institutional repository uin syarif hidayatullah jakarta:...
TRANSCRIPT
v
ABSTRAK
RAHMA DWI SAPUTRI, NIM 11150480000150, “LEGALITAS
PERJANJIAN ASURANSI MELALUI TELEMARKETING DITINJAU
DARI PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN (POJK) NOMOR
1/POJK.07/2013 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR
JASA KEUANGAN (STUDI KASUS : BNI LIFE)”, Program Studi Ilmu
Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2019 M. Ix + 66 halaman + 4 halaman lampiran.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana legalitas perjanjian
asuransi melalui telemarketing ditinjau dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
(POJK) Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa
Keuangan dan juga untuk mengetahui kesesuaian perjanjian asuransi melalui
telemarketing menurut asas konsensualisme dalam hukum perjanjian pada BNI
Life. Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian kualitatif
eksploratif. Sedangkan jenis pendekatan yang digunakan peneliti dalam penelitian
ini meliputi dua jenis pendekatan, yaitu pendekatan normatif-empiris. Untuk
memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penelitian ini, maka peneliti
menggunakan dua sumber data, yaitu sumber data primer dan sumber data
sekunder. Dalam penelitian ini, data primer dikumpulkan melalui wawancara dan
data sekunder yang terdiri dari peraturan perundang-undangan, buku-buku dan
literatur terkait penelitian.
Hasil dari penelitian ini adalah penawaran asuransi yang dilakukan BNI Life
telah sesuai dengan yang diatur dalam POJK 1/2013. Namun, pada praktiknya
perjanjian asuransi yang dibuat saat melakukan penawaran tersebut tidak dapat
menjadi perjanjian yang sempurna. Perjanjian tersebut dianggap cacat
dikarenakan saat melakukan kesepakatan, tertanggung sering kali khilaf saat
menyepakati perjanjian tersebut dan perjanjian asuransi melalui telemarketing
tersebut tidak memenuhi asas konsensualisme dalam hukum perjanjian.
Kata Kunci : Perjanjian, Asuransi, Telemarketing
Pembimbing Skripsi : Ir. Muh. Nadratuzzaman, M.S., M.Sc., Ph.D.
Daftar Pustaka : Tahun 1983 Sampai Tahun 2019
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang hanya dengan hidayah dan rahmat-
Nyalah, penyusunan skripsi yang berjudul “LEGALITAS PERJANJIAN
ASURANSI MELALUI TELEMARKETING DITINJAU DARI PERATURAN
OTORITAS JASA KEUANGAN (POJK) NOMOR 1/POJK.07/2013 TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN (STUDI
KASUS : BNI LIFE)” dapat diselesaikan dengan baik, walaupun terdapat
beberapa kendala yang dihadapi saat proses penyusunan skripsi ini.
Selesainya penulisan skripsi ini tidak dapat dicapai tanpa adanya bantuan,
dukungan, dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan
ini, dengan segala kerendahan hati dan penuh rasa hormat peneliti ingin
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., S.H., M.H., M.A, Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H, M.H, Ketua Program Studi Ilmu
Hukum dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum, Sekertaris Program Studi Ilmu
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang sudah memberikan waktu
luang, saran, dan masukan terhadap kelancaran proses penyusunan skripsi ini.
3. Ir. Muh. Nadratuzzaman, M.S., M.Sc., Ph.D, Dosen Pembimbing yang
dengan sabar telah memberikan arahan dan masukan serta bimbingan, dan
juga telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya, terhadap proses
penyusunan skripsi ini.
4. Mustolih, SH.I., M.H, Dosen Penasehat Akademik yang telah memberikan
masukan kepada peneliti saat pembuatan proposal penelitian ini.
5. Kepala urusan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Kepala Pusat Perpustakaan Utama UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan
studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.
vii
6. Kedua orangtua yang sangat peneliti cintai, Bapak Damin dan Ibu
Ruminingsih, yang selalu memanjatkan doa untuk kesuksesan peneliti,
dengan sabar membimbing peneliti tanpa kenal lelah, serta selalu memberi
dukungan baik secara materiil maupun immateriil kepada peneliti. Juga
Kakak tersayang, Dian Meiyanti, yang selalu memberi motivasi kepada
peneliti untuk menyelesaikan penelitian ini. Semoga apa yang telah peneliti
capai dapat membanggakan kalian.
7. Dimas Adi Putra, teman dekat peneliti. Terima kasih selalu menemani,
memberikan dukungan, serta memberi motivasi kepada peneliti untuk
menyelesaikan penelitian ini.
8. Sahabat-sahabat yang peneliti sayangi, Novia Amelia Putri, Rafida Fauzia,
Raines Indah, dan Balqis Shahibah, yang menemani dan mewarnai hari-hari
peneliti sejak awal masa kuliah hingga penelitian ini selesai. Terima Kasih
untuk 8 semester yang singkat ini.
9. Teman-teman KKN yang peneliti sayangi, Diyya, Fira, Allysa, Beyan, dan
Mail terima kasih telah mengisi hari-hari peneliti dengan kebahagiaan,
dukungan serta menjadi keluarga baru untuk peneliti.
10. Keluarga besar Ilmu Hukum 2015, khususnya teman-teman 2015 IH-D,
terima kasih telah menemani selama 8 semester ini, semoga kita semua
mencapai segala yang kita cita-citakan.
11. Semua pihak terkait yang telah memberi kontribusi kepada peneliti dalam
penyelesaian skripsi ini.
Akhir kata, peneliti berharap semoga skripsi ini dapat menjadi referensi
bagi adik-adik kelas dan bermanfaat bagi setiap pembaca. Terima kasih
Jakarta, 7 Oktober 2019
Rahma Dwi Saputri
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .................................................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... iv
ABSTRAK ............................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ........................................................................................... vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................ viii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ....................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................... 7
D. Metode Penelitian .......................................................................... 8
E. Sistematika Penelitian .................................................................. 11
BAB II PERJANJIAN ASURANSI MELALUI TELEMARKETING
DI INDONESIA ............................................................................... 13
A. Kerangka Konseptual ................................................................... 13
B. Kerangka Teori ............................................................................. 14
C. Perjanjian Pada Umumnya ........................................................... 17
D. Tinjauan Umum Perjanjian Asuransi ........................................... 20
E. Penggunaan Telemarketing Dalam Perjanjian Asuransi .............. 27
F. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ............................................ 29
G. Kerangka Pemikiran ..................................................................... 31
BAB III PENGGUNAAN TELEMARKETING DALAM
PEMASARAN ASURANSI OLEH BNI LIFE ................................ 34
A. Gambaran Umum PT. BNI Life Insurance (BNI Life) ................ 34
B. Pengaturan Tentang Penggunaan Telemarketing Pada Perjanjian
Asuransi BNI Life ........................................................................ 36
ix
BAB IV LEGALITAS PERJANJIAN ASURANSI MELALUI
TELEMARKETING PADA BNI LIFE ............................................. 39
A. Analisis Perjanjian Asuransi Melalui Telemarketing Ditinjau dari
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/Pojk.07/2013 Tentang
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan .......................... 39
B. Kesesuaian Perjanjian Asuransi Melalui Telemarketing
Menurut Asas Konsensualisme dalam Hukum Perjanjian ........... 49
BAB V PENUTUP ........................................................................................ 60
A. Kesimpulan .................................................................................. 60
B. Rekomendasi ................................................................................ 61
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 63
LAMPIRAN-LAMPIRAN ..................................................................................... 67
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupannya, manusia selalu disibukkan oleh segala
rutinitasnya, tanpa jeda dan terus berulang setiap harinya. Akibatnya,
terkadang manusia lupa untuk mempedulikan kesehatannya sendiri, maka
dari itu selalu ada kemungkinan timbulnya risiko yang mengancam
manusia. Tanpa pandang bulu risiko dapat hadir di mana saja dan kapan
saja. Risiko tersebut dapat berupa gangguan kesehatan, kecelakaan,
maupun meninggal dunia. Manusia tidak dapat mengira-ngira kapan risiko
itu dapat hadir dalam kehidupannya, risiko merupakan suatu hal yang tidak
pasti.
Seiring berkembannya zaman, manusia semakin belajar dan sadar
akan pentingnya mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan itu.
Timbulnya rasa khawatir membuat manusia membutuhkan suatu
perlindungan yang dapat mengatasi risiko tersebut. Salah satu cara yang
digunakan ialah dengan perlindungan asuransi. Asuransi hadir untuk
mengatasi permasalahan-permasalahan atau kerugian yang hadir secara tiba-
tiba di luar rencana manusia. Asuransi dianggap dapat mengatasi kerugian
yang dapat ditimbulkan dari risiko yang tidak dapat dipastikan kehadirannya
dalam hidup manusia.
Seperti yang dikemukakan oleh Sri Redjeki Hartono, bahwa fungsi
dasar asuransi ialah suatu upaya menanggulangi ketidakpastian terhadap
kerugian khusus untuk kerugian-kerugian murni dan bukan kerugian yang
bersifat spekulatif, sehingga pengertian risiko dapat diberikan sebagai suatu
ketidakpastian tentang terjadinya atau tidak terjadinya suatu peristiwa.1
Asuransi merupakan suatu kemauan untuk menetapkan kerugian-kerugian
kecil yang sudah pasti sebagai pengganti (subtitusi) kerugian-kerugian besar
1 Sri Redjeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, (Jakarta: Sinar Grafika,
Cetakan ke 2, 1995), h.15
2
yang belum pasti. Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa
seseorang bersedia membayar kerugian yang sedikit untuk masa sekarang,
agar bisa menghadapi kerugian-kerugian besar yang mungkin akan terjadi di
waktu yang akan datang.2
Berbagai macam produk asuransi telah berkembang, tidak terlepas
dari kebutuhan atau kepentingan yang tumbuh dan juga semakin dirasakan
oleh masyarakat atas akibat dari peristiwa yang dapat menimbulkan
kerugian. Kini, berbagai macam usaha perasuransian untuk memasarkan
produk asuransi telah bertransformasi seiring dinamika masyarakat dan
bisnis asuransi yang bergerak cepat. Mulanya, pemasaran produk asuransi
hanya dilakukan secara konvensional secara tatap muka, namun kini telah
mengalami perkembangan dengan teknologi secara cepat.3 Selain
menawarkan produk asuransi melalui tatap muka, perusahaan asuransi saat
ini menawarkan produknya menggunakan sarana komunikasi
(telemarketing)4 yang bekerjasama oleh bank dalam pemasarannya.
Telemarketing merupakan sistem penawaran produk atau layanan
dengan menggunakan sarana telekomunikasi telepon. Praktik telemarketing
jika ditinjau dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik untuk selanjutnya disebut UU ITE, dapat
digolongkan sebagai bentuk transaksi elektronik karena dilakukan melalui
sarana telekomunikasi telepon. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 10 UU
ITE yang menentukan bahwa “Transaski elektronik, pada dasarnya adalah
perikatan atau hubungan hukum yang dilakukan secara elektronik dengan
memadukan jaringan dari sistem elektronik berbasiskan komputer dengan
sistem komunikasi, yang selanjutnya difasilitasi oleh keberadaan jaringan
2 Abbas Salim, Asuransi dan Manajemen Resiko, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2005),h.1
3 Muhammad Rizal Rachman, Herowati Poesoko, I Wayan Yasa, Lahirnya Perjanjian
Asuransi Melalui Telemarketing Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 86.K/Pdt/2012, Jurnal Ilmu Hukum Universitas Jember 2017, h.2
4 Sentosa Sembiring, Hukum Asuransi, (Bandung: Nuansa Aulia, 2014), h.180
3
komputer global atau internet termasuk melalui sarana telepon.” Transaksi
elektronik dinilai sebagai bagian dari perikatan para pihak. Transaksi
tersebut akan merujuk kepada semua jenis dan mekanisme dalam
melakukan hubungan hukum secara elektronik itu sendiri yang akan
mencakup mekanisme perdagangan di masyarakat.5
Maraknya penawaran produk melalui telemarketing telah
menimbulkan keresahan pada masyarakat. Masyarakat merasa terganggu
dengan adanya dering telepon yang menawarkan produk asuransi yang
mengakibatkan tersitanya waktu dan terganggunya aktivitas masyarakat.6
Penawaran produk asuransi melalui telemarketing juga menimbulkan
permasalahan hukum tentang bagaimana kedudukan hukum perjanjian
asuransi tersebut, mengingat dalam Pasal 255 Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang (KUHD), bahwa kesepakatan pihak-pihak dalam perjanjian
asuransi harus dibuat secara tertulis dalam bentuk akta yang disebut dengan
Polis. Polis digunakan sebagai bukti tertulis bahwa telah terjadi perjanjian
asuransi antara pihak penanggung dan pihak tertanggung.
Dalam terminologi hukum, asuransi merupakan suatu perjanjian, oleh
karena itu perjanjian itu sendiri perlu dikaji sebagai acuan menuju pada
pengertian perjanjian asuransi. Acuan pokok perjanjian asuransi tetap pada
pengertian dasar dari perjanjian. Karakteristik perjanjian asuransi ini yang
membedakannya dengan jenis perjanjian pada umumnya, yaitu, yang
pertama adalah ada persetujuan kehendak, asuransi sebagai perjanjian harus
memenuhi syarat-syarat sebagai yang ditetapkan dalam pasal 1320 KUH
Perdata, juga harus memenuhi syarat-syarat khusus yang tercantum dalam
KUHD yaitu pasal 250 dan 251. Antara pihak-pihak yang mengadakan
pertanggungan harus ada persetujuan kehendak (consensus, toestemming,
5 Ilyas, Keabsahan Perjanjian Asuransi Melalui Telemarketing Ditinjau Dari Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008, Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 57, Th. Xiv, 2012, h.201-202
6 Nancy S. Haliwela, Rekaman Pembicaraan Telepon Sebagai Alat Bukti Perjanjian Bank
Dengan Nasabah Pada Bancassurance, Jurnal Hukum Acara Perdata Adhaper Vol.1 No.2
(Surabaya: Universitas Airlangga, 2015), h.157
4
meeting of mind) artinya kedua belah pihak menyetujui tentang benda yang
menjadi objek perjanjian dan tentang syarat-syarat tertentu yang berlaku
bagi perjanjian tersebut.
Kedua belah pihak dapat berupa manusia pribadi dan dapat juga
berupa badan hukum, biasanya berbentuk suatu badan usaha. Pihak
penanggung selalu dalam bentuk badan usaha yang pekerjaannya bergerak
dalam bidang pertanggungan; dan ada benda yang dipertanggungkan, dalam
setiap pertanggungan harus ada benda yang dipertanggungkan. Karena yang
mempertanggungkan benda itu adalah tertanggung, maka tertanggung harus
mempunyai hubungan langsung atau tidak langsung dengan benda yang
dipertanggungkan itu. Dikatakan ada hubungan langsung apabila
tertanggung memiliki benda tersebut. Dikatakan ada hubungan tidak
langsung, apabila tertanggung mempunyai kepentingan atas benda tersebut.7
Asuransi merupakan suatu perjanjian di mana dalam memenuhi
prestasinya para pihak dituntut memiliki itikad baik. Adapun ukuran
daripada itikad baik tersebut ialah kepatutan dan keadilan, kepatutan di
dalam perjanjian ditujukan agar jangan sampai pemenuhan kepentingan
salah satu pihak terdesak, maka harus ada keseimbangan antara kepentingan
para pihak yang bersangkutan.8 Keadilan merupakan kepastian untuk
mendapatkan apa yang sudah dijanjikan, tetapi pemenuhan janji itu harus
memperhatikan norma-norma yang berlaku.9
Penawaran produk asuransi melalui telemarketing ini pada dasarnya
hanya merupakan suatu perjanjian pra-kontrak yang dilakukan melalui
sarana telekomunikasi, sedangkan kepastian sah terikatnya perjanjian antara
nasabah atau tertanggung dengan perusahaan asuransi tetap dilakukan
7 Didik Wahyu Sugiyanto, Perjanjian Asuransi Melalui Telemarketing Ditinjau Dari
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008, Tuban, Mimbar Yustitia Vol. 1 No.1, Universitas Sunan
Bonang Tuban, 2017, h.38
8 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, Cet. Pertama, (Jakarta: PT.
Intermasa, 1983), h.87
9 R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermasa , 1987), h.42
5
melalui penandatanganan polis. Namun pada prakteknya, ditemui pelaku
usaha asuransi beranggapan bahwa sahnya perjanjian adalah ketika telah
terjadi kesepakatan lisan melalui telepon yang kemudian menggunakan
bukti rekaman suara yang direkam menggunakan komputer sebagai bukti
sahnya perjanjian tersebut.10
Perusahaan asuransi yang menerapkan metode telemarketing ini salah
satunya ialah BNI Life yang merupakan anak perusahaan dari PT Bank
Negara Indonesia (Persero), Tbk. BNI Life didirikan dengan nama PT
Asuransi Jiwa BNI Jiwasraya- BNI Life Insurance, merupakan perpaduan
antara dua nama besar dan professional dari Bank Negara Indonesia
(Persero), Tbk dan PT Asuransi Jiwasraya. Banyak aduan dari masyarakat
terkait penawaran produk asuransi BNI Life melalui telemarketing yang
dianggap merugikan masyarakat. Dikarenakan pihak BNI Life langsung
memotong pembayaran premi asuransi dari rekening nasabah atau
tertanggung hanya dengan persetujuan melalui telepon dan tanpa adanya
pembuatan polis terlebih dahulu.
Karena banyaknya aduan dari masyarakat mengenai praktik
telemarketing, maka pada tahun 2013 OJK menerbitkan POJK Nomor
1/POJK.7/2013 dan mulai berlaku efektif pada 6 Agustus 2014. Kebijakan
OJK yang melarang praktik telemarketing dianggap sebagai langkah yang
tepat. Larangan tersebut dirasa dapat melindungi informasi pribadi
konsumen dalam sektor jasa keuangan.Aturan yang diterbitkan OJK
memuat prosedur penawaran produk dan layanan jasa keuangan oleh pelaku
usaha jasa keuangan (PUJK) pada Pasal 19 Peraturan OJK Nomor
1/POJK.7/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
OJK melarang penawaran produk dan atau pelayanan jasa keuangan melalui
sms atau telepon tanpa persetujuan dari konsumen yang bersangkutan.
10 Adyan Agit Pratama, Bambang Eko Turisno, dan Suradi, Perlindungan Hukum Bagi
Konsumen Terhadap Perjanjian Perpanjangan Asuransi Melalui Telemarketing, Diponegoro Law
Journal Volume 6, Nomor 1, 2017, h. 3
6
Namun, dalam praktiknya saat ini masih banyak sekali kasus penawaran
asuransi yang dilakukan melalui telemarketing.
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di atas, masalah tersebut
menarik untuk dilakukan penelitian hukum atau skripsi terhadap
pembahasan tersebut dengan judul “Legalitas Perjanjian Asuransi
Melalui Telemarketing di Tinjau dari Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan (POJK) Nomor 1/Pojk.07/2013 Tentang Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan.”
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka identifikasi
masalah dari penelitian ini adalah :
a. Banyaknya tertanggung yang merasa dirugikan oleh adanya
penawaran asuransi melalui telemarketing.
b. Dampak setelah terjadinya perjanjian asuransi melalui telemarketing.
c. Diperlukannya ketentuan yang mengatur prosedur perjanjian asuransi
melalui telemarketing.
d. Perusahaan asuransi tidak memenuhi asas konsensualisme dalam
hukum perjanjian.
2. Pembatasan Masalah
Sesuai latar belakang dan identifikasi masalah di atas, maka
pembahasan penelitian mengalami pembatasan yaitu pada legalitas
perjanjian asuransi melalui telemarketing ditinjau dari Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan Nomor 1/Pojk.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen
Sektor Jasa Keuangan dan asas konsensualisme dalam hukum perjanjian,
yang dalam hal ini peneliti melakukan penelitian kepada BNI Life.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan identifikasi serta
pembatasan masalah yang telah diuraikan di atas, maka peneliti
memfokuskan pada masalah utama yaitu mengenai legalitas perjanjian
7
asuransi melalui telemarketing di tinjau dari Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 1/Pojk.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen
Sektor Jasa Keuangan.
Untuk mempertegas arah pembahasan dari masalah utama yang
telah diuraikan di atas, maka dibuat rincian perumusan masalah dalam
bentuk pertanyaan penelitian, sebagai berikut:
a. Apakah perjanjian asuransi melalui telemarketing diperbolehkan
menurut Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/Pojk.07/2013
Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan?
b. Bagaimana kesesuaian perjanjian asuransi melalui telemarketing
menurut asas konsensualisme dalam hukum perjanjian?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah, sebagai
berikut:
a. Untuk mengetahui legalitas perjanjian asuransi melalui telemarketing.
b. Untuk mengetahui kesesuaian perjanjian asuransi melalui
telemarketing menurut asas konsensualisme dalam hukum perjanjian.
2. Manfaat Penelitian
Penulisan skripsi hukum ini diharapkan dapat memberi manfaat di bidang
ilmu hukum baik secara teoritis maupun praktis.
a. Manfaat Teoritis
Skripsi ini diharapkan dapat menyumbangkan pengetahuan
dalam perkembangan ilmu hukum khususnya hukum perjanjian. Hasil
dari penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi serta
masukan untuk penelitian selanjutnya khususnya untuk penulisan
penelitian hukum perjanjian.
b. Manfaat Praktis
1) Bagi akademisi penelitian ini diharapkan dapat menambah
pengetahuan yang selanjutnya dapat diterapkan di dunia nyata
8
sebagi bentuk partisipasi dalam pembangunan negara dan rakyat
Indonesia serta kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat
internasional.
2) Bagi masyarakat umum penelitian ini diharapkan dapat
memberikan pengetahuan terkait hukum perjanjian yang berlaku di
Indonesia agar meminimalisir terjadinya praktik perjanjian asuransi
melalui telemarketing.
3) Bagi pemerintah penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan
saran kepada aparat hukum pemerintah dan khususnya Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) untuk mengambil kebijakan dalam mengatur
praktik telemarketing di bidang jasa keuangan.
D. Metode Penelitian
Dalam metode penelitian ini, penulis akan memaparkan tentang
beberapa metode yang akan digunakan, diantaranya adalah:
1. Pendekatan Penelitian
Penulisan dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah
penelitian normatif-empiris. Metode penelitian hukum normatif-empiris
ini pada dasarnya merupakan penggabungan antara pendekatan hukum
normatif dengan adanya penambahan berbagai unsur empiris. Metode
penelitian normatif-empiris mengenai implementasi ketentuan hukum
normatif (undang-undang) dalam aksinya pada setiap peristiwa hukum
tertentu yang terjadi dalam suatu masyarakat.
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini adalah kualitatif
eksploratif, di mana setelah seluruh data yang penulis peroleh, data
tersebut selanjutnya dianalisa dengan analisa kualitatif.11 Yaitu suatu cara
penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis. Adapun metode
yang penulis gunakan adalah kualitatif eksploratif, yaitu menggambarkan
11 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia, 1986, cet 3), h. 13
9
secara jelas dan terperinci mengenai sutau keadaan yang terjadi di
lapangan secara objektif, sehingga didapatkan fakta-fakta yang diselidiki.
3. Sumber Data
Sumber penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini berupa data
primer dan sekunder yang meliputi:
a. Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari pihak
yang terkait dengan masalah yang diteliti. Dalam penelitian ini, data
primer dikumpulkan melalui wawancara dengan menggunakan
pedoman wawancara yang dilakukan terhadap sumber informasi yang
telah ditentukan sebelumnya berdasarkan pedoman wawancara,
sehingga wawancara yang dilakukan merupakan wawancara yang
terfokus. Metode wawancara dianggap sebagai metode paling efektif
dalam pengumpulan data primer di lapangan. Hasil wawancara ini
diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai legalitas perjanjian
asuransi melalui telemarketing pada PT BNI Life Insurance yang
ditinjau dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/Pojk.07/2013
Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan dan asas
konsensualisme dalam hukum perjanjian.
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan sumber data yang diperoleh penulis
secara tidak langsung melalui media perantara dan melalui studi
kepustakaan dengan cara membaca, mengutip dan menelaah peraturan
perundang-undangan, buku-buku, kamus, dan literatur lain yang
berkenaan dengan permasalaahn yang akan dibahas.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan 3 bahan hukum
sebagai berikut:
1) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat yang
berasal dari:
a) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
b) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang;
10
c) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1 /POJK.07/2013
tentang perlindungan konsumen sektor jasa keuangan.
d) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 23 /POJK.05/2015
tentang Produk Asuransi dan Pemasaran Produk Asuransi.
2) Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer, seperti buku-buku hasil karya para sarjana,
hasil penelitian serta berbagai hasil wawancara sebagai hasil
penelitian peneliti yang berkaitan dengan permasalahan yang akan
dibahas. Kegunaan bahan hukum sekunder adalah memberikan
kepada peneliti semacam petunjuk ke arah mana peneliti akan
melangkah.12
3) Bahan Non Hukum (Tersier), bahan non hukum merupakan bahan
hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan atas bahan
hukum primer dan sekunder. Seperti kamus hukum, ensiklopedia,
indeks kumulatif, internet dll.
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik pengumpulan
data terutama data sekunder dan sebagai penunjang adalah data primer,
sebagai berikut:
a. Studi kepustkaan (library research), yaitu bentuk pengumpulan data
yang dilakukan dengan membacadokumen yang berhubungan dnegan
obyek penelitian, dan mengutip dari data-data sekunder yang meliputi
peraturan perundang-undangan, dokumen dan vahan kepustkaan lain
dari beberapa buku referensi, artikel-artikel dari beberapa jurnal, arsip,
hasil penelitian ilmiah, peraturan perundang-undangan, laporan, teori-
teori, media masa seperti koram, internet dan bahan kepustakaan
lainnya yang relevan dengan maslaah yang akan diteliti.
b. Wawancara, yaitu percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan
tersebut dilakukan dengan dua orang pihak, yaitu pewawancara
12 Peter Mahmud Masrzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2005,), h. 155
11
(interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai
(interviewee) yang memberikan jawaban atas petanyaan itu.
Wawancara merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh
keterangan secara lisan guna mencapai tujuan tertentu. Dilakukan
dengan cara terpimpin, yaitu wawancara dilaksankan dengan jalan
informan diberikan kebebasan untuk menjawab pertanyaan yang
ditentukan. Wawancara ini dilakukan sebagai upaya mendapatkan data
yang lebih lengkap dengan cara mengajukan daftar pertanyaan yang
terstruktur.
5. Analisis Bahan Hukum
Data yang diperoleh dari penulisan kepustakaan maupun dari
penelitian lapangan akan diolah berdasarkan analisis normatif, kualitatif.
Normatif karena peneliti bertitik tolak dari peraturan yang ada sebagai
norma hukum positif, sedangkan kualitatif yang dimaksud yaitu
memaparkan kenyataan-kenyataan yang didasarkan atas hasil penelitian.
Memahami kebenaran yang diperoleh dari hasil pengamatan dan
pertanyaan kepada sejumlah responden baik secara lisan maupun tertulis
selama dalam melakukan penelitian.
6. Teknik Penulisan
Teknik penulisan dan pedoman yang digunakan peneliti dalam
skripsi ini berdasarkan kaidah-kaidah dan teknik penulisan yang terdapat
dalam “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017"
E. Sistematika Penelitian
Untuk menjelaskan isi skripsi secara menyeluruh ke dalam penelitian
yang sistematis dan terstruktur maka skripsi ini penulis susun dengan
sistematika penulisan yang terdiri dari lima bab yaitu sebagai berikut:
BAB I Dalam bab ini dijelasakan latar belakang, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode
penelitian, dan sistematika penelitian.
12
BAB II Bab dua memuat kajian pustaka yang terbagi dalam beberapa
sub bab, yaitu di dalamnya menguraikan kerangka konseptual
yang terkait dengan penelitian ini, teori-teori hukum yang
menjadi landasan teori dalam penelitian ini, dan tinjauan
(review) kajian terdahulu yang sama-sama membahas perjanjian
asuransi melalui telemarketing.
BAB III Bab tiga memuat data penelitian. Dalam bab ini menguraikan
lebih rinci lagi mengenai legalitas perjanjian asuransi melalui
telemarketing menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
BAB IV Bab empat memuat tentang hasil penelitian dan pembahasan.
Dalam bab ini menguraikan bagaimana legalitas perjanjian
asuransi melalui telemarketing di tinjau dari Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan Nomor 1 /Pojk.07/2013 Tentang Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan dan kedudukan pihak
perusahaan asuransi dan tertanggung pada perjanjian asuransi
melalui telemarketing telah seimbang menurut asas itikad baik
dalam sebuah perjanjian.
BAB V Bab ini berisi tentang kesimpulan dan rekomendasi. Bab ini
merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, untuk itu
peneliti menarik beberapa kesimpulan dari hasil penelitian,
disamping itu peneliti memberikan beberapa rekomendasi yang
dianggap perlu.
13
BAB II
PERJANJIAN ASURANSI MELALUI TELEMARKETING DI INDONESIA
A. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual adalah pedoman yang lebih konkrit dari teori,
yang berisikan definisi operasional yang menjadi pegangan dalam proses
penelitian yaitu pengumpulan, pengelolaan, analisis, dan kontruksi data
dalam skripsi ini. Adapun beberapa pengertian yang menjadi konseptual
skripsi ini akan dijabarkan dalam uraian di bawah ini:
a. Hukum Perjanjian adalah keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang
mengatur hubungan hukum antara dua pihak atau lebih yang berdasarkan
kesepakatan untuk menimbulkan akibat hukum.1
b. Perjanjian adalah suatu hubungan hukum mengenai harta benda antara
dua pihak yang berjanji atau dianggap berjanji untuk melaksanakan suatu
hal atau tidak melaksanakan suatu hal dan pihak lain berhak menuntut
pelaksanaan janji tersebut.2
c. Perjanjian Asuransi adalah suatu perjanjian yang berdasarkan kehendak
para pihak untuk saling mengikatkan diri yang tidak dengan keterpaksaan
atau dilakukan dalam keadaan khilaf ataupun karena penipuan.3
d. Asuransi adalah suatu cara mengurangi resiko dengan menggabungkan
sejumlah unit yang berisiko agar kerugian individu secara kolektif dapat
diprediksi.4
1 Salim HS, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2003), h.4
2 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, (Jakarta: CV. Mandar Maju, 2011),
h.4
3 Junaedy Ganie, Hukum Asuransi Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h.67
4 Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Lifeand General) Konsep dan Sistem
Operasional, (Jakarta: Gema Insani, 2004), h.26
14
e. Asuransi Jiwa adalah jenis perjanjian asuransi yang bertujuan untuk
memberikan jaminan kepada seseorang atau keluarga yang disebabkan
oleh kematian, kecelakaan, dan sakit.5
f. Perusahaan asuransi adalah perusahaan yang bertindak sebagai
penanggung risiko.6
g. Telemarketing adalah strategi promosi pemasaran yang menggunakan
teknologi komunikasi dan personal terlatih untuk mengambil sikap dalam
aktivitas pemasaran yang sudah terencana di kelompok konsumen yang
sudah ditargetkan.7
h. Risiko adalah sebuah keadaan yang mengandung kemungkinan
terjadinya penyimpangan yang lebih buruk dari hasil yang diharapkan.8
i. Polis adalah surat perjanjian yang memuat tentang perjanjian asuransi
jiwa antara pemegang polis dengan perusahaan asuransi.
j. Penanggung adalah pihak yang mengikatkan diri pada tertanggung
dengan menerima premi asuransi dan menerima peralihan risiko dari
pihak tertanggung.
k. Tertanggung adalah orang yang jiwanya dipertanggungkan.
l. Pemegang Polis adalah pihak yang mengadakan perjanjian asuransi
dengan perusahaan asuransi.
B. Kerangka Teori
1. Teori Tawar-Menawar dan Teori Penerimaan
a. Teori Tawar-Menawar (bargaining theory)
Di Indonesia yang mengikuti system Eropa Continental,
tawar-menawar menciptakan kesepakatan, yaitu syarat pertama sahnya
5 Abbas Salim, Asuransi dan Manajemen Resiko, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2005), h.3
6 Sri Redjeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, (Jakarta: Sinar Grafika,
Cetakan ke 2, 1995), h. 15
7 Budiarto Subroto, Pemasaran Industri (Business to Business Marketing), (Yogyakarta:
ANDI, 2011), h.255
8 Junaedy Ganie, Hukum Asuransi Indonesia, … h.40
15
perjanjian menurut ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata. Teori tawar-
menawar ini merupakan perkembangan dari teori “sama nilai”
(equivalent theory). Teori “sama nilai” mengajarkan bahwa suatu
perjanjian hanya mengikat sejauh apa yang dinegosiasi dan kemudian
disetujui oleh para pihak.9 Menurut teori tawar-menawar, setiap
perjanjian hanya akan terjadi anatara kedua pihak, apabila penawaran
dari pihak satu dihadapkan dengan penerimaan oleh pihak yang lain
dan sebaliknya. Hasil yang diaharapkan ialah kecocokan/kesesuaian
penawaran dan penerimaan secara timbal-balik antara kedua pihak.
Dalam tawar menawar terdapat dua unsur yang menentukan,
yaitu penawaran dan penerimaan. penawaran dari satu pihak
dihadapkan dengan penawaaran dari pihak lain, dan penerimaan dari
pihak lain pula dihadapkan dengan penerimaan oleh pihak yang satu.
Titik temu penawaran dan penerimaan secara timbal-balik
menciptakan kesepakatan yang menjadi dasar perjanjian antara kedua
pihak.10
Terjadinya perjanjian asuransi, didahului oleh serangkaian
perbuataan penawaran dan penerimaan yang dilakukan oleh
tertanggung dan penanggung secara timbal-balik. Serangkaian
perbuatan penawaran dan penerimaan untuk mencapai persetujuan
kehendak mengenai asuransi, hanya dapat diketahui melalui kebiasaan
yang hidup dalam praktek bisnis asuransi. Maka, perbuatan tersebut
perlu ditelusuri melalui proses praktik perjanjian asuransi.11
b. Teori Penerimaan (acceptance theory)
Menurut teori penerimaan, saat terjadinya perjanjian
tergantung pada kondisi kongkret yang dibuktikan oleh perbuatan
9 Munir Fuady, Hukum Kontrak dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, (Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 2007), h. 6
10 Mulhadi, Dasar-Dasar Hukum Asuransi, (Depok: PT Rajagrafindo Persada, 2017), h.55
11 Mulhadi, Dasar-Dasar Hukum Asuransi, … h.56
16
nyata (menerima) atau dokumen perbuatan hukum (bukti penerimaan).
melalui perbuatan nyata atau dokumen perbuatan hukum, baru dapat
diketahui saat terjadi perjanjian, yaitu di tempat, pada hari dan tanggal
perbuatannyata (penerimaan) itu dilakukan, atau dokumen perbuatan
hukum (bukti penerimaan) itu ditanda tangani/diparaf oleh pihak-
pihak terkait. Berdasarkan teori ini, perjanjian asuransi terjadi dan
mengikat para pihak pada saat penwaran sungguh-sungguh diterima
oleh tertanggung.
Sungguh-sungguh diterima suatu penawaran, artinya penwaran
tertulis pihak penanggung sungguh-sungguh diterima oleh pihak
tertanggung walaupun isi tulisan itu belum dibacanya. Hal ini
dibuktikan dengan menandatangani suatu pernyataan yang diberikan
oleh penanggung yang disebut nota persetujuan (cover note). Atas
dasar nota persetujuan ini kemudian dibuatkan akta perjanjian asuransi
oleh penanggung yang disebut polis asuransi.12Perjanjian asuransi
terjadi ketika setelah tercapai kesepakatan antara tertanggung dan
penanggung, hak dan kewajiban timbal-balik terjadi saat itu, bahkan
sebelum polis ditandatangani (Pasal 257 ayat 1 KUHD). Polis
merupakan alat bukti tertulis untuk membuktikan bahwa asuransi telah
terjadi (Pasal 258 ayat 1 KUHD).
Dalam pasal 257 KUHD menjelaskan bahwa walaupun belum
dibuatkan polis, asuransi sudah tercapi kesempatan antara tertanggung
dan penanggung yang dibuktikan dengan nota persetujuan yang
ditandatangani tertanggung. Jadi, cover note atau nota persetujuan
merupakan bukti perjanjian asuransi yang bersifat sementara, sebelum
polis diterbitkan oleh pihak penanggung.
12 Mulhadi, Dasar-Dasar Hukum Asuransi, … h.56
17
C. Perjanjian Pada Umumnya
1. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian
Buku III KUH Perdata mengatur tentang “Verbuntenissenrecht”,
di mana tercakup pula istilah “overeenkomst”. Dikenal 3 (tiga)
terjemahaan dari “Verbuntenissenrecht”, yaitu perikatan, perutanganm
dam perjanjian. Sedangkan “overeenkomst” memilik 2 (dua) terjemahan,
yaitu perjanjian dan persetujuan.13 Pada Pasal 1313 KUH Perdata
menyatakan bahwa Suatu perjanjian (persetujuan) adalah satu perbuatan
dengan mana satu orang, atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang atau lebih. Namun, pada pasal tersebut dirasa kurang lengkap dan
mempunyai kelemahan-kelemahan, karenapengertian perjanjian itu
terlalu luas dan tidak menyebutkan tujuan dengan jelas para pihak
mengikatkan diri dengan apa. Sehingga pengertian perjanjian dapat
dirumuskan kembali menjadi: perjanjian adalah suatu persetujuan
dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk
melaksanakan suatu hal dalam lapangan hukum kekayaan.14
Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, suatu perjanjian adalah sah,
apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Sepakat mereka yang mengikatkan diri;
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c. Suatu hal tertentu;
d. Suatu sebab yang halal.
Dua syarat pertama merupakan syarat subjektif, karena
menyangkut para pihak. Bila syarat ini tidak dapat dipenuhi maka
perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan dua syarat terakhir
merupakan syarat objektif yang membahas mengenai objek dari
13 Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum Perikatan,
(Bandung: CV Nuansa Aulia, 2007), h.75
14 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2009), h.9
18
perjanjian tersebut, syarat ini jika tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut
batal demi hukum.
2. Asas-Asas Hukum Perjanjian
Pada hukum perjanjian terdapat beberapa asas yang dijadikan
acuan dalam pembuatan suatu perjanjian, sebagai berikut:
a. Asas Konsensualisme
Asas ini dapat ditemukan pada Pasal 1320 butir 1 KUH
Perdata.berdasarkan asas konsensualisme, perjanjian sudah dianggap
terjadi pada saat tercapainya kata sepakat dari para pihak.
Sebagaimana arti dari konsensual itu sendiri, yakni perjanjian itu
terjadi ketika ada kata sepakat antara para pihak.
Perjanjian tersebut sah dan memiliki kekuatan hukum yang
mengikat bagi para pihaknya sejak terjadinya kesepakatan antara para
pihak mengenai isi dari perjanjian yang dimaksud.15 Seapakat
merupakan seuatu persesuaian paham serta kehendak antara kedua
pihak. Apa yang disepakati oleh pihak yang satu, merupakan juga hal
yang dikehendaki oleh pihak lainnya. Asas Konsensualisme ini sangat
berkaitan dengan asas kebebasan berkontrak.
b. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak diatur dalam Pasal 1338 Ayat (1)
KUH Perdata yang berbunyi:
“semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
Undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Asas kebebasan berkontrak berhubungan dengan isi perjanjian,
yaitu kebebasan untuk menentukan apa yang menjadi objek perjanjian
serta siapa saja para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut. Para
pihak juga bebas dalam menentukan bagaimana bentuk dari perjanjian
15 Nabhila Palupi Paramarta, Analisis Yuridis Mengenai Rekaman Pembicaraan Telepon
Sebagai Alat Bukti Dalam Perjanjian Asuransi Melalui Telemarketing (Ditinjau Dari Undang-
Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik), Artikel Ilmiah
Universitas Brawijaya, 2014
19
yang mereka buat, menentukan isi perjanjian, serta cara pembuatan
perjanjian.16
c. Asas Kekuatan Mengikat (Pacta Sunt Servanda)
Asas kekuatan mengikat (pacta sunt servanda) berhubungan
dengan akibat dari dibuatnya suatu perjanjian. Asas ini tercantum pada
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yaitu segala perjanjian yang dibuat
secara sah oleh para pihak akan berlaku sebgai undang-undang bagi
yang membuatnya.
Terkaitnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata
terbatas pada apa yang diperjanjikan, teteapi juga terhadap beberapa
unsure lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta
moral.17
d. Asas Itikad Baik
Asas ini merujuk pada Pasal 1338 Ayat (1) KUH Perdata yang
menyatakan bahwa persetujuan harus dilakukan dengan itikad baik,
para pihak harus bersikap jujur, terbuka, serta saling percaya dalam
pembuatan perjanjian. Para pihak tidak diperbolehkan bermaksud tipu
daya atau mentupi keadaaan yang sebenarnya.
Asas itikad baik dibedakan menajadi dua, yaitu itikad baik nisbi
dan itikad baik mutlak. Itikad baik nisbi yaitu orang memperhatikan
sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Sedangkan itikad baik
mutlak, penilaiannya berasal dari akal sehat dan keadilan, dibuat
ukuran yang objektif untuk menilai keadaan menurut norma-norma
yang objektif tanpa memihak.
16 Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum Perikatan,..
h.97
17 Mariam Darus Badruldzaman, Hukum Perikatan Dalam KUH Perdata Buku Ketiga,
Yurisprudensi, Doktrin, Serta Penjelasan, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2015), h.88
20
D. Tinjauan Umum Perjanjian Asuransi
1. Pengertian dan Dasar Hukum Asuransi
Definisi Asuransi di Indonesia terdapat dalam Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, Asuransi merupakan
perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang
polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan
asuransi sebagai imbalan untuk memberikan penggantian kepada
tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang
timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada
pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis
karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau memberikan
pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau
pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat
yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil
pengolahan dana.
Selain Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian, kegiatan usaha perasuransian sebagai sebuah perjanjian
juga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) pada buku I Titel
IX dan Buku II Titel X. Dalam KUH Perdata dasar hukum asuransi diatur
dalam Pasal 1774 yang berbunyi sebagai berikut:
Suatu perjanjian untung-untungan adalah suau perbuatan yang
hasilnya, mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak, maupun bagi
sementara pihak, bergantung kepada suatu kejadian yang belum tentu.
Dalam Pasal 1774 KUH Perdata, perjanjian asuransi digolongkan
ke dalam perjanjian untung-untungan (kans-overeenkomst). Dorhout
Mess menyatakan perjanjian asuransi digolongkan ke dalam perjanjian
untung-untungan dikarenakan pertimbangan bahwa besarnya kewajiban
penangung digantungkan pada peristiwa yang tidak pasti. Kewajiban
21
tersebut baru dapat dipenuhi jika peristiwa yang ditanggung benar-benar
terjadi.18
Sedangkan, menurut Pasal 246 KUHD asuransi atau
pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana penangung
mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan menerima premi
untuk memberikan penggantian kepadanya karena kerugian, kerusakan
atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin dideritanya
akibat dari suatu evenemen (peristiwa tidak pasti).19
Adapun landasan syariah yang menjadi dasar berlakunya lembaga
asuransi secara umum adalah berikut firman Allah yang menjadi dasar
hukum asuransi sebagai berikut:
ثم والعدوان واتقوا الل وتعاونوا على البر والتقوى ول تعاونوا على ال
شديد العقاب إن الل
Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan
dan takwa, dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran, dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah
sangat berat siksaannya. (QS. Al-Maidah: 2)
2. Asuransi Jiwa Secara Umum
Asuransi jiwa merupakan asuransi yang dikaitkan dengan hidup
matinya seseorang, baik untuk jaminan kelangsungan pendapatan
maupun untuk tujuan investasi, baik bagi diri tertanggung maupun bagi
pihak yang ditunjuk atau penerima manfaat.20 Dasar hukum yang
mengatur asuransi jiwa ada pada KUHD yaitu pada Pasal 302 sampai
dengan Pasal 308. Dalam Pasal 302 KUHD, menjelaskan bahwa asuransi
jiwa adalah sejenis perjanjian asuransi yang mempertanggungjawabkan
jiwa seseorang yang berkepentingan, baik untuk jangka waktu tertentu
maupun untuk sepanjang hidupnya.
18 Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
Cetakan ke 4, 2006), h.17
19 Junaedy Ganie, Hukum Asuransi Indonesia, … h.84
20 Junaedy Ganie, Hukum Asuransi Indonesia, … h.89
22
Pada Pasal 1 butir (6) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014
tentang Perasuransian mneyatakan bahwa asuransi jiwa adalah jasa
penaggulangan risiko yang memberikan pembayaran kepada pemegang
polis, tertanggung atau pihak lain yang berhak dalam hal tertanggung
meninggal dunia atau tetap hidup, atau pemabayaran lain kepada
pemegang polis, tertanggung atau pihak lain yang berhak pada waktu
tertentu yang diatur dalam perjanjian, dan besarnya telah ditetapkan
dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana. Sedangkan menurut
H.M.N Purwosutjipto, asuransi jiwa merupakan perjanjian timbale balik
anatara penutup asuransi (tertanggung) dengan penanggung dengan mana
penutup asuransi mengikatkan dirinya selama janlannya pertanggungan
dengan membayar uang premi kepada penanggung.21 Pihak-pihak yang
mengikatkan diri pada perjanjian asuransi disebut penanggung dan
tertanggung. Penanggung adalah pihak yang menanggung risiko sebagai
suatu imbalan premi yang diterimanya dari tertanggung. Sedangkan
tertanggung adalah pihak yang jiwanya diasuransikan dan berkewajiban
untuk membayar premi kepada penanggung.
Besarnya penggantian dalam asuransi jiwa yaitu sejumlah uang
tertentu yang diperjanjikan pada saat diadakan asuransi sebagai jumlah
santunan yang wajib dibayar penanggung kepada penikmat dalam hal
terjadi evenemen, atau pengembalian kepada tertanggung sediri dalam hal
berakhirnya jangka waktu asuransi tanpa terjadi evenemen. Pasal 305
KUHD juga menjelaskan bahwa perkiraan jumlah santunan dan syarat-
syarat asuransi ditentukan oleh perjanjian bebas antara tertanggung dan
penanggung. Perjanjian bebas tersebut dapat mengesampingkan asas
keseimbangan dan asas kepentingan dalam asuransi jiwa.
3. Perjanjian Asuransi
Sebagai sebuah perjanjian, maka ketentuan dan syarat-syarat
perjanjian dalam KUH Perdata berlaku juga bagi perjanjian asuransi.
21 H.M.N Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang, (Jakarta: Djambatan, 1992), h.
9
23
Syarat-syarat umum sebuah perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUH
Perdata, sedangkan syarat khusus diatur dalam Pasal 250 dan 251
KUHD.
Dengan demikian, berdasarkan pasal KUH Perdata dan KUHD
tersebut, terdapat 6 (enam) syarat sahnya perjanjian asuransi, yaitu:22
a. Kesepakatan
Tertanggung dan penanggung dalam perjanjian ini diharuskan
mencapai kata sepakat dalam setiap hal yang menyangkut perjanjian
asuransi. Kesepakatan itu pada pokoknya meliputi benda yang
dijadikan objek asuransi; pengalihan resiko dan pembayaran premi;
evenemen dang anti kerugian; syarat-syarat khusus asuransi; dan janji-
janji khusus asuransi. Kesepakatan ini dibuat secara bebas, yakni para
pihak tidak berada di bawah pengaruh, tekanan, atau paksaan pihak
tertentu.
b. Kecakapan (Berwenang)
Tertanggung maupun penanggung diharuskan cakap dalam
melakukan perbuatan hukum. Kewenangan secara subjektif yaitu
kedua belah pihak sudah dewasa, sehat ingatan, tidak dalam
pengampuan. Sedangkan kewenangan secara objektif yaitu
tertanggung harus memiliki hubungan yang sah dengan benda objek
asuransi.
c. Objek tertentu
Objek tertentu dalam perjanjian asuransi adalah objek yang
diasuransikan, dapat berupa harta kekayaan, dan dapat pula jiwa atau
raga manusia. Pengertian objek tertentu adalah bahwa identitas objek
asuransi tersebut harus jelas dan pasti.
22 Mulhadi, Dasar-Dasar Hukum Asuransi, … h.45
24
d. Sebab yang halal
Sebab atau kausa yang halal adalah isi dari perjanjian asuransi
tersebut tidak dilarang oleh undang-undang, Tidak pula bertentangan
dengan ketertiban umum dan kesusilaan.
e. Ada kepentingan yang dapat diasuransikan
Syarat ini masih berkaitan dengan objek asuransi. Di mana hal
ini diatur dalam Pasal 250 KUHD yang menyatakan bahwa seseorang
yang telah melakukan pertanggungan untuk dirinya sendiri, atau
seseorang yang untuknya telah diadakan pertanggungan, pada saat
diadakannya pertanggungan itu tidak memeiliki kepentingan terhadap
sesuatu yang dipertanggungkan, maka si penanggung tidakklah
diwajibkan memberi ganti rugi.
f. Pemberitahuan
Tertanggung wajib memberitahukan kepda penanggung,
mengenai keadaan objek asuransi. Kewajiban ini dilakukan pada saat
mengadakan asuransi. Apabila tertanggung lalai, maka akibat
hukumnya asuransi menjadi batal. Menurut ketentuan Pasal 251
KUHD, semua pemberitahuan yang salah atau tidak benar, atau
penyembunyian keadaan yang diketahui oleh tertanggung tentang
objek asuransi, mengakibatkan asuransi batal.
4. Perjanjian Asuransi Menurut Hukum Islam
Pada perjanjian dalam hukum Islam terdapat dua istilah kata akad
(al’qadu) dan kata ‘ahd (al-‘ahdu), akad atau al’aqdu dalam bahasa Arab
berarti ikatan atau perjanjian dan kesepakatan. Kata al’aqdu mengacu
pada terjadinya dua perjanjian atau lebih, yaitu bila seseorang
mengadakan janji kemudian ada orang lain yang menyetujui janji
tersebut, serta menyatakan suatu janji yang berhubungan dengan janji
yang pertama, sehingga terjadilah perikatan dua buah janji dari orang
25
yang mempunyai hubungan satu dan yang lain, yang kemudian disebut
dengan perikatan.23
Berdasarkan pengertian di atas, perjanjian menurut Islam harus
merupakan perjanjian yang dilakukan kedua belah pihak yang bertujuan
untuk slaing mengikatkan diri tentang perbuatan yang akan dilakukan
dalam suatu hal setelah akad secara efektif mulai diberlakukan. Syarat
sah perjanjian menurut hukum Islam tidak jauh berbeda dengan syarat
syah perjanjian menurut KUH Perdata, yaitu:
a. Al’aqidin (adanya subjek)
b. Mahallul ‘aqd (adanya objek perikatan)
c. Maudhu ‘ul’aqd (tujuan perikatan)
d. Sighat al-‘aqd (ijab dan Kabul
Dalam Islam istilah asuransi dikenal dengan tafakul, yang berarti
asuransi yang bertujuan untuk tolong menolong dalam kebaikan dan
ketakwaan menjadikan semua peserta sebagai keluarga besar yang saling
menangggung satu sama lain. Tafakul merupakan suatu dukungan yang
saling menguntungkan yang menjadi dasar untuk konsep dasar asuransi
syariah atau solidaritas sesama. Dapat disimpulkan, bahwa asuransi
merupakan suatu perjanjian yang objeknya adalah pertanggungan
terhadap resiko yang mungkon akan dialami oleh seseorang baik
terhadap diri, maupun harta bendanya sebagai akibat dari kejadian yang
diharapkan tidak akan terjadi (evenement).24
Menurut konteks syariah asuransi merupakan usaha kerjasama
untuk saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang
dalam menghadapi musibah atau bencana melalui perjanjian yang
disepakati bersama sesuai dengan syariat Islam. Perjanjian yang dipakai
menggunakan prinsip akad Tafakuli yang memiliki arti tolong menolong
23 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku (Standard) Perkembangannya di
Indonesia, (Bandung : Alumni, 2001), h. 247
24 Abdul Ghofur Ansori, Pokok-pokok hukum perjanjian Islam di Indonesia, (Yogyakarta:
citra media, 2006), h.53
26
dengan prinsip Tabarru’. Belum ada dasar hukum yang mengatur tentang
asuransi, baik dalam Al-quran maupun Hadist. Oleh karena itu, masalah
asuransi/tafakul ini masuk dalam wilayah ijtihadi, dalam artian hukum
yang mendasarinya harus ditentukan melalu ijtihad dari mujtahid.
5. Perbedaan Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah
Konsep tafakul didasarkan pada solidaritas, responsibilitas, dan
persaudaraan di antara anggota di mana para partisipan sepakat untuk
sama-sama menanggung kerugian tertentu dan dibayar dari asset-aset
yang telah ditetepkan. Dengan demikian praktek tersebut sesuai dengan
apa yang disebut dalam konteks yang berbeda sebagai asuransi bersama
(mutual insurance), karena para anggota menjadi menanggung (insurer)
dan juga tertanggung (insured).25
Perbedaan pokok dengan asuransi konvensional adalah dalam hal
“para peserta saling bertanggung jawab di antara mereka sendiri”
sedangkan pihak perusahaan asuransi bertindak sebagai pengelola premi
yang dibayarkan oleh nasabah, atau menjalankan fungsinya sebagai
mudharib, jadi dapat dikatakan perjanjian tafakul merupakan perjanjian
bagi hasil. Perbedaan lain dengan perjanjian konvensional adalah bahwa
dalam asuransi konvensional jika si tertanggung memutuskan kontrak
asuransi sebelum jangka waktu pertanggungan berakhir, maka premi
yang dibayar oleh tertanggung tidak dapat ditarik kembali, karena premi
tersebut sudah menjadi hak milik perusahaan, kecuali asuransi yang
diikuti oleh tertanggung berbentuk asuransi plus tabungan. Dan tidak
semua asuransi konvensional adalah asuransi plus tabungan. Sedangkan
tafakul, apabila peserta berhenti sebelum masa pertanggungan berakhir,
peserta dapat menarik kembali seluruh iuran yang telah dibayarkannya,
bahkan ditambah lagi dengan keuntungan yang diperoleh selama
uangnya dikelola oleh perusahaan.26
25 Abdul Ghofur Ansori, Pokok-pokok hukum perjanjian Islam di Indonesia, … h.58
26 Abdul Ghofur Ansori, Pokok-pokok hukum perjanjian Islam di Indonesia, … h.59
27
E. Penggunaan Telemarketing Dalam Perjanjian Asuransi
1. Pengertuan dan Dasar Hukum Telemarketing
Telemarketing adalah suatu pendayagunaan telekomunikasi
canggih dan teknologi telekomunikasi dikombinasikan dengan personal
selling dan keterampilan pelayanan untuk menolong perusahaan menjaga
hubungan dekat dengan pelanggan dan pelanggan potensial, menaikkan
penjualan dan meningkatkan produktivitas.27 Dalam pemasaran asuransi
melalui telemarketing, yang dimaksud dengan telemarketing merupakan
metode pemasaran yang dilakukan oleh seorang telemarketer kepada
calon tertanggung, menggunakan telepon tanpa harus berattap muka
langsung antara agen asuransi dengan calon tertanggung.
Praktek telemarketing ini jika ditinjau dari UU ITE, dapat
digolongkan sebagai bentuk transaksi elektronik karena dilakukan
melalui sarana telekomunikasi telepon. Hal ini sesuai dengan ketentuan
pada Pasal 1 angka 10 UU ITE yang menentukan bahwa transaksi
elektronik pada dasarmya adalah perikatan atau hubungan hukum yang
dilakukan secara elektronik dengan memadukan jaringan dan system
elektronk berbasiskan komputer dengan sistem komunikasi, yang
selanjutnya difasilitasi oleh keberadaan jaringan komputer global atau
internet termasuk melalui sarana telepon. Transaksi elektronik juga
dipandang sebagai bagian dari perikatan para pihak (Pasal 1233 KUH
Perdata, yaitu perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau undang-
undang).28
2. Para Pihak dalam Perjanjian Asuransi Melalui Telemarketing
Asuransi Jiwa BNI Life merupakan perusahaan asuransi kesehatan
milik Bank Negara Indonesia (Persero), Tbk yang bekerjasama dengan
27 Harry T. Yani Achasan, Perancangan Sistem Informasi Telemarketing, (Jakarta: Fasikom
UI, 1998), h. 13
28 Ilyas, Keabsahan Perjanjian Asuransi melalui Telemarketing, Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Ilyas No. 57, Th. XIV Agustus, 2012, h. 202
28
PT Asuransi Jiwasraya. Kedua perusahaan besar di bidang keuangan ini
menggabungkan diri kerana sama-sama memiliki kekuatan yang dapat
bersinergi. Bank BNI memiliki kekuatan modal dan sejarah panjang dan
PT Asuransi Jiwasraya yang memiliki pengalaman serta kepercayaan
publik di bidang asuransi.Asuransi Jiwa BNI Life ini merupakan anak
perusahaan dari perusahaan perbankan PT Bank Negara Indonesia
(Persero), Tbk.29
Dalam praktek di dunia bisnis asuransi, pemasaran merupakan
suatu hal yang sangat penting demi kesuksesan penjualan produk
asuransi pada suatu perusahaan. Kegiatan pemasaran sangat menentukan
berhasil atau tidaknya suatu produk diterima oleh konsumen dan
menghasilkan keuntungan bagi perusahaan. Asuransi Jiwa BNI Life
dalam memasarkan produk asuransinya menggunakan 2 (dua) cara, yaitu:
Sales Representatif dan Telemarketing.
Sales representative merupakan pemasaran produk asuransi dengan
metode konvensional atau menempatkan sales representative di bank
agarvdapat berinteraksi secara langsung dengan calon nasabah.
Sedangkan telemarketing merupakan cara penawaran produk melalui
telepon dengan calon nasabah dari bank tersebut atau dari telemarketer.
Penggunaan telemarketing dalam penawaran yang dilakukan oleh BNI
Life bertujuan agar memberikan solusi bagi nasabah yang memiliki
keterbatasan jarak dan waktu. Adanya telemarketing ditujukan agar
nasabah tetap bisa melakukan transaksi atas program yang dibutuhkan.30
Pihak-pihak dalam perjanjian asuransi melalui telemarketing ini, yaitu:
a. Perusahaan Asuransi BNI Life melalui telemarketer (penanggung).
b. Calon nasabah ( calon tertanggung)
29 Mengenal Asuransi BNI Life Inilah Produk dan Keuntungan Untuk Finansial Anda,
(diakses dari https://www.rancah.com/uncategorized/603/mengenal-asuransi-bni-life-inilah-
produk-dan-keuntungan-untuk-finansial-anda/, pada tanggal 2 mei 2019)
30 Produk Inbranch telemarketing, (diakses dari https://www.bni.co.id/id-
id/wealth/produkasuransi/inbranchtelemarketing, pada tanggal 3 mei 2019)
29
Perusahaan asuransi atau penanggung melakukan mitra bisnisnya
dengan bank. Lalu, pihak bank akan melakukan pendebetan pertama
setelah nasabah atau calon tertanggung telah menyetujuinya.
Telemarketer menghubungi nasabah melalu sarana telepon dan
menjelaskan tentang produk asuransi yang ditawarkan.
Penawaran pada BNI Life ditujukan kepada nasabah Bank BNI,
baik nasabah penguna kartu kredit maupun nasabah pengguna kartu
debit. Penawaran melalui telepon ini direkam, yang selanjutnya hasil
rekaman dari penawaran melalui telepon ini dijadikan sebagai bukti
bahwa nasabah telah menyetujui perjanjian asuransi tersebut. Pada proses
penawaran melalui telemarketing ini, telemarketer menjelaskan informasi
terkait dengan produk asuransi yang ditawarkan.31
F. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Sepanjang pengetahuan peneliti, terdapat beberapa penelitian atau
kajian terdahulu yang membahas mengenai permasalahan perjanjian
asuransi melalui telemarketing.
1. “Tinjauan Hukum Islam Dan Peraturan OJK No.1/Pojk.07/2013
Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan Terhadap
Telemarketing di PT. Asuransi Cigna Surabaya.”
Skripsi ditulis oleh Sigit Siputra Angga Pranata, Fakultas Syariah
dan Hukum, Universtitas Islam Negeri Sunan Ampel, tahun 2018. Pada
skripsi ini, pembahasannya terfokuskan pada tinjauan hukum Islam dan
POJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor
Jasa Keuangan terhadap telemarketing di PT. Asuransi Cigna dan praktek
telemarketing yang dilakukan oleh PT. Asuransi Cigna Surabaya.32
31 Hasil Wawancara dengan Budhi Prasetyo, Underwriting Telemarketing BNI Life Pada
tanggal 22 April 2019
32 Sigit Siputra Angga Pranata, “Tinjauan Hukum Islam Dan Peraturan OJK
No.1/Pojk.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan Terhadap
30
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan diangkat oleh
penulis di mana pada skripsi “Tinjauan Hukum Islam Dan Peraturan OJK
Nomor 1/Pojk.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa
Keuangan Terhadap Telemarketing di PT. Asuransi Cigna Surabaya.”
Hanya membahas mengenai bagaimana praktek telemarketing yang
dilakukan oleh PT. Asuransi Cigna Surabaya dan meninjau praktek
telemarketing tersebut berdasarkan hukum Islam dan Peraturan OJK
Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa
Keuangan.
Sedangkan penulis pada penelitiannya membahas mengenai apakah
perjanjian asuransi melalui telemarketing diperbolehkan berdasarkan
hukum positif, yaitu ditinjau dari Pasal 19 Peraturan OJK Nomor
1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
2. “Aspek Hukum Penawaran Asuransi Jiwa Melalui Telemarketing
(Studi Pada AIA Financial Area Bandar Lampung).”
Skripsi ditulis oleh Clara Novianti, Fakultas Hukum, Universitas
Lampung, tahun 2013. Pada skripsi ini, pembahasannya terfokuskan pada
analisis waktu terjadinya perjanjian asuransi jiwa melalui telemarketing,
pihak-pihak yang terlibat, serta akibat hukum asuransi jiwa yang
dilakukan melalui telemarketing.33
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan diangkat oleh
penulis di mana pada skripsi “Aspek Hukum Penawaran Asuransi Jiwa
Melalui Telemarketing (Studi Pada AIA Financial Area Bandar
Lampung).” Hanya membahas mengenai pihak-pihak yang terlibat dalam
perjanjian asuransi. Sedangkan penulis pada penelitiannya membahas
Telemarketing di PT. Asuransi Cigna Surabaya.”, (Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum,
Universtitas Islam Negeri Sunan Ampel, tahun 2018)
33 Clara Novianti, “Aspek Hukum Penawaran Asuransi Jiwa Melalui Telemarketing (Studi
Pada AIA Financial Area Bandar Lampung).”, ( Skripsi S-1 Fakultas Hukum, Universitas
Lampung, tahun 2013)
31
mengenai bagaimana kesesuaian perjanjian asuransi melalui
telemarketing menurut asas konsensualisme dalam hukum perjanjian.
3. “Analisis Yuridis Mengenai Rekaman Pembicaraan Telepon Sebagai
Alat Bukti Dalam Perjanjian Asuransi Melalui Telemarketing
(Ditinjau Dari Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi Dan Transaksi Elektronik).”
Artikel ilmiah ditulis oleh Nabhila Palupi Paramarta, Fakultas
Hukum Universitas Brawijaya, tahun 2014. Pada penelitian ini
pembahasannya terfokuskan pada bagaimana kekuatan pembuktian
hukum rekaman pembicaraan telepon sebagai alat bukti dalam perjanjian
asuransi melalui telemarketing yang ditinjau dari Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan
bagaimana kesesuaian perjanjian asuransi melalui telemarketing ini
menurut asas-asas perjanjian. 34
Sedangkan penulis dalam penelitiannya membahas tentang
bagaimana kesesuaian perjanjian asuransi melalui telemarketing secara
lebih khusus berdasarkan asas konsensualisme dalam perjanjian.
G. Kerangka Pemikiran
Seiring berjalannya waktu, pertumbuhan perusahaan asuransi semakin
pesat di Indonesia. Hal itu dikarenakan semakin banyak masyarakat yang
sadar akan kebutuhan penanggungan resiko saat mengalami kerugian yang
tidak terduga. Berbagai jenis asuransi ditawarkan oleh perusahaan asuransi,
salah satunya ialah asuransi jiwa. Pada awalnya perusahaan asuransi
melakukan penawaran kepada calon tertanggung dengan cara bertatapan
langsung antara agen asuransi dengan calon tertanggung. Perkembangan
34 Nabhila Palupi Paramarta, “Analisis Yuridis Mengenai Rekaman Pembicaraan Telepon
Sebagai Alat Bukti Dalam Perjanjian Asuransi Melalui Telemarketing (Ditinjau Dari Undang-
Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik).”, (Artikel Ilmiah
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, tahun 2014)
32
teknologi yang terus maju mempengaruhi cara perusahaan asuransi dalam
melakukan penawaran produknya. Beberapa perusahaan asuransi kini
menggunakan metode penawaran melalui telemarketing, yaitu suatu
penawaran yang dilakukan melalui telepon oleh seorang
telemarketer.Namun pada praktiknya, metode penawaran asuransi melalui
telemarketing ini menimbulkan polemik di masyarakat. Banyak masyarakat
yang merasa dirugikan dalam penawaran asuransi melalui telemarketing ini.
Hal ini dikarenakan saat calon tertanggung menerima telepon dari
telemarketer yang menawarkan produk asuransi, calon tertanggung tidak
memahami apa yang dijelaskan oleh telemarketer tentang apa yang
ditawarkan.
Sedangkan dalam penarawan asuransi melalui telemarketing ini, jika
seorang calon tertanggung dalam penawaran mengatakan “YA” dianggap
sebagai suatu persetujuan dalam perjanjian asuransi ini. padahal banyak dari
pihak calon tertanggung yang tidak mengetahui bahwa pernyataan “YA”
dianggap sebagai sebuah persetujuan dalam pembuatan perjanjian asuransi
yang ditawarkan. Pihak perusahaan asuransi setelah mendapatkan
persetujuan setiap bulannya akan menarik sejumlah uang dari rekening kartu
debit maupun kartu kredit tertanggung untuk pembayaran premi asuransi.
Hal ini menimbulkan keraguan atas terpenuhinya asas konsensualisme
dalam perjanjian asuransi melalui telemarketing, dikarenakan calon
tertanggung tidak merasa menyetujui untuk mengikuti perjanjian asuransi
tersebut.
Lalu penawaran asuransi melalui telemarketing menimbulkan banyak
aduan dari pihak calon tertanggung kepada OJK yang merasa tidak pernah
menyetujui dalam mengikuti perjanjian asuransi tersebut namun setiap
bulannya telah ditarik sejumlah uang untuk pembayaran premi asuransi oleh
pihak perusahaan asuransi.
Mengenai hal ini, pada tahun 2014 diterbitkan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan (POJK) Nomor 1/POJK.7/2013 tentang Perlindungan Konsumen
Sektor Jasa Keuangan. Pada Pasal 19 diatur bahwa Pelaku Usaha Jasa
33
Keuangan dilarang melakukan penawaran produk dan/atau layanan kepada
konsumen dan/atau masyarakat melalui sarana komunikasi pribadi tanpa
persetujuan konsumen. Dengan diterbitkannya POJK 1/2013 diharapkan
agar PUJK dalam menawarkan produk dan/atau jasa tidak mengganggu dan
merugikan konsumen.
Gambar 2.1
Kerangka Pemikiran
Sumber: Olahan Peneliti
34
BAB III
PENGGUNAAN TELEMARKETING DALAM PEMASARAN ASURANSI
OLEH BNI LIFE
A. Gambaran Umum PT BNI Life Insurance (BNI Life)
1. Profil Umum PT BNI Life Insurance (BNI Life)
Asuransi jiwa BNI Life merupakan perusahaan asuransi yang
berdiri pada tanggal 28 November 1996. Asuransi Jiwa BNI Life
merupakan hasil kerjasama antara Bank Negara Indonesia (Persero), Tbk
dengan PT Asuransi Jiwasraya. PT BNI Life Insurance (BNI Life)
merupakan perusahaan asuransi yang menyediakan berbagai produk
asuransi, yaitu Asuransi Kehidupan (Jiwa), Kesehatan, Pendidikan,
Investasi, Pensiun dan Syariah. BNI Life juga memiliki bagian sub divisi
yang memfokuskan untuk asuransi perorangan dan asuransi untuk
perusahaan. BNI Life telah memperoleh izin usaha di bidang Asuransi
Jiwa berdasarkan surat dari Menteri Keuangan Nomor
305/KMK.017/1997 pada tanggal 7 Juli 1997. PT BNI Life Insurance
(BNI Life) berpusat di Jalan Jendral Gatot Subroto No.27, RT.2/RW.2,
Karet Semanggi, Setiabudi, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota
Jakarta 12950.1
Pendirian BNI Life ditujukkan guna menyediakan layanan dan jasa
keuangan terpadu bagi semua nasabahnya (one-stop financial service)
yang merupakan kebutuhan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk
atau BNI. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah memberikan persetujuan
perubahan kepemilikan saham PT BNI Life Insurance (BNI Life) pada
tanggal 11 Maret 2014. Berdasarkan persetujuan tersebut, BNI Life telah
menyelenggarakan RUPSLB dengan agenda penerbitan saham baru
sebanyak 120.279.633 lembar yang diambil seluruhnya oleh Sumitomo
Life Insurance Company. Terhitung sejak 9 mei 2014, BNI Life telah
menjadi perusahaan asuransi kehidupan (jiwa) join venture dengan PT
1 Laporan Tahunan BNI Life Insurance, 2017, h.56
35
Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk tetap menjadi pemegang saham
pengendali sebesar 60,000000%; Sumitomo Life Insurance Company
memiliki 39,999993%; Yayasan Kesejahteraan Karyawan (YKP) BNI
0,000003%; dan 0,000003% dimiliki oleh Yayasan Danar Dana
Swadharma (YDD).2
2. Visi dan Misi PT BNI Life Insurance (BNI Life)
Adapun visi dna misi BNI Life Insurance, yaitu:
a. Visi
Menjadi perusahaan asuransi terkemuka kebanggan bangsa.
Maksud dari visi ini adalah BNI Life diharpkan menjadi perusahaan
yang terkemuka di Indonesia dengan menawarkan produk jasa
asuransi terlengkap, terpadu, serta berkualitas. Memiliki komitmen
yang tinggi dalam meningkatkan profesionalisme serta konsisten
berorientasi pada kepuasaan pelanggan dan kesejahteraan pegawai.
b. Misi
Memberikan perencanaan masa depan dan pelindungan yang
terpercaya dengan layanan prima kinerja keuangan yang optimal
untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang berkualitas.
3. Nilai-Nilai Perusahaan
Nilai-nilai perusahaan merupakan hal pokok yang menjadi inti dari
falsafah bekerja dalam perusahaan. Nilai-nilai ini dijadikan acuan dalam
melakukan aktivitas perusahaan untuk mencapai keberhasilan secara
keseluruhan.
Adapun nilai-nilai perusahaan yang dijadikan acuan pokok pada
BNI Life, yaitu:3
a. Integrity
Menjunjung tinggi kejujuran dan keselarasan dalam pemikiran,
perkataan serta perbuatan.
2 Laporan Tahunan BNI Life Insurance, … h. 57 3 Laporan Tahunan BNI Life Insurance, … h. 63-67
36
b. Customer Oriented
Meberikan kualitas pelayanan kebutuhan pelanggan internal dan
eksternal melebihi yang mereka harapkan.
c. Trust
Dapat dipercaya dan teguh memegang amanah dalam memenuhi
janji baik kepada nasabag maupun rekan kerja.
d. Passion For Excellence
Selalu memberikan hasil kerja terbaik dan terus meningkatkan
keahlian.
e. Team Work
Membina sinergi dan kerja sama antar individu dengan optimal
untuk mencapai tujuan yang ditetapkan bersama.
f. Innovative
Menggunakan dengan maksimal semua sumber daya yang ada
dengan kreativitas tinggi untuk menghasilkan perbaikan dan
perubahan berkala.
g. Embrace Change
Aktif menjalankan perubahan yang terjadi kapan saja
diperlukan.
B. Pengaturan Tentang Penggunaan Telemarketing Pada Perjanjian
Asuransi BNI Life
Efektivitas adalah suatu hal yang ada pada produktivitas, yaitu
mengarah kepada suatu pencapaian kerja secara maksimal dan memenuhi
target yang berhubungan dengan kualitas, kuantitas maupun waktu.
Efektivitas mampu memberikan gambaran mengenai kesuksesan dalam
pencapaian sasaran dari aktivitas-aktivitas yang telah di implementasikan
dibandingkan dengan target sebelumnya. Peningkatan efektivitas pemasaran
dapat terpenuhi dengan menggunakan strategi pemasaran yang baik.
Berbagai macam strategi untuk memasarkan produk-produk asuransi sering
dilakukan para pelaku industri asuransi secara massif, yang bertujuan untuk
37
mengembangkan potensi pasar yang ada dan memunculkan kesadaran
masyarakat akan pentingnya berasuransi.
Dari beberapa metode yang ada dalam memasarkan produk asuransi,
salah satunya adalah dengan metode Bancassurance. Bancassurance adalah
sebuah metode pemasaran produk asuransi yang bekerjasama dengan pihak
bank sebagai mitra dalam kerjasama melakukan pemasaran produk asuransi
melalui jalur-jalur distribusi yang dimiliki oleh bank dan menjadikan
nasabah-nasabah dari pihak bank tersebut sebagai target sasaran untuk
penjualan produk asuransi. Bancassurance menjadi salah satu strategi
pemasaran produk asuransi yang mengahasilkan banyak keuntungan bagi
pihak asuransi maupun pihak bank itu sendiri. Metode ini akan
mempermudah askses bagi nasabah dalam melakukan perencaanaan
keuangan.
Salah satu perusahaan asuransi yang menerapkan metode ini dalam
penjualan produk asuransinya adalah PT BNI Life Insurance. PT BNI Life
Insurance memasarkan produk asuransinya melalui PT Bank Negara
Indonesia Tbk. sebagai mitranya.terdapat 4 (empat) sub saluran distribusi
produk asuransi PT BNI Life Insurance, yaitu In Branch, Telemarketing,
Bundling dan Asuransi Jiwa Kredit. Strategi pemasaran yang tepat menjadi
hal yang sangat penting bagi perusahaan, karena sukses atau tidaknya
sebuah produk dapat dilihat dari bagaimana sistem pemasaran yang
dilakukan.
Demikian dengan PT BNI Life Insurance yang menggunakan
beberapa sistem pemasaran yang salah satunya yaitu telemarketing.
Telemarketing diartikan sebagai suatu strategi pemasaran melalui
penggunaan media telepon yang dikombinasikan dengan sumber daya
manusia untuk menarik calon pelanggan dengan tujuan meningkatkan
pelayanan penjualan dan mencari keuntungan dengan cara professional.4
4 Harry T. Yani Achsan, Perancangan Sistem Informasi Telemarketing, (Jakarta: Fasikom UI, 1998),
h. 3
38
BNI Life dalam memasarkan produknya menjadikan telemarketing
sebagai salah satu media pemasaran agar dapat memberikan hal yang
berbeda serta agar dapat berkontribusi dalam memenuhi kebutuhan
masyarakat. Dengan penggunaaan telemarketing sebagai salah satu media
pemasaran, BNI Life bertujuan memudahkan telemarketer menjangkau
langsung nasabah atau calon nasabah secara efisien dan mudah. Penggunaan
telemarketing dinilai dapat menghemat waktu karena pemasaran produk
dilakukan hanya dengan menggunakan media telepon tanpa harus bertatap
muka atau melakukan pertemuan dengan nasabah yang membutuhkan waktu
yang lama. Tenaga telemarketer yang tersedia di PT BNI Life Insurance
telah memiliki keterampilan dalam memasarkan produk asuransi melalui
telemarketing.
39
BAB IV
LEGALITAS PERJANJIAN ASURANSI MELALUI TELEMARKETING
PADA BNI LIFE
A. Analisis Perjanjian Asuransi Melalui Telemarketing ditinjau dari
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/Pojk.07/2013 Tentang
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
Berdasarkan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang
perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (BI) pemerintah mendapat amanat untuk membentuk lembaga
pengawas di bidang sektor jasa keuangan yang independen yang bertugas
mengawasi industri perbankan, asuransi, dana pensiun, pasar modal, modal
ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang
menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat. Berdasarkan amanat
tersebut maka terbentuklah Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Dalam upaya mewujudkan tujuannya, OJK memiliki kewenangan
yang luas yakni membuat peraturan di bidang jasa keuangan, memberi dan
mencabut izin persetujuan dan lain-lain, memperoleh laporan periodik dan
informasi industri jasa keuangan; mengenakan sanksi administratif,
melakukan pemeriksaan, melakukan penyidikan atas pelanggaran undang-
undang, memberikan arahan atau perintah tertulis, menunjuk pengelola
statuter, mewajibkan pengalihan usaha demi menjaga kepentingan nasabah,
mencegah kejahatan di bidang keuangan dan mengatur pengendalian
lembaga keuangan.
Pertumbuhan industri asuransi sejalan dengan pemanfaatan teknologi
digital dan komunikasi yang terus berkembang pesat di Indonesia. Para
pelaku usaha di bidang industri asuransi terus melakukan inovasi dengan
menawarkan berbagai kemudahan dan terus bersaing memberikan layanan
terbaiknya. Perkembangan serta kemajuan teknologi informasi pada era
digital ini secara tidak langsung membawa banyak keuntungan bagi para
40
pelaku usaha maupun konsumen dan secara perlahan meninggalkan cara
pemasaran yang bersifat konvensional.
Pada era digital ini para pelaku usaha menggunakan media website
atau alat komunikasi seperti telepon seluler (handphone) sebagai media
pemasaran, hal ini lah yang kemudian disebut sebagai telemarketing. Dalam
metode pemasaran melalui telemarketing, alat komunikasi telepon berfungsi
untuk menghubungi calon pembeli yang dirasa potensial. Bagi pelaku usaha,
telemarketing menjanjikan efisiensi dalam mengenalkan produk dan/atau
jasanya kepada masyarakat.
Salah satu perusahaan asuransi yang telah menerapkan metode
telemarketing dalam pemasaran produknya ialah BNI Life. Berdasarkan
pada Pasal 45 POJK No.23/POJK.05/2015 tentang Produk Asuransi dan
Pemasaran Produk Asuransi menyatakan bahwa Perusahaan Asuransi dapat
memasarkan produk asuransi melalui saluran pemasaran secara langsung
(direct marketing), Agen Asuransi, Bancassurance, dan/atau Badan Usaha
selain Bank. Lalu aturan tersebut kembali dipertegas dengan ketentuan di
dalam Pasal selanjutnya, yaitu pada Pasal 47, yaitu saluran pemasaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) dapat menggunakan media
komunikasi jarak jauh.
Tercantum pula dalam Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No.
12/35/DPNP yang membahas tentang Bancassurance, dalam aturan tersebut
menyatakan aktivitas kerjasama pemasaran produk asuransi dengan bank
(Bancassurance) dapat dilakukan melalui tatap muka dengan nasabah
dan/atau dengan menggunakan sarana komunikasi (telemarketing) termasuk
melalui surat, media elektronik, dan website bank. Berdasarkan peraturan-
peraturan yang ada, dapat disimpulkan bahwa perusahaan asuransi
diperbolehkan melakukan pemasaran produknya melalui telemarketing
sepanjang informasi mengenai produk yang ditawarkan, serta syarat dan
ketentuan dalam polis asuransi diberikan secara jelas terhadap calon
Tertanggung.
41
Pengaturan telemarketing ini juga merujuk pada Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen
Sektor Jasa Keuangan. Dalam Pasal 19 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa
Keuangan menyatakan, yaitu:
Pasal 19
Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang melakukan penawaran produk
dan/atau layanan kepada Konsumen dan/atau masyarakat melalui sarana
komunikasi pribadi tanpa persetujuan Konsumen.
Berdasarkan Pasal 19 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan,
yang dimaksud dengan sarana komunikasi pribadi yang digunakan oleh
Pelaku Usaha Sektor Jasa Keuangan (PUJK) yakni sarana komunikasi yang
bersifat personal, antara lain telepon, short message system, e-mail,
voicemail, dan yang dapat dipersamakan dengan itu. Pada penyampaian
informasi melalui sarana komunikasi pribadi, lalu dijelaskan dalam Surat
Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 12/SEOJK.07/2014 tentang
Penyampaian Informasi dalam Rangka Pemasaran Produk dan/atau Layanan
Jasa Keuangan PUJK atau dalam kasus ini adalah BNI Life yang diharuskan
untuk memenuhi beberapa hal sebagai berikut:
a. Komunikasi hanya dapat dilakukan pada hari Senin sampai dengan Sabtu
di luar hari libur nasional dari pukul 08.00 – 18.00 waktu setempat,
kecuali telah mendapat persetujuan atau permintaan calon konsumen atau
konsumen;
b. Menginformasikan nama PUJK dan menjelaskan maksud dan tujuan
terlebih dahulu sebelum menawarkan produk dan/atau layanan PUJK.
Dalam hal PUJK menggunakan sarana komunikasi pribadi berupa telepon:
a. PUJK wajib menyediakan dan menggunakan alat rekam suara;
b. Jika diperlukan sebagai alat bukti adanya perbuatan hukum yang
dilakukan oleh Konsumen dan PUJK di Pengadilan dan/atau diperlukan
42
oleh Bidang Pengawas maka wajib disajikan dalam hasil cetakan
dan/atau surat yang ditandatangani oleh Konsumen; dan
c. Alat rekam suara yang menyampaikan persetujuan konsumen yang
disajikan dalam hasil cetakan dapat dipersamakan dengan pernyataan
persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh Konsumen.
Berdasarkan pada Pasal 19 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan
tersebut, dapat dikatakan bahwa pada hakikatnya penawaran produk
dan/atau layanan kepada konsumen hanya boleh dilakukan jika telah
mendapat persetujuan dari konsumen. PUJK yang menawarkan produknya
melalui media telepon harus memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan
dalam peraturan yang ada. Misalnya dalam hal menawarkan produk
asuransi, telemarketer yang menawarkan produknya hanya diperbolehkan
melakukan penawaran pada hari Senin – Sabtu di luar dari hari libur
nasional dari pukul 08.00 – 18.00 waktu setempat, kecuali telah
mendapatkan persetujuan dari konsumen.
Selain harus melakukan penawaran sesuai dengan aturan yang telah
ditetapkan, PUJK diwajibkan untuk memberikan informasi yang jelas
berdasarkan Pasal 4 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
Pada Pasal 4 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013
tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan dijelaskan
kewajiban PUJK dalam menyampaikan informasi produknya sebagai
berikut:
Pasal 4
(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyediakan dan/atau
menyampaikan informasi mengenai produk dan/atau layanan yang
akurat, jujur, jelas, dan tidak menyesatkan.
(2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam
dokumen atau sarana lain yang dapat digunakan sebagai alat bukti.
(3) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
43
a. disampaikan pada saat memebrikan penjelasan kepada konsumen
mengenai hak dan kewajibannya;
b. disampaikan pada saat membuat perjanjian dengan konsumen; dan
c. dimuat pada saat disampaikan melalui berbagai media antara lain
melalui iklan di media cetak atau elektronik.
Jika PUJK dalam menawarkan produk atau jasa keuangan melalui
telepon tidak mengindahkan peraturan yang ditetapkan oleh OJK dalam
pelaksanaan penawaran produknya, PUJK dapat dikenakan sanksi
administratif berdasarkan pada Pasal 53 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa
Keuangan, antara lain berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha; dan
e. pencabutan izin kegiatan usaha.
Konsumen juga dapat menyampaikan pengaduan kepada OJK bila
merasa terganggu dengan penawaran produk dan/atau pelayanan jasa
keuangan oleh PUJK, atau jika dalam menyampaikan penawaran produk
dan/atau layanan jasa keuangan PUJK melanggar ketentuan waktu
komunikasi yang telah ditentukan yaitu pada hari Senin-Sabtu di luar hari
libur nasional dari pukul 08.00 – 18.00 waktu setempat tanpa adanya
persetujuan dari konsumen. Dalam hal ini pengaduan dapat disampaikan
kepada Anggota Dewan Komisioner yang membidangi edukasi dan
perlindungan yang terdapat di OJK. Sebagaimana tercantum pada Pasal 40
ayat (2) dan (3) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013
tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, yaitu:
Pasal 40
(2) konsumen dan/atau masyarakat dapat menyampaikan pengaduan
yang berindikasi pelanggaran atas ketentuan peraturan perundang-
undangan di sektor jasa keuangan kepada Otoritas Jasa Keuangan.
44
(3) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan yang membidangi edukasi
dan perlindungan Konsumen.
Secara keseluruhan, dapat dinilai bahwa praktik telemarketing pada
BNI Life dalam penawaran produk asuransinya kepada konsumen telah
sesuai dengan apa yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa
Keuangan. Pada Pasal 8 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan
menyatakan bahwa PUJK wajib menyusun dan menyediakan ringkasan
informasi produk dan/atau layanan, pada praktik telemarketing yang
dilakukan oleh BNI Life, telah memenuhi apa yang diatur dalam Pasal 8
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
Dalam naskah penawaran yang menjadi pedoman telemarketer dalam
melakukan penawaran, di bagian pembukaan, telemarketer menjelaskan
kepada konsumen tentang bagaimana manfaat, risiko, dan biaya produk
dan/atau layanan yang akan diterima oleh konsumen jika mengikuti program
asuransi yang ditawarkan.
Selanjutnya pada Pasal 9 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan,
PUJK wajib memberikan pemahaman kepada Konsumen mengenai hak dan
kewajiban Konsumen. Dalam hal ini, BNI Life juga telah melakukan
penjelasan mengenai hak dan kewajiban konsumen dalam bagian
pembukaan. Telemarketer menjelaskan hak-hak yang didapat konsumen jika
mengikuti program asuransi tersebut. Seperti besaran santunan yang
didapat, fasilitas pengobatan, dan layanan-layanan khusus lainnya yang
disediakan untuk konsumen. Selain hak-hak konsumen, telemarketer juga
menjelaskan kewajiban yang harus dipenuhi konsumen dalam program
asuransi tersebut, misalnya besaran premi yang harus dibayarkan setiap
bulannya.
45
Pada Pasal 19 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan,
dinyatakan bahwa penawaran asuransi melalui telemarketing hanya boleh
dilakukan jika telah mendapat persetujuan dari konsumen, dalam hal
persetujuan dari konsumen yang dimaksud dalam Pasal 19 didapatkan BNI
Life dari Nasabah Bank BNI baik dari nasabah kartu debit maupun kartu
kredit. Saat pembukaan rekening awal di Bank BNI, nasabah diminta
persetujuannya untuk bersedia mendapat penawaran lain dari anak
perusahaan Bank BNI.1
Namun, walau dirasa telah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang ada, metode penawaran asuransi melalui telemarketing ini
masih menimbulkan beberapa permasalahan dalam pelaksanaannya di
lapangan. Dari beberapa kasus yang ada, sejak bulan maret 2018 hingga
September 2019 yang diadukan pada platform mediakonsumen.com
mengenai keluhan nasabah yang merasa dirugikan tentang perjanjian
asuransi yang dibuat oleh BNI Life melalui telemarketing, sudah ada 10
laporan dari tertanggung mengenai hal tersebut.2 Tertanggung merasa
bahwa telemarketer tidak memberikan penjelasan secara menyeluruh
mengenai informasi produk yang ditawarkan. Calon Tertanggung juga tidak
menyadari bahwa rekaman pembicaraan di telepon tersebut merupakan
sebuah persetujuan untuk mengikuti produk asuransi yang ditawarkan.
Calon Tertanggung yang merasa belum paham dengan mekanisme
yang ada pada program asuransi jiwa milik BNI Life ini. Hal itu terjadi
karena disebabkan terjadinya kesalahpahaman antara calon Tertanggung dan
telemarketer pada proses pembuatan perjanjian asuransi melalui telepon.
Dari beberapa kasus yang ada, data mendapati saat telepon masuk dari
telemarketer, calon Tertanggung dalam keadaan sibuk, sehingga calon
1 Hasil Wawancara dengan Budhi Prasetyo, Underwriting Telemarketing BNI Life Pada
tanggal 22 April 2019
2 https://mediakonsumen.com/tag/bni-life/page/3 (diakses pada tanggal 25 Oktober 2019)
46
Tertanggung tidak sepenuhnya menangkap informasi yang disampaikan dari
pihak telemarketer. Hal itu juga disebabkan karena waktu yang singkat pada
proses penawaran melalui telemarketing.
Tidak semua pembicaraan melalui telepon dapat ditangkap menjadi
informasi yang jelas oleh calon Tertanggung. Pada umumnya, calon
Tertanggung hanya dapat mendengarkan dan tidak dapat membaca secara
seksama apa saja syarat dan ketentuan pada saat pernawaran tersebut
disampaikan oleh telemarketer, padahal untuk dapat memahami isi suatu
perjanjian para pihak memerlukan waktu untuk menganalisis perjanjian
tersebut serta mempertimbangkan kembali isi dari perjanjian tersebut.3 Pada
dasarnya calon Tertanggung memiliki hak untuk mempelajari Polis.
Perusahaan asuransi harus memberikan waktu kepada calon Tertanggung
untuk membaca terlebih dahulu Polis asuransi tersebut, dan apabila calon
Tertanggung keberatan, calon Tertanggung dapat membatalkan polis tanpa
dikenakan denda atau seluruh uang premi dikembalikan. Hak untuk
mempelajari Polis asuransi ini disebut dengan Cooling Off Period, yaitu
bahwa calon tertanggung mendapatkan waktu 14 hari kalender sejak tanggal
penerbitan polis untuk membaca Polis.4
Pemasaran melalui telemarketing ini seringkali menjebak Tertanggung
agar ikut serta dalam produk asuransi jiwa yang ditawarkan. Sebagaimana
laporan yang diterima Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI),
telemarketer menggunakan narasi-narasi yang multitafsir dan tidak
dipahami oleh Tertanggung.5 Hal tersebut yang acapkali membuat
Tertanggung terjebak dan melakukan kekhilafan dalam memberikan
persetujuan keikut sertaannya dalam program asuransi jiwa tersebut.
3 Utiyafina Mardhati Hazhin dan Heru Saputra Lumban Gaol, Penyalahgunaan Keadaan
(Misbruik van Omstadigheden) dalam Perjanjian Asuransi Melalui Telemarketing, Jurnal Kertha
Patrika Vol. 41 No. 2, (Surabaya: Fakultas Hukum Universitas Surabaya, 2019), h.106
4 6 Hal Harus dibaca di Polis Asuransi Jiwa, https://duwitmu.com/asuransi/6-hal-wajib-
dibaca-di-polis-asuransi-jiwa-2/, (diakses pada tanggal 25 Oktober 2019)
5Arbi Sumandoyo, Mengelabui Nasabah lewat Marketing Udara,
https://tirto.id/mengelabui-nasabah-lewat-marketing-udara-djTt, (diakases pada tanggal 4 Juli
2019)
47
Berbeda halnya dengan penawaran asuransi secara konvensional (tatap
muka langsung), yang mana waktu yang digunakan dalam menawarkan
produk asuransi tidak terburu-buru oleh waktu dan agen asuransi serta calon
Tertanggung dapat bertatap muka secara langsung dan Tertanggung dapat
menanyakan tentang produk yang ditawarkan secara langsung dan jelas.
Pada penawaran produk asuransi melalui telemarketing, diduga
terdapat unsur penyalahgunaan keadaan (Misbruik Van Omstandigheden).
Dalam hukum positif penyalahgunaan keadaan merupakan keadaan di mana
perjanjian terbentuk atas dasar ketidakpatutan atau ketidakadilan yang
terjadi pada hubungan para pihak yang tidak seimbang atau berat sebelah.
Faktor terjadinya penyalahgunaan kadaan dalam penawaran asuransi
melalui telemarketing didasarkan pada keadaan jiwa konsumen itu sendiri.
Ketidakjelasan informasi yang disampaikan oleh telemarketer
menyebabkan calon Tertanggung menjadi pihak yang tidak memiliki pilihan
lain selain menyatakan sepakat melalui rekaman pembicaraan telepon,
sehingga hal ini dapat diduga sebagai faktor penyalahgunaan keadaaan.6
Padahal hal tersebut telah diatur dalam Pasal 17 POJK No. 1/POJK.07/2013
tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan yang menyatakan
bahwa, “pelaku usaha dilarang menggunakan strategi pemasaran produk
dan/atau layanan yang merugikan konsumen dengan memanfaatkan kondisi
konsumen yang tidak memiliki pilihan dalam mengambil keputusan.”
Penyalahgunaan keadaan dalam prespektif hukum Islam dapat
disamakan dengan tipu muslihat atau al-ghubnu (tipuan). Penyalahgunaan
kedaaan dalam transaksi Syariah termasuk ke dalam ikrah. Ikrah menurut
bahasa ialah memaksa, sedangkan ikrah menurut terminologis ialah suatu
perbuatan yang ditimbulkan dari pemaksa dan menimbulkan pada diri orang
yang dipaksa suatu keadaan yang mendorong dirinya untuk mengerjakan
yang dituntut (oleh pemaksa) darinya. Dapat disimpulkan bahawa
6 Utiyafina Mardhati Hazhin dan Heru Saputra Lumban Gaol, Penyalahgunaan Keadaan
(Misbruik van Omstadigheden) dalam Perjanjian Asuransi Melalui Telemarketing, …h.106-107
48
penyalahgunaan keadaan dapat dikategorikan sebagai transaksi yang
dilarang dalam perjanjian Syariah karena terdapat unsur zalim di dalamnya.7
Kelemahan serta ketidakberdayaan calon Tertanggung dalam
memahami isi perjanjian tersebut, kemudian dijadikan kesempatan oleh
perusahaan asuransi untuk menawarkan produknya. Ketidakberdayaan calon
Tertanggung dalam memahami informasi yang jelas menjadi suatu
keuntungan perusahaan asuransi dalam mengejar target penjualannya.
Padahal Penanggung maupun calon Tertanggung berhak mendapatkan
informasi yang jelas mengenai keseimbangan antara biaya premi, jenis
produk, serta manfaatnya.8Sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 11
POJK No.1/POJK.07/2013 sekurang-kurangnya informasi tersebut harus
memuat tentang rincian biaya, manfaat, risiko, dan prosedur pelayanaan
hingga penyelesaian pengaduan di PUJK.
Seharusnya pembentukan kesepakatan melalui telemarketing ini hanya
dianggap sebagai kesepakatan pra-kontraktual saja. Setelah adanya
kesepakatan sebaiknya pihak perusahaan asuransi dapat menemui secara
langsung calon Tertanggung agar selanjutnya dapat dibuatkan Surat
Permohonan Pengajuan Asuransi (SPAJ), penandatanganan perjanjian serta
penerbitan polis oleh perusahaan asuransi.9 Sedangkan, rekaman
pembicaraan antara telemarketer dengan Tertanggung hanya sebagai sebuah
pembuktian bahwa pihak telemarketer perusahaan asuransi telah
menjelaskan mengenai syarat, manfaat, serta risiko asuransi jiwa tersebut.
Hal yang dilakukan oleh pihak telemarketer hanya sebatas penawaran saja,
bukan sebuah proses pembuatan perjanjian asuransi.
7 Dwi Fidhayanti, Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik Van Omstandigheden) Sebagai
Larangan Dalam Perjanjian Syariah, Jurisdictie: Jurnal Hukum dan Syariah Vol. 9 No.2,
(Malang: Fakultas Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim 2018), h. 180-181
8 Utiyafina Mardhati Hazhin dan Heru Saputra Lumban Gaol, Penyalahgunaan Keadaan
(Misbruik van Omstadigheden) dalam Perjanjian Asuransi Melalui Telemarketing, ...h.95 –111
9 Ilyas, Keabsahan Perjanjian Asuransi Melalui Telemarketing Ditinjau dari Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008, Kanun Jurnal Hukum No. 57, Th. XIV, 2012, h. 211.
49
B. Kesesuaian Perjanjian Asuransi Melalui Telemarketing Menurut Asas
Konsensualisme dalam Hukum Perjanjian.
Penerapan metode penawaran asuransi melalui telemarketing pada
BNI Life telah banyak menghasilkan keuntungan bagi perusahaan.
Dikarenakan proses aplikasi dan persyaratan yang mudah, maka metode
penawaran ini dirasa lebih efektif daripada penggunaan metode penawaran
konvensional. Penawaran melalui metode telemarketing dalam prosesnya
melakukan pengelolaan yang tepat, mulai dari proses penentuan data
maupun dalam proses menghubungi nasabah melalui telepon.10
Telemarketer dapat menghubungi calon Tertanggung yang jumlahnya
dapat lebih banyak dari metode penawaran konvensional. Dalam perjanjian
asuransi konvensional yaitu yang melalui distribusi keagenan, tenaga
pemasar yang disebut dengan agen bertemu dengan calon Tertanggung
untuk menawarkan produk asuransi, jika calon Tertanggung tertarik dan
setuju untuk diikut sertakan dalam produk asuransi yang ditawarkan, maka
calon Tertanggung mengisi Surat Pengajuan Aplikasi Jiwa (SPAJ) dan
menandatanganinya.
SPAJ merupakan surat bukti tentang identitas diri dan bukti
pengungkapan fakta-fakta material menggunakan objek pertanggungan
tentang diri Tertanggung dan ahli waris yang nantinya akan memperoleh
manfaat asuransi. Lalu, pihak yang megikatkan dirinya dalam perjanjian
asuransi baru dinyatakan sah perjanjian tersebut apabila pihak Tertanggung
telah mengajukan permohonan menjadi peserta dan setuju untuk
melaksanakan pembayaran premi walaupun Penanggung belum menerbitkan
polis.
Perjanjian asuransi tersebut merupakan perjanjian yang mengikat
Tertanggung dan Penanggung di mana perjanjian tersebut dinyatakan dalam
sebuah akta yang disebut polis. Polis asuransi biasanya baru diserahkan 14
hari setelah debet atau autodebet pertama berhasil. Di dalam polis
10 Hasil Wawancara dengan Budhi Prasetyo, Underwriting Telemarketing BNI Life Pada
tanggal 22 April 2019
50
dinyatakan bahwa perjanjian asuransi mulai berlaku pada tanggal yang
dinyatakan di dalam polis dan jika premi pertama sudah dibayarkan.
Begitu pula pada perjanjian asuransi jiwa BNI Life, Tertanggung
adalah pihak yang mengikatkan dirinya dalam perjanjian asuransi. Pada
perjanjian asuransi secara konvensional, untuk terlaksananya suatu
perjanjian asuransi harus didahului dengan adanya Surat Permohonan
Asuransi Jiwa (SPAJ). Sedangkan Pengikatan melalui telemarketing tidak
dibuat suatu permohonan tetapi hanya data awal dari Tertanggung. Program
asuransi yang ditawarkan menggunakan metode telemarketing merupakan
program asuransi yang sederhana, dalam artian prosedur serta mekanisme
program asuransi yang ditawarkan melalui telemarketing ialah program
yang mudah untuk dijelaskan dengan hanya melalui telepon oleh
telemarketer. Script yang dipergunakan juga harus dilaporkan kepada
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk direview terlebih dahulu oleh OJK.11
Berdasarkan Standar Operasional Perusahaan (SOP), Nasabah yang
potensial akan dihubungi oleh divisi telemarketing. Untuk melakukan
perjanjian calon Tertanggung tidak perlu lagi mengisi formulir secara
tertulis dan membubuhkan tandatangan karena semua proses penjualan dan
perjanjian cukup melalui telepon saja. Setelah calon Tertanggung setuju,
selanjutnya akan dilakukan pemutaran kembali voice record percakapan
oleh tim verifikasi BNI Life, lalu tim verifikasi akan memastikan apakah
prosedur sudah sesuai dengan SOP yang ada pada BNI Life. Setelah itu,
barulah pihak BNI Life mengirimkan polis asuransi melalui e-mail maupun
polis secara fisik kepada Tertanggung setelah 14 hari dari persetujuan
mengikuti program asuransi tersebut.12
11 Tanpa Persetujuan Nasabah Asuransi Curang Main “Kuras”,
https://palembang.tribunnews.com/2017/12/07/tanpa-persetujuan-nasabah-asuransi-curang-main-
kuras (diakses pada 25 Oktober 2019)
12 Hasil Wawancara dengan Budhi Prasetyo, Underwriting Telemarketing BNI Life Pada
tanggal 22 April 2019
51
Terdapat kelemahan dalam pelaksanaan kesepakatan asuransi melalui
telemarketing, yaitu pada kesepakatan yang dibuat dalam pengikatan
asuransi jiwa seringkali terdapat unsur kekhilafan dari calon Tertanggung di
dalam menanggapi pertanyaan dari telemarketer yang seringkali cepat di
dalam berbicara tentang penyampaian produk asuransi yang ditawarkan.
Pada penawaran asuransi melalui telemarketing ini, pihak asuransi jiwa BNI
Life menyatakan pembicaraan melalui telepon tersebut direkam dan setiap
persetujuan dari Tertanggung berupa jawaban “iya” saat diajukan
pertanyaan dianggap sebagai persetujuan. Hasil rekaman melalui telepon itu
juga dijadikan sebagai alat bukti oleh pihak BNI Life sebagai persetujuan
dari Tertanggung dalam keikut sertaanya pada program asuransi jiwa BNI
Life, di mana untuk selanjutnya berdasarkan persetujuan tersebut, pihak
BNI Life melakukan autodebet untuk pembayaran premi asuransi.
Dalam pelaksanaannya perjanjian yang dilakukan melalui
telemarketing perlu dilakukan pengkajian mengenai kesesuaian asas
konsensualisme dalam perjanjian tersebut. Asas konsensualisme yang
menjelaskan persesuaian kehendak ini terdapat dalam Pasal 1320 KUH
Perdata, sebagaimana dalam Pasal 1320 KUH Perdata syarat pertama dalam
sebuah perjanjian yaitu kesepakatan. Konsensual memliki arti yaitu
perjanjian terjadi saat bertemunya kata sepakat oleh para pihak, sehingga
perjanjian tersebut dianggap sah dan memiliki kekuatan hukum mengikat
sejak dikatakannya kata sepakat oleh para pihak mengenai isi dari perjanjian
tersebut. Kesepakatan merupakan hal yang utama dalam asas ini.
Pada prakteknya, perjanjian asuransi melalui telemarketing rawan
sekali tidak terpenuhinya syarat utama sahnya suatu perjanjian yaitu
mengenai hal kesepakatan. Karena di dalam perjanjian tersebut sering
terjadi kekhilafan pada saat pihak calon Tertanggung melakukan
kesepakatan dengan seorang telemarketer. Kesepakatan merupakan salah
satu unsur subyektif dalam sebuah perjanjian, di mana apabila syarat
tersebut tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut dikatakan perjanjian yang
tidak sempurna. Dan dalam perjanjian tersebut dapat dimintakan proses
52
pembatalan oleh salah satu pihak yang memiliki hak agar perjanjian tersebut
dapat dibatalkan. Dalam kasus ini pihak yang berhak membatalkan
perjanjian yang tidak sempurna tersebut adalah Tertanggung. Dalam hal
perjanjian asuransi melalui telemarketing yang dilakukan oleh BNI Life,
jika Tertanggung ingin membatalkan perjanjian tersebut, Tertanggung dapat
mengajukan pengaduan melalui layanan Customer Care BNI Life, lalu
selanjutnya Customer Care akan melakukan Analisa terhadap transaksi
layanan dari pelanggan. Solusi penyelesaian pengaduan nasabah dilakukan
dalam waktu 20 hari kerja dan dalam kondisi tertentu penyelesaian
pengaduan dapat diperpanjang hingga 20 (dua puluh) hari kerja berikutnya
sesuai dengan POJK No. 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen
Sektor Jasa Keuangan atau Tertanggung dapat juga langsung datang ke
kantor layanan Bank BNI.13
Baik dalam hukum positif maupun hukum Islam, suatu akad tidak
akan dianggap sah apabila kehendak para pihak tidak sempurna dikarenakan
adanya hal-hal yang memaksa atau menuntut salah satu pihak untuk
melakukan suatu perjanjian. Suatu kehendak yang murni yaitu kehendak
yang dinyatakan secara bebas dan dalam suasana yang wajar tanpa adanya
pengaruh unsur-unsur yang membuat kehendak menjadi tidak sempurna
atau mengandung suatu cacat.14 Yang termasuk dalam cedera akad adalah
hal-hal yang dapat merusak terjadinya akad, karena tidak terpenuhinya
unsur keridhaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.15 Apabila syarat ini
tidak terpenuhi maka berakibat perjanjian tersebut cedera atau rusak dan
batal.
13 Hasil Wawancara dengan Budhi Prasetyo, Underwriting Telemarketing BNI Life Pada
tanggal 22 April 2019
14 Ahmad Danu Syaputra, Cederanya Akad/Perjanjian Dalam Perspektif Fiqh Dan Hukum
Positif, Jurnal Syariah Vol.5 No.1, 2017, h.108-109
15 Hasil Wawancara dengan Azharuddin Lathif, Pengurus Dewan Syariah Nasional-MUI,
Pada tanggal 11 September 2019
53
Kesepakatan merupakan landasan utama dari kesesuaian kehendak
bebas (free will) para pihak. Perjanjian yang lahir atas kesepakatan para
pihak akan saling selaras antara kehendak dan pernyataan, di dalam
perjanjian yang sah, dimungkinkan dibentuk tanpa adanya suatu
kesepakatan bersama. Pada kondisi tersebut, memang telah terjadi
kesepakatan, namun lahirnya kesepakatan itu terdapat unsur kekhilafan,
paksaan atau penipuan. Kesepakatan yang lahir demikian dapat dikatakan
sebagai terpaksa (contradiction in interminis) atau mengandung unsur cacat
kehendak.
Karena, seringkali calon Tertanggung melakukan kekhilafan dalam
menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang diucapkan oleh telemarketer yang
dalam penyampaiannya telemarketer cenderung berbicara dengan cepat
tentang produk yang sedang ia tawarkan. Dan menimbulkan permasalah di
mana calon Tertanggung khilaf dalam menjawab pertanyaan yang diajukan
oleh telemarketer tersebut dan Tertanggung merasa tidak pernah melakukan
kesepakatan apapun dalam perjanjian asuransi tersebut, namun pada bulan
berikutnya saldo rekening Tertanggung berkurang dikarenakan autodebet
untuk pembayaran premi kepada pihak asuransi BNI Life.
Kasus tersebut seringkali terjadi dan membuat Tertanggung merasa
terjebak. Tertanggung dihubungi oleh telemarketer BNI Life, lalu
telemarketer menawarkan produk asuransinya, seringkali Tertanggung tidak
memahami apa yang dibicarakan oleh telemarketer dikarenakan
keterbatasan waktu dan atau dalam situasi yang tidak tepat untuk menerima
telepon tersebut, maka Tertanggung hanya menjawab “iya” setiap kali
telemarketer mengajukan pertanyaan. Pihak asuransi jiwa BNI Life,
mengatakan bahwa pembicaraan tersebut direkam dan setiap jawaban “iya”
yang diucapkan oleh Tertanggung dianggap sebagai sebuah persetujuan.
Maka Bank BNI melakukan autodebet yang ditujukan sebagai pembayaran
premi asuransi.
Berdasarkan hal tersebut, perjanjian asuransi jiwa melalui
telemarketing ini dapat dikatakan sebagai perjanjian yang cacat, karena
54
perjanjian asuransi melalui telemarketing ini tidak memenuhi asas
konsensualisme dalam hukum perjanjian. Sebagaimana teori tawar menawar
(bergaining theory), perjanjian hanya akan terjadi antara kedua pihak
apabila penawaran dari pihak satu disetuji dengan dilakukannya penerimaan
dari pihak yang lain dan sebaliknya.
Dalam perjanjian asuransi jiwa melalui telemarketing ini, pihak
perusahaan asuransi melakukan penawaran produk asuransi jiwanya kepada
calon Tertanggung, dan berdasarkan teori ini calon Tertanggung harus
menerima penawaran tersebut agar terjadinya suatu perjanjian. Sedangkan
dalam praktiknya, calon Tertanggung melakukan penerimaan ini secara
tidak sadar atau dalam kata lain sebenarnya calon Tertanggung tidak
menyetujui atau tidak menerima untuk diikutsertakan dalam perjanjian
asuransi jiwa ini. Maka hal tersebut mengakibatkan tidak sahnya sebuah
perjanjian karena tidak adanya penerimaan penawaran dari satu pihak ke
pihak lain, dalam kasus ini yaitu tidak adanya penerimaan dari calon
Tertanggung atas penawaran dari seorang telemarketer BNI Life.
Sedangkan menurut teori penerimaan (acceptance theory), terjadinya
perjanjian tergantung pada kondisi konkret yang dibuktikan oleh perbuatan
nyata (menerima) atau dokumen perbuatan hukum (bukti penerimaan)
melalui perbuatan nyata atau dokumen perbuatan hukum, maka baru dapat
diketahui saat terjadinya perjanjian tersebut, yaitu di tempat, hari, dan
tanggal perbuatan itu dilakukan, atau perbuatan hukum berupa bukti
penerimaan itu ditandatangani/diparaf oleh pihak-pihak yang membuat
perjanjian.
Dalam hal perjanjian asuransi jiwa, dapat dikatakan sungguh-sungguh
diterimanya suatu penawaran yaitu penawaran tertulis tersebut benar-benar
diterima oleh Tertanggung walaupun Tertanggung belum membacaa tulisan
itu. Tertanggung menandatangani suatu pernyataan yang diberikan oleh
Penanggung yang disebut dengan nota persetujuan (cover note). Atas dasar
persetujuan tersebut kemudian dibuatkan akta perjanjian asuransi jiwa oleh
Penanggung yang disebut dengan polis. Hak dan kewajiban anatar
55
Penanggung dan Tertanggung terjadi di saat telah tercapainya kesepakatan
antara Penanggung dan Tertanggung bahkan sebelu diterbitkannya polis
asuransi jiwa, hal ini diatur dalam Pasal 257 Ayat 1 KUHD:
“Perjanjian pertanggungan diterbitkan seketika setelah ia ditutup,
hak-hak dan kewajiban bertimbal balik dari si Penanggung dan si
Tertanggung mulai berlaku semenjak saat itu, bahkan sebelum polisnya
ditandatangani.”
Berdasarkan Pasal 257 Ayat 1 KUHD, dapat diartikan bahwa pada
perjanjian asuransi yang ditawarkan melalui metode telemarketing,
perjanjian asuransi dikatakan lahir seketika setelah calon Tertanggung
menerima penawaran dari pihak Penanggung, meski Tertanggung tidak
mengetahui secara pasti syarat dan kondisi isi dari perjanjian tersebut dan
belum menerima polisnya. Pasal 257 KUHD yang dijadikan dasar
berlakunya perjanjian asuransi dapat merugikan nasabah asuransi,
khususnya terkait berkembangnya perjanjian-perjanjian elektronik seperti
perjanjian asuransi melalui telemarketing. Terlebih praktik pemasaran
produk asuransi melalui telemarketing tidak sejalan dengan prinsip keadilan
dan prinsip itikad baik.16
Pada dasarnya perjanjian asuransi secara material hanya ditentukan
oleh kesepakatan para pihak, jadi kata sepakat dalam pejanjian asuransi
merupakan dasar bagi ada atau tidaknya perjanjian asuransi tersebut.
Namun, berdasarkan Pasal 255 KUHD menyatakan bahwa perjanjian
asuransi harus dibuat secara tertulis dalam suatu akta yang disebut polis,
lalu diatur pula pada Pasal 256 tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi
agar suatu akta dapat disebut sebagai sebuah polis.
Dalam perjanjian asuransi persetujuan Tertanggung harus tetap
dituangkan dalam dokumen tertulis yang ditandatangani langsung oleh
nasabah. Hal ini sesuai dengan teori penerimaan. Rekaman pembicaraan
dibuat hanya sebagai bukti bahwa pihak telemarketer telah memberikan
16 Utiyafina Mardhati Hazhin dan Heru Saputra Lumban Gaol, Penyalahgunaan Keadaan
(Misbruik van Omstadigheden) dalam Perjanjian Asuransi Melalui Telemarketing, …h.106
56
penjelasan kepada nasabah menegenai apa saja karakteristik, manfaat, serta
risiko yang ditawarkan. Dasar hubungan antara pihak Penanggung dan
Tertanggung atas persetujuan dalam bentuk dokumen tertulis yang telah
ditandatangani oleh Tertanggung yang bersangkutan dan bukan rekaman
pembicaraan antara telemarketer dengan Tertanggung.17
Islam memandang suatu persoalan/akad merupakan hal yang sangat
penting, karena tanpa perjanjian yang benar/shahih sebuah perjanjian/akad
tidak menjadi sah dan berakibat tidak halalnya suatu perjanjian tersbeut.18
Cacat dalam suatu akad dapat menimbulkan kerugian pada salah satu pihak
yang melakukan akad, seperti hilangnya kerelaan salah satu pihak saat
berakad dan menyebabkan akad tersebut tidak sah.19
Suatu akad dapat dikatakan sah apabila syarat-syarat keabsahan suatu
akad itu terpenuhi, salah satu syarat agar suatu akad terpenuhi yaitu suatu
akad tidak boleh dalam keadaan gharar atau tidak adanya suatu kejelasan.
Gharar dianggap suatu keadaan yang tidak menyajikan informasi memadai
tentang subjek maupun objek dari suatu akad.20
Sebagaimana tertulis dalam firman Allah SWT yang dijadikan sebagai
dasar hukum pentingnya suatu akad yang tertuang dalam surat An-Nisa’
Ayat 29 :
ن تجارة عن تراض يا أيها الذين آمنوا ل تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إل أن تكو
كان بكم رحيما .منكم ول تقتلوا أنفسكم إن الل
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu
17 Nancy S. Haliwela, Rekaman Pembicaraan Telepon Sebagai Alat Bukti Perjanjian Bank
Dengan Nasabah Pada Bancassurance, Jurnal Hukum Acara Perdata Adhaper Vol.1 No.2
(Surabaya: Universitas Airlangga, 2015), h.163
18 Cut LIka Alia, Akad yang Cacat Dalam Hukum Perjanjian Islam,
https://media.neliti.com/media/publications/14022-ID-akad-yang-cacat-dalam-hukum-perjanjian-
Islam.pdf, diakses Pada Tanggal 2 Juli 2019 Pukul 20.42 WIB, h. 6
19 Hasil Wawancara dengan Azharuddin Lathif, Pengurus Dewan Syariah Nasional-MUI,
Pada tanggal 11 September 2019
20 Cut Lika Alia, Akad yang Cacat Dalam Hukum Perjanjian Islam, … h.7
57
membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.”
Menurut Imam Al-Qarafi, gharar merupakan suatu akad yang tidak
diketahui dengan jelas bagimana efek dari akad tersebut, apakah terlaksana
atau tidak. Sementara menurut Ibnu Hazm memandang gharar dari segi
ketidaktahuan salah satu pihak yang berakad tetntang apa yang menjadi
objek akad tersebut.21 Karena ketidaktahuan atau kekhilafan seorang calon
Tertanggung saat melakukan kesepakatan dalam telepon, perjanjian asuransi
melalui telemarketing ini tersmasuk ke dalam perjanjian yang mengandung
unsure gharar.
Karena dalam situasi seperti itu, calon Tertanggung merasa terjebak
akan pertanyaan dari telemarketer tentang ke-ikut sertaan calon
Tertanggung dalam asuransi jiwa tersebut. Calon Tertanggung tidak
mengetahui apa yang menjadi objek dalam perjanjian tersebut, dan secara
tidak sadar calon Tertanggung menyepakati perjanjian tersebut.
Pada dasarnya pemasaran melalui telemarketing diperbolehkan dalam
Islam selama prosesnya tidak bertentangan dengan syariat Islam dan hukum
postif yang mengatur. Walaupun perjanjian asuransi melalui telemarketing
tidak dilakukan dalam satu majelis (tempat), namun hal tersebut tetap
diperbolehkan dalam Islam dikarenakan hal tersebut telah menjadi
kebiasaan di tengah masyarakat dan telah diangap ladzim dan sah secara
hukum (Urf Amali).22
Adapun ketentuan yang harus dipenuhi dalam melakukan pemasaran
menurut Islam, yaitu:
a. Objek dalam transaksi tersebut haruslah produk maupun jasa yang riil.
b. Yang dijadikan objek transaksi bukanlah sesuatu yang diharamkan dan
atau dipergunakan untuk sesuatu yang haram.
21 Nadratuzzaman Hosen, Analisis Bentuk Gharar dalam Transaksi Ekonomi, (Jakarta:
Jurnal UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 55
22 Hasil Wawancara dengan Azharuddin Lathif, Pengurus Dewan Syariah Nasional-MUI,
Pada tanggal 11 September 2019
58
c. Transaksi tersebut tidaklah mengandung unsur gharar atau tidak adanya
kejelasan dalam transaksi tersebut.
Namun penawaran melalui telemarketing yang dilakukan BNI Life ini
dinilai mengandung unsur gharar. Karena pada prakteknya, BNI Life tidak
hanya melakukan penawaran saja, melainkan menjadikan penawaran
melalui telepon tersebut sebagai sebuah kesepakatan untuk mengikut
sertakan Tertanggung yang ditelepon oleh telemarketer yang mengatakan
“iya” pada setiap pertanyaan yang diajukan dalam pembicaraan melalui
telepon tersebut.Hal tersebut dikatakan gharar karena dalam perjanjian ini
terdapat ketidaktahuan salah satu pihak saat melakukan transaksi. Dalam
kasus ini, Tertanggunglah yang menjadi pihak yang tidak mengetahui
bagimana transaksi tersebut.
Padahal menurut Islam konsumen memiliki hak dalam melakukan
transaksi ekonomi. Di antara hak yang melekat, yaitu:23
a. Hak untuk mengetahui informasi atas barang dan jasa.
Faktor utama sehingga sebuah transaksi terjadi ialah tercapainya
kesepakatan akan objek yang menjadi transaksi baik berupa barang atau
jasa. Objek barang ataupun jasa dalam sebuah transaksi merupakan
sesuatu yang vital dikarenakan seorang produsen memiliki kewajiban
menjelaskan spesifikasi barang atau jasa yang akan dijual. Setiap produk
yang ditawarkan kepada konsumen harus disertai dengan informasi yang
jelas dan benar, agar konsumen tidak memiliki gambaran yang keliru atas
barang atau jasa yang ditawarkan.
Dalam penawaran melalui telemarketing ini, BNI Life sudah
menjelaskan informasi mengenai jasa asuransi yang ditawarkan Namun,
pihak BNI Life dalam proses penawaran tidak menjelaskan bahwa
persetujuan yang diberikan oleh Tertanggung dengan mengatakan “iya”
saat diajukan pertanyaan merupakan sebuah kesepakatan untuk ikutserta
dalam program asuransi tersebut.
23 AH, Azharuddin Lathif dan Nahrowi, Pengantar Hukum Bisnis: Pendekatan Hukum
Positif dan Hukum Islam, (Tangerang; UIN Jakarta Press, 2013), h. 16-21
59
b. Hak konsumen atas kebebasan memilih
Kebebasan memilih antara dua hal yang disukainya, meneruskan
perjanjian atau membatalkan perjanjian tersebut. Perjanjian tidak akan
terjadi tanpa adanya suatu kesepakatan. Apabila transaksi tersebut
dilanjutkan, konsumen memiliki beberapa hak khiyar. Menurut Imam
Asy-Syafi’I hak khiyar akan ada apabila telah terjadinya kesepakatan
antara masing-masing pihak dalam bentuk ijab-qabul. Karena
ketidaktahuan Tertanggung saat melakukan kesepakatan, dalam kasus ini
Tertanggung merasa terjebak, dan menyebabkan tidak terpenuhinya hak
atas kebebasan untuk memilih mengikuti perjanjian tersebut atrau tidak.
60
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Untuk menjawab pertanyaan penelitian, maka peneliti membuat
kesimpulan sebagai berikut:
1. Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan telah dijelaskan ketentuan
mengenai praktek telemarketing serta sanksi bagi PUJK jika melanggar
ketentuan tersebut. Berdasarkan Peraturan yang dikeluarkan oleh OJK,
dapat disimpulkan bahwa penawaran asuransi yang dilakukan BNI Life ini
diperbolehkan dan telah sesuai dengan yang diatur dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Namun, Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor
Jasa Keuangan hanya mengatur tentang bagaimana cara menawarkan
produk/jasa melalui telemarketing, dan dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor
Jasa Keuangan tidak diatur tentang pembuatan perjanjian atau kesepakatan
melalui telemarketing. Yang diperbolehkan dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor
Jasa Keuangan hanyalah penawaran produk/jasa saja, bukan sekaligus
pembuatan kesepakatan atau perjanjian pada pembicaraan melalui telepon
tersebut. Karena telemarketing hanyalah suatu metode untuk memasarkan
produk/jasa tanpa adanya pembuatan perjanjian atau kesepakatan dalam
proses pemasarannya.
2. Perjanjian asuransi melalui telemarketing oleh BNI Life tidak memenuhi
asas konsensualisme dalam hukum perjanjian. Jika dalam perjanjian tidak
terpenuhi asas konsensualisme, perjanjian tersebut dapat dimintakan proses
61
pembatalan oleh salah satu pihak yang memiliki hak untuk membatalkan
perjanjian tersebut. Dalam kasus ini, pihak yang dapat membatalkan
perjanjian tersebut ialah tertanggung. Karena pada perjanjian asuransi
melalui telemarketing oleh BNI Life, tidak memenuhi asas tersebut,
sehingga perjanjian tersebut bukanlah perjanjian yang sempurna. Baik
dalam hukum positif maupun hukum islam, suatu akad tidak akan dianggap
sah apabila kehendak para pihak tidak sempurna dikarenakan adanya hal-
hal yang memaksa atau menuntut salah satu pihak untuk melakukan suatu
perjanjian.
B. Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukakan di atas, maka peneliti
mengajukan beberapa rekomendasi sebagai berikut:
1. Bagi Tertanggung maupun Calon Tertanggung, perlu adanya ketelitian
saat menanggapi penawaran dari seorang telemarketer. Kritis dalam
bertanya tentang program asuransi yang ditawarkan. Selalu berhati-hati
dalam memberi pernyataan persetujuan. Dengan begitu, jika seorang
telemarketer asuransi menawarkan produk/jasa tertanggung telah
memahami secara menyeluruh dan tidak akan ada kekhilafan dalam
memberikan persetujuan.
2. Bagi perusahaan asuransi yang menawarkan program asuransinya melalui
telemarketing, perusahaan asuransi sebagai PUJK, harus melakukan
penawaran sesuai dengan yang ada dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen
Sektor Jasa Keuangan. Menjalankan prosedur sebagaimana mestinya. Dan
untuk pembentukan kesepakatan melalui telemarketing ini hanya dianggap
sebagai kesepakatan pra-kontraktual saja. Setelah adanya kesepakatan
antara para pihak, sebaiknya pihak perusahaan asuransi dapat menemui
secara langsung calon Tertanggung agar selanjutnya dapat dibuatkan Surat
62
Permohonan Pengajuan Asuransi (SPAJ), penandatanganan perjanjian
serta penerbitan polis oleh perusahaan asuransi. Dan untuk rekaman
pembicaraan antara telemarketer dengan Tertanggung hanya sebagai
sebuah pembuktian bahwa pihak telemarketer perusahaan asuransi telah
menjelaskan mengenai syarat, manfaat, serta risiko asuransi jiwa tersebut.
Hal yang dilakukan oleh pihak telemarketer hanya sebatas penawaran
saja, bukan sebuah proses pembuatan perjanjian asuransi.
3. Peneliti menyarankan agar OJK dapat mengawasi praktek penawaran
produk dan/atau jasa yang dilakukan PUJK, apakah telah sesuai dengan
aturan yang telah ada atau masih banyak pelanggaran yang dilakukan
PUJK. Dan diharapkan OJK dapat membuat aturan mengenai pembuatan
perjanjian yang dilakukan saat proses penawaran melalui telemarketing.
Agar dapat tercapainya perlindungan konsumen dalam sektor jasa
keuangan dan tidak terjadi lagi ada kekhilafan konsumen saat melakukan
kesepakatan saat ditawari produk dan/atau jasa oleh telemarketer.
63
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran:
QS. Al-Maidah Ayat 2
QS. An-Nisa’ Ayat 29
Buku:
Ansori, Abdul Ghofur, Pokok-pokok hukum perjanjian Islam di Indonesia,
Yogyakarta: citra media, 2006
Badruldzaman, Mariam Darus, Hukum Perikatan Dalam KUH Perdata Buku
Ketiga, Yurisprudensi, Doktrin, Serta Penjelasan, Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 2015, h.88
Badrulzaman, Mariam Darus, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2009
Badrulzaman, Mariam Darus, Perjanjian Baku (Standard), Perkembangannya di
Indonesia, Bandung : Alumni, 2001
Fuady, Munir, Hukum Kontrak dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Bandung: PT
Citra Aditya Bakti, 2007
Ganie, Junaedy, Hukum Asuransi Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, h.67
Harry T. Yani, Perancangan Sistem Informasi Telemarketing, Jakarta: Fasikom
UI, 1998
Hartono, Sri Redjeki, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, Jakarta: Sinar
Grafika, Cetakan ke 2, 1995
Laporan Tahunan BNI Life Insurance, 2017
Lathif, Azharuddin dan Nahrowi, Pengantar Hukum Bisnis: Pendekatan Hukum
Positif dan Hukum Islam, Tangerang; UIN Jakarta Press, 2013
64
Masrzuki , Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2005, cet. 1, h.
155
HS, Salim, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta: Sinar
Grafika, 2003
Meliala, Djaja S., Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum
Perikatan, Bandung: CV Nuansa Aulia, 2007
Muhammad, Abdulkadir, Hukum Asuransi Indonesia, Bandung: Citra Aditya
Bakti, Cetakan ke 4, 2006
Mulhadi, Dasar-Dasar Hukum Asuransi, Depok: PT Rajagrafindo Persada, 2017
Prodjodikoro, Wirjono, Asas-asas Hukum Perjanjian, Jakarta: CV. Mandar Maju,
2011
Purwosutjipto, H.M.N, Pengertian Pokok Hukum Dagang, Jakarta: Djambatan,
1992,
Rachman, Muhammad Rizal, Herowati Poesoko, I Wayan Yasa, Lahirnya
Perjanjian Asuransi Melalui Telemarketing Berdasarkan Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 86.K/Pdt/2012, Jurnal Ilmu
Hukum Universitas Jember 2017
Salim, Abbas, Asuransi dan Manajemen Resiko, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2005
Sembiring, Sentosa, Hukum Asuransi, Bandung: Nuansa Aulia, 2014
Subekti, R, Hukum Perjanjian, Jakarta: PT. Intermasa , 1987
Subroto, Budiarto, Pemasaran Industri (Business to Business Marketing),
Yogyakarta: ANDI, 2011
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia, 1986
65
Sula, Muhammad Syakir, Asuransi Syariah (Lifeand General) Konsep dan Sistem
Operasional, Jakarta: Gema Insani, 2004
Jurnal:
Adyan Agit Pratama, Bambang Eko Turisno, dan Suradi, Perlindungan Hukum
Bagi Konsumen Terhadap Perjanjian Perpanjangan Asuransi Melalui
Telemarketing, Diponegoro Law Journal Volume 6, Nomor 1, 2017
Ahmad Danu Syaputra, Cederanya Akad/Perjanjian Dalam Perspektif Fiqh Dan
Hukum Positif, Jurnal Syariah Vol.5 No.1, 2017
Didik Wahyu Sugiyanto, Perjanjian Asuransi Melalui Telemarketing Ditinjau
Dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008, Tuban, Mimbar Yustitia Vol.
1 No.1, Universitas Sunan Bonang Tuban, 2017
Dwi Fidhayanti, Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik Van Omstandigheden)
Sebagai Larangan Dalam Perjanjian Syariah, Jurisdictie: Jurnal Hukum dan
Syariah Vol. 9 No.2, Malang: Fakultas Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim
2018
Ilyas, Keabsahan Perjanjian Asuransi Melalui Telemarketing Ditinjau Dari
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008, Kanun Jurnal Ilmu Hukumno. 57,
Th. Xiv, 2012
Nabhila Palupi Paramarta, Analisis Yuridis Mengenai Rekaman Pembicaraan
Telepon Sebagai Alat Bukti Dalam Perjanjian Asuransi Melalui
Telemarketing (Ditinjau Dari Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi Dan Transaksi Elektronik), Artikel Ilmiah Universitas Brawijaya,
2014
Nadratuzzaman Hosen, Analisis Bentuk Gharar dalam Transaksi Ekonomi, Jurnal
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009
Nancy S. Haliwela, Rekaman Pembicaraan Telepon Sebagai Alat Bukti Perjanjian
Bank Dengan Nasabah Pada Bancassurance, Jurnal Hukum Acara Perdata
Adhaper Vol.1 No.2 Surabaya: Universitas Airlangga, 2015
66
Utiyafina Mardhati Hazhin dan Heru Saputra Lumban Gaol, Penyalahgunaan
Keadaan (Misbruik van Omstadigheden) dalam Perjanjian Asuransi Melalui
Telemarketing, 2019
Internet:
https://www.rancah.com/uncategorized/603/mengenal-asuransi-bni-life-inilah-
produk-dan-keuntungan-untuk-finansial-anda/
https://www.bni.co.id/id-id/wealth/produkasuransi/inbranchtelemarketing
https://tirto.id/mengelabui-nasabah-lewat-marketing-udara-djTt
https://media.neliti.com/media/publications/14022-ID-akad-yang-cacat-dalam-
hukum-perjanjian-Islam.pdf
https://palembang.tribunnews.com/2017/12/07/tanpa-persetujuan-nasabah-
asuransi-curang-main-kuras
https://mediakonsumen.com/tag/bni-life/page/3
https://duwitmu.com/asuransi/6-hal-wajib-dibaca-di-polis-asuransi-jiwa-2/
Wawancara:
Azharuddin Lathif, Pengurus Dewan Syariah Nasional-MUI, Pada tanggal 11
September 2019
Budhi Prasetyo, Underwriting Telemarketing BNI Life Pada tanggal 22 April
2019
Transkrip Wawancara dengan Staff Underwriting PT BNI Life Insurance,
Budhi Prasetyo, 22 April 2019
Rahma : Apakah cara penawaran melalui telemarketing ini dinilai
efektif?
Budhi Prasetyo : Iya, penawaran asuransi melalui metode telemarketing ini
dirasa sangat efektif baik bagi perusahaan asuransi
maupun tertanggung. Karena dengan menggunakan
metode ini, perusahaan asuransi dapat menawarkan
produknya kepada nasabah tanpa perlu bertatap muka,
penawaran melalui telemarketing ini sangat menghemat
biaya produksi serta waktu. Karena untuk mengikuti
program asuransi calon tetanggung tidak perlu mengisi
formulir lagi dan hanya melalui telepon.
Rahma : Dari mana perusahaan asuransi mendapatkan data pribadi
(nomor telepon/alamat email) calon tertanggung?
Budhi Prasetyo : BNI Life mendapatkan data pribadi calon tertanggung dari
Bank BNI. Karena BNI Life menawarkan program
asuransi melalui telemarketing ini kepada nasabah Bank
BNI baik nasabah kartu debit maupun kartu kredit.
Rahma :Berdasarkan POJK No. 1/POJK.7/2013 tentang
perlindungan konsumen sektor jasa keuangan Pasal 19
Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang melakukan
penawaran produk dan/atau layanan kepada Konsumen
dan/atau masyarakat melalui sarana komunikasi pribadi
tanpa persetujuan Konsumen. Apakah dalam penawaran
asuransi melalui telemarketing ini sudah mendapat
persetujuan dari calon tertanggung?
Budhi Prasetyo : Tentu penawaran asuransi yang dilakukan BNI Life telah
mendapatkan persetujuan dari calon tertanggung. Karena
pada saat calon tertanggung menjadi nasabah dari Bank
BNI, calon tertanggung telah menyetujui akan menerima
penawaran di kemudian hari oleh anak perusahaan Bank
BNI.
Rahma : Bagaimana prosedur pembuatan perjanjian asuransi
melalui telemarketing?
Budhi Prasetyo : Dalam pembuatan perjanjian asuransi melalui
telemarketing, calon tertanggung tidak perlu mengisi
formulir atau membuat SPAJ. Pihak telemarketer akan
menghubungi calon tertanggung lalu menjelaskan tentang
hak yang didapat konsumen jika mengikuti program
asuransi tersebut. Seperti besaran santunan yang didapat,
fasilitas pengobatan, dan layanan-layanan khusus lainnya
yang disediakan untuk konsumen serta kewajiban calon
tertanggung untuk membayarkan premi setiap bulannya.
Jika calon tertanggung setuju, berdasarkan persetujuan
yang direkam saat proses penawaran, calon tertanggung
sudah dianggap menyetujui dan mengikuti program
asuransi tersebut. Dan akan dikirimkan polis setalah 15
hari dari persetujuan.
Rahma : Apakah ada kelanjutan tatap muka antara pihak
penanggung dengan calon tertanggung untuk
penandatangan polis seperti pada penawaran asuransi
secara langsung?
Budhi Prasetyo : Dalam penawaran asuransi melalui telemarketing tidak
ada proses tatap muka antara pihak perusahaan asuransi
dengan tertanggung. Semua dilakukan melalui telepon.
Rahma : Bila calon tertanggung ternyata tidak setuju dalam
pembuatan polis asuransi, tetapi sudah mengatakan “iya”
pada pembicaraan di telepon, apakah perjanjian tersebut
dapat dibatalkan? Bagaimana prosedur pembatalannya?
Budhi Prasetyo : Tertanggung dapat mengajukan pembatalan perjanjian
melalui Call Center BNI Life atau datang langsung ke
kantor layanan BNI untuk mengajukan pembatalan.