lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/jurnal-baha… · jurnal...

100

Upload: vuliem

Post on 29-Jun-2018

257 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

Page 1: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember
Page 2: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

JURNAL

BAHASA DAN SASTRA

ISSN: 2355-1623

Page 3: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

JURNAL

BAHASA DAN SASTRAJurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember (ber-ISSN) berisi artikel-artikel ilmiah

tentang bahasa, sastra, dan pembelajarannya. Baik yang ditulis dalam bahasa Indonesia maupun

dalam bahasa Inggris. Artikel yang dimuat berupa analisis, kajian, hasil penelitian, dan pembahasan

kepustakaan.

Penanggung Jawab

Adip Arifin

Ketua Penyunting

Sutejo

Wakil Ketua

Elys Rahayu Rohandia Misrohmawati

Penyunting Ahli

Kasnadi

Bambang Yulianto

Setya Yuwana

Suharmono Kasiun

Djoko Saryono

Penyunting Pelaksana

Ririen Wardiani

Cutiana Windri Astuti

Edy Suprayitno

Sekretaris

Hestri Hurustyanti

Pelaksana Tata Usaha/On line

Heru Setiawan

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Alamat Penyunting dan Tata Usaha: LPPM STKIP PGRI Ponorogo, Jalan Ukel 39 Kertosari,

Babadan, Ponorogo. Telepon/Fax. (0352) 481841/485809. Website: www.stkippgripo.ac.id. Surel: lppm_

[email protected]. Langganan 2 nomor Rp. 100.000,- (setahun) + ongkos kirim. Biaya langganan

dikirimkan melalui Bank BRI Kantor Cabang Ponorogo (Jl. Soekarno-Hatta Ponorogo) Rekening No.

0070-01-044589-50-0 a.n. STKIP PGRI Ponorogo.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Redaksi menerima sumbangan tulisan yang belum pernah diterbitkan, baik dalam media cetak maupun

elektronik. Naskah diketik 1,5 spasi pada kertas A4, panjang 10-20 halaman (lihat Petunjuk bagi Penulis

pada bagian belakang). Naskah yang masuk dievaluasi oleh Mitra Bestari. Penyunting dapat melakukan

perubahan pada tulisan yang dimuat untuk keseragaman format, tanpa mengubah maksud dan isinya.

Page 4: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

Vol. 2, No. 1, Januari-Juni 2015 ISSN: 2355-1623

DAFTAR ISI

COHESION AND COHERENCE OF SPOKEN TEXT IN SENIOR HIGH SCHOOL ELECTRONIC BOOK

Adip Arifin ............................................................................................................................................ 1

ADDRESS TERMS AS THE POSITIVE POLITENESS STRATEGY USED BY THE

MIDWIFERY STUDENTS

Amalia Rahmawati .................................................................................................................................. 7

PENGEMBANGAN KARAKTER ANAK USIA DINI MELALUI SASTRA

Cutiana Windri Astuti ............................................................................................................................ 15

THE EFFECTIVENESS OF CIRC TO TEACH READING VIEWED FROM STUDENTS’ MOTIVATION

Dwi Rachmad Rusela A. ......................................................................................................................... 23

PERMASALAHAN PEMBELAJARAN SASTRA DAN SOLUSI ALTERNATIFNY A

Edy Suprayitno ......................................................................................................................................... 37

ANALISIS WACANA BERITA TINGGI, HARAPAN ATAS KABINET

HARIAN KOMPAS SENIN, 7 OKTOBER 2014: KAJIAN VAN DJIK

Heru Setiawan .......................................................................................................................................... 43

PENERAPAN KURIKULUM 2013 PADA MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA

DI SD ISLAM TERPADU NUURUSSHIDDIIQ CIREBON

Indrya Mulyaningsih ................................................................................................................................. 51

PERAN GURU BAHASA INDONESIA SEBAGAI PEMBANGUN KEPRIBADIAN SISWA

Kasnadi .................................................................................................................................................... 59

PENGARUH STRATEGI PAIKEM GEMBROT DAN MINAT BACA TERHADAP KEMAMPUAN MENULIS PETUNJUK

Primasari Wahyuni ................................................................................................................................... 65

JEJAK NASIONALISME DALAM NOVEL RAHUVANA TATTWA KARYA AGUS

SUNYOTO

Sutejo & M. Amin Abdulrois ................................................................................................................. 73

THE MAIN CHARACTER’S EFFORTS TO SEEK JUSTICE IN WINTERSET

(A COURT CASE STUDY IN MAXWELL ANDERSON’S PLAY)

Syamsuddin Ro’is ..................................................................................................................................... 85

Page 5: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember
Page 6: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

COHESION AND COHERENCE OF SPOKEN TEXT

IN SENIOR HIGH SCHOOL ELECTRONIC BOOK

Adip Arifin

STKIP PGRI [email protected]

Abstrak: Salah satu tujuan pembelajaran Bahasa Inggris di sekolah menengah atas adalah untuk mengembangkan/meningkatkan kompetensi siswa dalam berkomunikasi, baik secara lisan maupun tulis. Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh guru dalam upaya peningkatan kompetensi tersebut adalah pembelajaran melalui teks. Namun, tidak semua teks yang ada di buku teks sekolah mengandung unsur koherensi dan kohesi, sebagai unsure pembentuk teks yang baik. Studi ini bertujuan untuk mencari tahu unsur kohesi dan koherensi dalam teks lisan, (i) bagaimana teks disusun, (ii) bagaimana negoisasi makna terjadi untuk menjaga percakapan agar tetap berjalan, dan (iii) apa saja fitur kebahasaan yang melekat pada teks? Obyek studi ini merupakan teks percakapan yang diambil dari buku buku teks SMA kelas 11. Analisis data menggunakan teori Thornburry (2005) meliputi kohesi, koherensi (makro dan mikro), dan fitur kebahasaan. Temuan studi ini menunjukkan bahwa (i) tekster struktur secara dinamis, karena terdiri dari satu topic pembicaraan, (ii) penutur lebih mengedepankan negosiasi aspek logicosemantik, daripada interpersonal, dan (iii) fitur kebahasaan yang muncul pada text ditandai oleh empat hal, spontanitas, interaksi, interpersonalitas dan coherensi.

Kata Kunci: Koherensi, Kohesi, Teks Lisan

Abstract: One of the English teaching aims in senior high school is to develop the students’ competence in communicating both oral and written language to solve their daily problems. One of the ways to develop it is through texts. But not all the included texts in the senior high school book display the coherence and cohesion aspect, as the important requirements of a good text. This study is aimed to find out the cohesion and coherence of the spoken text, including; (i) how the text is structured?, ii) how negotiations are carried out to keep conversation going?, and (iii), what spoken language features characterize the text? The object of the study was the conversation text, taken from Senior High School electronic book, for students XI, 2008. The data analysis used in this study is based on the Thornburry’s theory of analyzing spoken text (2005), involves cohesion, coherence (macro and micro), and linguistic features of spoken text. The findings showed that (i) in terms of text structure, it has dynamic structure because the speakers discuss more than one topic. The speakers also perform interactive staging during the conversation, (ii) the speakers negotiate most on logicosemantic aspect (4x), rather than interpersonal aspect (1x), and (iii) the linguistic features which characterize the text are simply divided into four; spontaneity, interactivity, interpersonality and coherence.

Keywords: Coherence, Cohesion, Spoken Text

Page 7: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

Adip Ariin, Cohesion and Coherence of Spoken Text in Senior High School Electronic Book2

INTRODUCTION

In learning language, the study of text becomes

very important, both in spoken and written. Why

is it important? The appropriate answer could be,

because we are producing text, both in written and

spoken. Before moving further, it is better to define

what the text is. Acording to Thornburry (2005:

7), the text is product of speakers or writers in

communicative process which involves language.

Widdowson (2007: 4) defined a text as an actual

use of language, as distinct from a sentence which

is an abstract unit of linguistic analysis. Anderson

& Anderson (2003: 1) defined the text as the words

that are put together to communicate a meaning.

Adopted from those definitions above we may

conclude that the text as an actual use of language

in the form of spoken and written which carries

specific purposes.

Based on its purposes, the texts are categorized

into what so called as genre. Furthermore, genre

differentiates the text types not only based on

its purposes, but also implies to the different

of linguistic features and the generic structure

of each text. In short, each type of text has

different characteristics, especially in terms of

communicative purpose, linguistic features and its

generic structure. Those differences can be easily

identified in the most of written text types, such as

narrative, recount, report, exposition, and so forth.

But in terms of spoken style, those characteristics

are more complicated to be identified rather than

in written style. It is due to the spoken style has

different linguistic features compared to the written

style.

Text is not only the printed text, such as

letter, newspaper, magazine, etc. text can be

produced between speakers, between writer and

(potential) readers (Martin and Rose, 2003). So,

letter, magazine, speech, conversation can be said

as text. This is supported by Celce-Murcia and

Olstain (2000). They argue that text can be spoken

and written. Both spoken and written language

have different characteristics which can make them

different. It can be seen in the speaking class and

written class.

In fact, not all the texts can be classified into a

good text. To be a good text there are criteria should

be displayed within the text, such as cohesion and

coherence. In terms of spoken text, the negotiation

among the interlocutors becomes the important

part which characterizes it. In this case, the analysis

is focused on the text structure, negotiations, both

in interpersonal and logicosemantic, linguistic

features, and its cohesion.

In creating a text, there is a main problem

faced by the speaker and writer. That is the lack of

cohesion and coherence which has contribution

substantially in the lower scores (Liu and Qi, 2007:

168). So that is why cohesion and coherence is

important in creating a good text that can be spoken

written. According to Povolna (2009: 94), both

cohesion and coherence are important to know

the quality of text, although they are not related

to each other directly. This statement is supported

by Widdowson (2007: 207) who declares that “one

might derive a coherent discourse from a text with

no cohesion in it at all. Equally, of course, textual

cohesion provides no guarantee of discourse

coherence”.

The definition of cohesion can be a formal

link between sentences and between clauses that

can make the text hang together. If the text hangs

together and has a formal link, it will make the

text has unity (Cook, 2001: 14). While according

to Widdowson (2007: 45), cohesion is a link of

the parts or elements of a text. In connecting each

element, we need devices and it is called cohesive

devices. Cohesive devices are important to note

because by cohesive devices, the new content

will be understood easily related to the content

that has been explained before or after. Gerot

and Wignel (1994:67) stated that cohesion can be

seen in clause structure and clause complexes. So,

in analyzing cohesion, we have to consider each

clauses in the text. Cohesion can be grammatical

and lexical cohesion (Halliday and Hasan, 1994).

Grammatical cohesion is a link of each item from

grammatical aspects and the lexical cohesion means

that it is a link of items in the text from lexical

aspects. There are several experts who divides

cohesive devices in different classification. They

Page 8: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 1 Januari-Juni 2015 3

classify cohesive devices into grammatical cohesion

(reference, substitution, ellipsis, conjunction) and

lexical cohesion (repetition, synonymy, antonymy,

hyponymy, meronymy and collocation).

Cohesion can be said as the formal link

while coherence can be said as the abstract one.

Coherence cannot be identified in the same way like

cohesion. Coherence is the mind of the writer and

reader. So it is a mental phenomenon that makes it

different with cohesion (Thompson, 1996). In this

case, coherence is the capacity of a text to make

sense. How does the text can make sense so it will

make the text easy to be understood?

This study is aimed to find out the cohesion

and coherence of the text, including; (i) how the

text is structured?, ii) how negotiations are carried

out to keep conversation going?, and (iii), what

spoken language features characterize the text?

METHOD

The analysis used in this study is based on

the Thornburry’s theory of analyzing spoken

text (2005: 63-83). The theory involves how to

analyze the text in terms of cohesion, coherence,

and linguistic features of spoken text. In terms of

coherence, Thornburry suggests the two levels,

micro and macro level of coherence. Conceptually,

micro level of coherence includes theme and

rheme, logical relation, nominalization, texture,

rogue sentence, end-weight principle, active-passive

construction and cleft sentence. While macro

level of coherence includes topic, keyword, lexical

chain, internal patterning, schema and script. The

data of analysis is a spoken text taken from the

senior high school electronic book (BSE) entitled

“Interlanguage: English for Senior High School

Studens XI” 2008, written by Priyanna, Riandi and

Mumpuni.

FINDINGS AND DISCUSSION The findings of this analysis are divided

into three major parts, those are text structure,

negotiations and linguistic features (see appendices

1-6). Firstly, this chapter discusses the findings on

text structure. In terms of the text structure, the

text has dynamic structure. It means that along the

conversation, the speakers talk about more than one

topic..It can be seen from the linguistic evidences, in

the beginning part of the conversation the speakers

talk about the meeting with someone, but in the end

of the conversation, they talk about friendship. The

conversation is dominated by discussing Di’s first

meeting with someone, especially the chronological

order of her meeting, started from that’s how

they met, and finally became friend. Based on the

its structure, the text displays one of spoken text

characteristics, that is dynamic structure.

Furthermore, the text also displays interactive

staging among the speakers. It is indicated by

a number of questions and answers along the

conversation, but no question tag among the

speakers. The speakers ask each other about the

chosen topic during the conversation, such as;

Jessie : Had you seen a photo of him?

Di : Oh yeah, I had photos of him, photos…

In spoken language, this kind of interaction

becomes one of its characteristics. Actually,

the interaction among the speakers shows that

the conversation runs well. Even though the

distribution of speaking is dominated by only one

of them, that is Di, but the two of others, Jessie

and Judy, also participate in the conversation.

Actually, question and answer are functioned to

build interactive staging between the speakers along

the conversation.

In terms of open ended, the text doesn’t

display any open ended part. May be, it is happened

because actually, the text is a part of the bigger

conversation. So, the open ended part is explicitly

unmentioned in this chapter. In most of common

way, the conversation will be started by a kind of

greeting, opening, etc. but in this case, the speakers

directly talk about the topic.

Secondly, the next aspect of analysis is

negotiation. Conversation unfolds because speakers

respond to each other’s utterances, when one is

responding, one is negotiating. A response can

only make sense when it is related to the previous

utterance in terms of feeling (interpersonally)

or in terms of content (logico-semantically). In

order to make it detail, the negotiation is simply

Page 9: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

Adip Ariin, Cohesion and Coherence of Spoken Text in Senior High School Electronic Book4

divided into two, interpersonal and logicosemantic

negotiation. Interpersonal negotiation closely deals

with negotiating someone’s feelings or attitudes

which are realized by the mood, subject and finite,

while the logicosemantic negotiation closely deals

with the negotiation of the message or news

(content), which is realized in the rest of the mood

(residue). In conversation, interpersonal negotiation

is commonly realized by question tag. Based on the

linguistic evidences, the conversation is dominated

by logicosemantic negotiations, and there is only

one interpersonal negotiation. The number of

logicosemantic negotiations signal that the speakers

much concern on responding the content, rather

than the feelings. This means the speakers really

aware to the content of the conversation, that’s why,

the topic of conversation changes dynamically. The

negotiations during the conversation are functioned

to characterize the spoken language used.

Thirdly, the last aspect of analysis is linguistic

features. In this case, it is simply divided into four

sub-elements, those are spontaneity, interactivity,

interpersonality and coherence. Spontaneity

involves filled pause, repetitions, incomplete

utterance, frequent use of conjunctions, adverbials

and vague expressions and chunks. Based on

the linguistic evidences, there are some filled

pauses which are told by the speakers along the

conversation, such as uh, um, shh. In this case, filled

pauses signal that the speaker needs a moment to

pause his/her speaking. Besides that, filled pauses

also characterize the spoken language used.

The next aspect of spontaneity is repetition.

Based on the linguistic evidences found in the text,

the speakers (Di and Jessie) repeat some words

during the conversation, such as in the Jessie’s

utterance Right. Right and so when did you…In this

case, the repetition is functioned to emphasize that

the speaker takes it as a serious thing. The other

repetitions are as follows; photos (2x), sort of (4x,)

great (2x).

Furthermore, during the conversation, there is

no false start and backtracking utteraance, but there

is incomplete utterance told by Di, as follows; Uh,

well we sort of. I’m a sort of nervy person when I first meet

people, so it was a sort of …you know==just nice to him.

Di tells something incomplete, but then she shifts

the utterance and ends it by a kinds of conclusion

about her meeting, just nice to him. Even though Di

tells incomplete utterance, but the other speakers

(Judy and Jessie) can understand to what Di’s mean,

so the conversation runs smoothly, no gap at all.

During the conversation, the speakers

frequently use ‘and’ and ‘or’ to link their utterances,

such as in the example below:

Di : And um and then we called a truce and

started again. And then we sort of became

friends.

‘and’ (6x) is the most frequent of conjunct

which is used by the speakers to link their utterances.

In this case, ‘and’ functions to connect the utterances

and adds specific information to the previous

utterance, as well. Besides’and’, another conjunct

which is used by the speakers is ‘or’(2x).

The next spontaneity aspect found in the

text is the use of adverbials. The speakers only

use adverbial actually (2x) and really (2x) along

the conversation. These types of adverbials are

functioned to convey the speakers’ attitudes when

they are speaking.

As the characteristic of spoken language, the

use of chunks are found a lot, such as come on, let’s

go, sort of and you know. Chunks are multi-word units

that behave as if they were single words and typically

consist of formulaic routines that are stored and

retrieved in their entirety. Besides chunks, the vague

expression is also used by the speakers, such as sort

of, which is repeated four times. The use of chunks

and vague expressions emphasize that the language

used in the conversation is spoken style.

The second aspect of spoken language

features is interactivity, which involves turn taking,

interruption, laughter/chuckles and discourse

markers. Along the conversation the speakers do

turn taking most, especially when a speaker asks

something to other speaker, and then gives the

answer, for example;

Jessie : Right and so when did you== actually meet

him?

Di : ==So we didn’t actually meet until that

night.

Page 10: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 1 Januari-Juni 2015 5

When Di gives the answer for Jessie’s question,

the other speakers keep silent to listen Di’s words.

It signals that they do turn taking and keeps silent

when someone is speaking. Besides the presence

of turn taking, the conversation is also marked by

interruption, as in the utterance below:

Di : And he’d combed his hair and shaved his

eyebrows==and

Jessie : Had you seen a photo of him?

In this context, Jessie interrupts Di’s utterance

she before finishing it. This kind of characteristic is

commonly found in spoken language. Interruption

signals the speaker’s intention to cut off someone

else utterance, such as disagreement, dislike, etc.

One of interactivity aspects which is found

most is laughter, which functions to signal

amusement. Conversation is actually not simply

the exchange of information, but has a strong

interpersonal function. It serves to establish and

maintain group solidarity. I have noticed six times

of laughter during the conversation. Besides to

signal amusement, the frequent use of laughter also

signals the intimacy, friendship among the speakers.

While to manage the cut-and-thrust of interactive

talk smoothly, the speakers use some discourse

markers to signal intentions or what they are going

to say, such as well, oh yeah, you know.

In the interpersonality aspect, the text displays

some features, such as vague language, repeating

other’s words, exaggeration and strongly evaluative

language. The vague language can be seen in the

utterance which contains of ‘sort of ’. It is used in

order not to sound too assertive and opinionated

when delivering the utterances. Repeating other’s

words is a common feature which is found also in

the text. It is happened when Jessie repeats Di’s

words, as follows;

Di : ==So we didn’t actually meet until that

night.

Jessie : Until that night.

When repeating other’s words actually the

speaker ensures him/herself that what has just

been said is right. Furthermore, the speakers also

use exaggeration and evaluative language in the

conversation. It is used to harmonize the joint

construction of talk; to flag the speaker’s attitude;

to minimize misunderstanding. Those features can

be seen in the linguistic evidences below:

Judy : Oh hysterical [laughing].

Jessie : Great. Very close friends in fact [laughing].

Great.

The last aspect of spoken language feature is

coherence, which covers lexical repetition, lexical

chain and referring expression. The coherence is

achieved because speakers cooperate each other

to make sure that what they say is relevant to what

has been said before. In terms of lexical repetition,

the text displays repeated words as follows; photo

(3x), meet (3x), sort of (4x) and friends (3x). These

repeated words help the reader to identify the topic

of the conversation. In terms of lexical chain, the

text displays these following words; meet →went

out→nervous→photos→friends. From the linguistic

evidences of repetition and lexical chain, the writer

can concludes that the topic of conversation is

about the Di’s first meeting with someone.

The next aspect of coherence is referring

expression, which is only found one expression in

the text, as in the utterance below:

Di : Um and then I got sick. I had this Filipino

flu, or Hong Kong flu, or whatever they like

to call it, and then…

It refers to ‘sick, Filipino flu or Hong Kong flu’,

that has been mentioned before. It is classified into

anaphoric reference, because refers backward to

the previous word.

Substitution becomes the next aspect of

coherence which is found in the text. in this case,

the substitution is only found once times, as in the

Di’s utterance below;

Di : ==Well I was hanging out of a window

watching him in his car, and I thought ‘oh

God what about this!’

In this context, ‘this’ substitutes the speaker’s

action as stated in the previous statement.

In the macro structure of coherence, the text

doesn’t display the use of adjacency pairs among the

speakers, but the text contains question and answer,

especially in negotiating the message of utterance.

Page 11: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

Adip Ariin, Cohesion and Coherence of Spoken Text in Senior High School Electronic Book6

In terms of story structure, the conversation has

no structure at all.

CONCLUSION

Based on the analysis and the linguistic

evidences as presented above, the text displays

some common features of spoken language style.

Firstly, in terms of text structure, it has dynamic

structure because the speakers discuss more than

one topic. The speakers also perform interactive

staging during the conversation. Secondly, the

speakers negotiate most on logicosemantic aspect,

rather than interpersonal aspect. I have noticed

that the speakers negotiate logicosemantically four

times, while interpersonally only once time during

the conversation. Thirdly, the linguistic features

which characterize the text are simply divided into

four; spontaneity, interactivity, interpersonality and

coherence. Spontaneity in the text is achieved by the

presence of filled pauses, repetitions, incomplete

utterance, adverbials, vague expressions and the use

of chunks. Interactivity in the text is signaled by the

presence of taking turns to speak and keeping silent

when others are speaking, interrupting at times,

signaling their amusement by grunts, laughs and

chuckles, and discourse markers. Interpersonality in

the text is displayed by exaggeration and evaluative

language, repeating others’ words and the use of

vague language. In terms of coherence, the text

displayed lexical repetition, lexical chain, referring

expressions, substitution and linkers. Besides

that, the coherence is achieved because speakers

cooperate each other to make sure that what they

say is relevant to what has been said before.

REFERENCES

Anderson, M. and Anderson, K. 2003. Text Types

in English 1-2. South Yarra: Macmillan

Education Australia.

Celce-Murcia, M. and Olstain E. 2000. Discourse and

Context in Language Teaching. United States of

America: Cambridge University Press.

Cook, G. 2001. Discourse.New York: oxford

University Press

Gerot, L. and Wignell, P. 1994. Making Sense of

Functional Grammar. Sydney: Antipodean

Educational Enterprises (AEE).

Halliday, M. A. K. and R. Hasan,. 1994. Cohesion in

English. New York: Longman.

Liu, L and Qi, X. 2010. A Contrastive Study of

Textual Cohesion and Coherence Errorrs in

Chinese EFL Abstract Writing in Engineering

Discourse. Intercultural Communication Studies

XIX pp 176-187(Online Journal). Available

online on http://www.uri.edu/iaics/conten

t/2010v19n3/14LidaLiuXiukunQi.pdf on

June 15th, 2014

Martin, J.R. and Rose, D. 2003. Working with

Discourse: Meaning beyond the Clause. (Special

edition for Semarang State University) Semarang:

Unnes Press.

Povolna, R. 2009. On Constartive Relations in

Academic Spoken Discourse. Brno Studies in

English Journal. pp 95-105

Priyanna, J., Riandi and Mumpuni, A. P. 2008.

Interlanguage: English for Senior High Students

XI. Jakarta: Grasindo.

Thompson, G. 1996. Introducing Functional Grammar.

London: Arnold.

Thornbury, S. 2005. Beyond the Sentence; Introducing

Discourse Analysis. Oxford: Macmillan

Publishers Limited.

Widdowson, H. G. 2007. Discourse Analysis. Oxford:

Oxford University Press.

Page 12: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

ADDRESS TERMS AS THE POSITIVE POLITENESS STRATEGY USED

BY THE MIDWIFERY STUDENTS

Amalia Rahmawati

STIKES Muhammadiyah [email protected]

Abstrak: Dalam komunikasi, orang melakukan negosiasi makna kepada mitra tuturnya dengan berbagai strategi. Salah satu strategi yang sering digunakan adalah strategi kesopanan. Penelitian ini bertujuan untuk mencari tahu penggunaan address terms oleh mahasiswa semester dua AKBID Muslimat NU, Kudus, Jawa Tengah. Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif (deskriptif) dan data diperoleh melalui implementasi roleplay. Peneliti merekam, mentransipsikan, dan menginterpretasikan data tersebut. Analisis data berdasarkan pada teori Leech (1983). Hasil analisis menunjukkan ada sebelas situasi penggunaan address terms oleh mahasiswa, yakni: greeting (2%), thanking 15,6%, intimacy 2%, congratulation 0%, praising 11,7 %, apology 11,7%, question 11,7%, request 8%, suggestion 10%, chastisement 6%, rejection 0%, and disagreement 7,8%. Dari hasil di atas dapat disimpulkan bahwa penggunaan thanking merupakan yang tertinggi, kemudian diikuti intimacy, obedience, apology dan disagreement. Hal tersebut manandakan bahwa klien mengutamakan kedekatan dalam mengekspresikan address terms.

Kata Kunci: Kesopanan Positif, Sapaan, Strategi Kesopanan

Abstract: In communication, people negotiate meaning with the addressee. When they negotiate the meaning, they need some strategies. One of the strategies is politeness strategy. This study is aimed at finding out the address terms used by the second semester of midwifery students of AKBID Muslimat NU, Kudus, Central Java. The researcher used descriptive qualitative as the approach and the data collected through the role plays of twenty students. Then, the researcher recorded, transcribed, and interpreted them. The analysis of address term used was based on Leech’s theory (1983). The result of analysis showed that there were eleven situations in which the address terms used by the midwife and client. They were greeting (2%), thanking 15,6 %, intimacy 2%, congratulation 0%, praising 11,7 %, apology 11,7%, question 11,7%, request 8%, suggestion 10%, chastisement 6%, rejection 0%, and disagreement 7,8%. From those situations, the address term for situations in which mostly used by the client are in thanking, intimacy, obedience, apology and disagreement. It means that the client would like to express the intimacy.

Keywords: Address Term, Politeness Strategies, Positive Politeness

INTRODUCTION

In communication, people negotiate meaning

with the addressee. When they negotiate the

meaning, they need some strategies. One of the

strategies is politeness strategy. Based on the words,

politeness strategy consists of two words, politeness

and strategy. Politeness, according to Leech (1983),

stated that politeness focuses on the relationship

between two speakers. Moreover, politeness is not

only showed to the second speaker (addressee) but

also can be showed to the third participant. Yule

(1996: 60) added that politeness is a fixed concept

or it is an idea of some one that can be in form of

‘polite social behavior’ or etiquette within a culture.

It means that politeness works with the culture of

the speaker and audience. In line, Cutting (2008)

defined “It is the choices that are made in language

use, the linguistics expression that give people space

and show a friendly attitude to them, and makes it

Page 13: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

Amalia Rahmawati, Address Terms as The Positive Politeness Strategy Used by The Midwifery Students8

very clear that more is being communicate than

is said”.

It means that politeness can show someone

attitude when he communicates with others. It

happens because he has a choice of the language in

communication. Therefore, politeness is one of the

ways for speaker to maintain the communication

runs well by saving the addressee’s face.

Politeness is divided into positive and negative

politeness. Those classifications are based on the

language used by the speaker. Moreover, this study

focuses on the positive politeness by using address

term as the strategy in communication. Below, the

researcher describes the positive politeness.

Furthermore, Brown and Levinson (1987)

are one of the experts in politeness. According

to them, positive politeness means that what the

speaker says need to be accepted, liked by others

(addressee). To reach it, positive politeness leads the

requester to appeal to the common goal by using

a good language choice. It means that the positive

politeness related to the expression used.

By using appropriate expression, the speaker

can save the addressee’s face by demonstrating the

closeness, solidarity, friendship, etc. Therefore,

Brown and Levinson (1987) suggested that there

are fifteen strategies of positive politeness. They

are 1) notice, attends to hearer, 2) exaggerate, 3)

intensify interest to the hearer, 4) use in group

identity, 5) seek agreement, 6) avoid disagreement,

7) presuppose/raise/assert common ground, 8)

joke, 9) assert or presuppose speaker’s knowledge of

and concern for hearer’s want, 10) offer, promise,

11) be optimistic, 12) include both speaker and

hearer in the activity, 13) give reason, 14) assume

or assert reciprocity, and 15) give gifts to hearer.

Those strategies are very important since politeness

becomes the important thing in communication.

In conversation, the discourse markers

always occur. Discourse markers, according to

Biber et al (1997), are the combination between

two rules. They are to signal a transition in the

evolving progress of conversation and to signal

an interactive relationship between speaker, hearer

and the message. Moreover, it needs lexical items

that are uttered to give indication the conversation

runs well. Some of lexical items that can be used

are called vocative or address term. Brown and

Levinson (1987) stated that vocatives follow the

discourse markers and intensify the interlocutor’s

attentive. Moreover, based on the strategy in

positive politeness, the use of address terms

belongs to the fourth classification.

Different language has different in the use

of address terms. In this study, the researcher

focuses on the Indonesian. According to Parrot

(2010), truncation is used in Indonesian dialect

and it can be seen from the use of the first name

as the vocative or the address term. Truncation

is one of the way in producing vocative in which

can be observed from the form of it. Truncation

is used to make short, by calling someone with

his/her first name. That is belongs to vocative or

address term.

Based on the Leech (1983), one of the roles of

the address terms is it can maintain the relationship,

especially for the social relationship, between the

speaker and the listener (addressee). It means that

address term can be used as the positive politeness.

It is also supported by Brown and Levinson (1987)

that the use of address form is the fourth strategy

in positive politeness.

Leech (1983) added that there are three

criteria of address terms as the vocative. The first

criterion is if the position of address terms is in

the beginning of the sentence, the address terms

are not counted. Except, there are more than two

speakers, the address terms can be counted. The

second criterion is the address terms are counted

if they are in the middle position. And the last

criterion is the address terms are counted if they

are in the end position.

Moreover, Leech (1983) classify the address

term based on the situation. There are two

situations that can make the speakers use address

terms. They are address terms with the imposition

to the hearer and address terms without the

imposition to the hearer. If the address term is

used with the imposition to the hearer, it means

that the address terms functions as the softener

in communication. It can be divided into several

situations, such as question, request, suggestion,

Page 14: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 1 Januari-Juni 2015 9

chastisement, rejection, and disagreement. Then, if

the address term is used without imposition to the

hearer, it means that the address term functions as

the intensifier. The situation in which the address

terms functions as the intensifier can be in greeting,

thanking, intimacy, obedience, congratulation,

praising and apology

Midwifery is one of medical professions

that have job to help women in maternity aspect

especially. According to Health Minister Rules

Number 572/1996, there are nine competences

for midwifes. The competences are knowledge;

pre-conception, family planning and gynecology;

caring and counseling during pregnancy; caring

during delivery and childbirth; caring on postnatal

period and breast feeding; caring on the new

born baby; caring on baby and under five year;

community midwifery; the last is caring on woman

who has reproduction disturbance. To do those

competences, midwife also needs to have a good

communication with the clients. One of language

that can be used in communication is English.

English is one of language that should be

learnt by the students in AKBID Muslimat NU

Kudus. One of the goals in teaching and learning

English is the students are able to communicate

in medical situation and understand the medical

literature. It happens because most of the medical

references are in English and they are in the

globalization area. Therefore, learning English is a

must for the midwifery students.

Since the goal of teaching and learning

English is the students are able to communicate,

communica t ive competence i s needed .

Communicative competence means competence

of the speaker to communicate or to perform

their language. Celce-Murcia (2007) proposed the

competence model that includes six competences.

The six competences in communicative competence

are linguistic competence, strategic competence,

sociocultural competence, actional competence,

interactional competence and discourse competence.

In this study, the researcher focuses on the

sociocultural competence. According to Celce-

Murcia (2007), “sociocultural competence refers

to the speaker’s pragmatic knowledge”. It means

that when the speaker expresses her idea, she

has to consider with the way how she expresses

appropriately based on the social and culture

context. Then, one of the sociocultural competence

is in the politeness strategy. It is very important

since the students are the candidate of midwife who

should have good communication skill.

According to Cutting (2008), politeness can

be the choice of language used that can give space

to people, show the intimacy with others and make

the communication clear. It means that politeness

relates to the language used by the speaker. That

language can show the distance among the speakers

and make the communication understandably.

One of the studies in politeness is the use of

address terms that can create the positive politeness

strategy. Address terms can be used by the speaker.

The speaker can use address terms in greeting,

thanking, apology, ask question, request, etc. If the

speaker uses address terms, the distance between

speaker and listener can be observed.

This current study is related to the Yuka’s

study (2009) and Parrott’s study (2010). Yuka’s study

is about the use of terms of address used as the

positive politeness strategy in oral communication

1 textbooks. He analyzed the textbooks which are

provided by the Japanese Ministry of Education

because Japanese is familiar with their negative

politeness in their language. Therefore, Yuka

wanted to know how many and what kind out

address terms used in the English textbooks. He

would like to know the address terms because they

are one of the politeness strategy that opposites

to the Japanese. While, Parrott want to know the

vocative and other direct address forms used by

Russians.

Based on the explanat ion above, in

communication people need to use some strategies,

one of them is positive politeness strategy. In

this strategy, vocative has an important role to

know how polite the speaker is. Moreover, as the

midwifery students, they also have to learn how

to use the positive politeness strategy in their

communication. It can be realized from the use of

the address terms. Therefore, this study aims to find

out: (i) the kind of the address terms used by the

Page 15: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

Amalia Rahmawati, Address Terms as The Positive Politeness Strategy Used by The Midwifery Students10

midwifery students, (ii) the frequency of address

term used in the midwifery students’ conversation,

and (iii) the use of address term by the midwifery

students their conversation.

METHOD

Considering the objective of this research

and the nature of the problem, this research will

be designed as a descriptive qualitative research. It

belongs to qualitative research because qualitative

research is a kind of research in which the method

of data collection is non experiment and the

type of data is not numerical (Nunan, 1993). In

qualitative research, it is a way of knowing by the

researcher in gathering, organizing and interpreting

the information obtained from humans using his

or her eyes and ears as filters. And sometimes it

involves indepth interviews and/or observations

of human in natural and social setting (Litchman,

2009). It means that in qualitative research, the

researcher doesn’t only need to describe the data,

but he has to interpret the data which can be gotten

from interview, observation, etc. Moreover, the

design of this research is pragmatic research.

In this study, the researcher uses the midwifery

students who are in the second semester of

AKBID NU Kudus. There are 20 students as the

subject of this research. It means that there are 10

conversations, but the researcher only uses top three

of them. The reason is there are several address

term available in those top three conversations.

This part is divided into data collection and

data analysis. First, the data is collected from

the midwifery students when they have final

examination (December 10th, 2014). In their final

examination, the students make a couple then have

a role play of pregnancy examination. One student

is as a midwife and one student is as a client. In

this situation, the midwife will check the client’s

pregnancy examination. In pregnancy examination,

the midwife and client will have negation meaning.

Moreover, the politeness strategy is needed in this

case. Then, the researcher records and transcribes

that role play. The transcription is analyzed in term

of the address term used. She uses Leech’s theory

(1983) as the basic of the analysis. After analyzing

it, interpretation is needed to answer the objective

of this research.

FINDINGS AND DISCUSSION

Based on Leech (1983), there are two situations

that a speaker can use address term as the positive

politeness strategy. They are intensifier and softener.

The intensifier is divided into greeting, thanking,

intimacy, obedience, congratulating, praising

and apology. Moreover, the softener is divided

into question, request, suggestion, chastisement,

rejection and disagreement. The percentage of

them in this study can be seen in the table below.

Table 1 The distribution of situations

No SituationsPercentage

(%)

1

2

3

4

5

6

7

Intensifier Greeting

Thanking

Intimacy

Obedience

Congratulation

Praising

Apology

2

15,6

2

15,6

-

11,7

11,7

8

9

10

11

12

13

Softener Question

Request

Suggestion

Chastisement

Rejection

Disagreement

21,5

8

10

6

-

7,8

Based on the table above, it can be seen

that the situations of address term is used by the

midwifery students are greeting, thanking, intimacy,

obedience, praising, question, request, suggestion,

chastisement and disagreement.

First is greeting. Based on the table 4.1,

the percentage of greeting is 2%. It means that

the midwifery students seldom use address

term in greeting. They usually greet the client

directly without address term. Moreover, the

greeting situation of address term is used only in

conversation 1. The utterances are:

A : Good morning, mom.

M1 : Hi, Morning,

Page 16: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 1 Januari-Juni 2015 11

Based on the utterances above, greeting is

asked by the client A. she greets the midwife first

by using mom as the address term. That address

term refers to the midwife. By giving address term

in greeting, automatically the hearer will be more

respect with the speaker. It can be seen that in the

first conversation, the conversation run well. They

seem closer, so the client will enjoy in checking

pregnancy time.

Second is thanking. In this study, the percentage

of thanking is 15,6%. It means that there are eight

utterances use the address term. Those address

term is used in all top three conversations. The

example of thanking situation that use address

term is

M2 : 2kg. so far so good. It means that your baby grows.

B : Thanks mom. I think I am fatter also. And it

makes me tired if I have to do many activities.

Based on the utterances above, the use of

address term mom refers to the midwife. The client

uses address term in thanking situation because

the midwife gives a lot of information about the

fetus condition. It happens because the midwife

examines the condition of the clients’ baby. And

that is the midwife job. In that time, she has to

explain more about pregnancy.

Third is intimacy. In conversation, intimacy is

important to maintain the relationship among the

speakers, especially in medical field. The percentage

of intimacy in this analysis is 2%. The address

term used in intimacy situation is found in the

first conversation. It happens because the status of

them is between midwife and client. The example

of address term in the intimacy situation can be

seen below.

M1 : Your husband’s name, please

A : Anton mom

The fourth situation is obedience. The

percentage of obedience in this study is 15,6%.

However it is not the highest percentage, the

midwifery students use obedience situation in their

role play. The example of obedience situation is

M1 : Oh.. you don’t make the note, right?

A : Yes, I never make a note about my period mom

Based on the example above, the address term

is asked by the client. She gives respond from the

midwife’s question. This address term shows how

politeness strategy used by the client. It also can

influence the midwife to be not mad because the

client doesn’t make a not with her own period. That

is why address term can be classified as the strategy

in positive politeness.

The fifth situation is congratulation. Based on

the analysis, the percentage of address term used

in congratulation situation is 0%. It means that the

address term is not used by both midwife and client.

It happens because what they do is doing role play

in checking pregnancy.

The sixth situation is praising. Based on the

analysis, the praising situation is used in all of

the conversations. It happens because it can give

good contribution in ending the conversation.

The percentage of the address term in praising is

11,7%.

The seventh situation is apology. Based in the

analysis, the percentage of address term in apology

is 11,7%. The address term in the apology situation

is asked by the client. It happens because the clients

do several mistake or activity that is forbidden for

the pregnant woman. The example of address term

in apology situation can be seen below:

B : I feel nausea. And I cant eat vegetables. If I eat

vegetables, I will be vomit.

M2 : Vomit for pregnant woman is normal mom. It doesn’t

meter,. You still need vegetables because of your

baby

B : Sorry mom. I will try it. Mom, when I can have

USG test? I would like to know my baby’s sex.

Based on the example above, the address

term in apologizing situation is very useful for the

speaker client. It happens because by using this

address term, the midwife can be more respect to

the client. And of course it will save the midwife’s

face. That is why address term is one of the positive

strategies in politeness.

The eighth situation is question. Question has

the highest percentage because by using address

term in question, the question will be softer. The

highest percentage of address term in question

Page 17: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

Amalia Rahmawati, Address Terms as The Positive Politeness Strategy Used by The Midwifery Students12

is 21,5%. The example of address term in the

question situation can be seen below:

M1 : Hi, Morning,

Oh.. what can I do for you mom?

Please, sit down.

A : I would like to check my pregnancy.

Actually, address term is used by both midwife

and client. The midwife asked by using address

term to save the client’s face. So the client will be

relax and like with the midwife service. Moreover,

the client uses address term is to save the midwife’s

face. It happens because as the client, she would

like to know more about pregnancy.

The ninth situation is request. Based on the

analysis, the percentage of the address term used

in the request situation is 8%. The address term

used in request is only used in conversation 1 and

2. The example of address term in request can be

seen below.

M1 : Yes, please. And excuse me, please roll your right

sleeve up, mom.

A : Yes

Based on the analysis, the address term used

in the request situation is used by the midwife. It

happens because midwifes want the clients to do

something that relates to the way of pregnancy

checking. Because the midwife wants of requests

the clients do something, address term can make

the client will do everything that the midwife

wants without mad expression. In other words, the

politeness strategy runs in request strategy.

The tenth situation is suggestion. In this study,

al the top three conversation use address term

in suggestion situation. It can be seen from the

percentage of the address term of the suggestion

used. The percentage is 10%. The example of

address term in suggestion situation can be seen

below.

M1 : Actually, you should make a note, it is better for you

mom. So you can know your period exactly. And

it is very important to check your pregnancy

Based on the example above, the address

term mom is used to refer to the client. It means

that most of the address term for suggestion

is produced by the midwife. It is related to the

task and responsibility of a midwife. She has to

give information for the client how to be a good

pregnant woman. Therefore, using address term

in giving suggestion is very important in order to

save the client’s face.

The eleventh is chastisement. The percentage

of the address term in chastisement is 6%. The

address term used in the chastisement is produced

by the client. It can be seen from the example

below.

M2 : It’s ok. Having activity, like working actually is good

for you and your baby. But.. you have to remember

that you should decrease your activities. Please don’t

be over tired. You are pregnant.

B : So so sorry mom.. this week I’m very busy because

of final examination.

Based on the example above, the address

term in chastisement is produced by the client.

It means that the politeness strategy works. The

client use address term in chastisement to save the

midwife’s face. She use address term because she

do mistakes.

The next situation is rejection. Based on the

analysis, address term in rejection doesn’t work. In

other words, the midwife and the client don’t use

address term. It can be seen from the percentage

of address term in rejection is 0%.

The last situation is disagreement. The

percentage of address term in disagreement is

4%. However it has small number, address term in

disagreement works. The example of address term

in disagreement situation can be seen below:

M2 : No, I think you shouldn’t starch it, just rub it. If

you starch it, it can leave the scar to your skin

B : But it is very itchy mom

M2 : Yes, I know. It doesn’t matter. Now, you can choose,

scar or not.

Based on the example above, the address term

is produced by the client. The client uses address

term because she has different argument with the

midwife. In other words, based on the example

above, the address term is used by the client because

she denies to the midwife’s argument. To save the

midwife’s face, the client use address term as the

positive politeness strategy.

Page 18: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 1 Januari-Juni 2015 13

It can be concluded that address term is used

by both of midwife and client. The midwife use

address term when she gives argument that relates

to her task and responsibility as a midwife.

CONCLUSION

Address term is one of important thing in

communication, especially in checking pregnancy.

In this study, the subject of the research is the

midwifery students who are dong role play in

checking pregnancy. They should do her task and

responsibility in term of giving advice, suggestion,

request, etc. To make the communication runs well,

midwife and client use address term as the positive

politeness strategy. It can help them to save the

midwife/client’s face.

There are thirteen situations in which the

address term can be used by the midwife and client.

Moreover, eleven out of thirteen situations use

address term. The eleven situations are greeting,

thanking, intimacy, obedient, appraising, apology,

question, request, suggest, chastisement, and

disagreement. The percentage of the address terms

in several situations are greeting 2%, thanking 15,6

%, intimacy 2%, congratulation 0%, praising 11,7

%, apology 11,7%, question 11,7%, request 8%,

suggestion 10%, chastisement 6%, rejection 0%,

and disagreement 7,8%. From those situations, the

address term for situations in which mostly used

by the client is in thanking, intimacy, obedience,

apology and disagreement. It means that the client

would like to express the intimacy. Moreover, the

address terms for situations in which are mostly

used by the midwife is question, request, and

suggestion. It happens because it relates to her task

and responsibility. She has to check the pregnancy

deeply and gives information to the pregnant

woman. In giving explanation and negotiating

the meaning, the midwife uses several positive

politeness strategies to make it softener.

REFERENCES

Biber, D.,et al. 2007. Longman Grammar of Spoken and

Written English. Harlow: Pearson Education

Limited

Brown, P. and Levinson, S. C. 1987. Politeness: Some

Universals in Language Usage. Cambridge:

Cambridge University Press

Celce-Murcia, M. 2007. Rethinking the Role of

Communicative Competence. Available online on

http://www.link.springer.com, retrieved on

June 15th, 2014

Cutting, J. 2008. Pragmatics and Discourse. London:

Routledge

Health Minister Rules Number 572/1996

Leech, G. 1983. Principles of Pragmatics. London:

Longman

Litchman, M. 2009. Qualitative Research in Education:

A User’s Guide 2nd Edition. Washington: SAGE

Publication

Nunan, D. 1993. Introducing Discourse Analysis.

London: Penguin Group

Parrot, L. A. 2010.Vocative and other Direct

Address Forms: A Contrastive Study. OSLa

Studies in Language. Available online on

http://www.jornals.uio.no.osla

Yuka, A. 2009. Positive Politeness Stategy in Oral

Communication I Textbook (Focusing on

Terms of Address). The Economic Journal of

Takasaki City University of Economics. Available

online on http://www1.true.ac.jp/on June

17th 2014

Yule, G. 1996. Pragmatics. New York: Oxford

University Press

Page 19: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember
Page 20: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

PENGEMBANGAN KARAKTER ANAK USIA DINI

MELALUI SASTRA

Cutiana Windri Astuti

STKIP PGRI [email protected]

Abstract: The age of pre-school is the sensitive period for the children in maturing the physical and mental functions, which are ready to respond the stimulant from the environment. Therefore, they need the appropriate stimaulant with the children’s need. This study is aimed to provide the alternative for the Pre-school teacher and also the parents for building the child’s character through children literary works. Character building is oriented to sharpen the children potencies. The children literary works are the literary works which reflect the children experiences, feelings with easy understanding contents. Hence, the teacher as the facilitator in arranging the lesson plan must involve the children in literary world. By doing this kind of activity, the children will get the positive character model at school.

Keywords: Character, Early Chilhood, Literary Works

Abstrak: Usia prasekolah merupakan masa peka bagi anak karena terjadinya pematangan fungsi fisik dan psikis yang siap merespon stimulasi yang diberikan oleh lingkungan. Oleh karena itu dibutuhkan kondisi dan stimulasi yang sesuai dengan kebutuhan anak, agar tumbuhkembangnya bisa optimal, termasuk karakternya. Tulisan ini bertujuan memberikan alternatif bagi pendidik PAUD dan orang tua tentang bagaimana menumbuhkembangkan karakter anak usia dini melalui media sastra anak. Pendidikan karakter berorientasi pada proses pembinaan potensi yang ada dalam diri anak, yang dikembangkan melalui pembiasaan sifat baik yaitu berupa pengajaran nilai. Sastra anak adalah sastra yang mencerminkan perasaan dan pengalaman anak-anak, dengan isi cerita dan bahasa yang mudah dipahami. Dengan kemasan cerita yang menarik, mudah dipahami dan dengan bahasa anak, maka sastra anak dapat dijadikan media untuk mengenalkan, menanamkan, membentuk dan mengembangkan karakter baik pada diri anak. Guru sebagai fasilitator menyusun RKH dengan media sastra anak kemudian mengajak anak-anak bermain peran sesuai teladan baik yang ada di dalam karya sastra. Dengan langkah tersebut diharapkan karakter yang positif akan tertanam dalam diri anak, dan akan berkembang seiring pembiasaan teladan baik yang dilakukan dirumah dan disekolah.

Kata Kunci: Anak Usia Dini, Karakter, Sastra

PENDAHULUAN

Kata karakter dan pendidikan karakter sudah

tidak asing lagi di tengah masyarakat kita. Moral

bangsa yang dianggap semakin merosot ini

menjadikan istilah karakter naik daun dan menjadi

hukum wajib pada ranah pendidikan. Bagaimana

tidak? Ketika tawuran pelajar, siswi yang hamil di

luar nikah, geng motor, balapan liar, pesta miras

saat kelulusan, dan hal negatif lainnya terjadi, maka

secara tidak langsung terbangun opini masyarakat

bahwa sekolah sangat berpengaruh besar terhadap

pembentukan karakter peserta didik.

Menurut kebijakan nasional dalam Achmad

Jalaludin (2013: 419) menyatakan bahwa lingkup

sasaran pembangun karakter bangsa mencakup ranah

lingkup: keluarga, satuan pendidikan, pemerintah,

masyarakat sipil, masyarakat politik, dunia usaha,

dan media massa. Itu artinya pembangunan karakter

menjadi tanggung jawab bersama dan harus dimulai

sejak usia dini. Usia prasekolah ini merupakan masa

Page 21: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

Cutiana Windri Astuti, Pengembangan Karakter Anak Usia Dini Melalui Sastra 16

peka bagi anak yakni masa terjadinya pematangan

fungsi-fungsi fisik dan psikis yang siap merespon

stimulasi yang diberikan oleh lingkungan. Oleh

karena itu dibutuhkan kondisi dan stimulasi yang

sesuai dengan kebutuhan anak, agar pertumbuhan

dan perkembangan anak tercapai secara optimal

termasuk karakter mereka.

Masa tumbuh kembang anak pada usia 0-6

tahun merupakan masa keemasaan (golden age),

masa dimana pertumbuhan dan perkembangan

yang terjadi akan menjadi pondasi bagi anak

tersebut kelak dikemudian hari. Penting untuk

memikirkan bagaimana pendidikan dan rangsangan

yang tepat bagi anak. Salah satu program yang

digalakkan oleh pemerintah adalah pendidikan

anak usia dini (PAUD). Menurut Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2003 pasal 1 butir 14 tentang

Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa

pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya

pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir

sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan

melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk

membantu pertumbuhan dan perkembangan

jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan

dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.

Pendidikan anak usia dini berorientasi

dan menitik beratkan pada perkembangan fisik

(menyangkut motorik halus dan kasar), intelegensi

(menyangkut daya pikir, daya cipta, kecerdasan

emosi, kecerdasan spiritual), sosial emosional

(menyangkut sikap dan perilaku), bahasa dan

komunikasi pada diri anak (Wahjudi Djaja,2007:27).

Berkaitan dengan perkembangan sosial emosional

yang menyangkut sikap dan perilaku, penting untuk

menumbuh kembangkan karakter yang baik pada

anak sehingga kelak mereka akan tumbuh menjadi

generasi bangsa yang berkarakter.

Komitmen nasional tentang pengembangan

dan pembentukan karakter dalam pendidikan

telah tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003

dalam pasal 3 yaitu “Pendidikan nasional berfungsi

mengembangkan kemampuan dna membentuk

watak serta peradaban bangsa yang bermatabat

dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,

bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta

didik agar menjadi manusia yang beriman dan

bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak

mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan

menjadi warga negara yang demokratis serta

bertanggungjawab.

Anak usia dini yang kelak akan tumbuh sebagai

generasi bangsa akan memikul tanggungjawab

dalam memajukan bangsa Indonesia di berbagai

bidang. Untuk itu, peran mereka sebagai kreator

yang menentukan wajah masa depan bangsa harus

kita siapkan sejak dini dan dikembangkan secara

berkelanjutan. Maka, anak usia dini harus kita bekali

dengan pembiasaan dan pengembangan karakter

baik di rumah maupun di sekolah.

Orang tua mempunyai tugas sekaligus

kewajiban yang tidak bisa dihindarkan untuk

membentuk dan mengembangkan karakter anak.

Keluarga adalah sekolah pertama yang akan

menjadi model sekaligus sarana belajar dan tumbuh

kembang anak. Dalam bahasa Indonesia kita

mengenal peribahasa “buah jatuh tidak akan jauh

dari pohonnya”, yang bermakna bahwa sikap dan

sifat seorang anak akan sama dengan orang tuanya.

Jika orang tuanya baik maka begitu juga nantinya si

anak akan tumbuh. Tetapi sebaliknya jika sikap dan

sifat orang tua dan keluarganya buruk maka si anak

juga akan mempunyai pribadi yang kurang baik.

Di era globalisasi saat ini, peribahasa

tersebut bisa jadi dimentahkan dan tidak terbukti

kebenarnnya. Si “A” adalah anak seorang guru

agama yang mempunyai sikap dan sifat yang baik,

akan tetapi si “A” ini menjadi pembunuh dengan

cara mutilasi. Kenyataan lain yang terjadi adalah si

“B” tumbuh di keluarga yang tidak harmonis tetapi

anak ini mampu menyelesaikan sekolahnya dengan

baik tanpa masalah dan justru meraih prestasi.

Contoh nyata tersebut menjadi bukti bahwa tidak

hanya perilaku orang tua tetapi ada faktor lain yang

mempengaruhi karakter pada diri seseorang.

Perkembangan teknologi yang begitu cepat

membuat manusia dengan mudah mendapatkan

informasi apa saja tanpa melalui proses penyaringan.

Sehingga terkadang banyak informasi yang

seharusnya tidak diketahui sesuai usia anak, tetapi

mudah diakses secara bebas dan terbuka. Oleh

karena itu, menjadi tanggungjawab orang tua untuk

memilah, memilih, dan menentukan input yang

akan dimasukkan untuk membentuk karakter anak

pada hal-hal yang baik/positif.

Page 22: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 1 Januari-Juni 2015 17

PAUD sebagai salah satu lembaga pendidikan

paling dasar yang dipercaya para orang tua mampu

membentuk karakter positif anak, mempunyai

kewajiban memikirkan bagaimana menumbuh

kembangkan karakter anak sehingga tumbuh

menjadi generasi yang membanggakan. Tulisan ini

akan memberikan alternatif bagi pendidik PAUD

khususnya dan orang tua pada umumnya, tentang

bagaimana menumbuhkembangkan karakter anak

usia dini melalui media cerpen anak.

PEMBAHASAN

Karakter dan Pendidikan Karakter

Karakter dapat berarti kejiwaan, akhlak atau

budi pekerti yang membedakan sesorang dari yang

lain. Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku

yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup

dan bekerjasama, baik dalam lingkungan keluarga,

masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang

berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat

keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap

akibat dari keputusan yang ia buat (Suyanto dalam

Sarwiji Suwandi, 2013:2).

Pendidikan karakter dapat diartikan sebagai

pendidikan yang berorientasi pada proses

pembinaan potensi yang ada dalam diri anak,

yang dikembangkan melalui pembiasaan sifat-sifat

baik yaitu berupa pengajaran nilai karakter yang

baik. Dalam Pedoman Pengembangan Pendidikan

Budaya dan Karakter Bangsa (2010:7), tujuan

pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah;

1) mengembangkan potensi kalbu/nurani/efektif

peserta didik sebagai manusia dan warga negara

yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter, 2)

mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta

didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai

universal dan tradisi budaya bangsa yang religius,

3) menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung

jawab peserta didik sebagai generasi penerus

bangsa, 4) mengembangkan kemampuan peserta

didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif,

berwawasan kebangsaan, dan 5) mengembangkan

lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan

belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan

persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang

tinggi dan penuh kekuatan (dignity).

Dr. Siti Fatimah Soenaryo menyampaikan

ruang lingkup pendidikan karakter tercakup dalam

olah pikir, olah raga, olah hati dan olah karsa. Olah

pikir yaitu cerdas, kritis, kreatif, inovatif, ingin tahu,

berpikir terbuka, produktif, berorientasi ipteks, dan

reflektif. Olah raga yaitu bersih dan sehat, disiplin,

sportif, tangguh, andal, berdaya tahan, bersahabat,

kooperatif, determinatif, kompetitif, ceria, dan

gigih. Olah hati yaitu beriman dan bertakwa,

jujur, amanah, adil, bertanggungjawab, berempati,

berani mengambil resiko, pantang menyerah, rela

berkorban, dan berjiwa patriotik. Sedangkan olah

rasa adalah ramah, saling menghargai, toleran,

peduli, suk menolong, nasionalis, mengutamakan

kepentingan umum, bangga menggunakan bahasa

dan produk Indonesia, dinamis, kerja keras dan

beretos kerja.

Untuk mewujudkan generasi yang memiliki

olah pikir, olah raga, olah hati, dan olah karsa

tersebut harus dimulai dari yang sederhana,

yang mudah dilaksanakan sesuai dengan kondisi

masing-masing sekolah/wilayah. Misalnya adalah

menciptakan suasana yang bersih, membiasakan

anak bersikap jujur, sopan santun, peduli, dan

selalu semangat pantang menyerah. Diperlukan

strategi yang tepat untuk mewujudkannya pada

anak usia dini. Salah satunya bisa melalui media

sastra anak yang mempunyai keteladanan yang baik

didalamnya.

Beliau juga menyampaikan 15 pilar karakter

yaitu (1) nilai kecintaan terhadap Tuhan YME, (2)

nilai toleransi dan cinta damai, (3) nilai disiplin,

(4) nilai kejujuran, (5) nilai percaya diri, (6) nilai

mandiri, (7) nilai kreatif, (8) nilai kerja keras, (9)

nilai tanggung jawab, (10) nilai rendah hati, (11)

nilai hormat dan sopan santun, (12) nilai tolong

menolong, kerjasama dan gotong royong, (13) nilai

kepemimpinan dan keadilan, (14) nilai cinta bangsa

dan tanah air, serta (15) nilai peduli lingkungan.

Hakikatnya tujuan pendidikan karakter adalah

membentuk individu menjadi seorang pribadi

yang bermoral dan bertanggungjawab dalam

hubungannya dengan orang lain dalam kehidupan

bermasyarakat. Maka pendidikan karakter mengarah

Page 23: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

Cutiana Windri Astuti, Pengembangan Karakter Anak Usia Dini Melalui Sastra 18

pada pembentukan individu kedalam 15 pilar

karakter tersebut. Menurut Sulistyorini (2013:415)

pendidikan karakter memiliki fungsi yang strategis

dan efektif bagi proses perubahan sosial dalam

masyarakat jika dilaksanakan dengan terarah dan

terencana, melalui dukungan dari banyak pihak yang

memiliki otoritas, terutama otoritas negara.

Pendidikan karakter tidak hanya sekdar

mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah.

Lebih dari itu menurut Sarwiji Suwandi (2013:3)

pendidikan karakter menanamkan kebiasaan

(habituation) tentang hal mana yang baik sehingga

peserta didik menjadi paham (kognitif) tentang

mana yang benar dan salah, mampu merasakan

(afektif) nilai yang baik dan bisa melakukannya

(psikomotor). Jadi pendidikan karakter menekankan

pada kebiasaan yang terus menurus dipraktekkan

dan tujuan akhir pendidikan karakter adalah

meningkatkan kebaikan dalam diri peserta didik.

Sastra sebagai Pembentuk Karakter Anak

Sastra anak adalah sastra yang mencerminkan

perasaan dan pengalaman anak-anak. Yang tentunya

dikemas dalam pandangan anak-anak dengan isi

cerita dan bahasa yang mudah dipahami anak-anak.

Sastra anak bisa ditulis oleh orang dewasa atau anak-

anak itu sendiri. Yang harus diperhatikan adalah

bagaimana tulisan itu memiliki kebermaknaan

bagi anak-anak. Karya sastra anak bisa bermacam-

macam yaitu: puisi, cerpen, drama, cerita rakyat,

cerita binatang, novel, dan juga film.

Pengertian karya sastra anak tersebut

memberikan pemikiran bahwa sastra anak dapat

dijadikan media untuk mengenalkan, menanamkan,

membentuk dan mengembangkan karakter baik

pada diri anak. Hal tersebut bisa dicontohkan pada

puisi karya Aming Aminoedhin yang dikutip dari

Esti Swatika Sari (2013:277-278) berikut.

Kado Ultah Adikku

Saat Sekolah telah pulang

Aku lihat di halaman sekolah

Masih ada penjual ikan koki

Berdagang

Kuraba saku, masih ada uang sakuku

Guna membeli seekor ikan koki

Di dalam plastik

Berisi air, berenang melonjak

Si koki tampak senang sekali

Tiba dirumah

Kuberikan koki pada adikku

Sebagai kado ultahnya hari ini

Betapa riang adikku

Melonjak-lonjak girang bagai si koki

Pada kutipan puisi diatas jelas terdapat nilai

karakter yaitu nilai kasih sayang, bagaimana seorang

kakak yang baik hati memberikan sisa uang sakunya

untuk membeli seekor ikan koki untuk kado ulang

tahun adiknya. Contoh lain adalah dongeng Timun

Mas yang mengajarkan sikap pantang menyerah,

bekerja keras, dan mandiri serta bertanggung

jawab. Yaitu bagaimana timun mas berjuang keras

melawan raksasa yang akhirnya berbuah kebaikan

baginya.

Masih banyak karya sastra yang mengandung

keteladanan yang baik bagi anak. Hal ini bisa

dimanfaatkan oleh guru dan juga orang tua

sebagai media transfer karakter. Salah satu yang

paling mudah dicerna oleh anak usia dini adalah

karya sastra berupa cerita pendek, dalam bentuk

dongeng, cerita rakyat, atau cerita binatang. Hal ini

dikarenakan anak usia dini penuh dengan imajinasi

dan daya khayal serta membutuhkan contoh-contoh

yang kongkrit seperti apa yang mereka alami

dilingkungannya. Dengan begitu apa yang mereka

dengar, lihat dan lakukan akan mudah diteladani

sampai si anak pulang sekolah. Berikut contoh

cerita pendek anak yang saya tulis.

Amir dan bebek-bebeknya

Seperti biasanya setiap pulang sekolah Amir

menggiring bebek-bebek ke sungai kecil diujung desa.

Dengan sabar Amir menggerak-gerakkan batang

kayu ditangannya, ke kiri dan ke kanan sampai

semua bebek-bebek itu sampai di sungai. Keringat

amir bercucuran karena panas, tapi Amir tetap

tersenyum seiring suara ramai bebek-bebeknya.

Siang semakin terik, Amir berteduh dibawah pohon

disebelah sungai sambil terus mengawasi bebek-bebek

yang asyik berenang. Tiba-tiba bahu Amir ditepuk

Page 24: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 1 Januari-Juni 2015 19

oleh seseorang yang tidak dia kenal. Seseorang itu

menyapa Amir.

“Nak..namamu siapa?”

“Sa...saya..Amir. Bapak siapa?” begitu tanya Amir

kaget.

“Saya penjual bebek goreng, saya tinggal di desa

sebelah. Bolehkah saya bertanya padamu Amir?”

seseorang tadi duduk disebalah Amir dan Amir

mengangguk mendengar pertanyaanya.

“Bolehkah saya membeli beberapa ekor bebek-

bebekmu itu?”

“Tentu boleh Pak” jawab Amir dengan gembira,

“nanti Bapak akan saya antar ke rumah saya dan

berbicaralah pada ibu saya” lanjut Amir penuh

semangat.

“Bagaimana jika seekor saja?” tawar penjual bebek

goreng, “Pastinya jika hanya seekor bebek saya beli

darimu langsung, ibumu tidak akan tau. Bukankah

bebek-bebek ini jumlahnya puluhan? Nanti uangnya

bisa kau gunakan untuk tambahan uang sakumu.”

Amir diam sejenak dan menggelengkan kepala

mendengarnya.

“Maaf Pak, Ibu saya memang tidak akan tau Pak,

tapi kata Ibu saya Allah SWT Maha mengetahui

segala yang saya lakukan.” Jawaban Amir membuat

si penjual bebek goreng mengelus rambut Amir dan

berpamitan. Amir tersenyum dan segera melanjutkan

menggiring bebek-bebeknya untuk pulang karena hari

sudah sore.

Tokoh dan penokohan dalam cerita pendek

tersebut mengandung nilai karakter kecintaan

terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kejujuran,

sopan santun serta tanggung jawab. Bagaimana

tokoh Amir begitu sopan dan santu menjawab

pertanyaan dari orang yang lebih tua yaitu Bapak

penjual bebek goreng dari tetangga desanya.

Amir juga menunjukkan tanggung jawabnya

dengan menggiring bebek-bebek sampai sungai,

menungguinya, dan menggiring pulang bebek-

bebeknya jika sudah sore. Amir juga menunjukkan

rasa tanggung jawabnya dengan selalu mengingat

pesan ibunya dan akan mengantar pada ibunya jika

ada yang ingin mebeli bebek. Selain itu nilai utama

yang perlu diteladani adalah kejujuran dan rasa

cintanya pada Tuhan. Amir tidak mau membohongi

ibunya dengan menjual salah satu bebeknya pada

Bapak tukang penjual bebek goreng. Amir juga

teringat pesan ibunya untuk selalu ingat pada Allah

SWT. Bahwa Allah SWT maha mengetahui semua

yang dilakukan Amir sekalipun Amir tidak bersama

ibunya.

Seperti itulah contoh cerita pendek anak yang

mengandung nilai keteladanan dari tokoh dan

penokohannya yang bisa kita ceritakan pada anak-

anak, dan kita jelaskan nilai kebaikan apa yang bisa

dicontoh sehingga bisa menumbuhkembangkan

karakter yang baik pada diri anak. Tidak hanya

dicontohkan secara perkataan tetapi harus dapat

ditirukan secara langsung oleh anak terkait tindakan

keteladanan yang baik tersebut dan dijadikan

kebiasaan.

Contoh pada cerpen “Amir dan Bebek-

bebeknya”, nilai sopan santun yaitu berbicara dengan

baik pada orang yang lebih tua. Anak-anak bisa

langsung mempraktekkan nilai keteladanan tersebut

dengan cara: guru atau orang tua memberikan

pertanyaan sederhana dan meminta anak menjawab

pertanyaan tersebut. Disinilah penanaman dan

pengembangan karakter terjadi, guru atau orang

tua membimbing bagaimana menjawab pertanyaan

dengan nada yang sopan dan sikap yang santun.

Misalnya tidak boleh menjawab pertanyaan orang

tua dengan berteriak-teriak atau dengan mata

melotot. Tetapi cukup dijawab dengan suara yang

biasa saja dan pandangan mengarah pada lawan

bicara. Begitu seterusnya, bisa dilakukan oleh guru

atau orang tua pada cerita pendek anak yang lain

yang mengandung nilai keteladanan positif bagi

anak. Yang terpenting adalah guru/orang tua tetap

memberikan pendampingan dan arahan sehingga

keteladanan yang baik tersebut dapat dicontoh oleh

anak-anak.

Tema Sastra dan Tahapan Perkembangan

Anak

Karya sastra anak bervariasi dalam penggunaan

format dan temanya, bergantung pada tahapan usia

anak-anak. Hal ini mengacu pada format penyajian

dan penggunaan bahasanya, misalnya ada buku

yang bergambar dan tidak bergambar. Novel dan

puisi adalah jenis sastra yang biasanya dikemas

tidak bergambar. Cerita rakyat, dongeng, dan cerita

Page 25: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

Cutiana Windri Astuti, Pengembangan Karakter Anak Usia Dini Melalui Sastra 20

binatang sudah banyak yang dikemas dalam bentuk

bergambar yang berwarna dan disukai anak-anak.

Mulyana (2012;18) menjelaskan bahwa

pemilihan cerita disesuaikan dengan tingkat usia

perkembangan anak. Hal ini dapat dijelaskan

sebagai berikut.

1) Usia 0-2 Tahun

Usia 0-2 tahun merupakan awal masa

perkembangan sensorik-motorik sehingga

semua tingkah laku dan pemikiran anak

didasari pada hal itu. Untuk anak seusia ini,

pilihan cerita harus sesuai dengan objek yang

ada disekitar lingkungan anak. Anak seusia

ini belum bisa berfantasi karena keterbatasan

bahasa mereka. Maka orang tua/guru bisa

memilih cerita dengan bantuan buku. Buku

yang dipilih seharusnya buku yang sarat

gambar dan beraneka warna sehingga anak

tidak bosan.

2) Usia 2-4 Tahun

Usia 2-4 tahun merupakan usia pembentukan.

Banyak konsep baru yang harus anak0-anak

pelajari di masa ini. Di usia ini anak senang

mempelajari manusia dan kehidupan. Oleh

karena itu, mereka suka sekali meniru tingkah

laku orang dewasa. Hal ini bisa diterapkan

melalui adegan yang sesuai dengan cerita. Bisa

juga orang tua/guru menceritakan tentang

karakter dalam cerita tersebut yang disesuaikan

dengan keseharian anak. Imajinasi anak usia

ini sangat tinggi, kadang anak tidak bisa

membedakan antara kenyataan dan fantasi,

maka terkadang anak sangat takut dengan

kegelapan atau sesuatu yang menakutkan.

Buku atau karya sastra yang dipilih bisa

bergambar atau tidak bergambar, tetapi lebih

tepat jika bergambar dan berwarna sehingga

meningkatkan imajinasi dan daya tangkap

anak.

3) Usia 4-7 Tahun

Anak usia 4-7 tahun sudah bisa dikenalkan

pada cerita yang lebih kompleks. Mereka sudah

mulai menyukai cerita-cerita tentang terjadinya

suatu benda atau bagaimana cara kerja sesuatu.

Jenis karya sastra berupa puisi dan cerita rakyat

sudah bisa diperkenalkan pada usia ini karena

anak sudah cenderung dapat berfikir dan

membedakan kenyataan dan fantasi.

Keaneka rag aman t ema dan amana t

menunjukkan banyaknya permasalahan kehidupan

yang perlu disampaikan kepada anak-anak sebagai

bekal kehidupan mereka selanjutnya. Secara umum

tema yang sangat penting untuk anak usia dini

adalah tema berketuhanan/religius, tema budi

pekerti/akhlak, tema kepedulian terhadap sesama

dan lingkungan, tema semangat dan pantang

menyerah. Orang tua/guru harus pandai dalam

memilih sastra anak dan temanya sehingga dapat

sesuai dengan usia perkembangan anak. Kesesuaian

tersebut akan berdampak pada tercapainya tujuan

penanaman karakter baik pada anak-anak.

Langkah Penanaman dan Pengembangan

Karakter Anak

Pelaksanaan pembelajaran wajibnya didasarkan

Rencana Kegiatan Harian (RKH). Didalam RKH

akan tergambar bagaimana desain pembelajaran

yang akan diterapkan sesuai dengan tujuan yang

ingin dicapai diimbangi dengan materi, alat, media

dan bahan ajar yang sesuai serta metode yang tepat.

Langkah-langkah yang bisa dilakukan guru PAUD

terkait penanaman dan pengembangan karakter

pada anak melalui media sastra anak adalah.

1) Guru menyusun RKH sesuai tema.

2) Guru menyiapkan cerpen/dongeng dalam

bentuk tertulis dan bergambar, atau menyiapkan

rekamann cerita dalam bentuk audio atau

audio visual.

3) Pilih tema cerita yang sesuai dengan tema

pembelajaran, agar anak tidak kesulitan dan

tercapai tujuan pembelajaran serta tujuan

penanaman nilai karakter yang dikehendaki.

Contoh:

Tema pembelajaran: Binatang Kesayangan.

Judul cerpen : Amir dan bebek-bebeknya.

4) Guru menyiapkan media pendukung dalam

bercerita/mendongeng karena anak usia dini

akan mudah memahami berdasarkan hal-hal

kongkrit bukan abstrak.

5) Guru bersepakat dengan siswa lalu bercerita/

mendongeng secara komunikatif dalam

Page 26: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 1 Januari-Juni 2015 21

kondisi yang santai dan sesuai kemauan

anak.

6) Setelah selesai bercerita/mendongeng

guru memasukkan poin nilai karakter yang

ada dalam cerpen dengan cara bermain

peran atau demonstrasi sehingga anak-anak

langsung dapat melakukan nilai karakter yang

dikehendaki.

Langkah-langkah tersebut dapat dikembangkan

dan disesuaikan dengan situasi kondisi di masing-

masing lembaga PAUD. Yang perlu digaris bawahi

adalah ketepatan memilih tema dan keterampilan

mengekspresikan isi cerita saat menceritakan

kembali atau mendongeng. Karena hal tersebut

akan berpengaruh terhadap berhasil tidaknya tujuan

penanaman karakter yang diinginkan. Guru juga

bisa mensiasatinya dengan memanfaatkan media

teknologi dan komunikasi yang sudah canggih saat

ini, dimana cerita pendek disajikan dalam bentuk

audio visual seperti film, sehingga anak-anak jauh

lebih tertarik dan termotivasi akan tokoh dan

penokohan dalam cerita tersebut.

SIMPULAN

Sekelumit penjelasan diatas diharapkan

membuka dan menambah wacana penanaman

dan pengembangan karakter pada anak usia dini

bagi guru dan orang tua serta semua pihak yang

peduli pada masa depan bangsa ini. Di lingkup

sekolah transformasi pendidikan karakter pada

peserta didik akan melibatkan seluruh komponen

dan warga sekolah, terutama guru. Sang motivator

dan fasilitator ini akan menjadi penentu bagaimana

karakter yang baik dapat tumbuh dan berkembang

pada diri siswa. Maka dibutuhkan strategi jitu

untuk mewujudkan hal tersebut. Sastra anak dapat

dijadikan salah satu media untuk mewujudkan cita-

cita mulia tersebut, tinggal bagaimana memaknai

dan mengapresiasikan sastra sehingga tepat pada

tujuan karakter yang dikehendaki. Dibutuhkan

keterampian berbahasa dan bercerita dengan

ekspresi yang tepat sehingga anak-anak akan lebih

mudah memahami. Jika anak usia dini memiliki cikal

bakal karakter yang baik maka diharapkan kelak

akan menjadi generasi berkarakter yang mampu

membangun bangsa ini menjadi lebih maju.

DAFTAR PUSTAKA

Djaja, Wahjudi. 2007. Mencetak Generasi Cerdas

Berkualitas. Klaten: Cempaka Putih

Jalaludin, Achmad. 2013. Keteladanan Guru dalam

Pembinaan dan Pengembangan Karakter Siswa

di Sekolah. Jurnal Riset Pendidikan dan

Pembelajaran (JRPP), Volume IV: 418-425.

Surabaya: Dinas Pendidikan Provinsi Jawa

Timur.

Kemendiknas. 2010. Pedoman Pengembangan

Pendidikan Karakter dan Budaya Bangsa.

Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan

Pusat Kurikulum.

Mulyana, Dadan. 2012. Dongeng dan Perkembangan

Anak. Warta PAUDNI Edisi VII. Jakarta:

Kemendikbud.

Sari, Esti Swatika. 2013. Mengenalkan Pendidikan

Karakter Melalui Sastra Anak Indonesia. Prosiding

Seminar Internasional Pengembangan

Peran Bahasa dan Sastra Indonesia untuk

Mewujudkan Generasi Berkarakter. Surakarta:

Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra FKIP

Universitas Sebelas Maret.

Siti Fatimah Sunaryo. 2011. PAUD Sebagai Pintu

Utama Membangun Karakter Bangsa. Makalah

disajikan dalam Acara Pelantikan Pengurus

HIMPAUDI Kabupaten Trenggalek, Gedung

Bhawarasa, Trenggalek, 28 Desember 2011.

Sulistyorini. 2013. Pendidikan Karakter dan

Implikasinyadalam Pendidikan. Jurnal Riset

Pendidikan dan Pembelajaran (JRPP),

Volume IV: 410-417. Surabaya: Dinas

Pendidikan Provinsi Jawa Timur.

Suwandi, Sarwiji. 2013. Peran Guru Bahasa Indonesia

yang Inspiratif untuk Mewujudkan Peserta Dididk

Berkarakter. Prosiding Seminar Internasional

Pengembangan Peran Bahasa dan Sastra

Indonesia untuk Mewujudkan Generasi

Berkarakter. Surakarta: Prodi Pendidikan

Bahasa dan Sastra FKIP Universitas Sebelas

Maret.

Page 27: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

Cutiana Windri Astuti, Pengembangan Karakter Anak Usia Dini Melalui Sastra 22

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20

Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional.

Page 28: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

THE EFFECTIVENESS OF CIRC TO TEACH READING

VIEWED FROM STUDENTS’ MOTIVATION

Dwi Rachmad Rusela A.

STKIP PGRI [email protected]

Abstrak: Penelitian ini betujuan untuk mengetahui: (i) metode manakah yang lebih efektif untuk pengajaran keterampilan membaca, CIRC atau Lecture method, (ii) dalam aspek keterampilan membaca, manakah yang lebih baik antara siswa dengan motivasi tinggi dan rendah, dan (iii) interaksi antara metode CIRC dan Lecture method terhadap motivasi siswa dalam pembelajaran membaca. Penelitian ini menggunakan pendekatan eksperimental dengan subyek siswa kelas X SMKN Kawedana yang terdiri dari kelas A dan B. Masing-masing kelas terdiri dari 30 siswa. Kelas B merupakan kelas eksperimen yang diajar menggunakan CIRC, sedangkan kelas A merupakan kelas kontrol yang diajar menggunakan Lecture method. Data diperoleh dari hasil tes dan berupa data kuantitatif dan dianalisa menggunakan ANOVA. Hasil yang diperoleh menunjukkan: (i) CIRC lebih efektif dibanding Lecture method, (ii) keterampilan membaca siswa dengan motivasi tinggi lebih baik dibanding siswa dengan motivasi rendah, dan (iii) tidak ada interaksi antara metode pembelajaran dan motivasi siswa. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa CIRC efektif untuk meningkatkan keterampilan membaca siswa.

Kata Kunci: CIRC, Keterampilan Membaca, Lecture Method, Motivasi

Abstract: This research is aimed to find out: (1) whether CIRC or Lecture method is effective for teaching reading, (2) which ones have better skill in reading, the students having high motivation or low motivation; and (3) whether there is an interaction between methods and students’ motivation in teaching reading. The research method was experimental and the subject was the students of the first grade of SMK 1 Kawedanan, including A and B, which consisted of 30 students of each. The first grade B was the experimental class, taught using CIRC and the first grade A was the control class, taught using Lecture Method. The data were in the form of quantitative, taken from a test, and then analysed by using ANOVA. The research results were: (1) The CIRC was more effective than Lecture method to teach reading; (2) The reading skill achievement of the students having high motivation was better than that of those having low motivation; and (3) There was no interaction between teaching methods and students’ motivation. Based on these research findings, it can be concluded that CIRC was an effective method to improve the students’ reading skill.

Keywords: CIRC, Lecture Method, Motivation, Reading Skill

INTRODUCTION

Reading comes as an imperative start of

learning activity. Reading facilitates the readers to

learn something from the text they read. According

to Bernhardt in Urquhart and Weir (1998: 8),

cognitive skills in reading covered several numbers

of competences. Based on the statement, it can be

concluded that reading improves the cognitive skills

while the cognitive skills improvement facilitate to

the progress of the other several competences.

Reading is the eye of knowledge. It can be

interpreted that reading opens more opportunities

to gain any information needed by readers. The

competence of reading provides ones chance to

get the wider range of information from the text.

This happens in Indonesian graduate students of

high or vocational schools, whom several said,

Page 29: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

Dwi Rachmad Rusela A., The Efectiveness of CIRC to Teach Reading Viewed from Students’ Motivation24

“Artikel dan bahan dari internet yang kami dapatkan

selama sekolah kebanyakan di tulis dalam bahasa inggris.”

Students such as the readers of many kinds of

text need also the reading competence. Especially

reading English text, students need to understand

more about it. In SMK 1 Kawedanan, a vocational

school, the education institutions concerning

about the development of the students’ life skills,

like English. Moreover, English can develop

themselves to receive information from several

sources. Additionally, reading is one of language

skills which support the development of life skills

(Hedge, 2003: 209). It means that reading has a

role as a subject matter to the students’ reading

competence that provides opportunities to study

language further, and supports the development

of their life skills as well.

English is delivered by English teachers as one

of the school subjects, while reading is a competence

in the body of English. In other words, reading is a

part of English competences conducted in SMK 1

Kawedanan. English has been being delivered for

more than ten years. English has been one of the

main subjects which is included in the materials of

National Examination. Because of it, students are

hoped can fulfill the some indicators of reading.

They are able finding the main ideas, supporting

details, and recognizing the relationship between

the main idea and their expansion (example, specific

points, elaboration, etc).

As one of the ways of language learning, reading

enables students not only to obtain information

from various resources but also enables students to

learn language. In the same idea, Harmer (1998:68)

states, “Reading also provides opportunities to

study language: vocabulary, grammar, punctuation

and the way construct sentences, paragraphs and

text.” In this way, students such as the reader

get involves in the text which will enlarge their

knowledge related to vocabulary, grammar, the way

of constructing sentences, paragraphs, essays, or

other textual forms.

Reading process involves readers’ language

knowledge. In other words, language knowledge

has a role on their reading activity which is

connected to the students’ reading competence.

This is in line with Hedge (2003: 192), who states,

“Language knowledge enables readers to work

on the text.” It means that readers recognize the

words, grammatical structures, and other linguistic

features. In other words, readers have knowledge

of language structure and can recognize a wide

range of vocabularies automatically. Furthermore,

Hedge (2003: 190) states, “Certain words or phrases

in the text or in the materials surrounding the text

will activate prior knowledge of some kind in the

mind of the reader.” It means that every reader like

student has knowledge deep inside their mind; even

they do not realize that they have the knowledge. In

the reading text consisting words or phrases here

have a chance to activate their prior knowledge.

Besides the good way of thinking like

recognizing, finding, and recalling specific details

with looking carefully at a text. Teaching and

learning process which is oriented for achieving

certain students’ motivation should pay attention

to the students needs. Students will be motivated

in learning English, especially for reading if the

teacher creates the different atmosphere of the

class. Students’ motivation is related to the methods

and techniques used by the teacher in teaching and

learning process. Nearly all the teachers usually use

the Lecture method in teaching English, especially

in teaching reading.

Students SMK 1 Kawedanan have several

problems which can be elaborated into several

points. Having put a deep-sight upon the points,

the problems closely related to their language

knowledge and their motivation in reading learning

process.

The first problem is related to the students’

language knowledge. In addition, the students’

reading knowledge about English still focuses on

the words or text rather than the reading goal. They

can consciously or unconsciously forget what their

reading goals. In the same line of this, River and

Temperley (in Hedge, 2003: 195) say that:

“Reading activity, from the beginning, should have some purposes and we should concentrate on the normal purposes of reading. The purposes as follows: to get information; to respond to curiosity about a topic; to follow instructions to perform a task; for pleasure, amusement, and personal

Page 30: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 1 Januari-Juni 2015 25

enjoyment; to keep in touch with friends and colleagues; to know what is happening in the world; and to find out when and where things are.”

In reading activity, it should have certain

purposes while the reading text contains some

materials for the readers. For English as a school

subject, the purpose of reading is to perform a

task which is expected to develop their competence

on reading but they still have little understanding

about vocabularies, main idea, and content of the

text. Whereas, the purpose of reading can be real-

life ones for language learners because English is

part of their environment, or because they have

immediate needs such as studying in English or

using it in professional life.

The second problem is related to the students’

reading motivation. Some of the students are lack

of reading motivation. In this study, it is explained

how to make students not to get bored in the

reading activity. It can be used to increase the

students’ reading competence. There are many

kinds of methods or technics to gain the objective

in teaching learning process, especially in teaching

reading. As parts of teaching method, Cooperative

Integrated Reading and Composition (CIRC) is

used in the teaching reading. The Cooperative

Integrated Reading and Composition (CIRC)

method is related to Cooperative Learning. In the

process, the students have more active in learning

process.

Therefore, this research is aimed to find out:

(i) whether CIRC or Lecture method is effective for

teaching reading, (2) which ones have better skill in

reading, the students having high motivation or low

motivation; and (3) whether there is an interaction

between methods and students’ motivation in

teaching reading.

METHOD

This research took place at SMK 1 Kawedanan,

East Java Province. This research was done at

the second semester (class X) in academic year

2013/2014. It was implemented according to the

school’s daily schedule. The experimental study was

used in this research. The treatment used in this

research is independent variable: CIRC method

was in experimental group and lecture method was

used for control group.

The population in this research was all the X

grade students and/or eight classes. The samples

in this research were accounting 1 for experimental

group and secretary 1 was used for control group

of X grade. Cluster random sampling was used

to take sample in this research. It was used to

find out two classes for implementing CIRC and

lecture method. Accounting 1 is taught by using

CIRC for experimental group and Secretary 1

is taught by using lecture method for control

group. Both accounting 1 and secretary 1 have the

same achievement from the result of their first

semester.

This research used three variables; two

independent variables and one dependent variable.

The first independent variable 1 (1X) was the

implementation of CIRC method and Lecture

method. The second independent variable 2 (2X)

was students’ motivation in learning English,

and the dependent variable (Y) was students’

competence reading.

It was an experimental research by using

factorial design 2 x 2 with ANOVA analysis. The

research design is as follows:

Method

Motivation

STAD

(1 B)

Lecture method

(2 B)

High (1 A) A1B1 A1B2

Low (2 A) A2B1 A2B2

1 B 2 B

Notes: A1B1 : The mean score of students having

High Motivation (HM) who are

taught using CIRC method.

A2B1 : The mean score of students having

Low Motivation (LM) who are

taught using CIRC method.

A1B2 : The mean score of students having

High Motivation (HM) who are

taught using Lecture method.

A2B2 : The mean score of students having

Low Motivation (LM) who are

taught using Lecture method.

Page 31: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

Dwi Rachmad Rusela A., The Efectiveness of CIRC to Teach Reading Viewed from Students’ Motivation26

B1 : The mean score of experimental

group who is taught using CIRC

method.

B2 : The mean score of control group

who is taught us ing Lecture

method.

The data in this research were the results of

reading test and the questionnaire of students’

motivation in learning English. The multiple

choice test was used to collect the data about

students’ competence in reading, and students’

motivation score was gained after they answer the

questionnaire.

Close ended questions are used in this

research. Besides that, there are two types of

motivations’ questions used in this research, firstly,

the question requires an answer, such as; strongly

agree, agree, disagree, and strongly disagree. And

secondly, the question requires an answer, such as;

always, sometimes, rarely, and never. The first type

of question refers to the students’ opinion and the

second refers to their action or activity in learning

English.

There were two types of data analysis in

this research, those are: descriptive analysis

and inferential analysis. Before analyzing the

data by using inferential analysis, the normality

and homogeneity test should be conducted.

The normality test used Lilliefors test (Lo) and

homogeneity used chi square.

1. Normality Test

The results of students’ scores in reading

test were analyzed using Lilliefors test (Lo), with

the criteria if Lo<Lt, the data were in normal

distribution.

2. Homogeneity Test

To test the homogeneity of the population

variance, chisquare was used. If 2o X is lower

than 2t X, it can be concluded that the data were

homogenous.

3. Hypothesis Testing

Testing the hypothesis in this research was

done after getting the normality and homogeneity

of the data by using ANOVA.

FINDINGS AND DISCUSSION

Research Findings

The data used for the research are in the form

of scores which are obtained from the result of

the student’s motivation test and reading test. The

score of the student’s reading test in detail can be

described as follows:

1. Scores of the students who are taught using

CIRC (A1).

Based on the calculation result of scores of

the students who are taught using CIRC, the highest

score achieved by students is 95 and the lowest one

is 56. The range is 39, from the student’s number

(N) = 30. The number of class used is 6, and the

class width (interval) used is 7. From the calculation

result of statistics, the mean score (X) achieved by

students is 76.93, the mode score is 80, the median

score is 78, and the standard deviation is 11.84.

The frequency distribution of scores of the

students who are taught using CIRC on the whole

can be seen in table 1.

Table 3.1: Frequency Distribution of Scores of A1

Class Limit Class Boundaries Midpoint Tally Frequency Percentage

56 - 62 55.5 – 62.5 59 IIII 4 13.33

63 - 69 62.5 – 69.5 66 IIII I 6 20.00

70 - 76 69.5 – 76.5 73 III 3 10.00

77 - 83 76.5 – 83.5 80 IIII 5 16.67

84 - 90 83.5 – 90.5 87 IIII III 8 26.67

91 - 97 90.5 – 97.5 94 IIII 4 13.33

30 100.00

Page 32: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 1 Januari-Juni 2015 27

2. Scores of the students who are taught using

Lecture Method (A2)

Based on the calculation result of scores of

the students who are taught using Lecture Method,

the highest score achieved by students is 90 and the

lowest one is 50. The range is 40, from the student’s

number (N) =30. The number of class used is 6,

and the class width (interval) used is 7. From the

calculation result statistics, the mean score (X)

achieved by students is 69.7,the mode score is 65.8,

the median score is 68.5, and the standard deviation

is11.55. The frequency distribution of scores of the

students who are taught using direct instruction on

the whole can be seen in table 2.

Table 3.2: Frequency Distribution of Scores of A2

Class Limit Class Boundaries Midpoint Tally Frequency Percentage

50 - 56 49.5 – 56.5 53 IIII 4 13.33

57 - 63 56.5 – 63.5 60 IIII II 7 23.33

64 - 70 63.5 – 70.5 67 IIII I 6 20.00

71 - 77 70.5 – 77.5 74 IIII 4 13.33

78 - 84 77.5 – 84.5 81 IIII 5 16.67

85 - 91 84.5 – 91.5 88 IIII 4 13.33

30 100

3. Scores of the students who are taught

using CIRC and Lecture Method with High

Motivation (B1).

Based on the calculation result of scores

of the students who are taught using CIRC and

Lecture Method with High Motivation, the highest

score achieved by students is 95 and the lowest

one is 70. The range is 25, from the student’s

number(N) = 30. The number of class used is 6,

and the class width (interval) used is 4. From the

calculation result of statistics, the mean score (X)

achieved by students is 83.43, the mode score is

81.5, the median score is 84.5, and the standard

deviation is 9.4.

The frequency distribution of scores of the

students who are taught using CIRC and Lecture

Method with High Motivation on the whole can

be seen in table 3.

Table 3.3: Frequency Distribution of Scores of B1

Class Limit Class Boundaries Midpoint Tally Frequency Percentage

70 - 73 69.5 - 73.5 71.5 II 2 6.67

74 - 77 73.5 - 77.5 75.5 IIII 4 13.33

78 - 81 77.5 - 81.5 79.5 IIII I 6 20.00

82 - 85 81.5 - 85.5 83.5 IIII I 6 20.00

86 - 89 85.5 - 89.5 87.5 IIII 5 16.67

90 - 93 89.5 - 93.5 91.5 IIII 5 16.67

94 - 97 93.5 - 97.5 95.5 II 2 6.66

30 100.00

Page 33: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

Dwi Rachmad Rusela A., The Efectiveness of CIRC to Teach Reading Viewed from Students’ Motivation28

4. Scores of the students who are taught

using CIRC and Lecture Method with Low

Motivation (B2).

Based on the calculation result of scores

of the students who are taught using CIRC and

Lecture Method with Low Motivation, the highest

score achieved by students is 78 and the lowest one

is 50. The range is 28, from the student’s number

(N) = 30. The number of class used is 6, and the

class width (interval) used is 5. From the calculation

result of statistics, the mean score (X) achieved by

students is 63.2, the mode score is 66.4, the median

score is 63.5, and the standard deviation is 9.77.

The frequency distribution of scores of the

students who are taught using CIRC on the whole

can be seen in table 4.

Table 3.4: Frequency Distribution of Scores of B2

Class Limit Class Boundaries Midpoint Tally Frequency Percentage

50 - 54 49.5 - 54.5 52 III 3 10.00

55 - 59 54.5 - 59.5 57 IIII II 7 23.33

60 - 64 59.5 - 64.5 62 IIII 5 16.67

65 - 69 64.5 - 69.5 67 IIII IIII 10 33.33

70 - 74 69.5 - 74.5 72 II 2 6.67

75 - 79 74.5 - 79.5 77 III 3 10.00

30 100

5. Scores of the students who have high

Motivation who are taught using CIRC

(A1B

1)

Based on the calculation result of scores of

the students who have high motivation who are

taught using CIRC, the highest score achieved by

students is 95 and the lowest one is 78. The range

is 17, from the student’s number (N) =15. The

number of class used is 5, while the class width

(interval) used is 3. From the calculation result of

statistics, the mean score (X) achieved by students

is 87.13, the mode score is 98.5, the median score

is 88, and the standard deviation is 5.53.

The frequency distribution of scores of the

students who are taught using Team Anthologies

on the whole can be seen in table 5.

Table 3.5: Frequency Distribution of Scores of (A1B1)

Class Limit Class Boundaries Midpoint Tally Frequency Percentage

78 - 80 77.5 – 80.5 79 III 3 20.00

81 - 83 80.5 – 83.5 82 0 0 0.00

84 - 86 83.5 – 86.5 85 III 3 20.00

87 - 89 86.5 – 89.5 88 III 3 20.00

90 - 92 89.5 – 92.5 91 IIII 4 26.67

93 - 95 92.5 – 95.5 94 II 2 13.33

15 100

6. Scores of the students who have low motivation

who are taught using CIRC (A1 B

2)

Based on the calculation result of scores of

the students who have low motivation who are

taught using CIRC, the highest score achieved by

student is 78 and the lowest one is 56. The range

is 22, from the student’s number (N) =15. The

number of class used is 5, while the class width

(interval) used is 5. From the calculation result of

statistics, the mean score (X) achieved by students

is 66.73, the mode score is 72.5, the median score

is 65, and the standard deviation is 69.3

Page 34: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 1 Januari-Juni 2015 29

7. Scores of the students who have high

motivation who are taught using Lecture

Method (A2B

1)

Based on the calculation result of scores of the

students who have high motivation who are taught

using Lecture Method, the highest score achieved

by student is 90 and the lowest one is 70. The range

is 11, from the student’s number (N) = 15. The

number of class used is 7, while the class width

(interval) used is 4. From the calculation result of

statistics, the mean score (X) achieved by students

is 79.73, the mode score is 79.5, the median score

is 81,and the standard deviation is 6.47.

The frequency distribution of scores of the

students who have high motivation who are taught

using Lecture Method on the whole can be seen

in table 7.

The frequency distribution of scores of the students who have low motivation who are taught using

CIRC on the whole can be seen in table 6.

Table 3.6: Frequency Distribution of Scores of (A1B2)

Class Limit Class Boundaries Midpoint Tally Frequency Percentage

54 - 58 53.5 – 58.5 56 III 3 20.00

59 - 63 58.5 – 63.5 61 I 1 6.67

64 - 68 63.5 – 68.5 66 IIII I 6 40.00

69 - 73 68.5 – 73.5 71 II 2 13.33

74 - 78 73.5 – 78.5 76 III 3 20.00

15 100

Table 3.7: Frequency Distribution of Scores of (A2B1)

Class Limit Class Boundaries Midpoint Tally Frequency Percentage

70 - 73 70.5 – 73.5 71,5 II 2 13.33

74 - 77 73.5 – 77.5 75,5 IIII 4 26.67

78 - 81 77.5 – 81.5 79,5 III 3 20.00

82 - 85 81,5 - 85,5 83,5 III 3 20.00

86 - 89 85.5 – 89.5 87,5 II 2 13.33

90 - 93 89.5 – 93.5 91,5 I 1 6.67

15 100

8. Scores of the students who have low motivation

who are taught Lecture Method (A2B2)

Based on the calculation result of scores of the

students who have low motivation who are taught

using Lecture Method, the highest score achieved

by student is 67 and the lowest one is 50. The range

is 17, from the student’s number (N) = 15. The

number of class used is 5, while the class width

(interval) used is 3. From the calculation result of

statistics, the mean score (X) achieved by students

is 59.6, the mode score is 59.25, the median score

is 60, and the standard deviation is 5.49.

The frequency distribution of scores of the

students who have low motivation who are taught

Lecture Method on the whole can be seen in table

8.

Page 35: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

Dwi Rachmad Rusela A., The Efectiveness of CIRC to Teach Reading Viewed from Students’ Motivation30

Normality and Homogeneity Test

1. Normality Test

a. Normality test of scores of the students who

are taught using CIRC (A1)

Based on the calculation result of scores of

the students who are taught using CIRC, the highest

value of L o is 0.1159 and Lt = 0.1610 (Appendix

10). From the table of critical value of the test with

the student’s number (N) = 30 at the significance

level α = 0.05, the score of Lt is 0.1610. Because

Lo is lower than Lt or Lo(0.1159) < Lt (0.1610),

it can be concluded that the data are in normal

distribution.

b. Normality test of scores of the students who

are taught using Lecture Method (A2)

Based on the calculation result of scores of

the students who are taught using Lecture Method,

the highest value of Lo is 0.1247 and Lt = 0.1610.

(Appendix 10). From the table of critical value of

the test with the student’s number (N) = 30 at the

significance level α = 0.05, the score of Lt is 0.1610.

Because L o is lower than Lt or Lo (0.1247) < Lt

(0.1610), it can be concluded that the data are in

normal distribution.

c. Normality test of scores of the students who

are taught using CIRC and Lecture Method

with High Motivation (B1)

Based on the calculation result of scores

of the students who are taught using CIRC and

Lecture Method with High Motivation, the highest

value of Lo is 0.0761 and Lt = 0.1610. (Appendix

10). From the table of critical value of the test with

the student’s number (N) = 30 at the significance

level α = 0.05, the score of Lt is 0.1610. Because

L o is lower than Lt or Lo (0.0761) < Lt (0.1610),

it can be concluded that the data are in normal

distribution.

d. Normality test of scores of the students who

are taught using CIRC and Lecture Method

with High Motivation (B2)

Based on the calculation result of scores of

the students who are taught using Lecture Method,

the highest value of Lo is 0.1145 and Lt = 0.1610.

(Appendix 10). From the table of critical value of

the test with the student’s number (N) = 30 at the

significance level α = 0.05, the score of Lt is 0.1610.

Because L o is lower than Lt or Lo (0.1145) < Lt

(0.1610), it can be concluded that the data are in

normal distribution.

e. Normality test of scores of the students who

have high motivation who are taught using

CIRC (A1B

1)

Based on the calculation result of scores of

the students who have high creativity who are

taught using CIRC the highest value of Lo is 0.1404

and Lt = 0.2200. (Appendix 10). From the table of

critical value of the test with the student’s number

(N) = 30 at the significance level α = 0.05, the score

of Lt is 0.2200. Because Lo is lower than Lt or Lo

(0.1404) < Lt(0.2200), it can be concluded that the

data are in normal distribution.

f. Normality test of scores of the students who

have low motivation who are taught using

CIRC (A1B

2)

Based on the calculation result of scores of

the students who have low creativity who are taught

Table 3.8: Frequency Distribution of Scores of A2B2

Class Limit Class Boundaries Midpoint Tally Frequency Percentage

50 - 52 49.5 – 52.5 51 III 3 20.00

53 - 55 52.5 – 55.5 54 0 0 0.00

56 - 58 55.5 – 58.5 57 IIII 4 26.67

59 - 61 58.5 – 61.5 60 III 3 20.00

62 - 64 61.5 – 64.5 63 I 1 6.67

65 - 67 64.5 – 67.5 66 IIII 4 26.66

15 100

Page 36: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 1 Januari-Juni 2015 31

using CIRC the highest value of L o is 0.1693 and Lt

= 0.2200. (Appendix 10). From the table of critical

value of the test with the student’s number (N) =

30 at the significance level α = 0.05,the score of Lt

is 0.2200. Because Lo is lower than Lt or Lo (0.1693)

<Lt (0.2200), it can be concluded that the data are

in normal distribution.

g. Normality test of scores of the students who

have high motivation who are taught using

Lecture Method (A2B

1)

Based on the calculation result of scores of

the students who have high motivation who are

taught using CIRC, the highest value of Lo is 0.1661

and Lt= 0.2200 (Appendix10). From the table of

critical value of the test with the student’s number

(N) =15 at the significance level α = 0.05, the score

of Lt is0.2200. Because Lois lower than Lt or Lo

(0.1661) < Lt (0.2200), it can be concluded that the

data are in normal distribution.

h. Normality test of scores of the students who

have low motivation who are taught using

Lecture Method (A2B

2)

Based on the calculation result of scores of

the students who have low motivation who are

taught using CIRC, the highest value of Lo is 0.1677

and Lt = 0.2200 (Appendix10). From the table of

critical value of the test with the student’s number

(N) =15 at the significance level α = 0.05, the score

of Lt = 0.2200.Because Lo is lower than Lt or Lo

(0.1677) < Lt (0.2200), it can be concluded that the

data are in normal distribution

Table 3.9 Summary of Normality Test

No Normality Test Lo Lt Criteria

A (A1) 0.1159 0.1610 Normal distribution

B (A2) 0.1247 0.1610 Normal distribution

C (B1) 0.1145 0.1610 Normal distribution

D (B2) 0.0761 0.1610 Normal distribution

E (A1B

1) 0.1404 0.2200 Normal distribution

F (A1B

2) 0.1693 0.2200 Normal distribution

G (A2B

1) 0.1661 0.2200 Normal distribution

H (A2B

2) 0.1677 0.2200 Normal distribution

2. Homogeneity Test

Table 3.10 Summary of Homogeneity Test

Sample df 1/(df) (S_i)^2 (Log (S_i))^2 ((df) Log (S_i))^2

1 14 0.0714286 28.1238 1.449074 20.2870

2 14 0.0714286 48.9238 1.68952 23.6533

3 14 0.0714286 34.4952 1.537759 21.5286

4 14 0.0714286 31.66667 1.500602 21.0084

Σ 56 0.2857143 86.477

(X_0)^2 1.2473 (X_t)^2 7.815

Homogeneity test is conducted to know whether data are homogeneous or not. The data can be

said homogeneous if Xo

2is lower than Xt2(0.05). Based on the result of homogeneity test, the score of X

o 2is 1.2473 (Appendix 11). From the table of Chi-Square distribution with the total of group of 3 at the

Page 37: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

Dwi Rachmad Rusela A., The Efectiveness of CIRC to Teach Reading Viewed from Students’ Motivation32

From the computation result of ANOVA test,

it can be concluded that:

1. The score of Fo between columns is 21.92, and

the score of Ft at the level of significance α = 0.05 is 4.08. Because Fo> Ft or Fo(21.92) is

higher than Ft (4.08), the difference between

columns is significant. The null hypothesis

which states that there is no significant

difference in writings kill between the students

who are taught by using CIRC and students

who are taught by using Lecture method is

rejected. Thus, it can be concluded that there is

significant difference on the student’s reading

skill between those who are taught using

CIRC and those who are taught using Lecture

Method. Based on the calculation result, the

mean score (X) of the students who are taught

using CIRC(76.93) is higher than those who

are taught using Lecture Method(69.7). It can

be concluded that the students who are taught

using CIRC is more effective than Lecture

Method.

2. The score of Fo between rows is 171.52, while

the score of Ft at the level of significance α =

0.05 is 4.08. Because Fo> Ft (0.05) or Fo171.52

is higher than Ft (4.08), the difference between

rows is significant. The null hypothesis which

states that there is no significant difference in

reading skill between the students who have

low level of motivation and students who have

high level of motivation is rejected. Thus, it

can be concluded that there is a significant

difference on the student’s reading skill

between those who have high motivation and

those who have low creativity. Based on the

calculation result, the mean score (X) of the

students who have high motivation (87.13) is

higher than the mean score of those who have

low motivation (66.73). It can be concluded

that the students who have high motivation

have better reading skill than those who have

low motivation.

3. The score of Fo columns by rows is 0.34, and

the score of Ft at the level of significance

α = 0.05 is 4.08. Because Fo< Ft (0.05) or

Fo0.34 is lower than Ft (4.08), there is no

an interaction between the two variables,

student’s motivation and teaching methods.

The null hypothesis which states that there is

no interaction between teaching methods and

students’ motivation in reading is accepted. It

means that the effect of teaching methods on

the student’s reading skill does not depend on

the student’s motivation level.

Discussion

Based on the calculation result of testing

hypothesis, it can be explained as follows:

1. CIRC is more effective than Lecture Method

in teaching reading.

The result of first hypothesis test shows

that CIRC is more effective than Lecture Method

to teach reading for the first grade of SMKN I

Kawedanan. It can be known from a significant

significance level α = 0.05, the score of Xt20.95(3)is 7.815. Because X

o 2(1.2473) is lower than X

t20.95(3)

(7.815), it can be concluded that the data are homogeneous.

Testing Hypothesis

Table 3.11 Summary of 2x2 Multifactor Analysis of Variance

Source of variance SS df MS Fo

Ft(0.5)

Between columns (stress) 784.79 1 784.79 21.92 4.08

Between rows (task) 6140.82 1 6140.82 171.52

Columns by rows (interaction) 1.03 1 1.03 0.34

Between groups 6926.04 3 2308.68

Within groups 2004.86 56 35.80

Total 8930.9 59

Page 38: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 1 Januari-Juni 2015 33

difference on the student’s reading skill between

those who are taught using CIRC and those who

are taught using Lecture Method. It can be proved

from the score result of Fo> Ft or Fo (21.92) is

higher than Ft (4.08). The result of analysis shows

that the mean score (X) of the students who are

taught using CIRC (76.93) is higher than those who

are taught using Lecture Method (69.7). Thus, it

can be concluded that the students who are taught

using CIRC have better reading skill than those

who are taught using Lecture Method. It means

that the students who are taught using CIRC have

better reading skill than those who are taught using

Lecture Method.

The use of CIRC in teaching reading gives the

students good way how they explore their idea for

getting reading ability well. The students are asked

to look for much information of the topic. CIRC

is method with collecting some of literary works.

Furthermore, it gives the students’ opportunity to

begin to read as they want freely. By presenting

variety of different main sources, then, it is easier

to find something that will attract the learner and

may even encourage further reading for. Moreover,

students who are taught using CIRC feel that they

are learning a real language which is alive. Some are

motivated when they come to know information

about the topic. They learn how to select, generate,

develop, and arrange the ideas that they have gotten

from the sources. After getting the good sources,

they can begin reading more easily. It can be said

that CIRC helps the learners in developing their

idea. Thegoal of CIRC is to develop students

reading skill through team activity in determining

the best sources.

On the other hand, according to Swanson and

Torraco in Sullivian and McIntos (1996:2), “The

lecture method was established formally centuries

ago as a teaching process that began with a literal

reading of important passages from the text by the

master, followed by the master’s interpretation of

the text. Students were expected to sit, listen and

take notes”. The statement above explains that

lecture method is the teaching process with the

students doing monotonous activity such as sitting,

listening and taking notes. Sullivian and McIntosh

(1996) observe that lecturing is frequently a

one-way process unaccompanied by discussion,

questioning or immediate practice, which makes

it a poor teaching method. Because of it, lecture

method is named traditional method which does

not assume that students will develop ideas on

their own. Instead, it takes learners through the

steps of learning systematically, helps them see

both the purpose and the result of each step. When

teachers explain exactly what students are expected

to learn, and demonstrate the steps needed to

accomplish a particular academic task, students

are likely to use their time more effectively and to

learn more. Consequently, the students begin freely

to write in learning activities. The students tend to

receive what teacher has given previously. They

are discouraged to learn, they are not interested

in the lesson. The condition, certainly, can cause

the students to be bored and hard to think. It can

also make students become strongly depend on the

teacher explanation of writing process. As a result,

the student’s competent will be low.

2. The students who have high motivation have

better reading skill than those who have low

motivation.

The result of second hypothesis test shows

that the score of Fo between rows is 171.52, while

the score of Ft at the level of significance α =0.05

is 4.08. Because Fo> Ft (0.05) or Fo171.52 is higher

than Ft (4.08), the difference between rows is

significant. Thus, it can be concluded that there

is a significant difference on the student’s reading

skill between those who have high motivation and

those who have low motivation.

Based on the calculation result, the mean score

(X) of the students who have high motivation(83.4)

is higher than those who have low creativity

(63.2). Thus, it can be concluded that the first

grade students of SMKN I Kawedanan with high

motivation have better reading ability than with

low motivation.

Based on this research, it is revealed that

creativity plays an important role in helping

students express their ideas in the written form

especially in the form of descriptive essays. From

the data analyses, it is shown that students with

Page 39: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

Dwi Rachmad Rusela A., The Efectiveness of CIRC to Teach Reading Viewed from Students’ Motivation34

high motivation are able to show better competence

in expressing their ideas in descriptive essay. It is

because their motivation helps them to choose,

select, analyze, and apply the most effective,

efficient, and persuasive ways in description. The

students with high level of creativity are able to

involve both mental and social processes in order

to yield newly developed ideas to convey and share.

On the other way around, the students with low

level of motivation will just write what he sees,

reads, and listens without being able to think what

is beyond.

They are unable to come up with their own

fresh ideas and opinions when learning. These are

some of the reasons why their reading scores are

less than those having high motivation. Their low

creativity makes them unable to express their ideas

better. This can be seen from the results of their

reading competence in which the scores of both

control and experimental classes are lower than

those of having high level of motivation from both

classes given treatment.

3. There is no an interaction between teaching

method and students’ motivation.

The result of third hypothesis test shows that

there is no interaction between the two variables,

teaching methods and students’ motivation to teach

reading in the first grade of SMKN I Kawedanan.

The result of the score of Fo columns by rows is

0.028, and the score of Ft at the level of significance

α = 0.05 is4.08. Because Fo< Ft (0.05) or Fo0.028 is

lower than Ft (4.08), there is no interaction between

the two variables, students’ motivation and teaching

methods. It means that the effect of teaching

method on the students’ reading ability does not

depend on the students’ motivation.

The difference between high and low

motivation for CIRC is the same as difference

between high and low motivation for Lecture

Method. Furthermore, the result shows that the

effect of teaching method does not depend on high

and low motivation. The methods and the students’

creativity are not operating together. McMillan

(1992:183) states that an important aspect in

interpreting result interaction is because of possible

interaction, what may not be true for a total group

may not be true for certain subject population. It

means that interaction is important for the possible

result interaction. If the result interaction shows

there is no interaction, the result of the study is also

accepted. Such as, there is no interaction between

teaching method and the students’ creativity. It

happens because the effect of teaching method on

the students’ reading ability does not depend on the

students’ motivation.

CONCLUSION

The result of this study shows that CIRC

is able to give better result in English reading

skill than Lecture method. It implies that CIRC

is appropriately used in teaching The result of

the study shows that students who are have high

motivation have better English reading skill than

students who have low motivation. Students who

have high motivation have awareness that English

reading skill is important. It is not only for getting

good score but also for achieving good English

reading skill that is useful for their future.

REFERENCES

Anderson. (2003). Text Types in English. Canberra:

Macmillan

Barkley Elizabeth, et al. (2005). Collaborative Learning.

San Fransisco: Jossey Bass.

Broadwell, et al. (1980). The Lecture Method

of Instruction. New Jersey: Educational

Tecnology

Gardiner, (1994). Lecture Method. Retrieved online

from http://www.hi.is/joner/eaps/wh lecte.

htm.

Gulo, W. (2004). Metodologi Penelitian. Jakarta: PT

Gramedia.

JokoNurkamto, et al. (2011). Modul PLPG. Surakarta:

UNS Press.

Lewison and Blouse, (2003)Retrieved from http://

www.reproline.jhu.edu

Margono, S. (2000). Metodologi Penelitian Pendidikan.

Jakarta: Rineka Cipta.

McMillan, James H. (1992). Educational Research.

Fundamental for the Consumer. New York:

Houghton Mifflin Company.

Page 40: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 1 Januari-Juni 2015 35

Nasution, S. (2004). Metode Research (Penulisan

Ilmiah). Jakarta: Bumi Aksara.

Nation. (2009). Teaching ESL/EFL Reading and

Writing. New York: Routledge.

Nunan. (1998). Designing Task for the Communicative

Classroom. Cambridge: Cambridge University

Press.

Nunan. (2003).Practical English Teaching First Edition.

New York: McGraw-Hill Companies.

Palmer, H. E. (1921). Principles of Language Study.

New York: World BookCo.

Slavin Robert E. (2009). Cooperative Learning.

Bandung: Nusa Media.

Sri Lasmini. (2012). Mentari Sahabat Menimba Ilmu.

Surakarta: CahayaMentari.

Suharsimi Arikunto. (2002). Prosedur Penelitian, Suatu

Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta

Sullivian&McIntos. (1996). Delivering Effective

Lectures. Maryland: JHPIEGO Corporation

_ _ _ _ _ _ ( 2 0 0 9 ) . A d va n c e m e n t o f L e c t u r e

Method. Retrieved online from http://

navyadvancement. tpub.com/12045/

css/12045_68.htm

______(2000). The_Lecture_Method_of_Teaching.

Retrieved from online http://wiki.answers.

com/Q/What_is_the_lecture_method_of_

teaching.

Page 41: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember
Page 42: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

PERMASALAHAN PEMBELAJARAN SASTRA

DAN SOLUSI ALTERNATIFNYA

Edy Suprayitno

STKIP PGRI [email protected]

Abstract: The problem of teaching literature at elementary school is so complex. The problem is not only increased due to the teacher aspect, but also the other aspects. The lack of teacher creativity is one of the problems which commonly appeared in teaching literature at school. Some of the other aspects which caused the problems in teaching literature are the school policy, lack of facilities in supporting the learning process, and so forth. If the problems are not solved soon, those will affect the learning quality. That is why, the alternative solutions are absolutely needed, to solve the problems in teaching literature. The teaching literature is not only to introduce the literature from the surface structure, but also to dig and implement the moral values within the literary works in daily life.

Keywords: Alternative Solution, Teaching Literature

Abstrak: Permasalahan pembelajaran sastra di sekolah dasar menengah begitu kompleks. Permasalahan tidak hanya muncul dari faktor pendidik, tetapi faktor-faktor lain juga berpengaruh terhadap munculnya permasalahan-permasalahan tersebut. Kurang kreatifnya guru hanya salah satu permasalahan dalam pembelajaran sastra di sekolah. Di sisi lain juga banyak permasalahan yang disebabkan oleh aspek-aspek lain, baik dari kebijakan pendidikan/sekolah maupun kekurangmampuan sekolah dalam memberikan sarana belajar. Apabila permasalahan ini tidak segera dipecahkan maka akan berdampak pada kualitas pembelajaran dan hasil pembelajaran sastra. Maka dari itu permasalahan-permasalahan tersebut wajib segera mendapatkan solusi-solusi alternatifnya. Diharapkan dengan solusi-solusi alternatif tersebut permasalahan-permasalahan dalam pembelajaran sastra dapat dipecahkan. Sehingga kualitas pembelajaran dan hasil pembelajaran sastra ke depan menjadi lebih baik. Pembelajaran sastra tidak hanya sekedar mengenal sastra dari luar tetapi mampu menelaah, menggali, dan menerapkan nilai-nilai dan pesan moral yang terkandung dalam sebuah karya sastra dalam kehidupan sehari-hari.

Kata Kunci: Pembelajaran Sastra, Solusi Alternatif

PENDAHULUAN

Dewasa in i be rbag a i pe r masa l ahan

pembelajaran sastra muncul di sekolah, baik di

tingkat pendidikan dasar, maupun pendidikan

menengah. Sehingga, pemasalahan tersebut secara

tidak langsung berpengaruh terhadap kualitas

dan hasil pembelajaran. Salah satu permasalahan

klasik yang muncul adalah rendahnya kreativitas

dan etos belajar mengajarnya. Seperti apa yang

diungkapkan oleh Sutejo, bahwa profesi guru

(termasuk guru sastra) kita adalah gerak monotonis

yang sumbang didengar (2013:389). Sehingga

kreativitas menjadi suatu hal yang langka dalam

profesi guru. Kurang kreativitas guru tersebut

didukung dengan rendahnya budaya literasi di

kalangan para pendidik. Budaya membaca dan

menulis yang harusnya menjadi sarana guru untuk

selalu memperbarui keilmuan dan pengetahuannya,

serta mengaktualisasikan pemikiranya tetapi jarang

dilakukan.

Permasalahan-permasalahan tersebut harus

mendapatkan perhatian serius, jika mengharapkan

pendidikan di negeri ini lebih berkualitas. Hal

ini disebabkan guru merupakan ujung tombak

Page 43: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

Edy Suprayitno, Permasalahan Pembelajaran Sastra dan Solusi Alternatifnya38

keberhasilan pendidikan. Sebaik apapun kurikulum

yang dirancang oleh pemerintah, jika guru tidak

mempunyai kreativitas maka akan menjadi hal yang

sia-sia.

Berpijak dari permasalahan tersebut, sudah

banyak cara yang dilakukan oleh pemerintah

untuk meningkatkan kreativitas para guru. Dari

melakukan pelatihan-pelatihan pengembangan

kreativitas guru, hingga memberikan tunjangan

insentif (sertifikasi guru). Berbagai cara yang

dilakukan oleh pemerintah tersebut bertujuan

agar terciptanya perubahan positif dalam dunia

pendidikan. Tapi, -lagi-lagi- berbagai pelatihan

itu hanya sekedar menjadi pelatihan. Hasil dari

pelatihan dan workshop tersebut belum mampu

diterapkan secara maksimal dalam pembelajaran.

Hal ini sekali lagi terbentur dengan rendahnya etos

dan kreativitas para guru.

Begitu juga dengan pemberian tunjangan

melalui sertifikasi guru. Kebijakan yang berdasarkan

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang

Guru dan Dosen tersebut ternyata belum mampu

memberikan hasil yang signifikan. Berbagai

permasalahan tentang tunjangan sertifikasi dewasa

ini menjadi problematika sendiri. Sertifikasi guru

yang tujuan awal pemerintah untuk mengembangkan

potensi dan kreativitas guru, akan tetapi kenyataannya

justru mengarah pada hal yang tidak sesuai tujuan

awal kebijakan sertifikasi. Contohnya, banyak

pendidik yang sudah tersertifikasi, tetapi tunjangan

tersebut digunakan untuk keperluan hal-hal yang

bersifat konsumtif (membeli kendaraan, rumah,

pakaian sampai naik Haji). Jelas, ini bertolak

belakang dengan tujuan awal kebijakan pemerintah

yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 14

Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen tersebut.

Fenomena tersebut tentunya akan berdampak

kurang baik pada pendidikan di negeri ini.

Dalam pembelajaran sastra, permasalahan-

permasalahan yang berkaitan dengan pengajaran

sastra juga banyak terlihat. Sosok guru sastra

yang ideal seakan masih sangat jarang ditemukan.

Guru sastra yang mengajar tidak hanya dengan

hanya mengajarkan sastra (kulit luar) masih jarang

ditemukan. Padahal pembelajaran sastra tidak hanya

mempelajari sastra sebatas luarnya saja (definisi,

nama sastrawan, unsur pembangun sastra, dan

sebainya). Tetapi lebih jauh pembelajaran sastra

harus mampu melihat dan membedah serta

memanfaatkan nilai-nilai yang terkandung dalam

karya sastra untuk diterapkan dalam kehidupan

sehari-hari.

Memang dalam permasalahan ini, kelemahan

bukan hanya teletak pada sosok seorang guru.

Banyak faktor lain yang ikut berpengaruh. Faktor-

faktor itu antara lain (i) keberadaan system

sekolah dan institusi yang kurang mendukung

pengembangan pembelajaran sastra, (ii) rendahnya

buku ajar bahasa dan sastra Indonesia, (iii) masih

menginduknya sastra dalam pelajaran bahasa

Indonesia, (iv) tidak adanya sarana dan prasarana

yang memadai, (v) tidak adanya kurikulum yang

mandiri (ideal), (vi) kurang bervariasinya metode

dan teknik pembelajaran sastra, (vii) “tidak jelasnya”

system evaluasi dalam pembelajaran sastra (sering

bersifat kognitif padahal pembelajaran sastra

lebih bersifat afektif), (viii) rendahnya kreativitas

guru, (ix) tidak adanya penghargaan (termasuk

finansial) memadai akan terciptanya kreativitas

dan pengembangan potensialitas, dan (x) tidak

adanya budaya membaca sebagai pilar mendasar

pengembangan pembelajaran sastra (Sutejo,

2013:390).

Dari sekian penyebab permasalahan tersebut,

salah satu kelemahan terletak pada figur seorang

guru. Dimulai dari kurang kreatifnya seorang guru,

keringnya metode dan teknik pembelajaran sastra

yang menyenangkan, dan rendahnya budaya literasi

di kalangan para guru.

Seperti yang penulis ungkapkan di atas,

pembelajaran sastra dalam pendidikan masih

berorientasi pada penghafalan berbagai karya sastra

dan pengarangnya, menguraikan unsur intrinsik dan

ekstrinsik (berorientasi pada segi kognitif), padahal

lebih jauh pembelajaran sastra adalah menemukan

makna dari karya sastra (lebih bersifat afektif).

Yang kemudian nilai-nilai tersebut dapat diterapkan

dalam kehidupan nyata. Sehingga jika pembelajaran

sastra lebih menekankan pada penggalian nilai-nilai

maka diharapkan sikap-sikap dan perilaku positif

dapat terbina dengan baik.

Page 44: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 1 Januari-Juni 2015 39

PEMBAHASAN

Permasalahan-permasalahan pembelajaran

sastra menjadi permasalahan klasik yang sampai saat

ini masih menghantui pendidikan di negeri ini. Jika

permasalahan-permasalahan tersebut tidak segera

dicarikan solusinya maka pendidikan (pembelajaran

sastra) sulit mengalami kemajuan. Berpijak dari

permasalahan-permasalahan tersebut penulis

akan menguraikan penyebab dari permasalahan

dan solusi alternatif yang bisa diterapkan dalam

pembelajaran.

Lemahnya Pembelajaran Sastra di Sekolah

Lemahnya pembelajaran sastra di sekolah,

merupakan sebuah permasalahan yang sistemik.

Sehingga permasalahan tersebut harus diselesaikan

secara kompleks. Tidak bisa hanya menyelesaikan

hanya dari satu aspek dan melupakan aspek

yang lain. Berikut beberapa permasalahan dalam

pembelajaran sastra di sekolah dasar menengah.

Pertama, sering kita melihat seorang guru

sastra tidak mampu berkreasi menulis karya sastra

dengan baik, baik itu berupa puisi atau cerpen.

Guru sastra yang harusnya menguasai dengan baik

ketarampilan menulis sastra ternyata belum mampu

menulis sastra dengan baik. Lantas, bagaimana guru

sastra akan mengajarkan menulis puisi dan cerpen

apabila guru sendiri tidak mampu menulis puisi

dan cerpen?

Ironisnya figur guru sastra (belum mempunyai

kualifikasi kesastraan dengan baik) seperti ini

terkadang malah lolos dalam sertifikasi guru,

kemudian permasalahan ini masih berlanjut, ketika

tunjangan sertifikasi tersebut tidak digunakan

sebagaimana mest inya (mengembangkan

profesionalisme guru). Akan tetapi malah sebaliknya,

digunakan untuk hal-hal yang konsumtif yang

bersifat tersier. Dalam hal ini terlihat program

pemerintah belum bisa berhasil secara maksimal.

Kebijakan yang sebenarnya ingin membenahi

kreativitas guru tidak mampu berjalan optimal.

Walaupun memang ada beberapa guru yang

bertanggung jawab terhadap apa yang didapatkan

tersebut dengan melakukan peningkatan kreativitas

pribadinya.

Rendahnya etos kreativitas guru sastra seperti

ini, akan sangat berdampak langsung terhadap

peserta didik. Dampak yang akan muncul antara lain,

pembelajaran sastra yang dianggap monotonis dan

membosankan. Hal ini diperparah jika pembelajaran

sastra sudah dianggap sebelah mata oleh peserta

didik. Pembelajaran sastra bukan lagi sebuah

“rekreasi pendidikan”, tapi hanya sekedar “asal

tahu” sastra. Akibat yang lebih jauh, adalah peserta

didik akan “mandul” kreativitas berkarya sastra.

Seperti yang diungkapkan oleh sastrawan Taufik

Ismail, akibat ketidaksungguhan dunia pendidikan

kita dalam menyelenggarakan pengajaran sastra

telah menjadikan para siswa kita mengalami “rabun

sastra”.

Kedua, minimnya strategi, metode dan

teknik pembelajaran yang digunakan guru dalam

pembelajaran sastra, juga berpengaruh terhadap

minat peserta didik dalam mempelajari sastra.

Tujuan utama pengajaran sastra, salah satunya

peserta didik mampu mengapresiasi karya sastra.

Dalam pembelajaran sastra di pendidikan dasar

menengah, siswa tidak dituntut harus menjadi

sastrawan yang handal, melainkan diharapkan dapat

memiliki pengetahuan sastra, sehingga pengetahuan

mereka tidak hanya tentang ilmu kebahasaan, tetapi

juga ilmu sastra (Gani,1988:15).

Keringnya strategi, metode, dan teknik

pembelajaran sastra sangat berdampak pada

minat peserta didik untuk mempelajari dan

menggeluti sastra. Selain itu, peserta didik juga

sulit untuk menemukan, mengembangkan, dan

mengaplikasikan nilai-nilai dan pesan moral

yang terkandung dalam karya sastra. Sehingga

pembelajaran sastra akan terasa membosankan dan

bukan lagi menjadi mata pelajaran yang difavoritkan

oleh peserta didik.

Ketiga, guru pengampu mata pelajaran Bahasa

dan Sastra Indonesia bukan guru yang mempunyai

keilmuan di bidang Bahasa dan Sastra Indonesia.

Berbagai kasus pembelajaran bahasa dan sastra

di sekolah dasar seperti pembelajaran sastra tidak

diampu oleh guru yang sesuai dengan bidang

keilmuannya. Pembelajaran sastra diampu oleh

guru kelas yang keilmuannya bukan dari sastra.

Bisa bayangkan, bagaimana jika pembelajaran

Page 45: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

Edy Suprayitno, Permasalahan Pembelajaran Sastra dan Solusi Alternatifnya40

sastra bukan diampu oleh guru yang berasal

dari bidang ilmu sastra. Padahal, di pendidikan

dasar pembelajaran sastra sebenarnya harus lebih

ditekankan. Hal ini dikarenakan pendidikan dasar

merupakan langkah awal peserta didik dalam

memasuki dan mengenal tentang kesastraan.

Sehingga, dapat dipastikan apabila pembelajaran

sastra dilakukan secara apa adanya, maka hasilnya

tentu juga aka apa adanya.

Keempat, banyak anggapan bahwa mata

pelajaran Matematika, Bahasa Inggris dan Sains

lebih penting dari pada pelajaran Sastra. Alasannya,

pelajaran-pelajaran yang dianggap utama tersebut,

mempunyai prospek yang lebih bagus dari pada

pelajaran sastra. Di sisi lain, pelajaran sastra

dianggap hanya pelajaran merenung, menulis cerita

dan mengotak-atik kata. Sehingga tidak heran jika,

di sekolah-sekolah banyak muncul ekstrakurikuler

yang mempelajari Matematika, Bahasa Inggris, dan

IPA lebih dalam. Tapi, jarang ada ekstrakurikuler

(minimal kelompok belajar) yang mempelajari

sastra secara lebih dalam. Fenomena ini sangat

berpengaruh terhadap iklim pembelajaran sastra di

sekolah. Peserta didik yang sebenarnya mempunyai

minat dan bakat belajar sastra, karena tidak adanya

wadah untuk mengembangkan minat dan bakat

tersebut akhirnya minat dan bakat di bidang

kesastraan tersebut akan terpendam.

Kelima, permasalahan lain adalah rendahnya

reward atau penghargaan dari pihak sekolah dan

dinas pendidikan terhadap guru yang mempunyai

kreativitas kesastraan. Dewasa ini masih banyak

sekolah yang acuh terhadap kreativitas guru sastra.

Sekolah kurang memperhatikan para gurunya yang

mempunyai kreativitas (kesastraan) yang lebih.

Padahal melalui guru yang kreatif ini pembelajaran

sastra dapat dimaksimalkan. Penghargaan itu,

(walaupun kecil) sebenarnya mampu memantik

motivasi guru untuk lebih banyak berkarya.

Sehingga, guru sastra hanya akan berkarya biasa-

bisa saja, karena tidak ada motivasi dari luar

yang menjadi pendorong para guru untuk lebih

mengembangkan kreativitasnya.

Keenam, selain itu sering kita lihat, minimnya

sarana sekolah yang yang mewadahi kreativitas

kesastraan guru dan peserta didik. Kreativitas

tanpa sarana seperti perahu tanpa laut (Sutejo,

2013:392). Jika tidak ada wadah dan sarana yang

dimiliki sekolah untuk menyalurkan bakat dan

minat para guru dan peserta didik, maka naluri

kreasi guru dan peserta didik itu akan terkungkung.

Maka dari itu, permasalahan ini hendaknya menjadi

pemikiran bersama. Karena, jika tidak segera diatasi

akan menjadi penghambat dalam menumbuhkan

kreativitas bersastra.

Solusi Alternatif Problematika Pembelajaran

Sastra

Memecahkan persoalan dalam pembelajaran

sastra di sekolah tidak mudah. Permasalahan yang

sistemik seperti yang diungkapkan dalam sub-bab

di atas harus dipecahkan semua. Tidak bisa hanya

memecahkan hanya satu aspek dan melupakan

aspek yang lain. Selain itu pemecahan masalah tidak

bisa dilakukan oleh satu orang saja, tetapi harus

dilakukan secara bersama-sama, yakni guru, kepala

sekolah, komite sekolah, dan dinas pendidikan

terkait.

Pertama, terkait dengan rendahnya kreativitas

guru sastra, memang semua berawal dari etos dari

dalam diri guru tersebut untuk berkreasi. Jika

etos tidak ada, akan sulit untuk mengembangkan

kreativitas tersebut. Maka dari itu, penting

difikirkan bagaimana membangun etos kreativitas

guru sastra. Salah satu caranya adalah dengan

menggunakan hypnoteaching, untuk menggugah etos

guru. Karena salah satu manfaat hypnoteaching adalah

menumbuhkan semangat belajar (Yustisia, 80:2012).

Dengan mengoptimalkan etos dan semangat dari

dalam pribadi guru, maka diharapkan kualitas dan

kreativitas guru akan terbangun.

Selain itu alternatif lain yang bisa dilakukan

adalah dengan cara mengundang konsultan

dan pakar pendidikan. Dengan tujuan untuk

memberikan pemahaman dan pemecahan masalah

terkait dengan rendahnya etos kreativitas guru.

Sehingga diharapkan ketika pemahaman terkait

dampak yang muncul karena rendahnya kreativitas,

para guru bisa tergugah untuk lebih berkreasi dalam

hal pembelajaran sastra.

Kedua, strategi pembelajaran adalah rencana

menyeluruh mengenai perbuatan belajar mengajar

Page 46: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 1 Januari-Juni 2015 41

yang serasi untuk mencapai tujuan pembelajaran.

Jadi, strategi pembelajaran adalah rencana

pembelajaran di kelas yang harus dilakukan guru

dan siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran

Subana dan Sunarti (2000:16). Sedangkan metode

pembelajaran adalah rencana penyajian bahan

yang menyeluruh dengan urutan yang sistematis

berdasarkan approach tertentu (Subana dan

Sunarti, 2000:20). Pendapat lain mengatakan, bahwa

metode pembelajaran adalah cara yang digunakan

untuk mengimplementasikan rencana yang sudah

disusun dalam bentuk kegiatan nyata dan praktis

untuk mencapai tujuan pembelajaran (Muslich

dan Suyono, 2010:3). Jadi, metode pembelajaran

adalah cara yang sistematis yang digunakan untuk

mengimplementasikan rencana yang telah disusun

ke dalam kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai

tujuan pembelajaran berdasarkan pendekatan atau

strategi tertentu.

D a l a m m e n e r a p k a n s u a t u m e t o d e

pembelajaran, setiap guru memiliki teknik yang

berbeda-beda. Teknik adalah daya upaya, usaha,

cara yang digunakan guru dalam mencapai tujuan

pembelajaran Subana dan Sunarti (2000:20). Teknik

pembelajaran dapat diartikan sebagai cara yang

dilakukan seseorang dalam mengimplementasikan

suatu metode secara spesifik (Muslich dan Suyono,

2010:3).

Dapat disimpulkan bahwa teknik pembelajaran

adalah, cara yang di lakukan gur u untuk

mengimplementasikan suatu metode pembelajaran

secara spesifik. Teknik pembelajaran yang dilakukan

guru tentunya berbeda-beda, tergantung dengan

situasi dan kondisi. Pembelajaran dengan peserta

didik yang jumlahnya banyak berbeda dengan

jumlah yang sedikit. Dalam mengatasi permasalahan

ini, guru harus kreatif mencari strategi, metode dan

teknik pembelajaran yang sesuai dengan kondisi

peserta didik. Jangan sampai seorang guru sastra

mengajar sastra dengan monoton dan tidak menarik.

Sehingga siswa merasakan pembelajaran sastra

adalah pembelajaran yang membosankan. Salah

satu cara yang bisa dilakukan untuk memecahkan

permasalahan ini adalah memaksimalkan media

telekomunikasi dan informasi.

Mudahnya akses informasi melalui internet,

yang saat ini mudah untuk diakses hendaknya

digunakan bisa dimaksimalkan oleh para guru. Guru

bisa mencari alternatif-alternatif strategi, metode

dan teknik pembelajaran yang diinginkan. Sehingga

pembelajaran sastra bisa dimaksimalkan. Untuk

mampu mengakses media internet, membutuhkan

keterampilan-keterampilan khusus, sehingga

keterampilan ini mutalk dikuasai oleh para guru.

Ketiga, seorang guru sastra yang ideal hendaknya

berasal dari ranah keilmuan yang sama, yaitu dari

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Apabila

guru yang berasal dari bidang ilmu yang sama dengan

mata pelajaran yang diampu, maka akan mampu

memberikan pemahaman terkait pembelajaran

sastra dengan baik. Tapi, jika permasalahannya

pembelajaran sastra diampu oleh guru kelas yang

bukan dari bidang ilmu sastra, hendaknya Kepala

Sekolah mempunyai kebijakan untuk memberikan

mata pelajaran bahasa dan sastra kepada guru yang

berasal dari bidang ilmu yang sesuai. Karena akan

berdampak kurang baik, jika pembelajaran sastra

diberikan kepada guru yang bukan berasal dari

bidang ilmu yang sesuai.

Selain itu alternatif lain apabila seorang guru

bukan berasal dari bidang ilmu bahasa dan sastra,bisa

dilakukan dengan cara sering membaca buku-buku

sastra. Dengan banyak membaca buku-buku

sastra maka pengetahuan dan informasi tentang

kesastraan akan terus bertambah. Maka budaya

baca (buku-buku sastra) wajib dikembangkan di

lingkungan sekolah.

Keempat, anggapan bahwa mata pelajaran sastra

itu tidak lebih penting dari pada mata pelajaran

Sains, Bahasa Inggris dan Matematika, hendaknya

diluruskan. Pembelajaran sastra tidak hanya sekedar

merenung, bercerita melalui cerpen, atau merangkai

kata menjadi puisi. Tapi lebih jauh, pembelajaran

sastra bisa menjadi pondasi awal untuk memberikan

nilai-nilai positif dan pesan moralyang bisa digali

dari sebuah karya sastra. Cerpen misalnya, jika

dikaji lebih dalam pasti mempunyai pesan-pesan

dan nilai-nilai tertentu yang disampaikan oleh

pengarangnya. Tugas seorang guru adalah menggali

dan menemukan nilai-nilai positif tersebut untuk

Page 47: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

Edy Suprayitno, Permasalahan Pembelajaran Sastra dan Solusi Alternatifnya42

diajarkan, dihayati, dan diterapkan pada peserta

didik dalam kehidupan sehari-hari.

Kelima, dengan cara memberikan reward

atau penghargaan kepada guru yang mencapai

hasil kreativitas. Reward atau penghargaan akan

memberikan motivasi tersendiri bagi guru untuk

lebih berkreasi lagi. Reward tersebut bisa berupa

material maupun nonmaterial. Reward material

berupa memberikan tambahan “bonus” jam,

membebaskan dari tuntutan-tuntutan admisnistratif,

memberikan hadiah tertentu dan bentuk-bentuk

penghargaan lain yang mampu menggairahkan

akan tumbuhnya kreativitas guru sastra di sekolah

(Sutejo, 2013:394).

Sedangkan reward nonmaterial adalah, dengan

sekali waktu memberikan kesempatan pada

guru sastra kreatif untuk memberikan hasil

kreatifnya didepan teman guru, memberikan

ucap selamat pada rapat-rapat dinas (jika perlu

ucap selamat di media massa), atau memberikan

piagam penghargaan khusus dari sekolah (Sutejo,

2013:393). Dengan adanya reward tersebut, maka

akan memantik motivasi kreativitas guru untuk

lebih banyak berprestasi di bidang kesastraan.

Keenam, sarana dan prasarana belajar yang

menunjang pembelajaran sastra memang sangat

penting. Karena itu, hendaknya sekolah mewadahi

dan memberikan sarana tersebut. Salah satu

alternatifnya dengan berlangganan majalah-majalah

sastra, membeli buku literatur sastra, dan membuat

papan madding yang bisa digunakan peserta didik

untuk memajang hasil kreativitasnya. Sehingga hasil

kreativitas peserta didik tersebut bisa dibaca oleh

semua warga sekolah. Hal ini secara tidak langsung

ini akan memantik dan menghidupkan motivasi

peseta didik untuk lebih berkreasi lagi.

SIMPULAN

Dari uraian di atas dapat kita simpulkan terdapat

beberapa permasalahan dalam pembelajaran sastra.

Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan

dalam pembelajaran sastra tersebut antara lain,

pertama, seorang guru marus mampu meningkatkan

etos kreativitasnya. Karena di tangan guru pedang

kreativitas siswa digenggam. Kedua, guru harus

kreatif mencari dan mengaplikasikan strategi,

metode dan teknik pembelajaran sastra. Ketiga, mata

pelajaran sastra hendaknya diberikan kepada guru

yang berasal dari bidang ilmu yang sama, karena ini

akan berpengaruh terhadap proses pembelajaran

sastra tersebut. Keempat, anggapan bahwa pelajaran

Sains, Bahasa Inggris dan Matematika jauh

lebih penting dibanding pelajaran sastra, harus

segera diluruskan. Kelima, guru yang kreatif

hendaknya diberikan reward atau penghargaan oleh

pihak sekolah. Karena hal ini mampu menjadi

pemantik motivasi guru tersebut. Keenam, sekolah

perlu menyediakan sarana dan prasarana untuk

menunjang pembelajaran sastra.

DAFTAR PUSTAKA

Gani, R. 1988. Pengajaran Sastra Indonesia: Respon

dan Analisis. Jakarta: Departemen Pendidikan

dan Kebudayaan.

Muslich, M & Suyono. 2010. Aneka Model

Pembelajaran Membaca dan Menulis. Malang:

A3 (Asah Asih Asuh).

Subana, M & Sunarti. 2000. Strategi Belajar Mengajar

Bahasa Indonesia. Bandung: Pustaka Setia.

Sutejo. 2013. Senarai Pemikiran Sutejo. Yogjakarta:

Pustaka Felicha.

Yustisia, N. 2012. Hypnotheaching. Yogjakarta: Ar-

Ruzz Media.

Page 48: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

ANALISIS WACANA BERITA TINGGI, HARAPAN ATAS KABINET

HARIAN KOMPAS SENIN, 7 OKTOBER 2014

KAJIAN VAN DJIK

Heru Setiawan

STKIP PGRI [email protected]

Abstract: A critical paradigm doesn not look at the mass media as a value-free entity. Through media, the dominant ideology, either bad or good, can be established. News discourse as a manifestation of the ideology of the author can be analyzed through a variety of studies, including views of Teun Van Dijk. The steps taken were by analyzing the microstructure, superstructure, and the macro structure. The results obtained were (1) the macro structure is divided into two sections, the analysis of meaning in the use of “High” is narrated in news content. In the news content discussed the expectations of the public in the selection of the cabinet, on the title and subtopics contained on embracing the use of words leads to closeness and Social Capital meaningful social spirit is the main base of the cabinet. (2) The analysis superstructure is divided into two namely: Summary and Story. Summary of elements found a summary of the news to be delivered, while Story, journalist/author states President Jokowi-JK delay in choosing the cabinet by giving reason for the delay, and expressed the hope of the community. (3) Furthermore, the use of diction, say the authors, said the public, red, and yellow semantically and rhetorically identifies a specific meaning which needs to be observed

Keywords: News Discourse, Macro Structure, Micro Structure, Superstructures

Abstrak: Paradigma kritis memandang media masa bukanlah sebagai entitas yang bebas nilai. Lewat media ideo logi yang dominan, baik yang buruk mau pun yang baik, dapat dimapan kan. Wacana berita sebagai perwujudan idiologi penulis dapat dianalisis melalui berbagai kajian diantaranya pandangan Teun Van Dijk. Secara teknis langkah yang ditempuh adalah menganalisis struktur mikro, superstruktur, dan struktur makro. Hasil kajian yang diperoleh adalah (1) Secara struktur makro terbagi menjadi dua bagian, analisis makna dalam penggunaan ”Tinggi” yang dinarasikan dalam isi berita. Dalam isi berita membahas harapan besar masyarakat dalam pemilihan kabinet, pada judul serta yang terdapat pada subtopik penggunaan kata Merangkul yang mengarah pada kedekatan dan Modal Sosial. (2) Analsis superstruktur terbagi menjadi dua yakni: Summary dan Story. Dari elemen Summary ditemukan ringkasan dari berita yang akan disampaikan, sedangkan Story, wartawan/penulis menyatakan keterlambatan Presiden Jokowi-JK dalam memilih kabinet dengan memberi alasan keterlambatan, kemudian mengutarakan harapan dari masyarakat. (3) Selanjudnya penggunaan diksi, kata penulis, kata publik, merah, dan kuning secara semantik dan retorik menidentifikasikan makna tertentu yang perlu dicermati.

Kata Kunci: Struktur Makro, Struktur Mikro, Superstruktur, Wacana Berita

Page 49: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

Heru Setiawan, Analisis Wacana Berita Tinggi, Harapan Atas Kabinet Harian Kompas Senin, 7 Oktober 2014: Kajian Van Djik44

PENDAHULUAN

Era komunikasi massa mutakhir dipadati

dengan karut marut arus komunikasi yang tak

terbendung. Komunikasi itu, pada akhirnya

menempatkan jurnalisme sebagai panglima perang

pengetahuan yang paling handal (Sutejo dan

sumarlan, 2008:17-18). Media massa merupakan

salah satu wadah keberlangsungan sebuah politik,

bagaimana pasang surutnya kejayaan perpolitikan di

beritakan sejara gamblang dan jelas, bahkan sampai

ada yang membuat sebuah kasus politik berjaya

diangkasa media massa.

Perjalanan politik di tanah air semakin

menunjukkan antusias positif. Hal ini tampak pada

kesadaran individu dan perhatian kolektif terhadap

perjalanan perpolitikan. Peristiwa terkait pemilu,

pemilihan presiden adalah topik yang dibicarakan

tidak hanya dikalangan akademisi, tetapi merambah

dikalangan penjual di pasar tradisional, petani,

tukang ojek, tukang becak yang nota benenya warga

masyarakat kelas akar rumput.

Politik sebagai sarana sebuah kelompok,

masyarakat, atau negara unbtuk mencapai

tujuan-tujuan tertentu sering kali menimbulkan

permasalahan, terutama bila masing-masing pihak

bersikeras memperjuangkan kepentingan dengan

tidak berusaha mengakomodasi kepentingan pihak-

pihak lain (Wijana dan Rohmadi, 2011:105)

Dikalangan masyarakat saat pemilihan

presiden berlangsung ada sebuah kalimat humor.

Jika ingin presidennya Prabowo silahkan lihat

TV One, jika ingin presidennya Jokowi, silahkan

lihat Metro ”Guyonan” ini bisa dilihat bahwa

media itu berkecenderungan, media memunyai

kepentingan.

Seiring perkembangannya, media massa

merupakan bagian pelengkap kehidupan manusia.

Dengan media massa, manusia mendapatkan

informasi yang dan pengalaman. Sobur (2004:31)

mengemukakan bahwa media massa sebagai alat

untuk menyampaikan berita dan gambaran umum

tentang banyak hal. Media mempunyai kemampuan

untuk berperan sebagai institusi yang dapat

membentuk opini publik. Media juga berkembang

menjadi kelompok penekan atas suatu ide atau

gagasan yang direpresentasikan dalam konteks

kehidupan yang lebih empiris.

Peristiwa yang sama bisa ditanggapi berbeda

oleh setiap media. Berita dibuat tidak hanya untuk

sekadar memberi informasi, tetapi untuk menggiring

opini. “teks bukan sesuatu yang datang dari langit,

bukan juga suatu ruang hampa yang mandiri. Akan

tetapi, teks dibentuk dalam suatu praktik diskursus,

suatu praktik wacana,” (Eriyanto, 2006:222).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia

(KBBI, 2008:186) mendefinisikan berita sebagai

(1) cerita atau keterangan mengenai kejadian atau

peristiwa yg hangat; kabar (2) laporan harian; (3)

pemberitahuan; pengumuman: redaksi;. Jadi sebuah

berita itu dibuat berdasarkan kejadian terbaru yang

ada dalam lingkup masyarakat, dengan tujuan

memberikan informasi dan memberitahukan

suatu hasil yang telah ditemukan oleh penulis

dalam hal ini wartawan mendominan bahasa dalam

pembentukan wacana berita tersebut. Menurut

Eriyanto (2006:49) berita bukanlah sesutu atau

yang bersifat netral, dan menjadi ruang publik dari

pandangan yang bersebrangan, melainkan ruang

dimana kelompok dominan menyebarkan pengaruh

dengan meminggirkan kelompok lain yang tidak

dominan.

Harian umum Kompas merupakan koran

nasional, Kompas hadir hampir di seluruh provinsi

Indonesia. Pembaca Kompas terbesar adalah orang-

orang terdidik. Sajian beritanya berbasis ilmiah

dan objektif. Media kompas dalam membantu

pemerintah menyebarkan informasi, berusaha

menyuguhkan sesuai porsi yang diharapkan.

Kompas tidak melupakan kelompok pembaca muda

dan bahkan anak-anak. Jika dilihat dari mottonya

Kompas sebagai media nasional memiliki motto

sebagai “Amanat Hati Nurani Rakyat”.

Kelanjutan pemilihan presiden Indonesia ke

tujuh ini kompas berusaha memprediksi, membuat

media surat kabar Kompas membahas pula terkait

dengan pemilihan kabinet/parlementer yang

pengusung pemerintahan Jokowi-JK akan bekerja

membantu presiden dan wakilnya untuk menjalan

roda pemerintahan. Bukan hanya media surat

kabar Kompas yang membahas terkait dengan

pemberitaan tersebut, banyak surat kabar lainya

Page 50: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 1 Januari-Juni 2015 45

berlomba-lomba dalam menyajikan pemberitaan

terkait dengan polemik ini. Penyusunan kabinet/

parlementer juga berpengaruh pada partai politik

yang mengusung kemenangan seorang presiden

yang membantu kemenangan pilpres.

Pemberitaan pemilihan kabinet oleh presiden

Ir. H. Joko Widodo dan wakilnya menjadi sorotan

masyarakat Indonesia yang terus menerus dibahas.

Pilihan kabinet nantinya juga akan memengaruhi

kemakmuran bagi masyarakat Indonesia. Dilihat

dari beberapa alasan lainnyapun dapat diketahui

pemilihan pemimpin-pemipin sebuah bangsa sangat

menarik, begitu pun bagi peneliti permasalahan

tersebut sangat menarik untuk diteliti.

Sebuah teks memang sarat kepentingan,

teks berita tidak mampu lepas dari konteks.

Kompas sebagai media massa cetak yang berada

pada level atas merupakan hal yang unik untuk

diamati. Bagaimana Kompas memberikan berita-

berita terbaru sehingga memenuhi keinginan dari

konsumen dalam hal ini pembaca.

Banyak sekali makna yang tersirat maupun

tersurat dalam menyuguhkan berbagai jenis berita,

penggunaan bahasa dan tema serta pemilihan judul

merupakan ciri kan dari media surat kabar kelas

atas tersebut, hal tersebut tergambar bagaimana

pemberitaan jajak pendapat terkait dengan

pencalonan kabinet yang akan dibentuk oleh

Presiden Ir H. Joko Widodo. Berbagai ciri dan

keunikan serta makna-makna yang digunakan oleh

wartawan kompas dalam teks berita dalam jajak

pendapat tersebut.

Sebagaimana diketahui, media masa me miliki

peran yang penting dalam ke hidup an manusia,

antara lain adalah se bagai sarana informasi, hiburan,

dan pendidikan. Media masa telah mengubah

pola kehidupan manu sia. Pada awal nya manusia

menempatkan media hanya se bagai pengisi waktu

‘senggang’, sekarang me nempat kan media massa

dalam jadwal utama. Kegiatan membaca koran,

maja lah, browsing in ternet, dan menonton televisi

me rupakan ke giatan utama seseorang sebelum

melaku kan kegiatan lain.

Surat kabar memiliki pengaruh yang sangat

besar terhadap masyarakat yang digambarkan

sebagai suatu kekuatan yang dapat mengubah

tingkah laku masyarakat tanpa dapat dihalangi

oleh kekuatan apa-apa (Wahyono dalam Wijana

dan Rohmadi, 2011:189). Sebuah surat kabar tidak

hanya ditunggu oleh kalangan tertentu melainkan

seluruh lapisan masyarakat.

Paradigma kritis memandang media masa

bukanlah sebagai entitas yang bebas nilai. Media

me rupakan alat bagi kelompok yang do minan untuk

me nguasai dan memarjinalkan kelompok yang

tidak dominan. Media masa membantu kelompok

do minan menyebarkan gagasannya, me ngontrol

kelompok lain, dan membentuk kon sensus antar

anggota komu nitas. Lewat media, ideo logi yang

dominan, baik yang buruk mau pun yang baik, dapat

dimapan kan (Eri yanto, 2006:36).

Banyak sekali cara bagaimana seorang

pembaca mengetahui makna dari setiap kata,

kalimat, paragraf, bahkan secara utuh dalam sebuah

pemberitaan sebuah masalah. Perlu adanya sebuah

metode atau cara bagaimana seorang pembaca

menganalisis sebuah tek berita yang berada dimedia

surat kabar, apa yang sebenarnya ingin disampaikan

oleh seorang wartawan dalam pemberitaannya

kepada pembaca, yakni salah satunya dengan

bentuk analisis wacana kritis

Analisis wacana kritis (AWK) menekankan

pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses

produksi dan reproduksi makna. Individu tidak

dianggap sebagai subjek yang netral dan bisa

menafsirkan secara bebas sesuai dengan pikir annya,

karena sangat berhubungan dan di pe ngaruhi oleh

kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat. Bahasa

tidak dipahami se bagai medium netral yang terletak

di luar diri pem bicara.

Menurut Marianne dan Louise salah satu ciri

analisis wacana adalah wacana merupakan praktik

sosial yang menyusun dunia sosial dan disusun oleh

praktik-praktik sosial yang lain, sebagai praktik sosial

wacana berada dalam hubungan dialektik dengan

dimensi-dimensi soial yang lain (2010:116)

Bahasa dalam pandangan kritis di pahami

sebagai representasi yang berperan dalam

membentuk subjek tertentu dengan tujuan tertentu.

Oleh karena itu, analsis wacana digunakan untuk

membongkar kuasa yang ada dalam proses bahasa,

batasan yang di per kenan kan menjadi wacana,

Page 51: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

Heru Setiawan, Analisis Wacana Berita Tinggi, Harapan Atas Kabinet Harian Kompas Senin, 7 Oktober 2014: Kajian Van Djik46

perspektif yang harus di gunakan, dan topik yang

dibicarkan (Fairclough, dalam Eriyanto, 2006:7).

Melalui bahasa, ke lom pok sosial yang saling

bertarung dan meng a jukan kebenaran menurut

versinya, masing-masing dapat dipelajari.

Dalam analisis wacana kritis, wacana tidak

dipahami semata-mata sebagai kajian bahasa.

Analisis wacana kritis memang menggunakan

bahasa dalam teks untuk dianalisis. Hasilnya

bukan untuk memperoleh gambaran dari aspek

kebahasaan, melainkan menghubungkannya dengan

konteks. Hal ini berarti bahwa bahasa dipergunakan

untuk tujuan dan praktek ter tentu, termasuk di

dalamnya praktik kekuasaan.

Menurut Van Dijk (dalam Eriyanto, 2006:221)

penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan

pada analisi atas teks semata, melainkan dengan

melihat bagaimana teks tersebut diproduksi yang

juga harus diamati, sehingga kita memperoleh suatu

pengetahuan kenapa teks itu bisa semacam itu.

Melalui berbagai hasil penelitian, Van Dijk

mencetuskan kerangka analisis wacana yang terdiri

atas tiga struktur utama yaitu: struktur makro,

superstruktur, dan struktur mikro (dalam Eriyanto,

2006:227-229; Sobur, 2004:73-84). Secara rinci

3 konsep tersebut dipaparkan yaitu (a) Struktur

Makro, (b) Superstruktur, dan (c) Struktur Mikro

Struktur makro merupakan makna global/

umum dari sebuah teks yang dapat dipahami

dengan melihat topik dari sebuah teks. Dengan

kata lain, analisis struktur makro merupakan

analisis sebuah teks yang dipadukan dengan

kondisi sosial di sekitarnya untuk memperoleh

satu tema sentral. Tema sebuah teks tidaklah

terlihat secara eksplisit di dalam teks, melainkan

tercakup di dalam keseluruhan teks secara satu

kesatuan bentuk yang koheren. Jadi, tema sebuah

teks dapat ditemukan dengan cara membaca

teks tersebut secara keseluruhan sebagai sebuah

wacana sosial sehingga dapat ditarik satu ide

pokok atau topik atau gagasan yang dikembangkan

dalam teks tersebut

Superstruktur merupakan kerangka

dasar sebuah teks yang meliputi susunan atau

rangkaian struktur atau elemen sebuah teks

dalam membentuk satu kesatuan bentuk yang

koheren. Dengan kata lain, analisis superstruktur

merupakan analisis skema atau alur sebuah

teks. Seperti halnya sebuah bangunan, sebuah

teks juga tersusun atas berbagai elemen seperti

pendahuluan, isi dan penutup yang harus

dirangkai sedemikian rupa, guna membentuk

sebuah teks yang utuh dan menarik.

Struktur mikro merupakan analisis sebuah

teks berdasarkan unsur-unsur intrinsiknya.

Unsur-unsur intrinsik tersebut meliputi: (a)

unsur semantik sebagai makna lokal (local

meaning), yakni makna yang muncul dari kata,

klausa, kalimat, dan paragraf, serta hubungan di

antara mereka, (b) unsur sintaksis merupakan

salah satu elemen yang membantu pembuat

teks untuk memanipulasi keadaan dengan

jalan penekanan secara tematik pada tatanan

kalimat, (c) unsur stilistik merupakan unsur

style atau ragam tampilan sebuah teks dengan

menggunakan bahasa sebagai sarananya. Sebuah

teks bisa memilih berbagai ragam tampilan seperti

puisi, drama, atau narasi, dan (d) unsur retoris

merupakan unsur gaya penekanan sebuah topik

dalam sebuah teks.

Pada tulisan ini akan diuraikan bagaimanakah

Kompas menyajikan jajak pendapat dalam deskripsi

yang objektif, berikut analisis wacana berita jajak

pendapat yang dianalisis berdasarkan teori Van

Dijk, berdasarkan 3 elemen yakni: struktur mikro,

superstruktur, dan struktur makro.

METODE

Secara metodologis langkah analisis diawali

dengan mengambarkan secara mikro. Penggunaan

leksikon, kalimat, paragraf, semantik dan sarana

stilistika yang disusun dengan judul berita.

Kegiatan berikutnya adalah analisis superstruktur

yang akan membahas alur yang terdapat dalam

berita jajak pendapat, menganalisi unsur-unsur

sumary dan story. Analisis yang terakhir adalah

struktur analisis makro yang membahas secara

global/umum berita tersebut, dalam analisis ini

menemukan makna dan tujuan dari berita.

Page 52: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 1 Januari-Juni 2015 47

HASIL DAN PEMBAHASAN

Struktur Mikro

Struktur mikro adalah makna wacana yang

dapat diamati dari bagian kecil dari suatu teks

yakni kata, kalimat, proposisi, anak kalimat,

parafrase, dan gambar (Eriyanto:2006:236).

Penggunaan kata Tinggi dalam menentukan

judul mempunyai makna yang besar, kata Tinggi

merupakan perwakilan dari aspirasi rakyak yang

menyatakan bahwa mempunyai harapan terhadap

pembentukan kabinet oleh Jokowi-JK penyataan

itu diperjelas oleh penulis/wartawan dengan

pengulangan kata ”publik” di setiap paragrafnya,

hal ini juga disetujui oleh penulis berita, terdapat

sepuluh pengulangan kata ”publik”.

Penggunaan latar oleh penulis/wartawan

dalam berita itu menambah arti yang menarik berita

tersebut untuk dibaca, perhatikan data berikut:

Berbeda dengan proses pe- nyusunan kabinet pada masa pemerintahan sebelumnya, Jo kowi-JK terbilang lebih lambat mengumumkan kabinet. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla pada 2004-2009, misalnya, mengumumkan susunan kabinet pada malam hari setelah dilantik siang harinya. Sementara kabinet pemerintahan Yudhoyono periode kedua diumumkan sehari setelah pelantikan.

Hal tersebut merupakan bentuk kalimat

perbandingan, membandingkan kelambatan

presiden Jokowi-JK dalam memilih kabinet dengan

penulis mengemukakan pemilihan kabinet dalam

era presiden sebelumnya, berbeda pada tulisan

pada lead yang hanya mengatakan Jokowi-JK lambat

memilih kabinet.

Meskipun lebih lambat dari rencana, pembentukan kabinet Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla diyakini menghasilkan nama menteri yang lebih bersih dari berbagai kasus

Penggunaan elemen wacana detai ini

berhubungan dengan penulis atau wartawan

memberikan informasi terhadap pembaca, wartawan

tidak perlu menyampaikan infomasi secara terbuka,

karena dirasa pembaca sudah memahami arti dari

penulisannya. Penggunaan kata ’’merah” dan

’’kuning” yang bermakna calon kabinet yang pernah

tersangkut kasus atau dalam masa pengawasan piha

terkait.

Sejum lah tokoh partai batal masuk kabinet karena memperoleh catatan dari KPK berupa coret an stabilo ’’merah” ataupun ’’kuning”

Penulis/wartawan mengunakan unsur leksikon

guna memperindah/memberikan penajaman

makna. Pemilihan judul ”Tinggi, Harapan atas

Kabinet” penggunakan kata ”Tinggi” bermakna

besar, yang merupakan apsirasi rakyat yang

dituliskan oleh penulis/wartawan. Penggunaan kata

”merangkul” juga dijadikan subtema dalam berita

tersebut, kata ”merangkul” lebih ke arah pendekatan

persuasif dengan tindakan sayang/lebih dekat

berbeda dengan kata menggandeng. Begitu juga

kata ”modal sosial” yang bermakna seorang kabinet

harus mempunyai pegangan utama/landasan utama

harus mempunyai jiwa sosial.

Dalam wacana berita pemilihan kabinet

Jokowi-JK penulis memuncul praanggapan yang

nyata. Perhatikan data berikut:

.........memiliki dua kriteria tersebut, yaitu integritas dan kompetensi.

Terkait dengan kompetensi, publik membuka kemungkinan sosok menteri dari pemerintah an sebelumnya.

Penulis memunculkan grafis hasil data jajak

pendapat publik terkait dengan pemilihan cabinet

Jokowi-JK, hal tersebut menambah kekuatan

data yang diungkapkan oleh penulis/wartawan.

Pemaparan bagaimana keinginan dan harapan

kalayak masyarakat bagaimana sosok kabinet yang

akan disusun oleh presiden Joko Widodo dan Jusuf

Kalla.

Superstruktur

Menurut Eriyanto (2006:231) teks atau

wacana umumnya mempunyai skema atau alur dari

pendahuluan sampai akhir, alur yang menunjukkan

bagian-bagian dalam teks disusun yang diurutkan

menjadi kestuan arti. Dalam pemberitaan pemilihan

kabinet Jokowi-JK terdapat dua bagian yaitu: (1)

Summary (2) Story.

Page 53: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

Heru Setiawan, Analisis Wacana Berita Tinggi, Harapan Atas Kabinet Harian Kompas Senin, 7 Oktober 2014: Kajian Van Djik48

Summary

Pada poin ini ditandai dengan bagaimana penulis

atau wartawan menentukan judul dan lead. Pada

pemberitaan di kompas terkait dengan pembetukan

kabinet, penulis/wartawan menggunakan judul

Tinggi, Harapan atas Kabinet judul tersebut merupakan

tema utama dalam pemberitaan tersebut. Pemilihan

lead juga mengadung banyak makna yang akan

dijabar pada setiap paragraf pemberitaan, berikut

lead yang disusun oleh penulis/wartawan

Meskipun lebih lambat dari rencana, pembetukan kabinet Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla diyakini menghasilkan nama menteri yang lebih bersih dari berbagai kasus. Antusias dan keyakinan publik juga terhitung tinggi menyambut kabinet yang dijanjikan Presiden Jokowi segera tanjap gas untuk bekerja. Jajak pendapat kompas ini dilakukan sebelum susunan kabinet akhir diumumkan kemarin

Pada lead tersebut merupakan rangkuman dari

isi pemberitaan selanjutnya, pada lead dituliskan

bagaimana Presiden Jokowi-JK lambat dalam

penentuan Kabinet, hal tersebut dipapar ulang pada

isi subbab pertama. Keterlamatan pemilihan kabinet

kerja dikarenakan Jokowi harus berkoordinasi

dengan berbagai pihak; KPK (Komisi Pemberantas

Korupsi) dan PPATK (Pusat Pelaporan dan

Anlisis Transaksi Keuangan). Koordinasi tersebut

mempunyai manfaat yang besar bagi Presiden

Jokowi-JK dan nanti dampaknya akan bermanfaat

pula untuk keberlangsungan pemerintahan yang

sukses dan nantinya masyarakat akan merasakan

kemakmuran.

Story

Story merupakan isi berita secara keseluruhan.

Isi berita ini secara hipotetik berhubungan dengan

proses atau jalannya peristiwa (Eriyanto:2006:232).

Dalam pemberitaan pembentukan kabinet Jokowi-

JK masyarakat menaruh harapan yang besar,

maka dari penulis menungkapkan pembentukan

kabinet kerja yang terkesan lambat itu bukan tanpa

alasan. Keterlambatan itu dibandingkan dengan

pembentukan kabinet periode sebelumnya. Cobe

perhatikan data berikut:

Berbeda dengan proses penyusunan kabinet pada masa pemerintahan sebelumnya, Jo kowi-JK terbilang lebih lambat mengumumkan kabinet. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla pada 2004-2009, misalnya, mengumumkan susunan kabi net pada malam hari setelah dilantik siang harinya. Sementara kabinet pemerintahan Yudhoyono periode kedua diumumkan sehari setelah pelantikan.

Keterlambatan tersebut mempunyai alasan

yang kuat,

Perbedaan ini terkait dengan cara Jokowi-JK yang melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam seleksi na- ma-nama calon menteri.

Pada bagian telah mewujudkan bagaimana

Jokowi-JK memberikan kepastian sehingga

masyarakat berani mempunyai harapan tinggi,

perhatikan data berikut:

Tingginya keyakinan dan harapan publik terhadap rancangan kabinet tampak dari ting ginya persetujuan responden terhadap berbagai aspek pem- bangunan. Komitmen Joko wi-JK menghadirkan kembali negara yang melindungi segenap warga dan memberikan rasa aman diyakini

Dari uraian yang di tuliskan oleh wartawan

pada berita sehubungan pembentukan cabinet

Joko wi-JK mempunyai hubungan antar setiap

komponennya; judul, lead, pembukaan inti dan

kesimpulan dari penarasian berita.

Struktur Makro

Dalam analisis ini Van Dijk memaparkan

terkait dengan makna global dari suatu teks yang

dapat diamati dari topik/tema yang diangkat dalam

suatu teks berita (Eriyanto, 2006:226). Pada tahap

analisis struktur makro ini, analisis dibagi menjadi

dua bagian yaitu analisis makna dan analisis pesan

berita. Analisis dilakukan melalui pendekatan

kontekstual dengan didukung oleh analisis struktur

mikro sebelumnya.

Analisis Makna Berita

Makna berita pada wacana berita Jajak

Pendapat “Kompas” Tinggi, Harapan atas Kabinet

memfokuskan terhadap pemilihan kabinet/

Page 54: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 1 Januari-Juni 2015 49

perlemen baru kepemipinan Jokowi-JK, besar

sebuah harapan dari masyarakat terhadap hasil

dari pemilihan kabinet dengan dipertegas pada

judul utama dengan menggunakan kata “Tinggi”

sebagai judul jelas mengadung makna, masyarakat

menaruh kepercayaan terhadao Jokowi-JK

terhadap pemilihan kabinet sehingga berdampak

pada kemakmuran masyarakat.

Jokowi-JK untuk memilih kabinet yang

diharapkan dapat bekerja dengan baik Jokowi-

JK, bahkah lebih timbul bentuk pendekatan

yang menarik apa yang diungkapkan oleh penulis

berita, penggunaan kata Merangkul pada subtopik

menambah kedekatan presiden dalam memilih

rekan kerja yang dijadikan meteri-meteri. Makna

kata Merangkul dengan memilih atau mengandeng

mempunyai makna kontekstual yang berbeda,

kata Merangkul bermakna lebih dekat, lebih

mengunakan hati dari pada mengunakan kata

mengandengn atau memilih atau seleksi.

Pada pemilihan kabinet diharapkan dapat

mengunakan kriteria-kriteria yang digambarkan

pada bentuk hasil jajak pendapat, sebagai berikut:

(1) Memberikan rasa aman kepada seluruh warga,

(2) Membangun pemerintahan yang bersih,

(3) Mewujudkan kemandirian ekonomi, (4)

Memperteguh kebinekaan,dan (5) Melakukan

revolusi karakter bangsa.

Selain berkompeten dalam bidangnya

seorang menteri/kabinet harus memiliki

jiwa sosial yang tinggi, pemilihan suptopik

selanjutnya menggunakan kata Modal Sosial,

itu jelas mempertegas kalimat-kalimat dalam

subtopik tersebut. Seorang menteri/kabinet

tidak hanya memiliki sosial yang tinggi melainkan

modal awal harus pandai bersosial. Dan harapan

Presiden Ir. H. Jokowi dan wakilnya Jusuf Kala

selain berkompeten dalam bidangnya seoarang

kabinet/menteri harus mempunyai modal sosial

yang tinggi.

Analsisis Tujuan Berita

Pada surat kabar Kompas yang memuat

berita terkait dengan pemilihan kabinet Jokowi-

JK, membuat judul yang begitu apik yaitu: Tinggi,

Harapan atas Kabinet sidtu tergambar jelas bagamana

tujuan yang ingin disampaikan oleh penulis yang

mewakili keinginan rakyat.

Keberhasi lan sebuah kepemimpinan

seorang negara tidak lepas dari kerjasama dengan

kabinet dan presiden atau kabinet dengan sesama

kabinet. Dengan bertolak ukur dari pembentukan

sebelumnya yang menjadi polemik dikalangan

masyarakat terkait kasus korupsi, maka dari itu

pemilihan kabinet kerja oleh presiden Jokowi-JK

diharapkan bisa lebih baik.

SIMPULAN

Berdasarkan keseluruhan uraian analisis di

atas, dapat ditarik simpulan analisis yaitu: (1)

secara struktur makro terbagi menjadi dua bagian,

analisis makna dalam penggunaan ”Tinggi” yang

dinarasikan dalam isi berita. Dalam isi berita

membahas harapan besar masyarakat dalam

pemilihan kabinet, pada judul serta yang terdapat

pada subtopik penggunaan kata Merangkul yang

mengarah pada kedekatan dan Modal Sosial

yang bermakna berjiwa sosial merupakan dasar

utama kabinet, (2) analisis superstruktur terbagi

menjadi dua yakni: Summary dan Story. Dari elemen

Summary ditemukan ringkasan dari berita yang akan

disampaikan, sedangkan Story, wartawan/penulis

menyatakan keterlambatan Presiden Jokowi-JK

dalam memilih kabinet dengan memberi alasan

keterlambatan, kemudian mengutarakan harapan

dari masyarakat, dan (3) selanjutnya penggunaan

diksi, kata penulis, kata publik, merah, dan kuning

secara semantik dan retorik mengidentifikasikan

makna tertentu yang perlu dicermati.

DAFTAR PUSTAKA

Eriyanto. 2009. Analisis Wacana: Pengantar

Analisis Teks Media. Yogyakarta: Pecetakan

LkiS.

Jorgensen, Marianne W., Louise J. Phillips. 2010.

Analisis Wacana: Teori dan Metode. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar

KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia). 2008.

Jakarta: Pusat Bahasa

Sobur, Alex. 2009. Analisis Teks Media. Bandung:

PT. Remaja Rosdakarya.

Page 55: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

Heru Setiawan, Analisis Wacana Berita Tinggi, Harapan Atas Kabinet Harian Kompas Senin, 7 Oktober 2014: Kajian Van Djik50

Sutedjo., Sumarlan. 2008. Jurnalistik Plus 1: Kiat

Merentas Media dengan Ceria. Jawa Barat:

Nadi Pustaka

Wijana, I Dewa Putu dan Rohmadi, Muhammad.

2011. Semantik: Teori dan Analisis. Jakarta:

Yuma Pustaka

Page 56: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

PENERAPAN KURIKULUM 2013

PADA MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA

DI SD ISLAM TERPADU NUURUSSHIDDIIQ CIREBON

Indrya Mulyaningsih

IAIN Syekh Nurjati [email protected]

Abstract: The Indonesian government started to implement curriculum 2013 in all level of education, including at Islamic elementary school since last year. Curriculum 2013 requires the teacher to provide much opportunities for children to be more creative, includingcreative writing. This study was done at Nuurusshiddiiq Islamic Elementary School Cirebon. The data were taken from the students’ writing, by applying purposive sampling technique, consisted of 25 male and 25 female. The data were gathered through: 1) observasion, 2) interview, 3) questionnaire, and 4) test. The validity was tested by data triangulation and method triangulation. The result of study showed that 1) the students were lack of descriptive writing concept, 2) most of the students did not use the standardized writing form; 3) the students were lack of word formation concept 4) the students were unable to write the sentences well, and 5) the students were less concern to the words meaning

Keywords: Curriculum 2013, Description, Students, Writing

Abstrak: Kurikulum 2013 atau ‘Kurtilas’ sudah mulai diterapkan di seluruh madrasah di Indonesia. Kurtilas meminta kepada para guru untuk memberikan kesempatan kepada siswa agar lebih kreatif. Salah satunya adalah kreatif dalam menulis. Penelitian ini mengambil lokasi di SD Islam Terpadu Nuurusshiddiiq. Adapun jenisnya adalah deskripstif kualitatif. Data dalam penelitian ini adalah seluruh karangan siswa dengan teknik cuplikan purposive sampling, yakni 25 siswa dan 25 siswi. Teknik pengumpulan data dengan 1) observasi, 2) wawancara, 3) angket, dan 4) tes. Validitas data menggunakan tiangulasi sumber data dan triangulasi metode pengumpulan data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) para siswa belum memahami jenis atau bentuk karangan deskripsi; 2) sebagian besar siswa tidak menggunakan EYD; 3) siswa belum memahami proses pembentukan sebuah kata; 4) siswa belum dapat menulis kalimat dengan baik dan efektif; dan 5) siswa kurang memperhatikan makna kalimat.

Kata Kunci: Deskripsi, Kurtilas, Menulis, Siswa

PENDAHULUAN

Kurikulum 2013 atau ‘Kurtilas’ sudah mulai

diterapkan di seluruh madrasah di Indonesia.

Kurtilas meminta kepada para guru untuk

memberikan kesempatan kepada siswa agar lebih

kreatif. Hal ini seperti dikatakan Albert Einstein

bahwa “bertumpuknya bahan pelajaran tidak boleh

menindas kemerdekaan siswa” (dalam Isaacson,

2014: 7). Artinya, keunggulan kompetitif sebuah

masyarakat bukanlah hasil dari seberapa bagus

sekolah mengajarkan perkalian dan tabel periodik,

melainkan dari seberapa bagus sekolah dapat

merangsang imajinasi dan kreativitas.

Keterampilan menulis merupakan salah

satu kompetensi berbahasa. Selain menulis, tiga

keterampilan yang lain adalah membaca, menyimak,

dan berbicara. Pada dasarnya keempat keterampilan

ini memiliki keterkaitan yang sangat erat. Keempat

keterampilan ini tidak bisa dipisahkan. Keempatnya

saling mempengaruhi. Pada kondisi ideal, seseorang

Page 57: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

Indrya Mulyaningsih, Penerapan Kurikulum 2013 Pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia di SDIT Nuurusshiddiiq Cirebon52

memiliki empat keterampilan tersebut secara baik.

Namun demikian, tidak semua orang memiliki

keempat keterampilan itu secara baik pula. Seseorang

yang terampil berbicara, belum tentu terampil

menulis. Seseorang yang terampil menyimak, belum

tentu terampil berbicara. Demikian juga pada

keterampilan yang lain.

Namun demikian, keterampilan menulis

sangat dibutuhkan oleh setiap orang. Hal ini terkait

dengan tujuan atau manfaat menulis itu sendiri.

Menulis merupakan sarana untuk menyampaikan

ide atau gagasan seseorang. Walaupun sebenarnya

penyampaian ide atau gagasan dapat melalui

berbicara, tetapi lebih banyak keuntungan yang

diperoleh melalui tulisan. Berbicara tidak dapat

bertahan lama, sedangkan tulisan dapat bertahan

lama. Berbicara dilakukan pada saat itu juga,

sedangkan tulisan dapat di lain waktu.

Telah diketahui bersama bahwa ternyata tidak

semua orang memiliki keterampilan menulis yang

baik. Kesulitan ini pun dialami oleh para siswa di

pondok pesantren. Hal ini terkait dengan ragam

bahasa tulis yang memang lebih sulit daripada

ragam bahasa lisan. Namun demikian, sesulit apa

pun itu, tentu saja masih ada kesempatan untuk

memperbaiki dan menjadi baik.

Beberapa kesalahan yang sering dijumpai

dalam tulisan ilmiah antara lain: 1) tidak sesuai

EYD, baik penulisan huruf kapital, cetak miring,

titik dua, dan penulisan ‘di’ sebagai partikel atau

sebagai imbuhan, 2) kalimatnya terlalu panjang, 3)

penulisan dan penomoran yang tidak konsisten, 4)

teknik mengutip yang tidak mengikuti kaidah, 5)

penulisan daftar pustaka yang tidak sesuai aturan,

6) antar-paragraf yang tidak padu, dan 7), penulisan

simpulan yang salah. Hal inilah yang kemudian

menjadi menarik untuk diteliti.

Menulis merupakan salah satu keterampilan

berbahasa yang dipergunakan untuk berkomunikasi.

Dalam menul i s, seorang har us terampi l

memanfaatkan grafologi, struktur kata, dan

kosakata. Keterampilan menulis tidak akan datang

secara otomatis, melainkan harus melalui latihan

dan praktik (Tarigan, 1986: 3-4).

Nurgiantoro (1988: 273) mengatakan bahwa

“menulis adalah aktivitas aktif produktif, yaitu

aktivitas menghasilkan bahasa”. Gie (1995: 17)

juga mengatakan bahwa mengarang merupakan

keseluruhan rangkaian kegiatan seseorang dalam

mengungkapkan gagasan, ide, dan menyampaikannya

melalui bahasa tulis kepada pembaca untuk

dipahami.

Berdasarkan berbagai pendapat yang ada dapat

disimpulkan bahwa menulis adalah suatu kegiatan

untuk menyampaikan suatu pesan kepada orang

lain dengan medium bahasa yang telah disepakati

bersama dan tidak secara tatap muka. Menulis

merupakan suatu kegiatan yang produktif, maka

keterampilan ini harus selalu dilatihkan dan disertai

dengan praktik yang teratur.

Salah satu jenis tulisan sederhana untuk

diperkenalkan kepada anak adalah melalui teks

deskripsi. Menurut Waluyo (2007: 81) deskripsi

adalah objek yang sedang dibahas. Ada tiga jenis

deskripsi, yaitu relistis (sesuai dengan keadaan nyata

apa adanya, objektif (tidak ditambah-tambah),

impresionistis (pemberian secara subjektif detail

sesuai dengan pandangan pribadi), dan efektif

(sesuai dengan sikap penulis (masa bodoh, cermat,

santai, serius, dsb). Deskripsi digunakan untuk

membawakan impresi antara kesan yang dihasilkan

oleh segi-segi tentang orang, suatu tempat, suatu

pemandangan yang serupa dengan itu dengan

cacatan bahwa segi-segi tersebut selalu diwarnai

oleh interpretasi penulis.

Fungsi utama dari deskripsi adalah membuat

para pembacanya melihat barang-barang atau

objeknya, atau menyerap kualitas khas dari barang-

barang itu. Deskripsi membuat pembaca melihat,

yaitu membuat visualisasi mengenai objeknya, atau

dengan kata lain deskripsi memusatkan uraiannya

pada penampakan barang. Dalam deskripsi,

pembaca melihat objek garapan secara hidup dan

konkret.

Deskripsi digunakan untuk membawakan

impresi antara kesan yang dihasilkan oleh segi-segi

tentang orang, suatu tempat, suatu pemandangan

yang serupa dengan itu dengan cacatan bahwa

segi-segi tersebut selalu diwarnai oleh interpretasi

penulis. Tujuan utama karangan deskripsi adalah

untuk menggugah atau membangkitkan kesan yang

dihasilkan oleh aspek tentang seseorang, suatu

Page 58: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 1 Januari-Juni 2015 53

tempat, suatu pemandangan, atau yang serupa

dengan itu. Adapun ciri-ciri karangan deskripsi,

yaitu (1) memaparkan sesuatu yang dapat diamati

secara objektif. (2) deskripsi memperlihatkan detail

atau rincian objek yang diamati tersebut.

Beberapa penelitian yang mengkaji tentang

keterampilan menulis pada anak usia sekolah.

Salah satunya adalah penelitian Rajinem (2011)

yang hasilnya menyimpulkan bahwa berdasarkan

hasil penelitian tindakan kelas dengan pendekatan

Constektual Teaching and Learning dapat meningkatkan

proses pembelajaran menulis deskripsi siswa

kelas V SDN 01 Karangsari, Kecamatan Jatiyoso,

Kabupaten Karanganyar. Hal ini ditandai dengan

presentase keaktifan siswa, perhatian, konsentrasi,

minat dan motivasi siswa dalam pembelajaran

menulis deskripsi dan hasil angket yang mengalami

peningkatan setiap siklusnya. Secara khusus,

penelitian ini bertujuan untuk mencari tahu tentang

kemampuan menulis deskripsi para siswa di SDIT

Nuurusshiddiiq Cirebon.

METODE

Penelitian ini mengambil lokasi di SD Islam

Terpadu Nuurusshiddiiq yang beralamat di Jalan

Wirata No. 30 Tuparev, Cirebon. Jenis penelitian

ini adalah deskripstif kualitatif. Dengan pendekatan

deskriptif akan dijelaskan karakteristik kesalahan

yang terdapat pada karangan para siswa. Strategi

penelitian ini menggunakan studi kasus.

Data dalam penelitian ini adalah seluruh

karangan siswa. Karangan ini bersifat bebas, namun

bukan karangan narasi atau cerita. Teknik cuplikan

atau sampling yang digunakan adalah purposive

sampling. Sampel yang akan digunakan sebanyak 50

siswa. Dalam hal ini, akan dibagi lagi menjadi, 25

laki-laki dan 25 perempuan.

Pengumpulan data pada penelitian ini

menggunakan empat cara, yakni (1) observasi,

(2) wawancara, (3) angket, dan (4) tes. Observasi

ini dilakukan untuk mengamati secara langsung

pembelajaran yang dilakukan di pondok pesantren.

Observasi dipusatkan pada proses pembelajaran

beserta peristiwa-peristiwa yang melingkupinya.

Validitas data menggunakan tiangulasi. Teknik

triangulasi pada penelitian ini adalah triangulasi

sumber data dan triangulasi metode pengumpulan

data. Dalam kaitannya dengan triangulasi sumber

data, peneliti mengutamakan pengecekan informasi

di antara para informan. Informasi yang diperoleh

dari seorang informan dicek silang dengan informasi

serupa dari informan lain. Suatu informasi diakui

kebenarannya apabila disepakati oleh para informan.

Dalam menganalisis data yang telah diperoleh

selama penelitian digunakan dua tahap, pertama

dengan mengelompokkan dan kedua dengan

analisis interaktif model Miles.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kesalahan yang Dilakukan para Siswa

dalam Karangan Deskripsi yang Ditulis

Data 1

‘Peran pengasuh dalam meningkatkan keberagaman pondok pesantren menggunakan pendekatan kualitatif dan jenis penelitiannya deskriptif sedangkan dalam pengumpulan data dengan cara observasi, interview, dokumentasi.’

Kesalahan Bentuk

Perintah angket meminta siswa menulis

karangan deskripsi dengan lima pilihan objek, yakni:

1) masjid pesantren, 2) ruang belajar pesantren,

3) kamar mandi pesantren, 4) ruang pengelola

pesantren, dan 5) keadaan siswa, baik putra maupun

putri.

Penggalan karangan di atas bukan merupakan

karangan deskripsi. Karangan deskripsi seharusnya

berisi penjelasan terhadap suatu objek. Penjelasan

itu dilakukan secara rinci. Mencermati kosakata

yang digunakan, penggalan karangan tersebut

lebih tepat berupa metode penelitian. Misalnya

‘pendekatan kualitatif dan jenis penelitiannya deskriptif ’.

Jelas sekali bahwa penggalan ini berbicara tentang

penelitian. Ditambah ‘observasi, interview, dokumentasi’

yang merupakan kosakata dalam penelitian. Data ini

menunjukkan bahwa siswa belum memahami jenis

karangan deskripsi.

Tulisan ini pada dasarnya adalah sebuah

laporan hasil penelitian. Hasil penelitian tentu

saja tidak sama dengan deskripsi suatu tempat.

Tulisan tersebut memotret pondok pesantren

Page 59: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

Indrya Mulyaningsih, Penerapan Kurikulum 2013 Pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia di SDIT Nuurusshiddiiq Cirebon54

secara umum. Sementara perintah yang diberikan

adalah meminta para siswa untuk menjelaskan objek

tertentu. Karena tertentu, seharusnya siswa tidak

menjelaskan secara luas, tetapi cukup yang diminta

saja. Hal ini dapat menjadi indikator bahwa pada

dasarnya siswa belum dapat membedakan jenis-

jenis karangan atau tulisan.

Ejaan

Kata ‘inter view’ pada penggalan di atas

merupakan kata yang berasal dari bahasa Inggris

atau bahasa asing. Berdasarkan Kamus Besar

Bahasa Indonesia (KBBI) halaman 543 seharusnya

ditulis ‘interviu’.

Pada data di atas ditemukan penggunaan tanda

koma (,) dan penulisan perncian yang salah. Dalam

EYD disebutkan bahwa tanda koma (,) digunakan

untuk memisahkan kalimat setara yang satu dari

kalimat setara berikutnya yang didahului dengan

kata seperti tetapi, melainkan, sedangkan, dan kecuali.

Oleh karena itu, seharusnya setelah kata ‘deskriptif ’

diberi koma.

Perincian hendaknya ditambahkan kata ‘dan’

pada bagian akhir. Misalnya pada penggalan ’…

dengan cara observasi, interview, dokumentasi.’ Seharusnya

ditambah ‘dan’ sebelum kata ‘dokumentasi’ sehingga

kalimatnya menjadi ’… dengan cara observasi, interview,

dan dokumentasi.’

Sintaksis

Secara sintaksis, kalimat pada data di atas dapat

dikategorikan sebagai kalimat tidak efektif. Kalimat

yang panjang menyebabkan ketaksamaknaan. ‘Peran

pengasuh dalam meningkatkan keberagaman pondok

pesantren menggunakan pendekatan …’ kalimat ini

tidak cukup jelas, yakni siapa yang menggunakan

pendekatan, peran pengasuh atau keberagaman?

Oleh karena itu, kalimat ini dikatakan tidak

efektif.

Data 2

‘Ada pepatah atau dua patah yaitu kita harus menghargai orang lain agar kelak kita akan di hargai lagi!!’

Kesalahan Bentuk

Penggalan karangan di atas lebih tepat

dikategorikan sebagai karangan persuasi .

Penggunaan tanda seru menyatakan ajakan.

Karangan yang berupa ajakan adalah karangan

persuasi. Penggunaan ‘kita harus’ juga merujuk

pada ajakan. Mencermati penggalan tersebut, tidak

ditemukan kelima tema yang telah disebutkan

sebelumnya. Tidak jelas siswa berbicara apa. Satu

yang pasti, semua ini terjadi karena siswa memang

kurang atau tidak memahami macam-macam

karangan.

Ejaan

Data di atas mengandung kesalahan ejaan,

yakni pada penulisan ‘di’ pada kata ‘di hargai’. Dalam

EYD disebutkan bahwa kata depan di, ke, dan dari

ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya, kecuali

di dalam gabungan kata yang sudah lazim dianggap

sebagai satu kata, seperti kepada dan daripada.

Sementara ‘di’ pada data bukan sebagai kata depan,

sehingga seharusnya ditulis serangkai.

Semantik

Mengacu pada makna kalimat, penggunaan

‘lagi’ pada data menjadi tidak tepat. Lebih tepat

jika menggunakan kata ‘juga’. Demikian juga

penggunaan ‘ada pepatah atau dua patah…’. Kata atau

kalimat bukanlah benda yang dapat dipatahkan.

KBBI menuliskan ‘pepatah’ yang berarti peribahasa

yang mengandung nasihat atau ajaran dari orang

tua-tua. Pada sisi lain, penulis menggunakan kata

‘dua patah’. Kedua hal ini sangat bertentangan.

Namun oleh penulis disamakan maknanya dengan

menggunakan kata penghubung ‘atau’. Oleh karena

itu, data di atas telah melakukan kesalahan dari segi

semantik.

Data 3

‘Pernah pada suatu hari siswa menuju kamar mandi lalu berteriak “bau”!’

Kesalahan Bentuk

Kesalahan bentuk karangan juga terdapat pada

data ini. Penggunaan tanda petik (“ “) lebih tepat

untuk karangan narasi. Salah satu ciri karangan

narasi adalah adanya dialog atau percakapan. Kata

‘berteriak’ menunjukkan ada dialog atau percakapan

antarsiswa yang ada di sekitar tempat kejadian, yakni

kamar mandi. Penggunaan frasa ‘pada suatu hari’

juga mencirikan bahwa karangan tersebut adalah

Page 60: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 1 Januari-Juni 2015 55

karangan narasi. Oleh karena itu, data tersebut

dapat menjadi petunjuk bahwa siswa belum dapat

membedakan jenis karangan.

Ejaan

Data di atas seharusnya menggunakan tanda

koma setelah kata ‘hari’. Keterangan yang berada

di awal kalimat hendaknya dipisahkan dengan

koma. Hal ini untuk menghindari makna ganda.

Selain itu, tanda koma dipakai untuk memisahkan

petikan langsung dari bagian lain dalam kalimat.

Oleh karena itu, seharusnya setelah kata ‘berteriak’

diberi koma.

Data 4

‘Hampir setiap hari saya duduk di pendopo bersama siswa lain sekedar bercanda.’

Kesalahan Bentuk

Teknik penulisan karangan ini menggunakan

model cerita. Hal ini dapat diketahui penggunaan

kata ‘saya’. Penggunaan kata ini menunjukkan bahwa

penulis sebagai pencerita. Alangkah lebih baik jika

karangan tidak menggunakan kata ganti orang atau

sapaan. Semua itu dilakukan untuk menghindari

subjektifitas penulis.

Karang deskripsi yang baik adalah tidak

memihak. Posisi penulis harus netral. Tujuan utama

karangan deskripsi adalah memberikan gambaran

kepada orang lain atau pembaca tentang sesuatu

yang ingin disampaikan. Karena memberikan

gambaran, hendaknya karangan deskripsi memuat

informasi selengkap-lengkapnya.

Ejaan

Data di atas mengandung kesalahan ejaan,

yakni pada kata ‘sekedar’. Penulisan kata tersebut

seharusnya ‘sekadar’.

Morfologi

Secara morfologis, ‘sekadar’ merupakan kata

bentukan dari kata dasar ‘kadar’ yang mendapat

imbuhan ‘se-‘. Nosi ‘se-‘ memiliki makna satu atau

sama. Namun demikian, makna ‘sekadar’ pada data

ini memiliki makna seperlunya atau seadanya.

Data 5

‘Pernah ada cerita lucu, yakni tiba-tiba ada suara dari dalam masjid.’

Kesalahan Bentuk

Penggalan ini juga sama dengan sebelumnya.

Artinya, karangan tersebut lebih tepat untuk

jenis narasi dan bukan deskripsi. Frasa ‘tiba-tiba

ada suara’ lebih tepat untuk sebuah cerita. Objek

karangan deskripsi dapat abstrak maupun konkret.

Pendeskripsian suatu tempat dapat dilakukan

dengan menjelaskan apa yang dapat ditangkap

oleh panca indra. Hal ini akan sangat membantu

seseorang dalam menggambarkan objek yang

diinginkan. Pembaca pun akan mudah memahami

tulisan yang bersumber dari panca indra. Hal ini

karena pembaca seolah turut mengalami apa yang

ditulis. Inilah tantangan terbesar bagi seorang

penulis, yakni mudah dimengerti.

Data 6

‘Dan kamar mandi pesantren itu, keadaannya ga slalu membaik pasti ada buruknya contohnya: ada yg air nya mati karna mesinnya rusak dan ada juga yg wcnya mampet dan masih banyak lagi kejadian2 yg buruk pada kamar mandi pesantren.’

Ejaan

Penggalan karangan di atas menunjukkan

bahwa siswa masih belum menguasai EYD. Siswa

masih menggunakan kata ‘slalu’ dan ‘karna’. Kedua

kata tersebut seharusnya ditulis dengan ‘selalu’

dan ‘karena’. Penyingkatan kata hendaknya juga

mengikuti aturan yang berlaku. Misalnya pada

‘yg’ seharusnya ditulis dengan menambahkan titik

di belakangnya sehingga menjadi seperti ini ‘yg.’.

Penggunaan angka 2 pada‘kejadian2’ juga merupakan

bentuk tidak baku. Seharusnya kata tersebut

dituliskan secara berulang sehingga menjadi

kejadian-kejadian’. Demikian juga dengan kata ‘ga’

yang merupakan kata ganti dari ‘tidak’. Sebuah

karangan deskripsi seyogyanya menggunakan

ragam baku. Hal ini untuk menghindari salah

penafsiran.

Penggunaan tanda koma pada ‘…kamar mandi

pesantren itu, keadaannya…’ tidak tepat. Seharusnya

kalimat tersebut tidak menggunakan tanda koma

pada bagian itu.

Page 61: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

Indrya Mulyaningsih, Penerapan Kurikulum 2013 Pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia di SDIT Nuurusshiddiiq Cirebon56

Sintaksis

Secara sintaksis, data di atas memiliki dua

kesalahan, yakni penggunaan ‘dan’ di awal kalimat

dan kalimat yang terlalu panjang. Dalam Tata

Bahasa Baku Bahasa Indonesia (TBBI) dinyatakan

bahwa tidak dibenarkan mengawali kalimat dengan

konjungsi. Data di atas menggunakan kalimat yang

terlalu panjang. Hal ini tentu saja akan berpengaruh

terhadap pemahaman pembaca. Kalimat panjang

ini sebenarnya dapat disederhanakan menjadi dua

kalimat.

Data 6

‘Selain memiliki ruangan yang luas, Masjid Nuurusshiddiiqpun memiliki dekorasi yang indah. Dengan gambar2 ka’bah yang di pasang di depan dan dibalut dengan warna khas kuning dan hijau, membuat suasana menjadi indah dan juga nyaman.’

Ejaan

Kesalahan EYD juga terdapat pada penggalan

karangan di atas, yakni pada penulisan ‘-pun’ dan ‘di’.

Pada karangan tertulis ‘Nuurusshiddiiqpun’. Penulisan

‘pun’ seharusnya dipisah. ‘Pun’ di sini bukan sebagai

imbuhan melainkan sebagai klitik. Jika ‘pun’ sebagai

klitik, maka penulisannya harus dipisah. ‘Pun’

sebagai klitik memiliki kedudukan sama seperti kata

yang bermakna juga.

Demikian juga pada ‘d i pasang ’ yang

seharusnya penulisan ‘di-‘ dirangkai dengan kata

yang mengikutinya. Hal ini karena ‘dipasang’ tidak

menunjukkan tempat. Dalam EYD dikatakan bahwa

penulisan ‘di’ sebagai imbuhan harus dirangkai.

Sedangkan ‘di’ sebagai klitik yang menyatakan

tempat, harus ditulis secara terpisah.

Penulisan ‘ka’bah’ pada data tersebut juga

salah. Merujuk KBBI (605), seharusnya ditulis

dengan diawali huruf kapital sehingga menjadi

‘Kakbah’. Andai akan menuliskan dengan tulisan

asli yang berbahasa Arab, maka seharusnya dicetak

dengan huruf miring ‘ka’bah’.

Data 7

‘Masjid adalah tempat ibadahnya umat islam, dan di dalam pesantren masjid bukan hanya untuk shalat, melainkan untuk mengaji, dan kegiatan lainnya.’

Ejaan

Kesalahan selanjutnya adalah pada penggunaan

huruf kapital. Dalam EYD disebutkan bahwa

huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama dalam

ungkapan yang berhubungan dengan nama Tuhan

dan kitab suci, termasuk kata ganti untuk Tuhan.

Oleh karena itu, seharusnya ‘islam’ ditulis dengan

menggunakan huruf kapital dan menjadi ‘Islam’.

Dalam KBBI (1209) dituliskan bahwa ‘shalat’

berasal dari bahasa Arab dan telah diadaptasi ke

dalam bahasa Indonesia. Adapun penulisannya yang

tepat adalah ‘salat’. Namun sepertinya penggunaan

kata ini kurang popular sehingga tidak banyak yang

tahu dan menggunkan. Termasuk salah satunya

adalah penulis karangan deskripsi ini.

Sintaksis

Bagian data yang berbunyi ‘…dan di dalam

pesantren masjid bukan..’ memiliki makna yang tidak

jelas. Seharusnya diantara ‘pesantren’ dan ‘masjid’

diberi tanda koma. Jika tidak ditambahkan koma,

maka maknanya akan tidak jelas. Maksud ‘yang

tidak hanya untuk shalat’ merujuk ke ‘masjid’ atau

‘pesantren’ atau ‘pesantren masjid’?

Data 8

‘Ya walaupun itu semua tergantung penghuni dan yg membersihkannya. Jika yg lagi kebagian piket tidak bersih, maka akan sangat kotor, bau, dekil, kumel, kumuh.’

Ejaan

Kesalahan selanjutnya adalah pada tanda baca

berupa titik dua (:). EYD mengatur bahwa tanda

titik dua (:) dipakai pada akhir suatu pernyataan

lengkap jika diikuti rangkaian atau pemerian. ‘Jika

yg lagi kebagian piket tidak bersih, maka akan sangat

kotor, bau, dekil, kumel, kumuh’ seharusnya ditulis

dengan ‘Jika yang lagi kebagian piket tidak bersih, maka

kamar mandi akan sangat: kotor, bau, dekil, kumel,

kumuh.’ Karena berupa pemerian, maka seharusnya

ditambah kata ‘dan’ sehingga kalimatnya menjadi

seperti ini ‘Jika yg lagi kebagian piket tidak bersih, maka

akan sangat kotor, bau, dekil, kumel, dan kumuh.’

Penulisan kata ‘yang’ dapat disingkat dengan

cara memberikan tanda titik di belakangnya,

Page 62: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 1 Januari-Juni 2015 57

sehingga tulisan yang benar menjadi ‘yg.’. Namun,

kaidah ini kurang diperhatikan.

Data 9

‘Kemudian di bagian dalam masjid digunakan untuk para siswawan. Yang biasanya dipakai untuk ibadah sholat lima waktu. Sholat sunnah. dan sholat jum’at. dan juga siswa wan juga selalu memakai bagian dalam masjid untuk tiduran.’

Ejaan

Kesalahan selanjutnya berupa penulisan

‘jum’at’. Dalam EYD disebutkan bahwa huruf

kapital dipakai sebagai huruf pertama nama tahun,

bulan, hari, hari raya, dan peristiwa sejarah. Dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ke-empat

kata tersebut ditulis dengan tanpa tanda apostrop

sehingga seharusnya ditulis dengan ‘Jumat’.

Kesalahan ejaan juga terdapat pada kata

‘sholat’. Seperti telah diuraikan di atas bahwa kata

tersebut telah diapatasi ke dalam bahasa Indonesia

dengan ‘salat’. Apabila tidak menggunakan tulisan

seperti itu, maka berarti masih menggunakan bentuk

asli dari bahasa Arab. Bahasa Arab merupakan

bahasa asing, sehingga penulisan kata yang berasal

dari bahasa asing harus miring.

Penulisan akhiran ‘wan’ yang dipisah tidak

sesuai kaidah. Seharusnya ‘siswa wan’ ditulis dengan

‘siswawan’. Pada kalimat awal juga telah ditulis

kata ‘siswawati’dengan benar, tetapi pada bagian

berikutnya ternyata salah. Hal ini menunjukkan

bahwa sebenarnya penulis belum memahami kaidah

penulisan yang berlaku.

Sintaksis

Penggunaan tanda titik yang tidak tepat

menyebabkan kalimat di atas t idak tepat.

Ketidaktepatan itu karena faktor makna yang

salah. Seharusnya kalimat kedua berisi penjelasan

atau rincian antara salat wajib, sunah dan Jumat.

Namun, karena penggunaan tanda titik yang tidak

tepat, maknanya menjadi berbeda.

Data 10

‘Keberadaan siswa di pondok pesantren sudah cukup baik yaitu diadakanya pada tataran pemahaman dilakukan melalui KBM, pengajian dan kajian

kitab/sorogan, pada penghayatan melalui moment seperti taddabur alam dan realita sosial.’

Ejaan

Data di atas memiliki kesalahan dalam penulisan

kata asing. Dalam EYD disebutkan huruf miring

dalam cetakan dipakai untuk menuliskan kata atau

ungkapan yang bukan bahasa Indonesia. Pada data

ini terdapat dua kata yang bukan bahasa Indonesia,

yakni ‘moment’ dan ‘taddabur’. Kata ‘moment’ berasal

dari bahasa Inggris, sedangkan kata ‘taddabur’

berasal dari bahasa Arab. Berdasarkan kaidah

tersebut, kedua kata tersebut seharusnya ditulis

dengan cetak miring.

Morfologi

Kalimat tersebut memiliki kesalahan dalam

morfologi, yakni pada kata ‘diadakanya’. Kata ini

merupakan kata bentukan atau turunan dengan kata

dasar ‘ada’. Adapun proses secara gramatikalnya

sebagai berikut.

di ada kan nya

1

2

3

Urutan bentukan pertama adalah kata dasar

‘ada’ yang mendapat akhiran ‘kan’ sehingga menjadi

‘adakan’. Kedua, kata bentukan ‘adakan’ mendapat

imbuhan ‘di-‘ sehingga menjadi ‘diadakan’. Ketiga,

kata bentukan ‘diadakan’ mendapat akhiran ‘nya’

yang berari kata ganti milik sehingga menjadi

‘diadakannya’. Oleh karena itu, seharusnya kata

‘diadakanya’ ditulis dengan dua ‘n’.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil akhir penelitian dapat

disimpulkan bahwa kemampuan menulis siswa

masih sangat perlu untuk ditingkatkan. Hal ini

setidaknya tercermin dari temuan-temuan penelitian

yang meliputi: (i) para siswa belum memahami jenis

atau bentuk karangan deskripsi, (ii) pada dasarnya

sebagian besar siswa telah mengetahui EYD,

namun tidak digunakan dalam menulis, (iii) siswa

belum memahami proses pembentukan sebuah

kata, sehingga terdapat beberapa kata bentukan

yang salah dalam menuliskan, (iv) siswa belum

Page 63: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

Indrya Mulyaningsih, Penerapan Kurikulum 2013 Pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia di SDIT Nuurusshiddiiq Cirebon58

dapat menulis kalimat dengan baik dan efektif, dan

(v) siswa kurang memperhatikan makna kalimat.

Hal ini tertuang dalam kalimat-kalimat yang

digunakan cenderung memiliki ambiguitas. Penciri

kesalahan ini antara lain karena siswa belum dapat

membedakan ragam lisan dengan ragam tulis.

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa

Indonesia. Ed. 3. Jakarta: Balai Pustaka.

Chaer, Abdul. 1995. Pengantar Semantik Bahasa

Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Gie, The Liang. 1995. Pengantar Dunia Karang

Mengarang. Yogyakarta Liberty.

Isaacson, Walter. 2014. Einstein: Kehidupan dan

Pengaruhnya bagi Dunia . (Ter jemahan).

Yogyakarta: Bentang.

Nurgiantoro, Burhan. 1988. Penelitian dalam

Pengajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta:

BPFG.

Pateda, Mansoer. 2010. Semantik Leksikal. Jakarta:

Rineka Cipta.

Pusat Bahasa. 2009. Pengindonesiaan Kata dan

Ungkapan Asing . Jakarta: Departemen

Pendidikan Nasional.

Rajinem. 2011. Peningkatan Kemampuan Menulis

Deskripsi Melalui Pendekatan Constektual

Teaching And Learning (CTL) Bagi Siswa Kelas

V SDN 01 Karangsari Kecamatan Jatiyoso

Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Tesis

(tidak dipublikasikan).

Sugondo, Dendy. 2007. EYD Plus. Jakarta: Limas.

Suwandi, Sarwiji. 2007. Serbalinguistik. Salatiga:

Widya Sari.

Tarigan, Henry Guntur. 1986. Menulis Sebagai Suatu

Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.

Waluyo, Herman. J. 2007. Pengantar Filsafat Ilmu,

Salatiga: Widyasari Press.

Page 64: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

PERAN GURU BAHASA INDONESIA SEBAGAI PEMBANGUN

KEPRIBADIAN SISWA

Kasnadi

STKIP PGRI [email protected]

Abstract: Bahasa Indonesia has the important position in building the nation character. It can be seen from the function of Bahasa Indonesia as the unifier language and official lalnguage. Based on its positions, the role of language teachers is very important, that is to crystallize the values within the language for the students. The teacher of Bahasa Indonesia should be the professional teacher who has four competencies: pedagogic, personality, social, and professional. That is why, the language teacher must be able to use language appropraietely. That ability must be relized in daily life, not only in the theortical level. Therefore, the teacher of Bahasa Indonesia should be the role model for their students.

Keywords: Language Teacher, Model, Students’ Personality

Abstrak: Bahasa Indonesia memunyai kedudukan yang strategis dalam membangun kepribadian bangsa. Kesetrategisan itu karena bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan di samping sebagai bahasa Resmi. Dalam kedudukannya itu, peran guru bahasa Indonesia harus mampu mengristalkan nilai yang terkandung di dalamnya untuk disampaikan kepada siswa. Guru bahasa Indonesia harus menjadi guru yang professional dengan memiliki kompetensi pedogogis, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Oleh karena itu, guru bahasa Indonesia harus terampil berbahasa. Keterampilan itu tidak saja diwujudkan secara teoritis akan tetapi wajid direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga guru bahasa Indonesi tidak saja diteladani tetapi wajib menjadi teladan peserta didik.

Kata Kunci: Guru Bahasa, Kepribadian Siswa, Teladan

PENDAHULUAN

Tahun 1928 adalah tahun dicetuskannya

“sumpah pemuda” dan tahun 1945 adalah tahun

“kemerdekaan” bangsa Indonesia. Artinya, sudah

68 tahun Indonesia mencanangkan bahasa resmi

yakni bahasa Indonesia, dan sudah 85 tahun

bangsa Indonesia bersumpah untuk mengakui dan

menjunjung tinggi bahasa perasatuan yakni bahasa

Indonesia. Lalu, bagaimana keberadaan bahasa

Indonesia pada masa sekarang ini? Siapakan yang

bertanggung jawab terhadap perkembangan bahasa

Indonesia?

Kecintaan dan kebanggaan generasi muda

terhadap bahasa Nasional semakin pudar, bahkan

nyaris hilang. Mereka sudah luntur kebanggaannya

memunyai bahasa persatuan yakni bahasa

Indonesia. Mereka sudah hilang cintanya terhadap

bahasa Indonesia. Mereka lebih bereforia dengan

bahasa asing yang lebih mendunia. Dalam segala

aktivitasnya, mereka lebih suka berasing ria

(memakai bahasa Inggris) daripada memakai bahasa

Indonesia.

Tengoklah, papan-papan nama, spanduk,

baleho, di sepanjang jalan raya. Simaklah,

para presenter di televisi, bagaimana mereka

menggunakan bahasa Indonesia? Amatilah,

para birokrat sebagai pemegang otoritas, ketika

berbicara di depan kamera. Dengarkanlah, para

pengasuh acara di sejumlah radio, bagaimana

mereka berbahasa? Lihatlah, jargon-jargon dalam

instansi dan lembaga, bagaimana penggunaan

bahasa tulisnya? Simaklah seminar-seminar dan

acara akademis di kampus-kampus penggunaan

Page 65: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

Kasnadi, Peran Guru Bahasa Indonesia Sebagai Pembangun Kepribadian Siswa60

bahasa Indonesia bercampur dengan bahasa asing.

Iklan-iklan dan berbagai penawaran produk sering

menggunakan bahasa asing, padahal konsumennya

jelas bangsa Indonesia. Cermatilah, hasil ujian

nasional anak didik kita untuk mata pelajaran

Bahasa Indonesia. Realitas saat ini menunjukkan

semakin rapuh, semakin tidak berharga, semakin

tidak terhormat, semakin terpencil, dan semakin

terasing eksistensi bahasa Indonesia hidup di tanah

airnya sendiri. Pendek kata, bangsa Indonesia

sudah tidak bangga dengan bahasanya. Padahal

(Halim, 1981) menyatakan salah satu fungsi bahasa

Indonesia sebagai bahasa persatuan merupakan

sebuah kebanggan Nasional yang harus dilestarikan

dalam jiwa kita selam-lamanya.

Mengapa ter jad i rea l i t as yang t idak

menggembirakan terkait dengan keberadaan

bahsa Indonesia saat ini? Karena, mental generasi

muda telah digerogoti budaya global, mental yang

terdistorsi budaya Barat. Mereka sudah terjangkiti

sifat konsumerisme, sehingga mereka sudah tidak

bangga dengan bahasa Indonesia, mereka lebih

bangga dengan bahsa tetangga. Di samping itu,

memang mental dan karakter bangsa Indonesia yang

malas, tidak beretos kerja, suka menerabas dengan

jalan pintas (Lubis,1981), sehingga tak terasa jiwa

nasionalismenya terlepas dari jati dirinya.

Kemerosatan kpribadian bangsa, khususnya

generasi muda, saat ini membuka pemikiran calon

presiden Joko Widodo untuk mengubah mental

bangsa kita. Dalam kampanyenya calon presiden

Joko Widodo mencanangkan pentingnya revolusi

mental, sedangkan budayawan Radhar Panca

Dahana memotret pentingnya revolusi kebudayaan

pada zaman kini. Kalau sudah sedemikian rupa,

bagaimana identitas bangsa kita? Bukankah bahasa

Indonesia sebagai lambang identitas bangsa

Indonesia? Oleh karenanya, yang harus bertanggung

jawab untuk mengembalikan eksistensi bahasa

Indonesia tidak lain dan tidak bukan salah satunya

adalah guru bahasa Indonesia.

PEMBAHASAN

Guru Bahasa Indonesia yang Profesional

Dalam Kongres PGRI 1-4 Juli di Jakarta, salah

satu isu penting yang menjadi pembicaraan sentral

adalah eksistensi guru (termasuk guru bahasa

Indonesia) sebagai tumpuan bangsa. Harapan

itu sudah menjadi sorotan pada acara pertemuan

guru-guru se-Asean yang dilaksanakan di Bali

pada bulan Desember 2012. Perhimpunan guru-

guru se-ASEAN yang tergabung dalam ASEAN

Council of Teachers (ACT) diakhir pertemuannya

ke-28 di Bali, sepakat melahirkan sebuah resolusi

yang berisi mendesak pemerintah untuk mengakui

bahwa kunci keberhasilan pendidikan berkualitas

terletak pada profesionalisme guru. Proyeksi

tersebut merupakan pernyataan ideal bagi negara

kita yang gencar memperbaiki kualitas pendidikan.

Salah satu masalah yang menghambat kualitas

pendidikan nasional adalah adanya kualitas guru

yang masih rendah mutunya (Kompas, 21/08/2013).

Oleh sebab itu, guru bahasa Indonesia hendaknya

menjadi guru bermutu agar mampu menguraikan

setitik persoalan pendidikan di masa ini.

Untuk meraih derajat profesional ada sinyal

kerawanan yang muncul dari pihak pemerintah

dan guru. Pemerintah sering membuat kebijakan

yang kurang makro dan utuh, sehingga muncul

ketimpangan di sana-sini. Kebijakan pemerintah

semacam itu mengindikasikan kesan tergopoh-

gopoh dan serampangan. Untuk membangun

pendidikan yang berkualitas seorang pakar

pendidikan Mohammad Abduhzen mengusulkan

pemimpin yang peduli pendidikan. Kerawanan

itu penting untuk dicermati agar tidak tergelincir

pada kelatahan, sehingga masyarakat memperkuat

keyakinannya terhadap adagium “ganti pemimpin

ganti kebijakan”, dan “ganti menteri ganti

kurikulum”.

Lihat lah saat ini (2014) , pemerintah

mewajibkan implementasi kurikulum 2013, para

guru menghebohkan pelaksanaan kurikulum

tersebut, karena kesiapan yang belum matang.

Pemikiran-pemikiran negatif dari berbagai pihak

muncul di berbagai media massa, sebagai misal lahir

sebuah judul “Layu Sebelum Berkembang” yang

ditulis oleh Febri Hendri AA, pakar pendidikan,

Doni Koesuma, menulis tentang kurikulum 2013

dengan title “Sandera kurikulum 2013”. Bahkan ada

pernyataan ekstrem dari anggota ICW bahwa tidak

ada gunanya meneruskan kurikulum 2013 sebagai

Page 66: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 1 Januari-Juni 2015 61

pijakan pembelajaran dalam upaya peningkatan

pendidikan Nasional.

Seringnya perubahan kurikulum menjadikan

guru semakin kebingungan, karena kurikulum yang

berlaku belum dilaksanakan secara penuh sudah

lahir kurikulum baru. Guru terombang-ambing

akibat kebijakan yang terlalu cepat bergulir. Sosok

guru selalu menjadi korban muntahan lahar panas

kurikulum baru dan kebijakan lain yang terkesan

tergesa-gesa. Di sisi lain, sudah jamak bahwa guru

kurang siap menanggapi perubahan yang begitu

cepat. Hal ini disebabkan adanya kesadaran diri

yang kurang dalam menyikapi terjadinya perubahan

(change) mendadak, sebagai salah satu ciri dunia

global yang serba super cepat. Di samping itu,

tradisi rendah etos kerja, santai, apatis, tidak

bertanggung jawab sudah menggurita dalam jiwa

si pahlawan tanpa tanda jasa itu.

Secara singkat seorang guru dikategorikan

sebagai guru profesional, jika mereka memiliki

empat kompetensi, yakni kompetensi pedogogis,

kompetensi kepribadian, kompetensi sosial,

dan kompetensi profesional. Istilah kompetensi

mencakup pengertian: (1) Menurut Keputusan

Menteri Pendidikan Nasional No. 045/U/2002,

kompetensi diartikan sebagai seperangkat tindakan

cerdas dan penuh tanggung jawab yang dimiliki

seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu

oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas

sesuai dengan pekerjaan tertentu. (2) Menurut PP

RI No. 19 tahun 2005 pasal 28, pendidik adalah

agen pembelajaran yang harus memiliki empat

jenis kompetensi, yakni kompetensi pedagogik,

kepribadian, profesional, dan sosial. (3) Kompetensi

guru dapat diartikan sebagai kebulatan pengetahuan,

keterampilan dan sikap yang diwujudkan dalam

bentuk perangkat tindakan cerdas dan penuh

tanggung jawab yang dimiliki seorang guru untuk

memangku jabatan guru sebagai profesi.

Terkait dengan komponen keprofesionalan

guru, dapat ditunjukkan ciri-ciri guru profesional

sebagai berikut: (1) memiliki bakat, minat, panggilan

jiwa, dan idealisme, (2) memiliki kualifikasi

pendidikan dan latar belakang pendidikan yang

sesuai dengan bidang tugasnya, (3) memiliki

kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang

tugasnya. (4) mematuhi kode etik profesi, (5)

memiliki hak dan kewajiban dalam melaksanakan

tugas, (6) memperoleh penghasilan yang ditentukan

sesuai dengan prestasi kerjanya, (7) memiliki

kesempatan untuk mengembangkan profesinya

secara berkelanjutan, (8) memperoleh perlindungan

hukum dalam melaksanakan tugas profesionalnya,

(9) memiliki organisasi profesi yang berbadan

hukum (sumber: UU No 14, tahun 2005, tentang

Guru dan Dosen). Bertolak dari kompetensi guru

di atas, tentunya guru bahasa Indonesia juga harus

memiliki kompetensi tersebut.

Dalam sebuah pembelajaran, guru adalah sosok

yang memunyai peran penting dalam mengorkestra

ruang kelas. Oleh karena itu, guru dituntut aktif,

kreatif, dan inovatif. Berkaitan dengan persoalan

kreativitas guru, Asfandiyar menyatakan bahwa

kalau guru tidak kreatif akan ketinggalan zaman.

Ia memberikan ciri-ciri guru kreatif meliputi (1)

fleksibel, (2) optimis, (3) cekatan, (4) humoris,

(5) inspiratif, (6) responsif, (7) empatik, dan (8)

nge-friend (2008:31-36). Selaras dengan pendapat

Asfandiyar adalah pendapat Mulyasa. Ia menyatakan

bahwa peran guru dalam pembelajaran hendaknya

guru harus dapat dan mampu menjadi (1) model, (2)

teladan, (3) motivator, (4) inovator, dan (5) kreator

(2005:37-51).

Peran Guru Bahasa

Mulai tahun 2013, sejalan dengan lahirnya

kurikulum 2013, penanda keprofesionalan sosok

guru tidak hanya keprofesionalan administratif,

tetapi juga keprofesionalan perilaku. Sinyalemen

itu ditandai dengan digulirkannya Kode Etik Guru

Indonesia oleh Ketua PB PGRI, Sulistyo dalam

wawancara nasional di sebuah stasiun televisi.

Kode etik yang akan diberlakukan mulai tahun

2013 ini merupakan rambu-rambu untuk mengatur

para anggotanya (guru) dalam rangka menjaga

keprofesionalannya. Merujuk pada kode etik profesi

lain (kedokteran, advokat) tentunya eksistensi kode

etik guru ini tidak jauh berbeda. Kalau kode etik

kedokteran menyiratkan pentinganya cita-cita luhur

memanusiakan manusia dalam kerja profesinya,

dan kode etik advokat menyiratkan pentingnya

menegakkan hukum, demi kebenaran, dan keadilan,

Page 67: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

Kasnadi, Peran Guru Bahasa Indonesia Sebagai Pembangun Kepribadian Siswa62

maka kode etik guru tentunya merujuk pada

keteladan konkret yang benar-benar dapat “digugu

dan ditiru”. Dengan berlakunya Kode Etik Guru

Indonesia (2013) diharapkan para guru tidak saja

profesional secara adminstratif tetapi juga harus

profesional secara etik. Sosok yang terdepan dalam

pergulatan di dunia edukasi ini perilakunya benar-

benar dapat menjadi contoh masyarakat umum,

uatamanya para peserta didik. Perilaku guru dalam

kehidupan sehari-hari dapat dijadikan panutan

masyarakat. Mereka dalam menjalankan profesinya

sebagai pendidik tidak cukup hanya mentransfer

ilmu pengetahuan dan sekedar memberi contoh,

tetapi harus menjadi teladan yang nyata.

Tu juan pend id ikan nas iona l ada l ah

berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi

manusia yang beriman dan bertakwa kepada tuhan

yang maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,

cakap, kreatif, mandiri,dan menjadi warga negara

yang demokratis dan bertanggung jawab (Pasal 3

UU RI 20 tahun 2003 ttg Sisdiknas). Sejalan dengan

tujuan pendidikan nasional di atas, secara garis besar,

amanat kurikulum 2013, menghendaki peserta didik

harus dapat mengembangkan kognitifnya secara

optimal, memiliki keterampilan yang memadai, dan

sikap yang baik. Tiga aspek kognitif, psikomotor,

dan afektif, merupakan aspek yang mewujud dalam

diri anak didik. Sesuai dengan amanat kurikulum

tersebut, guru bahasa di masa mendatang harus

mampu mewujudkan tiga aspek tersebut. Oleh

karenanya, guru bahasa harus mampu membentuk

kepribadian anak didik menjadi seorang pembelajar,

terampil berkomunikasi, dan berakhlak mulia.

Untuk menanggulangi kemajuan zaman,

guru bahasa harus mampu menyiapkan anak didik

menjadi pembelajar yang unggul. Guru bahasa

harus mampu memotivasi anak didik menjadi

insan yang senantiasa haus akan ilmu pengetahuan,

sehingga mereka selalu membaca dan membaca.

Guru bahasa harus sanggup merangsang anak

didik selalu ingin menemukan sesuatu, agar mereka

menjadi sosok yang gemar melakukan berbagai

macam percobaan dan penelitian. Menurut

Wilin han, praktisi pendidikan dan aktivis Koalisi

Reformasi Pendidikan (KRP), masalah penting

pendidikan nasional adalah kebijakan pemerintah

yang tidak didasarkan atas riset dan mengabaikan

nilai-nilai luhur kemanusiaan, seperti gairah belajar

(Kompas, 21/08/13). Oleh karena itu, sosok guru

bahasa mau tidak mau wajib menjadikan anak

didiknya menjdi seorang kutu buku, periset yang

hebat, dan pembelajar yang selalu haus akan

keingintahuan. Kata Harefa, tugas, tanggung jawab,

dan panggilan pertama seorang manusia adalah

menjadi pembelajar (2005:20).

Kunci keberhasilan dalam era konseptual ini

adalah komunikasi. Salah satu media yang efektif

dalam komunikasi tidak lain dan tidak bukan

adalah bahasa. Sebagai bangsa Indonesia sudah

selayaknya jika dalam komunikasi mengagungkan

dan membanggakan bahasa Indonesia. Guru

Bahasa Indonesia wajib mengedepankan pemakaian

bahasa Inddonesia yang baik dan benar dalam

kehidupan komunikasinya. Terampil berbahasa

Indonesia, yakni menyimak, membaca, berbicara,

dan menulis, menjadi modal penting dalam era

global ini. Oleh karenanya, guru bahasa Indonesia

wajib memacu anak didik menjadi figur-figur yang

terampil berbahasa. Lihatlah, orang-orang sukses

dalam melakukan komunikasi, baik komunikasi

lisan maupun komunikasi tulis. Bapak proklamator

kita, Ir. Soekarno adalah contoh komunikator lisan

yang unggul. Djenar Maesa Ayu, selebritis yang

berhasil berkomunikasi lewat cerpen-cerpennya,

Andrea Hirata melalui komunikasi tulis mampu

menghasilkan novel-novel yang digemari pembaca.

Dengan penguasaan bahasa yang mumpuni, para

peserta didik diharapkan mampu hidup dengan

layak di masyarakat. Mereka akan bersosialisasi

dengan baik di masyarakat. Mereka betul-betul

menjadi manusia yang berbudaya dan berjiwa

humanis. Guru bahasa harus menjadi gurunya

manusia (Chatib, 2011).

Setelah menjadi pembelajar yang senantiasa

ingin menggenggam dunia dan eksis di masyarakat

melalui terampil berkomunikasi, hendaknya guru

bahasa juga peduli untuk melengkapi kepribadian

anak didik dengan sikap yang baik sebagai makhluk

Tuhan Yang Mahafitri. Untuk mencapai derajat ini,

guru bahasa tidak sekedar memberi teladan akan

tetapi wajib menjadi teladan.

Page 68: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 1 Januari-Juni 2015 63

SIMPULAN

Eksistensi bahasa Indonesia di era global ini

semakin terpuruk dan kurang menggembirakan.

Sebagai bahasa persatuan, bahasa Indonesia semakin

ditinggalkan pemakainya, sehingga semakin tidak

terhormat. Generasi muda semakin tidak mencintai

dan membanggakan bahasa Indonesia. Mereka

sudah terjangkiti penyakit modernisasi, sehingga

terjadi keterpecahan jiwa. Kenyataan semacam

itu, tentu membutuhkan kepedulian seorang guru

(termasuk guru bahasa) untuk mengembalikan

menjadi pribadi yang utuh.

DAFTAR PUSTAKA

Asfandiyar, Andi Yuda. 2009. Kenapa Guru Harus

Kreatif ?. Bandung: Penerbit Mizan Pustaka.

Chatib, Munif. 2011. Gurunya Manusia: Menjadikan

Semua Anak Istimewa dan Semua Anak Juara.

Bandung: Kaifa.

Halim, Amran. 1980. Politik Bahasa Nasional. Jakarta:

Balai Pustaka.

Harefa, Andrias. 2005. Menjadi Manusia Pembelajar.

Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Kasali, Rhenald. 2005. Change!. Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama.

Kompas. “Percepatan Penyebaran Guru Bermutu”.

Kompas, 21 Agustus, 2013.

Lubis, Mochtar. 1981. Manusia Indonesia: Sebuah

Pertanggungjawaban. Jakarta: Yayasan Indayu.

Mulyasa. 2005. Menjadi Guru Profesional: Menciptakan

Pemebelajaran Kreatif dan Menyenagkan .

Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Undang-undang No 20, Tahun 2003, tentang

Sistem Pendidikan Nasional.

Undang-undang No 14, Tahun 2005, tentang Guru

dan Dosen.

Page 69: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember
Page 70: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

PENGARUH STRATEGI PAIKEM GEMBROT DAN MINAT BACA

TERHADAP KEMAMPUAN MENULIS PETUNJUK

Primasari Wahyuni

Universitas PGRI [email protected]

Abstract: This research has aim to prove: (1) whether skill writing the direction of the student taught through Paikem Gembrot strategy is better than the conventional strategy; (2) wether writing the direction of the student who have high reading interest is better than the children whose reading interest is low; (3) wether there is an interaction between learning strategy with the reading interest in influencing writing the direction skill. Subject of this research is 80 students of private Junior High School in Temon, Kulon Progo. The sampling technique used is Multistage Random Sampling. The data collected through practical test, questionnaire and then analyzed by Two-Way Variance Analysis. The result of the research: (1) the average score of writing the direction of the student with Paikem Gembrot strategy was different with the conventional strategy, each 8,43 and 6,29. The result of the inferential statistic analysis F

h has amount

182,70> Ft has amount 3,967 with the significance level of 5% stating that writing the direction of the

student taught by Paikem Gembrot strategi is better than the conventional strategy, (2) The group of high (5,40) and low (9,63) interest students is different because it was influenced by the learning strategy. There is no interaction between learning strategy with the reading interest.

Keywords: Paikem Gembrot Strategy, Reading Interest, Writing the Direction

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa (1) kemampuan siswa menulis petunjuk dengan strategi Paikem Gembrot lebih baik dibandingkan dengan strategi konvensional; (2) kemampuan siswa menulis petunjuk kelompok minat baca tinggi lebih baik dibandingkan dengan minat baca rendah; (3) terdapat interaksi antara strategi pembelajaran dengan minat baca dalam mempengaruhi kemampuan siswa menulis petunjuk. Subjek penelitian siswa SMP Negeri 1 Temon, Kulonprogo sebanyak 80 siswa (kelas VIIIA dan VIIIB). Pengambilan sampel menggunakan teknik Multistage Random Sampling. Pengumpulan data menggunakan tes praktik, angket dan dianalisa dengan Analisis Variansi Dua Jalur. Hasil penelitian menunjukkan (1) rata-rata kemampuan siswa menulis petunjuk dengan strategi Paikem Gembrot berbeda dengan strategi konvensional, dengan nilai 8,43 dan 6,29. Perolehan hasil analisis statistik inferensial F

h sebesar 182,70> F

t sebesar 3,967 dengan taraf signifikansi 5% menunjukkan kemampuan

siswa menulis petunjuk dengan strategi Paikem Gembrot lebih baik dibanding strategi konvensional. (2) kelompok siswa minat baca tinggi (5,40 dan 9,63) dan minat baca rendah (5,30 dan 9,60) berbeda, dipengaruhi oleh strategi pembelajaran. (3) tidak terdapat interaksi antara strategi pembelajaran dan minat baca dalam mempengaruhi kemampuan menulis petunjuk.

Kata Kunci: Kemampuan Menulis Petunjuk, Minat Baca, Paikem Gembrot

Page 71: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

Primasari Wahyuni, Pengaruh Strategi Paikem Gembrot dan Minat Baca Terhadap Kemampuan Menulis Petunjuk 66

PENDAHULUAN

Sebagai sarana komunikasi, bahasa mempunyai

fungsi utama yaitu menyampaikan pesan atau makna

oleh seseorang kepada orang lain. Komunikasi

bahasa dapat dilakukan secara lisan (verbal) maupun

tertulis (nonverbal). Menulis merupakan salah satu

aspek keterampilan berbahasa nonverbal. Selama

ini, keterampilan menulis masih dianggap sebagai

keterampilan berbahasa yang paling sulit. Nilai

untuk keterampilan menulis masih menempati

nilai terendah dibandingkan dengan keterampilan

berbahasa lainnya. Tarigan (1986:21) menjelaskan

bahwa rendahnya kemampuan menulis disebabkan

karena kualitas hasil belajar Bahasa Indonesia belum

memuaskan. Perihal penggunaan kalimat siswa

yang belum efektif diperkuat oleh hasil penelitian

Sadtono, dkk sebagaimana dikutip oleh Supadmi

(2009) yang menjelaskan kesalahan terbesar (40%)

tentang penguasaan tata kalimat sedangkan menurut

Syafei (1998) kesalahan terbesar 35, 22% tentang

kalimat secara fragmentaris dan pemakaian kalimat

yang kacau susunannya.

Menulis dan memahami petunjuk merupakan

aktivitas yang sangat dekat dengan kehidupan

sehari-hari. Menulis petunjuk merupakan salah

satu kompetensi dasar (KD) di kelas VIII dalam

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

Menulis petunjuk bagi sebagian siswa masih dianggap

sukar. Fakta yang ditemukan peneliti di lapangan

adalah sebagian siswa belum mampu menyusun

petunjuk melakukan sesuatu secara runtut, ejaan

yang digunakan belum sempurna, kalimat belum

efektif dan tidak logis. Ada beberapa faktor

yang diduga menjadi penyebab rendahnya hasil

pembelajaran siswa dalam menulis petunjuk, antara

lain: (1) Kurang variatifnya strategi pembelajaran

guru di dalam kelas; (2) Siswa kesulitan dalam

menuangkan ide dan terbatasnya kosakata yang

dimiliki siswa; (3) serta kurangnya motivasi siswa

dalam pembelajaran menulis petunjuk.

Depdiknas (2003) secara ringkas memberikan

beberapa pedoman untuk menilai hasil petunjuk

tertulis siswa, yaitu (1) petunjuk harus jelas sehingga

dapat diikuti dengan baik; (2) langkah-langkah

petunjuk harus urut; (3) ejaannya harus benar;

(4) kata-kata yang digunakan harus hemat dan

menggunakan kalimat; (5) bahasa yang digunakan

harus sesuai dengan sasaran petunjuk; (6) tampilan

petunjuk harus menarik; dan (7) model tulisan yang

dipilih harus jelas.

Untuk meningkatkan kompetensi siswa SMP

kelas VIII dalam pembelajaran menulis petunjuk,

dapat menggunakan strategi pembelajaran Paikem

Gembrot. Kepanjangan Paikem Gembrot adalah

Pembelajaran Aktif Inovatif Kreatif Menyenangkan

Gembira dan Berbobot (Wiliasari, 2010). Strategi

Paikem Gembrot diharapkan sebagai terapi strategis

yang dapat menunjang ketercapaian kompetensi

dasar pembelajaran menulis petunjuk siswa SMP

kelas VIII. Melalui strategi pembelajaran Paikem

Gembrot, pembelajaran akan meningkatkan

kreativitas siswa sehingga siswa merasa nyaman

dan tidak merasa bosan.

Selain strategi pembelajaran yang menarik,

minat siswa dalam membaca juga merupakan faktor

yang berpengaruh dalam keberhasilan menulis

petunjuk. Siswa dapat menambah informasi dan

wawasan dengan membaca berbagai referensi.

Secara tidak langsung, jumlah kosakata siswa juga

semakin bertambah. Kegiatan membaca juga sangat

mempengaruhi siswa dalam mengembangkan

ide atau gagasan. Dengan demikian, aktivitas

membaca dapat membantu siswa dalam mencari

dan menuangkan ide dalam sebuah tulisan. Sejalan

dengan uraian di atas, dapat dirumuskan bahwa

penelitian ini membahas tentang kemampuan

menulis petunjuk(Y) sebagai variabel terikat,

sedangkan strategi Paikem Gembrot (X1) dan minat

baca (X2) sebagai variabel bebas.

Berdasarkan latar belakang tersebut, tujuan

penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan

menjelaskan ada tidaknya pengaruh strategi Paikem

Gembrot dan minat baca terhadap kemampuan

siswa menulis teks petunjuk. Tujuan khususnya

adalah untuk membuktikan (a) ada tidaknya

kemampuan menulis teks petunjuk siswa yang

diajar dengan strategi Paikem Gembrot dengan

kemampuan menulis teks petunjuk siswa yang

diajar dengan strategi konvensional; (b) ada tidaknya

kemampuan menulis teks petunjuk siswa yang

memiliki minat baca tinggi dengan kemampuan

menulis teks petunjuk siswa yang memiliki minat

Page 72: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 1 Januari-Juni 2015 67

baca rendah; dan (c) ada tidaknya pengaruh antara

strategi pembelajaran dengan minat baca dalam

memengaruhi kemampuan siswa dalam menulis

petunjuk.

METODE

Jenis penelitian yang digunakan dalam

penelitian ini adalah penelitian korelasi. Tujuan

penelitian korelasional tersebut untuk mendeteksi

sejauh mana variasi-variasi pada satu faktor

berkaitan dengan variasi-variasi pada koefisien

korelasi. Penelitian ini menguji hubungan antara

variabel bebas dengan variabel terikat secara

sendiri-sendiri ataupun bersama-sama. Penelitian

dilakukan pada siswa kelas VIII SMP N 1 Temon,

Kulon Progo. Penelitian dilakukan di dua kelas, yaitu

kelas VIIIA dan VIIIB. Teknik pengumpulan data

kemampuan menulis petunjuk dalam penelitian ini

menggunakan tes tindakan, yaitu guru memberikan

tugas kepada responden untuk menulis sebuah

teks petunjuk dengan tema tertentu, baik kepada

kelompok sampel eksperimen maupun kelompok

sampel pembanding. Penentuan kelompok sampel

minat baca tinggi maupun kelompok sampel minat

baca rendah diberikan angket dengan skala Likert.

Untuk kelompok sampel eksperimen dan kelompok

sampel pembanding masing-masing berjumlah 40

responden.

Instrumen penelitian yang digunakan dalam

penelitian ini adalah tes kemampuan menulis

petunjuk dan angket minat baca. Tes kemampuan

menulis petunjuk dalam bentuk t indakan

(performance), yaitu guru memberikan tugas siswa

untuk menulis petunjuk dengan tema tertentu.

Indikator penilaiannya adalah (a) Kelengkapan,

ketepatan, dan kejelasan penyampaian; (b)

Keefektifan bahasa yang meliputi penggunaan

kalimat perintah dan kalimat efektif; (c) Pemilihan

diksi yang mencakup penggunaan kata hubung,

kata kerja imperatif, dan kata penunjuk waktu;

(d) penggunaan ejaan. Instrumen kemampuan

menulis petunjuk menggunakan validitas isi.

Donald Ary sebagaimana dikutip oleh Furchan

(2006:397) validitas dikaitkan dengan sejauh mana

alat mampu mengukur apa yang dianggap orang

diukur alat tersebut. Rumus yang digunakan dalam

uji validitas butir soal angket minat baca adalah

rumus korelasi Person’s Product Moment. Instrumen

kemampuan menulis petunjuk dilakukan uji

reliabilitas rating Reliabilitas angket minat baca

digunakan teknik statistik Alpha Cronbach. Penelitian

ini menggunakan analisis data deskriptif yang

mencakup perhitungan rerata (mean), modus,

median, simpangan baku, varians; dan pembuatan

daftar distribusi frekuensi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini mencakup data sebagai berikut:

(1) skor kemampuan siswa menulis petunjuk yang

diajar dengan strategi Paikem Gembrot; (2) skor

kemampuan siswa menulis petunjuk yang diajar

dengan strategi konvensional; (3) skor kemampuan

siswa menulis petunjuk yang memiliki minat

baca tinggi; (4) skor kemampuan siswa menulis

petunjuk yang memiliki minat baca rendah; (5)

skor kemampuan menulis petunjuk yang diajar

dengan strategi Paikem Gembrot untuk kelompok

siswa yang memiliki minat baca tinggi; (6) skor

kemampuan menulis petunjuk siswa yang diajar

dengan strategi Paikem Gembrot untuk kelompok

siswa yang memiliki minat baca rendah; (7) skor

kemampuan menulis petunjuk siswa yang diajar

dengan strategi konvensional untuk kelompok

siswa yang memiliki minat baca tinggi; dan (8) skor

kemampuan menulis petunjuk siswa yang diajar

dengan strategi konvensional untuk kelompok siswa

yang memiliki minat baca rendah.

Kemampuan menulis petunjuk siswa yang

diajar dengan strategi Paikem Gembrot tanpa

membedakan minat baca yang dimiliki siswa, secara

keseluruhan memiliki rentangan (range) 2,73; skor

terendah 6,90; skor tertinggi 9,63. Kemampuan

menulis petunjuk dalam kelompok ini mempunyai

skor rata-rata (mean) sebesar 8,43; modus sebesar

8,43; median sebesar 8,43; varians sebesar 0,465;

simpangan baku (standar deviasi) sebesar 0,682.

Kemampuan menulis petunjuk siswa yang diajar

dengan strategi konvensional tanpa membedakan

minat baca yang dimiliki siswa, secara keseluruhan

memiliki rentangan (range) (2,63; skor terendah

5,30; skor tertinggi 7,93. Kemampuan menulis

petunjuk dalam kelompok ini mempunyai skor

Page 73: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

Primasari Wahyuni, Pengaruh Strategi Paikem Gembrot dan Minat Baca Terhadap Kemampuan Menulis Petunjuk 68

rata-rata (mean) sebesar 6,29; modus sebesar

6,00; median sebesar 6,23; varians sebesar 0,566;

simpangan baku (standar deviasi) sebesar 0,752.

Kemampuan menulis petunjuk siswa yang diajar

dengan strategi konvensional tanpa membedakan

minat baca yang dimiliki siswa, secara keseluruhan

memiliki rentangan (range) (2,63; skor terendah 5,30;

skor tertinggi 7,93. Kemampuan menulis petunjuk

dalam kelompok ini mempunyai skor rata-rata

(mean) sebesar 6,29; modus sebesar 6,00; median

sebesar 6,23; varians sebesar 0,566; simpangan

baku (standar deviasi) sebesar 0,752. Kemampuan

menulis petunjuk siswa yang memiliki minat baca

rendah tanpa membedakan strategi pembelajaran

yang digunakan, secara keseluruhan memiliki

rentangan (range) 4,30; skor terendah 5,30; skor

tertinggi 9,60. Kemampuan menulis petunjuk

dalam kelompok ini mempunyai skor rata-rata

(mean) sebesar 7,20; modus sebesar 6,00; media

sebesar 7,10; varians sebesar 1,760; simpangan baku

(standar deviasi) sebesar 1,3. Kemampuan menulis

petunjuk siswa yang diajar dengan strategi Paikem

Gembrot pada kelompok minat baca rendah ini

secara keseluruhan memiliki rentangan (range)

2,70 dengan skor terendah 6,90 dan skor tertinggi

9,60. Kemampuan menulis petunjuk siswa pada

kelompok ini mempunyai skor rata-rata (mean)

sebesar 8,307; tidak memiliki modus; median

sebesar 8,48; varians sebesar 0,580; dan simpangan

baku (standar deviasi) sebesar 0,761. Kemampuan

menulis petunjuk siswa yang diajar dengan strategi

konvensional pada kelompok minat baca tinggi

ini secara keseluruhan memiliki rentangan (range)

2,53 dengan skor terendah 5,40 dan skor tertinggi

7,93. Kemampuan menulis petunjuk siswa pada

kelompok ini mempunyai skor rata-rata (mean)

sebesar 6,493; modus sebesar 6,33; median sebesar

6,37; varians sebesar 0,627; dan simpangan baku

(standar deviasi) sebesar 0,792. Kemampuan

menulis petunjuk siswa yang diajar dengan strategi

konvensional pada kelompok minat baca rendah

ini secara keseluruhan memiliki rentangan (range)

2,33 dengan skor terendah 5,30 dan skor tertinggi

7,63. Kemampuan menulis petunjuk siswa pada

kelompok ini mempunyai skor rata-rata (mean)

sebesar 6,092; modus sebesar 6,00; median sebesar

6,00; varians sebesar 0,451; dan simpangan baku

(standar deviasi) sebesar 0,671.

Uji normalitas data pada penelitian ini

dilakukan terhadap delapan kelompok data, yaitu

(1) skor kemampuan menulis petunjuk siswa yang

diajar dengan strategi Paikem Gembrot (A1); (2)

skor kemampuan menulis petunjuk siswa yang

diajar dengan strategi konvensional (A2); (3) skor

kemampuan menulis petunjuk siswa dengan minat

baca tinggi (B1); (4) skor kemampuan menulis

petunjuk siswa dengan minat baca rendah (B2);

(5) skor kemampuan menulis petunjuk siswa

yang diajar dengan strategi Paikem Gembrot bagi

kelompok siswa yang berminat baca tinggi (A1B

1);

(6) skor kemampuan menulis petunjuk siswa

yang diajar dengan strategi Paikem Gembrot bagi

kelompok siswa yang berminat baca rendah (A1B

2);

(7) skor kemampuan menulis petunjuk siswa yang

diajar dengan strategi kovensional bagi kelompok

siswa yang berminat baca tinggi (A2B

1); (8) skor

kemampuan menulis petunjuk siswa yang diajar

dengan strategi konvensional bagi kelompok siswa

yang berminat baca rendah (A2B

2).

Uji normalitas terhadap data kemampuan

menulis petunjuk pada kelompok ini (A1)

menghasilkan L0 maksimal sebesar 0,016. Dari

daftar nilai kritis L untuk uji Lilliefors dengan n =

40 dan taraf nyata α = 0,05 diperoleh Lt = 0,140.

Dari perbandingan tersebut tampak bahwa L0

lebih kecil daripada Lt, sehingga dapat disimpulkan

bahwa data kemampuan menulis petunjuk pada

kelompok ini (A1) berasal dari populasi yang

berdistribusi normal.

Uji normalitas terhadap data kemampuan

menulis petunjuk pada kelompok ini (A2)

menghasilkan L0 maksimal sebesar 0,09456. Dari

daftar nilai kritis L untuk uji lilliefors dengan n = 40

dan taraf nyata α = 0,05 diperoleh Lt = 0,140. Dari

perbandingan tersebut tampak bahwa L0 lebih kecil

daripada Lt, sehingga dapat disimpulkan bahwa

data kemampuan menulis petunjuk pada kelompok

ini (A2) berasal dari populasi yang berdistribusi

normal.

Uji normalitas terhadap data kemampuan

menulis petunjuk pada kelompok ini (B1)

menghasilkan L0 maksimal sebesar 0,045. Dari

Page 74: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 1 Januari-Juni 2015 69

daftar nilai kritis L untuk uji Lilliefors dengan n = 40

dan taraf nyata α = 0,05 diperoleh Lt = 0,140. Dari

perbandingan tersebut tampak bahwa kemampuan

menulis petunjuk pada kelompok ini (B1) berasal

dari populasi yang berdistribusi normal.

Uji normalitas terhadap data kemampuan

menulis petunjuk pada kelompok ini (B2)

menghasilkan L0 maksimal sebesar 0,076. Dari

daftar nilai kritis L untuk uji lilliefors dengan n = 40

dan taraf nyata α = 0,05 diperoleh Lt = 0,140. Dari

perbandingan tersebut tampak bahwa L0 lebih kecil

daripada Lt, sehingga dapat disimpulkan bahwa

data kemampuan menulis petunjuk pada kelompok

ini (B2) berasal dari populasi yang berdistribusi

normal.

Uji normalitas terhadap data kemampuan

menulis petunjuk pada kelompok ini (A1B

1)

menghasilkan L0 maksimal sebesar 0,039.dari daftar

nilai kritis L untuk uji Liliefors dengan n = 20 dan

taraf nyata α = 0,05 diperoleh Lt = 0,190. Dari

perbandingan tersebut tampak bahwa L0 lebih kecil

daripada Lt, sehingga dapat disimpulkan bahwa

data kemampuan menulis petunjuk pada kelompok

ini (A1B

1) berasal dari populasi yang berdistribusi

normal.

Uji normalitas terhadap data kemampuan

menulis petunjuk pada kelompok ini (A1B

2)

menghasilkan L0 maksimal sebesar 0,032. Dari

daftar nilai kritis L untuk uji Lilliefors dengan n =

20 dan taraf nyata α = 0,05 diperoleh Lt = 0,190.

Dari perbandingan tersebut tampak bahwa L0

lebih kecil daripada Lt, sehingga dapat disimpulkan

bahwa data kemampuan menulis petunjuk pada

kelompok ini (A1B

2) berasal dari populasi yang

berdistribusi normal.

Uji normalitas terhadap data kemampuan

menulis petunjuk pada kelompok ini (A2B

1)

menghasilkan L0 maksimal sebesar 0,130. Dari

daftar nilai kritis L untuk uji Lilliefors dengan n =

20 dan taraf nyata α = 0,05 diperoleh Lt = 0,190.

Dari perbandingan tersebut tampak bahwa L0 lebih

kecil daripada Lt sehingga dapat disimpulkan bahwa

data kemampuan menulis petunjuk pada kelompok

ini (A2B

1) berasal dari populasi yang berdistribusi

normal.

Uji normalitas terhadap data kemampuan

menulis petunjuk pada kelompok ini (A2B

2)

menghasilkan L0 maksimal sebesar 0,119. Dari

daftar nilai kritis L untuk uji Lilliefors dengan n =

20 dan taraf nyata α = 0,05 diperoleh Lt = 0,190.

Dari perbandingan tersebut tampak bahwa L0

lebih kecil daripada Lt, sehingga dapat disimpulkan

bahwa data kemampuan menulis petunjuk pada

kelompok ini (A2B

2) berasal dari populasi yang

berdistribusi normal.

Uji homogenitas varians ini dilakukan untuk

menguji kesamaan variansi nilai kemampuan menulis

petunjuk berdasarkan kelompok-kelompok nilai

yang ada pada tiap sel (A1B

1, A

1B

2, A

2B

1, dan A

2B

2).

Teknik statistik yang digunakan untuk keperluan

ini adalah uji Bartlet. Pengujian ini dimaksudkan

untuk menguji hipotesis nol (H0) yang menyatakan

bahwa varians skor kemampuan menulis petunjuk

dilihat dari kelompok-kelompok tersebut, yaitu

homogen pada taraf α = 0,05; melawan hipotesis

tandingannya (Ht) yang menyatakan bahwa varians

skor kemampuan menulis petunjuk dilihat dari

kelompok-kelompok nilai tersebut tidak homogen

pada taraf nyata yang sama.

Kriteria pengujian yang digunakan adalah

H0 ditolak bila ternyata harga χ2 hitung lebih besar

atau sama dengan χ2 tabel pada taraf nyata α = 0,05.

Sebaliknya, jika harga χ2 hitung lebih kecil dari χ2 tabel

pada taraf nyata α = 0,05, maka H0 yang menyatakan

bahwa varians skor homogen diterima.

Pengujian homogenitas varians nilai kemampuan

menulis petunjuk berdasarkan kelompok di sel

A1B

1, kelompok di sel A

1B

2, kelompok di sel A

2B

1,

kelompok di sel A2B

2 menghasilkan χ2 hitung = 2,003.

Dari tabel chi-kuadrat dengan dk (derajat bebas)

3 dan taraf nyata α 0, 05 diperoleh χ2 tabel = 7,815

yang lebih besar dari χ2 hitung. Dengan demikian,

berdasarkan kriteria pengujian, hipotesis nol (H0)

yang menyatakan bahwa nilai kemampuan menulis

petunjuk dilihat dari kelompok skor di sel A1B

1,

A1B

2, A

2B

1, dan A

2B

2 diterima. Kesimpulannya

adalah bahwa varians nilai kemampuan menulis

petunjuk berdasarkan kelompok-kelompok antarsel

bersifat homogen.

Dengan demikian, berdasarkan hasil pengujian

kedua persyaratan analisis di atas disimpulkan

Page 75: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

Primasari Wahyuni, Pengaruh Strategi Paikem Gembrot dan Minat Baca Terhadap Kemampuan Menulis Petunjuk 70

bahwa persyaratan analisis yang diperlukan untuk

analisis varians dua jalan terpenuhi, sehingga layak

untuk dilakukan analisis lebih lanjut dalam melihat

perbedaan pengaruh strategi pembelajaran dan

minat baca terhadap kemampuan menulis petunjuk

pada kelompok perlakuan.

Pengujian hipotesis penelitian diuji dengan

teknik statistik analisis varians dua jalan. Teknik

analisis statistik tersebut digunakan untuk

melihat perbedaan pengaruh perlakuan secara

keseluruhan.

Sumber Variasi db JK RJK= JK/db Fh= RJK/RJKD

Ft

0,05

Ft

0,01

Antar Kolom (k)

Antar Baris (b)

Interaksi (k x b)

1

1

1

91,53

2,12

1,36

91,53

2,12

1,36

182,70

4,23

2,71

3,967

3,967

3,967

6,981

6,981

6,981

Dalam 76 38,08 0,501 - -

Total 79 133,09 - - -

Kriteria Pengujian Hipotesis

1. Hipotesis pertama (H0: μ

A1 = μ

A2) ditolak

jika Fh

� Ft pada taraf nyata 0,05, dengan

dk pembilang 1 dan penyebut 76, maka

kemampuan menulis petunjuk siswa yang

diajar dengan strategi Paikem Gembrot

berbeda secara signifikan dengan yang diajar

dengan strategi Konvensional.

2. Hipotesis kedua (H0: μ

B1 = μ

B2) ditolak jika F

h �

Ft pada taraf nyata 0,05, dengan dk pembilang

1 dan penyebut 76, maka kemampuan menulis

petunjuk siswa yang memiliki minat baca

tinggi berbeda secara signifikan dengan yang

memiliki minat baca rendah..

3. Hipotesis ketiga (H0: A x B = 0) ditolak jika F

h �

Ft pada taraf nyata 0,05, dengan dk pembilang 1

dan penyebut 76, maka terdapat interaksi yang

signifikan antara strategi pembelajaran dan

minat baca dalam memengaruhi kemampuan

menulis petunjuk.

Berdasarkan kriteria tersebut dapat disimpulkan

hasil penelitian ini sebagai berikut.

1. Kemampuan menulis petunjuk siswa yang

diajar dengan strategi Paikem Gembrot

berbeda secara signifikan dengan siswa yang

diajar dengan strategi Konvensional. Hal ini

terlihat pada perolehan hasil Fh sebesar 182,70

� Ft sebesar 3,967.

2. Kemampuan menulis petunjuk siswa yang

memiliki minat baca tinggi berbeda secara

signifikan dengan yang memiliki minat baca

rendah. Hal ini terlihat pada perolehan hasil

Fh sebesar 4,23 � F

t sebesar 3,967.

3. Tidak terdapat interaksi yang signifikan antara

strategi pembelajaran dan minat baca dalam

mempengaruhi kemampuan menulis petunjuk.

Hal ini terlihat pada perolehan hasil Fh sebesar

2,71 � Ft sebesar 3,967.

Kemampuan menulis petunjuk siswa yang

diajar dengan strategi Paikem Gembrot, secara

signifikan lebih baik daripada siswa yang diajar

dengan strategi konvensioal. Berdasarkan skor rata-

rata yang diperoleh siswa tersebut, berarti bahwa

strategi Paikem Gembrot dapat menghasilkan

skor kemampuan menulis petunjuk siswa lebih

tinggi dibandingkan dengan skor rata-rata menulis

petunjuk siswa dengan strategi konvensional.

Skor tertinggi dan terendah dalam pembelajaran

menulis petunjuk dengan menggunakan strategi

Paikem Gembrot berbeda dengan skor siswa

yang diajar dengan strategi konvensional, masing-

masing 6,90; 9,63 untuk strategi Paikem Gembrot

dan 5,30; 7,93 untuk strategi konvensional.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ada

kecenderungan penggunaan strategi Paikem

Gembrot dalam pembelajaran menulis petunjuk

Page 76: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 1 Januari-Juni 2015 71

lebih baik daripada dengan menggunakan strategi

konvensional.

Besarnya simpangan baku (standar deviasi)

yang dihasilkan oleh strategi Paikem Gembrot dan

strategi konvensional berbeda, masing-masing 0,682

untuk strategi Paikem Gembrot dan 0,752 untuk

strategi konvensional, ada perbedaan yang sangat

kecil, secara signifikan tidak bermakna. Ini berarti

bahwa baik penggunaan strategi Paikem Gembrot

maupun strategi konvensional mempunyai nilai

cenderung ajeg atau stabil dalam pembelajaran

menulis petunjuk.

Adapun skor terendah dan tertinggi untuk

setiap kelompok minat baca pun berbeda. Untuk

kelompok siswa yang memiliki minat baca tinggi

skor terendah 5,40; 9,63 skor tertinggi, sedangkan

kelompok siswa yang memiliki minat baca rendah

skor terendah 5,30 dan 9,60 skor tertinggi. Dengan

demikian dapat dikatakan bahwa kelompok siswa

yang memiliki minat baca tinggi dan kelompok siswa

yang memiliki minat baca rendah skor kemampuan

menulis petunjuk berbeda yang dipengaruhi oleh

strategi pembelajaran yang dilaksanakan guru.

Analisis data tentang keberadaan interaksi

antara strategi pembelajaran dengan minat baca

disimpulkan tidak terdapat interaksi antara strategi

pembelajaran dengan minat baca, perolehan hasil

Fh sebesar 2,71 � F

t sebesar 3,967.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat

dilakukan analisis lebih lanjut untuk mengetahui

posisi relatif antarstrategi pembelajaran dan

antarminat baca (karena tidak terdapat interaksi

antara kedua faktor). Perlakuan yang memberikan

nilai terbaik (kemampuan menulis petunjuk terbaik)

adalah yang terbaik di antara dua kelompok yang

dibedakan berdasarkan strategi pembelajaran dan

yang terbaik di antara dua kelompok yang dibedakan

berdasarkan minat baca.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan,

dapat ditarik simpulan sebagai berikut: (1)

kemampuan menulis petunjuk sesuatu siswa yang

diajar dengan strategi Paikem Gembrot lebih baik

hasilnya daripada kemampuan menulis petunjuk

siswa yang diajar dengan strategi konvensional; (2)

kemampuan menulis petunjuk siswa yang memiliki

minat baca tinggi lebih baik hasilnya daripada

kemampuan menulis petunjuk siswa yang memiliki

minat baca rendah; (3) Tidak ada interaksi antara

strategi pembelajaran dengan minat baca siswa

dalam mempengaruhi kemampuan siswa menulis

petunjuk.

DAFTAR PUSTAKA

Crow, L. D. and A. Crow. 1993. Human Development

and Learning. New York: American Book

Co.

Djaali, H., Pudji Mulyono, dan Ramli. 2000.

Pengukuran dalam Bidang Pendidikan. Jakarta:

PB Universitas Jakarta.

Djadjuri. 1988. Strategi Belajar-Mengajar dan Desain

Instruksional. Bandung: FKIP.

Furchon, Arief. 2007. Pengantar Penelitian dalam

Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Keraf, Gorys. 1992. Eksposisi dan Deskripsi. Jakarta:

Nusa Indah.

Suparno, Muhammad Yunus. 2002. Keterampilan

Dasar Menulis. Jakarta: UT.

Tarigan, Henry Guntur. 1986. Menulis Sebagai Suatu

Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.

Winataputra, Udin. 2001. Strategi Belajar-Mengajar.

Jakarta: UT.

Wiliasari, Helina Fenti Ari. 2010. “Penerapan

Model Paikem Gembrot dalam Pembelajaran

Mengapresiasi Karya Seni Rupa Terapan

Nusantara untuk Meningkatkan Proses

dan Hasil Belajar Kelas X 2 SMA Negeri

1 Durenan Trenggalek Semester Genap

2010/2011”. Dalam jurnal-online. ac.id.

Diunduh tanggal 5 Desember 2014.

Page 77: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember
Page 78: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

JEJAK NASIONALISME

DALAM NOVEL RAHUVANA TATTWA KARYA AGUS SUNYOTO

Sutejo

STKIP PGRI [email protected]

M. Amin Abdulrois

STKIP PGRI [email protected]

Abstract: Colonialism can reduce public civility, reduce the moral ethics, and lead to the loss of nationalism. Nationalism is all forms of thought and effort that allegiance and sincere the devotion to the nation, to defend the nation independence. The purpose of this research is to reveal the traces of nationalism in the novel Rahuvana Tattwa (RT) by Agus Sunyoto, which are realized by the loyalty of colonial society, community resistance colony, and the raising of unity in public colony. The analysis of this study showed that there were traces of nationalism RT colonial society which included (1) Loyalty to the nation’s of the colonial society with regard to the fearlessness, sacrifice, love of the homeland, and defend the national ideology; (2) Resistance against the invaders by the colonized peoples; and (3) the raising of community united colonies between regions to strengthen the bonds of brotherhood and the struggle to defend the nation.

Keywords: Collonialism, Nationalism

Abstrak: Kolonialisme dapat mengikis keadaban masyarakat, menjauhkan diri dari etika moral, sampai berujung pada hilangnya nasionalisme dalam berbangsa dan bernegara. Nasionalisme adalah segala bentuk pemikiran dan usaha yang menyatakan kesetiaan dan pengabdian tulus kepada bangsa, membela bangsa dan negara untuk mencapai kemerdekaan. Tujuan penulisan penelitian ini adalah memaparkan jejak nasionalisme dalam novel Rahuvana Tattwa (RT) karya Agus Sunyoto yang diwujudkan dengan kesetiaan masyarakat jajahan, perlawanan masyarakat jajahan, dan penggalangan persatuan masyarakat jajahan. Analisis penelitian ini menunjukkan bahwa di dalam novel RT terdapat jejak nasionalisme masyarakat jajahan yang meliputi (1) Kesetiaan masyarakat jajahan terhadap bangsa berkaitan dengan berani mati, rela berkorban, cinta tanah air, dan mempertahankan ideologi kebangsaan; (2) Perlawanan masyarakat jajahan terhadap penjajah secara langsung maupun tidak langsung yang dilakukan dengan berperang secara fisik maupaun pemikiran dengan bangsa penjajah; dan (3) Penggalangan persatuan masyarakat jajahan dalam wilayah maupun antar wilayah untuk memperkuat ikatan persaudaraan dan perjuangan mempertahankan bangsa.

Kata Kunci: Nasionalisme, Penjajahan

Page 79: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

Sutejo & M. Amin Abdulrois, Jejak Nasionalisme dalam Novel Rahuvana Tattwa Karya Agus Sunyoto74

PENDAHULUAN

Je jak kolonia l i sme dalam kehidupan

mutakhir bangsa Indonesia menyisakan pola-

pola kolonialisme baru dalam praktik kehidupan

bermasyarakat. Hal itu mengingatkan betapa

kuatnya dampak negatif penjajahan bagi bangsa

Indonesia. Untuk itulah maka penting untuk

memahami ulang bagaimana penjajahan itu telah

bertemamorfosa dalam kehidupan kebudayaan di

Indonesia. Dalam sejarah penjajahan yang telah

terjadi di Indonesia menyisakan pelajaran penting

yang menarik untuk terus dikaji. Salah satu objek

sosial yang menarik hingga saat ini adalah karya

sastra. Melalui karya sastra (khususnya novel)

begitu banyak dokumentasi kolonialisme itu yang

direkam, dihayati, dan diimajikasikan oleh sastrawan

sebagai cermin renung yang menarik bagi generasi

mendatang.

Selama 350 tahun di bawah penjajahan

Belanda dan Jepang, bangsa Indonesia menyisakan

derita kebudayaan yang mengakar akut. Tidak

heran, sampai sekarang peradaban dan kebudayaan

Indonesia masih dijajah oleh kebudayaan Barat.

Bahkan, bentuk-bentuk penjajahan itu sekarang

bermetamorfosa ke dalam segala segi dan sisi

kehidupan masyarakat. Kolonialisme dengan

berbagai bentuknya ternyata terus-menerus

mengikis keadaban masyarakat, menjauhkan

diri dari etika moral, sampai berujung pada

hilangnya nasionalisme dalam berbangsa dan

bernegara. Karena itu, masyarakat Indonesia perlu

meningkatkan rasa nasionalisme agar terbebas dari

lingkaran kolonialisme baru. Akan tetapi, sebagian

masyarakat memandang nasionalisme hanya sebagai

status kebebasan individual, dan semakin jarang

sebagian masyarakat yang memaknai nasionalisme

sebagai perjuangan awal menuju kebebasan

bangsa.

Nasionalisme pada hakikatnya merupakan

pemikiran-pemikiran dan usaha-usaha yang

menyatakan kesetiaan dan pengabdian individu

harus diserahkan pada bangsa, membela bangsa dan

negara untuk mencapai kemerdekaan (Widarmanto,

2011: 50). Nasionalisme muncul karena adanya

penjajahan atau kolonialisme, keinginan bersatu,

dan keinginan untuk mendapatkan pengakuan

identitas bangsa.

Masyarakat yang dijajah pasti akan melakukan

perlawanan bersama, hal tersebut tidak terbantahkan.

Dengan kata lain kolonialisme atau penjajahan

adalah faktor utama dalam bangkitnya nasionalisme

(Ratna, 2008:2). Nasionalisme dan kolonialisme

mempunyai hubungan yang berjalan sejajar,

intensitas perlawanan suatu masyarakat jajahan

tergantung pada kualitas represif pemerintah

kolonial.

Para penjajah menekan perkembangan pola

pikir masyarakat di segala bidang. Kehidupan

masyarakat difokuskan terhadap pengembangan

ekonomi untuk menguntungkan penjajah. Bentuk

lainnya adalah masyarakat tidak boleh bersekolah,

pembatasan ini bertujuan untuk menjadikan

masyarakat bodoh secara pengetahuan, sehingga

mudah dikelabuhi dan dimanfaatkan. Menurut

pandangan Leela Gandhi nasionalisme mendorong

masyarakat untuk memperjuangkan kemakmuran

hidup, persamaan hak, dan menghidupkan

perlawanan masyarakat (Sariban, 2009:244).

Sejarah menunjukkan bahwa bangsa-bangsa

besar membuktikan kekuatannya dengan menindas

negara-negara lain. Kekuatan kolonialisme yang

semakin mendesak berdampak pada bangkitnya

semangat juang dan nasionalisme masyarakat

untuk mulai melakukan gerakan agar terlepas dari

penindasan. Salain secara nyata dapat dijumpai

dalam kehidupan, praktik kolonialisme juga

ditemukan dalam karya sastra. Karena karya

sastra merupakan menifestasi dari kenyataan yang

dipadukan dengan kreativitas pengarang baik

secara langsung atau melalui rekaannya dengan

bahasa sebagai medianya (Tuloli, 2000:3). Jejak-

jejak kolonialisme dan nasionalisme ini juga banyak

terekam dalam karya sastra, diantaranya adalah

novel Rahuvana Tattwa karya Agus Sunyoto.

Sebagai karya dekonstruksi dari cerita

Ramayana, novel Rahuvana Tattwa (RT) karya

Agus Sunyoto memunyai masalah pokok yang

menonjol berkaitan dengan semangat yang dimiliki

wangsa Dhaksa ras pribumi, leluhur Rahuvana

(Rahwana dalam Ramayana) untuk mempertahankan

nasionalismenya. Dalam novel ini banyak diceritakan

Page 80: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 1 Januari-Juni 2015 75

petualangan hidup tokoh Rahuvana dan tokoh-

tokoh lain yang berjuang keras memperjuangkan

kemerdekaan. Rahuvana sebagai pemimpin dari

ras pribumi memiliki rasa nasionalisme yang tinggi

mengumpulkan bangsa-bangsa yang tertindas oleh

wangsa Arya ras kulit putih, kaum pendatang, leluhur

Rama. Tokoh Rahuvana dalam cerita novel tersebut

digambarkan sebagai tokoh baik yang memunyai

jiwa nasionalisme mempertahankan bangsanya.

Tokoh Rama digambarkan sebagai tokoh penjajah

yang jahat.

Permasalahan nasionalisme, penjajahan dan

penindasan merupakan studi sastra kolonialisme.

Spivak berpendapat studi sastra kolonialisme

merupakan studi tentang masyarakat yang tertekan

harus bicara, harus mengambil inisiatif dan

menggelar aksi atas suara mereka yang terbungkam

(Morton, 2008:177). Terbungkam yang dimaksudkan

Spivak diartikan dengan makna dijajah. Penjajahan

membatasi segala gerak masyarakat jajahan untuk

melakukan sesuatu, sehinggga masyarakat tergerak

untuk berbicara atau mendapatkan kebebasan. Aksi

yang dilakukan masyarakat untuk melawan penjajah

antara lain adalah menumbuhkan nasionalisme.

Teori yang spesifik sebagai penjelas studi sastra

kolonialisme dalam penelitian tersebut menurut

penulis adalah teori poskolonialisme, karena dua hal

tersebut memunyai keterkaitan secara objek kajian

yaitu nasionalisme masyarakat jajahan.

Poskolonialisme dalam hal ini berhubungan

erat dengan orientalisme, di mana orientalisme

merupakan titik awal aliran kritis tersebut.

Orientalisme berupaya menyuarakan orang-orang

pinggiran untuk bebas berpendapat dan mendapat

pengakuan. Hal tersebut merupakan suatu bagian

penting dari disiplin ilmu (Gandhi, 2006:85-86).

Orientalisme lebih memusatkan perhatian

terhadap makna-makna kolonial dan konsolidasi

hegemoni kolonial. Pandangan tersebut menjadi

dasar bagi poskolonialisme untuk membahas

kondisi-kondisi akibat kolonial yang ambivalen,

atau membahas sejarah dan motivasi-motivasi

peralatan antikolonial yang dalam hal tersebut

difokuskan pada nasionalisme masyarakat jajahan.

Sebagai teori, poskolonialisme bertujuan untuk

menolak oposisi dan dikotomi antara Barat dan

Timur, nonpribumi dan pribumi, negara maju dan

negara berkembang, penjajah dan terjajah, dan lain

sebagainya (Ratna, 2005:240).

Pada hakikatnya teori poskolonialisme

adalah teori yang membahas kondisi-kondisi

yang diakibatkan oleh penjajahan, sejarah-sejarah

penjajahan, dan masa-masa sesudah penjajahan,

serta motivasi-motivasi peralatan antikolonial yang

difokuskan pada penolakan terhadap sistem kolonial

(Gandhi, 2006:85). Teori tersebut digunakan

sebagai alat untuk mengungkapkan suatu bentuk

penjajahan baik secara fisik maupun psike dan

mengungkapkan akibat-akibat yang timbul karena

adanya penjajahan.

Dalam kajian ini, teori poskolonialisme memiliki

kaitan dengan nasionalisme. Teori poskolonialisme

menurut ulasan di atas merupakan teori yang

membahas kondisi-kondisi akibat penjajahan,

sedang akibat dari penjajahan adalah ketertindasan

masyarakat. Kemudian ketertindasan tersebut

melahirkan pemikiran dan tindakan masyarakat

untuk mempertahankan bangsa. Masyarakat jajahan

mempertahankan dan memperjuangkan cita-cita

untuk merdeka dengan semangat nasionalisme.

METODE

Metode yang digunakan dalam mengkaji

novel Rahuvana Tattwa karya Agus Sunyoto adalah

metode kualitatif. Metode inilah yang peneliti

gunakan dalam mengkaji novel Rahuvana Tattwa

karya Agus Sunyoto. Ilmu-ilmu dasar penelitian lain

menyebutkan bahwa metode kualitatif merupakan

multimetode sebab melibatkan gejala-gejala sosial

yang relevan, yang dalam penelitian ini terkait

dengan ajaran jejak nasionalisme dalam sebuah

teks sastra.

Penelitian ini termasuk jenis penelitian

penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian yang

mendeskripsikan gagasan-gagasan peneliti melalui

data penelitian yang berupa kutipan teks dari novel.

Analisis yang digunakan adalah analisis secara

induktif dengan meletakkan data penelitian sebagai

modal untuk memahami fokus penelitian. Ciri-ciri

terpenting metode kualitatif sebagai berikut: (i)

Memberikan perhatian utama pada makna dan

pesan sesuai dengan hakikat objek, yaitu sebagai

Page 81: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

Sutejo & M. Amin Abdulrois, Jejak Nasionalisme dalam Novel Rahuvana Tattwa Karya Agus Sunyoto76

studi kultural; (ii) Lebih mengutamakan proses

dibandingkan dengan hasil penelitian sehingga

makna selalu berubah; (iii) Tidak ada jarak antara

subjek peneliti dengan objek penelitian, subjek

peneliti sebagai instrument utama, sehingga

terjadi interaksi langsung di antaranya; (iv) Desain

dan kerangka penelitian bersifat sementara sebab

penelitian bersifat terbuka; dan (v) Penelitian

bersifat alamiah, terjadi dalam konteks sosial budaya

pengarangnya.

Objek penelitian dalam penelitian tersebut

adalah novel Rahuvana Tattwa karya Agus Sunyoto

berkaitan nasionalisme masyarakat jajahan yang

dijadikan sebagai objek primer. Data dalam

penelitian tersebut berupa kutipan teks dalam novel

Rahuvana Tattwa karya Agus Sunyoto. Adapun data

yang dimaksud adalah data yang mendeskripsikan:

(i) kesetiaan masyarakat jajahan terhadap bangsa,

(ii) perlawanan masyarakat jajahan, dan (iii)

penggalangan persatuan masyarakat jajahan.

Adapun teknik kajian dalam penelitian tersebut

dapat dilihat dalam langkah-langkah analisis yang

disusun sebagai berikut: (i) Mengidentifikasi dan

merumuskan masalah, (ii) Membaca novel secara

intens; (iii) Melakukan studi pustaka dengan

mencari referensi sebagai landasan teori untuk

mengkaji objek penelitian ini; (iv) Membaca

novel secara mendalam sekaligus menandai teks

dalam novel yang termasuk sebagai data; (v)

Mengumpulkan data meliputi pendataan, reduksi

data, pengklasifikasian data dan penetapan data

sesuai rumusan masalah, (vi) Menganalisis data

secara kritis menggunakan teori poskolonialisme

sesuai dengan indikator-indikator yang telah

ditemukan, dan (vii) Menginterpretasikan dan

menarik kesimpulan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Suatu era di mana bangsa dijajah oleh bangsa

lain, jiwa nasionalisme akan muncul sebagai

wujud protes dengan disertai tindakan-tindakan

yang terfokus untuk terlepas dari penjajahan.

Jiwa kebangsaan masyarakat yang identik dengan

perjuangan serta kebebasan merupakan identitas

utama masyarakat jajahan. Hal tersebut menyadarkan

masyarakat untuk tidak hanya menuju kebebasan

individu semata, namun juga kebebasan nasional.

Munculnya kesadaran nasional dibentuk oleh

keinginan masyarakat sebangsa untuk memiliki

identitas nasional (Muljana, 2008).

Nasionalisme terbentuk oleh sejarah panjang

dari pengalaman tertindas bersama selama masa

penjajahan. Perasaan senasib atas pengalaman

pahit masyarakat yang diikat oleh bangsa penjajah

menjadi modal awal munculnya kesadaran nasional.

Dari kesadaran tersebut muncullah semangat juang

dalam proses membela bangsa, mempertahankan

identitas nasional, serta memunculkan gerakan-

gerakan sebagai upaya menghapuskan penjajahan.

Per juangan masyarakat jajahan dalam

mempertahankan identitas bangsa dapat dilihat dari

beberapa aspek yang menjadi wujud nasionalisme

itu sendiri. Bentuk-bentuk kolonial dengan berbagai

variannya, bahkan dengan berbagai akibat yang

ditinggalkan harus diperhatikan. Nasionalisme

memunyai beberapa sub pokok bahasan yaitu

kesetiaan masyarakat jajahan terhadap bangsa,

perlawanan masyarakat jajahan, dan penggalangan

persatuan masyarakat jajahan.

Kesetiaan Masyarakat Jajahan terhadap

Bangsa

Pemicu lahirnya nasionalisme pada awalnya

adalah kebencian masyarakat jajahan terhadap

penjajah yang lama melakukan penjajahan dan

penindasan. Hal tersebut merugikan masyarakat

karena secara pengetahuan dan finansial masyarakat

tidak dapat berkembang. Maka masyarakat tetap

mempertahankan rasa bangga dan cinta terhadap

bangsa sebagai wujud dari kesetiaan terhadap

bangsa.

Nasionalisme pada dasarnya muncul karena

adanya suatu bentuk penjajahan atau penindasan.

Dengan kata lain kolonialisme atau penjajahan

adalah faktor utama dalam bangkitnya nasionalisme

(Ratna, 2008:2). Nasionalisme dan kolonialisme

mempunyai hubungan yang berjalan sejajar,

intensitas perlawanan suatu masyarakat jajahan

tergantung pada besarnya tekanan dari pemerintah

kolonial. Hal tersebutlah yang kemudian melahirkan

suatu bentuk nasionalisme yang secara konkret

Page 82: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 1 Januari-Juni 2015 77

berasal dari masyarakat yaitu kesetian kepada

bangsa.

Kesetiaan terhadap bangsa mendorong

masyarakat untuk menumbuhkan semangat

berkorban, mendorong masyarakat untuk bertahan

dan memberikan yang terbaik bagi bangsanya.

Tindakan tersebut dilakukan karena masyarakat

jajahan memiliki kesadaran berbangsa yang sama

bukan sekedar dalam lingkup kedaerahan saja.

Wujud dari kesetiaan tersebut adalah berani mati,

rela berkorban, cinta tanah air, dan mempertahankan

ideologi kebangsaan. Dalam novel Rahuvana Tattwa

karya Agus Sunyoto tersebut muncul beberapa data

yang mengarah kepada kesetiaan masyarakat jajahan

terhadap bangsanya yang ditunjukkan oleh wangsa

Daksha yaitu keturunan asli benua Jambhudvipa.

“Sebab, bagi mereka, para keturunan Daksha tidak pernah ada dan tidak pernah akan ada kedudukan raja para dewa selain Mahadewa: Siva. Mereka tegas-tegas tidak menerima surya sebagai tandingan Ravi. Bahkan, pemakluman Indra sebagai Dewa Perang pun mereka tolak. Mereka tidak akan mengakui Indra sebagai Dewa Perang. Sebab, panglima perang tanpa tanding di jagat raya adalah Karttikeya, putera Siva. Demikianlah, penistaan raja-raja Arya terhadap dewa-dewa dan anak negeri keturunan Daksha, mengobarkan amarah dan kebencian yang berujung pada perlawanan semesta (hal. 68).”

Bentuk atau wujud dari kesetiaan yang

ditunjukkan adalah penolakan segala ideologi dan

segala bentuk kepemimpinan yang dilakukan oleh

masyarakat Jajahan. Anak keturunan Jambhudvipa

sebagai masyarakat jajahan menolak aturan-aturan

yang dicanangkan oleh Indra dan wangsanya.

Hal tersebut berbentuk penolakan terhadap

pemakluman Indra sebagai raja para dewa, menurut

anak keturunan Jambhudvipa raja para dewa yang

mereka segani dan sembah adalah Siva.

Nasionalisme yang berwujud kesetiaan terhadap

bangsa dilakukan oleh anak keturunan Jambhudvipa

misal Asuraraja Vritra. Vritra merupakan wangsa

Daksha yang berasal dari Samudra diwilayah

Jambhudvipa. Hal tersebut ditunjukkan dengan

kutipan tersebut:

“Para Kalakeya ganas itu dipimpin seorang pemuka dari wangsa Kalakeya: Vritra. Mereka laksana kawanan lebah naik ke dunia dan membuat kerusakan di sepanjang pantai selatan Jambhudvipa. Dengan suara dengung menggemuruh mereka bergerak sambung menyambung dari Nabhivarsa hingga Ilavrtavarsa. Mereka menerjang desa-desa. Mereka memorak-porandakan kediaman para pemuja Indra. Mereka menaiki Gunung Mandara. Mereka melintasi Gunung Gandhamadana, vipula, dan Suparsva. Mereka bergerak ke arah Indraloka. Mereka berdengung-dengung menggemakan caci maki dan kutukan kepada Indra (hal. 92).”

Vritra mewujudkan kesetiannnya dengan

melawan Indra dan menghancurkannya secara

perlahan-lahan. Seperti membuat kerusakan di

pantai Jambhudvipa yang dikuasai anak keturunan

Arya, menghancurkan desa-desa yang memuja

Indra, serta dengan tanpa lelah menempuh jalan

yang sulit melewati gunung-gunung untuk sampai

pada tempat Indra berada dan menyerangnya.

Menurut pandangan Leela Gandhi nasionalisme

mendorong masyarakat untuk memperjuangkan

kemakmuran hidup, persamaan hak, dan

menghidupkan perlawanan masyarakat (Sariban,

2009:244). Kesadaran akan arti nasionalisme ini akan

membawa manusia menuju kesetiaan membela dan

memperjuangkan martabat bangsa. Salah satunya

adalah rasa tidak pernah menyerah kepada musuh

dan terus berusaha untuk mengalahkannya.

“Wangsa Rakshasa, Danava, dan Daitya keturunanan Daksha adalah tiga wangsa antara anak-anak negeri Jambhudvipa yang paling unggul di antara bangsa-bangsa asli penghuni benua tersebut. sepanjang sejarahnya, mereka tidak pernah tunduk kepada Indra. Mereka tidak pernah menyerah pada penakluk-penakluk Arya. Mereka selalu menggalang perlawanan terhadap Indra dan raja-raja Arya. Mereka dikenal sebagai pemuja setia Siva dan shakti-nya. Lantaran itu, Indra dan para dewa di Indraloka selalu merasa was-was terhadap keberadaan wangsa tersebut (hal. 113).”

Kewajiban mempertahankan kemerdekaan

bangsa merupakan tanggung jawab setiap

masyarakat. Hal tersebut ditunjukkan oleh tiga

wangsa yaitu wangsa Rakshasa, Danava, dan

Daitya sebagai anak keturunan Daksha negeri

Page 83: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

Sutejo & M. Amin Abdulrois, Jejak Nasionalisme dalam Novel Rahuvana Tattwa Karya Agus Sunyoto78

Jambhudvipa yang terus melawan penjajah, wangsa

Arya. Kegigihan wangsa ini ditunjukkan dengan

ketidaktundukkan mereka pada Indra.

Kesetiaan masyarakat jajahan juga ditunjukkan

oleh seorang pemimpin atau raja. Seorang raja yang

setia kepada rakyat akan memilki rasa cinta kepada

rakyatnya, tidak akan mengarahkan rakyatnya ke

arah sengsara. Jika pemimpin bersikap demikian,

rakyat pun akan mempunyai reaksi yang sama. Maka

seorang pemimpin dan rakyatnya harus memilki

rasa saling setia terhadap bangsa agar bisa mencapai

cita-cita bangsa.

“Demikianlah, Sumali, Raja Alengka yang sakti itu, setelah kekalahannya yang pahit, kembali menjadi raja yang bijaksana, lembut hati, adil, dan sangat mencintai rakyatnya. Ia dijadikan panutan dan penghambaan yang setia oleh rakyatnya. Ia dikenal sebagai raja yang penuh perhatian terhadap kesejahteraan penduduk negerinya (hal. 118).”

Prabu Sumali sebagai seorang raja menunjukkan

kesetiaan seorang pemimpin terhadap rakyat dalam

segala keadaan. Pasca kekalahan dari Indra ia tidak

putus asa. Ia menjadi raja Alengka baru yang

mencintai rakyatnya. Kecintaan tersebut ditanggapi

oleh rakyat dengan selalu patuh dan menjadikan

raja tersebut panutan dalam berbagai hal. Sehingga

muncullah kesetiaan dan kepedulian seorang raja

dan rakyat terhadap kesejahteraan bangsa juga

negara.

Kesetiaan terhadap bangsa yang dilakukan

masyarakat jajahan akan selalu tertanam dalam

pikiran dan segala tindakan. Hal tersebut akan

dijaga turun-temurun selama masyarakat belum

mendapatkan kemerdekaan diri dan bangsanya.

Kesetiaan tersebut tergambar pada tokoh Rahuvana

berikut ini:

“Aku m emoh on ke p ada B r ahma a ga r menganugerahiku kekuatan yang tidak tertandingi makhluk dan dewa-dewa. Sebab, aku akan memimpin bangsaku untuk melawan dewa seperti Indra dan engkau. Aku ingin menunjukkan kepada penghuni tiga dunia bahwa aku Ravana, putera Visrava, akan mengalahkan Indra, penguasa Indraloka. Dan selanjutnya, aku akan menghalau Indra, saudara-saudaranya, dan anak-anaknya keluar tanah Jambhudvipa (hal. 168).”

Rahuvana sebagai anak keturunan Jambhudvipa

bertekad untuk mengabdikan diri kepada bangsanya.

Sebagai putra Visrava yang berjiwa besar, Rahuvana

ingin menjadi pemimpin bagi bangsa untuk

melawan penjajah. Karena hal tersebut, Rahuvana

menginginkan anugerah kekuatan yang hebat dari

Dewa Brahma sebagai bekal untuk menghalau

segala bentuk penjajahan yang dilakukan Indra dan

anak buahnya.

Tindakan yang dilakukan seseorang untuk

melawan penjajah tidak lepas dari pengaruh dan

didikan yang diberikan kepadanya. Keluarga

dan lingkungan merupakan wadah utama untuk

membentuk pengaru tersebut. Khususnya keluarga

hal-hal yang dididikkan dan dicontohkan orang tua

akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan

psikologis anak hingga menjadi dewasa. Seperti

kutipan berikut:

“Bagaikan sedang mengisi bejana dengan air setetes demi setetes, Kesini mengisi jiwa dan pikiran puteranya itu dengan rasa bangga akan kehebatan para leluhur bangsanya di masa silam. Ia dongengkan kisah tentang kemuliaan Daksha dan seluruh keturunannya, termasuk keperkasaan tiga bersaudara Rakshasa Alengka, Mali, Malyavan, Sumali yang telah mengobrak-abrik Indraloka dan mengusir Indra. Di balik itu semua, Kesini menanamkan keyakinan bahwa keagungan dan kemualiaan para Rakshasa keturunan Daksha tidak akan bisa dipulihkan kembali jika Indra dan bala tentaranya tidak ditaklukkan dan dihalau dari bumi Jambhudvipa (hal. 175).”

Rahuvana dengan segala tindakannya yang

ingin melawan penjajah merupakan hasil dari

didikan keluarga, terutama Ibu dan kakeknya. Dari

kecil ibu Rahuvana, Kesini selalu menceritakan

kisah-kisah mengenai kehebatan dan kemuliaan

bangsa-bangsa keturunan anak negeri Jambhudvipa

dalam membela bangsanya. Sebagai salah satu

keturunan para Rakshasa wangsa Daksha anak

negeri Jambhudvipa, Kesini memberikan wejangan

bahwa segala bentuk penjajahan harus dihapuskan.

Kakeknya Prabu juga memberikan wejangan agar

Rahuvana membela bangsanya.

“Usai menerima wejangan dari Prabu Sumali, Ravana memohon kepada kakeknya agar ia selaku

Page 84: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 1 Januari-Juni 2015 79

cucu raja Alengka diperkenankan menjadi pemimpin para pahlawan wangsa Rakshasa. Dengan semangat berapi-api, ia menyatakan keinginan untuk mengangkat harga diri dan kehormatan wangsa Rakshasa yang sudah diinjak-injak oleh Indra dan Mannusa, anak-anak keturunan Mannu yang

menamakan diri Arya (hal. 217)”.

Dari kutipan tersebut dapat difahami bahwa

didikan tentang kebangsaan dan nasionalisme yang

dilakukan Kesini dan Prabu Sumali terhadap Ravana

berhasil dilakukan. Semangat nasionlisme yang

dimiliki Ravana tumbuh dan berkobar dibuktikan

dengan tekadnya untuk menjadi pahlawan bagi

bangsanya. Tekad untuk mempertahankan bangsa

dengan berbagai cara merupakan ciri dari wujud

nasionalisme.

Perlawanan Masyarakat Jajahan

Perlawanan kepada penjajah dilakukan secara

langsung maupun tidak langsung. Masyarakat

jajahan melakukan perlawanan secara langsung yaitu

melalui fisik atau berperang, hal tersebut dilakukan

karena mayoritas masyarakat tersebut tidak

mendapatkan pendidikan yang baik dan memadai.

Masyarakat yang kurang terdidik mempertahankan

bangsa dengan mengorbankan raga dan nyawa.

Dalam melakukan perlawanan terhadap penjajah

selain masyarakat kurang terdidik ada masyarakat

terdidik yang juga berupaya mempertahankan

bangsa untuk mendapatkan kebebasan. Masyarakat

yang terdidik melakukan tindakan nasionalisme

melawan penjajah secara tidak langsung dengan

bentuk perjuangan mendirikan organisasi sosial dan

politik. Tindakan nasionalisme tersebut dipandang

sebagai jalan utama bagi masyarakat yang kurang

terdidik maupun masyarakat terdidik untuk lepas

dari penindasan. Nasionalisme dianggap sebagai

alat pemersatu yang dapat menghimpun semangat

berjuang dan mendistribusikan semangat tersebut

kepada masyarakat jajahan lain sebagai energi

persatuan (Gandhi, 2006:142).

Perlawanan masyarakat jajahan untuk membela

bangsa ditunjukkan oleh semua kalangan dan semua

bangsa yang terusik kemerdekaannya. Kadang

masyarakat yang terlihat lemah bisa lebih kuat dari

yang disangkakan, misal kutipan berikut:

“Negeri timur adalah kediaman para Dwarrowdelf—orang-orang cebol—wangsa Hun, makhluk yang lahir dari pohon Tochar. Kemunculan Indra dan para pemujanya di tanah asing itu disambut dengan senjata oleh orang-orang cebol keturunan Tochar tersebut. Meski cebol, mereka memiliki keberanian, kekuatan, dan kecerdasan luar biasa dalam menghadapi musuh-musuhnya. Meski tubuh mereka jauh lebih kecil dibanding para pemuja Indra, mereka mampu mengobrak-abrik kekuatan musuhnya. Bahkan dalam pertarungan satu lawan satu antara Indra dan P’an Ku. Dewa Godam bertubuh cebol; berkulit kuning; berambut hitam ikal; bermata sipit; berhidung kecil; dewa sakti yang dipuja para Dwarrowdelf wangsa Hun. Indra kalah secara memalukan. Indra lari terbirit-birit dari medan tempur diikuti Agni dan dewa-dewa pendukungnya (hal. 36).”

Kekuatan musuh yang diremehkan dapat

berubah menjadi berlipat karena semangat

nasionalismenya. Dwarrowdelf, wangsa cebol

yang dianggap lemah ini bisa bertahan dan

mengalahkan pasukan wangsa Arya yang secara

fisik lebih besar dan kuat. Hal tersebut menjadi

bukti bahwa nasionalisme dapat menumbuhkan

jiwa kshatriya dalam diri sehingga menjadi bekal

dalam mengalahkan musuh.

Perlawanan memunyai dua bentuk ada yang

secara langsung adapun juga yang tidak langsung.

Perlawanan secara langsung dapat dilakukan dengan

perlawanan secara fisik, misal berkelahi, perang,

bertarung dan sebagainya, sedang perlawanan

secara tidak langsung dilakukan dengan membentuk

organisasi-organisasi dan gerakan-gerakan politik.

Perlawanan secara langsung dengan cara berperang

ditunjukkan kutipan berikut:

“Minyak panas dan bola-bola api mereka tumpahkan dari atas dinding benteng ketika makhluk-makhluk ganas itu mulai berusaha memanjat dinding. Pedang mereka tebaskan kepada para penyerbu yang naik dinding benteng. Demikianlah, di tengah sisa hujan dan lecutan lidah petir, pecah pertempuran sengit antara penghuni kota berbenteng keturunan Daksha dengan makhluk-makhluk ganas biadab keturunan Mannu (hal. 40).”

Kutipan tersebut memperlihatkan bagaimana

anak-anak keturunan Daksha berjuang menggunakan

Page 85: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

Sutejo & M. Amin Abdulrois, Jejak Nasionalisme dalam Novel Rahuvana Tattwa Karya Agus Sunyoto80

segala cara untuk menghalau para penyerbu yaitu

wangsa Arya. Wangsa Arya yang ingin menguasai

daerah tersebut menyerang dengan memanjat

dinding benteng agar dapat masuk ke dalam

benteng kota, namun wangsa Daksha melawan

dengan menggunakan bola-bola api dan minyak

panas agar para penyerang tidak dapat memanjat

benteng.

Perlawanan untuk mencapai suatu cita-

cita kemerdekaan dan kebebasan tidak akan

tercapai dengan satu langkah saja. Kemerdekaan

membutuhkan banyak langkah dan banyak

pengorbanan. Dalam penjajahan kemerdekaan

bukan hanya mengusir penjajah saja namun juga

menaklukkannya.

“Tak berbeda dengan raja-raja Daitya, Kesin pun menyerbu Indraloka. Dengan kekuatan bala tentara dan kesaktiannya, Kesin pergi ke Gunung Indragiri dan menerobos ke Indraloka. Di kediaman Indra, Kesin dan bala tentaranya mengamuk dan merusak kuta raja Amaravati, istana Vijayanta, taman sari Nanadana, dan Swargaloka kediaman apsara-apsari. Indra penguasa Indraloka, tidak kuasa menghadapi amukan para bala Daitya, Danava, dan Rakshasa yang dipimpin Kesin. Ia lari tunggang langgang dikejar-kejar para penghuni samudra keturunan Daksha yang perkasa itu (hal. 72).”

Perlawanan bangsa keturunan Daksha tidak

berhenti begitu saja. Sebagai salah satu wangsa

Daitya, Kesin juga melakukan perlawanan terhadap

Indra dan wangsanya. Kesin yang memperjuangkan

kemerdekaan negeri Jambhudvipa dengan

kesaktiannya dan bala tentaranya menyerbu

Indraloka kediaman Indra dan memporak-

porandakannya.

“Para Kalakeya ganas itu dipimpin seorang pemuka dari wangsa Kalakeya: Vritra. Mereka laksana kawanan lebah naik ke dunia dan membuat kerusakan di sepanjang pantai selatan Jambhudvipa. Dengan suara dengung menggemuruh mereka bergerak sambung menyambung dari Nabhivarsa hingga Ilavrtavarsa. Mereka menerjang desa-desa. Mereka memorak-porandakan kediaman para pemuja Indra. Mereka menaiki Gunung Mandara. Mereka melintasi Gunung Gandhamadana, vipula, dan Suparsva. Mereka bergerak ke arah Indraloka.

Mereka berdengung-dengung menggemakan caci maki dan kutukan kepada Indra (hal. 92).”

Kutipan tersebut memberikan pemahaman

bahwa perlawanan terhadap penjajah memang

tidak boleh berhenti. Hampir sama dengan Kesin,

Vritra juga memporak-porandakan Indraloka.

Pemuka Kalakeya itu tidak tahan dengan kelicikan

Indra yang suka membunuh para puak keturunan

negeri Jambhudvipa. Vritra dengan bala tentara

samudranya mencaci maki Indra sebagai wujud

kutukan atas semua perbuatannya yang menistakan

para masyarakat jajahan.

Per lawanan terhadap penja jah t idak

hanya dilakukan begitu saja. Perlawanan juga

membutuhkan perencanaan yang matang. Hal

tersebut dimaksudkan untuk menghindari kekalahan

dan pecah belah dalam pasukan. Pasukan yang

kuat adalah pasukan yang memiliki strategi dalam

melakukan berbagai hal, khususnya berperang.

Seperti kutipan berikut:

“Kumbhakarna diam. Dadanya menggemuruh dikobari amarah ketika dengan Bharga dari Brahma ia mengetahui kebenaran rencana serangan Indra yang disampaikan Vamadeva. Tetapi, kesabaran dan sifat welas asihnya dengan cepat menindas kobaran amarah itu, setelah termenung sesaat ia berkata “Sebelum Indra menggempur Alengka, aku akan mengajak saudara-saudaraku untuk menggempur Indraloka. Alengka harus mendahului rencana Indra. Aku akan menantang Indra. Aku akan bisa mengalahkan dia (hal. 234).”

Siasat Kumbhakarna untuk melawan Indra

terlebih dahulu sangatlah tepat. Hal tersebut

dimaksudkan untuk menghindari jatuhnya korban

dari masyarakat yang tidak bersalah. Kebijaksanaan

Kumbhakarna akan dapat menentukan jalan terbaik

bagi keselamatan rakyat. Sebelum ia mengambil

keputusan ini, Kumbhakarna mempersiapkan diri

dengan berencana menghimpun kekuatan yang

diawali dari rencana mempersatukan saudara-

saudaranya.

Rahuvana kakak Kumbhakarna juga melakukan

perlawanan dengan melawan dan bertarung dengan

wangsa Arya. Perlawanan yang direncanakan

dan dilakukan terus menerus tanpa henti akan

membuahkan hasil, namun hal tersebut tidak

Page 86: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 1 Januari-Juni 2015 81

dapat diwujudkan dalam sekali langkah banyak

langkah yang harus dilalui agar perlawanan

sampai pada tujuan bersama yaitu kebebasan dan

kemerdekaan.

“Usaha Rahuvana itu dihalangi para Yamabhrtya—prajurit-prajurit Yama—yang mengroyok Rahuvana laksana semut mengerumuni bangkai. Terjadi pertarungan sengit. Para Yamabhrya berhamburan bagai sekam diterbangkan angin ketika Rahuvana mengeluarkan kesaktiannya. Para Yamabhrtya yang terkenal ganas itu tidak sanggup menghadapi amukan Rahuvana. Mereka lari tunggang langgang ke Yamapada (hal. 257).”

Segala bentuk perlawanan memang akan selalu

mendapatkan halangan dan rintangan, seperti

kutipan di atas menunjukkan perlawanan Rahuvana

untuk mendapatkan kemerdekaan dihalangi wangsa

Arya yaitu prajurit-prajurit Yama. Perlawanan

Rahuvana ditunjukkan dengan kerelaannya

berperang dengan para prajurit itu yang jumlahnya

banyak sekali, namun dengan kekuatannya yang

hebat Rahuvana dapat mengalahkan semua prajurit

tersebut.

Perlawanan selain dilakukan dilakukan secara

langsung dengan cara berperang juga dilakukan

dengan cara tidak langsung atau dengan cara

membentuk organisasi dan gerakan yang bertugas

mendukung perlawanana terhadap penjajah.

Organisasi tersebut berupa gerakan masyarakat

ataupun satuan prajurit yang diberi kelompok

sendiri dengan tugas tersendiri, seperti kutipan

berikut

“Kekuatan satuan balasandhi yang dibangun Bhisana memang dahsyat. Sebagai penguasa wilayah Katangga yang berbatasan dengan wilayah hunian peranakan Arya, Bhisana bisa mengetahui semua perkembangan yang terdi di kawasan tersebut berdasar laporan-laporan dari anggota-anggota balasandhi (hal. 371).”

Balasandhi sebagai kelompok yang dibentuk

Bhisana mer upakan pra jur i t pendukung

perlawanan Rahuvana. Parajurit tersebut bertugas

mengumpulkan segala kabar yang ada dilingkungan

musuh ataupun perkembangan mengenai kekuatan

lawan. Hal tersebut berguna dalam merancang siasat

perang. Perlawanan dengan cara gerakan tersebut

berguna demi kelancaran untuk mendapatkan

tujuan perlawanan, yaitu mengalahkan penjajah dan

mendapatkan kebebasan berbangsa.

Penggalangan Persatuan Masyarakat

Jajahan

Nasionalisme pada hakikatnya tidak mengenal

kompromi terhadap kebijakan-kebijakan penjajah.

Nasionalisme juga berusaha meminggirkan

banyak kerumitan-kerumitan yang menjadi faktor

ketertindasan kehidupan masyarakat jajahan

sebagaimana pada kenyataannya (Grosby, 201:23-

23). Nasionalisme juga membutuhkan kekuatan

persatuan. Kekuatan tersebut dapat mendatangkan

dan menyatukan energi yang didistribusikan untuk

membangun pergerakan-pergerakan demi mencapai

kemerdekaan bangsa.

Persatuan merupakan kunci utama dalam

melakukan perlawanan terhadap penjajah.

Masyarakat jajahan menggalang persatuan agar

menjadi lebih kuat, karena mereka sadar bahwa

tanpa adanya persatuan kemerdekaan tidak akan

tercapai. Wujud dari penggalangan persatuan antar

masyarakat jajahan antara lain adalah persatuan

dalam satu wilayah dan juga persatuan antar

wilayah yang meliputi persatuan antar suku, ras,

dan persatuan antar bangsa. Hal tersebut adalah

upaya berjuang bersama-sama mendapatkan

kemerdekaan. Wujud dari persatuan seperti dalam

kutipan berikut:

“Varuna yang melihat ambisi kuat Indra menguasi Tri-bhuvana, membiarkan para ratu keturunan Dhaksa yang tunduk di bawah kekuasaannya pergi membawa bala ke Indraloka. Demikianlah, ratu-ratu dari antara wangsa Danava keturunan Dewi Danu, wangsa Daitya keturunan Dewi Diti, wangsa Naga keturunan Dewi Kadru, wangsa Rakshasa keturunan Dewi Raksha, wangsa Bhuta keturunan Dewi Krodha, saling memasyhurkan kehebatan wangsanya masing-masing dengan menggempur Indraloka (hal. 69).”

Nasionalisme dalam bentuk persatuan lahir

dari penindasan atau penjajahan. Dalam konteks

tersebut Indra sebagai pemimpin wangsa Arya

merupakan wujud seorang penjajah dan wangsa

asli negeri Jambhudvipa adalah masyarakat jajahan.

Page 87: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

Sutejo & M. Amin Abdulrois, Jejak Nasionalisme dalam Novel Rahuvana Tattwa Karya Agus Sunyoto82

Wangsa keturunan Jambhudvipa melakukan

perlawanan terhadap Indra karena mereka ingin

mendapatkan kebebasan dan kemerdekaan dengan

membentuk rasa nasionalisme diri yang berbentuk

penggalangan persatuan dengan sesama wangsa

keturunan Jambhudvipa.

Penggalangan persatuan oleh masyarakat

jajahan tidak berhenti di satu tempat. Mereka

yang merasa memiliki jiwa nasionalisme untuk

mempertahankan dan mencari kebebasan bangsa

akan melakukan perlawanan terus menerus dan

mengumpulkan banyak pendukung yang sepaham

dengan upaya yang ingin mereka capai.

“Setelah berhasil mengalahkan Indra, Vritra memimpin para Kalakeya ke Indraloka. Dengan bantuan pahlawan-pahlawan dari wangsa Rakshasa, Danava, dan Daitya Jambhudvipa yang bertahun-tahun ditindas Indra dan bala tentaranya, Vritra dan bala tentaranya mengamuk dan merusak Indraloka. Laksana kerumuanan berjuta-juta lebah hitam, mereka mengitari Indraloka (hal. 97).”

Wangsa-wangsa yang diajak Vritra bergabung

adalah wangsa Rakshasa, Danava, dan Daitya

yang berasal dari daratan Jambhudvipa. Dengan

bergabungnya Vritra dengan wangsa Danava laut

dan darat, Rakshasa, dan Daitya kekuatan tempur

Vritra menjadi sangat hebat. Hel tersebut laksana

kerumuanan berjuta-juta lebah hitam yang siap

menghancurkan Indraloka. Penggalangan persatuan

seperti yang telah dilakukan Vritra merupakan

wujud nasionalisme masyarakat jajahan di negeri

Jambhudvipa yang ingin membebaskan diri dari

pusaran penjajahan yang dilakukan penjajah.

Penggalangan persatuan terhadap penjajah

terdapat dua bentuk yaitu penggalangan persatuan

dengan luar wilayah dan penggalangan dengan

dalam wilayah. Seperti yang dipaparkan di atas

mayoritas adalah penggalangan persatuan luar

wilayah. Penggalangan persatuan dalam wilayah

kekuasaan seperti kutipan berikut ini:

“Indraloka tiba-tiba diserang bala tentara Rakshasa dari kerajaan Alengka yang dipimpin tiga bersaudara yang gagah perkasa di antara wangsa Rakshasa: Mali, malyavan, Sumali. Ketiganya dikenal sebagai pemuka wangsa Rakshasa dari suku Gond yang sakti mandraguna dan memiliki kadigdayaan

melebihi dewa-dewa Indraloka. Kerajaan Alengka selama itu termasyhur sebagai negara yang makmur dan memiliki peradaban tinggi (hal. 114).”

Penggalangan persatuan dalam kutipan tersebut

dilakukan oleh tiga bersaudara Mali, Malyavan, dan

Sumali. Dengan kekuatan dan kehebatan prajurit

Alengka yang mereka miliki, mereka menghimpun

kekuatan untuk melakukan penyerangan ke

Indraloka. Kerajaan Alengka merupakan kerajaan

yang terkenal keuatannya dengan persatuan Mali,

Malyavan, dan Sumali. Tindakan mereka yang

bersatu untuk melawan penjajah merupakan

wujud kepedulian diri terhadap nasib bangsa dan

berkornya semangat nasionalisme.

Persatuan yang dimulai dari dalam wilayah

seperti yang dilakukan Mali. Malyavan, dan Sumali

merupakan awal persatuan yang akan berkembang

kuat. Hal tersebut dapat menciptakan perasaan

sehati dan sepenanggungan terhadap diri. Persatuan

seharusnya juga dimulai dari lingkungan yang

lebuh kecil yaitu lingkungan keluarga. Keluarga

sebagai pendukung terdekat akan mudah dalam

penggalangan persatuan karena anggota keluarga

lebih mengerti dan memahami sifat-sifat setiap

anggota keluarga yang lain. Seperti kutipan

berikut:

“Cita-cita luhur Ravana untuk memakmurkan wangsa Rakshasa dan melawan Indra beserta anak-anak keturunan Mannu yang congkak itu ternyata tidak hanya didukung oleh Prabu Sumali. Seluruh kerabat kerajaan mulai Prahasta, adik Kesini, dan adik-adik Ravana ikut mendukung. Bahkan, para guru agung, pendeta, perwira, dan kshatriya Alengka beramai-ramai menyatakan dukungan kepada tekad Ravana untuk menghalau bangsa pongah dan congkak yang telah menista sesembahan bangsa asli Jambhudvipa itu (hal. 218).”

Keinginan Ravana atau Rahuvana untuk

melawan Indra dan membebaskan bangsanya dari

penjajahan mendapat persetujuan secara penuh dari

keluarga kerajaannya seperti saudara-saudara, kakek,

ibu, dan pamannya. Semua prajurit juga kshatriya

kerajaan juga memeberikan dukungan dengan patuh

terhadap apa yang akan diperintahkan Ravana.

Bentuk dukungan yang dilakukan oleh segala pihak

kepada Ravana merupakan wujud nasionalisme

Page 88: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 1 Januari-Juni 2015 83

bersama untuk menggalang persatuan secara utuh

demi membela bangsa dan negara. Keinginan

Rahuvana tersebut diperkuat oleh Kumbhakarna

yang sudah menangkap firasat bahwa negerinya itu

akan diserang oleh Indra.

“Dengan segala kebijaksanaan yang dimilikinya, Kumbhakarna akhirnya berhasil menyatukan pandangan saudara-saudaranya tentang pentingnya menggempur Indraloka dan mengalahkan Indra beserta dewa-dewa Indraloka dengan siasat baru. Dan, tekad putera-puteri Visrava itu makin bulat manakala para sesepuh Alengka merestui rancana Kumbhakarna tersebut (hal. 237).”

Kumbhakarna yang merupakan adik Rahuvana

yang paling sakti dan bijaksana. Karena anugerah

yang diberikan Brahma. Dari kutipan tersebut dapat

dipahami tindakan Kumbhakarna menyatukan

pandangan saudara-saudaranya adalah untuk

menghimpun kekuatan yang diawali dari dalam

kerajaan. Persatuan tersebut dimaksudkan untuk

memperkuat diri menggempur dan menaklukkan

Indraloka, kediaman Indra.

Penggalangan yang sudah dimulai dari wilayah

dalam atau wilayah kerajaan harus didukung dengan

penggalangan keluar wilayah kerajaan, hal tersebut

dimaksudkan untuk lebih memperkuat diri selain

dalam masalah perang juga mempererat hubungan

antarkerajaan agar tercapai hubungan kekerajaan

yang damai, aman dan tidak saling mengganggu.

“Kemudian seperti bersepakat, berbagai puak wangsa dari anak-anak Nabhivarsa keturunan Daksha, seperti wangsa Pandya, damila, Kerala, Danava, Daitya, Rakshasa, Naga, Simha, Cola, dan Cera menyiapkan kshatriya-kshatriya terbaiknya untuk digabungkan dengan baka tentara Alengka. Anak-anak negeri Nabhivarsa yang selama berpuluh tahun menyaksikan saudara-saudara mereka ditindas dan dihinakan para pendatang kulit putih, melihat harapan baru dari kemunculan seorang pahlawan yang mereka harapka dapat memutuskan belenggu penindasan yang dikalungkan bangsa asing ke leher, tangan, dan kaki saudara mereka (hal. 242-243).”

Rahuvana yang ingin menggempur Indraloka

tidak hanya didukung oleh wilayah kerajaan saja,

namun kerajaan-kerajaan dari wangsa lain juga

mendukung hal tersebut. kesepakatan berbagai

puak wangsa dari anak-anak Nabhivarsa keturunan

Daksha, seperti wangsa Pandya, damila, Kerala,

Danava, Daitya, Rakshasa, Naga, Simha, Cola, dan

Cera merupakan wujud nasionalisme bersama yang

berupa penggalangan persatuan untuk mencapai

cita-cita. Hal tersebut rela mereka lakukan karena

merasa sama dalam nasib dan perasaan geram yang

selalu tertindas oleh Indra.

Anak-anak negeri Nabhivarsa tidak tahan

menyaksikan saudara-saudara mereka ditindas dan

dihinakan para penjajah keturunan Mannu yang

disebut wangsa Arya, dengan melihat kemunculan

Rahuvana sebagai seorang pahlawan mereka

mendukung dan bersedia bersatu dengan Rahuvana.

Mereka berharap hal itu dapat menghilangkan

belenggu penindasan yang berpuluh tahun diderita

saudara mereka.

“Sepanjang perjalanan melintasi pegunungan Atta-anggina, Raksha, Malaya, Sahya, Sutimana, dan Pariyatra, pasukan Alengka terus bertambah. Para Kshatriya pilihan dari wangsa-wangsa keturunan Daksha dengan bangga menggabungkan diri ke dalam kesatuan bala tentara yang dipimpin pahlawan Rakshasa: Rahuvana (hal. 244).”

Tindakan Rahuvana untuk menggalang

persatuan terus dilakukan. Dimanapun tempatnya

wangsa-wangsa yang merasa senasib dengan bangga

menggabungkan diri ke dalam kesatuan bala tentara

Alengka yang dipimpin Rahuvana. Seperti yang

dilakukan para kshatriya pilihan dari wangsa-wangsa

keturunan Daksha dari pegunungan Atta-anggina,

Raksha, Malaya, Sahya, Sutimana, dan Pariyatra,

mereka ingin bersama dengan bala tentara Alengka

menyingkirkan segala bentuk penindasan dan

penjajahan.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan penelitian

ditunjukkan bahwa dalam novel Rahuvana Tattwa

karya Agus Sunyoto terdapat adanya nasionalisme

yang yang dilakukan oleh masyarakat jajahan.

Adapun wujud nasionalisme yang ditemukan

merupakan pendorong masyarakat terjajah untuk

memperjuangkan kemerdekaan bangsa. Secara

Page 89: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

Sutejo & M. Amin Abdulrois, Jejak Nasionalisme dalam Novel Rahuvana Tattwa Karya Agus Sunyoto84

rinci simpulan penelitian ini dapat dikemukakan

sebagai berikut; (1) berupa kesetiaan masyarakat

jajahan terhadap bangsa dalam temuan penelitian

ini berkaitan dengan tindakan berani mati, rela

berkorban, cinta tanah air, dan mempertahankan

ideologi kebangsaan. Hal ini ditunjukkan oleh anak-

anak keturunan negeri Jambhudvipa yang berwangsa

Daksha, Daitya, Naga, Raksahasa, dan lain-lainnya,

(2) berupa perlawanan masyarakat jajahan terhadap

penjajah secara langsung maupun tidak langsung.

Perlawanan secara langsung dilakukan dengan

bentuk peperangan dan perlawanan secara tidak

langsung dilakukan dengan membentuk gerakan-

gerakan yang mendukung perlawanan, dan (3)

berupa penggalangan persatuan masyarakat jajahan

dalam wilayah maupun antar wilayah. Hal tersebut

dalam wilayah dilakukan dengan cara menggalang

persatuan dalam lingkup keluarga dan dalam

kerajaan, dan penggalangan persatuan di luar

wilayah dilakukan dengan mempersatukan kerajaan-

kerajaan yang mmpunyai yang berkeinginan sama,

yaitu menghapuskan segala bentuk penindasan.

DAFTAR PUSTAKA

Gandhi, Leela. Penerjemah Yuwan Wahyutri dan Nur

Hamidah. 2006. Teori Postkolonialisme: Upaya

Meruntuhkan Hegemoni Barat. Yogyakarta:

Qalam.

Grosby, Steven. Penerjemah Teguh Wahyu. 2011.

Sejarah Nasionalisme. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Morton, Stephen. 2008. Gayatri Spivak: Etika,

Subalternitas dan Kritik Penalaran Poskolonial.

Yogyakarta: Pararaton.

Muljana, Slamet. 2008. Kesadaran Nasional dari

Kolonialisme Sampai dengan Kemerdekaan Jilid I.

Yogyakarta: LKiS.

Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural

Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

_______2008. Postkolonialisme Indonesia. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Sariban. 2009. Teori dan Penerapan Penelitian Sastra.

Surabaya: Penerbit Lentera Cendekia.

Sunyoto, Agus. 2006. Rahuvana Tattwa. Yogyakarta:

Pustaka Sastra LKiS.

Tuloli, Nani. 2000. Kajian Sastra. Gorontalo: Nurul

Jannah.

Widarmanto, Tjahjono. 2011. Nasionalisme Sastra.

Sidoarjo: Satukata.

Page 90: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

THE MAIN CHARACTER’S EFFORTS TO SEEK JUSTICE

IN WINTERSET

(A Court Case Study in Maxwell Anderson’s Play)

Syamsuddin Ro’is

STKIP PGRI [email protected]

Abstrak: Drama merupakan bentuk karya sastra yang terfokus pada dialog dan prilaku karakter yang tercermin dalam plot. Karakter dalam drama berkaitan erat dengan permasalahan untuk mencapai tujuan utama dari drama tersebut. Permasalahan tersebut bisa berupa konflik internal maupun eksternal. Studi ini bertujuan mencari tahu usaha karakter utama, Mio, dalam mencari keadilan, yang terfokus pada usaha merehabilitasi nama baik sang ayah yang telah dijatuhi vonis hukuman mati. Mio mengetahui jika ayahnya tidak bersalah. Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif yang datanya diambil dari drama Winterset, karya Maxwell Anderson. Data dianalisa dengan secara induktif berdasarkan pada analisis pendekatan struktura, yang terfokus pada analisis aspek intrinsik, terutama dalam hal plot dan karakter. Hasil studi menunjukkan karakter utama harus bergulat dalam pencairan keadilan yang restoratif dan distributif, yang berkaitan dengan pemulihan nama baik dan vonis yang tidak adil bagi sang ayah.

Kata Kunci: Aspek Intrinsik, Drama, Keadilan

Abstract: Drama is one of literary form which mainly focuses on the character’s dialogue and action in the course of the plot to ref1lect the character development. The characters have to deal with various prob1ems in achieving their ultimate goa1s. Such problems deal with the internal and external conflicts or both. This study focuses to find out the main character’s demand for justice. It concern with his efforts to restore the name of his father who has been sentenced to death by the court. The main character, namely Mio, knows that his father is innocent. This study is qualitative study which uses Maxwell Anderson’s drama entitled Winterset as the main data. The data are analyzed inductively based on the structural approach of analysis. This approach focuses to analyze the intrinsic aspects, especially the main character and the plot. The result of the study showed that the main character has to deal with the restorative and distributive justice. The distributive deals with the unfair trial of his father. The restorative justice concerns with his efforts to restore the name of his father.

Keywords: Intrinsic Aspects, Justice, Play

INTRODUCTION

Drama is a literary work. It emphasizes the

action of the characters in a specific setting. This

emphasis is reflected in the word drama itself. It is

derived from Greek ”draein” which means to do

or to act (2004: 43). So, drama mainly focuses on

the character’s dialogue and action in the course

of the p1ot which ref1lects the development of

the character

The characters have to dea1 with various

problems in achieving their ultimate goa1s. Such

problems deal with the internal and external

conflicts or both. The characters in Winterset dea1

with the prob1em of injustice. The death of the

father’s main character is cause by the unfair trial

by the court. The father is sentenced to death

although he is not involved in the murder of the pay

roll master. The government which is represented

by Judge Gaunt declares him guilty based on the

Page 91: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

Syamsuddin Ro’is, The Main Character’s Eforts to Seek Justice in Winterset (A Court Case Study in Maxwell Anderson’s Play)86

fact that the father is merely a black man. The

government never calls the true witness of the

crime. The decision of the court then is made

wrongly to punish the innocent man. This drives

the main character to seek the true of the crime.

In his efforts, he should die in the hand of the

true murderer in the crime. His action reflects the

ultimate quest of the justice.

Maxwell Anderson’s Winterset (1935) is one of

the most important verse dramas, or plays written

largely in poetry, in the twentieth century. It was

firstly produced on New York City’s Broadway

at the height of the Great Depression. The play

is a striking tragedy that deals indirectly with

the famous Sacco-Vanzetti case, in which two

Italian immigrants with radical political beliefs

were executed. Winterset is widely considered as

Anderson’s best verse drama. Its ambitious political

and philosophical agenda, as well as its elegant

poetry, earned Anderson the Drama Critics’ Circle

Award of 1936.

The plot of Winterset follows Mio Romagna’s

quest to prove his father’s innocence in the years

after Bartolomeo Romagna was executed for a

robbery and murder he did not commit. This

quest is complicated by Mio’s newfound love for

Miriamne, Esdras’ sister and the difficult ethical

decisions that resulted from his connection with

her family. It is a challenging political play, with

philosophical meditations on faith, truth, justice,

love and duty. The play mostly deals with the

mysterious death of the father. This death becomes

the starting point which leads the main character

to find justice.

There are many theories of justice. The first

is entitlement theory of justice. According to

entitlement theories, a distribution is just if and only

if it came about without violating anyone’s rights

(entitlements). Justice, on this view, is a matter of

respecting rights (2012: 7). There is a wide variety

of accounts of what rights people have: people

may have rights to get what they deserve, rights to

have their needs satisfied, rights to equal shares of

some good, and so on. This theory underline the

importance of fair distribution of the people right

which should not violate other’s right.

The other theory is Desert theory. Desert

theory of justice holds that an action (social

structure, etc.) is just if and only the distribution

of benefits and burdens is appropriate given what

people deserve (2012: 4).

This theory underlines the importance of

appropriateness in the distribution of the people

right. The social structure should be maintained

to achieve this ultimate goal. The existing social

structure and institution should guarantee that

the right of the people is distributed fairly and

rightfully.

Meanwhile Aristotle has defined justice in the

term of habit. Justice is the action of rendering

to others his or her rights (1999: 55)..it can be

represented a commutative justice, distributive

justice and legal justice. It should become a basic

principle which directs the person action to give

rights to others and to avoid injury to others.

Justice always concerns with two opposing

interest. The first is individual interest and the

second is the society interest. On the side of

individual, justice relates to the freedom of

individual and in another side, the freedom of

individual should be restrained for the safety of the

society (Spencer, 2010: 56).

It is obvious that the ultimate individual can be

dangerous and it is limited by the other individual

right. The limitation should be clear since it can

potentially stimulate angry passion through a

sense of injustice. A clear limitation the freedom

of individual can increase the satisfaction of the

individual.

In psychological domain there are four kinds

of justice which are usually looked for by the

people. The first is distributive justice. It mainly

concern with the principle of fairness and equality.

Next is procedural justice. It deals with the process

of the distribution of the person’s right in a society.

The other kind of justice is restorative justice. This

is The first thing that the betrayed person may seek

from the betrayer is some form of restitution,

putting things back as they should be. The last is

restorative justice. It is the justice which intends

to restore the person’s right as the result of the

injustice (1999: 30).

Page 92: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 1 Januari-Juni 2015 87

However, Meyer et al give a different

classification of justice. According to him justice

can be classified into three categories. The first is

distributive justice. It refers to the extent to which

society’s institutions ensure that benefits and

burdens are distributed among society’s members

in ways that are fair and just. When the institutions

of a society distribute benefits or burdens in unjust

ways, there is a strong presumption that those

institutions should be changed.

The second is retributive or corrective

justice. Retributive justice refers to the extent to

which punishments are fair and just. In general,

punishments are held to be just to the extent

that they take into account relevant criteria such

as the seriousness of the crime and the intent

of the criminal, and discount irrelevant criteria

such as race. Yet a third important kind of justice

is compensatory justice. Compensatory justice

refers to the extent to which people are fairly

compensated for their injuries by those who have

injured them; just compensation is proportional

to the loss inflicted on a person (2012: 3). These

kinds of justice are clearly reflected in the drama

of Anderson. The discussion of the justice in the

drama then is closely related to these kinds of

justice.

Thus individual differences cannot be the

reason for the difference of right and obligation.

Individual should be treated the same without

considering the difference of sex, race, social

class and other forms of difference. However

there are many factors and cases which make us

to treat people differently. This cases have been

also illustrated by Mayer. He stated completely that

there are, however, many differences that we deem

as justifiable criteria for treating people differently.

For example, we think it is fair and just when a

parent gives his own children more attention and

care in his private affairs than he gives the children

of others; we think it is fair when the person who

is first in a line at a theater is given first choice

of theater tickets; we think it is just when the

government gives benefits to the needy that it does

not provide to more affluent citizens; we think it

is just when some who have done wrong are given

punishments that are not meted out to others

who have done nothing wrong; and we think it is

fair when those who exert more efforts or who

make a greater contribution to a project receive

more benefits from the project than others. These

criteria—need, desert, contribution, and effort—we

acknowledge as justifying differential treatment,

then, are numerous.

On the other hand, there are also criteria that

we believe are not justifiable grounds for giving

people different treatment. In the world of work,

for example, we generally hold that it is unjust to

give individuals special treatment on the basis of

age, sex, race, or their religious preferences. If the

judge’s nephew receives a suspended sentence for

armed robbery when another offender unrelated

to the judge goes to jail for the same crime, or

the brother of the Director of Public Works gets

the million dollar contract to install sprinklers on

the municipal golf course despite lower bids from

other contractors, we say that it’s unfair. We also

believe it isn’t fair when a person is punished for

something over which he or she had no control, or

isn’t compensated for a harm he or she suffered.

And the people involved in the “brown lung

hearings” felt that it wasn’t fair that some diseases

were provided with disability compensation, while

other similar diseases weren’t (2012: 7) In these

case, the different context of situation determine

whether a specific treatment is considered injustice

or justice.

So, this article intends to discuss the main

character’s demand for justice in Winterset. The

discussions are focused on the main character’s

motive and problem in his struggle to demand for

justice and his efforts in demanding justice.

METHOD

The analysis used in this study is based on

the theory of analyzing justice (Meyer, 1965)

which consists of three classification; distributive,

retributive, and compensatory justice. The object

of this study is Maxwell Anderson’s Play, entitled

“Winterset”. The steps of the analyzing data

include; (i) determining the value, (ii) picking up the

relevant act, (iii) identifying the type of justice, (iv)

Page 93: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

Syamsuddin Ro’is, The Main Character’s Eforts to Seek Justice in Winterset (A Court Case Study in Maxwell Anderson’s Play)88

explaining the collected data, and (v) interpreting

the data.

FINDINGS AND DISCUSSION

Seeking justice is the major motivation of the

main character in Winterset. The main character

of the drama is Mio since he is the character who

determines the theme and the plot of the drama.

He is also the protagonist and at the same time the

tragic hero of the play.

Mio is the only son of Bartolomeo Romagna.

When he was four years old his father was

confronted with murder charge. The authorities

resolved to pass the death sentence against his

father, though in fact the father did not take part

in the murder of pay roll master so that he became

an orphan.

His father becomes the victim of the unjust

trial. The death of his father drives his mother to

an extreme grief that causes her immediate death.

He has no properties and no permanent house.

He only inherits his father’s message to oppose the

unjust verdict and the grievous death of his mother.

He lives in very poor condition and look like a

tramp, who wanders from one place to another.

He remembers going to the death cell together

with his mother, waiting for his father’s execution.

He remembers listening to his father’s crying for

justice. In this case his father is powerless to evade

the verdict. Before the death sentence is passed

against him, in the electric chair, he still has time to

ask his son to fulfill his father’s message. His father

will have him desert his home country to another

where law and justice are fairly guaranteed. It all can

be judged from the following quotation:

Mio: when I was four years old,

We climbed through an iron gate, my mother

And I,

To see my father in prison. He stood in the

Death cell

And puts his hand through the bars and said,

My Mio,

I have only this to leave you, that I love you,

And will love you after I die. Love me then,

When this hard thing comes on you, that you

Must live

A man despised for your father. That night

The guards.

Walking in flood-lights brighter than high

Noon,

Led him between them with his trousers slit

And a shaven head for the cathodes. This

Sleet and rain

That I feel cold here on my face and hands

Will find him under thirteen years of why

In prison ground. Lie still and rest my

Father,

For I have not forgotten. When I forget

My I lie blind as you. No other love,

Time passing, nor the spaced light years of

Suns

Shell blur your voice, or tempt me from the path

That clears your name---

Till I have these rats in my grip

Or sleep deep where you sleep. (To Miriamne).

(Act I, Scene III, 11. 895-926: 17)

It is quite clear his father told him the father

did not commit the murder. A man has despised

him and put him in a jail for the thing that the father

never did. He keeps this memory in his whole life.

The ultimate objective he has in life is to clear his

father’s name. Thirteen years later Mio discovers

that his father has been wrongly executed. The state

does not uphold the law and justice so that it can

do harm to the innocent people. The authorities

accuse his father of being a murderer and a robber

and they decide to pass the death sentence against

him, though in fact his father is not guilty. For that

reason Mio’s mind is always saddened by untimely

death of his father. He hates deeply the authorities

who acted unlawfully towards his father’s case. He

thinks that the trial was unfair since it has been

already arranged by attending a false testimonies

from the one who is not the eye witness of the

murder.

Judge Gaunt is the one who lead the trial

and passed sentence of death to Mio’s father.

It is clear that the trial is unfair since there are

biased arguments for the verdict. The trial is not

the process to keep and guarantee justice. It has

transformed to be a process to kill the innocent.

Furthermore, the trial which represents one of the

Page 94: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 1 Januari-Juni 2015 89

government body to protect the citizen has failed

to run keep its duty. It is dangerous since it reflects

that the government is directed by the interest of

certain people who have a specific objective to

maintain their own interest over the greater interest

of all citizens.

In this case, Mio actually does not only fight

against the unfair decision of the trial caused by

the personal judge but also struggle against the

corrupt institution of law. The jury which has

been instituted by the state has also violated its

fundamental function. It is formed to protect

the individual from the tyranny of the dominant

actors in society but it inversely has become the

instrument of that tyranny.

Thus the verdict upon Bartolomeo clearly

shows that it is motivated by the sense of prejudice

over the minority. There is inequality before the law

between the white people and the black people. The

white always right even though they do injustice.

Meanwhile the black people does not have his right

to protect themselves.

Mio wonders what will happen to him if

the authorities regard his father as a criminal. He

certainly feels that, being the son of a criminal,

he has lost his place in society. Through his

investigation, he discovers that his father is not

involved in the crime and he is there only by chance.

For that reason h should regain his rightful place

by disclosing his father’s case to the world that his

father is innocent. He is strongly opposed to the

judge’s unjust verdict because the cobra-mouthed

judge may have spat the truth that it can do his

father harm. He urges himself to clear his father’s

good name by telling everyone that the state has

wrongly executed him.

Later on, Mio’s determination to clear his

father’s name is gaining a clear clue. One day,

professor Hobhouse, a distinguished lawyer,

publishes an article dealing with the Bartiolomeo

Romagna’s case. He does not agree with Judge

Gaunt because the latter is unjust in his verdict.

Professor Hobhouse is of the opinion that the

trial of Bartolomeo Romagna is unfair because

the tue eyewitness is not called in. Garth Esdras is

mentioned to be the true eye witness. Everybody

comes to know the sensitive case through this

famous article. Owing to this information Mio

wants to find out Garth Esdras with the hope he

will be able to solve his father’s trial immediately.

For Mio the sooner is the better.

Upon arriving at Esdras’s apartment he

discovers Judge Gaunt there arguing about the

Bartolomeo Romagna case with Esdras. Mio tries

to join the discussion but, at first he is refused to

come into the apartment. He is permitted to join

the conversation only after he disguise himself as

a newspaper boy who collects old newspaper to

support his hard life. Judge Gaunt is one of the

lawyers who presided the trial of Bartolomeo

Romagna. He has winnoaed out the truth and

justice. During the trial he carries out his own

judgement regarless of the true fact. He abuses the

law to disgrace Mio’s father for he is a black and

a well-known radical in the state. The reason for

his madness is that because Judge Gaunt is terribly

anxious about his own decision to have passed a

capital punishment against Bartolomeo Romagna.

His verdict was felt against the sound reason from

the bottom of his heart. Being unable to overcome

his anxiety he becomes mad. Judge Gaunt, after

having criticized by professor Hobhouse flatly

denies the accusation. Professor Hobhouse is not

quite in agreement with what Judge Gaunt decided

in the trial.

The trial is arranged in a way that to reflect a

fair trial. However, it is based on his personal dislike

and is full of legerdemain. Judge Gaunt angrily

declares that Bartolomeo Romagna is guilty and the

great injustice lays on Mio’s side., not on his side. In

this case Mio’s efforts to do what his father wants,

is confirmed wiyth a great obstacles.

Mio happens to meet Miriamne, Garth Esdras’

sister. He tells her that his only reason to come here

is to pay his father’s revenge. Owing to professor

Hobhouse article, Mio finds that Garth Esdras is

the man who knows a lot about the crime. Had he

been called in to give the testimonies Bartolomeo

Romagna would not have been declared guilty.

However, Garth Esdras is intentionally not given

the rights to present his testimonies to the trial.

The authorities understand well about this, and

Page 95: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

Syamsuddin Ro’is, The Main Character’s Eforts to Seek Justice in Winterset (A Court Case Study in Maxwell Anderson’s Play)90

they avail of this opportunity to punish Bartolomeo

Romagna. For this purpose the true eyewitness

is not called in during the trial and instead they

present the state witnesses who give their fake

testimonies. As the result, Bartolomeo Romagna is

wrongly decided to be guilty and that he deserves

a death sentence.

Later on Mio tries to confront Garth Esdras;s

statement with Judge Gaunt, but the latter denies

him and Judge Gaunt assures him that Bartolomeo

Romagna is guilty. Whereas Bartolomeo Romagna

is found not guilty by all due to the process of

the law. Every words Bartolomeo Romagna speak

during the trial is sweet and tolerant so that, when

Mio is in search of the records, he finds out not one

unbiased argument to fix the crime on Bartolomeo

Romagna, Mio shows Judge Gaunt the true fact of

this crime and says that his father does not take

part in the accused crime. It is difficult for Judge

Gaunt to answer him and he seems to neglect his

questions. Finally, he confesses that the article by

professor Hobhouse are all true. He is unfair in

taking his decision because the judge intentionally

does not present the true witness.

It seems that government does not materialize

the law and justice sincerely and honestly. The

verdict on the case of Bartolomeo Roimagna is the

proof. Before the trial begins the charge is arranged

in such a way so as to keep the wording in balance

and to trap Bartolomeo Romagna so that he is to

meet his death in disgrace.

Mio repeatedly disclose his chief attention to

seek the truth. By means of the truth his father’s

name will be cleared from nhis notoriety. Now he

tries to confront the evidence proving his father’s

innocence with Trock Estrella.

The real culprit is Trock Estrella who is

capable of escaping the arrest with some bags of

money. He does not fell free enough in his life. In

the meantime Trock Estrella flatly denies Mio’s

accusation charging him as the real murderer.

However, he is shocked into his confession by the

reappearance of Shadow, his accomplice, whom

he shoots down recently. Trock Estrella believes

that Shadow is already dead. His reappearance

surprises him very much. Shadow tells Mio that

the true criminal is Trock Estrella, and bartolomeo

Romagna is not involved in the crime. Shadow

whose body is soaked with blood from the wounds

of Trock Estrella’s bullets tries to aim his gun

at Trock Estrella but before he fires a shot he

collapses.

Trock Estrella is in great trouble now. It is

impossible for him to hide the true facts in which

Bartolomeo Romagna is really not involved in the

crime and the culprit is TRock Estrella himself.

Mio is well-informed about this. Therefore, Trock

Estrella regards Mio as a danger. Mio is firmly

convinced now that Trock Estrella is the real

murder. Garth Esdras is the eye witness but he is

not called in to give his testimonies while Judge

Gaunt has conduvcted an unfair trial towards his

father. He resolves to prove to the world that his

father is innocent and his trial is unfair. However,

before he manages to make it known publicly Trock

Estrella fatally shoots him. His love, Miriamne,

swears to do this on his behalf but a few shots is

enough to make her breathless. His demand for

justice lot of obstacles that cost his own life.

CONCLUSION

The play of Maxwell Anderson clearly describe

the wretched condition of the state. The whole

part of this drama contains the quarrel and the

struggle and the bloodshed among the characters.

The writer can find a lot of unlawful actions that

are committed by the authorities to oppress the

citizens. They do not pay attention to the citizens.

They think more of their own need that that of

the common people. Of course such situation is

disadvantageous and unbeneficial to the common

people. The tragedy of the play concerns with the

struggle against the social injustice to reach peace

and order. It costs a lot of lives to achieve such a

goal. As far as the writer know the character who

commit crimes and who dislike the establishment

of justice as always fearful, doubtful and anxious

in their life. Furthermore we come to know that

there are conflicts. Without conflict there will be

no tragedy. First is the conflict involving the leader

of the crime against his close friend and against the

characters who dislike justice and the second is the

Page 96: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

JURNAL BAHASA DAN SASTRA, Vol. 2 No. 1 Januari-Juni 2015 91

conflict between the hero and the characters who

exploit the establishment of justice

REFERENCES

Emery, Lucilius A. 2010. Concerning Justice. London:

Yale University Press.

Ewing, AC. 1962. The Fundamental Question of

Philosophy. New York: Coller Books.

John, Gasser. 1959. Twenty Best Plays of the Modern

American Theatre. New York: Crown Publisher,

Inc.

Mayer J, Arthur. 2012. Justice and Fairness. Issues in

Ethics.(online), Volume 3, Number 2, (http://

www.scu.edu/ethics/practicing/decision/

justice.html accessed on 30/5/2012)

Mayer, Lewis. 1965. The Machinery of Justice. New

Jersey: Prentice Hall, Inc.

Munn, Norman, L. 1961. The Fundamental of

Adjustment. Boston: Houghton Mufflin

Company.

Organ, Troy Wilson. 1965. The Art of Critical

Thinking . Boston: Houghton Muffl in

Company.

Reaske. Russel. 1968. How to Analyze Drama. New

York: Oxford University Press.

Sturrock, John. 2003. Structuralism. Oxford:

Balckwell Publishing.

Train, Arthur. 2004. Courts and Criminals. London:

Yale University Press.

Winston, Joe. 1998. Drama, Narrative and Moral

Education. Washington: USA Falmer Press,

Taylor & Francis Inc.

Page 97: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember
Page 98: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

PETUNJUK BAGI PENULIS

1. Artikel yang dimuat berupa analisis, kajian, hasil penelitian, dan pembahasan kepustakaan.

2. Artikel merupakan karya asli penulis dan terbebas dari penjiplakan (plagiat). Isi artikel dan

kemungkinan pelanggaran etika penulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.

3. Naskah belum pernah diterbitkan dalam jurnal dan media cetak lain, diketik 1,5 spasi pada kertas

A4, panjang 10-20 halaman, margin 3 cm (atas, bawah, kanan, dan kiri) dan diserahkan paling lambat

3 bulan sebelum bulan penerbitan dalam bentuk print-out sebanyak 2 eksemplar dan file CD. Berkas

naskah diketik dengan Microsoft Word, font 12 Times New Roman. File naskah juga bisa dikirim lewat

email [email protected]

4. Nama penulis artikel dicantumkan tanpa gelar akademik dan ditempatkan di bawah judul artikel,

institusi asal, dan alamat e-mail penulis artikel. Bila penulis terdiri atas empat orang atau lebih,

yang dicantumkan di bawah judul artikel adalah nama penulis utama; nama penulis-penulis lainnya

dicantumkan pada catatan kaki halaman pertama naskah. Artikel hasil penelitian yang dikerjakan

oleh tim, semua anggota tim harus dicantumkan. Dalam proses penyuntingan artikel, pengelola

jurnal hanya berhubungan dengan penulis utama atau penulis yang namanya tercantum pada urutan

pertama.

5. Artikel nonpenelitian terdiri atas: (a) judul (maksimal 10 kata) (b) identitas penulis, institusi asal,

dan alamat e-mail penulis artikel (c) abstrak (abstract) dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris

masing-masing terdiri dari 100-200 kata, (d) kata-kata kunci (keywords) dalam bahasa Indonesia dan

Inggris (3-5 kata/frase), (e) pendahuluan (tanpa judul subbab) yang berisi latar belakang dan tujuan

atau ruang lingkup tulisan, (f) pembahasan (dapat dibagi ke dalam beberapa sub-bagian); (g) simpulan,

dan (h) daftar pustaka (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk).

Artikel hasil penelitian disajikan dengan sistematika sebagai berikut: (a) judul (maksimal 15 kata)

(b) nama penulis, institusi asal, dan alamat e-mail penulis artikel (c) abstrak (abstract) dalam bahasa

Indonesia dan bahasa Inggris, masing-masing terdiri dari 100-200 kata yang berisi tujuan, metode,

dan hasil penelitian, (d) kata-kata kunci (keywords) dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris

(3-5 kata/frase), (e) pendahuluan (tanpa judul subbab) berisi latar belakang penelitian, telaah teori

relevan terpenting, dan tujuan penelitian (maksimal 25% dari jumlah halaman artikel), (f) metode

penelitian (maksimal 20% dari jumlah halaman artikel), (g) hasil dan pembahasan (maksimal 20%

dari jumlah halaman artikel), (h) simpulan, dan (i), daftar pustaka (hanya memuat sumber-sumber

yang dirujuk).

6. Daftar rujukan disajikan mengikuti tatacara seperti contoh berikut, diurutkan secara alfabetis dan

kronologis.

Buku

Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta Pusat: Pembinaan

dan Pengembangan Bahasa Dekdipbud.

Good, Thomas. L and Brophy, Jere. E. 1991. Looking in Classroom (5th ed). New York: Harpercollins,

Inc.

Bunga rampai atau antologi

Salmon, Claudine. 1999. “Fiksi Etnografis dalam Kesusasteraan Melayu Peranakan”. Dalam Henri

Chambert-Loir dan Hasan Muarif Ambari (Ed.). Panggung Sejarah: Persembahan Kepada Prof. Dr.

Denys Lombard. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Page 99: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

Buku yang disusun oleh lembaga

Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama.

Buku terjemahan

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan. Terjemahan Melani Budianta. Jakarta: PT.

Gramedia.

Jurnal

Yektiningtyas-Modouw, Wigati. 2007. “Fungsi Ehabla dalam Masyarakat Sentani Papua”. Atavisme:

Jurnal Ilmiah Kajian Sastra. Volume 10. Surabaya: Balai Bahasa Surabaya

Surat kabar

Hutomo, Suripan Sadi. 1978. “Pribumi dan Nonpribumi dalam Sastra Indonesia dan Daerah”.

Surabaya Post. 27 Maret.

Makalah dalam pertemuan ilmiah

Sudikan, Setya Yuwana. 2001. “Cerita Rekaan dalam Sastra Jawa Modern Tahun 1980—2000an:

Kajian Sosiologi Sastra”. Kongres Bahasa Jawa III Tahun 2001, Yogyakarta, 15—20 Juli

2001.

Laporan penelitian, skripsi, tesis, atau disertasi

Saputra, Heru S.P. 2003. “Mantra Sabuk Mangir dan Jaran Goyang dalam Budaya Using di

Banyuwangi”. Tesis. Yogyakarta: Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

Internet (artikel dalam jurnal dalam jaringan/online)

Istanti, Kun Zachrun. 2001. “Hikayat Amir Hamzah: Jejak dan Pengaruhnya dalam Kesusastraan

Nusantara. Humaniora. (Online), Volume XIII, No. 1, (http://www.jurnal-humaniora.ugm.ac.id,

diunduh tanggal 15 Juli 2008.

7. Untuk artikel hasil penelitian, penulis wajib mengirimkan soft-file laporan penelitian dan lembar

pengesahan laporan penelitian. Lembar pengesahan laporan penelitian dikirim melalui faximile ke

(0352) 481841, dan soft-file laporan penelitian dikirim ke e-mail: [email protected]

8. Segala sesuatu yang menyangkut perijinan pengutipan atau penggunaan software komputer untuk

pembuatan naskah atau hal lain yang terkait dengan HAKI yang dilakukan oleh penulis artikel, berikut

konsekuensi hukum yang mungkin timbul karenanya, menjadi tanggung jawab penuh penulis artikel

tersebut.

9. Sumber rujukan sedapat mungkin merupakan pustaka-pustaka terbitan 10 tahun terakhir. Rujukan

yang diutamakan adalah sumber-sumber primer berupa laporan penelitian (termasuk skripsi, tesis,

disertasi) atau artikel-artikel penelitian dalam jurnal dan/atau majalah ilmiah.

10. Semua naskah ditelaah secara anonim oleh penyunting ahli (reviewers) yang ditunjuk oleh penyunting

menurut bidang kepakarannya. Penulis artikel diberi kesempatan untuk melakukan perbaikan (revisi)

naskah atas dasar rekomendasi/saran dari penyunting ahli atau penyunting. Kepastian pemuatan

atau penolakan naskah akan diberitahukan secara tertulis.

11. Untuk memudahkan komunikasi, penulis wajib menyertakan nomor handphone, alamat korespondensi,

dan alamat e-mail.

12. Outline artikel:

Page 100: lppmstkipponorogo.ac.idlppmstkipponorogo.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/JURNAL-BAHA… · JURNAL BAHASA DAN SASTRA Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

Artikel Non-penelitian

JUDUL

Nama (tanpa gelar)Institusi asalEmail penulis

Abstrak: (Bahasa Indonesia)Kata Kunci:

Abstract: (Bahasa Inggris)Keywords:

PENDAHULUAN/INTRODUCTIONPEMBAHASAN/DISCUSSION

........

........SIMPULAN/CONCLUSIONDAFTAR PUSTAKA/REFERENCES

Artikel Hasil Penelitian

JUDUL

Nama (tanpa gelar)Institusi asalEmail penulis

Abstrak: (Bahasa Indonesia)Kata Kunci:

Abstract: (Bahasa Inggris)Keywords:

PENDAHULUAN/INTRODUCTIONMETODE/METHODHASIL DAN PEMBAHASAN/FINDINGS AND DISCUSSION

........

........SIMPULAN/CONCLUSIONDAFTAR PUSTAKA/ REFERENCES

Times new roman, 12pt, spasi 1, centered

nama ditulis tebal

Times new roman, 12pt, spasi 1, centered

nama ditulis tebal

Times new roman, 12pt, justify, italic, spasi 1,

setiap abstrak terdiri 1 paragraf (100-200 kata)

Times new roman, 12pt, justify, italic, spasi 1,

setiap abstrak terdiri 1 paragraf (100-200 kata)

Times new roman, 12pt, justify, spasi 1,5

Pendahuluan (tanpa sub-bab/numbering)

Pembahasan (dapat dibagi menjadi sub-bab)

Simpulan (1 paragraf, tanpa saran)

Bagian yang dicetak kapital dan tebal hanya bab

sesuai outline di samping

Times new roman, 12pt, justify,

spasi 1,5

Pendahuluan (tanpa sub-bab/

numbering)

Pembahasan (dapat dibagi

menjadi sub-bab)

Simpulan (1 paragraf, tanpa

saran)

Bagian yang dicetak kapital dan

tebal hanya bab sesuai outline di

samping

Times new roman, 14pt, centered, kapital, bold

Times new roman, 14pt, centered, kapital, bold