jawaban wawancara pendisiplinan sm

Upload: muhamad-anugrah

Post on 09-Jan-2016

10 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Pendidikan

TRANSCRIPT

  • Dari: otit shappire

    Judul: Wawancara "Bullying oleh Guru"

    Kepada: "[email protected]"

    Tanggal: Selasa, 16 Agustus, 2011, 3:59 PM

    Dari Otit Shappire (wartawan muda di Suara Merdeka, harian lokal di Jawa Tengah, Indonesia).

    Halow mas Edi.. Ini beberapa pertanyaan terkait tema yang mau saya angkat "Bullying oleh

    Guru" untuk SwaraMuda Edisi Minggu. Mohon dijawab ya mas. Makasih.

    1. Konsep hukuman dalam pendidikan itu gimana sih?

    Konsep hukuman dalam pendidikan pada dasarnya argumennya adalah untuk mendisiplinkan

    anak. Pengertian disiplin di sini dapat artikan sebagai pemahaman dan praktik sosial yang sesuai

    dengan tata nilai tertentu yang dikehendaki. Upaya pendisiplinan kemudian secara singkat

    dilakukan dengan cara memberikan hukuman, hal ini secara teoretis dipengaruhi oleh cara

    pandang Behavioristik dalam psikologi belajar, yang secara umum argumennya adalah

    dirumuskan oleh konsep stimulus-respon (S-R), stick and carrot, pengkondisian (conditioning),

    pembiasaan dan sejenisnya dalam praktik pembelajaran. Dengan demikian, anak dianggap akan

    paham dan mengerti bahwa suatu hal itu salah kalau ia diberi hukuman, dan sebaliknya akan

    paham suatu hal itu benar kalau ia diberi hadiah, pemahaman sederhana konsepsi Behavioristik

    dalam praktik pembelajaran seperti itu. Dalam sejarahnya, teori psikologi pembelajaran

    berkembang ke arah psikologi Kognitif dan kemudian Humanistik, di sinilah konsep hukuman

    dalam pendidikan dianggap tidak lagi relevan dan bahkan dianggap bertentangan dengan hakikat

    pendidikan humanis. Terlebih ketika pada masa dulu hukuman itu diberikan dalam bentuk

    kekerasan fisik dan psikis, yang dalam kajian kekerasan di sekolah disebut juga sebagai bullying

    yang dilakukan oleh guru.

    2. Idealnya, reward dan punishment kepada siswa itu kayak apa?

    Saya secara pribadi tidak menganut lagi konsep reward and punishment secara ketat, dalam arti

    ada beberapa hal yang saya tidak terlalu sepakat dengan konsep tersebut dalam praktik

    pembelajaran anak, beberapa alasannya antara lain:

    (1) dengan konsep dasar Behavioristik, maka ketika hadiah diberikan sebagai konsekuensi atas sikap, pemahaman dan perilaku tertentu, dan sebaliknya juga hukuman diberikan

    ketika anak bersikap, memiliki pemahaman dan perilaku yang tidak dikehendaki oleh

    guru, bisa terjadi ketika di masyarakat luas hadiah dan hukuman itu tidak diberikan, maka

    anak tidak akan melakukan hal-hal yang baik karena tidak ada hadiahnya, dan tetap

    melakukan hal-hal buruk karena tidak ada hukumannya. Di sini konsep reward and

    punishment yang kaku diterapkan sebenarnya memang sejak awal hanya bisa berjalan di

    dalam ruang kelas dan sekolah saja, di masyarakat riil tidak bisa. Sejak awal konsep dasar

    Behavioristik khan memang dikembangkan di laboratorium dalam arti sains-eksakta yang

    terbatasi oleh ruang-ruang, bukan laboratorium sosio-humaniora masyarakat dan lingkungan luas.

    (2) dengan reward and punishment tersebut, anak dibiasakan untuk berperilaku dan bersikap tertentu hanya kalau ada hadiah dan hukuman, artinya praktik pembelajaran Behavioristik

    tersebut tidak diarahkan untuk membangun kesadaran kritis diri siswa dari dalam (faktor

    internal), namun mengandalkan stimulus berupa hadiah dan hukuman dari luar diri

    (faktor eksternal). Kalau kita jeli, sekarang khan sudah ada konsepsi filosofi dan

  • psikologi Konstruktivisme dalam pendidikan, juga pendidikan humanistik, pedagogi

    kritis-transformatif dan lainnya yang arahnya adalah membekali dan mengolah diri anak

    untuk sadar mengenai hakikat dirinya sendiri dalam konteks sosio-kultural yang luas. Di

    situ yang dituju adalah anak dapat membangun kesadaran kritisnya sendiritentu dengan berbagai metodologi yang non-koersif (non-paksaan) dan non-kekerasanhingga ia ketika bersikap dan berlaku tertentu tidak ditentukan oleh faktor eksternal berupa hadiah

    dan hukuman, melainkan muncul dari kesadaran diri pribadi yang dibangun secara

    personal dan kolektif sekaligus. Misalnya, si anak tidak harus diiming-imingi dengan

    hadiah agar ia rajin belajar, jadi sopan, hormat dengan guru dan orangtua, juga ia tidak

    harus ditakut-takuti dengan hukuman untuk dapat bersikap dan berlaku baik tersebut.

    (3) Namun kita semua tahu bahwa seolah-olah reward and punishment adalah satu-satunya teori yang benar dalam mendidik anak, padahal jelas tidak, oleh karenanya bagi saya

    harus ada transisi dari tradisi reward and punishment menuju pada tradisi membangun

    kesadaran kritis. Artinya, tidak tiba-tiba dalam sekolah dan keluarga anak-anak

    dihilangkan tradisi memberi hadiah dan hukuman, keduanya tetap boleh diberikan asal

    tidak bersifat destruktif pada diri anak. Menurut saya yang masih dapat dipertahankan

    adalah konsep reward atau hadiah, asalkan ketika memberikan hadiah tersebut disertai

    pemahaman pada anak bahwa hadiah itu bukan tujuan akhir, prestasi itu bukan tujuan

    akhir, itu hanya penghargaan materiil saja, bahwa yang hakiki adalah peningkatan

    kualitas diri anak itu sendiri. Hadiahnya pun juga harus bermanfaat, misalnya buku, dan

    sumber-sumber pengetahuan lainnyabagi anak sekolah. Secara konseptual, penghargaan itu adalah tanda hormat dan respek pada kualitas individu dan/atau kolektif,

    yang sejatinya bentuk material penghargaan itu tidak dapat betul-betul secara tepat dan

    sesuai dengan hakikat kualitas yang dimiliki oleh individu dan/atau kolektif tadi.

    (4) Selanjutnya yang harus diwaspadai tentu adalah hukuman (punishment), sudah terang bahwa tidak semua anak ketika diberi hukuman kemudian jera, ada yang bandel, ada

    yang mememendam dendam, ada yang masuk dalam alam bahwa sadar dan kemudian di

    suatu masa nanti akan keluar dalam bentuk perilaku yang sama dan sejenisnya. Oleh

    karena itu hukuman harus diwaspadai betul, termasuk dengan mengganti istilah

    hukuman dengan pembelajaran atau konsekuensi logis dst. Misal kalau anak membuang sampah sembarang di sekolah, maka bukun dihukum lari keliling lapangan

    atau disetrap dan dijewer, melainkan dibelajarkan bagaimana agar ia terbiasa membuang sampah di tempat sampah yang telah disediakan oleh sekolah. Di sinilah

    harus ada mekanisme sistematik yang didesain oleh pihak sekolah dengan tidak hanya

    mengandalkan tata aturan yang bersifat hukuman bagi yang melanggar, melainkan

    membangun kultur yang menunjang tata nilai kebaikan di sekolah tersebut.

    3. Solusinya bagaimana kepada siswa yang yang melanggar kedisiplinan?

    Sebagaimana jawaban pada item (4) pertanyaan nomor 3 di atas, bahwa argumen psikologis

    dalam pembelajaran bahwa hukuman dapat membuat jera tidaklah selalu benar, oleh karenanya

    untuk menghindarkan adanya nilai-nilai kekerasan yang masuk dalam alam pikir dan bawah

    sadar anak-anak, maka perlu dirumuskan strategi agar anak-anak tetap dalam koridor belajar dan

    membangun tradisi yang baik di sekolah. Cara pandang yang harus dipahami pertama adalah:

    siswa melanggar aturan itu pun sebanarnya adalah salah satu bentuk pembelajaran yang riil

    dilakukan siswa. Ketika melanggar aturan sekolah, misal melanggar tata tertib tidak boleh

    tawuran, tidak boleh buang sampah sembarangan dan lainnya, maka anak tersebut akan

  • mendapat konsekuensi bahwa ia harus belajar ulang tentang nilai-nilai kebersamaan dan

    kebersihan di sekolah tersebut. Jadi tidak cukup anak-anak di sekolah dikerangkeng oleh sekian

    banyak tata tertib yang bersifat instrumental dan kaku hingga tanpa ada ruang dialog yang

    argumentatif dan kritis antara si anak dengan peraturan dan guru yang membuat peraturan

    tersebut.

    Di sini salah satu prinsip pendidikan progresif yang ideal telah dinafikan, yakni demokratisasi

    pendapat dan nilai (value), bahwa suara anak harus di dengar pendapatnya, bahwa toleransi harus

    dibangun terhadap nilai-nilai lain yang datang dibawa oleh si anak dan lainnya. Satu kasus

    pelanggaran disiplin mestinya dapat menjadi media bagi semua pihak, termasuk guru, untuk belajar kembali apa yang mestinya dilakukan, jadi tidak hanya berimbas pada anak yang

    melanggar saja. Jadi sekolah sebagai sebuah komunitas belajar (learning community) akan hidup,

    karena semua merasa perlu belajar. Secara teknis mungkin dapat dirumuskan mekanisme

    pemberian sanksi yang sehat dan menunjang belajar, bukan sanksi yang destruktif, merusak, mematikan dan membunuh motivasi dan rasa percaya diri si anak. Peran guru tentu sangat

    penting dengan konsep mendampingi anak, bukan menggurui anak (ingat konsep Ki Hadjar Dewantara, ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani). Tidak

    cukup guru hanya bekerja sesuai dengan juklak-juknis yang ditentukan oleh Standar Nasional

    Pendidikan saja, guru harus melampaui sekat profesionalitas untuk untuk menjadi guru yang

    dekat dengan anak-anak, hingga ketika ada pelanggaran maka dapat dibicarakan dari hati ke hati.

    Memang ini membutuhkan intensitas tinggi, butuh ketelatenan, keteladanan, dan keuletan dari

    guru itu sendiri. Kalau guru tidak sabar ya akhirnya akan tetap bertahan pada tradisi hukuman

    dalam bentuk sanksi agar anak-anak jera. Ini sekali lagi adalah cara yang dianggap paling cepat

    efeknya, tapi jelas dalam jangka panjang tidak baik, dalam arti peluang untuk membangun

    kesadaran diri sendiri relative sempit. Sedangkan dengan pendekatan yang humanis, yakni

    dengan dialog dan diskusi serta pemberian tugas atau pembelajaran sebagai ganti dari hukuman di sekolah, minimal ada proses belajar kembali yang diberikan hingga harapan dan kemungkinan untuk membangun kesadaran diri dari dalam makin besar dibandingkan dengan

    cara memberi sanksi.

    4. Bagaimana menerapkan kedisiplinan tanpa kekerasan?

    Mungkin yang sejauh dapat saya kemukakan soal menerapkan kedisiplinan tanpa kekerasan adalah kombinasi dari desain sistem pengelolaan sekolah yang baik, yakni dengan tata aturan

    yang didasari prinsip-prinsip humanis, dan di sisi lain ditopang oleh bangunan iklim dan kultur

    yang etis-estetis. Ketika sebuah sekolah hanya dibangun oleh tata aturan baku, maka ia ibarat

    tempat yang didesain secara instrumental dan mekanistis, dianggap bahwa dengan aturan yang

    ada maka sistem dapat berjalan. Satu hal yang dilupakan bahwa yang ada di dalam sistem itu

    bukan komponen dan elemen elektronik mati, melainkan manusia hidup yang punya akal budi

    dan hati nurani. Jelas anak-anak didik tidak dapat dibelajarkan dengan cara mekanistis seperti

    itu, apalagi dibentengi oleh hukuman berupa sanksi-sanksi yang mungkin memang membuat

    jera, tapi hanya saat itu saja, bukan jangka panjang, karena jelas tidak mendidik dan tidak

    mengolah kesadaran kritis diri anak tersebut yang dapat bertahan dalam jangka panjang.

    Di sinilah kultur atau budaya adalah ruh yang dapat menghidupkan praksis pendidikan di

    sekolah, kampus, madrasah dan sejenisnya. Oleh karenanya wajar ketika Ki Hadjar, Daoed

    Joesoef (mantan Menteri P & K) dan para Begawan pendidikan lainnya menyatakan bahwa

    pendidikan tak dapat dipisahkan dari kebudayaan, dan pendidikan adalah bagian dari

  • kebudayaan, juga pendidikan adalah praksis pembudayaan. Singkat kata, upaya menerapkan kedispiplinan tanpa kekerasan dan koersi (pemaksaan) adalah dengan jalan kebudayaan, secara operasional adalah dengan pembudayaan tata nilai dan norma-norma di sekolah, dengan

    keteladanan, dengan tingkah laku nyata, tidak sekadar omongan semata. Pembudayaan ini tidak

    dapat lepas dari upaya membangun kesadaran kritis anak-anak, karena tiada sebuah kebudayaan

    dikembangkan tanpa olah pikir dan nalar kritis atas sesuatu. Oleh karenanya praktik kebudayaan

    dan pembudayaan tersebut juga disertai oleh olah nalar pikir agar anak didik tidak bergantung

    pada hal-hal eksternal seperti hadiah dan hukuman. Masak iya ketika di masyarakat agar sadar

    ikut kerja bhakti atau Siskampling harus ada reward and punishment, bukankah akan lebih baik

    timbul kesadaran dari diri sendiri yang lebih hakiki?