pemidanaan pencemaran nama baik

81
COST-BENEFIT ANALYSIS PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK : RETRIBUTIF ATAU RESTORATIF ?” Studi Polres Metro Bekasi SKRIPSI Disusun Oleh: Awalia Nugrahaini 017201605001 FACULTY OF HUMANITIES LAW STUDY PROGRAM CIKARANG JUNI, 2020

Upload: others

Post on 15-Oct-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

“COST-BENEFIT ANALYSIS

PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK :

RETRIBUTIF ATAU RESTORATIF ?”

Studi Polres Metro Bekasi

SKRIPSI

Disusun Oleh:

Awalia Nugrahaini – 017201605001

FACULTY OF HUMANITIES

LAW STUDY PROGRAM

CIKARANG

JUNI, 2020

Page 2: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

COST-BENEFIT ANALYSIS PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA

BAIK : RETRIBUTIF ATAU RESTORATIF ? Studi Polres Metro Bekasi

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Mendapatkan Gelar Sarjana

Program S1 Studi Ilmu Hukum Universitas Presiden

Oleh :

AWALIA NUGRAHAINI

017201605001

FACULTY OF HUMANITIES

LAW STUDY PROGRAM

CIKARANG

JUNI, 2020

Page 3: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

i

LEMBAR REKOMENDASI DOSEN PEMBIMBING

Saya selaku pembimbing dari Skripsi yang berjudul “COST-BENEFIT ANALYSIS

PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK : RETRIBUTIF ATAU

RESTORATIF ? Studi Polres Metro Bekasi” yang ditulis oleh Mahasiswa atas nama

Awalia Nugrahaini sebagai salah satu persyaratan untuk mendapatkan Gelar Sarjana

Hukum dari Fakultas Humaniora, Program Studi Hukum Universitas Presiden, telah

memeriksa dan menyatakan bahwa Skripsi ini layak untuk disajikan dan dipertahankan

dalam Sidang Skripsi.

Cikarang, 05 Mei 2020

Dr. Maria Francisca Mulyadi, S.H., S.E., M.Kn

Dosen Pembimbing

Page 4: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

ii

LEMBAR PERSETUJUAN PENGUJI

Kami, Penguji dengan judul Skripsi “COST-BENEFIT ANALYSIS PEMIDANAAN

PENCEMARAN NAMA BAIK : RETRIBUTIF ATAU RESTORATIF ? Studi

Polres Metro Bekasi” yang diajukan oleh Awalia Nugrahaini telah diterima dan dapat

dipertahankan dengan benar pada tanggal 09 Mei 2020.

Dr. Dra. Fennieka Kristianto, S.H., M.H., M.A., M.Kn.

Penguji I

Zenny Rezania Dewantary, S.H., M. Hum.

Penguji II

Dr. Maria Francisca Mulyadi, S.H., S.E., M.Kn

Penguji III

Page 5: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

iii

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa :

1. Skripsi dengan judul Analisa Yuridis Cost-Benefit Analysis Pemidanaan

Pencemaran Nama Baik : Restributif atau Restoratif ? Studi Polres Metro Bekasi

adalah karya saya sendiri dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan

atas karya penulis lain dengan cara yang tidak sesuai tata etika ilmiah yang

berlaku dalam masyarakat akademik atau yang disebut playgiarisme.

2. Hak Intelektual atas karya ilmiah ini penulis serahkan sepenuhnya kepada

Universitas Presiden.

Atas pernyataan ini, apabila di kemudian hari adanya ketidak benaran, saya bersedia

menanggung akibat dan sanksi yang diberikan kepada saya, saya bersedia di proses sesuai

hukum yang berlaku.

Bekasi, 16 Maret 2020

Pembuat Pernyataan

Awalia Nugrahaini

Page 6: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

iv

ABSTRAK

Nama : Awalia Nugrahaini

Judul : Cost-Benefit Analysis Pemidanaan Pencemaran Nama Baik : Restributif atau

Restoratif ? Studi Polres Metro Bekasi

Sanctions against the criminal defamation set out in the Criminal Code have been

strengthened by the provisions of the Electronic Information and Transaction Act which

sanctioned the heavier crime which became one of the traits of the retributive justice.

However, in the process, the retributive justice that should give a deterrent effect does

not suppress the occurrence of criminal defamation. Then there is no balance between

the costs incurred and the benefits gained from the retributive justice. Meanwhile, Polres

Metro Bekasi in practice better forward a restorative (pseudo-restorative) settlement in

the case of defamation. Thus, the study uses cost-benefit analysis to find out what is more

appropriate for defamation. The results showed that the implementation of restorative

justice is the main alternative to the resolution of defamation, in addition to providing

justice to the disputing parties also suppress the social cost that will be incurred from the

retributive justice.

Keywords: Cost-Benefit Analysis, Retributive, Restorative, Defamation.

Sanksi terhadap delik pencemaran nama baik yang diatur dalam KUHP telah

diperkuat dengan ketentuan dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik

yang memiki sanksi pidana lebih berat yang menjadi salah satu ciri dari retributive justice.

Namun dalam prosesnya, retributive justice yang seharusnya memberikan efek deterrent

justru tidak menekan terjadinya jumlah tindak pidana pencemaran nama baik. Maka tidak

terjadinya keseimbangan antara biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang didapat dari

retributive justice. Sementara itu, Polres Metro Bekasi dalam prakteknya lebih

mengedepankan penyelesaian secara restoratif (pseudo-restorative) dalam perkara

pencemaran nama baik. Maka, penelitian ini menggunakan cost-benefit analysis untuk

menemukan pemidanaan apa yang lebih tepat untuk pencemaran nama baik saat ini. Hasil

penelitian menunjukan bahwa, pelaksanaan restorative justice merupakan alternatif

utama penyelesaian perkara pencemaran nama baik, di samping memberikan keadilan

bagi pihak yang bersengketa juga menekan social cost yang akan ditimbulkan dari

retributive justice.

Kata Kunci : Cost-Benefit Analysis, Retributif, Restoratif, Pencemaran nama Baik.

Page 7: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah Subhanawataa’la yang telah

melimpahkan rahmat, hidayah, dan karunia-NYA, sehingga saya dapat menyelesaikan

tugas akhir dengan judul “COST-BENEFIT ANALYSIS PEMIDANAAN

PENCEMARAN NAMA BAIK : RESTRIBUTIF ATAU RESTORATIF ? Studi Polres

Metro Bekasi ”

Skripsi ini merupakan dedikasi yang tulus dari Penulis sebagai wujud terimakasih

dan rasa syukur dan nikmat yang diberikan oleh Allah SWT kepada Penulis atas

kesempatan yang diberikan untuk belajar, serta wujud terimakasih kepada semua pihak

yang telah mendukung Penulis, sehingga skripsi ini dibuat dengan sepenuh hati dan

semaksimal mungkin pada setiap bagian dalam skripsi ini. Dalam penyusunan tugas ini,

penulis banyak mendapatkan dukungan dari berbagai pihak seperti bimbingan, arahan

serta do’a. Begitu besar pengaruhnya kepada Penulis sehingga tak ada kata yang dapat

menggambarkan betapa besar rasa syukur dan terimakasih kepada pihak yang

mendukung Penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang sudah rela menjadi

narasumber. Tulisan ini tidak akan terwujud tanpa adanya dukungan berupa pengarahan,

bimbingan, dan kerja sama semua pihak yang turut membantu dalam proses

menyelesaikan skripsi ini, untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih

kepada pihak-pihak yang telah mendukung saya di antaranya :

1. Teristimewa untuk Ayahku Rudy Darwis, Ibuku Mei Indriyani, Adikku Ratu

Faqih Seruni Alam, Baath Thariq, dan Raudhatul Aisy terima kasih telah menjadi

orang tua serta adik-adik terhebat yang tak pernah berhenti mendoakan setiap

Page 8: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

vi

detiknya dan hembusan nafasnya, serta selalu mendukung Penulis untuk

senantiasa tegar dalam menghadapi kendala dalam proses pembuatan skipsi ini.

2. Ibu Dr. Maria Francisca M, S.H., S.E., M.Kn. selaku Dosen Pembimbing atas

kesediaanya meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, masukan dan

motivasi dalam proses penyelesaian skripsis ini;

3. Bpk. Ariehta Eleison Sembiring S.H., LL.M. selaku Dosen yang telah berkorban

waktu dan tenaga untuk memberikan begitu banyak arahan, bimbingan, motivasi

kepada Penulis sejak awal proses pembelajaran di kelas hingga proses penulisan

skripsi ini selesai;

4. Seluruh Dosen dan karyawan yang berada dalam akademik lingkungan Fakultas

Hukum Universitas Presiden yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas ilmu

dan nasehat yang beliau berikan selama penulis duduk dibangku kuliah;

5. Komandan-komandan yang senantiasa mendukung saya untuk terus belajar,

memberikan dukungan moril maupun materil kepada Penulis sehingga Penulis

dapat menyelesaikan proses belajar selama 10 semester di Universitas Presiden

dengan lancar dan memperoleh hasil yang memuaskan, Kombes Pol Asep Adi

Saputra, AKBP Rizal Marito, AKP Widodo Saputro S.H., M.H, AKP M. Ichwan

Nugraha S.IK, IPTU Abysena Jala W.P. STK, IPDA Trisno S.H., M.H, serta

seluruh komandan dan senior serta rekan-rekan Polwan yang selalu mendukung

Penulis yang tidak dapat disebutkan satu per satu;

6. Sahabat-sahabat Fakultas Hukum Universitas Presiden angkatan 2016 terkhusus

untuk Sri Mulyani Hasan, Laurensia Irma Kusumo, Upik Puspita Sari, Drivadi

Rabesa, Brian Aditama, Sinta Aulia Dewi, Lintang Banyu,Adi Jati, Frengky

Page 9: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

vii

Perian, Pak Timbul terima kasih atas tawa, canda, motivasi, semangat, dan

pengalaman serta dukungan yang selalu diberikan kepada penulis sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini;

7. Untuk sahabat-sahabat Fakultas Hukum Universitas Presiden angkatan 2017,

2018, serta teman-teman dari Fakultas lain yang selalu mendukung Penulis. See

you on top guys, all the best for us;

8. Dan seluruh pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu semoga Allah

SWT membalas doa dan kebaikan kalian semua;

Mohon maaf apabila proposal penelitian ini jauh dari kata sempurna, karena

semua kesempurnaan itu milik ALLAH SWT. Semoga skripsi ini dapat berguna bagi kita

semua yang membutuhkan terutama bagi penulis. Akhir kata penulis ucapkan terima

kasih banyak. Semoga Allah senantiasa memberkan rahmat dan balasan kebaikan

terhadap kita semua, Amin.

Bekasi, 16 Maret 2020

Penulis

Awalia Nugrahani

Page 10: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

viii

DAFTAR ISI

LEMBAR REKOMENDASI DOSEN PEMBIMBING i

LEMBAR PERSETUJUAN PENGUJI DOSEN PEMBIMBING ii

LEMBAR PERNYATAAN iii

ABSTRAK iv

KATA PENGANTAR v

DAFTAR ISI viii

DAFTAR TABEL x

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah 1

1.2 Rumusan Masalah 12

1.3 Metodologi Penelitian 12

1.4 Tujuan Penelitian 14

1.5 Kerangka Pemikiran 14

BAB II KEADILAN

2.1 Keadilan Retributif 17

2.2 Perbandingan Keadilan Restoratif dengan Keadilan Retributif 21

2.3 Keadilan Retributif dalam Pemidanaan Pencemaran Nama Baik 25

2.4 Keadilan Restoratif dalam Pemindanaan Pencemaran Nama Baik 29

2.5 Keadilan dalam KUHP 32

BAB III COST-BENEFIT ANALYSIS DALAM HUKUM PIDANA

3.1. Costs-Benefits Analysis 34

3.1.1. Costs-Benefits Analysis dan Pendekatan Utilitarianisme Bentham 36

Page 11: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

ix

3.2. Implementasi Costs-Benefits Analysis dalam Efektifitas Pemidananan 40

BAB IV COST-BENEFIT ANALYSIS PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

4.1. Justifikasi Tujuan Pemidanaan Retributif dan Tujuan Pemidanaan

Restoratif Dalam Pemidanaan Pencemaran Nama Baik 47

4.2. Tujuan Pemidanaan Menggunakan Cost-Benefit Analysis Dengan Studi

Polres Metro Bekasi ……51

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. KESIMPULAN 63

5.2. SARAN 65

DAFTAR PUSTAKA 66

Page 12: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

x

DAFTAR TABEL

The Restorative Practices Typology 24

Hand’s Rule Theory 46

Tabel Perhitungan Perhitungan Probabilitas Tahun 2017-2019 54

Grafik Perbandingan Probabilitas dengan Jumlah Putusan 55

Grafik Laporan Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik di Polres Metro Bekasi 58

Penyelesaian Perkara Pencemaran nama Baik Periode Tahun 2016-2018 59

Statistik Hubungan Pelapor Dengan Terlapor Perkara Pencemaran Nama Baik Periode

Tahun 2016-2018 59

Page 13: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Eksistensi terhadap aturan mengenai pencemaran nama baik di berbagai

negara semakin dipertanyakan, dalam hal definisi pencemaran nama baik yang

dipandang tidak jelas bahkan cenderung sangat multitafsir hingga rationale sanksi

pidananya. Tidak terbatas hanya pada produk legislasi, melainkan kebijakan-

kebijakan pemerintah di beberapa negara terhadap perusahaan seperti Facebook,

Twitter, Youtube dan Instagram dalam hal penghapusan konten yang dinilai

secara sepihak telah melakukan pencemaran nama baik, penghinaan atau ujaran

kebencian, maka munculnya berbagai kampanye untuk terus menekan upaya

dekriminalisasi mengenai pencemaran nama baik senantiasa digaungkan di

negara-negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa Bangsa, dan upaya

tersebut telah membuat angka dekriminalisasi mengalami peningkatan.1

Walaupun dinamika akan perubahan paradigma pemidanaan pencemaran

nama baik masih senantiasa bergerak, masih banyak negara-negara yang

mempertahankan eksistensi pemidanaan pencemaran nama baik.2 Sebagai contoh,

Belanda, yang dalam Wetboek van Strafrecht (WvS) (1881), menggolongkan

perbuatan pencemaran nama baik menjadi dua berdasarkan media yang digunakan

1 UNESCO (2018). World Trends in Freedom of Expression and Media Development:2017/2018. Global

Report. Paris. hlm 38-39.

2 Ibid. hlm.38. Pada tahun 2017 masih terdapat 130 Negara yang mempertahankan delik pencemaran nama

baik.

Page 14: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

2

serta dampak yang timbul atas perbuatan tersebut, yaitu, penghinaan secara

tertulis (schrift), dan penghinaan ringan (eenvoudige belediging), 3 dengan

pemidanaan berupa sanksi ancaman pidana enam bulan penjara hingga di atas dua

tahun penjara.

Kemudian di Inggris, perbuatan pencemaran nama baik dibagi menjadi

dua golongan, yaitu penghinaan yang bersifat permanen (tertulis, siaran), baik

dalam bentuknya maupun dampaknya (libel) yang digolongkan sebagai perbuatan

pidana (criminal offense), serta penghinaan yang bersifat tidak permanen,

misalnya secara lisan (slander), digolongkan sebagai suatu pelanggaran (tort).

Keduanya memiliki sanksi berupa kewajiban permintaaan maaf dan klarifikasi

serta restitusi atas kerugian materil yang dialami oleh korban. 4 Dalam hal

mengkonversi bentuk bentuk kerugian material atau immaterial ke dalam suatu

penggantian kerugian berbentuk materiil (restitusi) sebagaimana diterapkan oleh

Inggris, senada dengan salah satu aturan perundang-undangan yang saat ini masih

diterapkan di Indonesia yaitu pasal 1365 KUH Perdata Indonesia yang berbunyi :

“Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada

orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena

kesalahannya menggantikan kerugian.”

Hal tersebut menitikberatkan pada “pemulihan” kerugian korban dalam

bentuk ganti rugi.5

3 F. Janssens. “".. IK ZAL JELUI WEL DONDEREN! .. " Het begrip 'belediging' in de Code Pénal,

vergeleken met het huidige Wetboek van Strafrecht.” Grom, Vol. 9 No. 9, 1992, hlm.53.

4 Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 4 Defamation Act 1996.

5 Pasal 1365 KUHPerdata Indonesia, “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian

kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk

mengganti kerugian tersebut.”

Page 15: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

3

Indonesia sebagai negara yang masih mempertahankan eksistensi pidana

pencemaran nama baik, yang sumber hukum pidananya berasal dari kodifikasi

hukum Belanda telah memuat definisi dan aturan mengenai pencemaran nama

baik yang disebutkan dalam Bab XVI KUHP tentang Penghinaan, tepatnya dalam

Pasal 310 KUHP yang mengatur mengenai penyerangan (pencemaran)

kehormatan atau nama baik seseorang, dan Pasal 311 KUHP yang mengatur

mengenai fitnah.

Definisi dari pencemaran dalam Pasal 310 KUHP adalah penyerangan

kehormatan atau nama baik seseorang dengan tuduhan yang disampaikan di depan

umum atau secara tertulis. Tidak ada tolak ukur mengenai sejauh apa dapat

diketahui kehormatan atau nama baik seseorang telah “diserang” atau telah

“tercemar”, sehingga dapat dikatakan bahwa unsur pasal tersebut bersifat

subjektif dari sudut pandang korban. Yang kemudian jika tuduhan tersebut tidak

dapat dibuktikan oleh penuduh, maka akan dikenakan Pasal 311 KUHP tentang

fitnah.

Dalam perkembangannya, dibentuklah peraturan perundang-undang baru

yang dianggap relevan dengan era digitalisasi, yaitu Pasal 27 ayat (3) dan Pasal

45 ayat (3) Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik (UU ITE) maupun perubahannya yaitu Undang-undang No. 19 Tahun

2016. Dalam pasal tersebut tidak terjadi pemisahan pemidanaan antara

pencemaran nama baik dan fitnah, yang diatur dalam satu pasal serta memiliki

sanksi pidana penjara dan denda yang lebih berat dari pasal pencemaran nama

baik dalam KUHP. Namun, definisi dari pencemaran nama baik dan fitnah, dalam

Page 16: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

4

penjelasan UU ITE merujuk pada KUHP, pencemaran nama baik dan fitnah

adalah perbuatan yang berbeda dan memiliki sanksi pemidanaan yang berbeda

pula. Hal ini tentunya menyebabkan timbulnya kerancuan dalam hal penegakan

hukum.

Sebagaimana dijelaskan oleh Beccaria, kumpulan potongan sebagian hak-

hak setiap orang atau disebut sebagai kepentingan umum, yang dikuasakan pada

sekelompok orang, menimbulkan hak untuk menghukum suatu tindakan yang

dimaksudkan untuk melindungi kepentingan setiap individu atau keadilan.

Namun suatu penghukuman yang tidak sesuai kebutuhan dapat dikatakan tidak

adil.6 Efektif atau tidaknya suatu pemidanaan dapat dilihat dari respon masyarakat

saat hukum tersebut diterapkan.

Dalam mencapai tujuan dari sebuah kebijakan legislasi, harus melalui

serangkaian “paksaan” yang menyebabkan terjadinya peluang untuk

penyalahgunaan wewenang, salah satunya adalah bentuk pemidanaan yang

kurang tepat, ditambah dengan sistem yang bersifat terbuka, menjadikan mudah

terpengaruh oleh faktor lingkungan masyarakat berdasarkan ekonomi, politik,

pendidikan dan teknologi yang justru dapat menjadikan tujuan tersebut tidak

tercapai.7 Tujuan pemidanaanpun dapat berorientasi untuk memberi pembalasan

atas perbuatannya atau memperbaiki perilaku terpidana.8

6 Prabowo, M. Nur, “Cesare Beccaria & Voltaire : Tentang Kejahatan dan Hukuman”, CV. Lintas Nalar,

2015, hlm. 8.

7 Gunarto, Markus Priyo, “Sikap Memidana Yang Berorientasi Pada Tujuan Pemidanaan”, Mimbar

Hukum, Vol.21 No. 1, 2009, hlm. 95.

8 Ibid., hlm.100.

Page 17: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

5

Pemidanaan yang dianut dalam sistem peradilan di Indonesia bersumber

dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang menyediakan berbagai alternatif

dalam penjatuhan pidana terhadap terdakwa.9 Pemidanaan tentang pencemaran

nama baik dalam pasal 310 KUHP yaitu sembilan bulan penjara, dan maksimal

empat tahun penjara untuk pasal 311 tentang fitnah. Namun, dengan melihat

ancaman pidana pasal pencemaran nama baik dalam Undang-undang Informasi

dan Transaksi Elektronik sebelum dan sesudah revisi, maka peningkatan ancaman

pidana serta denda dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur

mengenai pencemaran nama baik atau fitnah, dapat menggambarkan

“kekhawatiran” dari pemerintah selaku pembentuk Undang-undang akan keadaan

dalam masyarakat di era digital saat ini, yang secara tidak langsung digambarkan

sebagai upaya pencegahan dan efek jera terhadap pelaku tindak pidana

pencemaran nama baik.

Menarik mengetahui bahwa terjadi keunikan dalam penanganan laporan

tindak pidana pencemaran nama baik melalui media elektronik di Polres Metro

Bekasi, yang dalam periode tahun 2016-2018 senantiasa mengalami peningkatan

jumlah laporan polisi khususnya dalam laporan mengenai tindak pidana

pencemaran nama baik. Namun, dari total perkara sebanyak 96 perkara dalam

periode tahun 2016-2018, hanya ada satu perkara yang P21 atau maju ke tahap

penuntutan dan persidangan, sedangkan masyoritas lainnya diselesaikan dengan

cara musyawarah atau kesepakatan antara pelapor dan terlapor

9 Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. “Pidana pokok terdiri atas : …”

Page 18: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

6

Tujuan pemidanaan merupakan unsur absolut yang wajib ada dan menjadi

tolak ukur dalam pemidanaan. 10 Sebagaimana diketahui, bahwa banyak jenis

pidana atau sanksi dalam peraturan perundang-undangan tidak berlandaskan pada

pemikiran yang kuat. Akibatnya, muncul ketidakjelasan terhadap tujuan suatu

pemidanaan yang tidak hanya dapat membuat kacau perumusan Undang-undang

namun juga dalam hal penegakkan hukumnya.11

Umumnya, stigma para legislator serta penegak hukum masih berpegang

pada filosofi mengenai pemidanaan merupakan suatu pembalasan atau efek jera

sebagai bentuk perwujudan keadilan. Namun kenyataannya, cara mewujudkan

keadilan tersebut belum tentu sesuai dengan kebutuhan korban maupun

masyarakat. 12 Hal tersebut dapat dilihat dari mayoritas tindak pidana yang

ditangani oleh sistem peradilan pidana Indonesia bermuara pada sanksi penjara.13

Nyatanya tidak semua perbuatan pidana tersebut sepadan dengan pidana

penjara, beberapa tindak pidana memiliki kerugian materil dan immaterial pada

korban, dan masih dapat diperbaiki kembali seperti semula tanpa harus

menerapkan pidana penjara sebagai efek jera. Dengan kata lain, tujuannya adalah

orientasi pada perbaikan tingkah laku masyarakat terutama terpidana atau yang

disebut tujuan restoratif.14

10 Zulfa, Eva Achjani. “Pergeseran Paradigma Pemidanaan di Indonesia. Jurnal Hukum dan

Pembangunan”. Vol.36 No. 6, 2006, hlm. 390.

11 Ibid., hlm. 329-391.

12 Ibid. hlm.393.

13 Prayitno, Kuat Puji. “Restorative Justice Untuk Peradilan di Indonesia (Perspektif Yuridis Filosofis

dalam Penegakan Hukum In Concreto)”, Jurnal Dinamika Hukum, 2012, hlm. 409.

14 Ibid., hlm.409.

Page 19: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

7

Dalam sejarah perkembangannya, pemidanaan dalam tindak pidana

pencemaran nama baik mengalami peningkatan sanksi pidana15 yang tujuannya

untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan dinamika bermasyarakat.

Namun dalam revisi peraturan perundang-undangan tersebut, terjadi penurunan

sanksi pidana walaupun intisari dari unsur pasal tidak mengalami perubahan.16

Berdasarkan pola pemidanaannya, dapat dikatakan bahwa legislator bertujuan

untuk memberikan efek jera dan pencegahan, namun tetap saja tujuan pemidaan

tindak pidana pencemaran nama baik tidak secara jelas diterangkan.

Sejatinya, hukum pidana merupakan gambaran pola pikir suatu

masyarakat dalam menyikapi suatu permasalahan.17 Sanksi pidana merupakan

alat untuk mencapai tujuan. Namun pandangan tersebut kembali kepada

masyarakat, selaku objek dari suatu pemidanaan yang akan memandang mengenai

tujuan pemidanaan dalam suatu peraturan perundang-undangan.18

Menurut Beccaria, suatu penghukuman atau pemidanaan sejatinya

merupakan perlindungan terhadap kepentingan umum yang merupakan kumpulan

potongan kecil hak-hak setiap orang yang diamanatkan pada sekelompok orang

untuk menciptakan keadilan.19 Definisi keadilan merupakan hal yang senantiasa

15 Lihat Pasal 310 KUHP dan Pasal 27 Ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3) Undang-undang No. 11 Tahun 2008

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

16 Lihat Pasal 27 Ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3) Undang-undang No. 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas

Undang-Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

17 Zulfa, Eva Achjani, op.cit., hlm. 398.

18 Ibid., hlm. 392.

19 Prabowo, M. Nur. Cesare Beccaria & Voltaire : Tentang Kejahatan dan Hukuman. D.I Yogyakarta . CV.

Lintas Nalar, 2015, hlm. 8.

Page 20: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

8

diperdebatkan. Menurut John Rawls, justice as fairness, keadilan hanya akan

diperoleh jika memenuhi prinsip-prinsip keadilan yaitu, hak setiap orang atas

kebebasan dasar, serta pengaturan atas ketidaksetaraan ekonomi, dalam hal

pendistribusian atas keuntungan ekonomi.20

Untuk mencapai suatu keadilan yang hakiki, memerlukan penerapan suatu

konsep yang tepat. Menurut Daniel dan Karen, bahwa keadilan restoratif memiliki

konsep restorasi yaitu pelibatan korban, pelaku, komunitas (masyarakat), untuk

aktif berpartisipasi dalam menentukan penyelesaian terbaik yang memberikan

keadilan untuk semua pihak. 21 Dengan pelibatan tersebut,selain diharapkan

memperbaiki kerusakan yang timbul sesaat akibat tindak pidana, juga sebagai

upaya pencegahan kejahatan.22

Dalam penerapannya, keadilan restoratif tidak dapat dilepaskan dari

prinsip serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Prinsip dari keadilan

restoratif yaitu pemulihan korban, pelaku dan komunitas yang terdampak atas

suatu tindak pidana,23 kesempatan bagi korban, pelaku, serta komunitas untuk

turut serta berperan dalam proses keadilan restoratif,24 serta kewajiban antara

pemerintah dan masyarakat untuk menjamin keamanan (public safety). 25

Sedangkan nilai-nilai keadilan restoratif yang utama yaitu pertemuan korban,

20 Rawls, John. A Theory of Justice. United States of America, Harvard University Press, 1971, hlm. 53.

21 Van Ness. W.Daniel dan Heetderks S. Karen, Restoring Justice: An Introduction to Restorative Justice.

Matthew Bender & Company, 1997, Hlm. 42-43.

22 Ibid. hlm. 44

23 Ibid. hlm. 43.

24 Ibid. hlm .45.

25 Ibid. hlm. 47.

Page 21: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

9

pelaku, dan komunitas dalam wadah yang aman untuk melakukan diskusi

mengenai respon atas suatu tindak pidana (encounter),26 kewajiban pelaku untuk

bertanggung jawab atas kerusakan yang diakibatkan oleh tindak pidana

(amends),27 pelibatan pihak yang terdampak secara langsung atas suatu tindak

pidana dalam proses restoratif (inclusion),28 serta membantu korban dan pelaku

untuk dapat bergabung kembali dalam komunitasnya dengan bantuan masyarakat

yaitu keamanan, penghormatan, materil, dan dukungan moral (reintragation).29

Tolak ukur dari suatu kejahatan adalah kerugian yang ditimbulkan dan

telah dirasakan oleh masyarakat, bukan didasari dari niat atau maksud pelaku

yang sifatnya masih abstrak dan belum terwujud.30

Pemidanaan kontemporer yang bertujuan untuk efek jera, dalam

pelaksanaannya, sebenarnya hanya melibatkan negara (mewakili korban) dan

pelaku, sehingga dapat dikatakan tidak semua pihak benar-benar terlibat untuk

menentukan bagaimana penyelesaian terbaik,31 sehingga out put yang dihasilkan

dari suatu proses pemidanaan belum tentu berdampak signifikan terhadap korban,

pelaku bahkan komunitas yang terdampak.32

Penekanan dalam pemidanaan yang bertujuan restoratif bermaksud untuk

menghindari terjadinya proses pemidanaan lebih lanjut diantaranya penahanan

26 Ibid. hlm. 63-81.

27 Ibid. hlm. 82-93.

28 Ibid. hlm. 117-119.

29 Ibid. hlm. 94-96.

30 Prabowo, M. Nur, op.cit., hlm. 22-24.

31 Van Ness. W.Daniel & Heetderks S. Karen, op.cit., hlm. 45-49

32 Prayitno, Kuat Puji. op.cit., hlm. 411.

Page 22: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

10

atau persidangan yang belum tentu memberikan “keadilan” bagi pihak yang

berselisih sebagaimana dimaksudkan oleh negara.33

Beberapa jenis perbuatan yang “digolongkan” sebagai perbuatan pidana,

memiliki dampak kerugian terhadap korban yang masih dapat dilakukan

perbaikan, baik secara materil maupun immaterial, dengan cara kesepakatan yang

diperoleh dari hasil pertemuan semua pihak, yaitu korban, pelaku serta

masyarakat. Seyogianya, keadilan dan perdamaian merupakan kunci dari suatu

penyelesaian perkara pidana yang memiliki tujuan untuk memperbaiki hubungan

antara pihak yang berselisih.34

Berbeda dengan pemidanaan dengan tujuan retributif, sanksi pidana

dianggap cara mendapatkan suatu keadilan, namun masih banyak terdapat

perdebatan mengenai rationale sanksi pidana yang dinilai seimbang dengan

kejahatan pelaku tindak pidana.35 Ataupun dengan tujuan restitutif, yaitu sanksi

pidana berupa denda atau membayar sejumlah uang kepada korban, dengan tujuan

historis yaitu menghurangi hukuman yang tidak adil, atau tidak manuasiawi.36

Penyelesaian perkara secara restoratif adalah bentuk perubahan paradigma

pemidanaan yang lahir dari inisiatif masyarakat untuk bertindak di luar dari

ketentuan pemidanaan dalam perundang-undangan yang dianggap kurang tepat.37

33 Herlina, Apong. “Restorative Justice.” Jurnal Kriminologi Indonesia, Vol.3. No.3, 2004, hlm. 25-26.

34 Prayitno, Kuat Puji, op.cit., hlm. 408.

35 Sterba, James.P, “Retributive Justice.” Political Theory, Vol. 5 No. 3, 1977, hlm. 358-361.

36 Galaway, Burt, “The Use of Restitution”, Crime & Delinquency, 1977, hlm.63-65.

37 Daniels, Griff, “Restorative Justice : Changing The Paradigm”, Probation Journal. Vol.60 No.3 2013,

hlm.306-307.

Page 23: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

11

Melihat kembali bahwa tujuan pemidanaan, menurut Herbert L. Packer

dikutip oleh Setiawan, pendekatan pemidanaan digolongkan menjadi retribution,

ultilitarian prevention, maupun behavioral prevention, memiliki tujuan yang

serupa, yaitu pembalasan terhadap pelaku tindak pidana dalam rangka mendidik

pelaku agar mengetahui bahwa perbuatan tersebut adalah salah dan menjadikan

pelaku tertib sosial serta sebagai pencegahan agar tidak terjadinya tindak pidana

serupa baik yang dilakukan oleh residivis maupun pelaku lainnya.38 Sedangkan

menurut pendapat Hulsman dikutip oleh BN Arief, bahwa tujuan pemidanaan

yaitu sebagai perbaikan tingkah laku individu serta solusi atau jalan keluar dari

penyelesaian suatu konflik dengan cara restitusi atas kerugian yang dialami oleh

korban, maupun rehabilitasi hubungan pihak yang berselisih. 39 Atau menurut

Wirjono, bahwa pemidanaan bertujuan untuk pencegahan tindak pidana, serta

untuk merehabilitasi pelaku tindak pidana untuk dapat kembali bergabung dalam

komunitasnya sebagai pribadi yang tertib.40

Tujuan pemidanaan mengakomodir adanya rehabilitasi pelaku tindak

pidana, serta merestorasi hubungan para pihak yang terkena dampak suatu tindak

pidana. Hal tersebut tidak bertentangan dengan penerapan konsep keadilan

restoratif yang merupakan salah satu upaya alternatif dalam ranah praktik

pemidanaan selain pemidanaan bertujuan efek jera yang tentunya memiliki

38 Setiawan, M. Arif, “Kajian Kritis Teori-Teori Pembenaran Pemidanaan”, Jurnal Hukum, Vol 6 No.11,

1999, hlm.98-105.

39 Arief, B. N, “Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana”, Citra Aditya

Bakti, 1998, hlm9.

40 P. Wirjono. Tindak Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia. Jakarta, P.T Eresco, 1980, hlm. 3.

Page 24: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

12

keselarasan dengan tujuan pemidanaan juga namun dengan pendekatan yang

berbeda.

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk meneliti dalam

bentuk penulisan karya ilmiah yang berjudul : " Cost-Benefit Analysis

Pemidanaan Pencemaran Nama Baik : Retributif Atau Restoratif? Studi

Polres Metro Bekasi”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti membuat rumusan

masalah sebagai berikut :

a. Bagaimana justifikasi terhadap tujuan pemidanaan retributif dan restoratif

dalam pemidanaan pencemaran nama baik ?

b. Bagaimana melihat tujuan pemidanaan tersebut dengan menggunakan

cost benefit analysis di Polres Metro Bekasi ?

1.3 Metodologi Penelitian

1. Metode Pendekatan

Peneliti menggunakan petode pendekatan kualitatif, yang dalam

penelitian ini, terdapat pembahasan mengenai teori keadilan retributif serta

penerapannya dalam pemidanaan pencemaran nama baik, yang bersumber

dari studi literatur tentang teori dan doktrin, peraturan perundang-undangan

terkait, yaitu KUHP, Undang-undang ITE (UU 11/2018 dan UU 19/2016),

KUH Perdata, dan putusan pengadilan terkait.

Kemudian, pada pembahasan mengenai teori keadilan restoratif

serta penerapannya dalam pemidanaan pencemaran nama baik, bersumber

Page 25: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

13

dari studi literatur mengenai teori dan doktrin, diperkuat dengan interview

penegak hukum (polisi dan pengacara) dalam realitas pemidanaan serta data

berbasis statistik yang bersumber dari Polres Metro Bekasi.

2. Spesifikasi Penelitian

Penelitian yang dilakukan oleh Penulis merupakan penelitian

eksploratif dan perbandingan hukum. Penelitian eksploratif merupakan

studi penelusuran atas terjadinya suatu peristiwa atau masalah yang masih

belum dapat didefinisikan secara jelas, yang dalam penelitian ini Peneliti

melakukan penelusuran terhadap realitas pemidanaan pencemaran nama

baik yang terjadi di Polres Metro Bekasi. Selain itu, Peneliti juga melakukan

perbandingan hukum atas dua pendekatan pemidanaan yaitu retributif dan

restoratif atas penerapannya dalam pemidanaan pencemaran nama baik di

Indonesia.

3. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data

Studi literatur yang dilakukan dalam penelitian ini bersumber dari

buku dan jurnal yang bersumber dari internet antara lain

www.scholar.google.co.id, dengan memasukkan keywords pada laman

pencarian dan kemudian mengunduh buku dan jurnal yang dibutuhkan.

Pada akhirnya dalam penelitian terdapat cost-benefit analysis

terhadap keadilan retributif dan keadilan restroratif dalam pemidanaan

pencemaran nama baik serta realitas penerapannya. Tentunya dengan

berdasarkan kepada teori-teori filsafat dan doktrin para ahli, untuk

Page 26: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

14

kemudian disesuaikan dengan fakta-fakta yang sebelumnya diperoleh

dalam proses interview langsung dengan penegak hukum.

4. Metode Analisis Data

Analisa mengenai pemidanaan pencemaran nama baik serta realitas

pemidanaannya dari sudut pandang keadilan retributif dan keadilan

restroratif dalam penelitian ini, dilakukan setelah terjadinya beberapa kali

perubahan sanksi pidana pencemaran nama baik, kemudian peneliti

menganalisa realitas pemidanaannya dengan data yang bersumber dari

website www.putusan.mahkamahagung.go.id serta data proses penegakkan

hukum yang ditangani Polres Metro Bekasi sebagai perbandingan.

1.4 Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam penulisan ini meliputi:

a. Untuk mengkaji justifikasi terhadap tujuan pemidanaan retributif dan

restoratif dalam pemidanaan pencemaran nama baik;

b. Untuk menguji tujuan pemidanaan tersebut dengan menggunakan cost

benefit analysis di Polres Metro Bekasi.

1.5 Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran dari penulisan skripsi ini berangkat dari kegelisahan

penulis tentang paradigma perubahan pemidanaan dalam pencemaran nama baik,

berawal atas terjadinya penguatan atas pemidanaannya (sanksi pidana) yang

dimaksudkan untuk pencegahan tindak pidana dan sejauh apa dampak dari

penguatan sanksi pidana tersebut terhadap terjadinya tindak pidana pencemaran

nama baik.

Page 27: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

15

Pemidanaan adalah sarana yang digunakan untuk mencapai suatu keadilan,

walaupun terdapat berbagai macam pendekatan mengenai pemidanaan dari sudut

pandang pemberian efek jera, pencegahan terjadinya kejahatan, pembalasan,

bahkan merehabilitasi hubungan pelaku dan korban.

Keadilan di Indonesia pada prinsipnya tentu tidak akan terlepas dari

prinsip dasar sebagaimana diatur dalam Pasal 28D UUD 1945 Amandemen ke-4

yang menjamin bahwa setiap individu akan memperoleh perlindungan dan

kepastian hukum yang adil. Penjawantahan prinsip tersebut tentunya adalah

peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai sanksi suatu tindak

pidana. Sumber hukum pidana utama di Indonesia berpegang pada KUHP yang

kemudian diturunkan menjadi aturan perundang-undangan baru yang bersifat

khusus.

Untuk memahami bagaimana maksud dan tujuan dari suatu pemidanaan

maka membutuhkan teori hukum, yang seharusnya terjadi penggabungan antara

Filsafat Hukum dan Dogmatika Hukum untuk dapat menjawab pertanyaan

tersebut.

Dalam tulisan ini, peneliti menggunakan filsafat pemidanaan yang

dikemukakan oleh Immanuel Kant dan Richard Posner mengenai keadilan

retributif lalu Jeremy Bentham mengenai pendakatan dalam prinsip utilitariannya.

Dalam dogmatika hukum penulis menggunakan pandangan dari Van Ness &

Karen mengenai keadilan restoratif, Richard Posner, Byrd, Darryl K Brown

dengan analisa ekonomi dalam pemidanaan.

Page 28: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

16

Sebagai acuan prinsip, Peneliti mengupas tujuan pemidanaan yaitu

keadilan dari sudut pandang pemidanaan retributif, kemudian Peneliti membahas

keadilan dari pemidanaan restoratif, dan membandingkan perbedaan keduanya

dari sisi proses dalam mencapai keadilan tersebut. Antara lain kedudukan para

pihak yang bersengketa, concern dari pemidanaan retributif dan restoratif,

aplikasinya pada pemidanaan pencemaran nama baik di Indonesia. Tak lupa

Peneliti juga membahas mengenai keadilan yang terdapat pada KUH Pidana yang

menjadi salah satu sumber hukum pidana utama di Indonesia.

Penjawantahan antara Filsafat Hukum dan Dogmatika Hukum tersebut

digunakan untuk melakukan analisa terhadap pemidanaan pencemaran nama baik.

Teori yang digunakan adalah cost-benefit analysis, peneliti akan menggunakan

analisa dari sudut pandang ekonomi terhadap pemidanaan pencemaran nama baik.

Pemidanaan pencemaran nama baik di Indonesia pada awalnya hanya

diatur dalam KUH Pidana, diantaranya pasal 310 dan 311 KUH Pidana. Lalu

dibentuk UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE, yang dalam Undang-Undang

tersebut terjadi penguatan sanksi pidana pencemaran nama baik melalui media

elektronik menjadi maksimal 6 tahun penjara, namun dalam perubahannya yaitu

UU No 19 Tahun 2016 perubahan sanksi pidana kembali terjadi menjadi

maksimal 4 tahun penjara.

Cost-benefit Analysis digunakan oleh peneliti untuk mengukur sejauh

mana efektifitas pemidanaan yang berjalan saat ini jika dibandingkan dengan

realitas pemidanaannya, dan upaya mencari alternative atau solusi terhadap

kendala atau permasalahan yang dihadapi dalam realitas pemidanaan.

Page 29: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

17

BAB II

KEADILAN

2.1 Keadilan Retributif

Keadilan retributif merupakan pendekatan terkuno dalam hal upaya pencarian

keadilan, dengan orientasi berupa hukuman terhadap suatu pelaku tindak pidana. 41

Pembenaran terhadap pandangan tersebut tidak terlepas dari hasrat pembalasan (balas

dendam) yang dimiliki oleh seluruh manusia, yang oleh Cottingham, pembenaran atau

varietas dari keadilan retributif digolongkan berdasarkan sudut pandang urgensi dari

suatu pemberian hukuman suatu tindak pidana. Antara lain, hukuman sebagai

pembayaran kembali (repayment) atas perbuatan pidana dalam bentuk “siksaan” atau

situasi “tidak menyenangkan” yang harus dialaminya sebagai ganjaran wajib atas pelaku

tindak pidana.42

Pada awalnya retribusi (pembalasan) dilakukan secara langsung oleh pihak yang

menjadi korban kepada pihak yang menjadi pelaku suatu kejahatan. Hal tersebut

menyebabkan tidak terputusnya rantai konflik bahkan menyebabkan peperangan antar

kelompok. Seiring perkembangan budaya di Barat, retribusi atau pembalasan tidak lagi

bersifat langsung, melainkan menjadi suatu prerogratif dari penguasa, dalam hal ini Raja

atau lembaga peradilan yang dianggap sebagai titisan dari Tuhan. Hal tersebut dianggap

41 Hogan R., Emler N.P. “Retributive Justice. In: Lerner M.J., Lerner S.C. (eds) The Justice Motive in

Social Behavior. Critical Issues in Social Justice”, 1981, Hlm. 130-131.

42 Cottingham, John. “Varieties of Retribution.” The Philosophical Quarterly (1950), vol. 29, no. 116, 1979,

hlm. 238–246. Penggolongan teori Retribusi menjadi 9 macam, yaitu Repayment Theory, Desert Theory,

Penalty Theory, Minimalism, Satisfaction Theory, Fair Play Theory, Placation Theory, Annulment Theory,

dan Denunciation Theory.

Page 30: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

18

lebih efisien dan mencegah konflik berkepanjangan, serta meredam hasrat untuk balas

dendam.43

Retribusi memiliki keterkaitan dengan kekuasaan dan status, pembalasan dalam

retribusi dapat digunakan dalam hal pencapaian status dan kekuasaan, atau sebaliknya,

semakin tinggi kedudukan status yang dimiliki seseorang, maka semakin berhati-hati

orang tersebut untuk tidak melakukan suatu pelanggaran, karena akan memicu

“pembalasan” yang lebih hebat dari orang yang kurang beruntung. 44 Pembalasan

merupakan salah satu cara untuk mempertahankan eksistensi dan harga diri, sehingga

walaupun dianggap bertentangan dengan moral dalam teorinya, namun memperoleh

pembenaran dalam praktiknya.45

Keadilan retributif memiliki peran dalam menyetarakan posisi korban yang

didominasi oleh pelaku. Saat setelah terjadinya suatu peristiwa kejahatan, posisi korban

menjadi lebih lemah dibandingkan dengan pelaku dari berbagai sisi, sehingga Negara

atau sistem peradilan pidana wajib bertindak mewakili kepentingan korban suatu tindak

pidana.46 Fokus utama dalam retributif adalah kejahatan pelaku dan ganjaran yang

setimpal dengan perbuatannya. 47 Rationale hukuman suatu tindak pidana didasarkan

pada proporsionalitas antara kejahatan dengan hukumannya.48

43 Hogan R., Emler N.P. op.cit., Hlm. 132-134.

44 Ibid. hlm. 140-142.

45 Ibid. hlm. 139.

46 Fletcher, George P. “The Place of Victims in the Theory of Retribution”. Buffalo Criminal Law Review,

vol. 3 no. 1, 1999, hlm. 51–63.

47 Richard A. Posner, “Retribution and Related Concepts of Punishment”. The Journal of Legal Studies

Vol. 9 no. 1, 1980, Hlm. 71.

48 Murphy J.G. “Kant’s Theory of Criminal Punishment”. Retribution, Justice, and Therapy Journals.

Philosophical Studies Series in Philosophy, vol 16. 1979, Hlm. 82-92.

Page 31: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

19

Dalam menerapkan keadilan retributif tidak terlepas dari cara criminal justice

system bekerja, termasuk peraturan tertulis yang dibuat oleh legislator yang menjadi dasar

pemidanaan suatu tindak pidana. Sehingga peran Negara yang diwakili oleh lembaga

sistem peradilan pidana memainkan peran utama dalam penerapan keadilan retributif.

Dalam analisanya, Byrd memahami bahwa teori Kant memandang hukum pidana

merupakan instrumen untuk melindungi setiap anggota masyarakat atas terjadinya suatu

kejahatan dan merupakan cara pengembalian keadaan setelah terjadinya tindak pidana

atas dasar kesepakatan bersama. Suatu ancaman pidana yang terdapat dalam peraturan

perundang-undangan merupakan motivasi atau “bujukan” terhadap individu untuk tidak

melanggar ketentuan. Sifat jera yang ada dalam penerapan suatu hukuman dimaksudkan

untuk memberikan “motivasi” pada individu untuk tidak melakukan kejahatan atau

pengulangan kejahatan. Hal ini akan terus ada seiring keberadaan masyarakat, bahkan

saat suatu kelompok kecil masyarakat memutuskan untuk bubar atau tidak mengikatkan

diri pada suatu ikatan masyarakat, menjadi suatu kewajiban atau keharusan untuk

mengadili suatu pelaku pidana terakhir dalam kelompok masyarakat tersebut.49

Posner berpendapat bahwa, pendekatan secara retributif dapat dilihat pula dari

sudut pandang ekonomi. Dalam pandangannya, hukuman pidana (terutama dalam bentuk

denda) menekan setiap orang yang akan melakukan suatu tindak pidana untuk

mempertimbangkan resiko atau kewajiban yang harus ditanggungnya setelah berbuat

pidana sehingga menekan angka terjadinya suatu tindak pidana. Jika telah dikenakan

denda, maka diharapkan biaya sosial yang dikeluarkan akibat suatu tindak pidana setara

49 Byrd, B.S. “Kant's theory of punishment: Deterrence in its threat, retribution in its execution”, Law

Philos Vol. 8, 1989, hlm.151–200.

Page 32: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

20

dengan denda yang ditimpakan pada pelaku tindak pidana. 50 Sebagaimana dikutip

olehnya dari Jeremy Bentham, bahwa terjadinya suatu tindak pidana membuat

dikeluarkannya biaya sosial (social cost) sehingga pelaku pidana wajib menanggung

ganti rugi atas biaya tersebut, bahkan tidak menutup kemungkinan pidana denda yang

lebih besar dari biaya sosial yang timbul.51 Namun tentu saja kritikan terhadap teori

ekonomi tersebut tetaplah ada, bahwa jika suatu tindak pidana terjadi dan menimbulkan

suatu biaya sosial (social cost), yang disebut sebagai sunk cost (biaya hangus), maka tidak

akan dapat tergantikan oleh apapun, bahkan terhadap hukuman yang dikenakan oleh

pelaku pidana.52

Sebenarnya dasar pemikiran dari Teori Ekonomi tersebut bukan untuk

menggantikan suatu kerugian yang timbul akibat tindak pidana dengan hukuman terhadap

pelaku, namun menekankan pada dengan memberikan “harga” pada suatu tindak pidana,

membuat orang berfikir ulang untuk melakukannya, sehingga menekan angka terjadinya

suatu tindak pidana. Hal ini sejalan dengan Teori Pencegah (Deterrent Theory).53

Pada intinya, tujuan utama dari pemidanaan yang bersifat retributif sendiri adalah,

untuk upaya pencegahan terjadinya kejahatan serupa dan efek jera terhadap pelaku agar

tidak melakukan pengulangan kejahatan.54

50 Richard A. Posner, Op.cit., Hlm.72-73.

51 Ibid. hlm.73. Bentham membuat suatu rumusan dalam hal perhitungan suatu pidana denda yaitu C = f .

p, C = Social Cost, f = Fine, p = probability that punishment will be imposed on the criminal.

52 Ibid. Hlm. 73.

53 Ibid. Hlm. 73-74.

54 Setiawan, M. Arif, “Kajian Kritis Teori-Teori Pembenaran Pemidanaan”, Jurnal Hukum, Vol 6 No.11,

1999, hlm.98-105

Page 33: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

21

2.2 Perbandingan Keadilan Restoratif dengan Keadilan Retributif

Lain halnya dengan keadilan retributif yang menitikberatkan tentang bagaimana

menghukum pelaku tindak pidana untuk menimbulkan efek jera, keadilan restoratif

menitikberatkan pada pelibatan pihak-pihak yang terdampak atas suatu tindak pidana

untuk dapat menyelesaikan permasalahan khususnya perbaikan hubungan antara korban

dengan pelaku.55

Perbedaan berikutnya yaitu posisi Negara dalam proses contemporary criminal

justice. Keadilan restoratif menempatkan Negara menjadi bagian dalam prinsip keadilan

restoratif, dalam hal ini adalah menjembatani untuk menjamin adanya public safety

dengan cara menjaga ketertiban yang adil. Bukan semata-mata hanya sebagai

“penghukum” tanpa menampung kepentingan korban dan pelaku.56

Dalam terjadinya suatu tindak pidana, posisi pelaku menjadi lebih “dominan” dari

korban karena telah dirampasnya sebagian hak milik korban. Keadilan Retributif

berfungsi untuk menghukum perbuatan pelaku, seimbang dengan hak yang telah

diambilnya. Sedangkan keadilan restoratif memiliki sudut pandang berbeda yaitu

“mengembalikan” hal yang terampas tersebut pada posisi semula.

Posisi korban yang dipandang “lemah” tersebut, diambil alih oleh Negara dalam

hal penuntutan keadilan, sehingga tidak ada peran aktif korban secara langsung dalam

proses pencarian keadilan tersebut. Dalam keadilan retributif, Negara diberi mandat atau

kepercayaan secara penuh oleh warga, baik secara sukarela maupun tidak dalam hal

penghukuman. Sehingga dalam hal ini, keadilan yaitu adalah hukuman untuk pelaku yang

55 Van Ness. W.Daniel dan Heetderks S. Karen, Op.cit., hlm. 50-54.

56 Ibid. hlm. 43-47.

Page 34: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

22

dianggap setara dengan akibat perbuatannya, tentunya dari sudut pandang Negara, bukan

murni dari pihak korban.

Namun, dalam penerapan keadilan restoratif, korban menduduki posisi sentris, saat

proses pemidanaan, korban dapat turut berperan dalam hal menuntut keadilan “versi”

dirinya yang dianggap setimpal dengan perbuatan pelaku, tentunya dengan melibatkan

pihak lain sebagai penengah.

Keadilan Restoratif tidak sama sekali menghilangkan tanggungjawab dari pelaku

tindak pidana atas perbuatannya, namun lebih dari itu, dalam keadilan restroratif

memberikan peluang untuk berfikir mengenai pencegahan atau penanganan atas future

harm suatu tindak pidana, yang berakibat tindak hanya terhadap korban dan pelaku

namun juga komunitas yang terdampak. Dapat dikatakan bahwa penekanan dalam hal

moralitas juga menjadi salah satu concern dalam konsep ini.

Kehadiran dari keadilan restoratif merupakan suatu alternatif dan inovasi dalam

suatu pemidanaan yang berlaku saat ini. Dengan berbagai pandangan ahli, keadilan

restoratif memberikan efek pencegahan jauh lebih baik dari keadilan retributif dalam hal

meredam hasrat balas dendam yang dimiliki oleh masing-masing manusia (dalam hal ini

adalah korban) melalui peran aktif dari berbagai elemen termasuk kolaborasi antara

Negara dan komunitas dalam hal menjamin public safety, serta penerapan keadilan

restoratif tidak bertentangan dengan the rule of law, dan memiliki dampak sosial lebih

baik dari pidana penjara dalam terjadinya pengulangan tindak pidana oleh residivis.57

57 Ibid. Hlm. 54.

Page 35: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

23

Namun menurut Bennett, bahwa perpaduan antara keadilan retributif dan keadilan

restoratif dapat dilakukan, yaitu blaming (menyalahkan) dan apologizing (memaafkan).58

Pandangan tersebut didasari atas pemikiran bahwa suatu penghukuman yang dipenuhi

dengan kebencian, amarah, dan balas dendam hanya akan merusak hubungan antar

masyarakat. Menurut Bennett tidak semua tindak pidana tepat untuk diterapkan keadilan

restoratif, di mana hanya dapat dilakukan apabila melibatkan pihak yang sebelumnya

telah memiliki “ikatan”, dalam hal ini kekerabatan, atau ruang lingkup sosial serta suatu

tindak pidana yang memiliki dampak atau kerugian yang bersifat eksklusif. Sehingga

Bennett menekankan pada permohonan maaf dari pelaku yang tentunya telah mengaku

akan kesalahan dari perbuatannya, pemulihan penghormatan dan hubungan

bermasyarakat.

Sejalan dengan pemikiran Bennett, McCold & Wachtel menggambarkannya dalam

suatu skema yang disebut The Restorative Practices Typology. Dalam skema tersebut

dapat dilihat bahwa, pertanggungjawaban pelaku atas kejahatan yang telah diberikan pada

korban tidak hilang, bahkan mendapatkan asistensi dari masyarakat/komunitas, yang

dalam hal menjamin terlaksananya kewajiban pelaku pidana kepada korban. Dari skema

tersebut juga tergambarkan bagaimana keterlibatan masyarakat secara langsung dalam

proses peradilan pidana.59

58 Brownlee, Kimberley (2010). Retributive, Restorative and Ritualistic Justice. Oxford Journal of Legal

Studies 30 (2):385-397.

59 McCold, P., and T. Watchel. (2003). In Pursuit of Paradigm: A Theory of Restorative Justice.

International Institute for Restorative Practices. Bethlehem. Pennsylvania. U.S.A. Hlm.

Page 36: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

24

1. The Restorative Practices Typology

Namun Kathleen memiliki pandangan bahwa terdapat “celah” (gap) antara teori

dengan praktik dari keadilan restoratif. Keadilan diwakili oleh keberadaan penegak

hukum (sebagai salah satu elemen dalam proses restoratif) yang tidak memihak dan

menghargai semua pihak, sedangkan restoratif diwakili oleh keterlibatan berbagai pihak

dalam hal ini pelaku, korban, dan masyarakat terdampak. Celah (gap) yang dimaksud

oleh Kathleen adalah, keadilan restoratif yang masih terbilang baru dan berbeda dengan

sistem peradilan kontemporer membuat ketidaktahuan dari masing-masing pihak yang

terlibat dalam proses restoratif akan perannya masing-masing, sehingga tujuan dari

keadilan restoratif tidak sepenuhnya tercapai. Namun Kathleen menilai bahwa dalam

conference process (tahap pertemuan para pihak) agak sulit dilakukan oleh pelaku atau

korban yang masing remaja atau anak, sehingga orang dewasa lebih mudah melalui tahap

tersebut, karena dalam proses tersebut dibutuhkan perhatian empatik yang lebih besar.

Selain itu, celah lain juga terdapat dari perpaduan antara keadilan dan restoratif, di mana

Page 37: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

25

keadilan bekerja dengan peran dan prosedur yang mapan, sedangkan restoratif bekerja

dengan emosi, perasaan marah, malu dan terlukai, sehingga dalam penerapannya

membutuhkan perhatian khusus dan aturan baku yang detail dan jelas dimana terdapat

penjelasan mengenai masing-masing peran, hak dan kewajiban dari pihak yang terlibat

dalam proses keadilan restoratif.60

2.3 Keadilan Retributif Dalam Pemidanaan Pencemaran Nama Baik

Sebagaimana disebutkan dalam pembahasan sebelumnya, bahwa keadilan

retributif identik dengan hubungan antara sanksi pidana serta proses penegakkan

hukumnya dalam mencapai tujuan utama yaitu pencegahan dan efek jera. Dan saat ini,

pemidanaan pencemaran nama baik di Indonesia mengalami penguatan atau pemberatan

sanksi pidana dengan keberadaan Undang-Undang ITE, yang dapat dikatakan bertujuan

pula untuk memberikan efek jera dan pencegahan sebagaimana dimaksud oleh keadilan

retributif.61

Banyak perdebatan mengenai delik pencemaran nama baik merupakan delik

aduan atau bukan,62 yang dalam hal ini orang yang mengalami kerugian secara langsung

yang dapat menuntut perbuatan tersebut. Namun dalam prakteknya, yang melaporkan

60 Daly, Kathleen, “Mind the gap: Restorative justice in theory and practice." Restorative justice and

criminal justice: Competing or reconcilable paradigms. Cambridge Seminar on Restorative Justice, 2003,

Hlm. 1-22. Riset tersebut berdasarkan data South Australia Juvenile Justice (SAJJ) periode tahun 1998-

1999, yang menggambarkan proses terjadinya restorative justice terhadap kejahatan remaja dalam berbagai

tindak pidana khususnya kekerasan, penyalahgunaan obat-obat terlarang, dsb.

61 Ancaman pidana yang diatur dalam UU No 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU No 11 Tahun

2008 tentang ITE, memperkuat pemidanaan dalam KUHP, menjadi 4 Tahun Penjara dari sebelumnya hanya

9 bulan penjara

62 Merujuk pada penjelasan di Undang-undang ITE (UU 11/2008 dan UU 19/2016).

Page 38: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

26

delik pencemaran nama baik tidak hanya korban langsung melainkan pihak-pihak lain

yang “belum tentu” merasakan akibat dari perbuatan pencemaran nama baik tersebut

secara langsung. Hal ini menjadi salah satu faktor mengenai keadilan retributif yang

dominan dalam pemidanaan perkara pencemaran nama baik.

Pada dasarnya, alur proses penegakan hukum di Indonesia cenderung tidak

memberikan ruang untuk keadilan restoratif, dan hanya didesain untuk keadilan retributif

bekerja. Misal, dalam hal alat bukti dalam hanya penetapan tersangka yaitu 2 alat bukti

yang sah, “mempercepat” laju proses penyidikan, 63 atau tidak diaturnya mekanisme

secara khusus dalam hal menjembatani kepentingan korban dan pelaku dalam suatu disaat

proses penanganan perkara berlangsung.

Kembali lagi pada bagaimana proses perubahan sanksi pidana pencemaran nama

baik. Pada awalnya perbuatan pencemaran nama baik telah diatur dalam KUHP,64 namun

penguatan sanksi pidana terjadi dalam Undang-Undang ITE (UU 11/2008) yang bahkan

memiliki ancaman pidana 6 tahun penjara. Tentunya dengan berdasarkan ketentuan dari

KUHAP, memiliki dampak lebih berat terhadap tersangka, antara lain dapat dilakukan

penahanan dalam proses penyidikan.65

Perubahan terhadap sanksi pidana terjadi kembali pada Undang-Undang ITE (UU

19/2016) di mana sanksi pidana menjadi 4 tahun penjara. Penurunan yang cukup

signifikan, dalam hal ini mempengaruhi penurunan resiko yang harus “diderita” oleh

63 Pasal 185 KUHAP.

64 Pasal 310 KUHP hingga Pasal 321 KUHP.

65 Pasal 21 ayat (4) huruf (a) KUHAP.

Page 39: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

27

tersangka, yaitu penahanan dalam proses penyidikan, walaupun tetap saja ancaman

pidana penjara yang dihadapkan lebih berat dari pasal dalam KUHP.

Sebagaimana telah dibahas, bahwa keadilan retributif yang bekerja pada

pemidanaan pencemaran nama baik, tentunya memiliki tujuan utama yaitu pencegahan.

Namun, untuk mengetahui apakah tujuan tersebut tercapai atau tidak, maka realitas atau

dampak pemberlakukan pidana tersebut yang menjadi tolak ukur.

Jumlah laporan tindak pidana pencemaran nama baik terus meningkat setelah

Undang-undang ITE (UU 11/2008 dan UU 19/2016) diberlakukan, walaupun memiliki

ancaman sanksi pidana jauh lebih berat dari aturan sebelumnya. 66 Konsep keadilan

retributif di mana sanksi atas suatu perbuatan pidana dibuat sepadan dengan perbuatannya

agar menimbulkan efek jera atau pencegahan, dapat dikatakan belum terealisasi dalam

pemidanaan pencemaran nama baik.

Selain itu, salah satu faktor dalam realitas pemidanaan tersebut, adalah ketiadaan

akan tolak ukur suatu pencemaran nama baik atau penghinaan dalam Undang-Undang

ITE, menjadikan pasal ini dikatakan bersifat “karet” oleh orang awam, sehingga

menjadikan “mudahnya” sesuatu perbuatan dikategorikan pencemaran nama baik atau

penghinaan.

Selain meningkatnya jumlah laporan polisi pasca penguatan atau pemberatan

ancaman pidana pasal pencemaran nama baik atau penghinaan, dapat dilihat dari jumlah

putusan perkara tindak pidana ITE mendominasi setengah dari total putusan yang ada di

66 Southeast Asia Freedom of Expression Network dan data jumlah Laporan Polisi tindak pidana

Pencemaran Nama Baik atau Penghinaan di Polres Metro Bekasi pada Tahun 2016-2018.

Page 40: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

28

Direktori Putusan Mahkamah Agung RI yang berakhir pada tingkat PK dan Kasasi.67

Bahkan hal tersebut belum termasuk jumlah laporan yang tidak masuk dalam direktori

putusan di tinggat pengadilan yang sama, tingkat banding atau di Pengadilan Negeri.

Dari 19 putusan tersebut, terdapat 3 putusan yang terdakwa hanya divonis

hukuman percobaan, dan 7 putusan di mana terdakwa dinyatakan tidak terbukti bersalah

pada tingkat Kasasi atau PK, misal, Kasus Prita Mulyasari. Selain itu, dalam kasus Baiq

Nuril yang pada akhirnya mendapatkan grasi dari Presiden. Dari peristiwa tersebut

tergambarkan bagaimana suatu serangkaian panjang proses pemidanaan bersifat retributif

yang dilalui oleh pihak terdakwa maupun korban, dalam rangka memperoleh keadilan,

namun nyatanya tidak “efektif” dalam rangka pencarian keadilan bagi kedua belah pihak.

Pada pihak terdakwa harus menjalani serangkaian proses pemidanaan yang panjang dan

melelahkan, sedangkan pada pihak korban masih ada hasrat “balas dendam” yang belum

terobati, dan memiliki efek samping hubungan sosial yang belum ada rekonsiliasi.

Sedangkan untuk setiap putusan yang memvonis terdakwa bersalah serta

menjatuhkan pidana penjara, pada realitasnya tidak serta merta berpengaruh pada

pencegahan atau efek jera walaupun penghukuman dalam bentuk sanksi yang dianggap

seimbang dengan perbuatannya telah diberikan.68

2.4 Keadilan Restoratif Dalam Pemindanaan Pencemaran Nama Baik

67 Berdasarkan data putusan yang terdata di www.putusan.mahkamahagung.go.id diakses pada tanggal 01

Oktober 2019. Di periode Tahun 2016-2018, jumlah total putusan sebanyak 42 putusan, 19 Putusan perkara

pencemaran nama baik .

68 Tergambar dari terus meningkatnya jumlah laporan polisi tindak pidana pencemaran nama baik.

Page 41: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

29

Mayoritas pemidanaan tindak pidana di Indonesia memang tidak menggunakan

pendekatan keadilan restoratif dalam proses pemidanaannya. Keadilan restoratif

sesungguhnya bersifat sistematis dan formal, sebagaimana telah diterapkan dalam sistem

peradilan pidana anak (UU 11/2012 tentang SPPA) yang melibatkan banyak pihak di

dalamnya. Dalam peraturan perundang-undangan tersebut keadilan restoratif terdapat

dalam proses diversi.69 Menariknya, dalam proses pemidanaan pencemaran nama baik

saat ini yang bersifat retributif, terdapat alternatif penyelesaian perkara yang

mengesampingkan keadilan retributif sebagaimana terjadi pada Polres Metro Bekasi.

Jumlah Laporan Polisi di Polres Metro Bekasi tentang tindak pidana pencemaran

nama baik yang terus meningkat dalam tiga tahun terakhir. 70 Namun dalam proses

penanganannya, hanya ada 1 (satu) perkara yang sampai pada tahap P-21 atau

dilimpahkan ke Kejaksaan. Sedangkan mayoritas dari laporan tersebut diselesaikan

secara musyawarah oleh pihak korban dan terlapor. Tercapainya suatu penyelesaian

bersifat musyawarah mufakat tersebut diperoleh pada saat baru dibuatnya laporan polisi,

atau dalam proses penyelidikan dan proses penyidikan.

Sebagaimana diketahui bahwa, setelah penerimaan laporan polisi, maka

dilakukan upaya-upaya oleh Penyidik dalam membuat terang suatu tindak pidana, antara

lain melakukan pemeriksaan saksi dan terlapor, penyitaan barang bukti, dan sebagainya.

Selama berjalannya proses penyelidikan dan penyidikan, tidak sedikit pihak

terlapor yang akhirnya memutuskan untuk bermusyawarah pada pelapor, dan

menyelesaikan permasalahan salah satunya dengan permintaan maaf yang diketahui

69 Pasal 1 ayat (6) dan (7) Undang-undang nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

70 Sumber dari Rekap Data Jumlah Laporan Polres Metro Bekasi periode tahun 2016-2018.

Page 42: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

30

secara umum atau penggantian kerugian dalam bentuk materil. Hal tersebut dikarenakan

pengaruh tidak langsung dari upaya paksa dalam proses penyidikan, ditambah dengan

beban moral yang ditanggung oleh terlapor apabila perkara tersebut dibawa ke ranah

pengadilan. Begitu pula dengan pelapor, yang mayoritas membuat laporan polisi hanya

untuk “menggertak” terlapor, atau emosi sesaat saja, namun pada akhirnya memilih jalur

musyawarah untuk memperoleh win-win solution.71

Penyidik tidak berperan aktif secara langsung dalam proses restoratif, dalam arti

mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa secara langsung dan formal, melainkan

hanya memberikan “ruang” bagi pihak terlapor maupun pelapor untuk menyelesaikan

perkara secara musyawarah selama proses penyelidikan atau penyidikan tanpa

mengintervensi kedua pihak. Dan apabila telah dicapainya suatu kesepakatan, maka

pelapor akan mencabut laporannya yang dituangkan dalam Berita Acara oleh Penyidik,

dan biasanya turut melampirkan surat kesepakatan bersama. Penyidik dengan diskresinya

pada akhirnya menghentikan proses penyelidikan atau penyidikan dan mengeluarkan

produk akhir yaitu SP3.72

Pertimbangan dari pihak Penyidik adalah telah tercapainya keadilan bagi pihak-

pihak yang bersengketa dan juga perbaikan hubungan antara terlapor dan korban,

sehingga tidak perlu dilanjutkan hingga tahap penuntutan.

Proses tersebut tentunya tidak dapat digolongkan sebagai suatu penerapan

keadilan restoratif karena tidak memenuhi prinsip-prinsip dan nilai-nilai keadilan

71 Berdasarkan Interview dengan Penyidik-penyidik di Sat Reskrim polres Metro Bekasi mengenai proses

penanganan perkara tindak pidana pencemaran nama baik. Dilaksanakan pada Bulan Agustus-September

2019.

72 Ibid.

Page 43: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

31

restoratif sebagaimana dijabarkan oleh Van Ness&Karen,73 antara lain adanya peran aktif

Negara dalam melibatkan komunitas yang terdampak secara tidak langsung dalam proses

restoratif, maupun sebagai jembatan antara kepentingan korban, pelaku, serta komunitas.

Walaupun, prinsip pertanggungjawaban atas terjadinya suatu kerusakan akibat tindak

pidana tidak hilang dan tetap menjadi kewajiban penuh dari pelaku.

Karena, dalam menghadapi permasalahan pencemaran nama baik atau

penghinaan yang pada intinya memiliki dampak kerugian yang bersifat personal,

kesempatan bagi korban, pelaku, komunitas untuk turut serta berperan dalam proses

keadilan restoratif adalah bagian terpenting. Namun proses yang terjadi di Polres Metro

Bekasi tidak dapat digolongkan sebagai suatu keadilan restoratif, walaupun pada akhirnya

proses tersebut menghasilkan “keadilan” bagi pihak yang bersengketa, sehingga peneliti

memilih menyebutnya sebagai Pseudo-Restorative (Restoratif Semu).

Pada dasarnya, faktor terpenting dari proses penanganan perkara pencemaran

nama baik atau penghinaan di Polres Metro Bekasi secara Pseudo-Restorative (Restoratif

Semu), adalah mindset dari penegak hukum yang tidak bersifat punitive, melainkan

mendudukkan suatu pemidanaan menjadi langkah terakhir dari suatu upaya pencarian

keadilan.

Menarik apabila melihat bahwa, masyarakat lebih memilih penyelesaian dengan

pendekatan keadilan restoratif dalam penyelesaian perkara yang memberi kerugian secara

personal tersebut. Kontras, dengan konsep pemidanaan dalam ketentuan peraturan

perundang-undangan yang menggunakan pendekatan secara retributif dalam

pemidanaanya.

73 Van Ness. W.Daniel & Heetderks S. Karen, Op.cit., Hlm. 43-49.

Page 44: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

32

2.5 Konsep Keadilan dalam KUHP

Pemidanaan merupakan suatu cara untuk memperoleh keadilan. Pada prinsipnya

keadilan telah disebutkan dalam Pasal 28D UUD 1945 Amandemen ke-4 yang

menyatakan jaminan perlindungan hukum dan kepastian hukum yang adil bagi setiap

individu. Konsep keadilan tersebut tidak dipisahkan dari kepastian hukum, di mana

menjadi suatu kesatuan yang saling melengkapi. Berdeda dengan teori-teori sebagaimana

dikemukaan oleh beberapa filsuf diantaranya Gustav Radbruch yang memisahkan

keadilan dan kepastian hukum menjadi suatu yang terpisah. Sangat menarik mengetahui

bahwa founding fathers Indonesia dalam perumusan Undang-Undang Dasar memberikan

pegangan atau prinsip dasar yang sangat kompleks yang wajib digunakan dalam suatu

pemidanaan. Suatu sudut pandang yang sangat berbeda dengan mayoritas pandangan dari

filsuf di mana keadilan dan kepastian hukum merupakan suatu yang bertentangan satu

sama lain.

Walaupun dalam penjawantahan pasal 28D UUD 1945 tersebut dapat dikatakan

masih belum sempurna, namun pada dasarnya Indonesia telah memiliki suatu pegangan

prinsip yang pasti. Dalam hukum pidana sendiri, KUHP adalah sumber utama dari

pemberian suatu sanksi pidana, yang di dalamnya dibentuk aturan perundang-undangan

khusus untuk tindak pidana yang tidak diatur dalam KUHP maupun pemberatan sanksi

pidananya.

Definisi keadilan sendiri memang tidak dijelaskan dalam KUHP, namun secara

eksplisit dapat diketahui di mana pada dasarnya Keadilan dalam KUHP berpegang pada

konsep pembalasan setimpal atas suatu tindak pidana atau keadilan retributif dalam

Page 45: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

33

rangka memperoleh suatu keadilan. Pembalasan ini diketahui dari pemberian sanksi

pidana yang menjai concern atas terjadinya suatu peristiwa tindak pidana yang menjadi

tanggung jawab pelaku pidana sebagaimana diatur dalam Buku Kedua dan Ketiga

KUHP.74

Namun dalam pendekatan retrbutif tersebut, tetap terdapatnya batasan-batasan

dalam pemberian suatu sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 44 sampai Pasal

52a Bab III Buku Kesatu KUHP75 dan Pasal 76-78 Bab VIII Buku Kesatu KUHP76.

Sehingga dapat dikatakan bahwa pembalasan disini bersifat terbatas, bukan bersifat

mutlak.

74 Merupakan bagian yang mengatur sanksi atas suatu perbuatan tindak pidana dan pelanggaran.

75 Mengatur tentang hal-hal yang menghapuskan, mengurangi, memberatkan pidana.

76 Mengatur tentang hapusnya kewenangan menuntut pidana dan menjalankan pidana.

Page 46: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

34

BAB III

COST-BENEFIT ANALYSIS DALAM HUKUM PIDANA

3.1 Costs-Benefits Analysis

Mencoba keluar dari paradigma pandangan hukum kodrat yang mendominasi

Inggris di abad pertengahan, di mana segala kebijakan masih bersifat aristrokasi dan

abstrak, pada awal Abad-17 Thomas Hobbes berpandangan bahwa “hukum tidak boleh

dipahami atau dibenarkan menurut ketentuannya sendiri”, mendorong Bentham untuk

secara tegas memperkenalkan gagasan mengenai principle of utility yang bersifat konkrit

dan kalkulatif dalam suatu proses legislasi atau pembentukan suatu kebijakan. 77

Penerapan prinsip utilitas yang bersifat konkrit dan kalkulatif inilah yang menjadi cikal

bakal cost-benefit analysis, bahkan Hardin berpendapat bahwa cost-benefit analysis

merupakan “keturunan alami” dari prinsip utilitas Bentham.78

Tren penerapan cost-benefit analysis semakin berkembang seiring meningkatnya

“titik jenuh” tekanan politik dalam pengambilan keputusan. 79 Sebagai contoh,

perkembangan penerapan cost-benefit analysis di Amerika dipicu atas pandangan

progresivisme serta New Deal F.D Roosevelt. Di mana pandangan progresivisme dari

para ahli menilai peraturan perundang-undangan pada saat itu tidak cocok dalam

penanganan permasalahan di sektor regulasi pemerintah, sedangkan New Deal F.D

77 Prabowo, M. Nur. Cesare Beccaria & Voltaire : Tentang Kejahatan dan Hukuman. D.I Yogyakarta, CV.

Lintas Nalar, 2015, Hlm. 271.

78 Hardin Jr, D. B, “Why Cost-Benefit Analysis-A Question (and Some Answers) about the Legal

Academy”, Ala. L. Rev,Vol. 59, 2007, Hlm. 7.

79 Ibid. Hlm. 7.

Page 47: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

35

Rosevelt, pada masa pemerintahannya, terdapat semakin banyak aturan perundang-

undangan baru, lembaga-lembaga negara baru yang tentunya menjadikan pengeluaran

biaya publik menjadi lebih besar. Hal tersebutlah yang mendorong perkembangan cost-

benefit analysis ke ranah peraturan administrasi federal. 80 Sebagaimana dikutip oleh

Hardin, ekonom Prancis, Jules Dupit mengembangkan teori ekonomi kesejahteraan yang

juga menjadi cikal bakal perkembangan cost-benefit analysis moderen. Ekonom

kesejahteraan memandang bahwa konsep ekonomi dapat merasionalisasi implementasi

kebijakan-kebijakan pemerintah, dengan kata lain cost-benefits analysis merupakan

bagian dari paradigma “rasionalitas-komperhensif” dalam pengambilan keputusan.81

Hardin berpendapat bahwa, dalam menerapkan cost-benefit analysis, seorang

pembuat kebijakan wajib memperhatikan beberapa elemen, yaitu, metode untuk

mencapai tujuan, identifikasi metode-metode yang mungkin akan dipakai, evaluasi

efektivitas metode yang digunakan, serta pilihan metode alternatif untuk mencapai hasil

yang lebih baik.82

Cost-benefits analysis dapat diterapkan dalam berbagai sektor, terutama dalam

sektor pengambilan kebijakan publik yang berdampak secara langsung terhadap

kesejahteraan masyarakat (social walfare).83 Cost-benefits analysis telah menjadi topik

utama dalam diskusi wacana hukum, dikarenakan sifatnya yang sangat kompleks dan

lintas disiplin ilmu, serta kemungkinan yang sangat akan perkembangannya, menjadikan

80 Ibid. Hlm. 7-9.

81 Ibid. Hlm. 10-11.

82 Ibid. Hlm. 11.

83 Drèze, J., dan Stern, N, The theory of cost-benefit analysis. In Handbook of public economics. Elsevier.

Vol. 2, 1987, Hlm. 909.

Page 48: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

36

cost-benefit analysis metode pembahasan yang sangat menarik bagi para akademisi.84

Hingga saat ini, cost-benefit analysis masih menjadi pilihan utama dalam evaluasi suatu

kebijakan beserta konsekuansinya.85

3.1.1 Costs-Benefits Analysis dan Pendekatan Utilitarianisme Bentham

Apabila melihat kepada pendekatan utilitarianisme Jeremy Bentham, maka tidak

akan terlepas dari cost-benefit analysis, di mana Bentham menggunakannya dalam

analisa prinsip-prinsip pemidanaan dengan pendekatan utilitarian. Jeremy Bentham,

memandang bahwa manusia berada dalam penguasaan rasa sakit (pain) dan kebahagiaan

(pleasure) yang mempengaruhi bagaimana seorang atau sekelompok manusia bersikap,

sehingga lahirlah prinsip utilitas (the principle of utility) di mana tolak ukur suatu

kebenaran dilihat dari kesenangan atau rasa sakit yang ditimbulkan dari suatu peristiwa.86

Utility yang dimaksudkan oleh Bentham, yaitu sesuatu yang mampu memberikan

berbagai macam manfaat, kesenangan, kebahagiaan, keuntungan, atau mencegah

terjadinya suatu rasa sakit, kerugian, ketidakbahagiaan, atau kejahatan. 87 Sehingga,

Bentham menganggap suatu individu atau komunitas sejalan dengan prinsip utilitas jika

memiliki kecendrungan untuk menambah kebahagian kepada kelompok yang lebih besar,

tanpa mengurangi kebahagiannya sendiri, serta proporsionalitas dalam hal menambah

atau mengurangi kebahagian seseorang atau sekelompok orang.88

84 Hardin Jr, D. B. Op.cit., Hlm 43-45.

85 Drèze, J., dan Stern, N. Op.cit., Hlm. 9-10

86 Bentham, J., The collected works of Jeremy Bentham: An introduction to the principles of morals and

legislation. Clarendon Press, 1996, Hlm. 14.

87 Ibid. Hlm. 14-15.

88 Ibid. Hlm. 15-16

Page 49: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

37

Sumber dari pain dan pleasure dalam principle of utility, yaitu fisik, politik, moral

dan agama. Di mana masing-masing memiliki kemampuan untuk memberikan rasa sakit

(pain) dan kebahagiaan (pleasure). Fisik menjadi sumber kebahagiaan atau kenikmatan

saat merasakan akibat fisik dari suatu peristiwa. Politik di mana identik dengan kekuasaan

seseorang atau sekelompok orang tempat segala pengaturan kebijakan ada padanya secara

langsung akan menjadi sumber kebahagiaan atau rasa sakit yang bersamaan. Sumber dari

rasa sakit dan kebahagian pada moral, terletak pada hubungan antar individu dan

kelompok, sedangkan dalam agama, yang menjadi sumber kebahagiaan dan rasa sakit

adalah kepatuhan pada Tuhan di mana mendorong manusia melaksanakan perintah dalam

agama dan keyakinan akan adanya surga neraka pada kehidupan setelah kematian sebagai

bentuk pembalasan amal perbuatan.89

Dalam mengukur seberapa besar kebahagian dan rasa sakit yang terjadi, Bentham

menggunakan tujuh tolak ukur yaitu, seberapa besar pengaruh suatu perbuatan (intensity),

lama perbuatan tersebut (duration), orang yang terdampak atas perbuatan tersebut

(extensity), kepastian atau probabilititas terjadinya dampak atas suatu perbuatan

(propinquity or remoteness), akibat yang dihasilkan dari pengaruh perbuatan (fecundity),

siapa yang terdampak atas suatu perbuatan (extent) dan kemurnian (purity). Masing-

masing dari kebahagian dan rasa sakit diukur berdasarkan tolak tersebut, di mana semakin

besar perhitungan atau analisanya maka semakin besar kebahagian atau rasa sakit yang

dialami.90 Hal serupa juga berlaku dalam hal mengukur suatu kebaikan yang disebut good

(atau profit, convenience, advantage, benefit, emolument, happiness), atau mengukur

89 Ibid. Hlm 27.

90 Ibid. Hlm 31-32.

Page 50: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

38

kejahatan yang biasa disebut evil (atau mischief, inconvenience, disadvantages, loss,

unhappiness).91 Bentham sendiri, berdasarkan tujuh tolak ukur yang dibuatnya, telah

mengklasifikasikan kebahagiaan (pleasure) menjadi 14 jenis pleasure, dan

menggolongkan rasa sakit (pain) menjadi 12 jenis.92

Masih dengan prinsip cost-benefit analysis, di mana dilakukan penghitungan atas

setiap elemen-elemen dalam hal pemaksimalan keuntungan dengan biaya serasional

mungkin, Bentham memiliki “rumusan” yang digunakan untuk mengukur proporsi dari

suatu hukuman atau aturan.93 Sebagaimana dikutip oleh Posner, Bentham membuat suatu

rumusan dalam hal perhitungan suatu pidana yaitu C = f.p, di mana C = social cost, f =

fine, p = probability, yang jumlah hukuman harus lebih besar dari keuntungan yang

diharapkan pelaku tindak pidana setelah dibagi dengan kemungkinan terjadinya tindak

pidana, sebagaimana tujuan utama utilitarianis yaitu deterrent of offences.94

Cost-benefit analysis digunakan juga oleh Bentham dalam penentuan suatu

proporsionalitas suatu pemidanaan. Di mana terdapat ketentuan (rules) yang harus ditaati

dalam pembuatan suatu penghukuman. Ketentuan tersebut di antaranya, semakin besar

akibat dari suatu kejahatan maka akan semakin besar biaya yang mungkin dikeluarkan,

hukuman harus memaksa seseorang untuk melakukan pelanggaran yang memiliki

konsekuensi hukuman yang lebih rendah sehingga social cost yang dikeluarkan lebih

91 Ibid. Hlm 32-33.

92 Ibid. Hlm. 35-41. Kebahagiaan yang diklasifikasikan oleh Benthan di antaranya kebahagiaan rasa,

kebahagiaan kekuasaan, nama baik, kekayaan, kesalehan, dsb. Sedangkan rasa sakit yang diklasifikasikan

oleh Bentham di antaranya rasa sakit akan kekurangan/kemiskinan, rasa sakit permusuhan, rasa sakit

kedengkian, dsb.

93 Prabowo, M. Nur, Op.cit., hlm. 273.

94 Posner, Richard A. Op.cit., Hlm. 73.

Page 51: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

39

kecil, setiap hukuman harus sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan, suatu

penghukuman tidak boleh lebih dari yang diperlukan (over power), serta perhatian

terhadap situasi di mana adanya suatu hukuman dianggap menguntungkan atau tidak.95

Bentham memfokuskan pada lima perhatian penting dalam penghukuman, yaitu

perhatian pada pelanggaran, 96 hukuman, 97 pelaku pelanggaran, 98 masyarakat, 99 dan

hukum.100 Sebagaimana dikutip oleh M. Nur Prabowo, Schauer & Amstrong memahami

bahwa Bentham menganggap batalnya suatu aturan hukum yang tidak memiliki dasar

penerapan yang kuat, tidak efisien, tidak memberikan manfaat atau bahkan merugikan,

serta hukuman yang seharusnya tidak perlu diadakan.101

Terlepas dari pertentangan prinsip utilitarian yang disajikan oleh Bentham,102

Bentham dengan perhitungan kalkulatis dan pandangan hedonis dalam filsafat hukum

95 Bentham, J., op.cit., Hlm 140-144. Terdapat 13 rules yang menjadi tolak ukur proporsionalitas hukuman.

96 Ibid. Hlm. 145. Yang harus diperhatikan pada suatu pelanggaran yaitu keuntungan atas terjadinya

pelanggaran, kejahatan yang ditimbulkan dari pelanggaran, keuntungan dan kerusakan yang ditimbulkan

dari pelanggaran yang lebih besar, atau keuntungan atau kerusakan yang ditimbulkan dari pelanggaran

dengan jenis yang sama.

97 Ibid. Hlm. 145. Yang harus diperhatikan dari suatu hukuman yaitu, berat hukuman (intensitas dan

durasinya), kepastian hukum, kualitas hukuman, keuntungan yang diperoleh secara tidak langsung dari

suatu penghukuman, serta pelajaran moral dari suatu penghukuman.

98 Ibid. Hlm. 146. Yang harus diperhatikan dari suatu pelaku yaitu Tanggung jawab dari pelaku, sensibilitas

dari pelaku tindak pidana, latar belakang pelaku tindak pidana, kemungkinan terjadinya tindak pidana.

99 Ibid. Hlm. 146. Yang harus diperhatikan dari suatu masyarakat yaitu Kecendrungan masyarakat dalam

menentukan suatu penghukuman serta faktor eksternal atau asing.

100 Ibid. Hlm. 146. Yang harus diperhatikan dari suatu aturan hukum yaitu Perlunya pengorbanan kecil

yakni dalam hal proporsionalitas.

101 Prabowo, M. Nur. op.cit., hlm.278

102 Ibid. Hlm. 280. Bentuk kekhawatiran atas prinsip utilitarian adalah, perhitungan kuantitatifnya menjadi

pendorong atas pelampiasan kepuasan untuk penghukuman, di mana memungkinkan terjadinya

penghukuman atas seseorang yang tidak bersalah hanya demi kepuasan atau pemenuhan prinsip tersebut.

Page 52: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

40

utilitarianismenya atau juga dikenal dengan teori tujuan sosial dengan corak pencegahan

tindak pidana,103 menjadi cikal bakal dari perkembangan cost-benefits analysis terutama

dalam konteks pemidanaan. Berdasarkan pemikiran Bentham inilah, terjadi

perkembangan pemikiran modern cost-benefit analysis dalam teori pidana, yang meliputi

pembahasan atas jenis sanksi pidana, sistem pemidanaan, kepastian dan berat hukuman

atas suatu tindak pidana, serta efek jangka panjang dari suatu pemidanaan.104

3.2 Implementasi Costs-Benefits Analysis dalam Efektifitas Pemidananan

Criminal justice system (CJS) merupakan serangkaian elemen penegakan hukum

(in abstracto maupun in concreto) yang dalam prakteknya membutuhkan biaya sosial

(social cost), di mana penyusunan suatu aturan pidana, kemudian penegakan hukum yang

dilakukan oleh Polisi, Jaksa, Hakim, serta pelaksanaan pemidanaan, merupakan upaya

dalam rangka mencapai tujuan pemidanaan, yakni pencegahan dan efek jera.105

Menyadari bahwa dalam upaya mencapai tujuan pemidanaan membutuhkan

social cost, banyak ahli menggunakan cost-benefit analysis untuk memastikan bahwa

social cost yang dikeluarkan sepadan dengan keuntungan yang diperolehnya

(efisiensi). 106 Analisa biaya-manfaat (cost-benefit analysis) merupakan metode

103 Ibid. Hlm 278.

104 Richard A. Posner, op.cit., Hlm. 71-72.

105 Ali, Mahrus, “Penegakan Hukum Pidana Yang Optimal (Perspektif Analisis Ekonomi Atas Hukum)”,

Jurnal Hukum, vol. 15, no. 2. 2008, hlm. 223-224.

106 Posner, Richard A, “An Economic Theory Of The Criminal Law”, Columbia Law Review. vol. 85, no.

6. 1985, Hlm 1193-1194. Analisa ekonomi terhadap suatu pemidanaan dipicu oleh pemikiran Beccaria

dalam bukunya “On Crime and Punishment” serta Jeremy Bentham dengan buku “An Introduction to the

Principles of Moral and Legislation”.

Page 53: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

41

pengukuran efisiensi suatu pemidanaan dari sudut pandang teori ekonomi yang berfungsi

untuk menggambarkan bagaimana suatu individu berhadapan atau merespon suatu aturan

pidana, menganalisa motif pelaku pidana, serta menggambarkan suatu matrik yang jelas

dalam hal evaluasi suatu aturan pidana. Bahkan menurut Darrly K. Brown, dengan

menggunakan cost-benefit analysis dapat diketahui bagaimana respon negara dalam

menghukum suatu individu serta efek yang diakibatkan atas terjadinya suatu tindak

pidana serta memastikan tercapai atau tidaknya tujuan pemidanaan.107

Cost-benefit analysis merupakan analisa yang komperhensif terhadap suatu

bentuk pemidanaan, antara lain penentuan jenis pidana berikut penghitungan social cost,

yang meliputi perkiraan biaya penegakan hukum dan biaya pelaksanaan pemidanaan,

probabilitas terjadinya tindak pidana, serta kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana.

Rasionalitas dalam proses pembentukan suatu pemidanaan menjadi prinsip dalam cost-

benefit analysis.108

Sebagaimana dijelaskan oleh Russel B. Korobkin dan Thomas S. Ulen, analisa

pemidanaan dengan pendekatan ekonomi, menempatkan manusia sebagai makhluk

rasional, di mana manusia akan mencari manfaat atau mewujudkan keuntungan

semaksimal mungkin sesuai dengan sarana yang dimilikinya.109 Maka, pelaku pidana

107 Brown, Darryl, “Cost-Benefit Analysis in Criminal Law”. California Law Review. Vo.92 No. 2, 2004,

Hlm. 335.

108 Posner, Richard A. Op.cit hlm. 1201-1203

109 Russel B. Korobkin dan Thomas S. Ulen, “Law and Behavioral Science: Removing The Rationality

Assumption from Law to Economics”, California Law Review, Vol. 88, 2000, hlm. 1055. Terdapat 4

pengertian Rasionalitas dalam hal ini, yaitu pemaksimalan rasional dalam mencapai keuntungan (man is a

rational maximizer of his ends), keuntungan yang diharapkan (the expected utility), kepentingan diri (Self

Interest), dan pemaksimalan kekayaan (the wealth maximization).

Page 54: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

42

menyadari akibat dari perbuatannya dan secara langsung dapat dikatakan telah

memperhitungkan keuntungan mana yang lebih besar antara melakukan tindak pidana

atau tidak melakukan tindak pidana. Sehingga apabila keuntungan yang diperoleh pelaku

tindak pidana tidak sebanding dengan kerugiannya maka individu tersebut besar

kemungkinan akan mengurungkan niat jahatnya.

Dasar pemikiran tersebutlah yang mempengaruhi penentuan rationale suatu

sanksi pidana. Rumusan ini dapat dengan mudah dipraktekkan terhadap suatu tindak

pidana yang dapat diukur secara kuantitatif terhadap kerugian materil yang dialami serta

sanksi pidana berupa denda (fine).110 Walaupun cost-benefit analysis dinilai memiliki

kendala antara lain dalam menentukan suatu nilai kerugian yang bersifat abstrak dan

menilai suatu pidana yang bukan dilatarbelakangi oleh alasan ekonomi, seperti

pembunuhan untuk balas dendam, pemerkosaan (hasrat seksual), atau pencemaran

lingkungan hidup, Darrly K. Brown lebih memandang hal tersebut merupakan kelebihan

dari cost-benefits analysis, yaitu mengkuantifikasi variabel-variabel abstrak, sehingga

terjadi integrasi antara komitmen normatif, penilaian kualitatif serta dampak suatu

kebijakan, terutama kebijakan pidana.111 Jika social cost yang dikeluarkan dalam proses

pemidanaan sangat tinggi, maka menghukum atau memidanakan percobaan tindak pidana

tersebut dapat diberlakukan, dengan tujuan mencegah dikeluarkannya social cost yang

lebih besar dan memiliki efek pencegahan lebih baik.112

110 Posner, Richard A, Op.cit. hlm. 1202-1204.

111 Brown, Darryl, Op.cit. Hlm. 336-337. Darrly K. Brown menyebutnya sebagai “soft” Cost-Benefit

Analysis.

112 Posner, Richard A, Op.cit. hlm 1195.

Page 55: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

43

Sebagaimana dikutip oleh Mahrus Ali, William L. Barnes Jr mengelompokkan

kejahatan menjadi 2, yaitu, kejahatan karena sifatnya (malum in se crimes) 113 dan

kejahatan karena diatur undang-undang (malum prohibitum crimes). 114 Penentuan

terhadap jenis sanksi yang akan diterapkan dalam suatu tindak pidana dapat

menggunakan metode cost-benefit analysis. Sanksi pidana yang dianggap paling efisien

dalam pelaksanaannya dan keuntungan yang maksimal dalam hal pencegahan dan efek

jera yaitu hukuman mati dan denda, sebaliknya sanksi pidana yang dianggap tidak efisien

dalam pemaksimalan keuntungan yaitu adalah pidana penjara.115

Sebagai contoh, pidana penjara yang dijatuhkan oleh terdakwa, tentunya telah

menghabiskan biaya sosial dalam proses penyidikan, penuntutan, dan persidangan. Biaya

sosial tersebut tidak terhenti setelah vonis, melainkan terus berlanjut sampai jaminan

hidup narapidana dalam menjalani hidup di Lembaga Permasyarakatan. Selain itu, belum

ada jaminan bahwa Narapidana tidak akan mengulangi perbuatan kriminal lainnya,

mengingat bahwa sanksi pidana penjara memberikan dampak sosial ekonomi yang sangat

berpengaruh pada keluarga maupun komunitasnya, bahkan setelah narapidana menjalani

masa hukuman. Hal tersebut menjadi salah satu faktor masih terdapat atau bahkan

meningkatnya angka residivis.116

113 Ali, Mahrus, Op.cit. Hlm. 229. Kejahatan yang walaupun tidak ada undang-undang mengaturnya, tetap

akan dinilai sebagai suatu kejahatan, yaitu property crimes, crimes against person (pembunuhan,

pemerkosaan, dsb), inchoate crimes (percobaan tindak pidana), dan conspiracy.

114 Ibid. Hlm. 230 Kejahatan yang bukan merupakan kejahtan apabila tidak ada undang-undang yang

mengaturnya, contoh, perjudian, prostitusi, Narkoba, minuman berakohol, pencemaran nama baik.

115 Ibid. Hlm. 230-231.

116 Brown, Darryl, Op.cit. Hlm. 344-349. Penilitian ini berdasarkan perbandingan antara pemidanaan yang

dilakukan oleh Amerika dengan negara Eropa, di mana pemidanaan di Amerika memiliki sifat yang lebih

Page 56: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

44

Darrly K. Brown berpendapat bahwa cost-benefit analysis tidak hanya sebatas

mencapai sebuah efesiensi pemidanaan melainkan komponen utama dalam pembentukan

regulasi yang beorientasi pada kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan pemikiran Darrly,

Moohr berpendapat bahwa, cost-benefit analysis selain sebagai metode dalam rangka

menentukan efisien pemidanaan, sekaligus merupakan metode evaluasi terhadap

peningkatan social walfare ke arah yang lebih baik semenjak peraturan tersebut

diberlakukan.117

Disamping itu, cost-benefit analysis dapat digunakan untuk mengetahui

terjadinya overcriminalization, yang diketahui berdasarkan terlalu tingginya social cost

yang dikeluarkan untuk penegakan hukum dibandingkan dengan tujuan yang akan

dicapainya, antara lain dibentuknya larangan yang tidak “jelas” atau dipandang “tidak

perlu” bahkan duplikasi kejahatan dalam peraturan perundang-undangan.118

Berdasarkan kepada rumusan pemidanaan Bentham, Gary Becker

menuangkannya kedalam suatu rumusan yaitu :

(1 − 𝑃) 𝑈𝑐1 + 𝑃 𝑈𝑐2 > 𝑈𝑛𝑐

di mana, P merupakan probabilitas tertangkapnya seseorang jika melakukan suatu tindak

pidana, 𝑈𝑛𝑐 adalah persamaan untuk keuntungan atau manfaat yang diperoleh jika

seseorang tidak melakukan tindak pidana, 𝑈𝑐1 merupakan keuntungan seseorang jika

punitive dengan sanksi pidana adalah penjara sehingga angka narapidana yang sangat tinggi di negara

tersebut dibandingkan dengan negara Eropa.

117 Moohr, Geraldine Szott., “Defining Overcriminalization Through Cost-Benefit Analysis: The Example

of Criminal Copyright Laws”, American University Law Review, Vol. 54, no.3, 2005, hlm. 783-806.

118 Ibid. Hlm. 804-805.

Page 57: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

45

dirinya melakukan suatu tindak pidana dan tidak tertangkap, 𝑈𝑐2 merupakan persamaan

untuk keuntungan yang diperolehnya hingga dirinya tertangkap atau dihukum.119

Persamaan tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan terdapat pembanding dari

perhitungan expected utility (EU) dari pelaku, dengan rumusan yaitu :

𝐸𝑈 = 𝑃𝑈 (𝑦 − 𝑓) + (1 − 𝑃)𝑈 (𝑦)

Terdapat variabel tambahan yang juga akan berpengaruh pada 𝑈𝑛𝑐, yaitu, berat

suatu sanksi pidana (f), dan keuntungan materil yang diperoleh jika tidak melakukan

tindak pdiana (y). Sehingga Gary Becker menyimpulkan bahwa, seseorang tidak akan

melakukan tindak pidana jika 𝐸𝑈 < 𝑈𝑛𝑐.120

Dari rumusan tersebut Shavell & Pollinsky menyederhanakannya menjadi

beberapa variabel, diantaranya manfaat dari suatu tindak pidana yang diperoleh pelaku

(g), berbanding terbalik dengan probabilitas tertangkapnya pelaku (p) dikali dengan

denda (f) yang sudah ditambah dengan expektasi biaya penahanan (a) dan lama masa

hukuman (x), sehingga rumusannya menjadi sebagai berikut

𝑔 > 𝑝 (𝑓 + 𝑎𝑥)

Steven Shavell berpendapat bahwa sanksi pidana berupa denda dikatakan

memiliki efek jera jika keuntungan atau paling tidak kekayaan yang dimiliki oleh pelaku

tindak pidana (x) lebih kecil atau paling tidak mendekati jumlah denda (𝑓𝑥). Sebaliknya

119 Marbun, A. N., & Laracaka, R, “Analisa Ekonomi terhadap Hukum dalam Pemidanaan Partai Politik

melalui Pertanggungjawaban Korporasi dalam Perkara Tipikor”, Integritas: Jurnal Antikorupsi, Vol. 5

No 1, 2019, Hlm. 131.

120 Ibid. Hlm. 131.

Page 58: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

46

jika denda lebih kecil dari keuntungan atau kekayaan yang dimiliki dan diperoleh pelaku

maka tidak akan memberikan deterrent effect.121

Sebagaimana teori Hand’s Rule yang menekankan bahwa negara harus

memperhitungkan secara matang atau menemukan titik temu dari suatu pemidanaan yang

efektif. Dimana terjadi keseimbangan antara biaya pencegahan dan expected loss yang

dicegahnya, sebagaimana tergambar dalam tabel berikut: 122

Singkatnya, penerapan cost-benefit analysis yang murni menjadi “penjaga”

terhadap sistem pemidanaan agar tidak terjadi over power dalam penerapannya serta

memaksimalkan keuntungan atas suatu pemidanaan yang tentunya berdampak baik pada

social walfare.

121 Ibid. Hlm. 132.

122 Ibid. Hlm. 142.

Page 59: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

47

BAB IV

COST-BENEFIT ANALYSIS

PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

4.1 Justifikasi Tujuan Pemidanaan Retributif dan Tujuan Pemidanaan Restoratif

Dalam Pemidanaan Pencemaran Nama Baik

Setiap individu berhak mendapatkan perlindungan terhadap harkat dan

martabatnya, dan telah menjadi kewajiban dari suatu Negara untuk menjamin

perlindungannya.123 Pemerintah memiliki beberapa pilihan dalam hal pendekatan apa

yang akan dipakai untuk menjamin salah satu hak asasi manusia tersebut. Dilihat dari

hukum tertulis yang ada, Indonesia, dalam hal ini, memilih pendekatan pemidanaan

dengan tujuan retributif,124 namun dalam prakteknya (studi kasus Polres Metro Bekasi),

masyarakat lebih tertarik akan pemidanaan dengan pendekatan tujuan restoratif.125

Tujuan pemidanaan retributif adalah efek jera dan pencegahan. Pemidanaan

retributif mencapai tujuan tersebut dengan cara pemberian sanksi atau hukuman terhadap

pelaku tindak pidana agar tidak mengulangi perbuatannya (efek jera) atau dalam hal

mencegah terjadinya kejadian serupa. Pemidanaan retributif dalam pencemaran nama

baik terdapat dalam aturan perundang-undangan yaitu Pasal 310 dan 311 KUHP, atau

123 Pasal 17 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).

124 Pemidanaan pencemaran nama baik dan penghinaan sebagaimana diatur dalam Pasal 310 dan 311

KUHP, kemudian diatur kembali dalam pasal 27 ayat (3) UU 11/2008 tentang ITE dan UU 19/2016 tentang

perubahannya.

125 Studi kasus Polres Metro Bekasi, berdasarkan rekap data penyelesaian laporan tindak pidana

pencemaran nama baik di Ppolres Metro Bekasi tahun 2017-2019.

Page 60: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

48

Pasal 27 ayat (3) jo 45 ayat (3) UU 19/2016 atas perubahan UU 11/2008 tentang Infromasi

dan Transaksi Elektronik (UU ITE).126

Sejalan dengan konsep pemidanaan retributif, sanksi terhadap tindak pidana

pencemaran nama baik mengalami penguatan, yaitu semenjak diberlakukannya UU ITE.

Urgensi atas pemberatan pemidanaan tersebut tentunya tidak akan terlepas dari upaya

pemerintah dalam menghadapi perkembangan teknologi dan menjadikan hukum tertulis

mampu untuk melindungi kepentingan masyarakat sesuai dengan perkembangan zaman.

Walaupun tidak disebutkan secara ekspilisit bahwa pemberatan pemidanaan

pencemaran nama baik dalam Pasal 27 ayat (3) UU No. 11/2018 tentang ITE dikarenakan

oleh perkembangan teknologi, melainkan concern UU ITE sebagaimana dijelaskan dalam

naskah akademik adalah mengisi kekosongan hukum untuk perlindungan perlindungan

konsumen atau kepentingan masyarakat dalam hal e-transaction atau online trading

dalam perkembangan era digital, namun dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

50/PUU-VI/2008 dapat diketahui bahwa pemidanaan pencemaran nama baik dalam UU

ITE didasari oleh aktifitas sosial masyarakat yang saat ini mayoritas terjadi dalam

cyberspace, sehingga terdapat peluang terjadinya peristiwa pencemaran nama baik atau

penghinaan dalam lingkup cyberspace yang dinilai memiliki efek lebih besar

dibandingkan dengan pencemaran nama baik atau penghinaan biasa. Pertimbangan

tersebut menjadi justifikasi tujuan pemidanaan retributif dalam pencegahan tindak pidana

126 Ancaman pidana dalam pasal 310 KUHP yaitu sembilan bulan penjara dan maksimal empat tahun dalam

pasal 311 KUHP. Dan dalam Pasal 27 ayat (3) UU 11/2008 tentang ITE ancaman pidana menjadi enam

tahun penjara, lalu dalam perubahannya yaitu UU 19/2016 ancaman pidana menjadi empat tahun penjara.

Page 61: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

49

pencemaran nama baik atau penghinaan diwujudkan dengan menempatkannya dalam UU

ITE.127

Tujuan pemidanaan retributif yaitu efek jera, terwujudkan atas pemberian sanksi

atas pelaku tindak pidana. Efek jera sebagaimana dimaksud dalam tujuan pemidanaan,

dapat dilihat dari pelaku tindak pidana yang tidak melakukan pengulangan kejahatan

serupa setelah pemberian sanksi. Setelah penerapan pemidanaan pencemaran nama baik

dalam UU ITE, dari 28 perkara pencemaran nama baik yang disidang di tingkat Kasasi

sebagaimana tertera pada Direktori Putusan Mahkamah Agung, mayoritas mendapatkan

sanksi berupa pidana penjara dengan waktu kisaran empat sampai sembilan bulan, dan

hingga saat ini tidak ada terjadinya pengulangan tindak pidana oleh terdakwa.128

Hal tersebut menjadi salah satu justifikasi terhadap pemidanaan dengan tujuan

retributif dalam pemidanaan pencemaran nama baik, yakni efek jera terhadap pelakunya,

namun dalam hal pencegahan untuk memperkecil peluang terjadinya tindak pidana pasca

penguatan sanksi pidana, perlu mendapatkan pengkajian lebih lanjut, mengingat angka

laporan kasus dugaan tindak pidana pencemaran nama baik saat ini masih terus

meningkat.129

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 dan UU

19/2016 tentang perubahan UU 11/2008 tentang ITE, aturan pidana pencemaran nama

baik dalam UU ITE tidak terlepas dari kaidah hukum yang terdapat dalam rumusan pasal

127 Naskah akademik RUU ITE. Badan Pembina Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI. 2005.

Hlm 61-80.

128Direktori Putusan Mahkamah Agung.

129Berdasarkan studi kasus di Polres Metro Bekasi terkait jumlah laporan tindak pidana pencemaran nama

baik atau penghinaan pada tahun 2017-2019.

Page 62: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

50

KUHP yakni pasal 310 dan 311 KUHP. Hal ini menguatkan bahwa delik tersebut

merupakan delik aduan serta korban adalah individu atau seseorang yang terdampak

secara langsung atas perbuatan pidana tersebut (korban).130 Hal ini sangat mempengaruhi

bagaimana realisasi pemidanaan yang dilakukan oleh criminal justice system bekerja.

Dalam pemidanaan dengan tujuan restoratif, concern utama adalah

menitikberatkan pada pelibatan pihak-pihak yang terdampak atas suatu tindak pidana

untuk dapat menyelesaikan permasalahan khususnya perbaikan hubungan antara korban

dengan pelaku tanpa menghilangkan pertanggungjawaban dari pelaku atas kerugian yang

timbul akibat perbuatannya. Walaupun berbeda dengan proses contemporary criminal

justice saat ini, justifikasi terhadap penerapan pemidanaan restoratif terhadap pencemaran

nama baik tetaplah ada.

Pada mayoritas peristiwa pencemaran nama baik atau penghinaan, korban dan

pelaku sebelumnya telah memiliki keterikatan, misal, memiliki hubungan dalam

lingkungan keluarga, lingkungan tempat tinggal, atau lingkungan pekerjaan. Terjadinya

pencemaran nama baik atau penghinaan menyebabkan rusaknya ikatan atau hubungan

antar individu tersebut. Dalam penegakkan pemidanaan restoratif saat ini tidak terlepas

dari penegakkan pemidanaan retributif, di mana hal tersebut “memaksa” pelaku untuk

mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada korban pada proses penyidikan.

Mayoritas dari laporan tindak pidana pencemaran nama baik dilakukan

penyelesaian pada tahap penyelidikan atau penyidikan. Dengan cara proses musyawarah

yang dilalui oleh pihak pelapor (korban) dengan terlapor sehingga memperoleh win-win

solution. Dalam proses tersebut telah tercapainya keadilan antar kedua belah pihak. Dan

130 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008. Hlm. 101-110.

Page 63: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

51

terjadi restorasi pada hubungan antara korban dan pelaku tindak pidana tentunya tanpa

menghilangkan pertanggungjawaban dari pelaku. Sehingga dalam penerapan pemidanaan

restoratif pencemaran nama baik atau penghinaan, pada dasarnya telah tercapai.

Pada dasarnya, dalam rumusan peraturan perundang-undangan memberikan

kesempatan terjadinya pemidanaan restoratif, yaitu delik pencemaran nama baik

merupakan delik aduan, namun dalam proses penegakkan hukumnya memang tidak

memberikan celah atau ruang penerapan restoratif justice dalam pemidanaan pencemaran

nama baik.

Hal yang menarik terjadi pada praktek penegakkan hukum, di mana terdapat

mindset penegak hukum yang tidak bersifat punitive, yaitu menggunakan diskresinya

dalam penghentian penyidikan apabila telah tercapainya keadilan antara pihak korban dan

pelaku. Progresivitas penegak hukum dilapangan, didukung oleh justifikasi penerapannya

dari kebijakan internal baru institusi (Polri) yang mendukung penerapan keadilan

restoratif, yaitu Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019, di mana terdapat beberapa syarat

formil maupun materil dalam penerapan suatu pemidanaan retributif.131 Dalam aturan

tersebut, menyiratkan bahwa penerapan keadilan restoratif pada pemidanaan pencemaran

nama baik tidak hanya berdampak pada pihak pelapor atau korban sesaat setelah proses

pemidanaan, melainkan pencegahan terjadinya konflik berkepanjangan (future harm)

yang terjadi di dalam masyarakat.

4.2 Melihat Tujuan Pemidanaan Menggunakan Cost-Benefit Analysis Dengan Studi

Polres Metro Bekasi

131 Pasal 12 Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019.

Page 64: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

52

Sebelum Peneliti melakukan analisa terhadap studi kasus Polres Metro Bekasi,

Peneliti memandang perlu melakukan analisa menggunakan sudut pandang cost-benefit

analysis terhadap pemidanaan pencemaran nama baik yang diatur dalam peraturan

perundang-undangan.

Pemidanaan pencemaran nama baik yang memiliki sanksi terberat diatur di

dalam pasal 45 ayat (3) jo Pasal 27 ayat (3) UU No 19 Tahun 2016 tentang perubahan

atas UU No 11 Tahun 2008 tentang Infromasi dan Transaksi Elektronik, di mana ancaman

pidana berupa pidana penjara maksimal 4 Tahun penjara, dan denda maksimal Rp.

750.000.000. Sanksi pidana yang mengalami pemberatan tersebut tidak terlepas dari

tujuan pemberian efek jera dan pencegahan terjadinya tindak pidana tersebut. Sehingga,

untuk mengetahui variabel probabilitas (𝑝) ditangkapnya suatu pelaku tindak pidana, atau

untuk mengetahui ekspektasi dari legislator dalam pemidanaan pencemaran nama baik

dan sejauh apa efektifitas serta efesiensi dari pemidanaan tersebut setelah berjalan.

Apabila melihat variabel-variabel yang ada dalam rumusan pasal tersebut, maka

peneliti akan menggunakan rumusan perhitungan dari Shavell & Pollinsky, yaitu :

𝑔 > 𝑝 (𝑓 + 𝑎𝑥)

Variabel 𝑔 yang merupakan manfaat yang diperoleh pelaku tindak pidana

dianggap sama dengan sanksi denda maksimal. Hal ini dikarenakan keuntungan dari

suatu perbuatan pencemaran nama baik yang bersifat abstrak dan subjektif, sehingga

Peneliti mengambil sudut pandang negara yang memberikan denda maksimal sebesar Rp.

750.000.000, dan Peniliti menganggap hal tersebut setara dengan keuntungan maksimal

yang diperoleh oleh pelaku tindak pidana. Hal ini didukung dengan teori dari Steven

Page 65: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

53

Shavell yang menyatakan sanksi denda yang dianggap memiliki deterrent effect yaitu

lebih besar atau minimal sama dengan keuntungan yang diperoleh pelaku.

Variabel 𝑓 yang merupakan denda maksimal yang dari negara, sebesar

Rp.750.000.000. Kemudian variabel 𝑥 yang merupakan lama masa hukuman, dalam hal

ini pidana penjara maksimal adalah 4 tahun penjara setara dengan 1460 hari. Terhadap

variabel 𝑎 yang merupakan biaya penahanan dalam hal ini adalah biaya keseluruhan

dalam proses penegakan hukum, sehingga 𝑎 merupakan akumulasi dari biaya dalam

proses penyidikan,132 penuntutan,133 dan biaya Terdakwa dalam menjalani hukuman di

Lapas per harinya.134

Sehingga apabila angka-angka tersebut dimasukkan ke dalam rumus, adalah

sebagai berikut :

𝑔 > 𝑝 (𝑓 + 𝑎𝑥)

750.000.000 > 𝑝 (750.000.000 + (33.335 + 60.000 + 56.755) 1460)

750.000.000 > 𝑝 (750.000.000 + (33.335 + 60.000 + 56.755) 1460)

132 Berdasarkan hasil wawancara Penyidik di Polres Metro Bekasi, biaya dalam melakukan proses

penyidikan perkara pencemaran nama baik yaitu Rp. 5.000.0000 – Rp. 8.000.000 / Kasus. Di mana masing-

masing kasus membutuhkan waktu yang berbeda dalam proses penyidikannya, namun secara rata-rata

perkara tersebut terjadi penyelesaian perkara dalam waktu ± 8 bulan. Sehingga rata-rata biaya yang

dibutuhkan adalah Rp. 33.335/hari.

133 http://mappifhui.org/wp-content/uploads/2016/04/Laporan-Penelitian-anggaran-perkara-pidum-

kejaksaan.pdf diakses pada tanggal 08 Maret 2020. Anggaran dalam proses penuntutan selama 100 Hari

yaitu sekitar Rp. 3.000.000 - Rp. 6.000.000/perkara. Sehingga rata-rata biaya penuntutan yaitu Rp.

60.000/hari.

134 http://smslap.ditjenpas.go.id/public/ung/current/monthly diakses pada tanggal 08 Maret 2020. Data

Narapidana tahun per bulan Desember 2016 dengan jumlah 139,006 Narapidana, dan Anggaran total

oprasional Lapas sebesar Rp. 2,879,627,770,802. Sehingga biaya pengurusan Narapidana di Lapas sebesar

Rp. 56.755/hari.

Page 66: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

54

750.000.000 > 𝑝 (969.131.400)

750.000.000

969.131.400> 𝑝

0,82 > 𝑝

Berdasarkan perhitungan tersebut, diperoleh probabilitas tertangkapnya suatu

tindak pidana yaitu 0,82. Sehingga dari 100 laporan tindak pidana, maka sebesar 0,82 %

atau paling tidak 1% sampai 2% kasus tersebut diungkap dan pelakunya dipidana, untuk

menghasilkan deterrent effect dan pemidanaan dikatakan berhasil mancapai tujuannya.

Dengan nilai probabilitas yang kecil tersebut besar kemungkinan bahwa tujuan dari

pemberatan tersebut dimaksudkan memang untuk menekan angka kejahatan.

Setelah mengetahui angka probabilitas, maka dapat diketahui pula jumlah

minimal peristiwa tindak pidana yang harus dilanjutkan hingga diperolehnya putusan

pengadilan. Apabila memasukkan nilai probabilitas tersebut ke dalam realitas jumlah

laporan polisi terkait penghinaan atau pencemaran nama baik melalui media elektronik

periode tahun 2017-2019135, maka diperoleh hasil sebagai berikut :

Tabel Perhitungan Perhitungan Probabilitas Tahun 2017-2019

No Tahun Jumlah

LP

Probabilitas

0,82%

Jumlah

Putusan*

Margin

of Error

(5,56%)

Selisih

Probablititas

dengan MoE

1. 2017 886 7,26 = 7 atau 8 11 10 3 Kasus

2. 2018 1258 10,3 = 10 44 41 41 Kasus

3. 2019 1333 10,9 = 11 72 68 68 Kasus

*Margin of Error : 5,56 %

135 Statistik Tren Kejahatan Siber. Subbag Binopsnal Bareskrim Mabes Polri. Versi 38. Waktu Cetak

Tanggal 03 Maret 2020.

Page 67: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

55

Pengambilan sampel diambil dari 1083 Putusan tindak pidana ITE yang

bersumber dari Direktori Putusan Mahkamah Agung136, dengan sampel sebanyak 134

Putusan Inkracht tindak pidana penghinaan atau pencemaran nama baik melalui media

elektronik dari tahun 2017-2019, atau 12,3 % dari jumlah putusan yang ada di direktori.

Perhitungan Margin of Error (MoE) dari pengambilan sampel putusan

menggunakan rumus sebagai berikut :

𝑀𝑜𝐸 = 1,96 × √𝑝 (100 − 𝑝)

𝑛

136 https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/kategori/jenis/ite-1/. Diakses pada tanggal 13 Maret

2020.

710 1110

44

72

1 1 1

2017 2018 2019

Grafik Perbandingan Probabilitas dengan Jumlah Putusan

probabilitas jumlah putusan ekspektasi efek jera

Page 68: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

56

Di mana 𝑝 adalah presentasi jumlah sampel dari populasi, 𝑛 adalah populasi, dan

1,96 merupakan standar deviasi dari tingkat kepercayaan sebesar 95%. Sehingga apabila

dimasukkan variabel-variabel nya ke dalam rumus menjadi :

𝑀𝑜𝐸 = 1,96 × √12, 3(100 − 12,3)

134

𝑀𝑜𝐸 = 1,96 × √1078,71

134

𝑀𝑜𝐸 = 1,96 × √8,05

𝑀𝑜𝐸 = 1,96 × 2,83

𝑀𝑜𝐸 = 5,56%

Berdasarkan fakta tersebut diketahui bahwa pasca penguatan sanksi pidana tidak

serta merta memberikan efek jera atau pencegahan pada masyarakat untuk tidak

melakukan tindak pidana tersebut. Bahkan latar belakang penguatan sanksi pidana yaitu

untuk memberikan efek jera dan pencegahan pada masyarakat tidaklah berdampak

signifikan, di mana pada tahun 2018, probabilitas yang dihitung adalah 10 laporan yang

sampai pada tahap persidangan, namun pada kenyataannya terdapat 44 perkara yang

disidangkan dan telah berkekuatan hukum tetap, tidak serta merta menurunkan angka

kejahatan di mana jumlah laporan polisi mengenai tindak pidana penghinaan atau

pencemaran nama baik melalui media elektronik tahun 2019 meningkat menjadi 1333

laporan, bahkan perkara yang disidangkan mencapai 72 perkara dan sudah berkekuatan

hukum tetap. Yang seharusnya setelah penguatan sanksi pidana, tentunya memberikan

Page 69: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

57

dampak yang cukup signifikan dalam hal pencegahan, karena biaya pemidanaan yang

sangat tinggi.

Sehingga dapat dikatakan bahwa telah terjadi “pemborosan” dari segi ekspektasi

biaya sosial yang ditanggung oleh negara, yang dalam prakteknya ternyata jauh dari target

awal yaitu pemberian efek jera sehingga menekan angka terjadinya kejahatan tiap

tahunnya dengan tingginya sanksi pidana khususnya dalam hal ini adalah pencemaran

nama baik (melalui media elektronik).

Kembali kepada pemidanaan pencemaran nama baik di Polres Metro Bekasi, di

mana pada tahun 2016-2018 senantiasa mengalami peningkatan pelaporan perkara

pencemaran nama baik.137 Fakta tersebut juga mendukung keterangan bahwa setelah

diterapkan pemberatan sanksi pidana, tidak serta merta berpengaruh pada pencegahan

tindak pidana maupun efek jera. Walaupun masih terdapat berbagai faktor diantaranya

ketidaksadaran hukum di masyarakat terkait pemidanaan pencemaran nama baik.

Penanganan tindak pidana pencemaran nama baik yang berbeda terjadi di Polres

Metro Bekasi. Berikut adalah data mengenai jumlah laporan masuk terkait dugaan tindak

pidana pencemaran nama baik periode tahun 2016-2018.

137 Lihat Tabel 1. Hlm 8.

Page 70: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

58

2016 2017 2018

Pasal KUHP 5 10 5

UU ITE 8 17 51

5

10

58

17

51

0

10

20

30

40

50

60

70

80

JUM

LAH

LA

PO

RA

N M

ASU

K P

ER T

AH

UN

TAHUN

Grafik Laporan Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik di Polres Metro Bekasi

Pasal KUHP UU ITE Linear (UU ITE)

Grafik tersebut menggambarkan bahwa, setelah diterapkannya Undang-undang

khusus yang mengatur mengenai ITE yang salah satu pasalnya mengatur mengenai

pencemaran nama baik, tidak serta merta memberikan deterrent effect di wilayah hokum

Polres Metro Bekasi, walaupun memiliki ancaman pidana yang lebih berat dibandingkan

dalam KUHP. Dan dapat dilihat bahwa dengan “mudah” membuat laporan mengenai

tindak pidana tersebut menjadi pertanyaan akan tercapai atau tidaknya tujuan pemidanaan

sebagaimana dimaksud oleh pembuat Undang-undang.

Page 71: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

59

P211%

SP31% CABUT

16%

ADANYA PENYELESAIAN ANTARA PELAPOR DAN

TERLAPOR NAMUN BELUM CABUT LAPORAN

77%

PROSES5%

Penyelesaian Perkara Pencemaran nama Baik Periode Tahun 2016-2018

P21 SP3 CABUT BELUM CABUT LAPORAN PROSES

12%

70%

18%

STATISTIK HUBUNGAN PELAPOR DENGAN TERLAPOR PERKARA PENCEMARAN NAMA BAIK

PERIODE TAHUN 2016-2018

KELUARGA

LINGKUNGAN KERJA ATAU TINGGAL

LAIN-LAIN

Grafik tersebut menjelaskan bahwa jumlah laporan dugaan tindak pidana yang

tinggi tersebut berbanding terbalik dengan pemidanaan dalam realitas penegakan hukum,

yaitu hanya terdapat satu perkara yang sampai ke tahap penuntutan. Masyarakat lebih

memilih untuk menyelesaikan masalah secara mediasi, bahkan penyelesaian secara

kekeluargaan tersebut tetap menjadi pilihan favorit walaupun juga terdapat salah satu

contoh kasus yang diselesaikan melalui jalur persidangan.

Page 72: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

60

Grafik tersebut menggambarkan bahwa mayoritas dari pihak yang berselisih yaitu

pelapor dan terlapor, adalah orang yang memiliki hubungan dalam lingkungan pekerjaan

atau masih dalam satu wilayah tinggal. Dengan terjadinya perbuatan pidana, secara

langsung maupun tidak langsung sangat berpengaruh dalam kehidupan bermasyarakat

baik korban maupun pelaku. Tergambar 70% terlapor masih berada dalam satu

lingkungan kerja atau lingkungan tempat tinggal dengan pelapor, di mana dampak atas

kerugian yang bersifat material atau besar terjadi pada korban maupun pelaku, apabila

perkara tidak mendapat penanganan yang tepat serta tanpa mempertimbangkan future

harm yang timbul akibat suatu tindak pidana.

Mayoritas penyelesaian melalui jalur mediasi dalam proses penyidikan adalah

berupa kesepakatan bersama yang tertuang dalam suatu surat pernyataan, di mana para

pihak akan bersedia untuk tidak saling menuntut dikemudian hari. Berbagai pertimbangan

dari pihak yang berselisih dari segi materil dan waktu jika perkara diteruskan ke tahap

persidangan sementara sudah diperolehnya titik temu antar pihak, menjadikan alasan

utama mengapa penyelesaian secara restoratif menjadi pilihan.

Menarik mengetahui bahwa dari total perkara sebanyak 96 perkara dalam periode

tahun 2016-2018, hanya ada satu perkara yang P21 atau maju ke tahap penuntutan dan

persidangan, sedangkan masyoritas lainnya diselesaikan dengan cara musyawarah atau

kesepakatan antara pelapor dan terlapor.

Memandang hal tersebut dengan menggunakan cost-benefit analysis, tentunya

terjadi efesiensi dalam hal pemidanaan terutama dari segi penghematan anggaran yang

dibebankan ke Negara. Pemidanaan berakhir pada proses penyelidikan atau penyidikan

sehingga biaya yang dikeluarkan oleh Negara pun hanya untuk tahap penyelidikan dan

Page 73: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

61

penyidikan. Hal ini tentunya akan sangat berbeda jika mayoritas perkara tersebut

berlanjut ke tahap penuntutan di mana Negara akan menanggung beban biaya yang sangat

besar, sedangkan hal tersebut jauh dari tujuan awal pemberatan sanksi pidana pencemaran

nama baik yaitu pencegahan yang dalam hal ini juga menahan pengeluaran biaya untuk

pemidanaan yang lebih.

Walaupun proses yang terjadi di Polres Metro Bekasi tidak dapat digolongkan

sebagai suatu keadilan restorative karena masih jauh dari mekanisme keadilan restoratif

sebagaimana diatur secara rigid di UU No. 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak, namun pada akhirnya proses tersebut menghasilkan “keadilan” bagi pihak yang

bersengketa, sehingga peneliti memilih menyebutnya sebagai Pseudo-Restorative

(Restoratif Semu). Keadilan yang merupakan tujuan dari dilaksanakannya suatu sistem

pemidanaan, dapat ditempuh dengan berbagai cara. Berdasarkan analisa terhadap

pemidanaan pencemaran nama baik saat ini, dalam penerapan keadilan restoratif atau

Peneliti menyebutnya pseudo-restorative yang dikedepankan oleh Penyidik, selain

memperoleh manfaat dari efesiensi pemidanaan dan anggaran, adalah tetap tercapainya

tujuan keadilan retoratif yaitu telah keadilan bagi pihak-pihak yang bersengketa dan juga

perbaikan hubungan antara terlapor dan korban, tanpa menghilangkan efek jera dan

pertanggungjawaban dari pelaku tindak pidana.

Progresivitas pemidanaan yang dilakukan oleh Penyidik di Polres Metro Bekasi,

tidak terlepas dari diskresi yang dimilikinya, serta penguatan dasar hukum secara

oprasional yang diatur dalam Pasal 12 Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang

Page 74: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

62

Managemen Penyidikan, di mana mengukuhkan diskresi dalam hal penerapan keadilan

restoratif dalam proses penyidikan.138

Penerapan pseudo-restorative oleh Polres Metro Bekasi dalam pemidanaan

pencemaran nama baik merupakan suatu alternatif pemidanaan saat ini, yang justru

menjadi suatu terobosan yang patut diperhitungkan eksistensinya di tengah “kegundahan”

mengenai pemidanaan pencemaran nama baik saat ini.

138 Pasal 12 Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Managemen Penyidikan “proses penyidikan

dapat dilakukan keadilan restoratif, apabila terpenuhi syarat :…”

Page 75: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

63

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

5.1.1 Justifikasi atas tujuan pemidanaan retributif berupa efek jera dan

pencegahan terjadi apabila dalam realitas penerapan pemidanaan retributif

dengan pemberatan sanksi pidana yang saat ini lebih berat dapat menekan

jumlah terjadinya tindak pidana. Sehingga pemberatan sanksi pidana yang

costly seimbang dengan hasil yang dicapainya yaitu pencegahan terjadinya

tindak pidana.

Sedangkan justifikasi tujuan pemidanaan restoratif pemidanaan

pencemaran nama baik terletak pada telah tercapainya kesepakatan atau

terpenuhinya rasa keadilan antara kedua belah pihak melalui cara restoratif.

Keadilan sebagai salah satu tujuan dari suatu pemidanaan, dapat ditempuh

juga dengan cara restoratif. Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap

terjadinya penerapan keadilan restoratif pemidanaan pencemaran nama baik

yaitu sifat dari delik pencemaran nama baik yang bersifat aduan, dan “ikatan”

atau “hubungan” antara korban dan pelaku sebelumnya berupa kekerabatan

atau mungkin hubungan dalam konteks sosial atau bermasyarakat, yang

dapat dimungkinkan penerapan restorative justice sedini mungkin dalam

proses penyelidikan dan penyidikan serta sifat penegak hukum yang tidak

punitive, menjadikan peluang dan justifikasi atas penerapan keadilan

restoratif semakin besar.

Page 76: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

64

5.1.2 Tujuan penerapan pseudo-restorative dalam proses pemidanaan

pencemaran nama baik di Polres Metro Bekasi tidak terlepas dari pemberian

efek jera serta perbaikan hubungan sosial antara korban dan pelaku. Dalam

cost benefit analysis terhadap penerapan pseudo-restorative di Polres Metro

Bekasi, dari segi cost tentunya sangat berbeda dan dapat dikatakan sebagai

penghematan biaya pemidanaan yang menjadi tanggungan dari negara atas

pemidanaan retributif, yang menjadikan proses criminal justice system

menjadi lebih singkat. Disisi lain keuntungan (benefit) dalam penerapan

pseudo-restorative yaitu tercapainya keadilan antara kedua belah pihak

tanpa harus melalui mekanisme persidangan dan juga dapat meredam

terjadinya future harm antara korban dan pelaku tindak pidana. Singkatnya,

mekanisme atau penerapan pseudo-restorative di Polres Metro Bekasi

menjadi salah satu alternatif pemidanaan di tengah makin meningkatnya

jumlah laporan polisi terkait dugaan tindak pidana pencemaran nama baik

pasca penguatan sanksi pidana, yang apabila keseluruhannya diterapkan

secara retributif maka akan menjadikan biaya pemidanaan menjadi sangat

costly.

Page 77: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

65

5.2 SARAN

5.2.1 Dalam pemidanaan pencamaran nama baik saat ini, diharapkan legislator

selaku perancang ketentuan peraturan perundang-undangan lebih

mengedepankan penerapan keadilan restroratif dalam pemidanaan

pencemaran nama baik, selain itu penegak hukum sebaiknya mengutamakan

penerapan keadilan restoratif sebagaimana Polres Metro Bekasi telah

menerapkan pseudo-restorative dalam proses pemidanaan pencemaran

nama baik dibandingkan dengan penegakkan hukum yang bersifat retributif.

Dengan kata lain keadilan retributif merupakan solusi paling akhir dari suatu

pemidanaan pencemaran nama baik.

5.2.2 Penyelesaian secara pseudo-restorative terhadap pemidanaan pencemaran

nama baik di Polres Metro Bekasi yang mayoritas belum dilaksanakan

penghentian penyidikan atau penyelidikan atas pencabutan laporan polisi

agar sesegera mungkin dilaksanakan untuk diperolehnya kepastian hukum.

Selain itu penerapan pseudo-restorative sebagaimana telah diterapkan oleh

Polres Metro Bekasi agar didukung oleh Pemerintah terutama dalam hal ini

legislator untuk membentuk ketentuan atau aturan yang melegitimasi

penerapan restorative justice dalam pemidanaan pencemaran nama baik.

Page 78: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

66

DAFTAR PUSTAKA

“BUKU”

Bentham, J., The collected works of Jeremy Bentham: An introduction to the principles

of morals and legislation, Clarendon Press, 1996.

Drèze, J., dan Stern, N, “The theory of cost-benefit analysis. In Handbook of public

economics”. Elsevier. Vol. 2, 1987

Prabowo, M. Nur. Cesare Beccaria & Voltaire : Tentang Kejahatan dan Hukuman. CV.

Lintar Nalar. D.I Yogyakarta, 2015.

Rawls, John. A Theory of Justice, Harvard University Press, United States of America,

1971.

Van Ness. W.Daniel & Heetderks S. Karen, Restoring Justice: An Introduction to

Restorative Justice. Matthew Bender & Company. 1997.

P. Wirjono. Tindak Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia. P.T Eresco. Jakarta. 1980.

“JURNAL”

Arief, B. N. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana.

Citra Aditya Bakti. 1998.

Ali, Mahrus, Penegakan Hukum Pidana Yang Optimal (Perspektif Analisis Ekonomi Atas

Hukum). Jurnal Hukum, vol. 15, no. 2, 2008.

Brown, Darryl. Cost-Benefit Analysis in Criminal Law. California Law Review. Vo.92

No. 2 Hlm. 335. 2004.

Brownlee, Kimberley. Retributive, Restorative and Ritualistic Justice. Oxford Journal of

Legal Studies 30 (2), 2010.

Byrd, B.S. Kant's theory of punishment: Deterrence in its threat, retribution in its

execution. Law Philos Vol. 8. 1989.

Cottingham, John. “Varieties of Retribution.” The Philosophical Quarterly (1950), vol.

29, no. 116. 1979.

Daly, Kathleen. Mind the gap: Restorative justice in theory and practice." Restorative

justice and criminal justice: Competing or reconcilable paradigms. Cambridge

Seminar on Restorative Justice, Cambridge and Toronto. 2003.

Page 79: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

67

Daniels, Griff. Restorative Justice : Changing The Paradigm. Probation Journal. Vol.60

No.3. 2013.

Fletcher, George P. The Place of Victims in the Theory of Retribution. Buffalo Criminal

Law Review, vol. 3, no. 1. 1999.

Galaway, Burt. The Use of Restitution. Crime & Delinquency. 1977.

Gunarto, Markus Priyo. Sikap Memidana Yang Berorientasi Pada Tujuan Pemidanaan.

Mimbar Hukum. Vol.21. No. (1). 2009.

Hardin Jr, D. B. Why Cost-Benefit Analysis-A Question (and Some Answers) about the

Legal Academy. Ala. L. Rev.,Vol. 59. 2007.

Herlina, Apong. Restorative Justice. Jurnal Kriminologi Indonesia Vol.3. No.3, 2004.

Hogan R., Emler N.P. Retributive Justice. In: Lerner M.J., Lerner S.C. (eds) The

Justice Motive in Social Behavior. Critical Issues in Social Justice . Springer,

Boston, MA. 1981.

F. Janssens. " .. IK ZAL JELUI WEL DONDEREN! .. " Het begrip 'belediging' in de Code

Pénal, vergeleken met het huidige Wetboek van Strafrecht. Grom. Vol. 9. No. 9.

1992.

Marbun, A. N., & Laracaka, R. Analisa Ekonomi terhadap Hukum dalam Pemidanaan

Partai Politik melalui Pertanggungjawaban Korporasi dalam Perkara

Tipikor. Integritas: Jurnal Antikorupsi, Vol. 5 No.1, 2019

McCold, P., and T. Watchel. In Pursuit of Paradigm: A Theory of Restorative Justice.

International Institute for Restorative Practices. Bethlehem. Pennsylvania. U.S.A.

2003.

Murphy J.G. Kant’s Theory of Criminal Punishment. Retribution, Justice, and

Therapy Journals. Philosophical Studies Series in Philosophy , vol 16. Springer,

Dordrecht. 1979.

Moohr, Geraldine Szott. Defining Overcriminalization Through Cost-Benefit Analysis:

The Example of Criminal Copyright Laws. American University Law Review 54,

no.3. 2005.

Prayitno, Kuat Puji. Restorative Justice Untuk Peradilan di Indonesia (Perspektif Yuridis

Filosofis dalam Penegakan Hukum In Concreto). Jurnal Dinamika Hukum. 2012.

Page 80: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

68

Posner, Richard A. An Economic Theory Of The Criminal Law. Columbia Law Review.

vol. 85, no. 6. 1985.

Richard A. Posner, Retribution and Related Concepts of Punishment. The Journal of

Legal Studies Vol. 9, no. 1. 1980.

Russel B. Korobkin dan Thomas S. Ulen. Law and Behavioral Science: Removing The

Rationality Assumption from Law to Economics. California Law Review, Vol. 88.

2000.

Setiawan, M. Arif. Kajian Kritis Teori-Teori Pembenaran Pemidanaan. Jurnal Hukum.

Vol 6. No.11. 1999.

Sterba, James.P. Retributive Justice. Political Theory. Vol. 5. No. 3. 1977.

UNESCO. World Trends in Freedom of Expression and Media Development:2017/2018.

Global Report. Paris. 2018.

Zulfa, Eva Achjani. Pergeseran Paradigma Pemidanaan di Indonesia. Jurnal Hukum dan

Pembangunan. Vol.36. No. (6). 2006.

“PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN”

Defamation Act 1996.

International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia

Naskah akademik RUU ITE. Badan Pembina Hukum Nasional Departemen Hukum dan

HAM RI. 2005

Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Managemen Penyidikan.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008.

Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke-4

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang No 11

Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Page 81: PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK

69

“INTERNET”

Southeast Asia Freedom of Expression Network

www.putusan.mahkamahagung.go.id

http://mappifhui.org/wp-content/uploads/2016/04/Laporan-Penelitian-anggaran-perkara-

pidum-kejaksaan.pdf

http://smslap.ditjenpas.go.id/public/ung/current/monthly

https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/kategori/jenis/ite-1/. \