bahan pemidanaan

Upload: caroline-leung

Post on 12-Jul-2015

140 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Di Indonesia sekarang ini sedang berlangsung proses pembaharuan hukum pidana. Pembaharuan hukum pidana meliputi pembaharuan terhadap hukum pidana formal, hukum pidana materiil dan hukum pelaksanaan pidana. Ketiga bidang hukum tersebut bersama-sama atau secara integral diperbaiki agar tidak terdapat kendala dalam pelaksanaannya. 1 Salah satu bagian dari pembaharuan hukum pidana materiil adalah pembaharuan terhadap KUHP. Ada tiga materi yang disusun dalam konsep 2 yaitu: a. masalah tindak pidana b. masalah kesalahan atau pertanggungjawaban pidana c. masalah pidana dan pemidanaan 3 Masalah tindak pidana, konsep bertolak pada asas legalitas, tetapi juga memperluasnya secara materiil bahwa ketentuan asas legalitas tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup di dalam masyarakat terhadap perbuatan yang secara

Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Kriminologi dan Viktimologi, (Jakarta: Djambatan, 2007), hlm. 38 2 Yesmil Anwar dan Adang, Pembaruan Hukum Pidana, (Jakarta: Grasindo, 2008), hlm.3132.Naskah RUU KUHP ini disusun oleh dua tim yang bekerjasama yaitu tim pengkaji dan tim perancangan, yang kemudian dileburkan dalam satu tim. Berturut-turut yang menjadi tim ini adalah Prof. Sudarto, Prof. Mardjono Reksodiputro. Dari tim inilah berhasil memformulasikan dalam bentuk RUU pada tanggal 13 Maret 1993. Konsep ini dikenal dengan dengan konsep 1991/1992 3 Ibid, hlm.32

1

Universitas Sumatera Utara

materiil merupakan perbuatan melawan hukum. Dalam menentukan tindak pidana tidak lagi mengenal pembedaan antara pelanggaran dan kejahatan. 4 Masalah kesalahan atau pertanggungjawaban pidana, dalam konsep prinsipnya bertolak dari pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan (liability based on fault), namun dalam hal-hal tertentu konsep juga memberikan kemungkinan adanya pertanggungjawaban yang sangat ketat (strict liability) 5 dan

pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability). 6 Dalam konsep RUU KUHP, pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan, hanya dibatasi untuk perbuatan yang dilakukan dengan sengaja (dolus), sedangkan jika terjadi kealpaan (culpa) pertanggungjawabannya merupakan pengecualian. 7 Masalah pidana dan pemidanaan, menurut konsep, tujuan pemidanaan adalah untuk perlindungan masyarakat, dan perlindungan individu pelaku tindak pidana. Konsep bertolak pada pemikiran keseimbangan (monodualistik) antara kepentingan masyarakat dan kepentingan individu. Pokok pemikiran yang menitikberatkan pada perlindungan masyarakat, dapat dilihat dari dipertahankannya pidana mati walaupun tidak dimasukkan ke dalam pidana pokok tetapi ditempatkan tersendiri sebagai4 5

Ibid Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti Press, 2007), hlm. 78. Menurut ajaran strict liability, pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada pelaku tindak pidana yang bersangkutan dengan tidak perlu dibuktikan adanya kesalahan (kesengajaan atau kelalaian) pada pelakunya. 6 Mahrus Ali, Kejahatan Korporasi, Kajian Relevansi Sanksi Tindakan Bagi Penanggulangan Kejahatan Korporasi, (Yogyakarta: Arti Bumi Intaran, 2008), hlm. 63. Vicarious liability adalah pertanggungjawaban menurut hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan orang lain. Kedua orang tersebut harus mempunyai hubungan atasan dan bawahan atau hubungan majikan dan buruh atau hubungan pekerjaan. Perbuatan yang dilakukan oleh pekerja harus dalam ruang lingkup pekerjaannya. 7 Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta: Kencana Prenada, 2006), hlm. 34

Universitas Sumatera Utara

pidana yang bersifat khusus. Sedangkan yang berorientasi kepada perlindungan individu, dapat dilihat dari ide individualisasi pemidanaan. 8 Menurut Arief, makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana dapat dilihat dari: 9 1. Sudut pendekatan kebijakan a. sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai atau menunjang tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dan sebagainya). b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya bagian dari upaya perlindungan masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan). c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya bagian dari upaya pembaharuan substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum. 2. Sudut pendekatan nilai Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan peninjauan dan penilaian kembali nilai-nilai sosiopolitik, sosio-filosofis dan

Yesmil Anwar dan Adang, op cit, hlm. 36-37 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Jakarta: Kencana Prenada, 2008), hlm. 269

8

Universitas Sumatera Utara

sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan. Masalah pidana dan pemidanaan dalam sejarahnya selalu mengalami perubahan. Dari abad ke abad, keberadaannya banyak diperdebatkan oleh para ahli. Bila dilihat dari perkembangan masyarakat manusia, perubahan itu adalah hal yang wajar, karena manusia akan selalu berupaya untuk memperbaharui tentang suatu hal demi meningkatkan kesejahteraannya dengan mendasarkan diri pada pengalamannya di masa lampau 10 Sanksi pidana harus merupakan pernyataan secara konkret tentang penilaian terhadap masyarakat terhadap perbuatan yang dilakukan oleh terpidana. Sanksi pidana harus merupakan peringatan agar orang menjauhi perbuatan yang dapat membawa akibat pengenaan pidana itu. Pengenaan pidana itu harus diarahkan untuk mendorong terpidana agar mengaktualisasikan nilai-nilai kemanusiaannya sehingga akan mampu mengendalikan kecenderungan-kecenderungan yang negatif. 11 Sanksi pidana bertujuan memberikan penderitaan istimewa (bijzonder leed) kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat perbuatannya. Selain ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap pelaku, sanksi pidana juga merupakan bentuk pernyataan pencelaan terhadap perbuatan pelaku. 12 Menurut Alf Ross, untuk dapat dikategorikan sebagai sanksi pidana (punishment), suatu sanksi harus memenuhi dua syarat atau tujuan. Pertama, pidana ditujukan kepada pengenaan penderitaan terhadapM. Sholehhudddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm.1 11 Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, Kontroversi Hukuman Mati Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi, (Jakarta: Kompas, 2009), hlm.236-237 12 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1992), hlm. 510

Universitas Sumatera Utara

orang yang bersangkutan. Kedua, pidana itu merupakan suatu pernyataan pencelaan terhadap perbuatan si pelaku. 13 Fungsi sanksi dalam hukum pidana, tidaklah semata-mata menakut-nakuti atau mengancam para pelanggar, akan tetapi lebih dari itu, keberadaan sanksi tersebut juga harus dapat mendidik dan memperbaiki si pelaku. 14 Pidana itu pada hakikatnya merupakan nestapa, namun pemidanaan tidak dimaksud untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia. 15 Landasan pemikiran pembaharuan terhadap pidana dan pemidanaan bukan hanya menitikberatkan terhadap kepentingan masyarakat tetapi juga perlindungan individu dari pelaku

tindak pidana. Dengan mengetahui efek dari berbagai sanksi pidana, maka hakim dapat mempertimbangkan jenis pidana apa yang paling sesuai untuk kasus tertentu. Untuk pemidanaan yang sesuai, masih perlu diketahui lebih banyak mengenai si pembuat. Ini memerlukan informasi yang cukup tidak hanya tentang pribadi si pembuat, tetapi juga tentang keadaan-keadaan yang menyertai perbuatan yang dituduhkan. Digunakannya pidana sebagai sarana untuk mempengaruhi tindak laku seseorang tidak akan begitu saja berhasil, apabila sama sekali tidak diketahui tentang orang yang menjadi objeknya. Hal yang paling diinginkan dari pidana tersebut adalah mencegah si pembuat untuk mengulangi perbuatannya.16 Berkembangnya konsepIbid M. Sholehhudddin, opcit hlm.162 15 Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana Dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996),hlm.3 16 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni,2006), hlm. 8614 13

Universitas Sumatera Utara

untuk mencari alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan (alternative to imprisonment) dalam bentuknya sebagai sanksi alternatif (alternative sanction) 17 Pidana kerja sosial (community service order) merupakan salah satu jenis pidana yang berdasarkan kajian baik teoritis maupun praktis yang dilakukan oleh negara-negara Eropa dapat menjadi alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan. 18 Pidana kerja sosial dimaksudkan agar terpidana dapat dibebaskan dari rasa bersalah, dan masyarakat dapat berperan serta secara aktif untuk memasyarakatkan terpidana dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat. 19 Karena adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap pidana perampasan kemerdekaan, yang telah terbukti sangat merugikan baik terhadap individu yang dikenai pidana, maupun terhadap masyarakat. 20 Selama ini pidana penjara dianggap sebagai pidana yang kurang efektif untuk mencapai tujuan pemidanaan, meskipun mempunyai efek pencegahan (detterence effect) cukup andal. 21

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Universitas Diponegoro, 1995), hlm.132 18 Tongat, Pidana Kerja Sosial Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta:Djambatan, 2001), hlm.1 19 Penjelasan Pasal 65 RKUHP Tahun 2006 menyatakan bahwa ketentuan dalam pasal ini memuat jenis-jenis pidana yang dapat dijatuhkan oleh hakim. Ancaman pidana terhadap tindak pidana yang dirumuskan dalam Buku Kedua hanya meliputi jenis pidana penjara, pidana denda dan atau pidana mati. Pidana tutupan dan pidana pengawasan pada dasarnya merupakan suatu cara pelaksanaan pidana sebagai alternatif dari pidana penjara. Sedangkan pidana kerja sosial, merupakan jenis pidana baru yang di berbagai negara sudah dilaksanakan secara luas. Pencantuman jenis pidana ini merupakan konsekuensi diterimanya hukum pidana yang bersifat daad daderstrafrecht yang sejauh mungkin berusaha untuk mengembangkan alternatif pidana perampasan kemerdekaan. Melalui penjatuhan jenis pidana ini, terpidana dapat dibebaskan dari rasa bersalah, dan masyarakat dapat berperan serta secara aktif untuk memasyarakatkan terpidana dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat 20 Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung: Alumni, 1992), hlm.5 21 Widodo, Ancaman Pidana Kerja Sosial Terhadap Pelaku Cybercrime di Indonesia, id=3, http://fh.wisnuwardhana.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=19&Item diakses tanggal 10 Februari 2009. Lihat dalam Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan,(Medan:

17

Universitas Sumatera Utara

Setelah Perang Dunia II, dirasakan bahwa manfaat pidana penjara bagi perbaikan atau rehabilitasi penjahat menjadi manusia yang lebih berguna sesudah keluar dari penjara ternyata tidak ada sama sekali. Pidana penjara dan pelaksanaannya telah banyak ditemukan berbagai dampak yang negatif, oleh karena itu perlu diadakan modifikasi bentuk, batasan waktu pidana, tempat penyelenggaraan pidana, dan stelsel pengaturan atau penerapan pidana. 22 Pidana penjara yang singkat akan menyebabkan narapidana itu berguru tentang kejahatan pada penjahat kakap. Akhirnya, sesudah Perang Dunia II, dicari alternatif lain selain pidana penjara yang singkat karena pidana penjara yang singkat seperti satu sampai enam bulan akan menjadi too short for rehabilitation, too long for corruption, padahal sejak seratus tahun yang lalu, von Liszt sudah berjuang agar dihapus pidana penjara yang singkat itu. 23 Menurut Wolf Middendorf, penggunaan pidana penjara jangka pendek seharusnya dikenakan untuk white collar crime dimana pidana denda tidak mempunyai pengaruh. Dan narapidana bagi pidana penjara jangka pendek harus dipisah dari narapidana penjara jangka panjang. Narapidana penjara jangka pendek ini seharusnya dikirim ke open camp dimana mereka dipekerjakan untukPustaka Bangsa Press, 2008), hlm. 74. Detterence effect ini dapat dibagi menjadi pencegahan umum (general detterence) dan pencegahan khusus (individual or special detterence).Tujuan pemidanaan untuk prevensi umum diharapkan memberi peringatan kepada masyarakat supaya tidak melakukan kejahatan. Prevensi umum ini menurut van Veen, mempunyai tiga fungsi yaitu menegakkan wibawa pemerintah, menegakkan norma dan membentuk norma. Sedangkan prevensi khusus dimaksudkan dengan pidana yang dijatuhkan kepada pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya kembali. 22 Bambang Poernomo, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Yogyakarta:Liberty, 1988), hlm. 21 23 A.Z. Abidin Farid dan A. Hamzah, Bentuk-bentuk Khusus Perwujudan Delik (Percobaan, Penyertaan, dan Gabungan Delik) dan Hukum Penitensier, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hlm.4

Universitas Sumatera Utara

keuntungan atau kepentingan masyarakat. 24 Pidana penjara jangka pendek akan sangat merugikan sebab disamping kemungkinan terjadinya hubungan-hubungan yang tidak dikehendaki, maka pidana penjara jangka pendek tidak mendukung kemungkinan untuk mengadakan rehabilitasi narapidana di satu pihak, dan di lain pihak bahkan menimbulkan apa yang disebut stigma atau cap jahat. 25 Over capasity atau kelebihan tingkat hunian merupakan permasalahan utama yang dihadapi lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan) terutama di Pulau Jawa. Tingkat hunian yang sudah melebihi daya tampung ini sangat menyulitkan baik dalam segi pembinaan, pengawasan maupun pemeliharaan sanitasi para warga binaan itu sendiri. Oleh karena itu perlu dipikirkan langkah-langkah untuk mengatasi tingkat kepadatan tersebut. 26 Adapun perbandingan antara warga binaan pemasyarakatan dengan kapasitas dari Lembaga Pemasyarakatan dan Rutan di Indonesia adalah sebagai berikut: 27 Tabel 1. Perbandingan antara jumlah warga binaan pemasyarakatan dengan kapasitas LP dan Rutan di Indonesia.

24

Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003),

hlm.36 Wolf Middendorf dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, op cit hlm. 80, bahwa stigma terjadi bilamana identitas seseorang terganggu atau rusak, yang berarti bahwa persesuaian antara apakah seseorang itu dengan pandangan masyarakat terhadap dia, terganggu atau rusak. 26 Solusi Atas Over Capasity Lembaga Pemasyarakatan, http://majalah.depkumham.go.id/node/122, diakses pada 5 Mei 2009 27 Direktorat Jendral Pemasyarakatan, Departemen Hukum dan HAM RI, Visi, Misi dan Strategi Kegiatan Bulan Tertib Pemasyarakatan, Disampaikan dalam Seminar Pencegahan Penyiksaan dan Mekanisme Nasional Untuk Pencegahan Penyiksaan di Indonesia, Jakarta 2008.25

Universitas Sumatera Utara

Jumlah 2004 Tahanan Napi Total Kapasitas 31.306 55.144 86.450 66.891 2005 40.764 56.907 97.671 68.141

Tahun 2006 47.496 69.192 116.688 70.241 2007 54.307 76.525 130.832 81.384 Juni 2008 54.494 82.650 137.144 81.384

Sumber: Directorate of Registration and Statistic-DGC Dari tabel di atas dapat dilihat kelebihan kapasitas dari LP dan Rutan. Pada tahun 2004, kelebihan kapasitas sebanyak 19.559 orang, tahun 2005 kelebihan kapasitas sebanyak 29.530 orang, tahun 2006 kelebihan kapasitas sebanyak 46.477 orang, tahun 2007 kelebihan kapasitas sebanyak 49.448 orang dan sampai Juni 2008 kelebihan kapasitas sebanyak 55.760 orang. Pidana penjara juga membawa pendidikan kejahatan oleh penjahat. Lembaga Pemasyarakatan seringkali berfungsi sebagai tempat kuliahnya para penjahat yang akan melahirkan penjahat yang lebih profesional. Dengan lahirnya penjahat profesional ini, pada gilirannya juga akan menambah beban kepada masyarakat karena timbulnya ancaman yang lebih besar. 28 Pidana penjara juga memberikan efek negatif berupa dehumanisasi dimana terpidana mendapat proses pengasingan dari masyarakat selama kehilangan kemerdekaan bergerak. Oleh karenanya terpidana membutuhkan proses adaptasi

28

Tongat, op cit, hlm. 49

Universitas Sumatera Utara

sosial yang rumit atau sosialisasi dengan masyarakat untuk kembali menjadi anggota masyarakat yang baik. 29 Ada tiga alternatif pidana yang dapat menggantikan pidana penjara,yaitu kontrak atau perjanjian untuk pembinaan (contract treatment), pencabutan dan pembatasan-pembatasan terhadap hak-hak tertentu (deprivation and interdicts concerning rights or licencies), pidana kerja sosial (community service order). 30 Dalam pembaharuan hukum pidana di Indonesia, kajian yang dilakukan tersebut merupakan sumbangan yang sangat berharga. Dalam konsep pembaharuan hukum pidana Indonesia, dilihat dari telah diadopsinya pidana kerja sosial dalam Rancangan KUHP. 31 Berdasar uraian di atas maka tertarik untuk mengkaji tentang pidana kerja sosial yang menjadi salah satu bentuk pidana yang ada dalam pembaharuan hukum pidana nasional.

B. Permasalahan Berdasarkan uraian tersebut, beberapa permasalahan pokok yang akan diteliti antara lain sebagai berikut: 1. Bagaimana dasar filosofis pidana kerja sosial dalam filsafat pemidanaan?

Ibid Andi Hamzah dan Siti Rahayu, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia, (Jakarta:Akademi Persindo, 1984), hlm. 24 31 Pasal 65 ayat 1 RUU KUHP. Pidana pokok terdiri atas: a).pidana penjara; b). pidana tutupan; c). pidana pengawasan; d). pidana denda; e). pidana kerja sosial30

29

Universitas Sumatera Utara

2. Bagaimana konsep pidana kerja sosial dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia yang diatur dalam RUU KUHP Tahun 2006 dan perbandingannya dengan pidana kerja sosial dalam KUHP negara lain? 3. Apakah konsep pidana kerja sosial dalam RUU KUHP Tahun 2006 sesuai dengan tujuan pemasyarakatan menurut UU No.12 Tahun 1995?

C. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan diatas, maka tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. untuk mengetahui dasar filosofis pidana kerja sosial dalam filsafat pemidanaan. 2. untuk mengetahui konsep pidana kerja sosial dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia yang diatur dalam RUU KUHP Tahun 2006 dan perbandingannya dengan pidana kerja sosial dalam KUHP negara lain. 3. untuk mengetahui sesuai atau tidaknya konsep pidana kerja sosial dengan tujuan pemasyarakatan menurut UU No.12 Tahun 1995.

D. Manfaat Penelitian Adapun hasil penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan praktis. Kedua manfaat tersebut antara lain sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai masukan dalam

pengembangan ilmu hukum khususnya dalam bidang hukum pidana mengenai

Universitas Sumatera Utara

suatu pemikiran tentang pidana kerja sosial yang berguna bagi penyusunan perundang-undangan yang berkaitan dengan pidana tersebut. Dengan bahan hukum yang terkumpul, diharapkan dapat digunakan sebagai bahan perbandingan bagi studi yang lebih mendalam tentang pidana kerja sosial sebagai salah satu bentuk pidana yang ada dalam RUU KUHP Tahun 2006. 2. Manfaat Praktis Penelitian diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan acuan oleh semua pihak dalam pemahaman terhadap pemikiran tentang pidana kerja sosial sebagai salah satu bentuk pidana.

E. Keaslian Penelitian Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan berdasarkan data yang yang ada di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Program Studi Magister Ilmu Hukum, diketahui bahwa penelitian tentang pidana kerja sosial dalam pembaharuan hukum pidana nasional belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama. Penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, objektif dan terbuka. Penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan permasalahan.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Universitas Sumatera Utara

Pemidanaan mempunyai beberapa tujuan yang bisa diklasifikasikan berdasarkan teori-teori tentang pemidanaan. Pembabakan tentang tujuan pemidanaan ini dapat diuraikan berdasarkan tujuan retributif, detterence, treatment, social defence dan restorative justice. a. Teori retributif Teori ini melegitimasi pemidanaan sebagai sarana pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukan seseorang. Kejahatan dipandang sebagai perbuatan yang amoral dan asusila di masyarakat, oleh karena itu pelaku kejahatan harus dibalas dengan menjatuhkan pidana. Tujuan pemidanaan dilepaskan dari tujuan apapun, sehingga pemidanaan hanya mempunyai satu tujuan yaitu pembalasan. 32 b. Teori Detterence Teori detterence dapat dibagi menjadi teori special detterence dan teori general detterence. Dalam special detterence theory (pencegahan khusus), efek pencegahan dari pidana yang dijatuhkan diharapkan terjadi setelah pemidanaan dilakukan (after the fact inhibition), sehingga terpidana tidak akan lagi melakukan kejahatan serupa di masa datang. Menurut teori ini, pemidanaan merupakan sarana untuk mengintimidasi mental si terpidana. Teori ini disebut juga dengan teori penjeraan yang bermaksud agar pelanggar menjadi jera. Dan oleh H.L Packer disebut dengan intimidation theory. 33

Mahmud Mulyadi, op cit, hlm. 68-69 H.L Packer dalam Jimmly Asshiddiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Angkasa, 1996),hlm. 17033

32

Universitas Sumatera Utara

Sedangkan dalam general detterence (pencegahan umum), efek pencegahan dari pidana yang dijatuhkan diharapkan terjadi sebelum pemidanaan dilakukan (before the fact inhibition). Pencegahan umum ini dilakukan melalui pemidanaan yang dijatuhkan secara terbuka atau diketahui umum sehingga orang lain dapat dicegah dari kemungkinan melakukan kejahatan yang sama. 34 c. Teori Treatment Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif yang berpendapat bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan pada pelaku kejahatan, bukan pada perbuatannya. Pemidanaan yang dimaksudkan pada aliran ini adalah untuk memberi tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman.Pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation). 35 d. Teori Social Defence Menurut F. Gramatika, hukum perlindungan masyarakat (law of social defence) harus menggantikan hukum pidana yang ada. Tujuan utama hukum perlindungan masyarakat adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. Hukum perlindungan masyarakat

34 35

Ibid Mahmud Mulyadi, op cit, hlm.79

Universitas Sumatera Utara

mensyaratkan penghapusan pertanggungjawaban pidana (kesalahan) dan digantikan tempatnya oleh pandangan tentang perbuatan anti sosial. 36 Menurut Marc Ancel, yang menamakan gerakannya dengan New Social Defence, atau perlindungan masyarakat baru ingin mengintegrasikan ide-ide atau konsepsi-konsepsi perlindungan masyarakat ke dalam konsepsi baru hukum pidana. Konsepsi atau pemikiran yang dikemukakan oleh gerakan perlindungan masyarakat baru ini adalah: 1. Perlindungan individu dan masyarakat tergantung pada perumusan yang tepat mengenai hukum pidana, karena itu sistem hukum, tindak pidana, penilaian hakim terhadap pelaku serta pidana merupakan institusi yang harus tetap dipertahankan, namun tidak digunakan dengan fiksi-fiksi dan teknik-teknik yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial. 2. Kejahatan merupakan masalah kemanusiaan dan masalah sosial (a human and social problem) yang tidak dapat begitu saja dipaksakan dimasukkan dalam perundang-undangan. 3. Kebijakan pidana bertolak pada konsepsi pertanggungjawaban yang bersifat pribadi (individual responsibility) yang menjadi kekuatan penggerak utama dan proses penyesuaian sosial. Pertanggungjawaban pribadi ini menekankan pada kewajiban moral ke arah timbulnya moralitas sosial. 37

e. Teori Restorative Justice Adapun teori restorative justice menurut Muladi yaitu: 1. Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seseorang terhadap orang lain, dan diakui sebagai konflik. 2. Titik perhatian pada pemecahan masalah pertanggungjawaban dan kewajiban pada masa depan. 3. Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi

F. Gramatika dalam Tongat, Pidana Seumur Hidup Dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia, (Malang: UMM Press, 2004), hlm.65 37 Ibid, hlm. 66

36

Universitas Sumatera Utara

4. Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan restorasi seebagai tujuan utama. 5. Keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan hak, dinilai atas dasar hasil. 6. Sasaran perhatian pada perbaikan kerugian sosial. 7. Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses restoratif. 8. Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui, baik dalam masalah maupun penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korban. Pelaku tindak pidana didorong untuk bertanggungjawab. 9. Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman terhadap perbuatan dan untuk membantu memutuskan yang terbaik. 10. Tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh, moral, sosial dan ekonomis. 11. Stigma dapat dihapus melalui tindakan restoratif. 38 Pidana kerja sosial sangat sesuai dengan teori sosial defence karena pidana ini mengintegrasikan terpidana ke dalam tertib sosial. Dari segi aspek perlindungan masyarakat, pidana kerja sosial yang merupakan alternatif dari pidana penjara jangka pendek dimaksudkan untuk menghindari efek negatif dari penerapan pidana penjara jangka pendek. Terpidana dapat terhindar dari stigmatisasi, kehilangan rasa percaya diri yang sangat diperlukan dalam pembinaan narapidana. Dengan pidana kerja sosial,terpidana dapat menjalani kehidupannya secara normal sebagaimana orang yang tidak sedang menjalani pidana. Adanya kebebasan ini akan memberikan kesempatan kepada terpidana untuk menjalankan kewajibannya kepada keluarga dan masyarakat. Berhasilnya pembinaan individu terpidana akan memberikan

perlindungan terhadap individu untuk tidak mengulangi perbuatannya, dan akan memberikan perlindungan kepada masyarakat dengan berkurangnya ancaman sebagai korban kejahatan. 2. Landasan Konsepsi

38

Muladi dalam M. Sholehuddin, op cit, hlm.65-66

Universitas Sumatera Utara

Landasan konsepsional akan menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan konsep yang digunakan oleh peneliti dalam penulisan ini. Konsep merupakan bagian yang penting dari rumusan teori. Pengertian konsep sendiri diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dalam hal-hal yang khusus yang lazim disebut definisi operasional. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian penafsiran mendua dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu juga dipergunakan untuk memberikan arah pada proses penelitian ini. Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yaitu pidana kerja sosial dan pembaharuan hukum pidana. Dari dua variabel tersebut akan dijelaskan pengertian masing-masing sebagai berikut: a. Pidana adalah reaksi atas delik, yang berwujud suatu nestapa yang sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu. 39 b. Pemidanaan diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. 40 c. Pidana kerja sosial adalah suatu bentuk pidana dimana pidana yang dijalani oleh terpidana dengan melakukan pekerjaan sosial yang ditentukan. Pelaksanaan pidana ini tidak bersifat komersial. 41 d. Pembaharuan hukum pidana adalah suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosial politik, sosial filosofis, dan sosial kultural masyarakat Indonesia yang melandasi39 40

Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm. 9 M.Sholehuddin, op cit, hlm. 42 41 Tongat, op cit, hlm. 7

Universitas Sumatera Utara

kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. 42 e. Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pembinaan dalam tata peradilan pidana 43

G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian hukum yang dilakukan adalah yuridis normatif. 44 Penelitian ini melakukan terhadap pidana kerja sosial yang ada di dalam RUU KUHP Tahun 2006 dalam rangka pembaharuan hukum pidana nasional. Sifat penelitiannya adalah deskriptif analitis yaitu memaparkan dan menguraikan berbagai permasalahan dan menganalisis permasalahan tersebut yang berkenaan dengan pidana kerja sosial terutama dasar filosofisnya dalam filsafat pemidanaan, prospeknya dalam pembaruan hukum pidana nasional dan perbandingannya dengan pidana kerja sosial yang diatur dalam KUHP negara asing. Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) 45 yang mengatur jenis-jenis pidana dalam KUHP dan pidana kerja

Yesmil Anwar dan Adang, op cit, hlm.20-21 Pasal 1 ayat 1 UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan 44 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia, 2007), hlm. 295, bahwa yuridis normatif adalah penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif. 45 Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2008), hlm. 92, bahwa pendekatan undang-undang yang sebagian ilmuwan menyebutnya sebagai pendekatan43

42

Universitas Sumatera Utara

sosial yang diatur dalam KUHP negara lain yang akan dijadikan sebagai perbandingan. Pendekatan konseptual (conseptual approach) 46 dilakukan untuk memahami konsep-konsep yang berhubungan dengan pidana kerja sosial. Pendekatan perbandingan (comparative approach) 47 dilakukan untuk melihat bagaimana negara lain mengatur dan menerapkan pidana kerja sosial. 2. Sumber Data Penelitian Jenis data dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersumber dari: 1. Bahan hukum primer yakni KUHP, RUU KUHP Tahun 2006, dan peraturan perundang- undangan negara lain yang mengatur tentang pidana kerja sosial. 2. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari buku teks, jurnal, doktrin yang berkaitan dengan pidana kerja sosial. 3. Bahan hukum tertier yaitu bahan hukum yang memberi petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia dan lain-lain. 3. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan (library research) yaitu meneliti bahan-bahan seperti buku-buku, konsep rancangan undang-undang,

yuridis, yaitu penelitian terhadap produk-produk hukum. Dalam metode pendekatan perundangundangan, peneliti perlu memahami hierarki dan asas-asas dalam peraturan perundang-undangan. 46 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 137, bahwa pendekatan konseptual dilakukan manakala peneliti tidak beranjak dari aturan hukum yang ada. Hal ini dilakukan karena belum atau tidak ada aturan hukum untuk masalah yang dihadapi. 47 Ibid, hlm. 133, bahwa pendekatan perbandingan dilakukan dengan mengadakan studi perbandingan hukum.Studi perbandingan hukum merupakan kegiatan untuk membandingkan hukum suatu negara dengan hukum negara lain atau hukum dari suatu waktu tertentu dengan hukum dan waktu yang lain

Universitas Sumatera Utara

dokumen-dokumen serta sumber teoritis lainnya yang dikumpulkan melalui literaturliteratur yang berhubungan dengan pidana kerja sosial. 4. Analisis Data Keseluruhan data yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif. 48 Analisis kualitatif ini akan dikemukakan dalam bentuk uraian yang sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data. Selanjutnya semua data diseleksi dan diolah, kemudian dianalisis secara deskriptif sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan, diharapkan dalam penelitian ini. akan memberikan solusi atas permasalahan

H. Sistematika Penulisan Tesis ini disusun dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masingmasing bab terdiri atas beberapa subbab untuk lebih memperjelas ruang lingkup dan cakupan permasalahan yang diteliti. Adapun urutan dan tata letak masing-masing bab serta pokok pembahasannya adalah sebagai berikut: Bab I yang merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang, permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penulisan, kerangka teori dan konsepsi, metode penelitian dan sistematika penulisan.

M. Syamsudin, Operasionalisasi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 133, bahwa pengolahan dan analisis data kualitatif lebih menekankan analisisnya pada proses penyimpulan deduktif dan induktif serta pada dinamika hubungan antara fenomena yang diamati, dengan menggunakan logika ilmiah, berusaha menjawab pertanyaan penelitian melalui caracara berpikir formal dan argumentatif.

48

Universitas Sumatera Utara

Bab II yang menguraikan dasar filosofis pidana kerja sosial dalam filsafat pemidanaan dan dalam subbabnya menjelaskan latar belakang lahirnya pidana kerja sosial, pidana kerja sosial dilihat dari filsafat pemidanaan, merupakan sanksi pidana bukan sanksi tindakan. Bab III yang menguraikan prospek pidana kerja sosial dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia dan perbandingannya dengan KUHP negara lain dan dalam subbabnya menjelaskan prospek pidana kerja sosial dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia, perbandingan konsep pidana kerja sosial dalam RUU KUHP Indonesia Tahun 2006 dengan pidana kerja sosial dalam KUHP negara lain. Bab IV menguraikan relevansi konsep pidana kerja sosial dengan tujuan pemasyarakatan menurut UU No.12 Tahun 1995 dan dalam sub babnya menjelaskan bahwa pidana kerja sosial dilihat dari kebijakan kriminal, relevansi pidana kerja sosial terhadap tujuan pemasyarakatan menurut UU No.12 Tahun 1995. Bab V menguraikan kesimpulan yang merupakan rangkuman dari hasil penelitian dan analisanya. Begitu juga dengan saran-saran yang merupakan sumbangan pemikiran ilmiah. pidana kerja sosial

Universitas Sumatera Utara