kaderisasi ulama perempuan jawa tengah

25
KADERISASI ULAMA PEREMPUAN DI JAWA TENGAH Oleh: Jauharotul Farida, Moh. Fauzi dan Hatta Abdul Malik Pesantren sebagai lembaga kaderisasi ulama semenjak tahun 1970-an akhir telah membuka pendidikan bagi santri perempuan (santriwati) hingga sekarang. Jumlah santriwati yang belajar dipesantren juga tidak kalah dengan santri laki-laki yang ada. Namun, ulama perempuan sangat sedikit bila dibandingkan keberadaan ulama laki-laki yang sangat banyak. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwasanya kurangnya keberadaan ulama perempuan disebabkan beberapa faktor; (1) masih banyak pesantren (kyai, santri dan santriwati) yang memandang perempuan dalam ranah domestik tidak bisa menjadi pemimpin keluarga; (2) Perempuan dalam ranah sosial mempunyai hak yang sama dengan laki-laki, meskipun ada yang berpendapat tidak boleh; (3) dalam ranah keagamaan perempuan mendapat posisi yang sangat dogmatis. Meskipun secara kurikulum pesantren memberikan pendidikan yang sama antara laki-laki dan perempuan, namun dalam praktiknya masih ditemukan bias gender. Ketidak mampuan santriwati menyelesaikan permasalahan, masih meminta bantuan santri laki-laki. Kekurangan dari kurikulum pesantren adalah tidak adana pendidikan khusus bagi perempuan untuk berani tampil dan menjadi motor di depan masyarakat. Keyword : Kaderisasi, ulama, perempuan. Pendahuluan Ulama merupakan orang yang mempunyai pengetahuan kawniyyah (fenomena alam) dan qur’aniyyah. Keberadaan ulama yang mempunyai pengetahuan kawniyyah (fenomena Alam) dan qur’aniyyah adalah ulama yang selalu memikirkan penciptaan langit dan bumi agar bertasbih 1

Upload: hatta-abdul-malik

Post on 29-Dec-2015

27 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kaderisasi Ulama Perempuan Jawa Tengah

KADERISASI ULAMA PEREMPUAN DI JAWA TENGAH

Oleh:

Jauharotul Farida, Moh. Fauzi dan Hatta Abdul Malik

Pesantren sebagai lembaga kaderisasi ulama semenjak tahun 1970-an akhir telah membuka pendidikan bagi santri perempuan (santriwati) hingga sekarang. Jumlah santriwati yang belajar dipesantren juga tidak kalah dengan santri laki-laki yang ada. Namun, ulama perempuan sangat sedikit bila dibandingkan keberadaan ulama laki-laki yang sangat banyak. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwasanya kurangnya keberadaan ulama perempuan disebabkan beberapa faktor; (1) masih banyak pesantren (kyai, santri dan santriwati) yang memandang perempuan dalam ranah domestik tidak bisa menjadi pemimpin keluarga; (2) Perempuan dalam ranah sosial mempunyai hak yang sama dengan laki-laki, meskipun ada yang berpendapat tidak boleh; (3) dalam ranah keagamaan perempuan mendapat posisi yang sangat dogmatis. Meskipun secara kurikulum pesantren memberikan pendidikan yang sama antara laki-laki dan perempuan, namun dalam praktiknya masih ditemukan bias gender. Ketidak mampuan santriwati menyelesaikan permasalahan, masih meminta bantuan santri laki-laki. Kekurangan dari kurikulum pesantren adalah tidak adana pendidikan khusus bagi perempuan untuk berani tampil dan menjadi motor di depan masyarakat.

Keyword : Kaderisasi, ulama, perempuan.

PendahuluanUlama merupakan orang yang mempunyai pengetahuan kawniyyah

(fenomena alam) dan qur’aniyyah. Keberadaan ulama yang mempunyai pengetahuan kawniyyah (fenomena Alam) dan qur’aniyyah adalah ulama yang selalu memikirkan penciptaan langit dan bumi agar bertasbih kepada Allah (Shihab, 1994). Istilah ulama, dalam masyarakat dikenal istilah yang relatif serupa, misalnya; kyai (Jawa), ajengan (Sunda), buya (Minang), tengku (Aceh), tofanrita (Sulawesi Selatan) dan masih banyak istilah lain seperti sunan (susuhunan), panembahan, wali, atau muballigh dan ustadz (Jaiz, 2001). Semua istilah tersebut di atas biasanya disematkan untuk orang yang mempunyai keahlian di bidang ilmu agama.

Ulama sesungguhnya bukanlah dominasi laki-laki, karena di Jawa misalnya dikenal juga istilah Bu Nyai, tetapi jumlah Bu Nyai ini tidak sebanyak Kyai, karena sebutan Bu Nyai ini lebih banyak digunakan untuk menyebut istri Pak Kyai dibandingkan sebutan untuk perempuan yang memang memiliki

1

Page 2: Kaderisasi Ulama Perempuan Jawa Tengah

kualifikasi keulamaan, meskipun ada juga istri pak Kyai yang memang memiliki kualifikasi keulamaan.

Dalam struktur MUI dan lembaga keagamaan yang lainnya peran perempuan sangatlah minim dan ada dalam pusaran peran-peran stereotip. Sebagai contoh di MUI Jateng dari 114 jumlah pengurusnya 93% adalah laki-laki sementara perempuan 7%. Itupun perempuan ada dalam posisi anggota komisi Pemberdayaan Perempuan dan Pemuda. Pada saat berlangsung Rakorda MUI se Jawa Lampung tanggal 10-12 Desember 2010, tidak ada satupun pengurus MUI Provinsi dan Kabupaten/Kota dari unsur perempuan yang hadir, keculai 1 orang dari MUI Pusat dan 3 orang pengurus MUI Provinsi Jateng sebagai lokasi penyelenggaraan event tersebut. Dalam struktur kepanitiaan, narasumber, maupun tugas lain pun sama sekali tidak ada perempuan yang dilibatkan atau terlibat. Kondisi tersebut juga tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi dalam perhelatan besar Muktamar NU dan Muhammadiyah yang berlangsung tahun 2010. Dunia keagamaan seakan adalah dunia laki-laki. Dalam aspek yang lain, peran dan andil ulama perempuan dalam masyarakat selama ini memang belum maksimal. Padahal, banyak persoalan ummat (bukan saja soal diskriminasi gender dan marginalisasi perempuan) yang mestinya bisa dipecahkan ulama perempuan. "Faktanya Indonesia membutuhkan ulama perempuan yang handal dan memiliki chemsitry yang mantap dalam mereintrepretasi teks-teks keagamaan yang responsif gender dan ramah anak," papar Hertomo Heroe, Deputi Bidang Pengarusutamaan Gender Bidang Ekonomi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan perlindungan Anak Republik Indonesia saat membuka Seminar Nasional Bertajuk Masa Depan Kepemimpinan Ulama Perempuan

Menurut Fatah (2010), minimnya kontribusi ulama perempuan disebabkan nihilnya sosok yang berkarisma dan berwibawa tinggi. baik dari segi keilmuan, kemampuan berdikari, maupun kesahajaan. Pada tingkat grassroot, ulama perempuan yang terlibat secara aktif dalam pembinaan dan pelayanan umat masih sangat sedikit. Tercatat hanya sebanyak 23,489 persen penyuluh agama perempuan yang tersebar di seluruh Indonesia. Padahal jumlah penduduk Indonesia secara keseluruhan hampir sama jumlahnya antara penduduk muslim dan penduduk muslimah1 dan dalam lintasan sejarah perempuan telah terbukti mampu seperti sosok tokoh-tokoh historis seperti Nyai Ahmad Dahlan, HR Rasuna Said, Sholihah A.Wahid Hasyim, serta tokoh-tokoh kontemporer seperti Aisyah Aminy, Lutfiah Sungkar, dan Rofiqoh Darto Wahab (Burhanudin:2008)

Jika kita bicara soal kualitas diri perempuan, dalam konteks keulamaan, maka kita harus menegok lembaga yang paling berkompeten, yaitu Pesantren, karena lembaga pencetak ulama selama ini memang menjadi dominasi pesantren.2

Pesantren sering diidentifikasi memiliki tiga peran penting dalam masyarakat Indonesia : (1) Sebagai pusat berlangsungnya transmisi ilmu-ilmu Islam tradisional, (2) Sebagai penjaga dan pemelihara keberlangsungan Islam

1 Penduduk Jateng 32,380. 687 jiwa terdiri dari 16.081.140 laki-laki (49.7%) dan 16.299.543 perempuan (51,3% ). Belum ditemukan data pilah gender berdasar agama yang dipeluk. Penduduk Jateng Pemeluk Islam 88% dari total penduduk

2 Di Jateng terdapat 3,58 ribu Ponpes dengan 901 ribu Kyai, 33,43 ribu ustadz dan 500,89 ribu santri. (Sumber Bappega Jateng : Jateng dalam Angka 2009). Data ini tidak pilah gender

2

Page 3: Kaderisasi Ulama Perempuan Jawa Tengah

tradisional, dan (3) Sebagai pusat reproduksi Ulama. Lebih dari itu, pesantren tidak hanya memainkan ketiga peran tersebut, tetapi juga menjadi pusat penyuluhan kesehatan; pusat pengembangan teknologi tepat guna bagi masyarakat pedesaan; pusat usaha-usaha penyelamatan dan pelestarian lingkungan hidup dan lebih penting lagi menjadi pusat pemberdayaan ekonomi masyarakat di sekitarnya.(Qomar, 2006). Keberadaan pesantren yang senantiasa konsisten dalam sikap dan keyakinan agama dan selalu berorientasi kemasyarakatan telah menjadikannya sebagai lembaga yang terjaga eksistensinya. (Raharjo:1985)

Menurut Zamakhsyari, ponpes perempuan telah didirikan sejah tahun 1910-an. Dari hasil penelitiannya di sejumlah pesantren, ia menyatakan bahwa jumlah santri perempuan sangat besar. Rata-rata sekitar 60% dari santri laki-laki. Di Cukir Tebuireng Jombang misalnya, jumlah santri putri yang tinggal di pondok pada tahun 1978 ada 1100 orang. (Dhofier, 1982).

Sangatlah menarik, manakala pesantren yang telah lama membuka pendidikan bagi kaum perempuan, namun jumlah ulama perempuan sangat minim bila dibandingkan dengan ulama laki-laki. Oleh karena itu penelitian ini berusaha mengungkap bagaimana pesantren mengkader santri-santri perempuan agar menjadi ulama perempuan.yang mampu mensetarakan dirinya dengan ulama laki-laki.

Ulama Perempuan dalam Islam Penelitian PPIM tentang ulama perempuan Indonesia dapat dikatakan

sebagai usaha merintis penyusunan biografi sosial dan intelektual ulama Indonesia pada umumnya. Karena itu, karya ini dapat pula dikatakan sebagai tarajim ulama perempuan Indonesia di masa kontemporer. Tetapi hampir dapat dipastikan pula, biografi sosial-intelektual “ulama perempuan” ini berbeda jauh denggan tarajim yang lazim ditemukan di Timur Tengah yang umumnya sangat singkat. Sebaliknya biografi sosial-intelektual ulama perempuan Indonesia ini relatif panjang untuk dibandingkan dengan tarajim ulama dalam kitab-kitab thabaqat Timur Tengah.

Menurut Azra, penggunaan istilah ‘ulama perempuan” dalam penelitian PPIM jika dilihat dari perspektif gender, mengandung “contadictio in terminis”. Istilah “ulama” sejak awal penggunaannya merupakan istilah “gender neutral”. Dalam bahasa Arab tidak ada padanan mu’annats (perempuan)-nya. Artinya, istilah “ulama” bisa mengacu pada ulama laki-laki atau pun perempuan tanpa harus menambahkan kata “laki-laki” atau “perempuan” di belakangnya. Karena itu, penambahan istilah perempuan justru menjadikan istilah “ulama” menajdi gender bias.

Kita dapat memberikan semacam kategorisasi yang sedikit rinci dan longgar dari ulama-ulama perempuan yang biografinya tercakup dalam karya ini. Kategori pertama adalah “ulama kampus” yang meliputi Rahmah el-Yunusiyah, Zakiah Darajat, dan agaknya Tuti Alawiyah. Kategori kedua “ulama pesantren” yang mencakup Sholihah A. Wahid Hasyim, Hajah Chamnah, Hajah Nonoh Hasanah, dan agaknya juga Suryani Thahir. Kategori ketiga “ulama organisasi sosial-keagamaan” yang mencakup Nyai Ahmad Dahlan, Sholihah A. Wahid

3

Page 4: Kaderisasi Ulama Perempuan Jawa Tengah

Hasyim, Tutty Alawiyah, Hadiyah Salim, dan Suryani Thahir. Kategori keempat “ulama aktivis sosial-politik” yang mencakup Hajjah Rangkayo Rasuna Said, Nyai Ahmad Dahlan, dan Aisah Amini. Kategori kelima “ulama tabligh” mencakup Lutfiah Sungkar dan Rofiqah Darto Wahhab.

Ulama-ulama perempuan Indonesia ini hampir dapat dipastikan merupakan tokoh-tokoh yang memiliki keistimewaan dan keunggulan dalam bidang keagamaan. Sebenarnya dengan kategori yang relatif longgar seperti itu, sangat terbuka peluang mengembangkan penelitian biografi sosio-intelektual yang mencakup masih banyak tokoh ulama perempuan lainnya.

Reproduksi Ulama PerempuanSebagaimana uraian di atas, sangat sulit bagi perempuan di Timur Tengah

untuk menjadi ulama. Ada beberapa alasan sebagaimana dikemukakan Berkey. Pertama, peran sangat terbatas yang diberikan kepada perempuan, yakni terbatas pada domestic sphere dan tidak pada public sphere. Kedua, sikap ambivalen orang-orang yang berpengaruh dalam masyarakat, khususnya para ulama (laki-laki) terhadap keterlibatan perempuan dalam dunia keulamaan dan bahkan keilmuan secara umum. Hal ini tentu saja berkaitan dengan kenyataan, dunia masyarakat Muslim Timur Tengah adalah dunia laki-laki yang lebih dominan. Akibatnya, para peneliti pun memberikan perhatian hanya kepada dunia laki-laki Timur Tengah (Fernea dan Fernea, 1978: 385). Tetapi, peluang bagi perempuan bukan tidak ada sama sekali. Hal ini disebabkan karena dua hal; pertama, ketegaran perempuan itu sendiri dalam menghadapi lingkungan sosial yang kurang berpihak kepadanya, dan kedua, tuntutan Islam yang sangat kuat terhadap perempuan sebagaimana terhadap laki-laki untuk menuntut ilmu.

Oleh karena itu, menarik untuk mengutip peringatan penting yang dikemukakan Beck (1980: 29-30), bahwa peneliti cenderung melupakan perspektif lebih luas dalam melihat posisi perempuan yang marginal dalam duania keulamaan dan keilmuan. Beck berargumen bahwa bukan hanya perempuan yang mengalami marginalisasi dalam hal ini, tetapi juga kaum laki-laki, terutama di lapisan bawah. Sementara itu, perempuan lapisan kelas atas –seperti laki-laki dalam kelas sosial yang sama-, memiliki akses yang lebih besar untuk terlibat dalam kehidupan sosial-keagamaan dan bahkan politik. Secara retrospektif, argumen Beck ini selaras dengan hasil temuan Azra tentang ulama perempuan di Timur Tengah, di mana sebagaian besar ulama perempuan atau perempuan yang terlibat di dunia keilmuan secara sosial berasal dari lingkungan kelas menengah dan kelas atas (Azra, 1998).

Biografi sosial-intelektual ulama perempuan Indonesia kelihatannya juga membenarkan argumen Berkey dan Beck dan selaras dengan temuan Azra tentang ulama perempuan di Timur Tengah. Sebagian besar mereka berasal dari keluarga dan lingkungan sosial keagamaan yang sangat memahami pentingnya ilmu bagi perempuan. Bahkan cukup banyak di antara mereka berada di lingkungan keilmuan Islam itu sendiri, seperti Pesantren dan Madrasah semacam Diniyah Putri. Tentu saja, laki-laki yang terlibat dalam lembaga pendidikan dan keilmuan seperti ini; apakah suami atau orang tua mereka sendiri, memberikan dorongan

4

Page 5: Kaderisasi Ulama Perempuan Jawa Tengah

yang kuat dan peluang bagi mereka untuk mengembangkan ilmu dan keulamaan mereka. Hal yang sama juga terlihat dalam kasus ulama perempuan yang banyak terlibat dalam aktivisme gerakan dan sosial Islam, seperti Rangkayo Rasuna Said, Nyai Ahmad Dahlan, dan Tutty Alawiyah.

Masing-masing ulama perempuan yang diteliti PPIM tersebut, dengan keunggulan dan cara sendiri-sendiri telah mendorong proses reproduksi lebih lanjut bagi munculnya ulama perempuan, aktivis sosial-kemasyarakatan, dan bahkan politik. Mereka dapat menjadi mago ideal (gambaran ideal) bukan hanya bagi kaum perempuan, melainkan juga bagi kaum laki-laki. Sebab, mempertimbangkan situasi sosial budaya yang sampai saat ini masih cenderung diskriminatif terhadap perempuan, biografi sosial-intelektual mereka dapat menjadi inspirasi tentang keteguhan, komitmen dan kesungguhan kaum perempuan dalam dunia keilmuan, keulamaan, dan kemasyarakatan.

Meskipun sulit diketahui dan diukur secara pasti, ulama perempuan yang diteliti PPIM ini telah mendorong kemunculan perempuan secara lebih intens ke depan publik. Mereka bahkan memainkan peran penting dalam pemberdayaan perempuan di lembaga sosial-keagamaan yang sering berkaitan dengan dunia perempuan, seperti Majelis Ta’lim. Peran mereka bahkan melewati batas-batas keagamaan dan wilayah. Aisyah Amini sering disebut sebagai “darling of Indonesian politics” sejak keterlibatannya di DPR/MPR. Rahmah el-Yunusiyah dengan Diniyyah School Putri-nya menyebarkan upaya pemberdayaan perempuan tidak hanya di Minangkabau melainkan juga sampai ke Semenanjung Malaya. Sebagaimana ditulis Wazir Jahan Karim (1992), para alumni Diniyyah School Putri Padang Panjang yang kembali ke tanah air mereka memainkan peran penting dalam politik dan kebangkitan nasionalisme Melayu sepanjang dasawarsa 1930 dan 1940-an.

Namun masih banyak ulama perempuan yang belum diungkap oleh penelitian PPIM UIN Syarif. Karena itu, Azra menegaskan bahwa usaha-usaha untuk meneliti, menggali socio-historical course tentang ulama perempuan merupakan upaya yang senantiasa perlu untuk dilakukan.

Perempuan di PesantrenMulai sekitar tahun 1910, pesantren dan madrasah adalah lembaga laki-

laki saja. Hanya beberapa perempuan, terutama dari keluarga saleh, menerima pelajaran agama, tetapi biasanya disediakan oleh para guru diundang ke rumah-rumah atau melalui studi agama resmi di masjid atau majelis ta’lim. Kemudian, beberapa pesantren membuka fasilitas yang terpisah khusus untuk anak perempuan. Yang pertama adalah pesantren Denanyar di distrik Jombang, didirikan pada tahun 1917. Sebelumnya, ada pengajian tarekat yaitu pendidikan yang hanya tersedia untuk perempuan. Ini terbatas pada pengetahuan dasar ajaran Islam (Dhofier, 1999).

Pengenalan pendidikan Barat untuk orang Indonesia pribumi pada akhir abad ke-19 mendorong munculnya sistem madrasah, yang mengajarkan pendidikan sekuler dan membuka kesempatan bagi perempuan untuk mengikuti lembaga pendidikan Islam seperti pesantren. Namun, atas saran dari Snouck Hurgronje Belanda, didirikan jenis baru dari sekolah-sekolah sekuler yang

5

Page 6: Kaderisasi Ulama Perempuan Jawa Tengah

bertujuan untuk memperluas pengaruh pemerintah kolonial dan menangkal pengaruh luar biasa pesantren (Kartodirjo, 1966).

Pembukaan kompleks pesantren bagi santri perempuan menunjukkan bahwa ada tumbuh kesadaran di antara kiai dan perempuan Muslim di Indonesia tentang perlunya maju pendidikan Islam bagi perempuan. Pada kongres nasional 1931 di Banten, NU memperbolehkan pemimpin pendidikan resmi untuk perempuan sebagai akibat dari perdebatan tentang hak-hak perempuan untuk memiliki sekolah sendiri pesantren (Marcoes-Natsir, 2000). Ini berarti bahwa perempuan bisa memperluas pendidikan mereka melampaui studi bahasa Arab dan Al Qur'an.

Sebagai Dhofier (1999) diamati pada tahun 1978, jumlah mahasiswa perempuan di Jawa pesantren relatif tinggi. Seperti rekan-rekan pria, siswa perempuan datang dari tersebar luas daerah. Mereka diajarkan secara terpisah, dan sebagian besar dari guru mereka laki-laki. Jumlah santri perempuan meningkat pesat, terutama setelah beberapa pesantren perempuan didirikan di Jawa. Pesantren Salafiyah Seblak, misalnya, memiliki dominanasi kepemimpinan perempuan untuk beberapa generasi (lihat Srimulyani, 2008). Selain itu, banyak orang tua memilih untuk menyekolahkan anak perempuannya ke pesantren karena mereka ingin memberikan lingkungan yang aman untuk anak perempuan remaja dan akan mencegah mereka dari yang terlalu bebas. Beberapa pesantren mempunyai jumlah santriwati melebihi jumlah santri laki-laki sebagai akibat dari adanya tren baru mengirim siswa laki-laki untuk sekolah-sekolah formal. Sekolah-sekolah ini disiapkan siswa untuk bergengsi perguruan tinggi nasional, sedangkan siswa perempuan belajar di pesantren untuk menjadi guru agama atau melanjutkan perguruan tinggi Islam seperti Institut Agama Islam Negeri (IAIN) (Van Doorn- Harder, 2006).

Beberapa madrasah akhirnya menerima anak perempuan dan gerakan perempuan muda ke sekolah-sekolah Islam telah meningkat, sampai saat ini pendaftaran perempuan sama dengan atau melebihi laki-laki. Hal ini menantang asumsi bahwa gadis dan wanita memiliki sedikit kesempatan pendidikan di dunia Muslim. (Mahmood, 2005; Hefner & Zaman, 2007).

Namun demikian, lembaga pesantren masih dianggap sebagai didominasi laki-laki. Ini berlaku beberapa keterbatasan perempuan, seperti preferensi untuk anak seorang kyai sebagai penggantinya kepemimpinan pesantren, bukan anak perempuan. Jika seorang kyai hanya memiliki anak perempuan, maka anak laki-laki secara hukum (menantu laki-laki) akan dipilih sebagai pemimpin masa depan pesantren. Perempuan instruktur, baik nyai (istri kiai) dan Ustadzah (guru perempuan), yang umumnya tidak diizinkan untuk mengajar santri laki-laki. Dalam organisasi mahasiswa, seorang santri juga akan lebih disukai untuk peringkat tinggi posisi seperti ketua, sedangkan santriwati akan diberikan peran yang diasumsikan sesuai sifatnya sebagai wanita, seperti sekretaris atau bendahara (seperti dikutip dalam Srimulyani, 2008).

Hal ini umumnya diasumsikan bahwa pesantren mempertahankan pemisahan yang ketat dari jenis kelamin, melindungi perempuan dari kehidupan publik. Namun, partisipasi perempuan pesantren dalam peran-peran publik dan kegiatan bukan merupakan fenomena baru. Nyai pesantren telah melayani sebagai

6

Page 7: Kaderisasi Ulama Perempuan Jawa Tengah

guru untuk santriwati dan orang-orang di desa. Banyak dari mereka berdakwah kepada khalayak yang lebih besar melalui pengajian majelis ta'lim atau di masjid. Sebagai nyai pesantren, para perempuan bertanggung jawab untuk memimpin santriwati dalam berdoa-doa. Mereka adalah pemimpin atau manajer dari pesantren, menyelesaikan masalah atau masalah yang berhubungan dengan pesantren atau santri.

Pandangan pesantren (pengasuh, santri) tentang ulama' perempuan Sebelum menguraikan pandangan Pesantren tentang peran perempuan baik

dalam ranah domestik, publik maupun ranah keagamaan, terlebih dahulu perlu diuraikan pandangan Pesantren tentang ulama’ perempuan.

Term “ulama’ perempuan” dalam pandangan santriwan/santriwati Pesantren di Jawa Tengah didefinisikan bermacam-macam. Definisi santriwan/santriwati PPTQ Miftahul Huda Kaliwungu Kendal tentang ulama’ perempuan dapat disebutkan berikut ini:1. Ulama perempuan adalah seorang perempuan

yang berjuang, berkorban, berkhidmat pada masyarakat dengan menyebarkan syiar agama Islam demi memperoleh ridlo dari Allah swt;

2. Ulama’ perempuan adalah seorang wanita yang kemampuan ilmunya sudah melebihi dari rata-rata wanita lain yang tentunya wanita itu tingkat mahabbah kepada Allah itu tinggi, contohnya seperti Rabi’ah Adawiyyah;

3. Ulama’ adalah orang yang takut kepada Allah sebagaimana Firman Allah swt “innama yakhsya Allaha min ‘Ibadihil ‘ulama’u”;

4. Ulama’ perempuan adalah seorang wanita yang memperjuangkan panji-panji agama Islam walau mungkin berdakwah dengan keteladanannya atau dakwah dengan orasinya;

5. Ulama’ perempuan adalah seorang wanita yang dalam ilmu agamanya, mumpuni atau lumayan tinggi (mampu) dan terakui oleh masyarakat di sekitarnya atau di lingkungan ulama’ perempuan tersebut;

6. Ulama’ perempuan adalah orang alim dari golongan perempuan;

7. Ulama’ perempuan adalah orang yang memiliki ilmu pengetahuan baik sosial maupun agama dan dia dapat menyebarkan/mengamalkan ilmu yang telah dipelajarinya untuk kemanfaatan masyarakat serta kebutuhannya yang terpenting untuk menjunjung tinggi agama Islam;

8. Ulama perempuan adalah sosok yang mulia tentunya di hadapan Allah dan bisa menjaga dirinya juga kehormatannya sebagai perempuan yang alim juga bisa memperjuangkan agama Islam;

Santriwan/santriwati Pondok Pesantren Roudlotul Muttaqin Polaman Mijen Semarang juga mendefinisikan ulama’ perempuan dengan definisi yang bermacam-macam sebagaimana dapat disebutkan berikut ini:

7

Page 8: Kaderisasi Ulama Perempuan Jawa Tengah

1. Ulama perempuan adalah seseorang wanita yang ahli dalam bidang ilmu keagamaan dan memiliki sifat-sifat terpuji;

2. Ulama perempuan adalah orang yang ahli dalam agama dan “andap asor” (rendah diri), lemah lembut dan beliau adalah sosok yang bisa kita patuhi;

3. Ulama perempuan adalah orang alim dalam bidang ilmu agama mampu menyampaikan akidah-akidah agama kepada umat dan mampu mengamalkannya;

4. Ulama perempuan adalah orang yang pandai atau alim dalam agama dan takut kepada Allah, bertaqwa kepada Allah di manapun, bagaimanapun, dan dalam kondisi apapun dan kapanpun;

5. Ulama perempuan adalah orang yang mempunyai sifat alim dalam agama, berpengetahuan luas dalam hal agama dan dapat dijadikan panutan dan pegangan dalam hal agama/kebenaran;

6. Ulama perempuan adalah orang yang memegang teguh ilmu agama, yang ngalim-ngalimah yang bisa mengamalkan dari ilmu-ilmunya dan beliau adalah sebagai pewaris para nabi di zaman ini;

7. Ulama perempuan adalah orang yang menguasai segala ilmu terutamanya ilmu agama meskipun tidak terkenal dalam ibadah;

8. Ulama perempuan adalah orang alim (mengerti, paham) dengan ilmu agama dan berbagai fan (cabang-cabangnya) dan bisa mengamalkan (mengaplikasikan) ilmunya dalam kehidupannya;

9. Ulama perempuan adalah seseorang yang alim yang dapat menyebarkan tentang agama juga mempunyai akhlak yang mulia, serta mampu menyeimbangkan untuk dunia dan akherat;

10. Ulama perempuan adalah seseorang yang mengetahui hukum-hukum agama dan bisa mengatur kehidupannya sendiri dan masyarakat;

11. Ulama perempuan adalah orang yang alim (ahli agama) amil (menjalankan ilmunya) dan sholih.

Pedapat senada juga dikemukakan santriwan/santriwati Pesantren Al-Muayyad Solo. Mereka berpendapat bahwa ulama’ perempuan adalah perempuan yang ’alim dalam bidang agama dan mengamalkan ilmunya baik untuk diri sendiri maupun disampaikan kepada umatnya. Mereka menambahkan biasanya seseorang disebut dengan ulama’ itu kalau dia memiliki Pesantren dan santri.

Secara umum, santriwan/santriwati mengakui bahwa dalam realitas terdapat sejumlah orang yang mereka kenal dapat dikategorikan sebagai ulama perempuan; baik di dalam maupun di luar Indonesia. Seperti; Rabi’ah al-Adawiyah, Hj. Lutfiyah Sunkar, dan Ustadzah Mamah Dedeh. Dalam skala lokal

8

Page 9: Kaderisasi Ulama Perempuan Jawa Tengah

ada yang menyebutkan nama Ibu Nyai Nujr Mutmainnah Limbangan Boja Kendal. Namun sebagian santriwan/santriwati tidak mengetahui sosok orang yang dapat disebut sebagai ulama perempuan. Hal berdasarkan definisi ulama yang diartikan dengan orang yang takut kepada Allah, karena rasa takut itu tidak kelihatan (di dalam hati).

Adapun pandangan Pesantren tentang peran perempuan dalam ranah domestik (kepala keluarga), masih didominasi pandangan tradisional yang menyatakan bahwa laki-laki (suami) adalah pemimpin (kepala rumah tangga). Mereka menjustifikasi pandangannya ini dengan bunyi tekstual QS. Al-Nisa; 34 “Ar-Rijalu Qawwamuna ‘alan Nisa’i bimaa Fadldlola ba’dlohum ‘ala ba’dlin wa bimaa anfaquu min amwaalihim...”. Mereka masih memegang kuat ayat ini sebagai dalil lelaki adalah pemimpin bagi perempuan. Betapun hebatnya perempuan, di dalam keluarga perempuan tetap harus di bawah komando suaminya.

Sedangkan pandangan santriwan/santriwati terkait peran perempuan dalam ranah sosial relatif longgar. Menurut mereka, perempuan bisa berperan dalam bidang sosial, karena hak dalam kesosialan itu sama antara laki-laki dan perempuan, seperti perempuan berdakwah dan memimpin kegiatan masyarakat. Bahkan ada yang menguatkan pendapatnya dengan fakta di masyarakat adanya perempuan yang ikut berperan dalam organisasi, duduk dalam kepengurusan suatu lembaga. Namun ada juga yang berpendapat perempuan pun tetap tidak boleh berperan dalam bidang sosial. Karena perempuan juga tidak boleh menjadi pemimpin di wilayah pubplik karena Rasulullah pernah melarang hal itu.

Adapun pandangan santriwan/santriwati terkait peran perempuan dalam ranah keagamaan mereka berpandangan sangat dogmatis. Menurut mereka, agama memang memberikan ”batasan syar’i” bagi perempuan. Seperti perempuan tidak boleh menjadi imam salat bagi makmum laki-laki, perempuan tidak boleh adzan, perempuan tidak boleh menjadi khatib. Menurut mereka, dalam ranah-ranah yang sudah ditentukan oleh syar’i tersebut perempuan memang dilarang. Namun dalam ranah keagamaan yang lain perempuan diberi peran yang sama dengan laki-laki, seperti mencari dan mengembangkan ilmu.

Proses kaderisasi ulama perempuan di Pesantren Jawa TengahPondok pesantren belum mempunyai model kaderisasi yang baku. Model

kaderisasi ulama perempuan di pesantren pada umumnya menitikberatkan pada penguatan kurikulum, kegiatan ekstra, proses pembentukan organisasi, pengenalan permasalahan sosial, penerjunan santri ke masyarakat.

1. Pondok Pesantren Roudlotul Muttaqin Polaman Pondok pesantren Roudlotul Muttaqin Polaman menyelenggarakan tiga

pendidikan formal, dan satu jenjang pendidikan informal. Adapun pendidikan formal meliputi Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah sedangkan pendidikan informal adalah Madrasah Diniyah.

Kurikulum yang digunakan di pondok pesantren ini adalah kurikulum Departemen Agama melalui sekolah formal (madrasah), adapun kurikulum yang digunakan ialah kurikulum KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Di

9

Page 10: Kaderisasi Ulama Perempuan Jawa Tengah

banding dengan kurikulum atau mata pelajaran umum, mata pelajaran agama di Pesantren ini prosentasenya hanya 30 persen.

Sementara itu pendidikan kepesantrenan yang diselenggarakan di pondok pesantren Roudlotul Muttaqin Polaman seperti lazimnya di pesantren-pesantren lainnya, yaitu berupa mengaji al-Qur’an dan kajian kitab kuning. Mengaji al-Qur’an lebih banyak ditangani oleh Ibu Nyai yang notabene hafidzah al-Qur’an. Sehingga baik santri putra maupun santri putri sorogan al-Qur’an kepada Ibu Nyai.

Adapun kitab-kitab yang dikaji antara lain: kitab Awamil Jurumiyah, Imriti, Qawaidul I’rab, Hidayatus Shibyan, Tuhfatul Athfal, Sulam Taufiq Taqrib, Ta’limul Muta’alim, Qurratul U’yun, Uqudullujaian dan kitab-kitab lainnya. Di samping itu pendidikan yang ditekanan bagi para santri ialah tauhid, aqidah, fiqh dan akhlak, juga ditekankan bagi santri untuk mengusai bahasa Arab dan Inggris.

Kurikulum di Pesantren Roudlotul Muttaqin Polaman tidak membedakan antara santri putera dan santri puteri. Pada masing-masing tingkatan, mereka hanya dipisahkan tempat belajarnya saja. Kitab yang dipelajari juga tidak ada yang khusus laki-laki ataupun khusus perempuan. Kegiatan ekstra kurikuler (seperti diskusi reguler, olah raga, seni baca Quran, kaligrafi, keterampilan berbahasa Arab dan Inggris latihan berpidato, bahkan bagi santri senior ditempatkan di masyarakat di pengajian kamisan) dapat diikuti oleh setiap santri dan memperoleh bimbingan yang setara.

Kegiatan ekstra kurikuler di pesantren ini juga meliputi proses pembentukan organisasi, pengenalan permasalahan sosial dan penerjunan santri ke masyarakat. Di pesantren ini terbagi kepengurusan antara santri putra dan santri putri. Baik santri putra maupun santri putri mempunyai lurah masing-masing. Pemilihan lurah pondok dari aspirasi para santri. Namun ada fakta menarik berdasarkan wawancara dengan para santriwati, bahwa lurah santri putri selama ini malu untuk melakukan akses secara langsung terhadap Kyai, sehingga dalam menyampaikan aspirasinya mereka melalui lurah santri putra. Baru kemudian di kemukakan dalam forum rapat, lurah santri putra menyampaikan aspirasi dari lurah santri putri.

Namun, pesantren juga memberikan peluang terhadap santri putri untuk menjadi ketua panitia kegiatan yang diadakan oleh pesantren. Seperti Imtihan, ketua kepanitian digilir antara santri putra dan santri putri. Dan yang menjadi ketua panitia baik putra maupun putri juga harus memberikan sambutan ketua panitia dalam acara ceremonial yang diselenggarakan.

Di pesantren ini terdapat kegiatan at-Tarbiyah wal muhasabah yaitu kegiatan dari Kyai yang mengajak para santri untuk pengenalan permasalahan sosial dan instropeksi diri, namun kelemahannya bentuknya masih monolog tidak dialog. Bahkan lebih bersifat mementingkan ikhtiar batiniyah, bila dibandingkan lahiriyah.

Meskipun secara sekilas pesantren ini pendidikan antara santri putra dan santri putri setara, namun di pesantren ini belum memberikan peluang yang sama antara santri laki-laki dan santri perempuan. Para santri perempuan tidak dibiasakan untuk melakukan akses secara langsung kepada Kyai, sehingga terjadi rasa malu dari pihak santri perempuan untuk mengemukakan pendapat di hadapan

10

Page 11: Kaderisasi Ulama Perempuan Jawa Tengah

Kyai. Selain itu para santri baik laki-laki dan perempuan tidak dididik cara untuk menghadapi masyarakat atau apa yang harus dilakukan ketika mereka terjun ke dalam masyarakat. Sehingga banyak para santri tidak tahu apa yang harus dilakukan ketika terjun di masyarakat. Konsep menjadi ulama, lebih hanya berada di depan podium, sehingga ulama sebagai pendamping masyarakat menjadi terabaikan.

2. Pondok Pesantren Tahafudzul Qur’an (PPTQ) Miftahul Huda

Pondok Pesantren Tahafudzul Qur’an (PPTQ) Miftahul Huda mulai didirikan pada tahun 1990 oleh KH. A. Baduhun Badawi. PPTQ Miftahul Huda mengkhususkan pesantrennya sebagai pembelajaran al-Qur’an meliputi kategori pemula, tengah dan terakhir. Kategori pemula mendapatkan pembelajaran al-Qur’an dengan menggunakan metode qiroati, gharib dan musykilat, serta menghafalkan al-Qur’an juz 30. Kategori tengah dengan cara membaca al-Qur’an secara tartil di hadapan Kyai. Sedangkan kategori terakhir adalah menghafal al-Qur’an 30 juz.

Meskipun PPTQ Miftahul Huda mengkhususkan pembelajaran al-Qur’an, namun pesantren ini juga memberikan kesempatan santrinya untuk menempuh pendidikan formal dari SD/MI sampai perguruan tinggi. Selain itu juga ada ajang khitobah antar santri, tetapi dibedakan antara santri dan santriwati.

Pesantren ini juga menerima santri dewasa putra dan putri. Kepengurusan santri dan santriwati dibedakan, dan baik satri maupun maupun santriwati mempunyai lurah masing-masing. Pemilihan lurah pondok putra dan lurah pondok putri tidak berdasarkan pemilihan dari santri, namun penunjukan langsung oleh kyai. Baik pengurus santri dan santriwati mempunyai akses yang sama untuk mengutarakan persoalan pondok kepada kyai.

Namun kepengurusan ini terjadi bias gender manakala diadakan sweeping HP di pesantren (pesantren ini melarang para santri membawa alat komunikasi HP). Untuk sweeping HP santri putra dilaksanakan oleh pengurus putra. Sedangkan sweeping HP di tempat santriwati pengurus putri meminta bantuan santri putra untuk mendampingi dalam aksinya. Aktivitas PPTQ di masyarakat biasanya hanya mengirim para santri untuk mengadakan semakan al-Qur’an, hal ini disebabkan karena penekanan PPTQ Miftahul kepada santrinya hanya membaca dan menghafal al-Qur’an.

Dari hasil wawancara dengan beberapa santri dan santriwati diketahui bahwa semua berpendapat bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin. Perempuan hanya boleh memimpin di komunitas perempuan saja. Bahkan sebagian meyakini bahwa persoalan yang selalu mendera Kabupaten Kendal disebabkan bupatinya adalah seorang perempuan. Namun, mereka membolehkan seorang perempuan mengingatkan kesalahan yang dilakukan oleh laki-laki.

3. Pondok Pesantren Al-Muayyad WindanPondok Pesantren al-Muayyad Windan merupakan cabang dari PP. al-

Muayyad Mangkuyudan Surakarta. Pengasuh pesantren ini adalah KH. Dian Nafi’, MPd yang merupakan keponakan dari pendiri Pondok Pesantren al-Muayyad Mangkuyudan. Pesantren ini didirikan pada tahun 1996 sebagai

11

Page 12: Kaderisasi Ulama Perempuan Jawa Tengah

pesantren yang khusus menerima santri dari kalangan mahasiswa (pesantren mahasiswa) dengan menekankan khusus kepada pengembangan masyarakat.

Pola pendidikan dirancang bermuatan penempuhan kependidikan (suluk tarbawi) yang menumbuhkan hasil pembelajaran ke dalam kebiasaan pribadi santri bagi pembentukan karakter yang diharapkan, kedua semua santri sudah dewasa, sehingga pembinaannya bertumpu pada teknik-teknik pemberian tanggung jawab, penemuan diri, penemuan kebutuhan, penemuan potensi mereka sendiri, berikut opsi-opsi pengembangannya secara swadaya.

Muatan kurikulum di PP. Al-Muayyad Windan terdiri dari dua muatan pokok yaitu pertama bidang pendalaman ilmu agama, kedua bidang pengembangan pribadi dan masyarakat. Seperti pesantren pada umumnya, mereka diberi pendalaman ilmu-ilmu agama mulai dari ilmu fiqih, akidah, tauhid, tasawuf, nahwu, hadits, dan tafsir. Penekanan pendidikan di Pesantren al-Muayyad Windan fokus kepada community development (pengembangan masyarakat). Hal didasari bahwa para santri merupakan para mahasiswa yang akan segera terjun ke masyarakat, sehingga perlu dibekali keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Namun sebagai institusi pendidikan Islam, pondok pesantren al-Muayyad Windan tetap memelihara tradisi pesantren dengan mengajarkan kitab klasik (kitab kuning). Berbagai macam disiplin ilmu keislaman yang diajarkan di windan meliputi Qur’an, hadits, tajwid, tafsir, fiqh, ushul al-fiqh, ushuluddin, akhlaq, tarikh, nahwu dan bahasa Inggris.

Metode yang diterapkan untuk pembelajaran di PP. Al-Muayyad Windan menggunakan metode andragogi. Metode andragogi lebih menekankan pada keaktifan subyek belajar di mana pembelajaran dan pengorganisasian kegiatan-kegiatan kepesantrenan lebih diarahkan pada pola-pola partisipatif dalam daur aksi dan refleksi. Sehingga keaktifan santri lebih menentukan keberhasilan dari pada muatan kurikulum terstruktur dan peranan dominan ustadz. Dalam bidang pengembangan pribadi dan masyarakat pihak pesantren menawarkan sejumlah kegiatan kepada para santri. Kegiatan tersebut dipilih oleh santri sesuai dengan minat dan bakatnya masing-masing. Untuk menunjang pengembangan pribadi santri sebagai modal dalam melakukan pengembangan masyarakat, pihak pesantren memberikan pelatihan-pelatihan yang dilaksanakan dalam tiga tahap. Tahap pertama Achievement Motivation Training (AMT) yang bertujuan menjawab pertanyaan Siapa Saya?. Kedua Pelatihan Manajemen Organisasi (PMO) yang bertujuan menjawab pertanyaan Saya dan Orang lain. Ketiga Kursus Pengembangan Masyarakat (KPM) yang bertujuan menjawab pertanyaan Saya untuk Orang lain.

Setelah selesai mengikuti tranining 2 tahap di atas, santri dianjurkan untuk mencari lapangan kerja yang sesuai dengan ketrampilan yang dimiliki. Banyak santri yang memilih untuk bekerja sebagai staff organisasi masyarakat (ormas) yang non profit di kota Solo. Banyak mereka yang bergabung di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), seperti Lembaga Bhakti Kemanusiaan Umat Beragama (LBK-UB) di Boyolali dan Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO). Target mereka adalah LSM yang bergerak di bidang perdamaian, dialog antar umat beragama, crisis intervention, pemberdayaan perempuan, ekonomi, perlindungan lingkungan, konservasi energi, organic farming.

12

Page 13: Kaderisasi Ulama Perempuan Jawa Tengah

Bagaimana santri akan mengimplementasikan pengetahuan dan ketrampilannya di lapangan masyarakat ditentukan oleh kemampuan dasar individu, kompetensi dan bakat minat mereka. Terdapat alumni santriwati al-Muayyad Windan yang merasa kurang dalam kemampuan yang dimiliki, namun di lingkungan tempat tinggal dia menjadi penggerak masyarakatnya.

Tidak sebanding jumlah santri perempuan dengan santri laki-laki di Pondok Pesantren al-Muayyad Windan disebabkan terbatasnya fasilitas yang tersedia di pesantren. Konstruksi bangunan pesantren hanya untuk santri laki-laki, hal ini disebabkan bangunan yang ada merupakan hasil dari pembelian, bukan membangun dari awal. Di sisi lain pada mulanya hanya santri laki-laki yang ingin mondok di pesantren ini. Al-Muayyad Windan membatasi 65 santri laki-laki dan 10 santri perempuan. Namun, pada realitasnya hanya menampung kurang dari 41 santri laki-laki dan 8 santri perempuan. Namun tidak sebandingnya jumlah santri laki-laki dan perempuan bukan untuk memaksakan kebijakan untuk santri perempuan. Meskipun secara proporsional tidak seimbang, namun santri perempuan dan santri laki-laki mempunyai kesamaan atau keadilan hak dan tugas. Pesantren al Muayyad Windan tidak mengenal tugas laki-laki dan perempuan. Namun, tidak ada santri perempuan yang menggantikan kyai untuk mengajar sorogan dan bandongan. Santri perempuan yang mempunyai kemampuan untuk mengajar kitab, biasanya diminta membantu ke pesantren pusat al-Muayyad Mangkuyudan yang tidak jauh dari pesantren al-Muayyad Windan. Al-Muayyad Windan juga membuat Pusat Studi Perempuan (PSP), yang berusaha memberdayakan perempuan, tidak terkecuali perempuan di sekitar pesantren.

Satu yang harus menjadi perhatian adalah kecilnya jumlah santriwati menunjukkan rintangan yang utama dalam mencapai tujuan internal. Perempuan selalu menjadi minoritas dalam populasi santri dan keadaan yang demikian sangat merugikan bagi pihak perempuan dalam sebagian besar kebijakan. Bagaimanapun juga demokratis di al-Muayyad Windan menyetujui santri laki-laki lebih mendominasi santriwati baik dari sisi perhatin maupun kebijakan. Tetapi perubahan dalam jumlah atau penerimaan santriwati mungkin juga menjadi lebih mengacaukan agenda santriwati yang ingin mengejar ketertinggalan. Melalui PSP al-Muayyad Windan telah membuktikan dirinya untuk meletakan perempuan agar setara dengan laki-laki. Karakter tanggungjawab bersama antara santri dengan santriwati memungkinkan untuk elaborasi dan interaksi antara mereka untuk menampilkan santri laki-laki dengan pelungan untuk menggalai dan mengembangkan mutu pemahaman baru dalam peran gender.

Analisis Pendidikan Pondok PesantrenTiga Pondok pesantren di atas, mempunyai kurikulum yang berbeda-beda.

Pondok Pesantren Roudlotul Muttaqin polaman, menerapkan kurikulum pendidikan klasik dan modern. Pendidikan klasik seperti madrasah diniyyah yang mengkaji kajian keislaman murni. Sedangan kurikulum pendidikan modern dengan menyelenggarakan pendidikan formal dari Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA). Baik kurikulum klasik maupun modern, sama-sama bisa dinikmati oleh santri dan santriwati. Pondok Pesantren Tahafuzul Qur’an Miftahul Huda menerapkan kurikulum klasik khusus hafalan al-Qur’an. Baik

13

Page 14: Kaderisasi Ulama Perempuan Jawa Tengah

santri maupun santriwati diwajibkan menghafal al-Qur’an. Sedangkan pondok pesantren al-Muayyad Windan menerapkan kurikulum dua muatan pokok yaitu pertama bidang pendalaman ilmu agama, kedua bidang pengembangan pribadi dan masyarakat. Sehingga para santri dan santriwati bisa mengimplementasikan ilmu agamanya di masyarakat.

Dari penelitian tiga pesantren di atas menunjukkan bahwa meskipun pesantren memberikan pendidikan yang setara terhadap santriwati, tetapi masih menyisakan subordinasi kepada perempuan. Dari ketiga pesantren, hanya dua yang memberikan pelatihan khitobah pidato bagi santri dan santriwati. Hanya pesantren al-Muayyad Windan yang tidak memberikan pelatihan khitobah (pidato), namun al-Muayyad Windan memberikan santri dan santriwati pelatihan pendampingan masyarakat. Hal ini disebabkan pandangan kyai yang berbeda tentang sosok ulama. Ulama oleh sebagian kyai diartikan orang yang ahli agama, selalu berbicara tentang agama dan menyelesaikan persoalan-persoalan agama. Sedangkan Kyai Dian Nafi’ pengasuh pesantren Windan berpendapat bahwa Ulama adalah orang yang mempunyai pengetahuan agama dan mampu menyelesaikan persoalan masyarakat sekitar. Bahkan di Windan mempunyai Pusat Studi Perempuan (PSP) yang berusaha mendampingi perempuan untuk setara dengan laki-laki. Namun di al-Muayyad Windan masih menyisakan subordinasi terhadap perempuan dalam jumlah santriwati yang diterima di Pesantren. Meskipun beralasan bahwa karena kondisi gedung yang ada tidak memungkinkan untuk menerima santriwati sebanding dengan santri laki-laki, ini menunjukkan bahwa al-Muayyad Windan lebih memprioritaskan laki-laki dibanding perempuan.

Perbedaan pendidikan santri dari ketiga pesantren juga memberikan variasi yang berbeda-beda dalam kaderisasi ulama perempuan. Di PPTQ Miftahul Huda santri mulai dari SD sampai mahasiswa. Di PP Roudlotul Muttaqin Polaman, pendidikan santri dari MTs sampai MA. Sedangkan di al-Muayyad Windan santri hanya dari kalangan mahasiswa saja. Pesantren yang santrinya berpendidikan SD sampai Mahasiswa seperti di PPTQ Miftahul Huda hanya memfokuskan pada hafalan al-Qur’an, sehingga berbagai aspek pendidikan agak terabaikan. Sedangkan di PP Roudlotul Muttaqin karena juga memberikan pendidikan formal, maka yang lemah dari kaderisasi ulama perempuan ada di kegiatan ekstra pondok pesantren. Terbatasnya akses santriwati terhadap kyai dan informasi menunjukkan bahwa perempuan masih dinomorduakan meskipun diberikan kesempatan untuk tampil di depan publik.

Dari ketiga pesantren yang paling lemah dalam kaderisasi ulama perempuan adalah di PPTQ Miftahul Huda. Hal ini dikarenakan PPTQ Miftahul Huda lebih menitikberatkan pada hafalan al-Qur’an, padahal syarat untuk menjadi ulama bukanlah hanya hafal al-Qur’an saja, melainan membutuhkan keahlian bidang ilmu agama lain yang lain seperti tafsir, fiqih, tasawuf dan sebagainya.

PenutupPandangan Pesantren terhadap perempuan masih di dominasi pandangan

tradisional yang menyatakan bahwa laki-laki (suami) adalah pemimpin (kepala rumah tangga). Perempuan dalam ranah sosial relatif longgar. karena hak dalam

14

Page 15: Kaderisasi Ulama Perempuan Jawa Tengah

kesosialan itu sama antara laki-laki dan perempuan, seperti perempuan berdakwah dan memimpin kegiatan masyarakat, Meskipun ada yang berpendapat tidak boleh. Ranah keagamaan, perempuan dalam perspektif pesantren sangat dogmatis. Dalam ranah-ranah yang sudah ditentukan oleh syar’i tersebut perempuan memang dilarang. Namun dalam ranah keagamaan yang lain perempuan diberi peran yang sama dengan laki-laki, seperti mencari dan mengembangkan ilmu.

Santriwati pada dasarnya mendapatkan pendidikan yang sama dengan santri laki-laki, namun kurang dalam aplikasinya. Pesantren dirasa membutuhkan pendidikan khusus yang memacu ketersediaan ulama perempuan. Seperti pelatihan untuk mengemukakan pendapat dan pengenalan problematika masyarakat dengan melakukan penerjunan langsung ke masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan kepulauan Nusantara abad XVII dan XVIII, Bandung, Mizan, 1994

Azra, Azyumardi, Ulama perempuan dalam wacana Islam, Makalah seminar internasional, PPM IAIN Imam Bonjol, Padang, 1998

Burhanuddin, Jajat, Ulama Perempuan Indonesia, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta, Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, 1982.

Fakih, Mansour, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta, Insist Press, 2008

Fauzia, Amelia, Oman Fathurahman, Tentang perempuan Islam: wacana dan gerakan, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005

Ibrahim, Abdul Mun’im, Mendidik Anak Perempuan, Jakarta, Gema Insani, 2006.

Ismail, Dr. Nurjannah, Perempuan dalam Pasungan: Bias Laki-laki dalam penafsiran, Yogyakarta, LKiS, 2003.

Kami, Asrori S., Etos Studi Kaum Santri : Wajah Baru Pendidikan Islam, Bandung, PT. Mizan Pustaka, 2009.

Moghissi, Haideh M. Maufur, Hidayatut Thoyibah, Feminisme dan fundamentalisme Islam, Yogyakarta, PT. LKiS Pelangi Aksara, 2005

Muhammad, KH. Husein, Fiqh Perempuan : Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, Cet. IV, Yogyakarta, LKiS, 2007.

Nuruzzaman, M., Kiai Husein Membela Perempuan, Yogyakarta, Pustaka Pesantren, 2005.

15

Page 16: Kaderisasi Ulama Perempuan Jawa Tengah

Qomar, Mujamil, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, Jakarta, PT. Erlangga, 2005

Soetandyo Wignyosubroto, Bahan Materi Kursus HAM dalam Aspek Historis dan Sosiologis Jakarta: ELSAM. Tahun 2005

Subhan, Arif, Citra Perempuan dalam Islam (Pandangan ORMAS Keagamaan), Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003

Widanti Agnes, “Hukum Yang Berkeadilan Gender”, Kompas Tahun 2005

Yusuf Supiandi. Bunga Rampai Pengarusutamaan Gender, Jakarta: Tahun 2008

16