lapkas intubasi pada anak usia 10

36
BAB I PENDAHULUAN Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun. Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi terdapat beberapa tahap yang harus dilaksanakan yaitu pra anestesi yang terdiri dari persiapan mental dan fisik pasien, perencanaan anestesi, menentukan prognosis dan persiapan pada pada hari operasi. Sedangkan tahap penatalaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi, masa anestesi dan pemeliharaan, tahap pemulihan serta perawatan pasca anestesi. Tonsilitis kronis merupakan peradangan kronik pada tonsil yang biasanya merupakan kelanjutan dari infeksi akut berulang atau infeksi subklinis dari tonsil. Pada tonsillitis kronis, ukuran tonsil dapat membesar sedemikian sehingga disebut tonsillitis kronis hipertrofi. Mengingat dampak yang ditimbulkan maka tonsilitis kronis hipertrofi yang telah menyebabkan sumbatan jalan napas harus segera ditindak lanjuti dengan pendekatan operatif tonsilektomi. Pemilihan jenis anestesi untuk tonsilektomi ditentukan berdasarkan usia pasien, kondisi kesehatan dan keadaan umum, sarana prasarana serta keterampilan dokter bedah, dokter anestesi dan perawat anestesi. Di Indonesia, tonsilektomi masih dilakukan di bawah anestesi umum, teknik anestesi lokal

Upload: heron-titarsole

Post on 01-Oct-2015

33 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

good

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUANAnestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun. Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi terdapat beberapa tahap yang harus dilaksanakan yaitu pra anestesi yang terdiri dari persiapan mental dan fisik pasien, perencanaan anestesi, menentukan prognosis dan persiapan pada pada hari operasi. Sedangkan tahap penatalaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi, masa anestesi dan pemeliharaan, tahap pemulihan serta perawatan pasca anestesi.Tonsilitis kronis merupakan peradangan kronik pada tonsil yang biasanya merupakan kelanjutan dari infeksi akut berulang atau infeksi subklinis dari tonsil. Pada tonsillitis kronis, ukuran tonsil dapat membesar sedemikian sehingga disebut tonsillitis kronis hipertrofi. Mengingat dampak yang ditimbulkan maka tonsilitis kronis hipertrofi yang telah menyebabkan sumbatan jalan napas harus segera ditindak lanjuti dengan pendekatan operatif tonsilektomi. Pemilihan jenis anestesi untuk tonsilektomi ditentukan berdasarkan usia pasien, kondisi kesehatan dan keadaan umum, sarana prasarana serta keterampilan dokter bedah, dokter anestesi dan perawat anestesi. Di Indonesia, tonsilektomi masih dilakukan di bawah anestesi umum, teknik anestesi lokal tidak digunakan lagi kecuali di rumah sakit pendidikan dengan tujuan untuk pendidikan. Mengingat tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi umum maupun lokal, komplikasi yang ditimbulkannya merupakan gabungan komplikasi tindakan bedah dan anestesi. Komplikasi terkait anestesi terjadi pada 1:10.000 pasien yang menjalani tonsilektomi. Komplikasi ini terkait dengan keadaan status kesehatan pasien. Adapun komplikasi yang dapat ditemukan berupa laringospasme, gelisah pasca operasi, mual, muntah, kematian pada saat induksi pada pasien dengan hipovolemia, hipersensitif terhadap obat anestesi serta hipotensi dan henti jantung terkait induksi intravena dengan pentotal.BAB II

LAPORAN KASUSA. IDENTITAS PASIEN

Nama

: An. A L

Umur

: 9 tahun

Jenis kelamin

: Laki-laki

No. RM

: 07 27 58

Alamat

: Kudamati

Gol. Darah

: O

Berat badan

: 20 kg

Tinggi badan

: 90 cm

Tanggal MRS

: 24 Februari 2015

Agama

: Kristen Protestan

Suku/Bangsa

: Indonesia

Bangsal/Kamar : Ruang THT

B. ANAMNESISAnamnesis dilakukan tanggal 25 Februari 2015. Informasi diberikan oleh orang tua pasien dan pasien.a. Keluhan utama

: Nyeri Tenggorokanb. Riwayat penyakit sekarang:Pada anamnesis didapatkan pasien mengeluh nyeri telan sejak 1 minggu yang lalu. Nyeri telan dirasakan saat makan, minum ataupun menelan ludah. Menurut orangtuanya, keluhan nyeri telan dirasakan setelah beberapa hari sebelumnya sempat mengalami demam, batuk dan pilek. Nyeri telan tidak disertai dengan ngorok maupun nafas tersengal-sengal saat tidur. Pasien sering mengalami demam, batuk, pilek yang kumat-kumatan hampir tiap bulan. Saat ini pasien tidak mengeluhkan pilek, hidung tersumbat, nyeri di kedua telinga, kurang pendengaran, gemerebek maupun sakit kepala .3 bulan sebelum masuk rumah sakit (SMRS) pasien periksa ke dokter umum dengan keluhan yang sama dan dikatakan mengalami radang amandel. Dalam 1 bulan terakhir kambuh 2 kali. Bila kambuh pasien merasakan nyeri tenggorokan, susah menelan, disertai demam dan batuk pilek. Keluhan terasa setelah mengkonsumsi minuman dingin, jajan sembrangan dan berminyak. Saat ini pasien tidak mengalami batuk dan pilek. Pasien juga tidak mengeluhkan demam. c. Riwayat penyakit dahulu

:

Riwayat asma disangkal

d. Riwayat penyekit keluarga:Riwayat asma, alergi dan riwayat penyakit yang sama dengan pasien disangkal.

e. Riwayat Operasi & Anestesi -

f. Riwayat Alergi

Riwayat Alergi makanan dan obat-obatan disangkalg. Riwayat Obat-Obatan

-

h. Kebiasaan Sosial

-

C. PEMERIKSAAN FISIKDilakukan pada 25 Februari 2015Status Gizi

: Cukup.

Keadaan Psikis: Gelisah.

B1 :A: bebas; B: spontan; RR: 20x/m reguler; Inspeksi: pergerakan dada simetris ki=ka; Auskultasi: suara napas vesikuler ki=ka; T1: penonjolan gigi atas (-), gigi palsu (-), gigi goyang (-); T2: lidah besar (-); T3: trismus (-); T4: hipertrofi tonsil (+); T5: torticolis (-), T6: jarak antara tiroid dengan simfisis mandibula 3 jari; T7: deviasi trakea (-), T8: nodul tiroid (-).

B2 :Akral hangat, kering, merah; TD: 90/50 mmHg; N: 78x/m reguler, kuat angkat; Suhu: 36,7C; S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-).

B3 :Sadar, GCS: E4V5M6, pupil isokor, refleks cahaya +/+.

B4 :BAK spontan

B5 :Inspeksi: sikatriks (-), Palpasi: NT(-), Auskultasi: BU (+).

B6 :Fraktur (-), oedem (-).

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium Pemeriksaan24-02-2015Nilai normal

Hematologi

Hemoglobin13,711,5-17,0 g/dL

Leukosit113004000-10000/(L

Hematokrit44,637-54%

Eritrosit5,84x1063,60-6,50x106/(

Trombosit414000150000-500000/(L

MCV7680,0-100 fl

MCH23,427,0-36,0 pg

MCHC30,732,0-36,0 %

Gol. DarahO

Masa Pendarahan21-3 menit

Masa Pembekuan52-6 menit

Kimia Klinik

SGOT23< 33 U/L

SGPT11< 50 U/L

Ureum1310-50 mg/dL

Creatinin0,50,7-1,2 mg/dL

GDP7480-100 mg/dL

E. DIAGNOSISDiagnosis Anestesi: PS ASA IIDiagnosis Klinik: Tonsilitis KronikF. PLANNINGa. Pro Tonsilectomyb. Pasien dipuasakan 6 jam sebelum operasic. Jenis Anestesi: General Anestesid. Pemberian antibiotic prfolaksise. Jika pasien cemas dapat diberikan sedasi sebelum tidurf. Jika pasien nyeri dapat diberikan analgetikG. LAPORAN ANESTESI

1.Diagnosis Pra Bedah

Tonsilitis Kronik2.Diagnosis Pasca Bedah

Tonsilitis Kronik3.Penatalaksanaan Preoperasi

a Infus RL 500 cc4.Penatalaksanaan Anestesi

a.Jenis Pembedahan

: Tonsilectomy

b.Jenis Anestesi

: General Anestesi

c.Teknik Anestesi

: Inhalasi semi-Closed method dengan intubasi ETT

d.Mulai Anestesi

: 25 Februari 2015, pukul 09.30 WIB

e.Mulai Operasi

: 25 Februari 2015, pukul 09. 40 WIB

f.Premedikasi

: Sedacum 10 mg

Fentanyl 10 mgg.Induksi

: Propofol 20 mg h.Maintanance

: Sevoflurane 2 vol %

i.Relaksasi

: Atracurium 12,5 mg

j.Respirasi

: Spontan

k.Posisi

: Supine

l.Cairan Durante Operasi: RL 250 ml

m.Pemantauan Tekanan Darah dan HR Terlampir

n.Selesai operasi: 10.10 WIBBAB IIITINJAUAN PUSTAKAA. Tonsilitis KronikTonsilitis kronis adalah peradangan kronis tonsila palatina lebih dari 3 bulan setelah serangan akut yang terjadi berulang-ulang atau infeksi subklinis. Mikroabses pada tonsilitis kronik menyebabkan tonsil dapat menjadi fokal infeksi bagi organ-organ lain seperti sendi, ginjal, jantung dan lain-lain. Fokal infeksi adalah sumber bakteri/kuman di dalam tubuh dimana kuman atau produk-produknya dapat menyebar jauh ke tempat lain dalam tubuh itu dan dapat menimbulkan penyakit. Kelainan ini hanya menimbulkan gejala ringan atau bahkan tidak ada gejala sama sekali, tetapi akan menyebabkan reaksi atau gangguan fungsi pada organ lain yang jauh dari sumber infeksi. Tonsilitis terlihat membesar disertai dengan hiperemi ringan yang mengenai pilar anterior dan apabila tonsil ditekan keluar detritus.1. EtiologiTonsilitis kronik yang terjadi pada anak mungkin disebabkan oleh karena sering menderita infeksi saluran napas atas (ISPA) atau tonsilitis akut yang tidak diobati dengan tepat atau dibiarkan saja. Tonsilitis kronik disebabkan oleh bakteri yang sama terdapat pada tonsilitis akut, dan yang paling sering adalah bakteri gram positif. Staphylococcus alfa merupakan penyebab tersering diikuti Staphylococcus aureus, Streptococcus beta hemolyticus group A.2. Faktor predisposisiBeberapa faktor timbulnya tonsilitis kronis, yaitu : Rangsangan kronis (rokok, makanan) Hygiene mulut yang buruk Pengaruh cuaca (udara dingin, lembab, suhu yang berubah-ubah) Alergi (iritasi kronis dari alergen) Keadaan umum ( kurang gizi, kelelahan fisik) Pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat3. Manifestasi klinisGejala tonsilits kronis dibagi menjadi 1) gejala lokal, yang bervariasi dari rasa tidak enak di tenggorok, sakit tenggorok, sulit sampai sakit menelan; 2) gejala sistemis, berupa rasa tidak enak badan atau malaise, nyeri kepala, demam subfebris, nyeri otot dan persendian; 3) gejala klinis tonsil dengan debris di kriptenya (tonsilitis folikularis kronis), udem atau hipertrofi tonsil (tonsilitis parenkimatosa kronis), tonsil fibrotik dan kecil (tonsilitis fibrotik kronis), plika tonsilaris anterior hiperemis dan pembengkakan kelenjar limfe regional. 4. Terapia. MedikanmentosaTerapi tonsilitis kronis dapat diatasi dengan menjaga higiene mulut yang baik, obat kumur, dan obat.Pengobatan tonsilitis kronis dengan menggunakan antibiotik oral perlu diberikan selama sekurangnya 10 hari. Antibiotik yang dapat diberikan adalah golongan penisilin atau sulfonamida, namun bila terdapat alergi penisilin dapat diberikan eritromisis atau klindamisin.b. OperatifTonsilektomi merupakan prosedur yang paling sering dilakukan dalam sejarah operasi. Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat ini. Dulu, tonsilektomi diindikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang. Saat ini, indikasi utama adalah obstruksi saluran nafas dan hipertrofi tonsil.B. Anestesi UmumAnestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversibel). Komponen trias anestesi yang ideal terdiri dari analgesia, hipnotik, dan relaksasi otot.Obat anestesi yang masuk ke pembuluh darah atau sirkulasi kemudian menyebar ke jaringan. Yang pertama terpengaruh oleh obat anestesi ialah jaringan kaya akan pembuluh darah seperti otak, sehingga kesadaran menurun atau hilang, hilangnya rasa sakit, dan sebagainya. Seseorang yang memberikan anestesi perlu mengetahui stadium anestesi untuk menentukan stadium terbaik pembedahan itu dan mencegah terjadinya kelebihan dosis.Agar anestesi umum dapat berjalan dengan sebaik mungkin, pertimbangan utamanya adalah memilih anestetika ideal. Pemilihan ini didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu keadaan penderita, sifat anestetika, jenis operasi yang dilakukan, dan peralatan serta obat yang tersedia. Sifat anestetika yang ideal antara lain mudah didapat, murah, tidak menimbulkan efek samping terhadap organ vital seperti saluran pernapasan atau jantung, tidak mudah terbakar, stabil, cepat dieliminasi, menghasilkan relaksasi otot yang cukup baik, kesadaran cepat kembali, tanpa efek yang tidak diinginkan. Obat anestesi umum yang ideal mempunyai sifat-sifat antara lain pada dosis yang aman mempunyai daya analgesik relaksasi otot yang cukup, cara pemberian mudah, mulai kerja obat yang cepat dan tidak mempunyai efek samping yang merugikan. Selain itu obat tersebut harus tidak toksik, mudah dinetralkan, mempunyai batas keamanan yang luas.1. Macam-macam Teknik Anestesi Open drop method: Cara ini dapat digunakan untuk anestesik yang menguap, peralatan sangat sederhana dan tidak mahal. Zat anestetik diteteskan pada kapas yang diletakkan di depan hidung penderita sehingga kadar yang dihisap tidak diketahui, dan pemakaiannya boros karena zat anestetik menguap ke udara terbuka. Semi open drop method: Hampir sama dengan open drop, hanya untuk mengurangi terbuangnya zat anestetik digunakan masker. Karbondioksida yang dikeluarkan sering terhisap kembali sehingga dapat terjadi hipoksia. Untuk menghindarinya dialirkan volume fresh gas flow yang tinggi minimal 3x dari minimal volume udara semenit. Semi closed method: Udara yang dihisap diberikan bersama oksigen murni yang dapat ditentukan kadarnya kemudian dilewatkan pada vaporizer sehingga kadar zat anestetik dapat ditentukan. Udara napas yang dikeluarkan akan dibuang ke udara luar. Keuntungannya dalamnya anestesi dapat diatur dengan memberikan kadar tertentu dari zat anestetik, dan hipoksia dapat dihindari dengan memberikan volume fresh gas flow kurang dari 100% kebutuhan. Closed method: Cara ini hampir sama seperti semi closed hanya udara ekspirasi dialirkan melalui soda lime yang dapat mengikat CO2, sehingga udara yang mengandung anestetik dapat digunakan lagi.Dalam memberikan obat-obatan pada penderita yang akan menjalani operasi maka perlu diperhatikan tujuannya yaitu sebagai premedikasi, induksi, maintenance, dan lain-lain.

2. Persiapan Pra AnestesiPasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan (elektif/darurat) harus dipersiapkan dengan baik. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif dilakukan 1-2 hari sebelumnya, dan pada bedah darurat sesingkat mungkin. Kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan menjalani operasi dan pembedahan baik elektif dan darurat mutlak harus dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut. Adapun tujuan kunjungan pra anestesi adalah:a. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.

b. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai dengan fisik dan kehendak pasien.

c. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society Anesthesiology):

ASA I: Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan faali, biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.

ASA II: Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang sebagai akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka mortalitas 16%.

ASA III: Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian terbatas. Angka mortalitas 38%.

ASA IV: Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa, tidak selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi organ, angina menetap. Angka mortalitas 68%.

ASA V:Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa operasi / dengan operasi. Angka mortalitas 98%.ASA VI: Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil (didonorkan)6Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri dari kegawatan otak, jantung, paru, ibu dan anak.

a. Pemeriksaan praoperasi anestesi I. Anamnesis

1. Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur, alamat, dll.

2. Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi.3. Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita yang dapat menjadi penyulit anestesi seperti alergi, diabetes melitus, penyakit paru kronis (asma bronkhial, pneumonia, bronkhitis), penyakit jantung, hipertensi, dan penyakit ginjal.

4. Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi obat, dan obat yang sedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi dengan obat anestetik seperti kortikosteroid, obat antihipertensi, antidiabetik, antibiotik, golongan aminoglikosid, dan lain lain.

5. Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya yang terdiri dari tanggal, jenis pembedahan dan anestesi, komplikasi dan perawatan intensif pasca bedah.

6. Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi tindakan anestesi seperti merokok, minum alkohol, obat penenang, narkotik

7. Riwayat keluarga yang menderita kelainan seperti hipertensi maligna.8. Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan umum, pernafasan, kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal, hematologi, neurologi, endokrin, psikiatrik, ortopedi dan dermatologi.II. Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan psikis : gelisah,takut, kesakitan

2. Keadaan gizi : malnutrisi atau obesitas

3. Tinggi dan berat badan. Untuk memperkirakan dosis obat, terapi cairan yang diperlukan, serta jumlah urin selama dan sesudah pembedahan.

4. Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan, serta suhu tubuh.

5. Jalan nafas (airway). Jalan nafas diperiksa untuk mengetahui adanya trismus, keadaan gigi geligi, adanya gigi palsu, gangguan fleksi ekstensi leher, deviasi ortopedi dan dermatologi. Ada pula pemeriksaan mallampati, yang dinilai dari visualisasi pembukaan mulut maksimal dan posisi protusi lidah. Pemeriksaan mallampati sangat penting untuk menentukan kesulitan atau tidaknya dalam melakukan intubasi. Penilaiannya yaitu:i. Mallampati I: palatum molle, uvula, dinding posterior

oropharynk, tonsilla palatina dan tonsilla

pharingeal

ii. Mallampati II: palatum molle, sebagian uvula, dinding

posterior uvula

iii. Mallampati III: palatum molle, dasar uvula

iv. Mallampati IV: palatum durum saja6. Jantung, untuk mengevaluasi kondisi jantung

7. Paru-paru, untuk melihat adanya dispneu, ronki dan mengi

8. Abdomen, untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia, atau tanda regurgitasi.

9. Ekstremitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal, sianosis, adanya jari tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di tempat-tempat pungsi vena atau daerah blok saraf regional III. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang lain

Lab rutin :

1. Pemeriksaan lab. Darah

2. Urine : protein, sedimen, reduksi

3. Foto rongten ( thoraks )

4. EKG Pemeriksaan khusus, dilakukan bila ada indikasi :

1. EKG pada anak

2. Spirometri pada tumor paru

3. Tes fungsi hati pada ikterus

4. Fungsi ginjalpada hipertensi

5. AGD, elektrolit.b. Premedikasi Anestesi

Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun tujuan dari premedikasi antara lain :a. memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.

b. menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam

c. membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam

d. memberikan analgesia, misal : fentanyl, pethidin

e. mencegah muntah, misal : droperidol, ondansentron

f. memperlancar induksi, misal : pethidin

g. mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin

h. menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : tracurium, sulfas atropin.

i. mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin dan hiosin.

Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis pasien yang ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan demikian maka pemilihan obat premedikasi yang akan digunakan harus selalu dengan mempertimbangkan umur pasien, berat badan, status fisik, derajat kecemasan, riwayat pemakaian obat anestesi sebelumnya, riwayat hospitalisasi sebelumnya, riwayat penggunaan obat tertentu yang berpengaruh terhadap jalannya anestesi, perkiraan lamanya operasi, macam operasi, dan rencana anestesi yang akan digunakan2.c. Obat-obatan Premedikasi Pada kasus ini digunakan obat premedikasi :

a. FentanilFentanil merupakan salah satu preparat golongan analgesik opioid dan termasuk dalam opioid potensi tinggi dengan dosis 100-150 mcg/kgBB, termasuk sufentanil (0,25-0,5 mcg/kgBB). Bahkan sekarang ini telah ditemukan remifentanil, suatu opioid yang poten dan sangat cepat onsetnya, telah digunakan untuk meminimalkan depresi pernapasan residual. Opioid dosis tinggi yang deberikan selama operasi dapat menyebabkan kekakuan dinding dada dan larynx, dengan demikian dapat mengganggu ventilasi secara akut, sebagaimana meningkatnya kebutuhan opioid postoperasi berhubungan dengan perkembangan toleransi akut. Maka dari itu, dosis fentanyl dan sufentanil yang lebih rendah telah digunakan sebagai premedikasi dan sebagai suatu tambahan baik dalam anestesi inhalasi maupun intravena untuk memberikan efek analgesi perioperatif.

Sebagai analgesik, potensinya diperkirakan 80 kali morfin. Lamanya efek depresi nafas fentanil lebih pendek dibanding meperidin. Efek euphoria dan analgetik fentanil diantagonis oleh antagonis opioid, tetapi secara tidak bermakna diperpanjang masanya atau diperkuat oleh droperidol, yaitu suatu neuroleptik yang biasanya digunakan bersama sebagai anestesi IV. Dosis tinggi fentanil menimbulkan kekakuan yang jelas pada otot lurik, yang mungkin disebabkan oleh efek opioid pada tranmisi dopaminergik di striatum. Efek ini di antagonis oleh nalokson. Fentanyl biasanya digunakan hanya untuk anestesi, meski juga dapat digunakan sebagai anelgesi pasca operasi. Obat ini tersedia dalam bentuk larutan untuk suntik dan tersedia pula dalam bentuk kombinasi tetap dengan droperidol. Fentanyl dan droperidol (suatu butypherone yang berkaitan dengan haloperidol) diberikan bersama-sama untuk menimbulkan analgesia dan amnesia dan dikombinasikan dengan nitrogen oksida memberikan suatu efek yang disedut sebagai neurolepanestesia.d. Induksi

Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai tercapainya stadium pembedahan yang selanjutnya diteruskan dengan tahap pemeliharaan anestesi untuk mempertahankan atau memperdalam stadium anestesi setelah induksi.

Pada kasus ini digunakan obat induksi :

a. Propofol

Propofol (2,6-diisoprophylphenol) adalah campuran 1% obat dalam air dan emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2% phosphatide telur dan 2,25% glyserol. Dosis yang dianjurkan 2,5 mg/kgBB untuk induksi tanpa premedikasi3.Propofol memiliki kecepatan onset yang sama dengan barbiturat intravena lainnya, namun pemulihannya lebih cepat dan pasien dapat diambulasi lebih cepat setelah anestesi umum. Selain itu, secara subjektif, pasien merasa lebih baik setelah postoperasi karena propofol mengurangi mual dan muntah postoperasi. Propofol digunakan baik sebagai induksi maupun mempertahankan anestesi dan merupakan agen pilihan untuk operasi bagi pasien rawat jalan. Obat ini juga efektif dalam menghasilkan sedasi berkepanjangan pada pasien dalam keadaan kritis. Penggunaan propofol sebagai sedasi pada anak kecil yang sakit berat (kritis) dapat memicu timbulnya asidosis berat dalam keadaan terdapat infeksi pernapasan dan kemungkinan adanya skuele neurologik2,3.Pemberian propofol (2mg/kg) intravena menginduksi anestesi secara cepat. Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi jarang disertai plebitis atau trombosis. Anestesi dapat dipertahankan dengan infus propofol yang berkesinambungan dengan opiat, N2O dan/atau anestetik inhalasi lain. Propofol dapat menyebabkan turunnya tekanan darah yang cukup berarti selama induksi anestesi karena menurunnya resitensi arteri perifer dan venodilatasi. Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira 80% tetapi efek ini disebabkan karena vasodilatasi perifer daripada penurunan curah jantung. Tekanan sistemik kembali normal dengan intubasi trakea.

Setelah pemberian propofol secara intravena, waktu paruh distribusinya adalah 2-8 menit, dan waktu paruh redistribusinya kira-kira 30-60 menit. Propofol cepat dimetabolisme di hati 10 kali lebih cepat daripada thiopenthal pada tikus. Propofol diekskresikan ke dalam urin sebagai glukoronid dan sulfat konjugat, dengan kurang dari 1% diekskresi dalam bentuk aslinya. Klirens tubuh total anestesinya lebih besar daripada aliran darah hepatik, sehingga eliminasinya melibatkan mekanisme ekstrahepatik selain metabolismenya oleh enzim-enzim hati. Propofol dapat bermanfaat bagi pasien dengan gangguan kemampuan dalam memetabolisme obat-obat anestesi sedatif yang lainnya. Propofol tidak merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke otak, metabolisme otak dan tekanan intrakranial akan menurun. Keuntungan propofol karena bekerja lebih cepat dari tiopental dan konvulsi pasca operasi yang minimal.

Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat. Obat ini didistribusikan cepat dan dieliminasi secara cepat. Hipotensi terjadi sebagai akibat depresi langsung pada otot jantung dan menurunnya tahanan vaskuler sistemik. Propofol tidak mempunyai efek analgesik. Dibandingkan dengan tiopental waktu pulih sadar lebih cepat dan jarang terdapat mual dan muntah. Pada dosis yang rendah propofol memiliki efek antiemetik1.

Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi pernafasan, apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem kardiovaskuler berupa hipotensi, aritmia, takikardi, bradikardi, hipertensi. Pada susunan syaraf pusat adanya sakit kepala, pusing, euforia, kebingungan, dll. Pada daerah penyuntikan dapat terjadi nyeri sehingga saat pemberian dapat dicampurkan lidokain (20-50 mg).e. PemeliharaanSevoflurane adalah obat anestesi inhalasi berbentuk cairan yang mudah menguap, berbau harum, dan tidak mudah terbakar. Sevofluran adalah suatu obat anestesi umum inhalasi derivat eter dengan kelarutan dalam darah yang lebih rendah dari halotan, enfluran dan isofluran. Rendahnya kelarutan serta tidak adanya bau yang menyengat menyebabkan induksi inhalasi berjalan dengan cepat dan mulus, juga kelarutan dalam darah yang rendah menyebabkan pemulihan berjalan dengan cepat.Dibandingkan dengan Desfluran, Sevofluran mempunyai MAC yang lebih rendah (2,05).Sevoflurane merupakan suatu eter isopropil berflourinasi yang tidak menyala. Mempunyai tekanan uap sekitar 162 mm Hg pada 20 C dan mendidih pada 56,5 C, dalam hal ini sevofluran serupa dengan anestertik volatil lainnya dan diberikan melaui vaporisator standar.kurang poten dibanding isofluran dengan MAC dalam oksigen sebesar 0,66 %. Koefisian partisi darah / gas pada 37 C adalah 0,59, kelarutan yang menengah dalam darah ini menimbulkan induksi anestesia yang cepat. Sevoflurane kurang bersifat iritan terhadap saluran pernafasan bagian atas dibanding desfluran, pada induksi menyebabkan lebih sedikit batuk dan laringospasme. Setelah pemberian 30 menit, ratio konsentrasi alveolar terhadap konsentrasi yang diinspirasi adalah 0,85 dibandingkan dengan 0,99 untuk oksida nitrosa dan 0,73 untuk isoflurane. Kedalaman anestesi berubah dengan cepat, segera setelah ditingkatkanya konsentrasi uap yang dihirup oleh pasien. Hilangnya kesadaran dapat dicapai dalam 5 kali tarikan nafas tunggal dengan induksi sevoflurane sebanyak 2%, kelarutan darah / gas yang rendah (0,68) menghasilkan induksi dan recovery yang cepat, karena bau yang enak maka jadi pilihan induksi untuk pasien anak dan dewasa.f. Obat Pelumpuh OtotObat golongan ini menghambat transmisi neuromuscular sehingga menimbulkan kelumpuhan pada otot rangka. Menurut mekanisme kerjanya, obat ini dibagi menjadi 2 golongan yaitu obat penghambat secara depolarisasi resisten, misalnya suksinil kolin, dan obat penghambat kompetitif atau nondepolarisasi, misal kurarin.

Dalam anestesi umum, obat ini memudahkan dan mengurangi cedera tindakan laringoskopi dan intubasi trakea, serta memberi relaksasi otot yang dibutuhkan dalam pembedahan dan ventilasi kendali.Obat pelumpuh otot yang digunakan dalam kasus ini adalah :

Atracurium besilat (tracrium)

Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang relatif baru yang mempunyai struktur benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman Leontice leontopetaltum. Beberapa keunggulan atrakurium dibandingkan dengan obat terdahulu antara lain adalah :

a. Metabolisme terjadi dalam darah (plasma) terutama melalui suatu reaksi kimia unik yang disebut reaksi kimia hoffman. Reaksi ini tidak bergantung pada fungsi hati dan ginjal.

b. Tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang.

c. Tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang bermakna.

Mula dan lama kerja atracurium bergantung pada dosis yang dipakai. Pada umumnya mulai kerja atracurium pada dosis intubasi adalah 2-3 menit, sedang lama kerja atracurium dengan dosis relaksasi 15-35 menit.Pemulihan fungsi saraf otot dapat terjadi secara spontan (sesudah lama kerja obat berakhir) atau dibantu dengan pemberian antikolinesterase. Nampaknya atracurium dapat menjadi obat terpilih untuk pasien geriatrik atau pasien dengan penyakit jantung dan ginjal yang berat.Kemasan dibuat dalam 1 ampul berisi 5 ml yang mengandung 50 mg atracurium besilat. Stabilitas larutan sangat bergantung pada penyimpanan pada suhu dingin dan perlindungan terhadap penyinaran.

Dosis intubasi : 0,5 0,6 mg/kgBB/iv

Dosis relaksasi otot : 0,5 0,6 mg/kgBB/iv

Dosis pemeliharaan : 0,1 0,2 mg/kgBB/ ivg. Intubasi EndotrakealSuatu tindakan memasukkan pipa khusus ke dalam trakea, sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dikendalikan. Intubasi trakea bertujuan untuk :a. Mempermudah pemberian anestesi.

b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas.

c. Mencegah kemungkinan aspirasi lambung.

d. Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial.

e. Pemakaian ventilasi yang lama.

f. Mengatasi obstruksi laring akut.h. Terapi CairanPrinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati jumlah dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk.a. Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama operasi.

b. Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang diberikan.

Pemberian cairan operasi dibagi :

a. Pra operasi

Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah, penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti pada ileus obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain-lain. b. Selama operasi

Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari 10 % EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid. Apabila perdarahan lebih dari 10 % maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma / koloid / dekstran.c. Setelah operasi

Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien. i. PemulihanPasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar merupakan batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya.Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan perlu dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi dan pembedahan. Beberapa cara skoring yang biasa dipakai untuk anestesi umum yaitu cara Aldrete dan Steward, dimana cara Steward mula-mula diterapkan untuk pasien anak-anak, tetapi sekarang sangat luas pemakaiannya, termasuk untuk orang dewasa. Sedangkan untuk regional anestesi digunakan skor Bromage. Tabel 1. Aldrete Scoring SystemNo.KriteriaSkor

1Aktivitas motorik Mampu menggerakkan ke-4 ekstremitas atas perintah atau secara sadar.

Mampu menggerakkan 2 ekstremitas atas perintah atau secara sadar.

Tidak mampu menggerakkan ekstremitas atas perintah atau secara sadar.2

1

0

2Respirasi Nafas adekuat dan dapat batuk

Nafas kurang adekuat/distress/hipoventilasi

Apneu/tidak bernafas2

1

0

3Sirkulasi Tekanan darah berbeda 20% dari semula

Tekanan darah berbeda 20-50% dari semula

Tekanan darah berbeda >50% dari semula2

1

0

4Kesadaran Sadar penuh

Bangun jika dipanggil

Tidak ada respon atau belum sadar2

1

0

5Warna kulit Kemerahan atau seperti semula

Pucat

Sianosis 2

1

0

Aldrete score 8, tanpa nilai 0, maka dapat dipindah ke ruang perawatan.Tabel 2. Steward Scoring SystemNo.Kriteria Skor

1Kesadaran Bangun Respon terhadap stimuli Tak ada respon210

2Jalan napas Batuk atas perintah atau menangis Mempertahankan jalan nafas dengan baik Perlu bantuan untuk mempertahankan jalan nafas210

3Gerakan Menggerakkan anggota badan dengan tujuan Gerakan tanpa maksud Tidak bergerak210

Steward score 5 boleh dipindah ruanganTabel 3. Robertson Scoring SystemNo.Kriteria Skor

1Kesadaran Sadar penuh, membuka mata, berbicara Tidur ringan Membuka mata atas perintah Tidak ada respon4321

2Jalan napas Batuk atas perintah Jalan nafas bebas tanpa bantuan Jalan nafas bebas tanpa bantuan ekstensi kepala Tanpa bantuan obstruksi3210

3Aktifitas Mengangkat tangan atas perintah Gerakan tanpa maksud Tidak bergerak210

Tabel 4. Scoring System untuk pasien anakTanda Kriteria

Tanda vitalRespirasi, T/N, suhu seperti semula

Reflek laryng dan pharyngMampu menela, batuk, dan muntah

GerakanMampu bergerak sesuai umur dan tingkat perkembangan

Muntah Muntah, mual pusing minimal

Pernafasan Tidak ada sesak nafas, stridor, dan mendengkur

Kesadaran Alert, orientasi tempat, waktu, dan orang

Tabel 5. Bromage Scoring SystemKriteriaSkor

Gerakan penuh dari tungkai0

Tak mampu ekstensi tungkai1

Tak mampu fleksi lutut2

Tak mampu fleksi pergelangan kaki3

Bromage score < 2 ( boleh pindah ke ruang perawatan.

BAB IIIPEMBAHASANDari hasil kunjungan pra anestesi baik dari anamnesis, pemeriksaan fisik akan dibahas masalah yang timbul, baik dari segi medis, bedah maupun anestesi.

A. PERMASALAHAN DARI SEGI MEDIKMeningkatnya laju metabolisme tubuh karena radang, dimana kebutuhan cairan dapat meningkat, sehingga pasien dapat mengalami dehidrasi. Tanda-tanda radang dapat dilihat dari suhu maupun angka leukosit. Pada pasien ini suhu tubuh tidak mengalami peningkatan dan angka leukosit masih sedikit mengalami peningkatan. Oleh karena itu diberikan terapi antibiotik sebelum dan sesudah pembedahan dilaksanakan. B. PERMASALAHAN DARI SEGI BEDAH

1. Kemungkinan perdarahan durante dan post operasi.

2. Iatrogenik (resiko kerusakan organ akibat pembedahan)

Dalam mengantisipasi hal tersebut, maka perlu dipersiapkan jenis dan teknik anestesi yang aman untuk operasi yang lama, juga perlu dipersiapkan darah untuk mengatasi perdarahan. Pada pasien ini teknik tonsilektomi yang digunakan adalah diseksi thermal menggunakan electocauter dimana perdahan durante operasi dan post operasi lebih sedikit karena pemotongan jaringan maupun hemostasis dilakukan dalam satu prosedur.C. PERMASALAHAN DARI SEGI ANESTESITujuan puasa untuk mencegah terjadinya aspirasi isi lambung karena regurgitasi atau muntah pada saat dilakukannya tindakan anestesi akibat efek samping dari obat- obat anastesi yang diberikan sehingga refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Umtuk maintenance cairan pada pasien ini digunakan Ringer Laktat sesuai dengan berat badan pasien sebanyak 60 cc/jam. Penggantian puasa juga harus dihitung dalam terapi cairan ini yaitu 6 x maintenance. Sehingga kebutuhan cairan yang harus dipenuhi selama 6 jam ini adalah 360 cc/6jam.

Pemberian fentanyl yang merupakan obat opioid yang bersifat analgesic dan bisa bersifat induksi. Penggunaan pada pasien ini betujuan untuk menimbulkan rasa nyaman pada pasien dengan pemberian analgesia dan mempermudah induksi dengan menghilangkan rasa kuatir. Selanjutnya pasien ini diberikan atracurium bromide 10 mg untuk merelaksasikan otot-otot pernapasan. Karena dilakukan operasi tonsilektomi, maka dokter anestesi memilih untuk dilakukan intubasi endotrakeal agar tidak mengganggu operator sepanjang operasi dilakukan dan supaya pasien tetap dianestesi dan dapat bernafas dengan adekuat.Pasien disungkupkan dengan sungkup muka yang telah terpasang pada mesin anestesi yang menghantarkan gas (sevoflurane) dengan ukuran 2vol% dengan oksigen dari mesin ke jalan napas pasien sambil melakukan bagging selama kurang lebih 2 menit untuk menekan pengembangan paru dan juga menunggu kerja dari pelemas otot sehingga mempermudah dilakukannya pemasangan endotrakheal tube. Penggunaan sevofluran disini dipilih karena sevofluran mempunyai efek induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibanding dengan gas lain, dan baunya pun lebih harum dan tidak merangsang jalan napas sehingga digemari untuk induksi anestesi dibanding gas lain (halotan). Efek terhadap kardiovaskular pun relatif stabil dan jarang menyebabkan aritmia.

Setelah pasien di intubasi dengan mengunakan endotrakheal tube, maka dialirkan sevofluran 2 vol%, oksigen sekitar 50 ml/menit sebagai anestesi rumatan. Ventilasi dilakukan dengan bagging dengan laju napas 20 x/ menit. Sesaat setelah operasi selesai gas anestesi diturunkan untuk menghilangkan efek anestesi perlahan-lahan dan untuk membangunkan pasien. Juga diharapkan agar pasien dapat melakukan nafas spontan menjelang operasi hampir selesai.

Operasi selesai tepat jam 10:10 WIB. Lalu mesin anestesi diubah ke manual supaya pasien dapat melakukan nafas spontan. Gas sevo dihentikan karena pasien sudah nafas spontan dan adekuat. Kemudian dilakukan ekstubasi endotracheal secara cepat untuk menghindari penurunan saturasi lebih lanjut.

Total cairan yang diberikan pada pasien ini sejumlah 750 cc Ringer Laktat. Perdarahan pada operasi ini kurang lebih 25 cc. Untuk Post of pain management diberikan injeksi ketorolac ampul/12 jam IV setelah prosedur pembedahan.

Pada pukul 10.10 WIB, pembedahan selesai dilakukan, dengan pemantauan akhir TD 124/76mmHg; Nadi 80x/menit, dan RR 20x/menit. Pembedahan dilakukan selama 30 menit dengan perdarahan 25 cc. Pasien kemudian dibawa ke ruang pemulihan (Recovery Room). Selama di ruang pemulihan, jalan nafas dalam keadaan baik, pernafasan spontan dan adekuat serta kesadaran compos mentis. Tekanan darah selama 15 menit pertama pasca operasi stabil yaitu 118/70 mmHg. BAB V

KESIMPULAN

Pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi yang melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita mengetahui kondisi pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga dapat mengantisipasinya.

Pada makalah ini disajikan kasus penatalaksanaan anestesi umum pada operasi tonsilektomi pada penderita laki-laki, usia 9 tahun, status fisik PS ASA I, dengan diagnosis tonsilitis kronik yang dilakukan teknik anestesi closed dengan penggunaan ETT.Untuk mencapai hasil maksimal dari anestesi seharusnya permasalahan yang ada diantisipasi terlebih dahulu sehingga kemungkinan timbulnya komplikasi anestesi dapat ditekan seminimal mungkin.

Dalam kasus ini selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang berarti baik dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang pemulihan juga tidak terjadi hal yang memerlukan penanganan serius.

Secara umum pelaksanaan operasi dan penanganan anestesi berlangsung dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Baugh RF et al. Clinical Practice Guideline: Tonsillectomy in Children. Otolaryngology Head and Neck Surgery 2011; 144 (15):1-30.

2. Muhardi, M, dkk. (1989). Anestesiologi, Bagian Anastesiologi dan Terapi Intensif, FKUI. Jakarta: CV Infomedia.3. Drake A. Tonsillectomy. http://www.emedicine.com/ent/topic315.htm/emedtonsilektomi, diakses tanggal 23 Maret 2013.

4. Wirdjoatmodjo, K., 2000. Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar untuk Pendidikan S1 Kedokteran. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.5. Lab/SMF Anestesiologi & reanimasi. 2010. Panduan Kepaniteraan Klinik Anestesiologi.6. Handoko, Tony. 1995. Anestetik Umum. Dalam :Farmakologi dan Terapi FKUI, edisi ke- 4. Jakarta: Gaya baru.7. Latief, S, dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi, edisi kedua. Jakarta : Balai Penerbit FKUI8. Mansjoer A, Suprohaita, dkk. 2002. Ilmu Anestesi. dalam: Kapita Selekta Kedokteran FKUI. Jilid 2. edisi ketiga. Jakarta : Media Aesculapius9. Sadina, 2009. Sistem Pernapasan Pada Manusia.http://www.blogunila.ac.id/sadina/2009/10/01/sistem-pernapasan-pada-manusia/ diakses tanggal 24 April 2013.

10. Better Health Channel. 2011.Tonsillitis Explaioverment of vixtoria, Australia.http :/ / betterhealth.vic.gov.au/bhcv2/bhcarticles. Diakses tanggal 23 Maret 201311. NHS. 2010. Tonsillitis.http://www.nhs.uk/conditions/tonsillitis, diakses tanggal 23 Maret 201312. Lauro, Joseph.2011.Tonsillitis.Lautheran Emergency Medicine Medical Centre.http://www.emedicinehealth.com/tonsillitis/article_em.htm, diakses tanggal 23 Maret 2013 23