itjrnal - lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2016/08/... · volume...

104
ITJRNAL The lmportant of lnput in 93 the Second/Foreign Language Learning The Use of Speech Acts Types in 99 Facebook Status Updates Translation Quality of Translated I 05 Abstracts from lndonesian to English in the Journal of STAIN Ponorogo 2015 Penerapan Teknik TUKRI (Tulis, Unggah,l 17 Kritisi, Revisi) untuk Meningkatkan Keterampilan Menulis Esai Mahasiswa STKIP PGRI Ponorogo Pemanfaatan Bunyi dalam Puisi Anak 129 di Harian Kompas Minggu lahun 2013 I 39 Kepriyayian dalam Karya Sastra: Berkaca Pada Para Pilyayi Karya Umar Kayam 149 Pendidikan Sastra dan Pembentukan Ka ra kte r I 55 lntegrating Case Based Learning in ESP Course: A Case Study at STKIP PGRI Ponorogo in the Academic Year of 2014-2015 I 65 Tingkat Kemampuan Penguasaan Bahasa Jawa Ragam Krama Kelompok Anak dan Dewasa I 73 Nilai Pendidikan Karakter Seorang Guru dalam Trilogi Novel Syaikh Siti Jenar Karya Agus Sunyoto Volume 2, Nomor 2, Juli'Desember 2015 mA[ilA$ ISSN: 2355-1623 Volume 2 Nomor 2 JURNAL BAHASA DAN SASTRA Halaman 93-188 Ponorogo Juli-Desember 2015 ISSN "2355-1623

Upload: trinhthu

Post on 12-Feb-2018

313 views

Category:

Documents


46 download

TRANSCRIPT

ITJRNAL

The lmportant of lnput in 93the Second/Foreign Language Learning

The Use of Speech Acts Types in 99Facebook Status Updates

Translation Quality of Translated I 05Abstracts from lndonesian to English in

the Journal of STAIN Ponorogo 2015

Penerapan Teknik TUKRI (Tulis, Unggah,l 17Kritisi, Revisi) untuk Meningkatkan

Keterampilan Menulis Esai MahasiswaSTKIP PGRI Ponorogo

Pemanfaatan Bunyi dalam Puisi Anak 129di Harian Kompas Minggu lahun 2013

I 39 Kepriyayian dalam Karya Sastra:Berkaca Pada Para PilyayiKarya Umar Kayam

149 Pendidikan Sastra dan PembentukanKa ra kte r

I 55 lntegrating Case Based Learning inESP Course: A Case Study at STKIP PGRI

Ponorogo in the Academic Yearof 2014-2015

I 65 Tingkat Kemampuan PenguasaanBahasa Jawa Ragam Krama KelompokAnak dan Dewasa

I 73 Nilai Pendidikan Karakter Seorang Gurudalam Trilogi Novel Syaikh Siti Jenar KaryaAgus Sunyoto

Volume 2, Nomor 2, Juli'Desember 2015

mA[ilA$

ISSN: 2355-1623

Volume2

Nomor2

JURNALBAHASA DAN SASTRA

Halaman93-188

PonorogoJuli-Desember 2015

ISSN"2355-1623

JURNAL

BAHASA DAN SASTRA

ISSN: 2355-1623

JURNAL

BAHASA DAN SASTRAJurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember (ber-ISSN) berisi artikel-artikel ilmiah

tentang bahasa, sastra, dan pembelajarannya. Baik yang ditulis dalam bahasa Indonesia maupun

dalam bahasa Inggris. Artikel yang dimuat berupa analisis, kajian, hasil penelitian, dan

pembahasan kepustakaan.

Penanggung Jawab

Adip Arifin

Ketua Penyunting

Sutejo

Wakil Ketua

Elys Rahayu Rohandia Misrohmawati

Penyunting Ahli

Kasnadi

Bambang Yulianto

Setya Yuwana

Suharmono Kasiun

Djoko Saryono

Penyunting Pelaksana

Ririen Wardiani

Cutiana Windri Astuti

Edy Suprayitno

Sekretaris

Hestri Hurustyanti

Pelaksana Tata Usaha/On line

Heru Setiawan

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Alamat Penyunting dan Tata Usaha: Tim Pengelola Jurnal, LPPM STKIP PGRI Ponorogo, Jalan Ukel 39

Kertosari, Babadan, Ponorogo. Telepon/Fax. (0352) 481841/485809. Website: www.lppmstkipponorogo.

ac.id, email: [email protected]. Langganan 2 nomor Rp. 100.000,- (setahun) + ongkos kirim.

Biaya langganan dikirimkan melalui Bank BRI Kantor Cabang Ponorogo (Jl. Soekarno-Hatta Ponorogo)

Rekening No. 0070-01-044589-50-0 a.n. STKIP PGRI Ponorogo.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Redaksi menerima sumbangan tulisan yang belum pernah diterbitkan, baik dalam media cetak maupun

elektronik. Naskah diketik 1,5 spasi pada kertas A4, panjang 10-20 halaman (lihat Petunjuk bagi Penulis

pada bagian belakang). Naskah yang masuk dievaluasi oleh Mitra Bestari. Penyunting dapat melakukan

perubahan pada tulisan yang dimuat untuk keseragaman format, tanpa mengubah maksud dan isinya.

Vol. 2, No. 2, Juli-Desember 2015 ISSN: 2355-1623

DAFTAR ISI

THE IMPORTANT OF INPUT IN THE SECOND/FOREIGN LANGUAGE LEARNING

Adip Arifin .............................................................................................................................................. 93

THE USE OF SPEECH ACTS TYPES IN FACEBOOK STATUS UPDATE S

Argian Ekowati ....................................................................................................................................... 99

TRANSLATION QUALITY OF TRANSLATED ABSTRACTS FROM INDONESIAN TO ENGLISH IN THE JOURNAL OF STAIN PONOROGO 2015

Dolar Yuwono .......................................................................................................................................... 105

PENERAPAN TEKNIK TUKRI (TULIS, UNGGAH, KRITISI, REVISI) UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENULIS ESAI

MAHASISWA STKIP PGRI PONOROGO

Elys Rahayu R. M. & Rifa Suci Wulandari ........................................................................................... 117

PEMANFAATAN BUNYI DALAM PUISI ANAK DI HARIAN KOMPAS MINGGU

TAHUN 2013

Hestri Hurustyanti & Cutiana Windri Astuti ........................................................................................ 129

KEPRIYAYIAN DALAM KARYA SASTRA: BERKACA PADA PARA PRIYAYI KARYA UMAR KAYAM

Lee Yeon ................................................................................................................................................... 139

PENDIDIKAN SASTRA DAN PEMBENTUKAN KARAKTE R

Maman S Mahayana................................................................................................................................ 149

INTEGRATING CASE BASED LEARNING IN ESP COURSE: A CASE STUDY AT STKIP PGRI PONOROGO IN THE ACADEMIC YEAR

OF 2014-2015

Ratri Harida ............................................................................................................................................ 155

TINGKAT KEMAMPUAN PENGUASAAN BAHASA JAWA RAGAM KRAMA KELOMPOK ANAK DAN DEWASA

Regena Devi Mayanthi .............................................................................................................................. 165

NILAI PENDIDIKAN KARAKTER SEORANG GURU DALAM TRILOGI NOVEL SYAIKH SITI JENAR KARYA AGUS SUNYOTO

Sutejo ........................................................................................................................................................ 173

THE IMPORTANT OF INPUT IN THE SECOND/FOREIGN

LANGUAGE LEARNING

Adip Arifin

STKIP PGRI Ponorogo

[email protected]

Abstrak: Pembelajaran bahasa target (TL) merupakan proses “trial and error”, baik sebagai bahasa pertama, kedua maupun bahasa asing. Keberhasilan pembelajaran bahasa kedua/asing dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk faktor internal dan eksternal. Pakar bahasa seperti Ellis (1994), Brown (2000), Krashen (1985) dan Gass (dalam Ellis, 1994) menekankan bahwa faktor eksternal yang sangat mempengaruhi pembelajaran bahasa kedua/asing adalah ketersediaan input. Artikel ini bertujuan untuk membahas pentingnya input dalam pembelajaran bahasa kedua/asing. Peran input dalam pembelajaran bahasa sangat signifikan. Proses pemerolehan bahasa tidak akan berhasil jika tidak ada input yang diberikan kepada pembelajar. Ada tiga pandangan yang berbeda terhadap peran input bahasa, yakni kalangan behaviorist, mentalist dan interactionist. Kaum behaviorist berpandangan bahwa pembelajaran bahasa berhasil karena adanya hubungan stimulus dan respon, dengan membentuk kebiasaan baru melalui penguatan dan latihan. Kaum mentalist berpandangan bahwa setiap pembelajar bahasa terlahir dengan Language Acquisition Device (LAD) yang secara otomatis melekat pada dirinya. Lebih jauh mereka juga berpendapat bahwa input diperlukan dalam pembelajaran maupun pemerolehan bahasa, tetapi hanya untuk memicu operasional LAD. Di sisi lain, kaum interactionist berpendapat bahwa proses pemerolehan dan pembelajaran bahasa sangat dipengaruhi oleh peran lingkungan pengguna bahasa dan mekanisme internal pembelajar bahasa dalam berinteraksi.

Kata Kunci: Input Komprehensif, Pembelajaran Bahasa Kedua/Asing, Peran Input

Abstract: Learning a target language is actually a process of trial and error, whether as the first, the second or even foreign language. The success of second/foreign language learning is influenced by many factors, including internal and external factors of the language learners. The linguists, such as Ellis (1994), Brown (2000), Krashen (1985) and Gass (as cited in Ellis, 1994) emphasized one of the external factors which highly influences the second/foreign language acquisition or learning is the availability of the input. This article is aimed to discuss the important of input in second/foreign language learning. The role of input becomes very significant in shaping the learners’ language acquisition and learning. The process of acquisition will not be successful if there is no input given to the learners. There are three major views on language input, they are behaviorist, mentalist and interactionist. Behaviorist viewed that language learning is advanced by making a stimulus and response connection, by creating new habits through reinforcement and practice. Mentalists view that every language learner has special equipment in his/her mind to learn language which is called Language Acquisition Device (LAD). They view that input is needed in language acquisition/learning, but only to “trigger” the operation of the language acquisition device. While interactionists view that the processes of language acquisition are mainly influenced by the role of language environment and the learner’s internal mechanism in interaction activities.

Keywords: Comprehensible Input, Second/Foreign Language Study, The Role of Input

Adip Ariin, The Important of Input in the Second/Foreign Language Learning94

INTRODUCTION

As known, English in Indonesia is taught as

a foreign language, rather than a second language.

It implies to the process of teaching and learning

the language, especially how the English is learnt

by the learners. The process of learning mostly

occurred inside the school environment only, and

dominated by classroom setting. Ellis (1994: 214)

defined it as the educational setting. In educational

setting, especially in Indonesia, providing the

natural setting of English learning for the English

learner is not easy, even it is impossible. It happens

because English is learnt as the foreign language

only, and doesn’t use for daily communication by

most of Indonesians.

Language learning is actually a process of trial

and error, in which a learner form a hypothesis

and later on prove it, abort it, or adjust it (Huang,

2003: 19). It means, when the learners learn the

second language, probably, they meet many kinds

of second language learning problems dealing with

pronunciation, vocabularies, language structures,

language interpretation, misuse, non-English

constructions, misspelling, and so forth. Some

learners might be able to overcome those problems,

but for some learners, they might be unable to

overcome it, and for those who unable to fix it,

they will make a number of mistakes and even the

errors. Moreover, according to Bloom (as cited in

Ellis, 1994: 47) even the children also make errors

when they acquire the first language.

The success of second/foreign language

acquisition is influenced by many factors. It can

be from internal and also external factors of the

language learners. According to some experts, such

Ellis (1994), Brown (2000), and Krashen (1985),

one of the external factors which highly influences

the second/foreign language acquisition or learning

is the availability of the input. This article mainly

focuses on the important of the input in the

second/foreign language acquisition.

DISCUSSION

Language Acquisition and Language

Learning

These two terms look the same, or almost

the same but they are different in nature. Many

former linguists have characterized the differences

between the terms, such as Ellis (1994), Brown

(2000), Krashen (1985) and Corder (1974). They

proposed the theory on how differentiate those

two similar terms.

Before moving on the area of second/foreign

language acquisition, it is better for the writer

to provide an overview of language acquisition.

Normally, people will be able to use the languages

for communication among the others for many

kinds of purposes. The first language used by

people to communicate is commonly called as

mother tongue (L1). According to Brown (2000:

21), the acquisition of mother tongue is happened

naturally, that is why, some people sometimes

do not realized it as the process of language

acquisition. Actually, through natural setting, people

learnt their mother tongue since they were baby.

Corder (in Richards, 1974: 20) added the learning of

mother tongue is inevitable, and as a part of whole

maturational process of the child.

In the very beginning age, the small babies

babble and coo, cry, receive and send a number

of unusual messages to the others. In this phase,

we cannot easily recognize the babies’ messages.

As they reach the end of the first year, babies will

make specific attempts to imitate words and speech

sounds they hear around them (Brown, 2000: 21),

and after that, the babies will use it. When the

babies use the languages to say something, they will

not directly able to use the language in a complex

and long words construction. Probably, they will

utter in two-words or three words sentences, such

as” bye-bye Daddy”, and “gimme toy”. In this phase,

we will easier to recognize the babies’ messages. By

the time, the process of first language acquisition

will improve more and more.

Krashen (1985: 1) emphasized the two

independent ways of developing ability in second

language acquisition. He defined those two ways

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 95

as acquisition and learning. According to him,

acquisition is a subconscious process identical in

all important ways to the process children utilize

in acquiring their first language, while learning is a

conscious process that results in “knowing about”

language.

After acquiring the first language, many

people do not stop to learn the second, third or

even fourth languages. Ellis (1997: 3) stated that

the languages which are learnt subsequent to the

mother tongue called “second language”. Here, the

second language is not referred to the learning of

second language only, but also the learning of third,

fourth languages, and even the foreign language

learning, while James (1998: 3) suggested the use of

“target language” (TL) for describing the language

to be learnt after the mother tongue. He preferred

to use the term of “target language” in order to

be neutral, rather than using the terms second or

foreign language.

Ellis (1997: 3) has defined the second language

acquisition as the systematic study of how people

acquire a second language. Widdowson (in Ellis,

1997: 3) concluded second language acquisition

as the way in which people learn a language other

than their mother tongue, inside or outside of a

classroom. Adapted from the Ellis’ definition,

foreign language acquisition also can be defined as

a systematic study of how people acquire a foreign

language. In line with Ellis, Johnson (2004: 3)

stated that the current models of second language

acquisition are linear in nature. They go from input

into intake to the developing system of output.

Corder (in Richards, 1974: 20) added that the

learning of second language normally begins only

after the maturational process is largely complete.

Later on, the study of those languages, both second

and foreign, often referred as the study of L2.

Learning the first and the second language

is quite different in terms of processes. Corder

(1967) has noticed, in the first language learning

the learners start with no language behavior,

while in the second language learning, the learners

start with language behavior. In the first language

learning, the learners may have the same motivation

to learn. They have no option to learn another

language, because people around them use that

language as mother tongue (L1). But in the learning

second language, the learners might have various

motivations, such as they want to study abroad, they

want to live in another country which use different

language, and so forth.

Beside motivation as stated above, there are

two major factors which influence the second

language learning; those are external and internal

factor (Ellis, 1994: 16). The external factor consists

of social factors, such as learner’s attitude, age,

social class, sex and ethnic identity (Ellis, 1994: 198-

207), language input and interaction, while internal

factor consists of learners’ language transfer,

learners’ cognitive process and linguistic universals.

Those factors take the significant role in the area

of second/foreign language acquisition.

Comprehensible Input in L2

As stated on the previous part, this discussion

will not discuss all the factors which influence

the second language acquisition. In this chapter

the writer will mainly focus on the input, as the

external factor in the second language acquisition.

Ellis (1994: 16) defined the input as the language

learner is exposed to. Corder (in Richards, 1974:

22) has defined the input in language learning as

“what goes in” not what is ‘’available” for going in.

Corder assumed that the learners control the input

for themselves to be their intakes. Adapted from

the Ellis’ definition, Zhang (2009: 91) defined input

in language learning as the language data which

the learners are exposed to. From the definitions

above, we can conclude that input is one of the

important language factors which contribute to the

development of language learning.

Even, the input is one of the important

factors, but it will not be functioned maximum until

it gets involved in interaction (Zhang, 2009: 92). If

the learners able to internalize input into intake,

the role of input is maximum to the development

of language learning, and vice versa. Moreover,

Corder (in Zhang, 2009: 92) also differentiates

between input and intake in language learning. He

mentioned that input as what is available to the

learner, whereas intake refers to what is actually

Adip Ariin, The Important of Input in the Second/Foreign Language Learning96

internalized by the learner. In other words, Sun

(2008: 2) used the terms intake as converted input

done by the learner. Intake is stored in the learner’s

short-term memory, and some of the intake will

be stored in the learner’s long-term memory as

L2 knowledge (Ellis, 1997: 35). Finally, the L2

knowledge will be used by the learners to produce

both spoken and written output.

Input can be in the form of spoken and

written (Ellis, 1994: 26). In terms of spoken input

may occur frequently in the form of interaction, for

instance, the learners try to have a conversation with

the native speakers, learners’ friends, and so forth.

By having a conversation with the native speakers,

the learners will get useful input directly from the

users of target language. While written input may

occur in the form of reading, for example: the

learners read the native’s literary works, newspaper,

and so on. In the case of reading the native’s

writing, the learners actually will get written input.

In terms of language learning input, Krashen (1985:

2) proposed what is so called “input hypothesis”.

The input hypothesis claims that humans acquire

the language in only one way; by understanding

messages, or by receiving comprehensible input. It

seems that Krashen’s input hypothesis is referred to

acquisition, not learning (Johnson, 2004: 48).

Ellis (1994: 246-247) characterized the input

to language learners into input text and input

discourse. Input text is closely related with the

native speakers actually say or write, while input

discourse dealt with special kind of ‘register’ that is

used when speakers address language learners. The

example of input text can be seen from the study

conducted by Williams in the 1990. He pointed

out that many native speakers’ questions in English

were non-inverted, particularly when there is a high

presupposition of a ‘yes’ answer, i.e.:

A: I’m studying poetry this year.

B: You’re studying poetry this term?

While the discourse input is taken from the

register used by caretaker and foreigner, called

caretaker talk and foreigner talk. When caretakers

speak to the children as the learner of mother

tongue, they will adjust their speech as the input.

In this case, the caretakers were the native speaker.

Another discourse input is foreigner talk. Ellis

(1994: 251) defined it as the language used by native

speakers when communicating with non-native

speakers. Moreover, foreigner talk shows many

characteristics of caretakers talk.

The Role of Input in Learning L2/Foreign

Language

Both in the first and the second language

acquisition, input takes the importance role. Brown

(2000: 41) stated the role of input in language

acquisition is undeniably crucial, because the

availability of input will influence the learner’s

output. Ellis (1994: 286) stated that there is

substantial indirect evidence linking comprehensible

input to acquisition. From those explanations,

actually we cannot deny the importance of

input in the area of second/foreign language

acquisition. This statement is also strengthened by

the three major views (behaviorist, mentalist and

interactionist), which consider the importance of

input in language acquisition. They do not deny

input has significant role for language learners.

The importance or input in second language

acquisition also strengthened by many studies

conducted by linguists in the previous time. There

were many articles on the importance of input in

second/foreign language acquisition, for instance:

Sun (2008) and Zhang (2009). Sun wrote a paper

on the importance of input in second language

acquisition which is entitled ‘Input processing in

second language acquisition: A discussion of four

input processing models’. Her paper discussed

the comparison four different models of input-

processing by examining those models. The aims of

her discussion were to disambiguate discrepancies

in terminologies, identify common emphases on

gap-noticing and cognitive comparison. Based on

the result of her discussion, Sun suggested the

need for further research on the role of attention/

consciousness in input-processing.

Zhang (2009) conducted a study entitled the

role of input and output in the development of

oral fluency. The participants of her study were

Chinese English learners. She used two instruments

to collect the data; tests of oral fluency and face-

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 97

to-face interviews. The findings showed that non-

native oral fluency could be obtained by giving

efficient and effective input.

From the two studies above, the important of

input became significant in shaping the learners’

language acquisition. The process of acquisition

will not be successful if there is no input given

to the learners. Related to the issue of input in

the second language acquisition, commonly there

are three major views on it; those are behaviorist,

mentalist and the last is interactionist. Each theory

has different points of view in describing the input

of language learning.

Behaviorist viewed that language learning

is advanced by making a stimulus and response

connection, by creating new habits through

reinforcement and practice (Johnson: 2004: 18).

The reinforcement and practice are ordered to

establish links between stimuli and responses.

Behaviorist views the process of language learning

should be concerned with describing and explaining

the language as a matter of humans’ behavior

(Corder, 1973: 22-23). We may assume that the

effective language behavior will produce correct

response of the language.

The second view on input is come from

mentalists. They view every language learner

has special equipment in his/her mind to learn

language, and the equipment is called Language

Acquisition Device (LAD). According to the

mentalists, input is needed, but only to “trigger” the

operation of the language acquisition device (Ellis,

1997: 32). They mainly emphasized the language

acquisition on language acquisition device, rather

than the input.

The last view on input is come from

interactionists. They emphasized on the importance

of both input and internal language processing.

Ellis (1997: 44) concluded that learning occurs

as a result of complex interaction between the

linguistic environment and the learners’ internal

mechanism. Here, input and the learner’s internal

language processing are put in the equal level

of importance. According to interactionists, the

processes of language acquisition are influenced by

the contribution of linguistic environment and the

learner’s internal mechanism in interaction activities

(Zhang, 2009: 92).

Based on the general theoretical framework

of language acquisition (Ellis, 1994: 349, figure

9.1) it can be seen clearly that input has significant

role in language acquisition. Input is placed in the

beginning stage of language acquisition process,

and after that followed by intake, as the converted

input. The process is not stopped only in the intake

level, but it continued become the L2 knowledge.

After that, the learners use the L2 to produce the

output. In short, we can simply say that ‘if there is

no input, there will be no output’, that is why input

takes the important role in language acquisition.

The Ellis’ general framework of language

acquisition is widely accepted by the linguists.

Her theory on language acquisition also can be

generated into second/foreign language learning.

So, input in language learning will lead the learners

to the success of language mastery, not only

knowing “about language” but also how to use the

language for every single purpose.

CONCLUSION

From the discussion in the previous part,

the writer simply concludes that input is very

important in second/foreign language acquisition,

because it contributes significantly to the language

acquisition process, if there is no input, there will

be no output. In this case, second/foreign language

learning input is the language data in which the

learners are exposed to, and it will contribute to

the development of language learning through

learners’ interaction.

REFERENCES

Brown, H. D. 2000. Principles of Language Teaching

and Learning (4th Ed.). New York: Pearson

Education, Inc.

Corder, Stephen P. 1974. Introducing Applied linguistics.

Harmondsworth: Penguin.

Ellis, Rod. 1994. The Study Second Language Acquisition.

Oxford: Oxford University Press.

Adip Ariin, The Important of Input in the Second/Foreign Language Learning98

Ellis, Rod. 1997. Second Language Acquisition (Series

Editor H. G. Widdowson). Oxford: Oxford

University Press.

Huang, Joanna. 2003. Error analysis in English

teaching: A review of studies. International

Journal of Scientific and Research Publications. Vol.

2, pp. 19-34. Retrieved from http://www.

ijsrp.org on October 12th, 2013.

James, Carl. 1998. Errors in Language Learning

and Use: Exploring Error Analysis. London:

Longman.

Johnson, Marysia. 2004. A Philosophy of Second

Language Acquisition. New York: Mary Jane

Peluso.

Krashen, Stephen D. 1985. The Input Hypothesis:

Issues and Implications. London: Longman

Richards, Jack C. 1974. Error Analysis: Perspectives

on Second Language Acquisition. London:

Longman.

Sun, Yayun Anny. 2008. Input processing in second

language acquisition: A discussion of four

input processing models. Working papers in

TESOL & Applied Linguistics, Vol. 8 (1), pp.1-

10. Retrieved from http://www.tccu-tesol.

com on December, 10th, 2013.

Zhang, Shumei. 2009. The role of input, interaction,

and Output in the development of oral

fluency. English Language Teaching, Vol. 2 (4),

pp. 91-100. Retrieved from http://www.

ccsenet.html on December, 10th, 2013.

THE USE OF SPEECH ACTS TYPES

IN FACEBOOK STATUS UPDATES

Argian Ekowati

SMA Bina Nusantara, Semarang

[email protected]

Abstract: Saat ini, Facebook tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari penggunanya. Saat ini, facebook telah menjadi gaya hidup untuk menginformasikan apa yang dilakukan dan apa yang ditulis di facebook. Penelitian ini bertujuan untuk mencari tahu jenis tindak tutur pada status di facebook. Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi dan note taking. Data diambil dari 116 pengguna facebook dengan usia antara 18-20 tahun. Data yang terkumpul dianalisa dengan menggunakan Miles and Hubberman technique. Hasil yang diperoleh menunjukkan adanya variasi penggunaan bahasa yang unik dari tiap penulis status. Hal tersebut dapat diamati dari kutipan, ekspresi bahasa, gurauan dan puisi. Dalam penelitian ini, jenis tindak tutur yang dipakai merupakan teori Searle, yang terdiri dari representatif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklaratif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekspresif merupakan jenis tindak tutur yang paling sering muncul dalam status di facebook, yakni 62%, diikuti representatif (24%), komisif (8%), direktif (3%) dan kutipan (4%).

Kata Kunci: Facebook, Status Updates, Tindak Tutur

Abstract: At present, Facebook cannot be separated in today’s life of the users. It has become life style to broadcasts what they did or what they are up to in Facebook. This study is aimed at finding out the types of speech acts in Facebook status updates. The language used is quite unique and vary from one person to another. It can be through quotations, expressive language, jokes, or poetry. In this case, the Searle’s types of speech acts was used, covers representatives, directives, commissives, expressives, and declaratives.. There have to be speakers and hearers involving in a conversation. However, this study analyzed Facebook status updates where no hearers available, thus the readers were best to replace the hearers. This study used descriptive qualitative method. The data was taken from 116 Facebook users ranging from 18-20 of their ages. The result showed that the most frequent type of speech acts used by the users were expressive utterances (62%), 28 representative utterances (24%), 9 commissive utterances (8%), and 3 directive utterances (3%), and the other 4 are quotations (3%).

Keywords: Facebook, Speech Acts, Status Updates

INTRODUCTION

The phenomenon of Facebook has been

world-widely known by people in all continents

on earth. The members are more than millions of

people from all countries in the world. By joining

social networking, they can have more friends from

around the world and get benefits from them. For

example, they can exchange ideas about certain

information. In addition, they use Facebook as

well as other social networking in order to share

about what happen with them yesterday, today or

even their plans on following days. The language

used is quite unique and vary from one person to

another.

In recent years, we have seen a drastic

revolution in how people interact with each other

in social networkings. The social networks, such

as Facebook, is interactive in a way that it gives

people power to choose what they do, what they

want to communicate and how they would do it.

Argian Ekowati, The Use of Speech Acts Types in Facebook Status Updates100

In Facebook, individuals’ activities (e.g., connecting

to others, expressing preferences, status updates)

provide observable data for studying human

behavior. Status updates are generally used to

broadcast current states or make statements with

own written words. Indonesia is not far behind in

the Facebook race. Currently, there are more than

63 million people of Indonesia joining in Facebook.

In addition, Indonesian Facebook users have been

increasing. This phenomenon has placed Indonesia

in the fourth rank in the world. The users’ age

ranges from 13-100. However, most of the active

users range from 18-24 years old.

Facebook is very popular in Indonesia.

According to Putra (2011), an IT consultant in

multi national company in Indonesia, in http://

www.quora.com/Why-is-Facebook-so-popular-

in-Indonesia, he mentions several reasons why

Facebook is so popular in Indonesia. He said that

culture plays important role in Indonesian culture.

Sharing, communicating, and solidarity are some

of basic Indonesian culture. Facebook facilitates

Indonesian to connect with their relatives, friends,

and people they love most in their life. Besides,

Indonesian are aware what is up to date in social

networks. Indonesian may join more than one social

networks, such as Twitter, Facebook, Instagram,

Path, etc.

Another opinion mentioned by Ronny

Hartanto who says that many Indonesians like to

show off, or don’t want to lose face. Status updates,

photos, etc. are good for that. e.g. “Dinner at, again.

“, “Enjoying holiday in Bali, again.”, “Liking my

new Louboutin shoes”, and so on. This point is

debatable, and is probably not the main reason.

In the status updates, users express what they

feel about what they are doing or what they have

done. The way they express or the language they

use depends on the person as to how they want to

express themselves. It can be through quotations,

expressive language, jokes, or poetry. This study is

aimed at exploring what kind of speech acts used

in Facebook status updates. Speech act theory

was chosen because it is so practical that has been

used in studies of natural language processing and

computer-mediated communication. Speech act

theory allows the researcher to explain intended

meaning of messages identified and coded as

illocutionary acts.

The similiar studies in analyzing the status

updates were conducted by some reserachers,

such as Nastri (2006), Carr (2009) and also Ilyas

and Kushi (2012). The first study is conducted by

Nastri, et.al in 2006. He investigated the extent to

which the communicative goals of “away messages”

were reflected in their language structure. The

results showed that the messages were constructed,

primarily, with assertives, followed by expressives

and commissives but rarely with directives. This

finding confirms that away messages tend to reflect

both informational and entertainment goals.

The second study is from Carr et.al (2009). He

examined how individuals used the status messages

of social network sites like Facebook and MySpace

socially to communicate and construct their

identity. The analysis revealed that status messages

were, basically, constructed with expressives (60%),

followed by assertives (39%), directives (6%) and

commissives (3%).

The third study is from Ilyas and Khushi

(2012). They explored the communicative functions

of status updates on Facebook, drawing on Searle’s

speech act taxonomy. The results, confirming Carr

et al.’s studies, revealed that status messages were

most frequently constructed with expressives,

followed by assertives and directives.

People use language for many purposes. They

tell others what they know or think, express their

feelings, ask questions, make requests, protest,

criticize, insult, apologize, promise, thank, say hello

and goodbye. Language seems to have as many

different functions as there are occasions for using

language. Speech acts is speech that accompany an

action from the speakers. Das (2005: p172) explains

that in the framework of speech act theory there

have to be two or more participants speaking the

language and making their intentions known. One

is the addressor and the other is the addressee. In

written forms, sentences consist of declarative (if

they tell something), imperative (if they request

action), and interrogative sentences (if they ask).

Cited in Holtgraves (2002: 10-11), in every speech

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 101

act we can distinguish three things, following Austin

(1962). What is said, the utterance, can be called the

locution. What the speaker intends to communicate

to the addressee is the illocution. The message that

the addressee gets, his interpretation of what the

speaker says, is the perlocution. Speech acts differ

in their purposes, whether they deal with real or

potential facts, prospective or retrospective, in

the role of speaker or addressee in these facts,

and of course in felicity conditions. According

to Searle, cited in Levinson (1983, 240), there are

five types of speech acts. Firstly, representative

utterances, they function to tell what they know

or believe; representative language is concerned

with facts. The purpose is to inform. They include

allege, announce, agree, report, remind, predict,

protest. For example, most plastics are made from

soy bean. Secondly, declarative utterances, speech

acts that describe the state of affairs are called

declarative: bids, blessings, firings, baptisms, arrests,

marrying, declaring a mistrial. The verbs include

bet, declare, baptize, name, nominate, pronounce.

For example, I declare this meeting adjourned. Thirdly,

Expressive utterances, an expressive utterance

springs from the previous actions. Expressive

utterances are retrospective and speaker-involved.

The most common expressive verbs (in this sense

of ‘expressive’) are: acknowledge, admit, confess,

deny, apologize. For example, we admit that we were

mistaken. Fourthly, directive utterances. Directive

utterances are those in which the speaker tries to

get the addressee to perform some acts. A directive

utterance has the pronoun you as actor. Three

kinds of directive utterances can be recognized:

commands, requests and suggestions. For example,

(You) wait here. Lastly, commissive utterances. They

are prospective and concerned with the speaker’s

commitment to future action. Commissive verbs

are illustrated by agree, ask, offer, refuse, swear. These

include promises, pledges, threats and vows. For

example, I promise to be on time.

Based on the explanation above, this study

focuses on finding out the types of speech acts in

Facebook status updates.

METHOD

This study employs descriptive qualitative

methods with the presence of a simple statistical

data for describing the occurrences of the intended

features. The study analyses kinds of speech acts

found in Facebook status updates.

The data that was taken from a social

networking site that nowadays is very familiar to

us, facebook (www.facebook.com). The data was

taken from the researcher friends’s status updates

on facebook which include women and men. Steps

of analyzing the data is first of all, the researcher

copied all of my friends’ status updates, taken

from 116 random participants. The participants

were mostly undergraduates students, ranging

from 18-20 year old students. Secondly, the data

categorized into five types of speech acts proposed

by Searle (1976). Furthermore, in order to protect

the subjects or the participants of this research, the

researcher omitted the name of the subjects.

FINDINGS AND DISCUSSION

After analyzing the data, the researcher found

72 expressive utterances (62%), 28 representative

utterances (24%), 9 commissive utterances (8%),

and 3 directive utterances (3%), and the other 4 are

quotations (3%). The quotations found in the status

updates were new findings, other than those seven

types of speech acts. The quotations were mostly

taken from holy Qur’an or Bible.

Expressive

In this category, the speaker is involved in the

action. For example:

2. Huah... Bank ga buka hr sabtu... Damn it...

Aq ke lupa, ga bs ambe uang... T.T. (13 minutes

ago) EXPRESSIVE

4. Sepanjang jalan kenangan.. (22 minutes ago)

EXPRESSIVE

5. is loving the weather. This is Salatiga. (26 minutes

ago) EXPRESSIVE

The above example proved that the speaker

had involved in the actions. In (2), the speaker used

sarcastic word to express his annoyance for not

being able to withdraw money in a bank for it was

Argian Ekowati, The Use of Speech Acts Types in Facebook Status Updates102

Saturday, where many of which were day off. In

(4), the speaker was recalling her memory through

memory lane with her beloved in the past. The

action had happened and is currently happening.

In (5), the speaker was experiencing the action of

loving the weather in his hometown, Salatiga.

Representative

16. Immagine me without U.. (about an hour ago)

REPRESENTATIVE

22. Think positive toward herself and ever ything

that happens in her lif e. ^^. (8 hours ago)

REPRESENTATIVE

54. coz i love u so much & i want u back.. so i’ll wait

for you, no matter if i have to wait forever...:):). (20

hours ago) REPRESENTATIVE

The purpose of representative utterances

is to inform what the speaker believe. In (16),

the speaker believed what would happen to her

without the presence of someone she loves. In

(22), the speaker was trying think positively in her

life. She believed good things would follow up by

thinking positively. In (54), the speaker expressed

her feeling toward her beloved. She informed her

friends in Facebook that she would wait for her

boy forever.

Commissive

In commissive, the action is about to happen

and the speaker is committed to do the action in

the future. For example:

8. gonna attend a seminar (again) today and tomorrow...

*phew* hopefully it will recharge my, and others’, life-

battery... (44 minutes ago) COMMISSIVE

14. mau prgi ke rmh akang.. (about an hour ago)

COMMISSIVE

24. tutup novelnya mati’in lampu kamarnya berdoa teruz

tidur bsk bngun trz pergi berenang.:-D. (8 hours ago)

COMMISSIVE

The above examples showed that all the

speakers were preparing for activities they were

going to do in the future to come. In (8), the

speaker was probably taking rest for another activity

tomorrow in a seminar. The action was about to

come tomorrow. In (14), the person, who was going

to her husband’s house, was the speaker. She was

not going there yet. Whereas in (24), the speaker

was planning for activity tomorrow. At the same

time she was broadcasting her status update that

she was ready for bed.

Directive

This category demands other person or addressee

to do something. For example:

35. sista2 AQ BRUSAN UP LOAD TAS2 MDEL2

TERBARU YH DGN REASONABLE

PRICE N RATA2 KEBANYAKAN KW 1,,

SO MAMPIR YH DI LIAT2,, N KLO MW

ORDER LNSNG SMS AZA YH KE 0813 832

100 55...TQ^^. (12 hours ago) DIRECTIVE

75. ohhhh....cari artikel ae.... mumethh...... panjang

kpanjangen,pendek kpendeken... hupppfffhhhggggg

somebody....pliss help me....... (on Thursday)

EXPRESSIVE AND DIRECTIVE

106. vote Jokowow =p. (on Sunday) DIRECTIVE

The speakers in the examples above were

asking for their friends to do what they were

requesting. In (35), an online seller was trying to

get her customer updated with her new collection

of bags. The language she used is quite persuasive

for a customer to see her Facebook. In (75),

interestingly, the speaker combined the expressive

and directive utterances. She felt frustrated in

finding an appropriate article, so she asked anyone

in Facebook for help. The readers could post

comment in her comment box, and it means she is

successful in demanding her friend to do something

for her. In (106), the speaker made use of today’s

politic situation, where Indonesia is about to have

presidential election this month. Thus, she did a

little campaign in her Facebook by asking for her

friends to vote one of the candidate, who was also

her number one choice. She used straightforward

word to vote the candidate.

Quotation

Interestingly, even in Facebook status updates,

the researcher found new findings out of the seven

types of speech acts. It is called quotation, which

were taken from a song, a poem, an Al Quran, and

a Bible. For example:

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 103

28. Bismikallahumma ahya wabismika amud...

zZZZ. (11 hours ago) QUOTATION

29. Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena

dari situlah terpancar kehidupan. Amsal 4: 23.

^^. (11 hours ago) QUOTATION

56. “ You’re not alone...I’m here with you..” (20 hours

ago) QUOTATION

87. you shared my darkest moment..coz the road is so long

to walk alone..but you gave me strength..you’ve got to

believe it..Love is the answer it heals soar heart..gives

you the light when the night is dark..Love is the answer

and love is forever..Love is what makes us going on. (on

Wednesday) QUOTATION

Aside from speech acts analysis above, I was

also interested in commenting the the language style

used by those 116 Facebook users. It varied from

one another, there were flowery words, symbols or

something cute in their speech to emphasize what

they are saying, and straightforward sentences.

However, I found rude or swear words in the status

update to express bad feeling. In my opinion, there

were some factors should be considered as the

reasons why Facebook users used that words. It

could be caused by their social background, social

status, and environment. If we look at some of the

swear words like fucking, stupid, moron, idiot, damn,

shit, and motherfucker, I know that this particular

person was influenced by English background

because he or she preferred English words rather

than Indonesian or Javanese language.

Also, some Facebook users like to use/type

“emotion” characters such as T_T, T-T, *_^, >_<,

^_^, @_@. They put it at the end of a sentence

and it shows cuteness. Besides that, they used empty

adjectives and intensifiers, such as very thankful,

so much, awesome, amazing, ya ampunn, hiks..hik…,

huh, and even some sexist language like the words

akang and suami. It made their speech sounds more

hyperbolic and dramatic.

CONCLUSION

To conclude, Facebook is a media through

which people share what is going on in their life

or how they are feeling. Language in this aspect

plays a major role. The Facebook users convey their

messages or idea through language. People produce

a sentence thorugh language. A sentence consists

of three main types: declarative, interrogative and

imperative. In this study, the researcher found that

most of the sentence used by Facebook users are in

form of declarative sentence. It is obvious because

the sentences consists of a subject, a predicate

and a object. In addition, since this study is trying

to explore the type of spech acts, the findings

are expressive utterance reaches 62%, followed

by assertive utterances 24%. Next, commissive

utterances has 8%, and directive utterances has

3%. The new finding, quotation, gets 3% of total

116 status updates being analyzed. Beside that, the

language style are varied from one another, such

as flowery words, straightforward, and even rude

or swear words. They describe the users feeling

at the time they are writing the status updates on

Facebook.

REFERENCES

Carr, C. T., Schrock D. B. & Dauterman, P. 2009.

Speech Act Analysis Within Social Network

Sites’ Status Messages. Running Head: Speech

Acts within SNSs. 7: 1-39. Retrieved on 22

June 2014 from https://www.msu.edu

Das, B.K. 2005. Twentieth Century Literary Criticism.

New Delhi: Atlantic Publishers.

Holtgraves, T.M. 2002. Language as Social Action:

Social Psychology and Language Use. New Jersey,

London: Lawrence Erlbaum Associates.

Ilyas, S. & Khushi, Q. 2012. Facebook Status

Updates: A Speech Act Analysis. Academic

Research International. 3 (2): 500-507. Retrieved

on 22 June 2014 from http://www.savap.org.

pk 2-63).pdf

Levinson, S.C. 1983. Pragmatics. Cambridge:

Cambridge University Press

Nastri, J., Pena, J. & Hancock, J. T. 2006. The

Construction of Away Messages: A Speech

Act Analysis. Journal of Computer-Mediated

Communication, 11 (4): 205-232.

Putra, J. S. 2011. Why is Facebook so Popular in

Indonesia. Article. Retrieved on 22 June 2014

from http://www.quora.com

INTRODUCTION

As a lingua franca, English has become so

widely used that it now dominates every type

of international field. Therefore, the study on

translation is needed to get more understanding

on what have been written in non-English texts. If

the works of non-English texts are not able to be

communicated, the good ideas or brain works in

non-English Language might be hindered on the

international arena. However, when published in

English language, academic studies are more likely

to be acknowledged and appreciated internationally

and this enables academicians from all over the

world to have a say on the international arena. As

a result of this undeniable fact, academicians from

Indonesian will also feel the need to translate their

works in English, as well as in their native language.

According to Said M. Shiyab, this has long been the

case in the globalization era: facets of globalization

has been highlighted many points that they do not

TRANSLATION QUALITY OF TRANSLATED ABSTRACTS

FROM INDONESIAN TO ENGLISH

IN THE JOURNAL OF STAIN PONOROGO 2015

Dolar Yuwono

STAIN Ponorogo

[email protected]

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk (i) mengevaluasi terjemahan abstrak Bahasa Inggris dan hasil penelitian dari Bahasa Indonesia ke dalam Bahasa Inggris yang dipublikasikan di jurnal STAIN Ponorogo, dan (ii) mengidentifikasi kesalahan penerjemahan dan permasalahannya berdasarkan penilaian kualitas penerjemahan (TQA). Dalam penelitian ini, pemilihan abstrak yang ditulis oleh penutur Bahasa Indonesia sebagai sumber data dilakukan secara acak. Korpus terdiri dari 9 abstrak jurnal dan penelitian, kemudian dianalisa dalam hal pembatasan masalah dari isu penerjemahan, wacana akademik dan fitur leksiko-sintaktik penerjemahan. Temuan penelitian mengindikasikan bahwa peneliti yang merupakan penutur Bahasa Indonesia memiliki kualifikasi nilai yang rendah dalam menterjemahkan abstraknya. Skor berkisar antara 3 s.d. 1, 3 (tinggi), 2 (cukup) dan 1 (rendah). Hasil analisis menunjukkan bahwa kualitas leksikal dan fitur pragmatik masih rendah, sehingga dapat disimpulkan bahwa aspek akurasi, keterbacaan, dan penerimaan juga rendah.

Kata Kunci: Penilaian Kualitas Translasi (TQA), Abstrak Jurnal

Abstract: This study is aimed at evaluating English translated abstracts of Journals and researches from Indonesian into English published in a journal of STAIN Ponorogo and identifying translation errors and problems based on translation quality assessment (TQA). In this study, a random selection of abstracts from the Indonesian speaking researchers was used. The corpus consisted of 9 abstracts of journals and researches. The abstracts of these journals and researches were analyzed in terms of problems stemming from translation issues, academic discourse and lexico-syntactic features of translation. The findings indicated that Indonesian-speaking researchers had low score qualification of translation in translating their abstracts into English.The score ranged from 3 to 1: 3 (high), 2 (middle) and 1 (low). The results of the analysis indicated low quality in terms of lexical and pragmatic features from which we concluded that there might be some universally low in its accuracy, readability and acceptance.

Keywords: Translation Quality Assessment (TQA), Journal Abstract

Dolar Yuwono, Translation Quality of Translated Abstracts from Indonesian to English in the Journal of STAIN Ponorogo 2015106

only evolve around translation of linguistic changes,

but is first and foremost about information

technology, political and economical changes (2008:

1). It should be noted that the journal’s Indonesian

title gave researchers the impression that it was

not open to the international scientific community

because Bahasa Indonesia is still only known by

not many scientists in the world of academicians.

Scientists who want to produce influential, globally

recognized work most likely need to translate

their works into English-which means they’ll also

likely have to write their articles, papers, theses,

dissertations, etc. in English. As a result of not

being skillful in writing in English, most papers

were submitted elsewhere in Indonesia.

As is known that one of prerequisites to gain

international recognition is that the paper or any

academic writings including their abstracts must be

written in English. The problem for most Indonesian

researchers or writers are on their English writing

skill; they may mostly face numerous linguistic,

formal, organizational, and ideological barriers in

transferring original texts (Indonesian) into target

texts (English) which may influence their decision

to look for substitutions, anaphora, ellipses, etc.

that make up the different ways of text functions

account for the textual meaning and messages that

should be preserved in translation. The skill needed

for translating their works into English is a must in

academic writings and it, of course, makes much

more challenging since English has become the

lingua franca of academic discourse, for researchers

in the international academic community. And to

become a member of the international academic

community for their works is to be able to publish

them in English; at least, the abstracts they have

written.

Further to say, writing abstract is imperative,

on one hand, because it functions as very short

description of the content and the scope of the

project in an academic writings. An abstract

contains a concise summary of a larger project

(a thesis, research report, performance, service

project, journal etc.) that concisely describes the

content and scope of the project and identifies the

project’s objective, its methodology and its findings,

conclusions, or intended results that a must be

written in English along with the Indonesian

version. Abstracts are universal in academic writing.

All of theses, journals articles and dissertations are

published with their abstracts. On others, as non-

English speaking writers, their abilities to translate

them into English are still limited. Each abstract

translated into English by its writer in the journals

and researches needs to be evaluated. They, as the

translators of their own writings into English, are

mostly weak in their competences in translating.

As a translator, knowing a foreign language and

the subject to be translated only are not enough,

and what they should also have is sensitivity to

language and competency to write in the target

language (TL) dexterously, clearly, economically and

resourcefully (Peter Newmark, 2003:3). What they

have to do is not only avoiding errors usage but

mistakes of fact and language simply by applying

their common sense and showing sensitivity to

language. In addition, translation is a not a simple

process and knowing only meaning of the words

or using dictionaries is not enough for translation.

Translators need to know the knowledge of the

principles in translating and understand the fields

being translated, although getting information

about all fields is almost impossible. Before doing

translation they should study and comprehend the

contents of each text being translated. Without

knowing it, their translation will produce the

technical terms and the translated statements which

are possibly not understandable.

Furthermore, translation is one of the

disciplines which is used to transfer the message

of the source language text (SLT) to the target

language text (TLT). According to Catford (1965)

translation is the replacement of textual material

in one language (SL) by equivalent textual material

in another language (TL). It also typically has

been used to transfer written or spoken SL texts

to equivalent written or spoken TL texts. It is

rendering the meaning of a text into another

language in the way that the author intended the

text (Newmark, 1988: 5). Translation is studying

the lexicon, grammatical structure, communication

situation, and cultural context of the source

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 107

language text, analyzing it in order to determine

its meaning, and then reconstructing this same

meaning using lexicon and grammatical structure

which are appropriate in the receptor language and

its cultural context (Larson, 1984: 3).

It means that translators should always

preserve the message existing in the SL to the TL

because they will deal with the two basic problems

in translation: cultural differences and linguistic

incompatibility. In other word, disparity among

languages are a problematic for translators, the

more different the concepts of languages are, the

more difficult it is to transfer messages from one

language to the other (Rasool Namdari and Mohsen

Shahrokhi: ([email protected]).

Culler (1976) also wrote that one of the

troublesome problems of translation is the disparity

among languages. The bigger the gap between the

SL and the TL, the more difficult the transfer of

message from the former to the latter will be. The

difference between an SL and a TL and the variation

in their cultures make the process of translating a

real challenge. Among the problematic factors

involved in translation such as form, meaning,

style, proverbs, idioms, etc., the present paper is

going to concentrate mainly on the procedures of

translating CSCs in general and on the strategies

of rendering allusions in particular (Mahmoud

Ordudari, 2007:1). So, in doing translation, the

translator needs to know procedures, strategies,

methods and techniques of translation.

Nida (1964) depicted the translating procedures

cover the following procedures, firstly, technical

procedures, include analysis of the source and

target languages, a through study of the source

language text before making attempts translate

it, and making judgments of the semantic and

syntactic approximations (pp. 241-45). Secondly,

organizational procedures, include constant

reevaluation of the attempt made; contrasting it

with the existing available translations of the same

text done by other translators, and checking the

text’s communicative effectiveness by asking the

target language readers to evaluate its accuracy

and effectiveness and studying their reactions (pp.

246-47). While Graedler (2000:3) puts forth some

procedures of translating CSCs, they are making

up a new word, explaining the meaning of the SL

expression in lieu of translating it, preserving the

SL term intact and opting for a word in the TL

which seems similar to or has the same “relevance”

as the SL term.

Defining culture-bound terms (CBTs) as the

terms which “refer to concepts, institutions and

personnel which are specific to the SL culture” (p.2),

Harvey (2000:2-6) puts forward the following four

major techniques for translating CBTs, they are: (i)

Functional Equivalence, it means using a referent

in the TL culture whose function is similar to that

of the source language (SL) referent. As Harvey

(2000:2) writes, authors are divided over the merits

of this technique: Weston (1991:23) describes it as

“the ideal method of translation,” while Sarcevic

(1985:131) asserts that it is “misleading and should

be avoided.” (ii) Formal Equivalence or ‘linguistic

equivalence’: It means a ‘word-for-word’ translation,

(iii) Transcription or ‘borrowing’ (i.e. reproducing

or, where necessary, transliterating the original

term): It stands at the far end of SL-oriented

strategies. If the term is formally transparent or

is explained in the context, it may be used alone.

In other cases, particularly where no knowledge

of the SL by the reader is presumed, transcription

is accompanied by an explanation or a translator’s

note, and (iv) Descriptive or self-explanatory

translation: It uses generic terms (not CBTs) to

convey the meaning. It is appropriate in a wide

variety of contexts where formal equivalence is

considered insufficiently clear. In a text aimed at

a specialized reader, it can be helpful to add the

original SL term to avoid ambiguity.

The following are the different translation

procedures that Newmark (1988) proposes, (i)

Transference: it is the process of transferring an

SL word to a TL text. It includes transliteration

and is the same as what Harvey (2000:5) named

“transcription.” (ii) Naturalization: it adapts the

SL word first to the normal pronunciation, then

to the normal morphology of the TL. (Newmark,

1988:82), (iii) Cultural equivalent: it means replacing

a cultural word in the SL with a TL one. however,

“they are not accurate” (Newmark, 1988b:83),

Dolar Yuwono, Translation Quality of Translated Abstracts from Indonesian to English in the Journal of STAIN Ponorogo 2015108

(iv) Functional equivalent: it requires the use

of a culture-neutral word. (Newmark, 1988:83),

(v) Descriptive equivalent: in this procedure the

meaning of the CBT is explained in several words.

(Newmark, 1988:83), (vi) Componential analysis:

it means “comparing an SL word with a TL

word which has a similar meaning but is not an

obvious one-to-one equivalent, by demonstrating

first their common and then their differing

sense components.” (Newmark, 1988:114), (vii)

Synonymy: it is a “near TL equivalent.” Here

economy trumps accuracy. (Newmark, 1988:84),

(viii) Through-translation: it is the literal translation

of common collocations, names of organizations

and components of compounds. It can also be

called: calque or loan translation. (Newmark,

1988:84), (ix) Shifts or transpositions: it involves a

change in the grammar from SL to TL, for instance,

(i) change from singular to plural, (ii) the change

required when a specific SL structure does not exist

in the TL, (iii) change of an SL verb to a TL word,

change of an SL noun group to a TL noun and

so forth. (Newmark, 1988:86), (x) Modulation: it

occurs when the translator reproduces the message

of the original text in the TL text in conformity with

the current norms of the TL, since the SL and the

TL may appear dissimilar in terms of perspective.

(Newmark, 1988:88), (xi) Recognized translation:

it occurs when the translator “normally uses the

official or the generally accepted translation of

any institutional term.” (Newmark, 1988:89), (xii)

Compensation: it occurs when loss of meaning in

one part of a sentence is compensated in another

part. (Newmark, 1988:90), (xiii) Paraphrase: in this

procedure the meaning of the CBT is explained.

Here the explanation is much more detailed than

that of descriptive equivalent. (Newmark, 1988:91),

(xiv) Couplets: it occurs when the translator

combines two different procedures. (Newmark,

1988:91), and (xv) Notes: notes are additional

information in a translation. (Newmark, 1988:91)

Related to procedures, strategies, methods

and techniques of translation, the assessment on

the results of translation should be based on the

theoretical basis of model developed by House

that the essence of translation is by preserving the

meaning across the two languages involved, and

that meaning has three basic aspects: Semantic,

Pragmatic and Textual aspect (House, 1977: 27).

Canadian Theorist Larose divided his approach of

TQA into two domains: ‘extra textual’ and ‘textual

elements” (1998:169). Chesterman and Wagner

(2002: 92-3) identifies good translation into four

elements, as follows: (i) The acceptability norm,

that is, the one that fits closely enough into the

appropriate family of the target texts (TT), (ii)

The relation norm, that is, the one that governs

the relation between the source texts (ST) and

translation. It says that between the two texts there

must be a relation of ‘relevant similarity’, (iii) The

community norm, that is, the one that should be

optimally intelligible, that it should help the original

author/or sender to communicate the appropriate

message to the senders, and (iv) The accountability

norm, that is, the one that should not contain any

evidence that the translator has been disloyal to any

of the parties involved in the communication.

According to Christina Schaffner (1998), the

criteria for evaluation of translation quality will

be different depending on the purpose of the

assessment and on the theoretical framework which

the evaluator applies and in assessing the quality of

the translation. The TT is compared to the ST to

find out whether the TT is an “accurate, correct,

precise, faithful, or a true reproduction of the

ST” (pp. 1). This comparison, based on Newmark

(1991), involves both quantitative and qualitative

aspects, or in other words, it investigates the

status of accuracy referentially and pragmatically.

Product-oriented assessment models-readability,

comprehensibility, acceptability and usability.

Nababan et al., (2012) states that there are three

aspects that must be paid attention in evaluating

TQA: accuracy, acceptability and readability.

Accuracy is a term used in evaluating translation

referring whether the ST and the TT have the

equal equivalency or not. In addition, it should

refer to the sameness on its sense and message.

A text is supposed to be a result of translation, if

the translation coneys the equal sense and message

to the text being translated/source text (ST).

Readability means that translation is supposed to

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 109

be accepted if it is expressed in accordance to the norms. grammatical rules and culture of the target

language (TL) in level of macro and micro systems. And readability is referring to whether both ST and

the translated text can be read and understood by its readers or not. The criteria used are as follows:

Table1.1: Instrument of Assessment on Accuracy of Translation

Accurate 3 Word meanings, word order (grammatical rules), technical terms, phrases, clauses

and sentences and source text are accurately transferred into target text: zero

distortion in meaning in transferring from SL to TL

Less accurate 2 Word meanings, word order (grammatical rules technical terms, phrases, clauses

and sentences and source text are accurately transferred into target text but there

are still a few distortion in meaning: double meanings (ambiguous in meanings),

or lost in meaning are still found in transferring from SL to TL

Inaccurate 1 Word meanings, word order (grammatical rules technical terms, phrases, clauses

and sentences and source text are not accurately transferred into target text; Even

the message are different; and many meaning are lost.

Table 1.2: Instrument of Assessment on Acceptability of Translation

Acceptable 3 The result of translation looks natural; Technical terms are well- known by their

readers; phrases, clauses and sentences structurally used in translating suit with

the grammatical rule of the TL (Indonesian language)

Less acceptable 2 In general, the result of translation looks natural; however, a few errors and

mistakes still happen in technical terms and grammar.

Unacceptable 1 The result of translation does not look natural; Technical terms are not well-

known by their readers; phrases, clauses and sentences structurally used in

translating do not suit with the grammatical rule of the TL (Indonesian language)

at all.

Table 1.3: Instrument of Assessment on Readability of Translation

Readable 3 Word meanings, technical terms, phrases, clauses and sentences in target text are

easily read and understood.

Less readable 2 In general, most word meanings, technical terms, phrases, clauses and sentences

in target text still can be read and understood; however, there are still some which

need more than one to be repeated to read them.

Unreadable 1 Word meanings, technical terms, phrases, clauses and sentences in target text are

difficult to read and understand

This research aimed to describe the following

questions, (i) How is the accuracy of Indonesian

into English translation done by lecturers of non-

speaking English speakers as far as pragmatic

equivalence and lexico-syntactic properties is

concerned?, (ii) How is the acceptability of

Indonesian into English translation done by

lecturers of non-speaking English speakers as

far as pragmatic equivalence and lexico-syntactic

properties is concerned?, and (iii) How is the

readability of Indonesian into English translation

done by lecturers of non-speaking English speakers

as far as pragmatic equivalence and lexico-syntactic

properties is concerned?

METHOD

This research was descriptive qualitative and the

data used was document taken from the lecturers’

Dolar Yuwono, Translation Quality of Translated Abstracts from Indonesian to English in the Journal of STAIN Ponorogo 2015110

abstracts of journals and researches translated

texts from Indonesian into English. The data were

displayed in two languages: Indonesia and English.

The data was analyzed using content analysis. In

linguistics which focused on translation research,

content analysis was used to analyze the quality of

translation from the source text to the target text.

They were texts in the sense that they were meant

to be read, interpreted, and understood by many

people other than analysts (Klause Krippendorff,

2004:30). The application was that the data were

gathered in written forms of translated texts of

different themes. The translated texts was analyzed

based on their accuracy, acceptability, and readability

seen from perspective of pragmatic equivalence,

and socio-synthetic properties. The following is

the framework for content analysis taken from the

concept by Klause Krippendorff (2004:30).

listing them as major categories (or themes) and/or

minor categories (or themes), (iv) Comparing and

contrasting the various major and minor categories,

(v) Because there was more than one transcript,

repeating the first five stages again for each

transcript, (vi) After doing the above with all of

the transcripts, what should be done was collecting

all of the categories or themes and examining each

in detail and consider if it fitted and its relevance,

(vii) After all the transcript data were categorized

into minor and major categories/themes, they were

reviewed in order to ensure that the information

was categorized as it should be, (viii) Reviewing

all of the categories and ascertaining whether

some categories could be merged or matched

according to their categories or not, or if some

needed to them be sub-categorized as the data to

Figure 2.1: Component of Content Analysis

Procedure

The steps of content analysis are (i) Copying

and reading through the transcript of source texts

and target texts - making brief notes to find list of

the different types of information related to both

texts, (ii) Reading through the list and categorizing

each item in a way that offered a description of

what it is about, in this case, the categorization

was based on pragmatic equivalence and lexico-

syntactical properties, (iii) Identifying whether or

not the categories could be linked any way and

be analyzed, and (ix) To analyze the data, pragmatic

equivalence and lexico-syntactical properties

categories in translation were examined and criteria

were set to rate them. The pragmatic equivalence

lexico-syntactical properties was assessed based

on Nababan (2012) three parameters mentioned

in the previous section to answer to the research

questions below.

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 111

FINDINGS AND DISCUSSION

As mentioned before, abstracts being studied

by the researcher were nine translated texts. They

were divided into some parts of disciplines:

sociology, Islamic study, inheritance law in Islam,

Islam and culture in Indonesia and mysticism. And

the sentences in each discipline was also randomly

selected. From nine abstracts, the researcher only

took one translated text as an executive summary

of his research in this journal. The following

data showed the score of each sentence in the

abstract.

Table 3.1: Score of each sentence in the translated text.

No Source Language Target Language

1 Artikel ini mengekplorasi hubungan antara masjid

dengan masyarakat di Raja Ampat.

This article explores the correlation between

mosque and society in Raja Ampat Regency.

2 Untuk itu, masalah penelitian adalah bagaiana

kepedulian masyarakat dalam menjaga lingkungan

yang bersumber dari ekspresi keberagamaan.

Therefore, the research problem is how

the society awareness in conserving the

environment.

3 Selanjutnya, penelitian ini akan menjelaskan kondisi

kampung dalam menjalankan adat.

Indeed, this research would explain us the

condition of village to implement adat

(tradition).

Translated sentence (TS) 1 showed the

translation are less accurate (the score 2). The

expression “This article explores the correlation.....”

arose the question “ who explores ‘the article or the

author?’. The translation is ambiguous because the

actor of doing exploration was not clear. The article

itself seemed to be the actor of doing research

not the person. It should be better to express it

as follows: “this article is aimed at exploring.....”.

However, the translation of the phrase “the

correlation between mosque and society in Raja Ampat

Regency” were accurate; the word meanings, word

order (grammatical rules), and technical terms used

are still accurately transferred into target text. In the

level of readability showed that the translation was

also lack of readability because clauses “This article

explores the correlation.....” in target text was not easily

read and understood. It made misunderstanding,

and the score is 1, while in the level of acceptability

showed that the translation looks unnatural because

the used of the word ‘explore” did not collocate

the subject ‘article” which could make ambiguity to

understand and the score was 2.

In the translated sentence (TS) 2, the translator

expressed it in an incomplete message to the readers.

There was a reduction on its translation, that is,

“yang bersumber dari ekspresi keberagamaan”. This

clause was not translated, and it functioned as the

controlling ideas and key word in the sentence that

made it inaccurate (score 1). The word meanings,

word order (grammatical rules), and technical terms

were not translated into the in a good and complete

word order. Besides, syntactically, there was missing

verb in noun clause “how the society awareness in

conserving the environment”. There should be linked

with a verb between the subject and predicate. The

ST should be translated as follows: “......... how the

society awareness is in conserving the environment which is

sourced from religious expression”. The transitional word

“therefore” used in this sentence was not natural (say

acceptable: the score 1) because this connector

was to show the effect or consequence of doing

something or of something happening. And the

sentence did not show the effect or consequence of

the first sentence. It is better not to use connector

or change it with another connector which is

suitable. It is better to translate the ST as follows:

‘the problem which arose in the study was how.......”. At

the level of readability, the translation made the

readers blurry to understand because some words

and terms in the ST were omitted in the TT. The

key terms like “ekspresi”, and “keberagamaan”

were not translated into the TL. So the score if the

translation in the level readability was 1.

Dolar Yuwono, Translation Quality of Translated Abstracts from Indonesian to English in the Journal of STAIN Ponorogo 2015112

In TS 3, the mistake was on the transitional

word used to connect between the second and

the third sentence. The connector “indeed” was

not relevant to connect both sentences. The

word “indeed” did not have the same meaning

as the word “selanjutnya” in the SL.This word, if

translated back, is sungguh, tentunya, pastinya,

bahkan, or benar-banar which its purpose was to

emphasize a statement or response confirming

something already suggested, and introduce a

further and stronger or more surprising point or

used in a response to express interest, incredulity,

or contempt. It would be better to use “in addition,

besides, or additionally” which was used to add more

information. The clause following the word “indeed”

was accurate, acceptable and readable so that the

average score based on the criteria above in this

translation was 2,2 and 2.

Table 3.2: Score of each sentence in the translated text above.

Sentence number Accuracy Readability Acceptability

1 1 2 2

2 1 1 1

3 2 2 2

The next source language text which was taken from abstract is as follows:

Table 3.3: Score of each sentence in the translated text.

No Source Text Target text

1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat

kampung menjadikan tradisi Islam dalam menjaga

lingkungan sekitar termasuk laut dan hutan.

Research findings show that villager appliance

Islamic tradition in preserving the surrounding

areas including seas and forests

2. Aturan-aturan diberlakukan pada masyarakat untuk

memandu para penduduk dalam memanen produksi

lingkungan.

There are society rules to guide villager in

harvesting the production.

3. Beberapa ide yang diterapkan dijadikan sebagai

pedoman bagi setiap orang sepanjang waktu.

Some ideas were implemented to escort the

community through the seasons.

As can be seen, the translated sentences 4

above showed that the author had some errors in

translating the ST to the TT. The first translated

sentence was structurally incorrect. It showed

that reported clause of the TT was unclear due

to the error in grammar. The reported clause

had no subject and verb (predicate) so that the

clause became fragment showing unfinished and

incomplete thought. There was no verb between

the subject “ villager appliance Islamic tradition” and the

predicate “ in preserving the surrounding areas including

seas and forests”. Word meanings became ambiguous

and the terms used were not proper such as the

words“ villager appliance Islamic tradition”. The verb

“menjadikan” was shifted and translated into noun

“appliance” which semantically had difference sense

and meaning. The word meaning, terms used and

grammatical rules were so poor that TT cannot

be well understood and naturally accepted by the

speaking English community. Besides, most of the

tenses used in the translated texts were incorrect.

The abstract which shows the result of the study are

usually in the form of past, but most of translators

use them in present forms. The score of the three

aspects are 1. The revision could be “The research

showed that the village community had made Islamic tradition

as a regulation to preserve their environment including seas

and forests”. In this translation, the researchers add a

noun phrase “a regulation” in order that the product

of translation would be easily understood. The

score of each aspect was 1, 1 and 1.

The fifth sentence is structurally correct, but

the author reduced a word “lingkungan” from its

original sentence. The reduction in the TT did

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 113

not make the sentence become blurry but make it

different meaning. It arose the question of what

was harvested, production or the environmental

products. Can production be harvested? If so,

what kinds of production can be harvested?

As known that production is the processes and

methods used to transform tangible inputs (raw

materials, semi-finished goods, sub-assemblies) and

intangible inputs (ideas, information, knowledge)

into goods or services. Resources are used in this

process to create an output that is suitable for use

or has exchange value that cannot be harvested

(http://www.businessdictionary.com).

The researcher thought that the production

which was meant by the translator’ was the

environmental products. The term used was

incorrect because this term is usually used in

commercial environmental activities. Furthermore,

in translating the ST to TT, the translator also used

transposition technique with which he/she changed

the passive sentence into an active one. The passive

clause “Aturan-aturan diberlakukan pada masyarakat

untuk memandu....”. The prefix “di” in “verb

berlakukan” in Indonesian language showed the

passive sentence. However, the author translated

it into active sentence.“There are society rules to guide

villager in harvesting the production.” using introductory

“there”. The translation was not incorrect or not

inaccurate, but it needed a little revision like the

following: “There are society rules to guide villagers in

harvesting the environmental products”. In this case,

it is better for the translator to use “additional

technique” by using additional words, that is,

changing the singular noun “production” into noun

phrase “environmental and products, and the singular

noun “villager into plural noun “villagers”. Otherwise, it

could be translated as it was in the passive sentence.

The translator could translate it like the following:

“The rules or regulations were enforced to the community to

guide villagers in harvesting the environmental products”.

The score of each aspect being assessed were 2,2,

and 2.

In the sixth translated sentence, the translator

reduced and substituted some words of the SL; the

passive phrase “dijadikan sebagai pedoman” was

omitted and the prepositional phrase “bagi setiap

orang” was substituted with noun phrase “the

community”. The omission and the substitution

made the message of the original sentence change

its sense and meaning. He/she also used false choice

of words in English. He/she made the words “bagi”

functioned as preposition in Indonesian language

was translated it into “escort” functioned as a verb

in English. The transposition of a word class in the

target sentence from preposition to verb, of course,

can cause different meaning from its source word.

The word “escort” if juxtaposed with another word

like “community” meant “to accompany (someone

or something) somewhere, especially for protection

or security, or as a mark of rank”, while the word

“bagi” meant “for” like the statement “ It is for you”.

The verb phrase “ to escort the community” if translated

back into Indonesian was “mengawal masyarakat”. So

the translation showed that the author’s translated

text was still far from being accurate, readable and

acceptable. It can be seen when the translated

text is back translated into Indonesian as follows:

“Beberapa ide dilaksanakan untuk mengawal masyarakat

selama bermusim musim”. While the message which

was meant by its author in the ST was “ Beberapa

ide yang diterapkan dijadikan sebagai pedoman bagi

setiap orang sepanjang waktu. It should better to be

translated as follows:“Some ideas applied to community

was used to serve as a guideline for everyone all the time”.

The average score of each aspect was 1,1,and 1.

Table 3.4: Score of each sentence in the translated text.

Sentence number Accuracy Readability Acceptability

4 1 1 1

5 2 2 2

6 1 1 1

Dolar Yuwono, Translation Quality of Translated Abstracts from Indonesian to English in the Journal of STAIN Ponorogo 2015114

All in all, the translated nine texts being

studied in this research consisted of 135 sentences.

After being assessed, the result can be seen in the

following table:

Table 3.5: The final result of the score of translated texts

Parameters used Level of score Sentence number Percentage

Accuracy

3 15 11 %

2 70 52 %

1 50 39 %

Readability

3 35 22 %

2 60 44 %

1 40 29 %

Acceptability

3 27 20 %

2 65 49 %

1 62 47 %

The result in the level of the accuracy showed

that 15 sentences of 135 sentences were accurate

or 11 %; 70 sentences were less accurate or 52

%,; and 50 sentences were not accurate or 39 %.

The level of readability of the assessed- translated

texts showed that the 35 sentences got score 3 or

22 %, 60 sentences got score 2 or 44 %, and 40

sentences got score 1 or 29%. The last criteria was

the acceptability which showed 27 sentences got the

score 3 or 20 %, 65 sentences got the score 2 or 49

%, and 62 sentences got the score 1 or 47 %.

CONCLUSION

Assessing the product of translation is an

important aspect of translation study. Academicians

in the field of translation study have generally felt

the need for more research on it. Therefore, we

who teach and conduct research on translation

need to play a more active role in studying the

issue of translation assessment. For instance, this

study is carried out regarding designing of testing

questions, e.g., how to work out pedagogical

criteria for grading lecturers’ of non-English

major in translation in translating their abstracts

from English to Indonesian., how to assess their

translation competence, cultural knowledge and

encyclopedic knowledge, and how to enhance the

validity and reliability of translation testing. All

these questions await further exploration. In fact,

what they have been done in translating their own

abstracts show that the competences are still far

from being qualified. Based on nine abstracts which

have been translated to Indonesian the result shows

that, at the level of the accuracy, non of abstracts

got score 3. Four abstracts get score 2 and 5 get

score 1. At the level of the readability, the result

shows a little better, that is, 6 abstracts get score

2, 3 get score 1 and non gets 3. Similar result also

happened at the level of acceptability; 5 abstracts

get score 2; 4 abstracts get 1; and no abstract gets

3. Finally, based on the result seen above, it shows

that translating is not only to find the equivalence

of ST and TT, but it is a activity that involves inter-

disciplines. Translating and interpreting cannot

be considered solely as a process of language

transfer, but also as socially and politically directed

activities.

REFERENCES

Chesterman, A. and R. Arrojo. 2002. ‘Shared Ground

in Translation Studies’.

Culler, J. 1976. Structuralist Poetics: Structuralism,

Linguistics, and the Study of Literature. Cornell:

Cornell University Press.

Graedler, A. L. 2000. Cultural Shock. Retrieved

December 6, 2006 from http://www.hf.uio.

no

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 115

Hervey, S., & Higgins, I. 1992. Thinking Translation.

London & New York: Routledge.

House, J. 1997. Translation Quality Assessment: A

Model Revisited. Tubingen: Gunter Narr

Verlag.

House, J. 2001. Translation Quality Assessment:

Linguistic Description Versus Social

Evaluation. Meta: Translators’ Journal, 46,

243-257.

House, J. 2009. Translation. London: Oxford

University Press.

House, J. 2015. Translation Quality Assessment Past and

Present. Routledge: New York.

Krippendorff, K. 2004. “Content Analysis: An

introduction to Its Methodology”. Sage Publication

Inc: London.

Larson, M. L. 1984. “ Translation: Practice and Practice,

Tension and Interdependence. John Benjamin

Publishing Company: Philadelphia.

Larose, R. 1989: Théories Contemporaines de la

Traduction, 2e éd., Québec, Presses de

l’Université du Québec.

Loescher, W. 1991. Translation Performance, Translation

Process and Translation Strategies. Tuebingen:

Guten Narr.

Mahmoud Ordudari 2007. Translation Procedures,

Strategies and Methods. Retrieved September

16,2015, from http://translationjournal.net/

journal/41culture.htm)

Mangatur Nababan, Ardiana Nuraeni &

Sumardiono. ‘Pengembangan Model Penilaian

Kualitas Ter jemahan’. Universitas Sebelas

Maret Surakarta

House, J. 2001. Translation Quality Assessment:

Linguistic Description versus Social

Evaluation” Jurnal Meta, vol. 46, No. 2, Hal.

243-257.

Munday, J. 2008. Introducing translation studies:

Theories and application (2nd ed.). London:

Routledge Publication.

Newmark, P. 1982. Approaches to Translation. Oxford:

Pergamon Institute of English.

Newmark, P. 1988. A Textbook of Translation.

Hertfordshire: Prentice Hall.

Newmark, P. 1988. Approaches to Translation.

Hertfordshire: Prentice Hall.

Newmark, P. 1991. About Translation: Multilingual

Matters. Clevedon, Philadelphia, Adelaide:

Multilingual Matters Ltd.

Nida, E. A. 1964. Towards a Science of Translation,

with Special Reference to Principles and Procedures

Involved in Bible Translating. Leiden: Brill.

Rasool Namdari and Mohsen Shahrokhi. 2015.

“Differences in Translation by Translation

Specialized and Non-Specialized Students in

Terms of Accuracy of Pragmatic Equivalence

and Lexico-Syntactic Properties”, International

Journal of English Language and Translation

Studies: ISSN:2308-5460 Volume: 03 Issue:

02 April-June,2015. Retrieved June 16, 2015,

[email protected].

Richards, et al. 1985. Longman Dictionary of Applied

Linguistics. UK: Longman.

Schäffner, Christina. 1998. “From ‘Good’ to ‘Functionally

Appropriate’: Assessing Translation Quality”.

Jurnal Current Issues In Language &

Society Vol. 4,No 1.

Web Finane. 2015. The Definition of Production.

Retrieved September 16, 2015, from,

Retrieved July 20, 2015, (http://www.

businessdictionary.com)

PENDAHULUAN

Memiliki kemampuan menulis yang mumpuni

adalah keharusan bagi siswa pada semua level

pendidikan. Kemampuan menulis dibutuhkan untuk

berbagai kepentingan akademik seperti membuat

tugas, makalah, karya ilmiah, skripsi, tesis, dan

disertasi yang merupakan syarat kelulusan akademik.

Tanpa kemampuan menulis yang baik maka siswa

akan memiliki kesulitan untuk mengekspresikan

ide dan pemikiran secara tertulis pada orang lain

(Moattarian and Tahririan: 2013). Kurangnya

kemampuan menulis dalam bahasa Inggris tentunya

akan berpengaruh pada pencapaian kemampuan

akademik siswa, karena bahasa Inggris digunakan

sebagai salah satu bahasa pengatar dalam dunia

akademik secara global. Kekomplekan kemampuan

PENERAPAN TEKNIK TUKRI っTULIS, UNGGAH, KRITISI, REVISIあ UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENULIS ESAI

MAHASISWA STKIP PGRI PONOROGO

Elys Rahayu R. M.

STKIP PGRI Ponorogo

[email protected]

Rifa Suci Wulandari

STKIP PGRI Ponorogo

Abstract: Overcoming writing difficulties in high level education such as STKIP PGRI Ponorogo, is very crucial. If those teachers candidate did not have sufficient writing skill, they cannot teach professionally. This Collaborative Classroom Action Research is aimed to find out how TUKRI technique be implemented to improve the fourth semester students’ ability in writing expository essays in academic year 2014/2015. Based on the analysis of the teaching and learning process, and students’ essays at the end of the Cycle Two, students’ active participation has achieved the criteria of success which is 70%. Furthermore, the average of students’ writing score at the end of Cycle two has achieved the criteria of success which is 80. Based on the findings, there are nine steps proposed to implement TUKRI technique to improve the fourth semester students’ ability in writing expository essays.

Keywords: Expository Essays, TUKRI Technique, Writing Skill

Abstrak: Pada level pendidikan tinggi seperti STKIP PGRI Ponorogo, mengatasi kesulitan untuk menulis adalah hal yang penting. Jika para calon guru tersebut tidak memiliki kemampuan menulis yang memadai maka dikhawatirkan mereka tidak akan mampu mengajar secara profesional. Penelitian Tindakan Kelas ini dilaksanakan secara kolaboratif untuk mengetahui bagaimana teknik TUKRI dapat diterapkan dalam pembelajaran menulis essai ekspositori bagi mahasiswa semester empat STKIP PGRI Ponorogo pada tahun ajaran 2014/2015. Merujuk pada hasil analisis proses pembelajaran, dan hasil esai mahasiswa di akhir siklus dua ditemukan bahwa keaktifan mahasiswa dalam proses pembelajaran telah mencapai criteria yang ditetapkan yaitu 70%. Selain itu secara umum hasil rata-rata tulisan mahasiswa pada akhir siklus dua adalah 80 atau sesuai dengan kriteria ketuntasan. Berdasarkan hasil temuan dalam penelitian ini, maka ada sembilan langkah penerapan teknik TUKRI untuk meningkatkan kemampuan menulis esai ekspositori

Kata Kunci: Esai Ekspositori, Keterampilan Menulis, Teknik TUKRI

Elys R. R. M. & Rifa S. W., Penerapan Teknik Tukri (Tulis, Unggah, Kritisi, Revisi) untuk Meningkatkan Keterampilan Menulis Esai118

(kemampuan merencanakan, mengorganisasi,

ejaan, tanda baca, diksi, dan sebagainya) yang

dibutuhkan untuk membuat suatu tulisan yang

bagus adalah penyebab utama kesulitan siswa

dalam menulis (Richards and Renandya: 2002).

Pada level pendidikan tinggi seperti yang terjadi

di STKIP PGRI Ponorogo, mengatasi kesulitan

untuk menulis adalah hal yang penting. Hal ini

sejalan dengan misi progam studi bahasa Inggris

yang ingin mencerak guru profesional dalam

pengajaran. Jika para calon guru tersebut tidak

memiliki kemampuan menulis yang memadai maka

dikhawatirkan mereka tidak akan mampu mengajar

secara profesional. Jika mereka tidak bisa mengajar

secara profesional, dikhawatirkan mereka juga tidak

akan mampu membekali siswa dengan kemampuan

menulis yang baik.

Hasil analisa dari esai awal yang dibuat

mahasiswa pada awal penelitian, menunjukkan

beberapa kesulitan yang dihadapi oleh mahasiswa.

Kesulitan menulis secara lokal antara lain meliputi

kesulitan dalam hal diksi, tata bahasa dan struktur

kalimat. Kesulitan menulis secara lokal tersebut

memiliki pengaruh pada kesulitan menulis mahasiswa

secara global. Secara logis jika kemampuan menulis

para calon guru tersebut tidak segera ditingkatkan,

maka akan mempengaruhi kualitas pembelajaran

yang akan mereka lakukan ketika menjadi guru

yang sesungguhnya. Hasil temuan ini menunjukkan

bahwa kemampuan para calon guru tersebut harus

ditingkatkan untuk perbaikan kemampuan akademis

maupun untuk menujang pekerjaan mereka di masa

datang.

Saovapa (2013) menyatakan bahwa teknik

umpan balik ini bisa mendorong pembelajar

untuk menjadi lebih aktif dalam meningkatkan

kemampuan menulis mandiri. Teknik umpan balik

terutama teknik umpan balik teman sejawat dapat

membantu pembelajar untuk mengetahui kesulitan

dan hambatandalam menulis yang juga dialamioleh

teman sejawat. Hui dan Shih (2009:80) menyatakan

bahwa teknik umpan balik teman sejawat akan

membuat siswa memiliki pandangan yang lebih

luas pada topik yang ditugaskan, Teknik ini juga

akan menghindarkan mahasiswa dari kemungkinan

plagiarism, karena tulisan mereka akan dibaca oleh

teman sejawat sebelum pemberian umpan balik.

Ketertarikan mahasiswa pada penggunaan media

sosial bisa digunakan sebagai media penyampaian

umpan balik teman sejawat. Dua penelitian oleh

Melor, Salehi and Chenzi pada 2012, dan Ibrahim

pada 2013 menunjukkan bahwa Facebook menjadi

media yang bisa diintegrasikan dalam pembelajaran

menulis. Menurut Wu (2006:136) peningkatan

kemampuan menulis akan terjadi jika pembelajar

memiliki kesempatan untuk melihat proses

menulis dari rekan sejawat. Aplikasi Facebook

memungkinkan siswa untuk mengunggah draft dari

tiap bagian esai yang mereka buat.

Penelitian Arslan (2014) menyebutkan

beberapa keuntungan dan kerugian dari penerapan

teknik umpan balik dalam pembelajaran menulis.

Keuntungannya antara lain (1) mendorong belajar

mandiri dan belajar aktif, (2) menyediakan cara

mengatasi kesalahn, (3) meningkatkan kemampuan

bahsa tulis dan tata bahasa bagi pembelajar bahasa

asing, dan (4) membantu pembelajar untuk

mengenali dan menghindari kesalahan lokal dan

global dalam menulis. Kerugiannya antara lain (1)

bisa memunculkan efek negatif pada rasa percaya

diri pembelajar, (2) tidak memfasilitasi kegiatan

individu, and (3) hanya sedikit berkontribusi

pada tahap revisi. Hyland dan Hyland (2006:83)

menyatakan bahwa penerapan umpan balik dalam

kelas yang berbasis pembelajran genre telah

berubah. Pemberian umpan balik sekarang telah

mengkombinasikan umpan balik dari guru dengan

umpan balik teman sejawat, baik secara tatap muka

maupun secara online.

Hinkel (2004:28) menyatakan “in general terms,

exposition is entailed in expressing ideas, opinions, or

explanation pertaining to a particular piece of knowledge

or fact”. Dengan kata lain, sebuah esai ekspositori

yang bagus harus mampu membuat pembaca

menangkap cara pandang penulis terhadap isu

tertentu. Dalam essai ini pembelajar harus mampu

mengorganisasikan informasi-informasi penunjang

suatu isu/topik tertentu. Pengorganisasian informasi

penunjang dalam esai ekspositori dapat dilakukan

dengan cara memberikan contoh, memberikan

ilustrasi, memberikan perbandingan dan persamaan,

dan memberikan hubungan kausalitas (Montelongo,

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 119

Herter, Ansaldo and Hatter, 2010:659). Pemilihan

cara pengorganisasian ini dapat menimbulkan

masalah bagi pembelajar. Mereka harus berhati-hati

dalam memilih jenis perorganisasian informasi yang

menunjang topik yang akan ditulis.

Esai ekspositori biasanya terdiri dari

introductory paragraph, body/supporting paragraphs, dan

concluding paragraph. Introductory paragraph dari

esai ekspositori biasanya terdiri dari tiga elemen

yaitu hook, building sentences, dan thesis statement.

Hook, sebagai kalimat pertama dalam paragraf

awal menjadi interest-grabber pembaca. Kalimat

ini mewakili topik dalam essai dan biasanya

ditulis semenarik mungkin dengan membeberkan

fakta, pernyataan, maupun pertanyaan yang

mengejurkan. Kalimat setelah hook dinamakan

building sentences. Building sentences/kalimat penjelas

berperan untuk memberikan dasar informasi

kontekstual mengenai topik. Kalimat tersebut harus

menunjang dan menggiring pada thesis statement.

Thesis statement, sebagai kalimat yang paling penting

dalam keseluruhan essai biasanya ditulis pada akhir

paragraf pembuka. Kalimat ini dianggap penting

karena merangkum semua ide yang akan dipaparkan

dalam paragraf selanjutnya.

Pada paragraf isi yang bisa terdiri dari dua

atau lebih, penulis harus menuliskan ide mereka

dalam pengorganisasian yang telah dipilih. Tiap

paragraf yang dalam bagian isi harus memberikan

gambaran spesifik dari tiap idea utama yang telah

dicantumkan dalam thesis statement. Paragraf isi

minimal berisi sebuah topic sentence, beberapa

supporting sentences, dan satu concluding sentence. Topic

sentence is kalimat pertama dari paragraf isi yang

menuliskan controlling idea tentang topik yang

dibahas. Controlling idea mencantumkan kerangka

pengembangan ide paragraf. Supporting sentences

adalah kalimat yang bertujuan mengklarifikasi,

mempeluas, dan mendukung ide pokok dengan

cara memperlihatkan hubungan logis, bukti, dan

penjelasan. Concluding sentence merangkum semua

pemikiran yang ada dalam sebuah paragraf dan

menjembatani ide di paragraf selanjutnya.

Concluding paragraph/paragraf penutup berisi

tiga elemen restated thesis, summary of main ideas, dan

final thought. Restated thesis dituliskan diawal paragraf

penutup. Kalimat ini merekonstruksi thesis

statement dalam kalimat. kalimat penunjang dalam

paragraf pentup harus meringkas tiap ide pokok

dalam tiap paragraf isi sebagi pengingat bagi para

pembaca. Final thought adalah kalimat terakhir dalam

paragraf penutup yang menunjukkan opini, solusi,

atau prediksi. Kalimat ini harus menimbulkan

keinginan berkontemplasi bagi pembaca.

Teknik TUKRI secara teoritis memang

serupa dengan teknik umpan balik teman sejawat

melalui Facebook. Namun, teknik ini adalah teknik

yang dikhususkan dalam tahap drafting dan revising

suatu esai ekspositori. Teknik ini dimaksudkan

untuk membuat para mahasiswa yang membuat

esai ekspositori memiliki kemampuan dalam

mengorganisasikan ide secara logis sehingga

pembaca akan mendapatkan informasi yang spesifik

mengenai topik tertentu. Teknik ini juga ditujukan

untuk meningkatkan motivasi mahasiswa terhadap

pembelajaran menulis yang terkesan monoton.

Motivasi mereka akan timbul jika mereka bisa

melihat bahwa teman-teman mereka juga berjuang

untuk meningkatkan kemampuan menulis. Mereka

juga bisa meminta pendapat, kritik, dan masukan

dari teman yang dianggap lebih ‘halus’ daripada

masukan langsung dari dosen yang biasanya

terkesan lebih ‘mendikte’.

Teknik TUKRI ini akan melalui empat

tahap. Tahap pertama adalah Tulis, dimana

mahasiswa menuliskan draftnya mengenai topik

yang ditentukan. Tahap kedua adalah Unggah. Pada

tahap ini mahasiswa menunggah hasil tulisannya

dalan grup Facebook tertutup. Tahap ketiga

adalah Kritisi. Pada tahap ini mahasiswa diminta

memberikan umpan balik kepada hasil tulisan dua

orang rekan sekelas yang telah diunggah dalam

grup Facebook tertutup. Sebelum pemberian

umpan balik, mahasiswa diberikan pemodelan

pemberian umpan balik rekan sejawat yang baik

oleh dosen. Umpan balik yang diberikan dapat

berupa saran, kritik, komentar mengenai aspek lokal

dan global dari tulisan rekan sejawat. Umpan balik

yang diberikan dalam bahasa Inggris. Mahasiswa

juga melakukan dialog dengan rekan sejawat

mengenai umpan balik yang diberikan oleh teman

sejawatnya. Tahap keempat adalah Revisi. Dalam

Elys R. R. M. & Rifa S. W., Penerapan Teknik Tukri (Tulis, Unggah, Kritisi, Revisi) untuk Meningkatkan Keterampilan Menulis Esai120

tahap ini mahasiswa merevisi hasil tulisan mereka

berdasarkan umpan balik yang diberikan oleh rekan

sejawatnya.

METODE

Penelitian Tindakan Kelas ini dilaksanakan

secara kolaboratif. Peneliti bersama satu kolaborator

yang merupakan dosen pengampu mata kuliah

Essay Writing: Expository and Argumentative

akan menggunakan teknik TUKRI dalam proses

belajar mengajar.Peneliti akan bertindak sebagai

dosen yang menerapkan teknik TUKRI dalam

pembelajaran menulis dan seorang kolaborator

akan bertindak sebagai pengamat dan juga sebagai

penilai hasil tulisan mahasiswa. Seorang kolaborator

lainnya (dosen dalam mata uliah serumpun) menjadi

penasihat dalam pembuatan rencana pembelajaran

dan media yang akan digunakan pada tahap

implementasi. Kolaborator juga bertindak sebagai

konsultan instrumen yang akan digunakan dalam

penelitian. Karena penelitian ini ditujukan untuk

menemukan langkah-langkah yang tepat untuk

menerapkan teknik TUKRI dalam pembelajaran

untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa,

maka desain penelitian yang dipilih adalah desain

penelitian kelas. Desain penelitian tindakan kelas

ini menggunakan model Kemmis and Mc Taggart.

Ada empat tahapan yang akan dilaksanakan yaitu

planning, implementation, observation, dan reflection.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Siklus Satu

Berdasarkan hasil lembar pengamatan dan

catatan lapangan didapatkan beberapa informasi

penting mengenai proses pembelajran yang

menerapkan teknik TUKRI. Dari tiga pertemuan

terakhir dimana peneliti menerapkan teknik

TUKRI, maka tahap pemberian kritik/saran dan

tahap revisi menjadi dua tahapan yang sering belum

terlaksana dengan cukup baik. Perbedaan tingkat

keaktifan mahasiswa bisa dilihat dalam table 3.1.

Tabel 3.1: Perbedaan Tingkat Keaktifan

Mahasiswa Pada Siklus 1

No. Pertemuan Persentase

1 Pertama 65%

2 Kedua 64%

3 Ketiga 60%

4 Keempat 64%

Rata-rata 63%

Notes:

Very Good : 81%-100% Good : 61%-80% Fair : 41%-60% Poor : 21%-40% Very Poor : 0%-20%

Table 3.1 memperlihatkan pada pembelajaran

pertama keaktifan mahasiswa adalah 65% yang

berarti mahasiswa memiliki keaktifan yang bagus

pada tahap ini. Pada pembelajaran kedua, terjadi

penurunan menjadi 64% untuk keaktifan mahasiswa.

Namun keaktifan mahasiswa ini masih pada level

yang bagus. Sedangkan pada pertemuan ketiga

terjadi penurunan yang lebih banyak menjadi 60

%. Penurunan ini membuat level keaktifan siswa

menurun pada level biasa dan ada tahapan dalam

pertemuan ini yang gagal dilakukan oleh mahasiswa

yaitu tahap revisi. Keadaan in tidak berlangsung

lama mengingat terjadi peningkatan kembali pada

pertemuan keempat, menjadi 64% kembali.

Analisis mengenai hasil esai mahasiswa

pada akhir siklus satu jika dibandingkan dengan

preliminary study bisa dilihat dalam table 3.2.

Table 3.2: Perbedaan Nilai Esai Mahasiswa pada

Preliminary Study dan Test di Siklus 1

Rater 1

(rerata)

Rater 2

(rerata)

Rata-rata

Preliminary Study 75 75 75

Test di akhir siklus 1 76 77 76.5

Perbedaan 1 2 1.5

Table 3.2 menunjukkan adanya kenaikan

nilai hasil esai mahasiswa sebanyak 1-2 poin dari

hasil tulisan mahasiswa pada preliminary study.

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 121

Pada akhir siklus satu, nilai rata-rata yang dicapai

mahasiswa berdasarkan dua penilai memiliki rata-

rata yang sama yaitu 75. Sedangkan perbedaan

aspek penulisan pada preliminary study dengan tes

di akhir siklus satu bisa dilihat di tabel 3.3.

Tabel 3.3: Perbedaan Aspek Penulisan pada

Preliminary Study dengan Tes di Siklus 1

Gram. Accur. Con. Organ. Mech.

Preliminary 15 14 15 15 16

Test 1 16 15 15 15 16

Diffence 1 1 0 0 0

Dari tabel tersebut bisa dilihat bahwa aspek

grammar dan accuracy mengalami peningkatan

satu poin dibandingkan dengan hasil preliminary

study. Namun aspek yang lain belum mengalami

perubahan jika dibandingkan dengan preliminary

study. Untuk melihat perbandingan antara persepsi

mahasiswa dari kuisiner yang sama namun diberikan

pada saat preliminary study dengan akhir siklus satu

bisa dilihat di table 3.4.

Tabel 3.4: Perbedaan Persepsi Kuisioner dalam Preliminary Study dengan Siklus 1

Pertanyaan Perbedaan A B C D E

1Jumlah 3 9 0 -11 -1

Persentase 9% 30% 1% -38% -2%

2Jumlah 3 0 0 -3 -1

Persentase 10% 0% 0% -9% -2%

3Jumlah 0 4 -2 -2 0

Persentase 0% 13% -7% -7% 0%

4Jumlah -4 5 5 -5 -1

Persentase -13% 17% 17% -17% -3%

5Jumlah 2 5 0 -7 0

Persentase 7% 17% 0% -23% 0%

Tabel 3.4 menunjukkan adanya peningkatan

dalam jumlah mahasiswa yang sangat senang dan

senang terhadap mata kuliah essay writing yaitu

sebesar 9% dan 30%. Namun tidak ada peningkatan

dalam jumlah mahasiswa yang menganggap biasa

dalam mata kuliah essay writing. Sedangkan

jumlah mahasiswa yang tidak senang dan sangat

tidak senang terhadap mata kuliah essay writing

mengalami penurunan sebesar sebesar 38% dan

2%. Table ini juga menunjukkan peningkatan dalam

jumlah mahasiswa yang menganggap menulis esai

dalam bahasa Inggris sangat mudah yaitu sebesar

10%. Namun tidak ada peningkatan dalam jumlah

mahasiswa yang menganggap menulis esai dalam

bahasa Inggris mudah dan biasa saja. Sedangkan

jumlah mahasiswa yang menganngap menulis esai

dalam bahasa Inggris yang sulit dan tidak sulit

mengalami penurunan sebesar sebesar 9% dan

2%. Peningkatan dalam jumlah mahasiswa yang

menganggap cara mengajar dosen dalam matakuliah

menulis esai dalam bahasa Inggris menarik adalah

sebesar 13%. Namun tidak ada peningkatan dalam

jumlah mahasiswa yang menganggap cara mengajar

dosen dalam matakuliah menulis esai dalam bahasa

Inggris sangat menarik dan sangat tidak menarik.

Sedangkan jumlah mahasiswa yang menganggap

cara mengajar dosen dalam matakuliah menulis

esai dalam bahasa Inggris cukup menarik dan

tidak menari sama-sama mengalami penurunan

sebesar 7%. Jumlah mahasiswa yang menganggap

pemberian umpan balik dari dosen dalam matakuliah

menulis esai dalam bahasa Inggris sangat berguna

berkurang sebesar 13%. Peningkatan dalam

jumlah mahasiswa yang menganggap pemberian

umpan balik dari dosen dalam matakuliah menulis

esai dalam bahasa Inggris berguna dan cukup

berguna adalah sama-sama 17%. Sedangkan jumlah

mahasiswa yang menganggap pemberian umpan

Elys R. R. M. & Rifa S. W., Penerapan Teknik Tukri (Tulis, Unggah, Kritisi, Revisi) untuk Meningkatkan Keterampilan Menulis Esai122

balik dari dosen dalam matakuliah menulis esai

dalam bahasa Inggris tidak berguna dan sangat

tidak berguna mengalami penurunan sebesar 17%

dan 3%. Jumlah mahasiswa yang menganggap

pemberian umpan balik dari teman sejawat dalam

matakuliah menulis esai dalam bahasa Inggris

sangat berguna dan berguna naik menjadi 7%

dan 17%. Tidak ada peningkatan dalam jumlah

mahasiswa yang menganggap pemberian umpan

balik dari teman sejawat dalam matakuliah menulis

esai dalam bahasa Inggris cukup berguna dan tidak

berguna adalah sama-sama 17%. Sedangkan jumlah

mahasiswa yang menganggap pemberian umpan

balik dari teman sejat dalam matakuliah menulis esai

dalam bahasa Inggris kurang berguna mengalami

penurunan sebesar 23%.

Merujuk pada criteria kesuksesan, hasil analisis

proses pembelajaran, dan hasilesai mahasiswa di

akhir siklus satu maka criteria kesuksesan yang

telah ditentukan masih belum tercapai. Keaktifan

mahasiswa dalam proses pembelajran masih belum

mencapai criteria yang ditetapkan yaitu 70%.

Rata-rata keaktifan mahasiswa masih dibawah

70% (63%). Perbedaan antara tingkat keaktifan

mahasiswa siklus satu dengan criteria kesuksesan

sebesar 7%. Selain itu secara umum hasil rata-rata

tulisan mahasiswa pada akhir siklus satu adalah 76.5

atau hanya naik 1.5 poin saja. Jika dibandingkan

dengan criteria kesuksesan (80) maka nilai rata-rata

mahasiswa PBI2013 masih kurang 3,5 poin.

Ada beberapa hal yang menurut peneliti menjadi

alasan tidak tercapainya criteria kekesuksesan

pada siklus satu. Pertama, penjelasan dosen

yang belum dapat sepenuhnya dimengerti oleh

mahasiswa karena dosen yang menggunakan bahasa

Inggris berbicara terlalu cepat dan pelan. Kedua,

manajemen waktu yang kurang baik tertutama

ketika dosen meminta mahasiswa untuk langsung

membuat draft tiap paragraf dalam tiap pertemuan.

Mahasiswa membutuhkan waktu yang lebih lama

untuk menyusun draft yang lebih baik. manajemen

waktu yang kurang baik ini akhirnya berimbas pada

keefektifan dan molornya waktu pelaksanaan langkah

pembelajaran selanjutnya. Ketiga, mahasiswa masih

belum terbiasa memberikan kritik/saran kepada

rekan sejawat menggunakan grup Facebook

tertutup. Keempat, mahasiswa merasa kurang

mampu untuk memberikan kritik/saran dalam

bahasa Inggris. Beberapa mahasiswa mengusulkan

untuk menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa

Inggris dalam pemberian kritik./saran.

Siklus Dua

Berdasarkan has i l pengamatan yang

tertulis dalam lembar pengamatan dan catatan

lapangan, ditemukan ada beberapa hal yang harus

diperhatikan oleh peneliti. Pertama, pertemuan

ini telah dilaksanakan sesuai dengan rencana

pembelajaran yang telah dibuat dengan cukup baik.

Keaktifan mahasiswa pada pertemuan ini sebesar

70%, dan tahapan yang memiliki tingkat keaktifan

mahasiswa yang paling rendah adalah pada tahap

penjelasan tujuan perkuliahan dan pemberian

kritik/saran karena ada beberapa mahasiswa

yang terlambat dan belum mampu menyelesaikan

membaca paragraf isi yang dibuat teman sejawat

dalam batas waktu yang ditentukan. Ketiga, pada

tahapan pemberian kritik/saran mahasiswa masih

mengalami keterlambatan dalam memberikan

saran karena harus menyelesaikan membaca

paragraf penutup dan mengunggah keseluruhan

esai. Berdasarkan tiga pertemuan terakhir dimana

peneliti menerapkan teknik TUKRI, maka tahap

revisi yang sering belum terlaksana dengan cukup

baik. Perbedaan tingkat keaktifan mahasiswa bisa

dilihat dalam table 3.1.

Tabel 3.5: Perbedaan Tingkat Keaktifan

Mahasiswa pada Siklus 2

No. Pertemuan Persentase

1 Pertama 69%

2 Kedua 70%

3 Ketiga 70%

Rata-rata 70%

Notes:

Very Good : 81%-100% Good : 61%-80% Fair : 41%-60% Poor : 21%-40% Very Poor : 0%-20%

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 123

Table 3.5 memperlihatkan ketidakstabilan

keaktifan mahasiswa dalam pembelajaran-

pembelajaran di siklus satu. Pada pembelajaran

pertama keaktifan mahasiswa adalah 69% yang

berarti mahasiswa memiliki keaktifan yang bagus

pada tahap ini. Pada pembelajaran kedua, terjadi

peningkatan keaktifan menjadi 70% untuk keaktifan

Table 3.6: Perbedaan Nilai Esai Mahasiswa pada Siklus Dua dengan Siklus 1

Rater 1

(rerata)

Rater 2

(rerata)

Rata-rata

Test di akhir siklus dua 79 80 80

Test di akhir siklus satu 76 77 77

Perbedaan 3 3 3

Table 3.6 menunjukkan adanya kenaikan nilai hasil esai mahasiswa pada akhir siklus dua sebanyak 3

poin dari hasil tulisan mahasiswa pada akhir siklus satu. Pada akhir siklus dua, nilai rata-rata yang dicapai

mahasiswa berdasarkan dua penilai memiliki rata-rata yang sama yaitu 79,5 atau dibulatkan menjadi 80.

Sedangkan perbedaan aspek penulisan pada preliminary study dengan tes di akhir siklus satu bisa dilihat

di tabel 3.7.

Tabel 3.7: Perbedaan Aspek Penulisan Siklus Satu dengan Siklus Dua

Gram. Accur. Con. Organ. Mech.

Test 1 16 15 15 15 16

Test 2 16 15 16 16 17

Difference 1 0 1 0 1

Dari table tersebut bisa dilihat bahwa aspek grammar, content dan mechanic mengalami peningkatan

satu poin dibandingkan dengan hasil siklus satu. Namun aspek yang lain belum mengalami perubahan jika

dibandingkan dengan hasil dari siklus satu. Untuk hasil dari kuisioner yang diberikan pada saat preliminary

study dengan akhir siklus dua bisa dilihat di table 3.8.

Tabel 3.8 Hasil Kuisioner pada Siklus Dua

No Perception

Percentage

Strongly

Agree Agree So-so

Disagree

Strongly

Disagree Total

1 Penggunaan teknik TUKRI dalam

mata kuliah Essay Writing0% 78% 9% 9% 4% 100%

2 Secara umum, teknik TUKRI

mempunyai efek positif bagi mata

kuliah menulis esai

30% 61% 9% 0% 0% 100%

3 Teknik TUKRI berguna untuk

mendorong peningkatan

pembelajaran aktif

30% 61% 4% 4% 1% 100%

mahasiswa. Namun keaktifan mahasiswa ini masih

pada level yang bagus. Pada pertemuan ketiga

keaktifan mahasiswa tetap pada level 70 %.

Analisis mengenai hasil esai mahasiswa pada

akhir siklus dua jika dibandingkan dengan siklus

satu bisa dilihat dalam table 3.6.

Elys R. R. M. & Rifa S. W., Penerapan Teknik Tukri (Tulis, Unggah, Kritisi, Revisi) untuk Meningkatkan Keterampilan Menulis Esai124

Tabel 3.8 menunjukkan adanya jumlah

mahasiswa yang setuju untuk menggunakan

teknik TUKRI dalam mata kuliah Essay Writing

berjumlah 78%. Sedangkan jumlah mahasiswa yang

memiliki pendapat biasa dan tidak setuju terhadap

penggunaan teknik TUKRI dalam mata kuliah

Essay Writing sama-sama berjumlah 9%. Namun

tidak ada mahasiswa yang sangat setuju untuk

menggunakan teknik TUKRI dalam mata kuliah

essay writing. Jumlah mahasiswa yang sangat tidak

setuju terhadap penggunaan teknik TUKRI dalam

mata kuliah Essay Writing berjumlah 4%. Alasan

ketidaksetujuan mereka karena mereka merasa

mendapat beban tambahan dengan keharusan

memberikan kritik/saran terhadap hasil tulisan

teman mereka. Mereka juga beralasan bahawa

mereka masih belum merasa mampu memberikan

kritik/saran yang baik untuk teman sejawatnya.

Penggunaan bahasa Inggris juga menjadi salah satu

alasan mereka kurang mampu memberikan kritik/

saran kepada teman sejawat mereka. Table ini juga

menunjukkan bahwa jumlah mahasiswa yang secara

umum sangat setuju dan setuju bahwa penggunaan

teknik TUKRI mempunyai efek positif dalam

mata kuliah menulis esai berjumlah 30% dan 61%.

Persentase tersebut lebih besar jika dibandingkan

dengan jumlah mahasiswa yang memiliki anggapan

biasa saja terhadap pernyataan penggunaan teknik

TUKRI mempunyai efek positif dalam mata

kuliah menulis esai. Persentase mahasiswa yang

beranggapan seperti itu adalah 9%. Sedangkan

persentase mahasiswa yang sangat setuju dan setuju

bahwa teknik TUKRI berguna untuk mendorong

peningkatan pembelajaran aktifadalah sebesar 30%

dan 61%. Persentase mahasiswa yang memiliki

anggapan biasa saja mengenai pernyataan teknik

TUKRI berguna untuk mendorong peningkatan

pembelajaran aktif adalah sebesar 4%. Persentase

mahasiswa yang tidak setuju dan sangat tidak

setuju dengan pernyataan bahwa teknik TUKRI

mendorong peningkatan pembelajaran aktif adalah

sebesar 4% dan 1%. Persentase mahasiswa yang

sangat setuju dan setuju dengan anggapan bahwa

teknik TUKRI berguna untuk meningkatkan

kualitas esai ekspositori adalah sebesar 9% dan 70%.

Persentase mahasiswa yang memiliki anggapan biasa

saja mengenai pernyataan teknik TUKRI berguna

untuk meningkatkan kualitas esai ekspositori adalah

sebesar 17%. Persentase mahasiswa yang tidak

setuju dengan pernyataan bahwa teknik TUKRI

meningkatkan kualitas esai ekspositori adalah

sebesar 4%. Namun tidak ada mahasiswa yang

sangat tidak setuju dengan pernyataan bahwa teknik

TUKRI meningkatkan kualitas esai ekspositori.

Merujuk pada criteria kesuksesan, hasil analisis

proses pembelajaran, dan hasil esai mahasiswa

di akhir siklus dua peneliti dan kolaborator

berpendapat bahwa criteria kesuksesan yang telah

ditentukan sudah tercapai. Keaktifan mahasiswa

dalam proses pembelajaran telah mencapai criteria

yang ditetapkan yaitu 70%. Selain itu secara umum

hasil rata-rata tulisan mahasiswa pada akhir siklus

satu adalah 80 atau hanya naik 3.5 poin saja. Hasil

kuisioner kedua yang dirangkum menjadi empat

pernyataan utama yaitu penggunaan teknik TUKRI

dalam mata kuliah Essay Writing, teknik TUKRI

mempunyai efek positif bagi mata kuliah menulis

esai secara umum, teknik TUKRI berguna untuk

mendorong peningkatan pembelajaran aktif, dan

teknik TUKRI berguna untuk meningkatkan

kualitas esai ekspositori juga menunjukkan hasil

yang positif. Lebih banyaknya persentase mahasiswa

yang memberikan tanggapan positif mengenai

teknik TUKRI bisa menjadi indicator bahwa

teknik ini sudah memiliki potensi yang cukup besar

untuk membantu mahasiswa dalam meningkatkan

kualitas tulisan esai ekspositori mereka. Berdasarkan

hasil temuan dalam siklus dua maka dosen dan

kolaborator memutuskan bahwa penggunaan

teknik TUKRI dalam pembelajaran menulis

esai ekspositori telah mampu mencapai criteria

ketuntasan yang ditentukan. Hal ini memeliki

arti bahwa siklus kedua telah dinyatakan berhasil

sehingga siklus selanjutnya tidak pelu dilakukan.

4 Teknik TUKRI berguna untuk

meningkatkan kualitas esai

ekspositori

9% 70% 17% 4% 0% 100%

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 125

Berdasarkan hasil observasi pada siklus satu,

kelima tahapan tersebut belum bisa terlaksana

dengan baik karena kendala waktu dan tingkat

kemampuan mahasiswa dalam menulis. Akibatnya

tingkat keaktifan mahasiswa dalam mengikuti tahap-

tahap yang telah direncanakan pada pertemuan-

pertemuan di siklus satu belum mencapai 70%

seperti yang telah ditentukan sebagai criteria

kesuksesan. Hal ini juga berimbas pada nilai akhir

esai ekspositori yang dibuat mahasiswa dalam

siklus pertama yang belum mencapai rata-rata 80

yang telah ditentukan sebagai criteria kesuksesan.

Tapi berdasarkan hasil kuisioner yang diberikan

pada akhir siklus satu terlihat adanya peningkatan

positif mengenai penggunaan teknik TUKRI dalam

mata kuliah Essay Writing. Beberapa masalah yang

terjadi dalam siklus ini seperti pengaturan waktu,

kendala bahasa dalam pemberian kritik dan saran,

serta kurangnya pelatihan untuk pemberian kritik/

saran akhirnya direvisi dalam siklus dua.

Dalam siklus dua masalah pengaturan waktu

direvisi dengan memfokuskan penggunaan teknik

TUKRI dalam tahap revising, editing, dan publishing

saja. Revisi ini diterapkan dengan pertimbangan

bahwa mahasiswa akan memiliki waktu yang lebih

banyak untuk melakukan dua tahapan; prewriting

dan drafting secara mandiri di luar kelas. Pemberian

waktu yang lebih banyak untuk dua tahapan ini

akan membuat mereka mampu menghasilkan drat

yang lebih baik dibanding dengan jika mereka

harus membuat draft dalam waktu yang terbatas di

dalam kelas. Pertimbangan ini terbukti cukup efektif

membuat mahasiswa membuat draft yang lebih

baik dibandingkan dengan draft yang mereka buat

pada siklus satu. Pertimbangan lain adanya revisi

ini adalah untuk memberikan waktu yang lebih

lama bagi mahasiswa untuk memberikan kritk/

saran, mengkonfirmasi kritik/saran, dan melakukan

revisi pada draft yang diunggah berdasarkan kritik/

saran yang diberikan. Dengan pemberian waktu

yang lebih lama pada tahap revising, editing, dan

publishing diharapkan mahasiswa lebih fokus dan

mampu melakukan revisi dan penyuntingan yang

lebih baik pada draft esai yang telah mereka buat.

Pada siklus dua mahasiswa diberikan kelonggaraan

untuk menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa

Inggris untuk pemberian kritik/saran kepada teman

sejawat. Namun penggunaan bahasa Inggris harus

lebih banyak dari bahasa Indonesia karena mereka

adalah mahasiswa program studi bahasa Inggris.

Dalam siklus dua ini, dosen juga memberikan lebih

banyak contoh kritik/saran yang memiliki efek

positif bagi peningkatan kualitas esai ekspositori

mahasiswa. Sebelum mahasiswa memberikan

kritik/saran kepada teman sejawatnya, mereka

lebih dulu berlatih memberikan kritik/saran dengan

dampingan dari dosen. Karena seperti pendapat

Ferris (2003:70) jika mereka tidak mendapat

pelatihan yang memadai untuk memberikan

kritik/saran, maka kritik/saran tersebut kurang

berpengaruh pada peningkatan kualitas tulisan

mahasiswa.

Criteria kesuksesan yang telah ditentukan oleh

peneliti dan kolaborator di awal penelitian akhirnya

bisa tercapai pada siklus dua. Kriteria ketuntasan

ini dapat tercapai dengan adanya modifikasi pada

langkah-langkah penerapan teknik TUKRI, dan

juga penggunaan bahasa Indonesia dan Inggris

dalam pemberian kritik/saran dan konfirmasi.

Penggunaan campuran bahasa Indonesia dan

Inggris ini sebenarnya tidak perlu dilakukan jika

mahasiswa sudah merasa percaya diri kemampuan

bahasa Inggris yang dimiliki.

Hasil test pada akhir siklus dua juga

menunjukkan peningkatan dalam aspek tulisan

esai ekpositori mahasiswa. Peningkatan dalam aspek

tata bahasa, isi dan tatatulis menunjukkan bahwa

penggunaan teknik ini memang bisa meningkatkan

aspek kualitas tulisan mahasiswa. Hasil temuan

ini sejalan dengan hasil penelitian terdahu yang

dilakukan oleh Arslan (2014:132),Yunus, (2012),

Suthiwartnarueput and Wasanasomsithi (2012), and

Nurlia (2014). Hasil penelitian-penelitian tersebut

memang tidak menyebutkan mengenai teknik

TUKRI secara langsung, tapi penelitian-penelitian

tersebut menyebutkan pentingnya umpan balik

teman sejawat (yang merupakan unsur penting dala

teknik TUKRI) memberikan pengaruh positif pada

peningkatan kualitan tulisan mahasiswa.

Penelitian ini masih memiliki kekurangan yaitu

masih belum mempelajari secara mendetail aspek

mana yang paling terpengaruh dengan penggunaan

Elys R. R. M. & Rifa S. W., Penerapan Teknik Tukri (Tulis, Unggah, Kritisi, Revisi) untuk Meningkatkan Keterampilan Menulis Esai126

teknik ini. Kekurangan yang lain adalah sesuai

dengan batasan penelitian ini, maka hasil penelitian

ini tidak bisa digunakan untuk membuat generalisasi

kefektifan teknik TUKRI untuk meningkatkan

kemampuan menulis mahasiswa dalam menulis

esai ekspositori Kekurangan tersebut harus

diperhatikan dalam penerapan teknik TUKRI dalam

proses belajar mengajar. Berdasarkan analisis hasil

temuan pada siklus satu dan dua, menurut peneliti

masih ada beberapa kekurangan yang ada dalam

penelitian ini. Pertama, penelitian ini masih belum

mengukur dengan rinci apakah pemberian kritik/

saran dengan menggunakan bahasa Indonesia/

Inggris saja atau campuran penggunaan bahasa

Indonesia dan bahasa Inggris dengan proporsi

tertentu akan memiliki efek yang positif bagi

peningkatan kemampuan menulis mahasiswa.

Kedua, penelitian ini masih belum menyertakan

criteria yang lebih tinggi (misal: panjang tulisan ±

500 kata atau hampir 50 % mahasiswa mendapat

minimal nilai 80), dengan asumsi criteria ketuntasan

yang ditetapkan masih bisa dicapai pada waktu

yang terbatas karena dalam satu mata kuliah esai

mahasiswa harus mampu membuat dua jenis esai:

ekspositori dan argumentative. Ketiga, penelitian ini

masih belum bisa menentuka jenis kritik seperti apa

yang memiliki efek paling positif bagi peningkatan

kemampuan menulis esai ekspositori. Kekurangan-

kekurangan tersebut bisa dijadikan sebagai bahan

kajian pada penelitian selanjutnya.

Berdasarkan hasil test yang dilakukan pada

akhir siklus satu dan akhir siklus dua, maka criteria

ketuntasan yang pertama (nilai rata-rata mahasiswa

dalam kelas PBI 2013 dalam menulis esai ekspositori

adalah 80) telah berhasil dicapai di akhir dari siklus

dua. Peningkatan ini bisa dikarenakan penggunaan

teknik TUKRI yang dilakukan pada tahapan yang

tepat yaitu tahapan revising dan editing. Kedua

tahapan ini memang membutuhkan waktu yang

cukup lama, apalagi jika panjang tulisan yang

dihasilkan kurang lebih lima ratus kata. Dua tahapan

ini bisa menunjukkan kelemahan dan kekuatan

penulis dalam mengungkapkan ide-idenya dalam

suatu esai ekspositori. Tahapan ini juga memerlukan

kritik/saran dari pembaca supaya bisa menghasilkan

hasil esai yang patut diperlihatkan dalam tahap

publishing. Kritik/saran dari pembaca yang

merupakan teman sejawat adalah hal yang berguna

dalam peningkatan dari hasil tulisan mahasiswa.

Mahasiswa juga memiliki pendapat yang positif

mengenai penerapan teknik TUKRI ini. Dengan

membandingkan hasil pekerjaan mereka dengan

teman sejawat dalam grup Facebook tertutup

mereka merasa mendapatkan kesempatan untuk

berkaca pada kemampuan diri sendiri. Melihat

hasil tulisan teman sejawat juga membuat mereka

mendapatkan cara pandang dan ide yang berbeda-

beda mengenai suatu topik dan menghindarkan

mereka dari kecenderungan plagiasi, karena hasil

tulisan mereka akan dibaca oleh semua teman

yang terhubung dalam grup ini. Jika plagiasi ini

diketahui teman sejawatnya, maka mahasiswa yang

melakukan plagiasi ini akan merasa malu. Rasa

malu ini bisa menjadi sangsi sosial yang cukup

efektif mengurangi tingkat plagiasi. Teknik ini juga

berguna untuk mengingatkan mereka supaya jangan

melakukan kesalahan yang sama dengan kesalahan

yang telah dilakukan oleh teman sejawatnya.

Pengalaman-pengalaman tersebut akan memacu

mereka untuk meningkatkan kualitas esai yang

mereka buat.

Penelitian ini juga mengubah cara pandang

mahasiswa mengenai kritik/saran untuk peningkatan

kualitas tulisan. Pada akhir siklus dua, mereka

memiliki pendapat yang lebih positif mengenai

kritik/saran yang diberikan oleh sejawatnya sebagai

salah satu dasar tahap editing. Hal ini bisa diartikan

bahwa mahasiswa mulai mengetahui bahwa kritik/

saran dari teman sejawat juga memiliki kontribusi

dalam peningkatan kualitas hasil tulisan mereka.

Temuan ini juga biasa diartikan bahwa mereka

tidak akan hanya mengandalkan dosen sebagai

satu-satunya sumber kritik/saran mengenai hasil

tulisan mereka.

Adanya peningkatan motivasi mahasiswa

setelah penerapan teknik TUKRI sesuai dengan

hasil penelitian Bijami, Kashef, dan Nejad

(2013:92) danYunus, Salehi, dan Chenzi (2012:42).

Penggunaan teknik TUKRI untuk memotifasi dan

meningkatkan kemampuan menulis esai dalam

proses pembelajaran di kelas dapat menimalkan

hubungan yang tidak layak antara guru dan murid

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 127

diluar konteks pembelajaran seperti yang dituliskan

oleh Yunus, Salehi, dan Chenzi dalam penelitiannya

ditahun 2012. Salah satu alasan teknik ini dapat

memotivasi mahasiswa adalah karena pemberian

kritik/saran in tidak dilakukan secara langsung

maka mahasiswa juga merasa lebih leluasa dalam

memberiksan kritik/saran terhadap hasil tulisan

teman sejawatnya. Jika mereka memberikan kritik/

saran secara langsung, kadang mereka merasa segan

terhadap teman sejawatnya.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil temuan dalam penelitian ini,

maka langkah-langkah penerapan teknik TUKRI

yang sesuai dengan subyek penelitian ini adalah

(1) penjelasan mengenai tujuan perkuliahan (kira-

kira lima menit), kemudian (2) dosen memberikan

mahasiswa contoh kritik/saran yang baik dengan

memberikan kritik/saran di tiga draft yang

diunggah mahasiswa dalam grup Facebook tertutup

sesuai dengan petunjuk tertulis yang diberikan.

Mahasiswa juga diminta menuliskan kritik/saran

mengenai draft yang dicontohkan. Aktifitas tersebut

kemudian dilanjutkan dengan (3) memberi waktu

untuk mahasiswa membaca paragraf pembuka/isi/

penutup yang telah diunggah teman mereka (satu

mahasiswa membaca satu hasil mahasiswa yang

lain dalam waktu kira-kira lima belas menit), (4)

mahasiswa menuliskan kritik/saran terhadap draft

paragraf pembuka/isi/penutup yang telah dibaca

melalui Facebook (kira-kira dua puluh menit), (5)

mahasiswa saling mengkonfirmasi kritik/saran yang

diberikan teman sejawatnya melalui fitur comment

yang ada dalam grup Facebook tertutup (kira-kira

dua puluh menit menit), (6) mahasiswa melakukan

revisi draft yang telah diunggah berdasarkan

kritik dan saran yang diterima (kira-kira dua puluh

lima menit menit), (7) mahasiswa mengunggah

kembali hasil revisi yang mereka buat dalam

group Facebook tertutup, (8) mahasiswa dan dosen

melakukan diskusi kelas untuk mengkonfirmasi

mengenai kesalahan yang paling seringditemui

dari draft paragraf pembuka/isi/penutup yang

telah diunggah (kira-kira lima menit) dan (9) dosen

menugaskan mahasiswa untuk membuat paragraf

pembuka/isi/penutup di rumah untuk diunggah

pada pertemuan selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Arslan. R. S. 2014. Integrating Feedback into

Prospective English Language Teachers’

Writing Process via Blogs and Portfolios.

TOJET: The Turkish Online Journal of

Educational Technology, 13 (1): 131-150

Bijami, M., Kashef, S.H, dan Nejad, M.S. 2013.

Peer Feedback in Learning English Writing:

Advantages and Disadvantages. Journal of

Studies in Education. (online). 3 (4): 91-97.

(www.macrothink.org/jse. retrieved on July

28th, 2014)

Ferris, D. 2003. Response to Students’ Writing. Mahwah:

Lawrence Erlbaum

Hinkel, Eli. 2004. ESL & Applied Linguistics

Professional Series. New Jersey: Routledge

Hui, G.C.L dan Shih, P. C. 2009. An Investigation

into Effectiveness of Peer Feedback. Journal

of Applied Foreign Language, 3: 79-87

Hyland, K., and Hyland, F. 2006. Feedback on

Second Language Students’ Writing. Language

Teaching, 39 (2): 83-101

Kemmis, S. and McTaggart, R. (Eds.).1988. The

Action Research Planner. (3rd ed.). Victoria:

Deakin University.

Moattarian, M. A. and Tahririan, M. H.. 2013.

Communication Strategies Used in Oral

and Written Performances of EFL Learners

from Different Proficiency Levels: The Case

of Iranian EFL University Students. EFL

Journal,2(1):21-7

Montelongo, J., Herter, R. J., Ansaldo, R, and

Hatter, N. 2010. A Lesson Cycle for Teaching

Expository Reading and Writing. Journal of

Adolescent & Adult Literacy. 53(8): 656–666

Nurlia, R. 2014. The Effectiveness of Online Peer

Feedback through Closed Group Facebook on the

Students’ Writing Achievement. (online). (http://

karya-ilmiah.ac.id/index.php/disertasi/

article/view/33992 retrieved on August 12th,

2014)

Richards, C. J. (Ed), and Renandya, A. W. 2002.

Methodology in Language Teaching: An Anthology

Elys R. R. M. & Rifa S. W., Penerapan Teknik Tukri (Tulis, Unggah, Kritisi, Revisi) untuk Meningkatkan Keterampilan Menulis Esai128

of Current Practice. Cambridge: Cambridge

University Press.

Saovapa, W. 2013.Peer Feedback on Facebook:

The Use of Social Networking Websites to

Develop Writing Ability of Undergraduate

Students. Turkish Online Journal of Distance.

14 (4). retrieved online from http://tojde.

anadolu.edu.tr on March 28th, 2014

Suthiwartnarueput,T., and Wasanasomsithi, P. 2012.

Effects of Using Facebook as a Medium

for Discussions of English Grammar and

Writing of Low-Intermediate EFL Students.

Electronic Journal of Foreign Language Teaching,

9 (2): 194–214

Tuzi, F. 2004. The Impact of E-feedback on the

Revision of L2 Writers in an Academic

Writing Course. Computer and Composition, 21

(2):217-235

Wu, W. 2006. The Effect of Blog Peer Review

and Teacher Feedback on the Revisions of

EFL Writers. Journal of Education and Foreign

Languages and Literature, 3:125-139

Yunus, M. Md, Salehi, H. and Chenzi, C. 2012.

Integrating Social Networking Tools into

ESL Writing Classroom: Strengths and

Weaknesses. English Language Teaching, 5 (8):

42-48

PEMANFAATAN BUNYI DALAM PUISI ANAK

DI HARIAN KOMPAS MINGGU TAHUN 2013

Hestri Hurustyanti

STKIP PGRI Ponorogo

[email protected]

Cutiana Windri Astuti

STKIP PGRI Ponorogo

Abstract: The increase of children literary shows happiness for the last decade. It is important to give an attention by looking this increasing. The goals of this research were describe the use of rhyme of children’s poem selection in Kompas 2013. The research design was descriptive qualitative. Data collection technique was library research. Data resource of this study was the children’s poem. Technique and procedure of data analysis used Miles and Huberman content and procedure analysis method, i.e.: data reduction, data presentation, drawing conclusion continuously and rigidly seek representation of children’s world through their poem. The result of data analysis was about the representation of children’s world reflected in their poem creation viewed from the use of rhyme.

Keywords: Children’s Poem, Kompas Daily News, The Use of Rhyme

Abstrak: Perkembangan sastra anak dalam dekade akhir-akhir ini sangat menggembirakan. Oleh karena itu penting untuk melihat perkembangan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pemanfaatan bunyi dalam puisianak yang dimuat di harian Kompas Minggu tahun 2013. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskripsi kualitatif. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik pustaka. Sumber data penelitian ini adalah puisi karya anak yang dimuat pada harian Kompas tahun 2013. Teknik dan prosedur analisis data menggunakan teknik analisis isi Hasil analisis data berupa temuan mengenai penggunaan bunyi. Pemanfaatan bunyi pada anak-anak kelas rendah cenderung mengikuti pola pantun dan syair. Sedangkan, pemanfaatan bunyi pada anak-anak kelas tinggi cenderung lebih bebas.

Kata Kunci: Harian Kompas, Pemanfaatan Bunyi, Puisi Anak

PENDAHULUAN

Membaca karya sastra karya anak-anak

sebenarnya dapat dikatakan sebagai membaca masa

depan anak bangsa kita. Penelitian sastra anak seperti

yang disampaikan oleh Toha-Sarumpaet (2010:viii)

menunjukkan pengakuan atas pentingnya anak

dalam kehidupan. Heru Kurniawan dalam bukunya

“Sastra Anak” juga mengemukakan pentingnya

kedudukan karya sastra terhadap perkembangan

anak yaitu; pertama kecintaan anak terhadap karya

sastra akan dapat meningkatkan hobi membaca

dan kesukaan anak pada membaca. Kedua dengan

membaca karya sastra yang inten, maka karya sastra

bisa meningkatkan aspek kecerdasan kognisi, afeksi,

dan psikomotor anak.

Akhir-akhir ini memang banyak bermunculan

sastra anak karya anak-anak. Karya-karya sastra

anak tersebut ditulis oleh anak-anak yang sering

kita kenal dengan perkumpulan KKPK (Kecil-kecil

Punya Karya), karena mereka memang berkarya

pada masa yang masih kecil dengan usia yang masih

sangat muda antara enam tahun hingga dua belas

tahun.

Hestri Hurustyanti & Cutiana Windri Astuti, Pemanfaatan Bunyi dalam Puisi Anak di Harian Kompas Minggu Tahun 2013130

Mengacu pada pengertian sastra anak yang

dikemukakan oleh Heru Kurniawan dalam bukunya

“Sastra Anak dalam Kajian Strukturalisme, Sosiologi,

Semiotika, hingga Penulisan Kreatif ” maka penulis

akan meneliti tentang puisi karya anak-anak yang

termuat dalam media massa koran Kompas Minggu

yang diwadahi dalam Ruang Kita, ditinjau dari sisi

kelugasan bahasa dan kedekatan dengan alam dalam

puisi-puisi karya anak tersebut. Sementara ini yang

banyak diamati dan diteliti adalah masih sebatas

sastra anak karya orang dewasa, oleh karena itu

penulis sangat berminat untuk meneliti sastra anak

karya anak yang berupa puisi pada rubrik Ruang

Kita anak pada harian Kompas Minggu.

Salah satu teori sastra yang memiliki perhatian

besar pada aspek kebahasaan dalam sastra adalah

stilistika. Stilistika (stylistics) adalah ilmu tentang style.

Menurut Rene Wellek dan Austin Warren, stilistika

mencakup semua teknik yang dipakai untuk tujuan

ekspresi tertentu dan meliputi wilayah yang lebih

luas dari sastra atau retorika. Dengan begitu, semua

wujud dan teknik untuk membuat penekanan dan

kejelasan (baca: estetik) dapat dimasukkan dalam

wilayah stilistika. Sudiro Satoto mendefinisikan

sebagai bidang linguistik yang mengemukakan teori

dan metodologi pengkajian formal sebuah teks

sastra, termasuk dalam pengertiannya yang extended.

Extended adalah suatu sifat estetik yang melompati

keindahan teks itu sendiri, yakni sifat-sifat estetik

bahasa yang memesona seperti makna konotatif,

simbolik, asosiatif, metaforik, dan sebagainya.

Style merupakan kekhasan pengucapan

sastrawan. Umar Junus menyebutkan sebagai

pemakaian atau penggunaan bahasa dalam karya

sastra. Abrams memformulasikan sebagai cara

pengucapan bahasa dalam prosa atau bagaimana

seorang pengarang mengungkapkan suatu yang

akan dikemukakan. Teeuw menyebutnya sebagai

ilmu gaya bahasa yang pada prinsipnya selalu

meneliti pemakaian bahasa yang khas dan istemewa.

Karena itulah, style sesungguhnya ditandai oleh

ciri-ciri formal kebahasaan seperti dalam pemilihan

bunyi, diksi, struktur kalimat, bahasa figuratif,

penggunaan penanda kohesi, perlambangan,

metafora, dan lain-lain.

Style juga berkaitan dengan figurative language.

Unsur style yang berwujud retorika (baca: sastra),

sebagaimana dikemukakan Abrams meliputi

penggunaan bahasa figuratif (figurative language)

dan wujud pencitraan (imagery). Sedangkan bahasa

figuratif sendiri yang oleh Abrams dibedakan

kedalam figures of thought dan figures of speech, rhetorical

figures, atau schemes.

Style juga berkaitan dengan pencitraan

(imagery). Pencitraan merupakan perwujudan dari

citraan yang dilakukan oleh seorang pengarang

yang dipergunakan untuk melukiskan kualitas

respon indera baik secara harfiah maupun kiasan.

Citra sendiri merupakan gambaran pengalaman

indera yang diungkapkan melalui bahasa. Burhan

Nugiyantoro, menyebutkan pencitraan ke dalam

lima jenis citraan (a) citraan penglihatan (visual

imagery), (b) citraan pendengaran (audio imagery), (c)

citraan gerak (cinestetik imagery), (d) citraan rabaan

(tactil imagery), dan (e) citraan penciuman (olfactori).

Pemakaian bahasa dan pemilihan kata dalam

puisi merupakan salah satu kunci keberhasilan

seorang penyair di dalam mengekspresikan isi

jiwanya. Dalam puisi, untuk memberi gambaran

yang jelas, menimbulkan suasana khusus, membuat

suasana lebih hidup juga menarik perhatian, penyair

menggunakan pencitraan (imagery) (Pradopo,

1987:79). Citraan ialah gambar-gambar dalam

pikiran yang menggambarkannya Altenberrnd

dalam Pradopo (1987:80).

Berbicara tentang citraan ini, lebih jauh

dijelaskan oleh Warren, dapat mencakup tentang

citra, pencicipan, penciuman, kinaesthetic-termasuk

haptic dan emphatic-, synaesthetic, citraan “terikat”,

dan citraan bebas. sedangkan Rahmad Djoko

Pradopo, membedakan citraan ke dalam beberapa

jenis (i) citra penglihatan (visual imagery), (ii) citra

pendengaran (audio imagery), (iii) citra penciuman,

(iv) citra pencecapan, (v) citra gerak(movement

imagery), dan (vi) citra kekotaan dan kehidupan

modern.

Sedangkan menurut Burhan Nurgiyantoro

pencitraan merupakan perwujudan dari citraan

yang dilakukan oleh seorang pengarang yang

dipergunakan untuk melukiskan kualitas respon

indera baik secara harfiah maupun kiasan. Citra

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 131

sendiri merupakan gambaran pengalaman indera

yang diungkapkan melalui bahasa. Dia menyebutkan

pencitraan ke dalam lima jenis citraan (a) citraan

penglihatan (visual imagery), (b) citraan pendengaran

(audio imagery), (c) citraan gerak (cinestetik imagery),

(d) citraan rabaan (tactil imagery), dan (e) citraan

penciuman (olfactori).

Teori stilistika digunakan untuk melihat bahasa

yang digunakan anak dalam melahirkan puisi-

puisinya. Bagaimana pula pemilihan dan permainan

bunyi yang dipilihnya. Apakah anak-anak sudah peka

terhadap pemilihan bunyi untuk memperindah puisi

karyanya atau belum. Selanjutnya bagaimanakah

pemilihan kata yang dituangkan anak-anak di dalam

puisi karya juga akan peneliti kupas lebih dalam.

Sementara ini kita telah banyak menemukan

penelitian sastra secara umum dan sastra anak yang

ditulis oleh orang dewasa, akan tetapi penelitian

sastra anak yang ditulis anak masih jarang dilakukan.

Penulis memilih puisi sebagai objek penelitian

karena puisi merupakan genre sastra yang bisa

tercipta kapan saja, di mana saja muncul ide,

cenderung lebih disukai anak-anak, dan mempunyai

makna yang sangat dalam terhadap pemahaman

dan pemaknaan akan kehidupan. Dalam penelitian

ini tujuan yang ingin dicapai adalah deskripsi

penggunaan bunyi dalam puisi yang dimuat di

harian Kompas Minggu tahun 2013.

METODE

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan

desain penelitian deskriptif kualitatif. Data yang

telah dikumpulkan dianalisis secara kualitatif dan

hasil analisis, berupa kata-kata dan kalimat disajikan

secara deskriptif.

Dalam penelitian ini yang menjadi sumber

data penelitian adalah puisi karya anak yang dimuat

di harian Kompas Minggu, pada tahun 2013. Data

di dalam penelitian ini berupa unsur-unsur atau

fenomena yang berkaitan dengan puisi karya anak

tersebut berupa bunyi-bunyi.

Di dalam penelitian ini, teknik pengumpulan

data yang digunakan adalah teknik simak-catat.

Teknik ini sangat cocok dalam penelitian ini, karena

sumber datanya berupa dokumen pustaka.Teknik

simak dan catat menyaran pada peneliti sebagai

instrumen kunci dalam pengumpulan data.

Teknik analisis data yang digunakan di dalam

penelitian ini adalah analisis isi (content analysis).

Analisis isi di dalam penelitian ini digunakan

untuk menganalisis peristiwa-peristiwa, tanda-

tanda, kata-kata, kalimat-kalimat dengan tujuan

untuk memperoleh makna dan pemahaman yang

mendalam mengenai puisi karya anak yang dimuat

di harian Kompas Minggu sebagai objek penelitian

ini.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kelahiran puisi tidak dapat dilepaskan dengan

kehadiran bahasa, karena bahasa merupakan

medium ekspresi penciptaan puisi. Tanpa bahasa

puisi tidak akan lahir, keindahanpuisi tergantung

pada keindahan bahasa itu sendiri, bahkan

keberhasilan puisi sangat ditentukan keberhasilan

pemanfaatan bahasa.Sebagai media ucap seorang

penyair, bahasa mampu membangun kebermaknaan

puisinya. Oleh karenanya, pemahaman teks sastra

hendaknya menguasai sejumlah kode penting yang

mencakup: (i) kode bahasa, (ii) kode budaya, dan

(iii) kode sastra (Teeuw, 1984:4). Kode-kode bahasa

dalam teks sastra tentunya berbeda dengan bahasa

secara umum dalam pemakaian komunikasi sehari-

hari. Bahasa puisi adalah bahasa yang khas, pilihan

katanya padat, cermat, dan konotatif (Tjahjono,

2011:110).

Bunyi merupakan bagian terkecil dari bahasa.

Bunyi dalam sebuah puisi bukan merupakan sebuah

kebetulan dari seorang penyairnya, akantetapi

merupakan pilihan yang penuh pertimbangan

(Tjahjono, 1988:51). Maka dari itu, pemahaman

terhadap sebuah puisi tidak mungkin meninggalkan

perhatiannya pada bunyi.Dalam memahami puisi

karya anak yang dipublikasikan di harian Kompas

tahun 2013 ini penting mencermati bunyi-bunyi

yang dimanfaatkan penyairnya. Berikut adalah

puisi anak ditinjau dari sisi pemanfaat bunyi yang

dilakukan oleh anak SD kelas rendah yaitu kelas

I-III.

Hestri Hurustyanti & Cutiana Windri Astuti, Pemanfaatan Bunyi dalam Puisi Anak di Harian Kompas Minggu Tahun 2013132

Petir menggelegar

Membuat hati bergetar

Adik, tidak usah gentar

Petir tidak akan menyambar

Karena kita membaca istighfar

Dan Allah Maha Mendengar

Dalam puis i Qotr u Elnada Attahera

Surachman, Kelas III SD Muhammadiyah Pakel,

Yogyakartayang berjudul “Petir” terlukis ketegaran

seorang anak yang berusaha untuk menghibur dan

memahamkan adiknya, yang tampak ketakutan

ketika mendengar suara gelegar petir. Dia percaya

akan kuasa Tuhan akan segala penciptaanNya

dan percaya akan kekauatan doa yang setiap

saat manusia lantunkan dalam kehidupan dalam

berbagai situasi yang dihadapinya. Begitu pula

dengan yang dilakukan oleh Qotru saat mendengar

gelegar suara petir.Ia melukiskan ketakutan adiknya,

seolah petir akan menyambar setiap apa yang ada di

langit dan di bumi.Ia mempermainkan bunyi/ar/

sebagai rima akhir untuk menegaskan betapa hebat

dan menakutkannya suara petir itu.

Puisi tersebut juga menyelip makna ketenangan

seorang anak dalam situasi hujan disertai petir dia

berusaha menghibur adiknya. Ketenangan itu

terlihat jelas pada larik/Adik, tidak usah gentar/Petir

tidak akan menyambar/. Di samping ketenangan

yang disampaikan oleh Qotru Elnada Attahera

Surachman, bocah kelas III SD tersebut rupanya

telah mempunyai kepercayaan yang luar biasa

tentang kekuasaan Tuhan. Kepercayaan akan

kekuasaan Tuhan tecermin dalam larik/Karena kita

membaca istighfar/Dan Allah Maha Mendengar/.Sekali

lagi Qotru Elnada menggunakan rima akhir/ar/

dalam mengharap adiknyaagar tidak lagi takut akan

gelegar suara petir karena Tuhan maha mendengar

doa umatNya yang memohon perlindungan. Dari

kedua larik tersebut dia juga mengajak pembaca

untuk percaya akan kekuatan doa.

Di samping Qotru Elnada Attahera Surachman,

penyair cilik yang mempermainkan bunyi demi

kebermaknaan dan keindahan puisinya adalah

penyair Semilir Asih Istiqamah, Kelas III MIN

Margasari, Bandung. Ia menulis puisi berjudul

“Bunga”. Dalam puisinya itu Semilir Asih Istiqamah,

memilih bunyi vocal/u/yang dikombinasikan

dengan bunyi/vocal/a/.Bunyi vocal/u/yang

dipersandingkan dengan bunyi vocal/a/menjadikan

puisinya sarat dengan makna sekaligus menyinarkan

keindahan. Penggalan puisi Semilir Asih Istiqamah

dapat disimak pada kutipan di bawah ini.

Ada yang merah, kuning, orange, ungu

Dan masih banyak yang lainnya

Bunga

Lihatlah kelopakmu

Kau disukai kupu-kupu

Bunyi vocal/u/dimanfaatkan oleh penyair

sebagai persajakan akhir yang menarik, apalagi

ketika bunyi itu dikombinasikan dengan/bunyi

vocal/a/semakin menunjukkan keindahan dan

kebermaknannya.

Kebermaknaan dan keindahan pemakaian

bunyi juga dimanfaatkan oleh penyair seusia Qotru

Elnada Attahera Surachman, yakni A Keyodia

Minangkani, seorang anak I SD Marsudirni,

Yogyakarta. Ia membangun kebermaknaan dan

keindahan memanfaatkan vocal/u/juga.Sebagai

anak, mereka tidak lepas dari dunia kegembiraan,

keceriaan, dan keriangannya ketika memiliki

binatang piaraan yang sangat disayanginya.Oleh

karena itu, mereka cenderung memanfaatkan

bunyi riang dan mengandung suasana keceriaan.

Lihatlah puisi A Keyodia Minangkani, Ia menulis

puisi berjudul “Coco Anjingku”. Dalam puisinya, ia

mempermainkan vokal/i/di beberapa larik puisinya

dan juga vokal/u/. Vokal/i/yang dimanfaatkan

dengan baik menjadi bangunan yang indah.

Vokal/i/dimanfaatkan A Keyodia Minangkani

sebagai sarana pembangun keceriaan, keriangan,

dan kegembiraan yang mengguyur beberapa baris

puisinya, di samping kombinasi vocal/u/yang

makin mempercantik dan kekaguman akan anjing

kesayangannya. Puisi tersebut tampak pada kutipan

di bawah ini.

Aku punya anjing namanya Coco

Warnanya belang hitam putih

Coco anjing yang baik

Selalu bermain denganku

Menemani saat belajar

Menjaga saat aku tidur

Coco anjingku

Coco temanku

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 133

Aku sayang Coco

Coco juga sayang kepadaku

A Keyodia Minangkani, sebagai penyair

cilik, secara sederhana mampu membangun dan

memberikan imaji akan kecintaan seorang anak

tentang hewan peliharaannya dengan menyanjung

dan memujinya, berkat permainan bunyi/i/dan/u/

yang tepat. Dengan larik/Warnanya belang hitam

putih/Coco anjing yang baik/itu jelas bahwa penyair

merasakan kegembiraan, kesenangan dan pujiannya

pada anjing peliharaannya yang selalu patuh

dan tidak menunjukkan kebuasan sebagaimana

diimajikan beberapa orang bahwa anjing adalah

termasuk binatang yang tidak bersahabat.A Keyodia

Minangkani berhasil menjelaskan kepada pembaca

bahwa anjing peliharaannya yang bernama Coco

adalah anjing yang baik sehingga dalam larik

berikutnya/Selalu bermain denganku/Menemani saat

belajar/Menjaga saat aku tidur/Coco anjingku/Coco

temanku/Aku sayang Coco/Coco juga sayang kepadaku/

bunyi/i/yang dipadukankan dengan bunyi/u/dalam

larik-larik puisinya itu menambah kebanggaan

penyair tentang betapa baik dan patuhnya si Coco

anjingnya.

Walaupun persajakan yang dituangkan oleh

A Keyodia Minangkani tampak tak beraturan

namuntetap dapat memberikan kesan yang natural

dan indah tampak dalam puisinya.

Bunyi-bunyi yang dipilihnya menggambarkan

nuansa dunia anak yang mencerminkan sebuah

kebanggaan, kasih sayang yang didominasi dengan

kegembiraan. Bunyi-bunyi dalam sebuah puisi

mereka akan mendukung kebermaknaan sebuah

puisi di samping membangun keindahan.Bunyi-

bunyi yang dipilih dan dimanfaatkan sebagai sarana

pengucapan mereka tidak jauh dari kejiwaan anak-

anak.

Berbeda dengan Qotru Elnada Attahera

Surachman, Semilir Asih Istiqamah, dan A Keyodia

Minangkani. Tiga penyair cilik yang masih tetap

menggunakan rima pola lama yang mungkin

pernah mereka pelajari ketika mereka masih

duduk di bangku TK yaitu dengan pola rima

aaaa. Mereka adalah Azalea Mataniari Tambun,

Kelas I SD Penuai Indonesia, Tangerang, Banten,

dengan puisinya “Rumah Bersih”, Elisabeth Uli

Ovelya Ambarita, Kelas III SD Mardi Yuana

Depok, Jawa Barat, dengan puisinya “Uang Saku”,

dan M Sultan Althaf, Kelas III SD Islam Amelia

Tangerang, Banten dengan puisinya “Kotaku

bersih”. Mereka bertiga menggunakan pola rima

aaaa dalam mempercantik dan membermaknakan

puisinya.Walau mereka menggunakan pola rima

puisi lama tetap memberikan warna yang indah

dalam mengungkapkan makna dan tonenya kepada

pembaca.

Dalam menyampaikan keindahan dan

kebermaknaannya, Azalea Mataniari Tambun, Kelas

I SD Penuai Indonesia dalam puisinya “Rumah

yang Bersih” menekankan untuk selalu menjaga

kebersihan rumah agar terhindar daripenyakit. Ia

dalam membangun larik-lariknya dengan pola rima

puisi lama. Rima itu terlihat pada larik/Kalau rumah

bersih dan sehat/Nanti kita akan sehat/Kalau rumah

kotor dan dan tidak sehat/Nanti kita akan sakit/Kalau

kita sakit/Nanti ke rumah sakit/Siapa yang rugi?/Kita

yang rugi/. Dengan permainan bunyi yang dibawakan

olehnya dalam puisi “Rumah yang Sehat” tersebut

rupanya pembaca cukup dapat menangkap makna

dari apa yang di harapkan oleh Azalea.

Cara yang sama dilakukan pula oleh Elisabeth

Uli Ovelya Ambarita, Kelas III SD Mardi Yuana

Depok, Jawa Barat dalam puisinya “Uang Saku”.

Dalam ketiga bait puisi karyanya dia menggunakan

persajakan aaaa. Sebagai bentuk ekspresi yang

hendak disampaikan kepada pembaca tentang puisi

karyanya. Dia menuliskan tentang uang saku, uang

yang senantiasa anak-anak nanti setiap kali mereka

hendak berangkat ke sekolah. Namun Elisabeth

Uli Ovelya Ambarita, tidak hanya menyampaikan

sisi keindahan puisi tersebut dari pola rima yang

dibangunnya tetapi dari keberhasilannya merangkai

kata menggunakan pola yang seragam namun

makna puisi tersebut menggambarkan kecermatan

pola pikir seorang anak yang telah memikirkan

bagaimana cara menghemat agar tidak selalu

merepotkan orang tua dengan meminta segala

keperluan yang diinginkan dalam kehidupannya

sebagai seorang anak. Jadi di samping berhasil

memainkan bunyi yang begitu indah Elisabeth juga

berhasil mengajak pembaca untuk berhemat dalam

menggunakan uang saku yang diberikan kepada

Hestri Hurustyanti & Cutiana Windri Astuti, Pemanfaatan Bunyi dalam Puisi Anak di Harian Kompas Minggu Tahun 2013134

orang tuanya. Kutipan puisi tersebut adalah sebagai

berikut.

Aku butuh uang

Ayahku mencarikan uang

Aku ingin punya uang

Sayang, aku belum bisa mencari uang

Kadang aku dapat uang jajan

Tetapi ingin kubelikan makanan

Ingin pula kubelikan mainan

Mainan kudapat, kuingin beli pakaian

Uang saku tak cukup beli semua itu

Aku tak mau minta terus kepada Ibu

Kucoba tak jajan selama seminggu

Beberapa minggu uangku cukup ‘tuk membeli

sepatu

Jika Azallea Mataniari Tambun dan Elisabeth

Uli Ovelya Ambarita, menggunakan rima puisi pola

lama dalam keseluruhan puisinya, beda lagi yang

dilakukan oleh M Sultan Althaf, Kelas III SD Islam

Amelia Tangerang, Banten. Dia menggunakan pola

campuran di mana pada bait pertama dan kedua dia

menggunakan rima pola aaaa sedangkan pada bait

terakhir dia menggunakan pola rima abab dalam

puisinya yang berjudul “Kotaku yang Bersih”.

Pada bait pertama dan kedua yang menggunakan

pola rima yang sama tersebut M. Sultan melukiskan

keadaan betapa bersih suasana dan kondisi kota

di mana dia tinggal. Dia menuangkan lirik yang

begitu memukau untuk memuji kotanya yang

dipenuhi dengan bunga dan pepohonan, sungainya

yang jernih, sampah yang tidak berserakan karena

dibuang pada tempatnya, tidak banyak asap

kendaraan. Sehingga pada bait terakhir yang

diutarakan oleh M Sultan dalam bait yang berpola

abab, bahwa semua kondisi tadi akan menciptakan

suasana segar setiap saat dan membuat penghuni

kotanya kerasan untuk tinggal dengan perasaan

nyaman dan dia berniat untuk selalu menjaga

keadaan kotanya agar tetap bersih. Kutipan puisi

tersebut adalah sebagai berikut.

Kotaku bersih sekali

Dengan taman bunga warna-warni

Udaranya bersih

Sungainya jernih

Tidak ada sampah berserakan

Tidak banyak asap kendaraan

Karena sampah dibuang pada tempatnya

Dan pohon hijau ditanam di mana-mana

Aku senang tinggal di kotaku

Lingkungannya bersih dan nyaman

Ku kan berusaha semampuku

Tuk menjaga kebersihan lingkungan

Melihat pemakaian bunyi pada puisi “Rumah

yang Bersih” karya Azalea Mataniari Tambun,

“Uang Saku” karya Elisabeth Uli Ovelya Ambarita,

dan M Sultan Althaf, “Kotaku Bersih”, dekat

dengan puisi lama yang berbentuk pantun ataupun

syair. Mereka memilih bunyi-bunyi tersebut dan

dimanfaatkannya sebagai keindahan rima akhir.

Kedekatannya dengan bentuk pantun ataupun syair

itu, dikarenakan mereka masih terbawa ketika masa

di TK sering diajak gurunya untuk berpantun dan

bersyair. Secara kejiwaan anak kelas II SD tentu

suka dan cenderung pada apa yang disampaikan

oleh gurunya. Mereka dekat dan mengidolakan

guru yang dapat mendekati kejiwaannya. Menurut

Nurgiyantoro (2005:317) penggunaan bunyi-bunyi

penyair anak usia rendah masih dipengaruhi adanya

tembang dolanan yang sering didengarkan sewaktu

mereka dalam pengasuhan orang tuanya.

Bunyi-bunyi yang dipilih adalah bunyi-bunyi

yang mengandung efek keceriaan, kegembiraan,

keriangan yang sesuai dengan kejiwaan mereka.

Menurut Tjahjono (1988:57), puisi yang didominasi

oleh bunyi-bunyi yang mengandung unsur efek

kesenangan seperti itu disebut puisi-puisi euphony.

Puisi anak yang ditulis oleh anak SD kelas

tinggi yaitu kela IV-VI agak berbeda dengan

puisi anak yang ditulis oleh siswa kelas rendah.

Pemanfaatan bunyi untuk anak usia 10-12 tahun

(SD kelas IVs.d.VI) cenderung agak bebas. Artinya,

mereka sudah tidak terbelenggu adanya pantun

dan syair.Bunyi-bunyi yang dipilih mereka sudah

bervariasi meskipun masih tetap mengagungkan

bentuk syair (bersajak aaaa). Sebagai misal, puisi

yang ditulis oleh Asyifa Ruly Amalia, siswa Kelas

VI, SDN 1, Cileungsi, Jawa Barat, Rima Wafiq

Faiza, Kelas V SDN Cigandamekar, Kuningan, Jawa

Barat, Ayatullah Arifa, Kelas VI SDN 1 Payadapur,

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 135

Kluet Timur, Aceh Selatan, M Kamil Akhyari, Kelas

VI SD Nurul Huda V, Bluto, Sumenep, Madura,

Fatilhah Dwitasari, Kelas VI SDN Pedan, Juwiring,

Klaten, Jawa Tengah, Kany Sabila, Kelas IV SDN

Klender 03 Pagi, Jakarta, Sirin Adistya Putri, Kelas

IV SDN Pajarakan Kulon 1, Probolinggo, Jawa

Timur, yang dipaparkan di bawah ini.

Asyifa, seorang siswa Kelas VI SDN 1,

Cileungsi, Jawa Barat menulis puisi berjudul “Ketika

Mencoba Menulis ”. Dia menuliskan puisinya

dalam bentuk turun ke bawah dalam keseluruhan

barisnya dan tidak terpisah dalam bait-bait. Pada

baris pertama hingga baris terakhir puisinya, tidak

lagi memerhatikan pola kesamaan rima untuk

menuangkan ide dalam mengekspresikan apa yang

hendak di sampaikan kepada pembaca tentang

kegiatan awal belajar menulisnya. Penyairsama sekali

tidak menggunakan bentuk syair sebagai sarana

keindahan dan kebermaknaan puisinya. Seperti

kutipan berikut.

Ingin kutulis kisah

Tentang banjir, tentang kebakaran

Tentang peristiwa sehari-hari

Peristiwa sedih, juga peristiwa lucu

Tapi dari mana harus kumulai.

Begitupun pada baris selanjutnya, dia

membebaskan bunyi dari keterikatan bentuk

syair dan pantun. Kebervariasian pemilihan bunyi

mewarnai penciptaan puisi yang ditulis oleh Asyifa

Ruly Amaliasebagaimana kutipan di bawah ini.

Kuambil saja kertas dan pena

Lalu kucoba menyusun kata demi kata

Kurangkai menjadi sebuah kalimat

Sampai disini aku berhenti sejenak

Mencari-cari kata yang tepat

Tapi tidak juga kudapat

Pikiranku mendadak mampat

Kuambil kertas lagi

Kutulis-tulis kembali

Tiba-tiba… pet!

Lampu di rumahku mati

Hilanglah konsentrasiku

Hilanglah semua yang ada

Dalam pikiranku

Ketika mencoba menulis

Aku bingung sendiri

Dengan kebebasan yang dianut oleh Asyifa

dalam menuangkan lirik larik dalam puisinya, bukan

berarti mengurangi keindahan dan kebermaknaan

puisi yangditulisnya.Hal tersebut adalah sebagai

bentuk ekpresi seorang anak, yang barangkali

banyak pula dialami oleh anak seusianya, ketika

sedang melakukan pembelajaran menulis.Ada

banyak ide, tetapi sulit untuk menuangkan dalam

bentuk tulisan, dan selalu terjadi kesalahan tetapi

Asyifa tidak putus asa selalu mengulang dan

membuat tulisan lagi.Puisi tersebut memberikan

pembelajaran kepada pembaca untuk tidak putus

asa dalam berusaha untuk meraih kesuksesan

termasuk dalam hal tulis menulis.

Rima Waqih faiza, Kelas V SD, memberi

kebebasan buat dirinya untuk menuangkan ide, dia

seperti bercerita tentang sebuah situasi yaitu tentang

situasi di sekolah ketika bel istirahat berbunyi. Dia

menunjukkan dirinya adalah sosok yang sangat

tenang dan sangat mengerti akan apa yang dialami

oleh teman sekelasnya. Dalam menuangkan idenya

dia tidak selalu menggunakan pola rima yang

teratur. Walaupun ada pada beberapa baris yang

menggunakan pola rima yang sama namun dia

tidak terikat oleh bentuk yang selalu sama dalam

pengakhiran bunyi dalam puisinya. Bentuk yang

tidak selalu sama tersebut dimaksudkan agar pesan

yang hendak disampaikan sebagaimana yang ada

diangannya dapat tersampaikan dengan tepat.

Seperti ketenangan yang dia rasakan ketika dia

mendengarbunyi bel berdentang.Ketika banyak

diantara temannyaberhamburan ke luar entah untuk

bermain atau jajan di kantin, tetapi dia justru tidak

mau ke luar kelas tetapi justru membuka bekal

yang dibawakan ibunya.Seperti yang kutipan di

bawah ini.

Teng-teng-teng…

Bel istirahat dipukul Mang Diding

Penjaga sekolahku

Murid-murid pun berhamburan keluar

Semua ingin paling duluan

Ada yang menuju lapangan, main kejar-kejaran

Ada yang ke kantin, habiskan uang jajan

Selain tenang dan membuka bekal yang

bawanya dari rumah dia menawarkan bekal tersebut

kepada temannya yang tidak diberi uang saku oleh

Hestri Hurustyanti & Cutiana Windri Astuti, Pemanfaatan Bunyi dalam Puisi Anak di Harian Kompas Minggu Tahun 2013136

orang tuanya. Dia merasakan apa yang dirasakan

temannya yang tidak membawa bekal dan tidak

membawa uang saku. Bentuk ketenangan sekaligus

empati Rima seperti tertuang dalam kutipan berikut

ini.

Aku tak terburu menyusul teman-temanku

Enggan beranjak dari bangkuku

Kubuka tas, kukeluarkan bekal roti buatan ibu

Tak lupa kutawari teman di dekatku, mau?

Kutahu tak semua temanku diberi uang saku

Beberapa dari mereka keluarga kurang mampu

Dengan tidak menggunakan rima yang

terikat Rima juga merasa lebih bebas dalam

mengekpresikan segala yang dilakukannya di

sekolah ketika bel istirahat berbunyi. Dia mengajak

temannya untuk pergi ke perpustakaan.Sebagaimana

kutipan di bawah ini.

Ke perpustakaan yuk, ajakku

Di sana kita bisa baca atau pinjam buku

Teman-teman pun setuju

Ayuk!

Di sana kami melahap buku

Menyerap ilmu

Bekal masa depanku dan … kamu

Sirin Adistya Putri dan Kany Sabila adalah

Penyair yang seusia dengan Rima,karena duduk

di bangku sekolah yang sama yaitu kelas IV.

Mereka menulis puisi berjudul “Jam Dinding” dan

“Koki. Pemilihan bunyi dalam puisi mereka jelas

terdapat perbedaan yang sangat mencolok, jika

Sirin menggunakan pola rima yang teratur yaitu

menggunakan pola rima aaaa, Kany menggunakan

pola rima tak terikat.Dia lebih memilih kebebasan

dalam menentukan pola rima dalam menuangkan

gagasan dalam puisinya.Puisi Sirin dan Kany secara

utuh dapat di baca di bawah ini.

Menghias kamarku

Berdetak selalu

Jam dindingku tunjuk waktu

Jam dindingku bunyi merdu

Membangunkan tidurku

Sirin dengan sangat nyata memainkan

vocal/u/dalam puisinya yang sangat sarat makna

untuk menunjukan waktu dengan menuliskan

puisi dengan judul “Jam Dinding”. Jam dinding

yang sangat berguna, sebuah benda yang dapat

membantunya menunjukkan waktu. Makna

yang tersirat di dalamnya adalah sebuah bentuk

kedisplinan yang harus dipegang erat oleh setiap

manusia jika kesuksesan yang hendak diraihnya.

Sedangkan Kany membebaskan dirinya dari

keterikatan pola rima yang dipakai oleh Sirin.Di

bawah ini adalah puisi Kany.

Saya ingin menjadi koki

Membuat makanan untuk orang-orang

Membuat hati menjadi senang

Orang-orang makan dengan lahap

Tentunya makanan yang sehat

Membuat perut tak lapar lagi

Membuat makanan yang enak dan lezat

Badan menjadi kuat

Tidak menjadi gampang sakit

Orang-orang senang

Hidup sehat dan tenteram

Dalam puisinya, Kany Sabila sangat jelas

bahwa bunyi-bunyi yang dirangkainya dapat keluar

dari bentuk pantun dan syair, puisinya yang sama

sekali tidak tunduk pada aturan syair dan pantun.

Ketika ia menjajar larik-larik ia cukupmenuliskannya

dari atas ke bawah dengan pemenggalan yang

penuh makna dalam setiap lariknya. Dia juga tidak

mengikuti polapembaitan syair dan pantun dalam

menuangkan cita-citanya untuk menjadi seorang

koki yang hendak menciptakan makanan lezat.

Siapa saja boleh menikmatimasakannya. Kany juga

berharap agar orang yang menikmati makanannya

akan senang, sehat dan tentram.

Sena Evangelis, seorang siswa kelas VI SD

memilih bunyi sebagai sarana keindahan dan

membungkus makna puisinya. Sena menulis puisi

berjudul “Selamat Hari Ibu… Ibuku”. Kutipan

puisinya adalah berikut ini.

Selamat pagi Bu

Kantor kebanggaanmu adalah dapur

Tempat ibu menumpahkan cinta kasih yang tak

terbatas

Sediakan makanan pagi bagi seluruh keluarga

Bekal fisik untuk menuntut ilmu, bekerja,

Dan memulai hari

Tempat Ibu berkresi menciptakan menu baru

kejutan

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 137

Dan….

Rumah adalah istanamu yang hangat dan nyaman

oleh

Sentuhan tanganmu

Tidak seperti ibu-ibu karier yang bekerja di

perusahaan

Departemen, organisasi…

Ibu tidak pernah libur, cuti, atau izin

Walau itu tanggal merah, cuti bersama, atau hari

raya

Ibu tidak pernah demo walau uang belanjanya

Tak pernah cukup

Tidak ada pengusaha yang bisa menggaji Ibu

Tidak ada pemerintah yang mampu memberi

tunjangan

Yang pantas

Tidak ada bos asing yang dapat memberi bonus

tahunan

Jasa Ibu bekerja di rumah sepanjang hari

Sepanjang bulan, sepanjang tahun, dan sepanjang

hayat

Tak kan pernah terbayarkan oleh uang

Hari ini Ibuku…

Kami mengucapkan “Selamat Hari Ibu”

Tuhan yang membalas cinta kasih Ibu sepanjang

hayat

Tuhan memberkati Ibu selamanya.

Sena dengan tegas tidak memanfaatkan bunyi-

bunyi sebagai rima akhir yang mirip dengan pantun

dan syair, tetapi sudah menyebar menunjukkan

adanya kebebasan memilih dan memanfaatkannya.

Iacenderung menonjolkan kebermaknaan puisi

yang disuguhkannya dibandingkan dengan meraih

keindahan dari bunyi yang dipilihnya. Sebagai

seorang anakperempuan, ia sangat dekat dengan

sosok ibunya. Dan sebagai seorang anak perempuan

dia juga sangat peka sekali dengan moment-moment

yang berkaitan dengan ibu dan perempuan.Sehingga

ketika dia tahu pada tanggal tertentu dadalah

merupakan hari ibu, Sena merenubgkan betapa

besar jasa ibu selama ini. Dia mengagungkan sosok

ibu yang telah dengan ikhlas menjalani karirnya

sebagai ibu rumah tangga yang berkantor di dapur

dan di rumah, dengan tidak pernah menapatkan

gaji yang berupa uang serta tidak pernah mengeluh

walaupun pasti dia sangat capek dan ketika uang

belanjanya tidak cukup. Kebermaknaan puisi Sena

terlihat jelas pada larik-larik yang menyatakan

bahwa hanya satu hal yang dapat diberika Sena

kepad sosok ibunya yang tiada pernah mengenal

keluh kesah dan lelah yaitu perlindungan Tuhan atas

ibunya tersebut. Doa itulah yang sanggup diberika

Sena kepada ibunya di hari ibu. Dari apa yang

disampaikan Sena dalam puisi tersebut pembaca

dapat melihat potret diri ibu sebagai sosok yang

luar biasa yang pantas menjadi contoh bagi ibu-ibu

yang lain di bumi ini.

Puisi yang ditulis oleh Asyifa Ruli Amalia,

Rima Wafiq Faiza, Ayatullah Arifa, M. Kamil

Akhyari, Fatilhah Dwitasari, Kany Sabila, Sirin

Adistya Putri, dan Sena Evangelis menunjukkan

adanya kemiripan dalam pemanfatan bunyi. Mereka

adalah siswa SD yang menduduki kelas tinggi

(IV-VI). Secara kejiwaan mereka sudah berbeda

dengan anak kelas rendah (Qotru Elnada Attahera

Surachman, A. Keyodia Minangkani, Semilir Asih

Istiqamah, Azalea Mataniari Tambun, Elisabeth

Uli Ovelya Ambarita dan M. Sultan Althaf). Oleh

karena itu, mereka sudah tidak terikat adanya

bentuk yang terjadi pada hukum pantun dan syair.

Mereka mempermainkan bunyi-bunyi bahasa

secara bebas dan leluasa.Meskipun demikian, bukan

berarti mereka tidak memperhatikan pentingnya

bunyi sebagai sarana medium ekspresinya.Mereka

tetap memosisikan bunyi sebagai alat ekspresi

yang tidak boleh diabaikan dalam kepenyairannya.

Kata Burhan Nurgiyantoro, bunyi-bunyi yang

mengandalkan rima dan irama akan mampu

membangkitkan bunyi lain secara ekspresif, inilah

yang dikenal dengan daya evokasi (2005:324).

Kebebasan dalam mengatur rima dan irama

terlihat sudah menunjukkan keteraturannya. Mereka

sudah dapat merasakan enak dan tepatnya rima

serta irama untuk mewujudkan keindahan puisinya,

sehingga mereka menambahkan unsur-unsur yang

dapat memperindah karyanya dan tidak hanya

sekedar menuangkan idenya begitu saja tetapi

memasukkan unsur-unsur keindahan yang lebih

tertata dan teratur.

Hestri Hurustyanti & Cutiana Windri Astuti, Pemanfaatan Bunyi dalam Puisi Anak di Harian Kompas Minggu Tahun 2013138

SIMPULAN

Penggunaan unsur bunyi, anak-anak usia 7-9

tahun sebagai siswa kelas rendah (I-III) masih

didominasi pengaruh bunyi-bunyi yang terdapat

dalam pantun dan syair. Bunyi-bunyi itu digunakan

oleh penyair dalam membangun rima dalam puisinya.

Anak-anak kelas rendah cenderung menggunakan

rima akhir yang bersajak abab (pantun) dan aaaa

(syair). Akan tetapi, anak-anak kelas tinggi, siswa

kelas IV-VI, sudah menggunakan bunyi-bunyi yang

agak bervariasi. Mereka lebih tinggi setingkat bila

dibandingkan dengan anak kelas rendah. Anak-anak

usia 10-12 tahun ini cenderung lebih bebas, tidak

terpaku adanya rima pantun dan syair.

DAFTAR PUSTAKA

Amira. 2009. Roxy! Roxy!. Jakarta: Mizan Media

Utama.

Dahana, Radhar Panca. 2001. Kebenarandan Dusta

dalam Sastra. Magelang: Indonesia Tera.

Effendi, S. 2004. Bimbingan Apresiasi Puisi. Jakarta:

Pustaka Jaya.

Hendy, Zaidan. 2004. Kesusastraan Indonesia: Warisan

yang Perlu Diwariskan 2. Bandung: Angkasa.

Junus, Umar. 1989. Stilistika Satu Pengantar. Kuala

Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka

Kementerian Pendidikan Malaysia.

Keraf, Gorys. 1984. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta:

Gramedia.

Kurniawan, Heru. 2009. Sastra Anak dalam Kajian

Strukturalisme, Sosiologi, Semiotika, hingga

Penulisan Kreatif. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Noth, Winfried. 1995. Handbook of Semiotics: Advances

in Semiotics. Thomas Sebeok (General Editor)

Bloomington danIndianappolis: Indiana

University Press.

Nurgiantoro, Burhanudin. 2005. Sastra Anak:

Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta:

GadjahMada University Press.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2005. Pengkajian Puisi.

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Ramya. 2008. Dunia Es Krim. Jakarta: Mizan Media

Utama.

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik

Penelitian Sastra dari Strukturalisme Hingga

Postrukturalisme Perspektif WacanaNaratif.

Yogyakarta: PustakaPelajar.

__________. 2009. Kajian Puitika Bahasa dan Budaya.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Shara. 2011. Let,s Smile Delia. Jakarta: Mizan Media

Utama.

Sutejo. 2010. Stilistika: Teori, Aplikasi, dan Alternatif

Pembelajarannya. Yogyakarta: Pustaka Felicia.

Suyatno. 2009. Struktur Narasi Novel KaryaAnak.

Surabaya: Jaring Pena.

Tjahyono, Libertus Tengsoe. 1988. Sastra Indonesia:

Pengantar Teori dan Apresiasi. Ende-Flores:

Nusa Indah.

________. 2010. Mendaki Gunung Puisi ke Arah

Kegiatan Apresiasi. Malang: Bayumedia

Publishing.

Toha, Riris K. dan Sarumpaet. 2010. Pedoman

Penelitian Sastra Anak. Jakarta: Pustaka Obor

Indonesia.

Waluyo, Herman J. 1991. Teori dan Apresiasi Puisi.

Jakarta: Erlangga.

Wellek, Renne dan Austin Warren. 1993. Teori

Kesusasteraan. (Penerjemah: MelaniBudianta).

Jakarta: Gramedia.

Yunda. 2009. Space Fun Park. Jakarta: Mizan Media

Utama.

PENDAHULUAN

Priyayi Jawa dapat dikatakan sebagai suatu

kelompok sosial yang bermakna besar dalam

masyarakat Jawa. Mereka, sebagai perantara antara

rakyat dan raja serta juga sebagai penghubung antara

rakyat dengan pemerintah penjajahan Belanda,

mendominasi masyarakat Jawa selama jangka

waktu yang cukup lama. Golongan priyayi, sebagai

kaum elit berpengaruh besar bukan hanya pada

bidang politik dan ekonomi tetapi juga pada bidang

kebudayaan dan pendidikan dalam masyarakat

Jawa. Berkenaan dengan golongan priyayi Jawa,

yang menarik adalah bahwa priyayi Jawa adalah

kelompok sosial yang mempunyai tingkah laku dan

nilai-nilai hidup tersendiri serta ciri-ciri tertentu

yang jelas menunjukkan perbedaannya dengan

kelompok sosial lainnya, terutama kelompok sosial

rakyat kebanyakan (Kartodirdjo, 1993: 21).

Pada zaman sekarang priyayi Jawa bukan lagi

status sosial yang masih dianggap penting dalam

masyarakat Indonesia. Banyak orang pada zaman ini

tidak peduli atau tidak memberi perhatian lagi pada

soal seperti apakah seseorang itu priyayi atau bukan,

dibandingkan dengan sebelumnya. Namun priyayi

bukannya telah lenyap, melainkan masih tetap hidup

dalam masyarakat. Sebagai contoh, seseorang yang

bersifat halus, sopan atau berbudi luhur sering

dianggap atau bahkan dijuluki sebagai “priyayi”

dalam masyarakat Jawa. Sebutan atau anggapan

terhadap seseorang itu justru mempunyai arti

bahwa dia mendapat penilaian baik dan dipandang

dalam masyarakat. Maka dapat dikatakan bahwa

sebuah bayangan yang ditimbulkan oleh kata priyayi

atau konsep priyayi bukanlah pejabat pemerintah

KEPRIYAYIAN DALAM KARYA SASTRA:

BERKACA PADA PARA PRIYAYI KARYA UMAR KAYAM

Lee Yeon

Hankuk University of Foreign Studies, Seoul

[email protected]

Abstract: Priyayi are the members of a social group, which had great influence in Javanese society and dominated it for a long time. Their importance derives from the leading role they played in the modernization process and the fact that they formed the intellectual class of society, which had progressed without losing their Javenese cultural identity and origins. Although the status of priyayi lost its power and shine after independence of Indonesia (1945), the influence of priyayi, especially their moral and ethics view can be felt in Indonesian society up to the present day. In connection to that, this research is an attempt to understand the priyayi through the literature.

Keywords: Priyayi, Javanese Priyayi, Socio-cultural Class.

Abstrak: Priyayi merupakan bagian dari kelompok sosial masyarakat yang mempunyai pengaruh besar terhadap masyarakat Jawa dan telah mendominasi dalam kurun waktu yang lama. Pentingnya kehadiran mereka bisa dilihat dari peran mereka dalam proses modernisasi dan pembentukan kelompok masyarakat terdidik tanpa menghilangkan identitas budaya Jawa dan asal mulanya. Meskipun status priyayi telah kehilangan pengaruh dan kekuasaanyya semenjak hari kemerdekaan (1945), pengaruh priyayi terutama dalam hal moral dan etika masih dapat dirasakan dalam masyarakat Indonesia sampai sekarang. Dalam kaitannya dengan hal itu, penelitian ini merupakan sebuah usaha untuk memahami konsep priyayi melalui literatur.

Kata Kunci: Priyayi, Kepriyayian Jawa, Kelas Sosio-kultural

Lee Yeon, Kepriyayian dalam Karya Sastra: Berkaca Pada Para Priyayi Karya Umar Kayam140

melainkan orang yang menganut atau mengikuti

nilai-nilai kepriyayian. Oleh karena itu, tidaklah

berlebihan jika dikatakan bahwa priyayi sebagai

sebuah gelar masih melekat dalam kehidupan

bermasyarakat pada zaman sekarang.

Dari hal-hal tersebut, dapat dikatakan

bahwa eksistensi priyayi sebagai suatu jabatan

atau gelar yang diberikan kepada seseorang,

tidak lagi merupakan sesuatu yang masih lazim

dalam masyarakat sekarang. Sedangkan eksistensi

kepriyayian masih ditemukan dalam masyarakat

karena pola-pola kehidupan priyayi masih banyak

dianggap sebagai sebuah teladan. Dalam hal ini

nilai-nilai serta norma-norma kepriyayian masih

dijadikan sebagai ukuran kepantasan dan kesopanan

dalam kehidupan masyarakat Jawa (Kartodirdjo,

1993: 21). Sementara dalam hal ini yang menarik

adalah bahwa konsep priyayi berkembang dalam

perubahan zaman. Dengan kata lain, konsep

atau makna priyayi Jawa bukanlah sesuatu yang

stagnan, tetapi yang terus-menerus berubah,

diangankan, didefinisikan lagi dan direkonstruksi

dalam masyarakat. Hal tersebut menunjukkan

bahwa persoalan priyayi Jawa merupakan sesuatu

yang dinamis, rumit, dan tidak stabil sehingga dapat

dibicarakan dengan berbagai dimensi secara sangat

mendalam terutama jika persoalan itu diangkat

sebagai suatu isu dalam sebuah penelitian.

Penelitian ini bertujuan untuk membahas

kepriyayian yang terwujud dalam karya Umar

Kayam yaitu Para Priyayi dengan bertolak dari

anggapan bahwa karya sastra pun merupakan

sebuah acuan yang bermakna dalam interpretasi

mengenai konsep priyayi Jawa dan kepriyayian.

METODE

Metode yang digunakan dalam penelitian

ini adalah kualitatif. Penelitian ini termasuk jenis

penelitian deskriptif kualitatif. Objek penelitian

ini adalah novel Para Priyayi karya Umar Kayam.

Analisis data yang digunakan adalah analisis

induktif dengan meletakkan data penelitian sebagai

modal untuk memahami fokus penelitian. Ciri-ciri

terpenting metode kualitatif sebagai berikut: (i)

Memberikan perhatian utama pada makna dan

pesan sesuai dengan hakikat objek, yaitu sebagai

studi kultural; (ii) Lebih mengutamakan proses

dibandingkan dengan hasil penelitian sehingga

makna selalu berubah; (iii) Tidak ada jarak antara

subjek peneliti dengan objek penelitian, subjek

peneliti sebagai instrument utama, sehingga

terjadi interaksi langsung di antaranya; (iv) Desain

dan kerangka penelitian bersifat sementara sebab

penelitian bersifat terbuka; dan (v) Penelitian

bersifat alamiah, terjadi dalam konteks sosial budaya

pengarangnya.

Adapun teknik kajian dalam penelitian tersebut

dapat dilihat dalam langkah-langkah analisis yang

disusun sebagai berikut: (i) Mengidentifikasi dan

merumuskan masalah, (ii) Membaca novel secara

intens; (iii) Melakukan studi pustaka dengan

mencari referensi sebagai landasan teori untuk

mengkaji objek penelitian ini; (iv) Membaca

novel secara mendalam sekaligus menandai teks

dalam novel yang termasuk sebagai data; (v)

Mengumpulkan data meliputi pendataan, reduksi

data, pengklasifikasian data dan penetapan data

sesuai rumusan masalah, (vi) Menganalisis data

secara kritis menggunakan teori poskolonialisme

sesuai dengan indikator-indikator yang telah

ditemukan, dan (vii) Menginterpretasikan dan

menarik kesimpulan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kepriyayian yang Terwujud dalam Para Priyayi Umar Kayam

Dengan nyata, banyak ahli sastra Indonesia

beranggapan bahwa ciri-ciri utama dalam novel-

novel Umar Kayam adalah warna daerah Jawa dan

gambaran kehidupan masyarakat Jawa dalam novel-

novelnya sangat wajar bahkan unggul. Berkaitan

dengan hal tersebut, Sapardi Djoko Damono

menyatakan, “Dalam membaca fiksi Umar Kayam,

kita mendapat kesan sangat kuat bahwa beberapa

bagiannya merupakan usaha untuk menguraikan hal-

ikhwal itu sehingga bisa dikelirukan sebagai risalah

sosiologi.” Menurutnya, mungkin bahkan boleh

dikatakan bahwa Umar Kayam sebenarnya menulis

buku sosiologi Jawa dalam bentuk fiksi (Kartodirdjo,

1993: 21). Pernyataan seperti ini memperlihatkan

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 141

bahwa gambaran dan pengungkapan masyarakat

Jawa dalam karya-karyanya sangat realis.

Di antara karya-karyanya, dalam Para

Priyayi, sebagaimana terlihat dari judulnya, dia

menggambarkan kepriyayian serta masalah-

masalah yang muncul dari dunia kaum priyayi

dalam masyarakat Jawa secara mendalam dan

tajam. Ketika Umar Kayam menyelesaikan novel

ini, dia berdiskusi dengan Goenawan Mohammad,

kemudian keduanya setuju agar novel ini menjadi

salah satu usaha untuk menggojlok ilmu-ilmu sosial

itu. Oleh karena mereka berpendapat bahwa kalau

kenyataan masyarakat tidak mampu lagi dijelaskan

oleh ilmu-ilmu sosial secara memadai, harus ada

suatu jalan lagi dengan memakai medium lagi untuk

mencari penjelasan yang diperlukan itu.

Dengan Para Priyayi Umar Kayam dapat

dikatakan berhasil mengemukakan hal itu secara

wajar dan mendekati kenyataan yang sesungguhnya

dalam mengungkapkan dunia priyayi. Banyaknya

pemakaian kosa kata Jawa yang khas kehidupan para

priyayi semakin menguatkan dugaan akan usaha

dan kemampuannya dalam mengungkapkan dunia

priyayi itu. Juga, sebagaimana priyayi nyata dalam

masyarakat Jawa, para tokoh priyayi dalam karya

Umar Kayam ini sungguh-sungguh mempunyai

etika dan gaya hidup priyayi, misalnya bahwa mereka

tampil sebagai sosok yang alus, dan berusaha keras

dalam disiplin diri untuk menjaga keselarasan sosial,

lewat sikap sabar, nrima, dan ikhlas.

Berkenaan dengan hal itu, salah satu aspek

yang mencolok dari kepriyayian yang terwujud

dalam karya itu adalah sikap dan ide keabdian

yang dimiliki oleh para tokoh priyayi. Menurut

pandangan orang Jawa, manusia harus menjalankan

peranan dalam dunia, dengan memenuhi kewajiban-

kewajibannya di dalamnya. Mereka berpikir bahwa

manusia masing-masing memenuhi kewajiban

dengan kedudukannya (Damono, 1998: 242).

Sebagai anggota masyarakat Jawa, salah satu

kewajiban yang diberikan pada golongan priyayi

adalah kewajiban untuk mengabdi pada raja dan

negara, yaitu keabdian. Sebagai perantara antara

wong cilik dan raja atau antara pemerintah dan rakyat

kebanyakan dalam masyarakat Jawa yang hierarkis

serta feodalis, hal yang pertama-tama dituntut pada

mereka adalah antara lain keabdian terhadap raja

atau pemerintah. Maka, mereka juga disebut sebagai

‘abdi-dalem’, atau ‘abdi-negara.’ Umar Kayam

sendiri menyatakan bahwa kewajiban priyayi itu

sebenarnya adalah lanjutan dari nilai lama, yaitu nilai

”ngawula ing lan raja” atau nilai mengabdikan diri

kepada negara dan raja (Kartodirdjo, 1993: 21).

Keabdian priyayi, khususnya pria priyayi

sangat mencolok dalam Para Priyayi. Hampir semua

tokoh pria priyayi di dalamnya memperlihatkan

keabdian mereka yang tinggi terhadap negara.

Dalam hal keabdian tokoh pria priyayi Umar Kayam

menggunakan tokoh wayang tertentu sebagai

teladan untuk keabdian mereka. Sebagai contoh,

tokoh Ndoro Seten, sponsor tokoh Sastrodarsono

menghadiahkan pertunjukan wayang pada upacara

pernikahannya. Dengan pertunjukan wayang itu,

Ndoro Seten memberi nasihat mengenai keabdian

priyayi padanya. Menurutnya, model yang diteladani

bagi priyayi adalah Sumantri, sebabnya keabdian

Sumantri terhadap raja. Sastrodarsono pun juga

senantiasa memberi nasihat pada anak-anaknya

dan cucu-cucunya bahwa teladan untuk keabdian

yang harus dimiliki para priyayi adalah keabdian

seperti yang dilakukan oleh Sumantri itu. Selain

itu, dalam novel-novelnya tidak sedikit terdapat

usaha-usaha tokoh pria priyayi untuk tetap bertahan

pada keabdian, bagaimana pun situasi yang harus

dihadapi oleh mereka.

Dalam kaitannya dengan hal ini, dengan

karya itu yang ditekankan Umar Kayam adalah

bahwa keabdian priyayi tidak hanya dilakukan pada

atasan mereka atau kepada pemerintah, tetapi juga

dilakukan pada dimensi negara, yang berhubungan

dengan masyarakat dan rakyat kebanyakan atau wong

cilik. Contoh yang jelas memperlihatkan keabdian

mereka pada dimensi negara adalah dalam kegiatan

pendidikan yang mereka lakukan. Banyak tokoh

pria priyayi dalam novel-novelnya berminat besar

dan mencurahkan diri pada kegiatan pendidikan

dengan gairah yang sangat tinggi.

Dalam Para Priyayi Sastrodarsono yang tergugah

oleh semangat orang-orang kampung untuk belajar

berusaha mendirikan sekolah untuk mereka,

dengan dukungan besar dari semua keluarganya,

walaupun usahanya tidak bisa berhasil. Dan juga

Lee Yeon, Kepriyayian dalam Karya Sastra: Berkaca Pada Para Priyayi Karya Umar Kayam142

anaknya Hardojo yang guru HIS ditawarkan untuk

memimpin suatu kantor yang mengurus pendidikan

di Mangkunegara kemudian tawaran itu diterimanya.

Ketika Hardojo menghadap Kanjeng Gusti

Mangkunegara, dia sangat terharu oleh semangat

Mangkunegara terhadap pendidikan rakyat. Maka

dia rela menerima tawaran itu, walaupun gaji yang

dia akan dapat jauh lebih kecil daripada gajinya

dari sekolah pada waktu itu. Ketika dia melaporkan

putusannya itu kepada orang tuanya, mereka sangat

menghargainya, seperti kutipan di bawah ini.

Di Wanagalih orang tua saya menerima saya dengan sangat senang. Laporan saya tentang kepindahan saya ke Mangkunegaran, meskipun mengejutkan, diterima dengan sangat senang juga.“Itu keputusan yang baik, Le. Keputusanmu membuat bapak dan ibumu bangga. Bukan karena apa. Keikhlasanmu untuk mengorbankan gajimu yang seratus sepuluh gulden dari gupermen demi mengabdi di Mangkunegara sangat Bapak hargai.”

Kegia tan pend id ikan dan perhat i an

terhadap pendidikan memperlihatkan adanya

suatu kepercayaan pada mereka, seperti bahwa

pendidikan merupakan salah satu jalan yang utama

untuk memajukan bangsa dan negara. Mereka

juga menganggap bahwa usaha untuk memajukan

bangsa dan negara merupakan salah satu cara dari

keabdian terhadap negara.

Dengan demikian, ketika memperhatikan sikap

dan usaha tokoh priyayi dalam kegiatan pendidikan

yang sedemikian, dapat dikatakan bahwa mereka

menghubungkan kewajiban mereka yaitu keabdian

terhadap negara dan bangsa atau wong cilik, dengan

misi mereka sebagai kelas intelektual dalam

masyarakat. Dengan kata lain mereka bertanggung

jawab atas hal memajukan bangsa dan negara.

Sementara itu, pada novel Para Priyayi salah

satu aspek dari nilai kepriyayian yang juga sangat

menonjol adalah sikap dan sosok yang alus. Dalam

hal ini, pada karya terutama ditemukan bahwa Umar

Kayam menggambarkan para tokoh priyayi sebagai

sosok yang bersifat halus dan berbudi luhur. Sosok

para tokoh priyayi yang bersikap halus banyak

ditekankannya sebagai seorang priyayi yang layak.

Dalam hal ini Umar Kayam menggambarkan

kehalusan wanita priyayi yang melebihi pria serta

kecerdasannya untuk mengatasi masalah rumit

dengan kehalusan yang dimiliki mereka. Sebagai

contoh, dalam Para Priyayi kehalusan tokoh Ngaisah

mengatasi musibah paling besar yang menimpa

pada keluarganya.

Waktu zaman penjajahan Jepang, Sastrodarsono ditempeleng oleh Martokebo, yang menjadi seorang kaki tangan bagi Jepang, di depan keluarganya, “tiba-tiba, dengan secepat kilat... tangan Tuan Sato melayang menempeleng kepala Ndoro Kakung. Plak! Plak! Ndoro Kakung geloyoran tubuhnya....... Pucat pasi...lesu. Air matanya berlelehan keluar. Beliau menangis seperti anak kecil.” Penghinaan sebesar itu, yang menimpa pada suaminya segera diurus oleh Ngaisah. Dia menawarkan “kopi panas yang enak” dan bahasa kromo yang sangat halus kepada Martokebo yang gila. Maka situasi yang penuh ketegangan itu diurusnya. Selain itu, setiap kali suaminya merasa kehilangan ketenangannya, atau kelihatan merasa bingung, Ngaisah menyelesaikan segala masalah dengan kecerdasan sebagai pengganti suaminya dengan cara yang halus.

Di samping itu, aspek kehalusan dari

kepriyayian juga ditemukan pada hubungan para

priyayi dengan seni alus. Clifford Geertz membagi

kesenian dalam masyarakat Jawa dalam tiga

kelompok seni. Salah satu dari tiga kelompok seni

tersebut adalah seni alus, yang meliputi wayang,

lakon, gamelan, tembang dan batik. Menurut

Geertz, seni alus khususnya merupakan suatu seni

terpadu yang mengekspresikan nilai-nilai priyayi.

Walaupun bentuk-bentuknya itu dikenal luas dan

masih menarik keseluruhan masyarakat, di kalangan

priyayi kompleks seni alus memperoleh kekuatan

dan penafsiran yang paling implisit. Maka tendensi

bentuk-bentuk seni alus ini untuk menjadi milih

priyayi senantiasa meningkat, terutama disebabkan

dengan makin kuatnya pengaruh sandiwara populer

dan bentuk-bentuk seni yang dipengaruhi Barat

terhadap massa. Tinggal priyayi yang menaruh

perhatian sebagai pelindung utama seni-luhur yang

tradisional. Ditinjau hubungan erat antara priyayi

dan seni alus, tidak mengherankan apabila seni alus

itu terdapat dalam Para Priyayi. Di antara berbagai

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 143

bentuk seni alus, yang sering ditemukan dalam

novel-novelnya adalah wayang dan tembang.

Wayang, bagaimana pun, merupakan bentuk

seni yang paling terkenal, tidak hanya dalam

masyarakat Jawa tetapi juga dikenali oleh seluruh

rakyat Indonesia. Pengaruh dan peranan wayang

pun juga cukup besar, maka tidak berlebihan jika

dikatakan bahwa wayang merupakan identitas utama

orang Jawa. Sementara Clifford (1981) Geertz

menerangkan bahwa terdapat perbedaan dalam

penafsiran terhadap wayang itu di antara santri

atau wong cilik dengan priyayi. Menurutnya, santri

mementingkan wayang sebagai keampuhan ritual

pertunjukan, sedangkan priyayi mementingkan

isi cerita, makna yang terkandung, dan pesan

pokok dari wayang. Mereka menganggap bahwa

wayang, khususnya yang berisi kehidupan batin

selalu menunjukkan dan mengingatkan pentingnya

kekuatan jiwa dan kedamaian di dalam hati pada

mereka dengan tajam. Demikian pula, melalui

wayang para priyayi merefleksi jati diri mereka. Oleh

karena itu, wayang dapat dikatakan merupakan

semacam pendukung yang mengungkapkan nilai-

nilai mereka dalam dunia priyayi.

Berkenaan dengan hal itu, apa yang menarik

dalam Para Priyayi adalah bahwa wayang lebih

cenderung dipergunakan untuk memperlihatkan

teladan priyayi, atau citra priyayi yang mereka

idamkan untuk menunjukkan pandangan hidup,

filsafat, dan nilai-nilai mereka. Dalam karya itu sering

kali tokoh-tokoh wayang tertentu dipergunakan

oleh Umar Kayam untuk menunjukkan teladan

bagi priyayi, sebagaimana telah disebutkan. Selain

itu, dalam novel itu juga terungkap bahwa wayang

merupakan kegemaran priyayi yang istimewa.

Misalnya, walaupun berumur lebih delapan puluh

tahun, Sastrodarsono masih sering menonton

pertunjukan wayang sampai larut malam. Bahkan

sesudah pulang, dia berdiskusi mengenai isi cerita

wayang yang ditontonnya dengan istrinya. Hal itu

memperlihatkan bahwa wayang sudah menjadi

bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan

priyayi. Tambahan lagi, pembicaraan kedua suami-

istri mengenai isi wayang menunjukkan bahwa

biasanya kaum priyayi tidak hanya gemar menonton

pertunjukan wayang, tetapi juga memiliki penafsiran

implisit terhadap isi cerita wayang. Juga, dalam

novel itu terdapat Sastrodarsono sering merefleksi

jati dirinya melalui wayang.

Sementara peranan dan makna tembangdalam

Para Priyayi tidak kalah daripada wayang. Dalam Para

Priyayi, tembang dipergunakan sebagai suatu unsur

yang unik yaitu tembang terlihat sebagai semacam

alat penghibur yang halus untuk menghibur hati

priyayi, khususnya hati yang terluka. Setelah

terjadi peristiwa penempelengan Sastrodarsono

oleh Martokebo, seorang kaki tangan Jepang

di depan keluarganya, semua anggota keluarga

Sastrodarsono berkumpul di Wanagalih untuk

menghibur hatinya. Pada waktu itu, dia menyuruh

Lantip menembang.

Saya pun lantas mengumpulkan kekuatan dari napas saya. Di dalam hati saya mengucap bismillah dan berdoa semoga saya masih hafal semua kata-katanya [.............] Kemudian saya lanjutkan dengan bait pertama dari lagu Kinanti dari Wulangreh. Pada gulangen ing kabu, ing sasmita amrih lantip.... Dan bait itu pun alhamdulillah saya selesaikan pula dengan selamat. Saya menengadahkan kepala saya melihat ndoro-ndoro saya. Saya merasa lega karena mereka mengangguk-anggukkan kepala mereka. Saya menafsirkan beliau semua puas dengan nyanyian saya.

Tembang yang lagukan oleh Lantip menghibur

hati Sastrodarsono yang terluka serta harga dirinya

yang hancur. Tambahan lagi, setelah tembang itu

Sastrodarsono mengisyaratkan kepada anak-anak

dan cucu-cucunya agar mereka terus menimba

ngelmu, ilmu pengetahuan melalui laku dalam zaman

yang sangat gawat itu. Hal itu memperlihatkan

bahwa tembang, sebagai salah satu seni alus tidak

hanya berperan serba alat penghibur, tetapi juga

memberikan ajaran tertentu dari kata-kata yang

samar-samar.

Dengan demikian, ditinjau dari hal-hal yang

telah dibahas di atas, terungkap dalam Para Priyayi

bahwa seni alus merupakan unsur penting untuk

menunjang kepriyayian khususnya, menampakkan

kehalusan mereka. Hal ini menunjukkan bahwa seni

alus berarti cukup besar bagi golongan priyayi. Juga,

pada karya itu dapat diketahui bahwa bentuk seni

alus sudah meresap pada kehidupan priyayi secara

Lee Yeon, Kepriyayian dalam Karya Sastra: Berkaca Pada Para Priyayi Karya Umar Kayam144

sangat mendalam dan menjadi bagian yang tidak

terpisahkan dari kehidupan mereka. Apa yang lebih

penting dalam seni alus bagi mereka adalah isi atau

pesan dari seni alus karena isi dan pesan tersebut

mendukung filsafat, pandangan, dan nilai-nilai

mereka.

Makna Kepriyayian dalam Para Priyayi Umar Kayam

Karya sastra merupakan representasi dari

realitas dalam masyarakat tertentu sehingga dapat

ditemukan sebuah gambaran mengenai kenyataan

sosial yang terwujud dalam karya sastra. Melalui

kenyataan sosial yang terwujud dalam karya

sastra itu dapat ditemukan tanggapan evaluatif

dan sikap pengarang tersirat dari teks terhadap

kenyataan sosial dalam masyarakatnya sendiri.

Hal ini disebabkan karena kenyataan sosial yang

terwujud dalam karya sastra tersebut adalah sebuah

representasi dari kenyataan sosial itu sendiri dan

dalam proses representasi pada karya sastra itu

terungkap respon pengarang tersirat terhadap

kenyataan sosial tertentu. Berdasarkan hal-hal dapat

dikatakan bahwa semua karya sastra mengandung

respon atau tanggapan evaluatif pengarang

terhadap kenyataan sosial tertentu. Tanggapan

evaluatif, di sini berarti sebagai sesuatu yang dicoba

menggali dengan membahas sejumlah unsur dalam

karya sastra itu.

Berkenaan dengan hal tersebut Umar

Kayam menyatakan bahwa “Sastra konon adalah

penasifsir kehidupan jitu. Ia bukan sekadar

seni yang merekam kembali kehidupan, akan

tetapi yang diperbincangkannya kembali lewat

suatu pertukaran, manipulasi, dan rasa bahasa.

Sastra yang dianggap bermutu adalah sastra

yang sanggup serta kemungkinan. Itu makna

sastra serius, sastra yang ‘sastra.’” Bertolak dari

anggapannnya terhadap sastra, tidak berlebihan jika

dikatakan bahwa apabila dia mengisahkan mengenai

masalah priyayi melalui karyanya, priyayi itu bukan

priyayi nyata yang hanya direkam kembali saja.

Dengan kata lain, dia setidaknya telah berusaha

menggambarkan dan menafsirkan soal priyayi yang

ingin diperbicankannya melalui karyanya.

Dalam kaitannya dengan hal itu, ada yang

harus digarisbawahi di sini. Yaitu bahwa dalam Para

Priyayi tidak hanya dilukiskan kehidupan atau sosok

priyayi yang hanya terdapat di dalam masyarakat

Jawa yang nyata, tetapi juga dilukiskan mengenai

citra priyayi yang diidamkannya. Dengan kata lain,

Kayam tidak hanya menggambarkan priyayi dengan

sewajar-wajarnya, tetapi juga sekaligus menonjolkan

sifat atau karakter priyayi yang ingin ditekankan

dan ingin disampaikannya. Apa yang telah dibahas

sebelumnya menunjukkan bahwa dalam karya ini

priyayi Jawa sangat ditekankan masalah kehalusan,

penjagaan harga diri, ikatan pada seni alus, dan pada

moral kepriyayian.

Di samping itu, dalam Para Priyayi hal yang

sangat menarik adalah bahwa kehidupan tokoh-

tokoh priyayi tergambar amat jauh dari kemewahan

dan kekayaan. Bahkan, kadang-kadang kehidupan

mereka kelihatan hampir sama saja dengan

kehidupan wong cilik, yakni kehidupan mereka

tidak kelihatan kaya dan mewah. Meskipun

demikian, seluruh novelnya cukup bernuansa

kepriyayian. Para tokoh priyayi dalam karya itu tetap

mempertahankan kepriyayian dalam kehidupan

mereka yang sederhana. Oleh karena itu, tokoh-

tokoh priyayi dalam karya itu dapat disebut sebagai

priyayi-priyayi kecil atau priyayi yang bersifat wong

cilik. Priyayi kecil atau priyayi yang bersifat wong cilik

yang terlihat dalam para penokohan dalam novel

tersebut dapat dijelaskan dengan beberapa faktor.

Pertama, salah satu faktor dari penentu sifat

wong cilik itu adalah latar tempat dalam novelnya.

Apabila seorang pengarang bermaksud mengisahkan

kehidupan priyayi, dapat dikatakan bahwa tempat

yang paling sesuai dengan maksudnya seperti kota

Solo sebagai latar tempat dalam novel itu. Sebabnya

adalah karena kota Solo dapat dikatakan merupakan

semacam markas besar bagi para priyayi. Akan

tetapi, dalam novelnya yang mengisahkan kehidupan

priyayi, tempat yang dipilih Umar Kayam sebagai

latar tempat antara lain adalah sebuah desa bukan

kota seperti Solo. Para Priyayi berlatar tempat sebuah

kota kecil bernama Wanagalih. Pada awal cerita itu,

Kayam menggambarkan kota itu, seperti bahwa

“Wanagalih adalah sebuah ibu kota kabupaten.

Meskipun kota itu suatu ibu kota lama yang hadir

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 145

sejak pertengahan abad ke-19, kota itu tampak kecil

dan begitu-begitu saja. Seakan-akan usianya yang tua

itu tidak memberinya kesempatan untuk tumbuh

dan berkembang.” Penggambaran selanjutnya

mengenai kota itu dalam cerita menunjukkan bahwa

kota itu sangat sederhana, jauh dari perkembangan,

atau kemodernan.

Kedua, unsur lain dari penentu sifat wong cilik

itu ditemukan dalam penokohannya. Umar Kayam

memberikan sifat wong cilik pada tokoh-tokoh

priyayi yang ingin ditonjolkannya sebagai tokoh

utama, jadi ia mencampurkan kepriyayian dan

kewongcilikan dalam penokohannya. Dalam Para

Priyayi, dua tokoh yang dapat dikatakan sebagai

tokoh utama, yaitu Sastrodarsono dan Lantip adalah

priyayi yang berasal dari wong cilik. Tentu saja tidak

dapat disangkal bahwa keduanya berhasil menjadi

priyayi, bahkan dianggap sebagai priyayi yang

paling besar jasanya. Namun mereka diwujudkan

sebagai priyayi yang bersifat rendah hati serta yang

memiliki kesederhanaan, bukan sebagai priyayi yang

hanya anggun saja. Khususnya Sastrodarsono selalu

berusaha bertahan pada sikap rendah hati dengan

menanam pada dirinya nasihat dari ayahnya, yang

agar tidak lupa pada asal-usulnya walaupun sudah

diangkat priyayi.

Orang tua saya menekankan pendidikan menjalani hidup dengan baik dan selamat di dunia. Artinya, baik-baiklah kamu bergaul dengan sesama hidup di masyarakat Sing tepa slira, le, maramg sapada-pada. Bertenggang rasalah kamu terhadap sesame hidup, Le. Kata Bapak. Jangan mentang-mentang kau nanti jadi priyayi lehermu terlalu mendongak ke atas. Ingatlah yang bawahmu masih banyak.

Asal-usul keduanya serta watak rendah-hati

yang tidak hilang dari mereka dapat dikatakan

merupakan unsur yang memberi ciri kewongcilikan

pada keduanya. Dengan demikian hal-hal yang

sudah dijelaskan di atas menunjukkan bahwa Umar

kayam mewujudkan priyayi yang bersifat wong cilik,

atau priyayi kecil dalam novelnya melalui pemilihan

latar tempat kota kecil serta pemberian sifat wong

cilik dalam penokohan.

Dalam hubungan ini, apa yang istimewa adalah

bahwa hal tersebut sama sekali tidak memudarkan

kepriyayian dalam karyanya. Sebaliknya, hal

itu membuat kepriyayian yang rupanya ingin

ditekankannya tampak lebih mencolok dari sisi yang

lain. Dengan kata lain, melalui kewongcilikan dalam

tokoh-tokoh priyayi Umar Kayam menyampaikan

bahwa apa yang lebih penting dalam kepriyayian

bukanlah sesuatu dari kehidupan-luar priyayi yang

terpandang, atau kewibawaan serta kekuasaan

yang dimiliki, melainkan sesuatu dari unsur-

dalam kepriyayian yaitu mental kepriyayian.

Dengan penggambaran tokoh-tokoh priyayi yang

bersifat wong cilik dan juga yang tetap menahan

kepriyayian dalam kehidupan mereka, Kayam

ingin menyampaikan bahwa apa yang menunjang

kepriyayian seseorang dalam kehidupannya adalah

bukan kehidupan-luarnya, misalnya pekerjaannya

ataupun pangkatnya, tetapi mental kepriyayian.

Dalam kaitan ini, tampak adanya keinginan

pada diri pengarang yang berusaha menyampaikan

suatu amanat. Berkenaan dengan hal ini Bakti

Soemanto menyatakan seperti berikut. Dalam

novel Para Priyayi pertanyaan yang terasa penting

diajukan adalah apakah yang dimaksudkan dengan

priyayi, dan apakah yang diharapkan oleh Umar

Kayam. Dengan kata lain, betapapun seluruh novel

itu dalam hal mempertanyakan secara kritikus “how

did the priyayi come into exsistence?” dan sekaligus

mempersoalkan makna terdalam dari pengertian

priyayi dalam konteks hidup bersama masyarakat.

Apakah soal kemudahan hidup: pagi hari tidak

merasa harus dikejar-kejar memburu uang, tersedia

kendaraan mewah, dan semacam itu?

Dalam hubungan ini pertanyaan dari Umar

Kayam, yang disebut Soemanto dalam kutian di atas

ditemukan dalam Para Priyayi ini yaitu Noegroho,

anak pertama Sastardarsono bertanya kepada

Lantip pada akhir alur cerita ini, seperti kutipan di

bawah ini.

“Kalau menurut kamu, apa arti kata priyayi itu,

Tip?

Saya tidak segera menjawab. Saya menundukkna

kepala Kemudian saya menjawab dengan tetap

menundukkna kepala. “Sesungguhnya saya tidak

pernah tahu, Pakde. Kata itu tidak terlalu penting

lagi bagi saya.”

Sebenarnya rumusan, kedudukan, dan wujud

priyayi dalam masyarakat Jawa yang terus-menurus

Lee Yeon, Kepriyayian dalam Karya Sastra: Berkaca Pada Para Priyayi Karya Umar Kayam146

mengalami transisi sehingga tidak terlalu mudah

didefinisikan ke satu kalimat. Sebagaimana hal

yang telah ditunjuk Bakti Soemanto, Umar Kayam

memaparkan pertanyaan, yaitu “apakah yang

dimaksudkan dengan priyayi?” pada para pembaca

melalui Noegroho dan dia juga menyajikan

jawabanan sendiri melalui Lantip, seperti bahwa

“Sesungguhnya saya tidak pernah tahu, Pakde. Kata

itu tidak terlalu penting lagi bagi saya.” Menurut

pandangan Umar Kayam, arti harfiah atau arti

duniawi kepriyayian tidak terlalu penting. Sedang

pertanyaan yang ingin dipaparkannya ternyata

adalah bahwa “apakah yang diharapkannya dengan

priyayi?” serta apakah arti terdalam dari priyayi.”

Terhadap pertanyaan tersebut, jawaban pun juga

diberikannya, melalui pidato Lanti seperti berikut.

Embah Kakung ingin pamit berjalan ke rahmatullah dengan membagi warisan yang berupa semangat kerukunan dan persaudaraan kepada anak dan cucu serta cicitnya. Embah Kakung tidak meninggalkan atau mewariskan benda-benda keduniawian yang kemilau yang banyak di duga orang akan dapat membanggakan keluarga besar ini. Embah Kakung ternyata tidak pernah melihat benda-benda keduniawian itu sebagai yang terpenting bagi anak, cucu, dan cicitnya. Beliau menganggap semangat kerukunan dan persaudaraan itulah yang terpenting bagi keturunannya, bagi masyarakat, karena semangat itulah yang akan terus mampu membuat kita tumbuh sebaik-baiknya sebagai masyarakat yang melaksanakan tugas Allah di dunia fana ini.

Dengan pidato Lantip di atas, Umar Kayam

mengungkapkan bahwa yang lebih penting dalam

kepriyayian itu bukan dari kehidupan-luar yang

terpandang atau kewibawaan serta kekuasan yang

dimilikinya, melainkan pada unsur-dalam kepriyayian

itu sendiri yaitu mental kepriyayian. Dalam Para

Priyayi Umar Kayam sangat menitikberatkan pada

kepriyayian yang berupa semangat priyayi sebagai

jiwa yang harus dipertahankan. Penekanan pada

kepriyayian yang harus tetap dipertahankan tersebut

mencolok dalam karya itu, terutama pidato Lantip

ketika menyampaikan jasa Sastrodarsono seperti

kutipan di bawah ini.

Embah Kakung mulai menanam bibit-bibit pertama dari keluarga besar ini. Seperti juga pohon nangka yang baru roboh itu, Embah Kakung ingin melihat keluarga besar ini tumbuh kukuh, kuat, dan berisi galih, lapisan kayu yang paling dalam dan keras. Adapun galih, bagian kayu yang paling keras yang ingin beliau kembangkan dan tumbuhkan itu adalah semangat, nilai mengabdi dari priyayi kepada orang banyak, kepada masyarakat luas.

Dalam kutipan di atas galih dapat ditafsirkan

secara implisit, yaitu merupakan sebuah simbol dari

kepriyayian dalam masyarakat Jawa. Hal ini sangat

mungkin dijadikan karena pada awal cerita novel

ini Umar Kayam menggambarkan mengenai gali

tersebut, seperti “Ya, itulah Wanagali. Kota yang

karena dikepung oleh hutan dan kemudian hutan

jati mendapatkan namanya sebagai wana yang

berarti hutan dan galih berarti bagian terdalam

dan terkeras dari kayu. Kota itu sesungguhnya

hidup dari kayu jati. Setidaknya dulu.”Dengan

memperhatikan kutipan tersebut, terdapat juga

suatu makna dari galih itu, yaitu Umar Kayam

mencoba menyampaikan bahwa kepriyayian dalam

masyarakat Jawa merupakan bagian keras dan

bagian-dalam untuk menunjang perkembangan

serta pertumbuhan masyarakat seperti halnya

galih dalam pohon. Dengan kata lain, Umar

Kayam mengisyaratkan bahwa sebagaimana kota

Wanagalih yang hidup dari galih, masyarakat Jawa

pun pada dasarnya telah hidup dari kepriyayian, atau

semangat priyayi dulu, dan juga sangat mungkin

akan dapat hidup darinya.

SIMPULAN

Karya sastra dapat dikatakan sebagai tanggapan

evaluatif pengarang atas kondisi sosial-kultural

masyarakatnya. Maka tidak mengherankan jika

terdapat tidak sedikit pengarang yang berlatar

budaya Jawa memasukkan unsur budaya Jawa,

khususnya nilai kepriyayian ke dalam karyanya.

Meskipun kepriyayian dalam karya sastra bukan

cerminan yang utuh dari kepriyayian yang nyata,

tidak dapat disangkal bahwa kepriyayian di dalam

karya sastra merupakan sebuah perwujudan yang

berdasarkan pada kepriyayian dalam kenyataan

sekaligus meliputi pandangan dan tafsiran

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 147

pengarang terhadap kepriyayian. Dalam hal ini yang

menarik adalah bahwa kepriyayian yang terwujud

dalam karya-karya itu terlihat kompleks yaitu,

mengandung cukup banyak aspek. Dalam novel

Para Priyayi dunia kepriyayian diungkapakan sebagai

sesuatu yang sangat baik. Dalam novel tersebut

sangat ditekankan masalah kehalusan, penjagaan

harga diri, ikatan pada seni alus, dan pada moral

kepriyayian. Dari hasil yang telah dianalisis dalam

penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa kepriyayian

yang terwujud dalam Para Priyayi mengungkapkan

perihal citra priyayi yang sesungguhnya diidolakan

oleh Umar Kayam sendiri. Kenyataan ini dapat

ditemukan secara jelas dalam citra tokoh priyayi

yang terungkap dalam karya itu. Tidak dapat

disangkal bahwa tokoh priyayi dalam novelnya

digambarkan sangat wajar. Akan tetapi, pada sisi

lain, tokoh priyayi tampak lebih dekat pada suatu

citra priyayi yang diidam-idamkannya daripada

priyayi yang hidup secara nyata. Dengan kata lain,

Umar Kayam tidak hanya menggambarkan priyayi

dengan sewajar-wajarnya, tetapi juga sekaligus

menonjolkan sifat atau karakter priyayi yang ingin

ditekankannya.

DAFTAR PUSTAKA

Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra

– Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat

Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Geertz, Clifford. 1981. Santri, Abangan, Priyayi dalam

Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.

Geertz, Hildred. 1983. Keluarga Jawa. Jakarta:

Penerbit Grafiti Pers.

Hardjowirogo, Marbangun. 1995. Manusia Jawa.

Jakarta: PT Hastama.

Junus, Umar. 1985. Dari Peristiwa ke Imajinasi – wajah

Sastra dan Budaya Indonesia. Jakarta: Penerbit

PT Gramedia.

Kartodirdjo, Sartono, et. al. 1993. Perkembangan

Peradaban Priyayi. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press.

Kayam, Umar. 1981. Seni, Tradisi, Masyarakat.

Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.

_______. 1984. “Tentang Proses Penulisan Saya.” Dua

Puluh Sastrawan Bicara. Jakarta: Penerbit Sinar

Harapan.

_______. 1989. “Tranformasi Budaya Kita .”

Yogyakarta: UGM Press.

_______. 1995. Sri Sumarah dan Bawuk. Jakarta:

Pustaka Utama.

_______. 1995. Para Priyayi. Jakarta: PT Pustaka

Utama Grafiti.

Lombard, Denys. 1996. Nusa Jawa: Silang Budaya I.

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Mulder, Niels. 1973. Kepribadian Jawa dan Pembangunan

Nasional. Yogyakarta: Gadjah mada University

Press.

Niels, R. van. 1984. Munculnya Elit Modern Indonesia.

Jakarta: Pustaka Jaya.

Suseno, Franz Magnis. 1985. Etika Jawa. Jakarta:

PT Gramedia.

Teeuw, A. 1989. Sastra Indonesia Modern I. Jakarta:

Pustaka Jaya.

Vltchek, Andre dan Indira, Rossie. 2006. Saya

Terbakar Amarah Sendirian: Pramoedya Ananta

Toer dalam Perbincangan dengan Andre. Vltchek

& Rossie Indira, Jakarta: Kepustakaan

Populer Gramedia.

PENDAHULUAN

Fungsi sastra sebagai usaha mendidik dan

menghibur (dulce et utile), sebagaimana yang

dipesankan Horatius, pada hakikatnya menanamkan

nilai-ni lai kemanusiaan dengan cara yang

menyenangkan. “Seniman bertugas untuk docere dan

delectare, memberi ajaran dan kenikmatan; sering kali

ditambah dengan movere, menggerakkan pembaca

ke kegiatan yang bertanggung jawab; seni harus

menggabungkan sifat utile dan dulce, bermanfaat

dan manis” (Teeuw, 1988:51) Guna memenuhi

tuntutan itu, seniman—sastrawan mengolah fakta

menjadi fiksi. Maka, di sana, dalam karya sastra,

ada peristiwa faktual yang dikemas jadi fiksional,

di dalamnya ada pula tersimpan pesan etik, moral,

bahkan juga ideologi. Oleh karena itu, membaca

karya sastra ibarat menikmati panorama alam yang

indah, dan pada saat yang sama, ada penyadaran

bahwa di balik keindahan panorama alam itu,

ada pesan tersembunyi, agar kita mensyukuri dan

menjaga keharmonisannya. Lalu, apa maknanya

segala peristiwa itu?

Beginilah sastra. Teks sastra yang eksplisit

itu, menyimpan pesan implisit. Salah satu tugas

pembaca adalah menemukan pesan implisit itu,

menafsirkan, dan memaknainya sesuai dengan

pengalaman membaca masing-masing. Periksa

PENDIDIKAN SASTRA DAN PEMBENTUKAN KARAKTER

Maman S Mahayana

Universitas Indonesia

[email protected]

Abstract: As stated by Horatius, literature is functioned to entertain and educate. In terms of educating, literature develops humanism values delightfully. When the literature integrated in education field, especially for character building through literature, this issue will be very interesting to be discussed further. This article is aimed to discuss the role of literature in building the students’ character at schools. The best thing to be done by the language and literature teachers is teaching literary appreciation, rather than teaching the theory of literature and the knowledge on literature. Because through literary appreciation, the students are engaged in discussing the humanism values found in literary texts. Besides that, the students are forced to get the meaning of every single text. If the teachers have done this activity, the success of character building will be achieved easier through the teaching of literature.

Keywords: Caharacter Building, Literary Appreciation, Literary Teaching

Abstrak: Sebagaimana yang dipesankan Horatius, sastra mempunyai dua fungsi, yakni menghibur dan mendidik. Dalam konteks mendidik, sastra pada hakikatnya menanamkan nilai-nilai kemanusiaan dengan cara yang menyenangkan. Ketika hal ini ditarik ke dunia pendidikan kita saat ini, terutama untuk pendidikan karakter melalui pembelajaran sastra tentu menjadi sangat menarik untuk diperbincangkan lebih jauh. Artikel ini bertujuan untuk mendiskusikan tentang peran sastra dalam dunia pendidikan, dikaitkan dengan konteks pendidikan karakter di sekolah. Hal terpenting yang dapat dilakukan oleh guru dalam mengajarkan sastra di sekolah adalah tidak berkutat pada teori tentang sastra, dan pengetahuan tentang sastra, akan tetapi melalui apresiasi satsra. Karena melalui apresiasi sastra, siswa diajak berdialog tentang nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung dalam teks (sastra) dan didesak melakukan pemaknaan atas teks. Jika hal ini sudah dilakukan, pendidikan karakter melalui pengajaran sastra niscaya dapat diwujudkan.

Kata Kunci: Pendidikan Karakter, Pengajaran Sastra, Apresiasi Sastra

Maman S Mahayana, Pendidikan Sastra dan Pembentukan Karakter150

saja pesan tersembunyi Marah Rusli dalam Sitti

Nurbaya. Tokoh-tokoh yang ditampilkan di sana,

terkesan paradoksal. Maka, di balik paradoks

ketokohan Samsul Bahri yang pada awalnya tampak

cengeng, bisa tiba-tiba berubah menjadi sosok

pemberani. Lihatlah ketokohan Datuk Meringgih

yang brengsek. Ia pun kemudian berubah jadibegitu

heroik memimpin pemberontakan pajak (belasting) di

Minangkabau. Bukankah paradoks itu menyimpan

pesan moral dan problem nasionalisme? Bukankah

pemaknaan tentang pesan moral dan problem

nasionalisme itu lahir dari sebuah tafsir? Lebih jauh

tentang pembahasan novel ini, periksa Maman S

Mahayana (2007), “Nasionalisme Sitti Nurbaya,”

dalam Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia.

Contoh lain dapat kita telusuri pada tokoh-

tokoh novel Belenggu, karya Armijn Pane. Posisi

Sukartono pun paradoksal. Profesi Tonosebagai

dokter,begitudihormati masyarakat. Tetapi tokh,

perselingkuhan Tono—Yah berlangsung baik-

baik saja. Rohayah yang pelacur, yang dalam

pandangan publik sebagai sampah masyarakat,

profesi hina-dina, berhasil ‘menaklukkan’ suami

seorang aktivis; seorang dokter dengan reputasi

terhormat. Begitulah sastra. Selalu di sana tersimpan

begitu banyak pesan tersembunyi. Ketika pembaca

berhadapan langsung dengan teks sastra, kerap

dijumpai pesan-pesan tersembunyi. Dengan begitu,

memungkinkan lahir makna-makna baru lewat

proses penafsiran baru yang lebih kontekstual; yang

lebih sesuai dengan perkembangan zaman. Dalam

konteks pemaknaan pembaca, pesan-pesan yang

tersembunyi itulah yang dimaksudkan pengarang

sebagai tawaran berdialog antara teks dan pembaca.

Dalam proses dialogis itu, sastrawan menawarkan

pesan etik, moral, dan ideologi, dan pembaca

membuka diri untuk menerima, menolak atau

bahkan mempertanyakannya. Ketika karya sastra

dipublikasikan atau diterbitkan, seketika pengarang

menyerahkan sepenuhnya pemaknaan karya itu

kepada masyarakat pembaca.

Di situlah dimulainya tawaran dialogis di satu

pihak dan pemaknaan pembaca di pihak yang

lain. Jika tawaran itu dengan pesan yang bersifat

memaksa, ia masuk sastra propaganda, seperti yang

banyak disuarakan pada kesusastraan Indonesia

zaman Jepang dan tahun 1965-an lewat puisi-

puisi sastrawan Lekra. Sebaliknya, jika tawaran itu

cenderung sangat lunak lantaran niatnya hendak

menekankan aspek hiburan, ia masuk kategori sastra

populer yang semangatnya mengeruk keuntungan

dengan menjual hiburan murahan. Dalam sastra

populer, terjadi pengharaman ambiguitas, sebab

memang pesannya mengejar makna tunggal.

Artikel ini bertujuan untuk mendiskusikan lebih

jauh tentang peran sastra dalam dunia pendidikan,

dikaitkan dengan konteks pendidikan karakter di

sekolah. Hal ini penting untuk didiskusikan secara

serius, karena karakter atau kepribadian bangsa

sudah semakin bergeser dari jiwa dan nilai kebaikan.

Di samping itu, pendidikan karakter yang saat ini

sedang didengungkan oleh banyak pihak masih

terhalang “tembok besar” dalam implementasinya,

karena minim contoh, bahkan guru sendiri banyak

yang tidak menjadi contoh atau idola siswanya.

Oleh karena itu, artikel ini mencoba memberikan

alternatif implementasi pendidikan di sekolah

melalui pembelejaran sastra.

PEMBAHASAN

Pembelajaran Bahasa (dan Sastra) Indonesia

di Sekolah

Sastra yang baik, berada di antara kedua sisi

itu. Ia menghibur, sekaligus juga memberi pelajaran.

Dengan cara itu, pesannya yang secara tersirat

hendak menggugat atau memberi penyadaran

kepada pembaca, justru dihadirkan lewat usaha

pembaca melakukan tafsir atas karya itu. Jadi,

makna karya itu sebenarnya muncul dari penafsiran

pembaca.

Kini, boleh kita bertanya: bagaimana kaitan

sastra dengan dunia pendidikan? Dengan atau

tanpa pendidikan—pengajaran sastra di sekolah

sekalipun, sebenarnya fungsi sastra tetap tersimpan

rapi di dalam teks sastra. Jadi, karya itu baru punya

makna, jika ada pembacanya. Oleh karena itu, jika

memang pendidikan sastra hendak membentuk

kepribadian—yang dalam bahasa kerennya,

membangun moral bangsa—tak bisa lain, posisi

guru dan siswa, terlebih dahulu harus ditempatkan

sebagai pembaca. Dengan begitu, siswa dan guru

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 151

dapat memainkan peranannya sebagai penafsir dan

pemberi makna. Pertemuan antara (teks) sastra

dan (siswa dan guru) sebagai pembaca, mesti

ditempatkan pada urutan yang paling utama: mutlak

dan penting! Sekali lagi penulis tegaskan: tidak dapat

lain, pertemuan antara (teks) sastra dan (siswa—

guru) sebagai pembaca, mutlak dan penting!

Tetapi apa yang terjadi selama ini dalam

pengajaran sastra di sekolah? Di sinilah sesungguhnya

akar masalah dalam sistem pendidikan—pengajaran

sastra kita. Pertemuan antara (teks) sastra dan (siswa)

pembaca, dalam sistem pengajaran sastra di sekolah

selama ini cenderung jauh panggang dari api. Siswa

lebih kerap dijejali dengan berbagai pengetahuan

teoretis. Pelajaran sastra jadinya lebih banyak

dibebani dengan semangat mengajari pengetahuan

tentang sastra dan teori sastra, dan bukannya usaha

menciptakan ruang dialog antara siswa (pembaca)

dan teks (sastra) melalui pertemuan antara teks dan

siswa—guru yang membaca.

Bagaimanapun juga, dalam pendidikan—

pengajaran sastra, peranan guru amat sangat

menentukan berhasil atau tidaknya pengajaran sastra

di sekolah. Tetapi, dalam banyak kasus, guru dan

siswa sering kali tidak bertindak sebagai pembaca.

Jika tidak terjadi pertemuan antara teks sastra dan

guru—siswa, bagaimana mungkin tafsir dapat

dilakukan, pemaknaan dapat dihadirkan? Jika saja,

guru dan siswa dapat berperan sebagai pembaca,

maka pemaknaan atas sebuah atau sejumlah karya

sastra akanbergerak laksana spiral; terus-menerus

makna itu tiada henti akan direproduksi. Dengan

begitu, dunia pendidikan punya kesempatan

yang begitu luas untuk menumbuhkan kecintaan

terhadap sastra, meningkatkan pemahaman

apresiatif atas karya,dan dapat pula digunakan

untuk mengembangkandan menanamkan nilai-

nilai kemanusiaan sebagaimana yang ditekankan

sebagai tujuan kurikulum. Bukankah itu yang

dimaksudkan pendidikan sastra Indonesia sebagai

wadah pembentukan kepribadian?

Sebagaimana telah disebutkan tadi, pemberi

makna atas karya sastra dan reproduksi tentang

makna, tumbuh subur di dunia pendidikan apabila

tercipta pertemuan teks dan siswa selaku pembaca.

Jadi, penting artinya pertemuan teks (karya) dengan

siswa (pembaca) agar terus berlahiran pemaknaan

atas karya sastra. Tetapi, jika tidak terjadi pertemuan

itu, pesan moral, etik, ideologi dan nilai-nilai

kemanusiaan itu, hanya akan menjadi artefak beku

tak bermakna. Segala macam pesan yang terdapat

dalam teks sastra akan tetap tersimpan rapi, terkunci

di lemari besi, jika tak ada yang coba mengungkap,

memberinya makna, dan mereproduksi makna-

makna itu. Lalu, bagaimana pula kita berharap,

bahwa pendidikan sastra Indonesia dapat berfungsi

sebagai wadah pembentukan kepribadian, jika

guru dan siswa tak bersentuhan langsung dengan

karyanya? Di sinilah dunia pendidikan—pengajaran

sastra memegang peranan penting jika memang

hendak mencapai tujuan itu. Sekadar contoh kasus,

yang ‘menghidupkan kembali’ Chairil Anwar dalam

dunia pendidikan kita, tidak lain adalah para guru

sastra. Tanpa peranan mereka dalam pengajaran

sastra, nama Chairil Anwar akan lebih dikenal

di kalangan sastrawan belaka, sebagaimana yang

terjadi pada banyak nama sastrawan Indonesia yang

namanya cuma tercatat dalam buku sejarah sastra

atau buku leksikon sastra, lantaran karya-karyanya

tidak pernah dibincangkan dalam pengajaran sastra

di sekolah

Betapa besarnya peranan pendidikan—

pengajaran sastra di sekolah, dapat kita lihat dari

fenomena yang terjadi sekarang ini. Sebagaimana

sudah disinggung di awal, salah satu problem

pengajaran sastra di sekolah adalah minimnya waktu

yang memungkinkan terjadinya pertemuan langsung

antara siswa dan teks sastra. Sekadar mengingatkan

kembali: apresiasi sastra di sekolah telah menjelma

menjadi pengajaran tentang sastra. Akibatnya, siswa

tidak didesak untuk bercengkerama dengan (teks)

sastra, melainkan dijejali pengetahuan sastra. Pada

gilirannya, siswa lebih menguasai konsep-konsep

tentang pengetahuan dan teori sastra, tetapi terlalu

sedikit mereka berhubungan langsung dengan karya

sastra.

Di samping itu, ada pula persoalan lain

yang tanpa disadari, sudah menjadi semacam

paradigma dalam pengajaran sastra di sekolah,

yaitu problem sejarah kesusastraan Indonesia yang

dalam beberapa hal, masih tersesat. Jadi, ada dua

persoalan besar yang terjadi dalam pengajaran sastra

Maman S Mahayana, Pendidikan Sastra dan Pembentukan Karakter152

di sekolah. Pertama, seperti sudah disinggung,

pengajaran sastra telah berubah menjadi pelajaran

tentang pengetahuan sastra, bukan pelajaran yang

menitikberatkan pada apresiasi. Akibatnya, segala

macam pengetahuan tentang sastra, konsep-konsep

dan teori sastra menjadi alat yang efektif untuk

membuat soal-soal ulangan yang jawabannya cukup

dengan menghitung kancing: (a), (b), (c), (d), dan

(e). Dalam kondisi seperti itu, Ujian Nasional yang

pola pertanyaan dengan jawaban yang menghitung

kancing tadi, ditempatkan sebagai tujuan mulia

mata-mata pelajaran yang diujikan, termasuklah di

sana menyempil soal-soal yang berkaitan dengan

pelajaran sastra.

Peminggiran materi pelajaran sastra yang

senantiasa terdesak oleh pelajaran bahasa Indonesia

bernasib lebih buruk lantaran buku-buku pelajaran

sastra dan terutama sejarah sastra Indonesia

sejak awalnya sudah dikerangkeng dengan cara

berpikir Neerlandocentris. Inilah problem kedua

pengajaran sastra di sekolah. Sejarah telah mencatat,

bahwa buku-buku sebagai bahan pendidikan

dan pengajaran sastra dalam perjalanan bangsa

Indonesia sejak awalnya lebih banyak dikuasai oleh

para penulis Belanda. Oleh karena itu, diperlukan

dua langkah besar yang harus dilakukan, yaitu

(1) menitikberatkan pelajaran sastra dengan

menekankan pada apresiasi sastra, dan (2) segera

melakukan revisi tentang sejarah sastra Indonesia.

Lewat apresiasi sastra, siswa diajak berdialog

tentang nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung

dalam teks (sastra). Siswa didesak melakukan

pemaknaan atas teks. Di sini, tafsir atas teks sebagai

pintu masuk membangun dialog, mempertahankan

makna atas tafsirnya sendiri dan menggugat tafsir

lain mungkn berbeda. Pelajaran sastra dapat

berubah menjadi ajang perdebatan yang demokratis.

Bahwa pengetahuan sastra itu penting, tentu

saja penting, tetapi tidak harus menjadi bagian

utama dalam pelajaran sastra. Pengetahuan sastra

sekadar pelengkap yang fungsinya untuk memberi

pemahaman lebih lengkap atas sebuah teks sastra.

Mengenai pelajaran bahasa (dan sastra)

Indonesia di sekolah, lebih dari sepuluh windu yang

lalu, Sutan Takdir Alisjahbana sudah mengingatkan,

betapa akan lebih banyak sia-sianya jika pelajaran

bahasa Indonesia berkutat pada tata bahasa.

Berikut penulis kutip pernyataan Sutan Takdir

Alisjahbana.

Pengadjarannja jang menghamba kepada gramatika bahasa jang dipakai, ketika nenek mojang kita masih berdjalan kaki dan naik bidoek jang rapoeh itoe, mematikan segala minat kepada bahasa. Tjara mengadjarkan jang tiada bersemangat, jang semata-mata mengisi kepala dengan tiada memperdoelikan semangat kanak-kanak, dalam segala hal mematikan kegembiraan kepada bahasa.

Boekoe batjaan, boekoe ilmoe bahasa!.…

Bahasa jang sepatoetnja diadjarkan disekolah oentoek dipakai dalam penghidoepan mendjadi sesoeatoe jang sengadja diadjarkan semata-mata untuk sekolah itoelah.

Jika pelajaran bahasa Indonesia dalam dunia

pendidikan kita hingga kini masih berkutat pada

materi tata bahasa—yang dikatakan Alisjahbana

“mematikan kegembiraan kepada bahasa”,

bagaimana pula kita mengharapkan, pendidikan

sastra Indonesia dapat dijadikan sebagai wadah

pembentukan kepribadian, sebagaimana yang

diisyaratkan pada judul makalah ini? Tentu

saja segalanya serba mungkin, sejauh segenap

aparat pendidikan (sastra) punya semangat untuk

mewujudkan tujuan ideal itu. Maka, tidak dapat

lain, pelajaran sastra Indonesia di semua peringkat

sekolah (setidak-tidaknya di SMP dan SMA)—

yang dalam semangat Kurikulum 2013—sebagai

“Perubahan Mindset” perlu diganti dengan

Pelajaran Apresiasi Sastra.

Pembelajaran Apresiasi Sastra

Sebagai Pelajaran Apresiasi Sastra, yang

pertama dan paling utama dilakukan guru adalah

menceburkan siswa pada lautan karya sastra (puisi,

prosa, drama) Indonesia. Pertemuan siswa dengan

teks (sastra) memungkinkan banyak hal dapat

dilakukan. Sebagai contoh, perhatikan kutipan teks

di bawah ini:

Air Selokan

“Air yang di selokan itu mengalir dari rumah sakit,” katamu pada suatu hari Minggu pagi. Waktu itu kau berjalan-jalan bersama istrimu yang sedang mengandung—ia hampir muntah karena bau sengit itu.

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 153

Dulu di selokan itu mengalir pula air yang digunakan untuk memandikanmu waktu kau lahir: campur darah dan amis baunya.

Kabarnya tadi sore mereka sibuk memandikan mayat di kamar mandi.

+

Senja itu ketika dua orang anak sedang berak di tepi selokan itu, salah seorang tiba-tiba berdiri dan menuding sesuatu: “Hore, ada nyawa lagi terapung-apung di air itu—alangkah indahnya!” Tapi kau tak mungkin lagi menyaksikan yang berkilau-kilauan hanyut di permukaan air yang anyir baunya itu, sayang sekali.

Boleh jadi, guru dan siswa tidaklah terlalu

sulit memahami teks di atas. Kalaupun sulit

dipahami siswa, tugas gurulah untuk menjelaskan

makna tekstual. Berdasarkan teks “Air Selokan”

itu, pembelajaran sastra bisa dimulai dengan

mengajukan beberapa pertanyaan:

(1) Teks di atas berupa cuplikan puisi atau cerpen?

Dari pertanyaan ini saja, ruang untuk diskusi

terbuka lebar. Guru bisa memulainya dengan

menjelaskan konsep puisi, cerpen (dan drama);

konsep konvensi dan inovasi dan konsep lain

yang berkaitan dengan teks di atas.

(2) Siswa diminta menjelaskan makna tekstual

dan makna kontekstual; bahasa denotatif

dan konotatif; sastra dan nonsastra, dan

seterusnya.

(3) Pertanyaan-pertanyaan lain dapat dikembang-

kan sesuai situasi di dalam kelas.

Paparan tadi sekadar contoh, betapa pentingnya

interaksi siswa-guru dengan teks langsung. Setelah

itu, barulah menjelaskan konsep-konsep yang

berkaitan dengan teks tadi, termasuk penjelasan

tentang pengarang dan posisinya dalam perjalanan

sastra Indonesia. Selain itu, kesempatan guru

memberi tugas kepada siswa untuk (1) mencari

teks sejenis, (2) membuat esai tentang apresiasi

siswa terhadap teks itu, (3) membuat esai lain yang

berkaitan dengan pesan yang tersimpan dalam teks

itu. Bukankah dengan cara demikian, pembelajaran

sastra jadi bisa lebih hidup? Bukankah diskusi

tentang teks itu dapat membangun sikap demokratis

dan saling menghargai pendapat pihak lain yang

mungkin berbeda?

Persoalan yang sering dikeluhkan guru sastra,

salah satunya adalah tiadanya bahan pembelajaran.

Bukankah setiap minggu di berbagai surat

kabar selalu muncul puisi dan cerpen? Jika tidak

menggunakan puisi atau cerpen yang dimuat surat-

surat kabar, guru bisa memanfaatkan cerita rakyat

yang bertebaran di sekeliling kita. Dengan begitu,

tidak ada alasan lagi bagi guru berkeluh-kesah

tentang langkanya bahan pembelajaran sastra.

Berdasarkan pemaparan di atas, penulis

berkeyakinan, bahwa pelajaran sastra yang

menekankan pertemuan teks (sastra) dengan siswa

—guru, jauh lebih berpeluang menanamkan nilai-

nilai daripada menjejali dan membebani siswa

dengan teori-teori. Maka, harapan pendidikan sastra

sebagai wadah pembentukan kepribadian, bukanlah

harapan yang mengada-ada. Bukankah semangat itu

sejalan dengan fungsi sastra yang coba menawarkan

utile dan dulce, ditambah movere, yaitu menggerakkan

pembaca ke kegiatan yang bertanggung jawab?

Atas dasar pemikiran itu, jika benar kurikulum

apa pun namanya, bertujuan “membawa insan

Indonesia memiliki kompetensi sikap, pengetahuan,

dan keterampilan sehingga dapat menjadi pribadi

dan warga negara yang produktif, kreatif, inovatif,

dan afektif ” maka salah satu langkah besar yang

harus dilakukan adalah mengubah pelajaran sastra

menjadi pelajaran apresiasi sastra!

SIMPULAN

Dari uraian di atas, dapat ditarik sebuah benang

merah pentingnya pembelajaran sastra di sekolah

untuk mendukung pendidikan karakter. Karena

jelas bahwa fungsi sastra tidak hanya menghibur

(dulce et utile), akan tetapi yang lebih penting adalah

sebagai usaha mendidik. Karena pada hakikatnya,

sastra menanamkan nilai-nilai kemanusiaan dengan

cara yang menyenangkan. Oleh karena itu, pelajaran

sastra di sekolah tidak boleh menjadikan siswa

terbebani dengan semangat mengajari pengetahuan

tentang sastra dan teori sastra, dan bukannya usaha

menciptakan ruang dialog antara siswa (pembaca)

dan teks (sastra) melalui pertemuan antara teks dan

siswa—guru yang membaca. Hal ini akan berbeda

Maman S Mahayana, Pendidikan Sastra dan Pembentukan Karakter154

jika guru mengajarkan sastra melalui apresiasi sastra.

Dimana siswa diajak berdialog tentang nilai-nilai

kemanusiaan yang terkandung dalam teks (sastra)

dan didesak melakukan pemaknaan atas teks. Jika

hal ini sudah dilakukan, pendidikan karakter melalui

pengajaran sastra niscaya dapat diwujudkan.

DAFTAR PUSTAKA

Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori

Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya

Luxemburg, Jan van., Bal, Mieke., dan Weststeijn,

Willem G. 1989. Tentang Sastra. Diterjemahkan

oleh Achadiati Ikram, Jakarta: Intermasa.

Maman S Mahayana. 2005. Sembilan Jawaban Sastra

Indonesia. Jakarta: Bening Publishing.

Maman S Mahayana. 2007. Nasionalisme Sitti

Nurbaya,” dalam Ekstrinsikalitas Sastra

Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Sutan Takdir Alisjahbana. 1933. Pengadjaran Bahasa

Poedjangga Baroe, No. 2, Th. I, Agoestoes

1933, hlm. 33—35.

INTEGRATING CASE BASED LEARNING IN ESP COURSE:

A CASE STUDY AT STKIP PGRI PONOROGO

IN THE ACADEMIC YEAR OF 2014­2015

Ratri Harida

STKIP PGRI Ponorogo

[email protected]

Abstrak: Sebagai salah satu mata kuliah wajib untuk mahasiswa pendidikan bahsa Inggris, mata kuliah ESP harus ditujukan untuk mempersiapkan mereka untuk tugas profesional mereka dalam kelas ESP mereka di masa datang. Studi ini difokuskan pada penerapan pembelajaran berbasis kasus pada mata kuliah ESP di STKIP PGRI Ponorogo. Studi ini meliputi rencana pembelajaran, materi instruksional dan media, aktivitas instruksional, dan cara mengukur tingkat pemahaman mahasiswa. Pembelajaran berbasis kasus melibatkan mahasiswa untuk menyelidiki, mengkomunikasikan, dan memberikan solusi praktis untuk diterapkan pada suatu kasus. Studi ini menggunakan desain deskriptif qualitatif untuk mengidentifikasi dan mennggambarkan fenomena pengintegrasian pembelajaran berbasis kasus pada mata kuliah ESP di STKIP PGRI Ponorogo. Data didapatkan dari wawancara, observasi, dan studi dokumen. Data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan metode triangulasi pembelajran berbasis kasus merupakan aktifitas pendamping untuk aktifitas ceramah. Case base learning is an augment activity for traditional lecturing activity. Pembelajran menggunakan kasus meningkatkan kemampuan berfikir tinggi dan membantu mahasiswa untuk menghadapi bebrbagai konteks pembelajaran ESP. Pembelajran ini juga mendorong mereka untuk mendesain atau mengembangkan secara kritis sebuah pembelajaran ESP yang disesuaikan dengan analisis kebutuhan.

Kata Kunci: Pembelajaran Berbasis Kasus, Matakuliah ESP, Calon Guru

Abstract: As one of the compulsory courses offered for the pre-service teacher, ESP course must aimed to prepare the students for professional tasks in future ESP class. The study is focused on the implementation of the teaching of ESP which integrates case based learning in STKIP PGRI Ponorogo. The study covers the lesson plan, the instructional materials and media, the instructional activities, and the assessesment. Case base learning is a kind of learning activity in which the students are asked to investigate, communicate and establish possible practices for the case. This study employed a descriptive qualitative design to identify and describe the overall phenomena of the integration of the teaching of ESP with case –based learning in STKIP PGRI Ponorogo. The data were gained from interview, observation, and documents. The data then analyzed using triangulation method. Case base learning is an augment activity for traditional lecturing activity. Learning through cases also promotes higher order thinking and help the students dealing with different context of ESP teaching. It also encourages them to critically design or develop an ESP course that meets the need analysis.

Keywords: Case-based Learning, ESP Course, Pre-service Teachers

Ratri H., Integrating Case Based Learning in ESP Course: A Case Study at STKIP PGRI Ponorogo in the Academic Year of 2014-2015156

INTRODUCTION

Generally ESP is commonly considered as

different section of ELT. In fact, ESP is part of

ELT, whereas the research of ESP is identified

as part of applied linguistic research. Practical

outcome is always being the main importance

in ESP. Need analysis, text analysis, and lesson

design for specific study or work task based on

the learners’ need are the main concerns of ESP.

English for specific Purposes (ESP) has become a

vital and innovative activity within TEFL/TESL

movement since 1960s. Globalization makes ESP

flourishes a new fertile land for the language teacher

especially as an ESP practitioner. As one of the

compulsory courses offered for the pre-service

teacher, ESP course must aimed to prepare the

students for professional tasks in future ESP class.

Zuocheng and Lifei’s (2011:18) said that appropriate

education for pre-service ESP teachers is essential

as they are main elements of ESP teaching and

learning process. Those pre-service teachers must

be introduces to different role between ESP and

EGP teacher. According to Dudley-Evans and St.

John (1998:13) ESP practitioner should play as

(1) a teacher, (2) a course designer and materials

provider, (3) a collaborator, (4) a researcher, and

(5) an evaluator. ESP teacher/practitioner multiple

roles cannot be easily taught in the college level with

only two credits hours. The suitable method must

be applied in the course to help the pre service

teacher experience all the roles of ESP practitioner

within limited time.

Basturkmen (2014:20) claims the researches

about ESP teacher’s education are not as much as

those of EGP teacher. Thus, choosing the suitable

teaching and learning method to link the reality and

theory of designing ESP course is rather difficult.

As a part of applied linguistics, an ESP course

must be able to connect the classroom learning

with professional experience (Brooks, Harris, and

Clayton, 2010:57). It is also in line with the National

Curriculum Framework (KKNI), in which the

pre-service teacher is highly demanded for their

knowledge and other soft skills. It also demands

that the students’ competence should link the need

of work field.

The study is focused on the implementation

of the teaching of ESP which integrates case based

learning in STKIP PGRI Ponorogo. Specifically, the

study cover the lesson plan designed by the ESP

lecturer for the teaching of ESP which integrates

the case based learning, the instructional materials

and media used by the ESP lecturer for the teaching

of ESP which integrates the case based learning,

the instructional activities in the teaching of ESP

which integrates the case based learning, and the

way the English teacher assesses the students’

achievement in the teaching of English which

which integrates the case based learning.

Since ESP is emphasized on more practical

outcome, the teaching methods in ESP should be

determined by the needs to motivate students to

achieve better outcomes in their studies Hutchinson

and Waters (2002). Such combination is highly

motivating because students are able to apply when

they learn in their English classes to real live. He

also said that ESP approach enhance the relevance

of what the students are learning and enables them

to use the English they know to learn even more

English, since their interest in their field will give

them motivation to interact with speakers and text.

ESP is English instruction based on actual and

immediate needs of learners of learners who have

to successful perform real life task unrelated to

merely passing an English class or exam. Designing

and teaching ESP is challenging especially for the

ESP practitioner and English language teacher in

general.

Plenty of researches show the use of case

based learning has in several areas of disciplines

(Chaplin, 2009;Pariseau and Kezim, 2007; Prince

and Felder, 2004; Whitehouse and McPherson,

2002; Styer, 2009; Thomas, 1993; Har jai and

Tiwari, 2009; McDade, 1995; Yadav et al. 2007;

Greenwood, and Lowenthal, 2005 in Brooks,

Harris, and Clayton,2010). Business English is a

part of ESP which mostly applied case-based-

learning (Wei, 2011:103-4). Case based learning is

a type of learning strategy that develop students’

active contribution as well as their ability to do

critical thinking, problem-solving, and decision-

making (DeSanto-Medeya, 2007 in Brooks, Harris,

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 157

and Clayton, 2010). The use of case based learning

in teacher education program encourages the pre

service teacher to be more independent and critical

thinker.

Mauffette-Leenders cited in Jackson (2004:

214) defined the case in case-based teaching is

as a real description of actual event in which

somebody must overcome a problem by making

decision, experiment, chance. Wei (2011:98) states

that in case base learning the students are asked to

investigate, communicate and establish possible

practices for the case. This statement seems to

give similar description for case based and problem

based learning. According to Williamson and Chang

(2009) and Brooks, Harris, and Clayton (2010), the

difference between case-based and problem-based

learning the information presentation and the

main objective. The case based learning provides

thorough information initially, whereas the problem

based learning only provides limited information to

promote the students’ further interest to particular

learning objective. Case based is designed to

emphasize critical thinking and reflection on the

case. On the contrary, the problem based learning

focuses on dilemmas or problems found within

particular cases. Case based learning provides

sufficient examples of the ESP practices to face the

problems they will find upon leaving the college.

The use of cases to support a traditional lecture

format enable the students get through depiction

of the real application of ESP teaching, notice the

complexity of the affairs and conclude suitable

respond to be applied (Spackman and Camacho,

2009). The case based learning bridges the theory

with the final project and their future profession.

Extensive application of case based learning

in different fields is an indicator of its effectiveness.

Case based learning helps to develop the students’

critical and analytical reasoning skills and problem-

solving processes (Merseth, in Lee, Lee, Liu, Bonk

and Magjuka 2009). Those three skills are the

requirement for a professional teacher, especially

the ESP practitioner. They are needed to design

or develop an effective ESP course. Wua and

Badger (2009:20) states that teacher should be

able to decide any necessary actions to achieve the

course’s goal or overcome any problem within.

They cannot figure out the right decision if they

are not developing their critical and analytical

reasoning skills. Basturkmen (2010:x) also states

that the students can gain more understanding of

genuine cases by studying the experienced teachers/

course developers’ steps to overcome the problem

arouse in ESP course. Some important features to

be noticed in case-based learning is the selection

of case materials (Jackson,1998), different learning

objectives (Ellis and Johnson, 1994), and evaluation.

In the meantime, the relation between teacher and

students can influence case-based learning also. In

China, for instance, respect for teachers and their

wisdom is necessary to keep harmony (Liu, 2006: 8)

and this can make it more difficult for both students

and teachers to interact more effectively.

A research-based article by Wang Wei in 2011

shows the use of case-based learning in teaching

Business English in China. The case study research

also shows the integration of culture teaching

and case-based learning. Case-based study in

intercultural business communication serves as a

good example of how to integrate the three aspects

of capacity training based on the fact that this

communicative practice requires knowledge of the

subject matter (e.g. business negotiation, marketing),

the linguistic proficiency, and the strategies adopted

in the process. The major elements for teachers to

determine are activities and tasks, interaction, topic,

attitude and tones, mode of interaction and setting.

The second concern is the materials used in case

teaching. Teachers fully explore the sources available

for suitable case materials and even. Writing and

teaching one’s own case can motivate both teachers

and students and result in good learning outcomes.

Another important aspect associated with teacher

is management style and relation to students in the

case study. No matter what personality, background

a teacher possesses, he or she should manage the

case study in accordance with the needs of the

students. The communicative approach teaching

like case-based method should be employed despite

the cultural restraints in Business English teaching

in Chinese universities. Last but not least, the

Ratri H., Integrating Case Based Learning in ESP Course: A Case Study at STKIP PGRI Ponorogo in the Academic Year of 2014-2015158

teaching can be progressed with the improvement

of teachers themselves.

The second research is Impact of Case Study

Method on an ESP Business Course by Ozgur Ates,

Ph.D in 2012. The research shows that using the

case study learning, helped students to apply their

skills on decision making, critical thinking through

global business cases as well as improve their

English language skills. Methods of small group

activities, case studies and cooperative student

projects give the opportunity to actively participate

in the learning process by talking, reading, writing

and reflecting. Case-based learning enables students

to discover and develop their unique framework for

dealing with business problems.

METHOD

This study employed a descriptive qualitative

design The present study was aimed to identify and

describe the overall phenomena of the integration

of the teaching of ESP with case –based learning

in STKIP PGRI Ponorogo consisting of the lesson

plan designed by the ESP lecturer, the instructional

materials and media used by the lecturer, the

instructional activities conducted by the ESP

lecturer, and the way the ESP lecturer assesses the

students’ achievement in the form of words, rather

than numbers in detail. In this study, the data were

gained from interview, observation, and documents.

The data of this study were facts and information

of teachers’ activities on classroom practices. It

attempted to observe, describe, and interpret a

learning-teaching process in the classroom. Bogdan

and Biklen (1998:55) classify such research as a case

study. The data then analyzed using triangulation

method.

FINDINGS AND DISCUSSION

How the ESP Lecturer Designs the Lesson

Plan which is Integrated with Case Based

Learning

Based on the documentations of the lesson

plans made by the lecturer, it was found that

the lesson plans were based on the 2005 Course

Description issued by Department of English

Education STKIP PGRI Ponorogo and review of

ESP textbooks by Hutchison and Waters (1987),

and Basturkmen (2010). The course description and

the review were then interpreted in so called ESP

instructional analysis. The instructional analysis

showed one standard competence and three

basic competences for the course. The standard

competence of ESP course was to analyze the

application of ESP theories in practice. The basic

competences were students are able to understand

the theories of ESP, students are able to understand

the application of ESP theories in designing

a course, and students are able to identify the

application of ESP theories in particular cases. In

addition to the instructional analysis, the lecturer

also developed the ESP syllabus. The components

of the syllabus were course identity, standard

competence, basic competences, indicators, topic/

theme, method, time allotment, source, references,

and assessment. The components of lesson plan per

meeting were course identity, standard competence,

basic competence, indicators, topic/theme, and the

teaching and learning steps. The steps showed the

time allotment, learning steps, method, and material

(media included), and the type of assessment for

each meeting.

The findings showed that the lesson plans

designed by the lecturer cover all of the components

above which were interrelated with each other. The

standard of competence and the basic competence

were developed from the instructional analysis of

ESP course based on the 2005 Course Description

issued by Department of English Education

STKIP PGRI Ponorogo and review of ESP

textbooks by Hutchison and Waters (1987), and

Basturkmen (2010). The lecturer then formulated

the indicators and learning experiences based on

the basic competence. The learning experiences

were formulated by using action verbs that can be

used to identify the student behavior. The examples

of these action verbs are to identify, to mention, and to

define. Next, she stated the method and technique

that would be applied and she arranged the activities

that would be conducted during the learning and

teaching process. Besides, she also determined the

procedure of assessment.

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 159

The integration of the case based learning

in the lesson plans was done in the section of the

learning experiences. The learning experiences were

formulated based on the indicators and the basic

competences taken from the syllabus. The learning

experiences which integrated the case based

learning were done on the last eight meetings after

the students had finished learning ESP theories.

The learning experiences which integrated the case

based learning were done for selected topic/theme

which were (1) case study in English for police, (2)

case study in English for medical doctor, and (3)

case study in English for thesis writing

The topics/themes that would be presented in

the learning-teaching activities were: (1) origin of

ESP, (2) development of ESP, (3) ESP: approach

not product, (4) course design, (5) language

description, (6) theories of learning, (7) need

analysis, (8) approaches to course design, (9) ESP

syllabus, (10) case study in English for police, (11)

case study in English for medical doctor, and (12)

case study in English for thesis writing. The topics/

themes were developed based on the instructional

analysis. The selected topics/themes were chosen to

provide the students with theoretical and practical

experiences for designing ESP course.

In the section of the learning activities in the

lesson plans, the integration of case based learning

was done on the last eight meetings by the activities

during the learning-teaching process. For example:

(1) doing class discussion to identify the language

description, learning theories, need analysis,

approach, syllabus, and material used in particular

ESP case; and (2) asking the students to do a project

on the ESP case they found in real life.

In short, it can be said that in designing the

lesson plans, the lecturer integrated the case based

learning in the instructional materials and in the

section of the instructional activities of the lesson

plans. The case based learning was implemented

for half semester. The lecturer still considered the

lecturing method necessary to give appropriate

basis for the students to do case based learning. the

case based method also used to bridge the theory-

lecturing with the completion of final project of

the course.

How the ESP Lecturer Selects the

Instructional Materials and Media for

the Teaching of ESP Course which is

Integrated with the Case Based Learning

The data of the teaching materials and media

were obtained from the interviews and observation

during the class. The data in terms of the teaching

materials were dealing with textbooks used by the

lecturer and other supplementary materials that

may support the learning-teaching process, while

the data of the use of media were obtained from

the observation during the class.

The Instructional Materials Selected by the

ESP Lecturer

From the observations conducted during

the teaching-learning activities and based on the

interview to the ESP lecturer, the data showed that

the ESP Lecturer at STKIP PGRI Ponorogo used

the textbooks as the main instructional materials.

Based on the interview to the ESP lecturer,

the criteria used to select the instructional materials

among others are: (1) the materials should be in

accordance with the syllabus; (2) the relevancy of

the materials; and (3) the materials are written in

relatively simple sentences. Based on these criteria,

the English teacher used two ESP textbooks as the

main instructional materials.

The first textbook was written by Tom

Hutchinson and Alan Waters entitled English for

Specific Purposes. The textbook was published in

1987by Cambridge University Press. It uses English

as the medium of instruction. The textbook is

on PDF format. The students were given the file

before the course starts. The lecturer gave it in PDF

format so that the students did not have to carry a

lot of textbook to the college and for the sake of

money and paper cutback.

The textbook is based on the research done

by Tom Hutchinson and Alan Waters. Even though

the textbook was dated back on the late 90-ies, it is

still used by many ESP researcher and practitioners

as their reference. It has four major section; (1)

what is ESP?, (2) course design, (3) application, and

(4) the role of ESP teacher. The first section has

three subsections: (1) the origins of ESP, (2) the

Ratri H., Integrating Case Based Learning in ESP Course: A Case Study at STKIP PGRI Ponorogo in the Academic Year of 2014-2015160

development of ESP, and (3) ESP: approach not

product. The second section has four subsections:

(1) language descriptions, (2) theories of learning,

(3) need analysis, and (4) approaches in course

design. The third section has five subsections: (1)

the syllabus, (2) material evaluation, (3) materials

design, (4) learning, and (5) evaluation. The fourth

section only has one subsection; orientation.

The book provides guidance to design an ESP

course based on learning-centered approach. The

approach concerns to how to make the people learn

ESP effectively. This book also provides challenges

and pleasures to be enjoyed and pitfalls to be avoided in

teaching ESP (Hutchinson and Waters, 1987:2).

According to the interview with the lecturer used

three sections and eleven subsections excluding

the evaluation subsection. Her reason to exclude

the evaluation subsection in her teaching was the

evaluation section could be better learnt through

case based learning. The language used in the

textbook is quite easy to understand. All of the

students have this textbook in form of PDF file.

The second textbook used was Developing Courses

in English for Specific Purposes by Helen Basturkmen..

It was published in 2010 by Palgrave Macmillan. The

textbook provides description on how ESP courses

are developed and designed for practical purposes.

The textbook aims to deepen the ESP teachers

and course developers’ understanding on need

analysis, specialist discourse, and ESP curriculum.

The textbook provides some examples of case

studies in relation to those three important aspects

of ESP. The textbook has two main parts beside

one additional part (introduction). The introduction

part has six parts; (1) Describing ESP, (2) Areas in

ESP, (3) Demands of teaching ES, (4) Effectiveness

of ESP, (5) Summary, and (6) Discussion. Part I

has three chapters. Chapter I introduces ESP by

examining definitions of ESP and the different

areas of work involved (such as English for

Academic Purposes and English for Professional

Purposes). It considers the demands that teaching

and developing ESP courses make on the teacher

and thus paves the way for the book, which aims to

provide teachers with the relevant knowledge and

skills for these tasks. Finally, the chapter considers

how ESP teaching promotes learning. Chapter

2 focuses on Needs Analysis and highlights its

importance in ESP. The chapter describes the

types of needs that are investigated and the role

of needs analysis in the course design process. The

chapter makes suggestions for how teachers and

course developers can set about investigating needs

and describes the types of information that are

collected. The chapter also describes ways teachers

and course developers can make use of published

needs analyses. Chapter 3 focuses on Investigating

Specialist Discourse. The chapter considers the

importance of descriptions of specialist discourse

in teaching ESP. It discusses the circumstances in

which course developers need to conduct their

own investigations and shows ways this can be

done. The chapter also makes suggestions for when

and how teachers and course developers can track

down and make use of published descriptions

of specialist discourse. Chapter 4 examines the

kinds of decisions teachers and course developers

make in designing a curriculum and developing

materials. It discusses when and why wide- and

narrow-angled ESP courses are developed and

how the results of a needs analysis can be used in

determining the curriculum. Part II presents four

ESP case studies (English for the Police, English

for Medical Doctors, Academic Literacies in Visual

Communication, and English for Thesis Writing).

Each case is discussed in relation to decisions made

and how the ESP course developers set about

analyzing needs, investigating specialist discourse

and determining the curriculum. The chapters in

the main body of the work end with discussion

questions. The questions encourage the reader to

draw on the concepts introduced in the chapter

in examining their own experiences and views of

teaching and learning, investigating ESP courses in

their own environments or developing small-scale

projects. Only three chapters were used as the

reference in the course. Those are English for the

Police, English for Medical Doctors, and English

for Thesis Writing. According to the lecturer, those

three cases are more familiar with the students’

knowledge background. The writer also gives clear

explanation and example of materials for each case.

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 161

All of the students have this textbook in form of

PDF file.

Based on the observations and the interview

to the ESP lecturer, the book was used when she

reviewed the materials from the two main textbooks.

Since the theories are mostly discussed in the first

textbook, the lecturer decided to use the first

textbook in the first seven meetings. The second

textbook was used in the next seven meetings. The

second textbook was discussed to provide clearer

description to the student on how to make use of

the theory in particular cases. Three cases within the

textbook were discussed during the session. Those

three cases were chosen considerably based on the

logic that the cases were also happen in Indonesia.

The students were supposed to discuss the cases

on the basis of the need analysis instruments, need

analysis findings, course design approach, syllabus

type, language theory, learning theory, and material

selected. They started it by reading three cases of

ESP course taken from the main textbook. The

cases were English for Police Officer, English for

Medical Doctor, and English for Thesis Writing. A

brief summary findings based on the reading was

written by the students in group of three or four. In

the paper, they acted as if they were an experienced

ESP practitioner who designed a course for their

own ESP case. Each week, two groups of students

presented their findings on the same case to see the

depth of their case analysis. They were supposed to

write how the need analysis in the case was done,

and what and why particular language and learning

theory was applied. They also had to write how they

developed the materials and the assessment for

their own case. Their findings were crosschecked

with peer in a class discussion.

Based on the findings, the lecturer expected the

students to be more aware on how to design their

own ESP course design. The lecturer encouraged

the students to be a critical reader, especially when

they read the cases assigned.

The Instructional Media Used by the

English Lecturer

The data of this section were obtained from

the observation during the class. The observation

was conducted along with obtaining the data of

the teaching-learning activities. In this case, the

researcher observed what and how the teachers

used media in the classroom. Besides, the researcher

conducted informal interview with the lecturer

dealing with the use of media.

The data showed that the ESP teacher used

media in her learning teaching- processes to make

the teaching and learning process more meaningful.

The media she used were whiteboard, note book

and LCD projector. She used the whiteboard write

the topic to be discussed and for giving clearer

explanation on the theory. Meanwhile, note book

and LCD projector were used as a medium for

giving power point presentation.

Based on the observation the lecturer mostly

used note book and LCD projector more than

other media since they were very effective to

explain the theory. She made the PPT based on

the two textbooks and additional reference from

the internet. The data from observation revealed

that PPTs was used mostly to help the lecturer

explained the theory of ESP. The students usually

paid attention to the PPT slides and take-notes

on the teacher explanation. Occasionally, some

students got bored and yawned.

So, the media used by the lecturer are mostly

in form of whiteboard and marker, note book and

LCD projector. The media was quite simple and

rather dull. Since the use of media can help to

motivate the students, the lecturer can use video

related to the case studied as additional teaching

media.

How the ESP Lecturer Integrates the

Instructional Activities with the Case Based

Learning

Instructional activities are activities conducted

by the lecturer in presenting the instructional

materials in the learning-teaching process that

are directed toward achieving the instructional

objectives. The instructional activities conducted

during the learning-teaching process can be labeled

with theoretical activities, and case based activities.

Based on the data obtained from the observation

during the theory-lecturing, students paid attention

Ratri H., Integrating Case Based Learning in ESP Course: A Case Study at STKIP PGRI Ponorogo in the Academic Year of 2014-2015162

to all the lecturer explanation, but only few of

them responded when the lecturer asked for their

comments and questions on the today’s topic, then

the lecturer asked some questions on the theory

given, only few of the students answered. It means

that the students’ give fewer attention to the theory-

lecturing session.

Some important notes were taken during the

implementation of case based learning. The first

note was the students given more participation

during the discussion session when the case based

learning were implemented. Before the discussion

session was conducted, the students made a group

consisted of three or four students. They seated

near their group and started the discussion after

they had read the case assigned. Ten minutes were

given for reading time. Then they started their

group discussion. The lecturer gave ten minutes

for the discussion session. The lecturer only gave

spoken instruction on what should be discussed.

Spoken instructions were then clarified through

written instructions on the board. Students had ten

minutes to do the discussion. During the discussion

session the lecturer moved around to see whether

the students had difficulty or not. The lecturer

also did it to make sure that the students’ really

discussed the case given. Some students finished

the session on time, while others were late. This

session lasted five minutes longer than the lecturer

expected. Additional time for discussion session

influenced the time for the presentation session.

The lecturer cut off one minutes from three

minutes presentation allotment for each group.

Time management became the second note to be

considered by the lecturer. The third notes were

about the presentation session. The students were

supposed to present their finding on the case read.

All of the groups were presented their findings.

This session was aimed to crosscheck students’

ability to analyze the case and gave them clearer

description on how their final project was supposed

to be. The lecturer also gave reinforcement on the

students’ finding. Since their findings were mostly

similar, the students got a bit boredom in listening

to their friends’ presentation.

The lecturer had done each step written in the

lesson plan which integrated case based learning

in its instructional activities. Time management,

students’ active and joyful participation during the

implementation of case based learning had to get

more consideration.

How the Lecturer Assesses the Students’

Achievement in Teaching of ESP which is

Integrated with Case-Based Learning

To measure the students’ progress, the lecturer

used several ways to assess the students’ progress.

To assess the students’ on-going progress, the

lecturer used formative and summative assessment.

The lecturer used observation and verbal questions

for formative assessment. Two forms of summative

assessment were used during the semester. The

first form was paper and pencil test on the mid and

final semester tests. The second form was project

assessment.

The lecturer developed an observation rubric

to help the observation. The observation rubric

helped to assess the students’ participation during

the discussion session. The rubric indicated whether

the students made contribution in each discussion,

and came up with the correct findings or not.

Verbal questions were given to check whether the

students could perceive the lecturers’ explanation

or not. The questions were given to the class or

to individual students randomly. The lecturer gave

point to the students who gave correct answer. The

point would help the students to gain more score

to add for final score.

The paper and pencil tests were done in the

middle and final term of the semester. The middle

term test was mostly dealt with the theoretical-

lecture, and the final test was mostly dealt with the

summary of the students’ project. The lecturer

assigned a project for ESP course to construct

a settled comprehension of the practice of ESP

teaching. The lecturer developed a scoring rubric

to help scoring the project assigned. The rubric

was mostly dealt with the whether the students had

critically analyzed the case found. The report of this

project was submitted to the lecturer in form of the

paper two weeks before the final exam. The project

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 163

is in form of proposed model of ESP course for

particular purposes they found around.

Those kind of assessments provided overall

information about the students’ learning progress

and the effectiveness of the learning-teaching

activities. She could monitor the students’

improvement in daily basis. The assessment also

gave information on the lecturer’s way to effectively

manage the teaching and learning activities.

CONCLUSION

Case base learning implementation in ESP

course for pre-service teacher enhances the

students’ learning experience during course. It is

an augment for traditional lecturing activity. The

implementation of case based learning can be a

warm-up activity to construct the written reports

and make presentations. Learning through cases also

promotes higher order thinking, which help them

dealing with different context of ESP teaching. It

also encourages them to critically design or develop

an ESP course that meets the need analysis.

REFERENCES

Bogdan, R. C. and Biklen, K. B. 1998. Qualitative

Rresearch in Education: An Introduction to Theory

and Methods. Boston: Allyn and Bacon.

Ellis, M., and Johnson, C. 1994. Teaching Business

English. Oxford: Oxford University Press.

Hutchinson, T., and Waters, A. 2002. English for

Specific Purposes. Shanghai: Shanghai Foreign

Language Education Press.

Jackson, J. 1998. Reality-based Decision Cases

in ESP Teacher Education: Windows On

Practice. English for Specific Purposes. 17: 151-

167.

Liu. S. M. 2006. Developing China’s Future

Managers: Learning from the West. Education

+ Training. 48: 6-14.

Spackman, A. and Camacho, L. 2009. Rendering

Information Literacy Relevant: A Case-Based

Pedagogy. Journal of Academic Librarianship.

35(6): 548-554.

Wei, W. 2011. Teaching Business English in China:

Views on the Case-based Teaching in

Intercultural Business Communication. Asian

ESP Journal. 7: 89-109

Basturkmen, H. 2010. Developing Courses in English

for Specific Purposes. Basingstoke: Palgrave

Macmillan.

Basturkmen, H. 2014. LSP Teacher Education:

Review of Literature and Suggestions for the

Research Agenda. Ibérica. 28: 17-34

Brooks, E., Harris, C. R., and Clayton, P. H.

2010. Deepening Applied Learning: An

Enhanced Case Study Approach Using

Critical Reflection. Journal of Applied Learning

in Higher Education, 2: 55-76. Retrieved from

http://www.missouriwestern.

Dudley-Evans, T., and St. John, M. J. 1998.

Developments in English for Specific

Purposes: A Multi-Disciplinary Approach.

Cambridge: Cambridge University Press.

Lee, S.-H., Lee, J., Liu, X., Bonk, C. J., and Magjuka,

R. J. 2009. A Review Of Case-Based Learning

Practices In An Online MBA Program:

A Program-Level Case Study. Educational

Technology and Society, 12 (3), 178–190 Retrieved

from http://www.ifets.info

Williamson, S., and Chang, V. 2009. Enhancing the

Success of SOTL Research: A Case Study

Using Modified Problem-Based Learning

in Social Work Education. Journal of the

Scholarship of Teaching and Learning, 9(2), 1-9.

Wua, H.D., and Badger, R.G. 2009. In a Strange and

Uncharted Land: ESP teachers’ Strategies

for Dealing with Unpredicted Problems in

Subject Knowledge during Class. English for

Specific Purposes. 28:19-32

Zuocheng, Z., and Lifei, W. 2011. Curriculum

Development for Business English Students

in China: The Case of UIBE. Asian ESP

Journal. 7(1):10-27

TINGKAT KEMAMPUAN PENGUASAAN BAHASA JAWA

RAGAM KRAMA KELOMPOK ANAK DAN DEWASA

Regena Devi Mayanthi

Universitas Sebelas Maret (UNS)

[email protected]

Abstract: This study is aimed to find out the level of Bahasa Jawa mastery krama variation in Ambulu district, Jember, Dawarblandong district, Mojokerto and Jebres district, Surakarta. The researcher used qualitative approach with purposive sampling technique and comparative method. The data collected from 10 informans through note taking and recording. The result of study showed the level of krama variation mastery DP 2 (83%), level 2 DP 1 (87%) and the last was level 1, DP 3 (Solo) 91%. Solo as the center of Bahasa Jawa showed that the children group were lack in mastering Bahasa Jawa. In the level 3, the mastery of Bahasa Jawa in adult group were (DP 3) 65%, (DP 1) 74%, and (DP 2) 76%. Based on the result of study, the education level didn’t influence the mastery of krama variation in Bahasa Jawa, both in children and adult group. Meanwhile, the education level influenced the mastery of krama variation in teenager group.

Keywords: Bahasa Jawa, Krama Variation, Children and Adult Group

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kemampuan penguasaan bahasa Jawa ragam krama di kecamatan Ambulu, Jember, kecamatan Dawarblandong, Mojokerto dan di kecamatan Jebres, Surakarta. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan teknik purposive sampling dengan menggunakan metode komparatif. Selain data di daerah pengamatan Solo yang diambil dari penelitian yang dilakukan oleh Handayani, dkk (2011), data dikumpulkan dari 10 informan melalui metode simak dan catat dengan teknik rekam dan catat. Hasil penelitian ini menunjukkan ketidakmampuan penguasaan ragam krama peringkat ketiga yaitu DP 2 (83%) dan peringkat kedua yaitu DP 1 (87%) dan terakhir yaitu peringkat pertama DP 3 (Solo) dengan 91%. Solo sebagai daerah kiblat bahasa ternyata penguasaan ragam kelompok anak sangat rendah dibanding dua DP yang lain. Sedangkan peringkat ketiga, ketidakmampuan penguasaan ragam krama kelompok dewasa (DP 3) dengan 65%, peringkat kedua (DP 1) dengan 74%, sedangakn peringkat pertama (DP 2) dengan 76%. Berdasarkan pengamatan serta data yang terkumpul, tingkat pendidikan tidak mempengaruhi kemampuan penguasaan ragam krama pada kelompok dewasa, namun sebaliknya untuk remaja justru menjadi faktor penentu penguasaan ragam krama.

Kata Kunci: Bahasa Jawa, Ragam Krama, Kelompok Anak dan Dewasa

PENDAHULUAN

Dalam komunitas Jawa, terdapat tingkat

tutur yaitu ngoko, madya, dan krama dalam

berkomunikasi yang tercermin dalam bentuk kata

benda, kerja, dan sifat yang berbeda. Selain itu kata

partikel dan pemakaian kalimat tak langsung juga

menentukan dalam pemilihan tingkat tutur. Saat

ini kemampuan pemakaian bahasa Jawa terutama

ragam krama dicurigai sangat menurun. Generasi

muda dipandang sebagai biang keladi merosotnya

mutu pemakaian bahasa Jawa terutama pemakaian

berbagai ragam yang dikenal dengan unggah-

ungguh ‘tingkat tutur’ itu. Padahal, belum tentu

penyebab kemerosotan ini mutlak dipengaruhi

oleh perilaku generasi muda, tetapi juga dapat

diduga bahwa generasi sebelumnya (tua) ikut andil

dalam kasus ini. Generasi muda adalah sekadar

Regena Devi Mayanthi , Tingkat Kemampuan Penguasaan Bahasa Jawa Ragam Krama Kelompok Anak dan Dewasa166

objek yang dapat dinilai/dilihat karena merekalah

yang banyak dituntut untuk berbahasa lebih baik

daripada generasi yang lebih tua.

Lakosno dan Savitri (2009: 1) mengemukakan

bahwa dialektologi dapat disebut sebagai studi

tentang dialek tertentu atau dialek-dialek suatu

bahasa. Dalam arti luas penelitian dialektologi

berupaya memerikan perbedaan pola linguistik,

baik secara horizontal (diatopis) yang mencakup

variasi geografis maupun yang vertikal (sintopis)

yang mencakup variasi di suatu tempat. Variasi di

suatu tempat yang bersifat sintopis ini dapat pula

merambah pada kajian dialek sosial yang melibatkan

faktor-faktor sosial.

Pengertian dialektologi yang lebih lengkap

disampaikan oleh Lauder (2009: 234- 235).

Dialektologi adalah cabang ilmu pengetahuan

bahasa yang secara sistematis menangani berbagai

kajian yang berkenaan dengan distribusi dialek

atau variasi bahasa dengan memperhatikan faktor

geografi, politik, ekonomi, dan sosial budaya.

Dialektologi juga sering disebut sebagai geographical

linguistics, geolinguistics, atau areal linguistics.

Penelit ian dialektologi pada dasarnya

merupakan penelitian bahasa yang bersifat

sistematis, empiris, dan kritis terhadap objek

sasaran berupa bunyi tuturan. Laksono dan Savitri

(2009: 22-23) berpendapat: “Penelitian dialektologi

dikatakan sistematis karena penelitian ini dilakukan

secara sistemik dan terencana, mulai dari identifikas

masalah, menghubungkan masalah dengan teori,

penyediaan data, analisis data, sampai pada

penarikan simpulan dan menghubungkan simpulan

ke dalam khazanah ilmu bahasa (linguistik). Disebut

empiris karena fenomena lingual yang menjadi

objek penelitian bahasa itu adalah fenomena yang

benar-benar hidup dalam pemakai bahasa.

Salah satu tahap penting dalam penelitian

di lektologi adalah melakukan transkripsi

fonetis. Transkripsi fonetis didefinisikan sebagai

pemindahan glos kedalam tulisan dengan merujuk

pada bagaimana glos diucapkan (glos merupakan

bentuk yang dikenal dalam bahasa yang digunakan

oleh peneliti). Untuk dapat melaksanakan transkripsi

fonetis peneliti perlu mengenal dan menandai semua

bunyi yang diperoleh sesuai dengan pengucapannya.

Jadi, peneliti harus fokus pada ujaran informan

karena ujaran itulah yang harus dituliskan persis

sama dengan ujarannya.

Dialek merupakan variasi bahasa yang berbeda-

beda menurut; variasi bahasa yang dipakai oleh

kelompok bahasawan di tempat tertentu, atau oleh

golongan tertentu dari suatu kelompok bahasawan,

atau oleh kelompok bahasawan yang hidup dalam

kurun waktu tertentu (Kridalaksana, 1984: 38).

Dialek berbeda dengan ragam bahasa, yaitu varian

dari sebuah bahasa menurut pemakaian. Variasi

ini berbeda satu sama lain, tetapi masih banyak

menunjukkan kemiripan, sehingga belum bisa

disebut sebagai bahasa yang berbeda.

Nadra dan Reniwati (2009: 2) mengemukakan

bahwa berdasarkan kelompok pemakaiannya dialek

dapat dibedakan atas tiga jenis, yakni (1) dialek

regional, yaitu variasi bahasa berdasarkan perbedaan

local (tempat) dalam suatu wilayah bahasa; (2)

dialek sosial, yaitu variasi bahasa yang digunakan

oleh golongan tertentu; dan (3) dialek temporal,

yaitu variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok

bahasawan yang hidup pada waktu tertentu.

Variasi bahasa adalah perbedaan-perbedaan

bentuk yang terdapat dalam suatu bahasa. Perbedaan

tersebut mencakup semua unsur kebahasaan,

yaitu fonologi, morfologi, leksikon, sintaksis, dan

semantik. Dalam bidang fonologi, perbedaan

tersebut dapat berupa perbedaan bunyi (lafal)

dan dapat pula berupa perbedaan fonem. Dalam

bidang morfologi, perbedaan tersebut dapat

berupa afiks (prefiks, infiks, sufiks, dan konfiks),

pronomina, atau kata penunjuk. Perbedaan dalam

bidang leksikon berupa kosakata. Perbedaan dalam

sintaksis berupa struktur kalimat dan struktur frasa.

Perbedaan yang terakhir dalam bidang semantik,

yaitu perbedaan berupa makna, tetapi makna

tersebut masih berhubungan atau masih mempunyai

pertalian. Maksudnya, makna yang digunakan pada

titik pengamatan tertentu dengan makna yang

digunakan pada titik pengamatan lainnya masih

memiliki hubungan (Nadra & Reniwati, 2009: 4).

Kajian dialektologi diakronis cenderung

melakukan kajian variasi bahasa pada masa lampau

dan dikaitkan dengan pemakaian bahasa saat ini

dengan perubahan bentuk variasi bahasa dari waktu

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 167

ke waktu. Sementara itu, dalam kajian dialektologis

sinkronis, variasi dalam suatu bahasa yang digunakan

saat ini dianalisis dari bentuk variasi bahasanya dan

juga daerah sebar variasi tersebut. Pada tulisan

ini dideskripsikan variasi bahasa Jawa di Jember,

Mojokerto dan Solo secara sinkronis berdasarkan

data yang telah dikumpulkan. Deskripsi tersebut

meliputi deskripsi bahasa Jawa ragam krama pada

kelompok anak dan dewasa.

Aritkel ini mencoba mendeskripsikan,

membandingkan dan menjelaskan tingkat

kemampuan penguasaan bahasa Jawa ragam

krama kelompok anak dan dewasa di tiga daerah

pengamatan (DP) oleh para penutur di daerah

timur Pulau Jawa, yaitu bahasa Jawa di Jawa

Timur, terutama di dua daerah penelitian, yaitu di

kecamatan Dawarblandong kabupaten Mojokerto

dan di kecamatan Ambulu kabupaten Jember.

Dua daerah yang merupakan daerah pedesaan

tersebut dipilih karena Mojokerto sebagai daerah

relik bahasa Jawa dahulu merupakan wilayah bekas

kerajaan Majapahit, sedangkan Jember dianggap

sebagai daerah batas bahasa antara bahasa Jawa

dan bahasa Madura. Selanjutnya, wilayah Solo juga

dipilih karena bahasa Jawa dialek Solo dianggap

sebagai bahasa baku bahasa Jawa. Oleh karena itu,

penelitian tingkat kemampuan penguasaan bahasa

Jawa ragam krama ini menarik untuk dilakukan.

METODE

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif

kualitatif. Penelitian deskriptif adalah penelitian

yang dirancang untuk memperoleh informasi

tentang status suatu gejala saat penelitian dilakukan

Furchan (2004: 447), di samping data yang

dikumpulkan berupa kata-kata (Subroto, 1997: 5).

Penelitian kualitatif memiliki karakteristik, yaitu

mendeskripsikan suatu kondisi apa adanya atau

yang sebenarnya.

Penelitan ini juga menggunakan metode

komparatif, yaitu membandingkan kosakata atau

leksikon ragam krama DP 1 (Jember), DP 2

(Mojokerto), dan DP 3 (Solo) untuk menemukan

tingkan penguasaan ragam krama oleh anak

dan dewasa secara jelas. Oleh sebab itu, dalam

penelitan ini akan dilakukan tahap atau langkah

membandingkan data berupa kosakata atau

leksikon ragam krama antara DP 1 dan DP 2, dan

juga dengan bahasa Jawa dialek Solo (DP 3). Data

yang disediakan meliputi hasil tuturan krama anak

(KA) dan juga krama dewasa (KD). Penelitian ini

memiliki sumber data berupa sumber data lisan

yang berasal dari narasumber yang dipilih dari

daerah penelitian di wilayah Mojokerto dan Jember.

Narasumber atau informan yang dimaksud adalah

penutur bahasa Jawa yang dipilih untuk mewakili

penutur bahasa Jawa di dua DP. Sumber data tertulis

berasal dari angket atau daftar Kisyani-Laksono

(2009) sebagai pengembangan dari daftar kosakata

dasar Morris Swadesh. Berdasarkan situasi dan

kondisi di lapangan, 829 glos ini dikembangkan lagi

menjadi 907 glos karena dalam satu glos terdapat

lebih dari satu BL. Selanjutnya, khusus data daerah

pengamatan Solo diperoleh dari hasil penelitian

lapangan yang dilakukan oleh Handayani, dkk

(2011) yang sebelumnya melalui proses verifikasi

data.

Sampel penelitian ini ditentukan berdasarkan

sampling bertujuan (teknik purposive sampling).

Sampel dipilih sesuai tujuan penelitian untuk

memperoleh data penelitian yang tepat dan dapat

mewakili data yang diharapkan dalam penelitian.

Dengan demikian, penentukan narasumber harus

memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan pada

penelitian dialektologi. Adapun syarat narasumber

atau informan untuk KA yang harus dipenuhi

adalah (1) berjenis kelamin laki-laki atau wanita,

(2) usia di atas 10-12 tahun, sehat jasmani dan

rohani, (3) penduduk asli yang dilahirkan dan

dibesarkan oleh orang tua yang tinggal di daerah

pengamatan, (4) orang tua asli Mojokerto atau

Jember, (5) pendidikan SD, (6) status sosial

menengah ke bawah dengan harapan mobilitas

rendah, (7) dapat berbahasa Indonesia, minimal

pasif, (8) menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa

sehari-hari, (9) sehat rohani dan jasmani dalam

arti tidak cacat organ bicaranya. Sedangkan syarat

narasumber untuk KD yang harus dipenuhi adalah

(1) berjenis kelamin laki-laki atau wanita, (2) usia

di atas 40 tahun (tidak pikun), (3) penduduk asli

yang dilahirkan dan dibesarkan oleh orang tua

yang tinggal di daerah pengamatan, (4) pendidikan

Regena Devi Mayanthi , Tingkat Kemampuan Penguasaan Bahasa Jawa Ragam Krama Kelompok Anak dan Dewasa168

relatif rendah; diutamakan tidak berpendidikan, (5)

status sosial menengah ke bawah dengan harapan

mobilitas rendah, (6) dapat berbahasa Indonesia,

minimal pasif, (7) menggunakan bahasa Jawa

sebagai bahasa sehari-hari, (8) sehat rohani dan

jasmani dalam arti tidak cacat organ bicaranya.

Data lisan dikumpulkan melalui metode simak

dan metode cakap dengan teknik di antaranya

teknik sadap, rekam, teknik catat, teknik simak

libat cakap, dan teknik pancing (Sudaryanto,

1993:133-139). Selanjutnya, data yang terkumpul

ditranskripsikan ke dalam transkripsi fonetis IPA

(International Phonetics Association).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Tabel 3.1: Rangkuman Ketidakmampuan Penguasaan Ragam Bahasa Jawa Krama Anak

No. Medan Makna

Jumlah Ketidakmampuan Penguasaan

Ragam Krama Anak

DP 1 (Jember) DP 2 (Mojokerto) DP 3 (Solo)

1. bilangan 21 13 22

2. ukuran 10 8 6

3. musim dan waktu 25 19 27

4. bagian tubuh manusia 97 94 100

5. tutur sapaan dan acuan 13 13 12

6. istilah kekerabatan 29 28 29

7. pakaian dan perhiasan 23 24 21

8. pekerjaan 32 32 32

9. binatang 67 67 63

10. bagian tubuh binatang 19 19 19

11. tumbuhan, bagian-bagian tumbuhan, dan

hasil olahannya

92 91 93

12. alam 32 27 36

13. rumah dan bagian-bagiannya 21 21 21

14. alat 60 61 61

15. penyakit dan obat 27 27 30

16. arah dan penunjuk 7 5 15

17. aktivitas 118 113 130

18. sifat 70 66 83

19. warna dan bau 14 12 16

20. rasa 13 13 13

TOTAL 790 gloss 753 gloss 829 gloss

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 169

Tabel 3.2: Rangkuman Ketidakmampuan Penguasaan Ragam Bahasa Jawa Krama Dewasa

No. Medan Makna

Jumlah Ketidakmampuan Penguasaan

Ragam Krama Dewasa

DP 1 (Jember) DP 2 (Mojokerto) DP 3 (Solo)

1. bilangan 9 11 10

2. ukuran 2 2 2

3. musim dan waktu 27 12 7

4. bagian tubuh manusia 93 96 82

5. tutur sapaan dan acuan 16 12 4

6. istilah kekerabatan 30 26 14

7. pakaian dan perhiasan 26 17 13

8. pekerjaan 32 30 27

9. binatang 57 65 57

10. bagian tubuh binatang 17 16 17

11. tumbuhan, bagian-bagian tumbuhan, dan

hasil olahannya

81 82 78

12. alam 21 32 19

13. rumah dan bagian-bagiannya 21 22 19

14. alat 56 57 56

15. penyakit dan obat 24 24 27

16. arah dan penunjuk 4 4 4

17. aktivitas 87 104 83

18. sifat 48 51 52

19. warna dan bau 11 12 10

20. rasa 10 11 10

TOTAL 672 gloss 686 gloss 591 gloss

Tabel 3.3: Perbandingan Peringkat Ketidakmampuan Penguasaan Ragam Krama Kelompok Anak

dan Dewasa DP 1-3

No. Medan MaknaJml

Gloss

DP1 DP 2 DP 3

Anak Dewasa Anak Dewasa Anak Dewasa

1. Bilangan 30 21 9 13 11 22 10

2. Ukuran 10 10 2 8 2 6 2

3. musim dan waktu 40 25 27 19 12 27 7

4. bagian tubuh manusia 101 97 93 94 96 100 82

5. tutur sapaan dan acuan 19 13 16 13 12 12 4

Regena Devi Mayanthi , Tingkat Kemampuan Penguasaan Bahasa Jawa Ragam Krama Kelompok Anak dan Dewasa170

6. istilah kekerabatan 32 29 30 28 26 29 14

7. pakaian dan perhiasan 26 23 26 24 17 21 13

8. Pekerjaan 32 32 32 32 30 32 27

9. Binatang 67 67 57 67 65 63 57

10. bagian tubuh binatang 19 19 17 19 16 19 17

11. tumbuhan, bagian-bagian

tumbuhan, dan hasil olahannya

94 92 81 91 82 93 78

12. Alam 37 32 21 27 32 36 19

13. rumah dan bagian-bagiannya 22 21 21 21 22 21 19

14. Alat 61 60 56 61 57 61 56

15. penyakit dan obat 30 27 24 27 24 30 27

16. arah dan penunjuk 23 7 4 5 4 15 4

17. Aktivitas 145 118 87 113 104 130 83

18. Sifat 90 70 48 66 51 83 52

19. warna dan bau 16 14 11 12 12 16 10

20. Rasa 13 13 10 13 11 13 10

Jumlah Gloss 790 672 753 686 829 591

Persentase 87% 74% 83% 76% 91% 65%

Peringkat 2 2 3 1 1 3

Penguasaan kramanya 13% 26% 17% 24% 9% 35%

Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian pada tablel 1

dan 2 tersebut, dapat diketahui bahwa jumlah

ketidakmampuan penguasaan bahasa Jawa ragam

krama anak dan dewasa sebanyak 4321, yang

terbagi dalam tiga daerah pengamatan (DP) yaitu

dimulai dari kelompok anak di DP 1 sebanyak 790

gloss, DP 2 753 gloss, dan DP 3 sebanyak 829

gloss. Sedangkan kelompok dewasa di DP 1 ialah

672 gloss, DP 2 686 gloss, dan DP 3 sebanyak 591

gloss.

Kelompok anak pada DP 1 tampak jumlah

glos yang tidak dikuasai atau tidak dijawab oleh

nasumber DP 1 sebanyak 790 gloss dari 907 glos

yang ditanyakan (87%). Artinya kemampuan

penguasaan ragam krama anak DP 1 sebanyak

117 gloss dari 907 gloss yang ditanyakan yang

terdistribusi ke dalam 12 medan makna. Jenis gloss

yang tidak terjawab sama sekali untuk medan makna

pekerjaan, binatang, bagian tubuh binatang dan

rasa. Keempat gloss tersebut tidak terjawab karena

narasumber memang tidak mengenal referen yang

dimaksud oleh gloss tersebut. Pada DP jumlah

gloss yang tidak dikuasai oleh anak menurun

daripada DP 1 yaitu sebanyak 753 gloss dari 907

gloss (83%). Jadi, jumlah gloss yang dikuasai atau

terjawab sebanyak 154 gloss yang terdistribusi

dalam medan makna. Adapun medan makna yang

paling terjawab banyak adalah bilangan dan musim

dan waktu dan medan makna yang sama sekali tidak

terjawab adalah (binatang, bagian tubuh binatang,

alat, dan rasa). Medan makna yang lain tidak terisi

seluruhnya oleh informan. Selanjutnya kelompok

anak di DP 3 berdasarkan urutan kemampuan

penguasaan ragam krama kelompok anak pada

ketiga DP, maka DP yang memiliki kemampuan

penguasaan terendah adalah DP 3 dibandingkan

dengan 2 DP lainnya. DP 3 adalah daerah Pucang

Sawit kota Surakarta yang notabene adalah daerah

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 171

kiblat bahasa Jawa baku, namun kenyataannya

data di lapangan menunjukkan penguasaan bahasa

Jawa ragam Krama justru terendah. Faktor yang

menyebabkan rendahnya penguasaan kemampuan

ragam krama kelompok anak di DP 3 adalah

tidak dibiasakannya penggunaan ragam krama

dalam komunikasi sehari-hari. Pada saat informan

berkomunikasi dengan warga lain di daerah

tersebut lebih banyak menggunakan ragam ngoko.

Pada saat mereka berkomunikasi dengan warga di

luar lingkungan mereka atau pendatang banyak

menggunakan bahasa Indonesia.

Kelompok dewasa di DP 1 jumlah gloss yang

tidak dikuasai oleh informan dewasa DP 1 sebanyak

681 gloss dari 907 gloss yang ditanyakan, atau jika

dipersentase jumlahnya adalah 75% gloss yang

tidak dikuasai. dari keduabelas medan makna pada

informan dewasa DP 1 ini rata-rata dapat terjawab

biarpun tidak penuh terjawab. Pada DP 2 terdapat

686 gloss yang tidak dikuasai oleh informasn

dewasa DP2 dari 907 gloss tidak terjawab (75,20%).

Hal itu berarti jumlah gloss yang dikuasai atau

terjawab sebanyak 221 gloss yang terdistribusi ke

dalam 20 medan makna. Adapaun medan makna

yang paling dikuasai adalah bilangan, arah dan

penunjuk, sifat. Medan makna yang lain tidak terisi

penuh seluruhnya atau tidak dijawab oleh informan.

Dan pada DP 3. Ketidakmampuan penguasaan

ragam krama kelompok dewasa DP 3 termasuk

tinggi, yaitu setelah DP 1 dan Dp 2. Sebanyak 591

gloss tidak dikuasai atau tidak dapat dijawab oleh

informan dewasa DP 3. 591 gloss terdistribusi ke

dalam 12 medan makna. Medan makna yang banyak

tidak terjawab adalah bagian aktivitas, bagian tubuh

manusia, tumbuhan dan bagiannya, dan alat.

Berdasarkan tabel 3 ketidakmapuan penguasaan

ragam krama pada kelompok anak dan dewasa DP

1-3. Jumlah gloss yang terisi penuh masing-masing

DP dapat dikelompokkan ke dalam medan makna

berikut. DP 1 kelompok anak terdapat lima medan

makna (yaitu ukuran, pekerjaan, binatang, bagian

tubuh binatang, dan rasa) yang sama sekali tidak

terisi. Terbukti dengan jumlah ketidakmampuan

penguasaannya sama dengan jumlah gloss yang

ditanyakan dari masing-masing medan makna

tersebut, untuk DP 1 kelompok dewasa terdapat

dua medan makna yang tidak terisi yaitu medan

makna pakaian dan perhiasan, pekerjaan. Demikian

pula dengan DP 2 kelompok anak juga ditemukan

medan makna yang sama sekali tidak terisi (tidak

dikuasai oleh informan) yaitu pekerjaan, binatang,

bagian tubuh binatang, alat, dan rasa. Untuk DP

2 kelompok dewasa hanya terdapat satu medan

makna yang tidak terisi yaitu medan makna rumah

dan bagiannya. DP 3 kelompok anak ditemukan

lebih banyak medan makna yang tidak terisi yaitu

enam medan makna (pekerjaan, bagian tubuh

binatang, alat, penyakit dan obat, warna dan bau,

rasa) sedangkan kelompok dewasa tidak ditemukan

medan makna yang tidak terisi. Semua medan

makna mampu terjawab oleh narasumber meskipun

tidak terisi penuh seluruhnya.

SIMPULAN

Berdasarkan jumlah total glos dari tiap

kelompok pada masing-masing DP dapat

disimpulkan bahwa yang pertama yaitu kelompok

anak masing-masing DP. Ketidakmampuan

penguasaan ragam krama peringkat ketiga yaitu DP

2 (Mojokerto) dengan prosentase ketidakmampuan

penguasaan 83% dan peringkat kedua yaitu DP 1

dengan 87% dan terakhir yaitu peringkat pertama

DP 3 (Solo) dengan 91%. Solo sebagai daerah

kiblat bahasa ternyata penguasaan ragam kelompok

anak sangat rendah dibanding dua DP yang lain.

Sedangkan peringkat ketiga kelompok dewasa yaitu

DP 3 dengan 65%, peringkat kedua yaitu DP 1

dengan 74%, sedangakn peringkat pertama yaitu

DP 2 dengan 76%. Hal ini mendukung simpulan

bahwa faktor pendidikan pada narasumber dewasa

tidak mempengaruhi kemampuan penguasaan

ragam krama, sebaliknya untuk anak hal ini

menjadi faktor penentu penguasaan ragam krama.

Faktor yang mempengaruhiuntuk kelompok anak

adalah minimnya pemakaian ragam krama dalam

komunikasi sehari-hari, adanya pengaruh kemajuan

teknologi komunikasi, baik media televisi maupun

cetak di pedesaan yang cenderung menggunakan

bahasa Indonesia sebagai media penyampaian,

rendahnya kualitas pengajaran muatan lokal bahasa

Jawa di sekolah, faktor geografis lingkungan

tempat tinggal narasumber. Sedangkan faktor

Regena Devi Mayanthi , Tingkat Kemampuan Penguasaan Bahasa Jawa Ragam Krama Kelompok Anak dan Dewasa172

yang mempengaruhi ketidakmampuan penguasaan

ragam krama kelompok dewasa adalah kebiasaan

komunikasi menggunakan ragam ngoko, pengaruh

geografis yang memungkinkan tidak ditemukannya

atau tidak adanya referen seperti yang dimaksud

oleh glos terkait, aktivitas serta luasnya pergaulan

narasumber, profesi, luasnya wawasan narasumber,

pengaruh bahasa Indonesia, faktor daya ingat

narasumber.

DAFTAR PUSTAKA

Edi Subroto, D. 2007. Pengantar Metode Penelitian

Linguistik Struktural. Surakarta: Sebelas Maret

University Press.

Furchan, Arief. 2004. Pengantar Penelitian Dalam

Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik

Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama.

Laksono, Kisyani dan Savitri, Agusniar Dian. 2009.

Dialektologi. Surabaya: Unesa University

Press.

Lauder, dkk. 2009. Pesona Bahasa: Langkah Awal

Memahami Linguistik. Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama

Mahasiswa LD 2011. Dialek Geografis dan Sosial

Bahasa Jawa Solo-Yogya: Kajian Dialektologi.

Surakarta: Pascasarjana UNS.

Mahsun. 1995. Dialektologi Diakronis: Sebuah Pengantar.

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Nadra, dan Reniwati. 2009. Dialektologi: Teori dan

Metode. Yogyakarta: Elmatera Publising.

Sudaryanto (editor). 1991. Tata Bahasa Baku Bahasa

Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana University

Press.

Sudaryanto, 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis

Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan

Secara Linguistik. Yogyakarta: Duta Wacana

University Press

NILAI PENDIDIKAN KARAKTER SEORANG GURU

DALAM TRILOGI NOVEL SYAIKH SITI JENAR

KARYA AGUS SUNYOTO

Sutejo

STKIP PGRI Ponorogo

[email protected]

Abstract: Talking about literature and its value are talking about the human’s body and soul in nature. Literary works are full of moral values. One of them is character education value. The trilogy novel Syaikh Siti Jenar written by Agus Sunyoto contains a number of character values which are interesting to be discussed. At present, the character education values become very important. Being a professional teacher needs a set of good characters. The ideal teacher caharacters found in trilogy novel Syaikh Siti Jenar written by Agus Sunyoto were: (a) writing character, (b) story teller caharacter, (c) wise and educated, (d) unselfish, (e) natural caharacter, (f) earthly character (g) affectionate, (h) change agent, (i) thinkful, (j) meaningful, (k) well informed (l) conquer (m) perfectionism, and (n) leadership.

Keywords: Character Values, Ideal Teacher, “Syaikh Siti Jenar” Novel

Abstrak: Berbicara sastra dan nilai hakikatnya berbicara masalah tubuh dan jiwa. Sastra kaya dengan muatan nilai, satu diantaranya adalah nilai pendidikan karakter. Trilogi novel Syaikh Siti Jenar karya Agus Sunyoto memiliki sejumlah nilai karakter yang menarik untuk dikaji. Nilai pendidikan karakter dalam konteks mutakhir menjadi sesuatu yang penting. Seorang guru dituntut memiliki seperangkat karakter yang perlu dimiliki jika menginginkan dirinya professional. Karakter seorang guru yang ideal dalam temuan penelitian atas trilogi novel Syaikh Siti Jenar meliputi karakter: (a) berkarakter menulis, (b) karakter pendongeng, (c) karakter arif dan alim, (d) karakter tidak egois, (e) karakter tanpa pamrih, (e) karakter alam, (f) karakter bumi, (g) karakter cinta kasih, (h) karakter pembaharu, (i) karakter cakap berpikir, (j) karakter berhikmah, (k) karakter ber-irfan (l) karakter al-fatih, (m) karakter insan kamil, dan (n) karakter pemimpin.

Kata Kunci: Guru Ideal, Nilai Karakter, Novel “Syaikh Siti Jenar”

PENDAHULUAN

Tokoh Syaikh Siti Jenar dalam kazanah sejarah

kebudayaan di Indonesia adalah tokoh terpopuler

diantara cerita para walisanga. Hal inilah yang

menginspirasi Agus Sunyoto untuk menulis novel

Syaikh Siti Jenar berbasis teks-teks historis dari

wilayah Cirebon. Jika kecenderungan naskah-kisah

Syaikh Siti Jenar di Jawa, dia dikenal sebagai sosok

antagonis yang perlu dibenci dan dimusuhi maka

Agus Sunyoto merekonstruksi cerita Syaikh Siti

Jenar ke dalam sosok protagonis. Sosok seorang

pahlawan, potret seorang guru kehidupan yang

patut diteladani, baik perilaku maupun ajaran-

ajarannya. Salah satu ajaran yang menarik adalah

ajaran tentang idealisme guru sufi yang memiliki

seperangkat karakter tasawuf Islam-Jawa. Berbicara

masalah karakter guru sufi dalam konteks demikian

tidak bisa terlepas dengan sejarah Islam-Jawa,

ajaran-ajarannya, dan sinkretisme tasawuf yang

melingkupinya.

Muara karya sastra sesungguhnya adalah

realitas, baik langsung maupun tidak langsung, baik

inderawi maupun rohani. Karya sastra merupakan

wujud estetik inspirasi dan refleksi pengarang atas

realitas yang dialami dengan bungkus imajinasi.

Sutejo, Nilai Pendidikan Karakter Seorang Guru dalam Trilogi Novel Syaikh Siti Jenar Karya Agus Sunyoto174

Novel karya Agus Sunyoto mengangkat tema

realita sinkretisme Islam-Jawa. Salah satu realitas

historis yang menonjol dalam perjalanan lokalitas

sosiologis di Jawa adalah munculnya sinkretisme.

Sutanto berpandangan, ada sinkretisme Kristen-

Jawa dengan lahirnya mistik “Kristus dan Dewi

Sri” (Baso, 2002:114).

Realitas sinkretisme ini relevan dengan

pandangan Abdullah (dalam Mulkan, 2009:134)

ketika mengungkapkan tiga model kategori Islam

yang salah satunya adalah Islam lokal di samping

Islam universal dan Islam regional. Islam lokal

lahir disebabkan oleh peran kreatif masyarakat

lokal dalam menerima Islam universal sekaligus

mengangkat tradisi sendiri ke tataran yang mendunia

sehingga melahirkan agama rakyat. Salah satu

wujudnya adalah realitas tasawuf (sufisme) Islam-

Jawa yang dominan berkembang di masyarakat Jawa

berupa ajaran manunggaling kawula gusti, pamoring

kawula gusti, ilmu kasampurnan (budi luhur), martabat

tujuh, dan seterusnya.

Munawar-Rachman, menilai bahwa sosok

Syaikh Siti Jenar adalah simbol ajaran Islam

dalam tradisi esoteris (Chodjim, 2006:vii). Tradisi

esoteris ini melahirkan konsep pembaharuan dalam

kebudayaan Islam-Jawa. Konsep pembaharuan

yang diusung Syaikh Siti Jenar adalah bagaimana

agar pemujaan berlebihan terhadap manusia tidak

berlangsung terus-menerus.

Syaikh Siti Jenar tidak pernah melibatkan diri

dalam pemerintahan (padahal dia punya darah biru),

tetapi karena dia berharap jadi guru kehidupan,

guru spiritual, dan bukan raja penguasa (sunan =

guru atau raja). Sebaliknya, dirinya sendiri tidak

pernah menganggap sebagai mursyid, karena

mursyid adalah orang yang sudah punya hak untuk

membabtis. Begitulah kiranya, sampai Syaikh Siti

Jenar dengan berbagai sebutan (Lemah Abang,

Sitibrit, Geseng, Panggung, Syaikh Abdul Jalil)

dalam tradisi Islam esoteris Jawa diikuti oleh

pengikut yang jumlahnya sangat besar (Guillot,

2007:347).

Memahami kepahlawan Syaikh Siti Jenar dalam

konteks historis-kulturalnya dapat disandingkan

dengan keinovatifan Sunan Kalijogo (Codjim,

2006:345) dipandang telah melakukan inovasi dalam

budaya. Dengan begitu, membaca trilogi Syaikh Siti

Jenar sesungguhnya membaca perjalanan ajaran

yang tersimpan di simpang empat jalan: akulturasi

dan asimilasi, Islam dan Jawa. Hal itu tergambarkan

dalam perjalanan berguru dan proses mengajar

seorang Syaikh Siti Jenar (San Ali). Sebuah bentuk

ajaran Islam, yang dalam ungkap kritis Munawar

Rachman sebagai Islam yang esoteris (Codjim,

2006:xxix).

Kritik Hairus Salim (2006) tentang konsep

Islam-Jawa maka akan ditemukan “suara lain”

sebagai “pluralisme etnografi” dengan pandangan

positif. Meminjam konsep Horace, dulce (indah)

dan utile (bermanfaat) (Darma dalam Depdiknas-

Rosda, 2005:xi), maka trilogi Syaikh Siti Jenar ini

tidak saja sebuah keindahan karya sastra tetapi

juga menawarkan manfaat spiritualitas-relijius

yang transendal. Sebab, narasi Syaikh Siti Jenar

mengimajikan dunia yang oleh Heidegger disebut

dengan Yang Empat-Lipat (Geviert), yang satu

diantaranya adalah “tuhan-tuhan” (Baqir dalam

Muhammad, 2006:xxi).

Tuhan-tuhan ini hanya dimungkinkan muncul

di dalam dimensi (hadirat) ketuhanan, dan hadirat

ketuhanan dimungkinkan hanya di dalam dimensi

yang Suci (the Holy), dan hanya dari kebenaran

Ada-lah esensi dari yang-Suci dalam konteks

roh nilai trilogi Syaikh Siti Jenar dapat dipikirkan.

Sufistikisasi trilogi Agus Sunyoto secara substansial

tidak kalah dengan sastrawan macam Fariduddin

Attar, Mohammad Iqbal, Jalaluddin Rummi, Rabiah

Al-Adawiyah yang oleh Mahayana dinilai berhasil

mengemas pesan agama (relijius) ke dalam estetika

sastra (2005:170).

Salah satu ajaran dalam mistikisme Islam-

Jawa adalah tradisi berguru. Berguru yang bukan

sekadar belajar ilmu tetapi bagi orang Jawa juga

berarti ngelmu (ilmu lakon). Dalam tradisi penghayat

kebatinan, misalnya, hubungan antara guru-murid

ada perekat dan pengikat (suh) yang dinamakan

Guru (Mulyana, 1989:66). Paguyubannya kemudian

dinamakan paguron. Guru di zaman purba bergelar

“Empu” atau “Engku” atau “Teuku” yang artinya

“Tuan”. Guru bisa jadi ayah tuanya sendiri sebagai

pengajar ketuhanan. Ilmu ketuhanan dalam tadisi

Jawa dinamakan ilmu “Kapitayan”. Puncak eratnya

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 175

hubungan guru- murid dalam budaya Jawa-Islam

dipahami dalam lakon wayang “Dewa Ruci”.

Seorang guru sufi dituntut memiliki seperangkat

karakter ideal. Menurut Mulkan (2009:81-82),

terdapat tujuh syarat bagi seorang guru sufi.

Ketujuh syarat itu dapat dikemukakan sebagai

berikut. Pertama, seorang bisa menjadi syaikh atau

guru tarekat jika memiliki kualitas ‘alim dan ahli

memberikan bimbingan pada para muridnya. Kedua,

mengenal dengan baik sifat-sifat kesempurnaan

hati dan memiliki rasa belas-kasih terhadap seluruh

kaum muslim dan para muridnya. Ketiga, pandai

menyimpan rahasia muridnya, tidak bergaul dan

bercengkerama dengan murid secara berlebihan.

Keempat, ucapan dan tindakan seorang guru

sufi harus bersih dari hawa nafsu dan keinginan,

serta ikhlas dan lapang dada. Kelima, keharusan

bisa memerintahkan kepada para muridnya ber-

khalwat, menyediakan tempat khalwat, menjadi

wasilah yaitu perantara doa pada Allah sehingga

terkabul, dipercaya sebagai orang saleh. Mereka

yang saleh yang sudah meninggal pun sering disebut

di dalam setiap doa dalam arti dan fungsi itu.

Keenam, selalu berusaha agar para muridnya tidak

melihat tingkah-lakunya yang membuat rasa hormat

para muridnya itu menjadi berkurang kepadanya.

Ketujuh, mencegah kepada para muridnya untuk

banyak makan, melarang berhubungan atau belajar

(tawajjuh) kepada syekh dari tarikat lain, melarang

murid berhubungan dengan pejabat yang dapat

membangkitkan nafsu dunia.

Sementara itu, sastra memiliki hubungan

yang erat dengan kehidupan manusia. Musyafa’

dalam artikelnya menanggapi ungkapan Pramudya

Ananta Toer dalam Bumi Manusia, “Kalian boleh

maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar

kesar janaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra,

kalian tinggal hanya hewan yang pandai.”. Pernyataan

itu secara simbolis mengacungkan tanda seru

tentang pentingnya sastra bagi peradaban umat

manusia. Seorang tidak cukup hidup hanya dengan

pikiran, tetapi juga ada imbangan budi pekerti.

Sastra diangankan membentuk manusia yang

berkesadaran utuh, berjati diri dan berkeutamaan.

Pernyataan itu menggambarkan tentang bagaimana

nilai pendidikan karakter yang dapat digali dari

dunia sastra.

Pembelajaran sastra entitasnya diharapkan

mampu mengolah watak pelajar, meliputi pandangan

hidup atau pola pikir yang mendorong ketegasan

sikap dan perilaku. Kini, ketika persoalan karakter

diangkat menjadi garapan pendidikan, sastra patut

diacu sebagai media sekaligus sumber pendidikan

karakter yang bercita menyelamatkan moralitas

bangsa dan membentuk peradaban luhur. Pilihan

ini tentu didasarkan pada potensi nilai-nilai karya

sastra yang dapat disemaikan melalui pergulatan

kesastraan secara implicit, bukan lagi menjadi

pengetahuan yang diajarkan secara langsung. Sudah

jamak disadari bahwa pengalaman negara maju

dalam penanaman kebudayaannya menjadikan

pilihan karya sastra sebagai pintu pendidikan yang

pertama-tama, khususnya kekayaan akan nilai dan

pendidikan karakter suatu bangsa.

Sementara itu, kemampuan berbahasa

hakikatnya adalah artikulasi seseorang atas pikiran

dan pendapat (logos), gairah dan perasaan (phatos)

serta adab dan susila (ethos). Tumbuh kembangnya

bahasa, termasuk fungsinya sebagai medium ujaran

dan manifestasi kesusastraan, turut menentukan

sifat dan tingkat peradaban suatu masyarakat.

Sejak awal pengajaran sastra terintegrasi dalam

kurikulum Bahasa Indonesia. Paket ini secara tidak

langsung mengesampingkan sastra, sedangkan

kurikulum bahasa tampak terperangkap sekadar

memerkarakan tata bahasa “yang baik dan benar”

dalam acuan komunikasi fungsional. Pengetahuan

sastra di kelas-kelas kurang mendapat saluran

karena keterbatasan alokasi waktu, sehingga jamak

siswa sekadar hafal sejumlah nama sastrawan dan

judul bukunya. Kecuali itu, siswa tidak diarahkan

membaca karya-karya sastra itu sendiri secara riil,

tidak dikondisikan untuk mencerap dan menghayati

nilai-nilai karya sastra yang ada.

Pelajar dan mahasiswa yang dicitakan

menjadi insan berkeutamaan (berkarakter) dapat

ditempa melalui sastra. Hal ini didasarkan atas

pertimbangan sebagai berikut. Pertama, sastra

menawarkan alternatif moral agar seseorang

mencapai keteguhan sejumlah sikap, berpikir

dewasa dan sadar akan multikulturalitas. Pergulatan

Sutejo, Nilai Pendidikan Karakter Seorang Guru dalam Trilogi Novel Syaikh Siti Jenar Karya Agus Sunyoto176

dengan sastra memungkinkan siswa memasuki

ragam situasi imajinatif yang sekaligus menuntut

pembayangan dan penempatan sikap dalam situasi

yang dibangun di dalam karya sastra. Novel seperti

Harimau! Harimau! (Mochtar Lubis), Salah Asuhan

(Abdoel Moeis) atau Para Priyayi (Umar Kayam)

adalah karya yang mewartakan nilai-nilai humanitas.

Demikian juga atas novel-novel mutakhir macam

Laskar Pelangi karya Andrea Hirata kuat dengan

nilai-nilai pendidikan yang adiluhung.

Selanjutnya, novel Saman dan Larung karya Ayu

Utami kuat dengan nilai-nilai pendidikan demokrasi,

HAM, emansipasi, dan nilai kemanusiaan. Terlebih,

jika kita mau menengok novel-novel mutakhir

yang diadaptasi dari cerita Jawa seperti Ramayana,

Baghawat Gita, Semar, dan sejenisnya yang diterbitkan

oleh penerbit Diva Press menarik karena kuat

dengan nilai-nilai kebudayaan Jawa. Khusus

trilogi novel Syaikh Siti Jenar karya Agus Sunyoto

menawarkan berbagai nilai-nilai kehidupan yang

menarik, terutama nilai berguru yang meliputi nilai

karakter seorang guru di satu sisi dan di sisi lain nilai

karakter seorang murid yang menarik untuk dimiliki

para guru dan murid dalam konteks pendidikan

mutakhir.

Kedua, sastra mengajak menyelami fakta-fakta

sosial secara lebih mendalam. Sastra menghimpun

suatu pengetahuan tentang masyarakat dan memiliki

relevansi dengan kehidupan yang bisa diserap

menjadi pengalaman sosial bagi pembacanya

sehingga menumbuhkan kepekaan sosial dan sikap

kritis. Bisa dibaca, misalnya, dalam novel tetralogi

Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer,

Ronggeng Dukuh Paruk, Jantera Bianglala, dan Lintang

Kemukus Dini Hari serta Bekisar Merah karya Ahmad

Tohari dan Saman dan Larung Ayu Utami.

Ketiga, sastra menawarkan nilai-nilai religi

yang menyampaikan misi profetik. Tampak pada

karya-karya Danarto, taruhlah kumpulan cerpen

Godlob, Adam Ma‘rifat dan Berhala. Atau novel Di

Bawah Lindungan Ka‘bah karya Hamka, dan Khotbah

di Atas Bukit karya Kuntowijoyo. Karya-karya

demikian menawarkan nilai-nilai religiusitas yang

menarik untuk dikaji dan diinternalisasikan dalam

pembelajaran sastra.

Hal yang tak kalah penting adalah kekuatan

sastra yang mampu memacu gairah kreativitas,

merayakan imajinasi dan membebaskan diri.

Di samping membaca, menulis karya sastra,

secara langsung mendorong siswa memahami

suatu realitas yang dihadapi dan menyadari

pandangan dirinya, sekaligus berkompromi dengan

pelbagai kepentingan di luar dirinya. Novel Laskar

Pelangi misalnya karya Andrea Hirata yang telah

diterjemahkan ke dalam 34 bahasa dan terbit di

130 negara (Kompas, 27/7/2015:32) sesungguhnya

adalah inspirasi akan nilai-nilai pendidikan karakter

yang dimiliki oleh seorang murid yang ingin

berbakti kepada guru tercinta: Muslimah. Sosok

guru dan murid terikat dalam satu kesatuan rasa,

emosi, nilai, sikap, kreativitas, dan etos yang luar

biasa sehingga mampu menggerakkan sang murid

dalam pendakian kehidupannya. Tidak heran, jika

novel ini mendapatkan apresiasi yang luar biasa

dalam perjalanan dunia sastra di Indonesia. Begitu

banyak pengakuan terhadap novel yang telah

mampu mengubah seseorang, terinspirasi dan

tergerakkan menjadi generasi muda yang handal

dan menantang. Hal ini sebagaimana pernah

ditayangkan sebuah stasiun televisi melalui program

Kick Andy yang menghadirkan para saksi pembaca

Laskar Pelangi, ibu Muslimah, dan sang pengarang

Andrea Hirata.

Agenda pendidikan karakter tampaknya

harus memperbarui cara pandang pengajaran

Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah. Tidak

lagi menempatkan bahasa sekadar perangkat

komunikasi verbal, tetapi juga komunikasi simbolik

yang sarat makna seperti terkandung di dalam

ujaran sastra. Pengajaran bahasa dan sastra mesti

diproyeksikan untuk membangun budaya literasi

serta membentuk pelajar kreatif dan produktif.

Saatnya para guru bahasa membuka mata akan

potensi dalam karya sastra sehingga menuntut

kreativitas guru untuk mampu memanfaatkannya

sebagai media pembelajaran berbasis karakter.

Tanpa kesadaran dan kreativitas guru sastra maka

pembelajaran sastra akan terjebak pada kognitivasi

sastra, pembelajaran tentang sastra bukan pada

pelibatan internalisasi nilai dalam karya sastra.

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 177

Sastra sebagai cerminan keadaan sosial budaya

bangsa haruslah diwariskan kepada generasi

mudanya. Menurut Herfanda (2008:131), sastra

memiliki potensi yang besar untuk membawa

masyarakat ke arah perubahan, termasuk perubahan

karakter. Selain mengandung keindahan, sastra

juga memiliki nilai manfaat bagi pembaca. Segi

kemanfaatan muncul karena penciptaan sastra

berangkat dari kenyataan sehingga lahirlah suatu

paradigma bahwa sastra yang baik menciptakan

kembali rasa kehidupan. Penciptaan karya sastra

yang terjadi secara berjalinan dan berkelindan

dengan kehidupan penulis dan pembaca akan

melahirkan pengalaman kehidupan yang menarik

dan alami. Namun, kenyataan tersebut di dalam

sastra dihadirkan melalui berbagai tahap proses

kreatif. Dengan demikian, potensi bahan-bahan

tentang kenyataan kehidupan dapat dipahami

melalui proses penafsiran baru oleh pengarang di

satu sisi dan di sisi lain dineterpertasikan ke dalam

nilai-nilai baru oleh para guru dan murid sebagai

pembacanya.

Untuk inilah, keberadaan sastra seringkali

dikaitakan sebagai media pendidikan karakter,

yaitu sastra sebagai media pembentuk watak

moral peserta didik, dengan sastra kita bisa

mempengaruhi peserta didik. Karya sastra dapat

menyampaikan pesan-pesan moral baik secara

implisit maupun eksplisit. Dengan mengapresiasi

cerpen, novel, cerita rakyat, dan puisi, akan

dapat membentuk karakter peserta didik, sastra

mampu memainkan perannya dalam kehidupan

nyata. Nilai-nilai kehidupan itu diantaranya adalah

kejujuran, kebaikan, persahabatan, persaudaraan,

kekeluargaan, keikhlasan, ketulusan, kebersaman,

kerja keras, kebaktian kepada guru, takdim,

semangat, komitmen, dan lain sebagainya yang

berhubungan dengan pendidikan karakter. Tugas

guru memang sebagai penyemai dan penjaga

taman imajinasi (karya sastra) itu sehingga mampu

mendampingi anak didik dalam memanen nilai-nilai

kehidupan yang bermanfaat.

Objek penelitian ini adalah trilogy novel Syaikh

Siti Jenar karya Agus Sunyoto yang dipandang kuat

dengan nilai pendidikan karakter yang menarik

untuk diteladani. Khususnya yang berkaitan dengan

karakteristik guru dalam proses berguru. Adapun

tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan nilai

pendidikan karakter ideal seorang guru dalam trilogi

novel Syaikh Siti Jenar karya Agus Sunyoto.

METODE

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif

kualitatif. Penentuan jenis penelitian ini disesuaikan

dengan permasalahan, sifat, maupun tujuan

penelitiannya. Objek penelitian ini adalah karya

sastra berupa novel yang ditulis Agus Sunyoto

berdasarkan hasil penelitian teks selama beberapa

tahun. Karya sastra yang berupa trilogi novel

Syaikh Siti Jenar, terdiri atas (1) Suluk Abdul Jalil:

Perjalanan Ruhani Syaikh Siti Jenar [1] dan [2]; (2)

Sang Pembaharu: Perjuangan dan Ajaran Syaikh Siti

Jenar [3], [4], dan [5]; dan (3) Suluk Malang Sungsang:

Konflik dan Penyimpangan Ajaran Syaikh Siti Jenar [6]

dan [7].

Adapun pendekatan yang dipilih untuk mengaji

trilogi novel Agus Sunyoto adalah (i) pendekatan

mitopoik, (ii) pendekatan sufistik, (iii) pendekatan

etnografi, (iv) pendekatan fenomenologis, dan (v)

pendekatan objektif. Kelima pendekatan dipilih

dengan alasan sebagai berikut.

Sumber data dalam penelitian ini adalah

trilogi novel Syaikh Siti Jenar. Dalam teori mimetik,

karya sastra itu merupakan tiruan, potret, dan

refleksi sosial pengarang. Trilogi novel Syaikh Siti

Jenar hakikatnya juga merupakan refleksi sosial

masyarakat yang menggambarkan sosok ideal

seorang guru. Sebagai ‘fakta sosial imajinatif ’ trilogi

novel ini akan menjadi sumber data penelitian yang

dipergunakan untuk menemukan representasi

spiritualitas Islam-Jawa.

Data penelitian yang digunakan dalam

penelitian ini berupa data primer, yakni data yang

diperoleh dari sumber data yang telah berkaitan

dengan sosok ideal seorang guru. Data yang

dimaksud adalah data-data yang mempresentasikan

tentang karakteristik seorang guru yang ideal.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian

kualitatif dengan sumber data berupa novel

adalah teknik baca, simak, catat (cuplik). Teknik

ini menuntut peneliti sebagai instrumen kunci

melakukan pembacaan, penyimakan, pecatatan

Sutejo, Nilai Pendidikan Karakter Seorang Guru dalam Trilogi Novel Syaikh Siti Jenar Karya Agus Sunyoto178

secara cermat, terarah, dan teliti terhadap sumber

data. Sedangkan, teknik pustaka menyaran pada

pengambilan data dari sumber-sumber tertulis

oleh peneliti sebagai instrumen kunci beserta

konteks yang mendukungnya. Selanjutnya, dianalisis

baik secara induktif maupun deduktif untuk

menemukan nilai pendidikan karakter yang ada.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian ini yang dideskripsikan

adalah ajaran tentang sosok ideal seorang guru.

Guru dalam tradisi berguru, memiliki peran

strategis sehingga karakter seorang guru akan

menjadi penggerak dalam proses berguru seorang

murid. Demikian juga, murid yang berhasil dalam

mememasuki proses berguru dituntut memiliki

seperangkat karakter agar ajaran berguru yang

digelutinya berhasil secara optimal, baik secara ilmu

maupun ngelmu (lelaku).

Tokoh utama San Ali dalam trilogi Syaikh

Siti Jenar adalah gambaran ajaran berguru yang

mencerminkan sosok guru yang ideal khas Islam-

Jawa, lintas agama, lintas waktu, lintas geografis,

dan lintas etnik budaya. Dalam proses bergurunya,

ia mencerminkan sosok murid yang idel. Proses

pengembaraan berguru San Ali membentuknya

menjadi diri pribadi yang kompleks: “multiwarna”

pengalaman ruhaninya, “multilaku” ajarannya,

multibudaya bungkusnya, multisiasah pandangan

dan strategi dakwahnya, multiguru penggaliannya

dalam lintas batas geografis dan agama. Sebuah

sinkretisme ajaran yang bermuara pada teologi

hakiki-falsafi bukan pada sebuah bentuk “formal”

agama saja. Guru-guru ruhani dalam perjalanan

berguru khas Islam-Jawa tidak saja bersifat formal

tetapi juga tidak formal. Bagi San Ali semua orang

adalah guru dan semua tempat adalah sekolah

(pondok) belajar ruhani.

Gur u-gur u r uhani Abdul Ja l i l dapat

diidentifikasikan sebagai berikut: (i) Syaikh Datuk

Kahfi, (ii) Ki Samadullah, (iii) Rs Samsitawratah,

(iv) Syaikh Ibrahim as-Samarkandy, (v) Ario

Abdilah (Aria Damar), (vi) Syaikh Datuk Ahmad,

(vii) Abdul Mahjubin, (viii) Ahmat at-Tawalud, (ix)

Abdus Syukur ar-Rajut, dan (x) ‘Ainur Barazikh.

Sedangkan guru-guru spiritual yang secara tidak

langsung yang ia pelajari melalui buku-buku tasawuf

adalah (i) Syaikh Abdul Mubdi al-Bagdady, (ii) Abu

Mansyur al-Hajaj, (iii) Abu Yazid Bustami, (iv) Abu

Said al-Kharaz, (v) Abu Bakar al-Kalabazi, (vi) Abul

al-Qasim al-Qusyairy, (vii) Muhyiddin Ibnu Araby,

(viii) al-Ghazali, dan (ix) Abdul Karim al-Jaili.

Tradisi berguru dalam tradisi sufisme bisa

secara langsung maupun tidak langsung (imajiner).

Secara imajiner berguru dapat melalui sikap,

pandangan, pemikiran, dan pengalaman rohaninya

untuk dijadikan pegangan hidupnya. Menurut

Mulkan, Syaikh Siti Jenar sebagai seorang guru

spiritual, pemikirannya dapat dikelompokkan ajaran

tentang Tuhan, hidup dan mati, jalan mengenal

Tuhan, dan bagaimana menjalankan hidup di dunia

ini (2009:12-13).

Dalam trilogi novel Syaikh Siti Jenar, ajaran

berguru begitu menonjol melalui tokoh utama

Syaikh Siti Jenar yang memunyai nama muda

San Ali. Nama San Ali pemberian dari ayah

angkatnya Danuselo yang berarti ‘sembilan ekor

kumbang hitam’ (SAJ PR SSJ[1]:36). Ajaran

berguru sebagaimana tercermin dalam perjalanan

ruhaninya adalah sebuah inspirasi makna, hakikat,

dan nilai pendidikan yang menarik untuk ditelusuri

secara mendalam. Uniknya, perjalanan berguru

Abdul Jalil lintas agama, lintas geografis, dan

lintas fisik. Perjalanan berguru Abdul Jalil seakan

menginspirasikan adagium ‘setiap orang adalah guru

dan setiap tempat adalah sekolah (pesantren/padepokan)’.

Dengan begitu, makna pelajaran ruhani menyebar-

pendar dalam segala pergulatan ruhaninya dengan

ayat-ayat kauniyah-Nya. Dalam proses berguru,

tokoh utama San Ali tergambarkan diri sebagai

salik yang suka lelaku, tirakat, meditasi, dzikir,

mengembara, puasa, dan membalut dengan rasa

takut kepada Allah.

S an A l i ad a l ah fig u r a s i s a l i k y ang

menerjemahkan pesan kearifan Athaillah, “Sebaik-

baik ilmu adalah ilmu yang diiringi rasa takut

kepada Allah.” (2012:248). Iringan rasa takut

sebagai wujud penghambaan kepada Khaliq karena

ilmu dalam pandangan Al-Ghazali dinisbahkan

sebagai sebab pertama kesombongan manusia

(2005:252). Fadhlalla mengritisinya dengan pesan

penting berikut, “Pengetahuan adalah sumber

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 179

kekuatan. Jika engkau tidak mendekatinya dengan

sikap yang benar, ia akan membuatmu menderita,

akan menguasimu. Engkau memiliki kepekaan,

kesadaran, dan kehati-hatian supaya bisa mengambil

manfaat dari pengetahuan sejati (2012:248).

Peran guru (mursyid) dalam menempuh

perjalanan ruhani (ajaran tasawuf) begitu fungsional.

Guru sejati dalam mistikisme Islam-Jawa memiliki

hubungan batin antara guru dan murid. Mereka

memiliki siasah yang banyak untuk mengajarkan

ilmu keruhaniannya kepada murid-murid dan

masyarakat umumnya. Berikut representasi ideal

pendidikan karakter seorang guru yang dapat

ditemukan.

Karakter Penulis

Tradisi yang dibangun Abdul Jalil yang

terpenting adalah tradisi menulis. Tugas-tugas yang

berat sebagai guru dipandang sebagai tantangan

untuk menelorkan gagasan menulis. Menulis sebagai

wasilah ilmu tampaknya disadari betul oleh Abdul

Jalil dan secara tidak langsung menumbuhkan tradisi

membaca. Tradisi menulis yang dibangun Abdul

Jalil hakikatnya pentingnya mengawinkan membaca

dengan menulis. Sebagaimana isyarat surat Al-

‘Alaq, yang menyandingkan membaca dengan

pena, secara metaforik menuntun manusia akan

pentingnya kemampuan menulis sebagai sarana

pembelajaran terpenting. Ayat keempat menyatakan,

“yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam.”

Pena, kalam, menulis, dengan sendirinya, akan

meneguhkan proses dialogis dalam pembacaan

sebelum terekspresikan dalam tulisan.

Kejayaan sejarah pemikiran Islam tumbuh

dalam konteks mengawinkan membaca dan menulis

ini sehingga disegani. Suatu realita pahit umat Islam,

dan tidak banyak disadari, bahwa kemunduran

pemikiran Islam berawal pada abad ke-13 ketika

buku-buku pemikiran (sebagai simbol peradaban

Islam) dibakar dan dilemparkan ke Sungai Euphrat,

sehingga airnya menjadi hitam oleh tinta sekian

banyak buku (Darma dalam Sularto, 2004:71).

Dalam sejarah peradaban pemikiran,

membaca dan menulis (buku) identik dengan ilmu

pengetahuan dan kebudayaan. Kesadaran demikian

tampaknya yang disadari Abdul Jalil sehingga

mengajak kolega guru ruhani untuk menuliskan

‘pengalaman pengembaraan’ ke dalam tulisan

berupa cerita. Jika menengok sejarah peradaban

Islam, cerita merupakan metode pembelajaran

baik yang dilakukan Allah dan nabi Muhammad

saw kepada umat manusia. Menyadari hal demikian

maka Abdul Jalil melakukan gerakan menulis di

kalangan guru ruhani.

“Sadar bahwa tugas belum selesai dan sesuatu yang tak menyenangkan bakal terjadi, Abdul Jalil buru-buru mengumpulkan mereka yang selama itu telah menunaikan tugas untuk mencatat dan menyusun cerita-cerita, dongeng-dongeng, adab, dan ajaran jalan hidup yang berdasar Tauhid. Karya mereka itulah yang bakal digunakan untuk memperkuat nilai-nilai baru yang telah ditebarkannya, yaitu nilai-nilai baru berdasar penghormatan dan keseimbangan yang bakal menggantikan nilai-nilai lama yang sudah tidak sesuai tuntutan perubahan. Di antara mereka itu adalah Raden Sahid, Raden Sulaiman, Ki Gedeng Pasambangan, Syaikh Abdul Malik Israil, Syaikh Bentong, Ki Sarajaya, dan Ki Luwung Seta. Ia merasa senang saat mengetahui mereka ternyata telah menyelesaikan pekerjaannya dengan baik meski belum sempurna.” (SMS KPA SSJ[1]: 38).

Dari kutipan di atas, tampak tradisi menulis

dibudayakan oleh Abdul Jalil sebagai upaya untuk

mengubah tradisi dan jalan hidup berdasarkan

tauhid Islam. Jika mengaji peradaban Islam yang

diinspirasikan Allah di muka bumi memang

bermula dari membaca dan menulis. Inspirasi ini

tampak pada kehadiran surat Al-‘Alaq, Al-qalam,

Al-Muzammil, dan Al-Mudatstsir adalah simbol

akan pentingnya ilmu pengetahuan (membaca dan

menulis). Surat-surat turun berurutan diterima nabi.

Al-‘Alaq simbol pentingnya membaca dan menulis.

Al-qalam adalah pentingnya transformasi ilmu

melalui proses wasilah menulis. Al-Muzammil adalah

simbol untuk belajar secara intensif. Al-Mudatstsir

adalah simbol untuk beribadah (karena proses

kerasulan dimulai dari surat ini, yang kemudian

diikuti turunnya surat Al-Fatihah sebagai inti bacaan

shalat (Sutejo, 2010:vii).

Surat al-‘Alaq dan al-Qalam dikatakan simbol

akan pentingnya membaca dan menulis dengan

pemikiran berikut. Pertama, isyarat al-Quran (al-

Sutejo, Nilai Pendidikan Karakter Seorang Guru dalam Trilogi Novel Syaikh Siti Jenar Karya Agus Sunyoto180

‘Alaq), diksi bacalah diulang sampai dua kali. Pada

kalimat pertama, kata bacalah kemudian diulang

dalam kalimat selanjutnya, bahkan pada ayat

keempat diikuti dengan kata “pena” (al-qalam).

Kedua, konteks sosial surat al-‘Alaq sesungguhnya

perintah yang tidak perlu ditafsirkan secara

rumit karena perintah itu sudah konkret. Dalam

pemahaman tafsir, sebuah perintah yang tak tidak

terdapat pengecualiannya berarti wajib untuk

dilaksanakan.

Hal-hal inilah yang penting disadari, ternyata

membaca dan menulis itu menjadi intisari kerasulan

nabi, bahkan nabi kita diajari membaca langsung

oleh malaikat Jibril. Tidak saja itu, tetapi juga

masalah wudlu dan sholat, nabi Muhammad

diajari langsung oleh Jibril sebagaimana hadis

yang berbunyi, “Aku didatangi Jibril as, pada awal-

awal turunnya wahyu kepadaku. Dia mengajarkan

kepadaku wudlu dan sholat” (Mustofa, 2008).

Kesadaran akan pentingnya menulis inilah

maka gerakan menulis dilakukan oleh Abdul Jalil.

Adapun materi yang ditulisnya berupa cerita-

cerita, dongeng-dongeng, adab, dan ajaran jalan

hidup yang berdasar Tauhid; mengingatkan akan

pentingnya ajaran akhlak dan ketauhidan dalam

kehidupan masyarakat Islam. Bentuk cerita dan

dongeng, misalnya, menginspirasikan bahwa

dengan cerita ‘kesadaran seseorang’ akan mudah

disentuh karena melibatkan potensi bawah sadar di

satu sisi dan pada sisi yang lain mampu mengajarkan

nilai-nilai Islam secara tidak langsung.

Ada ungkapan yang mengatakan bahwa

‘pena lebih tajam daripada pedang’. Dalam dunia

motivasi dikenal pula ada ungkapan, “Kita tidak

dapat mengubah seseorang kecuali mengubah pola

pikirnya.” Dua ungkapan demikian mengingatkan

(a) bahwa jika ‘perang budaya’ akan lebih efektif jika

menggunakan pena, (b) dengan pena ‘perjuangan’

dapat berlangsung secara terus-menerus (wasilah),

(c) pena itu dapat mengubah pola pikir dan hati

manusia, dan (d) pentingnya gerakan budaya

‘menulis’ yang dipelopori oleh Abdul Jalil.

Kesadaran tulisan sebagai ‘senjata perang’

disadari betul oleh para guru ruhani sehingga yang

dibutuhkan adalah memilih ‘prajurit’ yang mahir

menggunakannya. Jika menengok peradaban besar

dari berbagai negara maju “perang pena” ini sudah

menjadi realita konkret yang meneguhkan bentuk

penjajahan baru di bidang ilmu pengetahuan.

Negara-negara maju dengan modal kapital dan

investasi besar mampu menggiring “negara

berkembang” berkiblat kepadanya. Dalam ajaran

yang dikembangkan Abdul Jalil jauh abad, pena

sudah disadari sebagai “senjata perang” untuk

membangun peradaban baru. Namun mengingat

masyarakat Nusa Jawa yang masih buta huruf maka

senjata itu harus diubah dan memilih prajurit yang

tepat untuk memakainya. Metafora itu sebagaimana

tampak dalam kutipan di bawah ini.

“Dengan suara berkobar-kobar penuh semangat ia berkata, ’’Ibarat orang maju ke medan perang semua naskah itu ialah senjata ampuh yang akan menjadi salah satu penentu kemenangan. Lantaran itu, yang kita butuhkan sekarang adalah para prajurit yang unggul dan pandai dalam menggunakan senjata tersebut.’’ (SMS KPA SSJ[1]:40).

Dari kutipan di atas, diajarkan nilai penting

tentang perlunya kemampuan menulis bagi para guru

ruhani. Jika menarik dalam konteks kekinian, maka

para guru di dunia pendidikan perlu meneladani apa

yang telah dilakukan oleh para guru ruhani macam

Raden Sahid, Ki Pasembangan, Syaikh Bentong,

Syaikh Abdul Israil, dan Raden Sulaiman. Jika para

guru melakukannya maka perubahan peradaban

dapat diperjuangkan dengan mudah karena pena

hakikatnya adalah “pedang” atau “senjata” ampuh

yang mampu menaklukkannya.

Karakter Pendongeng

Abdul Jalil ketika melakukan gerakan budaya

menulis bersama sahabat-sahabatnya, menyadari

betul realita masyarakat yang dihadapi mayoritas

buta huruf. Pada saat itu, mereka yang memiliki

kemampuan membaca baru berpusar di kalangan

keraton Majapahit dan Pasundan. Sejak itulah,

dimunculkan tradisi suluk dan mendongeng. Sebuah

upaya lebih mendekatkan ajaran perubahan untuk

mengubah tatanan lama melalui tradisi lisan (mulut

ke mulut). Di sinilah maka guru dituntut memiliki

karakter pendongeng. Jika nabi Muhammad saw.,

adalah pendongeng dan pencerita maka guru

ruhani (termasuk guru mutakhir) dituntut memiliki

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 181

kemampuan mendongeng dan bercerita pula.

Kutipan berikut menunjukkan itu.

“Tentu saja tidak mungkin melakukan cara itu,’’ kata Abdul Jalil. ’’Sebab penduduk di Pasundan dan Majapahit yang bisa baca dan tulis hanya kalangan kraton. Pada hal, kita ingin menyebarkan ini ke seluruh penduduk. Menurutku, semua naskah harus disampaikan dari mulut ke mulut hingga dipahami oleh semua orang.” (SMS KPA SSJ[1]:40).

Gambaran di atas menunjukkan kecerdasan

guru ruhani dalam mengembangkan dakwah di

kalangan masyarakat sebelum mengenal baca-

tulis. Karena itulah Abdul Jalil memutuskan untuk

(a) mengubah naskah-naskah yang telah ditulis

ke dalam karya sastra agar mudah dipahami, dan

(b) mengubah naskah buku menjadi materi cerita

(dongeng) kepada masyarakat yang diberikan secara

berkeliling. Guru ruhani yang dipilih Abdul Jalil

untuk mengembara dan mengembangkan dongeng

berkeliling adalah Raden Sahid dan temannya.

Je jak mendongeng (bercer i ta) dalam

masyarakat Jawa pernah mengalami masa-masa

keemasan meskipun akhirnya surut. Kesadaran

akan pentingnya mendongeng dalam dunia

pendidikan mutakhir disadari kembali sehingga

beberapa kelompok masyarakat mengusulkan

adanya revitalisasi dongeng. Jika menengok sejarah

peradaban Islam, cerita atau dongeng ini sangat

dominan dalam pengemasan ajaran Islam, baik

hadist-hadist nabi dan pengisahan ajaran Islam

di dalam al-Quran. Dalam penyebaran ajaran

tasawuf, teknik cerita banyak dimanfaatkan untuk

menginspirasi perjalanan ruhani salik dengan

menggunakan simbol dan idiom yang inspiratif.

Karakter Arif dan Alim

Salah satu syarat seorang guru adalah memiliki

sifat alim dan ahli dalam memberikan bimbingan

kepada murid-muridnya. Abdul Jalil selalu

memberikan bimbingan kepada masyarakat yang

mengalami kesesatan pandangan dan pikirannya.

Berikut dikutipkan sikap kearifan Abdul Jalil dalam

memberikan tuntutan kepada masyarakat dan

murid-muridnya yang terjebak pada ‘kejahilihan’.

“Bagi Abdul Jalil, seorang ‘arif, manusia yang sudah terbangun dan tercelikkan mata hatinya, adalah manusia yang sadar bahwa ia harus menghancur-leburkan keakuan pribadi beserta pamrih-pamrih duniawi demi lahirnya suatu kehidupan baru yang selaras dan seimbang dengan hukum-hukum kauniyah. Ya, seorang ‘arif harus menjadi gumpalan awan yang rela menghamburkan khazanah air yang dikandungnya sebagai hujan demi tumbuhnya benih-benih kehidupan baru. Atau, seperti bumi yang merelakan dirinya diinjak-injak, dilukai dengan cangkul dan bajak, diludahi, dikencingi, bahkan diberaki demi kelangsungan hidup para penghuninya. Dan di atas itu semua, seorang ‘arif haruslah meneladani gerak kehidupan Nabi Muhammad Saw, sang limpahan rahmah bagi alam semesta (SP PA SSJ[2]:194-195).

Kutipan di atas menggambarkan kompleksitas

seorang guru ruhani: meleburkan sifat keakuan

diri, tidak pamrih, sadar kauniyah, menjadi bumi,

memiliki cinta kasih, pembaharu, insan kamil, dan

mampu menjadi pemimpin di muka bumi sebagai

wakil Allah. Untuk itu, dapatlah dipahami bahwa

guru dalam tradisi tasawuf memegang kunci dalam

membimbing perjalanan ruhani seorang salik

(murid). Kearifan diri dan kepemilikan pengetahuan

(alim) yang cukup merupakan karakter penting

seorang guru ruhani. Kearifan dengan sendirinya

merupakan “keindahan” sendiri bagi seorang

penempuh jalan ruhani.

Kear i fan da lam ungkapan ar i f Jawa

dikemukakan, “Sapa wruh kembang tepus, iku bisa

angarah panuju, yekti datan adoh lan badan pribadi, lamun

kanthi awas emut, selamet tumekaning ndon.” (Siapa yang

tahu kembang tepus (tepa selira), dia dapat mencapai

hati, segala sesuatu tidak jauh dari dirinya, jika

disertai sadar dan waspada, pasti selamat sampai

tujuan). Kearifan sejatinya mempertemukan sudut

pandang dengan toleransi tinggi kepada sesama

(makna metaforis dari kembang tepus).

Karakter Tidak Egois

Makna guru harus mampu meleburkan sifat-

sifat keakuan diri mengisyaratkan makna bahwa

guru spiritual itu hakikatnya teladan yang diri

yang sudah mencapai maqam kasyaf (tersingkap

tabir keakuan diri sehingga mampu mengenali

Sutejo, Nilai Pendidikan Karakter Seorang Guru dalam Trilogi Novel Syaikh Siti Jenar Karya Agus Sunyoto182

suara gaib tentang kebaikan). Keakuan diri dalam

perjalanan umat manusia seringkali melahirkan

kerakusan, keculasan, kepongahan, kesombongan,

dan kesewenang-wenangan sehingga menimbulkan

disharmoni dalam kehidupan sosial masyarakat.

“Bagi Abdul Jalil, seorang ‘arif, manusia yang sudah terbangun dan tercelikkan mata hatinya, adalah manusia yang sadar bahwa ia harus menghancur-leburkan keakuan pribadi beserta pamrih-pamrih duniawi demi lahirnya suatu kehidupan baru yang selaras dan seimbang dengan hukum-hukum kauniyah. Ya, seorang ‘arif harus menjadi gumpalan awan yang rela menghamburkan khazanah air yang dikandungnya sebagai hujan demi tumbuhnya benih-benih kehidupan baru. Atau, seperti bumi yang merelakan dirinya diinjak-injak, dilukai dengan cangkul dan bajak, diludahi, dikencingi, bahkan diberaki demi kelangsungan hidup para penghuninya. (SP PA SSJ[2]:194-195).

Keakuan diri hakikatnya kesombongan.

Ilmu oleh Al-Ghazali dipandang sebagai sebab

utama kesombongan di samping amal ibadah,

harta, garis keturunan, kekuatan, kecantikan,

dan pengikut. Seorang guru ruhani diharapkan

mampu melepaskan keakuan diri sehingga apa yang

dilakukan hanyalah sebuah kewajiban seorang alim,

ibadah, dan penghambaan kepada Allah.

Untuk inilah maka dapat dipahami nilai penting

seorang guru (mursyid) agar mampu melepaskan

keakuan diri (kesombongan). Jika guru ruhani yang

mestinya tawaduk (rendah hati) tetapi sombong

maka akan melahirkan dampak yang tidak positif

kepada para murid dan pengikutnya. Bukankah

hakikat guru itu adalah model bagi para muridnya?

Keakuan adalah hijab besar bagi guru ruhani dan

murid dalam menapaki pendakian spiritualitasnya.

Karakter Tanpa Pamrih

Gur u r uhan i d i tun tu t pu l a mampu

menghilangkan pamrih (baik tersembuyi maupun

terang-terangan). Kehidupan yang penuh pamrih

akan melahirkan kesemuan perilaku sosial

masyarakat sehingga akan melahirkan masyarakat

yang semu. Dalam ajaran aforisme Jawa dikenal ada

ungkapan ‘rame ing gawe sepi ing pamrih’. Guru yang

pamrih dalam bekerja akan mengharapkan sesuatu

dari pekerjaannya seperti pujian dan pemberian dari

orang lain (atasan atau kolega) padahal mengajar

adalah kewajiban dan ibadah wujud pengabdian

Yang Arif.

“Bagi Abdul Jalil, seorang ‘arif, manusia yang sudah terbangun dan tercelikkan mata hatinya, adalah manusia yang sadar bahwa ia harus menghancur-leburkan keakuan pribadi beserta pamrih-pamrih duniawi demi lahirnya suatu kehidupan baru yang selaras dan seimbang dengan hukum-hukum kauniyah. (SP PA SSJ[2]:194-195).

Hal ini sepaham dengan apa yang dikemukakan

Wahyudi. Tanpa pamrih merupakan salah satu

syarat seorang guru ruhani yang penting. Wahyudi

(2007:55) mengungkapkan bahwa salah satu syarat

seorang guru dalam melakukan tugas dan fungsinya

adalah tidak mengharapkan apa-apa (tanpa pamrih).

Syarat yang lain adalah (i) pengasih kepada murid,

(ii) telaten, (iii) memiliki perasaan yang tajam,

(iv) tidak mengambil apa-apa, (v) tidak menolak

pertanyaan, (vi) tidak pelit membagi kecakapan, dan

(vii) tidak memburu pujian (2007:54-55).

Lahirnya manusia-manusia yang tanpa pamrih

menandakan keikhlasan menjalani hidup sebagai

wujud ajaran zakat Syaikh Siti Jenar. Sebab, salah

satu ajaran penting zakat ala Syaikh Siti Jenar adalah

bukan saja pemberian dalam bentuk material tetapi

juga imaterial yang tanpa pamrih kepada sesama.

Jika memiliki kelebihan wawasan, ilmu, kebahagiaan,

cinta, dan kerohanian misalnya, seorang murid

dituntut untuk belajar memberikannya kepada

orang lain tanpa pamrih.

Karakter Alam

Selanjutnya, guru diharapkan menyadarkan

akan adanya hukum alam (keseimbangan kauniyah)

kepada murid-muridnya. Hukum kauniyah adalah

hukum yang tetap, karma dan darma dalam ajaran

Hindu-Budha, dan ngunduh wohing pakerti dalam

ajaran Jawa. Untuk inilah salah satu indikator guru

yang baik dalam ajaran Syaikh Siti Jenar adalah

kemampuannya dalam menginspirasi kesadaran

murid untuk mempunyai sikap darma dan karma

sebagai representasi hukum kauniyah.

Kesadaran akan darma dan karma ini dalam

pandangan Jawa hakikatnya sebuah refleksi

kesadaran (eksistensi kemanusiaan) yang penting

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 183

dimiliki oleh guru (ruhani). Karma, sebagaimana

diungkapkan Suyono (2008:36) tidak saja berlaku

kepada manusia tetapi merupakan hukum alam yang

harus ada. Guru ruhani penting menyadari ragam

hukum alam (karma) ini untuk bekal pengajaran dan

laku spiritual keguruan yang dilakukannya.

Adapun karma (hukum perbuatan-akibat)

sebagai hukum alam (kauniyah) ini mencakupi: (i)

karma perbuatan baik, (ii) karma tidak melakukan

perbuatan baik, (iii) karma kejahatan, (iv) karma

keluarga atau kelompok, dan (v) karma pribadi.

Guru ruhani yang tidak saja sebagai pribadi tetapi

juga anggota masyarakat penting menyadari

keberadaan hukum alam ini. Jika tidak maka

dampak sistemik dari penggembalaan ruhani yang

dilakukannya bisa berakibat pada “kerusahan alam

kehidupan” secara umum.

Khusus berkaitan dengan karma pribadi,

seorang guru penting merefleksikan diri bahwa

perbuatannya dapat berakibat sekarang (Karma

Prarabdha) dan masa yang akan datang (Karma

Kriypmana). Sementara, pengendalian penumpukan

keinginan yang masih bisa diubah disebut (Sancita)

(Suyono, 2008:36-38). Untuk inilah, guru ruhani

dalam pandangan Syaikh Siti Jenar penting memiliki

pemahaman akan hukum alam, hukum kauniyah,

karma.

Hukum kauniyah hakikatnya adalah hukum

keseimbangan alam. Manusia sebagai mikrokosmos

dan semesta yang tergelar sebagai makrokosmosnya.

Dengan demikian segenap makhluk yang ada

di muka bumi hakikatnya perwujudan sifat dan

dzat Allah dan perbuatan yang terjadi hakikatnya

adalah af ’al (perbuatan) Allah. Dengan kesadaran

demikian guru ruhani menyadari dan mengajarkan

kepada murid-muridnya akan penyaksian diri

atas Semesta yang hakikat Wujud iradah Tuhan.

Athaillah mengungkapkan, “Allah mengizinkanmu

merenungkan apa yang ada di alam, namun Dia tidak

mengizinkanmu berhenti pada benda-benda alam.

‘Katakanlah, perhatikanlah apa yang ada di langit’

(Q [10]:101). Dia membukakan pintu pengertian

bagimu. Dia tidak mengatakan, ‘Perhatikanlah langit

itu,’ supaya tidak menunjukkanmu pada adanya

benda-benda semata.” (2012:161).

Karakter Bumi

Seorang guru diharapkan mampu menjadi

bumi. Filsafat bumi Syaikh Siti Jenar hakikatnya

mengingatkan akan keikhlasan dirinya untuk

diinjak-injak, dilukai dengan cangkul dan bajak,

diludahi, dikencingi, bahkan diberaki demi

kelangsungan hidup para penghuninya. Filsafat

bumi adalah filsafat kehidupan sehingga guru yang

baik diharapkan mampu memberikan kehidupan

kepada murid-murid dan masyarakatnya. Dengan

demikian bahasa metaforik bumi adalah bahasa

keikhlasan di satu sisi dan pada sisi lain merupakan

bahasa pemberian kehidupan. “… Atau, seperti

bumi yang merelakan dirinya diinjak-injak, dilukai

dengan cangkul dan bajak, diludahi, dikencingi,

bahkan diberaki demi kelangsungan hidup para

penghuninya.” (SP PA SSJ[2]:194-195).

Metafor bumi adalah ibu, sumber dan asal

kehidupan. Guru ruhani dengan demikian harus

dapat menjadi sumber dan asal kehidupan bagi

murid-muridnya. Guru sebagai bumi akan menjadi

tempat menjalarnya akar-akar kehidupan bagi

murid-muridnya, menghidupi, menyediakan, dan

mengokohkan batang tubuh murid untuk tegak

hidup dalam kehidupan.

Muara segala kehidupan adalah bumi. Ajaran

menarik yang dapat diambil dari simbolisme bumi

bagi seorang guru akan mengingatkan bahwa

guru harus (i) ikhlas menjadi fondasi berdiri

tegaknya kehidupan sang murid, (ii) tempat

kembali segala persoalan kehidupan, (iii) tempat

penggalian kehidupan, (iv) ikhlas diinjak, difitnah

dan dipersalahkan, serta (v) ikhlas menerima apapun

dampak kehidupan seorang murid. Bumi yang

subur tentunya akan melahirkan tumbuhan yang

subur pula. Bumi yang gersang akan melahirkan

tumbuhan yang tidak subur (meranggas). Metafor

guru sebagai bumi hakikatnya sebangun dengan

makna peribahasa ‘guru kencing berdiri murid

kencing berlari’. Guru hakikat sumber inspirasi dan

pijakan perbuatan kehidupan sang murid.

Dalam spiritualitas Jawa, bumi dipercaya

sebagai isteri matahari (Suyono, 2007:198). Dengan

demikian, bumi adalah ibu yang akan melahirkan

kehidupan bagi semesta, memberikan kehidupan,

dan kembali segala kehidupan. Guru ruhani

Sutejo, Nilai Pendidikan Karakter Seorang Guru dalam Trilogi Novel Syaikh Siti Jenar Karya Agus Sunyoto184

sebagai bumi mengasosiasikannya sebagai sumber

kehidupan.

Karakter Cinta Kasih

Nilai lain dari adab keguruan dalam pandangan

Syaikh Siti Jenar adalah pentingnya guru memiliki

cinta kasih. Cinta kasih (sebagai perwujudan

sifat Allah yang rahman dan rahim) adalah sisi

lain ajaran sosok seorang guru. Guru yang tanpa

cinta dalam praksis pembelajaran spiritual akan

melahirkan sosok yang tanpa cinta pula. Cinta

kasih guru adalah pemberian cinta yang tidak

membeda-bedakan sebagai sosok seorang ‘arif

yang harus meneladani gerak kehidupan Nabi

Muhammad Saw. sang limpahan rahmah bagi

alam semesta. Di sinilah, maka pentingnya cinta

kasih guru untuk menggali, menggerakkan,

menumbuhkan, dan menyempurnakan spiritualitas

murid dan masyarakat sekitarnya. Wahyudi (2007:55)

mengungkapkan bahwa pengasih terhadap murid

syarat pertama seorang guru ruhani. Kutipan

berikut menggambarkan bagaimana cinta kasih

seorang guru ruhani, Datuk Kahfi kepada murid

terkasih, San Ali.

“San Ali menghadap Datuk Kahfi untuk berpamitan. Ini sangat penting baginya sebab selain sebagai guru agung yang menempa pribadi dan cara pikirnya, Syaikh Datuk Kahfi adalah satu-satunya menusia di dunia ini yang memiliki hubungan darah dengannya. Dan lantaran hubungan darah itu, ia menjadi mafhum kenapa guru agung itu begitu memanjakan dan mengistimewakan dirinya dibanding murid-murid lain (SAJ PR SSJ[1]: 87).

Ketika guru memiliki kodrat cinta kasih maka

diharapkan guru mampu: (i) melindungi, karena

hakikat cinta itu melindungi, (ii) menghidupi, karena

hakikat cinta itu menghidupkan bukan mematikan,

(iii) memberi, karena hakikat cinta itu memberi bukan

meminta, (iv) menggerakkan, karena hakikat cinta

itu menginspirasikan energi, sumber motivasi, (v)

membahagiakan, karena hakikat cinta itu kebahagiaan,

dan (vi) mewariskan, karena hakikat cinta itu

melangsungkan kehidupan. Begitulah ketika cinta

kasih seorang guru telah menjadi rahmat alam.

Cinta kasih seorang guru ruhani adalah energi

yang menyelamatkan, energi yang menuntun untuk

bertemu dan bersama Allah.

Karakter Pembaharu

Guru dalam pandangan ajaran Syaikh Siti

Jenar juga harus mencerminkan sifat pembaharu

peradaban hidup. Seorang pembaharu dibutuhkan

sikap kreatif, berani, inovasi, dan ikhlas dalam

melakukannya tanpa pamrih. Keberanian

seorang guru dalam perannya sebagai pembaharu

merupakan hal yang paling penting mengingat

begitu banyaknya tantangan yang muncul dalam

proses pengamalannya. Tetapi, mental guru

pembaharu adalah mental kesabaran dan keikhlasan

dalam menerima segala penilaian yang mengarah

kepadanya.

“Sebagai orang yang sudah ‘terjaga’, aku sadar bahwa keberadaanku sebagai seorang ‘alim adalah pewaris nabi-nabi (al-‘ulama’ waratsat al-anbiya’). Karena itu, sudah menjadi kewajiban asasiku untuk melanjutkan tugas utama para nabi dan rasul, yaitu melakukan perubahan dan pembaruan –terutama menyadarkan manusia tentang keberadaannya sebagai makhluk paripurna (al-insan al-kamil) yang menjadi wakil Allah di muka bumi (khalifah Allah fi al-ardh)– di manapun aku berada. Mengubah dan memperbaharui sesuatu ke arah yang lebih baik, itulah tugas utamaku.” (SP PA SSJ[2]:196).

Gambaran guru sebagai pembaharu terlukis

pada bagaimana sosok Abdul Jalil yang begitu

banyak melakukan pembaharuan di padepokan

Amparan Jati. Kreativitas guru mengingatkan

akan pentingnya guru melakukan upaya-upaya

yang berbeda dari sebelumnya atau menambahkan

variasi di dalamnya. Inovasi guru mendorong guru

untuk menemukan sesuatu sehingga kehidupan

dinamis dan berkembang. Keberanian guru akan

melahirkan sosok yang berani mengambil risiko

dan bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya.

Keikhlasan guru akan menjadi samudera ketika

kreativitas, inovasi, dan keberanian yang diambilnya

mendapat tantangan dan penilaian negatif dari

pihak luar.

Karakter Cakap Berpikir

Pembelajaran di Indonesia yang beroreantasi

life skill hakikatnya berdiri di atas lima ‘konsep dasar

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 185

kecakapan’, yakni (i) kecakapan personal (personal

skill), kecakapan sosial (social skill), (iii) keterampilan

berpikir logis (thinking skill), (iv) kecakapan

akademik (academic skill), dan (v) kecakapan

vokasional (vocational skill) (Sutejo, 2011:9). Secara

khusus, keterampilan berpikir logis menjadi salah

satu pilar penyangga keberhasilan pencapaian life

skill yang diprogramkan.

Jauh abad sebelum Indonesia merdeka, melalui

tokoh Abdul Jalil dalam trilogi novel Syaikh Siti

Jenar sudah menekankan pentingnya kemampuan

berpikir, baik di kalangan guru ruhani dan para

muridnya. Program mudzakarah (bedah masalah)

secara implisit menuntut seperangkat keterampilan

berpikir: logis, kritis, empiris, analitis, argumentatif,

dan generalitatif. Berpikir logis menuntut logika dan

kejernihan berpikir yang rasional.

Dengan demikian hakikat tersembunyi dengan

perubahan yang dilakukannya, sebenarnya didasari

oleh impian Abdul Jalil akan lahirnya tradisi berpikir

di pesantren. Sebab, selama ini pesantren didominasi

dengan teknik hafalan yang kurang mengedepankan

aspek penalaran. Ragam kecakapan dipergunakan

secara sinergis untuk mengaitkan dengan kejernihan

hati yang merupakan karakter penting pendakian

ruhani. Kutipan berikut menggambarkan analisis

ini.

“… Singkatnya, dengan pembaruannya itu Abdul Jalil menginginkan lahirnya tradisi berpikir yang didasari bukti-bukti (burhani) yang diterangi pancaran mata hati (bashirah). Itu sebabnya, ia menghapus pelajaran hafalan hadits dan memasukkan mata kuliah filsafat, ilmu hikmah, dan ‘irfan.” (SP PA SSJ[1]:201).

Berdasarkan kutipan di atas, tercermin makna

bahwa apa yang dilakukan Abdul Jalil bukan

saja tradisi berpikir yang dikembangkan tetapi

juga pendidikan karakter, yakni melibatkan mata

hati (bashirah) sebagai muara segala spiritualitas

jiwa. Ilmu filsafat, ilmu hikmah, dan ilmu ‘irfan

merupakan ilmu-ilmu penting untuk mendukung

gagasan perubahan yang dilakukannya. Kecakapan

berpikir seorang guru ruhani dengan demikian

merupakan kunci penting akan kualitas keguruan

dan keilmuannya

Karakter Berhikmah

Athaillah menyatakan, “Bermacam kesukaran

(ujian) adalah hamparan pemberian.” (2012:197).

Pernyataan filosofis ini mengingatkan akan

pentingnya ilmu hikmah bagi seorang murid dan

pentingnya bagi guru ruhani untuk mengajarkan

dan meneladankannya. Jika dalam konteks kekinian

digembar-gemborkan tentang pendidikan karakter,

maka sesungguhnya pesan filosofis dari pendidikan

karakter itu jauh hari telah disadari oleh Abdul Jalil

dengan memberikan pelajaran ilmu hikmah, ilmu

filsafat, dan ilmu ‘irfan. Ilmu tanpa hati akan buta,

hati tanpa ilmu tidak akan bercahaya. Hal ini selaras

dengan ungkapan aforistik Athaillah yang berbunyi,

“Berpikir adalah petualangan hati dalam medan

ciptaan Allah” (2012:278).

“… Singkatnya, dengan pembaruannya itu Abdul Jalil menginginkan lahirnya tradisi berpikir yang didasari bukti-bukti (burhani) yang diterangi pancaran mata hati (bashirah). Itu sebabnya, ia menghapus pelajaran hafalan hadits dan memasukkan mata kuliah filsafat, ilmu hikmah, dan ‘irfan.” (SP PA SSJ[1]:201).

Ilmu hikmah adalah ilmu yang terkait dengan

usaha-usaha untuk mencapai keseimbangan yang

sempurna antara ilmu dan amal sehingga tercapai

suatu keadilan (‘adl), yakni meletakkan sesuatu

secara tepat pada tempat yang semestinya. Ilmu

hikmah akan mengantarkan guru ruhani senantiasa

menuntun dan memotivasi murid-muridnya dalam

menghadapi berbagai kesulitan. Athaillah pernah

mengungkapkan bahwa “Datangnya kesukaran

adalah hari raya para murid (mereka yang melatih

diri untuk bertakarub).” (2012:196). Hikmah di

balik ungkapan ini tentunya bagaimana memahami

kesulitan sebagai motivasi. Tuhannya, dalam

firman-Nya memberikan hikmah, “bahwa setiap

kesulitan akan diikuti dengan kemudahan.”

Karakter Ber-irfan

Sedangkan ilmu ‘Irfan lebih ditekankan pada

masalah-masalah yang terkait dengan pengetahuan

Ilahiah seperti Nama-Nama yang terpelihara (al-ism

al-musta’tsar), Nama-Nama Agung (al-ism al-a’zham),

Akhlak yang Mulia (al-akhlaq al-Karimah), makna

rahasia di balik Al-Qur’an, isyarat-isyarat ruhaniah

Sutejo, Nilai Pendidikan Karakter Seorang Guru dalam Trilogi Novel Syaikh Siti Jenar Karya Agus Sunyoto186

dengan takwil-takwilnya, dan segala sesuatu yang

terkait dengan pengungkapan rahasia atas Khazanah

Tersembunyi Ilahi. Kejayaan jihad terbesar dalam

pandangan ‘irfan adalah keberhasilan menaklukkan

nafsu pribadi, sedangkan kejayaan jihad di medan

tempur dianggap keberhasilan kecil.

“… Singkatnya, dengan pembaruannya itu Abdul Jalil menginginkan lahirnya tradisi berpikir yang didasari bukti-bukti (burhani) yang diterangi pancaran mata hati (bashirah). Itu sebabnya, ia menghapus pelajaran hafalan hadits dan memasukkan mata kuliah filsafat, ilmu hikmah, dan ‘irfan.” (SP PA SSJ[1]:201).

Sebagaimana dipahami bahwa ajaran Islam

hakikatnya adalah ajaran tentang iman, Islam,

dan ihsan. Ilmu irfan dengan demikian akan

mengantarkan murid untuk mengembangkan

pengetahuan yang bersinergi dengan filsafat dan

hikmah. Murid yang memiliki pengetahuan (irfan)

memadai akan menjadi bekal dalam perjalanan

ruhani yang ditempuhnya.

Karakter Citra al-Fatih

Pembaharuan lain yang dilakukan oleh Abdul

Jalil sebagai guru adalah dia tidak mau disebut

dengan mursyid, sebaliknya cukup disebut dengan

syaikh yang bermakna guru ruhani. Sebutan

mursyid, dipandang berlebihan dan beraroma

pengkultusan karena memang salah satu yang

dibongkar dalam ajaran berguru Abdul Jalil adalah

tidak mengkultuskan guru ruhaninya. Kutipan

berikut memberikan ilustrasi makna ini.

“Sesuai ajaran Tarekat al-Akmaliyyah yang disampaikannya, yang tidak mengenal mursyid dalam wujud manusia, Abdul Jalil melarang murid-murid untuk menganggapnya sebagai mursyid, yaitu pancaran dari Yang Maha Menunjuki (ar-Rasyid). Mursyid, menurut Abdul Jalil, adalah ar-ruh al-idhafi yang ada di dalam diri pribadi tiap-tiap manusia. Kepada para muridnya Abdul Jalil memperkenalkan keberadaan dirinya sebagai guru ruhani yang berkewajiban membimbing murid untuk mengenal mursyid di dalam dirinya. Itu sebabnya, ia hanya berkenan dipanggil dengan sebutan syaikh (Arab: guru ruhani).” (SP PA SSJ[1]:247).

Untuk memperkuat gerakan perubahan di

pesantren Hamparan Jati, Abdul Jalil menikahkan

Syarif Hidayatullah puteri Ki Gedeng Babadan.

Pernikahan ini dilakukan karena Abdul Jalil menilai

Syarif Hidayatullah sebagai calon guru dan pemimpin

masa depan. Dengan menikahi Nyai Babadan

puteri Ki Gedeng Babadan, pikir Abdul Jalil, maka

Syarif Hidayatullah akan menjadi menantu seorang

gedeng yang berpengaruh dan disegani di Caruban

Larang. Politik pernikahan yang dilakukan Abdul

Jalil dalam waktu depat memberikan hasil yang

siknifikan. Selama membimbing Syarif Hidayatullah,

Abdurrahman Rumi, dan Abdurrahim Rumi diam-

diam Abdul Jalil menemukan dua permata di

antara siswa padepokan. Dua permata itu adalah

Raden Sahid putera Arya Sidik, Adipati Tuban,

dan Raden Qasim, putera Raden Ali Rahmatullah,

Bupati Surabaya. Sesungguhnya, mereka berdua

masih saudara sepupu karena bibi Raden Sahid yang

bernama Nyi Ageng Manila diperistri oleh Bupati

Surabaya, Raden Ali Rahmatullah. Sementara itu,

lantaran usia Raden Sahid, Raden Qasim, dan Syarif

Hidayatullah sebaya, maka Abdul Jalil pun secara

khusus membimbing ketiganya agar kelak dapat

bersama-sama menjadi guru dan pemimpin yang

dibutuhkan zamannya.

Karakter Insan Kamil

Guru juga diharapkan mencerminkan

diri sebagai insan kamil. Jika dalam pandangan

tasawuf insan kamil merupakan puncak pendakian

perjalanan ruhani maka guru berkarakter insan kamil

hakikatnya guru yang tanpa cela, baik lahir maupun

batin. Secara lahir perilaku dan adab kehidupannya

mencerminkan ke-usfatun khasanah-an dan secara

batin mencerminkan diri sebagai manusia yang

memiliki kesadaran kemanunggalan diri dengan

Tuhannya. Segala laku, kata, pikiran, hati hakikatnya

“laku, kata, pikiran, dan hati” Tuhannya. Kutipan

berikut menggambarkan hal itu.

“… Karena itu, sudah menjadi kewajiban asasiku untuk melanjutkan tugas utama para nabi dan rasul, yaitu melakukan perubahan dan pembaruan –terutama menyadarkan manusia tentang keberadaannya sebagai makhluk paripurna (al-insan al-kamil) yang menjadi wakil Allah di muka bumi (khalifah Allah fi al-ardh)– di manapun aku

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2015 187

berada. Mengubah dan memperbaharui sesuatu ke arah yang lebih baik, itulah tugas utamaku.” (SP PA SSJ[2]:196).

Dengan memiliki jiwa insan kamil guru ruhani

akan mampu menjadi teladan dan inspirasi bagi

murid-muridnya. Seorang guru yang tidak berpaling

kepada selain Allah. Gerak-laku mengajar dan

membimbingnya adalah keesaan af ’al, sifat, asma Allah

untuk mengantarkan murid-muridnya mencapai

kefanaan. Guru yang mampu mengantarkan murid

melewat alam nasut (alam manusia), alam malakut

(alam malaikat), alam jabarut (alam sifat-sifat), untuk

mencapai alam lahut (ketuhanan).

Karakter Pemimpin

Guru diharapkan memiliki kemampuan

seorang pemimpin di muka bumi sebagai wakil

Allah. Khalifatul fil ardi adalah pesan mendasar lain

yang penting untuk diaplikasikan guru spiritual.

Pemimpin yang menjadi muara air kehidupan dalam

bahasa Syaikh Siti Jenar.

“Sebagai orang yang sudah ‘terjaga’, aku sadar bahwa keberadaanku sebagai seorang ‘alim adalah pewaris nabi-nabi (al-‘ulama’ waratsat al-anbiya’). Karena itu, sudah menjadi kewajiban asasiku untuk melanjutkan tugas utama para nabi dan rasul, yaitu melakukan perubahan dan pembaruan –terutama menyadarkan manusia tentang keberadaannya sebagai makhluk paripurna (al-insan al-kamil) yang menjadi wakil Allah di muka bumi (khalifah Allah fi al-ardh)– di manapun aku berada. Mengubah dan memperbaharui sesuatu ke arah yang lebih baik, itulah tugas utamaku.” (SP PA SSJ[2]:196).

Seorang guru dalam kutipan di atas hendaknya

mencerminkan sosok pemimpin di muka bumi.

Sebagai pemimpin dengan sendirinya, guru ruhani

akan menjadi panutan, penggerak, dan pendorong

perjalanan ilmu dan ruhani murid-muridnya.

Sebagai pemimpin, cermin rahmatan lil’alamin

sebagai citra keteladan nabi Muhammad Saw.

merupakan tuntutan yang tidak bisa ditawar.

SIMPULAN

Dari analisis sebelumnya maka dapat

disimpulkan bahwa nilai karakter seorang guru

dalam temuan penelitian ini digambarkan (i)

berkarakter menulis, (ii) karakter pendongeng, (iii)

karakter arif dan alim, (iv) karakter tidak egois,

(v) karakter tanpa pamrih, (vi) karakter alam,

(vii) karakter bumi, (viii) karakter cinta kasih, (ix)

karakter pembaharu, (x) karakter cakap berpikir,

(xi) karakter berhikmah, (xii) karakter ber-irfan

(xiii) karakter al-fatih, (xiv) karakter insan kamil,

dan (xv) karakter pemimpin. Dengan kualitas

guru sufi demikian maka ia sekaligus akan menjadi

conton (uswah), pembuka, dan inspirasi bagi murid-

muridnya di satu sisi dan pada sisi yang lain ia akan

dapat dipercaya, ditakdimi, dan diikuti perilaku.

Kesimpulan dari analisis tentang ajaran kualitas

seorang guru ruhani dapat diilustrasikan dalam

bagan berupa lingkaran. Secara filosofis bagan

itu mengingatkan akan nilai kualitas seorang guru

ruhani yang harus dipenuhi, melingkari dalam jiwa,

pikiran dan hati. Untuk mengajarkan ilmu Tuhan

yang dalam bahasa Ronggowarsito diungkapan,

“Kang lempeng taksih kawruh, sakawanira tunggal,

ngelmuning Hyang sarengat myang tarekatu, hakikat

miwah makripat, puniko kamil abdlol.” (Pahami benar,

keempatnya tak bisa dipisahkan. Ilmu Tuhan adalah

syariat, tarekat, hakikat dan makrifat. Keempatnya

menjadi sempurna dan utama.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali. 1999. Metode Menjemput Maut: Perspektif

Maut. Bandung: Mizan.

Darma, Budi. 2004. Pengantar Teori Sastra. Jakarta:

Pusat Bahasa, Departemen Pendidikian

Nasional.

Chodjim, Achmad. 2006 (cet. ke-6). Mistik dan

Makrifat Sunan Kalijaga. Jakarta: Serambi Ilmu

Semesta.

Herfanda, A.Y. 2008. Sastra Sebagai Agen Perubahan

Budaya dalam Bahasa dan Budaya dalam

Berbagai Perspektif. Yogyakarta: FBS UNY

dan Tiara Wacana.

Jawa Pos. 2007. “Agus Sunyoto: Mengungkap

Ajaran Siti Jenar” (wawancara). Edisi Jumat

18 Mei 2007, hal. 10.

Mahayana, Maman S. 2005. “Dakwah Agama dalam

Sastra” dalam 9 Jawaban Sastra Indonesia: Sebuah

Orientasi Kritik. Jakarta: Bening Publishing.

Sutejo, Nilai Pendidikan Karakter Seorang Guru dalam Trilogi Novel Syaikh Siti Jenar Karya Agus Sunyoto188

Rumi, Jalaluddin. 2006. Yang Mengenal Dirinya Yang

Mengenal Tuhannya: Aforisme-Aforisme Sufistik

Jalaluddin Rumi. Bandung: Pustaka Hidayah.

Sutejo. 2006. “Tamasya Relijius ke Puncak Diam”

Naskah Pemenang Ketiga Lomba Mengulas

Karya Sastra Program Khusus 2006. Jakarta:

Departemen Pendidikan Nasional Dirjend

Dikmenum Bagian Proyek Peningkatan

Perpustakaan Sekolah Pelajaran Sastra.

Sutejo. 2014. Apresiasi Puisi: Memahami Isi, Mengolah

Hati. Yogjakarta: Penerbit Terakata bekerja

sama dengan Spectrum Center.

Sutejo dan Kasnadi. 2010. Apresiasi Prosa: Mencari

Nilai, Memahami Fiksi. Yogjakarta: Penerbit

Pustaka Felicha bekerja sama dengan Spectrum

Center.

Sutejo dan Kasnadi. 2014. Kajian Prosa: Kiat Menyisir

Dunia Prosa. Yogjakarta: Penerbit Terakata

bekerja sama dengan Spectrum Center.

Sutejo dan Kasnadi. 2014. Kajian Puisi: Teori dan

Aplikasinya. Yogjakarta: Penerbit Terakata

bekerja sama dengan Spectrum Center.

Sutejo. 2010. Teknik Kreativitas Pembelajaran.

Yogjakarta: Penerbit Pustaka Felicha bekerja

sama dengan Spectrum Center.

Sunyoto, Agus. 2007. “Potensi Kekayaan dan

Keragaman Budaya”, Makalah Presentasi

dalam Sarasehan Budaya Adhikara Jawa

Timur di Hotel Polereman Soerabaia Kota

Batu. Dinas P dan K Provinsi Jawa Timur

Subdinas Kebudayaan.

_____. 2006 (cet. ke-8). Suluk Abdul Jalil: Perjalanan

Ruhani Syaikh Siti Jenar (buku 1-2). Yogjakarta:

Pustaka Pelajar.

_____. 2007 (cet. ke-3). Suluk Sang Pembaharu:

Perjuangan dan Ajaran Syaikh Siti Jenar (buku

3-5). Yogjakarta: Pustaka Pelajar.

_____. 2006 (cet. ke-3). Suluk Malang Sungsang:

Konflik dan Penyimpangan Ajaran Syaikh Siti

Jenar (buku 6-7). Yogjakarta: Pustaka Pelajar.

PETUNJUK BAGI PENULIS

1. Artikel yang dimuat berupa analisis, kajian, hasil penelitian, dan pembahasan kepustakaan.

2. Artikel merupakan karya asli penulis dan terbebas dari penjiplakan (plagiat). Isi artikel dan

kemungkinan pelanggaran etika penulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.

3. Naskah belum pernah diterbitkan dalam jurnal dan media cetak lain, diketik 1,5 spasi pada kertas

A4, panjang 10-20 halaman, margin 3 cm (atas, bawah, kanan, dan kiri) dan diserahkan paling lambat

3 bulan sebelum bulan penerbitan dalam bentuk print-out sebanyak 2 eksemplar dan file CD. Berkas

naskah diketik dengan Microsoft Word, font 12 Times New Roman. File naskah juga bisa dikirim lewat

email [email protected]

4. Nama penulis artikel dicantumkan tanpa gelar akademik dan ditempatkan di bawah judul artikel,

institusi asal, dan alamat e-mail penulis artikel. Bila penulis terdiri atas empat orang atau lebih,

yang dicantumkan di bawah judul artikel adalah nama penulis utama; nama penulis-penulis lainnya

dicantumkan pada catatan kaki halaman pertama naskah. Artikel hasil penelitian yang dikerjakan

oleh tim, semua anggota tim harus dicantumkan. Dalam proses penyuntingan artikel, pengelola

jurnal hanya berhubungan dengan penulis utama atau penulis yang namanya tercantum pada urutan

pertama.

5. Artikel nonpenelitian terdiri atas: (a) judul (maksimal 10 kata) (b) identitas penulis, institusi asal,

dan alamat e-mail penulis artikel (c) abstrak (abstract) dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris

masing-masing terdiri dari 100-200 kata, (d) kata-kata kunci (keywords) dalam bahasa Indonesia dan

Inggris (3-5 kata/frase), (e) pendahuluan (tanpa judul subbab) yang berisi latar belakang dan tujuan

atau ruang lingkup tulisan, (f) pembahasan (dapat dibagi ke dalam beberapa sub-bagian); (g) simpulan,

dan (h) daftar pustaka (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk).

Artikel hasil penelitian disajikan dengan sistematika sebagai berikut: (a) judul (maksimal 15 kata)

(b) nama penulis, institusi asal, dan alamat e-mail penulis artikel (c) abstrak (abstract) dalam bahasa

Indonesia dan bahasa Inggris, masing-masing terdiri dari 100-200 kata yang berisi tujuan, metode,

dan hasil penelitian, (d) kata-kata kunci (keywords) dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris

(3-5 kata/frase), (e) pendahuluan (tanpa judul subbab) berisi latar belakang penelitian, telaah teori

relevan terpenting, dan tujuan penelitian (maksimal 25% dari jumlah halaman artikel), (f) metode

penelitian (maksimal 20% dari jumlah halaman artikel), (g) hasil dan pembahasan (minimal 40% dari

jumlah halaman artikel), (h) simpulan, dan (i), daftar pustaka (hanya memuat sumber-sumber yang

dirujuk).

6. Daftar rujukan disajikan mengikuti tatacara seperti contoh berikut, diurutkan secara alfabetis dan

kronologis.

Buku

Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta Pusat: Pembinaan

dan Pengembangan Bahasa Dekdipbud.

Good, Thomas. L and Brophy, Jere. E. 1991. Looking in Classroom (5th ed). New York: Harpercollins,

Inc.

Bunga rampai atau antologi

Salmon, Claudine. 1999. “Fiksi Etnografis dalam Kesusasteraan Melayu Peranakan”. Dalam Henri

Chambert-Loir dan Hasan Muarif Ambari (Ed.). Panggung Sejarah: Persembahan Kepada Prof. Dr.

Denys Lombard. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Buku yang disusun oleh lembaga

Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama.

Buku terjemahan

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan. Terjemahan Melani Budianta. Jakarta: PT.

Gramedia.

Jurnal

Yektiningtyas-Modouw, Wigati. 2007. “Fungsi Ehabla dalam Masyarakat Sentani Papua”. Atavisme:

Jurnal Ilmiah Kajian Sastra. Volume 10. Surabaya: Balai Bahasa Surabaya

Surat kabar

Hutomo, Suripan Sadi. 1978. “Pribumi dan Nonpribumi dalam Sastra Indonesia dan Daerah”.

Surabaya Post. 27 Maret.

Makalah dalam pertemuan ilmiah

Sudikan, Setya Yuwana. 2001. “Cerita Rekaan dalam Sastra Jawa Modern Tahun 1980—2000an:

Kajian Sosiologi Sastra”. Kongres Bahasa Jawa III Tahun 2001, Yogyakarta, 15—20 Juli

2001.

Laporan penelitian, skripsi, tesis, atau disertasi

Saputra, Heru S.P. 2003. “Mantra Sabuk Mangir dan Jaran Goyang dalam Budaya Using di

Banyuwangi”. Tesis. Yogyakarta: Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

Internet (artikel dalam jurnal dalam jaringan/online)

Istanti, Kun Zachrun. 2001. “Hikayat Amir Hamzah: Jejak dan Pengaruhnya dalam Kesusastraan

Nusantara. Humaniora. (Online), Volume XIII, No. 1, (http://www.jurnal-humaniora.ugm.ac.id,

diunduh tanggal 15 Juli 2008.

7. Untuk artikel hasil penelitian, penulis wajib mengirimkan soft-file laporan penelitian dan lembar

pengesahan laporan penelitian. Lembar pengesahan laporan penelitian dikirim melalui faximile ke

(0352) 481841, dan soft-file laporan penelitian dikirim ke e-mail: [email protected]

8. Segala sesuatu yang menyangkut perijinan pengutipan atau penggunaan software komputer untuk

pembuatan naskah atau hal lain yang terkait dengan HAKI yang dilakukan oleh penulis artikel, berikut

konsekuensi hukum yang mungkin timbul karenanya, menjadi tanggung jawab penuh penulis artikel

tersebut.

9. Sumber rujukan sedapat mungkin merupakan pustaka-pustaka terbitan 10 tahun terakhir. Rujukan

yang diutamakan adalah sumber-sumber primer berupa laporan penelitian (termasuk skripsi, tesis,

disertasi) atau artikel-artikel penelitian dalam jurnal dan/atau majalah ilmiah.

10. Semua naskah ditelaah secara anonim oleh penyunting ahli (reviewers) yang ditunjuk oleh penyunting

menurut bidang kepakarannya. Penulis artikel diberi kesempatan untuk melakukan perbaikan (revisi)

naskah atas dasar rekomendasi/saran dari penyunting ahli atau penyunting. Kepastian pemuatan

atau penolakan naskah akan diberitahukan secara tertulis.

11. Untuk memudahkan komunikasi, penulis wajib menyertakan nomor handphone, alamat korespondensi,

dan alamat e-mail.

12. Outline artikel:

Artikel Non-penelitian

JUDUL

Nama (tanpa gelar)Institusi asalEmail penulis

Abstrak: (Bahasa Indonesia)Kata Kunci:

Abstract: (Bahasa Inggris)Keywords:

PENDAHULUAN/INTRODUCTIONPEMBAHASAN/DISCUSSION

........

........SIMPULAN/CONCLUSIONDAFTAR PUSTAKA/REFERENCES

Artikel Hasil Penelitian

JUDUL

Nama (tanpa gelar)Institusi asalEmail penulis

Abstrak: (Bahasa Indonesia)Kata Kunci:

Abstract: (Bahasa Inggris)Keywords:

PENDAHULUAN/INTRODUCTIONMETODE/METHODHASIL DAN PEMBAHASAN/FINDINGS AND DISCUSSION

........

........SIMPULAN/CONCLUSIONDAFTAR PUSTAKA/REFERENCES

Times new roman, 12pt, spasi 1, centered

nama ditulis tebal

Times new roman, 12pt, spasi 1, centered

nama ditulis tebal

Times new roman, 12pt, justify, italic, spasi 1,

setiap abstrak terdiri 1 paragraf (100-200 kata)

Times new roman, 12pt, justify, italic, spasi 1,

setiap abstrak terdiri 1 paragraf (100-200 kata)

Times new roman, 12pt, justify, spasi 1,5

Pendahuluan (tanpa sub-bab/numbering)

Pembahasan (dapat dibagi menjadi sub-bab)

Simpulan (1 paragraf, tanpa saran)

Bagian yang dicetak kapital dan tebal hanya bab

sesuai outline di samping

Times new roman, 12pt, justify,

spasi 1,5

Pendahuluan (tanpa sub-bab/

numbering)

Pembahasan (dapat dibagi

menjadi sub-bab)

Simpulan (1 paragraf, tanpa

saran)

Bagian yang dicetak kapital dan

tebal hanya bab sesuai outline di

samping

Times new roman, 14pt, centered, kapital, bold

Times new roman, 14pt, centered, kapital, bold