perampasan aset korupsi tanpa pemidanaan dalam …

15
IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Perampasan Aset Korupsi Tanpa… Volume 2 Nomor 1, Februari 2021: Page 49-63 (Teuku Isra Muntahar, dkk.) Page 49 Perampasan Aset Korupsi Tanpa Pemidanaan Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Teuku Isra Muntahar 1 , Madiasa Ablisar 2 , Chairul Bariah 3 , 1,2,3 Prgogram Studi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, E-mail: [email protected] (CA) Abstrak Perampasan aset tanpa pemidanaan atau NCB menggunakan prinsip praduga bersalah menjadi alternatif yang efektif dalam mengembalikan aset kejahatan, namun mendapat tantangan atas dasar pelanggaran HAM. Penelitian normatif ini membahas masalah pertentangan NCB dengan pelanggaran HAM. Disimpulkan bahwa, regulasi yang ada belum mengatur tentang NCB tapi sesuai dengan konstitusi (Pasal 28H ayat 4 dan Pasal 28G ayat 1 UUD RI Tahun 1945), Pasal 29 ayat (2) DUHAM/UDHR, Pasal 70 dan Pasal 29 ayat (1) UUHAM, Keputusan Komisi HAM Eropa 1986, dan Keputusan ICJ 1959, dimana negara berwenang menguasai aset ilegal atau tercemar korupsi. UUPTPK masih menganut criminal forfeiture, bergantung pada kesalahan pidana, hanya berlaku jika pelaku meninggal dunia, tidak berlaku jika kesalahan pidana tidak terbukti, tidak dapat merampas aset tak bertuan dan aset pihak ketiga. Penerapannya tidak bertentangan dengan HAM jika selama proses NCB masih diberi kesempatan kepada pihak ketiga untuk membantah dan tidak dilakukan sewenang-wenang. Prinsip praduga bersalah ditujukan kepada aset, sedangkan prinsip praduga tidak bersalah ditujukan kepada pelaku. Juga tidak bertentangan dengan prinsip ne bis in idem karena antara gugatan perdata dan tuntutan pidana merupakan dua hal yang berbeda. Diharapkan agar RUU Perampasan Aset diperbaiki dan diundangkan, kemudian mengatur NCB di dalam UUPTPK, memperbaiki regulasi MLA untuk masalah perdata. Penerapannya harus dilakukan ekstra hati-hati karena rentan dengan pelanggaran HAM. Kata Kunci: Perampasan Aset, Pemidanaan, Korupsi, Hak Asasi Manusia. Abstract Confiscation of assets without conviction or NCB using the principle of presumption of guilt is an effective alternative in returning criminal assets, but faces challenges on the basis of human rights violations. This normative research discusses the problem of NCB's conflict with human rights violations. It was concluded that, the existing regulations have not regulated NCB but are in accordance with the constitution (Article 28H paragraph 4 and Article 28G paragraph 1 of the 1945 Indonesian Constitution), Article 29 paragraph (2) DUHAM / UDHR, Article 70 and Article 29 paragraph (1) UUHAM , European Human Rights Commission Decree 1986, and ICJ Decree 1959, where the state has the authority to control illegal assets or tainted with corruption. The UUPTPK still adheres to criminal forfeiture, depending on criminal wrongdoing, only applies if the perpetrator dies, does not apply if the criminal error is not proven, cannot seize the assets of no-owner and third party assets Its application is not against human rights if during the NCB process the third party is still given the opportunity to argue and is not done arbitrarily. The principle of presumption of guilt is aimed at assets, while the principle of presumption of innocence is directed at the perpetrator. Nor does it contradict the principle of ne bis in idem because civil suit and criminal prosecution are two different things. It is hoped that the Asset Confiscation Bill is corrected and promulgated, then regulates the NCB in the UUPTPK, improves MLA regulations for civil matters. The application must be carried out with extreme caution because it is vulnerable to human rights violations. Keywords: Confiscation of Assets, Criminalization, Corruption, Human Rights. Volume 2 Nomor 1, Februari 2021: Page 49-63 http://jurnal.bundamediagrup.co.id/index.php/iuris ISSN ONLINE: 2745-8369

Upload: others

Post on 26-Nov-2021

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Perampasan Aset Korupsi Tanpa Pemidanaan Dalam …

IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Perampasan Aset Korupsi Tanpa… Volume 2 Nomor 1, Februari 2021: Page 49-63 (Teuku Isra Muntahar, dkk.)

Page 49

Perampasan Aset Korupsi Tanpa Pemidanaan Dalam Perspektif Hak Asasi

Manusia

Teuku Isra Muntahar 1, Madiasa Ablisar 2, Chairul Bariah 3,

1,2,3Prgogram Studi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara,

E-mail: [email protected] (CA)

Abstrak

Perampasan aset tanpa pemidanaan atau NCB menggunakan prinsip praduga bersalah menjadi alternatif

yang efektif dalam mengembalikan aset kejahatan, namun mendapat tantangan atas dasar pelanggaran

HAM. Penelitian normatif ini membahas masalah pertentangan NCB dengan pelanggaran HAM.

Disimpulkan bahwa, regulasi yang ada belum mengatur tentang NCB tapi sesuai dengan konstitusi

(Pasal 28H ayat 4 dan Pasal 28G ayat 1 UUD RI Tahun 1945), Pasal 29 ayat (2) DUHAM/UDHR, Pasal

70 dan Pasal 29 ayat (1) UUHAM, Keputusan Komisi HAM Eropa 1986, dan Keputusan ICJ 1959,

dimana negara berwenang menguasai aset ilegal atau tercemar korupsi. UUPTPK masih menganut

criminal forfeiture, bergantung pada kesalahan pidana, hanya berlaku jika pelaku meninggal dunia, tidak

berlaku jika kesalahan pidana tidak terbukti, tidak dapat merampas aset tak bertuan dan aset pihak

ketiga. Penerapannya tidak bertentangan dengan HAM jika selama proses NCB masih diberi

kesempatan kepada pihak ketiga untuk membantah dan tidak dilakukan sewenang-wenang. Prinsip

praduga bersalah ditujukan kepada aset, sedangkan prinsip praduga tidak bersalah ditujukan kepada

pelaku. Juga tidak bertentangan dengan prinsip ne bis in idem karena antara gugatan perdata dan tuntutan

pidana merupakan dua hal yang berbeda. Diharapkan agar RUU Perampasan Aset diperbaiki dan

diundangkan, kemudian mengatur NCB di dalam UUPTPK, memperbaiki regulasi MLA untuk masalah

perdata. Penerapannya harus dilakukan ekstra hati-hati karena rentan dengan pelanggaran HAM.

Kata Kunci:

Perampasan Aset, Pemidanaan, Korupsi, Hak Asasi Manusia.

Abstract

Confiscation of assets without conviction or NCB using the principle of presumption of guilt is an

effective alternative in returning criminal assets, but faces challenges on the basis of human rights

violations. This normative research discusses the problem of NCB's conflict with human rights

violations. It was concluded that, the existing regulations have not regulated NCB but are in accordance

with the constitution (Article 28H paragraph 4 and Article 28G paragraph 1 of the 1945 Indonesian

Constitution), Article 29 paragraph (2) DUHAM / UDHR, Article 70 and Article 29 paragraph (1)

UUHAM , European Human Rights Commission Decree 1986, and ICJ Decree 1959, where the state

has the authority to control illegal assets or tainted with corruption. The UUPTPK still adheres to

criminal forfeiture, depending on criminal wrongdoing, only applies if the perpetrator dies, does not

apply if the criminal error is not proven, cannot seize the assets of no-owner and third party assets Its

application is not against human rights if during the NCB process the third party is still given the

opportunity to argue and is not done arbitrarily. The principle of presumption of guilt is aimed at assets,

while the principle of presumption of innocence is directed at the perpetrator. Nor does it contradict the

principle of ne bis in idem because civil suit and criminal prosecution are two different things. It is

hoped that the Asset Confiscation Bill is corrected and promulgated, then regulates the NCB in the

UUPTPK, improves MLA regulations for civil matters. The application must be carried out with extreme

caution because it is vulnerable to human rights violations.

Keywords:

Confiscation of Assets, Criminalization, Corruption, Human Rights.

Volume 2 Nomor 1, Februari 2021: Page 49-63

http://jurnal.bundamediagrup.co.id/index.php/iuris

ISSN ONLINE: 2745-8369

Page 2: Perampasan Aset Korupsi Tanpa Pemidanaan Dalam …

IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Perampasan Aset Korupsi Tanpa… Volume 2 Nomor 1, Februari 2021: Page 49-63 (Teuku Isra Muntahar, dkk.)

Page 50

Cara Sitasi:

Muntahar, Teuku Isra., dkk. (2021), “Perampasan Aset Korupsi Tanpa Pemidanaan Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia”, IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Vol. 2 No. 1 Pages 49-63.

A. Pendahuluan

Perampasan aset hasil kejahatan tanpa pemidanaan merupakan perhatian utama dari komunitas

global dalam menanggulangi kejahatan keuangan. Instrumen ini menjadi salah satu kaidah yang diatur

dalam United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC) tahun 2003. Negara-negara pihak

diharapkan dapat memaksimalkan upaya perampasan aset hasil kejahatan tanpa pemidanaan.1

Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset yang sedang digagas oleh Negara Republik

Indonesia (RI) berharap pemulihan aset hasil kejahatan dapat efektif dan optimal. Namun beberapa

tantangan yang harus dihadapi diantaranya terkait dengan isu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)

atas penggunaan instrumen perampasan aset tanpa pemidanaan dianggap tidak adil.

Perampasan aset tanpa pemidanaan dalam civil forfeiture mengenal prinsip Non Conviction Based

(NCB) Asset Forfeiture merupakan instrumen hukum perdata yang untuk merampas aset/hasil tanpa

melalui jalur tuntutan pidana.2 Gagasan perampasan aset tanpa pemidanaan ini telah lama dirancang tapi

hingga kini belum diundangkan. Masalah politis dan perdebatan HAM menjadi pro dan kontra dan

saling tarik-menarik. Argumentasi yang digunakan oleh mereka yang kontra adalah membenturkan NCB

Asset Forfeiture dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) sehingga mereka

berpendapat NCB Asset Forfeiture bertentangan dengan HAM.

NCB Assets Forfeiture memang diakui rentan dengan pelanggaran HAM, dan dianggap tidak adil.

Tapi ada juga negara yang tetap melaksanakannya seperti Amerika Serikat untuk hukum perkapalan

dengan mengeluarkan peraturan yang memberi wewenang kepada pemerintah federal untuk menyita

kapal. Supreme Court mendukung penggunaan NCB Assets Forfeiture dalam kasus Palmyra di tahun

1827. Pengadilan menolak argumen pengacara pemilik kapal yang mengatakan penyitaan kapal

kliennya adalah ilegal karena tanpa putusan pidana yang menyatakan pemiliknya bersalah.3

Permasalahan yang dibahas di dalam paper ini adalah bagaimanakah regulasi yang mengatur

tentang perampasan aset korupsi tanpa pemidanaan di Indonesia dan penerapannya dalam praktek

apakah bertentangan dengan HAM atau tidak sejalan dengan perlindungan terhadap HAM.

Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan data sekunder. Bahan hukum primer,

yaitu sumber bahan hukum utama yang digunakan di dalam penelitian ini meliputi: Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD RI Tahun 1945); Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP); UU RI Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU RI Nomor 20 Tahun 2001 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK); UU RI Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan

Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UUPPTPPU); UU RI Nomor 39 Tahun 1999

Tentang Hak Asasi Manusia (UUHAM); dan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentang Perampasan

Aset.

B. Pembahasan

1. Pengertian Hak Asasi Manusia

HAM pada hakikatnya telah ada sejak seorang manusia masih berada dalam kandungan ibunya

hingga ia lahir dan sepanjang hidupnya hingga meninggal dunia. Dalam kerangka normatif merupakan

kewajiban negara untuk melindungi dan menghormatinya. Menjadi prinsip umum untuk melindungi

HAM bagi setiap manusia yang berada dalam lingkup yurisdiksi hukum. Perlindungan HAM bermula

dari keinsyafan terhadap harga diri, harkat, kodrat, dan martabat lahiriah manusia.4 Dimulai sejak abad

ke-17 hingga saat ini yang tidak lepas dari hakikat manusia.5

1 https://acch.kpk.go.id/id/artikel/riset-publik/tantangan-penerapan-perampasan-aset-tanpa-tuntutan-pidana-non-conviction-

based-asset-forfeiture-dalam-ruu-perampasan-aset-di-indonesia, diakses tanggal 16 Mei 2021. 2 Tood Bernet, “Legal Fiction and Forfeiture: A Historical Analysis of the Civil Asset Forfeiture Reform Act”, 40 Duquesnes Law Review Fall, 2001, hal. 46 dan hal. 91-92. 3 Ibid. 4 Ramdhon Naning, Cita dan Citra Hak-HAM di Indonesia, (Jakarta: Lembaga Kriminologi Program Penunjang Hukum

Universitas Indonesia, 1990), hal. 8. 5 M. Arief Amrullah, Politik Hukum Pidana Dalam perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi Di Bidang Perbankan, (Jakarta:

Bayu Media, 2007), hal. 85.

Page 3: Perampasan Aset Korupsi Tanpa Pemidanaan Dalam …

IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Perampasan Aset Korupsi Tanpa… Volume 2 Nomor 1, Februari 2021: Page 49-63 (Teuku Isra Muntahar, dkk.)

Page 51

Perlunya perlindungan hukum HAM didasari atas argumentasi kontrak sosial dan solidaritas

manusia. Negara boleh saja monopoli terhadap sosial atas kejahatan dan melarang tindakan-tindakan

pribadi. Jika terjadi kejahatan dan mengakibatkan korban, maka negara bertanggung jawab untuk

memperhatikan kebutuhan korban tersebut. Negara harus menjaga warga negaranya yang mengalami

kesulitan dengan menggunakan sarana-sarana yang tersedia. Ini dapat dilakukan oleh negara melalui

peningkatan pelayanan, pengaturan hak dan undang-undang.6

Komitmen Indonesia dalam perlindungan HAM telah dimulai sejak berlakunya Undang-Undang

RI Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM (UUHAM). Pasal 1 angka 1 didefenisikan, ”HAM adalah

seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tugas Yang Maha

Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara

hukun, pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat

manusia”.

Ini merupakan seperangkat hak yang melekat pada manusia dan merupakan anugerah Tuhan yang

wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara. Tiga unsur pentingnya adalah (1) HAM

dianugerahkan oleh Tuhan kepada manusia yang tidak dapat dicabut oleh siapapun maupun penguasa ;

(2) Negara hukum wajib menghormati, menjunjung tinggi, dan melindungi HAM ; dan (3) Setiap orang

wajib menghormati dan menghargai hak asasi orang lain.

Sebagai hak dasar ini harus dihormati oleh setiap orang. Tidak dibenarkan membedakan ras, warna

kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, opini, negara, asal, hak milik, kelahiran atau status lain. Dijamin

oleh hukum dan undang-undang, melindungi individu dan kelompok dari tindakan yang melanggar

kebebasan dasar. Pengakuan terhadap HAM dinyatakan tegas di dalam Pasal 26A s/d Pasal 28J UUD

RI Tahun 1945. Ini membuktikan bahwa Negara RI mengakui HAM dalam sistim hukum nasionalnya.

HAM bersifat fundamental yang tak bisa diintervensi oleh siapaun atau oleh kelompok atau

lembaga manapun. 7 Tapi dalam negara hukum, siapa saja yang tidak menghormati HAM atau

melakukan perbuatan yang merugikan hak subjek hukum lain, maka seseorang akan dibatasi geraknya

atau dicabut sementara waktu atau bahkan selama-lamanya berdasarkan hukum yang berlaku. Termasuk

merampas aset seseorang yang berbuat jahat merupakan tindakan yang dibenarkan demi untuk

melindungi hak asasi yang lebih luas dan penting.

UUHAM sebagai penjabaran dari Pasal 26A s/d Pasal 28J UUD RI Tahun 1945. Perundang-

undangan dibawahnya harus mengikuti, menegakkannya, dan melindunginya, meskipun masih banyak

pelanggaran yang belum dapat ditegakkan. Sebenarnya dengan pendekatan HAM terhadap perundang-

undangan yang sudah ada, dapat memberi kerangka normatif dan konseptual yang dapat menjadi

pedoman pembentukan regulasi perampasan aset tanpa pemidanaan ke dalam undang-undang. Sebab,

hampir semua pembatasan hak asasi yang diatur dalam undang-undang dalam rangka untuk melindungi

hak subjek hukum lainnya.

Selain UUD RI Tahun 1945 dan UUHAM, juga telah diatur dalam berbagai undang-undang lainnya

seperti:

a. UU RI Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan, Perlakuan atau

Penghukuman Yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat.

b. UU RI Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Ratifikasi Konvensi ILO Nomor 105 Tentang

Penghapusan Kerja Secara Paksa.

c. UU RI Nomor 20 Tahun 1999 Tentang Ratifikasi Konvensi ILO Nomor 138 Tentang Usia

Minimum bagi Pekerja.

d. UU RI Nomor 21 Tahun 1999 Tentang Ratifikasi Konvensi ILO Nomor 11 Tentang

Diskriminasi Dalam Pekerjaan.

6 Muladi & Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1992), hal. 78. 7 A. Bazar Harahap & Nawangsih, Hak Asasi Manusia dan Hukumnya, (Jakarta: Perhimpunan Cendikiawan Indpenden

Indonesia-Pecirindo, 2006), hal. 6-7.

Page 4: Perampasan Aset Korupsi Tanpa Pemidanaan Dalam …

IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Perampasan Aset Korupsi Tanpa… Volume 2 Nomor 1, Februari 2021: Page 49-63 (Teuku Isra Muntahar, dkk.)

Page 52

e. UU RI Nomor 29 Tahun 1999 Tentang Ratifikasi Convention on the Elimination of All Forms

of Discrimination Against Women (CEDAW) Tentang Penghapusan Segala Bentuk

Diskriminasi.

f. UU RI Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM.

g. UU RI Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

h. Dan lain-lain.

Dalam berbagai perundang-undangan, semua mengartikan HAM sebagai hak yang paling dasar

dan kodrati, melekat pada diri manusia, universil dan langgeng, harus dilindungi, dihormati, tidak boleh

diabaikan, dijunjung tinggi dan diakui. Kebebasan merupakan hak yang secara kodrati melekat dan tidak

terpisahkan dari manusia dan harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat

kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.

HAM sebagai hak universal karena merupakan bagian dari setiap manusia, tidak peduli apapun

warna kulitnya, jenis kelaminnya, usianya, latar belakang kultural dan agama atau kepercayaan

spiritualnya. Ini melekat (inheren) karena HAM dimiliki oleh siapapun yang manusia berkat kodrat

kelahirannya sebagai manusia dan bukan karena pemberian oleh suatu organisasi kekuasaan manapun.

Berarti hak-hak tersebut tak satupun boleh dirampas atau dicabut.8

UUHAM dengan tegas melarang pelanggaran HAM dan harus dijunjung tinggi. Sifatnya kodrati,

melekat dan tak terpisahkan dari manusia. Harus dilindungi, dihormati; ditegakkan demi kemanusiaan,

kesejahteraan, kebahagiaan, kecerdasan dan keadilan. Ini menggambarkan demikian pentingnya untuk

dijunjung tinggi, dihormati, diakui, dan dilindungi dalam konteks Indonesia sebagai negara hukum,

namun pembatasan dari kebebasan kodrat, maupun hak-hak privat tertentu, bukan berarti merupakan

suatu pelanggaran.

Esensi doktrin rule of law, mengembalikan ide dasar kedudukan hukum yang tertinggi di antara

norma apapun di dalam kehidupan bernegara.9 Melindungi hak dan kepentingan yang lebih luas (publik)

adalah esensi utama dalam doktrin rule of law. Karena itu, antara penegakan HAM dengan hukum

pidana dan perdata harus diselaraskan dan diharmonisasikan guna menghindari tindakan-tindakan yang

melanggar HAM terutama dalam melakukan perampasan aset tanpa pemidanaan.

2. Derivasi Prinsip Keadilan Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap

Pemegang Saham Publik Minoritas

Perampasan aset disebut juga dengan asset forfeiture,10 yaitu pengambilan paksa aset atau properti

oleh negara yang diyakini memiliki hubungan erat dengan suatu tindak pidana.11 Tujuannya agar pelaku

tidak mendapatkan keuntungan dari kejahatannya. Dana yang diperoleh harus dibatalkan untuk

melindungi korban. Menghambat kejahatan berlanjut melalui pemblokiran. Memastikan aset tidak akan

digunakan secara berlanjut untuk tujuan kejahatan, dan sekaligus untuk pencegahan.12

Ada tiga metode perampasan aset di negara-negara common law yakni criminal forfeiture,

admnistrative forfeiture, dan civil forfeiture.13 Civil forfeiture adalah perampasan aset yang murni

8 Soetandyo Wignjosoebroto, Hak Asasi Manusia Konsep Dasar dan Perkembangan Pengertiannya Dari Masa Ke Masa,

(Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 2005), hal. 2. 9 Ibid., hal. 6. 10 Ramelan & Tim Penyusun, Laporan Akhir Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Perampasan Aset Tindak Pidana Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian

Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2012), hal. 38. 11 Yunus Husein, “Penjelasan Hukum Tentang Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi”,

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) bekerja sama dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan (Puslitbangkumdil) Mahkamah Agung Republik Indonesia, dan United States Agency International Development

(USAID), hal. 15. 12 Theodore S. Greenberg, Linda M. Samuel, Wingate Grant, Larissa Gray, Stolen Asset Recovery: A Good Practices Guide

for Non-Conviction Based Asset Forfeiture, (Washington DC: The Wolrd Bank, 2009), hal. 13. 13https://harvardlawreview.org/2018/06/how-crime-pays-the-unconstitutionality-of-modern-civil-asset-forfeiture-as-a-tool-of-

criminal-law-enforcement/, diakses tanggal 14 Maret 2021.

Page 5: Perampasan Aset Korupsi Tanpa Pemidanaan Dalam …

IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Perampasan Aset Korupsi Tanpa… Volume 2 Nomor 1, Februari 2021: Page 49-63 (Teuku Isra Muntahar, dkk.)

Page 53

menggunakan hukum perdata,14 yang dahulu dikenal sebagai perampasan terhadap barang-barang yang

tak bertuan karena perang.15 Criminal forfeiture yaitu perampasan aset yang menggunakan instrumen

pidana,16 jika aset ternyata terbukti hasil atau digunakan untuk melakukan kejahatan, maka dengan

putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap, aset tersebut dapat disita untuk negara.17

Criminal forfeiture merupakan perampasan aset yang dilakukan melalui peradilan pidana atau

perampasan aset dilakukan bersamaan dengan pembuktian pidana apakah terdakwa benar-benar

melakukan tindak pidana. Administrative forfeiture merupakan perampasan aset oleh negara tanpa

melibatkan lembaga yudisial. Negara dalam administrative forfeiture diberikan hak oleh undang-undang

untuk merampas aset / barang tertentu tanpa melalui persidangan. Misalnya tindakan kepabeanan dan

bea cukai.18

Sedangkan civil forfeiture adalah perampasan aset yang menempatkan gugatan terhadap aset

bukan terhadap pelaku tindak pidana, sehingga aset dapat dirampas meskipun proses peradilan pidana

terhadap pelaku belum selesai. 19 Menggunakan pembalikan beban pembuktian sehingga dapat

melakukan perampasan lebih cepat setelah diduga adanya hubungan aset dengan tindak pidana. Gugatan

dialamatkan pada aset bukan pada tersangka / terdakwa sehingga aset negara tetap dapat diambil

meskipun pelaku meninggal dunia atau belum dapat diproses melalui peradilan pidana.20

Civil forfeiture inilah yang kemudian dikenal dengan istilah lain yakni NCB Asset Forfeiture atau

perampasan aset tanpa pemidanaan. Perampasan aset tanpa pemidanaan dapat menarik kembali aset

yang diduga kuat ada kaitannya dengan kejahatan seperti korupsi, pembalakan liar, narkotika,

kepabeanan, pencucian uang, terorisme, dan lain-lain.21 Ini merupakan tindakan terhadap aset itu sendiri

bukan terhadap individu. Tindakan perampasan terpisah dari proses pidana dan cukup dengan bukti kuat

bahwa harta benda tersebut tercemar dengan kejahatan.22

NCB Asset Forfeiture alat untuk merampas aset kejahatan tanpa melalui jalur pidana. 23

Penghukuman dijatuhkan tidak berdasarkan keyakinan atas kesalahan melalui pembuktian jalur pidana

(tanpa pemidanaan), atau kebalikan dari Conviction Based (CB).24 Sementara prinsip CB telah dianut di

dalam Pasal 183 KUHAP yang menegaskan dalam penjatuhan pidana harus didasarkan pada keyakinan

hakim.

Prinsip CB sudah dikenal dalam hukum pidana Indonesia, yaitu perampasan aset kejahatan harus

melalui jalur hukum pidana (criminal forfeiture) terhadap orangnya (in personam). Hal ini dilakukan

sebagai bentuk penghukuman terhadap pribadi terdakwa. Jika terdakwa dinyatakan bersalah baru

kemudian merampas aset / menyita harta terdakwa yang berkaitan erat dengan suatu kejahatan.25

Perampasan aset dengan prinsip CB menaruh harapan kepada jaksa penuntut untuk untuk

meyakinkan (conviction) hakim terlebih dahulu membuktikan kesalahan pidana terdakwa atas tindak

pidana yang dilakukan. Jika kesalahan pidana yang dituntut kepada terdakwa tidak terbukti dalam

persidangan, maka perampasan terhadap aset/harta milik dan/atau ada kaitannya dengan kejahatan yang

dituntut kepada terdakwa tidak bisa dilakukan.26

14 Bismar Nasution, “Stolen Asset Recovery Initiative dari Perspektif Hukum Ekonomi di Indonesia”, Makalah Disampaikan

Pada Seminar Pengkajian Hukum Nasional 2007, Pengembalian Aset (Asset Recovery) Melalui Instrumen Stolen Asset

Recovery (StAR) Initiative dan Perundang-Undangan Indonesia, Diadakan oleh Komisi Hukum Nasional (KHN) di Hotel Millenium Jakarta 28-29 November 2007, hal. 6. 15 David Fredriek Albert Porajow, Non-Conviction Based Asset Forfeiture Sebagai Alternatif Memperoleh Kembali Kekayaan

Negara Yang Hilang Karena Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Perekonomian Negara, (Jakarta: FHUI, 2013), hal. 20. 16 Stefan D. Cassella, “Criminal Forfeiture Procedure in 2015: An Annual Survey of Developments in the Case Law”, Criminal Law Bulletin, Date: 8/22/2015, hal. 2-3. 17 David Fredriek Albert Porajow, Loc. cit. 18 Ibid. 19https://www.justice.gov/afp/types-federal-forfeiture, diakses tanggal 14 Maret 2021. 20 Sudarto, “Mekanisme Perampasan Aset Dengan Menggunakan Non Conviction Based Asset Forfeiture Sebagai Upaya

Pengembalian Kerugian Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi”, Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS, Vol. V, No. 1 (Januari-

Juni 2017), hal. 111. 21 David Fredriek Albert Porajow, Loc. cit. 22 Theodore S. Greenberg, dkk., Loc. cit. 23 Ibid. 24 Reda Manthovani & R. Narendra Jatna, Rezim Anti Pencucian Uang dan Perolehan Hasil Kejahatan di Indonesia, (Jakarta:

Malibu, 2012), hal. 74. 25 Ibid. 26 Ibid.

Page 6: Perampasan Aset Korupsi Tanpa Pemidanaan Dalam …

IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Perampasan Aset Korupsi Tanpa… Volume 2 Nomor 1, Februari 2021: Page 49-63 (Teuku Isra Muntahar, dkk.)

Page 54

Model NCB Asset Forfeiture tidak demikian halnya, tapi menggunakan gugatan perdata terhadap

aset (in rem), atau penyitaan terhadap aset secara perdata tanpa mengikuti jalur pidana. Penyitaan

dilakukan terhadap aset, bukan terhadap orang atau pelakunya.27 Setiap tindakan pelaku dalam proses

pidana, dipisahkan dengan proses perdata dan cukup dengan bukti bahwa terhadap suatu harta (properti)

tersebut tercemar (ternodai) oleh kejahatan yang dituntut.28

Dengan kata “non” di dalam NCB Asset Forfeiture berarti meniadakan atau tidak menggunakan

prinsip CB. Oleh karena instrumen ini menggunakan hukum perdata atau tanpa pemidanaan untuk

merampas aset yang berkaitan dengan kejahatan terdakwa, atau tanpa proses pidana yang harus

berdasarkan keyakinan hakim pengadilan, maka istilah ini disebut dengan NCB Asset Forfeiture.29

Urgensi penggunaan NCB Asset Forfeiture ini karena melihat fakta seringnya para koruptor

melarikan diri (kabur/buronan), sakit, atau sakit dibuat-buat, gila, meninggal dunia atau bahkan diputus

bebas melalui proses criminal forfeiture, padahal berdasarkan perhitungan dari instansi yang berwenang,

nyata-nyata telah terjadi kerugian keuangan negara. Perampasan aset tanpa pemidanaan ini merupakan

alternatif efektif perampasan aset untuk mengembalikan kerugian negara dalam rangka melindungi

korban (negara dan masyarakat).

Aset yang akan dirampas terlebih dahulu harus dinyatakan tercemar dengan kejahatan atau karena

ada dugaan kuat bahwa harta kekayaan terkait suatu tindak pidana. Harta kekayaan tersebut harus

dianggap sebagai harta kekayaan yang tercemar. Terhadap harta kekayaan yang tercemar tersebut,

pemerintah melalui Jaksa Pengacara Negara (JPN) harus mengajukan in rem yaitu gugatan perdata agar

dapat dinyatakan oleh pengadilan sebagai aset negara.30

Non Conviction Based (NCB) Asset Forfeiture didasarkan pada doktrin menodai (taint doctrine),

menganggap sebuah tindak pidana telah menodai (taint) aset yang dipakai/hasil tindak pidana.31 NCB

Asset Forfeiture dapat digunakan untuk mengembalikan aset kepada negara atau kepada pihak yang

berhak atas kepemilikan aset yang tidak wajar yang diduga karena suatu kejahatan tanpa harus didahului

dengan tuntutan pidana atau tanpa harus menunggu adanya putusan pidana yang berisi kesalahan dan

pemberian hukuman bagi pelaku. Konsepnya adalah yang bersalah bukan orang atau pelakunya tapi

properti itu sendiri.32

3. Penerapan NCB Asset Forfeiture Di Beberapa Negara

Negara-negara common law yang menerapkan perampasan aset tanpa pemidanaan antara lain

Amerika Serikat memiliki Civil Asset Forfeiture Reform Act (CAFRA) 2000 dan USA Patriot Act 2001,

Australia memiliki Criminal Assets Recovery Act 1990, Irlandia memiliki Proceeds of Crime Act 1996,

Swiss memiliki the Criminal Code of Switzerland 1937, Filipina memiliki Rules of Procedure in Cases

of Civil Forfeiture 2005, Afrika Selatan memiliki Prevention of Organised Crime Act 1998, Inggris

memiliki Proceeds of Crime Act 2002, dan lain-lain.33

Perampasan aset tanpa pemidanaan pertama kali diterapkan di Inggris dengan istilah instrument of

a death atau deodand.34 Kemudian Amerika Serikat (AS) mengadobsinya dengan tiga model, yaitu

deodand, forfeiture of estate dan statutory atau commercial forfeiture.35 Kematian seorang manusia

karena ditanduk seekor sapi berlaku deodand, negara merampas sapi itu,36 karena deodand berfokus

pada bendanya.37

27 The European Union & The Council of Europe, Impact Study on Civil Forfeiture, (Belgrade: Dosije Studio, 2013), hal. 7, 8,

9, 13, 15, 83. 28 Ramelan & Tim Penyusun, Op. cit., hal. 37-38. 29 David Fredriek Albert Porajow, Op. cit, hal. 6. 30 Ibid., hal. 14. 31 David Scott Romantz, “Civil Forfeiture and the Constitution: A Legislative Abrogation of Right and The Judicial Response:

The Gulit of The Res”, 28 Suffolk University Law Riview, 1994, hal. 390. 32 Sudarto, Loc. Cit. 33 Muhammad Yusuf, Merampas Aset Koruptor, Solusi Pemberantasan Korupsi di Indonesia, (Jakarta: Kompas Media

Nusantara, 2013), hal. 139. 34 Eric Moores, “Reforming The Civil Asset Forfeiture Reform Act, Arizona Law Review, Vol. 51:777, University of Arizona,

2010, hal. 741. 35 Isaiah M. Hunter, “The War on Drugs and Taxes: How Tax Expenditure Analysis Can Shed Light on Civil Asset Forfeiture”,

New York University Journal of Law & Liberty, Vol. 9:549, 2014, hal. 552. 36 Brent Skorup, “Ensuring Eighth Amendment Protection From Excessive Fines in Civil Asset Forfeiture Cases”, Civil Rights

Law Journal, Vol. 22:3, 2012, hal. 432. 37 Finklestein, “The Goring Ox: Some Historical Perspective on Deodands, Forfeiture, Wrongful Death and the Western Notion

of Sovereignty”, 46 Temple Law Quarterly Journal (1973), hal. 169.

Page 7: Perampasan Aset Korupsi Tanpa Pemidanaan Dalam …

IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Perampasan Aset Korupsi Tanpa… Volume 2 Nomor 1, Februari 2021: Page 49-63 (Teuku Isra Muntahar, dkk.)

Page 55

AS tetap mempertahankan perampasan aset tanpa pemidanaan dalam kasus menyita kapal Palmyra

tahun 1827.38 Pengadilan menolak argumen pengacara dari si pemilik kapal yang mengatakan penyitaan

kapalnya adalah ilegal karena menggunakan perampasan aset tanpa pemidanaan.39 Hingga tahun 1970-

an dan 1980-an, AS tetap digunakan dalam kasus narkotika.40 Pada tahun 1984 mulai diberlakukan

istilah NCB Asset Forfeiture dengan diberlakukannya Crime Control Act dan CAFRA 2000.41

NCB Asset Forfeiture membawa perubahan positif bagi Amerika Serikat. Pada tahun 2004 berhasil

merampas aset hasil kejahatan sebesar US$ 1,5 milyar,42 dan tahun 2006 menyita uang sebesar US$ 1,2

milyar.43 Di tahun 2007, jumlah aset yang disita meningkat menjadi US$ 1,6 milyar.44

4. Contoh Kasus Penerapan NCB Asset Forfeiture Di Indonesia

a. Republik Indonesia vs. aset berupa uang sebesar Rp. 4.893.141.137,-.

Dalam kasus ini terkait penipuan atau pemalsuan data pada Bank BJB Bogor. Perampasan aset tanpa

pemidanaan dilakukan saat kasus pidana masih pada tahap penyelidikan karena tersangka sulit

ditemukan namun stabilitas keuangan negara akan terganggu jika tidak segera dilakukan perampasan

dana yang diambil oleh tersangka Nindy Helsa. Tersangka dijerat atas tindakan pidana penipuan

dan/atau pemalsuan dan tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 KUHP

dan/atau Pasal 283 KUHP dan Pasal 3 dan/atau Pasal 5 UUPPTPPU.45

Tersangka memalsukan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan dokumen Curriculum Vitae (CV) dengan

nama Dwi Trada Prima guna membuat rekening di Bank BJB Cabang Bogor. Kemudian rekening yang

dibuatnya digunakan untuk menerima kiriman valuta asing dari Al Finar General Trading Co. LLC.

dengan alamat Abdul Razaq Zarony BLDG, Salam Street POB. 3865 ATT, Reconciliation Div, Abu

Dhabi UAE sebesar USD 409,982.50 atau setara dengan Rp. 4.893.141.137,-.

b. Republik Indonesia vs. aset berupa uang sebesar Rp. 1.000.000.000,00

Kasus ini adalah terkait dengan narkotika yang ditangani Badan Narkotika Nasional (BNN) terhadap

tersangka Salahuddin, dkk merupakan costumer di Bank BCA dan telah ditetapkan sebagai DPO.

Pengadilan Negeri Batam mengabulkan permohonan BNN Provinsi Jawa Timur agar aset pelaku

kejahatan terkait tindak pidana narkotika itu dapat dieksekusi di Provinsi Batam.46

Tersangka Salahuddin melakukan transfer dana sebesar Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)

kepada PT. Marinatama Gemanusa. Dana tersebut dalam penetapan perampasan aset dinyatakan sebagai

hasil tindak pidana pencucian uang dan dinyatakan sebagai aset negara karena terbukti sebagai aset yang

dihasilkan dalam kasus narkotika.

c. Republik Indonesia vs. aset berupa uang sebesar AUD 642.000

Kasus ini terkait dengan perampasan aset hasil tindak pidana korupsi atas nama tersangka Hendra

Rahardja yang ditangani oleh Pemerintah RI dengan dibantu oleh otoritas Australia. Dalam kasus ini

digunakan prinsip in absentia. Mahkamah Agung tetap menyatakan perampasan aset dengan in absentia

tetap dibenarkan dan dikuatkan dengan putusan banding melalui Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.47

Pengembalian aset tersangka dilakukan melalui proses yang panjang dan akhirnya Pemerintah

Indonesia berhasil merampas aset AUD 642.000. Dalam proses pengembalian aset tersebut, Pemerintah

RI membentuk Tim Terpadu Pencari Terpidana dan Tersangka Tindak Pidana Korupsi.

d. Gugatan ganti rugi terhadap ahli waris Alm. Yusuf Setiawan

Gugatan perdata diajukan oleh negara melalui JPN terhadap ahli waris almarhum Yusuf Setiawa

berdasarkan Pasal 32 dan Pasal 34 UUPTPK karena terdakwa meninggal dunia saat dilakukan

38 Tood Bernet, Op. cit., hal. 46, 89, 90, 91, dan hal. 92. 39 Ibid. 40 Steven L. Schwarcz & Alan E. Rothman, “Civil Forfeiture: A Higher Form of Commercial Law?”, Fordham Law Review,

Vol. 62, Tahun 1993, hal. 292. 41 The European Union & The Council of Europe, Op. cit., hal. 58. 42 Richard F. Albert dan Amy Tully, “A Bad Fit-Criminal Forfeiture of Substitute Assets, the Lis Pendens”, New York Law

Journal, Vol. 234, No. 27, Tanggal 9 Agustus 2005, hal. 234. 43 Stefan D. Cassella, “The Case for Civil Forfeiture: Why In Rem Proceddings are an Essential Tool for Recovering the Proceeds of Crime, Paper yang disampaikan pada seminar: 25th Cambrige International Symposium on Economic Crime,

Tanggal 7 September 2007, hal. 6. 44 The European Union dan The Council of Europe, Op. cit., hal. 59. 45 Yunus Husein, “Penjelasan Hukum Tentang….Op. cit., hal. 83-84. 46 Ibid., hal. 85. 47 Ibid.

Page 8: Perampasan Aset Korupsi Tanpa Pemidanaan Dalam …

IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Perampasan Aset Korupsi Tanpa… Volume 2 Nomor 1, Februari 2021: Page 49-63 (Teuku Isra Muntahar, dkk.)

Page 56

pemeriksaan di sidang pengadilan sehingga tuntutan pidana menjadi gugur. Yusuf Setiawan selama

menjadi Sekretaris Daerah Propinsi Jawa Barat dituduh korupsi atas pengadaan barang-barang dan

sarana mobilitas untuk keperluan Pemerintah.48

Dalam perkara pidana ada kerugian negara sebesar Rp.44.595.065.247,-. Perampasan aset secara

pidana telah dilakukan terhadap sejumlah uang sebesar Rp.16.187.271.000,-. Sisa uang negara yang

belum dikembalikan dan menjadi tanggung jawab ahli warisnya adalah sebesar Rp.28.407.794.247,-.

MA dalam kasasi memperbaiki nilai uang tersebut sehingga jumlah kerugian negara yang harus

dikembalikan sama jumlahnya dengan jumlah uang yang dituntut di dalam gugatan, yaitu ahli waris dan

Yayasan Beasiswa Supersemar (YBS) harus membayar ganti rugi sebesar US $ 315.002.183,00 dan

Rp.139.438.536.678,56.49 dalam Peninjauan Kembali (PK) tetap menghukum sama dengan putusan MA

dalam kasasi.50

e. Gugatan ganti rugi terhadap ahli waris Alm. Soeharto (YBS)

Negara melalui JPN mengajukan gugatan perdata terhadap para ahli waris dari alm. Soeharto

(mantan Presiden RI) untuk membayar ganti rugi sejumlah uang US $ 315.002.183,00 dan

Rp.139.438.536.678,56. Dasar gugatan JPN adalah Pasal 32, Pasal 34 UUPTPK, dan Pasal 1365 KUH

Perdata atas perbuatan melawan hukum. Pengadilan mengabulkan gugatan ini dan menyatakan tergugat

untuk membayar ganti rugi kepada Negara RI sejumlah uang US$ 105.000.727,66 dan

Rp.46.479.512.226,187.51

5. Korban Tindak Pidana Korupsi

Dalam suatu kejahatan, korbannya adalah individu atau kelompok yang menderita fisik, mental, dan

keadaan sosial, 52 mengalami kerugian materiil dan immaterial, 53 menderita jasmani dan rohani,

ketakutan berkepanjangan, bahkan mendapat ancaman atas kenyamanan. Keadaan ini sebagai akibat

perbuatan dari pelaku kejahatan yang mencari pemenuhan kepentingan dirinya sendiri dan orang lain

yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi korban.54

Dalam tindak pidana korupsi tidak ada derita fisik bagi korban, tapi secara fsikis rakyat terbebani

oleh keadaan dampak buruk ekonomi sebagai akibat korupsi. Secara ekonomi, korban korupsi adalah

rakyat dan negara sebab akibat korupsi dapat berdampak terhadap keadaan ekonomi negara dan rakyat.

Penegakan hukum terhadap korban korupsi yang merugikan keuangan negara harus dilakukan untuk

mewujudkan perlindungan sosial karena didalamnya ada hak-hak publik yang dirugikan.

Kedudukan korban sangat penting di hadapan hukum.55 Kecil kemungkinan bagi korban untuk

memperoleh kesempatan dalam memperjuangkan haknya.56 Rendahnya kedudukan korban kejahatan

sering kali terlupakan dalam studi kejahatan.57 Contoh dalam kasus pencurian mobil. Bagi korban yang

lebih penting adalah bagaimana mobil itu dapat kembali kepadanya, persoalan pelaku dihukum atau

tidak oleh pengadilan tidak terlalu penting berpengaruh pada dirinya.

Dalam perampasan aset tanpa pemidanaan, dapat disimpulkan bahwa korban korupsi adalah negara

dan rakyat, bahkan terjadinya korban korupsi juga merupakan suatu pelanggaran HAM. Di sisi lain,

perlindungan hukum terhadap korban korupsi belum terlaksana dengan baik. Oleh sebab itu, instrumen

hukum harus diperbaiki untuk mewujudkan perlindungan hukum terhadap korban korupsi dengan

menggunakan perampasan aset tanpa pemidanaan.

48 Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam Perkara Pidana Nomor:

06/Pid.B/TPK/2009/PN.Jkt.Pst., Tanggal 27 Mei 2009. 49 Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 2896 K/Pdt/2009, Tanggal 28 Oktober 2010. 50 Putusan Mahkamah Agung Nomor: 140 PK/Pdt/2015, Tanggal 8 Juli 2015. 51 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 904/Pdt.G/2007/PN.Jak.Selatan, Tanggal 27 Maret 2008, dan Putusan

Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor: 465/Pdt/2008/PT.DKI., Tanggal 19 Februari 2009. 52 Suryono Ekotama, Harum Pudjianto & G. Wiratama, Abortus Provocatus Bagi Korban Perkosaan Perspekif Viktimologi,

Kriminologi dan Hukum Pidana, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, (Jakarta: Universitas Atma Jaya, 2001), hal. 135. 53 Wahyu Wagiman & Zainal Abidin, Praktik Kompensasi dan Restitusi di Indonesia: Sebuah Kajian Awal, (Jakarta: Indonesia

Corruption Wacth (ICW), The Institute for Criminal Justice Reform, Koalisi Perlindungan Saksi, 2007), hal. 5. 54 Chaerudin & Syarif Fadillah, Korban Kejahatan Dalam Pespektif Vikimologi Dan Hukum Pidana Islam, Cetakan Pertama,

(Jakarta: Grhalia Press, 2004), hal. 48. 55 Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan,( Jakarta: Akademika Pressindo, 1993), hal. 94. 56 Chaerudin & Syarif Fadillah, Op. Cit., hal. 47. 57 Frank R. Prassel, Criminal Law, Justice, and Society, (Santa Monica-California: Goodyear Publishing Company Inc., 1979),

hal. 65.

Page 9: Perampasan Aset Korupsi Tanpa Pemidanaan Dalam …

IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Perampasan Aset Korupsi Tanpa… Volume 2 Nomor 1, Februari 2021: Page 49-63 (Teuku Isra Muntahar, dkk.)

Page 57

6. Perampasan Aset Korupsi Tanpa Pemidanaan Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia

Semua undang-undang yang ada pada prinsipnya mengandung pembatasan hak-hak dasar di satu

sisi dan memberi kesempatan di sisi lain untuk dilindungi. Pilihan itu tentu mempertimbangan

urgensinya daripada hanya sekedar selera. KUH Pidana sendiri mengatur pengekangan hak bergerak

setiap pelaku kejahatan, urgensinya adalah untuk melindungi kepentingan publik yang terancam.

Demikian juga dalam hukum privat, negara dalam hal-hal tertentu bisa masuk mengatur hak-hak privat.

Bukan berarti negara tidak boleh mengatur ini. Oleh sebab itu, perampasan aset tanpa pemidanaan yang

menggunakan jalur gugatan perdata sangat relevan dan rasional sebagai tindakan yang legal.

Mengingat modus operandi para pelaku kejahatan, seperti korupsi, terorisme, narkotika, dan lain-

lain sering kali menggunakan fasilitas dan menghasilkan aset/harta. Disembunyikan dengan berbagai

cara, ditempatkan pada pihak ketiga, atau disumbangkan pada suatu yayasan charity, dan lain-lain

sehingga asal-usulnya menjadi kabur. Dalam konteks aset yang tercemar korupsi, korbannya adalah

negara dan rakyat. Maka sangat logis jika aset tersebut dirampas oleh negara untuk dipergunakan

sebesar-besarnya pemenuhan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Sebagaimana telah dijelaskan di atas tentang hakikat HAM dan hakikat hukum pidana dan perdata

dapat menghantarkan kajian ini pada pertentangan antara perampasan aset tanpa pemidanaan dan HAM.

Apakah NCB Asset Forfeiture melanggara HAM di dalam negara hukum? Bila hanya melihat hakikat

HAM itu sendiri, maka tindakan negara yang merampas aset kejahatan tanpa pemidanaan bertentangan

dengan HAM, sebab inti dari HAM adalah hak privasi seseorang tidak bisa dicampuri oleh siapapun

juga, dengan alasan apapun, sekalipun itu dari negara.58

Tetapi jika dilakukan pendekatan melalui pendekatan hukum (pidana dan perdata) dalam konteks

negara hukum, maka dengan diterapkannya perampasan aset tanpa pemidanaan untuk kasus-kasus berat,

tidak bertentangan dengan HAM, karena sifat hukum pidana itu sendiri adalah membatasi sebahagian

HAM seseorang selama proses hukum pidana berlangsung. Sementara sifat hukum perdata adalah

kejelasan kepemilikan atas suatu harta/aset, siapa pemiliknya dan darimana diperoleh? Apakah dalam

suatu negara hukum seseorang dibenarkan memperoleh aset dari kejahatan? atau digunakan untuk

melakukan kejahatan?

Dalam konteks negara hukum, negaralah yang berwenang menguasai suatu aset/harta yang tak jelas

statusnya, atau berwenang merampas aset yang digunakan sebagai alat melakukan kejahatan, atau hasil

dari kejahatan itu sendiri. Apabila negara membiarkan keadaan ini, maka akan memberikan preseden

buruk kepada publik, dimana setiap orang akan bertindak menguasai aset yang bukan haknya, dapat

meningkatkan kuantitas dan kualitas kejahatan, akan menimbulkan kekuasaan kelompok kejahatan,

ketidakadilan ekonomi masyarakat, dan lain-lain.

Golongan yang mempertentangkan NCB Asset Forfeiture bertentangan dengan HAM didasarkan

prinsip ne bis in idem, hak kepemilikan harta/aset, prinsip praduga tidak bersalah (presumption of

innocence) atau asas non-self incrimination. Namun bila diperhatikan dalam konstitusi (UUD RI 1945),

UUHAM, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia atau Universal Declaration of Human Rights

(DUHAM/UDHR), Keputusan Komisi HAM Eropa Tahun 1986, Keputusan International Commission

of Jurist (ICJ) di New Delhi-India tahun 1959, dan pendapat para ahli hukum, dapat disimpulkan bahwa

perampasan aset tanpa pemidanaan ini tidak bertentangan dengan HAM.

Mereka yang menolak ini berpendapat bahwa selain hak hidup dan kebebasan, hak milik merupakan

hak fundamental yang harus dilindungi dan dihormati dalam perspektif UUHAM. Jika dilanggar, maka

telah terjadi pelanggaran HAM. Negara harus melindungi harta kepemilikan yang menjadi hak dasar

seseorang. Mendasarkan pada asas praduga tidak bersalah. Seseorang tidak dapat dipidana hanya karena

58 Yunus Husein, “Penjelasan…, Op. cit., hal. 7-8, dan hal. 33-34.

Page 10: Perampasan Aset Korupsi Tanpa Pemidanaan Dalam …

IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Perampasan Aset Korupsi Tanpa… Volume 2 Nomor 1, Februari 2021: Page 49-63 (Teuku Isra Muntahar, dkk.)

Page 58

kecurigaan memiliki harta benda dan memintanya untuk menjelaskan di muka persidangan bahwa harta

tersebut didapatkan dengan cara yang sah.59

NCB Assets Forfeiture dianggap rentan dengan pelanggaran HAM. Umumnya pembela-pembela ini

menentang penggunaan NCB Assets Forfeiture berkaitan dengan penyitaan sampai memiskinkan pelaku

dan keluarganya. Ini adalah pendapat yang keliru, karena tindakan memiskinkan itu tidak dilakukan

secara sewenang-wenang dan tetap konstitusional berdasarkan Pasal 28G ayat 1 UUD RI Tahun 1945.

Bahwa perlindungan konstitusi terhadap aset yang berada di bawah penguasaan setiap warga negara

hanya diperuntukkan atas penguasaan aset yang sah menurut hukum. Sebaliknya, jika tidak sah menurut

hukum, maka negara harus merampasnya.

NCB Asset Forfeiture juga dianggap bertentangan dengan prinsip ne bis in idem atau double

jeopardy dan melanggar hak milik pribadi (fundamental property right).60 Prinsip ne bis in idem dalam

Pasal 76 ayat (1) KUH Pidana menegaskan bahwa setiap orang tidak boleh dituntut dua kali (pidana dan

perdata terhadap satu objek) karena perbuatan yang sama terhadap dirinya karena telah diadili dengan

putusan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap.

Sementara hak milik diatur dalam Pasal 28H ayat (4) UUD RI tahun 1945 tidak boleh diambil alih

secara sewenang-wenang oleh siapapun. Ini sejalan dengan Pasal 17 Deklarasi Universal Hak Asasi

Manusia (DUHAM) atau Universal Declaration of Human Rights (UDHR) yang juga menegaskan

bahwa setiap orang berhak untuk memiliki properti (harta/aset) dan tidak seorang pun boleh

merampasnya secara sewenang-wenang.

NCB Asset Forfeiture dipertentangkan dengan asas praduga tidak bersalah dan hak properti yang

dilindungi konstitusi. Asas praduga tidak bersalah ditegaskan di dalam Pasal 11 ayat (1)

DUHAM/UDHR yang menentukan: “Setiap orang yang dituntut karena disangka melakukan suatu

pelanggaran hukum dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya menurut hukum dalam

suatu pengadilan yang terbuka, dan ia memperoleh semua jaminan yang diperlukan untuk

pembelaannya”.

Kemudian asas ini juga terdapat di dalam Penjelasan Umum Angka 3 Huruf c KUHAP yang

menjelaskan: “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan di muka

sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan

kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”.

NCB Asset Forfeiture itu tidak bergantung pada kesalahan pidana. Apakah terdakwa dinyatakan

bersalah atau tidak, itu tidak penting. Tapi, bergantung pada keberadaan aset itu sendiri telah

tercemar/ternodai dengan suatu kejahatan. Ini pada prinsipnya sama seperti perkara perdata, suatu aset

digugat karena didalilkan berada dalam kepemilikan tercemar/ternodai atau secara melawan hukum, dan

pemilik tetap diberikan kesempatan untuk membuktikan aset berada pada kepemilikannya secara sah

dan tidak tercemar.61

Oleh karena NCB Asset Forfeiture tidak terkait pada terbukti atau tidaknya kesalahan pidana

seseorang dalam perkara korupsi, tapi bergantung pada keabsahan keberadaan aset pada seseorang,

maka instrumen ini tidak melanggar bertentangan dengan asas praduga tak bersalah pada tersangka /

terdakwa.62 Jadi paham yang mempertentangkan instrumen ini dengan asas praduga tidak bersalah dapat

dibatah dari prinsip “tercemar/ternodai (taint) suatu aset dengan kejahatan”.

Selanjutnya di Pasal 29 ayat (2) UDHR ditentukan: ”Dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-

kebebasannya, setiap orang harus tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh

undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengajuan serta penghormatan yang

59 Alvon Kurnia Palma, Implementasi Dan Pengaturan Illicit Enrichment (Peningkatan Kekayaan Secara Tidak Sah) Di

Indonesia, (Jakarta: Indonesia Corruption Watch, 2014), hal. 31. 60 Theodore S. Greenberg, dkk., Op. cit., hal. 21. 61 Imelda F.K. Bureni, “Kekosongan Hukum Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi”, Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Vol.45, No.4, Oktober 2016, hal. 295. 62 Ibid., hal. 296.

Page 11: Perampasan Aset Korupsi Tanpa Pemidanaan Dalam …

IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Perampasan Aset Korupsi Tanpa… Volume 2 Nomor 1, Februari 2021: Page 49-63 (Teuku Isra Muntahar, dkk.)

Page 59

layak terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang

adil dalam hal kesusilaan, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang

demokratis”.

Ketentuan di dalam Pasal 29 ayat (2) UDHR ini sama materinya dengan rumusan di dalam Pasal 70

UUHAM dan tidak berubah sedikit pun. Dari ketentuan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa salah satu

bentuk penghormatan atas hak asasi orang lain adalah tidak boleh mengambil sesuatu barang atau

aset/harta (properti) yang bukan haknya. Ini juga sejalan dengan Pasal 29 ayat (1) UUHAM yang

menentukan “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan

hak miliknya”.

Aset yang dimiliki oleh pelaku atau pihak ketiga yang diperoleh dari hasil korupsi merupakan hak

tiap-tiap warga negara. Pelaku yang mengambil atau menggunakannya dalam korupsi untuk kekayaan

pribadi secara tidak sah dapat merusak tatanan demokrasi (Sila Ke-4 Pancasila) dan keadilan sosial (Sila

Ke-5 Pancasila). Sehingga penguasaan aset/harta dari perbuatan korupsi sebenarnya merupakan

kejahatan terhadap hak asasi seluruh warga negara karena rakyat dan negaralah yang berhak dan secara

sah memiliki aset negara.63

Pasal 28G ayat (1) UUD RI Tahun 1945 menentukan: “Setiap orang berhak atas perlindungan diri,

pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang berada di bawah kekuasaannya, serta

berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat

sesuatu yang merupakan hak asasi”. Ini merupakan perlindungan konstitusi terhadap harta kekayaan

(properti) yang berada di bawah penguasaan setiap warga negara hanya diperuntukkan atas penguasaan

aset yang sah menurut hukum.

Negara tidak memberikan perlindungan konstitusi atas penguasaan aset secara tidak sah sehingga

perampasan aset tanpa pemidanaan sebagai instrumen negara untuk melindungi penguasaan aset yang

sah bukanlah pelanggaran HAM. Komisi HAM Eropa Tahun 1986 menyimpulkan NCB Asset Forfeiture

juga tidak melanggar HAM sepanjang perampasan aset tersebut masih diberi kesempatan klaim bagi

pihak-pihak yang membantah melalui judicial scrutiny, dan selama masih diberikan kesempatan upaya

banding di pengadilan yang fair dan obyektif. Ini masih konsisten dengan asas praduga tidak bersalah,

dan hak fundamental atas kepemilikan harta.64

Perampasan aset tanpa pemidanaan sangat krusial dengan jaminan perlindungan hak milik di dalam

Pasal 28H ayat (4) UUD RI 1945 yang tak boleh diambil secara sewenang-wenang oleh siapapun.

Perlindungan terhadap aset seseorang di dalam konstitusi memang sangat dilindungi dari kesewenang-

wenangan sekaligus merupakan ciri negara hukum (rule of law). Namun, yang penting diperhatikan

adalah bagaimana perampasan aset tanpa pemidanaan tersebut dilaksanakan dengan tidak melanggar

hak konstitusi setiap orang.

Oleh sebab itu, doktrin NCB Asset Forfeiture mengajarkan bahwa untuk mencegah terjadinya

pelanggaran dalam mekanisme ini, JPU harus terlebih dahulu memiliki dugaan kuat (probable cause)

adanya keyakinan bahwa aset tersebut tercemar/ternodai dengan suatu kejahatan atau diperoleh secara

melanggar hukum. Penekannya adalah kepada JPU harus terlebih dahulu memiliki bukti kuat yang tak

terbantahkan lagi, bahwa aset yang ditemukan di luar kewajaran transaksi keuangan dan menyalahi

pengadministrasian aset. Dengan menggunakan teori probable cause ini, negara melawan aset itu sendiri

karena keberadaannya bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku.65

Keputusan International Commission of Jurist (ICJ) di New Delhi-India tahun 1959 mengenai

presumption of innocence menyatakan bahwa kesalahan tersangka harus dibuktikan dalam setiap kasus.

Penerapan rule of law mencakup penerimaan prinsip presumption of innocence, dimana terdakwa

dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah. Tapi dalam kasus tertentu yang menggeser beban

63 Ibid., hal. 296-297. 64 Yunus Husein, “Penjelasan…, Op. cit., hal. 34. 65 https://acch.kpk.go.id/id/artikel/riset-publik/tantangan-penerapan-perampasan-aset-tanpa-tuntutan-pidana-non-conviction-

based-asset-forfeiture-dalam-ruu-perampasan-aset-di-indonesia, diakses tanggal 14 Maret 2021.

Page 12: Perampasan Aset Korupsi Tanpa Pemidanaan Dalam …

IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Perampasan Aset Korupsi Tanpa… Volume 2 Nomor 1, Februari 2021: Page 49-63 (Teuku Isra Muntahar, dkk.)

Page 60

pembuktian tidak bertentangan dengan hukum.66 Dengan demikian, semakin memperkuat referensi

penyimpangan terhadap prinsip presumption of innocence dalam perkara NCB Asset Forfeiture tidak

bertentangan dengan rule of law untuk kasus-kasus tertentu (in particular case).67

Sebaliknya, prinsip dalam NCB Asset Forfeiture adalah praduga bersalah (presumption of guilt).

Prinsip praduga tidak bersalah dan prinsip praduga bersalah masing-masing memiliki ruang yang

berbeda. Tapi, dalam perkara NCB Asset Forfeiture, maka sah-sah saja bila orang yang diduga bersalah

untuk diminta membuktikan bahwa harta yang diperoleh secara tidak wajar.68

Penerapan NCB Asset Forfeiture ini harus diawali dari komitmen yang kuat dimana negara dan

aparatur hukumnya tidak boleh terpengaruh dengan pendapat-pendapat yang menyatakan bahwa NCB

asset forfeiture melanggar HAM. Penerapan NCB Asset Forfeiture harus ekstra hati-hati agar tidak

melanggar HAM. Sebab, penerapan ini rentan dengan pelanggaran HAM.69

Untuk menghindari pelanggaran terhadap HAM maka harus dimulai dari komitmen negara melalui

JPN dan aparat hukum lainnya, dilakukan dengan komprehensif dan terintegrasi, dimulai dari

penelusuran untuk memperoleh bukti-bukti kuat atas keberadaan aset tersebut, pemblokiran,

perampasan/penyitaan, dan selanjutnya diumumkan ke publik. Jika ternyata ada pihak yang mengajukan

klaim maka atas dasar HAM, ia diberi kesempatan untuk membuktikan klaimnya melalui gugatan

perdata dalam proses sidang di pengadilan.70

Penerapan pembalikan beban pembuktian (reversal of the burden of proof) dalam NCB Asset

Forfeiture bukan sesuatu yang harus dipermasalahkan karena tidak melanggar HAM. Pembalikan beban

pembuktian tidak ada kaitannya dengan prinsip “siapa yang menuduh maka dialah yang harus

membuktikan tuduhannya” dan tidak berkaitan dengan prinsip “praduga tidak bersalah”. Sebab kedua

prinsip ini berhubungan dengan pembuktian kesalahan pidana terdakwa di persidangan. Sedangkan

pembalikan beban pembuktian adalah suatu bentuk atau cara menunjukkan sah atau tidaknya

kepemilikian atas suatu aset/harta kekayaan dan menjelaskan bagaimana cara pelaku / pemilik

mendapatkan aset tersebut.71

Apabila pelaku / pemilik tidak mempu membuktikan bahwa dia telah memiliki aset/harta yang

diperoleh secara sah menurut hukum, maka telah ada dugaan kuat yang tak terbantahkan lagi bahwa

aset/harta tersebut merupakan hasil/tercemar dengan kejahatan. Aset/harta yang tidak dapat dibuktikan

tersebut harus dinyatakan sebagai harta kekayaan yang tercemar/ternodai (taint). Untuk itu, JPN harus

mengajukan permohonan gugatan perdata ke pengadilan agar harta yang tercemar tersebut ditetapkan

dirampas dan sebagai milik negara.72

Perampasan aset tanpa pemidanaan bukan ditujukan untuk menyatakan kesalahan pidana dan bukan

untuk menghukum terdakwa. Pendekatan perampasan in rem ini telah menggeser nilai kebenaran materil

tentang kesalahan dalam hukum pidana menjadi kebutuhan untuk membuktikan kebenaran formil atas

asal-usul harta kekayaan. Mekanisme yang digunakan dalam RUU Perampasan Aset untuk in rem tidak

membuktikan kesalahan pidana seseorang atau subjek hukum, melainkan hanya membuktikan suatu aset

merupakan hasil kejahatan.73

66 Norman S. Marsh, “The Rule Of Law In A Free Society”, A Report On The International Congress Of Jurists, New Delhi, India, January 5-10, 1959, hal. 9. 67 Yunus Husein, “Penjelasan…, Loc. cit. 68 Ibid. 69 Sudarto & Hari Purwadi, “Mekanisme Perampasan Aset Dengan Menggunakan Non-Conviction Based Asset Forfeiture Sebagai Upaya Pengembalian Kerugian Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi”, Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS, Vol. V,

No. 1 (Januari-Juni 2017), hal. 110. 70 Ibid., hal. 111. 71 Yunus Husein, “Penjelasan…, Op. cit., hal. 36. 72 Ibid. 73 Ibid., hal. 35.

Page 13: Perampasan Aset Korupsi Tanpa Pemidanaan Dalam …

IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Perampasan Aset Korupsi Tanpa… Volume 2 Nomor 1, Februari 2021: Page 49-63 (Teuku Isra Muntahar, dkk.)

Page 61

C. Penutup

1. Kesimpulan

Perampasan aset korupsi tanpa pemidanaan (NCB Asset Forfeiture) dalam perspektif HAM adalah

sejalan dan tidak bertentangan prinsip antar satu sama lain. Dasar hukumnya adalah konstitusi (Pasal

28H ayat 4 dan Pasal 28G ayat 1 UUD RI Tahun 1945), Pasal 29 ayat (2) DUHAM/UDHR, Pasal 70

dan Pasal 29 ayat (1) UUHAM, Keputusan Komisi HAM Eropa 1986, Keputusan ICJ 1959, dan

pendapat para ahli hukum. Secara normatif, aset yang tercemar korupsi adalah hak tiap-tiap warga

negara (korban) dalam rangka memenuhi prinsip demokrasi ekonomi (Sila Ke-4 Pancasila) dan keadilan

sosial (Sila Ke-5 Pancasila), perlindungan sosial, kesejahteraan sosial, dan kemanfaatan sosial. Negara

lah yang berwenang menguasai aset/harta yang tak jelas pemiliknya, atau merampasnya karena tercemar

korupsi. Lagi pula NCB Asset Forfeiture tidak bergantung pada kesalahan pidana terdakwa, tapi

bergantung pada keberadaan aset itu sendiri setelah lebih dahulu ada dugaan kuat dan keyakinan bahwa

aset tersebut tercemar/ternodai korupsi dan melawan hukum, maka penggunaan prinsip praduga

bersalah terhadap aset tersebut adalah sah. Secara praktek, ini tidak bertentangan dengan HAM

sepanjang proses NCB Asset Forfeiture tidak dilakukan secara sewenang-wenang maka tetap

konstitusional. Pemilik atau pihak ketiga yang membantah tetap diberi kesempatan untuk membuktikan

klaimnya terhadap aset melalui gugatan perdata. Dengan tetap diberikannya kesempatan dan upaya

perdata di pengadilan secara fair dan obyektif masih konsisten dengan asas praduga tidak bersalah, dan

hak fundamental atas kepemilikan harta. Dalam konteks rule of law dari sisi pendekatan hukum pidana

dan perdata, sifat hukum pidana membatasi sebagian HAM terdakwa di satu sisi dan melindungi HAM

korban di sisi lain, sementara sifat hukum perdata adalah menekankan kejelasan kepemilikan sah atas

suatu harta/aset.

2. Saran

Diharapkan agar penerapannya tidak melanggar HAM maka penggunaan NCB Asset Forfeiture

harus ekstra hati-hati, sebab rentan dengan pelanggaran HAM. Untuk menghindari itu maka harus

dimulai dari komitmen negara cq JPN, aparat hukum, dan lembaga-lembaga terkait, dengan

komprehensif dan terintegrasi, memulai penyelidikan untuk memperoleh bukti-bukti kuat atas

keberadaan aset, pemblokiran, penyitaan, perampasan, dan pengumuman ke publik. Jika ternyata ada

pihak yang mengajukan klaim, maka atas dasar HAM, ia harus diberi kesempatan untuk membuktikan

klaimnya melalui gugatan perdata dalam proses sidang di pengadilan secara fair dan objektif.

Daftar Pustaka

Albert, Richard F. & Amy Tully, “A Bad Fit-Criminal Forfeiture of Substitute Assets, the Lis Pendens”,

New York Law Journal, Vol. 234, No. 27, Tanggal 9 Agustus 2005.

Amrullah, M. Arief, Politik Hukum Pidana Dalam perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi Di Bidang

Perbankan, Jakarta: Bayu Media, 2007.

Bernet, Tood, “Legal Fiction and Forfeiture: A Historical Analysis of the Civil Asset Forfeiture Reform

Act”, 40 Duquesnes Law Review Fall, 2001.

Bureni, Imelda F.K., “Kekosongan Hukum Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan Dalam Undang-

Undang Tindak Pidana Korupsi”, Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Vol.45, No.4, Oktober 2016.

Cassella, Stefan D., “Criminal Forfeiture Procedure in 2015: An Annual Survey of Developments in the

Case Law”, Criminal Law Bulletin, Date: 8/22/2015.

______, “The Case for Civil Forfeiture: Why In Rem Proceddings are an Essential Tool for Recovering

the Proceeds of Crime, Paper yang disampaikan pada seminar: 25th Cambrige International

Symposium on Economic Crime, Tanggal 7 September 2007.

Chaerudin & Syarif Fadillah, Korban Kejahatan Dalam Pespektif Vikimologi Dan Hukum Pidana Islam,

Cetakan Pertama, Jakarta: Grhalia Press, 2004.

Ekotama, Suryono, dkk., Abortus Provocatus Bagi Korban Perkosaan Perspekif Viktimologi,

Kriminologi dan Hukum Pidana, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, (Jakarta: Universitas Atma Jaya,

2001), hal. 135.

Finklestein, “The Goring Ox: Some Historical Perspective on Deodands, Forfeiture, Wrongful Death

and the Western Notion of Sovereignty”, 46 Temple Law Quarterly Journal (1973).

Gosita, Arif, Masalah Korban Kejahatan, Jakarta: Akademika Pressindo, 1993.

Page 14: Perampasan Aset Korupsi Tanpa Pemidanaan Dalam …

IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Perampasan Aset Korupsi Tanpa… Volume 2 Nomor 1, Februari 2021: Page 49-63 (Teuku Isra Muntahar, dkk.)

Page 62

Greenberg, Theodore S., dkk., Stolen Asset Recovery: A Good Practices Guide for Non-Conviction

Based Asset Forfeiture, Washington DC: The Wolrd Bank, 2009.

Harahap, A. Bazar & Nawangsih, Hak Asasi Manusia dan Hukumnya, Jakarta: Perhimpunan

Cendikiawan Indpenden Indonesia-Pecirindo, 2006.

Hunter, Isaiah M., “The War on Drugs and Taxes: How Tax Expenditure Analysis Can Shed Light on

Civil Asset Forfeiture”, New York University Journal of Law & Liberty, Vol. 9:549, 2014.

Husein, Yunus, “Penjelasan Hukum Tentang Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan Dalam Perkara

Tindak Pidana Korupsi”, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) bekerja sama

dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan (Puslitbangkumdil) Mahkamah

Agung Republik Indonesia, dan United States Agency International Development (USAID).

Manthovani, Reda & R. Narendra Jatna, Rezim Anti Pencucian Uang dan Perolehan Hasil Kejahatan

di Indonesia, Jakarta: Malibu, 2012.

Marsh, Norman S., “The Rule Of Law In A Free Society”, A Report On The International Congress Of

Jurists, New Delhi, India, January 5-10, 1959.

Moores, Eric, “Reforming The Civil Asset Forfeiture Reform Act, Arizona Law Review, Vol. 51:777,

University of Arizona, 2010.

Muladi & Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1992.

Naning, Ramdhon, Cita dan Citra Hak-HAM di Indonesia, Jakarta: Lembaga Kriminologi Program

Penunjang Hukum Universitas Indonesia, 1990.

Nasution, Bismar, “Stolen Asset Recovery Initiative dari Perspektif Hukum Ekonomi di Indonesia”,

Makalah Disampaikan Pada Seminar Pengkajian Hukum Nasional 2007, Pengembalian Aset (Asset

Recovery) Melalui Instrumen Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative dan Perundang-Undangan

Indonesia, Diadakan oleh Komisi Hukum Nasional (KHN) di Hotel Millenium Jakarta 28-29

November 2007.

Palma, Alvon Kurnia, Implementasi Dan Pengaturan Illicit Enrichment (Peningkatan Kekayaan Secara

Tidak Sah) Di Indonesia, Jakarta: Indonesia Corruption Watch, 2014.

Porajow, David Fredriek Albert, Non-Conviction Based Asset Forfeiture Sebagai Alternatif

Memperoleh Kembali Kekayaan Negara Yang Hilang Karena Tindak Pidana Yang Berkaitan

Dengan Perekonomian Negara, Jakarta: FHUI, 2013.

Prassel, Frank R., Criminal Law, Justice, and Society, Santa Monica-California: Goodyear Publishing

Company Inc., 1979.

Ramelan & Tim Penyusun, Laporan Akhir Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang

Perampasan Aset Tindak Pidana Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional, Jakarta:

Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik

Indonesia, 2012.

Romantz, David Scott, “Civil Forfeiture and the Constitution: A Legislative Abrogation of Right and

The Judicial Response: The Gulit of The Res”, 28 Suffolk University Law Riview, 1994.

Schwarcz, Steven L. & Alan E. Rothman, “Civil Forfeiture: A Higher Form of Commercial Law?”,

Fordham Law Review, Vol. 62, Tahun 1993.

Sudarto, “Mekanisme Perampasan Aset Dengan Menggunakan Non Conviction Based Asset Forfeiture

Sebagai Upaya Pengembalian Kerugian Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi”, Jurnal Pasca

Sarjana Hukum UNS, Vol. V, No. 1 (Januari-Juni 2017), hal. 111.

______, & Hari Purwadi, “Mekanisme Perampasan Aset Dengan Menggunakan Non-Conviction Based

Asset Forfeiture Sebagai Upaya Pengembalian Kerugian Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi”,

Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS, Vol. V, No. 1 (Januari-Juni 2017).

Skorup, Brent, “Ensuring Eighth Amendment Protection From Excessive Fines in Civil Asset Forfeiture

Cases”, Civil Rights Law Journal, Vol. 22:3, 2012.

The European Union & The Council of Europe, Impact Study on Civil Forfeiture, Belgrade: Dosije

Studio, 2013.

Wagiman, Wahyu & Zainal Abidin, Praktik Kompensasi dan Restitusi di Indonesia: Sebuah Kajian

Awal, Jakarta: Indonesia Corruption Wacth (ICW), The Institute for Criminal Justice Reform,

Koalisi Perlindungan Saksi, 2007.

Wignjosoebroto, Soetandyo, Hak Asasi Manusia Konsep Dasar dan Perkembangan Pengertiannya Dari

Masa Ke Masa, Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 2005.

Yusuf, Muhammad, Merampas Aset Koruptor, Solusi Pemberantasan Korupsi di Indonesia, Jakarta:

Kompas Media Nusantara, 2013.

Page 15: Perampasan Aset Korupsi Tanpa Pemidanaan Dalam …

IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Perampasan Aset Korupsi Tanpa… Volume 2 Nomor 1, Februari 2021: Page 49-63 (Teuku Isra Muntahar, dkk.)

Page 63

https://acch.kpk.go.id/id/artikel/riset-publik/tantangan-penerapan-perampasan-aset-tanpa-tuntutan-

pidana-non-conviction-based-asset-forfeiture-dalam-ruu-perampasan-aset-di-indonesia, diakses

tanggal 16 Mei 2021.

https://harvardlawreview.org/2018/06/how-crime-pays-the-unconstitutionality-of-modern-civil-asset-

forfeiture-as-a-tool-of-criminal-law-enforcement/, diakses tanggal 14 Maret 2021.

https://www.justice.gov/afp/types-federal-forfeiture, diakses tanggal 14 Maret 2021.

https://acch.kpk.go.id/id/artikel/riset-publik/tantangan-penerapan-perampasan-aset-tanpa-tuntutan-

pidana-non-conviction-based-asset-forfeiture-dalam-ruu-perampasan-aset-di-indonesia, diakses

tanggal 14 Maret 2021.