isi portofolio fraktur pelvis.docx
TRANSCRIPT
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 REGIO PELVIS
1.1.1 Anatomi
Pelvis merupakan struktur mirip-cincin yang terbentuk dari tiga tulang: sacrum dan
dua tulang innominata, yang masing-masing terdiri dari ilium, ischium dan pubis. Tulang-
tulang innominata menyatu dengan sacrum di bagian posterior pada dua persendian
sacroiliaca; di bagian anterior, tulang-tulang ini bersatu pada simfisis pubis. Simfisis
bertindak sebagai penopang sepanjang memikul beban berat badan untuk mempertahankan
struktur cincin pelvis.1
Tiga tulang dan tiga persendian tersebut menjadikan cincin pelvis stabil oleh
struktur ligamentosa, yang terkuat dan paling penting adalah ligamentum-ligamentum
sacroiliaca posterior. Ligamentum-ligamentum ini terbuat dari serat oblik pendek yang
melintang dari tonjolan posterior sacrum sampai ke spina iliaca posterior superior (SIPS)
dan spina iliaca posterior inferior (SIPI) seperti halnya serat longitudinal yang lebih
panjang melintang dari sacrum lateral sampai ke spina iliaca posterior superior (SIPS) dan
bergabung dengan ligamentum sacrotuberale. 1
Gambar 1. Pandangan posterior (A) dan anterior (B) dari ligamentum pelvis.1
Ligamentum sacroiliaca anterior jauh kurang kuat dibandingkan dengan
ligamentum sacroiliaca posterior. Ligamentum sacrotuberale adalah sebuah jalinan kuat
yang melintang dari sacrum posterolateral dan aspek dorsal spina iliaca posterior sampai
ke tuber ischiadicum. Ligamentum ini, bersama dengan ligamentum sacroiliaca posterior,
1
memberikan stabilitas vertikal pada pelvis. Ligamentum sacrospinosum melintang dari
batas lateral sacrum dan coccygeus sampai ke ligamentum sacrotuberale dan masuk ke
spina ischiadica. Ligamentum iliolumbale melintang dari processus transversus lumbalis
keempat dan kelima sampai ke crista iliaca posterior; ligamentum lumbosacrale melintang
dari processus transversus lumbalis ke lima sampai ke ala ossis sacri (gambar 1).1
Dinding anterior pelvis adalah dinding yang paling dangkal, dan dibentuk oleh
permukaan posterior korpus os pubis, rami pubicum, dan sympisis pubis. Dinding
posterior pelvis luas dan dibentuk oleh os.sacrum, dan os. Coccygis serta musculus
piriformis dan fasia pelvis parietalis yang meliputinya.1
Dinding lateralis pelvis dibentuk oleh sebagian os.coxae dibawah aperture pelvis
superior, membrane obturatoria, ligamentum sakrotuburale, dan ligamentum sakrospinale,
serta musculus obturatorius internus beserta fascia yang meliputinya. Os.coxae (tulang
panggul) terdiri atas os ilium yang terletak di superior, os ischium yang terletak di
posterior dan inferior, dan os pubis yang terletak di anterior dan inferior. Pada permukaan
luar os coxae terdapat lekukan dalam, acetabulum, yang bersendi dengan kaput femoralis.
Dibelakang acetabulum terdapat incisura besar, incisura ischiadica major yang dipisahkan
dari incisura ischiadica minor oleh spina ischiadica. Os ilium yang merupakan bagian atas
os coxae yang rata, mempunyai crista iliaca yang berjalan diantara spina iliaka anterior
superior dan spina iliaka posterior superior. Dibawah kedua spina ini terdapat spina iliaca
anterior inferior, dan spina iliaca posterior inferior. Os ischii merupakan bagian inferior
dan posterior os coxae dan mempunyai spina ischiadica dan tuber ishiadicum. Os pubis
merupakan bagian anterior os coxae dan mempunyai corpus ossis pubis, ramus superior
ossis pubis, dan ramus inferior ossis pubis. Pada bagian bawah coxae terdapat lubang
besar, foramen obturatorum yang dibatasi oleh bagian-bagian os ischium dan os pubis.
Foramen obturatoum ditutupi oleh membrane obturatoria. 1
Fascia pelvis dibentuk oleh jaringan ikat dan dilanjutkan ke atas sebagai fascia
yang membatasi dinding abdomen. Dibawah, fascia melanjut sebagai fascia perinea.
Fascia pelvis dibagi menjadi fascia pelvis parietalis, dan fascia pelvis visceralis. Fascia
pelvis parietalis membatasi dinding-dinding pelvis dan diberi nama sesuai dengan otot
yang dilapisinya. Fascia pelvis viseralis merupakan jaringan ikat longgar yang meliputi
dan menyokong semua visceral pelvis. 1
Plexus sacralis terletak pada dinding posterior pelvis di depan musculus
piriformis.plexus ini dibentuk dari rami anterior nervi lumbales IV dan V serta nervi
2
anterior nervi sacrales I, II, III, IV. Sebagian nervus lumbalis IV bergabung dengan nervus
lumbalis V untuk membentuk truncus lumbosacralis. Truncus lumbosacralis berjalan turun
kedalam pelvis dan bergabung dengan nervus sacrales waktu nervus sacrales keluar dari
foramina sacralia anterior. Cabang-cabang plexus sacralis yang menuju ke ekstremitas
inferior antara lain : nervus ischiadicus, nervus gluteus superior, nervus gluteus inferior,
saraf untuk musculus quadratus femoris, saraf untuk musculus obturatorius internus,
nervus cutaneus femoris posterior. Cabang-cabang plexus sacralis untuk otot-otot pelvis,
visceral pelvis, dan perineum antara lain : nervus pudendus, saraf untuk musculus
piriformis, nervus splanchnicus pelvicus, nervus cutaneus perforans. 1
Plexus lumbalis memiliki cabang-cabang antara lain : truncus lumbosacralis, dan
nervus obturatorius. Truncus lumbosacralis dibentuk dari sebagian ramus anterior nervus
lumbalis 4 yang muncul dari sisi medial musculus psoas major dan bergabung dengan
ramus anterior nervus lumbalis 5. Nervus obturatorius yang merupakan cabang dari plexus
lumbalis ini muncul dari sisi medial musculus psoas major didalam abdomen dan
mengikuti truncus lumbosacralis kebawah masuk kedalam pelvis. Nervus obturatorius ini
terbagi 2 menjadi cabang anterior dan posterior yang berjalan melalui canalis obturatorius
dan masuk ke regio aduktor tungkai atas. 1
Gambar 2. Sisi Lateral Tulang Innominatum1
3
1.1.2 Sistem Sirkulasi Pelvis
Arteri iliaca communis terbagi, menjadi arteri iliaca externa, yang terdapat pada
pelvis anterior diatas pinggiran pelvis. Arteri iliaca interna terletak diatas pinggiran pelvis.
Arteri tersebut mengalir ke anterior dan dalam dekat dengan sendi sacroliliaca. Cabang
posterior arteri iliaca interna termasuk arteri iliolumbalis, arteri glutea superior dan arteri
sacralis lateralis. Arteri glutea superior berjalan ke sekeliling menuju bentuk panggul lebih
besar, yang terletak secara langsung diatas tulang. Cabang anterior arteri iliaca interna
termasuk arteri obturatoria, arteri umbilicalis, arteri vesicalis, arteri pudenda, arteri glutea
inferior, arteri rectalis dan arteri hemoroidalis. 1
Gambar 3. Aspek internal pelvis yang memperlihatkan pembuluh darah
mayor yang terletak pada dinding dalam pelvis1
Arteri pudenda dan obturatoria secara anatomis berhubungan dengan rami pubis dan
dapat cedera dengan fraktur atau perlukaan pada struktur ini. Arteri-arteri ini dan juga
vena-vena yang menyertainya seluruhnya dapat cedera selama adanya disrupsi pelvis
(gambar 2). Pemahaman tentang anatomi pelvis akan membantu ahli bedah ortopedi untuk
mengenali pola fraktur mana yang lebih mungkin menyebabkan kerusakan langsung
terhadap pembuluh darah mayor dan mengakibatkan perdarahan retroperitoneal
signifikan.1
4
1.2 FRAKTUR PELVIS
1.2.1 Definisi
Patah tulang panggul adalah gangguan struktur tulang panggul. Tulang panggul
terdiri dari ilium, ischium, dan pubis, yang merupakan cincin anatomi dengan sakrum.
Gangguan dari cincin ini membutuhkan energi yang signifikan. Patah tulang panggul
sering melibatkan cedera pada organ-organ yang terdapat dalam tulang panggul. Patah
tulang panggul sering dikaitkan dengan pendarahan parah karena pasokan darah yang luas
ke wilayah tersebut.2
1.2.2 Epidemiologi
Fraktur pelvis merupakan 3% kasus dari semua kasus fraktur tulang. Lebih dari
separuh dari semua kasus fraktur pelvis terjadi akibat dari trauma minimal-sampai sedang.
Disisi lain, fraktur pelvis yang berat dapat menyebabkan komplikasi yang signifikan.
Sebuah analisis baru-baru ini lebih dari 63.000 pasien trauma menunjukkan bahwa fraktur
pelvis berkaitan dengan tingginya angka mortality yang disebabkan oleh karena
perdarahan, baik panggul atau extrapelvic, atau terkait cedera kepala parah.3
1.2.4 Klasifikasi
Beberapa sistem klasifikasi telah dirumuskan untuk menjelaskan cedera pelvis
berdasarkan sifat dasar dan stabilitas disrupsi pelvis atau berdasarkan besar dan arah
tekanan yang diberikan ke pelvis. Masing-masing klasifikasi telah dikembangkan untuk
memberikan tuntunan pada ahli bedah umum dan ortopedi tentang tipe dan kemungkinan
masalah kesulitan manajemen yang mungkin dihadapi dengan masing-masing tipe
fraktur.4
a. Klasifikasi menurut Young dan Burges
Sistem klasifikasi fraktur pelvis ini, paling erat hubungannya dengan kebutuhan
resusitasi dan pola yang terkait dengan cedera. Sistem ini berdasarkan pada seri standar
gambaran pelvis dan gambaran dalam dan luar, sebagaimana dijelaskan oleh Pennal dkk.
Klasifikasi Young-Burgess membagi disrupsi pelvis kedalam cedera-cedera
kompresi anterior-posterior (APC), kompresi lateral (LC), shear vertikal (VS), dan
mekanisme kombinasi (CM) (gambar 3). Kategori APC dan LC lebih lanjut
5
disubklasifikasi dari tipe I – III berdasarkan pada meningkatnya perburukan cedera yang
dihasilkan oleh peningkatan tekanan besar. Cedera APC disebabkan oleh tubrukan anterior
terhadap pelvis, sering mendorong ke arah diastase simfisis pubis. Ada cedera “open
book” yang mengganggu ligamentum sacroiliaca anterior seperti halnya ligamentum
sacrospinale ipsilateral dan ligamentum sacrotuberale. Cedera APC dipertimbangkan
menjadi penanda radiografi yang baik untuk cabang-cabang pembuluh darah iliaca interna,
yang berada dalam penjajaran dekat dengan persendian sacroiliaca anterior.
Gambar 4. Klasifikasi fraktur pelvis Young-Burgess. A, kompresi
anteroposterior tipe I. B, kompresi anteroposterior tipe II. C, kompresi
anteroposterior tipe III. D, kompresi lateral tipe I. E, kompresi lateral tipe
II. F, kompresi lateral tipe III. G, shear vertikal. Tanda panah pada masing-
masing panel mengindikasikan arah tekanan yang menghasilkan pola
fraktur.
Cedera LC sebagai akibat dari benturan lateral pada pelvis yang memutar pelvis
pada sisi benturan ke arah midline. Ligamentum sacrotuberale dan ligamentum
sacrospinale, serta pembuluh darah iliaca interna, memendek dan tidak terkena gaya tarik.
Disrupsi pembuluh darah besar bernama (misal, arteri iliaca interna, arteri glutea superior)
relatif luar biasa dengan cedera LC; ketika hal ini terjadi, diduga sebagai akibat dari
laserasi fragmen fraktur.
Cedera VS dibedakan dari pemindahan vertikal hemipelvis. Perpindahan hemipelvis
mungkin dibarengi dengan cedera vaskuler lokal yang parah. Pola cedera CM meliputi
6
fraktur pelvis berkekuatan tinggi yang ditimbulkan oleh kombinasi dua vektor tekanan
terpisah.
Klasifikasi fraktur pelvis Young-Burgess dan dugaan vektor tekanan juga telah
menunjukkan berkorelasi baik dengan pola cedera organ, persyaratan resusitasi, dan
mortalitas. Secara khusus, kenaikan pada mortalitas telah terbukti sebagaimana
meningkatnya angka APC. Pola cedera yang terlihat pada fraktur APC tipe III telah
berkorelasi dengan kebutuhan cairan 24-jam terbesar. Pada sebuah seri terhadap 210
pasien berurutan dengan fraktur pelvis, Burgess dkk menemukan bahwa kebutuhan
transfusi bagi pasien dengan cedera LC rata-rata 3,6 unit PRC, dibandingkan dengan rata-
rata 14,8 unit bagi pasien dengan cedera APC. Pada seri yang sama, pasien dengan cedera
VS rata-rata 9,2 unit, dan pasien dengan cedera CM memiliki kebutuhan transfusi rata-rata
sebesar 8,5 unit. Angka mortalitas keseluruhan pada seri ini adalah 8,6%. Angka
mortalitas lebih tinggi terlihat pada pola APC (20%) dan pola CM (18%) dibandingkan
pada pola LC (7%) dan pola VS (0%). Burgess dkk mencatat hilangnya darah dari cedera
pelvis yang dihasilkan dari kompresi lateral jarang terjadi, dan penulis menghubungkan
kematian pada pasien dengan cedera LC pada penyebab lainnya.
b. Klasifikasi menurut Tile
Klasifikasi pelvis ini berdasarkan integritas kompleks Sakroiliaca Posterior.
1) Tipe A : Fraktur stabil, kompleks sakroiliaca intak.
Tipe A1 : fraktur panggul tidak mengenai cicin panggul
Tipe A2 : stabil, terdapat pergeseran cincin yang minimal dari fraktur
(Tipe A termasuk fraktur avulsi atau fraktur yang mengenai cincin
panggul).7
Gambar 5. Fraktur Stabil
7
2) Tipe B : Fraktur tidak stabil, umumnya trauma disebabkan oleh adanya rotasi
eksterna atau interna yang mengakibatkan gangguan parsial kompleks sacroiliac
posterior.
Tipe B1 : open book.
- Stage 1 : symphisiolisis < 2,5 cm, terapi bed rest
- Stage 2 : symphisiolisis > 2,5 cm, terapi OREF
- Stage 3 : bilateral lessio, terapi OREF
Tipe B2 : kompresi lateral/ipsilateral
Tipe B3 : kompresi lateral/kontralateral
(Tipe B mengalami rotasi eksterna yang mengenai satu sisi panggul (open
book), atau rotasi interna atau kompresi lateral yang dapat menyebabkan
fraktur pada ramus isiopubis pada satu atau kedua sisi disertai trauma pada
bagian posterior tetapi simpisis tidak terbuka (closed book)) 7
Gambar 6. Fraktur Tidak Stabil
8
3) Tipe C : Fraktur tidak stabil, akibat adanya trauma yang terjadi secara rotasi dan
vertical
Tipe C1 : unilateral
Tipe C2 : bilateral
Tipe C3 : disertai fraktur acetabulum
(terdapat disrupsi ligament posterior pada satu atau kedua sisi disertai
pergeseran dari salah satu sisi panggul secara vertical, mungkin juga
disertai fraktur asetabulum)
Gambar 7. Fraktur tidak stabil pada trauma rotasi dan vertical
c. Klasifikasi menurut Key dan Cowell
1) Fraktur pada salah satu tulang tanpa adanya disrupsi cincin.
Fraktur avulsi
Fraktur pubis dan isium
Fraktur sayap ilium
Fraktur sacrum
Fraktur dan dislokasi tulang koksigeus
2) Keretakan tunggal pada cincin panggul
Fraktur pada kedua ramus ipsilateral
Fraktur dekat atau subluksasi simfisis pubis
Fraktur dekat atau subluksasi sendi sakro-iliaka
3) Fraktur bilateral pada cincin panggul
Fraktur vertical ganda dan atau dislokasi pubis
Fraktur ganda dan atau dislokasi (Malgaigne)
Fraktur multiple yang hebat
9
4) Fraktur asetabulum
Tanpa pergeseran
Dengan pergeseran
1.2.5 Mekanisme Trauma
Trauma biasanya terjadi secara langsung pada panggul karena tekanan yang besar
atau karena jatuh dari ketinggian. Pada orang tua dengan osteoporosis atau osteomalasia
dapat terjadi fraktur stress pada ramus pubis. Oleh karena rigiditas panggul maka
keretakan pada salah satu bagian cincin akan disertai robekan pada titik lain, kecuali pada
trauma langsung. Sering titik kedua tidak terlihat dengan jelas atau mungkin terjadi
robekan sebagian atau terjadi reduksi spontan pada sendi sakro-iliaka. 5
Mekanisme trauma pada cincin panggul terdiri atas sebagai berikut.5
1. Kompresi anteroposterior
Hal ini biasanya terjadi akibat tabrakan antara pejalan kaki dengan kendaraan.
Ramus pubis mengalami fraktur, tulang inominata terbelah dan mengalami rotasi eksterna
disertai robekan simphisis. Keadaan ini disebut sebagai open book injury. Bagian posterior
ligament sacro-iliaka mengalami robekan partial atau dapat disertai fraktur bagian
belakang ilium
Gambar 8. Gambaran radiologi fraktur kompresi
anteriorposterior (APC) yang melibatkan diastasis simfisis
atau rami fraktur longitudinal.
2. Kompresi lateral
Kompresi dari samping akan menyebabkan cincin mengalami keretakan. Hal ini
terjadi apabila ada trauma samping karena kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari
10
ketinggian. Pada keadaan ini ramus pubis bagian depan pada kedua sisinya mengalami
fraktur dan bagian belakang terdapat strain dari sendi sakro-iliaka atau fraktur ilium atau
dapat pula fraktur ramus pubis pada sisi yang sama.
3. Trauma vertical
Tulang inominata pada satu sisi mengalami pergerakan secara vertical disertai
fraktur ramus pubis dan disrupsi sendi sakro-iliaka pada sisi yang sama. Hal ini terjadi
apabila seseorang jatuh dari ketinggian pada satu tungkai.
Gambar 9. Gambaran radiologi fraktur vertical.
4. Trauma kombinasi
Pada trauma yang lebih hebat dapat terjadi kombinasi kelainan diatas.
1.2.6 Gejala Klinis
Fraktur panggul merupakan salah satu trauma multiple yang dapat mengenai organ-
organ lain dalam panggul. Keluhan yang dapat terjadi pada fraktur panggul antara lain
sebagai berikut 2,4,5
1. Nyeri
2. Pembengkakan
3. Deformitas
4. Perdarahan subkutan sekitar panggul
5. Hematuria
6. Perdarahan yang berasal dari vagina, urethra, dan rectal
7. Syok
11
1.2.7 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.
1.2.8 Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan yang dilakukan untuk menunjang penegakan diagnosis
pada fraktur pelvis adalah sebagai berikut. 4,5
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan serial hemoglobin dan hematokrit, tujuannya untuk memonitor kehilangan darah yang sedang berlangsung.
2) Pemeriksaan urin, untuk menilai adanya gross hematuria dan atau mikroskopik.
3) Kehamilan tes ditunjukkan pada wanita usia subur untuk mendeteksi kehamilan serta pendarahan sumber potensial (misalnya, keguguran, abrupsio plasenta).
b. Pemeriksaan Imaging
1) Radiografi
Radiograf anteroposterior pelvis merupakan skrining test dasar dan mampu
menggambarkan 90% cedera pelvis. Namun, pada pasien dengan trauma
berat dengan kondisi hemodynamic tidak stabil seringkali secara rutin
menjalani pemeriksaan CT scan abdomen dan pelvis, serta foto polos pelvis
yang tujuannya untuk memungkinkan diagnosis cepat fraktur pelvis dan
pemberian intervensi dini.
2) CT-Scan
CT scan merupakan imaging terbaik untuk evaluasi anatomi panggul dan
derajat perdarahan pelvis, retroperitoneal, dan intraperitoneal. CT scan juga
dapat menegaskan adanya dislokasi hip yang terkait dengan fraktur
acetabular.
3) MRI
MRI dapat mengidentifikasi lebih jelas adanya fraktur pelvis bila
dibandingkan dengan radiografi polos (foto polos pelvis). Dalam satu
12
penelitian retrospektif, sejumlah besar positif palsu dan negatif palsu itu
dicatat ketika membandingkan antara foto polos pelvis dengan MRI.
4) Ultrasonografi
Sebagai bagian dari the Focused Assessment with Sonography for Trauma
(FAST), pemeriksaan pelvis seharusnya divisualisasikan untuk menilai
adanya pendarahan/cairan intrapelvic. Namun, studi terbaru menyatakan
ultrasonografi memiliki sensitivitas yang lebih rendah untuk mengidentifikasi
hemoperitoneum pada pasien dengan fraktur pelvis. Oleh karena itu, perlu
diingat bahwa, meskipun nilai prediksi positif mencatat hemoperitoneum
sebagai bagian dari pemeriksaan FAST yang baik, keputusan terapeutik
menggunakan FAST sebagai pemeriksaan skrining mungkin terbatas.
5) Cystography
Pemeriksaan ini dilakukkan pada pasien dengan hematuria dan urethra utuh.
1.2.9 Evaluasi dan Penatalaksanaan
Evaluasi harus dilaksanakan sesegera mungkin berdasarkan prioritas
penanggulangan trauma yang terjadi , yaitu sebagai berikut.5,6
1. Resusitasi Awal
Kelola saluran atau jalan napas (Airway), pernapasan (breathing) dan sirkulasi
(Circulation), kontrol perdarahan dengan pemberian cairan atau transfusi.
Evaluasi dan manajemen syok hipovolemik adalah wajib sambil menstabilkan jalan
nafas dan pernafasan. Hipotensi dihubungkan dengan meningkatnya resiko
kematian, Adult Respiratory Distress Sybdrome, dan kegagalan organ multipel.
Hipotensi terkait dengan trauma tumpul mungkin disebabkan sejumlah penyebab,
termasuk kompromi hipovolemik, septik, kardiak atau neurologis. Pencarian yang
cepat dan sistematik terhadap sumber hipotensi harus dilakukan. Syok hemoragik
merupakan penyebab tersering hipotensi pada pasien trauma tumpul. Seorang pasien
dapat menjadi hipotensif akibat kehilangan darah terkait dengan satu lokasi
perdarahan atau kombinasi dari banyaknya lokasi perdarahan.
Perdarahan dari lokasi fraktur pelvis jarang sebagai satu-satunya penyebab
kehilangan darah pada pasien dengan cedera multipel, dan perdarahan masif dari
fraktur pelvis itu sendiri luar biasa. Pada satu seri besar pasien dengan fraktur pelvis,
13
perdarahan mayor muncul pada lokasi non-pelvis. Meskipun demikian, fraktur pelvis
harus dipertimbangkan diantara berbagai lokasi paling mencolok perdarahan yang
signifikan pada pasien yang tidak stabil secara hemodinamik, terutama sekali ketika
usaha awal untuk mengontrol perdarahan dari sumber lain gagal menstabilkan
pasien. Pada kasus-kasus dugaan perdarahan fraktur pelvis, stabilisasi pelvis
sementara harus segera terjadi selama evaluasi dan resusitasi awal. Stabilisasi
sementara dapat terdiri atas pengikat pelvis atau lembaran sederhana yang
dibungkuskan dengan aman disekeliling pelvis dan diamankan dengan pengapit
kokoh.
Kehilangan darah dapat ditentukan pada evaluasi awal dengan menilai
pulsasi, tekanan darah, dan pengisian kembali kapiler. Sistem klasifikasi ATLS
dari American College of Surgeons berguna untuk memahami manifestasi
sehubungan dengan syok hemoragik pada orang dewasa (tabel 1). Volume darah
diperkirakan 7% dari berat badan ideal, atau kira-kira 4900 ml pada pasien dengan
berat badan 70 kg (155 lb).
Tabel 1. Klasifikasi Perdarahan ATLS
Kelas Rata-rata
Kehilangan
Darah (mL)
Volume
Darah (%)
Tanda dan Gejala Umum Kebutuhan
Resusitasi
I < 750 < 15 Tidak ada perubahan denyut
jantung, pernafasan dan
tekanan darah
Tidak ada
II 750 – 1500 15 – 30 Takikardi dan takipnoe;
tekanan darah sistolik
mungkin hanya menurun
sedikit; pengurangan
pengurangan output urin (20-
30 mL/jam)
Biasanya larutan
kristaloid tunggal,
namun beberapa
pasien mungkin
membutuhkan
transfusi darah
III 1500 – 2000 30 – 40 Takikardi dan takipnoe yang
jelas, ekstremitas dingin
dengan pengisian-kembali
kapiler terlambat secara
Seringnya
membutuhkan
transfusi darah
14
signifikan,menurunnya
tekanan darah sistolik,
menurunnya status mental,
menurunnyaoutput urin (5-15
mL/jam)
IV > 2000 > 40 Takikardia jelas, tekanan
darah sistolik yang menurun
secara signifikan, kulit dingin
dan pucat, mental status yang
menurun dengan
hebat,output urin yang tak
berarti
Perdarahan yang
membahayakan-jiwa
membutuhkan
transfusi segera
Perdarahan kelas 1, didefinisikan sebagai kehilangan darah <15% dari total
volume darah, mendorong pada tidak adanya perubahan terukur pada kecepatan
jantung atau pernafasan, tekanan darah, atau tekanan nadi dan membutuhkan sedikit
atau tidak adanya perawatan sama sekali. Perdarahan kelas 2 didefinisikan sebagai
kehilangan darah 15-30% volume darah (750-1500 ml), dengan tanda-tanda klinis
termasuk takikardia dan takipnoe. Tekanan darah sistolik mungkin hanya sedikit
menurun, khususnya ketika pasien berada pada posisi supinasi, akan tetapi tekanan
nadi menyempit. Urin output hanya menurun sedikit (yaitu, 20-30 ml/jam). Pasien
dengan perdarahan kelas 2 biasanya dapat diresusitasi dengan larutan kristaloid saja,
namun beberapa pasien mungkin membutuhkan transfusi darah.
Perdarahan kelas 3 didefinisikan sebagai kehilangan 30-40% (1500-2000 ml)
volume darah. Perfusi yang tidak adekuat pada pasien dengan perdarahan kelas 3
mengakibatkan tanda takikardia dan takipnoe, ekstremitas dingin dengan pengisian
kembali kapiler yang terhambat secara signifikan, hipotensi, dan perubahan negatif
status mental yang signifikan. Perdarahan kelas 3 menghadirkan volume kehilangan
darah terkecil yang secara konsisten menghasilkan penurunan pada tekanan darah
sistemik. Resusitasi pasien-pasien ini seringnya membutuhkan transfusi darah sebagi
tambahan terhadap pemberian larutan kristaloid. Akhirnya, perdarahan kelas 4
didefinisikan sebagai kehilangan darah > 40% volume darah (> 2000 ml) mewakili
perdarahan yang mengancam-jiwa. Tanda-tandanya termasuk takikardia, tekanan
15
darah sistolik yang tertekan secara signifikan, dan tekanan nadi yang menyempit atau
tekanan darah diastolik yang tidak dapat diperoleh. Kulit menjadi dingin dan pucat,
dan status mental sangat tertekan. Urin output sedikit. Pasien-pasien ini
membutuhkan transfusi segera untuk resusitasi dan seringkali membutuhkan
intervensi bedah segera.
Resusitasi cairan dianggap cukup penting sebagai usaha yang dilakukan untuk
menilai dan mengontrol lokasi perdarahan. Dua bor besar (≥16-gauge) kanula
intravena harus dibangun secara sentral atau di ekstremitas atas sepanjang penilaian
awal. Larutan kristaloid ≥ 2 L harus diberikan dalam 20 menit, atau lebih cepat pada
pasien yang berada dalam kondisi syok. Jika respon tekanan darah yang cukup dapat
diperoleh, infus kristaloid dapat dilanjutkan sampai darah tipe-khusus atau
keseluruhan cocok bisa tersedia. Darah tipe-khusus, yang di crossmatch untuk tipe
ABO dan Rh, biasanya dapat disediakan dalam 10 menit; namun, darah seperti itu
dapat berisi inkompatibilitas dengan antibodi minor lainnya. Darah yang secara
keseluruhan memiliki tipe dan crossmatch membawa resiko lebih sedikit bagi reaksi
transfusi, namun juga butuh waktu paling banyak untuk bisa didapatkan (rata-rata 60
menit). Ketika respon infus kristaloid hanya sementara ataupun tekanan darah gagal
merespon, 2 liter tambahan cairan kristaloid dapat diberikan, dan darah tipe-khusus
atau darah donor-universal non crossmatch (yaitu, kelompok O negatif) diberikan
dengan segera. Kurangnya respon mengindikasikan bahwa kemungkinan terjadi
kehilangan darah yang sedang berlangsung, dan angiografi dan/atau kontrol
perdarahan dengan pembedahan mungkin dibutuhkan.
Produk-produk darah dan Rekombinan Faktor
Pasien hipotensif yang tidak merespon resusitasi cairan awal membutuhkan
sejumlah besar cairan sesudah itu, mengarah pada defisiensi jalur hemostasis.
Karenanya, semua pasien yang seperti itu harus diasumsikan membutuhkan
trombosit dan fresh frozen plasma (FFP). Umumnya, 2 atau 3 unit FFP dan 7-8 unit
trombosit dibutuhkan untuk setiap 5 L penggantian volume.
Transfusi darah masif memiliki resiko potensial imunosupresi, efek-efek
inflamasi, dan koagulopati dilusi. Sepertinya, volume optimal dan kebutuhan relatif
produk-produk darah untuk resusitasi masih kontoversial. Sebagai tambahan, jumlah
16
transfusi PRC merupakan faktor resiko independen untuk kegagalan multi-organ
paska cedera. Beberapa penulis telah mengusulkan bahwa pasien trauma koagulopati
terutama harus diresusitasi dengan penggunaan FFP yang lebih agresif, dengan
transfusi yang terdiri atas PRC, FFP dan trombosit dalam rasio 1:1:1 untuk
mencegah kemajuan koagulopati dini.
Rekombinan faktor VIIa (rFVIIa) mungkin dipertimbangkan sebagai
intervensi akhir jika koagulopati dan perdarahan yang mengancam-jiwa menetap
disamping pengobatan lainnya. Ini merupakan penggunaan rFVIIa off-label. Boffard
dkk melakukan sebuah studi multicenter dimana pasien trauma berat yang menerima
6 unit PRC dalam 4 jam setelah masuk diacak pada baik pengobatan rFVIIa atau
plasebo. Pada kelompok rFVIIa, jumlah transfusi sel darah secara signifikan
berkurang (kira-kira 2,6 unit sel darah merah; P = 0,02), dan terdapat kecenderungan
ke arah reduksi mortalitas dan komplikasi.
2. Anamnesis
Gali informasi tentang keadaan dan waktu trauma (mekanisme trauma), miksi
terakhir, waktu dan jumlah (makan dan minum) yang terakhir, periksa apakah
sedang hamil atau menstruasi bila penderita seorang wanita serta trauma lainnya
seperti trauma pada kepala. Evaluasi lengkap penting pada pasien dengan fraktur
pelvis berkekuatan-tinggi karena kejadian ini jarang terjadi sebagai cedera tersendiri.
3. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
Catat secara teratur denyut nadi, tekanan darah dan respirasi
Secara cepat lakukan survey tentang kemungkinan trauma lainnya
Pemeriksaan fisik, radiografi dada, dan tube torakostomi akan mendeteksi
kemunculan dan beratnya kehilangan darah intratorakal. Pemeriksaan fisik
abdomen mungkin tidak terlalu jelas pada pasien yang tidak responsif.
Namun, rongga intraabdomen harus dikecualikan sebagai kemungkinan
sumber perdarahan pada pasien yang tidak stabil secara hemodinamik.
b. Lokal
17
Inspeksi perineum untuk mengetahui adanya perdarahan, pembengkakan,
dan deformitas.
Tentukan derajat ketidakstabilan cincin panggul dengan palpasi pada ramus
dan simfisis pubis.
Adakan pemeriksaan colok dubur.
4. Pemeriksaan tambahan
a. Foto polos panggul, toraks serta daerah lain yang dicurigai mengalami trauma.
b. Foto polos panggul dalam keadaan rotasi interna dan eksterna serta
pemeriksaan foto panggul lainnya.
c. Pemeriksaan urologis dan lainnya :
Kateterisasi
Ureterogram
Sistogram retrograde dan postvoiding
Pielogram intravena
Aspirasi diagnostic dengan lavase peritoneal. Evaluasi emergensi paling
sering dibuat dengan pemeriksaan sonografi abdominal terfokus untuk
trauma atau focused abdominal sonography for trauma/FAST.
5. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan meliputi sebagai berikut.
a. Stabilisasi fraktur panggul
Beberapa metode stabilisasi fraktur panggul adalah sebagai berikut.
Military Anti Shock Trousers (MAST)
Military antishock trousers (MAST) atau celana anti syok militer dapat
memberikan kompresi dan imobilisasi sementara terhadap cincin pelvis dan
ekstremitas bawah melalui tekanan berisi udara. Pada tahun 1970an dan 1980an,
penggunaan MAST dianjurkan untuk menyebabkan tamponade pelvis dan
meningkatkan aliran balik vena untuk membantu resusitasi. Namun,
penggunaan MAST membatasi pemeriksaan abdomen dan mungkin
18
menyebabkan sindroma kompartemen ekstermitas bawah atau bertambah satu
dari yang ada. Meskipun masih berguna untuk stabilisasi pasien dengan fraktur
pelvis, MAST secara luas telah digantikan oleh penggunaan pengikat pelvis
yang tersedia secara komersil.
Pengikat dan Sheet
Kompresi melingkar mungkin siap dicapai pada keadaan pra rumah-sakit
dan pada awalnya memberikan keuntungan stabilisasi selama pengangkutan dan
resusitasi. Lembaran terlipat yang dibalutkan secara melingkar di sekeliling
pelvis efektif secara biaya, non-invasif, dan mudah untuk diterapkan. Pengikat
pelvis komersial beragam telah ditemukan. Tekanan sebesar 180 N tampaknya
memberikan efektivitas maksimal. Sebuah studi melaporkan pengikat pelvis
mengurangi kebutuhan transfusi, lamanya rawatan rumah sakit, dan mortalitas
pada pasien dengan cedera APC (gambar 9).
Gambar 9. Ilustrasi yang mendemonstrasikan aplikasi alat
kompresi melingkar pelvis (pengikat pelvis) yang tepat, dengan
gesper tambahan (tanda panah) untuk mengontrol tekanan
Rotasi eksterna ekstremitas inferior umumnya terlihat pada orang dengan
fraktur pelvis disposisi, dan gaya yang beraksi melalui sendi panggul mungkin
berkontribusi pada deformitas pelvis. Koreksi rotasi eksternal ekstremitas bawah
19
dapat dicapai dengan membalut lutut atau kaki bersama-sama, dan hal ini dapat
memperbaiki reduksi pelvis yang dapat dicapai dengan kompresi melingkar.
Fiksasi Eksternal
Fiksasi Eksternal Anterior Standar
Beberapa studi telah melaporkan keuntungan fiksasi eksternal pelvis
emergensi pada resusitasi pasien yang tidak stabil secara hemodinamik dengan
fraktur pelvis tidak stabil. Efek menguntungkan fiksasi eksternal pada fraktur
pelvis bisa muncul dari beberapa faktor. Imobilisasi dapat membatasi
pergeseran pelvis selama pergerakan dan perpindahan pasien, menurunkan
kemungkinan disrupsi bekuan darah.
Pada beberapa pola (misal, APC II), reduksi volume pelvis mungkin
dicapai dengan aplikasi fiksator eksternal. Studi eksperimental telah
menunjukkan bahwa reduksi cedera pelvis “open book” mengarah pada
peningkatan tekanan retroperitoneal, yang bisa membantu tamponade
perdarahan vena. Penambahan fraktur disposisi dapat meringankan jalur
hemostasis untuk mengontrol perdarahan dari permukaan tulang kasar.
C-Clamp
Fiksasi pelvis eksternal standar tidak menyediakan stabilisasi pelvis
posterior yang adekuat. Hal ini membatasi efektivitas pada pola fraktur yang
melibatkan disrupsi posterior signifikan atau dalam kasus-kasus dimana ala ossis
ilium mengalami fraktur.
C-clamp yang diaplikasikan secara posterior telah dikembangkan untuk
menutupi kekurangan ini. Clamp memberikan aplikasi gaya tekan posterior tepat
melewati persendian sacroiliaca. Kehati-hatian yag besar harus dilatih untuk
mencegah cedera iatrogenik selama aplikasi; prosedur umumnya harus dilakukan
dibawah tuntunan fluoroskopi. Penerapan C-clamp pada regio trochanter femur
menawarkan sebuah alternatif bagi fiksasi eksternal anterior standar untuk fiksasi
sementara cedera APC.
20
Gambar 10. C-Clamp
Angiografi
Eksplorasi angiografi harus dipertimbangkan pada pasien dengan kehilangan
darah berkelanjutan yang tak dapat dijelaskan setelah stabilisasi fraktur pelvis
dan infus cairan agresif. Keseluruhan prevalensi pasien dengan fraktur pelvis
yang membutuhkan embolisasi dilaporkan <10%. Pada satu seri terbaru,
angiografi dilakukan pada 10% pasien yang didukung sebuah fraktur pelvis.
Pasien yang lebih tua dan yang memiliki Revised Trauma Score lebih tinggi
paling sering mengalami angiografi. Pada studi lain, 8% dari 162 pasien yang
ditinjau ulang membutuhkan angiografi. Embolisasi dibutuhkan pada 20% pola
cedera APC, cedera VS, dan fraktur pelvis kompleks, namun hanya 1,7% pada
cedera LC. Eastridge dkk melaporkan bahwa 27 dari 46 pasien dengan hipotensi
persisten dan fraktur pelvis yang sama sekali tak stabil, termasuk cedera APC II,
APC III, LC II, LC III dan VS, memiliki perdarahan arteri aktif (58,7%). Miller
dkk menemukan bahwa 19 dari 28 pasien dengan instabilitas hemodinamik
persisten diakibatkan oleh pada fraktur pelvis menunjukkan perdarahan arteri
(67,9%). Pada studi lain, ketika angiografi dilakukan, hal tersebut sukses
21
menghentikan perdarahan arteri pelvis pada 86-100% kasus. Ben-Menachem dkk
menganjurkan “embolisasi bersifat lebih-dulu”, menekankan bahwa jika sebuah
arteri yang ditemukan pada angiografi transected, maka arteri tersebut harus
diembolisasi untuk mencegah resiko perdarahan tertunda yang dapat terjadi
bersama dengan lisis bekuan darah. Penulis lain menjelaskan embolisasi non-
selektif pada arteri iliaca interna bilateral untuk mengontrol lokasi perdarahan
multipel dan menyembunyikan cedera arteri yang disebabkan oleh vasospasme.
Angiografi dini dan embolisasi berikutnya telah diperlihatkan untuk
memperbaiki hasil akhir pasien. Agolini dkk menunjukkan bahwa embolisasi
dalam 3 jam sejak kedatangan menghasilkan angka ketahanan hidup yang lebih
besar secara signifikan. Studi lain menemukan bahwa angiografi pelvis yang
dilakukan dalam 90 menit izin masuk memperbaiki angka ketahanan hidup.
Namun, penggunaan angiografi secara agresif dapat menyebabkan komplikasi
iskemik. Angiografi dan embolisasi tidak efektif untuk mengontrol perdarahan
dari cedera vena dan lokasi pada tulang, dan perdarahan vena menghadirkan
sumber perdarahan dalam jumlah lebih besar pada fraktur pelvis berkekuatan-
tinggi. Waktu yang digunakan pada rangkaian angiografi pada pasien hipotensif
tanpa cedera arteri mungkin tidak mendukung ketahanan hidup.
Balutan Pelvis
Balutan pelvis dikembangkan sebagai sebuah metode untuk mencapai
hemostasis langsung dan untuk mengontrol perdarahan vena yang disebabkan
fraktur pelvis. Selama lebih dari satu dekade, ahli bedah trauma di Eropa telah
menganjurkan laparotomi eksplorasi yang diikuti dengan balutan pelvis. Teknik
ini diyakini terutama berguna pada pasien yang parah. Ertel dkk menunjukkan
bahwa pasien cedera multipel dengan fraktur pelvis dapat dengan aman ditangani
menggunakan C-clamp dan balutan pelvis tanpa embolisasi arteri. Balutan lokal
juga efektif dalam mengontrol perdarahan arteri.
Akhir-akhir ini, metode modifikasi balutan pelvis – balutan retroperitoneal
– telah diperkenalkan di Amerika Utara. Teknik ini memfasilitasi kontrol
perdarahan retroperitoneal melalui sebuah insisi kecil (gambar 5). Rongga
intraperitoneal tidak dimasuki, meninggalkan peritoneum tetap utuh untuk
22
membantu mengembangkan efek tamponade. Prosedurnya cepat dan mudah
untuk dilakukan, dengan kehilangan darah minimal. Balutan retroperitoneal tepat
untuk pasien dengan beragam berat ketidakstabilan hemodinamik, dan hal ini
dapat mengurangi angiografi yang kurang penting. Cothren dkk melaporkan
tidak adanya kematian sebagai akibat dari kehilangan darah akut pada pasien
yang tidak stabil secara hemodinamik persisten ketika balutan langsung
digunakan. Hanya 4 dari 24 yang bukan responden pada studi ini membutuhkan
embolisasi selanjutnya (16,7%), dan penulis menyimpulkan bahwa balutan
secara cepat mengontrol perdarahan dan mengurangi kebutuhan angiografi
emergensi.
Gambar 11. Ilustrasi yang mendemonstrasikan teknis pembalutan
retroperitoneal. A, dibuat sebuah insisi vertikal midline 8-cm. Kandung
kemih ditarik ke satu sisi, dan tiga bagian spons tak terlipat dibungkus
kedalam pelvis (dibawah pinggir pelvis) dengan sebuah forceps. Yang
pertama diletakkan secara posterior, berbatasan dengan persendian
sacroiliaca. Yang kedua ditempatkan di anterior dari spons pertama pada
titik yang sesuai dengan pertengahan pinggiran pelvis. Spons ketiga
ditempatkan pada ruang retropubis kedalam dan lateral kandung kemih.
Kandung kemih kemudian ditarik kesisi lainnya, dan proses tersebut
diulangi. B, Ilustrasi yang mendemonstrasikan lokasi umum enam bagian
spons yang mengikuti balutan pelvis.
23
b. Tindakan operatif bila ditemukan adanya kerusakan alat-alat dalam rongga
panggul.
Penetapan algoritma pengobatan klinis yang baku untuk pasien dengan fraktur
pelvis meningkatkan kemungkinan stabilisasi dan ketahanan hidup yang cepat. Bosch dkk
melaporkan bahwa pelaksanaan protokol standar pada pusat trauma mengarah pada
menurunnya mortalitas sehubungan dengan fraktur pelvis berkekuatan-tinggi dari 66,7%
menjadi 18,7%. Biffl dkk melaporkan bahwa jalur klinis mereka, termasuk segera
munculnya kehadiran ahli bedah ortopedi di departemen gawat-darurat, pembalutan pelvis,
dan penggunaan C-clamp agresif berikutnya, mengarah pada menurunnya mortalitas
secara signifikan, dari 31% mejadi 15% (P < 0,05). Balogh dkk menetapkan pedoman
institusional evidence-based terdiri atas ikatan pelvis dan pemeriksaan abdomen dalam 15
menit, angiografi pelvis dalam 90 menit, dan fiksasi ortopedi invasif minimal dalam 24
jam. Penggunaan pedoman ini mengurangi volume transfusi PRC 24-jam dari 16 ± 2 U
menjadi 11 ± 1 U (P < 0,05) dan mengurangi mortalitas dari 35% menjadi 7% (P < 0,05).6
Beberapa algoritma terlalu kompleks yang kelihatannya tidak mungkin untuk
diikuti. Satu alasan kompleksitas ini adalah begitu banyaknya variasi sebagai penyebab
syok dan banyaknya sumber perdarahan pada pasien dengan fraktur pelvis. Juga,
pengobatan cenderung pada ketergantungan-kasus yang tinggi. Alasan lain adalah
kebanyakan algoritma pengobatan yang ditetapkan berdasarkan kapabilitas institusi untuk
dikembangkan. Meskipun prinsip mendasar protokol-protokol tersebut berguna, mungkin
juga penting untuk memodifikasi algoritma-algoritma tersebut agar sesuai dengan sumber
daya dan staf ahli pada masing-masing institusi.6
Pada beberapa center, pasien dengan fraktur pelvis berkekuatan-tinggi dengan
instabilitas hemodinamik pada awalnya diberikan 2 L larutan kristaloid (gambar 6).
Radiografi dadaportable, bersama dengan gambaran radiografi pelvis dan tulang belakang
cervical lateral, diperiksa untuk menyingkirkan sumber kehilangan darah yang berasal dari
toraks. Saluran tekanan vena sentral dipasang, dan defisit basa diukur. Pemeriksaan
sonografi abdomen terfokus untuk trauma (focused abdominal sonography for
trauma/FAST) dilakukan. Jika hasilnya positif, pasien dibawa langsung ke ruang operasi
untuk laparotomi eksplorasi. Fiksator eksternal pelvis dipasang, dan dilakukan balutan
24
pelvis. Pasien yang secara hemodinamik tetap tidak stabil menjalani angiografi pelvis
sebelum dipindahkan ke ICU. Jika stabilitas hemodinamik pulih, pasien dipindahkan
langsung ke ICU. Di ICU, pasien menerima resusitasi cairan lanjutan dan dihangatkan;
berbagai usaha dilakukan untuk menormalkan status koagulasi. Jika pasien membutuhkan
transfusi berkelanjutan di ICU, penilaian angiografi, jika sebelumnya tidak dilakukan,
maka harus dilakukan. rFVIIa harus dipertimbangkan jika kondisi pasien melawan semua
intervensi lainnya.6
Gambar 12. Algoritma untuk pengobatan pasien dengan fraktur pelvis yang
muncul dengan instabilitas hemodinamik. Pasien yang belum dilakukan
laparotomi biasanya melakukan CT-scan abdomen yang dimulai di ICU. Di ICU,
pasien menerima resusitasi cairan lebih lanjut dan dihangatkan; berbagai usaha
dilakukan untuk menormalkan status koagulasi. rFVIIa harus dipertimbangkan
jika kondisi pasien melawan semua intervensi lainnya.FAST = focused abdominal
sonography for trauma, PRBCs = packed red blood cells
25
Jika hasil FAST negatif, transfusi PRC dimulai di departemen gawat darurat. Jika
pasien secara hemodinamik tetap tidak stabil sambil mengikuti PRC unit kedua, pasien
dibawa ke ruang operasi untuk fiksasi eksternal pelvis dan balutan pelvis. Pasien yang
secara hemodinamik tetap tidak stabil mendapat angiografi pelvis sebelum dipindahkan ke
ICU. Jika stabilitas hemodinamik pulih, pasien dipindahkan langsung ke ICU. CT-scan
abdomen dapat dilakukan saat ini. Jika pasien membutuhkan transfusi berkelanjutan ketika
di ICU, penilaian angiografi, jika sebelumnya belum dilakukan, maka harus dilakukan.6
Titik akhir resusitasi ditentukan berdasarkan kombinasi data laboratorium dan
tanda-tanda fisiologis. Pembacaan tingkat hemoglobin diketahui tidak akurat selama fase
akut resusitasi. Titik akhir resusitasi yang umumnya dipertimbangkan termasuk tekanan
darah normal, menurunnya denyut jantung, urin output yang cukup (≥ 30 mL/jam), dan
tekanan vena sentral (CVP) normal. Namun, bahkan setelah normalisasi parameter-
parameter ini, oksigenasi jaringan yang tidak memadai bisa menetap. Pengukuran
laboratorium tambahan yang dapat digunakan untuk mengevaluasi oksigenasi jaringan
termasuk defisit basa, bikarbonat dan laktat. Semua ini menilai glikolisis anaerobik. Istilah
defisit basa dan kelebihan basa digunakan bergantian, satu-satunya perbedaan untuk
menjadi defisit basa diperlihatkan sebagai nomor positif dan kelebihan basa diperlihatkan
sebagai nomor negatif. Defisit basa normal adalah 0-3 mmol/L; angka ini secara rutin
diukur melalui analisa gas darah arteri (AGDA). Defisit basa menetap menandakan
resusitasi yang tidak mencukupi.6
1.2.10 Komplikasi
Komplikasi fraktur pelvis dibagi sebagai berikut.2,4,5
1. Komplikasi segera
a. Thrombosis vena ilio-femoral.
Komplikasi ini sering ditemukan dan sangat berbahaya. Apabila ada keraguan
sebaiknya diberikan anti-koagulan secara rutin untuk profilaksis.
b. Robekan kandung kemih.
Robekan dapat terjadi apabila ada disrupsi simfisis pubis atau tusukan dari
bagian tulang panggul yang tajam.
c. Robekan urethra.
26
Robekan urethra terjadi karena adanya disrupsi simfisis pada daerah urethra
pars membranosa.
d. Trauma rectum dan vagina.
e. Trauma pembuluh darah besar yang akan menyebabkan perdarahan massif
sampai syok.
f. Trauma pada saraf.
Lesi saraf skiatik
Lesi saraf skiatik dapat terjadi pada saat trauma atau pada saat operasi.
Apabila dalam jangka waktu 6 minggutidak ada perbaikan, maka
sebaiknya dilakukkan eksplorasi.
Lesi pleksus lumbosakralis
Biasanya terjadi pada fraktur sacrum yang bersifat vertical, disertai
pergeseran. Dapat pula terjadi gangguan fungsi seksual apabila mengenai
pusat saraf.
2. Komplikasi lanjut
a. Pembentukan tulang heterotropik
Pembentukan tulang heterotropik biasanya terjadi setelah suatu trauma jaringan
lunak yang hebatatau setelah suatu diseksi operasi. Dapat diberikan
indometasin untuk profilaksis.
b. Nekrosis avaskuler
Nekrosis avaskuler dapat terjadi pada kaput femur beberapa waktu setelah
trauma
c. Gangguan pergerakan sendi serta osteoarthritis sekunder
Apabila terjadi fraktur pada daerah acetabulum dan tidak dilakukkan reduksi
yang akurat, sedangkan sendi ini menopang berat badan, maka akan terjadi
ketidak-sesuaian sendi yang akan memberikan gangguan pergerakan serta
osteoarthritis di kemudian hari.
d. Skoliosis kompensatoar
DAFTAR PUSTAKA
27
1. Snell, Richard S. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran; alih bahasa, Liliana Sugiharto; editor edisi bahasa indonesia, Huriawati Hartanto....[ et al]. Ed.6. Jakarta: EGC, 2006.
2. Rasjad, Chairuddin, Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. PT Yarsif Watampoe : Jakarta. 2007.
3. Sathy AK, Starr AJ, Smith WR, Elliott A, Agudelo J, Reinert CM. The effect of pelvic fracture on mortality after trauma: an analysis of 63,000 trauma patients. J Bone Joint Surg Am. Dec 2009;91(12):2803-10.
4. Fracture of the Pelvis. Di unduh dari http:// www. American Academy of Orthopaedic Surgeons/fracture pelvic.html. update terakhir : September 2007.
5. C Crawford Mechem. Fracture pelvic. Di unduh dari http://www.emedicine.com/orthoped/Fracture-Pelvic.htm. Up date terakhir: 12 Mei 2010
6. David J. Hak, Wade R. Smith, Takashi Suzuki. Manajemen Perdarahan pada Fraktur Pelvis yang Mengancam Nyawa. 2009
BAB II
28
ILUSTRASI KASUS
Pasien perempuan 18 tahun datang ke IGD RSUD Achmad Darwis Suliki dengan :
Keluhan Utama : Nyeri pada pinggang kiri sejak 30 menit sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat Penyakit Sekarang:
- Nyeri pada pinggang kiri sejak 30 menit sebelum masuk rumah sakit. Pasien
menyatakan nyeri terjadi setelah kecelakaan lalu lintas sejak 30 menit sebelum
masuk rumah sakit, pasien adalah pengendara sepeda motor yang bertabrakan
dengan sebuah mobil dari arah samping, kemudian pasien terjatuh. Nyeri dirasakan
terus menerus, bertambah dengan gerakan terutama saat panggul digerakkan. Saat
kejadian pasien sadar.
- Riwayat penurunan kesadaran tidak ada.
- Nyeri kepala minimal. Nyeri dada (-) napas sesak (-)
- Riwayat muntah saat kejadian (-). Pasien muntah setelah diobservasi selama 10
menit di UGD, frekuensi 1x, berisi makanan bercampur darah, muntah tidak
menyemprot.
- Nyeri perut (-)
- Luka terbuka (-)
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Riwayat tekanan darah tinggi, sakit jantung, sakit gula, asma, alergi dan sakit
menular disangkal.
Riwayat penyakit keluarga :
- Tidak ada anggota keluarga yang memiliki riwayat tekanan darah tinggi,sakit
jantung, asma, alergi dan sakit gula sebelumnya
Riwayat pribadi dan sosial :
- Pasien seorang pelajar SMA
PEMERIKSAAN FISIK
29
Data pemeriksaan fisik
1. Primary survey
Airway : clear
Breathing : spontan, pernapasan 18x/menit, thorako-abdominal
Circulation : baik, nadi 72x/menit, tekanan darah 110/80 mmHg, CRT <2”
Disability : GCS = E4V5M6 = 15
2. Secondary Survey
Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos mentis cooperatif
Nadi/ irama : 72 x/menit, teratur
Pernafasan : 18 x/menit
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Suhu : 37oC
Status internus
Keadaan regional
Kepala : normochepali, rambut hitam, distribusi merata, jejas (-)
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil bulat isokor,
Diameter 3 mm/3 mm
Mulut : Mukosa kering (-) oral hygiene baik
Telinga : normotia, secret (-/-), othore (-/-), tinitus tidak ada
Hidung : normosepta, secret (-/-), napas cuping hidung (-/-), rhinore (-/-)
Leher : pembesaran kelenjar KGB (-), kelenjar tiroid tidak teraba
Membesar, JVP 5-2 cmH2O, jejas (-), deviasi trachea (-)
Paru
Inspeksi : simetris hemitorak kiri dan kanan saat statis dan dinamis
Palpasi : ekspansi dada baik, fremitus sama kiri dan kanan
Perkusi : sonor pada paru kiri dan kanan
Auskultasi : vesikuler, wheezing (-), ronkhi (-)
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V
30
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : bunyi jantung I-II regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : tidak membuncit, distensi (-), jejas (-), kembung (-)
Palpasi : hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-) nyeri lepas (-)
Muscle rigid (-)
Perkusi : timpani pada seluruh abdomen, shifting dullness (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Ekstremitas : akral hangat pada keempat ekstremitas, tidak ada edema
Kulit : turgor baik
3. Status Orthopedi
Regio Pelvis
Look : Luka terbuka (-) tampak tonjolan pada pinggul kiri berukuran
2 cm x 2 cm x 1 cm
Feel : Nyeri tekan di iliaka kiri (+) krepitasi (+)
Move : ROM terbatas karena nyeri
4. Status Lokalis Lainnya
Regio Suprapubis
Inspeksi : massa (-) jejas (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Pelvis
Foto Polos Abdomen : Garis Fraktur pada os Illium Sinistra
2. Pemeriksaan Laboratorium pada tanggal 1 Desember 2013
Hematologi
Hb : 10,6 gr/dl
Leukosit : 18.200/mm3
Trombosit : 516.000/mm3
31
Hematokrit : 28,6 %
Eritrosit : 3,56 x 106
Gol.darah : O
Diagnosis Kerja:
Fraktur Spina Iliaka Superior Sinistra
Penatalaksanaan : (konsul dr Nofli Ichlas, Sp.B)
- IVFD RL 8 jam/kolf
- Piracetam inj 1 x 1 gr IV
- Ceftriaxon inj 2 x 1 gr IV
- Pemasangan Folley Kateter
Pasien dan keluarga sempat menolak untuk dilakukan tindakan medis
walaupun sudah dijelaskan segala resiko yang akan ditimbulkan akibat penolakan, dan
surat pernyataan penolakan sudah dicantumkan di dalam status rekam medis IGD pasien.
Namun, setelah dijelaskan berkali-kali oleh dokter dan petugas IGD bahwa penolakan
tindakan medis dapat mengakibatkan resiko paling fatal seperti ancaman kematian,
akhirnya pasien dan keluarga bersedia untuk memperoleh tindakan medis oleh pihak
rumah sakit.
FOLLOW UP
Senin/2 Desember 2013 (pukul 09.00)
Anamnesis Demam (-), Mual (+), Muntah (+) frekuensi 1x berisi apa yang
dimakan darah (-), Nyeri pinggang (+) kaki kiri sulit untuk
digerakkan, nyeri perut (-)
Pemeriksaan Fisik KU: sedang Nadi: 80 x/menit
Kes:CMC Nafas: 20 x/menit
TD: 110/70 Suhu: 370 C
Diagnosa Fraktur spina iliaca superior sinistra
Laboratorium
Terapi/Rencana IVFD RL 8 jam/kolf
Piracetam inj 1 x 1 gr
32
Ceftriaxone inj 2 x 1 gr IV
Ketorolac inj 3 x 1 amp
Ranitidin inj 2 x 1 amp
Bed rest total dan immobilisasi, tidak boleh duduk
Rencana terapi konservatif → traksi
Selasa/3 Desember 2013 (pukul 02.15)
Anamnesis Perut kembung (+)
Mual (+) Muntah (+) frek 1x
Nyeri perut (+)
BAB (-) BAK (-)
Pemeriksaan Fisik KU:sedang Kes:CM TD: 80/60 Nd:120x/m Nfs: 26x/m T:360C
Abdomen:
I: distensi (+)
Pa: Nyeri tekan Abdomen (+) Nyeri Lepas (+) semua lapangan
abdomen
Pe: Hypertimpani
Aus: BU (+) melemah
Diagnosa Fraktur spina iliaca superior sinistra + susp trauma tumpul
abdomen (struktur organ berlumen)
Laboratorium
Terapi/Rencana Konsul dr.Nofli Ichlas Sp.B
IVFD RL guyur ½ kolf, jika nadi turun lanjutkan guyur 1 kolf,
setelah habis lanjutkan 20 tetes/menit
Metoklopramid inj 1 amp
Cek Darah rutin setelah pemberian IVFD RL ½ kolf guyur
Cek vital sign per jam
Anjuran rujuk RSAM
Pasien dianjurkan untuk dirujuk ke RS Achmad Mochtar Bukittinggi, namun
setelah dijelaskan kepada keluarga pasien mengenai tujuan dan alasan rujukan serta resiko
dan akibat yang ditimbulkan jika pasien tidak dirujuk atau menunda dirujuk, keluarga
33
pasien memutuskan meminta pihak RS Achmad Darwis untuk menunda merujuk pasien
dengan alas an keluarga butuh waktu untuk berembuk. Keluarga pasien menandatangani
surat pernyataan penundaan rujukan dan dilampirkan di dalam status rekam medis pasien.
Pada hari Selasa/ 3 Desember 2013 pukul 08.30 WIB, pasien dirujuk ke RS
Achmad Mochtar Bukittinggi.
DISKUSI
34
Pasien perempuan 18 tahun datang ke IGD RSUD Achmad Darwis Suliki dengan
keluhan nyeri pada pinggang kiri dan didiagnosa sebagai Fraktur Spina Iliaka Superior
Sinistra.
Diagnosis didasarkan pada anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Dari anamnesa nyeri pada pinggang kiri yang dirasakan setelah pasien
mengalami kecelakaan lalu lintas. Nyeri dirasakan terus menerus, bertambah dengan
gerakan terutama saat panggul digerakkan. Pada saat kejadian pasien masih sadar, muntah
1 x saat berada di IGD RS berisi makanan bercampur darah, muntah tidak menyemprot.
Pada pemeriksaa fisik ditemukan tanda-tanda vital serta status internus masih
dalam batas normal. Pada regio pelvis, ditemukan adanya benjolan pada pinggul kiri
berukuran 2 cm x 2 cm x 1 cm, nyeri tekan (+) di iliaka kiri dan ditemukannya krepitasi
(+), ROM terbatas karena adanya nyeri. Pada regio suprapubis, tidak ditemukan adanya
kelainan.
Pada foto polos abdomen ditemukan adanya garis fraktur pada os ilium sinistra.
Pada pemeriksaan laboratorium masih dalam batas normal. Saat dalam penanganan di
IGD, pasien dan keluarga sempat menolak untuk memperoleh tindakan medis dan
perawatan dari RS dan meminta pulang atas permintaan sendiri. Namun, atas
pertimbangan yang diberikan oleh pihak RS mengingat cedera yang dialami pasien cukup
berat, akhirnya pasien bersedia untuk dirawat.
Penanganan pada pasien ini adalah bedrest, pemberian cairan jalur intravena dosis
rumatan, pemberian piracetam, antibiotic jenis ceftriaxon, ketorolac sebagai anti nyeri,
ranitidine sebagai proteksi lambung dan pemasangan folley kateter karena pasien tidak
diperbolehkan untuk beranjak dari tempat tidur selama fase perawatan. Pasien ini
direncanakan untuk diberikan terapi konservatif berupa traksi.
Setelah perawatan selama 28 jam di bagian bangsal bedah, pasien menunjukkan
perburukan kondisi. Pasien masih dalam keadaan sadar, namun TD 80/60 mmHg dan
nafas 26x/menit. Pasien mengeluhkan perut kembung, muntah dan nyeri perut. Dari
pemeriksaan fisik ditemukan abdomen distensi (+), nyeri tekan dan nyeri lepas (+) di
semua kuadran abdomen. Perkusi hypertimpani dan Bising Usus melemah. Pasien
dicurigai mengalami syok akibat perdarahan berulang dan mengalami trauma tumpul
abdomen. Pada pasien diberikan infuse RL guyur 1 kolf, injeksi metoklopramid sebagai
antivomit. Berdasarkan penilaian, pasien membutuhkan penangan operasi segera dan
membutuhkan ruangan ICU sehingga pasien dianjurkan untuk dirujuk ke RS Achmad
35
Mochtar Bukittinggi yang memiliki fasilitas yang lebih lengkap. Selama dalam perawatan,
terus dilakukan pemantauan tanda-tanda vital. Namun, pasien baru dirujuk 6 jam
kemudian karena keluarga pasien sempat menolak untuk dirujuk karena alasan biaya.
Berdasarkan teori yang telah dijelaskan di atas, maka tatalaksana yang diberikan
masih perlu sedikit tambahan seperti stabilisasi fraktur panggul, misal pelvic sling atau
pengikat pelvis segera untuk mencegah perdarahan berulang. Selain itu, resusitasi cairan
yang harus adekuat saat pasien menunjukkan gejala takikardi, takipnoe, penurunan TD
sistolik dan penurunan output urin yang mengarah kepada kecurigaan perdarahan grade II-
III dengan kehilangan darah berkisar 750-1500 ml sampai 1500-2000 ml. Hipotensi yang
ditunjukkan pasien hendaknya dicurigai sebagai perdarahan berulang atau perdarahan
yang masih berlanjut dimana merupakan penyebab kematian terbesar pada pasien-pasien
dengan fraktur pelvis sehingga diperlukan pemeriksaan Hemoglobin dan hematokrit
berkala sehingga dapat dipersiapkan transfusi darah jika diperlukan saat cairan kristaloid
tidak mampu mengganti jumlah darah yang hilang.
36