januar indra yudhatama*, aunurohim1, nurlta abdulgani2

16
Januar Indra Yudhatama*, Aunurohim 1 , Nurlta Abdulgani 2 Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya ABSTRAK Biofouling adalah proses penempelan organisme laut pada suatu substrat. Permasalahan biofouling selama ini diatasi dengan penggunaan bahan kimia sintetis Trybutyltin (TBT) sebagai antifouling yang berfungsi untuk menghambat penempelan organisme tersebut pada substrat. Namun, TBT diketahui memiliki dampak buruk dalam lingkungan. Paparan TBT dapat menyebabkan terjadinya imposex pada gastropoda. Imposex adalah perubahan organ kelamin betina menjadi jantan. Salah satu cara untuk menggantikan TBT adalah dengan menggunakan senyawa antifouling ramah lingkungan dari bahan alam. Debu tembakau yang merupakan salah satu limbah dari pabrik pengolahan tembakau diduga memiliki kandungan senyawa antifouling yaitu solanesol. Penelitian ini mencoba untuk mengetahui apakah ekstrak debu tembakau juga dapat berperan sebagai senyawa antifouling alami. Pengaruh dari ekstrak debu tembakau sebagai senyawa antifouling diukur dengan dua variabel yakni persentase luasan biofouling dan biomassa biofouling pada substrat baja. Hasil menunjukkan bahwa ekstrak debu tembakau tidak berpengaruh terhadap luasan dan biomassa biofouling . Hal ini diduga karena faktor proses ekstraksi yang tidak dapat menghasilkan solanesol murni. Kata kunci: Antifouling, Biofouling , Ekstrak Debu Tembakau ABSTRACT Biofouling is the process attachment of marine organisms on a substrate. Biofouling problems has been solved by the use of synthetic chemicals Trybutyltin (TBT) as antifouling that works to prevent settlement of organisms on the substrate. But, TBT is known to have adverse effects in the environment. One way to replace TBT is to use eco-friendly antifouling compounds from natural materials. Tobacco dust which one of waste from tobacco processing factory suspected of antifouling compounds that contain solanesol. This research try to know whether the extract of tobacco dust can also act as natural antifouling compounds. The influence of tobacco dust extract as antifouling compound were measured with two variables, that is the percentage area of biofouling and biofouling biomass on a steel substrate. The results showed that the extract of tobacco dust concentration 0 ppm, 10 ppm and 25 ppm had no effect on an area and biomass of biofouling. Extraction process that can not produce pure solanesol is suspected to be the cause of the failure of this research. Key word: Antifouling, Biofouling , Tobacco Dust Exctract *Corresponding Author Phone: 085648046146 Email: i [email protected] Alamat sekarang: Jurusan Biologi, FMIPA Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya Pengaruh Campuran Ekstrak Debu Tembakau Terhadap Luasan dan Biomassa Biofouling Pada Substrat Baja di Perairan Dermaga PT DOK Surabaya

Upload: others

Post on 19-Oct-2021

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Januar Indra Yudhatama*, Aunurohim1, Nurlta Abdulgani2

Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya

ABSTRAK

Biofouling adalah proses penempelan organisme laut pada suatu substrat. Permasalahan biofouling selama ini diatasi dengan penggunaan bahan kimia sintetis Trybutyltin (TBT) sebagai antifouling yang berfungsi untuk menghambat penempelan organisme tersebut pada substrat. Namun, TBT diketahui memiliki dampak buruk dalam lingkungan. Paparan TBT dapat menyebabkan terjadinya imposex pada gastropoda. Imposex adalah perubahan organ kelamin betina menjadi jantan. Salah satu cara untuk menggantikan TBT adalah dengan menggunakan senyawa antifouling ramah lingkungan dari bahan alam. Debu tembakau yang merupakan salah satu limbah dari pabrik pengolahan tembakau diduga memiliki kandungan senyawa antifouling yaitu solanesol. Penelitian ini mencoba untuk mengetahui apakah ekstrak debu tembakau juga dapat berperan sebagai senyawa antifouling alami. Pengaruh dari ekstrak debu tembakau sebagai senyawa antifouling diukur dengan dua variabel yakni persentase luasan biofouling dan biomassa biofouling pada substrat baja. Hasil menunjukkan bahwa ekstrak debu tembakau tidak berpengaruh terhadap luasan dan biomassa biofouling . Hal ini diduga karena faktor proses ekstraksi yang tidak dapat menghasilkan solanesol murni.

Kata kunci: Antifouling, Biofouling , Ekstrak Debu Tembakau

ABSTRACT Biofouling is the process attachment of marine organisms on a substrate. Biofouling problems has been solved by the use of synthetic chemicals Trybutyltin (TBT) as antifouling that works to prevent settlement of organisms on the substrate. But, TBT is known to have adverse effects in the environment. One way to replace TBT is to use eco-friendly antifouling compounds from natural materials. Tobacco dust which one of waste from tobacco processing factory suspected of antifouling compounds that contain solanesol. This research try to know whether the extract of tobacco dust can also act as natural antifouling compounds. The influence of tobacco dust extract as antifouling compound were measured with two variables, that is the percentage area of biofouling and biofouling biomass on a steel substrate. The results showed that the extract of tobacco dust concentration 0 ppm, 10 ppm and 25 ppm had no effect on an area and biomass of biofouling. Extraction process that can not produce pure solanesol is suspected to be the cause of the failure of this research. Key word: Antifouling, Biofouling , Tobacco Dust Exctract *Corresponding Author Phone: 085648046146 Email: [email protected] Alamat sekarang: Jurusan Biologi, FMIPA Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya

Pengaruh Campuran Ekstrak Debu Tembakau Terhadap Luasan dan Biomassa Biofouling Pada Substrat Baja di Perairan Dermaga PT DOK Surabaya

1. Pendahuluan Ekosistem laut kaya akan sumber

daya hayati, salah satunya adalah biota yang memiliki pola hidup menempel pada substrat. Biota tersebut memiliki peran penting dalam ekosistem laut. Selain sebagai filter feeder, biota tersebut juga berperan penting sebagai sumber makanan makhluk hidup lainnya. Namun, permasalahan muncul ketika biota penempel ini berinteraksi langsung dengan benda ciptaan manusia. Proses penempelan ini dikenal dengan istilah biofouling (Sabdono, 2007).

Kerugian yang dialami manusia akibat biofouling cukup besar. Safriel et al. (1989) menyebutkan, biofouling dapat menyebabkan dinding lambung kapal menjadi tidak teratur dan kasar. Hal ini mengakibatkan penurunan kecepatan dan manuver daya jelajah kapal. Laju kapal yang semakin berat otomatis mengakibatkan peningkatan bahan bakar yang dibutuhkan kapal. Pemakaian bahan bakar kapal yang berlayar di perairan beriklim sedang selama enam bulan di laut akan meningkat sebesar 35-50% (Iselin ,1967). Sedangkan penggunaan bahan bakar diperkirakan akan lebih meningkat di perairan tropis. Hal ini disebabkan kandungan nutrien di perairan tropik yang lebih tinggi sehingga meningkatkan mekanisme biofouling.

Selain mengurangi kecepatan dan menambah konsumsi bahan bakar, biofouling juga menyebabkan berkurangnya umur kapal karena korosi. Lukasheva et al. (1992) dalam Railkin (2004) menyebutkan bahwa penempelan suatu organisme pada material logam secara intensif mampu menimbulkan korosi pada media perairan laut. Salah satu organisme penyebab biofouling yang mampu mempercepat korosi adalah teritip. Tarasov (1961) dalam Railkin (2004) menyebutkan bahwa teritip mampu merusak lapisan cat yang ada pada material logam. Cangkang teritip yang tajam mampu merusak lapisan cat setebal 0,2 mm. Lapisan cat yang rusak mengakibatkan logam

akan bereaksi dengan air laut yang bersifat korosif.

Salah satu cara untuk menghambat penempelan organisme biofouling adalah dengan penggunaan campuran senyawa kimia sintetis pada cat kapal. Senyawa kimia yang banyak digunakan adalah Trybutyltin (TBT). TBT merupakan salah satu senyawa kimia yang tersusun atas logam timah yang berfungsi sebagai biosida alga, jamur, serangga dan sejak tahun 1970 sudah digunakan sebagai senyawa tambahan pada cat antifouling (Berge dan Walding, 1999). Cat antifouling sendiri biasanya diaplikasikan pada lambung kapal pada kapal besar maupun kecil untuk mencegah pertumbuhan organisme penempel seperti bakteri, kerang, teritip dan alga ( Paradas et al., 2007).

Namun, TBT dalam cat antifouling diketahui memiliki efek yang buruk pada lingkungan. Nicholson dan Evans (1997) menyebutkan bahwa TBT merupakan salah satu senyawa toksik di perairan. Tak hanya menghambat penempelan organisme penyusun biofouling, TBT juga berpengaruh pada organisme non target seperti gastropoda. Mensink et al. (1996) menyebutkan bahwa pengaruh paparan TBT terhadap gastropoda dapat menyebabkan kelainan imposex. Imposex adalah berkembangnya organ kelamin jantan pada gastropoda betina. Svavarsson (2000) menambahkan bahwa spesies gastropoda seperti Buccinum undatum dan Nucella lapillus merupakan spesies yang sangat sensitif terhadap paparan TBT. Imposex yang dialami oleh jenis Nucella lapillus dapat mengakibatkan populasi gastropoda terancam punah.

Melihat permasalahan tersebut, saat ini telah banyak dikembangkan zat antifouling yang berasal dari senyawa alam dalam bentuk zat metabolit sekunder. Sidhartan dan Shin (2006) membuktikan bahwa zat metabolit sekunder yang diperoleh dari tumbuhan Jeruk, Jahe, Cengkeh, bunga Melati dan daun

Tembakau mampu menghambat mekanisme biofouling. Daun Tembakau (Nicotiana tabacum sp) memiliki zat antifouling yang paling efektif mengurangi jumlah pelekatan spora alga. Zat tersebut adalah Solanesol yang merupakan bagian dari grup terpen. Selain solanesol, tembakau juga memiliki kandungan berupa alkaloid dan asam lemak.

Tembakau merupakan salah satu tumbuhan budidaya yang dapat ditemui di Indonesia. Pada proses pengolahan tembakau, dihasilkan salah satu limbah buangan yang berupa debu tembakau. Melihat kandungan kimiawi yang dimiliki tumbuhan tembakau, maka debu tembakau diduga juga berpotensi untuk menjadi salah satu bahan alami antifouling.

Untuk mengetahui apakah debu tembakau mampu digunakan sebagai zat antifouling diperlukan serangkaian uji. Uji lapangan adalah salah satu cara untuk mengetahui potensi suatu senyawa antifouling. Caranya adalah dengan mencampurkan ekstrak yang diduga mengandung zat antifouling dengan cat. Selain senyawa antifouling, warna cat juga berpengaruh terhadap luasan dan biomassa organisme biofouling. Rachmawati (2002) membuktikan bahwa cat berwarna hitam cenderung lebih banyak ditempeli oleh organisme biofouling dibandingkan dengan cat berwarna terang pada substrat uji baja di perairan Ujung Surabaya .

Dalam penelitian ini, akan dilakukan serangkaian uji untuk melihat pengaruh dari ekstrak debu tembakau sebagai senyawa antifouling yang dicampur pada cat dekoratif. Substrat uji yang digunakan adalah material baja sebagai salah satu bahan dasar lambung kapal yang sering menjadi tempat penempelan organisme biofouling. Uji lapangan dari pengaruh campuran ekstrak debu tembakau dan warna cat terhadap biomassa dan luasan penempelan organisme penyebab biofouling pada substrat baja akan dilakukan pada perairan

Ujung Surabaya, tepatnya di dermaga PT Dok Perkapalan Surabaya. 2. Metodologi

Waktu dan Tempat Penelitian Lokasi Penelitian adalah di perairan

Ujung Surabaya, dermaga PT DOK Surabaya dan di laboratorium Zoologi ITS dan laboratorium Mikrobiologi dan Bioteknologi ITS. Pengecatan panel baja dilakukan di PT DOK Surabaya, pengeringan ekstrak kasar dilakukan di laboratorium Mikrobiologi dan Bioteknologi ITS, sedangkan identifikasi dan perhitungan biomassa biofouling dilakukan di laboratorium Zoologi ITS. Preparasi Panel Uji

Panel uji yang digunakan adalah baja dengan ukuran panjang 150 mm, lebar 50 mm dan tebal 10 mm sebanyak 15 buah. Kemudian, sekitar 15 mm dari sisi lebar tengah atas dilubangi dengan diameter 10 mm sebagai tempat mengikat tali pada tempat penelitian. Ekstraksi Debu Tembakau

Debu tembakau yang didapat dari pabrik pengolahan tembakau disiapkan sebanyak lima kg. Kemudian debu direndam dalam etanol 96 % pada erlenmeyer 500 ml dan dishaker selama 7 hari sampai terbentuk filtrat yang jernih (Intan, 2008).

Filtrat dimasukkan dalam falcon tube (50 ml/ tube). Kemudian di sentrifuge selama 15 menit dengan kecepatan 7000 rpm. Hasil sentrifuge berupa supernatan dan pelet, supernatan ditampung dalam erlenmeyer 250 ml dan pelet dibuang, kemudian supernatan dikeringkan menggunakan freeze dryer pada suhu antara -30º sampai -40ºC.

Ekstrak kasar atau supernatan yang diperoleh kemudian dibuat komposisi dalam bentuk ppm dengan pelarut ethanol 96% dengan konsentrasi sebesar 0 ppm, 10 ppm dan 25 ppm. Penentuan konsentrasi ekstrak debu tembakau tersebut didasarkan pada penelitian pada

umumnya yang menggunakan rentang interval besar karena belum ada studi literatur yang menjelaskan tentang konsentrasi ekstrak debu tembakau seperti dalam penelitian ini. Proses Pengecatan dan Penambahan Ekstrak Debu Tembakau

Sebelum dilakukan pengecatan, panel baja terlebih dahulu dibersihkan dengan menggunakan kertas pasir. Hal ini perlu diperhatikan agar panel cat bersih dari kotoran, minyak atau debu yang mampu mengurangi kemampuan panel uji menyerap cat secara optimal. Setelah panel baja telah bersih, pengecatan dapat dilakukan. Proses pengecatan pada penelitian ini menggunakan metode spray. Sigma Utama merekomendasikan pengecatan dengan cat 80 mikron. Ketebalan cat diukur dengan alat yang dinamakan Dry Film Thickness (DFT).

Selanjutnya, ekstrak debu tembakau dengan tiga konsentrasi berbeda sebesar 0 ppm, 10 ppm dan 25 ppm disiapkan. Ekstrak debu tembakau ini dicampur dalam lapisan finishing coating atau cat dekoratif dengan tiga kali pengulangan pada volume cat yang sama/ tetap. Warna cat dekoratif yang digunakan adalah hitam. Pemilihan warna tersebut berdasarkan hasil penelitian Rachmawati (2002) yang membuktikan bahwa organisme biofouling cenderung menyukai substrat berwarna gelap untuk menempel. Jumlah rata-rata organisme biofouling pada substrat baja berwarna hitam merupakan jumlah tertinggi dibandingkan warna-warna uji lainnya seperti merah, biru, hijau dan coklat tua. Setelah pengecatan selesai, dilakukan penimbangan untuk menentukan berat awal (BA) panel baja. Pengukuran Faktor Fisik Air Laut

Menurut Iselin (1967) faktor abiotik yang menentukan penempelan organisme biofouling diantaranya adalah sifat fisik air laut seperti salinitas, kecerahan, gelombang air laut, serta temperatur atau suhu. Berikut adalah

metode untuk mengukur faktor fisik air laut :Kecerahan Air Laut

Perhitungan kecerahan air laut mempergunakan cakram secchi. Cara penggunaannya adalah dengan memasukkan cakram secchi perlahan lahan ke dalam air laut sampai tidak terlihat atau menyentuh dasar perairan. Diukur kedalaman sejauh titik ini. Kemudian cakram secchi dinaikkan sampai mulai tampak lagi, diukur kedalaman pada titik ini. Hasil rata-rata keduanya merupakan kedalaman kecerahan air (Zulaika, 2001). Salinitas

Perhitungan salinitas menggunakan alat yang bernama refraktometer. Pertama-tama, aquadest diteteskan pada kaca prisma refraktometer hingga angka pada refraktometer menunjukkan angka 0. Kemudian, refraktometer dikeringkan dengan tissue. Air laut yang menjadi tempat pengujian dan perendaman panel baja diambil untuk diteteskan pada refraktometer. Kemudian dilihat angka pada prisma dan dicatat hasilnya. Temperatur

Suhu air laut diukur dengan menggunakan termometer air raksa. Termometer dicelupkan pada permukaan air laut, lalu dicatat hasilnya. Arus dan Pasang Surut Air Laut

Data arus dan pasang surut air laut perairan Ujung Surabaya diperoleh dari Dinas Hidro Oseanografi TNI Angkatan Laut.Proses Pemasangan Panel Baja

Panel baja yang telah melalui proses pengecatan dipersiapkan. Panel baja kemudian dipasang 20 cm di bawah permukaan air pada waktu surut terendah, hal ini dimaksudkan agar larva teritip sebagai salah satu organisme biofouling memiliki kesempatan besar untuk menempel (Lachmudin Sya’rani dalam Soenaryono, 1993). Sebelumnya, tali nilon sepanjang 4 meter dimasukan pada lubang yang disiapkan pada sisi tengah atas. Diberi jarak sepanjang 25 cm pada setiap panel baja. Tali

nilon berfungsi sebagai pengait pada rakit penelitian. Analisa Data

Percobaan pada penelitian ini menggunakan metode rancangan acak lengkap pola faktorial. Rancangan acak lengkap pola faktorial adalah rancangan dengan perlakuan dua faktor atau lebih pada lingkungan yang dianggap homogen (Sastrosupadi, 2000). Faktor yang digunakan pada penelitian ini adalah konsentrasi ekstrak debu tembakau yang diduga memiliki kandungan senyawa antifouling. Faktor konsentrasi ekstrak debu tembakau memiliki tiga taraf yakni, 0 ppm, 10 ppm dan 25 ppm. Faktor konsentrasi ekstrak debu tembakau diduga berpengaruh terhadap respon yang diamati yakni luasan dan biomassa biofouling pada substrat baja yang direndam dalam air laut. Dugaan atau hipotesis tersebut diuji dengan uji Anova dengan menggunakan software SPSS.

Bentuk hipotesis yang diuji dalam rancangan percobaan ini adalah

Pengaruh faktor konsentrasi terhadap biomassa biofouling H 0 = Tidak ada pengaruh tingkatan

konsentrasi ekstrak debu tembakau terhadap biomassa biofouling

H 1 = Tingkatan konsetrasi ekstrak debu tembakau memberikan pengaruh terhadap biomassa biofouling

Pengaruh faktor konsentrasi terhadap Luasan biofouling H 0 = Tidak terdapat pengaruh konsentrasi

ekstrak debu tembakau terhadap jumlah luasan biofouling

H1 = Terdapat pengaruh konsentrasi ekstrak debu tembakau terhadap jumlah luasan biofouling.

Hasil dan Pembahasan

Uji antifouling dari bahan alam merupakan salah satu pokok kegiatan dalam penelitian ini. Bahan alam yang akan digunakan berasal dari hasil proses ekstraksi debu tembakau yang merupakan limbah dari pabrik pengolahan tembakau. Menurut Shidartan dan

Shin (2007) daun tembakau (Nicotiana tabacum) memiliki zat antifouling yakni Solanesol yang mampu menghambat penempelan alga. Pengaruh dari ekstrak debu tembakau sebagai senyawa antifouling diharapkan dapat dilihat dari perbedaan hasil biomassa dan luasan biofouling pada substrat baja yang ditenggelamkan dalam laut selama tiga puluh hari. Sebelumnya, substrat baja tersebut telah dicat dengan campuran ekstrak debu tembakau sebesar 0 ppm, 10 ppm dan 25 ppm dengan menggunakan tiga kali pengulangan.

Proses Ekstraksi Debu Tembakau

Ekstraksi adalah proses penarikan komponen atau zat aktif dengan menggunakan pelarut tertentu (Harbone, 1987). Pada penelitian ini, debu tembakau di ekstraksi dengan menggunakan pelarut ethanol 96%. Pelarut ethanol merupakan salah satu pelarut organik yang bersifat universal yang mampu menarik sebagian besar komponen senyawa polar maupun non polar yang terkandung dalam ekstrak (Benerji et al., 2010).

Debu tembakau yang telah direndam dengan ethanol 96% kemudian diaduk dengan rotary shaker selama tujuh hari, proses ini disebut dengan metode maserasi. Proses maserasi ini sangat menguntungkan karena perendaman sampel bahan tanaman akan mengakibatkan pemecahan dinding sel dan membran sel akibat perbedaan tekanan di dalam dan di luar sel sehingga metabolit sekunder yang ada dalam sel dapat larut dalam pelarut organik (Darwis, 2000). Dari proses maserasi ini dihasilkan supernatan dan pelet.

Supernatan merupakan larutan yang berisi pelarut ethanol dan senyawa metabolit sekunder yang telah larut, sedangkan pelet merupakan bahan debu tembakau. Sementara pelet dibuang, supernatan ditampung dalam botol flask 250 ml untuk dikeringkan dengan menggunakan alat freeze dryer. Freeze dryer

merupakan alat pengering beku yang memiliki prinsip kerja menghilangkan larutan air pada bahan ekstrak dengan cara sublimasi. Pada prosedur ini kandungan air suatu bahan akan mengalami dua fase perubahan, yaitu membeku dan menyublim. Pada proses pembekuan, produk dalam suatu kemasan yang kedap udara akan dipaparkan pada kondisi yang menyebabkan air dalam produk tersebut membeku, sedangkan pada proses pengeringan akan dialirkan suatu tekanan udara negatif ke dalam kemasan produk sehingga padatan air mengalami proses sublimasi (Anonim2, 2006). Larutan ekstrak debu tembakau mengalami proses pembekuan hingga suhu -400C dan dikeringkan dengan tekanan dibawah 6.11 mbar selama kurang lebih delapan jam.

Dari proses pengeringan tersebut dihasilkan padatan ekstrak kasar debu tembakau dengan berat sebesar 2,615 gram. Proses pengeringan dengan menggunakan alat freeze dryer ini memiliki kelebihan dibanding dengan menggunakan metode pengeringan lainnya seperti protein tidak mengalami denaturasi dan senyawa kimia yang berada pada bahan ekstrak tidak akan berubah baik secara kualitatif maupun kuantitatif (Anonim2, 2006). Proses Pelarutan Ekstrak Kasar

Proses mendapatkan senyawa yang diduga memiliki kemampuan antifouling merupakan langkah awal untuk menanggulangi permasalahan biofouling. Langkah selanjutnya yang tak kalah penting adalah mengontrol pelepasan senyawa aktif tersebut dari cat. Pada penelitian ini, digunakan metode monolithic coating untuk mengontrol pelepasan senyawa aktif tersebut dalam cat. Metode monolithic coating dilakukan dengan cara melarutkan senyawa aktif dalam pelarut untuk dicampurkan ke dalam cat. Satu gram ekstrak kasar debu tembakau kemudian dilarutkan dalam ethanol 96% sebanyak satu liter. Dalam satu liter ethanol ini setara dengan seribu ppm ekstrak debu tembakau. Campuran larutan ekstra debu

tembakau dan pelarut ethanol inilah yang kemudian akan ditambahkan pada cat.

Penggunaan metode monolitihic coating mengacu pada pendapat Al Juhni (2006), yang mengatakan bahwa kontrol pelepasan senyawa aktif antifouling pada cat dapat mengacu pada teknologi kontrol pelepasan obat yang lebih dahulu dikembangkan. Teknologi kontrol pelepasan obat tersebut adalah : membrane reservoir, micro encapsulation, dan monolithic coatings. Perbedaan ketiga metode ini terletak pada letak komponen senyawa aktifnya. Pada membrane reservoir, senyawa aktif hanya terkumpul pada lapisan kedua pada polimer cat. Sedangkan pada micro encapsulation, senyawa aktif dikemas dalam mikro capsul dan tersebar dalam lapisan polimer cat. Pada metode monolithic coating, senyawa aktif tersebut dapat larut dan tersebar. Preparasi Panel Baja dan Pengecatan

Setelah mendapatkan ekstrak debu tembakau, maka langkah selanjutnya adalah preparasi panel baja dan proses pengecatan. Ekstrak debu tembakau akan dicampurkan pada cat untuk memberikan efek antifouling seperti yang diharapkan. Proses pengecatan pada penelitian ini menggunakan warna hitam. Pemilihan ini berdasarkan perilaku dari organisme biofouling yang lebih suka menempel pada warna gelap. Bakteri adalah salah satu organisme biofouling yang lebih suka menempel pada warna gelap. Hal ini menurut Mann (1996) dikarenakan warna gelap memiliki absorbansi cahaya yang tinggi dan memungkinkan energi panas dari cahaya terserap pada substrat. Energi panas tersebut digunakan bakteri untuk metabolisme sehingga bakteri dapat tumbuh dalam substrat tersebut. tak hanya bakteri yang cenderung menempel pada subtrat berwarna gelap, teritip pun juga memiliki perilaku penempelan cenderung menjauhi warna terang. Hal ini diungkapkan oleh Smith (1984) yang mengatakan bahwa

87.09

6174.47

0102030405060708090

Biom

assa

(Gra

m)

KonsentrasiEkstrak Debu

Tembakau 0 ppm

KonsentrasiEkstrak DebuTembakau 10

ppm

KonsentrasiEkstrak DebuTembakau 25

ppm

larva teritip bersifat fototropik negatif atau menghindari cahaya.

Selain warna, organisme biofouling juga cenderung memilih jenis substrat untuk menempel. Pemilihan baja pada penelitian ini juga dimaksudkan untuk memudahkan penempelan organisme biofouling. Sifat baja yang hidrophobic membuat organisme biofouling lebih cepat menempel pada substrat (Sekar et al., 2004).

Preparasi panel baja dilakukan dengan melakukan proses sandblasting. Sandblasting adalah proses pengerjaan logam dimana permukaan logam dibersihkan dengan cara menembakkan serbuk besi tegak lurus ke permukaan logam dengan tekanan tinggi. Proses sandblasting pada panel baja ini akan sangat penting karena semakin kasar dan rata suatu substrat akan berpengaruh terhadap daya lekat cat (Ashari, 2008).

Setelah melalui proses sandblasting, panel baja telah siap dicat dengan menggunakan cat sigma utama yang biasa digunakan pada panel baja kapal yang biasa terendam dalam air laut. Cat tersebut tidak memiliki kandungan senyawa antifouling, sehingga campuran cat dan ekstrak debu tembakau diharapkan dapat menjadi pengganti senyawa antifouling sintetis seperti Tributyltin (TBT).

Proses pengecatan dengan campuran cat dan ekstrak debu tembakau dilakukan dengan tiga perlakuan, yakni cat ditambah dengan ekstrak 25 ppm, cat ditambah dengan 10 ppm, dan cat tanpa penambahan ekstrak. Cat sigma utama disiapkan dengan formulasi yang sama disetiap perlakuan yakni 90 ml cat ditambah 30 ml curing. Penambahan curing ini berfungsi untuk mempercepat pengeringan cat. Proses pengecatan sendiri dilakukan dengan metode kuas.

Data Biomassa dan Luasan Biofouling

Panel baja yang telah dicat kemudian ditenggelamkan selama tiga puluh hari pada

salah satu dermaga di PT Dok Perkapalan Surabaya pada koordinat S 07012’06.5” E 112043’50.2”. lokasi perendaman ditunjukkan

pada gambar berikut.

Gambar 5. Lokasi Perendaman Panel Baja Setelah direndam selama tiga puluh

hari, panel baja yang diikat dengan tali tampar sepanjang lima meter dengan jarak antar perlakuan adalah 1,42 meter ini kemudian ditimbang untuk dihitung biomassa basah dan

luasan penempelan organisme biofouling. Gambar 6 adalah hasil dari rata-rata biomassa basah biofouling pada panel baja yang telah diberi perlakuan penambahan ekstrak debu tembakau.

Gambar 6. Grafik rata-rata hasil biomassa basah biofouling

Biomassa basah merupakan ukuran berat basah organisme fouling per satuan luas area (Odum, 1993). Berat biomassa basah fouling ini

didapat dari selisih berat baja sebelum dan sesudah penenggelaman pada air laut. Sesudah penenggelaman, terdapat penambahan berat baja akibat adanya penempelan organisme penyebab biofouling. Pengaruh penambahan ekstrak debu tembakau terhadap pertambahan berat basah biomassa biofouling dapat diuji dengan menggunakan anova satu arah. Hasil uji analisa anova satu arah menunjukkan bahwa P value 0.237 lebih besar dari α 0.05. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ketiga konsentrasi ekstrak debu tembakau tidak berpengaruh terhadap rata-rata berat biomassa biofouling atau dianggap H0 diterima (Lampiran 1).

Meskipun hasil uji anova menunjukkan tidak ada perbedaan pengaruh, dari gambar 6 dapat dilihat bahwa rata-rata biomassa terbesar terdapat pada baja yang telah dicat tanpa penambahan campuran ekstrak debu tembakau, yakni sebesar 87,09 gram. Sedangkan biomassa terkecil dihasilkan oleh baja dengan campuran cat dan 10 ppm ekstrak debu tembakau yakni sebesar 61 gram. Data keseluruhan biomassa dari setiap panel baja dapat dilihat pada tabel 1, dimana biomassa basah terbesar terdapat pada panel baja tanpa tambahan ekstrak debu tembakau (0 ppm) sebesar 127, 17 gram.

100 100

99.5

99.2

99.3

99.4

99.5

99.6

99.7

99.8

99.9

100

Pers

enta

se L

uasa

n (%

)

Konsentrasi EkstrakDebu Tembakau 0

ppm

Konsentrasi EkstrakDebu Tembakau 10

ppm

Konsentrasi EkstrakDebu Tembakau 25

ppm

Gambar 7. Grafik rata-rata persentase luasan biofouling

Selain biomassa, salah satu faktor yang diukur untuk menentukan pengaruh tiga konsentrasi ekstrak debu tembakau adalah

luasan biofouling. Selama tiga puluh hari perendaman, rata-rata persentase luasan biofouling pada substrat baja dengan perlakuan ekstrak debu tembakau 0 ppm dan 10 ppm adalah 100 %. Sedangkan rata-rata luasan biofouling pada baja dengan penambahan ekstrak debu tembakau 25 ppm adalah sebesar 99,5%. Dari ketiga perlakuan penambahan ekstrak telah Persentase ini dihitung dengan menggunakan bantuan kertas mika yang telah diberi pola. Tabel 2 menunjukan bahwa hanya satu panel baja dari perlakuan penambahan ekstrak debu tembakau 25 ppm yang luasan penunutupannya 98%. Sedangkan hampir seluruh panel baja lainnya telah terututupi oleh penempelan organisme biofouling sebanyak 100%. Menurut Zhu dan Huang (2004) persentase penutupan ini termasuk dalam kategori penutupan yang sangat tinggi. Hal ini membuktikan bahwa tidak ada pengaruh antara penambahan konsentrasi ekstrak debu tembakau terhadap luasan biofouling pada substrat baja yang ditenggelamkan dalam laut selama tiga puluh hari. Hal ini diperkuat dengan analisis statistik anova satu arah. Berdasarkan Anova, dihasilkan P value 0.405 yang lebih besar dari α 0.05. Hal ini menandakan bahwa tidak ada pengaruh antara tiga konsentrasi ekstrak debu tembakau terhadap luasan persentase biofouling (Lampiran 2).

Diduga perbedaan jumlah biomassa pada perlakuan tersebut dikarenakan adanya laju perbedaan kuantitas dan laju pelepasan senyawa aktif antifouling dari ekstrak. Burgess et al. (2003) menyatakan bahwa pada saat ekstrak diberikan bersama-sama dengan cat akan memberikan laju pembebasan senyawa aktif ke permukaan cat dengan kecepatan yang berbeda dan memiliki perbedaan aktivitas terhadap cakupan target organisme. Selain itu, Matsumura et al. (2000) juga menambahkan bahwa uji antifouling yang dilakukan pada skala lapangan biasanya memberikan hasil yang kurang signifikan yang diduga disebabkan oleh

terlalu cepatnya senyawa aktif terlepas dari cat (leached), sehingga aktivitas antifouling dari ekstrak hilang dalam waktu yang singkat.

Selain itu, kandungan senyawa aktif dalam ekstrak debu tembakau diperkirakan juga mempengaruhi hasil penelitian ini. Proses ekstraksi sampai tahap maserasi dianggap belum cukup untuk mengetahui kadar dan senyawa apa saja yang terkandung di dalam ekstrak debu tembakau. Menurut (Prasetyoko, short discussion) perlu beberapa proses lanjutan untuk mengetahui apakah ekstrak debu tembakau mengandung senyawa seperti solanesol atau nikotin. Proses tersebut antara lain adalah Kromatografi Layar Tipis (KLT) untuk mengetahui senyawa apa saja yang ada dalam ekstrak debu tembakau. Setelah mengetahui kandungan apa saja yang terkandung dalam ekstrak debu tembakau, langkah selanjutnya adalah memisahkan senyawa yang diinginkan dengan menggunakan alat Gas Cromathography. Prasetyoko (short discussion), menambahkan bahwa dua proses tersebut dapat dipersingkat dengan menggunakan alat Gas Cromatography Mass Spectrofotometry (GC MS), dengan syarat berat molekul senyawa yang akan dicari telah diketahui dari produk senyawa sejenis yang telah tersedia di pasaran.

Kromatografi gas (GC) merupakan jenis kromatografi yang digunakan dalam kimia organik untuk pemisahan dan analisis. GC dapat digunakan untuk menguji kemurnian dari bahan tertentu, atau memisahkan berbagai komponen dari campuran. Kromatografi gas ini juga mirip dengan distilasi fraksional, karena kedua proses memisahkan komponen dari campuran terutama berdasarkan pada perbedaan titik didih (atau tekanan uap). Sedangkan Spektroskopi Massa (Mass Spectrometry) adalah suatu metode untuk mendapatkan berat molekul dengan cara mencari perbandingan massa terhadap muatan dari ion yang muatannya diketahui. Senyawa yang telah

dipisahkan pada tahap GC, dapat dihitung secara kualitatif dan kuantitatif dengan spektroskopi massa (MS) (Anonim4, 2012).

Dari proses GC MS dapat diketahui adanya dua kandungan senyawa yang terdapat dalam debu tembakau memiliki kemampuan untuk digunakan sebagai senyawa antifouling. Kedua senyawa tersebut adalah solanesol dan nikotin. Solanesol merupakan salah satu senyawa dalam golongan terpen, sedangkan nikotin merupakan salah satu dari golongan alkaloid. Dua golongan senyawa metabolit sekunder ini memiliki kemampuan anti bakteri yang baik sehingga dapat digunakan sebagai senyawa antifouling karena organisme awal yang menginisasi terjadinya proses biofouling pada suatu substrat adalah bakteri.

Juliantina (2008) mengatakan bahwa alkaloid memiliki mekanisme penghambatan pertumbuhan bakteri dengan cara mengganggu komponen peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan menyeluruh dan akhirnya dapat menyebabkan kematian sel tersebut. Selain itu, dalam senyawa alkaloid terdapat gugus basa yang mengandung nitrogen. Gugus basa ini akan bereaksi dengan asam amino yang menyusun dinding sel dan DNA bakteri. Reaksi ini mengakibatkan terjadinya perubahan struktur dan susunan asam amino. Dengan perubahan struktur asam amino ini akan merubah rantai DNA sehingga menimbulkan kerusakan pada dinding sel bakteri.

Selain alkaloid, senyawa metabolit sekunder lainnya yang berpotensi sebagai senyawa antifouling adalah dari golongan terpen. Subowo (1995) dalam Kartikasari (2010) menyebutkan sifat senyawa terpen yang non polar membuat terpen mudah merusak permeabilitas membran sel bakteri. Senyawa non polar akan lebih mudah menembus membran sel bakteri pada sisi hidrofobik dan akan merusak struktur membran sel karena terbentuknya ikatan antara senyawa non polar

dengan bagian non polar dari membran sel. Terbentuknya ikatan ini mengakibatkan terganggunya permabilitas membran sel. Dudareva dan Gershenzhon (2007) dalam Imaria (2008) juga menambahkan bahwa rusaknya permeabilitas membran sel akan menyebabkan membran tidak selektif dalam menerima senyawa-senyawa yang masuk ke dalam sel, sehingga senyawa-senyawa toksik dapat dengan mudah masuk ke dalam sel.

Selain dapat merusak permeabilitas membran sel bakteri, terpenoid dapat pula merusak ikatan dalam DNA. Sladić dan Gašić (2006) dalam Kartikasari (2010) menyebutkan bahwa terpen dapat merusak ikatan dalam DNA menjadi DNA single strand. Terpen memiliki ikatan O bebas yang sama seperti struktur basa DNA. Ikatan O bebas yang dimiliki terpen akan berikatan dengan ikatan N pada basa DNA sehingga DNA akan menjadi single strand. Solanesol dari grup terpen memiliki kans lebih tinggi untuk digunakan sebagai senyawa antifouling. Hal ini sudah dibuktikan oleh Shin (2007) yang menyebutkan bahwa Solanesol dalam konsentrasi rendah (1 µg) efektif menghambat penempelan spora yang merupakan salah satu organisme penyusun biofouling. Identifikasi Organisme Biofouling

Perendaman spesimen baja yang telah dicat dengan campuran ekstrak debu tembakau selama tiga puluh hari pada air laut menunjukkan adanya penempelan organisme makrofouling. Salah satu organisme yang dapat diidentifikasi adalah dari genus Balanus.

Gambar 7. Balanus amphitrite

Genus Balanus dapat dikenali dari morfologinya yang memiliki cangkang yang keras yang menyelimuti tubuhnya. Cangkang tersebut terdiri dari beberapa bagian yaitu carina, carina lateral, rostrum lateral dan rostrum. Ukuran dan warna cangkangnya akan berbeda untuk jenis yang berbeda pula. Salah satu jenis yang ditemui menempel pada spesimen baja adalah Balanus amphitrite. Ciri-ciri morfologi Balanus amphitrite menurut Southward (1963) adalah cangkang bulat berbentuk kerucut, cangkang tersebut memiliki tekstur halus dan tipis. Warna dari cangkang tersebut biasanya merupakan perpaduan antara putih dan merah muda, putih dan coklat atau putih dan abu-abu. Garis-garis warna tersebut berjajar dengan warna putih ditengah. Panah putih pada gambar 7 menunjukan salah satu spesies Balanus amphitrite dengan perpaduan warna garis putih dan merah muda pada cangkang.

Penempelan Balanus amphitrite pada spesimen baja yang ditenggelamkan selama tiga puluh hari dipengaruhi oleh salah satunya adalah kecerahan. Faktor kecerahan sangat mempengaruhi penempelan Balanus, hal ini disebabkan larva Balanus memiliki perilaku menghindari cahaya atau disebut fototropik negatif (Ermaitis, 1984). Pada lokasi perendaman baja, penetrasi cahaya hanya mencapai sekitar 98 cm dari permukaan air sementara baja ditenggelamkan dengan tali berukuran lima meter.. Selain itu, data surut terendah yang diperoleh dari Badan

Meteorologi dan Geofisika (Lampiran 7) menunjukan surut terendah pada lokasi penenggelaman adalah satu meter. Panjang tali yang lebih dari kedalaman surut terendah membuat panel baja selalu terendam air. Kondisi tersebut menyebabkan panel baja tidak terpengaruh penetrasi cahaya dan selalu terendam oleh air sehingga larva Balanus dapat berkembang secara optimal.

Balanus amphitrite merupakan organisme eurythermal dan euryhaline, yakni dapat hidup dalam rentang salinitas dan suhu yang tinggi. Ermaitis (1984) menyebutkan Balanus sp dapat berkembang pada salinitas perairan estuaria yang berkisar antara 5-30 0/00 hingga salinitas perairan laut terbuka yang dapat mencapai 41 0/00. Perairan tropis yang hangat merupakan kondisi yang ideal bagi Balanus amphitrite untuk berkembang. Anil et al. (1995) dalam Johnston (2010) menyebutkan perkembangan Balanus amphitrite menunjukkan tingkat mortalitas tertinggi pada suhu 150C apabila dibandingkan dengan suhu lingkungan yang lebih hangat sekitar 25-30 0C. Dengan kondisi salinitas dan suhu pada lokasi perendaman yang menunjukkan angka 30 0/00 dan 33 0C maka Balanus sp. dimungkinkan dapat tumbuh dan berkembang pada panel baja.

Selain faktor lingkungan, Balanus sp. juga memiliki kemampuan untuk menempel dengan baik pada substrat yang terendam pada perairan laut. Menurut Zimmer (2001) dalam Purwani (2006) Balanus sp. yang telah dewasa akan mengirimkan sinyal berupa senyawa kimia yaitu Glycyl-glycyl L-Arginine (GGR) yang berfungsi sebagai pemicu larva untuk menempel pada substrat dan melanjutkan perkembangan ke stadia berikutnya kemudian menjadi Balanus sp. dewasa. Stadia larva Balanus sendiri terdiri dari dua tahapan larva yakni tahap larva nauplii dan larva cypris. Perkembangan larva nauplii sendiri terdiri dari enam tahapan sedangkan larva cypris terdiri dari satu tahapan.

Tahapan larva cyprids merupakan tahapan yang krusial dalam proses penempelan. Hal ini dikarenakan larva cyprids merupakan tahapan yang pertama kali merespon untuk menemukan permukaan yang cocok untuk penempelan permanen. Cyprids menggunakan antenula utuk menempel, berjalan dan eksplorasi pada permukaan yang didapat. Dengan reseptor pada antenula, larva cyprids merespon jenis-jenis bahan kimia dan bentuk morfologi permukaan. Apabila larva cyprids menemukan permukaan substrat yang cocok untuk proses pelekatan, maka larva akan melepaskan semen perekat untuk penempelan (Anil et al., 2006).

Selain genus Balanus terdapat organisme dari phylum Annelida yang juga ditemukan menempel pada substrat baja. Dari bentuk morfologi cacing ini bewarna putih, bentuk seperti tabung dan ditemukan dalam jumlah banyak berkelompok pada substrat baja. Ciri-ciri morfologi tersebut kemudian dicocokkan dengan buku A Guide to Seashore Singapore Science Center. Tan (1988) dalam buku tersebut menyatakan bahwa terdapat dua cacing dari kelas Polychaeta yang memiliki morfologi hampir serupa. Dua cacing tersebut dikelompokkan terpisah dalam famili Spionidae dan famili Serpulidae.

Gambar 4. Tubeworms

Tan (1988) dalam buku tersebut

mendeskripsikan kesamaan dua cacing yang kemudian dikelompokkan dalam famili Spionidae dan famili Serpulidae tersebut

berdasarkan adanya semacam tabung putih yang melindungi tubuhnya. Hal inilah yang membuat kedua cacing ini disebut tubeworms.

Tubeworms dari famili Spionidae merupakan organisme yang menetap dan dapat ditemukan pada bebatuan, lumpur dan substrat berpasir. Cacing tersebut memiliki ukuran tabung sekitar 0,5-1,5 cm. Cacing ini memiliki pola hidup filter feeders. Berbeda dengan tubeworm dari famili spionidae yang menetap pada bebatuan lumpur dan substrat berpasir, Tubeworms dari famili Serpulidae menetap hampir disetiap benda yang terendam. Khususnya pada permukaan ventral. Cacing ini memiliki ukuran tubuh yang lebih besar bila dibandingkan dengan tubeworm dari famili spionidae yakni 5-8 cm.

Tabung yang dimiliki oleh kedua jenis cacing tersebut memiliki beberapa fungsi seperti untuk pelindung terhadap serangan predator. Dengan berada pada tabung, cacing mendapatkan tempat yang lebih dingin dan lembab disaat surut terendah. Tubuh cacing dapat tetap bersih dan terhindar dari kontak langsung dengan pasir atau lumpur. Selain itu, dengan membentuk tabung, cacing dapat tinggal pada tempat yang tidak dapat digali (Anonim3, 2012).

Selain adanya tabung, ciri-ciri lain dari tubeworm adalah adanya tentakel pada bagian kepala yang berfungsi untuk menyaring makanan pada pasang tertinggi atau untuk menghalau kotoran yang ada pada lingkungan perairan (Anonim3, 2012). Adanya tentakel pada organisme tubeworm ditunjukkan lingkaran merah pada gambar 10 yang menunjukan gambar pengamatan langsung dan gambar dari literatur.

Gambar 10. Tentakel pada famili Serpulidae (a) menurut Anonim 4 (2012) (b) dokumen pribadi Tahapan Riset Antifouling Selanjutnya

Seperti yang telah diketahui pada sub bab diatas, bahwa penelitian ini menghasilkan suatu data yang menyatakan tidak ada pengaruh dari ekstrak debu tembakau terhadap berat biomassa basah dan prosentase luasan penutupan biofouling pada panel baja yang ditenggelamkan selama tiga puluh hari di perairan PT DOK perkapalan Surabaya. Hasil tersebut membuat perlu diadakan riset lebih lanjut terkait dengan pemanfaatan debu tembakau sebagai senyawa antifouling.

Langkah pertama yang perlu dilakukan pada riset selanjutnya adalah perbaikan metodologi dalam hal mendapatkan ekstrak murni solanesol dari debu tembakau. Menurut Prasetyoko (short discussion), untuk mendapatkan ekstrak murni solanesol perlu dilakukan permurnian dari ekstrak kasar yang diperoleh dari tahap maserasi. Permurnian tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan metode GC-MS. Metode ini akan mengetahui komponen senyawa apa saja yang terkandung dari ekstrak kasar debu tembakau. Campuran senyawa tersebut akan dipisahkan sehingga akan didapat solanesol murni yang akan digunakan dalam proses riset antifouling dari ekstrak debu tembakau selanjutnya.

Setelah senyawa murni solanesol didapatkan, maka langkah selanjutnya adalah mengetahui bagaimana mekanisme kerja solanesol sebagai senyawa antifouling ramah lingkungan. Railkin (2004) dalam Al Juhni

(2006) menyatakan perbedaan senyawa antifouling ramah lingkungan dengan senyawa antifouling seperti TBT terletak pada mekanisme kerjanya. TBT lebih memberikan sifat toksik dan memiliki mekanisme kerja yang simpel dengan membunuh bakteri penempel. Sedangkan senyawa antifouling ramah lingkungan seperti solanesol diharapkan memiliki mekanisme repelent atau anti adhesive.

Railikin (2004) dalam Al Juhni (2006) menyatakan bahwa senyawa antifouling dapat dikatakan memiliki mekanisme kerja repelent apabila mampu memberikan rangsangan negatif pada suatu organisme untuk menjauh dari substrat atau sumber rangsangan. Suatu percobaan sederhana yang digunakan oleh Railkin (1995) untuk mengetahui apakah suatu senyawa mampu memberi efek repelent disebut dengan chemotaxis assay. Percobaan ini menggunakan chemotatic chamber yang terbuat dari Plexiglas dan memiliki ukuran 36 x 40 x 80 mm dengan tiga ruang yang terpisah. Mikroorganisme diletakkan pada bagian tengah ruang sedangkan larutan senyawa antifouling diisikan pada ruang yang berbeda dan air laut pada ruang yang berbeda pula. Kemudian dihitung jumlah mikroorganisme yang berada pada ruang yang berisi larutan antifouling dan ruang yang berisi air laut.

Selain chemotaxis assay, beberapa jurnal penelitian juga melakukan metode yang dinamakan antifouling assay. Chen et al. (2008) adalah salah satu peneliti yang melakukan metode antifouling assay. Senyawa antifouling yang diteliti diperoleh melalui akar mangrove jenis Ceriops tagal. Langkah pertama dalam penelitian ini adalah mengumpulkan spesies B. albicostatus dewasa dari genus Balanus. Selama dua belas jam, B. albicostatus dimasukkan dalam air laut buatan dengan salinitas 30‰ dan temperatur 25°C. setelah dua belas jam, B. albicostatus akan menghasilkan larva tahap nauplius. Larva nauplius ini

kemudian dipelihara selama enam hari dengan kondisi salinitas dan temperatur yang sama untuk mencapai tahap cyprids. Tahap cyprids inilah yang kemudian dipapar dengan beberapa konsentrasi senyawa antifouling yang diperoleh dari akar mangrove Ceriops tagal. Jumlah cyprids yang berhasil menempel dan mati dihitung dengan menggunakan bantuan mikroskop stereo. Dari sini akan ditemukan konsentrasi senyawa antifouling yang sebaiknya digunakan untuk penelitian lapangan.

Daftar Pustaka Abdulgani, N, D Saptarini, D Khrisnawati.

1997. Analisis Keanekaragaman Biota Penyebab Biofouling di Perairan Pantai Ujung Surabaya. Lembaga Penelitian ITS. Surabaya

Al Juhni, A.A. 2006. Incorporation of Less

Toxic Antifouling Compounds Into Silicone Coatings to Study Their Release Behaviors. A Disertation University of Akron. Akron United States

Amri, S. 2005. Teknologi Beton A-Z. UI Press.

Jakarta Anam, K. 2000. Laju Korosi Alumunium

Pada Kapal FPB 28 Dalam Larutan NaCl dengan Metode Polarisasi. Tugas Akhir ITS. Surabaya

Anil, A Chandrashekhar, Khanderpaker L .

2006. Underwater Adhesion : the barnacle way. Elsevier. India

Anonim1. 2011. Struktur Nikotin. Diakses

pada tanggal 28 Juni 2011 pukul 10.00 di http://yosefw.wordpress.com/2010/09/17/nikotin-hitam-vs-putih, Surabaya

Anonim2. 2006. Operating Manual Freeze

dryer. Chirst Freeze dryer Rotational Vacuum Concentrators

Anonim3. 2012. Marine Tubeworm. Diakses

pada tanggal 28 Juni 2012 pukul 10.00 di

http://www.wildsingapore.com/wildfacts/worm/tubeworm/tubeworms.htm, Surabaya

Anonim4. 2012. Tentakel Famili Serpulidae.

Diakses pada tanggal 28 Juni 2012 pukul 10.00 di http://www.sms.si.edu/irlspec/hydroides_elegans.htm, Surabaya

Ashari, A. 2008. Pengaruh Tekanan Udara

Terhadap Laju Pengikisan Plat Baja ST 37 pada Proses Sandblasting. Tugas Akhir Universitas Muhammadiyah. Surakarta

Burgess, J. G., K.G. Boyd, E. Armstrong, Z.

Jiang. L. Yan, M. Berggren, U. May. T. Pisacane, A. Granmo, and D,R. Adams. 2003. The Development of a Marine Natural Product Based Antifouling Paint. Biofouling 19 : 197-205

Benerji, D.S.N, Rajini, K., Rao.B.S, Banerjee,

D.R.N. 2010. Studies on P hysico-Chemical and Nutritional Parameters for the Production of Ethanol from Mahua Flower (Madhuca indica) Using Saccharomyces cerevisiae – 3090 Through Submerged Fermentation (smf). Journal of Microbial & Biochemical Technology JMBT Vol.2 Issue 2

Basuki, S. 2005. Pengenalan

Varietas/Kultivar Tembakau. Laporan Pelaksanaan Pelatihan Lanjutan Fungsional Pengawas Benih Tanaman Tembakau

Berge, J.A and Walday, M. 1999. Alternatives

to the use of TBT as an antifouling agent on the Hull of Ships With Special Reference to Methods not Involving leaching of Toxic Compounds to the Water. Report No. O-98149 Norwegian Institute for Water Research pp. 1-34

Chamberlain. 1991. Korosi untuk Mahasiswa

dan Rekayasawan. Gramedia, Jakarta. Chen et al. 2008. Antifouling Metabolites

from the Mangrove Plant Ceriops tagal. MDPI 13, 212-219

Cowan, M. M., 1999, Plant Product as Antimicrobial Agents, Clinical Microbiology Reviews, Volume 12, No. 4, 564-582.

Darsono, P dan M Hutomo. 1983. Komunitas

Biota Penempel di Perairan Surabaya, Selat Sunda. Oseanologi di Indonesia. 16:29-41

Darwis, D. 2000. Teknik Dasar Laboratorium

alam Penelitian Senyawa Bahan Alam Hayati. Workhsop Pengembangan Sumber Daya Manusia di dalam Bidang Kimia Organik Bahan Hayati. FMIPA, Universitas Andalas. Padang

Davis and Mark T Nielsen.1999. Tobacco

Production, Chemistry, and Technology. London. Blackwell Science.

Ermaitis. 1984. Beberapa Catatan Mengenai

Marga Balanus. Buletin Oseanografi Indonesia LIPI Jakarta Vol IX No :3 :96-105

Fatimah.1998. Toksisitas Larvasida Berbagai

Fraksi Daun Annona squamosa L Terhadap Larva Nyamuk Aedes Aegepyti Linn. Skripsi FMIPA UNAIR. Surabaya

Foster, B.A. 1978. The Marine Fauna Of New

Zealand Barnacle. New Zealand Oceanography Institute. New Zealand

Harborne, J.B. 1987. Metode fitokimia.

Cetakan kedua. ITB. Bandung Imaria, Resita Nur. 2008. Uji Pendahuluan

ekstrak Spongorites sp. dari Perairan Pasir Putih Situbondo yang Berpotensi Sebagai Antikanker. Tugas Akhir. Biologi ITS.

Intan, S. M. 2008. Aktivitas Antibakteri

Ekstrak Daun Majapahit (Cresentia cujete C.) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus aereus dan Streptococcus pyogenes Secara Invitro. Tugas Akhir ITS. Surabaya

Iselin.1967. The Effect Of Fouling In : US NAVAL INSTITUTE Marine Fouling and its Prevention. Contrib n 580. Annapolis. Woods Hole Oceanographic Institution

Johnston, Laurel. 2010. Temperature Affects

Adhesion of The Acorn Barnacle, Balanus amphitrite. A Thesis California State University. California, United States

Judd. 2002. Plant Systematics. Sinaver

Associates, Inc Publisher. Suderland, Massachusetts. USA

Juliantina, F.R, D.A. Citra, B. Nirwan, T.

Nurmasitoh, E.T, Bono. 2008. Manfaat Sirih Merah Sebagai Anti Bakteri Terhadap Gram Positif dan Negatif. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Indonesia

Mann, KH, Latiers JRW. 1996. Dynamic Of

Marine Ecosystem, Biological Physical Interaction in the Oceans. Second Edition Blackwell Science. USA

Kartikasari, F.G. 2010. Uji Toksisitas Spons

Laut Xestospongia sp. dengan Metode Brine Shrimp Test (BST). Tugas Akhir. Biologi ITS

Matsumura, K, Hills J.M, Thomason, P.O,

Thomason, J.C, Clare, A.S. 2000. Discrimination at Settlement in Barnacles: Laboratory and Field Experiments on Settlement Behaviour in Response to Settlement-Inducing Protein Complexes. Biofouling: The Journal of Bioadhesion and Biofilm Research Vol 16(2-4), pp 181-190

Mensink, B.P., ten Hallers-Tjabbes, C.C,

Kralt, J., Freriks, I.L. and Boon, J.P. 1996. Assessment of Imposex in the Common Whelk, Buccinum undatum (L.) from the Eastern Scheldt, The Netherlands. Marine Environmental Research Vol. 41, No. 4, pp. 315-325

Nicholson, G. J. and Evans, S. M. 1997.

Anthropogenic Impacts on the Stock of the Common Whelk Buccinum undatum (L.).

Marine Environmental Research, Vol. 44, No. 3, pp. 305-314

Nybakken. 1982. Biologi Laut : Suatu

Pendekatan ekologis. Gramedia, Jakarta. Omae, I. 2006. General Aspect Of Natural

Product Antifoulants in The Environment. Hdb Env Chem No Vol 5, Part O 227-262

Prameswari, S. M. 2008. Perbandingan Luas

Penempelan Balanus sp. pada Substrat Kayu, Beton, dan Baja di Perairan Selat Madura. Tugas Akhir Program Studi Biologi ITS. Surabaya

Purwani, I.D. 2006. Kelimpahan Larva Teritip

di Perairan Sekiar Tiang Pancang Jembatan Suramadu Surabaya. Tugas Akhir ITS. Surabaya

Rachmawati, A. 2002. Pengaruh Warna Cat

Dekoratif Terhadap Penempelan Teritip dan Biomassa Biofouling pada Substrat Baja di Perairan Ujung Surabaya. Tugas Akhir ITS. Surabaya

Railikin. 2004. Marine Biofouling :

Communities on Submerged Hard Bodies. ISBN 0-8493-1419-4.CRC Press.

Rodriguez, A.R., Bronze, M.R., Ponte, M.N.

2008. Supercritical Fluid Extraction of Tobacco Leaves: A Preliminary Study on the Extraction of Solanesol. Elsevier. Portugal

Rogers, J.R., Philipe. B. 2004. Mineral

Stimulation of Subsurface Microorganism : release of Limiting Nutrients from Silicates. J. Chemical Geology. 203 p91-108

Romimohtarto, K. 1977. Beberapa Catatan

Teritip (Balanus sp.) sebagai Binatang "Pengotor" di Laut. Jurnal Oseanologi Indonesia. NO.7: 25-42

Sabdono, A. 2007. Pengaruh Ekstrak

Antifouling Bakteri Karang Pelagiobacter variabilis Strain USP3.37 Terhadap Penempelan Barnakel di Perairan Pantai Teluk Awur, Jepara. Jurnal Ilmu Kelautan Lembaga

Ilmu Pengetahuan Indonesia Volume 12 (1) : 18-23. Jakarta

Safriel U, N Cohen, Y Erez, N Ganteno, D

Keasar. 1993. Biological Control of Marine Biofouling. Oebalia V 19 p 193-199

Sastrosupadi, A. 2000. Rancangan Percobaan

Praktis Bidang Pertanian. Kanisius. Jakarta Santoso, S. 2010. Statistik Multivariat :

Konsep dan Aplikasi SPSS. Elex Media Komputindo. Jakarta

Sekar, R., V., P. Venugopalan, K. K. Satpthy,

K. V. K. Fair, and V. N. R. Roo. 2004. Laboratory studies on Adhesion of Micro Algae to Hard Substrates. Hydrobiologia 512:109-116

Sidhartan, M and Shin, H.W. 2007. Influence

of Fiver Organic Antifouling Candidates On Spore Attachement and Germination Of a Fouling Alga Ulva petrusa. Journal of Environmental Biology. Tribeni Enterprises. India

Soenaryono, P.S. 1993. Hubungan antara

Jumlah Penempelan Teritip (Balanus sp..) pada Bahan Kolektor yang Berbeda di Perairan Bandengan Jepara. Laporan Hasil Penelitian Fak.Peternakan Universitas Dipenogoro. Semarang

Southward, A.J. 1963. Cataloge of Marine

Fouling Organism : Volume 1 Barnacle. Organisation of European Economic for Cooperation and Development

Svavarsson, J. 2000. Imposex in dogwhelk

(Nucella lapillus) due to TBT Contamination: Improvement at High Latitudes. Marine Pollution Bulletin Vol. 40, No. 11, pp. 893-897

Tann, Leo, WH. 1988. A guide to Seashore.

Singapore Science Center. Singapore

Paradas, C.W, and A.M.G. Filho. 2007. Are Metal Antifouling Transferred to Marine Biota?. Brazilian Journal of Oceanography. 55(1):51-56

Zhu, X and Huang, G. 2004. Evaluation and

Clasification of Seawater Corrosivenes by Environmental Factor. Qingdao Marine Institute. China

Zulaika, E. 2001. Petunjuk Praktikum

Limnologi. Laboratorium Terapan Program Studi Biologi ITS. Surabaya

Upaya Penanganannya (Studi Kasus

Kelurahan Sampangan dan Bendan Ngisor Kecamatan Gajah Mungkur Kota Semarang). Universitas Diponegoro, Semarang.

Smith, P. G and Scott, J. G. 2005. Dictionary

of Water and Waste Management. Second Edition. IWA Publishing, Great Britain : hal 65.

Suhardjo, D. 2008. Penurunan COD, TSS dan

Total Fosfat pada Septik Tank Limbah Mataram Citra Sembada Catering dengan Menggunakan Wastewater Garden. J. Manusia dan Lingkungan, Vol. 15 (2) : 79-89 : hal 4.

Sumarsih, S. 2003. Diktat Kuliah

Mikrobiologi Dasar. UPN Veteran, Yogyakarta. Suyasa, I W. B Dan W. Dwijani. 2009.

Pengaruh Penambahan Urea, Kompos Cair, dan Campuran Kompos Dengan Gula Terhadap Kandungan BOD dan COD Pada Pengolahan Air Limbah Pencelupan. Universitas Udayana, Bali. Ecotrophic ♦ 4 (1): 62-65.

Wirda, F. R and M. Handajani. 2011.

Degradation of Organik Compound in Liquid Phase Biowaste With Additional Water Variation at Ratio 1:2 in Batch Reaktor. Institut Teknologi Bandung, Bandung.