jtptunimus gdl hidayatuss 7710 3 babii
DESCRIPTION
bab 2TRANSCRIPT
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penyelenggaraan Makanan Banyak
Penyelenggaraan makanan institusi adalah serangkaian kegiatan
mulai dari perencanaan menu, penyediaan atau pembelian bahan makanan,
penerimaan, penyimpanan dan penyaluran bahan makanan, persiapan dan
pemasakan bahan makanan, pencatatan dan pelaporan serta evaluasi yang
dilaksanakan dalam rangka penyediaan makanan bagi kelompok
masyarakat di sebuah institusi. Selain untuk memenuhi kebutuhan gizi,
penyelenggaraan makanan bertujuan untuk menyediakan makanan yang
baik dari segi mutu, jenis maupun jumlahnya (Depkes RI, 2006).
Tujuan umum penyelenggaraan makanan institusi adalah
tersedianya makanan yang memuaskan bagi klien dengan manfaat
setinggi-tingginya bagi institusi. Secara khusus setiap institusi dituntut
untuk:
1. Menghasilkan makanan yang berkualitas baik, dipersiapkan dan
dimasak secara layak.
2. Pelayanan yang cepat dan menyenangkan.
3. Menu seimbang dan bervariasi
4. Harga layak, serasi dengan pelayanan yang diberikan
5. Standar kebersihan dan sanitasi tinggi (Mukrie, 1990)
Pada dasarnya penyelenggaraan makanan institusi terdiri dari 2
macamyaitu:
1. Penyelenggaraan makanan institusi yang berorientasi pada keuntungan
(bersifat komersial). Penyelenggaraan makanan ini dilaksanakan untuk
mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya. Bentuk usaha ini seperti
restaurant, snack, bars, cafeteria, catering. Usaha penyelenggaraan
makanan ini tergantung pada bagaimana menarik konsumen sebanyak
5
6
banyaknya dan manajemennya harus bisa bersaing dengan
penyelenggaraan makanan yang lain.
2. Penyelenggaraan makanan institusi yang berorientasi pelayanan
(bersifat nonkomersial). Penyelenggaraan makanan ini dilakukan oleh
suatu Instansi baik dikelola pemerintah, badan swasta ataupun yayasan
sosial yang tidak bertujuan untuk mencari keuntungan. Bentuk
penyelenggaraan ini biasanya berada didalam satu tempat yaitu
asrama, panti asuhan, rumah sakit, perusahaan, lembaga
kemasyarakatan, sekolah dan lain lain. Frekuensi makan dalam
penyelenggaraan makanan yang bersifat non komersial ini 2-3 kali
dengan atau tanpa selingan (Moehyi, 1992).
B. Faktor-faktor yang Harus Diperhatikan dalam Penyelenggaraan
Makanan Institusi
a. Standar Makanan
Setiap proses dalam penyelenggaraan makanan sangat
mempengaruhi jumlah standar porsi yang akan dihasilkan. Pembelian
bahan makanan harus disesuaikan dengan menu, jumlah dan standar
porsi yang direncanakan. Selain itu, penyimpanan bahan makana,
proses, persiapan, pemasakan dan penyajian harus benar agar tidak
mengurangi jumlah bahan makanan yang digunakan. Salah satu hal
penting dalam penyelenggaraan makanan yaitu jumlah bahan makanan
dan standar porsi yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan jumlah bahan
makanan berpengaruh terhadap standar porsi yang dihasilkan. Jumlah
bahan makanan harus ditetapkan secara teliti agar standar porsi sesuai
dengan yang telah direncanakan sebelumnya sehingga dapat
memenuhi kebutuhan klien (Mukrie, 1990 dan Suyatno 2010).
Standar porsi dapat diartikan sebagai banyaknya makanan yang
disajikan dan ukuran porsi untuk setiap individu. Dalam suatu
penyelenggaraan makanan, standar porsi sangat berkaitan dengan
perhitungan kebutuhan bahan makanan dan perencanaan standar
porsi.Pengawasan standar porsi dibutuhkan untuk mempertahankan
7
kualitas suatumakanan yang dihasilkan. Hal ini tentu akan
mempengaruhi terpenuhinya kebutuhan gizi seseorang. Standar porsi
juga akan sangat mempengaruhi terhadap nilai gizi setiap hidangan (
Muchatob, 2001 dan Puckett, 2004).
b. Variasi Menu
Menu adalah hidangan makanan yang disajikan dalam suatu acara
makan, baik makan pagi, makan siang maupun makan malam, dengan
atau tanpa selingan. Salah satu faktor yang mempengaruhi
keberhasilan penyelenggaraan makanan institusi adalah tersedianya
menu yang baik secara kualitas maupun kuantitas. Oleh sebab itu perlu
dibuat perencanaan menu yang baik ( Moehyi, 1992 dan Yuliati dan
Santoso, 1995).
Dalam penyelenggaraan makanan institusi menu dapat disusun
dalam jangka waktu yang cukup lama misalnya untuk tujuh hari atau
sepuluh hari. Ini tentunya berkaitan dengan variasi menu yang harus
dihidangkan dalam suatu hidangan. Variasi menu adalah susunan
golongan bahan makanan yang terdapat dalam satu hidangan yang
berbeda pada setiap kali penyajian. Variasi menu yang ada di
Indonesia umumnya adalah terdiri dari berbagai hidangan sebagai
berikut (Moehyi, 1992):
1. Makanan pokok
Makanan pokok yang ada di Indonesia umumnya adalah
nasi. Berbagai variasi makanan pokok dari nasi antara lain, nasi
kuning, nasi uduk, dan nasi tim.
2. Lauk pauk
Lauk pauk merupakan pendamping makanan pokok.
Hidangan ini bisa terbuat dari bahan makanan hewani atau nabati
atau gabungan keduanya. Bahan makanan hewani yang digunakan
dapat berupa daging sapi, daging ayam, ikan, telur, udang.
Sedangkan bahan makanan nabati dapat berupa tahu, tempe, atau
sejenis kacang-kacangan.
8
3. Sayuran
Hidangan sayuran biasanya terdiri dari dua macam yaitu
hidangan sayuran berkuah dan hidangan sayuran yang tidak
berkuah.
4. Buah-buahan
Buah biasanya disajikan dalam bentukj utuh buah segar
atau dibuat olahan sebagai minuman seperti jus buah. Buah
biasanayan hanya berfungsi sebagai pencuci mulut yang
dikonsumsi setelah makan.
5. Snack
Hidangan snack merupakan makanan selingan antara
makan pagi dan makan siang atau antara makan siang dan makan
malam. Biasanya disajikan dalam rasa yang manis, asin, atau gurih.
c. Organoleptik
1. Rasa makanan
Faktor utama yang mempengaruhi daya penerimaan
terhadap makanan adalah rangsangan cita rasa yang ditimbulkan
oleh makanan tersebut. Cita rasa makanan mencakup dua aspek
utama, yaitu penampilan makanan sewaktu dihidangkan dan rasa
makanan waktu dimakan. Kedua aspek ini sama pentingnya untuk
diperhatikan agar betul-betul dapat menghasilkan makanan yang
memuaskan. Komponen-komponen yang berperan dalam
menentukan rasa makanan anatar lain aroma, bumbu dan
penyedap, keempukan, kerenyahan, tingkat kematangan, serta
temperatur makanan (Moehyi, 1992).
2. Aroma Makanan
Aroma atau bau makanan dapat merangsang keluarnya
getah lambung dan banyak menentukan kelezatan dari makanan
tersebut. Aroma lebih terpaut pada indera penciuman (Arifiati,
2000). Aroma yang disebarkan oleh makanan adalah daya tarik
yang sangat kuat dan mampu merangsang indera penciuman
9
sehingga membangkitkan selera. Timbulnya aroma makanan
disebabkan oleh terbentuknya suatu senyawa yang menguap.
Terbentuknyasenyawa yang mudah menguap sebagai reaksi karena
pekerjaan enzim, tetapi dapat juga terbentuk tanpa terjadi reaksi
enzim. Aroma yang dikeluarkan oleh setiap makanan berbeda-beda
(Moehyi, 1992).
3. Konsistensi makanan
Konsistensi adalah keadaan yang berkaitan dengan tingkat
kepadatan dan kekentalan suatu hidangan. Istilah yang
menggambarkan konsistensi adalah cair, kental, dan padat.
Susunan hidangan yang baik adalah memiliki kombinasi
konsistensi (West& Wood, 1988).
Konsistensi makanan juga merupakan komponen yang turut
menentukan cita rasa makanan karena sensitivitas indera cita rasa
dipengaruhi oleh konsistensi makanan. Makanan yang
berkonsistensi padat atau kental akan memberikan rangsangan
yang lebih lambat terhadap indera kita (Moehyi, 1992).
Konsistensi makanan juga mempengaruhi penampilan
makanan yang dihidangkan. Cara memasak dan lama waktu
memasak makanan akan menentukan pula konsistensi makanan
(Moehyi, 1992).
Tekstur dan konsistensi suatu bahan akan mempengaruhi
cita rasa yang ditimbulkan oleh bahan tersebut. Dari penelitian-
penelitian yang dilakukan diperoleh bahwa perubahan bahan dapat
mengubah rasa dan bau yang timbul karena dapat mempengaruhi
kecepatan timbulnya rangsangan terhadap sel reseptor olfaktori dan
kelenjar air liur. Semakin kental suatu bahan, penerimaan terhadap
intensitas rasa, bau, dan cita rasa semakin berkurang (Winarno,
1992).
10
d. Hygiene dan Sanitasi
Sanitasi adalah salah satu pencegahan yang menitikberatkan
kegiatan dan tindakan yang perlu untuk membebaskan makanan dan
minuman dari segala bahaya yang dapat mengganggu atau merusak
kesehatan, mulai dari sebelum makanan itu diproduksi, selama dalam
proses pengolahan, penyimpanan, pengangkutan, penjualan, sampai
pada saat dimana makanan dan minuman tersebut siap untuk
dikonsumsi masyarakat/konsumen (Depkes, 2003).
Hygiene sanitasi adalah upaya untuk mengendalikan faktor
makanan, orang, tempat dan perlengkapannya yang dapat atau
mungkin dapat menimbulkan penyakit atau gangguan kesehatan.
Persyaratan hygiene dan sanitasi adalah ketentuan-ketentuan teknis
yang ditetapkan terhadap produk rumah makan, personal, dan
perlengkapannya yang memenuhi persyaratan bakteorologis, kimia,
dan fisik (Depkes, 2003).
e. Biaya
Bahwa untuk menyediakan penyelenggaraan makanan yang baik,
selain memperhatikan aspek kualitas makanan juga diperhatikan aspek
biaya operasionalnya.
C. Angka Kecukupan Gizi Energi dan Protein
a. Angka Kecukupan Gizi (AKG)
Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan (AKG) atau
RecommendedDietaryAllowances (RDA) adalah kecukupan rata-rata
zat gizi setiap hari bagi semua orang menurut golongan umur, jenis
kelamin, ukuran tubuh, aktifitas tubuh untuk mencapai derajat
kesehatan yang optimal (PERMENKES, 2013).
Menurut Muhilal, dkk 1988 dalam Departemen Gizi dan Kesehatan
Masyarakat mengatakan bahwa kecukupan pangan dapat diukur secara
kualitatif maupun kuantitatif. Parameter kualitatif meliputi nilai sosial,
ragam jenis bahan makanan, dan cita rasa, sedangkan parameter
kuantitatif adalah komposisi zat gizi. Berbagai zat gizi makro seperti
11
karbohidrat, protein, dan lemak maupun kelompok zat gizi mikro
seperti vitamin dan mineral merupakan komponen bahan makanan.
Tidak kurang dari 50 jenis zat gizi dibutuhkan manusia setiap hari
meliputi 10 macam asam amino, 3 macam asam lemak, 14 macam
vitamin, dan 15-19 macam mineral. Selain zat gizi tersebut,
dibutuhkan energi.
Kegunaan Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan antara lain
sebagai berikut:
1. AKG berguna untuk perencanaan penyediaan pangan tingkat regional
atau nasional. Perhitungan kebutuhan energi dan zat gizi rata-rata
tingkat regional atau nasional perlu diketahuijuga pola makannya.
Dengan demikian, dapat dirancang penyediaan pangan yang cukup
untuk penduduk. AKG merupakan kecukupan tingkat faali. Oleh sebab
itu dalam merancang produksi pangan perlu diperhitungkan kehilangan
bahan pasca panen mulai dari produksi sampai tingkat konsumsi.
2. AKG berguna untuk menilai data konsumsi makanan perorangan atau
kelompok masyarakat. Bila hasil survei menunjukkan penyimpangan
berat badan patokan, perlu dilakukan penyesuaian angka kecukupan.
Demikian juga untuk nilai asam amino dan nilai cerna bila berbeda
dengan nilai yang digunakan dalam penetapan AKG yang dianjurkan.
3. AKG berguna untuk perencanaan pemberian makanan bagi institusi
seperti rumah sakit, asrama, perkantoran, industri, sekolah, panti
sosial, dan lembaga pemasyarakatan perlu diperhatikan berat badan
rat-rata dan aktivitas. Khusus rumah sakit diperhitungkan juga
kecukupan gizi untuk penyembuhan.
4. AKG berguna untuk menetapkan standar bantuan pangan dalam
keadaan darurat sperti bencana alam, perang, kekeringan, kerusuhan,
transmigran, serta untuk Pemberian Makanan Tambahan (PMT)
golongan rawan (balita, anak sekolah, ibu hamil).
12
5. AKG berguna untuk menetapkan pedoman keperluan label gizi
makanan yang dikemas. Biasanya dicantumkan persentase dari AKG
yang dianjurkan untuk satu porsi makanan tersebut.
6. AKG berguna untuk bahan penyuluhan atau pendidikan gizi menurut
kelompok umur dan kegiatan maupun jenis kelamin.
b. Angka Kecukupan Gizi Energi
Energi merupakan salah satu hasil metabolisme karbohidrat,
protein, dan lemak. Energi berfungsi sebagai zat tenaga untuk
metabolisme, pertumbuhan, pengaturan suhu, dan kegiatan fisik.
Faktor yang perlu diperhatikan untuk menentukan kebutuhan energi
remaja adalah aktivitas fisik, seperti olahraga. Remaja yang aktif
dalam melakukan olahraga memerlukan asupan energi yang lebih
besar dibandingkan dengan remaja yang tidak berolahraga (Almatsier,
S, dkk. 2011).
Pangan sumber energi adalah pangan sumber lemak, karbohidrat
dan protein. Pangan sumber energi yang kaya lemak antara lain
lemak/gajih dan minyak, buah berlemak (alpokat), biji berminyak,
santan, coklat, kacang-kacangan dengan kadar air rendah dan aneka
pangan produk turunannya. Pangan sumber energi yang kaya
karbohidrat antara lain beras, jagung, oat, serealia lainnya, umbi-
umbian, tepung, gula, madu, buah dengan kadar air rendah (pisang,
kurma dan lain-lain) dan aneka produk turunannya. Pangan sumber
energi yang kaya protein antara lain daging, ikan, telur, susu dan aneka
produk turunannya (Hardinsyah&Tambunan 2004).
Tingkat kecukupan energi (TKE) adalah rata-rata tingkat
kecukupan energi dari pangan yang seimbang dengan pengeluaran
energi pada kelompok umur, jenis kelamin, ukuran tubuh (berat) dan
tingkat kegiatan fisik agar hidup sehat dan dapat melakukan kegiatan
ekonomi dan sosial yang diharapkan. Tingkat kecukupan energi
dikategorikan sebagai berikut:
13
Tabel 1. Kategori Tingkat Kecukupan Energi
Kategori Tingkat Kecukupan % AKG
Defisit tingkat berat < 70% AKG
Defisit tingkat sedang 70% – 79% AKG
Defisit tingkat ringan 80% - 89% AKG
Normal 90% - 119% AKG
Lebih ≥ 120% AKG
(Depkes, 1996).
Berdasarkan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi XI (WNPG
XI) tahun 2012, angka kecukupan energi yang dianjurkan (AKE) pada
remaja laki-laki adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Angka Kecukupan Energi yang Dianjurkan
Kelompok
Umur
BB (Kg) TB (cm) AKE
16 – 18 tahun 56 165 2675
19 – 29 tahun 60 168 2725
c. Angka Kecukupan Gizi Protein
Protein merupakan sumber asam amino esensial yang diperlukan
sebagai zat pembangun, yaitu untuk pertumbuhan dan pembentukan
protein dalam serum, hemoglobin, enzim, hormon serta antibodi,
mengganti sel-sel tubuh yang rusak, memelihara keseimbangan asam
basa cairan tubuh dan sumber energi. Ada dua jenis protein, yaitu
protein hewani dan protein nabati. Makanan sumber protein hewani
bernilai biologis tinggi dibandingkan sumber protein nabati, karena
14
komposisi asam amino esensial yang lebih baik dari segi kualitas dan
kuantitas. Sumber protein hewani antar lain, daging, ikan, susu, telur,
dan keju. Adapun sumber protein nabati antara lain, tahu, tempe, dan
kacang-kacangan (Almatsier, S, dkk. 2011).
Selama masa remaja, kebutuhan protein meningkat karena proses
tumbuh kembang berlangsung cepat. Apabila asupan energi terbatas,
protein akan digunakan sebagai energi.Penghitungan besarnya
kebutuhan akan protein berkaitan dengan pola tumbuh bukan pola
kronologis. Pada wala masa remaja, kebutuhan protein remaja putri
lebih tinggi daripada kebutuhan protein pada pria, karena memasuki
masa pertumbuhan cepat lebih dahulu. Pada akhir masa remaja,
kebutuhan protein laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan
perempuan karena perbedaan komposisi tubuh (Almatsier, S, dkk.
2011).
BPS (2006) menyatakan bahwa konsumsi makanan masyarakat
dikatakan memadai jika memenuhi dua kriteria kecukupan, yaitu
kecukupan energi dan protein. Tingkat kecukupan energi dikategorikan
sebagai berikut:
Tabel 3. Kategori Tingkat Kecukupan Protein
Kategori Tingkat Kecukupan % AKG
Defisit tingkat berat < 70% AKG
Defisit tingkat sedang 70% – 79% AKG
Defisit tingkat ringan 80% - 89% AKG
Normal 90% - 119% AKG
Lebih ≥ 120% AKG
(Depkes, 1996).
Berdasarkan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi XI (WNPG
XI) tahun 2012, angka kecukupan protein yang dianjurkan (AKP)
pada remaja laki-laki adalah sebagai berikut:
15
Tabel 4. Angka Kecukupan Protein yang Dianjurkan
Kelompok
Umur
BB (Kg) TB (cm) AKE
16 – 18 tahun 56 165 66
19 – 29 tahun 60 168 62
D. Daya Terima Makanan
1. Tingkat Penerimaan Menu Makanan Asrama
Tingkat penerimaan menu asrama adalah tingkat penerimaan
konsumen dalam hal ini taruna terhadap makanan yang disajikan di
asrama. Daya terima makanan seseorang dapat dilihat dari berapa
banyak orang tersebut dapat menghabiskan makanannya dengan
menimbang dan mempersentasekannya dengan berat makanan yang
disajikan. Selisih antara berat makanan yangdisajikan dengan berat
makanan sisa merupakan berat makanan yang dihabiskan. Daya terima
makanan baik jika rata-rata persentase asupan makanan > 80%
hidangan yang disajikan, dan dikatakan kurang jika rata-rata persentase
asupan makanan < 80% hidangan yang disajikan (Supariasa, 2002).
2. Metode Pengumpulan Data Konsumsi Pangan
Tingkat penerimaan makanan konsumen dapat diukur dengan
mengumpulkan data konsumsi pangan. Ada beberapa cara yang dapat
digunakan untuk mengumpulkan data konsumsi pangan. Secara umum
pengumpulan data konsumsi pangan dapat dilakukan dengan metode
penimbangan langsung dan metode penimbangan tidak langsung
(Hardiansyah&Briawan, 1994).
a. Metode Penimbangan
Prinsip dari metode penimbangan adalah mengukur secara
langsung berat dari setiap jenis makanan yang dikonsumsi dan
selanjutnya dapat dihitung persentase sisa makanan (waste) dengan
rumus:
16
persentase sisa makanan=୳୫ ୪ୟ୦�୫ ୟ୩ୟ୬ୟ୬�୷ୟ୬�୲ୣ ୰ୱ୧ୱୟ�ሺ୰ୟ୫ ሻ
୨୳୫ ୪ୟ୦�୫ ୟ୩ୟ୬ୟ୬�୷ୟ୬�ୢ ୧ୟ୫ ୠ୧୪�ሺ୰ୟ୫ ሻX 100%
Dalam metode penimbangan, yang perlu diperhatikan adalah
bagaimana cara menimbang yang baik dan benar.
Kelebihan dari metode penimbangan adalah lebih akurat
dibanding dengan metode lainnya, dapat mencatat secara pasti
mengenai jumlah dan jenis bahan makanan, sisa makanan dapat
dihitung secara pasti dan mempunyai validitas yang tinggi.
Sedangkan kelemahan dari metode penimbangan yaitu: membebani
responden, tidak praktis, memerlukan tempat yang agak luas untuk
menampung alat makan dan sisa makanan, memerlukan waktu
lama untuk menimbang sisa makanan, dan memerlukan
ketrampilan pada saat menimbang makanan (Thompson, 1994).
b. Metode Taksiran Visual
Prinsip dari metode taksiran visual adalah para penaksir
(estimator) menaksir secara visual banyaknya sisa makanan yang
ada untuk setiap golongan makanan atau jenis hidangan.Hasil
estimasi tersebut bisa dalam bentuk berat makanan yang
dinyatakan dalam gram atau bentuk skor bila dalam skala
pengukuran. Metode taksiran dengan skala pengukuran
dikembangkan oleh Comstock dengan menggunakan 6 point,
dengan kriteria sebagai berikut: skala 0 jika makanan seluruhnya
dikonsumsi oleh pasien (habis), skala 1 jika tersisa makanan
seperempat porsi, skala 2 jika tersisa makanan setengah porsi,
skala 3 jika tersisa makanan tiga perempat porsi, skala 4 jika hanya
dikonsumsi sedikit (kira-kira 1 sendok makan), skala 5 jika tidak
dikonsumsi sama sekali (utuh). Kelebihan dari metode taksiran
visual antara lain: waktu yang digunakan cepat dan singkat, tidak
memerlukan alat yang banyak dan rumit, menghemat biaya dan
dapat mengetahui sisa makanan menurut jenisnya. Sedangkan
17
kekurangan dari metode taksiran visual antara lain: diperlukan
penaksir (estimator) yang terlatih, teliti, terampil, memerlukan
kemampuan menaksir dan pengamatan yang tinggi, dan sering
terjadi kelebihan dalam menaksir (overestimate) atau kekurangan
dalam menaksir (underestimate) (Comstock, 1981).
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Penerimaan Menu
Makanan
Faktor yang mempengaruhi tingkat penerimaan menu makanan
asrama, salah satunya adalah sisa makanan. Sisa makanan adalah
jumlah makanan yang tidak habis dimakan setelah makanan disajikan
(Hirch, 1979). Dalam hal ini tentunya ada faktor-faktor yang
mempengaruhi adanya sisa makanan. Faktor-faktor yang
mempengaruhi adanya sisa makanan dapat berupa faktor internal
(berasal dari diri konsumen), faktor eksternal (faktor yang berasal
selain dari konsumen), atau faktor lain yang mendukung sehingga
terdapat sisa makanan (Almatsier, dkk, 2004).
a. Faktor Internal
yaitu faktor yang berasal dari individu yang meliputi:
1. Psikologis
Kondisi psikologis konsumen dapat mempengaruhi nafsu
makan. Apabila suasana hati seseorang sedang sedih, atau
sedang dalam kondisi tertekan maka akan berdampak apada
menurunnya nafsu makan sesorang sehingga tidak dapat
menghabiskan makanan yang disajikan.
2. Kebiasaan Makan
Kebiasaan makan konsumen dapat mempengaruhi
konsumen dalam menghabiskan makanan yang disajikan. Bila
makanan yang disajikan sesuai dengan kebiasaaan makan
konsumen, baik dalam susunan menu maupun besar porsi,
maka pasien cenderung dapat menghabiskan makanan yang
disajikan. Sebaliknya bila tidak sesuai dengan kebiasaan makan
18
pasien, maka akan dibutuhkan waktu untuk penyesuaian
(Mukrie, 1990).
3. Kebosanan
Rasa bosan biasanya timbul bila konsumen mengkonsumsi
makanan yang sama secara terus menerus atau mengkonsumsi
makanan yang sama dalam jangka waktu yang pendek,
sehingga sudah hafal dengan jenis makanan yang
disajikan.Rasa bosan juga dapat timbul bila suasana lingkungan
pada saat makan tidak berubah. Untuk mengurangi rasa bosan
tersebut selain meningkatkan variasi menu juga perlu adanya
perubahan suasana lingkungan pada saat makan (Moehyi,
1992).
b. Faktor Eksternal
Faktor eksternal yang mempengaruhi terjadinya sisa makanan
meliputi:
1. Penampilan Makanan
Penampilan makanan terdiri dari warna makanan, tekstur
makanan, dan besar porsi.
2. Rasa Makanan
Rasa makanan dipengaruhi oleh suhu dari setiap jenis
hidangan yang disajikan, rasa dari setiap jenis hidangan yang
disajikan dan keempukan serta tingkat kematangan.
3. Faktor Lain
Faktor lain yang dapat menyebabkan sisa makanan antara
lain penampilan alat makan, sikap petugas pengantar makanan.
Cara penyajian merupakan faktor yang perlu mendapat
perhatian dalam mempertahankan penampilan dari makanan
yang disajikan.Penyajian makanan berkaitan dengan peralatan
yang digunakan, serta sikap petugas yang menyajikan makanan
termasuk kebersihan peralatan makan maupun kebersihan
petugas yang menyajikan makanan (Depkes RI, 1991).
19
Terdapat beberapa faktor yang harus diperhatikan untuk
menyusun menu dalam suatu penyelenggaraan makanan
institusi, antara lain: kebutuhan gizi penerima makanan,
kebiasaan makan penerima, masakan harus bervariasi, biaya
yang tersedia, iklim dan musim, peralatan untuk mengolah
makanan, ketentuan-ketentuan lain yang berlaku pada institusi
(Moehyi, 1992).
20
4. Kerangka Teori
Gambar 1. Kerangka Teori
5. Kerangka Konsep
Gambar 2. Kerangka Konsep
Tingkat
Kecukupan
AKGAsupanEnergiPro
tein
Infeksi
Makanan dari luarAsrama
Hygiene dan
sanitasi
Tingkat
Kecukupan
AKG
Tingkat
Penerimaan Menu
Makanan Asrama
Menu
Makanan
Asrama
Karakteristikindividu:
Jeniskelamin
Umur
Lingkungan
Kebutuhan
zat gizi
Penerimaan
MakananAsrama
Makanan Asrama:
Variasi
menu
Rasa
makanan
Konsistensi
/tekstur
makanan
Penampilan
makanan
21
6. Hipotesa
Ho : Ada hubungan daya terima makanan dengan tingkat kecukupan
energi dan protein taruna di asrama Politeknik Ilmu Pelayaran
Semarang.
Ha : Tidak ada hubungan daya terima makanan dengan tingkat kecukupan
energi dan protein taruna di asrama Politeknik Ilmu Pelayaran
Semarang