jurnal ditjen pp dan pl kemenkes ri tahun 2012

52
i

Upload: humasditjenppdanpl

Post on 04-Dec-2014

4.710 views

Category:

News & Politics


2 download

DESCRIPTION

 

TRANSCRIPT

Page 1: Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2012

i

Page 2: Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2012

ii

Page 3: Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2012

iii

Penerbit Direktorat Jenderal PP dan PL, Kementerian Kesehatan RI

DEWAN REDAKSI

Penasihat

Penanggung Jawab

Redaktur

Editor

Desain Grafis/Fotografer

Sekretariat

Direktur Jenderal PP dan PL Sekretaris Ditjen PP dan PL Kepala Bagian Hukormas Sri Handini, SH, M.Kes, MH dr. Ita Dahlia, MH.Kes dr. Ramadona Triadi Dyah Prabaningrum, SKM DR. Lukman Hakim Dr. Toni Wandra, M.Kes, Ph.D DR. Hari Santoso, M.Epid Dr. Suwito, SKM, M.Kes Putri Kusumawardhani, ST Eriana Sitompul Bukhari Iskandar, SKM Dr. Grace Ginting, MARS Mugi Wahidin, SKM Hilwati, SKM, M.Kes Risma, SKM Dewi Nurul Triastuti, SKM Ahmad Abdul Hay, SKM Siti Djubaidah Murniaty, SE Aditya Pratama, Si.Kom Indah Nuraprilyanti, SKM

Alamat Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

Jl. Percetakan Negara No. 29 Jakarta 10560 Telepon/Faks: (021) 4223451

e-mail : [email protected], website: www.pppl.depkes.go.id facebook: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit

dan Penyehatan Lingkungan

JURNAL PENGENDALIAN PENYAKIT

DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN

Desember 2012

ISSN 2089 – 290X

Page 4: Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2012

iv

Kata Pengantar

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena Jurnal Pengendalian

Penyakit dan Pengendalian Lingkungan Tahun 2012 telah dapat disusun dan

diterbitkan. Jurnal ini disusun untuk memenuhi kebutuhan pembaca dalam

pengembangan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan khususnya

pengendalian penyakit, baik yang menular maupun tidak menular serta

penyehatan lingkungan di Indonesia.

Jurnal ini disajikan dengan materi-materi yang pernah dilakukan kajian atau

survei dari Unit Satuan Kerja di lingkungan Direktorat Pengendalian Penyakit

dan Penyehatan Lingkungan, dengan tujuan dapat membantu pembaca

mengetahui perkembangan terbaru tentang program pengendalian penyakit

dan penyehatan lingkungan.

Pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak

yang telah membantu dalam menyelesaikan jurnal ini dan kepada seluruh

pembaca jurnal atas kesediaan untuk memberikan saran dan kritik dalam

penyempurnaan jurnal ini.

Akhir kata, semoga jurnal ini dapat memberikan motivasi dan dorongan, serta

bermanfaat bagi kita semua.

Jakarta, Desember 2012

Page 5: Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2012

v

Daftar Isi

Halaman

Hasil Kegiatan Monitoring Resistensi Obat HIV dan AIDS di Indonesia ……………………………………………………………………….. Model Harmonisasi Surveilans Epidemiologi dan Virologi Influenza (H5N1 dan Influenza) di Jakarta Timur, Tahun 2011 – 2012 ..................................................................................... Hubungan Perilaku dan Faktor Lingkungan dengan Kejadian Malaria di Sangkulirang, Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur .... Status Resistensi Nyamuk Anopheles di Wilayah Kalimantan dan Sulawesi ………………………………………………………………………… Contact Investigation pada Anak yang Tinggal Serumah dengan Penderita Tuberkulosis di Yogyakarta …………………………………… Perilaku Nyamuk Anopheles di Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung …………………………………………………………….. Implementasi Public Private Mix Program DOTS pada Dokter Praktik Swasta dalam Pengendalian Tuberkulosis di Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur, Tahun 2011 …..…………………………. Hasil Kajian Peningkatan Deteksi Kasus Tuberkulosis di Daerah Sulit Dijangkau di Provinsi Maluku ..………………………………………. Kajian Pengembangan Pengendalian Penyakit Tiroid di Kota Kendari, Semarang, Tarakan, Kabupaten Gorontalo, dan Kabupaten Gianyar, Tahun 2011 ..................................................... Entomological Inoculation Rate (EIR) Wilayah Perkebunan di Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku, Tahun 2008 dan 2009 . Pengolahan Limbah Medis Padat Rumah Sakit di Indonesia, Tahun 2009 – 2012 ..................................................................................... Proses Pengelolaan Air Limbah di BBTKLPP Jakarta ......................

1-4

5-9

10-13

14-16

17-20

21-26

27-29

30-32

33-35

36-39

40-43 44-46

Page 6: Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2012

1

Hasil Kegiatan Monitoring Resistensi Obat HIV dan AIDS di Indonesia

Tri Yunis Miko W

1, Fera Ibrahim

2, Budiman Bela

2, Andi Yasmon

2, Siti Nadia Tarmizi

3, Naning Nugrahini

3, Victoria

Indrawati3, Rachma Febriana

3, Oscar Martin Barreneche

4, Sri Pandam Pulungsih

4, Janto G.Lingga

4, Martha

Akila4, Fetty Wijayanti

4

1Departemen Epidemiologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia,

2 Departemen Mikrobiologi,

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 3

Subdit AIDS dan PMS Direktorat Jenderal PP dan PL, 4WHO

Indonesia

Abstrak. Indonesia merupakan negara berkembang yang memilliki Triple Burden of Diseases, dimana pada saat

ini Indonesia memiliki masalah kesehatan baik masalah penyakit menular, tidak menular dan penyakit-penyakit

baru muncul (new emerging diseases). Salah satu masalah penyakit menular di Indonesia adalah penyakit HIV

dan AIDS. Penyakit ini meningkat dengan cepat sejak ditemukan kasus pertama kali pada tahun 1980. Hingga

Juni tahun 2012, jumlah penderitanya telah mencapai 86.762 kasus HIV dan 29.421 kasus AIDS. Dengan

peningkatan yang cepat tersebut, maka pada tahun 2004 Indonesia telah melaksanakan pengobatan massal

terhadap penderita HIV dan AIDS . Dimulai dengan menunjuk beberapa rumah sakit sebagai tempat pelayanan

pengobatan Anti Retro Viral (ARV), hingga sekarang jumlah tempat pelayanan ARV tersebut telah berjumlah 323

Rumah Sakit, terdiri dari 238 RS Rujukan PDP (induk) dan 85 satelit. Oleh karena itu untuk memonitor dampak

pengobatan massal yang sudah semakin meluas, maka pada tahun 2008 Kementerian Kesehatan membentuk

Tim Nasional HIV Drug Resistances dengan beranggotakan para ahli, WHO, dan subdit AIDS dan PMS.

Kata Kunci: Monitoring, Obat, HIV dan AIDS.

Koresponden: Dr. Tri Yunis Miko Wahyono, MSc Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. Telp. 0818177817; 02178849031; 7863474 Faks. 02178849032 Email:[email protected]

PENDAHULUAN

Sesuai dengan rekomendasi World Health Organization (WHO) pemantauan resistensi obat HIV dan AIDS (selanjutnya disebut resistensi obat HIV) di Indonesia terdiri dari tiga kegiatan yaitu: (1) Survey ambang batas (HIV DR threshold survey) yang bertujuan untuk melihat prevelensi resistensi primer pada orang yang baru terkena HIV; (2) Survey monitoring (HIV DR monitoring survey) yang bertujuan untuk melihat efektivitas pengobatan ARV; dan (3) Indikator kewaspadaan dini (Early Warning Indicators/EWIs monitoring) yang bertujuan untuk melihat indikator kewaspadaan dini (Indikator EWI1-EWI6) di setiap tempat pelayanan ARV. Selain itu untuk mendukung monitoring resistensi obat HIV tersebut juga (4) dikembangkan laboratorium untuk pemeriksaan resistensi obat HIV (genotyping test).

Tujuan penelitian ini untuk memantau resistensi obat HIV di Indonesia

BAHAN DAN CARA

Threshold Survey

Threshold survey pertama kali diadakan di Jakarta. Tujuan dari survei ambang ini adalah

(1) Untuk melihat estimasi prevalensi dari transmisi resistensi obat ARV di Jakarta; dan (2) Untuk mengevaluasi prosedur survei ini untuk digunakan pada threshold survey selanjutnya di daerah yang berbeda.

Desain studi penelitian ini adalah cross sectional dengan menggunakan data dan spesimen darah untuk genotyping test dari masing-masing sampel. Populasi pada survei ini adalah pengguna jarum suntik (penasun/IDUs) yang berumur 21 tahun ke bawah yang belum menunjukan gejala AIDS (HIV asimptomatik) dan belum mendapat Anti Retroviral Treatment/ART (ART-naive).

Berdasarkan perhitungan binomial sequential sampling, dibutuhkan jumlah sampel minimal sebanyak 47 sampel, tetapi untuk antisipasi non respons rate, maka jumlah sampel ditambah menjadi 70 sampel.

Prevalensi transmisi resistensi primer HIV DR pada survei ini berdasarkan teknik sampling tersebut. Selanjutnya diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu: (1) Low prevalence, bila tingkat transmisi resistensi primer <5%; (2) High prevalence (≥15%); dan (3) Moderate prevalence: (5%-15%).

Threshold survey pertama telah dilaksanakan pada bulan April 2006 sampai September 2007 di lima pilot site, yaitu Pokdisus RSCM, RSK Dharmais, RS Fatmawati, Kios Atma Jaya, dan Pamardi Siwi. Pemeriksaan genotyping test ini dilakukan secara duplo di dua laboratorium, yaitu di laboraturium rujukan WHO di St. Vincent (Australia) dan di laboratorium

Page 7: Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2012

2

Mikrobiologi UI. Pemeriksaan genotyping di

Mikrobiologi UI dimaksudkan untuk

memperoleh akreditasi sebagai laboratorium

untuk pemeriksaan genotipik AIDS dengan

teknik in-house.

Monitoring Survey Monitoring survey HIV DR adalah survei

yang dilakukan untuk melihat efektivitas ARV selama pengobatan ARV disuatu tempat pelayanan ARV. Tujuan monitoring survei adalah: (1) Untuk melihat estimasi proporsi populasi yang menerima ART dan hubungannya dengan pencegahan resistensi obat ARV (efektivitas ARV); (2) Untuk mengidentifikasi mutasi spesifik resistensi obat ARV dan pola mutasi pada populasi yang tidak menerima obat ARV lini pertama; (3) Untuk melihat hubungan antara faktor program dengan pencegahan resistensi obat HIV; dan (4) Sebagai bahan evaluasi dalam mengoptimalkan fungsi program ART di tempat pelayanan ARV.

Monitoring survey ini merupakan suatu studi penelitian ini dengan desain kohort. Populasi pada survei ini adalah pasien yang berusia 15 tahun ke atas dan baru memulai ART yang akan diikuti selama 12 bulan pertama. Jumlah sampel minimal untuk penelitian ini adalah 96 sampel dan ditambah dengan perkiraan sampel yang meninggal dan transfer-out, maka jumlah sampel keseluruhan yang diambil sebanyak 110-130 sampel.

Dari monitoring survei ini resistensi obat dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori yaitu: (1) HIVDR prevention, apabila supresi RNA HIV <1000 copies/ml; (2) Possible HIVDR, apabila viral load terdeteksi tetapi mutasi resistensi HIV tidak terdeteksi atau sampel loss of follow up atau sample berhenti menggunakan ART; dan (3) HIV DR, apabila terdeteksi setidaknya satu resistensi mayor yang sesuai dengan standar genotyping resistensi obat HIV dari WHO.

Monitoring survey HIV DR pertama kali dilaksanakan pada bulan September 2008 sampai Januari 2010 di RSPI Sulianti Saroso. Pemeriksaan genotyping test pada survei ini dilakukan di laboratorium rujukan WHO di Burnet Institute, Australia. Selain itu, genotyping test juga dilakukan di Laboratorium mikrobiologi FK UI.

Jumlah sampel baseline pada survey ini sebanyak 110 sampel dan sampel endline sebanyak 76 sampel.

Early Warning Indicators (EWIs)

Early Warning Indicators (EWIs) bertujuan untuk mengevaluasi program ART yang telah dilaksanakan di Indonesia.

Kegiatan EWIs dilakukan dengan mengukur enam indikator yang dilihat dari pencatatan dan pelaporan yang ada di rumah sakit. Keenam indikator tersebut adalah: (1) Persentase pasien yang mendapatkan resep obat ARV sesuai dengan standar nasional; (2) Persentase gagal follow up setelah 12 bulan menggunakan ARV; (3) Persentase pasien yang tetap menggunakan ARV lini pertama selama 12 bulan sejak memulai ART; (4) Persentase pasien yang mengambil obat ARV tepat waktu; (5) Persentase pasien yang memenuhi jadwal kunjungan untuk mengambil ARV, dan (6) Keberlangsungan suplai obat ARV.

Kegiatan Early Warning Indicators (EWIs) 2009 dilaksanakan pada empat pilot site yang telah terpilih yaitu RSK Dharmais, RSPI Sulianti Saroso, RSKO Cibubur, dan RSPAD Gatot Soebroto. Pemilihan keempat site tersebut dilakukan oleh Subdit AIDS dan PMS dengan asistensi konsultan dari WHO HQ dan WHO. Pelaksanaan kegiatan ini akan dilaksanakan pada masing-masing site.

Untuk input data indikator EWIs dilakukan oleh staf pencatatan pelaporan dan farmasi pada layanan yang terpilih. Sedangkan untuk analisis data dilakukan oleh tim HIVDR.

Setelah pilot di 4 site di Jakarta, selanjutnya dilakukan EWIs monitoring di 16 RS di 6 Propinsi pada tahun 2011. Rumah sakit yang melaksanakan EWIs 2011 tersebut adalah RSK Dharmais, RSPAD Gatot Soebroto, RSPI Sulianti Saroso, RSKO Cibubur, RS Hasan Sadikin, RS dr. Kariadi, RS Sardjito, RS dr. Soetomo, RS Karang Tembok, RS Ramelan, RS Sanglah, RS Buleleng, RS Wangaya, RS Badung, RS Sanjiwani, dan RSTabanan. Dari 16 rumah sakit tersebut hanya 12 rumah sakit yang memberikan data lengkap untuk 6 indikator EWI.

HASIL DAN PEMBAHASAN Threshold Survey

Hasil genotyping tes dari St. Vincent

diterima pada bulan Oktober 2007. Hasil dari

genotyping tersebut menunjukkan bahwa

tingkat transmisi resistensi primer ARV di

Indonesia di kalangan pengguna jarum suntik

kurang dari 5% (low prevalence). Oleh karena

tingkat resistensi di Indonesia masih berada

dalam kategori low prevalence, maka

Page 8: Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2012

3

threshold survey akan diadakan setiap 2 tahun

sekali.

Monitoring Survey Hasil pemeriksaan dari Burnet Institute

pada monitoring survey di RSPI Sulianti Saroso menunjukkan bahwa tingkat resistensi yang didapatkan 25% (9.2% HIV DR dan 15.8% possible resistance) atau tingkat efektivitas ARV masih 75%. Hal itu menunjukkan bahwa pengobatan ARV lini pertama masih efektif digunakan.

Early Warning Indicators (EWIs)

Hasil pilot EWIs tahun 2010 (data tahun 2008) menunjukkan hasil bahwa masih ada layanan yang menggunakan rejimen obat tidak sesuai dengan standar nasional.

Kemudian angka gagal follow-up juga masih tinggi yaitu di atas 20%. Selain itu angka ketepatan waktu untuk pengambilan obat dan konsultasi klinik juga masih rendah. Untuk ketersediaan suplai obat, masih ada layanan yang mengalami kekurangan obat pada tahun tersebut. Tabel 1. Hasil monitoring EWIs di 4 pilot sites

di Jakarta, tahun 2008

EWI 1 EWI 2 EWI 3 EWI 4 EWI 5

EWI

6

Target

EWIs

100%

<20%

>70%

>90%

>80%

100%

Hospital

A 98% 19% 94% 36% 66% 92%

Sample

size 125 125 125 74 70

12

months

Hospital

B 100% 24% 100% 49% 67% 100%

Sample

size 87 87 87 45 45

12

months

Hospital

C 100% 29% 100% 33% 67% 92%

Sample

size 30 30 30 9 9

12

months

Hospital

D 100% 31% 98% 15% 86% 100%

Sample

size 62 62 62 13 13

12

months

Pada pemantauan EWIs selanjutnya pada tahun 2011 (data tahun 2009), dapat terlihat bahwa sudah seluruh layanan ART memberikan rejimen obat sesuai dengan standar nasional yang ada dan sudah tidak

ada lagi layanan yang kekurangan stok obat. Kemudian, angka gagal follow-up juga sudah mulai menurun. Akan tetapi angka ketepatan waktu mengambil obat masih belum memenuhi target yang ada (lihat tabel 2). Tabel 2. Hasil monitoring EWIs di 12 sites pada 6 propinsi, tahun 2011

EWI

1

EWI

2

EWI

3

EWI

4

EWI

5

EWI

6

No.

Target

EWIs

100%

<20%

>70%

>90%

>80%

100%

1 RS B 100% 0% 55.24% 42% 92% 100%

Sample

size 110 110 110 145 145

12

bulan

2 RS C 100% 0% 75% 13% 72% 100%

Sample

size 57 57 57 75 75

12

bulan

3 RS D 100% 1% 81.25% 43% 91% 100%

Sample

size 100 100 100 100 100

12

bulan

4 RS E 100% 2% 75.76% 41% 88% 100%

Sample

size 75 75 75 100 100

12

bulan

5 RS F 100% 0% 98.33% 36% 70% 100%

Sample

size 120 120 120 155 155

12

bulan

6 RS G 100% 23% 16.47% 25% 77% 100%

Sample

size 100 100 100 100 100

12

bulan

7 RS I 100% 30% 53.80% 35% 94% 100%

Sample

size 231 231 231 151 151

12

bulan

8 RS J 100% 0% 75.00% 83% 83% 100%

Sample

size 10 10 10 6 6

12

bulan

9 RS L 100% 3% 90.83% 24% 90% 100%

Sample

size 120 120 120 160 160

12

bulan

10 RS N 100% 4% 85.19% 42% 92% 92%

Sample

size 35 35 35 13 12

12

bulan

11 RS O 100% 19% 48.57% 83% 91% 100%

Sample

size 36 36 36 23 23

12

bulan

12 RS P 100% 8% 68.97% 48% 100% 92%

Sample

size 32 32 32 27 27

12

bulan

Page 9: Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2012

4

Pengembangan kapasitas laboratorium FK UI

Untuk menunjang kegiatan HIV Drug Resistance di Indonesia, maka perlu ada laboratorium yang dapat melakukan pemeriksaan HIV Drug Resistance (genotyping test). Berdasarkan penilaian, maka laboratorium mikrobiologi FK UI terpilih sebagai laboratorium yang akan dijadikan rujukan untuk pemeriksaan HIV Drug Resistance.

Pemilihan tersebut didasarkan bahwa laboratorium sudah memiliki BSL2 dan BSL 3 serta memiliki pengalaman melakukan genotyping test dan memiliki sumber daya manusia yang memiliki kapasitas dalam pemeriksaan tersebut.

Saat ini Laboratorium FK UI masih dalam tahap proses akreditasi untuk genotyping resistensi obat HIV. Akreditasi tersebut didapat apabila pihak laboratorium FK UI sudah mampu melakukan genotyping test secara rutin minimal 100 sampel setiap tahunnya.

Laboratorium ini telah mendapatkan

sertifikasi proficiensy test yang dilakukan oleh

jaringan laboratorium regional (Resnet) yang

menunjukkan bahwa laboratorium mikrobiologi

FK UI telah dianggap mampu melakukan

genotyping test dengan baik (proficient).

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil tiga kegiatan

pemantauan resistensi obat HIV yang sudah

dilaksanakan di Indonesia, menunjukan hasil

bahwa pengobatan ARV di Indonesia masih

efektif. Walaupun seperti itu, faktor-faktor

pemicu resistensi di Indonesia harus selalu

dipantau setiap tahunnya untuk mencegah

terjadinya resistensi obat tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Kementerian Kesehatan RI, 2012. Laporan

Perkembangan HIV-AIDS di Indonesia.

Jakarta.

WHO, 2006. Protocol for evaluation of

transmitted HIV drug resistance using

specimens from HIV, Genewa

WHO, 2009. Protokol for Surveys to Monitor

HIV Drug Resistance Prevention and

Associated Factors in Sentinel Antiretroviral

Treatment Sites, Geneva.

WHO, 2010. HIV Drug Resistance Early

Warning Indicators to monitor HIV Drug

Resistance prevention at antiretroviral

treatment sites, Genewa.

Page 10: Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2012

5

Model Harmonisasi Surveilans Epidemiologi dan Virologi Influenza (H5N1 dan Influenza Lainnya) di Jakarta Timur, Tahun 2011-2012

Rita Kusriastuti

1, Misriyah

1, Regina T Sidjabat

1, Sinurtina Sihombing

1, Chita Septiawati

1, Romadona Triada

1,

Anjar Kusnawardani1, Puji Sulistyarini

1, Vivi Setiawati

2, Amalya

3, Yekti Praptiningsih

3, Gina Samaan

3

1Direktorat PPBB, Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.

2 Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan Badan Litbangkes.

3 CDC Atlanta

Abstrak. Situasi epidemiologi serta pola musiman influenza di Indonesia belum banyak diketahui. Di Indonesia,

penyakit influenza kurang mendapat perhatian karena dianggap penyakit ringan dan tidak membahayakan.

Namun sejak tahun 2005, yaitu saat ditemukannya kasus H5N1 pada manusia di Indonesia, masyarakat maupun

pemerinta mulai menaruh perhatian pada penyakit ini. Berbagai upaya dilakukan termasuk upaya untuk

mengetahui faktor risiko, gejala klinis dan pola musiman dan besaran masalah influenza khususnya H5N1. Salah

satunya adalah dengan dilaksanakannya Harmonisasi Surveilans Epidemiologi dan Virologi Influenza di wilayah

Jakarta Timur yang bertujuan untuk mengetahui epidemilogi influenza H5N1dan influenza subtipe lainnya.

Surveilans ini dilaksanakan sejak Agustus 2011, dilaksanakan di 4 puskesmas untuk menjaring pasien yang

mengalami gejala ILI (Influenza Like Illness) dengan panas lebih dari 38°C dengan batuk dan atau sakit

tenggorok dan 6 rumah sakit untuk menjaring pasien yang mengalami gejala SARI (Severe Acute Respiratory

Infection) dengan panas lebih dari 38°C atau ada riwayat panas, disertai batuk atau sakit tenggorok dan

memerlukan perawatan di rumah sakit. Setiap hari puskesmas mengindentifikasi kasus ILI dan rumah sakit

mengindentifikasi SARI, selanjutnya pasien diambil usap hidung dan tenggorokan untuk diperiksa dengan RT-

PCR di Labkesda Provinsi DKI Jakarta. Analisa dilakukan untuk melihat proporsi, kecenderungan penyakit serta

jenis virus yang beredar.Sejak Agustus 2011 hingga Juli 2012, terdapat 3.096 kasus ILI yang ditemukan di

puskesmas dan 38% diantaranya positif influenza. Pada rumah sakit ditemukan 1.641 kasus SARI dan 17%

diantaranya positif influenza. Jenis virus influenza A (H1N1pdm 2009) merupakan subtipe virus yang paling

banyak ditemukan pada akhir tahun 2011. Sedangkan influenza (H3) mendominasi pada awal tahun 2012, tetapi

kemudian Influenza B banyak ditemukan sejak bulan Maret 2012 hingga Juli 2012. Hal ini ditemukan baik pada

kasus ILI maupun pada kasus SARI.Virus influenza merupakan virus yang biasa beredar di masyarakat kita, hal

ini dapat dilihat dari adanya 38% kasus ILI di puskesmas yang positif influenza. Disamping itu, influenza juga

terdapat pada pasien-pasien dengan penyakit pernapasan berat yang memerlukan perawatan di rumah sakit. Hal

ini dapat dilihat dari 17% pasien SARI adalah positif influenza. Berbagai jenis influenza musiman seperti

influenza A H1N1 2009, H3N2, dan influenza B beredar dengan pola yang berbeda dari waktu ke waktu.

Kata Kunci : Virologi, Influenza

Koresponden: drh. Misriyah, Telp.081310971683 Faks. 021-4266270, Email: [email protected]

PENDAHULUAN

Ancaman terhadap potensi terjadinya pandemi yang disebabkan oleh penyebaran virus highly pathogenic Avian Influenza A(H5N1) telah menjadi perhatian dunia. Virus H5N1 pertama kali diketahui menginfeksi manusia pada waktu terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) di Hongkong pada tahun 1997, namun tidak ada laporan secara regular hingga akhir tahun 2003 {Kung, 2007 #2165}. Infeksi pada manusia diketahui berhubungan dengan penyebaran yang luas infeksi virus influenza A (H5N1) pada unggas di wilayah Asia, Afrika dan Timur Tengah, termasuk juga pada unggas liar {World Health Organization, 2005 #2627;Yee, 2009 #3251}. Beberapa

negara telah menyusun rencana kesiapsiagaan menghadapi pandemi dan membangun sistim surveilans epidemiologi yang merupakan faktor kunci dalam menghadapi atau mengantisipasi serta merespon kemungkinan terjadinya pandemi. Di Indonesia virus Avian Influenza pertama kali ditemukan pada unggas bulan Agustus tahun 2003 di Kabupaten Pekalongan, Propinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Tangerang, Propinsi Banten {Kandun, 2006 #2047}. Selanjutnya terjadi penyebaran dan perluasan penularan infeksi pada unggas ke berbagai wilayah di Indonesia. Pemerintah melalui Menteri Pertanian menyatakan terjadinya KLB/Wabah Avian Influenza pada unggas pada tanggal 25 Januari 2004. Kasus pada manusia pertama kali diawali laporan adanya sinyal klaster pneumonia pada 1 keluarga (bapak dan anak) dari Rumah Sakit di Kabupaten Tangerang pada akhir Juni 2005 {Kandun, 2006 #2047}.

Page 11: Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2012

6

Berbagai upaya telah dilakukan untuk deteksi dini dan respon cepat mengantisipasi terjadinya penyebaran Avian Influenza di Indonesia, diantaranya melalui Surveilans Sentinel Kewaspadaan Dini dan Kejadian Luar Biasa (SKD KLB/EWARS), Sistem Surveilans Influenza Like Illnes (ILI) berbasis epidemiologi, Surveilans ILI berbasis Virologi dan Surveilans Sentinel Severe Acute Respiratory Infection (SARI) dan Surveilans Sentinel Pneumonia di Puskesmas dan Rumah Sakit. Berbagai kegiatan Surveilans tersebut baik epidemiologi maupun virologi yang dilakukan oleh Badan Litbangkes maupun oleh Ditjen PP dan PL belum terintegrasi dan harmonisasi dalam sistem manajemen datanya sehingga pemanfaatan informasinya belum optimal. Oleh karena itu proses harmonisasi dan integrasi surveilans ILI berbasis Epidemiologi dan Virologi yang sedang dalam proses perlu dilanjutkan dan segera terwujud modelnya.

Mencermati situasi di lapangan dimana salah satunya di Jakarta Timur merupakan daerah yang tergolong berisiko tinggi penularan virus A(H5N1) serta kenyataan bahwa sejak tahun 2005 ditemukan 12 kasus A(H5N1) di wilayah Jakarta Timur. Tingginya risiko penularan virus A(H5N1) di wilayah Jakarta Timur karena wilayah yang berpopulasi sekitar 2,6 juta penduduk tersebut mempunyai tempat pengumpul ayam yang cukup banyak, dan juga merupakan wilayah pintu masuk pengiriman unggas yang datang dari wilayah timur dan tengah pulau Jawa. Dari 182 tempat penampungan unggas di Jakarta terdapat 114 (62,6%) berada di Jakarta Timur sedangkan dari 1.175 tempat pemotongan unggas terdapat 926 (78,8%) juga berada di Jakarta Timur. Jumlah pasar tradisional di Jakarta Timur ada 314 pasar (36,5%) dari 859 pasar tradisional yang ada di Jakarta. Infeksi terbanyak pada peternak unggas halaman rumah dan masyarakat umum yang terpapar pencemaran lingkungan infeksi H5N1.

Untuk mewujudkan harmonisasi dan integrasi survelans ILI, SARI, Pneumonia yang sudah berjalan dalam rangka deteksi dini respon cepat sebagai antisipasi kemungkinan terjadinya Pandemi Influenza dimasa datang perlu di lakukan kegiatan uji percontohan lapangan Model Harmonisasi Surveilans Epidemiologi dan Virologi Influenza (H5N1 dan Influenza Lainnya) Berbasis Sentinel di Jakarta Timur.

Kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran epidemiologi dan virologi influenza (H5N1 dan Influenza lainnya) melalui surveilans berbasis sentinel di Jakarta Timur.

Secara khusus diantaranya kegiatan ini untuk mengetahui: 1. Proporsi subtipe H5N1 dan influenza

subtipe lainnya di puskesmas dan rumah sakit.

2. Model sentinel surveilans terpadu epidemiologi dan virologi.

BAHAN DAN CARA

Dalam kegiatan Model Harmonisasi

Surveilans Epidemiologi dan Virologi Influenza (H5N1 dan Influenza Lainnya) Berbasis Sentinel di Jakarta Timur melibatkan 4 Puskesmas dan 6 Rumah Sakit. Kegiatan ini menggunakan dua metode yaitu Surveilans Influenza-Like Illnes (ILI) dan Surveilans Severe Acute Respiratory Infection (SARI).

Surveilans Influenza-Like Illness (ILI)

Kegiatan surveilans ILI dilaksanakan di 4 Puskesmas Kecamatan. Definisi kasus ILI yang digunakan adalah demam dengan suhu

≥ 38⁰C DAN batuk atau sakit tenggorokan.

Surveilans Severe Acute Respiratory Infection (SARI)

Kegiatan Surveilans SARI dilaksanakan di 6 Rumah Sakit. Definisi kasus SARI yang digunakan adalah: Untuk pasien rawat inap berusia >5 tahun

Demam mendadak (dalam 7 hari terakhir) dengan suhu > 38⁰ C atau ada riwayat panas (subyektif) DAN

Batuk atau sakit tenggorokan DAN

Memerlukan perawatan di Rumah Sakit Untuk pasien rawat inap berusia <5 tahun

Batuk atau sesak nafas

DAN mempunyai frekuensi nafas: o >60 kali/menit untuk bayi <2 bulan o >50 kali/menit untuk bayi 2-12 bulan o >40 kali/menit untuk anak 1-5 tahun

DAN memerlukan perawatan di Rumah Sakit ATAU

Batuk atau sesak nafas

DAN sekurang-kurangnya satu dari gejala berikut: o Tarikan dinding dada atau stridor o Kejang o Kesadaran Menurun o Tidak bisa minum atau menyusu o Muntah

DAN memerlukan perawatan di Rumah Sakit

Proses Surveilans

Page 12: Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2012

7

Proses identifikasi pasien ILI dilakukan selama lima hari kerja dalam seminggu terhadap semua kunjungan Puskesmas. Proses identifikasi pasien SARI dilakukan setiap hari, selama tujuh hari kerja dalam seminggu, terhadap seluruh pasien rawat inap yang memenuhi definisi kasus SARI. Sebelum melakukan kegiatan pasien diberi penjelasan tentang maksud, tujuan dan manfaat survei ini serta menandatangani informed consent. Kegiatan ini menggunakan formulir quisioner yang ditanyakan kepada pasien sesuai kriteria ILI dan SARI. Setelah itu pasien diambil spesimen hidung dan tenggorok. Spesimen tersebut disimpan sementara di lemari pendingin sentinel dan akan diambil oleh kurir keesokan harinya. Kurir mengantarkan spesimen ke laboratorium yang ditunjuk. Laboratorium mengerjakan spesimen dan memberikan hasilnya kepada data manager dalam 1-2 hari. Data manager akan mengentry formulir quisioner dan hasil laboratorium ke dalam website khusus. Website dapat dilihat oleh masing-masing sentinel yang terlibat. Laboratorium

Uji real time RT-PCR dilakukan terhadap semua spesimen ILI dan SARI {World Health Organization, 2002 #2580}. Untuk spesimen ILI, uji rt RT-PCR dilakukan di Laboratorium Kesehatan Daerah Provinsi DKI Jakarta. Sedangkan untuk spesimen SARI, uji rt RT-PCR dilakukan di Laboratorium RS. Sulianti Saroso. Dalam menjaga hasil yang baik maka dilakukan Quality Control (QC)oleh laboratorium rujukan nasional yaitu Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan (BTDK). Pemeriksaan QC oleh BTDK dilakukan sebanyak 10% dari total spesimen.

Pelaporan Online

Data yang dikumpulkan dari setiap site sentinel dilaporkan secara online melalui website khusus surveilans influenza Jakarta Timur, termasuk hasil uji laboratorium.

Data Analisis

Kegiatan ini bersifat surveilans aktif untuk mencari besaran kasus influenza yang terjadi di wilayah Jakarta Timur dengan melibatkan 6 Rumah Sakit dan 4 Puskesmas. Beberapa proses kegiatan dilakukan untuk menjaga kualitas data seperti yang terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Proses Kualitas Data Dalam Sistem Surveilans

Proses dalam sistem

Harian Bulanan Catur wulan

Tahunan

Hasil laboratorium

Entri data √

Verifikasi data √

Monitoring √

Supervisi √

Analisis data √ √

Monitoring logistik

Entri data baik hasil kuesioner maupun laboratorium dilakukan setiap hari dan ditampilkan ke dalam website. Selain itu verifikasi data apabila terdapat entri data yang kurang dari sentinel oleh data manager. Monitoring dan supervisi (monev) dilakukan setiap bulan oleh tim gabungan dari Subdit Pengendalian Zoonosis dan CDC. Selama monev tim mendiskusikan tentang kendala yang dihadapi setiap sentinel baik dari penjaringan pasien, pengambilan dan penyimpanan spesimen. Monev juga dilakukan terhadap entri data kuesioner ke website oleh sentinel serta persediaan logistik agar tidak terjadi stockout. Dengan adanya monev diharapkan apabila terdapat kendala dalam pelaksanaan kegiatan dapat segera mendapat solusi.

Setiap sentinel juga membuat laporan bulanan tentang logistik dan jumlah pasien yang dikirim ke Subdit Pengendalian Zoonosis. Melalui laporan tersebut dapat terlihat jumlah logistik yang ada di sentinel sehingga tidak terjadi stockout.

HASIL KEGIATAN

Surveilans SARI

Sejak Agustus 2011, dari total 55.033 pasien rawat inap, 3% (n=1.641) diantaranya teridentifikasi sebagai kasus SARI. Dari total 1.583 spesimen SARI yang diuji RT-PCR, 17% (n=268) adalah kasus SARI positif influenza. Grafik 1. menunjukkan bahwa pada minggu ke-22 tahun 2012, proporsi kasus SARI yang positif influenza adalah 5%. Hal ini merupakan penurunan jika dibandingkan minggu-minggu sebelumnya.

Page 13: Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2012

8

Virus influenza A merupakan jenis virus yang paling banyak ditemukan pada kasus SARI yang positif influenza (Grafik 2). Berdasarkan subtipe, influenza A(H1N1pdm2009) merupakan subtipe virus yang paling banyak ditemukan pada akhir tahun 2011. Influenza A(H3) mendominasi pada awal tahun 2012, tetapi kemudian influenza B mendominasi sejak Maret, 2012 sampai sekarang. Pada periode minggu ke-13 dan minggu ke-22 tahun 2012, virus influenza A tidak ditemukan pada kasus SARI yang positif influenza. Surveilans ILI

Sejak Agustus 2011, dari total 147,692 kunjungan Puskesmas, 2% (n=3,096) diantaranyateridentifikasi sebagai kasus ILI. Dari total 3,039 spesimen ILI yang diuji, 38% (n=1,142) diantaranya positif influenza (Grafik 3).

Berbagai macam tipe dan sub-tipe virus influenza terdeteksi sejak awal kegiatan surveilans dilaksanakan (Grafik 4).

Influenza A(H1N1pdm2009) merupakan subtipe virus influenza yang paling banyak

ditemukan pada akhir tahun 2011. Influenza A(H3) mendominasi pada awal tahun 2012, tetapi kemudian influenza B banyak ditemukan sejak bulan Maret tahun 2012 sampai dengan sekarang. Dalam kurun waktu minggu ke-19 sampai dengan minggu ke-21 tahun 2012, tidak ditemukan adanya influenza A pada kasus ILI. Kemudian, pada minggu ke-22 tahun 2012, hanya satu kasus ILI yang teridentifikasi dengan virus influenza A (H1N1pdm2009).

Pada minggu ke-22 tahun 2012, proporsi kasus ILI yang positif influenza terlihat menurun jika dibandingkan dengan minggu-minggu sebelumnya. Pada minggu tersebut, hanya 11% kasus ILI yang positif influenza.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kegiatan Model Harmonisasi Surveilans

Epidemiologi dan Virologi Influenza di Jakarta Timur merupakan salah satu kegiatan surveilans aktif yang menggabungkan epidemiologi dan virologi dalam penjaringan influenza. Melihat hasil proporsi ILI sebanyak 38% dan SARI sebanyak 17% kasus influenza di Jakarta Timur terbilang tinggi. Bila dilihat dari surveilans pada kegiatan ini khususnya kasus SARI di rumah sakit yang cukup banyak, menunjukan bahwa influenza merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang penting dan memerlukan monitoring secara berkala. Untuk itu diperlukan kebijakan pemerintah dalam melakukan kegiatan tersebut secara rutin.

Selama setahun kegiatan ini dilaksanakan belum ditemukan kasus konfirmasi flu burung. Hal ini menunjukan bahwa kasus flu burung jarang terjadi atau kasus Avian Influenza (AI) pada unggas mengalami penurunan. Selain itu Virus H5N1 sampai saat ini sulit menular dari unggas ke manusia. Untuk itu penting kiranya apabila kegiatan ini dapat dilanjutkan secara terus menerus untuk mendapatkan gambaran influenza secara umum dan flu burung pada khususnya. Selain itu koordinasi lintas sektor seperti Kementerian Pertanian perlu kiranya ditingkatkan untuk melihat kasus pada unggas baik di peternakan unggas maupun unggas yang dipelihara masyarakat. Hasil proporsi ILI lebih banyak dari proporsi SARI dikarenakan kasus ringan lebih banyak dibandingkan dengan kasus yang berat/dirawat, ini sesuai dengan epidemiologi influenza pada umumnya {Wright, 1977 #3062;Wu, 2010 #2877;Yang, 2011 #2620}. Pada hasil terlihat perbedaan jenis subtipe virus yang beredar pada waktu tertentu, merupakan pola jenis virus yang

Page 14: Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2012

9

menjadi tren pada masanya. Sampai saat ini pola virus yang beredar pada hasil kegiatan ini dapat dikatakan hampir sama dengan pola virus dinegara lain seperti negara tetangga Singapura {World Health Organization, 2012 #4315}.

Dalam kegiatan ini yang dapat diambil sebagai suatu keberhasilan adalah adanya proses yang baik dalam monitoring, supervisi. Selain itu juga terdapat umpan balik dari setiap sentinel. Hal ini yang membuat petugas di sentinel tetap berkomitmen kuat untuk melaksanakan kegiatan surveilans ini. Dengan demikian kualitas data yang dihasilkan menjadi baik sehingga dapat digunakan menjadi salah satu faktor dalam menentukan kebijakan. Monitoring secara teratur baik secara pelaksanaan SOP teknis maupun data entri di setiap sentinel yang terlibat. Analisa data yang secara regular dilakukan membuat input data menjadi lengkap. Selain itu tidak lupa adalah umpan balik dari setiap sentinel yang terlibat membuat kesulitan dan hambatan dapat diselesaikan dengan cepat.

DAFTAR PUSTAKA

Kung NY, Morris RS, Perkins NR, Sims LD,

Ellis TM, et al., 2002 Risk for infection with highly pathogenic influenza A virus (H5N1) in chickens, Hong Kong. Emerg Infect Dis 13: 412-418.

World Health Organization (2005) Global Influenza Surveillance and Response System (GISRS) Geneva.

Yee KS, Carpenter TE, Cardona CJ, 2009. Epidemiology of H5N1 avian influenza. Comp Immunol Microbiol Infect Dis 32: 325-340.

Kandun IN, Wibisono H, Sedyaningsih ER, Yusharmen, Hadisoedarsuno W, et al., 2006. Three Indonesian clusters of H5N1 virus infection in 2005. N Engl J Med 355: 2186-2194.

World Health Organization, 2002. WHO manual on animal influenza diagnosis and surveillance. Geneva.

Wright PF, Ross KB, Thompson J, Karzon DT,1977. Influenza A infections in young children. Primary natural infection and protective efficacy of live-vaccine-induced or naturally acquired immunity. N Engl J Med 296: 829-834.

Wu JT, Ma ES, Lee CK, Chu DK, Ho PL, et al. 2010. The infection attack rate and severity of 2009 pandemic H1N1 influenza in Hong Kong. Clin Infect Dis 51: 1184-1191.

Yang L, Ma S, Chen PY, He JF, Chan KP, et al., 2011. Influenza associated mortality in the subtropics and tropics: Results from three Asian cities. Vaccine 29: 8909-8914.

World Health Organization, 2012. FluID - a global influenza epidemiological data sharing platform. Geneva.

Page 15: Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2012

10

Hubungan Perilaku dan Faktor Lingkungan dengan Kejadian Malaria di Sangkulirang, Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur

Andiek Ochman, M. Gustiansyah, Mur Prasetyaningrum, Adi Wijaya, Sumadi, Kariadi Alwan Zaki Nozomi.

Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II Samarinda

Abstrak. Penyakit malaria sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan umum yang utama di seluruh

dunia termasuk Indonesia. Berdasarkan hasil laporan penemuan dan pengobatan penderita malaria di Kaltim,

jumlah kasus penyakit malaria di Kabupaten Kutai Timur mencapai 432 kasus sepanjang 2010. Kantor

Kesehatan Pelabuhan Samarinda yang meliputi wilayah kerja di Sangkulirang Kutai Timur juga berhadapan

dengan permasalahan malaria. Mengingat angka kasus penyakit malaria tersebut maka sangatlah perlu untuk

dilakukan suatu kajian tentang malaria di wilayah Sangkulirang khususnya di wilayah pesisir pelabuhan

Sangkulirang. Tujuan kegiatan ini untuk mengetahui gambaran umum karakteristik penderita malaria yang

berhubungan dengan kejadian malaria di wilayah kerja Puskesmas Sangkulirang, dan secara khusus

mengetahui hubungan perilaku dengan kejadian malaria di wilayah kerja Puskesmas Sangkulirang, Mengetahui

hubungan faktor lingkungan dengan kejadian malaria di wilayah kerja Puskesmas Sangkulirang. Kegiatan

dilakukan dengan observasi lapangan dan pengumpulan data responden. Tehnik pengumpulan data dilakukan

dengan wawancara dan observasi lapangan melalui kuesioner yang telah dibuat sebelumnya dimana kuesioner

mengkategorikan analisa berdasarkan tingkat pengetahuan, perilaku dan hasil observasi lapangan. Dari hasil

RDT 8 0rang positif malaria merupakan sampel kasus dan 52 orang dengan hasil RDT negatif dijadikan sampel

kontrol. Seluruh kasus berjenis kelamin laki-laki dengan usia produktif sebnayak 87.5%, sedangkan 1 kasus

berusia di atas 45 tahun (12.5%). Seluruh kasus berpendidikan rendah yaitu tamat SD dan SMP. Mereka yang

hidup dan bekerja di dalam hutan, dan sering keluar malam tanpa pelindung badan/baju serta memiliki kandang

dan ternak di sekitar rumah menjadi faktor yang meningkatkan kejadian malaria.

Kata Kunci : Malaria, Perilaku, Sangkulirang.

Koresponden: Andiek Ochman, SKM, M.Kes,

Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II Samarinda.

Telp. 081229669937 Faks. 0541-742564, Email:

[email protected]

PENDAHULUAN

Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit Plasmodium yang hidup dan berkembang biak dalam sel darah merah manusia dan secara alami ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina. Penyakit malaria sampai saat ini ternyata masih menjadi masalah kesehatan umum yang utama di seluruh dunia, terutama di negara-negara berkembang, seperti negaranegara Amerika Latin, Afrika sub-Sahara, Asia Selatan, sebagian Asia Timur (terutama Cina), dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Dalam buku The World Malaria Report 2005, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dijelaskan bahwa walaupun berbagai upaya telah dilakukan, hingga tahun 2005 yang lalu, malaria masih menjadi masalah kesehatan utama di 107 negara di dunia. Penyakit ini menyerang sedikitnya 350-500 juta orang setiap tahunnya dan bertanggung jawab terhadap kematian sekitar 1-3 juta orang

setiap tahunnya, atau 1 kematian setiap 30 detik. Diperkirakan masih sekitar 3,2 milyar orang hidup didaerah endemis malaria. Malaria juga bertanggung jawab secara ekonomis terhadap kehilangan 12% pendapatan nasional negara-negara yang endemis malaria. Semua ini terjadi karena berkaitan dengan Global Environmental Change (GEC) atau perubahan lingkungan global. Istilah lain yang lebih dikenal adalah Climate Change (perubahan iklim) akibat Global Warming (pemanasan global).

Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Depkes 2001, di Indonesia setiap tahunnya terdapat sekitar 25 juta penderita malaria klinis yang mengakibatkan 38.000 orang meninggal dunia atau 8-11 orang per 100.000 penduduk. Sementara itu di beberapa rumah sakit dilaporkan bahwa Case Fatality Rate (CFR) malaria berat berkisar 10-50 %.1 Dari 576 kabupaten/kota yang ada di Indonesia, 424 kabupaten/kota merupakan daerah endemis malaria. Sekitar 50% masyarakat Indonesia masih tinggal didaerah endemis.United Nation Development Program (UNDP,2004) juga mengklaim bahwa akibat malaria, Indonesia sedikitnya mengalami kerugian ekonomi sebesar US $ 56,6 juta/tahun atau lima ratus enam puluh enam milyar rupiah.

Page 16: Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2012

11

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Timur selama tahun 2010, bahwa hasil laporan penemuan dan pengobatan penderita malaria telah dilakukan di 14 kabupaten/kota di Kaltim dimana jumlah penderita tertinggi yaitu di Kabupaten Paser mencapai 3,260 penderita, sementara yang terendah adalah Kota Tarakan hanya 40 penderita. Pemprov Kaltim khususnya Dinas Kesehatan terus berupaya agar penyakit malaria bisa diberantas dengan tuntas, bahkan para SDM juga terus ditingkatkan, misalnya memberikan pelatihan kepada petugas Puskesmas terkait dalam penanganan dan pencegahan penyakit malaria. Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Kalimantan Timur, Syafak Hanung mengatakan “ Di Kaltim, jumlah dan presentasi kasus klinis dengan ditandai demam yang diperiksa mikroskopis terhadap total jumlah perkiraan kasus klinis, kabupaten Malinau menempati urutan terbanyak disusul oleh Kabupaten Paser, Kutai Barat, Bulungan, Tana Tidung, Balikpapan, Nunukan, Tarakan, Bontang, Berau, Samarinda, Kutai Timur, Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara”, ujarnya dalam acara Sosialisasi Kebijakan Pemerintah di Bidang Kesehatan.

Berdasarkan hasil laporan penemuan dan pengobatan penderita malaria di Kaltim, yang tertinggi penderintanya adalah Kabupaten Paser sebanyak (3,260), Nunukan (3,077), Berau (3,010), Kutim (2,851), Kubar (2,661), PPU (2,383), Bulungan (1,781), Malinau (1,411), Kutai Kartanegara (322), Tanah Tidung (273), Samarinda (154), Bontang (71), Balikpapan (67) dan Kota Tarakan (40).

Jumlah kasus penyakit malaria di Kabupaten Kutai Timur mencapai 432 kasus sepanjang 2010. Data itu diperoleh dari hasil pendataan di 135 desa yang menjadi endemi penyakit malaria. “ Bahkan sekitar 70 persen penduduk Kutai Timur berisiko terhadap penularan penyakit malaria," Menurut Kepala Dinas Kesehatan Kutai Timur, Marthin Luther. Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Kalimantan Timur mengatakan kepada wartawan di sela-sela rehat acara Sosialisasi Kebijakan Pemerintah Bidang Kesehatan bahwa, "Tiga kabupaten yang masuk "merah" penyebaran malaria adalah Penajam Paser Utara (PPU), Bulungan, dan Kutai Timur (Kutim)."

Kantor Kesehatan Pelabuhan Samarinda merupakan salah satu UPT di lingkungan Kementerian Kesehatan RI yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Dijen PP & PL yang wilayah kerjanya meliputi area/lingkungan pelabuhan dan sekitarnya yang diatur oleh perundang-undangan yang berlaku dan salah mempunyai tugas pokok

yang salah satunya yaitu melaksanakan pencegahan penyakit potensial wabah di wilayah kerjanya dimana salah satunya yaitu penyakit malaria.

Dalam hal pengendalian penyakit malaria, KKP sangat berperan penting dimana KKP peranan Kantor kesehatan pelabuhan dalam penanganan malaria ini sangat dibutuhkan untuk mencegah penularan malaria antar daerah. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan kewaspadaan jika terdapat penumpang yang berasal dari daerah yang endemis malaria. KKP sebagai salah satu komponen dinamisator upaya-upaya manajemen pemberantasan penyakit secara terpadu dalam satu wilayah kabupaten/kota maka KKP Samarinda bertanggung jawab dalam upaya pengendalian penyakit malaria.

Kantor Kesehatan Pelabuhan kelas II samarinda adalah salah satu KKP yang berada di Propinsi Kalimantan Timur dan memiliki 5 wilayah kerja yang salah satunya yaitu wilayah kerja Sangkulirang di Kutai Timur. Berdasarkan data surveilans 10 penyakit terbesar yang dilakukan petugas KKP di wilker Sangkulirang yang bekerjasama dengan puskesmas Sangkulirang pada tahun 2010 didapatkan hasil 155 kasus malaria tanpa pemeriksaan laboratorium dan 69 kasus malaria dengan pemeriksaan laboratorium.

Mengingat angka kasus penyakit malaria tersebut maka sangatlah perlu untuk dilakukan suatu kajian tentang malaria di wilayah Sangkulirang khususnya di wilayah pesisir pelabuhan Sangkulirang.

Tujuan Penelitian ini untuk mengetahui gambaran umum karakteristik penderita malaria yang berhubungan dengan kejadian malaria di wilayah kerja Puskesmas Sangkulirang dan mengetahui hubungan perilaku dan faktor lingkungan dengan kejadian malaria di wilayah kerja Puskesmas Sangkulirang

BAHAN DAN CARA

Kegiatan dilakukan di wilayah kerja Sangkulirang, Kutai Timur dari bulan Juni s/d Agustus 2011. Kegiatan dilakukan dengan observasi lapangan dan pengumpulan data responden yaitu pasien yang datang ke Puskesmas Sangkulirang untuk berobat dengan gejala menyerupai malaria. Dari hasil pengumpulan data diperoleh responden sebanyak 60 orang yang kemudian dijadikan sampel penelitian. Tehnik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan observasi lapangan melalui kuesioner yang telah dibuat

Page 17: Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2012

12

sebelumnya dimana kuesioner mengkategorikan analisa berdasarkan tingkat pengetahuan, perilaku dan hasil observasi lapangan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari hasil RDT 8 0rang positif malaria merupakan sampel kasus dan 52 orang dengan hasil RDT negatif dijadikan sampel kontrol. Dari hasil analisis data diperoleh hasil sebagai berikut :

Tabel I. Distribusi Responden berdasarkan jenis kelamin di Sangkulirang, Kutai Timur Tahun 2011

Jenis Kelamin

Responden

Kasus % Kontrol % Total

Laki-laki 8 100 36 69 44

Perempuan 0 0 16 31 16

Total 8 100 52 100 60

Tabel 2. Distribusi Responden Berdasarkan Usia di Sangkulirang, Kutai Timur Tahun 2011

Usia Responden

Kasus % Kontrol % Total

≤ 45 7 87,5 1 1,93 8

> 45 1 12,5 51 98,07 52

Total 8 100 52 100 60

Tabel 3. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Sangkulirang, Kutai Timur Tahun 2011

Jenis pendidikan

Responden Total

Kasus % Kontrol %

SD 7 87,5 7 13,5 14

SMP 1 12,5 28 53,8 29

SMA 0 0 16 30,8 16

Akademi 0 0 1 1,9 1

Total 8 100 52 100 60

Tabel 4. Analisis Bivariat Tahun 2011

Variabel

Responden

Kasus % Kontrol

% Total % P Value OR

Pakai baju keluar malam

Ya 2 25 12 23,1 14 23,3 1 1,11

Tidak 6 75 40 76,9 46 76,7

Masuk hutan

Ya 6 75 13 25 19 31,7 0,01 9

Tidak 2 25 39 75 41 68,3

Pakai kelambu

Ya 2 25 39 75 41 68,3 0,01 0,11

Tidak 6 75 13 25 13 31,7

Keluar malam

Ya 5 62,5 14 26,9 19 31,7 0,09 4,52

Tidak 3 37,5 38 73,1 41 68,3

Pakai obat nyamuk

Ya 3 37,5 49 94,2 52 86,7 0,00 0,037

Tidak 5 62,5 3 5,8 8 13,3

Pakai kawat kasa

Ya 4 50 36 69,2 40 66,7 0,4 0,44

Tidak 4 50 16 30,8 20 33,3

Keberadaan pepohonan

Ya 8 100 29 55,8 37 61.7 0,019 0,784

Tidak 0 0 23 44,2 23 38,3

Keberadaan kandang

Ya 7 87,5 14 26,9 21 35,0 0,002 19

Tidak 1 12,5 38 73,1 39 65

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan 1. Karakteristik responden yang menjadi

kasus semuanya laki-laki berusia kurang dari 45 tahun berpendidikan SD serta tidak mengetahui penyebab dan gejala malaria.

2. Variabel perilaku yang berhubungan dengan kejadian malaria adalah kebiasaan masuk hutan dengan p value 0,01 dan OR 9. Variabel penggunaan kelambu, dan penggunaan obat anti nyamuk merupakan variabel protektif dengan p value < 0,05 dan OR < 1.

3. Variabel lingkungan yang berhubungan dengan kejadian malaria adalah keberadaan pepohonan di sekitar rumah, dan keberadaan kandang ternak serta pemakian kawat kasa.

Saran 1. Sebaiknya masyarakat pada saat

melakukan kegiatan di hutan mengenakan pakaian yang tertutup untuk menghindari gigitan nyamuk dan membersihkan lingkungan sekitar rumah dari semak belukar yang berpotensi menjadi tempat istirahat nyamuk

2. Sebaiknya masyarakat Menjaga kebersihan kandang ternak

3. Sebaiknya masyarakat Menggunakan kelambu waktu tidur terutama pada malam hari

4. Sebaiknya masyarakat Memakai obat anti nyamuk waktu tidur pada malam hari

5. Sebaiknya petugas melakukan Penyuluhan ke masyarakat melalui

Page 18: Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2012

13

kegiatan-kegiatan yang ada di masyarakat seperti pengajian, arisan-arisan, posyandu tentang penyakit malaria dan upaya pencegahannya.

6. Sebaiknya petugas Pemeriksaan sediaan darah tebal secara berkala kepada mereka yang berisiko terkena malaria, untuk mendeteksi secara dini kasus penularan malaria

7. Sebaiknya petugas Perlindungan kepada karyawan yang bekerja di hutan dengan penggunaan APD berupa repelent, wearpack, sarung tangan, dan sepatu safety

8. Sebaiknya petugas Profilaksis malaria pada pendatang yang bekerja di sekitar hutan

DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI, 1999. Petunjuk Teknis

Pemberantasan Penyakit Malaria, Jakarta : Ditjen PPM-PL

Departemen Kesehatan RI, 1999. Modul

Pemberantasan Vektor, Jakarta : Dit. P2B2, Ditjen PPM-PL

Departemen Kesehatan RI, 1999. Modul

Manajemen Pemberantasan Penyakit Malaria, Jakarta : Dit. P2B2, Ditjen PPM-PL

Departemen Kesehatan RI, 2007. Pedoman

Sistem Kewaspadaan dini Dan Penanggulangan Kejadian Luar biasa Malaria (SKD KLB). Jakarta : Dit. P2B2, Ditjen PP-PL

Departemen Kesehatan RI, 2007. Pedoman

Sistem Surveilans Malaria. Jakarta: Dit. P2B2, Ditjen PP-PL

Departemen Kesehatan RI, 2007. Pedoman

Promosi Gebrak Malaria. Jakarta : Dit. P2B2, Ditjen PP-PL

Haryanto.1999. MALARIA epidemiologi, patogenesis, manifestasi klinis dan penanganan. Jakarta: EGC

Depkes RI, 1995. Malaria, Jakarta : Dirjen

Pencegahan & Pemberantasan Penyakit Menular & Lingkungan Pemukiman

Jeppry Kurniawan,2008. Analisis Faktor

Risiko Lingkungan Dan Perilaku Penduduk Terhadap Kejadian Malaria Di Kabupaten asmat Tahun 2008, Jakarta

:file:///E:/SKRIPSI/jurnal/Demam typoid.htm, diakses 23 Februari 2011

PosKota Kaltim, 26 April 2011:

http://www.poskotakaltim.com/berita/read/11772-2010-penderita-malaria-capai-21-361-orang.html , diakses pada 05 Mei 2011

Pendekatan epidemiologi faktor resiko

penyakit :http://id.shvoong.com/medicine-and-health/epidemiology-public-health/2090636-pendekatan-epidemiologi-faktor-risiko-penyakit/#ixzz1Lzw9pdvG, diakses 05 Mei 2011

7 Januari 2011 - Posted by yantigobel |

Uncategorized | Arsunan Arsin, Epidemiologi Penyakit Malaria, Fatmah Afrianty Gobel, FKM UMI Makassar

Pengaruh Perilaku Penderita Terhadap Angka

Kesakitan Malaria Di Kabupaten Rokan Hilir, 2009. Afridah Advisors: Prof. Drs. Subhilhar, MA, PhD; Drs. Zulkifli Lubis, MA

Page 19: Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2012

14

Status Resistensi Nyamuk Anopheles di Wilayah Kalimantan dan Sulawesi

Rita Kusriastuti1, Suwito

2

1Direktorat PPBB Ditjen PPPL, Kemenkes, Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang Jakarta

Abstract. Indonesia is commited toward elimination of malaria. Vector control is an important activities in the

elimination of malaria. There are many ways in controling malaria mosquitos such as indoor residual spraying, larvasiding as well as environmental management. The failures of vector control one among other is caused by Anopheles resistant due to uncontrolled used of insecticide. The objective of the study is to detect resistant status of Anopheles mosquitoes. Samples of Anopheles was collected in Kalimantan and Sulawesi in the year 2011.

The resistant test used WHO sucebtibility kit and impregnated paper. The results shown that Deltamethrin and Permethrin insecticide was resistant and tolerant in areas of study Kalimantan and Sulawesi. The finding from this study can be used by malaria program manager in provinces or districts level to make a decision for rotation of insecticide used. Keywords: Malaria, resistant, Anopheles, Kalimantan and Sulawesi

Koresponden: dr. Rita Kusriastuti, M.Sc. Direktorat PPBB, Ditjen PP dan PL Telp.0816872633, Email: [email protected]

PENDAHULUAN

Nyamuk (genus) Anopheles adalah vektor

malaria di dunia. Di Indonesia dari 456 jenis nyamuk, 80 di antaranya adalah Anopheles spp., dan 26 di antaranya adalah vektor malaria. Pemerintah melalui Direktorat PPBB Kementrian Kesehatan, telah melakukan upaya preventif dalam pengendalian malaria, salah satunya melalui pengendalian vektor. Ada berbagai cara dalam pengendalian vektor yang harus dilaksanakan secara terintegrasi yang dikenal dengan istilah integrated vector management (IVM).

Berbagai masalah dalam pengendalian vektor, seperti teknik yang digunakan, kemampuan petugas penyemprot, jenis insektisida, jangka waktu penggunaan insektisida, resistensi terhadap insektisida dan lain-lain. Di antara berbagai persoalan di atas ada satu hal yang tidak bisa dihindari yaitu timbulnya resistensi vektor terhadap insektisida. Pemakaian insektisida di Indonesia sebagian besar dilakukan oleh bidang pertanian, hanya sebagian kecil (tidak lebih dari 10%) oleh bidang kesehatan. Status resistensi serangga (vektor) dipicu karena pemakaian insektisida yang rutin dengan jenis yang sama, bahkan penggunaan dosis yang tidak tepat (dosis rendah) akan menyebabkan resistensi dalam waktu yang relatif singkat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status resistensi nyamuk Anopheles sp. terhadap insektisida, yang dapat digunakan sebagai data dasar penyusunan program pengendalian vektor di Indonesia.

BAHAN DAN CARA

Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di 10 Provinsi wilayah

Kalimantan dan Sulawesi, pada bulan Januari-Desember 2011.

Gambar 1. Lokasi Penelitian

Sampel Nyamuk Sampel nyamuk Anopheles sp. diambil dari

10 Provinsi, yaitu Kalimantan Selatan; Desa Santuun dan Uwie, Kalimanten Tengah; Desa Pujon dan Desa Tapen, Kalimantan Timur; Desa Sungai Nyamuk dan Tanjung Aru, Baru Kalimantan Barat; Desa Emparu dan Mangat, Sulawesi Tengah; Desa Manimbaya dan Ketong, Sulawesi Tenggara; Desa Aneka Marga dan Marga Jaya, Sulawesi Barat; Desa Tapandulu dan Sumare, Sulawesi Utara; Desa Ranoketang Tua dan Kilometer Tiga, Gorontalo; Desa Tunggulo dan Desa Yosonegoro, Sulawesi Selatan; Desa Ela Ela dan Caile. Bahan Insektisida

Bahan yang digunakan adalah kertas impragnated yang mengandung insektisida jenis Deltamethrin 0,05%, Permethrin 0,75%, Lamdacyhalothrin 0,05%, Etofenprox 0,5%, Bendiocarb 0,1%, Fenitrothion 1%, Malathion 5% dan DDT 4%.

Page 20: Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2012

15

Proses Uji Nyamuk Anopheles diambil dari lapangan

dalam bentuk larva instar 3-4. Nyamuk dipelihara hingga umur 3-4 hari. Sebelum dilakukan uji, nyamuk diberi makan air gula. Uji dilakukan menggunakan suscebtibility test kit dan kertas impragnated paper dengan Standar WHO. Suhu dan kelembaban tempat uji dijaga sesuai dengan kondisi alam, tidak melebihi ±1 SD dari rentang minimum-maksimum. Analisis

Analisis status resistensi nyamuk berdasarkan ketentuan WHO (1975), dengan masakontak 60 menit selama pengamatan 24 jam, sebagai berikut : 1) kematian < 80 % (resisten), 2) kematian antara 80% - 97% (toleran) dan 3) kematian antara 98% - 100% (rentan). Apabila terjadi kematian nyamuk kontrol 5-20% maka status resistensi dikoreksi dengan rumus Abbot, dan apabila kematian nyamuk kontrol lebih dari 20% maka dilakukan uji ulang.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengujian di Kalimantan menunjukkan

bahwa dua jenis insektisida yang perlu mendapatkan perhatian, yaitu Deltamethrin 0,05% dan Permethrin 0,75%. Hal ini dikarenakan di Kalimantan Selatan nyamuk Anopheles sp. telah toleran terhadap insektisida jenis Deltamethrin 0,05% dan Permethrin 0, 75%. Bahkan kondisi lebih berat terjadi di Kalimantan Barat nyamuk Anopheles sp. telah resisten terhadap insektisida jenis Deltamethrin 0.05% (Gambar 2). Sementara itu, Anopheles sp. tetap rentan terhadap Lamdacyhalothrin 0,05%, Etofenprox 0,5%, Bendiocarb 0,1%, Fenitrothion 1%, Malathion 5% dan DDT 4%. Seperti halnya di wilayah Kalimantan, nyamuk Anopheles sp. di wilayah Sulawesi juga telah toleran terhadap insektisida jenis Deltamethrin 0,05% dan Permethrin 0,75%, yaitu di Sulawesi Utara, Gorontalo dan Sulawesi Selatan (Gambar 3).

Gambar 2. Status Resistensi Anopheles di Wilayah Kalimantan

Gambar 3. Status Resistensi Anopheles di Wilayah Sulawesi

Nyamuk dengan status toleran terhadap insektisida artinya nyamuk yang kontak dengan insektisida kematiannya kisaran 80-97%, dengan kata lain nyamuk dapat bertahan hidup mencapai hingga 20%. Adapun nyamuk dengan status resisten berarti kematian nyamuk yang kontak dengan insektisida maksimal hanya 80%, di atas 20% nyamuk tetap hidup. Di Indonesia, di daerah dengan kasus tinggi malaria ditemukan 6-8% Anopheles mengandung sporozoit (Suwito, 2010). Artinya, jika status toleran diabaikan dan insektisida tetap diaplikasikan berarti akan tetap terdapat 1-2% nyamuk infektif di alam dan berpotensi menginfeksi. Kondisi tersebut lebih berbahaya jika status nyamuk sudah resisten, maka apabila insektisida resisten tetap digunakan berarti nyamuk di alam akan tetap mengandung sporozoit hingga 8%.

Resistensi adalah berkembangnya kemampuan toleransi suatu spesies serangga terhadap dosis toksik insektisida yang mematikan sebagian besar populasi (WHO, 2003). Definisi tersebut membatasi bahwa serangga dikatakan resisten apabila telah mempunyai daya toleran terhadap insektisida. Lebih lanjut, WHO (2003) menyatakan bahwa aplikasi insektisida digunakan apabila nyamuk rentan, dan perlu ditinjau ulang (rotasi) apabila nyamuk telah toleran, serta harus dihentikan apabila nyamuk resisten. Oleh karena itu pemakaian insektisida di Indonesia jenis Deltamethrin 0,05% dan Permethrin 0,75% harus segera dirotasi dengan jenis lain yang masih rentan dan dapat membunuh minimal 98% nyamuk target.

Page 21: Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2012

16

Secara teori, resistensi nyamuk terhadap insektisida dapat dijelaskan karena faktor genetik, faktor biologis dan faktor operasional (IRAC, 2006). Secara umum semua mahluk hidup mempunyai kemampuan genetik membentuk enzim yang dapat menetralisir paparan insektisida, termasuk nyamuk. Namun, faktor biologis dan faktor operasional lebih banyak memicu timbulnya resistensi pada nyamuk.

Secara biologis nyamuk mempunyai kecepatan regenerasi yang tinggi, hanya dalam waktu tidak lebih dari dua minggu nyamuk dapat menghasilkan generasi berikutnya. Pada tekanan pemaparan insektisida kemampuan regenerasi yang tinggi menyebabkan nyamuk cepat menurunkan generasi resisten. Faktor operasional insektisida juga memegang peran penting meliputi cara aplikasi, frekuensi, dosis dan lama pemakaian. Aplikasi insektisida pertanian di sawah sebagian insektisida jatuh ke air, pada saat di air kepekatan insektisida berkurang (dosis menjadi lebih rendah). Air sawah merupakan habitat potensial larva Anopheles spp., kontak insektisida pertanian dosis rendah dengan larva nyamuk di sawah dapat digunakan sebagai hipotesis (dugaan rasional) untuk menyatakan sebagai pemicu timbulnya resistensi nyamuk. Faktor operasional lain yang patut diduga adalah pemakaian insektisida rumah tangga dan insektisida program (kesehatan) yang monoton dan terus menerus. Pada kondisi tekanan (pemaparan) tinggi yang terus menerus akan mempercepat terjadinya populasi resisten dibandingkan dengan kondisi lingkungan yang mempunyai tekanan rendah.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan pada penelitian ini bahwa insektisida jenis Deltamethrin dan Permethrin telah resisten terhadap nyamuk Anopheles spp. di daerah sampel, namun hal ini dapat digeneralisir telah terjadi di Kabupaten wilayah sampel.

Saran kepada para pengelola program malaria untuk memberi masukan kepada Kepala Dinas Kesehatan segera membuat kebijakan merotasi dengan jenis lain yang masih rentan seperti Lamdacyhalothrin, Etofenprox, Bendiocarb, Fenitrothion, Malathion dan DDT. Melakukan kegiatan pemantauan resistensi insektisida secara rutin dan berkelanjutan di daerah-daerah lainya.

DAFTAR PUSTAKA

[IRAC] Insecticide Resistance Action Committee, 2006. Prevention and Management of Insecticide Resistance in Vectors and Pests of Public Health Importance. Geneva.

Suwito, 2010. Entomological inoculation rate

(EIR) Anopheles spp. di Kabupaten Lampung Selatan dan Pesawaran Provinsi Lampung. (Bagian dari Disertasi). Bogor : IPB.

[WHO] World Health Organization, 1975. Manual on practical entomology in malaria part II. Geneva.

[WHO] World Health Organization, 2003.

Malaria Entomology and Vector Control. Geneva.

Page 22: Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2012

17

Contact Investigation pada Anak yang Tinggal Serumah dengan Penderita Tuberkulosis di Yogyakarta

Rina Triasih

1, Setyorini Hestu Lestari

2, Ning Rintiswati

3, Endang Sri Rahayu

4

1Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UGM/RS Dr. Sardjito Yogyakarta,

2Dinas Kesehatan Provinsi

DIY, 3 Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran UGM,

4 Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, DIY.

Abstrak. Contact investigation merupakan salah satu cara yang potensial untuk meningkatkan penemuan

kasus dan mencegah timbulnya sakit TB. Anak yang tinggal serumah dengan penderita TB yang infeksius

berisiko tinggi untuk terinfeksi atau sakit TB. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mengetahui prevalensi sakit TB

dan infeksi laten TB pada anak-anak yang kontak erat dengan penderita TB paru dewasa; dan 2) Mengetahui

faktor risiko infeksi laten TB pada anak yang kontak erat dengan penderita TB paru dewasa. Penelitian ini

merupakan penelitian cross sectional yang dilakukan di Kota Yogyakarta, dari bulan Mei sampai dengan

November 2011. Kasus indeks adalah pasien TB paru dewasa yang diobati di 18 Puskesmas, dua Balai

Pengobatan Paru dan tiga Rumah Sakit di kota Yogyakarta. Anak umur kurang dari 15 tahun yang kontak erat

dengan kasus indeks diikutsertakan dalam penelitian ini. Sejumlah 215 anak dari 117 penderita TB paru dewasa

diikut sertakan dalam penelitian ini. Sebagian besar sumber penularan (77%) adalah penderita TB dengan BTA

positif dan merupakan orang tua dari anak kontak serumah (59%). Hasil pemeriksaan di antara anak-anak

kontak serumah menunjukkan bahwa 13 anak (6%) sakit TB, 81 anak (38%) dengan infeksi laten TB dan 121

anak (56%) tidak mempunyai bukti infeksi maupun sakit TB. Faktor risiko terjadinya infeksi laten TB dianalisis

terhadap 81 anak dengan infeksi laten TB dan 121 anak tanpa bukti infeksi atau sakit TB. Beberapa faktor terkait

karakteristik anak dan sumber penularan serta kedekatan anak dengan sumber penularan dianalisis dengan

regresi logistik. Hasil analisis menunjukkan bahwa risiko terjadinya infeksi laten TB meningkat jika sumber

penularan dengan BTA positif (OR: 2,8; 95% CI 1,2-6,6). Contact investigation bermanfaat untuk

mengidentifikasi anak-anak dengan infeksi laten TB atau dengan sakit TB. Sumber penularan dengan BTA

positif merupakan faktor risiko terjadinya infeksi laten TB.

Kata Kunci : Contact Investigation, Tuberkulosis Paru, Yogyakarta

Koresponden: Rina Triasih, Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UGM/RS Dr. Sardjito Yogyakarta Telp. 081392764269

PENDAHULUAN

Contact investigation merupakan salah satu cara yang potensial untuk meningkatkan penemuan kasus dan mencegah timbulnya sakit TB. Anak-anak, khususnya yang berumur di bawah lima tahun (balita), merupakan prioritas sasaran pada contact investigation karena apabila terinfeksi, kelompok umur ini mempunyai risiko tertinggi untuk berkembang menjadi sakit TB. Contact investigation yang diikuti tata laksana yang adekuat sangat berpotensi untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB pada anak, yang masih merupakan masalah di negara endemis TB, seperti di Indonesia. Di samping itu, dengan contact investigation, anak-anak dengan infeksi laten TB yang dapat berpotensi sebagai sumber penularan di masa dewasanya, dapat diidentifikasi dan diberikan

terapi profilaksis yang adekuat. (Marais et al, 2004)

Indonesia saat ini menduduki peringkat kelima dari 22 negara dengan jumlah penderita TB terbanyak di dunia. Menurut WHO’s Global Tuberculosis Control Report 2009, terdapat kira-kira 528.063 kasus TB baru dengan insidensi 102 kasus baru BTA positif per 100.000 populasi pada tahun 2007. Pencapaian CDR telah meningkat dalam 6 tahun terakhir, dari 30% pada 2002 menjadi 68% pada tahun 2007. Dengan jumlah kasus TB yang besar di Indonesia, anak-anak Indonesia berisiko tinggi terinfeksi atau menderita sakit TB. Untuk itu perlu diketahui outcome anak-anak yang kontak erat dengan penderita TB paru dewasa. Perlu diketahui pula faktor risiko infeksi laten TB pada anak yang tinggal serumah dengan penderita TB paru dewasa.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi dan faktor risiko infeksi laten TB pada anak-anak yang kontak erat dengan penderita TB paru dewasa.

Page 23: Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2012

18

BAHAN DAN CARA

Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional yang dilakukan di Kota Yogyakarta. Kasus indeks adalah pasien TB paru dewasa yang diobati di 18 Puskesmas, 2 Balai Pengobatan Paru dan 3 Rumah Sakit di kota Yogyakarta. Anak yang kontak erat dengan kasus indeks diikutkan dalam penelitian jika berumur kurang dari 15 tahun, jarak tempat tinggal dengan RS. Sardjito kurang dari 20 km, dan mendapatkan informed consent tertulis dari orang tua/wali. Anak-anak yang pernah atau sedang dalam terapi TB tidak diikutkan dalam penelitian ini. Semua anak yang memenuhi inklusi dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, Rontgan dada dan uji tuberkulin. Anak-anak yang menunjukkan gejala TB dilakukan pemeriksaan BTA dan kultur sputum. Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan etik dari Komite Etik Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sejumlah 215 anak dari 117 penderita TB

paru dewasa diikutsertakan dalam penelitian ini. Karakteristik subyek penelitian dan sumber penularan, ditampilkan masing-masing pada Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik kontak, kasus indeks dan kondisi lingkungan di Yogyakarta Tahun 2011

tidak ada bukti infeksi/sakit TB

N = 118

infeksi laten TB

N = 81

sakit TB

N = 16

total

N = 215

Karakteristik kontak

Median umur, bulan (IQ range) 74 (33;120) 88 (39; 131) 56 (28; 121) 74 (34; 128)

Balita 52 (44,1%) 32 (39,5%) 8 (50%) 92 (43%)

jenis kelamin perempuan 53 (44,9%) 49 (60,5%) 10 (62,5%) 112 (52,1%)

Vaksinasi BCG, n (%) 111 (94,1%) 77 (95,1%) 15 (93,75%) 203 (94,4%)

Skar BCG (+) 92 (78,6%) 69 (85,2%) 13 (81,3%) 174 (81%)

Hubungan dengan sumber penularan, n (%)

Anak 71 (60,7%) 47 (58%) 9 (56,3%) 127 (59%)

Cucu 20 (17,1%) 14 (17,3%) 2 (12,5%) 36 (17%)

Saudara kandung 0 3 (3,7%) 2 (12,5%) 5 (2%)

Keponakan 17 (14,5%) 11 (13,6%) 3 (18,7%) 31 (14%)

Lain-lain 9 (7,7%) 6 (7,4%) 0 15 (7%)

Uji tuberkulin positif 0 81 (100%) 11 (68,8%) 92 (42,8%)

Karakteristik sumber penularan

jenis kelamin laki-laki 71 (60,2%) 38 (46,9%) 9 (56,3%)

Hubungan: ibu dari kontak 25 (21,2%) 17 (21,0%) 6 (37,5%)

BTA sputum

negatif 32 (27,1%) 11 (12,6%) 3 (18,8%)

scanty 2 (1,7%) 2 (2,5%) 0

positif 1 33 (28%( 21 (25,9%) 5 (31,2%)

positif 2 21 (17,8%) 9 (11,1%) 3 (18,8%)

positif 3 30 (25,4%) 38 (46,9%) 5 (31,2%)

kondisi lingkungan dan kedekatan

Median jumlah penghuni rumah (IQ range) 5,5 (4; 8) 6 (5;8) 5 (4;7) 6 (4;8)

Jumlah penghuni rumah > 6 61 (51,7%) 44 (54,3%) 6 (37,5%) 111 (51,6%)

Tidur sekamar dengan sumber penularan 52 (44,1%) 45 (55,6%) 8 (50%) 105 (48,8%)

Tabel 2.Faktor risiko infeksi laten TB di Yogyakarta Tahun 2011

Faktor risiko OR 95% CI

Karakteristik anak serumah

- Jenis kelamin perempuan

- Umur kurang dari 5 tahun

- Tidak ada skar BCG

1,6

0,8

1,7

0,9 – 2,8

0,5 – 1,5

0,8 – 3,6

Karakteristik sumber penularan

- Jenis kelamin perempuan

- Hubungan: ibu - Hubungan: orang tua - BTA positif

1,7

1,0

0,9

2,8

0,9 – 2,9

0,5 – 1,9

0,5 – 1,7

1,2 – 6,6

Tidur sekamar 1,6 0,9 – 2,8

Jumlah orang serumah > 6 1,3 0,7 – 2,3

Uji tuberkulin positif didapatkan pada 92 (42,8%) anak. Hasil pemeriksaan selanjutnya menunjukkan bahwa 13 anak (6%) menderita TB, 81 anak (38%) dengan infeksi laten TB dan 121 anak (56%) tidak mempunyai bukti infeksi maupun sakit TB. Faktor risiko terjadinya infeksi laten TB dianalisis terhadap 81 anak dengan infeksi laten TB sebagai kelompok kasus dan 121 anak tanpa bukti infeksi atau sakit TB sebagai kelompok kontrol. Hasil analisis menunjukkan bahwa risiko terjadinya infeksi laten TB meningkat jika sumber penularan dengan BTA positif (Tabel 2).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sekitar sepertiga anak yang tinggal serumah dengan penderita TB paru dewasa mengalami infeksi laten TB dan 6% anak menderita sakit TB. Hasil ini kurang lebih sama seperti yang dilaporkan sebelumya pada meta-analisis, pada semua kelompok umur, 4,5% kontak serumah menderita sakit TB dan 51,4% mengalami infeksi laten TB. Pada anak balita, sakit TB terjadi pada 8,5% anak dan infeksi laten TB pada 30,4% (Morrison et al, 2008). Beberapa penelitian di Afrika melaporkan 14-45% anak kontak serumah menderita infeksi laten TB dan 23%-34% menderita sakit TB. (Beyers et al, 1997; Sinfield et al, 2006). Proporsi infeksi laten TB dilaporkan lebih tinggi di Asia (30-70%), tetapi kejadian sakit TB-nya lebih rendah (3-16.4%) daripada yang dilaporkan di Afrika (Nguyen et al, 2009; Iskandar et al. 2008).

Secara umum risiko terinfeksi TB tergantung pada kondisi anak, virulensi kuman, keparahan penyakit penderita TB sebagai sumber infeksi, kedekatan anak

Page 24: Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2012

19

dengan sumber infeksi dan kepadatan hunian rumah. Pada penelitian ini didapatkan bahwa risiko terinfeksi TB meningkat pada anak yang kontak serumah dengan penderita TB BTA positif dengan OR 2,8 (95% CI 1,2 -6,6) . Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumya yang menunjukkan bahwa risiko terinfeksi TB lebih tinggi pada anak yang kontak dengan penderita TB dengan BTA positif dibandingkan BTA negative (Gessner et al, 1998; Mark et al, 2000; Singh et al, 2005). Beberapa penelitian melaporkan bahwa semakin tinggi derajat kepositifan BTA, semakin infeksius sumber infeksi tersebut. (Gessner et al, 1998; Nguyen et al, 2009; Sinfield et al, 2006; Tornee et al, 2004) Hal ini dikarenakan derajat BTA sesuai dengan jumlah kuman TB di dalam sputum.

Lienhardt et al melaporkan bahwa risiko terinfeksi lebih tinggi jika penderita TB adalah orang tua atau saudara kandung. Beberapa penelitian yang lain menunjukkan risiko infeksi TB meningkat bila sumber penularannya wanita dan semakin meningkat bila sumber penularannya ibu atau nenek. (Espinal et al, 2000; Kenyon et al, 2002; Sinfield et al, 2006; Tornee et al, 2004). Hasil penelitian kami tidak menunjukkan adanya risiko tersebut. Risiko terinfeksi TB juga meningkat sesuai dengan kedekatan anak dengan sumber penularan dan kondisi lingkungan rumah. Anak yang tidur sekamar atau satu tempat tidur dengan penderita TB dan rumah yang padat penghuninya merupakan faktor risiko infeksi TB. (Lienhardt et al, 2003a; Lienhardt et al, 2003b; Lin et al, 2008; Rathi et al, 2002) Rumah yang padat penghuninya tidak hanya meningkatkan risiko transmisi, tetapi secara teori dianggap dapat menimbulkan stress psikis penghuni yang dapat dapat menurunkan sistem imun. (Stokols, 1972) Namun demikian, penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan hasil yang tidak konsisten. (Lienhardt et al, 2003a; Lockman et al, 1999; Saiman et al, 2001; Sinfield et al, 2006; Teixeira et al, 2001; Tornee et al, 2004) Hasil penelitian kami juga tidak menunjukkan bukti adanya peningkatan risiko infeksi dengan tidur sekamar dan jumlah penghuni rumah lebih dari 6 orang.

KESIMPULAN DAN SARAN

Contact investigation merupakan kegiatan yang penting untuk mengidentifikasi anak-anak dengan infeksi laten TB dan untuk meningkatkan penemuan kasus. Sebaiknya diprioritaskan pada anak yang tinggal serumah dengan penderita TB BTA positif.

DAFTAR PUSTAKA

Beyers, N., Gie, R.P., Schaaf, H.S., Van, Z.S.,

Talent, J.M., Nel, E.D., & Donald, P.R., 1997. A prospective evaluation of children under the age of 5 years living in the same household as adults with recently diagnosed pulmonary tuberculosis. Int.J.Tuberc.Lung Dis; 1: 38-43.

Espinal, M.A., Perez, E.N., Baez, J., Henriquez, L., Fernandez, K., Lopez, M., Olivo, P., & Reingold, A.L., 2000. Infectiousness of Mycobacterium tuberculosis in HIV-1-infected patients with tuberculosis: a prospective study. Lancet; 355: 275-280.

Gessner, B.D., Weiss, N.S., & Nolan, C.M., 1998. Risk factors for pediatric tuberculosis infection and disease after household exposure to adult index cases in Alaska. J Pediatr; 132: 509-513.

Kenyon, T.A., Creek, T., Laserson, K., Makhoa, M., Chimidza, N., Mwasekaga, M., Tappero, J., Lockman, S., Moeti, T., & Binkin, N., 2002. Risk factors for transmission of Mycobacterium tuberculosis from HIV-infected tuberculosis patients, Botswana. Int.J.Tuberc.Lung Dis.; 6: 843-850.

Lienhardt, C., Fielding, K., Sillah, J., Tunkara, A., Donkor, S., Manneh, K., Warndorff, D., McAdam, K.P., & Bennett, S., 2003a. Risk Factors for Tuberculosis Infection in Sub-Saharan Africa: A Contact Study in The Gambia. Am.J.Respir.Crit.Care Med.; 168: 448-455.

Lienhardt, C., Sillah, J., Fielding, K., Bennett, S., Donkor, S., Warndorff, D., McAdam, K., & Manneh, K., 2003b. Risk Factors for Tuberculosis Infection in Children in Contact With Infectious Tuberculosis Cases in The Gambia, West Africa. Pediatrics; 111: 608.

Lin, X., Chongsuvivatwong, V., Lin, L., Geater, A., & Lijuan, R., 2008. Dose-response relationship between treatment delay of smear-positive tuberculosis patients and intra-household transmission: a cross-sectional study. Trans R Soc Trop Med Hyg; 102: 797-804.

Lockman, S., Tappero, J.W., Kenyon, T.A., Rumisha, D., Huebner, R.E., & Binkin, N.J., 1999. Tuberculin reactivity in a pediatric population with high BCG vaccination coverage. Int J Tuberc Lung Dis; 3: 23-30.

Marais, B.J., Gie, R.P., Schaaf, H.S., Hesseling, A.C., Obihara, C.C., Nelson, L.J., Enarson, D.A., Donald, P.R., &

Page 25: Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2012

20

Beyers, N., 2004. The clinical epidemiology of childhood pulmonary tuberculosis: A critical review of literature from the pre-chemotherapy era. Int.J.Tuberc.Lung Dis.; 8: 278-285.

Mark, S.M., Taylor, Z., Qualls, N.L., Shresta_Kuwahara, R.J., Wilce, M., & Nguyen, C.H., 2000. Outcomes of Contact Investigations of Infectious Tuberculosis Patients. Am.J.Respir.Crit.Care Med.; 162: 2033-2038.

Morrison, J., Pai, M., & Hopewell, P.C., 2008. Tuberculosis and latent tuberculosis infection in close contacts of people with pulmonary tuberculosis in low-income and middle-income countries: a systematic review and meta-analysis. Lancet Infect Dis; 8: 359-368.

Nguyen, T.H., Odermatt, P., Slesak, G., & Barennes, H, 2009. Risk of latent tuberculosis infection in children living in households with tuberculosis patients: a cross sectional survey in remote northern Lao People's Democratic Republic. BMC Infectious Diseases; 9: 96.

Rathi, S.K., Akhtar, S., Rahbar, M.H., & Azam, S.I., 2000. Prevalence and risk factors associated with tuberculin skin test positivity among household contacts of smear-positive pulmonary tuberculosis cases in Umerkot, Pakistan. Int.J.Tuberc.Lung Dis.; 6: 851-857.

Saiman, L., Gabriel, P.S., Vargas, M.P., Schulte, J., Kenyon, T., & Onorato, I., 2001. Risk Factors for Latent Tuberculosis Infection Among Children in New York City. Pediatrics; 107: 999.

Sinfield, R., Nyirenda, M., Haves, S., Molyneux, E.M., & Graham, S.M., 2006. Risk factors for TB infection and disease in young childhood contacts in Malawi. Ann Trop Paed: Int Child Health; 26: 205-213.

Singh, M., Mynak, M.L., Kumar, L., Mathew, J.L., & Jindal, S.K., 2005. Prevalence and risk factors for transmission of infection among children in household contact with adults having pulmonary tuberculosis. [Article]. Arch Dis Child; 90: 624-628.

Stokols, D., 1972. A Social-Psychological Model of Human Crowding Phenomena. Journal of the American Institute of Planners; 38: 72-83.

Teixeira, L., Perkins, M.D., Johnson, J.L., Keller, R., Palaci, M., do, V.D., V, Canedo Rocha, L.M., Debanne, S., Talbot, E., & Dietze, R., 2001. Infection and disease among household contacts of patients with multidrug-resistant tuberculosis. Int.J.Tuberc.Lung Dis.; 5: 321-328.

Tornee, S., Kaewkungwal, J., Fungladda, W., Silachamroon, U., Akarasewi, P., & Sunakorn, P, 2004. Risk factors for tuberculosis infection among household contacts in Bangkok, Thailand. Southeast Asian J Trop Med Public Health; 35: 375-383.

Page 26: Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2012

21

Perilaku Nyamuk Anopheles di Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung

Suwito

Sub direktorat Pengendalian Vektor, Direktorat Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

Abstract. Malaria is one of a public health problem in Indonesia, causing morbidity and mortality as well as

outbreak in remote areas. South Lampung was medium malaria areas, with annual parasite incidence in 2009

was12,48 000 . Vector control remains the most effective measure to prevent malaria transmission. The

understanding of behavior vector species is very important to formulate vector control strategies. The study of

Anopheles mosquito in South Lampung and Pesawaran Districts were carried out on August 2009 to September

2010. Anopheline species were collected by human landing and resting collections to study population dynamics

and biting activities. Twelve species were found, there were 11 species at Rajabasa and 10 species at

Padangcermin, e.g. A. sundaicus, A. barbirostris, A. annularis, A. minimus, A. kochi, A. aconitus, A. tessellatus,

A. vagus, A. subpictus, A. indefinitus, A. maculatus and A. hyrcanus group. The A. sundaicus was the

predominant species in both study areas. The population density of A. sundaicus was fluctuated every month,

and the peak occurred on November at Rajabasa and on Desember at Padangcermin. The biting activities of A.

sundaicus was fluctuated every hour, and the peak occurred at 03.00-04.00 AM at Rajabasa, and 02.00-03.00

AM at Padangcermin, the outdoor man hour density (MHD) higher than indoor.

Keyword : Anopheles, behavior and South Lampung

Koresponden: DR. Suwito, SKM, M.Kes, Sub direktorat Pengendalian Vektor, Direktorat PPBB, Ditjen PP dan PL, Telp.081379729578

PENDAHULUAN

Lampung Selatan merupakan daerah

endemis malaria dengan angka AMI tahun

2009 sebesar 12,48 000 (Dinkes Prov.

Lampung 2010). Pengendalian malaria dengan upaya memutuskan mata rantai penularan, yang melibatkan vektor, masih efektif untuk dilaksanakan. Setiap spesies Anopheles mempunyai daerah penyebaran geografi, habitat perkembangbiakan dan ekosistem yang khusus (Sukowati 2008). Oleh karena itu pemahaman perilaku nyamuk Anopheles penting dipelajari sebagai dasar pengendalian vektor malaria.

Pemahaman tentang perilaku vektor sangat penting sebagai dasar pengendalian vektor. Infomasi mengenai perilaku vektor meletakan telur (habitat perkembangbiakan) dan perilaku menghisap darah merupakan dasar pengendalian vektor malaria, mengingat sifatnya yang local specific areas, dapat berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perilaku nyamuk Anopheles spp., meliputi perilaku menghisap darah dan perilaku istirahat.

BAHAN DAN CARA

Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Lampung Selatan yang merupakan wilayah kategori kasus malaria sedang (medium case incidence/MCI) di Indonesia, tepatnya di dua kecamatan dengan status kasus malaria tinggi (high incidence area/HIA), yaitu Kecamatan Rajabasa dan Padangcermin. (Gambar 1). Gambar 1. Lokasi Penelitian, (A) Wilayah Kecamatan Rajabasa, (B) Wilayah, Kecamatan Padangcermin

Penangkapan Nyamuk Anopheles Malam Hari

Penangkapan nyamuk malam hari menggunakan metode human landing collection (HLC), dari jam 18.00-06.00. Penangkapan nyamuk dilakukan pada tiga

Page 27: Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2012

22

rumah, masing-masing di luar dan di dalam rumah. Waktu penangkapan nyamuk dilakukan 45 menit untuk setiap jam, per malam. Kegiatan dilaksanakan selama satu tahun, mulai dari Agustus 2009 sampai dengan September 2010, dengan frekuensi penangkapan empat malam per bulan. Identifikasi nyamuk menggunakan kunci identifikasi dari O’Connor dan Soepanto (1999).

Penangkapan Nyamuk Anopheles Pagi Hari

Penangkapan nyamuk pagi hari bertujuan untuk mengetahui tempat nyamuk beristirahat. Penangkapan nyamuk pagi hari dilaksanakan oleh empat orang, masing-masing dua orang di luar dan di dalam rumah. Penangkapan nyamuk dilakukan pada jam 06.00-09.00, tiap bulannya selama empat hari, selama satu tahun, mulai Agustus 2009 sampai dengan September 2010.

Analisis Data

Nyamuk Anopheles spp. yang hinggap di badan per orang per jam dihitung berdasarkan nilai man hour density (MHD), sedangkan nyamuk Anopheles spp. hinggap di badan per orang per malam dihitung berdasarkan nilai man biting rate (MBR). Nilai MHD dihitung berdasarkan jumlah nyamuk yang hinggap di badan per jam dibagi dengan jumlah penangkap dikali waktu penangkapan (dalam jam). Adapun nilai MBR dihitung berdasarkan jumlah nyamuk yang hinggap di badan per malam dibagi jumlah penangkap dikali waktu penangkapan (WHO 2003).

Fluktuasi MHD ditampilkan bentuk grafik selama 12 jam (18.00-06.00), di dalam dan di luar rumah. Adapun fluktuasi MBR dirata-ratakan tiap bulannya dan ditampil bentuk grafik selama satu tahun, di dalam dan di luar rumah. Hasil penangkapan nyamuk per bulan hampir seluruhnya mendapatkan A. sundaicus, maka fluktuasi MBR satu tahun adalah MBR A. sundaicus.

Perilaku Anopheles spp. menghisap darah dihitung persentasenya di luar dan di dalam rumah. Kebiasaan Anopheles spp. beristirahat ditampilkan tempatnya dan dihitung persentase tempat beristirahat di luar dan di dalam rumah.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kepadatan Spesies Anopheles

Nyamuk Anopheles yang berkontak dengan manusia di Kecamatan Rajabasa sebanyak 10 spesies, yaitu A. sundaicus, A. vagus, A. tessellatus, A. aconitus, A. subpictus, A.

annularis, A. kochi, A. minimus, A. barbirostris dan A. maculatus. Nyamuk A. sundaicus merupakan spesies dominan, sebagaimana ditunjukkan oleh rata-rata angka hinggap di badan (MBR) sebesar 32,29 per orang per malam, melebihi spesies lainnya (Gambar 2). Di wilayah Kecamatan Padangcermin terdapat delapan spesies Anopheles yang berkontak dengan manusia, yaitu A. sundaicus, A. subpictus, A. barbirostris, A. kochi, A. aconitus, A. tessellatus, A. vagus dan A. hyrcanus group. Nyamuk A. sundaicus juga merupakan spesies dominan, dengan rata-rata angka hinggap di badan (MBR) sebesar 54,26 per orang per malam, melebihi spesies lainnya (Gambar 3).

Gambar 2. Rata-rata Spesies Anopheles Hinggap di Badan Per Orang Per Malam (MBR) di Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan

Gambar 3. Rata-rata Spesies Anopheles Hinggap di Badan Per Orang Per Malam (MBR) di Kecamatan Padangcermin, Lampung Selatan

Perilaku A. sundaicus Menghisap Darah

Jumlah A. sundaicus hinggap di badan per orang per jam (MHD) dirata-ratakan selama satu tahun, hasilnya menunjukkan A. sundaicus di Kecamatan Rajabasa, hinggap di badan sepanjang malam, dengan puncak aktivitas pukul 03.00-04.00. MHD di luar rumah selalu lebih tinggi dibandingkan dengan di dalam rumah, sepanjang malam mulai dari pukul 18.00-06.00 (Gambar 4). Seperti halnya di Kecamatan Rajabasa, di Kecamatan

Page 28: Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2012

23

Padangcermin A. sundaicus hinggap di badan sepanjang malam, mulai pukul 18.00-06.00, mencapai puncaknya pada pukul 02.00-03.00. Nyamuk A. sundaicus hinggap di badan lebih banyak di luar rumah dibandingkan dengan di dalam rumah, sepanjang malam (Gambar 5).

Gambar 4. Nyamuk A. sundaicus Hinggap di Badan Per Orang Per Jam (MHD) di Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan

0

1

2

3

4

5

6

Jam pengamatan

MH

D

MHD di luar rumah 1.77 1.4 1.31 1.76 2.32 2.72 3.51 3.89 4.05 5.23 3.47 1.89

MHD di dalam rumah 1.55 1.01 0.95 1.28 1.83 2.19 3.02 3.31 3.45 4.37 2.8 1.21

MHD Rata-rata 1.66 1.21 1.13 1.52 2.08 2.46 3.27 3.60 3.75 4.80 3.14 1.55

18-19 19-20 20-21 21-22 22-23 23-24 24-01 01-02 02-03 03-04 04-05 05-06

Gambar 5. Nyamuk A. sundaicus Hinggap di Badan Per Orang Per Jam (MHD) di Kecamatan Padangcermin, Lampung Selatan

0.00

2.00

4.00

6.00

8.00

Jam pengamatan

MH

D

MHD di luar rumah 4.09 3.22 2.91 3.44 4.56 5.43 6.64 6.71 6.97 6.21 4.43 3.08

MHD di dalam rumah 3.66 2.71 2.31 2.76 3.78 4.48 5.21 5.49 5.69 4.99 3.33 2.12

MHD Rata-rata 3.88 2.97 2.61 3.10 4.17 4.96 5.93 6.10 6.33 5.60 3.88 2.60

18-19 19-20 20-21 21-22 22-23 23-24 24-01 01-02 02-03 03-04 04-05 05-06

Nyamuk A. sundaicus banyak ditemukan di daerah pantai dengan puncak aktivitas tengah malam hingga dini hari. Sukowati dan Shinta (2009) melaporkan A. sundaicus merupakan spesies dominan di daerah pantai Purwodadi Kabupaten Purworejo Jawa Tengah, hinggap di badan sepanjang malam, dengan puncak aktivitas pukul 02.00-03.00, sementara itu di Kecamatan Sumur Kabupaten Pandeglang Jawa Barat puncak aktivitas A. sundaicus di luar rumah pukul 01.00-02.00 dan di dalam rumah pukul 24.00-01.00 (Mardiana et al. 2007), sedangkan di Pulau Nicobar India A. sundaicus dilaporkan aktif pada malam hari pukul 20.00-03.00 (Dusfour et al. 2004). Rosa et al. (2010) melaporkan di daerah pantai Sukamaju Kota Bandar Lampung, Anopheles spp. menghisap darah sepanjang malam dengan puncak aktivitas pukul 24.00 di luar rumah dan 23.00 di dalam rumah.

Di Kecamatan Rajabasa dan Padangcermin A. sundaicus hinggap di badan

sepanjang malam mulai pukul 18.00-06.00, kepadatan di luar lebih tinggi dibandingkan di dalam rumah. Hal ini berarti potensi penularan malaria di Rajabasa dan Padangcermin berlangsung sepanjang malam, baik di luar maupun di dalam rumah, dengan puncak transmisi Plasmodium pukul 03.00-04.00 di Rajabasa dan pukul 02.00-03.00 di Padangcermin, transmisi Plasmodium ke tubuh manusia lebih banyak terjadi di luar rumah dinbandingkan di dalam rumah.

Nyamuk A. sundaicus hinggap di badan per orang per malam (MBR) dirata-ratakan per bulan. Hasilnya menunjukkan A. sundaicus hinggap di badan sepanjang bulan, baik di Kecamatan Rajabasa maupun Padangcermin. MBR tertinggi pada bulan November di Kecamatan Rajabasa dan bulan Desember di Kecamatan Padangcermin. MBR A. sundaicus lebih tinggi di luar rumah dibandingkan di dalam rumah, baik di Kecamatan Rajabasa maupun Padangcermin (Gambar 6 dan Gambar 7).

Nyamuk A. sundaicus merupakan vektor dominan di Kecamatan Rajabasa dan Padangcermin. Jumlah vektor yang meningkat akan meningkatkan akan meningkatkan kasus (Rozendal 1997), maka Gambar 6 dan Gambar 7 memberikan prediksi bahwa kasus malaria akan meningkat pada bulan November di Rajabasa dan Desember di Padangcermin, dengan anggapan daya tahan tubuh masyarakat stabil setiap bulan. Gambar 6. Nyamuk A. sundaicus Hinggap di Badan Per Orang Per Malam (MBR) di Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan

Gambar 7.Nyamuk A. sundaicus Hinggap di Badan Per Orang Per Malam (MBR) di Kecamatan Padangcermin, Lampung Selatan

Page 29: Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2012

24

Jumlah nyamuk yang meningkat pada

bulan November-Desember berkaitan dengan pola musim. Pada musim hujan jumlah dan luas perairan sebagai habitat larva A. sundaicus meningkat. Tambak terbengkalai pada musim hujan bertambah luasannya dari 25,6 Ha menjadi 30,6 Ha. Bak terbengkalai yang sebelumnya kering menjadi berisi air, rawa-rawa yang sebelumnya kadar garamnya sangat tinggi menjadi lebih payau, kobakan dan kubangan menjadi lebih banyak. Tipe perairan tersebut merupakan habitat utama A. sundaicus.

Perilaku Nyamuk Anopheles Beristirahat

Hasil penangkapan nyamuk Anopheles beristirahat pada pagi hari pukul 06.00-09.00, di Kecamatan Rajabasa dan Padangcermin mendapatkan empat spesies yang sama, yaitu A. sundaicus, A. annularis, A. vagus dan A. barbirostris. Nyamuk Anopheles spp. baik di Rajabasa maupun Padangcermin dapat beristirahat baik di dalam dan di luar rumah (Tabel 1 dan Tabel 2). Di Kecamatan Rajabasa, nyamuk A. sundaicus beristirahat di luar rumah didapatkan di rerumputan, ujung atap rumah dan tumpukan kayu, di dalam rumah beristirahat di jaring yang digantung, kelambu, pakaian digantung, dinding dalam rumah dan rak rak sepatu. Nyamuk A. annularis hanya ditemukan hinggap beristirahat di dinding luar rumah. Nyamuk A. vagus di luar rumah beristirahat di dinding kandang, daun pisang kering, tumpukan kayu dan semak kering, di dalam rumah beristirahat di atap rumah bagian dalam dan dinding dalam rumah. Nyamuk A. barbirostris hanya ditemukan beristirahat di luar rumah di rerumputan sekitar rumah (Tabel 1). Di Kecamatan Padangcermin, nyamuk A. sundaicus di luar rumah beristirahat di rerumputan dan dinding luar rumah, di dalam rumah beristirahat di jaring yang digantung, kelambu, pakaian yang digantung, dinding dalam rumah dan sapu lidi. Nyamuk A. annularis di luar rumah beristirahat di dinding luar rumah, di dalam rumah beristirahat di tumpukan kayu kering dan dinding dalam rumah. Nyamuk A. vagus hanya ditemukan beristirahat di dalam rumah di kelambu,

pakaian menggantung, dinding rumah bagian dalam. Nyamuk A. barbirostris di luar rumah beristirahat pada rerumputan di sekitar rumah dan tambak, di dalam rumah di pakaian kotor yang digantung di dapur (Tabel 2).

Nyamuk Anopheles pada umumnya dapat beristirahat baik di luar maupun di dalam rumah. Nyamuk A. maculatus dan A. balabacensis di Kokap Kabupaten Kulonprogo DIY beristirahat di luar rumah, di semak-semak dan tebing parit (Mahmud 2002). Nyamuk A. aconitus di Loano Kabupaten Purworejo Jawa Tengah di dalam rumah beristirahat di kamar tidur dan ruang tamu, sedangkan di luar rumah banyak beristirahat pada lubang-lubang buatan (Riyanti 2002). Mahande et al. (2007) melaporkan di Moshi bagia utara Tanzania Nyamuk A. arabiensis lebih banyak beristirahat di luar rumah sebesar 80,7% dibandingkan A. gambiae sebesar 59,7% dan Culex spp. sebesar 60,8%.

Tabel 1. Tempat Anopheles spp. Beristirahat Pagi Hari di Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan Tahun 2010

Spesies Anopheles

Tempat beristirahat

Di luar rumah Di dalam rumah

A. sundaicus Rerumputan pinggiran tambak, pinggiran atap bagian luar, tumpukan kayu

Gantungan jaring, kelambu, pakaian mengantung, dinding rumah, rak sepatu

A. annularis Dinding rumah bagian luar

Tidak ditemukan

A. vagus Dinding kandang, daun pisang kering, tumpukan kayu, semak kering

Atap rumah bagian dalam, dinding rumah

A. barbirostris Rerumputan di sekitar permukiman

Tidak ditemukan

Tabel 2. Tempat Anopheles spp. Beristirahat Pagi Hari di Kecamatan Padangcermin, Lampung Selatan, Tahun 2010

Spesies Anopheles

Tempat beristirahat

di luar rumah di dalam rumah

A. sundaicus Rerumputan pinggiran tambak dan rumah, dinding

Gantungan jaring, kelambu, pakaian mengantung, dinding rumah

Page 30: Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2012

25

luar rumah bagian dalam, sapu lidi

A. annularis Dinding luar rumah

Tumpukan kayu kering di dapur, dinding rumah

A. vagus Tidak ditemukan Kelambu, pakaian menggantung, dinding rumah bagian dalam

A. barbirostris Rerumputan di sekitar permukiman dan tambak

Pakaian kotor yang digantung di dapur

Rata-rata Anopheles spp. beristirahat pagi hari di Kecamatan Rajabasa dan Padangcermin lebih banyak ditemukan di dalam rumah dibandingkan di luar rumah. Di Kecamatan Rajabasa Anopheles spp. di dalam rumah lebih banyak beristirahat di kelambu (33,74%) dan dinding dalam rumah (32,1%), selebihnya pakaian menggantung (16,87%), jaring menggantung (10,29%), atap luar rumah (4,53%) dan rak sepatu (2,47%). Di Kecamatan Padangcermin Anopheles spp. di dalam rumah beristirahat pagi hari lebih banyak ditemukan di dinding (32,55%) dan kelambu (30,5%), selebihnya pakaian menggantung (15,25%), tumpukan kayu (13,32%) dan sapu lidi (9,38%) (Tabel 3 dan Tabel 4).

Tabel 3. Tempat Anopheles spp. Beristirahat di Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan, Tahun 2010

No Tempat Anopheles Beristirahat Persen

1 Luar Rumah

- Rumput 17,86

- Pinggir atap luar

17,14

- Dinding luar rumah 18,57

- Dinding kandang 25

- Tumpukan kayu 7,86

- Daun pisang kering 7,14

- Semak kering 6,43

Jumlah 100

2 Dalam Rumah

- Kelambu 33,74

- Pakaian menggantung 16,87

- Dinding dalam rumah 32,1

- Jaring menggantung 10,29

- Rak sepatu 2,47

- Atap rumah 4,53

Jumlah 100

Tabel 4. Tempat Anopheles spp. Beristirahat di Kecamatan Padangcermin, Lampung Selatan Tahun 2010

No Tempat Anopheles

Beristirahat Persen

1 Luar Rumah

- Rumput 44,34

- Dinding luar rumah 55,66

Jumlah 100

2 Dalam Rumah

- Kelambu 30,5

- Pakaian menggantung 15,25

- Dinding dalam rumah 32,55

- Sapu lidi 9,38

- Tumpukan kayu 12,32

Jumlah 100

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan Nyamuk A. sundaicus ditemukan sebagai spesies terbanyak, dan populasi A. sundaicus aktif sepanjang malam dengan puncak aktivitas pada jam 03.00-04.00 di Rajabasa dan pada jam 02.00-03.00 di Padangcermin, kepadatan tertinggi pada bulan November di Rajabasa dan pada bulan Desember di Padangcermin. Nyamuk Anopheles spp. beristirahat di dalam dan di luar rumah, sebagian besar ditemukan beristirahat di dinding dalam dan luar rumah, serta di kelambu.

Saran Membentuk juru malaria desa (JMD) sebagai jembatan informasi antara Pemda dan masyarakat. Menggiatkan pengendalian Anopheles dan malaria melalui indoor residual spray (IRS) dan penggunaan kelambu insektisida.

Page 31: Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2012

26

DAFTAR PUSTAKA Bonne-Wepster J, Swellengrebel NH. 1953.

The anopheline mosquitoes of the Indo-Austrialian region. Amsterdam. 734 hal.

Bruce-Chwatt LJ. 1985. Essential Malariology. Second Edition. Lodon : Oxford, Alden Press. 452 hal.

Clements AN. 1999. Mosquitoes Vol. 2, Sensory Reception and Behaviour. New York : CABI Publising. 740 hal.

Clinster AW. 2008. Sensitiveness of mosquitoes in the water. Bull. Environ. Hlth. Amer. 89 (3) 283-296.

[Dinkes Prop. Lampung] Dinas Kesehatan Propinsi Lampung. Laporan Penemuan Penderita Malaria. 2010. Bandarlampung, Lampung.

Dusfour I, Harbach RE, Manguin S. 2004. Bionomics and systematics of the oriental Anopheles sundaicus complex in relation to malaria transmission an vector control. Am. J. Trop. Med. Hyg. 71 (4) : 518-524.

Machault V, Gadiaga L, Vignolles C, Jarjaval F, Bouzid S, Sokhna C, Lacaux J, Trape J, Rogier C, Pagès F. 2009. Highly focused anopheline breeding sites and malaria transmission in Dakar. Malar. J. 8 : 138

Mahande A, Mosha F, Mahande J, Kweka E. 2007. Feeding and resting behavior of malaria vector, Anopheles arabiensis with reference to zooprophylaxis. Malar J. 6 : 100.

Mahmud. 2002. Studi Perilaku Beristirahat Nyamuk Anopheles maculatus dan Anopheles balabacensis (Baisas) di Desa Hargotirto Kecamatan Kokap Kabupaten Kulonprogo Daerah Istimewa Yogyakarta. (Tesis). Bogor : IPB.

Mardiana, Sukowati S, Wigati RA. 2007. Beberapa aspek perilaku nyamuk Anopheles sundaicus di Kecamatan Sumur Kabupaten Pandeglang. J. Ekol. Kes. 6 (3) : 621-627.

O’connor CT, Soepanto A. 1999. Kunci Bergambar untuk Anopheles Betina dari Indonesia. Jakarta : Ditjen P2M&PL, Depkes RI. 40 hal.

Reisen WK, Eldridge BE, Scott TW, Gutierrez A, Takahashi R, Lorenzen K, DeBenedictis J, Boyce K, Swartzell R. 2002. Comparison of dry ice-baited centers for disease control and new jersey light traps for measuring mosquito abudance in California. J. Amer. Mosq. Cont. Assoc. 18 (3): 158-163.

Reid JA. 1968. Anopheline mosquitoes of Malaya and Borneo Goverment of Malaysia. Malaysia.

Risdiyanto I, Marpaung F, Wibowo A. 2009. Penyusunan model spasial prediksi lingkungan sebaran malaria (Anopheles sp.). Bogor : FMIPA, IPB.

Risch SJ, Andow D, Altieri MA. 1983. Agroecosystem diversity and pest control : Data, tentative conclusions, and new research directions. Bull. Environ. Entomol. Soc. Amer. 12 (3) : 625-629.

Riyanti F. 2002. Studi perilaku beristirahat nyamuk Anopheles di Desa Sedayu Kedamatan Loano Kabupaten Purworejo Jawa Tengah. [Tesis]. Bogor : IPB.

Rosa E, Setyaningrum E, Murwani S, Halim I. 2009. Identifikasi dan aktivitas menggigit nyamuk vektor malaria di daerah pantai Puri Gading Kelurahan Sukamaju Kecamatan Teluk Betung Barat Bandar Lampung. Laporan Penelitian. Bandar Lampung : FMIPA, Universitas Lampung.

Russell PF, West LS. Manwell RD, MacDonals G. 1963. Practical Malariology. London : Oxpord University Press. 750 hal.

Sukowati, S. 2008. Masalah keragaman

spesies vektor malaria dan cara pengendalianya di Indonesia. Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Biologi Lingkungan. Jakarta : Badan Litbangkes, Depkes R.I.

Sukowati S, Shinta. 2009. Habitat perkembangbiakan dan aktivitas menggigit nyamuk Anopheles sundaicus dan Anopheles subpictus di Purworejo, Jawa Tengah. J. Ekol. Kes. 8 (1) : 915-925.

[WHO] World Health Organization. 2003. Malaria Entomology and Vector Control Trial Edition. Genewa. 107 hal.

Page 32: Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2012

27

Implementasi Public Private Mix Program DOTS pada Dokter Praktik Swasta

dalam Pengendalian Tuberkulosis di Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur,

Tahun 2011

Tety Rachmawati1, Muji Sulistyowati

1, Chatarina U.W

1, Setya Budiono

2, Tri Awignami A

3, Tadjudin Noor

3

1Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga,

2Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur,

3Dinas

Kesehatan Kabupaten Malang

Abstrak. Public Private Mix (PPM) merupakan suatu model untuk lebih meningkatkan kualitas dalam pelayanan

dan pengendalian Tuberkulosis (TB). Banyak praktisi swasta yang terlibat dalam program TB selain rumah sakit

yaitu dokter praktik swasta (DPS), klinik, bidan, dan sebagainya. Beberapa hasil penelitian juga menunjukkan

bahwa penderita TB tidak hanya menggunakan pelayanan kesehatan di puskesmas namun juga praktisi dokter

umum. Upaya implementasi PPM program DOTS (Directly Observed Treatment Short course) pada DPS di

propinsi Jawa Timur belum berjalan optimal. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model PPM program

DOTS pada DPS dalam upaya peningkatan penemuan BTA positip. Hasil penelitian hampir separo responden

belum pernah mendapat sosialisasi tentang DOTS, namun responden siap berpartipasi dalam implementasi

DOTS. Keinginan untuk berpartisipasi terlepas dari faktor eksternal dan organisasi profesi. Walaupun begitu

pengetahuan sebagian besar responden tentang tuberkulosis baik. Peran DPS dalam program DOTS tergambar

dari pendapat responden mengenai peran yang akan dilakukan dalam komponen DOTS. Didapatkan 100%

responden berkomitmen untuk mengimplementasikan model PPM-DOTS dengan tetap berkoordinasi dengan

puskesmas dan dinas kesehatan. Perlu sosialisasi intensif tentang model PPM dan strategi DOTS dengan

melibatkan organisasi profesi. Pertemuan intensif lanjutan perlu diadakan untuk mengimplementasikan sesegera

mungkin model PPM-DOTS yang memungkinkan di Kabupaten Malang, Propinsi JawaTimur.

Kata Kunci : public-private mix, DOTS, dokter praktik swasta, tuberkulosis.

Koresponden: Muji Sulistyowati, Fakultas

Kesehatan Masyarakat UNAIR, Telp. 08123269986

PENDAHULUAN

Public-Private Mix (PPM) merupakan satu model dalam bentuk pelibatan semua fasilitas layanan kesehatan dalam melakukan layanan pasien TB dan program pengendalian TB. PPM meliputi beberapa bentuk kolaborasi antara lain pemerintah – swasta (seperti kerjasama dengan DPS), kolaborasi pemerintah - pemerintah (seperti program TB dengan RS pemerintah, fasyankes lapas) dan kolaborasi swasta - swasta (seperti LSM, RS swasta dengan DPS).

Public-Private Mix terdiri dari berbagai strategi yang dapat mengembangkan jejaring (partnerships) dalam pelaksanaan program TB secara lokal dan nasional, yang akan bermanfaat bagi pasien TB, masyarakat, petugas, dan peningkatan derajat kesehatan nasional (WHO, 2006).

Data di Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur menyatakan bahwa Propinsi Jawa Timur mulai mengimplementasikan Directly Observered Treatment Shortcourse (DOTS) pada seluruh kabupaten dalam tahun 2000, pencapaian cakupan Puskesmas 100%. Sementara tahun 2003 propinsi JawaTimur melaporkan bahwa 41,179 suspek TB paru,

hanya 11.533 BTA baru tercatat kasus positip sehingga CDR yang dicapai 28%. Sampai dengan tahun 2007 CDR propinsi Jawa Timur sudah mencapai 58%. Banyak faktor yang melatar belakangi rendahnya CDR, khususnya juga dalam pengelolaan penanganan pasien TB.

Terdapat banyak praktisi swasta yang dapat terlibat dalam program TB selain rumah sakit yaitu dokter praktik swasta, klinik, bidan, dan sebagainya. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penderita TB tidak hanya menggunakan pelayanan kesehatan di puskesmas namun juga praktisi dokter umum. Berdasarkan hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa keterlibatan dokter praktik swasta dalam program DOTS dapat memberikan kontribusi dalam meningkatkan Case Detection Rate (CDR) dalam rangka pengendalian TB.

Penelitian ini bertujuan mengembangkan model Public Private Mix (PPM) program DOTS pada dokter praktik swasta dalam upaya peningkatan penemuan BTA positip di kabupaten Malang, JawaTimur.

BAHAN DAN CARA

Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap. Tahap I adalah penelitian deskriptif dengan need assesment pada dokter praktik swasta

Page 33: Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2012

28

(DPS) dengan mengeksplorasi pengetahuan dan peran DPS dalam implementasi PPM dengan strategi DOTS, serta mengidentifikasi komponen DOTS. Hasil eksplorasi pada tahap I digunakan untuk menyusun draft model implementasi program DOTS pada DPS di tahap II. Selanjutnya disusun komitmen DPS untuk implementasi PPM dengan strategi DOTS. Penelitian dilakukan selama 4 (empat) bulan dengan lokasi penelitian dilakukan di Kabupaten Malang di delapan puskesmas (Pakis, Gondanglegi, Turen, Wagir, Bululawang, Karangploso, Lawang, dan Singosari). Alasan pemilihan daerah tersebut karena di kabupaten Malang memiliki Case Detection Rate (CDR) rendah (<30%). Unit analisisa dalah dokter praktik swasta, yaitu dokter umum baik yang berpraktik sendiri ataupun di klinik bersama di Kabupaten Malang. Sampel diambil dengan cara purposive sampling. DPS yang bersedia menjadi responden untuk data kuantitatif sebesar 88 orang, dengan hanya 68 orang yang bersedia mengisi data kualitatif berupa pertanyaan terbuka peran DPS dalam implementasi DOTs. Informan dari puskesmas terpilih terdiri dari kepala puskesmas, petugas/pengelola program TB, dan petugas laboratorium. Jadi total informan dari puskesmas adalah 24 informan. Data yang dikumpulkan adalah data primer, dengan kuesioner, untuk mendapatkan tujuan khusus pada Tahap I, serta Focus Group Disscussion (FGD) dan indepth interview untuk mendapatkan tujuan khusus Tahap II. Selain itu diambil juga data sekunder. Data kuantitatif dianalisis diskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel frekuensi dan tabulasi silang. Sedangkan data kualitatif dianalisis dengan content analysis.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan dari 88 responden dokter praktik swasta, tertinggi adalah pada kelompok umur kurang dan sama dengan 35 tahun (43,2%). Dokter praktik swasta yang termuda pada penelitian ini berumur 24 tahun dan yang tertua umur 72 tahun. Sebagian besar dokter praktik swasta (57,7%) menjalankan praktiknya kurang dan sama dengan 10 tahun, sedangkan yang terendah pada praktik lebih dari 20 tahun (12,9%). Sebagian besar (83,9%) responden mengetahui tentang DOTS, sedangkan yang tidak mengetahui tentang DOTS 16,1%, meskipun sebagian besar tidak mendapatkan sosialisasi 58%, sedangkan frekuensi yang telah mendapatkan sosialisasi lebih kecil yaitu

42%. Meskipun begitu, sebagian besar (96,6%) responden siap berpartisipasi dalam DOTS, tetapi masih ada yang tidak siap berpartisipasi (3,4%).

Peran DPS dalam Program DOTS meliputi penegakan diagnosa pasien TB, serta implementasi program DOTS. Hasil penelitian menunjukkan 87% responden menegakkan diagnosa TB dengan diagnosa klinis dan penunjang. Setelah terdiagnosa TB, sebagian besar (60,3%) responden akan merujuk suspek TB untuk mendapat pengobatan lebih lanjut. Sebagian besar (56,1%) di antaranya merujuk suspek ke puskesmas untuk mendapat pengobatan sesuai program DOTS, terutama bagi pasien dari sosial ekonomi rendah. Akan tetapi ada responden yang berpendapat bahwa jika DPS dilibatkan (disosialisasikan dan dilatih) dalam program DOTS, maka mereka tidak perlu merujuk lagi. Hampir seluruh responden (86,8%) telah mengetahui tentang program DOTS, meskipun beberapa ada yang hanya tahu sedikit. Masih ada 9 responden (13,2%) yang tidak tahu sama sekali tentang program tersebut. Saran yang diberikan responden dalam upaya peningkatan kualitas pelaksanaan strategi DOTS bermacam-macam, tetapi pada dasarnya hampir seluruh responden menginginkan kerjasama yang baik antara DPS dan puskesmas, serta melibatkan keluarga pasien.

Terdapat tiga model dalam penjaringan dan pengobatan suspek dan atau penderita TB. Model pertama, adalah DPS menemukan suspek dan memberikan pengantar ke puskesmas, puskesmas melakukan pemeriksaan sputum, kemudian DPS menindaklanjuti pengobatan. Model kedua, DPS hanya memberi pengantar ke puskesmas, selanjutnya pemeriksaan dan pengobatan diambil alih oleh puskesmas. Model ketiga, DPS menemukan suspek dan melapor ke puskesmas, puskesmas akan melacak suspek serta melakukan pemeriksaan sputum dan pengobatan dikembalikan ke DPS karena diminta oleh DPS (dan OAT akan dikirim).

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Pengetahuan responden DPS tentang program TB-DOTS sudah cukup baik, meskipun hampir separo belum pernah mendapat sosialisasi tentang TB-DOTS.

2. Apapun pola yang akan diterapkan, responden DPS akan mendukung dengan

Page 34: Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2012

29

tetap dilakukannya pemantauan dan koordinasi oleh puskesmas dan dinas kesehatan.

Saran 1. Perlu pertemuan intensif lebih lanjut untuk

membahas model mana di antara tiga model yang dihasilkan yang lebih memungkinkan untuk diimplementasikan.

2. Peningkatan koordinasi dengan puskesmas dan dinas kesehatan oleh seluruh responden DPS untuk berkomitmen menerapkan model PPM program DOTS.

DAFTAR PUSTAKA Departemen Kesehatan RI. 2003. Pedoman

Nasional Pengendalian Tuberkulosis, Cetakan Ke 6. Jakarta..

Dinkes Kabupaten Sleman. 2003. Laporan

Kegiatan Program Tuberkulosis Paru di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Idris, F. 2003. Model Kemitraan antara

Pemerintah dengan Dokter Praktik Swasta dalam Program Pemberantasan TB Strategi DOTS di Kota Palembang. Disertasi

Doktor Ilmu Kesehatan Masyarakat Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Jakarta.

Kementerian Kesehatan RI. 2011. Rencana

Aksi Nasional Public Private Mix Pengendalian Tuberkulosis Indonesia : 2011-2014. Dirjen P2PL.

Prasudi,A, Utarini, A. 2004. Model Kemitraan

Puskesmas-Praktisi Swasta Dalam Penanggulangan TB Paru Di kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman, Provinsi DIY: Public – Private Mix On TB Control : Engaging Private Practitioners In kalasan Sub Distric, Sleman Distric, Yogyakarta Province. JMPK, September, 6 (3).

Rai, I.B.N. 2003. DOTS pada Dokter Praktik

Swasta di Bali. National Seminar on Hospital DOTs Linkage and Public Private Mix in Indonesia. 3-6 September. Yogyakarta.

WHO and Stop TB Partnership. 2003. PPM

DOTS In Indonesia: a Strategy For Action. Mission Report; TB Strategy and

Operations, Stop TB Department. WHO. Geneva.

WHO. 2005. Draft: Guidance on Engaging

Diverse Health Care Providers In TB Control: Public-Private Mix For DOTS. WHO Sub-Working Group on PPM-DOTS. World Health Organization. Geneva.

WHO. 2004. Global Update On TB. National

TB Monitoring and Evaluation Meeting. October 5. Bali.

Page 35: Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2012

30

Hasil Kajian Peningkatan Deteksi Kasus Tuberkulosis di Daerah Sulit dijangkau di Provinsi Maluku

Josepina Mainase

1, Ronald Ratulangi

2, Indrawanti Kusadhiani

1,

Novi A. J. Suripatty3, Farudia Sanaky

4.

1Fakultas Kedokteran Universitas Pattimura,

2Dinkes Kota Ambon,

3BTKLPP Kelas II Ambon,

4Dinas Kesehatan

Provinsi Maluku

Abstrak. Pada tahun 1995 pemerintah Indonesia telah melaksanakan program pengendalian Tuberkulosis

dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse), yang direkomendasikan oleh WHO dan dilaksanakan di Puskesmas secara bertahap. Target program pengendalian Tuberkulosis (TB) adalah tercapainya penemuan pasien baru BTA (Basil Tahan Asam) positif paling sedikit 70% dari perkiraan yang ada dalam populasi dan menyembuhkan 85% dari semua pasien tersebut serta mempertahankannya. Angka Case Detection rate (CDR) Provinsi Maluku pada tahun 2008 adalah sebesar 37% selanjutnya mengalami peningkatan di tahun 2009 menjadi 64%. Kemudian untuk tahun 2010 CDR Maluku naik menjadi 73%. Tujuan penelitian ini adalah meningkatkan penemuan suspek dan kasus TB melalui upaya pengembangan Puskesmas Pembantu (Pustu). Dengan adanya pemberdayaan Pustu, maka dapat menigkatkan pula Angka Cakupan Penemuan suspek dan kasus TB di Puskesmas. Pada penelitian ini menggunakan metodologi “eksperimen” lapangan. Prinsip eksperimen membandingkan antara pustu yang diintervensi dengan Pustu yang tidak diintervensi. Penelitian ini dilakukan untuk menilai apakah ada pengaruh dari intervensi. Penelitian ini diawali dengan pengambilan data Awal pre intervensi kemudian dilakukan peningkatan pengetahuan dan pemberian ketrampilan fiksasi kepada petugas Pustu, kemudian memberikan dukungan layanan kunjungan rutin petugas program TB Puskesmas dan memberikan bantuan Logistik dan non logistik TB. Penelitian ini melibatkan pasien yang pernah mendapatkan pengobatan TB dan suspek TB yang ditemukan setelah intervensi. Dengan adanya pengembangan pelayanan pustu dapat meningkatkan penemuan suspek dan kasus TB, masyarakat menjadi senang karena akses kesehatan yang lebih mudah, biaya yang dikeluarkan semakin kecil dan meningkatkan angka cakupan Puskesmas maupun Kabupaten.

Kata Kunci : Tuberkulosis, Pustu, Maluku

Koresponden: Ronald Ratulangi, SKM, Dinkes Kota Ambon, Telp. 081343212440

PENDAHULUAN

Penemuan kasus Tuberkulosis (TB) merupakan bagian penting dalam pemberantasan TB. Provinsi Maluku yang merupakan daerah kepulauan terdiri dari 999 pulau, 90% wilayahnya adalah laut. Kondisi ini menyebabkan terhambatnya penemuan kasus TB akibat sulitnya akses kesehatan. Angka penemuan kasus (CDR) merupakan salah satu indikator penting dalam pemberantasan TB. Target CDR 70% secara nasional belum bisa dicapai oleh Provinsi Maluku pada tahun 2008 yaitu 37%. Di Kabupaten Maluku Tengah sendiri, angka CDR masih dalam nilai 33% begitu pula di Kabupaten buru CDR sebesar 44%. Masalah akses pelayanan TB terutama di daerah yang sulit dijangkau, masih menjadi kendala bagi pasien TB, bahkan penyakit menjadi semakin kronis.

Kehidupan masyarakat Maluku yang cenderung berkelompok dalam satu desa dan terpisah jauh dengan desa lainnya, kondisi geografis dan iklim laut yang ekstrim menyebabkan masyarakat sulit mengakses pelayanan kesehatan TB ke puskesmas baik

melalui jalan darat dan laut. Di samping itu, masalah kurangnya pengetahuan mengenai TB oleh petugas kesehatan seperti bidan dan perawat di pustu, menyebabkan suspek TB tidak terdeteksi dan gejala penyakit TB semakin parah. Selain pengetahuan yang kurang, tidak adanya dokter serta kurangnya obat-obatan membuat pelayanan di pustu menjadi terbatas.

Pengaktifan pustu sebagai pusat pelayanan kesehatan terdepan dan pembentukan jaringan puskesmas-pustu melalui mobile TB sebenarnya adalah salah satu kunci untuk meningkatan angka penemuan kasus dan pengelolaan TB di daerah yang sulit dijangkau seperti di Pulau Haruku dan Pulau Buru, Provinsi Maluku. Kegiatan ini untuk meningkatkan penemuan suspek dan kasus TB melalui upaya pengembangan Puskesmas Pembantu (Pustu).

BAHAN DAN CARA

Populasi penelitian di Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah dan populasi di wilayah kerja Puskesmas Air Buaya serta Puskesmas Waelo, Kabupaten Buru. Luas wilayah Pulau Haruku adalah 1.160.394 hektar terdiri dari: 1.085.118 hektar daratan dan

Page 36: Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2012

31

75.276 hektar lautan. Jumlah penduduknya 27.883 jiwa, dengan jumlah puskesmas 1 dan 8 pustu. Wilayah kerja Puskesmas Air Buaya memiliki luas wilayah ± 44 Km

2. Jumlah Pustu

di wilayah puskesmas ini ada 3 pustu. Untuk Puskesmas Waelo terletak di Desa Waelo, kecamatan Waeapo, Kabupaten Buru dengan wilayah kerja ± 8.305 km dan memiliki 8 pustu. Semua kondisi daerah yang harus dilalui oleh masyarakat agar bisa menuju puskesmas dari desa masing-masing sebagian melalui jalan darat dan ada yang harus melalui jalan laut.

Oleh karena masalah sulitnya akses pelayanan TB ini, maka peneliti melakukan penelitian intervensi kepada petugas pustu. Metodologi yang digunakan adalah penelitian pra eksperimen di P. Haruku ( pre dan post intervention) dan penelitian eksperimental di Pulau Buru (pre dan post intervention menggunakan kasus dan kontrol).

Pengetahuan petugas pustu yang sangat kurang mengenai penyebab dan gejala TB serta tidak adanya dokter menyebabkan keadaan pasien dengan kondisi batuk-batuk yang tidak kunjung sembuh menjadi semakin buruk. Pasien yang pernah di vonis menderita TB, mengatakan sangat senang jika pustu bisa memiliki obat TB.

TB adalah penyakit yang dapat disembuhkan dan obatnya gratis di puskesmas, namun diperlukan keteraturan dan kepatuhan minum obat. Dengan biaya transport yang mahal untuk berobat, dikhawatirkan kontrol pengambilan obat serta pengawasan minum obat oleh petugas kesehatan menjadi kendala agar pasien bisa konsisten meminum obat program selama 6 bulan hingga 1 tahun.

Intervensi kepada petugas pustu dilakukan dengan pemberian pengetahuan mengenai TB serta pelatihan pembuatan fiksasi dahak. Pustu diberdayakan untuk dapat mendeteksi pasien suspek TB serta dapat melakukan fiksasi dahak di tempatnya. Pelatihan selama 3 hari dan sosialisasi pembentukan jejaring antara petugas program puskesmas dengan petugas pustu dilakukan di BKPM (Balai Kesehatan Paru Maluku). Proses pengiriman hasil fiksasi dari Pustu dan pengiriman logistik TB (form, alat dan bahan, obat TB) ke Pustu dilakukan oleh petugas puskesmas melalui mobile TB.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengembangan jejaring selama 5

bulan memberi hasil adanya peningkatan

penemuan suspek dan kasus TB dibandingkan sebelum intervensi.

Peningkatan pasien suspek TB dari pustu sebanyak 59 dengan 2 BTA (+) ini memiliki nilai yang cukup besar dalam upaya eliminasi TB. Penelitian serupa juga didukung oleh peneliti Daniel dan Bernt pada tahun 2006 yang menemukan adanya peningkatan angka CDR di daerah Selatan Afrika karena penemuan kasus penderita secara aktif oleh petugas kesehatan di lini terdepan yang telah dilatih.

Penelitian intervensi yang pernah dilakukan oleh Estifanos dkk., tahun 2004 di Etiopia, juga menemukan adanya peningkatkan kecepatan deteksi kasus jika petugas kesehatan di lini terdepan diberikan pelatihan mengenai TB. Datiko dan Lindjon tahun 2006, di Sothern Ethiopia menemukan CDR yang lebih tinggi pada kelompok intervensi yang petugasnya di beri pengetahuan, dibandingkan dengan kelompok kontrol.

Intervensi kepada petugas pustu sebagai pusat pelayanan kesehatan terdepan di daerah yang sulit dijangkau memberikan banyak manfaat bagi eliminasi TB. Penemuan pasien suspek TBC dan pengaktifan mobile TBC yang disupervisi oleh petugas TBC Puskesmas mampu memberikan peningkatan hasil.

Pustu yang diberikan pengetahuan dan ketrampilan untuk pengelolaan TB memberi dampak positif bagi eliminasi TB di daerah yang sulit dijangkau oleh akses kesehatan. Manfaat tersebut bagi pasien adalah:

a. Pasien yang dicurigai TB akan lebih cepat terdeteksi oleh petugas pustu terlatih.

b. Pemeriksaan dahak bagi pasien yang dicurigai TB cepat dilakukan untuk menentukan adanya kuman TB.

c. Pasien positif TB akan lebih cepat diobati.

d. Rantai penularan TB ke keluarga serumah dan tetangga dekat cepat dihentikan setelah pasien minum obat TB selama 2 bulan.

e. Pasien mendapatkan pengawasan minum obat oleh petugas pustu terlatih.

f. Pasien dengan mudah dapat mengambil obat di pustu tanpa biaya perjalanan yang mahal.

Manfaat bagi Program TB adalah: a. Peningkatan angka deteksi kasus TB

(CDR) di daerah yang sulit dijangkau. b. Penurunan angka drop out minum obat

TB. c. Peningkatan angka kesembuhan (SR).

Page 37: Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2012

32

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Melalui pengaktifan puskesmas pembantu

(pustu), maka manfaat yang diperoleh bagi penderita TB dan pemberantasan TB menjadi lebih efektif.

2. Untuk mengaktifkan pustu sebagai bagian dari pelayanan TB yang merupakan bagian yang harus diselesaikan bersama diperlukan biaya dan pelatihan petugas pustu.

Saran 1. Untuk pelaksanaan sosialisasi bagi

seluruh pustu di daerah tidak terjangkau diperlukan dukungan dari pihak terkait

2. Untuk pelaksanaan pelatihan TB bagi petugas pustu diperlukan dukungan pendanaan dari Bapeda, kepedulian dan komitmen DPRD Provinsi serta Kabupaten dan Dinas Kesehatan Provinsi

DAFTAR PUSTAKA Aditama T. Y, ZS, Priyanti. Tuberkulosis

Diagnosis Terapi dan Masalahnya, Edisi III, 2000

Aditama, T.Y, Indonesia penyumbang ketiga

Terbesar TBC di Dunia, http//www.republika,co.id. online, 13-1-2007

Anonim, Situasi Tuberkulosis di Indonesia,

http//www.litbangkes.depkes.go.id Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang

masih menjadi masalah kesehatan masyarakat, http://library.usu.ac.id

Tuberkulosis, http//www.infeksi.com/penyakit-

penyakit.htm Penanggulangan TBC Dengan Strategi DOTS,

http//www.klinikpria.com/datatopik/TBC.htm, online 13-1-2007

Depkes RI, Pedoman Penangulangan TBC

Cetakan ke 6, Tahun 2001 Depkes RI, Pedoman Penangulangan TBC

Cetakan ke 7, Tahun 2002 Depkes RI,Pedoman Nasional Penangulangan

TBC, Tahun 2005 Depkes RI,Pedoman Nasional Penangulangan

TBC Edisi 2 Cetakan ke 3, Tahun 2010

Ircham M, dkk. Metodologi penelitian

kesehatan. Tahun 2005 Kusumawaty, I, S.Kp. Meningkatkan peran

keluarga dalam merawat anggota keluarga yang menderita penyakit TB Paru, Bina Diknakes, Edisi No.33 Oktober 1999.

Ngatimin, H.M.R. 2002. Ilmu Prilaku

kesehatan. Cetakan Revisi I. Yayasan PK-3. Makassar.

Noor Nasry, Arsunan Arsin, Pengantar

Epidemiologi Penyakit Menular, Tahun 2004

Notoatmodjo, S. 1993. pengantar pendidikan

kesehatan dan ilmu prilaku kesehatan. cetakan I. andi offset. Yogyakarta.

Notoatmodjo, S. Metidologi Penelitian

Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta, Tahun 2002 www.tbindonesia.com

Page 38: Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2012

33

Kajian Pengembangan Pengendalian Penyakit Tiroid di Kota Kendari, Semarang, Tarakan, Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten

Gianyar, Tahun 2011

Titi Sari Renowati1, Tjetjep Ali Akbar

2, Robert Saragih

1

1Sub Direktorat Diabetes Melitus dan Penyakit Metabolik, Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular,

Direktorat Jenderal PP dan PL, 2Pusat Kesehatan Haji, Kementerian Kesehatan RI

Abstrak. Disfungsi tiroid meliputi hipotiroidisme dan hipertiroidisme, menjadi masalah klinis baik skreening

diagnostik, evaluasi, hingga penatalaksanaannya. Faktor risiko dari penyakit tiroid adalah umur, jenis kelamin, genetik, merokok, stres, riwayat penyakit keluarga yang berhubungan dengan autoimun, zat kontras yang mengandung Iodium, obat-obatan dan lingkungan. Kajian ini bertujuan untuk memperoleh data dan informasi tentang penyakit tiroid dan faktor risikonya melalui deteksi penyakit tiroid dan skrining faktor risiko penyakit tiroid di 5 kabupaten/ kota yaitu Kota Kendari, Kota Semarang, Kabupaten Gorontalo, Kota Tarakan dan Kabupaten Gianyar yang memiliki prevalensi ekskresi iodium dalam urin < 100 µg/L diatas prevalensi nasional. Sampel wanita usia subur (15 – 49 tahun) sebanyak 5000 orang di 5 Kabupaten/Kota. Studi ini menggunakan formulir untuk wawancara dan alat thyroid rappid test untuk pemeriksaan kadar TSH darah. Data dikumpulkan, diolah dan dikompilasi serta diseminasi informasi hasil dan dilaksanakan pada bulan Februari – Juli 2011. Hasil kajian di 5 lokasi menggambarkan bahwa sebanyak 4 % responden (200 orang) diduga menderita hipotiroid dan 77 orang berdomisili di Kota Kendari. Karakteristik responden sebanyak 28,1 % berusia 15 - 19 tahun, 62,8 % menikah dengan pendidikan terakhir SMA sebesar 49.9% dan 39,4 % tidak bekerja. Responden yang diduga hipotiroid sebanyak 21 % tidak mengkonsumsi garam beryodium, 28,5 % mempunyai riwayat penyakit genetic, 65,5 % sering merasa lelah sebanyak 65.5% dan 14 % pernah mengalami keguguran. Kesimpulan bahwa daerah yang memiliki prevalensi ekskresi iodium dalam urin < 100 µg/L diatas prevalensi nasional dimungkinkan mendapat penyakit hipotiroid (4 %) dan berkaitan erat dengan konsumsi garam tidak beryodium (21 %). Diharapkan untuk mengkonsumsi garam beryodium pada setiap masakan. Kata Kunci : Tiroid, Iodium, Faktor Risiko

Koresponden: Titi Sari Renowati, MScPH, Sub Dirktorat Pengendalian Diabetes dan Melitus, Dit PPTM, DDitjen PP dan PL, Telp. 081389380686 Email: [email protected]

PENDAHULUAN

Kelainan kelenjar tiroid merupakan kelainan endokrin terbanyak kedua setelah diabetes melitus. Disfungsi tiroid meliputi hipotiroidisme dan hipertiroidisme, merupakan masalah klinis yang banyak menimbulkan perdebatan baik yang menyangkut masalah skreening diagnostik, evaluasi, hingga masalah penatalaksanaannya.

Hipotiroidisme adalah suatu sindroma klinik akibat penurunan produksi dan sekresi hormon tiroid dan tersering disebabkan oleh gangguan pada kelenjar tiroid yang ditandai oleh peningkatan TSH (Tiroid Stimulating Hormone). Hipotiroidisme merupakan suatu penyakit kronik yang sering ditemukan di masyarakat. Prevalensinya makin tinggi pada kelompok umur makin tua, dan lebih sering terjadi pada wanita. Diperkirakan prevalensinya cukup tinggi di Indonesia mengingat sebagian besar penduduk bermukim di daerah defisiensi iodium.

World Health Organization (WHO), 1993 memperkirakan bahwa 2 (dua) milyar

penduduk dunia mengalami defisiensi iodium. Sementara di Indonesia seringkali dijumpai defisiensi iodium adalah di daerah pantai Kebumen di Jawa Tengah dan Kepulauan Maluku. Kejadian hipotiroidisme subklinis ini sangat dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin. Makin tua makin tinggi kejadian hipotiroid subklinis didapatkan. Wanita mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk mendapatkan hipotiroid subklinis, hal ini mungkin dikaitkan dengan penyakit autoimun yang juga sering menyerang kaum wanita. Pada laki-laki diatas usia 74 tahun didapat 16%, sedangkan pada kelompok wanita sebesar 21%.

Faktor risiko dari penyakit tiroid adalah umur, jenis kelamin, genetik, merokok, stres, riwayat penyakit keluarga yang berhubungan dengan autoimun, zat kontras yang mengandung Iodium, obat-obatan dan lingkungan. Ruang lingkup subdit DM dan PM adalah pengendalian diabetes melitus, pengendalian obesitas, pengendalian penyakit Tiroid, pengendalian penyakit akibat gangguan kelenjar hipofisis, pengendalian penyakit akibat gangguan sekresi korteks adrenal, dan pengendalian penyakit akibat gangguan metabolisme kalsium.

Pengendalian Penyakit Tiroid adalah pencegahan dan penanggulangan faktor risiko

Page 39: Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2012

34

gangguan metabolisme kelenjar tiroid yang dititikberatkan pada upaya promotif dan preventif melalui upaya deteksi dini yang bersifat skrening massa. Pelaksanaan skrening di masyarakat bersifat efektif dan efisien dalam hal waktu, biaya dan tempat. Skrening bertujuan untuk dapat mengetahui lebih dini tentang kasus penyakit tiroid.

Sejak tahun 2010 subdit Pengendalian DM dan PM telah mengembangkan kegiatan pengendalian penyakit metabolik, dengan salah satu pokok bahasan adalah Pengendalian Penyakit Tiroid. Oleh karena minimnya data dan kurangnya pengetahuan akan penatalaksanaan Penyakit Tiroid, maka untuk mendapatkan gambaran tentang penyakit tiroid perlu melakukan suatu kajian atau pre eliminary study tentang pengendalian penyakit tiroid didaerah rawan yodium.

Tujuan dari kajian ini adalah diperolehnya data dan informasi tentang penyakit tiroid dan faktor risikonya melalui deteksi penyakit tiroid dan skrining faktor risiko penyakit tiroid di 5 kabupaten/ kota yaitu Kota Kendari, Kota Semarang, Kabupaten Gorontalo, Kota Tarakan dan Kabupaten Gianyar yang memiliki prevalensi ekskresi iodium dalam urin < 100 µg/L diatas prevalensi nasional.

BAHAN DAN CARA

a. Sasaran Wanita usia subur (15 – 49 tahun) di 5

Kabupaten/ Kota. b. Target Target responden sebanyak 1000 orang di

masing-masing kabupaten/ kota, dengan total responden sebanyak 5000 WUS.

c. Langkah-langkah Kegiatan 1) Dalam rangka pengumpulan data 2) Pengolahan data (entry dan analisis

data 2500 responden 3) Dalam rangka kajian ke daerah tahap 2

(pengumpulan data) 4) Pengolahan data tahap 2 (entry data

dan analisis kompilasi 5000 data) 5) Diseminasi informasi hasil pengumpulan

data 6) Finalisasi laporan kegiatan

d. Pengorganisasian Penanggungjawab kegiatan ini adalah Direktur Pengendalian Penyakit Tidak Menular dengan pelaksana Subdit Pengendalian Diabetes Melitus dan Penyakit Metabolik.

e. Bahan Bahan yang digunakan adalah formulir isian penemuan dini penyakit tiroid pada wanita usia subur dan alat thyroid rappid

test. Bahan tersebut digunakan sebagai alat untuk wawancara dan pemeriksaan kadar TSH darah.

f. Waktu dan Tempat Waktu kegiatan pengembangan pengendalian penyakit tiroid melalui kajian di daerah dilaksanakan mulai bulan Febuari sampai dengan bulan Juli 2011 dengan rincian sebagai berikut : 1) Dalam rangka kajian ke daerah tahap 1

dilaksanakan pada bulan Febuari 2011 di Kota Kendari, Kota Semarang, Kabupaten Gorontalo, Kota Tarakan dan Kabupaten Gianyar

2) Pengolahan data tahap 1 dilaksanakan pada bulan Februari 2011 di Bogor

3) Dalam rangka kajian ke daerah tahap 2 dilaksanakan pada bulan Maret 2011 di Kota Kendari, Kota Semarang, Kabupaten Gorontalo, Kota Tarakan dan Kabupaten Gianyar

4) Pengolahan data tahap 2 dilaksanakan pada bulan April 2011 di Bogor

5) Diseminasi informasi dilaksanakan pada bulan Mei 2011 di Bogor

6) Finalisasi laporan kegiatan dilaksanakan pada bulan Juli 2011 di Bogor

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil kajian ini berupa data dan informasi

tentang gambaran kejadian penyakit tiroid di 5 Kota Kendari, Kota Semarang, Kabupaten Gorontalo, Kota Tarakan dan Kabupaten Gianyar yaitu : a. Pengembangan pengendalian penyakit

tiroid melalui kajian dilaksanakan di 5 Kabupaten / Kota, yaitu Kabupaten Gianyar, Kota Semarang, Kota Tarakan, Kabupaten Gorontalo dan Kota Kendari. Jumlah seluruh responden adalah 5000 orang dengan pembagian masing-masing wilayah 1000 responden. Pemilihan daerah berdasarkan hasil Riskesdas 2007 data ekskresi iodium dalam urin < 100 µg/L pada anak usia 6 - 12 tahun, dengan prevalensi 12,9%, dan terdapat 12 daerah dengan prevalensi diatas angka nasional, diantaranya adalah 5 daerah tersebut.

b. Berdasarkan karakteristik responden, paling banyak responden berusia 15 - 19 tahun (28.1%), status menikah (62.8%), pendidikan terakhir SMA (49.9%) dan pekerjaan Ibu Rumah Tangga (IRT) atau tidak bekerja (39.4%).

c. Hasil pemeriksaan tiroid rappid tes didapatkan bahwa responden dengan hasil garis 2 atau diduga hipotiroid ada sebanyak 200 responden (4%), dan paling banyak

Page 40: Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2012

35

ditemukan di Kota Kendari sebanyak 77 responden (38.5%).

d. Berdasarkan faktor risiko, paling banyak responden yang diduga hipotiroid tidak mengkonsumsi garam beryodium sebanyak 21%.

e. Berdasarkan riwayat penyakit, paling banyak responden yang diduga hipotiroid mempunya riwayat penyakit genetik sebanyak 28.5%.

f. Berdasarkan gejala dan tanda klinis, paling banyak responden yang diduga hipotiroid sering merasa lelah sebanyak 65.5%.

g. Berdasarkan riwayat pariestas, paling banyak responden yang sudah menikah dan diduga hipotiroid pernah mengalami keguguran sebanyak 14%.

KESIMPULAN DAN SARAN

Responden yang diduga hipotiroid sebanyak 21 % tidak mengkonsumsi garam beryodium, 28,5 % mempunyai riwayat penyakit genetic, 65,5 % sering merasa lelah sebanyak 65.5% dan 14 % pernah mengalami keguguran. Kesimpulan bahwa daerah yang memiliki prevalensi ekskresi iodium dalam urin < 100 µg/L diatas prevalensi nasional dimungkinkan mendapat penyakit hipotiroid (4 %) dan berkaitan erat dengan konsumsi garam tidak beryodium (21 %). Diharapkan untuk mengkonsumsi garam beryodium pada setiap masakan.

DAFTAR PUSTAKA

American Tiroid Association (2005). Guidelines for Detection of Tiroid Dysfunction. http://dysfunction.tiroidguidelines.net/screening. Diakses pada : 6 Mei 2009. British Columbia Medical Association (2007).

Guidelines and Protocols Thyroid Disease- Thyroid Function Test in The Diagnostic and Monitoring of Adults. London.

Departemen Kesehatan RI (2008). Pedoman Umum Pengendalian Diabetes Melitus dan Penyakit Metabolik. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta.

Departemen Kesehatan RI, 2009. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang Kesehatan 2005-2025. Jakarta.

Departemen Kesehatan RI (2009). Riset Kesehatan Dasar 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta.

Semiardji Gatut, (2008). Penatalaksanaan Hipertiroidisme dan Hipotiroidisme pada Kehamilan. Penatalaksanaan Penyakit-penyakit Tiroid bagi Dokte. FKUI. Jakarta.

Page 41: Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2012

36

Entomological Inoculation Rate (EIR) Wilayah Perkebunan di Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku,

Tahun 2008 dan 2009

Rita Kusriastuti, Asik, Desak Made Wismarini, Saktiyono, Niken Wastu Palupi, Elvie Sariwati, Lukman Hakim,

Edi Haryanto, Gambiro., Rentar Situmeang.

Direktorat Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang, Direktorat Jenderal PP dan PL

Abstrak. Intensifikasi Pengendalian Malaria dilakukan melalui kegiatan pokok antara lain penemuan dan

pengobatan penderita malaria positif dengan Artemisinin-based Combination Therapy (ACT). Untuk pencegahan

penularan dilaksanakan pembagian kelambu Long-Lasting Insecticidal Nets (LLINs). Sedangkan untuk lokasi

dengan tingkat penularan malaria tinggi atau terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) dilakukan penyemprotan rumah.

Untuk menilai dampak hasil kegiatan intensifikasi tersebut, dilakukan survey untuk mengukur Laju Inokulasi

Entomologis atau Entomological Inoculation Rate (EIR). Survei EIR ini bertujuan untuk mengetahui tingkat

penularan malaria berdasarkan faktor entomologi dan faktor parasitologi. Pengumpulan data parasit melalui

survei parasitologi melalui pemeriksaan darah jari dengan mikroskop dan bio molekuler atau Polymerase Chain

Reaction (PCR). Pengumpulan data vektor melalui survei vektor yang dilaksanakan dengan umpan badan (Man

Biting Rate). Untuk data vektor juga dilakukan pemeriksaan nyamuk parous dengan PCR. Sedangkan

analisisnya dengan rumus EIR menurut Onori & Grab (1980), dan rumus WHO. Di Kabupaten Maluku Tengah

Angka EIR berdasar rumus (1) yang diukur sudah turun, dari 0,015854 (Tahun 2008) menjadi 0,000916 (Tahun

2009), atau turun 17 kali. Angka EIR berdasar rumus (2) terjadi penurunan dari 0,1829 (Tahun 2008) menjadi

0,1328 (Tahun 2009), atau turun 1,4 kali. Interpretasinya adalah pada Tahun 2008 setiap orang di lokasi survei

berpeluang digigit nyamuk infektif setiap 5,5 hari, sedangkan pada Tahun 2009 peluangnya turun menjadi setiap

7,5 hari.

Kata Kunci : Malaria, Entomological Inoculation Rate, Maluku

Koresponden: dr.Lukman Hakim, Direktorat Pengendalian Bersumber Binatang, Ditjen PP dan PL, Telp. 0811181673, Email. [email protected]

PENDAHULUAN

Di Indonesia terdapat 396 kabupaten endemis malaria dari 495 kabupaten yang ada, dan diperkirakan 45 % penduduk Indonesia berisiko tertular malaria. Malaria merupakan salah satu penyakit yang mempengaruhi tingginya kematian bayi, anak balita, wanita hamil, dan dapat menurunkan produktivitas sumber daya manusia. Tahun 2006 terdapat sekitar 2 juta kasus malaria klinis, sedangkan tahun 2007 turun menjadi 1,75 juta kasus. Lokasi endemis malaria umumnya adalah desa-desa terpencil dengan kondisi lingkungan yang tidak baik, sarana transportasi dan komunikasi yang sulit, akses pelayanan kesehatan kurang, tingkat pendidikan dan sosial ekonomi masyarakat yang rendah serta perilaku hidup sehat yang kurang baik (Depkes RI, 2008). Untuk mengatasi masalah tersebut berbagai upaya telah dan sedang dilakukan. Melalui dana bantuan Global Fund (GF) telah dilaksanakan Intensifikasi dan Integrasi Pengendalian Malaria (IIPM) di Pulau Sumatera dan 6

(enam) provinsi di Wilayah Timur Indonesia (NTB, NTT, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua) dengan dana bantuan GF selama 5 tahun yang dimulai pada Maret 2008 – Februari 2013 (Ronde 6).

Dalam Intensifikasi Pengendalian Malaria tersebut dilakukan kegiatan pokok antara lain penemuan dan pengobatan penderita malaria positif dengan Arteminsinin-based Combination Therapy (ACT). Untuk pencegahan penularan dilaksanakan pembagian kelambu Long-Lasting Insecticidal Nets (LLINs) secara massal atau melalui integrasi dengan program Ante Natal Care (ANC) dan Extended Program Immunization (EPI). Sedangkan untuk lokasi dengan tingkat penularan malaria tinggi atau terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) dilakukan penyemprotan rumah.

Untuk menilai dampak hasil kegiatan intensifikasi tersebut, perlu dilakukan survey untuk mengukur Laju Inokulasi Entomologis atau Entomological Inoculation Rate (EIR). Survei EIR bertujuan mengukur tingkat penularan malaria berdasarkan parameter parasitologi dan entomologi. Survei EIR tahun pertama dilaksanakan pada tahun 2008, sedangkan survei EIR kedua dilaksanakan pada tahun 2009.

Page 42: Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2012

37

Tujuan survei EIR adalah diketahuinya tingkat penularan malaria berdasarkan faktor entomologi dan faktor parasitologi. Tinjauan Pustaka 1. Epidemiologi Malaria : Penyakit malaria dipengaruhi oleh inang,

penyebab penyakit, dan lingkungan.

a. Penyebab penyakit ( agent ) malaria Sampai saat ini ada 4 jenis parasit

malaria penyebab malaria pada manusia (Mcdonald, 1957), yaitu : 1) Plasmodium falciparum (P.falciparum),

penyebab malaria tropika. 2) Plasmodium vivax (P.vivax), penyebab

malaria tersiana. 3) Plasmodium malariae (P.malariae),

penyebab malaria kuartana. 4) Plasmodium ovale (P.ovale).

b. Inang ( host ) malaria

1) Manusia sebagai inang antara (intermediate host) dimana daur aseksual parasit terjadi.

2) Nyamuk Anopheles merupakan inang definitif (definitive host) malaria, dimana daur seksual parasit terjadi.

2. Entomological Inoculation Rate (EIR) : EIR merupakan ukuran penularan malaria yang menentukan tingkatan endemisitas

malaria di suatu daerah endemik pada suatu waktu, dan secara tidak langsung merupakan parameter biologis atau entomologis dari keberhasilan tindakan operasional pengendalian malaria. a. Rumus EIR yang diusulkan Onori &

Grab ( 1980 ) dengan formula sebagai berikut : Dimana : h’ = EIR Faktor entomologi : m = jumlah vektor menggigit manusia per per orang per malam p = peluang seekor vektor tetap

hidup dalam masa satu hari (A : lama siklus gonotropik, B :

Parity Rate) n = lama siklus sporogoni a = proporsi vektor menghisap darah manusia (HBI) dibagi lama siklus gonotropik (A) Faktor parasitologi : x = Parasite Rate

g = proporsi sediaan darah positif gametosit terhadap darah positif

b. Rumus EIR (WHO, 2003) EIR = m. Sporozoit Rate Dimana : m = jumlah vektor mengigit manusia per orang per malam Sporozoit Rate = % nyamuk positif sporozoit terhadap nyamuk yang diperiksa secara PCR

BAHAN DAN CARA

Pengumpulan Data a. Survei Parasitologi

1) Seluruh penduduk di lokasi survei dilakukan pemeriksaan darah jari dengan mikroskop (sediaan darah tebal).

2) Dilakukan juga pemeriksaan bio molekuler atau Polymerase Chain Reaction (PCR), dengan membuat tetes darah sebanyak 20 µl pada kertas saring.

3) Pemeriksaan Sediaan Darah (SD) tebal secara mikroskopis untuk mendapatkan angka Parasite Rate (PR) % atau unsur x dan proporsi SD positif gametosit terhadap SD positif (unsur “g”).

4) Untuk menjamin kualitas pemeriksaan SD, maka semua SD positif dan 5 % SD negatif diperiksa ulang di Jakarta.

b. Penentuan Tempat Terjadinya Penularan 1) Penderita Pf (troposoit) dikunjungi dan

dilakukan wawancara mendalam untuk mengetahui waktu dan lokasi terjadinya infeksi.

2) Untuk memperkirakan tempat terjadinya penularan, diperlukan minimal 10 sampel penderita Pf (troposoit) yang mendapat infeksi kurang dari 1 bulan.

3) Proporsi tertinggi tempat terjadinya penularan dipilih sebagai tempat survei entomologi.

c. Survei Entomologi 1) Survei vektor malaria dilakukan dengan

umpan badan orang dari jam 18.00 – 06.00, untuk mendapatkan angka Man Biting Rate (MBR) untuk memperoleh unsur “m”.

2) Anopheles yang tertangkap diidentifikasi spesiesnya, bagian perut dilakukan pembedahan ovarium untuk mengetahui jumlah vektor yang parous (Parity Rate), dan untuk menghitung angka peluang seekor vektor tetap hidup dalam waktu satu hari (unsur “p”).

p

n

eagx

pxgmah

log

...2'

A Bp

Page 43: Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2012

38

3) Nyamuk yang parous, dibersihkan dari sayap dan kaki-kakinya, bagian kepala dan dada dimasukkan kedalam cray tube untuk pemeriksaan PCR.

4) Dilakukan penangkapan nyamuk resting di alam pada pagi harinya, untuk uji presipitin guna menghitung angka unsur ”a”.

5) Unsur “n” atau lamanya siklus sporogoni ditentukan berdasarkan acuan 11 hari (Bruce-Chwatt, 1985).

6) Faktor “a” atau lamanya siklus gonotropik ditentukan berdasarkan acuan 3 hari (Bruce-Chwatt, 1985)

7) Pemeriksaan PCR dilakukan di laboratorium rujukan (Lembaga Eijkman).

Lokasi dan Waktu 1. Lokasi Survey EIR

a. Kriteria lokasi sentinel Survey EIR : 1) Desa di wilayah berbantuan GF

(Ronde 6). 2) Annual Parasite Incidence (API)

dalam periode 3 tahun terakhir tertinggi di provinsi atau kabupaten/kota berdasarkan.

3) Pada saat pelaksanaan survey sedang pada puncak kasus.

4) Untuk lokasi survey EIR tahap pertama, dalam 3 tahun terakhir tidak mendapat pembagian LLINs, dan dalam 6 bulan terakhir tidak dilakukan penyemprotan atau Mass Blood Survey (MBS).

5) Diutamakan Man Hour Density (MHD) vektor cukup tinggi.

6) Diutamakan desa yang pernah terjadi KLB dalam periode 3 tahun terakhir.Diutamakan proporsi Plasmodium falciparum (Pf) dominan.

b. Lokasi sentinel Survey EIR : Daerah perkebunan coklat di Provinsi

Maluku pada tahun I (2008) sama dengan lokasi survey pada tahun II (2009), yaitu Desa Tihuana, Kampung Tihuana, Puskesmas Pasahari A, Kecamatan Seram Utara, Kabupaten Maluku Tengah.

2. Waktu Pelaksanaan Survey EIR : Waktu pelaksanaan Survey EIR di daerah

perkebunan di Kabupaten Maluku Tengah Provinsi Maluku, pada Tahun I adalah 24 – 30 Oktober 2008, dan pada Tahun II adalah 27 – 30 Oktober 2009.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Daerah perkebunan di Kabupaten Maluku Tengah Provinsi Maluku :

Hasil Survey EIR Tahun 2008 dan Tahun 2009 Tabel 1. Hasil Survey EIR Kawasan Perkebunan Coklat di Kabupaten Maluku Tengah Provinsi Maluku Tahun 2008 (I) dan Tahun 2009 (II)

No Variabel/Faktor EIR I EIR II

1. Dominasi spesies vektor

An.kochi (44,8%)

An.vagus (23,1%)

An.punctulatus (12,2%)

An.farauti (8,9%)

An.punctulatus (64,3%)

An.farauti

(35,1%)

2. Rata-rata menggigit per orang per hari (m)

4,3333 6,4166

3. Parity Rate (B) 73,33% 43,69%

4. Parasite Rate (x) 10,85% 1,99%

5. Proporsi SD mengandung gametosit terhadap SD positif (g)

19,56% 71,43%

6. Peluang seekor vektor tetap hidup dalam waktu satu hari (p)

0,8900 0,7588

7. Perkiraan rata-rata umur vektor (u)

9,67 3,6

8. Sporozoit Rate 4,22% 2,07%

9.

0,015854 0,000916

10. EIR 2 = m. Sporozoit Rate

0,1829 0,1328

Pembahasan

Dominasi spesies Anopheles pada Survei EIR Tahun I adalah An.kochi (44,8%), An.punctulatus (12,2%), dan An.farauti (8,9%), sedangkan pada Tahun II An.punctulatus (64,3%) dan An.farauti (35,1%). Hal ini karena ada perbedaan musim walaupun bulan pelaksanaan surveinya sama, yaitu bulan Oktober. Pada Survei EIR Tahun I di lokasi survei sedang pada periode puncak hujan, sehingga parit-parit di kebun coklat terisi air dan ketika dilakukan penangkapan nyamuk resting pagi di alam banyak ditemukan An.kochi yang hinggap dipinggir parit-parit

p

n

eagx

pxgmaEIR

log

...1

2

Page 44: Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2012

39

tersebut yang kondisinya lembab. Sedangkan pada waktu Survei EIR Tahun II turunnya hujan sudah jarang, kondisi parit-parit kering dan penangkapan nyamuk resting pagi di tempat tersebut tidak menemukan Anopheles. Hasil penangkapan nyamuk umpan badan orang malam hari juga tidak mendapatkan An.kochi.

Rata-rata semua spesies vektor menggigit per orang per malam dari 4,3 ekor (Tahun I) sedikit meningkat menjadi 6,4 ekor (Tahun II). Namun Angka Parity Rate turun dari 73,33 % (Tahun I) menjadi 43,69% (Tahun II), atau terjadi penurunan 1,7 kali. Angka Parasite Rate dari 10,85% (Tahun I) turun menjadi 1,99%), atau terjadi penurunan 5,4 kali.

Turunnya Parity Rate tersebut juga berakibat terhadap penurunan rata-rata umur vektor, yaitu dari semula 9,67 hari menjadi 3,6 hari, atau terjadi penurunan 2,7 kali. Hal ini menunjukkan bahwa pada saat Survei EIR Tahun II, sebagian besar vektor sudah mati sebelum terbentuk sporosoit dalam kelenjar ludahnya. Pendeknya umur rata-rata vektor tersebut kemungkinan besar disebabkan oleh perubahan lingkungan, terutama karena meningkatnya suhu dan menurunnya kelembaban menjelang kemarau. Sedangkan pengaruh intervensi kelambu berinsektisida hanya menunjang dalam penurunan umur rata-rata vektor, karena pembagian kelambu di lokasi survei hanya selektif kepada ibu hamil dan balita.

Angka EIR berdasarkan rumus (1) menurun dari 0,015854 (Tahun I) menjadi 0,000916 (Tahun II), atau terjadi penurunan 17 kali. Penurunan ini terutama disebabkan oleh turunnya Parity Rate sebanyak 1,7 kali yang menyebabkan turunnya angka peluang vektor untuk tetap hidup dalam waktu satu hari (faktor p), yaitu dari 0,8900 (Tahun I) turun menjadi 0,7588 (Tahun II), atau terjadi penurunan 14,7 %. Menurut E. Onori dan B. Grab (1980), penurunan angka EIR terutama dipengaruhi oleh faktor (p), karena dengan hanya turun 4% dari nilai (p) dapat menyebabkan turunnya angka EIR sebesar 2 kali.

Angka EIR berdasarkan rumus (2) juga mengalami penurunan dari 0,1829 (Tahun I) menjadi 0,1328 (Tahun II), atau terjadi penurunan 1,4 kali. Dapat diinterpretasikan bahwa di lokasi survei pada Tahun I terjadi 5,4 gigitan vektor infektif per orang per bulan, sedangkan pada Tahun II turun menjadi 3,9 gigitan vektor infektif per orang per bulan. Atau dapat dinyatakan bahwa pada Tahun I setiap orang di lokasi survei berpeluang untuk digigit

nyamuk infektif setiap 5, 5 hari, sedangkan pada Tahun II peluangnya turun menjadi 7,5 hari.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan 1. Angka Entomological Inoculation Rate

berdasarkan rumus (1) turun dari 0,015854 (Tahun 2008) menjadi 0,000916 (Tahun 2009), atau terjadi penurunan 17 kali.

2. Berdasarkan rumus (2), angka EIR turun dari 0,1829 (Tahun 2008) menjadi 0,1328 (Tahun 2009), atau terjadi penurunan 1,4 kali. Artinya pada Tahun 2008 setiap orang di lokasi survei berpeluang untuk digigit vektor infektif (siap menularkan) setiap 5,5 hari, sedangkan pada Tahun 2009 peluangnya turun menjadi setiap 7,5 hari.

Saran 1. Kegiatan penemuan dan pengobatan

penderita dilakukan lebih intensif di unit pelayanan kesehatan yang ada, serta memperluas cakupan kegiatan tersebut dengan melibatkan Bidan Desa, Balai Pengobatan Swasta, dan Praktek Swasta lainnya.

2. Bila memungkinkan dilakukan pembagian LLINs secara massal, sehingga semua penduduk dapat tidur malam hari didalam kelambu berinsektisida.

3. Dilakukan penyuluhan yang intensif tentang cara pemakaian dan pemeliharaan kelambu berinsektisida, serta anjuran agar penduduk tidak berada diluar rumah pada malam hari.

DAFTAR PUSTAKA

Bruce-Chwatt, L.J. 1985. Essential Malariology. 2

nd edition. William Heinemann

Medical Books Ltd. London. Departemen Kesehatan RI, 2008. Menuju

Indonesia Bebas Malaria. Direktorat P2B2, Ditjen PP & PL, Depkes RI, Jakarta.

Mc.Donald, G. 1957. The Epidemiology and Control of Malaria. Oxford University Press. London.

Onori, E. and Grab, B. 1980. Indicator for the Forcasting of Malaria Epidemics. Bull WHO. 58: 91-8.

Page 45: Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2012

40

Pengolahan Limbah Medis Padat Rumah Sakit di Indonesia Tahun 2009-2012

Dyah Prabaningrum

Sub Direktorat Pengamanan Limbah, Udara, dan Radiasi, Direktorat Penyehatan Lingkungan

Abstrak. Pengolahan limbah medis padat yang benar dan aman di Rumah Sakit (RS), merupakan persyaratan

yang harus dilaksanakan agar tidak mencemari lingkungan dan membahayakan masyarakat. RS sebagai

penghasil limbah medis dapat menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan dan masyarakat sekitar.

Permasalahan yang terjadi di RS dalam pengolahan limbah medis padat yaitu terbatasnya pilihan teknologi pada

incinerator, suhu bakar incinerator yang tidak sesuai ketentuan, dan terkendalanya operasional incinerator. Untuk

mengatasi pengolahan limbah medis padat di RS dapat dilakukan dengan melakukan pengolahan sendiri

dengan alat pengolah limbah medis padat (on-site), dan apabila RS tidak mempunyai alat pengolah limbah

medis padat sendiri, maka dilakukan dengan menjalin kerjasama dengan pihak lain, baik swasta maupun RS

atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya (off-site). Berdasarkan data laporan di Direktorat Penyehatan

Lingkungan yang diterima dari 797 RS di 32 provinsi di Indonesia tahun 2009-2012, RS yang memiliki incinerator

yang berfungsi dengan baik sebesar 29,11%, dan RS yang memiliki incinerator tetapi tidak berfungsi sebesar

12,30%, dan sisanya 58,59% RS tidak memiliki incinerator. RS yang tidak memiliki incinerator atau memiliki

incinerator namun tidak berfungsi, untuk pengolahan limbah medis padat sudah melakukan kerjasama dengan

pihak lain (swasta maupun RS lainnya) sebesar 78,59%, sedangkan sebesar 21,41% tidak bekerjasama dengan

pihak lain. Untuk mengatasi RS yang belum melakukan perlakuan khusus terhadap limbah medis padat yang

dihasilkan, perlu diperkenalkan teknologi pengolahan limbah medis padat yang efektif, efisien, dan ramah

lingkungan.

Kata Kunci : rumah sakit, limbah medis padat, pengolahan limbah medis padat

Koresponden: Dyah Prabaningrum, SKM, Sub Direktorat Pengamanan Limbah, Direktorat PL, Ditjen PP dan PL, Telp. 081385233583

PENDAHULUAN

Fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) merupakan bagian tak terpisahkan dari program kesehatan secara menyuluruh dalam mewujudkan kondisi masyarakat yang sehat dan sejahtera. Pada tahun 2010 terdapat 1.676 RS yang dikelola oleh pemerintah,, swasta, TNI dan POLRI serta ada 8.931 puskesmas yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, belum termasuk fasyankes lain seperti klinik, praktek bidan, laboratorium kesehatan, dan lainnya. Peningkatan jumlah sarana pelayanan kesehatan tersebut akan diiringi dengan meningkat pula timbulan limbah medis yang dihasilkannya.

Penggolongan kategori limbah medis dapat diklasifikasikan berdasarkan potensi bahaya yang tergantung di dalamnya, serta volume dan sifat persistensinya yang menimbulkan masalah (Depkes RI, 2002). Limbah medis RS termasuk limbah B3 karena memiliki sifat infeksius, beracun, dan mudah terbakar. Limbah medis padat adalah limbah padat yang terdiri dari limbah infeksius, limbah patologi, limbah benda tajam, limbah farmasi, limbah sitotoksis, limbah kimiawi, limbha radioaktif, limbah kontainer bertekanan, dan limbah

dengan kandungan logam berat yang tinggi (Kepmenkes 1204/2004). Limbah medis yang tidak dikelola dengan benar dan aman dapat mengakibatkan kecelakaan kerja dan penularan penyakit. Studi yang dilakukan WHO pada tahun 2005 menyatakan bahwa jarum suntik yang terkontaminasi mengakibatkan : 21 juta infeksi virus hepatitis B (32% dari kasus baru), 2 juta infeksi virus hepatitis C (40% dari kasus baru), dan paling sedikit 260.000 infeksi HIV (5% dari kasus baru). Sekitar 22-53% kasus hepatitis B, 31-59% kasus hepatitis C, dan 7-24% kasus HIV/AIDS diasosiasikan dengan pengelolaan limbah medis yang tidak aman.

RS dan instalasi kesehatan lainnya memiliki “kewajiban untuk memelihara” lingkungan dan kesehatan masyarakat, serta memiliki tanggung jawab khusus yang berkaitan denan limbah yang dihasilkan instalasi tersebut. Kewajiban yang dipikul instalasi tersebut diantaranya adalah kewajiban untuk memastikan bahwa penanganan, pengolahan serta pembuangan limbah yang mereka lakukan tidak akan menimbulkan dampak yang merugikan kesehatan dan lingkungan. (WHO, 2002).

Pengelolaan limbah medis yang benar dan aman akan menghindarkan karyawan, pekerja, maupun masyarakat dari risiko penularan penyakit dan kecelakaan. Selama ini,

Page 46: Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2012

41

pengelolaan limbah medis RS sering menjadi sorotan masyarakat dan media karena masih banyak praktik pengelolan limbah medis padat yang tidak benar, salah satunya adalah dengan membuang limbah padat medis begitu saja ke tempat pembuangan sampah domestik.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data yang digunakan adalah data

monitoring dan evaluasi pengelolaan limbah medis yang dilakukan pada tahun 2009 hingga 2012. Data diambil dari 797 RS di 210 Kab./Kota yang ada di 32 provinsi pada periode 2009-2012. Teknik pengumpulan data melalui kunjungan langsung pada saat kegiatan monev dan penyebaran kuesioner ke Dinkes Provinsi dan Dinkes Kab/Kota.

Diagram 1. Distribusi RS responden menurut regional pulau

18.57

68.38

6.152.38

2.38 2.13Sumatera

Jawa

Bali, NTT, NTB

Kalimantan

Sulawesi

Maluku & Papua Responden paling banyak dari regional Jawa (68,38%) diikuti oleh Sumatera (18,57%), Bali NTB dan NTT (6,15%), Kalimantan dan Sulawesi masing-masing 2,38%, dan Maluku & Papua sebanyak 2,13%. Diagram 2. Kepemilikan Incinerator dan keberfungsiannya

29,11

12,30 58,59

IncineratorberfungsiIncinerator tidakberfungsiTidak memilikiincinerator

Pilihan pengolahan limbah medis secara

on-site banyak dilakukan oleh RS di Indonesia. Untuk pengolahan limbah medis padat, incinerator masih merupakan pilihan bagi RS. Dari data diatas diperoleh bahwa sebagian besar RS masih menggunakan incinerator, bukan alat pengolah limbah padat medis

lainnya seperti autoklaf ataupun microwave. Sebanyak 29,11% RS memiliki incinerator yang berfungsi dengan baik, 12,30% RS memiliki incinerator namun tidak berfungsi, dan 58,59% RS tidak memiliki incinerator. Ketidakberfungsian incinerator disebabkan : alat rusak, sulitnya mendapatkan parts untuk mengganti komponen incinerator yang rusak, serta mahal dan sulitnya mendapatkan bahan bakar. Selain itu, masih banyak ditemukan praktik pengoperasian incinerator yang tidak sesuai dengan standar pengoperasian incinerator dan incinerator dengan suhu bakar <1.200

oC, dengan beban pembakaran semua

limbah medis dari berbagai kategori. Suhu bakar sebagian besar incinerator RS di Indonesia adalah 600

oC – 800

oC. Hal ini

memungkinkan pelepasan Persistant Organic Pollutants (POPs) seperti dioksin dan furan pada saat pembakaran limbah. Padahal, Indonesia telah meratifikasi konvensi Stockholm untuk mengurangi emisi POPs ke udara.

Selain itu, permasalahan sulitnya memperoleh ijin incinerator juga berkontribusi pada permasalahan masih banyaknya incinerator dengan suhu bakar <1.200

oC. Ijin

incinerator diperoleh dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan melewati serangkaian proses, termasuk pemeriksaan suhu bakar.

Opsi pengolahan limbah medis secara off-site merupakan alternatif lain apabila RS tidak memiliki alat pengolah limbah medis padat atau memiliki alat pengolah limbah medis padat namun tidak berfungsi dengan baik. Bekerjasama dengan pihak lain pengolah limbah medis padat, baik dengan swasta maupun dengan fasyankes lain yang memiliki alat pengolah limbah medis padat, dapat dilakukan. Opsi ini sudah banyak dilakukan RS yang berada di lokasi padat penduduk sehingga tidak memungkinkan untuk menempatkan incinerator di sekitar lokasi RS. Diagram 3. Kerjasama dengan pihak lain pengolah limbah

78.59

21.41 Kerjasama dengan pihak ketiga

Tidak

Page 47: Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2012

42

RS yang tidak memiliki incinerator dan memiliki incinerator namun tidak berfungsi, ada sebanyak 78,59% bekerjasama untuk pengolahan limbah padat medisnya dengan pihak lain (swasta maupun RS lainnya), dan sebanyak 21,41% tidak bekerjasama dengan pihak lain. Bila RS tidak memiliki alat pengolah limbah medis padat dan tidak bekerjasama dengan pihak lain pengolah limbah medis padat, maka diasumsikan RS tersebut tidak melakukan perlakuan khusus terhadap limbah medis padatnya. Praktik yang tidak aman seperti ini perlu mendapat perhatian khusus, karena RS sebagai penghasil limbah memiliki kewajiban untuk mengelola limbah medis padatnya dengan benar dan aman. Sesuai dengan PP No.18 tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3, disebutkan pada pasal 3 bahwa setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang menghasilkan limbah B3 dilarang membuang limbah B3 yang dihasilkannya itu secara langsung ke dalam media lingkungan hidup, tanpa pengolahan terlebih dahulu (PP No.18, 1999).

Kerjasama dengan pihak lain pengolah limbah padat sebanyak 85,29% dilakukan RS yang berada di pulau Jawa. Sedangkan 14,71% adalah RS yang berada di luar pulau Jawa. Diagram 4. Distribusi RS yang melakukan kerjasama dengan pihak lain pengolah limbah medis padat menurut regional pulau

85.29

14.71

Pulau Jawa

Luar P. Jawa

Hal ini disebabkan karena padatnya permukiman di pulau Jawa bila dibandingkan dengan pulau lainnya sehingga tidak memungkinkan untuk menempatkan incinerator di lokasi RS. Selain itu, mudahnya akses transportasi dan banyaknya pihak swasta pengolah limbah medis padat membuat banyak RS memilih opsi off-site tersebut. Praktis dan murahnya pembiayaan adalah pertimbangan lain bagi RS untuk memilih opsi pengolahan off-site. Bila RS memiliki incinerator sendiri, maka RS juga memiliki kewajiban untuk melakukan pemeriksaan pada abu residu pembakaran dan pemeriksaan efluen cerobong asap secara berkala, serta melakukan perawatan

incinerator. Hal tersebut dirasa kurang praktis, sehingga pengolahan secara off-site menjadi pilihan yang tepat.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Pengolahan limbah medis padat secara on-site masih merupakan pilihan bagi RS. Penggunaan teknologi insinerasi masih dilakukan, meskipun banyak permasalahan terkait dengan teknologi ini. Pilihan pengolahan limbah medis padat secara off-site adalah alternatif apabila RS tidak memiliki alat pengolah limbah medis padat atau bila alat pengolah tersebut tidak berfungsi dengan baik. Dilakukan dengan menjalin kerjasama dengan pihak lain pengolah limbah medis padat seperti dengan perusahaan pengolah limbah medis atau dengan membuat MoU dengan RS atau fasyankes lain yang memiliki alat pengolah limbah medis. Namun, masih ada RS yang tidak memiliki alat pengolah limbah medis padat dan tidak melakukan kerjasama dengan pihak lain pengolah limbah medis padat.

Saran

Untuk pengolahan limbah medis padat yang memenuhi syarat dapat dilakukan melalui pengenalan terhadap teknologi non insinerasi yang efektif, efisien, dan ramah lingkungan kepada RS dan sektor lain yang memiliki kewenangan dalam membuat kebijakan. Disamping itu, bagi RS yang tidak memiliki alat pengolah limbah medis padat diharapkan dapat melakukan pengolahan limbah medis padat secara off-site, baik dengan cara pengolahan limbah medis padat secara terpusat maupun dengan pihak lain.

DAFTAR PUSTAKA

PP No.18 tahun 1999 tentang Pengelolaan

Limbah B3 Keputusan Menteri Kesehatan RI

1204/Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit

Direktorat Penyehatan Lingkungan.2011.

Pedoman Pengelolaan Limbah Medis Padat Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Jakarta : Kemenkes.

Ditjen PPM dan PL. 2002. Pedoman

Pengelolaan Limbah Medis Rumah Sakit. Jakarta : Depkes.

Page 48: Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2012

43

Pruss,A,.et.al..2005. Pengelolaan Aman

Limbah Layanan Kesehatan, Jakarta: EGC.

Page 49: Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2012

44

Proses Pengelolaan Air Limbah di BBTKLPP Jakarta

Widodo, Imelda, Sulianto

Balai Basar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Jakarta

Abstrak. Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan Jakarta (BBTKLPP) adalah Unit Pelaksana Teknis Ditjen

P2PL yang salah satu kegiatannya adalah menyelenggarakan pelayanan laboratorium, yang meliputi pengujian

kualitas air bersih, air limbah, udara bebas, udara emisi dan kalibrasi peralatan laboratorium. Berdasarkan

peraturan perundangan bahwa setiap institusi atau satuan kerja yang memiliki proses dan output yang

berdampak pada lingkungan harus memiliki IPAL yang memadai dan berizin.Persyaratan perizinan terdiri dari

administrasi dan teknis. Adapun tujuan dari pengolahan air limbah dan perizinannya adalah Upaya pembatasan

beban air limbah yang dibuang ke perairan umum/sumber air dan Agar air limbah yang masuk perairan

umum/sumber air tidak tercemar dan dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk memenuhi berbagai

kebutuhan sesuai dengan peruntukannya. Sistem yang diterapkan dalam pengolahan air limbah ini secara

umum adalah proses Fisika, proses kimia dan proses biologi, kapasitas IPAL perhari adalah 4 m3/hari dan

waktu tinggal 1,75 hari. Peralatan yang digunakan dalam dalam proses pengolahan air limbah adalah pompa

transfer, pompa unit proses filter, pompa reversible,pompa lumpur, blower, mixer dan debit meter. Monitoring

IPAL wajib dilakukan secara terus menerus dan berkala untuk mengantisipasi jika terjadi loncatan parameter

diatas baku mutu dengan mengukur parameter, pH, COD, konductivity dan debit air yang keluar. Untuk laporan

pengukuran lengkap dilakukan seminggu sekal. Kesimpulan dari kegiatan pengolahan limbah cair dan proses

perizinan limbah cair di BBTKLPP Jakarta adalah bahwa BBTKLPP Jakarta sebagai laboratorium lingkungan

memenuhi persyaratan pengolahan lingkungan, ditandai dengan mendapatkan izin IPAL dari Guberneur DKI

Jakarta N0. 107/IPAL/2012 dan hasil outlet dari IPSL BBTKLPP Jakarta memenuhi baku mutu SK Gub No.582

tahun 1995 tentang baku mutu limbah cair

Kata Kunci : Instalasi Pengolahan Air Limbah, BBTKLPP Jakarta

Koresponden: Imelda, ST, M.Kes, BBTKL Jakarta Telp. 021-46833254

PENDAHULUAN

Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan

Pengendalian Penyakit (BBTKLPP) Jakarta adalah Unit Pelaksana Teknis Diretorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan yang salah satu kegiatannya menyelenggarakan pelayanan laboratorium, meliputi pengujian kualitas air bersih, air limbah, udara bebas, udara emisi dan kalibrasi peralatan laboratorium.

Laboratorium BBTKLPP Jakarta merupakan laboratorium Lingkungan yang telah mendapat registrasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan sebagai Laboratorium terakreditasi dari Komite Akreditasi Badan Standarisasi untuk Laboratorium Pengujian dan Kalibrasi.

Hasil dari proses kegiatan laboratorium adalah limbah cair dan limbah padat mengandung Bahan Beracun dan Berbahaya (B3) yang dapat menimbulkan dampak terhadap kesehatan pekerja dan lingkungan sosial, ekonomi dan budaya (sosekbud) masyarakat setempat.

Untuk menjaga dan melestarikan lingkungan di sekitar, maka BBTKLPP Jakarta

memiliki komitmen dengan pengelolaan Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) yang memadai, dan kini telah mengantongi izin dari Gubernur DKI Jakarta pada tanggal 12 Juli 2012 dengan registrasi Nomor 107/IPAL/2012.

BAHAN DAN CARA

Berdasarkan peraturan perundangan bahwa setiap institusi atau satuan kerja yang memiliki proses dan output yang berdampak pada lingkungan harus memiliki IPAL yang memadai dan berizin. Izin IPAL tersebut wajib dimiliki setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib AMDAL atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan.

a. Dasar hukum Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009

tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 01 Tahun 2010 tentang Tata Laksana Pengendalian Pencemaran Air;

Page 50: Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2012

45

Peraturan Gubernur Nomor 220 Tahun 2010 tentang Perizinan Pembuangan Air Limbah

b. Maksud dan tujuan perizinan Upaya pembatasan beban air limbah

yang dibuang ke perairan umum/sumber air.

Agar air limbah yang masuk perairan umum/sumber air tidak tercemar dan dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk memenuhi berbagai kebutuhan sesuai dengan peruntukannya.

c. Persyaratan yang harus di penuhi dalam

proses perizinan izin IPAL meliputi : 1. Persyaratan Administrasi

a) Data pembuangan air limbah; b) Peta lokasi pembuangan air limbah

dan pengambilan contoh air limbah; c) Akte pendirian perusahaan (foto

copy); d) Desain dan perhitungan teknis IPAL e) Dokumen Lingkungan (AMDAL, UKL-

UPL ); f) Hasil pemeriksaan air limbah ke

BPLHD (1TH); g) Data swapantau 3 bln terakhir h) SOP Penanganan kondisi darurat; i) SOP K3 laboratorium j) Surat pernyataan kesanggupan

mentaati persyaratan perizinan sesuai ketentuan yg berlaku.

2. Persyaratan Teknis:

a) Melakukan assessment ke IPAL BBTKLPP Jakarta - Mengambil langsung sampel inlet

dan out let. - Memeriksa persyaratan

administrasi dengan impelementasi di lapangan.

b) Menghadiri Sidang IPAL di BPLHD DKI Jakarta sebagai proses akhir oleh Tim Penguji dari BPPT Jakarta, Kementerian Lingkungan Hidup , BPLHD DKI Jakarta, BLH Jakarta Timur, dan Suku Dinas Kesehatan Jakarta Timur

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Data IPAL a. Jenis Produksi : Pemeriksaan sampel

kualitas lingkungan b. Kapasitas produksi : 80

sampel/hari

c. Tahun pembangunan IPAL : Di buat tahun 1997 di perbaharui tahun 2011

d. Jumlah pemakaian air PAM : 4 m3/hari e. Badan penerima Air Limbah : Sungai

cakung(Kali Irigasi Balai Rakyat) f. Sistem IPAL : Pengolahan secara

Fisika, Kimia dan Biologi g. Kapasitas IPAL : 4 m3/hari h. Waktu Tinggal : 1,75 hari

2. Sistem IPAL

Sistem yang diterapkan dalam pengolahan limbah cair di BBTKLPP Jakarta di bagi beberapa tahapan seperti: a. Tahap I adalah proses pencampuran

dari berbagai laboratorium. b. Tahap II adalah proses pengolahan

dengan menggunakan kimia seperti PAC, koustic, polymer dan HCL.

c. Tahap III adalah proses sedimentasi d. Tahap IV adalah proses biofilter

menggunakan karbon aktif dan bakteri anaerob.

e. Tahap V adalah proses aerasi menggunakan blower dan bakteri aerob.

f. Tahap VI adalah proses sedimentatasi g. Tahap VII adalah proses desinfection

dengan menggunakan Ozon Generator dengan kapasitas 2,8 g/h.

h. Tahap VIII adalah proses filtrasi dengan menggunakan karbon, resin dan microfilter.

i. Tahap IX adalah proses bio indikator dengan menggunakan ikan sebagai sampel uji.

j. Proses pengolahan lumpur dengan menggunakan polymer kationik, koral dan karung goni

Gambar 1. Proses IPAL di BBTKLPP Jakarta

Tahap III. Proses Sedimentasi

Tahap IV.Proses Biofilter

Tahap I.Proses pencampuran

Tahap V.Proses Biologi

Tahap II. Proses Kimia

Pembuangan akhir

Lumpur (sedimen)

Tahap VII. Proses desinfeksi

Pembuangan akhir IPAL

Tahap VI. Proses Sedimentasi

Tahap IX. Proses Bio indikator

Tahap VIII.Proses

Filtrasi

Page 51: Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2012

46

3. Peralatan yang digunakan dalam melakukan pengolahan air limbah cair adalah sebagai berikut :

Tabel 1. Peralatan pengolahan limbah cair

Nama Peralatan

Jenis Merk kapasitas

jml

Pompa transfer

Summersible

D&Q taiwan

60 lt/mnt 1

Pompa unit proses filter

Jet pump Wasser

60 lt/mnt 3

Pompa lumpur

Summersible

D&Q taiwan

60 lt/mnt 1

Blower Ring blower Chuang

FuN

2,4 M3/mnt

2

Mixer Gear Box Taiwan

140 rpm 2

Debit meter

Current meter

BR 5 digit 1

Sistem yang dibuat sudah automatic yang bekerja berdasarkan level air bila bak penampungan penuh proses berjalan. Namun demikian, petugas setiap pagi hari harus melihat kondisi lingkungan, peralatan dan bahan kimia yang digunakan dalam proses, proses pengolahan air limbah harian yang diolah sebanyak 4 M

3/hari, dengan biaya

operasional Rp. 100.000,- per minggu yang digunakan untuk membeli PAC, polymer, NaOH, HCl dan bakteri pengurai.

4. Penanggung jawab IPAL Penanggung jawab kegiatan dan monitoring IPAL adalah instalasi K3 & Pengelolaan Limbah. Monitoring IPAL wajib dilakukan secara terus menerus dan berkala untuk mengantisipasi jika terjadi loncatan parameter diatas baku mutu. Dokumen mutu monitoring IPAL berupa instruksi kerja LB III.5.3.2. Pengelolaan limbah BBTKLPP Jakarta dan format isian LB IV.5.3.1.5. Monitoring IPAL Harian. Monitoring pengolahan limbah Cair yang diterapkan oleh petugas pengolahan limbah cair pada unit Petugas membuat laporan harian dengan mengukur parameter, pH,

COD, konductivity dan debit air yang keluar. Untuk laporan pengukuran lengkap dilakukan seminggu sekali .Pemeriksaan eksternal dilakukan juga oleh Instalasi K3& Pengelolaan limbah dengan mengirimkan sampel ke laboratorium BPLHD DKI Jakarta per tiga bulan sekali dan hasilnya dilaporkan ke BPLHD DKI selaku pembinaan lingkungan hidup di wilayah DKI Jakarta.

5. Hasil Uji laboratorium Berdasarkan hasil pemeriksaan monitoring harian, bulanan dan yang dilakukan oleh petugas, maka outlet IPAL BBTKLPP Jakarta dibawah baku mutu limbah cair menurut SK Gubernur DKI Jakarta nomor 582 tahun 1995. Mudah-mudahan pengalaman ini dapat bermanfaat yang membacanya.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan Kesimpulan dari kegiatan pengolahan

limbah cair dan proses perizinan limbah cair di BBTKLPP Jakarta adalah bahwa BBTKLPP Jakarta sebagai laboratorium lingkungan memenuhi persyaratan pengolahan lingkungan, ditandai dengan mendapatkan izin IPAL dari Guberneur DKI Jakarta N0. 107/IPAL/2012 dan hasil outlet dari IPSL BBTKLPP Jakarta memenuhi baku mutu SK Gub No.582 tahun 1995 tentang baku mutu limbah cair Saran

Sistem pengolahan dan pengelolaan IPAL agar lebih di tingkatkan lagi seiring dengan perkembangan teknologi, agar IPAL BBTKLPP Jakarta dapat menjaga baku mutu sesuai peraturan

DAFTAR PUSTAKA

Manual Teknologi Tepat Guna Pengolahan air

limbah, 2008. Dr.Nao Tanaka PUSTEKLIM. Yogyakarta.

Pengenalan Instalasi Pengolahan Air Limbah

(IPAL) yang menggunakan binest media oleh Abie Wiwoho,MSc, Jakarta

Page 52: Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2012

47