jurnal pola asuh pada usia dini
TRANSCRIPT
1 STIKes Dharma Husada Bandung
GAMBARAN POLA ASUH ORANG TUA ANAK USIA PRASEKOLAH
DI PAUD QURROTA AYUN KAWALU KOTA TASIKMALAYA
TAHUN 2017
Ns.Efri Widianti,M.Kep.,Sp.Kep.Jiwa1, Ns.Gebi Elmi N, S.Kep.,MAN4
Eggy Ilham Bunyarahma, S.Kep3 123Program studi S1 Ilmu Keperawatan
STIKes Dharma Husada Bandung Jl. Terusan Jakarta No 75 Antapani Bandung
ABSTRAK
Pola asuh merupakan pola perilaku yang diterapkan pada anak yang bersifat relatif konsisten dari waktu
ke waktu dan sangat berpengaruh besar dalam pembentukan karakteristik anak yang dampaknya akan
dirasakan oleh anak baik dari segi positif atau negatif. Interaksi antara anak dan orang tua yang paling
efektif untuk menjalin kedekatan dengan anak, membimbing serta dapat mengendalikan perilaku anak.
Pola asuh orang tua diantaranya yaitu otoriter, demokrasi dan permisif. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui gambaran pola asuh orang tua anak usia prasekolah di PAUD Qurrota Ayun Kawalu Kota
Tasikmalaya tahun 2017. Jenis penelitian berupa deskriptif dengan pendekatan Cross Sectional. Populasi
penelitian sebanyak 70 orang tua, dengan teknik total sampling sehingga diperoleh 70 responden.
Instrumen penelitian ini menggunakan kuesioner The Parental Authority Questionnaire (PAQ). Analisis
yang digunakan yaitu univariat dalam bentuk persentase. Hasil penelitian menunjukan karakteristik usia
orang tua paling banyak 22 orang (61,1%) berada pada usia 20-35 tahun, pekerjaan orang tua paling
banyak 20 orang (55,6%) yaitu tidak bekerja, dan pendidikan orang tua paling banyak 20 orang (55,6%)
yaitu pendidikan dasar (SD, SMP). Pola asuh orang tua paling banyak 36 orang (51,4%) yaitu demokrasi.
Saran untuk PAUD dapat memberikan pengarahan kepada orang tua agar dapat menerapkan pola asuh
yang tepat pada anak sesuai usianya, sehingga nantinya anak memiliki kepribadian baik kelak dewasa
nanti.
Parenting is a behavior pattern applied to children that is relatively consistent over time and is
very influential in the formation of characteristics of children whose impact will be felt by
children either in terms of positive or negative. The most effective interaction between children
and parents to build closeness with children, guide and control children's behavior. Parenting
patterns of parents are authoritarian, democratic and permissive. This study aims to determine
the description of parenting patterns of preschool children in early childhood QURROTA Ayun
Kawalu Tasikmalaya 2017. Type of research is descriptive with Cross Sectional approach. The
population of the study were 70 parents, with total sampling technique so that 70 respondents
were obtained. The instrument of this study using the questionnaire The Parental Authority
Questionnaire (PAQ). The analysis used is univariate in percentage form. The result of the
research shows that the characteristic of the parents is 22 people (61,1%) at the age of 20-35
years old, the work of the parents is 20 people (55,6%) that is not working, and the education of
the parents is 20 persons (55,6%) that is primary education (SD, SMP). Parenting foster parents
at most 36 people (51.4%) of democracy. Suggestions for early childhood can provide direction
to parents in order to apply appropriate parenting to children according to age, so that later
children have a good personality later adult later.
Kata Kunci : Anak, Orang Tua, Pola Asuh, Prasekolah, Usia
2
PENDAHULUAN
Pola asuh merupakan pola perilaku yang
diterapkan pada anak yang bersifat relatif
konsisten dari waktu ke waktu dan sangat
berpengaruh besar dalam pembentukan
karakteristik anak yang dampaknya akan
dirasakan oleh anak baik dari segi positif atau
negatif. Menurut Petranto (2012) Pola asuh
terhadap anak terdiri dari empat macam yaitu:
pola asuh demokratis, otoriter, permisif, dan
penelantar. Penerapan pola asuh orang tua
sangat penting utamanya adalah seorang ibu
karena seorang ibu adalah orang utama bagi
anak dan ibu merupakan lingkungan pertama
yang dimasuki untuk membina sosialisasi
anak.
Masalah perilaku anak cenderung memiliki
asal-usul multifaktor yang luas dibagi menjadi
karakteristik pribadi dan faktor lingkungan
atau faktor situasional. Karakteristik
kepribadian dianggap sebagai hal yang paling
mempengaruhi perilaku anak, selain itu juga
sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan
keluarga. Pengaruh faktor kepribadian seperti
temperamen, ketakutan umum dan masalah
perilaku telah banyak dipelajari secara
ekstensif, namun pengaruh faktor lingkungan
dan situasional masih relatif kurang diteliti dan
sebagian besar dilakukan di Eropa dan Asia
Tenggara.
Di antara faktor lingkungan dan situasional,
telah didokumentasikan dengan baik bahwa
pola asuh orang tua di rumah sangat
berkorelasi dengan perilaku dan kemampuan
sosialisasi yang ditunjukkan anak dengan
lingkungan sekitarnya. Pola asuh orang tua
juga merupakan hal yang penting antara
hubungan interpersonal anak yang
mempengaruhi respon tingkah laku anak
tersebut. terdapat 3 jenis pola asuh orang tua,
yaitu authoritarian, permissive, and
authoritative (Kusdarini, 2010).
Masing-masing pola asuh orang tua yang ada,
akan memberikan pengaruh yang berbeda
terhadap pembentukan kepribadian dan
perilaku anak. Orang tua merupakan
lingkungan terdekat yang selalu mengitari
anak sekaligus menjadi figur dan idola
mereka. Model perilaku orang tua secara
langsung maupun tidak langsung akan
dipelajari dan ditiru oleh anak. Anak meniru
bagaimana orang tua bersikap, bertutur kata,
mengekspresikan harapan, tuntutan dan
kritikan satu sama lain, menanggapi dan
memecahkan masalah, serta mengungkapan
perasaan dan emosinya (Kusdarini, 2010).
Pada anak yang sedang berada pada masa
perkembangan kritis, seperti pada anak usia 3-
5 tahun, mereka baru mulai memformulasikan
konsep waktu dan diri serta baru mulai
membedakan suasana hati mereka dengan
kejadian-kejadian eksternal. Anak belajar dari
lingkungan, keluarga merupakan yang pertama
kali berpengaruh terhadap sikap anak. Anak
akan cenderung menunjukkan keinginan yang
kuat untuk mengeksplorasi lingkungan dan
percobaan terhadap ide-ide baru. Selain itu
anak belajar untuk membayangkan, untuk
bekerja sama dengan orang lain dan
memimpin (Setiadi, 2012).
Dimasa prasekolah terdapat berbagai tugas
perkembangan yang harus dikuasai anak
sebelum dia mencapai tahap perkembangan
selanjutnya, adanya hambatan dalam mencapai
tugas perkembangan tersebut akan
menghambat perkembangan selanjutnya.
Tekanan yang berlebihan ataupun
pengharapan yang terlalu tinggi melampaui
kapasitas kemampuan anak membuat anak
memilih untuk berbohong atau berbuat curang
agar dapat diterima oleh kelompok sosialnya
(Setiadi, 2012).
Diperkirakan lebih dari 200 juta anak balita di
negara berkembang gagal mencapai potensi
perkembangan optimalnya karena masalah
kemiskinan, malnutrisi, atau lingkungan yang
tidak mendukung, sehingga mempengaruhi
perkembangan kognitif, motorik, emosi, dan
sosial anak. Beberapa masalah tumbuh
kembang anak yang perlu dijadikan acuan
dalam pendeteksian di antaranya: 10% anak
akan mencapai kemampuan pada usia dini,
50% anak akan mencapai kemampuan lebih
kemudian, 90% anak akan sudah dapat
mencapai kemampuan pada batas usia paling
lambat apabila belum mencapai
kemampuannya. World health organitation
(WHO) melaporkan bahwa 5-25% anak-anak
usia prasekolah menderita disfungsi otak
minor,termasuk gangguan perkembangan
motorik halus (Widati,2012). Sedangkan
menurut (KayLambkin, dkk, 2007) secara
global dilaporkan anak yang mengalami
gangguan berupa kecemasan sekitar 9% ,
mudah emosi 11-15%, gangguan perilaku 9-
15%.
Di Indonesia jumlah balita pada tahun 2012
sebanyak ± 31,8 juta jiwa dari jumlah
penduduk 250 juta jiwa atau sebesar 12,72%
3
3 STIKes Dharma Husada Bandung
(BKKBN dalam Kementerian Kesehatan RI,
2013). Jumlah Balita yang mencapai 12,72%
dari penduduk Indonesia, menjadikan tumbuh
kembang balita ini sangat penting untuk
diperhatikan karena menyangkut kualitas
generasi masa depan bangsa. Beberapa hal
yang perlu diperhatikan terkait ini menurut
Depkes (2006), meliputi gizi yang baik,
stimulasi yang memadai dan terjangkaunya
pelayanan kesehatan berkualitas termasuk
deteksi dini serta intervensi dini
penyimpangan tumbuh kembang.
Berdasarkan laporan Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia cakupan pelayanan
kesehatan balita dalam deteksi tumbuh
kembang balita yang mengalami gangguan
tumbuh kembang anak di Indonesia 45,7%
(Dinas Kesehatan RI, 2010). Deteksi dini
tumbuh kembang anak merupakan kegiatan
atau pemeriksaan untuk menemukan secara
dini adanya keterlambatan tumbuh kembang
anak.
Pusat Data dan Statistik Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia 2015 mengatakan jumlah anak
PAUD di Indonesia berjumlah 12.905.699
siswa/i dan terbanyak terdapat di wilayah Jawa
Barat dengan jumlah 2.184.611 siswa/i. Salah
satu kota di Jawa Barat yang memiliki jumlah
siswa PAUD terbanyak yaitu terdapat
diwilayah Tasikmalaya dengan jumlah 90.277
siswa/i .
Salah satu contoh secara nasional prevalensi
balita gizi buruk menurun sebanyak 0,5 persen
yaitu dari 18,4 persen pada tahun 2007
menjadi 17,9 persen pada tahun 2010.
Prevalensi balita pendek yang menurun
sebanyak 1,2 persen yaitu dari 36,8 persen
pada tahun 2007 menjadi 35,6 persen pada
tahun 2010, dan prevalensi balita kurus
menurun sebanyak 0,3 persen yaitu dari 13,6
persen pada tahun 2007 menjadi 13,3 persen
pada tahun 2010 (RISKESDAS,2010).
Pada tahun 2012 terjadi penurunan prevalensi
Gizi kurang pada balita dari 18,4% menjadi
15% (Kemenkes RI, 2012). Jumlah balita di
Kabupaten Tasikmalaya terjadi penurunan dari
tahun lalu yaitu dari 219.035 balita pada tahun
2011 menjadi sebanyak 207.473 balita pada
tahun 2012. Apabila melihat dari jumlah balita
yang ditimbang untuk tahun 2009
partisipasinya kurang baik, hanya 55,60%
balita pernah ditimbang. Balita yang beratnya
di bawah garis merah mengalami peningkatan
yang semula tahun 2011 3,43% menjadi
4,48% untuk tahun 2012. Untuk gizi baik
terjadi penurunan dari 90,12% pada tahun
2011 menjadi 89,35% menurut Kemenkes RI
pada tahun 2012.
Salah satu unsur yang harus ada di dalam
negara hukum dan demokrasi, perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia termasuk di
dalamnya perlindungan terhadap anak yang
kita harapkan sebagai penentu masa depan
bangsa Indonesia dan sebagai generasi penerus
harus mendapatkan pengaturan yang jelas.
Pemerintah Indonesia pada tahun 2012 telah
mengeluarkan undang undang nomor 23
tahun 2012 tentang perlindungan anak.
Undang-undang Perlindungan Anak sudah
diatur tentang aspek-aspek yang harus
diperhatikan dalam pemenuhan hak-hak
anak. Salah satunya adalah untuk memenuhi
kesehatan anak. Dengan anak sehat dapat
menunjang generasi penerus bangsa yang
sehat (Kusdarini 2013, hh. 2-6).
Upaya-upaya untuk menciptakan generasi
penerus bangsa yang sehat perlu diperhatikan
terutama pada masa peka atau “masa
keemasan” (golden period) yang terjadi pada
usia 0-6 tahun. Pada masa tersebut status
kesehatan anak erat kaitannya dengan proses
tumbuh kembang anak sehingga stimulasi atau
rangsangan-rangsangan penting untuk
memenuhi proses tumbuh kembang anak.
Secara umum terdapat beberapa ciri anak yang
memiliki kelainan dan perlu pendeteksian
diantaranya apabila pada usia 1-1,5 bulan
belum bisa tersenyum secara spontan, anak
usia 3 bulan masih menggenggam dan belum
bersuara, usia 4-5 bulan belum tengkurap
dengan kepala diangkat, pada usia 7-8 bulan
anak belum bisa didudukkan tanpa bantuan,
pada usia 12 bulan anak belum mampu
mengucapkan 4-5 kata, pada usia 2 tahun anak
belum bisa menyebut nama sendiri, pada usia
30 bulan anak belum bisa menggambar, pada
usia 3 tahun anak belum bisa berpakaian, 3,5
tahun anak belum bisa mengenal warna, pada
usia 4 tahun anak belum bisa menggambar
orang 3 bagian dan pada usia 4,5 tahun anak
belum bisa bercerita (Setiadi, 2012).
Deteksi dini merupakan upaya penjaringan
yang dilaksanakan secara komprehensif untuk
mengetahui adanya penyimpangan pada
tumbuh kembang anak serta untuk mengoreksi
adanya faktor resiko (Kemenkes, 2012).
Dengan adanya faktor resiko yang diketahui,
maka upaya untuk meminimalkan dampak
4
4 STIKes Dharma Husada Bandung
pada anak bisa dicegah. Upaya tersebut
diberikan sesuai umur perkembangan anak.
Kualitas hubungan anak dan orang tua
sangatlah penting dan sangat berpengaruh
terhadap perilaku anak, termasuk bagaimana
terhadap kesehatan mentalnya, kesehatan fisik,
keterampilan sosial dan pencapaian
pendidikannya. Interaksi antara anak dengan
orang tua dan sesamanya dilingkungan
keluarga dapat menstimulasi perilaku anak
tersebut. Contohnya, interaksi antara anak dan
ibu ini merupakan interaksi yang paling efektif
untuk menjalin kedekatan dengan anak.
Interaksi ini dapat mempengaruhi persepsi,
membimbing serta dapat mengendalikan
perilaku anak tersebut. Selain itu, juga
membantu mendapatkan pengetahuan dan
keterampilan diri mereka dilingkungannya .
Peran aktif orang tua adalah usaha langsung
terhadap anak dan peran lain yang penting
adalah menciptakan lingkungan (Dewi &
pujiastuti 2012).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Fatimah
(2011) menunjukkan bahwa terdapat
hubungan antara pola asuh orang tua dengan
dengan perkembangan anak di R.A
Darussalam Desa Sumber Mulyo Jogoroto,
Jombang dengan nilai signifikan sebesar 0,002
atau P<0,05 dan penelitian yang dilakukan
oleh Dewi Dan Pujiastuti (2012) juga
menunjukkn adanya hubungan antara pola
asuh orang tua terhadap perkembangan anak
usia prasekolah di TK Kartika X-9 Cimahi
dengan nilai signifikan sebesar 0,013 atau
P<0,05. Penelitian yang akan peneliti lakukan
berbeda dengan penelitian sebelumnya,
variabel peneliti yaitu pola asuh orang tua dan
perilaku anak usia prasekolah. Penelitian ini
akan dilakukan di PAUD Qurrota A’yun
Kawalu Kota Tasikmalaya.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
bagaimana Gambaran pola asuh orang tua
anak usia prasekolah khususnya didaerah
Kawalu di PAUD Qurrota A’yun. Dari hasil
studi pendahuluan yang dilakukan pada
tanggal 29 Agustus 2016. Berdasarkan
pengamatan orang tua yang dilakukan
wawancara bahwa orang tua anak tidak suka
mendengar anak membantah perkataan yang ia
bicarakan dan anak harus patuh terhadap
peraturan yang dibuat orang tua meskipun
anak tidak menyukainya dan berdampak
terhadap perilaku anak yang mudah
tesinggung apabila keinginannya tidak diikuti.
Tiga orang tua selanjutnya beranggapan salah
satu tugas orang tua adalah memberikan
jadwal harian anak untuk belajar,
mendiskusikan segala hal yang terjadi kepada
anak dan keluarga, dan orang tua memberikan
kesempatan kepada anak untuk membicarakan
tentang apa yang ia inginkan hal ini
berdampak anak lebih bisa mengerti batasan
dalam pergaulan dan 3 orang tua lainnya
masih menyatakan tidak boleh membatasi
pergaulan anak, bila anak melakukan
kesalahan itu dianggap wajar karena anak
masih belum mengerti apa – apa dan
memperbolehkan anak untuk bergaul dengan
siapapun hal ini berdampak pada anak untuk
memaksa orang tua untuk menuruti
kemauannya tersebut.
Hasil observasi langsung terhadap anak – anak
pada saat dilakukannya proses pembelajaran
didapatkan hasil terdapat 4 anak cenderung
mengikuti kata hati, susah berkonsentrasi,
banyak beraktivitas dibandingkan teman
sebaya lainnya dan susah diatur yaitu 2 anak
laki – laki berusia 5 tahun dan 4 tahun dan 2
perempuan berusia 4,5 tahun dan 5 tahun,
kedua anak tersebut mempunyai kebiasaan
untuk menjaili teman sebayanya dan mengajak
bermain dengan merusak barang yang sedang
dimainkan, contohnya anak bermain kubus
dengan cara menyusun kubus namun pada saat
anak tersebut tidak berhasil menyusun kubus
tersebut sampai dengan selesai anak tersebut
melemparkan kubus tersebut kearah tembok
atau teman sebayanya. Hal ini berdampak
kepada orang tua yang memperlakukan
anaknya dengan memberikan hukuman kepada
anak seperti memarahi anak secara terus
menerus karena menurut orang tua dengan
perlakuan seperti itu anak dapat berhenti dari
banyaknya aktivitas seperti teman sebayanya.
Hal ini pun berdampak terhadap anak yaitu
anak menjadi lebih agresif, sulit untuk tenang
dan terkadang bersikap berlebih terhadap hal
kecil seperti permintaan terhadap sesuatu yang
tidak dikabulkan maka anak akan marah dan
memukul orang tuanya. Secara keseluruhan
proses pembelajaran dan bermain yang
dilaksanaan di PAUD tersebut anak bisa
mengikuti proses dengan cukup baik.
Fenomena yang terjadi pada perilaku anak
diantaranya adalah merebut mainan temanya,
mengejek dan berkata kasar, sering berkelahi
dan ingin selalu menang seperti pahlawan, hal
tersebut berdampak dari orang tua dengan pola
asuh yang kurang baik. Pada hakekatnya
seorang anak harus berusaha memberikan
5
5 STIKes Dharma Husada Bandung
empati membuatnya menjadi peka terhadap
kebutuhan dan perasaan anaknya, serta
menuntutnya memperlakukan orang dengan
kasih sayang. Empati yang kuat mendorong
anak bertindak benar karena ia bisa melihat
kesusahan orang lain sehingga mencegahnya
melakukan tindakan yang dapat melukai orang
lain. Semakin dalam rasa empati seseorang,
semakin tinggi rasa hormat dan sopan
santunnya kepada sesama. Biasanya orang
yang memiliki sikap empati ini sangat peduli
dan rela bertindak untuk memberikan
bantuannya kepada siapa saja yang memang
benar-benar harus dibantu.
Hasil observasi terhadap peran perawat
komunitas didalam PAUD tersebut didapat
aplikasi pemberdayaan di paud tersebut sudah
sesuai dengan perkembangan motorik kasar,
motorik halus, verbalisasi dan sosialisasi
dalam mengoptimalkan dalam melatih potensi
anak dengan beberapa program yang telah
dilaksanakan seperti pemeriksaan gigi secara
gratis dan mengajarkan pentingnya Perilaku
Hidup Bersih dan Sehat ( PHBS) dan
memberikan penyuluhan kepada orang tua
pentingnya pertumbuhan dan perkembangan
anak pada saat usia prasekolah. Maka tujuan
dalam hal ini keluarga tetap menjadi
kelompok pertama (primary group) tempat
meletakan dasar kepribadian di dalam
keluarga. Orang tua memegang peranan
membentuk sistem interaksi yang intim dan
berlangsung lama ditandai oleh cinta kasih
dan hubungan yang penuh kasih sayang.
Peran orangtua adalah dengan membenahi
perilaku anak. Terbentuknya perilaku anak
merupakan modal bagi penyesuaian diri
anak dan lingkungannya dan tentunya
memberikan dampak bagi kesejahteraan
keluarga secara menyeluruh. Penelitian ini
dilakukan untuk justifikasi tempat yaitu
PAUD Qurrota Ayun Kawalu Kota
Tasikmalaya, dengan alasan karena dikota
tasik merupakan kota terbesar yang
mengembangkan dunia pendidikan khususnya
paud, selain itu alasan lain usia anak paud
masih membutuhkan pola pengasuhan yang
tepat, sehingga perilaku anak baik, pada
peneliti ini penulis memilih tempat tersebut
karena, belum ada yang melakukan tentang
pola asuh terhadap perilaku anak, dari uraian
latar belakang di atas peneliti tertarik ingin
mengambil judul penelitian “Gambaran pola
asuh orang tua anak usia prasekolah di PAUD
Qurrota Ayun Kawalu Kota Tasikmalaya
tahun 2017”.
METODOLOGI PENELITIAN
Jenis penelitian ini deskriptif yaitu untuk
mendeskriptifkan atau menguraikan suatu
keadaan di dalam suatu komunitas atau
Masyarakat (Notoatmodjo, 2010). Pada
penelitian ini melihat Gambaran pola asuh
orang tua anak usia prasekolah di PAUD
Qurrota A’yun Kawalu Kota Tasikmalaya
tahun 2016 .
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah pendekatan Cross Sectional yaitu
suatu penelitian untuk mempelajari dinamika
korelasi antara faktor-faktor resiko dengan
efek melalui pendekatan pengumpulan data
sekaligus pada suatu saat (point time
approach), artinya tiap subjek penelitian
hanya dilakukan data dalam sekali saja dan
pengukuran dilakukan terhadap status karakter
atau variabel saja pada saat pemeriksaan, hal
ini tidak berarti bahwa semua subjek
penelitian diamati pada waktu yang sama.
Dalam penelitian ini akan dicari Gambaran
pola asuh orang tua anak usia prasekolah di
PAUD Qurrota A’yun Kawalu Kota
Tasikmalaya.
Populasi
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian
atau subjek yang akan diteliti (Notoatmodjo,
2010). Populasi dalam penelitian ini adalah
semua orang tua anak usia prasekolah di
PAUD Qurrota A’yun Kawalu Kota
Tasikmalaya yang berjumlah 70 orang.
Sampel
Sampel adalah subjek yang diteliti dan
dianggap mewakili seluruh populasi
(Notoatmodjo, 2010). Sampel pada penelitian
ini adalah semua orang tua anak usia
prasekolah PAUD Qurrota A’yun Kawalu
Kota Tasikmalaya pada periode bulan Oktober
- Desember 2016, adapun teknik sampling
menggunakan cara total sampling, yaitu
seluruh populasi diambil untuk dijadikan
sampel (Notoatmodjo, 2010). Sehingga jumlah
sampel dalam penelitian ini berjumlah 70
orang.
6
6 STIKes Dharma Husada Bandung
Variabel yang digunakan pada penelitian ini
yaitu mengandung pengertian ukuran atau ciri
yang dimiliki oleh anggota-anggota suatu
kelompok yang berbeda dengan yang dimiliki
oleh kelompok lain. Definisi lain mengatakan
bahwa variabel adalah sesuatu yang digunakan
sebagai ciri, sifat, atau ukuran yang dimiliki
atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang
sesuatu konsep pengertian tertentu
(Notoatmodjo, 2012). Variabel adalah objek
penelitian, atau apa yang menjadi titik
perhatian suatu penelitian. Variabel pada
penelitian ini yaitu Variabel Tunggal yaitu
pola asuh orang tua
Instrumen Penelitian
Alat pengumpulan data yang dipergunakan
pada penelitian ini adalah kuesioner.
Kuesioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis
yang digunakan untuk memperoleh informasi
dari responden dalam arti laporan tentang
pribadinya, atau hal-hal yang dia ketahui
(Arikunto, 2010). Penelitian ini menggunakan
kuesioner PAQ terdiri atas 28 item, 9 untuk
tiap pola asuh yang berbeda dalam lima poin
format Likert mulai dari “sangat setuju sampai
“setuju”. Dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan skala PAQ yang telah
diadaptasi. Peneliti mengadaptasi skala dengan
menerjemahkan skala yang awalnya
menggunakan bahasa Inggris ke dalam bahasa
Indonesia, dan selanjutnya menyesuaikan
skala dengan subjek dalam penelitian.
Berdasarkan tipe data yang diperoleh,
paradigma penelitian ini termasuk ke dalam
penelitian kuantitatif, karena data penelitian
berupa angka dan akan diolah secara statistik.
Instrumen yang digunakan dalam
pengumpulan data dalam penelitian ini adalah
berupa kuesioner. Untuk mengumpulkan data,
peneliti menggunakan kuesioner self-report.
Kuesioner yang disebarkan terdiri dari 2
bagian, yaitu: 1) Gambaran Umum
Responden, 2) Kuesioner The Parental
Authority Questionnaire (PAQ). Metode yang
digunakan adalah metode non tes yang berupa
angket. Angket tersebut yaitu angket pola asuh
orang tua yang diadaptasi yang diambil
berdasarkan teori dari John Reitman Buri
(1991) dan juga wawancara terbuka guna
memperoleh informasi mengenai data diri
partisipan. Dalam penelitian ini skala
pengukuran gaya asuh yang digunakan adalah
Parental Authority Questionnaire (PAQ), yang
dikembangkan oleh Buri (1991) yang
diadaptasi dari teori pola asuh orang tua Diana
Baumrind. Alat ukur ini mengklasifikasikan
jenis pola asuh apa yang cenderung digunakan
oleh orang tua dalam mengasuh anaknya. Dari
mengembangkan 3 buah dimensi, yaitu
Authoritative, Authoritarian, dan Permissive.
PAQ terdiri dari 28 butir item dengan 9 butir
item di masing-masing dimensi. 28 item The
Parental Authority Questionnaire (PAQ) ini
memiliki internal konsistensi dengan nilai
cronbach’s alpha sebesar 0,794. Skala respon
yang digunakan pada instrumen ini adalah
Likert dengan pilihan jawaban yang disajikan
dalam instrument penelitian ini terdiri dari 4
alternatif jawaban, mulai dari STS = Sangat
Tidak Setuju, TS= Tidak Setuju, S= Setuju,
SS= Sangat Setuju.
Instrumen ini lebih menekankan pada subjek
untuk mengidentifikasi sendiri tentang pola
asuh orang tua mereka dan instrumen ini juga
dapat diberikan kepada subjek yang memiliki
orang tua Single Parent. Rentang skor dari
instrumen ini berkisar dari 10 hingga 50 tiap
tipe pola asuh, skor semakin tinggi semakin
mengidentifikasikan pola asuh yang dimaksud.
Pengukuran validitas dan reliabilitas alat ukur
penelitian dilakukan baik pada uji coba
maupun pada pengambilan data lapangan.
Teknik pengolahan dan analisa data
Proses pengolahan data terdapat langkah-
langkah yang harus ditempuh, diantaranya :
Editing data, Coding (Pengkodean), Data
Entry (Pemasukan Data), Cleaning Data
(Pembersihan Data)
Analisa Data
Analisa data pada penelitian ini yaitu
mengukur Gambaran pola asuh orang tua
anak usia prasekolah yang telah dilakukan
menggunakan analisis Univariat, karena
penelitian ini menggunakan satu variabel.
Analisis univariat bertujuan untuk
menjelaskan atau mendeskripsikan
karakteristik setiap variabel penelitian yaitu
pola asuh orang tua. Bentuk analisis univariat
tergantung dari jenis datanya. Selanjutnya
dijumlahkan seluruh pertanyaan dan dirubah
dalam bentuk persen dengan rumus :
𝑃 =n
N x 100%
Keterangan :
P= Presentase
n= Jumlah jawaban Ya
N= Jumlah seluruh pertanyaan
7
7 STIKes Dharma Husada Bandung
Setelah terlihat dari suatu kategori kemudian
dilakukan analsis berdasarkan distribusi
frekuensi tersebut dan menghasilkan data hasil
output data dan hasilnya ditentukan
berdasarkan nilai persentase pada setiap
kategori serta disajikan pada BAB IV.
HASIL PENELITIAN
Tabel 4.1 Gambaran karakteritik orang tua
anak usia prasekolah di PAUD Qurrota
Ayun Kawalu Kota Tasikmalaya tahun
2017 (n=70)
Karakteristik
orang tua anak
Otoriter Demokrasi Premisif Total
f % f % f % f %
Usia
20-35 tahun 3 60,0 22 61,1 21 72.4 46 100
<20 tahun 1 20,0 12 13,8 4 13,8 17 100
>35 tahun 1 20,0 2 5,6 4 13,8 7 100
Pekerjaan
Bekerja 4 80,0 16 44,4 16 55,2 36 100
Tidak bekerja 1 20,0 20 55,6 13 44,8 34 100
Pendidikan
Dasar (SD, SMP) 1 20,0 20 55,6 13 44,8 34 100
Lanjutan (SMA,
PT)
4 80,0 16 44,4 16 55,2 36 100
Berdasarkan tabel 4.1 diketahui bahwa
karakteristik orang tua anak di PAUD Qurrota
Ayun Kawalu Kota Tasikmalaya tahun 2017
yaitu didapatkan usia paling banyak 22 orang
(61,1%) berada pada usia 20-35 tahun,
pekerjaan orang tua paling banyak 20 orang
(55,6%) yaitu tidak bekerja, dan pendidikan
orang tua paling banyak 20 orang (55,6%)
yaitu pendidikan dasar (SD, SMP).
Tabel 4.2 Gambaran pola asuh orang tua
terhadap anak usia prasekolah di PAUD
Qurrota Ayun Kawalu Kota Tasikmalaya
tahun 2017 (n=70)
Pola asuh f %
Otoriter 5 7,1
Demokrasi 36 51,4
Permisif 29 41,4
Berdasarkan tabel 4.2 didapatkan pola asuh
orang tua anak usia prasekolah di PAUD
Qurrota Ayun Kawalu Kota Tasikmalaya
tahun 2017 paling banyak 36 orang (51,4%)
yaitu pola asuh demokrasi.
Pembahasan
Gambaran karakteritik orang tua anak usia
prasekolah di PAUD Qurrota Ayun Kawalu
Kota Tasikmalaya tahun 2017
Didapatkan karakteristik usia orang tua paling
banyak 22 orang (61,1%) berada pada usia 20-
35 tahun. Hal ini kebanyakan orang yang
berhasil menjadi dewasa berasal dari keluarga
dengan orang tua yang bersikap positif dan
hubungan antara anak dan orang tua baik. Pola
asuh yang diterimanya terdahulu dianggap
baik untuk diterapkan kepada anaknya, maka
orang tua akan menerapkan pola asuh yang
sama seperti yang mereka terima terdahulu
yaitu perilaku pada dirinya baik.
Sejalan dengan hasil penelitian Indriani (2015)
tentang Hubungan Pola Asuh Orang Tua
Dengan Perilaku Sosiopatik Di Yogyakarta.
Pada penelitian ini didapatkan karakteristik
usia orang tua untuk mayoritas berada pada
usia dewasa dini yaitu 58%, sedangkan
karakteristik usia orang tua, dimana usia orang
tua mayoritas berada pada usia dewasa madya
yaitu 79.5%. Usia dewasa dini (18-40 tahun)
merupakan usia reproduksi, terdapat peran
pada masa ini antara lain peran sebagai
pasangan hidup dan sebagai orang tua yang
selalu memberikan waktu untuk mendidik dan
merawat anak, namun berbeda halnya dengan
usia madya (usia 40-60 tahun) disamping
mengalami penurunan fisik, intelektual dan
psikologis, pada fase usia ini akan mengalami
perbedaan fungsi pera.
Usia orang tua mempengaruhi pola
pengasuhan pada anak, karena setiap tahap
perkembangan mempunyai peran masing-
masing, semakin tua usia orang tua maka
perannya berbeda pula dari usia sebelumnya
dan semakin kecil perbedaan usia antara orang
tua dan anak, maka semakin kecil pula
perbedaan dan perubahan budaya dalam
kehidupan mereka sehingga akan membuat
orang tua lebih memahami tentang anaknya.
Siswa yang sedang pada masa peralihan
sebagai anak tentunya memerlukan
pengertian, pemahaman bisa berupa pola
pengasuhan yang tepat dari orang tuanya.
Peran perkembangan yang harus diemban pada
masa anak-anak adalah masih dalam tahapan
pengawasan orang tua anak dan mulai belajar
dari tingkah laku anak pada dirinya. Pola
pengasuhan yang tidak tepat akan tidak
mendukung perkembangan anak tersebut dan
nantinya akan membuat anak kehilangan arah
(Indriani, 2015).
Menurut Santrock (2012) menyatakan bahwa
orang tua cenderung lebih mengerti kebutuhan
anak - anaknya dibandingkan orang tua nya.
Sebuah studi menyatakan bahwa dibandingkan
orang tua ,orang tua memiliki keterlibatan
lebih besar dalam pengasuhan. Selain itu
8
8 STIKes Dharma Husada Bandung
menurut usia orang tua juga dapat
mempengaruhi pola asuh. Usia paling
memuaskan untuk membesarkan anak adalah
antara 18-35 tahun. Pasangan orang tua yang
masih dalam usia muda cenderung lebih
demokratis atau permisif dalam menerapkan
pola asuh kepada anaknya. Hasil penelitian ini
menunjukan sudah sesuai dengan teori.
Didapatkan karakterirtik pekerjaan orang tua
yaitu paling banyak 20 orang (55,6%) yaitu
tidak bekerja. Hal ini menurut pernyataan
orang tua bahwa perkembangan anak dengan
orang tua yang bekerja kebanyakan memiliki
perilaku anak tidak baik, seperti melawan
orang tua, merengek minta mainan yang lebih
cenderung berat, karena kesibukkan orang tua
dan akhirnya tidak bisa mebagi waktu antara
pekerjaan dengan mengasuh anak sehingga
orang tua tidak bisa sepenuhnya mengasuh
serta memantau perkembangan anak.
Pekerjaan orang tua lebih lebih banyak
memiliki pekerjaan sebagai IRT atau tidak
bekerja.
Sejalan dengan hasil penelitian Anitasari
(2016) tentang hubungan antara pola asuh
orang tua (ibu) yang bekerja dengan tingkat
kecerdasan moral anak usia prasekolah (4-5)
tahun di TK Mutiara Indonesia
Kedungkandang Malang. Hasil penelitianya
menunjukan bahwa pola asuh orang tua (ibu)
yang bekerja sebanyak 75% termasuk dalam
pola asuh baik, dan 25% termasuk pola asuh
cukup baik.
Ada sekian banyak alasan mengapaorang tua
bekerja, mulai dari memenuhi kebutuhan
ekonomi keluarga sampai sebagai suatu bentuk
aktualisasi diri. Pro dan kontra fenomena
orang tua bekerja terus berlanjut. Ada pihak
yang mengatakanorang tua sebaiknya di rumah
agar perkembangan anak lebih baik, tapi ada
yang berpendapat bahwa dengan diam di
rumah belum menjamin perkembangan anak
menjadi lebih baik. Seiring dengan pro kontra
ini banyak bermunculan hasil-hasil penelitian
baik yang menentang maupun
mendukungorang tua bekerja (Anitasari,
2016).
Menurut Hadiwidjojo, (2013) menyatakan
bahwa mengungkapkan bahwa tidak ada
dampak merugikan bagi anak-anak yang
ibunya bekerja dan tidak menemukan adanya
masalah perkembangan pada anak-anak yang
ibunya bekerja di luar rumah. Padaorang tua
memang sumber penting dari pengasuhan anak
tapi dia tidak harus tinggal di rumah selama 24
jam penuh untuk membangun kedekatan
dengan anak (Hadiwidjojo, 2013).
Salah satu pola asuh oleh orang tua akan
menghasilkan individu yang terlepas dari
perilaku dan tidak semua orang tua dalam
mengasuh anaknya murni hanya menggunakan
satu pola asuh saja. Penjelasan ini didukung
oleh Santrock (2012 yang menyatakan bahwa
ada yang namanya pola asuh situsional,
dimana orang tua tidak hanya menerapkan
salah satu tipe pola asuh tertentu. Tetapi
kemungkinan orang tua menerapkan pola asuh
secara fleksibel, luwes dan disesuaikan yaitu
dengan situasi dan kondisi yang berlangsung
saat itu.
Pola pengasuhan orang tua memiliki andil
dalam terbentuknya perilaku anak paud,
namun masih ada faktor internal dan eksternal
lainnya yang mempengaruhi terbentuknya
perilaku anak tersebut. Serta penerapan pola
asuh yang tepat tidaklah harus dengan
penerapan satu pola asuh, pemberian ketiga
bentuk pola asuh pada anak baik itu pola asuh
demokratis, permisif maupun otoriter bisa
diterapkan dan disesuaikan dengan situasi dan
kondisi yang terjadi (Santrock, 2012).
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan
bahwa kemampuan sosialisasi anak
merupakan kemampuan anak dalam
berinteraksi atau menyesuaikan diri, tingkah
laku, sikap, dan nilai sesuai dengan tuntutan
kelompok. Anak akan berhasil dalam
penyesuaian sosial dengan baik serta dapat
diterima sebagai anggota kelompok sosial
ketika anak menyukai orang dan aktivitas
sosialnya.
Berdasarkan pendidikan orang tua paling
banyak 20 orang (55,6%) yaitu pendidikan
dasar (SD, SMP). Hal ini orang tua dapat
mempengaruhi pola pikir orang tua kemudian
juga berpengaruh pada aspirasi atau harapan
orang tua kepada anaknya, semakin tinggi
pendidikan orang tua maka dapat menerima
segala informasi dari luar, terutama tentang
cara pengasuhan yang baik. Menurut
penyataan orang tua yang memiliki pendidikan
tinggi cenderung menggunakan pola asuh
demokratis dibandingkan pola asuh otoriter
dan permisif, Karena pada prinsipnya menurut
pernyataan orang tua tersebut, agar anak
menjadi displin dan perperilaku baik.
Sejalan dengan hasil penelitian Magta (2016)
tentang Hubungan Pola Asuh Orang Tua
Dengan Regulasi Diri Anak Usia 5-6 Tahun.
9
9 STIKes Dharma Husada Bandung
Hasil penelitiannya menunjukan sebagian
besar pendidikan orang tua yaitu SD (52,5%).
Orang tua selalu mempunyai pengaruh yang
paling kuat pada anak. Setiap orang tua
mempunyai pola asuh tersendiri dari segi asuh,
asah, dan asih dalam hubungannya dengan
anak-anaknya, dan ini mempengaruhi
perkembangan anak. pola asuh merupakan
interaksi anak dan orang tua mendidik,
membimbing, dan mendisplinkan serta
melindungi anak untuk mencapai kedewasaan
sesuai dengan norma-norma yang ada dalam
masyarakat.
Pendidikan berarti bimbingan atau pertolongan
yang diberikan dengan sengaja terhadap anak
didik oleh orang dewasa agar anak menjadi
dewasa. Latar belakang pendidikan orang tua
dapat mempengaruhi pola pikir orang tua baik
formal maupun non formal kemudian juga
berpengaruh pada aspirasi atau harapan orang
tua kepada anaknya (Hurlock, 2012).
Pendidikan adalah suatu usaha untuk
membimbing anak yang nantinya akan
berguna untuk terjun ke masyarakat, seorang
anak tidak selamanya akan mengalami
pendidikan, sehingga dalam setiap
perkembangannya perlu diasuh dan dibimbing
agar mempunyai bekal yang cukup. Dalam
kehidupan keluarga orang tua lah yang
berperan sebagai pendidik yang pertama dan
yang utama. Walau pada dasarnya orang tua
mempunyai kemampuan yang berbeda-beda,
hal ini dapat dipengaruhi oleh adanya
pendidikan yang dicapainya. Sehingga tingkat
pendidikan yang berbeda juga menunjukkan
perbedaan kemampuan orang tua. Tingkat
pendidikan orang tua yang berbeda jelas dapat
mempengaruhi pengasuhan pada anaknya
(Hurlock, 2012).
Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat
penting dalam hidup dan kehidupan. Dalam
pengertian yang sederhana, Pendidikan ialah:
suatu usaha atau tuntunan yang dilakukan oleh
pendidik dalam rangka pemberian bantuan
yang diberikan kepada individu dalam
mengarahkan hidupnya agar dapat
menggunakan kemampuannya atau dapat
mengembangkan pandangan secara maksimal
pada suatu kenyataan. Hidup yang terjadi
sekarang, dan yang akan datang diharapkan
untuk dapat berdiri sendiri dan bertanggung
jawab terhadap dirinya dan masyarakat
merupakan konsekuensi dari keputusannya itu
dalam rangka mencapai tujuan (Hadiwidjojo,
2013).
Oleh karena itu, dapatlah dipahami bahwa
pendidikan merupakan tempat yang sangat
dibutuhkan oleh anak didik dalam menghadapi
tantangan masa depanya. Dalam hal ini yang
bertanggung jawab untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa bukan hanya tanggung
jawab pemerintah, sekolah, tetapi tanggung
jawab seluruh masyarakat, terutama orang tua.
Dengan demikian upaya pencapaian sukses
belajar anak di sekolah bagaimana pun tidak
terlepas dari peranan dan pengaruh orang tua
dalam memberikan motivasi dan bimbingan ke
arah tercapainya tujuan yang diinginkan
anaknya. Dalam pencapaian tujuan yang
diinginkan, setiap orang tua dapat memberikan
teladan yang baik. Dengan memberikan
teladan yang baik merupakan penopang dalam
upaya meluruskan anak ke jalan yang baik
pula, tanpa memberikan teladan yang baik,
pendidikan anak tidak akan berhasil
(Hadiwidjojo, 2013).
Bagi orang tua mendidik anak adalah
tanggung jawab yang diberikan atas pundak
orang tua. Sedangkan pendidikan untuk orang
tua sendiri lebih ke arah bagaimana orang tua
sebagai payung keluarga bisa menjadi sang
pendidik bagi anak-anaknya yang secara
natural melalui kasih sayangnya mampu
membawa satu perubahan kearah lebih baik
dan lebih siap dalam menghadapi masa depan
anak-anaknya (Hadiwidjojo, 2013).
Orang tua memegang peranan penting dalam
proses pengasuhan, mereka memiliki tanggung
jawab yang besar terhadap kelangsungan
hidup anaknya. Mereka memelihara,
membesarkan, melindungi dan menjaga
kesehatan baik jasmani dan rohani serta
mendidiknya dengan berbagai dasar ilmu
pengetahuan dan dasar ketrampilan bagi anak-
anaknya yang berusia dini. Kesadaran akan
tanggung jawab memberikan pengasuhan
harus secara terus meneruspun harus
dikembangkan kepada setiap orang tua ,
mereka juga perlu dibekali teori-teori
pengasuhan modern sesuai dengan
perkembangan zaman, dengan demikian
tingkat dan kualitas pengasuhan yang
diberikan kepada anak semakin baik. Dengan
tingkat pendidikan orang tua yang berbeda-
beda akan mempengaruhi kegiatan orang tua
dalam melaksanakan pengasuhan dengan
anakanaknya (Hadiwidjojo, 2013).
Masing-masing orang tua tentu saja memiliki
pola asuh tersendiri dalam mengarahkan
perilaku anak. Selain factor tingkat pendidikan
10
10 STIKes Dharma Husada Bandung
orang tua, factor sosial yang lainnya juga ikut
berpengaruh pada proses pengasuhan seperti
keadaan sosial ekonomi, adat istiadat, dan
sebagainya. Dengan tingkat pendidikan yang
telah dilaluinya dapat merupakan barometer
terhadap kemampuan berfikir maupun
kemampuan bertindak orang tua selaku orang
yang memberikan pengasuhan terhadap
anaknya. Dengan demikian pola asuh orang
tua petani tida sama dengan pola asuh
pedagang ataupun pola asuh dengan orang tua
berpendidikan rendah berbeda dengan pola
asuh orang tua yang berpendidikan tinggi.
Bagi orang tua yang tingkat pendidikannya
rendah dalam memberikan pengasuhan pada
anaknya dapat dikatakan hanya sekedarnya
saja, menurut pengetahuan yang dimiliki tanpa
memikirkan kebutuhan anak lebih lanjut
(Hadiwidjojo, 2013).
Adapun bagi mereka yang berpendidikan lebih
tinggi dalam memberikan pengasuhan pada
anaknya sedit banyak berbeda dengan motivasi
yang diberikan oleh orang tua berpendidikan
rendah. Mereka tidak hanya memberikan
pengetahuan secara sederhana tetapi juga
memberikan perhatian penuh segala bentuk
kebutuhan anak usia dini secara khusus sampai
pada fasilitas yang dibutuhkan anakanya, hal
ini disebabkan kesadaran mereka bahwa untuk
menunjang keberhasilan perkembangan
anaknya secara maksimal , tidak cukup hanya
dengan memberikan pengasuhan dengan
memenuhi salah satu kebutuhannya saja.
Teteapi perlu juga bimbingan dan pengasuhan
yang lain (Hadiwidjojo, 2013).
Selain penguasaan pengasuhan juga tak kalah
pentingnya proses pengasuhan yang diberikan
orang tua, ada yang menerapkan dengan pola
asuh yang keras atau kejam, kasar dan tidak
berperasaan, namun ada pula yang memakai
pola lemah lembut dan kasih saying (pola
demokrasi). Ada pula yang memakai sistem
militer yang apabila anaknya bersalah akan
langsung akan diberikan hukuman dan
tindakan tegas (pola otoriter). Bermacam-
macam pola asuh yang diterapkan orang tua
ini sangat bergantung pada masing-masing
karakter dasar orang tua dan bias bergantung
pula pada bentuk-bentuk penyimpangan
perilaku anak. Namun demikian, semua kita
kembalikan itu kepada individu masing-
masing. Karena ada juga orang tua yang
tingkat pendidikannya rendah tetapi punya
kesadaran tinggi dalam memberikan
pengasuhan. Bahwa dalam memberikan
motivasi dan memfasilitasi dengan ketelatenan
yang dipunyai orang tua akan dapat juga
memberikan pola pengasuhan yang tidak kalah
dengan mereka yang lebih tinggi tingkat
pendidikannya, hal ini bisa dihitung
kuantitasnya karena itu potensi dasar bawaan
(Hadiwidjojo, 2013).
Hal ini tentunya akan memberikan gambaran
jika orang tua berpendidikan formal SMP
tentunya memberikan efek bagi anak-anaknya
mengenai logika hidup dan gaya hidup lebih
tidak jelas dan terkesan boros, kurang
memiliki etika hidup yang normative, hal ini
dikarenakan tingkat pengetahuan mengenai
hidup itu sendiri kurang maksimal, namun
semua itu kembali pada persoalan individu
dari orang tua tersebut.
Sedangkan untuk orang tua yang memiliki
pendidikan SMA, tentunya memiliki
taraf/standar pemikiran tentang kehidupan
yang lebih baik, hal ini akan berkait pula
dengan pola asuh dan orientasi masa depan
bagi anak-anaknya dalam memberikan
gambaran tantang masa depan. Dengan orang
tua berpendidikan SMA minimal orientasi
yang diberikan ke anak-anaknya juga
berpendidikan SMA atau dimungkinkan lebih
tinggi dari orang tuanya.
Selanjutnya jika orang tua berpendidikan
Sarjana, tentu lebih memberikan efek positif
pada pola asuh yang diberikan bagi anak-
anaknya, hal ini di latarbelakangi oleh hasil
keilmuan yang telah diperolah oleh orang
tuanya semasa studi di perguruan tinggi,
banyak persoalan kehidupan yang dikaitkan
dengan teori yang selanjutnya diaplikaasikan
dalam kehidupan sehari-hari. Orang tua
dengan predikat sarjana akan lebih berhati-hati
dan selektif dalam memberikan berbagai
kebutuhan baik psikis maupun psikologis bagi
tumbuh kembangnya anak-anak di kemudian
hari.
Orang tua dapat memilih pola asuh yang tepat
dan ideal bagi anaknya. Orang tua yang salah
menerapkan pola asuh akan membawa akibat
buruk bagi perkembangan jiwa anak. Tentu
saja penerapan orang tua diharapkan dapat
menerapkan pola asuh yang bijaksana atau
menerapkan pola asuh yang setidaktidaknya
tidak membawa kehancuran atau merusak jiwa
dan watak seorang anak. Dengan demikian,
perbedaan antara orang tua yang tingkat
pendidikannya rendah dengan orang tua yang
tingkat pendidikannya menengah dan mereka
yang pendidikannya sarjana, baik dalam hal
11
11 STIKes Dharma Husada Bandung
pengetahuan pengasuhan maupun langsung
pemberian proses pengasuhan dapat
mempengaruhi hasil pengasuhan, meskipun
dalam hal ini tidak luput dari faktor lain.
Orang tua yang mempunyai pendidikan yang
lebih tinggilah yang lebih dapat memberikan
pengasuhan lebih baik secara penguasaan teori
dan prakteknya dalam pengasuhan, sehingga
mereka diharapkan menjadi anak yang dapat
bersosialisasi dengan baik di rumah maupun di
lingkungannya diwaktu masa yang akan
datang.
Setelah memahami betapa pentingnya peran
orang tua dalam usaha pemberian pengasuhan
dalam upaya pencapaian perkembangan secara
maksimal yang berujung pada pembinaan
pribadi anak yang ungggul, diharapkan
semakin tinggi tingkat pendidikan orang tua
semakin luas dalam memberikan motivasi dan
stimulus, bimbingan, perhatian dan
pembinaannnya, tentunya hal ini bila
dibandingkan dengan orang tua yang
berpendidikan rendah.
Gambaran pola asuh orang tua terhadap
anak usia prasekolah di PAUD Qurrota
Ayun Kawalu Kota Tasikmalaya tahun
2017
Didapatkan hasil penelitian paling banyak
pola asuh orang tua anak usia prasekolah di
PAUD Qurrota Ayun Kawalu Kota
Tasikmalaya tahun 2017 paling banyak 36
orang (51,4%) yaitu pola asuh demokrasi. Hal
ini orang tua lebih bertindak memberikan pola
asuh demokrasi, karena menurutnya orang tua
lebih memperhatikan kebebasan dan
menghargai anak yang sesuai dengan
keinginannya.
Sejalan dengan hasil penelitian Opod (2015)
tentang pola asuh orang tua dengan
kepercayaan diri anak. Hasil penelitianya
menunjukan pola asuh orang tua adalah
demokrasi sebanyak 25 orang (65,2%), karena
semakin demokratis pola asuh yang
diterapkan, semakin tinggi tingkat
kepercayaan diri.
Pola asuh demokratis merupakan suatu bentuk
pola asuh yang memperhatikan dan
menghargai kebebasan anak, namun
kebebasan itu tidak mutlak, orang tua
memberikan bimbingan yang penuh
pengertian kepada anak. Pola asuh ini
memberikan kebebasan kepada anak untuk
mengemukakan pendapat, melakukan apa
yang diinginkannya dengan tidak melewati
batas-batas atau aturan-aturan yang telah
ditetapkan orang tua. Dalam pola asuh ini
ditandai sikap terbuka antara orang tua dengan
anak. Mereka membuat aturan-aturan yang
telah disetujui bersama. Anak diberi
kebebasan untuk mengemukakan pendapat,
perasaan dan keinginannya. Jadi dalam pola
asuh ini terdapat komunikasi yang baik antara
orang tua dengan anak. Sehingga dengan pola
asuh demokratis anak akan menjadi orang
yang mau menerima kritik dari orang lain,
mampu menghargai orang lain, mempunyai
kepercayaan diri yang tinggi dan mampu
bertanggung jawab terhadap kehidupan
sosialnya (Gunarsa, 2012).
Menurut Gunarsa (2012) pola asuh orang tua
terhadap anak merupakan bentuk interaksi
antara anak dan orang tua selama mengadakan
kegiatan pengasuhan yang berarti orang tua
mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan
serta melindungi anak untuk mencapai
kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang
berlaku dalam lingkungan setempat dan
masyarakat. Orang tua mempunyai peran yang
sangat penting dalam menjaga, mengajar,
mendidik, serta memberi contoh bimbingan
kepada anak-anak untuk mengetahui,
mengenal, mengerti, dan akhirnya dapat
menerapkan tingkah laku yang sesuai dengan
nilai-nilai dan norma-norma yang ada dalam
masyarakat. Pola asuh yang ditanamkan tiap
keluarga berbeda dengan keluarga lainnya. Hal
ini tergantung dari pandangan pada diri tiap
orang tua.
Didapatkan pola asuh paling sedikit 5 orang
(7,1%) menunjukan pengasuhan pada anak
yaitu otoriter. Pola asuh otoriter adalah sentral
artinya segala ucapan, perkataan, maupun
kehendak orang tua dijadikan patokan (aturan)
yang harus ditaati oleh anak-anaknya. Supaya
taat, orang tua tidak segan-segan menerapkan
hukuman yang keras kepada anak.
Sejalan dengan hasil penelitian Gazali (2016)
tentang Pola Asuh Orangtua Dalam
Mengembangkan Perilaku Sosial Anak Di
Taman Kanak-Kanak. Hasil penelitian
menunjukan dari 20 orang tua dan hanya 6
orang (30%) berada pada kategori pola asuh
otoriter.
Pola asuh otoriter merupakan cara mendidik
anak yang dilakukan orang tua dengan
menentukan sendiri aturan-aturan dan batasan-
batasan yang mutlak harus ditaati oleh anak
tanpa kompromi dan memperhitungkan
keadaan anak. Orang tualah yang berkuasa
12
12 STIKes Dharma Husada Bandung
menentukan segala sesuatu untuk anak dan
anak hanyalah objek pelaksana saja. Jika anak
membantah, orang tua tidak segan-segan akan
memberikan hukuman, biasanya hukumannya
berupa hukuman fisik (Gunarsa, 2012).
Akan tetapi apabila anak patuh maka orang tua
tidak akan memberikan pengahargaan karena
orang tua mengganggap bahwa semua itu
adalah kewajiban yang harus dituruti oleh
seorang anak. Jadi, dalam hal ini kebebasan
anak sangat dibatasi oleh orang tua, apa saja
yang akan dilakukan oleh anak harus sesuai
dengan keinginan orang tua. Jika anak
membantah perintah orang tua maka akan
dihukum, bahkan mendapat hukuman yang
bersifat fisik dan jika patuh orang tua tidak
akan memberikan hadiah (Gunarsa, 2012).
Pola pengasuhan otoriter kebanyakan
diterapkan oleh orangtua yang berasal dari
pola pengasuhan otoriter pula di masa kanak-
kanaknya, atau oleh orangtua yang sebenarnya
menolak kehadiran anak. Orangtua yang
menerapkan pola asuh otoriter cenderung tidak
memikirkan apa yang akan terjadi di masa
akan datang fokusnya lebih kepada masa kini.
Orangtua menilai dan menuntut anak untuk
mematuhi standar mutlak yang ditentukan
sepihak oleh orangtua, memutlakkan
kepatuhan dan rasa hormat atau sopan santun.
Orangtua merasa tidak pernah berbuat salah
(Suhendi, 2010).
Orangtua tidak menyadari bahwa dikemudian
hari anak-anak dengan pola pengasuhan
otoriter mungkin akan menimbulkan masalah
yang lebih rumit, memusingkan dan terkadang
menyedot energi yang luar biasa besarnya.
Meskipun anak-anak dengan pola pengasuhan
otaoriter ini memiliki kompetensi dan
tanggung jawab yang cukup, namun
kebanyakan cenderung menarik diri secara
sosial, kurang spontan dan tampak kurang
percaya diri. Pola pengasuhan penyabar atau
pemanja kebalikan dari pola pengasuhan
otoriter. Segala sesuatu justru berpusat pada
kepentingan anak. Orangtua tidak
mengendalikan perilaku anak sesuai dengan
kebutuhan perkembangan kepribadian anak.
Orangtua tidak pernah menegur atau tidak
berani menegur perilaku anak, meskipun
perilaku tersebut sudah keterlaluan atau diluar
batas kewajaran. Dalam kondisi yang
demikian terkadang terkesan jangan sampai
mengecewakan anak atau yang penting anak
jangan sampai menangis (Suhendi, 2010).
Meskipun anak-anak dengan pola pengasuhan
ini cenderung lebih energik dan responsive
diandingkan anak-anak dengan pola
pengasuhan otoriter, namun mereka tampak
kurang matang secara sosail (manja),
impulsive, memetingkan diri sendiri, dan
kurang percaya diri. Orangtua dengan pola
pengasuhan penelantar kurang atau bahkan
sama sekali tidak mempedulikan
perkembangan psikis anak. Anak dibiarkan
berkembang sendiri. Pola pengasuhan ini pada
umumnya diterapkan oleh orangtua yang
sebenarnya menolak kehadiran anak dengan
berbagai alasan. Terkadang tidak disadarinya
atau tidak diakuinya secara jujur. Saelanjutnya
tidak terjadi perubahan sikap ketika anknya
lahir. Pola pengasuhan penelantar, orangtua
lebih memprioritaskan kepentingannya sendiri
daripada kepentingan anak. Kepentingan
perkembangan kepribadian anak terabaikan.
Banyak orangtua yang terlalu sibuk dengan
kegiatannya sendiri dengan berbagai macam
alasan pembenaran. Tidak jarang di antara
mereka yang tidak peduli atau tidak tahu di
mana anaknya berada, dengan siapa saja
mereka bergaul, sedang apa anak tersebut dan
sebagainya.
Menurut Suhendi, (2010) pola asuh terbagi
atas : “1) pola asuh otoriter yaitu pola asuh
yang menerapkan pengawasan yang ketat dan
hukuman. 2) pola autoritatif yaitu pola asuh
yang menerapkan kehangatan dan komunikasi
yang baik dengan anak. 3) pola asuh permisif
yaitu pola asuh yang tidak memperdulikan
pengembangan kreatifitas anak.” (Suhendi,
2010).
Didapatkan pola asuh orang tua 29 orang
(41,4%) menunjukan pola asuh premisif. Pola
asuh permisif adalah suatu bentuk pola asuh
dimana orang tua justru merasa tidak peduli
dan cenederung memberi kesempatan serta
kebebasan secara luas kepada anaknya. Jadi
pola asuh permisif yaitu orang tua serba
membolehkan anak berbuat apa saja. Orang
tua membebaskan anak untuk berperilaku
sesuai dengan keiginannya sendiri. Orang tua
memiliki kehangatan dan menerima apa
adanya. Sedangkan menerima apa adanya akan
cenderung memberikan kebebasan kepada
anak untuk berbuat apa saja (Gunarsa, 2012).
Sejalan dengan hasil penelitian Ariful (2015)
tentang gambaran pola asuh orang tua pada
anak prasekolah di Paud Tarbiyatus Shibyan
Desa Kemantren Kecamatan Paciran
Kabupaten Lamongan. Menunjukan hasil
13
13 STIKes Dharma Husada Bandung
hampir setengah (27%) menerapkan pola asuh
permisif.
Pola asuh orang tua permisif bersikap terlalu
lunak, tidak berdaya, memberi kebebasan
terhadap anak tanpa adanya norma-norma
yang harus diikuti oleh mereka. Mungkin
karena orang tua sangat sayang (over
affection) terhadap anak atau orang tua kurang
dalam pengetahuannya. Akibatnya anak
berperilaku sesuai dengan keinginannya
sendiri, tidak peduli apakah hal itu sesuai
dengan norma masyarakat atau tidak. Keadaan
lain pada pola asuh ini adalah anak-anak bebas
bertindak dan berbuat (Gunarsa, 2012).
Menjadi orang tua memperoleh peran dan
tanggung jawab, yaitu sebagai seorang ayah
dan seorang ibu. Pada dasarnya pola asuh
orang tua dapat mempengaruhi perkembangan
anak. Pengasuhan (parenting) merupakan
suatu proses panjang dalam kehidupan seorang
anak mulai dari masa prenatal hingga dewasa.
Orang tua yang permisif akan membolehkan
anak berbuat apa saja. Orang tua permisif
memiliki unsur kehangatan dan menerima apa
adanya. Kehangatan cenderung memanjakan,
dipenuhi keinginannya. Sedangkan menerima
apa adanya memberikan kebebasan kepada
anak untuk berbuat semaunya (Sanjiwani,
2014).
Pada pola asuh permisif, masing-masing
mempunyai kelebihan dan kekurangan. Prinsip
dasar demokratis, yaitu tingginya kontrol dan
kehangatan. Pada tingginya kontrol akan
melengkapi pada kekurangan pola asuh
permisif yang akibatnya anak kurang mampu
untuk mengntrol diri.
Beberapa faktor yang mempengaruhi serta
melatarbelakangi orang tua dalam menerapkan
pola pengasuhan pada anak-anaknya.
(Gunarsa, 2012). beberapa faktor yang
mempengaruhi dalam pola pengasuhan orang
tua adalah : Latar belakang pola pengasuhan
orang tua, maksudnya para orang tua belajar
dari metode pola pengasuhan yang pernah
didapat dari orang tua mereka sendiri, Tingkat
pendidikan orang tua Orang tua yang memiliki
tingkat pendidikan tinggi berbeda pola
pengasuhannya dengan orang tua yang hanya
memiliki tingkat pendidikan yang rendah,
Status ekonomi serta pekerjaan orang tua yang
cenderung sibuk dalam urusan pekerjaannya
terkadang menjadi kurang memperhatikan
keadaan anak-anaknya.
Keadaan ini mengakibatkan fungsi atau peran
menjadi “orang tua” diserahkan kepada
pembantu, yang pada akhirnya pola
pengasuhan yang diterapkanpun sesuai dengan
pengasuhan yang diterapkan oleh pembantu,
Budaya Setempat di sekitar tempat tunggal
memiliki peran yang cukup besar dalam
membentuk pola pengasuhan orangtua
terhadap anak. Dalam hal ini mencakup segala
aturan, norma, adat, dan budaya yang
berkembang didalamnya dan Ideologi yang
berkembang dalam diri orangtua mempunyai
keyakinan dan ideologi tertentu cenderung
menurunkan pada anak-anaknya dengan
harapan bahwa nantinya nilai dan ideologi
tersebut dapat tertanam dan dikembangkan
oleh anak di kemudian hari, letak suatu daerah
norma etis yang berkembang dalam
masyarakat memiliki peran yang cukup besar
dalam membentuk pola asuh yang nantinya
diterapkan orangtua terhadap anak.
Penduduk pada dataran tinggi memiliki
perbedaan karakteristik dengan penduduk
datarn rendah sesuai dengan tuntutan serta
tradisi yang berkembang pada tiap-tiap daerah,
Bakat dan kemampuan orang tua yang
mempunyai kemampuan dalam komunikasi
dan berhubungan dengan tepat dengan anak,
cenderung mengembangkan pola asuh sesuai
dengan diri anak tersebut.
Gaya hidup yang dianut dalam kehidupan
sehari-hari sangat dipengaruhi faktor
lingkungan yang nantinya akan
mengembangkan suatu gaya hidup. Gaya
hidup masyarakat di desa dan di kota besar
memiliki berbagai macam perbedaan dan cara
yang berbeda pula dalam interaksi serta
hubungan orangtua dan anak. Sehingga
nantinya hal tersebut juga mempengaruhi pola
asuh yang diterpkan orangtua terhadap anak.
Pola asuh orang tua adalah cara terbaik yang
ditempuh oleh orang tua dalam mendidik anak
sebagai perwujudan dari tanggung jawab
kepada anak. Pola asuh orang tua adalah sikap
dan cara orang tua dalam mempersiapkan
anggota keluarga yang lebih muda termasuk
anak supaya dapat mengambil keputusan
sendiri dan bertindak sendiri sehingga
mengalami perubahan dari keadaan
bergantung kepada orang tua menjadi berdiri
sendiri dan bertanggung jawab sendiri. Jadi
yang dimaksud dengan pola asuh orang tua
adalah pola yang diberikan orang tua dalam
mendidik atau mengasuh anak baik secara
langsung maupun tidak secara langsung
(Gunarsa, 2012).
14
14 STIKes Dharma Husada Bandung
Pengasuhan menurut Schochib, (2012) adalah
orang yang melaksanakan tugas membimbing,
memimpin, atau mengelolah. Pengasuhan
yang dimaksud di sini adalah mengasuh anak.
Menurut Darajat mengasuh anak maksudnya
adalah mendidik dan memelihara anak itu,
mengurus makan, minum, pakaiannya, dan
keberhasilannya dalam periode yang pertama
sampai dewasa. Dengan pengertian diatas
dapatlah dipahami bahwa pengasuhan anak
yang dimaksud adalah kepemimpinan,
bimbingan, yang dilakukan terhadap anak
berkaitan dengan kepentingan hidupnya.
Hasil kuesioner yang didapatkan dari hasil
jawaban orang tua dilihat dari skor terendah
yaitu orang tua memberikan jadwal harian
anak untuk belajar, orang tua memberikan
penjelaskan pada anak tentang perbuatan baik
dan perbuatan buruk, agar anak dapat
menentukan perbuatan mana yang akan ia
pilih serta orang tua selalu bertanya tentang
apa yang anak lakukan di sekolah.
Menurut pandangan peneliti Lingkungan yang
pertama dan paling berpengaruh adalah
lingkungan keluarga, dimana orang tua sangat
berperan di dalamnya dan masa depan anak
sangat tergantung dari pengalaman orang tua
yang didapat anak termasuk faktor pendidikan
dan pola asuh orang tua. Pola asuh merupakan
proses interaksi yang terjadi antara orang tua
dan anak yang merupakan pola pengasuhan
tertentu dalam keluarga yang akan
memberikan pengaruh terhadap perkembangan
kepribadian anak.
Peran perawat sebagai care provider dan
counselor dibutuhkan dalam membantu
keluarga untuk dapat memberikan pola asuh
yang tepat untuk memandirikan anak dengan
perilaku anak yang baik. Orang tua memiliki
peranan penting dalam optimalisasi
perkembangan seorang anak. Orang tua harus
selalu memberi rangsang atau stimulasi kepada
anak dalam semua aspek perkembangan baik
motorik kasar maupun halus, bahasa dan
personal sosial. Stimulasi harus diberikan
secara rutin dan berkesinambungan dengan
kasih sayang, metode bermain, dan lainlain.
Sehingga perkembangan anak akan berjalan
optimal, kurangnya stimulasi dari orang tua
dapat menyebabkan keterlambatan
perkembangan anak (Dinkes, 2009). Selain itu,
pengaruh pengasuhan orang tua terhadap anak
akan terus berlangsung tidak hanya pada masa
kanak-kanak tetapi berlangsung terus,
pengalaman-pengalaman yang menakutkan,
menggoncangkan seperti trauma,
membahayakan dan sebagainya, akan terus
berdampak pada fase perkembangan
berikutnya. Pengalaman tersebut akan terus
dibawa dan disimpan di alam bawah sadar dan
dapat muncul berupa tingkah laku yang aneh
yang seringkali tidak dimengerti oleh individu
yang bersangkutan
Ketepatan pola asuh pada anak paud yaitu
setiap orang tua pasti memiliki pola asuh yang
berbeda-beda. Karena gaya pola asuh yang
berbeda maka hasil dari pengasuhan juga akan
tidak sama antara anak yang satu dengan anak
yang lain. Setidaknya ada 3 macam gaya atau
pola asuh orang tua dalam mendidik anaknya
yaitu pola asuh otoriter, pola asuh permisif dan
yang terakhir yaitu pola asuh otoritatif. Pola
asuh orang tua yang cocok untuk anak usia
sekolah adalah pola asuh demokratis, dimana
orang tua memahami keinginan anak
sementara orang tua dapat menjelaskan kepada
anak tentang aturan yang harus ditaati. Pola
asuh otoriter hanya akan membuat anak
semakin berontak, sementara pola asuh
permisif akan membuat anak semakin
menjadi-jadi dalam mencari celah keinginan
dipenuhi.
Pentingnya pola asuh orang tua yaitu anak
masih berada dalam tahap perkembangannya
sebagai anak perlu mendapatkan pengawasan
dan pendampingan dari orang tua ketika di
rumah. Orang tua perlu untuk mengawasi dan
mengontrol lingkungan pergaulan anaknya
agar tidak masuk pada lingkungan pergaulan
yang kurang baik, sesuai bahwa faktor
eksternal mempunyai peran dalam perjalanan
pembentukan perilaku sosial anak yaitu
lingkungan sosial keluarga. Pola asuh orang
tua sangat berperan bagi anak usia dini,
dimana orang tua mendidik anaknya dengan
sangat baik, orang tua mendidik anaknya
terutama dari lingkungan keluarga, dalam pola
asuh orang tua dalam memberikan pelajaran
yang mengenali dirinya dalam keluarga sangat
berperan bagi anak tersebut, dalam diri anak
untuk mengenal lingkungan keluarga yang
membentuk karakter anak pertama kali.
Pola asuh orang tua juga membantu anak
untuk mengetahui posisi dani peranannya
sesuai dengan jenis kelamin dalam lingkungan
keluarga, masyarakat, dan bangsa. Pola asuh
orang tua membantu anak mengenal nilai-nilai
atau aturan yang ada agar anak mematuhi
aturan tersebut dan anak bisa diterima oleh
lingkungannya. Pola asuh mendorong anak
15
15 STIKes Dharma Husada Bandung
untuk memperoleh ilmu dunia dan ilmu
akhirat yang bermanfaat bagi hidupnya. Orang
tua juga perlu mengawasi pergaulan anak
dengan teman maupun lingkungannya,
Karena dalam lingkungan ada pengaruh yang
baik dan yang buruk. Orang tua juga perlu
memberikan kasih sayang yang cukup bagi
anak agar anak tidak merasa kesepian dan
sendirian, serta pola asuh yang diberikan
sebaiknya sesuai dengan kemampuan anak
agar anak tersebut tidak merasa terpaksa
dengan pola asuh tersebut. Oleh sebab itu pola
asuh orang tua memiliki peranan penting
dalam mendidik anak usia dini. Dimana pola
asuh terbagi menjadi beberapa macam seperti:
pola asuh permisif, pola asuh otoriter, dan pola
asuh demokratis.
SIMPULAN
1. Didapatkan karakteristik usia orang tua
paling banyak 22 orang (61,1%) berada
pada usia 20-35 tahun, pekerjaan orang tua
paling banyak 20 orang (55,6%) yaitu tidak
bekerja, dan pendidikan orang tua paling
banyak 20 orang (55,6%) yaitu pendidikan
dasar (SD, SMP).
2. Didapatkan pola asuh orang tua anak usia
prasekolah di PAUD Qurrota Ayun Kawalu
Kota Tasikmalaya tahun 2017 paling
banyak 36 orang (51,4%) yaitu pola asuh
demokrasi.
Saran
1. Bagi Orang Tua
Diharapkan orang tua anak dapat
memberikan pola asuh yang baik terhadap
anak, seperti orang tua lebih sering
berkomunikasi antar personal dan peribadi
anak dan orang tua, sehingga keinginan
anak dan orang tua lebih mengerti dan bisa
dipahami.
2. Bagi PAUD Qurrota Ayun
Diharapkan kepada PAUD dapat
memberikan pengarahan kepada orang tua
untuk dapat menerapkan pola asuh yang
tepat pada anak sesuai usianya, sehingga
nantinya anak memiliki kepribadian baik
kelak dewasa nanti.
DAFTAR PUSTAKA
Albertina, 2009 Kelengkapan
Imunisasi Dasar Anak Balita
Dan Faktor-Faktor Yang
Berhubungan Di Poliklinik
Anak Beberapa Rumah Sakit Di
Jakarta Dan Sekitarnya Pada
Bulan Maret 2008.
Allport (1954) dalam Notoatmodjo,
2012. Pendidikan dan Perilaku
Kesehatan.Jakarta. Rhineka
Cipta
Arikunto, 2014. Penelitian Tindakan
Kelas, Jakarta : PT Bumi
Aksara.
Atikah, 2010. Pedoman Imunisasi di
Indonesia. Edisi ketiga.Jakarta:
Badan Penerbit Ikatan Dokter
Anak Indonesia
Azizah, 2012. Pengetahuan Ibu
Primigravida Tentang Suntik
Tetanus Toksoid Dengan
Pelaksanaannya. Jurnal Edu
Health, Vol. 5, No.2
Azwar, 2009. Penyusunan Skala
Psikologi dan Pengukuran
Sikap. Yogyakarta: Pustaka
Chaplin, 2013. Kamus Lengkap
Psikologi dan Dukungan Suami.
Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada
Dinas Kesehatan Kota Bandung, 2015.
Data Imunisasi tahun 2014-
2015.
Darnen. Tingkat pekerjaan yang
berhubungan dengan pemberian
imunisasi pada balita. Diakses
dari
http://digilib.stikeskusumahusad
a.ac.id. Diunduh pada tanggal
28 Januari 2017
Dewi, 2013. Hubungan Antara
Dukungan Suami Dengan
Pemberian Imunisasi Campak
Di Wilayah Puskesmas
Terminal. Diakses dari
https://doc-08-6c-
docs.googleusercontent.com.
Diunduh pada tanggal 28
Januari 2017
Eva, 2015. Hubungan dukungan suami
terhadap imunisasi. Diakses dari
http://ejournal.bsi.ac.id.
Diunduh pada tanggal 28
Januari 2017
Fithriany, 2011. Tesis tentang
Pengaruh Karakteristik Ibu Dan
Dukungan Suami Terhadap
Pemeriksaan Kehamilan Di
Kecamatan Kuta Cot Glie
Kabupaten Aceh Besar. Diakses
16
16 STIKes Dharma Husada Bandung
dari http://repository.usu.ac.id.
Diunduh pada tanggal 19
November 2016.
Fitriyanti, 2013. Analisis Faktor-faktor
yang Berhubungan dengan
Imunisasi Dasar Lengkap Pada
Balita di Desa Botubarani
Kecamatan Kabila Bone
Kabupaten Bone Bolango.
Diakses dari
http://kim.ung.ac.id/index.php.
Diunduh pada tanggal 19
September 2016.
Fitriawati, 2013. Tingkat Pengetahuan
Ibu Tentang Lima Imunisasi
Dasar Di RB An-Nuur Sumber
Surakarta. Diakses dari
http://digilib.stikeskusumahusad
a.ac.id. Diunduh pada tanggal
28 Januari 2017
Hanum, 2010. Tumbuh Kembang,
Status Gizi dan Imunisasi Dasar.
Pada Balita. Yogyakarta : Nuha
Medika.
Idwar, 2001. Faktor-Faktor Yang
Berhubungan Dengan Status
Imunisasi Hepatitis B Pada Bayi
0-11 Bulan Di Kabupaten Aceh
Besar. Diakses dari http://
digilib.litbang.depkes.go.id.
Diunduh pada tanggal 19
September 2016.
Ismawati, 2010. Posyandu dan Desa
Siaga, Nuha Medika,
Yogyakarta.
Kemenkes, 2102. Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia
nomor
482/MENKES/SK/IV/2010
tentang Gerakan Akselerasi
Imunisasi Nasional Universal
Child Immunization 2010-2014
(GAIN UCI 2010-2014).
Jakarta.
Kemenkes RI, 2013. Pekan Imunisasi
2013: Imunisasi Untuk Masa
Depan yang Sehat. Diunduh dari
http://www.depkes.go.id.
Diunduh pada tanggal 19
September 2016.
Kemenkes RI, 2014. Imunisasi Pada
Balita. Direktorat Jendral
Kesehatan Republik Indonesia
2014.
Koentjaraningrat, 2011. Manusia dan
Pengetahuan. Jakarta.
Djambatan.
Khosim, 2013. Buku Ajar
Neonatologi. Ikatan Dokter
Anak. Indonesia. Jakarta.
Kotler, 2011. Faktor Perilaku. Jilid I.
Edisi ke 13. Jakarta: Erlangga.
Lienda, 2014. Faktor-faktor Yang
Berhubungan Dengan
Kelengkapan Imunisasi. Diakses
dari
http://repository.unand.ac.id.
Diunduh pada tanggal 19
September 2016.
Meilani, Setyawati, dkk. 2009.
Kegiatan dan Pelaksanaan
Imunisasi. Jakarta : EGC
M.Ali,2008. Pengetahuan dan sikap.
Jakarta : EGC.
Multi, 2010. Diakses dari
http://download.portalgaruda.or
g. Diunduh pada tanggal 19
September 2016.
Ningrum, 2008. Hubungan Yang
Bermakna Antara Faktor
Pengetahuan Dengan
Kelengkapan Imunisasi Pada
Bayi Nya Di Desa Sumberejo
Kecamatan Mranggen Demak.
Diakses dari
http://jurnal.unimus.ac.id.
Diunduh pada tanggal 19
September 2016.
Notoatmodjo, 2010. Pendidikan dan
Perilaku Kesehatan.Edisi
Revisi. Jakarta. Rhineka Cipta
____________ 2012. Pendidikan dan
Perilaku
Kesehatan.Jakarta.
Rhineka Cipta
____________ , 2014. Ilmu
Kesehatan Masyarakat. Jakarta:
Rineka Cipta.
Nursalam, 2014. Manajemen
Keperawatan: Aplikasi Dalam
Praktik Keperawatan
Profesional. Jakarta: Salemba
Medika.
Rahma, 2012. Proporsi Ibu Yang
Bekerja Terhadap Anak Dengan
Imunisasi Lengkap. Diakses
dari http://eprints.ums.ac.id.
Diunduh pada tanggal 28
Januari 2017