isi referat - copy

60
REFERAT Rheumatic Heart Disease PEMBIMBING : Dr. Magdalena F.S, Sp.A PENYUSUN : Siti Nasirah 030.08.303 KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK RUMAH SAKIT TNI AL DR. MINTOHARDJO 1

Upload: kristina-ferguson

Post on 09-Dec-2015

237 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

nbjhbjksnbjncsjm

TRANSCRIPT

REFERAT

Rheumatic Heart Disease

PEMBIMBING :

Dr. Magdalena F.S, Sp.A

PENYUSUN :

Siti Nasirah

030.08.303

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

RUMAH SAKIT TNI AL DR. MINTOHARDJO

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

PERIODE 10 Agustus 2015 - 16 Oktober 2015

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Demam rematik adalah sindrom klinis akibat infeksi Streptococcus beta-

haemolyticus grup A, dengan gejala satu atau lebih gejala mayor, yaitu poliartritis

migrans akut, karditis, korea minor, nodul subkutan dan eritema marginatum. Penyakit

jantung rematik adalah penyakit jantung didapat berupa cacat katup jantung yang

menetap sebagai gejala sisa (sekuele) dari demam rematik. Demam rematik masih

merupakan penyebab utama penyakit jantung didapat pada anak di atas usia 5 tahun

sampai dewasa muda di negara berkembang dengan keadaan sosio-ekonomi rendah dan

lingkungan yang buruk. Demam rematik dan penyakit jantung rematik masih merupakan

masalah kesehatan masyarakat di beberapa negara berkembang termasuk Indonesia.

Diperkirakan prevalensi penyakit jantung rematik di Indonesia sebesar 0,3-0,8 per 1000

anak sekolah berusia 5-15 tahun. Demam rematik yang tinggi bersamaan dengan epidemi

infeksi streptokok, yaitu sebanyak 3% penderita infeksi streptokok akan menderita

demam rematik; sedang di daerah endemik kira-kira sebanyak 0,3% yang menderita

demam rematik.

Jauh sebelum T.Duckett Jones pada tahun 1944 menemukan kriteria Jones untuk

menegakkan diagnosis demam rematik, beberapa tulisan sejak awal abad ke 17 telah

melaporkan mengenai gejala penyakit tersebut. Epidemiologis dari Perancis de Baillou

adalah yang pertama menjelaskan rheumatism artikuler akut dan membedakannya dari

gout dan kemudian Sydenham dari London menjelaskan korea, tetapi keduanya tidak

menghubungkan kedua gejala tersebut dengan penyakit jantung. Pada tahun 1761,

Morgagni, seorang patolog dari Itali menjelaskan adanya kelainan katup pada penderita

penyakit tersebut dan deskripsi klinis PJR dijelaskan setelah didapatinya stetoskop pada

tahun 1819 oleh Laennec. Pada tahun 1886 dan 1889 Walker Butletcheadle menemukan

“rheumatic fever syndrome” yang merupakan kombinasi artritis akut, penyakit jantung,

korea dan belakangan termasuk manifestasi yang jarang ditemui yaitu eritema

marginatum dan nodul subkutan sebagai komponen sindroma tersebut. Pada tahun 1931,

2

Coburn mengusulkan hubungan infeksi Streptokokus grup A dengan demam rematik dan

secara perlahan-lahan diterima oleh Jones dan peneliti lainnya. Pada tahun 1944 Jones

menemukan suatu kriteria untuk menegakkan diagnosis demam rematik. Kriteria ini

masih digunakan sampai saat ini untuk menegakkan diagnosis dan telah beberapa

mengalami modifikasi dan revisi, karena dirasakan masih mempunyai kelemahan untuk

menegakkan diagnosis secara tepat, akurat dan cepat.

Saat ini banyak kemajuan yang telah dicapai dalam bidang kardiologi tetapi

demam rematik dan penyakit jantung rematik masih merupakan masalah karena

penanganan memerlukan sarana, prasarana dan tenaga terampil yang handal sehingga

memerlukan biaya yang sangat besar dan waktu yang terus menerus sepanjang usia

penderitanya.

1.2. Tujuan penulisan

1. Mengetahui hemodinamik jantung yang normal

2. Memahami pengertian, penyebab, patofisiologi, tanda dan gejala klinis,

pemeriksaan penunjang serta penatalaksanaan demam rematik dan penyakit

jantung rematik.

3. Mampu melakukan upaya pencegahan kepada masyarakat agar angka insiden

penyakit ini dapat diturunkan.

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Demam rematik adalah sindrom klinis akibat infeksi Streptococcus beta-haemolyticus

grup A, dengan gejala satu atau lebih gejala mayor, yaitu poliartritis migrans akut,

karditis, korea minor, nodul subkutan dan eritema marginatum. Penyakit jantung rematik

adalah penyakit jantung didapat berupa cacat katup jantung yang menetap sebagai gejala

sisa (sekuele) dari demam rematik

2.2. Epidemiologi

Demam rematik masih sering didapati pada anak di negara sedang berkembang dan

sering mengenai anak usia antara 5-15 tahun. Di negara maju insiden demam rematik dan

prevalensi penyakit jantung rematik sudah tidak dijumpai lagi, tetapi akhir-akhir ini

dilaporkan memperlihatkan peningkatan di beberapa negara maju. Dilaporkan di

beberapa tempat di Amerika Serikat pada pertengahan dan akhir tahun 1980an telah

terjadi peningkatan insiden demam rematik, demikian juga pada populasi aborigin di

Australia dan New Zealand dilaporkan peningkatan penyakit ini.

Dalam laporan WHO Expert Consultation Geneva, 29 Oktober-1 November 2001 yang

diterbitkan tahun 2004, angka mortalitas untuk penyakit jantung rematik 0,5 per 100.000

penduduk negara maju hingga 8,2 per 100.000 penduduk di negara berkembang dan

didaerah Asia Tenggara diperkirakan 7,6 per 100.000. Diperkirakan sekitar 2 000 –

332.000 yang meninggal diseluruh dunia karena penyakit tersebut.

2.3. Faktor Predisposisi

Faktor-faktor predisposisi yang berpengaruh pada timbulnya demam rematik dan

penyakit jantung rematik terdapat pada individu sendiri serta pada keadaan

lingkungannya.

4

Faktor-faktor pada individu:

1. Faktor genetik

Banyak demam rematik/penyakit jantung rematik yang terjadi pada satu keluarga

maupun pada anak-anak kembar. Meskipun cara penurunannya belum dapat

dipastikan, dapat disetujui terdapat kemungkinan adanya faktor genetik yang

berpengaruh.

2. Jenis kelamin

Tidak ada perbedaan jenis kelamin, meskipun manifestasi tertentu mungkin lebih

sering ditemukan pada salah satu jenis kelamin. Misalnya gejala korea lebih

sering ditemukan pada perempuan daripada laki-laki.

3. Golongan etnik dan ras

Data di Amerika Utara menunjukkan bahwa serangan pertama maupun ulang

demam rematik lebih sering didapatkan pada orang kulit hitam dibandingkan

dengan orang kulit putih. Tetapi terdapat kemungkinan berbagai faktor

lingkungan yang berbeda pada kedua golongan tersebut yang bisa merupakan

penyebab sebenar penyakit itu

4. Umur

Penyakit ini paling sering mengenai anak berumur antara 5-15 tahun dengan

puncak sekitar umur 8 tahun. distribusi umur ini dikatakan sesuai dengan insidens

infeksi Streptokokus pada anak usia sekolah.

Faktor lingkungan

1. Sosioekonomi yang buruk

Golongan masyarakat dengan tingkat pendidikan dan pendapatan yang rendah

dengan segala manifestasinya seperti ketidaktahuan, perumahan dan lingkungan

yang buruk, tempat tinggal yang berdesakan dan pelayanan kesehatan yang

kurang baik merupakan golongan yang paling rawan. Rumah-rumah dengan

penghuni yang padat merupakan faktor lingkungan yang penting sebagai

predisposisi terjadinya demam rematik. Selain itu, pola kekeluargaan yang amat

5

erat menyebabkan masih banyak keluarga muda yang tinggal dalam lingkungan

dengan kepadatan hunian lebih dari 4 orang karena masih tinggal dengan orang

tua.

2. Cuaca

Perubahan cuaca yang mendadak sering mengakibatkan insidens infeksi saluran

nafas bagian atas meningkat sehingga insidens demam rematik juga meningkat.

2.4. Etiologi

Demam rematik mempunyai hubungan dengan infeksi kuman Streptococcus beta

hemolyticus grup A pada saluran nafas atas dan infeksi kuman ini pada kulit mempunyai

hubungan untuk terjadinya glomerulonefritis akut. Terdapat lebih dari 130 serotipe M

yang menyebabkan infeksi pada manusia tetapi hanya grup A yang berhubungan dengan

etiopatogenesis demam rematik dan penyakit jantung. Kuman Streptococcus beta

hemolyticus dikenali oleh karena morfologi koloninya dan kemampuannya untuk

menimbulkan hemolisis. Sel ini terdiri dari sitoplasma yang dikelilingi oleh tiga lapisan

membran, yang disusun terutama dari lipoprotein. Diluar membran sitoplasma adalah

dinding sel, terdiri dari tiga komponen:

1. Komponen bagian dalam adalah peptigoglikan yang memberi kekakuan dinding

sel.

2. Polisakarid dinding sel atau karbohidrat spesifik grup. Karbohidrat ini terbukti

memiliki determinan antigenik bersama dengan glikoprotein pada katup jantung

manusia.

3. Komponen ketiga terdiri dari mosaik protein yang dilabel sebagai protein M yakni

antigen spesifik tipe dari streptokokus beta hemolitikus grup A. Adanya protein M

ini menghambat fagositosis.

6

Gambar : struktur permukaan sel Streptokokus pyogenes dan sekresi produk

yang berperan dalam virulensi

Beberapa strain streptokokus grup A terutama yang ditemukan dari epidemi

demam rematik mempunyai kapsul mukoid yang terdiri dari asam hialuronat. Kapsul

tersebut hanya kadang-kadang ada, kemungkinan karena hidrolisis oleh hialuronidase

yang dihasilkan selama masa pertumbuhan mikroorganisme.

Streptokokus juga menghasilkan sejumlah enzim ekstraseluler, termasuk dua

hemolisin atau streptolisin S yang stabil pada oksigen, serta streptolisin O yang labil

terhadap oksigen. Hemolisin bekerja pada membrane sel darah merah dan menyebabkan

hemolisis di sekitar koloni streptokokus pada agar darah. Kebanyakan streptokokus beta

hemolitikus grup A menghasilkan toksin eritrogenik yang menyebabkan ruam kulit dan

skarlatina.

2.5. Patogenesis

Terdapat 2 teori terjadinya demam rematik. Pertama adalah sitotoksik dan teori

imunologi. Teori sitotoksik menduga toksin dari kuman streptokokus beta hemolyticus

grup A (SGA) terlibat dalam patogenesis demam rematik akut dan PJR. SGA

memproduksi beberapa enzim yang sitotoksik terhadap sel jantung mamalia seperti

7

streptolisin O yang memiliki efek sitotoksik langsung pada sel mamalia pada kultur

jaringan.

Teori imunologi menduga adanya reaksi silang antara komponen streptokokus beta

hemolitikus grup A dan jaringan miokardium. Konsep persamaan antigenik (antigenic

mimicry) memberikan kesan bahwa antibodi yang dihasilkan oleh infeksi streptokokus

melawan antigen bakteri yang memberi reaksi silang dengan jaringan pejamu. Penelitian

menunjukkan bahwa komponen streptokokus yang lain memiliki reaktifitas bersamaan

dengan jaringan lain. Ini meliputi reaksi silang imunologik di antara karbohidrat

streptokokus dan glikoprotein katup, diantara membran protoplas streptokokus dan

jaringan saraf subtalamus serta nukleus kaudatus dan antara hialuronat kapsul dan

kartilago dan kartilago artikular. Reaktivitas silang imunologik multipel tersebut dapat

menjelaskan keterlibatan organ multipel pada demam rematik.

Gambar : Patogenesi demam rematik

8

2.6. Patologi

Proses patologis pada demam rematik melibatkan jaringan ikat atau jaringan kolagen.

Meskipun proses penyakit adalah difus dan dapat mempengaruhi kebanyakan jaringan

tubuh, manifestasi klinis penyakit terutama terkait dengan keterlibatan jantung, sendi dan

otak.

Gambar : Anatomi Jantung

Jantung yang terletak antara dua struktur tulang, sternum dan vertebra digunakan

sebagai bagian dari resusitasi jantung paru pada tindakan penyelamatan. Jantung dibagi

menjadi kanan dan kiri, yaitu atria (atrium, tunggal) menerima darah yang kembali ke

jantung dan memindahkannya ke ventrikel yang memompa darah dari jantung keseluruh

tubuh. Pembuluh yang mengembalikan darah dari jaringan ke atria adalah vena (V.kava),

dan pembuluh yang mengangkut dari menjauhi ventrikel menuju jaringan adalah arteri

(Aorta abdominalis). Kedua belah jantung dipisahkan oleh septum, otot kontinyu yang

mencegah percampuran darah dari kedua sisi jantung.

9

Jantung terdiri dari 3 lapisan, yaitu :

Gambar : lapisan – lapisan jantung

1. Perikardium

Lapisan yang merupakan kantong pembungkus jantung, terletak di dalam media

stinum minus, terletak di belakang korpus sterni dan rawan iga II-VI. Perikardium

dibagi menjadi 2, yaitu:

Perikardium fibrosum (viseral)

Bagian kantong yang membatasi pergerakan jantung terikat di bawah

sentrum tendinium diafragma, bersatu dengan pembuluh darah besar,

melekat pada sternum melalui ligamentum sternoperikardial.

Perikardium serosum (perietal)

Dibagi menjadi 2 bagian, yaitu perikardium perietalis yang membatasi

perikardium fibrosum, sering disebut epikardium, dan perikardium viseral

(kapitas perikardialis) yang mengandung sedikit cairan yang berfungsi

melumas untuk mempermudah pergerakan jantung.

Di antara dua lapisan jantung ini terdapat lendir sebagai pelicin untuk menjaga

agar pergeseran antara perikardium tersebut tidak menimbulkan gangguan

terhadap jantung. Pada permukaan posterior jantung terdapat perikardium

serosum sekitar vena-vena besar membentuk sinus obligus dan sinus transversus.

2. Miokardium10

Lapisan otot jantungyang menerima darah dari arteri koronaria. Arteri koronaria

kiri bercabang menjadi arteri descenden arterior dan arteri sirkumpleks. Arteri

koronaria kanan memberikan darah untuk sinoatrial node, ventrikel kanan,

permukaan diafragma ventrikel kanan. Vena koronaria mengembalikan darah ke

sinus kemudian bersirkulasi langsung ke dalam paru. Susunan mikardium:

a. Susunan otot atria

Sangat tipis dan kurang teratur, serabut-serabutnya disusun dalam dua

lapisan. Lapisan luar mencakup kedua atria.serabut luar ini paling nyata di

bagian depan atria. Beberapa serabut masuk ke dalam septum

atrioventrikular. Lapisan dalam terdiri dari serabut-serabut berbentuk

lingkaran.

b. Susunan otot ventrikuler

Membentuk bilik jantung dimulai dari cincin atrioventrikular sampai ke

apex jantung.

c. Susunan otot atrioventrikular

Merupakan dinding pemisah antara serambi dan bilik (atrium dan

ventrikel).

3. Endokardium (permukaan dalam jantung)

Dinding dalam atrium diliputi oleh membran yang mengilap, terdiri dari jaringan

endotel atau selaput lendir endokardium, kecuali aurikula dan bagian depan sinus

vena kava. Di sini terdapat bundelan otot paralel berjalan ke depan krista. Ke arah

aurikula dari ujung bawah krista terminalis terdapat sebuah lipatan endokardium

yang menonjol dikenal sebagai valvula vena kava inferior, berjalan di depan

muara vena inferior menuju ke tepi disebut fossa ovalis. Antara atrium kanan dan

ventrikel kanan terdapat hubungan melalui orivisium artikular.

Ada dua jenis katup: katup atrioventrikularis (AV), yang memisahkan atrium

dengan ventrikel dan katup semilunaris, yang memisahkan arteri pulmonalis dan aorta

dari ventrikel yang bersangkutan. Katup-katup ini membuka dan menutup secara pasif

menanggapi perubahan tekanan dan volume dalam bilik dan pembuluh darah jantung.

11

Daun-daun katup atriventrikularis halus tetapi tahan lama. Katup trikuspidalis yang

terletak antara atrium dan ventrikel kanan mempunyai tiga buah daun katup. Katup

mitralis yang memisahkan atrium dan ventrikel kiri merupakan katup bikuspidalis dengan

dua buah daun katup. Kedua katup semilunaris sama bentuknya. Katup ini terdiri dari tiga

daun katup simetris menyerupai corong yang tertambat kuat pada anulus fibrosus. Katup

aorta terletak antara ventrikel kiri dan aorta, sedangkan katup pulmonalis terletak antara

ventrikel kanan dan arteri pulmonalis.

Gambar : Katup-katup jantung

Katup jantung membuka dan menutup secara pasif karena adanya perbedaan

tekanan. Katup-katup ini terbuka ketika tiap-tiap tekanan ventrikel kanan dan kiri

melebihi tekanan di aorta dan arteri pulmonalis, selama ventrikel berkontraksi dan

mengosongkan isinya. Katup tertutup apabila ventrikel melemas dan tekanan ventrikel

turun dibawah tekanan aorta dan arteri pulmonalis. Ketika ventrikel berkontraksi, otot

papilaris juga berkontraksi, menarik ke bawah korda tendinae. Tarikan ini menimbulkan

ketegangan didaun katup AV yang tertutup, sehingga daun katup dapat tertahan dalam

posisinya dan tetap menutup rapat walau pun terdapat gradien yang besar ke arah

belakang.

Keterlibatan jantung pada demam rematik dapat mengenai setiap komponen

jaringannya. Proses radang selama karditis akut paling sering terbatas pada endokardium

dan miokardium, namun pada pasien dengan mokarditis berat, perikardium juga dapat

terlibat. Berbeda dengan pada penyakit kolagen lain seperti lupus eritematosus sistemik

atau artritis rheumatoid juvenile (pada kedua penyakit ini serositis biasanya ditunjukkan

oleh perikarditis), pada demam rematik jarang ditemukan perikarditis tanpa endokarditis

12

atau miokarditis. Perikarditis pada pasien demam rematik biasanya menyatakan adanya

pankarditis atau perluasan proses radang.

Pada stadium awal, bila ada dilatasi jantung, perubahan histologi dapat minimal

walaupun gangguan fungsi jantung mungkin mencolok. Dengan berlanjutnya radang,

perubahan eksudatif dan proliferatif menjadi lebih jelas. Stadium ini ditandai dengan

perubahan edematosa jaringan, disertai oleh infiltrasi selular yang terdiri dari limfosit

dam sel plasma dengan beberapa granulosit. Fibrinoid, bahan granular eosinofil

ditemukan tersebar di seluruh jaringan dasar. Bahan ini meliputi serabut kolagen

ditambah bahan granular yang berasal dari kolagen yang sedang berdegenerasi dalam

campuran fibrin, globulin dan bahan-bahan lain. Jaringan lain yang terkena oleh proses

penyakit seperti jaringan sendi dapat menunjukkan fibrinoid; hal ini dapat juga terjadi

dalam jaringan yang sembuh pada pasien penyakit kolagen lain.

Pembetukan sel Aschoff atau benda Aschoff diuraikan oleh Aschoff pada tahun

1904, menyertai stadium di atas. Lesi patognomonik ini terdiri dari infiltrat perivaskular

sel besar dengan inti polimorf dan sitoplasma basofil tersusun dalam roset sekeliling

pusat fibrinoid yang avaskular. Beberapa sel mempunyai inti yang banyak, atau

mempunyai ‘inti mata burung hantu’ dengan titik-titik dan fibril eksentrik yang menyebar

ke membran inti atau mempunyai susunan kromatin batang dengan tepi gigi gergaji dan

nukleus kisi-kisi atau lignkaran yang melilit. Sel-sel yang khas ini disebut monosit

Anithschow.

Gambar : mikroskopis benda Aschoff

Benda Aschoff dapat ditemukan pada setiap daerah miokardium tetapi yang

paling sering ditemukan dalam jaringan aurikular kiri. Benda Aschoff ditemukan paling

13

sering dalam jaringan miokardium pasien yang sembuh dari miokarditis rematik

subkronik atau kronik. Sel Aschoff dapat tampak dalam fase akut; mungkin pasien ini

menderita karditis kronis dengan kambuh demam rematik. Jarang sel Aschoff ditemukan

dalam jaringan jantung pasien tanpa riwayat demam rematik.

Reaksi radang yang mengenai lapisan endokardium mengakibatkan endokarditis.

Proses endokarditis mengenai jaringan katup serta dinding endokardium. Radang jaringan

katup menyebabkan manifestasi klinis yang mirip karditis rematik. Radang awal pada

endokarditis dapat menyebabkan terjadinya insufisiensi katup. Penemuan histologi dalam

endokarditis terdiri dari edema dan infiltrasi selular jaringan katup dan korda tendinae.

Lesi yang khas endokarditis rematik adalah ‘tambalan MacCallum’, daerah jaringan

menebal yang ditemukan dalam atrium kiri, yakni diatas dasar daun katup mitral

posterior. Degenerasi hialin pada katup yang terkena akan mnyebabkan pembentukan

veruka pada tepinya, yang akan menghalangi pendekatan daun-daun katup secara total

dan menghalangi penutupan ostium katup. Dengan radang yang menetap terjadilah

fibrosis dan kalsifikasi katup. Kalsifikasi mikroskopik dapat terjadi pada pasien muda

dengan penyakit katup rematik. Jika tidak ada pembalikan proses dan penyembuhan,

proses ini akhirnya akan menyebabkan stenosis dan perubahan pengapuran yang kasar,

yang terjadi beberapa tahun pasca serangan. Katup mitral paling sering dikenai diikuti

katup aorta. Katup trikuspid dan pulmonal biasanya jarang dikenai.

14

Gambar : PJR Akut dan Kronik. Gambar A. Mitral valvulitis reumatik akut bertumpang

tindih dengan PJR kronik. Veruka terlihat sepanjang garing garis penutupan daun katup

mitral (lihat tanda panah). Episode valvulitis sebelumnya menyebabkan penebalan

fibrous dan fusi korda tendinae. Gambar B. Tampilan mikroskop dari badan Aschoff pada

pasien dengan karditis rematik akut. Intersitium miokardium memiliki banyak sel

inflamasi mononuklear meliputi beberapa histiosit yang besar dengan nukleoli prominen

dan histiosis binuklear prominen dan sentral nekrosis. Gambar C dan D mitral stenosis

dengan penebalan fibrous difu dan distorsi daun katup, fusi komisural ( lihat tanda panah)

15

dan penebalan pemendekan korda tendinae. Dilatasi nyata dari atrium kiri terlihat pada

atrium kiri. Gambar D Katup terbuka. Adanya neovaskularisasi pada anterior daun katup

mitral (tanda panah). Gambar E spesimen dari aorta stenosis reumatik, memperlihatkan

penebalan dan distorsi dari cusps dengan fusi komisural

Pasien dengan perikarditis, di samping menderita miokarditis juga menderita

perikarditis. Eksudat fibrin menutup permukaan viseral maupun sisi permukaan serosa

(serositis), dan cairan serohemoragis yang bervariasi volumenya berada dalam rongga

pericardium.

Seperti pada perikarditis, patologi artritis pada dasarnya sama, yaitu serositis.

Pada artritis rematik jaringan tulang rawan tidak terlibat tetapi lapisan sinovia

menunjukkan terjadinya degenarasi fibrinoid. Nodul subkutan yang membentuk

penonjolan di atas tonjolan tulang dan permukaan tendo ekstensor jarang ditemukan pada

pasien demam rematik akut; kalaupun ada, nodul ini cenderung ditemukan pada pasien

dengan penyakit jantung kronik, terutama stenosis mitral. Histologi nodul subkutan

terdiri dari nekrosis fibrinoid sentral yang dikelilingi oleh sel-sel epitel dan mononuklear.

Lesi histologis tersebut serupa dengan lesi pada benda Aschoff, suatu tanda patologis

karditis rematik.

Ruam kulit mencerminkan terdapatnya vaskulitis yang mendasari, yang mungkin

ada pada setiap bagian tubuh dan yang paling sering mengenai pembuluh darah yang

lebih kecil. Pembuluh darah ini menunjukkan proliferasi sel endotel. Vaskulitis yang

merupakan dasar proses patologis eritema marginatum juga menyebabkan lesi

ekstrakardial lain seperti keterlibatan paru dan ginjal yang kadang ditemukan pada

demam rematik akut. Vaskulitis juga merupakan proses patologis yang berhubungan

dengan korea Sydenham. Ganglian dan serebelum adalah tempat perubahan patologis

yang sering ditemukan pada pasien dengan gejala korea Sydenham. Perubahan ini trdiri

dari perubahan selular dengan infiltrasi perivaskular oleh sel limfosit.

16

2.7. Manifestasi klinis

Perjalanan klinis penyakit demam rematik dan penyakit jantung rematik dapat dibagi

dalam 4 stadium.

Stadium 1

Stadium ini berupa infeksi saluran nafas bagian atas oleh kuman streptokokus beta

hemolyticus grup A. Seperti infeksi saluran nafas pada umumnya, keluhan biasanya

berupa demam, batuk, nyeri saat menelan, muntah dan bahkan dapat terjadi diare. Pada

pemeriksaan fisis sering didapatkan eksudat di tonsil yang menyertai tanda-tanda

peradangan lainnya. Kelenjar getah bening submandibular seringkali membesar. Infeksi

ini biasanya berlangsung 2-4 hari dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan.

Stadium II

Stadium ini biasanya disebut periode laten, adalah masa antara infeksi Streptokokus

dengan permulaan gejala demam rematik; biasanya periode ini berlangsung 1-3 minggu,

kecuali korea yang dapat timbul 6 minggu atau bahkan berbulan-bulan kemudian.

Stadium III

Pada stadium ini terjadi fase akut demam rematik, saat timbulnya berbagai manifestasi

klinis demam rematik dan penyakit jantung rematik. Manifestasi klinis tersebut dapat

digolongkan dalam gejala peradangan umum dan manifestasi spesifik demam rematik

dan penyakit jantung rematik.

Stadium IV

Disebut juga stadium inaktif. Pada stadium ini penderita demam rematik tanpa kelainan

jantung atau penderita penyakit jantung tanpa gejala sisa katup tidak menunjukkan gejala

apa-apa. Pada penderita penyakit jantung rematik dengan gejala sisa kelainan katup

jantung, gejala yang timbul sesuai dengan jenis serta beratnya kelainan. Pada fase ini baik

penderita demam rematik maupun penyakit jantung rematik sewaktu-waktu dapat

mengalami reaktivasi penyakitnya.

Gejala peradangan umum

Biasanya penderita mengalami demam yang tidak tinggi tanpa pola tertentu. Anak

menjadi lesu, anoreksia, lekas tersinggung dan berat badan tampak menurun. Anak

17

kelihatan pucat karena anemia akibat tertekannya eritropoesis, bertambahnya volume

plasma serta memendeknya umur eritrosit. Dapat terjadi epistaksis dan bila banyak dapat

menambah berat beban anemia.

Artralgia, rasa sakit di sekitar sendi selama beberapa hari atau minggu juga sering

didapatkan; rasa sakit aakan bertambah bila anak melakukan latihan fisis. Gejala klinis

lain yang dapat timbul ialah sakit perut yang kadang-kadang bisa sangat hebat sehingga

menyerupai appendisitis akut. Sakit perut ini akan memberi respon cepat dengan

pemberian salisilat.

Pada pemeriksaan laboratorium akan didapatkan tanda-tanda reaksi peradangan akut

berupa terdapatnya C-reactive protein dan leukositosis serta meningginya laju endap

darah. Titer ASTO meninggi pada kira-kira 80% kasus. Pada pemeriksaan EKG dapat

dijumpai pemanjangan interval P-R (blok AV derajat I).

Sebagian gejala-gejala peradangan umum ini dikelompokkan sebagai gejala minor.

Manifestasi spesifik

1. Artritis

Khas untuk demam rematik ialah poliartritis migrans akut. Biasanya mengenai

sendi-sendi besar (lutut, pergelangan kaki, siku, pergelangan tangan), dapat

timbul bersamaan tetapi lebih sering bergantian/berpindah-pindah. Sendi yang

terkena menunjukkan gejala-gejala radang yang jelas seperti bengkak, merah,

panas sekitar sendi, nyeri dan terjadi gangguan fungsi sendi. Yang mencolok

adalah rasa nyeri yang tidak sesuai dengan kelainan obyektif yang ada. Rasa nyeri

dapat sedemikian hebat sehingga terkena selimut pun penderita tidak tahan. Harus

dibedakan artritis dengan growing pain yang sering didapatkan pada anak pra

sekolah. Pada kelainan yang terakhir ini, anak akan senang jika dipijat, sedangkan

pada artritis karena demam rematik disentuh pun anak akan kesakitan. Kelainan

pada setiap sendi akan menghilang sendiri tanpa pengobatan dalam beberapa hari

sampai 1 minggu dan seluruh gejala sendi biasanya hilang dalam waktu 5 minggu,

tanpa gejala sisa apapun. Derajat beratnya kelainan sendi tidak ada hubungannya

18

dengan gejala karditis. Kira-kira 15% penderita karditis rematik tidak disertai

gejala artritis.

2. Karditis

Karditis rematik merupakan proses peradangan aktif yang mengenai

endokardium, miokardium atau pericardium. Dapat salh satu saja yang terkena

atau kombinasi dari ketiganya. Bila mengenai ketiga lapisan sekaligus disebut

pankarditis. Untuk menentukan adanya karditis, sebaiknya diketahui dahulu

keadaan jantung sebelum sakit.

Karditis merupakan gejala mayor terpenting, karena hanya karditis yang dapat

meninggalkan gejala sisa, terutama kerusakan katup jantung. Karditis dapat

menyebabkan kematian pada stadium akut (terdapat kira-kira pada 1% kasus).

Penyembuhan sempurna diharapkan namun tidak jarang menyebabkan kelainan

katup yang menetap. Yang paling sering ditemukan adalah bising sistolik apikal

yang menjalar ke aksila. Gejala-gejala dini karditis adalah rasa lelah, pucat, tidak

bergairah dan anak tampak sakit bisa sampai beberapa minggu meskipun belum

ada gejala-gejala spesifik. Seorang penderita demam rematik dikatakan menderita

karditis bila ditemukan satu atau lebih tanda-tanda berikut:

a. Bunyi jantung melemah dengan bunyi derap diastolik.

b. Terdengar bising yang semula tidak ada, yaitu berupa bising apikal, bising

mid-diastolik apikal atau bising diastolik basal; terdapat perubahan

intensitas bising yang semula sudah ada atau bertambahnya bising yang

bermakna pada penderita yang awalnya sudah pernah menderita demam

rematik dan penyakit jantung rematik. Kardiomegali terutama pembesaran

ventrikel kiri pada foto rontgen dada pada penderita tanpa demam rematik

sebelumnya atau bertambahnya pembesaran jantung yang nyata pada

penderita yang pernah mengalami penyakit jantung rematik sebelumnya.

c. Perikarditis. Biasanya diawali dengan rasa nyeri di sekitar umbilikus

akibat penjalaran nyeri bagian tengah diafragma. Tanda-tanda lainnya

adalah adanya friction rub, efusi perikardial dan kelainan pada EKG.

19

Perikarditis jarang ditemukan sebagai kelainan tersendiri, biasanya

merupakan bagian dari pankarditis.

d. Gagal jantung kongestif pada anak-anak tanpa sebab lain.

Gambaran EKG pada demam rematik dan penyakit jantung rematik dapat

menunjukkan berbagai kelainan yang sesuai dengan kelainan jantungnya

seperti miokarditis, perikarditis, hipertrofi ventrikel dan hipertrofi atrium.

Yang paling sering ditemukan adalah pemanjangan interval PR yang

dianggap sebagai salah satu gejala minor. Namun tidak jarang gambaran

EKG pada demam rematik dan penyakit jantung rematik pada awalnya

normal dan setelah dilakukan pemeriksaan ulangan didapatkan kelainan

yang mendukung diagnosis karditis rematik. Bila didapatkan kelainan

rematik, hal ini dapat digunakan untuk mengevaluasi perjalanan penyakit.

Pada pemeriksaan rontgen dada ditemukan kardiomegali terutama

pembesaran ventrikel kiri atau gambaran jantung yang membesar dan

berbentuk vas akibat perikarditis dengan efusi perikardium serta denyut

jantung yang melemah pada pemeriksaan fluoroskopi.

3. Korea

Gambar : Gerakan korea

Korea adalah gerakan-gerakan cepat, bilateral, tanpa tujuan dan sukar

dikendalikan, seringkali disertai kelemahan otot. Korea dapat terjadi pada stadium

akut maupun stadium inaktif. Gambaran klinis korea:

a. Gerakan-gerakan tidak terkendali pada ekstremitas, muka dan tubuh.

Gerakan-gerakan tersebut hanya dapat diatasi sementara saja, dapat

diperparah oleh emosi dan menghilang pada waktu tidur. Gejala awal

20

seperti seringnya anak menjatuhkan barang, tulisan mendadak menjadi

buruk atau sulit berhadapan muka dengan saudara-saudaranya. Gerakan

khas terjadi saat berjabat tangan. Gerakan-gerakan pada otot muka dapat

terjadi sehingga disebut society smile. Bila lidah dijulurkan, terdapat

tremor.

b. Gerakan tidak terorganisasi dapat jelas atau samar-samar bila anak

diminta untuk memungut uang logam di lantai akan terlihat jelas.

4. Eritema marginatum

Gambar : eritema marginatum

Merupakan manifestasi demam rematik pada kulit berupa bercak-bercak merah

muda dengan bagian tenghanya pucat sedangkan tepinya berbatas tegas,

berbentuk bulat atau bergelombang, tanpa indurasi dan tidak gatal. Bila ditekan,

lesi akan menjadi pucat. Lokasinya bisa berpindah-pindah, di kulit dada dan

bagian dalam lengan atas atu paha, tetapi tidak pernah di kulit muka. Kelainan ini

dapat terjadi pada fase akut tetapi juga dapat timbul pada fase inaktif. Eritema

marginatum sering menyertai kelainan klinis lain terutama karditis dan dapat juga

berulang setelah gejala aktifitas rematik lainnya menghilang.

21

5. Nodul subkutan

Gambar : nodul subkutan

Nodul ini terletak dibawah kulit, keras, tidak terasa sakit, mudah digerakkan,

berukuran antara 3-10mm. biasanya terdapat di bagian ekstensor persendian

terutama sendi siku, lutut, pergelangan tangan dan kaki, daerah oksipital dan

diatas prosesus spinosus vertebra lokalis dan lumbalis. Nodul ini timbul beberapa

minggu setelah serangan akut demam rematik. Ditemukan nodul subkutan

menunjukkan bahwa penyakit sudah berjalan beberapa waktu lamanya. Nodul

subkutan juga dapat ditemukan pada rheumatoid arthritis dan lupus eritematosus

diseminata. Nodul bisa hilang dengan kortikosteroid.

Penyakit Jantung Rematik

Sebagian pasien demam rematik akut dengan valvulitis dapat melewati stadium III dan

sembuh tanpa gejala sisa katup; sebagian lainnya akan menjadi tenang dengan

meninggalkan gejala sisa katup, dengan atau tanpa kardiomegali atau gagal jantung.

Penyakit jantung rematik kronik juga dapat ditemukan tanpa adanya riwayat demam

rematik akut. Hal ini dapat ditemukan baik pada anak maupun dewasa dengan kelainan

katup yang khas untuk penyakit jantung rematik, namun pasien menyangkal pernah

mengalami gejala yang mengarah ke demam rematik akut. Kelainan katup yang paling

sering ditemukan adalah katup mitral, kira-kira 3 kali lebih banyak daripada katup aorta.

22

Insufisiensi Mitral

Valvulitis mitral sebagian besar sudah terjadi pada hari-hari pertama serangan demam

rematik akut. Sebagian akan sembuh sempurna, tetapi sebagian lainnya meninggalkan

gejala sisa berupa insufisiensi mitral.

Patologi

Kebocoran katup mitral terjadi akibat proses penyembuhan valvulitis mitral yang

menyebabkan daun katup menebal sehingga tidak dapat menutup dengan sempurna

selama fase sistole. Juga terjadi perlengketan antara tepi daun katup. Pelebaran ventrikel

kiri, kerusakan m.papilaris serta korda tendinae menambah kebocoran tersebut.

Hemodinamik

Penutupan katup mitral yang tidak sempurna menyebabkan terjadinya regurgitasi darah

dari ventrikel kiri ke atrium kiri selama fase sistole. Perubahan hemodinamik tergantung

pada besarnya kebocoran tersebut. Pada kelainan ringan mungkin tidak terdapat

kardiomegali, karena beban volume maupun kerja jantung kiri tidak bertambah secara

bermakna. Kebocoran sedang sampai berat selalu menyebabkan kardiomegali, dari

tingkat ringan sampai berat. Tertimbunnya darah di atrium kiri saat awal diastole akan

menyebabkan terjadinya stenosis mitral relatif sehingga terjadi flow murmur diastolik,

mirip dengan bising Carrey-Coombs pada fase akut.

Bila keadaan berlanjut, beban volume atrium kiri akan disalurkan ke vena

pulmonalis sehingga terjadi peninggian tahanan vaskular paru. Hal ini kemudian akan

menimbulkan hipertrofi ventrikel kanan sehingga terjadi insufisiensi trikuspid. Keadaan

ini menimbulkan gagal jantung kongestif.

Gambaran klinis

Insufisiensi mitral ringan mungkin sekali tidak menimbulkan keluhan dan anak dapat

melakukan aktifitas normal. Pada insufisiensi mitral sedang sampai berat, manifestasi

klinis bergantung kepada beratnya lesi. Gejala dapat ringan sampai sangat berat.

Biasanya anak tampak cepat lelah dan dispneu setelah melakukan aktifitas fisik.

Pada pemeriksaan fisis didapatkan hemitoraks kiri yang membonjol. Aktifitas

ventrikel kiri meningkat. Bunyi jantung I dapat normal atau melemah, sedangkan bunyi

23

jantung II terdengar mengeras pada insufisiensi mitral berat. Pada auskultasi ditemukan

bising pansistolik di apeks, yang menjalar ke aksila sampai ke belakang, dan mengeras

bila pasien miring ke kiri. Bising ini dapat berderajat 2/6 sampai 6/6. Pada insufisiensi

mitral berat dapat terdengar bising midsistolik di apeks akibat stenosis mitral relatif. Bila

terdapat insufisiensi trikuspid terdengar bising pansistolik di tepi kiri bawah sternum.

Elektrokardiografi

Pada insufisiensi ringan EKG pada umumnya normal. Pada kebocoran yang lebih nyata,

EKG menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri dan pembesaran atrium kiri (P mitral).

Perubahan segmen S-T dan gelombang T diantara prekordium kiri terjadi pada

insufisiensi yang berat. Bila terjadi hipertensi pulmonal, terdapat gambaran hipertrofi

ventrikel kanan dan pembesaran atrium kanan (P pulmonal).

Foto rontgen dada

Kardiomegali mungkin tidak ditemukan pada kasus yang ringan. Kelainan yang paling

sering dijumpai pada insufisiensi yang lebih berat adalah pembesaran ventrikel kiri. Pada

kasus yang berat dan lama, dapat terlihat gambaran kongesti paru dan hipertrofi ventrikel

kanan yang menandakan adanya hipertensi pulmonal.

Prognosis

Prognosis insufisiensi mitral sebagian besar baik, asal dapat dicegah jangan sampai

terjadi reaktivasi demam rematik. Kira-kira 1/3 kasus akan sembuh spontan. Sebagian

lain tetap stabil dengan penanganan yang baik. Hanya sebagian kecil akan memburuk

tanpa serangan ulang demam rematik. Komplikasi endokarditis terjadi pada lebih kurang

5% kasus.

Stenosis Mitral

Stenosis mitral organik harus dibedakan dengan stenosis mitral relatif, baik pada

valvulitis mitral pada stadium akut maupun akibat insufisiensi mitral yang berat. Stenosis

mitral organik umumnya timbul lama setelah serangan akut demam rematik. Tetapi di

negara berkembang, tidak jarang stenosis mitral organik sudah timbul pada bulan-bulan

pertama setelah serangan pertama.

24

Patologi

Perlengketan antara daun katup, selain dapat menimbulkan insufisiensi mitral (daun

katup tidak dapat menutup sempurna pada saat sistole) juga dapat menyebabkan stenosis

mitral (daun katup tidak dapat membuka sempurna pada saat diastole). Perubahan pada

m.papilaris, cincin atrioventrikular dan korda tendinae ikut berperan terjadinya stenosis.

Perubahan sistem katup tersebut seringkali mengakibatkan terjadinya insufisiensi dan

stenosis mitral bersamaan.

Hemodinamik

Obstruksi katup mitral akan menghalangi masuknya darah dari atrium kiri ke ventrikel

kiri. Beban volume atrium kiri akan menyebabkan dilatasi atrium kiri dan tekanan atrium

kiri yang berlebihan diteruskan ke pembuluh darah yang mungkin mengakibatkan

hipertensi pulmonal. Ini akan menyebabkan beban jantung kanan bertambah sehingga

terjadi hipertrofi ventrikel kanan yang dapat mengakibatkan gagal jantung kanan. Pada

stenosis mitral murni tanpa insufisiensi, beban ventrikel kiri adalah normal atau bahkan

berkurang.

Gambaran klinis

Stenosis mitral merupakan kelainan yang cenderung progresif, karena itu biasanya

gejalanya makin lama makin nyata. Stenosis mitral ringan pada anak biasanya

asimptomatik. Pada stenosis yang berat, gejala penurunan toleransi latihan akan terlihat.

Dapat terjadi hemoptisis akibat pecahnya pembuluh darah paru akibat hipertensi

pulmonal.

Pada pemeriksaan fisik biasanya ditemukan hemitoraks kiri normal atau sedikit

membonjol, dan bila sudah disertai hipertrofi ventrikel kananteraba aktifitas jantung

kanan yang meningkat. Pada auskultasi terdengar bunyi jantung I mengeras, demikian

pula P2 mengeras terutama setelah terdapat hipertensi pulmonal. Bising yang khas untuk

stenosis mitral adalah bising diastolic apikal dengan aksentuasi presistolik (bising

presistolik). Bising ini sering didahului oleh opening snap, bersifat rumbling, bernada

rendah dan mengeras bila miring ke kiri atau setelah latihan.

Bising lain yang dapat terdengar pada stenosis mitral berat adalah bising diastolik

dini bersifat blowing, bernada tinggi, terdapat di tepi kiri sternum, disebut sebagai bising

25

Graham-Steele. Bising ini menunjukkan terdapatnya insufisiensi pulmonal yang dapat

terjadi bila stenosis mitral telah disertai hipertensi pulmonal.

Elektrokardiografi

Pada stenosis mitral ringan EKG biasanya normal. Perubahan yang pertama terjadi pada

EKG akibat stenosis mitral adalah terdapatnya P mitral yang paling jelas di antara I dan

II, tetapi sering pula terlihat di antara prekordium kanan (V1 dan V2). Pada kasus yang

berlangsung lama, dapat terlihat hipertrofi ventrikel kanan dan hipertrofi atrium kanan

dengan sumbu QRS bergeser ke kanan. Hipertrofi ventrikel kiri hanya terjadi bila disertai

insufisiensi mitral. Fibrilasi atrium dengan respon ventrikel yang ireguler dan seringkali

refrakter terhadap pengobatan tidak jarang ditemukan pada stenosis mitral berat yang

berlangsung lama.

Foto rontgen dada

Seringkali foto rontgen dada normal pada stenosis mitral ringan sampai sedang.

Pembesaran atrium kiri yang tidak mudah dideteksi dengan foto AP, mungkin dapat

diduga bila terlihat apendiks atrium kiri yang jelas. Foto lateral dengan barium dapat

menunjukkan pembesaran atrium kiri dengan lebih jelas. Bila telah terdapat hipertensi

pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan, apeks jantung akan terangkat. Pembesaran

atrium kanan lebih mudah dilihat dengan foto AP. Penonjolan konus pulmonalis

merupakan gambaran yang menunjukkan telah terjadinya pembesaran a.pulmonalis yang

sering disertai dengan menghilangnya pinggang jantung. Pembesraran ventrikel kiri tidak

terjadi kecuali bila disertai insufisiensi mitral.

Ekokardiografi

Ekokardiografi sangat membantu diagnosis stenosis mitral. Pada ekokardiografi 2-

dimensi tampak daun katup mitral yang tebal, dengan gerakan serta pembukaan daun

katup yang berkurang.

Insufisiensi aorta

Kelainan katup aorta pada demam rematik hampir selalu berupa insufisiensi aorta. Pada

sebagian kecil dapat disertai stenosis aorta, tetapi stenosis aorta murni tidak pernah

ditemukan akibat rematik. Insufisiensi aorta lebih sering menyertai kelainan katup mitral,

26

tetapi dapat ditemukan tersendiri. Kelainan ini dapat terjadi sejak awal perjalanan

penyakit akibat perubahan yang terjadi setelah proses radang reumatik pada katup aorta.

Hemodinamik

Sebagian darah yang dipompa oleh ventrikel kiri ke aorta akan kembali (regurgitasi) ke

ventrikel kiri akibat kebocoran katup aorta. Hal ini terjadi pada awal diastole. Akibatnya

ventrikel kiri menderita beban volume sehingga mengalami dilatasi. Untuk

mempertahankan curah jantung, ventrikel kiri bekerja lebih kuat memompa darah,

sehingga akhirnya terjadi hipertrofi ventrikel kiri. Ejeksi ventrikel kiri yang sangat kuat

menyebabkan meningginya tekanan sistolik dan regurgitasi darah dari aorta ke ventrikel

kiri menyebabkan tekanan diastolik menurun; dengan demikian maka tekanan nadi

menjadi lebar.

Gambaran klinis

Insufisiensi aorta ringan mungkin bersifat asimptomatik. Pada kasus yang lebih berat

anak mengeluh cepat lelah, palpitasi, dispneu setelah latihan dan banyak berkeringat.

Gagal jantung kiri dapat terjadi pada insufisiensi aorta murni yang berat.

Pada pemeriksaan fisik, toraks biasanya normal. Pada palpasi tampak aktifitas

ventrikel kiri yang meningkat; mungkin dapat teraba getaran bising diastolik. Yang khas

pada auskultasi adalah didapatkannya bising diastolik dini bernada tinggi di sela iga II

kiri (daerah auskultasi pulmonal) dengan penjalaran ke tepi kiri sternum. Kadang-kadang

juga dapat terdengar paling baik di apeks atau di sela iga II kanan (daerah auskultasi

aorta). Bising ini akan lebih jelas terdengar bila anak duduk sambil membungkuk. Akibat

ejeksi ventrikel kiri yang kuat, sering terdengar bising ejeksi di daerah aorta (stenosis

aorta relatif), sehingga terdengar sebagai to and fro murmur. Bising Austin-Flint yang

sering ditemukan pada orang dewasa dengan insufisiensi aorta sedang sampai berat, lebih

jarang ditemukan pada anak. Bising ini terjadi akibat getaran katup mitral oleh regurgitasi

darah dari aorta, terdengar sebagai bising mid-sistolik (yang mendekati akhir distolik) di

apeks.

Pada pemeriksaan nadi didapatkan pulsus seler (water hammer pulse, Corrigan’s

pulse). Tekanan nadi akan bertambah akibat meningkatnya tekanan sistolik dan

menurunnya tekanan diastolik.

27

Elektrokardiogram

Kelainan EKG pada insufisiensi aorta biasanya terbatas pada terdapatnya hipertrofi

ventrikel kiri. Gelombang T di antara prekordium kiri seringkali tinggi yang kadang-

kadang disebut sebagai pola diastolic overload.

Foto rontgen dada

Foto dada pasien insufisiensi aorta murni biasanya hanya menunjukkan pembesaran

ventrikel kiri yang mudah dilihat dengan foto AP.

Ekokardiografi

Pada M-mode biasanya tampak dilatasi aorta dan ventrikel kiri pada insufisiensi aorta

yang bermakna. Kontraksi ventrikel biasanya masih baik. Terdapatnya regurgitasi

diketahui dengan pemeriksaan Doppler, dan biasanya derajat insufisiensi dinyatakan

secara kuantitatif (ringan, sedang, berat), tergantung pada jauhnya regurgitasi darah dari

katup aorta.

2.8. Pemeriksaan Penunjang

Tiga golongan uji laboratorium berguna untuk diagnosis demam rematik apabila

digunakan dengan kriteria klinis. Golongan pertama meliputi uji radang jaringan akut,

yakni reaktan fase akut. Golongan kedua adalah uji bakteriologis dan serologis yang

membuktikan infeksi streptokokus sebelumnya. Golongan ketiga meliputi pemeriksaan

radiologi, elektrokardiografi dan ekokardiografi untuk menilai adanya kelainan jantung.

Reaktan fase akut

Tiga uji yang biasa digunakan adalah hitung lekosit perifer, laju endap darah (LED) dan

protein C-reaktif (PCR). Hitung lekosit merupakan uji yang paling berubah-ubah dan

paling tidak dapat diandalkan. Separuh pasien demam rematik akut mempunyai jumlah

lekosit yang normal. LED paling berguna dalam memantau perjalanan penyakit kecuali

pada gagal jantung. LED dapat menurun sampai normal untuk meningkat kembali apabila

pasien sembuh dari gagal jantung, kemudian kembali normal bila aktifitas penyakit

menurun. PCR adalah protein yang muncul dalam serum selama proses radang tertentu.

PCR tidak terpengaruh oleh gagal jantung; karena itu ia merupakan petanda yang lebih

tepat untuk adanya jaringan radang dan tingkat aktifitas rematik.

28

Uji untuk Diagnosis Infeksi Streptokokus

Bukti terjadinya faringitis streptokokus grup A sebelumnya diperlukan untuk

menegakkan diagnosis demam rematik. Diagnosis infeksi streptokokus selama infeksi

akut dibuat dengan melakukan biakan usap tenggorokan. Biakan ini negatif pada sekitar

dua pertiga pasien demam rematik akut karena pembersihan organism oleh mekanisme

pertahanan tubuh pada periode laten. Beberapa uji serologi tersedia untuk menentukan

ada atau tidaknya infeksi streptokokus sebelumnya, yang kebanyakan menganalisis

antibodi netralisasi terhadap berbagai enzim ekstraselular streptokokus (tabel)

Tabel : uji antibodi streptokokus

ANTIGEN UJI

Produk ekstraselular

Streptolisin O

Streptokinase

Hialuronidase

Deoksiribonuklease B

Nikotinamid adenin denukleotidase

Semua diatas

Komponen selular

Protein-M spesifik-tipe

Polisakarid spesifik-grup

Anti-streptolisin O

Anti-streptokinase

Anti-hialuronidase

Anti-DNA-ase B

Anti-NADase

Streptozim

Antibodi spesifik-tipe

Anti-A karbohidrat

Penelitian menunjukkan bahwa hanya 80-85% pasien dengan demam rematik akut

mempunyai titer antibodi abnormal bila digunakan hanya salah satu uji (tabel), oleh

karenanya dianjurkan untuk melakukan sekurangnya dua uji. Uji yang dilakukan apabila

uji pertama negatif sedangkan penyakit pasien sangat mengarah kepada demam rematik

akut. Uji antibodi spesifik-tipe dan uji antibodi lain digunakan untuk menganalisis

karbohidrat streptokokus grup A menarik perhatian karena respons khusus pasien

penyakit katup rematik terhadap antigen streptokokus. Kadar antibodi ini mencapai

puncak sekitar satu bulan pascainfeksi dan menurun sampai normal setelah sekitar 2

tahun kecuali pada pasien insufisiensi mitral yang menetap kadar antibodi tetap bertahan

29

tinggi selama beberapa tahun, lama setelah antibodi streptokokus yang lain kembali

normal.

Gambaran radiologis

Foto thoraks berguna untuk menentukan adanya pembesaran jantung (kardiomegali).

Bertambahnya vaskularisasi paru akibat bendungan vena atau edema paru memperkuat

terdapatnya gagal jantung kongestif.

Elektrokardiografi

Pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) awal dan secara seri berguna dalam diagnosis dan

tatalaksana karditis rematik akut, walau pemeriksaan ini kadang normal dan hanya

menunjukkan terdapat takikardi sinus. Namun gambaran EKG yang normal tidak

menyingkirkan karditis aktif. Sering perubahan EKG terjadi setelah proses rematik

diamati beberapa minggu.

Ekokardiografi

Ekokardiografi dapat membantu penilaian jenis dan derajat kelainan jantung. Pada pasien

demam rematik akut, ekokardiografi dapat memberikan informasi tentang karditis.

Kebocoran katup ringan yang tidak dapat terdeteksi dengan auskultasi , misalnya

regurgitasi mitral, trikuspid atau pulmonal dapat ditunjukkan dengan pemeriksaan

Doppler, terutama Doppler berwarna. Apabila diduga terdapat perikarditis, maka

ekokardiogram dapat mengkonfirmasi dan memperkirakan jumlah cairan didalam rongga

perikardium.

2.9. Diagnosis

Kriteria Jones (revisi) untuk pedoman dalam diagnosis reumatik (1992)

Manifestasi mayor Manifestasi minor

Karditis

Poliartritis

Khorea

Eritema marginatum

Nodul subkutan

Klinis

Artralgia

Demam

Laboratorium

- peningkatan reaktan fase akut (laju endap

30

PLUS

darah, C-reaktive protein)

Pemanjangan interval PR pada EKG

Bukti infeksi streptokokus grup A sebelumnya

Kultur usap tenggorok atau rapid streptococcal antigen test positif

Titer antibodi streptokokus diatas nilai normal atau meningkat

Dasar diagnosis

High probable (sangat mungkin)

o 2 mayor atau 1 mayor + 2 minor

o Disertai bukti infeksi Streptokokus beta hemolyticus grup A

Doubtful diagnosis (meragukan)

o ASTO atau kultur positif

o 2 mayor

o 1 mayor + 2 mayor

o Tidak terdapat bukti infeksi Streptokokus beta hemolyticus grup A

Pengecualian : diagnosis demam rematik akut dapat ditegakkan bila hanya

ditemukan

o Korea saja atau

o Karditis indolen. Pada tahun 2003 WHO mengeluarkan rekomendasi

untuk melanjutkan penggunaan kriteria Jones yang diperbaharui (tahun

1992) untuk demam rematik serangan pertama dan serangan rekuren

demam rematik pada pasien yang diketahui tidak mengalami penyakit

jantung rematik. Untuk serangan rekuren demam rematik pada pasien

yang sudah mengalami penyakit jantung rematik, WHO

merekomendasikan penggunaan minimal dua kriteria minor dengan

disertai bukti infeksi SGA sebelumnya. Kriteria diagnostic penyakit

jantung rematik ditujukan untuk pasien yang datang pertama kali dengan

mitral stenosis murni atau kombinasi stenosis mitral dan insufisiensi mitral

31

dan/atau penyakit katup aorta lainnya. Untuk korea rematik tidak

diperlukan kriteria mayor atau bukti infeksi SGA sebelumnya.

Kriteria demam rematik menurut WHO tahun 2002-2003 dapat dilihat pada tabel berikut:

Kategori diagnostic Kriteria

Demam rematik serangan pertama

Demam rematik serangan rekuren tanpa

penyakit jantung rematik

Demam rematik serangan rekuren dengan

penyakit jantung rematik

Korea rematik

Penyakit jantung rematik (stenosis mitral

murni atau kombnasi dengan insufisiensi

mitral dan/atau gangguan katup aorta)

2 mayor atau satu mayor dan dua minor

ditambah bukti infeksi SGA sebelumnya

Dua mayor atau satu minor dan dua minor

ditambah dengan bukti infeksi SGA

sebelumnya

Dua minor ditambah dengan bukti infeksi

SGA sebelumnya

Tidak diperlukan kriteria mayor lainnya

atau bukti infeksi SGA

Tidak diperlukan kriteria lainnya untuk

mendiagnosis sebagai penyakit jantung

rematik

Tabel : Kriteria WHO tahun 2002-2003 untuk diagnosis demam rematik dan penyakit

jantung rematik (berdasarkan revisi kriteria Jones)

2.10. Penatalaksanaan

Dalam penatalaksanaan terhadap demam rematik terdapat pencegahan primer dan

pencegahan sekunder. Pencegahan primer pada demam rematik adalah pengobatan yang

adekuat terhadap semua pasien infeksi saluran nafas bagian atas akibat streptokokus beta

hemolitikus grup A. Untuk ini diperlukan kemampuan pengenalan terhadap infeksi

streptokokus beta hemolitikus grup A oleh para dokter. Jenis obat, pemberian dan

dosisnya sama dengan eridasi kuman pada pengobatan demam rematik akut.

Pencegahan sekunder bermaksud upaya untuk mencegah terjadinya infeksi

streptokokus pada pasien demam rematik stadium IV (tenang dan inaktif), termasuk

mereka yang hanya pernah menunjukkan gejala minor saja. Tindakan pencegahan ini

32

lama karena perlu kesadaran para dokter dan petugas kesehatan lainnya serta pasien dan

orang tua pasien agar program penccegahan dapat dijalankan sebagaimana mestinya.

Tirah baring

Lama dan tingkat tirah baring tergantung sifat dan keparahan serangan

Tabel : panduan aktifitas pada demam rematik akut

Aktifitas Arthritis Karditis minimal Karditis sedang Karditis berat

Tirah baring

Aktifitas dalam

rumah

Aktifitas di luar

rumah

Aktifitas penuh

1-2 minggu

1-2 minggu

2 minggu

Setelah 6-10

minggu

2-4 minggu

2-3 minggu

2-4 minggu

Setelah 6-10

minggu

4-6 minggu

4-6 minggu

1-3 bulan

Setelah 3-6 bulan

2-4

bulan/selama

masih terdapat

gagal jantung

kongestif

2-3 bulan

2-3 bulan

Bervariasi

Pengobatan antinyeri dan antiradang

Manifestasi Klinis Pengobatan

Artralgia

Artritis

Karditis

Hanya analgesik (misalnya asetaminofen)

Salisilat 100 mg/kg BB/hari selama 2

minggu dan 25 mg/kg BB/hari selama 4-6

minggu

Prednison 2 mg/kg BB/hari selama 2

minggu dan diturunkan sedikit demi sedikit

(tapering off) 2 minggu; salisilat 75 mg/kg

BB/hari 2 minggu dan dilanjutkan selama 6

minggu.

33

Pencegahan Korea Sydenham

Pasien korea yang ringan pada umumnya hanya memerlukan tirah baring. Pada kasus

yang lebih berat, obat antikonvulsan mungkin dapat mengendalikan korea. Obat yang

sering digunakan adalah fenobarbital dan haloperidol. Keberhasilan obat ini sangat

bervariasi. Fenobarbital diberikan dalam dosis 15 sampai 30 mg tiap 6 sampai 8 jam.

Haloperidol dimulai dengan dosis rendah (0,5 mg), kemudian dinaikkan sampai 2,0 mg

tiap 8 jam, bergantung kepada respon klinis. Pada kasus berat, kadang diperlukan 0,5 mg

setiap 8 jam. Obat antiradang tidak diperlukan pada korea, kecuali pada kasus yang

sangat berat.

Pencegahan

Sesudah pengobatan demam rematik selama 10 hari dilanjutkan dengan pencegahan

sekunder. Cara pencegahan sekunder yang diajukan oleh The American Heart

Association dan WHO yaitu mencegah infeksi streptokokus.

Pencegahan primer

Penisilin oral untuk eradikasi Streptokokus beta hemolyticus grup A selama 10 hari atau

Benzanthine penicillin G 0.6 – 1.2 juta unit IM.

Tabel : Pencegahan primer demam rematik (pengobatan tonsilofaringitis streptokokus)

Obat Dosis Cara Jangka pemberian

Benzathine

Penicillin G

Penisilin V

Eritromisin

600.000-900.000

unit untuk pasien

< 30kg.

1200.000 unit pasien

>30kg

250 mg

40mg/kg/hari

Intramuskular

Oral

Oral

10 hari

3-4 kali sehari

selama 10 hari

2-4 kali dosis sehari

selama 10 hari

34

Pencegahan sekunder

Benzantin penisilin G 600.000 U IM untuk berat badan < 27 kg, 1.2 juta U untuk berat

badan > 27 kg setiap 4 minggu/28 hari.

Pilihan lain adalah Penisilin V p.o. 125 – 250 mg 2 kali sehari, Sulfadiazin 1 g p.o. sekali

sehari, eritromisin 250mg p.o. 2 kali sehari diberikan pada demam rematik akut termasuk

korea tanpa penyakit jantung rematik.

Tabel : Pencegahan Sekunder Demam Rematik

Obat Dosis Cara

Benzathine Penicillin G

Penisilin V

Sulfadiazine

600.000 unit untuk pasien

<30kg

1 200.000 unit untuk pasien

>30kg

250 mg

0,5 g untuk pasien < 30 kg

1g untuk pasien >30 kg

Intramuskular tiap 3-4

minggu

Oral dua kali sehari

Oral sekali sehari

Lama pencegahan adalah sebagai berikut:

Kategori pasien Durasi

Demam rematik tanpa karditis.

Demam rematik dengan karditis tanpa bukti

adanya penyakit jantung residual/kelainan

katup.

Demam rematik akut dengan karditis dan

penyakit jantung residual(kelainan katup

persisten).

Setelah operasi katup.

Sedikitnya sampai 5 tahun setelah

serangan terakhir atau hingga usia 18

tahun.

Sedikitnya sampai 10 tahun setelah

serangan terakhir atau hingga usia 25

tahun, dipilih jangka waktu yang terlama.

Sedikitnya 10 tahun sejak episode terakhir

atau sedikitnya hingga usia 40 tahun dan

kadang-kadang seumur hidup.

Seumur hidup.

35

Pembedahan

Indikasi bedah pada penyakit jantung rematik kronik lebih sering terdapat pada orang

dewasa atau dewasa muda daripada pada anak. Tindakan bedah (penggantian katup) tidak

dapat dilakukan karena pasien masih dalam taraf pertumbuhan atau kalaupun sudah

melewati masa pubertas berbagai kendala menyebabkan operasi tidak dapat dilakukan.

Pada anak, indikasi bedah umumnya adalah kardiomegali berat yang menetap yang

menghalangi kehidupan normal, kardiomegali progresif serta gagal jantung yang tidak

dapat diatasi dengan terapi medik. Kriteria indikasi lain tergantung dari lesi yang ada,

serta kemampuan tim bedah. Sebaiknya tindakan dilakukan setelah prosesnya benar-

benar tenang dan stabil, tetapi kadang pasien dengan karditis aktif dengan gagal jantung

yang tidak dapat diatasi dengan terapi medis dapat dipertimbangkan untuk operasi.

Pada insufisiensi mitral, tindakan bedah yang dikerjakan adalah anuloplasti mitral

atau penggantian katup. Komisurotomi dilakukan untuk memperbaiki stenosis mitral,

sedangkan pada insufisiensi aorta dapat dilakukan protesis atau homograf. Prabedah

biasanya diperlukan penelitian hemodinamik dengan kateterisasi jantung serta pemastian

beratnya lesi dengan angiografi.

Dalam beberapa tahun terakhir ini dikembangkan cara baru untuk mengatasi

stenosis mitral, yaitu dengan valvulotomi mitral dengan menggunakan kateter balon.

Dibandingkan dengan komisurotomi bedah, valvulotomi mitral dengan balon lebih

mudah, lebih murah, kurang invasif, dan jauh lebih aman.

2.11. Komplikasi

Pada pasien yang mengalami perburukan klinis tanpa diketahui sebabnya, hal berikut

harus dipikirkan:

1. Reaktivasi karditis rematik. Pada banyak pasien hal ini sulit dikesampingkan

terutama bila tidak terdapat tanda demam rematik akut yang jelas

2. Infeksi. Endokarditis yang tidak diketahui dan tidak diobati menyulitkan penyakit

jantung rematik; yang akhirnya menyebabkan gagal jantung yang amat sulit

dikendalikan. Pada pasien yang telah sembuh dari endokarditis, kerusakan katup

dapat mengawali perburukan perjalanan penyakit.

36

3. Ketidakseimbangan elektrolit. Terapi diuretik jangka panjang dapat dipersulit

oleh hipokalemia, alkalosis hipokloremik atau hiponatremia.

4. Emboli paru tidak sering terjadi pada anak dan remaja, tetapi harus dipikirkan

pada pasien yang tidak responsif terhadap terapi.

Komplikasi lain yang khas pada pasien penyakit jantung rematik kronis yang

memerlukan terapi spesifik meliputi:

a. Edema paru; ini merupakan kedaruratan medis dan memerlukan pemberian

oksigen, morfin, diuretic, turniket berselang-seli dan pemberian digitalis secara

benar.

b. Hemoptisis; komplikasi yang menakutkan ini jarang mmenyebabkan hipovolemia

yang bermakna dan jarnag fatal, dan perlu ditangani dengan tirah baring dan

morfin.

2.12. Prognosis

Morbiditas demam rematik akut berhubungan erat dengan derajat keterlibatan jantung.

Mortalitas sebagian besar akibat karditis berat, komplikasi yang sekarang sudah jarang

ditemukan di negara maju namun masih sering ditemukan di negara berkembang.

Profilaksis sekunder yang efektif mencegah kambuhnya demam rematik akut hingga

mencegah perburukan kondisi jantung. Pengamatan menunjukkan angka penyembuhan

yang tinggi penyakit katup bila profilaksis dilakukan secara teratur.

37

BAB III

KESIMPULAN

Demam rematik adalah suatu reaksi autoimun terhadap faringitis streptokokus

beta hemolitikus grup A yang mekanismenya belum sepenuhnya dimengerti. Suatu

penyakit yang sembuh sendiri, menyerang sendi, kulit, otak, lapisan serosa dan jantung.

Gambaran patologinya ditandai oleh granuloma patognomonis yang khas, terdiri

dari infiltrasi perivaskular oleh sel-sel protoplasma fibrinoid (benda Aschoff). Benda

Aschoff yang ditemukan pada semua penderita dengan aktifitas reumatik klinis, pada

penderita yang mati karena demam rematik fulminan dan sering juga ditemukan pada

kelainan katup kronis. Biakan usap tenggorokan pada penderita yang belum diobati

sering positif streptokokus hemolitikus.

Demam rematik aktif yang tidak diobati berlangsung antara beberapa minggu

sampai beberapa bulan, rata-rata sekitar 8 sampai 16 minggu untuk aktifitas rematik

dilihat dari adanya peningkatan laju endap darah, gagal jantung, nodul, eritema

marginatum atau korea. Aktifitas rematik terjadi lebih lama pada penderita dengan

karditis.

Demam rematik mempunyai kecenderungan untuk berulang (reaktivasi).

Gambaran klinis dan laboratorium pada reaktivasi ini sama saja dengan gejala serangan

pertama. Dengan pencegahan yang benar, angka kejadian reaktivasi dapat ditekan

menjadi sangat rendah.

Tindakan pencegahan terhadap demam rematik adalah pencegahan primer dan

sekunder. Pencegahan primer adalah pengobatan yang adekuat terhadap semua pasien

infeksi saluran nafas bagian atas akibat streptokokus beta hemolitikus grup A. dengan

pencegahan sekunder bermaksud upaya untuk mencegah terjadinya infeksi streptokokus

pada pasien demam rematik stadium IV (tenang, inaktif), termasuk mereka yang hanya

pernah menunjukkan gejala korea minor saja.

38

BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

1. Miller, Micheal L: Rheumatic Disease of Chilhood. Nelson Textbook of Pediatrics. 17th Edition. Saunders. 2004 : 793-879.

2. Wahab S. Donald C. Demam Rematik. Kardiologi Anak Nadas. Gajah Mada University Press. 1996 : 334–368.

3. Sastroasmoro S. Madiyono B. Demam Rematik Akut. Buku Ajar Kardiologi Anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 1994 : 279-343.

4. Markum A.H. Demam Rematik. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Jilid 1. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1985: 606-614.

5. Curran T, Sheppard G. Anatomy and Physiology of the Heart. Canterbury District Health Board. 2011:5-10.

6. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Demam Rematik Akut. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia Edisi II. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011: 41-45.

7. B K Rahmat, T P Sukman. Profil Klinis dan Keluaran Penyakit Jantung Rematik pada Anak yang Menjalani Bedah Katup. Sari Pediatri Vol.3 No.3. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011:200-206.

8. Rahmawaty NK, Iskandar B, Albar H. Faktor Risiko Serangan Berulang Demam Rematik/Penyakit Jantung Rematik. Sari Pediatri Vol.14, No.3. 2012:179-184.

9. Thomas K, PS Rao. Pediatric Rheumatic Heart Disease. Medscape. 2014. Accessed at http://emedicine.medscape.com/article/891897-overview on August 14th, 2015.

10. Thomas K, PS Rao. Pediatric Rheumatic Heart Disease Clinical Presentation. Medscape. 2014. Accessed at http:// emedicine.medscape.com/article/891897-clinical on September 9th, 2015.

11. PB Allen. Pathology of Rheumatic Heart Disease. Medscape. 2013. Accessed at emedicine.medscape.com/article/1862779-overview#a2 on September 9th, 2015.

39

12. Todar K. Streptococcus pyogenes and Streptococcal Disease. Textbook of Bacteriology. Accessed at http://textbookofbacteriology.net/streptococcus.html on September 9th, 2015.

13. CLF Woo, KT Liu, BMY Young. Acute Rheumatic Fever Presenting with Sydenham’s Chorea. HK J Pediatric(new series)2003;8:198-202.

14. Rheumatic Heart D isease. World Heart Federation. 2012. Accessed on August 14th, 2015.

40