isbd.docx

21
NAMA : FEBRIAN DIMAS ADI NUGRAHA (M1B114001) PRODI : TEKNIK KIMIA HAKIKAT RUH Kata ruh mempunyai maksud yang berbeda dalam berbagai disiplin ilmu. Kata ini dalam masing-masing ilmu memiliki makna istilah yang khas, begitu pula dalam al-Quran, terdapat makna tipikal yang yang diungkapkan dengan intepretasi-intepretasi yang berbeda. Terdapat beberapa asumsi mengenai hakikat dari makna ruh yang dipersoalkan pada ayat ini, di antaranya: ruh hewani, ruh insani (jiwa-berpikir), ruh al-qudus atau Jibril, dan ruh yang bermakna makhluk yang lebih tinggi dari malaikat. Namun yang pasti bukanlah ruh hewani yang merupakan subyek kajian dalam ilmu Kedokteran, karena pengetahuan terhadap ruh ini bukan merupakan suatu persoalan yang jauh dari jangkauan ilmu. Demikian juga ruh ini bukanlah Jibril, karena dalam sebagian ayat- ayat al-Quran, ruh telah disebutkan berdampingan dengan malaikat dan dipandang sebagai persoalan yang berbeda dengan malaikat, secara tegas sebagian hadis juga menunjukkan perkara ini. Berpijak pada ayat ini tentang hakikat ruh, hanya dalam batasan ini bisa dikatakan bahwa ruh adalah suatu hakikat yang non-materi dan menjadi urusan Tuhan, suatu perkara yang dinisbahkan kepada Tuhan, tidak terikat oleh ruang dan waktu serta tidak memiliki tipologi materi. Memahami bagaimana perkara ketuhanan ini dan tingkatan-tingkatannya digolongkan sebagai rahasia-rahasia pengetahuan syuhudi (irfani) dan tidak boleh ada persangkaan bahwa Rasulullah Saw sendiri tidak memilik pengetahuan ini, namun karena mayoritas manusia tidak menjangkau pengetahuan seperti ini, maka membicarakannya akan menyebabkan kebingungan dan keheranan akal, dengan demikian, persoalan hakikat ruh tidak diungkapkan secara luas dalam aspek lahiriah al-Quran. Dari ungkapan di atas menjadi jelas bahwa karena ruh merupakan suatu hakikat yang tidak berada dalam koridor ruang-waktu dan tidak memiliki tipologi materi, maka ia tidak berada dalam cakupan indera

Upload: dymaz-adler-mancino

Post on 18-Dec-2015

212 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

NAMA : FEBRIAN DIMAS ADI NUGRAHA (M1B114001)PRODI : TEKNIK KIMIA

HAKIKAT RUHKata ruh mempunyai maksud yang berbeda dalam berbagai disiplin ilmu. Kata ini dalam masing-masing ilmu memiliki makna istilah yang khas, begitu pula dalam al-Quran, terdapat makna tipikal yang yang diungkapkan dengan intepretasi-intepretasi yang berbeda.Terdapat beberapa asumsi mengenai hakikat dari makna ruh yang dipersoalkan pada ayat ini, di antaranya: ruh hewani, ruh insani (jiwa-berpikir), ruh al-qudus atau Jibril, dan ruh yang bermakna makhluk yang lebih tinggi dari malaikat. Namun yang pasti bukanlah ruh hewani yang merupakan subyek kajian dalam ilmu Kedokteran, karena pengetahuan terhadap ruh ini bukan merupakan suatu persoalan yang jauh dari jangkauan ilmu.Demikian juga ruh ini bukanlah Jibril, karena dalam sebagian ayat-ayat al-Quran, ruh telah disebutkan berdampingan dengan malaikat dan dipandang sebagai persoalan yang berbeda dengan malaikat, secara tegas sebagian hadis juga menunjukkan perkara ini.Berpijak pada ayat ini tentang hakikat ruh, hanya dalam batasan ini bisa dikatakan bahwa ruh adalah suatu hakikat yang non-materi dan menjadi urusan Tuhan, suatu perkara yang dinisbahkan kepada Tuhan, tidak terikat oleh ruang dan waktu serta tidak memiliki tipologi materi.Memahami bagaimana perkara ketuhanan ini dan tingkatan-tingkatannya digolongkan sebagai rahasia-rahasia pengetahuan syuhudi (irfani) dan tidak boleh ada persangkaan bahwa Rasulullah Saw sendiri tidak memilik pengetahuan ini, namun karena mayoritas manusia tidak menjangkau pengetahuan seperti ini, maka membicarakannya akan menyebabkan kebingungan dan keheranan akal, dengan demikian, persoalan hakikat ruh tidak diungkapkan secara luas dalam aspek lahiriah al-Quran.Dari ungkapan di atas menjadi jelas bahwa karena ruh merupakan suatu hakikat yang tidak berada dalam koridor ruang-waktu dan tidak memiliki tipologi materi, maka ia tidak berada dalam cakupan indera lahiriah dan penglihatan kasat mata. Akan tetapi, sebagian efek-efek dan manifestasi-imaginal (mitsali) ruh hadir dalam materi lembut, seperti dalam kehadiran ruh badan-imaginal (mitsali) di alam barzakh.Perlu diungkapkan bahwa dalam tradisi sebagian disiplin ilmu dan begitu juga dalam ungkapan-ungkapan yang aplikatif, secara lahiriah ruh digunakan untuk menunjuk bentuk [badan] mitsali ini, karena bentuk [badan] ini mengandung ruh yang telah berpisah dari badan-jasmani dan secara luas bisa menampakkan pengaruh-pengaruh ruh. Badan-mitsali ini dapat dilihat dan diindera di alamnya sendiri [alam mitsali atau barzakhi].Namun hal ini tidak dapat diperbandingkan dengan ruh yang disandarkan secara langsung kepada Tuhan dan merupakan sejenis perkara Ilahi, karena keberadaan ruh di alam eksistensi [alam akal, mitsal, materi] lebih tinggi dari perkara-perkara tersebut dan tergolong sebagai rahasia-rahasia Ilahi.Salah satu pembahasan penting dan mendasar dalam agama-agama, hikmah [Hikmah Mutaaliyah], filsafat, dan irfan adalah pengenalan dan pengetahuan tentang ruh dari dimensi antropologi-filosofis (pengetahuan filosofis mengenai manusia) dan kosmologi.Di kalangan para teolog dan filosof Islam, terdapat beragam pendapat mengenai hakikat ruh, begitu pula, masalah ini terungkap secara global dalam ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis.Namun secara umum, pengetahuan tentang ruh dalam koridor makna-makna Quraninya (yang banyak mengisyaratkan tentang suatu hakikat yang lebih tinggi dari malaikat) tidak terjangkau oleh semua disiplin ilmu empirik dan pikiran-pikiran para intelektual, tapi dapat dicapai oleh suatu pengetahuan yang bersifat syuhudi dan irfani. Sebagaimana mereka mengatakan bahwa makrifat tentang jiwa yang tidak lain adalah makrifat tentang Tuhan adalah mengenal hakikat ruh.[1] Apa yang dimaksud dengan ruh?Perlu diutarakan bahwa apa yang dimaksudkan dari kata ruh pada beragam disiplin pengetahuan adalah berbeda-beda, dan kata ini dalam setiap disiplin ilmu, baik dalam ilmu-ilmu klasik maupun kontemporer memiliki makna istilah tipikalnya tersendiri, begitu pula dalam istilah quraninya memiliki makna yang khusus yang digunakan dalam ungkapan-ungkapan yang berbeda seperti kata al-ruh,[2] ruhi,[3] ruh minhu,[4] ruh al-amin,[5] ruh al-qudus,[6] dan lain sebagainya. 3. Ruh dalam ayat 85 surah IsraSalah satu ayat-ayat penting dalam al-Quran yang mengutarakan tentang hakikat ruh secara umum adalah ayat 85 surah Isra (18) yang menyatakan, Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah, ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.Terdapat beberapa kemungkinan tentang ruh yang disebutkan pada ayat di atas, ruh hewani, ruh insani (jiwa-berpikir), ruh al-Qudus atau Jibril, dan ruh yang bermakna suatu makhluk yang lebih tinggi dari malaikat.Namun yang pasti, yang dimaksudkan oleh ayat tersebut bukanlah ruh hewani yang merupakan subyek kajian ilmu Kedokteran, karena pengenalan terhadap hakikat ruh ini berada dalam jangkauan berbagai disiplin ilmu dan dalam berbagai ilmu Kedokteran klasik dan psikologi modern, terdapat beragam pemikiran yang tergagaskan tentang hakikat ruh ini.Begitu pula, tidak bisa dikatakan bahwa yang dimaksud dengan ruh tersebut adalah Jibril, karena kata ruh selain yang dimaksudkan oleh ayat ini, telah dinyatakan berulang-ulang dalam banyak ayat al-Quran. Dan dengan alasan karena disebutkan bersama dengan malaikat dan yang terpilih dari mereka (al-malaikatuh wa ar-ruh, malaikat dan ruh), maka sudah pasti bahwa ruh bukanlah malaikat, di samping itu sebagian hadis-hadis menegaskan tentang perbedaan dua realitas ini. Mengenai hakikat ruh yang terdapat pada ayat, Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh..., Allamah Thabathabai mengatakan bahwa secara lahiriah, ruh adalah suatu ciptaan yang lebih luas [dan lebih tinggi] dari Jibril dan selain Jibril.Di bawah ini akan disebutkan sebagian hadis-hadis yang menunjuk bahwa ruh bukan malaikat dan bukan Jibril:Seorang datang menghampiri Imam Ali As dan bertanya, Apakah ruh adalah Jibril itu sendiri? beliau bersabda, Jibril adalah dari malaikat dan ruh bukanlah Jibril.[7]Abu Bashir bertanya kepada Imam Shadiq As tentang firman Tuhan, Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah, ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku, Imam Shadiq As bersabda, Ruh adalah suatu ciptaan yang lebih agung [lebih luas, lebih besar, dan lebih tinggi] dari Jibril dan Mikail As. Ruh ini bersama Rasulullah Saw dan para Imam Ahlulbait dan berasal dari alam malakut.[8]Kendati demikian, kita menyaksikan dalam sebagian ayat-ayat al-Quran yang memperkenalkan Jibril As sebagai Ruh al-Amin, namun bentuk penggabungan dari kedua tema ini adalah sebagaimana yang ditegaskan oleh Allamah Thabathabai Qs, Dari ungkapan al-Quran dapat disimpulkan bahwa Jibril dan para malaikat adalah pembawa dan penyampai ruh dan mereka akan senantiasa bersama dengannya dalam [perjalanan] menurun dan menaik. Dan dari aspek inilah, ruh dari satu sisi adalah realitas yang tak terpisah dari malaikat dan Jibril, dan dari sisi yang lain sebagai realitas yang terpisah dari mereka.[9] 4. Hakikat Ruh dalam al-Quran dan ayat 85 surah IsraMengenai hakikat ruh ini, pada ayat tersebut, secara umum Allah Swt berfirman, Katakanlah, ruh itu termasuk urusan [perkara] Tuhan-ku. Supaya hakikat tentang urusan Ilahi ini menjadi jelas bagi kita, kita dapat merujuk pada sebagian ayat-ayat seperti, Sesungguhnya perkara-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, Jadilah! Maka terjadilah ia.[10] Urusan-Nya adalah demikian, bahwa ketika Dia menghendaki sesuatu, hanya dengan mengatakan Jadilah, maka sesuatu tersebut akan segera terwujud.Menurut Allamah Thabathabai dalam Tafsir al-Mizn, ayat ini menunjukkan bahwa ruh merupakan salah satu dari urusan Allah yang dinisbatkan pada zat-Nya, dan karena yang termasuk dalam urusan Ilahi adalah kalimat kun (jadilah), yang tak lain adalah kalimat pewujudan dan mengisyarahkan pada perbuatan khusus bagi Zat Ilahi, oleh karena itu, ruh juga termasuk dalam urusan Ilahi dalam skala masa dan tempat, dan dan sama sekali tidak bisa diperhitungkan dengan kriteria-kriteria materi lain yang manapun.[11]Dalam al-Quran, ruh ini didefinisikan dengan berbagai intepretasi, salah satunya disebutkan secara sendiri dan secara mutlak, seperti ayat di atas. Demikian juga kadangkala disebutkan bersama malaikat, dan terkadang dikatakan sebagai sebuah hakikat yang akan ditiupkan pada manusia secara umum, suatu waktu juga merupakan sebuah hakikat yang menyertai orang-orang beriman, dan kali lain sebagai sebuah hakikat dimana para nabi berinteraksi dengannya. 5. Kenapa tidak ada penjelasan lebih mendalam tentang hakikat ruh?Secara umum, mengenai hakikat ruh, cukup untuk dikatakan bahwa ruh merupakan sebuah hakikat non-materi (mujarrad) dan merupakan salah satu dari urusan Allah, akan tetapi pemahaman tentang bagaimana urusan ketuhanan ini dan tahapan-tahapannya, membutuhkan ilmu syuhudi, dan termasuk dari rahasia-rahasia mukasyafah, dan karena mayoritas manusia tidak memiliki pemahaman seperti ini, maka membincangkan masalah ini akan menyebabkan keheranan akal, dan mungkin juga akan menyebabkan ketersesatan.Karena itu, dalam al-Quran al-Karim tidak ada penjelasan yang lebih mendalam mengenai pengenalan ruh.Dari sini, tidak boleh ada persangkaan bahwa Rasulullah sendiri tidak memiliki ilmu ini, sebagaimana pengenalan hakikat ruh secara perolehan dan yakin merupakan bagian dari derajat para arif, dan penjelasan rahasia-rahasianya bagi mereka yang mencintai ilmu ini, tidak akan memiliki manfaat ilmiah.[12]Sedangkan yang dimaksud dalam kalimat wa m ttum minal ilmi ill qall adalah bahwa apa yang dimanfaatkan oleh ulama dari aspek lahirian masalah ini, hanyalah sedikit dari yang banyak, dan hakikat ruh merupakan sebuah persoalan yang lebih luas, dan memahaminya tidak akan mungkin diterima kecuali melalui ilmu perolehan (ilm hushuli). 6. Apakah ruh dapat dilihat?Dari apa yang telah lalu menjadi jelas bahwa karena ruh adalah sebuah hakikat yang tidak terikat oleh ruang dan waktu dan tidak memiliki karakteristik materi, maka ruh ini tidak berada dalam cakupan indera lahiriah dan penglihatan kasat mata.Kendati mukasyafah dan syuhud sebelumnya, ruh dapat diterima bagi para maksum, dan mungkin para arif juga memiliki syuhud ini secara global, dan tidak ada perbedaan dengan kenonmaterian ruh.Demikian juga, sebagian dari pengaruh dan manifestasi ruh (bukan zat ruh itu sendiri) bisa tertampakkan dalam bentuk materi lembut, seperti badan mitsali yang merupakan bentuk ruh di alam barzah dan memiliki karakteristik-karakteristik yang mirip dengan jasmani duniawi dalam sebuah derajat yang lebih tinggi dari lathafat dan nuraniyat.Perlu disebutkan bahwa dalam tradisi sebagian disiplin ilmu, demikian juga dalam sebagian perubahan yang aplikatif, menunjuk pada bentuk [badan] mitsali ini, karena bentuk [badan] ini mengandung ruh yang telah berpisah dari badan-jasmani dan secara luas bisa menampakkan pengaruh-pengaruh ruh. Badan-mitsali ini dapat dilihat dan diindera di alamnya sendiri [alam mitsali atau barzakhi]. Namun hal ini tidak bisa diperbandingkan dengan ruh yang disandarkan secara langsung kepada Tuhan dan merupakan sejenis perkara Ilahi, karena keberadaan ruh di alam eksistensi [alam akal, mitsal, materi] lebih tinggi dari perkara-perkara tersebut dan tergolong sebagai rahasia-rahasia Ilahi.

HAKIKAT AKALPENJELASAN: Hakikat Akal. Dan bahagian-bahagian Akal.Ketahuilah, bahwa berbeda pendapat orang tentang batas akal dan hakikatnya. Kebanyakan mereka melupakan bahwa nama tersebut dipakai kepada bermacam-macam arti. Itulah yang menjadi sebab perbedaan pendapat tadi.Kebenaran yang menyingkap tutup mengenai akal itu ialah bahwa akal adalah suatu nama yang dipakai berserikat kepada empat arti, sebagaimana umpamanya nama mata dipakai kepada bermacam-macam arti.Dan apa yang berlaku tentang ini, maka tidaklah wajar dicari untuk semua bahagiannya, suatu batas saja. Tetapi hendaklah masing-masing bahagian disendirikan menjelaskannya.Yang pertama : akal itu adalah suatu sifat yang membedakan manusia dari hewan. Dengan akal manusia bersedia untuk menerima berbagai macam ilmu nadhari (ilmu yang memerlukan pemikiran) dan untuk mengatur usaha-usaha yang pelik yang menghajati kepada pemikiran.Akal itulah yang dimaksud oleh Al-Harts bin Asad Al-Muhasibi, di mana ia mengatakan tentang batas akal itu, yaitu : "Suatu gharizah (tabi'at) yang disediakan untuk mengetahui macam-macam ilmu nadhari".Akal itu seolah-olah suatu nur (cahaya) yang dimasukkan ke dalam hati yang disediakan untuk mengetahui macam-macam hal.Orang yang mengingkari apa yang tersebut di atas, tidak menginsa-fi, lalu mengembalikan akal itu kepada ilmu pengetahuan yang dharuri (yang tidak memerlukan pemikiran) semata-mata.Orang yang melengahkan ilmu pengetahuan dan orang yang tidur, keduanya dinamakan berakal, melihat kepada adanya gharizah tersebut, serta tak adanya ilmu pengetahuan.Sebagaimana hidup adalah suatu gharizah untuk menyediakan tubuh bagi gerakan biasa dan pengetahuan ke pancainderaan,maka demikian pulalah akal adalah suatu gharizah untuk menyediakan sebahagian hewan (manusia) buat memperoleh ilmu pengetahuan nadhari.Sekiranya bolehlah disamakan insan dengan keledai tentang gharizah dan pengetahuan kepanca inderaan, maka dapatlah dikatakan, bahwa tak adalah perbedaan antara keduanya, selain bahwa Allah Ta'ala - menurut adat yang berlaku - menjadikan pada insan itu ilmu pengetahuan dan tidak dijadikanNya pada keledai dan hewan-hewan lain, niscaya sesungguhnya bolehlah disamakan antara keledai dan barang keras (jamad) itu pada kehidupan. Dan dikatakan bahwa tak ada perbedaan antara keledai dan barang jamad selain daripada Allah Ta'ala menjadikan pada keledai itu gerakan-gerakan tertentu sepanjang kebiasaan yang berlaku. Kalau diumpamakan keledai itu benda keras yang mati, niscaya haruslah dikatakan bahwa tiap-tiap gerakan yang terlihat padanya, maka Allah Ta'ala kuasa menjadikannya pada yang keras itu, menurut tertib (pengaturan) yang kelihatan.Dan sebagaimana harus dikatakan bahwa tak adalah perbedaan bagi benda keras (jamad) mengenai gerakan, selain dengan gharizah yang tertentu, maka dikatakanlah bahwa gharizah itulah hidup.Demikian jugalah perbedaan insan dengan hewan tentang mengetahui ilmu pengetahuan nadhari dengan suatu gharizah yang disehut akal Maka akal itu adalah seperti cermin yang berbeda dengan benda-benda lain dalam segi memperlihatkan rupa dan warna, dengan suatu sifat yang khusus bagi cermin itu, yaitu sifat mengkilat.Begitu juga mata, yang berbeda dengan dahi tentang sifat-sifat dan keadaan-keadaan yang ada pada mata, yang disediakan untuk melihat. Maka hubungan gharizah ini kepada ilmu pengetahuan adalah seperti hubungan mata kepada melihat. Hubungan Al-Quran dan syari'at kepada gharizah ini (akal) dalam segi mengantarkannya untuk membuka bermacam-macam ilmu pengetahuan, adalah seperti hubungan cahaya matahari kepada melihat.Begitulah hendaknya dipahami gharizah akal ini.Yang kedua : hakikat akal itu ialah ilmu pengetahuan yang timbul ke alam wujud pada diri anak kecil yang dapat membedakan tentang kemungkinan barang yang mungkin dan kemustahilan barang yang mustahil. Seperti mengetahui dua lebih banyak dari satu dan orang tidak ada pada dua tempat pada satu waktu. Inilah yang mendapat perhatian sungguh-sungguh dari sebahagian ulama ilmu kalam, yang menerangkan tentang batas akal itu, bahwa akal adalah sebahagian ilmu dlaruri (ilmu yang mudah yang tak memerlukan pemikiran). Seumpama mengetahui tentang kemungkinan barang yang mungkin dan kemustahilan barang yang mustahil. Dan hal itu betul pula, karena pengetahuan tersebut itu ada dan menamakan-nya akal memang jelas.Yang tidak betul, ialah mengingkari gharizah itu dan mengatakan tidak ada. Yang ada, hanya pengetahuan itulah.Yang ketiga : akal itu, ialah ilmu pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman dengan berlakunya bermacam-macam keadaan. Maka orang yang telah diperkokoh pemahamannya oleh pengalaman-pengalaman dan dicerdaskan oleh beberapa aliran, maka dikatakan orang itu biasanya berakal. Yang tidak bersifat dengan sifat tadi, maka dikatakan : orang bodoh, tak berketentuan, jahil.Inilah macam yang lain dari ilmu pengetahuan yang dinamakan akal.Yang keempat : bahwa kekuatan dari gharizah itu berpenghabisan sampai kepada mengetahui akibat dari segala hal dan mencegah hawa nafsu yang mengajak kepada kesenangan yang dekat dan menundukkannya.Apabila telah berhasil kekuatan ini, maka orang yang mempunyai kekuatan tersebut din am akan berakal, di mana majunya dan mundumya adalah menurut yang dikehendaki pertimbangan mengenai akibat-akibatnya, tidak menurut hukum hawa nafsu yang dekat itu.Ini juga adalah dari sifat-sifat khas manusia yang membedakan dia dari hewan yang lain.Maka yang pertama di atas tadi, adalah asas, pokok dan sumber. Yang kedua adalah cabang yang lebih dekat kepada yang pertama. Yang ketiga adalah cabang bagi yang pertama dan kedua. Karena dengan kekuatan gharizah dan ilmu dlaruri itu, dapatlah diambil faedah segala ilmu pengalaman. Dan yang keempat, yaitu hasil yang penghabisan yaitu tujuan yang terjauh.Maka dua yang pertama (yang pertama dan kedua) adalah dengan karakter (tabi'at). Dan dua yang penghabisan (yang ketiga dan keempat) adalah dengan diusahakan.Dari itu bermadahlah Ali ra. :Aku melihat akal itu dua,menurut karakter dan yang didengar.Tidak bergunalah yang didengar,apabila yang karakter tidak ada.Seperti tidaklah berguna matahari,bila cahaya mata itu terlindungi .....................................Yang pertama itu, itulah yang dimaksudkan dengan sabda Nabi Artinya :"Tidak dijadikan oleh Allah Ta'ala suatu makhluk yang terlebih mulia padaNya, daripada akal". (1) Dan yang penghabisan, yaitu yang dimaksudkan dengan sabda Nabi 1.Dirawikan At-Tirmidzi dengan sanad dla'if dari Al-Hasan.Dan yang penghabisan, yaitu yang dimaksudkan dengan sabda Nabi (Idzaa taqarraban naasu biabwaabil birr: wal a'-maalish-shaalihaati fataqarrab anta bi'aqlika). Artinya :"Apabila manusia itu mendekati Tuhan dengan pintu pintu kebajikan dan amal salih,maka engkau dekatilah Tuhan dengan akal-mu". (1)Hadits inilah yang dimaksudkan dengan sabda Nabi saw. kepada Abid-Darda' ra. : "Bertambahlah akalmu supaya engkau bertambah dekat dengan Tuhanmu".Berkata Abid-Darda' : "Demi ibu-bapaku ya Rasulullah! Bagaimanakah bagiku dengan yang demikian itu?".Menjawab Nabi saw. : Jauhilah semua yang diharamkan Allah, tunaikanlah segala yang diwajibkan Allah, maka adalah engkau orang yang berakal! Kerjakanlah segala amal salih, niscaya engkau bertambah tinggi dan mulia di dunia yang tidak lama ini. Dan engkau memperoleh padahari akhirat yang akan datang,dari Tuhan-mu 'Azza wa Jalla, akan kedekatan dan kemuliaan". (2 Dirawikan Ibnul Mahbar dari Al Harits bin Abl Usamah )Dari Sa'id bin Al-Musayyab, bahwa Umar, Ubai bin Ka'ab dan Abu Hurairah ra. datang kepada Rasulullah. seraya bertanya : "Ya Rasulullah! Siapakah yang terbanyak ilmu diantara manusia?".Menjawab Nabi. : "Orang yang berakal!".Bertanya mereka itu lagi : "Siapakah yang terbanyak berbuat ibadah?".Menjawab Nabi: "Orang yang berakal!".Bertanya mereka itu iagi : "Siapakah yang lebih utama diantara manusia?".Menjawab Nabi: "Orang yang berakal!".Bertanya mereka itu lagi : "Bukankah orang yang berakal itu, orang yang sempurna kepribadiannya, yang terang kelancaran lidahnya, yang murah tangannya dan tinggi kedudukannya?".Menjawab Nabi: "Kalaulah benar itu semuanya, tentu tidaklah kesenangan hidup dunia dan akhirat pada sisi Tuhanmu teruntuk bagi orang yang bertaqwa". (3. Dirawikan Ibnu MahBar dari Said Bin Al Musayyab)1 DlrawiKan Abu Na'im dari Ali, Isnad dla'if.2 Dirawikan Ibnul Mahbar dari Al Harits bin Abl Usamah 3 Dirawikan Ibnu MahBar dari Sa id Bin Al MusayyabOrang yang berakallah yang taqwa, meskipun di dunia dia hina dan rendah.Bersabda Nabi.pada hadits lain :"Sesungguhnya yang berakal ialah orang yang beriman kepada Allah, membenarkan rasul-rasul Allah dan berbuat amalan ta'at kepada Allah ( Dirawikan Ibnul Mahbar dari Sa'ld bin Al-Musayyab, hadits mursal.)Serupalah menurut asal bahasanya, nama "akal" itu diuntukkan kepada gharizah itu. Begitu juga menurut pemakaiannya. Dan sesungguhnya ditujukan kepada ilmu pengetahuan, adalah dari segi bahwa ilmu pengetahuan itu adalah hasil gharizah sebagaimana sesuatu itu dikenal dengan hasilnya. Maka dikatakanlah, ilmu itu ialah takut kepada Tuhan. Orang yang berilmu (alim ulama), ialah orang yang takut kepada Allah Ta'ala. Maka takut adalah buah dari ilmu. Lalu "akal" adalah sebagai perkataan yang dipinjam, dipergunakan bagi lain dari gharizah itu.Tetapi maksud di sini tidaklah membahas bahasa. Yang dimaksudkan ialah bahwa bahagian yang empat itu ada. Dan nama "akal", itu ditujukan kepada semuanya. Dan tak adalah perbedaan pendapat tentang adanya semuanya, kecuali mengenai bahagian yang pertama (gharizah).Yang benar, ialah adanya gharizah itu. Bahkan dialah yang pokok. Semua ilmu pengetahuan itu seolah-olah terkandung dalam gharizah itu menurut fithrah (kejadian manusia). Tetapi baru lahir kealam kenyataan, apabila telah berlaku sebab yang melahirkannya kealam wujud. Sehingga seakan-akan semua ilmu pengetahuan itu tidaklah merupakan sesuatu yang datang kepadanya dari luar. Dan seakan-akan ilmu-ilmu itu adalah yang tersembunyi pada fithrah, maka lahir kemudian kealam nyata.Contohnya, adalah seperti air dalam bumi, lahir dengan dikorek sumur, berkumpul dan dapat diperbedakan dengan pancaindera. Tidaklah dengan didatangkan benda baru ke dalam bumi tadi.Begitu juga minyak pada kelapa dan air mawar pada bunga mawar. Karena itu berfirman Allah Ta'ala : (Wa idz akhadza rabbuka min Banii Aadama min dhnhnnrihim dzurriyyatahum wa asyhadahum 'alaa anfusihim alastu birabbikum qaaluu balaa). Artinya: "Dan ketika Tuhan kamu menjadikan turunan anak-anak Adam dari punggungnya dan Tuhan mengambil kesaksian dari mereka sendtri, kataNya;Bukankah Aku ini Tuhan kamu ?. Mereka menjawab : "Ya' ( S. Al-A'raaf, ayat 172).Yang dimaksudkan dengan itu ialah pengakuan jiwa mereka,tidak pengakuan lidah. Dalam pengakuan lidah, manusia itu terbagi, menurut lidah dan orangnya kepada yang mengaku dan yang mungkir.Dari itu berfirman Allah Ta'ala : Artinya :"Dan kalau engkau tanya akan kepada mereka. Siapakah yang menciptakan mereka? Sudah tentu mereka akan menjawab "Allah".(S. Az-Zukhruf, ayat 87).Artinya :"Jika diperhatikan keadaan mereka, maka akan naik saksi-lah jiwa dan bathin mereka dengan yang demikian, sebagai fithrah kejadian, yang dijadikan Allah akan manusia dengan demikian".Artinya : seluruh anak Adam itu dijadikan menurut fithrahnya, beriman kepada Allah 'Azza wa Jalla. Bahkan segala sesuatu itu diketahuinya menurut fithrahnya. Yakni fithrah itu sebagai yang menjamin karena dekat persediaannya untuk mengetahui itu.Kemudian, tatkala adalah iman itu dipusatkan pada jiwa menurut fithrah, maka manusia itu terbagi kepada dua : orang yang berpaling dari Tuhan lalu lupa, yaitu orang-orang kafir : dan orang yang lambat terlintas di hatinya, tetapi teringat kemudian. Maka orang yang kedua ini, adalah seperti orang yang mempunyai ijazah, maka lupa di mana diletakkannya, kemudian dia teringat.Dari itu berfirman Allah Ta'ala Artinya :"Moga-moga mereka itu teringat". (S. Al-Baqarah, ayat 221).Artinya :"Dan supaya teringatlah orang-orang yang berakal".(S. Shad, ayat 29).Artinya:"Dan kenangkanlah kurnia Tuhan kepada kamu dan ingatilah janji yang telah kamu ikat dengan Dia". (S. Al-Maidah, ayat 7). (Wa laqad yassarnal qur-aana lidz-dzikri, fa-hal min muddakir).Artinya :"Dan sesungguhnya Al-Qur'an itu Kami mudahkan untuk diingati, tetapi adakah orang yang mengambil pelajaran!".(S. Al-Qamar, ayat 17).Menamakan yang semacam ini dengan peringatan, tidaklah begitu jauh untuk dipahami. Maka seakan-akan peringatan itu dua macam : semacam mengingati gambaran yang sudah ada di dalam hati, tetapi hilang sesudah ada. Dan semacam lagi mengingati gambaran yang sudah ada, terkandung dalam hati dengan fithrah. Inilah hakikat kebenaran yang nyata, bagi orang yang memperhati-kan dengan nur mata hatinya (bashirahnya). Tetapi berat bagi orang yang mempergunakan saja pendengaran dan taqlid tanpa melihat dengan mata hati dan mata kepala.Dari itu anda melihat orang tersebut, terpukul dengan ayat-ayat seperti itu dan memutar-balikkan tentang ta'wil peringatan dan pengakuan jiwa dengan bermacam-macam pemutar-balikan. Dan terbayang kepadanya berbagai macam pertentangan maksud tentang hadits dan ayat itu.Kadang-kadang hal itu keras sekali sehingga dipandangnya dengan pandangan penghinaan dan timbul keyakinan kepadanya bahwa itu kekacau-balauan.Orang yang seperti itu adalah seumpama orang buta yang masuk ke sebuah rumah. Maka tersandunglah kakinya, dengan tempat air yang tersusun rapi dalam rumah itu, lalu ia mengatakan : "Mengapakah tempat-tempat air ini tidak diangkat dari jalan tempat lalu dan dikembalikan kepada tempatnya semula?".Menjawab orang yang mendengar : "Bahwa tempat-tempat air itu adalah di tempatnya. Hanya mata saudara sendiri yang salah dan rusak!".Maka begitu pulalah orang yang rusak mata hatinya. berlaku seperti itu yang lebih hebat dan lebih besar akibatnya. Karena jiwa adalah Iaksana orang yang mengendarai kuda dan badan adalah Iaksana kuda. Buta yang mengendarai kuda adalah lebih membahayakan daripada buta kuda.Karena serupanya mata bathin dengan mata dhahir, maka berfirman Allah Ta'ala :Artinya : "Hati tidak mendustakan apa yang dilihatnya". (S. An-Najm, ayat 11).Dan berfirman Allah Ta'ala : Artinya :"Dan begitulah Kami perlihatkan kepada Ibrahim kerajaan langit dan bumi".(S. Al-An'am, ayat 75).Lawan melihat dinamakan buta : Berfirman Allah Ta'ala :Artinya :"Sesungguhnya tidaklah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada(S. Al-Hajj, ayat 46).Dan berfirman Allah Ta'ala Artinya :"Barangsiapa yang buta di dunia ini,maka di akhirat dia buta juga dan lebih sesat jalannya ".(S. Al-Isra', ayat 72).Segala hal inilah yang di buka kepada para Nabi. Sebahagiannya adalah dengan mata kepala dan sebahagian lagi adalah dengan mata hati. Dan semuanya itu dinamakan melihat.Kesimpulannya, orang yang tidak tembus penglihatan mata hatinya, maka tidaklah tersangkut agama padanya, selain kulitnya dan yang seperti kulit itu. Tidak isinya dan hakikatnya.Inilah bahagian-bahagian itu, yang dipakai nama "akal" padanya.PENJELASAN : Berlebih Kurangnya Manusia Tentang Akalnya.Sesungguhnya berbedalah manusia tentang berlebih kurang akalnya. Dan tak ada artinya bekerja menyalin perkataan orang-orang yang hasilnya sedikit sekali. Akan tetapi, yang lebih utama dan yang penting, ialah bersegera menegaskan kebenaran.Kebenaran yang tegas padanya ialah dikatakan, bahwa berlebih-kurangnya akal itu menempuh pada empat bahagian, selain bahagian yang kedua. Yaitu ilmu dlaruri tentang jaiznya barang yang jaiz (1) dan mustahilnya barang yang mustahil. (2)1.Jaiz= Sesuatu Yang Boleh Jadi Ada , Boleh jadi Tiada2. Mustahil = Sesuatu yang tak diterima akal , terjadinya dan adanyaOrang yang mengetahui bahwa dua adalah lebih banyak dari satu maka dia mengetahui juga mustahil adanya satu tubuh itu pada dua tempat dan adanya satu benda itu qadim dan hadits.Begitu juga bandingan-bandingan yang lain dan seluruh apa yang dapat diketahui sebagai pengetahuan yang diyakini tanpa ragu-ragu-Adapun yang tiga bahagian lagi, maka berlakulah berlebih kurang-nya akal padanya.Dan bahagian yang keempat yaitu, : kerasnya kekuatan mencegah hawa nafsu. Maka tidaklah tersembunyi, berlebih kurangnya manusia padanya. Bahkan tidaklah tersembunyi berlebih - kurangnya keadaan seseorang menghadapi hawa nafsunya. Sekali, berlebih-kurangnya ini ada karena berlebih-kurangnya hawa nafsu. Sebab orang yang berakal itu kadang-kadang sanggup meninggalkan sebahagian hawa nafsunya dan tidak sanggup terhadap sebahagian yang lain. Tetapi bukan sehingga itu saja. Seorang pemuda kadang-kadang lemah dia meninggalkan zina. Dan ketika bertambah umurnya dan sempuma akalnya, maka sanggup dia meninggalkan zina ituIngin ria (sifat ingin memperlihatkan amal perbuatan kepada orang) dan ingin menjadi kepala, bertambah kuat dengan bertambah umur. Tidak bertambah lemah. Sebabnya, mungkin karena berlebih kurangnya ilmu yang memperkenalkan faedah hawa nafsu ingin ria dan menjadi kepala itu.Karena itulah, seorang dokter sanggup mencegah diri dari sebahagian makanan yang mendatangkan melarat. Dan orang lain yang sama kedudukan akalnya,dengan dokter itu, tidak sanggup mena-hannya, apabila ia bukan dokter. Meskipun ia berkeyakinan secara umum, bahwa makanan itu mendatangkan melarat.Akan tetapi, apabila pengetahuan dokter itu lebih sempurna, maka takutnyapun lebih keras. Maka adalah takut itu tentara bagi akal dan alatnya untuk mencegah dan menghancurkan hawa nafsu.Demikian jugalah seorang alim itu lebih sanggup meninggalkan perbuatan ma'siat dari seorang bodoh. Karena kekuatan ilmu pengetahuannya dengan melaratnya perbuatan ma'siat itu. Yang saya maksudkan ialah orang berilmu yang sebenar-benarnya, bukan orang-orang yang bersyurban besar yang pandai bermain sandiwara.Kalau berlebih-kurang itu dari segi hawa nafsu, niscaya tidak kembali kepada berlebih'kurangnya akal. Dan kalau dari segi ilmu, maka yang semacam ini, dari ilmu itu kita nam akan juga akal Karena ilmu pengetahuan itu menguatkan gharizah akal. Maka adalah berlebih kurang itu menurut nama yang diberikan. Dan kadang-kadang berlebih-kurang itu semata-mata pada gharizah akal, maka apahila gharizah akal itu kuat, maka sudah pasti pencegahannya terhadap hawa nafsu adalah lebih keras.Adapun bahagian yang ketiga yaitu ilmu pengalaman, maka berlebih-kurang manusia padanya itu tidak dapat dibantah. Karena manusia itu berlebih kurang dengan banyaknya yang betul yang dikerjakannya dan tentang cepatnya mengetahui sesuatu, adakalanya karena berlebih-kurang tentang gharizah dan adakalanya menge-nai pengalaman kerja.Adapun yang pertama tadi yakni gharizah, maka berlebih-kurang-nya, tak ada jalan untuk membantahnya. Karena akal itu adalah seumpama nur yang terbit pada jiwa dan terangnya akanmuncul. Titik pertama dari terbitnya nur tadi ialah ketika umur tamyiz (ketika anak itu sudah dapat membedakan antara untung dan rugi). Kemudian nur itu senantiasalah bertumbuh dan bertambah dengan pelan-pelan yang tidak kentara. Sehingga sempurnalah dia ketika umur sudah mendekati empat puluh tahun.Nur tadi adalah seumpama cahaya subuh. Mula-mula sangat tersembunyi, sukar diketahui. Kemudian dari sedikit ke sedikit bertambah, sehingga sempurnalah dengan terbit bundaran matahari.Berlebih-kurangnya nur mata hati adalah seperti berlebih-kurang-nya sinar mata kepala. Perbedaan itu dapat diketahui antara orang kero dan orang yang berpandangan tajam. Bahkan sunnatullah (kata orang kebanyakan - kemauan alam) berlaku pada sekalian makhlukNya, dengan beransur-ansur (tidak sekaligus) pada penga-daan. Hatta gharizah syahwat pun tidak timbul pada anak-anak ketika baligh sekaligus dan dengan tiba-tiba. Tetapi tumbuh sedikit demi sedikit, secara beransur-ansur.Begitu pulalah segala kekuatan dan sifat. Orang yang membantah berlebih-kurangnya manusia pada gharizah ini, adalah seolah-olah dia sendiri telah terlepas dari ikatan akal.Barangsiapa menyangka bahwa akal Nabi saw. adalah seperti akal seseorang dari orang hitam dan orang Arab bodoh, maka orang itu lebih jahat dirinya dari siapa-pun dari orang-orang hitam itu.Bagaimanakah dapat memungkiri berlebih - kurangnya gharizah akal itu? Kalau tidaklah berlebih-kurang, maka tidaklah manusia itu berbeda-beda pada pemahaman ilmu pengetahuan. Dan tidaklah manusia itu terbagi-bagi kepada orang bodoh yang tidak dapat memahami sesuatu selain sesudah payah guru pengajarinya. Dan kepada orang pintar yang dapat memahami dengan sedikit tunjuk dan isyarat saja. Dan kepada orang sempurna (kamil) yang timbul dari dirinya hakikat segala sesuatu tanpa diajarkan, seperti firman Allah Ta'ala : Artinya :"Hampir minyaknya meiaancarkan cahaya (sendirinya), biarpun tidak disinggung api. Cahaya berlapis cahaya ".( An-Nur, ayat 35).Yang demikian itu adalah seperti nabi-nabi as. Karena jelas bagi mereka dalam bathinnya hal-hal yang sulit tanpa belajar dan mendengar yang dinamakan "ilham".Hal yang seperti demikian, dijelaskan oleh Nabi saw. dengan sabdanya : Artinya :"Bahwa ruh suci itu mengilhami dalam hatiku : Sayangilah siapa yang engkau sayangi, sesungguhnya engkau akan berpisah dengan dia! Hiduplah bagaimana yang engkau kehendaki, sesungguhnya engkau akan mati! Berbuatlah apa yang engkau kehendaki, sesungguhnya engkau akan dibalasi dengan amal perbuatan itu " (1)1. Dirawikan As Syirari dari sahl bin saad Dan At Thabrani Dari Ali , keduanya Dla'ifCara ini dari ajaran malaikat kepada nabi-nabi as. itu, berlainan dengan wahyu yang jelas. Yaitu mendengar suara dengan pancaindera dari telinga dan melihat malaikat dengan pancaindera dari mata.Karena itulah diterangkan dari hal ini, dengan pengilhaman ke dalam hati. Dan tingkatan wahyu itu banyak, Membicarakannya tidak layak dalam ilmu muamalah. Karena dia itu sebahagian dari ilmu mukasyafah.Janganlah disangka bahwa dengan mengenai tingkatan-tingkatan wahyu itu, membawa kita kepada derajat wahyu, Karena tidak jauh perbedaannya dengan seorang dokter yang mengajari orang sakit, tingkatan-tingkatan kesehatan dan seorang 'alim yang mengajari orang fasiq, tingkatan-tingkatan keadilan, meskipun dia sendiri kosong daripadanya.Maka ilmu itu satu hal dan adanya yang diketahui itu satu hal pula. Maka tidaklah tiap orang yang mengetahui tentang kenabian dan kewalian, lalu dia itu nabi dan wali. Dan tidak pula setiap orang yang mengenai taqwa, dan wara' sampai kepada yang sekecil-kecilnya, lalu dia itu seorang yang taqwa.Dan terbaginya manusia itu kepada orang yang menyadari dari dirinya sendiri dan mengerti, orang yang tidak mengerti melainkan dengan disadarkan dan diajarkan dan orang yang tak ada gunanya diajarkan dan juga disadarkan, adalah seperti terbaginya tanah : ada yang terkumpul padanya air, lalu kuat. Maka dapat memancarkan beberapa mata air. Ada yang memerlukan kepada penggalian supaya keluar air ke parit-parit. Dan ada pula yang tidak berguna sama sekali digali, yaitu tanah kering yang tidak mengandung air. Dan yang demikian itu, karena berbeda zat tanah mengenai sifat-sifatnya.Maka seperti itu pulalah perbedaan jiwa dalam gharizah akal.Berlebih - kurangnya akal menurut yang dinukilkan dari agama, dibuktikan oleh riwayat bahwa Abdullah bin Salam ra. bertanya kepada Nabi saw. dalam suatu pembicaraan yang panjang. Di mana pada akhirnya Nabi saw. menyifatkan kebesaran 'Arasy dan para malaikat bertanya kepada Tuhan : "Hai Tuhan kami'. Adakah Engkau menjadikan sesuatu yang lebih besar dari 'Arasy?".Maka menjawab Tuhan : "Ada, yaitu akal!".Bertanya malaikat lagi: "Sampai di mana batas kebesarannya?".Menjawab Tuhan : "Tidak dapat dihinggakan dengan suatu ilmu pengetahuan. Adakah bagimu pengetahuan tentang bilangan pasir?".Menjawab malaikat itu : "Tidak".Maka berfirman Allah Ta'ala "Sesungguhnya Aku menjadikan akal itu bermacam-macam, seperti bilangan pasir. Sebahagian manusia ada yang diberikan sebiji. Sebahagian ada yang diberikan dua biji, ada yang tiga biji dan empat biji. Diantara mereka ada yang diberikan secupak, ada yang segantang dan ada pula diantara mereka yang diberikan lebih banyak dari itu". (1.Dirawikan Ibnul Mahbar dari Anas dengan telengkapnya dan At-Tirmldzi dengan diringkaskan)Jikalau anda bertanya, mengapa beberapa golongan dari kaum shufi mencela akal dan apa yang dipahami oleh akal?.Mengenai dengan celaan itu, ketahuilah bahwa sebabnya, ialah karena manusia membawa nama akal dan apa yang dipahami oleh akal itu, kepada pertengkaran dan perdebatan tentang soal-soal yang bertentangan dan main mutlak-mutlakan. Yaitu membuat ilmu kalam.Maka kaum shufi itu tidak sanggup menetapkan dengan dalil-dalil dari mereka sendiri bahwa anda telah bersalah memberi nama itu. Karena cara yang demikian itu tidak terhapus begitu saja dari hati kaum shufi sesudah demikian berkembang pada mulut orang banyak dan melekat pada hati. Lalu kaum shufi itu mencela akal dan apa yang dipahami oleh akal. Yaitu akal yang dinamakan dengan demikian pada mereka.Adapun nur mata hati yang tersembunyi yang dengan nur itu dikenal Allah Ta'ala dan kebenaran rasul-rasulNya, maka bagaimanakah tergambar mencelanya? Sedangkan Allah Ta'ala memberi pujian kepadanya? Kalau dicela, maka apalagi sesudah itu yang dapat dipuji?.1 Dirawikan Ibnul Mahbar dari Anas dengan telengkapnya dan At-Tirmldzi dengan dirlngkaskan.Kalau yang dipuji itu agama, maka dengan apa diketahui kebenaran agama itu? Kalau diketahui dengan akal yang dicela, yang tak dapat dipercayai itu, maka adalah agama itu tercela pula. Dan janganlah terpengaruh dengan orang yang mengatakan bahwa agama itu diketahui dengan 'ainul-yaqin dan nurul-iman, tidak dengan akal.Sesungguhnya kami maksudkan dengan akal itu, ialah apa yang dimaksudkan dengan 'ainul-yaqin dan nurul-iman tadi. Yaitu sifat bathiniah yang membedakan manusia dari hewan. Sehingga manusia itu dapat mengetahui hakikat segala sesuatu dengan sifat bathiniah tersebut.Kebanyakan kesalahan itu berkembang dari kebodohan orang-orang yang mencari kebenaran dari kata-kata saja. Maka tersalahlah mereka dalam kata-kata itu, karena kesalahan istilah manusia pada kata-kata itu.Sekedar ini mencukupilah mengenai penjelasan akal itu! Wallaahu a'lam.Allah Yang Maha Tahu!.HAKIKAT QALBU Qalbu dibaratkan pemerintah atau raja yang ditaati oleh segala rakyat. Jika pemerintah atau raja itu baik, maka baiklah sekalian rakyatnya. Yakni hati apabila disucikan atau dibersihkan daripada karat-karat dosa dan maksiat dengan diasuh dan dididik mengikut jalan tariqat Sufiah dengan sentiasa bermujahadah, maka akan timbul pada hati itu sinaran cahaya Nur yang dipertaruhkan oleh Allah kepadanya. Inilah maksud Imam al-Ghazali dengan katanya :Adalah hati itu makbul disisi Allah Taala; Jika sejahtera ia daripada barang yang lain daripada Allah.Ini adalah diisyaratkan kepada hati yang bersih yang mempunyai pancaran Nur. Maka hasil atas segala anggota yang zahir daripada ibadat atau lain daripada segala sifat-sifat mahmudah. Sebaliknya jika hati itu dibiar yakni mengikut hawa nafsu dan sentiasa membuat derhaka dan maksiat, maka hati itu terhijab daripada Nur dan terdinding dengan sebab karat dosa. Inilah maksud kata Imam al-Ghazali dengan katanyaDan adalah hati itu terdinding daripada Allah Taala jadilah ia karam dengan lain daripada Allah Taala, maka kejahatan dan celaka itu pun zahir atas segala anggota sebab mesra daripada karat hati yang Zulumah.HAKIKAT NAFSUAqal dan nafsu itu terletak di dalam QALBU, tempatnya bersusun , adapun Aqal itu berada di tempat yg lebih tinggi dan lebih dalam, sementara nafsu berada diluarnya, ibarat hati adalah baitullah dan nasf itu tawwaf mengelilinginya. Atau ibarat lalat mengerubungi buah yg masak. Dalam pengertian hakiki, aqlu atau akal bukanlah fikiran atau nalar, melainkan wadah dari Nur Ilmi, tempat marifah dan pengenalan kepada Allah, aqlu ini lah yg menerima pancaran cahaya kebaikan, tauhid, dan keimanan, serta segala ilmu yg berguna bagi manusia, adapun akal fikiran yg berada di dalam otak adalah ibarat pesuruh ataupun alat dari Al aqlu, tp terkadang fikiran ini mampu dikuasai oleh annasf. Sehinngga perbuatan manusia dan fikiran2 manusia menyalahi ketentuan dan kehendak kebaikan, mengikuti kehendak sang nasf tadi. Kenapa bisa terjadi demikian?. Masalah ini sedikit rumit, tapi saya akan berusaha menjabarkannya sesuai dengan kemampuan dan ilmu yg diberikan Allah kepada saya.

Kita ibaratkan aqlu itu sebuah lampu senter yg mengeluarkan cahaya nya kearah fikiran yg berada pada otak, sedangkan nasf ibarat sebuah sekat kaca penuh warna yg berada diantara aqlu dan fikiran, maka cahaya senter itu akan terhalang dan diserap oleh kaca yg akhirnya menimbulkan bias warna sesuai dengan apa yg ada dipermukaan kaca tadi, jika warna nya merah, maka merah yg akan sampai ke fikiran, walaupun sesungguhnya senter tadi (aqlu) hanya memancarkan cahaya terang tanpa warna. Maka timbullah nalar yg dikuasai oleh annasf yg membisikkan hal2 yg indah tentang perbuatan maksiat dan kejahatan, maka berkuasalah nasf atas otak. Dan kita semua juga tahu, bahwa tubuh kita sangat tergantung pada otak, dialah yg menggerakkan kullu jasad ini, sehingga berbuatlah anggota tubuh sesuai dgn kehendak nasf .

Nasf juga berguna bagi kehidupan manusia, tanpa nasf tidak akan ada perubahan dan ambisi manusia untuk berbuat sesuatu secara lahiriah dalam kehidupan manusia sebagai khalifah. Dan semua yang terjadi diatas dunia ini sebagai perubahan adalah karena peran nasf tadi.