jtptunimus gdl nurindahsa 5382 2 babii 1

27
BAB II KONSEP DASAR A. Pengertian Benigna Prostat Hiperplasi adalah perbesaran prostat, kelenjar prostat membesar, memanjang kearah depan ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urine, dapat mengakibatkan hidronefrosis dan hidroureter (Brunner & Suddarth, 2000). Benigna Prostat Hiperplasi adalah pembesaran dari beberapa dari kelenjar ini yang mengakibatkan obstruksi urine (Mary Buradero dkk, 2000). BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara umum pada pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius (Marilynn, E.D, 2000). Hipertropi adalah pembesaran sel, sedangkan hiperplasi adalah pertambahan jumlah sel,sehingga terjadi pembentukan jaringan yang berlebihan. Benigna Prostat Hiperplasi adalah pembesaran kelenjar prostat, memanjang ke arah depan ke dalam kandung kemih, yang mengakibatkan obstruksi urine (Poppy, 1998). Dari pengertian di atas maka penulis menyimpulkan bahwa benigna prostat hyperplasia adalah pembesaran dari prostat yang biasanya terjadi pada orang berusia lebih dari 50 tahun yang mendesak saluran perkemihan. B. Anatomi dan Fisiologi 1. Anatomi

Upload: zulfikar-fikar-fikar

Post on 20-Oct-2015

48 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

BAB II

KONSEP DASAR

A. Pengertian

Benigna Prostat Hiperplasi adalah perbesaran prostat, kelenjar prostat membesar,

memanjang kearah depan ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urine, dapat

mengakibatkan hidronefrosis dan hidroureter (Brunner & Suddarth, 2000).

Benigna Prostat Hiperplasi adalah pembesaran dari beberapa dari kelenjar ini yang

mengakibatkan obstruksi urine (Mary Buradero dkk, 2000).

BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara umum pada pria lebih

tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran

urinarius (Marilynn, E.D, 2000).

Hipertropi adalah pembesaran sel, sedangkan hiperplasi adalah pertambahan jumlah

sel,sehingga terjadi pembentukan jaringan yang berlebihan. Benigna Prostat Hiperplasi

adalah pembesaran kelenjar prostat, memanjang ke arah depan ke dalam kandung kemih,

yang mengakibatkan obstruksi urine (Poppy, 1998).

Dari pengertian di atas maka penulis menyimpulkan bahwa benigna prostat hyperplasia

adalah pembesaran dari prostat yang biasanya terjadi pada orang berusia lebih dari 50 tahun

yang mendesak saluran perkemihan.

B. Anatomi dan Fisiologi

1. Anatomi

Kelenjar prostate adalah suatu kelenjar fibro muscular yang melingkar Bledder neck

dan bagian proksimal uretra. Berat kelenjar prostat pada orang dewasa kira-kira 20 gram

dengan ukuran rata-rata : panjang 3,4 cm, lebar 4,4 cm, tebal 2,6 cm. Secara embriologis

terdiri dari 5 lobus yaitu lobus medius 1 buah, lobus anterior 1 buah, lobus posterior 1

buah, lobus lateral 2 buah. Selama perkembangannya lobus medius, lobus anterior dan

lobus posterior akan menjadi satu disebut lobus medius. Pada penampang lobus medius

kadang-kadang tidak tampak karena terlalu kecil dan lobus ini tampak homogen berwarna

abu-abu, dengan kista kecil berisi cairan seperti susu, kista ini disebut kelenjar prostat.

Pada potongan melintang uretra pada posterior kelenjar prostat terdiri dari :

a. Kapsul anatomis.

Jaringan stroma yang terdiri dari jaringan fibrosa dan jaringan muskuler. Jaringan

kelenjar yang terbagi atas 3 kelompok bagian :

1) Bagian luar disebut kelenjar sebenarnya.

2) Bagian tengah disebut kelenjar sub mukosal, lapisan ini disebut juga sebagai

adenomatus zone.

3) Di sekitar uretra disebut periuretral gland.

Saluran keluar dari ketiga kelenjar tersebut bersama dengan saluran dari vesika

seminalis bersatu membentuk duktus ejakulatoris komunis yang bermuara ke dalam uretra.

Menurut Mc Neal, prostat dibagi atas : zona perifer, zona sentral, zona transisional, segmen

anterior dan zona spingter preprostat. Prostat normal terdiri dari 50 lobulus kelenjar. Duktus

kelenjar-kelenjar prostat ini lebih kurang 20 buah, secara terpisah bermuara pada uretra

prostatika, dibagian lateral verumontanum, kelenjar-kelenjar ini dilapisi oleh selaput epitel

torak dan bagian basal terdapat sel-sel kuboid (Anderson, 1999).

GAMBAR ANATOMI

Gambar 1. Sistem Reproduksi Pria

Gambar 2. Pembesaran Prostat

2. Fisiologi

Pada laki-laki remaja prostat belum teraba pada colok dubur, sedangkan pada orang

dewasa sedikit teraba dan pada orang tua biasanya mudah teraba. Sedangkan pada

penampang tonjolan pada proses hiperplasi prostat, jaringan prostat masih baik.

Pertambahan unsur kelenjar menghasilkan warna kuning kemerahan, konsisitensi lunak

dan berbatas jelas dengan jaringan prostat yang terdesak berwarna putih ke abu-abuan dan

padat. Apabila tonjolan itu ditekan, keluar cairan seperti susu. Apabila jaringan

fibromuskuler yang bertambah tonjolan berwarna abu-abu padat dan tidak mengeluarkan

cairan sehingga batas tidak jelas. Tonjolan ini dapat menekan uretra dari lateral sehingga

lumen uretra menyerupai celah. Terkadang juga penonjolan ini dapat menutupi lumen

uretra, tetapi fibrosis jaringan kelenjar yang berangsur-angsur mendesak prostat dan

kontraksi dari vesika yang dapat mengakibatkan peradangan.

C. Etiologi/Predisposisi

Penyebab terjadinya Benigna Prostat Hipertropi belum diketahui secara pasti. Prostat

merupakan alat tubuh yang bergantung kepada endokrin dan dapat pula dianggap undangan

(counter part). Oleh karena itu yang dianggap etiologi adalah karena tidak adanya

keseimbangan endokrin. Namun menurut Syamsu Hidayat dan Wim De Jong tahun1998

etiologi dari Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) adalah :

1. Adanya hiperplasia periuretral yang disebabkan karena perubahan keseimbangan

testosteron dan estrogen.

Dengan meningkatnya usia pada pria terjadi peningkatan hormon Estrogen dan

penurunan testosteron sedangkan estradiol tetap yang dapat menyebabkan terjadinya

hyperplasia stroma.

2. Ketidakseimbangan endokrin.

3. Faktor umur/usia lanjut.

Biasanya terjadi pada usia diatas 50 tahun.

4. Unknown / tidak diketahui secara pasti.

Penyebab BPH tidak diketahui secara pasti (idiopatik), tetapi biasanya disebabkan oleh

keadaan testis dan usia lanjut.

D. Patofisiologi

Menurut Syamsu Hidayat dan Wim De Jong tahun 1998, umumnya gangguan ini terjadi

setelah usia pertengahan akibat perubahan hormonal. Bagian paling dalam prostat membesar

dengan terbentuknya adenoma yang tersebar. Pembesaran adenoma progresif menekan atau

mendesak jaringan prostat yang normal ke kapsula sejati yang menghasilkan kapsula bedah.

Kapsula bedah ini menahan perluasannya dan adenoma cenderung tumbuh ke dalam

menuju lumennya, yang membatasi pengeluaran urin. Akhirnya diperlukan peningkatan

penekanan untuk mengosongkan kandung kemih. Serat-serat muskulus destrusor berespon

hipertropi, yang menghasilkan trabekulasi di dalam kandung kemih. Pada beberapa kasus

jika obsruksi keluar terlalu hebat, terjadi dekompensasi kandung kemih menjadi struktur

yang flasid, berdilatasi dan sanggup berkontraksi secara efektif. Karena terdapat sisi urin,

maka terdapat peningkatan infeksi dan batu kandung kemih.

Peningkatan tekanan balik dapat menyebabkan hidronefrosis. Retensi progresif bagi

air, natrium, dan urea dapat menimbulkan edema hebat. Edema ini berespon cepat dengan

drainage kateter. Diuresis paska operasi dapat terjadi pada pasien dengan edema hebat dan

hidronefrosis setelah dihilangkan obstruksinya. Pada awalnya air, elekrolit, urin dan beban

solut lainya meningkatkan diuresis ini, akhirnya kehilangan cairan yang progresif bisa

merusakkan kemampuan ginjal untuk mengkonsentrasikan serta menahan air dan natrium

akibat kehilangan cairan dan elekrolit yang berlebihan bisa menyebabkan hipovelemia.

Menurut Mansjoer Arif tahun 2000 pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan

pada traktus urinarius. Pada tahap awal terjadi pembesaran prostat sehingga terjadi perubahan

fisiologis yang mengakibatkan resistensi uretra daerah prostat, leher vesika kemudian

detrusor mengatasi dengan kontraksi lebih kuat. Akibatnya serat detrusor akan menjadi lebih

tebal dan penonjolan serat detrusor ke dalam mukosa buli-buli akan terlihat sebagai balok-

balok yang tampai (trabekulasi).

Dilihat dari dalam vesika dengan sitoskopi, mukosa vesika dapat menerobos keluar di

antara serat detrusor sehingga terbentuk tonjolan mukosa yang apabila kecil dinamakan

sakula dan apabila besar disebut diverkel. Fase penebalan detrusor adalah fase kompensasi

yang apabila berlanjut detrusor akan menjadi lelah dan akhirnya akan mengalami

dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk kontraksi, sehingga terjadi retensi urin total yang

berlanjut pada hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas.

E. Manifestasi Klinis

1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah :

a. Obstruksi :

1). Hesistensi (harus menggunakan waktu lama bila mau miksi)

2). Pancaran waktu miksi lemah

3). Intermitten (miksi terputus)

4). Miksi tidak puas

5). Distensi abdomen

6). Volume urine menurun dan harus mengejan saat berkemih.

b. Iritasi : frekuensi sering, nokturia, disuria.

2. Gejala pada saluran kemih bagian atas

Nyeri pinggang, demam (infeksi), hidronefrosis.

3. Gejala di luar saluran kemih :

Keluhan pada penyakit hernia/hemoroid sering mengikuti penyakit hipertropi

prostat. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada saat miksi sehingga

mengakibatkan peningkatan tekanan intra abdominal (Sjamsuhidayat, 2004).

Benigna Prostat Hipertropi selalu terjadi pada orang tua, tetapi tak selalu disertai

gejala-gejala klinik, hal ini terjadi karena dua hal yaitu:

a. Penyempitan uretra yang menyebabkan kesulitan berkemih.

b. Retensi urin dalam kandung kemih menyebabkan dilatasi kandung kemih,

hipertrofi kandung kemih dan cystitis (Hidayat, 2009).

Adapun gejala dan tanda yang tampak pada pasien dengan Benigna Prostat

Hipertrofi:

a. Retensi urin (urine tertahan di kandung kemih, sehingga urin tidak bisa keluar).

b. Kurangnya atau lemahnya pancaran kencing.

c. Miksi yang tidak puas.

d. Frekuensi kencing bertambah terutama malam hari (nocturia).

e. Pada malam hari miksi harus mengejan.

f. Terasa panas, nyeri atau sekitar waktu miksi (disuria).

g. Massa pada abdomen bagian bawah.

h. Hematuria (adanya darah dalam urin).

i. Urgency (dorongan yang mendesak dan mendadak untuk mengeluarkan urin).

j. Kesulitan mengawali dan mengakhiri miksi.

k. Kolik renal (kerusakan renal, sehingga renal tidak dapat berfungsi).

l. Berat badan turun.

m. Anemia, kadang-kadang tanpa sebab yang diketahui.

n. Pasien sama sekali tidak dapat berkemih sehingga harus dikeluarkan dengan kateter.

Karena urin selalu terisi dalam kandung kemih, maka mudah sekali terjadi cystitis

dan selaputnya merusak ginjal (Arifiyanto, 2008).

Gejala generalisata juga mungkin tampak, termasuk keletihan, anoreksia, mual dan

muntah, dan rasa tidak nyaman pada epigastrik (Brunner & Suddarth, 2001).

Secara klinik derajat berat, dibagi menjadi 4 gradiasi, yaitu:

Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada DRE (colok dubur)

ditemukan penonjolan prostat dan sisa urine kurang dari 50 ml.

Derajat 2 : Ditemukan tanda dan gejala seperti pada derajat 1, prostat lebih menonjol,

batas atas masih teraba dan sisa urine lebih dari 50 ml tetapi kurang dari

100 ml.

Derajat 3 : Seperti derajat 2, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi dan sisa urin

lebih dari 100 ml.

Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi total.

F. Komplikasi

Menurut Arifiyanto (2008) komplikasi yang dapat terjadi pada hipertropi prostat adalah

:

1. Retensi kronik dapat menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis,

gagal ginjal.

2. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi pada waktu miksi.

3. Karena selalu terdapat sisa urin sehingga menyebabkan terbentuknya batu.

4. Hematuria.

5. Disfungsi seksual.

Kebanyakan prostatektomi tidak menyebabkan impotensi (meskipun prostatektomi

perineal dapt menyebabkan impotensi akibat kerusakan saraf pudendal yang tidak dapat

dihindari). Pada kebanyakan kasus, aktivitas seksual dapat dilakukan kembali dalam 6

sampai 8 Minggu, karena saat ini fossa prostatik telah sembuh. Setelah ejakulasi, maka

cairan seminal mengalir ke dalam kandung kemih dan diekskresikan bersama urin (Brunner

& Suddarth, 2001).

Komplikasi yang berkaitan dengan prostatektomi yaitu:

1. Hemoragi dan syok

2. Pembentukan bekuan / trobosis

3. Obstruksi kateter

4. Disfungsi seksual

(Smeltzer & Bare, 2000)

G. Penatalaksanaan

Modalitas terapi BPH adalah :

1. Observasi yaitu pengawasan berkala pada klien setiap 3-6 bulan kemudian setiap tahun

tergantung keadaan klien.

2. Medikamentosa : terapi ini diindikasikan pada BPH dengan Keluhan ringan, sedang,

sedang dan berat tanpa disertai penyulit. Obat yang digunakan berasal dari phitoterapi

(misalnya : Hipoxis rosperi, serenoa repens, dll), gelombang alfa blocker dan golongan

supresor androgen.

3. Indikasi pembedahan pada BPH adalah :

a. Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin akut (100 ml).

b. Klien dengan residual urin yaitu urine masih tersisa di kandung kemih setelah klien

buang air kecil > 100 Ml.

c. Klien dengan penyulit yaitu klien dengan gangguan sistem perkemihan seperti retensi

urine atau oliguria.

d. Terapi medikamentosa tidak berhasil.

e. Flowmetri menunjukkan pola obstruktif.

Pembedahan dapat dilakukan dengan :

1. TURP (Trans Uretral Reseksi Prostat).

a. Jaringan abnormal diangkat melalui rektroskop yang dimasukan melalui uretra.

b. Tidak dibutuhkan balutan setelah operasi.

c. Dibutuhkan kateter foley setelah operasi.

2. Prostatektomi Suprapubis

a. Penyayatan perut bagian bawah dibuat melalui leher kandung kemih.

b. Diperlukan perban luka, drainase, kateter foley, dan kateter suprapubis setelah

operasi.

3. Prostatektomi Neuropubis

a. Penyayatan dibuat pada perut bagian bawah.

b. Tidak ada penyayatan pada kandung kemih.

c. Diperlukan balutan luka, kateter foley, dan drainase.

4. Prostatektomi Perineal

a. Penyayatan dilakukan diantara skrotum dan anus.

b. Digunakan jika diperlukan prostatektomi radikal.

c. Vasektomi biasanya dikakukan sebagai pencegahan epididimistis.

d. Persiapan buang hajat diperlukan sebelum operasi (pembersihan perut, enema, diet

rendah sisa dan antibiotik).

e. Setelah operasi balutan perineal dan pengeringan luka (drainase) diletakan pada

tempatnya kemudian dibutuhkan rendam duduk.

Pada TURP, prostatektomi suprapubis dan retropubis, efek sampingnya dapat meliputi:

1. Inkotenensi urinarius temporer

2. Pengosongan urine yang keruh setelah hubungan intim dan kemandulan sementara

(jumlah sperma sedikit) disebabkan oleh ejakulasi dini kedalam kandung kemih.

H. Pengkajian Fokus

Dari data yang telah dikumpulkan pada pasien dengan BPH : Post Prostatektomi dapat

penulis kelompokkan menjadi:

1. Data subyektif :

a. Pasien mengeluh sakit pada luka insisi, karakteristik luka, luka berwarna merah.

b. Pasien mengatakan tidak bisa melakukan hubungan seksual.

c. Pasien selalu menanyakan tindakan yang dilakukan.

d. Pasien mengatakan buang air kecil tidak terasa.

2. Data Obyektif:

a. Terdapat luka insisi, karakteristik luka berwarna merah.

b. Takikardia, normalnya 80-100 kali/menit.

c. Gelisah.

d. Tekanan darah meningkat, normalnya 120/80 mmHg.

e. Ekspresi wajah ketakutan.

f. Terpasang kateter.

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan laboratorium

Analisis urine dan pemeriksaan mikroskopis urin penting untuk melihat adanya sel

leukosit, bakteri, dan infeksi. Bila terdapat hematuria, harus diperhitungkan etiologi

lain seperti keganasan pada saluran kemih, batu, infeksi saluran kemih, walaupun

BPH sendiri dapat menyebabkan hematuria. Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin

darah merupakan informasi dasar dan fungsi ginjal dan status metabolik. Pemeriksaan

Prostat Specific Antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan perlunya biopsi

atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai SPA < 4mg / ml tidak perlu biopsy.

Sedangkan bila nilai SPA 4–10 mg / ml, hitunglah Prostat Spesific Antigen Density

(PSAD) yaitu PSA serum dibagi dengan volume prostat. Bila PSAD > 0,15 maka

sebaiknya dilakukan biopsi prostat, demikian pula bila nilai PSA > 10 mg/ml.

b. Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah foto polos abdomen, pielografi intravena,

USG dan sitoskopi. Dengan tujuan untuk memperkirakan volume BPH, menentukan

derajat disfungsi buli–buli dan volume residu urine, mencari kelainan patologi lain,

baik yang berhubungan maupun yang tidak berhubungan dengan BPH.

Dari semua jenis pemeriksaan dapat dilihat:

1). Dari foto polos dapat dilihat adanya batu pada batu traktus urinarius,

pembesaran ginjal atau buli – buli.

2). Dari pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal,

hidronefrosis dan hidroureter, fish hook appearance (gambaran ureter belok –

belok di vesika).

3). Dari USG dapat diperkirakan besarnya prostat, memeriksa masa ginjal,

mendeteksi residu urine, batu ginjal, divertikulum atau tumor buli – buli (Arif

Mansjoer, 2000).

c. Pemeriksaan Diagnostik.

1). Urinalisis : warna kuning, coklat gelap, merah gelap / terang, penampilan keruh, Ph

: 7 atau lebih besar, bakteria.

2). Kultur Urine : adanya staphylokokus aureus, proteus, klebsiella, pseudomonas, e.

coli.

3). BUN / kreatinin : meningkat.

4). IVP : menunjukan perlambatan pengosongan kandung kemih dan adanya

pembesaran prostat, penebalan otot abnormal kandung kemih.

5). Sistogram : mengukur tekanan darah dan volume dalam kandung kemih.

6). Sistouretrografi berkemih : sebagai ganti IVP untuk menvisualisasi kandung kemih

dan uretra dengan menggunakan bahan kontras lokal.

7). Sistouretroscopy : untuk menggambarkan derajat pembesaran prostat dan kandung

kemih.

8). Transrectal ultrasonografi : mengetahui pembesaran prosat, mengukur sisa urine

dan keadaan patologi seperti tumor atau batu (R.Sjamsuhidayat, 2004).

I Pathways Keperawatan

Perubahan Usia (Usia Lanjut)

Ketidakseimbangan Produksi Estrogen dan Testoteron

Kadar Testosteron me Kadar Estrogen me

Mempengaruhi RNA dalam Inti Sel Hiperplasia Sel stroma Pada Jaringan

Proliferasi Sel Prostat Benigna Prostat Hiperplasia

Obtruksi Saluran Kemih yang Bermuara ke VU

Akumulasi Urine di VU

Peregangan VU

Melebihi Kapasitas

Penumpukan Urine

yang Lama di VU

Refluk Urine

ke Ginjal

Perkembangan

Mikroorganisme

Gagal Ginjal

KronikResiko Infeksi

Tindakan Trup Insisi

Post Op

Luka Insisi

Pemasangan Kateter Sistem Irigasi Jaringan Terbuka Saraf Terputus

Resiko

Disfungsi Seksual

Nyeri

Nyeri

Selang Tidak Adekuat

Perubahan Pola Eliminasi

Resiko

InfeksiResiko Inkontinensia Urine

Resiko

Infeksi

J. Fokus Intervensi Dan Rasional

1. Gangguan rasa nyaman: nyeri suprapubik berhubungan dengan spasme otot spincter.

a. Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang

b. Kriteria hasil:

Secara verbal pasien mengungkapkan nyeri berkurang atau hilang

Pasien dapat beristirahat dengan tenang.

c. Intervensi:

1) Monitor dan catat adanya rasa nyeri, lokasi, durasi dan faktor pencetus serta

penghilang nyeri.

Rasional : Memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan pilihan atau

keefektifan intervensi.

2) Observasi tanda-tanda non verbal nyeri (gelisah, kening mengkerut, peningkatan

tekanan darah dan denyut nadi).

Rasional : memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan keefektifan

dalam menentukan pilihan atau keefektifan intervensi.

3) Beri kompres hangat pada abdomen terutama perut bagian bawah.

Rasional : Untuk meningkatkan relaksasi otot.

4) Anjurkan pasien untuk menghindari stimulan (kopi, teh, merokok, abdomen

tegang).

Rasional : Untuk menurunkan spasme kandung kemih.

5) Atur posisi pasien senyaman mungkin, ajarkan teknik relaksasif.

Rasional : Meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian dan dapat

meningkatkan kemampuan koping.

6) Lakukan perawatan aseptik terapeutik.

Rasional : untuk mengurangi resiko infeksi.

7) Laporkan pada dokter jika nyeri meningkat.

Rasional : Pembesaran prostat dapat terjadi dengan hilangnya sebagian kelenjar.

d. Pengertian Nyeri

Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan

akibat dari kerusakan jaringan yang actual dan potensial. Nyeri adalah alasan utama

orang untuk mencari bantuan perawatan kesehatan. Nyeri didefinisikan sebagai

apapun yang menyakiti tubuh, yang dikatakan individu yang mengalaminya, kapanpun

individu mengatakannya (Smeltzer, 2001).

Nyeri dibagi menjadi dua, yaitu nyeri akut dan nyeri kronik. Nyeri akut

adalah keadaan dimana individu mengalami rasa ketidak nyamanan yang hebat atau

sensasi tidak menyenangkan selama kurang lebih 6 bulan. (Carpenito, 2000).

Nyeri kronik yaitu suatu keadaan dimana seorang individu mengalami nyeri

yang menetap yang berlangsung lebih dari 6 bulan (Carpenito, 2000)

Batasan krakteristik nyeri yang meliputi data mayor dan data minor. Data

mayor berupa komunikasi verbal dan non verbal tentang gambaran nyeri, wajah

meringis melindungi daerah yang sakit, gelisah, perilaku distraksi (meringis dan

menangis). Untuk data minor berupa perubahan pada tonus otot, respon autonomic

seperti diaroresis, tekanan darah dan frekuensi nadi berubah, dilatasi pupil,

peningkatan atau penurunan frekuensi pernafasan (Trucker, 1998)

Standar skala nyeri menurut Long, 1996 adalah 0–10 dimana 0–3 adalah

nyeri ringan, 4–6 adalah nyeri sedang, dan 7-10 adalah nyeri berat.

2. Perubahan pola eliminasi urine: retensi urin berhubungan dengan obstruksi sekunder.

a. Tujuan : Tidak terjadinya retensi urine

b. Kriteria hasil :

Pasien dapat buang air kecil teratur bebas dari distensi kandung kemih.

Menunjukan residu pasca berkemih kurang dari 50 ml, dengantak adanya

tetesan/kelebihan.

c. Intervensi :

1) Lakukan irigasi kateter secara berkala atau terus- menerus dengan teknik steril.

Rasional : Menghindari terjadinya gumpalan yang dapat menyumbat kateter,

menyebabkan peregangan dan perdarahan kandung kemih.

2) Atur posisi selang kateter dan urin bag sesuai gravitasi dalam keadaan tertutup.

Rasional : Untuk mencegah peningkatan tekanan pada kandung kemih.

3) Observasi adanya tanda-tanda shock/hemoragi (hematuria, dingin, kulit lembab,

takikardi, dispnea).

Rasional : Untuk mencegah komplikasi berlanjut.

4) Mempertahankan kesterilan sistem drainage cuci tangan sebelum dan sesudah

menggunakan alat dan observasi aliran urin serta adanya bekuan darah atau

jaringan.

Rasional : Pemberi perawatan menjadi penyebab terbesar infeksi nosokomial.

Kewaspadaan umum melindungi pemberi perawatan dan pasien.

5) Monitor urine setiap jam (hari pertama operasi) dan setiap 2 jam (mulai hari kedua

post operasi).

Rasional : Cairan membantu mendistribusikan obat-obatan ke seluruh tubuh. Risiko

terjadinya ISK dikurangi bila aliran urine encer konstan dipertahankan melalui

ginjal.

6) Ukur intake output cairan.

Rasional : Menjamin keamanan untuk membantu penyembuhan pascaoperasi.

7) Beri tindakan asupan/pemasukan oral 2000-3000 ml/hari, jika tidak ada kontra

indikasi.

Rasional : Cairan membantu mendistribusikan obat-obatan ke seluruh tubuh. Risiko

terjadinya ISK dikurangi bila aliran urine encer konstan dipertahankan melalui

ginjal.

8) Berikan latihan perineal (kegel training) 15-20x/jam selama 2-3 minggu, anjurkan

dan motivasi pasien untuk melakukannya.

Rasional : Mengajarkan pasien bagaimana melakukannya sendiri.

d. Pengertian Perubahan Pola Eliminasi

Perubahan pola eliminasi urine adalah keadaan dimana seseorang individu

mengalami atau beresiko mengalami disfungsi eliminasi urine (Carpenito, 2000).

Batasan karakteristik pola eliminasi urine yang meliputi data mayor dan data

minor. Data mayor meliputi melaporkan atau mengalami masalah eliminasi urine

seperti doronngan berkemih, sering berkemih, keragu-raguan, nokturia, enuresis,

menetes, distensi kandung kemih, inkontinen,volume urine residu yang banyak

(Carpenito, 2000).

e. Pengertian Retensi Urine

Retensi urine adalah keadaan dimana individu mengalami suatu

ketidakmampuan kronik untuk berkemih diikuti oleh berkemih involunter (inkontinen

aliran berlebihan).

Batasan karakteristik retensi urine meliputi data mayor dan data minor. Data

mayor berupa distensi kandung kemih (tidak dihubungkan dengan akut, penyebab

dapat pulih), atau distensi kandung kemih dengan seringnya berkemih atau menetes (

inkontinen aliran berlebihan), residu urine 100 cc atau lebih. Untuk data minor berupa

individu mengatakan perasaan bahwa kandung kemihnya tidak kosong setelah

berkemih ( Carpenito, 2000).

3. Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan sumbatan saluran ejakulasi,

hilangnya fungsi tubuh.

a. Tujuan : Tidak terjadinya disfungsi seksual

b. Kriteria hasil :

Pasien menyadari keadaannya dan akan mulai lagi intaraksi seksual dan aktivitas

secara optimal.

c. Intervensi :

1. Motivasi pasien untuk mengungkapkan perasaannya yang berhubungan dengan

perubahannya.

Rasional : Memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan pilihan

atau keefektifan intervensi.

2. Jawablah setiap pertanyaan pasien dengan tepat.

Rasional : Untuk menginformasikan kondisi klien.

3. Beri kesempatan pada pasien untuk mendiskusikan perasaannya tentang efek

prostatektomi dalam fungsi seksual.

Rasional : Memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan pilihan

atau keefektifan intervensi.

4. Libatkan kelurga/istri dalam perawatan pmecahan masalah fungsi seksual.

Rasional : Memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan pilihan

atau keefektifan intervensi.

5. Beri penjelasan penting tentang:

a) Impoten terjadi pada prosedur radikal

b) Adanya kemungkinan fungsi seksual kembali normal

I. Adanya kemunduran ejakulasi.

Rasional : Memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan pilihan

atau keefektifan intervensi.

6. Anjurkan pasien untuk menghindari hubungan seksual selama 1 bulan (3-4

minggu) setelah operasi.

Rasional : Menjamin keamanan untuk membantu penyembuhan pascaoperasi.

d. Pengertian Disfungsi seksual

Disfungsi Seksual adalah keadaan dimana individu mengalami atau beresiko

mengalami suatu perubahan dalam fungsi seksual yang dipandang sebagai tidak

menguntungkan atau tidak adekuat (Carpenito, 2000).

Batasan karakteristik disfungsi seksual meliputi data mayor dan data minor.

Data mayor berupa pengungkapan masalah dengan fungsi seksual, melaporkan

pembatasan penampilan seksual yang disebabkan oleh penyakit atau terapi. Untuk data

minor berupa ketakutan keterbatasan yang akan datang pada penampilan seksual,

kesalahan informasi mengenai seksualitas, kurang pengetahuan mengenai seksualitas

dan fungsi seksual, konflik nilai nyang melibatkan ekspresi seksual (cultural, agama),

perubahan hubungandengan orang terdekat lainnya, ketidakpuasan dengan peran sek

(yang dirasakan atau actual) (Carpenito, 2000).

4. Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan port de entrée mikroorganisme melalui

kateterisasi, dan jaringan terbuka.

a. Tujuan : Tidak terjadinya infeksi

b. Kriteria hasil:

1. Tanda-tanda vital dalam batas normal

2. Tidak ada bengkak, aritema, nyeri

3. Luka insisi semakin sembuh dengan baik

c. Intervensi:

1. Lakukan irigasi kandung kemih dengan larutan steril.

Rasional : Gumpalan dapat menyumbat kateter, menyebabkan peregangan dan

perdarahan kandung kemih.

2. Observasi insisi (adanya indurasi drainage dan kateter), (adanya sumbatan,

kebocoran).

Rasional : Sumbatan pada selang kateter oleh bekuan dapat menyebabkan distensi

kandung kemih, dengan peningkatan spasme.

3. Lakukan perawatan luka insisi secara aseptik, jaga kulit sekitar kateter dan

drainage.

Rasional : Untuk mengurangi resiko infeksi.

4. Monitor balutan luka, gunakan pengikat bentuk T perineal untuk menjamin

dressing.

Rasional : Untuk mengurangi resiko infeksi.

5. Monitor tanda-tanda sepsis (nadi lemah, hipotensi, nafas meningkat, dingin).

Rasional : Deteksi awal terhadap komplikasi dengan intervensi yang tepat dapat

mencegah kerusakan jaringan yang permanen.

d. Pengertian Infeksi

Infeksi adalah invasi dan pembiakan mikroorganisme pada jaringan tubuh,

terutama yang menyebabkan cidera seluler local akibat kompetisi metabolism, toksin,

replikasi interna seluler ataupun antigen antibody (Kamus Kedokteran Dorland).

Resiko terhadap infeksi adalah keadaan dimana seseorang individu beresiko

terserang oleh agen patogenik (virus, jamur, bakteri, protozoa) dari sumber-sumber

eksternal, sumber eksogen atau endrogen (Carpenito, 2000).

Sedangkan menurut Kim (1995) menyatakan bahwa resiko tinggi infeksi

adalah suatu keadaan dimana individu mengalami peningkatan resiko infeksi untuk

terserang oleh bakteri patogen yang dikarenakan rusaknya jaringan dan meningkatkan

pemaparan terhadap lingkungan dan prosedur-prosedur invasif.

Faktor-faktor yang menyababkan resiko infeksi (Kim, 1995) adalah :

1) Tidak adekuatnya daya tahan tubuh (kulit luka, trauma jaringan, menurunnya aski

silia, cairan tubuh statis, perubahan pH, sekresi, perubahan peristaltik).

2) Tidak adekuatnya daya tahan sekunder tubuh (seperti menurunnya tingkat

hemoglobin, leukopeni, tertekannya respon imflomatori, immunosupresi).

3) Tidak adekuatnya kekebalan yang didapat.

4) Rusaknya jaringan dan meningkatnya pemaparan terhadap lingkungan.

5) Penyakit kronis.

6) Prosedur-prosedur invasif.

7) Malnutrisi.

8) Bahan-bahan farmasi yang menyebabkan trauma.

9) Ruptur selaput amnion.

10) Kurangnya pengetahuan untuk menghindari dari lingkungan yang pathogen.

5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi tentang penyakit,

perawatannya.

a. Tujuan : Pengetahuan pasien dapat meningkat

b. Kriteria hasil :

Secara verbal pasien mengerti dan mampu mengungkapkan dan mendemonstrasikan

perawatan

d. Intervensi :

1) Motivasi pasien/keluarga untuk mengungkapkan pernyataannya tentang penyakit.

Rasional : Memberikan informasi sejauh mana pengetahuan klien tentang penyakit

yang dialami.

2) Berikan pendidikan pada pasien/keluarga tentang:

a) Perawatan lsuka, pemberian nutrisi, cairan irigasi, kateter

b) Perawatan di rumah, adanya tanda-tanda hemoragi.

Rasional : Memberikan informasi kepada klien/keluarga klien cara perawatan

pasca operasi.

6. Anxietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan, salah interpretasi informasi, tidak

mengenal sumber informasi, ditandai dengan :

Gelisah, Informasi kurang

a. Tujuan : Tidak terjadinya ansietas.

b. kriteria hasil :

1) Klien tidak gelisah.

2) Tampak rileks

c. Intervensi :

1) Kaji tingkat anxietas.

Rasional : Mengetahui tingkat anxietas yang dialami klien, sehingga memudahkan

dalam memberikan tindakan selanjutnya.

2) Observasi tanda-tanda vital.

Rasional : Indikator dalam mengetahui peningkatan anxietas yang dialami klien.

3) Berikan informasi yang jelas tentang prosedur tindakan yang akan dilakukan.

Rasional : Mengerti/memahami proses penyakit dan tindakan yang diberikan.

4) Berikan support melalui pendekatan spiritual.

Rasional : Agar klien mempunyai semangat dan tidak putus asa dalam menjalankan

pengobatan untuk penyembuhan.