jurnal penelitian hukum · 2019. 4. 23. · kedudukan hakim dalam pembaruan sistem pemidanaan...
TRANSCRIPT
-
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016 Volume 17, Nomor 4, Desember 2017
FOKUS DAN
RUANG LINGKUP
LEMBAGA PENERBIT INDEKSASI
Jurnal Penelitian Hukum De Jure memfokuskan pada bidang Hukum, menerima naskah karya tulis ilmiah hasil penelitian di bidang hukum, dan tinjauan hukum yang belum pernah dipublikasikan di media lain.
Jurnal Penelitian Hukum De Jure diterbitkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Hukum dan HAM R.I.
p-ISSN 1410-5632
e- ISSN 2579-8561
Edisi jurnal elektronik tersedia pada:
http://ejournal.balitbangham.go.id/index.php/dejure
Google Scholar; Indonesian Scientific Journal Database (ISJD); Public Knowledge Project (PKP) Index; CiteULike; Academic Research Index (Research Bib); Zotero; Indonesia One Search; Neliti; dan Bielefeld Academic Search Engine (BASE)
FREKUENSI PUBLIKASI
KETENTUAN BIAYA PUBLIKASI ARTIKEL ALAMAT KORESPONDENSI
Terbit sebanyak empat kali dalam setahun, pada bulan Maret, Juni, September dan Desember.
Setiap artikel yang disampaikan ke Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum tidak dikenakan 'Biaya Pemrosesan Artikel'. Ini mencakup review mitra bestari, pengeditan, penerbitan, pemeliharaan dan pengarsipan, dan memungkinkan akses langsung ke versi teks lengkap dari artikel.
Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia Jalan H.R. Rasuna Said Kavling 4-5, Jakarta Selatan 12940 Telepon 021- 2525015 Faksimili 021-2526438 Laman : www.balitbangham.go.id
Email: [email protected]
Jurnal Penelitian Hukum De Jure Indexed by:
http://ejournal.balitbangham.go.id/index.php/dejurehttp://www.balitbangham.go.id/mailto:[email protected]
-
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561 Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016 Volume 17, Nomor 4, Desember 2017
Jurnal Penelitian Hukum De Jure adalah majalah hukum triwulan (Maret, Juni, September dan Desember)
diterbitkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan HAM RI
bekerjasama dengan IKATAN PENELITI HUKUM INDONESIA (IPHI) Pengesahan Badan Hukum
Perkumpulan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor : AHU-13.AHA.01.07
Tahun 2013, Tanggal 28 Januari 2013, bertujuan sebagai wadah dan media komunikasi, serta sarana untuk
mempublikasikan aneka permasalahan hukum yang aktual dan terkini bagi para peneliti hukum Indonesia
khususnya dan kalangan masyarakat pemerhati hukum pada umumnya.
Penanggung Jawab
Ma’Mun, Bc.I.P., S.H., M.H.
(Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia)
Pemimpin Umum
Henry Donald Lbn Toruan, S.H.,M.H.
(Ketua Ikatan Peneliti Hukum Indonesia)
Wakil Pemimpin Umum
T. Daniel L Tobing, S.H.,
(Kepala Pusat Pengembangan Data dan Informasi Peneliti Hukum dan Hak Asasi Manusia)
RR. Risma Indriyani, S.H.,M.Hum
(Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum)
Pemimpin Redaksi
Ahyar Ari Gayo, S.H.,M.H., APU (Hukum Islam, BALITBANGKUMHAM)
Anggota Dewan Redaksi
Marulak Pardede, S.H., M.H., APU (Hukum Ekonomi BALITBANGKUMHAM)
Syprianus Aristieus, S.H., M.H (Hukum Perusahaan, BALITBANGKUMHAM)
Jamilus, S.H., M.H (Hukum Perdata, BALITBANGKUMHAM)
Nevey Varida Ariani, SH., M.H, (Hukum Pidana, BALITBANGKUMHAM)
Eko Noer Kristiyanto, S.H, M.H. (Hukum Tata Negara, BALITBANGKUMHAM)
Muhaimin, S.H., (Hukum Islam, BALITBANGKUMHAM)
Redaksi Pelaksana
Fitriyani, S.H.,M.Si.
Jaya Laksana, S.E
Sekretariat
M. Virsyah Jayadilaga, S.Si.,M.P
Asmadi, S.H
Tata Usaha
Dra. Evi Djuniarti, M.H
Suwartono
-
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561 Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016 Volume 17, Nomor 4, Desember 2017
Teknologi Informasi dan Desain Layout
Risma Sari, S.Kom.M.Si (Teknologi Informasi)
Machyudhie, S.T. (Teknologi Infornasi)
Saefullah, S.ST.,M.Si., (Teknologi Informasi)
Agus Priyatna, S.Kom. (Desain Layout)
Mitra Bestari
1. Prof. Dr. Hibnu Nugroho
Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Univ. Jenderal Soedirman, Purwokerto
2. Dr. Mohd. Din, S.H., M.H.
Hukum Pidana, Fakultas Hukum Univ. Syiah Kuala, Banda Aceh
3. Dr. Dra. Farhana, S.H., M.H., M.Pd.
Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Islam Jakarta
4. Dr. Drs. Ridwan Nurdin, MCL.
Hukum Ekonomi Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Ar-Raniry, Banda Aceh
5. Dr. Hadi Supratikta, M.M.
Hukum Administrsasi Negara, Badan Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Dalam Negeri
Alamat Redaksi:
Gedung Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM
Kementerian Hukum dan Ham Republik Indonesia
Jl. HR. Rasuna Said Kav.4-5, Lantai 7, Kuningan, Jakarta Selatan
Telefon (021) 2525015, Faksimili (021) 2526438
Email :
balitbangkumham@gmail
Percetakan
PT Pohon Cahaya
Jalan Gedung Baru 18 Jakarta Barat 11440
Telpon (021) 5600111, Faksimili (021) 5670340
Redaksi menerima naskah karya asli yang aktual di bidang hukum berupa hasil penelitian dari berbagai
kalangan, seperti: peneliti hukum, praktisi dan teoritisi, serta berbagai kalangan lainnya. Tulisan-tulisan yang
dimuat merupakan pendapat pribadi penulisnya, bukan pendapat redaksi.
Redaksi berhak menolak, menyingkat naskah tulisan sepanjang tidak mengubah isinya. Naskah tulisan
dapat dikirim ke alamat redaksi, maksimum 30 halaman A4, diketik spasi rangkap dikirim melalui Email
[email protected] atau melalui aplikasi Open Jounal System (OJS) pada URL/website: ejournal.
balitbangham.go.id.
mailto:[email protected]:[email protected]:[email protected]:[email protected]:[email protected]
-
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561 Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016 Volume 17, Nomor 4, Desember 2017
DAFTAR ISI
ADVERTORIAL
KUMPULAN ABSTRAK
DAFTAR ISI
Halaman
Pelaksanaan Putusan Arbitrase Nasional di Indonesia
(Enforcement of National Arbitration Award in Indonesia) .................................................................... 309 - 320
Mosgan Situmorang
Kedudukan Hakim dalam Pembaruan Sistem Pemidanaan Terorisme
untuk Mewujudkan Akuntabilitas Hukum
(Judge Position in The Reformation of Criminal Justice System
Against Terrorism as a Form of Legal Accountability) .............................................................................. 321 - 334
Budi Suhariyanto
Pengaruh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 77/PUU-XII/2014 Terhadap Pemberantasan
Money Laundering Perbandingan Indonesia dengan Tiga Negara Lain
(The Influence of Decision of The Constitutional Court No. 77/ PUU-XII/2014
on The Eradication of Money Laudering - Comparing Indonesia to The Other Three Countries) ......... 335 - 349
Ajie Ramdan
Perjanjian Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana
antara Republik Indonesia dan Republik Islam Iran
(Reciprocal Judiciary Assistance Agreement in The Criminal Matters
Between The Republic of Indonesia and The Islamic Republic of Iran) .................................................... 351 - 371
Firdaus
Penegakan Hukum dalam Rangka Penataan Ruang Guna Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan
(Law Enforcement Within The Scope of Spatial Lay-Out
for The Purpose of Sustainable Development) ........................................................................................... 373 - 390
Muhar Junef
Perlindungan Hak Korban Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Jalan Tol di Kabupaten Kendal
(Protection of Rights of The Victims of Land Procurement Process for Toll Road Construction
in Kendal District) ....................................................................................................................................... 391 - 409
Agus Surono
-
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561 Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016 Volume 17, Nomor 4, Desember 2017
Pendekatan Humanis dalam Penanganan Anak Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba
Studi Kasus di Provinsi Sulawesi Selatan
(Humanism Approach in Handling Juvenile Perpetrator of Drug Abuse -
A Case Study Ii South Sulawesi Province) ................................................................................................... 411 - 427
Yuliana Primawardani & Arif Rianto Kurniawan
Penempatan Narapidana Teroris di Lembaga Pemasyarakatan
(Putting Convicted Terrorists in Correctional Institution) ........................................................................ 429 - 443
Insan Firdaus
Hukum Harta Bersama Ditinjau dari Perspektif Undang-Undang Perkawinan dan KUH Perdata
(The Law of Joint Property Reviewed from The Perspective of Marriage Law
And Civil Code) ........................................................................................................................................... 445 - 461
Evi Djuniarti
BIODATA PENULIS .............................................................................................................................. 445 - 461
PEDOMAN PENULISAN ..................................................................................................................... 463 - 465
-
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561 Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016 Volume 17, Nomor 4, Desember 2017
ADVERTORIAL
Puji syukur kehadirat Allah SWT, edisi keempat Jurnal Penelitian Hukum De Jure yang diterbitkan
Ikatan Peneliti Hukum Indonesia bekerjasama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum
dan HAM Kementeraian Hukum dan HAM RI dapat kembali dihadirkan melalui Volume 17 Nomor 4
Deseember 2017. Penerbitan Jurnal Penelitian Hukum De Jure di edisi ini memuat 8 (delapan) tulisan
dengan materi hukum yang beragam, seperti putusan arbitrase, kedudukan hakim dalam pembaharuan sistem
hukum, mutual legal assistance, serta perlindungan hukum kepada korban penggusuran, anak penyalahguna
narkotika maupun pelaku tindak pidana teroris di lembaga pemasyarakatan.
Kami menyampaikan terima kasih kepada penulis yang telah memberikan kepercayaan kepada Jurnal
Penelitian Hukum De Jure untuk menerbitkan hasil karyanya. Pada kesempatan ini kami juga mengucapkan
terima kasih kepada seluruh pengelola jurnal yang telah berupaya mengoperasinalkan open jornal system
secara konsisten untuk penerbitan jurnal di tahun 2017. Semoga pengelolaan jurnal melalui open jornal system
di tahun depan dapat ditingkatkan kualitasnya sesuai standar yang berlaku.
Akhirnya kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan
Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan HAM RI dan Ikatan Peneliti Hukum Indonesia yang telah
berkenan dalam penerbitan Jurnal Penelitian Hukum De Jure ini. Kami juga mengucapkan terima kasih
kepada Bapak Prof. DR.. Hibnu Nugroho, S.H.,MA, Bapak Dr. Mohd. Din, S.H., M.H., Ibu DR. Farhana,
S.H.,M.H., Bapak DR. Hadi Supraptikta, Bapak DR. Ridwan Nurdin, MA selaku Mitra Bestari yang telah
bersedia membantu memeriksa dan mengoreksi tulisan dari para penulis.
Jakarta, Desember 2017
Redaksi
-
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561 Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016 Volume 17, Nomor 4, Desember 2017
The keywords noted here are the words which represent the concept applied in article.
This abstract sheet may be reproduced without permission or charge
Mosgan Situmorang (A Researcher of Law Research and Development Centre, The Agency of Research
and Development of Law and Human Rights)
Enforcement of National Arbitration Award in Indonesia
Law Research Journal De Jure, 2017 December , Volume 17, Number 4, Page 309 - 320
The most important issue in a dispute is, the enforcement of a verdict or judgement on the dispute
or often called as an execution. It will be useless to have a final and binding judgement only to see
that the decision is unenforceable. In the civil cases, there are at least 2(two) important institutions that
may be relied on in settling the dispute, i.e. the court and the arbitration center. The arbitration center may
examine the dispute in a fairer and faster manner, however it has no organs to force the non-favored party
to discharge his or her obligations under the awards, Therefore the role of the district court is needed.
There are some requirements to meet for a court to enforce the award, among others are that the
execution should be made within 30 (thirty) days from the issuance o f award , the original or authentic
copy of the arbitral award must have been submitted and registered by the arbitrator or his proxy to the
clerk of the district court. Non-fulfillment of the requirements above will render the arbitral award
unenforceable. The first issue in this study is, what is the role of the courts in the enforcement of the
national arbitration award and the second is, what is the benefits of entering the arbitration award to the
district court. The method used in this research is the normative juridical method, and consequently
the data is secondary data. From the research one may conclude that there are two main roles a
d i s t r ic t court should play, the first is to accept the registration of the award and the second is to
execute the award if the loosing party is not willingly to discharge their respective obligations. An
arbitration award not registered by the Arbitrator within 30 days from the issuance will render the
arbitral award unenforceable. The recomendation of the research, it is necessary to revise the Law
No. 30 of 1999 on Arbitration and Alternative Dispute R e s o l u t i o n , in particular the provisions on the
registration of arbitral award.
Keywords: Enforcement of Arbitration Award
-
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561 Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016 Volume 17, Nomor 4, Desember 2017
The keywords noted here are the words which represent the concept applied in article.
This abstract sheet may be reproduced without permission or charge
Budi Suhariyanto (A Researcher at the Research and Development Center for Law and Justice The
Supreme Court )
Judge Position in The Reformation of Criminal Justice System Against Terrorism as a Form of Legal
Accountability
Law Research Journal De Jure, 2017 December , Volume 17, Number 4, Page 321 - 334
The growing operations and increasingly sophisticated form of terrorism need to be addressed with
reformation to the criminal justice system and special form of law enforcement. For the purpose of legal
accountability, the law enforcement against the specific crime of terrorism requires authorities to oversee
the judges in order to prevent abuse of power. It is also worth to consider the judge position in the criminal
justice system against the alleged terrorist according to the applicable laws and the urgency of the judge
involvement in the reformation of the criminal justice system during the revision of the terrorism eradication
laws for the purpose of legal accountability. Normative research method is used to find the answer for the
issue. The answer will be useful as input for the House of Representative and the Government who are now
discussing the revision of the terrorism eradication laws. Normatively the Law 15 of 2003 on Combating
Terrorism and the Law No. 9 of 2013 on the Prevention and Eradication of Terrorism Financing should
constitute the basis for classifying the terrorism act as a crime over the years. As their forms and modus
operandi grow, it is necessary to reform the criminal justice system that grants the law enforcers special
authorities in the prevention and prosecution of terrorism. For the purpose of legal accountability, judges
require specific function and authorities in the investigation and investigation and prosecution process.
Control models in the forms of commissioner judges or strengthening pretrial institution may be used to
materialize the due process of law.
Keywords: Judge, Terrorism, Legal Accountability
Ajie Ramdan (Lecturer at the Department of Criminal Law, Faculty of Law, University of Padjadjaran)
The Influence of Decision of The Constitutional Court No. 77/PUU-XII/2014 on The Eradication of
Money Laudering - Comparing Indonesia to The Other Three Countries
Law Research Journal De Jure, 2017 December , Volume 17, Number 4, Page 335 - 349
Money laundering is an attempt to disguise the origin of property resulted from the proceeds of a crime as
if the property is derived from legal activities. Is the crime stand-alone or dependant to the other crimes?
This article examines the evidencing process of money laundering by studying and analyzing the Decision
of Constitutional Court No. 77 / PUU-XII / 2011 and comparing the money laundering crimes in Indonesia
and the other three countries, the Netherlands, England, and United States of America. The Constitutional
Court decision has strengthened the legal basis for the law enforcers to enforce the criminal law in the
eradication of money laundering. In conclusion money laundering can not stand alone. Comparing
the money laundering in Indonesia to its counterparts, Netherlands, United Kingdom and America has
concluded that the money laundering crime is a derivative crime. For the purpose of Equality Before The
Law, the Government and House of Representatives should have revised the Law No. 8 of 2010. In the
process of money laundering eradication in Indonesia, the law enforcers should pay more attention to the
principle of presumption of innocent.
Keywords: Money Laundering, Constitutional Court Decision, Comparison
-
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561 Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016 Volume 17, Nomor 4, Desember 2017
The keywords noted here are the words which represent the concept applied in article.
This abstract sheet may be reproduced without permission or charge
Firdaus (A Researcher at the Human Rights Research and Development Center, The Agency for Research
and Development of Law and Human Rights)
Reciprocal Judiciary Assistance Agreement in The Criminal Matters Between The Republic of Indonesia
and The Islamic Republic of Iran
Law Research Journal De Jure, 2017 December , Volume 17, Number 4, Page 351 - 371
The development of science and technology, in particular the transportation, communications, and
information has eliminated the boundaries between one country and another rendering the movement of
people or goods from one country to another easier and quicker. This development has created some impacts
to the crimes and their increasingly sophisticated operations, consequently the mitigation of the same would
require cooperation between the countries. One of the efforts in overcoming the issue is by establishing good
bilateral relations with another country of similar interests in the form of reciprocal juridical assistance on
criminal matters. This research uses the normative juridical and juridical empirical approaches and aimed to
answer the urgency of reciprocal juridical assistance agreement and ratification thereof in criminal matters,
and to identify substantial provisions of the reciprocal juridical assistance agreement in the criminal matters.
This paper focuses on the urgency to support the ratification of the reciprocal juridical assistance agreement
of criminal matters in relation to narcotics and acts of terrorism as well as the substantial provisions of the
reciprocal juridical assistance agreement in criminal matters. This paper recommends immediate ratification
of the agreement subject to the applicable national laws, and strengthening some agencies to support the
performance of the reciprocal juridical assistance agreement in criminal matters between the Republic of
Indonesia and the Islamic Republic of Iran.
Keywords: Agreement, Assistance, Reciprocity, Criminal
Muhar Junef (A researcher of Law Research and Development Centre, The Agency of Research and
Development of Law and Human Rights)
Law Enforcement Within The Scope of Spatial Lay-Out for The Purpose of Sustainable Development
Law Research Journal De Jure, 2017 December , Volume 17, Number 4, Page 373 - 390
The law enforcement process on violation against spatial lay-out regulation is very important in revitalizing
the spatial lay-out plan map. One of the issues that is often found in the implementation process of the
spatial lay-out plan is the law enforcement process. As many violations of a spatial lay-out regulations are
left unprosecuted. This has caused the violation being legalized by means of revising the existing spatial
lay-out plan. The issue to this research is the current law enforcement on violation against spatial lay-out
planning and how to realize sustainable spatial lay-out planning? To investigate the existing issues, this
study uses normative research method. The research concludes that the law enforcement of violation against
spatial lay-out regulations in Indonesia has already had the Law No. 26 of 2007 regarding Spatial Lay-out
that divides the violations into four regimes, i.e. administrative, civil, state administration, and criminal.
Creating the sustainable spatial lay-out requires harmony between the natural and artificial environments,
integrated utilization of natural resources and artificial resources by observing also the human resources as
well as the protection of spatial function and the prevention of negative impacts on the environment due to
space utilization.
Keywords: Law Enforcement, Spatial Lay-out Planning
-
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561 Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016 Volume 17, Nomor 4, Desember 2017
The keywords noted here are the words which represent the concept applied in article.
This abstract sheet may be reproduced without permission or charge
Agus Surono (A Lecturer at the Faculty of Law, University of Al Azhar Indonesia)
Protection of Rights of The Victims of Land Procurement Process for Toll Road Construction in Kendal
District
Law Research Journal De Jure, 2017 December , Volume 17, Number 4, Page 391 - 409
Judicially, the Law no. 2 of 2012 on Land Procurement has provided assurance of legal certainty and
justice, however many administrative faults have been found during the land procurement process for the
toll road construction in Kendal Regency, that in turn may adversely impact the people affected by the toll
road development. The land acquisition process for the construction of toll roads in 27 villages in Kendal
Regency, the province of Central Java has failed to observe the rights of the victims amid the tendency
of demonstrating intimidation and violation of human rights, as well as many administrative errors in
the acquisition stage the land rendering it non-compliant with the provisions of the Law no. 2 of 2012 on
Land Procurement. Based on this background, the following issues may be raised: firstly, whether the land
acquisition system for toll road construction as stipulated in the Law No. 2 of 2012 on Land Procurement
has provided the victims with adequate legal protection? Secondly, whether the rights of the victims of the
land procurement process for toll road infrastructure construction have been assured of their legal certainty
and justice as regulated in the land laws and regulations? Thirdly, whether the realization process of land
procurement for the construction of toll road infrastructure in Kendal District has provided the victims
with adequate legal protection and justice? The research uses juridical normative legal research approach,
while the data used in this study are secondary data and supported by the data from interviews and field
observations when the researcher was advocating some local victims of the land procurement process for
the construction of toll roads in Kendal, as a form of the researcher’s community service. Further, the data
were collected and analyzed by using qualitative analysis methods. Based on the analysis and discussion,
the followings are concluded: firstly, the system of land procurement for toll road development as regulated
in Law no. 2 of 2012 on Land Procurement substantially has provided adequate legal protection for the
victims, in particular the people who are entitled to compensation, but there were many problems during
the implementation. Secondly, the Law no. 2 of 2012 on Land Procurement has provided legal certainty to
the rights of the victims of land procurement process for the construction of toll roads, but in reality there
were various administrative errors highly detrimental to the people affected by the toll roads construction.
Thirdly, the implementation of land acquisition for the construction of toll road infrastructure in Kendal
Regency has failed to guarantee legal protection and justice for the victims. The recommendations include
the followings: firstly, it is necessary to socialize the regulations on land procurement/acquisition so that the
locals may understand their rights. Secondly, it is necessary to involve the supervisors to both the agencies
and law enforcers in order to prevent practices of administrative error, manipulation and markup.
Keywords: Protection, Victim Rights, Toll Road
-
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561 Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016 Volume 17, Nomor 4, Desember 2017
The keywords noted here are the words which represent the concept applied in article.
This abstract sheet may be reproduced without permission or charge
Yuliana Primawardani & Arief Rianto Kurniawan (Researchers at the Human Rights Research and
Development Center, The Agency for Research and Development of Law and Human Rights)
Humanism Approach in Handling Juvenile Perpetrator of Drug Abuse - A Case Study In South Sulawesi
Province
Law Research Journal De Jure, 2017 December , Volume 17, Number 4, Page 411 - 427
Juvenile drug abuser should be treated in different ways from the other children in conflict with the laws.
As the treatment needs humanism approach in connection with the special protection to which the children
are entitled as may be provided for in the Law of the Republic of Indonesia No. 35 of 2014 regarding
Amendment to the Law No. 23 of 2002 regarding Child Protection. The purpose of this study is to identify
general overview on the treatment of juvenile drug abuses and the rehabilitation (medical and social) policies
applied to the juvenile drug abuser. The research uses a qualitative approach. The research concludes that:
Firstly, viewed from the treatment aspects, one may see that the Laws of Juvenile Justice System has not been
appropriately applied. One of the reasons is the different perceptions among the law enforcers that may have
resulted the different treatment to the juvenile drug abusers. In addition, the Integrated Assessment Team
has not successfully implemented its programs due to lack of roles played by the Correctional Institution
in the Integrated Assessment Team. Secondly, the rehabilitation policy is applied to juvenile drug abusers
only during the pre-trial stage and as long as it is not a relapsed act. In addition, there were many juvenile
offenders who have abused drugs, not provided with rehabilitation under the judge’s decision, and they must
serve prison sentences. It is therefore recommended that rehabilitation should be humanism approach in
providing special protection to the children without prejudicing to the law enforcement process by placing the
children in the Juvenile Correctional Institutions (LPKA). Also, when establishing an Integrated Assessment
Team, a Correctional Institution should be immediately appointed as a member of the Team and to play its
roles of advocation and counsel in treating the children in conflict with the law.
Keywords: Humanism Approach, Children Drug Abuser
-
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561 Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016 Volume 17, Nomor 4, Desember 2017
The keywords noted here are the words which represent the concept applied in article.
This abstract sheet may be reproduced without permission or charge
Insan Firdaus (A Researcher at the Policy Research and Development Center, The Agency for Research
and Development of Law and Human Rights)
Putting Convicted Terrorists in Correctional Institution
Law Research Journal De Jure, 2017 December , Volume 17, Number 4, Page 429 - 443
Convicted terrorists are classified as high-risk prisoners who require special treatment and counsel, therefore,
the convicted terrorists should carefully be put in prisons as they would influence the success of the counsel
and de-radicalization processes. The issues raised by this research are firstly, whether the terrorist prisoners
have been placed in accordance with the applicable mechanisms? Secondly, the aspects that should be
considered in putting the convicted terrorists in prison and thirdly, the obstacles that may be encountered
during the processes. The research uses juridical empiric method and is descriptive with the aim to identify
the mechanisms of putting the convicted terrorists in correctional institutions, aspects and obstacles for
consideration. Placements of convicted terrorist in correctional institutions have been made in accordance
with the mechanisms prescribed by the penal law, i.e. by applying the security and counseling approaches
through the profiling and assessment processes in every stage of placement. Aspects to be considered in
placing the convicted terrorists are the levels of risks and radicalism, human resources development and
infrastructures and facilities of the prison. While the obstacles include over capacity, limited resources of
wardens both in quantity and quality and the institution’s infrastructure and facilities. Based on the study,
the followings are, among others, the recommendations for the Directorate General of Corrections: it
is necessary to improve the competence of the wardens, closer cooperation with the National Agency for
Terrorist Countermeasures, and the prison must be supported with adequate facilities and infrastructure.
Keywords: Convicted Terrorist, Correctional Institution
Evi Djuniarti (A Researcher of Law Research and Development Centre, The Agency of Research and
Development of Law and Human Rights)
The Law of Joint Property Reviewed from The Perspective of Marriage Law And Civil Code
Law Research Journal De Jure, 2017 December , Volume 17, Number 4, Page 445 – 461
Marital wealth is a very big problem in married life, especially when they divorce, so the Law of Marital
Treasure has played an important role in family life even when marriage is still running smoothly. It would
be difficult to understand how the survival of a marriage if in the marriage is not supported by the existence
of wealth. Given the importance of family property in a marriage, this research would like to recognize how
the common property is viewed from the perspective of marriage law and the Civil Code. The method used in
this research is normative research method, or literature study that is a research conducted or based on the
provisions that should be. The study found that. Under the terms of the marriage law that property acquired
during marriage becomes a common property. Formally juridical can be understood the sense of common
property is the husband and wife property acquired during marriage. While in Article 124 paragraph (1) and
paragraph (2) of the Civil Code it is stipulated that, "Husbands themselves shall take care (own beheren)
of marriage property, without the interference of wives, husbands are allowed to sell, transfer and burdens
The conclusion of the research that property is not entitled to the rights of each can not be owned, can not be
combined.All the property obtained from the carriage of the parties before marriage can be used together for
the common interest in the household.
Keywords: Law, Property, Together
-
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561 Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016 Volume 17, Nomor 4, Desember 2017
Kata kunci bersumber dari artikel
Lembar abstrak ini dapat diperbanyak tanpa memerlukan izin dan biaya
Mosgan Situmorang (Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum Badan Penelitian
dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia)
Pelaksanaan Putusan Arbitrase Nasional Di Indonesia
Jurnal Penelitian Hukum De Jure, Desember 2017, Volume 17, Nomor 4, Halaman 309 - 320
Hal terpenting suatu sengketa adalah pelaksanaan putusan atas sengketa tersebut atau sering disebut dengan
istilah eksekusi. Adalah sia-sia apabila dalam suatu perkara yang sudah mempunya kekuatan hukum yang
tetap, akan tetapi pada akhirnya tidak dapat dieksekusi. Di dalam perkara perdata paling tidak ada dua
lembaga penting yang dapat menjadi tempat penyelesaian suatu perkara, yakni lembaga pengadilan dan
arbitrase. Badan Arbitrase dapat melaksanakan pemeriksaan sengketa secara adil dan lebih cepat akan tetapi
Badan Arbitrase tidak punya organ untuk dapat memaksa pihak yang kalah melaksanakan putusannya, seperti
layaknya pengadilan yang mempunyai juru sita untuk melaksanakan eksekusi. Oleh karena itu dibutuhkan
peranan pengadilan negeri. Agar pengadilan dapat melakukan eksekusi maka ada syarat yang harus dipenuhi
yakni dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh ) hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, lembaran
asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada
panitera pengadilan negeri. Tidak dipenuhinya ketentuan tersebut berakibat putusan arbitrase tidak dapat
dilaksanakan. Adapun yang menjadi ruang lingkup permasalahan dalam penelitian ini adalah yang pertama,
bagaimanakah peran pengadilan dalam pelaksanaan putusan arbitrase nasional dan yang kedua apakah
manfaat pendaftaran putusan arbitrase di pengadilan negeri. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode Normatif Yuridis dengan demikan datanya adalah data sekunder. Dari penelitian dapat
disimpukan banwa ada dua hal pokok yang menjadi peran Pengadilan Negeri yakni yang pertama untuk
menerima pendaftaran putusan dan yang kedua adalah untuk melakukan eksekusi apabila para pihak tidak
melaksanakan secara suka rela. Konsekuensi suatu perkara arbitrase yang tidak didaftarkan oleh Arbiter
dalam jangka waktu 30 hari sejak diputus berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan. Dari hasil
penelitian, perlu dilakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa khususnya ketentuan mengenai pendaftaran putusan arbitrase.
Kata Kunci: Pelaksanaan Putusan Arbitrase
-
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561 Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016 Volume 17, Nomor 4, Desember 2017
Kata kunci bersumber dari artikel
Lembar abstrak ini dapat diperbanyak tanpa memerlukan izin dan biaya
Budi Suhariyanto (Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan
Mahkamah Agung R.I.)
Kedudukan Hakim Dalam Pembaruan Sistem Pemidanaan Terorisme Untuk Mewujudkan
Akuntabilitas Hukum
Jurnal Penelitian Hukum De Jure, Desember 2017, Volume 17, Nomor 4, Halaman 321 - 334
Berkembangnya modus operandi dan bentuk kejahatan terorisme yang semakin canggih perlu ditanggulangi
dengan pembaruan kriminalisasi dan penegakan hukum yang bersifat khusus. Demi mewujudkan akuntabilitas
penegakan hukum terorisme yang khusus tersebut maka diperlukan juga kewenangan kontrol dari hakim agar
tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Patut dipermasalahkan bagaimana eksistensi hakim dalam sistem
pemidanaan pelaku terorisme menurut perundang-undangan dan bagaimana urgensi kedudukan hakim dalam
pembaruan sistem pemidanaan dalam revisi undang-undang pemberantasan terorisme untuk mewujudkan
akuntabilitas hukum. Metode penelitian normatif digunakan untuk menjawab permasalahan tersebut.
Jawaban atas permasalahan tersebut berguna sebagai masukan bagi DPR dan Pemerintah yang sedang
membahas revisi undang-undang pemberantasan terorisme. Secara normatif UU No. 15 Tahun 2003 tentang
Pemberantasan Terorisme dan UU No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pendanaan Terorisme menjadi dasar pemidanaan pelaku terorisme selama ini. Seiring berkembangnya bentuk
dan modus operandi maka diperlukan pembaruan sistem pemidanaan baru yang memberikan kewenangan
khusus dalam hal pencegahan dan penindakan terorisme oleh penegak hukum. Demi akuntabilitas hukum,
maka diperlukan fungsi dan kewenangan kontrol dari hakim pada tahap penyelidikan dan penyidikan serta
penuntutan di persidangan. Model kontrol berupa hakim komisaris atau penguatan lembaga pra peradilan
dapat dijadikan sarana mewujudkan due process of law
Kata Kunci: Hakim, Terorisme, Akuntabilitas Hukum
Ajie Ramdan (Dosen pada Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran)
Pengaruh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 77/PUU-XII/2014 Terhadap Pemberantasan Money
Laundering Perbandingan Indonesia Dengan Tiga Negara Lain
Jurnal Penelitian Hukum De Jure, Desember 2017, Volume 17, Nomor 4, Halaman 335 - 349
Money laundering adalah upaya untuk mengaburkan asal usul harta kekayaan dari hasil tindak pidana
sehingga harta kekayaan tersebut seolah-olah berasal dari aktivitas yang sah. Apakah tindak pidana tersebut
dapat berdiri sendiri atau tindak pidana yang bergantung pada tindak pidana yang lain? Artikel ini mengkaji
pembuktian kejahatan money laundering dengan kajian yuridis normatif dan menganalisa Putusan MK No.
77/PUU-XII/2011 dengan menggunakan studi komparatif kejahatan money laundering di Negara Indonesia,
Belanda, Inggris, dan Amerika Serikat. Putusan MK tersebut memperkuat dasar hukum bagi penegak hukum
untuk menegakan hukum pidana dalam hal memberantas money laundering. Kesimpulannya kejahatan
money laundering tidak dapat berdiri sendiri. Perbandingan kejahatan money laundering Indonesia, Belanda,
Inggris dan Amerika menyimpulkan bahwa Kejahatan money laundering bukan merupakan tindak pidana
asal. Demi terciptanya Equality Before The Law seharusnya Pemerintah dan DPR merevisi UU No. 8 Tahun
2010. Dalam praktik pemberantasan kejahatan money laundering di Indonesia seharusnya penegak hukum
memperhatikan asas presumption of innocent.
Kata Kunci: Money Laundering, Putusan MK, Perbandingan
-
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561 Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016 Volume 17, Nomor 4, Desember 2017
Kata kunci bersumber dari artikel
Lembar abstrak ini dapat diperbanyak tanpa memerlukan izin dan biaya
Firdaus (Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan HAM, Badan Penelitian dan Pengembangan
Hukum dan HAM)
Perjanjian Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana Antara Republik Indonesia dan Republik
Islam Iran
Jurnal Penelitian Hukum De Jure, Desember 2017, Volume 17, Nomor 4, Halaman 351 - 371
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama perkembangan transportasi, komunikasi, dan
informasi mengakibatkan satu negara dengan negara lain seakan-akan tanpa batas sehingga perpindahan
orang atau barang dari satu negara ke negara lain dilakukan dengan mudah dan cepat. Perkembangan ini
menimbulkan dampak hukum pidana terhadap kejahatan dan modus operandinya semakin canggih sehingga
penanggulangannya diperlukan kerjasama antara negara yang satu dengan negara lainnya. Upaya mengatasi
permasalahan tersebut dengan menjalin hubungan bilateral yang baik dengan negara-negara yang memiliki
kepentingan yang sama, salah satunya dengan melakukan kerjasamabantuan timbal balik dan masalah
pidana. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris,tulisan ini
untuk menjawab apa urgensi yang dilakukan ratifikasi dan perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah
pidana, dan untuk melihat apa substansi yang diatur dalam perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah
pidana.Tulisan difokuskan pada urgensi untuk mendukung pelaksanaan pengesahan bantuan timbal
balik masalah pidana terkait pemberantasan narkotika dan tindakan terorisme dan substansi yang diatur
dalam perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana. Rekomendasi dari tulisan ini, dapat segera
meratifikasi perjanjian dengan ketentuan hukum nasional yang berlaku, dan penguatan beberapa lembaga
untuk mendukung pelaksanaan bantuan timbal balik hukum pidana antara Republik Indonesia dan Republik
Islam Iran.
Kata Kunci: Perjanjian, Bantuan, Timbal Balik Pidana
Muhar Junef (Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum, Badan Penelitian dan
Pengembangan Hukum dan HAM)
Penegakan Hukum Dalam Rangka Penataan Ruang Guna Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan
Jurnal Penelitian Hukum De Jure, Desember 2017, Volume 17, Nomor 4, Halaman 373 - 390
Proses penegakan hukum atas pelanggaran penataan ruang merupakan hal yang sangat penting dalam
revitalisasi peta rencana tata ruang. Salah satu masalah yang seringkali ditemukan dalam proses pelaksanaan
rencana tata ruang adalah dalam proses penegakan hukumnya. Sebab banyak pelanggaran-pelanggaran
terhadap suatu penataan ruang yang dibiarkan begitu saja. Akibatnya melegalkan pelanggaran tersebut
dengan mengubah rencana tata ruang yang telah ada. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana
penegakan hukum dalam rangka penataan ruang saat ini, dan bagaimana mewujudkan penataan ruang yang
berkelanjutan? Untuk mengkaji permasalahan yang ada, maka dalam penelitian ini menggunakan metode
penelitian normatif. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa penegakan hukum dalam penataan ruang di
Indonesia sudah ada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang membaginya menjadi
empat rezim yaitu rezim administrasi, perdata, tata usaha negara, dan pidana. Untuk mewujudkan tata ruang
berkelanjutan adanya harmonisasi antara lingkungan alam dan lingkungan buatan, juga keterpaduan dalam
penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia serta
perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
Kata Kunci: Penegakan Hukum, Penataan Ruang
-
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561 Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016 Volume 17, Nomor 4, Desember 2017
Kata kunci bersumber dari artikel
Lembar abstrak ini dapat diperbanyak tanpa memerlukan izin dan biaya
Agus Surono (Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia)
Perlindungan Hak Korban Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Jalan Tol Di Kabupaten Kendal
Jurnal Penelitian Hukum De Jure, Desember 2017, Volume 17, Nomor 4, Halaman 391 - 409
Secara yuridis UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah, telah memberikan jaminan kepastian hukum
dan keadilan, namun dalam pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol di Kabupaten Kendal,
masih banyak terjadi kesalahan administrasi yang pada akhirnya akan sangat merugikan masyarakat yang
terkena dampak pembangunan jalan tol. Pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol di 27
Desa di Kabupaten Kendal, Provinsi Jawa Tengah, masih belum memperhatikan hak-hak korban dan bahkan
cenderung terjadi intimidasi dan pelanggaran hak-hak asasi manusia, serta juga terdapat berbagai kesalahan
administrasi dalam tahap pengadaan tanahnya sehingga tidak sesuai dengan ketentuan UU No. 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah. Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat dikemukakan permasalahan sebagai
berikut: pertama, apakah sistem pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan jalan tol sebagaimana diatur
dalam UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah telah memberikan perlindungan hukum bagi korban?
Kedua, bagaimanakah hak-hak korban pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur jalan tol telah
diberikan jaminan kepastian hukum dan keadilan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan
di bidang pertanahan? Ketiga, apakah pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur
jalan tol di Kabupaten Kendal telah memberikan jaminan perlindungan hukum dan keadilan bagi korban?
Sedangkan metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum yuridis
normatif, dimana data yang dipergunakan dalam penelitian ini menggunakan data sekunder dan didukung
data hasil wawancara dan pengamatan langsung ketika penulis melakukan pendampingan kepada sebagaian
masyarakat korban pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol di Kabupaten Kendal, sebagai salah satu
bentuk pengabdian kepada masyarakat. Selanjutnya data yang terkumpul kemudian dilakukan analisis dengan
menggunakanmetodeanalisis kualitatif. Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai
berikut: pertama, bahwa sistem pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan jalan tol sebagaimana
diatur dalam UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah secara subtansi telah memberikan perlindungan
hukum bagi korban, yaitu terutama masyarakat yang berhak atas ganti kerugian, namun demikian dalam
pelaksanaannya masih terdapat berbagai permasalahan. Kedua, bahwa hak-hak korban pengadaan tanah
untuk pembangunan infrastruktur jalan tol secara yuridis telah diberikan jaminan kepastian hukum dalam UU
No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah, namun demikian dalam kenyataannya masih terdapat berbagai
kesalahan administrasi yang sangat merugikan masyarakat terkena dampak pembangunan jalan tol. Ketiga,
bahwa pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur jalan tol di Kabupaten Kendal belum
memberikan jaminan perlindungan hukum dan keadilan bagi korban. Adapun saran yang dapat dikemukakan
meliputi sebagai berikut: pertama, perlu dilakukan sosialisasi terhadap peraturan pengadaan tanah sehingga
masyarakat benar-benar memahami akan hak-haknya. Kedua, perlu pelibatan pengawas dari lembaga baik
aparat penegak hukum agar dapat dilakukan pencegahan praktek kesalahan administrasi, manipulasi dan
markup.
Kata Kunci: Perlindungan, Hak Korban, Jalan Tol
-
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561 Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016 Volume 17, Nomor 4, Desember 2017
Kata kunci bersumber dari artikel
Lembar abstrak ini dapat diperbanyak tanpa memerlukan izin dan biaya
Yuliana Primawardani & Arief Rianto Kurniawan (Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan
HAM, Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM)
Pendekatan Humanis Dalam Penanganan Anak Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba
Studi Kasus Di Provinsi Sulawesi Selatan
Jurnal Penelitian Hukum De Jure, Desember 2017, Volume 17, Nomor 4, Halaman 411 - 427
Penanganan anak pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkoba yang berbeda dengan penanganan pada kasus
anak yang berhadapan dengan hukum lainnya. Hal ini dikarenakan perlu adanya pendekatan humanis dalam
penanganannya yang berkaitan dengan perlindungan khusus yang dimiliki anak sesuai yang diamanatkan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran secara
umum mengenai penanganan terhadap anak pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkoba dan mengetahui
kebijakan rehabilitasi (medis maupun sosial) diberikan kepada Anak Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan
Narkoba. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Hasil Penelitian menyimpulkan bahwa:
Pertama, dilihat dari aspek penanganannya, dapat terlihat bahwa Undang-Undang Sistem Peradilan Anak
belum diterapkan sebagaimana mestinya. Salah satu penyebabnya adalah adanya perbedaan persepsi antar
para aparat penegak hukum yang berdampak kepada perbedaan penanganan anak penyalahguna narkoba.
Selain itu juga Tim Asesmen Terpadu belum dapat terimplementasi dengan baik karena kurangnya peran
Balai Pemasyarakatan dalam Tim Asesmen Terpadu tersebut. Kedua, kebijakan Rehabilitasi pada anak pelaku
tindak pidana penyalahgunaan narkoba seringkali diberikan sebelum sampai tahap persidangan selama bukan
merupakan perbuatan pengulangan. Selain itu, masih terdapat anak penyalahgunaan narkoba yang tidak
mendapatkan kebijakan rehabilitasi dalam putusan hakim, sehingga harus mendapatkan pidana penjara.
Oleh karena itu disarankan agar Rehabilitasi menjadi pendekatan Humanis dalam memberikan perlindungan
khusus bagi anak tanpa mengesampingkan penegakan hukum dengan tetap menempatkan anak pada Lembaga
Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Selain itu juga dalam hal pembentukan Tim Asesmen Terpadu, hendaknya
langsung menunjuk Balai Pemasyarakatan sebagai anggota Tim Asesmen Terpadu sebagaimana Tugas dan
fungsi bapas dalam penanganan anak yang berkonflik dengan hukum adalah melakukan pendampingan dan
pembimbingan anak.
Kata Kunci: Pendekatan Humanis, Anak, Penyalahguna Narkoba
-
Kata kunci bersumber dari artikel
Lembar abstrak ini dapat diperbanyak tanpa memerlukan izin dan biaya
Insan Firdaus (Peneliti pada Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan, Badan Penelitian dan
Pengembangan Hukum dan HAM)
Penempatan Narapidana Teroris Di Lembaga Pemasyarakatan
Jurnal Penelitian Hukum De Jure, Desember 2017, Volume 17, Nomor 4, Halaman 429 - 443
Narapidana teroris dikategorikan sebagai narapidana high risk yang membutuhkan perlakuan dan pembinaan
khusus, oleh sebab itu proses penempatan narapidana teroris di lembaga pemasyarakatan harus dilakukan
hati-hati karena hal tersebut akan berpengaruh pada keberhasilan pembinaan dan program deradikalisasi.
Permasalahan dalam penelitian ini yaitu Pertama, apakah penempatan narapidana teroris sudah dilaksanakan
sesuai dengan mekanisme yang berlaku? Kedua, aspek apa yang harus dipertimbangkan dalam penempatan
narapidana teroris di Lembaga Pemasyarakatan? Ketiga, apa hambatan dalam proses penempatan narapidana
teroris?. Metode penelitian yang digunakan yaitu yuridis empiris dan bersifat deskritif dengan tujuan untuk
mengetahui gambaran tentang mekanisme penempatan narapidana teroris, aspek yang harus dipertimbangkan
serta hambatannya. Penempatan narapidana teroris di lembaga pemasyarakatan sudah sesuai dengan mekanisme
yang diatur dalam undang-undang pemasyarakatan yaitu menggunakan pendekatan keamanan dan pembinaan
yang dilakukan melalui proses profiling dan assesment dalam setiap tahapan penempatan. Aspek-aspek yang
menjadi pertimbangan dalam penempatan narapidana teroris yaitu tingkat resiko dan radikalisme, pembinaan
sumber daya manusia dan sarana prasarana lembaga pemasyarakatan. Sedangkanhambatannyaantara lain
over kapasitas, keterbatasan sumber daya petugas pemasyarakatan baik secara kuantitas dan kualitas serta
sarana prasarana. Berdasarkan hasil kajian, terdapat beberapa saran untuk Direktorat Jendral Pemasyarakatan
antara lain, perlu peningkatan kompetensi petugas pemasyarakatan, peningkatan kerjasama dengan Badan
Nasional Penanggulangan Teroris, serta perlu didukung oleh sarana dan prasarana lembaga Pemasyarakatan
yang memadai.
Kata Kunci: Narapidana Teroris, Lembaga Pemasyarakatan
Evi Djuniarti (Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum Badan Penelitian
dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia)
Hukum Harta Bersama Ditinjau dari Perspektif Undang-Undang Perkawinan dan KUH Perdata
Jurnal Penelitian Hukum De Jure, Desember 2017, Volume 17, Nomor 4, Halaman 445– 461
Harta perkawinan merupakan masalah yang sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan suami-istri,
utamanya apabila mereka bercerai, sehingga Hukum Harta Perkawinan itu sudah memainkan peranan yang
penting dalam kehidupan keluarga bahkan sewaktu perkawinan masih berjalan mulus. Akan sulit dimengerti
bagaimana kelangsungan suatu perkawinan apabila dalam perkawinan tersebut tidak didukung oleh adanya
harta kekayaan. Mengingat begitu pentingnya harta benda keluarga dalam sebuah perkawinan maka penelitian
ini ingin mengerahui bagaimana harta benda bersama ditinjau dari perspektif undang-pundang perkawinan
dan KUHPerdata. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian normatif, atau
studi kepustakaan yakni suatu penelitian yang dilakukan atau didasarkan kepada ketentuan-ketentuan yang
seharusnya. Penelitian ini menemukan bahwa. Menurut ketentuan undang-undang perkawinan bahwa harta
benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Secara yuridis formal dapat dipahami
pengertian harta bersama adalah harta benda suami-istri yang didapatkan selama perkawinan. Sedang kan
mneueut KUHPerdata berdasarkan Asas maritale macht, maka dalam Pasal 124 ayat (1) dan ayat (2) KUH
Perdata ditentukan bahwa, "Suami sendiri harus mengurus (beheren) sendiri harta kekayaan perkawinan,
tanpa campur tangan istri, suami diperbolehkan menjual, memindahtangankan dan membeban. Kesimpulan
dari penelitian yaitu harta benda punyak hak masing-masing tidak bisa untuk dimiliki, tidak bisa digabung.
Semua harta benda yang diperoleh dari pembawaan para pihak sebelum perkawinan dapat digunakan bersama
utnuk kepentingan bersama dalam rumah tangga.
Kata Kunci: Hukum, Harta, Bersama
-
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561
De Jure Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, ISSN 1410-5632 Vol. 17 No. 4 , Desember 2017: 391 - 409 391
PERLINDUNGAN HAK KORBAN PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN JALAN TOL DI KABUPATEN KENDAL
(Protection of Rights of The Victims of Land Procurement Process for Toll Road Construction in Kendal District)
Agus Surono
Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia
Jl. Sisingamangaraja, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
HP/Fax: 082113072425/(021) 7244767
Email: [email protected]
Tulisan Diterima: 11-08-2017; Direvisi: 13-11-2017; Disetujui Diterbitkan: 21-11-2017
ABSTRACT
Judicially, the Law no. 2 of 2012 on Land Procurement has provided assurance of legal certainty and justice, however
many administrative faults have been found during the land procurement process for the toll road construction in Kendal
Regency, that in turn may adversely impact the people affected by the toll road development. The land acquisition process
for the construction of toll roads in 27 villages in Kendal Regency, the province of Central Java has failed to observe
the rights of the victims amid the tendency of demonstrating intimidation and violation of human rights, as well as many
administrative errors in the acquisition stage the land rendering it non-compliant with the provisions of the Law no. 2
of 2012 on Land Procurement. Based on this background, the following issues may be raised: firstly, whether the land
acquisition system for toll road construction as stipulated in the Law No. 2 of 2012 on Land Procurement has provided the
victims with adequate legal protection? Secondly, whether the rights of the victims of the land procurement process for toll
road infrastructure construction have been assured of their legal certainty and justice as regulated in the land laws and
regulations? Thirdly, whether the realization process of land procurement for the construction of toll road infrastructure
in Kendal District has provided the victims with adequate legal protection and justice? The research uses juridical
normative legal research approach, while the data used in this study are secondary data and supported by the data from
interviews and field observations when the researcher was advocating some local victims of the land procurement process
for the construction of toll roads in Kendal, as a form of the researcher’s community service. Further, the data were
collected and analyzed by using qualitative analysis methods. Based on the analysis and discussion, the followings are
concluded: firstly, the system of land procurement for toll road development as regulated in Law no. 2 of 2012 on Land
Procurement substantially has provided adequate legal protection for the victims, in particular the people who are entitled
to compensation, but there were many problems during the implementation. Secondly, the Law no. 2 of 2012 on Land
Procurement has provided legal certainty to the rights of the victims of land procurement process for the construction
of toll roads, but in reality there were various administrative errors highly detrimental to the people affected by the toll
roads construction. Thirdly, the implementation of land acquisition for the construction of toll road infrastructure in
Kendal Regency has failed to guarantee legal protection and justice for the victims. The recommendations include
the followings: firstly, it is necessary to socialize the regulations on land procurement/acquisition so that the locals may
understand their rights. Secondly, it is necessary to involve the supervisors to both the agencies and law enforcers in order
to prevent practices of administrative error, manipulation and markup.
Keywords: Protection, Victim Rights, Toll Road
ABSTRAK
Secara yuridis UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah, telah memberikan jaminan kepastian hukum
dan keadilan, namun dalam pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol di Kabupaten Kendal,
masih banyak terjadi kesalahan administrasi yang pada akhirnya akan sangat merugikan masyarakat yang
terkena dampak pembangunan jalan tol. Pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol di 27
Desa di Kabupaten Kendal, Provinsi Jawa Tengah, masih belum memperhatikan hak-hak korban dan bahkan
cenderung terjadi intimidasi dan pelanggaran hak-hak asasi manusia, serta juga terdapat berbagai kesalahan
administrasi dalam tahap pengadaan tanahnya sehingga tidak sesuai dengan ketentuan UU No. 2 Tahun 2012
-
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561
De Jure No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
392 Perlindungan Hak Korban Pengadaan Tanah... (Agus Surono)
tentang Pengadaan Tanah. Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat dikemukakan permasalahan sebagai
berikut: pertama, apakah sistem pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan jalan tol sebagaimana
diatur dalam UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah telah memberikan perlindungan hukum bagi
korban? Kedua, bagaimanakah hak-hak korban pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur jalan
tol telah diberikan jaminan kepastian hukum dan keadilan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
undangan di bidang pertanahan? Ketiga, apakah pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur
jalan tol di Kabupaten Kendal telah memberikan jaminan perlindungan hukum dan keadilan bagi korban?
Sedangkan metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum yuridis
normatif, dimana data yang dipergunakan dalam penelitian ini menggunakan data sekunder dan didukung
data hasil wawancara dan pengamatan langsung ketika penulis melakukan pendampingan kepada sebagaian
masyarakat korban pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol di Kabupaten Kendal, sebagai salah satu
bentuk pengabdian kepada masyarakat. Selanjutnya data yang terkumpul kemudian dilakukan analisis dengan
menggunakan metode analisis kualitatif. Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai
berikut: pertama, bahwa sistem pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan jalan tol sebagaimana
diatur dalam UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah secara subtansi telah memberikan perlindungan
hukum bagi korban, yaitu terutama masyarakat yang berhak atas ganti kerugian, namun demikian dalam
pelaksanaannya masih terdapat berbagai permasalahan. Kedua, bahwa hak-hak korban pengadaan tanah
untuk pembangunan infrastruktur jalan tol secara yuridis telah diberikan jaminan kepastian hukum dalam UU
No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah, namun demikian dalam kenyataannya masih terdapat berbagai
kesalahan administrasi yang sangat merugikan masyarakat terkena dampak pembangunan jalan tol. Ketiga,
bahwa pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur jalan tol di Kabupaten Kendal belum
memberikan jaminan perlindungan hukum dan keadilan bagi korban. Adapun saran yang dapat dikemukakan
meliputi sebagai berikut: pertama, perlu dilakukan sosialisasi terhadap peraturan pengadaan tanah sehingga
masyarakat benar-benar memahami akan hak-haknya. Kedua, perlu pelibatan pengawas dari lembaga baik
aparat penegak hukum agar dapat dilakukan pencegahan praktek kesalahan administrasi, manipulasi dan
markup.
Kata Kunci: Perlindungan, Hak Korban, Jalan Tol
PENDAHULUAN
Pembangunan infrastruktur seperti jalan tol
di Indonesia sangat tergantung pada ketersediaan
lahan, yang sebagian besar tanah-tanah yang
terkena objek pengadaan tanah tersebut
merupakan tanah masyarakat yang telah diberikan
alas hak yang sebagian besar berupa hak milik
baik yang sudah bersertifikat maupun yang masih
berupa girik. Ketidaktersediaan lahan selalu
menjadi kendala yang serius dalam pembangunan
infrastruktur di Indonesia, sehingga masyarakat
korban pengadaan tanah untuk kepentingan
pembangunan jalan tol juga harus dilindungi hak-
haknya. Tentu saja berbagai permasalahan tentang
pengadaan tanah bagi keperluan pembangunan
infrastruktur ini dapat menghambat perkembangan
ekonomi di Indonesia. Hal ini yang untuk
selanjutnya menjadi fokus dari Pemerintahan
Jokowi yang terus menggenjot peningkatan
pembangunan infrastruktur di Indonesia. Berbagai
upaya telah dilakukan oleh Pemerintah untuk
terus mendukung mensukseskan program ini.
Mulai dari kemudahan perizinan atau deregulasi
perizinan hingga penciptaan peluang kerja sama
dengan sektor swasta dalam mengembangkan
pembangunan infrastruktur di Indonesia.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar-Dasar Pokok Agraria
merupakan hukum nasional di bidang pertanahan
untuk seluruh rakyat Indonesia. Tanah mempunyai
nilai kerakyatan sehingga baik dalam pembuatan
kebijakan, pengambilan keputusan maupun
penerapan kebijakannya perlu dilakukan dengan
cara musyawarah tanpa keputusan sepihak, tanpa
ada tekanan fisik, senjata, penganiayaan tubuh,
perusakan harta, tekanan moril, ancaman keamanan
dan sebagainya. Tanah juga mempunyai nilai
keadilan sosial bagi seluruh rakyat dan memihak
pada rakyat. Nilai-nilai tersebut merupakan grund
norm atau norma dasar bagi bangsa Indonesia
untuk bertindak dan berperilaku serta untuk
dijadikan pedoman dan landasan bagi peraturan
perundang-undangan di bidang pertanahan (Zora
Febriena Dwitha H.P., 2014:3).
-
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561
De Jure Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, ISSN 1410-5632 Vol. 17 No. 4 , Desember 2017: 391 - 409 393
Pelaksanaan UU No. 5 tahun 1960, terkait
pembangunan fasilitas umum dapat dilihat dalam
beberapa ketentuan peraturan Perundang-undangan
antara lain: Undang-Undang No. 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum, Peraturan Presiden
Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum sebagaimana diubah terakhir
dengan Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2015.
Selanjutnya secara lebih teknis lagi diatur dalam
beberapa peraturan perundang-undangan antara
lain: Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 5 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis
Pelaksanaan Pengadaan Tanah, PMK Nomor 13/
PMK..02/2013 tentang Biaya Operasional dan
Biaya Pendukung Penyelenggaraan Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum Yang Bersumber Dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara.
Meskipun dalam pelaksanaan pengadaan
tanah bagi untuk infrastruktur pembangunan jalan
tol secara normatif telah diatur secara jelas dan
rinci tahapan-tahapan pelaksanaan pengadaan
tanah sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan sebagaimana disebutkan di atas, namun
dalam kenyataannya masih terdapat berbagai
permasalahan hukum yang sering muncul dalam
proses pengadaan tanah yang menimbulkan
sengketa. Bentuk sengketa pertanahan yang
kadang kala muncul dalam proses pengadaan tanah
ini pun bermacam-macam. Mulai dari sengketa
tata usaha negara (TUN) yang kerap digunakan
untuk menggungat surat keputusan atas penetapan
lokasi, sengketa keperdataan yang terkait dengan
keberatan penetapan ganti rugi, konsinyasi,
maupun sengketa lainnya, sengketa pidana
yang terkait dengan pemalsuan dokumen tanah,
penggelapan, dan bahkan korupsi. Sedangkan
sengketa adat terkait dengan persoalasan hak
ulayat, sengketa tumpang tindih lahan, kesalahan
administrasi dalam pelaksanaan pengadaan tanah,
hingga sengketa lingkungan hidup. Berbagai
sengketa ini yang untuk selanjutnya menghambat
pembangunan sebuah proyek, bahkan tak jarang
proyek tersebut menjadi mangkrak hingga
tahunan. Disinilah untuk selanjutnya penegakan
atas UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan
Tanah, beserta dengan peraturan turunannya
sebagai payung hukum sangat diharapkan untuk
menjamin kelancaran dalam proses pengadaan
tanah bagi pembangunan untuk kepentingan
umum, khususnya infrastruktur.
Pelaksanaan pengadaan tanah untuk
pembangunan jalan tol sebagaimana diatur
dalam UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum di Kabupaten Kendal meliputi 27 Desa
yang tersebar di 8 Kecamatan, masih terdapat
berbagai permasalahan yang secara umum terjadi
karena beberapa hal yaitu antara lain: masalah
data nominatif, nilai besaran ganti rugi, adanya
kesalahan administrasi dalam pelaksanaan tahapan
pengadaan tanah, adanya intimidasi dan tekanan
dari oknum pelaksana pengadaan tanah, dan
juga bahkan terdapat indikasi markup terhadap
obyek ganti rugi, bahkan juga di beberapa desa
terdapat berbagai penolakan oleh warga desa
dalam eksekusi terhadap putusan pengadilan hasil
konsinyiasi sebagaimana terjadi di Desa Tegorejo
dan Desa Wungurejo.
Beberapa permasalahan tersebut akan
diuraikan kedalam tiga hal yaitu terkait dengan
masalah kesalahan administrasi dalam pengadaan
tanah, permasalahan penolakan penggantian
ganti rugi terhadap 10 warga di Desa Magelung,
Kecamatan Kaliwungu Selatan, dan juga adanya
indikasi markup dalam penggantian objek ganti
rugi bengkok desa di Desa Sumbersari. Adanya
permasalahan kesalahan administrasi juga secara
umum terjadi di beberapa desa lainnya.
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas
dapat dikemukakan beberapa permasalah sebagai
berikut:
1. Apakah sistem pengadaan tanah untuk
kepentingan pembangunan jalan tol
sebagaimana diatur dalam UU No. 2 Tahun
2012 tentang Pengadaan Tanah telah
memberikan perlindungan hukum bagi
korban?
2. Bagaimanakah hak-hak korban pengadaan
tanah untuk pembangunan infrastruktur jalan
tol telah diberikan jaminan kepastian hukum
dan keadilan sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan di bidang
pertanahan?
3. Apakah pelaksanaan pengadaan tanah
untuk pembangunan infrastruktur jalan tol
di Kabupaten Kendal telah memberikan
jaminan perlindungan hukum dan keadilan
bagi korban?
-
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561
De Jure No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
394 Perlindungan Hak Korban Pengadaan Tanah... (Agus Surono)
Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam
penulisan artikel sesuai judul diatas meliputi hal-
hal sebagai berikut:
1. Untuk mengkaji dan menganalisis tentang
sistem pengadaan tanah untuk kepentingan
pembangunan jalan tol sebagaimana diatur
dalam UU No. 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah telah memberikan
perlindungan hukum bagi korban.
2. Untuk mengkaji dan menganalisis tentang
hak-hak korban pengadaan tanah untuk
pembangunan infrastruktur jalan tol telah
diberikan jaminan kepastian hukum dan
keadilan sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan di bidang pertanahan.
3. Untuk mengkaji dan menganalisis tentang
pelaksanaan pengadaan tanah untuk
pembangunan infrastruktur jalan tol di
Kabupaten Kendal telah memberikan
jaminan perlindungan hukum dan keadilan
bagi korban.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode penelitian hukum
yuridis normatif. Metode penelitian hukum
normatif pada dasarnya meneliti kaidah-
kaidah hukum dan asas-asas hukum, menelaah
permasalahan hukum yang dikemukakan dengan
berpedoman pada data sekunder yaitu: bahan
hukum primer, sekunder dan tersier. Bahan
hukum primer yang dimaksud adalah UUD RI
1945, undang-undang yang relevan, peraturan
pemerintah dan peraturan perundang-undangan
lainnya yang relevan dengan judul artikel ini.
Selanjutnya yang dimaksud dengan bahan hukum
sekunder adalah doktrin, pendapat ahli, hasil
karya ilmiah dalam berbagai jurnal ilmiah. Selain
menggunakan data sekunder sebagaimana tersebut
di atas, penulis juga didukung dengan data-data di
lapangan berdasarkan wawancara dan pengamatan
langsung ketika penulis melakukan pendampingan
kepada sebagaian masyarakat korban pengadaan
tanah untuk pembangunan jalan tol di Kabupaten
Kendal, sebagai salah satu bentuk pengabdian
kepada masyarakat. Data yang terkumpul di atas
yang berasal dari data sekunder, penelusuran
jurnal-jurnal ilmiah, maupun yang lainnya,
kemudian dilakukan analisis dengan menggunakan
metode analisis kualitatif.
PEMBAHASAN
A. Sistem Pengadaan Tanah untuk
Kepentingan Pembangunan Jalan Tol
dan Perlindungan Hukum Bagi Korban
Menurut UU No. 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah.
Tanah memiliki fungsi dan kedudukan yang
sangat penting dalam kehidupan karena merupakan
komoditi yang mempunyai nilai ekonomi yang
tinggi dan sulit dikendalikan. Karena kegunaannya
yang sangat strategis dan ketersediaannya terbatas,
maka sering kali terjadi perselisihan penguasaan
dan pemilikan tanah (Aartje Tehupeiory, 2017:23).
Tanah merupakan salah satu sumber daya alam
yang memiliki peran penting dalam kehidupan
makhluk hidup terutama manusia. Penggunaan
tanah yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan
masyarakat harus didukung dengan pelestarian
yang baik, agar tanah serta ekosistem yang ada
didalamnya tidak mudah rusak atau punah. Dalam
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dijelaskan bahwa:
“bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” (Ayu
Trixie Trisilia, 2017:1).
Konstitusi Indonesia telah memberikan
pedoman dalam penataan hak-hak atas tanah.
Dalam ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945,
telah memberikan landasan kebijakan di bidang
pertanahan di Indonesia. Selanjutnya Pasal 16
UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (UUPA), dijelaskan bahwa:
“jenis-jenis hak atas tanah antara lain hak milik,
hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai,
hak sewa untuk bangunan, hak membuka tanah,
hak memungut hasil hutan dan hak-hak sementara
lainnya.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 33 Ayat (3)
UUD 1945, terdapat hak penguasaan atas tanah,
yang salah satunya adalah hak menguasai negara.
Pasal 4 Ayat (1) UUPA menetapkan bahwa atas
dasar hak menguasai negara, ditentukan adanya
macam-macam hak atas permukaan bumi, yang
disebut tanah yang diberikan kepada dan dipunyai
oleh orang-orang baik sendiri-sendiri maupun
bersama-sama dengan orang lain, serta badan-
badan hukum. Hak atas tanah bersumber dari hak
menguasai negara atas tanah. Negara berdasarkan
hak menguasai negara berwenang menetapkan
macam-macam hak atas permukaan bumi, yang
-
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561
De Jure Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, ISSN 1410-5632 Vol. 17 No. 4 , Desember 2017: 391 - 409 395
disebut hak atas tanah yang dapat diberikan
kepada dan dipunyai oleh orang yang berasal dari
Warga Negara Indonesia atau orang asing yang
berkedudukan di Indonesia, dan badan hukum,
yaitu badan hukum privat dan publik, atau badan
hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia
dan berkedudukan di Indonesia dan badan hukum
asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
(Urip Santoso, 2013: 84).
Adanya pembangunan infrastruktur termasuk
juga untuk pembangunan jalan tol, industri,
perumahan, pertanian maupun perkebunan skala
besar, pertambangan termasuk pertambangan
minyak dan gas bumi merupakan akibat dari
pengadaan tanah untuk kepentingan umum dengan
meningkatnya pembangunan fisik di satu pihak dan
berkurangnya tanah negara yang tersedia di lain
pihak, tidak jarang menjadi fenomena sengketa
tanah tersebut muncul kepermukaan saat ini.
Terkait dengan sistem pengaturan pengadaan
tanah bagi kepentingan pembangunan di Indonesia
terdapat berbagai peraturan yang pernah menjadi
dasar hukum yang saat ini telah mengalami
perubahan. Pengaturan pengadaan tanah yang
pernah berlaku antara lain: Permendagri No.
15 Tahun 1975 tentang Ketentuan-Ketentuan
Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah, Keppres
No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum, Perpres No. 36 Tahun 2005 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum sebagaimana telah
diubah dengan Perpres Nomor 65 Tahun 2006,
serta terakhir diberlakukan UU Nomor 2 Tahun
2012 tentang Pengadaan Tanah. Perlindungan
hukum dalam pengadaan tanah untuk kepentingan
umum bagi masyarakat, merupakan usaha-usaha
untuk mencegah terjadinya sengketa atau sedapat
mungkin mengurangi terjadinya sengketa berupa
sarana perlindungan hukum yang preventif patut
diutamakan dari pada sarana perlindungan hukum
represif. (Tivanya Nikita Wangke, 2016:126).
Pasal 1 Angka 2 UU Nomor 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah, disebutkan bahwa:
“pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan
tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang
layak dan adil kepada pihak yang berhak.” Adapun
yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah
kepentingan bangsa, negara dan masyarakat yang
harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat (Pasal
1 Angka 6 UU No. 2 Tahun 2012).
Perbedaan yang sangat mendasar dengan
peraturan pengadaan tanah sebelumnya, bahwa UU
No. 2 Tahun 2012 mencantumkan tujuan pengadaan
tanah untuk kepentingan umum. Ketentuan Pasal
3 UU No. 2 Tahun 2012, dinyatakan bahwa:
“pengadaan tanah untuk kepentingan umum
bertujuan “menyediakan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan
dan kemakmuran bangsa, negara dan masyarakat
dengan tetap menjamin kepentingan hukum pihak
yang berhak”.
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum
diselenggarakan sesuai dengan: 1) Rencana
Tata Ruang Wilayah; 2) Rencana Pembangunan
Nasional/Daerah; 3) Rencana Strategis; 4)
Rencana kerja setiap instansi yang memerlukan
tanah (Tivanya Nikita Wangke, 2016:126). Apabila
pengadaan tanah dilakukan untuk infrastrukturjalan
seperti jalan tol antar provinsi, maka pengadaannya
diselenggarakan berdasarkan Rencana Strategis
dan Rencana Kerja Instansi yang memerlukan
tanah dalam hal ini adalah Kementerian Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat. Dalam pengadaan
tanah untuk kepentingan umum diselenggarakan
melalui perencanaan dengan melibatkan
semua pengampu dan pemangku kepentingan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 UU No. 2
Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah.
Dalam sistem pengadaan tanah untuk
kepentingan umum sebagaimana diatur dalam
Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan
Tanah, terdapat beberapa asas-asas dalam
pengadaan tanah yaitu:
a. Asas kemanusiaan yang memberikan
perlindungan serta penghormatan terhadap
hak asasi manusia, harkat, dan martabat
setiap warga negara terutama yang terkenan
dampak pengadaan tanah;
b. Asas keadilan yang memberikan jaminan
penggantian yang layak kepada pihak yang
berhak dalam proses pengadaan tanah
sehingga mendapatkan kesempatan untuk
melangsungkan kehidupan yang lebih baik;
c. Asas kemanfaatan, yang diharapkan hasil
pengadaan tanah dapat bermanfaat bagi
kepentingan masyarakat;
d. Asas kepastian yang memberikan kepastian
hukum tersedianya tanah dalam proses
-
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561
De Jure No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
396 Perlindungan Hak Korban Pengadaan Tanah... (Agus Surono)
pengadaan tanah untuk pembangunan dan
memberikan jaminan kepada pihak yang
berhak guna memperoleh ganti rugi yang
layak;
e. Asas keterbukaan pengadaan tanah yaitu
dengan memberikan akses kepada masyarakat
untuk mendapatkan informasi yang berkaitan
dengan proses pengadaan tanah;
f. Asas kesepakatan proses pengadaan tanah
yang dilakukan dengan musyawarah para
pihak tanpa paksaan guna mendapatkan
kesepakatan bersama;
g. Asas keikutsertaan yaitu adanya dukungan
penyelenggaraan pengadaan tanah melalui
partisipasi masyarakat, baik secara langsung,
sejak perencanaan sampai dengan kegiatan
pembangunan;
h. Asas kesejahteraan yaitu pengadaan tanah
untuk pembangunan dapat memberikan nilai
tambah bagi kelangsungan kehidupan pihak
yang berhak dan masyarakat secara luas;
i. Asas berkelanjutan yaitu kegiatan
pembangunan dapat berlangsung secara terus
menerus, berkesinambungan untuk mencapai
tujuan yang diharapkan;
j. Asas keselarasan yaitu pengadaan tanah untuk
pembangunan dapat seimbang dan sejalan
dengan kepentingan bangsa dan negara.
Menurut ketentuan Pasal 13 UU No. 2 Tahun
2012 tentang Pengadaan Tanah menyatakan
bahwa: “pengadaan tanah untuk kepentingan
umum dilaksanakan melalui tahapan: perencanaan,
persiapan, pelaksanaan, penyerahan hasil.” Istilah
kepentingan umum merupakan suatu konsepsi yang
sifatnya sangat umum tanpa adanya penjelasan
yang lebih spesifik untuk operasionalnya sesuai
dengan makna yang terkandung dalam pengertian
tersebut (Oka Mahendra, 1996: 279). Secara
sederhana pengertian kepentingan umum dapat
dikatakan untuk keperluan, kebutuhan, atau
kepentingan orang banyak atau tujuan yang
luas. Kepentingan umum termasuk kepentingan
bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari
rakyat dengan memperhatikan segi-segi sosial,
politik, psikologis, dan hankamnas atas dasar
pembangunan nasional dengan mengindahkan
ketahanan nasional dan wawasan nusantara (John
Salindeho, 1988:40). Berdasarkan ketentuan Pasal
13 UU No. 2 Tahun 2012 tersebut yang meliputi
empat tahapan dalam pengadaan tanah untuk
pembangunan bagi kepentingan umum seringkali
terjadipermasalahan yaitu dalam tahap perencanaan
yang tidak melibatkan masyarakat dan juga dalam
tahap pelaksanaannya yang seringkali tidak sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
antara lain masalah penentuan data nominatif
yang tidak valid dan juga masalah penghitungan
ganti rugi oleh appraisal yang tidak sesuai prinsip
berdasarkan harga pasar, sehingga masyarakat
korban pengadaan tanah cenderung mengelamai
kerugian.
Adapun menurut penjelasan ketentuan Pasal
18 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan
Pokok-Pokok Agraria, menyatakan bahwa:
“untuk keperluan kepentingan umum termasuk
kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan
bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat
dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang
layak dan menurut cara yang diatur oleh undang-
undang.”
Kepentingan umum sebagaimana dimaksud
dalam penjelasan Pasal 18 UUPA diatas sudah
sangat sejalan dengan apa yang diatur dalam UU
Nomor 2 Tahun 2012, hanya ditambahkan dengan
istilah baru yaitu: kepentingan pembangunan.
Selanjutnya Pasal Huruf b UU Nomor 2 Tahun
2012, dinyatakan bahwa: “terdapat 18 (delapan
belas) kategori tanah untuk kepentingan yang
digunakan untuk pembangunan, sebagai berikut:
…., b. jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur
kereta api, stasiun kereta api dan fasilitas operasi
kereta api.”
Prosedur pelaksanaan pengadaan tanah untuk
kepentingan pembangunan jalan tol menurut UU
No. 2 Tahun 2012, secara umum terdiri dari empat
tahapan yang dapat diuraikan sebagai berikut:
Pertama, tahap perencanaan. Instansi
yang memerlukan tanah terlebih dahulu membuat
perencanaan pengadaan tanah untuk kepentingan
umum berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah
dan Prioritas Pembangunan yang tercantum
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah,
Rencana Strategis, Rencana Kerja Pemerintah
Instansi yang bersangkutan dalam bentuk
dokumen. Pada tahap perencanaan pengadaan
tanah dalam pelaksanaannya masih terdapat
beberapa perencanaan yang tidak sesuai dengan
Rencana Tata Ruang Wilayah dan juga Rencana
Strategis, yang sering kali kurang melibatkan
masyarakat dari sejak awal. Biasanya masyarakat
terlibat dalam proses perencanaan adanya rencana
-
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561
De Jure Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, ISSN 1410-5632 Vol. 17 No. 4 , Desember 2017: 391 - 409 397
pengadaan tanah untuk pembangunan bagi
kepentingan pada saat di akhir proses.
Kedua, tahap persiapan. Dalam
melaksanakan kegiatan pengadaan tanah
dokumen yang telah diterima oleh Gubernur
untuk selanjutnya membentuk Tim persiapan
pengadaan tanah dalam waktu paling lambat
10 hari. Pada tahap persiapan ini jarang sekali
terjadi permasalahan karena sifatnya masih satu
arah yaitu oleh Pemerintah dan belum melibatkan
masyarakat, sehingga relatif tidak terdapat kendala
dalam pelaksanaannya.
Ketiga, pelaksanaan pengadaan tanah.
Berdasarkan penetapan lokasi pembangunan untuk
kepentingan umum, instansi yang memerlukan
tanah mengajukan pelaksanaan pengadaan tanah
kepada Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah dengan
dilengkapi Dokumen Perencanaan Pengadaan
Tanah, Penetapan Lokasi Pembangunan, data
awal Pihak yang berhak dan objek pengadaan
tanah. Kemudian pelaksanaan pengadaan tanah
dilaksanakan oleh Kepala Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional selaku Ketua Pelaksana
Pengadaan Tanah. Pada tahap pelaksanaan
pengadaan tanah sering kali timbul permasalahan
terkait dengan pendataan pihak dan objek
yang terkena pengadaan tanah. Disamping itu
permasalahan yang lain yang seringkali muncul
adalah terkait dengan penentuan nilai besaran
ganti rugi yang didasarkan pada perhi