2018, mewujudkan bahwa
pada tahun 2016 pajak daerah memberikan kontribusi terendah
yaitu 83,29% dan kontribusi tertinggi yang terjadi pada tahun 2013,
yaitu 88,21%. Secara keseluruhan rata-rata kontribusi pajak daerah
terhadap PAD selama tahun 2013 – 2018 setiap tahunnya adalah
sebesar 85,45%, dan ini masuk kategori sangat baik.
4. Analisis Rasionalisasi tarif Pajak Hiburan di Kabupaten
Badung
Target penerimaan Pajak Hiburan di Kabupaten Badung tiap
tahunnya selalu meningkat. Terlebih, apabila menilik target
penerimaan Pajak Hiburan di Kabupaten Badung tahun 2018 yang
mengalami kenaikan sebesar Rp 18.5 triliun menjadi Rp 75,7
triliun. Hal tersebut secara tidak langsung membuat Pemerintah
Kabupaten Badung memutar otak untuk mencari cara bagaimana
menggali potensi pajak daerah yang ada di dalam wilayahnya. Salah
satu cara untuk meningkatkan penerimaan Pajak Hiburan di
Kabupaten Badung adalah dengan menaikan tarif Pajak Hiburan.
P a g e | 45
Ketentuan mengenai Pajak Hiburan itu sendiri diatur dalam
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, dan Peraturan Daerah
Kabupaten Badung Nomor 17 Tahun 2011. Berdasarkan Pasal 1
Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 17 Tahun 2011 yang
dimaksud dengan hiburan adalah semua jenis tontonan,
pertunjukan, permainan dan/atau keramaian yang dinikmati
dengan di pungut bayaran.
a. Prediksi Tarif Pajak Hiburan
Kenaikan Pajak Hiburan khususnya Pajak Hiburan berupa
mandi uap/Spa, diskotik, karaoke, klab malam dan panti pijat
sebelumnya pernah diwacanakan oleh Kepala Bapenda dan
Pesedahan Agung I Made Sutama, mengatakan pihaknya
mengusulkan kenaikan maksimal 25 persen, atau naik 100 persen
dari pajak saat ini yang sebesar 12,5 persen. Usulan ini sejalan
dengan pemikiran Pansus Perda Pajak Hiburan DPRD Badung pada
hari Selasa, 25 Juli 2017 yang mengusulkan “rasionalisasi tarif Pajak
Hiburan dari yang awalnya 12,5 persen menjadi 35 persen”. Wacana
rasionalisasi tarif Pajak Hiburan saat ini kembali dibahas dengan
melakukan kerjasama dengan Fakultas Hukum Unud untuk
membuat kajian akademis untuk mengkaji rasionalisasi kenaikan
Pajak Hiburan. Kalau dilihat dari target penerimaan Pajak Hiburan di
Kabupaten Badung tiap tahunnya selalu meningkat. Terlebih,
apabila menilik target penerimaan Pajak Hiburan di Kabupaten
Badung tahun 2018 yang mengalami kenaikan sebesar Rp 18.5
triliun menjadi Rp 75,7 triliun, dengan realisasi sebesar Rp 59.4
triliun atau 78%. Untuk mencapai target tersebut upaya yang bisa
dilakukan adalah dengan meningkatkan penerimaan pendapatan
pajak melalui intensifikasi dan ekstensifikasi. Upaya intensifikasi
P a g e | 46
dapat ditempuh melalui dua cara, yaitu a). Penyempurnaan
administrasi pajak, dan b) Peningkatan mutu pegawai atau petugas
pemungut. Sedangkan Ekstentifikasi dilakukan antara lain dapat
ditempuh melalui cara: a) Perluasan wajib pajak, b). Penyempurnaan
tarif dan c). Perluasan obyek pajak.
Mengacu pada data tahun 2018 realisasi Pajak Hiburan
sebesar Rp 59.419.893.304,- dengan tarif pajak 12,5% maka Dasar
Pengenaan Pajak (DPP) adalah Rp 475.350.144.000. Supaya Target
pajak tahun 2018 sebesar Rp75.727.677.208 bisa terealisasi maka
tarif pajaknya seharusnya sebesar 15,93 % (dibulatkan menjadi
16%). Supaya target pajak pada tahun berikutnya bisa terealisasi
maka salah satu cara yang dilakukan melalui penyempurnaan tarif
pajak. Dalam melakukan penyempurnaan tarif pajak langkah-
langkah yang ditempuh adalah 1) memprediksi target penerimaan
Pajak Hiburan tahun berikutnya, 2) memprediksi DPP Pajak
Hiburan tahun berikutnya dan 3) memprediksi tarif Pajak Hiburan
tahun berikutnya. Adapun yang dimaksud hal itu adalah :
1) Memprediksi target penerimaan Pajak Hiburan tahun 2019-2023
Berdasarkan target Pajak Hiburan tahun 2013-2018 didapat
rata-rata kenaikan target Pajak Hiburan sebesar 27% per tahun,
maka target Pajak Hiburan tahun 2019-2023 dapat diprediksi
seperti tersaji pada tabel berikut.
Tabel 7
Prediksi Target Pajak Hiburan Kabupaten Badung 2019-2023
Tahun Target
2019 96,174,150,054
2020 122,141,170,569
2021 155,119,286,622
P a g e | 47
Tahun Target
2022 197,001,494,010
2023 250,191,897,393
Sumber : Data Diolah
Berdasarkan tabel 7 prediksi target Pajak Hiburan Kabupaten
Badung tahun 2019 sebesar Rp 96.174.150.054, tahun 2020 sebesar
Rp 122.141.170.569, tahun 2021 sebesar Rp 155,119,286,622,
tahun 2022 sebesar Rp 197,001,494,010, dan tahun 2023 sebesar Rp
250,191,897.393.
2) Memprediksi DPP Pajak Hiburan tahun 2019-2023
Berdasarkan DPP Pajak Hiburan tahun 2013-2018 didapat Rata-
rata kenaikan DPP Pajak Hiburan sebesar 17% per tahun, maka
prediksi DPP Pajak Hiburan tahun 2019-2023 seperti tersaji pada
tabel berikut.
Tabel 8
Prediksi DPP Pajak Hiburan Kabupaten Badung 2019-2023
Tahun Anggaran DPP
2019 565.677.384.254
2020 673.156.087.262
2021 801.055.743.842
2022 953.256.335.172
2023 1.134.375.038.855
Sumber : Data Diolah
Berdasarkan tabel 8 prediksi DPP Pajak Hiburan Kabupaten Badung
tahun 2019 sebesar Rp 565.677.384.254, tahun 2020 sebesar Rp
673.156.087.262, tahun 2021 sebesar Rp 801.055.743.842, tahun
P a g e | 48
2022 sebesar Rp 953.256.335.17, dan tahun 2023 sebesar Rp
1.134.375.038.855.
3) Memprediksi tarif Pajak Hiburan Tahun 2019-2023
Berdasarkan prediksi target dan DPP Pajak Hiburan maka
dapat dihitung prediksi tarif Pajak Hiburan seperti tersaji pada tabel
berikut.
Tabel 9 Prediksi Tarif Pajak Hiburan Kabupaten Badung 2019-2023
Tahun Anggaran
Target DPP Prosentase
%
2019 23.000.000.000 565.677.384.254 17,00
2020 29.000.000.000 673.156.087.262 18,14
2021 35.000.000.000 801.055.743.842 19,36
2022 45.425.540.098 953.256.335.172 20,67
2023 57.156.365.805 1.134.375.038.855 22,06
Rata-Rata 19,45%
Sumber : Data Diolah
Berdasarkan tabel 9 prediksi tarif Pajak Hiburan Kabupaten Badung
tahun 2019 sebesar 17 persen, tahun 2020 sebesar 18,4 persen,
tahun 2021 sebesar 19.36 persen, tahun 2022 sebesar 20,67 persen,
dan tahun 2023 sebesar Rp 22,06 persen. Rata-rata prediksi tarif
Pajak Hiburan tahun 2019-2023 sebesar 19,45 persen (dibulatkan
menjadi 19,50 persen). Supaya target Pajak Hiburan bisa tercapai
seharusnya tarif Pajak Hiburan 5 tahun ke depan sebesar 19,50%.
Dengan demikian, perlu ada penyesuaian kenaikan pajak dari
pengenaan pajak sebelumnya sebesar 12,5 %. Untuk itu kenaikan
yang rasional adalah sebesar 7%.
P a g e | 49
b. Analisis Kelayakan Revisi Tarif Pajak Hiburan
Sudah tujuh tahun setelah Peraturan Daerah Kabupaten
Badung No. 17 Tahun 2011 tentang Pajak Hiburan diberlakukan,
tarif Pajak Hiburan tidak pernah di revisi. Untuk itu Badan
Pendapatan sebagai unsur pemungut pajak daerah merencanakan
untuk merasionalkan tarif Pajak Hiburan. Rasionalisasi tarif Pajak
Hiburan dilakukan melalui kajian akademis yang hasilnya
diharapkan bisa diterima oleh semua pihak yang berkepentingan
khususnya wajib pajak. Indikator yang digunakan dalam analisis
kelayakan revisi tarif Pajak Hiburan adalah UMR, nilai tukar rupiah,
kunjungan wisata domestik dan kunjungan wisata asing.
Tingkat upah memegang peranan yang sangat besar dalam
kondisi ketenagakerjaan karena tingkat upah yang berlaku akan
mempengaruhi jumlah pendapatan masyarakat, sehingga dapat
berpengaruh terhadap tingkat konsumsi masyarakat. Tujuan utama
ditetapkan upah minimum adalah memenuhi standar hidup
minimum seperti kesehatan, efisiesnsi, dan kesejahteraan pekerja.
Upah minimum adalah usaha untuk mengangkat derajat
masyarakat, semakin meningkat upah minimum akan dapat
meningkatkan pendapatan masyarakat sehingga kesejahteraan juga
meningkat.
Tabel 10 Perkembangan Upah Minimum Regional Kabupaten Badung
Tahun 2011-2018
Tahun Jumlah Perkembangan (%)
2011 1.221.000 -
2012 1.290.000 05,65
2013 1.401.000 08,60
P a g e | 50
Tahun Jumlah Perkembangan (%)
2014 1.728.000 23,24
2015 1.905.000 10,24
2016 2.124.075 11,50
2017 2.299.311 08,25
2018 2.499,580 08,71
2019 2.700.297,34 08,03
Rata-Rata 10,90
Sumber : Hasil Perhitungan
Berdasarkan Tabel 10, dapat dilihat bahwa secara keseluruhan dari
tahun 2011-2019 upah minimum regional Kabupaten Badung terus
meningkat setiap tahunnya. Peningkatan tertinggi setiap tahunnya terjadi
pada tahun 2013-2014 sebesar 23,24 persen dan peningkatan terendah
terjadi pada tahun 2011-2012 sebesar 05,65 persen. Rata-rata peningkatan
dari tahun 2011-2019 sebesar 10,90 persen. Kalau dibandingkan UMR
tahun 2011 dengan UMR tahun 2019 peningkatannya sebesar Rp
1.479.297,34 (130%). Dengan adanya peningkatan UMR, hal tersebut
mencerminkan keadaan ekonomi yang sudah membaik yang
berdampak pada peningkatan pendapatan pelaku usaha. Kalau
dikaitkan dengan tarif Pajak Hiburan, maka sudah selayaknya tarif
Pajak Hiburan dinaikkan.
Indikator lain yakni perkembangan kurs dollar terhadap rupiah
dimana dampak yang ditimbulkan oleh realisasi pembelian valuta
asing oleh korporasi baik untuk kebutuhan impor maupun
pembayaran cicilan utang luar negeri swasta di tengah-tengah
kelangkaan pasokan devisa cenderung menimbulkan tekanan
depresiasi terhadap nilai tukar rupiah.
P a g e | 51
Tabel 11
Perkembangan Kurs Rata-rata Dollar Amerika Serikat Terhadap Rupiah Tahun 2011-2018
Tahun Jumlah Perkembangan (%)
2011 8.808 -
2012 9.388 6,58
2013 10.524 12,10
2014 11.864 12,73
2015 13.363 12,63
2016 13.314 (00,37)
2017 13.322,74 00,07
2018 -
Rata-Rata 7,29
Sumber : Badan Pusat Statistik Bali, 2018 (data diolah)
Dalam situasi kurs mata uang rupiah mengalami depresiasi,
yaitu nilai mata uang dalam negeri melemah berarti nilai mata uang
asing menguat kursnya (kurs dollar Amerika). Kalau berkaca pada
nilai rupiah terus melemah dari tahun 2011 sampai dengan tahun
2015. Pada tahun 2016 nilai rupiah menguat lagi tapi pada tahun
2017-2018 nilai rupiah melemah lagi. Dalam kondisi melemahnya
nilai rupiah yang diuntungkan adalah mereka yang punya uang dolar
yang dalam hal ini adalah wisatawan asing. Wisatawan asing yang
sedang berlibur di kawasan wisata yang ada di Kabupaten Badung
bisa membelajakan dolarnya dengan barang atau jasa yang lebih
banyak.
Kabupaten Badung sebagai pusat kegiatan pemerintahan dan
pertumbuhan ekonomi memiliki berbagai macam sektor yang
sedianya dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah yang
didalamnya yaitu sektor pariwisata yang berkontribusi sangat besar
pada Pendapatan Asli Daerah, serta dapat memperluas lapangan
kerja. Sektor pariwisata sebagai salah satu sektor yang diandalkan
P a g e | 52
bagi penerimaan daerah maka Badan pendapatan Kabupaten Badung
dituntut untuk dapat menggali dan mengelola potensi pariwisata
yang dimiliki sebagai usaha untuk mendapatkan sumber pendapatan
melalui terobosan-terobosan baru dalam upaya membiayai
pengeluaran daerah. Kabupaten Badung sebagai salah satu tujuan
wisata di Bali setiap tahun dibanjiri oleh pengunjung baik domestik
maupun asing.
Kunjungan wisatawan domestik ke Bali tahun 2011-2017 tersaji
pada tabel 12 berikut:
Tabel 12
Kunjungan Wisatawan Domestik ke Bali Tahun 2011-2017
Tahun Jumlah Pertumbuhan (%)
2011 5 675 121 -
2012 6 063 558 6,84
2013 6 976 536 15.06
2014 6 394 307 -8.35
2015 7 147 100 11.77
2016 8 643 680 20.94
2017 8 735 633 1.06
Rata-Rata 7,88
Sumber : Badan Pusat Statistik Bali, 2018 (data diolah)
Berdasarkan tabel 12 dapat dilihat perkembangan wisatawan
domestik ke Bali dari tahun 2011 sampai tahun 2013 terus
meningkat, pada tahun 2014 menurun lagi, tetapi pada tahun
2015-2017 terus meningkat. Rata-rata perkembangan kunjungan
wisatawan domestik ke Bali tahun 2011-2017 sebesar 7,88 persen.
Untuk kunjungan wisatawan asing ke Bali tahun 2011-2017
tersaji pada tabel 13 berikut:
P a g e | 53
Tabel 13
Kunjungan Wisatawan Asing ke Bali Tahun 2011-2017
Tahun Jumlah Pertumbuhan (%)
2011 2 826 709 -
2012 2 949 332 4.34
2013 3 278 598 11.16
2014 3 766 638 14.89
2015 4 001 835 6.24
2016 4 927 937 23.14
2017 5 697 739 15.62
Rata-Rata 12.57
Sumber : Badan Pusat Statistik Bali, 2018 (data diolah)
Berdasarkan tabel 13 dapat dilihat perkembangan wisatawan asing
ke Bali dari tahun 2011 sampai tahun 2017 terus meningkat, pada
tahun 2016 berjumlah 4.927.937 wisatawan dan pada tahun 2017
berjumlah 5.697.739 wisatawan. Rata-rata perkembangan
kunjungan wisatawan asing ke Bali tahun 2011-2017 sebesar
12,57 persen.
Kunjungan wisatawan baik domesik maupun asing yang
setiap tahun mengalami peningkatan dimana rata-rata
peningkatan wisatawan domestik tahun 2011-2017 sebesar 7,88%
per tahun, sedangkan wisatawan asing tahun 2011-2017 sebesar
12,57% per tahun. Berdasarkan kondisi tersebut, wisatawan yang
mengunjungi obyek wisata semakin meningkat yang berdampak
pada peningkatan jumlah wisatawan yang menikmati hiburan.
Perilaku wisatawan dalam berlibur biasanya tidak berpikir banyak
untuk membelanjakan uangnya untuk membeli jasa hiburan.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka sudah selayaknya tarif
Pajak Hiburan dinaikkan.
P a g e | 54
BAB III
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS RASIONALISASI TARIF PAJAK HIBURAN
A. LANDASAN FILOSOFIS
Landasan filosofis adalah pandangan yang menjadi dasar cita-
cita sewaktu menuangkan suatu masalah ke dalam Peraturan
Perundang-undangan Ketentuan angka 19 Lampiran II UU No. 12
tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
menentukan bahwa unsur filosofis menggambarkan bahwa peraturan
yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran,
dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah
bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ( UUD
Tahun 1945 ).
Berdasarkan pemahaman akan hal tersebut, maka dalam
pembentukan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia harus
berlandaskan pandangan filosofis Pancasila, yakni :
1. Nilai-nilai religiusitas bangsa Indonesia yang terangkum dalam Sila Ke-Tuhanan Yang Maha Esa;
2. Nilai-nilai hak-hak asasi manusia dan penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan sebagaimana terdapat dalam
sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; 3. Nilai-nilai kepentingan bangsa secara utuh, dan kesatuan hukum
nasional seperti yang terdapat dalam sila Persatuan Indonesia;
4. Nilai-nilai demokrasi dan kedaulatan rakyat, sebagaimana terdapat di dalam sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan; dan 5. Nilai-nilai keadilan – baik individu maupun sosial – seperti yang
tercantum dalam Sila Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
P a g e | 55
Dalam Pasal 23 ayat 2 UUD 1945, disebutkan bahwa “segala
pajak untuk keperluan negara berdasrkan Undang-Undang,
selanjutnya setelah dilakukan amandemen menjadi pasal 23 A. yang
berbunyi “pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa
berdasarkan undang-undang” karena pajak menyayat daging tubuh
kita sendiri. Pajak tidak memberikan imbalan yang secara langsung
dapat ditunjuk, atau tidak memberikan imbalan yang sifatnya
langsung terhadap orang yang telah membayar pajak. Pengambilan
kekayaan atau harta tanpa persetujuan dari yang punya merupakan
tindakan “perampokan, pemakasaan, perampasan”. Namun pajak
tidak bermaksud seperti itu, oleh sebab itu pemungutan pajak
terlebih dahulu harus mendapatkan persetujuan dari rakyat.
Persetujuan tersebut diperoleh dari wakil rakyat yang duduk
diperlemen dalam hal ini adalah dewan perwakilan Rakyat (DPR)
yang dipilih oleh rakyat secara lansung dengan produk hukum yang
dibentuk berupa Undang-undang. Falsafah pajak yang tersirat dalam
Pasal 23 A UUDNRI ternyata ada kemiripan dengan falsafah pajak
dari negara lain , seperti di Inggris “No taxation without
representation”, dan di Amerika Serikat “Taxation without
Representation is Robbbery”.58
Perubahan Peraturan Daerah Kabupaten Badung Tentang Pajak
Hiburan dalam kaitannya dengan rasionalisasi tarif, Landasan
filosofis yang sesuai untuk dijadikan dasar penyusunan adalah
dengan melihat pada nilai-nilai yang terkandung dalam UUD Tahun
1945 sebagaimana dituangkan dalam alinea ke IV Pembukaan UUD
Tahun 1945, yakni untuk mewujudkan kesejahtraan masyarakat
khususnya masyarakat Kabupaten Badung. Sementara itu,
58
Rochmat Soemitro, Op.cit, h14
P a g e | 56
kesejahteraan tidak akan pernah tercapai apabila tidak didukung
oleh sumber pendanaan yang memadai, salah satunya dari sumber
penerimaan Pajak Hiburan. Pada pihak lain kemampuan penikmat
hiburan saat ini juga semakin tinggi dikaitkan dengan perkembangan
nilai mata uang rupiah atau mata uang asing. Nilai Rp. 1000 pada
tahun 2011 tentunya saat ini berbeda demikian juga bila dikaitkan
dengan nilai tukar rupiah dengan mata uang asing. Sementara itu,
kualitas obyek hiburan saat ini juga telah berkembang dengan
berbagai assesoris yang mengikutinya, sehingga sudah selayaknya
secara filosofis adanya keseimbangan antara kualitas hiburan dengan
kontribusi penikmat hiburannya.
B. LANDASAN SOSIOLOGIS
Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Dijelaskan juga bahwa
landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris
mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan
negara. Dalam pembuatan suatu produk hukum dapat
mencerminkan seta memperhatikan kondisi masyarakat itu sendiri,
apalagi produk hukum yang akan dibentuk akan membebani
masyarakat. Dengan demikian karakter produk hukum tersebut
bersifat “responsive”, yaitu produk hukum yang mencerminkan rasa
keadilan dan memenuhi harapan masyarakat.
Dalam kaitanya dengan rencana rasionalisasi tarif Pajak
Hiburan, berdasarkan fakta empiris bahwa kenaikan tarif untuk
Pajak Hiburan masih memungkinkan. Dengan memperhatikan
indikator mengenai Upah minimum Kabupaten Badung, nilai kurs
P a g e | 57
dolar terhadap rupiah, dan juga tingkat kenaikan kunjungan wisata
baik internasional maupun nusantara.
Seperti kita ketahui bahwa Sektor pariwisata sebagai salah satu
sektor yang diandalkan bagi penerimaan daerah maka Dinas
pendapatan Kab Badung dituntut untuk dapat menggali dan
mengelola potensi pariwisata yang dimiliki sebagai usaha untuk
mendapatkan sumber pendapatan melalui terobosan-terobosan baru
dalam upaya membiayai pengeluaran daerah. Salah satunya adalah
dengan dengan meningkatkan pendapatan daerah Kabupaten
Badung melalui sektor perpajakan khususnya Pajak Hiburan.
Seiring dengan semakin meningkatnya kunjungan wisatawan ke
Bali khususnya Kabupaten Badung yang banyak menyediakan
fasilitas untuk kenyamanan wisatawan yang berlibur termasuk juga
tempat-tempat yang dikategorikan sebagai tempat hiburan. Dengan
demikian, sudah sewajarnya Pemerintah Kabupaten Badung untuk
menaikan tariff Pajak Hiburan sepanjang tidak melampaui batas
maximum yang ditentukan sebagaimana diatur dalam Pasal 45
Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009. Hal ini juga tidak terlepas
dari fungsi pajak itu sendiri yaitu sebagai sumber pendapatan
(budgeter) dan juga fungsi mengatur (regulerend) sesuai dengan
keinginan/kehendak pemerintah khususnya Pemerintah Kabupaten
Badung.
C. LANDASAN YURIDIS
Landasan yuridis merupakan landasan hukum (yuridische
gelding) yang menjadi dasar kewenangan (bevoegdheid, competence)
pembentukan peraturan perundang-undangan termasuk Perda.
Dalam Lampiran I UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
P a g e | 58
Peraturan Perundang-Undangan disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan landasan yuridis adalah pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi
masalah hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan
mempertimbangkan aturan yang ada, yang akan diubah, atau yang
akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan
masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang
berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu
dibentuk Peraturan perundang-undangan yang baru. Beberapa
persoalan hukum itu, antara lain peraturan yang sudah ketinggalan,
peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih, jenis peraturan
yang lebih rendah dari Undang-Undang sehingga daya berlakunya
lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai, atau
peraturannya memang sama sekali belum ada.
Dalam kaitanya dengan rencana rasionalisasi tarif Pajak
Hiburan di Kabupaten Badung adapun landasan yuridisnya yaitu
dengan mengacu pada Pasal 45 Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Adapun ketentuan
sebagaimana dimaksud diatur dalam Pasal 45 adalah sebagai
berikut:
(1) Tarif Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 35% (tiga
puluh lima persen).
(2) Khusus untuk Hiburan berupa pagelaran busana, kontes
kecantikan, diskotik, karaoke, klab malam, permainan
ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa, tarif Pajak
Hiburan dapat ditetapkan paling tinggi sebesar 75% (tujuh
puluh lima persen).
P a g e | 59
(3) Khusus Hiburan kesenian rakyat/tradisional dikenakan tarif
Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh
persen).
(4) Tarif Pajak Hiburan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Ini menunjukan bahwa kewenangan untuk menentukan
besaran tarif Pajak Hiburan diserahkan kepada masing-masing
daerah Kabupaten/Kota berdasarkan Peraturan daerah sebagaimana
diatur dalam Pasal 45 ayat (1), dengan tidak melebihi dari batas
maximum sebagaimana diatur dalam dalam Pasal 45 ayat (1, 2, dan
3) Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009.
Dalam kaitanya dengan rencana rasionalisasi tarif Pajak
Hiburan maka Pemerintah Kabupaten Badung dapat menaikan tarif
Pajak Hiburan sebagaimana dimaksud namun tidak semata-mata
hanya untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) tetapi
harus tetap memperhatikan keadilan, kepastian dan kemanfaatan
kepada semua hal atau pihak yang terkait dengan penyelenggaraan
hiburan di Kabupaten Badung.
P a g e | 60
BAB IV
PENUTUP
A. SIMPULAN
Berdasarkan uraian pembahasan yang telah dilakukan, maka
simpulan yang dapat disampaikan adalah :
1. Dasar kewenangan dari Pemerintah Kabupaten Badung dalam
merasionalisasi tarif Pajak Hiburan adalah Pasal 45 Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah Dan
Retribusi Daerah, yang menentukan tarif maximum yang dapat
diterapkan oleh Pemerintah kabupaten/Kota dalam menentukan
tarif Pajak Hiburan yang diatur melalui Peraturan Daerah.
2. Berdasarkan analisis teoritis dan empiris dijumpai potensi Pajak
Hiburan terhadap penerimaan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten
Badung untuk lima tahun kedepan semakin meningkat
sebagaimana perkembangan target yang ditetapkan dari tahun ke
tahun. Dengan demikian secara rasional berdasarkan analisis
ekonomis, maka sangat rasional apabila Pemerintah Kabupaten
Badung melakukan intensifikasi penerimaan pajak khususnya
Pajak Hiburan dengan menaikan tarif terhadap Pajak Hiburan.
3. Bahwa berdasarkan kajian analisis melalui pendekatan ekonomis
dalam kaitannya dengan tingkat kunjungan wisatawan, nilai kurs
rupiah terhadap dolar US, upah minimum kabupaten/kota, dan
juga dalam kaitanya dengan tingkat konsumsi akan hiburan
terutama pada daerah-daerah wisata di wilayah Kabupaten
Badung untuk perhitungan 5 (lima) tahun kedepan, maka batas
kepatutan rasionalisasi kenaikan rata-rata tarif Pajak Hiburan
untuk dapat memberikan pelayanan yang optimal kepada
P a g e | 61
masyarakat dan meningkatkan pendapatan daerah Kabupaten
Badung adalah sebesar 7% (tujuh Persen).
B. SARAN
Pemerintah Kabupaten Badung perlu segera melakukan
perubahan terhadap pengaturan Pajak Hiburan khususnya berkaitan
dengan tarif Pajak Hiburan dan menyampaikan ke DPRD Kabupaten
Badung untuk selanjutnya dilakukan pembahasan bersama.
Pemerintah Kabupaten Badung perlu segera membentuk Peraturan
Bupati guna mengatur Pajak Hiburan yang bersifat isidentil dengan
memperhatikan aspek sosial, kemanusian, pendidikan, adat dan
keagamaan.
Perubahan pengaturan dimaksud khusus terhadap ketentuan
Pasal 6 Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 17 Tahun 2011
tentang Pajak Hiburan, adalah sebagai berikut:
Lama Baru/Rekomendasi Ket.
(1) Tarif pajak ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen)
(2) Khusus tarif Pajak Hiburan berupa mandi
uap/spa, diskotik,karaoke, klab
malam dan panti pijak, ditetapkan sebesar 12,5% (dua belas koma lima
persen) (3) Khusus hiburan Rakyat/
tradisional tarif pajaknya ditetapkan sebesar 5%
(lima persen) (4) Hiburan kesenian
rakyat/tradisional
(1) Tarif pajak ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen)
(2) Khusus tarif Pajak Hiburan berupa mandi
uap/spa, diskotik,karaoke, klab
malam dan panti pijak, ditetapkan sebesar 19,5% (dua belas koma
lima persen) (3) Khusus hiburan
Rakyat/ tradisional yang sifatnya komersiil
tarif pajaknya ditetapkan sebesar 5% (lima persen)
Naik
7%
P a g e | 62
sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) yang diselenggarakan oleh
desa adat tarif pajak ditetapkan 0% (nol
persen)
(4) Hiburan yang sifatnya
insidentil tarif pajaknya ditetapkan
10% (sepuluh persen) (5) Hiburan yang sifatnya
insidentil yang ditujukan semata mata
untuk fungsi sosial, kemanusiaan, pendidikan, dan
keagamaan tarif pajaknya ditetapkan
sebesar 0% (nol persen) (6) Jenis hiburan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan
berdasarkan peraturan Bupati.
P a g e | 63
DAFTAR PUSTAKA
Aini, H.Hamdan, 1985, Perpajakan, Bina Aksara, Jakarta.
Algra, NE, H.R.W. Gokkel, Saleh Adiwinata, Boerhanoedin St. Batoeh,
1983, Kamus Istilah Hukum Belanda-Indonesia, Binacipta, Jakarta.
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2016, Pengantar Metode Penelitian
Hukum, cet. IX, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Brotodihardjo, R. Santoso, 1995, Pengantar Ilmu Hukum Pajak,
Eresco, Bandung.
Curson, L.B, 1979, Yuriprundence, M &E Handbooks, Mac Donald dan Evans, Ltd, Estover, Playmount.
Darwin, 2010, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Mitra Wacana
Media, Jakarta. Hadjon, Philipus, 1997, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia
(Introduction to the Indonesia Administrative Law), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
------,1992, Lembaga Tertinggi Dan Lembaga-Lembaga Tinggi Negara
menurut Undang-Undang Dasar 1945 (Suatu analisa Hukum dan Kenegaraan), Bina Ilmu, Surabaya.
Halim, Abdul, 2004, Manajemen Keuangan Daerah, YKPN,
Yogyakarta.
Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Ismail, 2007, Pengaturan Pajak Daerah Di Indonesia, Cetakan Kedua,
Yellow Printing, Jakarta.
Juanda, 2004, Hukum Pemerintahan Daerah, Alumni, Bandung.
P a g e | 64
Kabupaten Badung, 2017, Profil Badan Pendapatan Daerah (Pesedahan Agung), Badung.
Landiyanto, Erlangga Agustino, 2005, Kinerja Keuangan dan Strategi
Pembangunan Kota di Era Otonomi Daerah: Studi Kasus Kota Surabaya, Curies Working Paper, Surabaya.
Mardiasmo, 2002, Otonomi dan Keuangan Daerah, Andi, Yogyakarta.
Marzuki, Peter Mahmud, 2008, Penelitian Hukum, Persada Media
Group, Jakarta.
Moh. Padil dan Triyo Supriyanto, 2010, Sosiologi Pendidikan, UIN Maliki Press, Yogyakarta.
Muhammad, Abdul Kadir, 2001, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bhakti, Bandung.
Padil, Moh dan Triyo Supriyanto, 2010, Sosiologi Pendidikan, UIN
Maliki Press, Yogyakarta.
Roestandi, Achmad, 1992, Responsi Filsafat Hukum, Cetakan Ketiga, Armico, Bandung.
Rasjidi, Lili dan Ira Rasjidi, 2001, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Prajudi Atmosudirdjo, 1983, Hukum Administrasi Negara, Cet. 6,
Ghalia Indonesia, Jakarta.
Santoso Brotodihardjo, 1998, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, PT Rafika Aditama, Bandung.
Situmorang, Victor, 1989,Dasar-Dasar hukum Administrasi Negara,
Bina Aksara, Jakarta.
Soekanto,Soerjono, 2015, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press,
Jakarta.
Soemitro, Rochmat, 1992, Pengantar Singkat Hukum Pajak, Cetakan Ketiga, Eresco, Bandung.
P a g e | 65
Suandy, Erly, 2011, Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta.
Sudarsono, 2004, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan Keempat, Rineka Cipta, Jakarta.
Utama, I Made Arya, 2007, Hukum Lingkungan Sistem Hukum
Perizinan Berwawasan Lingkungan Untuk Pembangunan Berkelanjutan, Pustaka Sutra, Bandung.
SKRIPSI/TESIS/JURNAL/ KARYA TULIS
Dara Rizky Supriadi, Dwitatmanto, Sukartini Karjo, 2015, Kontribusi Pajak Hiburan Dalam Meningkatkan PAD Kota Malang,
Perpajakan (Jejak), Volume 1 Nomor1.
Hadjon, Philipus M. 1998, Tentang Wewenang Pemerintahan (bestuurbevoegheid), Pro Justitia, Tahun XVI Nomor 1 Januari
1998. Ibrahim, 2009, Hubungan Pemerintah Pusat-Daerah dan Konsolidasi
Demokrasi Di Indonesia, Makalah dibawakan dalam Diskusi Panel Pada Perancangan dan Advokasi hubungan Pusat-Daerah
Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Denpasar 7 Februari 2009.
Suandi, I Wayan, 2008, Pendekatan Sistem Dalam Pembentukan Peraturan Daerah, Kertha Patrika, Fakultas Hukum Universitas
Udayana, Vol.33 No.1 Januari 2008.
Peraturan Perundang-Undangan :
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049)
P a g e | 66
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234)
Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 17 Tahun 2011 tentang
Pajak Hiburan (Lembaran Daerah Kabupaten Badung Nomor 2011 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Nomor 17)
Internet
http://primalifejournal.wordpress.com/2013/03/26/Pendapatan-asli-daerah-pad, didownload tanggal 12 Nopember 2018.
http://www.balipost.com/news/2017/08/25/19320/Tarif-Pajak-Hiburan-Masih-Sangat-Kecil-Bapenda-Badung-Sepakati-
Kenaikan, didownload tanggal 12 Nopember 2018.
https://baliexpress.jawapos.com/read/2017/07/25/3439/dewan-badung-usulkan-pajak-hiburan-naik-35-persen,didownload tanggal 12 Nopember 2018.