jangan pernah berputus asa

4

Click here to load reader

Upload: muhsin-hariyanto

Post on 20-May-2015

696 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Jangan pernah berputus asa

1

Jangan Pernah Berputus Asa

Di tengah upaya yang kita rasakan telah maksimal, alangkah bijak apabila senantiasa menata batin kita untuk menghadapi segala kemungkinan yang akan kita dapatkan. Kemungkinan terbaik maupun terburuk, kemungkinan berhasil maupun ‘belum’ berhasil.

Ingatlah firman Allah,

''...boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.'' (QS al-Baqarah [2]: 216).

Menata hati untuk bisa menerima apa yang tengah kita hadapi, akan lebih berarti daripada berlarut-larut dalam kesedihan yang bisa membuat jatuh dalam keputusasaan.

Apabila seseorang telah jatuh dalam keputusasaan, pikiran menjadi kosong, hidup terasa hampa dan tak berguna lagi. Hal ini memudahkan ‘setan’ menjerumuskan diri kita ke dalam tindakan yang sangat fatal dan berbahaya. Fatal dunia dan akhirat. Na'ûdzubillâhi min dzâlik.

Dengan menerima secara legowo dan senantiasa berpikir positif akan membuka pikiran untuk mencari solusi, mengurai berbagai masalah atau cobaan. Karena sesungguhnya berputus asa tak akan pernah mendatangkan manfaat apa pun kecuali tumpukan kerugian demi kerugian.

Bagaimana mengatasi keputusasaan yang telanjur datang? Ingatlah selalu Allah tidak akan menimpakan cobaan di luar kesanggupan hamba-hamba-Nya. Apa yang kita terima, mungkin terasa berat di awalnya, namun kita tak tahu hikmah apa yang terkandung di dalamnya, yang mungkin justru akan menjadi 'penyelamat' kita di kemudian hari. Jadi, bersikap optimislah, karena Allah selalu beserta kita.

Simaklah dengan seksama firman Allah,

Page 2: Jangan pernah berputus asa

2

“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat, yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya, dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta), dan orang-orang yang memercayai hari pembalasan, dan orang-orang yang takut terhadap azab Tuhannya.” (QS al-Ma’ârij [70]: 19-27).

Hidup yang kita jalani dipenuhi oleh pelbagai rintangan dan membutuhkan kekuatan diri untuk keluar dari rintangan yang menghadang. Kesulitan ekonomi, penderitaan, dan ketidaksesuaian harapan dengan kenyataan adalah bentuk kongkret rintangan tersebut. Bagi orang yang lemah jiwanya, rintangan dipahami sebagai “batu sandungan” yang sulit dilalui. Fenomena bunuh diri, misalnya, ‘notabene’ diinisiasi kelemahan jiwa semacam ini. Karena himpitan ekonomi, tak sedikit bunuh diri menjadi jalan pintas untuk menyelesaikan masalah kehidupan. Ayat yang saya kutip di atas memberi pesan: “kerapuhan jiwa dapat mengakibatkan lahirnya keluh kesah yang tak produktif”. Ketika kesusahan hidup menerpa, tali kekang moral agama menjadi longgar. Tak ayal lagi, kehidupan menjadi barang murah yang sedemikian tak berharga untuk dijaga kelangsungannya. Seorang gadis, rela melompat dari gedung bertingkat hanya karena masalah sepele: putus-cinta dengan kekasihnya. Seorang pengusaha melakukan hal yang sama, karena sedang menghadapi kemelut masalah di perusahaannya. Mereka memahami hidup hanya dengan menggunakan rumus tunggal: “every desire 'should' be fruitful reality “ (setiap keinginan ‘harus’ berbuah kenyataan). Tanpa harus berpikir panjang tentang konsep ruang dan waktu yang selalu membatasinya.

Padahal rumus kehidupan tidak harus selalu seperti itu. Adakalanya keinginan melahirkan kegagalan atau ketidaksesuaian dengan realitas hidup. Maka sudah seharusnya ‘kematangan spiritual’ kita harus kita perkokoh kembali dalam diri kita. Sehingga hidup kita akan selalu mewujud dalam bentuk yang serba-nikmat, ‘asyik-masyuk’, karena sikap sabar dan syukur kita yang prima. Ruang dan waktu yang kita jalani dengan keikhlasan penuh bahwa Dia (Allah) sedang menguji kadar keimanan kita pada-Nya. Ingat, lemparan batu tentu saja tidak semuanya akan mengenai target yang sama. Artinya, pengharapan apa pun, adakalanya tidak sesuai dengan yang kita rancang. Pada posisi ini, kesabaran dan istiqamah (sikap konsisten) merupakan benteng

Page 3: Jangan pernah berputus asa

3

pertahanan yang super efektif ‘bisa’ meredam keinginan mengakhiri hidup kala masalah menerpa diri kita.

Seorang muslim sejati, ialah individu yang dapat mengoptimalkan potensi diri untuk mewujudkan harapan, tanpa terpaku pada hasil. Dia (Allah) akan memberikan berkah tak terkira meskipun harapan itu gagal terwujud. Karena dengan kegagalan tersebut, kita dapat memelajari kekurangan, sehingga di lain waktu dapat dikurangi. Inilah letak keberkahan tak terkira. Kita, dengan kegagalan yang menimpa akan membentuk jiwa hingga menjadi kokoh. Alhasil, muncul sikap hati-hati, awas dan waspada ketika menyusun program kerja kehidupan. Dalam pepatah disebutkan: “seorang manusia bijaksana adalah orang yang tidak akan terperosok pada lubang yang sama”.

Di dalam al-Quran dijelaskan,

“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan (memberi potensi) pada jiwa kefasikan (pengingkaran terselubung) dan ketakwaan. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa dan merugilah orang yang mengotorinya.” (QS asy-Syams [91]: 7-10).

Terma “takwa” memiliki arti dasar, “rasa takut yang bersifat spiritual”. Ketika rasa takut dikelola secara bijak, positif dan sistematis, tentunya lahirlah sebuah kondisi psikologis yang awas dan waspada. Namun, ketika perasaan takut tidak dikelola secara bijak, positif dan sistematis akibatnya akan melahirkan keluh kesah, putus asa, dan bosan menjalani kehidupan. Tak heran kalau bunuh diri menjadi solusi pavorit orang semacam ini. Kekuatan dalam dirinya telah hilang dan berangsur-angsur membawanya jadi zombie yang tak sadar antara ide dan realitas kadang tidak sesuai.

Danah Zohar dan Ian Marshall (Spiritual Capital, Bandung: Mizan, 2006) mengatakan untuk menjalani kehidupan diperlukan keberanian mengubah pola pikir mengenai pondasi filosofis dan praktik keseharian. Khususnya di dunia bisnis – katanya -- selain modal intelektual (intellectual capital), modal manusia (human capital), dan modal sosial (social capital); tahap yang lebih maju adalah adanya modal spiritual (spiritual capital). Di mana sebuah aktivitas tidak melulu dipahami sebagai keuntungan dan laba material. Tapi keuntungan yang lebih mengarah pada terciptanyanya makna, nilai, pengetahuan dan ilmu yang jauh lebih bernilai daripada ‘materi’.

Begitu pun dalam praktik keseharian, kita mesti memompa potensi diri sehingga terbentuk “modal spiritual” agar dapat memahami hidup sebagai ladang beramal saleh.

Page 4: Jangan pernah berputus asa

4

Tanpa memiliki modal seperti ini, “mind set (keyakinan atau sekumpulan keyakinan atau cara berfikir yang memengaruhi perilaku dan sikap, yang pada akhirnya akan menentukan level keberhasilan hidup) kita” akan menempatkan hidup sebagai barang murah yang dapat diakhiri dengan bunuh diri. Pola pikir seperti inilah yang mesti dibumihanguskan dari dalam diri. Pesimisme dalam Islam tak pernah ditoleransi, apalagi dianjurkan. Seperti diungkapkan Buya Ahmad Syafi’i Ma’arif -- mengutip pernyataan yang pernah diungkapkan berkali-kali oleh Pak AR Fahruddin – “kalau saja al-Quran mengajarkan doktrin pesimisme, sayalah orang pertama yang mendukung. Sayangnya, al-Quran hanya mengajarkan doktrin kehidupan optimisme, maka saya pun tak akan pernah bersikap pesimis, apalagi berputus asa, dan harus selalu bersikap optimis”.

Masa depan merupakan “bumbu kehidupan” yang dapat melecut gairah menjalani realitas kehidupan. Kewajiban kita sebagai manusia beragama salah satunya menabur benih-benih optimisme guna menggapai keberkahan hidup. Bukankah al-Quran telah mengingatkan kepada diri kita?

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memerhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Hasyr [59]:18).

Wallâhu A’lam bish-Shawâb.