jihad dalam tafsir kajian atas qs. al-taubah [9]:...
TRANSCRIPT
JIHAD DALAM TAFSIR
KAJIAN ATAS QS. AL-TAUBAH [9]: 44-45
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Lia Lianti
1113034000159
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR`AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H/2019 M
i
ABSTRAK
Lia Lianti, Nim 1113034000159 Judul Skripsi Jihad dalam Tafsir: Kajian
atas QS. al-Taubah [9]: 44-45.
Jihad menjadi pembahasan yang tidak habis dimakan waktu. Kata jihad
didefinisikan oleh sebagian ulama dengan memerangi orang kafir selain kafir
dzimmî. Kemudian ada juga yang mengatakan mengerahkan segala kemampuan
untuk memerangi musuh. Lainnya mendefinisikan jihad sebagai perjuangan
sungguh-sungguh dengan mengerahkan kemampuan dan kekuatan yang dimiliki
seseorang untuk mencapai tujuan, khususnya dalam melawan musuh, atau
mempertahankan kebenaran, kebaikan dan keluhuran. Dari pendapat di atas,
ternyata sementara ulama seringkali mengaitkan jihad dengan makna qital
(perang). Di antara contoh jihad dimakai perang adalah QS. al-Taubah [9]: 44-45.
Perlu dicatat, QS. al-Taubah [9]: 44-45 menggunakan diksi jihad. Tapi, sebagian
mufassir mengartikannya sebagai qitâl. Tafsir yang bercorak fiqhȋ cenderung
memaknai jihad dengan perang karena berkaitan dengan historisitas atau
asbâbunnuzûl ayat, sedangkan tafsir sȗfȋ cenderung membawa jihad dalam
pemaknaan berbeda, bukan hanya perang.
Karena itu, penulis tertarik mengkaji ayat ini menggunakan metode
kualitatif dengan cara analisis-deskriptif serta metode muqâran, yakni
membandingkan delapan kitab tafsir dari latarbelakang yang beragam, baik dilihat
dari mazhab fikih mufassir-nya, mazhab aliran teologinya atau corak tafsirnya,
untuk menganalisis penafsiran QS. al-Taubah [9]: 44-45.
Hasil dari penelitian ini adalah seluruh mufassir baik sufi maupun fiqhi,
klasik-modern, memaknai jihad dalam QS. al-Taubah[9]: 44-45 adalah jihad qitâlȋ
dalam perang Tabuk. Corak dan waktu tidak menyebabkan adanya perbedaan
pendapat mengenai QS. al-Taubah [9]: 44-45. Hanya ketika berbicara jihad secara
umum, para ulama berselisih.
Kata Kunci: Jihad, QS. al-Taubah [9]: 44-45, Mufassir.
ii
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرحمن الرحيم
Alhamdulillah penulis panjatkan puji syukur atas nikmat yang Allah
berikan dan kehadiratnya Allah SWT. Yang memberikan nikmat sehat jasmani
maupun rohani serta hidayah dan inayah-Nya sehingga penulis dapat
menyeleseikan penyusunan skripsi ini dengan judul “JIHAD DALAM TAFSIR:
KAJIAN ATAS QS. AL-TAUBAH [9]: 44-45.” Sholawat serta salam tak lupa
juga penulis junjungkan kepada baginda Nabi Muhammad s.a,w. serta kepada
keluarga dan para sahabat aamin allahumma aamiin.
Skripsi ini di ajukan sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian
munaqasyah guna memperoleh gelar Sarjana Agama Jurusan Ilmu al-Qur‟an dan
Tafir ( IQTAF) di Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Jakarta Syarif
Hidayatullah. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tentu masih
jauh dengan kesempurnaan dan masih banyak kekurangan, baik dari tekhnik
penyusunan dan kosakata yang tertulis, maupun dari isi pembahasan yang ada
dalam skripsi ini. Untuk itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat
penulis harapkan untuk perbaikan dan kesempurnaan dalam skripsi ini.
Dalam penyeleseian skripsi ini, penulis banyak memperoleh bantuan serta
bimbingan dari berbagai piha. Untuk itu,dengan penuh rasa hormat penulis
menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, MA selaku Rektor Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan kesempatan untuk
iii
belajar dan menuntut ilmu pada Program Sarjana Jurusan Studi Ilmu al-
Qur‟an dan Tafsir ( IQTAF) di Fakultas Ushuluddin.
2. Dr,Yusuf Rahman , M.A. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Eva Nugraha, MA selaku ketua Jurusan di Fakultas Ushuluudin pada
bidang al-Qur‟an dan Tafsir ( IQTAF) yang telah membantu dan memberi
saya kesempatan dalam penyusunan Skripsi.
4. Fahrizal Mahdi, LC,MIRKH selaku Sekretaris Jurusan Ilmu al-Qur‟an
dan Tafsir (IQTAF) yang sudah membantu dalam prosedur Skripsi.
5. Kholik Ramdan Mahesa selaku yang membantu Sekertaris Jurusan banyak
meluangkan( IQTAF ) yang sudah banyak membantu untuk proses awal
pembuatan surat untuk para Dosen yang bersangkutan judul dan sampai
selesei skripsi penulis.
6. Dr. M. Suryadiata, M.Ag selaku Dosen Penasehat sekaligus Dosen
Pembimbing Akademik yang telah banyak memberi saya pengetahuan
bagaiman menentukan kata-kata yang benar dalam penulisan skripsi serta
judul yang bagus.
7. Muslih Nur Hassan, M.Ag selaku Dosen penguji proposal yang senantiasa
sabar memberi arahan serta pertanyaan-pertanyaan dalam menentukan
judul yang baik untuk proses lanjutan penulisan skripsi.
8. Dr. Hasani Ahmad Said, MA selaku Dosen Pembimbing yang selalu saya
lontarkan dengan banyak dan berbagai pertanyaan dalam penulisan skripsi
ini hingga selesainya bimbingan skripsi dengan beliau hingga saya dapat
melanjutkan sidang dengan penguji skripsi berikutnya.
iv
9. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu Nama para dosen yang
saya hormati dengan tulus memberikan ilmu pengetahuan serta wawasan
yang luas mengenai segala aspek keilmuan selama penulis mengikuti
perkuliahan.
10. Teruntuk Orang tua Emah (Ibu Juhaeti) dan Bapak ( Bapak Matalih),
adik-adikku Vebianti Dewi Anggraeni dan Yusuf Amiruddin Ashidiki,
serta keluarga besar yang penulis sayangi dan selalu penulis rindukan tak
ada kata-kata lagi bisa penulis ungkapkan selain ucapan terimakasih yang
memberikan materi serta doa-doa yang selalu di panjatkan untuk penulis
agar segera selesai dalam skripsi aye Persembahkan untukmu enyak dan
babeh.
11. Teruntuk Laila Elvia Syahriyah, Ahmad Rifai, S.Ag, teman-teman
seulanga kost 7C Ru‟yatul Irfanah, Nisa Fathunnisa, Nita Nurningsih,
Helmi Faridatul yang juga Penulis sangat berterimakasih telah
mendungkung dan memotivasi penulis dalam penyusunan skripsi.
12. Teruntuk Teman-Teman penulis yang banyak memberi semangat serta
motivasi agar penulis tidak malas dalam penyusunan skripsi.
13. Seluruh pihak yang telah membantu proses kuliah penulis dan proses
skripsi ini yang tidak mungkin penulis sebut satu persatu
Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak. Penulis
menyadari masih ada kekurangan dalam pelaksanaan skripsi ini. Untuk itu,
penulis menerima segala saran dan kritikan demi perbaikan dan kemajuan
penelitian dimasa mendatang. Terima kasih.
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ........................................................................................................... i
KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii
PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................ iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................... 1
B. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah ............................................... 4
C. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 5
D. Manfaat Penelitian ...................................................................................... 5
E. Tinjauan Pustaka .......................................................................................... 5
F. Metode Penelitian ........................................................................................ 8
1. Jenis Penelitian ................................................................................. 8
2. Metode Pengumpulan Data .............................................................. 8
3. Teknik Analisis Data ........................................................................ 8
G. Sistematika Penulisan .................................................................................. 9
BAB II PERANG DALAM ISLAM
A. Pengertian Perang ....................................................................................... 11
B. Sejarah Perang ............................................................................................ 11
C. Perang dalam al-Qur`an ............................................................................. 16
BAB III JIHAD DALAM TAFSIR
A. Penafsiran Jihad dalam al-Qur`an QS. al-Taubah [9]: 44-45 ..................... 25
1. al-Jȃmi’ li Aḥkām al-Qur`ān karya al-Qurṭubī ....................................... 25
2. Mafâtȋḥ al-Gaīb karya al-Rāzī ................................................................ 27
3. Laṭā`if al-Isyārāt karya al-Qusyairī ........................................................ 31
4. Tafsīr al-Qur`ān al-‘Aẓīm karya Ibn Kaṡīr ............................................. 32
5. al-Taḥrīr wa al-Tanwīr karya Ibn „Ᾱsyūr .................................................. 34
6. al-Tafsīr al-Sya’rāwī karya al-Sya‟rāwī ..................................................... 36
1. al-Baḥr al-Madīd karya Ibn „Ajībah ................................................... 39
2. Abū Bakr al-Jaṣṣāṣ .............................................................................. 40
vi
BAB IV. ANALISIS TERHADAP TAFSIR QS. AL-TAUBAH [9]: 44-45
A. Argumentasi dalam Tafsir QS. al-Taubah [9]: 44-45 ................................ 42
1. Penafsiran Enam Tafsir ....................................................................... 42
2. Penafsiran al-Baḥr al-Madīd karya Ibn „Ajībah .................................... 50
3. Penafsiran Aḥkām al-Qur`ān karya al-Jaṣṣāṣ ........................................ 51
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................. 54
B. Saran-saran ................................................................................................. 55
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman Transliterasi Arab Latin yang merupakan hasil
keputusan bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan R.I. Nomor: 158 Tahun 1987 dan Nomor: 0543b/U/1987.
1. Konsonan
Daftar huruf bahasa Arab dan transliterasinya ke dalam huruf
Latin dapat dilihat pada halaman berikut:
Huruf arab Nama Huruf latin Nama
Alif
Tidak
dilambangkan
Tidak
dilambangkan
Ba
B Be
Ta
T Te
S|a
S|
Es (dengan titik
diatas)
Jim
J Je
H{a
H{
Ha (dengan titik
diatas
Kha
Kh Ka dan Ha
Dal
D De
Z|al
Z|
Zet (dengan titik
diatas)
Ra
R Er
Zai
Z Zet
Sin
S Es
Syin
Sy Es dan ye
S{ad
S{
Es (dengan titik di
bawah)
vii
D}ad
D{
De (dengan titik di
bawah)
T{a
T{
Te (dengan titik di
bawah)
Z}a
Z{
Zet (dengan titik
di bawah)
‘Ain
‘__ apostrof terbalik
Gain
G Ge
Fa
F Ef
Qof
Q Qi
Kaf
K Ka
Lam
L El
Mim
M Em
Nun
N En
Wau
W We
Ha
H Ha
Hamzah
__’ Apostrof
Ya Y Ye
Hamzah (ء) yang terletak di awal kata mengikuti vokalnya tanpa
diberi tanda apa pun. Jika ia terletak di tengah atau di akhir, maka
ditulis dengan tanda (’).
viii
2. Vokal
Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri atas
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau
harakat, transliterasinya sebagai berikut:
Tanda Nama Huruf latin Nama
Fath{ah A A ا
Kasrah I I ا
D{ammah U U ا
Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara
harakat dan huruf, transliterasinya berupa gabungan huruf, yaitu:
Tanda Nama Huruf latin Nama
Fath}ah dan ya ا ا
Ai A dan I
Fath}ah dan ا ا
wau
Au A dan U
Contoh:
ـا ـا haula : ا ا ا kaifa : ا
3. Maddah
Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harkat dan
huruf, transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:
Harkat dan Huruf
Nama Huruf dan tanda Nama
ى | ... ا ... ا
fath}ahdan alif atau ya
a>
a dan garis di
atas
ix
ا ى
kasrah dan ya
i>
i dan garis di
atas
ا
d}ammah dan wau
u>
u dan garis di
atas
Contoh:
ma>ta : ا اا
<rama : را ا ى
ـا ـا qi>la : ا
اا yamu>tu : ا ـ ا ا
4. Ta marbu>t}ah
Transliterasi untuk ta marbu>t}ah ada dua, yaitu: ta marbu>t}ah yang
hidup atau mendapat harkat fath}ah, kasrah, dan d}ammah, transliterasinya
adalah [t]. Sedangkan ta marbu>t}ah yang mati atau mendapat harkat sukun,
transliterasinya adalah [h].
Kalau pada kata yang berakhir dengan ta marbu>t}ah diikuti oleh
kata yang menggunakan kata sandang al- serta bacaan kedua kata itu
terpisah, maka ta marbu>t}ah itu ditransliterasikan dengan ha (h). Contoh:
raud}ah al-at}fa>l : را ا ا ـا األا ا ا
ا ـا ا ـا ـا ا ا ا ا ــا ـا al-madi>nah al-fa>d}ilah : ا ا
ـا ـا ـا al-h}ikmah : ا ا ا
x
5. Syaddah (Tasydi>d)
Syaddah atau tasydi>d yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda tasydi>d ( ا ), dalam transliterasi ini dilambangkan
dengan perulangan huruf (konsonan ganda) yang diberi tanda syaddah..
Contoh:
<rabbana : را ا ا ـ ا
ـا ـ ا ـا ا <najjai>na : ا
ـق al-h}aqq : ا ا ا
ـق al-h}ajj : ا ا ا
ـا nu‚ima : ا ا ا
ـا و aduwwun‘ : ا
Jika huruf ى ber-tasydid di akhir sebuah kata dan didahului oleh
huruf kasrah ( ا ىا ), maka ia ditransliterasi seperti huruf maddah (i>).
Contoh:
Ali> (bukan ‘Aliyy atau ‘Aly)‘ : ا ـا ىو
ـا ا ىق Arabi> (bukan ‘Arabiyy atau ‘Araby)‘ : ا
6. Kata Sandang
Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
huruf (alif lam ma‘arifah). Dalam pedoman transliterasi ini, kata sandang
ditransliterasi seperti biasa, al-, baik ketika ia diikuti oleh huruf syamsiah
maupun huruf qamariah. Kata sandang tidak mengikuti bunyi huruf
langsung yang mengikutinya. Kata sandang ditulis terpisah dari kata yang
mengikutinya dan dihubungkan dengan garis mendatar (-). Contohnya:
xi
ـا ـا al-syamsu (bukan asy-syamsu) : ا لا ا
al-zalzalah (az-zalzalah) : ا لز ا لا ا ـا
ا ـا ـا al-falsafah : ا ا ا
al-bila>du : ا ا ـ ا ـا ا
7. Hamzah
Aturan transliterasi huruf hamzah menjadi apostrof (’) hanya
berlaku bagi hamzah yang terletak di tengah dan akhir kata. Namun, bila
hamzah terletak di awal kata, ia tidak dilambangkan, karena dalam tulisan
Arab ia berupa alif. Contohnya:
ـا ا ا ta’muru>na : ا ا
’al-nau : ا ا ـا ا ا ا
syai’un : ا ا ء
اا ـا umirtu : ا
8. Penulisan Kata Arab yang Lazim digunakan dalam Bahasa Indonesia
Kata, istil ah atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata,
istilah atau kalimat yang belum dibakukan dalam bahasa Indonesia. Kata,
istilah atau kalimat yang sudah lazim dan menjadi bagian dari
pembendaharaan bahasa Indonesia, atau sudah sering ditulis dalam tulisan
bahasa Indonesia, tidak lagi ditulis menurut cara transliterasi di atas.
Misalnya kata Al-Qur’an (dari al-Qur’a>n), Sunnah, khusus dan umum.
Namun, bila kata-kata tersebut menjadi bagian dari satu rangkaian teks
Arab, maka mereka harus ditransliterasi secara utuh. Contoh:
xii
Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n
Al-Sunnah qabl al-tadwi>n
Al-‘Iba>ra>t bi ‘umu>m al-lafz} la> bi khus}u>s} al-sabab
9. Lafz} al-Jala>lah (هللا)
Kata ‚Allah‛yang didahului partikel seperti huruf jarr dan huruf
lainnya atau berkedudukan sebagai mud}a>f ilaih (frasa nominal), ditransli-
terasi tanpa huruf hamzah. Contoh:
ا اا billa>h ا ا ا di>nulla>h ا ـا
Adapun ta marbu>t }ah di akhir kata yang disandarkan kepada lafz} al-
jala>lah, ditransliterasi dengan huruf [t]. Contoh:
ـا ا ـا ـا ا ـا ـا ا hum fi> rah}matilla>h ا
10. Huruf Kapital
Walau sistem tulisan Arab tidak mengenal huruf kapital (All
Caps), dalam transliterasinya huruf-huruf tersebut dikenai ketentuan
tentang penggunaan huruf kapital berdasarkan pedoman ejaan Bahasa
Indonesia yang berlaku (EYD). Huruf kapital, misalnya, digunakan untuk
menuliskan huruf awal nama diri (orang, tempat, bulan) dan huruf
pertama pada permulaan kalimat. Bila nama diri didahului oleh kata
sandang (al-), maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal
nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Jika terletak pada
awal kalimat, maka huruf A dari kata sandang tersebut menggunakan
huruf kapital (Al-). Ketentuan yang sama juga berlaku untuk huruf awal
xiii
dari judul referensi yang didahului oleh kata sandang al-, baik ketika ia
ditulis dalam teks maupun dalam catatan rujukan (CK, DP, CDK, dan
DR). Contoh:
Wa ma> Muh}ammadun illa> rasu>l
Inna awwala baitin wud}i‘a linna>si lallaz \i> bi Bakkata muba>rakan
Syahru Ramad}a>n al-laz\i> unzila fi>h al-Qur’a>n
Nas}i>r al-Di>n al-T{u>si>
Abu>> Nas}r al-Fara>bi>
Al-Gaza>li>
Al-Munqiz\ min al-D}ala>l
xiv
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kata jihad berasal dari akar kata “al-jahdu” yang bermakna kesulitan. Ada
juga yang mengatakan berasal dari kata “al-juhdu” yaitu kemampuan, kapasitas
diri, dan sampai pada tujuan akhir yang telah diperjuangkan dengan maksimal.1
Dua kata ini memiliki turunan atau derivasi yang berbeda-beda, antara lain ialah
kata jahada. al-Rȃzî dalam Mukhtār al- i ā menyebutkan di antara contohnya
ialah kalimat jahada al-rajūl fī ka ā, bermakna seseorang bersusah payah dan
berhasil mencapai satu hal. Kata turunan lainnya ialah Mujāhadah-wa jihād,
bermakna mengerahkan segala kemampuan dan kekuatan.2
Selain makna bahasa, jihad juga didefinisikan oleh sebagian ulama dengan
memerangi orang kafir selain kafir immī.3 Kemudian ada juga yang mengatakan
mengerahkan segala kemampuan untuk memerangi musuh.4 Lainnya
mendefinisikan jihad dengan perjuangan secara sungguh-sungguh dengan
mengerahkan kemampuan dan kekuatan yang dimiliki seseorang untuk mencapai
tujuan, khususnya dalam melawan musuh, atau mempertahankan kebenaran,
kebaikan dan keluhuran.5
Dari pendapat di atas, ternyata sementara ulama seringkali mengaitkan
jihad dengan makna qitāl (perang). Di antara contoh jihad dimaknai perang adalah
penafsiran QS. al-Taubah [9]: 41 yang berisi perintah jihad dengan harta dan jiwa.
QS. al-Taubah [9]: 41
ذالكم خير لكم إن كنتم تعلمون انفروا خفافا وثقال وجاهدوا بأموالكم وأنفسكم في سبيل للاه
Artinya: “Berangkatlah kamu baik dengan rasa ringan maupun
dengan rasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan jiwamu di jalan Allah.
Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS.
al-Taubah [9]: 41)
1 Abū al-Fa l Jamāl al-Dīn ibn Manẓūr al-`Anṣārī, Lisān al-„Arab, Vol. 3 (Beirut: Dār
ṣādir, 1414 H), h. 133. 2 Mu ammad ibn Abī Bakr ibn „Abd al-Qāqir al-Rāzī, Mukhtār al- i āh. Vol. 1 (Beirut:
Maktabah Libanon Nāsyirūn, 1995 M/ 1415 H), h.119. 3 Ibrahim Mustafa dkk, al-Mu‟jam al-Wasī , Vol. 1 (Beirut: Dār al-Da‟wah, tt), h. 142.
4 Abū al-Qāsim al-Rāghib al-Aṣfahānī, al-Mufradāt fī Gharīb al-Qur`ān, Vol. 1 (Beirut:
Dār al-„Ilmi, 1412 H), h. 208. 5 Quraish Shihab, Tafsīr al-Miṣbā , Vol. 1, h. 396.
2
al-Sya‟rāwī menafsirkan ayat di atas terjadi pada saat perintah perang
Tabuk (9 H) diserukan Nabi Saw. Perang tersebut merupakan perang pertama
umat Islam dengan Romawi. Perintah perang ini bertujuan membangkitkan
keimanan orang mukmin dan pada saat yang sama membuka pintu taubat bagi
mereka yang lamban bergerak dalam perang Tabuk.6 Mengingat ada beberapa
kendala yang dikeluhkan sebagian orang terutama dengan kondisi kota yang tidak
memungkinkan untuk melakukan perjalanan jarak jauh.
Cuaca Madinah kala itu sangat panas, perjalanan cukup jauh, dan keadaan
perekonomian sedang sulit. Karenanya, perintah jihad menjadi ujian bagi orang-
orang beriman, baik menguji keyakinan maupun ketulusan mereka terhadap
agama Allah Swt dan sebagai pembeda antara mukmin dan munafik.7 Begitulah
situasi dan kondisi yang dialami oleh umat Islam menjelang Perang Tabuk.
Karenanya, wajar jika ada sebagian kalangan yang merasa ragu untuk mengikuti
jihad seperti dijelaskan dalam ayat berikut.
Firman Allah QS. al-Taubah [9]: 44-45
وم الخر أان يااهدوا بأامواالم واأان فسهم . لا ياستاأذنكا الذينا ي ؤمن ونا باهلل واالي ا وااهلل عاليم بالمتقيا.إناا ياستاأذنكا الذينا لا ي ؤمن و راددونا وم الخر واارتاابات ق لوب هم ف اهم ف رايبهم ي ات ا نا باهلل واالي ا
Artinya: “Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari
kemudian, tidak akan meminta izin (tidak ikut) kepadamu untuk berjihad
dengan harta dan jiwa mereka. Allah mengetahui orang-orang yang
bertakwa. Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu
(Muhammad), hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan
hari kemudian, dan hati mereka ragu, karena itu mereka selalu bimbang
dalam keraguan.” (QS. al-Taubah [9]: 44-45)
Perlu dicatat, QS. al-Taubah [9]: 44-45 menggunakan diksi jihad. Tapi,
sebagian mufassir mengartikannya sebagai qitāl. Ada teori yang mengatakan راة العب Berdasarkan teori tersebut, semestinya ayat ini dibawa ke dalam .بعموم اللفظ
konteks yang umum. Tapi, sebagian ulama membawa kepada ذه الياة باب ن زول ها ,ساyaitu Perang Tabuk.
8
6 al-Sya‟rāwī, Tafsīr al-Sya‟rāwī (Kairo: Akhbār al-Yaum, 1411 H), h. 5133.
7 Muhammad „Ali al- ābūnī, afwat al-Tafāsīr, Vol. 1, h. 346-348.
8 Zakariyyā Ibn Ghulām Qādir, Uṣūl al-Fiqh „alā Manhaj Ahl al- adīṡ, Vol. 1, (Jeddah:
Dār al-Kharāz, 2002 M/1423 H), h. 94.
3
Mereka yang ragu-ragu berusaha mengajukan izin kepada Nabi Saw agar
mendapat dispensasi tidak ikut berperang. Dalam hal ini, al-Qur ubī menyatakan
bahwa permohonan izin merupakan tanda kemunafikan. Pendapat yang sama
dikatakan al-Jaṣ āṣ dalam A kām al-Qur`ān li al-Jaṣ āṣ.9 Permohonan izin yang
dilakukan oleh sebagian kalangan dikarenakan mereka benci berjihad, lanjut al-
Qur ubī.
Jihad dilakukan seorang mukmin karena panggilan dari Allah. Sehingga
kecil kemungkinan baginya menolak perintah jihad. al-Qur ubī menambahkan
pada ayat berikutnya QS. al-Taubah [9]: 46 jika sekelompok orang yang izin
benar-benar ingin berjihad, pasti mereka sudah mempersiapkan keberangkatan
dengan baik. Kenyataannya mereka tidak siap. Maka ketidaksiapan tersebut
mengindikasikan bahwa mereka memang ingin ditinggalkan berjihad.10
Ibn „ syūr menyatakan orang-orang mukmin tidak akan meminta izin
kepada Nabi Saw pada saat perintah jihad diserukan. Adapun orang-orang yang
berhalangan seperti penyandang tuna netra tidak termasuk ke dalam golongan ini.
Sedangkan kaum mukmin yang tertinggal akan menyusul Nabi Saw ke medan
jihad, sehingga mereka tidak perlu meminta izin kepadanya.11
Berbeda dengan dua mufassir di atas, Ibn „Ajībah menafsirkan ayat ini
dengan makna isyārī. Ia mengatakan tidak pantas bagi para pendidik mengizinkan
murid-muridnya untuk absen dari jihad akbar. Mereka meminta dispensasi kepada
guru atas dasar kepentingan diri dan hawa nafsunya. Sikap guru yang tidak
mengizinkan murid-murid merupakan bentuk kasih sayang kepada mereka. Hal
ini dilakukan untuk melatih rohani para murid. Jika seorang guru mendorong
muridnya untuk terlepas dari keinginan, harta, dan kedudukan, menandakan ia
9 Abū Bakr Ahmad Ibn „Alī al-Rāzī al-Jaṣṣāṣ, A kām al-Qur`ān, Vol. 4 (Beirut: Dār
I yā`, 1992 M/1412 H), h. 309. 10
Muhammad Ibn Abȋ Bakr al-Qur ubī, al-Jâmi‟ li Ahkâm al-Qur`ân, Vol. 10 (Beirut: al-
Resalah, 2006 M/1427 H), h. 228-229. 11
Mu ammad āhir Ibn syūr, al-Ta rīr wa al-Tanwīr, Vol. 8 b (Tunisia: Dār al-
Tūnisiyyah, 1984), h. 211.
4
mencintai dan menasehati muridnya. Sebaliknya, jika ia melepaskan murid begitu
saja, ini menandakan guru tidak mencintai dan tidak ingin menasehatinya.12
Senada dengan Ibn „Ajībah, al-Qusyairī mencoba mengeksplorasi makna
jihad dalam pemaknaan sufistik. Ia menjelaskan ayat ini dengan mendeskripsikan
siapa itu mukmin. Orang mukmin ialah orang yang ikhlas dalam bertransaksi
apapun, tidak menyembunyikan padahal mampu mengerjakan, dan mampu
mengerahkan segala kemampuannya demi kepentingan agama Allah. Dengan
demikian, perbuatan seseorang merupakan refleksi keimanannya. 13
Sejauh yang bisa dipantau, perbedaan pendapat ini disebabkan salah
satunya karena perbedaan periode dan corak tafsir. Ulama-ulama klasik yang
masih menyimpan beban sejarah masa lalu memaknai jihad dengan mengangkat
senjata ke medan perang. Ulama kontemporer yang tidak menemukan jihad qitālī
seperti yang dipaparkan Baginda Nabi Saw akan mencoba melebarkan makna
jihad menjadi lebih luas. Tafsir yang bercorak fiqhī cenderung memaknai jihad
dengan perang karena berkaitan dengan historisitas atau asbāb al-nuzūl ayat,
sedangkan tafsir ṣūfī cenderung membawa jihad dalam pemaknaan berbeda,
bukan hanya perang. Karena itu, pokok bahasan ini menjadi penting untuk dikaji.
Karena itu, penulis menganggap perlu mengkaji atau menganalisis QS. al-
Taubah [9]: 44-45 dengan membandingkan delapan tafsir yang memiliki corak
dan periode berbeda untuk mendapatkan penjelasan lengkap mengenai penafsiran
dua ayat tersebut.
B. Identifikasi, Batasan, dan Rumusan Masalah
Seiring berjalannya waktu, jihad mengalami pergeseran makna, tidak
hanya peperangan melainkan dengan perjuangan demi menegakkan agama Allah.
Dalam hal ini, penulis akan mengidentifikasi masalah-masalah yang berkaitan
dengan jihad alam al-Qur`an, diantaranya:
Jihad menurut bahasa adalah kesulitan jika berasal dari “al-jahdu,” dan
kemampuan jika berasal dari “al-juhdu”. Jihad juga didefinisikan oleh sebagian
12
Abū al‟Abbā A mad Ibn Mu ammad Ibn „Ajībah, al-Ba r al-Madī, Vol. 10 (Kairo:
Hasan Abbas Zaki, 1999 M/1419 H), h. 386. 13
Abū al-Qāsim „Abd al-Karīm Ibn Hawāzin Ibn „Abd al-Malik al-Qusyairī, Tafsīr al-
Qusyairī al-Musamma bi La â`if al-Isyārāt, Vol. 1 (Beirut: Dār Kutub al-„Ilmiyyah, 1971 M), h.
424.
5
ulama dengan memerangi orang kafir selain kafir immī.14
Kemudian ada juga
yang mengatakan mengerahkan segala kemampuan untuk memerangi musuh.15
Lainnya mendefinisikan jihad dengan perjuangan secara sungguh-sungguh dengan
mengerahkan kemampuan dan kekuatan yang dimiliki seseorang untuk mencapai
tujuan.
Ayat yang digunakan dalam penelitia ini ialah QS. al-Taubah [9]: 44-45
yang berisi perintah jihad dengan harta dan jiwa dalam konteks perang Tabuk. 16
Dalam ayat ini, beberapa ulama seringkali mengaitkan jihad dengan makna qitāl
(perang). Pemaknaan tentang qitāl lebih banyak dimuat dalam tafsir fiqhī,
sementara tafsir bercorak sufi memuat uraian lain.
Ayat al-Qur`an dalam QS. al-Taubah [9]: 44-45 menggunakan diksi jihad.
Namun demikian, sebagian mufassir mengartikannya sebagai qitāl. Ada teori
yang mengatakan راة بعموم اللفظ Berdasarkan teori tersebut, semestinya ayat ini .العب
dibawa ke dalam konteks yang umum. Tapi sebagian ulama membawa kepada
ذه الياة باب ن زول ها .yaitu perang Tabuk ,سا17
Untuk membatasi penelitian ini, penulis hanya mengambil QS. al-Taubah
[9]: 44-45 yang turun dalam kondisi perang. Secara spesifik, rumusan masalah
dalam skripsi ini adalah “Bagaimana tafsir para ulama tentang QS. al-Taubah [9]:
44-45?”
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah dapat mendeskripsikan penafsiran jihad
dalam QS. al-Taubah [9]: 44-45, kemudian melakukan perbandingan penafsiran
klasik yaitu al-Qur ubī, al-Rāzī, al-Qusyairī, Ibn Kaṡīr, dan penafsiran modern
yaitu Ibn „ syūr, Mutawallī al-Sya‟rāwī, Ibn „Ajībah dan al-Jaṣṣāṣ.
D. Manfaat Penelitian
14
Ibrahim Mustafa dkk, al-Mu‟jam al-Wasī , Vol. 1 (Beirut: Dār al-Da‟wah, tt), h. 142. 15
Abū al-Qāsim al-Rāghib al-Aṣfahānī, al-Mufradāt fī Gharīb al-Qur`ān, Vol. 1 (Beirut:
Dār al-„Ilmi, 1412 H), h. 208. 16
al-Sya‟rāwī, Tafsīr al-Sya‟rāwī (Kairo: Akhbâr al-Yaûm, 1411 H), h. 5133. 17
Zakariyyā Ibn Ghulām Qādir, Uṣūl al-Fiqh „alā Manhaj Ahl al- adīṡ, Vol. 1, (Jeddah:
Dār al-Kharāz, 2002 M/1423 H), h. 94.
6
1. Secara Teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan
apakah perbedaan waktu para mufassir dan corak tafsir mempengaruhi poduk
tafsir atau tidak.
2. Secara Praktis
Secara praktis, pembahasan ini sekiranya dapat dijadikan sebagai tambahan
bahan bacaan atas persoalan pemaknaan jihad dalam al-Qur`an.
E. Tinjauan Pustaka
Riset mengenai jihad ini tidak baru. Oleh karenanya, penulis memuat
tinjauan pustaka berupa buku, skripsi, dan lain-lain yang pernah membahas tema
terkait untuk penulis bandingkan dan mencari titik perbedaannya dengan
penelitian yang sedang dilakukan, sehingga menjadi acuan bahwa karya tulis ini
belum dibuat oleh generasi sebelumnya. Hal ini memungkinkan penulis untuk
melanjutkan penelitian ini dan merampungkannya dengan baik.
Pertama, Buku Fiqh al-Jihād karya Yūsuf al-Qara āwī, menyatakan
bahwa jihad dapat berupa perang maupun yang lainnya. Buku ini hadir sebagai
koreksi terhadap pemahaman keliru tentang jihad juga penjelasan bagi mereka
yang antipati terhadap syariat Islam.18
Kedua, skripsi Ahmad Suhaemi. Penelitian ini bermaksud
membandingkan penafsiran jihad menurut Ibn Kaṡīr dan Sayyid Qu b. Keduanya
memiliki latar belakang berbeda. Ibn Kaṡīr tidak mewajibkan perang, Sayyid Qu b
berkata sebaliknya. Ini disebabkan karena ia tinggal di daerah jajahan.19
Keempat, skripsi Ahmad Anwar. Skripsi ini merupakan penelitian Living
Quran atas proses mujahadah yang merupakan turunan jihad. Temuannya adalah
mujahadah dapat dilakukan dengan membacaan ayat al-Qur`an secara istiqomah.20
Kelima, artikel Mohamad Rana, Reinterpretasi Makna Jihad (Studi
Pemikiran Yūsuf al-Qara āwī). Mohamad Rana menawarkan penafsiran ulang
tentang jihad yang diusung oleh Yūsuf al-Qara āwī.21
18
Yusuf al-Qaradhawi, Ringkasan Fikih Jihad, terj. Masturi Irham, dkk. (Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 2011), h. iv. 19
Ahmad Suhaemi, “Konsep Jihad: Studi Komparatif Pemikiran Sayyid Quthb Dan Ibnu
Katsir,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Bandung, 2013), 2. 20
Ahmad Anwar, “Pembacaan Ayat-ayat al-Qur`an dalam Prosesi Mujahadah dalam
Pondok Pesantren al-Luqmaniyyah Umbul Harjo Yogyakarta,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin
dan Pemikiran Islam, Universitas Islam Negeri Yogyakarta, 2014), 6.
7
Keenam, artikel Mega Hidayati, Islam Dan Kekerasan (Melihat Kembali
Jihad melalui Hermeneutika Fazlur Rahman). Artikel ini memiliki kemiripan
dengan artikel Mohamad Rana, yaitu fokus pada ayat-ayat jihad yang dijadikan
justifikasi untuk melegalkan tindak kekerasan oleh sebagian kalangan. Namun
demikian, Dalam artikel ini Mega Hidayati menggunakan pendekatan
Hermeneutika Fazlurrahman dengan teori double movement yang memahami ayat
al-Qur`an sesuai zaman sehingga melahirkan pemahaman yang berbeda.22
Ketujuh, artikel Ahmad Mushonnif Alfi dan Abdul Ghofur, Penafsiran
Abdullah Azzam atau Ayat-ayat Jihad: Studi Kritis terhadap Kitab fī Ẓilāl Sūrat
al-Taubah. Artikel ini berisi bantahan terhadap Abdullah Azzam yang meyakini
surah al-Taubah telah me-naskh lebih dari 120 ayat tentang perdamaian yang
turun sebelumnya. Hasil penelitian ini kaidah naskh yang digunakan bertentangan
dengan kaidah naskh „Ulūm al-Qur`ān.23
Kedelapan, artikel Muhammad Harfin Zuhdi, Fundamentalisme dan
Upaya Deradikalisasi Pemahaman al-Qur`an dan Hadis. Artikel ini berisi kritik
atas pemahaman semetara orang mengenai al-Qur`an dan hadis. Hasilnya adalah
pendekatan agama menjadi pendekatan paling tepat untuk melakukan
deradikalisasi pemahaman al-Qur`an dan hadis.24
Kesembilan, artikel Anung al-Hamat, dkk, Pendidikan Jihad menurut
Imam Bukhari. Artikel ini berisi bantahan terhadap sebagian kalangan yang keliru
memahami jihad dengan menempatkan operasi dan aksi jihad bukan pada
tempatnya. Di sisi lain, muncul kalangan yang ingin mereduksi makna jihad
seolah-olah tidak berkaitan dengan perang. Mereka mengusulkan untuk
menghapus materi jihad dalam pendidikan. Hasil penelitian ini adalah program
21
Mohamad Rana, “Reinterpretasi Makna Jihad: Studi Pemikiran Yusuf Qardhawi”. IAIN
Cirebon: Inklusif 2, no.1 (2017): 85. 22
Mega Hidayati, “Islam dan Kekerasan: Melihat Kembali Jihad melalui Hermeneutika
Fazlur Rahman”. Pascasarjana UMY: Jabal Hikmah 4, no.2 (2015): 234-235.
23 Ahmad Mushonnif Alfi dan Abdul Ghofur, “Penafsiran Abdullah Azzam atas Ayat-
ayat Jihad: Studi Kritis terhadap Kitab fȋ Zilâl Sȗrat al-Taubah”. STAI Al Anwar Sarang
Rembang: al-Itqan 1, no.2 (2015): 99. 24
Muhammad Harfin Zuhdi, “Fundamentalisme dan Upaya Deradikalisasi Pemahaman
al-Qur`an dan Hadis”. UIN Syahid: Religia 13, no.1, (2010): 81.
8
pendidikan jihad dalam kitab Jihâd wa Siyar mencakup enam aspek, yaitu:
keimanan; akhlak; spiritual; hakikat jihad; jasmani; dan kesiapan jihad.25
Kesepuluh, artikel Zakiya Darajat, Jihad dinamis: Menelusuri Konsep dan
Praktik Jihad dalam Sejarah Islam. Skripsi ini berusaha menelusuri bagaimana
terjadinya dinamisasi praktik jihad dalam sejarah umat Islam, sejak masa Nabi
Saw hingga masa pergerakan umat Islam Indonesia. Hasil penelitian ini adalah
umat Islam dapat memaknai konsep jihad sesuai dengan situasi dan kondisi yang
mereka hadapi. Dalam konteks apa jihad dimaknai sebagai sebuah perjuangan
spiritual, etis dan moral (jihad akbar), dan dalam konteks apa jjihad dimaknai
sebagai perjuangan fisik atau perang (jihad aṣghar).26
Penelitian-penelitian ini masih bersifat parsial, tidak mengelaborasi
bagaimana jihad klasik-modern. Skripsi ini mencoba menganalisis penafsiran-
penafsiran ulama dari sisi periode dan corak tafsir masing-masing.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library
research) yaitu teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi terhadap
buku-buku, skripsi, serta bahan tulis lainnya yang berkaitan dengan masalah yang
akan dikaji.
2. Metode Pengumpulan Data
a. Sumber Data Primer
Data primer pertama yang digunakan dalam penelitian ini adalah al-Jāmi‟
li A kām al-Qur`ān karya al-Qur ubī, Mafātī al-Ghaib karya al-Rāzī, La ā`if al-
Isyārāt karya al-Qusyairī, Tafsīr al-Qur`ān al-„Aẓīm karya Ibn Kaṡīr. Keempat
kitab ini merupakan kitab-kitab klasik. Selanjutnya al-Ta rīr wa al-Tanwīr karya
Ibn „ syūr, al-Tafsīr al-Sya‟rāwī karya al-Sya‟rāwī, al-Ba r al-Madȋd karya Ibn
„Ajībah, dan A kām al-Qur`ān li al-Jaṣ āṣ. Keempat kitab ini adalah kitab tafsir
modern sebagai representasi dari penafsiran pada zamannya.
25
Anung al-Hamat, dkk., “Pendidikan Jihad menurut Imam Bukhari: Studi Naskah Hadis-
hadis Kitab al-Jihâd dalam Sahȋh al-Bukhârȋ” Universitas Ibn Khaldȗn Bogor:Ta‟dibuna 5, no.2
(2016): 231-232. 26
Zakiya Darajat, “Jihad Dinamis: Menelusuri Konsep dan Praktik Jihad dalam Sejarah
Islam” UIN Jakarta: Ijtihad 16, no.1 (2016): 1-22.
9
b. Sumber Data Sekunder
Data sekunder adalah data pendukung seperti buku, kitab tafsir, kitab
hadis, kamus, skripsi, tesis dan lain-lain yang bisa dipertanggungjawabkan
kebenarannya dan berkaitan pada pokok masalah yang dibahas dalam penelitian
ini.27
3. Metode Analisis Data
Berangkat dari objek kajian dalam penelitian ini adalah penafsiran satu
ayat dari beragam tafsir klasik-modern, penulis menggunakan pendekatan dalam
penelitian ilmu tafsir, yakni metode muqāran.
Adapun langkah-langkah metode muqāran adalah sebagai berikut: 1)
Memuat ayat yang akan dikaji; 2) Mengemukakan penjelasan mufassir mengenai
ayat tersebut; 3) membandingkan pendapat mereka untuk memetik persamaan dan
perbedaannya.28
Selain menggunakan metode muqāran, penulisan penelitian ini
menggunakan metode deskriptif-analisis. Penulis menggunakan metode ini untuk
mendeskripsikan penafsiran mufassir klasik-moden dengan berbagai corak dalam
tema yang dibahas.
4. Teknik Penulisan
Teknik penulisan skripsi ini menggunakan Pedoman Transliterasi Arab
Latin yang merupakan hasil keputusan bersama (SKB) Menteri Agama dan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. Nomor: 158 Tahun 1987 dan Nomor:
0543b/U/1987.
G. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, penulis membaginya ke dalam lima bab,
adalah sebagai berikut:
Bab I memaparkan perdebatan mendasar seputar jihad dalam tafsir,
terutama pemaknaan jihad itu sendiri, selanjutnya mengidentifikasi masalahnya
untuk menentukan pembatasan masalah yang akan dibahas dan menjadi rumusan
masalah yang dituangkan dalam bentuk pertanyaan. Penelitian ini juga memiliki
tujuan dan manfaat yang diharapkan menjadi bahan kajian tentang jihad dalam
27
Sumardi Surya Brata, Metode Penelitian (Jakarta: Grafindo Persada, 1998), h.85. 28
Abd al-Hayy al-Farmāwī, Metode Tafsir Maudȗ‟ȋ, terj. Rasihon Anwar (Bandung:
Pustaka Setia, 2002), h. 39.
10
tafsir, disertai penelitian yang relevan agar memiliki perbedaan dengan studi-studi
lainnya dan menggunakan metode penelitian kualitatif serta metode analisis
berupa muqāran antar delapan kitab tafsir dengan latar belakang mufassir yang
berbeda, juga periode dan corak tafsir yang berbeda, dengan demikian diharapkan
dapat mendeskripsikan penafsiran dan kecenderungannya.
Bab II memuat pandangan umum tentang jihad dalam al-Qur`an. Penulis
menyuguhkan pengertian dan klasifikasinya. Penulis melanjutkan dengan sejarah
perang (jihad qitālī), lalu menyajikan jihad dan perang dalam dalam al-Qur`an.
Bab III, setelah memuat pandangan umum tentang jihad qitālī, berikutnya
menguraikan penafsiran ulama terkait jihad qitālī, baik menurut ulama klasik
yaitu al-Qur ubī, al-Rāzī, al-Qusyairī, Ibn Kaṡīr, maupun ulama modern yaitu Ibn
„ syūr, Mutawallī al-Sya‟rāwī, Ibn „Ajībah, dan al-Jaṣṣāṣ. Hal ini bertujuan
memberi informasi tentang pandangan mufassir terhadap ayat yang dibahas.
Bab IV, setelah menguraikan penafsiran mufassir, berikutnya melakukan
analisis- muqāran antar delapan kitab tafsir dengan menuangkannya ke dalam
tabel yang berisi tafsir QS. al-Taubah [9]: 44-45. Setelah itu, menjelaskan
persamaan dan perbedaan jihad dan qitāl. Kemudian melakukan kritik terhadap
tafsir jihad.
Bab V, setelah melakukan analisis- muqāran antar delapan kitab tafsir dan
menjelaskan persamaan dan perbedaan argumentai tafsir QS. al-Taubah [9]: 44-
45, selanjutnya adalah menyuguhkan jawaban yang telah didapat dari pertanyaan
yang ada di rumusan masalah.
11
BAB II
PERANG DALAM ISLAM
A. Pengertian Perang
Mengingat dalam pembahasan sebelumnya kata jihad periode Madinah
cenderung dimaknai perang, penting bagi penulis memuat definisi perang itu
sendiri. Kata perang dalam bahasa arab disebut ال ت ق . Kata ini secara bahasa ialah
bentuk maṣdar dari kata qātala-yuqātilu memiliki tiga pengertian: 1) berkelahi
melawan seseorang; 2) memusuhi; dan 3) memerangi musuh. Kata qitāl adalah
salah satu bentuk derivasi dari kata qatala-yaqtulu yang memiliki arti mencampur,
mematikan, membunuh, menyembelih, menghilangkan ruh, mengutuk, menolak
keburukan, merendahkan. Salah satu contoh kata ini ialah summun qātil yang
bermakna racun yang mematikan.1
Menurut para pakar tafsir, qitāl adalah berperang melawan musuh-musuh
Islam dari kalangan orang kafir. Sebagian yang lain memberi definisi bahwa
berperang melawan musuh Islam berarti berjihad menghadapi mereka dengan
tujuan dapat menghancurkan, menundukkan, memaksa atau melemahkan mereka.2
B. Sejarah Perang
Sejarah perang berlangsung cukup lama dan merata di berbagai belahan
dunia. Pada 1861-1865, terjadi konflik atau perang sipil di Amerika Serikat antara
negara-negara bagian utara dan selatan. Kelompok bagian utara meyakini
peperagan tersebut dapat membersihkan bangsa dari dosa. Merespon konflik ini,
para pengkhotbah mengumumkan kiamat sudah dekat. Selanjutnya pengusiran
umat Yahudi dari Rusia tahun 1891. Berlanjut dengan pogrom (pembunuhan
besar-besaran terhadap orang Yahudi) di Kishinev yang didalangi Kementrian
Dalam Negeri. Lima puluh orang meninggal dan lima ratus luka-luka. Berikutnya
Perang Salib, yaitu perang antara umat Kristen dan Islam. Perang ini bertujuan
membela kepercayaan agama Kristen dan merebut tanah suci Yerussalem dari
penguasa Islam. Pada 1950-an, India menjadi saksi pembantaian orang-orang
1 A mad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’aṣirah, Vol. 3 (Beirut: lim
al-Kitāb, 2008 M/1429 H), h. 1775. 2 Lilik Ummu Kaltsum dan Abd. Moqsith Ghazali, Tafsir Ahkam (Ciputat: UIN Press,
2015), h. 155.
12
Muslim oleh kelompok Hindu fundamentalis radikal di beberapa kota, terutama
Heydrabad yang menjadi ladang pembantaian terbesar dari yang lain.3
Data di atas menunjukkan bahwa kehidupan umat beragama lekat dengan
pertumpahan darah, termasuk agama Islam. Embrio pertikaian dalam Islam
terlihat ketika Nabi Saw pertama kali diutus kepada kaum Quraisy Makkah untuk
menyebarkan ajarannya. Berbagai respon negatif dilontarkan masyarakat sekitar,
mulai dari caci maki, tuduhan gila terhadap Nabi Saw, sampai ancaman jika umat
Islam secara terang-terangan beribadah di hadapan mereka, seperti Ibn Mas‟ūd
yang dipukuli oleh Abu Jahal dan kawan-kawan saat membaca al-Qur`an di depan
Ka‟bah. Ibn Is āq meriwayatkan dari Ya yā bin Zubair dari Bapaknya, ia berkata
bahwa ia merupakan orang pertama setelah Rasulullah Saw yang membaca al-
Qur`an dengan lantang.4 Ketika umat Islam melaksanakan shalat, tiba-tiba
segerombolan kaum musyrik datang menyergap mereka. Akhirnya, terjadilah
bentrok antara kedua belah pihak. Tak terima dengan perlakuan musyrik, Sa‟d bin
Waqāṣ dari Bani Zuhroh melukai salah seorang kafir dengan panah.5 Sejarah
mencatat, inilah pertumpahan darah pertama dalam Islam. Hal ini mendapat
respon Allah Swt dalam ayat yang memerintahkan Nabi Saw dan para sahabat
untuk bersabar.
اص و ل ي اج ر ج ى م ى ر ج اى و ن و ل و ق اي ىم ل ع ب Artinya: “Bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan
jauhilah mereka dengan cara yang baik.”
Ayat ini ditafsirkan agar tidak menentang musyrik Makkah (ketika
sebelum hijrah). al-Wā idī, Ibn „ syūr, dan al-Rāzī sepakat ayat ini di-naskh oleh
ayat-ayat qitāl.6
Tidak tahan dengan perlakuan musyrik, Nabi Saw memboyong para
sahabat hirah ke Madinah (sebelumnya Yatsrib), tepatnya pada hari Senin, tahun
13 pasca kenabian setelah sempat menginap di rumah Banȋ „Amr bin „Auf di
3 Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama (Depok: Kata Kita, 2009), h. 356.
4 „Abd al-Mālik bin Hisyam, al-Sīrah al-Nabawiyyah, Vol. 2 (Beirut: Dar al-Jail, 1411),
h. 156. 5 Ibn Kaṡīr, al-Bidāyah wa al-Nihāyah, Vol. 3 (Beirut: Maktabah al-Ma‟ârif, tt), h. 243.
6 „Ali bin A mad al-Wā idī, al-Wajīz fī Tafsīr al-Kitāb al-‘Azīz, Vol. 1, h. 1145. Lihat
juga Ibn „ syūr, al-Ta rȋr wa al-Tanwīr Vol. 8, h. 130. Lihat juga Fakhruddīn al-Rāzī, Mafātī al-
Ghaib Vol. 16, h. 123.
13
Quba, daerah dekat Madinah.7 Sekalipun sudah hijrah, ancaman kaum Quraisy
senantiasa mengintai mereka. Dalam konteks ini, peperangan antara kelompok
Nabi Saw dan kaum Quraisy tak terbantahkan ditandai dengan legalitas dari Allah
melalui firman-Nya sebagai berikut:
QS. al- ajj [22]: 39-40
ل د ي ار ى أ ذ ن ر ج و ام ن أ خ ل ق د ي ر.الذ ي ن اهلل ع ل ىن ص ر ى م ظ ل م و او إ ن ب أ ن ه م ي ق ات ل و ن لذ ي ن ب م ي ق و ل و ار ب ن ااهلل أ ن ... إ ل
Artinya: “Telah diizinkan berperang bagi orang-orang yang
diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya, dan sesungguhnya
Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka. (Yaitu) orang-orang
yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar,
tak lain karena perkataan mereka, “Tuhan kami hanyalah Allah”… (QS.
al- ajj [22]: 39-40)
Menurut Qatādah, ayat ini ialah ayat pertama mengenai perizinan
berperang melawan kezaliman orang-orang kafir Quraisy Makkah. al-Qur ubī dan
abā abā`ī menyatakan ayat ini merupakan rekomendasi kepada umat Islam untuk
memerangi orang kafir yang mengintimidasi, memusuhi dan menyiksa mereka.
Sedangkan al-Jaṣṣāṣ mengatakan ayat ini mencakup dua hal, yaitu: 1) kebolehan
memerangi orang yang telah dahulu memerangi umat Islam 2) legalitas perang
secara umum, baik secara defensif maupun ofensif.8
Berdasarkan sejarah, selama Nabi Saw hidup telah terjadi berbagai
peristiwa peperangan. Tercatat ada 17 peperangan yang diikuti Nabi Saw. Ada
yang mengatakan 19 kali. Peperangan ini terjadi bukan semata-mata karena agama
yang berbeda, melainkan sebagai perlawanan dari kezaliman musuh terhadap
umat Islam pada waktu itu.
Tahun 2 H telah berlangsung Perang Badar. Peperangan yang terletak di
rute pesisir Syiria dan Makkah kearah Barat. Jarak antara Badar dan Madinah
adalah 160 km. Peperangan ini dimenangkan umat Islam, meskipun jumlah
7 Syihābuddīn Ma mūd bin „Abdillāh al-` lūsī, Rū al-Ma’ānī, Vol. 14 (Beirut: Dār al-
Kutub al-„Ilmiyyah, 1415 H), h. 295. 8 Abū Bakr Ahmad Ibn „Alī al-Rāzī al-Jaṣṣāṣ, A kām al-Qur`ān, Vol. 4, h. 320.
14
pasukan Islam hanya 350 orang sedangkan kafir Quraisy mencapai 1000 orang.
Inilah kemenangan pertama umat Islam sepanjang sejarah peperangannya.9
Meskipun menguntungkan umat Islam, kemenangan Badar menyisakan
luka bagi kaum Quraisy.10
Mereka sepakat untuk membalas dendam dengan misi
menyerang Madinah dan membunuh Nabi Saw. Peperangan berlanjut. Perang ini
kemudian diberi nama Perang Uhud, terjadi pada bulan pertengahan bulan Syawal
tahun 3 H. Namun sayang, umat Islam mengalami kekalahan. Nabi Saw sempat
terluka; sebuah lemparan batu keras dari „Utbah bin Waqqāṣ mengenai mulutnya,
menyobek bibir bawahnya, dan menanggalkan satu giginya. Jumlah syahid dalam
perang ini tidak kurang dari 70 orang. Sementara dari pihak musuh hanya 22
orang.
Peperangan Nabi Saw lainnya ialah Perang Parit.Umat Islam mengalami
kemenangan berkat strategi perang Salmān al-Fārisī dengan membuat parit di
setiap sisi kota. Meskipun pasukan kaum mukmin hanya 3000 orang, sementara
Musyrik Makkah mencapai 10.000 orang.11
Perang ini merupakan perang defensif
terakhir yang dilakukan Nabi Saw bersama sahabatnya, juga sebagai pembuka
peperangan ofensif bagi umat Islam.
Peperangan berikutnya yang direkam dalam al-Qur`an adalah Perang
Hunain. Perang ini terjadi setelah penaklukan Makkah. Penaklukan ini seakan
seperti sambaran halilinta yang disaksikan bangsa Arab. Kabilah-kabilah yang
hidup bersebelahan dengan Makkah dikejutkan oleh suatu kenyataan yang tidak
dapat dielakkan. Oleh karena itu, kabilah-kabilah yang masih menolak masuk
Islam hanyalah kabilah yang kuat dan congkak, yang dipelopori oleh kabilah
Hawazin dan Tsaqif. Beberapa kabilah lain juga ikut bergabung bersama mereka,
yaitu kabilah Nash bin Jasym, Sa‟d bin Bakr, dan beberapa orang dari Bani Hilal
yang semuanya berasal dari Qais bin Ailan.kabilah-kabilah ini memandang bahwa
dirinya tak pantas tunduk kepada kaum muslimin meskipun mereka telah meraih
kemenangan. Mereka berhimpun di bawah pimpinan Malik bin „Auf al-Nasri, dan
mereka mengambil keputusan untuk berangkat memerangi kaum Muslim.
9 Abd Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama (Depok: Kata Kita, 2009), h. 365-
363. 10
al-Mubārakfūrī, Sejarah Hidup Muhammad terj. Rahmat, (Jakarta: Robbani Press,
2010), h. 323. 11
Abd Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama, h. 365-367.
15
Setelah panglima tertinggi, Malik bin Auf, memutuskan berangkat untuk
memerangi kaum Muslimin, dia pun memberangkatkan pasukan dengan
membawa harta benda, istri, dan anak-anak mereka. Mereka berhenti di Autas,
yaitu suatu lembah di lembah Hawazin dekat Hunain, namun lembah Autas tidak
termasuk lembah Hunain. Hunain adalah suatu lembah yang terletak di sebelah
Dzul Majaz.dua belas mil dari Makkah, dari arah Arafah.
Setelah mereka tiba di Autas, beberapa orang berkumpul dan di antara
mereka terdapat Duraid bin al-Samah, yaitu seorang yang sudah tua, pemberani
dan berpengalaman dalam medan perang. Duraid bertanya, “Kalian berada di
lembah apa?” mereka menjawab, “Di lembah Autas.” Duraid berkata, „Ya, sutau
tempat yang cocok untuk kuda, tanahnya tidak keras dan tidak berbatu serta tidak
datar. Tetapi, mengapa saya mendengar lenguhan onta, ringkikan keledai, tangis
bayi, dan embekan domba?” Mereka menjawab, “Malik bin Auf telah membawa
harta benda, kaum wanita dan anak-anak bersama pasukan.” Duraid kemudian
memanggil Malik dan menanyakan kepadanya apa yag mendorongnya melakukan
hal itu. malik menjawab, “Saya ingin menempatkan harta benda dan keluarga
berada di belakang setiap orang, sehingga ia berperang untuk mempertahankan
mereka.” duraid berkata, “Demi Allah, ini sama dengan mengembala domba.
Apakah orang yang kalah dapat mengembalikan sesuatu? Jika engkau menang,
maka yang bermanfaat bagimu hanyalah lelaki dengan pedang dan tombaknya;
dan jika engkau kalah, maka engkau telah menimpakan bencana kepada keluarga
dan hartamu.
Duraid kemudian bertanya kepada beberapa kabilah dan pemimpin
mereka, lalu berkata, “Wahai Malik, engkau engkau masih belum berbuat apa-apa
walaupun engkau telah membawa harta benda, kaum wanita, anak-anak Hawazin
bersama pasukan. Pindahkanlah mereka ke tempat yang aman di puncak bukit.jika
engkau menang, mereka akan menyusulmu; dan jika engkau kalah, mereka juga
akan menemukanmu. Dengan demikian, engkau telah melindungi harta dan
keluargamu.12
12
al-Mubārakfūrī, Sejarah Hidup Muhammad terj. Rahmat, (Jakarta: Robbani Press,
2010), h. 628.
16
Singkat cerita pasukan Islam tiba di Hunain tanggal 10 Syawwal 9 H.
Keesokan harinya, peperangan dimulai. Terjadi pertempuran sengit antara
pasukan Islam dan pasukan musuh. Pasukan Islam dikejutkan oleh serbuan anak
panah. Namun demikian, hal ini dapat diatasi. Pasukan musuh akhirnya dapat
dikalahkan. Dalam pertempuran tersebut, Abū‟Ᾱmir al-Asy‟arī terbunuh.13
Tahun 9 H, Nabi Saw memperoleh informasi bahwa Byzantium tengah
mengerahkan pasukan besar-besaran di Syiria untuk menggempur kaum
muslimin. Hal ini disebabkan kekhawatiran mereka mengenai penyebaran Islam
yang meluas di Syiria. Byzantium bermaksud hendak menghabisi kekuatan baru
ini sebelum persoalan menjadi runyam. Nabi Saw menghadapi situasi baru. Ia
memutuskan menghadapi Byzantium dengan beberapa alasan, salah satunya
menyebarkan Islam ke luar Jazirah Arab sekaligus mempertahankan internal
Jazirah yang telah bernaung di bawah bendera Islam dari serangan Byzantium.14
Perang ini kemudian dikenal dengan Perang Tâbȗk (9 H).15
Perang yang dilakukan Nabi Saw bukan karena permusuhan atau
kebencian, melainkan perang untuk perdamaian. Peperangan terpaksa dilakukan
Nabi Saw demi tegaknya ketentraman dan kebebasan beragama. Karena itu,
menjelang peperangan Nabi Saw selalu memberi wejangan agar memperhatikan
nilai-nilai kemanusiaan. Nabi Saw melarang sahabat untuk mengenai wajah
musuh sekiranya pembunuhan harus dilakukan, karena pada wajah terdapat
kehormatan manusia. Pada kesempatan lain Nabi Saw berpesan untuk tidak
memerangi manula, para rahib, anak kecil dan kaum perempuan.16
Sebuah hadis
13
al-Mubārakfūrī, Sejarah Hidup Muhammad terj. Rahmat, (Jakarta: Robbani Press,
2010), h. 634. 14
Nizar Abazhah, Perang Muhammad: Kisah Perjuangan dan Pertempuran Rasulullah
(Jakarta: Zaman, 1432 H/ 2011 M), h. 269. 15
Mu ammad „Alī al- ābūnī dalam tafsirnya, Safwah al-Tafāsīr mengatakan lawan Nabi
Saw dan kaum muslimin dalam perang ini adalah orang Romawi yang berada di Syiria. Padahal,
hari itu merupakan hari yang sangat panas, perjalanan cukup jauh, dan keadaan perekonomian
sedang sulit. Yang demikian menjadi ujian bagi orang-orang beriman, baik ujian keyakinan
maupun keikhlasan mereka terhadap agama Allah Swt dan sebagai pembeda antara mereka dan
orang-orang munafik. Ibn „Abbās berkata: “Aku bertanya kepada „Alī kenapa tidak ditulis
basmalah, dan ia menjawab: “Karena basmalah itu keamanan, ketenteraman, sedangkan barā`ah
turun dengan perang, tidak ada keamanan.” Dengan demikian, surah ini turun dalam kondisi
perang. Mu ammad „Alī al- ābūnī dalam tafsirnya, afwah al-Tafāsīr (Beirut: Dār al-Qur`ān al-
Karīm, 1981 M/1402 H), h. 518-519. 16
Diriwayatkan dari Anas bin Mālik r.a ia berkata “Pergilah dengan menyebut nama
Allah dan atas agama Rasul-Nya. jangan membunuh orang yang tua yang sudah sepuh, anak-anak,
dan wanita dan jangan berbuat curang dan kumpulkan ghanimah kalian, perbaiki diri dan berbuat
17
menceritakan ada seorang perempuan yang mati terbunuh di suatu peperangan.
Atas kejadian itu, Nabi Saw marah dan melarang membunuh perempuan dan
anak-anak.17
Fakta-fakta historis di atas membuktikan bahwa peperangan yang terjadi
pada zaman Nabi Saw dilakukan dalam rangka membela diri, dengan tetap
menjaga nilai kemanusiaan sesuai ajaran Nabi Saw. Peperangan juga dilakukan
sebagai perlawanan atas penindasan yang diterima umat Islam. Dengan demikian
bisa disimpulkan, semua peperangan yang terjadi di Madinah adalah peperangan
politik bukan peperangan agama. Perbedaan agama tidak menjadi penyebab utama
Nabi Saw melakukan peperangan.18
Itulah karakter peperangan yang dipimpin Nabi Saw. Jenis Perang ini
dikenal sebagai ghazwah. Karenanya, Nabi Saw tidak mengikuti semua perang.
Adapun perang yang tidak diikuti Nabi Saw disebut sebagai sariyyah.19
C. Perang dalam al-Qur`an
Jihad qitālī dalam al-Qur`an ialah serangkaian peristiwa peperangan yang
dimuat al-Qur`an dalam ayat-ayat jihad. Tidak semua peperangan dimuat dalam
al-Qur`an. Sebagian diterangkan dalam buku sirah, sebagian lainnya dalam hadis
Nabi Saw. Karenanya, dalam sub-bab ini penulis akan mendeskripsikan jihad
qitālī dalam bingkai al-Qur`an. Apa saja peristiwa perang yang terekam dalam al-
Qur`an sehingga menjadi penting dan menarik untuk dibahas. Adapun jihad qitālī
yang dimuat dalam al-Qur`an antara lain Perang Badar, Perang Uhud, Perang Parit
dan Perang Tabuk.
Umat Islam mendengar berita tentang pergerakan kafilah dagang besar
dari Syam yang membawa harta perniagaan yang sangat banyak milik kaum
Quraisy dibawah komando Abu Sufyan. Mereka dikawal tiga puluh sampai empat
baiklah!”. Abū Dāwūd al-Sijistānī, Sunan Abī Dāwūd, Vol. 2 (Beirut: Dār al-Kitāb al-„Arabī, tt), h.
342. 17
Diriwayatkan dari Ibn „Umar r.a ia berkata “Telah ditemukan seorang perempuan yag
terbunuh dalam peperangan Rasulullah Saw, maka Rasulullah Saw elarang membunuh perempuan
dan anak kecil.” Lihat Mu ammad bin Ismā‟īl al-Bukhārī, a ī al-Bukhārī, Vol. 4 (Beirut: Dār
ūq al-Najāh, 1422 H), h. 604. 18
Abd Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama, h. 369. 19
Sariyyah adalah sekelompok pasukan perang. Ada juga yang mengatakan maknanya
adalah 40 pasukan terbaik. Dinamakan sariyyah karena para pasukan memulai perjalanan menuju
medan perang pada malam hari. Secara diam-diam agar tidak diketahui apalagi dihadang musuh
sebelum peang dimulai. Lihat Abū al-Fa l Jamāl al-Dīn ibn Manẓūr al-`Anṣārī, Lisān al-‘Arab,
Vol. 14, h. 383.
18
puluh orang. Rasulullah mengutus Basbas bin Amru untuk mengumpulkan
informasi tentang kafilah. Setelah Basbas kembali, Rasulullah mengajak para
sahabatnya untuk berangkat seraya bersabda, “Ini adalah rombongan kafilah
Quraisy yang di dalamnya terdapat harta benda mereka, maka pergilah kalian ke
sana, semoga Allah menjadikannya sebagai harta rampasan bagi kalian.” Pada
saat itu dua kubu tersebut berada dalam status perang. Sudah maklum, pada status
perang harta dan jiwa musuh hukumnya adalah mubah. Apalagi jika sebagian
harta yang dibawa kafilah dagang Quraisy adalah milik kaum muslimin. Namun,
hal ini diketahui Abu Sufyan. Ia segera mengubah arah perjalanan ke arah pesisir
pantai, juga memerintahkan „Amr bin am am al-Ghifārī untuk meminta bantuan
kaum Quraisy guna menyelamatkan kafilah dan barang dan barang dagangan
mereka.20
Kabar ini menyulutkan amarah pembesar Quraisy. Mereka menganggap
ini sebagai penghinaan terhadap sebuah kehormatan dan mengancam kepentingan
ekonomi mereka. Namun, sampai di Juhfah Abu Sufyan merasa aman. Ia
mengirim surat kepada kaum Quraisy untuk kembali ke Makkah. Hal ini menuai
kontroversi di kalangan mereka. Sebagian besar bersikukuh untuk maju ke Badar
guna memberi pelajaran pada kaum Muslimin, lainnya pulang ke Makkah seperti
Bani Zahroh. 21
Mendengar kabar kelolosan kafilah Quraisy dan keinginan keras pembesar
Quraisy memerangi umat Islam, Nabi Saw segera bermusyawarah dengan para
sahabat. Sebagian sahabat tidak setuju berperang, karena tidak berniat dan tidak
seiap berperang. Para sahabat berusaha meyakinkan Nabi Saw dengan argumen
mereka. kemudian turun ayat yang menggambarkan kondisi mereka pada saat itu.
و إ نف ر ي ق ام ن ال م ؤ م ن ي ل ك ار ى و ن ب ال ب ي ت ك م ن ر بك ر ج ك اأ خ ك م Artinya: “Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dari
rumahmu dengan kebenaran, meskipun sesungguhnya sebagian dari orang-
orang yang beriman itu tidak menyukainya.” (QS. al-Anfāl [8]: 5)
20
al-Mubārakfūrī, Sejara Hidup Muhammad terj. Rahmat (Jakarta: Robbani Press, 2010),
h. 278. 21
„Ali Mu ammad al- alabī, Peperangan Rasulullah terj. Arbi dan Nila Noerfajariyah
(Jakarta: Ummul Qura, 2017), h. 67-71
19
Para pembesar kaum Muhajirin sepakat mendukung gagasan untuk maju
menghadapi musuh. Di antara mereka ada yang menguatkan Nabi Saw dengan
sikap istimewa. Antara lain adalah al-Miqdād bin al-`Aswad yang menyanggupi
berperang bersama Nabi Saw, menemani di sayap kanan dan kirinya di depan atau
belakangnya.22
Riwayat lain menyebutkan ia akan menemani Nabi Saw selama ini
perintah Allah Saw.23
Hal serupa dilakukan kaum Anshar. Sa‟d bin Mu‟ā bangkit
dan menyatakan janji setia untuk mendengar dan menaati Nabi Saw. Mendengar
dua perwakilan dari kubu besar tersebut, Nabi Saw tergugah, semangatnya
membara untuk bertempur bersama sahabat. Hal ini menunjukkan urgensi
musyawarah sebelum peperangan, karena ia menentukan nasib umat di masa
mendatang.24
Singkat cerita, Nabi Saw dan para sahabat pergi ke Badar. Sesampainya di
sana, ia segera membangun markas komando yang dijaga oleh Sa‟d bin Mu‟ā
Sa‟d bin Mu‟ā . Markas tersebut bermanfaat untuk memantau jalannya
pertempuran juga merancang strategi cadangan untuk mengantisipasi kerugian-
kerugian yang mungkin terjadi dalam peperangan.
Ketika hari sudah gelap, Allah memberi kenikmatan kepada umat Islam
dengan menurunkan rasa kantuk dan hujan. Allah berfirman:
ان ط ي الشز ج ر م ك ن ع ب ى ذ ي و و ب م ك ر هط ي ل اء م اء م السن م م ك ي ل ع ل زن ي و و ن م ة ن م أ اس ع الن م ك ي ش ي ذ إ ت بث ي و م ك ب و ل ىق ل ع ط ب ر ي ل و ام د ق ال
Artinya: “(Ingatlah), ketika Allah membuat kamu mengantuk untuk
memberi ketentraman dari-Nya, dan Allah menurunkan air (hujan) dari
langit kepadamu untuk menyucikan kamu dengan (hujan) itu dan
menghilangkan gangguan-gangguan setan dari dirimu dan untuk
menguatkan hatimu serta memperteguh telapak kakimu (teguh pendirian).”
(al-`Anfāl [8]: 11)
al-Qur ubī menjelaskan, “Rasa kantuk itu terjadi pada malam hari sebelum
berperang esok harinya. Dan peristiwa tidur merupakan sesuatu yang
22
Mu ammad bin Ismā‟īl al-Bukhārī, a ī al-Bukhārī, Vol. 9 h. 577. 23
„Abdullāh bin Mu ammad bin „Abd al-Wahhāb bin Sulaimān al-Tamīmī, Mukhtaṣar
Sīrat al-Rasūl, Vol. 1 (Riya : Dār al-Salām, 1997 M), h. 229. 24
Ismā‟īl bin Kaṡīr, al-Sīrah al-Nabawiyyah (Beirut: 1990 M/1410 H), h. 392.
20
menakjubkan, di mana pada saat bersamaan di hadapan mereka situasi dan kondisi
gemilang. Seakan-akan Allah ingin menenangkan hati mereka.” Hal ini tidak lain
untuk menguatkan dan menghilangkan ketakutan pada mereka. sebagaimana yang
dikatakan, ketenangan itu bagi orang yang tidur, ketakutan itu bagi orang yang
begadang.”25
Keesokan harinya, para sahabat dalam kondisi prima dan siap
menghadapi musuh.
Perang dimenangkan Umat Islam. Rasulullah kemudian mengirim
„Abdullāh bin Rawā ah dan Zaid bin āriṡah untuk menyampaikan berita
kemenangan kaum muslimin pada umat Islam yang berada di Madinah
Peperangan berikutnya adalah perang Uhud. Kekalahan di Badar
berdampak besar bagi kaum Quraisy baik kehilangan pamor agama, penurunan
dalam bidang sosial, krisis ekonomi, juga melemahnya kekuatan politik. Kini
masyarakat beralih pada sistem kepercayaan Islam. karenanya, kaum Quraisy tak
bisa membendung dendam. Mereka pun mengadakan serangan balik terhadap
umat Islam dengan misi ingin membunuh Nabi Saw.
Kaum Quraisy telah menghimpun pasukannya dari hari sabtu, 7 Syawal 3
H. Mereka memobilisasi pasukan yang berjumlah 3000 orang, termasuk para
wanita, budak-budak, dan beberapa orang dari kabilah Arab dan sekitarnya. Hal
ini kemudian sampai ke telinga Nabi Saw atas informasi dari intelejennya, al-
„Abbās bin Abd al-Mu alib. Seperti biasa, Nabi Saw mengajak para sahabat
untuk bermusyawarah. Pembahasan kali ini adalah apakah umat Islam akan
menghadapi musuh di dalam atau di luar kota. Setelah melewati perdebatan
panjang, akhirnya mereka sepakat untuk berperang di luar kota, yaitu di bukit
Uhud.26
Perjalanan dimulai. Ketika kaum muslimin sampai di kebun al-Syau ,
‘Abdullāh bin `Ubay bin Salul menarik mundur 300 orang munafik dengan alasan
tidak akan terjadi peperangan dengan musyrik Quraisy juga menolak keputusan
perang di luar kota Madinah. Ia menilai Nabi Saw menuruti pendapat anak-anak
25
al-Qur ubī, Tafsīr al-Qur ubī, Vol. 7, h. 371. 26
Ali Muḥammad al-Ṣalabī, ter. Arbi dan Nila Noerfajariyah, Peperangan Rasulullah h.
214.
21
dan orang-orang yang tidak memiliki akal dan menolak pendapat „Abdullāh.
Maka, sehingga tidak perlu mengorbankan diri demi keinginan mereka.27
Tujuan utama pembangkangan ini ialah untuk membuat kekacauan di
kalangan umat Islam agar mental mereka jatuh. Perbuatan tersebut didasari
kebencian terhadap Islam dan kaum muslimin. Kemudian Allah berfirman:
الطيب م ن ال ب ي ث ز ي ي ت ع ل ي و ع ل ىم اأ ن ت م ال م ؤ م ن ي ر اهلل ل ي ذ ك ان اهلل ل ي ط ل ع ك م م ا ك ان و م ا ي ب …ع ل ىال
Artinya: “Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang
yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia
menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin). Dan Allah
sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib...”
(QS. li „Imrān [3]: 179)
Sikap pengecut dan menarik diri dari pasukan kaum Quraisy merupakan
dua hal yang membongkar kedok orang-orang munafik. Mereka membongkar
kedok mereka di hadapan para sahabat sebelum al-Qur`an melakukannya.28
Rangkaian kejadian saat perang Uhud dapat memperkuat barisan pasukan dan
memisahkan orang-orang yang benar beriman dari orang munafik.29
Kaum muslimin bertempur mati-matian dalam melawan kaum musyrikin.
Pasukan kaum muslimin berhasil memperoleh kemenangan dalam babak pertama
pertempuran. Mengenai hal itu, Allah berfirman di dalam kitab-Nya:
م ت ع از ن ت و م ت ل ش اف ذ إ ت و ن ذ إ ب م ه ن و ست ذ إ ه د ع و اهلل م ك ق د ص د ق ل و ف ام د ع ب ن م م ت ي ص ع و ر م ال د ق ل و م ك ي ل ت ب ي ل م ه ن ع م ك ف ر ص ث ة ر خ ال د ي ر ي ن م م ك ن م او ي ن الدد ي ر ي ن م م ك ن م نو ب ات م م اك ر أ ن م ؤ م ىال ل ع ل ض ف و ذ اهلل و م ك ن اع ف ع ي
Artinya: “Dan sesungguhnya Allah telah memenuhi janji-Nya
kepada kamu, ketika kamu membunuh mereka dengan izin-Nya sampai
pada saat kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu dan mendurhakai
perintah (Rasul) sesudah Allah memperlihatkan kepadamu apa yang kamu
sukai. Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan di antara kamu
ada orang yang menghendaki akhirat. Kemudian Allah memalingkan kamu
dari mereka untuk menguji kamu, dan sesungguhnya Allah telah
memaafkan kamu. Dan Allah mempunyai karunia (yang dilimpahkan) atas
orang-orang yang beriman.” ( li Imrān [3]: 152)
27
Ibn Kaṡīr, al-Bidāyah wa al-Nihāyah, Vol. 5, h. 337. 28
Abd al-Karīm Zaidān, al-Mustafād min Qiṣaṣ al-Qur`ān, Vol. 2 (Beirut: Mu`assasah al-
Risālah, 1998 M/1419 H), h. 189-190. 29
al-Sya‟rāwī, Tafsīr al-Sya’rāwī Vol. 1, h. 1294.
22
Ketika para pemanah melihat kekalahan yang menimpa kaum Quraisy dan
sekutunya, lalu melihat ghanīmah yang berserakan di medan pertempuran, hal itu
menarik hati mereka untuk meninggalkan posisi mereka. Mereka mengira
peperangan telah usai. Ini menjadi kesempatan bagi musyrik Quraisy untuk
mengepung pasukan kaum muslimin. Mereka mengepung umat Islam dari dua
arah. Kaum muslimin kehilangan posisi-posisi mereka di babak pertama sehingga
mereka berperang tanpa strategi.
Sebagian besar dari pasukan kaum muslimin lari dari medan perang.
Sebagan lain memilih menyingkir dan tidak berperang lagi. Dalam kekacauan ini,
Nabi Saw terluka. Bahkan, ia sempat diisukan meninggal. Namun, hal ini ditepis
oleh Ka‟b bin Mālik yang kemudian berteriak memberitahukan berita bahwa
Rasulullah Saw selamat. Nabi Saw memerintahkannya untuk diam supaya orang-
orang musyrik tidak mengetahui hal itu. Ka‟b bin Mālik merupakan salah seorang
dari orang-orang yang minta izin saat peperangan Tabuk. Tapi, Allah kemudian
menerima tobatnya dengan konsekuensi yang harus ia terima. 30
Rasulullah menjadi target musyrik Makkah. Mereka membuat serangan
balik terhadap Nabi Saw. Nabi sempat terluka, Melihat hal ini, tidak kurang dari 9
sahabat yang maju melindungi Nabi Saw. Ia tak menyingkir dari tempatnya. Para
sahabat gugur satu demi satu di hadapannya. Pertempuran semakin memojokkan
kaum muslimin. Namun, Umar bin Khatab berhasil memukul mundur serangan
balik yang dilancarkan musuh. Lalu Nabi Saw dan para sahabatnya mundur ke
salah satu bukit. Di sana Pasukan muslim merasa sedih, takut dan berduka atas
apa yang menimpa Rasulullah dan mereka. Meski mereka telah berhasil memukul
mundur, pasukan kaum musyrik. Maka Allah menurunkan rasa kantuk kepada
mereka, sehingga mereka tertidur sebentar. Kemudian mereka bangun dalam
keadaan merasa aman dan tenang.Allah berfirman dalam QS. li Imrān [3]: 154.
Adapun pasukan Quraisy berputus asa untuk mewujudkan kemenangan
mutlak, dan merasa kelelahan akibat lamanya perang dan pasukan umat Islam
masih tetap tegar dan teguh, terutama setelah Allah menurunkan rasa aman pada
30
Mu ammad al-Gazālī, Fiqh al-Sīrah, Vol. 1 (Damaskus: Dār al-Qalam, 1998), h. 464.
23
mereka. Karenanya, pasukan kaum musyrik menghentikan penyerangan terhadap
pasukan muslimin dan menghentikan usaha menembus kekuatan mereka.
Berdasarkan data, tercatat ada 58 ayat dalam surah li Imrān selama
perang Uhud berlngsung. Ayat-ayat ini turun antara lain dalam rangka menghibur
para pejuang di Medan Perang. Dengan itu, kaum muslimin tetap merasa damai
meski harus meneima kekalahan.31
Peperangan berikutnya ialah Perang Tabuk,32
yakni peperangan melawan
Romawi tahun 9 H. Perang ini memiliki nama lain, yaitu perang ‘usrah.
Penamaan ini telah disebutkan di dalam al-Qur`an ketika membicarakan tentang
perang ini dalam surah al-Taubah [9]: 117:
ىالنل ع اهلل اب ت د ق ل و ن ري ج ا ه م ال و ب ه و ع ب ات ن ي ذ الار ص ن ال ف ك م د ع ب ن م ة ر س ع ال ة اع غ ي ز ي اد امي ر فو ؤ ر م ب و نإ م ه ي ل ع اب ت ث م ه ن م ي ر ف ب و ل ق
Artinya: “Sungguh, Allah telah menerima tobat Nabi, orang-orang
muhajirin dan orang-orang anshar yang mengikuti Nabi dalam masa
‘usrah (kesulitan), setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling,
kemudian Allah menerima tobat mereka itu. sesungguhnya Allah maha
pengasih lagi Maha penyayang kepada mereka. (QS. al-Taubah [9]: 117)
Mengenai ayat ini, Abdurrazzâq meriwayatkan dari Ma‟mar bin Uqail ia
berkata, “Mereka keluar dengan perbekalan yang sedikit dalam cuaca yang sangat
terik hingga mereka terpaksa menyembelih seekor unta lalu meminum air yang
ada di dalam perutnya. Itulah krisis air yang terjadi pada waktu itu.33
Karenanya,
muncul orang-orang munafik yang menggembosi umat dengan melarang
berperang dalam kondisi terik. Kemudian Allah berfirman dalam QS. al-Taubah
31
āli bin Abdullāh, Nadrat al-Na’īm fī Makārim Akhlāq al-Rasūl , Vol. 1 (Jeddah: Dār
al-Wāṣilah, tt), h. 307. 32
Mu ammad „Alī al- ābūnī dalam tafsirnya, afwah al-Tafāsīr mengatakan lawan Nabi
Saw dan kaum muslimin dalam perang ini adalah orang Romawi yang berada di Syiria. Padahal,
hari itu merupakan hari yang sangat panas, perjalanan cukup jauh, dan keadaan perekonomian
sedang sulit. Yang demikian menjadi ujian bagi orang-orang beriman, baik ujian keyakinan
maupun keikhlasan mereka terhadap agama Allah Swt dan sebagai pembeda antara mereka dan
orang-orang munafik. Ibn „Abbās berkata: “Aku bertanya kepada „Alī kenapa tidak ditulis
basmalah, dan ia menjawab: “Karena basmalah itu keamanan, ketenteraman, sedangkan barā`ah
turun dengan perang, tidak ada keamanan.” Dengan demikian, surah ini turun dalam kondisi
perang. Mu ammad „Alī al- ābūnī, afwah al-Tafāsīr (Beirut: Dār al-Qur`ān al-Karīm, 1981
M/1402 H), h. 518-519. 33
Ibn ajar al-„Asqalānī, Fat al-Bārī, Vol. 12, h. 238.
24
[9]: 81-82 dalam rangka merespon sikap mereka, bahwa api neraka lebih panas
dari terik matahari.
Setibanya di Tabuk, Nabi Saw dan para sahabat tidak mendapati tanda-
tanda mobilisasi pasukan Romawi. Meskipun umat Islam sudah menginap selama
20 hari di Tabuk, namun pemimpin Romawi tidak berpikir sedikit pun untuk
bertemu dengan kaum muslimin dalam sebuah pertempuran. Mereka ketakutan.
Hal serupa dilakukan para penguasa di pinggiran Syam. Mereka lebih memilih
melakukan perjanjian damai dengan membayar jizyah kepada Nabi Saw. Mereka
antara lain Raja Ailah, mengirim hadiah keledai putih dan selendang kepada Nabi
Saw, kemudian Ukaidir bin Abdul Mālik al-Kindī penguasa Daumatul Jandal
dengan membayar 800 ghanimah, 1000 ekor unta, 400 baju besi, dan 400 tombak.
Rasulullah juga menulis surat perjanjian damai kepada penduduk Jarba, Adzruh,
dan Muqina‟ agar membayar jizyah setiap tahunnya tunduk kepada kekuasaan
kaum muslimin.34
Tidak terjadi peperangan di Romawi. Mereka tunduk pada kekuasaan
Islam. Dengan demikian wilayah kekuasaan Islam menjadi bertambah luas,
sehingga berbatasan langsung dengan wilayah kekuasaan Romawi.
34
al-Mubārakfūrī, Sejarah Hidup Muhammad terj. Rahmat (Jakarta: Robbani Press,
2010), h. 622.
25
BAB III
JIHAD DALAM TAFSIR
(PENAFSIRAN JIHAD DALAM QS. AL-TAUBAH [9]: 44-45)
Diskursus jihad tidak habis dimakan waktu. Ia terus berkembang dari masa
ke masa. Jihad sendiri diperkenalkan Nabi Saw salah satunya dalam al-Qur`an.1
Cara memahami al-Qur`an antara lain dengan membaca tafsir-tafsir ulama. Dalam
tafsir tersebut, ayat jihad ada yang dimaknai perang, ada juga yang dimaknai
selain perang. Hal ini dipengaruhi corak tafsir dan periode penulisan tafsir.
Karenanya, perlu mengkaji ulang penafsiran para mufassir klasik-modern tentang
jihad untuk memberikan pemahaman komprehensif mengenai jihad dalam tafsir
al-Qur`an khususya QS. al-Taubah [9]: 44-45.
A. Penafsiran Jihad dalam al-Qur`an QS. al-Taubah [9]: 44-45
QS. al-Taubah [9]: 44-45
.يقت مالبميلعاللو مهسفن أوماذلومأابوداىينأرخالموي الواللبنون مؤي نيذال كنذأتسيلنودد رت ي مهبيرفمهف مهب ولق تابتارورخالموي الواللبنون مؤي لنيذال كنذأتساين إ
Artinya: “Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari
kemudian, tidak akan meminta izin (tidak ikut) kepadamu untuk berjihad
dengan harta dan jiwa mereka. Allah mengetahui orang-orang yang
bertakwa. Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu
(Muhammad), hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan
hari kemudian, dan hati mereka ragu, karena itu mereka selalu bimbang
dalam keraguan.” (QS. al-Taubah [9]: 44-45)
Ayat ini mendapat beragam penafsiran dalam tafsir2 klasik-modern yaitu
sebagai berikut:
1. al-Jȃmi’ li Aḥkām al-Qur`ān karya al-Qurṭubī3
1 Selain dalam al-Qur`an, jihad juga dimuat dalam hadis Nabi Saw yang diriwayatkan
Aḥmad bin Hambal dari Abū Hurairah ra yang berbunyi:
فادهال،واللباني:الالل؟قضفأالمعالي أ اعائضيع:تال؟قكلذعطتألنإ:فالقاللليبعبقد صتةقداصهن إ،فر الش نعكسفن سب:احال؟قكلذعطتألنإ:فاللخرققعنصتوأ ىلا.كسفن
Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad bin Hambal (Beirut: „Ȃlim al-Kitâb, 1998 M/1419 H), Vol.
6, h. 372. 2 Tafsir ialah menyingkap makna al-Qur`an dan yang meliputinya, baik akidah, rahasia,
hikmah dan hukum. Ibrahim Mustafa dkk, al-Mu’jam al-Wasīṭ (Riyadh: Dār al-Da‟wah, tt), Vol. 2,
h. 688. 3 Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ahmad bin Abȗ Bakr bin Farh al-Ansârȋ al-
Khazrajī al-Andalusī al-Qurṭubī. Ia adalah salah seorang mufassir senior. Ia orang yang saleh,
zuhud dan ahli ibadah. Sehari-hari memakai satu baju dan tutup kepala. Ia berasal dari Spanyol,
26
Teks Tafsir
أي:فالقعودولفاخلروج،﴾ليستأذنكالذينيؤمنونباللواليومالخر﴿ولوتعاىلقالتئذانفذلكالوقتمنعالماتالنفاق فكان ابتدروه، بشيء أمرت لغريعذر؛4بلإذا
.﴾إنايستأذنكالذينيؤمنونباللواليومالخروارتابتقلوبمفريبهميرتددون﴿ولذالكقال:نسختهااليتف﴾يؤمنونباللليستأذنكالذين﴿قال:روىأبوداودعنابنعباس
ولو﴿النور: .26الية:﴾غفوررحيم﴿إىلقولو:﴾إناادلؤمنونالذينءامنواباللورياىدوا﴿ ك﴾أن التقدير: وقيل: الزجاج. عن "ف" بإضمار نصب موضع أنرف اىية
كقولو: .672النساء:﴾يبيالللكمأنتضلوا﴿ياىدوا،قلوبم﴿ ﴾وارتابت الدين. ف شكت يرتددون﴿: ريبهم ف شكهم﴾فهم ف أي:
يذىبونويرجعون.Artinya: Firman Allah (الخر والي وم بالل ي ؤمن ون ال ذين يستأذنك (ل
“Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian tidak akan
meminta izin” yaitu terkait larangan meminta izin menetap di kota maupun
pergi ke luar kota bagi orang mukmin. Pendapat yang sama disampaikan
al-Jassâs dalam tafsirnya.5 Bahkan, mereka akan bergegas melakukannya
kapan pun Nabi Saw memerintahkan. Sebagaimana yang dikatakan Ibn
Kaṡīr6 dan al-Qusyairī
7. Permohonan izin pada waktu itu merupakan salah
satu tanda kemunafikan, karena mereka izin tanpa uzur yang jelas. Hal ini
disepakati oleh al-Rāzī dalam Mafātȋḥ al-Gaīb. Ia menambahkan orang-
orang mukmin tidak akan diam setiap kali diperintah untuk berjihad.
Sementara orang-orang munafik akan berdiam diri dan bermalas-malasan.8
kemudian merantau ke Mesir dan wafat di sana tahun 671 H. Ia menulis banyak buku, salah
satunya ialah al-Jāmi’ li Aḥkām alQur`ân sebanyak 20 Juz yang dikenal dengan nama Tafsir al-
Qurṭubȋ. Tafsir ini bercorak fiqhī. Khairuddīn bin Maḥmud bin Muḥammad bin „Alī bin Fāris al-
Zarkalī, al-A’lām (Libanon: Dār al-„Ilmi li al-Mālayīn, 2002 M), Vol. 5, h. 322. 4 Tanda munafik ada tiga, yaitu: jika berbicara berbohong, berjanji mengingkari, jika
diberi amanah berkhianat. Sebagaimana hadis Nabi Saw riwayat al-Nasâ`ȋ dari Ibn „Umar.
ليمانأبوالر بيعقال ث نا هيلعنأبيوحد ث نانافعبنمالكبنأبعامرأبو ث ناإساعيلبنجعفرقالحد حد كذبوإذاعنأبىري رة ل مقالآيةالمنافقثالثإذاحد ث وعدأخلفوإذااؤدتنعنالن ب صل ىالل وعليوو
خانal-Bukhārī, Ṣaḥiḥ al-Bukhārī, Vol. 1, h. 58.
5 Abū Bakr al-Jaṣṣâṣ, Aḥkām al-Qur`ān (Beirut: Dār Iḥyā`, 1992 M/1412 H), Vol. 4, h.
317. 6 Ibn Katsīr, Tafsīr al-Qur`ān al-Aẓȋm, Vol. 7, h. 210.
7 al-Qusyairī, Laṭā`if al-Isyārāt (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1971 M), Vol. 1, h.
424. 8 Fakhruddīn al-Rāzī, Māfātȋḥ al-Gaib), Vol. 16 (Beirut: Dār al-Fikr, 1981 M/1401 H, h.
78.
27
Berdasarkan penjelasan di atas, Allah menegaskan dalam firman-Nya إن ا( .يستأذنكال ذينلي ؤمن ونباللوالي ومالخروارتابتق لوب همف همفريبهمي ت رد دون(
Abȗ Dāwūd meriwayatkan dari Ibn „Abbās ia berkata, “Firman Allah (لبالل ي ؤمن ون ال ذين merupakan ayat mansȗkh. Sedangkan nâsikh nya ialah (يستأذنك
QS. al-Nūr [24]: 62.
Firman Allah (ق لوب هم yakni ragu dalam beragama. Kemudian (وارتابت
firman Allah (ف همفريبهمي ت رد دون) mereka ragu antara pergi berperang atau pulang
ke rumah.9
2. Mafâtȋḥ al-Gaīb karya al-Rāzī10
مهسفن أوماذلومأابوداىينأرخالموي الواللبنون مؤي نيذال كنذأتسيل﴿قولوتعاىلإيقت مالبميلعاللو ين . فمهف مهب ولق تابتارورخالموي الواللبنون مؤي لنيذال كنذأتسا﴾نودد رت ي مهبير
فاليةمسائل:Artinya: Firman Allah ( أن الخر واليوم بالل يؤمنون الذين يستأذنك ل
:mengandung beberapa masalah, antara lain (ياىدوابأمواذلموأنفسهم...
9 Muḥammad bin Aḥmad bin Abū Bakr al-Qurṭubī, al-Jāmi’ li Aḥkâm al-Qur`ān, Vol. 10
(Beirut: Mu`assasah al-Risālah, 2006 M/1426 H), h. 228-229. 10
Nama lengkapnya ialah Muhammad bin Umar bin al-Hasan bin al-Husain al- Taimi al-
Bakri Fakhruddin al-Razi. Ia seorang imam dan mufassir. Ia lahir di zaman penakwilan. Bernasab
dari suku Quraisy. Aslinya dari Tabaristan. Lahir di Ray kemudian merantau ke Khawarizm dan
Khurasan. Lalu ia wafat di Harah tahun 606 H. Selama hidupnya, ia mengajar keislman di
lingkungan sekitar. Ia merupakan orang Persia yang pandai berbahasa Arab. Ia banyak belajar dan
memahami ilmu. yang Beliau lahir di lingkungan keluarga petani dicordoba Spanyol pada masa
kekuasaan Bani Muwahhidun yang kala itu dipimpin oleh Muhammad bin Yusuf bin Hud (625-
635H) dikisahkan pada saat itu ayahnya sedang memanen, dan pada waktu itu pula terjadi sebuah
pemberontakan kaum saparatis Nasrani Cordoba yang menuntut untuk memerdekakan diri dari
Islam.dan disaat itu Imam al-Qurtubi sempat melarikan diri untuk menyelamatkan diri dan agama.
Terlepas dari itu, al-Qurtubi kecil mempelajari berbagai disiplin ilmu ditempat ia dilahirkan
kepada para gurunya yang sangat membantunya adalah Ibnu Rawwa (seorang imam hadits), Ibnu
al-Junaizi, al-Hasan al-Bakari dsb. Diantara ilmu-ilmu yang ia pelajari adalah tentang keagamaan
seperti bahasa arab,Hadits, syair, dan Al-menjadi pendukung ilmu Al-Qur‟an yakni denan belajar
nahwu,qira‟ah, fikih dan juga ia mempelajari ilmu balagah.Kemudian ia tumbuh dewasa dan
merasa belum cukup dalam memahami ilmuny itu, kemudian ia berkelana ke negeri timur dan
menetap di kediaman Abu Khusaib (di selatan Asyut, Mesir). Dia merupakan salah seorang hamba
Allah yang shalih dan ulama yang sudah mencapai tingkatan ma‟rifatullah.Dia sangat zuhud
terhadap kehidupan dunia (tidak menyenganinya), bahkan dirinya selalu disibukkan oleh urusan-
urusan akhirat. Usianya dihabiskan untuk beribadah kepada Alllah dan menyusun kitab. Salah satu
karya monumentalnya ialah tafsir Mafatih al-Ghaib sebanyak 8 jilid. Tafsir ini bercorak kalāmī.
Khairuddīn bin Maḥmūd bin Muḥammad bin „Alī bin Fāris al-Zarkalī, al-A’lām, Vol. 6 (Libanon:
Dār al-„Ilmi li al-Mālayīn, 2002 M), h. 313. Lihat juga al-Qurṭubī, al-Jāmi‟ li Aḥkām al-Qur‟ān,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1995), h. 16.
28
Pertama, Ibn „Abbās menyatakan firman Allah (يستأذنك turun setelah (ل
perang Tabuk. Namun, yang lain tidak sependapat. Sebab ayat sebelum dan
sesudahnya datang dalam kondisi perang Tabuk. Kedua, firman Allah (ليستأذنكياىدوا أن واليومالخر بالل ي ؤمن ون menyimpan lafal yang dibuang, taqdīr-nya (ال ذين
ialah ياىدوا أن .Sebagaimana yang dikatakan al-Qurṭubī dan Ibn „Ȃsyȗr .ف
Pendapat lain mengatakan taqdīr-nya adalah كراىيةأنياىدوا yaitu “karena mereka
benci berjihad”, seperti dalam firman Allah الللكمأنتضل وا .فأنتضل وا yakni ي ب ي 11
Ada dua pendapat mengenai pembahasan ini: pertama, ayat ini bermakna
bukan kebiasaan orang mukmin untuk minta izin ketika mobilisasi jihad
dikerahkan. Hal ini juga dikatakan oleh Ibn „Ᾱsyūr.12
Sementara para pembesar
muhajirin dan ansar menyatakan tidak akan meminta izin kepada Nabi Saw dalam
berjihad. Perintah ini langsung dari Allah. Ia memerintahkan orang-orang mukmin
berjihad secara berkala. Maka apa manfaatnya jika seseorang meminta izin?
Bahkan, mereka keberatan jika diminta untuk menetap.13
Kedua, Sebagian orang mengatakan sebaiknya taqdīr dari ayat ini adalah
Indikasinya ialah ayat sebelum dan sesudahnya .” ليستأذنكىؤلءفأنلياىدوا“
menunjukkan celaan terhadap orang yang minta izin agar menetap di rumah.
Kemudian firman Allah ( ياىدوا أن الخر والي وم بالل ي ؤمن ون ال ذين ليستأذنكوارتابت الخر والي وم بالل ي ؤمن ون ل ال ذين يستأذنك إن ا بالمت قي عليم والل وأن فسهم بأمواذلم :mengandung beberapa masalah, yaitu (ق لوب همف همفريبهمي ت رد دون
Pertama, pengajuan izin terjadi karena tidak beriman kepada Allah dan
hari akhir. Hal ini juga diungkapkan al-Qusyairī dalam Laṭā`if al-Isyārāt.14
Penyebab utamanya ialah ragu dengan keimanan, atau sudah nyata-nyata tidak
beriman. Ini menunjukkan orang yang ragu-ragu bukanlah orang yang beriman.
Ada dua masalah yang berkaitan dengan ini, yaitu; 1) jika iman harus didasarkan
atas dalil kemudian terjadi keraguan atas dalil tersebut, maka hal tersebut
mengakibatkan keraguan atas iman. Ini memungkinkan seseorang dapat keluar
11
Muhammad bin Aḥmad bin Abū Bakr al-Qurṭubī, al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur`ān, Vol.
10, h. 228. 12
Ibn „Ᾱsyūr, al-Taḥrīr wa al-Tanwīr (Tunisia: Dār al-Tūnisiyyah, 1984 M), Vol. 8, h.
211. 13
al-Sya‟rāwī, Tafsȋr al-Sya’rāwī (Kairo: Akhbār al-Yaum, 1991 H/1411 M), h. 5155. 14
al-Qusyairī, Laṭā`if al-Isyārāt, Vol. 1 (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1971 M), h.
424.
29
dari keimanannya kapan saja. Pendapat ini keliru. Karenanya, pembentukan
keimanan bukan dibangun atas dalil, tapi atas taklid. Maka, ayat ini menjadi
indikasi bahwa asal mula keimanan adalah taklid. Jawabannya adalah jika seorang
muslim ragu atas kesahihan suatu dalil, sementara dalil-dalil lainnya tidak
bermasalah, maka ini menjadi sebab ketetapan imannya. 2) Bagaimana dengan
sebagian orang yang mengatakan “saya beriman insya Allah”, apakah termasuk
ragu? Jawabannya ialah masalah ini akan diselidiki lebih lanjut dalam surah al-
`Anfâl yang berbunyi أولئكىمالمؤمن ونحق ا. Kedua, orang-orang karāmiyyah
15 mengatakan bahwa iman hanya dengan
membenarkan saja, padahal Allah bersaksi dalam ayat ini bahwa mereka (orang
yang minta izin tanpa kejelasan) bukan orang-orang mukmin.
Ketiga, firman Allah (وارتابتق لوب هم) menunjukkan bahwa tempat ragu ada
di dalam hati. Ketika tempat ragu adalah hati, maka tempat ma’rifah dan iman
juga dalam hati. Karenanya, Allah berfirman (اليان ق لوبم ف Ketika .(أولئككتب
tempat ma’rifah dan kufr itu hati, maka balasan pahala dan siksa dirasakan oleh
hati juga, sementara yang lain mengikuti.
Keempat, firman Allah (ي ت رد دون ريبهم .berkaitan dengan keyakinan (ف همف
Ada yang tetap, ada yang tidak. Orang yang berkeyakinan tetap, jika
perbuatannya tidak sesuai realitas maka ia termasuk orang bodoh. Sebaliknya, jika
sesuai terbagi dua. Apabila perbuatannya berdasarkan keyakinan maka
perbuatannya tersebut disebut ilmu, jika tidak maka disebut keyakinan muqallid
atau hanya mengikuti yang lain. Namun, jika keyakinannya tidak tetap, terbagi
dua. Jika ada yang diunggulkan dari dua hal, maka yang unggul disebut zan dan
yang kalah disebut marjȗḥ. Kemudian jika seimbang antara dua pilihan, inilah
yang disebut ragu. Karenanya, seseorang yang ragu tidak bisa memutuskan atau
bimbang antara dua perkara, yaitu beriman dan tidak beriman.
Kemudian Allah berfirman (ة والوعد dibaca ‘uddatahu (ولوأرادوااخلروجلعد
atau dibaca ‘iddatan dengan meng-kasrah-kan „ain. Ibn „Abbâs menyatakan
15
Para pengikut Abū „Abdillāh Muhammad bin Karām. Golongan ini juga disebut al-
Ṣifātiyyah, karena menetapkan sifat-sifat bagi Allah namun melakukan tajsȋm (menjelma) dan
tasybȋh (menyerupai makhluk). Muḥammad bin „Abd al-Karīm bin Abī Bakr Aḥmad al-
Syahrastānī, al-Milal wa al-Niḥal, Vol. 1 (Beirut: Dār al-Ma‟rifah, 1404), h. 107.
30
maksud ayat ini adalah perbekalan, air dan kendaraan, karena perjalanan mereka
jauh dan pada waktu yang sulit. Ketidaksiapan mereka menunjukkan bahwa
mereka ingin ditinggalkan. Pendapat lain mengatakan ini merupakan isyarat
bahwa mereka mampu membuat perbekalannya sendiri.
Kemudian Allah berfirman (ف ثبطهم انبعاث هم الل كره di dalamnya ,(ولكن
terdapat beberapa masalah sebagai berikut:Pertama, al-inbi’āṡ adalah kepergian
dalam suatu perkara.16
Dikatakan aku memberangkatkan unta maka ia berangkat.
Sedangkan tatsbit adalah penolakan untuk mengerjakan pekerjakan orang lain.
Makna ayat ini ialah bahwa Allah tidak menyukai keberangkatan mereka bersama
Nabi Saw. Kemudian Ia memalingkan mereka dari Nabi Saw.
Ada yang mengatakan keberangkatan mereka bersama Rasul satu sisi
dikatakan mafsadat, di sisi lain dikatakan maslahat. Bagi yang mengatakan
mafsadat, kenapa Rasul mencela mereka ketika menetap di rumah? Namun jika
itu maslahat, kenapa Allah tidak menyukai keberangkatan mereka bersama Nabi
Saw?
Jawabannya adalah keberangkatan mereka tidak mengandung maslahat,
dengan argumentasi Allah menjelaskan mafsadat yang didapat setelah ayat ini. Ia
berfirman (لوخرجوافيكممازادوكمإل خبال) “Jika (mereka berangkat bersamamu),
niscaya mereka tidak akan menambah (kekuatan)mu, malah hanya akan membuat
kekacauan.” Kemudian menyusul pertanyaan jika yang terbaik mereka tidak
berangkat, kenapa Rasul Saw menegur mereka ketika mengajukan izin?
Jawabannya adalah riwayat `Abȗ Muslim yang mengatakan bahwa kalimat لأذنت bukan berarti Nabi Saw benar-benar mengizinkan mereka tidak ikut, tapi ada ذلم
kemungkinan mereka minta izin untuk ikut keluar bersama Nabi Saw kemudian
diizinkan. Karenanya, terjawablah pertanyaan tersebut.
Abū Muslim melanjutkan argumentasinya, ayat ini menunjukkan
keberangkatan mereka bersama Nabi Saw adalah mafsadat. Maka, secara otomatis
teguran Allah terhadap Nabi Saw yaitu ketika ia mengizinkan mereka untuk
keluar bersamanya. Hal ini diperkuat dengan ayat-ayat lain, yaitu firman Allah
أبدا) معي خترجوا لن ف قل للخروج تأذن وك فا من هم ائفة إىل الل رجعك Maka jika“ ,(فإن
16
Dalam istilah lain, inbi’âts adalah bersegera melakukan sesuatu demi memenuhi
kebutuhannya. Ibrâhȋm Mustafâ dkk, al-Mu’jam al-Wasīṭ, Vol. 1 (Beirut: Dār al-Da‟wah, tt), h. 62.
31
Allah mengembalikanmu (Muhammad) kepada suatu golongan dari mereka
(orang-orang munafik), kemudian mereka meminta izin kepadamu untuk keluar
(pergi berperang), maka katakanlah, “Kamu tidak boleh keluar bersamaku selama-
lamanya dan tidak boleh memerangi musuh bersamaku.” Firman Allah lainnya
adalah )ي قولالمخل فونإذاانطلقتم ( maka ini merupakan jawaban khusus dari Abu
Muslim.
Dilihat dari sisi lain, jawaban yang tepat menurut al-Razi ialah teguran
dalam ayat (ذلم أذنت bukan karena keadaan mereka yang duduk santai di (ل
rumah, melainkan pemberian izin tersebut yang memberi mafsadat bagi Nabi
Saw. Penjelasannya sebagai berikut: pertama, Nabi Saw mengizinkan mereka
tanpa pertimbangan yang matang. Kedua, pada dasarnya Nabi Saw tidak
mengizinkan mereka untuk menetap, mereka duduk atas kemauannya sendiri.
Ketiga, Nabi Saw marah ketika mereka meminta izin tidak ikut berperang,
sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah (اق عدوامعالقاعدين). Kedua, Muktazilah Baṣriyyah
17 mengatakan ayat di atas menunjukkan
bahwa Allah disifati dengan sifat murīdiyyah, yaitu sifat kārihiyah (benci, tidak
menyukai), dengan dalil firman Allah (ولكنكرهاللانبعاث هم). Hal ini dibantah oleh
Aṣḥābunā dengan mengatakan makna kariha menunjukkan ketiadaan perkara
tersebut, bukan Allah membenci makhluk-Nya. Allah tidak menyukai
keberangkatan mereka bermakna keberangkatan tersebut tidak terjadi di dunia
nyata.18
3. Laṭā`if al-Isyārāt karya al-Qusyairī19
خرقحدأوتعايزلذور،وإنانذرمنوتركماىوالوىل.قدماللذكرملسو هيلع هللا ىلصليكنمنو .﴾لأذنتذلم﴿العفوعلىاخلطابالذيىوفصورةالعتاببقولو:
17
Sayyid Hawa, al-Asas fi al-Sunnah wafiqhiha, Vol. 1 (Kairo: Dâr al-Salâm, 1992 M/
1412 H), h. 435. 18
Fakhruddīn al-Rāzī, Mafātīḥ al-Gaib, Vol. 16 (Beirut: Dār al-Fikr, 1981 M/1401 H), h.
78-81. 19
Nama lengkapnya ialah Syekh Abu Nasr Abdurrahim bin Hawazan al-Qusyairi. Ia
seorang ahli Nahwu dan ilmu Kalam dan Sufi. Ia didik langsung oleh Bapaknya hingga mahir
dalam bahasa Arab, nazm, natsar, dan takwil. Ia sempat hijrah ke Baghdad, kemudian kembali ke
Naisabur dan menetap di sana hingga akhir hayatnya. Ia wafat tahun 425 H. Ia memiliki karya
tafsir yang berjudul Laṭā`if al-Isyārāt. Tafsir ini berorak sȗfȋ Syamsuddin Abu „Abdillâh
Muhammad bin Ahmad bin „Utsman bin Qaimāz al-Żahabī Siyar A’lām al-Nubalā`, Vol. 19
(Beirut: Mu`assasah al-Risālah, 1985 M/ 1405 H), h. 425.
32
Artinya: Keputusan Nabi Saw yang mengizinkan sebagian orang
mengakhirkan jihad bukan pelanggaran terhadap syariat, juga bukan
melakukan perbuatan yang dilarang. Teguran itu disebabkan karena Nabi
Saw meninggalkan hal yang utama, yaitu tidak memberi izin kepada
siapapun dalam jihad juga tidak membiarkan orang-orang ikut berjihad
dengannya.”
Ayat sebelumnya yaitu firman Allah QS. al-Taubah [9]: 43, penyebutan
) didahulukan dari teguran dalam firman Allah عفو تنذأل ) karena para nabi
dibolehkan melakukan kesalahan selama tidak berkaitan dengan penyampaikan
syariat. Bahkan, ada yang mengatakan kebaikan musuh-musuh Allah-sekalipun
baik- seolah tidak akan terima, sementara keburukan orang-orang yang dicintai-
Nya–sekalipun buruk- tetap dimaafkan.
Selanjutnya firman Allah QS. al-Taubah [9]: 44 mengenai keyakinan.
Orang mukmin ialah mereka yang ikhlas dalam transaksi apapun, bertanggung
jawab atas urusannya, tidak menyembunyikan padahal mampu memikul
kewajiban dan memaksimalkan potensi dalam hal apapun.
Sementara QS. al-Taubah [9]: 45 menjelaskan keadaan orang yang
meminta izin saat perintah perang diserukan Nabi Saw. Mereka ialah orang yang
mengakhirkan keberangkatan karena tidak beriman dan menjadikannya sebagai
kesempatan tidak berjihad. 20
4. Tafsīr al-Qur`ān al-‘Aẓīm karya Ibn Kaṡīr21
كماتسمعون،مثأنزلاليتفورةالنو ،فرخصفأنياذنذلمإنروقالقتادة:عاتبوهم﴿فقالشاء، تأذن وكلب عضشأنمفأذنلمنشئتمن الية.﴾فإذاا
ولالل ،فإنأذنلكمفاقعدواملسو هيلع هللا ىلصوقالرلاىد:نزلتىذهاليةفأناسقالوا:اتأذنوارنليأذنلكمفاقعدوا.وإ
20
al-Qusyairī, Laṭā`if al-Isyārāt (Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1971 M), Vol. 1, h.
424. 21
Ismāīl bin „Umar bin Katsīr al-Dimasyqī wafat 1373 M/ 774 H. Ia adalah mufassir
ternama. Nama lengkapnya yaitu Ismā ՚ īl bin ʻUmar bin Katṡīr bin Ḍāwūd bin Kaṡīr, „Imād al
Dīn, Abū al Fidā` al Buṣrawī, al Quraisyī al Dimasyqī yang terkenal dengan Ibn Katsīr al Syâfi՚ ī.
Beliau terkenal seorang ahli fikih, sejarawan, mufasir, seorang mufti, muhaddis, orang yang paham
betul masalah rijal al hadis dan mahir juga dalam masalah bahasa. Beliau dilahirkan didaerah
Buṣra salah satu daerah di Syâm sebelah selatan kota Damaskus pada tahun 700 H atau lebih
sedikit. Ayahnya merupakan seorang ՚ ulama, ahli fiqih dan mahir dalam pidato dan bersyi ՚ ir
begitu juga kedua anak laki-lakinya Ismā ՚ īl dan Abd al Wahb. Ia adalah seorang penulis aktif.
Salah satu karyanya ialah Tafsȋr al-Qur`ân al-‘Azȋm yang bercorak fiqhȋ.
Lihat Khairuddīn bin Maḥmud bin Muḥammad bin „Alī bin Fāris al-Zarkalī, al-A’lām
(Libanon: Dār al-„Ilmi li al-Mālayīn, 2002 M), Vol. 1, h. 320.
33
تعاىل: قال ﴿وذلذا صدق واحت ال ذين لك ﴾ي تب ي العذار إبدال ف وت علم﴿أي:اتاذنوكفلمتأذنلحدمنكمفالقعود؛لتعلمالصادق﴾الكاذبي يقولتعاىل:ىالتركتمدلا
كانوامصرينعلىالقعودعنالغزووإنلتأذنذلم منهمفإظهاراعتكمنالكاذب،فإنمقدو.في
ولو،فقال: ل﴿وذلذاأخربتعاىلأنوليستأذنوفالقعودعنالغزوأحديؤمنباللورالغزو﴾يستأذنك عن القعود ف بوداىينأرخالموي الواللبنون مؤي نيذال ﴿أي: ماذلومأا
ان إيقت مالبميلعوالل﴿؛لنأولئكيرونالهادقربة،ودلاندبمإليوبادرواوامتثلوا﴾مهسفن أوأي:ليرجون﴾رخالموي الواللبنون مؤي لنيذال ﴿أي:فالقعودممنلعذرلو﴾كنذأتسي
أي:شكتفصحةماجئتهمبو﴾مهب ولق تابتارو﴿ثواباللفالدارالخرةعلىأعماذلمأي:يتحريون،يقدمونرجالويؤخرونأخرى،وليستذلمقدمثابتةف﴾فهمفريبهميرتددون﴿
شيء،فهمقومحيارىىلكى،لإىلىؤلء،ولإىلىؤلء،ومنيضلالللفلنجتدلوبيال.Ibn Kaṡīr mengelompokkan 3 ayat dalam satu pembahasan, yaitu QS. al-
Taubah [9]: 43-45, sebagai berikut:
اللفع ب تي ت حمذلتنذألكنعا ووق دصنيذال كلي ال .يباذكالملعت ا يستأذنك نيذلنيذال كنذأتساين .إيقت مالبميلعاللو مهسفن أوماذلومأابوداىينأرخالموي الواللبنون مؤي
نودد رت ي مهبيرفمهف مهب ولق تابتارورخالموي الواللبنون مؤي لQatâdah mengatakan Allah menegur Nabi Saw dalam ayat ini, kemudian
Ia menurunkan surah al-Nȗr sebagai keringanan untuk memberi izin jika mau. Hal
ini sebagaimana dinyatakan al-Jaṣṣāṣ.22
Kemudian ia mengatakan ( ذإف ا كون ذأتامهن متئشنملنذأفمنأشضعب ل ) begitupun diriwayatkan oleh Aṭā` al-Khurasānī.
Mujāhid mengatakan ayat ini turun pada sekelompok orang yang meminta izin
kepada Rasulullah Saw. Jika diizinkan, mereka akan tinggal. Namun, jika tidak
mereka akan tetap tinggal di rumah. Sebagaimana yang dikatakan Ibn al-Jazâ`
yang dikutip oleh Ibn „Ajībah.
Oleh karenanya, Allah berfirman ( ب تي ت ح اوق دصنيذال كلي ) “sampai jelas
bagimu orang-orang yang benar” yakni dalam mengutarakan uzurnya, ( ملعت ويباذكال ). Allah berfirman “Kenapa mereka tidak kamu tinggalkan saja? Kenapa
kamu izinkan mereka untuk menetap di rumah? Agar terlihat siapa yang jujur
22
Abū Bakr al-Jaṣṣāṣ, Aḥkām al-Qur`ān, Vol. 4 (Beirut: Dār Iḥyā`, 1992 M/1412 H), h.
317.
34
dalam menaatimu dan siapa yang bohong. Sekalipun tidak kamu izinkan, mereka
akan tetap duduk di rumah.
Karenanya, orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya tidak akan
meminta izin untuk berdiam diri di rumah. Firman Allah, (ليستأذنك) yakni tidak
minta izin dari peperangan, ( مهسفن أوماذلومأابوداىينأرخالموي الواللبنون مؤي نيذال )
karena mereka melihat jihad sudah dekat. Kemudian Firman Allah ( ميلعاللورخالموي الواللبنون مؤي لنيذال كنذأتساين إيقت مالب ) “Allah Maha mengetahui orang-
orang yang bertakwa. Sesungguhnya yang meminta izin kepadamu
(Muhammad)”, yakni dalam menetap sedang ia tidak memiliki uzur apapun.
Mereka berbohong, sebagaimana dinyatakan oleh Ibn „Ajībah.23
Kemudian firman Allah ( رخالموي الواللبنون مؤي نيذال ) yakni اللابوث نوجري لماذلمعىألعةرخالدارف . Orang yang meminta izin dinilai tidak mengharap pahala
dari Allah di akhirat atas amal-amal mereka. Kemudian firman Allah ( تابتارومهب ولق ) yakni جمةح صفتك ش وبتئا . Mereka ragu atas apa yang dibawa Nabi
Saw. Selanjutnya firman Allah ( نودد رت ي مهبيرفمهف ) yakni ي نوري حتي الجرنومد ق،ءلؤىىلإلوءلؤىىلإىلكلىىاريحموق مهف ءيشةفتابقدمثمتذلسيلى،ورخأنورخ ؤي و
اليبولدجتنلف اللللضينمو . Mereka bingung, seperti mendahulukan kaki dari
anggota tubuh lainnya. Mereka tidak dapat melangkah dengan tegap. Inilah
mereka kaum yang bingung dan binasa. Tidak ke kiri maupun ke kanan. Maka
orang yang dibiarkan sesat oleh Allah, kamu tidak akan mendapat jalan (untuk
memberi petunjuk) baginya.24
5. al-Taḥrīr wa al-Tanwīr karya Ibn ‘Ᾱsyūr25
23
Aḥmad bin Muḥammad bin Ajībah, al-Baḥr al-Madīd, Vol. 2 (Kairo: Hasan Abbās
Zakī, 1999 M/ 1419 H), h. 385. 24
Ibn Kaṡīr, Tafsīr al-Qur`ān al-Aẓīm, Vol. 7, h. 210-211. 25
Ibnu „Ᾱsyūr dilahirkan pada tahun 1296 H/1879 M di kota Mousa, yang terletak di
sebelah utara Tunisia. Ibnu Asyur tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga yang
mencintai ilmu pengetahuan. Pendidikannya diperhatikan penuh oleh ayah, ibu, dan kakeknya.
Mereka semua menginginkan cucunya menjadi orang yang terhormat seperti nenek moyang
mereka. Ibnu Asyur mulai belajar al-Qur‟an sejak usia 6 tahun. Ia kemudian menghafal Matan al-
Jurumiyyah dan bahasa Perancis. Baru pada usia 14 tahun, Ibnu Asyur tercatat sebagai murid pada
Universitas Az-Zaitunah (1310 H/1893 M). Di sana ia belajar ilmu syari‟ah (fiqh dan ushul fiqh),
bahasa Arab, hadis, sejarah, dan lain-lain. Setelah belajar selama 7 tahun di Universitas al-
Zaitunah Ibnu „Ᾱsyūr berhasil menempuh gelar sarjana, tepatnya pada tahun 1317 H/1899 M.
Dalam perjalanan karirnya, ia adalah ulama modern yang memiliki karya tafsir monumental.
Karya tersebut yaitu al-Taḥrīr wa al-Tanwīr yang bercorak Adabī Ijtimā’ī atau sosial
35
ال ذينصدق واوت علمالكاذبي﴿ىذهالملةواقعةموقعالبيانلملة ي تب ي ،وموقع﴾حت .﴾لأذنتذلم﴿التعليللملة
النب أنليستأذنوا فالتخلفعنالهاد،ملسو هيلع هللا ىلصوادلعىن:أنشأنادلؤمنيالذيناتنفرواكالعمي،فهمليستنفرىمالنب ولوأماالذينختلفوامنادلؤمنيفقدختلفواملسو هيلع هللا ىلصفأماأىلالعذار:
كانواعلىنيةاللحاقباليشبعدخروجو. يستأذنوافالتخلف،لنمArtinya: Firman Allah dalam QS. al-Taubah [9]: 44-45 merupakan
penjelasan dari ( ب تي ت ح ووق دصنيذال كلي يباذكالملعت ا ) “Sebelum jelas bagimu,
orang-orang yang benar-benar (berhalangan) dan mengetahui orang-orang yang
berdusta”. Ayat ini juga menjadi pertimbangan dalam ayat ( مذلتنذأل ) “Mengapa
engkau memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang).” Maknanya
ialah permohonan izin dibolehkan bagi orang yang benar-benar berhalangan,
seperti tunanetra, mereka tidak diperintahkan berjihad oleh Nabi Saw. Adapun
orang mukmin yang ketinggalan berjihad tidak perlu meminta izin kepada Nabi
Saw, sebab mereka berniat untuk menyusul Nabi Saw ke medan perang.26
al-Isti`żān adalah minta izin, yakni membolehkan suatu perbuatan dan
meninggalkan sebaliknya. Hal ini disebabkan kondisi membolehkan itu pasti
memilih antara dua hal yang bertentangan.27
Ketika kondisi orang-orang mukmin
menyukai jihad, maka mereka dibolehkan minta izin untuk berjihad bukan tidak
ikut jihad. Karena tidak layak bagi mereka minta izin untuk meninggalkan jihad.
Namun, ketika tidak minta izin untuk berjihad tandanya mereka berjihad dengan
tulus tanpa kepentingan apapun. Hal ini berbeda dengan pendapat al-Qurṭubī, al-
Rāzī, dan al-Qusyairī. Mereka dengan tegas menyatakan orang mukmin tidak
boleh minta izin berjihad.28
Firman Allah (بالمت قي عليم secara lafal bertentangan dengan fâ`idah (والل
tanbīh bahwa Allah melihat setiap rahasia orang mukmin. Namun, hal ini
terbantahkan karena orang bertakwa sudah pasti beriman. Firman Allah QS. al-
kemasyarakatan. Ia wafat tahun 1868. Khairuddīn bin Maḥmūd bin Muḥammad bin „Alī bin Fāris
al-Zarkalī, al-A’lām, Vol. 6 (Libanon: Dār al-„Ilmi li al-Mālayīn, 2002 M), h. 173. Lihat juga
26 Ibn „Ᾱsyūr, al-Taḥrīr wa al-Tanwīr, Vol. 10 (Tunisia: Dār al-Tūnisiyyah, 1984 M), h.
211. 27
Ibn „Ᾱsyūr, al-Taḥrīr wa al-Tanwīr, Vol. 10 (Tunisia: Dār al-Tūnisiyyah, 1984 M), h.
211. 28
Muḥammad bin Aḥmad bin Abū Bakr al-Qurṭubī, al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur`ān, Vol. 10
(Beirut: Mu`assasah al-Risālah, 2006 M/1426 H), h. 228
36
Taubah [9]: 45 mendeskripsikan mereka yang tidak beriman kepada Allah dan
hari akhir akan meminta izin karena tidak ada harapan mendapat pahala jihad.
Secara gramatika, kata إن ا bermakna القصر yaitu meringkas. Lafal ini
berfungsi sebagai penguat dari ayat ( ال ل رخالموي الواللبنون مؤي نيذيستأذنك ).
Sebenarnya ayat ini tidak memerlukan penguat, melainkan penguat tersebut hanya
berisi pujian terhadap orang mukmin.29
6. al-Tafsīr al-Sya’rāwī karya al-Sya’rāwī30
للذيناتأذنوا،بلوحتملأكثرمنذالك،فادلؤمنإذا31التوبيخحتمل-إذن-وىذهاليةولالل كالشخصالعادي؛لنالنسانفملسو هيلع هللا ىلصدعيللجهادمعر وبأمرمناللليكونتفكريه
ليفعلوأوليفعلو؟ولكنادلؤمنإذادعيالمورالعاديةإذلبمنوشىءأدارعقلووفكره؛ىكلمة)ل(علىخارهفبيلالل،للجهاد ولالل،ليدورفعقلوالواب،ولتأيت ومعر
أبدا،بلينطلقفريقوإىلالهاد.Artinya: Ayat ini merupakan sindiran bagi orang-orang yang
meminta izin. Orang mukmin jika dipanggil untuk berjihad bersama Rasul
Saw sementara perintah itu datang dari Allah, dia tidak akan berfikir
panjang seperti kebanyakan orang ketika diperintah sesuatu.
Karenanya, permohonan izin semata menjadi bukti goncangan iman dalam
hatinya. Karena, ia berfikir untuk keluar atau tidak, kemudian memutuskan
mengakhirkan jihad. Padahal, perintah jihad bersumber langsung dari Allah, tidak
ada kebutuhan untuk minta izin kecuali hanya mencari alasan dengan dalih uzur.
29
Ibn „Ᾱsyūr, al-Taḥrīr wa al-Tanwīr, Vol. 10 (Tunisia: Dār al-Tūnisiyyah, 1984 M), h.
211-212 30
al-Sya‟rāwī lahir pada hari ahad, tangga 17 Rabi‟ul Tsani 1329 H bertepatan dengan 16
April 1911 M, kecamatan Midghamar, kabupaten Daqhaliyah, wafat pada tanggal 22 safar 1419 H
bertepatan dengan tanggal 17 Juni 1998 M, dimakamkan di desa Daqadus. Sejak kecil al-Sya‟rawi
sudah mendapat gelar dari ayahnya al-Amin dan gelar ini dikenal masyarakat di daerahnya. Beliau
berasal dari keluarga yang sederhana memiliki keturunan yang terhormat dan ayahnya adalah
seorang pedagang yang sangat mencintai ilmu pengetahuan. Sejak kecil al-Sya‟rawi sudah gemar
menuntut ilmu. Hal ini tidak terlepas dari dorongan orangtuanya yang sangat mencintai ilmu. Al-
Sya‟rawi mengatakan : “Ayahku sangat gandrung dengan ilmu dan senantiasa berteman dengan
para ulama, beliau juga suka menolong orang-orang yang sedang menuntut ilmu, ayahku sangat
antusias memasukkanku ke Lembaga Pendidikan al-Ahzar karena mimpi yang pernah dilihat oleh
pamannya ketika aku dilahirkan ke dunia. Kakekku berkata : di mala mini aku diberi kabar
gembira, aku melihatnya dalam mimpiku seraya menunjuk kearah mimbar masjid, iapun berkata :
aku melihatnya di atas mimbar dengan wajah seperti anak ayam berkhutbah di hadapan
manusia”Ia adalah penulis tafsir al-Tafsīr al-Sya’rāwī yang bercorak sosial kemasyarakatan.
Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik Modern (Ciputat:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 143. Lihat juga Muhammad
Mustafa, Rihlah fi A’maq al-Sya’râwī, (Kairo : Dār al-Ṣafwah, 1991), h. 6. 31
Ialah ancaman dan celaan. al-Ifrīqī, Lisān al-‘Arab, Vol. 3 (Beirut: Dār Ṣādir, 1414 H),
h. 66.
37
al-Sya‟rāwī membuat analogi memulyakan tamu agar lebih memahami
penafsirannya. Ialah kisah Nabi Ibrahim a.s ketika Malaikat datang kepadanya
dalam bentuk beberapa laki-laki. Ia ingin memulyakan mereka. Maka ia tidak
meminta izin untuk menyembelih sesuatu terlebih dahulu, melainkan membawa
makanan yang sudah matang berupa hewan yang sudah disembelih dan dibakar.
Inilah adab memulyakan tamu.
Jika ada pertanyaan, “Apakah aku ikut berperang bersamamu atau tidak?”
maka pertanyaan ini menunjukkan keraguan. Hal ini tentu bertentangan dengan
iman. Orang yang ragu senantiasa bimbang antara pergi berperang atau pulang ke
rumah. sementara iman harus berdasarkan keyakinan dan kemantapan. Orang-
orang yang beriman tidak meminta izin kepada Rasul Saw ketika perintah jihad
dilancarkan, karena permohonan izin saat perang sudah diumumkan tidak layak
bagi orang mukmin.
Firman Allah ( يقت مالبميلعاللو ) sesungguhnya Allah mengetahui seluruh isi
hati, termasuk orang yang bertakwa. Jika mereka dapat menipu manusia, maka
mereka tidak akan pernah bisa menipu Allah, karena Ia senantiasa melihat apa
yang disembunyikan dalam setiap hati.32
Firman Allah QS. al-Taubah [9]: 45 melanjutkan ayat di atas mengenai
orang yang ragu. Jika seseorang yakin dia akan masuk surga tanpa hisab dengan
mati syahid, maka ia tak akan bimbang lagi. Juga tidak akan berfikir mengenai
pergi atau tidak. Selama surga menjadi tujuan akhir, jalan apapun yang
menghubugkan ke sana akan dijajaki bagi orang yang yakin dengan keimanannya.
Setiap kali ditemukan jalan lebih cepat, maka itu menjadi momentum bahagia
bagi orang mukmin karena ingin berpindah dari penderitaan dunia menuju
kenikmatan akhirat. Sampai jika ia hidup dalam kenikmatan dunia, ia mengetahui
kenikmatan tersebut akan hilang. Ia tidak menginginkan kenikmatan yang hilang,
dan hanya menginginkan kenikmatan yang kekal, tidak pernah hilang.
Sedangkan keraguan dan permohonan izin di sini bermakna syak. Yaitu
adanya dua perkara yang tersirat dalam benak seseorang dan keduanya berada
dalam satu tingkatan, tidak bisa diunggulkan salah satunya. Jika seseorang
32
al-Sya‟rāwī, Tafsȋr al-Sya’rāwī (Kairo: Akhbār al-Yaum, 1991 H/1411 M), h. 5150.
38
memutuskan suatu hukum, maka ia harus mendatangkan fakta yang memperkuat
hukum tersebut. Jika tidak, ini disebut dengan jahl. Yaitu seseorang meyakini satu
perkara sebagai hakikat, padahal ia bukan hakikat, juga tidak disertai dengan fakta
pendukung. Contohnya, seseorang mengatakan bumi itu datar. Kemudian datang
sekelompok orang kepadanya dengan membawa miniature bumi yang berbentuk
bulat. Namun, ia tetap bersikeras bahwa bumi itu datar. Inilah yang disebut
dengan jahl. Hal ini berbeda dengan pendapat al-Râzȋ yang mengatakan jahl ialah
sifat seseorang yang meyakini sesuatu tapi bertentangan dengan realitas yang
ada.33
Jahl berbeda dengan ummī, yaitu orang yang tidak mengetahui bahwa
bumi itu bulat. Tapi, ia akan membenarkan dan mempercayainya ketika
mengetahui hakikat yang sebenarnya. Sebaliknya, orang jāhil percaya pada hal
yang bertentangan dengan realitas. Jika seseorang mendatangi jāhil dengan
membawa hakikat, maka ia akan bersikukuh dengan pendapatnya. Karenanya,
musibah dunia bukan berasal dari orang ummī, melainkan bersumber dari orang
jāhil. Hal ini disebabkan memberi pemahaman kepadanya membutuhkan tenaga
ekstra. Pertama, meluruskan pemahaman yang salah, dan dugaan-dugaan yang
tidak terjadi pada kenyataan. Kedua, meyakinkannya dengan sederet fakta yang
ada.
Ketika ada realitas dalam hidup yang dapat dibuktikan kebenarannya,
inilah yang disebut dengan ilmu. Konsekuensi dari ilmu adalah mempercayai
suatu hal yang sudah teruji. Namun, jika seseorang belum menetapkan antara dua
pilihan dan tidak ada yang bisa diunggulkan salah satunya, maka inilah yang
disebut dengan syâk. Jika ia meyakini keunggulan salah satunya, ini disebut zan.
Kemudian, jika ia mengambil tindakan yang tidak diunggulkan oleh hatinya, ini
yang disebut wahm. Sementara al-Rāzī memberi istilah marjūḥ.
Firman Allah ( ين إ رخالموي الواللبنون مؤي لنيذال كنذأتسا ), jika iman pada
Allah dan hari akhir sudah tertancap dalam hati, mereka akan kembali pada Allah.
Mereka akan di-hisāb atas perbuatan yang telah dilakukan. Ayat ini menjelaskan
bahwa pengorbanan mereka baik harta maupun jiwa tidak sebanding dengan
33
Fakhruddīn al-Rāzī, Mafātīḥ al-Gaȋb, Vol. 16 (Beirut: Dār al-Fikr, 1981 M/1401 H), h.
79.
39
balasan yang besar di akhirat, (yaitu bertemu Allah). Jika permohonan izin
dilontarkan ketika mobilisasi perang diumumkan, ini mendandakan mereka berada
dalam keraguan. Dengan kata lain, mereka ragu untuk bertemu Allah di hari akhir.
Firman Allah ( نودد رت ي مهبيرفمهف ) maksudnya bahwa iman bagi mereka
berada di antara dua pilihan, yaitu akal dan hati. Sesekali menggunakan hati,
kemudian membawanya pada akal untuk diuji ulang. Kemudian mereka kembali
ke hati, dan seterusnya berputar antara dua hal tersebut namun tidak sampai pada
tingkatan yakin. Hal ini dikarenakan mereka meragukan akhirat.34
7. al-Baḥr al-Madīd karya Ibn ‘Ajībah35
عفاالل﴿مالفالوفالكالم:-عليوالصالةوالسالم-يقولاحلقجلجاللو،لنبيو،لبادرتإىلالذنإىلادلنافقيفالتخلف،واتكفيتبالذنالعامف﴾عنكلأذنتذلم
اخلواصمنادلقربيليكتفونبالذنالعام،بليتوقفون،فإن﴾مهن متئشنملنذأف﴿قولنا:اخلاص الذن حيإىل القعود ف ذلم أذنت شىء لي السالم. عليو يونس عوتب ولذالك .
توقفت وىال بأكاذيب؟ لك واعتذروا صدق وا﴿اتأذنوك ال ذين ي تب ي ،﴾حت العتذار ففيو.﴾وت علمالكاذبي﴿
Allah menegur Nabi Saw karena kedekatan dan kemulyaannya di sisi
Allah, juga karena kelemahlembutan Nabi Saw yang mengizinkan orang-orang
munafik dalam mengakhirkan jihad. Dalam pembahasan ini, Ibn „Ajībah
mengumpulkan tiga ayat dalam satu penafsiran sebagaimana terjadi pada tafsir
sebelumnya.
Firman Allah (ذلم أذنت ل عنك الل Allah memaafkanmu“ (عفا
(Muhammad). Mengapa engkau memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi
berperang?)”, yakni mengapa Nabi Saw segera mengizinkan orang-orang munafik
dalam mengakhirkan jihad, dan mencukupkan pada izin yang umum dalam firman
Allah ( مهن متئشنملنذأف ) “Berilah izin kepada siapa yang engkau kehendaki di
antara mereka”. Sementara orang-orang pilihan (dari golongan yang mendekatkan
diri pada Allah) tidak akan mencukupkan pada izin yang umum. Mereka
menunggu sampai ada izin khusus. Oleh sebab itu, Nabi Yunus a.s ditegur karena
34
al-Sya‟rāwī, Tafsīr al-Sya’rāwī (Kairo: Akhbār al-Yaum, 1991 H/1411 M), h. 5155-
5158. 35
Aḥmad bin Muḥammad bin Ajībah, al-Baḥr al-Madīd (Kairo: Hasan Abbās Zakī, 1999
M/ 1419 H), h. 1.
40
melakukan hal serupa (meninggalkan umat sebelum datang wahyu kemudian
Allah mengingatkannya dengan ia ditelan Paus).
Ibn „Aṭiyyah menyatakan bahwa firman Allah ( اوق دصنيذال ) “Orang-orang
yang benar”, yaitu dalam permohonan izin mereka kepada Nabi Saw. Jika Nabi
Saw tidak mengizinkan pasti mereka berangkat bersamanya. Sementara firman
Allah ( يباذكالملعت و ) maksudnya diizinkan atau tidak, mereka tetap bermaksiat.
Sesungguhnya akan terlihat siapa yang jujur dan siapa yang bohong ketika Nabi
Saw tidak mengizinkan, sehingga orang yang menetap di rumah hanyalah pelaku
maksiat dan munafik. Sementara mereka yang pergi ialah orang-orang yang patuh.
Firman Allah QS. al-Taubah [9]: 43-45 memiliki isyarat, yaitu sudah
sepantasanya orang yang berdakwah di jalan Allah tidak mengizinkan murid-
muridnya untuk mengakhirkan jihad akbar. Mereka meminta dispensasi pada guru
untuk perkara yang menguntungkan diri dan hawa nafsunya. Bahkan, terkadang
dilakukan untuk mengumpulkan kekayaan duniawi. Permohonan ini dimaksudkan
agar mendapat kemurahan hati guru. Padahal kemurahan hati dalam konteks ini
tidak layak bagi seorang guru spiritual. Guru hanya diperkenankan mengarahkan
murid dalam hal yang mematikan keinginan diri, sehingga rohani menjadi hidup.
Para ahli sufi mengatakan pertanda seorang guru menyayangi muridnya ialah
ketika ia mendorong mereka untuk terbebas dari keinginan diri, harta, dan
kedudukan.36
8. Abū Bakr al-Jaṣṣāṣ37
بأمواذلماليةل-إىلقولو﴾رخالموي الواللبنون مؤي نيذليستأذنكال ﴿قولوتعاىللنلياىدوا يستأذنكادلؤمنونفالتخلفعنالهاد لفقولو وداىينأ﴿وأضمر ﴾ا
كانزلذوراعليهم ويدلعلىصحةلدللةالكالمعليووىذايدلعلىأنالتئذانفالتخلفكراىةأنياىدوايؤولإىلادلعىنالوللنإضمارل﴾اوداىينأ﴿تأويلقولو أنوعلىتقدير
36
Aḥmad bin Muḥammad bin Ajībah, al-Baḥr al-Madīd, Vol. 2 (Kairo: Hasan Abbās
Zakī, 1999 M/ 1419 H), h. 385-386. 37
Aḥmad bin „Alī al-Rāzī Abū Bakr al-Jaṣṣaṣ. Berasal dari Ray, kemudian tinggal di
Baghdad dan wafat di sana tahun 370 H/980 M. Ia merupakan penganut madzhab Hanafi, juga
penulis tafsir yang berjudul Aḥkām al-Qur`ān yang bercorak fiqhī. Khairuddīn bin Maḥmud bin
Muḥammad bin „Alī bin Fāris al-Zarkalī, al-A’lām, Vol. 1 (Libanon: Dār al-„Ilmi li al-Mālayīn,
2002 M), h. 171.
41
بادلالوالنفسمجيعالنوفيووإضمارالكراىةواءوىذهاليةأيضاتدلعلىوجوبفرضالهاد.فذمهمعلىالتئذانفتركالهادبما﴾ مهسفن أوماذلومأابوداىينأ﴿قالتعاىل
Artinya: “Firman Allah ( يستأذنكال نأرخالموي الواللبنون مؤي نيذلبوداىي مهسفن أوماذلومأا ) “Orang-orang yang beriman kepada Allah dan
hari kemudian, tidak akan meminta izin (tidak ikut) kepadamu untuk
berjihad dengan harta dan jiwa mereka”, yakni mereka tidak akan meminta
izin mengakhirkan agar terbebas dari kewajiban jihad. Sikap Nabi Saw
dalam ayat ini dinilai sebagai perbuatan dosa. Namun, berkat kasih sayang
Allah, perbuatan ini dimaafkan dan diabadikan dalam firman-Nya ( االلفعكنع ) bahwa Allah memaafkan dosa Nabi Saw tersebut (termasuk dosa
kecil). Berbeda dengan penafsiran sebelumnya yang menyatakan hal itu
hanya termasuk kesalahan semata.”
Jihad dengan harta terbagi dua, yaitu: pertama, mengeluarkan harta untuk
menyiapkan kendaraan, persenjataan, dan perbekalan orang yang berjihad. Kedua,
mengeluarkan harta baik bagi yang berjihad maupun orang yang membantu
kelancaran jihad. Adapun jihad dengan jiwa terbagi atas beberapa bagian, yaitu:
pertama, seseorang berangkat dari rumahnya untuk berperang di jalan Allah.
Kedua, perintah jihad ialah wewenang Allah. Ketiga, strategi peperangan seperti
yang dilakukan al-Ḥubbāb bin Munżir saat Perang Badar. Ia menyarankan agar
pasukan dipindahkan ke tempat yang dekat dengan air. Kemudian mereka
ditempatkan di sana. Selanjutnya pasukan mukmin membongkar sumur-sumur
kecil di belakang dan membongkarnya menjadi satu kolam besar untuk diisi air.
Dengan demikian, umat Islam bisa meminum air tersebut sementara kaum
Quraisy tidak bisa. Nabi Saw menyetujuinya. Strategi ini dapat menguatkan umat
Islam dan melemahkan musuh. 38
38
Abū Bakr al-Jaṣṣâṣ, Aḥkām al-Qur`ān, Vol. 4 (Beirut: Dār Iḥyā`, 1992 M/1412 H), h.
317-319.
42
BAB IV
ANALISIS TERHADAP TAFSIR QS. AL-TAUBAH [9]: 44-45
Pada BAB IV, dibuat klasifikasi penafsiran terkait QS. al-Taubah [9]: 44-
45 dengan melihat ragam penafsiran yang diberikan masing-masing mufassir
dalam memahami QS. al-Taubah [9]: 44-45 khususnya mengenai pemaknaan
jihad dalam ayat ini. Dalam hal ini, ditemukan tiga ragam penafsiran QS. al-
Taubah [9]: 44-45. Pertama, penafsiran enam kitab, yaitu: al-Jāmi’ li Aḥkām al-
Qur`ān karya al-Qurṭubī; Mafātīḥ al-Gaib karya al-Rāzī; Laṭā`if al-Isyārāt karya
al-Qusyairī; Tafsīr al-Qur`ān al-‘Aẓīm karya Ibn Kaṣīr; al-Taḥrīr wa al-Tanwīr
karya Ibn „Ᾱsyūr; al-Tafsīr al-Sya’rāwī karya al-Sya‟rāwī. Ragam penafsiran
pertama berdasarkan persamaan redaksi penafsiran dalam enam tafsir tersebut,
yakni jihad dimaknai perang dalam konteks Perang Tabuk yang ditandai dengan
adanya sekelompok orang yang mengajukan izin tidak berperang. Kedua,
penafsiran Ibn „Ajībah, jihad dimaknai memerangi hawa nafsu. Ketiga, penafsiran
al-Jaṣṣāṣ, jihad dimaknai menuntut ilmu.
A. Argumentasi dalam Tafsir QS. al-Taubah [9]: 44-45
1. Penafsiran Enam Tafsir
Poin pertama yakni kelompok tafsir yang menafsiran QS. al-Taubah [9]:
44-45 bahwa jihad dimaknai sesuai sebab turun ayatnya, yaitu Perang Tabuk,
ditandai dengan sekelompok orang yang meminta izin tidak ikut jihad. Hal ini
dibuktikan dengan adanya redaksi القعود yang bermakna menetap di rumah/tidak
berperang dan الخروج yang bermakna keluar untuk berperang. Dalam kelompok
pertama ini, ditemukan enam tafsir yang memiliki penafsiran QS. al-Taubah [9]:
44-45 dimaknai perang dalam konteks Perang Tabuk.
Penafsiran pertama yaitu Tafsir al-Qurtubi. Ia mengutip hadis riwayat Abu
Dawud dari Ibn „Abbas, ia menyatakan ayat ( ل يستأذنك الذين ي ؤمن ون بالل) adalah
ayat mansukh.1 Sedangkan nâsikh nya ialah QS. al-Nȗr [24]: 62:
1 Abū Sulaimān bin al-Asy‟aṡ bin Ishāq bin Basyīr bin Syaddād bin „Umar al-Azdī al-
Sijistānī, Sunan Abī Dāwūd, Vol. 4 (Beirut: Dār al-Risālah, 2009 M/1430 H), h. 401.
43
ا المؤمن ون الذين آمن وا بالل ورسوله وإذا كانوا على أمر جامع ل يذهب وا حت ا يستأذن و إن إنهم بالل ورسوله يستأذن وك أولئك الذين ي ؤمن ون فإذا استأذن وك لب عض شأنم فأذن لمن شئت من
واست غفرلم الل إن الل غفور رحيم Artinya: “(yang disebut) orang mukmin hanyalah orang yang
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya (Muhammad), dan apabila mereka
berada bersama-sama dengan dia (Muhammad) dalam suatu urusan
bersama, mereka tidak meninggalkan (Rasulullah) sebelum meminta izin
kepadamu (Muhammad), mereka itulah orang-orang yang (benar-benar)
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka apabila mereka meminta izin
kepadamu karena suatu keperluan, berilah izin kepada siapa yang engkau
kehendaki di antara mereka. dan mohonkanlah ampun untuk mereka
kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
Berdasarkan ayat di atas, permohonan izin boleh diajukan kepada Nabi
Saw bagi orang mukmin yang terhalang jihad karena keperluan mendesak. Nabi
Saw dapat menilai siapa orang yang bersungguh-sungguh dan yang tidak.
Kemudian ia berhak mengizinkan siapa yang dikehendaki, yaitu mereka yang
memiliki cukup argumen untuk diizinkan Nabi Saw.2
Penafsiran al-Rāzī cenderung sama dengan penafsiran yang dipaparkan al-
Qurtubi. Jihad dimaknai perang dalam konteks Perang Tabuk. Hanya saja, al-Rāzī
menambahkan hadis sebagai argumetasi penguat dari QS. al-Taubah [9]: 44-45
sebagai berikut:3
ن م ت ن أ ىس و م ن م ن و ر ه ة ل ز ن Ini ialah pesan Nabi Saw kepada Ali bin Abi Thalib ketika diberi amanat
untuk menjaga keluarganya di Madinah selama Nabi Saw dan yang lain berperang
di Tabuk. Ali bersedih karena tidak ikut perang. Namun, Nabi menghiburnya
dengan hadis ini. Diketahui Nabi Musa dan Harun memiliki peran yang berbeda.
Keduanya hidup satu masa. Namun, Nabi Musa berperan sebagai orang yang
tampil ke luar daerah, sementara Nabi Harun berperan menjaga umat Bani Israil di
daerah mereka.
2 Muḥammad bin Aḥmad bin Abū Bakr al-Qurṭubī, al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur`ān, Vol. 10
(Beirut: Mu`assasah al-Risālah, 2006 M/1426 H), h. 229. 3 Abū „Abdillāh Aḥmad bin Muḥammad bin Ḥanbal bin Hilāl bin Asad al-Syaibānī,
Musnad Ahmad, Vol. 2 (Kairo: Dar al-Ḥadīṡ, 1995 M/1416 H), h. 255. Lihat juga Muḥammad bin
„ḹsā al-Tirmidzi, al-Jāmi’ al-Ṣaḥȋḥ Sunan al-Tirmiẓī, Vol. 5 (Beirut: Dār Iḥyā` al-Turāṡ al-„Arabī,
h. 641.
44
Selain hadis di atas, al-Rāzī menggunakan riwayat Ibn „Abbās yang
menyatakan Firman Allah (ال يستأذنك) merupakan tanda ayat ini turun pada Perang
Tabuk. Hal ini disebabkan saat itu orang-orang munafik berbondong-bondong
meminta kemurahan hati Nabi Saw agar mengizinkan mereka berdiam di rumah
saat perintah jihad diumumkan.4
Kemudian mengenai QS. al-Taubah [9]: 45, al-Rāzī menyinggung
Karāmiyyah yang membatasi iman hanya dengan pengakuan lisan. Namun, hal ini
terbantahkan dengan keterangan ayat dalam QS. al-Taubah [9]: 45. Mereka yang
mengaku beriman hendaklah membuktikannya dengan perbuatan yang sesuai. Jika
tidak, mereka bukan termasuk orang yang beriman.5
Kemudian Allah berfirman ( و ل و أ ر اد و ا ال ر و ج ل ع د و ا ل ه ع د ة) dibaca ‘uddatahu
atau dibaca ‘iddatan dengan meng-kasrah-kan „ain. Ibn „Abbâs menyatakan
maksud ayat ini adalah perbekalan, air dan kendaraan, karena perjalanan mereka
jauh dan pada waktu yang sulit. Ketidaksiapan mereka menunjukkan bahwa
mereka ingin ditinggalkan. Pendapat lain mengatakan ini merupakan isyarat
bahwa mereka mampu membuat perbekalannya sendiri.
Kemudian Allah berfirman ( و ل ك ن ك ر الل ان ب ع اث ه م ف ث ب ط ه م), di dalamnya
terdapat beberapa masalah sebagai berikut:
Pertama, al-inbi’āṡ adalah kepergian dalam suatu perkara.6 Dikatakan aku
memberangkatkan unta maka ia berangkat. Sedangkan tatsbiṭ adalah penolakan
untuk mengerjakan pekerjakan orang lain. Makna ayat ini ialah bahwa Allah tidak
menyukai keberangkatan mereka bersama Nabi Saw. Kemudian Ia memalingkan
mereka dari Nabi Saw.
Ada yang mengatakan keberangkatan mereka bersama Rasul satu sisi
dikatakan mafsadat, di sisi lain dikatakan maslahat.
4 Syamsuddīn Ibn Qayyim al-Jauziyyah, ‘Aun al-Ma’būd, Vol. 12 (Libanon: Dār al-Kutub
al-„Ilmiyyah, 1995 M/1415 H), h. 331. 5 Fakhruddīn al-Rāzī, Mafātīḥ al-Gaib, Vol. 16 (Beirut: Dār al-Fikr, 1981 M/1401 H), h.
78-81. 6 Dalam istilah lain, inbi’āṡ adalah bersegera melakukan sesuatu demi memenuhi
kebutuhannya. Ibrāhīm Musṭafā dkk, al-Mu’jam al-Wasīt, Vol. 1 (Beirut: Dār al-Da‟wah, tt), h. 62.
45
Bagi yang mengatakan mafsadat, kenapa Rasul mencela mereka ketika
menetap di rumah? Namun jika itu maslahat, kenapa Allah tidak menyukai
keberangkatan mereka bersama Nabi Saw?
Jawabannya adalah keberangkatan mereka tidak mengandung maslahat,
dengan argumentasi Allah menjelaskan mafsadat yang didapat setelah ayat ini. Ia
berfirman ( ب ال ر ج و ا ف ي ك م م ا ز اد و ك م إ ل ,Jika (mereka berangkat bersamamu)“ (ل و
niscaya mereka tidak akan menambah (kekuatan)mu, malah hanya akan membuat
kekacauan.” Kemudian menyusul pertanyaan jika yang terbaik mereka tidak
berangkat, kenapa Rasul Saw menegur mereka ketika mengajukan izin?
Jawabannya adalah riwayat Abȗ Muslim yang mengatakan bahwa kalimat ل أ ذ ن ت bukan berarti Nabi Saw benar-benar mengizinkan mereka tidak ikut, tapi ada ل م
kemungkinan mereka minta izin untuk ikut keluar bersama Nabi Saw kemudian
diizinkan. Karenanya, terjawablah pertanyaan tersebut.
Abȗ Muslim melanjutkan argumentasinya, ayat ini menunjukkan
keberangkatan mereka bersama Nabi Saw adalah mafsadat. Maka, secara otomatis
teguran Allah terhadap Nabi Saw yaitu ketika ia mengizinkan mereka untuk
keluar bersamanya. Hal ini diperkuat dengan ayat-ayat lain, yaitu firman Allah
ائ ف ة م ن ه م ف اس ت أ ذ ن و ك ل ل خ ر و ج ف ق ل ل ن ت ر ج و ا م ع ي أ ب د ا) Maka jika“ ,(ف إ ن ر ج ع ك الل إ ل
Allah mengembalikanmu (Muhammad) kepada suatu golongan dari mereka
(orang-orang munafik), kemudian mereka meminta izin kepadamu untuk keluar
(pergi berperang), maka katakanlah, “Kamu tidak boleh keluar bersamaku selama-
lamanya dan tidak boleh memerangi musuh bersamaku.” Firman Allah lainnya
adalah ) س ي ق و ل ال م خ ل ف و ن إ ذ ا ان ط ل ق ت م( maka ini merupakan jawaban khusus dari Abu
Muslim.
Dilihat dari sisi lain, jawaban yang tepat menurut al-Rāzī ialah teguran
dalam ayat ( ل أ ذ ن ت ل م) bukan karena keadaan mereka yang duduk santai di
rumah, melainkan pemberian izin tersebut yang memberi mafsadat bagi Nabi
Saw. Penjelasannya sebagai berikut: pertama, Nabi Saw mengizinkan mereka
tanpa pertimbangan yang matang. Kedua, pada dasarnya Nabi Saw tidak
mengizinkan mereka untuk menetap, mereka duduk atas kemauannya sendiri.7
7 Fakhruddīn al-Rāzī, Mafātīḥ al-Gaib, Vol. 16 (Beirut: Dār al-Fikr, 1981 M/1401 H), h.
78-81.
46
Ketiga, Nabi Saw marah ketika mereka meminta izin tidak ikut berperang,
sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah ( اق ع د و ا م ع ال ق اع د ي ن). Kedua, Muktazilah Baṣriyyah
8 mengatakan ayat di atas menunjukkan
bahwa Allah disifati dengan sifat murȋdiyyah, yaitu sifat kârihiyah (benci, tidak
menyukai), dengan dalil firman Allah ( و ل ك ن ك ر الل ان ب ع اث ه م). Hal ini dibantah oleh
Ashâbunâ dengan mengatakan makna kariha menunjukkan ketiadaan perkara
tersebut, bukan Allah membenci makhlukNya. Allah tidak menyukai
keberangkatan mereka bermakna keberangkatan tersebut tidak terjadi di dunia
nyata.9
Berbeda dengan penafsiran al-Qurṭubī dan al-Rāzī, al-Qusyairī
menafsirkan ayat QS. al-Taubah [9]: 44 tanpa menyebutkan ayat lain sebagai
argumentasi tambahan. Namun demikian, pemaknaan jihad dapat dilihat dari
penjelasan ayat berikutnya yaitu QS. al-Taubah [9]: 45 yang menyebut kata التأخير
-Orang .(keluar untuk berperang) الخروج dan (ketinggalan/tidak ikut jihad) التخلف/
orang yang tidak beriman ketika dibebankan tanggung jawab dalam hal ini
perang, mereka akan mencari alasan agar tidak mengikutinya.10
Kemudian Ibn Kaṡīr dalam Tafsīr al-Qur`ān al-‘Aẓīm memberi penafsiran
singkat namun cukup jelas. Ia menegaskan ayat ini berisi permohonan izin tidak
ikut perang, ditandai dengan lafal ( يف القعود عن الغزو ﴿ل يستأذنك ﴾ ). Nabi Saw
kemudian mengizinkan mereka. Namun, ternyata hal ini tidak disetujui Allah. Ia
menegur Nabi Saw dalam QS. al-Taubah [9]: 43, bahwa pemilik otoritas utama
adalah Allah semata. Nabi tidak memiliki kapasitas untuk mengizinkan siapa yang
berhalangan. Namun, berkat kasih sayang-Nya terhadap Nabi Saw, Allah
menurunkan QS. al-Nūr [24]: 62 sebagai keringanan baginya untuk mengizinkan
siapa yang disetujui.11
Kemudian Ibn „Ᾱyūr memberi penafsiran QS. al-Taubah [9]: 44-45 hampir
sama dengan al-Qurṭubī, al-Rāzī, al-Qusyairī, dan Ibn Kaṡir. Jihad dimaknai
8 Sayyid Hawa, al-Asās fī al-Sunnah wa Fiqhihā, Vol. 1 (Kairo: Dār al-Salām, 1992 M/
1412 H), h. 435. 9 Fakhruddīn al-Rāzī, Mafātīḥ al-Gaib, Vol. 16 (Beirut: Dār al-Fikr, 1981 M/1401 H), h.
78-81. 10
al-Qusyairī, Laṭā`if al-Isyārāt, Vol. 1 (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1971 M), h.
424. 11
Ibn Kaṡīr, Tafsīr al-Qur`ān al-Aẓīm, Vol. 7, h. 210-211.
47
perang dan mereka yang meminta izin bukan berasal dari golongan orang
mukmin. Ia menambahkan, kata إنا dalam QS. al-Taubah [9]: 45 adalah penguat
dari QS. al-Taubah [9]: 44. Makna ayat ini sebenarnya orang-orang yang izin
tidak berniat mengikuti perang ( ج و ر ال ىل ا ع و م ز ع ي ل م ه ن أ ). Oleh sebab itu, ayat ini
merupakan bukti bahwa orang munafik telah kafir karena upaya permohonan izin
tersebut diketahui banyak orang. Sementara selama ini istilah munafik hanya
dianggap sebagai sekelompok orang yang bersembunyi dibalik agama Islam.12
Sesuai dengan penafsiran sebelumnya, al-Sya‟rawi menafsirkan QS. al-
Taubah [9]: 44 dengan jihad dipahami sebagai perang dan orang yang meminta
izin bukan berasal dari kaum beriman. Hal ini dikarenakan mereka meminta izin
ketika perintah jihad baru saja disampaikan Nabi Saw. Kemudian ia memberi
analogi seperti Nabi Ibrahim a.s ketika didatangi para malaikat dalam bentuk
sekelompok laki-laki. Ia ingin memulyakan mereka selayaknya tamu. Namun,
Nabi Ibrahim a.s tidak minta izin untuk menyembelih hewan terlebih dahulu,
melainkan langsung membawakan makanan yang telah disembelih dan sudah
matang. Analogi ini bersumber dari penafsiran QS. Hūd [11]: 9 dan al-Żâriyāt
[51]: 26 sebagai berikut.
QS. Hūd [11]: 9
ذ ي ن ح ل ج ع ب اء ج ن أ ث ب ا ل م ف م ل س ال ق ام ل ا س و ال ى ق ر ش ب ال ب م ي اه ر ب ا إ ن ل س ر ت اء ج د ق ل و Artinya: “Dan para utusan kami (para malaikat) telah datang
kepada Ibrahim dengan membaa kabar gembira, mereka mengucapkan,
“Selamat.” Dia (Ibrahim) menjawab, “Selamat (atas kamu).” Maka tidak
lama kemudian Ibrahim menyuguhkan dalil anak sapi yang dipanggang.”
(QS. Hȗd [11]: 9)
Ahmad musṭafā al-Marāgī menyatakan ayat ini berbicara kondisi para
malaikat mendatangi Nabi Saw, meskipun masih diperdebatkan mengenai jumlah
dan siapa saja yang datang. Diriwayatkan dari „Aṭā`, sesungguhnya mereka ialah
Jibril, Mikail, dan Israfil a.s. Sementara riwayat lain menyebutkan, adalah Jibril,
12
Ibn „Ᾱsyūr, Ahkām al-Qur`ān, Vol. 10, h. 214.
48
dan tujuh malaikat bersamanya. Mengenai hal tersebut, tidak ditemukan cara
mengetahuinya kecuali melalui taufik dari Allah. Sementara kata (البشرى) ialah
kabar gembira mengenai kelahiran anak. Selanjutnya lafal ( سلما قالوا ) menunjukkan para malaikat membaca salam kepada Nabi Ibrahim. Kemudian
Ibrahim menjawab عليكم السلم. Berikutnya firman Allah ( فما لبث أن جاء بعجل Maka tidak lama kemudian Ibrahim menyuguhkan dalil anak sapi yang“ (حنيذ
dipanggang”, yakni Nabi Ibrahim a.s tidak memperlambat penyajian dengan
membawakan makanan yang masih di atas batu panas (kondisi daging belum
matang). Sudah menjadi kebiasaan orang zaman itu masakan disimpan di atas
batu panas sebelum dibakar dengan api sampai matang dan siap disajikan.
Kemudian firman Allah dalam al-Żāriyāt berbunyi فراغ إل أهله فجاء بعجل Ayat ini ialah bukti bahwa Nabi Ibrahim a.s sudah .سني ف قربه إليهم قال أل تأكلون
lebih dulu menyiapkan hidangan daging panggang untuk para tamu dan matang
sebelum mereka datang. Berikutnya firman Allah ف لما رأى أيدي هم ل تصل إليه نكرهميفة هم Mak ketika dilihatnya tangan mereka tidak menjamahnya, dia“ وأوجس من
(Ibrahim) mencurigai mereka, dan merasa takut kepada mereka. Mereka
(malaikat) berkata, “Jangan takut, sesungguhnya kami diutus kepada kaum Luth”.
Ketika Nabi Ibrahim a.s melihat tangan mereka yang tidakengambil makanan
yang telah disediakan, di sanalah ia menemukan kejanggalan yang tidak lazim
dilakukan para tamu. Jika tamu tidak memakan makanan yang dihidangkan tuan
rumah, menandakan ia tidak menyukai atau sibuk dengan obrolan. Sesaat
kemudian, Ibrahim a.s menyadari kalau mereka bukan manusia biasa. Ia takut dan
khawatir mereka ialah malaikat azab.
Kemudian rombongan malaikat itu mengingatkan agar Ibrahim a.s tidak
takut. Rupanya mereka adalah malaikat yang diutus untuk membinasakan kaum
Nabi Lut. Kebetulan pemukiman mereka tidak jauh dari rumah Ibrahim a.s.
Bahkan, Dijelaskan dalam QS. al-Hijr ia dengan terus terang merasa takut.
Kemudian mereka menenangkannya, dan memberi kabar gembira mengenai
kelahiran Ishaq a.s.13
13
Aḥmad Musṭafā al-Marāgī, Tafsīr al-Marāgī, Vol. 12 (Mesir: Musṭafā al-Bābī: tt), h. 9.
49
Sepakat dengan al-Maragi, Abū Ḥayyān dalam tafsirnya menyatakan Nabi
Ibrahim curiga setelah melihat para tamu tidak menjamah hidangan yang ada. Di
sana ada Sarah, istri Ibrahim a.s yang sudah tua. Ia turut menyaksikan peristiwa
tersebut. Abū Hayyān menyatakan ada tiga kabar gembira yang disampaikan
malaikat kepada Ibrahim a.s, yaitu: pertama, kelahiran anak. Kedua, mengenai
persahabatan. Ketiga, mengenai keselamatan Nabi Lut dan orang yang beriman
kepadanya. Mereka para pembawa kabar datang dengan bergerombol.
Dikatakan jumlah malaikat pada saat itu adalah 12 malaikat. Pernyataan
ini diriwayatkan oleh Ibn „Abbas. Sementara al-Sudi mengatakan berjumlah 11
malaikat. al-Dahhak mengatakan ada 9, dan Muhammad bin Ka‟b mengatakan
delapan. Kemudian al-Mawardi menyatakan mereka ada empat, sedangkan Ibn
„Abbas dan Ibn Jubair menyatakan ada tiga, yaitu: Jibril, Mikail, Israfil. Muqatil
mengatakam mereka ialah Jibril, Mikail, dan malaikat pencabut nyawa. Kemudian
ia meriwayatkan bahwa jibril khusus bertugas menghancurkan umat Nabi Lut,
sementara Mikail memeberi kabar gembira mengenai Ishaq kepada kedua orang
tuanya, dan Israfil mengabarkan sebagian umat Nabi Lut selamat karena kekuatan
iman mereka.14
QS. al-Dzâriyât: 26
ني ف راغ إل أهله فجاء بعجل سArtinya: “Maka diam-diam dia (Ibrahim) pergi menemui
keluarganya kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk (yang dibakar).
(QS. al-Dzâriyât: 26)
Selanjutnya, Wahbah Zuḥailī menafsirkan ayat ini hampir sama dengan
penafsiran QS. Hȗd [11]: 9. Malaikat datang kepadanya untuk memberitahu kabar
Nabi Ibrahim a.s akan segera memiliki putra. Ia akan menjaga keturunan Ibrahim
a.s, dan mengharumkan namanya. Ialah Ishaq a.s. Berikutnya Ya‟qub a.s,
keturunan Nabi dari Israel.
Sementara istri Ibrahim r.a berdiri di balik hijab sembari melihat para
malaikat. Mendengar percakapan mereka, ia tersenyum bahagia, hilang darinya
rasa takut, keadaan pun menjadi aman. Sementara mufassir lain seperti Mujāhid
dan „Ikrimah menafsirkan فضحكت dengan حاضت ، وكانت آيسة ، حتقيقا للبشارة,
yakni Siti Sarah haid, padahal sebelumnya ia adalah perempuan yang tidak haid.
14
Abū Hayyān, al-Bahr al-Muḥiṭ, Vol. 1, h. 5543.
50
Hal ini merupakan penegasan akan kabar gembira, pertanda Sarah akan hamil dan
melahirkan.15
B. Penafsiran al-Baḥr al-Madīd karya Ibn ‘Ajībah
Penafsiran Ibn „Ajȋbah dalam al-Bahr al-Madȋd terdiri dari dua sisi.
Pertama, QS. al-Taubah [9]: 44-45 dimaknai sindiran bagi orang munafik yang
ingin mengacaukan keadaan saat perang Tabuk, yaitu „Abdullâh bin Ubay dan al-
Jadd bin Qais sebagai perwakilan orang munafik. Kedua, ayat ini dimaknai
dengan makna isyârȋ. Jihad menurut Ibn „Ajȋbah ialah memerangi hawa nafsu.
Tidak layak bagi guru spiritual mengizinkan muridnya untuk mengikuti hawa
nafsu dan mengesampingkan pengendalian diri.
Firman Allah QS. al-Taubah [9]: 44-45 ditafsirkan Ibn „Ajibah bahwa
orang-orang yang ikhlas (الخلص) dalam beragama akan menaati semua perintah
sehingga pantang meminta dispensasi tidak ikut jihad. Ayat berikutnya ﴿ إنا﴾ يستأذنك ditafsirkan bahwa motif utama dalam jihad adalah iman, begitupun
sebaliknya.16
Selanjutnya al-Syaukani menafsirkan عفا الل عنك sebagai ucapan
pembuka, seperti كيف فعلت كذا ,وأعزك ورمحك ,أصلحك الل. Ini pendapat al-Makki,
al-Nuhhas, dan al-Mahdawi. Berdasarkan penakwilan ini, wakaf pada lafal
tersebut dinilai baik. Selain itu, QS. al-Taubah [9]: 43 juga berisi syariat agar
berhati-hati dengan sikap ketergesaan, dan tertipu dengan perkara lahiriyah.17
Dikutip dari al-Alusi, Muslim bin Hajjaj meriwayatkan hadis dari Abu
Hurairah r.a yang berbunyi:
ا ع ز ف و أ ة ع ي ه ع ا س م ل ك ه ن ت ى م ل ع ر ي ط ي الله ل ي ب س يف ه س ر بعنان ف ك س م ل ج ر اس الن اش ع م ي ن م مظانه ت و م ال و أ ل ت ق ال ي غ ت ب ي ه ن ت ى م ل ع ار
Artinya: “Setengah dari pada sebaik-baik keadaan kehidupan
manusia adalah seseorang yang memegang kendali kudanya untuk
melakukan peperangan di jalan Allah. Ia terbang di atas punggung
(kuda)nya. setiap kali ia mendengar suara gemuruh atau dahsyatnya di
15
Wahbah Zuḥailī, al-Tafsīr al-Munīr, Vol. 12 (Beirut: Dār al-Fikr, 1418), h. 107. 16
Ibn „Ajībah, al-Baḥr al-Madīd, Vol. 3 (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1423 H/2002
M), h.110. 17
Al-Syaukānī, Fatḥ al-Qadīr, Vol. 3, h. 261.
51
medan peperangan, ia segera ke sana untuk mencari supaya terbunuh atau
kematian yang disangkanya bahwa di tempat gemuruh itulah tempatnya.”18
Kembali ke perizinan, makna isyari lain yang didapat dalam ayat ini ialah
tidak layak bagi seseorang meminta izin kepada saudaranya untuk perkara yang
sia-sia. Jika faktor utamanya adalah benci, maka seorang yang meminta izin tentu
tidak menginginkan hal tersebut terjadi. Bahkan, terkadang alasannya tidak
diterima akal. Kemudian firman Allah والله عليم بالمتقني merupakan kesaksian bagi
mereka yang berjihad. Mereka adalah orang yang bertakwa. Maka dapat
disimpulkan, seseorang yang berbuat baik dijanjikan akan mendapat pahala yang
berlimpah. Sebaliknya, seseorang yang berbuat jahat, maka akan diancam
mendapat siksaan terpedih.19
C. Penafsiran Aḥkām al-Qur`ān karya al-Jaṣṣāṣ
Firman Allah ( ب ت ي م ل ت ن ذ أ ل ك ن ع ا الل ف ع (او ق د ص ن ي ذ ال ك ل ني turun pada orang-
orang munafik. Bisa saja Nabi Saw memilih tidak mengizinkan supaya terlihat
siapa orang munafik di antara pasukannya. Ayat ini kerap kali disinggungkan
dengan QS. al-Nur [24]: 62 yang berbunyi ( م ه ن م ت ئ ش ن م ل ن ذ أ ف ) “Berilah izin
epada siapa yang engkau kehendaki di antara mereka”. Orang-orang mukmin
tidak akan pergi jika tidak diizinkan Nabi Saw. al-Jassas menilai dua ayat ini
saling melengkapi satu sama lain. Dengan kata lain, dua ayat tersebut bukan ayat
nāsikh dan mansūkh.
Firman Allah أن ياهدوا بأموالم ر ال م و ي ال و الل ب ن و ن م ؤ ي ن ي ذ ال ك ن ذ أ ت س ي )ل(وأن فسهم menunjukkan kewajiban jihad dengan harta dan jiwa secara berbarengan.
Oleh sebab itu, Allah berfirman ( ياهدوا بأموالم وأن فسهم أن ). Allah mencela mereka
yang meminta izin tidak berjihad dengan keduanya.
Jika ditanyakan mana yang lebih utama, menuntut ilmu atau memerangi
kaum musyrik? Jawabannya ialah jika musuh sudah di depan mata sementara
tidak ada yang mampu menghadapinya, atau umat Islam sudah dikepung oleh
mereka, maka jihad wajib dilakukan bagi setiap orang. Kesibukan berperang
18
Abu al-Ḥusain Muslim bin al-Hajjāj al-Naisabūrī, al-Jāmi al-Ṣaḥīḥ al-Musammā Ṣaḥīḥ
Muslim, Vol. 6 (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadīdah, 1414 H), h. 36. 19
Syihabuddīn Mahmūd bin Abdillāh al-Husainī al-Ᾱlūsī, Ruḥ al-Ma’ānī fī Tafsīr al-
Qur`ān al-Aẓīm wa Sab’i al-Maṡānī, Vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1415 H), h. 301.
52
dalam hal ini lebih utama dari menuntut ilmu, karena bahaya musuh sulit
dihindari. Sementara menuntut ilmu bisa dilakukan dalam kondisi apapun.
Kemudian jika keadaan berbalik, kebutuhan jihad tidak mendesak dan
perekonomian menjadi stabil, maka hukum jihad dengan pedang kembali ke fardu
kifayah selayaknya menuntut ilmu. Bahkan, perkembangan ilmu pengetahuan
pada saat itu lebih utama dari jihad ketika kita melihat posisi ilmu berada di atas
jihad.
Pokok persoalan jihad difahami perang adalah ketika jihad menjadi
sesuatu yang tidak disukai menjadi persoalan utama yang menjadi perhatian para
ulama untuk memahami arti jihad yang lain dalam perkembangannya, selain dapat
diartikan turun ke medan perang sebagaimana yang menjadi latar turunnya QS. al-
Taubah [9]: 44-45, juga dapat bermakna melawan hawa nafsu. Namun ada
substansi dari makna jihad yang dapat dipertimbangkan hampir oleh semua ulama
sebagai sesuatu yang penting yakni sebagai satu seruan pada agama yang hak.
Jihad fi sabīlillāh berarti berjuang di jalan Allah. Dengan melihat pengertian ini
jihad berarti perjuangan. Oleh karena itu, yang lebih penting dari jihad dengan
maju ke medan perang adalah memperjuangkan untuk memerangi ketertinggalan
dan kebodohan. Dalam hal ini, guru yang mengajar dan murid yang berjuang
mengatasi ketertinggalan dan kebodohan termasuk dalam arti jihad.20
Hal itu lah yang dibutuhkan umat Islam, umat Islam sangat membutuhkan
ilmu pengetahuan yang modern bahkan penguasaan pada teknologi. Umat Islam
tidak akan dapat memajukan agama Allah jika masih mudah dengan mudah
dibohongi oleh orang-orang non Islam dengan teknologi yang telah dibangunnya
dengan canggih. Generasi penerus Islam harus mengetahui yang perlu dicontoh
dan yang harus dihindari. Hal ini menjadi bagian penting tujuan jihad pada masa
sekarang. Yakni mendidik para penerus Islam untuk memiliki moral yang baik
dengan system yang menarik, kelengkapan teknologi yang canggih sehingga dapat
mengerti keagungan Allah.
Jika ditanyakan mana yang lebih utama, apakah jihad dengan jiwa dan
harta atau dengan ilmu? Jawabannya adalah jihad dengan pedang dibangun atas
20
Hamka, Tasawuf Modern (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2003), h. 122
53
jihad ilmu, dan cabang darinya. Jihad ilmu adalah asal, sementara jihad dengan
jiwa adalah cabang. Maka asal lebih utama dari cabangnya. 21
Jika ditanyakan, apakah boleh berjihad dengan orang fasik? Jawabannya
dikembalikan pada kondisi individu pasukan. Jika setiap pejuang berjuang untuk
membela dirinya, maka boleh berjihad meskipun pemimpin dan sebagian
pasukannya ialah orang fasik.
al-Jassâs meneruskan, para sahabat juga berperang bersama orang fasik
pasca kepemimpinan khulafaurrasyidin. Salah satu contohnya ialah Abū Ayyūb
al-Ansari bersama Yazīd al-La‟īn. Kemudian ia mengutip hadis riwayat Abū
Ayyūb al-Anṣārī yang tidak pernah mengakhirkan jihad kecuali hanya setahun.
Karenanya, firman Allah ( ف اف ا و ث ق ال Ayat ini merupakan dasar kewajiban .(ا ن ف ر و ا
berjihad baik bagi orang adil, maupun orang fasik. Karena itu, Ayat-ayat yang
mewajibkan jihad tidak membedakan perintah untuk melakukannya, baik perintah
bagi orang adil, bahkan perintah jihad pun berlaku bagi orang fasik. Singkatnya,
Allah tidak membedakan perintah berjihad. Karena jihad bagian dari amar ma‟ruf
nahi munkar, maka wajib membantu orang fasik yang sedang melaksanakan amar
ma‟ruf nahi munkar.
21
Abū Bakr al-Jaṣṣāṣ, Aḥkām al-Qur`ān, Vol. 4 (Beirut: Dār Iḥyā`, 1992 M/1412 H), h.
317-319.
54
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulannya adalah tafsir dari QS. al-Taubah[9]: 44-45 adalah jihad
qitâlȋ dalam perang Tabuk. Corak dan waktu tidak menyebabkan adanya
perbedaan pendapat mengenai QS. al-Taubah [9]: 44-45. Hanya ketika berbicara
jihad secara umum, para ulama berselisih.
Pertama, jihad dimaknai perang baik dengan harta maupun jiwa.
Kelompok tafsir yang memuat penjelasan tentang ini ialah al-Jāmi’ li Aḥkȃm al-
Qur`ān karya al-Qurṭubȋ; Mafātīh al-Gaib karya al-Rāzī; Laṭā`if al-Isyārāt karya
al-Qusyairī; Tafsȋr al-Qur`ān al-‘Aẓīm karya Ibn Kaṡīr; al-Tahrȋr wa al-Tanwȋr
karya Ibn ‘Ᾱsyūr; al-Tafsīr al-Sya’rāwī karya al-Sya’rāwī.
Kedua, jihad dimaknai memerangi hawa nafsu dalam tafsir al-Baḥr al-
Madīd karya Ibn ‘Ajībah, ditandai dengan larangan bagi guru spiritual untuk
mengizinkan murid dalam meninggalkan jihad akbar.
Ketiga, dalam kondisi aman, menuntut ilmu lebih utama dari jihad. Ini
dimuat dalam Aḥkām al-Qur`ān karya Abū Bakr al-Jaṣṣāṣ, ditandai dengan
pernyataannya bahwa menuntut ilmu adalah asal, sementara jihad dengan perang
adalah cabangnya.
B. Saran
Penelitian tentang jihad dalam tafsir QS. al-Taubah [9]: 44-45
meniscayakan jihad tidak selalu dimaknai perang. Mengenai hal ini, saran dari
penulis adalah sebagai berikut.
Pertama, kepada para penulis skripsi berikutnya. Dalam kondisi aman, al-
Jaṣṣāṣ mengutamakan menuntut ilmu dari berjihad. Namun, ketika berbicara QS.
al-Taubah [9]: 44-45, ia menegaskan Nabi Saw berdosa karena mengizinkan
orang munafik tidak ikut berperang. Ia cenderung tidak konsisten dalam
menafsirkan jihad. Karenanya, penulis merekomendasikan kajian ini untuk dikaji
lebih dalam.
55
Kedua, kepada para pengampu kebijakan, jihad bukan hanya berperang,
melainkan juga dengan sulȗk kepada Allah. Jihad semacam ini akan bermanfaat
luas jika didukung oleh fasilitas yang memadai dari pemerintah setempat.
DAFTAR PUSTAKA
`Ᾱlūsī, Syihābuddīn Mahmûd bin „Abdillāh al-. Rūḥ al-Ma‟ānī. Beirut: Dār al-Kutub al-
„Ilmiyyah. 1415 H.
Abazhah, Nizar. Perang Muhammad: Kisah Perjuangan dan Pertempuran Rasulullah. Jakarta:
Zaman. 1432 H/ 2011 M.
Abū Hayyān. al-Baḥr al-Muḥiṭ. Vol. 1, h. 5543.
al-Qurṭubī, Muḥammad bin Aḥmad bin Abū Bakr. al-Jāmi‟ li Aḥkām al-Qur`ān. Beirut:
Mu`assasah al-Risālah. 2006 M/1426 H.
Anwar, Ahmad. “Pembacaan Ayat-ayat al-Qur`an dalam Prosesi Mujahadah dalam Pondok
Pesantren al-Luqmaniyyah Umbul Harjo Yogyakarta.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin
dan Pemikiran Islam. Universitas Islam Negeri Yogyakarta. 2014.
Aṣfahānī, Abū al-Qāsim al-Rāgīb al-. al-Mufradāt fî Gharîb al-Qur`ān. Beirut: Dār al-„Ilmi.
1412 H.
Brata, Sumardi Surya. Metode Penelitian. Jakarta: Grafindo Persada. 1998.
Bukhārī, Muhammad bin Ismā‟īl al-. al-Sahīh al-Bukhārī. Beirut: Dār Tūq al-Najāh. 1422 M.
Darajat, Zakiya. “Jihad Dinamis: Menelusuri Konsep dan Praktik Jihad dalam Sejarah Islam”
UIN Jakarta: Ijtihad 16, no.1 (2016): 1-22.
Dzahabi¸ Syamsuddin Abu „Abdillāh Muhammad bin Ahmad bin „Utsman bin Qaimāz al-. Siyar
A‟lām al-Nubalā`. Beirut: Mu`assasah al-Risālah. 1985 M/ 1405 H.
Farmāwī, Abd al-Ḥayy. Metode Tafsir Mauḍū‟ī al-. terj. Rasihon Anwar. Bandung: Pustaka
Setia. 2002.
Gazālī, Muḥammad al-. Fiqh al-Sīrah. Damaskus: Dār al-Qalam. 1998.
Ghazali, Abd Moqsith. Argumen Pluralisme Agama. Depok: Kata Kita. 2009.
Ghofur, Abdul dan Ahmad Mushonnif Alfi. “Penafsiran Abdullah Azzam atas Ayat-ayat Jihad:
Studi Kritis terhadap Kitab fī Zilāl Sūrat al-Taubah”. STAI Al Anwar Sarang Rembang:
al-Itqan 1, no.2 (2015): 99.
Hamat, Anung al- dkk. “Pendidikan Jihad menurut Imam Bukhari: Studi Naskah Hadis-hadis
Kitab al-Jihād dalam Ṣaḥīḥ al-Bukhārī” Universitas Ibn Khaldūn Bogor:Ta‟dibuna 5,
no.2 (2016): 231-232.
Hamka. Tasawuf Modern. Jakarta: Pustaka Panjimas. 2003.
Hawa, Sayyid. al-Asās fī al-Sunnah wa Fiqhihā. Kairo: Dār al-Salām. 1992 M/ 1412 H.
Ibn „Abdullāh, Salih. Nadrat al-Na‟im fi Makarim Akhlaq al-Rasul. Jeddah: Dar al-Wasilah. tt.
Ibn „Ajībah. Abū al‟Abbās Aḥmad Ibn Muḥammad. al-Bahr al-Madīd. Kairo: Hasan Abbas
Zaki. 1999 M/1419 H.
Ibn „Āsyūr. al-Tahrīr wa al-Tanwīr. Tunisia: Dār al-Tūnisiyyah. 1984 M.
Ibn Ḥajar al-„Asqalānī. Fatḥ al-Bārī.
Ibn Hambal, Ahmad. Musnad Ahmad bin Hambal. Beirut: „Ālim al-Kitāb. 1998 M/1419 H.
Ibn Hisyam, „Abd al-Mālik. al-Sīrah al-Nabawiyyah. Beirut: Dar al-Jail. 1411.
Ibn Katsīr, Ismā‟īl. al-Sīrah al-Nabawiyyah. Beirut: 1990 M/1410 H.
Ibn Katsīr. al-Bidāyah wa al-Nihāyah. Kairo: Dār Hijr. 1997 M/1417 H.
Ibn Katsīr. Tafsīr al-Qur`ān al-Azīm.
Ibn Manzūr, Abū al-Fadl Jamāl al-Dīn. Lisān al-„Arab. Beirut: Dār Sādir. 1414 H.
Jassās, Abū Bakr Aḥmad Ibn „Alī al-Rāzī. Aḥkām al-Qur`ān al-. Beirut: Dār Ihyā`. 1992 M/1412
H.
Jauziyyah, Syamsuddīn Ibn Qayyim al-. „Aun al-Ma‟būd. Libanon: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah.
1995 M/1415 H.
Kaltsum, Lilik Ummu dan Abd. Moqsith Ghazali. Tafsir Ahkam. Ciputat: UIN Press. 2015.
Marāgī, Aḥmad Musṭafā al-. Tafsīr al-Marāgī. Mesir: Musṭafā al-Bābī: tt.
Mega Hidayati, “Islam dan Kekerasan: Melihat Kembali Jihad melalui Hermeneutika Fazlur
Rahman”. Pascasarjana UMY: Jabal Hikmah 4, no.2 (2015): 234-235.
Mohamad Rana, “Reinterpretasi Makna Jihad: Studi Pemikiran Yusuf Qardhawi”. IAIN Cirebon:
Inklusif 2, no.1 (2017): 85.
Mubārakfūrī. Sejarah Hidup Muhammad. terj. Rahmat. Jakarta: Robbani Press. 2010.
Mukhtar, Ahmad. Mu‟jam al-Lughah al-„Arabiyyah al-Mu‟asirah. Beirut: tt. 1775.
Mustafā, Ibrāhīm. dkk. al-Mu‟jam al-Wasīt. Beirut: Dar al-Da‟wah. tt.
Mustafa, Muhammad. Rihlah fi A‟maq al-Sya‟rāwī. Kairo : Dār al-Safwah. 1991.
Naisabūrī, Abū al-Ḥusain Muslim bin al-Ḥajjāj al-. al-Jāmi al-Ṣaḥiḥ al-Musamma Ṣaḥiḥ Muslim.
Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah. 1414 H.
Qādir, Zakariyyā Ibn Gulām. Usūl al-Fiqh „alā Manhaj Ahl al-Hadīts. Jeddah: Dār al-Kharāz.
2002 M/1423 H.
Qaradhawi, Yusuf al-. Ringkasan Fikih Jihad. terj. Masturi Irham. dkk. Jakarta: Pustaka al-
Kautsar. 2011.
Qusyairī, Abū al-Qāsim „Abd al-Karīm Ibn Hawāzin Ibn „Abd al-Mālik al-. Tafsīr al-Qusyairī
al-Musammā bi Laṭā`if al-Isyārāt. Beirūt: Dār Kutub al-„Ilmiyyah. 1971 M.
Rāzī, Fakhruddīn al-. Mafātīḥ al-Gaīb. Beirut: Dār al-Fikr. 1981 M/1401 H.
Rāzî, Muḥammad Ibn Abī Bakr bin „Abd al-Qādir al-. Mukhtār al-Ṣiḥāḥ. Beirut: Maktabah
Libanon Nāsyirūn. 1995 M/ 1415 H.
Ṣābunī, Muḥammad „Ali al-. Ṣafwah al-Tafāsīr. Beirut: Dār al-Qur`ān al-Karīm. 1981 M/1402
H.
Ṣalabī, „Alī Muhammad al-. Peperangan Rasulullah terj. Arbi dan Nila Noerfajariyah. Jakarta:
Ummul Qura. 2017.
Shihab, Quraish. Tafsīr al-Misbāh.
Sijistānī, Abū Sulaimān bin al-Asy‟ats bin Ishāq bin Basyir bin Syaddād bin „Umar al-Azdī al-.
Sunan Abī Dāwūd. Beirut: Dār al-Risālah. 2009 M/1430 H.
Suhaemi, Ahmad. “Konsep Jihad: Studi Komparatif Pemikiran Sayyid Quthb Dan Ibnu Katsir.”
Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin. Universitas Islam Negeri Bandung. 2013.
Sya‟rāwī, al-. Tafsīr al-Sya‟rāwī. Kairo: Akhbār al-Yaūm. 1991 H/1411 M.
Syahrastānī, Muhammad bin „Abd al-Karīm bin Abī Bakr Ahmad al-. al-Milal wa al-Nihal.
Beirut: Dār al-Ma‟rifah. 1404 H.
Syaibānī, Abū „Abdillāh Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilāl bin Asad al-. Musnad
Aḥmad. Kairo: Dar al-Hadīṡ. 1995 M/1416 H.
Syibromalisi, Faizah Ali dan Jauhar Azizy. Membahas Kitab Tafsir Klasik Modern. Ciputat:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2011.
Tamīmī, „Abdullāh bin Muhammad bin „Abd al-Wahhāb bin Sulaimān al-. Mukhtaṣar Sīrah al-
Rasūl (Riyadh: Dār al-Salām. 1997 M.
Tirmiżi, Muhammad bin „Îsā al-. al-Jāmi‟ al-Sahīh Sunan al-Tirmidzī. Beirut: Dār Ihyā` al-
Turāts al-„Arabī.
Wāḥidī, „Ali bin Aḥmad al-. al-Wajīz fī Tafsīr al-Kitāb al-„Azīz.
Zaidān, Abd al-Karīm. al-Mustafād min Qisas al-Qur`ān. Beirut: Mu`assasah al-Risālah. 1998
M/1419 H.
Zarkalī, Khairuddīn bin Maḥmūd bin Muḥammad bin „Alī bin Fāris al-. al-A‟lām. Libanon: Dār
al-„Ilmi li al-Mālayīn. 2002 M.
Zuhailī, Wahbah. al-Tafsīr al-Munīr. Beirut: Dar al-Fikr. 1418 H.
Zuhdi, Muhammad Harfin. “Fundamentalisme dan Upaya Deradikalisasi Pemahaman al-Qur`an
dan Hadis”. UIN Syahid: Religia 13, no.1, (2010): 81.