intubasi-sulit

36
BAB I PENDAHULUAN Management jalan napas adalah tugas terpenting dari anestesiologi. Meskipun banyak disiplin kedokteran yang menangani masalah jalan napas berdasarkan masalah kegawatdaruratan, namun hanya beberapa yang bertanggung jawab atas rutinitas, pertimbangan, pilihan dari keadaan intrinsik pasien terhadap kontrol pernapasan. Data morbiditas dan mortilitas yang telah dipublikasikan menunjukkan di mana kesulitan dalam menangani jalan napas dan kesalahan dalam tatalaksananya justru akan memberikan hasil akhir yang buruk bagi pasien tersebut. (5) Secara epidemiologi dari 359 intubasi sulit dihasilkan dari data yang dikumpulkan secara retrospektif dari 4,742 catatan kasus anestesi pasien dewasa (2.392 laki-laki, 2.350 perempuan) yang menjalani anestesi umum untuk operasi rutin. Penilaian preoperatif napas setiap pasien dilakukan dengan menggunakan pedoman standar. Panjang mandibula, berat badan dan mobilitas rahang, kepala dan leher dievaluasi dengan pengukuran sederhana. Kehadiran menonjol rahang atau gigi atas, tumor atau kistalidah, mulut panjang dan sempit, otot leher pendek dan penyimpangan laring atau trakea didasarkan pada pemeriksaan klinis dan / atau radiologis. (6) Insiden intubasi sulit di UGD tidak dapat diekstrapolasi dari literatur anestesiologi. Tampaknya masuk akal untuk mengharapkan bahwa sulit saluran udara akan lebih sering Refarat “Pengelolaan dengan Intubasi Sulit” SMF Ilmu Anastesi Page 1

Upload: angelaenjelia

Post on 08-Nov-2015

21 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

yes

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUANManagement jalan napas adalah tugas terpenting dari anestesiologi. Meskipun banyak disiplin kedokteran yang menangani masalah jalan napas berdasarkan masalah kegawatdaruratan, namun hanya beberapa yang bertanggung jawab atas rutinitas, pertimbangan, pilihan dari keadaan intrinsik pasien terhadap kontrol pernapasan. Data morbiditas dan mortilitas yang telah dipublikasikan menunjukkan di mana kesulitan dalam menangani jalan napas dan kesalahan dalam tatalaksananya justru akan memberikan hasil akhir yang buruk bagi pasien tersebut. (5)Secara epidemiologi dari 359 intubasi sulit dihasilkan dari data yang dikumpulkan secara retrospektif dari 4,742 catatan kasus anestesi pasien dewasa (2.392 laki-laki, 2.350 perempuan) yang menjalani anestesi umum untuk operasi rutin. Penilaian preoperatif napas setiap pasien dilakukan dengan menggunakan pedoman standar. Panjang mandibula, berat badan dan mobilitas rahang, kepala dan leher dievaluasi dengan pengukuran sederhana. Kehadiran menonjol rahang atau gigi atas, tumor atau kistalidah, mulut panjang dan sempit, otot leher pendek dan penyimpangan laring atau trakea didasarkan pada pemeriksaan klinis dan / atau radiologis.(6)Insiden intubasi sulit di UGD tidak dapat diekstrapolasi dari literatur anestesiologi. Tampaknya masuk akal untuk mengharapkan bahwa sulit saluran udara akan lebih sering di UGD daripada di ruang operasi, mengingat kebutuhan mendesak untuk prosedur dan kurangnya persiapan pasien. Ketika menilai seorang pasien membutuhkan dukungan saluran napas, dokter spesialis emergensi pertama-tama harus berusaha untuk mengidentifikasi petunjuk klinis yang menunjukkan adanya kesulitan jalan nafas. (5) Faktor risiko yang telah berkorelasi dengan ukuran relatif lidah ternyata memiliki probabilitas rendah dan tingkat kesulitan intubasi. Faktor risiko yang paling penting adalah gerakan rahang. Gondok endemik Besar dan thalassemia merupakan RFS berkontribusi sesekali untuk jalan nafas sulitdengan Nilai prediktif positif adalah masing-masing 61,5% dan 40,9%. Kombinasi faktor risiko memiliki dampak kumulatif berkontribusi terhadap tingkat kesulitan yang tinggi.(6)

BAB IITINJAUAN PUSTAKA2.1 AnatomiSecara makro anatomi, sistem respirasi dapat dibedakan menjadi 2 (dua) bagian yaitu: pars konduktoria (saluran respirasi) dan pars respiratorius (alveolus). Pars konduktoria tersusun atas: hidung rongga hidung pharynx larynx trachea bronchus bronchiolus. Pars konduktoria berfungsi sebagai saluran udara respirasi dari atmosfer ke dalam alveoli. Epitel respirasi tersusun atas epitel kolumner (toraks) bertingkat bersilia, dan diantaranya banyak terdapat sel goblet. (1)2.1.1 Hidung Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya sehingga menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior.Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares anterior, disebut sebagai vestibulum. Dinding medial rongga hidung adalah septum nasi. Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os etmoid, konka inferior, lamina perpendikularius os palatum, dan lamina pterigoides medial. Pada dinding lateral terdapat empat buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, yang lebih kecil lagi konka superior, sedangkan yang terkecil ialah konka suprema dan konka suprema biasanya rudimenter. Dinding superior atau atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid dan korpus os sfenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui filamen - filamen n.olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka superior.

2.1.2 Faring

Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah serta terletak pada bagian anterior kolum vertebra (Arjun S Joshi, 2011). Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esophagus .setinggi vertebra servikal ke-6. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan esophagus. Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm; bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring) (Arjun S Joshi, 2011). Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lendir (mukosa blanket) dan otot (Rusmarjono dan Bambang Hermani, 2007).(3)

Ruang pada bagian posterior rongga mulut dapat dibagi dalam nasofaring, orofaring, dan hipofaring. Jaringan limfoid pada sekitar faring dapat mempersulit proses intubasi dengan endotracheal tube karena jaringan tersebut menutupi jalan masuk. Otot internal dari faring membantu proses menelan dengan mengangkat palatum. Sedangkan otot eksternalnya merupakan otot konstriktor yang membantu mendorong makanan masuk kedalam esophagus. Gerakan otot ini dapat mempengaruhi jalan masuk dari endotracheal tube pada pasien yang akan dilakukan intubasi sadar ataupun pada pasien yang teranestesi ringan. Persarafan sensorik dan motorik dari faring berasal dari Nervus Kranial IX kecuali pada Muskulus Levator Veli Palatini yang dipersarafi oleh Nervus Kranial V.Penyumbatan jalan nafas dapat terjadi pada daerah faring. Ini terjadi pada saat timbulnya pembengkakan yang akan membatasi masuknya udara. Penyumbatan tersebut terjadi pada daerah Palatum Molle (Soft Palate) yang kemudian menepel pada dinding nasofaring. Contoh lidah dapat jatuh kebelakang dan kemudian akan menyumbat jalan nafas dengan menempel pada dinding posterior orofaring. Kondisi ini dapat terjadi pada pasien yang tersedasi dan teranestesi ataupun pada pasien sewaktu tidur. Penyumbatan terjadi akibat penurunan tonus otot dan penurunan fungsi lumen faring. Pada pasien yang bernafas spontan, penurunan fungsi lumen jalan nafas dapat berhubungan dengan meningkatnya frekuensi respirasi dan menghasilkan jumlah tekanan negatif yang besar dibawah tingkat obstruksi. Keadaan ini dapat menjadi lebih buruk dengan penyumbatan yang timbul akibat adanya tekanan negatif yang menekan jaringan lunak ke daerah yang kolaps. Permasalahan seperti ini terdapat pada pasien dengan obstuktive sleep apnea.2.1.3. Laryng

Kartilago laring terbagi atas 2 (dua) kelompok, yaitu : a. Kelompok kartilago mayor, terdiri dari : Kartilago Tiroidea, 1 buah Kartilago Krikoidea, 1 buah Kartilago Aritenoidea, 2 buah b. Kartilago minor, terdiri dari : Kartilago Kornikulata Santorini, 2 buah Kartilago Kuneiforme Wrisberg, 2 buah Kartilago Epiglotis, 1 buah (Ballenger, 1993)(2)2.1.4. TrakeaTrakea merupakan tabung berongga yang disokong oleh cincin kartilago. Trakea berawal dari kartilago krikoid yang berbentuk cincin stempel dan meluas ke anterior pada esofagus, turun ke dalam thoraks di mana ia membelah menjadi dua bronkus utama pada karina. Pembuluh darah besar pada leher berjalan sejajar dengan trakea di sebelah lateral dan terbungkus dalam selubung karotis. Kelenjar tiroid terletak di atas trakea di sebelah depan dan lateral. Ismuth melintas trakea di sebelah anterior, biasanya setinggi cincin trakea kedua hingga kelima. Saraf laringeus rekuren terletak pada sulkus trakeoesofagus. Di bawah jaringan subkutan dan menutupi trakea di bagian depan adalah otot-otot supra sternal yang melekat pada kartilago tiroid dan hyoi.(4)

2.1.5 Bronkus Bronkus merupakan struktur dalam mediastinum, yang merupakan percabangan dari trakea. Bronkus kanan lebih pendek, lebar dan lebih dekat dengan trakea. Setiap bronkus kanan lebih pendek, lebar dan lebih dekat dengan trakea. Setiap bronkus primer bercabang membentuk bronkus sekunder dan tersier dengan diameter yang semakin mengecil dan menyempit, batang atau lempeng kartilago menggannti cincin kartilago. Bronkus kanan kemudian menadi lobus superior, lobus medius dan inferior(4)

2.2 Intubasi Intubasi trakea adalah tindakan memasukan pipa trakea ke dalam trakea melalui rima glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea.(9)2.2.1 indikasi intubasi trakeaa) menjaga potensi jalan napas oleh sebab apapun misalnya kelainan anatomi, bedah khusus, bedah posisi khusus, pembersihan secret jalan napas dan lain-lainnya,b) mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi misalnya saat resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien, ventilasi jangka panjang.c) pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi.2.2.2 Prinsip Intubasia. Jalur intravena yang adekuat b. Obatobatan yang tepat untuk induksi dan relaksasi otot c. Pastikan alat suction tersedia dan berfungsi d. Peralatan yang tepat untuk laringoskopi termasuk laryngoskop dengan blade yang tepat, ETT dengan ukuran yang diinginkan, jelly, dan stylete. Pastikan lampu laringoskop hidup dan berfungsi serta cuff ETT berfungsif. Sumber oksigen, sungkup dengan ukuran yang tepat, ambu bag dan sirkuit anestesi yang berfungsi g. Monitor pasien termasuk elektrokardiografi, pulse oksimeter dan tekanan darah noninvasiveh. Tempatkan pasien pada posisi Sniffing Position selama tidak ada kontraindikasii. Alatalat untuk ventilasi j. Alat monitoring karbon dioksida untuk memastikan ETT dalam posisi yang tepat.

Gambar 1 Proyeksi Saluran Napas5Beberapa hal utama untuk mempersiapkan tindakan untuk membantu intubasi pada pasien dengan anatomi jalan nafas normal adalah fleksi dari leher, cervical bawah dan ekstensi dari kepala pada sendi Atlantooccipital. Posisi ini sering disebut sebagai Sniffing Position dan ini adalah cara yang terbaik untuk mengerti mengenai tiga bagian sudut utama pada jalan nafas. Pada jalan nafas orang dewasa, Sudut panjang dari mulut terletak horizontal, pararel dengan lantai pada keadaan berdiri. Sudut panjang dari faring terletak hampir vertical. Sedangkan sudut panjang laring terletak vertical dari arah posterior ke anterior. Penjajaran dari ketiga sudut ini menyebabkan pita suara dapat terlihat dari mulut. Pasien dengan keterbatasan pergerakan cervical akan menyebabkan intubasi sulit karena adanya keterbatasan posisi anterior dari laring.(7)Difucult airway terdiri dari dificut ventilasi dan difficult intubasi dimana DifficultVentilation adalahKetidakmampuan menjaga SO2 >90% saat ventilasi denganmenggunakan masker wajah, dan O2 inspirasi 100%, dengan ketentuan bahwa tingkatsaturasi oksigen ventilasi pra masih dalam batas normal. Sedangkan Difficult Intubationadalah suatu keadaan intubasi yang Dibutuhkannya > 3 kali usaha intubasi atau usaha intubasi yang terakhir > 10 menit.2.3 Penatalaksanaan Intubasi Jalan Napas Sulit(8)Persiapan yang adekuat untuk menangani pasien dengan jalan nafas yang sulit membutuhkan pengetahuan dan juga perlengkapan yang tepat. Pengetahuan yang dibutuhkan untuk penanganan pasien ini adalah pengetahuan lanjutan yang sama untuk penatalaksanaan semua pasien, kecuali adanya beberapa tambahan tertentu. ASA sudah menetukan beberapa tambahan secara algoritma untuk penatalaksanaan jalan nafas sulit. Algoritma tersebut adalah:2.3.1 Algoritma ASA1. Menentukan gejala dan manifestasi klinik dari penatalaksanaan masalah dasarnya :a. Kesulitan dengan kerjasama dan persetujuan pasienb. Ventilasi masker sulitc. Kesulitan menempatkan SGAd. Laringoskopi sulite. Akses jalan nafas pembedahan sulit2. Secara aktif mencari kesempatan untuk menangani kasus-kasus penatalaksanaan jalan nafas sulit.3. Mempertimbangkan kegunaan dan hal-hal dasar yang mungkin dilakukan sebagai pilihan penatalaksanaan :A. Intubasi sadar versus intubasi setelah induksi pada GA.B. Pendekatan tehnik intubasi non invasif versus pendekatan tehnik intubasi invasif.C. Laringoskopi yang dibantu video sebagai pendekatan awal intubasiC. Pemeliharaan ventilasi spontan versus ablasi ventilasi spontan.4. Membuat strategi utama dan alternatifnya.Algoritme ASA bertindak sebagai model pendekatan terhadap kesulitan jalan nafas bagi perawat anestesi, dokter gawat darurat dan tenaga diluar rumah sakit, juga ahli anestesi. Walaupu algoritme banyak menjelaskan tentang algoritme. Satu pernyataan pada dokumen ini mensimpulkan kesulitan menulis dan merekomendasikan manajemen pada kesulitan jalan nafas: Kesulitan jalan nafas mewakili interaksi yang kompleks antara factor pasien, keadaan klinis dan ketrampilan personel.Jalan masuk algoritma dimulai dengan evaluasi jalan nafas. Walaupun terdapat beberapa pertentangan seperti metode dan indeks nilai yang dievaluasi, klinisi harus menggunakan seluruh data yang ada dan pengalaman klinis sendiri untuk mencapai penilaian umum sebagai kesulitan jalan nafas pasien dalam hal laringoskopi dan intubasi, tehnik ventilasi supraglotik, resiko aspirasi atau toleransi apnu.Evaluasi ini harus mengarahkan klinisi untuk memasuki algoritme ASA pada satu dari dua poin dasar : A-awake intubation, atau B- usaha intubasi setelah induksi anestesi umum. Hal ini menyoroti penamaan yang salah tidak hanya untuk kesulitan jalan nafas, tapi relevan terhadap seluruh keadaan dimana jalan nafas ditangani. Kotak B menggambarkan pendekatan yang diambil pada kebanyakan intubasi trakea ( dan dapat diterapkan untuk masker wajah-dan SGA-pasien).

Keputusan untuk memasuki algoritme via kotak A atau B merupakan suatu premanajemen. Kotak A dipilih bila kesulitan jalan nafas diantisipasi, sedangkan kotak B untuk situasi dimana kesulitan jalan nafas tidak diantisipasi. Keputusan ini dapat disaring pada penekanan perkembangan SGA. Takenaka, mempertanyakan kebutuhan untuk memasuki kotak ASA DAA saat SGA dipertimbangkan berguna walaupun kesulitan jalan nafas pada intubasi laringoskopi trakea sudah diantisipasi. Ini sudah lebih jauh digambarkan ke dalam jalur keputusan reoperatif oleh Rosenblatt. Pilihan yang ditekankan dari panduan praktis ASA, sangat tergantung pada ketrampilan dan pengalaman klinisi. Rincian ASA dapat disimpulkan di sini:1. Apakah dibutuhkan pengendalian jalan nafas? Tidak masalah seberapa rutin sedasi atau anestesi umum mempunyai potensi mengakibatkan pasien apnu, sebaiknya selalu dipertimbangkan secara serius dan alternatifnya harus dipertimbangkan.2. Akankah laringoskopi langsung akan sulit? Jika terdapat indikasi dimana laringoskopi langsung akan sulit (berdasarkan pemeriksaan fisik dan riwayat), klinisi dapat melakukan dengan dengan teknik lain (induksi, laringoskopi langsung, LMA, dll)bila sesuai klinis. Ini adalah esensi dari kotak B ASA-DAA.3. Dapatkah ventilasi SGA digunakan? Jika klinisi merasa bahwa terdapat suatu alasan fisik bahwa ventilasi SGA (dengan facemask, LMA, atau alat yang lain) akan sulit, suatu titik tidak dapat diintubasi/tidak dapat diventilasi) (CNI/CNV) telah dicapai. Karena ini merupakan algoritme preoperative, kotak A ASA-DAA dipilih4. Apakah terdapat resiko aspirasi? Seperti dibicarakan di awal, pasien dengan resiko aspirasi bukan kandidat untuk pengunaan SGA elektif. Suatu titik waktu tidak dapat diintubasi/seharusnya tidak diventilasi telah dicapai dan kotak ASA-DAA dipilih.5. Akankah pasien mentoleransi suatu periode apnu? Pertanyaan 3 dari daftar ini sulit dijawab dan sangat sangat tergantung pada ketrampilan dan pengalaman klinisi. Bila intubasi gagal, dan ventilasi tidak adequate, kemampuan pasien untuk mempertahankan saturasi oksigen akan ditentukan kemampuannya untuk mentoleransi periode apnu. Faktor seperti usia, obesitas, status pulmo, komsumsi oksigen abnormal ( mis, demam), dan pilihan obat induksi akan mempengaruhi ini.Pengecualian nya yaitu pasien yang tidak dapat bekerjasama karena retardasi mental, intoksikasi, kecemasan, penurunan derajat kesadaran, atau usia. Pasien ini mungkin masih memasuki kotak A, tetapi intubasi awake mungkin membutuhkan modifikasi teknik yang mempertahankan ventilasi spontan (cth, induksi inhalasi) Pada kebanyakan keadaan, intubasi awake berhasil jika pendekatan dengan perhatian dan kesabaran. Jika intubasi awake gagal, klinisi memiliki sejumlah pilihan. Pertama, dapat dipertimbangkan pembatalan pembedahan. Pada situasi ini. Peralatan atau personil khusus dapat dikumpulkan untuk kembali ke ruang operasi. Jika pembatalan tidak dipilih, dapat dipertimbangkan teknik anestesi regional, atau, jika situasi membutuhkan, jalan nafas bedah (mis, trakeostomi) dapat diilih.Keputusan untuk melanjutkan dengan anestesi regional karena jalan nafas telah dinilai atau terbukti sulit untuk ditangani harus dipertimbangkan dalam hal resiko dan benefit. ASA-DAA benar-benar berguna pada jalan nafas sulit yang tidak diantisipasi (kotak B, tidak dapat diintubasi dengan laringoskopi langsung setelah induksi anestesi). Jika obat induksi (dengan atau tanpa pelemas otot) telah diberikan dan jalan nafas tidak dapat dikendalikan, keputusan manajemen vital harus dibuat secara cepat. Secara tipikal, klinisi telah mencoba laringoskopi langsung dan intubasi setelah anestesi ventilasi mask yang berhasil atau gagal (kecuali induksi cepat sedang dilakukan). Bahkan jika saturasi oksigen pasien tetap adequate dengan usaha ini, jumlah usaha laringoskopi sebaiknya dibatasi hingga tiga kali. Seperti didiskusikan di awal, trauma jaringan lunak dapat terjadi akibat laringoskopi multipel, yang memperburuk keadaan. Pertama, ventilasi mask sebaiknya dilakukan. Jika facemask adekuat, jalur nonemergensi ASA-DAA dimasuki. Klinisi kemudian dapat berubah teknik ke yang paling nyaman dan/atau cocok untuk melakukan intubasi jika dibutuhkan. Ini dapat termasuk, tapi tidak dibatasi, oral blind atau intubasi nasal; intubasi yang difasilitasi dengan bronkoskop fiberoptik, LMA, LMA-Fastrach, bougie, lighted stylet, atau retrograde wire; atau jalan nafas bedah. (Paling luas diterapkan pada prosedur ini, juga teknik baru, didiskusikan di skenario klinis pada bagian selanjutnya bab ini). Jika ventilasi masker gagal, algoritma menyarankan ventilasi supraglotis melalui LMA. Jika berhasil, jalur nonemergensi ASA-DAA telah dimasuki lagi dan teknik alternative intubasi trakea dapat digunakan, jika dibutuhkan (mis, mungkin ventilasi LMA adekuat untuk situasi klinis).Bila ventilasi LMA gagal mempertahankan pasien, jalur emergensi dimasuki. ASA-DAA menyarankan penggunaan Esophageal-Tracheal Combitube, rigid bronkoskopi, oksigenasi transtrakeal, atau jalan nafas bedah.Pada suatu waktu, keputusan untuk membangunkan pasien sebaiknya dipertimbangkan berdasarkan adekuasi ventilasi, resiko aspirasi, dan resiko memelakukan percobaan intubasi atau prosedur pembedahan.Pemposisian LMA kedalam algoritme (pada publikasi ulang tahun 2003) berdasar pada lebih dari 12 tahun penggunaan klinis di Amerika (dan lebih dari 20 tahun pengalaman di seluruh dunia). Relatif sedikit kasus kegagalan LMA dalam menghadapi situasiCNI/CNV telah dilaporkan. Tiga kategori berperan pada kegagalan ini: sudut oral-faring akut, sumbatan pada level hipofaring, sumbatan di bawah liptan fokal. Sebaliknya banyak kasus penyelamatan dengan LMA pada jala nafas gagal telah dilaporkan. Walau studi control jarang, Parmer mencatat bahwa seluruh kasus CNI/CNV (dengan pengecualian sumbatan subglotis iatrogenic) terjadi pada periode 2 tahun pada satu rumah sakit diselamatkan dengan LMA.2.3.2. 3 P Prediksi, Preparasi. Dan Practice.Secara sederhana, penatalaksanaan pasien dengan kesulitan jalan nafas dapat diatasi dengan tiga P yaitu : Prediksi. Preparasi. Practice.2.3.2.1 PrediksiMengetahui kondisi pasien dengan resiko anatomi jalan nafas sulit akan membuat dokter anestesi dapat mempertimbangkan berbagai pilihan cara penatalaksanaan jalan nafas beserta dengan persiapan-persiapannya. Hal ini penting karena pada beberapa tehnik yang dilakukan akan sulit dilakukan jika terjadi perdarahan pada jalan nafas, dan beberapa pasien bahkan menjadi apneu yang kemudian berpotensi menjadi hipoksia saat dilakukan induksi anestesi. Beberapa cara umum yang dapat dipakai untuk memprediksi adanya intubasi sulit atau tidak yaitu dengan pemeriksaan fisik. Yang utama adalah mengevaluasi tes prediksi karena dibutuhkan beberapa klarifikasi.Cara pemeriksaan prediksi yang pertama adalah tes malampati. Tes ini mengevaluasi apa yang terlihat pada saat pasien membuka mulut dilihat apakah uvula dan faring posterior tampak. Ada beberapa cara dalam melaksanakan tes malampati yaitu dengan duduk atau terlentang dan dengan atau tanpa fonasi. Pada jurnal-jurnal akhir-akhir ini tes malampati akan lebih sensitif jika dilakukan tanpa fonasi baik terlentang atau duduk. Semakin tinggi hasil tes malampati maka semakin sulit dilakukan intubasi.

Gambar 2 Diagram Tes MalampatiKesulitan intubasi dikatakan dapat terjadi bila seorang dokter anestesi tidak dapat memasukan endotracheal tube pada waktu dan cara yang tepat. Dapat dikatakan bahwa dibutuhkan lebih dari satu kali percobaan untuk melakukan intubasi. Bagaimanapun juga sulit intubasi dapat dihubungkan dengan derajat terlihat atau tidaknya penglihatan dari laringoskop.

Gambar 3 Diagram LaryngoskopDikatakan sulit intubasi apabila pada penglihatan terlihat derajat III atau IV.Derajat I : Pita suara terlihat.Derajat II : Hanya sebagian pita suara terlihat.Derajat III : Hanya epiglottis yang terlihat.Derajat IV : Epiglottis tidak terlihat samasekali.Pada penelitian sebelumnya sudah ada perbandingan macam-macam tes untuk memprediksi cara-cara terbaik untuk menetukan intubasi sulit. Ada berbagai faktor yang harus dievaluasi dalam memeriksa pasien untuk dilakukannya intubasi endotracheal.Riwayat Pasien: Kebanyakan pasien tidak mengetahui riwayat intubasi sebelumnya jika pada pasien tersebut saat dilakukan intubasi sebelumnya tidak memiliki kesulitan intubasi. Tetapi bagaimanapun juga pasien yang memiliki riwayat intubasi yang sulit yang sudah diketahui oleh pasien tersebut kemungkinan besar akan mengalami intubasi sulit terus. Kondisi-kondisi yang dapat menimbulkan intubasi sulit adalah: Sindrome congenital, termasuk Sindrom Down, Goldenhar, Treacher Collins, Pierre Robin dan Mucopolysacharidoses, dll. Penyakit Tulang, termasuk Rheumatoid Arthritis, Ankylosing Spondylitis, Fiksasi atau Fraktur Mandibula, Ankylosis sendi Temporomandibular. Kelainan Jaringan Lunak, termasuk Obesitas, Tumor, Hemangioma, Abses, Infeksi Jalan Nafas seperti Epiglotitis, Perdarahan. Trauma pada wajah dan leher, luka bakar, perubahan-perubahan post operasi termasuk bekas luka, perubahan akibat radiasi. Bentuk gigi: Gigi Insisivus depan yang menonjol dapat mempersulit melihat laring selama dilakukannya intubasi, perhatian khusus diberikan pada pasien yang memiliki gigi yang terbelah yang dapat memuat bilah laringoskop. Pergerakan sendi temporomandibular: Dapat dinilai dari bukaan mulut yang kemudian ditentukan dengan mengukur jarak interincisor dan kemampuan untuk prognasi. Jarak Interincisor paling tidak harus muat untuk dilewati bilah standar laringoskop. Derajat Orofaringeal: lebih umum disebut sebagai derajat Mallampati; Dilakukan evaluasi dengan membuka mulut agar terlihat faring. Penilaian dari derajat 3-4 adalah merupakan kemungkinan besar akan terjadi intubasi sulit (Gambar 15). Lebar palatum: Pasien dengan palatum yang panjang dan dangkal memiliki anatomi jalan nafas yang sulit. Jarak thyromental: adalah jarak dari sumbu anterior mandibula sampai dengan puncak kartilago thyroid. Semakin pendek maka anterior laring akan semakin terlihat. Luas ruang mandibula: adalah faktor yang penting untuk dievaluasi, selama intubasi lidah dan jaringan lunak lain didasar mulut akan terdorong ke anterior ke ruang mandibula dan menyebabkan akan terlihatnya laring. Pasien dengan ruang mandibula yang kecil seperti pada pasien obesitas atau pasien dengan infeksi akan mempersulit untuk terlihatnya laring selama intubasi. Lemak tubuh juga harus dievaluasi terutama lemak pada daerah leher yang tebal dan luas serta kelainan anatomi lain yang membuat pergerakan kepala menjadi terbatas seperti tumpukan lemak diantara scapula. Pergerakan leher dinilai berdasarkan pergerakan fleksi dan ekstensinya. Pergerakan kepala pada persendian atlantooccipital dinilai juga. Pergerakan yang terbatas pada sendi ini akan membuat laring terlihat ke anterior.Penilaian tes-tes tersebut telah dilakukan di semua literatur. Semakin banyak faktor yang dinilai, maka semakin akurat hasil prediksi untuk penatalaksanaan pasien dengan jalan nafas sulit. Semakin banyak hasil prediksi negatif dari pemeriksaan tersebut maka kemungkinan adanya kesulitan anatomi jalan nafas akan semakin tinggi. Jika semua faktor penilaian anatomi jalan nafas adalah normal maka tingkat kesulitan untuk intubasi akan semakin rendah.2.3.2.2 PreparasiUntuk menghadapi pasien intubasi jalan napas yang sulit harus mempersiapkan beberapa alat untuk menunjang keberhasilan dari intubasi. Alat yang disiapkan hampir sama dengan intubasi normal dengan tambahan beberapa alat sebagai berikut.a. Specialized forcep

Gambar 4 Specialized Forcep untuk IntubasiMerupakan forcep yang khusus digunakan untuk membantu pemasangan retrograde intubation. Bisa juga dipakai untuk meretraksi lidah pada saat pemasangan intubasi fiberoptic.b. Airway Exchange Catheter

Gambar 5 Airway Exchange CatheterKateter ini membantu proses oksigenasi dan membantu memantau jumlah karbon dioksida selama pemasangan endotracheal tube. Dapat digunakan bersama dengan Jet Ventilation untuk meningkatkan oksigenasi selama pemasangan endotracheal tube.c. Fiberoptic LaryngoscopeFiberoptic Bronchoscopic Intubation (FBI) menggunakan bronchoscopes flexible untuk intubasi. Banyak perusahaan sudah membuat scopes untuk intubasi dengan bentuk lebih panjang dan lebih kecil diameternya dari ukuran standard diagnostic bronchoscopes. Keuntungan dari FBI termasuk: Endotracheal tube masuk ke trakea dengan penglihatan langsung melalui scope, Tidak terbatas pada ukuran besar pasien karena scope-nya memiliki berbagai macam ukuran, Untuk kepentingan terapi seperti penempatan bronchial blockers dan double lumen endotracheal tube, Selain itu dapat digunakan juga untuk mengangkat sekret dari bronkus.

Gambar 6 Fiberoptik Laryngoscope dengan Macintosh Blade dan Fiberoptik untuk bronchoskopi

d. Laryngeal Mask Airway

Gambar 7 Bagian-bagian LMALMA dapat membantu mengubah kondisi pasien yang tidak bisa diventilasi menjadi bisa diventilasi. LMA menjadi salah satu cara intubasi aman pada jalan nafas alternatif pasien sadar atau juga dengan trakeostomi. Bagaimanapun juga bila ventilasi sudah dapat diyakinkan maka tehnik jalan nafas yang lain dapat dilakukan dengan aman. The Intubating Laryngeal Mask Airway (ILMA) adalah salah satu perlengkapan untuk penatalaksanaan pasien dengan anatomi jalan nafas sulit. Penempatan endotracheal tube dapat dilakukan dengan baik pada hampir semua pasien dengan alat ini, bahkan pada percobaan intubasi pertama. Penggunaan ILMA harus dipertimbangkan pada penanganan awal pasien dengan anatomi jalan nafas sulit yang tidak diduga karena dapat membantu mengendalikan jalan nafas pasien. Jika ILMA tidak tersedia, maka LMA masih dapat digunakan untuk membantu intubasi pasien, sebagai blind intubasi atau dengan airway exchange catheters atau dengan fiberoptic bronchoscopes.9e. Cook Retrograde Intubation Kit

Gambar 8 Isi dari Cook Retrograde Intubation KitMerupakan paket alat untuk melaksanakan intubasi retrograde. Diesdiakan mulai dari jarum, guide wire, sampai stylet khusus untuk mencegah jarum tertinggal pada trachea.92.3.2.3 PraktekTeknik-teknik Intubasi Jalan Napas Sulita. Pemasangan Fiber Optic Intubation

Gambar 9 Skema Fiberoptic IntubationTeropong atau scope diletakan ditengah diantara kedua tangan agar pergerakan dari teropong dapat sesuai kearah yang kita gerakan. Memasukan scope ke faring diusahakan agar posisinya tetap di garis tengah. Struktur pada jalan nafas atas harus dikenali; maju 8-10 cm. ujung scope digerakan ke atas/anterior kemudian diflexikan untuk melihat laring, kemudian scope diputar ke distal dan diposisikan di tengah didepan pita suara. Untuk melewati pita suara ujung dari scope dikembalikan ke posisi semula agar dapat masuk ke trakea. Kemudian posisikan scope diatas karina tanpa menyentuhnya karena dapat menyebabkan bronkospasme dan batuk. Masukanendotracheal tube ke dalam trakea dengan tampilan gambar di scope tetap pada karina. Jangan memaksakan/memasukan endotracheal tube dengan kekerasan karena dapat menyebabkan kerusakan pada jalan nafas ataupu pada scope.b. Pemasangan Laryngeal Mask Airway Menurut Brain

Gambar 10 Skema Pemasangan Laryngeal Mask Airway Menurut Brain1. Kaf harus dikempeskan maksimal dan benar sebelum dipasang. Pengempisan harus bebas dari lipatan dan sisi kaf sejajar dengan sisi lingkar kaf.2. Oleskan jeli pada sisi belakang LMA sebelum dipasang. Hal ini untuk menjaga agar ujung kaf tidak menekuk pada saat kontak dengan palatum. Pemberian jeli pada sisi depan akan dapat mengakibatkan sumbatan atau aspirasi, karena itu tidak dianjurkan.3. Sebelum pemasangan, posisi pasien dalam keadaan air sniffing dengan cara menekan kepala dari belakang dengan menggunakan tangan yang tidak dominan. Buka mulut dengan cara menekan mandibula kebawah atau dengan jari ketiga tangan yang dominan.4. LMA dipegang dengan ibu jari dan jari telunjuk pada perbatasan antara pipa dan kaf.5. Ujung LMA dimasukkan pada sisi dalam gigi atas, menyusur palatum dan dengan bantuan jari telunjuk LMA dimasukkan lebih dalam dengan menyusuri palatum.6. LMA dimasukkan sedalam-dalamnya sampai rongga hipofaring. Tahanan akan terasa bila sudah sampai hipofaring. 7. Pipa LMA dipegang dengan tangan yang tidak dominan untuk mempertahankan posisi, dan jari telunjuk kita keluarkan dari mulut penderita. Bila sudah berpengalaman, hanya dengan jari telunjuk, LMA dapat langsung menempati posisinya.8. Kaf dikembangkan sesuai posisinya. 9. LMA dihubungkan dengan alat pernafasan dan dilakukan pernafasan bantu. Bila ventilasi tidak adekuat, LMA dilepas dan dilakukan pemasangan kembali.10. Pasang bite block untuk melindungi pipa LMA dari gigitan, setelah itu lakukan fiksasic. Intubasi Retrograde

Gambar 11 Skema Tata Cara Retrograde IntubationJalan masuk dari endotracheal tube dapat dibantu oleh guide wire melalui insisi membrane krikotiroid menuju jalan nafas atas dengan cara retrograde. Tehnik ini dapat dipergunakan dengan menggunakan alat Bantu yang sudah disediakan dalam kotak perlengkapan yang tersedia (Cook Retrograde Kit). Dengan latihan, tehnik ini dapat dilakukan dengan jangka waktu yang tidak lama.Intubasi Kawat Retrograde (Retrograde Wire Intubation / RWI) meliputi penarikan antegrade atau membimbing ETT kedalam trachea menggunakan kawat atau kateter yang sudah dimasukkan ke trachea melewati lubang kecil perkutan melalui membran cricothyroid atau membran cricotracheal dan secara buta dimasukkan retrograde ke dalam Larynx, hypopharynx, pharynx dan keluar dari mulut atau hidung. Intubasi retrograde pertama kali dilakukan pada 1960 oleh Butler dan Cirillo, dengan penempatan kateter uretra berwarna merah melalui trakeostomi sebelumnya, naik melalui laring dan keluar melalui mulut.Intubasi retrograde dari jalan nafas dilakukan pada pasien pada posisi duduk dengan penempatan perkutan dari kateter no.18 melalu cricothyroid menggunakan larutan saline dengan 10 ml syringe untuk mendeteksi udara yang berhubungan dengan jalan masuk tracheal. (setelah anestesi lokal inisial infiltrasi pada kulit diatas membrane). Jarumnya diposisikan diatas membran mid-cricothyroid dengan sudur 45odari dada. Setelah dilakukan aspirasi udara bebas, lapisan Teflon dari kateter dimasukkan kedalam trachea. Kawat pembimbing radiology dengan diameter 0,035 inchi dan panjang 110 inchi dimasukkan melalui kateter sampai ujung proksimalnya muncul dari mulut. ETT 7,0 ditempatkan pada kawat dan dibimbing ke dalam trachea. Kawatnya di keluarkan dengan mendorongnya ke lubang kecil perkutan dan menariknya dariujung proksimal saluran trachea. Auskultasi suara nafas pada lapang paru sejalan dengan adanya tekanan positif dari ventilasi bantuan.d. Ventilasi Transtracheal JetDalam hubungannya dengan jalan nafas yang potensial, jet ventilation masuk kedalam trakea dengan menembus membran krikotiroid yang kemudian akan memberikan ventilasi yang adekuat pada pasien yang tidak mungkin untuk dilakukannya intubasi. Jet ventilation membutuhkan sumber gas dengan tekanan yang tinggi agar dapat berfungsi efektif, seperti flush gas dari mesin anestesi atau dari katup sumber gas oksigen yang terdapat di dinding. Transtrcheal Jet Ventilation dapat menjadi penyelamat hidup namun harus dilihat juga sebagai salah satu jembatan untuk melakukan penatalaksanaan jalan nafas alternative. Ada beberapa resiko terhadap tehnik ini yaitu diantaranya adalah barotrauma dan emfisema subkutis.

Gambar 12 Skema Trans Tracheal JetKateter intravena 12,14 atau 16 dengan syringe 5 ml atau lebih, kosong atau terisi sebagian (anestesi saline atau lokal), harus digunakan untuk memasuki jalan napas. Pasien dalam posisi supinasi, dengan kepala pada midline atau ekstensi terhadap leher dan thorak (jika tidak kontraindikasi oleh situasi klinis). Setelah persiapan aseptik, anestesi lokal disuntikkan diatas membran krikotiroid (jika pasien sadar dan waktu memungkinkan). Tangan kanan klinisi berada pada sisi kanan pasien, menghadap kearah kepala. Klinisi dapat menggunakan tangan non dominan untuk menstabilkan laring. Jarum kateter dimasukkan pada sudut tepat di kauda ketiga membran. Sejak saat punksi kulit aspirasi syringe harus konstan. Aspirasi yang bebas dari udara menunjukkan telah memasuki trakhea. Jarum kateter harus dilepaskan, dan hanya kateter yang memasuki jalan napas. Walaupun teknik ini telah dijelaskan dengan angiokateter, peralatan yang terbuat dari material kink-resistant dan dengan asesori port telah ada.e. Trakeostomi

Gambar 13 Skema TracheostomiPada beberapa pasien trakeostomi harus dilakukan sebagai jalan nafas alternatif, kadang juga dilakukan pada pasien yang sadar. Pendekatan pembedahan ini merupakan salah satu cara agar pasien dapat diventilasi.f. Intubasi Pada Kasus Khusus Cedera Cervical

Gambar 14 Skema Intubasi pada Pasien dengan Cedera CervikalIntubasi Pada cedera leher dilakukan dengan cara satu orang menahan kepala dengan kuat pada backboard, biarkan collar cervical tidak termanipulasi. Pastikan bahwa baik kepala maupun leher tidak bergerak saat dilakukan laryngoskop dan intubasi. Orang kedua memberikan tekanan pada tulang rawan cricoid dan orang ketiga melakukan laryngoskopi dan intubasi.

BAB IIIPENUTUP3.1 KesimpulanDifficult airway didefinisikan sebagai situasi dimana anaestesiologis terlatih konvensional mengalami kesulitan dengan ventilasi masker atau keduanya.. Difficult airway merupakan interaksi yang kompleks antara faktor pasien, kondisi klinis, dan kemampuan dari dokter. Analisa pada interaksi ini membutuhkan pengumpulan dan pengambilan kesimpulan data yang tepat.Insiden intubasi sulit di UGD tidak dapat diekstrapolasi dari literatur anestesiologi. Tampaknya masuk akal untuk mengharapkan bahwa sulit saluran udara akan lebih sering di UGD daripada di ruang operasi, mengingat kebutuhan mendesak untuk prosedur dan kurangnya persiapan pasien. Ketika menilai seorang pasien membutuhkan dukungan saluran napas, dokter spesialis emergensi pertama-tama harus berusaha untuk mengidentifikasi petunjuk klinis yang menunjukkan adanya kesulitan jalan nafas dan, bila perlu, pilih perangkat alternatif. ini Strategi dapat mencegah kerusakan pasien atau kematian yang disebabkan oleh beberapa mencoba menggunakan metode standar. Perangkat alternatif dan teknik termasuk yang laring mask airway, perangkat dual-lumen, introducers trakea, intubasi transiluminasi, lingkup serat optik fleksibel, dan gaya semi-rigit.Informasi penting dapat dikumpulkan oleh penilaian pra-operasi hati-hati melalui sejarah, fisik Pemeriksaan Fisik dan penyelidikan. Sebuah pertanyaan penting untuk bertanya pada diri sendiri adalah apakah ventilasi oleh facemask mungkin akan sulit.Difucult airway terdiri dari 2 kesulitan yakni difficult intubation dan difficult ventilasisehingga ASA mengeluarkan alogaritma yang dapat menjadi panduan praktis apabila terjadi kesulitan intubasi yang terjadi meski masih ada beberapa pertentangan.Dibutuhkan prediksi yang tepat, preparasi atau persiapan yang baik dalam hal alat , teknik dan pengetahuan agar dapat menangani kesulitan intubasi yang mungkin terjadi.

DAFTAR PUSTAKA

1. http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/Bb2-Respirasi.pdf diakses pada tanggal 28 juli 20142. Sofyan Ferryan,Embriologi, anatomi danFisiologi laringhttp://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28894/1/embriologi%20dan%20anatomi%20laring.pdf diakses pada tanggal 23 juli 20143. repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40128/4/Chapter%20II.pdf diakses pada tanggal 24 juli 20144. www.library.upnvj.ac.id/pdf/5FKS1KEDOKTERAN/.../bab%20II.pdf diakses pada tanggal 24 juli 20145. Buttler KH et al. 2003. Management of the difficult airway: alternative airway techniques and adjuncts. Emergency Medicine Clinic of North America 21 (2003) 2592896. Yoyagi GS et al. 1995. Evaluating the difficult airway. An epidemiological study. PubMedDec;61(12):483-97. Dobson M.B . 1994. Penuntun Praktis Anastesi. Jakarta Penerbit Buku Kedokteran 8. American Society of Anesthesiologists. 2013. Practice Guidelines for Management of the Difficult Airway : An Updated Report by the American Society of Anesthesiologists Task Force on Management of the Difficult Airway. Anesthesiology 2013; 118:251-70.9. Latief Said, Suryadi A. Kartini, Dachlan M R. 2001 Petunuk Praktis Anastesiologi edisi ke 2. Jakarta . Bagian Anastesiologi Dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 42-43.

Refarat Pengelolaan dengan Intubasi Sulit SMF Ilmu AnastesiPage 25