isi skripsi

154
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai Negara demokrasi, Indonesia melakukan pemilihan umum (Pemilu) dalam periode lima tahun sekali. Definisi Pemilu berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945. Dari periode ke periode, sistem pemilihan umum di Indonesia berubah sesuai dengan berubahnya corak pemerintahan Indonesia, dari orde baru ke dalam orde reformasi. Perubahan sistem pemilu tersebut juga diikuti dengan perubahan Undang-Undang Pemilu yang berimplikasi kepada perubahan cara memilih. Di Indonesia, lembaga yang bertugas untuk menyelenggarakan pemilihan umum adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan di bawah pengawasan dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Pemilu memungkinkan terbentuknya sebuah pemerintahan perwakilan (representative government) yang merupakan gambaran ideal dan maksimal bagi suatu pemerintahan demokrasi di zaman modern. Definisi demokrasi menurut Huntington (1995) adalah suatu sistem politik dimana para pembuat keputusan kolektif tertinggi dalam sistem ini dipilih melalui pemilihan umum yang adil, jujur, dan berkala. Karena itu, pemilu tidak hanya berkaitan dengan kebutuhan pemerintah akan keabsahan kekuasaannya, juga yang terpenting adalah sebagai sarana bagi rakyat untuk mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan mereka dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (Amirudin, 2008: 11). Pemilu mempunyai beberapa fungsi yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya (Prihatmoko, 2008: 48-50), yaitu: a) Sebagai sarana legitimasi politik; b) Sebagai perwakilan politik; c) Sebagai

Upload: nurul-jannati-rochmah

Post on 24-Jun-2015

1.542 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: ISI SKRIPSI

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai Negara demokrasi, Indonesia melakukan pemilihan umum (Pemilu)

dalam periode lima tahun sekali. Definisi Pemilu berdasarkan Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum

adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung,

umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik

Indonesia Tahun 1945. Dari periode ke periode, sistem pemilihan umum di Indonesia

berubah sesuai dengan berubahnya corak pemerintahan Indonesia, dari orde baru ke

dalam orde reformasi. Perubahan sistem pemilu tersebut juga diikuti dengan

perubahan Undang-Undang Pemilu yang berimplikasi kepada perubahan cara

memilih. Di Indonesia, lembaga yang bertugas untuk menyelenggarakan pemilihan

umum adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan di bawah pengawasan dari

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Pemilu memungkinkan terbentuknya sebuah pemerintahan perwakilan

(representative government) yang merupakan gambaran ideal dan maksimal bagi

suatu pemerintahan demokrasi di zaman modern. Definisi demokrasi menurut

Huntington (1995) adalah suatu sistem politik dimana para pembuat keputusan

kolektif tertinggi dalam sistem ini dipilih melalui pemilihan umum yang adil, jujur,

dan berkala. Karena itu, pemilu tidak hanya berkaitan dengan kebutuhan pemerintah

akan keabsahan kekuasaannya, juga yang terpenting adalah sebagai sarana bagi

rakyat untuk mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan mereka dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara (Amirudin, 2008: 11). Pemilu mempunyai beberapa fungsi

yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya (Prihatmoko, 2008: 48-50), yaitu: a)

Sebagai sarana legitimasi politik; b) Sebagai perwakilan politik; c) Sebagai

Page 2: ISI SKRIPSI

2

mekanisme bagi pergantian atau sirkulasi elit penguasa; d) Sebagai sarana pendidikan

politik bagi rakyat.

Langkah awal untuk mendorong pemilu yang demokratis adalah dengan

memberikan informasi mengenai pemilu langsung dan visi-misi calon peserta pemilu

kepada masyarakat. Tidak saja dalam bentuk pemaparan satu arah, melainkan juga

dialog interaktif agar masyarakat secara terbuka dapat menilai kapasitas dan

komitmen calon peserta pemilu terhadap dinamika yang berkembang nyata di

masyarakat yang kompleks ini. Dialog publik dengan berbagai komponen masyarakat

dapat menjadi salah satu sarana yang efektif untuk membangun komunikasi dan

dukungan dari masyarakat, baik terhadap kebijakan maupun langkah-langah teknis

yang menjadi visi dan misi calon peserta pemilu. Tugas inilah yang diemban KPU

sebagai lembaga penyelenggara pemilu 2009, demi tercapainya pemilu yang

demokratis. KPU dituntut untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat secara

professional, proporsional, dan bertanggung-jawab. KPU harus memberikan

konstribusi yang nyata di bidang pelayanan publik dalam bidang pemilu sebab pemilu

merupakan sarana pendidikan politik di tingkat nasional dan lokal melalui sepuluh

prinsip penerapan, yaitu penyediaan pelayanan publik yang meliputi kesederhanaan,

kepastian, waktu, akurasi, keamanan, tanggung jawab, kelengkapan sarana &

prasarana, kemudahan akses, kedisiplinan, dan keramahan serta

kenyamanan.(KPU,http://www.pemilu.kpu.go.id/index/php/option/com/content&task

view32 itemid62.html, akses 08 November 2009).

Sebagai warga negara Indonesia, setiap individu mempunyai hak dan

kewajiban masing-masing. Begitu pula dalam pemilihan umum, masyarakat

Indonesia yang telah mendapatkan hak pilihnya berhak untuk turut berpartisipasi

dalam pemilihan umum demi tercapainya kesuksesan pemilu di Indonesia. Hak

tersebut juga menyangkut hak-hak pemilih lainnya meliputi hak untuk terdaftar

sebagai pemilih, hak untuk menentukan pilihan secara mandiri, hak atas kerahasiaan

pilihan, hak untuk bebas dari intimidasi, hak untuk memperoleh informasi mengenai

Page 3: ISI SKRIPSI

3

pemilu, hak untuk memantau dan hak untuk melaporkan adanya pelanggaran pemilu.

Berbagai hak pemilih di atas dilindungi oleh UU Pemilu No.12/2003.

(Gani, http://www.berpolitik.com/static/myposting/2008/02/myposting_10327.html,

akses 12 Januari 2009).

Esensi dari pemilu akan berhasil apabila seluruh masyarakat Indonesia yang

telah mempunyai hak sebagai warga negara Indonesia menggunakan hak tersebut

dengan sebaik-baiknya, bukan sekedar memeriahkan pesta demokrasi, namun juga

untuk menunjukkan konstribusinya demi masa depan bangsa ini. Hal ini sesuai

dengan yang diungkapkan oleh Prihatmoko (2008: 46) bahwa keberhasilan pemilu

dapat ditunjukkan dengan adanya partisipasi politik rakyat yang secara sadar

menggunakan hak mereka untuk memilih sesuai dengan hati nurani, demi masa depan

demokrasi Indonesia. Untuk mewujudkan esensi tersebut, pendidikan pemilih perlu

diberikan kepada masyarakat awam terutama para pemilih pemula/berpendidikan

rendah. Kendala rendahnya masyarakat dalam menggunakan hak pilih tidak lepas dari

peran aparat pemerintah dan seluruh anggota masyarakat sebagai pemilih yang belum

memahami betul peraturan yang ada. Sebagai pemilih, masyarakat diharapkan dapat

memahami hak dan kewajibannya serta dapat menempatkan diri sesuai porsi yang

telah diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Hasil riset yang dilakukan oleh Asia Foundation 1998 menyimpulkan bahwa

kurang demokratisnya pelaksanaan pemilu di Indonesia pada masa Orde Baru, selain

disebabkan oleh banyaknya penyelewengan yang dilakukan oleh pemerintah dan

parpol kontestan pemilu, juga disebabkan oleh rendahnya pemahaman masyarakat

tentang berbagai hal yang ada kaitannya dengan pelaksanaan pemilu, seperti tentang

demokrasi, kebebasan berserikat, berkumpul, menyatakan pendapat, dan tentang

kaitan antara pemilu dan demokrasi (Rita, 1999: 1). Hasil riset ini menyadarkan

bahwa harus ada upaya-upaya kependidikan untuk mempersiapkan masyarakat

Indonesia menjelang pelaksanaan pemilu.

Pendidikan pemilih diharapkan dapat membantu seluruh rakyat mendapatkan

informasi sejelas-jelasnya dan sebanyak-banyaknya tentang penyelenggaraan pemilu

Page 4: ISI SKRIPSI

4

agar mereka dapat menentukan pilihan dan terhindar dari praktik-praktik pemaksaan

dan money politic, maupun melalui cara-cara lainnya yang bertentangan dengan nilai-

nilai luber dan jurdil. Memberikan pengetahuan sebanyak-banyaknya kepada

masyarakat tentang aspek-aspek penyelenggaraan pemilu berarti menumbuhkan

keberanian mereka untuk menyatakan dan menggunakan haknya sesuai dengan hati

nurani mereka dan sesuai dengan cita-cita kedaulatan rakyat.

KPU sebagai organisasi memiliki kewajiban melaksanakan sejumlah kegiatan

komunikasi sebagai bentuk pertanggung-jawabannya kepada rakyat. KPU melakukan

kegiatan „pendidikan kepada para pemilih‟ agar tercapai kesuksesan dalam

melaksanakan pemilu 2009. Singkatnya, KPU mencari cara tertentu untuk

mengkomunikasikan informasi yang membujuk anggota-anggota kelompok sasaran

dalam hal ini adalah para calon pemilih sehingga berperilaku sesuai dengan

keinginannya, yaitu untuk menggunakan hak pilihnya dengan baik dan benar.

Berbagai bentuk pendidikan pemilih telah dilakukan sebelumnya oleh KPU dengan

cara melakukan berbagai kegiatan komunikasi seperti publikasi dan sosialisasi

(Prihatmoko: 2008).

KPU Kabupaten Blora adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan dari KPU

yang mempunyai kewenangan untuk menyelenggarakan pemilu di kabupaten Blora.

Pada tahun 2004, KPU Kabupaten Blora telah melaksanakan serangkaian kegiatan

yang bertujuan untuk memberikan informasi pemilu dan pendidikan pemilih kepada

masyarakat kabupaten Blora. Kegiatan yang telah dilaksanakan antara lain:

mendistribusikan produk-produk yang berkaitan dengan informasi pemilu dan

pendidikan memilih seperti buku panduan pemilu 2004, VCD pemungutan dan

penghitungan suara, poster-poster yang berisi ajakan kepada konstituen untuk

menggunakan hak pilihnya, leaflet dan ilustrasi surat suara, buku cara mencoblos

yang benar, spanduk, dan sebagainya; melakukan sosialisasi ke sejumlah radio swasta

di Blora; serta mengadakan sosialisasi langsung kepada masyarakat (Laporan Hasil

Pemilu 2004 KPU Kabupaten Blora, 134: 2004).

Page 5: ISI SKRIPSI

5

Pada pemilu 2009 lalu, KPU Kabupaten Blora mengalami jumlah peningkatan

DPT dari 598.251 pemilih, menjadi 697.350 pemilih (Data KPU Kabupaten Blora

tahun 2004 dan 2009). Peningkatan ini juga mengharuskan KPU Kabupaten Blora

melakukan kegiatan pendidikan pemilih lebih maksimal dari pemilu-pemilu

sebelumnya. Apalagi, mengingat bahwa sistem pemilu pada saat itu berubah cara dari

‟mencoblos‟, menjadi ‟mencontreng‟. Selain itu, pendidikan pemilih pemilu 2009

sangat diperlukan pada masyarakat Blora yang mayoritas penduduknya

berpendidikan rendah. Hal ini terlihat dari data yang menunjukkan bahwa tidak lebih

dari 60% penduduk Kabupaten Blora melanjutkan jenjang pendidikan SMA (SKB

Blora,http://www.skbblora.com/index.php?option=com_content&task=view&id=12

&Itemid=45, akses 20 November 2009).

Setiap lima tahun sekali aktivitas komunikasi terhadap para pemilih

dijalankan oleh KPU Blora sebagai perwujudan rasa tanggung-jawabnya agar pemilu

di kabupaten Blora sukses dan jumlah partisipasinya terus meningkat. Atas dasar

itulah, pemerintah kabupaten Blora yang dalam hal ini diwakili oleh KPU Kabupaten

Blora melakukan komunikasi „pendidikan pemilih‟ kepada masyarakat Blora yang

telah memiliki hak pilih demi tercapainya kesuksesan pemilu 2009 di kabupaten

Blora.

Untuk membangun hubungan antara organisasi (KPU Kabupaten Blora) dan

publiknya (para pemilih), serta dapat menerapkan tindakan yang akan dilakukan,

perlu keahlian dalam berkomunikasi secara efektif dan efisien. Untuk itu perlu

diperhatikan strategi pesan yang akan disampaikan dalam berkomunikasi, pesan

dirancang untuk setiap publik sasaran (para pemilih) dalam mendukung pencapaian

sasaran dan tujuan program, yaitu kesuksesan pemilu 2009. Strategi merupakan hal

yang sangat penting karena strategi merupakan cara dalam mencapai suatu tujuan

sehingga misi dapat dicapai (Ruslan, 2006:182).

Keberhasilan suatu program komunikasi dapat diukur melalui proses evaluasi

kegiatan. Evaluasi yang signifikan terhadap suatu program haruslah dilakukan

berdasarkan pengukuran secara ilmiah mengenai peningkatan atau perubahan

Page 6: ISI SKRIPSI

6

pendapat, sikap, dan tingkah laku khalayak mengenai organisasi. Evaluasi pada

tingkat efek atau dampak, digunakan untuk mengukur apakah program yang

dijalankan sudah berhasil meningkatkan kesadaran, mengubah pendapat, sikap dan

tingkah laku khalayak (Ruslan, 2006:224).

Pada penelitian ini, penulis mengambil objek pendidikan pemilih pemilu

legislatif 2009 karena jalannya pemilu legislatif merupakan penentuan keberhasilan

dari pemilu selanjutnya, yaitu pemilu Presiden. Selain itu, pada pemilu legislatif

2009, sistem pemilihan yang baru dilaksanakan untuk pertama kalinya yaitu

„mencontreng‟.

Berangkat dari hal ini perlu dilakukan penelitian tentang aktivitas komunikasi

pendidikan pemilih pemilu 2009 yang dilaksanakan oleh KPU Kabupaten Blora

kepada masyarakat Blora, untuk kemudian penulis lakukan evaluasi sesuai dengan

teori evaluasi komunikasi yang ada guna menemukan solusi dari berbagai

permasalahan agar pendidikan pemilih pemilu berjalan lebih baik lagi di masa

mendatang. Selain isu tentang pendidikan pemilih masih hangat, juga walaupun

program pendidikan pemilih sudah pernah dilakukan, tidak menutup kemungkinan

akan hal-hal yang tidak diingankan pada program pemilih selanjutnya.

B. Rumusan Masalah

KPU Kabupaten Blora sebagai penentu kesuksesan pemilu 2009 di Kabupaten

Blora dituntut untuk menjalankan fungsinya sebagai salah satu lembaga

penyelenggara pendidikan politik dengan konsekuen demi terwujudnya pemilu yang

adil dan demokratis di kabupaten Blora. Persoalannya kemudian adalah apakah

proses pendidikan pemilih pemilu 2009 di kabupaten Blora yang dilakukan oleh KPU

Kabupaten Blora telah berjalan sebagaimana mestinya? Berangkat dari hal inilah

dirasakan perlu dilakukan penelitian tentang aktivitas komunikasi ‟pendidikan

pemilih‟ yang telah dijalankan KPU Kabupaten Blora sebagai lembaga pendidikan

politik pemilu 2009. Penelitian ini dikaitkan dengan perspektif evaluasi komunikasi,

yaitu suatu kegiatan yang terkait dengan aktivitas komunikasi antara organisasi

Page 7: ISI SKRIPSI

7

dengan publiknya. Dalam hal ini, komunikasi yang terjalin antara KPU kabupaten

Blora dengan masyarakat Blora yang telah memiliki hak pilih. Sesuai dengan latar

belakang di atas, perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

a) Program komunikasi apakah yang dilakukan oleh KPU Kabupaten Blora

dalam mendidik pemilih pada pemilu legislatif 2009?

b) Bagaimanakah evaluasi aktivitas komunikasi KPU Kabupaten Blora dalam

mendidik pemilih 2009 ditinjau dari segi dampak pesannya?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk :

a) Mengetahui secara lebih rinci dan jelas mengenai program komunikasi yang

dilakukan oleh KPU Kabupaten Blora pada pemilu legislatif 2009.

b) Mengevaluasi aktivitas komunikasi „pendidikan pemilih‟ pemilu legislatif

2009 kepada masyarakat Blora ditinjau dari segi dampak pesannya.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang akan didapat dari penelitian ini diantaranya :

1. Akademis

Sebagai bahan pembelajaran dan pengetahuan dalam ilmu komunikasi,

khususnya dalam bidang komunikasi politik dan Public Relations sebagai

salah satu alat pemerintah untuk mensosialisasikan kebijakannya terhadap

masyarakat. Penelitian ini juga dapat dijadikan bahan referensi untuk

penelitian lain yang serupa mengenai masalah pendidikan politik, perbaikan

sistem pemilu, atau perkembangan pembahasan terhadap teori manajemen

komunikasi sebagai bagian dari aktivitas Public Relations.

2. Bagi Peneliti

Menambah pengetahuan peneliti akan ilmu komunikasi politik, dan

salah satu fungsi Public Relations sebagai pihak yang menjembatani antara

Page 8: ISI SKRIPSI

8

pemberi kebijakan (pihak yang mempunyai kewenangan) dengan masyarakat,

atau elemen lainnya dalam suatu institusi.

3. Bagi Lembaga yang Diteliti

Memberikan masukan berupa saran, agar dapat dijadikan bahan

pertimbangan dalam melaksanakan aktivitasnya sebagai lembaga pendidikan

politik, sehingga dapat lebih memaksimalkan perannya untuk mensukseskan

pemilu di Kabupaten Blora.

4. Bagi Masyarakat

Dapat memberikan pengetahuan yang lebih mendalam tentang apa itu

pendidikan politik, sehingga masyarakat diharapkan lebih dapat bersikap

bijaksana dalam menggunakan haknya sebagai warga negara di pemilu

mendatang.

E. Tinjauan Pustaka

1. Penelitian Terdahulu

a. Penelitian sebelumnya pernah dilakukan oleh Ika Rahmawati

(153030121), mahasiswi Ilmu Komunikasi FISIP, Universitas

Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta pada tahun 2008. Berjudul

“Evaluasi Kantor Informasi dan Kehumasan Pemda Klaten Dalam Rangka

Sosialisasi Pilkades. Studi Deskriptif Sosialisasi dan Implementasi

Kebijakan Baru Pilkades yang Dilaksanakan Secara Serentak Pertama di

Kabupaten Klaten”.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengetahui secara lebih

rinci dan jelas mengenai strategi komunikasi yang digunakan oleh humas

Pemda Klaten dalam rangka sosialisasi kebijakan baru Pilkades;

Mengevaluasi hasil dari langkah maupun strategi yang telah dilakukan

ditinjau dari tahap-tahap evaluasi strategi komunikasi yang ada; serta

mengetahui sejauh mana pemahaman warga dan partisipasi warga setelah

diadakannya sosialisasi tersebut.

Page 9: ISI SKRIPSI

9

Kesimpulan dari penelitian ini adalah strategi yang digunakan

dalam melakukan program sosialisasi pilkades yang dilakukan oleh kantor

informasi dan kehumasan Pemda Klaten adalah dengan langkah strategi

perencanaan yang meliputi analisis situasi atau pengenalan situasi,

penetapan tujuan, penentuan khalayak, pemilihan media, teknik-teknik

humas dan pengukuran hasil. Dilaksanakan tanpa mengesampingkan

adanya community relations, media relations, dan penggunaan marketing

tools. Terkait dengan efektivitas/hasil dari langkah maupun strategi yang

direncanakan oleh humas Pemda Klaten diukur dalam tiga tahap, yaitu:

kognitif: berhasil, ditandai dengan munculnya respon khalayak yang

menjadi sasaran; Afektif: belum berhasil, karena banyak pro-kontra yang

masih terjadi mengenai sistem pelaksanaan dan hasil akhir; konatif:

banyak calon yang melenceng dari prosedur, jadi belum berhasil.

Sedangkan sosialisasi sudah menunjukkan hasil yang positif, partisipasi

sudah terlihat, meskipun ada sebagian kecil masyarakat yang masih kontra

dengan pelaksanaannya maupun hasil dari Pilkades.

Dari penjabaran tersebut, didapatlah beberapa perbedaan antara

penelitian di atas dengan penelitian yang diajukan peneliti sekarang.

Pertama, bidang kajian. Pada penelitian di atas terdapat bidang kajian

Pilkades, sedangkan penelitian yang peneliti usung memiliki bidang kajian

pemilu legislatif 2009. Kemudian, perbedaan yang lainnya terletak pada

subjek yang melaksanakan kegiatan komunikasi. Pada pemilu di atas,

subjek merupakan humas Pemda Klaten, sedangkan penelitian ini

subjeknya adalah KPU Kabupaten Blora. Selain itu, wilayah yang diteliti

pada penelitian diatas adalah Kabupaten Klaten, sedangkan pada

penelitian ini adalah Kabupaten Blora.

Persamaan penelitian di atas dengan penelitian ini adalah metode

penelitian yang sama-sama menggunakan deskriptif kualitatif. Kemudian,

Page 10: ISI SKRIPSI

10

persamaan yang lain pada tema pokok yaitu kegiatan komunikasi

sosialisasi pada pemilihan tingkat kabupaten.

b. Penelitian lainnya mengenai sosialisasi pemilu dilakukan oleh Aris Eko

Prasetyo (153000099), Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas

Pembangunan Nasional ”Veteran” Yogyakarta pada tahun 2004.

Penelitian yang berjudul ”Hubungan Sosialisasi Mekanisme Pemilu

Legislatif 2004 Melalui VCD Terhadap Tingkat Pemahaman Masyarakat

Kel. Dlingo, Kec. Dlingo, Kab. Bantul, Yogyakarta” ini memiliki rumusan

masalah yaitu ”Apakah ada hubungan antara sosialisasi pemilu legislatif

2004 melalui VCD terhadap tingkat pemahaman masyarakat di kelurahan

Dlingo, kabupaten Bantul?” Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

hubungan antara sosialisasi mekanisme pemilu legislatif 2004 melalui

VCD dengan pemahaman masyarakat mengenai mekanisme pemilu, dan

untuk mengetahui nilai murni antara sosialisasi mekanisme pemilu melalui

VCD terhadap tingkat pemahaman masyarakat yang dikontrol oleh tingkat

pendidikan dan interaksi sosial.

Penelitian tersebut menggunakan metode deskriptif kuantitatif

yang menentukan keadaan lapangan yang ada menurut kenyataan dengan

cara mengukur. Penelitian survey yaitu penelitian yang mengambil sampel

dari suatu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul

data yang pokok.

Kesimpulan dari penelitian ini diantaranya adalah: Intensitas

sosialisasi mekanisme pemilu melalui VCD yang tidak terlalu rendah

disebabkan karena masyarakat Dlingo aktif dan sadar akan peran serta

mereka dalam kegiatan sosialisasi pemilu 2004 yang diadakan dalam

upaya untuk meningkatkan kemajuan daerah mereka agar tidak menjadi

daerah yang terisolir dikarenakan kondisi geografis. Ini terbukti dari data

di lapangan bahwa daerah ini paling cepat memberikan laporan

Page 11: ISI SKRIPSI

11

penghitungan suara ke kantor KPUD Bantul. Kemudian, terdapat

pengaruh yang signifikan antara tingkat pemahaman mengenai mekanisme

pemilu 2004 terhadap tingkat pendidikan dan interaksi sosial. Ini

membuktikan bahwa semakin tinggi tingkat pemahaman yang dimiliki

seseorang atau semakin banyak orang tersebut melakukan interaksi sosial

akan semakin mudah menerima pesan sosialisasi pemilu 2004 sehingga

tidak perlu melakukan sosialisasi berulang kali. Namun, semakin

rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki seseorang dan semakin

sedikitnya dia berinteraksi dengan orang lain, semakin sulit pula dia

menerima pesan sosialisasi mekanisme pemilu legislatif 2004 sehingga

perlu adanya pengulangan sosialisasi berulang kali.

Dari penjabaran tersebut, didapatlah beberapa perbedaan antara

penelitian di atas dengan penelitian yang diajukan peneliti sekarang.

Pertama, bidang kajian. Pada penelitian di atas terdapat bidang kajian

yaitu sosialisasi pemilu legislatif 2004, sedangkan pada penelitian ini

peneliti menekankan kajian pendidikan politik pemilu 2009 yang di

dalamnya terdapat salah satu elemen sosialisasi. Jadi, penelitian ini

merupakan perluasan atas penelitian sebelumnya, yaitu dari sosialisasi

pemilu menjadi pendidikan politik pemilu. Kedua, objek penelitian.

Penelitian di atas menggunakan masyarakat kelurahan Dlingo kabupaten

Bantul yang telah memiliki hak pilih sebagai objek penelitian, sedangkan

penelitian ini menggunakan objek KPU kabupaten Blora sebagai suatu

lembaga penyelenggara pemilu. Jadi, terdapat perbedaan objek penelitian

antara penelitian ini dengan penelitian sebelumnya. Ketiga, metode

penelitian. Dalam penelitian sebelumnya metode deskriptif kuantitatif

yang digunakan, sedangkan dalam penelitian ini metode yang digunakan

adalah deskriptif evaluatif. Keempat, penelitian ini menggunakan

perspektif manajemen public relations sebagai bahan evaluasi terhadap

kegiatan pendidikan politik yang telah dilaksanakan. Sedangkan penelitian

Page 12: ISI SKRIPSI

12

diatas tidak menekankan pada evaluasi, namun lebih kepada efektivitas

kegiatan sosialisasi pemilu.

2. Landasan Teori

a. Pendidikan Pemilih (Voter Education)

Voter education adalah suatu upaya sadar untuk memberikan

pengetahuan dan pemahaman kepada para pemilih tentang berbagai hal yang

ada kaitannya dengan hak suara mereka dalam pemilu sehingga mereka dapat

memberikan hak suara sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan rasional

dan hati nurani, tanpa merasa terpaksa atau tertekan (Sirozi, 2007: 154).

Agar dapat berjalan secara efektif, pelaksanaan program voter

education bagi masyarakat hendaknya memperhatikan beberapa aspek sebagai

berikut (Sirozi, 2007: 161-163):

1) Tujuan, pelaksanaan program voter education harus memiliki tujuan

yang jelas, yaitu:

a) Mendidik calon pemilih agar memahami arti penting pemilu

bagi masa depan demokrasi di Indonesia.

b) Mendidik calon pemilih agar dengan penuh kesadaran mau

menggunakan hak pilih mereka, dan turut serta menjaga

kelancaran dan keberhasilan pelaksanaan pemilu.

2) Target, pada akhir program voter education diharapkan:

a) Calon pemilih memahami arti penting pemilu bagi masa

depan demokrasi di Indonesia.

b) Dengan penuh kesadaran menggunakan hak pilih mereka dan

turut serta menjaga kelancaran pelaksanaan pemilu.

3) Materi, materi program voter education antara lain adalah tentang

sistem demokrasi, situasi terakhir kehidupan sosial dan politik di

Indonesia, aspek-aspek penyelenggaraan pemilu, teknik komunikasi,

dan teknik advokasi.

Page 13: ISI SKRIPSI

13

4) Sasaran, sasaran utama program voter education adalah:

a) Para calon pemilih muda yang duduk di bangku

sekolah/kuliah maupun yang tidak duduk di bangku

sekolah/kuliah.

b) Masyarakat kurang terdidik, terutama yang berada di daerah

terpencil.

5) Bentuk Program, program voter education dapat dilakukan dalam

bentuk penyuluhan dengan metode ceramah, tanya jawab, diskusi,

pemasangan spanduk, penyebaran pamflet dan stiker di tempat-

tempat strategis, dan lain sebagainya.

6) Pelaksana, pelaksana dari program voter education adalah para

instruktur yang memenuhi kriteria sebagai berikut:

a) Non-partisan, tidak menjadi anggota dan atau pengurus suatu

parpol.

b) Memiliki kepekaan terhadap perkembangan kehidupan sosial

politik di Indonesia.

c) Memiliki komitmen untuk turut serta mensukseskan

pelaksanaan pemilu dan menegakkan nilai-nilai demokrasi di

Indonesia.

Program voter education bertujuan ”menyebarkan” berbagai informasi yang

ada kaitannya dengan penggunaan dan kegunaan hak suara rakyat dalam

penyelenggaraan pemilu dan ”memberitahukan” kepada rakyat bahwa pemilu telah

tiba dan rakyat dapat menggunakan hak pilihnya sesuai dengan hati nurani. Setelah

menerima informasi dan pemberitahuan tersebut, diharapkan bahwa rakyat yang

sebelumnya kurang memahami hal-hal yang ada kaitannya dengan penyelenggaraan

pemilu menjadi lebih paham dan mereka yang sebelumnya kurang ”bersemangat”

untuk menggunakan hak pilihnya menjadi lebih bersemangat. Lebih dari itu, rakyat

yang sebelumnya merasa terancam dan terpaksa dalam menggunakan hak pilihnya

diharapkan merasa bebas dan aman sehingga dapat menjatuhkan pilihan sesuai hati

Page 14: ISI SKRIPSI

14

nuraninya. Program voter education merupakan program komunikasi dari KPU

kepada masyarakat/khalayak sasaran KPU (Prihatmoko, 2008).

Komunikasi tidak sekedar saling tukar pendapat dan pikiran, tetapi

berlangsung lebih jauh daripada itu, yaitu merupakan kegiatan dimana seseorang

berusaha mengubah pendapat dan tingkah laku orang lain. Komunikasi memiliki

enam komponen, yaitu komunikator, pesan, media, khalayak, efek, dan konteks. Pada

hakikatnya proses komunikasi adalah suatu upaya untuk menyampaikan pesan, atau

informasi agar penerima mempunyai pengertian yang sama dengan komunikator

(Mulyana, 2005). Dalam program voter education, yang bertindak sebagai

komunikator adalah para pelatih yang ditugasi oleh forum penyelenggara pemilu

(dalam hal ini KPU) dan pesan yang disampaikannya tidak lain adalah informasi

tentang pemilu dan penggunaan hak pilih. Media yang digunakan dalam program

voter education disesuaikan dengan kebutuhan dan khalayak yang menjadi sasaran

program voter education adalah para pemilih muda dan masyarakat kurang terdidik

yang berada di desa-desa terpencil. Program ini diharapkan dapat mengubah persepsi

dan perilaku rakyat tentang pemilu dan kegunaan hak pilih mereka (Prihatmoko,

2008).

Effendi (1993: 31-37) mengidentifikasi dua perspektif tentang proses

komunikasi, yakni perspektif psikologis dan perspektif mekanistis. Perspektif

psikologis adalah isi dari suatu pesan yang menggambarkan keadaan si penyampai

pesan yang oleh Walter lippman disebut ”picture in our head”. Seorang yang akan

menyampaikan pesan akan melibatkan seluruh dirinya dalam proses komunikasi

sebagai manusia. Proses pengemasan (encoding) pesan atau informasi dipengaruhi

oleh kejiwaan di penyampai pesan. Demikian juga si komunikan dalam menerima

pesan atau mengupas kemasan pesan yang diterimanya. Dalam proses ini komunikasi

interpersonal akan lebih memengaruhi decoding yang dilakukan oleh komunikan.

Bila dalam men-decoding pesan yang diterima tidak sesuai dengan isi pesan yang

disampaikan komunikator, berarti komunikasi tidak efektif, sebaliknya bila isi pesan

Page 15: ISI SKRIPSI

15

di-decoding sama dengan pesan yang disampaikan, maka komunikasi efektif atau

komunikatif.

Perspektif mekanistis adalah proses komunikasi dimana komunikator dalam

menyampaikan pesan disesuaikan dengan situasi dan kondisi pada saat itu.

Komunikator juga dapat berfungsi sebagai media yang ada, baik media cetak maupun

elektronik. Proses perspektif mekanistis sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi

lingkungan proses komunikasi terjadi. Dalam proses komunikasi dapat terjadi

beberapa kemungkinan, yakni komunikasi interpersonal, komunikasi kelompok, dan

komunikasi massa.

Pelaksanaan program voter education menggabungkan proses psikologis dan

proses mekanistis. Sebagai komunikator, para pelatih voter education adalah orang-

orang yang yakin bahwa pemilu adalah pintu gerbang menuju Indonesia baru yang

demokratis. Dia juga yakin bahwa untuk mendapatkan hasil-hasil yang legitimate,

tidak ada cara lain bahwa pemilu harus berjalan secara luber, jurdil, dan aman. Dia

ingin menanamkan visi ini kepada rakyat yang menjadi sasaran voter education yang

ada dihadapannya dan penanaman visi tersebut disesuaikan dengan situasi dan

kondisi yang ada pada saat program voter education dilaksanakan.

Komunikasi dalam perspektif mekanistis dapat diklasifikasikan menjadi

proses komunikasi secara primer dan sekunder. Proses komunikasi primer adalah

proses komunikasi yang mempunyai cara dalam penyampaian pesan dengan

menggunakan lambang. Lambang-lambang ini dapat berupa bahasa dan gesture,

yakni gerak anggota tubuh, gambar, warna, dll. Proses komunikasi dengan

menggunakan bahasa disebut dengan lambang verbal (verbal symbol), sedangkan

yang tidak menggunakan lambang bahasa disebut sebagai nonverbal.

Proses komunikasi sekunder adalah proses komunikasi yang komunikatornya

dalam menyampaikan pesan menggunakan alat, sebagai media kedua setelah

menggunakan lambang sebagai media yang pertama, umumnya lebih ditopang

dengan teknologi yang semakin canggih, misalnya telepon, faximile, internet, dan

lain-lain.

Page 16: ISI SKRIPSI

16

Program voter education dapat dilaksanakan dalam empat bentuk, yaitu

penyuluhan, penyebaran leaflet, penempelan stiker, dan pemasangan spanduk. Empat

bentuk program ini menggunakan lambang verbal dan lambang nonverbal. Dengan

demikian, dapat dikatakan bahwa komunikasi yang terjadi dalam program voter

education adalah komunikasi primer, bukan komunikasi sekunder (Sirozi, 2007: 160).

Pada dasarnya ada dua bentuk komunikasi, yakni komunikasi verbal dan

nonverbal. Komunikasi verbal adalah komunikasi yang menggunakan lambang-

lambang bahasa yang diwujudkan dalam kata-kata sebagai pengemasan pesan yang

akan disampaikan kepada komunikan. Komunikasi nonverbal adalah komunikasi

dalam menyampaikan pesan dengan menggunakan lambang-lambang bahasa

diwujudkan dengan gesture atau gerakan tubuh (body language) dan benda-benda

yang dapat di mengerti oleh komunikan. Dilihat dari pesertanya komunikasi dapat

diklasifikasikan menjadi komunikasi pribadi yang terdiri dari komunikasi

intrapersonal dan komunikasi interpersonal, komunikasi kelompok yang terdiri dari

komunikasi kelompok kecil dan komunikasi kelompok besar serta komunikasi massa

yang terdiri dari komunikasi media cetak dan komunikasi media elektronik (Rakhmat,

1992: 43-186).

Karena peserta program voter education adalah masyarakat luas,

komunikasi yang terjadi adalah komunikasi massa. Namun demikian, komunikasi

interpersonal dan komunikasi kelompok juga dapat terjadi, tergantung pada situasi

yang dihadapi oleh para pelatih voter education di lapangan. Dilihat dari arus pesan

yang disampaikan, ada tiga model komunikasi, yaitu model linear (satu arah), model

interaksional (dua arah), dan model transaksional (multiarah). Program voter

education dapat menerapkan empat bentuk kegiatan penyuluhan, pemasangan

spanduk, penyebaran leaflet, dan penempelan stiker. Dengan empat bentuk kegiatan

ini, diharapkan penyampaian pesan-pesan voter education berlangsung secara

transaksional (multiarah).(Sirozi, 2007: 163-166).

Page 17: ISI SKRIPSI

17

b. Evaluasi Program Komunikasi

Menurut Ross (1977: 15), komunikasi merupakan alat yang penting dalam

fungsi Public Relations. Publik mengakui dan menghargai suatu kinerja yang baik

dalam kegiatan komunikasi secara efektif, dan sekaligus kinerja yang baik tersebut

untuk menarik perhatian publik serta tujuan penting yang lainnya dari fungsi Public

Relations.

Pengakuan publik tersebut hal yang penting kaitannya dengan penilaian kerja

(performance) dan komunikasi (communication) secara definisi yang mendasar dalam

fungsional Public Relations yang baik, yaitu ”Good Public Relations result from

good performance publicly acknowledgment and appreciated” (Untuk menciptakan

Public Relations yang baik berasal dari penilaian kinerja, pengakuan, dan

penghargaan umum yang baik pula).

Sedangkan menurut Horlow, The Statement of Mexico and International

Public Relations Association (IPRA) 1978, berpendapat bahwa: “Public Relations

activity is management of communications between organization and its publics”

(Aktivitas Public Relations merupakan manajemen komunikasi antara organisasi dan

publiknya). Artinya, aktivitas utama humas, salah satunya adalah melakukan fungsi-

fungsi „manajemen komunikasi‟ antara organisasi dengan publik sebagai khalayak

sasarannya (Ruslan, 2008: 83-114).

Berdasarkan penjelasan di atas, jelas diungkapkan bahwa manajemen

komunikasi merupakan salah satu bagian dari fungsi ke-Public Relations-an. Untuk

itu, peneliti mengggunakan berbagai teori evaluasi kehumasan sebagai bahan acuan

evaluasi terhadap program komunikasi pendidikan pemilih KPU Kabupaten Blora.

Menurut Ronald Smith dalam bukunya Strategic Planning For PR (2005:

237), evaluasi program adalah sistem pengukuran terhadap hasil dari sebuah proyek,

program atau kampanye yang terkait dengan tujuan awal dan penghargaan yang

didapatkan.

Page 18: ISI SKRIPSI

18

Evaluasi haruslah merupakan suatu aktivitas yang melekat pada rencana

program komunikasi. Aktifitas ini merupakan proses yang mengukur hasil kegiatan

program komunikasi berdasarkan target atau tujuan yang hendak dicapai yang telah

dirumuskan sejak memulai kegiatan. Kegunaan evaluasi adalah untuk melihat apakah

kegiatan program komunikasi tersebut mempunyai dampak yang diinginkan atau

efek-efek negatif yang tidak diharapkan. Evaluasi memberitahu pemimpin program

atau proyek dan yang lainnya, apakah pendekatan kegiatan komunikasi yang

digunakan berhasil atau tidak, atau dapat diperluas pada kegiaan lainnya nanti.

Evaluasi dalam program kehumasan dapat dibagi atas tiga tahapan utama,

yaitu: a) evaluasi tahap persiapan; b) evaluasi tahap pelaksanaan; dan c) evaluasi

tahap dampak atau efek. (Cutlip, 2000: 436). Peneliti lebih memfokuskan penelitian

ini pada evaluasi tahap dampak untuk memberikan penilaian atas dampak yang

dihasilkan dari aktivitas komunikasi pendidikan pemilih 2009 yang telah

dilaksanakan oleh KPU Kabupaten Blora. Pengukuran dampak mencatat seberapa

jauh hasil yang dinyatakan dalam sasaran untuk masing-masing publik sasaran dan

keseluruhan program yang telah dicapai.

Berikut merupakan komponen evaluasi dampak/efek menurut Ronald D.

Smith dalam bukunya „The Strategic Planning for PR‟ (2005: 245-253):

1) Outputs Evaluations, yaitu evaluasi yang digunakan untuk mengukur produk

komunikasi dan distribusinya. Berfokus pada pengembangan dan presentasi dari

pesan, khususnya produksi dan penyebaran. Terdiri dari:

a) Produksi Pesan: Berguna untuk mengukur berapa banyak produksi

materi pesan yang telah dibuat untuk menyukseskan program tersebut.

Misalnya brosur, flyer, spanduk, untuk disesuaikan dengan jumlah

khalayak sasaran.

b) Distribusi Pesan: Pendekatan lain kesadaran evaluasi tidak hanya fokus

pada produksi, tetapi pesan pada distribusi mereka. Mengukur

penyebaran materi pesan, apakah sudah merata atau belum.

Page 19: ISI SKRIPSI

19

2) Evaluations Of Awareness Objectives, yaitu evaluasi yang berkaitan dengan

fokus pada kegiatan komunikasi yang mendokumentasikan. Evaluasi ini untuk

menunjukkan nilai yang menawarkan taktik komunikasi organisasi, khususnya

efektivitas organisasi dalam mencapai kesadaran, sikap dan tindakan tujuan.

Evaluasi terfokus pada kesadaran dari isi pesan. Hal ini mempertimbangkan

berapa banyak orang yang terkena pesan, bagaimana pesan tersebut mudah

untuk dipahami dan berapa banyak pesan yang ingat. Berikut adalah beberapa

langkah umum untuk evaluasi kesadaran:

a) Terpaan Pesan (Message Exposure): Berfokus pada jumlah orang di

masyarakat yang terkena dampak besar pesan, tindakan ini melihat lebih

dekat taktik komunikasi, evaluasi tidak hanya distribusi, tetapi juga

perhatian khalayak sasaran. Hal ini bukan hanya digunakan untuk

menghitung berapa jumlah khalayak sasaran yang hadir pada program,

akan tetapi juga untuk mengetahui seberapa besar ketertarikan mereka

terhadap program tersebut.

b) Isi Pesan (Message Content): Jenis evaluasi yang berfokus pada isi

pesan. Apakah positif, atau hanya memberikan data yang salah?

Kesimpulan tak beralasan? Atau informasi yang ketinggalan jaman?.

c) Mengingat Pesan (Message Recall): Dengan menggunakan metode ini

peserta dalam program kemudian diwawancarai untuk menentukan apa

yang mereka ingat dari pesan. Sebuah penelitian dasar yang diambil dari

Laporan ‘Advertising is the Starch Readership’, menunjukkan tiga

tingkat pembaca: "mencatat pembaca/noted readers", yang pernah ingat

sebelum melihat sebuah iklan, “menghubungkan pembaca/assosiated

readers”, yang dapat menghubungkan iklan ke merek tertentu atau

pengiklan, dan "membaca sebagian pembaca/read most readers”, yang

mampu mendeskripsikan paling banyak dari bahan-bahan tertulis dalam

iklan. Jika penelitian tersebut dikaitkan dengan suatu program

berdasarkan pemahaman khalayak sasaran, maka “read most readers”

Page 20: ISI SKRIPSI

20

adalah khalayak yang paling memahami isi pesan dari program, dan

sudah menentukan sikapnya. Sedangkan “assosiated readers”

merupakan khalayak yang memahami pesan, akan tetapi hanya bisa

menentukan pendapat, namun belum bisa bersikap. Sedangkan “noted

readers”, merupakan khalayak yang hanya memahami isi pesan, dan

belum berpendapat.

3) Evaluations Of Action Objectives melalui “Audience Participation”. Pada tahap

evaluasi ini, proses perencanaan perlu diberikan pertimbangan yang hati-hati

untuk mengukur tujuan-tujuan tindakan. Pengukuran dilakukan dengan

menghitung jumlah orang yang aktif menanggapi pesan tersebut. Angka

kehadiran efektif jika kehadiran itu sendiri adalah tujuan yang diinginkan.

Tersirat dalam angka kehadiran ini juga adalah ukuran efektivitas publikasi dan

promosi yang mendahului peristiwa. Dalam penelitian ini, evaluasi kehadiran

khalayak ditentukan dari jumlah peserta yang hadir pada setiap program

komunikasi, dan jumlah pemilih yang ikut berpartisipasi dalam pemilu legislatif

2009.

c. Komunikasi Politik

Salah satu dari fungsi pemilu yaitu sebagai sarana pendidikan politik bagi

rakyat (Prihatmoko, 2008: 48-50). Oleh karena itu proses komunikasi yang terjadi

antara KPU Kabupaten Blora untuk membujuk masyarakat Blora agar mau

menggunakan hak pilih mereka, merupakan bagian dari sebuah komunikasi

politik. Secara sederhana, komunikasi politik (political communications) adalah

komunikasi yang melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik, atau

berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah. Dengan

pengertian ini, sebagai sebuah ilmu terapan, komunikasi politik bukanlah hal yang

baru. Komunikasi politik juga bisa dipahami sebagai komunikasi antara ”yang

memerintah” dan ”yang diperintah”. Dalam praktiknya, komunikasi politik sangat

kental dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, dalam aktivitas sehari-hari, tidak satu

Page 21: ISI SKRIPSI

21

pun manusia tidak berkomunikasi, dan kadang-kadang sudah terjebak dalam

analisis dan kajian komunikasi politik.

Menurut Gabriel Almond, semua bentuk interaksi manusia melibatkan

komunikasi. Media massa seperti televisi, radio, surat kabar dan majalah ikut

mempengaruhi struktur komunikasi dalam masyarakat. Almond membedakan

empat struktur komunikasi. Pertama, kontak tatap muka informal yang muncul

terpisah dari struktur masyarakat. Kedua, struktur sosial tradisional seperti

hubungan keluarga dan keagamaan. Ketiga, struktur politik „output‟ (keluaran)

seperti legislatif dan birokrasi. Keempat, struktur „input‟ (masukan) termasuk

misalnya serikat buruh dan kelompok kepentingan dan partai-partai politik.

Kelima, media massa. Almond menilai, kontak informal dalam sistem politik

manapun tidak bisa disepelekan. Riset ilmuwan sosial telah membuktikan bahwa

saluran informal menjadi sistem komunikasi paling berkembang. Ia menyebutkan,

studi media massa dan opini publik, Katz dan Lazarsfled (1955) menemukan

bahwa media massa tidak membuat pengaruh langsung atas kebanyakan individu

(Almond, 1976: 167).

Mochtar Pabotinggi (1993) menguraikan dalam prosesnya komunikasi

politik sering mengalami empat distoris. Pertama, distoris bahasa sebagai topeng.

Ia memberikan contohnya dengan melihat bagaimana orang mengatakan alis

“bagai semut beriring” atau bibir “bak delima merekah”. Uraian itu menunjukkan

sebuah euphemisme. Oleh sebab itulah, bahasa yang menampilkan sesuatu lain

dari yang dimaksudkan atau berbeda dengan situasi sebenarnya, bisa disebut

seperti diungkakan Ben Anderson (1966), “bahasa topeng”. Kedua, distorsi

bahasa sebagai proyek lupa. Manusia makhluk yang memang pelupa. Namun

demikian dalam konteks politik kita membicarakan lupa sebagai sesuatu yang

dimanipulasikan. Ternyata seperti diulas Pabottinggi, “lupa dapat diciptakan dan

direncanakan bukan hanya atas satu orang, melainkan atas puluhan bahkan

ratusan juta orang”. Selanjutnya Pabottinggi membuat pendapat lebih jauh bahwa

dengan mengalihkan perhatian seorang atau ratusan juta orang, maka

Page 22: ISI SKRIPSI

22

massa bisa lupa. Bahkan lupa bisa diperpanjang selama dikehendaki manipulator.

Di sini tampak distorsi komunikasi ini bisa parah jika sebuah rejim menghendaki

rakyatnya melupakan sejarah atau membuat sejarah sendiri untuk melupakan

sejarah pemerintahan sebelumnya. Ketiga adalah, distorsi bahasa sebagai

representasi. Jika dalam distoris topeng keadaan sebenarnya ditutupi dan dalam

distorsi lupa berbicara soal pengalihan sesuatu, maka distorsi ketiga ini terjadi

bila kita melukiskan sesuatu tidak sebagaimana mestinya. Pabottinggi memberi

contoh bagaimana gambaran buruk yang menimpa kaum Muslimin dan orang

Arab oleh media Barat.

Dunia Islam, seperti disebutkan Edward Said (1978) dalam Pabottinggi

(1993: 54) selalu dipandang sebagai lawan Barat. Dalam politik nasional pun,

suatu kelompok yang jadi lawan politik rezim berkuasa sering dilukiskan sebagai

penyeleweng, penganut aliran sesat dan tidak memakmurkan rakyat. Yang

terakhir adalah distorsi bahasa sebagai ideologi. Distorsi keempat inilah yang

paling berbahaya. Sedikitnya dua alasan mengapa distorsi ideologi itu rawan.

Pertama, setiap ideologi pada dasarnya memang sudah bersifat distortif. Kedua,

distorsi ideologi sangat lihai menggunakan ketiga jenis distorsi lainnya. Ada dua

perspektif yang cenderung menyebarkan distoris ideologi. Pertama, perspektif

yang mengidentikkan kegiatan politik sebagai hak istimewa sekelompok orang.

Perspektif ini menekankan hanya penguasalah yang berhak menentukan mana

yang politik dan mana yang bukan. Oleh sebab itu nantinya akan berakhir dengan

monopoli politik kelompok tertentu. Kedua, perspektif yang semata-mata

menekankan tujuan tertinggi suatu sistem politik. Mereka yang menganut

perspektif ini hanya menitikberatkan pada tujuan tertinggi sebuah sistem politik

tanpa mempersoalkan apa yang sesungguhnya dikehendaki rakyat.

Karena komunikasi politik pada dasarnya merupakan salah satu bentuk

dari banyak bentuk komunikasi, maka dalam prosesnya ia tidak terlepas dari

dimensi-dimensi komunikasi pada umumnya. Seperti dalam bentuk-bentuk

komunikasi yang lainnya, komunikasi politik berlangsung dalam suatu proses

Page 23: ISI SKRIPSI

23

penyampaian pesan-pesan tertentu yang berasal dari sumber, selaku pihak yang

memprakarsai komunikasi, kepada khalayak dengan menggunakan media tertentu

untuk mencapai suatu tujuan tertentu pula. Dimensi-dimensi inilah pada dasarnya

yang memungkinkan terjadinya suatu kegiatan komunikasi politik dalam suatu

masyarakat. Sehingga keluaran (output) komunikasi politik pada akhirnya akn

ditentukan oleh dimensi-dimensi tersebut secara keseluruhan (Muhtadi, 2008: 31).

Nimmo (1993: 29) mengemukakan beberapa komponen penting dalam

proses komunikasi politik, diantaranya:

a) Komunikator dalam komunikasi politik, yaitu pihak yang

memprakarsai dan mengarahkan suatu tindak komunikasi.

b) Khalayak komunikasi politik, yaitu penerima yang memberikan

feedback komunikasi.

c) Saluran-saluran komunikasi politik, yakni setiap pihak atau unsur yang

memungkinkan sampainya pesan-pesan politik.

F. Metode Penelitian

1) Paradigma dan Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme. Menurut

paradigma ini, manusia dianggap sebagai makhluk unik yang memiliki

motif/makna yang berbeda-beda terhadap setiap perilaku yang dilakukannya

(Moleong, 2001: 30). Jenis penelitian deskriptif kualitatif, yaitu penelitian yang

mendeskripsikan suatu situasi atau area populasi tertentu yang bersifat faktual

secara sistematis dan akurat. Langkah umum dalam penelitian deskriptif adalah:

mengidentifikasi masalah, mendefinisikan masalah secara spesifik, merumuskan

rancangan atau desain pendekatan, mengumpulkan dan menganalisis data, dan

menyusun laporan penilitian (Danim, 2002: 42).

Page 24: ISI SKRIPSI

24

2) Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di kantor KPU kabupaten Blora yang

bertempat di Jl. Halmahera 09 Blora dan untuk mendapatkan hasil yang

maksimal, peneliti juga melakukan wawancara terhadap beberapa

instansi/lembaga sasaran kegiatan pendidikan pemilih pemilu 2009 di

kabupaten Blora seperti sekolah, instansi pemerintahan, dan anggota

penggerak PKK. Sedangkan waktu yang dibutuhkan untuk melakukan

pengumpulan data adalah enam bulan, sejak Oktober 2009 s/d April 2009.

3) Pemilihan Narasumber

Narasumber dalam penelitian ini adalah:

1. Staf KPU kabupaten Blora yang khusus menangani masalah

pendidikan pemilih, dalam hal ini yaitu Divisi Sosialisasi dan Kajian

Pemilu.

2. Masyarakat Blora yang menjadi sasaran program, diantaranya

beberapa murid atau guru Sekolah Menengah Atas, PKK, petani dan

perwakilan pegawai negeri instansi pemerintahan Kabupaten Blora.

Alasan peneliti memilih narasumber di atas karena ketiga narasumber

tersebut dianggap lebih banyak mengetahui tentang proses pendidikan pemilih

pemilu 2009 di kabupaten Blora yang dilakukan oleh KPU sehingga dengan

ini diharapkan peneliti dapat memperoleh data-data yang lebih lengkap.

Metode pemilihan narasumber pertama dan kedua menggunakan model snow-

ball sampling, yaitu model wawancara dimana peneliti mulai wawancara

dengan orang yang sudah dikenal terlebih dahulu dari sana peneliti meminta

rujukan mempunyai pengalaman atau karakteristik serupa (Moleong, 2001:

121). Narasumber baru ini kemudian juga menunjukkan narasumber lain yang

dirasa mengetahui tentang hal-hal yang ditanyakan begitu seterusnya sampai

peneliti memperoleh jumlah subjek yang memadai.

Sedangkan, narasumber ketiga dalam penelitian ini dipilih secara

representative, yaitu pemilihan narasumber dengan menggunakan model

Page 25: ISI SKRIPSI

25

perwakilan seseorang yang dianggap mampu untuk menjelaskan aktivitas

pendidikan pemilih yang sedang berlangsung di Blora. Model ini digunakan

untuk mewawancarai narasumber dari pihak yang telah mendapatkan

pendidikan politik pemilu 2009 di kabupaten Blora. Dengan demikian, dapat

diperoleh data yang akan digunakan sebagai hasil evaluasi.

4) Metode Pengumpulan Data

Metode/teknik pengumpulan data sebagai salah satu bagian dari

penelitian, merupakan unsur yang sangat penting. Berikut ini merupakan

bagian dari metode pengumpulan data yang dikutip dari buku Metodologi

Penelitian Kualitatif karya Moleong (2001: 112-139):

a. Sumber dan Jenis Data

1. Data Primer : Merupakan data utama yang diperoleh dari

sumber pertama secara langsung dengan cara wawancara.

2. Data Sekunder : Bukti kedua, yang didapat peneliti secara

tidak langsung untuk mendukung temuan dari data primer

seperti dokumentasi foto, dokumen, artikel, data statistik, dan

sebagainya.

b. Wawancara

Wawancara merupakan percakapan dengan maksud tertentu,

yang dilakukan oleh dua pihak pewawancara dan yang diwawancarai.

Maksud dari wawancara, seperti ditegaskan oleh Lincoln dan Guba

(1985: 266), antara lain: mengkonstruksi mengenai orang, kejadian,

kegiatan, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian, dan

lain-lain kebulatan; Merekonstruksi kebulatan-kebulatan demikan

sebagai yang dialami masa lalu; Memproyeksikan kebulatan-kebulatan

sebagai yang telah diharapkan untuk dialami pada masa yang akan

datang; Memverifikasi, mengubah, dan memperluas informasi yang

diperoleh orang lain, baik manusia maupun bukan manusia

(triangulasi); Dan memverifikasi, mengubah dan memperluas

Page 26: ISI SKRIPSI

26

konstruksi yang dikembangkan oleh peneliti sebagai pengecekan

anggota.

5) Metode Analisis Data

Menurut Patton (1980: 268), analisis data adalah proses mengatur

urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan

uraian dasar. Dari rumusan tersebut dapatlah kita menarik garis bahwa analisis

data bermaksud pertama-tama mengorganisasikan data. Data yang terkumpul

(foto, dokumen, hasil observasi dan wawancara, dan lain-lain), lalu diatur

dengan cara mengurutkan, mengelompokkan, memberikan kode, dan

mengkategorikannya. Pengorganisasian dan pengelolaan data tersebut

bertujuan menemukan tema dan hipotesis kerja yang akhirnya diangkat

menjadi teori substansif (Moleong, 2000: 103).

Dalam penelitian ini digunakan teknik Analisis Interaktif, yang

dikemukakan oleh Miles dan Huberman. Dalam model interaktif ini, tiga jenis

kegiatan analisis dan kegiatan pengumpulan data merupakan proses siklus dan

interaktif. Sehingga peneliti harus memiliki kesiapan untuk bergerak aktif di

antara empat sumbu kumparan itu selama pengumpulan data, selanjutnya

bergerak bolak-balik di antara kegiatan reduksi, penyajian, dan penarikan

kesimpulan/verifikasi selama penelitian. Gambaran model interaktif ini adalah

sebagai berikut (Idrus, 2007: 180-181):

Pengumpulan Data

Penyajian Data

Reduksi Data

Penarikan

Kesimpulan/Verifikasi

Page 27: ISI SKRIPSI

27

a. Pengumpulan Data

Kebanyakan data kualitatif adalah data yang berupa kata-kata, fenomena, foto

dan lain-lain. Dalam hal ini peneliti memperoleh hasil wawancara, observasi,

maupun studi pustaka.

b. Reduksi Data

Reduksi merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada

penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari

catatan-catatan ketika melakukan penelitian di lapangan. Proses ini bukan

proses yang sekali jadi, namun akan terus berulang selama proses penelitian

kualitatif berlangsung. Proses ini dimaksudkan untuk lebih menajamkan,

mengarahkan dan membuang bagian data yang tidak diperlukan serta

pengorganisasian data sehingga memudahkan untuk dilakukan penarikan

kesimpulan.

c. Penyajian Data

Proses ini berupa penyajian data-data hasil penelitian yang telah melalui

reduksi. Dengan mencermati penyajian data ini, peneliti lebih mudah

memahami apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan. Artinya,

apakah peneliti meneruskan analisisnya atau masih perlu memperdalam

penelitian tersebut.

d. Penarikan Kesimpulan/Verifikasi

Menarik kesimpulan dari data-data yang telah dipaparkan. Peneliti akan

menangani kesimpulan-kesimpulan tersebut dengan longgar, terbukaan, dan

skeptis, tetapi kesimpulan yang ada pada awalnya belum jelas namun

kemudian meningkat menjadi lebih rinci dan mengakar dengan kokoh. (Idrus,

2007: 181-183)

Page 28: ISI SKRIPSI

28

BAB II

GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

A. Profil Kabupaten Blora

1. Pemerintahan

Kabupaten Blora, adalah salah satu dari 35 kabupaten/kota di Provinsi

Jawa Tengah dengan luas wilayah 1.820,59 km2, dan jumlah penduduk

827.000 jiwa dengan kepadatan 461 jiwa/km2. Terletak sekitar 127 km

sebelah timur Semarang, berada di bagian timur Jawa Tengah, Kabupaten

Blora berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Timur. Kabupaten ini

berbatasan dengan Kabupaten Rembang dan Kabupaten Pati di utara,

Kabupaten Tuban dan Kabupaten Bojonegoro (Jawa Timur) di sebelah timur,

Kabupaten Ngawi (Jawa Timur) di selatan, serta Kabupaten Grobogan di

barat. Kabupaten Blora terdiri atas 16 kecamatan, yang dibagi lagi atas 271

desa dan 24 kelurahan. Pusat pemerintahan berada di Kecamatan Blora. Di

samping Blora, kota-kota kecamatan lainnya yang cukup signifikan adalah

Cepu, Ngawen, dan Randublatung. Blok Cepu, daerah penghasil minyak bumi

paling utama di Pulau Jawa, terdapat di bagian timur Kabupaten Blora (Pemda

Blora, 2008: II-1).

Menurut data KPU Kabupaten Blora, banyaknya jumlah Tempat

Pemungutan Suara (TPS) tahun 2009 adalah 2.400 unit TPS, dengan Daftar

Pemilih Tetap (DPT) pada pemilihan legislatif sebesar 697.350 pemilih (KPU

Blora, 2009: 91-92).

2. Kondisi Geografis

Wilayah Kabupaten Blora terdiri atas dataran rendah dan perbukitan

dengan ketinggian 20-280 meter dpl. Bagian utara merupakan kawasan

perbukitan, bagian dari rangkaian Pegunungan Kapur Utara. Bagian selatan

Page 29: ISI SKRIPSI

29

juga berupa perbukitan kapur yang merupakan bagian dari Pegunungan

Kendeng, yang membentang dari timur Semarang hingga Lamongan (Jawa

Timur). Ibukota kabupaten Blora sendiri terletak di cekungan Pegunungan

Kapur Utara. Separuh dari wilayah Kabupaten Blora merupakan kawasan

hutan, terutama di bagian utara, timur, dan selatan. Dataran rendah di bagian

tengah umumnya merupakan areal persawahan. Sebagian besar wilayah

Kabupaten Blora merupakan daerah krisis air (baik untuk air minum maupun

untuk irigasi) pada musim kemarau, terutama di daerah pegunungan kapur.

Sementara pada musim penghujan, rawan banjir longsor di sejumlah kawasan.

Kali Lusi merupakan sungai terbesar di Kabupaten Blora, bermata air di

Pegunungan Kapur Utara (Rembang), mengalir ke arah timur yang akhirnya

bergabung dengan Kali Serang (Pemda Blora, 2008: II-2).

3. Pendidikan

Pada tahun 2001 Kabupaten Blora telah memiliki sarana pendidikan

formal baik TK, SD, SMP, SMA, hingga Perguruan Tinggi. Hingga tahun

2008, tercatat Kabupaten Blora telah memiliki 654 SD Negeri dan 8 SD

swasta, SMP Negeri sebanyak 44 unit dan 31 unit untuk SMP swasta,

sedangkan SMA Negeri berjumlah 11 unit dan 29 unit untuk SMA swasta.

Jumlah SMA yang relatif sedikit ini mengakibatkan sedikitnya peluang anak

untuk melanjutkan sekolah ke SMA karena persaingan yang ketat, juga

rendahnya kesadaran pendidikan keluarga (Pemda Blora: 2008: II-3).

B. Profil KPU Kabupaten Blora

KPU Kabupaten Blora dibentuk berdasarkan Keppres. No. 67 Tahun 2002

tentang „Pembentukan Perwakilan Sekretariat Umum Komisi Pemilihan Umum di

Daerah‟ dan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 41 Tahun 2002 tentang

„Susunan Organisasi dan Tata Kerja Perwakilan Sekretariat Umum Komisi

Pemilihan Umum di Propinsi Kabupaten/Kota‟. Proses pelaksanaan pembentukan

Page 30: ISI SKRIPSI

30

Kantor Perwakilan Sekretariat Umum Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Blora

sepenuhnya menjadi kewenangan Bupati dalam mengambil langkah-langkah

untuk pengisian jabatan struktural. Berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa

Tengah No. 821.2/005/2003 tanggal 16 Januari 2003 telah dilaksanakan

pengambilan sumpah/janji dan pelantikan Pejabat Perwakilan Sekretariat Umum

Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Blora, oleh Gubernur Jawa Tengah (KPU

Kabupaten Blora, 2009: 14-18).

Dalam melaksanakan tugas Pemilihan Umum di kabupaten, KPU

Kabupaten mempunyai Sekretariat yang bertugas melayani kebutuhan yang

berhubungan dengan pelayanan staf dan personil, pembiayaan (keuangan),

perlengkapan dan tugas lain yang ditentukan oleh KPU. Sekertariat KPU

Kabupaten dipimpin oleh seorang sekretaris. Sekretaris adalah PNS yang dipilih

dari 3 (tiga) orang calon yang diajukan oleh Bupati dan selanjutnya ditetapkan

oleh Sekretaris Jenderal.

Fungsi dari sekretariat KPU Kabupaten Blora diantaranya: Memberikan

pelayanan teknis pelaksanaan penyelenggaraan pemilu di Kabupaten Blora;

Memberikan pelayanan administrasi yang meliputi ketatausahaaan, kepegawaian,

anggaran, dan perlengkapan; Melayani informasi Pemilu, pendidikan pemilih

guna meningkatkan partisipasi masyarakat dan penyelenggaraan hubungan

masyarakat bagi keperluan Pemilu; Mengelola logistik dan distribusi barang dan

jasa bagi keperluan Pemilu; Menyusun laporan secara periodik mengenai

penyelenggaraan kegiatan dan pertanggungjawaban KPU Kabupaten kepada KPU

dan Bupati (KPU Kabupaten Blora, 2009: 23).

KPU Kabupaten Blora mempunyai visi „Menjadi penyelenggara

pemilihan umum yang mandiri non partisan, tidak memihak, transparan, dan

profesional, berdasarkan azas-azas Pemilihan Umum demokratis dengan

melibatkan partisipasi rakyat seluasnya-luasnya sehingga dipercaya masyarakat‟.

Sedangkan misi KPU Kabupaten Blora adalah sebagai berikut:

Page 31: ISI SKRIPSI

31

a) Menyelenggarakan Pemilihan Umum untuk memilih anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil

Presiden serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pejabat-Pejabat

Publik lain yang ditentukan oleh Undang-Undang.

b) Meningkatkan pemahaman tentang hak dan kewajiban politik rakyat

Indonesia untuk berpartisipasi aktif dalam Pemilihan Umum yang

dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil,

akuntabel, edukatif dan beradab.

c) Melayani dan memperlakukan setiap peserta Pemilihan Umum secara

adil dan setara, serta menegakkan peraturan Pemilihan Umum secara

konsisten sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

d) Melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap penyelenggaraan

Pemilihan Umum untuk peningkatan kualitas Pemilihan Umum

berikutnya (KPU Kabupaten Blora, 2009: 32-40).

Setiap Pemilihan Umum KPU Kabupaten Blora berkewajiban sebagai

berikut:

a) Melaksanakan semua tahapan penyelenggaraan Pemilu dengan tepat

waktu.

b) Memperlakukan peserta Pemilu dan pasangan calon secara adil dan

setara,

c) Menyampaikan semua informasi penyelenggaraan Pemilu kepada

masyarakat,

d) Melaporkan pertanggungjawaban penggunaan anggaran sesuai dengan

peraturan perundang-undangan.

e) Menyampaikan laporan pertanggungjawaban semua kegiatan

penyelenggaraan pemilu kepada KPU melalui KPU Provinsi Jawa

Tengah.

Page 32: ISI SKRIPSI

32

f) Memelihara arsip dan dokumen Pemilu serta mengelola barang

inventaris KPU Kabupaten Blora berdasarkan peraturan perundang-

undangan.

g) Menyampaikan laporan periodik mengenai tahapan penyelenggaraan

Pemilu kepada KPU dan KPU Provinsi Jawa Tengah serta

menyampaikan tembusannya kepada Bawaslu.

h) Membuat berita acara pada setiap rapat pleno KPU Kabupaten dan

ditantangani oleh ketua dan anggota KPU Kabupaten.

i) Melaksanakan kewajiban lain yang diberikan oleh KPU dan KPU

Provinsi.

j) Melaksanakan kewajiban lain yang diberikan oleh peraturan perundang-

undangan (KPU Blora, 2009: 14).

Berikut merupakan Struktur Organisasi KPU Kabupaten Blora:

Bagan 1

Struktur Organisasi KPU Kabupaten Blora

Sumber: Data KPU Kabupaten Blora tahun 2009

*Ket: Untuk tugas dan wewenang divisi lain, lihat lampiran.

Ketua KPU Kabupaten Blora

Div. Hukum dan Hubungan Antar

Lembaga

Div. Sosialisasi dan Kajian Pemilu

Div. Pendaftaran Pemilih, Daerah Pemilihan, dan

Pencalonan

Div. Kampanye, Pemungutan Suara, dan Penetapan Hasil

Pemilu

Div. Logistik, Organisasi Personil,

dan Keuangan

Page 33: ISI SKRIPSI

33

Salah satu divisi yang bertugas untuk mengadakan pendidikan pemilih

kepada masyarakat Blora adalah Divisi Sosialisasi dan Kajian Pemilu. Divisi

tersebut melakukan kegiatan untuk mengedukasi para calon pemilih sebelum

Pemilu dilaksanakan dengan harapan para calon pemilih dapat lebih cerdas dan

bijaksana dalam menentukan pilihannya nanti. Divisi ini melakukan pendidikan

pemilih melalui berbagai kegiatan sosialisasi di tingkat kabupaten pusat, dan pada

tingkat daerah tugas mereka dibantu oleh Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK),

ditingkat Desa (PPS) dan ditingkat TPS yaitu KPPS yang setiap lima tahun sekali

diadakan regenerasi panitia, yaitu tiap PPK memiliki anggota 10 orang dan PPK

tersebut yang berhak mengadakan perekrutan terhadap petugas PPS dan KPPS.

Selain itu, mereka juga bertugas menjalin media relations dengan berbagai media

lokal dalam bentuk iklan, dialog interaktif di radio, dan lain sebagainya (Sumber:

data KPU Kabupaten Blora tahun 2009).

C. Profil Narasumber

Untuk memperoleh data pada penelitian ini, peneliti mewawancarai

beberapa narasumber. Untuk mengetahui program pendidikan pemilih yang telah

dilakukan oleh KPU Kabupaten Blora, peneliti mengadakan wawancara dengan

narasumber dari staf Divisi Sosialisasi dan Kajian Pemilu KPU Kabupaten Blora.

Sedangkan, untuk memperoleh hasil evaluasi terhadap dampak pendidikan

pemilih pemilu legislatif 2009 yang dilakukan oleh KPU Kabupaten Blora,

peneliti melakukan wawancara terhadap beberapa narasumber yang menjadi

sasaran program tersebut. Narasumber berikut ini telah dipilih secara acak dan

masing-masing mewakili pendapat mengenai program pendidikan pemilih yang

telah mereka ikuti, yaitu:

1. Narasumber pertama yaitu penyampai pesan program pendidikan pemilih

pemilu legislatif 2009 (KPU Kabupaten Blora), peneliti mengadakan

wawancara dengan narasumber dari staf Divisi Sosialisasi dan Kajian Pemilu

KPU Kabupaten Blora, yaitu suatu divisi khusus yang bertugas untuk

Page 34: ISI SKRIPSI

34

menyelenggarakan program pendidikan pemilih di kota Blora yang diwakili

oleh Ibu Rukhayatin, S.Ag.

2. Narasumber selanjutnya sebagai penerima pesan pendidikan pemilih pemilu

legislatif 2009. Untuk memperoleh hasil evaluasi terhadap dampak atau efek

pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 yang dilakukan oleh KPU

Kabupaten Blora, peneliti melakukan wawancara terhadap beberapa

narasumber yang menjadi sasaran program tersebut. Narasumber berikut ini

telah dipilih secara acak, dan masing-masing mewakili pendapat mereka

setelah mengikuti program pendidikan pemilih tersebut, yaitu:

a. Representasi dari Pemilih Pemula

Pemilih pemula merupakan pemilih yang baru pertama kali

melakukan Pemilu, peneliti melakukan wawancara dengan Saudari Ana

Fitriya yang bersekolah di SMAN 01 Blora, yang telah mengikuti

sosialisasi pemilu legislatif 2009, di sekolahnya.

b. Representasi dari Pemilih Pemula

Masih dari pemilih pemula, peneliti melakukan wawancara dengan

Saudara Singgih Putra Witjaksana yang bersekolah di SMAN 01

Tunjungan Blora, yang juga mengikuti program pendidikan pemilih di

sekolahnya.

c. Representasi dari Guru

Peneliti memilih narasumber yaitu Ibu Sutiyani, S.Pd yang

menjadi guru di SMAN 01 Tunjungan Blora dan telah mengikuti

sosialisasi pemilu legislatif 2009 di sekolah tersebut.

d. Representasi dari Guru

Bapak Widodo, S.Ag yang juga menjadi guru di SMAN 01

Tunjungan Blora, dan telah mengikuti program pendidikan pemilih oleh

KPU Kabupaten Blora di sekolah tersebut dan di balai desa tempat

tinggalnya.

Page 35: ISI SKRIPSI

35

e. Representasi dari Kelompok PKK

Peneliti mewawancarai Ibu Nur Ainiah yang telah mengikuti

program pendidikan pemilih pada saat pengajian rutin bulanan kota Blora

di masjid Al-Ikhlas Blora.

f. Representasi dari Kelompok PKK

Peneliti melakukan wawancara dengan Ibu Ernaning Hastuti

selaku ketua tim penggerak PKK Kelurahan Tempelan Kabupaten Blora,

yang pernah mendapatkan program pendidikan pemilih di Pendopo Bupati

Kabupaten Blora. Ibu Ernaning Hastuti ini juga berkewajiban untuk

melakukan pendidikan pemilih kepada seluruh anggota PKK di

kelurahannya, pada saat pertemuan rutin PKK.

g. Representasi dari Petani

Untuk narasumber dari kalangan Petani, peneliti melakukan

wawancara dengan Bapak Musta‟in yaitu ketua kelompok tani di

Kecamatan Tambaksari Blora sekaligus mahasiswa S2 STAIM Blora yang

mengikuti pendidikan pemilih di Balai Desa Tambaksari.

h. Representasi dari Pegawai

Peneliti melakukan wawancara dengan Bapak Rusmanto yang

bekerja di kantor Badan Keuangan Daerah Blora yang telah mengikuti

program pendidikan pemilih di kantornya tersebut.

Page 36: ISI SKRIPSI

36

BAB III

HASIL TEMUAN

Berikut merupakan hasil temuan yang didapat oleh peneliti berdasarkan hasil

wawancara yang telah peneliti lakukan dan didukung dengan data sekunder berupa

Laporan Penyelenggaraan Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD dan Pemilihan

Presiden dan Wapres Tahun 2009 di Kabupaten Blora, berbagai brosur, flyer, dan

material pendukung lainnya.

A. Program Komunikasi Pendidikan Pemilih Pemilu Legislatif 2009 KPU

Kabupaten Blora

Pada tinjauan pustaka, peneliti telah menjabarkan definisi dari voter education

atau pendidikan pemilih yang dikemukakan oleh Sirozi (2007: 154), yaitu suatu

upaya sadar untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada para pemilih

tentang berbagai hal yang ada kaitannya dengan hak suara mereka dalam pemilu,

sehingga mereka dapat memberikan hak suara sesuai dengan pertimbangan-

pertimbangan rasional dan hati nurani, tanpa merasa terpaksa atau tertekan.

Sirozi (2007: 161-163) juga mengemukakan enam aspek agar pelaksanaan

pendidikan pemilih dapat berjalan dengan lancar meliputi: tujuan, target, materi,

sasaran, bentuk program, dan pelaksana.

KPU Kabupaten Blora sebagai penyelenggara pemilu legislatif 2009

merupakan salah satu pihak yang berkewajiban untuk melakukan pendidikan pemilih

kepada masyarakat Blora. Untuk mengetahui secara lebih rinci dan jelas mengenai

program komunikasi yang dilakukan oleh KPU Kabupaten Blora pada pemilu

legislatif 2009, peneliti telah mewawancarai salah satu staf divisi sosialisasi dan

kajian pemilu KPU Kabupaten Blora yang bertugas melakukan serangkaian kegiatan

untuk mengedukasi masyarakat Blora mengenai pemilu legislatif 2009, yaitu Ibu

Rukhayyatin. Berikut merupakan hasil temuan peneliti berdasarkan hasil wawancara

Page 37: ISI SKRIPSI

37

tersebut dan berbagai data yang ada ditinjau dari aspek-aspek pendidikan pemilih

yang ada.

1. Tujuan

Perumusan tujuan yang tepat adalah perumusan yang menekankan

hasil (outcome) apa yang diharapkan dari berbagai kegiatan komunikasi yang

dijalankan organisasi (Broom & Dozier, 1990).

Sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh narasumber, tujuan utama

pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 KPU Kabupaten Blora adalah

“Untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan masyarakat akan

pentingnya pemilu anggota DPR,DPD dan DPRD yang biasa disebut pileg

dalam membangun kehidupan demokrasi di Kabupaten Blora” (Sumber:

wawancara dengan Divisi Sosialisasi dan Kajian Pemilu 02/12/2009

09:00WIB).

Hal ini ditunjukkan dengan pesan yang mereka sampaikan dalam

presentasi sosialisasi (lihat lampiran 3 „Contoh Presentasi Sosialisasi‟) yang

memuat:

a. Arti pemilu yang dijelaskan dengan kalimat “Pemilu dilaksanakan

5 tahun sekali, sebagai sarana kedaulatan rakyat dan ini merupakan

waktu masyarakat untuk melakukan penilaian/evaluasi dan

memilih individu yang akan menduduki jabatan

DPR/DPD/DPRD”.

b. Informasi tentang syarat dan cara memilih, dan pesan bertuliskan

“Sukseskan Pemilu 2009 Suara Anda Menentukan Nasib Bangsa”.

Selain itu pesan-pesan tersebut juga terdapat pada atribut pemilu

lainnya seperti spanduk, flyer, dan lain sebagainya.

Page 38: ISI SKRIPSI

38

Secara lebih lanjut, narasumber mengungkapkan bahwa tujuan

mereka untuk mengadakan komunikasi tatap muka adalah agar pesan yang

mereka sampaikan dapat langung ditanggapi masyarakat, sedangkan

tujuan mereka untuk menjalin media relations adalah untuk mempererat

kerjasama mereka dengan media lokal dan membantu proses penyampaian

pesan kepada masyarakat yang belum mengikuti sosialisasi. Seperti yang

diungkapkan oleh narasumber dari Divisi Sosialisasi dan Kajian Pemilu

KPU Kabupaten Blora sebagai berikut:

“Kami berharap untuk mengadakan komunikasi secara langsung

dengan khalayak sasaran dari berbagai lapisan program, sehingga pesan

langsung dapat tersampaikan. Kalau program seperti iklan dan interview

di radio, kami ingin menjalin kerjasama dengan berbagai media lokal agar

turut membantu menyampaikan pesan kepada masyarakat yang belum

tersentuh oleh sosialisasi tadi. Dan pawai atau mobilisasi sosial kami

adakan sebagai simbol kemeriahan pesta demokrasi, dengan tujuan

menarik minat massa pada keramaian agar mereka ingat momen unik

tersebut, dan ikut berpartisipasi dalam pemilu legislatif nantinya”

(Sumber: wawancara 03/12/2009 10:00 WIB).

Namun KPU Kabupaten Blora tidak mencantumkan tujuan

tersebut secara lebih terperinci sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibu

Rokhayatin selaku kepala Divisi Sosialisasi dan Kajian Pemilu KPU

Kabupaten Blora berikut:

“Kebetulan tujuan tersebut tidak kami jabarkan secara tertulis,

karena bagi kami yang penting adalah programnya berjalan sesuai

harapan” (Sumber: wawancara 03/12/2009 10:00 WIB).

Page 39: ISI SKRIPSI

39

2. Target

Target merupakan hasil akhir (outcome) yang diharapkan dari

berbagai kegiatan komunikasi yang dijalankan organisasi (Putra, 1999:

31).

Berikut merupakan target yang ingin dicapai KPU Kabupaten

Blora terkait dengan Pendidikan Pemilih Pileg 2009 yang mereka

jalankan. Berdasarkan hasil wawancara, narasumber dari Divisi Sosialisasi

dan Kajian Pemilu KPU Kabupaten Blora mengungkapkan:

“Harapan kami terhadap pendidikan pileg 2009 ini yaitu

tersebarluasnya informasi tentang penyelenggaraan Pemilu legislatif

sehingga pemilih memahami dan mengetahui arti penting pemilu legislatif

dan pada akhirnya mereka dapat menggunakan hak pilihnya dengan

sebagaimana mestinya. Kalau target terhadap sosialisasi yang telah kami

adakan, kami berharap khalayak sasaran dapat memahami tentang

ketentuan pemilu legislatif 2009, sehingga pengetahuan mereka tentang

pileg 2009 dapat bertambah, kemudian melalui media relations dan

mobilisasi sosial, kami menginginkan kesadaran masyarakat Blora dan

pengkonsumsi media untuk ikut berpartisipasi dalam pemilu legislatif

2009” (Sumber: wawancara 03/12/2009 13:00WIB).

3. Materi

Materi merupakan isi dari tema besar yang ingin disampaikan

organisasi dalam suatu program (Ruslan: 2007: 76).

Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan peneliti didukung

dengan data yang ada (lihat lampiran 2 „Contoh Presentasi Sosialisasi‟),

secara garis besar materi yang disampaikan oleh KPU Kabupaten Blora

dalam program pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 meliputi:

Page 40: ISI SKRIPSI

40

a. Penjelasan tentang arti pemilu,

b. Tahapan-tahapan dalam pemilu (termasuk tanggal penyelenggaraan

pemilu, pendaftaran pemilih, dan penetapan hasil pemilu),

c. Pengetahuan partai pengikut pemilu dan calon anggota DPD pemilu

2009,

d. Pengetahuan tentang dapil, kampanye, dan larangan dalam kampanye,

e. Penjelasan tentang pentingnya untuk terdaftar sebagai pemilih pileg

2009, termasuk bagaimana cara memilih.

Pada hasil wawancara, narasumber dari Divisi Sosialisasi dan

Kajian Pemilu KPU Kabupaten Blora mengungkapkan:

“Pada dasarnya kami ingin menyampaikan pesan berkaitan dengan

hak dan kewajiban sebagai pemilih pemilu, kewajiban untuk menciptakan

suasana yang demokratis, menjelaskan bagaimana sistem pemilu di

Indonesia termasuk cara memilih yang sah, juga ketentuan hukum dalam

pemilu/kampanye” (Sumber: wawancara 06/12/2009 09:00 WIB).

Materi tersebut dipaparkan kepada target sasaran pemilu, dengan

media pembantu yaitu (KPU Blora, 2009: 51):

a. Stiker 4500 lembar untuk masyarakat umum.

b. Spesimen surat suara 14000 lembar untuk penyelenggara di tingkat

bawah.

c. Leaflet 3500 lembar untuk penyelenggara dan masyarakat umum.

d. Spanduk 315 buah untuk masing-masing Desa dan Kecamatan.

e. Baliho 5 buah dipasang di pusat-pusat keramaian.

f. Pemasangan iklan di radio-radio pemerintah dan swasta.

Page 41: ISI SKRIPSI

41

4. Sasaran

Perencana program harus memilih dan menetapkan publik dalam

rangka menyusun strategi dan taktik yang diperlukan untuk

mengimplementasikan suatu program terhadap publik tersebut (Cutlip,

2006: 366).

Berdasarkan hasil wawancara dan data pada Laporan

Penyelenggaraan Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD dan Pemilhan

Presiden dan Wapres Tahun 2009 di Kabupaten Blora, KPU Kabupaten

Blora telah melakukan pendidikan pemilih yang akan dijelaskan melalui

tabel berikut:

Tabel 1

Khalayak Sasaran Program Pendidikan Pemilih Pemilu Legislatif 2009

Kabupaten Blora

No. Khalayak Strategi

1. Masyarakat umum di sekitar

kota Blora, Cepu, dan Randu

Blatung.

Pawai/mobilisasi sosial di alun-

alun

2. Pemilih pemula: remaja,

pemuda, mahasiswa di beberapa

SMA/SMK/MA dan STAIM

Blora

Sosialisasi di sekolah mereka

masing-masing bekerjasama

dengan pihak sekolah.

3. Kaum perempuan yang diwakili

oleh tim penggerak PKK dan

anggota PKK lainnya

Sosialisasi utama dilakukan di

pendopo bupati, kemudian

sosialisasi anggota lapisan bawah

lainnya dilakukan sewaktu

pertemuan rutin PKK/pengajian

warga.

4. Pengemuka pendapat Dialog interaktif di

kecamatan/balai desa.

Page 42: ISI SKRIPSI

42

S

u

m

b

e

r

:

w

a

w

ancara dan Laporan Pemilu 2009 KPU Kab. Blora

Ketika ditanya mengenai alasan yang mendasari KPU Kabupaten

Blora melakukan sosialisasi kepada khalayak sasaran tersebut, narasumber

dari Divisi Sosialisasi dan Kajian Pemilu KPU Kabupaten Blora

menjawab:

“Agar semua segmentasi masyarakat di Kabupaten Blora

mendapatkan sosialisasi tentang pemilu, misalnya TNI/POLRI walaupun

mereka tidak memilih namun mereka harus mengerti apa itu pemilu

sehingga kelak kita bisa bekerjasama untuk mengamankan jalannya

pemilu” (Sumber: wawancara 07/12/2009 10:30 WIB).

Dengan jumlah kehadiran peserta rata-rata 80% pada setiap

sosialisasi, namun sayangnya hal ini tidak dapat dibuktikan oleh KPU

karena pada setiap sosialisasi KPU tidak mencatat daftar hadir peserta.

5. Petani, buruh, dan kelompok

pekerja lainnya.

Sosialisasi di berbagai balai desa

kelurahan.

6. Wartawan dan kelompok media

massa

Iklan di koran lokal, dialog

interaktif dan iklan di berbagai

radio lokal.

7. TNI/POLRI Dialog interaktif yang lebih

menekankan soal pengamanan

menjelang pemilu legislatif 2009.

8. Partai politik Rapat dan dialog interaktif

9. Pengawas Pemilu Rapat dan dialog interaktif

10. LSM Sosialisasi, dan dialog interaktif

Page 43: ISI SKRIPSI

43

5. Bentuk Program

Program komunikasi merupakan suatu rangkaian kegiatan yang

dilakukan oleh organisasi, menggunakan berbagai lambang untuk

mempengaruhi publik sedemikian rupa, sehingga tingkah laku yang

timbul karena pengaruh tersebut sesuai dengan keinginan komunikator

organisasi (Cutlip, dkk: 2006: 362).

Program pendidikan pemilih yang telah dijalankan oleh KPU

Kabupaten Blora dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:

a. Komunikasi tatap muka, yaitu kegiatan komunikasi secara langsung

tanpa melalui media perantara. Komunikasi ini diadakan dalam bentuk

sosialisasi, diskusi, dan dialog interaktif. Seperti yang telah

diungkapkan oleh ibu Rukhayatin selaku Divisi Sosialisasi dan kajian

pemilu KPU Kabupaten Blora:

“Kita telah mengadakan diskusi dengan berbagai kelompok

masyarakat di SMA-SMA kemarin sekitar 20 SMA kita datangi, Dinas

Perkantoran, LSM, PKK, khusus di kota Blora” (Sumber: wawancara

09/12/2009 08:00WIB).

Selain itu, dalam melakukan pendidikan pemilih, divisi

sosialisasi dan kajian pemilu KPU Kabupaten Blora dibantu oleh

petugas KPU Kecamatan atau biasa disebut PPK (Panitia Pemilihan

Kecamatan), ditingkat Desa (PPS) dan ditingkat TPS yaitu KPPS.

Fokus KPU Kabupaten Blora melakukan pendidikan pemilih di kota

Blora pusat untuk disebarkan ke daerah-daerah. Misalnya untuk PKK,

KPU Kabupaten Blora memilih sosialisasi ke tim penggeraknya

kemarin di pendopo bupati, lalu mereka menyebarkannya ke anggota-

anggota PKK lain di bawahnya, begitu seterusnya. Hal ini sesuai

dengan apa yang diungkapkan oleh narasumber dari Divisi Sosialisasi

dan Kajian Pemilu KPU Kabupaten Blora:

Page 44: ISI SKRIPSI

44

“Fokus KPU Kabupaten Blora melakukan pendidikan pemilih

di kota Blora pusat untuk disebarkan ke daerah-daerah, misalnya untuk

PKK kita memilih sosialisasi ke tim penggeraknya kemarin di

pendopo bupati, lalu mereka menyebarkannya ke anggota-anggota

PKK lain di bawahnya, begitu seterusnya” (Sumber: wawancara

09/12/2009 08:30WIB).

b. Salah satu bagian dari program pendidikan pemilih pemilu legislatif

2009 KPU Kabupaten Blora adalah komunikasi melalui media massa

(media relations). Media relations yang dijalankan oleh KPU

Kabupaten Blora sebagai bagian program pendidikan pemilih pemilu

legislatif 2009 dalam bentuk berupa dialog interaktif dengan lokal

radio, dan spot iklan di radio juga koran lokal. Narasumber dari Divisi

Sosialisasi dan Kajian Pemilu KPU Kabupaten Blora mengatakan:

“Kita juga mengadakan komunikasi lewat media massa berupa

dialog interaktif di radio, iklan di media cetak dan radio-radio di

Blora. Untuk iklannya biasanya di Radio GPN, Gagak Rimang, X-FM,

sehari dua kali atau disesuaikan dengan budget kami. Kalau di media

massa biasanya kita kerjasama dengan koran lokal Blora, Diva, Radar

Bojonegoro, sama Suara Merdeka, karena itu koran yang banyak

dibaca warga sini. Tapi sayangnya kita jarang beriklan Cuma satu dua

kali saja, soalnya mahal” (Sumber: wawancara 09/12/2009

09:00WIB).

c. Mobilisasi sosial merupakan kegiatan komunikasi yang dilakukan oleh

KPU Kabupaten Blora sebagai salah satu bentuk pendekatan mereka

kepada masyarakat umum. Mobilisasi sosial pada program pendidikan

pemilih pemilu legislatif 2009 dilaksanakan dengan pawai di jalan-

Page 45: ISI SKRIPSI

45

jalan besar kota Blora. Seperti yang diungkapkan oleh narasumber dari

Divisi Sosialisasi dan Kajian Pemilu KPU Kabupaten Blora:

“Mobilisasi sosial yaitu sosialisasi di jalan-jalan, kemarin kita

sempat tiga kali sosialisasi di alun-alun Blora waktu akhir pekan,

pernah juga ada tema unik yang kita ambil yaitu sosialisasi pake

delman yang ditarik kambing, biar menarik minat masyarakat sini”

(Sumber: wawancara 09/12/2009 09:00WIB).

Seluruh rangkaian program pendidikan pemilih pemilu legislatif

2009 tersebut dilaksanakan oleh KPU Kabupaten Blora pada saat

menjelang pemilu legislatif di semua jajaran penyelenggara dari KPU

kabupaten sampai tingkat KPPS, terhitung mulai tanggal 01 Maret, sampai

dengan 02 April 2009.

Ketika ditanya mengenai kendala yang biasa KPU Kabupaten

Blora hadapi dalam menjalankan program pendidikan pemilih pemilu

legislatif 2009, narasumber dari Divisi Sosialisasi dan Kajian Pemilu

menjelaskan bahwa kendala tersebut meliputi: kurang maksimalnya media

sehingga tidak dapat terjangkau oleh masyarakat, penyesuaian anggaran

dengan kebutuhan, juga sikap apatis masyarakat terhadap pemilu. Seperti

yang dikemukakan oleh narasumber Divisi Sosialisasi dan Kajian Pemilu

sebagai berikut:

“Kendalanya seperti banyaknya kelompok sasaran dan luasnya

wilayah sehingga tidak dapat terjangkau secara menyeluruh, kurang

maksimalnya media sehingga tidak dapat terjangkau oleh masyarakat,

penyesuaian anggaran dengan kebutuhan, sikap apatis masyarakat

terhadap pemilu, dan lain sebagainya. Untuk mengatasinya kita berusaha

memaksimalkan fungsi penyelenggara di tingkat Kecamatan yaitu Panitia

Pemilihan Kecamatan(PPK),ditingkat Desa (PPS) dan ditingkat TPS yaitu

KPPS, selain itu memaksimalkan penggunaan anggaran yang ada dan

Page 46: ISI SKRIPSI

46

bekerjasama dengan pemerintah daerah setempat, juga melaksanakan

sosialisasi di segala segmentasi masyarakat” (Sumber: wawancara

09/12/2009 10:30WIB).

Secara lebih jelas, berikut merupakan hal yang dilakukan oleh

KPU Kabupaten Blora, yang dalam hal ini diwakili oleh divisi sosialisasi

dan kajian pemilu mengenai program pendidikan pemilih yang mereka

lakukan, yang peneliti kutip sesuai dengan Laporan Penyelenggaraan

Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD dan Pemilhan Presiden dan Wapres

Tahun 2009 di Kabupaten Blora (KPU Blora, 2009: 132-141):

1) Pada pelaksanaannya, KPU Kabupaten Blora bertugas

mendistribusikan produk-produk yang berkaitan dengan informasi

Pemilu dan pendidikan pemilih yang berasal dari KPU, KPU Propinsi

Jawa Tengah dan dari KPU Kabupaten Blora sendiri kepada warga

masyarakat di Kabupaten Blora yang tersebar di 16 kecamatan, 295

Desa dan 2401 TPS dengan perincian:

a. Produk yang berasal dari KPU mengenai petunjuk tata cara

Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD Propinsi dan DPRD

Kabupaten/Kota.

i. Buku panduan KPPS sebanyak 5.620, yang di

distribusikan ke 16 Kecamatan, 295 Desa serta 2.401

TPS.

ii. VCD pemungutan dan perhitungan suara Pemilu

anggota DPR, DPD, DPRD Propinsi dan DPRD

Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

iii. Poster-poster yang berisi ajakan kepada konstituen

untuk menggunakan hak pilihnya pada Pileg 2009,

contoh tata cara mencontreng surat suara.

Page 47: ISI SKRIPSI

47

b. Produk yang berasal dari KPU Propinsi Jawa Tengah.

i. Leaflet tentang Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD

Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

ii. Ilustrasi surat suara anggota DPR, DPD, DPRD

Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

iii. Poster-poster yang berisi ajakan kepada konstituen

untuk menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2009.

iv. Buku panduan “Tandai Pilihanmu” yang berisi tentang

pengetahuan Pemilu 2009 sebanyak 500 buah.

c. Produk yang berasal dari KPU Kabupaten Blora

i. Bersumber dari APBN: Stiker 4500 lbr untuk

masyarakat umum, Leaflet 3500 lembar untuk

penyelenggara dan masyarakat umum.

ii. Bersumber dari APBD: Spanduk 315 buah untuk

masing-masing Desa dan Kecamatan, baliho 5 buah

dipasang di pusat-pusat keramaian, radiospot di radio-

radio pemerintah dan swasta, iklan di koran lokal Radar

Bojonegoro dan Suara Merdeka.

2) Mengadakan sosialisasi langsung kepada masyarakat:

a. Sosialisasi di Kabupaten Blora bekerjasama dengan BPS:

i. 1 s.d 31 Maret 2009, melalui lima stasiun radio Blora:

GPN FM, X-FM, Gagak Rimang, Star FM, dan Pop

FM Blora.

ii. 21 s.d 24 Maret 2009, sosialisasi di berbagai daerah

pemilihan Kabupaten Blora: Jepon, Jiken, Bogorejo,

Sambong, Cepu, Kedungtuban, Randublatung, Jati,

Kradenan, Ngawen, Banjarejo, Tunjungan, Japah,

Todanan, dan Kunduran.

Page 48: ISI SKRIPSI

48

b. Sosialisasi yang diadakan oleh KPU Kabupaten Blora sendiri:

i. 15 s.d 30 Maret 2009, sosialisasi pada 20 lembaga

pendidikan SMA, SMK, MA, STM dan STAIM Blora.

ii. 2 s.d. 10 Maret 2009, sosialisasi bagi dinas/instansi,

rumah sakit, tokoh agama dan tokoh masyarakat se-eks

Kawedanan Cepu dan kota Blora, PKK, dan LSM.

iii. 31 s.d. 2 April 2009, mobilisasi sosialisasi dengan

pawai di alun-alun Kota Blora, alun-alun Cepu, dan

alun-alun Randublatung.

6. Pelaksana

Pelaksana atau biasa disebut juga komunikator program

pendidikan pemilih merupakan pihak yang paling menentukan sukses

tidaknya program komunikasi. Komunikator setidaknya merupakan pihak

yang paling berpengalaman dan mengerti seluk-beluk organisasi, juga

pihka yang paling menguasasi materi program (Sirozi, 2007: 163).

Dalam melaksanakan program sosialisasi dan pendidikan pemilih,

KPU Kabupaten Blora dibantu dengan staf sekertariat dengan membentuk

kelompok kerja sosialisasi yang bertugas melaksanakan semua program-

program yang telah di rencanakan oleh KPU Kabupaten Blora bernama

Divisi Sosialisasi dan Kajian Pemilu (Lihat BAB II). Kemudian divisi

tersebut dibantu juga dengan panitia pemilih dibawahnya yaitu PPK

(Tingkat Kecamatan), PPS (Tingkat Desa), dan KPPS (Tingkat TPS).

Setiap PPK terdiri dari sepuluh orang, dan mereka berhak memilih panitia

pemilihan di bawahnya seperti PPS dan KPPS. Semua anggota KPU

dipilih secara independen dan diambil sumpah/janji pada saat pelantikan

mereka, berdasarkan Keppres. No. 67 Tahun 2002 dan Keputusan

Mendagri No.41 Tahun 2002 (KPU Blora, 2009: 15-45).

Page 49: ISI SKRIPSI

49

Page 50: ISI SKRIPSI

50

Page 51: ISI SKRIPSI

51

Page 52: ISI SKRIPSI

52

Page 53: ISI SKRIPSI

53

Page 54: ISI SKRIPSI

54

B. Evaluasi Dampak Pesan Program Komunikasi KPU Blora pada Pemilu

Legislatif 2009

Untuk mengetahui keberhasilan program pendidikan pemilih yang telah

KPU Kabupaten Blora laksanakan, peneliti mengambil salah satu teori evaluasi

terhadap dampak, yaitu merupakan bagian evaluasi kehumasan yang digunakan

untuk mengukur seberapa jauh hasil yang dinyatakan dalam sasaran untuk

masing-masing publik sasaran dan keseluruhan program yang telah dicapai

(Cutlip, 2000: 436).

Smith (2005: 245-253) dalam bukunya “The Strategic Planning For PR”

menjelaskan beberapa komponen yang digunakan untuk mengukur evaluasi

dampak, yaitu Outputs Evaluations yang diukur melalui produksi dan distribusi

pesan, Evaluations Of Awareness Objectives yang diukur berdasarkan terpaan

pesan, isi pesan, dan pengulangan pesan, kemudian Evaluations Of Action

Objectives, melalui “Audience Participation”.

Untuk mendapatkan hasil evaluasi tersebut, peneliti telah mewawancarai

berbagai narasumber yang merupakan khalayak sasaran pendidikan pemilih pileg

2009 KPU Kabupaten Blora, diantaranya dari pemilih pemula, guru, anggota

PKK, petani, dan pegawai, sebagaimana telah dijelaskan dalam BAB II.

Berikut merupakan hasil temuan peneliti berdasarkan masing-masing

komponen evaluasi tersebut.

1. Outputs Evaluations

Evaluasi ini digunakan untuk mengukur produk komunikasi dan

distribusinya atau berfokus kepada produksi dan penyebaran dari materi

pembantu penyampaian pesan (brosur, spanduk, flyer, iklan, dan lain

sebagainya) (Smith, 2005: 245). Untuk mengukur evaluasi tersebut, peneliti

melakukan wawancara terhadap divisi sosialisasi dan kajian pemilu KPU

Kabupaten Blora, kemudian dibandingkan dengan pernyataan narasumber dari

khalayak sasaran yang telah peneliti wawancara.

Page 55: ISI SKRIPSI

55

a. Produksi Pesan

Produksi pesan digunakan untuk mengukur berapa banyak

produksi materi pesan yang telah dibuat untuk menyukseskan program

tersebut (Smith, 2005: 246). Sesuai dengan hasil wawancara yang telah

dilakukan oleh peneliti dan data yang ada, maka berikut merupakan

perincian produksi materi pesan yang telah dibuat dan distribusikan oleh

KPU Kabupaten Blora (KPU Blora, 2009: 132-141):

1) Produk yang berasal dari KPU mengenai petunjuk tata cara Pemilu

anggota DPR, DPD, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

a) Buku panduan KPPS sebanyak 5.620, yang di distribusikan ke

16 Kecamatan, 295 Desa serta 2.401 TPS.

b) VCD pemungutan dan perhitungan suara Pemilu anggota DPR,

DPD, DPRD Propinsi dan DPRD Propinsi dan DPRD

Kabupaten/Kota.

c) Poster-poster yang berisi ajakan kepada konstituen untuk

menggunakan hak pilihnya pada Pileg 2009, contoh tata cara

mencontreng surat suara.

2) Produk yang berasal dari KPU Propinsi Jawa Tengah.

a) Leaflet tentang Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD Propinsi

dan DPRD Kabupaten/Kota.

b) Ilustrasi surat suara anggota DPR, DPD, DPRD Propinsi dan

DPRD Kabupaten/Kota.

c) Poster-poster yang berisi ajakan kepada konstituen untuk

menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2009.

d) Buku panduan “Tandai Pilihanmu” yang berisi tentang

pengetahuan Pemilu 2009 sebanyak 500 buah.

Page 56: ISI SKRIPSI

56

3) Produk yang berasal dari KPU Kabupaten Blora

a) Bersumber dari APBN: Stiker 4500 lembar untuk masyarakat

umum, Leaflet 3500 lembar untuk penyelenggara dan

masyarakat umum.

b) Bersumber dari APBD: Spanduk 315 buah untuk masing-

masing Desa dan Kecamatan, baliho 5 buah dipasang di pusat-

pusat keramaian, radiospot di radio-radio pemerintah dan

swasta, iklan di koran lokal Radar Bojonegoro dan Suara

Merdeka.

b. Distribusi Pesan

Distribusi pesan digunakan untuk mengukur penyebaran materi

pesan, apakah sudah merata atau belum (Smith, 2005: 246). Berdasarkan

hasil wawancara dengan pihak KPU Kabupaten Blora, materi pesan

tersebut yang berupa Buku Panduan KPPS, VCD Pemilu, dan Poster

disebarkan ke seluruh penjuru kecamatan, desa, dan TPS di Kabupaten

Blora. Sedangkan spanduk 315 buah dipasang di setiap pusat keramaian

desa dan kecamatan di Kabupaten Blora yang memiliki 16 kecamatan,

yang dibagi lagi atas 271 desa dan 24 kelurahan, dengan kata lain setiap

satu wilayah baik kecamatan, desa, maupun kelurahan mendapatkan satu

spanduk untuk dipasang dikeramaian. Sedangkan baliho yang dipasang

hanya 5 buah saja, dan khusus untuk dipasang di pusat keramaian

kecamatan kota Blora dan Cepu. Stiker dan leaflet Pemilu yang disebarkan

untuk masyarakat umum agaknya hanya berjumlah sekitar 9.000,

dibandingkan dengan banyaknya jumlah DPT Pileg yang meningkat 20%

dari tahun sebelumnya sebanyak 697.350 pemilih.

Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak KPU Kabupaten

Blora, stiker, leaflet, maupun materi lain dari produk tersebut dibagikan

pada saat sosialisasi dilakukan:

Page 57: ISI SKRIPSI

57

“Kami membagikan sebagian atribut pemilu seperti brosur dan

flyer, pada setiap sosialisasi, dan disana juga diputarkan VCD Ayo

Mencontreng” (Sumber: wawancara 10/12/2009 13:30WIB).

Namun, agaknya beberapa peserta tidak menerima materi tersebut.

Ini ditunjukkan dengan hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan

beberapa khalayak sasaran yang mengaku bahwa mereka tidak

mendapatkan leaflet atau brosur sewaktu mengikuti sosialisasi sehingga

mereka terkendala dan banyak pihak yang lupa pesan dari sosialisasi

sewaktu mereka selesai mengikuti program tersebut karena tidak

mencatat. Bahkan tak jarang di antara mereka memberikan saran kepada

pihak KPU Kabupaten Blora untuk memberikan media pembantu

penyampaian pesan lain seperti pamflet, atau flyer untuk mereka bawa

pulang sehingga kelak mereka bisa mempelajarinya. Seperti yang

diungkapkan oleh seorang narasumber PKK bernama Ibu Ainiah ketika

ditanya tentang kritik dan saran yang mereka ingin sampaikan kepada

KPU terkait dengan sosialisasi yang mereka ikuti:

“Mungkin selain kita diberi penjelasan melalui ceramah tadi, harus

dikasih media pembantu lain seperti brosur atau apa gitu biar lebih jelas,

dan setelah penyampaian tersebut saya tidak lupa lagi” (Sumber:

wawancara 04/12/2009 15:30WIB).

Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh narasumber guru

bernama Bapak Widodo, “Sosialisasi dari KPU terkesan monoton, karena

kurang adanya interaksi, apalagi media pembantu seperti brosur, flyer,

hanya dijadikan contoh, tidak dibagikan kepada peserta satu-persatu. Ini

yang menyebabkan mereka lupa sepulang dari acara sosialisasi tadi”

(Sumber: wawancara 16/12/2009 08.00WIB).

Page 58: ISI SKRIPSI

58

2. Evaluations Of Awareness Objectives

Evaluasi ini digunakan untuk menunjukkan nilai yang menawarkan

taktik komunikasi organisasi, khususnya efektivitas mereka dalam mencapai

kesadaran, sikap dan tindakan tujuan. Evaluasi terfokus pada kesadaran dari

isi pesan. Hal ini mempertimbangkan berapa banyak orang yang terkena

pesan, bagaimana pesan tersebut mudah untuk dipahami dan berapa banyak

pesan yang ingat (Smith, 2005: 245). Untuk mendapatkan hasil evaluasi

tersebut, peneliti melakukan wawancara dengan narasumber pemilih pemula,

guru, kelompok PKK, dan pegawai/karyawan/petani (seperti yang telah

dijelaskan peneliti sebelumnya).

Evaluasi ini diukur melalui komponen-komponen sebagai berikut:

a. Terpaan Pesan (Message Exposure)

Evaluasi ini digunakan untuk mengetahui seberapa besar

ketertarikan khalayak sasaran terhadap program pendidikan pemilih

tersebut (Smith, 2005: 245). Berikut merupakan hasil wawancara dengan

narasumber terkait dengan terpaan pesan:

1) Pemilih Pemula

Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan peneliti

terhadap kedua narasumber, mereka mempunyai pandangan yang

berbeda terhadap program ini. Peneliti sengaja memilih narasumber

berbeda jenis kelamin dan sekolah mereka. Narasumber yang pertama

seorang perempuan bernama Ana yang bersekolah di SMA terfavorit

pertama di Blora (SMAN 01 Blora), berpendapat bahwa dia sangat

tertarik akan program tersebut, karena pemilu merupakan hal yang

baru pertama kali ia lakukan, sehingga ia merasa penasaran dan ingin

tahu lebih lanjut tentang pemilu.

“Karena saya baru pertama kali memilih, jadi sangat tertarik

ingin tahu apa sih itu pemilu dan bagaimana cara memilih” (Sumber:

wawancara 16/12/2009 09:15WIB).

Page 59: ISI SKRIPSI

59

Sedangkan narasumber yang lain berjenis kelamin laki-laki

bernama Singgih dan bersekolah di SMA yang berbeda dengan

narasumber pertama (SMAN 01 Tunjungan Blora), dengan kualitas

sekolah yang hampir sama baiknya dengan sekolah narasumber

pertama, berpendapat bahwa program ini tidak begitu membuat dirinya

tertarik, alasannya mengikuti program tersebut hanya karena dipaksa

oleh pihak sekolah.

“Sebenarnya biasa saja, karena waktu itu kan kita anak kelas

tiga wajib ikut acara itu” begitu jawabnya ketika ditanya tentang

seberapa besar ketertarikannya terhadap acara tersebut (Sumber

wawancara 16/12/2009 10:00WIB).

Namun keduanya sepakat untuk mengatakan bahwa program

ini bermanfaat, sedangkan ketika ditanya apakah mereka mau

mengikuti program tersebut lagi, narasumber yang pertama Ana

menjawab:

“Kalau ada waktu, tentu kenapa tidak” (Sumber: wawancara

16/12/2009 09.15WIB).

Jawaban yang berbeda dikemukakan oleh narasumber kedua

ketika ditanya kesanggupannya untuk mengikuti kembali program

tersebut, dia lebih terkesan enggan untuk mengikuti lagi.

“Tidak tahu mungkin ikut kalau ada waktu, tergantung mood”

begitu ungkap narasumber kedua Singgih (Sumber: wawancara

16/12/2009 10:00WIB).

2) Guru

Menurut pendapat guru yang telah peneliti wawancara,

menunjukkan ketertarikan mereka berada dalam kadar yang berbeda.

Seorang guru yang juga merupakan penyelenggara program tersebut di

sekolahnya bernama Ibu Sutiyani mengatakan ketertarikannya

terhadap program ini, karena menganggap program pendidikan

Page 60: ISI SKRIPSI

60

pemilih sangat bermanfaat bagi muridnya yang baru pertama kali

mengikuti pemilu dengan mengatakan:

“Saya sangat tertarik, apalagi mengingat anak-anak didik saya

yang belum pernah ikut berpartisipasi dalam pemilu. Jadi saya harus

mengajarkan pengetahuan ini kepada mereka” (Sumber: wawancara

16/12/2009 08:00WIB).

Sedangkan pendapat lain ditunjukkan guru yang satunya Bapak

Widodo, dengan mengatakan bahwa dia mengikuti program tersebut

hanya sebatas ingin tahu saja. Namun keduanya juga sepakat bahwa

kegiatan ini sangat bermanfaat bagi siswa mereka, dan berharap pada

pemilu mendatang kegiatan ini tetap dilakukan, mereka mengatakan:

“Bagi para siswa yang baru pertama kali memilih kegiatan ini

sangat bermanfaat, dan bagi masyarakat awam juga agar mereka lebih

tahu tentang pemilu” (Sumber: wawancara 16/12/2009 11:00WIB).

3) Kelompok PKK

Kedua narasumber menunjukkan ketertarikan yang besar

terhadap program ini, apalagi salah satu narasumber bernama Ibu

Ernaning bertugas untuk memberikan sosialisasi kepada anggota PKK

di bawahnya, karena kewajiban narasumber sebagai tim penggerak

PKK. Seperti yang diungkapnya sebagai berikut:

“Saya tertarik karena selain pemilu kali ini berbeda, saya juga

berkewajiban untuk menyebarkan informasi pemilu ke anggota PKK

lain di daerah saya, jadi saya harus paham mengenai seluk beluk

pemilu ini” begitu ungkap anggota penggerak PKK tersebut (Sumber:

wawancara 12/12/2009 14:00WIB).

Ketertarikan ini juga ditunjukkan dengan kesediaan mereka

untuk berpartisipasi lagi dalam program pendidikan pemilih

selanjutnya, seperti yang telah dikatakan oleh narasumber bernama Ibu

Ainiah:

Page 61: ISI SKRIPSI

61

“Sosialisasi ini sangat bermanfaat karena ini membantu saya

agar suara saya nanti sah tidak terbuang dengan percuma, kalau pemilu

mendatang ada sosialisasi lagi, mungkin saya mau ikut” (Sumber:

wawancara 12/12/2009 17:30WIB).

4) Pegawai/Karyawan

Narasumber yang berasal dari PNS bernama Bapak Rusmanto,

menjawab bahwa dia cukup tertarik karena penasaran dengan

pemberitaan media yang menyebutkan bahwa pemilu kali ini berbeda:

“Cukup tertarik, karena saya penasaran juga katanya pemilu

sekarang ini beda dari kemarin caranya” begitu ungkap narasumber

(Sumber: wawancara 04/12/2009 15:30WIB).

Ketika ditanya mengenai manfaat sosialisasi ini, narasumber

menjawab:

“Lumayan bermanfaat, biar kita lebih tahu tentang pemilu

karena dari periode ke periode kan berbeda-beda regulasinya. Iya pasti

saya mau ikut selama saya bisa” (Sumber: wawancara 04/12/2009

15:30WIB).

5) Petani

Narasumber dari kalangan petani bernama Bapak Musta‟in

mengatakan ketertarikan program ini hanya sebatas untuk menambah

wawasan saja. Ketika ditanya tentang manfaat sosialisasi ini dia

mengatakan:

“Cukup bermanfaat, bagi saya manfaatnya jadi lebih tahu

tentang apa itu pemilu, dan bilamana masih ada kesempatan tidak ada

salahnya ikut berpartisipasi lagi” (Sumber: wawancara 05/12/2009

16:00WIB).

Page 62: ISI SKRIPSI

62

b. Isi Pesan (Message Content)

Evaluasi ini berfokus pada isi pesan. Apakah positif, atau hanya

memberikan data yang salah? Kesimpulan tak beralasan? Atau informasi yang

ketinggalan jaman? (Smith, 2005: 247).

1) Pemilih Pemula

Salah satu narasumber Ana merasa paham akan isi pesan yang

disampaikan, namun narasumber lain agaknya kurang menyimak betul

apa yang dipaparkan oleh pihak KPU, terbukti ketika ditanya siswa

tersebut hanya menggelengkan kepala dan menjawab:

“Saya kurang memerhatikan kemarin, dan sudah lupa” (Sumber:

wawancara 16/12/2009 10:00WIB).

Kedua narasumber tersebut berpendapat bahwa penyampaian

pesan yang dilakukan dalam sosialisasi terlalu membuat mereka bosan.

“Saya paham sih sebagian, tapi karena menurut saya

penyampaiannya agak membosankan jadi saya malah mengobrol dengan

teman-teman saya. Membosankan karena kurang menarik saja” begitu

ungkap salah seorang narasumber (Sumber: wawancara 16/12/2009

09:15WIB).

Karena itu, banyak dari teman-teman mereka tidak

memerhatikan juga. Bahkan, beberapa dari mereka menyarankan kepada

KPU untuk mengemas acara tersebut secara lebih menarik, tidak

monoton, misalnya dengan game dan doorprize pada sesi tanya jawab.

2) Guru

Menurut pendapat para guru, pada dasarnya pesan yang

disampaikan cukup baik, namun cara penyampainnya cenderung kurang

interaktif dan melibatkan siswa mereka dalam hal berfikir aktif dan ikut

berdiskusi, sehingga para murid banyak yang merasa bosan.

“Secara keseluruhan materinya menarik, namun harus

diperbanyak dialog interaktif dengan anak-anak agar mereka ikut

Page 63: ISI SKRIPSI

63

berfikir juga bukan hanya mendengar, yang saya lihat masih ada

sebagian anak yang berbicara sendiri pada saat kegiatan berlangsung”

begitu narasumber berpendapat (Sumber wawancara 16/12/2009

11:00WIB).

Ketika ditanya mengenai kritik dan saran terhadap sosialisasi

tersebut kepada KPU, narasumber Ibu Sutiyani menjawab:

“Agar kegiatan seperti ini lebih digiatkan lagi, apalagi bagi

pemilih pemula lebih diperbanyak intensitasnya, dan seperti yang saya

jelaskan tadi, dialog interaktif dengan siswa lebih ditingkatkan, jadi

mereka bisa berfikir aktif lagi mengenai pengetahuan Pemilu” (Sumber:

wawancara 16/12/2009 08:00WIB).

3) Kelompok PKK

Kedua narasumber kelompok PKK sepakat bahwa pesan yang

disampaikan oleh KPU mudah dipahami, namun perlu diperbaiki cara

penyampaian mereka, terkait dengan kurangnya dialog interaktif dan

tidak adanya media pembantu seperti brosur atau flyer yang dibagikan

kepada masing-masing peserta.

“Mengenai masalah penyajian, karena biasanya pada sosialisasi

di bawah seperti anggota PKK lainnya kan waktunya singkat, jadi

kurang tanya jawab dan tidak ada tukar pikiran, nah saran saya mungkin

lain kali kusus untuk anggota PKK lainnya diberi waktu khusus lagi

yang membahas tentang sosialisasi, jadi biar efektif pesan sosialisasi

sampai kepada pendengarnya” begitu ungkap narasumber ketika ditanya

tentang saran yang ingin disampaikan terhadap KPU terkait program

tersebut (Sumber: wawancara 12/12/2009 14:00WIB).

4) Pegawai/Karyawan

Berikut merupakan jawaban narasumber Bapak Rusmanto

ketika ditanya tentang penyampaian pesan sosialisasi pileg 2009 yang

diikutinya:

Page 64: ISI SKRIPSI

64

“Materinya sebenarnya mudah dipahami, tapi kurang digali

lagi. Karena yang disampaikan hanya yang umum saja seperti definisi

pemilu, dan cara memilih. Kurang yang soal penjelasan siapa calon-

calonnya, jadi kita bisa diberi gambaran mau memilih siapa nantinya.

Apalagi sekarang banyak sekali calegnya, jadi bingung saya mau pilih

siapa” (Sumber: wawancara 04/12/2009 15:30WIB).

5) Petani

Narasumber Bapak Musta‟in mengungkapkan bahwa

sosialisasi yang dia ikuti kurang maksimal karena masyarakat banyak

yang belum mengerti dengan pesan yang disampaikan oleh KPU

Kabupaten Blora, seperti yang diungkapkannya berikut:

“Sosialisasi KPU di Kabupaten Blora menurut saya kurang

maksimal sehingga masyarakat masih banyak yang kurang atau bahkan

tidak faham tentang bagaimana cara mencontreng yang sah, terutama

pada masyarakat awam di pelosok desa. Karena saya sering bergaul

dengan mereka dan sebagian dari mereka merasa cuek dengan pemilu

itu. Kalau terkait dengan penyampaian materi, menurut saya mudah

dimengerti” (Sumber: wawancara 15/12/2009 16:00WIB).

Narasumber berpendapat bahwa sebaiknya sosialisasi KPU

dilakukan di berbagai tempat, sehingga seluruh lapisan masyarakat

terkena sosialisasi agar mereka paham, apalagi yang di daerah pelosok

desa perlu diperbanyak.

c. Mengingat Pesan (Message Recall)

Evaluasi ini digunakan untuk mengukur sejauhmana peserta

memahami pesan yang mereka ketahui setelah mengikuti program

pendidikan pemilih (Smith, 2005: 248). Peneliti menggunakan beberapa

pertanyaan seperti: Apa yang mereka ketahui tentang pemilu dan seberapa

penting pemilu bagi warga negara Indonesia? Adakah perbedaan sistem

Page 65: ISI SKRIPSI

65

pemilu 2009 dengan pemilu sebelumnya tahun 2004, lebih mudah atau

sulitkah? Bagaimana cara mencontreng yang benar dan sah? Apakah mereka

mengetahui pendidikan pemilih? Kemudian setelah mengikuti sosialisasi,

hal apa saja yang mereka pahami dari pesan kegiatan pendidikan pemilih

tersebut?.

Berikut merupakan hasil wawancara peneliti, terhadap beberapa

pertanyaan tersebut:

1) Pemilih Pemula

Pada hasil wawancara dengan pemilih pemula, jawaban yang

singkat mereka paparkan ketika peneliti bertanya tentang definisi

pemilu, yaitu pemilihan Presiden dan anggota DPR lainnya. Ketika

mereka berdua ditanya tentang seberapa penting pemilu bagi warga

negara Indonesia, salah satu dari narasumber Ana menjawab dengan

kalimat singkat “Cukup penting” (Sumber: wawancara 16/12/2009

10:00WIB).

Sedangkan narasumber Singg menganggap bahwa pemilu

lumayan penting karena nasib negara Indonesia ditentukan oleh pihak

yang menang dalam pemilu.

Namun ketika keduanya ditanya tentang perbedaan pemilu 2009

dengan pemilu sebelumnya, keduanya menjawab kurang tahu, karena

pemilu sebelumnya mereka tidak ikut berpartisipasi. Keduanya juga

tidak mengerti apa itu pendidikan pemilih ketika peneliti ingin

mengetahui lebih lanjut tentang pemahaman mereka terhadap

pendidikan pemilih, mereka hanya menjawab “Kurang tahu” (Sumber:

wawancara 16/12/2009 10:00WIB).

Keduanya juga sepakat menjawab bahwa pesan yang ingin

disampaikan oleh KPU Kabupaten Blora dalam sosialisasi yang mereka

ikuti di sekolah merupakan sosialisasi mengenai cara mencontreng yang

benar dan sah. Hal ini dikemukakan karena mereka mengaku sudah lupa

Page 66: ISI SKRIPSI

66

dengan sosialisasi tersebut, dengan alasan program itu sudah lama

berlangsung.

“Seingat saya berkaitan dengan cara mencontreng yang benar

bagaimana gitu, soalnya saya sudah lupa” begitu ungkap narasumber

Ana (Sumber: wawancara 16/12/2009 09:15WIB).

Namun keduanya dapat menjawab dengan singkat mengenai cara

mencontreng pada pemilu legislatif 2009 kali ini, yaitu setiap lembar

kertas suara cukup satu contrengan, boleh terletak pada gambar partai

atau caleg, dan sudut contrengan jangan sampai melebihi gambar partai

atau caleg lainnya.

2) Guru

Hasil wawancara dengan kedua narasumber guru ketika ditanya

tentang arti pemilu, keduanya sepakat menjawab bahwa pemilu

merupakan perwujudan aspirasi rakyat Indonesia untuk memperoleh

pemimpin mereka, sebagai perwujudan dari Indonesia, yang merupakan

negara demokrasi.

Keduanya juga berpendapat bahwa pemilu sangat penting

dilakukan dengan alasan ini merupakan pesta demokrasi rakyat

Indonesia untuk memperoleh pemimpinnya dari, oleh, dan untuk rakyat

Indonesia. Bahkan salah satu dari mereka berpendapat bahwa pemilu

dapat dikatakan berhasil apabila dijalankan sebagaimana mestinya dan

menurut asas yang berlaku, yaitu luber dan jurdil.

Jawaban yang berbeda mereka perlihatkan ketika ditanya tentang

sistem pemilu saat ini dibandingkan dengan sistem pemilu kemarin.

Salah satu narasumber Ibu Sutiyani berpendapat bahwa sistem pemilu

sekarang lebih mudah karena setiap masyarakat bisa mencalonkan diri

sebagai caleg, tidak peduli derajat maupun pengalaman mereka.

Sedangkan narasumber lain berpendapat bahwa pemilu sekarang lebih

rumit dan banyak yang harus diperbaiki karena banyaknya kekacau-

Page 67: ISI SKRIPSI

67

balauan pasca pemilu seperti banyaknya jumlah suara yang tidak sah,

DPT ganda, serta kasus-kasus lainnya.

Keduanya juga memahami arti dari pendidikan pemilih sebagai

kegiatan yang dilakukan oleh aparat pemilu (KPU, panwaslu, dan lain

sebagainya) untuk mengedukasi masyarakat mengenai pemilu.

“Pendidikan pemilih adalah kegiatan yang dilakukan oleh aparat

pemilu (partai, KPU, atau lembaga lainnya) untuk menginternalisasikan

nilai-nilai Pemilu kepada rakyat sesuai dengan pemahaman ideologi

yang mereka usung” begitu jawab salah satu narasumber tersebut

(Sumber: wawancara 16/12/2009 11:00WIB).

Pemahaman mereka akan pendidikan pemilih disebabkan karena

keduanya telah mengikuti pendidikan pemilih beberapa kali. Ketika

ditanya tentang hal apa saja yang mereka pahami mengenai pesan dari

sosialisasi pendidikan pemilih yang telah mereka ikuti, keduanya

menjawab pesan tersebut mengenai seluk beluk pemilu, bagaimana cara

memilih, dan penjelasan mengenai perundang-undangan pemilu lainnya.

3) Kelompok PKK

Ketika peneliti menanyakan tentang definisi pemilu terhadap

kedua narasumber, jawaban yang berbeda mereka kemukakan.

Narasumber pertama menjawab:

“Pemilu berguna untuk memilih pemimpin Indonesia agar bisa

menentukan nasib negara ini, yang bergantung pada pemimpin yang kita

pilih tersebut” (Sumber: wawancara 12/12/2009 17:30WIB).

Sedangkan narasumber lain Ibu Ernaning mengemukakan bahwa

pemilu merupakan upaya pemerintah Indonesia untuk melakukan

regenerasi kepemimpinan, kalau dahulu pemilihannya masih

representatif oleh DPR, rakyat hanya sebatas memilih partai saja,

sekarang secara langsung rakyat bisa memilih presidennya.

Page 68: ISI SKRIPSI

68

Ketika kedua narasumber ditanya mengenai pengetahuan mereka

tentang pendidikan pemilih, narasumber pertama mengaku tidak

mengetahui apa itu pendidikan peilih, namun keduanya lebih akrab

dengan istilah sosialisasi, yaitu diskusi yang dilakukan oleh KPU untuk

calon pemilih supaya lebih mengetahui tentang pemilu dan

menggunakan haknya dengan benar.

Mereka sama-sama pernah mengikuti program pendidikan

pemilih sewaktu menjelang pemilu-pemilu sebelumnya pada pertemuan

rutin PKK. Keduanya juga paham mengenai cara mencontreng yang

benar dan sah ketika peneliti menanyakan hal tersebut, mereka

menjawab:

“Setiap pemilih diberi tiga kertas dengan warna yang berbeda

menunjukkan ketiga tingkatan daerah pemilihan, yaitu DPR, DPD, dan

DPRD. Kemudian tugas pemilih tinggal memberi satu contrengan saja

pada setiap kertas suara, bisa pada gambar partai ataupun gambar atau

nama calegnya. Intinya jangan sampai sudut contrengan mengenai

gambar partai atau caleg lainnya” (Sumber: wawancara 12/12/2009

17:30 WIB).

Ketika ditanya tentang pesan apa yang mereka dapatkan setelah

mengikuti sosialisasi tersebut, salah satu narasumber mengaku sudah

lupa dan hanya mengingat mengenai cara mencontreng yang benar,

sedangkan narasumber lainnya menjawab:

“Kami diberi penjelasan tentang definisi pemilu, dan partai apa

saja yang ikut, yang terpenting adalah diberi penjelasan bagaimana cara

mencontreng yang benar dan sah” (Sumber: wawancara 12/12/2009

14:00 WIB).

4) Pegawai/Karyawan

Ketika peneliti menanyakan tentang apa itu pemilu terhadap

narasumber Bapak Rusmanto menjawab:

Page 69: ISI SKRIPSI

69

“Pemilu merupakan suatu jalan yang harus ditempuh bangsa ini

setiap lima tahun sekali untuk memperbaharui kepemimpinan dan sistem

yang sudah tidak layak digunakan, agar nasib bangsa ini lebih baik lagi,

tidak kalah bersaing dengan negara lainnya” (Sumber: wawancara

04/12/2009 15:30WIB).

Ketika menjawab pertanyaan peneliti tentang seberapa penting

pemilu, narasumber mengungkapkan:

“Pemilu sangat penting bagi warga negara, karena menyangkut

siapa yang akan dijadikan imam untuk memimpin dan membuat negara

ini menjadi lebih baik. Tapi sayangnya sekarang pemilu malah dijadikan

ajang politik memperebutkan jabatan semata” (Sumber: wawancara

04/12/2009 15:30WIB).

Ketika ditanya mengenai hal apa saja yang narasumber dapatkan

dari sosialisasi, dia menjawab:

“Kita harus menggunakan hak pilih dengan benar, dan saya juga

diajari bagaimana cara memilih yang sah agar suara kita tidak terbuang

dengan percuma” (Sumber: wawancara 04/12/2009 15:30WIB).

Narasumber berharap agar pemilu di Indonesia ini dapat berjalan

dengan lebih baik lagi, termasuk penyelenggaranya harus jujur dan adil.

5) Petani

Ketika peneliti menanyakan tantang apa itu pemilu, narasumber

menjawab:

“Pemilu itu memilih pemimpin di berbagai jajaran, seperti

DPRD, DPD, DPR RI, Presiden, Wakil Presiden, dan Bupati” (Sumber:

wawancara 05/12/2009 16:00WIB).

Narasumber mengungkapkan sudut pandangnya ketika

menjawab pertanyaan peneliti tentang seberapa penting pemilu:

“Pemilu sangat penting, namun mereka sepakat bahwa pemilu

harus dijalankan secara amanah sesuai dengan UUD‟45, karena

Page 70: ISI SKRIPSI

70

sekarang ini banyak terjadi kecurangan dimana-mana bahkan dari si

penyelenggara pemilu sendiri, kalau seperti ini justru pemilu itu

merugikan bagi rakyat Indonesia karena demi kepentingan elit politik

tertentu saja” (Sumber: wawancara 05/12/2009 16:00WIB).

Ketika peneliti ingin mengetahui sejauhmana narasumber

mengerti tentang pendidikan pemilih, narasumber menjawab pendidikan

pemilih sebagai suatu upaya KPU untuk mencerdaskan masyarakat atau

calon pemilih agar lebih mengetahui apa itu pemilu dan betapa

pentingnya pemilu bagi warga negara Indonesia.

Ketika ditanya mengenai perbedaan sistem pemilu 2009 dengan

sistem pemilu tahun sebelumnya, narasumber berpandangan bahwa

sistem pemilu kali ini lebih sulit karena melihat banyaknya

permasalahan yang muncul pasca pemilu.

Ketika ditanya mengenai pesan yang mereka dapat setelah

mengikuti sosialisasi tersebut, narasumber mengatakan:

“Mungkin tentang demokrasi yang harus kita buktikan dengan

berpartisipasi dalam pemilu ini, jadi kita dituntut untuk menjadi pemilih

yang pintar menganalisa pemimpin, jangan termakan money politic dan

janji mereka saja” (Sumber: wawancara 05/12/2009 16:00WIB).

3. Evaluations Of Action Objectives, melalui “Audience Participation”

Evaluasi ini diukur berdasarkan angka-angka publik yang aktif

menanggapi pesan organisasi (Smith, 2005). Evaluasi ini digunakan untuk

mengukur jumlah kehadiran khalayak sasaran yang ditentukan dari jumlah peserta

yang hadir pada setiap program komunikasi, dan jumlah pemilih yang ikut

berpartisipasi dalam pemilu legislatif 2009.

Pada bagian sebelumnya, peneliti telah menjelaskan bahwa KPU

Kabupaten Blora selaku penyelenggara pendidikan pemilih pemilu legislatif

2009, tidak mencantumkan daftar hadir peserta setiap acara sosialisasi

Page 71: ISI SKRIPSI

71

berlangsung. Namun berdasarkan hasil wawancara, pihak KPU yang diwakili oleh

Kepala Divisi Sosialisasi dan Kajian Pemilu, Ibu Rokhayatin, mengatakan bahwa

sekitar 80% peserta hadir di setiap sosialisasi yang mereka selenggarakan.

“Jumlah kehadiran peserta kita sudah lupa karena di setiap sosialisasi

kami tidak mendatanya, namun kalau dipersentase sekitar 80% rata-rata disetiap

sosialisasi mereka hadir semua” (Sumber: wawancara 06/12/2009 09:00).

Kemudian partisipasi masyarakat yang melakukan pemilihan, dilihat dari

data KPU Kabupaten Blora yaitu jumlah masyarakat yang mengikuti Pemilu

legislatif 2009 menurun dibandingkan dengan pemilu pada 2004 lalu, berdasarkan

data yang dimiliki KPU yaitu DPT pemilu legislatif tahun 2004 sejumlah

598251pemilih, yang menggunakan hak pilihnya sejumlah 493022 pemilih,

berarti sebanyak 105. 229 pemilih atau sekitar 18 % pemilih tidak menggunakan

hak pilihnya, dengan jumlah suara tidak sah sebesar 118.286 pemilih atau sekitar

23% pemilih telah sia-sia menggunakan hak pilihnya. Sedangkan Pemilu 2009

jumlah DPT Pileg meningkat 20% sebanyak 697.350 pemilih, yang menggunakan

hak pilihnya sejumlah 518.997 pemilih dan yang tidak menggunakan hak pilihnya

sejumlah 178.353 pemilih atau 25% meningkat 7% dari tahun sebelumnya,

dengan jumlah suara tidak sah sebesar 122.614 atau 23% pemilih tidak sah,

hampir sama jumlahnya dengan pemilu sebelumnya (KPU Blora:2009).

Evaluasi ini juga mengukur sejauhmana keberhasilan program pendidikan

pemilih tersebut dalam membujuk para calon pemilih/khalayak sasaran program

untuk berpartisipasi dalam pemilu legislatif 2009. Berikut merupakan hasil

partisipasi pemilu legislarif 2009 para narasumber yang telah peneliti wawancara.

a. Pemilih Pemula

Kedua narasumber baru pertama kali memilih, dan mereka sama-sama

ikut berpartisipasi dalam pileg 2009, walaupun mereka hanya memilih

berdasarkan iseng saja.

Page 72: ISI SKRIPSI

72

“Kalau pas pileg saya cuma ikut-ikutan saja, tapi pas pilpres saya

memilih berdasarkan yang saya senangi” begitu ungkap salah satu narasumber

ketika ditanya tentang partisipasi mereka dalam pileg 2009 (Sumber:

wawancara 16/12/2009 09:15WIB).

b. Guru

Narasumber guru yang pertama Ibu Sutiyani mengikuti setiap pemilu

yang pernah dilaksanakan pemerintah.

“Saya berpartisipasi aktif pada pemilu 2009 kali ini baik di pilleg

maupun pilpres. Karena setiap pemilu saya usahakan ikut” begitu ungkap

narasumber tersebut (Sumber: 16/12/2009 08:30WIB).

Berbeda dengan narasumber kedua Bapak Widodo yang mengaku

tidak berpartisipasi dalam pileg 2009 karena merasa bingung dengan

banyaknya caleg yang ada, dan belum bisa menentukan pilihan mereka.

“Pemilu legislatif kemarin saya tidak ikut karena tidak ada pandangan

harus memilih siapa, namun pada saat pilpres saya ikut berpartisipasi” ungkap

salah seorang narasumber (Sumber: wawancara 16/12/2009 11:00WIB).

c. Kelompok PKK

Kedua narasumber sudah bisa menentukan sikap dan ikut serta dalam

pileg 2009 ini berdasarkan pandangan dan hati nurani mereka.

“Setiap pemilu saya usahakan ikut, sepertinya saya tidak pernah absen

saat pemilu karena saya selalu berusaha mencermati apa yang akan saya pilih”

(Sumber: wawancara 12/12/2009 14:00WIB).

d. Pegawai/Karyawan

Narasumber Bapak Rusmanto memutuskan untuk tidak ikut

berpartisipasi, “Saya kemarin hanya mengikuti pilpres, karena pilleg saya

bingung mau memilih yang mana, terlalu banyak pilihan dan calon yang

belum saya kenal” begitu ungkapnya (Sumber: wawancara 04/12/2009 15:30).

Page 73: ISI SKRIPSI

73

e. Petani

Walaupun sudah mengikuti sosialisasi, narasumber memutuskan untuk

tidak berpartisipasi dalam pileg 2009 kali ini, karena merasa belum terlalu

mengenal calon yang ada, sehingga calon-calon tersebut belum bisa mewakili

aspirasinya.

Page 74: ISI SKRIPSI

74

BAB IV

PEMBAHASAN

Berikut ini merupakan penjabaran dari hasil temuan yang ada (BAB III),

berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan peneliti dengan berbagai narasumber

(lihat BAB II), juga dari data sekunder baik berupa flyer, brosur, lembar presentasi,

maupun laporan penyelenggaraan pemilu 2009, yang kemudian akan dibahas berdasarkan

berbagai kajian teori komunikasi yang relevan. Pembahasan akan dipaparkan berdasarkan

dua pokok kajian utama, yaitu program komunikasi pendidikan pemilih pemilu legislatif

2009 KPU Kabupaten Blora, yang digunakan untuk mengetahui secara lebih rinci dan

jelas mengenai program komunikasi yang dilakukan oleh KPU Kabupaten Blora pada

pemilu legislatif 2009. Selain itu, pembahasan selanjutnya digunakan untuk

mengevaluasi aktivitas komunikasi pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 kepada

masyarakat Blora ditinjau dari segi dampak pesan dari program komunikasi.

A. Program Komunikasi Pendidikan Pemilih Pemilu Legislatif 2009 KPU Kabupaten

Blora

Berikut merupakan program komunikasi pendidikan pemilih pemilu legislatif

2009 yang dijalankan oleh KPU Kabupaten Blora, yang akan dibahas berdasarkan enam

aspek komponen program komunikasi pendidikan pemilih, yang dikemukakan oleh

Sirozi (2007: 161-163), yaitu tujuan, target, materi, sasaran, bentuk program, dan

pelaksana.

1. Tujuan

Pelaksanaan pendidikan pemilih hendaknya harus memiliki tujuan yang

jelas, sebagai tolak ukur berjalannya program pendidikan pemilih. Menurut Sirozi

(2007: 161) tujuan pendidikan pemilih yang baik pada hakikatnya mencakup dua

hal, yaitu:

Page 75: ISI SKRIPSI

75

a) Mendidik calon pemilih agar memahami arti penting pemilu bagi masa

depan demokrasi di Indonesia.

b) Mendidik calon pemilih agar dengan penuh kesadaran mau menggunakan

hak pilih mereka, dan turut serta menjaga kelancaran dan keberhasilan

pelaksanaan pemilu.

Tujuan atau objective adalah titik yang hendak dituju organisasi,

sehingga organisasi mempunyai gambaran yang jelas mengenai keberadaannya

sekarang, dan pandangan kemana titik spesifik yang hendak dicapai. Tujuan

dapat didefinisikan sebagai suatu pernyataan tertulis dan jelas tentang hal-hal

yang mesti dicapai organisasi selama kurun waktu tertentu yang masuk akal,

dan konsisten dengan objective organisasi secara menyeluruh (Kasali, 2005:

56). Secara lebih jelas, Kasali dalam bukunya „Manajemen Public Relations

Konsep dan Aplikasinya di Indonesia‟ mengemukakan bahwa objective

hendaknya memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Harus dinyatakan secara tertulis, karena objective yang tidak tertulis

biasanya tidak bisa dipertanggungjawabkan dan kurang spesifik.

b. Harus dinyatakan secara jelas dan singkat, penggunaan kalimat yang

terlampau panjang memungkinkan untuk menafsirkannya berbeda.

c. Harus spesifik pada batasan tertentu, sesuai dengan job descriptions

masing-masing divisi dalam suatu organisasi.

d. Harus mencakup batasan waktu yang spesifik, perlu ditetapkan kapan

setiap kegiatan hendak dilakukan dan apa objective-nya dalam batas

waktu tersebut.

e. Objective harus dapat dinyatakan dalam ukuran yang terukur.

f. Objective harus konsisten dengan objective organisasi secara

menyeluruh.

g. Objective harus dapat dijangkau, tetapi tetap memberi tempat yang

menantang untuk merangsang usaha.

Page 76: ISI SKRIPSI

76

Fleet dalam bukunya „Strategic Communications Planning‟ (2007),

mengemukakan konsep SMART untuk merumuskan tujuan, yaitu:

S :Spesific, harus dikemukakan secara terperinci.

M :Measurable, harus dapat diukur secara kuantitas.

A :Achievable, dapat memberikan dampak positif bagi organisasi.

R :Realistic, masuk akal.

T :Time focused, memiliki batasan waktu yang pasti.

Ketika diwawancarai mengenai tujuan program pendidikan pemilih

pemilu legislatif 2009 yang dilakukan oleh KPU Kabupaten Blora, narasumber

yang diwakili oleh Divisi Sosialisasi dan Kajian Pemilu berpendapat:

“KPU Kabupaten Blora ingin lebih meningkatkan pemahaman dan

pengetahuan masyarakat akan pentingnya pemilu anggota DPR,DPD dan DPRD

yang biasa disebut pileg dalam membangun kehidupan demokrasi di Kabupaten

Blora. Untuk sosialisasi, kami berharap untuk mengadakan komunikasi secara

langsung dengan khalayak sasaran dari berbagai lapisan program, sehingga

pesan langsung dapat tersampaikan. Kalau program seperti iklan dan interview

di radio, kami ingin menjalin kerjasama dengan berbagai media lokal agar turut

membantu menyampaikan pesan kepada masyarakat yang belum tersentuh oleh

sosialisasi tadi. Dan pawai atau mobilisasi sosial kami adakan sebagai simbol

kemeriahan pesta demokrasi, dengan tujuan menarik minat massa pada

keramaian agar mereka ingat momen unik tersebut, dan ikut berpartisipasi

dalam pemilu legislatif nantinya” (Sumber: wawancara 02/12/2009 09:00WIB).

Sesuai dengan pendapat Sirozi sebelumnya, dapat dikatakan secara

keseluruhan tujuan yang dikemukakan oleh KPU Kabupaten Blora dalam

program pendidikan pemilih pemilu 2009 sudah sesuai, yaitu:

“Meningkatkan pemahaman dan pengetahuan masyarakat akan

pentingnya pemilu anggota DPR,DPD dan DPRD yang biasa disebut pileg

Page 77: ISI SKRIPSI

77

dalam membangun kehidupan demokrasi di Kabupaten Blora” (Sumber:

wawancara 02/12/2009 09:00WIB).

Untuk mencapai tujuan tersebut, KPU Kabupaten Blora menyelaraskan

isi pesan yang mereka sampaikan kepada khalayak sasaran. Secara garis besar

pesan yang diangkat oleh KPU Kabupaten Blora mengenai ajakan untuk

berpartisipasi dalam pemilu ditunjukkan dengan berbagai kalimat seperti

“Gunakan hak pilih anda dalam pemilu 2009” dan “Satu suara untuk masa

depan” (Lihat lampiran „Flyer Ajakan Pemilu‟), kemudian pengetahuan tentang

pemilu (Lihat lampiran „Stiker Surat Suara Sah Pemilu 2009‟), dan lain

sebagainya.

Sesuai dengan konsep perumusan tujuan yang dikemukakan oleh

Rhenald Kasali dalam bukunya „Manajemen Public Relations Konsep dan

Aplikasinya di Indonesia‟, tujuan yang ingin dicapai oleh KPU Kabupaten

Blora dalam program pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 belum memiliki

tujuan yang konkrit dan perumusannya hanya diungkapkan secara lisan. Hal ini

terbukti ketika peneliti menanyakan kepada narasumber apakah tujuan tersebut

dicatat secara tertulis dan sudah dirumuskan matang-matang, narasumber KPU

Kabupaten Blora menjawab:

“Kebetulan tujuan tersebut tidak kami jabarkan secara tertulis, karena

bagi kami yang penting adalah programnya berjalan sesuai harapan” (Sumber:

wawancara 02/12/2009 09:00WIB).

Tujuan program pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 yang sudah

dikemukakan oleh KPU Kabupaten Blora belum memenuhi syarat sebagai

objective yang baik karena tidak memenuhi kriteria yaitu tertulis, jelas dan

singkat, tidak mempunyai waktu yang spesifik, dan dinyatakan dalam ukuran

yang terukur, seperti pada konsep perumusan tujuan yang dikemukakan oleh

Rhenald Kasali diatas.

Penentuan tujuan kegiatan sangat penting, menurut Cutlip, Center, dan

Broom (2006: 362) mempunyai tiga fungsi, yakni (1) memberi fokus dan arah

Page 78: ISI SKRIPSI

78

bagi orang yang akan mengembangkan strategi dan taktik program, (2) memberi

panduan dan dorongan bagi orang yang akan melaksanakan program, dan (3)

memberi rincian hasil yang akan digunakan untuk memantau dan mengevaluasi

program. Tujuan yang baik harus diarahkan pada pemecahan persoalan yang

sedang dihadapi organisasi.

Menurut Hunt dan Grunig (1994), berdasarkan hasil-hasil riset dalam

komunikasi, tujuan-tujuan program dapat difokuskan pada perubahan

pengetahuan, bagaimana orang berfikir, atau ide-ide dan kepercayaan yang

mereka punyai, sebelum melihat atau bertujuan untuk mengubah sikap dan

perilaku. Untuk menekankan pencapaian tujuan yang dicapai, „taxonomy effect‟:

a) Communication (komunikasi): disini maksudnya adalah organisasi

dan publik harus saling melakukan pertukaran informasi. Berita atau

cerita harus ditulis di media, dan publik harus membacanya, brosur

harus dibuat dan disebarkan, publik harus memperoleh dan

membacanya. Berikan publik akses atau kedekatan fisik dengan

pesan-pesan dari organisasi, sekaligus juga manajemen harus

mempunyai akses untuk mendengar publik.

b) Retention of the message (pengingatan pesan): Tujuan ini disebut

juga sebagai tujuan akurasi komunikasi atau ketepatan komunikasi.

Baik publik maupun manajemen memahami pesan dari masing-

masing pihak. Kedua pihak dapat mengartikulasikan ide kepada

pihak lain walaupun diantara mereka tidak terjadi sharing terhadap

ide-ide tersebut.

c) Acceptance of cognition: Baik publik maupun manajemen bersama-

sama memahami ide-ide dari pihak lain tentang hakekat masalah

yang sedang berkembang. Mereka memang belum tentu setuju

tentang apa yang akan diperbuat untuk menyelesaikan masalah

tersebut. Tujuan ini juga bisa disebut sebagai tujuan understanding

(mengerti, memahami).

Page 79: ISI SKRIPSI

79

d) Formation or change of an attitude (agreement): Baik organisasi

dan publik sepakat untuk memecahkan masalah dengan cara yang

sama, mereka punya sikap yang sama, dan cenderung untuk

bertindak sama. Mereka saling mempengaruhi sehingga akhirnya

mereka setuju terhadap ide masing-masing pihak.

e) Complementary Behaviour: Baik publik maupun manajemen

memperbaiki atau mengubah tingkah lakunya sehingga hubungan

diantara mereka dapat diperbaiki.

Taksonomi lain juga dikemukakan oleh Cutlip, Center, dan Broom (2006):

a) Knowledge outcome, yakni hasil yang berupa pengetahuan atau

pemahaman publik terhadap organisasi atau pemahaman organisasi

terhadap publik. Dengan tujuan ini organisasi meningkatkan orang

yang memahami masalah lingkungan, politik, ekonomi, dll.

b) Predisposition outcome, yakni hasil yang berkaitan dengan sikap

atau kecenderungan untuk bertindak. Meningkatkan orang yang

setuju terhadap suatu usulan atau ide.

c) Behaviour outcome, yakni hasil berupa perilaku nyata yang

diperlihatkan publik.

Secara lebih lanjut, Cutlip, dkk (2006: 359) mengemukakan dalam

bukunya „Effective Public Relations‟ mengenai konsep yang biasa disebut

dengan Management by Objectives (MBO). MBO merupakan konsep

manajemen berbasis sasaran dan hasil, yang mengaplikasikan teknik-teknik

manajemen yang efektif untuk menjalankan organisasi. MBO

menspesifikasikan hasil (konsekuensi, hasil, dampak) yang akan dicapai, dan

karenanya menetapkan kriteria untuk memilih strategi, memonitor kinerja dan

kemajuan, dan mengevaluasi efektivitas program. MBO beroperasi pada dua

level, tujuan dan sasaran.

Page 80: ISI SKRIPSI

80

Menurut Encyclopedia of Professional Management, diterbitkan Grolier

International Donbory, Conectut (1978: 781), bahwa pengertian MBO: The

system of management by objectives - MBO is a process where by the superior

and subordinate managers jointly identify the organization’s common goals,

define each individual’s major areas of responsibility in terms of result

expected, and use these measures as guides for operating the unit and assesing

the contributing of its members.

Secara garis besar bahwa pengertian MBO merupakan proses dimana

manajer tingkat bawahan dan atasan secara bersama-sama mengidentifikasikan

tujuan umum organisasi, termasuk menetapkan kawasan tanggung jawab setiap

individu untuk menetapkan hasil yang diharapkan, dan dalam hal ini tolak ukur

yang dipergunakan sebagai pedoman operasi unit dan penafsiran konstribusi

yang telah dicapai para anggotanya.

Model MBO tersebut sebelumnya dicetuskan oleh Peter Drucker (1954)

merupakan suatu cara bagi manajerial untuk mempromosikan manajemen

pengendalian secara mandiri, dan pengertian dari Management by Objectives

(MBO) tersebut, menurut Peter Druckler adalah suatu sistem manajemen

komprehensif yang berbasiskan tolak ukur tertentu dan partisipatif peserta untuk

mencapai tujuan bersama dan objektif.

Secara khusus model MBO tersebut dimulai dari komitmen top

pimpinan organisasi dan dimana terdapat rangkaian penentuan untuk men-

setting dan me-review perencanaan mencapai tujuan utama perusahaan,

biasanya rangkaian tersebut adalah penentuan berdasarkan kalendar program

acara dalam satu periode tersebut telah dirancang untuk kerja tim selama satu

atau dua tahun ke depan.

Di samping melaksanakan manajemen dengan model MBO tersebut,

terdapat istilah teknis penunjang lainnya agar pelaksanaan fungsinya secara

optimal dan efektif seperti, perlu adanya penetapan strategic objectives (tujuan

strategik), management by anticipation (manajemen berdasarkan antisipasi),

Page 81: ISI SKRIPSI

81

dan management by commitment (manajemen berdasarkan komitmen). Jika

ingin menerapkan tujuan strategik untuk memantapkan tujuan MBO yang akan

ditetapkan tersebut, merupakan keharusan dan kalau tidak maka tolak ukur

operasional dalam mencapai tujuan objektif perusahaan akan menjadi tidak jelas

(kabur) atau dapat terjadi suatu kegagalan yang cukup fatal. Sedangkan

manajemen berdasarkan antisipasi merupakan penggambaran menetapkan

pelaksanaan tujuan yang diperlukan organisasi untuk mengantisapasi hal-hal di

luar dugaan, misalnya adanya faktor kelemahan, kekurangan, risiko kegagalan

atau salah arah dari rencana yang ditetapkan bersama. Kemudian berkaitan

dengan manajemen berdasarkan komitmen, pengertian komitmen tersebut

merupakan perjanjian antarpribadi yang sangat penting untuk mampu

melaksanakan tanggung jawab secara optimal bagi setiap anggota yang telah

terlibat, dan komitmen itu secara spesifik memiliki ketegasan, merupakan

pedoman, terukur dan bermanfaat bagi setiap pihak yang terlibat dalam

manajemen organisasi, khususnya dalam model manajemen mencapai sasaran

secara objektif (Ruslan, 2006: 101-102).

Dalam program pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 yang

dijalankan oleh KPU Kabupaten Blora ini, konsep MBO menekankan bahwa

penetapan tujuan dari program ini haruslah berdasarkan pemikiran matang dari

berbagai struktur organisasi KPU Kabupaten Blora. Dengan kata lain, perlu

adanya sinergi dan kerjasama antara divisi sosialisasi dan kajian pemilu KPU

Kabupaten Blora yang bertugas sebagai komunikator jalannya program tersebut,

dengan ketua KPU Kabupaten Blora dan divisi-divisi lain dalam KPU

Kabupaten Blora.

KPU Kabupaten Blora juga diharapkan membentuk management by

anticipation untuk mengatasi kejadian-kejadian yang tidak diinginkan/terduga

sewaktu menjalani program pendidikan pemilih pemilu 2009, misalnya untuk

menghadapi khalayak yang kritis, yang selalu tanggap dengan isu-isu

Page 82: ISI SKRIPSI

82

permasalahan pemilu yang sedang hangat di media, atau berbagai pihak yang

melakukan berbagai penyimpangan pelanggaran pemilu lainnya.

Manajemen by commitment juga harus diterapkan oleh semua anggota

KPU Kabupaten Blora dengan cara berkomitmen untuk menjadi penyelenggara

pemilu yang jujur, independen, dan tidak memihak.

Menurut Charles H. Kepner dan Benjamin B. Tregoe, dalam buku

berjudul The Rational Manager (1965), yaitu terdapat tiga bentuk dari spesific

objective, yaitu interim (sementara), problem corrective (korektif

permasalahan), dan adaptive objective (tujuan adaptif) yang tergantung dari

keadaan organisasi, dan penjelasannya sebagi beikut:

a) Interim objective (tujuan sementara)

Dipergunakan sebelum salah satu informasi penting diperoleh dari

pengembangan tujuan kolektif permasalahan yang dihadapi dalam

pelaksanaan program, biasanya informasi penting tersebut diperoleh

melalui penelitian atau riset fakta dan data permasalahan yang ada di

perusahaan.

b) Problem corrective and prevention

Merupakan tindakan korektif terhadap permasalahan dan sekligus

tindakan pencegahan untuk menciptakan peluang atau mencapai

perbaikan-perbaikan di masa mendatang.

c) Adaptive objective

Tujuan adaptif atau tindakan penyesuaian, atau merupakan tindakan

pencegahan dan mampu mengatasi permasalahan. Misalnya

menghadapi permasalahan sikap yang kurang tepat atau minimnya

tingkat kemampuan analisis staf sebagai pendukung perlu

ditingkatkan melalui pendidikan dan pelatihan serta tersedianya dana

program.

Secara lebih lanjut, MBO dapat diterapkan dengan memperhatikan

kondisi organisasi sebagai berikut (Ruslan, 2006: 107-108):

Page 83: ISI SKRIPSI

83

1) Bertujuan pencapaian manajemen pada hasilnya tersebut harus

mampu menarik perhatian publik,

2) Standar pencapaian hasil harus didefinisikan secara tepat dan

spesifik untuk menghindarkan pengertian standar ganda, serta

memudahkan untuk menentukan kesepakatan program kerjasama

bagi pihak-pihak yang terlibat,

3) Harus ditetapkan periode jangka waktu (deadline) yang terencana

untuk menentukan pencapaian hasilnya yang efektif,

4) Hasil yang akan dicapai tersebut harus dipertegaskan, bersifat

konkret, dan terukur serta bukan bersifat abstrak.

5) Keberhasilan pencapaian hasil tersebut harus realistik, akan tercapai

dalam kurun waktu tertentu, kondisi, situasi serta tujuan utama

organisasi,

6) Pendekatan istilah „objective‟ (tujuan) akan berbeda arti „goal‟

(harapan) yang pada umumnya sinonimnya hampir sama, dan

kesalahan semantik dapat terjadi mengenai sesungguhnya dalam

pengertian MBO.

2. Target

Target dirumuskan sebagai perwujudan praktis dari tujuan pendidikan

pemilih. Sirozi (2007: 162) mengemukakan, hal yang diharapkan pada peserta

ketika selesai mengikuti program pendidikan pemilih antara lain:

a) Calon pemilih memahami arti penting pemilu bagi masa depan

demokrasi di Indonesia.

b) Dengan penuh kesadaran menggunakan hak pilih mereka dan turut

serta menjaga kelancaran pelaksanaan pemilu.

Istilah target disini yang dimaksud adalah hasil (outcome) yang

diinginkan organisasi dalam suatu program. Target mengemukakan hasil utama

Page 84: ISI SKRIPSI

84

yang harus diraih dalam kaitannya dengan setiap publik dalam rangka mencapai

tujuan program keseluruhan. Dalam praktiknya, target (Cutlip, dkk 2006: 368):

a) Memberikan fokus dan arah bagi mereka yang menyusun strategi dan

taktik program.

b) Menyediakan pedoman dan motivasi bagi mereka yang ditugasi

mengimplementasikan program.

c) Menyebutkan kriteria hasil yang akan dipakai memonitoring dan

evaluasi program.

Akan tetapi, seringkali target program mendeskripsikan taktik atau cara,

bukan mendeskripsikan konsekuensi atau tujuan yang hendak dicapai. Target

juga mengkonkritkan teori kerja dibalik program, biasanya dalam urutan kausal

“belajar-rasakan-lakukan”. Target program masing-masing publik

menspesifikasikan hasil yang diharapkan dan dalam urutan yang bagaimana,

tanggal berapa, dan seberapa besar hasil itu dibutuhkan untuk mencapai tujuan

program secara keseluruhan (Cutlip, 2006: 369).

Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber, dapat disimpulkan

bahwa target yang ingin dicapai oleh KPU Kabupaten Blora dalam program

pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 ini adalah:

“Tersebarluasnya informasi tentang penyelenggaraan pemilu legislatif,

sehingga pemilih memahami dan mengetahui arti penting pemilu legislatif dan

pada akhirnya mereka dapat menggunakan hak pilihnya dengan sebagaimana

mestinya” (Sumber: wawancara 03/12/2009 13:00WIB).

Target merupakan apa yang hendak dicapai setelah program

berlangsung. Dalam program pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 di

Kabupaten Blora ini, narasumber KPU Kabupaten Blora tidak mengungkapkan

secara signifikan seberapa besar target yang mereka ingin capai. Seperti pada

konsep yang dijelaskan diatas, KPU Kabupaten Blora hendaknya lebih

menspesifikasikan hasil yang diharapkan dan dalam urutan yang bagaimana,

Page 85: ISI SKRIPSI

85

tanggal berapa, dan seberapa besar hasil itu dibutuhkan untuk mencapai tujuan

program secara keseluruhan (Cutlip, 2006: 369).

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Ekowati dalam bukunya

„Perencaan, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan atau Program‟ (2009: 15)

yang mengatakan bahwa sebelum merencanakan suatu program, organisasi

seharusnya menetapkan sebuah target dasar untuk mengukur keberhasilan

program tersebut, dan sebagai tolak ukur kinerja program.

Berikut merupakan contoh kongkrit target program pendidikan pemilih

pemilu legislatif 2009 yang dijalankan oleh KPU Kabupaten Blora sesuai

dengan konsep yang diungkapkan oleh Cutlip (2006: 369):

“Program pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 KPU

Kabupaten Blora dimaksudkan untuk meningkatkan partisipasi

masyarakat Blora dalam pemilu legislatif 2009 pada 08 April 2009

mendatang, sebanyak 10% partisipan, dibandingkan pemilu

legislatif tahun 2004, dan mengurangi jumlah pelanggaran-

pelanggaran pemilu sebanyak 5% dari pemilu legislatif tahun

2004.”

Hunt dan Grunig (1994) berpendapat bahwa ketika tujuan program

dirumuskan sebagai komunikasi, maka yang diukur adalah jumlah pesan yang

sudah dikirim dan sudah diterima publik. Ini bisa diukur dengan antara lain

melihat berapa banyak berbagai jenis komunikasi berlangsung antara organisasi

dan publiknya.

Smith dalam bukunya „Strategic Planning for PR‟ (2005: 250)

mengungkapkan bahwa penting untuk membuat perbedaan yang jelas antara

keluaran (output) dan hasil (outcome). Hasil digunakan untuk mengukur apa

yang inginkan oleh organisasi sewaktu program mereka telah berakhir dan

bersifat kuantitatif.

Page 86: ISI SKRIPSI

86

3. Materi

Pada umumnya materi program pendidikan pemilih berupa penjelasan

tentang sistem demokrasi, situasi terakhir kehidupan sosial dan politik di

Indonesia, aspek-aspek penyelenggaraan pemilu, teknik komunikasi, dan teknik

advokasi. Materi tersebut merupakan pesan yang ingin disampaikan oleh pihak

komunikator, melalui berbagai media komunikasi baik tatap muka maupun

media lainnya.

Menurut Ruslan dalam bukunya yang berjudul „Kiat dan Strategi

Kampanye Public Relations‟ (2007: 76), materi dan isi dari suatu program

biasanya menyangkut tentang beberapa hal, diantaranya:

a) Tema, topik, dan isu apa yang ingin diangkat ke permukaan agar

mendapat tanggapan,

b) Tujuan dari program,

c) Sasaran dari program yang hendak dicapai.

Sesuai dengan pendapat diatas, materi yang seharusnya disampaikan

oleh KPU Kabupaten Blora pada saat melakukan pendidikan pemilih pemilu

2009, sebaiknya sebagai berikut:

a) Tema/Topik: Berkaitan dengan pengetahuan umum pemilu legislatif

2009, mulai dari tata cara mencontreng, perbedaan sistem pemilu 2009

daripada pemilu sebelumnya, penjelasan partai dan calon-calonnya

secara garis besar, larangan-larangan dalam pemilu 2009.

b) Tujuan dari program: Berupa penjelasan kepada khalayak sasaran bahwa

kegiatan ini diadakan agar peserta berpartisipasi dalam pemilu legislatif

2009, dan pintar dalam memilih.

c) Sasaran dari program: Penjelasan kepada audiens, mengapa KPU

Kabupaten Blora memilih khalayak sasaran mereka.

Page 87: ISI SKRIPSI

87

Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan peneliti, didukung dengan

data yang ada (lihat lampiran „Contoh Presentasi Sosialisasi‟), pada dasarnya

materi yang ingin disampaikan oleh KPU Kabupaten Blora dalam kegiatan

pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 meliputi:

a. Penjelasan tentang arti pemilu,

b. Tahapan-tahapan dalam pemilu (termasuk tanggal penyelenggaraan

pemilu, pendaftaran pemilih, dan penetapan hasil pemilu),

c. Pengetahuan partai pengikut pemilu dan calon anggota DPD pemilu

2009,

d. Pengetahuan tentang dapil, kampanye, dan larangan dalam kampanye,

e. Penjelasan tentang pentingnya untuk terdaftar sebagai pemilih pileg

2009, termasuk bagaimana cara memilih.

Berdasarkan data diatas, apabila dibandingkan dengan teori yang ada,

materi yang disampaikan oleh KPU Kabupaten Blora dalam program

pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 hanya mencakup satu unsur saja,

yaitu penjelasan tentang topik atau tema. Namun KPU Kabupaten Blora tidak

mengangkat dua unsur yaitu tujuan dari program dan sasaran yang hendak

dicapai, sehingga khalayak sasaran dikhawatirkan kurang mengetahui maksud

dari program pendidikan pemilih yang mereka ikuti.

Selain itu, seperti apa yang disampaikan oleh Schramm dalam bukunya

„The Process and Effect Of Mass Communications‟, mengenai kondisi sukses

tidaknya penyampaian pesan dalam suatu program, pengemasan materi yang

disampaikan oleh KPU Kabupaten Blora hendaknya memenuhi syarat-syarat

sebagai berikut agar lebih terlihat menarik di depan khalayak sasaran (Ruslan,

2007: 38):

a. Pesan dibuat sedemikian rupa dan selalu menarik perhatian,

Page 88: ISI SKRIPSI

88

b. Pesan dirumuskan melalui lambang-lambang yang mudah dipahami

atau dimengerti khalayak sasaran,

c. Pesan menimbulkan kebutuhan pribadi dari khalayak sasarannya,

d. Pesan merupakan kebutuhan yang dapat dipenuhi, sesuai dengan

situasi dan keadaan kondisi dari khalayak sasaran.

Setiap hari masyarakat telah dibombardir oleh berbagai headlines dalam

advertising maupun informasi yang berebut ingin menarik perhatian mereka.

Sehingga setiap pesan, harus bekerja keras untuk dapat menarik perhatian

mereka. Sebelumnya, prinsip dasar dari informasi dan advertising harus bersifat

menarik perhatian dan dapat mempersuasi seseorang untuk bertindak sesuai

dengan keinginan organisasi. Namun, seiring dengan persaingan yang semakin

ketat, dibutuhkan energi khusus untuk dapat menarik perhatian tersebut,

sehingga masyarakat melakukan tindakan yang sesuai dengan apa yang

diinginkan organisasi. Pendekatan AIDDA berikut ini dapat membantu

suksesnya tindakan tersebut. Ada lima tahap ketika organisasi ingin

mempengaruhi dan menarik masyarakat melalui kegiatan advertising atau

mengemas informasi dalam suatu program. Yaitu (Ferrell, 2005):

1) Attention/Attract: dengan cara menggunakan kata-kata yang memikat,

atau gambar yang menarik perhatian, sehingga dapat membuat

masyarakat membaca dan mengamati, bahkan penasaran dengan apa

yang akan diungkapkan selanjutnya.

2) Interest: tahap ini merupakan yang paling menantang, ketika sudah

memperoleh perhatian publik, tapi apakah mereka akan menyediakan

waktunya untuk mengamati pesan tersebut secara mendetail?. Pada

tahap ini komunikator berusaha untuk meningkatkan minat publik lebih

dalam. Komunikator perlu meningkatkan kata-kata yang dapat „merayu‟

publik dengan menjelaskan segala manfaat dan keuntungan pada produk

Page 89: ISI SKRIPSI

89

atau jasa yang ditawarkannya, sehingga mereka merasa sependapat

dengan pemikiran komunikator.

3) Desire: setelah meningkatkan minat publik, komunikator juga harus

membantu mereka untuk mengerti apa yang ditawarkan olehnya dengan

menumbuhkan hasrat mereka, sehingga mereka dapat berfikir bahwa

inilah yang selama ini mereka ingin dan butuhkan.

4) Decision: merupakan tahap dimana publik sudah membuat keputusan

mengenai segala informasi yang telah dia dapatkan sebelumnya.

5) Action: tahap paling akhir, ketika publik telah bertindak mengikuti

pemikiran dan kata hati mereka, apakah akan mengikuti anjuran dari

komunikator atau justru mengabaikannya saja.

Menurut pendapat di atas, KPU Kabupaten Blora hendaknya mengemas

pesan pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 secara menarik dan mudah

dipahami. Dengan kata lain, penyampaian pesan tersebut harus berbeda-beda

sesuai dengan kebutuhan khalayak sasarannya. Misalnya, ketika menghadapi

khalayak sasaran pemilih pemula, pesan diharapkan menggunakan bahasa atau

istilah yang akrab dengan mereka dan pengemasannya lebih ringan, banyak

diselingi dengan games atau kuis, agar membangkitkan minat mereka. Selain

itu, terkait dengan intensitas penyelenggaraan, kegiatan serupa tidak hanya

diselenggarakan satu kali saja terhadap khalayak sasaran yang sama, namun dua

atau tiga kali, sehingga kelak khalayak sasaran mengingat kegiatan tersebut,

hingga sampai pada pengambilan keputusan/sikap mereka tidak berubah

pendapat dan menyadari bahwa berpartisipasi dalam pemilu legislatif 2009

sangat penting.

Karakteristik pesan jelas berdampak pada proses komunikasi, tetapi

banyak ahli komunikasi sepakat bahwa „maknanya tergantung pada orang,

bukan kata-kata atau pesannya‟. Observasi ini menghasilkan kesimpulan bahwa

orang berbeda yang menerima pesan sama mungkin akan menafsirkannya

Page 90: ISI SKRIPSI

90

secara berbeda, memberikan makna yang berbeda dan bereaksi dengan cara

yang berbeda. Bagaimanapun juga karakteristik pesan dapat menghasilkan efek

yang kuat, walaupun mungkin tidak dapat diterangkan dengan penjelasan

berdasarkan sebab-akibat langsung dan sederhana. Seperti ditunjukkan lewat

gagasan tentang audiens yang keras kepala, efek pesan dimediasi oleh penerima,

dan karenanya menyulitkan pencarian aturan yang berlaku untuk semua situasi

komunikasi. Berikut merupakan empat pendekatan utama untuk mendapatkan

penerimaan melalui komunikasi (Cutlip, dkk 2006: 228):

a. Strategi sanksi menggunakan imbalan dan hukuman yang

dikendalikan oleh pengirim, penerima, atau akibat dari situasi.

b. Strategi altruisme meminta penerima untuk setuju sehingga mau

membantu atau mewakili pengirim atau pihak ketiga yang mewakili

pengirim.

c. Strategi argumen menggunakan (a) permintaan langsung, dimana

pengirim tidak memberi alasan atau motivasi dibalik permintaan itu;

(b) penjelasan, dimana pengirim memberikan penerima satu atau

lebih alasan atas permintaan tersebut; (c) isyarat atau petunjuk,

dimana pengirim membeberkan situasi atau menunjukkan keadaan

yang bisa menjadi dasar bagi penerima untuk menarik kesimpulan

dan persetujuan.

d. Strategi sirkumvesi atau pengelakan, yakni memaparkan situasi

palsu, atau memberikan janji imbalan atau hukuman yang

sebenarnya yang tidak bisa diberikan oleh si pengirim.

4. Sasaran

Suatu program pendidikan pemilih yang baik, harus dijalankan dengan

pemilihan peserta/target sasaran yang sesuai dengan target dan tujuan yang

ingin dicapai. Dengan kata lain, apabila tujuan dari program ini mengedukasi

Page 91: ISI SKRIPSI

91

masyarakat tentang pemahaman pemilu legislatif 2009, agar kelak mereka bisa

menggunakan hak pilihnya dengan kata hati dan bijaksana, maka KPU

hendaknya memilih khalayak sasaran yang masih belum sepenuhnya mengerti

mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan politik, karena

sesungguhnya pemilu merupakan kesempatan rakyat untuk menyampaikan

aspirasi politik mereka. Menurut Sirozi (2007: 162), program pendidikan

pemilih yang baik hendaknya diprioritaskan bagi para calon pemilih muda yang

duduk di bangku sekolah/kuliah maupun yang tidak duduk di bangku

sekolah/kuliah, juga masyarakat kurang terdidik, terutama yang berada di

daerah terpencil, karena mereka merupakan khalayak yang masih belum

memahami betul akan pentingnya pemilu, dan masih awam dengan dunia

politik.

Pada kondisi masyarakat Blora, pendidikan pemilih diperlukan

mengingat karakteristik masyarakat mereka yang sebagian besar berpendidikan

rendah, ditunjukkan dengan sedikitnya masyarakat yang melanjutkan sekolah ke

jenjang yang lebih tinggi yaitu SMA atau Perguruan Tinggi, karena berbagai

alasan seperti kurangnya kesadaran orang tua mengenai pentingnya pendidikan

bagi anak mereka, alasan biaya, hingga sulitnya menemukan sekolah yang

mudah dijangkau tempat tinggal mereka (Pemda Blora, 2008: II-3).

Berikut merupakan khalayak sasaran yang dipilih oleh KPU Kabupaten

Blora sebagai khalayak sasaran program pendidikan pemilih pemilu legislatif

2009, berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan narasumber:

a. Masyarakat umum melalui sosialisasi berupa pawai di alun-alun

Blora.

b. Remaja,pemuda,dan mahasiswa melalui sosialisasi yang dilakukan

di beberapa SMA, SMK, MA, dan STAIM Blora (pemilih

pemula).

c. Perempuan melalui sosialisasi dengan PKK dan Tim Penggerak

PKK.

Page 92: ISI SKRIPSI

92

d. Pengemuka pendapat.

e. Petani,buruh dan kelompok pekerja lainnya di berbagai balai desa

kelurahan Blora.

f. Wartawan dan kelompok media lainnya melalui dialog interaktif di

radio dan wawancara dengan koran lokal Blora.

g. TNI/Polri.

h. Partai Politik.

i. Pengawas /Pemantau Pemilu.

j. LSM.

Untuk mendapatkan sasaran atau obyek (target audience) dalam suatu

program, ditentukan sebagai berikut (Fleet, 2007: 16):

a. Pendekatan kependudukan (demographics approach), dilihat dari

tingkat sosial dan ekonomi, usia rata-rata, dan tingkat pendidikan.

b. Pendekatan psikologis (psychographics approach), yakni sasaran

dari kelompok yang sama, kecenderungan pilihan, preferensi,

keinginan, citra-rasa, gaya hidup, sistem nilai atau pola yang dianut,

hingga masalah-masalah yang sifatnya pribadi.

c. Pendekatan geografis, menunjukkan lokasi orang dan

mengalokasikan sumber daya program sesuai dengan kepadatan

populasi.

d. Kekuatan tersembunyi (kekuatan politik dan ekonomi dibalik layar),

mendeskripsikan orang dipucuk piramida kekuasaan yang beroperasi

di berbagai situasi.

e. Posisi, menggunakan kedudukan yang dipegang individu, bukan

atribut dari individu itu sendiri untuk mengidentifikasi publik

sasaran,

f. Reputasi, mengidentifikasi „orang berpengetahuan luas‟ atau „orang

berpengaruh‟ berdasarkan persepsi orang lain terhadap individu itu.

Page 93: ISI SKRIPSI

93

g. Keanggotaan menggunakan pemuatan pada daftar anggoata atau

afiliasi organisasi sebagai atribut yang relevan dalam situasi tertentu.

h. Peran dalam proses keputusan membutuhkan pengamatan dalam

proses pembuatan keputusan untuk mengetahui siapa yang berperan

dalam memengaruhi keputusan dalam situasi tertentu.

James Grunig (1992) menjelaskan, terdapat tiga bentuk publik (khalayak

sasaran), yaitu: (a) Latent Publics (Publik tersembunyi yang sulit untuk dikenal

keberadaannya oleh pihak organisasi; (b) Aware Publics (Publik yang peduli,

dan bentuk publik ini mudah dikenali keberadaannya; (c) Active Publics

(Merupakan publik yang aktif dan selalu berkaitan dengan sesuatu

permasalahan yang dihadapi dengan pihak perusahaan). Di samping itu,

terdapat tiga kategori publik yang selalu bereaksi terhadap isu-isu yang tengah

berkembang, yaitu (a) All issue publics, jenis publik yang selalu aktif

menanggapi hampir semua isu yang berkembang dan dapat mempengaruhi

kegiatan organisasi, (b) Single issue publics, publik ini hanya bereaksi terhadap

satu isu yang menjadi daya tarik atau perhatiannya, (c) Hot issue publics, Jenis

publik ini hanya tertarik atau bereaksi terhadap kasus-kasus yang terekspos oleh

media massa, (d) Apathetic Publics, publik yang bersikap masa bodoh atau

tidak peduli mengenai isu-isu yang terjadi di sekitar kehidupannya.

Menurut pendapat diatas, berikut merupakan publik yang dihadapi oleh

KPU Kabupaten Blora ketika mereka melakukan program pendidikan pemilih

pemilu 2009 berdasarkan khalayak sasarannya:

a) Latent Publics: dapat berupa masyarakat yang golput, atau pihak

penentang pemerintah.

b) Aware Publics: 0pinions leaders, dan masyarakat umum yang sadar

politik.

c) Active Publics: panwaslu, partai politik beserta calon-calonnya,

pemerintah kabupaten Blora, media massa dan LSM.

Page 94: ISI SKRIPSI

94

Berdasarkan reaksi terhadap isu yang tengah berkembang, berikut

merupakan publik yang kemungkinan dihadapi oleh KPU Kabupaten Blora:

a) All issue publics: panwaslu dan partai politik.

b) Single issue publics: media massa, LSM atau masyarakat yang

mempunyai masalah berkaitan dengan aktivitas KPU Kabupaten Blora

misal, tidak terdaftar dalam DPT, masyarakat golput (akibat alasan

tertentu), dan lain sebagainya.

c) Hot issue publics: masyarakat umum yang sadar politik.

d) Apathetic publics: pemilih pemula, masyarakat berpendidikan rendah,

dan masyarakat yang belum memiliki kesadaran berpolitik, ini

merupakan tantangan bagi KPU Kabupaten Blora untuk menyadarkan

jenis publik ini.

KPU Kabupaten Blora diharapkan bisa mengklasifikasikan publik yang

mereka hadapi sesuai dengan konsep diatas, agar mereka bisa memperlakukan

publik tersebut sesuai dengan mindset masing-masing publik yang berbeda,

sehingga tidak terjadi misscommunications sewaktu-waktu.

5. Bentuk Program

Dari semua aspek lain, aspek bentuk program merupakan yang

terpenting di antara aspek lainnya, karena penyajian program yang menarik

dapat melancarkan jalannya program pendidikan pemilih ini sehingga

masyarakat paham betul akan pesan yang disampaikan kepada mereka, sehingga

tercapailah target dan tujuan akhir yang diinginkan dari pendidikan pemilih

tersebut. Sirozi (2007: 163) berpendapat bahwa program pendidikan pemilih

yang baik dapat disajikan dalam bentuk penyuluhan dengan metode ceramah,

tanya jawab, diskusi, pemasangan spanduk, penyebaran pamflet dan stiker di

tempat-tempat strategis, dan lain sebagainya.

Page 95: ISI SKRIPSI

95

Secara garis besar, bentuk program pendidikan pemilih pemilu legislatif

2009 yang telah dijalankan oleh KPU Kabupaten Blora diantaranya:

a. Komunikasi tatap muka melalui sosialisasi.

b. Media relations, dalam bentuk dialog interaktif di berbagai radio lokal

Kabupaten Blora dan iklan.

c. Mobilisasi sosial berupa pawai di beberapa pusat kota Blora dan

kecamatan Randu Blatung dan Cepu.

Program komunikasi pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 yang

diadakan oleh KPU Kabupaten Blora tersebut antara lain merupakan proses

penyebaran informasi, pengetahuan, gagasan, atau ide untuk membangun atau

menciptakan kesadaran dan pengertian melalui teknik komunikasi.

Berbicara tentang bentuk program, tentu tidak lepas dari teknik

komunikasi yang digunakan. Menurut Ruslan (2007: 68), alternatif bentuk dan

teknik komunikasi dalam melakukan program komunikasi adalah melalui

komunikasi sebagai berikut:

a. Komunikasi intrapersona,

b. Komunikasi antarpersona (face to face),

c. Komunikasi kelompok (group communication),

d. Komunikasi publik (public communication),

e. Komunikasi melalui media massa dan media nirmassa.

Pada dasarnya program komunikasi pendidikan pemilih pemilu legislatif

2009 yang dijalankan oleh KPU Kabupaten Blora bersifat persuasif, yaitu

membujuk khalayak sasaran untuk ikut berpartisipasi dalam memeriahkan pesta

demokrasi Indonesia. Selain itu program tersebut juga bersifat edukatif, yaitu

KPU Kabupaten Blora berupaya untuk mengubah perilaku, sikap bertindak,

tanggapan, atau persepsi, hingga membentuk opini positif khalayak sasaran

mengenai pemilu legislatif 2009.

Page 96: ISI SKRIPSI

96

Berikut merupakan pembahasan secara lebih rinci mengenai bentuk

aktifitas komunikasi pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 yang telah

dilakukan oleh KPU Kabupaten Blora:

1) Komunikasi tatap muka

Komunikasi tatap muka yang telah dijalankan oleh KPU

Kabupaten Blora melalui sosialisasi, dengan berbagai khalayak sasaran

di 17 kecamatan Blora.

Komunikasi tatap muka merupakan komunikasi yang dijalankan

oleh dua orang atau lebih dalam suatu kesempatan, yang memungkinkan

setiap peserta komunikasi menangkap reaksi orang lain secara langsung,

baik verbal maupun nonverbal (Mulyana, 2005: 73). Sedangkan bentuk

komunikasi tatap muka yang dijalankan oleh KPU Kabupaten Blora

dalam menjalankan program pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009

yaitu komunikasi komunikasi publik. Komunikasi publik dapat

didefinisikan sebagai komunikasi antara seorang pembicara dengan

sejumlah besar khalayak, bersifat formal, dan lebih sulit daripada

komunikasi antarpribadi atau kelompok. Karena komunikasi publik

menuntut persiapan pesan yang cermat, keberanian dan kemampuan

menghadapi sejumlah besar orang. Salah satu pihak dalam komunikasi

publik cenderung bersifat pasif.

Menurut Rosady Ruslan dalam bukunya „Kampanye Public

Relations‟ (2007: 71-73) untuk berhasilnya suatu aktifitas persuasi

dalam berkomunikasi, perlu berbagai teknik agar dalam penyampaian

pesan (message) kepada audiensnya cukup efektif, antara lain:

a. Partisipasi (participating)

Teknik ini berusaha menyertakan peran serta audiens yang

memancing minat atau perhatian yang sama.

Page 97: ISI SKRIPSI

97

b. Asosiasi (association)

Menyajikan isi kegiatan yang berkaitan dengan suatu peristiwa

atau kegiatan yang sedang „in‟ dibicarakan, agar dapat memancing

perilaku masyarakat.

c. Teknik integratif (integrative)

Bagaimana kemampuan komunikator untuk menyatukan diri

dengan khalayaknya secara komunikatif dengan mengucapkan

kata-kata: “kita, kami, anda sekalian, dan sebagainya”.

d. Teknik ganjaran (pay off technique)

Teknik ini bermaksud mempengaruhi komunikan dengan suatu

ganjaran (pay off) atau menjanjikan sesuatu dengan „iming-iming

hadiah‟.

e. Teknik penataan patung es (icing technique)

Teknik ini merupakan suatu upaya dalam menyampaikan pesan

(message) secara sedemikian rupa sehingga enak dilihat, dibaca,

dirasakan dan sebagainya.

f. Memperoleh empati (empathy)

Teknik yang menempatkan diri dalam posisi komunikan, ikut

merasakan dan „peduli‟ situasi atau kondisi pihak komunikan.

g. Teknik koersi atau paksaan (coersion technique)

Dalam komunikasi, lebih menekankan suatu paksaan yang dapat

menimbulkan rasa ketakutan komunikan.

Di antara teknik di atas, alternatif yang bisa digunakan oleh KPU

Kabupaten Blora agar proses penyampaian pesan mereka berhasil, dapat

menggunakan beberapa teknik seperti partisipasi (melibatkan khalayak sasaran

untuk berkonunikasi dan berdiskusi agar mereka ikut aktif berfikir), asosiasi

(mengaitkan tema pemilu legislatif 2009 dengan isu-isu yang sedang dibahas

oleh media massa seperti cara mencontreng yang selama ini dinilai susah,

berusaha menjelaskan keunggulan segi mencontreng daripada mencoblos),

Page 98: ISI SKRIPSI

98

teknik integratif (ketika mengadakan sosialisasi, KPU Kabupaten Blora

sebaiknya merangkul khalayak sasaran dengan panggilan yang lebih terlihat

akrab di telinga mereka, misalnya „para sederek sedaya (para sodara sekalian)‟

digunakan sewaktu mengadakan sosialisasi dengan kaum petani atau

masyarakat pedesaan), teknik ganjaran (melalui berbagai kuis melibatkan

pemilih pemula dengan memberikan doorprize menarik sehingga mereka

memperhatikan pesan yang akan disampaikan oleh KPU Kabupaten Blora),

teknik penataan patung es (KPU Kabupaten Blora berusaha menyajikan

sosialisasi yang se-attraktif mungkin melalui berbagai permainan atau

menggunakan tema power point yang eye catching).

Selain teknik tersebut, Ruslan (2007: 41-42) juga mengungkapkan

strategi persuasi yang diyakini dapat membujuk komunikan, sekaligus

mempengaruhi agar opini „digiring‟ sesuai dengan keinginan dan tujuan

komunikasi tersebut, yaitu:

a. Teknik “Ya-ya”

Kiat dan teknik persuasi berupaya untuk menggiring audiensi

untuk mengatakan “ya” sebagai suatu kesepakatan bersama sesuai

dengan keinginan komunikator. Misalnya sewaktu sosialisasi

berlangsung, KPU Kabupaten Blora membentuk kesepakatan

dengan khalayak sasaran untuk selanjutnya mereka sepakat

berpendapat bahwa berpartisipasi dalam pemilu itu penting,

sehingga kewajiban bersama untuk mengetahui seluk beluk

pengetahuan pemilu legislatif 2009.

b. Jangan tanya “apabila”, tetapi “yang mana”

Teknik untuk memojokkan audiensi yang “keras kepala” agar tidak

mempunyai kesempatan untuk memilih jawaban yang selain

diinginkan oleh komunikator. Artinya, dengan langsung

memojokkan pertanyaan yang menekan tersebut, audiensi yang

Page 99: ISI SKRIPSI

99

menghindar diri atau mengelak karena berbeda pendapat bisa

segera diketahui jawabannya sesuai dengan yang diinginkan.

c. Menjawab “pertanyaan” dengan melemparkan “pertanyaan”

Model persuasi disini agak kehilangan kontrol atau pegangan dan

sebagai komunikator yang menguasai communication skill

langsung membimbing kembali diskusi, rapat, atau dialog yang

bertele-tele untuk memfokuskan kembali pembicaraan pada tema

yang disepakati bersama.

d. Membangun kesepakatan (deal)

Biasanya dalam membicarakan kepentingan orang banyak atau

antara perusahaan dengan karyawannya, atasan dengan bawahan,

pemimpin dengan pengikutnya, atau komunikator dengan

audiensnya dibangun kesepakatan. Biasanya sebelum inti pokok

permasalahan diajukan, untuk itu perlu diadakan “kesepakatan

bersama”. Artinya, dalam posisi yang saling menguntungkan

kedua belah pihak. Misalnya sebelum memulai, KPU Kabupaten

Blora telah menyepakati dengan khalayak sasaran bahwa

sosialisasi yang mereka adakan, tanpa ada sangkut paut dengan

suatu kepentingan partai atau elit politik tertentu.

e. Dengarkan dahulu pendapat floor kemudian diskusikan

Ini taktik persuasi mencari informasi audiensi yang sebanyak-

banyaknya (sounding technique) untuk mencari masukan, baru

kemudian didiskusikan secara bersama untuk mencapai suatu

keputusan. Misalnya sebelum sosialisasi dimulai, KPU Kabupaten

Blora bertanya terlebih dahulu kepada khalayak sasaran tentang

pengetahuan mereka mengenai pemilu legislatif 2009, dari situ

akan ketahuan permasalahan apa yang menjadi titik perhatian

mereka, kemudian permasalahan tersebut dibahas secara bersama-

sama agar lebih menarik.

Page 100: ISI SKRIPSI

100

f. IOU (I owe you)

Taktik persuasi ini sering disebut trade off. Taktik ini

menempatkan audiensi sebagai pihak yang merasa mempunyai

utang budi. Jadi, dengan cara tersebut audiensi ingin membayar

utangnya dengan cara menerima pesan yang ditawarkan oleh pihak

komunikator sebagai balasannya. KPU Kabupaten Blora, berusaha

menciptakan mindset kepada khalayak sasaran bahwa sebagai

warga negara mereka wajib terdaftar sebagai DPT, kemudian

setelah terdaftar sebagai DPT mereka memiliki kewajiban untuk

mengikuti sosialisasi.

2) Media relations

Media merupakan sarana atau alat untuk menyampaikan pesan

atau sebagai mediator antara komunikator dengan komunikannya. Media

dapat digolongkan sebagai berikut:

a. Media umum, seperti surat-menyurat, telepon, atau facsimile.

b. Media massa, seperti media cetak, surat kabar, dan majalah.

c. Media khusus, seperti iklan atau produk untuk tujuan promosi dan

komersial yang efektif.

d. Media internal yaitu media yang dipergunakan untuk kepentingan

kalangan terbatas dan nonkomersial, seperti house journal, printed

materials, spoken and visual word, dan media pertemuan (Ruslan,

2007:30).

Menurut Harwood Childs, salah satu strategi yang digunakan

untuk dapat menarik perhatian dan menyebarkan pesan dalam bentuk

informasi dan berita, yaitu strategy of publicity, suatu kegiatan yang

dilakukan organisasi untuk menyebarkan pesan melalui proses

publikasi suatu berita melalui kerjasama dengan media massa (Ruslan,

2007: 54). Strategi tersebut dalam dunia public relations lebih dikenal

Page 101: ISI SKRIPSI

101

sebagai media relations, yaitu bagian dari kegiatan PR eksternal yang

membina dan mengembangkan hubungan baik dengan media massa

sebagai sarana komunikasi antara organisasi dengan publiknya untuk

mencapai tujuan organisasi (Iriantara, 2005).

Media relations yang dijalankan oleh KPU Kabupaten Blora

terkait dengan program pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009

yaitu berupa dialog interaktif dengan masyarakat melalui berbagai

radio lokal Kabupaten Blora, juga spot iklan di radio tersebut dan

pemasangan iklan pada harian lokal, yaitu Radar Bojonegoro dan

Suara Merdeka.

Publikasi atau publisitas merupakan alat penting, karena

merupakan salah satu relasi komponen yang cukup berperan banyak

untuk menunjang keberhasilan dalam promosi dalam suatu program.

Publikasi dalam penampilannya ada tiga macam (Ruslan:2007: 59),

yaitu:

a. Nilai kepercayaan tinggi, publisitas melalui artikel, feature,

berita, dan advertorial di media cetak, biasanya lebih dipercaya

oleh pembaca/konsumen daripada sebuah iklan. Dalam hal ini

sebaiknya KPU Kabupaten Blora lebih memilih melakukan

serangkaian kegiatan seperti menulis artikel atau feature di media

massa lokal yang mengangkat isu-isu atau tema mengenai

pentingnya berpartisipasi dalam pemilu legislatif 2009, sehingga

masyarakat diharapkan lebih percaya, daripada membuat sebuah

iklan. Karena selain menghabiskan biaya, biasanya media massa

tidak memungut biaya untuk pemuatan artikel atau publikasi.

b. Menjembatani iklan, publisitas bisa menjangkau pembaca atau

konsumen yang kurang senang dengan iklan, maka publisitas

tersebut akan menjembatani pihak yang kurang menyukai iklan.

Dengan kata lain, memperbanyak intensitas acara seperti dialog

Page 102: ISI SKRIPSI

102

interaktif yang dilakukan oleh KPU Kabupaten Blora di berbagai

radio lokal, lebih berpeluang mendapatkan banyak kepercayaan

masyarakat, daripada spot iklan di radio tersebut.

c. Efek mendramatisir, sebagaimana iklan, publisitas bisa

menimbulkan efek mendramatisir dengan perekayasaan cerita

melalui berita (news strategy) tentang suatu produk atau

organisasi. Hal ini dapat diwujudkan melalui cara seperti

penulisan feature atau artikel yang lebih menekankan sisi

kemanusiaan dan keunggulan dari penyelenggaraan pemilu

legislatif 2009.

Berdasarkan gagasan tentang pers yang independen dan bebas,

para praktisi berpengalaman menawarkan pedoman untuk bekerjasama

dengan pers sebagai berikut (Iriantara, 2005: 141):

a) Berbicaralah dari sudut pandang kepentingan publik, bukan

kepentingan organisasi.

b) Membuat berita yang mudah digunakan dan dibaca. Gunakan

headline yang singkat dan jelas untuk menarik perhatian dan

memberikan petunjuk tentang topik bagi para pembacanya.

c) Jika tidak ingin beberapa pernyataan dikutip, jangan buat

pernyataan itu. Juru bicara sebaiknya tidak mengatakan “off the

record,”karena pernyataan seperti itu akan menimbulkan rumor

lain tanpa diketahui sumbernya.

d) Nyatakan fakta paling penting diawal.

e) Jangan berdebat dengan reporter sebab bisa jadi kehilangan

kendali.

f) Jika sebuah pertanyaan mengandung bahasa yang menyinggung

atau mengandung kata yang tidak disukai, jangan mengulanginya

atau menyangkalnya.

Page 103: ISI SKRIPSI

103

g) Jika reporter mengajukan pertanyaan langsung, beri jawaban

yang langsung pula.

h) Jika juru bicara tidak tahu jawaban suatu pertanyaan, mereka

harus menyatakan, “Saya tidak tahu, tetapi nanti akan saya

berikan jawaban ketika saya tahu”.

i) Katakan kebenaran, meski menyakitkan. Jangan berfikir bahwa

berita buruk akan hilang atau media tidak akan mengetahuinya.

j) Jangan lakukan konferensi pers, kecuali punya sesuatu yang

dianggap berita oleh reporter.

Saran-saran ini dapat membantu organisasi untuk membangun

dan menjaga hubungan baik dengan jurnalis di media massa. Karena

awak media massa memainkan peranan penting, maka organisasi tidak

punya banyak pilihan kecuali mendapatkan dan mempertahankan rasa

hormat dari mereka. Pada saat yang sama, meskipun publik punya hak

untuk mendapatkan informasi publik, tetap ada batasannya. Beberapa

informasi bersifat rahasia, dan beberapa informasi tidak bisa dibuka

karena privasi atau karena sifat dari informasi itu dalam kerangka

persaingan bisnis.

3) Mobilisasi sosial

Mobilisasi sosial merupakan teknik komunikasi yang digunakan

untuk menarik massa dikeramaian. KPU Kabupaten Blora melakukan

kegiatan mobilisasi sosial berupa pawai yang dilakukan di pusat

keramaian kota, dengan menggunakan berbagai hiburan dengan cara-

cara yang unik seperti delman yang ditarik oleh kambing, dan lain

sebagainya. Mobilisasi sosial ini dijalankan dengan menggunakan teknik

penataan patung es (icing technique) dimana salah satu strategi

penyampaian pesan yang tertata dengan sedemikian rupa, sehingga

menarik dilihat, didengar, dan dirasakan (Ruslan, 2007: 73).

Page 104: ISI SKRIPSI

104

Tidak semua aktifitas komunikasi bisa berjalan dengan mulus dan tanpa

rintangan, begitu juga dengan berbagai aktifitas komunikasi yang telah

dijalankan oleh KPU Kabupaten Blora tersebut. Narasumber mengungkapkan

berbagai kendala yang dihadapi ketika aktifitas tersebut berlangsung

diantaranya:

1) Kurang maksimalnya media sehingga tidak dapat terjangkau oleh

masyarakat.

2) Penyesuaian anggaran dengan kebutuhan.

3) Sikap apatis masyarakat terhadap pemilu.

Menurut Ruslan (2007: 39), hambatan yang terjadi dalam melakukan

aktifitas komunikasi diantaranya disebabkan karena faktor berikut:

1) Gangguan teknik dan mekanisme komunikasi

2) Gangguan semantik atau bahasa

3) Gangguan suara atau sound system yang dipergunakan

4) Kecurigaan

5) Kurang kesiapan dalam melakukan aktifitas komunikasi

6) Predisposisi atau sudah ada pendapat yang lebih mapan dan mantap.

Sesuai dengan konsep yang dikemukakan di atas, hambatan yang

dihadapi oleh KPU Kabupaten Blora dapat diatasi dengan cara sebagai berikut:

a. Terkait dengan kurang maksimalnya media, sebaiknya KPU Kabupaten

Blora lebih menggencarkan dialog interaktif pada radio daerah yang

memiliki jaringan luas hingga ke pelosok desa karena biasanya

masyarakat berpindikan rendah dan pedalaman lebih sering mendengarkan

radio-radio daerah tersebut.

b. Terkait dengan masalah budget, sebaiknya KPU Kabupaten Blora lebih

mengedepankan publisitas daripada iklan, dan berfokus pada penggandaan

material tools seperti brosur, pamflet, atau flyer yang diperbanyak. Karena

Page 105: ISI SKRIPSI

105

material tools tersebut merupakan media dasar yang lebih mudah dibawa

kemana-mana, sehingga masyarakat lebih ingat dan bisa

terdokumentasikan.

c. Terkait dengan sikap apatis masyarakat terhadap pemilu, KPU Kabupaten

Blora sebaiknya lebih terpacu dan menemukan strategi yang baik lagi

untuk melakukan persuasi terhadap publik tersebut.

Suatu rencana program merepresentasikan teori kerja tentang apa yang

harus dilakukan untuk mendapatkan hasil yang diharapkan. Secara teoretis dapat

dikatakan, “Jika organisasi mengimplementasikan tindakan dan komunikasi ini,

maka organisasi akan mencapai hasil bersama publik organisasi, dan ini akan

menyebabkan tercapainya tujuan program”. Teori juga menentukan pemilihan

taktik. Teori kerja seseorang akan menjadi pedoman cara mendesain acara

khusus, cara menyusun kata-kata, dan cara fungsi komunikasi dijalankan. Teori

yang memandu bagaimana cara masing-masing taktik dilaksanakan pada dasarnya

merupakan ide praktisi tentang apa yang menyebabkan tercapainya hasil yang

diinginkan. Jadi ketika sesorang mengatakan sebuah program „hanya teori‟,

mereka benar. Teori kerja tampak jelas ketika dinyatakan dalam bentuk target

untuk dua publik sasaran. setelah target ditulis, perencana kemudian

mengembangkan strategi dan taktik untuk mewujudkan hasil sebagaimana

ditetapkan dalam target. Jika selama implementasi atau setelah program hasil

yang diharapkan (sesuai dengan teori) tidak tercapai, maka perencana program

harus meneliti apakah teori itu cacat atau apakah implementasinya yang cacat

(Cutlip, dkk, 2006: 365-366).

6. Pelaksana

Dalam setiap program pendidikan pemilih, hendaknya KPU menugaskan

secara khusus divisi yang bertanggungjawab untuk melakukan serangkaian

kegiatan pendidikan pemilih kepada masyarakat. Pelaksana dari program

Page 106: ISI SKRIPSI

106

pendidikan pemilih adalah para instruktur yang memenuhi kriteria sebagai berikut

(Sirozi, 2007: 163):

a) Non-partisan, tidak menjadi anggota dan atau pengurus suatu parpol.

b) Memiliki kepekaan terhadap perkembangan kehidupan sosial politik di

Indonesia.

c) Memiliki komitmen untuk turut serta mensukseskan pelaksanaan

pemilu dan menegakkan nilai-nilai demokrasi di Indonesia.

Komunikator merupakan orang yang menyampaikan suatu pesan yang

hendak disampaikan kepada pihak lain (Mulyana:2005), dalam hal ini KPU

Kabupaten Blora menempatkan divisi sosialisasi dan kajian pemilu sebagai

komunikator program pendidikan pemilih pemilu 2009, dengan dibantu oleh

panitia pemilih dibawahnya yaitu PPK (Tingkat Kecamatan), PPS (Tingkat Desa),

dan KPPS (Tingkat TPS).

Teknik berkomunikasi adalah suatu cara, kiat atau seni dalam

penyampaian pesan melalui aktifitas komunikasi yang dilakukan sedemikian rupa

oleh komunikator sehingga menimbulkan dampak tertentu oleh para

komunikannya. Dengan kata lain keberhasilan seluruh program pendidikan

pemilih pemilu legislatif 2009 di Kabupaten Blora tersebut, berada pada ujung

tombak divisi sosialisasi dan kajian pemilu serta panitia pemilihan dibawahnya.

Mereka harus memiliki kesiapan, kewibawaan, dan etos kerja yang tinggi.

Setidaknya memenuhi berbagai persyaratan sebagai berikut:

1) Kemampuan (communication skill),

2) Kepentingan (competence),

3) Imajinatif, inovatif, kreativitas, dan lain sebagainya,

4) Kejujuran (integrity),

5) Iktikad baik atau kemauan baik (good will),

6) Karakter pribadi yang kuat (good character),

7) Dapat dipercaya dan diandalkan (credibilitas and favorable),

Page 107: ISI SKRIPSI

107

8) Penguasaan materi (product knowledge) cukup baik untuk

disampaikan ke publiknya.

Dengan perpaduan etos kerja yang tinggi tersebut, bagi komunikator akan

menunjang fungsi dan tugasnya sebagai seorang profesional, organisator, dan

seorang yang bertanggungjawab atas tujuannya, sehingga bermanfaat bagi

berbagai pihak yang terkait, lembaga atau produk yang diwakilinya serta opini

dan publik yang menjadi sasarannya (Ruslan, 2007: 85).

Komunikator merupakan tokoh sentral dalam aktifitas komunikasi karena

ia harus memahami proses secara seksama mengenai berbagai hal yang terkait

dengan komunikasi dalam penyampain pesan kepada publik. Dalam hal ini

hendaknya KPU Kabupaten Blora, memilih komunikator yang benar-benar

mengerti seluk beluk pengetahuan pemilu legislatif 2009. Disamping itu,

komunikator harus mengetahui segala sesuatu yang terjadi di masyarakat dan juga

harus bisa memahami, yang artinya memiliki pengertian yang mendalam dari

berbagai aspek kehidupan yang ada, seperti tanggung jawab sosial, masalah

hukum, keagamaan, pendidikan, adat istiadat, teknologi, perekonomian, sosial

budaya, serta politik. KPU Kabupaten Blora di setiap aktifitas komunikasi

hendaknya bekerjasama dengan pihak yang dipercaya oleh khalayak sasaran,

sehingga proses penyampaian pesan mudah diterima. Misalnya sewaktu

sosialisasi dengan siswa SMA, hendaknya KPU bekerjasama dengan guru atau

kepala sekolah, kemudian apabila KPU mengadakan sosialisasi di balai desa,

hendaknya bekerjasama dengan opinion leaders setempat, dan lain sebagainya.

KPU Kabupaten Blora sendiri, melakukan seleksi pemilihan anggota KPU

Kabupaten Blora secara periodik setiap lima tahun sekali, berdasarkan surat

keputusan Bupati Blora nomor 270/279/2008 tentang pembentukan tim seleksi

calon anggota KPU Kabupaten Blora dan keputusan KPU Nomor 172 tahun 2003

tentang organisasi dan tata kerja panitia pemilihan kecamatan, panitia

pemungutan suara dan kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPU Blora,

2009: 27). Dengan kata lain, komunikator yang dipilih oleh KPU Kabupaten

Page 108: ISI SKRIPSI

108

Blora untuk menjalankan program pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 di

Kabupaten Blora telah melalui serangkaian pemilihan, dan mereka benar-benar

mengerti mengenai seluk beluk pemilu legislatif 2009, juga bersifat independen

(tidak terikat oleh partai atau organisasi lain).

7. Gambaran Terhadap Keseluruhan Program

Pada dasarnya program komunikasi pendidikan pemilih pemilu legislatif

2009 yang dijalankan oleh KPU Kabupaten Blora bersifat persuasif, yaitu

membujuk khalayak sasaran untuk ikut berpartisipasi dalam memeriahkan pesta

demokrasi Indonesia. Selain itu program tersebut juga bersifat edukatif, yaitu

KPU Kabupaten Blora berupaya untuk mengubah perilaku, sikap bertindak,

tanggapan, atau persepsi, hingga membentuk opini positif khalayak sasaran

mengenai pemilu legislatif 2009.

Cutlip,dkk. dalam bukunya „Effective Public Relations‟ (2006: 365)

mengemukakan bahwa suatu rencana program merepresentasikan teori kerja

tentang apa yang harus dilakukan untuk mendapatkan hasil yang diharapkan.

Secara teoretis dapat dikatakan, “Jika organisasi mengimplementasikan tindakan

dan komunikasi ini, maka organisasi akan mencapai hasil bersama publik

organisasi, dan ini akan menyebabkan tercapainya tujuan program”.

Setelah melakukan serangkaian analisis di atas, peneliti menyimpulkan

bahwa program pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 yang dijalankan oleh

KPU Kabupaten Blora tidak dijalankan sesuai dengan konsep dan teori kerja

komunikasi yang dikemukakan oleh Cutlip (2006: 365). Hal ini terbukti dengan

indikator sebagai berikut:

a. Menurut konsep yang penetapan objective/tujuan dan target yang

dikemukakan oleh Fleet dalam bukunya „Strategic Communications

Planning‟ (2007) SMART, bahwa tujuan setidaknya harus memiliki kriteria:

Spesific, harus dikemukakan secara terperinci; Measurable, harus dapat

diukur secara kuantitas; Achievable, dapat memberikan dampak positif bagi

Page 109: ISI SKRIPSI

109

organisasi; Realistic, masuk akal; Time focused, memiliki batasan waktu yang

pasti. Dari indikator tersebut, dapat dikatakan bahwa tujuan program

pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 yang sudah dikemukakan oleh KPU

Kabupaten Blora belum memenuhi syarat sebagai objective yang baik karena

tidak memenuhi kriteria yaitu tertulis, jelas dan singkat, tidak mempunyai

waktu yang spesifik, dan dinyatakan dalam ukuran yang terukur, seperti pada

konsep perumusan tujuan yang dikemukakan oleh Rhenald Kasali diatas.

b. Menurut Ruslan dalam bukunya yang berjudul „Kiat dan Strategi Kampanye

Public Relations‟ (2007: 76), materi dan isi dari suatu program biasanya

menyangkut tentang beberapa hal, diantaranya: Tema, topik, dan isu apa yang

ingin diangkat ke permukaan agar mendapat tanggapan; Tujuan dari program;

Sasaran dari program yang hendak dicapai. Namun, materi yang disampaikan

oleh KPU Kabupaten Blora dalam program pendidikan pemilih pemilu

legislatif 2009 hanya mencakup satu unsur saja, yaitu penjelasan tentang topik

atau tema. KPU Kabupaten Blora tidak mengangkat dua unsur yaitu tujuan

dari program dan sasaran yang hendak dicapai, sehingga khalayak sasaran

dikhawatirkan kurang mengetahui maksud dari program pendidikan pemilih

yang mereka ikuti.

Untuk mengatasi kegagalan dalam program pendidikan pemilih pemilu

legislatif 2009 tersebut, harus ada perencanaan program secara matang mulai dari

ketujuh komponen: tujuan, target, materi, sasaran, bentuk program hingga

pelaksana. Seperti pepatah mengatakan, sebelum bertindak sebaiknya: “Plan your

work and work your plan!”. Artinya, rencanakan pekerjaan sebaik mungkin, dan

kerjakan dengan persiapan matang, juga dukungan dari berbagai pihak (Ekowati,

2009: 10). Jika ternyata hasil dari program pendidikan pemilih pemilu legislatif

2009 tersebut tidak memuaskan dapat disebabkan salah satu komponen dari

bauran komunikasi (communication mix) tidak berfungsi seabagaimana mestinya,

seperti:

Page 110: ISI SKRIPSI

110

1) Komunikatornya lemah atau tidak menguasai communication skill

(kemampuan berkomunikasi) sehingga pesan yang disampaikan tidak mampu

mempengaruhi opini publik, dalam hal ini yaitu partisipasi mereka untuk

melakukan pemilihan pada pemilu legislatif 2009.

2) Pesan (message) yang akan disampaikan tidak sesuai dengan keinginan atau

minat audiensinya, atau menggunakan bahasa yang tidak dimengerti oleh

khalayak sasaran.

3) Media yang dipakai untuk menyampaikan pesan kepada khalayak sasaran

kurang pas sehingga tidak mampu menjangkau audiensinya secara optimal.

Hal tersebut akibat dari kurang memperhitungkan strategi menggunakan

perencanaan media secara tepat sehingga pesannya tidak sampai kepada

audiensi.

4) Komunikan yang menjadi objek sasaran dari program pendidikan pemilih

pemilu legislatif 2009 tidak diketahui dengan jelas dan rinci siapa yang

dijadikan khalayak sasaran, akibatnya komunikan tidak terfokus dan tentunya

tidak menghasilkan sesuatu yang diinginkan organisasi.

5) Efek atau dampak yang dihasilkan dari keempat komponen saling berkorelasi

atau terkait erat tersebut, satu sama lain terjadi banyak hambatan dan

kekurangan. Jangankan keempat komponen bauran komunikasi yang

mengalami kegagalan seluruhnya, jika salah satunya tidak berfungsi

sebagaimana mestinya sudah cukup mengakibatkan dampak atau efek yang

negatif, baik terhadap kepercayaan maupun opini yang buruk.

Page 111: ISI SKRIPSI

111

B. Evaluasi Dampak Pesan Program Komunikasi KPU Blora pada Pileg 2009

Salah seorang praktisi pernah mengatakan, “Kita bukan hanya harus

mencari hasil, tetapi juga harus mampu untuk mengukurnya”. Tetapi, menurut Katie

Delahaye Paine, seorang pelopor dalam bidang pengukuran kinerja organisasi,

meskipun banyak organisasi yang sudah mempunyai data untuk mengukur hasil

program, mereka tidak melakukannya, dengan alasan takut akan apa yang akan terjadi

jika organisasi melakukan upaya pengukuran dan ternyata tidak menghasilkan apa-

apa. Pengukuran dampak mencatat seberapa jauh hasil yang dinyatakan dalam target

untuk masing-masing publik sasaran dan keseluruhan tujuan program telah dicapai

(Gozali, 2005: 5).

Menurut Emerson, ”Komunikasi yang dapat mencapai tujuan atau sasaran

yang telah ditentukan oleh komunikator adalah komunikasi yang dikatakan efektif”

(Sunarjo, 1995: 72-73). Membangun dan memelihara sistem komunikasi yang efektif

tersebut adalah fungsi pokok eksekutif perusahaan atau organisasi (Hardjana, 2000:

x). Dan untuk dapat mengetahui apakah kegiatan atau program komunikasi yang

dilakukannya itu efektif atau tidak serta untuk mengukur kinerja dan kualitas

eksekutif, pejabat dan staf komunikasi maka eksekutif harus melakukan audit

komunikasi atas proses-proses komunikasi yang terjadi dalam organisasinya secara

berkala. Audit komunikasi yang diperkenalkan oleh George Odiorne berkaitan

dengan pemeriksaan, evaluasi dan pengukuran secara cermat dan sistematik. Dengan

kata lain, kegiatan-kegiatan atau program komunikasi yang dilakukan oleh staf

maupun eksekutif dalam suatu perusahaan atau organisasi dapat diukur, diperiksa dan

dievaluasi sehingga efektifitas dan maupun efisiensi kegiatan komunikasi yang sudah

dilakukan dapat di ketahui untuk kemudian hari ditingkatkan. Sedangkan Gerald

Goldhaber, seorang tokoh kunci dalam komite ICA (International Communication

Association), seperti yang dikutip oleh Hardjana (2000: 9-10) menjelaskan audit

komunikasi sebagai “pemeriksaan diagnosis yang dapat memberikan informasi dini

untuk mencegah kehancuran kesehatan organisasi yang lebih besar”. Namun, konsep

audit komunikasi tidak serta merta menjadi populer. Hingga akhir dekade 1960-an,

Page 112: ISI SKRIPSI

112

audit komunikasi tidak populer dalam artian tidak banyak para ahli yang

menggunakannya.

Untuk dapat mengetahui apakah kegiatan komunikasi yang sudah dijalankan

efektif atau berhasil mencapai tujuan dan sasaran organisasi adalah dengan

melakukan audit komunikasi. Dengan melakukan audit komunikasi, segala hambatan

komunikasi dan gangguan yang menyebabkan macetnya aliran informasi dan peluang

yang terlewat dapat diketahui sehingga diperoleh cara yang dapat meningkatkan

dampak yang dikehendaki sehingga organisasi atau perusahaan dapat

mempertahankan hidup bahkan kesuksesannya di tengah persaingan global yang

makin keras.

Audit komunikasi menurut Jane Gibson dan Richard Hodgetts dalam

Organizational Communication: A Managerial Perspective (Hardjana, 2000: 10)

adalah ”suatu analisis yang lengkap atas sistem-sistem komunikasi internal dan

eksternal dari suatu organisasi”. Begitu pula definisi yang diberikan oleh Joseph A.

Kopec, seperti yang dikutip cutlip, Center dan Broom (Putra, 1998: 26) yang

menyatakan audit komunikasi ”sebagai sebuah analisis lengkap tentang komunikasi

organisasi baik internal maupun eksternal yang dirancang untuk memahami

kebutuhan, kebijakan, praktek dan kemampuan komunikasi, dan untuk menemukan

data sehingga manajemen puncak dapat membuat keputusan yang ekonomis dan

berdasarkan informasi lengkap tentang tujuan kedepan komunikasi organisasi”.

Sedangkan Anthony Booth, mendefinisikan audit komunikasi sebagai ”proses

pembuatan analisis atas komunikasi-komunikasi di dalam organisasi oleh konsultan

internal atau eksternal dengan tujuan untuk meningkatkan efisiensi organisasi”.

Dengan pembatasan ruang lingkup pada komunikasi internal saja dan efisiensi, yang

umumnya memiliki arti jangka pendek, menunjukkan kalau audit komunikasi

sebaiknya dianggap sesuatu yang mudah untuk ditangani dan perlu dilakukan

berulang-ulang secara teratur (Hardjana, 2000: 11-12).

Page 113: ISI SKRIPSI

113

Seperti yang sudah disebutkan diatas bahwa penyelenggaraan audit

komunikasi bermanfaat bagi kelangsungan dan efektivitas komunikasi dalam

organisasi, yakni:

a. Untuk mengetahui apakah dan dimana terjadi kelebihan (overload) atau

kekurangan (underload) muatan komunikasi berkaitan dengan topik, sumber

dan saluran komunikasi.

b. Untuk menilai kualitas informasi dan mengukur kualitas hubunganhubungan

komunikasi secara khusus mengukur kepercayaan antarpribadi (trust),

dukungan, keramahan, dan kepuasan kerja.

c. Untuk mengenali jaringan-jaringan yang aktif operasional komunikasi non

formal dan membandingkannya dengan komunikasi formal.

d. Untuk mengetahui sumber-sumber kemacetan (bottleneck) arus informasi dan

para penyaring informasi (gatekeeper) dengan memperbandingkannya dengan

peran masing-masing dalam jaringan komunikasi.

e. Untuk mengenali kategori dan contoh pengalaman dan peristiwa komunikasi

yang positif maupun negatif.

f. Untuk menggambarkan pola-pola komunikasi pada tingkat pribadi, kelompok

maupun organisasi berkaitan dengan komponen komunikasi, frekuensi dan

kualitas interaksi.

g. Untuk memberikan rekomendasi tentang perubahan atau perbaikan yang perlu

dilakukan (Hardjana, 2000: 16-17).

Sedangkan alasan-alasan diselenggarakannya audit komunikasi adalah:

1) Untuk mengetahui apakah program komunikasi berjalan dengan baik.

2) Ingin membuat diagnosis tentang masalah yang terjadi atau berpotensi dan

peluang yang mungkin terbuang.

3) Ingin melakukan evaluasi atas kebijakan baru atau praktek komunikasi yang

terjadi.

Page 114: ISI SKRIPSI

114

4) Ingin memeriksa hubungan antara komunikasi dengan tindakan operasional

lain.

5) Ingin menyususn anggaran kegiatan komunikasi.

6) Ingin menetapkan patok banding.

7) Ingin mengukur kemajuan dan perkembangan dengan membandingkannya

dengan patok banding tadi.

8) Ingin mengembangkan atau melakukan restrukturisasi fungsi-fungsi

komunikasi.

9) Ingin membangun landasan dan latar belakang guna mengembangkan

kebijakan dan program komunikasi baru (Hardjana, 2000: 17-18).

Evaluasi program merupakan bagian dari audit komunikasi. Evaluasi

merupakan suatu usaha dan kegiatan untuk menentukan nilai suatu program atau

kegiatan. Broom dan Dozier (1990: 73) menyatakan “evaluation is determining the

worth of something”. Sementara itu, Quarles dan Rowlings (1993: 49) menyatakan

bahwa pengevaluasian sebuah program berarti “measuring what actually happen

against objectives developed in the plan”, dengan demikian, ketika melakukan

evaluasi terhadap suatu program, organisasi sedang mencoba memperlihatkan nilai

dari masing-masing kegiatan, sehingga pada akhirnya kegiatan tersebut dapat

dikatakan berhasil atau justru mengalami kegagalan (Putra, 1999: 70).

Berikut merupakan pembahasan hasil evaluasi terhadap dampak dari

program pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 yang telah dijalankan oleh KPU

Kabupaten Blora, berdasarkan pendapat narasumber-narasumber yang telah

mengikuti kegiatan tersebut, yang selanjutnya akan dikaji dengan teori komunikasi

yang ada.

Page 115: ISI SKRIPSI

115

1. Output Evaluations

Evaluasi output adalah evaluasi yang digunakan untuk mengukur produk

komunikasi dan distribusinya. Evaluasi ini berfokus pada pengembangan dan

presentasi dari pesan, khususnya produksi dan penyebarannya.

a. Produksi Pesan

Merupakan evaluasi yang mengukur berapa banyak jumlah atribut

pesan digunakan untuk menyukseskan program pendidikan pemilih pemilu

legislatif 2009 ini.

Media taktik merupakan strategi yang digunakan untuk menggunakan

bantuan media sebagai pembantu berjalannya program yang bertujuan untuk

membujuk khalayak sasaran, bisa media massa ataupun atribut-atribut media

lainnya seperti buletin, jurnal, brosur, flyer, iklan, spanduk, dan lain

sebagainya. Organisasi memutuskan untuk menggunakan media taktik ketika

menghadapi khalayak sasaran yang berjumlah banyak, tersebar luas, sehingga

kemungkinan sulit untuk berinteraksi secara personal (Smith, 2005: 174).

Salah satu manfaat dari media taktik adalah media mudah dicari oleh khalayak

sasaran yang aktif terhadap isu-isu organisasi, dalam hal ini merupakan

masyarakat Kabupaten Blora yang paham betul dengan dunia politik dan

memiliki perhatian lebih terhadap pemilu legislatif 2009. Fungsi dari media

pembantu ini adalah:

(1) Meningkatkan pengertian atau pemahaman khalayak sasaran.

(2) Meningkatkan daya tarik program.

(3) Mengajarkan keahlian lebih efektif.

(4) Merangsang khalayak untuk bertindak sesuai dengan harapan

organisasi.

(5) Berperan dalam menumbuhkan sikap yang diinginkan organisasi.

(6) Memperpanjang waktu penyimpanan informasi.

(7) Memberikan perolehan pengalaman (Smith, 2005: 172).

Page 116: ISI SKRIPSI

116

Salah satu strategi dari media taktik adalah general publications, yaitu

publikasi dari berbagai macam material yang dicetak oleh organisasi. Salah

satu bagian dari general publications yaitu stand-alone publications.

Publikasi ini biasanya berupa brosur atau flyer yang dicetak hanya sekali oleh

organisasi pada suatu periode/program tanpa ada keterlanjutan

(serial/bersambung). Brosur merupakan bagian dari stand-alone publications,

yang memuat sebuah topik atau isu, seperti produk atau jasa yang disajikan

oleh organisasi, promosi dari sebuah program, atau isu-isu lainnya yang

dikedepankan organisasi. Brosur bagian dari action-publications, untuk alat

bantu menyukseskan aktivitas marketing. Jenis lain dari brosur, dapat berupa

pamflet atau booklet. Brosur yang bersifat persuasif biasanya mengangkat

tentang isu-isu yang berhubungan dengan keyakinan, politik, atau sosial topik.

Flyer tidak jauh beda dengan brosur, namun bedanya brosur disebarkan dalam

suatu forum atau kegiatan, dan flyer dapat disebarkan dimana dan kapan saja.

Jenis lain dari flyer dapat berupa leaflet atau folder (Smith, 2005: 173).

Ketika membuat media publikasi, hal yang harus diperhatikan adalah

kelayakan isi berita (news worthy) dan lebih mengedepankan pada hal-hal

yang dapat menarik publik. Pastikan media publikasi dapat menyajikan

informasi yang semenarik mungkin dari sudut pandang khalayaknya.

Organisasi harus lebih mengesampingkan egonya untuk membuat informasi

yang sesuai dengan keinginan organisasi, namun organisasi harus

mengedepankan informasi yang berhubungan dengan kebutuhan publiknya

(Smith, 2005: 173).

Strategi lainnya yang digunakan oleh KPU Kabupaten Blora dalam

menyukseskan program pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 di

Kabupaten Blora adalag melalui menggunakan media pembantu advertising

atau periklanan seperti spanduk dan billboard. Advertising adalah informasi

yang ditempatkan di media oleh sponsor tertentu yang jelas identitasnya yang

membayar untuk ruang dan waktu penempatan informasi tersebut. Advertising

Page 117: ISI SKRIPSI

117

merupakan metode terkontrol dalam menempatkan pesan di media (Cutlip,

dkk. 2006: 14).

Media pembantu yang digunakan oleh KPU Kabupaten Blora yang

berupa spanduk atau billboard merupakan bagian dari Out-of-home

advertising yaitu bagian dari jenis advertising yang berusaha melakukan

kegiatan persuasi pada publik yang bergerak, misalnya orang yang sedang

mengendarai kendaraan. Jenis advertising seperti ini menawarkan banyak

keuntungan seperti tersedia selama 24 jam dan dapat menjangkau publik luas,

advertising jenis ini juga dapat diingat oleh publik karena menimbulkan efek

pengulangan kepada publik yang melihatnya. Namun, advertising ini cukup

mahal, dan hanya dapat memuat pesan yang pendek dan simpel. Advertising

jenis ini dapat berupa outdoor posters, arena posters, billboard, dan lain

sebagainya (Smith, 2005).

Berikut merupakan rincian dari berbagai media pembantu yang telah

dibuat oleh KPU Kabupaten Blora untuk menyukseskan program pendidikan

pemilih pemilu 2009 ini (KPU Blora, 2009: 132-141):

1) Produk yang berasal dari KPU mengenai petunjuk tata cara Pemilu

anggota DPR, DPD, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

a) Buku panduan KPPS sebanyak 5.620, yang di distribusikan ke

16 Kecamatan, 295 Desa serta 2.401 TPS.

b) VCD pemungutan dan perhitungan suara Pemilu anggota DPR,

DPD, DPRD Propinsi dan DPRD Propinsi dan DPRD

Kabupaten/Kota.

c) Poster-poster yang berisi ajakan kepada konstituen untuk

menggunakan hak pilihnya pada Pileg 2009, contoh tata cara

mencontreng surat suara.

2) Produk yang berasal dari KPU Propinsi Jawa Tengah.

a) Leaflet tentang Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD Propinsi

dan DPRD Kabupaten/Kota.

Page 118: ISI SKRIPSI

118

b) Ilustrasi surat suara anggota DPR, DPD, DPRD Propinsi dan

DPRD Kabupaten/Kota.

c) Poster-poster yang berisi ajakan kepada konstituen untuk

menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2009.

d) Buku panduan “Tandai Pilihanmu” yang berisi tentang

pengetahuan Pemilu 2009 sebanyak 500 buah.

e) Produk yang berasal dari KPU Kabupaten Blora.

3) Bersumber dari APBN: Stiker 4500 lembar untuk masyarakat

umum, Leaflet 3500 lembar untuk penyelenggara dan masyarakat

umum.

4) Bersumber dari APBD: Spanduk 315 buah untuk masing-masing

Desa dan Kecamatan, baliho 5 buah dipasang di pusat-pusat

keramaian, radiospot di radio-radio pemerintah dan swasta, iklan

di koran lokal Radar Bojonegoro dan Suara Merdeka.

Berdasarkan data di atas, dapat dilihat bahwa KPU Kabupaten Blora

telah memproduksi media pembantu berupa buku panduan, leaflet, poster, dan

stiker yang memuat informasi tentang penyelenggaraan pemilu legislatif

2009, untuk memudahkan masyarakat Blora dalam melakukan pemilihan.

Namun, yang menjadi titik berat pada evaluasi produksi pesan adalah, untuk

mengukur berapa banyak jumlah media pembantu tersebut yang telah

disebarkan oleh KPU Kabupaten Blora?, dan apakah jumlah media pembantu

itu cukup memenuhi kebutuhan informasi masyarakat Blora mengenai pemilu

legislatif 2009?.

Sesuai dengan pendapat Smith dalam bukunya „The Strategic

Planning for PR‟ (2005: 175), mengemukakan bahwa: “Organisasi perlu

memperhatikan publik mana yang akan menerima media promosi agar

hasilnya lebih efektif. Memproduksi lebih dari satu jenis media publikasi yang

memiliki banyak variasi merupakan salah satu cara yang dapat digunakan

untuk menarik perhatian publik yang berjumlah banyak”.

Page 119: ISI SKRIPSI

119

Dengan jumlah DPT sebanyak 697.300 pemilih, KPU Kabupaten

Blora menyebarkan media pembantu antara lain berupa stiker 4500 lembar

untuk masyarakat umum, spesimen surat suara 14000 lembar untuk

penyelenggara di tingkat bawah, leaflet 3500 lembar untuk penyelenggara dan

masyarakat umum, spanduk 315 buah untuk masing-masing Desa dan

Kecamatan, serta baliho 5 buah dipasang di pusat-pusat keramaian (Sumber:

wawancara 03/12/2009 09:00WIB). Dengan asumsi sekitar 22.000 media

pembantu dibagikan untuk 697.300 pemilih, berarti setiap satu media

pembantu diperuntukkan bagi 31 calon pemilih. Dengan kata lain setiap 31

pemilih berusaha mendapat kesempatan untuk memperoleh satu media

pembantu. Tentu saja jumlah 1:31 belumlah memenuhi kriteria penyebaran

informasi yang benar.

McCombs dan Shaw (1993: 65) mengemukakan bahwa ”media bukan

hanya memberitahu kita apa yang kita pikirkan tentang sesuatu, tetapi juga

bagaimana kita memikirkan tentangnya, dan, konsekuensinya, apa yang akan

dipikirkan”. Dari pemikiran tersebut, lahirlah teori agenda-setting yang

berasumsi bahwa jika media memberi tekanan pada suatu peristiwa, maka

media itu akan memengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting. Jadi,

apa yang dianggap penting bagi media, penting juga bagi masyarakat. Asumsi

ini berasal dari asumsi lain bahwa media memiliki efek yang kuat, terutama

karena asumsi ini berkaitan dengan proses belajar dan bukan dengan

perubahan sikap dan pendapat. Teori agenda-setting menganggap bahwa

masyarakat akan belajar mengenai isu-isu apa, dan bagaimana isu-isu tersebut

disusun berdasarkan tingkat kepentingannya. McCombs dan Shaw

mengatakan pula bahwa audiens tidak hanya mempelajari berita-berita dan

hal-hal lainnya melalui media, tetapi juga mempelajari seberapa besar arti

penting diberikan pada suatu isu atau topik dari cara media memberikan

penekanan terhadap topik tersebut (Effendy, 2000: 287-288).

Page 120: ISI SKRIPSI

120

Agar berhasil menjalankan media taktik, organisasi harus membuat

packaging atau mengemas media pembantu yang akan digunakan sebagai

bahan persuasi secara menarik, melalui cara sebagai berikut:

a. Berfikir kreatif, buatlah pesan yang paling simpel dan masuk akal,

dengan ide-ide kreatif yang jarang dikemukakan oleh organisasi lain.

b. Ketika waktunya telah dimulai untuk melakukan promosi, lakukanlah

semua komponen program promosi mulai dari kegiatan komunikasi, dan

keluarkanlah berbagai media pembantu lainnya secara bersamaan

selama waktu program yang ditentukan pada perencanaan. Dengan

demikian, mereka akan berfikir program tersebut penting (Smith, 2005).

d) Distribusi Pesan

Evaluasi ini digunakan untuk mengukur penyebaran materi pesan,

apakah sudah merata atau belum (Smith, 2005: 246).

Usaha agar ide atau inovasi diterima bukan hanya sekedar memberikan

informasi kepada audiens melalui media massa atau publikasi internal.

Komunikasi harus diarahkan pada sasaran yang tepat, bukan disebarkan ke

segala arah. Bahkan setelah dilakukan riset bertahun-tahun, masih belum ada

model tunggal tentang bagaimana ide disebarkan kepada khalayak. Elmo

Roper telah melakukan riset opini hampir 30 tahun, merumuskan hipotesis

yang mengandung pedoman yang berguna. Teori lingkaran konsentrisnya

menyatakan bahwa ide masuk ke publik dengan sangat lambat melalui proses

yang mirip dengan proses osmosis. Sejarah kampanye publik menguatkan

teori ini. ide bergerak dalam lingkaran konsentris dari pemikir besar ke murid

utama lalu ke penyebar besar sampai ke penyebar kecil hingga ke orang-orang

yang aktif dan tidak aktif secara politik. Hipotesis ini mengasumsikan bahwa

masyarakat bisa dibuat berlapis-lapis, dan menekankan arti penting dari

penggunaan pemimpin opini dalam proses komunikasi. Namun tingkat aliran

dalam transmisi penerimaan ide dipengaruhi oleh banyak faktor disamping

Page 121: ISI SKRIPSI

121

karakteristik dari orang-orang yang terlibat di dalamnya. Faktor-faktor ini

mencakup “rintangan berkomunikasi” menurut Lippmann dan “pengatur

tingkat penyerapan” menurut George Gallup, seperti diilustrasikan dalam

gambar berikut (Cutlip, dkk. 2006: 404-405):

Gambar 01

Rintangan dan Diseminasi Komunikasi Program Pendidikan Pemilih

Pemilu 2009 KPU Kabupaten Blora

Rintangan Berkomunikasi

Lippmaan

1. Sensor artifisial

2. Batasan kontak sosial

3. Sedikit waktu yang

tersedia untuk

memberi perhatian

pada persoalan publik

4. Distorsi karena

kejadian harus

dipadatkan dalam

pesan

5. Kesulitan menyusun

kosakata untuk

mengekspresikan

dunia yang besar dan

rumit

Hipotesis Roper

Pengatur Tingkat

Penyerapan Ide Baru dari

Gallup

1. Kompleksitas ide

2. Faktor perbedaan

dengan pola yang

sudah lazim

3. Kompetisi dengan ide

yang sudah ada

4. Apakah ide itu mudah

ditunjukkan dan

dibuktikan?

5. Seberapa kuat vested

interest akan menolak

usulan perubahan?

Pemikir Besar

KPU Pusat

Murid Besar

KPU Propinsi Jateng

Penyebar Besar

KPU Kabupaten Blora

(Divisi Sosialisasi dan

Kajian Pemilu)

Penyebar Kecil

PPK, PPS, dan KPPS

Aktif secara politik

Warga Blora yang tertarik

terhadap isu-isu pemilu

legislatif 2009

Page 122: ISI SKRIPSI

122

6. Kekhawatiran

menghadapi fakta

yang tampaknya

mengancam rutinitas

mapan dalam

kehidupan

6. Apakah proposal itu

sesuai dengan

kebutuhan yang

dirasakan?

7. Seberapa sering publik

diingatkan pada ide

baru? Sumber Diadaptasi dari Rintangan dan Diseminasi Komunikasi Cutlip, dkk. 2006: 405

Gambar di atas menjelaskan tahapan-tahapan penyebaran pesan yang

terjadi pada program pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 KPU Kabupaten

Blora. Pesan tersebut mengalir dari sumber terbesar (komunikator utama) yaitu

KPU pusat hingga ke masyarakat Blora. Dalam setiap tahapan proses tersebut,

terdapat berbagai permalahan tertentu yang timbul yang dijelaskan melalui

rintangan komunikasi Lippmann, kemudian permasalahan tersebut diselesaikan

melalui pemikiran-pemikiran serta hal-hal baru yang dijelaskan pada tingkat

penyerapan ide baru dari Gallup. Tahapan-tahapan penyebaran serta penyerapan

pesan di atas, juga sering disebut dengan difusi.

Difusi adalah proses penyebaran ide dan praktik ke anggota sistem sosial.

Teori difusi inovasi menjelaskan tentang proses mengadopsi inovasi pada

masyarakat untuk mengganti tekhnologi lama dengan yang baru dalam lima tahap

(Rogers, 1983: 165):

1) Tahap pertama, pengetahuan: kesadaran individu akan adanya inovasi dan

adanya pemahaman tertentu tentang bagaimana inovasi tersebut berfungsi,

2) Tahap kedua, persuasi: individu membentuk/memiliki sifat yang menyetujui

atau tidak menyetujui informasi tersebut,

3) Tahap ketiga, keputusan: individu terlibat dalam aktivitas yang membawa

pada suatu pilihan untuk mengadopsi inovasi tersebut,

4) Tahap keempat, pelaksanaan: individu melaksanakan keputusannya itu sesuai

dengan pilihan-pilihannya,

Pasif secara politik

Warga Blora yang jarang

menyuarakan opini, tetapi

tetap berpartisipasi dalam

pileg 2009

Page 123: ISI SKRIPSI

123

5) Tahap kelima, konfirmasi: individu akan mencari pendapat yang menguatkan

keputusan yang telah diambilnya, namun dia dapat berubah dari keputusan

yang telah diambil sebelumnya jika pesan-pesan mengenai inovasi yang

diterimanya berlawanan dengan yang lainnya.

Dari segi media taktik, teori ini direpresentasikan melalui media pembantu

yang dapat membantu kesuksesan komunikasi antara publik dengan organisasi.

Media pembantu berguna dan berpengaruh besar dalam menciptakan kesadaran

dalam tahap pengetahuan tersebut diatas. Mengkomunikasikan ide baru atau

praktik baru adalah tugas yang panjang dan sulit. Taktik komunikasi yang

berbeda akan efektif pada poin yang berbeda dengan cara yang berbeda pula.

Pengaruh dari opini dan tokoh masyarakat sangat besar di banyak situasi. Adalah

penting bagi komunikator untuk mengetahui apa teknik dan media yang akan

digunakan pada tahap yang berbeda dan mengetahui bagaimana cara

memobilisasi pengaruh ini secara efektif. Ide atau inovasi lebih mudah untuk

diadopsi jika ide-ide tersebut (1) Lebih menguntungkan ketimbang situasi

sekarang; (2) Kompatibel dengan pengalaman sebelumnya dan aspek situasi

lainnya; (3) Sederhana; (4) Mudah dicoba; (5) Dapat diamati melalui hasil yang

kelihatan (Cutlip, dkk. 2006: 236).

Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak KPU Kabupaten Blora, media

pembantu berupa Buku Panduan KPPS, VCD Pemilu, dan Poster disebarkan ke

seluruh penjuru kecamatan, desa, dan TPS di Kabupaten Blora. Sedangkan

spanduk 315 buah dipasang di setiap pusat keramaian desa dan kecamatan di

Kabupaten Blora yang memiliki 16 kecamatan, yang dibagi lagi atas 271 desa dan

24 kelurahan, dengan kata lain setiap satu wilayah baik kecamatan, desa, maupun

kelurahan mendapatkan satu spanduk untuk dipasang dikeramaian. Sedangkan

baliho yang dipasang hanya 5 buah saja, dan khusus untuk dipasang di pusat

keramaian kecamatan kota Blora dan Cepu.

Page 124: ISI SKRIPSI

124

Masih menurut narasumber dari KPU Kabupaten Blora, stiker, leaflet,

maupun materi lain dari produk tersebut dibagikan pada saat sosialisasi

dilakukan:

“Kami membagikan sebagian atribut pemilu seperti brosur dan flyer, pada

setiap sosialisasi, dan disana juga diputarkan VCD Ayo Mencontreng” (Sumber:

wawancara 10/12/2009 13:30WIB).

Namun, agaknya beberapa peserta tidak menerima materi tersebut,

ditunjukkan dengan hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan beberapa

khalayak sasaran, yang tidak sedikit dari mereka mengaku bahwa mereka tidak

mendapatkan leaflet atau brosur sewaktu mengikuti sosialisasi, sehingga mereka

terkendala dan banyak pihak yang lupa pesan dari sosialisasi sewaktu mereka

selesai mengikuti program tersebut karena tidak mencatat. Bahkan tak jarang

diantara mereka memberikan saran kepada pihak KPU Kabupaten Blora, untuk

memberikan media pembantu penyampaian pesan lain seperti pamflet, atau flyer

untuk mereka bawa pulang, sehingga kelak mereka bisa mempelajarinya.

Fakta-fakta di atas menjelaskan bahwa KPU Kabupaten Blora belum dapat

menjalankan fungsi media taktik secara maksimal. Hal ini disebabkan oleh:

1) Sedikitnya jumlah media pembantu yang diproduksi yaitu hanya

sekitar 22.000 media pembantu dibagikan untuk 697.300 pemilih,

berarti setiap satu media pembantu diperuntukkan bagi 31 calon

pemilih. Dengan kata lain, setiap 31 pemilih berusaha mendapat

kesempatan untuk memperoleh satu media pembantu.

2) Kesalahan dari strategi penyebaran pesan, karena menurut Lippman

dan Gallup, tingkat aliran dalam transmisi penerimaan ide dipengaruhi

oleh banyak faktor, dan biasanya informasi mengalir dari masyarakat

yang berpengetahuan tinggi ke pengetahuan rendah, atau yang aktif

mencari informasi pada masyarakat yang pasif (Cutlip, dkk. 2006:

404-405). Dalam hal ini, KPU Blora berkemungkinan memiliki

kesalahan dalam strategi penyebaran pesannya, yaitu masyarakat yang

Page 125: ISI SKRIPSI

125

aktif dan mengikuti pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 tidak

mendapatkan pembagian media pembantu tersebut, namun justru

masyarakat lain yang justru kurang responsif terhadap pemilu legislatif

2009, mendapatkan media pembantu tersebut.

2. Evaluations of Awareness Objectives

Metode evaluasi yang bertujuan untuk mengukur kesadaran publik

terhadap kegiatan yang telah dilakukan organisasi. Berkaitan dengan fokus pada

kegiatan komunikasi yang mendokumentasikan. Evaluasi ini dimaksudkan untuk

menunjukkan seberapa besar kemahiran organisasi untuk membentuk taktik

komunikasi mereka dalam meningkatkan kesadaran dan sikap publik, sehingga

publik mampu bertindak dan berfikir sesuai dengan tujuan dari program

komunikasi (Smith, 2005: 247).

Pengukuran evaluasi ini berdasarkan pada tiga kriteria, yaitu terpaan pesan

(message exposure), isi pesan (message content), dan pengingatan pesan (message

recall).

a) Evaluasi Berdasarkan Terpaan Pesan (Message Exposure)

Evaluasi yang memfokuskan pada perhatian khalayak program,

langkah ini digunakan untuk mengukur seberapa besar perhatian dan

ketertarikan khalayak terhadap program (Smith, 2005: 247). Dalam penelitian

ini, evaluasi berdasarkan terpaan pesan dimaksudkan untuk menjawab

pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah narasumber penelitian yang telah

mengikuti program pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 KPU

Kabupaten Blora benar-benar memperhatikan kegiatan tersebut? dan apakah

sesungguhnya mereka tertarik dengan kegiatan tersebut?.

Pendapat umum mengatakan bahwa dasar utama yang menjadikan

seseorang untuk tertarik dengan orang lain yang belum saling mengenal

adalah hal-hal yang nampak (apprearance). Adapun hasil penelitian

Page 126: ISI SKRIPSI

126

menjelaskan bahwa hal-hal yang nampak kurang menjadikan keterkaitan

sosial, melainkan adanya persamaan dan persamaan merupakan faktor yang

penting yaitu dasar untuk saling tertarik. Ketertarikan adalah suatu proses

yang dengan mudah dialami oleh setiap individu akan tetapi sukar untuk

diterangkan. Ada tiga teori tentang ketertarikan. Pertama, Teori cognitive

yakni menekankan pada proses berpikir dan bagaimana seseorang memahami

(mengerti) dan mempresentasikan, yang berpengaruh pada tingkah laku

mereka. Kedua, Teori reinforcement (penguatan), yakni teori yang mengakar

pada teori belajar yang menginterpretasikan ketertarikan sebagai suatu respon

yang dipelajari seseorang. Teori ini mengemukakan bahwa orang cenderung

memberikan ganjaran atau pengukuhan positif terhadap dirinya, dibanding

dengan orang yang memberikan pengukuhan negatif. Ketiga, teori

interaktionist, beranggapan bahwa setiap orang dirangsang untuk tertarik pada

orang lain (Hudaniah, 2003: 127-135).

Berdasarkan hasil wawancara terhadap kedua narasumber pemilih

pemula, mereka menunjukkan ketertarikan yang berbeda. Narasumber

pertama cenderung merasa tertarik dengan program pendidikan pemilih

pemilu legislatif 2009 yang diikutinya, dengan alasan baru pertama kali akan

berpartisipasi dalam pemilu. Hal ini sesuai dengan teori belajar manusia yang

menekankan peranan situasi dan lingkungan sebagai sumber penyebab

tingkah laku. Teori ini berakar dari dorongan jiwa atau hasrat untuk

melakukan kegiatan belajar, yang akan menghasilkan perubahan karena

adanya usaha dari individu tersebut (Supratiknya, 1993: 279). Menurut teori

belajar tersebut, narasumber ingin mengungkapkan bahwa ketertarikannya

lebih dikarenakan narasumber belum pernah ikut berpartisipasi dalam

penelitian tersebut, sehingga narasumber ingin mengetahui dan mempelajari

hal-hal yang berhubungan dengan pemilu legislatif 2009. Teori belajar

tersebut juga berlaku pada narasumber lainnya seperti pada petani dan pada

narasumber guru, serta anggota PKK yang mengaku mengikuti kegiatan

Page 127: ISI SKRIPSI

127

pendidikan pemilih karena rasa keingintahuan mereka terhadap informasi

mengenai pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009. Narasumber-narasumber

tersebut memiliki motivasi belajar, karena adanya aspek seperti minat,

kesadaran, semangat, keinginan, cita-cita, kesukaan, dan rasa keingintahuan

terhadap pemilu legislatif 2009.

Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon

(Slavin, 2000: 143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat

menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang

penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon.

Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan

respon berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang

diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon

tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat

diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa

yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar

(respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan

pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat

terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut. Berikut merupakan

berbagai definisi belajar menurut berbagai pakar yang dikutip dari buku

“Psikologi Kepribadian 3: Teori-Teori Sifat dan Behavioristik” (Supratiknya,

1993).

Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus

dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar

seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat

indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik

ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau

gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat

berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang

Page 128: ISI SKRIPSI

128

tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori

koneksionisme (Slavin, 2000).

Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara

stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat

diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya

perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar,

namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu

diperhitungkan karena tidak dapat diamati.

Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan

respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh

oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi,

semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar

organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan

biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah

penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia,

sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu

dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul

mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk

dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler,

1991).

Sedangkan konsep-konsep yang dikemukakan Skinner tentang belajar

lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan

konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut Skinner

hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan

lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku,

tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya.

Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena

stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar

stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang

Page 129: ISI SKRIPSI

129

diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi

inilah yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000). Oleh

karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus

memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta

memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi

yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengemukakan

bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk

menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab

setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.

Faktor lain yang dianggap penting dalam teori belajar adalah faktor

penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive

reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon

dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga semakin

kuat.

Sesuai dengan teori belajar di atas, para narasumber yang menjadi

khalayak sasaran merupakan „murid‟ pada program pendidikan pemilih

pemilu legislatif 2009, sedangkan komunikator program yaitu pihak KPU

Kabupaten Blora yang diwakili oleh Divisi Sosialisasi dan Kajian Pemilu

merupakan „guru‟ yang ingin menyebarkan „ajaran‟ dan pengetahuan mereka

mengenai pemilu legislatif 2009.

Para „murid‟ yaitu khalayak sasaran pada program pendidikan pemilih

pemilu 2009, memiliki reinforcement (penguatan) terhadap program tersebut

karena berbagai alasan seperti baru pertama kali berpartisipasi dalam pemilu

sebagaimana yang terjadi dalam salah satu narasumber pemilih pemula, rasa

keingintahuan mereka terhadap pemilu legislatif 2009 yang memiliki sistem

pemilihan berbeda dari pemilu sebelumnya yaitu mencontreng, bahkan salah

satu narasumber yaitu dari anggota penggerak PKK berkewajiban untuk

menjadi „guru‟ selanjutnya pada sosialisasi pemilu legislatif 2009 terhadap

anggota-anggota PKK dibawahnya.

Page 130: ISI SKRIPSI

130

Berbeda dengan narasumber pemula yang pertama, narasumber

pemula yang kedua menyatakan ketidak-tertarikannya dengan program

pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 yang dijalankan oleh KPU

Kabupaten Blora, dengan alasan karena pihak sekolah mewajibkan untuk

mengikuti kegiatan tersebut, maka narasumber ikut. Hal ini sesuai dengan

spiral of science theory oleh Elizabeth Noelle-Neuman yang mengungkapkan

tindakan seseorang yang berusaha untuk mengikuti tindakan lainnya sesuai

dengan konsensus kelompok, walaupun tindakan tersebut bertentangan

dengan pendapatnya, karena pada dasarnya seseorang tidak mau dikucilkan

dari kelompoknya (Bungin, 2006: 284). Teori ini direfleksikan ketika

narasumber ingin mengikuti program tersebut karena adanya kewajiban dari

pihak sekolah untuk mengikutinya.

Selain itu, narasumber pemilih pemula yang terpaksa mengikuti

program pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 tersebut menunjukkan

salah satu alasan manusia ingin melakukan interaksi dalam ilmu psikologi

yaitu identifikasi. Identifikasi dalam psikologi berarti dorongan untuk menjadi

identik atau sama dengan orang lain, baik secara lahiriah maupun batiniah.

Proses identifikasi pertama-tama berlangsung secara tidak sadar dan

selanjutnya irasional. Artinya, identifikasi dilakukan berdasarkan perasaan-

perasaan atau kecenderungan dirinya yang tidak diperhitungkan secara

rasional dimana identifikasi akan berguna untuk melengkapi sistem norma,

cita-cita, dan pedoman bagi yang bersangkutan (Hudaniah, 2003: 130).

Namun, berdasarkan hasil wawancara terhadap semua narasumber

yang ada, mayoritas dari mereka sepakat bahwa program pemilu legislatif

2009 ini bermanfaat bagi mereka, dan mereka bersepakat untuk mengikuti

kembali program pendidikan pemilih pada pemilu mendatang apabila diberi

kesempatan. Hal ini sesuai dengan pertukaran sosial dan reinforcement-affect

theory yang menekankan aspek kemampuan (ability) ketika orang ingin

melakukan interaksi lebih. Teori ini mengemukakan bahwa seseorang akan

Page 131: ISI SKRIPSI

131

memberi ganjaran atau konsekuensi positif kepada hal-hal yang memberi

keuntungan atau manfaat bagi mereka. Teori ini mengasumsikan bahwa

stimuli diklasifikasikan sebagai reward (imbalan) dan punishment (hukuman).

Dimana rewarding stimuli memberikan efek positif, sedangkan punishment

stimuli memberikan efek negatif. Evaluasi seseorang tentang objek atau

orang lain didasarkan pada derajat afek positif atau negatif yang dialaminya

dan stimulus netral diasosiasikan dengan afek itu sehingga akan menghasilkan

afek yang sama. Dengan demikian, subjek menjadi suka terhadap objek yang

diasosiasikan (dihubungkan) dengan pengalaman yang baik dan tidak suka

pada objek yang diasosiasikan dengan pengalaman buruk (Hudaniah, 2003:

137).

Teori tersebut menjelaskan bahwa „subjek‟ yaitu para narasumber

yang telah mengikuti program pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009,

merasa bahwa „objek‟ yaitu KPU Kabupaten Blora dan program pendidikan

pemilih pemilu legislatif 2009 yang mereka ikuti membawa dampak yang

positif bagi diri mereka. Terbukti dengan keinginan mereka yang ingin

mengikuti/berpartisipasi dalam program pendidikan pemilih lagi pada pemilu-

pemilu selanjutnya.

Ketertarikan diukur dalam tiga tingkatan yaitu kecil (rendah), sedang

(biasa), dan tinggi (sangat tertarik). Ketika seseorang tertarik dengan sesuatu

hal, sangat wajar kalau mereka ingin kembali mengulangi hal tersebut lagi,

tanpa ada rasa bosan.

b) Evaluasi Berdasarkan Isi Pesan (Message Content)

Evaluasi ini terkait dengan penyajian pesan dan penyampaiannya

dalam suatu program (Smith, 2005: 250).

Menurut hasil wawancara dengan berbagai narasumber, mayoritas dari

mereka merasa telah memahami isi pesan yang disampaikan oleh KPU

Page 132: ISI SKRIPSI

132

Kabupaten Blora, dalam program pendidikan pemilih 2009 tersebut karena

pesan mudah dipahami.

Kotler dalam bukunya „Marketing Management, an Asia Perspective‟

(1996) mengemukakan bahwa ada tiga proses ketika seseorang

mempersepsikan sesuatu:

(1) Selective attention, yaitu dimana seseorang akan mempersepsikan sesuatu

berdasarkan pada perhatiannya. Hal ini dapat terjadi mengingat banyaknya

informasi yang diterima pada saat bersamaan. Dalam satu hari, rata-rata

seseorang dapat menerima 1.500 informasi. Untuk itulah komunikator

program harus membuat informasi semenarik mungkin agar sering

diingat.

(2) Selective distortion, yaitu kecenderungan seseorang untuk memilah-milah

informasi berdasarkan kepentingan pribadinya, dan menerjemahkan

informasi berdasarkan pola pikir sebelumnya yang berkaitan dengan

informasi tersebut.

(3) Selective retention, dimana seseorang akan mudah mengingat informasi

yang dilakukan secara berulang-ulang.

Para narasumber lebih banyak mengkritisi tentang cara penyampaian

pesan program tersebut. banyak dari mereka yang bilang program tersebut

cenderung monoton, sehingga banyak dari mereka yang merasa bosan dan

banyak dari mereka yang menyarankan untuk menambahkan berbagai dialog

interaktif dan berbagai ilustrasi lainnya seperti games, kuis, dan lain

sebagainya agar para narasumber merasa tertarik dan tidak cepat melupakan

isi sesungguhnya dari pesan program pendidikan pemilih pemilu legislatif

2009 yang mereka ikuti.

Pesan yang disampaikan jika itu sesuai dengan pandangan atau nilai-

nilai dari audiens akan cenderung lebih diterima. Namun adanya kesenjangan

antara isi pesan yang disampaikan dengan pendapat audiens dapat pula

menimbulkan perubahan sikap. Hal ini sesuai dengan teori dissonansi

Page 133: ISI SKRIPSI

133

kognitif, bahwa semakin besar kesenjangan, semakin besar tekanan potensial

untuk berubah. Meskipun demikian, tekanan yang semakin kuat dengan

semakin besarnya kesenjangan, tidak selalu menghasilkan lebih banyak

perubahan. Ada dua faktor yang menyulitkan: (1) Sejalan dengan semakin

besarnya kesenjangan, komunikan atau audiens menemukan kesulitan yang

semakin besar untuk merubah sikap mereka guna menghilangkan

kesenjangan; (2) Kesenjangan terlalu besar juga cenderung menyebabkan

individu meragukan kredibilitas sumber. Sehingga pada tingkat kesenjangan

yang tinggi, tekanan cenderung menurun, yang biasanya disebabkan oleh

adanya penghinaan terhadap sumber dan bukannya karena perubahan sikap.

Dengan kata lain, penghinaan terhadap sumber merupakan mekanisme

pemulihan konsistensi yang lebih umum dipilih daripada perubahan sikap.

Namun kredibilitas yang semakin tinggi akan memperbesar

kemungkinan keberhasilan komunikator untuk mengemukakan pandangan

yang lebih senjang, karena mereka tidak akan mudah ditolak. Hasil penelitian

selanjutnya menemukan bahwa ternyata lebih banyak perubahan pada tingkat

kesenjangan menengah dibandingkan pada tingkat kesenjangan yang lebih

tinggi. Tingkat kesenjangan optimal untuk sumber dengan kredibilitas tinggi.

Misalnya hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber dengan kredibilitas

tinggi hanya dapat menurunkan sikap subjek pada tingkat terbaik dari rata-rata

delapan jam setiap malam sampai sekitar enam jam setiap malam. Jadi tingkat

kredibilitas tidak mengubah dasar hubungan terbalik antara kesenjangan dan

perubahan sikap (Sears, dkk. 1999).

Walaupun ada keyakinan bahwa „makna bukan terletak pada kata,

tetapi pada orang‟, karakteristik pesan tetap harus dipertimbangkan sebagai

faktor penting dalam mempengaruhi penerimaan khalayak terhadap suatu

gagasan. Ada berbagai teori yang dapat digunakan untuk meningkatkan

keefektifan komunikasi dengan mempertimbangkan berbagai pesan yang akan

ditampilkan. Jika berbicara variabel pesan dalam komunikasi, maka ada

Page 134: ISI SKRIPSI

134

beberapa bagian dari variabel pesan yang cukup penting untuk mendapat

perhatian. Beberapa diantaranya adalah faktor gaya pesan (content style),

imbauan pesan (message appeals) yang biasanya berupa imbauan rasional dan

semosional (ethos, pathos, dan logos), pengulangan pesan (message

repetition), kesimpulan dalam pesan (implisit dan eksplisit), pengorganisasian

pesan (Wilcox, Ault, Agee, 1995: 270).

c) Evaluasi Berdasarkan Pengingatan pesan (Message Recall)

Digunakan untuk mengukur seberapa besar khalayak memerhatikan

program komunikasi yang diikutinya. Kebanyakan program berusaha

mengkomunikasikan informasi untuk menaikkan pengetahuan, kesadaran, dan

pemahaman di kalangan khalayak sasaran. Peningkatan pengetahuan

seringkali penting untuk meningkatkan minat atau motivasi, yang berujung

pada tindakan. Kunci untuk mengevaluasi apa yang dipelajari seseorang

dalam suatu program adalah dengan mengetahui seberapa besar pengetahuan,

kesadaran, dan pemahaman mereka setelah program berlangsung (Patton,

2009: 49). Untuk mengukur seberapa pemahaman narasumber terhadap

program pendidikan pemilih pemilu 2009, Peneliti menggunakan beberapa

pertanyaan seperti: Apa yang mereka ketahui tentang pemilu dan seberapa

penting pemilu bagi warga negara Indonesia? Adakah perbedaan sistem

pemilu 2009 dengan pemilu sebelumnya tahun 2004, lebih mudah atau

sulitkah? Bagaimana cara mencontreng yang benar dan sah? Apakah mereka

mengetahui pendidikan pemilih? Kemudian setelah mengikuti sosialisasi, hal

apa saja yang mereka pahami dari pesan kegiatan pendidikan pemilih

tersebut?.

Sebuah penelitian dasar diambil dari Laporan Readership iklan. Studi

ini menunjukkan tiga tingkat pembaca. Setelah itu, pemahaman mereka

terhadap pesan dikelompokkan dalam beberapa tingkatan, yaitu “read most

readers”, khalayak yang paling memahami isi pesan dari program, dan sudah

Page 135: ISI SKRIPSI

135

menentukan sikapnya. Sedangkan “assosiated readers” merupakan khalayak

yang memahami pesan, akan tetapi hanya bisa menentukan pendapat, namun

belum bisa bersikap. Sedangkan “noted readers”, merupakan khalayak yang

hanya memahami isi pesan, dan belum berpendapat (Smith, 2005: 250).

Dari berbagai wawancara yang ada, dapat digolongkan bahwa pemilih

pemula cenderung termasuk golongan noted readers, yaitu khalayak yang

hanya memahami isi pesan, dan belum bisa berpendapat. Mereka hanya dapat

menjawab berbagai pertanyaan ringan dengan benar seperti definisi pemilu,

dan seberapa penting pemilu bagi mereka, namun belum bisa menjawab

pertanyaan lebih lanjut mengenai pendidikan pemilih dan sistem pemilu.

Mereka beralasan, keterbatasan yang mereka miliki tersebut karena mereka

belum pernah berpartisipasi dalam pemilu sebelumnya.

Sedangkan narasumber lain dari kalangan PKK, pegawai, guru, maupun

petani, mayoritas dari mereka dapat digolongkan sebagai read most readers,

yaitu khalayak yang paling memahami isi pesan dari program, dan sudah

menentukan sikapnya. Hal ini terbukti dari kecakapan mereka dalam

menjawab berbagai pertanyaan seputar isu-isu pemilu yang digulirkan oleh

peneliti, dan bahkan banyak diantara mereka yang mengembangkan

jawabannya dengan merambah isu-isu lain yang masuk ke dalam ranah

politik. Hal ini mungkin disebabkan karena narasumber tersebut sudah pernah

beberapa kali berpartisipasi dalam pemilu, dan banyak dari mereka yang aktif

menanggapi berbagai isu politik seputar pemilu legislatif 2009, baik melalui

media massa maupun percakapan dengan masyarakat sekitarnya.

Mayoritas dari narasumber menjawab bahwa yang mereka ingat dari

pesan kegiatan pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 yang mereka ikuti

adalah cara mencontreng yang benar dan sah. Padahal, bukan hanya hal itu

saja yang disampaikan oleh KPU Kabupaten Blora. Pada contoh lembar

presentasi sosialisasi yang mereka miliki, KPU Kabupaten Blora berusaha

menyematkan berbagai pesan selain cara mencontreng yang benar dan sah,

Page 136: ISI SKRIPSI

136

diantaranya berbagai regulasi mengenai pemilu, larangan berkampanye, dan

sistem-sistem pemilu yang berlaku pada pemilu legislatif 2009, termasuk

ajakan untuk ikut berpartisipasi dalam pemilu legislatif 2009.

Teori Penggunaan dan Pemenuhan Kebutuhan (Uses and Gratification

Theory) adalah salah satu teori komunikasi dimana titik-berat penelitian

dilakukan pada pemirsa sebagai penentu pemilihan pesan dan media. Pemirsa

dilihat sebagai individu aktif dan memiliki tujuan, mereka bertanggung jawab

dalam pemilihan media yang akan mereka gunakan untuk memenuhi

kebutuhan mereka dan individu ini tahu kebutuhan mereka dan bagaimana

memenuhinya. Media dianggap hanya menjadi salah satu cara pemenuhan

kebutuhan dan individu bisa jadi menggunakan media untuk memenuhi

kebutuhan mereka, atau tidak menggunakan media dan memilih cara lain.

Teori Penggunaan dan Pemenuhan Kebutuhan menggunakan

pendekatan dengan fokus “mengapa sekelompok orang memilih untuk

menggunakan media tertentu dibandingkan kandungan isi yang ditawarkan”.

Pendekatan ini secara kontras membandingkan efek dari media dan bukan

„apa yang media lakukan pada pemirsanya‟ (yang menitik beratkan kepada

kehomogenan pemirsa dalam komunikasi masa dan melihat media sebagai

jarum hipodermik). Teori Penggunaan dan Pemenuhan Kepuasan dapat dilihat

sebagai kecenderungan yang lebih luas oleh peneliti media yang membuka

ruang untuk umpan balik dan penerjemahan prilaku yang lebih beragam

(McQuail, 1987).

Uses and gratification theory menjelaskan bahwa audiens dalam

pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 KPU Kabupaten Blora, mempunyai

peranan untuk memilah-milah informasi/pesan berdasarkan kebutuhan

mereka, atau pesan yang lebih membuat mereka menarik. Maka dari itu,

pesan-pesan tersebut mudah diingat mereka, dan memberikan dampak yang

lebih dalam bagi mereka.

Page 137: ISI SKRIPSI

137

Peneliti menggunakan teori psikologi sosial untuk menelaah

kemampuan narasumber penerima pesan pendidikan pemilih pemilu legislatif

2009 dalam mengingat dan menafsirkan pesan. Teori psikologi sosial

mengkonsentrasikan diri pada hal-hal yang mempengaruhi kebiasaan kita

dalam berinteraksi. Dua tema besar yang dimunculkan dalam tradisi ini pada

literatur. Literatur yang pertama berfokus pada kondisi di mana suatu individu

mengatur ketidaktahuan atau ketidakpastiannya pada orang lain yang terdiri

atas bagaimana ia mendapatkan informasi tentang orang lain, bagaimana

ketidakpastian dan kecemasan berhubungan antara satu dengan yang lain, dan

bagaimana ketidakpastian mengurangi proses hal-hal yang berhubungan

dengan kebudayaan. Tema yang kedua adalah kelaziman pada psikologi sosial

bekerja pada pembahasan yang melibatkan pengorganisasian, koordinasi dan

hal-hal yang berhubungan dengan kebiasaan dalam berinteraksi.

Charles berger dan William Gudykunst menjelaskan bahwa pada bagian

ini merupakan garis penyambung individu dalam hal mendapatkan informasi

tentang orang lain, kenapa individu melakukan hal tersebut, dan hasil apa

yang akan kita dapatkan ketika melakukan hal tersebut. Dengan kata lain pada

teori ini berfokus pada cara manusia untuk memonitoring lingkungannya dan

untuk mengetahui lebih jauh tentang dirinya dan orang lain melalui interaksi.

Teori berger ini disebut sebagai Uncertainty Reduction Theory (URT) (teori

untuk mengurangi ketidak pastian) dan yang kedua dirumuskan oleh

Gudykunst kawan kerja Berger yaitu Anxiety Uncertainty management

(AUM) (teori manajemen kecemasan dan ketidak-pastian). URT teori ini lebih

banyak membahas tentang proses dasar mengenai bagaimana individu

menambah pengetahuan tentang orang lain ketika mereka bertemu dengan

orang asing, kita mungkin memiliki keinginan yang kuat untuk mengurangi

ketidaktahuan kita tentang orang tersebut, seperti pada situasi di mana kita

cenderung tidak tahu tentang kemampuan yang dimiliki orang lain dalam

mengkomunikasikan target-targetnya , rencananya, bagaimana dia merasakan

Page 138: ISI SKRIPSI

138

saat-saat itu, dan apa yang digemarinya. Berger memberi Tips tentang

bagaimana cara mendapatkan informasi dari orang lain. Dengan beberapa

strategi di antaranya yaitu: Passive Strategies (Strategi Pasif) adalah

pengamatan di area mana suatu kebutuhan dari pengamat untuk melakukan

sesuatu dalam rangka mendapatkan informasi. Interactive strategy

menisbahkan secara langsung proses komunikasi kepada orang lain. Passive

strategy yang pertama mengenal adanya reactivity searching di sini individu

telah melakukan pengamatan dan benar-benar melakukan sesuatu reaksi pada

suatu situasi yang sama. Kemudian ada yang dikenal sebagai Disinhibition

Searching ini adalah passive strategy yang lain di mana orang melakukan

pengamatan pada situasi informal di mana mereka kurang dapat melakukan

self monitoring dan bersikap alami atau tidak dibuat-buat. Sedangkan

interaktif strategi itu sendiri adalah hal yang memuat pemeriksaan dan

pembukaan diri. Yang penting dari strategi ini adalah bagi seseorang adalah

bisa menambahkan informasi karena jika seseorang membuka sesuatu dari

dirinya maka orang lain juga akan membuka dirinya juga (Littlejohn, 1996).

Teori di atas, merepresentasikan gambaran audiens pada pendidikan

pemilih pemilu legislatif 2009 dalam mengolah informasi mereka yang penuh

ketidakpastian. Masing-masing individu mempersepsi pesan secara berbeda,

sesuai dengan kepentingan mereka, frame of reference dan field of experience

mereka. Maka hasil yang diharapkan oleh KPU Kabupaten Blora kepada

audiens untuk memahami program pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009,

memiliki penafsiran yang berbeda-beda pula.

3. Evaluations of Actions Objectives melalui Audience Partisipations

Evaluasi ini digunakan untuk mengukur jumlah kehadiran khalayak

sasaran yang ditentukan dari jumlah peserta yang hadir pada setiap program

komunikasi, dan jumlah pemilih yang ikut berpartisipasi dalam pemilu

legislatif 2009. Hasil digunakan untuk mengukur apakah kelompok sasaran

Page 139: ISI SKRIPSI

139

benar-benar menerima pesan yang ditujukan pada mereka, memberi perhatian

kepada mereka, memahami pesan, dan menyimpan pesan dalam bentuk

apapun. Hasil juga mengukur apakah bahan-bahan komunikasi dan

penyebaran pesan telah mengakibatkan pendapat, sikap dan/atau perubahan

perilaku pada bagian dari target audiens kepada siapa pesan itu ditujukan. Jadi

teori ini digunakan untuk mengetahui berapa banyak orang yang mengubah

sikapnya setelah mengikuti kegiatan program pendidikan pemilih pemilu

legislatif 2009. (Smith, 2005: 252).

Menurut Kelman (dalam Brigham, 1991), secara umum ada tiga

proses global membentuk atau mengubah sikap melalui komunikasi persuasif:

a. Compliance terjadi ketika orang menerima pengaruh (dari orang lain

atau suatu kelompok) karena mengaharapkan suatu reaksi yang positif

atau menguntungkan dari seseorang atau kelompok yang berkuasa atau

memiliki pengaruh. Tindakan itu akan diperlihatkan hanya ketika

diawasi oleh orang yang berkuasa (powerful agent). Orang yang

merubah perilaku mereka, tetapi tidak sampai pada sikap pribadinya.

b. Identifikasi terjadi ketika seseorang menerima pengaruh untuk

mempertahankan suatu hubungan yang memuaskan definisi diri dengan

orang lain atau kelompok. Disini orang benar-benar percaya dengan

sikap yang baru itu, tapi isinya mungkin sedikit relevan atau lebih tidak

relevan, mungkin akan ada tambahan suatu cara mengidentifikasi diri

dengan seseorang atau kelompok yang diinginkan.

c. Internalisasi terjadi ketika seseorang menerima pengaruh karena prilaku

yang dibujuk secara intrinsik mendapat ganjaran (misal merasa benar)

dan sesuai dengan sistem nilai yang dimilikinya. Disini seseorang akan

mendukung agen yang melakukan persuasif tanpa perlu adanya

pengawasan. Pada umumnya terjadinya proses perubahan sikap sampai

internalisasi menjadi tujuan yang diharapkan dari sumber atau perilaku

persuasif.

Page 140: ISI SKRIPSI

140

Sementara Carl Hovland, dkk. (dalam Brigham, 1991)

menggambarkan perubahan sikap dengan memfokuskan kepada langkah-

langkah yang dilalui orang ketika mereka dipersuasi: pertama, perhatian

(attention) yaitu merujuk pada derajat dimana seseorang menyadari

(memperhatikan) pesan. Suatu perubahan sikap tidak akan efektif jika audiens

tidak menaruh perhatian kepada pesan yang disampaikan sumber komunikasi

(komunikator). Jika audiens sudah memperhatikan pesan, maka menuju pada

langkah berikutnya yaitu mereka mengerti dan memahaminya (comprehend).

Kemudian langkah berikutnya adalah penerimaan atau (acceptance) terhadap

pesan. Jika menerima pesan membimbing pada penerimaan sosial atau

persetujuan atau merasa bahwa nilai-nilai seseorang secara jelas

diekspresikan, atau akan membantu seseorang dalam memperhatikan diri

(ego-defense) maka penerimaan pesan lebih mungkin terjadi. Faktor keempat

adalah penyimpanan (retention) yaitu mengingat dan bertindak sesuai dengan

pesan jika pesan yang merubah sikap segera dilupakan sesudah dipersepsi,

maka menghasilkan perubahan sikap atau perilaku sedikitnya permanensinya.

Berdasar alasan itulah, mengapa advertisers dan para politikus (komunikator)

melakukan cara mengulang-ulang atau menggunakan ungkapan atau susunan

kata-kata dalam cara yang membuat tidak mudah untuk dilupakan atau

bertahan lama dalam ingatan audiens.

Sendjaja (2002: 9-11) mengemukakan mengenai teori komunikasi

interpretasi yang berusaha untuk menjelaskan makna dari tindakan. Karena

suatu tindakan tidak dapat memiliki banyak arti, maka makna tidak dapat

diungkap begitu saja. Interpretasi secara harafiah merupakan proses aktif dan

inversi. Kemajuan komunikasi dan visualisasi media informasi menyebabkan

penggunaan simbol-simbol sosial dan budaya modern tidak bisa dihindari.

Bahasa komunikasi berkembang dengan sangat pesat dan modern, begitu pula

Page 141: ISI SKRIPSI

141

orang berkomunikasi ikut berubah. Dari konteks inilah teori komunikasi

interpretasi berkembang.

Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber yang telah

mengikuti pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 yang dijalankan oleh

KPU Kabupaten Blora, ditemukan bahwa walaupun sudah mengikuti kegiatan

tersebut, beberapa narasumber tidak berpartisipasi dalam pemilu legislatif

2009 karena mereka berpendapat bahwa calon legislatif dalam pemilu tersebut

tidak dapat mewakili aspirasi mereka. Namun, banyak juga dari narasumber

yang berpartisipasi dalam pemilu legislatif 2009 ini, dan sudah bisa memilih

dengan bijak sesuai dengan keinginan hati mereka. Pemilih pemula mengaku

juga berpartisipasi dalam pemilu legislatif 2009 tersebut, akan tetapi mereka

belum bisa menentukan pilihan mereka dengan bijak, karena mereka hanya

ikut-ikutan saja berpartisipasi. Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa

program pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 yang dijalankan oleh KPU

Kabupaten Blora, belum dapat mempengaruhi pemikiran audiensnya, untuk

berpartisipasi dalam pemilu legislatif 2009 dan menjadi pemilih yang bijak.

Terkait dengan evaluasi jumlah kehadiran peserta pada saat kegiatan

berlangsung, pada bagian sebelumnya, peneliti telah menjelaskan bahwa KPU

Kabupaten Blora selaku penyelenggara pendidikan pemilih pemilu legislatif

2009, tidak mencantumkan daftar hadir peserta setiap acara sosialisasi

berlangsung. Namun berdasarkan hasil wawancara, pihak KPU mengatakan

bahwa sekitar 80% peserta hadir di setiap sosialisasi yang mereka

selenggarakan.

Kasali dalam bukunya „Manajemen Public Relations, Konsep dan

Aplikasinya di Indonesia‟ (1994), menjelaskan bahwa untuk mengukur

tercapainya target dan hasil dalam suatu program, dibutuhkan adanya data

berupa dokumentasi dan berbagai catatan lapangan. Karena sumber tersebut

merupakan data yang konkrit dan signifikan yang akan menjelaskan seberapa

besar keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuan dan target program yang

Page 142: ISI SKRIPSI

142

ingin mereka capai. Jadi, KPU Kabupaten Blora hendaknya memperhatikan

untuk menggunakan catatan lapangan pada program pendidikan pemilih

pemilu selanjutnya, sebagai salah satu indikator untuk menilai efektivitas

keberhasilan program tersebut.

Keberhasilan program pendidikan pemilih pemilu 2009 ini dapat

dilihat dari berapa banyak partisipasi masyarakat yang ikut dalam pemilu

legislatif 2009, dibandingkan dengan pemilu sebelumnya. Berikut merupakan

tabel dan grafik mengenai partisipasi masyarakat dalam pemilu legislatif di

Kabupaten Blora yang peneliti dapat dari data KPU Kabupaten Blora.

Tabel 4

Perbandingan Partisipasi Masyarakat dalam Pemilu Legislatif 2004

dengan Pemilu Legislatif 2009

Hal Pileg 2004 Pileg 2009 Keterangan

Jumlah DPT 598.251 pemilih 697.350 Pemilih Meningkat ±20%

dari tahun

sebelumnya

Jumlah yang

menggunakan hak

pilihnya

493.022 Pemilih

(±82% menggunakan

hak pilihnya)

518.997 Pemilih

(±75% menggunakan

hak pilih)

Menurun 7% dari

pemilu sebelumnya

Jumlah yang tidak

menggunakan hak

pilihnya

105.229 Pemilih

(±18% tidak

menggunakan hak

pilihnya)

178.353 Pemilih

(±25% tidak

menggunakan hak

pilih)

Meningkat 7% dari

pemilu sebelumnya

Jumlah suara tidak

sah

118.286 Pemilih

(±23%)

122.614 Pemilih

(±23%)

Sama dengan tahun

sebelumnya

Sumber: Laporan Penyelenggaraan Pemilu 2204 dan 2009 KPU Kabupaten Blora

Page 143: ISI SKRIPSI

143

Grafik 1

Perbandingan Partisipasi Masyarakat dalam Pemilu Legislatif 2004

dengan Pemilu Legislatif 2009

Sumber: Laporan Penyelenggaraan Pemilu 2004 dan 2009 KPU Kabupaten Blora

Menurut data di atas, jelas terlihat bahwa jumlah partisipasi

masyarakat menurun secara signifikan dalam pemilu legislatif 2009 kemarin,

dengan jumlah suara tidak sah hampir sama dengan pemilu sebelumnya.

Padahal pemilu legislatif 2009 kemarin mengalami jumlah peningkatan DPT

sebanyak 20%, kesempatan ini seharusnya digunakan oleh KPU Kabupaten

Blora untuk lebih memacu kinerja mereka dalam program pendidikan pemilih

pemilu 2009 kemarin. Sehingga target awal dari program pendidikan pemilih

pemilu 2009 KPU Kabupaten Blora yaitu kesadaran masyarakat Blora untuk

berpartisipasi menggunakan hak pilihnya pada pemilu legislatif 2009, dapat

dikatakan belum berhasil.

0

1

2

3

4

5

6

7

8

Pileg 2004 Pileg 2009

Jumlah DPT

Jumlah yang tdk menggunakan hak pilih

Jumlah Suara Tdk Sah

Page 144: ISI SKRIPSI

144

C. Implikasi Penelitian

1. Implikasi Teoritis

Implikasi teoritis merupakan implikasi yang berhubungan dengan

konstribusi penelitian bagi teori-teori yang ada. Penelitian ini menguatkan

teori pengolahan informasi yang dikemukakan oleh Charles Berger dan

William Gudykunst, mengenai Uncertainty Reduction Theory (URT) (teori

untuk mengurangi ketidak pastian) dan yang kedua dirumuskan oleh

Gudykunst kawan kerja Berger yaitu Anxiety Uncertainty management

(AUM) (teori manajemen kecemasan dan ketidak-pastian) (Littlejohn, 1996).

Teori tersebut direpresentasikan melalui gambaran audiens pada pendidikan

pemilih pemilu legislatif 2009 dalam mengolah informasi mereka yang penuh

ketidakpastian. Masing-masing individu mempersepsi pesan secara berbeda,

sesuai dengan kepentingan mereka, frame of reference dan field of experience

mereka. Maka hasil yang diharapkan oleh KPU Kabupaten Blora kepada

audiens untuk memahami program pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009,

memiliki penafsiran yang berbeda-beda pula.

2. Implikasi Terhadap Kajian Public Relations

Menurut kajian public relations, penelitian ini memberikan banyak

penjelasan mengenai peran public relations pemerintah yang berfungsi

sebagai jembatan komunikasi antara pemerintah dengan publiknya. Secara

mendasar, hubungan pemerintah dengan publiknya merupakan hubungan

pertanggung-jawaban, dalam hal ini KPU Kabupaten Blora sebagai wakil

pemerintah untuk menyelenggarakan pemilu legislatif 2009 di Kabupaten

Blora, yang bertanggungjawab untuk mengadakan program mendidik para

calon pemilih, agar nantinya bisa ikut berpartisipasi dalam pemilu dan

melakukan pemilihan umum dengan bijak.

Page 145: ISI SKRIPSI

145

Selain itu, penelitian ini juga menguatkan pentingnya suatu rencana

program/konsep perencanaan komunikasi yang merepresentasikan mengenai

apa saja yang harus dilakukan oleh organisasi dalam suatu program untuk

mendapatkan hasil yang diharapkan (Cutlip, dkk, 2006: 364).

3. Implikasi Praktis

Implikasi praktis berhubungan dengan konstribusi temuan penelitian

terhadap penguatan pelaksanaan program pendidikan pemilih pada Kabupaten

Blora dalam pemilu-pemilu selanjutnya. Penelitian ini memberi saran dan

pertimbangan kepada KPU Kabupaten Blora untuk membenahi kekurangan

ataupun kendala mereka dalam program pendidikan pemilih yang akan

mereka laksanakan selanjutnya, supaya lebih baik lagi dan dapat mencapai

hasil yang maksimal.

Page 146: ISI SKRIPSI

146

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berikut merupakan kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian

„Program Komunikasi Pendidikan Pemilih KPU Kabupaten Blora pada Pemilu

Legislatif 2009”:

1. Program Komunikasi Pendidikan Pemilih Legislatif 2009 KPU Kabupaten

Blora

a. Pada dasarnya program komunikasi pendidikan pemilih pemilu legislatif

2009 yang dijalankan oleh KPU Kabupaten Blora bersifat persuasif, yaitu

membujuk khalayak sasaran untuk ikut berpartisipasi dalam memeriahkan

pesta demokrasi Indonesia. Selain itu, program tersebut juga bersifat

edukatif, yaitu KPU Kabupaten Blora berupaya untuk mengubah perilaku,

sikap bertindak, tanggapan, atau persepsi, hingga membentuk opini positif

khalayak sasaran mengenai pemilu legislatif 2009.

b. Program komunikasi pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 di

Kabupaten Blora dijalankan melalui tiga bentuk program, yaitu

komunikasi secara langsung (tatap muka), media relations, serta

mobilisasi komunikasi melalui pawai serta kampanye.

c. Program pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 tersebut tidak dibuat

berdasarkan perencanaan komunikasi. Hal ini terbukti karena program

komunikasi tersebut tidak memenuhi kriteria seperti tujuan dan target

program pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 yang sudah

dikemukakan oleh KPU Kabupaten Blora belum memenuhi syarat sebagai

objective dan outcome yang baik karena tidak memenuhi kriteria, juga

tidak adanya kegiatan evaluasi yang dilakukan oleh KPU Kabupaten Blora

untuk mengukur keberhasilan program tersebut.

Page 147: ISI SKRIPSI

147

2. Evaluasi Dampak Pesan Program Pendidikan Pemilih KPU Kabupaten Blora

a. Dari segi jumlah media taktik serta distribusinya (output evaluations),

KPU Kabupaten Blora kurang memaksimalkan fungsi media pembantu

seperti brosur, flyer, atau pamflet sehingga masih banyak masyarakat yang

kurang mendapatkan media pembantu tersebut. Padahal, fungsi media

pembantu tersebut sangat penting karena sebagai sumber informasi

sekunder pemilu legislatif 2009.

b. Berdasarkan evaluations of awareness objectives diperoleh beberapa

kesimpulan di antaranya:

i. Berdasarkan message exposure/ketertarikan audiens terhadap program,

mayoritas dari narasumber mengatakan program ini cukup menarik dan

bermanfaat bagi mereka, dan mereka bersepakat untuk mengikuti

kembali program pendidikan pemilih pada pemilu mendatang apabila

diberi kesempatan.

ii. Berdasarkan isi pesan (message content), para narasumber penerima

pesan lebih banyak mengkritisi tentang cara penyampaian pesan

program tersebut. Banyak dari mereka merasa program tersebut

cenderung monoton sehingga mereka merasa bosan dan menyarankan

untuk menambahkan berbagai dialog interaktif serta berbagai ilustrasi

lainnya seperti games, kuis, dan lain sebagainya agar para narasumber

merasa tertarik dan tidak cepat melupakan isi sesungguhnya dari pesan

program pendidikan pemilih pemilu legislatif 2009 yang mereka ikuti.

iii. Dari segi pengingatan pesan (Message Recall), program ini dapat

menambah dan meningkatkan ilmu, wawasan, serta manfaat mengenai

pengetahuan pemilihan umum pada individu-individu yang telah

mengikuti program tersebut, khususnya bagi para pemilih pemula.

Page 148: ISI SKRIPSI

148

c. Berdasarkan evaluations of actions objectives melalui audiences

participations, secara persuasif program pendidikan pemilih pemilu

legislatif 2009 tidak membawa pengaruh/dampak yang besar bagi

masyarakat Blora terhadap kesadaran mereka untuk berpartisipasi dalam

pemilihan umum legislatif 2009. Hal ini terlihat dari sedikitnya jumlah

partisipasi masyarakat dalam pemilu legislatif 2009 dibandingkan dengan

pemilu sebelumnya tahun 2004 yaitu menurun sebanyak 7%, juga sikap

beberapa narasumber penelitian yang telah menerima pesan pendidikan

pemilih pemilu legislatif 2009 yang tetap tidak mengikuti pemilu legislatif

2009, walaupun telah berpartisipasi dalam pendidikan pemilih pemilu

legislatif 2009 yang dijalankan oleh KPU Kabupaten Blora.

d. Kurang berhasilnya program komunikasi pendidikan pemilih KPU Blora

tersebut dalam membujuk sikap masyarakat untuk ikut serta menggunakan

hak pilihnya secara baik dan benar pada pemilu legislatif 2009 disebabkan

oleh faktor diantaranya: Pengemasan program yang terlalu membosankan

dan monoton sehingga cepat dilupakan oleh audiensnya; Kesalahan dalam

melakukan distribusi media pembantu; Serta sikap apatis masyarakat

terhadap para calon legislatif pemilu.

B. Saran

1. Saran Terhadap KPU Kabupaten Blora

Dalam penelitian ini, peneliti ingin memberikan saran yang sekiranya

bermanfaat bagi KPU Kabupaten Blora, khususnya Divisi Sosialisasi dan

Kajian Pemilu, yang khusus bertugas untuk mengadakan program pendidikan

pemilih bagi para calon pemilih pada pemilu selanjutnya, diantaranya:

a. KPU Kabupaten Blora perlu meningkatkan kapabilitas dan

kreativitasnya dalam membuat program pendidikan pemilih kepada

publik agar terlihat menarik, gampang diingat, dan tidak membosankan.

Page 149: ISI SKRIPSI

149

b. Hendaknya KPU Kabupaten Blora membuat semacam perencanaan

komunikasi yang ada, agar diharapkan program pendidikan pemilih

lebih tertata dengan baik sehingga hasilnya sesuai dengan yang

diharapkan.

c. KPU Kabupaten Blora diharapkan selalu mengadakan evaluasi terhadap

kinerja program yang telah dilaksanakan, untuk mengukur seberapa

besar keberhasilan program tersebut.

d. Selalu mendokumentasikan segala sesuatu yang berhubungan dengan

pelaksanaan program seperti foto dan daftar presensi kehadiran, untuk

dapat digunakan sebagai bahan pengukur evaluasi keberhasilan program.

e. Lebih banyak melakukan publikasi melalui pariwara dan dialog

interaktif kepada masyarakat, daripada beriklan di media massa. Karena

efek publikasi seperti ini dipercaya dapat lebih „mengena‟ di

masyarakat. Selain itu KPU Kabupaten Blora diharapkan lebih

memperbanyak jumlah media pembantu seperti flyer, brosur, dan

pamflet, sebagai sumber informasi pemilu sekunder.

2. Saran Terhadap Masyarakat

Peneliti ingin memberikan saran terhadap masyarakat umum yang

belum maupun akan mengikuti program pendidikan pemilih, agar kegiatan

yang diikutinya tersebut dapat bermanfaat baginya kelak. Antara lain:

a. Bersikap aktif terhadap isu-isu seputar pemilihan umum dan politik

lainnya, karena sebagai warga negara Indonesia dituntut untuk turut aktif

terhadap segala hal yang berhubungan dengan pemerintahan.

b. Apabila akan mengikuti sosialisasi pemilu, audiens diharapkan lebih

memperhatikan program pendidikan pemilih tersebut sewaktu acara

berlangsung dan tidak melakukan keributan demi suksesnya acara.

Page 150: ISI SKRIPSI

150

c. Audiens dalam sosialisasi pemilu diharapkan selalu aktif bertanya

mengenai masalah seputar pemilu yang tidak diketahuinya dengan

komunikator.

d. Berusahalah menjadi pemilih yang bijak, independen, dan jujur, serta

tidak terpengaruh dengan money politic.

C. Keterbatasan Penelitian

Peneliti memiliki banyak keterbatasan yang menjadi kendala terhadap

kurang maksimalnya hasil penelitian. Karena penelitian ini dilaksanakan sesudah

program berlangsung, peneliti kurang mendapatkan data yang valid melalui

proses observasi untuk lebih menguatkan hasil penelitian. Selain itu, narasumber

penelitian penyampai maupun penerima pesan program pendidikan pemilih

pemilu legislatif 2009, sudah mulai lupa terhadap program yang mereka ikuti

karena kendala waktu yang sudah berlangsung lama, yaitu hampir 6 bulan setelah

program berlangsung. Untuk itu, diharapkan kepada peneliti selanjutnya yang

akan meneliti mengenai program pendidikan pemilih, untuk melakukan penelitian

ini pada saat program masih berlangsung agar mendapatkan hasil yang maksimal.

Page 151: ISI SKRIPSI

151

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Almond, Gabriel., And G. Bingham Powell. 1976. Comparative Politics: A

Developmental Approach. New Delhi: Oxford & IBH Publishing Company.

Amirudin, Ibramsyah. 2008. Kedudukan KPU dalam Struktur Kenegaraan Republik

Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945. Yogyakarta: Laksbang Mediatama.

Brigham, J.C. 1991. Social Psycology. New York: Harpet Collins Publishers.

Broom, G.M. & Dozier, D. M. 1990. Using Research in Public Relations:

Application to Program Management. New Jersey: Prentice Hall.

Bungin, Burhan. 2006. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus

Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana.

Cutlip, Scott.M,ET AL. 2006. Effective Public Relations. Jakarta: Kencana.

Danim, Sudarwan. 2002. Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: Pustaka Setia.

Effendy, Onong Uchjana. 2004. Dinamika Komunikasi. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya.

_______________, 2000. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: Citra

Aditya Bakti.

Ekowati, Mas Roro Lilik, Dr. MS. 2009. Perencanaan, Implementasi dan Evaluasi

Kebijakan Atau Program, Suatu Kajian Teoritis dan Praktis. Surakarta:

Pustaka Cakra.

Ferrell, O.C. and Hartline, Michael. 2005. Marketing Strategy. Thomson South-

Western.

Fleet, Dave. 2007. Strategic Communications Planning. San Fransisco: Creative

Commons Attribution.

Gozali, Dodi M. 2005. Communication Measurement, Konsep dan Aplikasi

Pengukuran Kinerja Public Relations. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Hardjana, Andre. 2000. Audit Komunikasi: Teori dan Praktek. Jakarta: Grasindo.

Page 152: ISI SKRIPSI

152

Hudaniah, Tri Dayakisni. 2003. Psikologi Sosial, Edisi Revisi. Malang: UMM Press.

Hunt, T. & Grunig, J.E. (1994). Public Relations Techniques. Fort Worth: Harcourt

Brace Colleges Publishers.

Idrus, Muhammad. 2007. Metode Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial (Pendekatan Kualitatif

& Kuantitatif). Yogyakarta: UII Press.

Iriantara, Yosal. Dr. 2005. Media Relations Konsep, Pendekatan, dan Praktik.

Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Jalaludin, Rakhmat. 2007. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Kasali, Rhenald. 1994. Manajemen Public Relations, Konsep dan Aplikasinya di

Indonesia. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.

Kotler, Philip, Swee Hoon Ang, Siew Meng Leong, and Ching Tiong Tan. 1996.

Marketing Management, an Asian Perspctives, 2𝑛𝑑 Edition. New Jersey:

Prentice Hall.

KPU Kabupaten Blora. 2009. Laporan Penyelenggaraan Pemilu Anggota DPR,

DPD, DPRD dan Pemilhan Presiden dan Wapres Tahun 2009 di Kabupaten

Blora. Blora.

Liliweri, Alo. 2003. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Littlejohn, S.W. 1996. Theories of human communication 5th ed. Belmont, Ca:

Wadsworth Publishing Company.

McCombs, Maxwell E. and Donald L. Shaw. 1993. The Evolution of Agenda-Setting

Research: Twenty Five Years in The Marketplace of Ideas. Jurnal of

Communication 43, No.2.

McQuail, Denis. 1987. Mass Communication Theory: An Introduction (2nd edn).

London: Sage

Moleong, Lexy J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:Remaja

Rosdakarya.

Page 153: ISI SKRIPSI

153

Muhtadi, Ase Saeful. 2008. Komunikasi Politik Indonesia, Dinamika Islam Politik

Pasca-Orde Baru. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Mulyana, Deddy, M.A., Ph.D. 2005. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung:

PT. Remaja Rosdakarya

Nimmo, Dan. 1993. Komunikasi Politik Komunikator, Pesan, dan Media. Bandung:

PT. Remaja Rosdakarya.

Pabottinggi, Mochtar. 1993. Komunikasi Politik dan Transformasi Ilmu Politik,

Maswadi Rauf dan Mappa Nasrun (eds). Jakarta: Gramedia.

Patton, Michael Quinn. 2006. Metode Evaluasi Kualitatif. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Pemda Blora. 2008. Profil Investasi Kabupaten Blora. Blora.

Prihatmoko, Joko J. 2008. Mendemokratiskan Pemilu Dari Sistem Sampai Elemen

Teknis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Putra, I Gusti Ngurah. 1999. Manajemen Hubungan Masyarakat. Yogyakarta:

Universitas Atma Jaya

Ruslan, Rosady, SH, MM. 2006. Manajemen Public Relations dan Media

Komunikasi, Konsepsi dan Aplikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

_____________. 2007. Kiat dan Strategi Kampanye Public Relations. Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada.

Sears, D.O., Freedman, J.l., & Peplau, L.A. 1999. Psikologi Sosial Jilid I.

Jakarta:Erlanga.

Sendjaja, Sasa Duarsa. 2002. Teori Komunikasi. Jakarta:UT.

Sirozi, M. P.Hd. 2007. Politik Pendidikan, Dinamika Antara Kepentingan Kekuasaan

dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press.

Smith, D. Ronald. 2005. Strategic Planning For Public Relations, Second Edition.

London: Lawrence Erlbaum Associates Publisher.

Supratiknya, Dr. A. 1993. Psikologi Kepribadian 3: Teori-Teori Sifat dan

Behavioristik. Yogyakarta: Kanisius.

Page 154: ISI SKRIPSI

154

Rogers, Everett M. and Floyd Shoemaker. 1983. Communication of Innovations,

Second Edition. London: The Free Press Collier Macmillan Publisher.

Wilcox, D.L., Ault, P. H. & Agee, W. K. 1995. Public Relations: Strategies and

Tactics. Edisi Keempat. New York: Harper Collin College Publishers.

Internet:

Gani, Ahmad Abdul. Pemilu 2009, Pemilih Menyontreng.

http://www.berpolitik.com/static/myposting/2008/02/myposting_10327.html.

(Akses 12 Januari 2009)

KPU. Tugas dan Kewenangan.

http://www.pemilu.kpu.go.id/index/php/option/com/content&taskview32

itemid62.html, (Akses 08 November 2009)

SKB Blora,

http://www.skbblora.com/index.php?option=com_content&task=view&id=&

Itemid=45, (Akses 20 November 2009).

Skripsi:

Prasetyo, Aris Eko. Hubungan Sosialisasi Mekanisme Pemilu Legislatif 2004 Melalui

VCD Terhadap Tingkat Pemahaman Masyarakat Kel. Dlingo, Kec. Dlingo,

Kab. Bantul, Yogyakarta. Skripsi Sarjana, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik

Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Yogyakarta, 2004.

Rahmawati, Ika. Evaluasi Kantor Informasi dan Kehumasan Pemda Klaten Dalam

Rangka Sosialisasi Pilkades. Studi Deskriptif Sosialisasi dan Implementasi

Kebijakan Baru Pilkades yang Dilaksanakan Secara Serentak Pertama di

Kabupaten Klaten. Skripsi Sarjana, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik,

Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Yogyakarta, 2008.