bab ii ketentuan umum tentang hukum...

21
15 BAB II KETENTUAN UMUM TENTANG HUKUM WARIS A. Pengertian Dan Dasar Hukum Waris 1. Pengertian Hukum Waris Dalam sistem hukum Islam, kata waris merupakan kata yang diambil dari bahasa Arab ورث- ﻳﺮث- أرﺛﺎyang artinya mewarisi. 1 Jika dikaitkan dengan kondisi yang berkembang di masyarakat Indonesia, istilah waris dapat diartikan sebagai suatu perpindahan berbagai hak dan kewajiban serta harta kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup. 2 Sedangkan pengertian hukum waris secara terminologi adalah hukum yang mempelajari tentang orang-orang yang mewarisi, orang- orang yang tidak mewarisi, kadar yang diterima oleh masing-masing ahli waris serta cara pembagiannya. 3 Dalam redaksi yang lain, Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid mengemukakan bahwa hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang kepemilikan seseorang atas sesuatu setelah meninggalnya pewaris karena adanya sebab dan syarat tertentu. 4 1 Ahmad Warson al-Munawir, Kamus al-Munawir, Yogyakarta: Pondok Pesantren al- Munawir, 1984, hlm. 1655. 2 Muslich Maruzi, Pokok-pokok Ilmu Waris, Semarang: Mujahidin, 1981, hlm. 81. 3 T.M. Hasby As-Shidiqy, Fiqh Mawaris, Semarang: PT. Pustaka Rizqi Putra, Cet. Ke- 1, 1997, hlm. 6. 4 Muhammad Muhyiddin ‘Abdul Hamid, Ahkam al-Mawariis fi al-Islamiyati, Dar al- Kitab al-‘Araby, Cet. Ke-I, 1984, hlm. 5.

Upload: hoangcong

Post on 13-Mar-2019

227 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

15

BAB II

KETENTUAN UMUM TENTANG HUKUM WARIS

A. Pengertian Dan Dasar Hukum Waris

1. Pengertian Hukum Waris

Dalam sistem hukum Islam, kata waris merupakan kata yang

diambil dari bahasa Arab أرثا- يرث -ورث yang artinya mewarisi.1 Jika

dikaitkan dengan kondisi yang berkembang di masyarakat Indonesia,

istilah waris dapat diartikan sebagai suatu perpindahan berbagai hak dan

kewajiban serta harta kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia

kepada orang yang masih hidup.2

Sedangkan pengertian hukum waris secara terminologi adalah

hukum yang mempelajari tentang orang-orang yang mewarisi, orang-

orang yang tidak mewarisi, kadar yang diterima oleh masing-masing ahli

waris serta cara pembagiannya.3 Dalam redaksi yang lain, Muhammad

Muhyiddin Abdul Hamid mengemukakan bahwa hukum waris adalah

hukum yang mengatur tentang kepemilikan seseorang atas sesuatu setelah

meninggalnya pewaris karena adanya sebab dan syarat tertentu.4

1 Ahmad Warson al-Munawir, Kamus al-Munawir, Yogyakarta: Pondok Pesantren al-

Munawir, 1984, hlm. 1655. 2 Muslich Maruzi, Pokok-pokok Ilmu Waris, Semarang: Mujahidin, 1981, hlm. 81. 3 T.M. Hasby As-Shidiqy, Fiqh Mawaris, Semarang: PT. Pustaka Rizqi Putra, Cet. Ke-

1, 1997, hlm. 6. 4 Muhammad Muhyiddin ‘Abdul Hamid, Ahkam al-Mawariis fi al-Islamiyati, Dar al-

Kitab al-‘Araby, Cet. Ke-I, 1984, hlm. 5.

16

Hukum waris sering dikenal dengan istilah faraid, bentuk jamak

dari kata فريضه yang artinya bagian.5 Hal ini karena dalam Islam bagian-

bagian warisan yang menjadi hak ahli waris telah dibakukan dalam al-

Qur’an. Sedangkan secara istilah, al-Syarbani mendefinisikan sebagai

berikut :

الموصول الى معرفة دالك الفقه المتعلق بالرث ومعرفة الحساب

6.ومعرفة قدر الواجب من الترآة لكل ذى حقArtinya : “Ilmu fiqh yang berkaitan dengan pembagian harta pusaka,

mengetahui cara perhitungan yang dapat mengetahui bagian yang wajib diberikan kepada orang yang berhak atas harta waris tersebut”

Dari pengertian hukum waris dan faraid diatas, dapat diambil

suatu titik temu bahwa pada dasarnya hukum waris atau faraid merupakan

suatu cabang ilmu pengetahuan yang membahas permasalahan yang

berkaitan dengan hubungan orang yang telah meninggal dunia dengan

orang yang masih hidup terhadap harta kekayaan maupun hak dan

kewajiban yang ditinggalkannya.

2. Dasar Hukum Waris

Dasar hukum waris terdapat dalam beberapa sumber hukum

Islam diantaranya:

5 Ahmad Warson al-Munawir, Op. Cit., hlm. 1124. 6 Muhammad Khatib al-Syarbani, Mugni al-Muhtaj, Juz III, Beirut-Libanon : Dar Al-

Fikr, t.th., hlm. 3.

17

a. Al-Qur’an

Bangunan hukum kewarisan Islam memiliki dasar yang kuat,

yaitu ayat-ayat al-Qur’an yang selain kedudukannya qath’i al-wurud,

juga qath’i al-dalalah meskipun pada dataran tanfiz (aplikasi) sering

ketentuan baku al-Qur’an tentang bagian-bagian waris mengalami

perubahan pada bagian nominalnya misalnya kasus radd, ’aul dan

sebagainya.7

Adapun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah kewarisan

dapat dijumpai dalam beberapa surat dan ayat sebagai berikut:

1. Al-Qur’an surat al-Nisa’ Ayat 33, yang menyatakan adanya hak

bagi ahli waris dari setiap harta peninggalan.

ولكل جعلنا موالي مما ترك الوالدان والأقربون والذين عقدت

)٣٣: النساء(أيمانكم فآتوهم نصيبهم Artinya: “Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang

ditinggalkan ibu bapak dari karib kerabat, kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah mereka bagiannya”.8 (QS. Al-Nisa’: 33)

2. Al-Qur’an syarat al-Nisa’ Ayat 7 menyatakan bahwa ahli waris

laki-laki dan perempuan, masing-masing berhak menerima warisan

sesuai dengan bagian yang ditentukan.

7 Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, jakarta:PT Raja Grafindo Persada,cet.ke-

3,1989,hlm.374. 8 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahannya, Semarang : CV. Toha Putra,

1989,hlm.122-123.

18

الوالدان والأقربون وللنساء نصيب مما مما ترك نصيب للرجال

)٧:النساء( مفروضا نصيبا آثر منه أو قل مما والأقربون الوالدان ترك

Artinya: “Bagi orang laki-laki ada bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”.9 (QS. Al-Nisa’: 7)

3. Ayat yang menerangkan secara rinci ketentuan bagi ahli waris

(furud al-muqoddaroh) terdapat pada surat al-Nisa’ ayat 11,12 dan

176.

4. Ayat yang menegaskan pelaksanaan ketentuan ayat-ayat waris

diatas, yaitu surat al-Nisa’ ayat 13 dan 14, bahwa bagi orang yang

melaksanakan akan dimasukkan surga selamanya dan bagi orang

yang sengaja mendurhakai hukum Allah maka bagi mereka akan

mendapat siksa di neraka.

b. Al-Hadits

Selain al-Qur’an, hukum kewarisan juga didasarkan kepada

hadits Rasulullah SAW. Adapun hadits yang berhubungan dengan

hukum kewarisan diantaranya:

1. Hadits Nabi dari Ibnu Abbas riwayat Bukhari Muslim:

قال رسول : اخبرنا معمر عن ابن طاوس ابيه عن ابن عباس قال

عليه وسلم اقسمواالمال بين اهل الفرائض على اهللا صلى اهللا

10.آتاب اهللا فما ترآت الفرائض فالولى رجل ذآر

9 Ibid, hlm.116. 10 Imam Abi al-Kusain Muslim Ibn al-Hijjaj Al-Qusyairy al-Naisabury, Sohih Muslim,

beirut-libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1992, hlm. 1234.

19

Artinya: “Kami telah diberi tahu oleh Ma’mar dari Ibn Thowus, dari bapaknya, dari Ibn ‘Abbas berkata: Rasulullah SAW telah bersabda: “bagilah harta waris diantara orang-orang yang berhak menerima bagian sesuai dengan ketentuan al-Qur’an. Jika masih ada tinggalan (sisa) maka yang lebih berhak adalah ahli waris laki-laki”

2. Hadits Nabi dari Jabir Ibn Abdillah

أخبرنا عمر وابن ابى قيس عن محمد بن المنكدر عن جابر بن

جاءنى رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم يعودونى : عبد اهللا قال

يانبي اهللا آيف أقسم مالى بين : وانا مريض فى بنى سلمة فقلت

يوصيكم اهللا فى اوالدآم : (يرد علي شيأ فنزلتولدى؟ فلم

11 )للذآر مثل حظ االنثيينArtinya: “Kami telah diberitahukan oleh ‘Amr Ibn Abi Qois dan

Muhammad bin al-Munkadir dari Jabir bin Abdillah berkata: Rasulullah telah datang menjengukku sedang saya dalam keadaan sakit di bani Salamah kemudian saya bertanya: “Wahai Nabi Allah bagaimana saya harus membagi harta diantara anak-anakku, maka sebelum Nabi bertolak dariku maka turunlah ayat:

يوصيكم اهللا فى اوالدآم للذآر مثل حظ االنثيينYang artinya Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka) untuk anak-anakmu. Yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan”.

3. Ijma dan ijtihad.

Ijma’ dan ijtihad para sahabat, imam-imam madzhab dan

mujtahid-mujtahid kenamaan mempunyai peranan yang tidak kecil

sumbangannya terhadap pemecahan-pemecahan masalah mawaris

11 Abi Isa’ Muhammad Bin Isa Bin Sauri, al-Jami’al-Shahih, Juz IV,Beirut-Libanon:Dar

al-Kutub al-Ilmiyah,t.th.,hlm.363.

20

yang belum dijelaskan oleh nash-nash shorih.12 Ijma dan Ijtihad

disini adalah menerima hukum warisan sebagai ketentuan hukum

yang harus dilaksanakan dalam upaya mewujudkan keadilan

masyarakat dan menjawab persoalan yang muncul dalam

pembagian warisan yaitu dengan cara menerapkan hukum, bukan

mengubah pemahaman atau ketentuan yang ada.

B. Rukun Dan Syarat Kewarisan

1. Rukun Kewarisan

Sebagaimana hukum lainnya, masalah warispun memiliki

ketentuan khusus (rukun-rukun) yang harus terpenuhi. Dengan kata lain,

hukum waris dipandang sah secara hukum Islam jika dalam proses

penetapannya dipenuhi tiga rukun, yaitu: waris, muwarrits dan

maurutus.13

Hal ini senada dengan pendapat Sayyid Sabiq, menurut beliau

pewarisan hanya dapat terwujud apabila terpenuhi 3 hal, yaitu:14

a. Al- Waris, yaitu orang yang akan mewariskan harta peninggalan si

muwaris lantaran mempunyai sebab-sebab untuk mempustakai

seperti adanya ikatan perkawinan, hubungan darah (keturunan) dan

hubungan hak perwalian dengan si muwaris.

12 Fahtur Rahman, Ilmu Waris, Bandung: PT Al Ma’arif, Cet. Ke-2, 1981,hlm.33. 13 Allamah Abu bakarUsman bin Muhammad Syaththo al-Dimyati al-Bakry, I’anat al-

Tholibin, juz III, Bairut-Libanon : Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, Cet.ke-I, 1995, hlm.383. 14 Al-Syayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid III, Baerut-Libanon : dar-alFikr, cet ke- I,

1977.

21

b. Al –Muwarris, yaitu orang yang meninggal dunia, baik mati haqiqy

maupun mati hukmy, seperti orang yang hilang kemudian dihukumi

mati.

c. Al–Maurus, disebut juga tirkah dan miras yaitu harta benda atau hak

yang akan dipindahkan dari muwaris kepada al-waris.

2. Syarat Kewarisan

Pusaka mempusakai adalah berfungsi sebagai menggantikan

kedudukan dalam memiliki harta benda antara orang yang telah

meninggal dunia dengan orang yang ditinggalkannya. Oleh karena itu

pusaka mempusakai memerlukan syarat-syarat sebagai berikut:

a. Matinya mawarris (orang yang mempusakakan). Meninggalnya

pewaris merupakan conditio sine quanon untuk terbukanya harta

waris, karenanya meninggalnya pewaris harus nyata adanya. Apabila

tidak jelas kematiannya tetap menjadi miliknya yang utuh

sebagaimana dalam keadaan yang jelas hidupnya.15 Kematian pewaris

menurut doktrin fikih dapat dibedakan kepada tiga macam, yaitu:

1. Mati haqiqy artinya tanpa melalui pembuktian dapat diketahui

dan dinyatakan bahwa seseorang telah meninggal dunia.

2. Mati Hukmy adalah seseorang yang secara yuridis melalui

keputusan hakim dinyatakan telah meninggal dunia. Ini bisa

terjadi seperti kasus seseorang dinyatakan hilang (mafqud) tanpa

diketahui dimana dan bagaimana keadaannya. Melalui keputusan

22

hakim, setelah melalui upaya-upaya tertentu, ia dinyatakan

meninggal.

3. Mati taqdiri yaitu anggapan bahwa seseorang talah meninggal

dunia. Misalnya karena ada ikut ke medan perang atau tujuan lain

yang secara lahiriyah mengancam dirinya. Setelah sekian tahun

tidak di ketahui kabar beritanya dan melahirkan dugaan kuat

bahwa ia telah meninggal dunia, maka dapat dinyatakan bahwa ia

meninggal.16

b. Hidupnya waris (orang yang mempusakai) di saat kematian muwaris,

ketentuan ini merupakan syarat mutlak agar seseorang berhak

menerima warisan, sebab orang yang sudah meninggal dunia tidak

mampu lagi membelanjakan hartanya, baik yang diperoleh karena

pewarsi maupun sebab-sebab lainnya.17 Hidupnya ahli waris itu baik

secara hakiki maupun secara taqdir hidup secara hakiki berarti

ketetapan tentang hidupnya ahli waris secara nyata dapat diketahui

dan dapat diterima menurut syara, sedangkan hidup secara taqdir

sebagaimana anak dalam kandungan, ia tetap berhak menerima harta

waris bila bapaknya meninggal.18

c. Tidak adanya penghalang-penghalang mempusakai (mawani’ul irsi).

Dalam kitab I’anat al-Tholibin dijelaskan bahwa penghalang

15 Idris Djakfar dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: PT>

Pustaka Jaya, Cet Ke- 1995, hlm.52. 16 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris,Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, cet ke-2, 1995,hlm.

22-23. 17 Dian Khairul Umam, Fiqh Mawaris, Bandung: Pustaka Setia, Cet Ke-1, 1999,hlm.

46.

23

mempusakai itu ada 3 macam yaitu pembunuhan, perbudakan dan

perbedaan agama.19

Dengan dipenuhinya rukun dan syarat kewarisan seperti tersebut

di atas, maka harta waris yang tertinggal dapat dibagikan kepada para ahli

waris sesuai dengan bagian yang telah ditentukan.

C. Kewajiban Ahli Waris Terhadap Harta Peninggalan

Menurut jumhur fuqoha dan ketentuan yang termuat dalam pasal 175

ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, terhadap peninggalan pewaris tersebut

melekat beberapa kewajiban yang harus dilakukan oleh ahli waris sebelum

diadakan pembagian harta warisan, yaitu :

1. Biaya pengurusan jenazah (tajhiz)

Yang disebut tajhiz ialah biaya-biaya perawatan yang diperlukan

orang yang meninggal, mulai dari saat meninggalnya sampai saat

penguburannya. Biaya itu mencakup biaya-biaya untuk memandikanya,

mengkafani, mengusung dan menguburkannya.20 Besar biaya tersebut

diselesaikan secara wajar dan makruf, tidak boleh terlalu kurang dan tidak

boleh berlebihan. Firman Allah swt dalam al-Qur’an surat al-Furqon ayat

67:

)٦٧:الفرقان (والذين إذا أنفقوا لم يسرفوا ولم يقتروا وآان بين ذلك قواما

18 Muhammad Muhyyidin’ Abdul Hamid, Op. Cit, hlm. 14-15. 19 Allamah Abu Bakar Usman bin Muhammad Syaththo al-Dimyati al-Bakary, Op. Cit.,

hlm. 383. 20 Fathur Rahman, Op. Cit, hlm .43.

24

Artinya: “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (hartanya) tidak berlebih-lebihan, dan tidak pula kikir, tetapi adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.21

Para Fuqaha telah sepakat bahwa perawatan pewaris harus

diambilkan dari harta peninggalanya.22 Apabila harta peninggalanya tidak

mencukupi biaya tersebut, para ulama berbeda pendapat, Ulama

Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah mengatakan bahwa kewajiban

menanggung biaya perawatan tersebut terbatas keluarga yang semasa

hidupnya ditanggung oleh si mati. Karena merekalah yang telah

menikmati hasil jerih payah si mati, maka sangat wajar apabila mereka

yang diberi tanggung jawab memelihara jenazah orang yang berjasa

kepada mereka.23 Kalau si mati tidak mempunyai kerabat, diambilkan dari

bait al-mal, dan kalau dari bait al-mal pun tidak memungkinkan, maka

biaya perawatannya dibebankan kepada orang Islam yang kaya, sebagai

pemenuhan kewajiban fardu kifayah.24

Fuqaha aliran Makiyyah berpendapat bahwa biaya perawatannya

harus diambilkan dari bait al mal (kas perbendaharaan negara), karena

keadaan yang semacam itu menjadi beban kewajiban bait al-mal.25

Pendapat mayoritas ulama kiranya patut dipedomi karena

keluargalah yang sebaiknya bertanggung jawab menyelesaikan persoalan

pewaris, apakah meninggalkan harta, maka sudah sepantasnya mereka

pula bertanggung jawab mengurus segala sesuatunya.

21 Departemen Agama RI, Op. Cit., hlm. 568. 22 Fahtur Rahman ,Loc. Cit. 23 Ahmad Rofiq,Op. Cit, hlm. 389. 24 Fatchur Rahman, Loc. Cit.

25

2. Pelunasan Hutang

Hutang ialah suatu tanggungan yang wajib dilunasi sebagai

imbalan dari prestasi yang pernah diterima oleh seseorang.26 Apabila

seseorang yang meninggalkan hutang pada orang lain belum dibayar,

maka sudah seharusnya utang tersebut dilunasi dari harta peninggalannya,

sebelum harta dibagikan kepada ahli waris.

Kewajiban-kewajiban terhadap Allah yang belum sempat

ditunaikan seperti mengeluarkan zakat, pergi haji, pembayaran kafarah

dan lain sebagainya, juga disebut dengan hutang secara majazy, bukan

haqiqy, sebab kewajiban untuk menunaikan hal-hal tersebut bukan

sebagai imbalan dari suatu prestasi yang pernah diterima oleh seseorang,

tetapi sebagai pemenuhan kewajiban yang dituntut sewaktu seseorang

masih hidup.27

Dasar hukum tentang wajibnya didahulukan pelunasan utang si

mati dijelaskan dalam firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Nisa’ ayat

11 :

)١١: النساء(من بعد وصية يوصي بها أو دين

Artinya: “………(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang Ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya…..” .28

Para ulama memahami bahwa kata au yang secara harfiyah

berarti atau berlaku sebagai tafsil (rincian) bukan tartib (urutan). Dengan

25 Ibid. 26 Ibid. 27 Ibid. 28 Departemen Agama RI, Op. Cit. Hlm. 117.

26

demikian, didahulukannya kata wasiat daripada utang hendaknya untuk

memberi motivasi agar orang yang akan meninggal hendaknya melakukan

wasiat pada sebagian hartanya. Untuk itu, utang tetap didahulukan

daripada wasiat.29

3. Pelaksanaan Wasiat

Setelah menggunakan harta peninggalan orang yang meninggal

untuk mengurus dan membayar hutang, langkah selanjutnya adalah untuk

melaksanakan wasiat selama tidak bertentangan dengan ketentuan syara’.

Wasiat adalah memberikan hak memiliki sesuatu secara sukarela tabarru)

yang pelaksanaannya ditangguhkan setelah adanya peristiwa kematian

dari yang memberikan baik sesuatu berupa barang maupun manfaat.30

Sebagaimana firman Allah swt dalam al-Qur’an surat al-Maidah ayat 106:

يايها الذين آمنوا شهادة بينكم إذا حضر أحدآم الموت حين الوصية

نكم أو آخران من غيرآم إن أنتم ضربتم في الأرض اثنان ذوا عدل م

)١٠٦: المائدة(فأصابتكم مصيبة الموت

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang diantara kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat maka hendaklah diantara kamu, atau dua orang berlainan yang kamu, atau dua orang berlainan agama dengan kamu. Jika kamu dalam perjalanan di muka bumi kalau kamu ditimpa bahaya kematian. 31 (QS: al-Maidah: 106)

Mengenai jumlah harta yang diwasiatkan, ulama sepakat bahwa

jumlahnya tidak boleh lebih dari sepertiga harta. Hal ini sesuai dengan

hadits Nabi Muhammad SAW:

29 Ahmad Rofiq, Op.Cit, hlm.39. 30 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamy wa’adillatuhu, ,juz IV, Damsyik : Dar al-Fikr

,Cet ke-3, 1989, hlm.86.

27

اخبرني عمر وبن عثمان بن سعيد قال حدثنا سفيان عن مرضا

: قلتاشفيت منه فاتانى رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم يعودنى ف

يارسول اهللا ان لي ماال آثيرا وليس يرئنى اال ابنتى افاتصدق بثلثى

مالي قال ال قلت فاشطر قال ال قلت فالثلث والثلث آثير ان تترك

32.ورئتك اغنياء خير لهم من ان تترآهم عالة يتكففون الناسArtinya: “Telah mengabarkan kepada saya ‘Amr bin ‘Utsman bin Sa’id

ia telah bercerita kepada kami sufyan bin Sa’id dari bapaknya ia berkata: saya sedang menderita sakit keras saya memerlukan obat darinya, maka datanglah Rasulullah SAW untuk menjengukku dan saya bertanya kepada beliau: “ Wahai Rasulullah saw, aku sedang menderita sakit keras bagaimana pendapatmu? Aku ini orang berada, sementara tidak ada yang akan mewarisi hartaku selain seorang anak perempuan, apakah aku sedekahkan dua pertiga hartaku (sebagai wasiat)? Rasulullah SAW menjawab ‘jangan’. Kemudian Sa’ad berkata kepada beliau, bagaimana jika separuhnya? Rasulullah bersabda ‘jangan’. Kemudian Rasulullah bersabda pula ‘sepertiga, dan sepertiga itu banyak atau besar. Sesungguhnya apabila engkau meninggalkan ahli warismu sebagai orang-orang kaya, itu lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin yang meminta kepada orang banyak (Riwayat Imam Bukhori dan Muslim)

Setelah semua hal yang bersangkutan dengan harta pusaka

tersebut dilaksanakan, maka harta peninggalan yang ada dibagikan kepada

para ahli waris sesuai dengan bagiannya masing-masing.

D. Ahli Waris Dan Bagian-Bagiannya

1. Ahli Waris

31 Departemen Agama RI, Op. Cit, hlm. 180. 32 Jalal al-Din al-Suyuthi, Sunan al-Nasai, Juz V, Beirut : Dar al-Fikr, Cet Ke-1, 1930,

hlm. 241-242.

28

Jumlah keseluruhan ahli waris yang secara hukum berhak

menerima warisan ada 17 orang, terdiri dari 10 orang laki-laki dan 7

orang perempuan.33 Apabila dirinci seluruhnya ada 25 orang, 15 orang

laki-laki dan 10 orang perempuan 34. Dari jenis kelamin laki-laki adalah ;

anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, ke bawah, bapak, kakek

hingga ke atas, saudara sekandung, saudara sebapak, saudara seibu, anak

laki-laki dari saudara sebapak, paman sekandung, paman sebapak, anak

laki-laki dari paman sekandung, anak laki-laki adari paman sebapak,

suami dan orang laki-laki yang memerdekakan hamba sahaya (mu’tiq).

Sedangkan ahli waris dari jenis kelamin perempuan adalah :anak

perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, ibu, nenek dari pihak ibu,

nenek dari pihak bapak, saudara perempuan sekandung, saudara

perempuan sebapak, saudara perempuan seibu, isteri dan perempuan yang

memerdekakan hamba sahaya (mu’tiqoh).35

2. Macam-macam Ahli waris

Berdasarkan tiga penyebab mewarisi yang disepakati Ulama

Fikih, maka ahli waris dapat dibagi tiga macam.36

a. Ahli Waris karena hubungan perkawinan (sababiyah), adalah ahli

waris yang berhubungan pewarisannya timbul karena hubungan

perkawinan.37

33 Abi Ishaq Ibrohim bin’Ali bin Yusf, al-Muhadzdzab, Beirut-Libanon : Dar al-Kutub

al- Ilmiyah, cet ke-1,1995,hlm. 406. 34 Ahmad Rofiq,Op.Cit, hlm.50. 35 Abdul Aziz Dahlan (et al), Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : PT> Ichtiar Baru Van

Hoeve, Cet Ke- 1, 1997, hlm.309. 36 Ibid.

29

b. Ahli waris karena hubungan keturunan (nasabiyah) atau kekerabatan

(gharibah) adalah ahli waris yang pertalian kekerabatannya kepada

muwaris berdasarkan hubungan darah. Ahli waris nasabiyah ini terdiri

dari 13 orang laki-laki dan 8 orang perempuan, seluruhnya 21 orang.38

Dari Ahli waris nasabiyah tersebut di atas, apabila

dikelompokkan menurut tingkatan kekerabatannya adalah sebagai

berikut.39

1. Furu ‘al-waris, yaitu ahli waris anak keturunan si mati, atau

tersebut kelompok cabang (al-bunuwwah). Kelompok inilah yang

terdekat, dan mereka yang didahulukan menerima warisan. Ahli

waris kelompok ini adalah: anak perempuan, cucu perempuan

garis laki-laki, anak laki-laki dan cucu laki-laki garis laki-laki.

2. Ushul al-waris, yaitu ahli waris leluhur si mati. Kedudukannya

berada setelah kelompok furu’al-waris. Mereka adalah :bapak,

ibu kakek garis bapak, kakek garis ibu, nenek garis ibu dan nenek

garis bapak.

3. Al-Hawasy, yaitu ahli waris kelompok saudara termasuk di

dalamnya paman dan keturunannya seluruhnya ada 12 orang,

yaitu: saudara perempuan sekandung, saudara perempuan seayah,

saudara perempuan seibu, saudara laki-laki sekandung, saudara

laki-laki seayah, saudara laki-laki seibu, anak saudara laki-laki

37 Ahmad Rofiq, Loc. Cit. 38 Ibid. 39 Ibid, hlm.51-52.

30

sekandung, maka saudara laki-laki seayah, paman sekandung,

paman seayah, anak paman sekandung dan anak paman seayah.

c. Ahli waris karena membebaskan hamba sahaya (wala’), yaitu ahli

waris yang hubungan pewarisnya timbul karena memerdekakan

hamba sahaya.40 Ahli waris wala’ hanya satu, yaitu mantan tuan (yang

memerdekakan), sedangkan hamba sahaya (yang memerdekakan)

bukan ahli waris bagi mantan tuannya.41

Apabila dilihat dari segi bagian-bagian yang diterima dapat

dibedakan kepada:

a. Ahli waris ashab-al-furud, yaitu orang yang mempunyai bagian

harta peninggalan yang sudah ditentukan dengan nash al-Qur’an,

al-Sunnah atau al-Ijma.42

b. Ahli waris ashabah, yaitu waris yang menerima bagian sisa

setelah harta dibagikan kepada waris ashab al-furud.43sebagai

penerima bagian sisa, ahli waris ashabah, terkadang menerima

bagian banyak (seluruh harta warisan ), terkadang menerima

sedikit, tetapi terkadang tidak menerima bagian sama sekali,

karena habis diambil ahli waris ashab al-furud.44

c. Ahli waris zawi al-arham, yaitu orang-orang yang mempunyai

hubungan kerabat dengan orang yang meninggal, tetapi mereka

tidak termasuk ke dalam golongan ashab al-furud dan tidak pula

40 Ibid, hlm. 53-54. 41 Abdul Aziz Dahlan (et al), Op. Cit, hlm.310. 42 Muhammad Hasbi ash-Siddieqy, Op. Cit, hlm. 54-55. 43 Ahmad Rofiq, Op. Cit, hlm. 49.

31

ke dalam golongan ashabah.45 Kerabat yang termasuk dalam

golongan zawi al-arham ialah sebagaimana yang tersebut dalam

kitab I’anat al-thholibin jilid III:

, وبنت اخ, واخت, ولد بنت: وهم احد عشر, ثم ذوي اال رحام

وولد , وام ابى ام, وابو ام, وعمه, وخالة, وخال, وعم وعم الم

46.اخ الم“ Kemudian dzawi al-arham itu sebelas, yaitu cucu (laki-laki atau perempuan) dari garis perempuan, anak perempuan dari cucu perempuan, saudara perempuan, anak perempuan dan cucu perempuan saudara laki-laki, anak perempuan dan cucu perempuan paman, paman seibu, saudara (laki-laki atau perempuan) ibu, saudara perempuan bapak, kakek dari pihak ibu, nenek dari pihak bapak, dan anak dari saudara laki-laki seibu

Para ulama berbeda pendapat apakah mereka dapat menerima

warisan atau tidak. Dalam hal ini terdapat dua pendapat yang saling

berlawanan yaitu: 47

a. Pendapat yang mengatakan bahwa dzawi al-arham itu tidak dapat

mempusakai sama sekali. Jadi, andaikata ada seorang meninggal

dunia dengan tidak meninggalkan ahli waris ashad al-furud atau

ashabiyah, maka harta peninggalannya diserahkan kepada bait al-

mal, biarpun ia meninggalkan ahli waris dzawi al-arham.

b. Pendapat yang mengatakan bahwa dzawi al-arham itu dapat

mempusakai harta peninggalan, bila ahli warisnya yang telah

44 Ibid, hlm. 59. 45 Muhammad Hasbi As-Shiddiqy, Op. Cit, hlm. 61. 46 Allarah Abu Bakar Usman bin Muhammad Syaththo al-Dimyathi al-Bakary, Op. Cit,

hlm. 386-387. 47 Fatchur Rahman, Op. Cit,hlm. 351-353.

32

wafat tidak meninggalkan ahli waris ashad al furud yang dapat

menerima radd atau ahli waris ashabah nasabiyah.

3. Bagian-bagian Ahli Waris

Masing-masing ahli waris mempunyai bagian yang berbeda-

beda, keadaan ini dipengaruhi oleh jumlah ahli waris ada. Adapun

perincian bagian masing-masing adalah sebagai berikut:48

a. Anak perempuan, berhak menerima bagian:

- ½ jika sendirian tidak bersama anak laki-laki

- 2/3 jika dua orang anak atau lebih tidak dengan anak laki-laki

b. Cucu perempuan garis laki-laki berhak menerima:

- ½ jika sendirian, tidak bersama cucu laki-laki dan tidak mahjub

(terhalang)

- 2/3 jika dua orang atau lebih, tidak bersama cucu laki-laki

- 1/6 sebagai pelengkap 2/3 jika bersama seorang anak perempuan,

tidak ada cucu laki-laki dan tidak mahjub. Jika anak perempuan

dua orang atau lebih ia tidak mendapatkan bagian.

c. Ibu, berhak menerima bagian:

- 1/3 jika tidak ada anak atau cucu (far’u waris) atau saudara dua

orang atau lebih

- 1/6 jika ada far’u waris atau bersama dua orang saudara atau

lebih

48 Ahmad Rofiq, Op. Cit, hlm.50.

33

d. Bapak, berhak menerima bagian:

- 1/6 jika ada anak laki-laki atau cucu laki-laki

- 1/6 + sisa, jika bersama satu perempuan atau cucu perempuan.

Jika bapak bersama ibu:

- Masing-masing 1/6 jika ada anak, cucu atau saudara dua orang

atau lebih

- 1/3 untuk ibu, bapak menerima sisanya, jika ada anak, cucu atau

saudara dua orang lebih

- ibu menerima 1/3 sisa, bapak sisanya setelah diambil untuk

suami atau isteri

e. Nenek, jika tidak mahjub berhak menerima bagian:

- 1/6 jika seorang

- 1/6 dibagi rata, apabila nenek lebih dari seorang dan sederajat

kedudukannya.

f. Kakek, jika tidak mahjud berhak menerima bagian:

- 1/6 jika bersama anak lak0-laki atau cucu laki-laki

- 1/6 + sisa, jika bersama anak atau cucu perempuan tanpa ada

anak laki-laki

- 1/6 atau muqasamah (bagi rata) dengan saudara sekandung atau

seayah, setelah diambil untuk ahli waris lain

- 1/3 atau muqasamah bersama saudara sekandung atau seayah,

jika tidak ada ahli waris lain.

34

g. Saudara perempuan sekandung, jika tidak mahjub, berhak menerima

bagian:

- ½ jika seorang, dan tidak bersama saudara laki-laki sekandung

- 2/3 jika dua orang atau lebih, tidak bersama saudara lak-laki

sekandung

h. Saudara perempuan seayah, jika tidak mahjub, berhak menerima

bagian :

- ½ seorang diri dan tidak bersama saudara laki-laki seayah

- 2/3 dua orang atau lebih tidak bersama saudara laki-laki seayah

- 1/6 jika bersama dengan saudara perempuan sekandung seorang,

sebagai pelengkap 2/3

i. Saudara seibu, baik laki-laki atau perempuan kedududkannny sama

apabila tidak mahjub, saudara seibu berhak menerima bagian :

- 1/6 jika seorang diri

- 1/3 dua orang atau lebih

- Bergabung menerima 1/3 dengan saudara sekandung, ketika

bersama-sama dengan ahli waris suami dan ibu (musyarakah)

j. Suami, berhak menerima bagian

- ½ jika tidak mempunyai anak atau cucu

- ¼ jika bersama dengan anak atau cucu

k. Isteri, berhak menerima bagian

35

- ¼ jika tidak mempunyai anak atau cucu

- 1/8 jika bersama anak atau cucu

Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa Islam mengatur peralihan

harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih

hidup dengan tidak membedakan apakah ahli waris perempuan atau ahli waris

laki-laki. Islam membedakan besar kecilnya bagian-bagian tertentu ahli waris

diselaraskan dengan kebutuhan dan tanggung jawab yang dipikul, disamping

memandang jauh dekatnya hubungan dengan pewaris. Namun demikian,

dalam skripsi ini penulis lebih menitikberatkan pada praktek pembagian harta

waris antara ahli waris anak laki-laki dengan ahli waris anak perempuan yang

dilaksanakan oleh masyarakat muslim di Kecamatan Bumijawa Kabupaten

Tegal. Hal ini bukan bermaksud memanfaatkan ahli waris lain, akan tetapi

semata-mata karena hal tersebut merupakan fokus dari penelitian yang

dilakukan oleh penulis.