perlinduntran hukum bagi pemakai j asa

11
240 PERLINDUNtrAN HUKUM BAGI PEMAKAI J ASA ANGKUTAN DALAM HUKUM PERHUBUNGAN INDONESIA*) oleh E. Suhennan, S.H. PENDAHULUAN Seorang sarjana hukum Inggris pernah mengatakan: "The law abhors a vacuum " sedangkan seorang sarjana hukum Belanda akan mengatakan: "De wet kent geen leem- ten". Akan tetapi apakah hal ini benar ? Kalau kita mengkaji peraturan - peraturan perundang-undangan tentang Perhubungan di Indonesia, kita akan IIi ulai sangsi apakah di dalamnya tidak ada keiowongan-kelowo- ngan yang mengganggu atau bahkan memba- hayakan. Kita masih berbicara tentang Wegverkeer-ordonansi (S 1936-201 jo S 38 657 dan4-72) meskipun telah diubah dan ditarnbah dengan Undang-Undang lalu lintas jalan No. 7 tahun 1961. Kita masih memperlakukan Verrordening Toezicht Luchtvaart (S 1936-426) dan untuk tang- gung jawab pengangkut udara masih berla- ku Luchtvervoer-ordonnantie (S 1939- (00) untuk angkutan domestik dan Konvensi Warsawa lahun 1929 untuk angkutan udara internasional. Untuk angkutan dan per- hubungan laut kita masih mempergunakan Wetboek van Koophandel, yang berasal dari abad yang lalu. Oleh karen a itu sudah se- pantasnyalah apabila kita mulai menata kern bali seluruh pera turan perundang-un- dangan Indonesia mengenai bidang perhu- bungan, yang hasiinya hendaknya sela tas dan seirama dengan Sistem Perhubungan Nasional. Semakin maju teknologi perhu- bungan, semakin "sophisticated" sarana yang dipergunakan, semakin lengkap dan se- irama tepal pula seharusnya peraturan-per- aturan perundang-undangan yang mengatur- nya, mu!ai dari pengaturan mengenai per- sonil seperli penerbangan dan awak kapal, peraiatan seperti pesawat udara serta kapal !aut dan kendaraan di darat , sarnpai kern a- salah tanggung jawab dan asuransi; serta pengaturan aspek-aspek komersiai seperti pembinaan kompetisi yang sehat serta pe- netapan route-route yang tepat .. .) Disampaikan pad a Loka Karya Permasa- lahan Hukum dan Pengaturan Perhu- bungan Jakarta, 31 Maret -2 April 1981. PERMASALAHAN Masalah perlindungan hukum mempunyal pengertian yang amat luas. Adalah suatu kekeliruan apabila masalah perlindungan ini hanya ditinjau dari salah satu aspeknya saja, yaitu aspek keselamatan atau perlindungan terhadap bahaya-bahaya dan risiko-risiko dalam pengangkutan, meskipun memang harus kita akui bal1wa aspek inilah yang ma- nifestasinya paling nyata dan paling terasa. Pada hemat kam i unsur-unsur daripada pola perlindungan hukum bagi pemakai jasa angkutan adalah se bagai berikut : I. Perjanjian angkutan, termasuk aspek per- taripan, syarat-syarat angkutan dan do- kumen angkutan , 2. Pelayanm, 3. Keselamatan, 4. Tanggung jawab pengangkut dan asuran- - SL Keempat unsur ini merupakan suatu rang- kaian yang tidak dapat dipisah-pisahkan da- lam rangka periindungan hukum terhadap risiko-risiko idiil seperti pe!ayanan yang tidak mem uaskan, kelambatan-kelambatan, dan se bagainya. Kee mpat un sur ini tidak boleh dikurangi dan pola periindungan hukum bagi pemakai jasa angkutan harus terdiri dari kee mpat unsur ini yang dikombinasikan secara ter- padu. PERLlNDUNGAN HUKUM BAGI PEMA- KAI JASA ANGK UTAN . (. PERJANJIAN ANGKUTAN. Kalau kita bandingkan tiket pesawat udara, misainya dengan tiket kereta api atau tiket bu s, maka segera teriihat suatu perbedaan bentuk yang menyolok. Tiket pesawat uda- ra yang standar scbenarnya merupakan gabungan antara tiket penumpang dan tiket bagasi dan isinya lebih iengkap, seperti nama penumpang, jenis kelamin, be rat ba- LIan , route yang diterbangi, syarat-syarat perjanjian, jenis barang yang dapat dibawa ke da lam kabin, undang-undang . yang ber- laku ba g;i angkut.an, jenis barang yang dila- Mei 1981 I " I ,

Upload: others

Post on 05-Nov-2021

14 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PERLINDUNtrAN HUKUM BAGI PEMAKAI J ASA

240

PERLINDUNtrAN HUKUM BAGI PEMAKAI J ASA •

ANGKUTAN DALAM HUKUM PERHUBUNGAN INDONESIA*)

oleh E. Suhennan, S.H.

PENDAHULUAN

Seorang sarjana hukum Inggris pernah mengatakan: "The law abhors a vacuum " sedangkan seorang sarjana hukum Belanda akan mengatakan: "De wet kent geen leem­ten". Akan tetapi apakah hal ini benar ? Kalau kita mengkaji peraturan-peraturan perundang-undangan tentang Perhubungan di Indonesia, kita akan IIi ulai sangsi apakah di dalamnya tidak ada keiowongan-kelowo­ngan yang mengganggu atau bahkan memba­hayakan. Kita masih berbicara tentang Wegverkeer-ordonansi (S 1936-201 jo S 38 657 dan4-72) meskipun telah diubah dan ditarnbah dengan Undang-Undang lalu lintas jalan No. 7 tahun 1961. Kita masih memperlakukan Verrordening Toezicht Luchtvaart (S 1936-426) dan untuk tang­gung jawab pengangkut udara masih berla­ku Luchtvervoer-ordonnantie (S 1939-(00) untuk angkutan domestik dan Konvensi Warsawa lahun 1929 untuk angkutan udara internasional. Untuk angkutan dan per­hubungan laut kita masih mempergunakan Wetboek van Koophandel, yang berasal dari abad yang lalu. Oleh karen a itu sudah se­pantasnyalah apabila kita mulai menata kern bali seluruh pera turan perundang-un­dangan Indonesia mengenai bidang perhu­bungan, yang hasiinya hendaknya sela tas dan seirama dengan Sistem Perhubungan Nasional. Semakin maju teknologi perhu­bungan, semakin "sophisticated" sarana yang dipergunakan, semakin lengkap dan se­irama tepal pula seharusnya peraturan-per­aturan perundang-undangan yang mengatur­nya, mu!ai dari pengaturan mengenai per­sonil seperli penerbangan dan awak kapal, peraiatan seperti pesawat udara serta kapal !aut dan kendaraan di darat , sarnpai kern a­salah tanggung jawab dan asuransi; serta pengaturan aspek-aspek komersiai seperti pembinaan kompetisi yang sehat serta pe­netapan route-route yang tepat ..

.) Disampaikan pad a Loka Karya Permasa­lahan Hukum dan Pengaturan Perhu­bungan Jakarta, 31 Maret - 2 April 1981.

PERMASALAHAN • Masalah perlindungan hukum mempunyal

pengertian yang amat luas. Adalah suatu kekeliruan apabila masalah perlindungan ini hanya ditinjau dari salah satu aspeknya saja,

yaitu aspek keselamatan atau perlindungan terhadap bahaya-bahaya dan risiko-risiko dalam pengangkutan, meskipun memang harus kita akui bal1wa aspek inilah yang ma­nifestasinya paling nyata dan paling terasa. Pada hemat kam i unsur-unsur daripada pola perlindungan hukum bagi pemakai jasa angkutan adalah sebagai berikut :

I. Perjanjian angkutan, termasuk aspek per­taripan, syarat-syarat angkutan dan do­kumen angkutan,

2. Pelayanm, 3. Keselamatan, 4. Tanggung jawab pengangkut dan asuran-

-SL

Keempat unsur ini merupakan suatu rang­kaian yang tidak dapat dipisah-pisahkan da­lam rangka periindungan hukum terhadap risiko-risiko idiil seperti pe!ayanan yang tidak mem uaskan, kelambatan-kelambatan, dan se bagainya. Keempat un sur ini tidak boleh dikurangi dan pola periindungan hukum bagi pemakai jasa angkutan harus terdiri dari keempat unsur ini yang dikombinasikan secara ter­padu.

PERLlNDUNGAN HUK UM BAGI PEMA­KAI JASA ANGK UTAN.

(. PERJANJIAN ANGKUTAN.

Kalau kita bandingkan tiket pesawat udara, misainya dengan tiket kereta api atau tiket bus, maka segera teriihat suatu perbedaan bentuk yang menyolok. Tiket pesawat uda­ra yang standar scbenarnya merupakan gabungan antara tiket penumpang dan tiket bagasi dan isinya lebih iengkap , seperti nama penumpang, jenis kelamin, berat ba­LIan, route yang diterbangi, syarat-syarat perjanj ian, jenis barang yang dapat dibawa ke dalam kabin , undang-undang . yang ber­laku bag;i angkut.an, jenis barang yang dila-

Mei 1981

I

" I

,

Page 2: PERLINDUNtrAN HUKUM BAGI PEMAKAI J ASA

.

J.

,

Perlindungan Hukum I

rang atau dibatasi angkutannya, harga tiket dan lain-lain. Apa yang tercantum dalam tiket pesawat udara bahkan lebih lengkap dari apa yang hams dicantumkan ketentuan Ordonansi Pengangkutan Udara (Luchtvervoer-ordon­nantie S 1939-100), yang hanya mcngha­mskan dicantumkmlllya : a. Tempat dan tanggal pemberian; b. Tempat pemberangkatan dan tempat tu-

• Juan ;

c. Pendaratan yang direncanakm1 di tem­pat-tempat di antara temp at pemberang­katan dan tempat tujuan mengingat hak dari pengangkutan udara untuk mengajukan syarat bahwa ia bila perlu dapat mengadakan perubahan-perubahan dalam tempat-tempat pendaratan itu ;

d. Nama dan alamat pengangkut atau pe­ngangkut-pengangkut;

e. Pemberitahuan bahwa pengangkutan udara tunduk pada ketentuan-ketentuan mengenai tanggung jawab, yang diatur oleh Ordonansi ini atau Konvensi (War­sawa) .

Ketentuan ini kita jumpai dalam Pasal 5 Ordonansi Pegmgkutan Udara, sedangkan dalam pasal 6 kita jumpai ketentuan-ke­tentuan mengenai Tiket Bagasi. Sebagaimana dikatakan di atas, dibanding­kan dengm tiket bus atau tiket kereta api , Tiket Garuda Indonesia Airways misalnya, adalah jauh lebih lengkap, yang terdiri dari beberapa halaman. Pad a salah satu halaman. bahkan tercantum apa yang dinamakan "Syarat-syarat Perjanjian ". N am un dem i­kian, apakah dapat dikatakm bahwa suatu tiket pesawat udara merupakan · suatu per­janjian angkutan ? Suatu perjanjian ang­kutan adalah suatu perjanjian antara se-

• orang pengangkut dan penumpmg atau pe-ngirim barang akan diangkut oleh pengang­kut, dengan imbalan bayaran atau suatu prestasi lain. Dalam ordonansi pengangkutan udara, yang antara lain mengatur masalah dokumen angkutm seperti tiket penumpmg, tike t bagasi dan surat muatan udara tidak kita jumpai ketentuan bagaimana bentuk perjm-

jim angkutan udara. Yang jelas tercantum adalah bahwa meskipun tidak dikeluarkan dokumen angkutan, perjanjian angkutan jtu tetap ada. Hal ini dapat kita baca dalam Pa­sal 5 ayat 2 Ordonmsi yang mengatakan bahwa "Tidak adanya Tiket Penumpang, kesalahm di dalamnya atau hilangnya ti­ket tersebut tidak mempengaruhi adanya

Mei 1981

241 ,

atau berlakunya perjanjian pengangkutan udara, yang tetap akan tunduk pada ke­tentuan-ketentuan dalam Ordonansi ini". Dengan demikian maka dokumen angkutan seperti tiket penumpang bukan suatu per­janjian angkutan udara, tetapi hanya me­rupakan suatu bukti adanya suatu per­janjian angkutan, karena tanpa diberikan­nya tiket penumpangpun masih tetap ada perjanjian angkutan. Di at as telah disinggung bahwa dalam sa­lah satu halaman tidak penumpang di­jumpai" Syarat-syarat Perjanjian". Yang sebenarnya dimaksud adalah syarat-sya-, rat pokok dari perjanjian angkutan, mi-salnya bahwa pengangkutan tunduk pada ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam dokumen angkutan, tarif-tarif yang berlaku, syarat-syarat um um pengllngkutan dari pe!­usahaan yang bersangkutan dan peraturan­peraturan lain dari pengangkut. Dengan demikian, tidak semua ketentuan-keten­tuan perjanjian seorang penumpang ingin mengetahui semua ketentuan-ketentuan ten­tang perjanjian angkutan, ia pertama-tama harus membaca apa yang dinamakan "Sya­rat-syarat Umulfl Pengangkutan ", yang me­nurut . apa yang tercantum dalam tiket bisa diminta untuk melihatnya di tiap kan­tor perusahaan penerbangan (tapi umum­nya tidak ada) dan selanjutnya jadwal-jad­wal penerbangan, tarip-tarip dan ketentuan­ketentuan lain yang tidak mungkin semua­nya dicantumkan dalam dokumen angkutan. Untuk melindungi para pemakai jasa ang­kutan udara, hampir seluruhnya mungkin tidak pernah melihat syarat-syarat angkutan dari perusahaan angkutan apapun untuk mengajukannya kepada Departemen Perhu­bungan untuk diteliti dan kemudian disah­kan, agar dapat ada jaminan bahwa syarat­syarat angkutan yang ditetapkan secara sepihak oleh perusahaan angkutan, tidak. merupakan pemakai jasa angkutan.

2. PELAYANAN

Pada setiap jenis angkutm yang menjual jasa unsur pelayanan merupakm produk total daripada perlakuan terhadap pemakai jasa, mulai dari ia membeli tiket ditempat pemberangkatm sampai ia dengan selamat meninggalkan kendaraan atau alat ang­kutan di tempat tujuan. Setiap penumpang yang pernah memper­gunakan bis kota di Kota Jakarta akan da­pat berbicara ten tang mutu pelayanan yang

Page 3: PERLINDUNtrAN HUKUM BAGI PEMAKAI J ASA

242

diperolehnya, akan tetapi tidak kurang pula keluhan-keluhan yang terdengar dari penum­pang alat angkutan yang paling mahal, yaitu pesawat udara. Secara lebih luas ma­ka pelayanan bagi pemakai jasa angkutan meliputi pula tersedianya angkutan atau frekwensi pengangkutan yang tersedia, kete­patan waktu berangkat dan tiba, kenya­manan dalam alat angkutan, mudahnya memperoleh tiket dan lain-lain. Memang harus kita akui bahwa masalah pelayanan tidak mudah diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan. Yang mung­kin dapat dilakukan adalah penetapan standar minimal mengenai pelayanan bagi kendaraan-kendaraan umum dan alat ang­kutan umum, dengan pengontrolan oleh pihak yang berwajib, disertai dengan sank­si-sanksi bagi perusahaan yang bersangkutan. Khususnya bagi jasa angkutan yang disedia­kan bagi sebagian besar rakyat Indonesia seperti bis, kereta api dan kapallaut, harus diadakan pemikiran ke arah pengaturan mengenai pelayanan yang lebih manusiawi dan sesuai dengan martabat bangsa Indo-

• nesJa.

Pelayanan harus meliputi pula cara-cara '~an prosedur yang mudah untuk men-, dapatkan ganti rugi dalam hal terjadi keru­gian karena misalnya suatu kecelakaan.

Dalam hubungan ini ,khusus mengenai korban keoelakaan pesa wat udara penulis pernah mengemukakan dalarn sebuah art i­kel bahwa "di Indonesia korban kecelaka­an pesawat udara menderita dua kali, sekali karena mendapat kecelakaan dansekali karena kekosongan dalam Hukulll Udara kita (yang menyulitkan untuk mendapat suatu konpensasi yang Illemuaskan( .. Suatu epiloog yang menyedihkan dari suatu tra­gedi".

3. KESELAMAT AN

Di bawah judul "Keselamatan" ini penulis akan mencoba menguraikan masalah kese­lamatan, khusus mengenai keselamatan pe-

,

nerbangan, yang sistem dan prinsip-prin-sipnya pada hem at penulis dapat berlaku pula bagi jenis angkutan lainnya, dengan sendirinya dengan penyesuaian dengan suat­suat khusus alat angku tan tertentu. Keselamatan penerbangan pada masa ini adalah hasil keseluruhan dari kombinasi berbagai faktor dan masalah,. Faktor-fak­tor yang menentukan ada tidaknya 'kese­lamatan pernerbangan adalah :

Hukum dan Pembangunan

1. Pesawat udara, 2. Personil, 3. Sarana Penerbangan, 4. Operasi Penerbangan, 5. Badan-badan pengatur.

1. Personil Penerbangan dilaksanakan dengan pesawat udara, sehingga faktor pertarna pad a kese­lan1atan penerbangan adalah pesawat ter­bang itu sendiri.. Keadaan pesawat udara yang baik akan le­bih menjamin adanya keselamatan pener­bangan yang maksimal. Dalam hubungan ini maka masalah-masalah mengenai pesawat udara yang paling relevan dengan kcscla­matan penerbangan adalah :

1.1. Perawatan. 1.2. Kelaikan udara. 1.3. "Crashworthiness". 1.4. Tersedianya suku cadang.

Masalah-masalah tersebut dapat kit a urai­kan sebagai berikut :

1.1. Perawatan Perawatan pesawat udara yang dilaksana­kan sesuai dengan peraturan yang berlaku serta menurut· petunjuk-petunjuk dari pa­brik pesawat udara yang bersangkLltan akan menjarnin kelaikan udara dari pcsawat udara. Ketentuan-kctentuan l11engenai pera­watan pesawat udara UI11Ul11nya jauh lebih ketat dari ketentuan-ketcntuan untuk jenis alat angkutan lainnya, sedangkan peng­awasannya dilakukan lebih ketat oleh pihak yang berwajib.

1.2. Kelaikan Udara Setiap pesawat udara hanya diizinkan ter­bang kalau dalalll keadaan baik udara, yang harus dibuktikan dengan suatu sertuikat kebaikan udara yang dikeluarkan oleh pe­jabat yang diberi wewenang untuk itu. Ke­tentuan ini berlaku secara internasional

dan tidak akan ada suatu negara yang akan Illengizinkan pesawat udara masuk ke wilayahnya kalau tidak mempunyai ser­tifikat kelaikan udara. Sertifikat ini harus selalu berada dalalll pesawat.

1.3. "Crashworthiness" "Crashworthiness" adalah suatu karakteris­tik dari suatu alat angkutan yang dapat Illelindungi penulllpang dari kematian pada suatu kecelakaan 'yang seharusnya tidak ber­suat fatal ("survivable") dan melindungi penumpangnya dari luka atau luka-Iuka yang kUlllulatif. Karakteristik ini terutarna

• tergantung pada konstruksi dari alat ang-

Mei 1981

1 ,

Page 4: PERLINDUNtrAN HUKUM BAGI PEMAKAI J ASA

,

Perlindungan Hukum

' ...

kutan tersebut dan dapat dilakukan de­ngan rnisalnya : Menempatkan tempat du­duk pen urn pang sejauh mungkin di bela­kang dan mernperkuat bagian depan kabin penurnpang tersebut, menempatkan me­sin pesawat di belakang, sehingga pada suatu kecelakaan mesin tersebut tidak akan menghujam dalam kabin, menyediakan sa­buk pengaman yang efektif, mendesain kabin penumpang sedemikian rupa sehing­ga dapat memberikan perlindungan yang maksimal dalam hal pesawat terbalik; dan lain sebagainya.

1.4. Tersedianya Sukucadang dengan mu­dah

Kebaikan pesawat udara hanya dapa t di-. pertahankan dengan perawatan yang berkala

dan teratur, dengan mengganti komponen­kornponennya yang sudah habis waktunya. Perawatan demikian, terutama pada alat angkutan yang rumit seperti pesawat udara, sangat tergantung pada tersedianya sukuca­dang dengan mudah dan dalam jumlah yang cukup, dan dapat dibeli dari pabrikan-pa­brikan dan distributor-distributor yang bo­nafide.

2. Personil Suatu pesawat udara, bagain1anapun baik konstruksi dan kemampuannya, "perfor­mance"-nya tergantung pada penerbangan yang mengemudikannya. Oleh karena itu dapat dimengerti bahwa penerbang yang duduk dalam kokpit, terutama pada pesa­wat-pesawat udara komersial yang meng­angkut sejumlah besar penumpang, merupa­kan hasil seleksi, latihan dan pengawasan terus menerus. Penerbang merupakan salah satu faktor utama dalam rangka keselamat­an penerbangan, di samping personil pe­rawatan dan lain-lain.

2.1. Pendidikan dan Latihan Penerbang Kecuali syarat bahwa seorang penerbang harus beradab sehat dan mempunyai dasar pendidikan tertentu, ia harus mengikuti pendidikan dan latihan pada Lembaga pendidikan penerbangan yang diakui. Se­orang penerbang yang ideal harus meru­pakan kombinasi dari inteligensi yang tinggi dengan ketrampilan yang tinggi dan mental yang baik.

AhU Tehnik Pesawat Para ahli tehnik pesawat, baik "flightengi­neers" maupun "groundengineers" termasuk

.

Mei 1981 .

243

golongan personil yang harus memiliki license, yang harus diperoleh setelah me­nempuh pendidikan tertentu. Dengan tehnik pembuatan pesawat yang semakin maju, maka pendidikan para ahli tehnik inipun merupakan pendidikay. yang sangat spesialistis. Ketrampilannya dan pengetahuannya harus senantiasa dipelihara, sejalan dengan kemajuan-kemajuan yang di­capai dalam tehnik pembuatan pesawat itu.

2.2. Licensing Tujuan dari ketentaun licensing adalah un­tuk dapat terus menerus mengawasi keca­kapan dan kemampuan personil yang mem­punyai peranan vital bagi keselamatan pe­nerbangan. Dari ketat tidaknya ketentuan

pemberian license ini banyak tergantung tercapai derajat keselamatan penerbangan yang tinggi

2.3. Pemeriksaan Kesehatan Bagi golongan personil tertentu pemeriksa­an kesehatan secara berkala merupakan suatu syarat mutlak untuk memperoleh license atau perpanjangan license. Khusus­nya bagi penerbang disyaratkan keadaanjas­mani yang sehat dan pancaindra yang baik, khususnya penglihatan dan pendengaran.

2.4. Pembatasan waktu terbang Suatu hal yang perlu diperhatikan dalam rangka keselamatan penerbangan ialah daya tahan seorang penerbang dalam lamanya mengemudikan pesawat udara Meskipun daya tahan ini berbeda untuk setiap indivi­du, dan tergantung an tara pad a usia., harus ditentukan suatu batas yang obyektif yang berlaku untuk semua penerbang dengan tu­juan utama untuk mencegal1 tim bulnya kelelahan atau "fatigue". Suatu masalah yang harus diperhatikan pula ialah apakah harus dibedakan an tara pesawat udara biasa dan pesawat helikopter, yang sifat operasinya jauh berbeda, karena pada umumnya seorang penerbang helikopter le­bm sering beroperasi di daerah yang tidak menguntungkan dan medan yang berat.

2.S. Sifat dan Sikap Mental Dalam keadaan nOIl11al sifat-sifat mental se­orang penerbang tidak mudah diketahui. Dalam keadaan krisis, reaksi seorang pener­bang mungkin berbeda-beda, yang paling fatal ialah apabila ia menjadi panik, sehing­ga tindakan-tindakan yang dilakukannya ke­liru, sehingga terjadi suatu "mistake approach to a situation". Akibatnya ialah suatu kecelakaan yang benar-benar disebab-

Page 5: PERLINDUNtrAN HUKUM BAGI PEMAKAI J ASA

244

kan olah suatu "human error" atau suatu "pilot's error". Namun llemikian, dalam banyak kejadian khususnya apabila pesawat uclara sama sc­kali hancur dan tidak ada penumpang dan awak pesawat yang hidup, "pilot's error" dinyatakan sebagai sebab dari kecelakaan, karena tidak bisa dicari sebab-sebab lain. Oleh karena itu, "pilot error" tidak merupa­kan suatu istilah yuridis dan tidak mempu­nyai im plikasi yuridis, khususnya dalam ma­salah tanggung jawab. Lain halnya. apabila dapat dibuktikan, bah­wa pencrbang tclah bertindak scm brono dan tidak mcmpcrhatikan peraturan-per­aturan kcsclamatan, misalnya mcngabaikan ketentuan-ketcntuan mengenai "weathermi-

. " nuna .

3. Sarana Penerbangan Sarana pencrb,mgan yang mcmadai merupa­kan l11atarantai pula dalam rangkaian fak-, tor-faktor yang l11cnentukan keselamatan penerbangan. Kondisi lapangan terbang, na­vigation aids yang tersedia, sarana komu­nikasi dan sarana penunjang penerbnagna lainnya harus tcrpelihara dan Il1cngikuti perkcm bangan kegiatan pcnerbangan dan angkutan udara, baik pada penerbangan nasional maupun internasional.

3.1. Lapangan terbang Sejalan dengan laju pertul11buhan kegiatan pencrbangan dan angkutan udara di Indo­nesia ll1aka bertambah pulalah jumLth lapa­ngan tcrbang dan pelabuhan udm'a di In­donesia dan scm akin banyak pulalah lap a­ngan tcrbang yang bisa didarati oleh pesawat udara yang besar. Makin mcningkatnya kemampuan lapangm1 terbang untuk mcnampung pcsawat udara yang lcbih besar Il1cnycbabkan bahwa sa­rana-sarana pcnunjang di lapangan tcrbang tcrscbut harus ditingkatkan pula.

Dalall1 Undmlg-Undang dan Peraturan-per­aturan di Indonesia dipergunakan istilah lapangan tcrbang maupun pelabuhan udara. Lapangan terbang merupakan istilah yang umum, sedangkan pelabuhan udara meru­pakan arti yang khusus, dan mengandung unsur terbuka bagi lalu Iintas umum dan komcrsial serta dilengkapi dcngan sarana tcrtcntu. sedangkan lengkap tidaknya tcr­gantung pada klasifikasinya. Pelabuhan uda­ra mempunyai fasilitas berupa landasan "Ianding aid" seperti misalnya I LS, Visual Approach Indicator, approach lights atau

HlIkllm dan I'em balZglll1an

Runway lights dan "Navigational Aids" berupa ND B atau VOR. Pelabuhan Udara dapat pula memberikan jasa-jasa tertentu untuk kcpentingan lalu lintas udara, seperti Aerodrome Information Service CAFlS) dan komunikasi radio berupa VHF-en route, Hi"-en route atau Aeronautical fixed Ser-

viCes.

Di smnping itu diperlukan pula sarana pe­ngamanan di darat, seperti perala tan pema­dam kebakaran yang efektif dan cara-cara pengisian bahan bakar pesawat yang aman.

3.2. "Air Traffic Control Sistem "Air Traffic Control" mem butuh­kan baik air traffic controller maupun pe· ncrbang yang berkemampuan tinggi, untuk dapat menanggulangi masalah-masalah yang mungkin timbul pada saat·saat yang kritis pada waktu penerbangan, yaitu misalnya pada saat "approach" dan pendaratan. Tujuan dari "Air Traffic Control" adalah untuk menghindarkan tabrakan antara pe­sawat udara atau antara pesawat udara de· ngan benda-bend a lain, dan mengatur lalu lintas pesawat udara di sekitar pelabuh· an udara yang bersangkutan sedemikian rupa sehingga terdapat arus lalu lirrtas yang tcratur, eepat dan aman, suatu tugas yang tidak mudall dilaksanakan mengingat kece­patan yang berbeda-beda dari masing-ma· sing tipe pesawat. sclain dari itu dalam lalu Iintas pesawat udara pun seakan·akan ter· dapat waktu-waktu tertentu di mana lalu Iintas terscbut amat padat, scdmlg diwaktu· waktu lainnya lalu Iintas relatif jarang,

• Pada saat-saat lalu Iintas pad at, personil ATe benar-benar harus berkonsentrasi, se· dangkan dalam \Vaktu yang agak lenggang dapat agak mengcndur perhatiannya. Na­mun besar kemungkinan bahwa justeru di saat dcmikian di mana konsentrasi air traf­fic controller sedang kendur terjadi insiden at au bahkan kecelakaan.

Kecuali personil yang benn utu, sistem air traffic control mell1 butuhkan pula saran a dan peralatan modern yang dapat diandal­kan.

Suatu masalah khusus adalah apabila suatu pelabuhan udara mcrupakan pula suatu lapangan udara militer, yang mempunyai fasilitas pesawat udara sendiri. Dalam hal demikian jelaslah bahwa yang merupakan problem pokok adalah koordinasi yang te­pat dan pembagian tugas wewenang yang tegas.

Mei 1981

• ,

Page 6: PERLINDUNtrAN HUKUM BAGI PEMAKAI J ASA

Perlindungan Hukum

3.3. Telekomunikasi Alat hubungan utama antara air traffic con­troller dan penerbang adalah radio. Dengan radio penerbang dipandu pada waktu men­darat, diberi infollllasi tentang cuaca dan keadaan Iapangan terbang dan hal-hal lain

yang penting bagi penerbang. Masalah yang sering menyulitkan air traffic controller di pelabuhan-pelabuhan udara yang padat lalu lintasnya adalah masalah kongesti da­lam frekwensi-frekwensi yang dipergunakan. Rekaman-rekaman dari pembicaraan antara menara pengawas dan penerbangan beIlIlan­faat dalam memberikan petunjuk-petunjuk mengenai sebab-sebab terjadinya suatu ke­lakaan. Kecuali untuk hubungan dengan air traffic control stasion radio di pesawat dapat bermanfaat" untuk hubungiJn dengan pesa­wat-pesawat udara lain dan stasion-stasion lain, hal mana sangat berguna dalam hal timbul keadaan darurat.

3.4. Berita Cuaca Mungkin yang paling sulit diramalkan dan karena itu suatu faktor paling berbahaya yang mempengaruhi tindakan-tindakan pe­nerbang dan air traffic controler pada waktu pendekatan Iapangan dan pendaratan, adalah cuaca. Salah satu handicap seorang penerbang ialah bahwa banyak hal menge­nai cuaca tidak dapat Iangsung diperoleh datanya di kokpitnya sendiri, akan tetapi harus diberitahukan dari darat, misalnya kecepatan angin di Iandasan, keadaan Ian­dasan apakah licin karena hujan atau tidak, jarak pandang di darat dan lain-lain. Sering kali pula di Indonesia keadaan cuaca justru tak dapat ditanyakan dari stasion di pela­buhan udara tujuan, karen a tidak mempu­nyai peralatan komunikasi yang. memadai sehingga harus ditanyakan padastasion lain yang infollllasinya mungkin sudah usang. Dengan demikian maka dalam hal informasi cuaca ini seringkali dijumpai kesulitan da­lam hal "Information transfer".

3.5. Bengkel-bengkel Mengingat pentingnya peranan bengkel­bengkel perawatan pesawat udara, atau de­ngan istilah CASR : "air Craft Maintenance Organizations", dalam rangka keselamatan penerbangan, maka pengoperasiannya di­awasi dengan ketat. Setelah mendapat izin yang diperlukan, · maka bengkel ini berhak untuk melakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut : 1) Melakukanperawatan me sin, kerangka

Mei 1981

245

pesawat, propeler, peralatan, instrumen atau perlengkapan sesuai rating yang di­tetapkan dalam izin yang diberikan.

2) Memberikan sertifikat bahwa mesin, ke­rangka serta bagian-bagian pesawat lain­nya yang telah dirawatnya adalah baik udara dan dapat dipergunakan.

Untuk memperoleh izin, maka bengkel­bengkel perawatan hams memenuhi per­syaratan yang cukup berat. Pertama-tama disyara tkan harus ada fasilitas bangunan dan pergudangan, yang cukup dapat melin­dungi sukucadang yang disimpan, yang cu­kup dapat melindungi sukucadang yang­disimpan. Organisasi bengkel pesawat harus mempunyai license yang diperlukan. Selain itu diperlukan pula peralatan secukupnya untuk melaksanakan perawatan pesawat udara. Disyaratkan pula bahwa organisasi perawat­an pesawat udara harus mempunyai infor­masi-informasi tehnis yang· diperlukan dan dapat dipergunakan dengan mudah oleh personil yang berkepentingan. Tentang pekerjaan perawatanharus diada­kan suatu sistem pencatatan perawatan se­

hingga dapat dilakukan pengontrolan de­ngan mudah. Bagi tiap barang yang dirawat dilakukan pencatatan lengkap antara lain mengenai keadaan semula sebelum dikerjakan, bagian­bagian yang dig anti dan modifikasi yang dilakukan, hasil-hasil testing, nama dari yang mengerjakan.

4. Operasi Penerbangan Penerbangan merupakan salah satu kegiatan manusia yang paling banyak diatur, baik nasional maupun internasional Kegiatan penerbangan dilaksanakan dengan pesawat udara, awak pesawat dan sarana yang diatur dengan ketat, dan dengan sendirinya kegiat­an atau operasi penerbangan itupun tunduk pada ketentuan-ketentuan yang ketat, kese­muanya demi tercapainya keselamatan pe­nerbangan yang maksimaL Salah satu tujuan dari konferensi Chicago tahun· 1944, sebagaimana tertera dalam mukadimahnya Konvensi penerbangan Sipil Internasional ialah "that international civil aviation may be developed in a safe and or­derly manner" dan suatu kenyataan adalah konvensi-konvensi internasional dalam bidang penerbangan pada umumnya ter­mllsuk konvensi-konvensi intemasional yang paling banyak pesertanya.

Oleh karena itu suatu hal yang biasa bahwa

Page 7: PERLINDUNtrAN HUKUM BAGI PEMAKAI J ASA

246

penerbangan merupakan kegiatan yang in­ternasional, dengan pengaturan yang sarna harnpir di seluruh dunia, terutama· dalam bidang tehnis dan operasionaL Tanpa kerjasama internasional ini maka akan sulit tercapai utjuan untuk perkem­bangan penerbangan internasional dengan keselamatan penerbangan yang tinggi dan teratur.

4.1. Konsensi, Izin Operasi, Izin Terbang Berbagai izin diperlukar • .sebelilm dapat di­lakukan operasi penerbangan, baik operasi yang komersial maupun yang non-komersial. Bagi perusahaan penerbangan yang meng­inginkan operasi penerbangan yang ber­jadwal, diperlukan suatu konsesi untuk beroperasi pada route-route tertentu, se­dangkan bagi perusahaan atau badan yang melakukan operasi penerbangan yang non komersial diperlukan suatu izin operasi Selain dari itu untuk setiap penerbangan harus dimintakan suatu izin penerbangan. Semua izin ini tentu berguna untuk peng­ontrolan terhadap para operator pesawat udara.

4.2. "Rules of the Air" Ketentuan-ketentua;\ "rules of the Air" atall dengan istilah Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil Indonesia (PKPS) "Air Traffic Rules" (Section 3 7), harus diketahui oleh setiap penerbang dan merupakan sa­lah satu bahan ujian untuk memperoleh license penerbang. Dalam rangka keselamatan penerbangan, ketentuan-ketentuan ini bukan saja harus diketahu~ tetapi harus pula ditaati oleh setiap penerbang.

4.3. Route Penerbangan Pad a umumnya route penerbangan dipan­dang hanya dari segi komersialnya saja, apakah route itu menguntungkan bagi per­usahaan penerbangan yang menerbanginya atau tidak. Akan teiapi di samping aspek komersial tersebut, secara langsung suatu route mempunyai relevansi pula dengan ke­selamatan penerbangan.

Dengan sendirinya menerbangi route-route Nusantara, dengan pesawat udara yang besar dan bermesin jet, dengan pelabuhan-pela-

buhan udara yang didarati telillasuk Kelas I dengan fasilitas dan jasa pelabuhan udara yang lengkap, akan relatif lebih aman dari-

pada menerbangi route-route perin tis, de-ngan pesawat udara yang kecil ke Iapangan­Iapangan terbang dengan fasilitas yang sa-

Hukum dan Pembangunan

ngat minim. Mungkin itu pula sebabnya mengapa re­Iatif lebih banyak terjadi kecelakaan dengan pesawat helikopter daripada dengan pesa­wat udara bersayap tetap. Mungkin disuatu saat dLmasa depan route­route tertentu di Indonesia akan sedemikian padat Ialu Iintas udaranya, sehingga mengu­rangi keselamatan penerbangan pada route­route tersebut

4.4. Penumpang dan Muatan Dalam Pasal 135 sarnpai 137 Verordening Toezicht Luchtvaart terhadap beberapa ke­tentuan yang menyangkut penumpang pe­sawat udara, antara lain bahwa seorang kap­ten pesawat udara dilarang untuk meng­angkut penumpang yang nyata-nyata dalam keadaan mabuk atau dalam keadaan sede­mikian rupa sehingga dapat membahayakan bagi keselamatan atau kesehatan penum­pang lainnya atau awak pesawat. Kecuali itu kapten pesawat dilarang pula untuk mengizinkan seorang penumpang yang tidak termasuk awak pesawat at au pegawai dari perusahaan penerbangan yang bersangkutan masuk ke tempat atau tempat-tempat di­mana penumpang tersebut dapat mempe­ngaruhi pengemudian pesawat udara. Pasal 138 Peraturan tersebut di atas menen­tukan bahwa dalarn pesawat udara dilarang diangkut gas beracun at au bahan yang mudah meledak, sedangkan senjata api dan pelurunya harus diangkut sedemikiran rupa sehingga tidak membahayakan penumpang. Ketentuan yang paling lengkap mengenai barang muatan yang dilarang diangkut atau dibatasi pengangkutannya dikeluarkan oleh International Air Transport Association (lATA) yang demikian baik dan lengkapnya sehingga oleh beberapa negara dijadikan ketentuan peraturan yang resmi. Dalam peraturan lATA itu ditetapkan pula cara-cara pengemasan untuk jenis-jenis ba­rang tertentu serta bentuk label yang harus ditempelkan pada kemasan-kemasan terse­but. Dengan gejala-gejala yang mengancarn kese­lamatan penerbangan berupa pembajakan, sabotase dan kejahatan kejahatan Iainnya, maka pengawasan terhadap penumpang dan muatan dihampir setiap negara makin di­perketat.

4.5. "Groundhandling" Salah satu kegiatan yang penting dalam rangka operasi penerbangan dan yang me­ngandung unsur-unsur menentukan pula ba-

Mei 1981

,

..................................................................................... ---------------------------------------------

Page 8: PERLINDUNtrAN HUKUM BAGI PEMAKAI J ASA

Perlindungarz Hukum

gi keselamatan penerbangan adalah ke­giatan yang disebut "groundhandJing" yang meliputi penerimaan penumpang dan bagasi­nya di-counter, pengecekan identitas dan tiket, penimbangan dan pemeriksaan bagasi, pemuatan bagasi di pesawat, penerimaan cargo untuk dikirim, pemuatannya daiam pesawat dan lain sebagainya. Hasil pengecekan penumpang, bagasi dan cargo serta cara-cara pem uatan bagasi dan cargo dalam pesawat langsung mempe·

ngaruhi keselamatan penerbangan. Kekeliruan dalam menimbang cargo dan cara pem uatan yang salah sehingga ter­ganggu keseimbangan pesawat atau berat muatan melebihi maksimum take-off weight

• yang diizinkan hampir pasti akan menye-babkan kecelakaan pada waktu tak-off bila tidak cepat diketahui.

5. Badan-badan Pengatur

5.1. Dewan Penerbangan Dalam Undang-undang No. 83 tahun 1958 terdapat ketentuan-ketentuan mengenai Dewan Penerbangan yaitu dalam Bab VII Pasal 26. Tugas Dewan Penerbangan ialah untuk membantu Pemerintah dalam bidang penerbangan dan memberi pendapat kepada Pemerintah sebelum diambil keputusan me­ngenai hal-hal yang bersifat umum. Dalam susunan Pemerintah yang lama, ma)<:a Dewan Penerbangan diketuai oleh Perdana tersebut diketuai oleh Presiden. Dalam prak­tek selama ini tidak banyak peranan Dewan Penerbangan, khususnya dalam segi pe­ngaturan.

5.2. ~merintah Dibll:adingkan dengan Surat-surat Keputusan Mr:nteri Perhubungan dan Direktur J enderal Perhubungan Udara, jumlah Petaturan Pe­merintah dalam bidang penerbangan tidak banyak. Hal ini dapat dirnengerti karena dalam Undang-undang No. 83 tahun 1958 ten tang Penerbangan hanya ada dua ha:l yang wewenangnya diserahkan kepada Pe­merintah, yaitu persetujuan untuk mela­kukan penerbangan dengan pesawat asing (Pasal 2) dan penetapan susunan dan tug as Dewan Penerbangan (Pasai 26). Namun de­mikian ada pula P.P. misalnya PP No. 12

tahun 1972 tentang "Pencabutan PP No. 54 tahun 1951 tentang Dinas Pencari dan Pem­beri Pertolongan untuk kapal-kapal laut dan udara yang mendapat kecelakaan".

5.3. Departemen Perhubungan Sebagian besar pengaturan bidang penerba-

Mei 1981

247

ngan, khususnya yangbersifat umum atau kebijaksanaan, dilakukan oleh Departemen Perhubungan c.q. Menteri Perhubungan. Da­lam Undang-undang No. 83 tahun 1958 ten tang Penerbangan memang ada 11 hal yang persetujuannya atau pengaturannya di­serahkan kepada Menteri. Di antara kesebelas hal tersebut hanya ada satu hal di mana wewenang Menteri dapat didelegasikan, yaitu mengenai syarat-syarat kelaikan pesawat udara dan syarat-syarat kecakapan awak pesawat udara, yang di­tetapkan oleh Menteri at au atas nama Men­teri.

5.4. Direktorat Jenderal Perhubungan Uda-dara .

Banyak peraturan-peraturan pelaksanaan di­tetapkan oleh Direktorat Jenderal Perhubu­ngan Udara c.q. Direktur Jenderai Perhubu­ngan Udara atau eselon-eselon bawahannya. Menurut mengamatan, ada kemungkinan be­berapa di antaranya seharusnya menjadi wewenang Menteri Perhubungan, yang mem­punyai tug as menentukan kebijaksanaan pe­laksanaan bidangnya, sedangkan Direktur Jenderal mempunyai fungsi perumusan ke­bijaksanaan tehnis.

5.5. Pembagian Tugas dan Wewenang Sebagaimana disinggung di atas menurut Undang-undang No. 83 tahun 1958 tentang Penerbangan ada dua hal yang wewenang­nya diserahkan kepada Pemerintah, yaitu persetujuan untuk melakukan penerbangan dengan pesawat asing dan penetapan su­sunan dan tugas Dewan Penerbangan, se­dangkan ada 11 hal yang persetujuan atau pengaturannya diserahkan kepada Menteri

Kesebelas hal tersebut adalah antara lain konsesi untuk pengangkutan orang atau ba­rang dengan memungut bayaran, pengada­an daftar Pesawat Udara, penunjukkan pegawai-pegawai untuk mengusut peiang­garan-pelanggaran terhadap ketentuan-ke­tentuan undang-undang Penerbangan. M~ ngenai wewenang tersebut di at as harus

diperhatikan kenyataan bahwa sejak tahun 1958 telah terjadi perubahan-perubahan organisasi, yaitu bahwa ketika Undang­undang Penerbangan tahun 1958 di­undangkan, hanya dikenai Menteri Perhu­bungan dan J awatan Penerbangan Sipil, kemudian ada jabatan Menteri Perhubungan Udara, yang diganti lagi dengan Menteri Perhubungan yang membawahkan Direk-. tur J enderal Perhubungan Udara. PersoaJan yang pokok adalah di mana batas kompe-

Page 9: PERLINDUNtrAN HUKUM BAGI PEMAKAI J ASA

248 •

.

. tensi antara Menteri dan Direktur Jenderal Perhubungan Udara dan antara Menteri dan Pemerintah atau Presiden. Seb~aimana terlihat dari uraian 'di at as, maka faktor faktor yang menentukill dalam

masalah keselamatan angkutan c'4vP ba­nyak. Meskipun yang dikemukakan adaWt faktor­faktor yang kita jumpai pad a ke~liIlnatan penerbangan, prinsip prinsip yang menjadi dasarnya dapat diterapkan pula pada setiap jenis angkutan. Khusus mengenai penerbangan dan pela­yaran, yang terakhir mempunyai keuntung­an bahwa telah ada suatu Mahkamah Pela­yaran, sedangkan bagi penerbangan, !em­baga yang amat penting ini, belum ada. Prinsip pengawasan terha~ap per so nil, per­alatan dan sarana harus dapat dilaksanaJean bagi setiap jenis angkutan, meskipqn tentu­nya dengan penyesuaian-penyesuailln menu­rut jenis dan sifat-sifat tiap alat angkutan. Dari pengalaman pada kecelakaap-kecelaka­an pesawat udara dan kapa! laut dapat ditarik kesimpulan bahwa sebagai konsek­wensi dari pola keselamatan penerbangan dan pelilyaran harus ada suatu sistem SAR yang efektif dengan organisasi yang cukup efisien dan personil yang cakap dan tr;pnpil, yang dapat menggunakan peralatan yang tersedia. UaJam rangkaian faktor-faktor keselamatan penerbangan dan pelayaran, SAR Yang eft­sien merupakan perlindungan terakhlr yang darat diberikan kepada pemakai jasa ang­kutan laut dan udara.

4. Tanggung Jawa Pengapgkutan dan Asu-• ranSl

Dalam praktek di Indonesia agaknya ter­dapat perbedaan pengertian, bahltan sering­kali salah pengertian mengenai masalah t:mggungjawab pengangkut dan asurapsi. Scri.llgkall masalah tanggung jawab diiden­tifikasikan dengan inasa1ah asuransi, suatu hal Y.a,Jlg mungkin dapat merugikap bagi pem~ai jasa angkutan udara. Oleh karena itu'.;.$l'da hemat kami suatu kalimat yang

••• tercantum dalam misalnya tiket Garuda

,

yang berbunyi "Penumpang yang namanya tercantum dalam tiket ini dipertanggung­kan pada P. N. Asuransi Kerugian J asa Ra­harja berdasarkan undang-undang No. 33/ 1964 juncto Peraturan-peraturan pelaksana­annya" dapat menyesatkan pemakai jasa angkutan bila tidak 'disertai kalimat yang tega.tegas menyatakan bahwa penerimaan santunan dari Asuransi Jasa Raharja tidak

,

Hukum dan Pembangunan

menghilangkan hak pemakai jasa angkutan atau hali warisnya untuk mendapat ganti rugi dari pihak pengangkut berdasarkan Or­donansi PengangkutlUl Udara. Mengenai tanggung jawab pengangkut ter­hadap pemakai jasa angkutan dapat kita

bandingkan tiga ketentuan undang-undang, yaitu Pasa! 24 Ordonansi Pengangkutan Udara, Pasal 522 KUHDdan Pasal 28 UU No.7 tahun 195 I mengenai lalu lint as J alan yang merupakan suatu undang-undang ten­tang perubahan dan tambahan dari Weg­verkeer-ordonnantie, S 1936-201 jo. S 38-657 dan S 40-72.

Teks Pasal-pasal tersebut adalah sebagai ber· ikut: l. (1) Pengangkut bertanggung-jawab untuk

kerugian sebagai akibat dari luka at au jejas-jejas lain pada tubuh, yang di­derita oleh seorang penumpang, bila kecelakaan yang menimbulkan keru­gian itu ada hubungannya dengan pengangkutan udara dan terjadi di atas pesawat terbang atau seIama melakukan suatu tindakan daIam hu­bungan dengan naik ke atau turun dari pesawat terbang.

(2) ApabiIa luka tersebut mengakibatkan kematian, maka suami atau isteri dari penumpang yang meninggal, anak-anaknya atau orang tuanya yang menjadi tanggungannya, dapat me­nuntut ganti rugi, yang dinilai sesuai dengan kedudukan dan kekayaan me­reka yang bersangkutan serta sesuai dengan keadaan" , (Pasal 24 Ordonan­si).

o ~sa! ini harus dihubungkan dengan Pa­sa! 29 yang antara lain menentukan bah· wa pengangkut tidak bertanggung jawab untuk kerugian, kalau ia dapat membuk­tikan bahwa ia telah mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk meng­hindarkan kerugian tersebut at au tidak mungkin baginya untuk mengambil tin­dakan-tindakan tersebut.

2. "Perjanjian angkutan mewajibkan peng­angkut untuk menjaga keseIamatan pe­numpang mulai dad embarkasi sampai saat debarkasi. Pengangkut wajib mem­bayar ganti rugi untuk kerugian yang disebabkan karena penumpang luka yang disebabkan pengangkutan, kecuali apa­bila ia dapat membuktikan bahwa luka tersebut disebabkan oleh suatu kejadian, yang sewajarnya tak dapat dihindarkan­nya atau disebabkan karena kesalahan penumpang sendiri". (Pasal 522 KUHD).

Mel 1981

I \ I

,

Page 10: PERLINDUNtrAN HUKUM BAGI PEMAKAI J ASA

r

Perlindungan Hukum

1. (I) Pemilik atau pemegang suatu kenda­raan umum bertanggung jawab untuk kerugian yang ditimbulkan pada pe­numpang atau barang yang diangkut­nya, kecuali apabila ia dapat mem­buktikan bahwa kerugian itu tim bul karena kesalahan (kelalaian) pe­milik, atau pemegang kendaraan atau pegawai-pegawainya.

(2) Setiap syarat perjanjian yang berten­tangan dengan ketentuan dalam ayat tersebut di atas adalah batal". (Pasal 28 UU No.7 /195 I).

Dengan prinsip tanggung-jawab itu maka pengangkut dianggap selalu bertanggung-ja­wab untuk kerugian yang diderita penum­pang kalau ia luka-luka atau meninggal dunia, tanpa ada kewajiban bagi penum­pang tersebut atau hali warinys untuk mem­buktikan haknya atas ganti rugi Praduga itu baru lenyap kalau pengangkut dapat membuktikan bahwa kerugian itu ter­jadi bukan karena kesalahannya atau tak dapat dihindarkannya at au terjadi karena kesalahan penumpang sendiri Dalam praktek rupanya hak atas ganti rugi ini tidak diketahui oleh sebagian besar pemakai jasa angkutan yang menderita ke­rugian, padahal ketentuan mengenai tang­gung-jawab merupakan salah satu perlin-

dungan hukum yang ampuh bagi pemakai jasa angkutan. Dalam hubungan ini dapat dikemukakan bahwa prinsip tanggung-jawab yang tersimpul dalam ketentuan-ketentuan tersebut di atas belum merupakan prinsip yang paling kuat sebagai dasar perlindungan hukum bagi pemakaijasa angkutan. Dalam bidang angkutan udara dan pener­bangan sipil internasional dapat dijumpai suatu prinsip lain yang dikenal dengan se­butan prinsip "absolute liability" atau "strict liability". Prinsip ini kita jumpai dalam Konvensi Roma tahun 1952 yang mengatur tanggung-jawab operator pesawat udara terhadap pihak ketiga di peIlllukaan bum~ Montreal Interim Agreement tahun 1966 tentang tanggung-jawab pengangkut udara terhadap penumpang dan dalam Pro­tokol Gualatemala tahun 1971 yang berisi­kan perubahan-perubahan pada Konvensi Warsawa tahun 1929. Berdasarkan prinsip tanggung-jawab mutlak ini, maka bagi pihak yang bertanggung-ja­wab tidak ada kemungkinan sama sekali

untuk membebaskan diri dari tanggung-ja­wab (misalnya dalam Konvensi Romta ta­hun 1952) atau hanya dapat membebas-

Mei 1981

249

kan diri dalam hal kerugian ditimbulkan oIeh penumpang sendiri (seperti dalam Pro­kol Guatemala tahun 1971). Dengan demikian maka prinsip tanggung­jawab mutlak memberikan perindungan hu­kum yang lebih menguntungkan bagi pe­makaijasa angkutan atau pihak yang mende­rita kerugian karena kecelakaan pesawat udara. Masalah tanggung-jawab pada angkutan udara tidak dapat dipisahkan dari masalah asuransi penerbangan, yang merupakan suatu bidang asuransi yang tumbuh dan ber­kembang bersama-sama dengan penerba­ngan. Bahkan dapat kita katakan bahwa tanpa adanya asuransi penerbangan yang menampung berbagai resiko penerbangan, industri angkutan udara tidak mungkin akan dapat berkernbang sampai taraf dewa-

• • sa mL

01eh karena itu, maka asuransi penerbang­an mempunyai sejarah yang relatif sing­kat bila dibandingkan dengan asuransi laut, yang mempunyai sejarah pertum­buhan selama berabad-abad Maka dapat dimengerti bahwa di samping perbedaan­perbedaan, terdapat banyak persamaan­persamaan antara berbagai bidang asuran~ terutama mengenai prinsip-prinsipnya. Khususnya mengenai jenis asuransi yang disebut "liability insurance" atau asuransi tanggung-jawab, perlu disadari bahwa bagi jenis angkutan apapun juga yang diasuran­sikan bukanlah penumpang atau barang yang diangkut, akan tetapi tanggung-ja­wab sipengangkut, yaitu resiko · bahwa si­pengangkut harus membayar ganti r1:1gi bagi penumpang atau barang yang diangkut­nya. Dengan demikian ada kemungkinan bah­wa seorang pengangkut tidak mengasuran­sikan diri terhadap resiko tanggung-jawab­nya. Dalam hubungan dengan ini pedu di­fikirkan kemungkinan adanya ketentuan wajib asuransi bagi setiap pengangkut, terutama yang mengangkut penumpang umum, untuk mencegah kemungkinan bah­wa dalam hal ganti rugi yang harus dibayar­kannya berjumlah besar, pengangkut tidak mampu untuk membayarnya, hal mana dengan sendirinya akan merugikan pemakai jasa angkutan udara. Semen tara ini ketentuan asuransi wajib telah ada bagi penumpang kendaraan umum, yaitu berdasarkan UU No. 33 tahun

1964, yang umum dikenal sebagai Asuransi J asa Raharja, karena dikelola oleh Perum

Page 11: PERLINDUNtrAN HUKUM BAGI PEMAKAI J ASA

250

Jasa Raharja, dan preminya telah dimasuk­kan di dalam ongkos angkutan. Dalam hal ini pengangkut hanya bertindak sebagai wa­jib pungut premi, karena yang diasuransikan adalah penumpang sendiri Khusus bagi pemakai jasa angkutan udara, sejak tahun 1979 diadakan pula suatu asu­ransi kwasi-wajib, berdasarkan Sur at Kepu­tusan Menteri Perhubungan No. KM.256/ KP.063/Phb-79 tanggal 29 Agustus 1979 tentang Tambahan Asuransi Wajib Penum­pang Penerbangan Komersial, sedangkan penyelenggaraannya diserahkan kepada P. T. Asuransi Indrapura, berdasarkan Sur at Ke­putusan Menteri Perhubungan No. KM. 257/KP.603/Phb-79 tanggal 29 Agustus 1979. Jumlah santunan cl,lkup tinggi, yaitu sebesar Rp. 10.000.000, - dengan premi sebesar Rp. 300,- per penumpang.

KESIMPULAN-KESIMPULAN DAN SA­RAN-SARAN

KESIMPULAN-KESIMPULAN

1. Unsur-unsur yang merupakan materi da­ripada perlindungan hukum bagi pema­kai jasa angkutan harus merupakan suatu rangkaian yang integral dalam suatu pola perlindungan hukum bagi pemakaijasa angkutan.

2. Un sur-un sur terpenting adalah kesela­matan angkutan dan tanggung-jawab pengangkut.

3. Pengaturan mengenai keselamatan ang­kutan masih kurang lengkap dan perlu diperbaharui

Hukum dan Pembangunan

4. Kesadaran pada pemakai jasa angkutan bahwa mereka berhak atas perlindungan hukum belum tinggi

5. Prinsip-prinsip mengenai tanggung-jawab pengangkut serta masalah asuransi perlu diteliti kern bali, untuk mencapai taraf perlindungan hukum yang lebih tinggi.

SARAN-SARAN

1. Agar diadakan suatu pola perlindungan hukum yang sarna prinsip-prinsipnya ba­gi semuajenis angkutan.

2. Agar diadakan penelit;an mengenai ma­salah keselamatan angkutan dan peng­aturannya.

3. Agar diadakan penataan kern bali per­aturan-peraturan keselamatan angkutan bagi sem ua jenis angku tan sehingga le­bih lengkap, sistematis, up-to date dan integral.

4. Prosed ur penyelesaian ganti rugi bagi pe­makai jasa angkutan agar dibuat semu­dah dan semurah mungkin, mengingat sebagian besar dari pemakai jasa ang­kutan terdiri dari golongan rakyat yang tingkat pengetahuannya belum tinggi, terutama dalam bidang hukum.

5. Agar diusahakan untuk mengganti prin­sip tanggung-jawab pengangkut dengan prinsip tanggung-jawab mutlak sehingga dapat dihindarkan keharusan berperkara bagi pemakai jasa angkutan yang men­derita kerugian dan diadakan suatu ke­wajiban mengasuransikan diri bagi para pengangkut terhadap resiko tanggung-ja­wab .

DAFT AR BACAAN

I). Laporan Inventarisasi Peraturan Perun­dang-undangan Bidang Perhubungan oleh: Team di bawah pimpinan Suwardi SH, Badah Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, 1978-1979.

2). Laporan PeneIitian Yuridis tentang Hu­kum Pengangkutan Darat, Laut dan Ud.a­ra, oleh: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1977.

3). Naskah Ilmiah Rancangan Undang-un­dang (Academic Draft) tentang Tang­gung·J awab Pengangkut Udara, oleh : E. Suherlllan SH, Badan Pembinaan Hu­kum Nasional, Deparemen Kehakiman,

1979. 4). E. Suheman SH: "Hukum Ud:-a Indo­

nesia dan Internasional", Penerbit Alum­ni, 1978.

5). Mr. E. Suherman: "Tanggung-Jawab Pe­ngangkut dalam Hukum Udara Indone­sia", Penerbit Eresco, 1962.

6). E. Suherman SH: "Tanggung-J awab pada Charter Pesawat Udara", Penerbit Alum­ni,1979.

7. Himpunan Peraturan dalam Bidang Per­hubungan Udara, Direktorat J enderal Perhubungan Udara, Edisi 1979.

8. Kitab Undang-undang Hukum' Dagang.

Mei 1981

!