isi portofolio fraktur pelvis.docx

54
BAB I TINJAUAN PUSTAKA 1.1 REGIO PELVIS 1.1.1 Anatomi Pelvis merupakan struktur mirip-cincin yang terbentuk dari tiga tulang: sacrum dan dua tulang innominata, yang masing-masing terdiri dari ilium, ischium dan pubis. Tulang- tulang innominata menyatu dengan sacrum di bagian posterior pada dua persendian sacroiliaca; di bagian anterior, tulang- tulang ini bersatu pada simfisis pubis. Simfisis bertindak sebagai penopang sepanjang memikul beban berat badan untuk mempertahankan struktur cincin pelvis. 1 Tiga tulang dan tiga persendian tersebut menjadikan cincin pelvis stabil oleh struktur ligamentosa, yang terkuat dan paling penting adalah ligamentum-ligamentum sacroiliaca posterior. Ligamentum-ligamentum ini terbuat dari serat oblik pendek yang melintang dari tonjolan posterior sacrum sampai ke spina iliaca posterior superior (SIPS) dan spina iliaca posterior inferior (SIPI) seperti halnya serat longitudinal yang lebih panjang melintang dari sacrum lateral sampai ke spina iliaca posterior superior (SIPS) dan bergabung dengan ligamentum sacrotuberale. 1 1

Upload: cherish-violina

Post on 20-Oct-2015

122 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Isi portofolio fraktur pelvis.docx

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 REGIO PELVIS

1.1.1 Anatomi

Pelvis merupakan struktur mirip-cincin yang terbentuk dari tiga tulang: sacrum dan

dua tulang innominata, yang masing-masing terdiri dari ilium, ischium dan pubis. Tulang-

tulang innominata menyatu dengan sacrum di bagian posterior pada dua persendian

sacroiliaca; di bagian anterior, tulang-tulang ini bersatu pada simfisis pubis. Simfisis

bertindak sebagai penopang sepanjang memikul beban berat badan untuk mempertahankan

struktur cincin pelvis.1

          Tiga tulang dan tiga persendian tersebut menjadikan cincin pelvis stabil oleh

struktur ligamentosa, yang terkuat dan paling penting adalah ligamentum-ligamentum

sacroiliaca posterior. Ligamentum-ligamentum ini terbuat dari serat oblik pendek yang

melintang dari tonjolan posterior sacrum sampai ke spina iliaca posterior superior (SIPS)

dan spina iliaca posterior inferior (SIPI) seperti halnya serat longitudinal yang lebih

panjang melintang dari sacrum lateral sampai ke spina iliaca posterior superior (SIPS) dan

bergabung dengan ligamentum sacrotuberale. 1

Gambar 1. Pandangan posterior (A) dan anterior (B) dari ligamentum pelvis.1

Ligamentum sacroiliaca anterior jauh kurang kuat dibandingkan dengan

ligamentum sacroiliaca posterior. Ligamentum sacrotuberale adalah sebuah jalinan kuat

yang melintang dari sacrum posterolateral dan aspek dorsal spina iliaca posterior sampai

ke tuber ischiadicum. Ligamentum ini, bersama dengan ligamentum sacroiliaca posterior,

1

Page 2: Isi portofolio fraktur pelvis.docx

memberikan stabilitas vertikal pada pelvis. Ligamentum sacrospinosum melintang dari

batas lateral sacrum dan coccygeus sampai ke ligamentum sacrotuberale dan masuk ke

spina ischiadica. Ligamentum iliolumbale melintang dari processus transversus lumbalis

keempat dan kelima sampai ke crista iliaca posterior; ligamentum lumbosacrale melintang

dari processus transversus lumbalis ke lima sampai ke ala ossis sacri (gambar 1).1

Dinding anterior pelvis adalah dinding yang paling dangkal, dan dibentuk oleh

permukaan posterior korpus os pubis, rami pubicum, dan sympisis pubis. Dinding

posterior pelvis luas dan dibentuk oleh os.sacrum, dan os. Coccygis serta musculus

piriformis dan fasia pelvis parietalis yang meliputinya.1

Dinding lateralis pelvis dibentuk oleh sebagian os.coxae dibawah aperture pelvis

superior, membrane obturatoria, ligamentum sakrotuburale, dan ligamentum sakrospinale,

serta musculus obturatorius internus beserta fascia yang meliputinya. Os.coxae (tulang

panggul) terdiri atas os ilium yang terletak di superior, os ischium yang terletak di

posterior dan inferior, dan os pubis yang terletak di anterior dan inferior. Pada permukaan

luar os coxae terdapat lekukan dalam, acetabulum, yang bersendi dengan kaput femoralis.

Dibelakang acetabulum terdapat incisura besar, incisura ischiadica major yang dipisahkan

dari incisura ischiadica minor oleh spina ischiadica. Os ilium yang merupakan bagian atas

os coxae yang rata, mempunyai crista iliaca yang berjalan diantara spina iliaka anterior

superior dan spina iliaka posterior superior. Dibawah kedua spina ini terdapat spina iliaca

anterior inferior, dan spina iliaca posterior inferior. Os ischii merupakan bagian inferior

dan posterior os coxae dan mempunyai spina ischiadica dan tuber ishiadicum. Os pubis

merupakan bagian anterior os coxae dan mempunyai corpus ossis pubis, ramus superior

ossis pubis, dan ramus inferior ossis pubis. Pada bagian bawah coxae terdapat lubang

besar, foramen obturatorum yang dibatasi oleh bagian-bagian os ischium dan os pubis.

Foramen obturatoum ditutupi oleh membrane obturatoria. 1

Fascia pelvis dibentuk oleh jaringan ikat dan dilanjutkan ke atas sebagai fascia

yang membatasi dinding abdomen. Dibawah, fascia melanjut sebagai fascia perinea.

Fascia pelvis dibagi menjadi fascia pelvis parietalis, dan fascia pelvis visceralis. Fascia

pelvis parietalis membatasi dinding-dinding pelvis dan diberi nama sesuai dengan otot

yang dilapisinya. Fascia pelvis viseralis merupakan jaringan ikat longgar yang meliputi

dan menyokong semua visceral pelvis. 1

Plexus sacralis terletak pada dinding posterior pelvis di depan musculus

piriformis.plexus ini dibentuk dari rami anterior nervi lumbales IV dan V serta nervi

2

Page 3: Isi portofolio fraktur pelvis.docx

anterior nervi sacrales I, II, III, IV. Sebagian nervus lumbalis IV bergabung dengan nervus

lumbalis V untuk membentuk truncus lumbosacralis. Truncus lumbosacralis berjalan turun

kedalam pelvis dan bergabung dengan nervus sacrales waktu nervus sacrales keluar dari

foramina sacralia anterior. Cabang-cabang plexus sacralis yang menuju ke ekstremitas

inferior antara lain : nervus ischiadicus, nervus gluteus superior, nervus gluteus inferior,

saraf untuk musculus quadratus femoris, saraf untuk musculus obturatorius internus,

nervus cutaneus femoris posterior. Cabang-cabang plexus sacralis untuk otot-otot pelvis,

visceral pelvis, dan perineum antara lain : nervus pudendus, saraf untuk musculus

piriformis, nervus splanchnicus pelvicus, nervus cutaneus perforans. 1

Plexus lumbalis memiliki cabang-cabang antara lain : truncus lumbosacralis, dan

nervus obturatorius. Truncus lumbosacralis dibentuk dari sebagian ramus anterior nervus

lumbalis 4 yang muncul dari sisi medial musculus psoas major dan bergabung dengan

ramus anterior nervus lumbalis 5. Nervus obturatorius yang merupakan cabang dari plexus

lumbalis ini muncul dari sisi medial musculus psoas major didalam abdomen dan

mengikuti truncus lumbosacralis kebawah masuk kedalam pelvis. Nervus obturatorius ini

terbagi 2 menjadi cabang anterior dan posterior yang berjalan melalui canalis obturatorius

dan masuk ke regio aduktor tungkai atas. 1

Gambar 2. Sisi Lateral Tulang Innominatum1

3

Page 4: Isi portofolio fraktur pelvis.docx

1.1.2 Sistem Sirkulasi Pelvis

Arteri iliaca communis terbagi, menjadi arteri iliaca externa, yang terdapat pada

pelvis anterior diatas pinggiran pelvis. Arteri iliaca interna terletak diatas pinggiran pelvis.

Arteri tersebut mengalir ke anterior dan dalam dekat dengan sendi sacroliliaca. Cabang

posterior arteri iliaca interna termasuk arteri iliolumbalis, arteri glutea superior dan arteri

sacralis lateralis. Arteri glutea superior berjalan ke sekeliling menuju bentuk panggul lebih

besar, yang terletak secara langsung diatas tulang. Cabang anterior arteri iliaca interna

termasuk arteri obturatoria, arteri umbilicalis, arteri vesicalis, arteri pudenda, arteri glutea

inferior, arteri rectalis dan arteri hemoroidalis. 1

Gambar 3. Aspek internal pelvis yang memperlihatkan pembuluh darah

mayor yang terletak pada dinding dalam pelvis1

Arteri pudenda dan obturatoria secara anatomis berhubungan dengan rami pubis dan

dapat cedera dengan fraktur atau perlukaan pada struktur ini. Arteri-arteri ini dan juga

vena-vena yang menyertainya seluruhnya dapat cedera selama adanya disrupsi pelvis

(gambar 2). Pemahaman tentang anatomi pelvis akan membantu ahli bedah ortopedi untuk

mengenali pola fraktur mana yang lebih mungkin menyebabkan kerusakan langsung

terhadap pembuluh darah mayor dan mengakibatkan perdarahan retroperitoneal

signifikan.1

 

4

Page 5: Isi portofolio fraktur pelvis.docx

1.2 FRAKTUR PELVIS

1.2.1 Definisi

Patah tulang panggul adalah gangguan struktur tulang panggul. Tulang panggul

terdiri dari ilium, ischium, dan pubis, yang merupakan cincin anatomi dengan sakrum.

Gangguan dari cincin ini membutuhkan energi yang signifikan. Patah tulang panggul

sering melibatkan cedera pada organ-organ yang terdapat dalam tulang panggul. Patah

tulang panggul sering dikaitkan dengan pendarahan parah karena pasokan darah yang luas

ke wilayah tersebut.2

1.2.2 Epidemiologi

Fraktur pelvis merupakan 3% kasus dari semua kasus fraktur tulang. Lebih dari

separuh dari semua kasus fraktur pelvis terjadi akibat dari trauma minimal-sampai sedang.

Disisi lain, fraktur pelvis yang berat dapat menyebabkan komplikasi yang signifikan.

Sebuah analisis baru-baru ini lebih dari 63.000 pasien trauma menunjukkan bahwa fraktur

pelvis berkaitan dengan tingginya angka mortality yang disebabkan oleh karena

perdarahan, baik panggul atau extrapelvic, atau terkait cedera kepala parah.3

1.2.4 Klasifikasi

Beberapa sistem klasifikasi telah dirumuskan untuk menjelaskan cedera pelvis

berdasarkan sifat dasar dan stabilitas disrupsi pelvis atau berdasarkan besar dan arah

tekanan yang diberikan ke pelvis. Masing-masing klasifikasi telah dikembangkan untuk

memberikan tuntunan pada ahli bedah umum dan ortopedi tentang tipe dan kemungkinan

masalah kesulitan manajemen yang mungkin dihadapi dengan masing-masing tipe

fraktur.4

a. Klasifikasi menurut Young dan Burges

Sistem klasifikasi fraktur pelvis ini, paling erat hubungannya dengan kebutuhan

resusitasi dan pola yang terkait dengan cedera. Sistem ini berdasarkan pada seri standar

gambaran pelvis dan gambaran dalam dan luar, sebagaimana dijelaskan oleh Pennal dkk.

          Klasifikasi Young-Burgess membagi disrupsi pelvis kedalam cedera-cedera

kompresi anterior-posterior (APC), kompresi lateral (LC), shear vertikal (VS), dan

mekanisme kombinasi (CM) (gambar 3). Kategori APC dan LC lebih lanjut

5

Page 6: Isi portofolio fraktur pelvis.docx

disubklasifikasi dari tipe I – III berdasarkan pada meningkatnya perburukan cedera yang

dihasilkan oleh peningkatan tekanan besar. Cedera APC disebabkan oleh tubrukan anterior

terhadap pelvis, sering mendorong ke arah diastase simfisis pubis. Ada cedera “open

book” yang mengganggu ligamentum sacroiliaca anterior seperti halnya ligamentum

sacrospinale ipsilateral dan ligamentum sacrotuberale. Cedera APC dipertimbangkan

menjadi penanda radiografi yang baik untuk cabang-cabang pembuluh darah iliaca interna,

yang berada dalam penjajaran dekat dengan persendian sacroiliaca anterior.

Gambar 4. Klasifikasi fraktur pelvis Young-Burgess. A, kompresi

anteroposterior tipe I. B, kompresi anteroposterior tipe II. C, kompresi

anteroposterior tipe III. D, kompresi lateral tipe I. E, kompresi lateral tipe

II. F, kompresi lateral tipe III. G, shear vertikal. Tanda panah pada masing-

masing panel mengindikasikan arah tekanan yang menghasilkan pola

fraktur.

  Cedera LC sebagai akibat dari benturan lateral pada pelvis yang memutar pelvis

pada sisi benturan ke arah midline. Ligamentum sacrotuberale dan ligamentum

sacrospinale, serta pembuluh darah iliaca interna, memendek dan tidak terkena gaya tarik.

Disrupsi pembuluh darah besar bernama (misal, arteri iliaca interna, arteri glutea superior)

relatif luar biasa dengan cedera LC; ketika hal ini terjadi, diduga sebagai akibat dari

laserasi fragmen fraktur.

          Cedera VS dibedakan dari pemindahan vertikal hemipelvis. Perpindahan hemipelvis

mungkin dibarengi dengan cedera vaskuler lokal yang parah. Pola cedera CM meliputi

6

Page 7: Isi portofolio fraktur pelvis.docx

fraktur pelvis berkekuatan tinggi yang ditimbulkan oleh kombinasi dua vektor tekanan

terpisah.

          Klasifikasi fraktur pelvis Young-Burgess dan dugaan vektor tekanan juga telah

menunjukkan berkorelasi baik dengan pola cedera organ, persyaratan resusitasi, dan

mortalitas. Secara khusus, kenaikan pada mortalitas telah terbukti sebagaimana

meningkatnya angka APC. Pola cedera yang terlihat pada fraktur APC tipe III telah

berkorelasi dengan kebutuhan cairan 24-jam terbesar. Pada sebuah seri terhadap 210

pasien berurutan dengan fraktur pelvis, Burgess dkk menemukan bahwa kebutuhan

transfusi bagi pasien dengan cedera LC rata-rata 3,6 unit PRC, dibandingkan dengan rata-

rata 14,8 unit bagi pasien dengan cedera APC. Pada seri yang sama, pasien dengan cedera

VS rata-rata 9,2 unit, dan pasien dengan cedera CM memiliki kebutuhan transfusi rata-rata

sebesar 8,5 unit. Angka mortalitas keseluruhan pada seri ini adalah 8,6%. Angka

mortalitas lebih tinggi terlihat pada pola APC (20%) dan pola CM (18%) dibandingkan

pada pola LC (7%) dan pola VS (0%). Burgess dkk mencatat hilangnya darah dari cedera

pelvis yang dihasilkan dari kompresi lateral jarang terjadi, dan penulis menghubungkan

kematian pada pasien dengan cedera LC pada penyebab lainnya.

b. Klasifikasi menurut Tile

Klasifikasi pelvis ini berdasarkan integritas kompleks Sakroiliaca Posterior.

1) Tipe A : Fraktur stabil, kompleks sakroiliaca intak.

Tipe A1 : fraktur panggul tidak mengenai cicin panggul

Tipe A2 : stabil, terdapat pergeseran cincin yang minimal dari fraktur

(Tipe A termasuk fraktur avulsi atau fraktur yang mengenai cincin

panggul).7

Gambar 5. Fraktur Stabil

7

Page 8: Isi portofolio fraktur pelvis.docx

2) Tipe B : Fraktur tidak stabil, umumnya trauma disebabkan oleh adanya rotasi

eksterna atau interna yang mengakibatkan gangguan parsial kompleks sacroiliac

posterior.

Tipe B1 : open book.

- Stage 1 : symphisiolisis < 2,5 cm, terapi bed rest

- Stage 2 : symphisiolisis > 2,5 cm, terapi OREF

- Stage 3 : bilateral lessio, terapi OREF

Tipe B2 : kompresi lateral/ipsilateral

Tipe B3 : kompresi lateral/kontralateral

(Tipe B mengalami rotasi eksterna yang mengenai satu sisi panggul (open

book), atau rotasi interna atau kompresi lateral yang dapat menyebabkan

fraktur pada ramus isiopubis pada satu atau kedua sisi disertai trauma pada

bagian posterior tetapi simpisis tidak terbuka (closed book)) 7

Gambar 6. Fraktur Tidak Stabil

8

Page 9: Isi portofolio fraktur pelvis.docx

3) Tipe C : Fraktur tidak stabil, akibat adanya trauma yang terjadi secara rotasi dan

vertical

Tipe C1 : unilateral

Tipe C2 : bilateral

Tipe C3 : disertai fraktur acetabulum

(terdapat disrupsi ligament posterior pada satu atau kedua sisi disertai

pergeseran dari salah satu sisi panggul secara vertical, mungkin juga

disertai fraktur asetabulum)

Gambar 7. Fraktur tidak stabil pada trauma rotasi dan vertical

c. Klasifikasi menurut Key dan Cowell

1) Fraktur pada salah satu tulang tanpa adanya disrupsi cincin.

Fraktur avulsi

Fraktur pubis dan isium

Fraktur sayap ilium

Fraktur sacrum

Fraktur dan dislokasi tulang koksigeus

2) Keretakan tunggal pada cincin panggul

Fraktur pada kedua ramus ipsilateral

Fraktur dekat atau subluksasi simfisis pubis

Fraktur dekat atau subluksasi sendi sakro-iliaka

3) Fraktur bilateral pada cincin panggul

Fraktur vertical ganda dan atau dislokasi pubis

Fraktur ganda dan atau dislokasi (Malgaigne)

Fraktur multiple yang hebat

9

Page 10: Isi portofolio fraktur pelvis.docx

4) Fraktur asetabulum

Tanpa pergeseran

Dengan pergeseran

1.2.5 Mekanisme Trauma

Trauma biasanya terjadi secara langsung pada panggul karena tekanan yang besar

atau karena jatuh dari ketinggian. Pada orang tua dengan osteoporosis atau osteomalasia

dapat terjadi fraktur stress pada ramus pubis. Oleh karena rigiditas panggul maka

keretakan pada salah satu bagian cincin akan disertai robekan pada titik lain, kecuali pada

trauma langsung. Sering titik kedua tidak terlihat dengan jelas atau mungkin terjadi

robekan sebagian atau terjadi reduksi spontan pada sendi sakro-iliaka. 5

Mekanisme trauma pada cincin panggul terdiri atas sebagai berikut.5

1. Kompresi anteroposterior

Hal ini biasanya terjadi akibat tabrakan antara pejalan kaki dengan kendaraan.

Ramus pubis mengalami fraktur, tulang inominata terbelah dan mengalami rotasi eksterna

disertai robekan simphisis. Keadaan ini disebut sebagai open book injury. Bagian posterior

ligament sacro-iliaka mengalami robekan partial atau dapat disertai fraktur bagian

belakang ilium

Gambar 8. Gambaran radiologi fraktur kompresi

anteriorposterior (APC) yang melibatkan diastasis simfisis

atau rami fraktur longitudinal.

2. Kompresi lateral

Kompresi dari samping akan menyebabkan cincin mengalami keretakan. Hal ini

terjadi apabila ada trauma samping karena kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari

10

Page 11: Isi portofolio fraktur pelvis.docx

ketinggian. Pada keadaan ini ramus pubis bagian depan pada kedua sisinya mengalami

fraktur dan bagian belakang terdapat strain dari sendi sakro-iliaka atau fraktur ilium atau

dapat pula fraktur ramus pubis pada sisi yang sama.

3. Trauma vertical

Tulang inominata pada satu sisi mengalami pergerakan secara vertical disertai

fraktur ramus pubis dan disrupsi sendi sakro-iliaka pada sisi yang sama. Hal ini terjadi

apabila seseorang jatuh dari ketinggian pada satu tungkai.

Gambar 9. Gambaran radiologi fraktur vertical.

4. Trauma kombinasi

Pada trauma yang lebih hebat dapat terjadi kombinasi kelainan diatas.

1.2.6 Gejala Klinis

Fraktur panggul merupakan salah satu trauma multiple yang dapat mengenai organ-

organ lain dalam panggul. Keluhan yang dapat terjadi pada fraktur panggul antara lain

sebagai berikut 2,4,5

1. Nyeri

2. Pembengkakan

3. Deformitas

4. Perdarahan subkutan sekitar panggul

5. Hematuria

6. Perdarahan yang berasal dari vagina, urethra, dan rectal

7. Syok

11

Page 12: Isi portofolio fraktur pelvis.docx

1.2.7 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

penunjang.

1.2.8 Pemeriksaan Penunjang

Beberapa pemeriksaan yang dilakukan untuk menunjang penegakan diagnosis

pada fraktur pelvis adalah sebagai berikut. 4,5

a. Pemeriksaan Laboratorium

1) Pemeriksaan serial hemoglobin dan hematokrit, tujuannya untuk memonitor kehilangan darah yang sedang berlangsung.

2) Pemeriksaan urin, untuk menilai adanya gross hematuria dan atau mikroskopik.

3) Kehamilan tes ditunjukkan pada wanita usia subur untuk mendeteksi kehamilan serta pendarahan sumber potensial (misalnya, keguguran, abrupsio plasenta).

b. Pemeriksaan Imaging

1) Radiografi

Radiograf anteroposterior pelvis merupakan skrining test dasar dan mampu

menggambarkan 90% cedera pelvis. Namun, pada pasien dengan trauma

berat dengan kondisi hemodynamic tidak stabil seringkali secara rutin

menjalani pemeriksaan CT scan abdomen dan pelvis, serta foto polos pelvis

yang tujuannya untuk memungkinkan diagnosis cepat fraktur pelvis dan

pemberian intervensi dini.

2) CT-Scan

CT scan merupakan imaging terbaik untuk evaluasi anatomi panggul dan

derajat perdarahan pelvis, retroperitoneal, dan intraperitoneal. CT scan juga

dapat menegaskan adanya dislokasi hip yang terkait dengan fraktur

acetabular.

3) MRI

MRI dapat mengidentifikasi lebih jelas adanya fraktur pelvis bila

dibandingkan dengan radiografi polos (foto polos pelvis). Dalam satu

12

Page 13: Isi portofolio fraktur pelvis.docx

penelitian retrospektif, sejumlah besar positif palsu dan negatif palsu itu

dicatat ketika membandingkan antara foto polos pelvis dengan MRI.

4) Ultrasonografi

Sebagai bagian dari the Focused Assessment with Sonography for Trauma

(FAST), pemeriksaan pelvis seharusnya divisualisasikan untuk menilai

adanya pendarahan/cairan intrapelvic. Namun, studi terbaru menyatakan

ultrasonografi memiliki sensitivitas yang lebih rendah untuk mengidentifikasi

hemoperitoneum pada pasien dengan fraktur pelvis. Oleh karena itu, perlu

diingat bahwa, meskipun nilai prediksi positif mencatat hemoperitoneum

sebagai bagian dari pemeriksaan FAST yang baik, keputusan terapeutik

menggunakan FAST sebagai pemeriksaan skrining mungkin terbatas.

5) Cystography

Pemeriksaan ini dilakukkan pada pasien dengan hematuria dan urethra utuh.

1.2.9 Evaluasi dan Penatalaksanaan

Evaluasi harus dilaksanakan sesegera mungkin berdasarkan prioritas

penanggulangan trauma yang terjadi , yaitu sebagai berikut.5,6

1. Resusitasi Awal

Kelola saluran atau jalan napas (Airway), pernapasan (breathing) dan sirkulasi

(Circulation), kontrol perdarahan dengan pemberian cairan atau transfusi.

Evaluasi dan manajemen syok hipovolemik adalah wajib sambil menstabilkan jalan

nafas dan pernafasan. Hipotensi dihubungkan dengan meningkatnya resiko

kematian, Adult Respiratory Distress Sybdrome, dan kegagalan organ multipel.

Hipotensi terkait dengan trauma tumpul mungkin disebabkan sejumlah penyebab,

termasuk kompromi hipovolemik, septik, kardiak atau neurologis. Pencarian yang

cepat dan sistematik terhadap sumber hipotensi harus dilakukan. Syok hemoragik

merupakan penyebab tersering hipotensi pada pasien trauma tumpul. Seorang pasien

dapat menjadi hipotensif akibat kehilangan darah terkait dengan satu lokasi

perdarahan atau kombinasi dari banyaknya lokasi perdarahan.

Perdarahan dari lokasi fraktur pelvis jarang sebagai satu-satunya penyebab

kehilangan darah pada pasien dengan cedera multipel, dan perdarahan masif dari

fraktur pelvis itu sendiri luar biasa. Pada satu seri besar pasien dengan fraktur pelvis,

13

Page 14: Isi portofolio fraktur pelvis.docx

perdarahan mayor muncul pada lokasi non-pelvis. Meskipun demikian, fraktur pelvis

harus dipertimbangkan diantara berbagai lokasi paling mencolok perdarahan yang

signifikan pada pasien yang tidak stabil secara hemodinamik, terutama sekali ketika

usaha awal untuk mengontrol perdarahan dari sumber lain gagal menstabilkan

pasien. Pada kasus-kasus dugaan perdarahan fraktur pelvis, stabilisasi pelvis

sementara harus segera terjadi selama evaluasi dan resusitasi awal. Stabilisasi

sementara dapat terdiri atas pengikat pelvis atau lembaran sederhana yang

dibungkuskan dengan aman disekeliling pelvis dan diamankan dengan pengapit

kokoh.

 Kehilangan darah dapat ditentukan pada evaluasi awal dengan menilai

pulsasi, tekanan darah, dan pengisian kembali kapiler. Sistem klasifikasi ATLS

dari American College of Surgeons berguna untuk memahami manifestasi

sehubungan dengan syok hemoragik pada orang dewasa (tabel 1). Volume darah

diperkirakan 7% dari berat badan ideal, atau kira-kira 4900 ml pada pasien dengan

berat badan 70 kg (155 lb). 

Tabel 1. Klasifikasi Perdarahan ATLS

Kelas Rata-rata

Kehilangan

Darah (mL)

Volume

Darah (%)

Tanda dan Gejala Umum Kebutuhan

Resusitasi

I < 750 < 15 Tidak ada perubahan denyut

jantung, pernafasan dan

tekanan darah

Tidak ada

II 750 – 1500 15 – 30 Takikardi dan takipnoe;

tekanan darah sistolik

mungkin hanya menurun

sedikit; pengurangan

pengurangan output urin (20-

30 mL/jam)

Biasanya larutan

kristaloid tunggal,

namun beberapa

pasien mungkin

membutuhkan

transfusi darah

III 1500 – 2000 30 – 40 Takikardi dan takipnoe yang

jelas, ekstremitas dingin

dengan pengisian-kembali

kapiler terlambat secara

Seringnya

membutuhkan

transfusi darah

14

Page 15: Isi portofolio fraktur pelvis.docx

signifikan,menurunnya

tekanan darah sistolik,

menurunnya status mental,

menurunnyaoutput urin (5-15

mL/jam)

IV > 2000 > 40 Takikardia jelas, tekanan

darah sistolik yang menurun

secara signifikan, kulit dingin

dan pucat, mental status yang

menurun dengan

hebat,output urin yang tak

berarti

Perdarahan yang

membahayakan-jiwa

membutuhkan

transfusi segera

Perdarahan kelas 1, didefinisikan sebagai kehilangan darah <15% dari total

volume darah, mendorong pada tidak adanya perubahan terukur pada kecepatan

jantung atau pernafasan, tekanan darah, atau tekanan nadi dan membutuhkan sedikit

atau tidak adanya perawatan sama sekali. Perdarahan kelas 2 didefinisikan sebagai

kehilangan darah 15-30% volume darah (750-1500 ml), dengan tanda-tanda klinis

termasuk takikardia dan takipnoe. Tekanan darah sistolik mungkin hanya sedikit

menurun, khususnya ketika pasien berada pada posisi supinasi, akan tetapi tekanan

nadi menyempit. Urin output hanya menurun sedikit (yaitu, 20-30 ml/jam). Pasien

dengan perdarahan kelas 2 biasanya dapat diresusitasi dengan larutan kristaloid saja,

namun beberapa pasien mungkin membutuhkan transfusi darah.

Perdarahan kelas 3 didefinisikan sebagai kehilangan 30-40% (1500-2000 ml)

volume darah. Perfusi yang tidak adekuat pada pasien dengan perdarahan kelas 3

mengakibatkan tanda takikardia dan takipnoe, ekstremitas dingin dengan pengisian

kembali kapiler yang terhambat secara signifikan, hipotensi, dan perubahan negatif

status mental yang signifikan. Perdarahan kelas 3 menghadirkan volume kehilangan

darah terkecil yang secara konsisten menghasilkan penurunan pada tekanan darah

sistemik. Resusitasi pasien-pasien ini seringnya membutuhkan transfusi darah sebagi

tambahan terhadap pemberian larutan kristaloid. Akhirnya, perdarahan kelas 4

didefinisikan sebagai kehilangan darah > 40% volume darah (> 2000 ml) mewakili

perdarahan yang mengancam-jiwa. Tanda-tandanya termasuk takikardia, tekanan

15

Page 16: Isi portofolio fraktur pelvis.docx

darah sistolik yang tertekan secara signifikan, dan tekanan nadi yang menyempit atau

tekanan darah diastolik yang tidak dapat diperoleh. Kulit menjadi dingin dan pucat,

dan status mental sangat tertekan. Urin output sedikit. Pasien-pasien ini

membutuhkan transfusi segera untuk resusitasi dan seringkali membutuhkan

intervensi bedah segera.

Resusitasi cairan dianggap cukup penting sebagai usaha yang dilakukan untuk

menilai dan mengontrol lokasi perdarahan. Dua bor besar (≥16-gauge) kanula

intravena harus dibangun secara sentral atau di ekstremitas atas sepanjang penilaian

awal. Larutan kristaloid ≥ 2 L harus diberikan dalam 20 menit, atau lebih cepat pada

pasien yang berada dalam kondisi syok. Jika respon tekanan darah yang cukup dapat

diperoleh, infus kristaloid dapat dilanjutkan sampai darah tipe-khusus atau

keseluruhan cocok bisa tersedia. Darah tipe-khusus, yang di crossmatch untuk tipe

ABO dan Rh, biasanya dapat disediakan dalam 10 menit; namun, darah seperti itu

dapat berisi inkompatibilitas dengan antibodi minor lainnya. Darah yang secara

keseluruhan memiliki tipe dan crossmatch membawa resiko lebih sedikit bagi reaksi

transfusi, namun juga butuh waktu paling banyak untuk bisa didapatkan (rata-rata 60

menit). Ketika respon infus kristaloid hanya sementara ataupun tekanan darah gagal

merespon, 2 liter tambahan cairan kristaloid dapat diberikan, dan darah tipe-khusus

atau darah donor-universal non crossmatch (yaitu, kelompok O negatif) diberikan

dengan segera. Kurangnya respon mengindikasikan bahwa kemungkinan terjadi

kehilangan darah yang sedang berlangsung, dan angiografi dan/atau kontrol

perdarahan dengan pembedahan mungkin dibutuhkan.

         Produk-produk darah dan Rekombinan Faktor

Pasien hipotensif yang tidak merespon resusitasi cairan awal membutuhkan

sejumlah besar cairan sesudah itu, mengarah pada defisiensi jalur hemostasis.

Karenanya, semua pasien yang seperti itu harus diasumsikan membutuhkan

trombosit dan fresh frozen plasma (FFP). Umumnya, 2 atau 3 unit FFP dan 7-8 unit

trombosit dibutuhkan untuk setiap 5 L penggantian volume.

          Transfusi darah masif memiliki resiko potensial imunosupresi, efek-efek

inflamasi, dan koagulopati dilusi. Sepertinya, volume optimal dan kebutuhan relatif

produk-produk darah untuk resusitasi masih kontoversial. Sebagai tambahan, jumlah

16

Page 17: Isi portofolio fraktur pelvis.docx

transfusi PRC merupakan faktor resiko independen untuk kegagalan multi-organ

paska cedera. Beberapa penulis telah mengusulkan bahwa pasien trauma koagulopati

terutama harus diresusitasi dengan penggunaan FFP yang lebih agresif, dengan

transfusi yang terdiri atas PRC, FFP dan trombosit dalam rasio 1:1:1 untuk

mencegah kemajuan koagulopati dini.

          Rekombinan faktor VIIa (rFVIIa) mungkin dipertimbangkan sebagai

intervensi akhir jika koagulopati dan perdarahan yang mengancam-jiwa menetap

disamping pengobatan lainnya. Ini merupakan penggunaan rFVIIa off-label. Boffard

dkk melakukan sebuah studi multicenter dimana pasien trauma berat yang menerima

6 unit PRC dalam 4 jam setelah masuk diacak pada baik pengobatan rFVIIa atau

plasebo. Pada kelompok rFVIIa, jumlah transfusi sel darah secara signifikan

berkurang (kira-kira 2,6 unit sel darah merah; P = 0,02), dan terdapat kecenderungan

ke arah reduksi mortalitas dan komplikasi.

2. Anamnesis

Gali informasi tentang keadaan dan waktu trauma (mekanisme trauma), miksi

terakhir, waktu dan jumlah (makan dan minum) yang terakhir, periksa apakah

sedang hamil atau menstruasi bila penderita seorang wanita serta trauma lainnya

seperti trauma pada kepala. Evaluasi lengkap penting pada pasien dengan fraktur

pelvis berkekuatan-tinggi karena kejadian ini jarang terjadi sebagai cedera tersendiri.

3. Pemeriksaan fisik

a. Keadaan umum

Catat secara teratur denyut nadi, tekanan darah dan respirasi

Secara cepat lakukan survey tentang kemungkinan trauma lainnya

Pemeriksaan fisik, radiografi dada, dan tube torakostomi akan mendeteksi

kemunculan dan beratnya kehilangan darah intratorakal. Pemeriksaan fisik

abdomen mungkin tidak terlalu jelas pada pasien yang tidak responsif.

Namun, rongga intraabdomen harus dikecualikan sebagai kemungkinan

sumber perdarahan pada pasien yang tidak stabil secara hemodinamik.

b. Lokal

17

Page 18: Isi portofolio fraktur pelvis.docx

Inspeksi perineum untuk mengetahui adanya perdarahan, pembengkakan,

dan deformitas.

Tentukan derajat ketidakstabilan cincin panggul dengan palpasi pada ramus

dan simfisis pubis.

Adakan pemeriksaan colok dubur.

4. Pemeriksaan tambahan

a. Foto polos panggul, toraks serta daerah lain yang dicurigai mengalami trauma.

b. Foto polos panggul dalam keadaan rotasi interna dan eksterna serta

pemeriksaan foto panggul lainnya.

c. Pemeriksaan urologis dan lainnya :

Kateterisasi

Ureterogram

Sistogram retrograde dan postvoiding

Pielogram intravena

Aspirasi diagnostic dengan lavase peritoneal. Evaluasi emergensi paling

sering dibuat dengan pemeriksaan sonografi abdominal terfokus untuk

trauma atau focused abdominal sonography for trauma/FAST.

5. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan meliputi sebagai berikut.

a. Stabilisasi fraktur panggul

Beberapa metode stabilisasi fraktur panggul adalah sebagai berikut.

Military Anti Shock Trousers (MAST)

Military antishock trousers (MAST) atau celana anti syok militer dapat

memberikan kompresi dan imobilisasi sementara terhadap cincin pelvis dan

ekstremitas bawah melalui tekanan berisi udara. Pada tahun 1970an dan 1980an,

penggunaan MAST dianjurkan untuk menyebabkan tamponade pelvis dan

meningkatkan aliran balik vena untuk membantu resusitasi. Namun,

penggunaan MAST membatasi pemeriksaan abdomen dan mungkin

18

Page 19: Isi portofolio fraktur pelvis.docx

menyebabkan sindroma kompartemen ekstermitas bawah atau bertambah satu

dari yang ada. Meskipun masih berguna untuk stabilisasi pasien dengan fraktur

pelvis, MAST secara luas telah digantikan oleh penggunaan pengikat pelvis

yang tersedia secara komersil.

Pengikat dan Sheet

Kompresi melingkar mungkin siap dicapai pada keadaan pra rumah-sakit

dan pada awalnya memberikan keuntungan stabilisasi selama pengangkutan dan

resusitasi. Lembaran terlipat yang dibalutkan secara melingkar di sekeliling

pelvis efektif secara biaya, non-invasif, dan mudah untuk diterapkan. Pengikat

pelvis komersial beragam telah ditemukan. Tekanan sebesar 180 N tampaknya

memberikan efektivitas maksimal. Sebuah studi melaporkan pengikat pelvis

mengurangi kebutuhan transfusi, lamanya rawatan rumah sakit, dan mortalitas

pada pasien dengan cedera APC (gambar 9).

Gambar 9. Ilustrasi yang mendemonstrasikan aplikasi alat

kompresi melingkar pelvis (pengikat pelvis) yang tepat, dengan

gesper tambahan (tanda panah) untuk mengontrol tekanan

           Rotasi eksterna ekstremitas inferior umumnya terlihat pada orang dengan

fraktur pelvis disposisi, dan gaya yang beraksi melalui sendi panggul mungkin

berkontribusi pada deformitas pelvis. Koreksi rotasi eksternal ekstremitas bawah

19

Page 20: Isi portofolio fraktur pelvis.docx

dapat dicapai dengan membalut lutut atau kaki bersama-sama, dan hal ini dapat

memperbaiki reduksi pelvis yang dapat dicapai dengan kompresi melingkar.

Fiksasi Eksternal

Fiksasi Eksternal Anterior Standar

          Beberapa studi telah melaporkan keuntungan fiksasi eksternal pelvis

emergensi pada resusitasi pasien yang tidak stabil secara hemodinamik dengan

fraktur pelvis tidak stabil. Efek menguntungkan fiksasi eksternal pada fraktur

pelvis bisa muncul dari beberapa faktor. Imobilisasi dapat membatasi

pergeseran pelvis selama pergerakan dan perpindahan pasien, menurunkan

kemungkinan disrupsi bekuan darah.

Pada beberapa pola (misal, APC II), reduksi volume pelvis mungkin

dicapai dengan aplikasi fiksator eksternal. Studi eksperimental telah

menunjukkan bahwa reduksi cedera pelvis “open book” mengarah pada

peningkatan tekanan retroperitoneal, yang bisa membantu tamponade

perdarahan vena. Penambahan fraktur disposisi dapat meringankan jalur

hemostasis untuk mengontrol perdarahan dari permukaan tulang kasar.

C-Clamp

          Fiksasi pelvis eksternal standar tidak menyediakan stabilisasi pelvis

posterior yang adekuat. Hal ini membatasi efektivitas pada pola fraktur yang

melibatkan disrupsi posterior signifikan atau dalam kasus-kasus dimana ala ossis

ilium mengalami fraktur.

 C-clamp yang diaplikasikan secara posterior telah dikembangkan untuk

menutupi kekurangan ini. Clamp memberikan aplikasi gaya tekan posterior tepat

melewati persendian sacroiliaca. Kehati-hatian yag besar harus dilatih untuk

mencegah cedera iatrogenik selama aplikasi; prosedur umumnya harus dilakukan

dibawah tuntunan fluoroskopi. Penerapan C-clamp pada regio trochanter femur

menawarkan sebuah alternatif bagi fiksasi eksternal anterior standar untuk fiksasi

sementara cedera APC.

20

Page 21: Isi portofolio fraktur pelvis.docx

Gambar 10. C-Clamp

Angiografi

Eksplorasi angiografi harus dipertimbangkan pada pasien dengan kehilangan

darah berkelanjutan yang tak dapat dijelaskan setelah stabilisasi fraktur pelvis

dan infus cairan agresif. Keseluruhan prevalensi pasien dengan fraktur pelvis

yang membutuhkan embolisasi dilaporkan <10%. Pada satu seri terbaru,

angiografi dilakukan pada 10% pasien yang didukung sebuah fraktur pelvis.

Pasien yang lebih tua dan yang memiliki Revised Trauma Score lebih tinggi

paling sering mengalami angiografi. Pada studi lain, 8% dari 162 pasien yang

ditinjau ulang membutuhkan angiografi. Embolisasi dibutuhkan pada 20% pola

cedera APC, cedera VS, dan fraktur pelvis kompleks, namun hanya 1,7% pada

cedera LC. Eastridge dkk melaporkan bahwa 27 dari 46 pasien dengan hipotensi

persisten dan fraktur pelvis yang sama sekali tak stabil, termasuk cedera APC II,

APC III, LC II, LC III dan VS, memiliki perdarahan arteri aktif (58,7%). Miller

dkk menemukan bahwa 19 dari 28 pasien dengan instabilitas hemodinamik

persisten diakibatkan oleh pada fraktur pelvis menunjukkan perdarahan arteri

(67,9%). Pada studi lain, ketika angiografi dilakukan, hal tersebut sukses

21

Page 22: Isi portofolio fraktur pelvis.docx

menghentikan perdarahan arteri pelvis pada 86-100% kasus. Ben-Menachem dkk

menganjurkan “embolisasi bersifat lebih-dulu”, menekankan bahwa jika sebuah

arteri yang ditemukan pada angiografi transected, maka arteri tersebut harus

diembolisasi untuk mencegah resiko perdarahan tertunda yang dapat terjadi

bersama dengan lisis bekuan darah. Penulis lain menjelaskan embolisasi non-

selektif pada arteri iliaca interna bilateral untuk mengontrol lokasi perdarahan

multipel dan menyembunyikan cedera arteri yang disebabkan oleh vasospasme.

          Angiografi dini dan embolisasi berikutnya telah diperlihatkan untuk

memperbaiki hasil akhir pasien. Agolini dkk menunjukkan bahwa embolisasi

dalam 3 jam sejak kedatangan menghasilkan angka ketahanan hidup yang lebih

besar secara signifikan. Studi lain menemukan bahwa angiografi pelvis yang

dilakukan dalam 90 menit izin masuk memperbaiki angka ketahanan hidup.

Namun, penggunaan angiografi secara agresif dapat menyebabkan komplikasi

iskemik. Angiografi dan embolisasi tidak efektif untuk mengontrol perdarahan

dari cedera vena dan lokasi pada tulang, dan perdarahan vena menghadirkan

sumber perdarahan dalam jumlah lebih besar pada fraktur pelvis berkekuatan-

tinggi. Waktu yang digunakan pada rangkaian angiografi pada pasien hipotensif

tanpa cedera arteri mungkin tidak mendukung ketahanan hidup.

Balutan Pelvis

          Balutan pelvis dikembangkan sebagai sebuah metode untuk mencapai

hemostasis langsung dan untuk mengontrol perdarahan vena yang disebabkan

fraktur pelvis. Selama lebih dari satu dekade, ahli bedah trauma di Eropa telah

menganjurkan laparotomi eksplorasi yang diikuti dengan balutan pelvis. Teknik

ini diyakini terutama berguna pada pasien yang parah. Ertel dkk menunjukkan

bahwa pasien cedera multipel dengan fraktur pelvis dapat dengan aman ditangani

menggunakan C-clamp dan balutan pelvis tanpa embolisasi arteri. Balutan lokal

juga efektif dalam mengontrol perdarahan arteri.

          Akhir-akhir ini, metode modifikasi balutan pelvis – balutan retroperitoneal

– telah diperkenalkan di Amerika Utara. Teknik ini memfasilitasi kontrol

perdarahan retroperitoneal melalui sebuah insisi kecil (gambar 5). Rongga

intraperitoneal tidak dimasuki, meninggalkan peritoneum tetap utuh untuk

22

Page 23: Isi portofolio fraktur pelvis.docx

membantu mengembangkan efek tamponade. Prosedurnya cepat dan mudah

untuk dilakukan, dengan kehilangan darah minimal. Balutan retroperitoneal tepat

untuk pasien dengan beragam berat ketidakstabilan hemodinamik, dan hal ini

dapat mengurangi angiografi yang kurang penting. Cothren dkk melaporkan

tidak adanya kematian sebagai akibat dari kehilangan darah akut pada pasien

yang tidak stabil secara hemodinamik persisten ketika balutan langsung

digunakan. Hanya 4 dari 24 yang bukan responden pada studi ini membutuhkan

embolisasi selanjutnya (16,7%), dan penulis menyimpulkan bahwa balutan

secara cepat mengontrol perdarahan dan mengurangi kebutuhan angiografi

emergensi.

Gambar 11. Ilustrasi yang mendemonstrasikan teknis pembalutan

retroperitoneal. A, dibuat sebuah insisi vertikal midline 8-cm. Kandung

kemih ditarik ke satu sisi, dan tiga bagian spons tak terlipat dibungkus

kedalam pelvis (dibawah pinggir pelvis) dengan sebuah forceps. Yang

pertama diletakkan secara posterior, berbatasan dengan persendian

sacroiliaca. Yang kedua ditempatkan di anterior dari spons pertama pada

titik yang sesuai dengan pertengahan pinggiran pelvis. Spons ketiga

ditempatkan pada ruang retropubis kedalam dan lateral kandung kemih.

Kandung kemih kemudian ditarik kesisi lainnya, dan proses tersebut

diulangi. B, Ilustrasi yang mendemonstrasikan lokasi umum enam bagian

spons yang mengikuti balutan pelvis.

23

Page 24: Isi portofolio fraktur pelvis.docx

b. Tindakan operatif bila ditemukan adanya kerusakan alat-alat dalam rongga

panggul.

Penetapan algoritma pengobatan klinis yang baku untuk pasien dengan fraktur

pelvis meningkatkan kemungkinan stabilisasi dan ketahanan hidup yang cepat. Bosch dkk

melaporkan bahwa pelaksanaan protokol standar pada pusat trauma mengarah pada

menurunnya mortalitas sehubungan dengan fraktur pelvis berkekuatan-tinggi dari 66,7%

menjadi 18,7%. Biffl dkk melaporkan bahwa jalur klinis mereka, termasuk segera

munculnya kehadiran ahli bedah ortopedi di departemen gawat-darurat, pembalutan pelvis,

dan penggunaan C-clamp agresif berikutnya, mengarah pada menurunnya mortalitas

secara signifikan, dari 31% mejadi 15% (P < 0,05). Balogh dkk menetapkan pedoman

institusional evidence-based terdiri atas ikatan pelvis dan pemeriksaan abdomen dalam 15

menit, angiografi pelvis dalam 90 menit, dan fiksasi ortopedi invasif minimal dalam 24

jam. Penggunaan pedoman ini mengurangi volume transfusi PRC 24-jam dari 16 ± 2 U

menjadi 11 ± 1 U (P < 0,05) dan mengurangi mortalitas dari 35% menjadi 7% (P < 0,05).6

          Beberapa algoritma terlalu kompleks yang kelihatannya tidak mungkin untuk

diikuti. Satu alasan kompleksitas ini adalah begitu banyaknya variasi sebagai penyebab

syok dan banyaknya sumber perdarahan pada pasien dengan fraktur pelvis. Juga,

pengobatan cenderung pada ketergantungan-kasus yang tinggi. Alasan lain adalah

kebanyakan algoritma pengobatan yang ditetapkan berdasarkan kapabilitas institusi untuk

dikembangkan. Meskipun prinsip mendasar protokol-protokol tersebut berguna, mungkin

juga penting untuk memodifikasi algoritma-algoritma tersebut agar sesuai dengan sumber

daya dan staf ahli pada masing-masing institusi.6

         Pada beberapa center, pasien dengan fraktur pelvis berkekuatan-tinggi dengan

instabilitas hemodinamik pada awalnya diberikan 2 L larutan kristaloid (gambar 6).

Radiografi dadaportable, bersama dengan gambaran radiografi pelvis dan tulang belakang

cervical lateral, diperiksa untuk menyingkirkan sumber kehilangan darah yang berasal dari

toraks. Saluran tekanan vena sentral dipasang, dan defisit basa diukur. Pemeriksaan

sonografi abdomen terfokus untuk trauma (focused abdominal sonography for

trauma/FAST) dilakukan. Jika hasilnya positif, pasien dibawa langsung ke ruang operasi

untuk laparotomi eksplorasi. Fiksator eksternal pelvis dipasang, dan dilakukan balutan

24

Page 25: Isi portofolio fraktur pelvis.docx

pelvis. Pasien yang secara hemodinamik tetap tidak stabil menjalani angiografi pelvis

sebelum dipindahkan ke ICU. Jika stabilitas hemodinamik pulih, pasien dipindahkan

langsung ke ICU. Di ICU, pasien menerima resusitasi cairan lanjutan dan dihangatkan;

berbagai usaha dilakukan untuk menormalkan status koagulasi. Jika pasien membutuhkan

transfusi berkelanjutan di ICU, penilaian angiografi, jika sebelumnya tidak dilakukan,

maka harus dilakukan. rFVIIa harus dipertimbangkan jika kondisi pasien melawan semua

intervensi lainnya.6

Gambar 12. Algoritma untuk pengobatan pasien dengan fraktur pelvis yang

muncul dengan instabilitas hemodinamik. Pasien yang belum dilakukan

laparotomi biasanya melakukan CT-scan abdomen yang dimulai di ICU. Di ICU,

pasien menerima resusitasi cairan lebih lanjut dan dihangatkan; berbagai usaha

dilakukan untuk menormalkan status koagulasi. rFVIIa harus dipertimbangkan

jika kondisi pasien melawan semua intervensi lainnya.FAST = focused abdominal

sonography for trauma, PRBCs = packed red blood cells

25

Page 26: Isi portofolio fraktur pelvis.docx

          Jika hasil FAST negatif, transfusi PRC dimulai di departemen gawat darurat. Jika

pasien secara hemodinamik tetap tidak stabil sambil mengikuti PRC unit kedua, pasien

dibawa ke ruang operasi untuk fiksasi eksternal pelvis dan balutan pelvis. Pasien yang

secara hemodinamik tetap tidak stabil mendapat angiografi pelvis sebelum dipindahkan ke

ICU. Jika stabilitas hemodinamik pulih, pasien dipindahkan langsung ke ICU. CT-scan

abdomen dapat dilakukan saat ini. Jika pasien membutuhkan transfusi berkelanjutan ketika

di ICU, penilaian angiografi, jika sebelumnya belum dilakukan, maka harus dilakukan.6

 Titik akhir resusitasi ditentukan berdasarkan kombinasi data laboratorium dan

tanda-tanda fisiologis. Pembacaan tingkat hemoglobin diketahui tidak akurat selama fase

akut resusitasi. Titik akhir resusitasi yang umumnya dipertimbangkan termasuk tekanan

darah normal, menurunnya denyut jantung, urin output yang cukup (≥ 30 mL/jam), dan

tekanan vena sentral (CVP) normal. Namun, bahkan setelah normalisasi parameter-

parameter ini, oksigenasi jaringan yang tidak memadai bisa menetap. Pengukuran

laboratorium tambahan yang dapat digunakan untuk mengevaluasi oksigenasi jaringan

termasuk defisit basa, bikarbonat dan laktat. Semua ini menilai glikolisis anaerobik. Istilah

defisit basa dan kelebihan basa digunakan bergantian, satu-satunya perbedaan untuk

menjadi defisit basa diperlihatkan sebagai nomor positif dan kelebihan basa diperlihatkan

sebagai nomor negatif. Defisit basa normal adalah 0-3 mmol/L; angka ini secara rutin

diukur melalui analisa gas darah arteri (AGDA). Defisit basa menetap menandakan

resusitasi yang tidak mencukupi.6

1.2.10 Komplikasi

Komplikasi fraktur pelvis dibagi sebagai berikut.2,4,5

1. Komplikasi segera

a. Thrombosis vena ilio-femoral.

Komplikasi ini sering ditemukan dan sangat berbahaya. Apabila ada keraguan

sebaiknya diberikan anti-koagulan secara rutin untuk profilaksis.

b. Robekan kandung kemih.

Robekan dapat terjadi apabila ada disrupsi simfisis pubis atau tusukan dari

bagian tulang panggul yang tajam.

c. Robekan urethra.

26

Page 27: Isi portofolio fraktur pelvis.docx

Robekan urethra terjadi karena adanya disrupsi simfisis pada daerah urethra

pars membranosa.

d. Trauma rectum dan vagina.

e. Trauma pembuluh darah besar yang akan menyebabkan perdarahan massif

sampai syok.

f. Trauma pada saraf.

Lesi saraf skiatik

Lesi saraf skiatik dapat terjadi pada saat trauma atau pada saat operasi.

Apabila dalam jangka waktu 6 minggutidak ada perbaikan, maka

sebaiknya dilakukkan eksplorasi.

Lesi pleksus lumbosakralis

Biasanya terjadi pada fraktur sacrum yang bersifat vertical, disertai

pergeseran. Dapat pula terjadi gangguan fungsi seksual apabila mengenai

pusat saraf.

2. Komplikasi lanjut

a. Pembentukan tulang heterotropik

Pembentukan tulang heterotropik biasanya terjadi setelah suatu trauma jaringan

lunak yang hebatatau setelah suatu diseksi operasi. Dapat diberikan

indometasin untuk profilaksis.

b. Nekrosis avaskuler

Nekrosis avaskuler dapat terjadi pada kaput femur beberapa waktu setelah

trauma

c. Gangguan pergerakan sendi serta osteoarthritis sekunder

Apabila terjadi fraktur pada daerah acetabulum dan tidak dilakukkan reduksi

yang akurat, sedangkan sendi ini menopang berat badan, maka akan terjadi

ketidak-sesuaian sendi yang akan memberikan gangguan pergerakan serta

osteoarthritis di kemudian hari.

d. Skoliosis kompensatoar

DAFTAR PUSTAKA

27

Page 28: Isi portofolio fraktur pelvis.docx

1. Snell, Richard S. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran; alih bahasa, Liliana Sugiharto; editor edisi bahasa indonesia, Huriawati Hartanto....[ et al]. Ed.6. Jakarta: EGC, 2006.

2. Rasjad, Chairuddin, Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. PT Yarsif Watampoe : Jakarta. 2007.

3. Sathy AK, Starr AJ, Smith WR, Elliott A, Agudelo J, Reinert CM. The effect of pelvic fracture on mortality after trauma: an analysis of 63,000 trauma patients. J Bone Joint Surg Am. Dec 2009;91(12):2803-10.

4. Fracture of the Pelvis. Di unduh dari http:// www. American Academy of Orthopaedic Surgeons/fracture pelvic.html. update terakhir : September 2007.

5. C Crawford Mechem. Fracture pelvic. Di unduh dari http://www.emedicine.com/orthoped/Fracture-Pelvic.htm. Up date terakhir: 12 Mei 2010

6. David J. Hak, Wade R. Smith, Takashi Suzuki. Manajemen Perdarahan pada Fraktur Pelvis yang Mengancam Nyawa. 2009

BAB II

28

Page 29: Isi portofolio fraktur pelvis.docx

ILUSTRASI KASUS

Pasien perempuan 18 tahun datang ke IGD RSUD Achmad Darwis Suliki dengan :

Keluhan Utama : Nyeri pada pinggang kiri sejak 30 menit sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang:

- Nyeri pada pinggang kiri sejak 30 menit sebelum masuk rumah sakit. Pasien

menyatakan nyeri terjadi setelah kecelakaan lalu lintas sejak 30 menit sebelum

masuk rumah sakit, pasien adalah pengendara sepeda motor yang bertabrakan

dengan sebuah mobil dari arah samping, kemudian pasien terjatuh. Nyeri dirasakan

terus menerus, bertambah dengan gerakan terutama saat panggul digerakkan. Saat

kejadian pasien sadar.

- Riwayat penurunan kesadaran tidak ada.

- Nyeri kepala minimal. Nyeri dada (-) napas sesak (-)

- Riwayat muntah saat kejadian (-). Pasien muntah setelah diobservasi selama 10

menit di UGD, frekuensi 1x, berisi makanan bercampur darah, muntah tidak

menyemprot.

- Nyeri perut (-)

- Luka terbuka (-)

Riwayat Penyakit Dahulu :

- Riwayat tekanan darah tinggi, sakit jantung, sakit gula, asma, alergi dan sakit

menular disangkal.

Riwayat penyakit keluarga :

- Tidak ada anggota keluarga yang memiliki riwayat tekanan darah tinggi,sakit

jantung, asma, alergi dan sakit gula sebelumnya

Riwayat pribadi dan sosial :

- Pasien seorang pelajar SMA

PEMERIKSAAN FISIK

29

Page 30: Isi portofolio fraktur pelvis.docx

Data pemeriksaan fisik

1. Primary survey

Airway : clear

Breathing : spontan, pernapasan 18x/menit, thorako-abdominal

Circulation : baik, nadi 72x/menit, tekanan darah 110/80 mmHg, CRT <2”

Disability : GCS = E4V5M6 = 15

2. Secondary Survey

Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang

Kesadaran : Compos mentis cooperatif

Nadi/ irama : 72 x/menit, teratur

Pernafasan : 18 x/menit

Tekanan darah : 110/80 mmHg

Suhu : 37oC

Status internus

Keadaan regional

Kepala : normochepali, rambut hitam, distribusi merata, jejas (-)

Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil bulat isokor,

Diameter 3 mm/3 mm

Mulut : Mukosa kering (-) oral hygiene baik

Telinga : normotia, secret (-/-), othore (-/-), tinitus tidak ada

Hidung : normosepta, secret (-/-), napas cuping hidung (-/-), rhinore (-/-)

Leher : pembesaran kelenjar KGB (-), kelenjar tiroid tidak teraba

Membesar, JVP 5-2 cmH2O, jejas (-), deviasi trachea (-)

Paru

Inspeksi : simetris hemitorak kiri dan kanan saat statis dan dinamis

Palpasi : ekspansi dada baik, fremitus sama kiri dan kanan

Perkusi : sonor pada paru kiri dan kanan

Auskultasi : vesikuler, wheezing (-), ronkhi (-)

Jantung

Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V

30

Page 31: Isi portofolio fraktur pelvis.docx

Perkusi : batas jantung dalam batas normal

Auskultasi : bunyi jantung I-II regular, murmur (-), gallop (-)

Abdomen

Inspeksi : tidak membuncit, distensi (-), jejas (-), kembung (-)

Palpasi : hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-) nyeri lepas (-)

Muscle rigid (-)

Perkusi : timpani pada seluruh abdomen, shifting dullness (-)

Auskultasi : bising usus (+) normal

Ekstremitas : akral hangat pada keempat ekstremitas, tidak ada edema

Kulit : turgor baik

3. Status Orthopedi

Regio Pelvis

Look : Luka terbuka (-) tampak tonjolan pada pinggul kiri berukuran

2 cm x 2 cm x 1 cm

Feel : Nyeri tekan di iliaka kiri (+) krepitasi (+)

Move : ROM terbatas karena nyeri

4. Status Lokalis Lainnya

Regio Suprapubis

Inspeksi : massa (-) jejas (-)

Palpasi : Nyeri tekan (-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan Pelvis

Foto Polos Abdomen : Garis Fraktur pada os Illium Sinistra

2. Pemeriksaan Laboratorium pada tanggal 1 Desember 2013

Hematologi

Hb : 10,6 gr/dl

Leukosit : 18.200/mm3

Trombosit : 516.000/mm3

31

Page 32: Isi portofolio fraktur pelvis.docx

Hematokrit : 28,6 %

Eritrosit : 3,56 x 106

Gol.darah : O

Diagnosis Kerja:

Fraktur Spina Iliaka Superior Sinistra

Penatalaksanaan : (konsul dr Nofli Ichlas, Sp.B)

- IVFD RL 8 jam/kolf

- Piracetam inj 1 x 1 gr IV

- Ceftriaxon inj 2 x 1 gr IV

- Pemasangan Folley Kateter

Pasien dan keluarga sempat menolak untuk dilakukan tindakan medis

walaupun sudah dijelaskan segala resiko yang akan ditimbulkan akibat penolakan, dan

surat pernyataan penolakan sudah dicantumkan di dalam status rekam medis IGD pasien.

Namun, setelah dijelaskan berkali-kali oleh dokter dan petugas IGD bahwa penolakan

tindakan medis dapat mengakibatkan resiko paling fatal seperti ancaman kematian,

akhirnya pasien dan keluarga bersedia untuk memperoleh tindakan medis oleh pihak

rumah sakit.

FOLLOW UP

Senin/2 Desember 2013 (pukul 09.00)

Anamnesis Demam (-), Mual (+), Muntah (+) frekuensi 1x berisi apa yang

dimakan darah (-), Nyeri pinggang (+) kaki kiri sulit untuk

digerakkan, nyeri perut (-)

Pemeriksaan Fisik KU: sedang Nadi: 80 x/menit

Kes:CMC Nafas: 20 x/menit

TD: 110/70 Suhu: 370 C

Diagnosa Fraktur spina iliaca superior sinistra

Laboratorium

Terapi/Rencana IVFD RL 8 jam/kolf

Piracetam inj 1 x 1 gr

32

Page 33: Isi portofolio fraktur pelvis.docx

Ceftriaxone inj 2 x 1 gr IV

Ketorolac inj 3 x 1 amp

Ranitidin inj 2 x 1 amp

Bed rest total dan immobilisasi, tidak boleh duduk

Rencana terapi konservatif → traksi

Selasa/3 Desember 2013 (pukul 02.15)

Anamnesis Perut kembung (+)

Mual (+) Muntah (+) frek 1x

Nyeri perut (+)

BAB (-) BAK (-)

Pemeriksaan Fisik KU:sedang Kes:CM TD: 80/60 Nd:120x/m Nfs: 26x/m T:360C

Abdomen:

I: distensi (+)

Pa: Nyeri tekan Abdomen (+) Nyeri Lepas (+) semua lapangan

abdomen

Pe: Hypertimpani

Aus: BU (+) melemah

Diagnosa Fraktur spina iliaca superior sinistra + susp trauma tumpul

abdomen (struktur organ berlumen)

Laboratorium

Terapi/Rencana Konsul dr.Nofli Ichlas Sp.B

IVFD RL guyur ½ kolf, jika nadi turun lanjutkan guyur 1 kolf,

setelah habis lanjutkan 20 tetes/menit

Metoklopramid inj 1 amp

Cek Darah rutin setelah pemberian IVFD RL ½ kolf guyur

Cek vital sign per jam

Anjuran rujuk RSAM

Pasien dianjurkan untuk dirujuk ke RS Achmad Mochtar Bukittinggi, namun

setelah dijelaskan kepada keluarga pasien mengenai tujuan dan alasan rujukan serta resiko

dan akibat yang ditimbulkan jika pasien tidak dirujuk atau menunda dirujuk, keluarga

33

Page 34: Isi portofolio fraktur pelvis.docx

pasien memutuskan meminta pihak RS Achmad Darwis untuk menunda merujuk pasien

dengan alas an keluarga butuh waktu untuk berembuk. Keluarga pasien menandatangani

surat pernyataan penundaan rujukan dan dilampirkan di dalam status rekam medis pasien.

Pada hari Selasa/ 3 Desember 2013 pukul 08.30 WIB, pasien dirujuk ke RS

Achmad Mochtar Bukittinggi.

DISKUSI

34

Page 35: Isi portofolio fraktur pelvis.docx

Pasien perempuan 18 tahun datang ke IGD RSUD Achmad Darwis Suliki dengan

keluhan nyeri pada pinggang kiri dan didiagnosa sebagai Fraktur Spina Iliaka Superior

Sinistra.

Diagnosis didasarkan pada anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

penunjang. Dari anamnesa nyeri pada pinggang kiri yang dirasakan setelah pasien

mengalami kecelakaan lalu lintas. Nyeri dirasakan terus menerus, bertambah dengan

gerakan terutama saat panggul digerakkan. Pada saat kejadian pasien masih sadar, muntah

1 x saat berada di IGD RS berisi makanan bercampur darah, muntah tidak menyemprot.

Pada pemeriksaa fisik ditemukan tanda-tanda vital serta status internus masih

dalam batas normal. Pada regio pelvis, ditemukan adanya benjolan pada pinggul kiri

berukuran 2 cm x 2 cm x 1 cm, nyeri tekan (+) di iliaka kiri dan ditemukannya krepitasi

(+), ROM terbatas karena adanya nyeri. Pada regio suprapubis, tidak ditemukan adanya

kelainan.

Pada foto polos abdomen ditemukan adanya garis fraktur pada os ilium sinistra.

Pada pemeriksaan laboratorium masih dalam batas normal. Saat dalam penanganan di

IGD, pasien dan keluarga sempat menolak untuk memperoleh tindakan medis dan

perawatan dari RS dan meminta pulang atas permintaan sendiri. Namun, atas

pertimbangan yang diberikan oleh pihak RS mengingat cedera yang dialami pasien cukup

berat, akhirnya pasien bersedia untuk dirawat.

Penanganan pada pasien ini adalah bedrest, pemberian cairan jalur intravena dosis

rumatan, pemberian piracetam, antibiotic jenis ceftriaxon, ketorolac sebagai anti nyeri,

ranitidine sebagai proteksi lambung dan pemasangan folley kateter karena pasien tidak

diperbolehkan untuk beranjak dari tempat tidur selama fase perawatan. Pasien ini

direncanakan untuk diberikan terapi konservatif berupa traksi.

Setelah perawatan selama 28 jam di bagian bangsal bedah, pasien menunjukkan

perburukan kondisi. Pasien masih dalam keadaan sadar, namun TD 80/60 mmHg dan

nafas 26x/menit. Pasien mengeluhkan perut kembung, muntah dan nyeri perut. Dari

pemeriksaan fisik ditemukan abdomen distensi (+), nyeri tekan dan nyeri lepas (+) di

semua kuadran abdomen. Perkusi hypertimpani dan Bising Usus melemah. Pasien

dicurigai mengalami syok akibat perdarahan berulang dan mengalami trauma tumpul

abdomen. Pada pasien diberikan infuse RL guyur 1 kolf, injeksi metoklopramid sebagai

antivomit. Berdasarkan penilaian, pasien membutuhkan penangan operasi segera dan

membutuhkan ruangan ICU sehingga pasien dianjurkan untuk dirujuk ke RS Achmad

35

Page 36: Isi portofolio fraktur pelvis.docx

Mochtar Bukittinggi yang memiliki fasilitas yang lebih lengkap. Selama dalam perawatan,

terus dilakukan pemantauan tanda-tanda vital. Namun, pasien baru dirujuk 6 jam

kemudian karena keluarga pasien sempat menolak untuk dirujuk karena alasan biaya.

Berdasarkan teori yang telah dijelaskan di atas, maka tatalaksana yang diberikan

masih perlu sedikit tambahan seperti stabilisasi fraktur panggul, misal pelvic sling atau

pengikat pelvis segera untuk mencegah perdarahan berulang. Selain itu, resusitasi cairan

yang harus adekuat saat pasien menunjukkan gejala takikardi, takipnoe, penurunan TD

sistolik dan penurunan output urin yang mengarah kepada kecurigaan perdarahan grade II-

III dengan kehilangan darah berkisar 750-1500 ml sampai 1500-2000 ml. Hipotensi yang

ditunjukkan pasien hendaknya dicurigai sebagai perdarahan berulang atau perdarahan

yang masih berlanjut dimana merupakan penyebab kematian terbesar pada pasien-pasien

dengan fraktur pelvis sehingga diperlukan pemeriksaan Hemoglobin dan hematokrit

berkala sehingga dapat dipersiapkan transfusi darah jika diperlukan saat cairan kristaloid

tidak mampu mengganti jumlah darah yang hilang.

36