info askes-dpho 2010-pelayanan obat yang baik dan aman bagi pasien
DESCRIPTION
sebuah artikel bermutu tentang pentingnya obat yang rasional dan efisien dan juga aman, askes sebagai begawan perusahaan asuransi kesehatan telah berusaha memberikan yang terbaik bagi pesertanya melalui obat terseleksi ( keamanan, efek samping, dll ) demi tercapainya pelayanan universal coverage yan gebrkualitas namun tidak memberatkan keuangan negara secara masifTRANSCRIPT
BULETIN BULANAN PT ASKES (PERSERO)
EDISI SEPTEMBER 2010
INFOASKES
DPHOPELAYANAN OBAT TERBAIK
BAGI PESERTA
F O K U S
PT Askes (Persero) adalah perusahaan asuransi kesehatan yang menyelenggarakan jaminan pelayanan kesehatan bagi pesertanya berdasarkan sistem managed care. Sebuah sistem yang mengintegrasikan pelayanan kesehatan dan pembiayaan. Keduanya saling terkait di dalam mewujudkan pemberian pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien, berlandaskan pembiayaan yang rasional.
DPHOPELAYANAN OBAT TERBAIK
BAGI PESERTA
Saat ini, permasalahan yang
dihadapi hampir seluruh dunia
di dalam penyelenggaraan
sistem pelayanan kesehatan
adalah adanya peningkatan
biaya pelayanan kesehatan tidak selalu
diikuti dengan peningkatan mutu
pelayanan. Peningkatan biaya pelayanan
tersebut disebabkan antara lain oleh
adanya pergeseran pelayanan kesehatan
ke arah pelayanan kesehatan kronis dan
berjangka panjang akibat pertambahan
kelompok usia tua , perkembangan
tehnologi kedokteran dan obat-obatan
pemberian pelayanan kesehatan yang
berlebihan dan tidak diperlukan, serta
adanya tuntutan masyarakat untuk
memperoleh pelayanan kesehatan yang
berlebihan dan tidak rasional.
Pelayanan obat merupakan salah satu
komponen yang memberikan andil
cukup besar di dalam peningkatan
biaya. Hal ini disebabkan oleh
kedudukan obat sebagai salah satu mata
rantai penting dari proses pengobatan.
Kondisi ini juga didukung oleh
maraknya produsen atau pabrikan yang
memasarkan produknya di Indonesia.
Di satu sisi, keragaman merek serta
sediaan tersebut memberikan pilihan
yang cukup luas kepada konsumen
yang memerlukannya namun disisi lain
, hal ini menciptakan peluang terjadinya
ineisiensi. Ineisiensi tersebut dapat
disebabkan oleh berbagai faktor seperti
kolusi antara penulis resep dan pabrikan,
persaingan harga yang tidak rasional,
penyalahgunaan dan faktor lainnya
dimana keseluruhannya menimbulkan
dampak sikniikan pada biaya, kualitas
serta tingkat keamanan pengobatan.
Didalam kaidah Managed Care , kondisi
sebagaimana tersebut diatas jelas
bertentangan dengan prinsip kendali
mutu dan biaya. Konstelasi antara mutu
dan biaya bagaikan dua sisi mata uang
yang harus dijaga kesetimbangan. Hal
ini mengandung pengertian mendasar
bahwa pelayanan obat harus dilakukan
secara bermutu dengan biaya yang
rasional. Didalam kaidah Managed
Care, keseimbangan tersebut dilakukan
6 INFOASKES S E P T E M B E R 2 0 1 0
F O K U S
utama yang menjadi pertimbangan tim
didalam melakukan pemilihan adalah,
khasiat medis obat (efektiitas tinggi)
serta keamanan obat (efek samping
kecil). Acuan yang dipakai di dalam
menyusun daftar obat (dalam generik
atau zat aktif ) adalah Daftar Obat
Esensial Nasional (DOEN) yang telah
disusun oleh pemerintah, karena pada
prinsipnya selruh obat- obatan yang ada
di dalam DOEN adalah obat-obat terpilih
yang sangat dibutuhkan dan mutlak
untuk diadakan.
“Tim yang terdiri berbagai ahli di
bidangnya tidak terpengaruh apapun.
Sama sekali tidak ada intervensi, baik
dari penyelenggara maupun pabrikan.
Kami tidak bisa disuap,” paparnya.
DPHO Bukan Obat Kacangan
Untuk mempertanggungjawabkan
kualitas obat yang ada dalam DPHO,
Tim DPHO melakukan pemilihan
dengan merujuk pada sejumlah kriteria
yang sangat ketat. Obat-obatan yang
diusulkan akan dievaluasi secara
komprehensif terkait manfaat dan
melalui penetapan Formularium atau
Standar Pelayanan Obat. Formularium
adalah suatu daftar dari produk obat-
obatan yang akan digunakan oleh
peserta dimana obat-obatan tersebut
merupakan obat terseleksi yang
terbukti memiliki tingkat keamanan
serta pengobatan berdasarkan hasil
uji klinis (Evidence based). Uji Klinis
merupakan bukti otentik yang dapat
dipertanggungjawabkan baik secara
ilmiah maupun secara empiris.
Penetapan formularium tersebut telah
dilakukan PT Askes (Persero) sejak tahun
1987. Formularium tersebut dikenal
dengan nama DPHO (Daftar Plafon
dan Harga Obat) yang hingga saat ini
menjadi panduan bagi seluruh PPK
Askes dalam memberikan pelayanan
obat kepada peserta. DPHO telah
memenuhi aspek-aspek akuntabilitas,
reabilitas serta validitas yang diperlukan
di dalam melaksanakan pelayanan
kesehatan yang bermutu dan rasional.
Pada prinsipnya , penyusunan DPHO,
PT Askes (Persero) dilakukan oleh Tim
Independen yang terdiri dari para pakar
dibidang obat-obatan (Farmakolog),
perwakilan Dokter Spesialis dari
berbagai disiplin ilmu kedokteran yang
berasal dari RS Rujukan Nasional , para
akademisi dari berbagai universitas
terkenal di Indonesia. Selain itu Tim juga
melibatkan perwakilan pihak regulator
yakni Kementerian Kesehatan dan
Badan POM. Tim tesebut diketuai oleh
Prof, Iwan Darmansjah, SpFK, seorang
pakar farmakologi dari Universitas
Indonesia. Beliau merupakan pakar
yang cukup berpengalaman dalam
kajian efektiitas serta keamanan obat.
Beliau juga diakui integritasnya baik oleh
rekan sejawat baik nasional maupun
internasional. Hal ini ditegaskan oleh
Direktur Operasional PT Askes (Persero)
Umbu M. Marisi dalam acara Pertemuan
Dewan Pertimbangan Medis di Batam
beberapa waktu lalu.
Senada dengan Umbu M. Marisi,
Ketua Tim Ahli Penyusunan DPHO
Prof. dr. Iwan Darmansjah, Sp.FK
mengungkapkan bahwa tugas dari
Tim Ahli adalah untuk melakukan
kajian atau seleksi ilmiah terhadap obat
(dalam generik atau zat aktif ) yang
akan dimasukkan ke dalam DPHO. Hal
Umbu M. Marisi,
Direktur Operasional PT Askes (Persero)
“Pada prinsipnya , penyusunan
DPHO, PT Askes (Persero) dilakukan
oleh Tim Independen yang terdiri
dari para pakar dibidang obat-obatan
(Farmakolog), perwakilan Dokter Spesialis dari
berbagai disiplin ilmu kedokteran yang berasal dari
RS Rujukan Nasional, para akademisi dari berbagai
universitas terkenal di Indonesia. Selain itu Tim juga
melibatkan perwakilan pihak regulator yakni Kementerian
Kesehatan dan Badan POM,“ujar Umbu M. Marisi
7INFOASKESS E P T E M B E R 2 0 1 0
risikonya dengan melakukan penelusuran,
investigasi serta debat terhadap bukti
dan data ilmiah yang jumlahnya bisa
sangat banyak. Iwan menjelaskan, ada
keahlian dan cara tersendiri yang dilakukan
sehingga dapat diperoleh bukti yang
diklasiikasikan sebagai bukti tertinggi.
Manfaat obat diuji secara klinis dan
terkontrol yang diintegrasikan dalam suatu
studi meta analisis. Rekomendasi praktisi
yang menyatakan kehandalan suatu
obat tanpa didukung oleh bukti klinis
,tidak dapat dijadikan sebagai parameter
untuk menilai khasiat suatu jenis obat
dan memasukkannya kedalam daftar dan
plafon harga obat.
Adanya bukti penyembuhan suatu
penyakit dengan penggunaan obat
tertentu ,masih memerlukan kajian
mendalam lebih lanjut untuk memperoleh
bukti klinis yang akurat seperti referensi
ilmiah, pengamatan maupun hasil
laboratorium. Pengaruh khasiat obat
darah tinggi misalnya, harus dibuktikan
terhadap pasien yang menggunakannya
dengan dilengkapi data pengamatan dan
laboratorium. Dengan demikian dapat
dinilai hasil akhir yang akurat dan sesuai.
Kemudian perlu ditelusuri lebih lanjut
terhadap kemungkinan adanya komplikasi
yang ditimbulkan, serta bagaimana
dampaknya bila pengguna obat tersebut
F O K U S
memiliki penyakit penyerta lainnya seperti
penyakit jantung, stroke, atau ginjal.
Farmakolog kenamaan ini juga
menambahkan, hasil akhir yang panjang
akan menjadi bukti tertinggi. Sedangkan
untuk klasiikasi kelas kedua, tetap
membutuhkan uji klinik terkontrol. Hal itu
didapatkan melalui studi perbandingan
antara satu kasus dengan yang lain. Untuk
itu, lanjutnya, butuh data ribuan dari bahan
kepustakaan baik yang berkait dengan
kedokteran maupun kefarmasian.
“Evaluasi obat sangat ketat. Tidak
seperti dulu, selain bukti tertulis masih
harus disokong dengan bukti lain yang
menguatkan,” tegas Iwan yang juga adalah
Ketua Panitia Penyusun Obat Esensial
Kementerian Kesehatan RI.
Kriteria obat untuk dapat masuk kedalam
DPHO sebenarnya cukup banyak. Selain
aspek kandungan kimia obat, juga banyak
lagi kriteria yang harus dipenuhi. Meski
begitu ada suatu hal mendasar, yaitu
seberapa besar manfaat dan efektivitas
serta seberapa aman obat tersebut bila
dikonsumsi oleh masyarakat, dalam artian
faktor risiko juga mendapat prioritas. Dalam
menentukan obat ini, perlu dilakukan
evaluasi yang sangat ketat dan tidak
sembarang obat bisa masuk dalam DPHO.
“Dengan kata lain obat yang tercantum
dalam DPHO bukan obat kacangan. Hal
ini dapat dibuktikan dengan adanya satu
jenis obat untuk mengencerkan darah di
pembuluh darah yang harganya cukup
mahal sekali suntik juga disediakan ASKES,”
tegasnya.
Karenanya kalau ada dokter yang
mengatakan obat di luar DPHO lebih baik
dari yang ada di DPHO, perlu dipertanyakan
mengenai bukti serta kajian ilmiah yang
mendukung pernyataannya. Saat ini
di Indonesia beredar sekitar lebih dari
18.000 produk obat dari 200 lebih pabrik.
Variabilitas baik sediaan maupun harga
tersebut merupakan salah satu kondisi yang
mendorong ASKES untuk melakukan seleksi
yang begitu ketat. Hal ini semata-mata
ditujukan untuk melindungi kesehatan
peserta serta mempertahankan keberadaan
skema asuransi yang dibutuhkan begitu
banyak peserta. Tidak sedikit perusahaan
asuransi di belahan dunia yang mengalami
kendala operasional dan keuangan akibat
persaingan obat secara bebas.
Dari sekitar 18.000 produk obat di Indonesia,
sudah sekitar 1.400 item obat yang
berdasarkan uji klinis dan uji keampuhan
khasiat masuk dalam DPHO yang
dikeluarkan ASKES. Jumlah ini sudah cukup
memadai untuk melayani kebutuhan obat
“Evaluasi obat sangat ketat. Tidak
seperti dulu, selain bukti tertulis
masih harus disokong dengan
bukti lain yang menguatkan,” tegas Prof.
Iwan yang juga adalah Ketua Panitia Penyusun
Obat Esensial Kementerian Kesehatan RI.
Prof. dr. Iwan Darmansjah, Sp.FK,
Ketua Tim Ahli Penyusunan DPHO
8 INFOASKES S E P T E M B E R 2 0 1 0
F O K U S
Selain itu, jumlah item atau produk
obat yang beredar lebih banyak (lebih
18.000 item). Hal ini disebabkan banyak
generik atau zat aktif obat yang sama
yang diproduksi berbagai pabrik farmasi.
Dalam menetapkan harga ada perbedaan
satu dengan lainnya. Perbedaan harga
disebabkan pengendalian harga obat
generik di fasilitas pelayanan kesehatan
pemerintah.
“Untuk menyusun DPHO ada persyaratan
yang dibuat. Agar obat masuk dalam
DPHO harus memenuhi syarat efektif
(eikasinya). Bagaimana dampak obat
tersebut dalam tubuh, manjur atau tidak,
karena banyak obat yang berbahaya.
Kemudian safety (aman). Biarpun banyak
obat bagus jika tidak safety akan berbahaya
jadinya. Jadi fungsi utama DPHO ini adalah
melindungi peserta dari obat-obat yang
eikasinya tidak bagus maupun tidak aman
dikonsumsi. Tentu di dalam DPHO ada satu
kontrol, sehingga peserta ASKES dapat
mengkonsumsi obat-obatan yang tepat,”
papar Umbu M. Marisi.
bagi peserta Askes. Umumnya obat-obat
yang tercantum dalam DPHO adalah
gabungan obat-obat branded dan branded
generic (esensial). Khusus untuk DPHO
tahun 2010 , komposisi obat yang tertera
terdiri dari 1.012 item obat bermerek serta
obat generik sebanyak 410 item. DPHO
2010 ini merupakan hasil evaluasi terhadap
DPHO tahun 2009 dan usulan dari rumah
sakit serta pabrik obat yang didukung
dengan data dan referensi ilmiah terhadap
manfaat setiap jenis obat. Bahkan tahun
2011 nanti - sebagai wujud transparansi
dan meningkatkan mutu, penyusunan
DPHO akan melibatkan Organisasi
perhimpunan Dokter Spesialis. Kandungan
isi DPHO setiap tahunnya disesuaikan
dengan dengan perkembangan
pengobatan dan serta dikembangkan
untuk menampung kebutuhan akan obat-
obat baru, khususnya obat-obatan kanker.
Keamanan Peserta Nomor Satu
Pengendalian pelayanan obat merupakan
salah satu upaya yang dilakukan
PT. Askes (Persero) untuk mewujudkan
pelayanan kesehatan yang efektif ,
eisien dan rasional. Selain mewujudkan
rasionalitas biaya obat ditengah
hempangan arus persaingan harga, DPHO
juga memiliki essensi mendasar, yakni
melindungi peserta ASKES dari obat-obatan
yang kemungkinan dapat menimbulkan
dampak yang tidak diinginkan bagi
kesehatan. Dengan kata lain penyusunan
DPHO dimaksudkan untuk mewujudkan
suatu bentuk penyediaan rangkaian obat-
obatan yang efektif, aman, dan didukung
oleh kewajaran harga. Hal ini merupakan
prioritas yang harus diupayakan secara
berkesinambungan. Kemampuan
penjaminan oleh badan asuransi harus
didukung oleh adanya kewajaran harga
serta kesesuaian pelayanan yang tidak
melebihi kontribusi yang diperoleh.
Didalam konteks makro, pengendalian
biaya obat diperlukan agar perkembangan
harga tidak melebihi kemampuan serta
daya beli masyarakat. Komponen biaya obat
harus ditetapkan secara rasional dan tidak
mengutamakan aspek promosi yang hanya
menguntungkan pihak-pihak tertentu.
DPHO 2010
Generik : 410 itema.
Brand name : 1012 itemb.
Daftar Obat Tambahan 2010
Generik : 11 itema.
Brand name : 45 itemb.
STATISTIK KENAIKAN JUMLAH OBAT DI DPHO
Generik Branded
JUM
LA
H O
BA
T
9INFOASKESS E P T E M B E R 2 0 1 0
F O K U S
Negara-negara seperti Norwegia, Australia, dan persemakmuran Inggris lainnya serta banyak negara Uni Eropa umumnya hanya memiliki beberapa ribu item obat dalam berbagai bentuk sediaan. Jika dibandingkan dengan Indonesia, negara kita memiliki jumlah sekitar 200 pabrik farmasi dan jumlah yang terdaftar ± 18.000 obat. Fragmentasi antara industri asing dan industri swasta nasional memicu banyaknya jumlah produk sejenis (me-too drugs).
DPHOUNTUK KENDALI
MUTU DAN BIAYA
10 INFOASKES S E P T E M B E R 2 0 1 0
F O K U S
Melihat kondisi dunia
farmasi yang demikian,
sebagai perusahaan
asuransi yang juga harus
menerapkan prinsip
kehati-hatian dan eisiensi, sudah
selayaknya PT Askes (Persero) membuat
suatu daftar plafon bagi pemakaian
obat yang masuk dalam beneit ASKES.
Dengan jumlah peserta yang banyak,
maka pemakaian volume obat otomatis
akan besar. Dengan adanya Daftar
Plafon Harga Obat ini, seleksi yang
dilakukan PT Askes (Persero) terhadap
perusahaan obat juga akan semakin
ketat.
Setelah Tim DPHO menyeleksi, dilakukan
pemilihan produk atau item obat-
obatan yang akan dimasukkan ke dalam
DPHO berdasarkan pertimbangan
mutu, kontinuitas produksi, jangkauan
pendistribusian, serta harga dari setiap
produk obat yang ditawarkan oleh
pabrik farmasi. PT Askes (Persero)
melakukan negosiasi harga dengan
setiap pabrik farmasi untuk setiap
produk atau item obat yang ditawarkan.
Hal ini diungkapkan oleh Kepala Divisi
Jaminan Pelayanan Kesehatan
PT Askes (Persero) dr. Maya A. Rusady
kepada Buletin Info Askes.
“Dengan banyaknya jumlah peserta
ASKES dan keluarganya maka cakupan
pemakaian obat-obatan yang ada
di dalam DPHO peserta ASKES dan
keluarganya cukup besar. Hal ini
menyebabkan pabrik-pabrik farmasi
bersedia untuk memberikan harga dari
obat-obatan yang ada di dalam DPHO
lebih rendah daripada harga regulernya,
karena pabrik farmasi bisa menghemat
di dalam biaya promosi, sehingga biaya
akan bisa ditekan. Bahkan hingga 40-50
persen dari harga normal,” jelas Maya.
Secara otomotis PT Askes (Persero) juga
melakukan kontrol mutu karena mutu
bisa dihitung dan bisa diteliti antara
pabrik satu dengan pabrik yang lain.
Ada obat yang substandar, cepat rusak,
bahan baku yang berbeda, begitu pula
cara pembuatan. Sejauh ini PT Askes
(Persero) mengikuti standar badan
POM. Sepanjang sudah dikeluarkan
nomor registrasi dari badan POM,
maka bisa dikatakan terpercaya akan
keamanannya dan terjamin karena
semua sudah diteliti.
Dengan penyusunan DPHO
sebagaimana telah dipaparkan, akan
diperoleh daftar obat-obatan yang
memiliki manfaat medis yang besar
(efektif ), efek samping kecil (aman), dan
harga yang wajar (eisen). Selain standar
mencakup produk obat yang bermutu
serta tersedia di seluruh Indonesia.
Dalam rangka penyesuaian dengan
perkembangan ilmu pengetahuan di
bidang obat, dilakukan revisi secara
periodik. Seperti diterapkan proses
penyusunan DPHO, proses revisi,
khususnya di dalam penambahan atau
pengurangan generik atau zat aktif obat
dan dilaksanakan Tim Ahli beserta wakil
dari Kementerian Kesehatan dan Badan
POM.
“Setelah DPHO selesai disusun dan
selanjutnya direvisi secara teratur,
harus diupayakan supaya produksi dan
penyediaan obat-obat yang tercantum
di dalam DPHO, pendistribusiannya,
serta penyediaannya di apotek yang
ditunjuk sebagai PPK ASKES harus tetap
terjaga kontinuitasnya. Tahun 2011
mendatang PT Askes (Persero) juga
akan melibatkan himpunan kedokteran
di Indonesia agar lebih transparan,”
ungkap Maya.
Berkaitan dengan kontinuitas produksi
dan penyediaan obat oleh produsen,
PT Askes (Persero) telah mengadakan
suatu perjanjian kerja sama (PKS)
dengan pabrik farmasi yang obat
produksinya tercantum di dalam
DPHO. Sedangkan berkaitan dengan
pendistribusian obat dari pabrik farmasi
sampai ke apotek yang merupakan PPK
ASKES, diadakan perjanjian kerja sama
(PKS) dengan distributor obat atau
Pedagang Besar Farmasi (PBF).
Apotek PPK ASKES merupakan fasilitas
kesehatan dimana pasien peserta
ASKES mengambil obat berdasarkan
resep obat DPHO yang telah ditulis oleh
dokter keluarga atau dokter spesialis
di rumah sakit PPK ASKES. Dengan
demikian maka ketersediaan obat-obat
DPHO di apotek PPK ASKES adalah suatu
yang mutlak harus dijaga. Sehubungan
dengan hal tersebut, Kantor Cabang
ASKES di seluruh Indonesia telah
mengadakan PKS dengan apotek di
wilayahnya yang memenuhi kriteria
yang ditetapkan.
Pelaporan Obat Kosong Sentralisasi
DPHO merupakan standar obat yang
dipakai di dalam penyelenggaraan
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan ASKES
bagi peserta oleh dokter keluarga
pada pelayanan kesehatan tingkat
pertama dan oleh dokter spesialis di
rumah sakit PPK ASKES pada pelayanan
kesehatan tingkat lanjutan, harus
berpedoman pada DPHO. Diakui
penerapan DPHO sebagai pedoman
dalam penulisan resep obat sering
mengalami kendala, baik ditinjau dari
pemberi pelayanan (dokter, apotek,
atau rumah sakit), maupun dari segi
peserta (pasien). Menghadapi hal-hal
tersebut ASKES harus berusaha untuk
meningkatkan penerapan resep obat
yang berpedoman pada DPHO.
“Sebenarnya ada tiga faktor yang kita
hadapi saat ini. Pertama, obat itu kosong
di apotek. Kedua, memang diresepkan
obat non-DPHO. Ketiga, obat yang
diberikan tidak sesuai dengan yang
diberikan oleh apotek,” ungkap Maya.
Untuk itulah PT Askes (Persero)
harus terus berperan aktif untuk
menanggulangi permasalahan-
permasalahan tersebut. Menurut Maya,
masing-masing permasalahan ada cara
tersendiri untuk mengatasinya. Misalnya,
untuk obat kosong biasanya perusahaan
akan menegur langsung pabrik obat,
menuntut kesepakatan awal pada PKS.
Bahkan jika ada yang tidak sesuai secara
terus-menerus bisa tidak akan dipakai
lagi. Hal serupa juga dilakukan untuk
pihak distributor dan apotek.
PT Askes (Persero) telah melakukan
upaya pelaporan obat kosong yang
tersentralisasi. Maksudnya, tidak perlu
11INFOASKESS E P T E M B E R 2 0 1 0
pelaporan tersebut melalui kantor
cabang atau regional lagi, tetapi langsung
dari ke kantor pusat via email, sehingga
bisa dilakukan teguran langsung pada
pabrik obat, distributor, maupun apotek
secara cepat pada hari itu juga.
Disadari dengan penerapan standar
obat ini akan terjamin pemberian
obat kepada peserta yang bermutu,
efektif, aman, dan eisien. Kegiatan
yang dilaksanakan berupa pendekatan
kepada dokter di PPK ASKES, untuk
memberikan informasi tentang
DPHO. Mengadakan seminar-seminar
mengenai pemakaian obat secara
rasional dan DPHO untuk dokter
keluarga dan dokter spesialis di rumah
sakit, pemantauan penulisan resep obat
non-DPHO di rumah sakit PPK ASKES,
yang dilaksanakan oleh Kantor Cabang
ASKES secara rutin. Juga mengadakan
koordinasi dengan apotek dan rumah
sakit dalam rangka menyesuaikan obat-
obat DPHO yang dibutuhkan dokter
spesialis di rumah sakit dengan obat
DPHO yang tersedia di apotek. Selain itu
memberikan penyuluhan atau informasi
tentang DPHO kepada peserta secara
rutin dan berkesinambungan.
Usulan Obat
dari Pabrik
Usulan Obat
dari RS
DPHO
Seleksi
Usulan Obat
Bahas Hasil
Nego
Rapat Tim
Evaluasi
Negosiasi
Harga
Rapat Tim
Ahli/Pleno
Rekomendasi
Obat (Generik)
PKS
Rapat dengan
Pabrik
Usulan Pabrik
(Nama Dagang
+ Harga)
MEKANISME PENETAPAN DPHO
1
78
2
6
3
4
5
F O K U S
12 INFOASKES S E P T E M B E R 2 0 1 0
Biaya pelayanan kesehatan, khususnya biaya obat, terus meningkat tajam dalam beberapa dekade terakhir, dan kecenderungan ini tampaknya akan terus berlanjut. Hal ini antara lain disebabkan oleh peningkatan populasi pasien usia lanjut dengan konsekuensi meningkatnya penggunaan obat, adanya obat-obat baru yang lebih mahal, dan perubahan pola pengobatan. Di sisi lain, sumber daya yang dapat digunakan terbatas, sehingga harus dicari cara agar pelayanan kesehatan menjadi lebih efisien dan ekonomis. Perkembangan farmakoepidemiologi saat ini tidak hanya meneliti penggunaan dan efek obat dalam hal khasiat (efficacy) dan keamanan (safety) saja, tetapi juga menganalisis dari segi ekonominya. Studi khusus yang mempelajari hal ini dikenal dengan nama farmakoekonomi.
FARMAKOEKONOMI AKAN
DIAPLIKASIKAN PADA DPHO
Menurut Prof. dr. Iwan
Dwi Prahasto, salah
satu anggota Tim
Penyusun DPHO ASKES,
farmakoekonomi
adalah studi yang mengukur dan
membandingkan antara biaya dan hasil/
konsekuensi dari suatu pengobatan.
Tujuan farmakoekonomi adalah untuk
memberikan informasi yang dapat
membantu para pembuat kebijakan
dalam menentukan pilihan atas
alternatif-alternatif pengobatan yang
tersedia agar pelayanan kesehatan
menjadi lebih eisien dan ekonomis.
“Jika kita dihadapkan pada pertanyaan-
pertanyaan seperti apa kelebihan suatu
obat dilihat dari segi cost-efectiveness-
nya dibandingkan obat lain, apakah
diperoleh hasil terapi yang baik dengan
biaya yang wajar, apakah suatu obat
dapat dimasukkan ke dalam formularium
atau ke dalam daftar obat yang disubsidi,
maka farmakoekonomi dapat berperan
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
tersebut,” jelas Iwan.
Informasi farmakoekonomi saat ini
dianggap sama pentingnya dengan
informasi khasiat dan keamanan obat
dalam menentukan pilihan obat yang
akan digunakan. Farmakoekonomi dapat
diaplikasikan baik dalam skala mikro,
misalnya dalam menentukan pilihan
terapi untuk seorang pasien untuk suatu
penyakit, maupun dalam skala makro,
misalnya dalam menentukan obat yang
akan disubsidi atau yang akan dimasukkan
ke dalam formularium. Termasuk dalam
Daftar Plafon Harga Obat (DPHO) ASKES.
“Aspek farmaekokonomi nanti jadi
perhatian kita ke depan. Pembahasan
Tim DPHO pada aspek ini memang
sangat mengemuka. Perkembangan
ilmu yang baru, perlu didesiminasikan
secara meluas,” ujar Direktur Operasional
PT Askes (Persero) Umbu M. Marisi.
Farmakoekonomi, menurut Umbu, juga
berperan dalam menetapkan clinical
safety dan Good Corporate Governence,
serta akan sangat membantu dalam
upaya meningkatkan aspek pembiayaan
serta eikasi (efektivitas) dari pelayanan
kesehatan khususnya pelayanan obat.
Ke depan diharapkan keberadaan DPHO
selain memiliki tujuan utama melindungi
peserta melalui penggunaan obat-
obatan secara tepat, serta pengendalian
biaya mengatasi fenomena mahalnya
harga obat di Indonesia juga dalam
implementasi Sistem Jaminan Kesehatan
Nasional DPHO, diharapkan akan menjadi
model standar obat yang diterapkan
secara nasional. PT Askes (Persero)
memiliki kekuatan besar dan bisa turut
andil melakukan semacam kontrol
dalam upaya mengatasi keterjangkauan
masyarakat Indonesia memperoleh
pelayanan kesehatan, khususnya
memperoleh obat-obatan yang tepat.
F O K U S
Prof. dr. Iwan Dwi Prahasto,
Anggota Dewan Pertimbangan Medis ASKES
13INFOASKESS E P T E M B E R 2 0 1 0
B I N C A N G
dr. Supriyantoro, Sp.P, MARS. Dirjen Bina Pelayanan Medik Kementerian Kesehatan RI
ASKES MITRA PEMERINTAH MEMBANGUN PELAYANAN KESEHATAN BERKUALITAS
18 INFOASKES S E P T E M B E R 2 0 1 0
B I N C A N G
Haluan pelayanan kesehatan kita sangat jelas,
bahwa negara akan menjamin setiap warga
negara untuk mendapatkan haknya. Kita menuju
universal coverage pelayanan kesehatan. Salah
satu tekad saat ini adalah berupaya menciptakan
pemerataan. Sistem kesehatan yang ditopang Sistem Jaminan
Sosial Nasional atau didukung oleh asuransi kesehatan sosial,
maka pelayanan kesehatan akan menjadi lebih baik. Lebih
jauh tentang pemerataan pelayanan kesehatan ini, Buletin Info
Askes mendapat kesempatan berbincang dengan Dirjen Bina
Pelayanan Medik Kementerian Kesehatan RI dr. Supriyantoro,
Sp.P, MARS. dalam acara pertemuan Dewan Pertimbangan
Medis Askes di Batam beberapa waktu lalu. Dalam wawancara
ini dijelaskan apa saja upaya Kementerian Kesehatan terutama
Direktorat Bina Pelayanan Medik dalam meningkatkan
pelayanan dan pemerataan kesehatan serta bagaimana peran
PT Askes (Persero) dan Dewan Pertimbangan Medis (DPM)
ASKES saat ini.
Kemenkes akan membangun networking hospital.
Memang apa yang menjadi kendala pola rujukan yang
ditetapkan Kemenkes selama ini?
Saya bisa ibaratkan seperti komputer yang memiliki
kecanggihan berbeda. Namun jika dia tidak dalam satu sistem
maka dia tidak akan berguna. Kita akan membangun sistem
integrasi yang lebih solid, dan memang harus didukung oleh
sistem informasi dan teknologi. Contohnya, suatu saat saya
berobat ke rumah sakit A akan ada smartcard-nya sehingga
data saya akan tersimpan, dan terkolektif di sana. Sistem
rujukan yang saya maksudkan di sini adalah bagaimana pasien
berobat sesuai dengan kebutuhannya. Jangan sampai hanya
sakit lu ke dokter spesialis. Ini harus merubah perilaku dan
persepsi pasien. Perlu proses pembelajaran dan sosialisasi.
Secara nasional kita sudah punya sistem yang ada dalam
Peraturan Menteri Kesehatan mengenai sistem rujukan.
Namun di sini perangkat-perangkat yang diperlukan agar
hal ini bisa terwujud banyak kendala, sehingga inilah yang
akan pelan-pelan kita benahi dan sempurnakan. Baik rujukan
untuk networking-nya saja, atau sampai pasien itu dikirim, atau
rujukan putar balik tadi. Misalnya, rumah sakit di Surabaya
akan membina rumah sakit tipe di bawahnya. Contoh, ada
pasien dari NTT berobat dirujuk ke Surabaya, maka untuk
eisiensi bagi si pasien dan efektiitasnya, rumah sakit Surabaya
akan membina rumah sakit di NTT sehingga pasien dirujuk
balik di rumah sakit yang dekat dengan kediamannya.
Dengan pembinaan berjenjang ini maka masyarakat bisa
menikmati pelayanan itu, tanpa perlu pergi jauh-jauh,
sehingga sakit daerah juga akan profesional. Itu contoh secara
implementasi, namun nanti kita akan susun lagi bagaimana
elemen-elamen itu diuraikan setahap demi setahap.
ASKES sudah ada Dokter Keluarga. Menurut anda apakah
Dokter Keluarga ASKES juga akan diintegrasikan dengan
networking hospital?
Hal itu harus kita sikapi dengan positif. Saya lihat jika ada
orang yang membangun Dokter Keluarga itu ‘kan sama saja
dengan membantu pemerintah, mengapa tidak kita dukung?
Karena pemerintah sendiri tidak mungkin akan meng-
handle semuanya. Konsep Dokter Keluarga di pemerintah
itu adalah dokter-dokter praktek mandiri dan dididik secara
khusus, yang nantinya akan menjadi tempat menanyai pasien
secara holistik, mengurangi beban puskesmas, dan dia bisa
melakukan rujukan vertikal ke rumah sakit langung tanpa
melalui puskesmas, namun di kondisi tertentu dia juga akan
ada rujukan horisontal dengan puskesmas.
Kemenkes sendiri sebenarnya sudah punya roadmap Dokter
Keluarga, dan sudah mendidik, tapi jumlahnya masih sedikit,
baru di bawah 100 dokter. Hal ini akan sampai kapan terwujud
jika tidak ada keterlibatan dari institusi lain, dari masyarakat. Ini
tidak akan berjalan dengan cepat. Kementerian juga sangat
mendukung kemitraan, bagaimana kita menghargai pihak-
pihak lain yang memiliki kepedulian ini, akan kita rangkul.
Saya yakin dengan pemberdayaan ini masyarakat yang betul-
betul tertinggal bisa tertolong. Misalnya di daerah Papua atau
di perbatasan atau di daerah terpencil, dapat juga terfasilitasi
dengan baik pelayanan kesehatannya. Di daerah perbatasan
misalnya, mereka malah bangga untuk berobat ke luar negeri.
Ini menjadi pe-er kita, bagaimana memberikan pelayanan
kesehatan yang adil sehingga mereka yang berada di garis
pertahanan Indonesia akan merasa bangga, yang tentu
saja akan menambah kekuatan pertahanan bangsa ini di
perbatasan.
Untuk SJSN, bagaimana roadmap-nya khususnya di
Direktorat Bina Pelayanan Medik?
Jadi kita ada tahapan pendek, menengah, dan panjang. Kalau
khusus di bidang saya sekarang, kita prioritas membangun
sistem rujukan, memperhatikan daerah-daerah terpencil
terutama pelayanan dasar. Di sisi lain, kita secara bertahap
membangun mutu pelayanan rumah sakit. Pelayanan fasilitas
kesehatan akan lebih baik sehingga akan membangun
kepercayaan masyarakat. Masyarakat kelompok tertentu,
misalnya kalangan menengah ke atas, akan percaya pada
rumah sakit lokal, sehingga devisa akan tidak sia-sia.
Intinya, rantai gap pelayanan kita tipiskan, jangkauan
pelayanan kita tingkatkan pelan-pelan. Itu sebabnya salah satu
yang diubah pembinaan puskesmas di bawah Bina Pelayanan
Medik, namanya jadi upaya kesehatan, pelayanan terendah
sampai tercanggih itu dalam satu dirjen, sehingga diharapkan
pembinaan sistem sama, tapi masing ada kegiatan terkait
dengan institusi lain. Makin ke bawah porsi pelayanan makin
kecil, porsi kesehatan masyarakat makin besar.
Kebutuhan akan sehat tidak hanya diperoleh dengan cara hidup sehat, tapi juga dengan adanya pelayanan kesehatan. Adalah tugas negara untuk membuat rakyatnya sehat dengan membuka akses kesehatan secara maksimal. Kesempatan untuk mendapat pelayanan kesehatan dipandang sebagai hak paling asasi dari rakyat. Maka tidak boleh tidak, pemerintah harus menyediakan rumah sakit, dokter, perawat, obat-obatan, perlengkapan, serta pelayanan lainnya dengan mutu dan standar yang optimum.
19INFOASKESS E P T E M B E R 2 0 1 0