iwan henry wardhana sarnadi adam - semesta-seni.com

74
1 Semesta Seni l Nomor 14 l Juni l 2021 Legenda di Dunia Seni-Budaya Jakarta Benyamin Suaeb Kebudayaan Butuh Inovasi dan Kreativitas Iwan Henry Wardhana Konsisten Angkat Tema Masyarakat Betawi Sarnadi Adam Jejak Inspirasi 47 Tahun Berkarya Teater Keliling

Upload: others

Post on 09-Nov-2021

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

Legenda di Dunia Seni-Budaya Jakarta

Benyamin Suaeb

Kebudayaan Butuh Inovasi dan Kreativitas

Iwan Henry WardhanaKonsisten Angkat Tema Masyarakat Betawi

Sarnadi Adam

Jejak Inspirasi 47 Tahun Berkarya

Teater Keliling

2 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

47 tahun adalah sebuah fase usia yang cukup matang bagi perjalanan hidup seorang ma-nusia di dunia. Dengan jumlah usia tersebut semestinya ia telah sangat dewasa dalam memilah mana prioritas terbaik untuk setiap keputusan dalam hidupnya. Secara sikap dan pola pikir telah tertanam pula misi-visi positif, agar semakin banyak hal kebaikan dan kebahagiaan tercapai bagi dirinya sendiri, keluarga, dan masyarakat sekitar.

Kiprah TEATER

Teater Keliling - Press Conference

Sudut PANDANGIwan Henry WardhanaPerlu Inovasi dan Kreativitas dalam Siasati Perkembangan Kebudayaan

Bahasan UTAMA

12

22

MEDIA SENI-BUDAYA SEMESTA SENI NOMOR 14 l JUNI l 2021

ProFILMasdarwis4

Lensa SENI5

Edit ORIAL

Tutut Adinegoro

6

Histori SENI

D D a f t a rI S I

Artikel SENI RUPA20

Jakarta yang berulang tahun ke-494 ini sedang bersiap-siap untuk menyerahkan

statusnya sebagai ibu kota negara kepada Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.

Sedih? Tidak perlu. Jakarta masih tetap akan berperan besar sebagai episentrum sosial,

ekonomi, dan budaya setidaknya dalam jangka waktu yang cukup lama.

Catatan sejarah Jakarta yang sedemikian panjang dan beraneka tak akan hilang begitu

saja dengan gugurnya status sebagai ibu kota negara. Jakarta akan tetap menjadi

ibu kota seni-budaya di Indonesia.

Aisul YantoBeberapa Acara Open Studio di Balai Budaya Jakarta

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) DKI Jakarta kini dipecah

menjadi Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Disparekraf)

dan Dinas Kebudayaan DKI Jakarta.

Iwan Henry Wardhana, pria berusia 45 tahun ini

telah dilantik oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan

sebagai Kepala Dinas Kebudayaan DKI Jakarta per-

tama sejak dilantik pada Januari 2020 lalu.

l Sejarah dan Perkembangan Seni-Budaya di Jakarta l Program Seni-Budaya yang Telah Dilaksanakan Dinas Kebudayaan DKI Jakarta

l Benyamin Suaeb Satu di Antara Legenda Seni-Budaya Betawil Henk Ngantung Pelukis yang Jadi Gubernur Jakarta

Jakarta Akan Tetap Jadi

Ibu Kota Seni-Budaya

Karya PUISI-PROSA32

7

l Didien Muhammad Khoeruddin l B Uster Kadrissonl Ardian Secukupnya l Aldi Cikal Yudawan l Lay Sastra l Nurhayati Rakhmat l Ekawati l Rissa Churria l Gambuh R Basedo

28

2

3S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

Fakta berbicara bahwa Koes Plus adalah salah satu kelompok terpenting dalam perkembangan musik

Indonesia. Kreativitas dan dedikasi para personelnya telah diuji oleh waktu beserta serangkaian peristiwa

yang pernah mereka alami dalam menapaki karier dalam bidang musik Tanah Air yang penuh dengan tantangan.

l Duka Budaya - Jan Prabal Dialog Anggota Tubuh - Munadi

Sarnadi AdamGeliat SENI RUPA

Cerita PENDEK36

Latar PESENI

Loka PUSTAKA

73 Kartun HUMOR

Kulik MUSIKB-Flat

Band Pertama Pelestari Lagu-lagu Koes PlusNorliyana SapitriPenjemput Kenangan

Komunitas SENI

54

Rano Karno adalah seorang aktor dan sutradara kawakan Indonesia. lahir di Jakarta, 8 Oktober 1960 adalah putra ketiga dari enam bersaudara pasangan Soekarno M Noer (Minang) dan Istiarti M Noer (Jawa).

Komunitas Seni Kembang Abadi Angkat Harkat Seni Kriya

Salah satu jenis karya seni yang sesungguhnya cukup banyak ditemui di sekitar kehidupan masyarakat se-hari-hari adalah hasil karya seni kerajinan tangan atau disebut pula seni kriya.

“Siapapun yang tinggal di Jakarta itu butuh kesenian. Kesenian adalah penghalus jiwa, sehingga dengan berkesenian, dengan menonton kesenian, dengan mengapresiasi kesenian, manusia bisa ada keseimbangan.” Kalimat ini dinyatakan oleh Sarnadi Adam ketika diwawancarai oleh salah satu stasiun TV swasta dalam acara bertajuk Saksi Perubahan Kota Jakarta.

Konsisten Melukis tentang Masyarakat Betawi

41

Rano KarnoIkon Anak Betawi Sepanjang Kariernya

Ragam SENI56l Harris Priadie Bah - Kritik Lewat Puisi l Open Studio Gogor Purwoko - B l a n k O n l Komunitas Pelukis PFA Pameran di Sulthan Kopi & Eatery Purworejo l Bamsoet Buka Pameran Semar Ngruwat Jagad Karya Sohieb Toyarojal Ibnu Wahyudi - Luncurkan Poisi (Potret-Puisi) l Komunitas Lukis Cat Air Indonesia (Kolcai) Diskusi ‘Sudut Pandang’ l Pameran Ganda Putra: Asmoadji-Deskamtorol Kemenparekraf-AGSI: Bangkitkan Kembali Galeri Seni

66 In MEMORIAM

l Teguh Esha l Sapri Pantun l Toriq Hadad l Wibatsuh l Rafles Umboh l Gultom Tewe l Jay Briones De Gala

39

48

51

Nanang R Supriyatin‘Hijrah’ Novel Lokal Berlatar Betawi

4 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

ADA Minggu, 11 April 2021, di Kampoeng Semar, Dusun Tanjungan, Magelang Borobudur dilaksa-nakan launcing Masyarakat Sadar Seni-Budaya dan

Pariwisata (Masdarwis). Pada kesempatan itu, dalam sambutannya Ketua Panitia Bambang Witjanarko memperkenalkan moto Masdarwis yaitu “Sak isane, sak anane, isa kanggo urip lan nguripi” yang artinya: sebisanya, seadanya, bisa untuk hidup dan menghidupi. Pasa sambutan berikutnya, Pembina Utama Chrysh-nanda Dwilaksana mengatakan bahwa, Masdarwis berangkat dari pemikiran tentang konteks society 4.0, bahwa kekuatan bangsa Indonesia adalah sumber daya manusia, aset terbesar kita adalah sumber daya manusia. Bagaimana agar semua itu bisa dicerdaskan dan diber-dayakan. Pada 2018 UNESCO menyatakan Indonesia adalah superpower di bidang seni-budaya. Pernyataan UNESCO ini merupakan sesuatu yang sangat penting yang bisa menjadi momen untuk perkembangan seni- budaya di Indonesia. Ini menjadi dasar terbentuk nya Masdarwis.

P

Masyarakat Sadar Seni-Budaya dan Pariwisata (Masdarwis) Ajak Masyarakat Agar Lebih Mengapresiasi

Seni-Budaya dan Pariwisata Indonesia

P ro f i l

Haryadi Sukamdani selaku Ketua PHRI juga berpesan, pentingnya Masdarwis adalah untuk mengembangkan kerja sama antara pelaku seni-budaya dengan industri pariwisata yang mencakup objek wisata hotel, restoran, dan biro perjalanan. Visinya: Membangun peradaban dalam kebhinnekaan un-tuk terciptanya tempat dan objek wisata di Indonesia, se-bagai tujuan wisata yang terbaik di dunia, bagi wisatawan dalam negeri maupun luar negeri yang mampu memberi-kan manfaat bagi masyarakat dan lingkungan sekitar. Misinya: Mendukung pengembangan pariwisata di Indo-nesia yang berbasis pada kearifan lokal, alam, seni-bu-daya, sejarah, kreativitas, dan peduli terhadap lingkungan yang dilakukan secara berkelanjutan dan berorientasi pada pemberdayaan masyarakat. Masdarwis yang diketuai oleh Kyatmaja Lookman ini didirikan untuk mendorong terciptanya kolaborasi yang saling menguntungkan antara segala unsur-unsur pariwisata dengan seni-budaya, sehingga tercipta sebuah kondisi yang harmonis antara para pelaku pariwisata dengan seni-budaya dengan para pe seninya. Masdarwis juga bertugas membuat terobosan pemasaran agar pari-wisata dan seni-budaya kita semakin dikenal dunia, juga mengembangkan jaringan pariwisata dan seni-budaya dengan mengoptimalkan jaringan teknologi. Acara launcing Masdarwis diakhiri dengan pelantikan pengurus dan sesi foto bersama.

IH - Sumber: Masdarwis

Dengan kemajemukan budaya, keragaman adat, dan aneka tempat wisata, masya-rakat sadar seni-budaya dan pariwisata bisa menjadi wa-dah bagi pegiat seni-budaya dan pariwisata.

4 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

5S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

L e n s a S e n i

l Karya : Tutut Adinegoro l Judul : Museum Benyamin Suaeb l Kamera : Nikon F90 X l Lokasi : Taman Benyamin Suaeb, Jatinegara, Jakarta Timur l Waktu : Mei 2021

5S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

6 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

EPERTI halnya bagi sebagian besar penghuninya, Jakarta bukanlah kota kelahiran saya dan bukan pula saya keturunan Betawi. Mene-tap di kawasan Kramat sejak menjelang pertengahan ‘80-an untuk

menyusul ibunda dan adik-adik yang sudah terlebih dahulu pindah ke situ, saya tidak segera merasa di rumah sendiri. Ada beberapa penyebab, di antaranya yang paling utama adalah penyesuaian dengan lingkungan keluarga, rumah, dan sekitarnya, juga sekolah baru yang jauh dari rumah. Maka jadilah saya mengalami suatu kondisi yang beberapa tahun kemudi-an baru saya pahami sebagai gegar budaya. Bagaimana tidak? Pada usia 15 tahun saya tinggalkan Magelang yang begitu alami, tenang, dan sejuk demi Jakarta, metropolitan yang selalu sibuk, panas, dan banyak polusi.

Suka tak suka, apapun yang saya alami ketika itu memang harus disyukur i. Tetangga di sekeliling rumah kami sangat multi-etnis sehingga hidup ber-dampingan dengan orang-orang yang berbeda suku, agama, dan adat tidak lagi jadi masalah. Ketika 2 tahun kemudian kami pindah ke Kebon Jeruk, kontak dengan mereka masih kami lakukan walaupun tidak bisa dika-takan intens. Kedua adik saya ikut hadir pada pemakaman kamerawan senior Rafles Umboh, satu di antara teman masa kecil kami. Rumah kami pun hanya berbatas sungai dengan Taman Ismail Marzuki yang setiap hari saya lalui ketika berjalan menuju/ dari halte bus depan kolam renang un-tuk berangkat dan pulang sekolah. Akibatnya seringkali sepulang sekolah bukannya saya langsung ke rumah tapi belok dulu ke pameran lukisan/ foto atau pertunjukan tari/ musik, dan lain-lain tanpa tahu kalender TIM. Tak terhitung berapa kali saya lihat para mahasiswa IKJ yang latihan teater atau baca puisi, juga murid-murid pak Kompiang berlatih tari di depan bioskop atau Graha Bhakti Budaya.

Itulah sekeping fragmen dari salah satu ikon budaya terpenting Jakarta yang kebetulan sempat bersinggungan dengan secuil masa lalu saya. TIM adalah salah satu episentrum budaya Jakarta dan Jakarta adalah salah satu episentrum budaya Indonesia. Saat ini keduanya sedang mengalami proses yang sangat penting dalam perjalanannya. Di satu sisi, TIM secara fisik sedang dirombak besar-besaran sampai-sampai GBB yang cukup banyak menyimpan catatan historis harus diratakan dengan tanah. Di sisi lain, Jakarta yang berulang tahun ke-494 ini sedang bersiap-siap untuk menyerahkan statusnya sebagai ibu kota negara kepada Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Sedih? Saya rasa tidak perlu. Jakarta masih tetap akan berperan besar sebagai episentrum sosial, ekonomi dan budaya setidaknya dalam jangka waktu yang cukup lama. Catatan sejarah Jakarta yang sedemikian panjang dan beraneka tak akan hilang begitu saja dengan gugurnya status sebagai ibu kota negara. Jakarta akan tetap menjadi ibu kota seni-budaya di Indonesia.

Ritmanto Saleh Redaktur Musik

Jakarta Akan Tetap JadiIbu Kota Seni-Budaya

D E d i t o r i a lPELINDUNGIwan Henry Wardhana, SE, MSiP, CBAKepala Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta

PENASIHATMayjen TNI (Purn) Dr Syamsu Djalal, SH, MHBrigjen Pol Dr Chryshnanda Dwilaksana, MSi

PEMIMPIN UMUMHalimah Munawir PEMIMPIN REDAKSIIreng Halimun

PEMIMPIN MANAJEMENImanuel Prabowo

DIREKTUR KEUANGANDyah Kencono Puspito Dewi

SEKRETARIS REDAKSITheodora Polar Hutadjulu

REDAKTUR Wahyu Toveng Ritmanto Saleh Ossie Helmi BIDANG TEKNOLOGI INFORMATIKA Rama FOTOGRAFER Tutut Adinegoro

ALAMAT Pasar Seni Gembrong Baru, Ruang 151, Jln Basuki Rahmat, Cipinang, Jakarta Timur

PONSEL/ WA l 0859 599 01 299 (IH) l 0811 1119 803 (WT)

e-MAIL [email protected]

MANAJEMEN PT Dian Rimalma Pratama

Redaksi menerima naskah, foto, dan

informasi yang berkaitan dengan

seni-budaya.

Naskah, foto, dan informasi tersebut

akan disunting sesuai dengan

misi-visi penerbitan ini.

S

7S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

Teater Keliling - Press Conference Film Dokumenter

Jejak Inspirasi 47 Tahun Berkarya

EMIKIAN pula bagi sebuah komunitas atau kelompok kesenian seperti kelompok teater, rentang waktu 47 tahun adalah sebuah

pencapaian luar biasa dalam mempertahankan eksistensi berkesenian, dan hal itu tidaklah mudah. Meramu ide dan konsep untuk pementasan, merawat kualitas akting para pemeran agar selalu maksimal, menciptakan pembaruan dalam kinerja proses produksi teater, hingga menyiapkan regenerasi untuk keberlang-

sungan kelompok teater tersebut nantinya. Kesemuanya itu telah dilalui oleh Teater Keliling dengan penuh dedikasi sejak berdiri pada 13 Februari 1974. Kelompok teater yang didirikan oleh Derry Syrna, Rudolf Puspa, Buyung Zasdar, dan Paul Pangemanan serta didukung oleh Jajang C Noer, Saraswaty Sunin-dyo, Willem Patiradjawane, dan beberapa nama peseni lainnya, ini telah melakukan lebih dari 1.600 pementasan di seluruh provinsi di Indonesia dan 11 negara di dunia.

K i p ra h Te a t e r

47 tahun adalah sebuah fase usia yang cukup matang bagi perjalanan hidup seorang manusia di dunia. Dengan jumlah usia tersebut semestinya ia telah sangat dewasa dalam memilah mana prioritas terbaik untuk setiap keputusan dalam hidupnya. Secara sikap dan pola pikir telah tertanam pula misi-visi positif, agar semakin banyak hal kebaikan dan kebahagiaan tercapai bagi dirinya sendiri, keluarga, dan masyarakat sekitar.

D

7S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

8 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

D K i p ra h Te a t e r

Beberapa penghargaan pun berhasil diraih seperti, Rekor MURI sebagai teater dengan pementasan terbanyak (2010), Abdi Abadi FTI (2016), Bentara Budaya (2017), dan sejumlah penghargaan lainnya. Perjalanan panjang tersebut lalu coba dirangkum melalui sebuah film dokumenter pendek yang memotret jejak demi jejak yang ditorehkan oleh Teater Keliling selama rentang waktu 47 tahun berkarya. Film bertajuk Teater Keliling: Jejak Inspirasi itu dibuat dengan maksud untuk dapat menginspirasi banyak orang khususnya generasi muda agar dapat tumbuh menjadi generasi kreatif, percaya diri, dan cinta Tanah Air melalui seni. Hal ini sangat berkorelasi dengan misi-visi Teater Keliling yang selalu ingin menjadi wadah kreatif bagi generasi muda yang ingin turut berperan melestarikan sejarah, seni, dan budaya bangsa, dan menanamkan pendidikan karakter melalui proses berkesenian.

Bertempat di Auditorium Perpustakaan Nasional di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, pada 10 Mei 2021 lalu, Teater Keliling menggelar press confer­ence dan launching secara première film dokumenter tersebut. Sejumlah tokoh seperti aktor senior Slamet Rahardjo Djarot, rohaniwan sekaligus pakar budaya

Mudji Sutrisno, Direktur Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan Judi Wahjudin, dan perwakilan dari Dinas Kebudayaan DKI Jakarta Rusmantoro, tampak menghadiri acara yang digelar dengan tetap menerapkan protokol kesehatan ketat itu, mengingat masih dalam suasana Pandemi Covid-19.

Dalam kesempatan itu, Rudolf Puspa mengungkapkan berbagai hal yang mereka temui selama perjalanan Teater Keliling melakukan pementasan ke banyak tempat di seluruh Indonesia dan mancanegara. “Kami menangkap nilai-nilai yang sangat bagus sekali yang memengaruhi kerja kami. Misalnya banyak kata-kata atau pepatah yang tadinya kami tidak begitu memahami maksudnya karena belum mengakar saat merasakan. Tetapi ketika kami berkeliling dari satu kota ke kota lainnya, barulah kemudian dimengerti, seperti misalnya kalimat yang sampai saat ini menjadi darah bagi Teater Keliling yaitu, Segala bisa asal mau, kalimat itu terasa ketika kami berkeliling, kami baru menyadari hal itu. Jadi misalkan ketika kami datang ke suatu tempat, lho panggungnya kok seperti ini, bagaimana bisa kami tampil bagus, tetapi dengan keyakinan bahwa kami harus bisa, harus bisa, harus bisa, dan seluruh pemain beserta kru

8 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

9S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

juga menghayati kalimat segala bisa asal mau, semuanya menjadi ringan untuk diwujudkan. Jadi apapun itu bila ada kemauan akan terbuka jalannya. Hal itu sungguh menjadi jejak inspirasi bagi kami. Jejak inspirasi pula yang menjadi judul dari film pendek yang kami buat. Melalui film pendek ini kami ingin menyampaikan bahwa sekian tahun berteater itu bukan sekadar tampil di panggung, tetapi saat kami datang untuk mementaskan pertunjukan di berbagai kota, mau tidak mau kami jadi dikenal dan mengenal. Sehingga kami mengubah cara bekerja yaitu, saat datang ke sebuah kota, maka para pe-meran menyebar, ada yang ke pasar, ada yang berusaha berbincang dengan penduduk setempat, dari hal seperti itu kami dapat mengetahui bagaimana pola kebiasaan, budaya, bahasa, dan istilah yang ada di masyarakat da-erah tersebut. Semuanya lalu kami kumpulkan dan men-jadi pengetahuan berharga untuk diresapi lalu dicerita-kan kembali kepada sebanyak-banyaknya orang berbagai hal yang kami dapat, temui, ketahui dan rasakan dalam perjalanan berkeliling itu,” papar Rudolf Puspa.

Ia pun menambahkan bahwa suatu hari pernah ada mahasiswa dari Jerman ingin mengetahui tentang kelompok teater Indonesia dan bagaimana orang Indonesia berteater, sebagai bahan tulisan untuk menyelesaikan program S2-nya. Karena dia bingung harus bertemu dengan kelompok teater yang mana, ia pun mendatangi kantor redaksi The Jakarta Post. Salah satu redaksi surat kabar itu lalu menyarankannya

untuk menemui Teater Keliling, karena hanya kelompok tersebut yang kerap melakukan pementasan keliling di berbagai kota dan daerah di Indonesia dan begitu mengenal karakteristik dan pola kebiasaan masyarakat-nya yang sangat beragam. Ia sangat berterima kasih atas rekomen dasi salah satu redaktur The Jakarta Post itu, meski mereka jarang sekali bertatap muka. Serupa dengan yang disampaikan oleh Slamet Rahardjo Djarot, ia mengungkapkan jika ingin mengenal Indonesia dan kebiasaan masyarakatnya maka tanyalah kepada Teater Keliling yang sudah singgah dan pentas di berbagai tempat di Indonesia. Bagi Rudolf Puspa, Slamet adalah sosok yang sangat penting, karena dialah di masa muda dahulu yang mendorong dirinya untuk serius berkiprah dalam dunia teater dan berkesenian.

Judi Wahjudin pun menyampaikan apresiasinya atas perjalanan 47 tahun Teater Keliling berkesenian dan film dokumenter Jejak Inspirasi yang di-launch­ing première pada hari itu, “Teater itu adalah miniatur kehidupan, dengan berteater maka hidup, lelaku, dan langkah kita akan lebih baik. Teater Keliling sudah membuktikan itu, bisa bertransformasi, beradaptasi, dan regenerasi, maka hal itu sangatlah luar biasa. 47 tahun itu adalah sebuah pencapaian, ibarat menu masakan yang dibuat dengan racikan cinta, mimpi, konsistensi, kerja keras, kebersamaan, kebersahajaan, dan lain-lain. Itulah proses, begitu tidak terasa tiba-tiba sudah 47 tahun, tentu nya dalam rentang waktu itu telah melibat-

9S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

10 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

D K i p ra h Te a t e r

kan banyak ekosistem, berbagai pihak, dan saya pikir Teater Keliling adalah salah satu kelompok teater yang sangat konsisten mengawal mimpinya sampai detik ini, hal itu menjadi sebuah inspirasi dalam bidang teater. Bila kita mengingat testimoni Keislaman yaitu berbuat, berbuat, dan berbuat, tugas manusia hanyalah berikh-tiar, hasil bukan urusan kita, Tuhanlah yang menentukan hasilnya. Teater Keliling telah membuktikan hal tersebut. Mengenai film Jejak Inspirasi yang bertujuan mendoku-mentasikan, tentu saja kami sampaikan apresiasi tinggi, karena bukan hal yang mudah untuk memvisualisasikan perjalanan berkesenian selama 47 tahun dalam durasi 15 menit. Untuk mewujudkannya butuh kesabaran, riset, doa, dan banyak hal penting lainnya, ini pun merupakan pencapaian luar biasa pula, kami tidak bisa memberi-kan penilaian seperti apa karena bukan kapasitas kami, selain mengucapkan selamat atas proses produksi yang dilakukan. Sikap kami dari Direktorat Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan tentu saja memiliki kesamaan dengan Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, bahwa kami ini sebagai fasilitator semampunya mendampingi sesuai kapasitas kami, kami mohon maaf bila masih terdapat keterbatasan karena ekosistem kebudayaan sangat luar biasa luas sekali, baik itu pelaku, lembaga, maupun yang lainnya. Mudah-mudahan dunia teater bisa terus harmo-nis bersinergi dengan pemerintah.”

Tongkat estafet berkesenian Teater Keliling kini telah beralih ke Dolfry Indra Suri yang merupakan putri dari Rudolf Puspa dan Dery Syrna. Dolfry-lah yang sekarang memimpin sebagai Ketua Yayasan Teater Keliling, namun sesungguhnya hal itu tidaklah instan. Ia sempat berkecimpung di dunia seni peran untuk film dan sinetron sebelum akhirnya kembali bergelut di dunia teater. Tetapi sebenarnya ia tidaklah asing dengan dunia tersebut, ketika kecil kedua orangtuanya kerap membawa nya ke dalam kegiatan latihan Teater Keliling yang diadakan di Taman Ismail Marzuki. Saat di bangku SMK pun ia sempat tergabung dalam kelompok Teater Papan. Kini sebagai pemimpin teater, ia banyak meru-muskan berbagai konsep dan ide kreatif serta program jangka pendek ataupun jangka panjang dari Teater Kel-iling, agar kelompok teater tersebut tetap eksis mem-persembahkan karya-karya terbaik bagi dunia teater dan seni Indonesia. Mengenai film dokumenter Jejak Inspirasi yang di-launching pada hari itu, ia mengungkap-kan sedikit alasan mengapa film tersebut wajib disimak oleh generasi muda, penikmat seni dan masyarakat luas, “Secara personal saya banyak mendapatkan hal positif dari berteater, dan kalimat Segala Bisa Asal Mau

itu semuanya berawal dari sana. Saya melakukan apa yang saya percayai sebagai mimpi saya, dengan kemauan untuk mewujudkan, rasa cinta dan berdedikasi. Sesuatu akan menjadi nyata pula nantinya, itulah yang ingin kami sampaikan dalam film ini. Dulu ketika kali pertama saya memilih jalur hidup dengan berkesenian, saya dan generasi seusia saya saat itu ada di masa transisi yang dihadapkan dengan berbagai pilihan hidup. Apakah harus bekerja formal ataukah melakukan sesuatu yang saya atau kami suka dan percayai sebagai cita-cita, dan ban-yak generasi seusia saya tidak berani mengambil kepu-tusan terbaik dalam hidupnya. Hingga kemudian saya memantapkan diri memilih jalur berkesenian, survive dan tumbuh menjadi profesional. Saya sendiri menemukan sosok yang sebegitunya berdedikasi terhadap apa yang ia percayai sebagai mimpinya, dan ia tetap ber usaha un-tuk dapat mewujudkannya meski banyak orang berkata jangan lakukan. Bagi saya itu adalah sebuah inspirasi, se-hingga itu pula sebabnya film ini berjudul Jejak Inspirasi. Jika generasi Teater Keliling terdahulu bisa melakukan-nya dengan dedikasi yang tinggi terhadap mimpi mereka, menjadi besar secara nasional hingga ke mancanegara, lantas mengapa saya dan generasi muda saat ini tidak bisa? Kini saya sedang menjalani apa yang menjadi mimpi saya, menjadi peseni teater Indonesia yang ingin lebih mengangkat berbagai budaya Tanah Air supaya semakin dikenal luas di luar negeri. Jadi melalui film ini saya mengajak kepada teman-teman generasi muda untuk mengenal dunia teater, karena sangat bermanfaat bagi pengembangan karakter diri yang positif dan cinta pada budaya dan berkesenian. Selain itu generasi muda diharapkan tidak usah takut memunyai mimpi besar akan sesuatu, sebab bila ada kemauan maka akan ter-buka jalan. Yang dibutuhkan hanyalah tindakan, lakukan saja dengan penuh cinta, berdedikasi terhadap apa yang disukai dan percayai, serta bisa mengarahkan kepada mimpi besar yang dicita-citakan. Walaupun jalan menuju ke sana tentu berliku dan penuh kendala, tidak ada yang benar-benar lurus, namun suatu saat juga akan tiba di tujuan yang dicita-citakan.”

Film pendek berdurasi 15 menit yang di-launching secara premiere itu sendiri memang seperti minikisah yang mem-flashback jejak berkesenian Teater Keliling. Adegan dibuka dengan penampilan sang pendiri, Rudolf Puspa sedang mengetik naskah menggunakan mesin tik manual dengan narasi yang menyebutkan awal keman-tapan tekad untuk totalitas mengabdikan diri bagi dunia kesenian, dalam hal ini teater, lalu berlanjut dengan adegan saat Museum Rekor Indonesia (MURI) yang

10 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

11S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

diketuai Jaya Suprana menganugerahi Teater Keliling sebagai kelompok teater dengan pertunjukan teater modern Indonesia terbanyak pada 2010, diselipkan pula cuplikan-cuplikan pementasan mereka di berbagai event dan tempat, adegan penampilan kembali lakon yang pernah mereka mainkan yaitu The Great Rahwana yang digarap seperti drama musikal, kemudian pada sesi behind the scene ditampilkan adegan perjalanan melalui tempat pementasan yang cukup fenomenal bagi Teater Keliling yaitu Kantor Kodim 0824 Jember, di mana saat itu kelompok tersebut pentas untuk kali pertama pada 1 Juni 1974 dan disaksikan oleh sekitar 3.000 orang yang memenuhi, baik di dalam maupun di luar area kantor. Adegan pun berpindah ke gedung Balai Budaya yang terletak di Jalan Gereja Theresia No 47, Menteng, Jakarta Pusat, tempat yang sangat bersejarah dalam menghasilkan ide dan konsep pementasan, bahkan menjadi tempat bermalam Rudolf Puspa, di sinilah kali pertama Teater Keliling bersekretariat. Di sesi testimoni

muncul apresiasi dari beberapa tokoh seperti, Jajang C Noer, Dwi Librianto, RW Mulyadi, Umianto Basuki, Henry Christianto W, Willem J Pattiradjawane, Ismah-yanti Sellang, dan Lie Kaifung. Berbagai cita-cita besar yang disampaikan seluruh personel dan kru kemudian menutup film pendek yang diproduksi mandiri oleh generasi muda penerus kelompok teater ini, Dolfry sendiri selaku pemimpin yang meneruskan kiprah ayahnya, sangat meyakinkan bertekad untuk membawa Teater Keliling pentas di Broadway, Amerika Serikat. Secara keseluruhan konsep film pendek ini sangat artis tik dan cukup memberikan gambaran jelas tentang perjalanan mereka dari awal hingga kini beralih dipenuhi talenta-talenta muda yang sangat bergairah pada dunia kesenian khususnya teater. Film pendek dokumenter ini selanjutnya dapat disaksikan di kanal Youtube Teater Keliling Project.

Wahyu Toveng

11S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

12 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

B a h a s a n U t a m a

Sejarah dan Perkembangan Seni-Budaya di Jakarta

Jakarta sebagai pusat aktivitas seni-budaya yang paling aktif dan penting dalam peta perkembangan seni-budaya di Indonesia. Sejarah mencatat bahwa sejak

dahulu kala Jakarta sudah menjadi pusat kegiatan perdagangan internasional.

AMAINYA kegiatan transaksi komoditas ekonomi yang melibatkan para pedagang yang berasal dari berbagai tempat di dunia ini

berdampak pula pada ramainya transaksi kebudayaan. Para pedagang tidak hanya memperjualbelikan barang dagangannya tetapi juga membawa bahasa, adat-istiadat, agama, kebiasaan, perangkat kerja, dan pengetahuan-pengetahuan termasuk karya seni-budaya (cerita/ dongeng, puisi, musik, tarian, lukisan, patung, artefak, dan lain-lain) yang tadinya hanya dinikmati oleh mereka sendiri untuk kemudian juga dinikmati oleh para mitra dagang mereka.

Jika kita bicara soal perkembangan seni-budaya di Jakarta, maka nyaris tidak ada tempat bagi asal-usul

R budaya yang sekarang populer disebut sebagai budaya Betawi, karena pada kenyataannya di sepanjang sejarah yang bisa dilacak, Jakarta hampir selalu menjadi melting pot bagi berbagai unsur budaya dari orang-orang yang pernah menyinggahinya. Ada catatan yang menyebut bahwa sebelum menjadi pusat perdagangan, wilayah Jakarta dulunya ditempati oleh suku Sunda dan Banten. Namun yang lebih sering kita dapatkan adalah bahwa dari dulu sampai sekarang Jakarta selalu menjadi persinggahan berbagai budaya yang berasal baik dari wilayah-wilayah tetangga yaitu Nusantara dan sekitarnya sampai India, Cina, Arab, bahkan Eropa.

Dalam perjalanan niaga mereka yang seringkali menyebabkan rasa rindu kampung halaman karena

12 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

13S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

membutuhkan waktu bulanan bahkan tahunan, mereka membawa serta unsur-unsur seni-budayanya untuk dipertunjukkan di Jakarta. Yang dari Cina membawa barongsai, yang dari Arab membawa musik gambus, yang dari India membawa tariannya, yang dari Eropa membawa musik klasik dan tari baletnya, yang dari Jawa membawa wayangnya, dan sebagainya. Jika kebetulan si pedagang adalah saudagar yang kaya raya, maka dia akan membawa serta seluruh anggota dan perangkat pertunjukannya yang dilengkapi dengan kostum, dekorasi, musik pengiring, teknisi, perias, koki, dan segala sesuatu yang diperlukan sampai yang sekecil-kecilnya. Di antara mereka banyak yang merasa nyaman kemudian menetap di Jakarta dan menikah antaretnis serta memiliki keturunan yang secara ius soli adalah orang Jakarta. Karena terpisah secara ruang dan waktu dari tempat asalnya, unsur-unsur budaya yang mereka bawa ini pun berinteraksi dengan lingkungan sekitar yang beraneka ragam dan lambat laun mengalami transformasi dan integrasi. Contoh, musik klasik yang dibawa oleh pedagang Eropa bertransformasi menjadi musik keroncong dan tanjidor.

Dengan adanya fenomena ini, maka bukan kebetulan jika banyak orang yang meminati bidang seni-budaya memilih Jakarta sebagai homebase mereka. Orang-orang yang memiliki jiwa seni-budaya sudah barang tentu merasa tertarik dan terinspirasi oleh adanya keberagaman dengan spektrum yang sedemikian luas di kota pesisir ini. Seiring dengan berjalannya waktu, transaksi seni-budaya yang awalnya hanya berupa aktivitas sampingan mulai dirasakan perlu untuk dikelola

dengan baik sebab bagi orang-orang tertentu kegiatan berkesenian sudah menjadi mata pencaharian utama bahkan menjadikan mereka sebagai pesohor. Bidang seni-budaya ini pun kemudian memiliki nilai ekonomi yang secara nominal melebihi bidang perdagangan yang menjadi cikal-bakalnya.

Singkat cerita, masa penjajahan oleh

Belanda selama 3,5 abad secara politik adalah masa yang suram karena mereka melakukan pengawasan yang sangat ketat atas segala bentuk kegiatan masyarakat termasuk dalam berkesenian. Belum lagi jumlah objek peninggalan sejarah, seni, dan budaya kita yang mereka

angkut ke sana. Pada dasarnya jika masyarakat ingin mengadakan kegiatan seni-budaya untuk keperluan adat-istiadat/ religius sehari-hari tetap mereka izinkan selama dianggap bermanfaat bagi pemerintah kolonial. Namun entah disadari atau tidak pada waktu itu, kebijakan-kebijakan politik mereka pada akhirnya memberikan manfaat bagi perkembangan seni-budaya kita. Dalam seni lukis misalnya, VOC mewajibkan tiap kapal yang berangkat ke sini membawa pelukis untuk mendokumentasikan peristiwa-peristiwa bersejarah yang terjadi di sini dalam rangka ekspansi mereka.

13S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

14 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

B a h a s a n U t a m a

Aturan mereka yang tujuannya untuk membuat dokumentasi ini bagi dunia seni lukis kita dirasakan sebagai angin segar, sebab dengan demikian para pelukis lokal mendapatkan referensi berupa hasil karya lukis dari para maestro seni lukis secara langsung dari Belanda. Aturan ini tetap berlaku sampai akhir masa kolonial. Menjelang pecah Perang Dunia II, beberapa pelukis Belanda yang tercatat datang ke Indonesia di antaranya: Wolter Spies, Rudolf Bonnet, Niewenkamp, dan Arie Smith. Kedatangan mereka sangat berpengaruh terhadap perkembangan seni lukis Indonesia terutama dalam hal gaya dan aliran yang dianut pelukis Eropa tersebut, misalnya aliran kubisme, ekspresionisme, surealisme, impresionisme, atau simbolisme. Adapun pelukis-pelukis terkenal dari Indonesia pada masa penjajahan Belanda, di antaranya: Raden Saleh, Affandi, S Soedjojono, dan Basoeki Abdullah.

Dalam kesusastraan, pihak kolonial Belanda yang ketika itu semakin terdesak oleh tren demokratisasi dunia terpaksa harus melaksanakan politik etis dan mulai membuka kesempatan bagi rakyat untuk mengenyam pendidikan. Dampak yang langsung terjadi di antaranya adalah kesadaran rakyat untuk gemar membaca dan menulis, yang pada gilirannya melahirkan para penulis dan pujangga legendaris Indonesia seperti: Marah Rusli, Merari Siregar, Abdul Muis, Adi Negoro, dan lain-lain. Gelombang ini pun semakin menguat dengan bermunculannya pers lokal berbahasa Melayu di berbagai tempat seperti surat kabar Bianglala di Jakarta

dan beberapa surat kabar lain di berbagai daerah di awal paruh kedua abad 19. Gerakan sadar baca-tulis di kalangan rakyat Indonesia semakin masif ketika pada 1908 pemerintah Hindia Belanda mendirikan Commissie Voor de Inlandsche School de Volkslectuur atau Komisi Bacaan Rakyat atau Balai Pustaka yang aktif dan konsisten menerbitkan karya-karya sastra anak bangsa pada zamannya hingga diakuisisi oleh Pemerintah RI sampai sekarang.

Perkembangan dalam cabang seni lain juga terjadi misalnya dalam arsitektur, berdiri bangunan-bangunan bersejarah di Jakarta seperti: Museum Fatahillah, Istana Merdeka, Museum Seni Rupa dan Keramik, dan sejumlah bangunan bersejarah lain berciri khas Belanda/ Eropa. Dalam seni pertunjukan, di Jakarta muncul beberapa kelompok seni pertunjukan seperti Orion dan Dardanella yang di paruh kedua 1920-an secara rutin mengadakan pentas di gedung teater yang sekarang menjadi Gedung Kesenian Jakarta. Gedung yang pernah punya nama impor Theater Schouwburg Weltevreden ini digagas sejak zaman Daendels namun baru direalisasikan pada zaman Raffles dan pernah beberapa kali mengalami restorasi atau perubahan fungsi, di antaranya sebagai markas tentara Jepang. Dalam kurun waktu yang beda tipis, pertunjukan teater di Jakarta pun mendapatkan tambahan panggung dengan berdirinya gedung teater Miss Tjitjih di kawasan Cempaka Putih yang menampilkan sandiwara khusus dalam bahasa Sunda.

14 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

15S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

Kembali sejenak ke Daendels dan Raffles, mereka berdua ini jugalah yang telah berperan mengembangkan seni kriya/ kerajinan rakyat. Jika Daendels menggerakkan kerajinan rakyat dengan tujuan memenuhi keperluan para serdadu Belanda seperti pakaian, topi, sabuk, sepatu, pakaian berkuda, dan tempat peluru, maka Raffles melangkah lebih jauh dengan membuka kesempatan berbagai jenis kerajinan rakyat, di antaranya pengecoran logam, seni ukir, dan batik untuk dikembangkan sebagai komoditas ekspor. Secara umum Belanda juga banyak berperan mendorong Jakarta benar-benar menjadi melting pot dalam skala internasional dengan mengatur masuk-keluarnya orang-orang yang punya kecakapan profesional tertentu untuk dipekerjakan di bidangnya masing-masing, tak hanya dalam cakupan wilayah Nusantara tetapi juga dari dan ke belahan dunia lain yang menjadi koloninya saat itu.

Pembinaan dan pelestarian seni-budaya di Jakarta mulai mendapatkan pijakan yang lebih kukuh setelah zaman revolusi karena ditangani oleh pihak Pemerintah Indonesia sendiri, khususnya Pemerintah DKI Jakarta. Sejumlah aturan dan kebijakan terkait pembinaan, dan pelestarian seni-budaya pun kemudian secara silih berganti diambil dan diberlakukan oleh lembaga-lembaga yang berwenang. Setelah mengalami sejumlah perubahan dan perkembangan kelembagaan, saat ini urusan pembinaan dan pelestarian seni-budaya ditangani oleh Dinas Kebudayaan yang secara resmi telah menjadi lembaga yang berdiri sendiri sejak 2019.

Selain Gedung Kesenian Jakarta dan Teater Miss Tjitjih yang sudah eksis sejak sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI, tempat-tempat pembinaan dan pelestarian budaya pun satu per satu bermunculan di Jakarta baik yang diprakarsai oleh Pemerintah maupun swasta seperti Balai Budaya (1954), Taman Ismail Marzuki beserta LPKJ (1968), Pasar Seni Ancol, Taman Mini Indonesia Indah, Galeri Nasional Indonesia, Cagar Budaya Condet, Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan, Bentara Budaya, Wayang Orang Bharata, berbagai museum dan yang termasuk paling baru adalah Pasar Seni Gembrong Baru di wilayah Jakarta Timur. Tak boleh dilupakan peranan perwakilan negara-negara asing baik kedutaan besar maupun pusat kebudayaan yang secara rutin mengagendakan acara-acara seni-budaya seperti Institut Français d’Indonésie, Gœthe Institut, Erasmus Huis, Istituto Italiano di Cultura, @america, Jawaharlal Nehru Indian Cultural Center, Pusat Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Rusia, The British Council, Japan Foundation, dan lain-lain. Salah satu referensi yang cukup mutakhir mengenai tempat-tempat yang biasa mengadakan kegiatan seni-budaya di Jakarta adalah buklet Warisan Budaya Jakarta yang bisa diakses di http://jakarta-tourism.go.id/2017/uploads/default/files/booklet_warisan_ind.pdf.

Ritmanto Saleh/ IH/ Berbagai sumber

15S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

16 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

I satu sisi kondisi ini memperkaya khasanah seni budaya di ibu kota, namun di sisi lain tak bisa dimungkiri hal ini berpotensi untuk menggeser

kearifan budaya lokal yaitu budaya dan seni Betawi. Masyarakat Betawi adalah tuan rumah ibu kota, adat, seni, dan budaya asli Jakarta adalah Betawi. Sebagai “pemilik” ibu kota, adat, budaya, dan kesenian Betawi harus menjadi ciri khas ibu kota. Tata cara berkesenian dan kebudayaan yang mencerminkan ke-Betawi-an harus terus dijaga dan dikembangkan. Keunikan Ondel-ondel, kemasyhuran Tari Topeng dan kekuatan tradisi dengan simbol roti buaya menjadi kekayaan budaya yang sangat berharga dari masyarakat

Betawi. Belum lagi pencak silat dan budaya pantun yang sudah mengakar kuat dalam keseharian masyarakat Betawi. Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta, dalam hal ini Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta selaku pihak yang berwenang, bertanggung jawab atas pelestarian seni-budaya Betawi. Banyak hal yang sudah dilakukan oleh Dinas Kebuda-yaan DKI Jakarta. Program-program yang menunjang seni-budaya Betawi terus dioptimalkan. Menurut Kepala Dinas Kebudayaan, Iwan Henry War-dhana, akan ada 531 kegiatan yang diselenggarakan

Program Seni-Budaya yang Telah Dilaksanakan

Dinas Kebudayaan DKI JakartaJakarta menjadi tempat berbaurnya berbagai budaya, adat, dan seni dari seluruh

masyarakat Nusantara. Hal ini tidak bisa dihindar kan. Seperti kebanyakan ibu kota negara di berbagai belahan bumi, Jakarta pun menjadi magnet urbanisasi yang menjadi-

kannya sebuah kota yang memiliki keragaman budaya karena bercampurnya masyarakat dari berbagai daerah yang memilih tinggal dan mengadu nasib.

D

B a h a s a n U t a m a

16 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

17S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

1717

dalam menunjang dan mengembangkan seni dan budaya di ibu kota. Program program tersebut adalah: - pembinaan dan pemberdayaan pelaku seni; - pemeliharaan, pengembangan dan pemanfaatan cagar budaya; - pemeliharaan sarana seni-budaya; - kegiatan strategis daerah (KSD) berupa pembangun-an Taman Benyamin Suaeb, revitalisasi Taman Ismail Marzuki; dan - berbagai festival terkait seni dan budaya Betawi. Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, secara rutin telah melakukan berbagai kegiatan kesenian dan kebudayaan di seluruh wilayah DKI. Dengan menggandeng komu-nitas dan sanggar-sanggar Betawi, pemerintah daerah berupaya melibatkan seni dan budaya Betawi menjadi ikon di setiap acara yang dilakukan atau dipertunjukkan di Jakarta. Hal ini perlu dilakukan dalam rangka menjaga, membina serta melestarikan budaya Betawi. Salah satu acara yang digelar di ibu kota adalah Festi-val Budaya Betawi, festival ini menampilkan beragam kesenian dan kebudayaan Betawi, termasuk kuliner khas

Betawi. Ikon budaya Betawi seperti Ondel-ondel, Tari To-peng, Gambang Kromong, Lenong, Kebaya Krancang, Batik Betawi, Bir Pletok, dan Kerak Telor bisa kita temui di sini. Festival Budaya Betawi memang dimaksudkan untuk meng-akomodasi seluruh aspek seni dan budaya Betawi. Menge-nalkan lebih jauh, mempromosikan dan mengembangkan seni-budaya Betawi adalah tujuan dari kegiatan ini. Anak-anak muda sebagai generasi penerus sengaja dilibatkan dalam festival ini, karena merekalah yang akan mengem-bangkan dan melestrarikan budaya dan seni Betawi nanti-nya, oleh karena itu pengenalan sejak dini budaya dan seni Betawi wajib dilakukan. Sehubungan dengan hal ini, Pemprov DKI Jakarta juga sudah merevisi silabus muatan lokal tentang Kebudayaan Betawi untuk diimplementasikan di sekolah-sekolah. Materi muatan lokal akan berupa metode pembelajaran yang sarat makna dan memperkenalkan budaya Betawi dari berbagai aspeknya. Seperti sisi kebudayaan, seni, kuliner, permainan, dan sebagainya sehingga pengetahuan dan pemahaman ten-tang seni-budaya Betawi bisa sejak dini dilakukan melalui kurikulum di sekolah.

17S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

18 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

B a h a s a n U t a m a

Dalam ruang lingkup wilayah Provinsi DKI Jakarta, banyak terdapat gedung dan wilayah yang termasuk kategori cagar budaya. Pada lima wilayah Kotamadya dan Kepulauan Seribu, terdapat 129 dan 4 pulau yang termasuk cagar budaya. Cagar-cagar budaya itu di antaranya: Jakarta Utara - Masjid dan Makam Keramat Luar Batang - Museum Bahari - Komplek Menara Syahbandar - Gedung Pasar Ikan Jakarta Barat - Masjid Pekojan - Jembatan Kota Intan - Toko Merah - Gedung Arsip Nasional Jakarta Pusat - Balai Kota Jakarta - Museum Perumusan Naskah Proklamasi - Hotel Indonesia - Gedung Filateli Jakarta Timur - Kompleks Makam Pangeran Jayakarta - Gedung Kodim 0505

- Lubang Buaya - Masjid Assalafiah Jakarta Selatan - Museum ABRI Satria Mandala - Gedung SD Negeri Manggarai - Makam Kramat Wiraguna - Stasiun Kereta Api Manggarai Kepulauan Seribu - Pulau Kelly - Pulau Onrus - Pulau Bidadari - Pulau Cipir Dinas Kebudayaan sebagai pihak yang berwenang telah melakukan banyak hal untuk menjaga dan melestarikan cagar-cagar budaya tersebut. Pemeliharaan dan perawatan terus-menerus dilakukan. Untuk beberapa gedung yang kondisinya sudah harus direnovasi maka Pemprov DKI melakukan pemugaran. Hal ini dilakukan dengan pengawasan yang ketat dan melibatkan para ahli sejarah dan arsitektur. Semua itu untuk tetap terjaganya esensi dan nilai historikal dari cagar budaya tersebut. Beberapa tempat atau gedung yang sudah dipugar di antaranya Gedung Pasar Ikan di Jakarta Utara, sebagian gedung di kawasan Kota Tua, dan Jembatan Kota Intan di Jakarta Barat.

18 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

19S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

Sedangkan gedung cagar budaya yang sedang dalam proses dan masuk dalam rencana pemugaran di antara-nya Gedung Sarinah Thamrin, Gedung Filateli, Bangunan Bersejarah Kolese Kanisius, dan Gereja Santo Yohanes. Di masa pandemi ini Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, juga melakukan berbagai kegiatan untuk menyiasati kondisi yang ada. Covid-19 memang membuat banyak sekali kegiatan menjadi tertunda dan terbengkalai. Iwan Henry Wardhana beserta jajaranya bertekad dan tidak menyerah dengan situasi pandemi yang sedang melanda kita ini. Pelestarian, pengembangan, dan pem-berdayaan seni-budaya Betawi tetap harus dilakukan. Meski dalam situasi pandemi seni-budaya Betawi harus tetap hidup. Dalam sebuah kuliah daring dengan tema “Ekonomi dan Bisnis berbasis Budaya Betawi”, Iwan mengatakan, “para pelaku seni harus berinovasi dalam masa pandemi, karena ini modal untuk tetap bertahan di tengah kondisi yang masih belum jelas kapan ber-akhirnya. Pemerintah DKI Jakarta sangat peduli dengan nasib para pekerja seni dan budaya Betawi, Dinas Kebu-dayaan telah mempersiapkan program untuk membantu agar keberlangsungan hidup seni-budaya Betawi tetap

terjaga.” Dinas Kebudayaan telah menyiapkan toko online Toko Kite untuk penjualan hasil-hasil kerajinan budaya Betawi, untuk mengakomodasi seni pertunjukan Pemprov DKI bekerja sama dengan Lembaga Masyarakat Betawi dan sanggar-sanggar kesenian yang ada telah memfasilitasi agar pergelaran seni-budaya tetap bisa eksis dengan cara melakukan kegiatan secara virtual. Selain itu Dinas Kebudayaan juga melakukan Demand hasil produk seni dan budaya Betawi secara offline, yaitu dengan cara mewajibkan setiap pengelola, penyelengga-ra tempat hiburan, biro perjalanan untuk menyediakan cinderamata khas Betawi juga mewajibkan hotel-hotel untuk mempertunjukkan kesenian Betawi, dan menye-diakan menu-menu khas Betawi. Diharapakan dengan semua upaya yang telah dan sedang dilalukan itu, pelestarian dan pengembangan seni-budaya Betawi akan tetap terjaga. Sehingga warisan budaya yang luhur ini akan terus bisa dinikmati sampai ke generasi-generasi selanjutnya.

Ossie Helmi/ IH/ Berbagai sumber

19S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

20 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

DA beberapa peristiwa yang dapat dicatat sehu-bungan dengan acara yang dapat dikategorikan ke dalam peristiwa open studio di Balai Budaya

Jakarta.

Pengertian open studio sendiri secara gampang dan sederhana adalah sebuah peristiwa kesenian (dalam hal ini seni rupa) yang digelar ke dalam sebuah gedung atau tempat pameran seni, dengan memindahkan kegiatan studio peseni ke dalam gedung pameran. Jadi meng-gambarkan sebuah proses kreatif dari seorang peseni tentang situasi dan kondisi studio para peseni yang kesemuanya hampir sama. Jarang yang rapi dan terta-ta seperti layak ruang atau tempat orang kebanyakan secara umum. Yang disuguhkan ke khalayak atau audiens di dalam ruang pamer, jauh dari kesempurnaan dari sua-sana sebuah pameran seni rupa yang biasanya dikreasi menjadi seindah mungkin.

Seperti yang dikatakan oleh Siti Adiyati dalam tulisan-nya tentang kegiatan yang diadakan oleh para pelaku Gerak an Seni Rupa Baru pada 23 - 28 Agustus 1976 di Balai Budaya. Di dalam akhir tulisannya, ia memberikan sebuah closing statement; bahwa kegiatan yang dilakukan oleh para koleganya tersebut adalah sebuah “proses” dalam hal berpikir dan berbicara terhadap publik, dalam hal ini publik seni rupa. Sebenarnya kegiatan ini mer-upakan sebuah pameran konsep yang menawarkan dua aksi gebrakan yaitu; mendobrak kebekuan imaji umum dalam seni rupa Indonesia, dan selanjutnya berpaling ke sejarah seni rupa Indonesia. Karena sifat kegiatan dan jenis aktivitas yang dilakukan selama di Balai Budaya kegiatan tersebut dapat dikategorikan ke dalam open studio.

Proses kegiatan dibagi menjadi dua bagian, pertama, 23 - 25 Agustus 1986 para partisipan menggelar semacam diskusi terus-menerus secara nonstop; ngobrol, berde-bat, berpikir, tukar pikiran, juga membaca buku-buku. Kesimpul an dari diskusi maraton tak dapat disimpulkan kemudian dituliskan dan dicoretkan pada kertas gambar yang ditempelkan seluruh dinding gedung pameran. Dengan sebebas-bebasnya tanpa banyak aturan. Kedua, 26 - 28 Agustus 1986 , hasil diskusi dan coretan

Beberapa Acara Open Studio di Balai Budaya Jakarta

A Aisul Yanto*tersebut dipamerkan bersama benda lain; kursi, sandal,

patung dicampur dengan berbagai tulisan seni, sejarah, estetika, politik, dan sebagainya. Ini tentunya bukan karya atau peristiwa yang selesai, juga tidak memper-hitungkan tatanan ruang pameran yang dimanis-manis-kan. Tak mengherankan apabila khalayak seni pada saat itu tak mudeng dengan apa yang presentasikan, tetapi

D A r t i k e l S e n i R u p a

21S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

(dekat toilet) dipasang kanvas kosong berukuran 1.500x600 cm yang pada malam pertama acara terse-but saya melukis langsung di kanvas besar tersebut, diiringi berbagai jenis musik yang membakar semangat berkreasi.

Selama melukis langsung ini saya ditemani, katakan-lah saling berkolaborasi dengan Busro “kuncen” Balai Budaya yang anggota Teater SAE yang sering pentas di berbagai negara. Dalam sesi ini Busro mementaskan monolog pendek karya Heiner Muller seorang pesastra dan sutradara dramaturgi yang tersohor dari Jerman berjudul Mesin Hamlet. Selama mementaskan naskah monolog ini, akting Busro selalu memasukkan tangan kanannya ke dalam celana pendeknya bagian depan. Entah apa maksudnya, saya tidak terlalu memperhatikan karena sedang fokus terhadap kanvas besar tersebut. Semangat dan energiku meluap-luap tak terbendung, hingga kuas-kuas dalam ukuran besar yang saya pakai tak mewakili lagi luapan emosiku. Saya melepas kaus oblong yang kupakai untuk melukis. Juga sapu, rol cat tembok, topi kain lebar dari Vietnam yang diberikan oleh pelukis Sonny Eska kupakai sebagai alat lukis.

Proses ini menyita banyak tenaga dan energi, hingga keringat seperti mandi. Hal ini diketahui oleh beberapa teman peseni, akhirnya pelukis Baron Basuning maju ke depan meletakkan botol besar minuman berwarna hijau tua di lantai, di belakangku, entah apa itu aku tak ingat, yang aku ingat rasa segar karena dinginnya. Serasa mendapatkan tenaga dan energi lagi aku melanjut-kan melukis, dan sekali lagi alat melukis tak kuasa lagi memfasilitasi luapan emosi yang sedang membeludak, di samping topi kain, sapu, kaus oblong, rol tembok, kuas-kuas besar, karena sudah bercampur dengan berbagai warna jadi bluwek. Akhirnya aku melepas juga celana pendek yang kupakai untuk melukis. Aku terus melukis hampir seperti trance, banyak teman-teman yang men-dokumentasikan peristiwa ini di antaranya foto-foto oleh pelukis Sekartaji, dokumentasi video oleh penulis Putri, dan beberapa teman dari komunitas teater. Sejak itu sempat ada istilah pelukis red caw....

Kisah di atas merupakan beberapa peristiwa open studio yang pernah digelar di gedung Balai Budaya, yang telah ikut memberikan andil dalam mewarnai perjalanan kesenian kita. (lihat Andriany Uchov dalam: Balai Budaya Jakarta: Rahimnya Lembaga-Lembaga Seni di Jakarta. sumber: www.nyoozee.com/ Seni dan Budaya/ 24 April 2016, dan Aisul Yanto dalam: Seniman Merawat dan Menghidupi Balai Budaya, 2016. sumber: Catatan-catatan dari Theresia).

18 Mei 2021. 22.37 WIB. Kisah-kisah seputar Balai Budaya.

dapat dirasakan betapa kuat energi yang dilontarkan oleh peristiwa tersebut. (lihat: Siti Adiyati dalam: Pa mer an Konsep Seni Rupa Baru Indo nesia. Sumber: Arsip IVAA).

Selang 28 tahun kemudian, pelukis Patrick Wowor jebol an Seni Lukis Institut Kesenian Jakarta (IKJ) menggelar open studio pada 15 - 27 juli 2014 di Balai Budaya. Ruang pamer Balai Budaya ditata secara liar tak beraturan, dinding pameran sedikit didisplai bebe rapa karya dua dimensionalnya, ada yang sudah finish, ada yang separuh jadi. Di tengah ruang dipasang steger warna jingga yang setiap hari berpindah tempat. Steger ini dicantoli berbagai benda, ada yang untuk men jembreng beberapa karya sketsa dan drawing-nya, hingga baju dan celana. Dari rumahnya Patrick mem-bawa semua alat lukis, kanvas, kertas, karyanya, dan sebagainya. Tak lupa ia boyong meja makan lengkap den-gan kursi, jemuran baju dari besi untuk menjembrèng berbagai benda entah apa saja, sofa bermerek yang mahal dan berbagai barang lain yang ada di rumahnya.

Setiap hari banyak yang datang hingga malam men-jelang, baik yang hanya berdiskusi atau kongkow maupun yang berkegiatan seni apa saja. Musik sepanjang waktu meng alun baik dari MP3 maupun dari suara gitar yang dipetik oleh teman-teman, kadang juga ada syair dan kata-kata yang sangat berperan menciptakan suasana menjadi le bih akrab untuk berdiskusi. Penataan dalam ruang pa mer saling serabutan, liar, dan bohemian. Sekali waktu ada audiens awam yang mampir masuk ke dalam, setelah selesai melihat dan mengapresiasi lalu berko-mentar, “saya tak mengerti... maksudnya apa ya kesenian ini…” Ada yang nyeletuk enggak usah dimengerti bu, dirasakan saja, nanti ‘kan tahu akhirnya. Setelah selesai acara tersebut, barang-barangnya tak segera dibawa pulang, termasuk Nissan Livina-nya dibiarkan njogrog beberapa bulan di halaman Balai Budaya karena mogok, karena sempat kemasukan air di saat banjir. Sampai hari ini meja makan dan sofa yang mahal itu masih ada di Balai Budaya. Pelukis ini beberapa tahun lalu telah menetap di Seatle, Amerika Serikat bersama keluarga-nya untuk menantang kehidupan dan mengembangkan kebolehannya.

Kemudian saya, pelukis Aisul Yanto, pada 14 - 22 April 2016 telah menggelar open studio di Balai Budaya, de-ngan tema Energi Aisul. Ruang pamer, dindingnya dipa-sang beberapa lukisan tetapi tidak penuh. Ada karya di atas kanvas, deretan puluhan sketsa tentang gedung Balai Budaya. Ada karya-karya kertas yang ditumpuk di atas meja. Banyak lukisan yang berukuran cukup besar tidak ditata tetapi hanya disandarkan di dinding bagian bawah. Di tengah ruangan dipasang beberapa meja dan kursi untuk duduk-duduk. Dinding ujung belakang

22 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

S u d u t Pa n d a n g

Iwan Henry Wardhana:

Perlu Inovasi dan Kreativitas dalam Siasati Perkembangan KebudayaanDinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) DKI Jakarta kini dipecah menjadi Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Disparekraf) dan Dinas Kebudayaan DKI Jakarta.

Iwan Henry Wardhana, pria berusia 45 tahun ini telah dilantik oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sebagai Kepala Dinas Kebudayaan DKI Jakarta pertama sejak dilantik pada Januari 2020 lalu.

22 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

23S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

WAN Henry Wardhana yang berlatar belakang sebagai sarjana ekonomi, ternyata punya sejarah panjang dalam perjalanan kariernya.

“Saya lulusan sarjana ekonomi S1. Saya kemudian melan-jutkan S2 di Urban Development Studies atau kajian pengembangan perkotaan yang lebih mengedepankan konsep sosiologis. Perjalanannya cukup banyak tapi latar belakang keilmuan saya gak di kebudayaan saja,” ucap Iwan.

Iwan, mengaku sudah bekerja untuk Pemprov DKI Jakarta sejak 1994 silam. Ketika itu, ia baru berusia sekitar 18 tahun dan telah satu tahun lulus dari Sekolah Menengah Atas. Saat itu, ia hanya bekerja menjadi seo-rang staf tata usaha biasa di salah satu kelurahan di DKI yaitu Kelurahan Jati Kecamatan Pulo Gadung, Jakarta Timur. “Tahun 94 saya melamar di Pemprov DKI itu sebagai staf tata usaha di kelurahan. Itu sedih banget, jadi kalau ditanya gimana ya dari staf tata usaha dulu sampai seka-rang baru jadi kepala dinas. Itu baru bisa dicapai di usia 44 tahun,” terangnya.

Pada usia 18 tahun, ia sudah mulai bekerja sebagai staf di Kelurahan Jati. Ketika itu, ia juga menyambi waktu-nya dalam mencari uang sambil mengenyam pendidikan perkuliahan. Ia pun sempat menjalankan program internship atau magang di Tokyo, Jepang. “Saya sempat magang di Jepang, itu di Tokyo pada 2007. Jadi saya bekerja dengan keras, belajar dengan keras juga,” paparnya.

Bertahun-tahun bekerja sebagai staf tata usaha, ia akhirnya memperoleh pekerjaan yang lebih baik di era 2000-an. Ia menjabat sebagai Kepala Penyusunan Program di Dinas Kebersihan DKI Jakarta sejak 2007 hingga 2012.

Ia pun juga sempat bekerja di Biro Kepala Daerah dan

Kerja Sama Luar Negeri (KDH dan KLN) pada 2015. “Dari situ barulah saya ke Dinas Perpustakaan dan Kearsipan sebagai Kepala Bidang perpustakaan, abis itu sempet jadi kasudin perpustakaan dan kearsipan selatan juga. Nah setelah 2017 saya jadi Kasudin Parbud Jakarta Timur sampai dengan akhir 2019. 8 Januari 2020 jadi Kepala Dinas,” ungkapnya.

26 tahun mengabdi untuk Pemprov DKI Jakarta, Iwan akhirnya bisa menduduki jabatan sebagai Kepala Dinas pada awal 2020. Meskipun tak mudah, ia mengaku banyak sekali tantang-an yang dilewati sepanjang dirinya berkarier di Pem-prov DKI Jakarta. Apalagi, ia juga harus bekerja sejak dirinya masih kuliah. Punya keinginan kuat, ia pun mengaku tak percaya pada keberuntungan. Menurut Iwan, segalanya bisa dicapai jika ia memiliki tekad kuat serta usaha yang total.

Ia pun mengaku sempat mengalami kenaikan pangkat istimewa sebanyak 4 kali sejak dirinya menjadi pega-wai Pemprov DKI Jakarta. “Saat saya tahu saya diterima di Pemprov DKI, artinya saya akan kuliah dan bekerja. Saya pikir saya akan hidup sebagai PNS. Saya tahu saya akan mengabdikan hidup saya di Pemprov, ya udah saya bekerja baik di situ kare-na ini akan jadi pengabdian yang luar biasa,” tururnya. “Dari SMA saya sudah cari kerja dari bawah sekali, hidupnya juga lumayan prihatin. Gak pernah nyerah, prinsip hidup saya gak pernah percaya kebetulan atau keberuntungan saya gak percaya itu. Kalau dimudahkan oke, tapi kalau keberuntungan saya rasa enggak karena saya melakukan itu dengan usaha,” katanya.

“Saya mengalami empat kali kenaikan pangkat istimewa jadi saya pikir kalau saya gak ikut seleksi kemarin ya pangkat saya mentok. Jadi saya ikut seleksi itu alhamdu-lillah dapat mandat itu,” tandasnya. Pada 26 April 2021 lalu Semesta Seni mendapat kesempatan mewawancarai Kadisbud DKI Jakarta, Iwan Henry Wardhana di kantornya, di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan. Hasilnya sebagai berikut:

Saat Gubernur Anies Baswe dan meresmikan Laboratorium Kebudayaan di UHAMKA berkata, “Kalau sekadar melestari­kan kebudayaan ya dibuat saja museum sebanyaknya. Sebaik­nya dalam pengembangan kebudayaan itu harus melahirkan gagasan kreatif dalam upaya peningkatannya.” Bagaimana respons Anda dalam menanggapi statemen tersebut?

Melestarikan kebudayaan tentunya merupakan suatu tantangan tersendiri. Kebudayaan bersifat dinamis, artinya selalu mengalami perubahan terus-menerus. Perubah an kebudayaan terjadi seiring perubahan yang

I

23S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

24 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

D S u d u t Pa n d a n g

nur bahwa diperlukan suatu kreativitas dan inovasi dalam menyiasati perkembangan kebudayaan.

Bagaimana membuat kebu-dayaan dikenal dan dicintai masyarakat dari berbagai usia, latar belakang dan kalang an tentunya harus mengikuti tren dan perkembangan zaman yang ada tetapi juga harus sesuai dengan kaidah dan nilai tradisi yang ada. Adanya unsur keba-

yang berpisah dari Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Tentunya sebagai dinas yang baru berdiri, tugas dan tanggung jawab yang diemban tidaklah mudah. Jakarta sebagai ibu kota negara Indonesia merupakan cerminan wajah pembangunan di Indonesia, terma-suk di dalamnya pembangunan di bidang kebudayaan. Oleh karena itu, setiap rencana pembangunan untuk memajukan kebudayaan haruslah direncanakan dengan sebaik mungkin, dimulai dari identifikasi terhadap segala tantangan dan peluang yang dapat dimanfaatkan dalam pengembangan pelayanan Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta.

Salah satu kekuatan dari Dinas Kebudayaan adalah po-tensi budaya yang dimiliki. Berdasarkan Pergub Nomor 149 Tahun 2019 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta, bahwa Dinas Kebudayaan mengelola 8 museum, 5 Gedung Pelatihan Seni-Budaya, Gedung Pertunjukan Seni-Budaya, Kawasan, dan bangunan cagar budaya lainnya di wilayah Provinsi DKI Jakarta. Namun tidak sedikit pula tantang-

ruan sekaligus menjadi penyegaran dan menimbulkan rasa ingin tahu dan peduli akan budaya di masyarakat. Saat ini yang kita rasakan contohnya pada saat Pandemi Covid-19 ini, kita harus bisa menciptakan, menampil-kan, dan mengemas budaya agar ekosistem berkesenian dapat terus berlangsung. Banyak sisi kreatif yang dapat digali seperti mengadakan pergelaran seni-budaya secara virtual, membuat virtual tour museum, perlombaan dan sebagainya. Selain itu diperlukan kolaborasi dari para stakeholders untuk menciptakan dan mewujudkan ide-ide kreatif dengan tujuan yang sama yakni agar budaya daer-ah khususnya Betawi dapat terjaga kelestari annya.

Sejak Anda dilantik pada 8 Januari 2020, kekuatan, kelemahan, kendala, dan peluang apa saja yang sudah dapat diidentifikasi?

Pada saat saya dilantik pada awal 2020 lalu, bersamaan dengan lahirnya Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta

an maupun hambatan baik dari segi internal maupun eksternal yang dialami, seperti kurangnya sumber daya manusia (SDM), keterbatasan anggaran, pengawasan aturan hukum yang belum maksimal dan lain sebagainya. Salah satu hambatan yang dirasakan ketika pada Maret 2020 Indonesia mengalami Pandemi Covid-19 yang memengaruhi segala sektor. Namun, kekuatan dan kelemahan ini sekaligus dapat dija-dikan potensi bagi Dinas Kebudayaan untuk meles tarikan kebudayaan sesuai dengan tupoksinya yakni mengem-bangkan, melestarikan, melindungi, dan memanfaatkan kebudayaan. Kekuatan yang ada sebagai modal utama dalam melestarikan kebudayaan sedangkan kelemahan dapat diminimasi dan diubah menjadi sebuah peluang.

Berdasarkan SK Gubernur No 881 Tahun 2019, tentang pengembangan Balai Budaya Condet, Jaktim, konsep atau strategi apa saja yang Anda munculkan?

dialami oleh manusia. Perubahan-perubahan dalam kebudayaan inilah yang disebut sebagai dinamika kebudayaan. Dinami-ka kebudayaan akan terus terjadi seiring dengan berkem-bangnya zaman dan berubah nya kebutuh-an manusia. Proses dinamika kebudayaan berbeda-beda, ada yang berlangsung secara cepat, ada pula yang berlangsung secara lambat. Untuk itu saya sependapat dengan Pak Guber-

24 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

25S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

Masyarakat Condet merupakan salah satu etnis Betawi yang masih bertahan pada saat ini. Mereka berpedoman dan berpegang teguh pada adat-istiadat dan tradisi se-tempat. Masyarakat Condet terkenal kebertahanannya, karena memang Betawi ini tidak lepas dari peran sese-puh sebagai elit masyarakat dalam menjaga adat-istidat dan tradisi Betawi setempat dengan menjaga identitas ke-Betawi-an. Melalui Pergub Nomor 881 Tahun 2019 Tim Percepatan, Penataan, dan Pengembangan Kawasan Condet Sebagai Destinasi Wisata, konsep yang ingin diangkat adalah menjadikan Condet sebagai kawasan destinasi budaya, agrowisata, dan ekowisata dengan me-li batkan para stakeholders internal maupun eksternal.

Adapun strategi yang dilakukan dibagi menjadi 2 yakni jangka pendek dan jangka panjang.

A. Jangka Pendek 1. Melakukan koordinasi antar-stakeholder dan masya-rakat. 2. Melaksanakan penataan dan pengembangan sarana prasarana Balai Budaya Condet dengan menggabungkan konsep modern dengan tradisional. 3. Membentuk kelompok sadar budaya. 4. Mengakomodasi kegiatan seni-budaya tradisional dan kontemporer, seperti: a. Sebagai fasilitas aktivitas latihan pengembangan kreati-vitas seni-budaya. b. Mengadakan event, festival, atau pertunjukan seni tradisional dan kontemporer budaya yang rutin dilak-sanakan setiap bulannya dengan melibatkan komunitas budaya masyarakat. c. Membuat serta menampilkan atraksi budaya kontem-porer dalam periode waktu tertentu. 5. Promosi eksistensi Balai Budaya Condet melalui me-dia massa maupun media sosial. 6. Membangun jejaring/ networking dengan:

a. Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI). b. Association of The Indonesian Tours And Travel Agencies (ASITA)/ Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisa-ta Indonesia. c. Komunitas budaya, asosiasi, dan lembaga.

B. Jangka Panjang 1. Penataan aksesbilitas, infrastruktur, maupun prasarana publik pendukung yang melibatkan peran SKPD terkait seperti Dinas Bina Marga, Dinas Perhubungan, Dinas SDA, Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan, Dinas Pertamanan dan Permakaman, dll. 2. Pemberdayaan dan perlibatan masyarakat seperti menjaga lingkungan, promosi, kegiatan ekonomi dll. 3. Menghidupkan kembali serta memfasilitasi kearifan lokal dan seni-budaya yang redup dan hilang di sekitar Condet dan Jakarta Timur. 4. Menjalin jejaring dan kerja sama dengan lembaga kebudayaan dalam maupun luar negeri.

Jakarta menjadi serambi Negara Kesatuan Republik Indo­nesia, namun perhatian pengamat seni­budaya dunia dan bahkan mereka menyebut Yogyakarta dan Bandung­lah se­bagai candradimuka. Upaya apa saja yang bapak lakukan agar posisi seni­budaya Jakarta menjadi perhatian utama?

Jakarta adalah kota yang spesial karena merupakan ibu kota negara Republik Indonesia dan memiliki karak-teristik budaya yang unik. Lingkup wilayah penanganan urusan kebudayaan di Provinsi DKI Jakarta dengan 5 Wilayah Kota Administrasi dan 1 Wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu dengan luas wilayah 661,5 km2 de-ngan jumlah penduduk sebanyak +- 9,8 juta penduduk yang berada di 44 Kecamatan 268 Kelurahan. Penduduk Kota Jakarta yang yang beraneka ragam dan multietnis dan merupakan miniatur penduduk Indonesia semua suku dan adat ada di Kota Jakarta.

25S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

26 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

Oleh karena itu Organisasi Perangkat Daerah Dinas Kebu-dayaan Provinsi DKI Jakarta fokus terhadap pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan kebudayaan yang ada di Provinsi DKI Jakarta dengan basis budaya Beta-wi dan budaya-budaya daerah lainnya sebagai sumber daya potensial yang dapat mengangkat citra kota Jakarta.

Upaya yang telah dilakukan agar posisi seni-budaya menjadi perhatian di Jakarta di antaranya: a) Pemerintah telah mengeluarkan sejumlah payung hukum yang dapat digunakan untuk landasan dan dasar bagi pengaturan budaya Betawi. Seperti Perda Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi, Pergub No 229 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pelestarian Kebudayaan Betawi, Pergub 11 Nomor 2017 tentang Ikon Budaya Betawi, Instruksi Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 45 Tahun 2020 tentang Penciptaan dan Pengembangan Ekosistem Berkesenian di Provinsi DKI Jakarta dan aturan lainnya. b) Melakukan kolaborasi dengan berbagai stakeholders baik internal maupun eksternal dalam rangka memajukan kebudayaan Betawi. Kolaborasi dapat berupa mengada-kan event, membuat dan melaksanakan kebijak an terkait kebudayaan, publikasi informasi dan edukasi terkait kebu-dayaan, menciptakan serta bentuk kerja sama lainnya. c) Membuat kajian terkait dengan kebudayaan daerah seperti Kajian Pelestarian Kebudayaan Betawi, Kajian Pembentukan Museum dan kajian lain yang terkait kebudayaan.

Bagaimana Anda memosisikan seni tradisional Betawi setara dengan seni­budaya modern di Jakarta ini?

Masuknya budaya luar ikut mewarnai selera masyarakat dalam perkembangan zaman ini. Kecenderungan mereka untuk mengadopsi budaya luar bahkan menjadikannya sebagai trendsetter jauh lebih besar dibanding mempe-lajari budaya sendiri. Berbagai upaya perlu dilakukan untuk menjaga keeksistensian warisan budaya bangsa ini. Tidak ada salahnya, apabila dilakukan akulturasi budaya, di mana kita mengadopsi budaya luar, dan memadukan dengan budaya lokal tanpa menghilangkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Menurut saya kebudayaan Betawi telah terbentuk melalui proses yang panjang karena budaya Betawi sendiri merupakan hasil akulturasi dari beberapa budaya luar seperti Arab, Tiongkok, Belanda, India, dan Portugis. Ragam kesenian beserta dengan akulturasi budaya, bahasa, dan manusia menimbulkan berbagai persepsi terhadap etnik Betawi. Faktor kesederhanaan, keunikan, dan ciri khas tersendiri membuat etnik Betawi diteri-ma di segala lapisan masyarakat Indonesia. Walaupun pada kenyataannya mereka sekarang tergusur, tetapi proses asimilasi dengan berbagai suku di Indonesia yang membuat suku Betawi tetap ada dan diakui. Saya yakin bahwa budaya Betawi dapat terus eksis dan tentunya dengan adanya Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta ini kita dapat bersama-sama untuk mempertahankan

S u d u t Pa n d a n g

d) Melakukan pembinaan, pelindungan, pengembang an serta pemanfaatan kebu-dayaan dalam bentuk monitor­ing sanggar, pendataan pelaku seni, pendataan sanggar seni budaya, pengiriman misi budaya ke luar daerah, penda-taan cagar budaya, revitalisasi cagar budaya, usulan peneta-pan Warisan Budaya TakBen-da (WBTB), peng usulan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) dan lain sebagainya. e) Menjamin keberlangsung an ekosistem berkesenian, salah satunya adalah de ngan meng-adakan kegiatan seni-budaya yang sifatnya berjenjang di se-tiap wilayah di Jakarta sehing-ga setiap lapisan masyarakat dapat berpartisipasi.

26 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

27S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

dan mengembangkan budaya Betawi. Tidak hanya eksis di dalam negeri tapi sampai ke mancanegara.

Pengalaman Anda yang dimulai dari staf TU di kelurahan hingga menjadi Kadis bukanlah pengalaman yang sepele. Dapatkah Anda jelaskan hikmah dari perjalanan karier itu, agar masyarakat dapat pencerahan darinya?

Saya mulai bekerja untuk Pemrov DKI Jakarta sejak 1994 silam yang ketika itu masih berusia sekitar 18 tahun dan telah lulus 1 tahun dari Sekolah Menengah Atas (SMA). Semua dimulai dari seorang staf salah satu kelurahan DKI yaitu Kelurahan Jati Kecamatan Pulo Gadung, Jakarta Timur. Ketika itu, sambil bekerja saya mengenyam pendidikan di Universitas Indonesia dengan Jurusan Ekonomi. Saya juga sempat menjalankan program internship atau magang di Tokyo, Jepang pada 2007. Setelah lulus, kemudian saya melanjutkan pendi-dikan S2 di Urban Development Studies atau Kajian Pengembangan Perkotaan yang lebih mengedepankan konsep Sosiologis. Pada 2000-an, saya menjabat sebagai Kepala Bagian Penyusunan Program di Dinas Kebersihan DKI Jakarta sejak 2007 hingga 2012. Pada 2015 kemudian dimutasi ke Biro Kepala Daerah dan Kerja Sama Luar Negeri (KDH dan KLN). Setelah itu, saya kemudian menjabat sebagai Kepala Suku Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Jakarta Selatan. Pada 2017 saya menjadi Kepala Suku Di-nas Pariwisata dan Budaya Jakarta Timur sampai dengan akhir 2019 dan pada 8 Januari 2020 di usia yang ke-44 tahun saya dilantik menjadi Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta sampai dengan saat ini. Perjalanan saya di Pemprov DKI bisa dibilang dimulai dari nol, namun di situlah banyak pengalaman berharga yang saya peroleh. Saya terjun langsung menghadapi masyarakat, di situlah saya berinteraksi dengan masya-

rakat dan belajar untuk memahami apa yang menjadi kebutuhan serta permasalahan dalam masyarakat. Setiap saya ditugaskan di tempat baru, selalu ada pengalaman yang baru karena permasalahan yang dihadapinya juga berbeda sesuai dengan tupoksi masing-masing. Dari situlah, saya merasakan betul bagaimana sebuah jabatan/ posisi tidak dapat diperoleh secara instan. Semua membutuhkan tahapan dan proses yang seka-ligus menjadi pembelajaran bagi saya. Namun saya selalu menikmati setiap tahapan dan proses yang saya lalui. Tentunya perjalanan ini tidak selalu mulus dan lancar, tetapi saya tetap optimistis dan berdoa. Semoga perjalanan karier saya dapat menginspirasi mas-yarakat, khususnya bagi para generasi muda agar terus semangat dalam mengejar cita-cita. Jangan sia-siakan waktu dan pantang menyerah dalam menghadapi setiap kendala yang muncul.

Kabarnya ada beberapa karya perupa/ maestro yang rusak di Museum Seni Rupa dan Keramik. Upaya apa saja yang akan Anda lakukan dalam mengamankan karya seni rupa bersejarah itu?

Ada beberapa lukisan koleksi Museum Seni Rupa dan Keramik termasuk karya maestro seperti Hendra Guna wan, Affan-di, Raden Saleh, S Soedjojono, dll yang mengalami penurunan kualitas karena dimakan usia seperti warna lukis-an yang agak pudar, berdebu, berjamur, kanvas renggang, sedikit sobek, dan

untuk lukisan sketsa mengalami kerusakan seperti warna pudar, kertas rapuh, dan tinta luntur. Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta melalui UP Muse-um Seni melakukan identifikasi kerusakan tersebut kemudian melakukan perawatan preventif dan kuratif terhadap lukisan-lu-kisan tersebut bekerja sama dengan PKCB dan tenaga ahli lukisan/ konservator lukis an (Yosef) dalam merawat lukis-an-lukisan yang sifatnya kuratif. Untuk konservasi lukisan yang sifatnya preventif dilakukan oleh petugas museum.

Ireng Halimun

27S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

28 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

H i s t o r i S e n i

ENYAMIN Suaeb adalah satu di antara tokoh ikonik Betawi. Tokoh yang populer dengan tagline “Muka

kampung rezeki kota” ini adalah peseni multi-talenta yang pernah menjelajah dunia seni pertunjukan Tanah Air dengan spektrum penguasaan artistiknya yang sangat luas baik sebagai aktor, pelawak, sutradara, produser film, pemusik, penyanyi, penulis lagu, dan entah apa lagi peran yang pernah dipegangnya selama berkecimpung dalam industri hiburan. Ben yang telah 14 kali menunaikan ibadah haji ini menjalani 56 tahun masa hidup yang sangat produktif menghasilkan lebih dari 75 album musik dengan total sekitar 300 lagu dan bermain dalam 53 judul film. Suatu prestasi yang sulit ditandingi oleh peseni lain dari generasi manapun.

Ben terlahir sebagai anak bungsu dari 8 bersaudara pada 5 Maret 1939 di Kemayoran, Jakrta, tepatnya tak jauh dari depan jembatan Haji Ung yang dibuat oleh kakeknya jauh sebelum Indonesia merdeka. Ayahnya berasal dari Purworejo, Jawa Tengah, bernama Sukirman, lulusan Hollandsche Inlandsche Scholen (HIS), bekerja sebagai tukang bubut dan merawat peralatan kereta api di Manggarai dan pernah jadi tentara Belanda. Sejak tinggal di Jakarta, Sukirman yang namanya sulit diucapkan oleh warga Betawi, mengganti namanya menjadi Suaeb. Sementara sang ibu, Siti Aisyah adalah asli Betawi, putri H Rofiun yang sepulang dari ibadah haji lebih populer dengan sebutan Jiung, seorang pendekar terpandang, tokoh Betawi sekaligus juragan tanah di wilayah Kemayoran. Pada usia 2 tahun Ben kehilangan sang ayah yang meninggal dunia akibat sakit tumor ketika dalam perantauan di Belitung, Sumatera Selatan. Karena itu, Ben sangat dekat dengan Jiung. Sejak balita, tidak pernah bertemu dengan sosok ayah. Jiung pun dianggap ayah dan selalu dipanggil babe. Aisyah yang berperan sebagai orangtua tunggal kemudian sangat berpengaruh dalam perkembangan kehidupan Ben. Kejujuran dan sikap apa adanya ditanamkan Aisyah begitu kuat. Ben sangat takut kalau ibunya marah. Baginya, emak direpresentasikan sebagai Tuhan.

Sebagai anak yatim, hidup Ben terbilang sulit sejak kecil. Aisyah hanya bekerja sebagai penjahit. Beruntung Ben punya bakat menyanyi dan menari. Penampilan Ben kecil memang sudah beda, sifatnya yang jail namun humoris membuatnya disenangi teman-temannya. Tokoh kebanggaan Betawi ini

Benyamin Suaeb Satu di Antara Legenda Seni-Budaya BetawiB sudah terlihat bakatnya sejak anak-anak. Bakat seninya tak

lepas dari pengaruh sang kakek, dua engkong Ben yaitu Saiti, peniup klarinet dan Jiung pemain Dulmuluk, sebuah teater rakyat, menurunkan darah seni itu dan Jiung yang juga pemain teater rakyat pada zaman kolonial Belanda.

Sejak umur 4 tahun Ben sudah mengamen dengan rombeng-rombengan berkeliling kampung. Hasilnya tak banyak tapi cukup untuk jajan. Sewaktu kecil, bersama 7 kakak-kakaknya, Ben sempat membuat Orkes Kaleng. Ben bersama saudara-saudaranya membuat alat-alat musik dari barang bekas. Rebab dari kotak obat, stem basnya dari kaleng drum minyak besi, keroncongnya dari kaleng biskuit. Dengan alat musik itu mereka sering membawakan lagu-lagu Belanda tempo dulu. Kelompok musik kaleng rombeng yang dibentuk Ben saat berusia 6 tahun menjadi cikal-bakal kiprah Ben di dunia seni. Ben memulai Sekolah Dasar (Sekolah Rakyat) Bendungan Jago sejak umur 7 tahun. Sifatnya yang periang, pemberani, kocak, pintar, dan berdisiplin, ditambah suaranya yang bagus dan banyak teman, menjadikan Ben sering ditraktir teman-teman sekolahnya. SD kelas 5 - 6 pindah ke SD Santo Yusuf Bandung. SMP di Jakarta lagi, masuk Taman Madya Cikini. Satu sekolahan dengan pelawak Ateng. Di sekolah Taman Madya, ia tergolong nakal. Pernah melabrak gurunya ketika akan kenaikan kelas, “Kalau gue kagak naik lantaran aljabar, awas!” Lulus SMP ia melanjutkan SMA di Taman Siswa Kemayoran. Sempat setahun kuliah di Akademi Bank Jakarta, tetapi tidak tamat.

Ben mengaku tidak punya cita-cita yang pasti. Tergantung kondisi, kata penyanyi dan pemain film yang suka membanyol ini. Ben pernah mencoba mendaftar untuk jadi pilot, tetapi urung gara-gara dilarang ibunya. Ia akhirnya jadi pedagang roti dorong. Pada 1959, ia ditawari bekerja di perusahaan bus PPD, langsung diterima. Tidak ada pilihan lain, katanya. Pangkatnya cuma kondektur, dengan trayek Lapangan Banteng-Pasar Rumput. Itu pun tidak lama. “Habis, gaji tetap belum terima, dapat sopir ngajarin korupsi melulu,” tuturnya. Korupsi yang dimaksud ialah, ongkos penumpang ditarik, tetapi karcis tidak diberikan. Ia sendiri mula-mula takut korupsi, tetapi sang sopir memaksa. Sialnya, tertangkap basah ketika ada razia. Ben tidak berani lagi muncul ke pool bus PPD. Kabur, daripada diusut. Sebenarnya selain menekuni dunia seni, Ben juga sempat menimba ilmu dan bekerja di lahan serius di antaranya mengikuti Kursus Lembaga Pembinaan Perusahaan

28 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

29S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

dan Pembinaan Ketatalaksanaan (1960), Latihan Dasar Kemiliteran Kodam V Jaya (1960), Kursus Administrasi Negara (1964), bekerja di Bagian Amunisi Peralatan AD (1959-1960), Bagian Musik Kodam V Jaya (1957-1969), dan Kepala Bagian Perusahaan Daerah Kriya Jaya (1960-1969).

Bakat musiknya terus ia kembangkan hingga dewasa. Ia sempat membentuk grup musik Melody Boys, lalu menjadi Melodi Ria, pada awal 1960-an. Ben bertugas sebagai penyanyi latar dan pemain bongo. Mereka memainkan lagu jazz, blues, keroncong, dan beberapa karya Ben. Kariernya di musik ketika itu ia jalani setelah menikah dengan Noni, perempuan yang tinggal di Kemayoran juga. Pernikahan mereka berlangsung pada 2 Oktober 1959. Ben berusia 20 tahun dan Noni 19 tahun. Setahun setelah pernikahan itu, Beib Habani lahir. Ben harus putar otak untuk menghidupi keluarganya. Ia bermain musik sambil bekerja kantoran di bagian Peralatan dan Amunisi Angkatan Darat Kodam V Jakarta. Dari Noni ia mendapatkan 5 orang anak sedangkan dari istrinya yang kedua yaitu Alifah, ia mendapatkan 4 orang anak. Kesuksesan dalam dunia musik diawali dengan bergabungnya Ben dengan satu grup Naga Mustika. Grup yang berdomisili di sekitar Cengkareng inilah yang kemudian mengantarkan nama Ben sebagai salah satu penyanyi terkenal di Indonesia.

Selain Ben, kelompok musik ini juga merekrut Ida Royani untuk berduet dengannya. Dalam perkembangannya, duet Benyamin dan Ida Royani menjadi duet penyanyi paling populer pada zamannya. Bahkan lagu-lagu yang mereka bawakan menjadi tenar dan meraih sukses besar. Sampai-sampai Lilis Suryani salah satu penyanyi yang terkenal saat itu tersaingi. Orkes Gambang Kromong Naga Mustika dilandasi dengan konsep musik Gambang Kromong Modern. Unsur-unsur musik modern seperti organ, gitar listrik, dan bas, dipadu dengan alat musik tradisional seperti gambang, gendang, kecrek, gong, dan suling bambu. Setelah Orde Lama tumbang, musik Gambang Kromong semakin memperlihatkan jati dirinya. Lagu Si Jampang (1969) sukses

pasangan duetnya. Ia menggaet Inneke Koesoemawati dan berhasil merilis beberapa album, di antaranya Nenamu dengan tembang andalan seperti Djanda Kembang, Semut Djepang, Sekretaris, Penganten Baru, dan Pelajan Toko. Lewat popularitas di dunia musik, Ben mendapatkan kesempatan untuk main film. Kesempatan itu tidak disia-siakan. Beberapa filmnya, seperti Banteng Betawi (1971), Biang Kerok (1972), Si Doel Anak Betawi, dan Intan Berduri (1972) yang disutradari Sjumanjaya, semakin mengangkat ketenarannya. Dalam Intan Berduri, Ben mendapatkan piala Citra sebagai Pemeran Utama Terbaik.

Pada akhir hayatnya, Ben juga masih bersentuhan dengan dunia panggung hiburan. Selain main sinetron atau film televisi, Mat Beken dan Si Doel Anak Sekolahan, ia masih merilis album terakhirnya dengan grup Rock Al-Hajj bersama Keenan Nasution. Lagu seperti Biang Kerok dan Dingin­dingin menjadi andalan album tersebut. Dalam dunia musik, Ben adalah seorang peseni yang berjasa dalam mengembangkan seni tradisional Betawi, khususnya kesenian Gambang Kromong. Lewat kesenian itu pula nama Ben semakin populer. Pada 1960, presiden pertama Indonesia, Soekarno, melarang diputarnya lagu-lagu asing di Indonesia. Pelarangan tersebut ternyata tidak menghambat karier musik Ben, malahan kebalikannya. Dengan kecerdikannya, Ben menyuguhkan musik Gambang Kromong yang dipadu dengan unsur modern.

Ben mendirikan Radio FM dengan nama Bens Radio. Didirikan olehnya pada 5 Maret 1990. Bens Radio adalah unit Enikom Network dengan format radio etnik, yaitu radio yang menggali potensi budaya Betawi, agar audiens dapat merasakan budayanya sendiri, berkesenian dengan tradisinya sendiri, bertutur dan berdialog dengan bahasanya sendiri.

Ben meninggal dunia setelah koma beberapa hari seusai main sepak bola pada 5 September 1995, akibat serangan jantung dan dimakamkan di TPU Karet Bivak, Jakarta. Sebagai penghormatan atas jasanya sebagai peseni Betawi pada 6 Desember 1995, Pemerintah DKI Jakarta mengabadikan nama Benyamin Suaeb sebagai nama jalan di daerah Kemayoran. Selain itu pada 22 September 2018 lalu, Jakarta meresmikan Taman Benyamin Suaeb yang berlokasi di seberang stasiun Jatinegara sebagai pusat budaya yang didedikasikan untuk menjunjung tinggi warisan budaya Betawi sebagaimana diperjuangkan Ben semasa hidupnya. Sosok Ben diabadikan dalam Google Doodle hari ini, 22 September 2020. Google Doodle adalah logo yang tersemat di beranda Google untuk memperingati liburan, acara, prestasi dan tokoh sejarah terkemuka.

Ritmanto Saleh/ Theodora Polar Hutadjulu/ Berbagai sumber

di pasaran, dilanjutkan dengan lagu Ondel­ondel (1971). Lagu-lagu lainnya juga mulai digemari. Tidak hanya oleh masyarakat Betawi tetapi juga Indonesia. Kompor Meleduk, Tukang Garem, dan Nyai Dasimah adalah sederetan lagunya yang laris di pasaran. Terlebih setelah Ben berduet dengan Bing Slamet lewat lagu Nonton Bioskop, namanya menjadi jaminan kesuksesan lagu yang akan ia bawakan.

Setelah Ida Royani hijrah ke Malaysia, 1972, Ben mencari

29S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

30 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

Henk Ngantung Pelukis yang Jadi Gubernur Jakarta

ENDRIK Hermanus Joel Ngantung lahir di Bogor, 1 Maret 1921. Orang-orang mengenalnya sebagai

Henk Ngantung. Pelukis fenomenal ini dikenal dengan karya-karya sketsanya yang kemudian menjadi monu-mental, di antaranya Tugu Selamat Datang, Lambang DKI Jakarta dan lambang Kostrad. Sejak kecil Henk ingin jadi pelukis, dan pada waktu remaja Henk sudah mengada-kan pameran di Minahasa, tempat yang menjadi asal ayah dan ibunya sekaligus tempat Henk tumbuh sebagai anak-anak hingga remaja. Sambil sekolah ia terus belajar melukis secara informal dan setelah tahu melukis adalah jalan hidupnya, dia tak mau lagi bersekolah.

Berbekal uang hasil pameran di Manado, Henk hijrah ke Bandung pada 1937 dan belajar dari Rudolf Wengkart untuk memperdalam seni lukis. Dia juga mempelajari apapun yang terkait seni, termasuk sejarah. Pada tahun itu juga ia mendapat kesempatan dari pemerintah Kolonial Hindia Belanda untuk memamerkan beberapa karya lukisannya di gedung kesenian milik pemerintah kolonial, yaitu Bataviasche Kunstkring. Dalam pameran itu ia menjadi salah satu dari empat peseni asal Indone-sia yang ikut dalam pameran bersama Soedjojono, Agus Djaya, dan Emiria Soenassa. Keikutsertaan Henk dalam sejumlah pameran juga berlanjut pada masa penduduk-an Jepang hingga masa Agresi Belanda.

Pada 1940, Henk menetap di Jakarta dan hidup se-bagai peseni. Henk pernah ikut Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi), yang dipimpin Sudjojono. Sebelum dan sesudah revolusi, bahkan sejak masih sekolah di Manado, Henk sudah ikut pameran lukisan. Ia pun ter-libat dalam revolusi Indonesia dengan menjadi anggota Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS). Beberapa sketsa karyanya tentang revolusi dibukukan dalam Sket­sa­Sketsa Henk Ngantung (1981) terbitan Sinar Harap­an. Dia antara sketsa-sketsa bertema perjuangan dan revo lusi yang dibuatnya adalah karya lukisan Memanah dengan Bung Karno sebagai modelnya. Selain karya yang kemudian dikoleksi oleh Bung Karno ini, ia juga mem-buat sketsa tentang Perundingan Linggarjati, Perunding-an Renville, dan Perundingan Kaliurang.

Pada 1946 Henk menjadi salah satu pendiri Gelanggang Seniman Merdeka yang menghimpun peseni Angkatan 45, termasuk Chairil Anwar, Haruddin MS, Mochtar

H

Apin, Basuki Resobowo, Asrul Sani, dan lain-lain. Pada Agustus 1948, Henk menggelar pameran di Gedung Taman Siswa Kemayoran dan Hotel Des Indes Jakarta. Dalam pameran ini, Henk memajang sejumlah karya yang menggambarkan pemandangan wilayah Indonesia seperti lukisan Tanah Lot di Bali, pemandangan di lembah hijau, pesisir pantai, pemandangan laut dan lukisan akti-vitas warga. Setelah itu, ia berkeliling ke berbagai tempat di Indonesia meskipun sedang dalam situasi perang. Selain lukisan, Henk juga piawai dalam membuat sketsa orang dan tokoh-tokoh penting di Indonesia kala itu, seperti sketsa Sitor Situmorang, St Takdir Alisjahbana, Gadjah Mada, PM Sutan Syahrir, Prof Schermerhorn, dan sketsa yang menggambarkan aktivitas orang.

Dalam 1955 - 1958 Henk tercatat sebagai pengurus Lem-baga Persahabatan Indonesia-Tiongkok. Pada 1957, Henk ikut lawatan ke luar negeri mengunjungi beberapa negara di Eropa, Asia, Afrika, dan Amerika. Henk tercatat sebagai salah satu pendiri Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), yang belakangan dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Henk merangkap juga sebagai Sekretaris Umum Lekra. Inilah yang kemudian membuat hidupnya sengsara, meski Henk sebenarnya bukan komunis.

Henk mulai masuk ke birokrasi pemerintahan sejak 1957. Kala itu dia sudah belasan tahun malang-melintang di dunia seni lukis. Ketika Dewan Nasional terbentuk pada 21 Februari 1957, Henk termasuk anggotanya. Henk termasuk peseni yang dikenal dekat dengan Pre-siden Sukarno. Henk sering mendapat kepercayaan un-tuk mendekorasi istana supaya terlihat anggun. Hingga suatu kali Henk diberi kepercayaan lebih. Dalam sidang Dewan Pertimbangan Agung 1960, Sukarno yang begitu berkuasa merekomendasikan dua nama untuk guber-nur dan wakil gubernur, Kolonel Dr Soemarno sebagai Kepala Daerah Jakarta dan Henk sebagai Wakil Kepala Daerah. Maka berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 20/1960, jadilah Henk sebagai Wakil Gubernur Jakarta pertama dan dari kalangan peseni pula.

H i s t o r i S e n i

30 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

31S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 20/1960 Henk dilantik menjadi wakil gubernur Jakarta pada 9 Februari 1960. Ia pun diajak Bung Karno melakukan kunjungan kenegaraan ke berbagai negara. Kota-kota di Meksiko dan Brasil memikat perhatian Henk. Kota-kota yang sangat memerhatikan taman kota dan monumen. Untuk inilah Bung Karno membutuhkan Henk dalam merekam secara optis keunggulan estetis kota-kota di dunia. Sebagai tuan rumah Asian Games, tentu saja mendandani wajah Kota Jakarta adalah keharusan.

Ketika menjabat sebagai Wakil Gubernur Jakarta pada 1962 inilah Henk bertemu seorang perempuan ber-nama Hetty Evelyn Mamesah alias Evie. Dia kawanua Minahasa juga seperti Henk. Pernikahan dengan Evie yang jauh lebih muda ini menghasilkan 4 anak.

Pada 1964, Sukarno mengangkat Soemarno sebagai Menteri Dalam Negeri dan kursi Gubernur DKI di-alihkan kepada Henk. Soemarno cuma bisa terima kepu-tusan itu. Dia khawatir pada Henk yang bukan birokrat tulen, tapi Soemarno memberi solusi. Ia menyebut nama Dr Suwondo yang dokter untuk mendampingi Henk yang peseni. Tak hanya Suwondo, Satoto Hapoedio juga diangkat menjadi wakil. Pelantikan pun digelar pada 22 Oktober 1964 di Balai Kota Jakarta. Henk tidak lama di jabatan itu. Pada 15 Juli 1965, Henk mendadak dicopot dari jabatannya sebagai Gubernur Jakarta. Tidak diungkapkan alasannya, hanya disebutkan Henk sedang berobat ke Austria saat pencopotannya itu. Pada 1966, Soemarno dikembalikan menjadi Gubernur DKI Jakarta.

Setelah diberhentikan dari jabatannya yang hanya berlangsung singkat, Henk terlunta-lunta lantaran ia

si 30 persen. Pada akhir 1980-an, dia melukis dengan wajah nyaris melekat di kanvas dan harus dibantu kaca pembesar. Lukisan berjudul Ibu dan Anak adalah hasil karya terakhirnya. Sebulan sebelum wafat, saat ia dalam keadaan sakit-sakitan, pengusaha Ciputra memberanikan diri mensponsori pameran pertama dan terakhir Henk.

Tragedi yang menimpa kehidupan Henk dan istri ber-mula pada sekitar G30S, 1965. Peristiwa itu juga yang memaksa Henk dan Evelyn menjual rumah mereka di kawasan cukup elite, Jalan Tanah Abang II, Jakarta. Sejak dicopot sebagai gubernur pada 1965, Henk tidak mendapatkan uang pensiun. Sampai akhirnya pada 1980, barulah ia diberi uang pensiun oleh pemerintah. Uang hasil penjualan rumah itu digunakan untuk membeli rumah di pinggir Jalan Dewi Sartika, Jakarta Timur. Eve-lyn tetap tinggal di rumah itu meski banyak ruangan di rumah itu yang tak bisa lagi dipakai. Uang pensiun dari pemerintah yang jumlahnya Rp 850 ribu per bulan itu tak cukup buat sekadar menambal aneka kerusakan di rumah tersebut. Hanya uang pensiun inilah yang diandal-kan Evelyn untuk melanjutkan hidup sepeninggal Henk. Baru pada 24 April 2013 Pemprov DKI Jakarta berjanji memugar atap rumah Henk yang rusak parah. Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang saat itu menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI memerintahkan Dinas Perumahan untuk segera merenovasi atap rumah Henk yang sudah bocor dan nyaris roboh. Tak sampai setahun Evelyn menikmati rumah hasil pemugaran itu. Pada 3 Septem-ber 2014, Evelyn tutup usia dan dikebumikan dalam satu liang lahat dengan Henk di TPU Menteng Pulo.

Ritmanto Saleh - Berbagai sumber

dituding terkait PKI. Aktivitasnya di Lekra yang dianggap dekat dengan PKI membuat karier politik Henk benar-be-nar tamat pasca terjadinya Gerakan 30 September (G30S) 1965. Setelah pengaruh Sukarno meluruh dan kendali negara berada di bawah kuasa rezim Orde Baru pimpinan Soeharto, ke-hidupan Henk amat sengsara. Ia tidak sekadar tinggal dalam kemiskinan hingga harus menjual rumah di pusat kota untuk pindah ke perkampungan. Derita Henk terus menerpa karena nyaris buta oleh serangan penya kit mata dan dicap sebagai pengikut PKI tanpa pernah disidang, dipenjara, apalagi diadili hingga akhir hayatnya. Ia sakit-sakitan hingga wafat pada 12 Desember 1991.

Kesetiaan Henk melukis terus berlanjut meski dia digerogoti penyakit jantung dan glaukoma yang membuat mata kanan buta dan mata kiri hanya berfung-

31S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

32 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

K a r ya P u i s i - P r o s a

Didien Muhammad Khoeruddin

PUISI DI SUATU MAGRIB

Segala yang romantis bermula di suatu magrib karena di sanalah senja berada di mana langit menjadi paling genit seolah gadis yang siap tuk berpesta alisnya lengkungan sabit pipinya merona kejora matanya sayu mentari terbenam dan rambutnya kerlip gemintang

Segala yang romantis bermula di suatu magrib di mana bocah-bocah saling janji esok akan bermain lagi kelereng, layang-layang, karambol, atau lompat tali dan monopoli sebelum ibundanya datang membawa centong kuali “ayo pulang nang, sudah magrib ini!”

Segala yang romantis bermula di suatu magrib di mana seorang gadis manis berkerudung putih membawa sajadah dan mukena melintasi rumah jejaka yang tengah mencuci motornya dan mulai saling mengenal ketika sang gadis berkata: permisi, Mas dan sang jejaka menjawab: Monggo

Segala yang romantis bermula di suatu magrib di mana nyanyian jangkrik menemani bocah-bocah belajar matematik dan jejaka mulai merayu: kamu cantik

l Karya: Adji SNY l Judul: Tarian Sunyi Sang Gembala l Medium: Cat akrilik di kanvas l Ukuran: 80x80 cm l Tahun: 2021

B Uster Kadrisson

TENTANG SESUATU YANG TERLUPA

Dari atas langitmu wahai Jakarta, Ada rasa yang tak terangkai oleh kata, Dua ratus purnama telah kutinggalkan kota, Menjelajahi benua, Menyebrangi samudra,

Tak banyak kau berubah, Kendaraan merayap bagaikan kecoa, Gedung-gedung tinggi yang tanpa jiwa, Menggapai angkasa, Dalam remang senja.

Stasiun-stasiun kereta di bawah tanah, Berbaris rapi indah tertata, Hilang sudah rasa cemburu, Saat dahulu, Di negeri tetangga.

Ada festival di jalanan utama, Tampak wajah sang penguasa yang sumringah, Di dekat monumen bambu, Berselang-seling Bergetih bergetah.

Lamat-lamat terdengar suara tetabuhan, Nada terompet yang mulai sumbang, Memainkan musik si abang Jampang, Meliuk-liuk, Bergoyang-goyang

Sepasang ondel-ondel berbaju merah, Berdansa melangkah mengikuti irama, Kaleng minyak menjadi penadah, Mengaharap derma, Ala kadarnya.

Aku berdiri tertegun lama, Baru kali ini menghargai seni mencipta, Diperlukan perjalanan jauh mengitari dunia, Ternyata di rumah, Ada sesuatu yang aku telah lupa…

Tabik

New York, 20 Mei 2021

32 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

33S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

Ardian Secukupnya

BERSEMAYAM DALAM DENDAM

Dendam-dendamku telah lama bersemayam… Aku berdamai dengan kalbu, bukan dengan mereka

Aku menikmati setiap alunan hina Dan hembusan kebencian yang menerpaku…

Dahaga jiwa telah sirna Lembaran mimpi bersanding dengan damainya sukma

Aku berdiri bersama manusia biasa yang memiliki hati luar biasa

Hanya menunggu saatnya para pembenci itu turut bersemayam bersama dendam-dendam mereka

Aldi Cikal Yudawan

OASE CINTA DI TENGAH KOTADi tengah padang pasir ibu kota Di tengah suasana kompetitif manusia Di tengah hati membara Ada oase cinta Sebulan sekali di Cikini Raya Duduk melingkar Mengikat akal Melontar nurani Tunduk mengakar

l Karya: Gatot Eko Cahyono l Judul: Gadis Bisu l Medium: Cat akrilik dan pinsil di karton l Ukuran: 30x40 cm l Tahun: 2021

Menggeliat kekal Mengantar suci

Oase cinta di ibu kota Di Taman Ismail Marzuki tercinta Politik, sosial, budaya Musik, kesenian, dan bahasa Semua bercampur merawat peradaban masa depan

Oase cinta di ibukota Di lubuk hati para pendamba

Ribuan keangkuhan tertawa Bersama mengolah luka Menjadi riang gembira

Ribuan kejenuhan mencair Membaur jarak ruang Dan waktu terbuang Mengubah getir merupa takdir Saling memeluk diri di tengah Keterasingan janji-janji

Sungguh hadiah yang tereistimewa Sungguh bukan buatan manusia

Berjam menahan tangis Dari dorongan ingin pipis Berjam sanggup melupakan luka Dari cabikan kota tua yang tak berjiwa

Oase cinta Oase cinta Di ibu kota

Sampai esok penyerumut tiba Aku masih ingin meneguk airnya

*Guru, tinggal di Bogor, Sesekali Meneguk air di oasis ibu kota

l Karya: Gatot Eko Cahyono l Judul: Gadis Desa l Medium: Medium campuran di kertas l Ukuran: 30x40 cm l Tahun: 2021

33S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

34 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

K a r ya P u i s i - P r o s a

Lay Sastra

PALU DAN ARIT

Pernah kudengar belakangan ini, para komunis perlahan hidup kembali Dalam ucapan dalam renungan, dalam pikiran, dalam bayangan, dalam gang, di tempat-tempat yang disebut suci

Yang menindas tanpa menyakiti Yang menyiksa tanpa belati Yang membunuh tanpa menyentuh

Entah sampai kapan para rezim mengangkat unsur dan melokat sebuah cerita, Cerita ngawur, cerita miring, cerita kiri tanpa kanan

Indonesia Indonesia Indonesia

Hahaha Haha

Rangkasbitung, 02062020

Nurhayati Rakhmat

SAMUDERA LUAS

Hidup bagai bentangan laut luas Penuh riak gelombang sedang kadang bandang Cuaca bisa berubah tanpa terbaca

Biru airnya sering menipu pandang Kedalamannya bisa menenggelamkan Jika lengah terpedaya Musnah ke dalam dasarnya

Takhanya gelombang dan badai Keindahan bak Nirwana merangkai Begitu banyak kebahagiaan atasnya Rizki melimpah ruah bagi yang piawai menjaringnya

Hakikat laut adalah Samudera kehidupan Belajarlah mengarunginya agar taktenggelam

Taburkan selalu kebaikan, meski bagai menabur garam di lautan

Mencintainya meski berhias air mata Menghargainya meski kita sudra Memahaminya disetiap ujian Mematuhi segenap aturan semesta

Laut .. Kehidupan menyamudera Mengalir saja sebab kita air Bismillah Hingga akhir takbir

Bekasi, 02.05.2021

Ekawati

BERMIMPI TENTANG ESOK

Aku bagai merindu bintang saat rona jingga pagi hadir Butuh pancaran kehangatan mentari Kala malam menyelimuti Semua seolah berputar menjadi kebalikan

Ingin segera mendekap cahaya yang berpendar Agar gelap tak menutupi wajah Menghalau gundah yang tertanam Jauh di palung jantung sebelah kiri

Adakah malam ini begitu indah Sepi menghiasi lenyi di kegelapan Sajikan rindu kian merayu Pada batang harap yang tak kunjung padam

Aku sudah karamkan rasa rindu Agar tak lagi murung membebat lelaku Sampai malam menggugat sunyi Aku masih tetap sendiri di bilik ini

Kucoba palingkan pandang dari gelap Berharap ada terang menjemput Namun terangmu tak jua kunjung membalut Membeku ngilu rajut rajukku tak sampai

Sungguh, ada setia malam Memesrai belaian angan Walau kuberpaling Tak mampu lepaskan jejak

Sudah, sudahi denting dawai rindu Telah aku nyanyikan narasi pilu Agar kau tahu bagimana aku menunggu Datangmu membawa setangkup rasa

Menjelma bunga pada kerling cahaya

13.04.2021

34 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

35S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

Rissa Churria

BISIK SAKRAL PANCAWIYASA

Saat bulan terpenggal mendung Malam belum usai bercerita Mata kita saling bertatap Kau mengecup suasana mesra Merituali hening dengan sajak cinta Berikrar setia menjadi imam Hingga bermukim di kampung keabadian kasih

Inilah panah pancawiyasa yang kau beri itu Tiap waktu kupandang dan kugenggam Menjadi wasiat yang kurawat dan jaga Menjadi pengikat cinta menuju padang keabadiaan

Usai tawasul aku bercakap Memesrainya dengan semesta

Wahai pancawiyasa maskawinmu pada kesucian cinta Demi cahaya yang menitis pada alam Demi cahaya yang menitis pada ruh Demi cahaya yang menitis pada hati Demi cahaya yang menitis pada gerak laku Demi cahaya yang menitis pada detak ingin Demi cahaya yang menitis pada pikir Menyatu Melebur Hadir Hadirkan apa yang ingin kau tunjukkan Pandanglah apa yang ingin engkau lihat Riuh Senyap Pahit Asin Sirri atau terang Gambar apa yang ingin engkau kabar Masuklah bersama angin Merembes bersama air Datanglah cahaya mi’rajku Lesap bersama cahayamu

Cibinong,01.04.2021

Gambuh R Basedo

KACA BENGGALA DEWA RUCI

Lamun tuhu Hameguru kaki

Hanuladha Kalawan Bimasena Datan wonten sujanane Lelampahnya jinangkung Rujakpala kinimpet kempit Jumangkah kanthi gagah Kalbunira muhung Hu dadha suwung manembah Esti manah pepanggihan marang Gusti Galih wening manuggal

Bila engkau sungguh berguru Lihat teguh tekat niat Bimasena Tiada sakwasangka Membuang pongah, tidak merasa bisa Jumangkah gagah menendang penghalang Suwung renung manembah Bertemu lalu yang disembah Galih wening manunggal

Wahai Bimasena Kau adalah bayangan Bila kau gelap akulah terang Bila kau marah akulah kesabaran Bila engkau rindu akulah cinta Maka bening dentingkan saja bila bilamu

Kauaku dalam tunggal raga Mari sepakat mandi taubat tirta prawita inti samudra Sowan lalu lebur dalam Maha Cahaya

Rembang, 01.04.2021

l Karya: Gatot Eko Cahyono l Judul: Petani yang Tetap Miskin l Medium: Pinsil warna di karton

l Ukuran: 30x40 cm

35S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

36 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

ELAMAT datang di Desa Loklahung tertulis begitu indah di pintu gerbang, ya itulah nama desa yang akan menjadi tempat pengabdian kami selama sepekan yang akan datang. Setelah

melewati gerbang desa kami menuju rumah warga yang akan menjadi tempat penginapan. Di desa itu mayoritas masyarakatnya beragama nonmuslim sehingga kami harus bisa beradaptasi dengan mereka. Saat menuju penginapan banyak anjing dan babi yang berkeliaran, aku merasa sangat ketakutan tapi salah satu kakak panitia mengatakan kalau itu binatang peliharaan masyarakat di desa itu sehingga sudah dijinakkan. Sesampainya di penginapan kami pun duduk sebentar mengistira-hatkan badan. Perjalanan yang begitu melelahkan tapi lelah kami terkikis ketika memasuki desa itu, udaranya yang sejuk membuat pikiran kami segar kembali. Setelah beristirahat beberapa menit, kami pun bersiap untuk salat dzuhur karena desa itu tidak ada musala kami pun salat berjamaah di penginapan. Kegiatan kami pun dimulai setelah makan siang.

“Setelah ini kita ada kegiatan bersih-bersih di lapangan sekolah untuk mempersiapkan kegiatan malam ini dan jangan lupa bawa alat kebersihan masing-masing,” pengumuman yang disampaikan oleh salah satu kakak panitia setelah makan bersama.

Jarak lapangan sekolah dengan penginapan cukup dekat tapi kakiku terasa berat untuk melangkah, rasa lelah masih mendekap tapi tak ada waktu untuk beristirahat. Kami harus bergegas pergi ke lapangan sekolah. Di sana sudah banyak anak-anak yang menanti kami, ternyata mereka ingin membantu kami membersih-kan lapangan dengan senang hati. Aku sangat senang melihat senyum mereka yang penuh semangat membuat rasa lelah yang kurasakan tadi menghilang entah ke mana. Sembari membersihkan lapangan aku berbincang bersama mereka. Logat bahasa mereka begitu kental terkadang aku tidak mengerti apa yang mereka katakan dan aku hanya membalas dengan senyuman. Setelah bersih-bersih ada beberapa anak-anak yang mengikuti kami menuju penginapan, di tengah perjalanan mereka mengatakan kalau di desa ini ada air terjun yang sangat indah. Setelah mengatakan itu mereka tak segan mengajak kami pergi ke sana untuk mandi bersama, tentu saja kami tidak menolaknya. Kami terlalu asyik bermain air sehingga tidak merasakan kalau senja sudah mulai datang menampakkan sinarnya. Senja di desa itu

S Norliyana Sapitri

KenanganDesiran angin mulai membangunkanku, begitu sejuk menerpa wajahku, kulihat

dari balik jendela bus tua tampak gunung-gunung menjulang tinggi di sisi kanan dan

kiri kami, pemandangan itu begitu me mesona karena tak bisa

kami temui di kota. Teman-temanku sibuk mengabadikan

momen itu dengan gawai mereka tapi aku hanya berdiam diri menikmati begitu

sejuknya angin dari balik jendela bus tua. Di tengah perjalanan aku merasa mual

karena jalan yang berlika-liku dan tanjakan yang begitu curam. Ini

pengalaman pertamaku melewati jalan di antara pegunungan dengan menaiki bus

begitu terasa menakutkan dan membuatku mabuk perjalanan.

Akhirnya kami hampir sampai di sebuah desa yang akan menjadi tempat peng-abdian namun perjalanan kami harus

terhenti di sebuah pedesaan yang terletak cukup jauh dari desa pengabdian

kemudian perjalanan kami harus lanjutkan dengan berjalan kaki karena jalannya yang

sempit sehingga bus tidak bisa masuk. Aku mencoba melihat gawai ternyata

memang benar di sini sudah mulai tidak ada sinyal.

Penjemput

C e r i t a Pe n d e k

36 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

37S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

l Il

ustra

si: A

goes

Noo

rterlihat begitu indah dan memesona mungkin karena teng-gelamnya di antara pegunungan di desa, aku sangat kagum melihatnya sehingga aku lupa untuk mengabadikannya. Aku agak kesal, tapi aku berpikir masih ada hari berikutnya untuk melihat dan mengabadikannya.

Kala malam tiba, kami sudah berada di lapangan sekolah untuk menyiapkan malam ramah-tamah bersama warga. Kegiatan ini kami adakan untuk berbaur dan mengakrabkan diri dengan masyarakat dan anak-anak di desa. Warga datang dengan antusiasnya bersama anak-anak mereka. Kami disambut dengan ramah dan hangat oleh mereka meskipun kami berbeda agama. Kami juga menyesuaikan kegiatan ini dengan mereka agar mereka tetap merasa nyaman berbaur dengan kami. Ternyata kegiatan kami malam ini tak berjalan sesuai rencana, warga meninggalkan kami di pengujung acara. Satu per satu dari mereka pamit pulang dengan alasan yang berbeda-beda. Tidak heran di desa memang sangat berbeda dari di kota. Warga di desa ini tidak biasa keluar malam untuk mengikuti sebuah acara. Kegiatan malam ini pun kami tutup walaupun acara belum selesai sepenuhnya. Setelah itu kami bergegas pergi ke penginapan untuk beristi-rahat. Tapi aku tidak bisa tidur karena banyak sekali nyamuk ditambah udara di desa ini begitu dingin dan kami hanya

tidur ber alaskan lantai kayu. Saat mataku hampir tertutup aku mende ngar suara dengkuran temanku yang begitu keras, membuatku tersenyum sendiri di malam itu. Sepi begitu terasa di desa ini membuat aku tertidur dengan sendirinya.

Angin dingin menyergap tubuhku dan membangunkanku, kutengok jam dinding di penginapan itu, ternyata menunjuk-kan pukul empat lewat lima belas menit, hatiku berkata, “Ah masih sempat tidur sebelum subuh.” Tetapi ketika aku me-lihat ke arah dapur, aku terkejut ternyata teman-temanku sudah bangun bahkan ada yang sudah mandi untuk persiap-an salat subuh. Aku pun bergegas untuk mengantre mandi dan melawan rasa dingin yang menyergap tubuhku.

Satu hari sudah berlalu, aku masih saja sulit beradaptasi de ngan lingkungan di sini, namun aku sudah memutuskan untuk mengikuti pengabdian ini, jadi aku harus belajar ber-adaptasi di sini. Hari kedua di desa ini, kami akan melaku-kkan pengajaran di sekolah. Kami sudah dibagi per kelom-pok untuk mengajar dari kelas 1 - 6. Aku merasa sangat gugup karena ini pengalaman pertamaku mengajar di kelas.

“Lisa sudah siap kan? Ayo kita berangkat ke sekolah!” ucap salah satu teman satu kelompokku. Dia terlihat sangat

37S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

38 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

Mereka terlihat sangat antusias mengikuti pelajaran. Di akhir pelajaran kami memberikan apresiasi kepada mereka dengan memberikannya hadiah berupa tumbler agar mereka dapat menggunakan tumbler itu untuk membeli minuman, sehingga mengurangi sampah plastik. Kali ini aku tidak akan melewat-kan untuk mengabadikan momen bersama mereka, kami pun berfoto bersama. Setelah pelajaran selesai kami melanjutkan kegiatan kami yaitu sosialisasi kepada masyarakat di desa.

Hari ini adalah hari ketiga aku berada di tempat pengabdian, sepertinya aku mulai terbiasa berada di desa. Gawai yang tidak ada sinyal sudah tidak masalah bagiku, aku merasa tenang di desa ini. Pagi ini kami akan melakukan kegiatan senam pagi bersama, tentunya lapangan sekolahlah yang akan menjadi tempat kami melakukan kegiatan itu, lapangan se-kolah memang tempat yang tepat untuk melakukan kegiatan bersama karena selain luas juga dekat dengan penginapan kami. Setelah kami selesai senam, kami pun pergi ke air terjun lagi untuk melepas penat dan mandi bersama anak-anak. Ketika berada di air terjun itu aku merasa sangat nyaman, airnya terasa sangat menyegarkan tempat yang cocok untuk melepas penat setelah kegiatan.

Hari demi hari berjalan begitu cepat tidak terasa sudah seminggu kami berada di desa ini. Tepat hari ini adalah hari kepulangan kami, sebenarnya aku masih ingin berada di desa ini tapi waktu pengabdian kami sudah usai. Aku sangat sedih dan pasti akan merindukan senyum manis anak-anak dan ramahnya masyarakat di desa ini, rindu pada senja di atas pegunungan dan air terjunnya. Namun, di setiap pertemuan pasti ada perpisahan, itulah yang akan terjadi. Aku hanya bisa berharap kegiatan yang kami lakukan ini dapat bermanfaat bagi masyarakat dan anak-anak di desa ini.

Suara petir menggelegar menyadarkanku dari lamunan, aku tersadar ternyata pengabdianku itu berlangsung sudah satu tahun silam. Namun kenangan itu masih terukir jelas di benakku. Itu adalah pengabdian pertamaku yang memberikan banyak pelajaran berharga untukku. Di desa itulah aku bela-jar banyak hal mengenai arti toleransi dan makna berbagi.

NORLIYANA SAPITRI

Tempat, tanggal lahir: Bamban, 26 Juni 1999 Jenis Kelamin: Perempuan Alamat: Bamban Rt 01 Rw 02, Kec. Angkinang, Kab. Hulu Sungai Selatan Nomor Telepon: 083841822536 Email: [email protected]

bersemangat untuk mengajar hari ini karena melihat seman-gatnya itu aku pun juga tidak mau kalah darinya, aku juga harus semangat dan memberikan contoh yang baik untuk anak-anak di desa ini. Aku pun mengembuskan napas panjang.

“Huuh bismillah, yuk kita berangkat!” jawabku dengan penuh semangat dan rasa lega.

Bangunan yang berwarna merah dengan garis putih di te-ngahnya sudah di depan mata, cat dindingnya yang terkelupas membuat sekolah ini terlihat sangat lusuh ditambah papan-nya yang sudah lapuk dimakan usia membuat hati teriris ketika melihatnya. Ketika sudah sampai di sana kami langsung memasuki ruang kelas yang sudah ditentukan sebelumnya. Aku dan kelompokku harus mengajar di kelas dua, kami pun langsung memasuki ruangannya. Kami disambut dengan penuh semangat oleh anak-anak yang sudah tidak sabar menunggu kami. Melihat semangat dan senyum anak-anak itu membuat rasa gugupku hilang dengan sendirinya, terkalahkan oleh rasa senang dan bahagia bisa berbagi ilmu dengan me-reka. Kami mengajarkan mereka tentang menjaga kebersihan di lingkungan sekitar dengan cara membuang sampah pada tempatnya dan mengajarkan kerajinan tangan dengan me-manfaatkan botol plastik bekas untuk dijadikan kotak pinsil.

C e r i t a Pe n d e k

38 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

39S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

K o m u n i t a s S e n i

ARYA seni tersebut selain memiliki nilai keindahan, juga memunyai fungsi untuk dapat digunakan sebagai seni terapan (applied art). Para perajin yang

berkecimpung di pembuatan karya seni ini memunyai keterampilan tangan dengan keahlian luar biasa dan sangat detil. Mereka pun dapat memanfaatkan bahan baku dari limbah yang tidak terpakai atau barang bekas yang tidak lagi digunakan oleh masyarakat, lalu mereka ubah menjadi suatu bentuk karya yang punya daya jual dan bercita rasa seni yang tinggi.

Satu di antaran kelompok peseni kerajinan tangan yang bergeliat menghasilkan karya seni sejenis ini adalah Komu-nitas Seni Kembang Abadi yang berdiri sejak 12 Desember 2019 di kaki Gunung Salak, atau tepatnya beralamat di Desa Gunung Bunder Satu, Kampung Legok Leumeung, Keca-matan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Komunitas itu digagas oleh Muali Midih, Miftahudin bersama beberapa pelestari budaya setempat seperti Johari, Deden, Zulkarnain, dan Djagat Kelana Djayadikusuma selaku pembina. Hasil karya seni kerajinan tangan yang mereka buat berupa hiasan atau pajangan berbentuk bunga-bungaan dan pohon

Komunitas Seni Kembang Abadi

K

Salah satu jenis karya seni yang sesungguhnya cukup banyak ditemui di sekitar kehidupan masyarakat sehari-hari adalah hasil karya seni kerajinan tangan atau disebut pula seni kriya.

Angkat Harkat Seni Kriya

bonsai. Mereka mengolah banyak bahan baku dari limbah yang tidak terpakai seperti cangkang atau lidah keong sawah, filter rokok, akar, atau ranting pohon jambu tua, pohon kemuning, batu menhir, dan styrofoam bekas.

39S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

40 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

Dalam sehari per perajin mampu menghasilkan dua atau tiga hiasan bunga dan pohon dengan berat masing-masing berkisar 1 sampai dengan 2,5 kilogram. Saat pembuatan, awal-nya cangkang dan lidah keong dibersihkan dengan media sem-prot cairan bakteri, sedangkan akar dan ranting pohon jambu dibentuk menyerupai pohon bonsai, lalu cangkang dan lidah keong dirangkai bersama filter rokok serta styrofoam sebelum di-finishing dengan cat akrilik.

K o m u n i t a s S e n i

perlahan proses produksi biola tersebut akan kembali digiatkan meskipun tak mendapatkan sokongan dana dari Pemda setempat.

Muali yang merupakan alumnus Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) atau saat ini disebut Institut Kesenian Jakarta (IKJ) menuturkan, tujuan digagasnya komunitas seni kerajinan tangan di Kampung Legok Leumeung ini adalah membangun potensi industri kreat-if masyarakat setempat dan mengangkat sejarah seni-bu-dayanya. Maka ia pun di tempat itu mulai pula melakukan pembinaan kesenian lainnya sepertì musikalisasi puisi, sastra, teater, musik kreasi biola, dan kendang, serta pencak silat.

Wahyu Toveng - Sumber: Muali Midih

Hiasan dan pajangan berbentuk bunga dan pohon bonsai karya mereka itu cukup unik dan menarik untuk menghiasi ruang tamu, kamar hotel, meja resepsionis, lobi, dan ruangan kantor. Satu di antara perajin yang digandeng Muali untuk menggagas komunitas ini yaitu Miftahudin, sebelumnya adalah seorang perajin biola yang hasil karya biola standarnya telah diakui oleh maestro biola Idris Sardi. Ketika itu bahan baku untuk membuat biola ia gunakan dari kayu jati Landa, kayu ke-capi sungke, dan kayu Lame, dengan waktu pembuatan sekitar satu bulan. Harga per unitnya berkisar Rp 2,5 juta. Muali mengungkapkan bahwa Pandemi Covid-19 cukup memukul produksi pembuatan biola sehingga ia kemudian mengarahkan Miftahudin untuk beralih men-jadi perajin hiasan dan pajangan bunga/ pohon, meski

40 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

41S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

“Siapapun yang tinggal di Jakarta itu butuh kesenian.

Kesenian adalah penghalus jiwa, sehingga dengan berkesenian,

dengan menonton kesenian, dengan mengapresiasi

kesenian, manusia bisa ada keseimbangan.” Kalimat ini

dinyatakan oleh Sarnadi Adam ketika diwawancarai oleh salah

satu stasiun TV swasta dalam acara bertajuk Saksi Perubahan

Kota Jakarta.

Sarnadi AdamKonsisten Melukis tentang Masyarakat Betawi

G e l i a t S e n i R u p a

ARNADI Adam adalah peseni berkebangsaan Indonesia kelahiran Jakarta, 27 Agustus 1956. Namanya dikenal melalui karya-karyanya dalam bentuk seni rupa. Dia adalah satu di

antara pelukis yang dimiliki oleh masyarakat Betawi yang berkiprah di kancah nasional maupun internasional. Lahir dan besar di kawasan Simprug, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, sejak usia muda lelaki asli Betawi yang akrab dengan panggilan Babe Nadi ini sudah mengakrabi dunia seni, utamanya seni rupa. Hingga kini dia tinggal di kampung halamannya itu dan masih setia melukis tema-tema kehidupan masyarakat Betawi yang dicintainya.

Bagaimana Sarnadi bisa nyemplung dalam dunia seni lukis, lalu kepincut dengan tema Betawi? “Saat berusia enam tahun, awal sekolah dasar (SD), saya suka corat-coret dengan ranting di atas tanah basah sehabis hujan,” ucapnya. Dia banyak menggambar pentas seni-budaya Belawi di kampung-kampung saat itu. Ada tanjidor, tari

S

cokek, ondel-ondel, atau lenong dengan Iakon seperti Si Pitung, Si Jampang, atau Nyai Dasima. Kenangnya, “Kalau pas hajatan, orang bikin panggung pentas seni, semua tumplek blek ke situ.”

Masuk SMP, dia terus melukis dan beberapa kali menang lomba. Seorang guru Aljabar (Matematika), Suminto, menyarankan Sarnadi agar meneruskan belajar ke Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI) di Yogyakarta. Saran yang menggoda, dan ia pun mengikutinya. Begitu lulus SMP pada 1974, Sarnadi muda mendaftar di SSRI untuk mempelajari dasar-dasar seni lukis, patung, keramik,

S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

42 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

G e l i a t S e n i R u p a

atau grafis. Dia juga menjajal berpameran di beberapa kota bersama teman-temannya yang kemudian menjadi perupa, di antaranya Dede Eri Supria, Dadang Christanto, Nyoman Erawan, dan Ivan Sagito. Di kampus inilah ia benar-benar mengawali debutnya sebagai perupa.

Ia tak pernah mengira goresan sketsa berupa gambar kepala manusia pada tanah becek semasa kecilnya abadi

menginspirasi hidupnya. Kenangan indah itulah yang kemudian menjadikan titik awal kesadaran sekaligus kecintaannya terhadap kampung halaman, Simprug—Tanah Betawi yang selalu di hati. Ia punya beragam cara dalam memotret masyarakat Betawi, baik lingkungannya, individu maupun secara komunal. Tak segan-segan memperlihatkan masyarakat yang berjualan di pasar tradisional pada lukisan, juga potret realitas masyarakat

sehari-hari yang ia tuangkan melalui media lukisan.

42 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

43S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

Selesai dari SSRI (1979), Sarnadi lanjut kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta agar lebih mendalami berbagai ekspresi seni rupa. Beruntung, dia juga belajar

bahkan sejumlah pejabat Pemerintah Daerah DKI Jakarta berlangganan mengoleksi karyanya.

Sebelum munculnya Sarnadi Adam, tak ada orang Betawi dalam peta seni lukis di Indonesia jika dibandingkan Yogyakarta dan Bali, misalnya yang telah melahirkan banyak pelukis dengan corak dan tema yang kuat dan khas. Namun, pada 1978, pelukis sekaligus dosen seni rupa ini telah berkomitmen untuk secara konsisten melukis tentang Betawi. Di tengah maraknya peseni urban, ia mampu membuktikan bahwa Betawi memiliki corak dan tema yang tak kalah kuat. Betawi dikenal memiliki nilai artistik yang bisa diungkapkan dalam seni lukis secara maksimal. “Saya melihat Betawi sangat kaya dan beragam mulai dari seni pertunjukan, musik, dan tariannya–akulturasi berbagai bangsa yang tidak habis divisualisasikan dalam seni lukis,” katanya.

Tak hanya tema-tema tentang seni Betawi, perupa berusia 65 tahun ini juga menggambarkan kehidupan sosial masyarakat Betawi. Misalnya, bagaimana

dari beberapa dosen yang juga pelukis seperti Fajar Sidik, Aming Prayitno, dan Widayat. Lulus pada 1985, dia pulang ke Jakarta. Tahun berikutnya dia diterima sebagai pengajar di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, Jurusan Seni Rupa, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jakarta yang kini menjadi Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

Di Jakarta, Sarnadi merasakan tanah kelahirannya kian berubah. Pembangunan makin gencar, tetapi masyarakat Betawi justru terpinggirkan. Tergugahlah dia untuk merekam pergeseran itu. Suatu kali, dia melukis seorang petari Betawi yang duduk termenung, seperti galau dengan perubahan. Lukisan itu ditampilkan dalam pameran bersama di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, 1995. Ternyata,

Gubernur DKI Jakarta saat itu, Soerjadi Soedirdja dan Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi Joop Ave tertarik. “Pak Joop Ave membeli lukisan itu dan menyerahkannya kepada Pak Soerjadi,” kenangnya seraya tersenyum. Pengalaman itu membuat hati Sarnadi berbunga-bunga. Dia kian percaya diri, terus melukis, dan memamerkan karyanya di banyak kota di Tanah Air. Sambutan pasar cukup baik,

44 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

G e l i a t S e n i R u p a

silaturahmi kental yang terbangun pada masyarakat Betawi mulai dari kegiatan makan di warung nasi uduk hingga acara kondangan. “Saat kondangan, mereka berjalan beriringan dengan pakaian yang cerah, seperti kuning, hijau, dan biru. Saya berangkat dari kehidupan sosial mereka,” ujarnya.

Secara teknis, ciri khas lukisan Betawi yaitu mampu menciptakan bentuk dan warna-warna yang cerah. Warna-warna yang spesifik merupakan cerminan dari karakteristik kehidupan orang Betawi. Selera ini juga diminati oleh pecinta seni dari mancanegara. Tak ayal jika Sarnadi sering kali menggelar pameran

juga akademis bergelar doktor ini pernah mencoba berbagai bentuk kontemporer-modern. Mulai dari realis, ekspresionis, abstrak. Kemudian pada tahun 1984, ia lebih memilih dekoratif nostalgis. Sebagai seniman yang terus mengeksplor banyak hal, ia tak bisa hanya berhenti pada satu bentuk. Itu artinya, perubahannya bersifat personal seiring curahan hati sang pelukis. Namun, Sarnadi mengaku akan setia pada tradisi Betawi— ‘rumah’ yang tak pernah gagal membesarkan namanya. “Saya tak akan lari dari seni budaya Betawi. Karena itu rumah saya, dan tak ingin rumah ini kosong. Jadi harus diisi,” ujarnya.

ke luar negeri, seperti Belanda, Swiss, China, hingga Amerika. Pada 1992, atas undangan Mr AQ Jansen SH, Verheijen BV, dan De Berger Verwarming Industrie BV Nerderland, dia mengadakan pameran di beberapa negara Eropa di antaranya Belanda. Itu mengawali pameran berikutnya di negara-negara lain, seperti Amerika Serikat, Perancis, Swedia, Tiongkok, Thailand, dan Filipina. “Ketika di luar negeri, saya benar-benar merasa sebagai orang Indonesia karena membawa lukisan Betawi,” katanya. Pada 1994, ia diundang kembali untuk

berpameran oleh Mr AQ Jansen SH, Mr Th W Dekker Managing Direktor DeMaco Holland BV, dan Mrs Judith L Densky dari perusahaan asuransi di Amerika Serikat. Pada Februari 1996, Prof DR Hector Julio Perez, kurator museum seni rupa Argentina mengundang pula untuk berpameran tunggal di Museum Mendoza, San Rafael, Republik Argentina. Beberapa pameran tunggalnya di luar negeri, di antaranya di Amsterdam dan Swiss pada 2002, pameran tunggal di Thailand (Kedutaan Besar RI) pada 2006, dan Den Haag, Netherland pada 2009.

Dalam pencarian proses kreatifnya itu, pelukis yang

S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

45S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

Sejak 1985, dia kepincut untuk menggarap kehidupan seni budaya masyarakat tradisional Jakarta itu sebagai tema utama karya-karyanya. Hingga kini, saat ekspresi seni rupa kontemporer Indonesia kian atraktif, dia masih menekuni pilihan tersebut dengan berbagai tantangannya. “Melukis tema Betawi itu tanggung jawab saya. Saya akan tetap di jalur ini. Kalau saya lari, nanti siapa yang menggarap tema ini?” kata Sarnadi. Demikian pula kesetiaannya untuk merawat Betawi hingga akhir hayatnya. Tentu, di usianya yang tak lagi muda itu, ia juga tengah berjuang menyiapkan kader-kader penerusnya agar seni lukis Betawi tak punah. “Tidak peduli apakah dia Betawi atau bukan. Asal yang penting ia mau melukis tentang Betawi,” kata lulusan Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini.

Seni rupa Indonesia terus menggeliat. Gairah kontem-porer isme dunia internasional telah mendorong ekspresi yang lebih cair, menerabas batas-batas disiplin seni, memperluas audiens, serta mendorong bermacam modus penciptaan karya. Lukisan di atas kanvas hanya satu medium konvensional di tengah tawaran beragam medium baru seumpama video, instalasi, performance

ingin tetap di sini, menjaganya, memeliharanya”.

Saat ditemui tim Semesta Seni, terlihat di depan rumah Sarnadi Adam terpampang sebuah lukisan besar yang belum selesai. Sosok-sosok perempuan berselendang ala petari cokek sedang berjalan beriringan. Ya, itu merupakan salah satu karya yang ia garap di tengah kondisi Pandemi Covid-19. Pandemi Covid-19 memang memaksa adanya pembatasan hingga nihilnya semua kegiatan para peseni. Namun, di tengah kondisi ini, Sarnadi justru semakin produktif berkarya karena banyaknya waktu bekerja di rumah. Adanya pembatasan rupanya justru memberikan hikmah tersendiri bagi pelukis kawakan ini. Adapun sejak setahun lebih Pandemi Covid-19 melanda Indonesia, ia mengaku telah menghasilkan 15 karya. Sementara di awal 2021 ini, ia telah membuat tiga lukisan. “Justru semakin produktif karena sekarang mengajar juga dari rumah. Jadi semakin banyak waktu di rumah,” kata dia.

Sudah 32 tahun Sarnadi menekuni tema ini. Selama itu sudah 45 kali dia berpameran tunggal dan banyak lagi pameran bersama. Kanvas-kanvasnya selalu dipenuhi

art, atau bermacam street art. Dalam situasi demikian, Sarnadi bersikukuh dengan lukisan bertema Betawi. Ini adalah bentuk tanggung jawabnya sebagai putra Betawi. Apalagi, lukisan-lukisan itu juga cukup diapresiasi, bahkan di luar negeri. Sebagian kalangan menganggap pilihan Sarnadi yang terus menekuni lukisan Betawi sebagai kesetiaan. Namun, muncul juga kritik yang menilai sikap tersebut sebagai keengganan untuk keluar dari zona nyaman. Terhadap semua itu, Sarnadi menukas,

“Betawi ini rumah saya. Saya

45S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

46 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

G e l i a t S e n i R u p a

pemandangan budaya Betawi, mulai dari kehidupan sehari-hari, pertunjukan seni tari cokek, lenong, ondel-ondel, perkampungan, kebun, tanjidor, hingga gaya hidup warga yang kaum urban. Semangat itu juga diperlihatkan dalam pameran tunggalnya bertajuk Betawi dalam Lukisan di Bentara Budaya Jakarta yang berlangsung dari 2 hingga 12 Juni 2021. Lukisannya merupakan rekaman visual tentang kehidupan masyarakat tradisional Jakarta, lengkap dengan romantisisme dan problematikanya.

Tengok saja lukisan Antara Kerawang­Tangerang (2014). Karya ini menampilkan puluhan perempuan petari cokek yang berjalan beriringan. Mereka mengenakan kain, kebaya, dan selendang. Pohon-pohon asam yang

dengan citra hanya dua dimensi, dia menonjolkan detil ornamentasi atau pernak-pernik hiasan. Adegan dikemas secara naratif sehingga lebih bercerita. Karakter terbuka warga Betawi diwakili warna-warna yang segar. Merah, hijau, kuning, atau ungu dipadupadankan begitu saja. Pencapaian itu mencerminkan penghayatan Sarnadi terhadap budaya masyarakat di ibu kota.

Melalui lukisan, perupa Betawi ini mendokumentasikan kehidupan masyarakat Betawi yang sebagian telah berubah atau tergerus oleh pembangunan ibu kota. Lukisan memang sulit mencegah kian lunturnya budaya komunitas itu, tetapi minimal merekam nilai-nilai tradisi, terutama kebersamaan dan keterbukaan, untuk

rimbun menghiasi latar belakang. “Tari cokek semakin jarang dipentaskan. Petarinya semakin sedikit, seperti di Tangerang,” katanya. Masih soal petari, lukisan Cokek Pulang Kampung (2013) menunjukkan peralihan gaya hidup dari tradisonal menuju modern. Beberapa petari memakai kebaya, celana jins, dan sepatu bot berhak tinggi. “Sejak dulu masyarakat Betawi terbuka. Makanya, ada pengaruh budaya China, Sunda, Jawa, bahkan Arab,” ujarnya.

Pada lukisan 489 Wajah Ondel­ondel (2016), tampak ratusan wajah ondel-ondel dalam bermacam ekspresi: marah, sedih, gembira, tenang, atau termangu. Meski masih rutin ditampilkan terutama pada ulang tahun DKI Jakarta, nasib seni ini juga tak menentu.

Lukisan-lukisan lain memotret kenangan lama yang tergusur perubahan zaman Ada pohon-pohon besar, tanah lapang, keseharian warga yang bersahaja, atau rumah kayu tradisional. Sarnadi melukis sebagian objek itu berdasarkan ingatan “Saya rindu pada masa indah itu,” katanya.

Kenyataan masalah, atau romantisisme kehidupan masyarakat Betawi berdenyut hidup dalam lukisan Sarnadi. Dengan gaya dekoratif, dalam arti objek dilukis secara datar

S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

47S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

diwariskan kepada generasi baru. Kerasnya kehidupan di ibu kota membuat warganya seringkali harus berakrobat dalam menjalani kehidupan. Penumpang yang dengan santai memanjat naik ke atap gerbong kereta dan main gaple di situ adalah salah satu akrobat kehidupan yang diabadikannya.

Sepanjang karier melukisnya yang telah melewati 3 dasa-warsa, Sarnadi Adam telah mengoleksi sederet peng-hargaan bergengsi, di antaranya adalah sebagai berikut:

l Prahtka Adhi karya Yogyakarta (1975) l Penghargaan dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1984) l Dosen teladan Universitas Negeri Jakarta (1996) l Pelukis terbaik DKI Jakarta dari Gubernur DKI Jakarta (2000) l The Best Indonesia Profesional of the Year (2000) l Satya Lancana Karya Satya X Tahun dari Presiden RI (2000) l The Exclusive Figure in Asia 2003 dari Wakil Presiden RI (2003) l Jelajah Seni Rupa Nusantara (2019).

Ritmanto Saleh/ IH/ Berbagai sumber

TENTANG SARNADI ADAM

Lahir: Jakarta, Z7 Agustus 1956 Istri: Tri Minarni Anak - Cifra Nadia Putra - Dera Ikhtiara

Pendidikan: - SD Petang Kebayoran Lama (1967) - SMP 19 Kebayoran Baru (1974) - Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI) Yogyakarta (1979) - S-1 Seni Rupa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta (1979-1985) - S-2 Program Seni Rupa ISI (1998-2000) - S-3 Program Seni Rupa ISI (2012-sekarang)

Pekerjaan: - Pelukis - Pengajar Program Studi Pendidikan Seni Untversitas Negeri Jakarta (1986-sekarang)

Kiprah sosial: - Anggota Dewan Kesenian Jakarta (2009-2012) - Anggota Dewan Kesenian Jakarta (2013-2015)

S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

48 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

B-Flat Band

Pertama Pelestari

Lagu-lagu Koes Plus

K u l i k M u s i k

Fakta berbicara bahwa Koes Plus adalah salah satu kelompok terpenting dalam perkembangan musik Indonesia. Kreativitas dan dedikasi para personelnya telah diuji oleh waktu beserta serangkaian peristiwa yang pernah mereka alami dalam menapaki karier dalam bidang musik Tanah Air yang penuh dengan tantangan.

48

49S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

ARYA-KARYA mereka selalu terasa dekat dengan masyarakat musik Indonesia walaupun mereka seringkali memainkan irama-irama impor, bahkan

ada di antara lagu-lagu mereka yang berbahasa Inggris.

Kecintaan penggemar musik Indonesia terhadap Koes Plus pun tak terbendung walaupun di awal karier para personel band ini pernah merasakan hidup di balik jeruji penjara karena idealisme mereka dalam bermusik. Karya-karya mereka pun tetap terdengar setelah melintasi beberapa generasi bahkan cenderung semakin abadi. Banyak lagu Koes Plus dibawakan ulang oleh pemusik-pemusik dari generasi ke generasi baik secara orisinal maupun dengan aransemen baru, bahkan

ada banyak band yang sengaja mengkhususkan diri untuk membawakan hanya lagu-lagu Koes Plus. Satu di antaranya yang paling menonjol di antara band-band ini adalah B-Flat yang dipunggawai oleh Arief (kibor), Rody (gitar/ vokal), Hans (bas/ vokal), Arwet (vokal utama/ gitar), dan Ifan (drum) yang menjadi drumer keempat setelah Joko, Eko, dan Wahyu.

B-Flat terbentuk pada pertengahan ‘80-an di Jakarta. Awalnya mereka mulai sebagai pengusung lagu-lagu The Beatles dan band-band lain yang populer pada era yang sama. Seiring dengan berjalannya waktu, dikarenakan satu-dua hal dan juga tingkat kemiripan vokalis utama dengan vokal Yon Koeswoyo dalam berbagai aspek,

K

50 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

K u l i k M u s i k

maka kemudian B-Flat sepakat untuk mengkhususkan diri pada lagu-lagu Koes Plus/ Koes Bersaudara. Sejak saat itu setelah beberapa kali ganti formasi, sampai sekarang dengan formasi terakhirnya B-Flat dikenal sebagai duplikat Koes Plus/ Koes Bersaudara, dengan pengakuan dan dukungan dari drumer Koes Plus sendiri yaitu Murry.

Atas dasar inilah B-Flat terus melaju melanglang buana dan sempat juga berkarya dalam beberapa album, baik B-Flat sendiri maupun bersama Murry. B-Flat dengan tingkat kemiripan vokal dan musik yang signifikan seperti layaknya Koes Plus/ Koes Bersaudara, membuat setiap penampilannya ditunggu penggemar dari semua kalangan, karena bukan hanya dapat merasakan suasana nostalgia, tapi juga bisa terhibur. Panggilan manggung pun datang silih berganti, tak jarang mereka tampil di lebih dari satu tempat dalam sehari. Ini menyebabkan mereka semakin serius mengulik repertoar Koes Plus demi mempersiapkan diri sebaik-baiknya menghadapi permintaan lagu dari penonton.

Pihak Koes Plus sendiri telah memberikan restu kepada B-Flat untuk terus membawakan lagu-lagu mereka karena, lebih dari sekadar apresiasi, ini adalah sebuah tindakan pelestarian. Ketika Yok Koeswoayo memutuskan untuk berhenti dari Koes Plus, maka Yon Koeswoyo memilih Hans dari B-Flat untuk menggantikannya. Pada masa vakum Koes Plus sekitar ‘90-an, beberapa kali Murry tampil bersama B-Flat sebagai bintang tamu sekaligus pengasuh mereka. Ada dua album yang sempat mereka hasilkan pada era ini.

Pelestarian karya Koes Plus/ Koes Bersaudara dipelopori oleh Radio P2SC yang sejak ‘80-an menyiarkan acara Album Koes Plus (AKP). Mereka terkadang mengadakan juga acara jumpa fans di rumah para anggota Koes Plus di sekitar Radio Dalam dan Haji Nawi. Ketika itu belum ada band yang terang-terangan menyatakan diri sebagai pelestari Koes Plus/ Koes Bersaudara. B-Flat bisa dikatakan adalah band pertama yang mengambil inisiatif ini. Mereka sudah mengawalinya sejak sebelum adanya booming komunitas pelestari Koes

Plus/ Koes Bersaudara dan kelompok-kelompok musik yang sekarang ini ada banyak di YouTube.

Dengan semakin berkembangnya teknologi internet dan medsos, sekarang ini sudah tak terhitung jumlah komunitas dan kelompok pelestari Koes Plus/ Koes Bersaudara yang tersebar di seluruh di Indonesia. Sejak 2004 mereka tergabung dalam forum komunikasi berskala nasional yaitu Jiwa Nusantara yang diketuai oleh Suyamto Dandun. Nama Jiwa Nusantara ini diambil dari judul salah satu lagu Koes Plus.

Pandemi Covid-19 memberikan pukulan keras kepada pebisnis hiburan di seluruh dunia tak terkecuali B-Flat. Jadwal manggung yang tadinya selalu terisi menjadi kosong dalam jangka waktu yang sangat panjang. Beruntung ada tempat manggung yang masih memanggil mereka untuk tampil reguler walaupun harus dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat.

Ritmanto Saleh - Sumber: B-Flat

51S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

AUDARA kandungnya bernama Rubby Karno, Tino Karno, Santy Karno, Suty Karno, dan M Nurly Karno. Rano menikah dengan Dewi

Indriati pada 8 Februari 1988 dan dikaruniai 2 orang anak, Raka Widyarma dan Deanti Rakasiwi.

Rano menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah di Jakarta. Ia belajar di SD Van Lith, SMP Van Lith, dan SMA Negeri 6, Jakarta. Ia lulus SMA pada 1979. Setelah lulus. Ia memperdalam ilmu seni peran seperti ayahnya. Untuk mendukung cita-citanya, ia mengambil kursus di Acting Course Hollywood, Los Angeles, Amerika Serikat.

Kariernya di dunia akting berawal dari keikutsertaan Rano pada salah satu film yang dibintangi ayahnya, Soekarno M Noer. Kala itu, ia diajak ayahnya untuk memerankan tokoh anak-anak dalam sebuah film ber-judul Lewat Tengah Malam. Nama Rano kemudian perlahan-lahan mulai dikenal. Ia sudah terlibat dalam film Si Doel Anak Betawi (1972), karya Sju-man Djaja yang diangkat dari cerita Aman Datoek Madjoindo. Di film ini ia menjadi pemeran utama. Sejak itu, prestasinya pun mulai kelihatan. Lewat

S

Rano KarnoIkon Anak Betawi Sepanjang Kariernya

film Rio Anakku (1973), Rano memperoleh penghargaan Aktor Harapan I PWI Jaya (1974). Kemudian, dalam Festival Film Asia 1974 di Taipei, Taiwan, ia meraih hadiah The Best Child Actor. Selanjutnya ia mendapat peran-peran remaja dan dewasa lewat film Wajah Tiga Perempuan (1976), Suci Sang Primadona (1977), dan Gita Cinta dari SMA (1979).

Bakat akting yang diturunkan ayahnya ternyata tidak menguap sia-sia, dia pun lantas bergulat dengan dunia entertainmen secara total. Puluhan judul film dan beberapa sinetron pun berhasil ia bintangi dengan akting yang terkenal memukau dan penuh totalitas. Berkembang dari dunia entertainmen yang semula sebagai aktor, Rano lantas mengepakkan sayap menjadi seorang penulis skenario sekaligus merangkap sebagai sutradara dan memiliki rumah produksi film sendiri yakni Karnos Film.

Ketika industri film Indonesia ‘pingsan’, Rano beralih ke sinetron. Si Doel Anak Sekolahan adalah sinetron paling monumental yang digarapnya bersama sauda-ra-saudaranya dalam Karnos Film. Dalam sinetron yang ditayangkan RCTI pada 1993-1997 itu, di samping

L a t a r Pe s e n i

Rano Karno adalah seorang aktor dan sutradara kawakan Indonesia. lahir di Jakarta, 8 Oktober 1960 adalah putra ketiga dari enam bersaudara pasangan Soekarno M Noer (Minang) dan Istiarti M Noer (Jawa).

51S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

52 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

menjadi sutradara, penulis cerita dan skenario, Rano juga ikut main menjadi Si Doel bersama Benyamin Suaeb. Setelah itu namanya makin berkibar. Beberapa sinetron turunan dengan genre Betawi dia produksi. Si Doel dan Teman­teman (RCTI, 1998), Si Doel Millenium (Indosiar, 2000), Si Doel 6 (Indosiar, 2003), dan Si Doel Anak Ge­dongan (Indosiar, 2005). Selain serial Si Doel, PT Karnos Film juga menghasilkan sinetron Kembang Ilalang dan Usaha Gawat Darurat. Rano juga pernah terjun ke dunia tarik suara. Album perdananya, Yang Sangat Kusayang terhitung cukup laku di pasaran. Pada 2011, Rano bersiap membuat sebuah film tentang kebudayaan Cina-Indonesia berjudul Barongsai Terakhir berdasarkan novel yang ditulisnya. Film ini akan meng-gambarkan Sejarah Kebudayaan Etnis (Cina). Selain itu, Rano juga membangkitkan kembali kisah Si Doel yang lama tenggelam. Lewat film televisi Si Doel Anak Pinggiran, Rano memuaskan kerinduan para penggemar setia Si Doel. Perjalanan Rano dalam dunia entertainmen memang tidak sebentar. Menghabiskan waktu 38 tahun untuk menggeluti dunia hiburan, layak rasanya ia mendapa-tkan banyak penghargaan. Sebut saja penghargaan sebagai Aktor Utama Terbaik dalam Taksi FFI 1991 dan Penghargaan Surjosoemanto dari BP2N (Dewan Film Nasional) 1997, cukuplah membuktikan bahwa karier ayah dua anak ini tidak bisa dibilang main-main.

L a t a r Pe s e n iDalam kehidupan sosial, Rano juga pernah diangkat sebagai duta khusus Indonesia dalam bidang pendi-dikan oleh UNICEF, sebuah badan di PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) yang bergerak dalam bidang pendi-dikan. Rano menjadi duta UNICEF dari Indonesia, atas rekomendasi dari Prof Dr Emil Salim, Mantan Menteri Kesehatan Prof Dr Adhyatma, Ibu Prof Singgih, dan Ibu Prof Murprawoto. Pada 2007, setelah genap 38 tahun berkibar di dunia hiburan, Rano secara mengejutkan mengumumkan niatnya untuk terjun dalam dunia politik. Niat terse-but diumumkan mendekati waktu Pilkada DKI Jakarta, namun sebentar saja diumumkan niatnya, pada akhirnya ia tak ikut mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta pada periode tersebut. Pada akhir 2007, nama Rano kembali muncul di per-mukaan, bukan karena ia membintangi film terbaru, tapi karena ia mengumumkan pencalonan dirinya pada Pilbup Tangerang bersama Ismed Iskandar untuk pe-riode 2008 - 2013. Pada pemilukada tersebut, pasangan Ismed-Rano berhasil mengantungi suara terbanyak, sehingga ia berhak atas jabatannya sebagai Wakil Bupati Tangerang. Namun, pada 19 Desember 2011, ia memutuskan untuk mundur dari Wakil Bupati Tangerang karena ia terpilih menjadi Wakil Gubernur Banten untuk mendampingi Ratu Atut Chosiyah untuk periode 2012 - 2017. Karier politiknya semakin bagus saat ia diangkat men-jadi Gubernur Banten menggantikan Ratu Atut Chosi-yah yang dinyatakan terbukti bersalah oleh pengadilan Tipikor. Rano meneruskan jabatannya sebagai Gubernur Banten hingga 2016.

52 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

53S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

Pada Pilgub Banten 2017, Rano maju dan kalah. Tak lagi menjadi gubernur, Rano kembali ke dunia hiburan. Ia ingin mengulangi kesuksesan sinetron Si Doel Anak Betawi format layar lebar, Si Doel The Movie. Film yang tayang pada awal Agustus 2018 ini mengangkat kisah cinta Si Doel dengan Sarah dan Zainab setelah 14 tahun berpisah. Inilah habitat si Doel sebenarnya setelah sebelumnya mengembara di dunia politik.

Karier l Wakil Gubernur Banten, 2012-2017 l Wakil Bupati Tangerang, 2008-2011 l Direktur Utama Karnos Film l Aktor l Sutradara Penghargaan l Penghargaan Surjosoemanto dari BP2N (Dewan Film Nasional) 1997 l Nominasi FFI: Yang (1984), Ranjau-Ranjau Cinta (1985), Arini I (1987), Arini II (1989), Kuberikan Segalanya (1992) l Aktor Utama Terbaik dalam Taksi FFI 1991 l Pemain Cilik Terbaik FFI 1974 di Surabaya l Best Child Actor FFA 1974 di Taiwan lewat film Rio Anakku (1973) l Aktor Harapan I Pemilihan Best Actor/Actrees PWI 1974.

Theodora Hutadjulu – Berbagai Sumber

53S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

54 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

ASTRA Indonesia yang ditulis dengan latar kebu-dayaan Betawi sempat dikenal pada 1960-an dan 1970-an. Beberapa penulis dimaksud, di antaranya

Aman Datuk Madjoindo (Si Doel Anak Betawi), SM Ardan (Terang Bulan Terang di Kali), dan Firman Muntaco melalui karangan masterpiece-nya (Gambang Jakarta 1, 1960 dan Gambang Jakarta 2, 1963).

Ketiga pesastra ini senantiasa disebut-sebut kritikus maupun pengamat sastra pada masanya. Sedangkan himpunan tulisan mengenai kebudayaan Betawi, yang kemudian dikenal sebagai Jakarta (ibu kota Republik Indonesia) bisa dilihat dari tulisan Zainudin HM--yang seingat penulis banyak dimuat di surat kabar terbitan ibu kota--yang kemudian dibukukan. Di sisi lain, selain nama-nama novelis dan cerpenis yang penulis sebutkan tadi, tentulah tak boleh dilupakan peseni yang meng-angkat tradisi Betawi di kancah nasional. Beberapa nama sudah tak asing lagi, umpamanya Ismail Marzuki (komponis/ pencipta lagu), Ellya Khadam, Benyamin Sueb (penyanyi/ pemain film), Zainudin MZ (Dai Sejuta Umat), Ridwan Saidi (Bu-dayawan), serta JJ Rizal (ahli sejarah). Seiring per-jalanan waktu, kemudian hadir

Novel Lokal Berlatar Betawi

L o k a P u s t a k a

S‘Hijrah’

Yahya Andi Saputra, Zeffry Alkatiri (pesyair), Nur Zaen Hae (penyair/ cerpenis/ esais), dan Humam S Chudori (novelis/ cerpenis/ pesyair/ penulis artikel).

Meskipun asli Pekalongan (Jawa Tengah), oleh karena pergaulan serta pengaruh lingkungan--Humam (64 ta-hun) yang semula banyak menulis cerita pendek dengan Bahasa Indonesia yang tertata--kemudian coba mengi-kuti jejak nama-nama yang diperhitungkan kritikus terkemuka HB Jassin. Tanda-tanda keseriusan menjejaki tradisi literasi Betawi sudah tampak melalui beberapa novelnya, Sepiring Nasi Garam, Gufron, dan Shobrun Jamil.

Novel Humam kemudian yang sangat humanis yang la-hir dengan latar kehidupan masyarakat Betawi berjudul Hijrah (Penerbit CV Prabu Duo Satu, Februari 2021). Kisah yang menceritakan perjalanan hidup sang jawara dari Karet ini, mencoba memaparkan sisi kemanusiaan seorang pesilat yang sangat disegani masyarakat. Bahwa pada akhirnya setiap manusia tak bisa melepaskan diri dari sifat insani. Karena pada dasarnya tiap manusia

tetap memiliki sifat baik dan buruk. Terkadang bisa seperti malaikat, ada pula menjadi seperti setan. Perjalanan hidup Sanwani, sebagai seorang jawara yang

disegani masyarakat tidak membuat sang anak (Sabeni) mengikuti jejak ayahnya.

Novel Hijrah terdiri dari fragmen/ episode. Bagian Satu ada 14 fragmen/ episode: Kencan Pertama,

Pengakuan Mamat, Undangan Perkawinan, Peristiwa Palmerah, Mimpi Buruk, Badik Ber­gagang Gading, Di Rumah Dudung, Lapor Polisi, Kegeram an Muin, Teror Malam Hari, Sang Gegaman Kembali, Urungkan niat, Kabar Berantai, dan Menjadi Seorang Ayah. Bagian dua ada 10 fragmen/ episode: Memborong Es Kenong, Ketika Sang Jawara Cemburu, Luruhnya

Kewibawaan, Sang Guru Telah Tiada, Pencitraan, Minta Disumpah, Perasaan Mardud, Penyesalan, Ditinggal Orang­orang Tercinta, dan Hijrah.

Humam, Puisi, dan Cerita Pendek

Apalah artinya puisi? Puisi hanya sebatas ungkap-an yang tersaji dengan bahasa linier. Ia mudah ditulis. Namun, masalahnya bukan hanya sekadar sebagai bahasa tulis. Se mudah-mudahnya puisi

Nanang R Supriyatin*

54 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

55S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

Novel Lokal Berlatar Betawi

dicipta, pastilah terkandung nilai-nilai historis. Chairil Anwar, mungkin dalam hidupnya hanya menulis puisi (murni) kurang dari 100 puisi. Tapi coba perhatikan dan amati, bagaimana puisi-puisi Chairil mampu menusuk jiwa-raga hingga mengobarkan heroisme? Dan, pada masanya HB Jassin, Iwan Simatupang, Arifin C Noor, dan sebagainya, juga pernah melahirkan karya puisi. Untuk cipta puisi, mereka termasuk tidak produktif.

Tapi, dikarenakan Jassin sudah lebih dulu diakui sebagai kritikus dan penerjemah. Iwan diakui sebagai novelis. Dan Arifin, kita tahu ia sebagai seorang pedrama dan penulis naskah drama. Tentulah harus kita acungi jempol untuk mereka. Humam, termasuk penulis puisi yang produktif dan rajin mengirim puisi ke media massa serta untuk antologi bersama. Bahkan ia pernah mela-hirkan sebuah antologi puisi berjudul Perjalanan Seribu Airmata (2013). Akan tetapi kalau boleh jujur, Humam lebih khusyuk sebagai penulis novel meskipun awalnya banyak melahirkan cerita pendek, tentunya sama-sama karangan berbentuk prosa. Rumah yang Berkabung (bersama Harianto Gede Panembahan), Dua Dunia, Barangkali Tuhan Sedang Mengadili Kita, dan Percakapan Malam Hari--adalah judul buku kumpulan cerpennya yang sudah terbit.

Humam dan Novel

Bayangan penulis, Humam akan selalu konsern (khu-syuk) tatkala duduk di depan laptop dalam suasana sepi, tak sedang galau, tenang, dan tentram. Anak-anak yang pendiam, istri yang penyabar. Bersila dan sesekali ter-mangu di sebuah karpet, dengan kipas angin berputar. Menggali ide dan menemukan tema-tema agamis dan tradisi lokal. Ya, penulis jadi teringat bagaimana seorang Putu Wijaya menghabiskan waktunya dalam sebuah kamar hingga melahirkan karya besar. Korrie Layun Rampan yang sangat rajin mengurai kalimat di buku maupun kertas eceran untuk sebuah cerita seperti novel Upacara-nya yang kemudian menjadi buku novel terbaik versi DKJ (1978). Pergulatan literasi ini tentunya akan sangat banyak diungkapkan pengarang, yang kemu-dian dinamakan sebagai proses kreatif.

Penulis tak bisa membayangkan berapa lama Humam menulis novel Bukan Hak Manusia (2007), Sepiring Nasi Garam (2007), Gufron (2008), Shobrun Jamil (2010), Reze­ki (2016), Berlibur di Desa (2010), serta yang terakhir Hijrah (2021). Novel-novel ini, sebagian pernah penulis lihat di toko buku ternama. Tentulah ada kebanggaan tersendiri.

Humam dan Budaya Betawi

Novel Hijrah, yang diisi dialog ke-Betawi-an yang hadir di setiap fragmen/ episode ini, tentulah memiliki cerita khas sebagai satu kesatuan. Tak jauh beda, mungkin dari

cerita karangan SM Ardan (Syamardan) kelahiran Me-dan. Nyatanya Ardan diakui sebagai Pengarang Betawi karena karyanya Terang Bulan Terang di Kali, dengan cerita menggunakan bahasa Betawi keseharian. Terma-suk juga Aman Datuk Madjoindo, juga bukan asli orang Betawi, tapi telah melahirkan karya abadi Si Doel Anak Betawi (1936). Tak dimungkiri, novel Hijrah telah mere-fleksikan ke-Betawi-an.

Untuk lebih jauh mendalami alur cerita, setidaknya penulis harus membaca ulang perpustakaan/ kebahasaan yang tercantum sebagai ‘Glosarium (kosa kata Betawi). 363 ‘kata Betawi’ masuk dalam percakapan. Ini yang membedakannya dengan novel-novel terdahulu, tanpa Glosarium (kosa kata Betawi).

“Kalo elu mau ‘beli’, liat-liat dulu deh...” (istilah yang sering digunakan di kalangan perampok, agar memper-hatikan siapa calon korbannya. Agar tidak sembarang orang dijadikan korban). “Berak di sini cebok juga di sini...” (istilah ini digunakan untuk menyebut orang yang hanya berani mencuri di lingkungannya sendiri, tetang-ga sendiri yang dijadikan korban pencurian). Banyak istilah/ ucapan Betawi dimasukkan dalam percakapan masyarakat pada novel ini, misalnya satronin, terime, nyamperin, mengkelap, dan sebagainya. Novel ini lumayan tebal, 299 halaman. Kelak akan menjadi sesuatu yang abadi dalam peta kesusastraan Indonesia, mungkin juga menjadi best seller, sebagaimana kelahiran novel-novel ber-genre sastra lainnya. Artinya pascakepengarangan Aman Datuk Madjoindo, SM Ardan, Firman Muntaco, dan M Balfas, penulis masih berharap lahirnya pengarang nasional dengan kultur lokal yang mumpuni.

Jakarta, 15 April 2021

*Nanang R Supriyatin, pesyair, tinggal di Jakarta..

55S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

56 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

R a g a m S e n i

ERORIS tidak pernah berurusan dengan aga-ma, persebab agama tidak pernah mengambil nyawa yang bukan miliknya.”

Demikian bunyi penggalan lirik pada salah satu puisi yang dibacakan Harris Priadie Bah seorang peteater, pedrama puisi asal jakarta di Gedung Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki (TIM). Malam itu, Jumat 28 Mei 2021, 19.00 WIB ia menggelar pembacaan tunggal puisi-puisi nya dengan tajuk Kata­Kata yang Bersaksi dari Sudut­Sudut Kota. Hening dan temaram, hanya ada Harris dan puisinya, hadirin terhipnotis menyimak rentetan kata yang sekian lama seakan menyesak untuk dilon-tarkan. Dia begitu tajam mengkritik sejumlah perilaku yang dalam pandangannya begitu meresahkan kesatu-an, persatuan, dan keberagaman bangsa hingga harus mengorbankan nyawa sesama. Ia berulang kali menghela napas seakan lega telah menyatakan keresahannya, atau mungkin pula ia begitu geram dengan kesemua hal tersebut. Ia melaksanakan fungsi dirinya sebagai peseni yang harus tetap waras dalam menyikapi setiap persoal-an bangsa dengan cara yang berbudaya. “Maafkan, puisi-puisi saya tidak bercerita cinta dan asmara yang penuh romantisme, puisi-puisi saya pula tidak penuh metafora, saya lebih tertarik untuk menu-liskan puisi dengan lugas dan apa adanya seperti halnya puisi-puisi Rendra.” Ia ungkapkan hal itu di atas pang-gung di jeda pembacaan. Dengan ikat kepalanya yang

Harris Priadie Bah Kritik Lewat Puisi“T

khas dan nyentrik, ia seperti fokus untuk mengantam tanpa harus memukul dengan kata-katanya yang tajam dan tanpa kompromi. Menanam Bom di Kepala, Dukacer­ita Dari Pematang Siantar, Dalam Pelukan Istri Aku Melupa Segala Perkara, dan Sajak yang Berdaulat Atas Kata, adalah beberapa judul puisi dari total 12 puisi panjang karya Harris yang ia bacakan malam itu. Di awal pembacaan puisinya Harris tiba tiba muncul dari barisan belakang kursi penonton, lalu berjalan menuju panggung, riuh tepuk tangan penonton pun menyam-butnya ketika ia berdiri di bibir panggung dengan ikat kepala dan kaus merah. Kemudian beberapa puisi sambung-menyambung dibacakan dengan latar belakang musik dari Komunitas Kebon Sastra yang memainkan harmoni nada-nada etnik.

Sebelumnya acara khidmat itu dibuka oleh sambutan dari Ketua Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM), Riri Sat ria. Dalam sambutannya Riri mengucapkan selamat kepada Harris atas terselenggaranya pergelaran pemba-caan puisi tunggalnya itu, sebuah pergelaran kesenian yang untuk kali pertama kembali digelar di Gedung Teater Kecil setelah sempat ditutup setahun lebih ter-kait merebaknya Pandemi Covid-19. Riri pun menaruh harapan setelah pergelaran pembacaan puisi tunggal Harris, tempat itu kembali semarak dan bergairah oleh berbagai pertunjukan seni, meskipun tentu saja dengan tetap menerapkan protokol kesehatan ketat.

Selesai sesi pertama, acara diselingi dengan musikalisasi puisi Salvo dan Ceci yang dengan apik melantunkan tiga komposisi musikalisasi puisi. Sesi kedua dimulai dengan puisi berjudul Angel yang didedikasikan untuk seorang gadis kecil korban kudeta berdarah di Myanmar. Puisi yang bercerita tentang betapa brutalnya sebuah ama rah yang tidak terkendalikan serta kepedihan orang-orang yang terlemahkan ini mampu memikat empati penonton yang dengan khusuk menyimaknya. Di sesi ini Harris mengganti ikat kepala dan kausnya menjadi putih. Setiap kali ia selesai membacakan puisinya, ia pun menggan-tungkan kertas-kertas puisinya pada tali yang terjulur di atas. Beberapa kali pula ia menyebutkan istrinya di dalam bait-bait puisi, seolah menyampaikan pesan bahwa tempat penuh cinta yang begitu menenangkan adalah rumah dan kasih dari pasangan hidupnya, sedangkan di luar sana penuh kegilaan dan ketidakwarasan yang membuatnya begitu geram sekaligus sangat sedih dengan kondisi bang-sa dan negara saat ini. Agar Terangku Bercahaya, menjadi puisi penutup pergelaran malam itu, pada akhir kata ia berharap momen yang ia bangun selama hampir dua jam dapat menjadi motivasi dan semangat baru bagi semua peseni untuk tetap berkarya, tetap mengasah rasa dan terus percaya pandemi akan secepatnya berakhir.

Ossie Helmi/ Wahyu Toveng

56 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

57S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

UMAT sore, 21 Mei 2021, gedung Balai Budaya Jakarta yang bersejarah dengan telah menggelar berbagai kegiat an seni-budaya dan menjadi ruang

pertemuan khusus antarpeseni tampak ramai. Se-jumlah pelukis dan tokoh budaya hadir dan berceng-krama menjelang di bukanya open studio pelukis Gogor Purwoko. Terlihat di antaranya adalah Syahnagra IsmailL selaku Ketua Balai Budaya Jakarta, Aidil Usman selaku Ketua Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta, budayawan Taufik Rahzen, Andi Suandi selaku Ketua Peruja, pelukis Cak Kandar, Revoluta, Ireng Halimun, dan Kyatmaja Lookman Ketua umum Masyarakat Sadar Wisata (Masdarwis) yang diminta sebagai pembuka/ peresmi acara tersebut.

Open Studio Gogor Purwoko B l a n k O nJ

apapun perannya di kehidupan dunia tidak terlepas dari campur tangan Tuhan, entah dia menya darinya atau tidak, ketika seseorang telah sampai pada sebuah kesadaran sejati yang membuatnya memahami diri sendiri bahwa sebenar-nya ia tidak berdaya apa-apa tanpa adanya kekuatan Illahi, ia akan menarik dari segala yang berkaitan dengan hawa nafsunya, lalu masuk ke alam perenungan yang kosong dan menemukan rasa sejati yang penuh ketenangan batin, lepas dari tekanan-tekanan emosi. Setelah semakin menyadari bahwa ia hanya makhluk tanpa daya, ia tentunya lebih welas asih terhadap sesama

Dalam open studio kali ini Gogor mengusung judul BlankOn, yang bila diterjemahkan berarti kekosongan, atau dalam bahasa Jawa disebut suwung. Tetapi Kekosongan yang coba disampaikan melalui goresan-goresan kuas dan cat pada lukisan bukan-lah kosong sama sekali tanpa isi, justru kekosong-an dalam mindset Gogor adalah kekosongan yang penuh dengan kontem-plasi akan kebesaran Sang Maha Pencipta. Seseorang

atau bahkan selalu berusaha memberikan yang terbaik dari dirinya untuk keluarga, masyarakat, dan lingkungan sekitarnya. Goresan-goresan yang ditorehkan Gogor pada kanvas lukisnya seperti menggambarkan kesemua hal tersebut, ciri khas lukisan abstrak memang mem-buat orang menerjemahkan maksud dari si pelukis sesuai persepsi masing-masing yang menikmatinya. Tetapi terlihat jelas terdapat kontemplasi yang dalam dari Gogor menurut kesadaran sejati yang ia temukan dalam konsep kekosongan tersebut. Open studio itu berlangsung hingga 29 Mei 2021.

Wahyu Toveng

57S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

58 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

OMUNITAS Pelukis PFA (Purworejo Fine Art) menggelar pameran lukisan bersama di Sulthan Kopi & Eatery Purworejo. Pameran itu bekerja

sama dengan Dewan Kesenian Kabupaten Purworejo (DKKP) dalam rangkaian acara Syawalan Seniman, yang berlangsung sejak 18 Mei sampai dengan 22 Mei 2021.

Pameran karya para pelukis Purworejo diikuti oleh 30 pelukis yang tergabung dalam Komunitas PFA yang menampilkan karya-karya terbaru dengan berbagai gaya dan aliran. Peserta pameran tersebut di antaranya: Biyan Subiyanto, Ary WP, Aditya Wisnu, Ayu TSR, Ayok Su-naryo, Rudi Prasetyo, Edy Dwi, dan Ponco Nugroho.

Dalam Sambutannya, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Purworejo, Agung Wibowo AP, MM menyatakan, “Penyelenggaraan kegiatan pameran seni rupa di tahun 2021 ini menjadikan kebanggaan bagi kita semua, masa pandemi saat ini tidak menghalangi motivasi dan kreativitas untuk terus berkarya. Pameran ini diharapkan bisa menjadi wahana untuk membentuk karakter positif bagi kita semua.”

Syawalan Seniman yang diselenggarakan bersama DKKP ini melibatkan 7 komite seni yang ada di organisasi tersebut, yakni Seni Rupa, Seni Musik, Seni Tari, Seni Pedalangan, Seni Film dan Fotografi, Seni Karawitan, dan Seni Teater.

IH

Komunitas Pelukis PFA Pameran di Sulthan Kopi & Eatery Purworejo

K

R a g a m S e n i

S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

59S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

ETUA MPR RI Bambang Soesatyo membuka pa-meran lukisan Semar Ngruwat Jagad karya Sohieb Toyaroja pada Rabu, 26 Mei 2021. Eksistensi

Sohieb sebagai pelukis beraliran realis-ekspresif Indo-nesia ditegaskan dengan ciri guratan full palet di atas kanvas, yang menyiratkan pesan mendalam dan muatan spiritual yang kental.

“Karya-karya yang dipamerkan Sohieb Toyaroja dalam pameran ini adalah penegasan atas konsistensi dan kese-tiaannya untuk memotret realita sosial dalam per spektif spiritualitas. Karya-karya lukis yang dipamerkan adalah manifestasi dari ekspresi seni dan aktualisasi gagasan Sohieb dalam memandang dunia,” ujar Bamsoet.

Turut hadir di antaranya Duta Besar Kerajaan Belan-da HE Mr Lambertus Christian Grijns, Ketua Majelis Pimpinan Nasional Pemuda Pancasila KPH Japto Soe-listyo Soerjosoemarno, dan Koordinator Pameran dari Arthemis Galeri Indonesia Scholastika Sastranegara.

Bamsoet menjelaskan, pameran lukisan Semar Ngruwat Jagad semakin melengkapi kesuksesan beberapa pa-meran Sohieb sebelumnya. Di antaranya The Name of Flowers (2010), Spiritual Journey (2016), 72 Tokoh dan 7 Presiden (2017), dan Ke­Diri (2018).

“Sebagaimana pada pameran bertajuk Ke­Diri, sosok Semar juga diangkat sebagai tokoh sentral pada pamer an Semar Ngruwat Jagad. Dalam budaya Jawa, Semar dikenal sebagai sosok yang sangat kompleks dan multitafsir. Ia adalah representasi rakyat kecil yang meng abdikan diri dan menjadi pengasuh pimpinan negara. Di saat yang sama, secara hakikat ia adalah representasi dewa yang membumi dan berwujud manusia,” jelas Bamsoet.

Bamsoet Buka Pameran Semar Ngruwat Jagad Karya Sohieb Toyaroja

K

Ketua Umum Ikatan Motor Indonesia (IMI) ini mene-rangkan, meskipun Semar adalah sosok yang multitafsir, namun kehadirannya selalu merujuk pada satu muara, yaitu keluhuran budi pekerti dan jati diri. Dalam dunia pewayangan, ketokohan Semar selalu menjadi faktor kunci dalam menghadirkan solusi atas berbagai krisis dan persoalan.

Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini menambahkan, ritual ruwatan yang pada hakikatnya adalah munajat dan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa, lahir dari kesadaran bahwa ‘ada yang harus diperbaiki’. Maka pameran lukis-an ini akan menjadi stimulus bagi segenap pemangku kepentingan, untuk mempertajam kepekaan spiritualitas batin masing-masing, dan memperbaiki apa yang seha-rusnya diperbaiki.

“Pameran ini akan memberikan kesan mendalam bagi siapapun yang menikmatinya. Sekaligus memberikan ke-sempatan bagi penikmat seni lukis untuk secara leluasa mengeksplorasi kekhasan identitas karya-karya Sohieb,” tandas Bamsoet.

Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini menuturkan, mendeskripsikan sebuah karya lukis ke dalam bahasa verbal, bisa jadi tidak cukup mewakili sepenuhnya pesan yang disampaikan oleh bahasa visual. Dalam konsepsi ini, kedalaman makna lukisan terasa lebih komunikatif

dalam menyampaikan pesan, dibandingkan deskripsi verbal yang memiliki keterbatasan rujukan.

“Memaknai dan meng apresiasi karya lukis pun demikian, sebuah lukisan akan meng-hadirkan bera gam pemaknaan di benak kita, tergantung dari cara pandang kita masing-ma-sing,” pungkas Bamsoet.

IH - Berbagai sumber

59S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

60 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

Sabtu siang, 29 Mei 2021, Program Studi Indonesia FIB UI menyelenggarakan sedaring dengan tajuk Poisi: Siasat Berkreasi Puisi dalam Peluang Teknolo­

gi. Sedaring diselenggarakan lebih dari waktu yang ditentukan (dua jam) karena antusiasme penanya dan jalannya acara cukup ramai.

Sedaring mengenai “poisi” ini merupakan acara per-tama dalam kepemimpinan Untung Yuwono sebagai Kaprodi Indonesia FIB UI. Rencananya, sedaring serupa akan diselenggarakan setiap dua bulan. Sedangkan istilah “poisi” itu sendiri dikreasi oleh Untung Yuwono menanggapi paduan foto dan puisi yang Ibnu Wahyudi (Iben) buat sejak 18 April 2021.

Sebelumnya, Iben sudah sering membuat puisi yang di picu oleh lukisan, vinyet, atau karya visual lain. Ketika ada puisi yang dia buat dan diinspirasi foto, dia belum tegas memberi istilah. Dengan usulan Untung Yuwono yang dia amini, istilah “poisi” lalu dipakai.

R a g a m S e n i

Ibnu Wahyudi Luncurkan Poisi (Potret-Puisi)

S

Untuk kepentingan sedaring ini, terkumpul 43 poisi yang Iben hasilkan selama 34 hari. Memang, terkadang dalam satu hari dia membuat lebih dari satu poisi dan juga puisi. Ke-43 poisi ini kemudian dibahas de ngan menarik tadi oleh Budi Setyawan, pesyair yang juga Kaprodi D3 Kepabeanan dan Cukai, STAN.

Pada intinya, poisi adalah kreasi biasa sebagaimana puisi yang dibuat sebagai respons atas lukisan, bunyi-bunyian, atau objek lain. Sebagai akronim dari “potret-puisi”, poisi memang dia buat berdasarkan suatu foto dengan kandungan makna yang beraneka macam. Oleh sebab itu, “suara” poisi dia juga beraneka rupa.

Poisi hanyalah pilihan cara dalam berkreasi oleh sebab itu siapa saja tentu boleh melakukan kreasi serupa. Bahwa ada nama lain untuk melabeli kreasi seperti ini, hal tersebut tentu jamak saja.

Yang menggembirakan dari acara sedaring ini, bukan hanya sejawat dari UI yang terlibat tetapi banyak sahabat ikut serta., seperti para dosen UPM, Unair, dan universi-tas lain serta para mahasiswa, fotografer, dan juga peseni maupun jurnalis yang telah meramaikan acara tersebut.

Iben memberikan kata pengantarnya di dalam Antologi Potret-Puisi tersebut, sebagai berikut: Melengkapi satu coretan, lukisan, atau foto dengan puisi, sesungguhnya sudah saya lakukan sejak tahun 1975-an ketika masih kelas 2 SMA. Sayang sekali, arsip karya-karya puisi yang saya buat sebagai semacam bentuk tanggapan atas karya-karya visual itu tidak saya punyai lagi karena begitu saya pindah ke Jakarta tahun 1977, semua tulisan atau lukisan saya tidak ada yang merawat-nya lagi. Kendati demikian, saya masih ingat, saya cukup antusias membuat puisi yang distimulasi oleh komposisi visual yang melintas di depan mata saya. Rumah saya di kota kecil antara Salatiga dan Boyolali memang berada di pinggir jalan raya Solo-Semarang sehingga war-na-warni kendaraan banyak menggoda kesadaran saya.Mengingat bahwa karya-karya saya yang berupa

60 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

61S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

“kolaborasi” antara coretan atau gambar dengan puisi tidak dapat saya tunjukkan, maka saya hanya mungkin mendeskripsikan melalui kata-kata. Jadi, sewaktu masih SMP dan SMA, saya kerap kali menghabiskan waktu dengan membaca komik atau buku cerita yang saya sewa dari sebuah persewaan kecil di dekat rumah. Khususnya komik, saya masih ingat betul bagaimana Ganes Th. Atau Djair memvisualkan narasi. Goresan dan

gan persaudaraan, punya andil dalam membentuk diri saya. Puisi agaknya yang kemudian menjadi wadah bagi saya untuk mengekspresikan “rasa bangga” itu. Mungkin ini terdengar kekanak-kanakan atau “kampungan”, tapi saya sungguh merasakannya. Lahir sebagai orang kam-pung tentu berbeda dengan lahir sebagai orang kota. Rendah diri, bagaimanapun ada. Rasa ini yang pelan-pe-lan saya atasi dengan berkarya.

Gema Tanah Air. Hanya saja, karena menurut ibu saya, paman saya ini eksen-trik dan aneh, saya tidak berani ngobrol sastra saat itu dengannya.Meskipun saya belum be-rani sowan ke paman saya untuk khusus berbincang tentang sastra, sepertinya rasa bangga bahwa ada orang dari kampung saya dan kebetulan ada hubun-

arsiran kedua komikus ini, sangat mempengaruhi saya. Tidak mengherankan, karya komik saya saat itu—yang sayangnya telah raib—mirip dengan gaya kedua komikus itu.Namun saya agaknya lebih tertarik dengan menulis puisi sehingga aktivitas mencorat-coret saya tinggalkan dan saya lebih asyik dengan mengutak-atik kata. Agaknya, kecenderungan saya lebih memilih puisi ini disebabkan oleh satu kebanggaan yang secara tidak sengaja tumbuh dalam diri saya sebab ternyata salah seorang paman saya adalah pen-garang tahun 1940-an sampai 1970-an yang namanya sudah masuk dalam buku karya H.B. Jassin maupun Ajip Rosidi. Saya menjumpai karya paman saya ini, secara tidak sengaja, pertama kali dalam

Ketika saya diterima di Sastra Inggris FSUI tahun 1978, saya ikut aktif di sanggar lukis kampus dengan bimbingan pelukis Nashar. Entah men-gapa, setiap saya menorehkan cat ke kanvas, ada saja kata atau larik puisi yang seperti menjadi energi. Lama-kelamaan, saya sering membuat lukisan dengan cat air di rumah, yang di samping kanan agak ke bawah, sering saya tuliskan puisi. Kebiasaan ini yang tampaknya muncul lagi pada tahun 2016-an dengan cara yang lebih tertata yaitu saya membuat puisi yang “digerakkan” oleh adanya ketertarikan atas foto yang meng-gambarkan suatu tempat atau keadaan dengan komposisi yang bagi saya puitis dan sesekali punya nilai historis.

Depok, Mei 2021

IH - Sumber: Iben

61S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

62 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

ABTU, 22 Mei 2021, Komunitas Lukis Cat Air Indonesia (Kolcai) Jabodetabeka menggelar diskusi berjudul Sudut Pandang, menggali interpretasi kata

berwarna dari penulis dan pelukis.

Acara yang dilakasanakan melalui media daring Google­meet ini menampilkan narasumber: Erna Winarsih Wiyono, Les Dewika, dan Khairani Piliang, Diskusi ini merupakan bagian dari kegiatan Kolcai yang sudah dimulai sejak Ramadan. Kegiatan ini sep-erti menjalin kemesraan antara aksara dan lukisan, antara kedalam an makna kata-kata dari pesyair dengan keindah an tarian kuas penuh warna dari sang pelukis. Kolaborasi ini menghasilkan karya yang sarat rasa. Dalam kegiatan ini Kolcai menghadirkan tiga puisi: Mantera Hati oleh Erna Winarsih Wiyono, Rasa oleh Les Dewika, dan Bangku Kosong oleh Khairani Piliang. Para pelukis bebas menginterpretasikan puisi-puisi itu sesuai dengan imajinasi dan insting mereka. Masing- masing pelukis memberi ruh yang berbeda pada lukisan

R a g a m S e n i

mereka, sesuai dengan “penglihatan” masing-masing mereka atas puisi itu.

Diskusi yang dimoderasi oleh Corry berlangsung menarik. Para narasumber menjelaskan proses lahirnya puisi-puisi mereka, seperti Erna dengan puisi Mantera Hati mengatakan bahwa, puisi ini berlatar belakang kehidupan nelayan di Kolbano, Nusa Tengggara Timur. Puisi ini adalah bentuk apresiasi dan rasa hormat akan keseharian masyarakat nelayan di sana. Sebagai perupa, Abdul Hamid berhasil memasukkan ruh puisi ini ke dalam kanvas, kekuatan puisi Mantera Hati berhasil dituangkannya melalui lukisan, sehingga menjadi lebur dengan puisinya.

S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 3 l M e i l 2 0 2 1

Komunitas Lukis Cat Air Indonesia (Kolcai) Diskusi ‘Sudut Pandang’

Menggali Interpretasi Antara Lukisan, Ilustrasi, dan Puisi

S

l Karya: Abdul Hamid l Puisi: Mantera Hati

63S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

Bangku Kosong karya Khairani, terinspirasi dari keadaan ketika dia menunggu temannya di sebuah kafe, saat itu masih banyak bangku-bangku yang kosong. Ini menjadi hal yang menarik ketika para pelukis mampu mener-jemahkan makna puisi tersebut ke dalam lukisan. Untuk puisi Bangku Kosong, perupa Djoko Harijanto mencoba masuk ke dalam suasana yang sunyi dan letih, suasana yang luka, untuk kemudian membawa imajinasi tersebut menjadi lukisan yang sangat mewakili isi dari puisi Bangku Kosong tersebut. Begitu juga dengan puisi Rasa dari Les Dewika yang berbicara tentang rasa, tentang kegelisahan manusia. Yayuk Nur sebagai perupa mampu menerjemahkan kedalaman puisi melalui lukisan. Yayuk mampu menang-kap rasa dari puisi tersebut. Dalam diskusi ini kita mendapat sebuah kesimpulan bahwa ilustrasi berupa gambar, sketsa ataupun lukisan di dalam sebuah puisi bukanlah pemanis semata, tapi merupakan bagian penting sebagai jembatan untuk

menyampaikan pesan dari penulis kepada pembacanya. Kolaborasi antarpeseni, seperti perupa dan pesyair ini merupakan bukti bahwa kesenian secara keseluruh-an adalah satu, akan selalu ada benang merah antara cabang seni yang satu dengan yang lainnya. Diharapkan dengan apa yang sudah dilakukan Kolcai Jabodetabeka ini bisa memberikan menginspirasi, bukan hanya seni sastra dan seni lukis, tetapi juga seni secara keseluruhan.

Ossie Helmi

l Karya: Djoko Harijanto l Puisi: Bangku Kosong

l Karya: Yayuk Nur l Puisi: Rasa

64 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

Asmoadji-Deskamtoro Dwi Utomo Pameran Seni Rupa Ganda Putra

R a g a m S e n i

EMBUKAAN pameran seni rupa Ganda Putra dilaksanakan pada Minggu, 3o Mei 2021, 16.15 WIB yang dibuka Siahaan F (Pemilik Artland) dan

Zamrud Setya Negara (Pegiat Seni dan Edukasi Seni Rupa). Pembukaan pameran ini juga merupakan softope­ning Artland Gallery di Artland Mall, Kelapa Gading 2. Pengunjung dibatasi karena masih dalam masa Pandemi Covid-19, dihadiri oleh lebih kurang 50 orang.

Pameran yang berlangsung 30 Mei - 13 Juni 2021 ini memunculkan dua putra yang berbeda dalam segi teknik, gagasan, gaya, dan kesehariannya dalam berkese-nian, dalam pameran ini mereka menyatukan perbedaan tersebut. Dalam serangkaian karya baru ini Asmoadji telah berhasil meletakkan emosi, perasaan, intuisi, dan indera dengan seimbang dalam merespons hal-hal di sekitarnya, sedangkan Deskamtoro pun telah berha-sil membawa cerita budaya dan sosial kepada publik tentang dunia yang dipahaminya. Pada Pameran Kali ini Asmoadji tampil dengan 5 karya dua dimensi dan satu karya instalasi dengan menggunakan medium campuran (busa ati, plastik, selang, dan lain-lain), sedang-kan Deskamtoto juga menampilakan 5 karya dengan medium cat air di atas kertas dan satu lagi karya dengan medium campuran (kertas, kain, dan lain-lain).

“Tema yang saya angkat dalam pameran kali ini masih mengangkat isu sosial dan budaya masyarakat yang coba saya kemas dalam bentuk karya lukis realis dan beberapan karya eksperimental yang mengekplorasi gaya, teknik, dan media yang tidak jamak saya gunakan.

mengeksplorasi media lain selain cat air di atas kertas, media yang selalu saya bawa dalam setiap pengaryaan, dan melepaskan diri dari kebiasaan akan media lama untuk mengeksplorasi media baru bukan sebuah perr-kara yang mudah, karena saya harus menerjemahkan ide dalam wujud yang berbeda tetapi tetap mampu men-yampaikan pesan yang saya bawa. Bukan perkara mudah untuk melakukan hal ini, tapi buat saya ini adalah sebuah tantangan baru untuk meningkatkan kemampuan saya dalam berkreasi, bercerita, dan berbahasa visual. Mix media semakin menjadi menarik saat kita mampu mengolahnya menjadi hal baru tetapi tidak kehilangan maknanya dan ini adalah hal yang saya coba lakukan saat ini,” papar Deskamtoro. Asmoadji pun sempat mengungkapkan konsep ber-karyanya, “Tema pada karya saya di pameran ini meng-angkat tentang situasi dan lingkungan sekitar saya, yang mana menurut saya banyak memori dan pengalaman yang saya dapatkan dari cerita masa lalu sampai seka-rang. Pada karya kali ini saya menggunakan mix media. Salah satunya busa ati. Busa ati ini sudah sering saya lihat pada masa sekolah, yang mana di samping sekolah saya toko penjual itu. Pada suatu ketika saya mengo-brol dengan salah satu teman akan media baru itu, saya penasaran sampai akhirnya saya mengetahui kalau yang dijual di samping sekolah itu adalah busa ati. Akhirnya saya mencoba eksplor karya dengan busa ati. Selain busa ati saya suka media recycle yang mana setiap berjalan atau keliling otak saya selalu berpikir akan eks plor karya. Di samping mata saya selalu melihat sekeliling, mencari benda-benda yang bisa menjadi mix media. Pada saat itu saya menemukan ulahoop permain-an anak-anak di toko mainan. Menurutku warna yang menarik dan bisa masuk pada karya saya. Selain itu saya juga menggunakan tutup botol, dan sedotan balon gas. Menurut saya ini sangat menarik akan benda sekitar yang ditemukan atau dibeli untuk membuat sebuah karya. “

IH

P

Pameran ini buat saya lebih men-jadi sebuah pertarung an dalam diri tentang ke-mapanan da-lam ber karya, pamer an yang mem-berikan banyak kesempatan

64

65S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

ASOSIASI Galeri Seni Indonesia (AGSI) yang diketuai Pemilik Artsphere Gallery, Maya Sujat-miko mengadakan webinar bertajuk Peran Pemer­

intah dalam Mendukung Galeri Seni Rupa untuk Mening­katkan Ekonomi Kreatif Indonesia pada Sabtu siang, 8 Mei 2021. Acara ini dipandu oleh Yuanita Sawitri, Direktur Puri Art Gallery dan diikuti 142 peserta. Menparekraf Sandiaga Uno yang turut hadir pada webinar ini men-yatakan bahwa, seni rupa menjadi pilar pertumbuhan ekonomi kreatif. Kontribusinya sudah mencapai Rp 2 triliun bagi perekonomian negara.

Membuka diskusi, Direktur dan pemilik Lawangwangi Creative Space, Andonowati yang berperan sebagai pembicara mengatakan bahwa, pandemi bisa jadi jeda yang harusnya dimanfaatkan sebagai persiapan dalam melakukan kegiatan pascapandemi dengan tujuan di antaranya men-gangkat art and design tourism. Persepsi masyarakat tentang fungsi museum pun perlu diperbarui. Museum bukan lagi sekadar memajang benda kuno dan artefak melainkan juga sebagai galeri seni. Untuk skala sekarang ini kita perlu punya museum yang memajang karya seni rupa dan desain yang tidak hanya bersifat historis tetapi juga kekinian.

Christianto Dharmawan, kolektor seni dan pemilik Galeri Semarang menyatakan bahwa kolaborasi antara peseni, galeri, dan pemerintah sangatlah penting. Muse-um seharusnya lebih diberdayakan dengan memberikan fungsi sebagai penyeleksi karya-karya yang bisa dima-sukkan dalam kategori museum item. Saat ini pasar seni rupa Indonesia masih terombang-ambing tak menentu. Ini tentunya membuat para peseni potensial menjadi galau untuk menekuni profesinya secara serius sehing-ga memilih profesi lain yang belum tentu dikuasainya sebaik ia menguasai bidang seni pilihannya. Akibatnya potensi budaya yang seharusnya bisa jadi identitas pun tetap hanya berupa potensi karena tak kunjung tergali dan termaterialisasi oleh tangan-tangan yang seharus-nya bisa melakukannya dengan baik. Pemerintah harus segera membangun museum. Ini tidak harus diartikan sebagai “membangun gedung baru” namun lebih kepada penyediaan ruang untuk memajang karya seni. Ia ingin berpartisipasi dalam pembentukan museum agar para

peseni punya acuan yang jelas.

Cosmas D Gozali, se-orang arsitek sekaligus kolektor seni menyatakan bahwa, bukan sekadar memi-liki karya seni sebab karya adalah hasil akhir, yang

Kemenparekraf-Asosiasi Galeri Seni Indonesia (AGSI)

Galakkan Kembali Galeri Seni IndonesiaA

penting justru adalah proses penciptaan, oleh sebab itu perlu diusahakan bagaimana caranya supaya masyarakat bisa mencintai museum. Sejak usia dini, kepada anak-anak perlu kita perkenalkan tentang museum. Pariwisata tidak hanya berarti mendatangkan orang luar untuk berkunjung tetapi juga meningkatkan angka kunjung-an masyarakat lokal ke museum. Ini bisa tercapai jika masyarakat kita sudah sadar wisata. Jalan yang bisa ditempuh di antaranya adalah bagi hasil dengan peseni dan memberi kesempatan kepada peseni-peseni baru untuk tampil dan dikenal oleh masyarakat. Jakarta yang sejak dahulu kala sudah dan harus tetap menjadi pusat kegiatan budaya ini selayaknya menjadi prototipe perta-ma dalam rangka mewujudkan hal tersebut.

Fenomena sangat menarik bagi perkembangan seni kontemporer Indonesia adalah dengan munculnya Artotel Group yang mulai dirintis sejak 2011 oleh CEO-nya Erastus Radjiman. Entitas bisnis kreatif dengan tagline Accommodation for art ini punya misi mempro-mosikan peseni kreatif Indonesia, itulah sebabnya di

manapun Artotel berdiri selalu ada peseni lokal yang dilibatkan. Misi ini bak gayung bersambut dengan target pasar mereka yaitu para mille nial traveler yang gaya hidupnya dapat dijadikan sarana promosi.

IH/ RS

66 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

I n M e m o r i a m

UNIA perfilman Indonesia pernah memiliki karakter-karakter muda, ganteng, dan kharismatik

pada dasawarsa masing-masing. Jika kita runut ke belakang, dasawarsa 2000-an punya Dilan (Iqbaal Ramadhan), ‘90-an Rangga (Nicholas Saputra), ‘80-an Boy (Onky Alexander), dan ‘70-an Ali Topan (Junaedi Salat).

Ali Topan bukan sekadar gaya/ Ia adalah jiwa/ Berontak untuk bebas/ Masa depan taruhannya. Kutipan itu berasal dari novel Ali Topan Wartawan Jalanan karya Teguh Esha (Teguh Slamet Hidayat Adrai). Novel ini memang tidak difilmkan, tapi dua novelnya yang lain yaitu Ali Topan dan Ali Topan Detektif Partikelir sempat diangkat ke layar perak. Ali Topan yang difilmkan pada 1977 dan disutradarainya sendiri itu bahkan menuai sukses dan mengangkat nama para pemerannya di antaranya Junaedi Salat, Yatti Octavia, dan Titiek Sandhora ke puncak popularitas.

Karakter Ali Topan diciptakan oleh penulis yang dilahirkan di

Banyuwangi, Jawa Timur, 8 Mei 1947 dan meninggal

di Jakarta bertepatan dengan Hari Buku

Nasional, 17 Mei 2021, pada umur 74 tahun

ini. Almarhum sempat dirawat di RS Dr Suyoto, Bintaro, Jakarta Selatan, sebagaimana disampaikan oleh

anaknya, Yusuf Hikmah

Adrai,

Teguh Esha: Novelis Ali Topan Anak JalananD yang memberi keterangan bahwa sang ayah sudah kritis

sejak subuh dini hari dan meninggal karena Covid-19 disertai komorbid diabetes serta pernah terserang stroke. Teguh meninggalkan seorang istri yaitu Ratnaningdiah Indrawati Santoso Brotodihardjo, cucu Soeratin Sosrosoegondo, tokoh sepak bola Indonesia. Mereka menikah pada 1980 dan dikaruniai tujuh anak. Sampai akhir hayatnya bersama keluarga menetap di Bintaro, Jakarta Selatan. Pada masa senjanya, pesastra dan jurnalis ini masih sering menyambangi acara-acara sastra di wilayah Jakarta.

Ayahnya, Achmad Adrai, seorang tukang listrik, meninggal ketika Teguh berusia empat tahun. “Sejak itulah ibu merangkap jadi bapak,” tutur anak ketujuh dari delapan bersaudara itu. Masa kecilnya diisi dengan membaca komik silat, komik wayang karya RA Kosasih, dan novel-novel detektif. Pada 1959 ibunya, Wilujeng A Adrai, dengan alasan “demi pendidikan anak-anak,” mengajak Teguh dan saudara-saudaranya pindah dari Bangil, Jawa Timur, ke Jakarta. Pada usia belasan tahun di Jakarta itu, Teguh merasakan “masa tantangan hidup”. Dia dan kakak atau adiknya harus menjajakan pakaian anak-anak yang dijahit ibunya ke Pasar Tanah Abang, atau menjual kantung kertas ke beberapa toko di situ. Dalam kehidupan yang sulit dan keras itu, ibunya menetapkan tujuan, yaitu “paling tidak anak-anak harus lulus SMA,” cerita Teguh. Upaya itu berhasil. Bahkan salah seorang adik perempuannya, yang bungsu, lulus dari Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) dan kemudian menjadi dosen di situ. “Sampai mati pun saya akan mengenang kegigihan ibu saya. Beliau wanita mulia, sangat memerhatikan pendidikan, moral, dan agama,” katanya bersemangat. Karena itu ia mengakui kebanyakan novelnya membicarakan soal agama dan moral. “Karena pengaruh Ibu,” imbuhnya.

Perjalanan studinya sesampai di bangku kuliah bisa dikatakan tak terlalu mulus namun penuh dengan aktivitas kemahasiswaan. Setamat SMA 9 Jakarta, ia melanjutkan kuliah di Fakultas Teknik Sipil Universitas Trisakti pada 1966, tetapi hanya bertahan dua semester. Pernah menjadi mahasiswa Fakultas Ilmu-ilmu Sosial, Departemen Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Ketua IMADA

(Ikatan Mahasiswa Jakarta), 1973 - 1975, dan Wakil Sekretaris Jenderal SOMAL (Sekretariat bersama organisasi-organisasi mahasiswa lokal di Indonesia) tahun 1975—1976. Ketika kuliah di Fakultas Publisistik Universitas Prof Dr Moestopo Jakarta

66 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

67S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

ia bertemu dengan Deddy Armand, redaktur majalah Stop. Deddy memintanya menulis apa saja di majalahnya. Hal ini memacunya untuk menulis banyak cerita bersambung. Karena begitu produktifnya, ia memunyai banyak nama samaran seperti Jonjon van Papagoyang dan Peranginanginan. Cerita bersambung pertamanya adalah Ali Topan Anak Jalanan yang melegenda, mulai terbit di majalah itu pada 14 Februari 1972.

Awalnya terjun menjadi penulis ketika pada suatu malam pemimpin redaksi Utusan Pemuda, Dadi Honggowongso menginap di rumahnya sambil membawa surat kabarnya. Ia membaca cerita pendek yang ada di koran itu dan kemudian mengkritik cerpen yang dimuat. Kritikan Teguh tersebut membuat Dadi gusar dan balik menantangnya. Semalam suntuk ia menulis cerpen untuk membuktikan bahwa cerpen karyanya lebih baik. Setelah jadi, cerita itu ia serahkan kepada Dadi, yang ternyata memuatnya pada edisi Minggu. Pada masa itulah novel pertamanya, Gairah, dimuat di Utusan Pemuda.

Namanya lantas dikenal secara luas ketika novelnya yang pertama Ali Topan Anak Jalanan diterbitkan. Dengan sikapnya yang bebas, gaya bahasanya yang kuat dan orisinal, pembangunan watak yang berhasil dan pengetahuannya tentang kehidupan serta aspirasi golongan muda metropolitan yang otentik, menempatkan Teguh sebagai satu di antara penulis yang menonjol pada ‘70-an. Karya-karya Teguh dalam fiksi adalah cermin realitas pada masanya. Penerbitan Ali Topan Anak Jalanan pada tahun itu meledak. Dalam enam bulan, novel itu telah dicetak empat kali. Novel-novelnya yang sudah terbit adalah Ali Topan (1977), Ali Topan Detektif Partikelir (1978), Dewi Besser (1979), Dari Januari sampai Desember (1980), Izinkan Kami Bercinta (1981), Anak Gedongan (1981), dan Penembak Bintang (1981). Satu di antara ciri novelnya adalah penggunaan bahasa prokem, bahasa slang yang konon berasal dari orang-orang tahanan, yang kemudian menjadi bahasa slang anak muda Jakarta.

Teguh bukan satu-satunya penulis di keluarganya, dua orang kakaknya juga penulis yaitu Kadjat Adrai dan Djoko Prayitno, redaktur majalah Sonata yang ikut andil dalam perjalanan karier Teguh sebagai penulis. Dengan alasan ingin berdiri sendiri, tidak terikat dengan suatu badan penerbit milik orang lain, pada 1981 Teguh mendirikan Ali Topan Press. Beberapa orang pegawainya adalah bekas orang bui yang dikenal Teguh dan telah memberinya andil dalam penulisan bahasa prokem.

Kebesaran nama Teguh tak lepas dari satu di antara mentor dalam kepenulisannya yaitu Asbari Nurpatria Krisna sehingga kepenulisannya bergaya sastra-jurnalistik, yang mengolah fakta menjadi fiksi. Kala itu, demi memperkaya karakter tokoh dalam novelnya,

Asbari menyarankannya untuk menjadi pewarta terlebih dahulu baru kemudian menjadi pesastra. Meskipun menjadi pesastra ia tempatkan sebagai kerja sampingan, ia mampu menulis cukup produktif. Satu novel dapat ia selesaikan dalam waktu dua bulan. Bersama Djoko dan Kadjat, ia menerbitkan majalah Sonata dan menjabat sebagai wakil pemimpin redaksi (1971 - 1973). Kemudian ia menerbitkan majalah Le Laki, menjabat sebagai pemimpin redaksi (1974 - 1977).

Setahun kemudian, ia menulis lagu yang dinyanyikan Franky Sahilatua dan Jane Sahilatua dalam album Balada Ali Topan. Sampulnya merupakan hasil sketsa komikus Jan Mintaraga. Pada tahun yang sama, ia menerbitkan Ali Topan Detektif Partikelir dan pada 1979 muncul film Ali Topan Detektif Partikelir Turun ke Jalan disutradarai Abrar Siregar dengan bintang Widi Santoso, Roy Marten, dan Rudy Salam. Ali Topan Anak Jalanan sendiri pernah muncul sebagai sinetron sepanjang 26 episode pada 1996, dibintang Ari Sihasale. Pada tahun 2000, ia kembali menerbitkan novel Ali Topan Wartawan Jalanan. Kiprahnya sebagai penulis lagu membawanya untuk berkolaborasi dengan God Bless dengan penulisan lirik lagu Damai dan Bukan Mimpi Bukan Ilusi untuk album Cermin 7 pada 2016.

Karakter Ali Topan, yang digambarkan olehnya adalah pemuda lulusan sekolah menengah atas yang menolak melanjutkan kuliahnya sesuai kehendak orang tuanya. Latar belakang keluarga Ali Topan sendiri keluarga berantakan. Ayahnya berselingkuh, ibunya menjadi tante girang. Rumah baginya bukanlah tempat tinggal yang nyaman, sehingga akhirnya ia pun meninggalkan rumah dan menggelandang di jalanan. Ali Topan melawan segala ketidakadilan dan mempertanyakan segala yang dirasanya. Berani bila benar dan takut bila salah. Ali Topan sendiri sebenarnya merupakan tetralogi. Selain dua yang sudah terbit, ada dua lagi yang masih dalam bentuk manuskrip, berjudul Ali Topan Santri Jalanan dan Ali Topan Rock and Road.

Sepanjang hidupnya, sang penulis ini dikenal sebagai pribadi yang sangat peduli terhadap anak jalanan. Wilayah aktvitasnya di antaranya meliputi kawasan Bulungan terutama Warung Apresiasi (Wapress). Dengan kelengkapan literasi yang dimilikinya, ia akan senang hati berdiskusi membahas soal manusia, kehidupan, alam semesta, dan Tuhan yang berpegang pada pondasi-pondasi filsafat ilmu. Seringkali dia bercerita tentang kisah muda, perlawanannya terhadap ketidakadilan dengan keyakinannya yang gigih pada dunia literasi. Dia pun bisa secara fasih membahas tentang Marx, Muhammad, dan tokoh-tokoh lainnya. Teguh Esha di masa tua adalah sosok yang menjunjung tinggi Tuhan tanpa membedakan golongan dan amat toleran kepada umat beragama.

Ritmanto Saleh/ IH/ Berbagai sumber

67S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

68 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

ASAK Aer, biar Mateng!” demikian diksi pem-buka yang biasa diucapkan komedian Sapri, atau

biasa disapa Bang Sapri ketika berpantun di sebuah acara bertajuk Pesbukers yang disiarkan stasiun ANTV pada se-tiap sore. Ia biasanya muncul di akhir sesi dengan kostum aneh dan jenaka yang seketika selalu mengundang tawa penonton saat melihatnya memasuki scene. Dan kata-ka-ta di ujung pantun biasanya ia tujukan untuk me-roasting pemain yang lain seperti, Raffi Ahmad, Ruben Onsu, Ayu Ting-ting, Jessica Iskandar, Oppie Kumis, hingga Vicky Prasetyo. Oppie Kumis kemudian yang bertugas membalas pantun yang diucapkan seraya me-roasting balik Sapri, lalu diikuti pemain lain yang mengerjai dirinya dengan cara misal, mengguyur kepala plontosnya dengan taburan be-dak. Namun komedian kelahiran Bogor, 10 Maret 1972 itu tidak pernah marah dan malah terbahak-bahak sehingga penonton pun semakin terpingkal-pingkal menyaksikannya. Tetapi kini semua momen menghibur itu tinggal kenangan, pria yang semasa hidupnya selalu bekerja keras mencari nafkah bagi keluarganya dengan melakoni berbagai profesi itu telah tiada. Sapri meninggal dunia pada Senin, 10 Mei 2021 karena sakit gula yang dideritanya. Diketahui bahwa kadar gula darahnya cukup tinggi yang membuatnya harus dilarikan ke Rumah Sakit Bintaro sebelum akhirnya dirujuk ke di Rumah Sakit Sari Asih Cileduk, Tangerang, Banten dan dirawat di ruang Intensive Care Unit (ICU).

Sapri Pantun: Komedian yang Jago Pantun“M

I n M e m o r i a m

Beberapa artis seperti Jaja Miharja, Eko Patrio, Nikita Mirzani, Vicky Prasetyo, dan Kalina hadir melayat ke rumah duka di Jalan Cipulir 1 dan ikut serta dalam pe-makaman jenazahnya di TPU Kelurahan Ulujami Jaksel. Secara khusus mereka mengenang sosok Sapri sebagai teman yang selalu dapat menghibur meski di luar syut-ing acara yang diikutinya. “Ia tidak pernah mengeluhkan masalah honor ataupun peran sekecil apapun yang diberikan kepadanya dan saat diminta untuk membuat sebuah pantun pun ia dengan mudah dapat menyusun-nya sebagai kepentingan acara, di luar itu ia memunyai jiwa sosial yang cukup tinggi, hal itu dapat dilihat dari mobil ambulans yang ia wakafkan untuk lingkungan sekitarnya, itu dibeli dari honor yang selalu ia sisihkan sedikit demi sedikit serta urun rembuknya dengan rekan sesama artis,” ungkap Eko Patrio.

Sementara Nikita Mirzani mengenang Sapri sebagai teman yang selalu membuatnya tertawa dengan can-daan dan humornya, “Dia itu kalau saya bikin story di Instagram, pasti langsung nge-dm dan berkomentar yang lucu-lucu, juga waktu dia pernah datang ke rumah untuk bikin konten YouTube, itu kami bercanda melulu, saya sangat sedih Bang Sapri berpulang lebih cepat, karena terakhir bertemu masih sehat-sehat saja, dan yang lebih sedih karena istrinya sedang hamil tua dan sebentar lagi akan melahirkan,” tutur Nikita.

Sedangkan Vicky Prasetyo yang hadir melayat bersama Kalina, istrinya merasa amat terpukul dengan keper-gian salah satu rekan terbaiknya, sebelum memasuki Rama dhan tahun ini mereka sempat bermain bola bersama, saat itu Sapri terlihat sangat sehat wal afiat dan menyemangatinya untuk dapat mencetak gol, “Saya dan istri saya sangat tidak menyangka beliau tiba-tiba jatuh sakit hingga harus dirawat ICU lalu meninggal dunia. Biasanya bila bulan puasa tiba, ia selalu membawa takjil untuk kami santap bersama ketika waktu berbu-ka tiba di sela waktu syuting. Saya dan Bang Sapri juga tergabung dalam satu grup WA, di grup itu kami sering bercanda, saling ejek tanpa tersinggung. Ia pula yang mengajak kami untuk ikut urunan membantunya mem-beli ambulans yang ia wakafkan untuk lingkungan sekitar tempat tinggalnya, tapi takdir memang tiada berkata lain, ambulans tersebut pula yang mengantarkannya ke peristirahatan terakhir, semoga Bang Sapri dilapangkan kuburnya, diampuni semua salah-dosanya, diterima amal ibadahnya dan istri, anak dan keluarga yang ditinggalkan diberikan keikhlasan dan ketabahan, Aamiin,” demikian Vicky mengenang dan mendoakan Sapri.

Wahyu Toveng

68 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

69S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

ABAR duka datang dari keluarga besar Tempo Media. Direktur PT Tempo Inti Media, Tbk Toriq

Hadad meninggal dunia pada Sabtu, 8 Mei 2021.

Kepala Pemberitaan Korporat Tempo Media Arif Zulkifli membenarkan kabar tersebut. Ia mengatakan Toriq Hadad meninggal di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta, pada Sabtu subuh. “Di RSPI pukul 05.15,” kata Arif saat dikonfirmasi.

Arif mengatakan saat ini sedang dalam perjalanan menuju RSPI. Belum diketahui penyebab Toriq meninggal. Mantan pemimpin redaksi Koran Tempo itu telah menjalani perawatan di rumah sakit selama dua pekan.

Toriq bergabung dengan Tempo setelah ia meraih gelar sarjana pertanian di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada 1984. Setelah itu, ia menjadi Kepala Biro di Jawa Timur pada 1987 - 1989. Tiga tahun kemudian, pria kelahiran Surabaya 1960 ini menjabat sebagai Kepala Biro Jakarta.

Pada 1995, bersama Yusril Djalinus dan sejumlah pewarta, Toriq mendirikan situs berita online pertama di Indonesia yaitu Tempo Interaktif, yang kini menjadi Tempo.co. Langkah mendirikan portal berita I ini merupakan buntut pembredelan Tempo oleh rezim Soeharto kala itu.

Terkait dengan wafatnya, pewarta senior Bachtiar Abdullah yang juga sahabatnya Toriq, dalam akun Facebook-nya turut memaparkan tentang latar belakang Toriq, sebagai berikut: Toriq Hadad adik kelasku dua tahun di SMP N 1 dan SMA Katolik Sugijapranata, Kota Pasuruan. Kami bertemu kembali ketika saya mulai bekerja di majalah Tempo pada 1987.

K

Toriq Hadad: Terlahir dari Keluarga Habaib dan Jurnalistik

Di batu nisan sementara tertulis Toriq bin Abdul Kadir Alhaddad (kakeknya). Toriq adalah putra Habib Thaha Alhaddad, putra nomor dua Habib Abdul Kadir Alhaddad (yang meninggal dunia di Saudi Arabia ketika Toriq masih kecil) dan ibu Syarifah Fadilla bin Yahya asal Pekalongan yang masih kerabat ulama ahlus sunnah wal jamaah Dr HC Mohammad Lutfi Yahya yang juga ketua Majelis Ulama Jawa Tengah. Ismid Haddad (81 tahun/ paman Toriq, putera nomor enam Habib Abdul Kadir) adalah pendiri LP3ES dan pemimpin redaksi majalah Prisma sejak 1975. Putri Habib Abdul Kadir nomor delapan Anissa Haddad adalah bibinya Toriq yang juga istri Fikri Jufri majalah Tempo (84 tahun). Toriq memiliki adik Amir Haddad (58 tahun).

IH - Berbagai sumber

69S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

70 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

AK banyak yang masih mengingat nama Wibatsuh sebagai pemusik tingkat nasional. Pemain gitar dan bas kelahiran

8 Juli 1944 ini tutup usia pada 28 April 2021 lalu, dalam usia 76 tahun. Semasa hidupnya dia pernah bermain sebagai gitaris Orkes Same, session bassist Ayodhya, Anagata, Indonesian All Stars, Bhayangkara Big Band, dan Band Adhirama. Ketika bergabung dalam Indonesian All Stars, pemusik kawakan ini sempat main di Singapura mengiringi penyanyi-penyanyi top pada masanya di antaranya Aida Mustafa. Sementara itu di Anagata dia bermain bersama Remy Leimena, Nanda Leimena, dan Broery Marantika. Remy dan

Wibatsuh: Gitaris dan Basis AndalT

I n M e m o r i a m

Nanda Leimena adalah anak dari Menteri Leimena yang aktif menjabat di era Presiden Soekarno.

Dia yang meninggal dunia diakibatkan oleh komplikasi antara alzheimer, gangguan fungsi ginjal, dan juga jantung ini dimakamkan di TPU Jombang. Jejak musikalitas profesionalnya diikuti oleh Adi, sang putra yang pernah menempati posisi sebagai penggebuk drum di Band Drive.

Ritmanto Saleh/ Stanley Tulung

UNIA pers Indonesia kehilang-an seorang awak media berde-

dikasi tinggi, Ignatius Rafles Umboh, fotografer dan kamerawan senior kelahiran 1 Mei 1972 ini tutup usia pada 28 Mei 2021 setelah diketahui

Rafles Umboh: Juru Foto, Juru Kamera, dan ModelD sempat mengalami stroke pada awal tahun ini. Rafles yang meninggalkan

seorang istri dan 3 anak ini dimakamkan di TPU Menteng Pulo pada 29 Mei 2021, 12.00 WIB.

Bertugas sejak 17 September 1996 di stasiun ANTV, dia dikenal sebagai pribadi yang bersahabat dan pandai membawa diri sehingga disukai oleh rekan-rekan sekerjanya, selain karena wajahnya ganteng dan penampilan-nya necis. Bisa dimaklumi sebab semasa mudanya dulu dia pernah menjadi model catwalk dan video klip. Semasa hidupnya Rafles pernah bertugas dalam sejumlah program unggulan ANTV di antaranya acara remaja pada ‘90-an yaitu Planet Remaja, peliputan dunia kriminal, dan News & Sport. Kecintaannya yang sedemikian besar terhadap kamera telah membawa-nya pula menjadi redaktur foto di situs web ANTVKlik.com. Selain itu program Mata Lensa (2010) yang mengulas tentang dunia fotografer dan kamera man merupakan satu di antara hasil pemikirannya yang semakin mengkristalkan rasa cintanya terhadap profesi.

Gerimis yang turun di TPU Menteng Pulo menjelang saat pemakaman seakan mengisyaratkan kesedihan alam semesta atas kepergiannya. Namun ketika ambulans tiba, gerimis berhenti. Para pelayat seolah diberi kesempatan untuk bisa khusyuk dalam berdoa dan mengantarkan Rafles Umboh ke peristirahatan terakhirnya.

Ritmanto Saleh

70 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

71S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

ULTOM Taswadi atau biasa dikenal sebagai Gultom Tewe, seorang pendiri kelompok Teater Pandu, yang tergabung

dalam Asosiasi Teater Jakarta Pusat (ATAP), mengembuskan napas terakhirnya pada 7 Mei 2021, di Rumah Sakit Mitra Keluarga Depok. Ia pernah menyutradarai pertunjukan Teater berjudul Rumah Bengkok ketika berlangsung Festival Teater Jakarta ke-40 tingkat wilayah Jakarta Selatan yang digelar di Auditorium Bulungan Jakarta Selatan pada 14 Juni 2012.

Pria kelahiran 6 Februari 1968 ini begitu banyak meninggalkan kenangan bagi banyak rekan-rekannya sesama peseni, beberapa ungkapan duka pun tertulis di laman Facebook-nya, seperti yang ditulis oleh akun bernama Franky Chandra, “Kalau pas ketemu di Taman Ismail Marzuki (TIM), gue sering iseng bawa korek api (paneker) apapun yang kebetulan ada buat bang Gultom, maklum dia hobi koleksi paneker milik teman-temannya, mereka merasa kehilangan panekernya, tetapi cuma ketawa doang kalau ternyata milik mereka terkumpul di tas kecilnya bang Gultom, lumayan kan gue tambahin koleksinya.”

Sedangkan Totok Satrio Rahardjo menulis, “Dua tahun lalu 25 Desember 2019 di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta aku bersama Gultom Tewe dan teman-teman peseni dengan berbekal semangat dan kata-kata, kami berjuang melawan dan menghalau si Angkara Murka yang mencoba memorak-porandakan tempat kami. Pejuang Gultom Tewe telah dipanggil oleh Allah SWT, rupanya ini merupakan batas baginya untuk menyempurnakan tugas yang telah dibebankan oleh Allah SWT. Ia sudah tidak ada lagi di antara kita saat ini. Teman-teman peseni akan selalu mengenang, gaya bercandanya, kebaikannya, dan keramahannya.”

G

Gultom Tewe: Pemenang Lomba Video Baca Puisi Rindu Rendra

Pada 2020 lalu Gultom Tewe menjuarai Lomba Video Baca Puisi Rindu Rendra yang diadakan secara nasional oleh Komunitas Burung Merak Rendra. Kala itu ia membacakan karya Rendra berjudul Kesaksian Akhir Abad. Saat akhirnya ia menutup mata untuk selama-lamanya, jenazahnya pun dikebumikan di permakaman komplek Bengkel Teater Rendra, Cipayung, Depok setelah sempat disemayamkan, dimandikan dan disalatkan di Taman Ismail Marzuki, tempat ia sehari-hari menghabiskan waktunya dalam berkesenian.

Wahyu Toveng - Berbagai sumber

71S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

72 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

I n M e m o r i a m

ABAR duka itu melintas di Facebook: Jay Briones De Gala (54), pelukis yang juga aktivis itu, ber-

pulang. Dari sahabat-sahabatnya sesama pelukis, seperti Kassah Hakim, Ireng Halimun, dan Kembang Sepatu, akhirnya kabar duka itu terkonfirmasi. Jay meninggal akibat serangan jantung saat berjalan di kompleks perumahannya di Cibinong, Bogor, Jawa Barat, pada Senin, 24 Mei 2021 malam. Jenazah mualaf itu kemudian dimakamkan keesokan harinya, tak jauh dari kompleks perumahannya.

Antara percaya dan tidak percaya. Sebab, Rabu, 19 Mei 2021 lalu, ia baru saja memberikan wawancaranya soal konflik Palestina-Israel. Sejak 2001, JBD, panggilan pe-lukis-aktivis kelahiran Filipina 1967, ini memang intens memberikan dukungan kepada Palestina. Ia bahkan berencana menggelar pameran dan lelang lukisan untuk

aksi-aksi unjuk rasa dengan lukisan dan seni pertunju-kan di Jakarta sedih melihat kekerasan dan pertump-ahan darah terus terjadi dan telah merenggut begitu banyak nyawa, terutama saudara-saudara kita di Palesti-na, termasuk perempuan dan anak-anak.

JBD menilai, perang tak henti-henti karena rakyat di kedua pihak membiarkan minoritas kelompok ekstrem mengendalikan mayoritas yang cinta damai.

Ia yakin mayoritas rakyat Palestina dan Israel dapat hidup berdampingan dalam agama yang berbeda-beda, yakni Muslim, Kristen, dan Yahudi. Hal ini juga terekam dalam lukisan JBD berjudul United Jerusalem (2018) di mana masjid, gereja, dan sinagog saling berdampingan.

“Sebaiknya bangsa Israel mengganti dan memiih pemim-pin dan pemerintahan yang tahu diri. Di pihak lain, Hamas di Palestina sebaiknya melunak, dan bersama Is-rael melaksanakan perjanjian damai yang sudah diteken kedua pihak. Mundur selangkah untuk maju dua langkah. Mengalah untuk menang,” ujar JBD.

JBD mengaku siap menggalang dana melalui pameran atau lelang lukisan-lukisannya sebagai bentuk solidar-itas bagi rakyat Palestina. “Palestina, akulah darahmu,” tegasnya yang mengaku sedang menggalang dukungan dari para stakeholders seperti Kementerian Luar Negeri RI dan Kedutaan Besar Palestina di Jakarta.

JBD menyambut baik gencatan senjata Israel-Palestina setelah 11 hari bertikai. Sayangnya, gencatan senjata itu ternoda oleh serangan sporadis pihak Israel yang tentu saja dibalas Palestina sebagai bentuk pertahanan diri.

Sebab itu, katanya, tak ada alasan bagi Indonesia untuk tidak mendukung perjuangan rakyat Palestina dalam rangka mempertahankan diri dan meraih kemerdekaan-nya. “Jangan pula berdalih itu masalah internal Palestina, Indonesia tak perlu mendukung, karena masalah dalam negeri Indonesia juga banyak. Itu bukan alasan yang bijak,” tegas JBD.

IH - Sumber: Karyudi Sutajah

Jay Briones De Gala: ‘Palestina, Akulah Darahmu’K

membantu perjuangan rakyat Palestina. “Palestina, akulah darahmu,” katanya. Manusia boleh berencana, Tuhanlah yang menentu-kan. Sebelum aksi solidar-itas untuk Palestina itu terlaksana, ternyata Tuhan memanggilnya untuk sela-ma-lamanya.

Berikut cuplikan wa-wancara hariandialog.co.id dengan JBD:

Sebagai pelukis seka-ligus aktivis, darah JBD “mendidih” menyaksikan dari telivisi rakyat dan wilayah Palestina dibom-bardir tentara Israel yang mengorbankan rakyat tak bersalah.

JBD yang sejak 2001 aktif membela Palestina melalui

72 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

73S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1

Dialog Anggota Tubuh Munadi

Duka Budaya Jan Praba

K a r t u n H u m o r

74 S e m e s t a S e n i l N o m o r 1 4 l J u n i l 2 0 2 1