itjrnal - lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2016/08/... · volume...
TRANSCRIPT
ITJRNAL
The lmportant of lnput in 93the Second/Foreign Language Learning
The Use of Speech Acts Types in 99Facebook Status Updates
Translation Quality of Translated I 05Abstracts from lndonesian to English in
the Journal of STAIN Ponorogo 2015
Penerapan Teknik TUKRI (Tulis, Unggah,l 17Kritisi, Revisi) untuk Meningkatkan
Keterampilan Menulis Esai MahasiswaSTKIP PGRI Ponorogo
Pemanfaatan Bunyi dalam Puisi Anak 129di Harian Kompas Minggu lahun 2013
I 39 Kepriyayian dalam Karya Sastra:Berkaca Pada Para PilyayiKarya Umar Kayam
149 Pendidikan Sastra dan PembentukanKa ra kte r
I 55 lntegrating Case Based Learning inESP Course: A Case Study at STKIP PGRI
Ponorogo in the Academic Yearof 2014-2015
I 65 Tingkat Kemampuan PenguasaanBahasa Jawa Ragam Krama KelompokAnak dan Dewasa
I 73 Nilai Pendidikan Karakter Seorang Gurudalam Trilogi Novel Syaikh Siti Jenar KaryaAgus Sunyoto
Volume 2, Nomor 2, Juli'Desember 2015
mA[ilA$
ISSN: 2355-1623
Volume2
Nomor2
JURNALBAHASA DAN SASTRA
Halaman93-188
PonorogoJuli-Desember 2015
ISSN"2355-1623
JURNAL
BAHASA DAN SASTRAJurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember (ber-ISSN) berisi artikel-artikel ilmiah
tentang bahasa, sastra, dan pembelajarannya. Baik yang ditulis dalam bahasa Indonesia maupun
dalam bahasa Inggris. Artikel yang dimuat berupa analisis, kajian, hasil penelitian, dan
pembahasan kepustakaan.
Penanggung Jawab
Adip Arifin
Ketua Penyunting
Sutejo
Wakil Ketua
Elys Rahayu Rohandia Misrohmawati
Penyunting Ahli
Kasnadi
Bambang Yulianto
Setya Yuwana
Suharmono Kasiun
Djoko Saryono
Penyunting Pelaksana
Ririen Wardiani
Cutiana Windri Astuti
Edy Suprayitno
Sekretaris
Hestri Hurustyanti
Pelaksana Tata Usaha/On line
Heru Setiawan
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Alamat Penyunting dan Tata Usaha: Tim Pengelola Jurnal, LPPM STKIP PGRI Ponorogo, Jalan Ukel 39
Kertosari, Babadan, Ponorogo. Telepon/Fax. (0352) 481841/485809. Website: www.lppmstkipponorogo.
ac.id, email: [email protected]. Langganan 2 nomor Rp. 100.000,- (setahun) + ongkos kirim.
Biaya langganan dikirimkan melalui Bank BRI Kantor Cabang Ponorogo (Jl. Soekarno-Hatta Ponorogo)
Rekening No. 0070-01-044589-50-0 a.n. STKIP PGRI Ponorogo.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Redaksi menerima sumbangan tulisan yang belum pernah diterbitkan, baik dalam media cetak maupun
elektronik. Naskah diketik 1,5 spasi pada kertas A4, panjang 10-20 halaman (lihat Petunjuk bagi Penulis
pada bagian belakang). Naskah yang masuk dievaluasi oleh Mitra Bestari. Penyunting dapat melakukan
perubahan pada tulisan yang dimuat untuk keseragaman format, tanpa mengubah maksud dan isinya.
Vol. 2, No. 2, Juli-Desember 2015 ISSN: 2355-1623
DAFTAR ISI
THE IMPORTANT OF INPUT IN THE SECOND/FOREIGN LANGUAGE LEARNING
Adip Arifin .............................................................................................................................................. 93
THE USE OF SPEECH ACTS TYPES IN FACEBOOK STATUS UPDATE S
Argian Ekowati ....................................................................................................................................... 99
TRANSLATION QUALITY OF TRANSLATED ABSTRACTS FROM INDONESIAN TO ENGLISH IN THE JOURNAL OF STAIN PONOROGO 2015
Dolar Yuwono .......................................................................................................................................... 105
PENERAPAN TEKNIK TUKRI (TULIS, UNGGAH, KRITISI, REVISI) UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENULIS ESAI
MAHASISWA STKIP PGRI PONOROGO
Elys Rahayu R. M. & Rifa Suci Wulandari ........................................................................................... 117
PEMANFAATAN BUNYI DALAM PUISI ANAK DI HARIAN KOMPAS MINGGU
TAHUN 2013
Hestri Hurustyanti & Cutiana Windri Astuti ........................................................................................ 129
KEPRIYAYIAN DALAM KARYA SASTRA: BERKACA PADA PARA PRIYAYI KARYA UMAR KAYAM
Lee Yeon ................................................................................................................................................... 139
PENDIDIKAN SASTRA DAN PEMBENTUKAN KARAKTE R
Maman S Mahayana................................................................................................................................ 149
INTEGRATING CASE BASED LEARNING IN ESP COURSE: A CASE STUDY AT STKIP PGRI PONOROGO IN THE ACADEMIC YEAR
OF 2014-2015
Ratri Harida ............................................................................................................................................ 155
TINGKAT KEMAMPUAN PENGUASAAN BAHASA JAWA RAGAM KRAMA KELOMPOK ANAK DAN DEWASA
Regena Devi Mayanthi .............................................................................................................................. 165
NILAI PENDIDIKAN KARAKTER SEORANG GURU DALAM TRILOGI NOVEL SYAIKH SITI JENAR KARYA AGUS SUNYOTO
Sutejo ........................................................................................................................................................ 173
THE IMPORTANT OF INPUT IN THE SECOND/FOREIGN
LANGUAGE LEARNING
Adip Arifin
STKIP PGRI Ponorogo
Abstrak: Pembelajaran bahasa target (TL) merupakan proses “trial and error”, baik sebagai bahasa pertama, kedua maupun bahasa asing. Keberhasilan pembelajaran bahasa kedua/asing dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk faktor internal dan eksternal. Pakar bahasa seperti Ellis (1994), Brown (2000), Krashen (1985) dan Gass (dalam Ellis, 1994) menekankan bahwa faktor eksternal yang sangat mempengaruhi pembelajaran bahasa kedua/asing adalah ketersediaan input. Artikel ini bertujuan untuk membahas pentingnya input dalam pembelajaran bahasa kedua/asing. Peran input dalam pembelajaran bahasa sangat signifikan. Proses pemerolehan bahasa tidak akan berhasil jika tidak ada input yang diberikan kepada pembelajar. Ada tiga pandangan yang berbeda terhadap peran input bahasa, yakni kalangan behaviorist, mentalist dan interactionist. Kaum behaviorist berpandangan bahwa pembelajaran bahasa berhasil karena adanya hubungan stimulus dan respon, dengan membentuk kebiasaan baru melalui penguatan dan latihan. Kaum mentalist berpandangan bahwa setiap pembelajar bahasa terlahir dengan Language Acquisition Device (LAD) yang secara otomatis melekat pada dirinya. Lebih jauh mereka juga berpendapat bahwa input diperlukan dalam pembelajaran maupun pemerolehan bahasa, tetapi hanya untuk memicu operasional LAD. Di sisi lain, kaum interactionist berpendapat bahwa proses pemerolehan dan pembelajaran bahasa sangat dipengaruhi oleh peran lingkungan pengguna bahasa dan mekanisme internal pembelajar bahasa dalam berinteraksi.
Kata Kunci: Input Komprehensif, Pembelajaran Bahasa Kedua/Asing, Peran Input
Abstract: Learning a target language is actually a process of trial and error, whether as the first, the second or even foreign language. The success of second/foreign language learning is influenced by many factors, including internal and external factors of the language learners. The linguists, such as Ellis (1994), Brown (2000), Krashen (1985) and Gass (as cited in Ellis, 1994) emphasized one of the external factors which highly influences the second/foreign language acquisition or learning is the availability of the input. This article is aimed to discuss the important of input in second/foreign language learning. The role of input becomes very significant in shaping the learners’ language acquisition and learning. The process of acquisition will not be successful if there is no input given to the learners. There are three major views on language input, they are behaviorist, mentalist and interactionist. Behaviorist viewed that language learning is advanced by making a stimulus and response connection, by creating new habits through reinforcement and practice. Mentalists view that every language learner has special equipment in his/her mind to learn language which is called Language Acquisition Device (LAD). They view that input is needed in language acquisition/learning, but only to “trigger” the operation of the language acquisition device. While interactionists view that the processes of language acquisition are mainly influenced by the role of language environment and the learner’s internal mechanism in interaction activities.
Keywords: Comprehensible Input, Second/Foreign Language Study, The Role of Input
Adip Ariin, The Important of Input in the Second/Foreign Language Learning94
INTRODUCTION
As known, English in Indonesia is taught as
a foreign language, rather than a second language.
It implies to the process of teaching and learning
the language, especially how the English is learnt
by the learners. The process of learning mostly
occurred inside the school environment only, and
dominated by classroom setting. Ellis (1994: 214)
defined it as the educational setting. In educational
setting, especially in Indonesia, providing the
natural setting of English learning for the English
learner is not easy, even it is impossible. It happens
because English is learnt as the foreign language
only, and doesn’t use for daily communication by
most of Indonesians.
Language learning is actually a process of trial
and error, in which a learner form a hypothesis
and later on prove it, abort it, or adjust it (Huang,
2003: 19). It means, when the learners learn the
second language, probably, they meet many kinds
of second language learning problems dealing with
pronunciation, vocabularies, language structures,
language interpretation, misuse, non-English
constructions, misspelling, and so forth. Some
learners might be able to overcome those problems,
but for some learners, they might be unable to
overcome it, and for those who unable to fix it,
they will make a number of mistakes and even the
errors. Moreover, according to Bloom (as cited in
Ellis, 1994: 47) even the children also make errors
when they acquire the first language.
The success of second/foreign language
acquisition is influenced by many factors. It can
be from internal and also external factors of the
language learners. According to some experts, such
Ellis (1994), Brown (2000), and Krashen (1985),
one of the external factors which highly influences
the second/foreign language acquisition or learning
is the availability of the input. This article mainly
focuses on the important of the input in the
second/foreign language acquisition.
DISCUSSION
Language Acquisition and Language
Learning
These two terms look the same, or almost
the same but they are different in nature. Many
former linguists have characterized the differences
between the terms, such as Ellis (1994), Brown
(2000), Krashen (1985) and Corder (1974). They
proposed the theory on how differentiate those
two similar terms.
Before moving on the area of second/foreign
language acquisition, it is better for the writer
to provide an overview of language acquisition.
Normally, people will be able to use the languages
for communication among the others for many
kinds of purposes. The first language used by
people to communicate is commonly called as
mother tongue (L1). According to Brown (2000:
21), the acquisition of mother tongue is happened
naturally, that is why, some people sometimes
do not realized it as the process of language
acquisition. Actually, through natural setting, people
learnt their mother tongue since they were baby.
Corder (in Richards, 1974: 20) added the learning of
mother tongue is inevitable, and as a part of whole
maturational process of the child.
In the very beginning age, the small babies
babble and coo, cry, receive and send a number
of unusual messages to the others. In this phase,
we cannot easily recognize the babies’ messages.
As they reach the end of the first year, babies will
make specific attempts to imitate words and speech
sounds they hear around them (Brown, 2000: 21),
and after that, the babies will use it. When the
babies use the languages to say something, they will
not directly able to use the language in a complex
and long words construction. Probably, they will
utter in two-words or three words sentences, such
as” bye-bye Daddy”, and “gimme toy”. In this phase,
we will easier to recognize the babies’ messages. By
the time, the process of first language acquisition
will improve more and more.
Krashen (1985: 1) emphasized the two
independent ways of developing ability in second
language acquisition. He defined those two ways
JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 95
as acquisition and learning. According to him,
acquisition is a subconscious process identical in
all important ways to the process children utilize
in acquiring their first language, while learning is a
conscious process that results in “knowing about”
language.
After acquiring the first language, many
people do not stop to learn the second, third or
even fourth languages. Ellis (1997: 3) stated that
the languages which are learnt subsequent to the
mother tongue called “second language”. Here, the
second language is not referred to the learning of
second language only, but also the learning of third,
fourth languages, and even the foreign language
learning, while James (1998: 3) suggested the use of
“target language” (TL) for describing the language
to be learnt after the mother tongue. He preferred
to use the term of “target language” in order to
be neutral, rather than using the terms second or
foreign language.
Ellis (1997: 3) has defined the second language
acquisition as the systematic study of how people
acquire a second language. Widdowson (in Ellis,
1997: 3) concluded second language acquisition
as the way in which people learn a language other
than their mother tongue, inside or outside of a
classroom. Adapted from the Ellis’ definition,
foreign language acquisition also can be defined as
a systematic study of how people acquire a foreign
language. In line with Ellis, Johnson (2004: 3)
stated that the current models of second language
acquisition are linear in nature. They go from input
into intake to the developing system of output.
Corder (in Richards, 1974: 20) added that the
learning of second language normally begins only
after the maturational process is largely complete.
Later on, the study of those languages, both second
and foreign, often referred as the study of L2.
Learning the first and the second language
is quite different in terms of processes. Corder
(1967) has noticed, in the first language learning
the learners start with no language behavior,
while in the second language learning, the learners
start with language behavior. In the first language
learning, the learners may have the same motivation
to learn. They have no option to learn another
language, because people around them use that
language as mother tongue (L1). But in the learning
second language, the learners might have various
motivations, such as they want to study abroad, they
want to live in another country which use different
language, and so forth.
Beside motivation as stated above, there are
two major factors which influence the second
language learning; those are external and internal
factor (Ellis, 1994: 16). The external factor consists
of social factors, such as learner’s attitude, age,
social class, sex and ethnic identity (Ellis, 1994: 198-
207), language input and interaction, while internal
factor consists of learners’ language transfer,
learners’ cognitive process and linguistic universals.
Those factors take the significant role in the area
of second/foreign language acquisition.
Comprehensible Input in L2
As stated on the previous part, this discussion
will not discuss all the factors which influence
the second language acquisition. In this chapter
the writer will mainly focus on the input, as the
external factor in the second language acquisition.
Ellis (1994: 16) defined the input as the language
learner is exposed to. Corder (in Richards, 1974:
22) has defined the input in language learning as
“what goes in” not what is ‘’available” for going in.
Corder assumed that the learners control the input
for themselves to be their intakes. Adapted from
the Ellis’ definition, Zhang (2009: 91) defined input
in language learning as the language data which
the learners are exposed to. From the definitions
above, we can conclude that input is one of the
important language factors which contribute to the
development of language learning.
Even, the input is one of the important
factors, but it will not be functioned maximum until
it gets involved in interaction (Zhang, 2009: 92). If
the learners able to internalize input into intake,
the role of input is maximum to the development
of language learning, and vice versa. Moreover,
Corder (in Zhang, 2009: 92) also differentiates
between input and intake in language learning. He
mentioned that input as what is available to the
learner, whereas intake refers to what is actually
Adip Ariin, The Important of Input in the Second/Foreign Language Learning96
internalized by the learner. In other words, Sun
(2008: 2) used the terms intake as converted input
done by the learner. Intake is stored in the learner’s
short-term memory, and some of the intake will
be stored in the learner’s long-term memory as
L2 knowledge (Ellis, 1997: 35). Finally, the L2
knowledge will be used by the learners to produce
both spoken and written output.
Input can be in the form of spoken and
written (Ellis, 1994: 26). In terms of spoken input
may occur frequently in the form of interaction, for
instance, the learners try to have a conversation with
the native speakers, learners’ friends, and so forth.
By having a conversation with the native speakers,
the learners will get useful input directly from the
users of target language. While written input may
occur in the form of reading, for example: the
learners read the native’s literary works, newspaper,
and so on. In the case of reading the native’s
writing, the learners actually will get written input.
In terms of language learning input, Krashen (1985:
2) proposed what is so called “input hypothesis”.
The input hypothesis claims that humans acquire
the language in only one way; by understanding
messages, or by receiving comprehensible input. It
seems that Krashen’s input hypothesis is referred to
acquisition, not learning (Johnson, 2004: 48).
Ellis (1994: 246-247) characterized the input
to language learners into input text and input
discourse. Input text is closely related with the
native speakers actually say or write, while input
discourse dealt with special kind of ‘register’ that is
used when speakers address language learners. The
example of input text can be seen from the study
conducted by Williams in the 1990. He pointed
out that many native speakers’ questions in English
were non-inverted, particularly when there is a high
presupposition of a ‘yes’ answer, i.e.:
A: I’m studying poetry this year.
B: You’re studying poetry this term?
While the discourse input is taken from the
register used by caretaker and foreigner, called
caretaker talk and foreigner talk. When caretakers
speak to the children as the learner of mother
tongue, they will adjust their speech as the input.
In this case, the caretakers were the native speaker.
Another discourse input is foreigner talk. Ellis
(1994: 251) defined it as the language used by native
speakers when communicating with non-native
speakers. Moreover, foreigner talk shows many
characteristics of caretakers talk.
The Role of Input in Learning L2/Foreign
Language
Both in the first and the second language
acquisition, input takes the importance role. Brown
(2000: 41) stated the role of input in language
acquisition is undeniably crucial, because the
availability of input will influence the learner’s
output. Ellis (1994: 286) stated that there is
substantial indirect evidence linking comprehensible
input to acquisition. From those explanations,
actually we cannot deny the importance of
input in the area of second/foreign language
acquisition. This statement is also strengthened by
the three major views (behaviorist, mentalist and
interactionist), which consider the importance of
input in language acquisition. They do not deny
input has significant role for language learners.
The importance or input in second language
acquisition also strengthened by many studies
conducted by linguists in the previous time. There
were many articles on the importance of input in
second/foreign language acquisition, for instance:
Sun (2008) and Zhang (2009). Sun wrote a paper
on the importance of input in second language
acquisition which is entitled ‘Input processing in
second language acquisition: A discussion of four
input processing models’. Her paper discussed
the comparison four different models of input-
processing by examining those models. The aims of
her discussion were to disambiguate discrepancies
in terminologies, identify common emphases on
gap-noticing and cognitive comparison. Based on
the result of her discussion, Sun suggested the
need for further research on the role of attention/
consciousness in input-processing.
Zhang (2009) conducted a study entitled the
role of input and output in the development of
oral fluency. The participants of her study were
Chinese English learners. She used two instruments
to collect the data; tests of oral fluency and face-
JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 97
to-face interviews. The findings showed that non-
native oral fluency could be obtained by giving
efficient and effective input.
From the two studies above, the important of
input became significant in shaping the learners’
language acquisition. The process of acquisition
will not be successful if there is no input given
to the learners. Related to the issue of input in
the second language acquisition, commonly there
are three major views on it; those are behaviorist,
mentalist and the last is interactionist. Each theory
has different points of view in describing the input
of language learning.
Behaviorist viewed that language learning
is advanced by making a stimulus and response
connection, by creating new habits through
reinforcement and practice (Johnson: 2004: 18).
The reinforcement and practice are ordered to
establish links between stimuli and responses.
Behaviorist views the process of language learning
should be concerned with describing and explaining
the language as a matter of humans’ behavior
(Corder, 1973: 22-23). We may assume that the
effective language behavior will produce correct
response of the language.
The second view on input is come from
mentalists. They view every language learner
has special equipment in his/her mind to learn
language, and the equipment is called Language
Acquisition Device (LAD). According to the
mentalists, input is needed, but only to “trigger” the
operation of the language acquisition device (Ellis,
1997: 32). They mainly emphasized the language
acquisition on language acquisition device, rather
than the input.
The last view on input is come from
interactionists. They emphasized on the importance
of both input and internal language processing.
Ellis (1997: 44) concluded that learning occurs
as a result of complex interaction between the
linguistic environment and the learners’ internal
mechanism. Here, input and the learner’s internal
language processing are put in the equal level
of importance. According to interactionists, the
processes of language acquisition are influenced by
the contribution of linguistic environment and the
learner’s internal mechanism in interaction activities
(Zhang, 2009: 92).
Based on the general theoretical framework
of language acquisition (Ellis, 1994: 349, figure
9.1) it can be seen clearly that input has significant
role in language acquisition. Input is placed in the
beginning stage of language acquisition process,
and after that followed by intake, as the converted
input. The process is not stopped only in the intake
level, but it continued become the L2 knowledge.
After that, the learners use the L2 to produce the
output. In short, we can simply say that ‘if there is
no input, there will be no output’, that is why input
takes the important role in language acquisition.
The Ellis’ general framework of language
acquisition is widely accepted by the linguists.
Her theory on language acquisition also can be
generated into second/foreign language learning.
So, input in language learning will lead the learners
to the success of language mastery, not only
knowing “about language” but also how to use the
language for every single purpose.
CONCLUSION
From the discussion in the previous part,
the writer simply concludes that input is very
important in second/foreign language acquisition,
because it contributes significantly to the language
acquisition process, if there is no input, there will
be no output. In this case, second/foreign language
learning input is the language data in which the
learners are exposed to, and it will contribute to
the development of language learning through
learners’ interaction.
REFERENCES
Brown, H. D. 2000. Principles of Language Teaching
and Learning (4th Ed.). New York: Pearson
Education, Inc.
Corder, Stephen P. 1974. Introducing Applied linguistics.
Harmondsworth: Penguin.
Ellis, Rod. 1994. The Study Second Language Acquisition.
Oxford: Oxford University Press.
Adip Ariin, The Important of Input in the Second/Foreign Language Learning98
Ellis, Rod. 1997. Second Language Acquisition (Series
Editor H. G. Widdowson). Oxford: Oxford
University Press.
Huang, Joanna. 2003. Error analysis in English
teaching: A review of studies. International
Journal of Scientific and Research Publications. Vol.
2, pp. 19-34. Retrieved from http://www.
ijsrp.org on October 12th, 2013.
James, Carl. 1998. Errors in Language Learning
and Use: Exploring Error Analysis. London:
Longman.
Johnson, Marysia. 2004. A Philosophy of Second
Language Acquisition. New York: Mary Jane
Peluso.
Krashen, Stephen D. 1985. The Input Hypothesis:
Issues and Implications. London: Longman
Richards, Jack C. 1974. Error Analysis: Perspectives
on Second Language Acquisition. London:
Longman.
Sun, Yayun Anny. 2008. Input processing in second
language acquisition: A discussion of four
input processing models. Working papers in
TESOL & Applied Linguistics, Vol. 8 (1), pp.1-
10. Retrieved from http://www.tccu-tesol.
com on December, 10th, 2013.
Zhang, Shumei. 2009. The role of input, interaction,
and Output in the development of oral
fluency. English Language Teaching, Vol. 2 (4),
pp. 91-100. Retrieved from http://www.
ccsenet.html on December, 10th, 2013.
THE USE OF SPEECH ACTS TYPES
IN FACEBOOK STATUS UPDATES
Argian Ekowati
SMA Bina Nusantara, Semarang
Abstract: Saat ini, Facebook tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari penggunanya. Saat ini, facebook telah menjadi gaya hidup untuk menginformasikan apa yang dilakukan dan apa yang ditulis di facebook. Penelitian ini bertujuan untuk mencari tahu jenis tindak tutur pada status di facebook. Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi dan note taking. Data diambil dari 116 pengguna facebook dengan usia antara 18-20 tahun. Data yang terkumpul dianalisa dengan menggunakan Miles and Hubberman technique. Hasil yang diperoleh menunjukkan adanya variasi penggunaan bahasa yang unik dari tiap penulis status. Hal tersebut dapat diamati dari kutipan, ekspresi bahasa, gurauan dan puisi. Dalam penelitian ini, jenis tindak tutur yang dipakai merupakan teori Searle, yang terdiri dari representatif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklaratif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekspresif merupakan jenis tindak tutur yang paling sering muncul dalam status di facebook, yakni 62%, diikuti representatif (24%), komisif (8%), direktif (3%) dan kutipan (4%).
Kata Kunci: Facebook, Status Updates, Tindak Tutur
Abstract: At present, Facebook cannot be separated in today’s life of the users. It has become life style to broadcasts what they did or what they are up to in Facebook. This study is aimed at finding out the types of speech acts in Facebook status updates. The language used is quite unique and vary from one person to another. It can be through quotations, expressive language, jokes, or poetry. In this case, the Searle’s types of speech acts was used, covers representatives, directives, commissives, expressives, and declaratives.. There have to be speakers and hearers involving in a conversation. However, this study analyzed Facebook status updates where no hearers available, thus the readers were best to replace the hearers. This study used descriptive qualitative method. The data was taken from 116 Facebook users ranging from 18-20 of their ages. The result showed that the most frequent type of speech acts used by the users were expressive utterances (62%), 28 representative utterances (24%), 9 commissive utterances (8%), and 3 directive utterances (3%), and the other 4 are quotations (3%).
Keywords: Facebook, Speech Acts, Status Updates
INTRODUCTION
The phenomenon of Facebook has been
world-widely known by people in all continents
on earth. The members are more than millions of
people from all countries in the world. By joining
social networking, they can have more friends from
around the world and get benefits from them. For
example, they can exchange ideas about certain
information. In addition, they use Facebook as
well as other social networking in order to share
about what happen with them yesterday, today or
even their plans on following days. The language
used is quite unique and vary from one person to
another.
In recent years, we have seen a drastic
revolution in how people interact with each other
in social networkings. The social networks, such
as Facebook, is interactive in a way that it gives
people power to choose what they do, what they
want to communicate and how they would do it.
Argian Ekowati, The Use of Speech Acts Types in Facebook Status Updates100
In Facebook, individuals’ activities (e.g., connecting
to others, expressing preferences, status updates)
provide observable data for studying human
behavior. Status updates are generally used to
broadcast current states or make statements with
own written words. Indonesia is not far behind in
the Facebook race. Currently, there are more than
63 million people of Indonesia joining in Facebook.
In addition, Indonesian Facebook users have been
increasing. This phenomenon has placed Indonesia
in the fourth rank in the world. The users’ age
ranges from 13-100. However, most of the active
users range from 18-24 years old.
Facebook is very popular in Indonesia.
According to Putra (2011), an IT consultant in
multi national company in Indonesia, in http://
www.quora.com/Why-is-Facebook-so-popular-
in-Indonesia, he mentions several reasons why
Facebook is so popular in Indonesia. He said that
culture plays important role in Indonesian culture.
Sharing, communicating, and solidarity are some
of basic Indonesian culture. Facebook facilitates
Indonesian to connect with their relatives, friends,
and people they love most in their life. Besides,
Indonesian are aware what is up to date in social
networks. Indonesian may join more than one social
networks, such as Twitter, Facebook, Instagram,
Path, etc.
Another opinion mentioned by Ronny
Hartanto who says that many Indonesians like to
show off, or don’t want to lose face. Status updates,
photos, etc. are good for that. e.g. “Dinner at, again.
“, “Enjoying holiday in Bali, again.”, “Liking my
new Louboutin shoes”, and so on. This point is
debatable, and is probably not the main reason.
In the status updates, users express what they
feel about what they are doing or what they have
done. The way they express or the language they
use depends on the person as to how they want to
express themselves. It can be through quotations,
expressive language, jokes, or poetry. This study is
aimed at exploring what kind of speech acts used
in Facebook status updates. Speech act theory
was chosen because it is so practical that has been
used in studies of natural language processing and
computer-mediated communication. Speech act
theory allows the researcher to explain intended
meaning of messages identified and coded as
illocutionary acts.
The similiar studies in analyzing the status
updates were conducted by some reserachers,
such as Nastri (2006), Carr (2009) and also Ilyas
and Kushi (2012). The first study is conducted by
Nastri, et.al in 2006. He investigated the extent to
which the communicative goals of “away messages”
were reflected in their language structure. The
results showed that the messages were constructed,
primarily, with assertives, followed by expressives
and commissives but rarely with directives. This
finding confirms that away messages tend to reflect
both informational and entertainment goals.
The second study is from Carr et.al (2009). He
examined how individuals used the status messages
of social network sites like Facebook and MySpace
socially to communicate and construct their
identity. The analysis revealed that status messages
were, basically, constructed with expressives (60%),
followed by assertives (39%), directives (6%) and
commissives (3%).
The third study is from Ilyas and Khushi
(2012). They explored the communicative functions
of status updates on Facebook, drawing on Searle’s
speech act taxonomy. The results, confirming Carr
et al.’s studies, revealed that status messages were
most frequently constructed with expressives,
followed by assertives and directives.
People use language for many purposes. They
tell others what they know or think, express their
feelings, ask questions, make requests, protest,
criticize, insult, apologize, promise, thank, say hello
and goodbye. Language seems to have as many
different functions as there are occasions for using
language. Speech acts is speech that accompany an
action from the speakers. Das (2005: p172) explains
that in the framework of speech act theory there
have to be two or more participants speaking the
language and making their intentions known. One
is the addressor and the other is the addressee. In
written forms, sentences consist of declarative (if
they tell something), imperative (if they request
action), and interrogative sentences (if they ask).
Cited in Holtgraves (2002: 10-11), in every speech
JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 101
act we can distinguish three things, following Austin
(1962). What is said, the utterance, can be called the
locution. What the speaker intends to communicate
to the addressee is the illocution. The message that
the addressee gets, his interpretation of what the
speaker says, is the perlocution. Speech acts differ
in their purposes, whether they deal with real or
potential facts, prospective or retrospective, in
the role of speaker or addressee in these facts,
and of course in felicity conditions. According
to Searle, cited in Levinson (1983, 240), there are
five types of speech acts. Firstly, representative
utterances, they function to tell what they know
or believe; representative language is concerned
with facts. The purpose is to inform. They include
allege, announce, agree, report, remind, predict,
protest. For example, most plastics are made from
soy bean. Secondly, declarative utterances, speech
acts that describe the state of affairs are called
declarative: bids, blessings, firings, baptisms, arrests,
marrying, declaring a mistrial. The verbs include
bet, declare, baptize, name, nominate, pronounce.
For example, I declare this meeting adjourned. Thirdly,
Expressive utterances, an expressive utterance
springs from the previous actions. Expressive
utterances are retrospective and speaker-involved.
The most common expressive verbs (in this sense
of ‘expressive’) are: acknowledge, admit, confess,
deny, apologize. For example, we admit that we were
mistaken. Fourthly, directive utterances. Directive
utterances are those in which the speaker tries to
get the addressee to perform some acts. A directive
utterance has the pronoun you as actor. Three
kinds of directive utterances can be recognized:
commands, requests and suggestions. For example,
(You) wait here. Lastly, commissive utterances. They
are prospective and concerned with the speaker’s
commitment to future action. Commissive verbs
are illustrated by agree, ask, offer, refuse, swear. These
include promises, pledges, threats and vows. For
example, I promise to be on time.
Based on the explanation above, this study
focuses on finding out the types of speech acts in
Facebook status updates.
METHOD
This study employs descriptive qualitative
methods with the presence of a simple statistical
data for describing the occurrences of the intended
features. The study analyses kinds of speech acts
found in Facebook status updates.
The data that was taken from a social
networking site that nowadays is very familiar to
us, facebook (www.facebook.com). The data was
taken from the researcher friends’s status updates
on facebook which include women and men. Steps
of analyzing the data is first of all, the researcher
copied all of my friends’ status updates, taken
from 116 random participants. The participants
were mostly undergraduates students, ranging
from 18-20 year old students. Secondly, the data
categorized into five types of speech acts proposed
by Searle (1976). Furthermore, in order to protect
the subjects or the participants of this research, the
researcher omitted the name of the subjects.
FINDINGS AND DISCUSSION
After analyzing the data, the researcher found
72 expressive utterances (62%), 28 representative
utterances (24%), 9 commissive utterances (8%),
and 3 directive utterances (3%), and the other 4 are
quotations (3%). The quotations found in the status
updates were new findings, other than those seven
types of speech acts. The quotations were mostly
taken from holy Qur’an or Bible.
Expressive
In this category, the speaker is involved in the
action. For example:
2. Huah... Bank ga buka hr sabtu... Damn it...
Aq ke lupa, ga bs ambe uang... T.T. (13 minutes
ago) EXPRESSIVE
4. Sepanjang jalan kenangan.. (22 minutes ago)
EXPRESSIVE
5. is loving the weather. This is Salatiga. (26 minutes
ago) EXPRESSIVE
The above example proved that the speaker
had involved in the actions. In (2), the speaker used
sarcastic word to express his annoyance for not
being able to withdraw money in a bank for it was
Argian Ekowati, The Use of Speech Acts Types in Facebook Status Updates102
Saturday, where many of which were day off. In
(4), the speaker was recalling her memory through
memory lane with her beloved in the past. The
action had happened and is currently happening.
In (5), the speaker was experiencing the action of
loving the weather in his hometown, Salatiga.
Representative
16. Immagine me without U.. (about an hour ago)
REPRESENTATIVE
22. Think positive toward herself and ever ything
that happens in her lif e. ^^. (8 hours ago)
REPRESENTATIVE
54. coz i love u so much & i want u back.. so i’ll wait
for you, no matter if i have to wait forever...:):). (20
hours ago) REPRESENTATIVE
The purpose of representative utterances
is to inform what the speaker believe. In (16),
the speaker believed what would happen to her
without the presence of someone she loves. In
(22), the speaker was trying think positively in her
life. She believed good things would follow up by
thinking positively. In (54), the speaker expressed
her feeling toward her beloved. She informed her
friends in Facebook that she would wait for her
boy forever.
Commissive
In commissive, the action is about to happen
and the speaker is committed to do the action in
the future. For example:
8. gonna attend a seminar (again) today and tomorrow...
*phew* hopefully it will recharge my, and others’, life-
battery... (44 minutes ago) COMMISSIVE
14. mau prgi ke rmh akang.. (about an hour ago)
COMMISSIVE
24. tutup novelnya mati’in lampu kamarnya berdoa teruz
tidur bsk bngun trz pergi berenang.:-D. (8 hours ago)
COMMISSIVE
The above examples showed that all the
speakers were preparing for activities they were
going to do in the future to come. In (8), the
speaker was probably taking rest for another activity
tomorrow in a seminar. The action was about to
come tomorrow. In (14), the person, who was going
to her husband’s house, was the speaker. She was
not going there yet. Whereas in (24), the speaker
was planning for activity tomorrow. At the same
time she was broadcasting her status update that
she was ready for bed.
Directive
This category demands other person or addressee
to do something. For example:
35. sista2 AQ BRUSAN UP LOAD TAS2 MDEL2
TERBARU YH DGN REASONABLE
PRICE N RATA2 KEBANYAKAN KW 1,,
SO MAMPIR YH DI LIAT2,, N KLO MW
ORDER LNSNG SMS AZA YH KE 0813 832
100 55...TQ^^. (12 hours ago) DIRECTIVE
75. ohhhh....cari artikel ae.... mumethh...... panjang
kpanjangen,pendek kpendeken... hupppfffhhhggggg
somebody....pliss help me....... (on Thursday)
EXPRESSIVE AND DIRECTIVE
106. vote Jokowow =p. (on Sunday) DIRECTIVE
The speakers in the examples above were
asking for their friends to do what they were
requesting. In (35), an online seller was trying to
get her customer updated with her new collection
of bags. The language she used is quite persuasive
for a customer to see her Facebook. In (75),
interestingly, the speaker combined the expressive
and directive utterances. She felt frustrated in
finding an appropriate article, so she asked anyone
in Facebook for help. The readers could post
comment in her comment box, and it means she is
successful in demanding her friend to do something
for her. In (106), the speaker made use of today’s
politic situation, where Indonesia is about to have
presidential election this month. Thus, she did a
little campaign in her Facebook by asking for her
friends to vote one of the candidate, who was also
her number one choice. She used straightforward
word to vote the candidate.
Quotation
Interestingly, even in Facebook status updates,
the researcher found new findings out of the seven
types of speech acts. It is called quotation, which
were taken from a song, a poem, an Al Quran, and
a Bible. For example:
JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 103
28. Bismikallahumma ahya wabismika amud...
zZZZ. (11 hours ago) QUOTATION
29. Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena
dari situlah terpancar kehidupan. Amsal 4: 23.
^^. (11 hours ago) QUOTATION
56. “ You’re not alone...I’m here with you..” (20 hours
ago) QUOTATION
87. you shared my darkest moment..coz the road is so long
to walk alone..but you gave me strength..you’ve got to
believe it..Love is the answer it heals soar heart..gives
you the light when the night is dark..Love is the answer
and love is forever..Love is what makes us going on. (on
Wednesday) QUOTATION
Aside from speech acts analysis above, I was
also interested in commenting the the language style
used by those 116 Facebook users. It varied from
one another, there were flowery words, symbols or
something cute in their speech to emphasize what
they are saying, and straightforward sentences.
However, I found rude or swear words in the status
update to express bad feeling. In my opinion, there
were some factors should be considered as the
reasons why Facebook users used that words. It
could be caused by their social background, social
status, and environment. If we look at some of the
swear words like fucking, stupid, moron, idiot, damn,
shit, and motherfucker, I know that this particular
person was influenced by English background
because he or she preferred English words rather
than Indonesian or Javanese language.
Also, some Facebook users like to use/type
“emotion” characters such as T_T, T-T, *_^, >_<,
^_^, @_@. They put it at the end of a sentence
and it shows cuteness. Besides that, they used empty
adjectives and intensifiers, such as very thankful,
so much, awesome, amazing, ya ampunn, hiks..hik…,
huh, and even some sexist language like the words
akang and suami. It made their speech sounds more
hyperbolic and dramatic.
CONCLUSION
To conclude, Facebook is a media through
which people share what is going on in their life
or how they are feeling. Language in this aspect
plays a major role. The Facebook users convey their
messages or idea through language. People produce
a sentence thorugh language. A sentence consists
of three main types: declarative, interrogative and
imperative. In this study, the researcher found that
most of the sentence used by Facebook users are in
form of declarative sentence. It is obvious because
the sentences consists of a subject, a predicate
and a object. In addition, since this study is trying
to explore the type of spech acts, the findings
are expressive utterance reaches 62%, followed
by assertive utterances 24%. Next, commissive
utterances has 8%, and directive utterances has
3%. The new finding, quotation, gets 3% of total
116 status updates being analyzed. Beside that, the
language style are varied from one another, such
as flowery words, straightforward, and even rude
or swear words. They describe the users feeling
at the time they are writing the status updates on
Facebook.
REFERENCES
Carr, C. T., Schrock D. B. & Dauterman, P. 2009.
Speech Act Analysis Within Social Network
Sites’ Status Messages. Running Head: Speech
Acts within SNSs. 7: 1-39. Retrieved on 22
June 2014 from https://www.msu.edu
Das, B.K. 2005. Twentieth Century Literary Criticism.
New Delhi: Atlantic Publishers.
Holtgraves, T.M. 2002. Language as Social Action:
Social Psychology and Language Use. New Jersey,
London: Lawrence Erlbaum Associates.
Ilyas, S. & Khushi, Q. 2012. Facebook Status
Updates: A Speech Act Analysis. Academic
Research International. 3 (2): 500-507. Retrieved
on 22 June 2014 from http://www.savap.org.
pk 2-63).pdf
Levinson, S.C. 1983. Pragmatics. Cambridge:
Cambridge University Press
Nastri, J., Pena, J. & Hancock, J. T. 2006. The
Construction of Away Messages: A Speech
Act Analysis. Journal of Computer-Mediated
Communication, 11 (4): 205-232.
Putra, J. S. 2011. Why is Facebook so Popular in
Indonesia. Article. Retrieved on 22 June 2014
from http://www.quora.com
INTRODUCTION
As a lingua franca, English has become so
widely used that it now dominates every type
of international field. Therefore, the study on
translation is needed to get more understanding
on what have been written in non-English texts. If
the works of non-English texts are not able to be
communicated, the good ideas or brain works in
non-English Language might be hindered on the
international arena. However, when published in
English language, academic studies are more likely
to be acknowledged and appreciated internationally
and this enables academicians from all over the
world to have a say on the international arena. As
a result of this undeniable fact, academicians from
Indonesian will also feel the need to translate their
works in English, as well as in their native language.
According to Said M. Shiyab, this has long been the
case in the globalization era: facets of globalization
has been highlighted many points that they do not
TRANSLATION QUALITY OF TRANSLATED ABSTRACTS
FROM INDONESIAN TO ENGLISH
IN THE JOURNAL OF STAIN PONOROGO 2015
Dolar Yuwono
STAIN Ponorogo
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk (i) mengevaluasi terjemahan abstrak Bahasa Inggris dan hasil penelitian dari Bahasa Indonesia ke dalam Bahasa Inggris yang dipublikasikan di jurnal STAIN Ponorogo, dan (ii) mengidentifikasi kesalahan penerjemahan dan permasalahannya berdasarkan penilaian kualitas penerjemahan (TQA). Dalam penelitian ini, pemilihan abstrak yang ditulis oleh penutur Bahasa Indonesia sebagai sumber data dilakukan secara acak. Korpus terdiri dari 9 abstrak jurnal dan penelitian, kemudian dianalisa dalam hal pembatasan masalah dari isu penerjemahan, wacana akademik dan fitur leksiko-sintaktik penerjemahan. Temuan penelitian mengindikasikan bahwa peneliti yang merupakan penutur Bahasa Indonesia memiliki kualifikasi nilai yang rendah dalam menterjemahkan abstraknya. Skor berkisar antara 3 s.d. 1, 3 (tinggi), 2 (cukup) dan 1 (rendah). Hasil analisis menunjukkan bahwa kualitas leksikal dan fitur pragmatik masih rendah, sehingga dapat disimpulkan bahwa aspek akurasi, keterbacaan, dan penerimaan juga rendah.
Kata Kunci: Penilaian Kualitas Translasi (TQA), Abstrak Jurnal
Abstract: This study is aimed at evaluating English translated abstracts of Journals and researches from Indonesian into English published in a journal of STAIN Ponorogo and identifying translation errors and problems based on translation quality assessment (TQA). In this study, a random selection of abstracts from the Indonesian speaking researchers was used. The corpus consisted of 9 abstracts of journals and researches. The abstracts of these journals and researches were analyzed in terms of problems stemming from translation issues, academic discourse and lexico-syntactic features of translation. The findings indicated that Indonesian-speaking researchers had low score qualification of translation in translating their abstracts into English.The score ranged from 3 to 1: 3 (high), 2 (middle) and 1 (low). The results of the analysis indicated low quality in terms of lexical and pragmatic features from which we concluded that there might be some universally low in its accuracy, readability and acceptance.
Keywords: Translation Quality Assessment (TQA), Journal Abstract
Dolar Yuwono, Translation Quality of Translated Abstracts from Indonesian to English in the Journal of STAIN Ponorogo 2015106
only evolve around translation of linguistic changes,
but is first and foremost about information
technology, political and economical changes (2008:
1). It should be noted that the journal’s Indonesian
title gave researchers the impression that it was
not open to the international scientific community
because Bahasa Indonesia is still only known by
not many scientists in the world of academicians.
Scientists who want to produce influential, globally
recognized work most likely need to translate
their works into English-which means they’ll also
likely have to write their articles, papers, theses,
dissertations, etc. in English. As a result of not
being skillful in writing in English, most papers
were submitted elsewhere in Indonesia.
As is known that one of prerequisites to gain
international recognition is that the paper or any
academic writings including their abstracts must be
written in English. The problem for most Indonesian
researchers or writers are on their English writing
skill; they may mostly face numerous linguistic,
formal, organizational, and ideological barriers in
transferring original texts (Indonesian) into target
texts (English) which may influence their decision
to look for substitutions, anaphora, ellipses, etc.
that make up the different ways of text functions
account for the textual meaning and messages that
should be preserved in translation. The skill needed
for translating their works into English is a must in
academic writings and it, of course, makes much
more challenging since English has become the
lingua franca of academic discourse, for researchers
in the international academic community. And to
become a member of the international academic
community for their works is to be able to publish
them in English; at least, the abstracts they have
written.
Further to say, writing abstract is imperative,
on one hand, because it functions as very short
description of the content and the scope of the
project in an academic writings. An abstract
contains a concise summary of a larger project
(a thesis, research report, performance, service
project, journal etc.) that concisely describes the
content and scope of the project and identifies the
project’s objective, its methodology and its findings,
conclusions, or intended results that a must be
written in English along with the Indonesian
version. Abstracts are universal in academic writing.
All of theses, journals articles and dissertations are
published with their abstracts. On others, as non-
English speaking writers, their abilities to translate
them into English are still limited. Each abstract
translated into English by its writer in the journals
and researches needs to be evaluated. They, as the
translators of their own writings into English, are
mostly weak in their competences in translating.
As a translator, knowing a foreign language and
the subject to be translated only are not enough,
and what they should also have is sensitivity to
language and competency to write in the target
language (TL) dexterously, clearly, economically and
resourcefully (Peter Newmark, 2003:3). What they
have to do is not only avoiding errors usage but
mistakes of fact and language simply by applying
their common sense and showing sensitivity to
language. In addition, translation is a not a simple
process and knowing only meaning of the words
or using dictionaries is not enough for translation.
Translators need to know the knowledge of the
principles in translating and understand the fields
being translated, although getting information
about all fields is almost impossible. Before doing
translation they should study and comprehend the
contents of each text being translated. Without
knowing it, their translation will produce the
technical terms and the translated statements which
are possibly not understandable.
Furthermore, translation is one of the
disciplines which is used to transfer the message
of the source language text (SLT) to the target
language text (TLT). According to Catford (1965)
translation is the replacement of textual material
in one language (SL) by equivalent textual material
in another language (TL). It also typically has
been used to transfer written or spoken SL texts
to equivalent written or spoken TL texts. It is
rendering the meaning of a text into another
language in the way that the author intended the
text (Newmark, 1988: 5). Translation is studying
the lexicon, grammatical structure, communication
situation, and cultural context of the source
JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 107
language text, analyzing it in order to determine
its meaning, and then reconstructing this same
meaning using lexicon and grammatical structure
which are appropriate in the receptor language and
its cultural context (Larson, 1984: 3).
It means that translators should always
preserve the message existing in the SL to the TL
because they will deal with the two basic problems
in translation: cultural differences and linguistic
incompatibility. In other word, disparity among
languages are a problematic for translators, the
more different the concepts of languages are, the
more difficult it is to transfer messages from one
language to the other (Rasool Namdari and Mohsen
Shahrokhi: ([email protected]).
Culler (1976) also wrote that one of the
troublesome problems of translation is the disparity
among languages. The bigger the gap between the
SL and the TL, the more difficult the transfer of
message from the former to the latter will be. The
difference between an SL and a TL and the variation
in their cultures make the process of translating a
real challenge. Among the problematic factors
involved in translation such as form, meaning,
style, proverbs, idioms, etc., the present paper is
going to concentrate mainly on the procedures of
translating CSCs in general and on the strategies
of rendering allusions in particular (Mahmoud
Ordudari, 2007:1). So, in doing translation, the
translator needs to know procedures, strategies,
methods and techniques of translation.
Nida (1964) depicted the translating procedures
cover the following procedures, firstly, technical
procedures, include analysis of the source and
target languages, a through study of the source
language text before making attempts translate
it, and making judgments of the semantic and
syntactic approximations (pp. 241-45). Secondly,
organizational procedures, include constant
reevaluation of the attempt made; contrasting it
with the existing available translations of the same
text done by other translators, and checking the
text’s communicative effectiveness by asking the
target language readers to evaluate its accuracy
and effectiveness and studying their reactions (pp.
246-47). While Graedler (2000:3) puts forth some
procedures of translating CSCs, they are making
up a new word, explaining the meaning of the SL
expression in lieu of translating it, preserving the
SL term intact and opting for a word in the TL
which seems similar to or has the same “relevance”
as the SL term.
Defining culture-bound terms (CBTs) as the
terms which “refer to concepts, institutions and
personnel which are specific to the SL culture” (p.2),
Harvey (2000:2-6) puts forward the following four
major techniques for translating CBTs, they are: (i)
Functional Equivalence, it means using a referent
in the TL culture whose function is similar to that
of the source language (SL) referent. As Harvey
(2000:2) writes, authors are divided over the merits
of this technique: Weston (1991:23) describes it as
“the ideal method of translation,” while Sarcevic
(1985:131) asserts that it is “misleading and should
be avoided.” (ii) Formal Equivalence or ‘linguistic
equivalence’: It means a ‘word-for-word’ translation,
(iii) Transcription or ‘borrowing’ (i.e. reproducing
or, where necessary, transliterating the original
term): It stands at the far end of SL-oriented
strategies. If the term is formally transparent or
is explained in the context, it may be used alone.
In other cases, particularly where no knowledge
of the SL by the reader is presumed, transcription
is accompanied by an explanation or a translator’s
note, and (iv) Descriptive or self-explanatory
translation: It uses generic terms (not CBTs) to
convey the meaning. It is appropriate in a wide
variety of contexts where formal equivalence is
considered insufficiently clear. In a text aimed at
a specialized reader, it can be helpful to add the
original SL term to avoid ambiguity.
The following are the different translation
procedures that Newmark (1988) proposes, (i)
Transference: it is the process of transferring an
SL word to a TL text. It includes transliteration
and is the same as what Harvey (2000:5) named
“transcription.” (ii) Naturalization: it adapts the
SL word first to the normal pronunciation, then
to the normal morphology of the TL. (Newmark,
1988:82), (iii) Cultural equivalent: it means replacing
a cultural word in the SL with a TL one. however,
“they are not accurate” (Newmark, 1988b:83),
Dolar Yuwono, Translation Quality of Translated Abstracts from Indonesian to English in the Journal of STAIN Ponorogo 2015108
(iv) Functional equivalent: it requires the use
of a culture-neutral word. (Newmark, 1988:83),
(v) Descriptive equivalent: in this procedure the
meaning of the CBT is explained in several words.
(Newmark, 1988:83), (vi) Componential analysis:
it means “comparing an SL word with a TL
word which has a similar meaning but is not an
obvious one-to-one equivalent, by demonstrating
first their common and then their differing
sense components.” (Newmark, 1988:114), (vii)
Synonymy: it is a “near TL equivalent.” Here
economy trumps accuracy. (Newmark, 1988:84),
(viii) Through-translation: it is the literal translation
of common collocations, names of organizations
and components of compounds. It can also be
called: calque or loan translation. (Newmark,
1988:84), (ix) Shifts or transpositions: it involves a
change in the grammar from SL to TL, for instance,
(i) change from singular to plural, (ii) the change
required when a specific SL structure does not exist
in the TL, (iii) change of an SL verb to a TL word,
change of an SL noun group to a TL noun and
so forth. (Newmark, 1988:86), (x) Modulation: it
occurs when the translator reproduces the message
of the original text in the TL text in conformity with
the current norms of the TL, since the SL and the
TL may appear dissimilar in terms of perspective.
(Newmark, 1988:88), (xi) Recognized translation:
it occurs when the translator “normally uses the
official or the generally accepted translation of
any institutional term.” (Newmark, 1988:89), (xii)
Compensation: it occurs when loss of meaning in
one part of a sentence is compensated in another
part. (Newmark, 1988:90), (xiii) Paraphrase: in this
procedure the meaning of the CBT is explained.
Here the explanation is much more detailed than
that of descriptive equivalent. (Newmark, 1988:91),
(xiv) Couplets: it occurs when the translator
combines two different procedures. (Newmark,
1988:91), and (xv) Notes: notes are additional
information in a translation. (Newmark, 1988:91)
Related to procedures, strategies, methods
and techniques of translation, the assessment on
the results of translation should be based on the
theoretical basis of model developed by House
that the essence of translation is by preserving the
meaning across the two languages involved, and
that meaning has three basic aspects: Semantic,
Pragmatic and Textual aspect (House, 1977: 27).
Canadian Theorist Larose divided his approach of
TQA into two domains: ‘extra textual’ and ‘textual
elements” (1998:169). Chesterman and Wagner
(2002: 92-3) identifies good translation into four
elements, as follows: (i) The acceptability norm,
that is, the one that fits closely enough into the
appropriate family of the target texts (TT), (ii)
The relation norm, that is, the one that governs
the relation between the source texts (ST) and
translation. It says that between the two texts there
must be a relation of ‘relevant similarity’, (iii) The
community norm, that is, the one that should be
optimally intelligible, that it should help the original
author/or sender to communicate the appropriate
message to the senders, and (iv) The accountability
norm, that is, the one that should not contain any
evidence that the translator has been disloyal to any
of the parties involved in the communication.
According to Christina Schaffner (1998), the
criteria for evaluation of translation quality will
be different depending on the purpose of the
assessment and on the theoretical framework which
the evaluator applies and in assessing the quality of
the translation. The TT is compared to the ST to
find out whether the TT is an “accurate, correct,
precise, faithful, or a true reproduction of the
ST” (pp. 1). This comparison, based on Newmark
(1991), involves both quantitative and qualitative
aspects, or in other words, it investigates the
status of accuracy referentially and pragmatically.
Product-oriented assessment models-readability,
comprehensibility, acceptability and usability.
Nababan et al., (2012) states that there are three
aspects that must be paid attention in evaluating
TQA: accuracy, acceptability and readability.
Accuracy is a term used in evaluating translation
referring whether the ST and the TT have the
equal equivalency or not. In addition, it should
refer to the sameness on its sense and message.
A text is supposed to be a result of translation, if
the translation coneys the equal sense and message
to the text being translated/source text (ST).
Readability means that translation is supposed to
JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 109
be accepted if it is expressed in accordance to the norms. grammatical rules and culture of the target
language (TL) in level of macro and micro systems. And readability is referring to whether both ST and
the translated text can be read and understood by its readers or not. The criteria used are as follows:
Table1.1: Instrument of Assessment on Accuracy of Translation
Accurate 3 Word meanings, word order (grammatical rules), technical terms, phrases, clauses
and sentences and source text are accurately transferred into target text: zero
distortion in meaning in transferring from SL to TL
Less accurate 2 Word meanings, word order (grammatical rules technical terms, phrases, clauses
and sentences and source text are accurately transferred into target text but there
are still a few distortion in meaning: double meanings (ambiguous in meanings),
or lost in meaning are still found in transferring from SL to TL
Inaccurate 1 Word meanings, word order (grammatical rules technical terms, phrases, clauses
and sentences and source text are not accurately transferred into target text; Even
the message are different; and many meaning are lost.
Table 1.2: Instrument of Assessment on Acceptability of Translation
Acceptable 3 The result of translation looks natural; Technical terms are well- known by their
readers; phrases, clauses and sentences structurally used in translating suit with
the grammatical rule of the TL (Indonesian language)
Less acceptable 2 In general, the result of translation looks natural; however, a few errors and
mistakes still happen in technical terms and grammar.
Unacceptable 1 The result of translation does not look natural; Technical terms are not well-
known by their readers; phrases, clauses and sentences structurally used in
translating do not suit with the grammatical rule of the TL (Indonesian language)
at all.
Table 1.3: Instrument of Assessment on Readability of Translation
Readable 3 Word meanings, technical terms, phrases, clauses and sentences in target text are
easily read and understood.
Less readable 2 In general, most word meanings, technical terms, phrases, clauses and sentences
in target text still can be read and understood; however, there are still some which
need more than one to be repeated to read them.
Unreadable 1 Word meanings, technical terms, phrases, clauses and sentences in target text are
difficult to read and understand
This research aimed to describe the following
questions, (i) How is the accuracy of Indonesian
into English translation done by lecturers of non-
speaking English speakers as far as pragmatic
equivalence and lexico-syntactic properties is
concerned?, (ii) How is the acceptability of
Indonesian into English translation done by
lecturers of non-speaking English speakers as
far as pragmatic equivalence and lexico-syntactic
properties is concerned?, and (iii) How is the
readability of Indonesian into English translation
done by lecturers of non-speaking English speakers
as far as pragmatic equivalence and lexico-syntactic
properties is concerned?
METHOD
This research was descriptive qualitative and the
data used was document taken from the lecturers’
Dolar Yuwono, Translation Quality of Translated Abstracts from Indonesian to English in the Journal of STAIN Ponorogo 2015110
abstracts of journals and researches translated
texts from Indonesian into English. The data were
displayed in two languages: Indonesia and English.
The data was analyzed using content analysis. In
linguistics which focused on translation research,
content analysis was used to analyze the quality of
translation from the source text to the target text.
They were texts in the sense that they were meant
to be read, interpreted, and understood by many
people other than analysts (Klause Krippendorff,
2004:30). The application was that the data were
gathered in written forms of translated texts of
different themes. The translated texts was analyzed
based on their accuracy, acceptability, and readability
seen from perspective of pragmatic equivalence,
and socio-synthetic properties. The following is
the framework for content analysis taken from the
concept by Klause Krippendorff (2004:30).
listing them as major categories (or themes) and/or
minor categories (or themes), (iv) Comparing and
contrasting the various major and minor categories,
(v) Because there was more than one transcript,
repeating the first five stages again for each
transcript, (vi) After doing the above with all of
the transcripts, what should be done was collecting
all of the categories or themes and examining each
in detail and consider if it fitted and its relevance,
(vii) After all the transcript data were categorized
into minor and major categories/themes, they were
reviewed in order to ensure that the information
was categorized as it should be, (viii) Reviewing
all of the categories and ascertaining whether
some categories could be merged or matched
according to their categories or not, or if some
needed to them be sub-categorized as the data to
Figure 2.1: Component of Content Analysis
Procedure
The steps of content analysis are (i) Copying
and reading through the transcript of source texts
and target texts - making brief notes to find list of
the different types of information related to both
texts, (ii) Reading through the list and categorizing
each item in a way that offered a description of
what it is about, in this case, the categorization
was based on pragmatic equivalence and lexico-
syntactical properties, (iii) Identifying whether or
not the categories could be linked any way and
be analyzed, and (ix) To analyze the data, pragmatic
equivalence and lexico-syntactical properties
categories in translation were examined and criteria
were set to rate them. The pragmatic equivalence
lexico-syntactical properties was assessed based
on Nababan (2012) three parameters mentioned
in the previous section to answer to the research
questions below.
JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 111
FINDINGS AND DISCUSSION
As mentioned before, abstracts being studied
by the researcher were nine translated texts. They
were divided into some parts of disciplines:
sociology, Islamic study, inheritance law in Islam,
Islam and culture in Indonesia and mysticism. And
the sentences in each discipline was also randomly
selected. From nine abstracts, the researcher only
took one translated text as an executive summary
of his research in this journal. The following
data showed the score of each sentence in the
abstract.
Table 3.1: Score of each sentence in the translated text.
No Source Language Target Language
1 Artikel ini mengekplorasi hubungan antara masjid
dengan masyarakat di Raja Ampat.
This article explores the correlation between
mosque and society in Raja Ampat Regency.
2 Untuk itu, masalah penelitian adalah bagaiana
kepedulian masyarakat dalam menjaga lingkungan
yang bersumber dari ekspresi keberagamaan.
Therefore, the research problem is how
the society awareness in conserving the
environment.
3 Selanjutnya, penelitian ini akan menjelaskan kondisi
kampung dalam menjalankan adat.
Indeed, this research would explain us the
condition of village to implement adat
(tradition).
Translated sentence (TS) 1 showed the
translation are less accurate (the score 2). The
expression “This article explores the correlation.....”
arose the question “ who explores ‘the article or the
author?’. The translation is ambiguous because the
actor of doing exploration was not clear. The article
itself seemed to be the actor of doing research
not the person. It should be better to express it
as follows: “this article is aimed at exploring.....”.
However, the translation of the phrase “the
correlation between mosque and society in Raja Ampat
Regency” were accurate; the word meanings, word
order (grammatical rules), and technical terms used
are still accurately transferred into target text. In the
level of readability showed that the translation was
also lack of readability because clauses “This article
explores the correlation.....” in target text was not easily
read and understood. It made misunderstanding,
and the score is 1, while in the level of acceptability
showed that the translation looks unnatural because
the used of the word ‘explore” did not collocate
the subject ‘article” which could make ambiguity to
understand and the score was 2.
In the translated sentence (TS) 2, the translator
expressed it in an incomplete message to the readers.
There was a reduction on its translation, that is,
“yang bersumber dari ekspresi keberagamaan”. This
clause was not translated, and it functioned as the
controlling ideas and key word in the sentence that
made it inaccurate (score 1). The word meanings,
word order (grammatical rules), and technical terms
were not translated into the in a good and complete
word order. Besides, syntactically, there was missing
verb in noun clause “how the society awareness in
conserving the environment”. There should be linked
with a verb between the subject and predicate. The
ST should be translated as follows: “......... how the
society awareness is in conserving the environment which is
sourced from religious expression”. The transitional word
“therefore” used in this sentence was not natural (say
acceptable: the score 1) because this connector
was to show the effect or consequence of doing
something or of something happening. And the
sentence did not show the effect or consequence of
the first sentence. It is better not to use connector
or change it with another connector which is
suitable. It is better to translate the ST as follows:
‘the problem which arose in the study was how.......”. At
the level of readability, the translation made the
readers blurry to understand because some words
and terms in the ST were omitted in the TT. The
key terms like “ekspresi”, and “keberagamaan”
were not translated into the TL. So the score if the
translation in the level readability was 1.
Dolar Yuwono, Translation Quality of Translated Abstracts from Indonesian to English in the Journal of STAIN Ponorogo 2015112
In TS 3, the mistake was on the transitional
word used to connect between the second and
the third sentence. The connector “indeed” was
not relevant to connect both sentences. The
word “indeed” did not have the same meaning
as the word “selanjutnya” in the SL.This word, if
translated back, is sungguh, tentunya, pastinya,
bahkan, or benar-banar which its purpose was to
emphasize a statement or response confirming
something already suggested, and introduce a
further and stronger or more surprising point or
used in a response to express interest, incredulity,
or contempt. It would be better to use “in addition,
besides, or additionally” which was used to add more
information. The clause following the word “indeed”
was accurate, acceptable and readable so that the
average score based on the criteria above in this
translation was 2,2 and 2.
Table 3.2: Score of each sentence in the translated text above.
Sentence number Accuracy Readability Acceptability
1 1 2 2
2 1 1 1
3 2 2 2
The next source language text which was taken from abstract is as follows:
Table 3.3: Score of each sentence in the translated text.
No Source Text Target text
1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat
kampung menjadikan tradisi Islam dalam menjaga
lingkungan sekitar termasuk laut dan hutan.
Research findings show that villager appliance
Islamic tradition in preserving the surrounding
areas including seas and forests
2. Aturan-aturan diberlakukan pada masyarakat untuk
memandu para penduduk dalam memanen produksi
lingkungan.
There are society rules to guide villager in
harvesting the production.
3. Beberapa ide yang diterapkan dijadikan sebagai
pedoman bagi setiap orang sepanjang waktu.
Some ideas were implemented to escort the
community through the seasons.
As can be seen, the translated sentences 4
above showed that the author had some errors in
translating the ST to the TT. The first translated
sentence was structurally incorrect. It showed
that reported clause of the TT was unclear due
to the error in grammar. The reported clause
had no subject and verb (predicate) so that the
clause became fragment showing unfinished and
incomplete thought. There was no verb between
the subject “ villager appliance Islamic tradition” and the
predicate “ in preserving the surrounding areas including
seas and forests”. Word meanings became ambiguous
and the terms used were not proper such as the
words“ villager appliance Islamic tradition”. The verb
“menjadikan” was shifted and translated into noun
“appliance” which semantically had difference sense
and meaning. The word meaning, terms used and
grammatical rules were so poor that TT cannot
be well understood and naturally accepted by the
speaking English community. Besides, most of the
tenses used in the translated texts were incorrect.
The abstract which shows the result of the study are
usually in the form of past, but most of translators
use them in present forms. The score of the three
aspects are 1. The revision could be “The research
showed that the village community had made Islamic tradition
as a regulation to preserve their environment including seas
and forests”. In this translation, the researchers add a
noun phrase “a regulation” in order that the product
of translation would be easily understood. The
score of each aspect was 1, 1 and 1.
The fifth sentence is structurally correct, but
the author reduced a word “lingkungan” from its
original sentence. The reduction in the TT did
JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 113
not make the sentence become blurry but make it
different meaning. It arose the question of what
was harvested, production or the environmental
products. Can production be harvested? If so,
what kinds of production can be harvested?
As known that production is the processes and
methods used to transform tangible inputs (raw
materials, semi-finished goods, sub-assemblies) and
intangible inputs (ideas, information, knowledge)
into goods or services. Resources are used in this
process to create an output that is suitable for use
or has exchange value that cannot be harvested
(http://www.businessdictionary.com).
The researcher thought that the production
which was meant by the translator’ was the
environmental products. The term used was
incorrect because this term is usually used in
commercial environmental activities. Furthermore,
in translating the ST to TT, the translator also used
transposition technique with which he/she changed
the passive sentence into an active one. The passive
clause “Aturan-aturan diberlakukan pada masyarakat
untuk memandu....”. The prefix “di” in “verb
berlakukan” in Indonesian language showed the
passive sentence. However, the author translated
it into active sentence.“There are society rules to guide
villager in harvesting the production.” using introductory
“there”. The translation was not incorrect or not
inaccurate, but it needed a little revision like the
following: “There are society rules to guide villagers in
harvesting the environmental products”. In this case,
it is better for the translator to use “additional
technique” by using additional words, that is,
changing the singular noun “production” into noun
phrase “environmental and products, and the singular
noun “villager into plural noun “villagers”. Otherwise, it
could be translated as it was in the passive sentence.
The translator could translate it like the following:
“The rules or regulations were enforced to the community to
guide villagers in harvesting the environmental products”.
The score of each aspect being assessed were 2,2,
and 2.
In the sixth translated sentence, the translator
reduced and substituted some words of the SL; the
passive phrase “dijadikan sebagai pedoman” was
omitted and the prepositional phrase “bagi setiap
orang” was substituted with noun phrase “the
community”. The omission and the substitution
made the message of the original sentence change
its sense and meaning. He/she also used false choice
of words in English. He/she made the words “bagi”
functioned as preposition in Indonesian language
was translated it into “escort” functioned as a verb
in English. The transposition of a word class in the
target sentence from preposition to verb, of course,
can cause different meaning from its source word.
The word “escort” if juxtaposed with another word
like “community” meant “to accompany (someone
or something) somewhere, especially for protection
or security, or as a mark of rank”, while the word
“bagi” meant “for” like the statement “ It is for you”.
The verb phrase “ to escort the community” if translated
back into Indonesian was “mengawal masyarakat”. So
the translation showed that the author’s translated
text was still far from being accurate, readable and
acceptable. It can be seen when the translated
text is back translated into Indonesian as follows:
“Beberapa ide dilaksanakan untuk mengawal masyarakat
selama bermusim musim”. While the message which
was meant by its author in the ST was “ Beberapa
ide yang diterapkan dijadikan sebagai pedoman bagi
setiap orang sepanjang waktu. It should better to be
translated as follows:“Some ideas applied to community
was used to serve as a guideline for everyone all the time”.
The average score of each aspect was 1,1,and 1.
Table 3.4: Score of each sentence in the translated text.
Sentence number Accuracy Readability Acceptability
4 1 1 1
5 2 2 2
6 1 1 1
Dolar Yuwono, Translation Quality of Translated Abstracts from Indonesian to English in the Journal of STAIN Ponorogo 2015114
All in all, the translated nine texts being
studied in this research consisted of 135 sentences.
After being assessed, the result can be seen in the
following table:
Table 3.5: The final result of the score of translated texts
Parameters used Level of score Sentence number Percentage
Accuracy
3 15 11 %
2 70 52 %
1 50 39 %
Readability
3 35 22 %
2 60 44 %
1 40 29 %
Acceptability
3 27 20 %
2 65 49 %
1 62 47 %
The result in the level of the accuracy showed
that 15 sentences of 135 sentences were accurate
or 11 %; 70 sentences were less accurate or 52
%,; and 50 sentences were not accurate or 39 %.
The level of readability of the assessed- translated
texts showed that the 35 sentences got score 3 or
22 %, 60 sentences got score 2 or 44 %, and 40
sentences got score 1 or 29%. The last criteria was
the acceptability which showed 27 sentences got the
score 3 or 20 %, 65 sentences got the score 2 or 49
%, and 62 sentences got the score 1 or 47 %.
CONCLUSION
Assessing the product of translation is an
important aspect of translation study. Academicians
in the field of translation study have generally felt
the need for more research on it. Therefore, we
who teach and conduct research on translation
need to play a more active role in studying the
issue of translation assessment. For instance, this
study is carried out regarding designing of testing
questions, e.g., how to work out pedagogical
criteria for grading lecturers’ of non-English
major in translation in translating their abstracts
from English to Indonesian., how to assess their
translation competence, cultural knowledge and
encyclopedic knowledge, and how to enhance the
validity and reliability of translation testing. All
these questions await further exploration. In fact,
what they have been done in translating their own
abstracts show that the competences are still far
from being qualified. Based on nine abstracts which
have been translated to Indonesian the result shows
that, at the level of the accuracy, non of abstracts
got score 3. Four abstracts get score 2 and 5 get
score 1. At the level of the readability, the result
shows a little better, that is, 6 abstracts get score
2, 3 get score 1 and non gets 3. Similar result also
happened at the level of acceptability; 5 abstracts
get score 2; 4 abstracts get 1; and no abstract gets
3. Finally, based on the result seen above, it shows
that translating is not only to find the equivalence
of ST and TT, but it is a activity that involves inter-
disciplines. Translating and interpreting cannot
be considered solely as a process of language
transfer, but also as socially and politically directed
activities.
REFERENCES
Chesterman, A. and R. Arrojo. 2002. ‘Shared Ground
in Translation Studies’.
Culler, J. 1976. Structuralist Poetics: Structuralism,
Linguistics, and the Study of Literature. Cornell:
Cornell University Press.
Graedler, A. L. 2000. Cultural Shock. Retrieved
December 6, 2006 from http://www.hf.uio.
no
JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 115
Hervey, S., & Higgins, I. 1992. Thinking Translation.
London & New York: Routledge.
House, J. 1997. Translation Quality Assessment: A
Model Revisited. Tubingen: Gunter Narr
Verlag.
House, J. 2001. Translation Quality Assessment:
Linguistic Description Versus Social
Evaluation. Meta: Translators’ Journal, 46,
243-257.
House, J. 2009. Translation. London: Oxford
University Press.
House, J. 2015. Translation Quality Assessment Past and
Present. Routledge: New York.
Krippendorff, K. 2004. “Content Analysis: An
introduction to Its Methodology”. Sage Publication
Inc: London.
Larson, M. L. 1984. “ Translation: Practice and Practice,
Tension and Interdependence. John Benjamin
Publishing Company: Philadelphia.
Larose, R. 1989: Théories Contemporaines de la
Traduction, 2e éd., Québec, Presses de
l’Université du Québec.
Loescher, W. 1991. Translation Performance, Translation
Process and Translation Strategies. Tuebingen:
Guten Narr.
Mahmoud Ordudari 2007. Translation Procedures,
Strategies and Methods. Retrieved September
16,2015, from http://translationjournal.net/
journal/41culture.htm)
Mangatur Nababan, Ardiana Nuraeni &
Sumardiono. ‘Pengembangan Model Penilaian
Kualitas Ter jemahan’. Universitas Sebelas
Maret Surakarta
House, J. 2001. Translation Quality Assessment:
Linguistic Description versus Social
Evaluation” Jurnal Meta, vol. 46, No. 2, Hal.
243-257.
Munday, J. 2008. Introducing translation studies:
Theories and application (2nd ed.). London:
Routledge Publication.
Newmark, P. 1982. Approaches to Translation. Oxford:
Pergamon Institute of English.
Newmark, P. 1988. A Textbook of Translation.
Hertfordshire: Prentice Hall.
Newmark, P. 1988. Approaches to Translation.
Hertfordshire: Prentice Hall.
Newmark, P. 1991. About Translation: Multilingual
Matters. Clevedon, Philadelphia, Adelaide:
Multilingual Matters Ltd.
Nida, E. A. 1964. Towards a Science of Translation,
with Special Reference to Principles and Procedures
Involved in Bible Translating. Leiden: Brill.
Rasool Namdari and Mohsen Shahrokhi. 2015.
“Differences in Translation by Translation
Specialized and Non-Specialized Students in
Terms of Accuracy of Pragmatic Equivalence
and Lexico-Syntactic Properties”, International
Journal of English Language and Translation
Studies: ISSN:2308-5460 Volume: 03 Issue:
02 April-June,2015. Retrieved June 16, 2015,
Richards, et al. 1985. Longman Dictionary of Applied
Linguistics. UK: Longman.
Schäffner, Christina. 1998. “From ‘Good’ to ‘Functionally
Appropriate’: Assessing Translation Quality”.
Jurnal Current Issues In Language &
Society Vol. 4,No 1.
Web Finane. 2015. The Definition of Production.
Retrieved September 16, 2015, from,
Retrieved July 20, 2015, (http://www.
businessdictionary.com)
PENDAHULUAN
Memiliki kemampuan menulis yang mumpuni
adalah keharusan bagi siswa pada semua level
pendidikan. Kemampuan menulis dibutuhkan untuk
berbagai kepentingan akademik seperti membuat
tugas, makalah, karya ilmiah, skripsi, tesis, dan
disertasi yang merupakan syarat kelulusan akademik.
Tanpa kemampuan menulis yang baik maka siswa
akan memiliki kesulitan untuk mengekspresikan
ide dan pemikiran secara tertulis pada orang lain
(Moattarian and Tahririan: 2013). Kurangnya
kemampuan menulis dalam bahasa Inggris tentunya
akan berpengaruh pada pencapaian kemampuan
akademik siswa, karena bahasa Inggris digunakan
sebagai salah satu bahasa pengatar dalam dunia
akademik secara global. Kekomplekan kemampuan
PENERAPAN TEKNIK TUKRI っTULIS, UNGGAH, KRITISI, REVISIあ UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENULIS ESAI
MAHASISWA STKIP PGRI PONOROGO
Elys Rahayu R. M.
STKIP PGRI Ponorogo
Rifa Suci Wulandari
STKIP PGRI Ponorogo
Abstract: Overcoming writing difficulties in high level education such as STKIP PGRI Ponorogo, is very crucial. If those teachers candidate did not have sufficient writing skill, they cannot teach professionally. This Collaborative Classroom Action Research is aimed to find out how TUKRI technique be implemented to improve the fourth semester students’ ability in writing expository essays in academic year 2014/2015. Based on the analysis of the teaching and learning process, and students’ essays at the end of the Cycle Two, students’ active participation has achieved the criteria of success which is 70%. Furthermore, the average of students’ writing score at the end of Cycle two has achieved the criteria of success which is 80. Based on the findings, there are nine steps proposed to implement TUKRI technique to improve the fourth semester students’ ability in writing expository essays.
Keywords: Expository Essays, TUKRI Technique, Writing Skill
Abstrak: Pada level pendidikan tinggi seperti STKIP PGRI Ponorogo, mengatasi kesulitan untuk menulis adalah hal yang penting. Jika para calon guru tersebut tidak memiliki kemampuan menulis yang memadai maka dikhawatirkan mereka tidak akan mampu mengajar secara profesional. Penelitian Tindakan Kelas ini dilaksanakan secara kolaboratif untuk mengetahui bagaimana teknik TUKRI dapat diterapkan dalam pembelajaran menulis essai ekspositori bagi mahasiswa semester empat STKIP PGRI Ponorogo pada tahun ajaran 2014/2015. Merujuk pada hasil analisis proses pembelajaran, dan hasil esai mahasiswa di akhir siklus dua ditemukan bahwa keaktifan mahasiswa dalam proses pembelajaran telah mencapai criteria yang ditetapkan yaitu 70%. Selain itu secara umum hasil rata-rata tulisan mahasiswa pada akhir siklus dua adalah 80 atau sesuai dengan kriteria ketuntasan. Berdasarkan hasil temuan dalam penelitian ini, maka ada sembilan langkah penerapan teknik TUKRI untuk meningkatkan kemampuan menulis esai ekspositori
Kata Kunci: Esai Ekspositori, Keterampilan Menulis, Teknik TUKRI
Elys R. R. M. & Rifa S. W., Penerapan Teknik Tukri (Tulis, Unggah, Kritisi, Revisi) untuk Meningkatkan Keterampilan Menulis Esai118
(kemampuan merencanakan, mengorganisasi,
ejaan, tanda baca, diksi, dan sebagainya) yang
dibutuhkan untuk membuat suatu tulisan yang
bagus adalah penyebab utama kesulitan siswa
dalam menulis (Richards and Renandya: 2002).
Pada level pendidikan tinggi seperti yang terjadi
di STKIP PGRI Ponorogo, mengatasi kesulitan
untuk menulis adalah hal yang penting. Hal ini
sejalan dengan misi progam studi bahasa Inggris
yang ingin mencerak guru profesional dalam
pengajaran. Jika para calon guru tersebut tidak
memiliki kemampuan menulis yang memadai maka
dikhawatirkan mereka tidak akan mampu mengajar
secara profesional. Jika mereka tidak bisa mengajar
secara profesional, dikhawatirkan mereka juga tidak
akan mampu membekali siswa dengan kemampuan
menulis yang baik.
Hasil analisa dari esai awal yang dibuat
mahasiswa pada awal penelitian, menunjukkan
beberapa kesulitan yang dihadapi oleh mahasiswa.
Kesulitan menulis secara lokal antara lain meliputi
kesulitan dalam hal diksi, tata bahasa dan struktur
kalimat. Kesulitan menulis secara lokal tersebut
memiliki pengaruh pada kesulitan menulis mahasiswa
secara global. Secara logis jika kemampuan menulis
para calon guru tersebut tidak segera ditingkatkan,
maka akan mempengaruhi kualitas pembelajaran
yang akan mereka lakukan ketika menjadi guru
yang sesungguhnya. Hasil temuan ini menunjukkan
bahwa kemampuan para calon guru tersebut harus
ditingkatkan untuk perbaikan kemampuan akademis
maupun untuk menujang pekerjaan mereka di masa
datang.
Saovapa (2013) menyatakan bahwa teknik
umpan balik ini bisa mendorong pembelajar
untuk menjadi lebih aktif dalam meningkatkan
kemampuan menulis mandiri. Teknik umpan balik
terutama teknik umpan balik teman sejawat dapat
membantu pembelajar untuk mengetahui kesulitan
dan hambatandalam menulis yang juga dialamioleh
teman sejawat. Hui dan Shih (2009:80) menyatakan
bahwa teknik umpan balik teman sejawat akan
membuat siswa memiliki pandangan yang lebih
luas pada topik yang ditugaskan, Teknik ini juga
akan menghindarkan mahasiswa dari kemungkinan
plagiarism, karena tulisan mereka akan dibaca oleh
teman sejawat sebelum pemberian umpan balik.
Ketertarikan mahasiswa pada penggunaan media
sosial bisa digunakan sebagai media penyampaian
umpan balik teman sejawat. Dua penelitian oleh
Melor, Salehi and Chenzi pada 2012, dan Ibrahim
pada 2013 menunjukkan bahwa Facebook menjadi
media yang bisa diintegrasikan dalam pembelajaran
menulis. Menurut Wu (2006:136) peningkatan
kemampuan menulis akan terjadi jika pembelajar
memiliki kesempatan untuk melihat proses
menulis dari rekan sejawat. Aplikasi Facebook
memungkinkan siswa untuk mengunggah draft dari
tiap bagian esai yang mereka buat.
Penelitian Arslan (2014) menyebutkan
beberapa keuntungan dan kerugian dari penerapan
teknik umpan balik dalam pembelajaran menulis.
Keuntungannya antara lain (1) mendorong belajar
mandiri dan belajar aktif, (2) menyediakan cara
mengatasi kesalahn, (3) meningkatkan kemampuan
bahsa tulis dan tata bahasa bagi pembelajar bahasa
asing, dan (4) membantu pembelajar untuk
mengenali dan menghindari kesalahan lokal dan
global dalam menulis. Kerugiannya antara lain (1)
bisa memunculkan efek negatif pada rasa percaya
diri pembelajar, (2) tidak memfasilitasi kegiatan
individu, and (3) hanya sedikit berkontribusi
pada tahap revisi. Hyland dan Hyland (2006:83)
menyatakan bahwa penerapan umpan balik dalam
kelas yang berbasis pembelajran genre telah
berubah. Pemberian umpan balik sekarang telah
mengkombinasikan umpan balik dari guru dengan
umpan balik teman sejawat, baik secara tatap muka
maupun secara online.
Hinkel (2004:28) menyatakan “in general terms,
exposition is entailed in expressing ideas, opinions, or
explanation pertaining to a particular piece of knowledge
or fact”. Dengan kata lain, sebuah esai ekspositori
yang bagus harus mampu membuat pembaca
menangkap cara pandang penulis terhadap isu
tertentu. Dalam essai ini pembelajar harus mampu
mengorganisasikan informasi-informasi penunjang
suatu isu/topik tertentu. Pengorganisasian informasi
penunjang dalam esai ekspositori dapat dilakukan
dengan cara memberikan contoh, memberikan
ilustrasi, memberikan perbandingan dan persamaan,
dan memberikan hubungan kausalitas (Montelongo,
JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 119
Herter, Ansaldo and Hatter, 2010:659). Pemilihan
cara pengorganisasian ini dapat menimbulkan
masalah bagi pembelajar. Mereka harus berhati-hati
dalam memilih jenis perorganisasian informasi yang
menunjang topik yang akan ditulis.
Esai ekspositori biasanya terdiri dari
introductory paragraph, body/supporting paragraphs, dan
concluding paragraph. Introductory paragraph dari
esai ekspositori biasanya terdiri dari tiga elemen
yaitu hook, building sentences, dan thesis statement.
Hook, sebagai kalimat pertama dalam paragraf
awal menjadi interest-grabber pembaca. Kalimat
ini mewakili topik dalam essai dan biasanya
ditulis semenarik mungkin dengan membeberkan
fakta, pernyataan, maupun pertanyaan yang
mengejurkan. Kalimat setelah hook dinamakan
building sentences. Building sentences/kalimat penjelas
berperan untuk memberikan dasar informasi
kontekstual mengenai topik. Kalimat tersebut harus
menunjang dan menggiring pada thesis statement.
Thesis statement, sebagai kalimat yang paling penting
dalam keseluruhan essai biasanya ditulis pada akhir
paragraf pembuka. Kalimat ini dianggap penting
karena merangkum semua ide yang akan dipaparkan
dalam paragraf selanjutnya.
Pada paragraf isi yang bisa terdiri dari dua
atau lebih, penulis harus menuliskan ide mereka
dalam pengorganisasian yang telah dipilih. Tiap
paragraf yang dalam bagian isi harus memberikan
gambaran spesifik dari tiap idea utama yang telah
dicantumkan dalam thesis statement. Paragraf isi
minimal berisi sebuah topic sentence, beberapa
supporting sentences, dan satu concluding sentence. Topic
sentence is kalimat pertama dari paragraf isi yang
menuliskan controlling idea tentang topik yang
dibahas. Controlling idea mencantumkan kerangka
pengembangan ide paragraf. Supporting sentences
adalah kalimat yang bertujuan mengklarifikasi,
mempeluas, dan mendukung ide pokok dengan
cara memperlihatkan hubungan logis, bukti, dan
penjelasan. Concluding sentence merangkum semua
pemikiran yang ada dalam sebuah paragraf dan
menjembatani ide di paragraf selanjutnya.
Concluding paragraph/paragraf penutup berisi
tiga elemen restated thesis, summary of main ideas, dan
final thought. Restated thesis dituliskan diawal paragraf
penutup. Kalimat ini merekonstruksi thesis
statement dalam kalimat. kalimat penunjang dalam
paragraf pentup harus meringkas tiap ide pokok
dalam tiap paragraf isi sebagi pengingat bagi para
pembaca. Final thought adalah kalimat terakhir dalam
paragraf penutup yang menunjukkan opini, solusi,
atau prediksi. Kalimat ini harus menimbulkan
keinginan berkontemplasi bagi pembaca.
Teknik TUKRI secara teoritis memang
serupa dengan teknik umpan balik teman sejawat
melalui Facebook. Namun, teknik ini adalah teknik
yang dikhususkan dalam tahap drafting dan revising
suatu esai ekspositori. Teknik ini dimaksudkan
untuk membuat para mahasiswa yang membuat
esai ekspositori memiliki kemampuan dalam
mengorganisasikan ide secara logis sehingga
pembaca akan mendapatkan informasi yang spesifik
mengenai topik tertentu. Teknik ini juga ditujukan
untuk meningkatkan motivasi mahasiswa terhadap
pembelajaran menulis yang terkesan monoton.
Motivasi mereka akan timbul jika mereka bisa
melihat bahwa teman-teman mereka juga berjuang
untuk meningkatkan kemampuan menulis. Mereka
juga bisa meminta pendapat, kritik, dan masukan
dari teman yang dianggap lebih ‘halus’ daripada
masukan langsung dari dosen yang biasanya
terkesan lebih ‘mendikte’.
Teknik TUKRI ini akan melalui empat
tahap. Tahap pertama adalah Tulis, dimana
mahasiswa menuliskan draftnya mengenai topik
yang ditentukan. Tahap kedua adalah Unggah. Pada
tahap ini mahasiswa menunggah hasil tulisannya
dalan grup Facebook tertutup. Tahap ketiga
adalah Kritisi. Pada tahap ini mahasiswa diminta
memberikan umpan balik kepada hasil tulisan dua
orang rekan sekelas yang telah diunggah dalam
grup Facebook tertutup. Sebelum pemberian
umpan balik, mahasiswa diberikan pemodelan
pemberian umpan balik rekan sejawat yang baik
oleh dosen. Umpan balik yang diberikan dapat
berupa saran, kritik, komentar mengenai aspek lokal
dan global dari tulisan rekan sejawat. Umpan balik
yang diberikan dalam bahasa Inggris. Mahasiswa
juga melakukan dialog dengan rekan sejawat
mengenai umpan balik yang diberikan oleh teman
sejawatnya. Tahap keempat adalah Revisi. Dalam
Elys R. R. M. & Rifa S. W., Penerapan Teknik Tukri (Tulis, Unggah, Kritisi, Revisi) untuk Meningkatkan Keterampilan Menulis Esai120
tahap ini mahasiswa merevisi hasil tulisan mereka
berdasarkan umpan balik yang diberikan oleh rekan
sejawatnya.
METODE
Penelitian Tindakan Kelas ini dilaksanakan
secara kolaboratif. Peneliti bersama satu kolaborator
yang merupakan dosen pengampu mata kuliah
Essay Writing: Expository and Argumentative
akan menggunakan teknik TUKRI dalam proses
belajar mengajar.Peneliti akan bertindak sebagai
dosen yang menerapkan teknik TUKRI dalam
pembelajaran menulis dan seorang kolaborator
akan bertindak sebagai pengamat dan juga sebagai
penilai hasil tulisan mahasiswa. Seorang kolaborator
lainnya (dosen dalam mata uliah serumpun) menjadi
penasihat dalam pembuatan rencana pembelajaran
dan media yang akan digunakan pada tahap
implementasi. Kolaborator juga bertindak sebagai
konsultan instrumen yang akan digunakan dalam
penelitian. Karena penelitian ini ditujukan untuk
menemukan langkah-langkah yang tepat untuk
menerapkan teknik TUKRI dalam pembelajaran
untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa,
maka desain penelitian yang dipilih adalah desain
penelitian kelas. Desain penelitian tindakan kelas
ini menggunakan model Kemmis and Mc Taggart.
Ada empat tahapan yang akan dilaksanakan yaitu
planning, implementation, observation, dan reflection.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Siklus Satu
Berdasarkan hasil lembar pengamatan dan
catatan lapangan didapatkan beberapa informasi
penting mengenai proses pembelajran yang
menerapkan teknik TUKRI. Dari tiga pertemuan
terakhir dimana peneliti menerapkan teknik
TUKRI, maka tahap pemberian kritik/saran dan
tahap revisi menjadi dua tahapan yang sering belum
terlaksana dengan cukup baik. Perbedaan tingkat
keaktifan mahasiswa bisa dilihat dalam table 3.1.
Tabel 3.1: Perbedaan Tingkat Keaktifan
Mahasiswa Pada Siklus 1
No. Pertemuan Persentase
1 Pertama 65%
2 Kedua 64%
3 Ketiga 60%
4 Keempat 64%
Rata-rata 63%
Notes:
Very Good : 81%-100% Good : 61%-80% Fair : 41%-60% Poor : 21%-40% Very Poor : 0%-20%
Table 3.1 memperlihatkan pada pembelajaran
pertama keaktifan mahasiswa adalah 65% yang
berarti mahasiswa memiliki keaktifan yang bagus
pada tahap ini. Pada pembelajaran kedua, terjadi
penurunan menjadi 64% untuk keaktifan mahasiswa.
Namun keaktifan mahasiswa ini masih pada level
yang bagus. Sedangkan pada pertemuan ketiga
terjadi penurunan yang lebih banyak menjadi 60
%. Penurunan ini membuat level keaktifan siswa
menurun pada level biasa dan ada tahapan dalam
pertemuan ini yang gagal dilakukan oleh mahasiswa
yaitu tahap revisi. Keadaan in tidak berlangsung
lama mengingat terjadi peningkatan kembali pada
pertemuan keempat, menjadi 64% kembali.
Analisis mengenai hasil esai mahasiswa
pada akhir siklus satu jika dibandingkan dengan
preliminary study bisa dilihat dalam table 3.2.
Table 3.2: Perbedaan Nilai Esai Mahasiswa pada
Preliminary Study dan Test di Siklus 1
Rater 1
(rerata)
Rater 2
(rerata)
Rata-rata
Preliminary Study 75 75 75
Test di akhir siklus 1 76 77 76.5
Perbedaan 1 2 1.5
Table 3.2 menunjukkan adanya kenaikan
nilai hasil esai mahasiswa sebanyak 1-2 poin dari
hasil tulisan mahasiswa pada preliminary study.
JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 121
Pada akhir siklus satu, nilai rata-rata yang dicapai
mahasiswa berdasarkan dua penilai memiliki rata-
rata yang sama yaitu 75. Sedangkan perbedaan
aspek penulisan pada preliminary study dengan tes
di akhir siklus satu bisa dilihat di tabel 3.3.
Tabel 3.3: Perbedaan Aspek Penulisan pada
Preliminary Study dengan Tes di Siklus 1
Gram. Accur. Con. Organ. Mech.
Preliminary 15 14 15 15 16
Test 1 16 15 15 15 16
Diffence 1 1 0 0 0
Dari tabel tersebut bisa dilihat bahwa aspek
grammar dan accuracy mengalami peningkatan
satu poin dibandingkan dengan hasil preliminary
study. Namun aspek yang lain belum mengalami
perubahan jika dibandingkan dengan preliminary
study. Untuk melihat perbandingan antara persepsi
mahasiswa dari kuisiner yang sama namun diberikan
pada saat preliminary study dengan akhir siklus satu
bisa dilihat di table 3.4.
Tabel 3.4: Perbedaan Persepsi Kuisioner dalam Preliminary Study dengan Siklus 1
Pertanyaan Perbedaan A B C D E
1Jumlah 3 9 0 -11 -1
Persentase 9% 30% 1% -38% -2%
2Jumlah 3 0 0 -3 -1
Persentase 10% 0% 0% -9% -2%
3Jumlah 0 4 -2 -2 0
Persentase 0% 13% -7% -7% 0%
4Jumlah -4 5 5 -5 -1
Persentase -13% 17% 17% -17% -3%
5Jumlah 2 5 0 -7 0
Persentase 7% 17% 0% -23% 0%
Tabel 3.4 menunjukkan adanya peningkatan
dalam jumlah mahasiswa yang sangat senang dan
senang terhadap mata kuliah essay writing yaitu
sebesar 9% dan 30%. Namun tidak ada peningkatan
dalam jumlah mahasiswa yang menganggap biasa
dalam mata kuliah essay writing. Sedangkan
jumlah mahasiswa yang tidak senang dan sangat
tidak senang terhadap mata kuliah essay writing
mengalami penurunan sebesar sebesar 38% dan
2%. Table ini juga menunjukkan peningkatan dalam
jumlah mahasiswa yang menganggap menulis esai
dalam bahasa Inggris sangat mudah yaitu sebesar
10%. Namun tidak ada peningkatan dalam jumlah
mahasiswa yang menganggap menulis esai dalam
bahasa Inggris mudah dan biasa saja. Sedangkan
jumlah mahasiswa yang menganngap menulis esai
dalam bahasa Inggris yang sulit dan tidak sulit
mengalami penurunan sebesar sebesar 9% dan
2%. Peningkatan dalam jumlah mahasiswa yang
menganggap cara mengajar dosen dalam matakuliah
menulis esai dalam bahasa Inggris menarik adalah
sebesar 13%. Namun tidak ada peningkatan dalam
jumlah mahasiswa yang menganggap cara mengajar
dosen dalam matakuliah menulis esai dalam bahasa
Inggris sangat menarik dan sangat tidak menarik.
Sedangkan jumlah mahasiswa yang menganggap
cara mengajar dosen dalam matakuliah menulis
esai dalam bahasa Inggris cukup menarik dan
tidak menari sama-sama mengalami penurunan
sebesar 7%. Jumlah mahasiswa yang menganggap
pemberian umpan balik dari dosen dalam matakuliah
menulis esai dalam bahasa Inggris sangat berguna
berkurang sebesar 13%. Peningkatan dalam
jumlah mahasiswa yang menganggap pemberian
umpan balik dari dosen dalam matakuliah menulis
esai dalam bahasa Inggris berguna dan cukup
berguna adalah sama-sama 17%. Sedangkan jumlah
mahasiswa yang menganggap pemberian umpan
Elys R. R. M. & Rifa S. W., Penerapan Teknik Tukri (Tulis, Unggah, Kritisi, Revisi) untuk Meningkatkan Keterampilan Menulis Esai122
balik dari dosen dalam matakuliah menulis esai
dalam bahasa Inggris tidak berguna dan sangat
tidak berguna mengalami penurunan sebesar 17%
dan 3%. Jumlah mahasiswa yang menganggap
pemberian umpan balik dari teman sejawat dalam
matakuliah menulis esai dalam bahasa Inggris
sangat berguna dan berguna naik menjadi 7%
dan 17%. Tidak ada peningkatan dalam jumlah
mahasiswa yang menganggap pemberian umpan
balik dari teman sejawat dalam matakuliah menulis
esai dalam bahasa Inggris cukup berguna dan tidak
berguna adalah sama-sama 17%. Sedangkan jumlah
mahasiswa yang menganggap pemberian umpan
balik dari teman sejat dalam matakuliah menulis esai
dalam bahasa Inggris kurang berguna mengalami
penurunan sebesar 23%.
Merujuk pada criteria kesuksesan, hasil analisis
proses pembelajaran, dan hasilesai mahasiswa di
akhir siklus satu maka criteria kesuksesan yang
telah ditentukan masih belum tercapai. Keaktifan
mahasiswa dalam proses pembelajran masih belum
mencapai criteria yang ditetapkan yaitu 70%.
Rata-rata keaktifan mahasiswa masih dibawah
70% (63%). Perbedaan antara tingkat keaktifan
mahasiswa siklus satu dengan criteria kesuksesan
sebesar 7%. Selain itu secara umum hasil rata-rata
tulisan mahasiswa pada akhir siklus satu adalah 76.5
atau hanya naik 1.5 poin saja. Jika dibandingkan
dengan criteria kesuksesan (80) maka nilai rata-rata
mahasiswa PBI2013 masih kurang 3,5 poin.
Ada beberapa hal yang menurut peneliti menjadi
alasan tidak tercapainya criteria kekesuksesan
pada siklus satu. Pertama, penjelasan dosen
yang belum dapat sepenuhnya dimengerti oleh
mahasiswa karena dosen yang menggunakan bahasa
Inggris berbicara terlalu cepat dan pelan. Kedua,
manajemen waktu yang kurang baik tertutama
ketika dosen meminta mahasiswa untuk langsung
membuat draft tiap paragraf dalam tiap pertemuan.
Mahasiswa membutuhkan waktu yang lebih lama
untuk menyusun draft yang lebih baik. manajemen
waktu yang kurang baik ini akhirnya berimbas pada
keefektifan dan molornya waktu pelaksanaan langkah
pembelajaran selanjutnya. Ketiga, mahasiswa masih
belum terbiasa memberikan kritik/saran kepada
rekan sejawat menggunakan grup Facebook
tertutup. Keempat, mahasiswa merasa kurang
mampu untuk memberikan kritik/saran dalam
bahasa Inggris. Beberapa mahasiswa mengusulkan
untuk menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa
Inggris dalam pemberian kritik./saran.
Siklus Dua
Berdasarkan has i l pengamatan yang
tertulis dalam lembar pengamatan dan catatan
lapangan, ditemukan ada beberapa hal yang harus
diperhatikan oleh peneliti. Pertama, pertemuan
ini telah dilaksanakan sesuai dengan rencana
pembelajaran yang telah dibuat dengan cukup baik.
Keaktifan mahasiswa pada pertemuan ini sebesar
70%, dan tahapan yang memiliki tingkat keaktifan
mahasiswa yang paling rendah adalah pada tahap
penjelasan tujuan perkuliahan dan pemberian
kritik/saran karena ada beberapa mahasiswa
yang terlambat dan belum mampu menyelesaikan
membaca paragraf isi yang dibuat teman sejawat
dalam batas waktu yang ditentukan. Ketiga, pada
tahapan pemberian kritik/saran mahasiswa masih
mengalami keterlambatan dalam memberikan
saran karena harus menyelesaikan membaca
paragraf penutup dan mengunggah keseluruhan
esai. Berdasarkan tiga pertemuan terakhir dimana
peneliti menerapkan teknik TUKRI, maka tahap
revisi yang sering belum terlaksana dengan cukup
baik. Perbedaan tingkat keaktifan mahasiswa bisa
dilihat dalam table 3.1.
Tabel 3.5: Perbedaan Tingkat Keaktifan
Mahasiswa pada Siklus 2
No. Pertemuan Persentase
1 Pertama 69%
2 Kedua 70%
3 Ketiga 70%
Rata-rata 70%
Notes:
Very Good : 81%-100% Good : 61%-80% Fair : 41%-60% Poor : 21%-40% Very Poor : 0%-20%
JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 123
Table 3.5 memperlihatkan ketidakstabilan
keaktifan mahasiswa dalam pembelajaran-
pembelajaran di siklus satu. Pada pembelajaran
pertama keaktifan mahasiswa adalah 69% yang
berarti mahasiswa memiliki keaktifan yang bagus
pada tahap ini. Pada pembelajaran kedua, terjadi
peningkatan keaktifan menjadi 70% untuk keaktifan
Table 3.6: Perbedaan Nilai Esai Mahasiswa pada Siklus Dua dengan Siklus 1
Rater 1
(rerata)
Rater 2
(rerata)
Rata-rata
Test di akhir siklus dua 79 80 80
Test di akhir siklus satu 76 77 77
Perbedaan 3 3 3
Table 3.6 menunjukkan adanya kenaikan nilai hasil esai mahasiswa pada akhir siklus dua sebanyak 3
poin dari hasil tulisan mahasiswa pada akhir siklus satu. Pada akhir siklus dua, nilai rata-rata yang dicapai
mahasiswa berdasarkan dua penilai memiliki rata-rata yang sama yaitu 79,5 atau dibulatkan menjadi 80.
Sedangkan perbedaan aspek penulisan pada preliminary study dengan tes di akhir siklus satu bisa dilihat
di tabel 3.7.
Tabel 3.7: Perbedaan Aspek Penulisan Siklus Satu dengan Siklus Dua
Gram. Accur. Con. Organ. Mech.
Test 1 16 15 15 15 16
Test 2 16 15 16 16 17
Difference 1 0 1 0 1
Dari table tersebut bisa dilihat bahwa aspek grammar, content dan mechanic mengalami peningkatan
satu poin dibandingkan dengan hasil siklus satu. Namun aspek yang lain belum mengalami perubahan jika
dibandingkan dengan hasil dari siklus satu. Untuk hasil dari kuisioner yang diberikan pada saat preliminary
study dengan akhir siklus dua bisa dilihat di table 3.8.
Tabel 3.8 Hasil Kuisioner pada Siklus Dua
No Perception
Percentage
Strongly
Agree Agree So-so
Disagree
Strongly
Disagree Total
1 Penggunaan teknik TUKRI dalam
mata kuliah Essay Writing0% 78% 9% 9% 4% 100%
2 Secara umum, teknik TUKRI
mempunyai efek positif bagi mata
kuliah menulis esai
30% 61% 9% 0% 0% 100%
3 Teknik TUKRI berguna untuk
mendorong peningkatan
pembelajaran aktif
30% 61% 4% 4% 1% 100%
mahasiswa. Namun keaktifan mahasiswa ini masih
pada level yang bagus. Pada pertemuan ketiga
keaktifan mahasiswa tetap pada level 70 %.
Analisis mengenai hasil esai mahasiswa pada
akhir siklus dua jika dibandingkan dengan siklus
satu bisa dilihat dalam table 3.6.
Elys R. R. M. & Rifa S. W., Penerapan Teknik Tukri (Tulis, Unggah, Kritisi, Revisi) untuk Meningkatkan Keterampilan Menulis Esai124
Tabel 3.8 menunjukkan adanya jumlah
mahasiswa yang setuju untuk menggunakan
teknik TUKRI dalam mata kuliah Essay Writing
berjumlah 78%. Sedangkan jumlah mahasiswa yang
memiliki pendapat biasa dan tidak setuju terhadap
penggunaan teknik TUKRI dalam mata kuliah
Essay Writing sama-sama berjumlah 9%. Namun
tidak ada mahasiswa yang sangat setuju untuk
menggunakan teknik TUKRI dalam mata kuliah
essay writing. Jumlah mahasiswa yang sangat tidak
setuju terhadap penggunaan teknik TUKRI dalam
mata kuliah Essay Writing berjumlah 4%. Alasan
ketidaksetujuan mereka karena mereka merasa
mendapat beban tambahan dengan keharusan
memberikan kritik/saran terhadap hasil tulisan
teman mereka. Mereka juga beralasan bahawa
mereka masih belum merasa mampu memberikan
kritik/saran yang baik untuk teman sejawatnya.
Penggunaan bahasa Inggris juga menjadi salah satu
alasan mereka kurang mampu memberikan kritik/
saran kepada teman sejawat mereka. Table ini juga
menunjukkan bahwa jumlah mahasiswa yang secara
umum sangat setuju dan setuju bahwa penggunaan
teknik TUKRI mempunyai efek positif dalam
mata kuliah menulis esai berjumlah 30% dan 61%.
Persentase tersebut lebih besar jika dibandingkan
dengan jumlah mahasiswa yang memiliki anggapan
biasa saja terhadap pernyataan penggunaan teknik
TUKRI mempunyai efek positif dalam mata
kuliah menulis esai. Persentase mahasiswa yang
beranggapan seperti itu adalah 9%. Sedangkan
persentase mahasiswa yang sangat setuju dan setuju
bahwa teknik TUKRI berguna untuk mendorong
peningkatan pembelajaran aktifadalah sebesar 30%
dan 61%. Persentase mahasiswa yang memiliki
anggapan biasa saja mengenai pernyataan teknik
TUKRI berguna untuk mendorong peningkatan
pembelajaran aktif adalah sebesar 4%. Persentase
mahasiswa yang tidak setuju dan sangat tidak
setuju dengan pernyataan bahwa teknik TUKRI
mendorong peningkatan pembelajaran aktif adalah
sebesar 4% dan 1%. Persentase mahasiswa yang
sangat setuju dan setuju dengan anggapan bahwa
teknik TUKRI berguna untuk meningkatkan
kualitas esai ekspositori adalah sebesar 9% dan 70%.
Persentase mahasiswa yang memiliki anggapan biasa
saja mengenai pernyataan teknik TUKRI berguna
untuk meningkatkan kualitas esai ekspositori adalah
sebesar 17%. Persentase mahasiswa yang tidak
setuju dengan pernyataan bahwa teknik TUKRI
meningkatkan kualitas esai ekspositori adalah
sebesar 4%. Namun tidak ada mahasiswa yang
sangat tidak setuju dengan pernyataan bahwa teknik
TUKRI meningkatkan kualitas esai ekspositori.
Merujuk pada criteria kesuksesan, hasil analisis
proses pembelajaran, dan hasil esai mahasiswa
di akhir siklus dua peneliti dan kolaborator
berpendapat bahwa criteria kesuksesan yang telah
ditentukan sudah tercapai. Keaktifan mahasiswa
dalam proses pembelajaran telah mencapai criteria
yang ditetapkan yaitu 70%. Selain itu secara umum
hasil rata-rata tulisan mahasiswa pada akhir siklus
satu adalah 80 atau hanya naik 3.5 poin saja. Hasil
kuisioner kedua yang dirangkum menjadi empat
pernyataan utama yaitu penggunaan teknik TUKRI
dalam mata kuliah Essay Writing, teknik TUKRI
mempunyai efek positif bagi mata kuliah menulis
esai secara umum, teknik TUKRI berguna untuk
mendorong peningkatan pembelajaran aktif, dan
teknik TUKRI berguna untuk meningkatkan
kualitas esai ekspositori juga menunjukkan hasil
yang positif. Lebih banyaknya persentase mahasiswa
yang memberikan tanggapan positif mengenai
teknik TUKRI bisa menjadi indicator bahwa
teknik ini sudah memiliki potensi yang cukup besar
untuk membantu mahasiswa dalam meningkatkan
kualitas tulisan esai ekspositori mereka. Berdasarkan
hasil temuan dalam siklus dua maka dosen dan
kolaborator memutuskan bahwa penggunaan
teknik TUKRI dalam pembelajaran menulis
esai ekspositori telah mampu mencapai criteria
ketuntasan yang ditentukan. Hal ini memeliki
arti bahwa siklus kedua telah dinyatakan berhasil
sehingga siklus selanjutnya tidak pelu dilakukan.
4 Teknik TUKRI berguna untuk
meningkatkan kualitas esai
ekspositori
9% 70% 17% 4% 0% 100%
JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 125
Berdasarkan hasil observasi pada siklus satu,
kelima tahapan tersebut belum bisa terlaksana
dengan baik karena kendala waktu dan tingkat
kemampuan mahasiswa dalam menulis. Akibatnya
tingkat keaktifan mahasiswa dalam mengikuti tahap-
tahap yang telah direncanakan pada pertemuan-
pertemuan di siklus satu belum mencapai 70%
seperti yang telah ditentukan sebagai criteria
kesuksesan. Hal ini juga berimbas pada nilai akhir
esai ekspositori yang dibuat mahasiswa dalam
siklus pertama yang belum mencapai rata-rata 80
yang telah ditentukan sebagai criteria kesuksesan.
Tapi berdasarkan hasil kuisioner yang diberikan
pada akhir siklus satu terlihat adanya peningkatan
positif mengenai penggunaan teknik TUKRI dalam
mata kuliah Essay Writing. Beberapa masalah yang
terjadi dalam siklus ini seperti pengaturan waktu,
kendala bahasa dalam pemberian kritik dan saran,
serta kurangnya pelatihan untuk pemberian kritik/
saran akhirnya direvisi dalam siklus dua.
Dalam siklus dua masalah pengaturan waktu
direvisi dengan memfokuskan penggunaan teknik
TUKRI dalam tahap revising, editing, dan publishing
saja. Revisi ini diterapkan dengan pertimbangan
bahwa mahasiswa akan memiliki waktu yang lebih
banyak untuk melakukan dua tahapan; prewriting
dan drafting secara mandiri di luar kelas. Pemberian
waktu yang lebih banyak untuk dua tahapan ini
akan membuat mereka mampu menghasilkan drat
yang lebih baik dibanding dengan jika mereka
harus membuat draft dalam waktu yang terbatas di
dalam kelas. Pertimbangan ini terbukti cukup efektif
membuat mahasiswa membuat draft yang lebih
baik dibandingkan dengan draft yang mereka buat
pada siklus satu. Pertimbangan lain adanya revisi
ini adalah untuk memberikan waktu yang lebih
lama bagi mahasiswa untuk memberikan kritk/
saran, mengkonfirmasi kritik/saran, dan melakukan
revisi pada draft yang diunggah berdasarkan kritik/
saran yang diberikan. Dengan pemberian waktu
yang lebih lama pada tahap revising, editing, dan
publishing diharapkan mahasiswa lebih fokus dan
mampu melakukan revisi dan penyuntingan yang
lebih baik pada draft esai yang telah mereka buat.
Pada siklus dua mahasiswa diberikan kelonggaraan
untuk menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa
Inggris untuk pemberian kritik/saran kepada teman
sejawat. Namun penggunaan bahasa Inggris harus
lebih banyak dari bahasa Indonesia karena mereka
adalah mahasiswa program studi bahasa Inggris.
Dalam siklus dua ini, dosen juga memberikan lebih
banyak contoh kritik/saran yang memiliki efek
positif bagi peningkatan kualitas esai ekspositori
mahasiswa. Sebelum mahasiswa memberikan
kritik/saran kepada teman sejawatnya, mereka
lebih dulu berlatih memberikan kritik/saran dengan
dampingan dari dosen. Karena seperti pendapat
Ferris (2003:70) jika mereka tidak mendapat
pelatihan yang memadai untuk memberikan
kritik/saran, maka kritik/saran tersebut kurang
berpengaruh pada peningkatan kualitas tulisan
mahasiswa.
Criteria kesuksesan yang telah ditentukan oleh
peneliti dan kolaborator di awal penelitian akhirnya
bisa tercapai pada siklus dua. Kriteria ketuntasan
ini dapat tercapai dengan adanya modifikasi pada
langkah-langkah penerapan teknik TUKRI, dan
juga penggunaan bahasa Indonesia dan Inggris
dalam pemberian kritik/saran dan konfirmasi.
Penggunaan campuran bahasa Indonesia dan
Inggris ini sebenarnya tidak perlu dilakukan jika
mahasiswa sudah merasa percaya diri kemampuan
bahasa Inggris yang dimiliki.
Hasil test pada akhir siklus dua juga
menunjukkan peningkatan dalam aspek tulisan
esai ekpositori mahasiswa. Peningkatan dalam aspek
tata bahasa, isi dan tatatulis menunjukkan bahwa
penggunaan teknik ini memang bisa meningkatkan
aspek kualitas tulisan mahasiswa. Hasil temuan
ini sejalan dengan hasil penelitian terdahu yang
dilakukan oleh Arslan (2014:132),Yunus, (2012),
Suthiwartnarueput and Wasanasomsithi (2012), and
Nurlia (2014). Hasil penelitian-penelitian tersebut
memang tidak menyebutkan mengenai teknik
TUKRI secara langsung, tapi penelitian-penelitian
tersebut menyebutkan pentingnya umpan balik
teman sejawat (yang merupakan unsur penting dala
teknik TUKRI) memberikan pengaruh positif pada
peningkatan kualitan tulisan mahasiswa.
Penelitian ini masih memiliki kekurangan yaitu
masih belum mempelajari secara mendetail aspek
mana yang paling terpengaruh dengan penggunaan
Elys R. R. M. & Rifa S. W., Penerapan Teknik Tukri (Tulis, Unggah, Kritisi, Revisi) untuk Meningkatkan Keterampilan Menulis Esai126
teknik ini. Kekurangan yang lain adalah sesuai
dengan batasan penelitian ini, maka hasil penelitian
ini tidak bisa digunakan untuk membuat generalisasi
kefektifan teknik TUKRI untuk meningkatkan
kemampuan menulis mahasiswa dalam menulis
esai ekspositori Kekurangan tersebut harus
diperhatikan dalam penerapan teknik TUKRI dalam
proses belajar mengajar. Berdasarkan analisis hasil
temuan pada siklus satu dan dua, menurut peneliti
masih ada beberapa kekurangan yang ada dalam
penelitian ini. Pertama, penelitian ini masih belum
mengukur dengan rinci apakah pemberian kritik/
saran dengan menggunakan bahasa Indonesia/
Inggris saja atau campuran penggunaan bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris dengan proporsi
tertentu akan memiliki efek yang positif bagi
peningkatan kemampuan menulis mahasiswa.
Kedua, penelitian ini masih belum menyertakan
criteria yang lebih tinggi (misal: panjang tulisan ±
500 kata atau hampir 50 % mahasiswa mendapat
minimal nilai 80), dengan asumsi criteria ketuntasan
yang ditetapkan masih bisa dicapai pada waktu
yang terbatas karena dalam satu mata kuliah esai
mahasiswa harus mampu membuat dua jenis esai:
ekspositori dan argumentative. Ketiga, penelitian ini
masih belum bisa menentuka jenis kritik seperti apa
yang memiliki efek paling positif bagi peningkatan
kemampuan menulis esai ekspositori. Kekurangan-
kekurangan tersebut bisa dijadikan sebagai bahan
kajian pada penelitian selanjutnya.
Berdasarkan hasil test yang dilakukan pada
akhir siklus satu dan akhir siklus dua, maka criteria
ketuntasan yang pertama (nilai rata-rata mahasiswa
dalam kelas PBI 2013 dalam menulis esai ekspositori
adalah 80) telah berhasil dicapai di akhir dari siklus
dua. Peningkatan ini bisa dikarenakan penggunaan
teknik TUKRI yang dilakukan pada tahapan yang
tepat yaitu tahapan revising dan editing. Kedua
tahapan ini memang membutuhkan waktu yang
cukup lama, apalagi jika panjang tulisan yang
dihasilkan kurang lebih lima ratus kata. Dua tahapan
ini bisa menunjukkan kelemahan dan kekuatan
penulis dalam mengungkapkan ide-idenya dalam
suatu esai ekspositori. Tahapan ini juga memerlukan
kritik/saran dari pembaca supaya bisa menghasilkan
hasil esai yang patut diperlihatkan dalam tahap
publishing. Kritik/saran dari pembaca yang
merupakan teman sejawat adalah hal yang berguna
dalam peningkatan dari hasil tulisan mahasiswa.
Mahasiswa juga memiliki pendapat yang positif
mengenai penerapan teknik TUKRI ini. Dengan
membandingkan hasil pekerjaan mereka dengan
teman sejawat dalam grup Facebook tertutup
mereka merasa mendapatkan kesempatan untuk
berkaca pada kemampuan diri sendiri. Melihat
hasil tulisan teman sejawat juga membuat mereka
mendapatkan cara pandang dan ide yang berbeda-
beda mengenai suatu topik dan menghindarkan
mereka dari kecenderungan plagiasi, karena hasil
tulisan mereka akan dibaca oleh semua teman
yang terhubung dalam grup ini. Jika plagiasi ini
diketahui teman sejawatnya, maka mahasiswa yang
melakukan plagiasi ini akan merasa malu. Rasa
malu ini bisa menjadi sangsi sosial yang cukup
efektif mengurangi tingkat plagiasi. Teknik ini juga
berguna untuk mengingatkan mereka supaya jangan
melakukan kesalahan yang sama dengan kesalahan
yang telah dilakukan oleh teman sejawatnya.
Pengalaman-pengalaman tersebut akan memacu
mereka untuk meningkatkan kualitas esai yang
mereka buat.
Penelitian ini juga mengubah cara pandang
mahasiswa mengenai kritik/saran untuk peningkatan
kualitas tulisan. Pada akhir siklus dua, mereka
memiliki pendapat yang lebih positif mengenai
kritik/saran yang diberikan oleh sejawatnya sebagai
salah satu dasar tahap editing. Hal ini bisa diartikan
bahwa mahasiswa mulai mengetahui bahwa kritik/
saran dari teman sejawat juga memiliki kontribusi
dalam peningkatan kualitas hasil tulisan mereka.
Temuan ini juga biasa diartikan bahwa mereka
tidak akan hanya mengandalkan dosen sebagai
satu-satunya sumber kritik/saran mengenai hasil
tulisan mereka.
Adanya peningkatan motivasi mahasiswa
setelah penerapan teknik TUKRI sesuai dengan
hasil penelitian Bijami, Kashef, dan Nejad
(2013:92) danYunus, Salehi, dan Chenzi (2012:42).
Penggunaan teknik TUKRI untuk memotifasi dan
meningkatkan kemampuan menulis esai dalam
proses pembelajaran di kelas dapat menimalkan
hubungan yang tidak layak antara guru dan murid
JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 127
diluar konteks pembelajaran seperti yang dituliskan
oleh Yunus, Salehi, dan Chenzi dalam penelitiannya
ditahun 2012. Salah satu alasan teknik ini dapat
memotivasi mahasiswa adalah karena pemberian
kritik/saran in tidak dilakukan secara langsung
maka mahasiswa juga merasa lebih leluasa dalam
memberiksan kritik/saran terhadap hasil tulisan
teman sejawatnya. Jika mereka memberikan kritik/
saran secara langsung, kadang mereka merasa segan
terhadap teman sejawatnya.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil temuan dalam penelitian ini,
maka langkah-langkah penerapan teknik TUKRI
yang sesuai dengan subyek penelitian ini adalah
(1) penjelasan mengenai tujuan perkuliahan (kira-
kira lima menit), kemudian (2) dosen memberikan
mahasiswa contoh kritik/saran yang baik dengan
memberikan kritik/saran di tiga draft yang
diunggah mahasiswa dalam grup Facebook tertutup
sesuai dengan petunjuk tertulis yang diberikan.
Mahasiswa juga diminta menuliskan kritik/saran
mengenai draft yang dicontohkan. Aktifitas tersebut
kemudian dilanjutkan dengan (3) memberi waktu
untuk mahasiswa membaca paragraf pembuka/isi/
penutup yang telah diunggah teman mereka (satu
mahasiswa membaca satu hasil mahasiswa yang
lain dalam waktu kira-kira lima belas menit), (4)
mahasiswa menuliskan kritik/saran terhadap draft
paragraf pembuka/isi/penutup yang telah dibaca
melalui Facebook (kira-kira dua puluh menit), (5)
mahasiswa saling mengkonfirmasi kritik/saran yang
diberikan teman sejawatnya melalui fitur comment
yang ada dalam grup Facebook tertutup (kira-kira
dua puluh menit menit), (6) mahasiswa melakukan
revisi draft yang telah diunggah berdasarkan
kritik dan saran yang diterima (kira-kira dua puluh
lima menit menit), (7) mahasiswa mengunggah
kembali hasil revisi yang mereka buat dalam
group Facebook tertutup, (8) mahasiswa dan dosen
melakukan diskusi kelas untuk mengkonfirmasi
mengenai kesalahan yang paling seringditemui
dari draft paragraf pembuka/isi/penutup yang
telah diunggah (kira-kira lima menit) dan (9) dosen
menugaskan mahasiswa untuk membuat paragraf
pembuka/isi/penutup di rumah untuk diunggah
pada pertemuan selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Arslan. R. S. 2014. Integrating Feedback into
Prospective English Language Teachers’
Writing Process via Blogs and Portfolios.
TOJET: The Turkish Online Journal of
Educational Technology, 13 (1): 131-150
Bijami, M., Kashef, S.H, dan Nejad, M.S. 2013.
Peer Feedback in Learning English Writing:
Advantages and Disadvantages. Journal of
Studies in Education. (online). 3 (4): 91-97.
(www.macrothink.org/jse. retrieved on July
28th, 2014)
Ferris, D. 2003. Response to Students’ Writing. Mahwah:
Lawrence Erlbaum
Hinkel, Eli. 2004. ESL & Applied Linguistics
Professional Series. New Jersey: Routledge
Hui, G.C.L dan Shih, P. C. 2009. An Investigation
into Effectiveness of Peer Feedback. Journal
of Applied Foreign Language, 3: 79-87
Hyland, K., and Hyland, F. 2006. Feedback on
Second Language Students’ Writing. Language
Teaching, 39 (2): 83-101
Kemmis, S. and McTaggart, R. (Eds.).1988. The
Action Research Planner. (3rd ed.). Victoria:
Deakin University.
Moattarian, M. A. and Tahririan, M. H.. 2013.
Communication Strategies Used in Oral
and Written Performances of EFL Learners
from Different Proficiency Levels: The Case
of Iranian EFL University Students. EFL
Journal,2(1):21-7
Montelongo, J., Herter, R. J., Ansaldo, R, and
Hatter, N. 2010. A Lesson Cycle for Teaching
Expository Reading and Writing. Journal of
Adolescent & Adult Literacy. 53(8): 656–666
Nurlia, R. 2014. The Effectiveness of Online Peer
Feedback through Closed Group Facebook on the
Students’ Writing Achievement. (online). (http://
karya-ilmiah.ac.id/index.php/disertasi/
article/view/33992 retrieved on August 12th,
2014)
Richards, C. J. (Ed), and Renandya, A. W. 2002.
Methodology in Language Teaching: An Anthology
Elys R. R. M. & Rifa S. W., Penerapan Teknik Tukri (Tulis, Unggah, Kritisi, Revisi) untuk Meningkatkan Keterampilan Menulis Esai128
of Current Practice. Cambridge: Cambridge
University Press.
Saovapa, W. 2013.Peer Feedback on Facebook:
The Use of Social Networking Websites to
Develop Writing Ability of Undergraduate
Students. Turkish Online Journal of Distance.
14 (4). retrieved online from http://tojde.
anadolu.edu.tr on March 28th, 2014
Suthiwartnarueput,T., and Wasanasomsithi, P. 2012.
Effects of Using Facebook as a Medium
for Discussions of English Grammar and
Writing of Low-Intermediate EFL Students.
Electronic Journal of Foreign Language Teaching,
9 (2): 194–214
Tuzi, F. 2004. The Impact of E-feedback on the
Revision of L2 Writers in an Academic
Writing Course. Computer and Composition, 21
(2):217-235
Wu, W. 2006. The Effect of Blog Peer Review
and Teacher Feedback on the Revisions of
EFL Writers. Journal of Education and Foreign
Languages and Literature, 3:125-139
Yunus, M. Md, Salehi, H. and Chenzi, C. 2012.
Integrating Social Networking Tools into
ESL Writing Classroom: Strengths and
Weaknesses. English Language Teaching, 5 (8):
42-48
PEMANFAATAN BUNYI DALAM PUISI ANAK
DI HARIAN KOMPAS MINGGU TAHUN 2013
Hestri Hurustyanti
STKIP PGRI Ponorogo
Cutiana Windri Astuti
STKIP PGRI Ponorogo
Abstract: The increase of children literary shows happiness for the last decade. It is important to give an attention by looking this increasing. The goals of this research were describe the use of rhyme of children’s poem selection in Kompas 2013. The research design was descriptive qualitative. Data collection technique was library research. Data resource of this study was the children’s poem. Technique and procedure of data analysis used Miles and Huberman content and procedure analysis method, i.e.: data reduction, data presentation, drawing conclusion continuously and rigidly seek representation of children’s world through their poem. The result of data analysis was about the representation of children’s world reflected in their poem creation viewed from the use of rhyme.
Keywords: Children’s Poem, Kompas Daily News, The Use of Rhyme
Abstrak: Perkembangan sastra anak dalam dekade akhir-akhir ini sangat menggembirakan. Oleh karena itu penting untuk melihat perkembangan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pemanfaatan bunyi dalam puisianak yang dimuat di harian Kompas Minggu tahun 2013. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskripsi kualitatif. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik pustaka. Sumber data penelitian ini adalah puisi karya anak yang dimuat pada harian Kompas tahun 2013. Teknik dan prosedur analisis data menggunakan teknik analisis isi Hasil analisis data berupa temuan mengenai penggunaan bunyi. Pemanfaatan bunyi pada anak-anak kelas rendah cenderung mengikuti pola pantun dan syair. Sedangkan, pemanfaatan bunyi pada anak-anak kelas tinggi cenderung lebih bebas.
Kata Kunci: Harian Kompas, Pemanfaatan Bunyi, Puisi Anak
PENDAHULUAN
Membaca karya sastra karya anak-anak
sebenarnya dapat dikatakan sebagai membaca masa
depan anak bangsa kita. Penelitian sastra anak seperti
yang disampaikan oleh Toha-Sarumpaet (2010:viii)
menunjukkan pengakuan atas pentingnya anak
dalam kehidupan. Heru Kurniawan dalam bukunya
“Sastra Anak” juga mengemukakan pentingnya
kedudukan karya sastra terhadap perkembangan
anak yaitu; pertama kecintaan anak terhadap karya
sastra akan dapat meningkatkan hobi membaca
dan kesukaan anak pada membaca. Kedua dengan
membaca karya sastra yang inten, maka karya sastra
bisa meningkatkan aspek kecerdasan kognisi, afeksi,
dan psikomotor anak.
Akhir-akhir ini memang banyak bermunculan
sastra anak karya anak-anak. Karya-karya sastra
anak tersebut ditulis oleh anak-anak yang sering
kita kenal dengan perkumpulan KKPK (Kecil-kecil
Punya Karya), karena mereka memang berkarya
pada masa yang masih kecil dengan usia yang masih
sangat muda antara enam tahun hingga dua belas
tahun.
Hestri Hurustyanti & Cutiana Windri Astuti, Pemanfaatan Bunyi dalam Puisi Anak di Harian Kompas Minggu Tahun 2013130
Mengacu pada pengertian sastra anak yang
dikemukakan oleh Heru Kurniawan dalam bukunya
“Sastra Anak dalam Kajian Strukturalisme, Sosiologi,
Semiotika, hingga Penulisan Kreatif ” maka penulis
akan meneliti tentang puisi karya anak-anak yang
termuat dalam media massa koran Kompas Minggu
yang diwadahi dalam Ruang Kita, ditinjau dari sisi
kelugasan bahasa dan kedekatan dengan alam dalam
puisi-puisi karya anak tersebut. Sementara ini yang
banyak diamati dan diteliti adalah masih sebatas
sastra anak karya orang dewasa, oleh karena itu
penulis sangat berminat untuk meneliti sastra anak
karya anak yang berupa puisi pada rubrik Ruang
Kita anak pada harian Kompas Minggu.
Salah satu teori sastra yang memiliki perhatian
besar pada aspek kebahasaan dalam sastra adalah
stilistika. Stilistika (stylistics) adalah ilmu tentang style.
Menurut Rene Wellek dan Austin Warren, stilistika
mencakup semua teknik yang dipakai untuk tujuan
ekspresi tertentu dan meliputi wilayah yang lebih
luas dari sastra atau retorika. Dengan begitu, semua
wujud dan teknik untuk membuat penekanan dan
kejelasan (baca: estetik) dapat dimasukkan dalam
wilayah stilistika. Sudiro Satoto mendefinisikan
sebagai bidang linguistik yang mengemukakan teori
dan metodologi pengkajian formal sebuah teks
sastra, termasuk dalam pengertiannya yang extended.
Extended adalah suatu sifat estetik yang melompati
keindahan teks itu sendiri, yakni sifat-sifat estetik
bahasa yang memesona seperti makna konotatif,
simbolik, asosiatif, metaforik, dan sebagainya.
Style merupakan kekhasan pengucapan
sastrawan. Umar Junus menyebutkan sebagai
pemakaian atau penggunaan bahasa dalam karya
sastra. Abrams memformulasikan sebagai cara
pengucapan bahasa dalam prosa atau bagaimana
seorang pengarang mengungkapkan suatu yang
akan dikemukakan. Teeuw menyebutnya sebagai
ilmu gaya bahasa yang pada prinsipnya selalu
meneliti pemakaian bahasa yang khas dan istemewa.
Karena itulah, style sesungguhnya ditandai oleh
ciri-ciri formal kebahasaan seperti dalam pemilihan
bunyi, diksi, struktur kalimat, bahasa figuratif,
penggunaan penanda kohesi, perlambangan,
metafora, dan lain-lain.
Style juga berkaitan dengan figurative language.
Unsur style yang berwujud retorika (baca: sastra),
sebagaimana dikemukakan Abrams meliputi
penggunaan bahasa figuratif (figurative language)
dan wujud pencitraan (imagery). Sedangkan bahasa
figuratif sendiri yang oleh Abrams dibedakan
kedalam figures of thought dan figures of speech, rhetorical
figures, atau schemes.
Style juga berkaitan dengan pencitraan
(imagery). Pencitraan merupakan perwujudan dari
citraan yang dilakukan oleh seorang pengarang
yang dipergunakan untuk melukiskan kualitas
respon indera baik secara harfiah maupun kiasan.
Citra sendiri merupakan gambaran pengalaman
indera yang diungkapkan melalui bahasa. Burhan
Nugiyantoro, menyebutkan pencitraan ke dalam
lima jenis citraan (a) citraan penglihatan (visual
imagery), (b) citraan pendengaran (audio imagery), (c)
citraan gerak (cinestetik imagery), (d) citraan rabaan
(tactil imagery), dan (e) citraan penciuman (olfactori).
Pemakaian bahasa dan pemilihan kata dalam
puisi merupakan salah satu kunci keberhasilan
seorang penyair di dalam mengekspresikan isi
jiwanya. Dalam puisi, untuk memberi gambaran
yang jelas, menimbulkan suasana khusus, membuat
suasana lebih hidup juga menarik perhatian, penyair
menggunakan pencitraan (imagery) (Pradopo,
1987:79). Citraan ialah gambar-gambar dalam
pikiran yang menggambarkannya Altenberrnd
dalam Pradopo (1987:80).
Berbicara tentang citraan ini, lebih jauh
dijelaskan oleh Warren, dapat mencakup tentang
citra, pencicipan, penciuman, kinaesthetic-termasuk
haptic dan emphatic-, synaesthetic, citraan “terikat”,
dan citraan bebas. sedangkan Rahmad Djoko
Pradopo, membedakan citraan ke dalam beberapa
jenis (i) citra penglihatan (visual imagery), (ii) citra
pendengaran (audio imagery), (iii) citra penciuman,
(iv) citra pencecapan, (v) citra gerak(movement
imagery), dan (vi) citra kekotaan dan kehidupan
modern.
Sedangkan menurut Burhan Nurgiyantoro
pencitraan merupakan perwujudan dari citraan
yang dilakukan oleh seorang pengarang yang
dipergunakan untuk melukiskan kualitas respon
indera baik secara harfiah maupun kiasan. Citra
JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 131
sendiri merupakan gambaran pengalaman indera
yang diungkapkan melalui bahasa. Dia menyebutkan
pencitraan ke dalam lima jenis citraan (a) citraan
penglihatan (visual imagery), (b) citraan pendengaran
(audio imagery), (c) citraan gerak (cinestetik imagery),
(d) citraan rabaan (tactil imagery), dan (e) citraan
penciuman (olfactori).
Teori stilistika digunakan untuk melihat bahasa
yang digunakan anak dalam melahirkan puisi-
puisinya. Bagaimana pula pemilihan dan permainan
bunyi yang dipilihnya. Apakah anak-anak sudah peka
terhadap pemilihan bunyi untuk memperindah puisi
karyanya atau belum. Selanjutnya bagaimanakah
pemilihan kata yang dituangkan anak-anak di dalam
puisi karya juga akan peneliti kupas lebih dalam.
Sementara ini kita telah banyak menemukan
penelitian sastra secara umum dan sastra anak yang
ditulis oleh orang dewasa, akan tetapi penelitian
sastra anak yang ditulis anak masih jarang dilakukan.
Penulis memilih puisi sebagai objek penelitian
karena puisi merupakan genre sastra yang bisa
tercipta kapan saja, di mana saja muncul ide,
cenderung lebih disukai anak-anak, dan mempunyai
makna yang sangat dalam terhadap pemahaman
dan pemaknaan akan kehidupan. Dalam penelitian
ini tujuan yang ingin dicapai adalah deskripsi
penggunaan bunyi dalam puisi yang dimuat di
harian Kompas Minggu tahun 2013.
METODE
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan
desain penelitian deskriptif kualitatif. Data yang
telah dikumpulkan dianalisis secara kualitatif dan
hasil analisis, berupa kata-kata dan kalimat disajikan
secara deskriptif.
Dalam penelitian ini yang menjadi sumber
data penelitian adalah puisi karya anak yang dimuat
di harian Kompas Minggu, pada tahun 2013. Data
di dalam penelitian ini berupa unsur-unsur atau
fenomena yang berkaitan dengan puisi karya anak
tersebut berupa bunyi-bunyi.
Di dalam penelitian ini, teknik pengumpulan
data yang digunakan adalah teknik simak-catat.
Teknik ini sangat cocok dalam penelitian ini, karena
sumber datanya berupa dokumen pustaka.Teknik
simak dan catat menyaran pada peneliti sebagai
instrumen kunci dalam pengumpulan data.
Teknik analisis data yang digunakan di dalam
penelitian ini adalah analisis isi (content analysis).
Analisis isi di dalam penelitian ini digunakan
untuk menganalisis peristiwa-peristiwa, tanda-
tanda, kata-kata, kalimat-kalimat dengan tujuan
untuk memperoleh makna dan pemahaman yang
mendalam mengenai puisi karya anak yang dimuat
di harian Kompas Minggu sebagai objek penelitian
ini.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kelahiran puisi tidak dapat dilepaskan dengan
kehadiran bahasa, karena bahasa merupakan
medium ekspresi penciptaan puisi. Tanpa bahasa
puisi tidak akan lahir, keindahanpuisi tergantung
pada keindahan bahasa itu sendiri, bahkan
keberhasilan puisi sangat ditentukan keberhasilan
pemanfaatan bahasa.Sebagai media ucap seorang
penyair, bahasa mampu membangun kebermaknaan
puisinya. Oleh karenanya, pemahaman teks sastra
hendaknya menguasai sejumlah kode penting yang
mencakup: (i) kode bahasa, (ii) kode budaya, dan
(iii) kode sastra (Teeuw, 1984:4). Kode-kode bahasa
dalam teks sastra tentunya berbeda dengan bahasa
secara umum dalam pemakaian komunikasi sehari-
hari. Bahasa puisi adalah bahasa yang khas, pilihan
katanya padat, cermat, dan konotatif (Tjahjono,
2011:110).
Bunyi merupakan bagian terkecil dari bahasa.
Bunyi dalam sebuah puisi bukan merupakan sebuah
kebetulan dari seorang penyairnya, akantetapi
merupakan pilihan yang penuh pertimbangan
(Tjahjono, 1988:51). Maka dari itu, pemahaman
terhadap sebuah puisi tidak mungkin meninggalkan
perhatiannya pada bunyi.Dalam memahami puisi
karya anak yang dipublikasikan di harian Kompas
tahun 2013 ini penting mencermati bunyi-bunyi
yang dimanfaatkan penyairnya. Berikut adalah
puisi anak ditinjau dari sisi pemanfaat bunyi yang
dilakukan oleh anak SD kelas rendah yaitu kelas
I-III.
Hestri Hurustyanti & Cutiana Windri Astuti, Pemanfaatan Bunyi dalam Puisi Anak di Harian Kompas Minggu Tahun 2013132
Petir menggelegar
Membuat hati bergetar
Adik, tidak usah gentar
Petir tidak akan menyambar
Karena kita membaca istighfar
Dan Allah Maha Mendengar
Dalam puis i Qotr u Elnada Attahera
Surachman, Kelas III SD Muhammadiyah Pakel,
Yogyakartayang berjudul “Petir” terlukis ketegaran
seorang anak yang berusaha untuk menghibur dan
memahamkan adiknya, yang tampak ketakutan
ketika mendengar suara gelegar petir. Dia percaya
akan kuasa Tuhan akan segala penciptaanNya
dan percaya akan kekauatan doa yang setiap
saat manusia lantunkan dalam kehidupan dalam
berbagai situasi yang dihadapinya. Begitu pula
dengan yang dilakukan oleh Qotru saat mendengar
gelegar suara petir.Ia melukiskan ketakutan adiknya,
seolah petir akan menyambar setiap apa yang ada di
langit dan di bumi.Ia mempermainkan bunyi/ar/
sebagai rima akhir untuk menegaskan betapa hebat
dan menakutkannya suara petir itu.
Puisi tersebut juga menyelip makna ketenangan
seorang anak dalam situasi hujan disertai petir dia
berusaha menghibur adiknya. Ketenangan itu
terlihat jelas pada larik/Adik, tidak usah gentar/Petir
tidak akan menyambar/. Di samping ketenangan
yang disampaikan oleh Qotru Elnada Attahera
Surachman, bocah kelas III SD tersebut rupanya
telah mempunyai kepercayaan yang luar biasa
tentang kekuasaan Tuhan. Kepercayaan akan
kekuasaan Tuhan tecermin dalam larik/Karena kita
membaca istighfar/Dan Allah Maha Mendengar/.Sekali
lagi Qotru Elnada menggunakan rima akhir/ar/
dalam mengharap adiknyaagar tidak lagi takut akan
gelegar suara petir karena Tuhan maha mendengar
doa umatNya yang memohon perlindungan. Dari
kedua larik tersebut dia juga mengajak pembaca
untuk percaya akan kekuatan doa.
Di samping Qotru Elnada Attahera Surachman,
penyair cilik yang mempermainkan bunyi demi
kebermaknaan dan keindahan puisinya adalah
penyair Semilir Asih Istiqamah, Kelas III MIN
Margasari, Bandung. Ia menulis puisi berjudul
“Bunga”. Dalam puisinya itu Semilir Asih Istiqamah,
memilih bunyi vocal/u/yang dikombinasikan
dengan bunyi/vocal/a/.Bunyi vocal/u/yang
dipersandingkan dengan bunyi vocal/a/menjadikan
puisinya sarat dengan makna sekaligus menyinarkan
keindahan. Penggalan puisi Semilir Asih Istiqamah
dapat disimak pada kutipan di bawah ini.
Ada yang merah, kuning, orange, ungu
Dan masih banyak yang lainnya
Bunga
Lihatlah kelopakmu
Kau disukai kupu-kupu
Bunyi vocal/u/dimanfaatkan oleh penyair
sebagai persajakan akhir yang menarik, apalagi
ketika bunyi itu dikombinasikan dengan/bunyi
vocal/a/semakin menunjukkan keindahan dan
kebermaknannya.
Kebermaknaan dan keindahan pemakaian
bunyi juga dimanfaatkan oleh penyair seusia Qotru
Elnada Attahera Surachman, yakni A Keyodia
Minangkani, seorang anak I SD Marsudirni,
Yogyakarta. Ia membangun kebermaknaan dan
keindahan memanfaatkan vocal/u/juga.Sebagai
anak, mereka tidak lepas dari dunia kegembiraan,
keceriaan, dan keriangannya ketika memiliki
binatang piaraan yang sangat disayanginya.Oleh
karena itu, mereka cenderung memanfaatkan
bunyi riang dan mengandung suasana keceriaan.
Lihatlah puisi A Keyodia Minangkani, Ia menulis
puisi berjudul “Coco Anjingku”. Dalam puisinya, ia
mempermainkan vokal/i/di beberapa larik puisinya
dan juga vokal/u/. Vokal/i/yang dimanfaatkan
dengan baik menjadi bangunan yang indah.
Vokal/i/dimanfaatkan A Keyodia Minangkani
sebagai sarana pembangun keceriaan, keriangan,
dan kegembiraan yang mengguyur beberapa baris
puisinya, di samping kombinasi vocal/u/yang
makin mempercantik dan kekaguman akan anjing
kesayangannya. Puisi tersebut tampak pada kutipan
di bawah ini.
Aku punya anjing namanya Coco
Warnanya belang hitam putih
Coco anjing yang baik
Selalu bermain denganku
Menemani saat belajar
Menjaga saat aku tidur
Coco anjingku
Coco temanku
JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 133
Aku sayang Coco
Coco juga sayang kepadaku
A Keyodia Minangkani, sebagai penyair
cilik, secara sederhana mampu membangun dan
memberikan imaji akan kecintaan seorang anak
tentang hewan peliharaannya dengan menyanjung
dan memujinya, berkat permainan bunyi/i/dan/u/
yang tepat. Dengan larik/Warnanya belang hitam
putih/Coco anjing yang baik/itu jelas bahwa penyair
merasakan kegembiraan, kesenangan dan pujiannya
pada anjing peliharaannya yang selalu patuh
dan tidak menunjukkan kebuasan sebagaimana
diimajikan beberapa orang bahwa anjing adalah
termasuk binatang yang tidak bersahabat.A Keyodia
Minangkani berhasil menjelaskan kepada pembaca
bahwa anjing peliharaannya yang bernama Coco
adalah anjing yang baik sehingga dalam larik
berikutnya/Selalu bermain denganku/Menemani saat
belajar/Menjaga saat aku tidur/Coco anjingku/Coco
temanku/Aku sayang Coco/Coco juga sayang kepadaku/
bunyi/i/yang dipadukankan dengan bunyi/u/dalam
larik-larik puisinya itu menambah kebanggaan
penyair tentang betapa baik dan patuhnya si Coco
anjingnya.
Walaupun persajakan yang dituangkan oleh
A Keyodia Minangkani tampak tak beraturan
namuntetap dapat memberikan kesan yang natural
dan indah tampak dalam puisinya.
Bunyi-bunyi yang dipilihnya menggambarkan
nuansa dunia anak yang mencerminkan sebuah
kebanggaan, kasih sayang yang didominasi dengan
kegembiraan. Bunyi-bunyi dalam sebuah puisi
mereka akan mendukung kebermaknaan sebuah
puisi di samping membangun keindahan.Bunyi-
bunyi yang dipilih dan dimanfaatkan sebagai sarana
pengucapan mereka tidak jauh dari kejiwaan anak-
anak.
Berbeda dengan Qotru Elnada Attahera
Surachman, Semilir Asih Istiqamah, dan A Keyodia
Minangkani. Tiga penyair cilik yang masih tetap
menggunakan rima pola lama yang mungkin
pernah mereka pelajari ketika mereka masih
duduk di bangku TK yaitu dengan pola rima
aaaa. Mereka adalah Azalea Mataniari Tambun,
Kelas I SD Penuai Indonesia, Tangerang, Banten,
dengan puisinya “Rumah Bersih”, Elisabeth Uli
Ovelya Ambarita, Kelas III SD Mardi Yuana
Depok, Jawa Barat, dengan puisinya “Uang Saku”,
dan M Sultan Althaf, Kelas III SD Islam Amelia
Tangerang, Banten dengan puisinya “Kotaku
bersih”. Mereka bertiga menggunakan pola rima
aaaa dalam mempercantik dan membermaknakan
puisinya.Walau mereka menggunakan pola rima
puisi lama tetap memberikan warna yang indah
dalam mengungkapkan makna dan tonenya kepada
pembaca.
Dalam menyampaikan keindahan dan
kebermaknaannya, Azalea Mataniari Tambun, Kelas
I SD Penuai Indonesia dalam puisinya “Rumah
yang Bersih” menekankan untuk selalu menjaga
kebersihan rumah agar terhindar daripenyakit. Ia
dalam membangun larik-lariknya dengan pola rima
puisi lama. Rima itu terlihat pada larik/Kalau rumah
bersih dan sehat/Nanti kita akan sehat/Kalau rumah
kotor dan dan tidak sehat/Nanti kita akan sakit/Kalau
kita sakit/Nanti ke rumah sakit/Siapa yang rugi?/Kita
yang rugi/. Dengan permainan bunyi yang dibawakan
olehnya dalam puisi “Rumah yang Sehat” tersebut
rupanya pembaca cukup dapat menangkap makna
dari apa yang di harapkan oleh Azalea.
Cara yang sama dilakukan pula oleh Elisabeth
Uli Ovelya Ambarita, Kelas III SD Mardi Yuana
Depok, Jawa Barat dalam puisinya “Uang Saku”.
Dalam ketiga bait puisi karyanya dia menggunakan
persajakan aaaa. Sebagai bentuk ekspresi yang
hendak disampaikan kepada pembaca tentang puisi
karyanya. Dia menuliskan tentang uang saku, uang
yang senantiasa anak-anak nanti setiap kali mereka
hendak berangkat ke sekolah. Namun Elisabeth
Uli Ovelya Ambarita, tidak hanya menyampaikan
sisi keindahan puisi tersebut dari pola rima yang
dibangunnya tetapi dari keberhasilannya merangkai
kata menggunakan pola yang seragam namun
makna puisi tersebut menggambarkan kecermatan
pola pikir seorang anak yang telah memikirkan
bagaimana cara menghemat agar tidak selalu
merepotkan orang tua dengan meminta segala
keperluan yang diinginkan dalam kehidupannya
sebagai seorang anak. Jadi di samping berhasil
memainkan bunyi yang begitu indah Elisabeth juga
berhasil mengajak pembaca untuk berhemat dalam
menggunakan uang saku yang diberikan kepada
Hestri Hurustyanti & Cutiana Windri Astuti, Pemanfaatan Bunyi dalam Puisi Anak di Harian Kompas Minggu Tahun 2013134
orang tuanya. Kutipan puisi tersebut adalah sebagai
berikut.
Aku butuh uang
Ayahku mencarikan uang
Aku ingin punya uang
Sayang, aku belum bisa mencari uang
Kadang aku dapat uang jajan
Tetapi ingin kubelikan makanan
Ingin pula kubelikan mainan
Mainan kudapat, kuingin beli pakaian
Uang saku tak cukup beli semua itu
Aku tak mau minta terus kepada Ibu
Kucoba tak jajan selama seminggu
Beberapa minggu uangku cukup ‘tuk membeli
sepatu
Jika Azallea Mataniari Tambun dan Elisabeth
Uli Ovelya Ambarita, menggunakan rima puisi pola
lama dalam keseluruhan puisinya, beda lagi yang
dilakukan oleh M Sultan Althaf, Kelas III SD Islam
Amelia Tangerang, Banten. Dia menggunakan pola
campuran di mana pada bait pertama dan kedua dia
menggunakan rima pola aaaa sedangkan pada bait
terakhir dia menggunakan pola rima abab dalam
puisinya yang berjudul “Kotaku yang Bersih”.
Pada bait pertama dan kedua yang menggunakan
pola rima yang sama tersebut M. Sultan melukiskan
keadaan betapa bersih suasana dan kondisi kota
di mana dia tinggal. Dia menuangkan lirik yang
begitu memukau untuk memuji kotanya yang
dipenuhi dengan bunga dan pepohonan, sungainya
yang jernih, sampah yang tidak berserakan karena
dibuang pada tempatnya, tidak banyak asap
kendaraan. Sehingga pada bait terakhir yang
diutarakan oleh M Sultan dalam bait yang berpola
abab, bahwa semua kondisi tadi akan menciptakan
suasana segar setiap saat dan membuat penghuni
kotanya kerasan untuk tinggal dengan perasaan
nyaman dan dia berniat untuk selalu menjaga
keadaan kotanya agar tetap bersih. Kutipan puisi
tersebut adalah sebagai berikut.
Kotaku bersih sekali
Dengan taman bunga warna-warni
Udaranya bersih
Sungainya jernih
Tidak ada sampah berserakan
Tidak banyak asap kendaraan
Karena sampah dibuang pada tempatnya
Dan pohon hijau ditanam di mana-mana
Aku senang tinggal di kotaku
Lingkungannya bersih dan nyaman
Ku kan berusaha semampuku
Tuk menjaga kebersihan lingkungan
Melihat pemakaian bunyi pada puisi “Rumah
yang Bersih” karya Azalea Mataniari Tambun,
“Uang Saku” karya Elisabeth Uli Ovelya Ambarita,
dan M Sultan Althaf, “Kotaku Bersih”, dekat
dengan puisi lama yang berbentuk pantun ataupun
syair. Mereka memilih bunyi-bunyi tersebut dan
dimanfaatkannya sebagai keindahan rima akhir.
Kedekatannya dengan bentuk pantun ataupun syair
itu, dikarenakan mereka masih terbawa ketika masa
di TK sering diajak gurunya untuk berpantun dan
bersyair. Secara kejiwaan anak kelas II SD tentu
suka dan cenderung pada apa yang disampaikan
oleh gurunya. Mereka dekat dan mengidolakan
guru yang dapat mendekati kejiwaannya. Menurut
Nurgiyantoro (2005:317) penggunaan bunyi-bunyi
penyair anak usia rendah masih dipengaruhi adanya
tembang dolanan yang sering didengarkan sewaktu
mereka dalam pengasuhan orang tuanya.
Bunyi-bunyi yang dipilih adalah bunyi-bunyi
yang mengandung efek keceriaan, kegembiraan,
keriangan yang sesuai dengan kejiwaan mereka.
Menurut Tjahjono (1988:57), puisi yang didominasi
oleh bunyi-bunyi yang mengandung unsur efek
kesenangan seperti itu disebut puisi-puisi euphony.
Puisi anak yang ditulis oleh anak SD kelas
tinggi yaitu kela IV-VI agak berbeda dengan
puisi anak yang ditulis oleh siswa kelas rendah.
Pemanfaatan bunyi untuk anak usia 10-12 tahun
(SD kelas IVs.d.VI) cenderung agak bebas. Artinya,
mereka sudah tidak terbelenggu adanya pantun
dan syair.Bunyi-bunyi yang dipilih mereka sudah
bervariasi meskipun masih tetap mengagungkan
bentuk syair (bersajak aaaa). Sebagai misal, puisi
yang ditulis oleh Asyifa Ruly Amalia, siswa Kelas
VI, SDN 1, Cileungsi, Jawa Barat, Rima Wafiq
Faiza, Kelas V SDN Cigandamekar, Kuningan, Jawa
Barat, Ayatullah Arifa, Kelas VI SDN 1 Payadapur,
JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 135
Kluet Timur, Aceh Selatan, M Kamil Akhyari, Kelas
VI SD Nurul Huda V, Bluto, Sumenep, Madura,
Fatilhah Dwitasari, Kelas VI SDN Pedan, Juwiring,
Klaten, Jawa Tengah, Kany Sabila, Kelas IV SDN
Klender 03 Pagi, Jakarta, Sirin Adistya Putri, Kelas
IV SDN Pajarakan Kulon 1, Probolinggo, Jawa
Timur, yang dipaparkan di bawah ini.
Asyifa, seorang siswa Kelas VI SDN 1,
Cileungsi, Jawa Barat menulis puisi berjudul “Ketika
Mencoba Menulis ”. Dia menuliskan puisinya
dalam bentuk turun ke bawah dalam keseluruhan
barisnya dan tidak terpisah dalam bait-bait. Pada
baris pertama hingga baris terakhir puisinya, tidak
lagi memerhatikan pola kesamaan rima untuk
menuangkan ide dalam mengekspresikan apa yang
hendak di sampaikan kepada pembaca tentang
kegiatan awal belajar menulisnya. Penyairsama sekali
tidak menggunakan bentuk syair sebagai sarana
keindahan dan kebermaknaan puisinya. Seperti
kutipan berikut.
Ingin kutulis kisah
Tentang banjir, tentang kebakaran
Tentang peristiwa sehari-hari
Peristiwa sedih, juga peristiwa lucu
Tapi dari mana harus kumulai.
Begitupun pada baris selanjutnya, dia
membebaskan bunyi dari keterikatan bentuk
syair dan pantun. Kebervariasian pemilihan bunyi
mewarnai penciptaan puisi yang ditulis oleh Asyifa
Ruly Amaliasebagaimana kutipan di bawah ini.
Kuambil saja kertas dan pena
Lalu kucoba menyusun kata demi kata
Kurangkai menjadi sebuah kalimat
Sampai disini aku berhenti sejenak
Mencari-cari kata yang tepat
Tapi tidak juga kudapat
Pikiranku mendadak mampat
Kuambil kertas lagi
Kutulis-tulis kembali
Tiba-tiba… pet!
Lampu di rumahku mati
Hilanglah konsentrasiku
Hilanglah semua yang ada
Dalam pikiranku
Ketika mencoba menulis
Aku bingung sendiri
Dengan kebebasan yang dianut oleh Asyifa
dalam menuangkan lirik larik dalam puisinya, bukan
berarti mengurangi keindahan dan kebermaknaan
puisi yangditulisnya.Hal tersebut adalah sebagai
bentuk ekpresi seorang anak, yang barangkali
banyak pula dialami oleh anak seusianya, ketika
sedang melakukan pembelajaran menulis.Ada
banyak ide, tetapi sulit untuk menuangkan dalam
bentuk tulisan, dan selalu terjadi kesalahan tetapi
Asyifa tidak putus asa selalu mengulang dan
membuat tulisan lagi.Puisi tersebut memberikan
pembelajaran kepada pembaca untuk tidak putus
asa dalam berusaha untuk meraih kesuksesan
termasuk dalam hal tulis menulis.
Rima Waqih faiza, Kelas V SD, memberi
kebebasan buat dirinya untuk menuangkan ide, dia
seperti bercerita tentang sebuah situasi yaitu tentang
situasi di sekolah ketika bel istirahat berbunyi. Dia
menunjukkan dirinya adalah sosok yang sangat
tenang dan sangat mengerti akan apa yang dialami
oleh teman sekelasnya. Dalam menuangkan idenya
dia tidak selalu menggunakan pola rima yang
teratur. Walaupun ada pada beberapa baris yang
menggunakan pola rima yang sama namun dia
tidak terikat oleh bentuk yang selalu sama dalam
pengakhiran bunyi dalam puisinya. Bentuk yang
tidak selalu sama tersebut dimaksudkan agar pesan
yang hendak disampaikan sebagaimana yang ada
diangannya dapat tersampaikan dengan tepat.
Seperti ketenangan yang dia rasakan ketika dia
mendengarbunyi bel berdentang.Ketika banyak
diantara temannyaberhamburan ke luar entah untuk
bermain atau jajan di kantin, tetapi dia justru tidak
mau ke luar kelas tetapi justru membuka bekal
yang dibawakan ibunya.Seperti yang kutipan di
bawah ini.
Teng-teng-teng…
Bel istirahat dipukul Mang Diding
Penjaga sekolahku
Murid-murid pun berhamburan keluar
Semua ingin paling duluan
Ada yang menuju lapangan, main kejar-kejaran
Ada yang ke kantin, habiskan uang jajan
Selain tenang dan membuka bekal yang
bawanya dari rumah dia menawarkan bekal tersebut
kepada temannya yang tidak diberi uang saku oleh
Hestri Hurustyanti & Cutiana Windri Astuti, Pemanfaatan Bunyi dalam Puisi Anak di Harian Kompas Minggu Tahun 2013136
orang tuanya. Dia merasakan apa yang dirasakan
temannya yang tidak membawa bekal dan tidak
membawa uang saku. Bentuk ketenangan sekaligus
empati Rima seperti tertuang dalam kutipan berikut
ini.
Aku tak terburu menyusul teman-temanku
Enggan beranjak dari bangkuku
Kubuka tas, kukeluarkan bekal roti buatan ibu
Tak lupa kutawari teman di dekatku, mau?
Kutahu tak semua temanku diberi uang saku
Beberapa dari mereka keluarga kurang mampu
Dengan tidak menggunakan rima yang
terikat Rima juga merasa lebih bebas dalam
mengekpresikan segala yang dilakukannya di
sekolah ketika bel istirahat berbunyi. Dia mengajak
temannya untuk pergi ke perpustakaan.Sebagaimana
kutipan di bawah ini.
Ke perpustakaan yuk, ajakku
Di sana kita bisa baca atau pinjam buku
Teman-teman pun setuju
Ayuk!
Di sana kami melahap buku
Menyerap ilmu
Bekal masa depanku dan … kamu
Sirin Adistya Putri dan Kany Sabila adalah
Penyair yang seusia dengan Rima,karena duduk
di bangku sekolah yang sama yaitu kelas IV.
Mereka menulis puisi berjudul “Jam Dinding” dan
“Koki. Pemilihan bunyi dalam puisi mereka jelas
terdapat perbedaan yang sangat mencolok, jika
Sirin menggunakan pola rima yang teratur yaitu
menggunakan pola rima aaaa, Kany menggunakan
pola rima tak terikat.Dia lebih memilih kebebasan
dalam menentukan pola rima dalam menuangkan
gagasan dalam puisinya.Puisi Sirin dan Kany secara
utuh dapat di baca di bawah ini.
Menghias kamarku
Berdetak selalu
Jam dindingku tunjuk waktu
Jam dindingku bunyi merdu
Membangunkan tidurku
Sirin dengan sangat nyata memainkan
vocal/u/dalam puisinya yang sangat sarat makna
untuk menunjukan waktu dengan menuliskan
puisi dengan judul “Jam Dinding”. Jam dinding
yang sangat berguna, sebuah benda yang dapat
membantunya menunjukkan waktu. Makna
yang tersirat di dalamnya adalah sebuah bentuk
kedisplinan yang harus dipegang erat oleh setiap
manusia jika kesuksesan yang hendak diraihnya.
Sedangkan Kany membebaskan dirinya dari
keterikatan pola rima yang dipakai oleh Sirin.Di
bawah ini adalah puisi Kany.
Saya ingin menjadi koki
Membuat makanan untuk orang-orang
Membuat hati menjadi senang
Orang-orang makan dengan lahap
Tentunya makanan yang sehat
Membuat perut tak lapar lagi
Membuat makanan yang enak dan lezat
Badan menjadi kuat
Tidak menjadi gampang sakit
Orang-orang senang
Hidup sehat dan tenteram
Dalam puisinya, Kany Sabila sangat jelas
bahwa bunyi-bunyi yang dirangkainya dapat keluar
dari bentuk pantun dan syair, puisinya yang sama
sekali tidak tunduk pada aturan syair dan pantun.
Ketika ia menjajar larik-larik ia cukupmenuliskannya
dari atas ke bawah dengan pemenggalan yang
penuh makna dalam setiap lariknya. Dia juga tidak
mengikuti polapembaitan syair dan pantun dalam
menuangkan cita-citanya untuk menjadi seorang
koki yang hendak menciptakan makanan lezat.
Siapa saja boleh menikmatimasakannya. Kany juga
berharap agar orang yang menikmati makanannya
akan senang, sehat dan tentram.
Sena Evangelis, seorang siswa kelas VI SD
memilih bunyi sebagai sarana keindahan dan
membungkus makna puisinya. Sena menulis puisi
berjudul “Selamat Hari Ibu… Ibuku”. Kutipan
puisinya adalah berikut ini.
Selamat pagi Bu
Kantor kebanggaanmu adalah dapur
Tempat ibu menumpahkan cinta kasih yang tak
terbatas
Sediakan makanan pagi bagi seluruh keluarga
Bekal fisik untuk menuntut ilmu, bekerja,
Dan memulai hari
Tempat Ibu berkresi menciptakan menu baru
kejutan
JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 137
Dan….
Rumah adalah istanamu yang hangat dan nyaman
oleh
Sentuhan tanganmu
Tidak seperti ibu-ibu karier yang bekerja di
perusahaan
Departemen, organisasi…
Ibu tidak pernah libur, cuti, atau izin
Walau itu tanggal merah, cuti bersama, atau hari
raya
Ibu tidak pernah demo walau uang belanjanya
Tak pernah cukup
Tidak ada pengusaha yang bisa menggaji Ibu
Tidak ada pemerintah yang mampu memberi
tunjangan
Yang pantas
Tidak ada bos asing yang dapat memberi bonus
tahunan
Jasa Ibu bekerja di rumah sepanjang hari
Sepanjang bulan, sepanjang tahun, dan sepanjang
hayat
Tak kan pernah terbayarkan oleh uang
Hari ini Ibuku…
Kami mengucapkan “Selamat Hari Ibu”
Tuhan yang membalas cinta kasih Ibu sepanjang
hayat
Tuhan memberkati Ibu selamanya.
Sena dengan tegas tidak memanfaatkan bunyi-
bunyi sebagai rima akhir yang mirip dengan pantun
dan syair, tetapi sudah menyebar menunjukkan
adanya kebebasan memilih dan memanfaatkannya.
Iacenderung menonjolkan kebermaknaan puisi
yang disuguhkannya dibandingkan dengan meraih
keindahan dari bunyi yang dipilihnya. Sebagai
seorang anakperempuan, ia sangat dekat dengan
sosok ibunya. Dan sebagai seorang anak perempuan
dia juga sangat peka sekali dengan moment-moment
yang berkaitan dengan ibu dan perempuan.Sehingga
ketika dia tahu pada tanggal tertentu dadalah
merupakan hari ibu, Sena merenubgkan betapa
besar jasa ibu selama ini. Dia mengagungkan sosok
ibu yang telah dengan ikhlas menjalani karirnya
sebagai ibu rumah tangga yang berkantor di dapur
dan di rumah, dengan tidak pernah menapatkan
gaji yang berupa uang serta tidak pernah mengeluh
walaupun pasti dia sangat capek dan ketika uang
belanjanya tidak cukup. Kebermaknaan puisi Sena
terlihat jelas pada larik-larik yang menyatakan
bahwa hanya satu hal yang dapat diberika Sena
kepad sosok ibunya yang tiada pernah mengenal
keluh kesah dan lelah yaitu perlindungan Tuhan atas
ibunya tersebut. Doa itulah yang sanggup diberika
Sena kepada ibunya di hari ibu. Dari apa yang
disampaikan Sena dalam puisi tersebut pembaca
dapat melihat potret diri ibu sebagai sosok yang
luar biasa yang pantas menjadi contoh bagi ibu-ibu
yang lain di bumi ini.
Puisi yang ditulis oleh Asyifa Ruli Amalia,
Rima Wafiq Faiza, Ayatullah Arifa, M. Kamil
Akhyari, Fatilhah Dwitasari, Kany Sabila, Sirin
Adistya Putri, dan Sena Evangelis menunjukkan
adanya kemiripan dalam pemanfatan bunyi. Mereka
adalah siswa SD yang menduduki kelas tinggi
(IV-VI). Secara kejiwaan mereka sudah berbeda
dengan anak kelas rendah (Qotru Elnada Attahera
Surachman, A. Keyodia Minangkani, Semilir Asih
Istiqamah, Azalea Mataniari Tambun, Elisabeth
Uli Ovelya Ambarita dan M. Sultan Althaf). Oleh
karena itu, mereka sudah tidak terikat adanya
bentuk yang terjadi pada hukum pantun dan syair.
Mereka mempermainkan bunyi-bunyi bahasa
secara bebas dan leluasa.Meskipun demikian, bukan
berarti mereka tidak memperhatikan pentingnya
bunyi sebagai sarana medium ekspresinya.Mereka
tetap memosisikan bunyi sebagai alat ekspresi
yang tidak boleh diabaikan dalam kepenyairannya.
Kata Burhan Nurgiyantoro, bunyi-bunyi yang
mengandalkan rima dan irama akan mampu
membangkitkan bunyi lain secara ekspresif, inilah
yang dikenal dengan daya evokasi (2005:324).
Kebebasan dalam mengatur rima dan irama
terlihat sudah menunjukkan keteraturannya. Mereka
sudah dapat merasakan enak dan tepatnya rima
serta irama untuk mewujudkan keindahan puisinya,
sehingga mereka menambahkan unsur-unsur yang
dapat memperindah karyanya dan tidak hanya
sekedar menuangkan idenya begitu saja tetapi
memasukkan unsur-unsur keindahan yang lebih
tertata dan teratur.
Hestri Hurustyanti & Cutiana Windri Astuti, Pemanfaatan Bunyi dalam Puisi Anak di Harian Kompas Minggu Tahun 2013138
SIMPULAN
Penggunaan unsur bunyi, anak-anak usia 7-9
tahun sebagai siswa kelas rendah (I-III) masih
didominasi pengaruh bunyi-bunyi yang terdapat
dalam pantun dan syair. Bunyi-bunyi itu digunakan
oleh penyair dalam membangun rima dalam puisinya.
Anak-anak kelas rendah cenderung menggunakan
rima akhir yang bersajak abab (pantun) dan aaaa
(syair). Akan tetapi, anak-anak kelas tinggi, siswa
kelas IV-VI, sudah menggunakan bunyi-bunyi yang
agak bervariasi. Mereka lebih tinggi setingkat bila
dibandingkan dengan anak kelas rendah. Anak-anak
usia 10-12 tahun ini cenderung lebih bebas, tidak
terpaku adanya rima pantun dan syair.
DAFTAR PUSTAKA
Amira. 2009. Roxy! Roxy!. Jakarta: Mizan Media
Utama.
Dahana, Radhar Panca. 2001. Kebenarandan Dusta
dalam Sastra. Magelang: Indonesia Tera.
Effendi, S. 2004. Bimbingan Apresiasi Puisi. Jakarta:
Pustaka Jaya.
Hendy, Zaidan. 2004. Kesusastraan Indonesia: Warisan
yang Perlu Diwariskan 2. Bandung: Angkasa.
Junus, Umar. 1989. Stilistika Satu Pengantar. Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka
Kementerian Pendidikan Malaysia.
Keraf, Gorys. 1984. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta:
Gramedia.
Kurniawan, Heru. 2009. Sastra Anak dalam Kajian
Strukturalisme, Sosiologi, Semiotika, hingga
Penulisan Kreatif. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Noth, Winfried. 1995. Handbook of Semiotics: Advances
in Semiotics. Thomas Sebeok (General Editor)
Bloomington danIndianappolis: Indiana
University Press.
Nurgiantoro, Burhanudin. 2005. Sastra Anak:
Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta:
GadjahMada University Press.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2005. Pengkajian Puisi.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Ramya. 2008. Dunia Es Krim. Jakarta: Mizan Media
Utama.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik
Penelitian Sastra dari Strukturalisme Hingga
Postrukturalisme Perspektif WacanaNaratif.
Yogyakarta: PustakaPelajar.
__________. 2009. Kajian Puitika Bahasa dan Budaya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Shara. 2011. Let,s Smile Delia. Jakarta: Mizan Media
Utama.
Sutejo. 2010. Stilistika: Teori, Aplikasi, dan Alternatif
Pembelajarannya. Yogyakarta: Pustaka Felicia.
Suyatno. 2009. Struktur Narasi Novel KaryaAnak.
Surabaya: Jaring Pena.
Tjahyono, Libertus Tengsoe. 1988. Sastra Indonesia:
Pengantar Teori dan Apresiasi. Ende-Flores:
Nusa Indah.
________. 2010. Mendaki Gunung Puisi ke Arah
Kegiatan Apresiasi. Malang: Bayumedia
Publishing.
Toha, Riris K. dan Sarumpaet. 2010. Pedoman
Penelitian Sastra Anak. Jakarta: Pustaka Obor
Indonesia.
Waluyo, Herman J. 1991. Teori dan Apresiasi Puisi.
Jakarta: Erlangga.
Wellek, Renne dan Austin Warren. 1993. Teori
Kesusasteraan. (Penerjemah: MelaniBudianta).
Jakarta: Gramedia.
Yunda. 2009. Space Fun Park. Jakarta: Mizan Media
Utama.
PENDAHULUAN
Priyayi Jawa dapat dikatakan sebagai suatu
kelompok sosial yang bermakna besar dalam
masyarakat Jawa. Mereka, sebagai perantara antara
rakyat dan raja serta juga sebagai penghubung antara
rakyat dengan pemerintah penjajahan Belanda,
mendominasi masyarakat Jawa selama jangka
waktu yang cukup lama. Golongan priyayi, sebagai
kaum elit berpengaruh besar bukan hanya pada
bidang politik dan ekonomi tetapi juga pada bidang
kebudayaan dan pendidikan dalam masyarakat
Jawa. Berkenaan dengan golongan priyayi Jawa,
yang menarik adalah bahwa priyayi Jawa adalah
kelompok sosial yang mempunyai tingkah laku dan
nilai-nilai hidup tersendiri serta ciri-ciri tertentu
yang jelas menunjukkan perbedaannya dengan
kelompok sosial lainnya, terutama kelompok sosial
rakyat kebanyakan (Kartodirdjo, 1993: 21).
Pada zaman sekarang priyayi Jawa bukan lagi
status sosial yang masih dianggap penting dalam
masyarakat Indonesia. Banyak orang pada zaman ini
tidak peduli atau tidak memberi perhatian lagi pada
soal seperti apakah seseorang itu priyayi atau bukan,
dibandingkan dengan sebelumnya. Namun priyayi
bukannya telah lenyap, melainkan masih tetap hidup
dalam masyarakat. Sebagai contoh, seseorang yang
bersifat halus, sopan atau berbudi luhur sering
dianggap atau bahkan dijuluki sebagai “priyayi”
dalam masyarakat Jawa. Sebutan atau anggapan
terhadap seseorang itu justru mempunyai arti
bahwa dia mendapat penilaian baik dan dipandang
dalam masyarakat. Maka dapat dikatakan bahwa
sebuah bayangan yang ditimbulkan oleh kata priyayi
atau konsep priyayi bukanlah pejabat pemerintah
KEPRIYAYIAN DALAM KARYA SASTRA:
BERKACA PADA PARA PRIYAYI KARYA UMAR KAYAM
Lee Yeon
Hankuk University of Foreign Studies, Seoul
Abstract: Priyayi are the members of a social group, which had great influence in Javanese society and dominated it for a long time. Their importance derives from the leading role they played in the modernization process and the fact that they formed the intellectual class of society, which had progressed without losing their Javenese cultural identity and origins. Although the status of priyayi lost its power and shine after independence of Indonesia (1945), the influence of priyayi, especially their moral and ethics view can be felt in Indonesian society up to the present day. In connection to that, this research is an attempt to understand the priyayi through the literature.
Keywords: Priyayi, Javanese Priyayi, Socio-cultural Class.
Abstrak: Priyayi merupakan bagian dari kelompok sosial masyarakat yang mempunyai pengaruh besar terhadap masyarakat Jawa dan telah mendominasi dalam kurun waktu yang lama. Pentingnya kehadiran mereka bisa dilihat dari peran mereka dalam proses modernisasi dan pembentukan kelompok masyarakat terdidik tanpa menghilangkan identitas budaya Jawa dan asal mulanya. Meskipun status priyayi telah kehilangan pengaruh dan kekuasaanyya semenjak hari kemerdekaan (1945), pengaruh priyayi terutama dalam hal moral dan etika masih dapat dirasakan dalam masyarakat Indonesia sampai sekarang. Dalam kaitannya dengan hal itu, penelitian ini merupakan sebuah usaha untuk memahami konsep priyayi melalui literatur.
Kata Kunci: Priyayi, Kepriyayian Jawa, Kelas Sosio-kultural
Lee Yeon, Kepriyayian dalam Karya Sastra: Berkaca Pada Para Priyayi Karya Umar Kayam140
melainkan orang yang menganut atau mengikuti
nilai-nilai kepriyayian. Oleh karena itu, tidaklah
berlebihan jika dikatakan bahwa priyayi sebagai
sebuah gelar masih melekat dalam kehidupan
bermasyarakat pada zaman sekarang.
Dari hal-hal tersebut, dapat dikatakan
bahwa eksistensi priyayi sebagai suatu jabatan
atau gelar yang diberikan kepada seseorang,
tidak lagi merupakan sesuatu yang masih lazim
dalam masyarakat sekarang. Sedangkan eksistensi
kepriyayian masih ditemukan dalam masyarakat
karena pola-pola kehidupan priyayi masih banyak
dianggap sebagai sebuah teladan. Dalam hal ini
nilai-nilai serta norma-norma kepriyayian masih
dijadikan sebagai ukuran kepantasan dan kesopanan
dalam kehidupan masyarakat Jawa (Kartodirdjo,
1993: 21). Sementara dalam hal ini yang menarik
adalah bahwa konsep priyayi berkembang dalam
perubahan zaman. Dengan kata lain, konsep
atau makna priyayi Jawa bukanlah sesuatu yang
stagnan, tetapi yang terus-menerus berubah,
diangankan, didefinisikan lagi dan direkonstruksi
dalam masyarakat. Hal tersebut menunjukkan
bahwa persoalan priyayi Jawa merupakan sesuatu
yang dinamis, rumit, dan tidak stabil sehingga dapat
dibicarakan dengan berbagai dimensi secara sangat
mendalam terutama jika persoalan itu diangkat
sebagai suatu isu dalam sebuah penelitian.
Penelitian ini bertujuan untuk membahas
kepriyayian yang terwujud dalam karya Umar
Kayam yaitu Para Priyayi dengan bertolak dari
anggapan bahwa karya sastra pun merupakan
sebuah acuan yang bermakna dalam interpretasi
mengenai konsep priyayi Jawa dan kepriyayian.
METODE
Metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah kualitatif. Penelitian ini termasuk jenis
penelitian deskriptif kualitatif. Objek penelitian
ini adalah novel Para Priyayi karya Umar Kayam.
Analisis data yang digunakan adalah analisis
induktif dengan meletakkan data penelitian sebagai
modal untuk memahami fokus penelitian. Ciri-ciri
terpenting metode kualitatif sebagai berikut: (i)
Memberikan perhatian utama pada makna dan
pesan sesuai dengan hakikat objek, yaitu sebagai
studi kultural; (ii) Lebih mengutamakan proses
dibandingkan dengan hasil penelitian sehingga
makna selalu berubah; (iii) Tidak ada jarak antara
subjek peneliti dengan objek penelitian, subjek
peneliti sebagai instrument utama, sehingga
terjadi interaksi langsung di antaranya; (iv) Desain
dan kerangka penelitian bersifat sementara sebab
penelitian bersifat terbuka; dan (v) Penelitian
bersifat alamiah, terjadi dalam konteks sosial budaya
pengarangnya.
Adapun teknik kajian dalam penelitian tersebut
dapat dilihat dalam langkah-langkah analisis yang
disusun sebagai berikut: (i) Mengidentifikasi dan
merumuskan masalah, (ii) Membaca novel secara
intens; (iii) Melakukan studi pustaka dengan
mencari referensi sebagai landasan teori untuk
mengkaji objek penelitian ini; (iv) Membaca
novel secara mendalam sekaligus menandai teks
dalam novel yang termasuk sebagai data; (v)
Mengumpulkan data meliputi pendataan, reduksi
data, pengklasifikasian data dan penetapan data
sesuai rumusan masalah, (vi) Menganalisis data
secara kritis menggunakan teori poskolonialisme
sesuai dengan indikator-indikator yang telah
ditemukan, dan (vii) Menginterpretasikan dan
menarik kesimpulan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kepriyayian yang Terwujud dalam Para Priyayi Umar Kayam
Dengan nyata, banyak ahli sastra Indonesia
beranggapan bahwa ciri-ciri utama dalam novel-
novel Umar Kayam adalah warna daerah Jawa dan
gambaran kehidupan masyarakat Jawa dalam novel-
novelnya sangat wajar bahkan unggul. Berkaitan
dengan hal tersebut, Sapardi Djoko Damono
menyatakan, “Dalam membaca fiksi Umar Kayam,
kita mendapat kesan sangat kuat bahwa beberapa
bagiannya merupakan usaha untuk menguraikan hal-
ikhwal itu sehingga bisa dikelirukan sebagai risalah
sosiologi.” Menurutnya, mungkin bahkan boleh
dikatakan bahwa Umar Kayam sebenarnya menulis
buku sosiologi Jawa dalam bentuk fiksi (Kartodirdjo,
1993: 21). Pernyataan seperti ini memperlihatkan
JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 141
bahwa gambaran dan pengungkapan masyarakat
Jawa dalam karya-karyanya sangat realis.
Di antara karya-karyanya, dalam Para
Priyayi, sebagaimana terlihat dari judulnya, dia
menggambarkan kepriyayian serta masalah-
masalah yang muncul dari dunia kaum priyayi
dalam masyarakat Jawa secara mendalam dan
tajam. Ketika Umar Kayam menyelesaikan novel
ini, dia berdiskusi dengan Goenawan Mohammad,
kemudian keduanya setuju agar novel ini menjadi
salah satu usaha untuk menggojlok ilmu-ilmu sosial
itu. Oleh karena mereka berpendapat bahwa kalau
kenyataan masyarakat tidak mampu lagi dijelaskan
oleh ilmu-ilmu sosial secara memadai, harus ada
suatu jalan lagi dengan memakai medium lagi untuk
mencari penjelasan yang diperlukan itu.
Dengan Para Priyayi Umar Kayam dapat
dikatakan berhasil mengemukakan hal itu secara
wajar dan mendekati kenyataan yang sesungguhnya
dalam mengungkapkan dunia priyayi. Banyaknya
pemakaian kosa kata Jawa yang khas kehidupan para
priyayi semakin menguatkan dugaan akan usaha
dan kemampuannya dalam mengungkapkan dunia
priyayi itu. Juga, sebagaimana priyayi nyata dalam
masyarakat Jawa, para tokoh priyayi dalam karya
Umar Kayam ini sungguh-sungguh mempunyai
etika dan gaya hidup priyayi, misalnya bahwa mereka
tampil sebagai sosok yang alus, dan berusaha keras
dalam disiplin diri untuk menjaga keselarasan sosial,
lewat sikap sabar, nrima, dan ikhlas.
Berkenaan dengan hal itu, salah satu aspek
yang mencolok dari kepriyayian yang terwujud
dalam karya itu adalah sikap dan ide keabdian
yang dimiliki oleh para tokoh priyayi. Menurut
pandangan orang Jawa, manusia harus menjalankan
peranan dalam dunia, dengan memenuhi kewajiban-
kewajibannya di dalamnya. Mereka berpikir bahwa
manusia masing-masing memenuhi kewajiban
dengan kedudukannya (Damono, 1998: 242).
Sebagai anggota masyarakat Jawa, salah satu
kewajiban yang diberikan pada golongan priyayi
adalah kewajiban untuk mengabdi pada raja dan
negara, yaitu keabdian. Sebagai perantara antara
wong cilik dan raja atau antara pemerintah dan rakyat
kebanyakan dalam masyarakat Jawa yang hierarkis
serta feodalis, hal yang pertama-tama dituntut pada
mereka adalah antara lain keabdian terhadap raja
atau pemerintah. Maka, mereka juga disebut sebagai
‘abdi-dalem’, atau ‘abdi-negara.’ Umar Kayam
sendiri menyatakan bahwa kewajiban priyayi itu
sebenarnya adalah lanjutan dari nilai lama, yaitu nilai
”ngawula ing lan raja” atau nilai mengabdikan diri
kepada negara dan raja (Kartodirdjo, 1993: 21).
Keabdian priyayi, khususnya pria priyayi
sangat mencolok dalam Para Priyayi. Hampir semua
tokoh pria priyayi di dalamnya memperlihatkan
keabdian mereka yang tinggi terhadap negara.
Dalam hal keabdian tokoh pria priyayi Umar Kayam
menggunakan tokoh wayang tertentu sebagai
teladan untuk keabdian mereka. Sebagai contoh,
tokoh Ndoro Seten, sponsor tokoh Sastrodarsono
menghadiahkan pertunjukan wayang pada upacara
pernikahannya. Dengan pertunjukan wayang itu,
Ndoro Seten memberi nasihat mengenai keabdian
priyayi padanya. Menurutnya, model yang diteladani
bagi priyayi adalah Sumantri, sebabnya keabdian
Sumantri terhadap raja. Sastrodarsono pun juga
senantiasa memberi nasihat pada anak-anaknya
dan cucu-cucunya bahwa teladan untuk keabdian
yang harus dimiliki para priyayi adalah keabdian
seperti yang dilakukan oleh Sumantri itu. Selain
itu, dalam novel-novelnya tidak sedikit terdapat
usaha-usaha tokoh pria priyayi untuk tetap bertahan
pada keabdian, bagaimana pun situasi yang harus
dihadapi oleh mereka.
Dalam kaitannya dengan hal ini, dengan
karya itu yang ditekankan Umar Kayam adalah
bahwa keabdian priyayi tidak hanya dilakukan pada
atasan mereka atau kepada pemerintah, tetapi juga
dilakukan pada dimensi negara, yang berhubungan
dengan masyarakat dan rakyat kebanyakan atau wong
cilik. Contoh yang jelas memperlihatkan keabdian
mereka pada dimensi negara adalah dalam kegiatan
pendidikan yang mereka lakukan. Banyak tokoh
pria priyayi dalam novel-novelnya berminat besar
dan mencurahkan diri pada kegiatan pendidikan
dengan gairah yang sangat tinggi.
Dalam Para Priyayi Sastrodarsono yang tergugah
oleh semangat orang-orang kampung untuk belajar
berusaha mendirikan sekolah untuk mereka,
dengan dukungan besar dari semua keluarganya,
walaupun usahanya tidak bisa berhasil. Dan juga
Lee Yeon, Kepriyayian dalam Karya Sastra: Berkaca Pada Para Priyayi Karya Umar Kayam142
anaknya Hardojo yang guru HIS ditawarkan untuk
memimpin suatu kantor yang mengurus pendidikan
di Mangkunegara kemudian tawaran itu diterimanya.
Ketika Hardojo menghadap Kanjeng Gusti
Mangkunegara, dia sangat terharu oleh semangat
Mangkunegara terhadap pendidikan rakyat. Maka
dia rela menerima tawaran itu, walaupun gaji yang
dia akan dapat jauh lebih kecil daripada gajinya
dari sekolah pada waktu itu. Ketika dia melaporkan
putusannya itu kepada orang tuanya, mereka sangat
menghargainya, seperti kutipan di bawah ini.
Di Wanagalih orang tua saya menerima saya dengan sangat senang. Laporan saya tentang kepindahan saya ke Mangkunegaran, meskipun mengejutkan, diterima dengan sangat senang juga.“Itu keputusan yang baik, Le. Keputusanmu membuat bapak dan ibumu bangga. Bukan karena apa. Keikhlasanmu untuk mengorbankan gajimu yang seratus sepuluh gulden dari gupermen demi mengabdi di Mangkunegara sangat Bapak hargai.”
Kegia tan pend id ikan dan perhat i an
terhadap pendidikan memperlihatkan adanya
suatu kepercayaan pada mereka, seperti bahwa
pendidikan merupakan salah satu jalan yang utama
untuk memajukan bangsa dan negara. Mereka
juga menganggap bahwa usaha untuk memajukan
bangsa dan negara merupakan salah satu cara dari
keabdian terhadap negara.
Dengan demikian, ketika memperhatikan sikap
dan usaha tokoh priyayi dalam kegiatan pendidikan
yang sedemikian, dapat dikatakan bahwa mereka
menghubungkan kewajiban mereka yaitu keabdian
terhadap negara dan bangsa atau wong cilik, dengan
misi mereka sebagai kelas intelektual dalam
masyarakat. Dengan kata lain mereka bertanggung
jawab atas hal memajukan bangsa dan negara.
Sementara itu, pada novel Para Priyayi salah
satu aspek dari nilai kepriyayian yang juga sangat
menonjol adalah sikap dan sosok yang alus. Dalam
hal ini, pada karya terutama ditemukan bahwa Umar
Kayam menggambarkan para tokoh priyayi sebagai
sosok yang bersifat halus dan berbudi luhur. Sosok
para tokoh priyayi yang bersikap halus banyak
ditekankannya sebagai seorang priyayi yang layak.
Dalam hal ini Umar Kayam menggambarkan
kehalusan wanita priyayi yang melebihi pria serta
kecerdasannya untuk mengatasi masalah rumit
dengan kehalusan yang dimiliki mereka. Sebagai
contoh, dalam Para Priyayi kehalusan tokoh Ngaisah
mengatasi musibah paling besar yang menimpa
pada keluarganya.
Waktu zaman penjajahan Jepang, Sastrodarsono ditempeleng oleh Martokebo, yang menjadi seorang kaki tangan bagi Jepang, di depan keluarganya, “tiba-tiba, dengan secepat kilat... tangan Tuan Sato melayang menempeleng kepala Ndoro Kakung. Plak! Plak! Ndoro Kakung geloyoran tubuhnya....... Pucat pasi...lesu. Air matanya berlelehan keluar. Beliau menangis seperti anak kecil.” Penghinaan sebesar itu, yang menimpa pada suaminya segera diurus oleh Ngaisah. Dia menawarkan “kopi panas yang enak” dan bahasa kromo yang sangat halus kepada Martokebo yang gila. Maka situasi yang penuh ketegangan itu diurusnya. Selain itu, setiap kali suaminya merasa kehilangan ketenangannya, atau kelihatan merasa bingung, Ngaisah menyelesaikan segala masalah dengan kecerdasan sebagai pengganti suaminya dengan cara yang halus.
Di samping itu, aspek kehalusan dari
kepriyayian juga ditemukan pada hubungan para
priyayi dengan seni alus. Clifford Geertz membagi
kesenian dalam masyarakat Jawa dalam tiga
kelompok seni. Salah satu dari tiga kelompok seni
tersebut adalah seni alus, yang meliputi wayang,
lakon, gamelan, tembang dan batik. Menurut
Geertz, seni alus khususnya merupakan suatu seni
terpadu yang mengekspresikan nilai-nilai priyayi.
Walaupun bentuk-bentuknya itu dikenal luas dan
masih menarik keseluruhan masyarakat, di kalangan
priyayi kompleks seni alus memperoleh kekuatan
dan penafsiran yang paling implisit. Maka tendensi
bentuk-bentuk seni alus ini untuk menjadi milih
priyayi senantiasa meningkat, terutama disebabkan
dengan makin kuatnya pengaruh sandiwara populer
dan bentuk-bentuk seni yang dipengaruhi Barat
terhadap massa. Tinggal priyayi yang menaruh
perhatian sebagai pelindung utama seni-luhur yang
tradisional. Ditinjau hubungan erat antara priyayi
dan seni alus, tidak mengherankan apabila seni alus
itu terdapat dalam Para Priyayi. Di antara berbagai
JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 143
bentuk seni alus, yang sering ditemukan dalam
novel-novelnya adalah wayang dan tembang.
Wayang, bagaimana pun, merupakan bentuk
seni yang paling terkenal, tidak hanya dalam
masyarakat Jawa tetapi juga dikenali oleh seluruh
rakyat Indonesia. Pengaruh dan peranan wayang
pun juga cukup besar, maka tidak berlebihan jika
dikatakan bahwa wayang merupakan identitas utama
orang Jawa. Sementara Clifford (1981) Geertz
menerangkan bahwa terdapat perbedaan dalam
penafsiran terhadap wayang itu di antara santri
atau wong cilik dengan priyayi. Menurutnya, santri
mementingkan wayang sebagai keampuhan ritual
pertunjukan, sedangkan priyayi mementingkan
isi cerita, makna yang terkandung, dan pesan
pokok dari wayang. Mereka menganggap bahwa
wayang, khususnya yang berisi kehidupan batin
selalu menunjukkan dan mengingatkan pentingnya
kekuatan jiwa dan kedamaian di dalam hati pada
mereka dengan tajam. Demikian pula, melalui
wayang para priyayi merefleksi jati diri mereka. Oleh
karena itu, wayang dapat dikatakan merupakan
semacam pendukung yang mengungkapkan nilai-
nilai mereka dalam dunia priyayi.
Berkenaan dengan hal itu, apa yang menarik
dalam Para Priyayi adalah bahwa wayang lebih
cenderung dipergunakan untuk memperlihatkan
teladan priyayi, atau citra priyayi yang mereka
idamkan untuk menunjukkan pandangan hidup,
filsafat, dan nilai-nilai mereka. Dalam karya itu sering
kali tokoh-tokoh wayang tertentu dipergunakan
oleh Umar Kayam untuk menunjukkan teladan
bagi priyayi, sebagaimana telah disebutkan. Selain
itu, dalam novel itu juga terungkap bahwa wayang
merupakan kegemaran priyayi yang istimewa.
Misalnya, walaupun berumur lebih delapan puluh
tahun, Sastrodarsono masih sering menonton
pertunjukan wayang sampai larut malam. Bahkan
sesudah pulang, dia berdiskusi mengenai isi cerita
wayang yang ditontonnya dengan istrinya. Hal itu
memperlihatkan bahwa wayang sudah menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan
priyayi. Tambahan lagi, pembicaraan kedua suami-
istri mengenai isi wayang menunjukkan bahwa
biasanya kaum priyayi tidak hanya gemar menonton
pertunjukan wayang, tetapi juga memiliki penafsiran
implisit terhadap isi cerita wayang. Juga, dalam
novel itu terdapat Sastrodarsono sering merefleksi
jati dirinya melalui wayang.
Sementara peranan dan makna tembangdalam
Para Priyayi tidak kalah daripada wayang. Dalam Para
Priyayi, tembang dipergunakan sebagai suatu unsur
yang unik yaitu tembang terlihat sebagai semacam
alat penghibur yang halus untuk menghibur hati
priyayi, khususnya hati yang terluka. Setelah
terjadi peristiwa penempelengan Sastrodarsono
oleh Martokebo, seorang kaki tangan Jepang
di depan keluarganya, semua anggota keluarga
Sastrodarsono berkumpul di Wanagalih untuk
menghibur hatinya. Pada waktu itu, dia menyuruh
Lantip menembang.
Saya pun lantas mengumpulkan kekuatan dari napas saya. Di dalam hati saya mengucap bismillah dan berdoa semoga saya masih hafal semua kata-katanya [.............] Kemudian saya lanjutkan dengan bait pertama dari lagu Kinanti dari Wulangreh. Pada gulangen ing kabu, ing sasmita amrih lantip.... Dan bait itu pun alhamdulillah saya selesaikan pula dengan selamat. Saya menengadahkan kepala saya melihat ndoro-ndoro saya. Saya merasa lega karena mereka mengangguk-anggukkan kepala mereka. Saya menafsirkan beliau semua puas dengan nyanyian saya.
Tembang yang lagukan oleh Lantip menghibur
hati Sastrodarsono yang terluka serta harga dirinya
yang hancur. Tambahan lagi, setelah tembang itu
Sastrodarsono mengisyaratkan kepada anak-anak
dan cucu-cucunya agar mereka terus menimba
ngelmu, ilmu pengetahuan melalui laku dalam zaman
yang sangat gawat itu. Hal itu memperlihatkan
bahwa tembang, sebagai salah satu seni alus tidak
hanya berperan serba alat penghibur, tetapi juga
memberikan ajaran tertentu dari kata-kata yang
samar-samar.
Dengan demikian, ditinjau dari hal-hal yang
telah dibahas di atas, terungkap dalam Para Priyayi
bahwa seni alus merupakan unsur penting untuk
menunjang kepriyayian khususnya, menampakkan
kehalusan mereka. Hal ini menunjukkan bahwa seni
alus berarti cukup besar bagi golongan priyayi. Juga,
pada karya itu dapat diketahui bahwa bentuk seni
alus sudah meresap pada kehidupan priyayi secara
Lee Yeon, Kepriyayian dalam Karya Sastra: Berkaca Pada Para Priyayi Karya Umar Kayam144
sangat mendalam dan menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari kehidupan mereka. Apa yang lebih
penting dalam seni alus bagi mereka adalah isi atau
pesan dari seni alus karena isi dan pesan tersebut
mendukung filsafat, pandangan, dan nilai-nilai
mereka.
Makna Kepriyayian dalam Para Priyayi Umar Kayam
Karya sastra merupakan representasi dari
realitas dalam masyarakat tertentu sehingga dapat
ditemukan sebuah gambaran mengenai kenyataan
sosial yang terwujud dalam karya sastra. Melalui
kenyataan sosial yang terwujud dalam karya
sastra itu dapat ditemukan tanggapan evaluatif
dan sikap pengarang tersirat dari teks terhadap
kenyataan sosial dalam masyarakatnya sendiri.
Hal ini disebabkan karena kenyataan sosial yang
terwujud dalam karya sastra tersebut adalah sebuah
representasi dari kenyataan sosial itu sendiri dan
dalam proses representasi pada karya sastra itu
terungkap respon pengarang tersirat terhadap
kenyataan sosial tertentu. Berdasarkan hal-hal dapat
dikatakan bahwa semua karya sastra mengandung
respon atau tanggapan evaluatif pengarang
terhadap kenyataan sosial tertentu. Tanggapan
evaluatif, di sini berarti sebagai sesuatu yang dicoba
menggali dengan membahas sejumlah unsur dalam
karya sastra itu.
Berkenaan dengan hal tersebut Umar
Kayam menyatakan bahwa “Sastra konon adalah
penasifsir kehidupan jitu. Ia bukan sekadar
seni yang merekam kembali kehidupan, akan
tetapi yang diperbincangkannya kembali lewat
suatu pertukaran, manipulasi, dan rasa bahasa.
Sastra yang dianggap bermutu adalah sastra
yang sanggup serta kemungkinan. Itu makna
sastra serius, sastra yang ‘sastra.’” Bertolak dari
anggapannnya terhadap sastra, tidak berlebihan jika
dikatakan bahwa apabila dia mengisahkan mengenai
masalah priyayi melalui karyanya, priyayi itu bukan
priyayi nyata yang hanya direkam kembali saja.
Dengan kata lain, dia setidaknya telah berusaha
menggambarkan dan menafsirkan soal priyayi yang
ingin diperbicankannya melalui karyanya.
Dalam kaitannya dengan hal itu, ada yang
harus digarisbawahi di sini. Yaitu bahwa dalam Para
Priyayi tidak hanya dilukiskan kehidupan atau sosok
priyayi yang hanya terdapat di dalam masyarakat
Jawa yang nyata, tetapi juga dilukiskan mengenai
citra priyayi yang diidamkannya. Dengan kata lain,
Kayam tidak hanya menggambarkan priyayi dengan
sewajar-wajarnya, tetapi juga sekaligus menonjolkan
sifat atau karakter priyayi yang ingin ditekankan
dan ingin disampaikannya. Apa yang telah dibahas
sebelumnya menunjukkan bahwa dalam karya ini
priyayi Jawa sangat ditekankan masalah kehalusan,
penjagaan harga diri, ikatan pada seni alus, dan pada
moral kepriyayian.
Di samping itu, dalam Para Priyayi hal yang
sangat menarik adalah bahwa kehidupan tokoh-
tokoh priyayi tergambar amat jauh dari kemewahan
dan kekayaan. Bahkan, kadang-kadang kehidupan
mereka kelihatan hampir sama saja dengan
kehidupan wong cilik, yakni kehidupan mereka
tidak kelihatan kaya dan mewah. Meskipun
demikian, seluruh novelnya cukup bernuansa
kepriyayian. Para tokoh priyayi dalam karya itu tetap
mempertahankan kepriyayian dalam kehidupan
mereka yang sederhana. Oleh karena itu, tokoh-
tokoh priyayi dalam karya itu dapat disebut sebagai
priyayi-priyayi kecil atau priyayi yang bersifat wong
cilik. Priyayi kecil atau priyayi yang bersifat wong cilik
yang terlihat dalam para penokohan dalam novel
tersebut dapat dijelaskan dengan beberapa faktor.
Pertama, salah satu faktor dari penentu sifat
wong cilik itu adalah latar tempat dalam novelnya.
Apabila seorang pengarang bermaksud mengisahkan
kehidupan priyayi, dapat dikatakan bahwa tempat
yang paling sesuai dengan maksudnya seperti kota
Solo sebagai latar tempat dalam novel itu. Sebabnya
adalah karena kota Solo dapat dikatakan merupakan
semacam markas besar bagi para priyayi. Akan
tetapi, dalam novelnya yang mengisahkan kehidupan
priyayi, tempat yang dipilih Umar Kayam sebagai
latar tempat antara lain adalah sebuah desa bukan
kota seperti Solo. Para Priyayi berlatar tempat sebuah
kota kecil bernama Wanagalih. Pada awal cerita itu,
Kayam menggambarkan kota itu, seperti bahwa
“Wanagalih adalah sebuah ibu kota kabupaten.
Meskipun kota itu suatu ibu kota lama yang hadir
JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 145
sejak pertengahan abad ke-19, kota itu tampak kecil
dan begitu-begitu saja. Seakan-akan usianya yang tua
itu tidak memberinya kesempatan untuk tumbuh
dan berkembang.” Penggambaran selanjutnya
mengenai kota itu dalam cerita menunjukkan bahwa
kota itu sangat sederhana, jauh dari perkembangan,
atau kemodernan.
Kedua, unsur lain dari penentu sifat wong cilik
itu ditemukan dalam penokohannya. Umar Kayam
memberikan sifat wong cilik pada tokoh-tokoh
priyayi yang ingin ditonjolkannya sebagai tokoh
utama, jadi ia mencampurkan kepriyayian dan
kewongcilikan dalam penokohannya. Dalam Para
Priyayi, dua tokoh yang dapat dikatakan sebagai
tokoh utama, yaitu Sastrodarsono dan Lantip adalah
priyayi yang berasal dari wong cilik. Tentu saja tidak
dapat disangkal bahwa keduanya berhasil menjadi
priyayi, bahkan dianggap sebagai priyayi yang
paling besar jasanya. Namun mereka diwujudkan
sebagai priyayi yang bersifat rendah hati serta yang
memiliki kesederhanaan, bukan sebagai priyayi yang
hanya anggun saja. Khususnya Sastrodarsono selalu
berusaha bertahan pada sikap rendah hati dengan
menanam pada dirinya nasihat dari ayahnya, yang
agar tidak lupa pada asal-usulnya walaupun sudah
diangkat priyayi.
Orang tua saya menekankan pendidikan menjalani hidup dengan baik dan selamat di dunia. Artinya, baik-baiklah kamu bergaul dengan sesama hidup di masyarakat Sing tepa slira, le, maramg sapada-pada. Bertenggang rasalah kamu terhadap sesame hidup, Le. Kata Bapak. Jangan mentang-mentang kau nanti jadi priyayi lehermu terlalu mendongak ke atas. Ingatlah yang bawahmu masih banyak.
Asal-usul keduanya serta watak rendah-hati
yang tidak hilang dari mereka dapat dikatakan
merupakan unsur yang memberi ciri kewongcilikan
pada keduanya. Dengan demikian hal-hal yang
sudah dijelaskan di atas menunjukkan bahwa Umar
kayam mewujudkan priyayi yang bersifat wong cilik,
atau priyayi kecil dalam novelnya melalui pemilihan
latar tempat kota kecil serta pemberian sifat wong
cilik dalam penokohan.
Dalam hubungan ini, apa yang istimewa adalah
bahwa hal tersebut sama sekali tidak memudarkan
kepriyayian dalam karyanya. Sebaliknya, hal
itu membuat kepriyayian yang rupanya ingin
ditekankannya tampak lebih mencolok dari sisi yang
lain. Dengan kata lain, melalui kewongcilikan dalam
tokoh-tokoh priyayi Umar Kayam menyampaikan
bahwa apa yang lebih penting dalam kepriyayian
bukanlah sesuatu dari kehidupan-luar priyayi yang
terpandang, atau kewibawaan serta kekuasaan
yang dimiliki, melainkan sesuatu dari unsur-
dalam kepriyayian yaitu mental kepriyayian.
Dengan penggambaran tokoh-tokoh priyayi yang
bersifat wong cilik dan juga yang tetap menahan
kepriyayian dalam kehidupan mereka, Kayam
ingin menyampaikan bahwa apa yang menunjang
kepriyayian seseorang dalam kehidupannya adalah
bukan kehidupan-luarnya, misalnya pekerjaannya
ataupun pangkatnya, tetapi mental kepriyayian.
Dalam kaitan ini, tampak adanya keinginan
pada diri pengarang yang berusaha menyampaikan
suatu amanat. Berkenaan dengan hal ini Bakti
Soemanto menyatakan seperti berikut. Dalam
novel Para Priyayi pertanyaan yang terasa penting
diajukan adalah apakah yang dimaksudkan dengan
priyayi, dan apakah yang diharapkan oleh Umar
Kayam. Dengan kata lain, betapapun seluruh novel
itu dalam hal mempertanyakan secara kritikus “how
did the priyayi come into exsistence?” dan sekaligus
mempersoalkan makna terdalam dari pengertian
priyayi dalam konteks hidup bersama masyarakat.
Apakah soal kemudahan hidup: pagi hari tidak
merasa harus dikejar-kejar memburu uang, tersedia
kendaraan mewah, dan semacam itu?
Dalam hubungan ini pertanyaan dari Umar
Kayam, yang disebut Soemanto dalam kutian di atas
ditemukan dalam Para Priyayi ini yaitu Noegroho,
anak pertama Sastardarsono bertanya kepada
Lantip pada akhir alur cerita ini, seperti kutipan di
bawah ini.
“Kalau menurut kamu, apa arti kata priyayi itu,
Tip?
Saya tidak segera menjawab. Saya menundukkna
kepala Kemudian saya menjawab dengan tetap
menundukkna kepala. “Sesungguhnya saya tidak
pernah tahu, Pakde. Kata itu tidak terlalu penting
lagi bagi saya.”
Sebenarnya rumusan, kedudukan, dan wujud
priyayi dalam masyarakat Jawa yang terus-menurus
Lee Yeon, Kepriyayian dalam Karya Sastra: Berkaca Pada Para Priyayi Karya Umar Kayam146
mengalami transisi sehingga tidak terlalu mudah
didefinisikan ke satu kalimat. Sebagaimana hal
yang telah ditunjuk Bakti Soemanto, Umar Kayam
memaparkan pertanyaan, yaitu “apakah yang
dimaksudkan dengan priyayi?” pada para pembaca
melalui Noegroho dan dia juga menyajikan
jawabanan sendiri melalui Lantip, seperti bahwa
“Sesungguhnya saya tidak pernah tahu, Pakde. Kata
itu tidak terlalu penting lagi bagi saya.” Menurut
pandangan Umar Kayam, arti harfiah atau arti
duniawi kepriyayian tidak terlalu penting. Sedang
pertanyaan yang ingin dipaparkannya ternyata
adalah bahwa “apakah yang diharapkannya dengan
priyayi?” serta apakah arti terdalam dari priyayi.”
Terhadap pertanyaan tersebut, jawaban pun juga
diberikannya, melalui pidato Lanti seperti berikut.
Embah Kakung ingin pamit berjalan ke rahmatullah dengan membagi warisan yang berupa semangat kerukunan dan persaudaraan kepada anak dan cucu serta cicitnya. Embah Kakung tidak meninggalkan atau mewariskan benda-benda keduniawian yang kemilau yang banyak di duga orang akan dapat membanggakan keluarga besar ini. Embah Kakung ternyata tidak pernah melihat benda-benda keduniawian itu sebagai yang terpenting bagi anak, cucu, dan cicitnya. Beliau menganggap semangat kerukunan dan persaudaraan itulah yang terpenting bagi keturunannya, bagi masyarakat, karena semangat itulah yang akan terus mampu membuat kita tumbuh sebaik-baiknya sebagai masyarakat yang melaksanakan tugas Allah di dunia fana ini.
Dengan pidato Lantip di atas, Umar Kayam
mengungkapkan bahwa yang lebih penting dalam
kepriyayian itu bukan dari kehidupan-luar yang
terpandang atau kewibawaan serta kekuasan yang
dimilikinya, melainkan pada unsur-dalam kepriyayian
itu sendiri yaitu mental kepriyayian. Dalam Para
Priyayi Umar Kayam sangat menitikberatkan pada
kepriyayian yang berupa semangat priyayi sebagai
jiwa yang harus dipertahankan. Penekanan pada
kepriyayian yang harus tetap dipertahankan tersebut
mencolok dalam karya itu, terutama pidato Lantip
ketika menyampaikan jasa Sastrodarsono seperti
kutipan di bawah ini.
Embah Kakung mulai menanam bibit-bibit pertama dari keluarga besar ini. Seperti juga pohon nangka yang baru roboh itu, Embah Kakung ingin melihat keluarga besar ini tumbuh kukuh, kuat, dan berisi galih, lapisan kayu yang paling dalam dan keras. Adapun galih, bagian kayu yang paling keras yang ingin beliau kembangkan dan tumbuhkan itu adalah semangat, nilai mengabdi dari priyayi kepada orang banyak, kepada masyarakat luas.
Dalam kutipan di atas galih dapat ditafsirkan
secara implisit, yaitu merupakan sebuah simbol dari
kepriyayian dalam masyarakat Jawa. Hal ini sangat
mungkin dijadikan karena pada awal cerita novel
ini Umar Kayam menggambarkan mengenai gali
tersebut, seperti “Ya, itulah Wanagali. Kota yang
karena dikepung oleh hutan dan kemudian hutan
jati mendapatkan namanya sebagai wana yang
berarti hutan dan galih berarti bagian terdalam
dan terkeras dari kayu. Kota itu sesungguhnya
hidup dari kayu jati. Setidaknya dulu.”Dengan
memperhatikan kutipan tersebut, terdapat juga
suatu makna dari galih itu, yaitu Umar Kayam
mencoba menyampaikan bahwa kepriyayian dalam
masyarakat Jawa merupakan bagian keras dan
bagian-dalam untuk menunjang perkembangan
serta pertumbuhan masyarakat seperti halnya
galih dalam pohon. Dengan kata lain, Umar
Kayam mengisyaratkan bahwa sebagaimana kota
Wanagalih yang hidup dari galih, masyarakat Jawa
pun pada dasarnya telah hidup dari kepriyayian, atau
semangat priyayi dulu, dan juga sangat mungkin
akan dapat hidup darinya.
SIMPULAN
Karya sastra dapat dikatakan sebagai tanggapan
evaluatif pengarang atas kondisi sosial-kultural
masyarakatnya. Maka tidak mengherankan jika
terdapat tidak sedikit pengarang yang berlatar
budaya Jawa memasukkan unsur budaya Jawa,
khususnya nilai kepriyayian ke dalam karyanya.
Meskipun kepriyayian dalam karya sastra bukan
cerminan yang utuh dari kepriyayian yang nyata,
tidak dapat disangkal bahwa kepriyayian di dalam
karya sastra merupakan sebuah perwujudan yang
berdasarkan pada kepriyayian dalam kenyataan
sekaligus meliputi pandangan dan tafsiran
JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 147
pengarang terhadap kepriyayian. Dalam hal ini yang
menarik adalah bahwa kepriyayian yang terwujud
dalam karya-karya itu terlihat kompleks yaitu,
mengandung cukup banyak aspek. Dalam novel
Para Priyayi dunia kepriyayian diungkapakan sebagai
sesuatu yang sangat baik. Dalam novel tersebut
sangat ditekankan masalah kehalusan, penjagaan
harga diri, ikatan pada seni alus, dan pada moral
kepriyayian. Dari hasil yang telah dianalisis dalam
penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa kepriyayian
yang terwujud dalam Para Priyayi mengungkapkan
perihal citra priyayi yang sesungguhnya diidolakan
oleh Umar Kayam sendiri. Kenyataan ini dapat
ditemukan secara jelas dalam citra tokoh priyayi
yang terungkap dalam karya itu. Tidak dapat
disangkal bahwa tokoh priyayi dalam novelnya
digambarkan sangat wajar. Akan tetapi, pada sisi
lain, tokoh priyayi tampak lebih dekat pada suatu
citra priyayi yang diidam-idamkannya daripada
priyayi yang hidup secara nyata. Dengan kata lain,
Umar Kayam tidak hanya menggambarkan priyayi
dengan sewajar-wajarnya, tetapi juga sekaligus
menonjolkan sifat atau karakter priyayi yang ingin
ditekankannya.
DAFTAR PUSTAKA
Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra
– Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Geertz, Clifford. 1981. Santri, Abangan, Priyayi dalam
Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.
Geertz, Hildred. 1983. Keluarga Jawa. Jakarta:
Penerbit Grafiti Pers.
Hardjowirogo, Marbangun. 1995. Manusia Jawa.
Jakarta: PT Hastama.
Junus, Umar. 1985. Dari Peristiwa ke Imajinasi – wajah
Sastra dan Budaya Indonesia. Jakarta: Penerbit
PT Gramedia.
Kartodirdjo, Sartono, et. al. 1993. Perkembangan
Peradaban Priyayi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Kayam, Umar. 1981. Seni, Tradisi, Masyarakat.
Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.
_______. 1984. “Tentang Proses Penulisan Saya.” Dua
Puluh Sastrawan Bicara. Jakarta: Penerbit Sinar
Harapan.
_______. 1989. “Tranformasi Budaya Kita .”
Yogyakarta: UGM Press.
_______. 1995. Sri Sumarah dan Bawuk. Jakarta:
Pustaka Utama.
_______. 1995. Para Priyayi. Jakarta: PT Pustaka
Utama Grafiti.
Lombard, Denys. 1996. Nusa Jawa: Silang Budaya I.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Mulder, Niels. 1973. Kepribadian Jawa dan Pembangunan
Nasional. Yogyakarta: Gadjah mada University
Press.
Niels, R. van. 1984. Munculnya Elit Modern Indonesia.
Jakarta: Pustaka Jaya.
Suseno, Franz Magnis. 1985. Etika Jawa. Jakarta:
PT Gramedia.
Teeuw, A. 1989. Sastra Indonesia Modern I. Jakarta:
Pustaka Jaya.
Vltchek, Andre dan Indira, Rossie. 2006. Saya
Terbakar Amarah Sendirian: Pramoedya Ananta
Toer dalam Perbincangan dengan Andre. Vltchek
& Rossie Indira, Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia.
PENDAHULUAN
Fungsi sastra sebagai usaha mendidik dan
menghibur (dulce et utile), sebagaimana yang
dipesankan Horatius, pada hakikatnya menanamkan
nilai-ni lai kemanusiaan dengan cara yang
menyenangkan. “Seniman bertugas untuk docere dan
delectare, memberi ajaran dan kenikmatan; sering kali
ditambah dengan movere, menggerakkan pembaca
ke kegiatan yang bertanggung jawab; seni harus
menggabungkan sifat utile dan dulce, bermanfaat
dan manis” (Teeuw, 1988:51) Guna memenuhi
tuntutan itu, seniman—sastrawan mengolah fakta
menjadi fiksi. Maka, di sana, dalam karya sastra,
ada peristiwa faktual yang dikemas jadi fiksional,
di dalamnya ada pula tersimpan pesan etik, moral,
bahkan juga ideologi. Oleh karena itu, membaca
karya sastra ibarat menikmati panorama alam yang
indah, dan pada saat yang sama, ada penyadaran
bahwa di balik keindahan panorama alam itu,
ada pesan tersembunyi, agar kita mensyukuri dan
menjaga keharmonisannya. Lalu, apa maknanya
segala peristiwa itu?
Beginilah sastra. Teks sastra yang eksplisit
itu, menyimpan pesan implisit. Salah satu tugas
pembaca adalah menemukan pesan implisit itu,
menafsirkan, dan memaknainya sesuai dengan
pengalaman membaca masing-masing. Periksa
PENDIDIKAN SASTRA DAN PEMBENTUKAN KARAKTER
Maman S Mahayana
Universitas Indonesia
Abstract: As stated by Horatius, literature is functioned to entertain and educate. In terms of educating, literature develops humanism values delightfully. When the literature integrated in education field, especially for character building through literature, this issue will be very interesting to be discussed further. This article is aimed to discuss the role of literature in building the students’ character at schools. The best thing to be done by the language and literature teachers is teaching literary appreciation, rather than teaching the theory of literature and the knowledge on literature. Because through literary appreciation, the students are engaged in discussing the humanism values found in literary texts. Besides that, the students are forced to get the meaning of every single text. If the teachers have done this activity, the success of character building will be achieved easier through the teaching of literature.
Keywords: Caharacter Building, Literary Appreciation, Literary Teaching
Abstrak: Sebagaimana yang dipesankan Horatius, sastra mempunyai dua fungsi, yakni menghibur dan mendidik. Dalam konteks mendidik, sastra pada hakikatnya menanamkan nilai-nilai kemanusiaan dengan cara yang menyenangkan. Ketika hal ini ditarik ke dunia pendidikan kita saat ini, terutama untuk pendidikan karakter melalui pembelajaran sastra tentu menjadi sangat menarik untuk diperbincangkan lebih jauh. Artikel ini bertujuan untuk mendiskusikan tentang peran sastra dalam dunia pendidikan, dikaitkan dengan konteks pendidikan karakter di sekolah. Hal terpenting yang dapat dilakukan oleh guru dalam mengajarkan sastra di sekolah adalah tidak berkutat pada teori tentang sastra, dan pengetahuan tentang sastra, akan tetapi melalui apresiasi satsra. Karena melalui apresiasi sastra, siswa diajak berdialog tentang nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung dalam teks (sastra) dan didesak melakukan pemaknaan atas teks. Jika hal ini sudah dilakukan, pendidikan karakter melalui pengajaran sastra niscaya dapat diwujudkan.
Kata Kunci: Pendidikan Karakter, Pengajaran Sastra, Apresiasi Sastra
Maman S Mahayana, Pendidikan Sastra dan Pembentukan Karakter150
saja pesan tersembunyi Marah Rusli dalam Sitti
Nurbaya. Tokoh-tokoh yang ditampilkan di sana,
terkesan paradoksal. Maka, di balik paradoks
ketokohan Samsul Bahri yang pada awalnya tampak
cengeng, bisa tiba-tiba berubah menjadi sosok
pemberani. Lihatlah ketokohan Datuk Meringgih
yang brengsek. Ia pun kemudian berubah jadibegitu
heroik memimpin pemberontakan pajak (belasting) di
Minangkabau. Bukankah paradoks itu menyimpan
pesan moral dan problem nasionalisme? Bukankah
pemaknaan tentang pesan moral dan problem
nasionalisme itu lahir dari sebuah tafsir? Lebih jauh
tentang pembahasan novel ini, periksa Maman S
Mahayana (2007), “Nasionalisme Sitti Nurbaya,”
dalam Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia.
Contoh lain dapat kita telusuri pada tokoh-
tokoh novel Belenggu, karya Armijn Pane. Posisi
Sukartono pun paradoksal. Profesi Tonosebagai
dokter,begitudihormati masyarakat. Tetapi tokh,
perselingkuhan Tono—Yah berlangsung baik-
baik saja. Rohayah yang pelacur, yang dalam
pandangan publik sebagai sampah masyarakat,
profesi hina-dina, berhasil ‘menaklukkan’ suami
seorang aktivis; seorang dokter dengan reputasi
terhormat. Begitulah sastra. Selalu di sana tersimpan
begitu banyak pesan tersembunyi. Ketika pembaca
berhadapan langsung dengan teks sastra, kerap
dijumpai pesan-pesan tersembunyi. Dengan begitu,
memungkinkan lahir makna-makna baru lewat
proses penafsiran baru yang lebih kontekstual; yang
lebih sesuai dengan perkembangan zaman. Dalam
konteks pemaknaan pembaca, pesan-pesan yang
tersembunyi itulah yang dimaksudkan pengarang
sebagai tawaran berdialog antara teks dan pembaca.
Dalam proses dialogis itu, sastrawan menawarkan
pesan etik, moral, dan ideologi, dan pembaca
membuka diri untuk menerima, menolak atau
bahkan mempertanyakannya. Ketika karya sastra
dipublikasikan atau diterbitkan, seketika pengarang
menyerahkan sepenuhnya pemaknaan karya itu
kepada masyarakat pembaca.
Di situlah dimulainya tawaran dialogis di satu
pihak dan pemaknaan pembaca di pihak yang
lain. Jika tawaran itu dengan pesan yang bersifat
memaksa, ia masuk sastra propaganda, seperti yang
banyak disuarakan pada kesusastraan Indonesia
zaman Jepang dan tahun 1965-an lewat puisi-
puisi sastrawan Lekra. Sebaliknya, jika tawaran itu
cenderung sangat lunak lantaran niatnya hendak
menekankan aspek hiburan, ia masuk kategori sastra
populer yang semangatnya mengeruk keuntungan
dengan menjual hiburan murahan. Dalam sastra
populer, terjadi pengharaman ambiguitas, sebab
memang pesannya mengejar makna tunggal.
Artikel ini bertujuan untuk mendiskusikan lebih
jauh tentang peran sastra dalam dunia pendidikan,
dikaitkan dengan konteks pendidikan karakter di
sekolah. Hal ini penting untuk didiskusikan secara
serius, karena karakter atau kepribadian bangsa
sudah semakin bergeser dari jiwa dan nilai kebaikan.
Di samping itu, pendidikan karakter yang saat ini
sedang didengungkan oleh banyak pihak masih
terhalang “tembok besar” dalam implementasinya,
karena minim contoh, bahkan guru sendiri banyak
yang tidak menjadi contoh atau idola siswanya.
Oleh karena itu, artikel ini mencoba memberikan
alternatif implementasi pendidikan di sekolah
melalui pembelejaran sastra.
PEMBAHASAN
Pembelajaran Bahasa (dan Sastra) Indonesia
di Sekolah
Sastra yang baik, berada di antara kedua sisi
itu. Ia menghibur, sekaligus juga memberi pelajaran.
Dengan cara itu, pesannya yang secara tersirat
hendak menggugat atau memberi penyadaran
kepada pembaca, justru dihadirkan lewat usaha
pembaca melakukan tafsir atas karya itu. Jadi,
makna karya itu sebenarnya muncul dari penafsiran
pembaca.
Kini, boleh kita bertanya: bagaimana kaitan
sastra dengan dunia pendidikan? Dengan atau
tanpa pendidikan—pengajaran sastra di sekolah
sekalipun, sebenarnya fungsi sastra tetap tersimpan
rapi di dalam teks sastra. Jadi, karya itu baru punya
makna, jika ada pembacanya. Oleh karena itu, jika
memang pendidikan sastra hendak membentuk
kepribadian—yang dalam bahasa kerennya,
membangun moral bangsa—tak bisa lain, posisi
guru dan siswa, terlebih dahulu harus ditempatkan
sebagai pembaca. Dengan begitu, siswa dan guru
JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 151
dapat memainkan peranannya sebagai penafsir dan
pemberi makna. Pertemuan antara (teks) sastra
dan (siswa dan guru) sebagai pembaca, mesti
ditempatkan pada urutan yang paling utama: mutlak
dan penting! Sekali lagi penulis tegaskan: tidak dapat
lain, pertemuan antara (teks) sastra dan (siswa—
guru) sebagai pembaca, mutlak dan penting!
Tetapi apa yang terjadi selama ini dalam
pengajaran sastra di sekolah? Di sinilah sesungguhnya
akar masalah dalam sistem pendidikan—pengajaran
sastra kita. Pertemuan antara (teks) sastra dan (siswa)
pembaca, dalam sistem pengajaran sastra di sekolah
selama ini cenderung jauh panggang dari api. Siswa
lebih kerap dijejali dengan berbagai pengetahuan
teoretis. Pelajaran sastra jadinya lebih banyak
dibebani dengan semangat mengajari pengetahuan
tentang sastra dan teori sastra, dan bukannya usaha
menciptakan ruang dialog antara siswa (pembaca)
dan teks (sastra) melalui pertemuan antara teks dan
siswa—guru yang membaca.
Bagaimanapun juga, dalam pendidikan—
pengajaran sastra, peranan guru amat sangat
menentukan berhasil atau tidaknya pengajaran sastra
di sekolah. Tetapi, dalam banyak kasus, guru dan
siswa sering kali tidak bertindak sebagai pembaca.
Jika tidak terjadi pertemuan antara teks sastra dan
guru—siswa, bagaimana mungkin tafsir dapat
dilakukan, pemaknaan dapat dihadirkan? Jika saja,
guru dan siswa dapat berperan sebagai pembaca,
maka pemaknaan atas sebuah atau sejumlah karya
sastra akanbergerak laksana spiral; terus-menerus
makna itu tiada henti akan direproduksi. Dengan
begitu, dunia pendidikan punya kesempatan
yang begitu luas untuk menumbuhkan kecintaan
terhadap sastra, meningkatkan pemahaman
apresiatif atas karya,dan dapat pula digunakan
untuk mengembangkandan menanamkan nilai-
nilai kemanusiaan sebagaimana yang ditekankan
sebagai tujuan kurikulum. Bukankah itu yang
dimaksudkan pendidikan sastra Indonesia sebagai
wadah pembentukan kepribadian?
Sebagaimana telah disebutkan tadi, pemberi
makna atas karya sastra dan reproduksi tentang
makna, tumbuh subur di dunia pendidikan apabila
tercipta pertemuan teks dan siswa selaku pembaca.
Jadi, penting artinya pertemuan teks (karya) dengan
siswa (pembaca) agar terus berlahiran pemaknaan
atas karya sastra. Tetapi, jika tidak terjadi pertemuan
itu, pesan moral, etik, ideologi dan nilai-nilai
kemanusiaan itu, hanya akan menjadi artefak beku
tak bermakna. Segala macam pesan yang terdapat
dalam teks sastra akan tetap tersimpan rapi, terkunci
di lemari besi, jika tak ada yang coba mengungkap,
memberinya makna, dan mereproduksi makna-
makna itu. Lalu, bagaimana pula kita berharap,
bahwa pendidikan sastra Indonesia dapat berfungsi
sebagai wadah pembentukan kepribadian, jika
guru dan siswa tak bersentuhan langsung dengan
karyanya? Di sinilah dunia pendidikan—pengajaran
sastra memegang peranan penting jika memang
hendak mencapai tujuan itu. Sekadar contoh kasus,
yang ‘menghidupkan kembali’ Chairil Anwar dalam
dunia pendidikan kita, tidak lain adalah para guru
sastra. Tanpa peranan mereka dalam pengajaran
sastra, nama Chairil Anwar akan lebih dikenal
di kalangan sastrawan belaka, sebagaimana yang
terjadi pada banyak nama sastrawan Indonesia yang
namanya cuma tercatat dalam buku sejarah sastra
atau buku leksikon sastra, lantaran karya-karyanya
tidak pernah dibincangkan dalam pengajaran sastra
di sekolah
Betapa besarnya peranan pendidikan—
pengajaran sastra di sekolah, dapat kita lihat dari
fenomena yang terjadi sekarang ini. Sebagaimana
sudah disinggung di awal, salah satu problem
pengajaran sastra di sekolah adalah minimnya waktu
yang memungkinkan terjadinya pertemuan langsung
antara siswa dan teks sastra. Sekadar mengingatkan
kembali: apresiasi sastra di sekolah telah menjelma
menjadi pengajaran tentang sastra. Akibatnya, siswa
tidak didesak untuk bercengkerama dengan (teks)
sastra, melainkan dijejali pengetahuan sastra. Pada
gilirannya, siswa lebih menguasai konsep-konsep
tentang pengetahuan dan teori sastra, tetapi terlalu
sedikit mereka berhubungan langsung dengan karya
sastra.
Di samping itu, ada pula persoalan lain
yang tanpa disadari, sudah menjadi semacam
paradigma dalam pengajaran sastra di sekolah,
yaitu problem sejarah kesusastraan Indonesia yang
dalam beberapa hal, masih tersesat. Jadi, ada dua
persoalan besar yang terjadi dalam pengajaran sastra
Maman S Mahayana, Pendidikan Sastra dan Pembentukan Karakter152
di sekolah. Pertama, seperti sudah disinggung,
pengajaran sastra telah berubah menjadi pelajaran
tentang pengetahuan sastra, bukan pelajaran yang
menitikberatkan pada apresiasi. Akibatnya, segala
macam pengetahuan tentang sastra, konsep-konsep
dan teori sastra menjadi alat yang efektif untuk
membuat soal-soal ulangan yang jawabannya cukup
dengan menghitung kancing: (a), (b), (c), (d), dan
(e). Dalam kondisi seperti itu, Ujian Nasional yang
pola pertanyaan dengan jawaban yang menghitung
kancing tadi, ditempatkan sebagai tujuan mulia
mata-mata pelajaran yang diujikan, termasuklah di
sana menyempil soal-soal yang berkaitan dengan
pelajaran sastra.
Peminggiran materi pelajaran sastra yang
senantiasa terdesak oleh pelajaran bahasa Indonesia
bernasib lebih buruk lantaran buku-buku pelajaran
sastra dan terutama sejarah sastra Indonesia
sejak awalnya sudah dikerangkeng dengan cara
berpikir Neerlandocentris. Inilah problem kedua
pengajaran sastra di sekolah. Sejarah telah mencatat,
bahwa buku-buku sebagai bahan pendidikan
dan pengajaran sastra dalam perjalanan bangsa
Indonesia sejak awalnya lebih banyak dikuasai oleh
para penulis Belanda. Oleh karena itu, diperlukan
dua langkah besar yang harus dilakukan, yaitu
(1) menitikberatkan pelajaran sastra dengan
menekankan pada apresiasi sastra, dan (2) segera
melakukan revisi tentang sejarah sastra Indonesia.
Lewat apresiasi sastra, siswa diajak berdialog
tentang nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung
dalam teks (sastra). Siswa didesak melakukan
pemaknaan atas teks. Di sini, tafsir atas teks sebagai
pintu masuk membangun dialog, mempertahankan
makna atas tafsirnya sendiri dan menggugat tafsir
lain mungkn berbeda. Pelajaran sastra dapat
berubah menjadi ajang perdebatan yang demokratis.
Bahwa pengetahuan sastra itu penting, tentu
saja penting, tetapi tidak harus menjadi bagian
utama dalam pelajaran sastra. Pengetahuan sastra
sekadar pelengkap yang fungsinya untuk memberi
pemahaman lebih lengkap atas sebuah teks sastra.
Mengenai pelajaran bahasa (dan sastra)
Indonesia di sekolah, lebih dari sepuluh windu yang
lalu, Sutan Takdir Alisjahbana sudah mengingatkan,
betapa akan lebih banyak sia-sianya jika pelajaran
bahasa Indonesia berkutat pada tata bahasa.
Berikut penulis kutip pernyataan Sutan Takdir
Alisjahbana.
Pengadjarannja jang menghamba kepada gramatika bahasa jang dipakai, ketika nenek mojang kita masih berdjalan kaki dan naik bidoek jang rapoeh itoe, mematikan segala minat kepada bahasa. Tjara mengadjarkan jang tiada bersemangat, jang semata-mata mengisi kepala dengan tiada memperdoelikan semangat kanak-kanak, dalam segala hal mematikan kegembiraan kepada bahasa.
Boekoe batjaan, boekoe ilmoe bahasa!.…
Bahasa jang sepatoetnja diadjarkan disekolah oentoek dipakai dalam penghidoepan mendjadi sesoeatoe jang sengadja diadjarkan semata-mata untuk sekolah itoelah.
Jika pelajaran bahasa Indonesia dalam dunia
pendidikan kita hingga kini masih berkutat pada
materi tata bahasa—yang dikatakan Alisjahbana
“mematikan kegembiraan kepada bahasa”,
bagaimana pula kita mengharapkan, pendidikan
sastra Indonesia dapat dijadikan sebagai wadah
pembentukan kepribadian, sebagaimana yang
diisyaratkan pada judul makalah ini? Tentu
saja segalanya serba mungkin, sejauh segenap
aparat pendidikan (sastra) punya semangat untuk
mewujudkan tujuan ideal itu. Maka, tidak dapat
lain, pelajaran sastra Indonesia di semua peringkat
sekolah (setidak-tidaknya di SMP dan SMA)—
yang dalam semangat Kurikulum 2013—sebagai
“Perubahan Mindset” perlu diganti dengan
Pelajaran Apresiasi Sastra.
Pembelajaran Apresiasi Sastra
Sebagai Pelajaran Apresiasi Sastra, yang
pertama dan paling utama dilakukan guru adalah
menceburkan siswa pada lautan karya sastra (puisi,
prosa, drama) Indonesia. Pertemuan siswa dengan
teks (sastra) memungkinkan banyak hal dapat
dilakukan. Sebagai contoh, perhatikan kutipan teks
di bawah ini:
Air Selokan
“Air yang di selokan itu mengalir dari rumah sakit,” katamu pada suatu hari Minggu pagi. Waktu itu kau berjalan-jalan bersama istrimu yang sedang mengandung—ia hampir muntah karena bau sengit itu.
JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 153
Dulu di selokan itu mengalir pula air yang digunakan untuk memandikanmu waktu kau lahir: campur darah dan amis baunya.
Kabarnya tadi sore mereka sibuk memandikan mayat di kamar mandi.
+
Senja itu ketika dua orang anak sedang berak di tepi selokan itu, salah seorang tiba-tiba berdiri dan menuding sesuatu: “Hore, ada nyawa lagi terapung-apung di air itu—alangkah indahnya!” Tapi kau tak mungkin lagi menyaksikan yang berkilau-kilauan hanyut di permukaan air yang anyir baunya itu, sayang sekali.
Boleh jadi, guru dan siswa tidaklah terlalu
sulit memahami teks di atas. Kalaupun sulit
dipahami siswa, tugas gurulah untuk menjelaskan
makna tekstual. Berdasarkan teks “Air Selokan”
itu, pembelajaran sastra bisa dimulai dengan
mengajukan beberapa pertanyaan:
(1) Teks di atas berupa cuplikan puisi atau cerpen?
Dari pertanyaan ini saja, ruang untuk diskusi
terbuka lebar. Guru bisa memulainya dengan
menjelaskan konsep puisi, cerpen (dan drama);
konsep konvensi dan inovasi dan konsep lain
yang berkaitan dengan teks di atas.
(2) Siswa diminta menjelaskan makna tekstual
dan makna kontekstual; bahasa denotatif
dan konotatif; sastra dan nonsastra, dan
seterusnya.
(3) Pertanyaan-pertanyaan lain dapat dikembang-
kan sesuai situasi di dalam kelas.
Paparan tadi sekadar contoh, betapa pentingnya
interaksi siswa-guru dengan teks langsung. Setelah
itu, barulah menjelaskan konsep-konsep yang
berkaitan dengan teks tadi, termasuk penjelasan
tentang pengarang dan posisinya dalam perjalanan
sastra Indonesia. Selain itu, kesempatan guru
memberi tugas kepada siswa untuk (1) mencari
teks sejenis, (2) membuat esai tentang apresiasi
siswa terhadap teks itu, (3) membuat esai lain yang
berkaitan dengan pesan yang tersimpan dalam teks
itu. Bukankah dengan cara demikian, pembelajaran
sastra jadi bisa lebih hidup? Bukankah diskusi
tentang teks itu dapat membangun sikap demokratis
dan saling menghargai pendapat pihak lain yang
mungkin berbeda?
Persoalan yang sering dikeluhkan guru sastra,
salah satunya adalah tiadanya bahan pembelajaran.
Bukankah setiap minggu di berbagai surat
kabar selalu muncul puisi dan cerpen? Jika tidak
menggunakan puisi atau cerpen yang dimuat surat-
surat kabar, guru bisa memanfaatkan cerita rakyat
yang bertebaran di sekeliling kita. Dengan begitu,
tidak ada alasan lagi bagi guru berkeluh-kesah
tentang langkanya bahan pembelajaran sastra.
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis
berkeyakinan, bahwa pelajaran sastra yang
menekankan pertemuan teks (sastra) dengan siswa
—guru, jauh lebih berpeluang menanamkan nilai-
nilai daripada menjejali dan membebani siswa
dengan teori-teori. Maka, harapan pendidikan sastra
sebagai wadah pembentukan kepribadian, bukanlah
harapan yang mengada-ada. Bukankah semangat itu
sejalan dengan fungsi sastra yang coba menawarkan
utile dan dulce, ditambah movere, yaitu menggerakkan
pembaca ke kegiatan yang bertanggung jawab?
Atas dasar pemikiran itu, jika benar kurikulum
apa pun namanya, bertujuan “membawa insan
Indonesia memiliki kompetensi sikap, pengetahuan,
dan keterampilan sehingga dapat menjadi pribadi
dan warga negara yang produktif, kreatif, inovatif,
dan afektif ” maka salah satu langkah besar yang
harus dilakukan adalah mengubah pelajaran sastra
menjadi pelajaran apresiasi sastra!
SIMPULAN
Dari uraian di atas, dapat ditarik sebuah benang
merah pentingnya pembelajaran sastra di sekolah
untuk mendukung pendidikan karakter. Karena
jelas bahwa fungsi sastra tidak hanya menghibur
(dulce et utile), akan tetapi yang lebih penting adalah
sebagai usaha mendidik. Karena pada hakikatnya,
sastra menanamkan nilai-nilai kemanusiaan dengan
cara yang menyenangkan. Oleh karena itu, pelajaran
sastra di sekolah tidak boleh menjadikan siswa
terbebani dengan semangat mengajari pengetahuan
tentang sastra dan teori sastra, dan bukannya usaha
menciptakan ruang dialog antara siswa (pembaca)
dan teks (sastra) melalui pertemuan antara teks dan
siswa—guru yang membaca. Hal ini akan berbeda
Maman S Mahayana, Pendidikan Sastra dan Pembentukan Karakter154
jika guru mengajarkan sastra melalui apresiasi sastra.
Dimana siswa diajak berdialog tentang nilai-nilai
kemanusiaan yang terkandung dalam teks (sastra)
dan didesak melakukan pemaknaan atas teks. Jika
hal ini sudah dilakukan, pendidikan karakter melalui
pengajaran sastra niscaya dapat diwujudkan.
DAFTAR PUSTAKA
Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori
Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya
Luxemburg, Jan van., Bal, Mieke., dan Weststeijn,
Willem G. 1989. Tentang Sastra. Diterjemahkan
oleh Achadiati Ikram, Jakarta: Intermasa.
Maman S Mahayana. 2005. Sembilan Jawaban Sastra
Indonesia. Jakarta: Bening Publishing.
Maman S Mahayana. 2007. Nasionalisme Sitti
Nurbaya,” dalam Ekstrinsikalitas Sastra
Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sutan Takdir Alisjahbana. 1933. Pengadjaran Bahasa
Poedjangga Baroe, No. 2, Th. I, Agoestoes
1933, hlm. 33—35.
INTEGRATING CASE BASED LEARNING IN ESP COURSE:
A CASE STUDY AT STKIP PGRI PONOROGO
IN THE ACADEMIC YEAR OF 20142015
Ratri Harida
STKIP PGRI Ponorogo
Abstrak: Sebagai salah satu mata kuliah wajib untuk mahasiswa pendidikan bahsa Inggris, mata kuliah ESP harus ditujukan untuk mempersiapkan mereka untuk tugas profesional mereka dalam kelas ESP mereka di masa datang. Studi ini difokuskan pada penerapan pembelajaran berbasis kasus pada mata kuliah ESP di STKIP PGRI Ponorogo. Studi ini meliputi rencana pembelajaran, materi instruksional dan media, aktivitas instruksional, dan cara mengukur tingkat pemahaman mahasiswa. Pembelajaran berbasis kasus melibatkan mahasiswa untuk menyelidiki, mengkomunikasikan, dan memberikan solusi praktis untuk diterapkan pada suatu kasus. Studi ini menggunakan desain deskriptif qualitatif untuk mengidentifikasi dan mennggambarkan fenomena pengintegrasian pembelajaran berbasis kasus pada mata kuliah ESP di STKIP PGRI Ponorogo. Data didapatkan dari wawancara, observasi, dan studi dokumen. Data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan metode triangulasi pembelajran berbasis kasus merupakan aktifitas pendamping untuk aktifitas ceramah. Case base learning is an augment activity for traditional lecturing activity. Pembelajran menggunakan kasus meningkatkan kemampuan berfikir tinggi dan membantu mahasiswa untuk menghadapi bebrbagai konteks pembelajaran ESP. Pembelajran ini juga mendorong mereka untuk mendesain atau mengembangkan secara kritis sebuah pembelajaran ESP yang disesuaikan dengan analisis kebutuhan.
Kata Kunci: Pembelajaran Berbasis Kasus, Matakuliah ESP, Calon Guru
Abstract: As one of the compulsory courses offered for the pre-service teacher, ESP course must aimed to prepare the students for professional tasks in future ESP class. The study is focused on the implementation of the teaching of ESP which integrates case based learning in STKIP PGRI Ponorogo. The study covers the lesson plan, the instructional materials and media, the instructional activities, and the assessesment. Case base learning is a kind of learning activity in which the students are asked to investigate, communicate and establish possible practices for the case. This study employed a descriptive qualitative design to identify and describe the overall phenomena of the integration of the teaching of ESP with case –based learning in STKIP PGRI Ponorogo. The data were gained from interview, observation, and documents. The data then analyzed using triangulation method. Case base learning is an augment activity for traditional lecturing activity. Learning through cases also promotes higher order thinking and help the students dealing with different context of ESP teaching. It also encourages them to critically design or develop an ESP course that meets the need analysis.
Keywords: Case-based Learning, ESP Course, Pre-service Teachers
Ratri H., Integrating Case Based Learning in ESP Course: A Case Study at STKIP PGRI Ponorogo in the Academic Year of 2014-2015156
INTRODUCTION
Generally ESP is commonly considered as
different section of ELT. In fact, ESP is part of
ELT, whereas the research of ESP is identified
as part of applied linguistic research. Practical
outcome is always being the main importance
in ESP. Need analysis, text analysis, and lesson
design for specific study or work task based on
the learners’ need are the main concerns of ESP.
English for specific Purposes (ESP) has become a
vital and innovative activity within TEFL/TESL
movement since 1960s. Globalization makes ESP
flourishes a new fertile land for the language teacher
especially as an ESP practitioner. As one of the
compulsory courses offered for the pre-service
teacher, ESP course must aimed to prepare the
students for professional tasks in future ESP class.
Zuocheng and Lifei’s (2011:18) said that appropriate
education for pre-service ESP teachers is essential
as they are main elements of ESP teaching and
learning process. Those pre-service teachers must
be introduces to different role between ESP and
EGP teacher. According to Dudley-Evans and St.
John (1998:13) ESP practitioner should play as
(1) a teacher, (2) a course designer and materials
provider, (3) a collaborator, (4) a researcher, and
(5) an evaluator. ESP teacher/practitioner multiple
roles cannot be easily taught in the college level with
only two credits hours. The suitable method must
be applied in the course to help the pre service
teacher experience all the roles of ESP practitioner
within limited time.
Basturkmen (2014:20) claims the researches
about ESP teacher’s education are not as much as
those of EGP teacher. Thus, choosing the suitable
teaching and learning method to link the reality and
theory of designing ESP course is rather difficult.
As a part of applied linguistics, an ESP course
must be able to connect the classroom learning
with professional experience (Brooks, Harris, and
Clayton, 2010:57). It is also in line with the National
Curriculum Framework (KKNI), in which the
pre-service teacher is highly demanded for their
knowledge and other soft skills. It also demands
that the students’ competence should link the need
of work field.
The study is focused on the implementation
of the teaching of ESP which integrates case based
learning in STKIP PGRI Ponorogo. Specifically, the
study cover the lesson plan designed by the ESP
lecturer for the teaching of ESP which integrates
the case based learning, the instructional materials
and media used by the ESP lecturer for the teaching
of ESP which integrates the case based learning,
the instructional activities in the teaching of ESP
which integrates the case based learning, and the
way the English teacher assesses the students’
achievement in the teaching of English which
which integrates the case based learning.
Since ESP is emphasized on more practical
outcome, the teaching methods in ESP should be
determined by the needs to motivate students to
achieve better outcomes in their studies Hutchinson
and Waters (2002). Such combination is highly
motivating because students are able to apply when
they learn in their English classes to real live. He
also said that ESP approach enhance the relevance
of what the students are learning and enables them
to use the English they know to learn even more
English, since their interest in their field will give
them motivation to interact with speakers and text.
ESP is English instruction based on actual and
immediate needs of learners of learners who have
to successful perform real life task unrelated to
merely passing an English class or exam. Designing
and teaching ESP is challenging especially for the
ESP practitioner and English language teacher in
general.
Plenty of researches show the use of case
based learning has in several areas of disciplines
(Chaplin, 2009;Pariseau and Kezim, 2007; Prince
and Felder, 2004; Whitehouse and McPherson,
2002; Styer, 2009; Thomas, 1993; Har jai and
Tiwari, 2009; McDade, 1995; Yadav et al. 2007;
Greenwood, and Lowenthal, 2005 in Brooks,
Harris, and Clayton,2010). Business English is a
part of ESP which mostly applied case-based-
learning (Wei, 2011:103-4). Case based learning is
a type of learning strategy that develop students’
active contribution as well as their ability to do
critical thinking, problem-solving, and decision-
making (DeSanto-Medeya, 2007 in Brooks, Harris,
JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 157
and Clayton, 2010). The use of case based learning
in teacher education program encourages the pre
service teacher to be more independent and critical
thinker.
Mauffette-Leenders cited in Jackson (2004:
214) defined the case in case-based teaching is
as a real description of actual event in which
somebody must overcome a problem by making
decision, experiment, chance. Wei (2011:98) states
that in case base learning the students are asked to
investigate, communicate and establish possible
practices for the case. This statement seems to
give similar description for case based and problem
based learning. According to Williamson and Chang
(2009) and Brooks, Harris, and Clayton (2010), the
difference between case-based and problem-based
learning the information presentation and the
main objective. The case based learning provides
thorough information initially, whereas the problem
based learning only provides limited information to
promote the students’ further interest to particular
learning objective. Case based is designed to
emphasize critical thinking and reflection on the
case. On the contrary, the problem based learning
focuses on dilemmas or problems found within
particular cases. Case based learning provides
sufficient examples of the ESP practices to face the
problems they will find upon leaving the college.
The use of cases to support a traditional lecture
format enable the students get through depiction
of the real application of ESP teaching, notice the
complexity of the affairs and conclude suitable
respond to be applied (Spackman and Camacho,
2009). The case based learning bridges the theory
with the final project and their future profession.
Extensive application of case based learning
in different fields is an indicator of its effectiveness.
Case based learning helps to develop the students’
critical and analytical reasoning skills and problem-
solving processes (Merseth, in Lee, Lee, Liu, Bonk
and Magjuka 2009). Those three skills are the
requirement for a professional teacher, especially
the ESP practitioner. They are needed to design
or develop an effective ESP course. Wua and
Badger (2009:20) states that teacher should be
able to decide any necessary actions to achieve the
course’s goal or overcome any problem within.
They cannot figure out the right decision if they
are not developing their critical and analytical
reasoning skills. Basturkmen (2010:x) also states
that the students can gain more understanding of
genuine cases by studying the experienced teachers/
course developers’ steps to overcome the problem
arouse in ESP course. Some important features to
be noticed in case-based learning is the selection
of case materials (Jackson,1998), different learning
objectives (Ellis and Johnson, 1994), and evaluation.
In the meantime, the relation between teacher and
students can influence case-based learning also. In
China, for instance, respect for teachers and their
wisdom is necessary to keep harmony (Liu, 2006: 8)
and this can make it more difficult for both students
and teachers to interact more effectively.
A research-based article by Wang Wei in 2011
shows the use of case-based learning in teaching
Business English in China. The case study research
also shows the integration of culture teaching
and case-based learning. Case-based study in
intercultural business communication serves as a
good example of how to integrate the three aspects
of capacity training based on the fact that this
communicative practice requires knowledge of the
subject matter (e.g. business negotiation, marketing),
the linguistic proficiency, and the strategies adopted
in the process. The major elements for teachers to
determine are activities and tasks, interaction, topic,
attitude and tones, mode of interaction and setting.
The second concern is the materials used in case
teaching. Teachers fully explore the sources available
for suitable case materials and even. Writing and
teaching one’s own case can motivate both teachers
and students and result in good learning outcomes.
Another important aspect associated with teacher
is management style and relation to students in the
case study. No matter what personality, background
a teacher possesses, he or she should manage the
case study in accordance with the needs of the
students. The communicative approach teaching
like case-based method should be employed despite
the cultural restraints in Business English teaching
in Chinese universities. Last but not least, the
Ratri H., Integrating Case Based Learning in ESP Course: A Case Study at STKIP PGRI Ponorogo in the Academic Year of 2014-2015158
teaching can be progressed with the improvement
of teachers themselves.
The second research is Impact of Case Study
Method on an ESP Business Course by Ozgur Ates,
Ph.D in 2012. The research shows that using the
case study learning, helped students to apply their
skills on decision making, critical thinking through
global business cases as well as improve their
English language skills. Methods of small group
activities, case studies and cooperative student
projects give the opportunity to actively participate
in the learning process by talking, reading, writing
and reflecting. Case-based learning enables students
to discover and develop their unique framework for
dealing with business problems.
METHOD
This study employed a descriptive qualitative
design The present study was aimed to identify and
describe the overall phenomena of the integration
of the teaching of ESP with case –based learning
in STKIP PGRI Ponorogo consisting of the lesson
plan designed by the ESP lecturer, the instructional
materials and media used by the lecturer, the
instructional activities conducted by the ESP
lecturer, and the way the ESP lecturer assesses the
students’ achievement in the form of words, rather
than numbers in detail. In this study, the data were
gained from interview, observation, and documents.
The data of this study were facts and information
of teachers’ activities on classroom practices. It
attempted to observe, describe, and interpret a
learning-teaching process in the classroom. Bogdan
and Biklen (1998:55) classify such research as a case
study. The data then analyzed using triangulation
method.
FINDINGS AND DISCUSSION
How the ESP Lecturer Designs the Lesson
Plan which is Integrated with Case Based
Learning
Based on the documentations of the lesson
plans made by the lecturer, it was found that
the lesson plans were based on the 2005 Course
Description issued by Department of English
Education STKIP PGRI Ponorogo and review of
ESP textbooks by Hutchison and Waters (1987),
and Basturkmen (2010). The course description and
the review were then interpreted in so called ESP
instructional analysis. The instructional analysis
showed one standard competence and three
basic competences for the course. The standard
competence of ESP course was to analyze the
application of ESP theories in practice. The basic
competences were students are able to understand
the theories of ESP, students are able to understand
the application of ESP theories in designing
a course, and students are able to identify the
application of ESP theories in particular cases. In
addition to the instructional analysis, the lecturer
also developed the ESP syllabus. The components
of the syllabus were course identity, standard
competence, basic competences, indicators, topic/
theme, method, time allotment, source, references,
and assessment. The components of lesson plan per
meeting were course identity, standard competence,
basic competence, indicators, topic/theme, and the
teaching and learning steps. The steps showed the
time allotment, learning steps, method, and material
(media included), and the type of assessment for
each meeting.
The findings showed that the lesson plans
designed by the lecturer cover all of the components
above which were interrelated with each other. The
standard of competence and the basic competence
were developed from the instructional analysis of
ESP course based on the 2005 Course Description
issued by Department of English Education
STKIP PGRI Ponorogo and review of ESP
textbooks by Hutchison and Waters (1987), and
Basturkmen (2010). The lecturer then formulated
the indicators and learning experiences based on
the basic competence. The learning experiences
were formulated by using action verbs that can be
used to identify the student behavior. The examples
of these action verbs are to identify, to mention, and to
define. Next, she stated the method and technique
that would be applied and she arranged the activities
that would be conducted during the learning and
teaching process. Besides, she also determined the
procedure of assessment.
JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 159
The integration of the case based learning
in the lesson plans was done in the section of the
learning experiences. The learning experiences were
formulated based on the indicators and the basic
competences taken from the syllabus. The learning
experiences which integrated the case based
learning were done on the last eight meetings after
the students had finished learning ESP theories.
The learning experiences which integrated the case
based learning were done for selected topic/theme
which were (1) case study in English for police, (2)
case study in English for medical doctor, and (3)
case study in English for thesis writing
The topics/themes that would be presented in
the learning-teaching activities were: (1) origin of
ESP, (2) development of ESP, (3) ESP: approach
not product, (4) course design, (5) language
description, (6) theories of learning, (7) need
analysis, (8) approaches to course design, (9) ESP
syllabus, (10) case study in English for police, (11)
case study in English for medical doctor, and (12)
case study in English for thesis writing. The topics/
themes were developed based on the instructional
analysis. The selected topics/themes were chosen to
provide the students with theoretical and practical
experiences for designing ESP course.
In the section of the learning activities in the
lesson plans, the integration of case based learning
was done on the last eight meetings by the activities
during the learning-teaching process. For example:
(1) doing class discussion to identify the language
description, learning theories, need analysis,
approach, syllabus, and material used in particular
ESP case; and (2) asking the students to do a project
on the ESP case they found in real life.
In short, it can be said that in designing the
lesson plans, the lecturer integrated the case based
learning in the instructional materials and in the
section of the instructional activities of the lesson
plans. The case based learning was implemented
for half semester. The lecturer still considered the
lecturing method necessary to give appropriate
basis for the students to do case based learning. the
case based method also used to bridge the theory-
lecturing with the completion of final project of
the course.
How the ESP Lecturer Selects the
Instructional Materials and Media for
the Teaching of ESP Course which is
Integrated with the Case Based Learning
The data of the teaching materials and media
were obtained from the interviews and observation
during the class. The data in terms of the teaching
materials were dealing with textbooks used by the
lecturer and other supplementary materials that
may support the learning-teaching process, while
the data of the use of media were obtained from
the observation during the class.
The Instructional Materials Selected by the
ESP Lecturer
From the observations conducted during
the teaching-learning activities and based on the
interview to the ESP lecturer, the data showed that
the ESP Lecturer at STKIP PGRI Ponorogo used
the textbooks as the main instructional materials.
Based on the interview to the ESP lecturer,
the criteria used to select the instructional materials
among others are: (1) the materials should be in
accordance with the syllabus; (2) the relevancy of
the materials; and (3) the materials are written in
relatively simple sentences. Based on these criteria,
the English teacher used two ESP textbooks as the
main instructional materials.
The first textbook was written by Tom
Hutchinson and Alan Waters entitled English for
Specific Purposes. The textbook was published in
1987by Cambridge University Press. It uses English
as the medium of instruction. The textbook is
on PDF format. The students were given the file
before the course starts. The lecturer gave it in PDF
format so that the students did not have to carry a
lot of textbook to the college and for the sake of
money and paper cutback.
The textbook is based on the research done
by Tom Hutchinson and Alan Waters. Even though
the textbook was dated back on the late 90-ies, it is
still used by many ESP researcher and practitioners
as their reference. It has four major section; (1)
what is ESP?, (2) course design, (3) application, and
(4) the role of ESP teacher. The first section has
three subsections: (1) the origins of ESP, (2) the
Ratri H., Integrating Case Based Learning in ESP Course: A Case Study at STKIP PGRI Ponorogo in the Academic Year of 2014-2015160
development of ESP, and (3) ESP: approach not
product. The second section has four subsections:
(1) language descriptions, (2) theories of learning,
(3) need analysis, and (4) approaches in course
design. The third section has five subsections: (1)
the syllabus, (2) material evaluation, (3) materials
design, (4) learning, and (5) evaluation. The fourth
section only has one subsection; orientation.
The book provides guidance to design an ESP
course based on learning-centered approach. The
approach concerns to how to make the people learn
ESP effectively. This book also provides challenges
and pleasures to be enjoyed and pitfalls to be avoided in
teaching ESP (Hutchinson and Waters, 1987:2).
According to the interview with the lecturer used
three sections and eleven subsections excluding
the evaluation subsection. Her reason to exclude
the evaluation subsection in her teaching was the
evaluation section could be better learnt through
case based learning. The language used in the
textbook is quite easy to understand. All of the
students have this textbook in form of PDF file.
The second textbook used was Developing Courses
in English for Specific Purposes by Helen Basturkmen..
It was published in 2010 by Palgrave Macmillan. The
textbook provides description on how ESP courses
are developed and designed for practical purposes.
The textbook aims to deepen the ESP teachers
and course developers’ understanding on need
analysis, specialist discourse, and ESP curriculum.
The textbook provides some examples of case
studies in relation to those three important aspects
of ESP. The textbook has two main parts beside
one additional part (introduction). The introduction
part has six parts; (1) Describing ESP, (2) Areas in
ESP, (3) Demands of teaching ES, (4) Effectiveness
of ESP, (5) Summary, and (6) Discussion. Part I
has three chapters. Chapter I introduces ESP by
examining definitions of ESP and the different
areas of work involved (such as English for
Academic Purposes and English for Professional
Purposes). It considers the demands that teaching
and developing ESP courses make on the teacher
and thus paves the way for the book, which aims to
provide teachers with the relevant knowledge and
skills for these tasks. Finally, the chapter considers
how ESP teaching promotes learning. Chapter
2 focuses on Needs Analysis and highlights its
importance in ESP. The chapter describes the
types of needs that are investigated and the role
of needs analysis in the course design process. The
chapter makes suggestions for how teachers and
course developers can set about investigating needs
and describes the types of information that are
collected. The chapter also describes ways teachers
and course developers can make use of published
needs analyses. Chapter 3 focuses on Investigating
Specialist Discourse. The chapter considers the
importance of descriptions of specialist discourse
in teaching ESP. It discusses the circumstances in
which course developers need to conduct their
own investigations and shows ways this can be
done. The chapter also makes suggestions for when
and how teachers and course developers can track
down and make use of published descriptions
of specialist discourse. Chapter 4 examines the
kinds of decisions teachers and course developers
make in designing a curriculum and developing
materials. It discusses when and why wide- and
narrow-angled ESP courses are developed and
how the results of a needs analysis can be used in
determining the curriculum. Part II presents four
ESP case studies (English for the Police, English
for Medical Doctors, Academic Literacies in Visual
Communication, and English for Thesis Writing).
Each case is discussed in relation to decisions made
and how the ESP course developers set about
analyzing needs, investigating specialist discourse
and determining the curriculum. The chapters in
the main body of the work end with discussion
questions. The questions encourage the reader to
draw on the concepts introduced in the chapter
in examining their own experiences and views of
teaching and learning, investigating ESP courses in
their own environments or developing small-scale
projects. Only three chapters were used as the
reference in the course. Those are English for the
Police, English for Medical Doctors, and English
for Thesis Writing. According to the lecturer, those
three cases are more familiar with the students’
knowledge background. The writer also gives clear
explanation and example of materials for each case.
JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 161
All of the students have this textbook in form of
PDF file.
Based on the observations and the interview
to the ESP lecturer, the book was used when she
reviewed the materials from the two main textbooks.
Since the theories are mostly discussed in the first
textbook, the lecturer decided to use the first
textbook in the first seven meetings. The second
textbook was used in the next seven meetings. The
second textbook was discussed to provide clearer
description to the student on how to make use of
the theory in particular cases. Three cases within the
textbook were discussed during the session. Those
three cases were chosen considerably based on the
logic that the cases were also happen in Indonesia.
The students were supposed to discuss the cases
on the basis of the need analysis instruments, need
analysis findings, course design approach, syllabus
type, language theory, learning theory, and material
selected. They started it by reading three cases of
ESP course taken from the main textbook. The
cases were English for Police Officer, English for
Medical Doctor, and English for Thesis Writing. A
brief summary findings based on the reading was
written by the students in group of three or four. In
the paper, they acted as if they were an experienced
ESP practitioner who designed a course for their
own ESP case. Each week, two groups of students
presented their findings on the same case to see the
depth of their case analysis. They were supposed to
write how the need analysis in the case was done,
and what and why particular language and learning
theory was applied. They also had to write how they
developed the materials and the assessment for
their own case. Their findings were crosschecked
with peer in a class discussion.
Based on the findings, the lecturer expected the
students to be more aware on how to design their
own ESP course design. The lecturer encouraged
the students to be a critical reader, especially when
they read the cases assigned.
The Instructional Media Used by the
English Lecturer
The data of this section were obtained from
the observation during the class. The observation
was conducted along with obtaining the data of
the teaching-learning activities. In this case, the
researcher observed what and how the teachers
used media in the classroom. Besides, the researcher
conducted informal interview with the lecturer
dealing with the use of media.
The data showed that the ESP teacher used
media in her learning teaching- processes to make
the teaching and learning process more meaningful.
The media she used were whiteboard, note book
and LCD projector. She used the whiteboard write
the topic to be discussed and for giving clearer
explanation on the theory. Meanwhile, note book
and LCD projector were used as a medium for
giving power point presentation.
Based on the observation the lecturer mostly
used note book and LCD projector more than
other media since they were very effective to
explain the theory. She made the PPT based on
the two textbooks and additional reference from
the internet. The data from observation revealed
that PPTs was used mostly to help the lecturer
explained the theory of ESP. The students usually
paid attention to the PPT slides and take-notes
on the teacher explanation. Occasionally, some
students got bored and yawned.
So, the media used by the lecturer are mostly
in form of whiteboard and marker, note book and
LCD projector. The media was quite simple and
rather dull. Since the use of media can help to
motivate the students, the lecturer can use video
related to the case studied as additional teaching
media.
How the ESP Lecturer Integrates the
Instructional Activities with the Case Based
Learning
Instructional activities are activities conducted
by the lecturer in presenting the instructional
materials in the learning-teaching process that
are directed toward achieving the instructional
objectives. The instructional activities conducted
during the learning-teaching process can be labeled
with theoretical activities, and case based activities.
Based on the data obtained from the observation
during the theory-lecturing, students paid attention
Ratri H., Integrating Case Based Learning in ESP Course: A Case Study at STKIP PGRI Ponorogo in the Academic Year of 2014-2015162
to all the lecturer explanation, but only few of
them responded when the lecturer asked for their
comments and questions on the today’s topic, then
the lecturer asked some questions on the theory
given, only few of the students answered. It means
that the students’ give fewer attention to the theory-
lecturing session.
Some important notes were taken during the
implementation of case based learning. The first
note was the students given more participation
during the discussion session when the case based
learning were implemented. Before the discussion
session was conducted, the students made a group
consisted of three or four students. They seated
near their group and started the discussion after
they had read the case assigned. Ten minutes were
given for reading time. Then they started their
group discussion. The lecturer gave ten minutes
for the discussion session. The lecturer only gave
spoken instruction on what should be discussed.
Spoken instructions were then clarified through
written instructions on the board. Students had ten
minutes to do the discussion. During the discussion
session the lecturer moved around to see whether
the students had difficulty or not. The lecturer
also did it to make sure that the students’ really
discussed the case given. Some students finished
the session on time, while others were late. This
session lasted five minutes longer than the lecturer
expected. Additional time for discussion session
influenced the time for the presentation session.
The lecturer cut off one minutes from three
minutes presentation allotment for each group.
Time management became the second note to be
considered by the lecturer. The third notes were
about the presentation session. The students were
supposed to present their finding on the case read.
All of the groups were presented their findings.
This session was aimed to crosscheck students’
ability to analyze the case and gave them clearer
description on how their final project was supposed
to be. The lecturer also gave reinforcement on the
students’ finding. Since their findings were mostly
similar, the students got a bit boredom in listening
to their friends’ presentation.
The lecturer had done each step written in the
lesson plan which integrated case based learning
in its instructional activities. Time management,
students’ active and joyful participation during the
implementation of case based learning had to get
more consideration.
How the Lecturer Assesses the Students’
Achievement in Teaching of ESP which is
Integrated with Case-Based Learning
To measure the students’ progress, the lecturer
used several ways to assess the students’ progress.
To assess the students’ on-going progress, the
lecturer used formative and summative assessment.
The lecturer used observation and verbal questions
for formative assessment. Two forms of summative
assessment were used during the semester. The
first form was paper and pencil test on the mid and
final semester tests. The second form was project
assessment.
The lecturer developed an observation rubric
to help the observation. The observation rubric
helped to assess the students’ participation during
the discussion session. The rubric indicated whether
the students made contribution in each discussion,
and came up with the correct findings or not.
Verbal questions were given to check whether the
students could perceive the lecturers’ explanation
or not. The questions were given to the class or
to individual students randomly. The lecturer gave
point to the students who gave correct answer. The
point would help the students to gain more score
to add for final score.
The paper and pencil tests were done in the
middle and final term of the semester. The middle
term test was mostly dealt with the theoretical-
lecture, and the final test was mostly dealt with the
summary of the students’ project. The lecturer
assigned a project for ESP course to construct
a settled comprehension of the practice of ESP
teaching. The lecturer developed a scoring rubric
to help scoring the project assigned. The rubric
was mostly dealt with the whether the students had
critically analyzed the case found. The report of this
project was submitted to the lecturer in form of the
paper two weeks before the final exam. The project
JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 163
is in form of proposed model of ESP course for
particular purposes they found around.
Those kind of assessments provided overall
information about the students’ learning progress
and the effectiveness of the learning-teaching
activities. She could monitor the students’
improvement in daily basis. The assessment also
gave information on the lecturer’s way to effectively
manage the teaching and learning activities.
CONCLUSION
Case base learning implementation in ESP
course for pre-service teacher enhances the
students’ learning experience during course. It is
an augment for traditional lecturing activity. The
implementation of case based learning can be a
warm-up activity to construct the written reports
and make presentations. Learning through cases also
promotes higher order thinking, which help them
dealing with different context of ESP teaching. It
also encourages them to critically design or develop
an ESP course that meets the need analysis.
REFERENCES
Bogdan, R. C. and Biklen, K. B. 1998. Qualitative
Rresearch in Education: An Introduction to Theory
and Methods. Boston: Allyn and Bacon.
Ellis, M., and Johnson, C. 1994. Teaching Business
English. Oxford: Oxford University Press.
Hutchinson, T., and Waters, A. 2002. English for
Specific Purposes. Shanghai: Shanghai Foreign
Language Education Press.
Jackson, J. 1998. Reality-based Decision Cases
in ESP Teacher Education: Windows On
Practice. English for Specific Purposes. 17: 151-
167.
Liu. S. M. 2006. Developing China’s Future
Managers: Learning from the West. Education
+ Training. 48: 6-14.
Spackman, A. and Camacho, L. 2009. Rendering
Information Literacy Relevant: A Case-Based
Pedagogy. Journal of Academic Librarianship.
35(6): 548-554.
Wei, W. 2011. Teaching Business English in China:
Views on the Case-based Teaching in
Intercultural Business Communication. Asian
ESP Journal. 7: 89-109
Basturkmen, H. 2010. Developing Courses in English
for Specific Purposes. Basingstoke: Palgrave
Macmillan.
Basturkmen, H. 2014. LSP Teacher Education:
Review of Literature and Suggestions for the
Research Agenda. Ibérica. 28: 17-34
Brooks, E., Harris, C. R., and Clayton, P. H.
2010. Deepening Applied Learning: An
Enhanced Case Study Approach Using
Critical Reflection. Journal of Applied Learning
in Higher Education, 2: 55-76. Retrieved from
http://www.missouriwestern.
Dudley-Evans, T., and St. John, M. J. 1998.
Developments in English for Specific
Purposes: A Multi-Disciplinary Approach.
Cambridge: Cambridge University Press.
Lee, S.-H., Lee, J., Liu, X., Bonk, C. J., and Magjuka,
R. J. 2009. A Review Of Case-Based Learning
Practices In An Online MBA Program:
A Program-Level Case Study. Educational
Technology and Society, 12 (3), 178–190 Retrieved
from http://www.ifets.info
Williamson, S., and Chang, V. 2009. Enhancing the
Success of SOTL Research: A Case Study
Using Modified Problem-Based Learning
in Social Work Education. Journal of the
Scholarship of Teaching and Learning, 9(2), 1-9.
Wua, H.D., and Badger, R.G. 2009. In a Strange and
Uncharted Land: ESP teachers’ Strategies
for Dealing with Unpredicted Problems in
Subject Knowledge during Class. English for
Specific Purposes. 28:19-32
Zuocheng, Z., and Lifei, W. 2011. Curriculum
Development for Business English Students
in China: The Case of UIBE. Asian ESP
Journal. 7(1):10-27
TINGKAT KEMAMPUAN PENGUASAAN BAHASA JAWA
RAGAM KRAMA KELOMPOK ANAK DAN DEWASA
Regena Devi Mayanthi
Universitas Sebelas Maret (UNS)
Abstract: This study is aimed to find out the level of Bahasa Jawa mastery krama variation in Ambulu district, Jember, Dawarblandong district, Mojokerto and Jebres district, Surakarta. The researcher used qualitative approach with purposive sampling technique and comparative method. The data collected from 10 informans through note taking and recording. The result of study showed the level of krama variation mastery DP 2 (83%), level 2 DP 1 (87%) and the last was level 1, DP 3 (Solo) 91%. Solo as the center of Bahasa Jawa showed that the children group were lack in mastering Bahasa Jawa. In the level 3, the mastery of Bahasa Jawa in adult group were (DP 3) 65%, (DP 1) 74%, and (DP 2) 76%. Based on the result of study, the education level didn’t influence the mastery of krama variation in Bahasa Jawa, both in children and adult group. Meanwhile, the education level influenced the mastery of krama variation in teenager group.
Keywords: Bahasa Jawa, Krama Variation, Children and Adult Group
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kemampuan penguasaan bahasa Jawa ragam krama di kecamatan Ambulu, Jember, kecamatan Dawarblandong, Mojokerto dan di kecamatan Jebres, Surakarta. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan teknik purposive sampling dengan menggunakan metode komparatif. Selain data di daerah pengamatan Solo yang diambil dari penelitian yang dilakukan oleh Handayani, dkk (2011), data dikumpulkan dari 10 informan melalui metode simak dan catat dengan teknik rekam dan catat. Hasil penelitian ini menunjukkan ketidakmampuan penguasaan ragam krama peringkat ketiga yaitu DP 2 (83%) dan peringkat kedua yaitu DP 1 (87%) dan terakhir yaitu peringkat pertama DP 3 (Solo) dengan 91%. Solo sebagai daerah kiblat bahasa ternyata penguasaan ragam kelompok anak sangat rendah dibanding dua DP yang lain. Sedangkan peringkat ketiga, ketidakmampuan penguasaan ragam krama kelompok dewasa (DP 3) dengan 65%, peringkat kedua (DP 1) dengan 74%, sedangakn peringkat pertama (DP 2) dengan 76%. Berdasarkan pengamatan serta data yang terkumpul, tingkat pendidikan tidak mempengaruhi kemampuan penguasaan ragam krama pada kelompok dewasa, namun sebaliknya untuk remaja justru menjadi faktor penentu penguasaan ragam krama.
Kata Kunci: Bahasa Jawa, Ragam Krama, Kelompok Anak dan Dewasa
PENDAHULUAN
Dalam komunitas Jawa, terdapat tingkat
tutur yaitu ngoko, madya, dan krama dalam
berkomunikasi yang tercermin dalam bentuk kata
benda, kerja, dan sifat yang berbeda. Selain itu kata
partikel dan pemakaian kalimat tak langsung juga
menentukan dalam pemilihan tingkat tutur. Saat
ini kemampuan pemakaian bahasa Jawa terutama
ragam krama dicurigai sangat menurun. Generasi
muda dipandang sebagai biang keladi merosotnya
mutu pemakaian bahasa Jawa terutama pemakaian
berbagai ragam yang dikenal dengan unggah-
ungguh ‘tingkat tutur’ itu. Padahal, belum tentu
penyebab kemerosotan ini mutlak dipengaruhi
oleh perilaku generasi muda, tetapi juga dapat
diduga bahwa generasi sebelumnya (tua) ikut andil
dalam kasus ini. Generasi muda adalah sekadar
Regena Devi Mayanthi , Tingkat Kemampuan Penguasaan Bahasa Jawa Ragam Krama Kelompok Anak dan Dewasa166
objek yang dapat dinilai/dilihat karena merekalah
yang banyak dituntut untuk berbahasa lebih baik
daripada generasi yang lebih tua.
Lakosno dan Savitri (2009: 1) mengemukakan
bahwa dialektologi dapat disebut sebagai studi
tentang dialek tertentu atau dialek-dialek suatu
bahasa. Dalam arti luas penelitian dialektologi
berupaya memerikan perbedaan pola linguistik,
baik secara horizontal (diatopis) yang mencakup
variasi geografis maupun yang vertikal (sintopis)
yang mencakup variasi di suatu tempat. Variasi di
suatu tempat yang bersifat sintopis ini dapat pula
merambah pada kajian dialek sosial yang melibatkan
faktor-faktor sosial.
Pengertian dialektologi yang lebih lengkap
disampaikan oleh Lauder (2009: 234- 235).
Dialektologi adalah cabang ilmu pengetahuan
bahasa yang secara sistematis menangani berbagai
kajian yang berkenaan dengan distribusi dialek
atau variasi bahasa dengan memperhatikan faktor
geografi, politik, ekonomi, dan sosial budaya.
Dialektologi juga sering disebut sebagai geographical
linguistics, geolinguistics, atau areal linguistics.
Penelit ian dialektologi pada dasarnya
merupakan penelitian bahasa yang bersifat
sistematis, empiris, dan kritis terhadap objek
sasaran berupa bunyi tuturan. Laksono dan Savitri
(2009: 22-23) berpendapat: “Penelitian dialektologi
dikatakan sistematis karena penelitian ini dilakukan
secara sistemik dan terencana, mulai dari identifikas
masalah, menghubungkan masalah dengan teori,
penyediaan data, analisis data, sampai pada
penarikan simpulan dan menghubungkan simpulan
ke dalam khazanah ilmu bahasa (linguistik). Disebut
empiris karena fenomena lingual yang menjadi
objek penelitian bahasa itu adalah fenomena yang
benar-benar hidup dalam pemakai bahasa.
Salah satu tahap penting dalam penelitian
di lektologi adalah melakukan transkripsi
fonetis. Transkripsi fonetis didefinisikan sebagai
pemindahan glos kedalam tulisan dengan merujuk
pada bagaimana glos diucapkan (glos merupakan
bentuk yang dikenal dalam bahasa yang digunakan
oleh peneliti). Untuk dapat melaksanakan transkripsi
fonetis peneliti perlu mengenal dan menandai semua
bunyi yang diperoleh sesuai dengan pengucapannya.
Jadi, peneliti harus fokus pada ujaran informan
karena ujaran itulah yang harus dituliskan persis
sama dengan ujarannya.
Dialek merupakan variasi bahasa yang berbeda-
beda menurut; variasi bahasa yang dipakai oleh
kelompok bahasawan di tempat tertentu, atau oleh
golongan tertentu dari suatu kelompok bahasawan,
atau oleh kelompok bahasawan yang hidup dalam
kurun waktu tertentu (Kridalaksana, 1984: 38).
Dialek berbeda dengan ragam bahasa, yaitu varian
dari sebuah bahasa menurut pemakaian. Variasi
ini berbeda satu sama lain, tetapi masih banyak
menunjukkan kemiripan, sehingga belum bisa
disebut sebagai bahasa yang berbeda.
Nadra dan Reniwati (2009: 2) mengemukakan
bahwa berdasarkan kelompok pemakaiannya dialek
dapat dibedakan atas tiga jenis, yakni (1) dialek
regional, yaitu variasi bahasa berdasarkan perbedaan
local (tempat) dalam suatu wilayah bahasa; (2)
dialek sosial, yaitu variasi bahasa yang digunakan
oleh golongan tertentu; dan (3) dialek temporal,
yaitu variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok
bahasawan yang hidup pada waktu tertentu.
Variasi bahasa adalah perbedaan-perbedaan
bentuk yang terdapat dalam suatu bahasa. Perbedaan
tersebut mencakup semua unsur kebahasaan,
yaitu fonologi, morfologi, leksikon, sintaksis, dan
semantik. Dalam bidang fonologi, perbedaan
tersebut dapat berupa perbedaan bunyi (lafal)
dan dapat pula berupa perbedaan fonem. Dalam
bidang morfologi, perbedaan tersebut dapat
berupa afiks (prefiks, infiks, sufiks, dan konfiks),
pronomina, atau kata penunjuk. Perbedaan dalam
bidang leksikon berupa kosakata. Perbedaan dalam
sintaksis berupa struktur kalimat dan struktur frasa.
Perbedaan yang terakhir dalam bidang semantik,
yaitu perbedaan berupa makna, tetapi makna
tersebut masih berhubungan atau masih mempunyai
pertalian. Maksudnya, makna yang digunakan pada
titik pengamatan tertentu dengan makna yang
digunakan pada titik pengamatan lainnya masih
memiliki hubungan (Nadra & Reniwati, 2009: 4).
Kajian dialektologi diakronis cenderung
melakukan kajian variasi bahasa pada masa lampau
dan dikaitkan dengan pemakaian bahasa saat ini
dengan perubahan bentuk variasi bahasa dari waktu
JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 167
ke waktu. Sementara itu, dalam kajian dialektologis
sinkronis, variasi dalam suatu bahasa yang digunakan
saat ini dianalisis dari bentuk variasi bahasanya dan
juga daerah sebar variasi tersebut. Pada tulisan
ini dideskripsikan variasi bahasa Jawa di Jember,
Mojokerto dan Solo secara sinkronis berdasarkan
data yang telah dikumpulkan. Deskripsi tersebut
meliputi deskripsi bahasa Jawa ragam krama pada
kelompok anak dan dewasa.
Aritkel ini mencoba mendeskripsikan,
membandingkan dan menjelaskan tingkat
kemampuan penguasaan bahasa Jawa ragam
krama kelompok anak dan dewasa di tiga daerah
pengamatan (DP) oleh para penutur di daerah
timur Pulau Jawa, yaitu bahasa Jawa di Jawa
Timur, terutama di dua daerah penelitian, yaitu di
kecamatan Dawarblandong kabupaten Mojokerto
dan di kecamatan Ambulu kabupaten Jember.
Dua daerah yang merupakan daerah pedesaan
tersebut dipilih karena Mojokerto sebagai daerah
relik bahasa Jawa dahulu merupakan wilayah bekas
kerajaan Majapahit, sedangkan Jember dianggap
sebagai daerah batas bahasa antara bahasa Jawa
dan bahasa Madura. Selanjutnya, wilayah Solo juga
dipilih karena bahasa Jawa dialek Solo dianggap
sebagai bahasa baku bahasa Jawa. Oleh karena itu,
penelitian tingkat kemampuan penguasaan bahasa
Jawa ragam krama ini menarik untuk dilakukan.
METODE
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif
kualitatif. Penelitian deskriptif adalah penelitian
yang dirancang untuk memperoleh informasi
tentang status suatu gejala saat penelitian dilakukan
Furchan (2004: 447), di samping data yang
dikumpulkan berupa kata-kata (Subroto, 1997: 5).
Penelitian kualitatif memiliki karakteristik, yaitu
mendeskripsikan suatu kondisi apa adanya atau
yang sebenarnya.
Penelitan ini juga menggunakan metode
komparatif, yaitu membandingkan kosakata atau
leksikon ragam krama DP 1 (Jember), DP 2
(Mojokerto), dan DP 3 (Solo) untuk menemukan
tingkan penguasaan ragam krama oleh anak
dan dewasa secara jelas. Oleh sebab itu, dalam
penelitan ini akan dilakukan tahap atau langkah
membandingkan data berupa kosakata atau
leksikon ragam krama antara DP 1 dan DP 2, dan
juga dengan bahasa Jawa dialek Solo (DP 3). Data
yang disediakan meliputi hasil tuturan krama anak
(KA) dan juga krama dewasa (KD). Penelitian ini
memiliki sumber data berupa sumber data lisan
yang berasal dari narasumber yang dipilih dari
daerah penelitian di wilayah Mojokerto dan Jember.
Narasumber atau informan yang dimaksud adalah
penutur bahasa Jawa yang dipilih untuk mewakili
penutur bahasa Jawa di dua DP. Sumber data tertulis
berasal dari angket atau daftar Kisyani-Laksono
(2009) sebagai pengembangan dari daftar kosakata
dasar Morris Swadesh. Berdasarkan situasi dan
kondisi di lapangan, 829 glos ini dikembangkan lagi
menjadi 907 glos karena dalam satu glos terdapat
lebih dari satu BL. Selanjutnya, khusus data daerah
pengamatan Solo diperoleh dari hasil penelitian
lapangan yang dilakukan oleh Handayani, dkk
(2011) yang sebelumnya melalui proses verifikasi
data.
Sampel penelitian ini ditentukan berdasarkan
sampling bertujuan (teknik purposive sampling).
Sampel dipilih sesuai tujuan penelitian untuk
memperoleh data penelitian yang tepat dan dapat
mewakili data yang diharapkan dalam penelitian.
Dengan demikian, penentukan narasumber harus
memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan pada
penelitian dialektologi. Adapun syarat narasumber
atau informan untuk KA yang harus dipenuhi
adalah (1) berjenis kelamin laki-laki atau wanita,
(2) usia di atas 10-12 tahun, sehat jasmani dan
rohani, (3) penduduk asli yang dilahirkan dan
dibesarkan oleh orang tua yang tinggal di daerah
pengamatan, (4) orang tua asli Mojokerto atau
Jember, (5) pendidikan SD, (6) status sosial
menengah ke bawah dengan harapan mobilitas
rendah, (7) dapat berbahasa Indonesia, minimal
pasif, (8) menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa
sehari-hari, (9) sehat rohani dan jasmani dalam
arti tidak cacat organ bicaranya. Sedangkan syarat
narasumber untuk KD yang harus dipenuhi adalah
(1) berjenis kelamin laki-laki atau wanita, (2) usia
di atas 40 tahun (tidak pikun), (3) penduduk asli
yang dilahirkan dan dibesarkan oleh orang tua
yang tinggal di daerah pengamatan, (4) pendidikan
Regena Devi Mayanthi , Tingkat Kemampuan Penguasaan Bahasa Jawa Ragam Krama Kelompok Anak dan Dewasa168
relatif rendah; diutamakan tidak berpendidikan, (5)
status sosial menengah ke bawah dengan harapan
mobilitas rendah, (6) dapat berbahasa Indonesia,
minimal pasif, (7) menggunakan bahasa Jawa
sebagai bahasa sehari-hari, (8) sehat rohani dan
jasmani dalam arti tidak cacat organ bicaranya.
Data lisan dikumpulkan melalui metode simak
dan metode cakap dengan teknik di antaranya
teknik sadap, rekam, teknik catat, teknik simak
libat cakap, dan teknik pancing (Sudaryanto,
1993:133-139). Selanjutnya, data yang terkumpul
ditranskripsikan ke dalam transkripsi fonetis IPA
(International Phonetics Association).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Tabel 3.1: Rangkuman Ketidakmampuan Penguasaan Ragam Bahasa Jawa Krama Anak
No. Medan Makna
Jumlah Ketidakmampuan Penguasaan
Ragam Krama Anak
DP 1 (Jember) DP 2 (Mojokerto) DP 3 (Solo)
1. bilangan 21 13 22
2. ukuran 10 8 6
3. musim dan waktu 25 19 27
4. bagian tubuh manusia 97 94 100
5. tutur sapaan dan acuan 13 13 12
6. istilah kekerabatan 29 28 29
7. pakaian dan perhiasan 23 24 21
8. pekerjaan 32 32 32
9. binatang 67 67 63
10. bagian tubuh binatang 19 19 19
11. tumbuhan, bagian-bagian tumbuhan, dan
hasil olahannya
92 91 93
12. alam 32 27 36
13. rumah dan bagian-bagiannya 21 21 21
14. alat 60 61 61
15. penyakit dan obat 27 27 30
16. arah dan penunjuk 7 5 15
17. aktivitas 118 113 130
18. sifat 70 66 83
19. warna dan bau 14 12 16
20. rasa 13 13 13
TOTAL 790 gloss 753 gloss 829 gloss
JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 169
Tabel 3.2: Rangkuman Ketidakmampuan Penguasaan Ragam Bahasa Jawa Krama Dewasa
No. Medan Makna
Jumlah Ketidakmampuan Penguasaan
Ragam Krama Dewasa
DP 1 (Jember) DP 2 (Mojokerto) DP 3 (Solo)
1. bilangan 9 11 10
2. ukuran 2 2 2
3. musim dan waktu 27 12 7
4. bagian tubuh manusia 93 96 82
5. tutur sapaan dan acuan 16 12 4
6. istilah kekerabatan 30 26 14
7. pakaian dan perhiasan 26 17 13
8. pekerjaan 32 30 27
9. binatang 57 65 57
10. bagian tubuh binatang 17 16 17
11. tumbuhan, bagian-bagian tumbuhan, dan
hasil olahannya
81 82 78
12. alam 21 32 19
13. rumah dan bagian-bagiannya 21 22 19
14. alat 56 57 56
15. penyakit dan obat 24 24 27
16. arah dan penunjuk 4 4 4
17. aktivitas 87 104 83
18. sifat 48 51 52
19. warna dan bau 11 12 10
20. rasa 10 11 10
TOTAL 672 gloss 686 gloss 591 gloss
Tabel 3.3: Perbandingan Peringkat Ketidakmampuan Penguasaan Ragam Krama Kelompok Anak
dan Dewasa DP 1-3
No. Medan MaknaJml
Gloss
DP1 DP 2 DP 3
Anak Dewasa Anak Dewasa Anak Dewasa
1. Bilangan 30 21 9 13 11 22 10
2. Ukuran 10 10 2 8 2 6 2
3. musim dan waktu 40 25 27 19 12 27 7
4. bagian tubuh manusia 101 97 93 94 96 100 82
5. tutur sapaan dan acuan 19 13 16 13 12 12 4
Regena Devi Mayanthi , Tingkat Kemampuan Penguasaan Bahasa Jawa Ragam Krama Kelompok Anak dan Dewasa170
6. istilah kekerabatan 32 29 30 28 26 29 14
7. pakaian dan perhiasan 26 23 26 24 17 21 13
8. Pekerjaan 32 32 32 32 30 32 27
9. Binatang 67 67 57 67 65 63 57
10. bagian tubuh binatang 19 19 17 19 16 19 17
11. tumbuhan, bagian-bagian
tumbuhan, dan hasil olahannya
94 92 81 91 82 93 78
12. Alam 37 32 21 27 32 36 19
13. rumah dan bagian-bagiannya 22 21 21 21 22 21 19
14. Alat 61 60 56 61 57 61 56
15. penyakit dan obat 30 27 24 27 24 30 27
16. arah dan penunjuk 23 7 4 5 4 15 4
17. Aktivitas 145 118 87 113 104 130 83
18. Sifat 90 70 48 66 51 83 52
19. warna dan bau 16 14 11 12 12 16 10
20. Rasa 13 13 10 13 11 13 10
Jumlah Gloss 790 672 753 686 829 591
Persentase 87% 74% 83% 76% 91% 65%
Peringkat 2 2 3 1 1 3
Penguasaan kramanya 13% 26% 17% 24% 9% 35%
Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian pada tablel 1
dan 2 tersebut, dapat diketahui bahwa jumlah
ketidakmampuan penguasaan bahasa Jawa ragam
krama anak dan dewasa sebanyak 4321, yang
terbagi dalam tiga daerah pengamatan (DP) yaitu
dimulai dari kelompok anak di DP 1 sebanyak 790
gloss, DP 2 753 gloss, dan DP 3 sebanyak 829
gloss. Sedangkan kelompok dewasa di DP 1 ialah
672 gloss, DP 2 686 gloss, dan DP 3 sebanyak 591
gloss.
Kelompok anak pada DP 1 tampak jumlah
glos yang tidak dikuasai atau tidak dijawab oleh
nasumber DP 1 sebanyak 790 gloss dari 907 glos
yang ditanyakan (87%). Artinya kemampuan
penguasaan ragam krama anak DP 1 sebanyak
117 gloss dari 907 gloss yang ditanyakan yang
terdistribusi ke dalam 12 medan makna. Jenis gloss
yang tidak terjawab sama sekali untuk medan makna
pekerjaan, binatang, bagian tubuh binatang dan
rasa. Keempat gloss tersebut tidak terjawab karena
narasumber memang tidak mengenal referen yang
dimaksud oleh gloss tersebut. Pada DP jumlah
gloss yang tidak dikuasai oleh anak menurun
daripada DP 1 yaitu sebanyak 753 gloss dari 907
gloss (83%). Jadi, jumlah gloss yang dikuasai atau
terjawab sebanyak 154 gloss yang terdistribusi
dalam medan makna. Adapun medan makna yang
paling terjawab banyak adalah bilangan dan musim
dan waktu dan medan makna yang sama sekali tidak
terjawab adalah (binatang, bagian tubuh binatang,
alat, dan rasa). Medan makna yang lain tidak terisi
seluruhnya oleh informan. Selanjutnya kelompok
anak di DP 3 berdasarkan urutan kemampuan
penguasaan ragam krama kelompok anak pada
ketiga DP, maka DP yang memiliki kemampuan
penguasaan terendah adalah DP 3 dibandingkan
dengan 2 DP lainnya. DP 3 adalah daerah Pucang
Sawit kota Surakarta yang notabene adalah daerah
JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 171
kiblat bahasa Jawa baku, namun kenyataannya
data di lapangan menunjukkan penguasaan bahasa
Jawa ragam Krama justru terendah. Faktor yang
menyebabkan rendahnya penguasaan kemampuan
ragam krama kelompok anak di DP 3 adalah
tidak dibiasakannya penggunaan ragam krama
dalam komunikasi sehari-hari. Pada saat informan
berkomunikasi dengan warga lain di daerah
tersebut lebih banyak menggunakan ragam ngoko.
Pada saat mereka berkomunikasi dengan warga di
luar lingkungan mereka atau pendatang banyak
menggunakan bahasa Indonesia.
Kelompok dewasa di DP 1 jumlah gloss yang
tidak dikuasai oleh informan dewasa DP 1 sebanyak
681 gloss dari 907 gloss yang ditanyakan, atau jika
dipersentase jumlahnya adalah 75% gloss yang
tidak dikuasai. dari keduabelas medan makna pada
informan dewasa DP 1 ini rata-rata dapat terjawab
biarpun tidak penuh terjawab. Pada DP 2 terdapat
686 gloss yang tidak dikuasai oleh informasn
dewasa DP2 dari 907 gloss tidak terjawab (75,20%).
Hal itu berarti jumlah gloss yang dikuasai atau
terjawab sebanyak 221 gloss yang terdistribusi ke
dalam 20 medan makna. Adapaun medan makna
yang paling dikuasai adalah bilangan, arah dan
penunjuk, sifat. Medan makna yang lain tidak terisi
penuh seluruhnya atau tidak dijawab oleh informan.
Dan pada DP 3. Ketidakmampuan penguasaan
ragam krama kelompok dewasa DP 3 termasuk
tinggi, yaitu setelah DP 1 dan Dp 2. Sebanyak 591
gloss tidak dikuasai atau tidak dapat dijawab oleh
informan dewasa DP 3. 591 gloss terdistribusi ke
dalam 12 medan makna. Medan makna yang banyak
tidak terjawab adalah bagian aktivitas, bagian tubuh
manusia, tumbuhan dan bagiannya, dan alat.
Berdasarkan tabel 3 ketidakmapuan penguasaan
ragam krama pada kelompok anak dan dewasa DP
1-3. Jumlah gloss yang terisi penuh masing-masing
DP dapat dikelompokkan ke dalam medan makna
berikut. DP 1 kelompok anak terdapat lima medan
makna (yaitu ukuran, pekerjaan, binatang, bagian
tubuh binatang, dan rasa) yang sama sekali tidak
terisi. Terbukti dengan jumlah ketidakmampuan
penguasaannya sama dengan jumlah gloss yang
ditanyakan dari masing-masing medan makna
tersebut, untuk DP 1 kelompok dewasa terdapat
dua medan makna yang tidak terisi yaitu medan
makna pakaian dan perhiasan, pekerjaan. Demikian
pula dengan DP 2 kelompok anak juga ditemukan
medan makna yang sama sekali tidak terisi (tidak
dikuasai oleh informan) yaitu pekerjaan, binatang,
bagian tubuh binatang, alat, dan rasa. Untuk DP
2 kelompok dewasa hanya terdapat satu medan
makna yang tidak terisi yaitu medan makna rumah
dan bagiannya. DP 3 kelompok anak ditemukan
lebih banyak medan makna yang tidak terisi yaitu
enam medan makna (pekerjaan, bagian tubuh
binatang, alat, penyakit dan obat, warna dan bau,
rasa) sedangkan kelompok dewasa tidak ditemukan
medan makna yang tidak terisi. Semua medan
makna mampu terjawab oleh narasumber meskipun
tidak terisi penuh seluruhnya.
SIMPULAN
Berdasarkan jumlah total glos dari tiap
kelompok pada masing-masing DP dapat
disimpulkan bahwa yang pertama yaitu kelompok
anak masing-masing DP. Ketidakmampuan
penguasaan ragam krama peringkat ketiga yaitu DP
2 (Mojokerto) dengan prosentase ketidakmampuan
penguasaan 83% dan peringkat kedua yaitu DP 1
dengan 87% dan terakhir yaitu peringkat pertama
DP 3 (Solo) dengan 91%. Solo sebagai daerah
kiblat bahasa ternyata penguasaan ragam kelompok
anak sangat rendah dibanding dua DP yang lain.
Sedangkan peringkat ketiga kelompok dewasa yaitu
DP 3 dengan 65%, peringkat kedua yaitu DP 1
dengan 74%, sedangakn peringkat pertama yaitu
DP 2 dengan 76%. Hal ini mendukung simpulan
bahwa faktor pendidikan pada narasumber dewasa
tidak mempengaruhi kemampuan penguasaan
ragam krama, sebaliknya untuk anak hal ini
menjadi faktor penentu penguasaan ragam krama.
Faktor yang mempengaruhiuntuk kelompok anak
adalah minimnya pemakaian ragam krama dalam
komunikasi sehari-hari, adanya pengaruh kemajuan
teknologi komunikasi, baik media televisi maupun
cetak di pedesaan yang cenderung menggunakan
bahasa Indonesia sebagai media penyampaian,
rendahnya kualitas pengajaran muatan lokal bahasa
Jawa di sekolah, faktor geografis lingkungan
tempat tinggal narasumber. Sedangkan faktor
Regena Devi Mayanthi , Tingkat Kemampuan Penguasaan Bahasa Jawa Ragam Krama Kelompok Anak dan Dewasa172
yang mempengaruhi ketidakmampuan penguasaan
ragam krama kelompok dewasa adalah kebiasaan
komunikasi menggunakan ragam ngoko, pengaruh
geografis yang memungkinkan tidak ditemukannya
atau tidak adanya referen seperti yang dimaksud
oleh glos terkait, aktivitas serta luasnya pergaulan
narasumber, profesi, luasnya wawasan narasumber,
pengaruh bahasa Indonesia, faktor daya ingat
narasumber.
DAFTAR PUSTAKA
Edi Subroto, D. 2007. Pengantar Metode Penelitian
Linguistik Struktural. Surakarta: Sebelas Maret
University Press.
Furchan, Arief. 2004. Pengantar Penelitian Dalam
Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik
Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Laksono, Kisyani dan Savitri, Agusniar Dian. 2009.
Dialektologi. Surabaya: Unesa University
Press.
Lauder, dkk. 2009. Pesona Bahasa: Langkah Awal
Memahami Linguistik. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama
Mahasiswa LD 2011. Dialek Geografis dan Sosial
Bahasa Jawa Solo-Yogya: Kajian Dialektologi.
Surakarta: Pascasarjana UNS.
Mahsun. 1995. Dialektologi Diakronis: Sebuah Pengantar.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Nadra, dan Reniwati. 2009. Dialektologi: Teori dan
Metode. Yogyakarta: Elmatera Publising.
Sudaryanto (editor). 1991. Tata Bahasa Baku Bahasa
Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana University
Press.
Sudaryanto, 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis
Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan
Secara Linguistik. Yogyakarta: Duta Wacana
University Press
NILAI PENDIDIKAN KARAKTER SEORANG GURU
DALAM TRILOGI NOVEL SYAIKH SITI JENAR
KARYA AGUS SUNYOTO
Sutejo
STKIP PGRI Ponorogo
Abstract: Talking about literature and its value are talking about the human’s body and soul in nature. Literary works are full of moral values. One of them is character education value. The trilogy novel Syaikh Siti Jenar written by Agus Sunyoto contains a number of character values which are interesting to be discussed. At present, the character education values become very important. Being a professional teacher needs a set of good characters. The ideal teacher caharacters found in trilogy novel Syaikh Siti Jenar written by Agus Sunyoto were: (a) writing character, (b) story teller caharacter, (c) wise and educated, (d) unselfish, (e) natural caharacter, (f) earthly character (g) affectionate, (h) change agent, (i) thinkful, (j) meaningful, (k) well informed (l) conquer (m) perfectionism, and (n) leadership.
Keywords: Character Values, Ideal Teacher, “Syaikh Siti Jenar” Novel
Abstrak: Berbicara sastra dan nilai hakikatnya berbicara masalah tubuh dan jiwa. Sastra kaya dengan muatan nilai, satu diantaranya adalah nilai pendidikan karakter. Trilogi novel Syaikh Siti Jenar karya Agus Sunyoto memiliki sejumlah nilai karakter yang menarik untuk dikaji. Nilai pendidikan karakter dalam konteks mutakhir menjadi sesuatu yang penting. Seorang guru dituntut memiliki seperangkat karakter yang perlu dimiliki jika menginginkan dirinya professional. Karakter seorang guru yang ideal dalam temuan penelitian atas trilogi novel Syaikh Siti Jenar meliputi karakter: (a) berkarakter menulis, (b) karakter pendongeng, (c) karakter arif dan alim, (d) karakter tidak egois, (e) karakter tanpa pamrih, (e) karakter alam, (f) karakter bumi, (g) karakter cinta kasih, (h) karakter pembaharu, (i) karakter cakap berpikir, (j) karakter berhikmah, (k) karakter ber-irfan (l) karakter al-fatih, (m) karakter insan kamil, dan (n) karakter pemimpin.
Kata Kunci: Guru Ideal, Nilai Karakter, Novel “Syaikh Siti Jenar”
PENDAHULUAN
Tokoh Syaikh Siti Jenar dalam kazanah sejarah
kebudayaan di Indonesia adalah tokoh terpopuler
diantara cerita para walisanga. Hal inilah yang
menginspirasi Agus Sunyoto untuk menulis novel
Syaikh Siti Jenar berbasis teks-teks historis dari
wilayah Cirebon. Jika kecenderungan naskah-kisah
Syaikh Siti Jenar di Jawa, dia dikenal sebagai sosok
antagonis yang perlu dibenci dan dimusuhi maka
Agus Sunyoto merekonstruksi cerita Syaikh Siti
Jenar ke dalam sosok protagonis. Sosok seorang
pahlawan, potret seorang guru kehidupan yang
patut diteladani, baik perilaku maupun ajaran-
ajarannya. Salah satu ajaran yang menarik adalah
ajaran tentang idealisme guru sufi yang memiliki
seperangkat karakter tasawuf Islam-Jawa. Berbicara
masalah karakter guru sufi dalam konteks demikian
tidak bisa terlepas dengan sejarah Islam-Jawa,
ajaran-ajarannya, dan sinkretisme tasawuf yang
melingkupinya.
Muara karya sastra sesungguhnya adalah
realitas, baik langsung maupun tidak langsung, baik
inderawi maupun rohani. Karya sastra merupakan
wujud estetik inspirasi dan refleksi pengarang atas
realitas yang dialami dengan bungkus imajinasi.
Sutejo, Nilai Pendidikan Karakter Seorang Guru dalam Trilogi Novel Syaikh Siti Jenar Karya Agus Sunyoto174
Novel karya Agus Sunyoto mengangkat tema
realita sinkretisme Islam-Jawa. Salah satu realitas
historis yang menonjol dalam perjalanan lokalitas
sosiologis di Jawa adalah munculnya sinkretisme.
Sutanto berpandangan, ada sinkretisme Kristen-
Jawa dengan lahirnya mistik “Kristus dan Dewi
Sri” (Baso, 2002:114).
Realitas sinkretisme ini relevan dengan
pandangan Abdullah (dalam Mulkan, 2009:134)
ketika mengungkapkan tiga model kategori Islam
yang salah satunya adalah Islam lokal di samping
Islam universal dan Islam regional. Islam lokal
lahir disebabkan oleh peran kreatif masyarakat
lokal dalam menerima Islam universal sekaligus
mengangkat tradisi sendiri ke tataran yang mendunia
sehingga melahirkan agama rakyat. Salah satu
wujudnya adalah realitas tasawuf (sufisme) Islam-
Jawa yang dominan berkembang di masyarakat Jawa
berupa ajaran manunggaling kawula gusti, pamoring
kawula gusti, ilmu kasampurnan (budi luhur), martabat
tujuh, dan seterusnya.
Munawar-Rachman, menilai bahwa sosok
Syaikh Siti Jenar adalah simbol ajaran Islam
dalam tradisi esoteris (Chodjim, 2006:vii). Tradisi
esoteris ini melahirkan konsep pembaharuan dalam
kebudayaan Islam-Jawa. Konsep pembaharuan
yang diusung Syaikh Siti Jenar adalah bagaimana
agar pemujaan berlebihan terhadap manusia tidak
berlangsung terus-menerus.
Syaikh Siti Jenar tidak pernah melibatkan diri
dalam pemerintahan (padahal dia punya darah biru),
tetapi karena dia berharap jadi guru kehidupan,
guru spiritual, dan bukan raja penguasa (sunan =
guru atau raja). Sebaliknya, dirinya sendiri tidak
pernah menganggap sebagai mursyid, karena
mursyid adalah orang yang sudah punya hak untuk
membabtis. Begitulah kiranya, sampai Syaikh Siti
Jenar dengan berbagai sebutan (Lemah Abang,
Sitibrit, Geseng, Panggung, Syaikh Abdul Jalil)
dalam tradisi Islam esoteris Jawa diikuti oleh
pengikut yang jumlahnya sangat besar (Guillot,
2007:347).
Memahami kepahlawan Syaikh Siti Jenar dalam
konteks historis-kulturalnya dapat disandingkan
dengan keinovatifan Sunan Kalijogo (Codjim,
2006:345) dipandang telah melakukan inovasi dalam
budaya. Dengan begitu, membaca trilogi Syaikh Siti
Jenar sesungguhnya membaca perjalanan ajaran
yang tersimpan di simpang empat jalan: akulturasi
dan asimilasi, Islam dan Jawa. Hal itu tergambarkan
dalam perjalanan berguru dan proses mengajar
seorang Syaikh Siti Jenar (San Ali). Sebuah bentuk
ajaran Islam, yang dalam ungkap kritis Munawar
Rachman sebagai Islam yang esoteris (Codjim,
2006:xxix).
Kritik Hairus Salim (2006) tentang konsep
Islam-Jawa maka akan ditemukan “suara lain”
sebagai “pluralisme etnografi” dengan pandangan
positif. Meminjam konsep Horace, dulce (indah)
dan utile (bermanfaat) (Darma dalam Depdiknas-
Rosda, 2005:xi), maka trilogi Syaikh Siti Jenar ini
tidak saja sebuah keindahan karya sastra tetapi
juga menawarkan manfaat spiritualitas-relijius
yang transendal. Sebab, narasi Syaikh Siti Jenar
mengimajikan dunia yang oleh Heidegger disebut
dengan Yang Empat-Lipat (Geviert), yang satu
diantaranya adalah “tuhan-tuhan” (Baqir dalam
Muhammad, 2006:xxi).
Tuhan-tuhan ini hanya dimungkinkan muncul
di dalam dimensi (hadirat) ketuhanan, dan hadirat
ketuhanan dimungkinkan hanya di dalam dimensi
yang Suci (the Holy), dan hanya dari kebenaran
Ada-lah esensi dari yang-Suci dalam konteks
roh nilai trilogi Syaikh Siti Jenar dapat dipikirkan.
Sufistikisasi trilogi Agus Sunyoto secara substansial
tidak kalah dengan sastrawan macam Fariduddin
Attar, Mohammad Iqbal, Jalaluddin Rummi, Rabiah
Al-Adawiyah yang oleh Mahayana dinilai berhasil
mengemas pesan agama (relijius) ke dalam estetika
sastra (2005:170).
Salah satu ajaran dalam mistikisme Islam-
Jawa adalah tradisi berguru. Berguru yang bukan
sekadar belajar ilmu tetapi bagi orang Jawa juga
berarti ngelmu (ilmu lakon). Dalam tradisi penghayat
kebatinan, misalnya, hubungan antara guru-murid
ada perekat dan pengikat (suh) yang dinamakan
Guru (Mulyana, 1989:66). Paguyubannya kemudian
dinamakan paguron. Guru di zaman purba bergelar
“Empu” atau “Engku” atau “Teuku” yang artinya
“Tuan”. Guru bisa jadi ayah tuanya sendiri sebagai
pengajar ketuhanan. Ilmu ketuhanan dalam tadisi
Jawa dinamakan ilmu “Kapitayan”. Puncak eratnya
JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 175
hubungan guru- murid dalam budaya Jawa-Islam
dipahami dalam lakon wayang “Dewa Ruci”.
Seorang guru sufi dituntut memiliki seperangkat
karakter ideal. Menurut Mulkan (2009:81-82),
terdapat tujuh syarat bagi seorang guru sufi.
Ketujuh syarat itu dapat dikemukakan sebagai
berikut. Pertama, seorang bisa menjadi syaikh atau
guru tarekat jika memiliki kualitas ‘alim dan ahli
memberikan bimbingan pada para muridnya. Kedua,
mengenal dengan baik sifat-sifat kesempurnaan
hati dan memiliki rasa belas-kasih terhadap seluruh
kaum muslim dan para muridnya. Ketiga, pandai
menyimpan rahasia muridnya, tidak bergaul dan
bercengkerama dengan murid secara berlebihan.
Keempat, ucapan dan tindakan seorang guru
sufi harus bersih dari hawa nafsu dan keinginan,
serta ikhlas dan lapang dada. Kelima, keharusan
bisa memerintahkan kepada para muridnya ber-
khalwat, menyediakan tempat khalwat, menjadi
wasilah yaitu perantara doa pada Allah sehingga
terkabul, dipercaya sebagai orang saleh. Mereka
yang saleh yang sudah meninggal pun sering disebut
di dalam setiap doa dalam arti dan fungsi itu.
Keenam, selalu berusaha agar para muridnya tidak
melihat tingkah-lakunya yang membuat rasa hormat
para muridnya itu menjadi berkurang kepadanya.
Ketujuh, mencegah kepada para muridnya untuk
banyak makan, melarang berhubungan atau belajar
(tawajjuh) kepada syekh dari tarikat lain, melarang
murid berhubungan dengan pejabat yang dapat
membangkitkan nafsu dunia.
Sementara itu, sastra memiliki hubungan
yang erat dengan kehidupan manusia. Musyafa’
dalam artikelnya menanggapi ungkapan Pramudya
Ananta Toer dalam Bumi Manusia, “Kalian boleh
maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar
kesar janaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra,
kalian tinggal hanya hewan yang pandai.”. Pernyataan
itu secara simbolis mengacungkan tanda seru
tentang pentingnya sastra bagi peradaban umat
manusia. Seorang tidak cukup hidup hanya dengan
pikiran, tetapi juga ada imbangan budi pekerti.
Sastra diangankan membentuk manusia yang
berkesadaran utuh, berjati diri dan berkeutamaan.
Pernyataan itu menggambarkan tentang bagaimana
nilai pendidikan karakter yang dapat digali dari
dunia sastra.
Pembelajaran sastra entitasnya diharapkan
mampu mengolah watak pelajar, meliputi pandangan
hidup atau pola pikir yang mendorong ketegasan
sikap dan perilaku. Kini, ketika persoalan karakter
diangkat menjadi garapan pendidikan, sastra patut
diacu sebagai media sekaligus sumber pendidikan
karakter yang bercita menyelamatkan moralitas
bangsa dan membentuk peradaban luhur. Pilihan
ini tentu didasarkan pada potensi nilai-nilai karya
sastra yang dapat disemaikan melalui pergulatan
kesastraan secara implicit, bukan lagi menjadi
pengetahuan yang diajarkan secara langsung. Sudah
jamak disadari bahwa pengalaman negara maju
dalam penanaman kebudayaannya menjadikan
pilihan karya sastra sebagai pintu pendidikan yang
pertama-tama, khususnya kekayaan akan nilai dan
pendidikan karakter suatu bangsa.
Sementara itu, kemampuan berbahasa
hakikatnya adalah artikulasi seseorang atas pikiran
dan pendapat (logos), gairah dan perasaan (phatos)
serta adab dan susila (ethos). Tumbuh kembangnya
bahasa, termasuk fungsinya sebagai medium ujaran
dan manifestasi kesusastraan, turut menentukan
sifat dan tingkat peradaban suatu masyarakat.
Sejak awal pengajaran sastra terintegrasi dalam
kurikulum Bahasa Indonesia. Paket ini secara tidak
langsung mengesampingkan sastra, sedangkan
kurikulum bahasa tampak terperangkap sekadar
memerkarakan tata bahasa “yang baik dan benar”
dalam acuan komunikasi fungsional. Pengetahuan
sastra di kelas-kelas kurang mendapat saluran
karena keterbatasan alokasi waktu, sehingga jamak
siswa sekadar hafal sejumlah nama sastrawan dan
judul bukunya. Kecuali itu, siswa tidak diarahkan
membaca karya-karya sastra itu sendiri secara riil,
tidak dikondisikan untuk mencerap dan menghayati
nilai-nilai karya sastra yang ada.
Pelajar dan mahasiswa yang dicitakan
menjadi insan berkeutamaan (berkarakter) dapat
ditempa melalui sastra. Hal ini didasarkan atas
pertimbangan sebagai berikut. Pertama, sastra
menawarkan alternatif moral agar seseorang
mencapai keteguhan sejumlah sikap, berpikir
dewasa dan sadar akan multikulturalitas. Pergulatan
Sutejo, Nilai Pendidikan Karakter Seorang Guru dalam Trilogi Novel Syaikh Siti Jenar Karya Agus Sunyoto176
dengan sastra memungkinkan siswa memasuki
ragam situasi imajinatif yang sekaligus menuntut
pembayangan dan penempatan sikap dalam situasi
yang dibangun di dalam karya sastra. Novel seperti
Harimau! Harimau! (Mochtar Lubis), Salah Asuhan
(Abdoel Moeis) atau Para Priyayi (Umar Kayam)
adalah karya yang mewartakan nilai-nilai humanitas.
Demikian juga atas novel-novel mutakhir macam
Laskar Pelangi karya Andrea Hirata kuat dengan
nilai-nilai pendidikan yang adiluhung.
Selanjutnya, novel Saman dan Larung karya Ayu
Utami kuat dengan nilai-nilai pendidikan demokrasi,
HAM, emansipasi, dan nilai kemanusiaan. Terlebih,
jika kita mau menengok novel-novel mutakhir
yang diadaptasi dari cerita Jawa seperti Ramayana,
Baghawat Gita, Semar, dan sejenisnya yang diterbitkan
oleh penerbit Diva Press menarik karena kuat
dengan nilai-nilai kebudayaan Jawa. Khusus
trilogi novel Syaikh Siti Jenar karya Agus Sunyoto
menawarkan berbagai nilai-nilai kehidupan yang
menarik, terutama nilai berguru yang meliputi nilai
karakter seorang guru di satu sisi dan di sisi lain nilai
karakter seorang murid yang menarik untuk dimiliki
para guru dan murid dalam konteks pendidikan
mutakhir.
Kedua, sastra mengajak menyelami fakta-fakta
sosial secara lebih mendalam. Sastra menghimpun
suatu pengetahuan tentang masyarakat dan memiliki
relevansi dengan kehidupan yang bisa diserap
menjadi pengalaman sosial bagi pembacanya
sehingga menumbuhkan kepekaan sosial dan sikap
kritis. Bisa dibaca, misalnya, dalam novel tetralogi
Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer,
Ronggeng Dukuh Paruk, Jantera Bianglala, dan Lintang
Kemukus Dini Hari serta Bekisar Merah karya Ahmad
Tohari dan Saman dan Larung Ayu Utami.
Ketiga, sastra menawarkan nilai-nilai religi
yang menyampaikan misi profetik. Tampak pada
karya-karya Danarto, taruhlah kumpulan cerpen
Godlob, Adam Ma‘rifat dan Berhala. Atau novel Di
Bawah Lindungan Ka‘bah karya Hamka, dan Khotbah
di Atas Bukit karya Kuntowijoyo. Karya-karya
demikian menawarkan nilai-nilai religiusitas yang
menarik untuk dikaji dan diinternalisasikan dalam
pembelajaran sastra.
Hal yang tak kalah penting adalah kekuatan
sastra yang mampu memacu gairah kreativitas,
merayakan imajinasi dan membebaskan diri.
Di samping membaca, menulis karya sastra,
secara langsung mendorong siswa memahami
suatu realitas yang dihadapi dan menyadari
pandangan dirinya, sekaligus berkompromi dengan
pelbagai kepentingan di luar dirinya. Novel Laskar
Pelangi misalnya karya Andrea Hirata yang telah
diterjemahkan ke dalam 34 bahasa dan terbit di
130 negara (Kompas, 27/7/2015:32) sesungguhnya
adalah inspirasi akan nilai-nilai pendidikan karakter
yang dimiliki oleh seorang murid yang ingin
berbakti kepada guru tercinta: Muslimah. Sosok
guru dan murid terikat dalam satu kesatuan rasa,
emosi, nilai, sikap, kreativitas, dan etos yang luar
biasa sehingga mampu menggerakkan sang murid
dalam pendakian kehidupannya. Tidak heran, jika
novel ini mendapatkan apresiasi yang luar biasa
dalam perjalanan dunia sastra di Indonesia. Begitu
banyak pengakuan terhadap novel yang telah
mampu mengubah seseorang, terinspirasi dan
tergerakkan menjadi generasi muda yang handal
dan menantang. Hal ini sebagaimana pernah
ditayangkan sebuah stasiun televisi melalui program
Kick Andy yang menghadirkan para saksi pembaca
Laskar Pelangi, ibu Muslimah, dan sang pengarang
Andrea Hirata.
Agenda pendidikan karakter tampaknya
harus memperbarui cara pandang pengajaran
Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah. Tidak
lagi menempatkan bahasa sekadar perangkat
komunikasi verbal, tetapi juga komunikasi simbolik
yang sarat makna seperti terkandung di dalam
ujaran sastra. Pengajaran bahasa dan sastra mesti
diproyeksikan untuk membangun budaya literasi
serta membentuk pelajar kreatif dan produktif.
Saatnya para guru bahasa membuka mata akan
potensi dalam karya sastra sehingga menuntut
kreativitas guru untuk mampu memanfaatkannya
sebagai media pembelajaran berbasis karakter.
Tanpa kesadaran dan kreativitas guru sastra maka
pembelajaran sastra akan terjebak pada kognitivasi
sastra, pembelajaran tentang sastra bukan pada
pelibatan internalisasi nilai dalam karya sastra.
JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 177
Sastra sebagai cerminan keadaan sosial budaya
bangsa haruslah diwariskan kepada generasi
mudanya. Menurut Herfanda (2008:131), sastra
memiliki potensi yang besar untuk membawa
masyarakat ke arah perubahan, termasuk perubahan
karakter. Selain mengandung keindahan, sastra
juga memiliki nilai manfaat bagi pembaca. Segi
kemanfaatan muncul karena penciptaan sastra
berangkat dari kenyataan sehingga lahirlah suatu
paradigma bahwa sastra yang baik menciptakan
kembali rasa kehidupan. Penciptaan karya sastra
yang terjadi secara berjalinan dan berkelindan
dengan kehidupan penulis dan pembaca akan
melahirkan pengalaman kehidupan yang menarik
dan alami. Namun, kenyataan tersebut di dalam
sastra dihadirkan melalui berbagai tahap proses
kreatif. Dengan demikian, potensi bahan-bahan
tentang kenyataan kehidupan dapat dipahami
melalui proses penafsiran baru oleh pengarang di
satu sisi dan di sisi lain dineterpertasikan ke dalam
nilai-nilai baru oleh para guru dan murid sebagai
pembacanya.
Untuk inilah, keberadaan sastra seringkali
dikaitakan sebagai media pendidikan karakter,
yaitu sastra sebagai media pembentuk watak
moral peserta didik, dengan sastra kita bisa
mempengaruhi peserta didik. Karya sastra dapat
menyampaikan pesan-pesan moral baik secara
implisit maupun eksplisit. Dengan mengapresiasi
cerpen, novel, cerita rakyat, dan puisi, akan
dapat membentuk karakter peserta didik, sastra
mampu memainkan perannya dalam kehidupan
nyata. Nilai-nilai kehidupan itu diantaranya adalah
kejujuran, kebaikan, persahabatan, persaudaraan,
kekeluargaan, keikhlasan, ketulusan, kebersaman,
kerja keras, kebaktian kepada guru, takdim,
semangat, komitmen, dan lain sebagainya yang
berhubungan dengan pendidikan karakter. Tugas
guru memang sebagai penyemai dan penjaga
taman imajinasi (karya sastra) itu sehingga mampu
mendampingi anak didik dalam memanen nilai-nilai
kehidupan yang bermanfaat.
Objek penelitian ini adalah trilogy novel Syaikh
Siti Jenar karya Agus Sunyoto yang dipandang kuat
dengan nilai pendidikan karakter yang menarik
untuk diteladani. Khususnya yang berkaitan dengan
karakteristik guru dalam proses berguru. Adapun
tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan nilai
pendidikan karakter ideal seorang guru dalam trilogi
novel Syaikh Siti Jenar karya Agus Sunyoto.
METODE
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif
kualitatif. Penentuan jenis penelitian ini disesuaikan
dengan permasalahan, sifat, maupun tujuan
penelitiannya. Objek penelitian ini adalah karya
sastra berupa novel yang ditulis Agus Sunyoto
berdasarkan hasil penelitian teks selama beberapa
tahun. Karya sastra yang berupa trilogi novel
Syaikh Siti Jenar, terdiri atas (1) Suluk Abdul Jalil:
Perjalanan Ruhani Syaikh Siti Jenar [1] dan [2]; (2)
Sang Pembaharu: Perjuangan dan Ajaran Syaikh Siti
Jenar [3], [4], dan [5]; dan (3) Suluk Malang Sungsang:
Konflik dan Penyimpangan Ajaran Syaikh Siti Jenar [6]
dan [7].
Adapun pendekatan yang dipilih untuk mengaji
trilogi novel Agus Sunyoto adalah (i) pendekatan
mitopoik, (ii) pendekatan sufistik, (iii) pendekatan
etnografi, (iv) pendekatan fenomenologis, dan (v)
pendekatan objektif. Kelima pendekatan dipilih
dengan alasan sebagai berikut.
Sumber data dalam penelitian ini adalah
trilogi novel Syaikh Siti Jenar. Dalam teori mimetik,
karya sastra itu merupakan tiruan, potret, dan
refleksi sosial pengarang. Trilogi novel Syaikh Siti
Jenar hakikatnya juga merupakan refleksi sosial
masyarakat yang menggambarkan sosok ideal
seorang guru. Sebagai ‘fakta sosial imajinatif ’ trilogi
novel ini akan menjadi sumber data penelitian yang
dipergunakan untuk menemukan representasi
spiritualitas Islam-Jawa.
Data penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini berupa data primer, yakni data yang
diperoleh dari sumber data yang telah berkaitan
dengan sosok ideal seorang guru. Data yang
dimaksud adalah data-data yang mempresentasikan
tentang karakteristik seorang guru yang ideal.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian
kualitatif dengan sumber data berupa novel
adalah teknik baca, simak, catat (cuplik). Teknik
ini menuntut peneliti sebagai instrumen kunci
melakukan pembacaan, penyimakan, pecatatan
Sutejo, Nilai Pendidikan Karakter Seorang Guru dalam Trilogi Novel Syaikh Siti Jenar Karya Agus Sunyoto178
secara cermat, terarah, dan teliti terhadap sumber
data. Sedangkan, teknik pustaka menyaran pada
pengambilan data dari sumber-sumber tertulis
oleh peneliti sebagai instrumen kunci beserta
konteks yang mendukungnya. Selanjutnya, dianalisis
baik secara induktif maupun deduktif untuk
menemukan nilai pendidikan karakter yang ada.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian ini yang dideskripsikan
adalah ajaran tentang sosok ideal seorang guru.
Guru dalam tradisi berguru, memiliki peran
strategis sehingga karakter seorang guru akan
menjadi penggerak dalam proses berguru seorang
murid. Demikian juga, murid yang berhasil dalam
mememasuki proses berguru dituntut memiliki
seperangkat karakter agar ajaran berguru yang
digelutinya berhasil secara optimal, baik secara ilmu
maupun ngelmu (lelaku).
Tokoh utama San Ali dalam trilogi Syaikh
Siti Jenar adalah gambaran ajaran berguru yang
mencerminkan sosok guru yang ideal khas Islam-
Jawa, lintas agama, lintas waktu, lintas geografis,
dan lintas etnik budaya. Dalam proses bergurunya,
ia mencerminkan sosok murid yang idel. Proses
pengembaraan berguru San Ali membentuknya
menjadi diri pribadi yang kompleks: “multiwarna”
pengalaman ruhaninya, “multilaku” ajarannya,
multibudaya bungkusnya, multisiasah pandangan
dan strategi dakwahnya, multiguru penggaliannya
dalam lintas batas geografis dan agama. Sebuah
sinkretisme ajaran yang bermuara pada teologi
hakiki-falsafi bukan pada sebuah bentuk “formal”
agama saja. Guru-guru ruhani dalam perjalanan
berguru khas Islam-Jawa tidak saja bersifat formal
tetapi juga tidak formal. Bagi San Ali semua orang
adalah guru dan semua tempat adalah sekolah
(pondok) belajar ruhani.
Gur u-gur u r uhani Abdul Ja l i l dapat
diidentifikasikan sebagai berikut: (i) Syaikh Datuk
Kahfi, (ii) Ki Samadullah, (iii) Rs Samsitawratah,
(iv) Syaikh Ibrahim as-Samarkandy, (v) Ario
Abdilah (Aria Damar), (vi) Syaikh Datuk Ahmad,
(vii) Abdul Mahjubin, (viii) Ahmat at-Tawalud, (ix)
Abdus Syukur ar-Rajut, dan (x) ‘Ainur Barazikh.
Sedangkan guru-guru spiritual yang secara tidak
langsung yang ia pelajari melalui buku-buku tasawuf
adalah (i) Syaikh Abdul Mubdi al-Bagdady, (ii) Abu
Mansyur al-Hajaj, (iii) Abu Yazid Bustami, (iv) Abu
Said al-Kharaz, (v) Abu Bakar al-Kalabazi, (vi) Abul
al-Qasim al-Qusyairy, (vii) Muhyiddin Ibnu Araby,
(viii) al-Ghazali, dan (ix) Abdul Karim al-Jaili.
Tradisi berguru dalam tradisi sufisme bisa
secara langsung maupun tidak langsung (imajiner).
Secara imajiner berguru dapat melalui sikap,
pandangan, pemikiran, dan pengalaman rohaninya
untuk dijadikan pegangan hidupnya. Menurut
Mulkan, Syaikh Siti Jenar sebagai seorang guru
spiritual, pemikirannya dapat dikelompokkan ajaran
tentang Tuhan, hidup dan mati, jalan mengenal
Tuhan, dan bagaimana menjalankan hidup di dunia
ini (2009:12-13).
Dalam trilogi novel Syaikh Siti Jenar, ajaran
berguru begitu menonjol melalui tokoh utama
Syaikh Siti Jenar yang memunyai nama muda
San Ali. Nama San Ali pemberian dari ayah
angkatnya Danuselo yang berarti ‘sembilan ekor
kumbang hitam’ (SAJ PR SSJ[1]:36). Ajaran
berguru sebagaimana tercermin dalam perjalanan
ruhaninya adalah sebuah inspirasi makna, hakikat,
dan nilai pendidikan yang menarik untuk ditelusuri
secara mendalam. Uniknya, perjalanan berguru
Abdul Jalil lintas agama, lintas geografis, dan
lintas fisik. Perjalanan berguru Abdul Jalil seakan
menginspirasikan adagium ‘setiap orang adalah guru
dan setiap tempat adalah sekolah (pesantren/padepokan)’.
Dengan begitu, makna pelajaran ruhani menyebar-
pendar dalam segala pergulatan ruhaninya dengan
ayat-ayat kauniyah-Nya. Dalam proses berguru,
tokoh utama San Ali tergambarkan diri sebagai
salik yang suka lelaku, tirakat, meditasi, dzikir,
mengembara, puasa, dan membalut dengan rasa
takut kepada Allah.
S an A l i ad a l ah fig u r a s i s a l i k y ang
menerjemahkan pesan kearifan Athaillah, “Sebaik-
baik ilmu adalah ilmu yang diiringi rasa takut
kepada Allah.” (2012:248). Iringan rasa takut
sebagai wujud penghambaan kepada Khaliq karena
ilmu dalam pandangan Al-Ghazali dinisbahkan
sebagai sebab pertama kesombongan manusia
(2005:252). Fadhlalla mengritisinya dengan pesan
penting berikut, “Pengetahuan adalah sumber
JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 179
kekuatan. Jika engkau tidak mendekatinya dengan
sikap yang benar, ia akan membuatmu menderita,
akan menguasimu. Engkau memiliki kepekaan,
kesadaran, dan kehati-hatian supaya bisa mengambil
manfaat dari pengetahuan sejati (2012:248).
Peran guru (mursyid) dalam menempuh
perjalanan ruhani (ajaran tasawuf) begitu fungsional.
Guru sejati dalam mistikisme Islam-Jawa memiliki
hubungan batin antara guru dan murid. Mereka
memiliki siasah yang banyak untuk mengajarkan
ilmu keruhaniannya kepada murid-murid dan
masyarakat umumnya. Berikut representasi ideal
pendidikan karakter seorang guru yang dapat
ditemukan.
Karakter Penulis
Tradisi yang dibangun Abdul Jalil yang
terpenting adalah tradisi menulis. Tugas-tugas yang
berat sebagai guru dipandang sebagai tantangan
untuk menelorkan gagasan menulis. Menulis sebagai
wasilah ilmu tampaknya disadari betul oleh Abdul
Jalil dan secara tidak langsung menumbuhkan tradisi
membaca. Tradisi menulis yang dibangun Abdul
Jalil hakikatnya pentingnya mengawinkan membaca
dengan menulis. Sebagaimana isyarat surat Al-
‘Alaq, yang menyandingkan membaca dengan
pena, secara metaforik menuntun manusia akan
pentingnya kemampuan menulis sebagai sarana
pembelajaran terpenting. Ayat keempat menyatakan,
“yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam.”
Pena, kalam, menulis, dengan sendirinya, akan
meneguhkan proses dialogis dalam pembacaan
sebelum terekspresikan dalam tulisan.
Kejayaan sejarah pemikiran Islam tumbuh
dalam konteks mengawinkan membaca dan menulis
ini sehingga disegani. Suatu realita pahit umat Islam,
dan tidak banyak disadari, bahwa kemunduran
pemikiran Islam berawal pada abad ke-13 ketika
buku-buku pemikiran (sebagai simbol peradaban
Islam) dibakar dan dilemparkan ke Sungai Euphrat,
sehingga airnya menjadi hitam oleh tinta sekian
banyak buku (Darma dalam Sularto, 2004:71).
Dalam sejarah peradaban pemikiran,
membaca dan menulis (buku) identik dengan ilmu
pengetahuan dan kebudayaan. Kesadaran demikian
tampaknya yang disadari Abdul Jalil sehingga
mengajak kolega guru ruhani untuk menuliskan
‘pengalaman pengembaraan’ ke dalam tulisan
berupa cerita. Jika menengok sejarah peradaban
Islam, cerita merupakan metode pembelajaran
baik yang dilakukan Allah dan nabi Muhammad
saw kepada umat manusia. Menyadari hal demikian
maka Abdul Jalil melakukan gerakan menulis di
kalangan guru ruhani.
“Sadar bahwa tugas belum selesai dan sesuatu yang tak menyenangkan bakal terjadi, Abdul Jalil buru-buru mengumpulkan mereka yang selama itu telah menunaikan tugas untuk mencatat dan menyusun cerita-cerita, dongeng-dongeng, adab, dan ajaran jalan hidup yang berdasar Tauhid. Karya mereka itulah yang bakal digunakan untuk memperkuat nilai-nilai baru yang telah ditebarkannya, yaitu nilai-nilai baru berdasar penghormatan dan keseimbangan yang bakal menggantikan nilai-nilai lama yang sudah tidak sesuai tuntutan perubahan. Di antara mereka itu adalah Raden Sahid, Raden Sulaiman, Ki Gedeng Pasambangan, Syaikh Abdul Malik Israil, Syaikh Bentong, Ki Sarajaya, dan Ki Luwung Seta. Ia merasa senang saat mengetahui mereka ternyata telah menyelesaikan pekerjaannya dengan baik meski belum sempurna.” (SMS KPA SSJ[1]: 38).
Dari kutipan di atas, tampak tradisi menulis
dibudayakan oleh Abdul Jalil sebagai upaya untuk
mengubah tradisi dan jalan hidup berdasarkan
tauhid Islam. Jika mengaji peradaban Islam yang
diinspirasikan Allah di muka bumi memang
bermula dari membaca dan menulis. Inspirasi ini
tampak pada kehadiran surat Al-‘Alaq, Al-qalam,
Al-Muzammil, dan Al-Mudatstsir adalah simbol
akan pentingnya ilmu pengetahuan (membaca dan
menulis). Surat-surat turun berurutan diterima nabi.
Al-‘Alaq simbol pentingnya membaca dan menulis.
Al-qalam adalah pentingnya transformasi ilmu
melalui proses wasilah menulis. Al-Muzammil adalah
simbol untuk belajar secara intensif. Al-Mudatstsir
adalah simbol untuk beribadah (karena proses
kerasulan dimulai dari surat ini, yang kemudian
diikuti turunnya surat Al-Fatihah sebagai inti bacaan
shalat (Sutejo, 2010:vii).
Surat al-‘Alaq dan al-Qalam dikatakan simbol
akan pentingnya membaca dan menulis dengan
pemikiran berikut. Pertama, isyarat al-Quran (al-
Sutejo, Nilai Pendidikan Karakter Seorang Guru dalam Trilogi Novel Syaikh Siti Jenar Karya Agus Sunyoto180
‘Alaq), diksi bacalah diulang sampai dua kali. Pada
kalimat pertama, kata bacalah kemudian diulang
dalam kalimat selanjutnya, bahkan pada ayat
keempat diikuti dengan kata “pena” (al-qalam).
Kedua, konteks sosial surat al-‘Alaq sesungguhnya
perintah yang tidak perlu ditafsirkan secara
rumit karena perintah itu sudah konkret. Dalam
pemahaman tafsir, sebuah perintah yang tak tidak
terdapat pengecualiannya berarti wajib untuk
dilaksanakan.
Hal-hal inilah yang penting disadari, ternyata
membaca dan menulis itu menjadi intisari kerasulan
nabi, bahkan nabi kita diajari membaca langsung
oleh malaikat Jibril. Tidak saja itu, tetapi juga
masalah wudlu dan sholat, nabi Muhammad
diajari langsung oleh Jibril sebagaimana hadis
yang berbunyi, “Aku didatangi Jibril as, pada awal-
awal turunnya wahyu kepadaku. Dia mengajarkan
kepadaku wudlu dan sholat” (Mustofa, 2008).
Kesadaran akan pentingnya menulis inilah
maka gerakan menulis dilakukan oleh Abdul Jalil.
Adapun materi yang ditulisnya berupa cerita-
cerita, dongeng-dongeng, adab, dan ajaran jalan
hidup yang berdasar Tauhid; mengingatkan akan
pentingnya ajaran akhlak dan ketauhidan dalam
kehidupan masyarakat Islam. Bentuk cerita dan
dongeng, misalnya, menginspirasikan bahwa
dengan cerita ‘kesadaran seseorang’ akan mudah
disentuh karena melibatkan potensi bawah sadar di
satu sisi dan pada sisi yang lain mampu mengajarkan
nilai-nilai Islam secara tidak langsung.
Ada ungkapan yang mengatakan bahwa
‘pena lebih tajam daripada pedang’. Dalam dunia
motivasi dikenal pula ada ungkapan, “Kita tidak
dapat mengubah seseorang kecuali mengubah pola
pikirnya.” Dua ungkapan demikian mengingatkan
(a) bahwa jika ‘perang budaya’ akan lebih efektif jika
menggunakan pena, (b) dengan pena ‘perjuangan’
dapat berlangsung secara terus-menerus (wasilah),
(c) pena itu dapat mengubah pola pikir dan hati
manusia, dan (d) pentingnya gerakan budaya
‘menulis’ yang dipelopori oleh Abdul Jalil.
Kesadaran tulisan sebagai ‘senjata perang’
disadari betul oleh para guru ruhani sehingga yang
dibutuhkan adalah memilih ‘prajurit’ yang mahir
menggunakannya. Jika menengok peradaban besar
dari berbagai negara maju “perang pena” ini sudah
menjadi realita konkret yang meneguhkan bentuk
penjajahan baru di bidang ilmu pengetahuan.
Negara-negara maju dengan modal kapital dan
investasi besar mampu menggiring “negara
berkembang” berkiblat kepadanya. Dalam ajaran
yang dikembangkan Abdul Jalil jauh abad, pena
sudah disadari sebagai “senjata perang” untuk
membangun peradaban baru. Namun mengingat
masyarakat Nusa Jawa yang masih buta huruf maka
senjata itu harus diubah dan memilih prajurit yang
tepat untuk memakainya. Metafora itu sebagaimana
tampak dalam kutipan di bawah ini.
“Dengan suara berkobar-kobar penuh semangat ia berkata, ’’Ibarat orang maju ke medan perang semua naskah itu ialah senjata ampuh yang akan menjadi salah satu penentu kemenangan. Lantaran itu, yang kita butuhkan sekarang adalah para prajurit yang unggul dan pandai dalam menggunakan senjata tersebut.’’ (SMS KPA SSJ[1]:40).
Dari kutipan di atas, diajarkan nilai penting
tentang perlunya kemampuan menulis bagi para guru
ruhani. Jika menarik dalam konteks kekinian, maka
para guru di dunia pendidikan perlu meneladani apa
yang telah dilakukan oleh para guru ruhani macam
Raden Sahid, Ki Pasembangan, Syaikh Bentong,
Syaikh Abdul Israil, dan Raden Sulaiman. Jika para
guru melakukannya maka perubahan peradaban
dapat diperjuangkan dengan mudah karena pena
hakikatnya adalah “pedang” atau “senjata” ampuh
yang mampu menaklukkannya.
Karakter Pendongeng
Abdul Jalil ketika melakukan gerakan budaya
menulis bersama sahabat-sahabatnya, menyadari
betul realita masyarakat yang dihadapi mayoritas
buta huruf. Pada saat itu, mereka yang memiliki
kemampuan membaca baru berpusar di kalangan
keraton Majapahit dan Pasundan. Sejak itulah,
dimunculkan tradisi suluk dan mendongeng. Sebuah
upaya lebih mendekatkan ajaran perubahan untuk
mengubah tatanan lama melalui tradisi lisan (mulut
ke mulut). Di sinilah maka guru dituntut memiliki
karakter pendongeng. Jika nabi Muhammad saw.,
adalah pendongeng dan pencerita maka guru
ruhani (termasuk guru mutakhir) dituntut memiliki
JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 181
kemampuan mendongeng dan bercerita pula.
Kutipan berikut menunjukkan itu.
“Tentu saja tidak mungkin melakukan cara itu,’’ kata Abdul Jalil. ’’Sebab penduduk di Pasundan dan Majapahit yang bisa baca dan tulis hanya kalangan kraton. Pada hal, kita ingin menyebarkan ini ke seluruh penduduk. Menurutku, semua naskah harus disampaikan dari mulut ke mulut hingga dipahami oleh semua orang.” (SMS KPA SSJ[1]:40).
Gambaran di atas menunjukkan kecerdasan
guru ruhani dalam mengembangkan dakwah di
kalangan masyarakat sebelum mengenal baca-
tulis. Karena itulah Abdul Jalil memutuskan untuk
(a) mengubah naskah-naskah yang telah ditulis
ke dalam karya sastra agar mudah dipahami, dan
(b) mengubah naskah buku menjadi materi cerita
(dongeng) kepada masyarakat yang diberikan secara
berkeliling. Guru ruhani yang dipilih Abdul Jalil
untuk mengembara dan mengembangkan dongeng
berkeliling adalah Raden Sahid dan temannya.
Je jak mendongeng (bercer i ta) dalam
masyarakat Jawa pernah mengalami masa-masa
keemasan meskipun akhirnya surut. Kesadaran
akan pentingnya mendongeng dalam dunia
pendidikan mutakhir disadari kembali sehingga
beberapa kelompok masyarakat mengusulkan
adanya revitalisasi dongeng. Jika menengok sejarah
peradaban Islam, cerita atau dongeng ini sangat
dominan dalam pengemasan ajaran Islam, baik
hadist-hadist nabi dan pengisahan ajaran Islam
di dalam al-Quran. Dalam penyebaran ajaran
tasawuf, teknik cerita banyak dimanfaatkan untuk
menginspirasi perjalanan ruhani salik dengan
menggunakan simbol dan idiom yang inspiratif.
Karakter Arif dan Alim
Salah satu syarat seorang guru adalah memiliki
sifat alim dan ahli dalam memberikan bimbingan
kepada murid-muridnya. Abdul Jalil selalu
memberikan bimbingan kepada masyarakat yang
mengalami kesesatan pandangan dan pikirannya.
Berikut dikutipkan sikap kearifan Abdul Jalil dalam
memberikan tuntutan kepada masyarakat dan
murid-muridnya yang terjebak pada ‘kejahilihan’.
“Bagi Abdul Jalil, seorang ‘arif, manusia yang sudah terbangun dan tercelikkan mata hatinya, adalah manusia yang sadar bahwa ia harus menghancur-leburkan keakuan pribadi beserta pamrih-pamrih duniawi demi lahirnya suatu kehidupan baru yang selaras dan seimbang dengan hukum-hukum kauniyah. Ya, seorang ‘arif harus menjadi gumpalan awan yang rela menghamburkan khazanah air yang dikandungnya sebagai hujan demi tumbuhnya benih-benih kehidupan baru. Atau, seperti bumi yang merelakan dirinya diinjak-injak, dilukai dengan cangkul dan bajak, diludahi, dikencingi, bahkan diberaki demi kelangsungan hidup para penghuninya. Dan di atas itu semua, seorang ‘arif haruslah meneladani gerak kehidupan Nabi Muhammad Saw, sang limpahan rahmah bagi alam semesta (SP PA SSJ[2]:194-195).
Kutipan di atas menggambarkan kompleksitas
seorang guru ruhani: meleburkan sifat keakuan
diri, tidak pamrih, sadar kauniyah, menjadi bumi,
memiliki cinta kasih, pembaharu, insan kamil, dan
mampu menjadi pemimpin di muka bumi sebagai
wakil Allah. Untuk itu, dapatlah dipahami bahwa
guru dalam tradisi tasawuf memegang kunci dalam
membimbing perjalanan ruhani seorang salik
(murid). Kearifan diri dan kepemilikan pengetahuan
(alim) yang cukup merupakan karakter penting
seorang guru ruhani. Kearifan dengan sendirinya
merupakan “keindahan” sendiri bagi seorang
penempuh jalan ruhani.
Kear i fan da lam ungkapan ar i f Jawa
dikemukakan, “Sapa wruh kembang tepus, iku bisa
angarah panuju, yekti datan adoh lan badan pribadi, lamun
kanthi awas emut, selamet tumekaning ndon.” (Siapa yang
tahu kembang tepus (tepa selira), dia dapat mencapai
hati, segala sesuatu tidak jauh dari dirinya, jika
disertai sadar dan waspada, pasti selamat sampai
tujuan). Kearifan sejatinya mempertemukan sudut
pandang dengan toleransi tinggi kepada sesama
(makna metaforis dari kembang tepus).
Karakter Tidak Egois
Makna guru harus mampu meleburkan sifat-
sifat keakuan diri mengisyaratkan makna bahwa
guru spiritual itu hakikatnya teladan yang diri
yang sudah mencapai maqam kasyaf (tersingkap
tabir keakuan diri sehingga mampu mengenali
Sutejo, Nilai Pendidikan Karakter Seorang Guru dalam Trilogi Novel Syaikh Siti Jenar Karya Agus Sunyoto182
suara gaib tentang kebaikan). Keakuan diri dalam
perjalanan umat manusia seringkali melahirkan
kerakusan, keculasan, kepongahan, kesombongan,
dan kesewenang-wenangan sehingga menimbulkan
disharmoni dalam kehidupan sosial masyarakat.
“Bagi Abdul Jalil, seorang ‘arif, manusia yang sudah terbangun dan tercelikkan mata hatinya, adalah manusia yang sadar bahwa ia harus menghancur-leburkan keakuan pribadi beserta pamrih-pamrih duniawi demi lahirnya suatu kehidupan baru yang selaras dan seimbang dengan hukum-hukum kauniyah. Ya, seorang ‘arif harus menjadi gumpalan awan yang rela menghamburkan khazanah air yang dikandungnya sebagai hujan demi tumbuhnya benih-benih kehidupan baru. Atau, seperti bumi yang merelakan dirinya diinjak-injak, dilukai dengan cangkul dan bajak, diludahi, dikencingi, bahkan diberaki demi kelangsungan hidup para penghuninya. (SP PA SSJ[2]:194-195).
Keakuan diri hakikatnya kesombongan.
Ilmu oleh Al-Ghazali dipandang sebagai sebab
utama kesombongan di samping amal ibadah,
harta, garis keturunan, kekuatan, kecantikan,
dan pengikut. Seorang guru ruhani diharapkan
mampu melepaskan keakuan diri sehingga apa yang
dilakukan hanyalah sebuah kewajiban seorang alim,
ibadah, dan penghambaan kepada Allah.
Untuk inilah maka dapat dipahami nilai penting
seorang guru (mursyid) agar mampu melepaskan
keakuan diri (kesombongan). Jika guru ruhani yang
mestinya tawaduk (rendah hati) tetapi sombong
maka akan melahirkan dampak yang tidak positif
kepada para murid dan pengikutnya. Bukankah
hakikat guru itu adalah model bagi para muridnya?
Keakuan adalah hijab besar bagi guru ruhani dan
murid dalam menapaki pendakian spiritualitasnya.
Karakter Tanpa Pamrih
Gur u r uhan i d i tun tu t pu l a mampu
menghilangkan pamrih (baik tersembuyi maupun
terang-terangan). Kehidupan yang penuh pamrih
akan melahirkan kesemuan perilaku sosial
masyarakat sehingga akan melahirkan masyarakat
yang semu. Dalam ajaran aforisme Jawa dikenal ada
ungkapan ‘rame ing gawe sepi ing pamrih’. Guru yang
pamrih dalam bekerja akan mengharapkan sesuatu
dari pekerjaannya seperti pujian dan pemberian dari
orang lain (atasan atau kolega) padahal mengajar
adalah kewajiban dan ibadah wujud pengabdian
Yang Arif.
“Bagi Abdul Jalil, seorang ‘arif, manusia yang sudah terbangun dan tercelikkan mata hatinya, adalah manusia yang sadar bahwa ia harus menghancur-leburkan keakuan pribadi beserta pamrih-pamrih duniawi demi lahirnya suatu kehidupan baru yang selaras dan seimbang dengan hukum-hukum kauniyah. (SP PA SSJ[2]:194-195).
Hal ini sepaham dengan apa yang dikemukakan
Wahyudi. Tanpa pamrih merupakan salah satu
syarat seorang guru ruhani yang penting. Wahyudi
(2007:55) mengungkapkan bahwa salah satu syarat
seorang guru dalam melakukan tugas dan fungsinya
adalah tidak mengharapkan apa-apa (tanpa pamrih).
Syarat yang lain adalah (i) pengasih kepada murid,
(ii) telaten, (iii) memiliki perasaan yang tajam,
(iv) tidak mengambil apa-apa, (v) tidak menolak
pertanyaan, (vi) tidak pelit membagi kecakapan, dan
(vii) tidak memburu pujian (2007:54-55).
Lahirnya manusia-manusia yang tanpa pamrih
menandakan keikhlasan menjalani hidup sebagai
wujud ajaran zakat Syaikh Siti Jenar. Sebab, salah
satu ajaran penting zakat ala Syaikh Siti Jenar adalah
bukan saja pemberian dalam bentuk material tetapi
juga imaterial yang tanpa pamrih kepada sesama.
Jika memiliki kelebihan wawasan, ilmu, kebahagiaan,
cinta, dan kerohanian misalnya, seorang murid
dituntut untuk belajar memberikannya kepada
orang lain tanpa pamrih.
Karakter Alam
Selanjutnya, guru diharapkan menyadarkan
akan adanya hukum alam (keseimbangan kauniyah)
kepada murid-muridnya. Hukum kauniyah adalah
hukum yang tetap, karma dan darma dalam ajaran
Hindu-Budha, dan ngunduh wohing pakerti dalam
ajaran Jawa. Untuk inilah salah satu indikator guru
yang baik dalam ajaran Syaikh Siti Jenar adalah
kemampuannya dalam menginspirasi kesadaran
murid untuk mempunyai sikap darma dan karma
sebagai representasi hukum kauniyah.
Kesadaran akan darma dan karma ini dalam
pandangan Jawa hakikatnya sebuah refleksi
kesadaran (eksistensi kemanusiaan) yang penting
JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 183
dimiliki oleh guru (ruhani). Karma, sebagaimana
diungkapkan Suyono (2008:36) tidak saja berlaku
kepada manusia tetapi merupakan hukum alam yang
harus ada. Guru ruhani penting menyadari ragam
hukum alam (karma) ini untuk bekal pengajaran dan
laku spiritual keguruan yang dilakukannya.
Adapun karma (hukum perbuatan-akibat)
sebagai hukum alam (kauniyah) ini mencakupi: (i)
karma perbuatan baik, (ii) karma tidak melakukan
perbuatan baik, (iii) karma kejahatan, (iv) karma
keluarga atau kelompok, dan (v) karma pribadi.
Guru ruhani yang tidak saja sebagai pribadi tetapi
juga anggota masyarakat penting menyadari
keberadaan hukum alam ini. Jika tidak maka
dampak sistemik dari penggembalaan ruhani yang
dilakukannya bisa berakibat pada “kerusahan alam
kehidupan” secara umum.
Khusus berkaitan dengan karma pribadi,
seorang guru penting merefleksikan diri bahwa
perbuatannya dapat berakibat sekarang (Karma
Prarabdha) dan masa yang akan datang (Karma
Kriypmana). Sementara, pengendalian penumpukan
keinginan yang masih bisa diubah disebut (Sancita)
(Suyono, 2008:36-38). Untuk inilah, guru ruhani
dalam pandangan Syaikh Siti Jenar penting memiliki
pemahaman akan hukum alam, hukum kauniyah,
karma.
Hukum kauniyah hakikatnya adalah hukum
keseimbangan alam. Manusia sebagai mikrokosmos
dan semesta yang tergelar sebagai makrokosmosnya.
Dengan demikian segenap makhluk yang ada
di muka bumi hakikatnya perwujudan sifat dan
dzat Allah dan perbuatan yang terjadi hakikatnya
adalah af ’al (perbuatan) Allah. Dengan kesadaran
demikian guru ruhani menyadari dan mengajarkan
kepada murid-muridnya akan penyaksian diri
atas Semesta yang hakikat Wujud iradah Tuhan.
Athaillah mengungkapkan, “Allah mengizinkanmu
merenungkan apa yang ada di alam, namun Dia tidak
mengizinkanmu berhenti pada benda-benda alam.
‘Katakanlah, perhatikanlah apa yang ada di langit’
(Q [10]:101). Dia membukakan pintu pengertian
bagimu. Dia tidak mengatakan, ‘Perhatikanlah langit
itu,’ supaya tidak menunjukkanmu pada adanya
benda-benda semata.” (2012:161).
Karakter Bumi
Seorang guru diharapkan mampu menjadi
bumi. Filsafat bumi Syaikh Siti Jenar hakikatnya
mengingatkan akan keikhlasan dirinya untuk
diinjak-injak, dilukai dengan cangkul dan bajak,
diludahi, dikencingi, bahkan diberaki demi
kelangsungan hidup para penghuninya. Filsafat
bumi adalah filsafat kehidupan sehingga guru yang
baik diharapkan mampu memberikan kehidupan
kepada murid-murid dan masyarakatnya. Dengan
demikian bahasa metaforik bumi adalah bahasa
keikhlasan di satu sisi dan pada sisi lain merupakan
bahasa pemberian kehidupan. “… Atau, seperti
bumi yang merelakan dirinya diinjak-injak, dilukai
dengan cangkul dan bajak, diludahi, dikencingi,
bahkan diberaki demi kelangsungan hidup para
penghuninya.” (SP PA SSJ[2]:194-195).
Metafor bumi adalah ibu, sumber dan asal
kehidupan. Guru ruhani dengan demikian harus
dapat menjadi sumber dan asal kehidupan bagi
murid-muridnya. Guru sebagai bumi akan menjadi
tempat menjalarnya akar-akar kehidupan bagi
murid-muridnya, menghidupi, menyediakan, dan
mengokohkan batang tubuh murid untuk tegak
hidup dalam kehidupan.
Muara segala kehidupan adalah bumi. Ajaran
menarik yang dapat diambil dari simbolisme bumi
bagi seorang guru akan mengingatkan bahwa
guru harus (i) ikhlas menjadi fondasi berdiri
tegaknya kehidupan sang murid, (ii) tempat
kembali segala persoalan kehidupan, (iii) tempat
penggalian kehidupan, (iv) ikhlas diinjak, difitnah
dan dipersalahkan, serta (v) ikhlas menerima apapun
dampak kehidupan seorang murid. Bumi yang
subur tentunya akan melahirkan tumbuhan yang
subur pula. Bumi yang gersang akan melahirkan
tumbuhan yang tidak subur (meranggas). Metafor
guru sebagai bumi hakikatnya sebangun dengan
makna peribahasa ‘guru kencing berdiri murid
kencing berlari’. Guru hakikat sumber inspirasi dan
pijakan perbuatan kehidupan sang murid.
Dalam spiritualitas Jawa, bumi dipercaya
sebagai isteri matahari (Suyono, 2007:198). Dengan
demikian, bumi adalah ibu yang akan melahirkan
kehidupan bagi semesta, memberikan kehidupan,
dan kembali segala kehidupan. Guru ruhani
Sutejo, Nilai Pendidikan Karakter Seorang Guru dalam Trilogi Novel Syaikh Siti Jenar Karya Agus Sunyoto184
sebagai bumi mengasosiasikannya sebagai sumber
kehidupan.
Karakter Cinta Kasih
Nilai lain dari adab keguruan dalam pandangan
Syaikh Siti Jenar adalah pentingnya guru memiliki
cinta kasih. Cinta kasih (sebagai perwujudan
sifat Allah yang rahman dan rahim) adalah sisi
lain ajaran sosok seorang guru. Guru yang tanpa
cinta dalam praksis pembelajaran spiritual akan
melahirkan sosok yang tanpa cinta pula. Cinta
kasih guru adalah pemberian cinta yang tidak
membeda-bedakan sebagai sosok seorang ‘arif
yang harus meneladani gerak kehidupan Nabi
Muhammad Saw. sang limpahan rahmah bagi
alam semesta. Di sinilah, maka pentingnya cinta
kasih guru untuk menggali, menggerakkan,
menumbuhkan, dan menyempurnakan spiritualitas
murid dan masyarakat sekitarnya. Wahyudi (2007:55)
mengungkapkan bahwa pengasih terhadap murid
syarat pertama seorang guru ruhani. Kutipan
berikut menggambarkan bagaimana cinta kasih
seorang guru ruhani, Datuk Kahfi kepada murid
terkasih, San Ali.
“San Ali menghadap Datuk Kahfi untuk berpamitan. Ini sangat penting baginya sebab selain sebagai guru agung yang menempa pribadi dan cara pikirnya, Syaikh Datuk Kahfi adalah satu-satunya menusia di dunia ini yang memiliki hubungan darah dengannya. Dan lantaran hubungan darah itu, ia menjadi mafhum kenapa guru agung itu begitu memanjakan dan mengistimewakan dirinya dibanding murid-murid lain (SAJ PR SSJ[1]: 87).
Ketika guru memiliki kodrat cinta kasih maka
diharapkan guru mampu: (i) melindungi, karena
hakikat cinta itu melindungi, (ii) menghidupi, karena
hakikat cinta itu menghidupkan bukan mematikan,
(iii) memberi, karena hakikat cinta itu memberi bukan
meminta, (iv) menggerakkan, karena hakikat cinta
itu menginspirasikan energi, sumber motivasi, (v)
membahagiakan, karena hakikat cinta itu kebahagiaan,
dan (vi) mewariskan, karena hakikat cinta itu
melangsungkan kehidupan. Begitulah ketika cinta
kasih seorang guru telah menjadi rahmat alam.
Cinta kasih seorang guru ruhani adalah energi
yang menyelamatkan, energi yang menuntun untuk
bertemu dan bersama Allah.
Karakter Pembaharu
Guru dalam pandangan ajaran Syaikh Siti
Jenar juga harus mencerminkan sifat pembaharu
peradaban hidup. Seorang pembaharu dibutuhkan
sikap kreatif, berani, inovasi, dan ikhlas dalam
melakukannya tanpa pamrih. Keberanian
seorang guru dalam perannya sebagai pembaharu
merupakan hal yang paling penting mengingat
begitu banyaknya tantangan yang muncul dalam
proses pengamalannya. Tetapi, mental guru
pembaharu adalah mental kesabaran dan keikhlasan
dalam menerima segala penilaian yang mengarah
kepadanya.
“Sebagai orang yang sudah ‘terjaga’, aku sadar bahwa keberadaanku sebagai seorang ‘alim adalah pewaris nabi-nabi (al-‘ulama’ waratsat al-anbiya’). Karena itu, sudah menjadi kewajiban asasiku untuk melanjutkan tugas utama para nabi dan rasul, yaitu melakukan perubahan dan pembaruan –terutama menyadarkan manusia tentang keberadaannya sebagai makhluk paripurna (al-insan al-kamil) yang menjadi wakil Allah di muka bumi (khalifah Allah fi al-ardh)– di manapun aku berada. Mengubah dan memperbaharui sesuatu ke arah yang lebih baik, itulah tugas utamaku.” (SP PA SSJ[2]:196).
Gambaran guru sebagai pembaharu terlukis
pada bagaimana sosok Abdul Jalil yang begitu
banyak melakukan pembaharuan di padepokan
Amparan Jati. Kreativitas guru mengingatkan
akan pentingnya guru melakukan upaya-upaya
yang berbeda dari sebelumnya atau menambahkan
variasi di dalamnya. Inovasi guru mendorong guru
untuk menemukan sesuatu sehingga kehidupan
dinamis dan berkembang. Keberanian guru akan
melahirkan sosok yang berani mengambil risiko
dan bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya.
Keikhlasan guru akan menjadi samudera ketika
kreativitas, inovasi, dan keberanian yang diambilnya
mendapat tantangan dan penilaian negatif dari
pihak luar.
Karakter Cakap Berpikir
Pembelajaran di Indonesia yang beroreantasi
life skill hakikatnya berdiri di atas lima ‘konsep dasar
JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 185
kecakapan’, yakni (i) kecakapan personal (personal
skill), kecakapan sosial (social skill), (iii) keterampilan
berpikir logis (thinking skill), (iv) kecakapan
akademik (academic skill), dan (v) kecakapan
vokasional (vocational skill) (Sutejo, 2011:9). Secara
khusus, keterampilan berpikir logis menjadi salah
satu pilar penyangga keberhasilan pencapaian life
skill yang diprogramkan.
Jauh abad sebelum Indonesia merdeka, melalui
tokoh Abdul Jalil dalam trilogi novel Syaikh Siti
Jenar sudah menekankan pentingnya kemampuan
berpikir, baik di kalangan guru ruhani dan para
muridnya. Program mudzakarah (bedah masalah)
secara implisit menuntut seperangkat keterampilan
berpikir: logis, kritis, empiris, analitis, argumentatif,
dan generalitatif. Berpikir logis menuntut logika dan
kejernihan berpikir yang rasional.
Dengan demikian hakikat tersembunyi dengan
perubahan yang dilakukannya, sebenarnya didasari
oleh impian Abdul Jalil akan lahirnya tradisi berpikir
di pesantren. Sebab, selama ini pesantren didominasi
dengan teknik hafalan yang kurang mengedepankan
aspek penalaran. Ragam kecakapan dipergunakan
secara sinergis untuk mengaitkan dengan kejernihan
hati yang merupakan karakter penting pendakian
ruhani. Kutipan berikut menggambarkan analisis
ini.
“… Singkatnya, dengan pembaruannya itu Abdul Jalil menginginkan lahirnya tradisi berpikir yang didasari bukti-bukti (burhani) yang diterangi pancaran mata hati (bashirah). Itu sebabnya, ia menghapus pelajaran hafalan hadits dan memasukkan mata kuliah filsafat, ilmu hikmah, dan ‘irfan.” (SP PA SSJ[1]:201).
Berdasarkan kutipan di atas, tercermin makna
bahwa apa yang dilakukan Abdul Jalil bukan
saja tradisi berpikir yang dikembangkan tetapi
juga pendidikan karakter, yakni melibatkan mata
hati (bashirah) sebagai muara segala spiritualitas
jiwa. Ilmu filsafat, ilmu hikmah, dan ilmu ‘irfan
merupakan ilmu-ilmu penting untuk mendukung
gagasan perubahan yang dilakukannya. Kecakapan
berpikir seorang guru ruhani dengan demikian
merupakan kunci penting akan kualitas keguruan
dan keilmuannya
Karakter Berhikmah
Athaillah menyatakan, “Bermacam kesukaran
(ujian) adalah hamparan pemberian.” (2012:197).
Pernyataan filosofis ini mengingatkan akan
pentingnya ilmu hikmah bagi seorang murid dan
pentingnya bagi guru ruhani untuk mengajarkan
dan meneladankannya. Jika dalam konteks kekinian
digembar-gemborkan tentang pendidikan karakter,
maka sesungguhnya pesan filosofis dari pendidikan
karakter itu jauh hari telah disadari oleh Abdul Jalil
dengan memberikan pelajaran ilmu hikmah, ilmu
filsafat, dan ilmu ‘irfan. Ilmu tanpa hati akan buta,
hati tanpa ilmu tidak akan bercahaya. Hal ini selaras
dengan ungkapan aforistik Athaillah yang berbunyi,
“Berpikir adalah petualangan hati dalam medan
ciptaan Allah” (2012:278).
“… Singkatnya, dengan pembaruannya itu Abdul Jalil menginginkan lahirnya tradisi berpikir yang didasari bukti-bukti (burhani) yang diterangi pancaran mata hati (bashirah). Itu sebabnya, ia menghapus pelajaran hafalan hadits dan memasukkan mata kuliah filsafat, ilmu hikmah, dan ‘irfan.” (SP PA SSJ[1]:201).
Ilmu hikmah adalah ilmu yang terkait dengan
usaha-usaha untuk mencapai keseimbangan yang
sempurna antara ilmu dan amal sehingga tercapai
suatu keadilan (‘adl), yakni meletakkan sesuatu
secara tepat pada tempat yang semestinya. Ilmu
hikmah akan mengantarkan guru ruhani senantiasa
menuntun dan memotivasi murid-muridnya dalam
menghadapi berbagai kesulitan. Athaillah pernah
mengungkapkan bahwa “Datangnya kesukaran
adalah hari raya para murid (mereka yang melatih
diri untuk bertakarub).” (2012:196). Hikmah di
balik ungkapan ini tentunya bagaimana memahami
kesulitan sebagai motivasi. Tuhannya, dalam
firman-Nya memberikan hikmah, “bahwa setiap
kesulitan akan diikuti dengan kemudahan.”
Karakter Ber-irfan
Sedangkan ilmu ‘Irfan lebih ditekankan pada
masalah-masalah yang terkait dengan pengetahuan
Ilahiah seperti Nama-Nama yang terpelihara (al-ism
al-musta’tsar), Nama-Nama Agung (al-ism al-a’zham),
Akhlak yang Mulia (al-akhlaq al-Karimah), makna
rahasia di balik Al-Qur’an, isyarat-isyarat ruhaniah
Sutejo, Nilai Pendidikan Karakter Seorang Guru dalam Trilogi Novel Syaikh Siti Jenar Karya Agus Sunyoto186
dengan takwil-takwilnya, dan segala sesuatu yang
terkait dengan pengungkapan rahasia atas Khazanah
Tersembunyi Ilahi. Kejayaan jihad terbesar dalam
pandangan ‘irfan adalah keberhasilan menaklukkan
nafsu pribadi, sedangkan kejayaan jihad di medan
tempur dianggap keberhasilan kecil.
“… Singkatnya, dengan pembaruannya itu Abdul Jalil menginginkan lahirnya tradisi berpikir yang didasari bukti-bukti (burhani) yang diterangi pancaran mata hati (bashirah). Itu sebabnya, ia menghapus pelajaran hafalan hadits dan memasukkan mata kuliah filsafat, ilmu hikmah, dan ‘irfan.” (SP PA SSJ[1]:201).
Sebagaimana dipahami bahwa ajaran Islam
hakikatnya adalah ajaran tentang iman, Islam,
dan ihsan. Ilmu irfan dengan demikian akan
mengantarkan murid untuk mengembangkan
pengetahuan yang bersinergi dengan filsafat dan
hikmah. Murid yang memiliki pengetahuan (irfan)
memadai akan menjadi bekal dalam perjalanan
ruhani yang ditempuhnya.
Karakter Citra al-Fatih
Pembaharuan lain yang dilakukan oleh Abdul
Jalil sebagai guru adalah dia tidak mau disebut
dengan mursyid, sebaliknya cukup disebut dengan
syaikh yang bermakna guru ruhani. Sebutan
mursyid, dipandang berlebihan dan beraroma
pengkultusan karena memang salah satu yang
dibongkar dalam ajaran berguru Abdul Jalil adalah
tidak mengkultuskan guru ruhaninya. Kutipan
berikut memberikan ilustrasi makna ini.
“Sesuai ajaran Tarekat al-Akmaliyyah yang disampaikannya, yang tidak mengenal mursyid dalam wujud manusia, Abdul Jalil melarang murid-murid untuk menganggapnya sebagai mursyid, yaitu pancaran dari Yang Maha Menunjuki (ar-Rasyid). Mursyid, menurut Abdul Jalil, adalah ar-ruh al-idhafi yang ada di dalam diri pribadi tiap-tiap manusia. Kepada para muridnya Abdul Jalil memperkenalkan keberadaan dirinya sebagai guru ruhani yang berkewajiban membimbing murid untuk mengenal mursyid di dalam dirinya. Itu sebabnya, ia hanya berkenan dipanggil dengan sebutan syaikh (Arab: guru ruhani).” (SP PA SSJ[1]:247).
Untuk memperkuat gerakan perubahan di
pesantren Hamparan Jati, Abdul Jalil menikahkan
Syarif Hidayatullah puteri Ki Gedeng Babadan.
Pernikahan ini dilakukan karena Abdul Jalil menilai
Syarif Hidayatullah sebagai calon guru dan pemimpin
masa depan. Dengan menikahi Nyai Babadan
puteri Ki Gedeng Babadan, pikir Abdul Jalil, maka
Syarif Hidayatullah akan menjadi menantu seorang
gedeng yang berpengaruh dan disegani di Caruban
Larang. Politik pernikahan yang dilakukan Abdul
Jalil dalam waktu depat memberikan hasil yang
siknifikan. Selama membimbing Syarif Hidayatullah,
Abdurrahman Rumi, dan Abdurrahim Rumi diam-
diam Abdul Jalil menemukan dua permata di
antara siswa padepokan. Dua permata itu adalah
Raden Sahid putera Arya Sidik, Adipati Tuban,
dan Raden Qasim, putera Raden Ali Rahmatullah,
Bupati Surabaya. Sesungguhnya, mereka berdua
masih saudara sepupu karena bibi Raden Sahid yang
bernama Nyi Ageng Manila diperistri oleh Bupati
Surabaya, Raden Ali Rahmatullah. Sementara itu,
lantaran usia Raden Sahid, Raden Qasim, dan Syarif
Hidayatullah sebaya, maka Abdul Jalil pun secara
khusus membimbing ketiganya agar kelak dapat
bersama-sama menjadi guru dan pemimpin yang
dibutuhkan zamannya.
Karakter Insan Kamil
Guru juga diharapkan mencerminkan
diri sebagai insan kamil. Jika dalam pandangan
tasawuf insan kamil merupakan puncak pendakian
perjalanan ruhani maka guru berkarakter insan kamil
hakikatnya guru yang tanpa cela, baik lahir maupun
batin. Secara lahir perilaku dan adab kehidupannya
mencerminkan ke-usfatun khasanah-an dan secara
batin mencerminkan diri sebagai manusia yang
memiliki kesadaran kemanunggalan diri dengan
Tuhannya. Segala laku, kata, pikiran, hati hakikatnya
“laku, kata, pikiran, dan hati” Tuhannya. Kutipan
berikut menggambarkan hal itu.
“… Karena itu, sudah menjadi kewajiban asasiku untuk melanjutkan tugas utama para nabi dan rasul, yaitu melakukan perubahan dan pembaruan –terutama menyadarkan manusia tentang keberadaannya sebagai makhluk paripurna (al-insan al-kamil) yang menjadi wakil Allah di muka bumi (khalifah Allah fi al-ardh)– di manapun aku
JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 187
berada. Mengubah dan memperbaharui sesuatu ke arah yang lebih baik, itulah tugas utamaku.” (SP PA SSJ[2]:196).
Dengan memiliki jiwa insan kamil guru ruhani
akan mampu menjadi teladan dan inspirasi bagi
murid-muridnya. Seorang guru yang tidak berpaling
kepada selain Allah. Gerak-laku mengajar dan
membimbingnya adalah keesaan af ’al, sifat, asma Allah
untuk mengantarkan murid-muridnya mencapai
kefanaan. Guru yang mampu mengantarkan murid
melewat alam nasut (alam manusia), alam malakut
(alam malaikat), alam jabarut (alam sifat-sifat), untuk
mencapai alam lahut (ketuhanan).
Karakter Pemimpin
Guru diharapkan memiliki kemampuan
seorang pemimpin di muka bumi sebagai wakil
Allah. Khalifatul fil ardi adalah pesan mendasar lain
yang penting untuk diaplikasikan guru spiritual.
Pemimpin yang menjadi muara air kehidupan dalam
bahasa Syaikh Siti Jenar.
“Sebagai orang yang sudah ‘terjaga’, aku sadar bahwa keberadaanku sebagai seorang ‘alim adalah pewaris nabi-nabi (al-‘ulama’ waratsat al-anbiya’). Karena itu, sudah menjadi kewajiban asasiku untuk melanjutkan tugas utama para nabi dan rasul, yaitu melakukan perubahan dan pembaruan –terutama menyadarkan manusia tentang keberadaannya sebagai makhluk paripurna (al-insan al-kamil) yang menjadi wakil Allah di muka bumi (khalifah Allah fi al-ardh)– di manapun aku berada. Mengubah dan memperbaharui sesuatu ke arah yang lebih baik, itulah tugas utamaku.” (SP PA SSJ[2]:196).
Seorang guru dalam kutipan di atas hendaknya
mencerminkan sosok pemimpin di muka bumi.
Sebagai pemimpin dengan sendirinya, guru ruhani
akan menjadi panutan, penggerak, dan pendorong
perjalanan ilmu dan ruhani murid-muridnya.
Sebagai pemimpin, cermin rahmatan lil’alamin
sebagai citra keteladan nabi Muhammad Saw.
merupakan tuntutan yang tidak bisa ditawar.
SIMPULAN
Dari analisis sebelumnya maka dapat
disimpulkan bahwa nilai karakter seorang guru
dalam temuan penelitian ini digambarkan (i)
berkarakter menulis, (ii) karakter pendongeng, (iii)
karakter arif dan alim, (iv) karakter tidak egois,
(v) karakter tanpa pamrih, (vi) karakter alam,
(vii) karakter bumi, (viii) karakter cinta kasih, (ix)
karakter pembaharu, (x) karakter cakap berpikir,
(xi) karakter berhikmah, (xii) karakter ber-irfan
(xiii) karakter al-fatih, (xiv) karakter insan kamil,
dan (xv) karakter pemimpin. Dengan kualitas
guru sufi demikian maka ia sekaligus akan menjadi
conton (uswah), pembuka, dan inspirasi bagi murid-
muridnya di satu sisi dan pada sisi yang lain ia akan
dapat dipercaya, ditakdimi, dan diikuti perilaku.
Kesimpulan dari analisis tentang ajaran kualitas
seorang guru ruhani dapat diilustrasikan dalam
bagan berupa lingkaran. Secara filosofis bagan
itu mengingatkan akan nilai kualitas seorang guru
ruhani yang harus dipenuhi, melingkari dalam jiwa,
pikiran dan hati. Untuk mengajarkan ilmu Tuhan
yang dalam bahasa Ronggowarsito diungkapan,
“Kang lempeng taksih kawruh, sakawanira tunggal,
ngelmuning Hyang sarengat myang tarekatu, hakikat
miwah makripat, puniko kamil abdlol.” (Pahami benar,
keempatnya tak bisa dipisahkan. Ilmu Tuhan adalah
syariat, tarekat, hakikat dan makrifat. Keempatnya
menjadi sempurna dan utama.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali. 1999. Metode Menjemput Maut: Perspektif
Maut. Bandung: Mizan.
Darma, Budi. 2004. Pengantar Teori Sastra. Jakarta:
Pusat Bahasa, Departemen Pendidikian
Nasional.
Chodjim, Achmad. 2006 (cet. ke-6). Mistik dan
Makrifat Sunan Kalijaga. Jakarta: Serambi Ilmu
Semesta.
Herfanda, A.Y. 2008. Sastra Sebagai Agen Perubahan
Budaya dalam Bahasa dan Budaya dalam
Berbagai Perspektif. Yogyakarta: FBS UNY
dan Tiara Wacana.
Jawa Pos. 2007. “Agus Sunyoto: Mengungkap
Ajaran Siti Jenar” (wawancara). Edisi Jumat
18 Mei 2007, hal. 10.
Mahayana, Maman S. 2005. “Dakwah Agama dalam
Sastra” dalam 9 Jawaban Sastra Indonesia: Sebuah
Orientasi Kritik. Jakarta: Bening Publishing.
Sutejo, Nilai Pendidikan Karakter Seorang Guru dalam Trilogi Novel Syaikh Siti Jenar Karya Agus Sunyoto188
Rumi, Jalaluddin. 2006. Yang Mengenal Dirinya Yang
Mengenal Tuhannya: Aforisme-Aforisme Sufistik
Jalaluddin Rumi. Bandung: Pustaka Hidayah.
Sutejo. 2006. “Tamasya Relijius ke Puncak Diam”
Naskah Pemenang Ketiga Lomba Mengulas
Karya Sastra Program Khusus 2006. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional Dirjend
Dikmenum Bagian Proyek Peningkatan
Perpustakaan Sekolah Pelajaran Sastra.
Sutejo. 2014. Apresiasi Puisi: Memahami Isi, Mengolah
Hati. Yogjakarta: Penerbit Terakata bekerja
sama dengan Spectrum Center.
Sutejo dan Kasnadi. 2010. Apresiasi Prosa: Mencari
Nilai, Memahami Fiksi. Yogjakarta: Penerbit
Pustaka Felicha bekerja sama dengan Spectrum
Center.
Sutejo dan Kasnadi. 2014. Kajian Prosa: Kiat Menyisir
Dunia Prosa. Yogjakarta: Penerbit Terakata
bekerja sama dengan Spectrum Center.
Sutejo dan Kasnadi. 2014. Kajian Puisi: Teori dan
Aplikasinya. Yogjakarta: Penerbit Terakata
bekerja sama dengan Spectrum Center.
Sutejo. 2010. Teknik Kreativitas Pembelajaran.
Yogjakarta: Penerbit Pustaka Felicha bekerja
sama dengan Spectrum Center.
Sunyoto, Agus. 2007. “Potensi Kekayaan dan
Keragaman Budaya”, Makalah Presentasi
dalam Sarasehan Budaya Adhikara Jawa
Timur di Hotel Polereman Soerabaia Kota
Batu. Dinas P dan K Provinsi Jawa Timur
Subdinas Kebudayaan.
_____. 2006 (cet. ke-8). Suluk Abdul Jalil: Perjalanan
Ruhani Syaikh Siti Jenar (buku 1-2). Yogjakarta:
Pustaka Pelajar.
_____. 2007 (cet. ke-3). Suluk Sang Pembaharu:
Perjuangan dan Ajaran Syaikh Siti Jenar (buku
3-5). Yogjakarta: Pustaka Pelajar.
_____. 2006 (cet. ke-3). Suluk Malang Sungsang:
Konflik dan Penyimpangan Ajaran Syaikh Siti
Jenar (buku 6-7). Yogjakarta: Pustaka Pelajar.
PETUNJUK BAGI PENULIS
1. Artikel yang dimuat berupa analisis, kajian, hasil penelitian, dan pembahasan kepustakaan.
2. Artikel merupakan karya asli penulis dan terbebas dari penjiplakan (plagiat). Isi artikel dan
kemungkinan pelanggaran etika penulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
3. Naskah belum pernah diterbitkan dalam jurnal dan media cetak lain, diketik 1,5 spasi pada kertas
A4, panjang 10-20 halaman, margin 3 cm (atas, bawah, kanan, dan kiri) dan diserahkan paling lambat
3 bulan sebelum bulan penerbitan dalam bentuk print-out sebanyak 2 eksemplar dan file CD. Berkas
naskah diketik dengan Microsoft Word, font 12 Times New Roman. File naskah juga bisa dikirim lewat
email [email protected]
4. Nama penulis artikel dicantumkan tanpa gelar akademik dan ditempatkan di bawah judul artikel,
institusi asal, dan alamat e-mail penulis artikel. Bila penulis terdiri atas empat orang atau lebih,
yang dicantumkan di bawah judul artikel adalah nama penulis utama; nama penulis-penulis lainnya
dicantumkan pada catatan kaki halaman pertama naskah. Artikel hasil penelitian yang dikerjakan
oleh tim, semua anggota tim harus dicantumkan. Dalam proses penyuntingan artikel, pengelola
jurnal hanya berhubungan dengan penulis utama atau penulis yang namanya tercantum pada urutan
pertama.
5. Artikel nonpenelitian terdiri atas: (a) judul (maksimal 10 kata) (b) identitas penulis, institusi asal,
dan alamat e-mail penulis artikel (c) abstrak (abstract) dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris
masing-masing terdiri dari 100-200 kata, (d) kata-kata kunci (keywords) dalam bahasa Indonesia dan
Inggris (3-5 kata/frase), (e) pendahuluan (tanpa judul subbab) yang berisi latar belakang dan tujuan
atau ruang lingkup tulisan, (f) pembahasan (dapat dibagi ke dalam beberapa sub-bagian); (g) simpulan,
dan (h) daftar pustaka (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk).
Artikel hasil penelitian disajikan dengan sistematika sebagai berikut: (a) judul (maksimal 15 kata)
(b) nama penulis, institusi asal, dan alamat e-mail penulis artikel (c) abstrak (abstract) dalam bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris, masing-masing terdiri dari 100-200 kata yang berisi tujuan, metode,
dan hasil penelitian, (d) kata-kata kunci (keywords) dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris
(3-5 kata/frase), (e) pendahuluan (tanpa judul subbab) berisi latar belakang penelitian, telaah teori
relevan terpenting, dan tujuan penelitian (maksimal 25% dari jumlah halaman artikel), (f) metode
penelitian (maksimal 20% dari jumlah halaman artikel), (g) hasil dan pembahasan (minimal 40% dari
jumlah halaman artikel), (h) simpulan, dan (i), daftar pustaka (hanya memuat sumber-sumber yang
dirujuk).
6. Daftar rujukan disajikan mengikuti tatacara seperti contoh berikut, diurutkan secara alfabetis dan
kronologis.
Buku
Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta Pusat: Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa Dekdipbud.
Good, Thomas. L and Brophy, Jere. E. 1991. Looking in Classroom (5th ed). New York: Harpercollins,
Inc.
Bunga rampai atau antologi
Salmon, Claudine. 1999. “Fiksi Etnografis dalam Kesusasteraan Melayu Peranakan”. Dalam Henri
Chambert-Loir dan Hasan Muarif Ambari (Ed.). Panggung Sejarah: Persembahan Kepada Prof. Dr.
Denys Lombard. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Buku yang disusun oleh lembaga
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Buku terjemahan
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan. Terjemahan Melani Budianta. Jakarta: PT.
Gramedia.
Jurnal
Yektiningtyas-Modouw, Wigati. 2007. “Fungsi Ehabla dalam Masyarakat Sentani Papua”. Atavisme:
Jurnal Ilmiah Kajian Sastra. Volume 10. Surabaya: Balai Bahasa Surabaya
Surat kabar
Hutomo, Suripan Sadi. 1978. “Pribumi dan Nonpribumi dalam Sastra Indonesia dan Daerah”.
Surabaya Post. 27 Maret.
Makalah dalam pertemuan ilmiah
Sudikan, Setya Yuwana. 2001. “Cerita Rekaan dalam Sastra Jawa Modern Tahun 1980—2000an:
Kajian Sosiologi Sastra”. Kongres Bahasa Jawa III Tahun 2001, Yogyakarta, 15—20 Juli
2001.
Laporan penelitian, skripsi, tesis, atau disertasi
Saputra, Heru S.P. 2003. “Mantra Sabuk Mangir dan Jaran Goyang dalam Budaya Using di
Banyuwangi”. Tesis. Yogyakarta: Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
Internet (artikel dalam jurnal dalam jaringan/online)
Istanti, Kun Zachrun. 2001. “Hikayat Amir Hamzah: Jejak dan Pengaruhnya dalam Kesusastraan
Nusantara. Humaniora. (Online), Volume XIII, No. 1, (http://www.jurnal-humaniora.ugm.ac.id,
diunduh tanggal 15 Juli 2008.
7. Untuk artikel hasil penelitian, penulis wajib mengirimkan soft-file laporan penelitian dan lembar
pengesahan laporan penelitian. Lembar pengesahan laporan penelitian dikirim melalui faximile ke
(0352) 481841, dan soft-file laporan penelitian dikirim ke e-mail: [email protected]
8. Segala sesuatu yang menyangkut perijinan pengutipan atau penggunaan software komputer untuk
pembuatan naskah atau hal lain yang terkait dengan HAKI yang dilakukan oleh penulis artikel, berikut
konsekuensi hukum yang mungkin timbul karenanya, menjadi tanggung jawab penuh penulis artikel
tersebut.
9. Sumber rujukan sedapat mungkin merupakan pustaka-pustaka terbitan 10 tahun terakhir. Rujukan
yang diutamakan adalah sumber-sumber primer berupa laporan penelitian (termasuk skripsi, tesis,
disertasi) atau artikel-artikel penelitian dalam jurnal dan/atau majalah ilmiah.
10. Semua naskah ditelaah secara anonim oleh penyunting ahli (reviewers) yang ditunjuk oleh penyunting
menurut bidang kepakarannya. Penulis artikel diberi kesempatan untuk melakukan perbaikan (revisi)
naskah atas dasar rekomendasi/saran dari penyunting ahli atau penyunting. Kepastian pemuatan
atau penolakan naskah akan diberitahukan secara tertulis.
11. Untuk memudahkan komunikasi, penulis wajib menyertakan nomor handphone, alamat korespondensi,
dan alamat e-mail.
12. Outline artikel:
Artikel Non-penelitian
JUDUL
Nama (tanpa gelar)Institusi asalEmail penulis
Abstrak: (Bahasa Indonesia)Kata Kunci:
Abstract: (Bahasa Inggris)Keywords:
PENDAHULUAN/INTRODUCTIONPEMBAHASAN/DISCUSSION
........
........SIMPULAN/CONCLUSIONDAFTAR PUSTAKA/REFERENCES
Artikel Hasil Penelitian
JUDUL
Nama (tanpa gelar)Institusi asalEmail penulis
Abstrak: (Bahasa Indonesia)Kata Kunci:
Abstract: (Bahasa Inggris)Keywords:
PENDAHULUAN/INTRODUCTIONMETODE/METHODHASIL DAN PEMBAHASAN/FINDINGS AND DISCUSSION
........
........SIMPULAN/CONCLUSIONDAFTAR PUSTAKA/REFERENCES
Times new roman, 12pt, spasi 1, centered
nama ditulis tebal
Times new roman, 12pt, spasi 1, centered
nama ditulis tebal
Times new roman, 12pt, justify, italic, spasi 1,
setiap abstrak terdiri 1 paragraf (100-200 kata)
Times new roman, 12pt, justify, italic, spasi 1,
setiap abstrak terdiri 1 paragraf (100-200 kata)
Times new roman, 12pt, justify, spasi 1,5
Pendahuluan (tanpa sub-bab/numbering)
Pembahasan (dapat dibagi menjadi sub-bab)
Simpulan (1 paragraf, tanpa saran)
Bagian yang dicetak kapital dan tebal hanya bab
sesuai outline di samping
Times new roman, 12pt, justify,
spasi 1,5
Pendahuluan (tanpa sub-bab/
numbering)
Pembahasan (dapat dibagi
menjadi sub-bab)
Simpulan (1 paragraf, tanpa
saran)
Bagian yang dicetak kapital dan
tebal hanya bab sesuai outline di
samping
Times new roman, 14pt, centered, kapital, bold
Times new roman, 14pt, centered, kapital, bold