jtptiain-gdl-s1-2004-mohizzuddi-1567-bab3_419-4

15
30 BAB III KELUARGA BERENCANA DALAM PANDANGAN ISLAM DAN KRISTEN KATOLIK A. Keluarga Berencana dalam Pandangan Islam Sebelum kita berbicara tentang keluarga berencana secara tepat, lebih dahulu kita tinjau apa arti dan tujuan perkawinan, disini pengertian perkawinan bisa diartikan bermacam-macam, tetapi maksud dan tujuan sama. Adapun pengertian perkawinan antara lain : 1) Perkawinan bisa diartikan sebagai pembentukan keluarga yang mendasar dalam Islam dengan syarat atas persetujuan sukarela si istri. 1 2) Perkawinan juga diartikan suatu ikatan janji suci, lahir, batin, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (keimanan) antara seorang pria dan wanita untuk hidup berumah tangga. 2 3) Perkawinan juga diartikan suatu akad untuk menghalalkan hubungan kelamin antara pria dan wanita dengan tujuan untuk membentuk rumah tangga dalam memakmurkan bumi Allah yang luas ini. 3 4) Al-Qur’an menyebut perkawinan sebagai perjanjian yang kuat (milsaq ghalsih) dalam surat An-Nisa 21. AYAT Artinya : “Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”. (QS. An-Nisa’ : 21) 4 1 Hadari Nawawi, Keluarga Berencana dipandang dari sudut Islam, Biro Penerangan dan Motivasi, BKKBN, hlm 21 2 Ahmad Suyuti, Keluarga Berencana dipandang dari Hukum Islam, BKKBN, Jakarta, 1996, hlm 20 3 Moh. Dahlan, Keluarga Berncana dipandang dari Sudut Islam, Biro Penerangan dan Motivasi, BKKBN, 1997, hlm 26 4 Departemen Agama RI, AL QURAN DAN TERJEMAHANNYA, Madinah, Mujamma, Al Malik, Fattibai, Mushaf As Syarik, hlm 120

Upload: asriatun

Post on 07-Dec-2015

215 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

mahizzudi

TRANSCRIPT

Page 1: jtptiain-gdl-s1-2004-mohizzuddi-1567-bab3_419-4

30

BAB III

KELUARGA BERENCANA DALAM PANDANGAN

ISLAM DAN KRISTEN KATOLIK

A. Keluarga Berencana dalam Pandangan Islam

Sebelum kita berbicara tentang keluarga berencana secara tepat,

lebih dahulu kita tinjau apa arti dan tujuan perkawinan, disini pengertian

perkawinan bisa diartikan bermacam-macam, tetapi maksud dan tujuan sama.

Adapun pengertian perkawinan antara lain :

1) Perkawinan bisa diartikan sebagai pembentukan keluarga yang

mendasar dalam Islam dengan syarat atas persetujuan sukarela si

istri. 1

2) Perkawinan juga diartikan suatu ikatan janji suci, lahir, batin,

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (keimanan) antara

seorang pria dan wanita untuk hidup berumah tangga.2

3) Perkawinan juga diartikan suatu akad untuk menghalalkan

hubungan kelamin antara pria dan wanita dengan tujuan untuk

membentuk rumah tangga dalam memakmurkan bumi Allah

yang luas ini. 3

4) Al-Qur’an menyebut perkawinan sebagai perjanjian yang kuat

(milsaq ghalsih) dalam surat An-Nisa 21. AYAT

Artinya : “Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari

kamu perjanjian yang kuat”. (QS. An-Nisa’ : 21) 4

1 Hadari Nawawi, Keluarga Berencana dipandang dari sudut Islam, Biro Penerangan dan Motivasi, BKKBN, hlm 21

2 Ahmad Suyuti, Keluarga Berencana dipandang dari Hukum Islam, BKKBN, Jakarta, 1996, hlm 20

3 Moh. Dahlan, Keluarga Berncana dipandang dari Sudut Islam, Biro Penerangan dan Motivasi, BKKBN, 1997, hlm 26

4 Departemen Agama RI, AL QURAN DAN TERJEMAHANNYA, Madinah, Mujamma, Al Malik, Fattibai, Mushaf As Syarik, hlm 120

Page 2: jtptiain-gdl-s1-2004-mohizzuddi-1567-bab3_419-4

31

31

5) Perkawinan juga diartikan sebagai lembaga mendasar bagi pembentukan keluarga, disini yang dimaksud keluarga adalah suatu akad yang khidmat dan bukan pengaturan sambil lalu.

Oleh karena itu perkawinan sebagai tanggung jawab yang khidmat,

harus direncanakan dengan tujuan khusus untuk memastikan kemampuan

seorang lelaki dalam mengurusi istri dan rumah tangga, dan kemampuan

pasangan tersebut dalam membesarkan anak agar menjadi warga yang takwa,

terdidik, berakhlak baik, berguna bagi agama, nusa, dan bangsa.

Islam sendiri tidak sampai menjadikan perkawinan sebagai sesuatu

yang diwajibkan, karna bila tidak mampu melaksanakan perkawinan,

perkawinan harus ditunda, sebagaimana dalam Al-Quran disebutkan :

AYAT Artinya : “Dan orang-orang yang tidak mampu kawin, hendaklah menjaga

kesucian (dirinya) sehingga Allah memampukan mereka dengan karunianya”. (QS. An-Nur : 33) 5

AYAT

Artinya : “Wahai para pemuda barang siapa diantara kamu yang dapat menanggung seorang istri dan rumah tangga, hendaklah ia kawin, karena perkawinan menjauhkan kamu dari melihat dengan nafsu kepada perempuan dan menjaga kamu dari zina, maka diantara kamu yang tidak sanggup, hendaklah ia berpuasa, karena puasa merupakan sarana untuk merendahkan nafsu”. (Disepakati oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud) 6

5 Ibid, hlm 549 6 Abd, Al, Rahim Umran, Islam dan KB, PT. Lentera Basritama, cet 1, Jakarta, 1997,

hlm 5-9

Page 3: jtptiain-gdl-s1-2004-mohizzuddi-1567-bab3_419-4

32

32

Di dalam perkawinan suami dan istri adalah unsur pokok dalam

pembentukan keluarga, hubungan mereka dalam perkawinan digambarkan

dalam Al-Qur’an sebagai dua kualitas pokok, cinta (birahi, persahabatan,

pertemanan) di satu sisi perkawinan sebagai rahmah (pengertian, kedamaian,

toleransi dan saling memaafkan).

Perkawinan juga bertujuan memenuhi hajat insani (sexual need)

agar tersalur secara sah dan wajar, terhormat, untuk mendapatkan keturunan 7

Di sisi lain dalam tujuan perkawinan yang menyeluruh berupa

ketentraman, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran :

AYAT

Artinya : “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan

untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan dijadikan-Nya diantara kamu kasih dan sayang”. (QS. Ar-Rum : 21) 8

Ketentraman adalah tujuan umum perkawinan yang lebih adil,

karena semua pasangan dapat mencapai ketentraman, tetapi tidak semua

pasangan mempunyai kesuburan, perkembangbiakan juga sangat penting bagi

pemeliharaan umat manusia, sebagaimana disebutkan dalam ayat Al-Quran :

AYAT Artinya : “Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenismu sendiri dan

menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu”. (QS. An-Nahl : 72) 9

7 Dahlan A. Saleh, Pokok-pokok Pemikiran Tentang Islam dan Keluarga Berencana,

PKBI, hlm 8-9 8 Departemen Agama RI, Op-cit, hlm 644 55 Ibid, hlm 412

Page 4: jtptiain-gdl-s1-2004-mohizzuddi-1567-bab3_419-4

33

33

Perkembangbiakan merupakan harapan dalam perkawinan, tapi tidak

merupakan tujuan eksklusif, namun apabila perkembangbiakan terjadi, hal itu

harus mendukung dan membela ketentraman ketimbang menghancurkannya.

10

Islam sebagai agama yang bertujuan mengatur kehidupan umatnya,

Islam harus mendukung perencanaan itu terlihat jelas dalam banyak cara.

Al-Qur’an selalu menekankan bahwa segala sesuatu telah diciptakan

menurut rencana atau hokum sebagaimana dalam surat Al-Qomar : 49.

AYAT Artinya : “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut

hukum”. (QS. Al-Qomar : 49) 11

Begitu juga dalam perkawinan kita harus merencanakan segala

sesuatu yang berkaitan dengan masalah keluarga misal jumlah anak yang

diinginkan, pendidikan, maupun kebutuhan ekonomi, dll, harus disesuaikan

dengan kemampuan keluarga untuk mencukupinya. 12

Islam sendiri berpandangan bahwa keluarga berencana bertujuan

untuk kemaslahatan / kesejahteraan keluarga khususnya dan masyarakat pada

umumnya. Sedangkan tujuan yang dimaksud untuk kemaslahatan /

kesejahteraan dibenarkan oleh Islam. 13

Sedangkan yang dimaksud kemaslahatan / kesejahteraan bukanlah

kesejahteraan yang bersifat material belaka, atau jasmaniah melainkan

kemaslahatan yang bersifat rohaniah diniyah, kalau kemaslahatan yang

bersifat duniawi sudah ditakuti, apalagi kemaslahatan ukhrowi harus lebih

ditakuti, sebab tidak ada kesengsaraan yang lebih celaka daripada

kesengsaraan yang bersifat ukhrowi.

10 Abd. Al Rahman Umran, Op-cit, hlm 4-5 11 Departemen Agama RI, Op-cit, hlm 804 12 LKKNU dan BKKBN, membina kemaslahatan keluarga, hlm 88 59 BKKBN, Umat Islam dan Gerakan KB, hlm. 55

Page 5: jtptiain-gdl-s1-2004-mohizzuddi-1567-bab3_419-4

34

34

Adapun kemaslahatan yang dikehendaki adalah seimbang diantara

segi, baik segi moril, materiil, ataupun segi mental spiritual, kemaslahatan itu

harus menyeluruh meliputi; orang tua, anak, serta kemampuannya

berlangsung didasarkan atas keseimbangan antara hak dan kewajiban, baik

hak dan kewajibannya diri pribadi, dan masyarakat, maupun hak dan

kewajibannya terhadap Allah SWT, oleh karena itu merencanakan keluarga

dan anak untuk dipersiapkan sebagai generasi penerus itu sangatlah penting. 14

Dalam mengikuti Keluarga Berencana harus disertai dengan niat,

karena niat dalam Islam mempunyai peranan sangat penting, niat yang

dimaksud hanya ditujukan semata-mata untuk kesejahteraan lahir dan batin,

dan meningkatkan taraf hidup demi masa depan yang lebih cerah, bukan

karena takut terhadap keterbatasan ekonomi, atau takut karena tidak dapat

makan maupun yang lainnya.

Oleh sebab itu semua pasangan muslim setiap saat, setiap waktu

dianjurkan untuk menjarangkan kelahiran anak karena penyusuan dengan

susu ibu dianjurkan oleh Al-Quran dalam surat Al-Baqarah : 233

AYAT Artinya : “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun

penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf, seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya, janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin

14 Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama dan BKKBN, Jakarta, 1982,

hlm 17-18

Page 6: jtptiain-gdl-s1-2004-mohizzuddi-1567-bab3_419-4

35

35

menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah melihat apa yang kamu kerjakan”. 15

Dari ayat ini bisa kita pahami, bahwa masa menyusui adalah dua

tahun, apabila seorang ibu mengandung lagi pada masa dua tahun itu, berarti

seorang ibu akan memikul beban yang sangat berat, baik fisik maupun

mental, secara fisik seorang ibu yang mengandung memerlukan tambahan-

tambahan gizi agar dapat memelihara daya tahan jasmaniahnya dan juga

untuk menjaga kesehatan janin yang dikandungnya. Di samping itu bila

sekaligus menyusui anak tetapi seorang ibu sudah mengandung lagi, sebab zat

makanan dibagi dua antara bayi dengan janin yang dikandungnya.

Selain jarak kelahiran harus diatur, jumlah anak perlu direncanakan

sebaik-baiknya, oleh sebab itu apabila seorang ibu mengandung pada masa

permulaan akan mengalami gejala kelainan pada mentalnya, misal merasa

jijik dan benci terhadap sesuatu yang seharusnya tidak perlu. Oleh karena itu

ayat di atas menunjukkan sesuatu pengertian yang tersirat yaitu masa dua

tahun sesudah kelahiran adalah masa ibu menyusui, sehingga diatur suatu

ihtiar agar selama masa tersebut ibu tidak mengandung lagi yakni untuk

menjaga kesehatan rohaniah dan jasmaniahnya baik untuk ibu maupun

anaknya 16

Secara umum dapat kita katakan bahwa persetujuan kalangan ulama

kepada pencegahan kehamilan (untuk mengatur jarak kelahiran) dalam

program keluarga berencana bergantung pada Illat (alasan hukum) tindakan

itu. Disamping pada metode KB itu sendiri, mengenai alasannya ulama,

bertolak dari dua batasan kepada program keluarga berencana ; pertama,

program KB merupakan upaya membatasi kelahiran akibat kekhawatiran

akan keterbatasan ekonomi, takut tidak dapat makan, miskin, dan kedua, KB

15 Departemen Agama RI, Op-cit, hlm 24 16 Syukri Ghozali, Keluarga Sakinah ditinjau dari Aspek Iman dan Ibadah,

BKKBN, cet ke III, 1984, hlm 12

Page 7: jtptiain-gdl-s1-2004-mohizzuddi-1567-bab3_419-4

36

36

sebagai ihtiar mengatur kelahiran dengan tujuan utama untuk meningkatkan

kesehatan dan kesejahteraan ibu dan anak. 17

Dari dua batasan diatas, kemudian lahir berbagai pandangan diantara

para ulama, mengenai boleh tidaknya melaksanakan program keluarga

berencana :

1) Golongan yang menolak keras terhadap KB, bersandar pada alasan

pertama yakni, pembatasan kelahiran karna takut keterbatasan sumber-

sumber ekonomi. Ini tidak sesuai dengan ayat Al-Quran yang

menyatakan:

AYAT

Artinya : Janganlah kamu membunuh anak-anak kamu sendiri karna takut kelaparan, kamilah yang memberi rizki kepada mereka itu dan kepada kamu sungguh membunuh mereka itu suatu dosa yang besar. (Bani Israil 31) 18

Al-Quran surat Hud ayat 6

AYAT

Artinya : Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah yang memberi rizki dan doa mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya, semua tertulis dalam kitab yang nyata. (Ijuh Mahfudz) 19

Dengan kata lain orang yang menjalankan keluarga berencana

dikarnakan takut kekurangan sumber-sumber ekonomi, itu tidak sesuai

dengan ayat Al-Quran diatas, karna semua rizki yang didapat oleh semua

makhluk yang ada di bumi, Allah-lah yang memberi rizkinya, sehingga orang

yang menjalankan program keluarga berencana karna takut kekurangan

63 Usep, Fathuddin, Umat Islam dan Gerakan Keluarga Berencana di Indonesia,

BKKBN dan Depag, Jakarta, 1990. hlm 39 64 Departemen Agama RI, Op-cit, hlm 428 65 Departemen Agama RI, Op-cit, hlm 327

Page 8: jtptiain-gdl-s1-2004-mohizzuddi-1567-bab3_419-4

37

37

sumber-sumber ekonomi, itu bisa ditafsirkan sebagai kehilangan kepercayaan

terhadap Allah SWT yang mengatur rezki segenap makhluk.

Kecaman kepada rasa takut akan ketiadaan rezki Allah yang banyak

terdapat dalam Al-Quran dalam masalah perkawinan juga dimuat dalam

Hadist Nabi :

AYAT

Artinya : “Barang siapa menghindari penikahan karna takut beban keluarga ia bukan golongan kita.”

Di kalangan ulama juga terdapat berbagai pandangan tentang tujuan

perkawinan, karna perkawinan sebagai sarana untuk menurunkan anak cucu

sebanyak-banyaknya, untuk itu biasanya dibawakan hadist-hadist berikut :

AYAT

Artinya: “Hendaklah kamu kawin mengawini dan melahirkan, sesungguhnya aku banggakan kamu di hadapan segala umat kelak di hari kiamat.”

AYAT

Artinya : “Wanita hitam yang subur lebih baik dari wanita cantik yang tidak beranak.”

Page 9: jtptiain-gdl-s1-2004-mohizzuddi-1567-bab3_419-4

38

38

Oleh karna itu, Syaikh saisut, tidak dapat menerima KB yang

ditekankan pada tandidun Nas yang sudah diketahui, memutuskan keturunan

manusia atau hanya menginginkan jumlah tertentu. 20

2) Golongan yang menerima ide KB bersandar pada batasan program

keluarga berencana yang kedua, KB sebagai ihtiar mengatur kelahiran

dengan tujuan utama meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan ibu dan

anak, baik kesejahteraan ekonomi maupun kesejahteraan pendidikan

yang diberikan kepada anak-anak sebagaimana sabda Rasulullah SAW :

AYAT Artinya : “Waktu bertemu dengan Tuhan, tidak ada dosa yang paling besar di

bawa kecuali keluarganya bodoh”. (al-Hadits) 21

Kalau melihat sabda Rasulullah diatas, di hari kiamat para pemimpin

umat (Nabi) berlomba-lomba dalam banyaknya pengikut, tetapi jangan

sampai terlupakan dengan banyaknya keturunan sehingga lupa kewajiban

untuk mendidik anak sesuai kewajibannya. 22

Adapun untuk mencapai status keluarga sakinah maka kesejahteraan

keluarga tidak hanya mencakup kekayaan harta tetapi kesejahteraan rohani.

Islam menekankan prinsip keseimbangan antara aspek fisik dan mental.

Gagasan kesejahteraan keluarga berhubungan erat dengan usaha-

usaha untuk meningkatkan kesejahteraan (kualitas) anak keturunannya dan

jangan sekali-kali meninggalkan anak keturunan yang lemah sebagaimana

ayat Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 9 :

AYAT

20 Usep Fathuddin, Op-cit, hlm 40 21 Abd. Al Rahim Umran, Op-cit, hlm 114 22 Agama dan Keluarga Berencana, Orientasi Course, Keluarga Berencana, Depag,

1972, hlm 8-9

Page 10: jtptiain-gdl-s1-2004-mohizzuddi-1567-bab3_419-4

39

39

Artinya : “Dan hendaklah takut kepada Allah orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka oleh sebab itu hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”. (QS. An-Nisa’ : 9) 23

Oleh sebab itu ide keluarga berencana dapat diterima dan merupakan

tujuan daripada keluarga berencana itu sendiri.

B. Keluarga Berencana dalam Pandangan Krsiten Katolik

Sebelum kita berbicara tentang keluarga berencana dalam pandangan

Kristen Katolik, kita tinjau apa arti dan tujuan perkawinan. Arti daripada

perkawinan antara lain :

1) Perkawinan bisa diartikan suatu persekutuan cinta antar dua pribadi, dan

segala kemampuannya kepada satu sama lain untuk selama-lamanya.

(lihat pedoman hal. 20 No. 9) 24

2) Perkawinan juga diartikan hubungan antar dua pribadi pria dan wanita,

yang erat dan intim, di mana mereka berdua saling merupakan patner

dalam menempuh kehidupan ini. 25

Dalam perkawinan yang terpenting ialah saling cinta mencintai,

saling menghormati dan saling menerima supaya sampai kesatuan hati dan

cita-cita.

Namun terwujudnya perkawinan bukanlah semata-mata inisiatif dan

usaha mereka berdua saja, Allah yang sebenarnya menggerakkan hati-hati

mereka untuk mengadakan pesekutuan cinta untuk membentuk keluarga

maka dapat kita katakan bahwa perkawinan yang mengadakan dan

mendirikan juga adalah Tuhan Allah.

Beliau memberikan tugas yang harus dilaksanakan suami istri dalam

perkawinan, serta menggerakkan tujuan yang harus mereka laksanakan dalam

perkawinan.

23 Departemen Agama RI, Op-cit, hlm 47 24 FW Rintang, Op-cit, hlm 20 25 Romo Hadiwikarta, Op-cit, hlm 6-7

Page 11: jtptiain-gdl-s1-2004-mohizzuddi-1567-bab3_419-4

40

40

Sabda Allah dalam kitab suci beberapa kali yang bertunangan dan

yang kawin di desak supaya menempuh dan mengembangkan hubungan

mereka dengan cinta perkawinan yang murni serta kasih sayang yang utuh

dan tak terbagi. (GS. No. 49 . 1)

Allah sendiri menganggap cinta ini pantas di anugerahi rahmat dan

cinta kasih, cinta yang serupa yang memadukan cinta insani, cinta Ilahi, yang

mendorong suami istri mau menyerahkan diri dengan bebas dan sukarela.

Pemberian yang disertai kasih sayang yang mesra serta tindakan

yang halus, cinta ini diungkapkan dan disempurnakan dengan cara yang luas

sekali, melalui tindakan perkawinan dengan dipersatukan secara mesra dan

murni.

Suami istri adalah dengan tindakan-tindakan yang luhur dan pantas,

namun tujuan perkawinan tidak hanya hubungan antara pria dan wanita tapi

juga untuk melahirkan dan mendidik anak yang merupakan hasil mereka

berdua dalam perkawinan, sekaligus sebagai pengikat cinta mereka. Perkawinan dan cinta perkawinan pada hakekatnya ditujukan untuk

melahirkan dan mendidik anak, anak sesungguhnya merupakan anugerah

tertinggi dalam perkawinan dan pada hakekatnya membantu banyak bagi

kesejahteraan orang tua mereka. 26

Allah sendiri bersabda: “Tidak baiklah kalau laki-laki berada

sendirian (Kej: 2: 18)27 dan manusia menghendaki agar turut serta mengambil

bagian istimewa di dalam kerja penciptaanya telah memberkati laki-laki dan

perempuan (Mat : 19 : 14) 28. Bertumbuhlah dan berkembangbiaklah (Kej. 1 :

28) (GS : 50 : 1). 29

Oleh karena itu dalam perkawinan Katolik dianjurkan adanya

planing, rencana, rundingan, antara suami istri dalam menentukan kebijakan

dalam mendidik anak karena anak yang dianugerahkan harus dididik agar

26 Dianne Birgan (Sadan Robbert) Korris OFM, Tafsir Al Kitab Perjanjian Lama,

Kanisius Yogyakarta, 2002, hlm 30 27 The Guidens International, Perjanjian Baru, Cisuar Bogor, 1988, hlm 54 28 Al Kitab, Lembaga Al Kitab Indonesia, Jakarta, 1965, hlm 8 29 Romo Hadiwikarta, Op-cit, hlm 7

Page 12: jtptiain-gdl-s1-2004-mohizzuddi-1567-bab3_419-4

41

41

kelak menjadi orang yang dewasa, yang dapat berdiri sendiri, penuh tanggung

jawab terhadap sesamanya, karna dengan perkawinan ayah diangkat sebagai

patner pembantu Allah dalam mengadakan dan membesarkan anak itu hingga

menjadi dewasa.

Dengan tidak mengurangi arti dan tujuan perkawinan dalam praktek

sebenarnya, cinta perkawinan serta seluruh arti kehidupan keluarga yang

merupakan hasil mereka, mempunyai tujuan agar pasangan itu siap sedia

dengan hati yang berani, bekerja sama dengan cinta Sang Pencipta dan

penebus dengan perantaraan mereka hendak memperluas dan memperkaya

keluarganya dari hari ke hari. (GS : 50 ; 1) 30

Dalam Nats kejadian 1: 28 sering disebut dan ditafsirkan seolah-olah

suatu perintah dari Allah kepada Adam dan Hawa yaitu supaya dapat anak

sebanyak-banyaknya.31 Tafsiran yang lain adalah bersangkutan dengan nats-

nats sebelumnya yaitu kitab kejadian 1 ayat 26 s/d 27 di mana Allah

menciptakan menurut gambarannya. Sekarang Allah memberi mandat kepada

Adam dan Hawa untuk menjalankan prokresi (menciptakan keturunan). 32

Adapun fungsi sexual dipercayakan kepada mereka berdua dengan

kata lain menciptakan keluarga secara tanggung jawab “penuhilah bumi”

pada waktu dunia sudah penuh artinya perkawinan itu menghasilkan apa yang

disebut keturunan. Namun hanya dalam ketentuan bahwa ia dihasilkan untuk

menjadi kesaksian tentang hasil Allah

Kehadiran di dunia harus disadari dalam arti tanggung jawab dalam

mengemban tugas-tugas yang diperintahkan dalam memelihara dan mengolah

alam, ciptaan yang Allah berikan kepada manusia dari generasi ke generasi

(Kej : 2 : 15) 33

Tetapi tujuan perkawinan bukanlah semata-mata beranak cucu,

berlangsungnya keturunan belaka, tujuan perkawinan diharapkan agar

30 FW Raintung, Penyembalaan Pernikahan dalam rangka Keluarga yang

bertanggung jawab, BKKBN, 1983, hlm 15 31 Diane Birgan (Sadan Robbert), Korris OFM, Op-cit, hlm 35 32 Al Kitab, Op-cit, hlm 8 33 Ibid, hlm 58

Page 13: jtptiain-gdl-s1-2004-mohizzuddi-1567-bab3_419-4

42

42

manusia sebagai pria dan wanita dapat saling melengkapi di dalam

pengabdiannya terhadap Tuhan untuk membangun kerajaan Allah, bahkan

pernikahan dan hal beranak cucu tidak boleh menjadi penghalang atau

merugikan pengabdiannya itu (Mathius : 10 : 37). 34

Dari perkawinan inilah masing-masing mereka menyerahkan

seluruhnya, penyerahan ini total karena penyerahan yang lalu timbullah

seorang anak sebagai karunia Tuhan seperti disebutkan dalam (Kej : 4 : 1)

maka bersetubuhlah Adam dan Hawa, maka hamillah dia, lalu beranaklah ia

akan kawin, maka tanya aku telah peroleh seorang laki-laki daripada Tuhan.

Disini timbulnya / terjadinya anak, lalu timbul perhubungan anak

dengan orang tua dan sebaliknya kewajibannya orang tua kepada anak, disini

juga tempatnya keluarga yang bertanggung jawab, bertanggung jawab

terhadap kesejahteraan ayah istri juga terhadap kesejahteraan anak.

Di dalam Konsili Vatikan II dinyatakan untuk mencapai

kesejahteraan hidup sebagai keluarga yang bertanggung jawab maka :

1) Tugas prokresi (melahirkan anak) harus dilakukan dengan penuh

tanggung jawab berdasarkan pikiran sehat dan aman, jadi jangan asal

melahirkan tanpa tanggung jawab untuk berbuat bijaksana dalam hal ini

suami istri perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

a. Kepentingan dan kemampuan orang itu sendiri maksudnya tidak

boleh berbuat di luar kemampuannya.

b. Kepentingan anak baik yang sudah lahir maupun yang mungkin

akan lahir, anak yang sudah lahir / dilahirkan berhak menerima

pendidikan yang wajar.

c. Memperhatikan kondisi materiil maupun spirituil keluarga.

d. Memperhatikan kepentingan masyarakat, baik negara maupun

gereja, keluarga memang berhak menuntut perlindungan dan

bantuan daripada masyarakat, tetapi sebaliknya keluarga sebagai

34 Lembaga Al Kitab Indonesia, Al Kitab, Jakarta, 1996, hlm 98

Page 14: jtptiain-gdl-s1-2004-mohizzuddi-1567-bab3_419-4

43

43

anggota masyarakat harus juga turut membantu terlaksananya

kesejahteraan masyarakat. 35

2) Yang berhak menentukan (jarak waktu kelahiran atau jumlah anak) adalah

orang tua sendiri dan ini harus disesuaikan dengan suara hati mereka,

suara hati ini harus disesuaikan dengan perintah Tuhan.

Hal ini oleh Paus Paulus VI ditegaskan lagi dalam Ensilik

“Popularum Progresia” (25 Maret 1957 Nomor 371).

Pemerintah negara dalam batas wewenangnya memang berhak

campur tangan dalam hal ini (mengatur kelahiran) dengan memberi

penerangan kepada penduduk dan dengan membuat aturan-aturan yang lebih

tepat.

Asal semua ini disesuaikan dengan aturan-aturan hukum moral dan

asal hak kebebasan orang tua dijamin semutlak-mutlaknya. Apabila hak

berkawin dan melahirkan yang kuat, sekali itu diperkosa, maka lenyaplah

martabat manusia, akhirnya orang tualah yang berhak menentukan jumlah

anak mereka dengan mengingat tanggung jawab kepada Tuhan, kepada diri

sendiri, kepada anak yang mereka lahirkan, dan kepada masyarakat dimana

mereka berada sebagai anggota keluarga.36 (Baca Konsili Vatikan II dalam

dekrit Gaul d Umot Spees)

Dalam melaksanakan program keluarga berencana menurut agama

Kristen Katolik hendaknya perlu diperhatikan apakah syarat yang dipilih

nanti tidak menimbulkan ketegangan atau keretakan dalam keluarga, sehingga

kesejahteraan keluarga sebenarnya malahan makin terbengkalai, untuk itu

perlu ditentukan syarat guna menunjang pelaksanaan kesejahteraan keluarga.

Salah satu syarat yang perlu diperhatikan untuk menjamin

kesejahteraan keluarga menurut Soekoto SY ialah mengatur kelahiran, sedang

mengatur kelahiran biasanya dilakukan dengan mengatur jarak antara

kelahiran satu dengan kelahiran berikutnya.

35 Soekoto SY, Op-cit, hlm 52-53 36 Hadiwikarta Pr, Op-cit, hlm 15

Page 15: jtptiain-gdl-s1-2004-mohizzuddi-1567-bab3_419-4

44

44

Tetapi bilamana perlu juga dengan membatasi jumlah anak untuk

sementara waktu atau untuk selamanya, selanjutnya beliau mengemukakan

syarat supaya dalam hal ini moril dapat dipertanggung jawabkan, syaratnya

harus memenuhi antara lain :

a. Alasan yang cukup

b. Syarat atau cara yang halal yaitu dengan cara pantang berkala

c. Akibat yang dapat dipertanggungjawabkan yang dimaksud ialah

yang bersifat negatif yang perlu diperhatikan. 37

Untuk lebih jelasnya penulis kemukakan hasil Konsili Vatikan II

dalam De Cebsio in Mundo Huing tampille yang dikemukakan oleh Prof. Dr.

MA. Mukti Ali sebagai berikut :

a. Soal jumlah anak sedikit banyaknya adalah tergantung kepada

keputusan orang tua mereka berdua.

b. Umat manusia harus secara jujur diberi informasi tentang

kemajuan ilmu pengetahuan dalam mencari cara-cara untuk

membantu orang tua (suami istri) dalam menentukan jumlah

anak mereka.

Dari uraian tersebut diatas, disini dapat penulis ambil kesimpulan

bahwa Gerja Katolik menyetujui dan menerima adanya keluarga berencana :

1) Keluarga berencana sebaiknya ditentukan atas persetujuan suami istri

berdua atas dasar pertimbangan yang masak.

2) Keluarga Berencana adalah masalah keluarga yang bertanggung jawab

bukan masalah ekonomi atau paksaan atau disuruh oleh pemerintah. 38

37 Soekoto SY, Mengatur Kelahiran Menurut Agama Katolik, Naskah Kongres I,

PKBI, Jakarta, 1957, hlm 226 38 A. Mukti Ali, Op-cit, hlm 18