implementasi kebijakan tentang upah minimum …repository.ub.ac.id/725/1/aldo bagaskara.pdftenaga...
TRANSCRIPT
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN TENTANG UPAH
MINIMUM KOTA (UMK) DI KOTA BATU DALAM
MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN PEKERJA
(Studi pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Batu)
SKRIPSI
Diajukan untuk menempuh ujian sarjana Pada Fakultas Ilmu Administrasi
Universitas Brawijaya
ALDO BAGASKARA
125030507111027
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
JURUSAN ADMINISTRASI PUBLIK
MINAT ADMINISTRASI PEMERINTAHAN
MALANG
2017
i
MOTTO
“ Jangan katakan pada Allah bahwa kita punya masalah,
tapi katakan bahwa kita punya Allah “
(Sultan Muhammad Al-Fatih)
“ Don’t waste your time looking back,
you’re not going that way ”
(Ragnar Lothbrok)
ii
LEMBAR PERSEMBAHAN
Saya dedikasikan skripsi ini kepada kedua orang tua saya yang sudah susah
payah dalam memberikan
semangat, mendidik, dan membiayai sekolah selama ini.
Saya dedikasikan skripsi ini kepada saudara kandung ibu dan bapak serta
seluruh saudara sepupu yang telah memberikan bantuan material,
memberikan semangat selama ini
Dan saya dedikasikan skripsi ini kepada teman dan sahabat yang telah
menolong, menyemangati dalam pembuatan skripsi ini.
iii
iv
v
vi
RINGKASAN
Aldo Bagaskara, 2016, Implementasi Kebijakan tentang Upah Minimum Kota
(UMK) di Kota Batu dalam Meningkatkan Kesejahteraan Pekerja (Studi pada Dinas
Sosial dan Tenaga Kerja Kota Batu), A. Yuli Andi Gani, Prof., Dr.,MS dan Abdullah
Said Dr., MSi
Perbedaan pandangan mengenai penetapan tingkat upah sering memicu
ketidaksepakatan antara buruh dan pengusaha. Oleh karena itu, untuk mencapai
kesepakatan dalam proses penetapan tingkat upah, peran campur tangan/
keterlibatan pemerintah sangatlah diperlukan. Hal ini juga sebagai bentuk
perlindungan buruh yang menjadi pihak yang dikecilkan jika berhadapan
dengan pengusaha. Campur tangan dan peran pemerintah dalam hubungan
industrial merupakan bentuk perlindungan terhadap kedua pihak agar tidak
saling merugikan. Fungsi inilah yang dilaksanakan oleh Dinas Sosial dan Tenaga
Kerja Kota Batu dan nantinya kebijakan UMK ini diharapkan oleh pemerintah dapat
memberi nilai tambah terhadap kehidupan kemasyarakatan terutama dalam aspek
ekonomi. Serta kebijakan UMK ini juga dapat meningkatkan taraf hidup dan
kesejahteraan bagi pekerja.
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan dan menganalisis
implementasi kebijakan upah minimum kota (UMK) di Kota Batu serta untuk
mendiskripsikan dan menganalisa dampak pelaksanaan kebijakan Upah Minimum
Kota (UMK) terhadap kesejahteraan pekerja di Kota Batu. Penelitian ini adalah
penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Analisis data yang digunakan
adalah analisis data model interaktif Miles Huberman dengan tahapan pengumpulan
data, kondensasi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa implementasi kebijakan di Kota
Batu sudah berjalan dengan baik, hal ini dapat dilihat dari jumlah perusahaan yang
sudah membayarkan upah sesuai dengan UMK, tidak ada pertentangan/konflik baik
dari pengusaha atau pekerja serta dampak kebijakan yang telah dirasakan oleh
pekerja. Dari hasil penelitian ini, maka peneliti dapat memberikan saran antara lain
Perlu diadakannya lebih banyak lagi forum-forum yang mendiskusikan masalah-
masalah yang berkaitan dengan pengupahan serta perlu meningkatkan kuantitas
sosialisasi melalui berbagai media.
Kata Kunci: implementasi kebijakan, upah minimum kota, kesejahteraan
vii
SUMMARY
Aldo Bagaskara, 2016, Implementation of Minimum Wages City (MSEs) in Kota
Batu in Improving the Welfare of Workers (Studies in the Department of Social
Welfare and Labor Kota Batu), Andi Yuli A. Gani, Prof., Dr., MS and Abdullah Said
Dr ., MSI
Differences of opinion concerning the establishment of wage levels often lead to
disagreements between workers and employers. Therefore, to reach agreement in the
wage rate-setting process, the role of intervention / government involvement is
needed. It is also a form of protection of workers who become parties diminished
when dealing with employers. And the role of government intervention in industrial
relations is a form of protection against both parties not to hurt each other. This
function is performed by the Department of Social Welfare and Labor Kota Batu and
later UMK policy is expected by the government can add value to the life of society,
especially in the economic aspect. As well as SME policy is also to raise the standard
of living and welfare of the workers.
The purpose of this study is to describe and analyze the implementation of the
policy of the city minimum wage (UMK) in Kota Batu as well as to describe and
analyze the impact of policy implementation State Minimum Wage (UMK) on the
welfare of workers in Kota Batu. This research is descriptive qualitative approach.
Analysis of the data used is data analysis Miles Huberman interactive model with the
stages of data collection, condensation, data presentation and conclusion.
The results of this study indicate that the implementation of the policy in Kota
Batu has been running well, it can be seen from the number of companies that have
paid wages in accordance with the MSE, there is no disagreement / conflict either
from employers or workers as well as the impact of policies that have been felt by
workers. From the results of this study, the researchers can provide advice, among
others Keep holding more forums to discuss issues relating to remuneration and the
need to increase the quantity of dissemination through various media.
Keywords: implementation, the city minimum wage, welfare
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul Implementasi Kebijakan tentang Upah Minimum Kota (UMK) di Kota
Batu dalam Meningkatkan Kesejahteraan Pekerja (Studi pada Dinas Sosial dan
Tenaga Kerja Kota Batu).
Skripsi ini merupakan tugas akhir yang diajukan untuk memenuhi syarat
dalam memperoleh gelar Sarjana Ilmu Administrasi Publik pada Fakultas Ilmu
Administrasi Universitas Brawijaya Malang. Penulis menyadari bahwa penyusunan
skripsi ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan dan dorongan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima
kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Bambang Supriyono, MS selaku Dekan Fakultas Ilmu
Administrasi.
2. Bapak Dr. Choirul Saleh, M.Si selaku Ketua Jurusan Administrasi Publik
Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya.
3. Bapak Dr. Luqman Hakim, M.Sc selaku Ketua Minat Administrasi
Pemerintahan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya.
4. Bapak A. Yuli Andi Gani, Prof., Dr.,MS selaku dosen pembimbing pertama,
yang telah memberikan bimbingan dan semangat dengan penuh kesabaran
hingga selesainya penulisan skripsi ini.
5. Bapak Abdullah Said Dr., MSi selaku dosen pembimbing kedua, yang dengan
penuh kesabaran telah meluangkan waktu untuk membimbing dan
memberikan dukungan yang bermanfaat bagi peneliti hingga selesainya
penulisan skripsi ini.
ix
6. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Administrasi yang selama ini telah memberikan
dan menularkan kajian keilmuannya kepada penulis selama proses
perkuliahan maupun di luar perkuliahan.
7. Segenap staff Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Malang.
8. Seluruh Pegawai Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Batu, yang selama ini
sangat membantu peneliti untuk memperoleh data.
9. Untuk kedua orang tua tercinta Ayah dan Ibu terima kasih atas kasih sayang
yang tiada batasnya, terima kasih atas doa-doa yang selalu menyertai setiap
langkahku, terima kasih telah menjadi inspirasi dan motivasi dalam menjalani
kehidupan, dan terima kasih atas segala dukungan dan telah memberikan
semua yang terbaik.
10. Untuk semua keluarga khususnya kedua kakakku, Aldi dan Alda yang telah
memberiku semangat dan motivasinya.
11. Sahabat-sahabat Bebek Pemerintahan (Ade, Afif, Anisa, Deo, Dwima, Irsyad,
Mahardika, Novrizal, Rey, Ria, Rio, Tunggal, Vogan, Wanda, Yana) yang
telah memberikan semangat, dukungan, dan bantuannya selama proses
pengerjaan skripsi.
Demi kesempurnaan skripsi ini, saran dan kritik yang sifatnya membangun
sangat penulis harapkan. Semoga karya skripsi ini bermanfaat dan dapat memberikan
sumbangan yang berarti bagi pihak yang membutuhkan.
Malang, 06 Januari 2017
Penulis
x
DAFTAR ISI
MOTTO ................................................................................................................... i
LEMBAR PERSEMBAHAN ................................................................................ ii
TANDA PERSETUJUAN SKRIPSI .................................................................... iii
TANDA PENGESAHAN SKRIPSI ...................................................................... iv
PERNYATAAN ORISINALITAS ......................................................................... v
RINGKASAN ......................................................................................................... vi
SUMMARY ........................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... viii
DAFTAR ISI ............................................................................................................ x
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xiii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
A. Latar Belakang ......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 9
C. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 9
D. Manfaat Penelitian ................................................................................... 10
E. Sistematika Pembahasan .......................................................................... 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 13
A. Kebijakan Publik ..................................................................................... 13
1. Pengertian Kebijakan Publik ............................................................... 13
2. Model-model Kebijakan Publik .......................................................... 15
3. Dampak Kebijakan Publik ................................................................... 16
B. Implementasi Kebijakan Publik ............................................................... 18
1. Pengertian Implementasi Kebijakan Publik ........................................ 18
2. Pendekatan Implementasi Kebijakan Publik ....................................... 20
3. Model Implementasi Kebijakan Publik ............................................... 21
C. Pengupahan .............................................................................................. 37
1. Pengertian Pengupahan........................................................................ 37
xi
2. Komponen Upah .................................................................................. 39
3. Jenis-jenis Upah ................................................................................... 40
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Upah ............................................ 42
5. Upah Minimum Kota (UMK) .............................................................. 43
6. Tujuan Penetapan UMK ...................................................................... 47
D. Pekerja ..................................................................................................... 49
1. Pengertian Pekerja ............................................................................... 49
2. Hak-hak dan Kewajiban Pekerja ......................................................... 50
E. Kesejahteraan Pekerja .............................................................................. 52
1. Pengertian Kesejahteraan .................................................................... 52
2. Sasaran Kesejahteraan ......................................................................... 54
BAB III METODE PENELITIAN ....................................................................... 56
A. Jenis Penelitian ........................................................................................ 56
B. Fokus Penelitian ...................................................................................... 57
C. Lokasi dan Situs Penelitian ...................................................................... 58
D. Jenis dan Sumber Data ............................................................................ 59
E. Teknik Pengumpulan Data ....................................................................... 61
F. Instrumen Penelitian ................................................................................ 63
G. Metode Analisis ....................................................................................... 63
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 66
A. Gambaran Umum Kota Batu ................................................................... 66
1. Sejarah Singkat Kota Batu ................................................................... 66
2. Kondisi Geografis ................................................................................ 70
3. Kondisi Demografis Kota Batu ........................................................... 73
4. Tata Pemerintahan Kota Batu .............................................................. 76
B. Gambaran Umum Lokasi Penelitian (Dinas Sosial dan Tenaga Kerja) .. 79
1. Lingkungan Strategis DISNAKER Kota Batu .................................... 79
2. Visi dan Misi DISNAKER Kota Batu ................................................. 80
3. Tugas dan Sasaran DISNAKER Kota Batu ......................................... 80
xii
4. Tujuan DISNAKER Kota Batu ........................................................... 83
5. Struktur Organisasi DISNAKER Kota Batu ....................................... 84
C. Penyajian Data dan Fokus Penelitian ...................................................... 86
1. Implementasi Kebijakan UMK di Kota Batu ...................................... 86
2. Dampak Pelaksanaan Kebijakan UMK .............................................. 105
D. Pembahasan ............................................................................................ 116
1. Implementasi Kebijakan UMK di Kota Batu ..................................... 116
2. Dampak Pelaksanaan Kebijakan UMK .............................................. 128
BAB V PENUTUP ................................................................................................. 137
A. Kesimpulan ............................................................................................. 137
B. Saran ....................................................................................................... 139
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 141
xiii
DAFTAR GAMBAR
No. Judul Halaman
1. Implementasi Kebijakan Van Meter dan Van Horn ..................................... 23
2. Sekuensi Implementasi Kebijakan ............................................................... 24
3. Model implementasi kebijakan publik Merille S. Grindle ........................... 26
4. Model Pendekatan Implementasi Kebijakan George C. Edward III ............ 28
5. Komponen dalam Analisis Data................................................................... 65
6. Peta Kota Batu.............................................................................................. 71
7. Pembagian Wilayah Kota Batu .................................................................... 72
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab, Solichin. 2005. Analsis kebijaksanaan: Dari Formulasi ke
Implementasi Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara.
Agustino, Leo.2008. Dasar-dasar Kebijakan Publik, Bandung : CV. Alfabeta.
Anonymous, 2001. Modul DJJ : 12 C, Pengupahan Hubin Syaker Pusdiklat
Pegawai Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi.
Islamy, M irfan. 2003. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijakan Negara. Jakarta:
Bumi Aksara.
Khakim, Abdul. Aspek Hukum Pengupahan, Bandung : Citra Aditya Bakti.
Manullang, M. 1981. Manajemen Personalia, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Meleong, lexy. J. 2012. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT.
RemajaRosdakarya.
Print, Darwan. 2000. Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti.
Nugroho, Riant. 2003. Kebijakan Publik Formulasi, Implementasi, Evaluasi. PT.
Elex Media Komputindo : Jakarta.
Setyodarmojo, Soenarko. 2000. Public Policy: Pengertian Pokok untuk
Memahami dan Analisa Kebijaksanaan Pemerintah. Surabaya: Airlangga
University Press.
Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT. Grasindo.
Sugiono, 2014. Metode Penelitian Kuantitatif dan kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Sumarnonugroho, T, 1984. Sistem Intervensi Kesejahteraan Sosial, Yogyakarta:
PT Hamindito.
Sukarna, 1975. Prinsip-prinsip Usaha Perusahaan, Bandung: Alumni.
Wibawa, Samodra. 1994. Evaluasi Kebijakan Publik. Jakarta: P.T. Raja Grafindo
Persada
Widjaya, AW. 1990. Administrasi Kepegawaian, Jakarta: Rajawali Press.
Winarno, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik, Yogyakarta: Media
Pressindo
Peraturan Perundangan
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep. 226/MEN/2000 Tentang
Pengubahan Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 20, dan pasal
21 Permenaker No.01/MEN/1999 Tentang Upah Minimum
Peraturan Gubernur Jawa Timur No. 68 Tahun 2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Kebijakan upah minimum di Indonesia adalah suatu pondasi
penting bagi pemerintah meningkatkan standard hidup para buruh.
Kebijakan ini merujuk kembali pada awal pemerintahan Orde Baru,
sekalipun baru mulai mengikat pada pertengahan tahun 1990an. Landasan
dari kebijakan ini mulai dibentuk pada awal tahun 1970an ketika aktivitas
ekonomi di sektor modern masih relative kecil dan terlindungi dengan
pasar kerja yang dualistik. Penetapan upah minimum sebenarnya bukanlah
monopoli Indonesia saja, melainkan keberadaannya sudah diakui oleh
Internasional. Organisasi Perburuhan Internasional atau Internasional
Labour Organization (ILO) sudah mengeluarkan beberapa peraturan
tentang hal ini dalam bentuk konvensi, seperti konvensi nomor 26 tahun
1928 tentang mekanisme penetapan upah minimum di sektor pertanian dan
konvensi nomor 131 dan rekomendasi nomor 135 tahun 1970, tentang
penetapan upah minimum di Negara berkembang. Namun demikian, setiap
Negara mempunyai cara dan pola yang berbeda dalam menerapkannya
sesuai dengan kondisi riil yang ada.
Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan
dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja
kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu
1
2
perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan,
termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu
pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan. Upah merupakan
hal yang sangat dipermasalahkan, setiap tahun tuntutan-tuntutan dan
aspirasi tenaga kerja diteriakkan melalui media-media informasi mereka
yaitu melalui serikat pekerja/ buruh yang mewakili kepentingan
mereka. Perbaikan kesejahteraan buruh menjadi tuntutan utama dimana
mereka menginginkan adanya peningkatan kualitas kehidupan yang lebih
baik demi kelangsungan hidupnya. Hal ini menjadi masalah yang
komplek apabila dikaitkan dengan tingkat kebutuhan buruh yang tidak
sesuai dengan tingkat upah yang diterima dari hasil kerja mereka. Tingkat
kebutuhan yang semakin meningkat harus dibayarkan dengan upah yang
minim menjadi beban dalam kelangsungan hidup mereka. Tekanan biaya
hidup pekerja yang semakin tinggi juga menimbulkan tuntutan akan
kenaikan upah minimum. Namun sampai saat ini, proses penetapannya
masih mempunyai banyak kelemahan. Di Indonesia sendiri masalah upah
masih menjadi masalah yang membutuhkan perhatian lebih dalam
penyelesaiannya, mengingat masalah upah merupakan masalah teratas
yang terjadi dalam ketenagakerjaan disebabkan karena masih rendahnya
tingkat upah di indonesia, jika tidak ditangani dengan benar akan
mengakibatkan perselisihan, perdebatan serta mendorong timbulnya
mogok kerja atau unjuk rasa. Upah minimum dapat menghambat
penciptaan lapangan kerja dan menambah persoalan perbaikan
3
ekonomi. Sementara kelompok lain menunjukkan, penerapan upah
minimum tidak selalu identik dengan pengurangan tenaga kerja, bahkan
akan mampu mendorong proses perbaikan ekonomi.
Upah Minimum Kota yang selanjutnya disebut UMK merupakan
standard yang ditetapkan oleh pemerintah melalui penentuan item-item
kebutuhan minimum yang telah disepakati bersama antara pihak
pengusaha, dengan tenaga kerja melalui pemerintah, dengan penentuan
UMK ini besaran dari pada upah yang harus diterima oleh tenaga kerja
tidak boleh kurang atau dibawah dari pada upah minimum yang telah
disepakati, sekaligus mensyaratkan adanya tanggung jawab dari
perusahaan untuk memenuhinya. Ketiga pihak yang berkepentingan di
dalam ketentuan UMK masing-masing memiliki tanggung jawab yang
saling melengkapi, baik dari pihak pemerintah, pengusaha maupun
pekerja, harapannya tidak ada yang dirugikan dalam proses pelaksanaan
UMK, dan selanjutnya dalam pelaksanaan ketentuan tersebut, haruslah
terdapat suatu bentuk pengawasan yang perlu dilakukan agar terjaminnnya
pelaksanaan atas ketentuan tersebut. Pihak-pihak yang terkait pada
penetapan upah minimum adalah Kepala daerah (Bupati/Walikota atau
Gubernur) dan Dewan Pengupahan. Kepala daerah menetapkan upah
minimum dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan
Pengupahan dan berdasarkan usulan komisi penelitian pengupahan
dan jaminan social dewan ketenagakerjaan Daerah. Dewan pengupahan
sesuai dengan pasal 98 UU No.13 Tahun 2003, Dewan Pengupahan
4
bertugas memberikan saran, pertimbangan, dan merumuskan kebijakan
pengupahan yang akan ditetapkan oleh pemerintah, serta untuk
pengembangan sistem pengupahan nasional. Sedangkan definisi Dewan
Pengupahan menurut Keppres No.107 Tahun 2004 adalah suatu lembaga
non strukturan yang bersifat tripartite.
UMK ditetapkan setiap satu tahun, Sebelum penetapan dilakukan,
dilakukan survey Kebutuhan Hidup Layak(KHL). Dinas Tenaga Kerja
pada tiap daerah bersama Dewan Pengupahan Daerah masing-masing
daerah menghitung nilai KHL menurut hasil survey yang telah
dilakukan. Komponen-komponen yang di survey dalam
Permenakertrans 13 Tahun 2012 digolongkan menjadi 7 kelompok yaitu :
1. Kelompok Makanan dan Minuman
2. Kelompok Sandang
3. Kelompok Perumahan
4. Kelompok Pendidikan
5. Kelompok Kesehatan
6. Kelompok Transportasi
7. Kelompok Rekreasi dan Tabungan.
Untuk memperoleh nilai akhir KHL, dalam Permenakertrans 13 Tahun
2012 ini memperhatikan faktor yang mempengaruhinya seperti tingkat
inflasi, pertumbuhan ekonomi, kemampuan perusahaan serta
perbandingan tingkat pengupahan di daerah sekitar. Upah bagi pekerja
memiliki 2 (dua) sisi manfaat yaitu: pertama, sebagai imbalan, balas jasa
5
terhadap hasil produksi yang dihasilkan. Dalam hal ini upah merupakan
hak pekerja terhadap tenaga dan pikiran yang telah dikeluarkannya.
Kemudian yang kedua adalah sebagai perangsang bagi peningkatan
produktivitas. Upah dapat bermanfaat untuk meningkatkan motivasi pekerja
dalam bekerja lebih giat lagi. Bagi perusahaan, upah merupakan
komponen biaya produksi yang dipandang dapat mengurangi tingkat
keuntungan yang dihasilkan. Oleh karena itu dipandang sebagai biaya
faktor produksi, maka pengusaha berusaha untuk menekan upah tersebut
sampai pada tingkat paling minim, sehingga keuntungan perusahaan dapat
ditingkatkan. Pekerja agar dapat hidup wajar dan terpenuhi gizinya, maka
dalam penetapan upah minimum mempertimbangkan standar kebutuhan
hidup pekerja, yang digunakan sebagai dasar pertimbangan penetapan upah
minimum yang disebut dengan kebutuhan fisik minimum. Standar
kebutuhan fisik minimum ini yang digunakan sebagai salah satu dasar
pertimbangan dalam penetapan upah minimum.
Pasal 88 undang – undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan menyebutkan bahwa untuk menyebutkan penghasilan
yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, pemerintah
menetapkan kebijakan pengupahan yang layak bagi kemanusiaan,
pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja.
Kebijakan pengupahan tersebut antara lain dengan penetapan upah
minimum. Dalam pasal 89 juga dijelaskan bahwa kebutuhan hidup layak
(KHL) dalam penetapan upah minimum dicapai secara bertahap.
6
Pemerintah dalam menetapkan upah minimum tersebut yaitu dengan
memperhatikan produktifitas, pertumbuhan ekonomi serta memperhatikan
usaha-usaha yang paling tidak mampu (marginal).
Menghitung upah yang sesuai dengan standar upah yang layak,
haruslah mencakup akan beberapa hal, yaitu :
1. Kebutuhan fisik, sebagai kebutuhan untuk menjaga kesehatan ragawi
buruh, agar ia dapat bekerja dengan segenap tenaga dan sanggup
berkonsentrasi penuh selama bekerja.
2. Kebutuhan mental, mencakup persoalan bagaimana buruh tersebut
menjaga martabat dirinya di tengah pergaulan sosial.
3. Kebutuhan berkeluarga, mencakup sekaligus kebutuhan fisik dan
mental.
Perkembangan teknologi dan sosial ekonomi yang cukup pesat
menimbulkan pemikiran, kebutuhan hidup pekerja berdasarkan kondisi
“minimum” perlu diubah menjadi kebutuhan layak. Namun penentuan
komponen pembentuk upah seringkali berbenturan dengan kepentingan
pengusaha yang tidak mau memberikan upah yang layak bagi pekerjanya.
Pekerja hanya ditempatkan pada daftar urut modal yang ditekan
sedemikian rupa, padahal tanpa peran masa pekerja tidak mungkin suatu
perusahaan dapat berjalan. Pekerja berikut keluarganya, mempunyai
ketergantungan terhadap besarnya nilai upah yang diterima dalam rangka
membiayai pemenuhan kebutuhan sehari – harinya, mulai dari kebutuhan
pangan, sandang, papan dan beragam kebutuhan lainnya. Itulah sebabnya,
7
pekerja atau serikat pekerja sering menuntut kenaikan upah terhadap pihak
pengusaha. Demikian sebaliknya, pihak pengusaha juga mempunyai
kepentingan yang besar dengan upah karena upah merupakan komponen
penting pengeluaran biaya perusahaan. Tidak jarang pengusaha
mempunyai anggapan bahwa upah hanya merupakan biaya semata,
sehingga mengakibatkan kehati-hatian yang berlebihan dalam
mengalokasikan anggaran untuk upah.
Perbedaan pandangan yang dijelaskan di atas mengenai penetapan
tingkat upah ini sering memicu ketidaksepakatan antara buruh dan
pengusaha. Oleh karena itu, untuk mencapai kesepakatan dalam
proses penetapan tingkat upah, peran campur tangan/ keterlibatan
pemerintah sangatlah diperlukan. Hal ini juga sebagai bentuk
perlindungan buruh yang menjadi pihak yang dikecilkan jika
berhadapan dengan pengusaha. Campur tangan dan peran pemerintah
dalam hubungan industrial merupakan bentuk perlindungan terhadap
kedua pihak agar tidak saling merugikan.
Intervensi pemerintah dalam bidang ketenagakerjaan melalui
peraturan perundang-undangan tersebut telah membawa perubahan
mendasar yakni menjadikan sifat hukum perburuhan menjadi ganda yakni
sifat hukum privat dan publik. Campur tangan Pemerintah (penguasa)
dalam hukum Ketenagakerjaan dimaksudkan untuk terciptanya hubungan
antara pekerja dengan pengusaha yang sangat berbeda secara ekonomi
yang jika diserahkan sepenuhnya kepada para pihak, maka tujuan untuk
8
menciptakan keadilan dalam hubungan ketenagakerjaan akan sulit
tercapai, karena itulah pemerintah turut campur tangan melalui perundang
– undangan untuk memberikan jaminan kepastian hak dan kewajiban para
pihak yang terkait.
Kebijakan Upah Minimum Kota (UMK) yang diatur dalam
Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 68 Tahun 2016 menetapkan
tentang besaran UMK di Kota Batu yaitu Rp.2.026.000. Selain itu, dalam
peraturan gubernur ini juga disebutkan dasar dari pada pelaksanaan
kebijakan UMK sebagai standard upah di suatu wilayah baik kota atau
kabupaten adalah pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari
upah minimum. Ketiga pihak yang berkepentingan di dalam kebijakan
UMK masing-masing harus memiliki tanggung jawab yang saling
melengkapi, baik dari pihak pemerintah, pengusaha maupun
pekerja/buruh. Faktanya masih sering diabaikan oleh para pengusaha yaitu
masih banyak pengusaha yang belum melaksanakan kebijakan tersebut di
perusahaannya. Hal inilah yang seringkali memunculkan kecaman dari
para buruh/pekerja di berbagai daerah di indonesia. Di Kota Batu
khususnya, data terakhir yang masuk dalam bidang Pengawasan Dinas
Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Batu dari 257 perusahaan yang
ada hanya 165 perusahaan yang memberikan upah sesuai dengan UMK
atau 35.80% di Kota Batu yang belum menerapkan UMK pada tahun
2015. Hal tersebut mengakibatkan sepanjang tahun 2015 terdapat beberapa
pemberitaan tentang unjuk rasa dan mogok kerja yang dilakukan oleh
9
pekerja sebagai bentuk tindak lanjut dari persepsi pekerja yang menilai
upahnya jauh di bawah UMK, mereka menuntut kenaikan upah sesuai
UMK Batu tahun 2016 sebesar 2.026.000 atau adanya kenaikan UMK.
Kebijakan UMK ini diharapkan oleh pemerintah dapat memberi
nilai tambah terhadap kehidupan kemasyarakatan terutama dalam aspek
ekonomi. Serta kebijakan UMK ini juga dapat meningkatkan taraf hidup
dan kesejahteraan pekerja. Dari sinilah muncul keinginan dari penulis
untuk mengetahui implementasi kebijakan UMK di Kota Batu Tahun
2016, sejauh mana kebijakan UMK Batu ini berpengaruh terhadap pekerja,
khususnya pekerja di Kota Batu. Oleh sebab itu, maka penulis tertarik
dalam penulisan skripsi ini untuk mengambil judul yaitu “Implementasi
Kebijakan Upah Minimum Kota (UMK) dalam Meningkatkan
kesejahteraan Pekerja”.
B. Rumusan Masalah
Dari pemapaaran latar belakang di atas, adapun masalah yang dirumuskan
sebagai berikut :
1. Bagaimanakah implementasi kebijakan upah minimum kota (UMK) di
Kota Batu ?
2. Bagaimanakah dampak pelaksanaan kebijakan Upah Minimum Kota
(UMK) terhadap kesejahteraan pekerja di Kota Batu ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mendiskripsikan dan menganalisis implementasi kebijakan upah
minimum kota (UMK) di Kota Batu.
10
2. Untuk mendiskripsikan dan menganalisa dampak pelaksanaan kebijakan
Upah Minimum Kota (UMK) terhadap kesejahteraan pekerja di Kota
Batu.
D. Manfaat penelitian
1. Manfaat teoritis
a. Sebagai sarana untuk mengembangkan wacana teori-teori di bidang
ilmu pemerintahan daerah, khususnya di bidang penetapan terhadap
Upah Minimum Kota (UMK).
b. Sebagai proses pembelajaran dalam memecahkan persoalan yang secara
riil terjadi di masyarakat utamanya tentang penetapan Upah Minimum
Kota (UMK).
2. Manfaat Praktis
a. Agar pekerja mengetahui implementasi kebijakan terhadap Upah
Minimum Kota (UMK) dan bidang ketenagakerjaan secara umum.
b. Agar pekerja mengetahui upaya yang harus dilakukan dalam
meminimalisir hambatan-hambatan dalam pelaksanaan Upah
Minimum Kota (UMK).
E. Sistematis Pembahasan
Skripsi ini terdiri dari 5 (lima) bab yang sistematika dan alur
pembahasannya dikemukakan sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
11
Bab ini berisi latar belakang penulisan skripsi, rumusan
masalah, tujuan dilakukannya penelitian dan manfaat
penelitian.
BAB II : KAJIAN PUSTAKA
Bab ini menguraikan tentang teori-teori yang melandasi
penulisan dan pembahasan yang berkaitan dengan judul.
Teori ini akan didapat dari hasil studi kepustakaan
beberapa literature.
BAB III : METODE PENELITIAN
Dalam metode penelitian ini dikemukakan focus
penelitian, pemilihan lokasi dan situs penelitian, jenis dan
sumber data, teknik pengumpulan data, instrument
pengumpulan data, dan analisis data.
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini menguraikan pelaksanakan dari hasil
penelitian dan dilakukan pembahasan terkait dengan
semua permasalahan yang diangkat.
BAB V : PENUTUP
12
Bab ini merupakan kesimpulan dari semua yang diuraikan
sebelumnya dan memberikan rekomendasi atau saran
berdasarkan hasil pembahasan.
13
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kebijakan publik
1. Pengertian Kebijakan Publik
Kebijakan publik (publik policy) merupakan konsep sendiri yang
mempunyai arti dan definisi akademik. Sehingga definisi kebijakan
publik menurut para ahli dan definisi akademik. Sehingga definisi
kebijakan publik menurut para ahli pun sangat beragam, hal ini karena
ruang lingkup dalam kebijakan publik sangat luas yang mencakup
berbagai bidang, seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum dan
sebagainya.
Kebijakan publik sendiri merupakan kebijakan yang
dikembangkan oleh lembaga-lembaga pemerintah dan pejabat
pemerintah agar dapat membedakan kebijakan publik dengan bentuk-
bentuk kebijakan yang lain. Kebijakan tersebut akan dipengaruhi oleh
aktor-aktor dan faktor-faktor bukan pemerintah, seperti misalnya
kelompok-kelompok penekan maupun kelompok-kelompok
kepentingan. Keterlibatan aktor-aktor dalam perumusan kebijakan
kemudian menjadi sebuah ciri khusus dari kebijakan publik. Ini
disebabkan oleh kenyataan bahwa kebijakan itu diformulasikan oleh apa
yang disebut oleh david easton sebagai penguasa dalam suatu sistem
politik, yaitu para sesepuh tertinggi suku, anggota eksekutif, legislatif,
yudikatif, administrator, penasihat, raja dan semacamnya
13
44
14
Lebih lanjut David Easton (dalam Leo Agustino, 2009:19)
menjelaskan definisi kebijakan publik sebagai “the autorative
allocation of values for the whole society”. Definisi ini menyatakan
bahwa pemilik otoritasi dalam sistem politik (pemerintah) yang secara
sah yang dapat berbuat sesuatu kepada masyarakatnya dan pilihan
pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu
untuk diwujudkan dalam bentuk pengalokasian nilai-nilai. Hal ini
disebabkan karena pemerintah termasuk ke dalam “authorities in a
political system”, yaitu para penguasa dalam tatanan sistem politik yang
terlibat dalam urusan sistem politik sehari-hari dan mempunyai
tanggungjawab dalam suatu permasalahan tertentu dimana pada suatu
titik mereka diminta untuk mengambil keputusan dikemudian hari kelak
yang harus diterima serta mengikat sebagian besar masyarakat selama
dalam rentang waktu tertentu
Sedangkan Thomas R Dyeb (dalam Islamy, 2009:19)
mendefinisikan kebijakan publik sebagai “is whatever goverment
choose to do or not to do” (apapun yang pemerintah pilih untuk
melakukan atau tidak melakukan). Definisi ini menjelaskan bahwa
kebijakan publik bukan merupakan pernyataan keinginan pemerintah
atau pejabat publik semata, tetapi lebih kepada perwujudan berupa
tindakan. Di samping itu pilihan pemerintah untuk tidak melakukan
sesuatu juga merupakan kebijakan publik karena mempunyai pengaruh
terhadap tujuan yang akan dicapai.
15
Islamy (1991:20) juga menjelaskan definisi kebijakan publik
(publik policy), yaitu “serangkaian tindakan yang ditetapkan dan
dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai
tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh
masyarakat”. Pembuatan kebijakan merupakan suatu tindakan yang
ditetapkan dan dilaksanakan oleh pemerintah yang berorientasi pada
upaya pencapaian tujuan demi kepentingan masyarakat.
Berdasarkan pendapat berbagai para ahli tersebut dapat
disimpulkan bahwa kebijakan publik merupakan serangkaian tindakan
yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah yang berorientasi
pada tujuan tertentu guna memecahkan permasalahan demi kepentingan
publik. Kebijakan untuk melakukan sesuatu biasanya tertuang dalam
ketentuan-ketentuan atau peraturan yang dibuat oleh pemerintah
sehingga memiliki sifat yang mengikat dan memaksa.
2. Model-model Kebijakan Publik
Menurut pendapat Ramelan Surbakti (1992:34) menjelaskan
pada dasarnya kebijakan publik di bedakan menjadi tiga macam yaitu :
a. Kebijakan Umum Ekstraktif
Kebijakan umum ekstraktif adalah penyerapan sumber-sumber materiil
dan sumber daya manusia yang ada di masyarakat. Seperti pemungutan
pajak dan tarif, iuran dan retribusi dari masyarakat, dan pengolahan
sumber alam yang terkandung dalam wilayah negara.
b.Kebijakan Umum Distributif
16
Kebijakan umum distributif adalah pelaksanaan distrubusi dan alokasi
sumber-sumber kepada masyarakat. Distribusi berarti pembagian secara
relatif merata kepada semua anggota masyarkat, sedangkan alokasi
berarti yang mendapat bagian cenderung kelompok atau sektor
masyarakat tertentu sesuai dengan skala prioritas yang ditetapkan atau
sesuai dengan situasi yang dihadapi pada waktu itu.
c. Kebijakan Umum Regulatif
Kebijakan umum regulatif adalah pengaturan perilaku anggota
masyarakat. Kebijakan umum yang bersifat regulatif merupakan
peraturan dan kewajiban yang harus dipatuhi oleh warga masyarakat
dan para penyelenggara pemerintahan negara. Kebijakan mengenai
Upah Minimum Kota yang akan diteliti oleh penulis ini nantinya
merupakan model kebijakan umum regulatif. Pemerintah membuat
peraturan ini agar pihak perusahaan mematuhi untuk tidak
membayarkan upah kepada pekerja atau buruh dengan upah yang
rendah.
3. Dampak Kebijakan Publik
Pengertian akan dampak sesungguhnya berbeda maknanya
dengan akibat maupun implikasi. Dampak itu sendiri manurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah: “Sesuatu yang merupakan hasil
akhir atau hasil suatu peristiwa (perbuatan atau keputusan). Dan
Implikasi menurut KBBI adalah “Keterlibatan atau keadaan yang
17
terlibat dalam hal ini manusia sebagai objek penelitian semakin terasa
manfaat dan kepentingannya.”
William N. Dunn dalam Wibawa (1994:54) menyebutkan bahwa
“dampak kebijakan adalah perubahan fisik dan sosial sebagai akibat dari
output kebijakan”. Output adalah barang, jasa atau fasilitas lain yang
diterima oleh sekelompok masyarakat tertentu, baik kelompok sasaran
maupun kelompok lain yang dimaksud untuk disentuh oleh kebijakan.
Setiap kebijakan memiliki tahapan yaitu mulai dari formulasi dan
penyusunan program kemudian pelaksanaannya dan hasil yang
merupakan output dari suatu kebijakan. Dimana output tersebut dapat
menimbulkan dampak positif maupun negatif yang dapat berhubungan
satu dengan yang lainnya.
Dampak kebijakan itu sendiri menurut Wibawa (1994:54) “ Di
dalamnya ada unit sosial pedampak yang merupakan Unit sosial yang
terkena dampak sebagai akibat dari dilaksanakannya kebijakan publik”.
Unit sosial pendampak tersebut terdiri dari :
1. Dampak Individual
Dampak yang menyentuh aspek biologis/fisik, psikis,
lingkungan hidup, ekonomi dan sosial serta personal.
2. Dampak Organisasional
Dampak kebijakan terhadap organisasi atau kelompok, baik
secara langsung maupun tidak. Dampak langsung adalah yang
langsung berpengaruh pada pencapaian tujuan, sedangkan
18
dampak tidak langsung misalnya dampak terhadap semangat
kerja organisasi.
3. Dampak terhadap Masyarakat
Dampak kebijakan terhadap masyarakat menunjuk pada
sejauh mana kebijakan tersebut mempengaruhi kapasitas
masyarakat dalam melayani anggotanya.
4. Dampak terhadap lembaga dan sistem sosial
Dampak kebijakan dapat menimbulkan perubahan yang
terjadi dalam lembaga dan sistem sosial
Dalam kaitannya dengan penelitian ini maka peneliti lebih
memfokuskan pada dampak individual yaitu dampak yang menyentuh
aspek ekonomi dan sosial serta personal dalam kaitannya dengan
kebijakan Upah Minimum Kota (UMK) di Kota Batu.
B. Implementasi kebijakan publik
1. Pengertian Implementasi Kebijakan Publik
Implementasi merupakan tahapan yang paling penting dari suatu
kebijakan publik. Mazmanian dan sabatier yang dikutip oleh Abdul
Wahab (2005:68) menjelaskan implementasi itu adalah :
“Pelaksanaan keputusan dasar, biasanya dalam bentuk undang -
undang, namun dapat pula berbentuk perintah – perintah atau
keputusan – keputusan eksekutif yang penting atau keputusan
badan pengadilan. Apabila satu kebijakan dianalisis
(perumusannya) dan dirumuskan, langkah selanjutnya adalah
mengorganisasikan, melaksanakan, dan melakukan pengedalian
pelaksanaan kebijakan tersebut.”
19
Implementasi kebijakan seringkali tidak sesuai dengan hasil
yang diharapkan. Kegagalan implementasi tersebut dipengaruhi oleh
banyak faktor. Sebaik apapun sebuah kebijakan jika tidak direncanakan
dan diarsipkan dengan baik dalam implementasi maka tujuan kebijakan
tersebut tidak sepenuhnya dapat terwujud. Hal terpenting dalam
penerapan kebijakan adalah pengimplementasian harus disesuaikan
dengan sumber daya yang tersedia, baik secara kelembagaan maupun
elemen-elemen pendukung yang ada dalam lingkungan masyarakat.
Pada dasarnya implementasi kebijakan merupakan penyedia
sarana dan prasarana untuk melaksanakan suatu kebijakan sehingga
dapat berpengaruh terhadap suatu kelompok sasaran tertentu.
Implementasi kebijakan publik merupakan salah satu cara agar suatu
kebijakan dapat mencapai tujuan. Pengimplemetasian kebijakan publik
dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu langsung diterapkan dalam
bentuk program atau kegiatan melalui suatu formulasi kebijakan turunan
dari kebijakan publik tersebut.
Menurut Setyodarmojo (2000:192) urutan langkah implementasi
dan pengendalian kebijakan publlik adalah sebagai berikut :
1. Sosialisasi dan penyebaran kebijakan agar seluruh masyarakat
mengetahui tentang adanya kebijakan tersebut.
2. Pembentukan organisasi pelaksanaan yang meliputi,
pembagian tugas dan fungsi, penyusunan unit kerja, tata kerja
dan koordinasi.
3. Penyusunan program kerja yang harus memperhatikan (a)
pengelolaan kebijakan publik. (b) sistem dan proses
pengelolaan kebijkan publik. (c) faktor yang mempengaruhi
dinamika proses pembuatan kebijakan publik dan
pelaksanaannya. (d) pemahaman terhadap masalah yang perlu
20
dipecahkan melalui kebijakan publik. (e) perincian program
kerja. (f) volume target. (g) besarnya sumber daya alam,
sumber daya manusia, dan sumber dana. (h) waktu dan
jaringan pelaksanaan. (i) sarana dan prasarana.
2. Pendekatan Implementasi Kebijakan Publik
Pendekatan-pendekatan yang sering digunakan dalam proses
implementasi kebijakan Mulyono (2009) antara lain :
a) Pendekatan Struktual (structual approach)
Pendekatan ini menganggap bahwa kepercayaan terhadap
prinsip-prinsip universal dan organisasi yang baik kini harus
diubah, yakni perhatian pada keyakinan bahwa struktur
organisasi tertentu hanya cocok pada tipe tugas dan lingkungan
tertentu pula.
b) Pendekatan Prosedural dan Manajerial (procedural and
manajerial)
Pendekatan ini menekankan pada prosedur manajerial beserta
teknik-teknik manajmen yang relevan. Dalam pendekatan ini
memungkinkan untuk memperkirakan secara tepat jangka waktu
penyelesaian tiap-tiap tugas, dengan jalan memonitor setiap
peluang waktu yang ada bagi penyelesaian tugas dalam jaringan.
c) Pendekatan Keperilakuan (behavioral approach)
Pendekatan keperilakuan adalah suatu pendekatan yang lebih
memusatkan pada perilaku manusia beserta segala sikapnya.
Pendekatan keperilakuan diawali dengan suatu kesadaran bahwa
seringkali terdapat kebijakan baru dikeluarkan. Oleh karena itu
harus dijelaskan sejak awal tentang alasan, tujuan, sasaran, dan
perlu juga mempersiapkan sarana yang mendalam supaya
kebijakan tersebur mendapat dukungan. Tujuan pendekatan ini
untuk menciptakan suasana saling percaya, terutama dengan cara
pimpinan menunjukan perhatian yang besar terhadap
kepentingan orang-orang atau masyarakat banyak.
d) Pendekatan politik (political approach)
Pendekatan politik adalah mengasumsikan bahwa keberhasilan
suatu kebijakan pada akhirnya akan bergantung juga pada
kesediaan dan kemampuan kelompok-kelompok yang dominan
atau berpengaruh untuk melaksanakan kehendaknya, dengan
kata lain pendekatan ini lebih mengacu pada pola-pola
kekuasaan dan pengaruhnya.
21
3. Model Implementasi Kebijakan Publik
Model kebijakan dalam implementasi kebijakan merupakan
bentuk dari kebijakan tersebut dan mempunyai karakteristik masing-
masing. Terdapat beberapa model implementasi kebijakan tersebut
diantaranya :
a)”A Model of The Policy Implementation” Implementasi
Kebijakan Publik Model Donald Van Meter dan Carl Van Horn
Van Meter dan Van Horn dalam Agustinus (2008:141-
144) teori ini beranjak dari suatu argumen bahwa perbedan-
perbedaan dalam proses implementasi akan dipengaruhi oleh
sifat kebijaksanaan yang akan dilaksanakan. Selanjutnya mereka
menawarkan suatu pendekatan yang mencoba untuk
menghubungkan antara isu kebijakan dengan implementasi dan
suatu model konseptual yang menghubungkan kebijakan dengan
pretasi kerja. Kedua ahli ini menegaskan pula pendiriannya
bahwa perubahan, kontrol dan kepatuhan bertindak merupakan
konsep-konsep penting dalam prosedur implementasi. Dengan
memanfaatkan konsep-konsep tersebut, maka permasalahannya
yang perlu dikaji dalam hubungan ini ialah hambatan-hambatan
yang terjadi dalam mengenalkan perubahan dalam organisasi,
seberapa jauh tingkat efektivitas mekanisme kontrol pada setiap
jenjang struktur dan seberapa penting rasa ketertarikan masing-
masing dalam organisasi. Hal lain yang dikemukakan pleh kedua
22
ahli ini ialah bahwa jalan yang menghubungkan antara kebijakan
dan prestasi kerja dipisahkan oleh sejumlah variabel bebas yang
saling berkaitan. Variabel bebas itu ialah :
1)Ukuran dan Tujuan Kebijakan. Dalam implementasi
kebijakan, tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran suatu program
yang akan dilaksanakan harus diidentifikasikan dan diukur
karena implementasi tidak akan berhasil atau mengalami
kegagalan bila tujuan-tujuan itu tidak dipertimbangkan.
2)Sumber-sumber Kebijakan. Sumber-sumber yang dimaksud
adalah mencakup dana atau perangsang lain yang mendorong
dan memperlancar implementasi yang efektif.
3)Komunikasi Antar Instansi dan Kegiatan Pelaksanaan.
Pelaksanaan implementasi dapat berjalan efektif bila disertai
dengan ketepatan komunikasi antar para pelaksana.
4)Karakteristik badan pelaksana. Karakteristik badan pelaksana
erat kaitannya dengan struktur birokrasi. Struktur birokrasi yang
baik akan mempengaruhi keberhasilan suatu implementasi
kebijakan.
5)Lingkungan Ekonomi, Sosial, dan Politik. Kondisi ekonomi,
sosial dan politik dapat mempengaruhi badan pelaksana dalam
pencapaian implementasi kebijakan.
23
Gambar 1. Implementasi Kebijakan Van Meter dan Van Horn
Sumber : Nugroho (2009:400)
b)”A Framework for Policy Implementation Analysis”
Implementasi Kebijakan Publik Model Daniel Mazmanian dan
Paul Sabatier
Dalam Agustinus (2008:144-149) implementasi
kebijakan mengidentifikasikan variabel-variabel yang
mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal pada
keseluruhan proses implementasi. Variabel-variabel yang
dimaksud dapat diklasifikan menjadi 3 (tiga) kategori besar,
yaitu :
1) Mudah atau tidaknya masalah yang akan digarap dan
dikendalikan ;
2) Kemampuan kebijakan menstrukturkan proses
implementasi secara tepat;
3) Variabel-variabel diluar undang-undang yang
mempengaruhi implementasi.
24
Gambaran mengenai kerangka konseptual proses implementasi
kebijaksanaan negara disebut sebagai variabel bebas, dibedakan
dari tahap-tahap implementasi yang harus dilalui, disebut
variabel tergantung. Dalam hubungan ini perlu diingat, bahwa
tiap tahap akan berpengaruh terhadap tahap lainnya, misalnya
tingkat kesediaan kelompok sasaran untuk mengindahkan atau
mematuhi ketentuan-ketentuan yang termuat dalam keputusan-
keputusan kebijaksanaan dari badan-badan (instansi) pelaksana
akan berpengaruh terhadap dampak nyata keputusan-keputusan
tersebut.
Gambar 2. Sekuensi Implementasi Kebijakan
Sumber : Nugroho (2009:495)
25
c)”Implementation as A Political and Administrative
Process”Implementasi Kebijakan Publik Model Merilee S.
Grindle
Model Grindle dalam Nugroho (2006:132-133) bahwa
keberhasilan implementasi kebijakan publik dipengaruhi oleh dua
variabel yang fundamental, yakni isi kebijakan (content of policy)
dan lingkungan implementasi (context of implementation).
1) Variabel isi kebijakan. Variabel isi kebijakan mencakup hal
sebagai berikut, yaitu; (1) sejauh mana kepentingan kelompok
sasaran atau target groups termuat dalam isi kebijakan publik; (2)
jenis manfaat yang diterima oleh target group; (3) sejauh mana
perubahan yang diinginkan oleh kebijakan. Dalam suatu program
yang bertujuan mengubah sikap dan perilaku kelompok sasaran
relatif lebih sulit diimplementasikan daripada sekedar memberikan
bantuan langsung tunai (BLT) kepada sekelompok masyarakat
miskin; (4) apakah letak sebuah program sudah tepat; (5) apakah
sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan rinci;
dan (6) sumberdaya yang disebutkan apakah sebuah program
didukung oleh sumberdaya yang memadai.
2) Variabel lingkungan kebijakan. Variabel lingkungan kebijakan
mencakup hal-hal sebagai berikut; (1) seberapa besar kekuatan,
kepentingan, dan strategi yang dimiliki oleh para aktor yang
26
terlibat dalam implementasi kebijakan; (2) karakteristik institusi
dan rezim yang sedang berkuasa; (3) tingkat kepatuhan dan
responsivitas kelompok sasaran.
Gambar 3. Model implementasi kebijakan publik Merille S.
Grindle
Sumber: Merilee S. Grindle, Politics and Policies Implementation
in the Third World, (NJ: Princeton University Press, 1980), hal.11
d. Model Implementasi Kebijakan George Edward III (1980)
Edwards dalam winarno (2002 : 125) membahas empat
faktor atau variable krusial dalam implemetasi kebijakan publik.
Faktor atau variabel tersebut adalah komunikasi, sumber-
sumber, kecenderungan-kecenderungan atau tingkah laku dan
struktur birokrasi. Keempat faktor ini berpengaruh terhadap
implementasi kebijakan dan bekerja secara simultan dan
berinteraksi satu sama lain untuk membantu dan menghambat
27
implementasi kebijakan. Maka pendekatan yang ideal adalah
dengan cara merefleksikan kompleksitas ini dengan membahas
semua faktor sekaligus.
Secara umum Edward dan Winarno (2002 : 125),
membahas tiga hal penting dalam proses komunikasi transmisi,
konsistensi, dan kejelasan. Sumber-sumber yang penting
meliputi; staf yang memadai serta keahlian yang baik untuk
melaksanakan tugas mereka, wewenang serta fasilitas yang
diperlukan untuk menterjemahkan usul diatas kertas guna
melaksanakan pelayanan publik. Kecenderungan dari para
pelaksana kebijakan merupakan faktor ketiga yang mempunyai
konsekuensi penting bagi implementasi kebijakan yang efektif.
Jika para pelaksana bersikap baik terhadap suatu
kebijakan tertentu, dan hal ini berarti adanya dukungan,
kemungkinan besar mereka melaksanakan kebijakan
sebagaimana yang diinginkan oleh para pembuat keputusan
awal. Faktor yang keempat adalah struktur birokrasi. Birokrasi
merupakan salah satu badan yang paling sering bahkan secara
keseluruhan menjadi pelaksana kebijakan. Birokrasi baik secara
sadar atau tidak, memilih bentuk-bentuk organisasi untuk
kesepakatan kolektif dalam rangka memecahkan masalah sosial
dalam kehidupan modern.
28
Gambar 4. Model Pendekatan Implementasi Kebijakan menurut
George C. Edward III
Sumber : George III Edward (1980 :148)
e. Model Implementasi Kebijakan Gogging
Model ini merupakan generasi ketiga model
implementasi kebijakan, seperti dalam dwijowijoto (2008:444):
Malcolm Gogging, Ann Bowman, dan James Lester
mengembangkan apa yang disebut sebagai “Comunication
Model” untuk implementasi. Gogging,dkk. Bertujuan
mengembangkan sebuah model implementasi kebijakan yang
“lebih ilmiah” dengan mengedepankan pendekatan “metode
penelitian” dengan adanya variabel independent, intervening,
dan dependen, dan meletakkan faktor “komunikasi” sebagai
penggerak dalam implementasi kebijakan.
F. Model Hogwood dan Gunn
Model Hogwood dan Gunn adalah model yang
mendasarkan pada konsep manajemen strategis yang mengarah
pada praktik manajemen yang sistematis dan tidak
meninggalkan kaidah pokok. Kelemahan dari konsep ini adalah
tidak secara tegas menunjukkan nama yang bersifat politis,
29
strategis, dan teknik atau operasional. Terdapat 8 syarat yang
berkenaan dengan model hogwood dan gunn, yaitu :
1) Adanya jaminan bahwasannya kondisi eksternal yang
dihadapi oleh lembaga pelaksanaan tidak akan
menimbulkan masalah besar.
2) Adanya ketersediaan sumber daya, baik sumber daya
waktu untuk melaksanakan kebijakan.
3) Tersedianya perpaduan sumber-sumber yang diperlukan.
Hal ini dikarenakan sifat dari kebijakan publik adalah
luas, oleh karena itu membutuhkan keterlibatan dari
sumber-sumber yang ada, baik SDM atau aktor sumber
yang lain.
4) Apakah kebijkan yang akan di implementasikan di dasari
hubungan kausal yang handal, maksudnya adalah
memastikan kemampuan dari kebijakan yang dibuat
untuk menyelesaikan permasalahan.
5) Seberapa banyak hubungan kausalitas yang terjadi.
Semakin sedikit hubungan sebab akibat maka semakin
tinggi hasil yang dikehendaki oleh kebijakan tersebut.
6) Apakah hubungan saling ketergantungannya kecil.
7) Adanya pemahaman yang mendalam dan kesepakatan
terhadap tujuan.
8) Memastikan tugas telah dirinci dan ditempatkan dalam
30
urutan yang benar. (Nugroho,630-632)
G. Model Matland
Richard Matland dalam Nugroho (2006:564-568)
mengembangkan sebuah model yang disebut dengan Model
Matriks Ambiguitas-Konflik yang menjelaskan bahwa
implementasi secara admiministratif adalah implementasi yang
dilakukan dalam keseharian operasi birokrasi pemerintahan.
Kebijakan di sini memiliki ambiguitas atau kemenduaan yang
rendah dan konflik yang rendah. Implementasi secara politik
adalah implementasi yang perlu dipaksakan secara politik, karena,
walaupun ambiguitasnya rendah, tingkat konfliknya tinggi.
Implementasi secara eksperimen dilakukan pada kebijakan yang
mendua, namun tingkat konfilknya rendah. Implementasi secara
simbolik dilakukan pada kebijakan yang mempunyai ambiguitas
tinggi dan konflik yang tinggi. Pada prinsispnya matrik matland
memiliki “empat tepat” yang perlu dipenuhi dalam hal keefektifan
implemenatasi kebijakan, yaitu:
1. Ketepatan Kebijakan
Ketepatan kebijakan ini dinilai dari:
1. Sejauh mana kabijakan yang ada telah bermuatan hal-hal yang
memang memecahkan masalah yang hendak dipecahkan.
Pertanyaannya adalah how excelent is the policy.
31
2. Apakah kebijakan tersebut sudah dirumuskan sesuai dengan
karakter masalah yang hendak dipecahkan.
3. Apakah kebijakan dibuat oleh lembaga yang mempunyai
kewenangan (misi kelembagaan) yang sesuai dengan karakter
kebijakan.
2. Ketepatan Pelaksanaan
Aktor implementasi kebijakan tidaklah hanya pemerintah. Ada tiga
lembaga yang bisa menjadi pelaksana, yaitu pemerintah, kerjasama
antara pemerintah-masyarakat/swasta, atau implementasi kebijakan
yang diswastakan (privatization atau contracting out). Kebijakan-
kebijakan yang bersifat monopoli, seperti kartu identitas penduduk,
atau mempunyai derajat politik keamanan yang tinggi, seperti
pertahanan dan keamanan, sebaiknya diselenggarakan oleh
pemerintah. Kebijakan yang bersifat memberdayakan masyarakat,
seperti penanggulangan kemiskinan, sebaiknya diselenggarakan
pemerintah bersama masyarakat. Kebijakan yang bertujuan
mengarahkan kegiatan kegiatan masyarakat, seperti bagaimana
perusahaan harus dikelola, atau di mana pemerintah tidak efektif
menyelenggarakannya sendiri, seperti pembangunan industri-
industri berskala menengah dan kecil yang tidak strategis,
sebaiknya diserahkan kepada masyarakat
3. Ketepatan Target
32
Ketepatan berkenaan dengan tiga hal, yaitu:
1. Apakah target yang dintervensi sesuai dengan yang
direncanakan, apakah tidak ada tumpang tindih dengan
intervensi lain, atau tidak bertentangan dengan intervensi
kebijakan lain.
2. Apakah targetnya dalam kondisi siap untuk dintervensi
ataukah tidak. Kesiapan bukan saja dalam arti secara alami,
namun juga apakah kondisi target ada dalam konflik atau
harmoni, dan apakah kondisi target ada dalam kondisi
mendukung atau menolak.
3. Apakah intervensi implementasi kebijakan bersifat baru
atau memperbarui implementasi kebijakan sebelumnya.
Terlalu banyak kebijakan yang tampaknya baru namun pada
prinsipnya mengulang kebijakan yang lama dengan hasil
yang sama tidak efektifnya dengan kebijakan sebelumnya.
4. Ketepatan Lingkungan
Ada dua lingkungan yang paling menentukan, yaitu:
1. Lingkungan Kebijakan
Yaitu interaksi antara lembaga perumus kebijakan dengan
pelaksana kebijakan dengan lembaga yang terkait. Donald J.
Calista menyebutnya sebagai sebagai variabel endogen, yaitu
33
authoritative arrangement yang berkenaan dengan kekuatan
sumber otoritas dari kebijakan, network composition yang
berkenaan dengan komposisi jejaring dari berbagai organisasi yang
terlibat kebijakan, baik dari pemerintah maupun masyarakat,
implementation setting yang berkenaan dengan posisi tawar-
menawar antara otoritas yang mengeluarkan kebijakan dan jejaring
yang berkenaan dengan implementasi kebijakan.
2. Lingkungan Eksternal Kebijakan
Lingkungan ini oleh Calista disebut sebagai variabel eksogen, yang
terdiri dari atas public opinion, yaitu persepsi publik akan
kebijakan dan implementasi kebijakan, interpretive instutions yang
berkenaan dengan interprestasi lembaga-lembaga strategis dalam
masyarakat, seperti media massa, kelompok penekan, dan
kelompok kepentingan, dalam menginterpretasikan kebijakan dan
implementasi kebijakan, dan individuals, yakni individu-individu
tertentu yang mampu memainkan peran penting dalam
menginterpretasikan kebijakan dan implementasi kebijakan.
Ke-empat “tepat” tersebut masih perlu didukung oleh tiga jenis
dukungan, yaitu:
1. Dukungan politik;
2. Dukungan strategik; dan
34
3. Dukungan teknis
H. Model Jaringan
Model ini memehami bahwa proses implementasi kebijakan
adalah sebuah complex of interaction processes diantara sejumlah
besar aktor yang berada dalam suatu jaringan (network) aktor-aktor
yang independen. Interaksi di antara para aktor dalam jaringan
tersebutlah yang akan menentukan bagaimana implementasi harus
dilaksanakan, permasalahan-permasalahan yang harus
dikedepankan, dan diskresi-diskresi yang diharapkan menjadi
bagian penting di dalamnya.
Pemahaman ini antara lain dikembangkan dalam sebuah
buku yang ditulis oleh tiga orang ilmuwan Belanda, yaitu Walter
Kickert, Erik Hans Klijn, dan Joop Koppenjan, Managing Complex
Networks: Strategies for the Public Sector (1997). Pada model ini,
semua aktor dalam jaringan relatif otonom, artinya mempunyai
tujuan masing-masing yang berbeda. Tidak ada aktor sentral, tidak
ada aktor yang menjadi koordinator. Pada pendekatan ini, koalisi
dan/ atau kesepakatan di antara aktor yang berada pada sentral
jaringan menjadi penentu implementasi kebijakan dan
keberhasilannya.
I. Model Elmore, dkk
35
Model kelima adalah model yang disusun Richard Elmore
(1979), Michael Lipsky (1971), dan Benny Hjern dan David
O’Porter (1981). Model ini dimulai dari mengidentifikasikan
jaringan aktor yang terlibat dalam proses pelayanan dan
menanyakan kepada mereka: tujuan, strategi, aktivitas, dan kontak-
kontak yang mereka miliki. Model implementasi ini didasarkan
pada jenis kebijakan publik yang mendorong masyarakat untuk
mengerjakan sendiri implementasi kebijakannya atau tetap
melibatkan pejabat pemerintah namun hanya di tataran rendah.
Oleh karena itu, kebijakan yang dibuat harus sesuai dengan
harapan, keinginan, publik yang menjadi target atau kliennya, dan
sesuai pula dengan pejabat eselon rendah yang menjadi
pelaksananya. Kebijakan model ini biasanya diprakarsai oleh
masyarakat, baik secara langsung maupun melalui lembaga-
lembaga nirlaba kemasyarakatan (LSM).
J. Model Soren C. Winter
Winter dalam peters and Pierre memperkenalkan model
implementasi intergratif (Intergrated Implementation Model).
Winter berpendapat bahawa keberhasilan implementasi kebijakan
dipengaruhi oleh formulasi kebijakan proses implementasi
kebijakan dampak implementasi kebijakan itu sendiri
36
Selanjutnya Winter mengemukakan 3 (tiga) variabel yang
mempengaruhi keberhasilan proses implementasi yakni :
1. Perilaku hubungan antar organisasi. Dimensinya adalah:
komitmen dan koordinasi antar organisasi;
2. Perilaku implementor (aparat/birokrat) tingkat bawah.
Dimensinya adalah kontrol politik, kontrol organisasi dan etos
kerja dan norma-norma profesional
3. Perilaku kelompok sasaran. Kelompok sasaran tidak hanya
memberi pengaruh pada dampak kebijakan tetapi juga
mempengaruhi kinerja aparat tingkat bawah, jika dampak yang
ditimbulkan baik maka kinerja aparat tingkat bawah juga baik
demikian dengan sebaliknya. Perilaku kelompok
sasaran meliputi respon positif atau negatif masyarakat dalam
mendukung atau tidak mendukung suatu kebijakan yang
disertai adanya umpan balik berupa tanggapan kelompok
sasaran terhadap kebijakan yang dibuat.
K. Model G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli
Cheema dan Rondinelli dalam Subarsono (2008) menggambarkan
empat kelompok variabel yang dapat memengaruhi kinerja dan
dampak suatu program antara lain (1). Kondisi lingkungan,
(2). Hubungan antar organisasi, (3) Sumberdaya organisasi untuk
implementasi program, (4). Karakteristik dan kemampuan agen.
Dari kesemua model tersebut memiliki kelebihan dan
kekurangan masing-masing sehingga dalam hal ini seorang
pembuat kebijakan dalam mengimplementasikan kebijakan
jangan sampai keliru pada saat memaknai atau menjalankan
suatu kebijakan karena ketika awalan yang dilakukan sudah
keliru maka kedepannya akan keberlangsungan suatu kebijakan
tersebut akan tidak berjalan sebagaimana mestinya yang
diinginkan dan sistem kontroling juga tidak baik.
37
Banyak sekali model-model implementasi kebijakan
yang ditawarkan, akan tetapi manakah model-model yang cocok
dengan kebijakan yang ada. Pada penelitian ini, peneliti nantinya
menggunakan model yang dikembangkan oleh Van Metter dan
Van Horn karena menurut peneliti, model ini menjelaskan
keberhasilan implementasi kebijakan publik yaitu ukuran dan
tujuan kebijakan, sumber-sumber kebijakan, komunikasi,
karakteristik badan pelaksana, kondisi ekonomi, sosial dan
politik yang mana variabel yang dijelaskan tersebut sesuai
dengan apa yang nantinya akan diteliti oleh penulis.
C. Pengupahan
1. Pengertian Upah
Definisi upah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun
1981 tentang Perlindungan upah adalah :
“Suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada
tenaga kerja untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan
dilakukan, dinyatakan, atau dinilai dalam bentuk uang yang
ditetapkan menurut suatu persetujuan atau peraturan perundang-
undangan dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara
pengusaha (pemberi kerja) dan pekerja termasuk tunjangan baik
untuk pekerja sendiri maupun keluarganya”.
Sedangkan definisi upah menurut Pasal 1 angka 30 Undang-
undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan
pengertian upah adalah :
“Hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk
uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada
pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu
perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-
38
undangan termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan
keluarganya atas suatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan
dilakukan”.
Dari pengertian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa upah
dibayarkan berdasar atas kesepakatan para pihak, dan agar upah yang
diterima oleh pekerja/buruh tidak terlampau rendah, maka pemerintah
turut campur tangan dalam menetapkan standar upah minimum. Upah
memegang peranan penting dan ciri khas suatu hubungan kerja, karena
upah merupakan tujuan utama bagi seorang pekerja dalam melakukan
pekerjaan pada orang atau badan hukum lain, maka pemerintah turut
serta dalam menangani masalah upah melalui berbagai kebijakan yang
dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Undang-Undang No.
13 Tahun 2003 Pasal 88 ayat (1) menyebutkan setiap pekerja berhak
memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan, maka pemerintah menetapkan kebijakan
pengupahan untuk melindungi pekerja, meliputi :
a. Upah minimum;
b. Upah kerja lembur;
c. Upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
d. Upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar
pekerjaannya;
e. Upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;
f. Bentuk dan cara pembayaran upah;
g. Denda dan potongan upah;
39
h. Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
i. Struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
j. Upah untuk pembayaran pesangon;
k. Upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
Pasal 91 ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa Pengaturan
pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dengan
pekerja atau serikat pekerja tidak boleh lebih rendah dari ketentuan
pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku yaitu sesuai dalam Pasal 90 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan. Apabila kesepakatan tersebut lebih
rendah dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka
kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib
membayar upah pekerja sesuai peraturan perundang- undangan yang
berlaku.
2. Komponen Upah
Pemberian upah yang tidak dalam bentuk uang dibenarkan asal
tidak melebihi 25% dari nilai upah yang seharusnya diterima. Imbalan
yang diterima oleh pekerja tidak selamanya disebut sebagai upah,
karena dapat imbalan tersebut tidak termasuk dalam komponen upah.
a.Termasuk komponen upah adalah :
(1) Upah pokok merupakan imbalan dasar yang dibayarkan kepada
pekerja menurut tingkat atau jenis pekerjaan yang besarnya
ditetapkan berdasar perjanjian;
40
(2) Tunjangan tetap yaitu suatu pembayaran yang teratur berkaitan
dengan pekerjaan yang diberikan secara tetap untuk pekerja dan
keluarganya yang dibayarkan bersamaan dengan upah pokok seperti
tunjangan anak, tunjangan kesehatan, tunjangan perumahan.
(3) Tunjangan tidak tetap yaitu pembayaran yang secara langsung
maupun tidak langsung berkaitan dengan pekerja dan diberikan
secara tidak tetap bagi pekerja dan keluarganya serta dibayarkan
tidak bersamaan dengan pembayaran upah pokok.
b. Tidak termasuk komponen upah adalah :
(1) Fasilitas yaitu kenikmatan dalam bentuk nyata karena hal-hal yang
bersifat khusus atau untuk meningkatkan kesejahteraan buruh;
(2) Bonus yaitu pembayaran yang diterima karena pekerja berprestasi
melebihi target produksi yang normal atau karena peningkatan
produksi;
(3) Tunjangan hari raya dan pembagian keuntungan lainnya.
3. Jenis-Jenis Upah
G. Kartasapoetra dalam bukunya menyebutkan, bahwa jenis-jenis upah
meliputi :
a. Upah nominal
Yang dimaksud dengan upah nominal adalah sejumlah uang yang
dibayarkan kepada pekerja yang berhak secara tunai sebagai imbalan
atas pengerahan jasa-jasa atau pelayanannya sesuai dengan
ketentuan- ketentuan yang terdapat dalam perjanjian kerja di bidang
41
industri atau perusahaan ataupun dalam suatu organisasi kerja, dimana
ke dalam upah tersebut tidak ada tambahan atau keuntungan yang lain
diberikan kepadanya. Upah nominal ini sering pula disebut upah uang
(money wages), sehubungan dengan wujudnya yang memang berupa
uang secara keseluruhannya.
b. Upah nyata (real wages)
Upah nyata adalah upah yang benar-benar harus diterima oleh seseorang
yang berhak. Upah nyata ditentukan oleh daya beli upah tersebut yang
akan banyak bergantung dari :
(1) Besar atau kecilnya jumlah uang yang diterima;
(2) Besar atau kecilnya biaya hidup yang diperlukan.
Adakalanya upah itu diterima dalam wujud uang atau fasilitas atau in
natura, maka upah nyata yang diterimanya yaitu jumlah upah uang dan
nilai rupiah dari fasilitas dan barang in natura tersebut.
c. Upah hidup
Dalam hal ini upah yang diterima seorang pekerja itu relatif cukup
untuk membiayai keperluan hidup yang lebih luas, yang tidak hanya
kebutuhan pokoknya saja yang dapat dipenuhi melainkan juga sebagian
dari kebutuhan sosial keluarganya, misalnya pendidikan, bagi bahan
pangan yang memiliki nilai gizi yang lebih baik, iuran asuransi jiwa dan
beberapa lainnya lagi.
d. Upah minimum
Pendapatan yang dihasilkan para buruh dalam suatu perusahaan sangat
42
berperan dalam hubungan ketenagakerjaan. Seorang pekerja adalah
manusia dan dilihat dari segi kemanusiaan sewajarnyalah pekerja
mendapatkan penghargaan dan perlindungan yang layak.
e. Upah wajar
Upah yang secara relatif dinilai cukup wajar oleh pengusaha dan para
pekerjanya sebagai uang imbalan atas jasa-jasa yang diberikan pekerja
kepada pengusaha atau perusahaan sesuai dengan perjanjian kerja
diantara mereka.
4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Upah
Faktor-faktor yang mempengaruhi upah antara lain :
a. Pendidikan dan keterampilan
Tingkat pendidikan mempunyai pengaruh langsung terhadap
produktifitas kerja.
b. Kondisi pasar kerja
Kondisi pasar kerja sangat mempengaruhi nilai tawar pekerja. Dalam
tingkat pengangguran tinggi menyebabkan kelebihan pekerja dengan
penawaran upah rendah, hal ini menyebabkan posisi tawar pencari kerja
menjadi sangat lemah.
c. Biaya hidup
Tingkat biaya hidup di suatu tempat akan berpengaruh terhadap tingkat
upah di tempat tersebut. Hal ini terjadi untuk mempertahankan tingkat
kesejahteraan pekerja yang bersangkutan.
d. Kemampuan perusahaan
43
Faktor ini menjadi penentu utama dalam menetapkan tingkat upah. Ada
pendapat yang menyatakan bahwa apabila perusahaan tidak mampu
membayar upah secara wajar, maka perusahaan yang bersangkutan
harus menutup perusahaan.
e. Kemampuan serikat pekerja
Apabila serikat pekerja kuat dalam perundingan Perjanjian Kerja
Bersama dapat memperjuangkan perbaikan syarat kerja termasuk
pengupahan dengan hasil yang maksimal.
f. Produktifitas kerja
Kelangsungan hidup dan dan kemajuan perusahaan sangat ditentukan
oleh tingkat produktivitas kerja haruslah disadari penuh oleh pekerja
dan pengusaha juga harus memahami bahwa kemajuan itu adalah hasil
sumbangan dari pekerja.
g. Kebijakan pemerintah
Dalam hal-hal tertentu pemerintah melaksanakan intervensi terhadap
pengupahan dan tidak semata-mata diserahkan kepada mekanisme
pasar. Tujuannya adalah untuk menjamin agar tingkat upah tidak
merosot dengan menetapkan jaring pengaman dalam bentuk upah
minimum. Intervensi ini juga memelihara kesempatan kerja.
5. Upah Minumum Kota
Penerapan ketentuan UMK lahir ketika diberlakukannya
otonomi daerah yang memberikan pandangan tentang pengelolaan dan
manajemen di dalam pemerintahan daerah dilakukan oleh daerah
44
sendiri, sehingga menghasilkan evaluasi terhadap berbagai sistem dalam
pemerintahan daerah salah satunya adalah sistem pengupahan.
Pengertian upah menurut Peraturan pemerintah no. 8 tahun
1982. Tentang perlindungan upah, yaitu :
“upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha
kepada buruh untuk suatu atau jasa yang telah atau akan
dilakukan dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang
ditetapkan menurut suatu persetujuan, atau peraturan perundang
– undangan dan dibayarkan atas suatu perjajnjian kerja antara
pihak pengusaha dan buruh/pekerja termasuk tunjangan, baik
untuk buruh itu sendiri maupun keluarganya”.
Dengan demikian upah dikategorikan dalam hubungan timbal balik
antara pengusaha dan pihak pekerja dalam melakukan pekerjaan,
pengusaha mendapatkan jasa tenaga kerja dari pekerja/buruh dan buruh
mendapatkan upah atas hasil kinerjanya. Peraturan yang mengatur
minimum pertama kali muncul dalam pemberlakuan upah minimum
terjadi pada tahun 1999, dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri
Tenaga Kerja No. 1/MEN/1999 tentang Perlindungan Upah
menyebutkan, Upah minimum Regional yang selanjutnya disebut UMR
dibagi atas :
45
1. UMR Tingkat I, yaitu upah minimum yang berlaku di wilayah
Provinsi.
2. UMR Tingkat II, yaitu upah minimum yang berlaku di wilayah
Kabupaten/Kota.
Peraturan tersebut kemudian berubah dengan dikeluarkannya
keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 226/men/2000 yang mengatur
tentang perubahan pasal 1, pasal 3, pasal 8, pasal 11, pasal 20, pasal 21
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Kep.
01/MEN/1999 mengenai istilah UMR ynag selanjutnya disebut :
1. UMR Tingkat 1 berubah istilah menjadi Upah Minimum Provinsi
(UMP).
2. UMR Tingkat II berubah istlah menjadi Upah Minimum Kota
(UMK).
Peraturan mengenai UMP/UMK juga terdapat dalam pasal 88
ayat (4) dalam UU ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 yang
menyebutkan bahwa “Upah Minimum Kota adalah ketentuan dalam
sistem pengupahan yang diberlakukan berdasarkan tingkat Propinsi atau
Kabupaten/Kota yang ditetapkan pemerintah berdasarkan kehidupan
hidup layak dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan
ekonomi”.
Melalui UU No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan
mekanisme ketentuan UMK ditetapkan sebagai dasar dalam penetuan
upah oleh baik pemerintahan tingkat propinsi, kabupaten/kota masing –
46
masing. Upah yang terdiri dari komponen – komponen pembentuk upah
diukur dari tingkat kebutuhan buruh yang masih lajang, berarti
kebutuhan untuk satu orang dalam satu bulannya, menyangkut
kebutuhan secara umum yaitu sandang, pangan dan papan. Jadi
misalkan buruh memiliki kebutuhan dalam satu harinya membutuhkan
makan sebesar Rp. 15.000,- minum Rp. 6000,- Transportasi Rp. 5.000,-
maka kebutuhan seharinya seorang pekerja sebesar Rp. 26.000,- dan
dalam satu bulan upah yang akan diterima oleh pekerja sebesar Rp.
780.000,-.
Penelitian komponen kebutuhan hidup layak sebagai dasar
penentuan upah minimum yang dilakukan Departemen Tenaga Kerja
dan Transmigrasi mengatakan, penetapan upah minimum di Indonesia
didasarkan pada kebutuhan hidup kerja lajang yang sudah mengalami 2
kali perubahan, yaitu penetapan upah minimum yang didasarkan pada
Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) dan didasarkan pada Kebutuhan
Hidup Minimum (KHM). Perubahan itu disebabkan tidak sesuainya lagi
penetapan upah berdasarkankebutuhan fisik minimum, sehingga timbul
perubahan yang disebut (KHM). Tapi, penetapan upah minimum
berdasarkan KHM mendapat koreksi yang cukup besar dari pekerja
yang beranggapan, terjadi implikasi terhadap rendahnya daya beli dan
kesejahteraan masyarakat terutama pada pekerja tingkat level bawah .
dengan beberap pendekatan dan penjelasan langsung terhadap pekerja,
47
penetapan upah minimum berdasarkan KHM dapat berjalan dan
diterima pihak pekerja dan pengusaha.
Rangkaian proses pelaksanaan dan pengawasan ketentuan UMK
telah terjadi kewenangan daerah sebagai pelaksanaan otonomi daerah
sejak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintahan dan kewenangan propinsi sebagai daerah
otonom, yang menyatakan “Penetapan dan pengawasan atas
pelaksanaan upah minimum adalah kewenangan propinsi”. Maka dari
itu proses keseluruhan dari segi pelaksanaan ketentuan UMK dalam hal
ini adalah dari awal proses penetapan sampai pada pengawasan terhadap
pelaksanaan peraturan tersebut.
6. Tujuan Penetapan UMK
Proses penetapan upah disini harus bisa mengakomodir
kepentingan antar pengusaha dengan pekerja/buruh yang bertujuan
untuk mendapatkan kesepakatan bersama tentang berapa jumlah upah
yang harus dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh, dan
dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup layak dari setiap
pekerja dan produktifitas perekonomian.
Ada beberapa faktor yang dapat dipergunakan sebagai dasar
dalam penetapan upah minimum, faktor tersebut anatara lain disebutkan
oleh Anonymous (2001:23) sebagai berikut :
1. Terpenuhinya kebutuhan hidup minimal pekerja dan
keluarganya.
2. Mencegah merosotnya upah pekerja.
3. Terlindunginya daya upah berpenghasilan rendah
48
4. Meningkatkan taraf hidup dan martabat golongan penerima upah
rendah yang dalam kenyataannya merupakan mayoritas.
Penetapan UMK sebagai salah satu peraturan yang mengatur
hubungan masyarakat dalam kehidupan ekonomi dalam hal ini harus
didasarkan atas kebutuhan dari masa mayoritas, dan didasarkan atas
pemenuhan kebutuhan layak dari pekerja/buruh. Pekerja berikut
keluarganya, mempunyai ketergantungan terhadap besarnya nilai upah
yang diterima dalam rangka membiayai pemenuhan kebutuhan sehari-
harinya, mulai dari kebutuhan pangan, sandang, papan dan beragam
kebutuhan lainnya. Itulah sebabnya pekerja atau serikat pekerja
senantiasa mengharapkan bahka sering menuntut kenaikan upah kepada
pihak pengusaha. Demikian sebaliknya, pihak pengusaha juga
mempunyai kepentingan yang besar dengan upah karena upah
merupakan komponen penting pengeluaran biaya perusahaan.
Menurut Anonymous (2001:23) ada beberapa tujuan dari pada
penetapan upah minimum yaitu :
1. Sebagai jaring pengaman
2. Pemerataan pendapatan dan mempersempit kesenjangan dalam
mewujudkan keadilan sosial.
3. Meningkatkan harkat dan martabat tenaga kerja dalam rangka
memanusiakan manusia.
4. Mendorong meningkatkan disiplin dan produktivitas kerja.
Upah, mempunyai korelasi yang positif dengan produktivitas
kerja, karena akan digunakan pekerja untuk pemenuhan konsumsi gizi
dan biaya kesehatan. Selain itu juga untuk kebutuhan yang sifatnya fisik
maupun nonfisik. Apabila pekerja/buruh memperoleh upah rendah maka
tidak dapat memenuhi kebutuhan gizi dan kesehatan yang memadai.
49
Dan lebih lanjut dapat mengakibatkan pekerjaan yang kurang produktif.
Pendapatan atau upah pekerja juga merupakan salah satu komponen
pendapatan masyarakat yang merupakan cerminan kekuatan daya beli
atau purchasing power yang turut menggerakan roda ekonomi melalui
pembelian berbagai barang konsumsi yang terkait langsung dengan
kegiatan distribusi dan kegiatan produksi.
D. PEKERJA
1. Pengertian Pekerja
Mengutip dari Undang-undang No 13 Tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan, dalam pasal 3 menyebutkan bahwa “pekerja adalah
setiap orang yang bekerja pada orang lain dengan menerima atau
imbalan dalam bentuk lain”. Unsur-unsur dalam pengertian pekerja itu
adalah :
1. Bekerja pada orang lain
2. Dibawah perintah orang lain
3. Mendapat upah
Sedangkan, pengertian pekerja menurut Martoyo (1991:17)
adalah :
”Ia yang bekerja pada majikan dengan mendapatkan upah dan
kedudukannya dalam perusahaan adalah yang paling rendah.
Bila dilengkapi lagi maka pekerja tidak memiliki bawahan, tidak
memiliki sikap kecuali harus tunduk dan menerima perintah dari
atasan, serta ikut menetapkan kebijakan perusahaan”.
Dari beberapa pengertian pekerja di atas, dapat disimpulkan
bahwa pekerja adalah orang yang bekerja untuk orang lain atau orang
50
yang bekerja atas perintah orang lain dengan menerima imbalan atas apa
yang sudah dilakukannya.
2. Hak-hak dan kewajiban pekerja
Setiap pekerja memiliki hak dan kewajiban yang tidak jauh
berbeda. Dalam penelitian ini, hak dan kewajiban disini lebih pada hak
dan kewajiban pekerja dalam dunia kerjanya. Menurut Prints (2000:22-
23), yang dimaksud dengan hak disini adalah “sesuatu yang harus
diberikan kepada seseorang sebagai akibat dari kedudukan atau status
dari seseorang tersebut”. Mengenai hak-hak bagi pekerja adalah sebagai
berikut :
1. Hak mendapat upah/gaji (Pasal 1602 KUH Perdata, Pasal 88
s/d 97 Undang-undang No. 13 Tahun 2003; Peraturan
Pemerintah No.8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah);
2. Hak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak bagi
kemanusiaan (Pasal 4 Undang-undang No.13 tahun 2003);
3. Hak bebas memilih dan pindah pekerjaan sesuai bakat dan
kemampuannya (Pasal 5 Undang-undang No.13 tahun 2003);
4. Hak atas pembinaan keahlian kejuruan untuk memperoleh
serta menambah keterampilan dan keahlian lagi (Pasal 9-30
Undang-undang No.13 tahun 2003);
5. Hak mendapatkan perlindungan dan keselamatan,
keselamatan serta perlakuan yang sesuai dengan martabat
manusia dan moral agama (Pasal 3 Undang-undang No.3
tahun 1992 tentang Jamsostek);
6. Hak mendirikan dan menjadi anggota Perserikatan Tenaga
Kerja (Pasal 104 Undang-undang No.13 tahun 2003 dan
Undang-undang No.21 tahun 2000 tentang Serikat
Pekerja/Buruh)
7. Hak atas istirahat tahunan, Tiap-tiap kali setelah ia
mempunyai masa kerja 12 (dua belas) bulan berturut-turut
pada satu majikan dari satu organisasi majikan (Pasal 79
Undang-undang No.13 tahun 2003);
8. Hak atas upah penuh selama istirahat tahunan (Pasal 88-98
Undang-undang No.13 tahun 2003);
9. Hak atas suatu pembayaran penggantian istirahat tahunan,
bila pada saat diputuskan hubungan kerja ia sudah
51
mempunyai masa kerja sedikit-dikitnya enam bulan terhitung
dari saat ia berhak atas istirahat tahunan yang berakhir; yaitu
dalam hal bila hubungan kerja diputuskan oleh majikan
tanpa alasan mendesak yang diberikan oleh buruh, atau oleh
buruh karena alasan mendesak yang diberikan oleh Majikan
(Pasal 150-172 Undang-undang No.13 tahun 2003);
10. Hak untuk melakukan perundingan atau penyelesaian
perselisihan hubungan indrustrial melalui bipartit, mediasi,
konsilasi, arbitrase dan penyelesaian melalui pengadilan
(Pasal 6-115 Undang-undang No.2 tahun 2004)
Selain itu Print (2000:23) juga menambahkan bahwa, yang
dimaksud kewajiban disini adalah “suatu prestasi baik berupa benda
atau jasa yang harus dilakukan oleh seseorang karena kedudukannya
atau statusnya”. Kewajiban dari pekerja antara lain yaitu :
1. Wajib melakukan prestasi/pekerjaan bagi majikan;
2. Wajib mematuhi peraturan perusahaan.;
3. Wajib mematuhi perjanjian kerja;
4. Wajib mematuhi perjanjian perburuhan;
5. Wajib menjaga rahasia perusahaan;
6. Wajib mematuhi peraturan majikan;
7. Wajib memenuhi segala kewajiaban selama izin belum
diberikan dalam hal ada banding yang belum ada
putusannya.
Berdasarkan gambaran akan hak dan kewajiban pekerja yang
sudah disebutkan di atas, dalam hal ini penulis lebih condong pada hak
pekerja yaitu menerima gaji atau upah dari sekian banyaknya hak-hak
pekerja itu sendiri. Hak dalam menerima gaji atau upah itu sendiri
menjadi hak yang paling penting yang harus didapatkan pekerja, karena
gaji atau upah merupakan sesuatu yang menjamin segala kebutuhan dari
pekerja itu sendiri. Sedangkan kewajiban pekerja, peneliti memandang
bahwa itu merupakan hal pokok yang harus dilakukan oleh pekerja
untuk dapat menerima gaji/upah.
52
E. Kesejahteraan pekerja
1. Pengertian Kesejahteraan
Istilah kesejateraan ini mengandung arti yang cukup luas dan
mencakup dari berbagai segi pandangan atau ukuran dalam suatu istilah.
Kata sejahtera dari kata “sejahtera” yang memiliki arti aman , makmur,
dan selamat. Dari tiga kategori tersebut dapat dicirikan bahwa seseorang
yang sejahtera.
Suatu ukuran kesejahteraan adalah ukuran yang abstrak dan
relatif, namun bukan berarti tidak dapat di ukur. Pengertian
kesejahteraan menurut Purwadinata yang dikutip oleh Sumarnonugroho
(1984 : 27) menyebutkan : “Kesejahteraan adalah aman sentosa,
makmur dan selamat (terlepas dari segalam macam gangguan, kesehatan
dan lain sebagainya)”.
Sedangkan pengertian menurut Suprayudo (1905:18) pengertian
kesejahteraan diartikan sebagai kemakmuran yaitu :
“Suatu keadaan dimana kebutuhan manusia dapat dipenuhi dengan
wajar secara mantap atau terus menerus, secara konkrit itu berarti
tersedianya barang dan jasa kebutuhan hidup tidak hanya untuk
memungkinkan hidup, tetapi untuk mempermudah orang untuk
dapat hidup layak dan sejahtera”.
Tingkat ukuran kesejahteraan juga dapat diukur dari tingkat pemenuhan
kebutuhan seseorang dari yang primer sampai yang tersier, ukuran ini
pula yang oleh ahli manajemen Maslow yang dikutip Manullang
(1981:70) yang menguraikan beberapa kebutuhan manusia dalam
tingkatan yang sebagai berikut :
53
1. Phisiological needs, kebutuhan fisik berupa sandang, pangan, dan
papan sebagai dasar awal kebutuhan manusia.
2. Safety needs, kebutuhan keamanan, baik dari diri maupun atas
keadaan sekitarnya.
3. Social needs, kebuthan akan teman, dan kerabatn dan hubungan sosial
lainnya
4. Esteer needs, kebutuhan akan keinginan untuk dihormati dan
dipandang baik oleh orang lain.
5. Self needs, kebutuhan akan pengembangan diri dan realisasi diri.
Sejalan dengan pemikiran di atas bahwa suatu ukuran
kesejahteraan merupakan suatu yang abstrak, namun dapat diukur
dengan menentukan ukuran yang materil dengan melihat kondisi yang
ada di sekitar pekerja.
Materi – materi kesejahteraan adalah seperti yang disampaikan
oleh Sukarna (1975:71), sebagai berikut :
1. Gaji yang layak dapat memenuhi kebutuhan , baik kebutuhan rohani
dan jasmania.
2. Jaminan sosial lainnya seperti jaminan hari tua, jaminan kesehatan
dan jaminan lainnya.
3. Promosi, baik pangkat ataupun upah.
4. Kesempatan pengembangan karir dan mendapatkan pendidikan yang
baik.
5. Mendapat bagian keuntungan perusahaan, seperti premi dan hadiah-
hadiah
6. Cuti tahunan dan cuti besar dengan kesempatan untuk bersama wisata
baik dalam negeri maupun luar negeri
7. Adanya pengakuan dan penghargaan dari atasan atas nilai – nilai
pribadi dan pikirannya untuk mengembangkan perusahaan .
8. Pemberian dan bantuan di saat yang diperlukan, seperti saaat sakit,
kematian dan kelahiran.
9. Adanya rasa bahwa tenaganya sangat dieprlukan bagi perusahaan.
Jelas di sini kesejahteraan diukur dari bagaimana manusia dapat
memenuhi kebutuhan sosialnya secara lahir dan batin, tingkat
kemampuan dapat diukur dari kemampuan ekonomi, sosial, dan budaya
seseorang, sehingga orang tersebut dapat bertahan hidup dengan kondisi
54
yang layak. Kesejahteraan juga tidak diukur semata–mata dari
kebutuhan individu seseorang namun pula apa saja yang telah menjadi
bebannya dan dipenuhinya sehingga dapat benar-benar dikatakan
sejahtera. Kesejahteraan kaum pekerja erat kaitannya dengan berapa
berapa penghasilan yang didapat oleh pekerja dan seberapa besar beban
yang harus ditanggung dalam kehidupan sehari – hari, seorang pekerja
jelas memilik keluarga, anak yang harus disekolahkan, penyakit yang
diderita dan harus diobati, kecelakaan kerja dan sebagianya.
Berdasarkan Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan pasal 100 tentang kesejahteraan ayat (1) menyebutkan :
untuk menigkatkan kesejahteraan bagi pekerja dan keluarganya,
pengusaha wajib menyediakan fasilitas kesejahteraan”. Peran
mensejahterahkan pekerja juga masuk dalam fungsi dari pada Disnaker
sebagai tangan pemerintah dalam upaya mensejahterakan pekerja. Jelas
di sini pemerintah juga memiliki tanggung jawab aktif dalam
mensejahterakan pekerja.
2. Sasaran kesejahteraan
Dalam usaha meningkatkan kesejahteraan pekerja, hasil yang
nentinya akan dihasilkan bukan hanya untuk pekerja itu sendiri
melainkan keluarga yang menjadi tanggungan ekonomi ikut merasakan.
Untuk mamajukan kesejahteraan pekerja dapat dilakukan dengan cara
pembinaan, sehingga mereka merasa diperhatikan semua kebutuhannya.
Hal ini akan menumbuhkan loyalitas, dedikasi dan disiplin pekerja yang
55
mana menjadi harapan bagi pengusaha terhadap pekerjanya. Cara yang
harus dilakukan adalah dengan meningkatkan penghasilan perkapita dari
pekerja dan standar kehidupan layak.
Baik pekerja yang sudah tetap ataupun dalam masa kontrak
berhak mendapat perlakuan yang sama. Seperti yang disebut Widjaya
(1990:62) menyebutkan sasaran kesejahteraan antara lain :
1. Langsung, dalam hal ini adalah semua pekerja termasuk dalam
masa honorer/kontrak sesuai dengan peraturan perundangan
yang berlaku
2. Tidak langsung, adalah semua pekerja yang melakukan
pekerjaan.
3. Khusus, adalah bagi para pekerja yang telah pensiun dan
keluarganya.
Untuk mencapai sasaran kesejahteraan yang harapannya mampu
menjangkau di seluruh pembangunan dari pada kebutuhan pekerja,
pencapaian itupun sangat tergantung dari berbagai segi yang paling
mempengaruhi dalam perkembangan masyarakat. Sehingga pencapaian
kehidupan sejahtera pun merupakan tanggung jawab kita bersama dalam
suatu tatanan masyarakat berbangsa dan bernegara.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian adalah cara yang digunakan dalam penelitian
yang menurut Mandalis (1990 ; 4) disebutkan : “Metode penelitian adalah
suatu metode ilmiah yang memerlukan sistematika dan prosedur yang
harus ditempuh dengan tidak meninggalkan setiap komponen yang
diperlukan dalam penelitian.
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian diskriptif dengan
pendekatan kualitatif. Bahwa penelitian ini diklasifikasikan sebagai
penelitian dengan melalui pendekatan kualitatif yaitu peneliti melakukan
penelitian langsung secara intensif, terinci dan mendalam terhadap suatu
organisasi, lembaga atau sebuah kasus di lapangan dengan pengamatan
objek (kegiatan atau peristiwa) yang diteliti secara mendalam. Penelitian
ini juga digolongkan sebagai penelitian deskrtiptif yang menggambarkan
dan menyajikan fakta secara sistematis tentang keadaan objek yang
sebenarnya tentang Implementasi Kebijakan Pemerintahan Daerah Kota
Batu mengenai Upah Minimum Kota dalam meningkatkan kesejahteraan
pekerja. Menurut Bogdan dan Moeleong (2007:40) menyatakan bahwa
“metode peneltian kualitatif sebagai prosedur yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang perilaku
yang dapat diamati”. Jadi dalam penelitian menggunakan metode kualitatif
didukung oleh keberadaan bentuk data lain seperti dokumen atau laporan
56
57
laporan terkait, sehingga nantinya mampu menghasilkan gambaran
fenomena-fenomena dan menganalisa hubungan-hubungan yang terjadi
antara fenomena tersebut.
B. Fokus Penelitian
Penelitian kualitatif, terdapat gejala bersifat holistic atau
menyeluruh, tidak dapat dipisah-pisahkan. Dengan demikian, kita akan
menetapkan peneletian kita hanya berdasarkan variabel penelitian, tetapi
keseluruhan situaisi sosial yang kita teliti yang meliputi aspek tempat
(place), pelaku (actor), dan aktivitas (activity) yang berinteraksi secara
sinergis. Fokus penelitian merupakan rincian dari topik-topik yang diteliti.
Hal ini karena fokus penelitian berfungsi untuk mebatasi studi untuk
memenuhi kriteria inklusi-inklusi suatu informasi yang dihadapkan di
lapangan (Sugiyono, 2014:32). Adapun fokus dari peneltian ini adalah
sebagai berikut :
1. Implementasi kebijakan Upah Minimum Kota (UMK) di Kota Batu,
dilihat dari :
a. Tujuan dan Manfaat Implementasi Kebijakan Upah Minimum Kota
(UMK) di Kota Batu.
b. Sumber-sumber Kebijakan Implementasi Kebijakan Upah
Minimum Kota (UMK) di Kota Batu.
c. Komunikasi Dinas Sosial dan Tenaga Kerja dalam Implementasi
kebijakan Upah Minimum Kota (UMK) di Kota Batu.
58
d. Kegiatan-kegiatan Implementasi Kebijakan Upah Minimum Kota
(UMK) di Kota Batu.
e. Struktur Birokrasi Dinas Sosial dan Tenaga Kerja sebagai
pelaksana implementasi kebijakan Upah Minimum Kota (UMK) di
Kota Batu.
f. Lingkungan Ekonomi, Sosial dan Politik Implementasi Kebijakan
Upah Minimum Kota (UMK) di Kota Batu.
2. Dampak pelaksanaan kebijakan Upah Minimum Kota (UMK) terhadap
kesejahteraan pekerja di Kota Batu, dilihat di :
a. Kemampuan pekerja di Kota Batu terhadap pemenuhan kebutuhan
sehari – hari.
b. Kemampuan pekerja di Kota Batu terhadap pemenuhan biaya
kesehatan dan pendidikan.
c. Kemampuan Pekerja di Kota Batu dalam melakukan saving per
bulan.
C. Lokasi dan situs penelitian
Lokasi Penelitian adalah tempat dimana peneliti melakukan
penelitian. Berkaitan dengan itu maka dalam penelitian ini penulis
mengambil lokasi di wilayah Kota Batu. Alasan mengapa penulis
mengambil lokasi di Kota Batu, karena Kota Batu merupakan Kota yang
memiliki pertumbuhan perekonomian yang baik di Jawa Timur, yang
sekarang mengalami banyak perkembangan di berbagai sektor terlebih di
59
sektor pariwisata tentunya hal ini banyak menyerap tenaga kerja
didalamnya dimana juga tak lepas dari masih sering terjadinya masalah
pengupahan pekerja yaitu menuntut upah yang layak bagi pekerja dan
banyaknya perusahaan yang belum memberikan upah sesuai dengan UMK
di Kota Batu.
Situs penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja Dinas
ketenagakerjaan dan sosial, yang dimana lokasinya berada di Kota Batu,
Kantor Dinas Ketenagakerjaan dan Sosial Kota Batu berlokasi di
Perkantoran terpadu Jl. Panglima Sudirman No.507 Kota Batu. Alasan
pemilihan situs di Dinas ketenagakerjaan dan sosial Kota Batu adalah
peranan konkrit dari Dinas sebagai aparat yang bertugas menjalankan
pelaksanaan UMK di Kota Batu.
D. Jenis dan Sumber Data
Menurut Lofland dan Lofland dalam Moelong (2006:167) sumber
data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata, dan tindakan,
selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain lain. Berkaitan
dengan hal itu pada bagian ini jenis datanya dibagi kedalam kata-kata dan
tindakan, sumber data tertulis, foto dan statis. Selanjutnya menurut pohan
(2007:45) mengungkapkan bahwa data adalah fakta, informasi, atau
keterangan. Keterangan yang merupakan bahan baku dalam penelitian
untuk dijadikan bahan pemecahan masalah atau bahan untuk
mengungkapkan suatu gejala. Mengingat data tersebut masih berwujud
60
baku, maka bahan tersebut perlu di olah terlebih dahulu agar dapat berguna
sebagai alat pemecahan masalah atau guna merumuskan kesimpulan-
kesimpulan.
Menurut jenisnya, data penelitian beragam jenisnya. Hal ini
mengingat bahwa jenis data sangat ditentukan oleh bidang penelitian yang
sedang dilaksanakan. Data kualitatif adala semua bahan, keterangan dan
fakta-fakta yang tidak dapat diukur dan dihitung secara sistematis, tetapi
hanya berwujud keterangan naratif semata. Bahan-bahan ini dapat
digolong-golongkan dalam bentuk katagori-katagori (Pohan, 2007:45-46).
Menurut asal muasalnya datanya ada dua jenis data, yaitu data primer dan
sekendur sebagai berikut:
1. Data Primer
Data primer merupakan informasi yang dikumpulkan peneliti
langsung dari sumbernya. Dengan demikian peneliti berhadapan langsung
dengan wawancara pada sumber yang tepat untuk mendapatkan data dari
lokasi penelitian dan narasumber yang dapat dipercaya tanpa adanya
perantara secara lengkap dari narasumber yang mempunyai andil besar dan
dianggap mampu dalam memberikan informasi secara lengkap dan
terpercaya karena peneliti berhadapan langsung dengan sumber yang tepat.
2. Data Sekunder
Data skunder adalah data yang dikumpulkan oleh pihak lain jadi
dalam hal ini peneliti tidak langsung memperoleh data dari sumbernya,
61
peneliti hanya sebagai pemakai data. Diperoleh dalam bentuk yang sudah
jadi atau sudah diolah oleh instansi, kantor atau lembaga lain yang sesuai
dengan bidangnya. Dimana data tersebut bisa berbentuk buku-buku ilmiah,
dokumen-dokumen resmi yang di dapat di kantor Dinas Ketenagakerjaan
dan Sosial, koran-koran lokal, maupun dari internet atau televisi, dan
perundang-undangan yang berhubungan dan berkaitan erat dengan
penelitian ini.
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langka yang paling strategis
dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan
data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak
akan mendapatkan data yang memenuhi standar data yang ditetapkan
(Sugiyono, 2014:224). Untuk memperoleh data-data sebagai bahan untuk
disajikan dalam penulisan skripsi ini, peneliti melakukan beberapa metode
atau cara pengumpulan data, antara lain:
1. Observasi
Observasi adalah metode pengumpulan data dimana peneliti mencatat
informasi sebagaimana yang mereka saksikan (Ibid, Hal-116). Observasi
yaitu dimana peneliti mengumpulkan data dengan mencatat informasi
sebagaimana yang mereka saksikan secara langsung dengan melihat,
mendengar, yang kemudian dicatat secara seobyektif mungkin, maka
penelitian ini menggunakan observasi terstruktur yaitu observasi yang
62
dirancang secara sistematis, tentang apa yang diamati, kapan dan dimana
tempatnya. Data yang diperoleh deri observasi adalah data untuk
mengetahui Kebijakan Pemerintahan Daerah Kota Batu dalam
Menentukan Upah Minimum Kota
2. Wawancara dan Interview
Wawancara adalah bentuk komunikasi langsung antara peneliti dengan
informan. Dalam pengambilan data di sini biasanya juga diikuti dengan
menggunakan daftar pertanyaan sebagai pedoman wawancara. Wawancara
bertujuan untuk mendapatkan informasi-informasi dari nara sumber.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan wawancara terstruktur, yaitu
wawancara yang disusun secara terperinci atau jelasnya mengunakan draf
pertanyaan dengan pihak yang dapat memberikan penjelasan yang
berkaitan dengan peneliti yang akan di teliti. Dengan maksud wawancara
yang dilakukan peneliti akan tetap dalam lingkup peneliti, dan tidak
meluas pada masalah-masalah lain (Gulo,W, 2002:118).
3. Dokumentasi
Teknik ini dilaksanakan dengan melakukan pencatatan terhadap berbagai
dokumen-dokumen resmi, laporan-laporan, peraturan-peratuaran maupun
arsip-arsip yang tersedia di kantor Dinas Sosial dan Tenaga Kerja dengan
tujuan mendapatkan bagian yang menunjang secara teoritis terhadap data
penelitian (Surahmad Winarya, 1993:71).
F. Instrumen Penelitian
63
Instrumen penelitian menurut Suharsimi Arikunto, Suharsimi.
2006:149, merupakan alat bantu bagi peneliti dalam mengumpulkan data.
Selanjutnya instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan
oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah
dan hasilnya lebih baik, dalam arti lebih cermat, lengkap dan sistematis,
sehingga mudah diolah. Dalam mendukung proses pengumpulan data dan
memperoleh data yang diinginkan peneliti menggunakann isntrumen
penelitian berupa:
1. Peneliti itu sendiri, yaitu dengan cara menyaksikan dan mengamati
secara langsung peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan objek
yang diteliti.
2. Pedoman wawancara atau interview guide, digunakan sebagai
kerangka dasar dalam melakukan wawancara agar wawancara yang
dilakukan oleh peneliti tetap terarah dan tetap menjaga relevasi
terhadap masalah dalam penelitian,
3. Perangkat penunjang, meliputi buku catatan, alat tulis menulis, dan
alat bantu lainnya seperti kamera untuk mengambil gambar untuk
didokumentasikan dan tape recorder untuk merekam percakapan saat
wawancara serta mencatat data-data yang diperlukan dalam penelitian
G. Metode Analisis
Metode analisa data dengan menggunakan metode kualitatif,
prosedur analisa data penelitian yang menghasilkan data deskriptif yaitu
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang perilaku yang dapat
64
diamati dengan tujuan untuk memperoleh data yang lebih akurat ataupun
lebih meyakinkan terhadap gejala atau peristiwa sehingga membuat suatu
kesimpulan.
Teknik analisis data penelitian ini adalah analisis data kualitatif
menggunkan model analisis interaktif Miles, Huberman dan Saldana.
Dengan menggunakan analisis data kualitatif diharapkan nantinya dapat
membantu peneliti dalam mendeskripsikan situasi dan kondisi yang terjadi
di lapangan yaitu pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Batu
dilakukan sebelum terjun ke lapangan, observasi, selama pelaksanakan
penelitian di lapangan dan setelah selesai penelitian di lapangan. Data
penelitian diperoleh dari hasil wawancara, observasi dan dokumentasi.
Analisi data dilakukan dengan cara mengorganisasi data yang diperoleh ke
dalam sebuah kategori, menjabarkan data ke dalam unit-unit, menganalisis
data yang penting, menyususn atau menyajikan data yang sesuai dengan
masalah penelitian dalam bentuk laporan dan membuat kesimpulan agar
mudah untuk dipahami.
Menurut Miles, Huberman dan Saldana (2014:31-33), analisis data
kualitatif adalah suatu proses analisis yang terdiri dari tiga alur kegiatan
yang terjadi secara bersamaan. Aktivitas dalam analisis data yaitu :
Kondensasi data, Penyajian data dan Penarikan kesimpulan atau
Verifikasi. Aktivitas dalam analisis data kualitatif secara interaktif dan
berlangsung secara terus menerus sampai tuntas. Adapun model interaktif
yang dimaksud sebagai berikut:
65
a. Kondensasi Data (Data Condensation),dimana peneliti merangkum
hal-hal yang penting agar bisa mendapatkan gambaran yang lebih jelas
dan memudahkan peneliti untuk mengumpulkan data selanjutnya.
b. Penyajian Data (Data Display), Penyajian data adalah sebuah
pengorganisasian, penyatuan dari informasi yang memungkinkan
penyimpulan dan aksi. Dalam model ini dimana peneliti menyajikan
data-data yang telah diperoleh dari proses pengumpulan data.
c. Menarik kesimpulan atau Verifikasi (Conclusion Drawing/Verifying),
yakni langkah terakhir dalam analisis data kualitatif model interaktif
adalah penarikan kesimpulan dari verifikasi. Adanya kesimpulan yang
menjadi titik temu dari data-data yang terkumpul agar bisa
menemukan jawaban dalam penelitian tersebut.
Hal ini dapat digambarkan mengenai alur model penelitian yang lebih
dikenal dengan model interaktif seperti dibawah ini:
Gambar 5. Komponen dalam Analisis Data (Interactive Model)
66
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Kota Batu
1. Sejarah Singkat Kota Batu
Setelah Jawa Timur mempunyai Kota Administratif Jember, maka
yang kedua kalinya ketambahan Kota Administratif lagi yang sangat
diandalkan sebagai sentra wisata Jawa Timur, yaitu dengan lahirnya Kota
Administratif Batu. Kelahiran ini pada tanggal 6 Maret 1993 dengan
Walikota pertamanya Drs. Chusnul Arifien Damuri. Pelantikan dan
peresmian itu dilakukan di kantor Pembantu Bupati Malang di Batu yang
terletak di pusat kota di Jalan Panglima Sudirman No. 98. Pelantikan itu
langsung dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri Rudini, hadir juga Bupati
Malang, Drs. Abdul Hamid Mahmud, para pejabat serta undangan lainnya.
Kelahiran itu berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 12 tahun
1993 tentang Peningkatan Status Kecamatan Batu menjadi Kotatif Batu
yang terdiri dari 3 kecamatan yaitu Kecamatan Batu (wilayah pusat),
Kecamatan Bumiaji (wilayah utara) dan Kecamatan Junrejo (wilayah
selatan).
Perkembangan Kotatif Batu sebagai sentra wisata Jawa Timur terus
meningkat hari demi hari, kota yang dulunya tidak selengkap kota lain,
sekarang hampir menyamai kota-kota lainnya. Karena perkembangan Batu
cukup maju maka banyak warga dari Kotatif Batu yang ingin status
67
kotanya ditingkatkan, organisasi-organisasi banyak didirikan untuk
mendukung peningkatan status Kotatif Batu, misalnya Kelompok Kerja
(Pokja) Batu, kelompok kerja ini berusaha bersama masyarakat Batu untuk
meningkatkan status kotanya. Dukungan-dukungan lainnya dari Bupati
Malang, DPRD II Malang, Gubernur Jawa Timur dan organisasi
masyarakat lainnya. Setelah hampir 8 tahun menjadi Kota Administratif
yang diperintah oleh 3 Walikota, yaitu Drs. Chusnul Arifien Damuri, Drs.
Gatot Bambang Santoso dan Drs. Imam Kabul, akhirnya Batu ditingkatkan
statusnya menjadi Pemerintah Kota Batu. Pemerintah Kota Batu Tanggal
28 Mei 2001 proses peningkatan status Kota Administrattif Batu menjadi
Pemerintah Kota mulai dilaksanakan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi
Daerah.
Tanggal 30 Juni 2001 UU No. 11 tentang Peningkatan Status Kota
Administratif Batu disahkan, setelah beberapa bulan kemudian yaitu pada
tanggal 17 Oktober 2002 secara resmi Kotatif Batu ditingkatkan statusnya
menjadi Pemerintah Kota. Kemudian pada tanggal 22 Oktober 2002
Gubernur Jawa Timur atas nama Menteri Otonomi Daerah melantik Drs.
Imam Kabul sebagai Walikota Batu. Esok harinya masyarakat Kota Batu
menyambutnya dengan bersyukur pada Allah SWT, mulai menyambut
dengan acara syukuran tumpengan bersama, pemasangan spanduk-
spanduk yang membanjiri setiap jalan dan sudut Kota Batu. Setelah Batu
ditingkatkan statusnya dengan pejabat Walikotanya Drs. Imam Kabul,
Batu ingin meningkatkan lagi pembangunannya, baik pembangunan fisik
68
maupun non fisik. Sejak statusnya meningkat, Pemerintah Kota Batu
bersama masyarakat mulai menyiapkan diri bagaimana agar pamor dan
citra kota dingin ini tetap ada dan tetap dikenang banyak orang baik
domestik maupun luar negeri.
Kronologis terbentuknya Pemerintah Kota Batu
1. Pada tahun 1950 berdasarkan Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1950
tentang Pembentukan Daerah-daerah Kabupaten dalam lingkungan
Propinsi Jawa Timur, Batu masih merupakan Kecamatan dalam
lingkungan wilayah Pemerintah Kabupaten Malang.
2. Pada tahun 1997 Kecamatan Batu sebagai Daerah Kota Administratif
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 1997 tentang
Pembentukan Kota Administratif Kota Batu, dalam wilayah Kabupaten
Malang, yang meliputi wilayah Kecamatan Batu, Kecamatan Bumiaji dan
Kecamatan Junrejo.
3. Pada tahun 2001 Kota Administratif statusnya kemudian berubah
menjadi Kota Batu berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2001
tentang Pembentukan Kota Batu yang disahkan oleh Presiden Republik
Indonesia tanggal 21 Juni 2001, maka tanggal 17 Oktober 2001 telah
diresmikan Kota Batu menjadi Daerah Otonom yang terpisah dari
Kabupaten Malang yang meliputi tiga Kecamatan (Kecamatan Batu,
Kecamatan Bumiaji dan Kecamatan Junrejo) terdiri dari 19 Desa serta
Kelurahan.
69
4. Pada hari Jum’at tanggal 30 Agustus 2002 diadakan pemilihan anggota
DPRD Kota Batu. Dan selanjutnya pada hari Senin tanggal 16 September
2002 DPRD Kota Batu dilantik. Setelah DPRD Kota Batu terbentuk, maka
secara resmi dan sah Pemerintah Kota Batu telah memiliki Badan
Legislatif dan secara sah pula DPRD berhak dan mengadakan Pemilihan
Kepala Daerah.
5. Pada hari Senin tanggal 4 November 2002 diadakan Pemilihan Kepala
Daerah dan terpilih Drs. H. Imam Kabul M.Si yang berpasangan dengan
Drs. M. Khudhori sebagai Walikota dan Wakil Walikota Batu yang
pertama.
6. Pada hari Senin tanggal 25 November 2002 dilaksanakan Pelantikan
Walikota dan Wakil Walikota Batu oleh Gubernur Imam Utomo.
7. Pada tanggal 26 Agustus 2007 Walikota Batu Drs. H. Imam Kabul M.Si.
meninggal dunia dan tanggal 20 September 2007 Drs. M. Khudhori yang
pada waktu itu sebagai Wakil Walikota Batu dilantik menjadi Walikota
Batu yang dilantik oleh Gubernur Jawa Timur.
8. Tanggal 25 Nopember 2007 masa jabatan Walikota Batu berakhir dan
melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri tanggal 20 Nopember 2007
Nomor : 131.35-321 Tahun 2007 diangkat Mayjen TNI (Purn) IMAM
UTOMO S sebagai Penjabat Walikota Batu.
9. Pada tanggal 26 Nopember 2007 melalui Keputusan Gubernur Jawa
Timur Nomor : 131.422/65/011/2007 ditunjuk Sdr. Drs. SOERJANTO
70
SUBANDI, MM Kepala Badan Koordinasi Wilayah III Malang sebagai
Pelaksana Tugas Harian Walikota Batu.
10. Pada Pemilihan Langsung Kepala Daerah tanggal 5 November 2007
pasangan calon Walikota Batu EDDY RUMPOKO dengan calon Wakil
Walikota Batu H.A. BUDIONO memperoleh suara terbanyak.
11. Pada Pemilihan Langsung Kepala Daerah tanggal 2 Oktober 2012
Pasangan Walikota Batu EDDY RUMPOKO dengan calon Wakil
Walikota Batu PUNJUL SANTOSO memperoleh suara terbanyak.
2. Kondisi Geografis
Batu merupakan daerah otonom yang termuda di Provinsi Jawa
Timur. Kota Batu terdiri dari 3 (tiga) kecamatan, yaitu : Kecamatan Batu,
Kecamatan Junrejo dan Kecamatan Bumiaji. Luas Kota Batu secara
keseluruhan adalah sekitar 19.908,72 ha atau sekitar 0,42 persen dari total
luas Jawa Timur. Daerah lereng dan berbukit memiliki proposi lebih luas
dibandingkan dengan daerah dataran. Secara geografis Kota Batu terletak
pada posisi antara 7”44’,55,11’ sampai dengan 8’’26',35,45’ Lintang
Selatan dan 122’’17',10,90’ sampai dengan 122’’57',00,00’ Bujur Timur.
Batas Kota Batu adalah : Sebelah Utara Kecamatan Prigen Kabupaten
Mojokerto, Sebelah Selatan Kecamatan Dau dan Kecamatan Wagir
Kabupaten Malang, Sebelah Timur Kecamatan Karang Ploso dan
Kecamatan Dau Kabupaten Malang dan sebelah Barat Kecamatan Pujon
Kabupaten Malang. Keadaan geologi/tanah di Kota Batu secara umum
dapat diklasifikasikan menjadi 4 (empat) jenis tanah yaitu : Andosol,
71
Kambisol, Alluvial, Latosol. Dari keempat kategori tersebut menunjukkan
bahwa Kota Batu merupakan wilayah yang subur untuk pertanian karena
jenis tanahnya merupakan endapan dari sederetan gunung yang
mengelilingi Kota Batu. Ada tiga gunung yang berada di wilayah Kota
Batu yaitu Gunung Panderman (2.010 meter), Gunung Welirang (3.156
meter), dan Gunung Arjuno (3.339 meter).
Gambar 6. Peta Kota Batu
Sumber : Sekunder Kota Batu dalam statistik 2015
72
Gambar 7. Pembagian Wilayah Kota Batu
Sumber : Batu Dalam Angka 2014
Sedangkan kondisi hidrologinya Kota Batu banyak dipengaruhi
oleh sungai yang mengalir di pusat Kota yaitu Sungai Brantas dan air
tanah yang cukup melimpah. Sebagai daerah yang topografinya sebagian
besar wilayah perbukitan, Kota Batu memiliki pemandangan alam yang
sangat indah, sehingga banyak dijumpai tempat-tempat wisata yang
mengandalkan keindahan alam pegunungan. Kondisi topografi
pegunungan dan perbukitan tersebut menjadikan Kota Batu terkenal
sebagai daerah dingin. Berdasarkan ketinggiannya, wilayah Kota Batu
dibedakan menjadi enam kategori yaitu mulai dari 600 MDPL sampai
dengan lebih dari 3000 MDPL Dari enam kategori tersebut wilayah yang
paling luas berada pada ketinggian 1000-1500 MDPL yaitu seluas
6.493,64 Ha. Kemiringan lahan (slope) di Kota Batu berdasarkan data dari
73
peta kontur Bakosurtunal tahun 2001 diketahui bahwa sebagian besar
wilayah Kota Batu mempunyai kemiringan sebesar 25-40% dan
kemiringan >40 %. Seperti halnya daerah lain di Jawa Timur, Kota Batu
mengikuti perubahan putaran 2 iklim, musim hujan dan musim kemarau.
Pada tahun 2014 di bulan September dan Oktober tidak terjadi hujan.
Jumlah hari hujan paling kecil pada bulan Agustus dan paling besar pada
bulan Januari dan Desember, tetapi curah hujan tertinggi pada bulan
Desember yaitu mencapai 412 mm Hal ini menyebabkan kondisi cuaca
tahun 2014 lebih kering dibandingkan tahun 2013. Pada tahun 2014 Kota
Batu memiliki suhu minimum 17,5 - 21,4o C dan suhu maksimum antara
24,0 - 30,3oC dengan kelembaban udara sekitar 70 - 86 % disertai
kecepatan angin tertinggi 79,2 km/jam, oleh karenanya Kota Batu tidak
memiliki perubahan musim yang drastis antara musim kemarau dan musim
penghujan.
3. Kondisi Demografis Kota Batu
Pada tahun 2014 jumlah penduduk Kota Batu mencapai 211.298
jiwa. Dengan luas wilayah sekitar 19,908 km2 , maka kepadatan penduduk
adalah sebesar 1.060 jiwa per km2. Kepadatan penduduk Kota Batu selalu
meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan kenaikan jumlah penduduk
setiap tahunnya. Hal ini terjadi karena Kota Batu merupakan daerah
otonomi baru yang merupakan kota tujuan untuk melakukan kegiatan
ekonomi. Pertumbuhan penduduk Kota Batu pada tahun 2014 adalah
sebesar 1,17 persen. Tingkat pertumbuhan penduduk ini tercatat
74
mengalami sedikit kenaikan dibanding dengan tahun sebelumnya yang
sebesar 1,14 persen. Selama periode 2012 hingga 2014, pertumbuhan
penduduk di Kota Batu relativ stabil. Beberapa faktor yang mempengaruhi
laju pertumbuhan penduduk antara lain jumlah kelahiran, kematian, dan
mutasi penduduk yang terdiri dari penduduk datang dan penduduk pindah.
Diantara ketiga kecamatan yang ada di Kota Batu, Kecamatan Batu yang
paling padat penduduknya. Pada tahun 2014 kepadatan penduduk di
Kecamatan Batu mencapai 2.012 jiwa per km2, hal ini tidak
mengherankan jika Kecamatan Batu merupakan kecamatan terpadat di
Kota Batu karena di Kecamatan Batu merupakan pusat kegiatan
pemerintahan maupun ekonomi. Kecamatan Bumiaji merupakan
kecamatan yang terkecil kepadatan penduduknya karena sebagian wilayah
Kecamatan Bumiaji merupakan hutan dan daerah lereng gunung. Secara
umum jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dibandingkan jumlah
penduduk perempuan. Hal ini dapat ditunjukkan oleh sex ratio yang
nilainya lebih dari 100. Pada tahun 2014, untuk setiap 100 penduduk
perempuan di Kota Batu terdapat 101 penduduk laki-laki.
Struktur penduduk Kota Batu dapat dilihat pada Piramida
Penduduk Kota Batu. Pada kelompok umur 20-24 tahun jumlah penduduk
Kota Batu menunjukkan jumlah terbesar yaitu sebanyak 16.318 jiwa. Dari
struktur penduduk menurut kelompok umur dapat diketahui sejauh mana
tingkat ketergantungan usia tidak produktif terhadap usia produktif. Usia
produktif adalah kelompok umur 15 sampai dengan 64 tahun, sedangkan
75
usia tidak produktif pada kelompok umur 0-14 tahun dan 65 tahun ke atas.
Gambaran tersebut yang dinamakan Angka Beban Ketergantungan. Pada
tahun 2014 angka ketergantungan secara keseluruhan adalah 47,06 persen
yang berarti bahwa setiap 100 penduduk usia produktif (15-64 tahun) akan
menanggung sekitar 47 orang bukan usia produktif (0-14 tahun dan 65
tahun ke atas). Secara keseluruhan jumlah penduduk usia produktif yaitu
15 - 64 tahun mencapai 130.283 jiwa atau 67 persen. Secara keseluruhan
pasangan usia subur yang menjadi peserta KB aktif di Kota Batu banyak
menggunakan alat kontrasepsi suntik yaitu sebanyak 2.341 pasangan atau
sekitar 49 persen lebih dari PUS yang aktif. Pada tahun 2014 pengguna
alat kontrasepsi suntik mengalami penurunan cukup besar yaitu sebesar
3,35 persen. Alat kontrasepsi yang paling banyak digunakan setelah suntik
adalah Suntik. Selama tahun 2014, penggunaan suntik mencapai 9.126
pasangan. Setelah suntik alat kontrasepsi yang banyak digunakan adalah
IUD dan Susuk masing-masing sebanyak 8.521 dan 5.405 pasangan.
Sedangkan alat kontrasepsi yang kurang diminati oleh PUS di Kota Batu
adalah kontap yaitu hanya 1.953 pasangan yang menggunakannya.
Pasangan Usia Subur (PUS) di Kota Batu pada tahun 2014 mengalami
penurunan sebesar 2,46 persen dari 40.188 pasangan pada tahun 2013
menjadi 39.199 pasangan pada tahun 2014. Dari 39.199 pasangan tersebut
yang tercatat sebagai peserta KB aktif hanya 31.391 pasangan. Pada tahun
2014 ercatat 4.710 pasangan usia subur yang menjadi peserta KB aktif
baru. Dari pasangan tersebut yang menggunakan alat kontrasepsi suntik
76
sebanyak 2.341 pasangan kemudian pil/tablet sebanyak 789 pasangan,
AKDR/IUD sebanyak 611 pasangan, susuk sebanyak 475 pasangan dan
kondom sebanyak 248 pasangan, dan yang paling sedikit menggunakan
alat kontrasepsi kontap sebanyak 209 pasangan.
4. Tata Pemerintahan Kota Batu
Kota Batu dipimpin oleh seorang Walikota yang dipilih secara
langsung oleh rakyat pada tahun 2012. Pada pemilihan tersebut terpilih
Bpk. Eddy Rumpoko sebagai Walikota Batu untuk yang kedua kalinya
dengan masa bakti 2012-2017. Secara administratif, Kota Batu terbagi
menjadi 3 kecamatan dan 24 kelurahan/desa. Selama periode 2010-2013,
baik jumlah kecamatan, desa dan kelurahan tidak ada perubahan.
Kecamatan Bumiaji mempunyai jumlah desa yang paling banyak yaitu 9
desa sedangkan Kecamatan Batu terdriri dari 8 desa/kelurahan dan
Kecamatan Junrejo hanya terdiri dari 7 desa/kelurahan. Semua
desa/kelurahan di Kota Batu termasuk klasifikasi Desa Swasembada.
Apabila dilihat dari jumlah RT/RW-nya, Kecamatan Batu mempunyai
jumlah RT/RW yang paling banyak dibandingkan dua kecamatan lainnya.
Jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kota Batu setiap tahun mengalami
peningkatan, pada tahun 2011 tercatat 4.945 PNS, tahun 2012 4.987 tetapi
pada tahun 2013 mengalami penurunan yaitu sebesar 4.738 PNS.
Berdasarkan jenis kelamin, jumlah pegawai laki-laki hampr sama banyak
dengan jumlah pegawai perempuan. Yaitu masing-masing sebesar 51,7
Persen pegawai laki-laki dan 48,3 pegawai perempuan Kualitas PNS
77
berdasarkan pendidikan di Kota Batu menunjukkan peningkatan yang
cukup bagus., hal ini ditunjukan dengan tingkat pendidikan pegawai
dengan gelar sarjana, paling tinggi dari tingkat pendidikan yang lain yaitu
sebesar 56,06 persen. Dan yang berpendidikan SD hanya sebesar 1,4
persen. Meningkatnya kualitas PNS di Kota Batu diharapkan dapat
memberikan kemajuan dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan
sehingga terwujud sistem pemerintahan yang baik.
Pada Pemilu 2009, dari 24 partai yang ada di Kota Batu hanya 12
partai yang terwakili di DPRD. DPRD Kota Batu memiliki anggota 25
orang. Dari 12 partai yang mempunyai wakil di DPRD, PDI-P yang
mempunyai wakil terbanyak yaitu 5 orang. Jumlah terbanyak kedua adalah
Partai Demokrat, Golkar, PAN dan Hanura yaitu 3 orang. Ada 1 partai
yang mempunyai wakil 2 orang dan 6 partai sisanya hanya mempunyai
wakil 1 orang. Dari 25 anggota DPRD Kota Batu 17 orang diantaranya
berjenis kelamin laki-laki atau sebesar 68 persen, anggota DPRD Kota
Batu yang berjenis kelamin perempuan hanya 8 orang atau sekitar 32
persen. Anggaran yang diperoleh Kota Batu pada tahun 2014 sebesar
701,47 milyar meningkat dibandingkan tahun 2013 yang hanya sebesar
592,87 milyar. Paling besar penerimaan pendapatan daerah bersumber dari
bagian dana perimbangan dari pemerintah pusat yang terdiri dari bagi hasil
pajak, bagi hasil bukan pajak (sumber daya alam), dana alokasi umum dan
dana alokasi khusus. Dibandingkan tahun 2013 dana perimbangan dari
pemerintah pusat mengalami peningkatan pada tahun 2014. Tahun 2013
78
dana perimbangan hanya sebesar 466,59 milyar sedangkan tahun 2014
mencapai 489,84 milyar. Dari ketiga komponen dana perimbangan dana
alokasi umum (DAU) mempunyai nilai yang paling besar yaitu 412,38
milyar diikuti dana dari PAD sebesar 78,29 milyar kemudian dana bagi
hasil sebesar 47,11 sedangkan dana alokasi khusus sebesar 30,35 milyar.
Untuk membiayai pembangunan, pemerintah Kota Batu pada tahun 2014
menghabiskan anggaran sebesar 742,66 milyar rupiah seperti yang tercatat
pada realisasi APBD, jumlah ini mengalami kenaikan dibandingkan tahun
2013 yang sebesar 669,39 milyar rupiah.
Sumber Pendapatan lain dari Kota Batu adalah Pendapatan Asli
Daerah yang terdiri dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah, dan Hasil
Pengelolaan Kekayaan Daerah. Total Pendapatan Asli Daerah Kota Batu
pada tahun 2014 adalah 78,29 milyar. Dari beberapa sumber Pendapatan
Asli Daerah yang nilainya paling besar pada tahun 2014 adalah
penerimaan pajak daerah sebesar 62,81 milyar, kemudian diikuti Retribusi
Daerah sebesar 5,59 milyar, pendapatan lain-lain 7,69 milyar dan yang
terkecil disumbang dari hasil pengelolaan kekayaan daerah sebesar 2,19
milyar. Pada tahun 2014, untuk pendapatan pajak daerah yang paling besar
sumbangannya adalah pajak bea perolehan hak atas tanah sebesar 17,54
milyar kemudian diikuti oleh pajak hotel sebesar 14,39 lalu diikuti pajak
bumi dan bangunan sebesar 10,24 milyar. Sedangkan retribusi yang paling
besar diperoleh dari retribusi jasa umum sebesar 3,58 mlyar diikuti oleh
retribusi perijinan tertentu sebesar 1,65 milyar. Selama periode 2012-2014,
79
grafik belanja aparatur menunjukkan trend naik Kenaikan yang dialami
setiap tahun cukup konstan. Sebagian besar belanja aparatur pada tahun
2014 digunakan untuk membiayai gaji pegawai yaitu sebesar 252,52
milyar, belanja hibah sebesar 41,21 milyar, belanja bantuan sosial sebesar
14,45 milyar, belanja bantuan keuangan sebesar 20,41 milyar. Dari total
APBD pada tahun 2014, Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya
berkontribusi sebesar 78,29 milyar atau sekitar 11 persen, sementara dana
perimbangan berkontribusi sebesar 489,84 milyar rupiah atau 69 persen.
Dana perimbangan yang dimaksud terdiri dari Dana Alokasi Umum
(DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil (DBH).
B. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ( Dinas Sosial dan Tenaga Kerja)
1. Lingkungan Strategis DISNAKER Kota Batu
Wilayah Kota Batu terletak pada ketingian rata-rata 871 m diatas
permukaaan laut. Layaknya wilayah pegunungan yang subur, menjadikan
mayoritas penduduk Kota Batu bekerja pada sektor pertanian. Selain
wilayahnya yang subur, keindahan panorama Kota Batu juga menarik para
pengunjung untuk berwisata. Sehingga Kota Batu dikenal sebagai salah
satu sentra pertanian dan pariwisata di Jawa Timur. Diharapkan kedepan
Kota Batu akan menjelma menjadi destinasi wisata internasional dengan
sektor pertanian organik yang menjadi andalan.
Berdasarkan peluang dan tantangan dari keunggulan spesifik Kota
Batu dimaksud, Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Batu memutuskan
80
untuk mengambil peran strategis dalam upaya memajukan Pertanian dan
Kepariwisataan di Kota Batu, dengan menitik beratkan program dan
kegiatan yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat melalui
kegiatan pengentasan kemiskinan dan rehabilitasi sosial sehingga bisa
mendongkrak program prioritas Kota Batu, sehingga meningkat tingkat
partisipasi masyarakat dalam pembangunan, tumbuhnya budaya
kemandirian, budaya kerja, semangat kesetiakawanan sosial, pelayanan
dan rehabilitasi sosial, serta tertatanya sistem kelembagaan sosial dan
ketenagakerjaan secara efisien dan efektif.
2. Visi dan Misi DISNAKER Kota Batu
Berdasarkan peluang dan tantangan yang dihadapi Kota Batu,
ditetapkan Visi dan Misi Pembangunan Dinas Sosial, dan Tenaga Kerja
Kota Batu :
1. Visi
“ MENUJU MASYARAKAT KOTA BATU PRODUKTIF DAN
SEJAHTERA TAHUN 2017”
2. Misi
1. Menanggulangi Kemiskinan
2. Mencegah Meluasnya Pengangguran.
3. Meningkatkan Kesejahteraan Sosial Masyarakat.
4. Meningkatkan Pelayanan Publik dan Penyelenggaraan Tata
Pemerintahan Daerah Yang Baik (Good Local Governance)
3. Tugas dan Sasaran DISNAKER Kota Batu
81
1. Pelayanan Administrasi Perkantoran.
Sasaran program ini adalah meningkatnya pelayanan administrasi
perkantoran bidang sekretariatan lingkup Dinas Sosial dan Tenaga
Kerja.
2. Peningkatan Sarana dan Prasarana Aparatur.
Sasaran program ini adalah meningkatnya sarana dan prasarana
aparatur di lingkup Dinas Sosial dan Tenaga Kerja.
3. Peningkatan Disiplin Aparatur.
Sasaran program ini adalah peningkatan kinerja Pegawai Dinas
Sosial dan Tenaga Kerja.
4. Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Aparatur.
Sasaran program ini adalah Peningkatan kemampuan / kompetensi
aparatur di lingkup Dinas Sosial dan Tenaga Kerja sehingga dapat
meningkatkan kualitas, efektifitas, efisiensi pelayanan kepada
masyarakat.
5. Pemberdayaan Fakir Miskin, Komunitas Adat Terpencil (KAT) dan
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) Lainnya.
Sasaran program ini adalah meningkatnya potensi dan swadaya
sosial.
6. Pelayanan dan Rehabilitasi Kesejahteraan Sosial.
Sasaran program ini adalah meningkatnya kualitas pelayanan dan
rehabilitasi sosial.
7. Perlindungan Sosial.
82
Sasaran program ini adalah meningkatnya kualitas pelayanan bagi
penyandang masalah-masalah sosial.
8. Pemberdayaan kelembagaan kesejahteraan sosial.
Sasaran program ini adalah meningkatkan peran lembaga sosial
yang ada di kota Batu agar lebih berdaya guna dan berhasil guna.
9. Pembinaan Anak terlantar
Sasaran program ini adalah Pelayanan dan penanganan terhadap
anak terlantar dan meningkatkan ketrampilan Kepada Anak
Terlantar Agar Mandiri.
10. Pembinaan Panti Asuhan / Panti Jompo.
Sasaran program ini adalah Terwujudnya Panti Asuhan yang
mampu mencukupi kebutuhan dasar anak asuh.
11. Pembinaan Para Penyandang Cacat dan Trauma.
Sasaran program ini adalah Tersedianya Alat Bantu Mobilitas bagi
para Penyandang Cacat.
12. Pelestarian Nilai Kepahlawanan, Keperintisan dan Kesetiakawanan
Sosial.
Sasaran program ini adalah meningkatnya kesadaran Nilai
Kepahlawanan, Keperintisan dan kesetiakawanan sosial.
13. Pembinaan hubungan industrial dan pengawasan ketenagakerjaan.
Sasaran program ini adalah terbinanya pengusaha, pekerja serta
lembaga pelatihan kerja sehinga mendorong terciptanya hubungan
industrial yang aman dan tertib.
83
14. Pembinaan,perlindungan dan pengawasan tenaga kerja.
Sasaran program ini adalah meningkatnya kesadaran pengusaha,
pekerja, lembaga pelatihan kerja untuk mentaati norma
ketenagakerjaan, keselamatan dan kesehatan kerja.
15. Pengembangan dan penempatan tenaga kerja.
Sasaran program ini adalah penyebarluasan informasi pasar kerja,
pendaftaran pencari kerja dan lowongan kerja , penerbitan dan
pengendalian ijin pendirian bursa kerja serta lembaga penyuluhan
dan bimbingan jabatan, pembinaan, pengawasan dan monitoring
penempatan dan perlindungan TKI.
4. Tujuan DISNAKER Kota Batu
Tujuan disusunnya Rencana Kerja Dinas Sosial dan Tenaga Kerja
Kota Batu, Tahun 2017 adalah :
a. Tujuan Pembangunan Bidang Kesekretariatan.
1. Mewujudkan pelayanan administrasi perkantoran yang efisien dan
efektif (reformasi birokrasi);
2. Menciptakan Sumber Daya Manusia (Pegawai) yang memiliki
pengetahuan dan skill serta kepribadian yang memadai.
b. Tujuan Pembangunan Bidang Sosial
1. Terwujudnya pelayanan dan pelaksanaan rehabilitasi sosial bagi
masyarakat penyandang masalah-masalah sosial yang efisien dan
efektif.
84
2. Meningkatnya skill berusaha bagi para penyandang cacat dan eks
trauma serta penyandang penyakit sosial lainnya.
3. Terlaksananya pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi masyarakat
penyandang masalah-masalah sosial secara efisien dan efektif.
4. Meningkatnya mutu organisasi / kelembagaan sosial yang ada di
Kota Batu (Pembinaan Panti asuhan dan panti jompo ).
c. Tujuan Pembangunan Bidang Ketenagakerjaan
1. Meningkatkan kualitas dan produktifitas tenaga kerja melalui diklat
tenaga kerja.
2. Meningkatkan kesempatan/peluang kerja melalui penyebarluasan
informasi bursa tenaga kerja.
3. Meningkatkan peran serta dalam fasilisasi penyelesaian hubungan
industrial secara adil, transparan berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
4. Meningkatkan pengetahuan tenaga kerja tentang berbagai peraturan
pelaksanaan tentang ketenagakerjaan.
5. Melaksanakan survey KHL dan penetapan UMK.
6. Meningkatnya mutu organisasi /kelembagaan ketenagakerjaan di
Kota Batu sehingga lebih efisien dan efektif.
5. Struktur Organisasi DISNAKER Kota Batu
Susunan Organisasi Dinas Sosial dan Ketenagakerjaan Kota Batu
terdiri dari :
1. Kepala Dinas
85
2. Unsur pembantu pimpinan terdiri dari:
Sekretaris Dinas terdiri dari
1) Kasubag Umum dan Kepegawaian
2) Kasubag Keuangan
3) Kasubag Program dan Pelaporan
3. Unsur Pelaksanaan terdiri dari:
Bidang Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial:
1) Seksi Pelayanan Sosial
2) Seksi Rehabilitasi Sosial
Bidang Swadaya Sosial:
1) Seksi Bantuan Sosial
2) Seksi Pembinaan, Pengembangan Potensi dan Swadaya Sosial
Bidang Hubungan Industrial dan Pengawasan Tenaga Kerja:
1) Seksi Perlindungan, pembinaan dan Pengawasan Tenaga Kerja
2) Seksi Hubungan Industrial
Bidang Pengembangan Penempatan Tenaga Kerja:
2) Seksi Penempatan dan Perluasan Kerja
3) Seksi Pengembangan dan Produktifitas Kerja
Kelompok Jabatan Fungsional
86
C. Penyajian data dan Fokus Penelitian
1. Implementasi Kebijakan Upah Minimum Kota (UMK) di Kota
Batu
a. Tujuan dan Manfaat implementasi kebijakan Upah Minimum Kota
(UMK) di Kota Batu
Sebuah kebijakan yang dibuat pasti mempunyai tujuan dan manfaat
bagi pemerintah ataupun masyarakat, begitu juga kebijakan Upah
Minimum Kota (UMK) di Kota Batu juga memiliki tujuan dan manfaat
tertentu. Tujuan dari kebijakan UMK ini adalah untuk meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat khususnya bagi para pekerja.
Manfaat dengan adanya Kebijakan ini akan memberikan jaring pengaman
agar nantinya para pengusaha tidak memberikan upah kepada pekerja di
level yang paling rendah. Selain itu manfaat lain dari kebijakan ini adalah
untuk menghindari konflik yang terjadi diantara pengusaha dan pekerja
mengenai besaran upah yang akan diberikan.
Dalam penetapan berapa besaran nominal yang ditetapkan dalam
Kebijakan Upah Minimum Kota (UMK) tentunya harus tetap berdasarkan
pada Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang telah dilakukan survei
sebelumnya agar nantinya besaran jumlah upah yang telah ditetapkan tidak
merugikan salah satu pihak baik pengusaha maupun pekerja, pengusaha
tidak keberatan dengan membayarkan upah tersebut begitu pula dengan
pekerja yang nantinya dengan upah yang mereka terima dapat memenuhi
kebutuhan mereka. Lebih lanjut dari hasil wawancara yang dilakukan
87
peneliti kepada Bapak HS (57 Tahun) selaku kepala seksi hubungan
indrustrial dan syarat kerja dari Dinas Sosial dan Tenaga Kerja
mengatakan bahwa :
“Jelas untuk tujuan dibuatkan Kebijakan UMK ini adalah untuk
mensejahterakan masyarakat khususnya bagi para pekerja dengan
menjamin besaran upah yang nantinya mereka terima. Mengenai
manfaatnya ya untuk menjadi jaring pengaman agar nantinya
perusahaan tidak memberikan upah yang rendah kepada pekerja.
Tapi dalam penetapan kebijakan ini selalu berdasarkan kebutuhan
hidup layak yang telah dilakukan survei sebelumnya hal ini kami
maksudkan agar nantinya upah yang telah ditetapkan tidak
merugikan kedua pihak”. (10 Agustus 2016)
Kemudian menurut Bapak S (54 Tahun) dari Seksi Pengawasan Dinas
Sosial dan Tenaga Kerja mengatakan :
“Kebijakan UMK ini ya dibuat untuk meningkatkan kesejahteraan
bagi pekerja dan supaya pihak perusahaan tidak membayarkan
upah dibawah Kebutuhan Hidup Layak. Manfaatnya bagi pekerja
kebutuhan untuk pangan, papan, sandang dan rekreasi dapat
terpenuhi. Bagi perusahaan dengan adanya kebijakan ini akan
meningkatkan produktifitas sehingga menghasilkan keuntungan
bagi perusahaan tersebut”. (03 Januari 2017)
Dari hasil wawancara diatas dapat dikatakan bahwa tujuan dari
ditetapkannya Kebijakan Upah Minimum Kota (UMK) ini adalah untuk
meningkatkan pendapatkan dan kesejahteraan masyarakat khususnya bagi
para pekerja melalui penetapan besaran nilai upah yang didasarkan pada
pada Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang telah dilakukan survei
sebelumnya hal ini dimaksudkan agar nantinya besaran nilai upah yang
ditetapkan tidak merugikan kedua pihak yaitu pengusaha dan pekerja.
Manfaat dari Kebijakan Upah Minimum Kota (UMK) ini adalah untuk
menjadi jaring pengaman kepada perusahaan-perusahaan yang ada untuk
88
tidak memberikan upah yang rendah kepada pekerja. Serta manfaat
lainnya bagi pekerja adalah kebutuhan untuk pangan, papan, sandang dan
rekreasi dapat terpenuhi dengan adanya kebijakan ini. Bagi perusahaan
dengan adanya kebijakan ini akan meningkatkan produktifitas sehingga
menghasilkan keuntungan bagi perusahaan tersebut.
b. Sumber-sumber Kebijakan Implementasi Kebijakan Upah
Minimum Kota (UMK) di Kota Batu
1. Sumber Daya Staf
Sumber daya utama dalam implementasi kebijakan adalah staf atau
pegawai. Kegagalan yang sering terjadi dalam implementasi kebijakan,
salah satunya disebabkan oleh staf/pegawai yang tidak cukup memadai,
mencukupi atau tidak kompeten dalam bidangnya. Penambahan jumlah
staf saja tidak cukup menyelesaikan persoalan implementasi kebijakan,
tetapi diperlukan sebuah kecukupan staf dengan keahlian dan kemampuan
yang diperlukan dalam mengimplementasikan kebijakan. Terkait dengan
implementasi kebijakan UMK ini, sumber daya staf yang dimiliki oleh
Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Batu termasuk berkompeten dari sisi
riwayat pendidikan. Menurut Bapak HS (57 Tahun) selaku kepala seksi
hubungan indrustrial dan syarat kerja dari Dinas Sosial dan Tenaga Kerja
sebagai berikut :
“untuk pegawai Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Batu rata-rata
sudah tamatan sarjana semua, ada juga yang tamatan SMA tapi
tidak terlalu banyak dari 56 total pegawai yang ada 36 yang sudah
tamatan sarjana dan sisanya hanya tamatan SMA. Saya kira sumber
89
daya aparaturnya dapat dikatakan cukup baik dan mendukung
berjalannya kebijakan UMK ini di Kota Batu”. (19 Desember
2016)
Kemudian menurut Bapak S (54 Tahun) dari Seksi Pengawasan Dinas
Sosial dan Tenaga Kerja mengatakan :
“Kalau masalah pendidikan, saya rasa sudah cukup memadai dan
berkompeten untuk melaksanakan kebijakan UMK ini. Memang
ketika pelaksanaan kegiatan ada beberapa pegawai yang masih
kesusahan dalam memahami tugasnya sehingga kadang terjadi
tumpang tindih tugas. Tapi keadaan sepeti itu tidak sering terjadi,
hanya pada saat-saat tertentu saja”. (19 Desember 2016)
Berdasarkan wawancara dengan dua narasumber di atas, jika
dilihat dari sudut pandang kepegawaian (sumber daya staf), maka Dinas
Sosial dan Tenaga Kerja Kota Batu memiliki pegawai yang cukup
kompeten dalam mengimplementasikan kebijakan Upah Minimum Kota
ini.
2. Sumber Dasar Hukum
Ada banyak peraturan yang telah dikeluarkan pemerintah dalam
mengatur kebijakan Upah Minimum Kota, baik dari Undang-undang
sampai pada Peraturan Gubernur. Ada Undang-undang yang mengatur
tentang ketenagakerjaan yaitu Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003
yang didalamnya mengatur tentang berbentukkan dewan pengupahan yang
nantinya bertugas untuk menentukan besaran nominal upah yang akan
ditetapkan dan selanjutnya menggunakan Peraturan Gubernur No. 68
Tahun 2015 dengan peraturan ini ditetapkan Upah Minimum Kota di Jawa
Timur Tahun 2016 Hal tersebut juga dikatakan oleh Bapak HS (57 Tahun)
90
selaku kepala seksi hubungan indrustrial dan syarat kerja dari Dinas Sosial
dan Tenaga kerja Kota Batu yang mengatakan :
“Upah Minimum Kota (UMK) Batu Tahun 2016 didasarkan pada
Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 68 Tahun 2015 yang
memutuskan bahwa Upah Minimum Kota Batu Tahun 2016
sebesar Rp. 2.026.000 ini sebagai upaya dalam meningkatkan taraf
hidup serta kesejahteraan bagi pekerja dan keluarganya dan sebagai
jaring pengaman untuk pekerja dari perilaku yang nakal dari pihak
pengusaha”. (tanggal 10 Agustus 2016)
Dari hasil wawancara diatas, bahwa rumusan kebijakan yang
dipakai dalam pelaksanaan Upah Minimum Kota (UMK) Batu adalah
Peraturan Gubernur Jawa Timur. Dimana untuk Upah Minimum Kota
(UMK) Batu tahun 2016 sebesar Rp. 2.026.000 yang ada pada Peraturan
Gubernur Jawa Timur Nomor 68 Tahun 2015. Dalam prosesnya tersebut,
gubernur berlandaskan pada peraturan-peraturan yang ada di atasnya yaitu
Undang-undang tentang Ketenagakerjaan dan Peraturan Menteri yang
mengatur tentang upah.
Berikut adalah data jumlah Upah Minimum Kota (UMK) tahun
2008 hingga tahun 2016 di Kota Batu :
Tabel 1 Data jumlah Upah Minimum Kota (UMK) Batu tahun 2008-2016
Tahun Jumlah
2008
2009
2010
2011
Rp. 737.000
Rp. 879.000
Rp. 989.000
Rp. 1.050.000
91
2012
2013
2014
2015
2016
Rp. 1.100.215
Rp. 1.268.000
Rp. 1.580.037
Rp. 1.817.000
Rp. 2.026.000
Sumber : Data dari Dinas Sosial dan Tenaga Kerja
Dari tabel diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Upah Minimum
Kota (UMK) Batu, mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hal ini
didasarkan pada peningkatan kebutuhan hidup masyarakat. Sehingga
kebijakan Upah Minimum Kota (UMK) ini bisa menjadi jaring pengaman
untuk pekerja dari perilaku nakal pengusaha. Melihat dari sinilah, maka
indrustri yang adapun harus menaati kebijakan pemerintah ini.
c. Komunikasi Dinas Sosial dan Tenaga Kerja dalam Implementasi
kebijakan Upah Minimum Kota (UMK) di Kota Batu
Komunikasi merupakan proses penyampaian informasi yang
dilakukan seorang komunikator kepada komunikan. Dalam konteks
implementasi kebijakan komunikasi ini terjadi antara pembuat kebijakan
dan pelaksana kebijakan. Pembuat kebijakan mengimformasikan strategi
dan arahan kepada pelaksana kebijakan agar implemetasi kebijakan dapat
berjalan dengan benar seperti yang diharapkan. Jika komunikasi berjalan
kurang baik maka akan pasti berdampak pada implementasi kebijakan itu
sendiri. Dalam implementasi kebijakan Upah Minimum Kota (UMK) di
92
Kota Batu komunikasi ini dibagi menjadi dua yaitu komunikasi intern dan
ekstern. Komunikasi intern yaitu komunikasi yang terjadi dalam tim
dewan pengupahan yang dimana Dinas Sosial dan Tenaga Kerja sebagai
ketua tim bertugas untuk memberikan informasi kepada Dinas-dinas yang
terkait dan juga lembaga lainnya seperti ikatan pengusaha APINDO dan
serikat pekerja atau SPSI. Sedangkan komunikasi ekstern terjadi antara
Dinas Sosial dan Tenaga Kerja dengan perusahaan-perusahaan yang ada
di Kota Batu dalam rangka sosialisasi kebijakan UMK.
Dalam pelaksanaannya komunikasi intern yang terjadi antara Dinas
Sosial dan Tenaga Kerja dan Dinas lainnya yang terkait serta lembaga
lainnya sudah berjalan dengan baik hal ini seperti yang dijelaskan oleh
Bapak HS (57 Tahun) dari Dinas Sosial dan Tenaga Kerja sebagai
anggota Dewan Pengupahan yang mengatakan sebagai berikut :
“Sebelum menetapkan besaran nominal UMK kami dari Dinas
Sosial dan Tenaga Kerja Kota Batu selalu mengadakan rapat
dengan Dinas Perindrustrian dan Perdagangan, BPS Kota Batu,
APINDO, JAMSOSTEK, Dewan pakar dari Universitas Brawijaya
dan Muhamadiyyah dan SPSI sehingga menhasilkan berita acara
pembahasan dewan pengupahan untuk penetapan UMK kota Batu
Tahun 2016 pada tanggal 28 Oktober 2015 dengan diadakannya
rapat ini jika ada salah satu pihak yang merasa keberatan dapat
diselesaikan dengan baik”. (tanggal 10 Agustus 2016)
Kemudian menurut Bapak S (54 Tahun) dari Seksi Pengawasan Dinas
Sosial dan Tenaga Kerja Kota Batu mengatakan :
“Komunikasi intern dilakukan dengan rapat 1 kali dalam satu bulan
tujuannya untuk memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan UMK
di perusahaan yang ada di wilayah Kota Batu, kedua
93
mengumpulkan data di pasar induk untuk bahan menentukan UMK
di tahun berikutnya”. (tanggal 03 Januari 2017)
Sementara di sisi lain komunikasi ekstern juga berjalan dengan
cukup baik. Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tentunya harus
disosialisasikan kepada masyarakat dan instansi terkait agar dalam
pelaksanaannya tercipta kerjasama yang baik hingga mendapatkan hasil
yang baik. Sosialisasi Peraturan Gubernur Jawa Timur No. 68 Tahun 2016
tentang Upah Minimum di Kota Batu ini dilakukan oleh Dinas Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Kota Batu sebagai perpanjangan tangan dari
Walikota Batu. Bahwa dengan adanya proses komunikasi diharapkan
dapat memahamkan dan memberikan pengertian kepada pihak pengusaha
dan pekerja bahwa upah yang ada dalam Peraturan Gubernur Jawa Timur
tersebut harus dilaksanakan. Lebih lanjut Bapak HS (57 Tahun) dari
Dinas Sosial dan Tenaga Kerja menjelaskan :
“Mengenai Sosialisasi UMK tahun 2016 ini, dilaksanakan oleh
Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Batu yaitu pada bulan
November 2015 bertempat di Agrokusuma dihadiri oleh seluruh
perusahaan yang ada di Kota Batu sebelum Kebijakan Upah
Minimum Kota (UMK) yang baru diberlakukan. Tujuan dari
sosialisasi ini untuk memberikan pemahaman dan pengertian
kepada pengusaha dan pekerja bahwa kebijakan UMK ini harus
dilaksanakan. Apabila setelah proses sosialisasi, ternyata ada
perusahaan yang merasa tidak mampu memenuhi kebijakan
tersebut, maka pihak Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Batu,
telah memberikan kesempatan bagi pengusaha untuk melakukan
penangguhan sesuai dengan batasan waktu yaitu 10 hari”. (tanggal
10 Agustus 2016)
Kemudian menurut Bapak S (54 Tahun) dari Seksi Pengawasan Dinas
Sosial dan Tenaga Kerja Kota Batu mengatakan :
94
“Mensosialisasikan UMK yang berlaku dengan cara mengundang
perwakilan perusahaan besar, sedang dan kecil di Agro Kusuma
dengan maksud apabila perusahaan keberatan dengan UMK yang
diberlakukan dapat melakukan penangguhan atau perusahaan dapat
melakukan pembayaran kenaikan UMK secara bertahap atau
dicicil”. (tanggal 03 Januari 2017)
Dari hasil wawancara diatas, dapat disimpulkan bahwa kegiatan
sosialisasi ini sangatlah penting untuk memberikan pemahamam kepada
pihak pengusaha dan pekerja terhadap kebijakan UMK di Kota Batu ini.
Dengan adanya sosialisasi ini diharapkan pula agar sebelum UMK
diberlakukan, bagi perusahaan yang tidak mampu menjalankan
sebagaimana semestinya dapat melakukan penangguhan. Setelah proses
sosialisasi dan proses penangguhan bagi perusahaan yang tidak mampu
melaksanakan Upah Minimum Kota (UMK) dilakukan, maka Pemerintah
Daerah dalam hal ini Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Batu akan
mengajukan kepada Gubernur. Dan Gubernur nantinya dapat menetapkan
penolakan atau persetujuan penangguhan pelaksanaan UMK setelah
menerima saran dan pertimbangan dari Dewan Pengupahan. Apabila
penangguhan suatu perusahaan tersebut disetujui oleh Gubernur maka
persetujuan penangguhan tersebut hanya akan berlaku untuk jangka waktu
paling lama 12 bulan atau 1 tahun. Hal ini sesuai dengan yang ada dalam
Kepmenakertrans RI Nomor KEP.231/MEN/2003.
d. Kegiatan-kegiatan Implementasi Kebijakan Upah Minimum Kota
(UMK) di Kota Batu
Kebijakan Upah Minimum Kota (UMK) merupakan kebijakan
yang diharapkan mampu memberikan dampak yang positif dalam upaya
95
mensejahterakan para pekerja dimana dengan dibuatnya kebijakan ini
diharapkan juga mampu sebagai jaring pengaman agar pengusaha tidak
memberikan upah yang rendah. Kebijakan Mengenai UMK ini
Berdasarkan surat edaran menteri dalam Negeri Republik Indonesia
tanggal 12 oktober 2015 tentang penetapan upah minimum tahun 2016.
Penentuan Upah Minimum Kota Batu tahun 2015, berdasarkan Peraturan
Pemerintah No. 78 Tahun 2015 dimana sistem lama tidak digunakan lagi,
sistem lama yaitu menggunakan survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL)
dengan mengacu pada enam puluh item. Hasil perhitungan dengan rumus
baru yang menggunakan Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2015 adalah
sebagai berikut : UMK th 2016 = UMK th 2015 + UMK th 2015
(Pertumbuhan Ekonomi Tingkat Nasional + Inflasi Tingkat Nasional)
total angka pertumbuhan dan inflasi Tingkat Nasional adalah sebesar
11,5% jadi besaran UMK th 2016 Untuk Kota Batu sebesar :
UMK TAHUN 2016 = Rp. 1.817.000 + {Rp. 1.817.000 (6.83 % +
4,67%)} = Rp. 2.025.955
Dari hasil perhitungan tersebut diatas yang dilakukan oleh Dewan
Pengupahan Kota Batu akan diusulkan kepada Walikota untuk kemudian
ditetapkan dengan surat keputusan Walikota Batu. Hasil penetapan
Walikota Batu, melalui surat tertanggal 29 Oktober 2015 disampaikan
kepada Gubernur Jawa Timur (surat terlampir) sebagai bahan keputusan
Gubernur Jawa Timur dalam rangka Upah Minimum Kota yang ada di
96
Jawa Timur. Gubernur Jawa Timur menetapkan Besaran Upah Minimum
Kota berdasarkan masukan dari kota berdasarkan masukan dari kota yang
ada di jawa timur dengan Peraturan keputusan Gubernur Jawa Timur
Nomor :68 Tahun 2015 tertanggal 20 November 2015. Hasil Surat
Keputusan Gubernur Jawa Timur tentang Upah Minimum Kota 2016 akan
segera disosialisasikan kepada seluruh perusahaan yang telah terdaftar di
Kota Batu. Pada bulan november 2015 Surat Keputusan Gubernur tersebut
disosialisasikan di Agrokusuma dihadiri oleh semua perusahaan yang ada
di Kota Batu. Tujuan dari sosialisasi tersebut adalah untuk memberikan
pemahaman terhadap upah baru yang telah ditetapkan selain itu juga untuk
mengetahui keberatan atau penundaan berkaitan dengan adanya Surat
Keputusan Gubernur tersebur. Dari hasil sosialisasi tersebut tidak ada
perusahaan yang melakukan keberatan atau mengajukan penundaan atas
surat keputusan gubernur tersebut diatas, maka dianggap seluruh
perusahaan yang terdaftar dapat menerima Surat keputusan gubernur
diatas. Padahal dalam kenyataannya masih banyak perusahaan yang tidak
melaksanakan Surat Keputusan Gubernur tersebut.
Setelah dilakukannya kegiatan sosialisasi ini dan dianggap semua
perusahaan telah memahami dan mengerti, selanjutnya akan dilakukan
pengawasan dan pemantauan terhadap penerapan Kebijakan mengenai
Upah Minimum Kota (UMK) yang dilakukan oleh Dinas Sosial dan
Tenaga Kerja. Pengawasan yang dilakukan Dinas Sosial dan Tenaga Kerja
97
Kota Batu menurut Bapak HS (57 Tahun) dari Dinas Sosial dan Tenaga
Kerja mengatakan :
“Pengawasan ini bersifat investigatif, yakni menekankan terhadap
pemeriksaan yang mendalam terhadap pelanggaran upah minimum
oleh objek pengawasan terhadap para pekerja. Pengawasan yang
dilakukan Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Batu dilakukan
dengan pengumpulan data, mengamati, mengelola dan melakukan
penilaian dari data yang dikumpulkan untuk mengambil
keputusan”. (tanggal 10 Agustus 2016)
Hal ini terbukti dari pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Sosial
dan Tenaga Kerja Kota Batu pada tahun 2016, pengawasan difokuskan
untuk memeriksa pelanggaran-pelanggaran terhadap pembayaran upah
kepada pekerja dengan melihat buku upah dan melihat keluhan karyawan
di perusahaan, dan hasilnya pada tahun 2016 dari 130 objek perusahaan
yang diawasi oleh Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Batu setelah
dilakukan pengumpulan data, mengamati dan melakukan penilaian dari
data yang dikumpulkan terdapat 53 perusahaan yang tidak membayarkan
upah sesuai upah minimum yang telah ditetapkan pada tahun 2016.
Berikut metode pelaksanaan pengawasan terhadap Penerapan
Kebijakan UMK di Kota Batu yang dilaksanakan setiap bulannya oleh
Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Batu :
1. Personel pengawas adalah pegawai pengawas Dinas Sosial dan Tenaga
Kerja Kota Batu yang memiliki hak Independen yang ditunjuk oleh
Menteri Tenaga Kerja yang telah disekolahkan atau dilatih selama 6
(enam) bulan untuk melaksanakan fungsi mengawasi penerapan Upah
Minimum yang telah ditetapkan pemerintah (Diatur dalam UU No. 03
98
Tahun 1951). Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Batu memiliki 4
(Empat) orang personel pengawas yang masing-masing telah mengikuti
pelatihan selama 6 (enam) bulan untuk melaksanakan fungsi pengawasan
penerapan Upah Minimum di Kota Batu, diantaranya :
a. Andie Indiarto, SE
b. Khayumiah, S.Sos
c. Anton Budi Setiawan, SH
d. Sunarko, S.Sos
2. Setiap bulan personel pengawas membuat rencana kerja dalam rangka
kegiatan pengawasan pelanggaran pembayaran Upah Minimum Kota di
Kota Batu sebagai tahap persiapan, yang meliputi :
a. Membuat SK penyelenggaraan, SK penyelenggaraan diserahkan kepada
Kepala Dinas untuk mendapatkan rekomendasi surat perintah tugas
dilapangan. Setelah mendapatkan rekomendasi perintah tugas dilapangan
barulah personel pengawas memiliki hak dan wewenang untuk melakukan
pengawasan di lapangan.
b. Membuat jadwal rencana pelaksanaan.
Dari wawancara yang dilakukan kepada Kabid Pengawasan dan Syarat
kerja yakni Bapak SAN (55 Tahun) diperoleh informasi bahwa :
“Pengawasan dilakukan dengan penjadwalan secara bertahap setiap
bulannya. Pembuatan jadwal meliputi penentuan topik kegiatan,
pada tahun 2016 topik kegiatan adalah pemetaan status kerawanan
terhadap objek pengawasan. Setiap bulannya personel pengawas
memeriksa minimal 1 (satu) orang mengawasi 2 (dua) atau 3 (tiga)
perusahaan. Sehingga dengan 4 (empat) orang personel pengawas
yang dimiliki Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Batu dalam
sebulan memeriksa 8 atau 12 perusahaan dan pada tahun 2016
99
perusahaan yang berhasil diawasi 130 perusahaan. Penjadwalan
kegiatan ini melihat faktor anggaran yang diberikan untuk
pelaksanaan kegiatan. Jika anggaran terbatas maka setiap bulannya
objek yang diawasi juga terbatas”. (tanggal 11 Agustus 2016)
c. Melakukan Koordinasi Penyelenggara
Personel pengawasan melakukan koordinasi kepada Kabid pengawasan
dan Syarat Kerja yakni Bapak Sapto Adi Nugroho untuk mendapatkan
pembagian tugas kepada 4 orang personel pengawas. Koordinasi
penyelenggaraan ini dimaksudkan agar pelaksanaan pengawasan sesuai
dengan apa yang telah direncanakan. Masing-masing personel
mendapatkan tugas sesuai keperluan pengawasan.
d. Menyiapkan Administrasi Kegiatan.
Menurut Bapak SAN (55 Tahun) dari Dinas Sosial dan Tenaga
Kerja mengatakan :
“Administrasi kegiatan meliputi SK dari Kepala Dinas untuk turun
kelapangan, data-data penunjang berupa dokumentasi peraturan
perundang-undangan ketenagakerjaan dan surat nota pemeriksaan
yang ditujukan kepada perusahaan untuk mengakses data sekunder
sebagai dokumen ketenaga kerjaan pada objek pengawasan berupa
data umum perusahaan yang meliputi, jenis usaha, alamat
perusahaan, pemilik perusahaan dan jumlah pekerja. Setelah itu
barulah personel pengawasan turun kelapangan untuk
mengumpulkan data primer, data primer berupa bukti buku upah
perusahaan. Data primer merupakan dokumen rahasia personel
pengawasan yang diperoleh dari perusahaan. Karena personel
pengawasan memiliki hak independen dalam melakukan kegiatan
pengawasan”. (tanggal 11 Agustus 2016)
Setelah rencana kerja selesai tahap selanjutnya adalah pelaksanaan
pengawasan di lapangan berdasarkan rencana kerja di atas dengan
melakukan penilaian terhadap objek pengawasan. Jika dijumpai
perusahaan tersebut tidak menerapkan upah minimum yang telah
100
ditetapkan kepada para pekerja yakni maka proses yang dilakukan
menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
adalah sebagai berikut :
1. Menegur dan memerintahkan pengusaha yang bersangkutan dalam
bentuk surat nota pemeriksaan kemudian diserahkan kepada perusahaan
tersebut agar mematuhi peraturan tentang upah minimum yang telah
ditetapkan. Dari hasil wawancara yang dilakukan kepada Kepala Seksi
pengawasan yakni Bapak S (54 Tahun) dari Dinas Sosial dan Tenaga
Kerja yang mengatakan :
“Jika dijumpai perusahaan yang melanggar UMK dalam kategori
potensi rawan, maka Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Batu
akan melakukan pembinaan lebih intensif dan berkesinambungan
kepada perusahaan tersebut”. (tanggal 12 Agustus 2016)
2. Dalam waktu 14 hari, perusahaan tersebut harus menjawab surat nota
pemeriksaan tersebut agar mematuhi pembayaran upah kerja sesuai
dengan upah yang ditetapkan pemerintah. Dalam hal ini Dinas Sosial dan
Tenaga Kerja Kota Batu tidak langsung memberikan sanksi terhadap
perusahaan tersebut, akan tetapi dilakukan pembinaan agar mau mematuhi
peraturan pembayaran upah dengan memberi waktu selama 14 hari.
3. Jika perusahaan tersebut tidak juga menjawab nota pemeriksaaan
tersebut, maka Dinas Sosial dan Tenaga Kerja memanggil perusahaan
tersebut untuk diberitahukan dan diberi pengarahan. Proses ini dilakukan
untuk pembinaan agar kedepannya perusahaan tersebut mematuhi
pembayaran upah sesuai dengan yang ditetapkan pemerintah.
101
4. Jika tetap melanggar setelah diberitahukan pada proses ketiga, maka
perusahaan tersebut akan diproses melalui Berita Acara Pemeriksaan
(BAP) yang dilakukan oleh pegawai penyidik negeri sipil Dinas Sosial dan
Tenaga Kerja. Dalam hal ini yang dilakukan pegawai penyidik negeri sipil
Dinas Sosial dan Tenaga Kerja adalah:
a. Memanggil untuk diminta keterangan (Priyustisia) atau dibuat berita
acara pemanggilan tersangka, pemanggilan sanksi dan tenaga ahli.
b. Jika masih juga tidak mengindahkan, maka berkas lengkap baru
diserahkan kepada polisi. Kemudian diproses secara hukum sesuai dengan
hukum yang berlaku.
Selain itu apabila terjadi perselisihan berkaitan dengan upah
minimum dimana perusahaan tidak melaksanakan upah minimum sesuai
dengan surat keputusan Jawa Timur pelanggaran tersebut bisa dilaporkan
pekerja kepada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja hal ini seperti yang
dikatakan oleh Bapak S (54 Tahun) dari Seksi Pengawasan Dinas Sosial
dan Tenaga Kerja :
“Dinas Sosial dan Tenaga Kerja yang diwakili oleh Kepala Seksi
Hubungan indrustrial dan syarat-syarat kerja akan memanggil
perusahaan yang dilaporkan oleh pekerja untuk dilakukan sidang
mediasi dimana perusahaan diwajibkan membayar upah pekerja
sesuai dengan UMK yang berlaku, dan dapat dihitung kekurangan
bayar UMK mulai dari Tahun 2011 sesuai Surat Keputusan
Mahkamah Konstitusi”. (tanggal 12 Agustus 2016)
Bila mana di dalam sidang media tersebut diatas tidak tercapai
kesepakatan maka pihak yang merasa dirugikan dapat melakukan gugatan
ke peradilan Hubungan Inrustrial di Kota Surabaya, agar didapat
keputusan yang harus dilaksanakan oleh perusahaan.
102
e. Struktur Birokrasi Dinas Sosial dan Tenaga Kerja sebagai
Pelaksana Implementasi Kebijakan Upah Minimum Kota (UMK) di
Kota Batu
Struktur Birokrasi mencakup banyak aspek seperti pembagian
kewenangan, hubungan antar unit, hubungan organisasi lain dan
sebagainya. Dinas Sosial dan Tenaga kerja sebagai pelaksana kebijakan
Upah Minimum Kota ini bertugas mulai dari proses perhitungan nominal
Upah, sosialisasi kepada pengusaha dan pekerja mengenai kebijakan serta
melakukan pengawasan dan pemantauan terhadap pengusaha dalam
rangka penegakkan penerapan Kebijakan UMK ini. Dalam struktur
birokrasi Dinas Sosial dan Tenaga Kerja dapat dilihat sebagai berikut :
Susunan Organisasi Dinas Sosial dan Ketenagakerjaan Kota Batu
menurut Peraturan Walikota Batu Nomor 39 Tahun 2013 terdiri dari :
Kepala Dinas
Unsur pembantu pimpinan terdiri dari:
Sekretaris Dinas terdiri dari
Kasubag Umum dan Kepegawaian
Kasubag Keuangan
Kasubag Program dan Pelaporan
Unsur Pelaksanaan terdiri dari:
Bidang Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial:
Seksi Pelayanan Sosial
Seksi Rehabilitasi Sosial
103
Bidang Swadaya Sosial:
Seksi Bantuan Sosial
Seksi Pembinaan, Pengembangan Potensi dan Swadaya Sosial
Bidang Hubungan Industrial dan Pengawasan Tenaga Kerja:
Seksi Perlindungan, pembinaan dan Pengawasan Tenaga Kerja
Seksi Hubungan Industrial
Bidang Pengembangan Penempatan Tenaga Kerja:
Seksi Penempatan dan Perluasan Kerja
Seksi Pengembangan dan Produktifitas Kerja
Kelompok Jabatan Fungsional
Birokrasi sebagai pelaksana dari sebuah kebijakan harus dapat
mendukung kebijakan yang telah diputuskan secara politik dengan jalan
melakukan koordinasi dengan baik. Kebijakan yang begitu kompleks
menuntut adanya kerjasama banyak orang. Ketika struktur birokrasi tidak
kondusif pada kebijakan yang tersedia, maka hal ini akan menyebabkan
sumber daya yang ada menjadi tidak efektif dan menghambat jalannya
kebijakan. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak HS (57 Tahun)
dari Dinas Sosial dan Tenaga Kerja yaitu :
"Menurut saya koordinasi di dalam Dinas Sosial dan Tenaga Kerja
Kota Batu sudah berjalan dengan baik, karena setiap divisi
memiliki kepala yang kompeten dan mudah diajak untuk
berkoordinasi satu sama lainnya, kerjasama antar atasan dengan
staf juga terjalin dengan sangat baik sehingga informasi mengenai
kebijakan Upah Minimum Kota (UMK) ini dapat dengan mudah
disampaikan ke bawahan dan dapat dimengerti oleh bawahan
sesuai dengan tugasnya masing-masing. Selain itu koordinasi
104
dengan Dinas dan lembaga lainnya yang terkait seperti APINDO
dan SPSI juga berjalan dengan baik sebelum menetapkan
Kebijakan UMK ini kami melakukan rapat agar nantinya kebijakan
yang dibuat tidak merugikan salah satu pihak yaitu pengusaha dan
pekerja”. (tanggal 10 Agustus 2016)
Dinas Sosial dan Tenaga Kerja sudah dapat berkoordinasi satu
dengan yang lainnya dari atasan ke bawahan maupun melakukan
koordinasi dengan dinas dan lembaga lainnya yang terkait. Birokrasi sudah
mendukung sehingga keputusan melalui proses politik dalam
mengimplementasi Kebijakan Upah Minimum Kota (UMK) semuanya
sudah menghasilkan satu suara atau melalui kesepakatan bersama.
Koordinasi yang baik ini yang memudahkan pelaksanaan Kebijakan UMK
ini dapat dilaksanakan di lapangan sehingga kebijakan ini dapat
menyentuh sasaran/target yaitu pekerja dan pengusaha.
f. Lingkungan Ekonomi, Sosial dan Politik Implementasi Kebijakan
Upah Minimum Kota (UMK) di Kota Batu
Kondisi-kondisi ekonomi, sosial dan politik merupakan hal yang
berpengaruh dalam implementasi suatu kebijakan publik. Dalam
implementasinya kondisi ekonomi dari Dinas Sosial dan Tenaga Kerja
untuk melaksanakan kebijakan UMK ini semua bergantung pada dana dari
APBD. Kemudian mekanismenya disampaikan oleh Bapak HS (57 Tahun)
selaku kepala seksi hubungan indrustrial dan syarat kerja dari Dinas Sosial
dan Tenaga Kerja sebagai berikut :
“Masing-masing bidang membuat program kerja untuk satu tahun
dengan detail Rencana Kegiatan Anggaran (RKA) beserta
kerangka acuan kerja diajukan ke bagian perencanaan dibawah
105
sekretariat Dinas Sosial dan Tenaga Kerja kemudian dikirm ke
BAPEDA bagian keuangan yang selanjutnya akan dibahas di DPR
dari hasil pembahasan di DPR nilai program kegiatan yang
diusulkan yang ada di RKA bisa ditambah atau dikurangi apabila
sudah mendapatkan persetujuan dari DPR maka anggaran dapat
dicairkan”. (19 Desember 2016)
Selain kondisi ekonomi, lingkungan sosial juga berpengaruh
terhadap implementasi kebijakan publik. Berikut pernyataan Bapak HS (57
Tahun) selaku kepala seksi hubungan indrustrial dan syarat kerja dari
Dinas Sosial dan Tenaga Kerja :
“Semua yang terlibat dalam kebijakan ini mendukung kebijakan
UMK ini. Tidak ada yang menentang mengenai kebijakan ini baik
dari pihak pekerja maupun dari pihak pengusaha. Semua pihak
dapat menerima besaran upah yang telah ditetapkan dan dapat
melaksanakannya dengan baik”. (tanggal 19 Desember 2016)
Pada kebijakan tentang Upah Minimum Kota ini tidak ada isu-isu
politik yang terkait. Hal ini didukung oleh pernyataan Bapak S (54 Tahun)
dari Seksi Pengawasan Dinas Sosial dan Tenaga Kerja, bahwa :
“Saya rasa, untuk kebijakan ini (kebijakan Upah Minimum Kota)
tidak ada sama sekali unsur politiknya. Karena kebijakan ini murni
hanya bertujuan untuk mensejahterakan para pekerja saja. (tanggal
19 Desember 2016)
2. Dampak Pelaksanaan Kebijakan Upah Minimum Kota (UMK)
Batu Terhadap Kesejahteraan Pekerja di Kota Batu
Pada awalnya dibuatnya kebijakan Upah Minimum Kota ini
sebagai jaring pengaman agar upah yang dibayarkan oleh pihak pengusaha
tidak terlampau rendah yang mana akan merugikan pihak pekerja. Dan
seiring berjalannya waktu Upah Minimum Kota (UMK) ini banyak
dikaitkan dengan tujuan dalam meningkatkan kesejahteraan pekerja.
106
Dimana sudah dijelaskan sebelumnya bahwa UMK didasarkan pada
pemenuhan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang dibuat oleh dewan
pengupahan daerah melalui survei harga pasar yang akhirnya dapat
menentukan KHL pekerja. Komponen KHL, meliputi kebutuhan dasar
yaitu pangan (makanan dan minuman), papan, sandang, pendidikan,
kesehatan, transportasi, rekreasi dan tabungan. Sehingga apabila
pemenuhan KHL ini oleh pekerja dapat dilakukan, maka setidaknya
pekerja tersebut dapat dikatakan sejahtera.
a. Kemampuan pekerja di Kota Batu terhadap pemenuhan
kebutuhan sehari-hari
Pada umumnya kebutuhan sehari-hari meliputi makan, minum,
keperluan anak sekolah dan biaya tarnsportasi. Bagi para pekerja dalam
memenuhi kebutuhan sehari-harinya umumnya beranggapan bahwa masih
cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari akan tetapi sangat pas-pasan
hal ini juga disebabkan oleh kebutuhan hidup di kota Batu yang tergolong
cukup tinggi. Hal ini disampaikan oleh pekerja yang masih menerima upah
dibawah UMK yang telah ditetapkan. Saudara AG (25 Tahun) yang
bekerja di salah satu hotel di Jalan Panglima Sudirman no.93 Kota Batu
yang mengatakan bahwa :
“Kalau untuk kebutuhan buat makan sangat terbatas mas, ya itu
seadanya saja kadang makan cuma pakai tempe sama tahu apalagi
kalau sudah jatuh akhir bulan kadang sehari Cuma makan sekali
saja. Apalagi kebutuhan di kota batu yang lumayan mahal bagi
saya dengan upah Cuma 800.000 ribu perbulan mungkin ini karena
kota pariwisata ya. Untuk urusan transportasi kekantor biasanya
107
bareng temen jadi gak keluar biaya banyak”. (tanggal 23 Agustus
2016)
Disisi lain Bapak DN (31 Tahun) yang bekerja di salah satu
perusahaan konveksi di jalan Panglima Sudirman no.111 Kota Batu yang
mengatakan sebagai berikut :
“ Dengan upah kisaran hanya sejutaan untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari seperti makan dan biaya transport sangat kekurangan
mas apalagi saya sekarang baru punya anak buat beli susu yang
harganya lumayan mahal saya sangat keberatan. Untuk menambah
penghasilan saya dan istri saya biasanya jualan baju di pasar
malam buat nambah-nambah penghasilan. Kalau cuman tergantung
dengan upah saya bekerja saja masih sangat kekurangan”. (tanggal
23 Agustus 2016)
Dan hal serupa dikatakan oleh Bapak WN (32 Tahun) seorang
warga Jl. Dewi sartika Kelurahan Temas yang bekerja di salah satu
perusahaan camilan makanan di Kota Batu yang belokasi di jalan Wukir
V/17 Temas lebih lanjut mengatakan bahwa :
“Saya kalau untuk kebutuhan sehari-hari saja seperti makan dan
minum sama uang jajan anak saya tercukupi mas tapi ya gitu harus
pintar-pintar mengatur uangnya beli kebutuhan yang dirasa
penting-penting saja. Tapi kalau ada kenaikan harga-harga bahan
pokok seperti tahun kemarin saya merasa sangat kekurangan
dengan gaji Cuma sekitar 1 jutaan”. (tanggal 23 Agustus 2016)
Dari hasil wawancara lebih lanjut ke pekerja yang menerima upah
dibawah Kebijakan Upah Minimum Kota Batu, Rata-rata mereka sangat
keberatan untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-harinya seperti
makan, minum, ongkos transportasi dan keperluan anak mereka. Sebagian
dari mereka mengatakan kebutuhan pokok di kota Batu yang cukup tinggi
dibandingkan dengan kota lainnya tidak diimbangi dengan pemberian
108
upah dari perusahaan yang terlalu rendah. Untuk menambah pemasukan
demi menutupi kekurangan memenuhi kebutuhan sehari-hari sebagian dari
mereka mencari tambahan pekerja lainnya.
Pendapat berbeda disampaikan oleh pekerja yang telah menerima
upah sesuai dengan kebijakan Upah Minimum Kota (UMK) di Kota Batu
tahun 2016. Hal itu disampaikan oleh saudara RO (20 Tahun) yang bekerja
di PT.Kusuma Satria Dinasasri Wisatajaya Batu :
“Mampu mas untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, tetapi jika
terus menerus digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
dengan harga kebutuhan yang cenderung selalu naik maka upah
yang diterima akan dirasa kurang, karena membuat sulit
menyisihkannya untuk ditabung, tapi saya merasa bersyukur
mengingat masih banyak perusahaan di Batu yang belum
menerapkan upah sesuai UMK”. (tanggal 24 Agustus 2016)
Di sisi lain pekerja yang juga sudah menerima upah sesuai dengan
kebijakan UMK di perusahaan yang berbeda menyampaikan hal yang
serupa ini disampaikan oleh Saudari AD (20 Tahun) yang bekerja di Jawa
Timur Park Kota Batu :
“kalau untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja seperti makan,
mnum dan biaya transportasi saja tercukupi mas apalagi saya
masih hidup sendiri jadi masih belum ada tanggungan, malah saya
masih ada sisa dari upah yang saya terima untuk dikirimkan ke
keluarga di kampung saya berasal orang tua dan adik saya”.
(tanggal 24 Agustus 2016)
Dari hasil wawancara diatas, dapat dilihat perbedaan para pekerja
di Kota Batu yang menerima upah dibawah Kebijakan UMK dengan yang
sudah menerima upah sesuai dengan Kebijakan UMK tahun 2016. Pekerja
yang sudah menerima upah sesuai dengan Kebijakan Upah Minimum Kota
109
(UMK) Tahun 2016 Kota Batu pastinya akan merasa tenang karena
mereka mampu untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya dan tidak repot
dalam mengatur keuangan mereka hal ini berbanding terbalik dengan apa
yang dirasakan oleh pekerja yang menerima upah dibawah UMK yang
kerepotan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.
b. Kemampuan pekerja di Kota Batu terhadap pemenuhan biaya
kesehatan dan pendidikan
Di masa sekarang ini mahalnya biaya pendidikan masih menjadi
perbincangan dan permasalahan masyarakat setiapkali pergantian tahun
ajaran, bukan hanya terjadi pada sekolah swasta tetapi juga sekolah yang
berstatus negeri. Orang tua siswa harus berfikir kembali untuk
melanjutkan anaknya pada jenjang yang lebih tinggi akibat semakin
tingginya biaya pendidikan. Padahal pendidikan adalah suatu bentuk hak
asasi yang harus dipenuhi oleh negara secara merata sehingga semua
masyarakat dalam suatu bangsa tersebut dapat menikmatinya. Bukannya
hanya ditunjukan untuk orang yang mampu membayarnya saja.
Adanya pengeluaran yang tidak terduga apabila seseorang terkena
penyakit, apalagi tergolong penyakit berat yang menuntut stabilisasi yang
rutin seperti hemodialisa atau biaya operasi yang sangat tinggi. Hal ini
berpengaruh pada penggunaan pendapatan pekerja dari pemenuhan
kebutuhan hidup pada umumnya menjadi biaya perawatan dirumah sakit,
obat-obatan, operasi, dan lain lain. Hal ini tentu menyebabkan kesukaran
ekonomi bagi diri sendiri maupun keluarga. Dapat disimpulkan, bahwa
110
kesehatan tidak bisa digantikan dengan uang, dan tidak ada orang kaya
dalam menghadapi penyakit karena dalam sekejap kekayaan yang dimiliki
seseorang dapat hilang untuk mengobati penyakit yang dideritanya. Begitu
pula dengan resiko kecelakaan dan kematian. Suatu peristiwa yang tidak
kita harapkan namun mungkin saja terjadi kapan saja dimana kecelakaan
dapat menyebabkan merosotnya kesehatan, kecacatan, ataupun kematian
karenanya kita kehilangan pendapatan, baik sementara maupun permanen.
Situasi tersebut yang terkadang membuat para pekerja menjadi
resah, Khususnya pekerja-pekerja yang menerima upah dibawah
Kebijakan Upah Minimum Kota Tahun 2016 di Kota Batu. Para pekerja
akan memutar otak untuk mengatur keuangan mereka agar bisa memenuhi
biaya pendidikan dan kesehatan. Menurut Saudara AG (25 Tahun) yang
bekerja di salah satu hotel di Jalan Panglima Sudirman no.93 Kota Batu
yang mengatakan bahwa :
“Untuk biaya kesehatan sekarang kan sudah ada yang namanya
asuransi kesehatan BPJS jadi ya kalau sakit udah ditanggung
semua oleh BPJS saya cuma harus membayarkan iuran uang
sebesar 20 ribu tiap bulannya jadi untuk biaya kesehatan saya tidak
kepikiran lagi untuk biaya pendidikan buat meneruskan ke
universitas kayaknya masih tidak mampu untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari saja masih kekurangan mas”. (tanggal 23
Agustus 2016)
Di sisi lain Bapak DN (31 Tahun) yang bekerja di salah satu
perusahaan konveksi yang berlokasi di jalan Panglima Sudirman no.111
Kota Batu mengatakan bahwa :
111
"Sekarang kan ada yang namanya asuransi kesehatan dari BPJS
jadi kalau ada anggota keluarga saya istri atau anak saya yang
masih bayi sedang sakit sudah ditangani oleh BPJS semua
mengenai biayanya saya cuma harus membayarkan iuran sebesar
20 ribu tiap bulannya masalah pendidikan kan anak saya masih
bayi jadi masih belum mengeluarkan biaya buat pendidikan”.
(tanggal 23 Agustus 2016)
Hal yang hampir serupa disampaikan oleh Bapak WN (32 Tahun)
seorang warga Jl. Dewi sartika Kelurahan Temas yang bekerja di salah
satu perusahaan camilan makanan di Kota Batu yang belokasi di jalan
Wukir V/17 Temas lebih lanjut mengatakan bahwa :
“Alhamdullilah mas sekarang ada bantuan dari pemerintah dalam
bentuk asuransi kesehatan kalau tidak salah namanya BPJS apalagi
sekarang saya sedang sakit-sakitan jadi sangat terbantu sekali
dengan adanya BPJS ini. Kalau biaya pendidikan untuk anak saya
jujur saja saya sangat kesulitan untuk memenuhinya SPP untuk
berapa bulan ini sudah nunggak terus mas, anak saya sudah minta-
minta terus untuk segera dilunasi tapi saya masih belum mampu ya
bagaimana lagi mas upah sangat pas-pasan sekali”. (tanggal 23
Agustus 2016)
Dari beberapa hasil wawancara tersebut di atas, dapat disimpulkan
bahwa para pekerja khususnya para pekerja yang masih menerima upah
dibawah ketentuan Kebijakan Upah Minimum Kota yang telah ditetapkan
di Kota Batu, umumnya sangat tertolong dengan adanya bantuan dari
pemerintahan dalam hal asuransi kesehatan atau yang lebih dikenal dengan
sebutan BPJS ini pekerja tidak lagi mengeluarkan biaya yang tidak terduga
jika ada anggota keluarga yang sedang sakit hal ini tentunya meringankan
beban mereka yang sudah dipusingkan dengan rendahnya upah yang
mereka terima. Mengenai biaya pendidikan para pekerja merasa masih
kesulitan, mereka mengaku biaya pendidikan masih dirasa terlalu tinggi
112
jika dibandingkan dengan rendahnya upah yang mereka terima dari
perusahaan apalagi tidak adanya bantuan dari pemerintahan.
Situasi yang hampir sama terjadi kepada pekerja-pekerja di Kota
Batu yang telah menerima upah sesuai dengan kebijakan Upah Minimum
Kota (UMK) di Batu yang telah ditetapkan sebelumnya. Rata – rata dari
mereka mengatakan tertolong dengan adanya asuransi kesehatan BPJS ini.
Namun, untuk urusan pendidikan mereka sedikit mengalami kendala.
Seperti yang dikatakan oleh saudara RO (20 Tahun) yang bekerja di
PT.Kusuma Satria Dinasasri Wisatajaya Batu :
"Untuk melanjutkan pendidikan ke sarjana untuk sekarang bisa-
bisa saja tapi ya itu paling universitas swasta yang biaya untuk
uang semesterannya tidak terlampau tinggi jadi pilihan universitas
mana yang bisa dipilih ya terbatas mas tapi untuk sekarang masih
tidak ada waktu masih sibuk buat kerja, kalau biaya kesehatan kan
sekarang ada yang namanya kartu kesehatan BPJS jadi tidak keluar
banyak biaya kalau sedang sakit”. (tanggal 24 Agustus 2016)
Hal yang senada juga diungkapkan oleh Saudari AD (20 Tahun)
yang bekerja di Jawa Timur Park Kota Batu :
“Melanjutkan pendidikan buat menjadi sarjana masih belum berani
takut uangnya tidak cukup mas apalagi kan sekarang untuk masuk
ke universitas biayanya tidak murah jadi ya nunggu uangnya
terkumpul dulu. Buat membiayai kalau saya atau ibu yang ada di
kampung sedang sakit saya gak kepikiran lagi mas buat biayanya
karena sudah ditanggung semua oleh asuransi kesehatan BPJS”.
(tanggal 24 Agustus 2016)
Dari wawancara diatas menunjukkan bahwa pekerja yang telah
menerima upah sesuai dengan Kebijakan Upah Minimum Kota di batu
tahun 2016 ada yang merasa mampu untuk melanjutkan pendidikan ke
113
jenjang berikutnya ada pula yang masih merasa takut upah yang mereka
terima tidak mencukupi untuk melanjutkan pendidikan mereka. Mengenai
biaya kesehatan mereka sama-sama mengatakan kalau kesehatan mereka
telah terjamin oleh BPJS sehingga tidak lagi mengeluarkan biaya yang
besar.
c. Kemampuan Pekerja di Kota Batu dalam melakukan saving
per bulan
Untuk menjaga terjadinya sesuatu yang tidak terduga diluar
kebutuhan sehari-hari mungkin karena ada kecelakaan atau masalah
kesehatan yang memerlukan dana yang banyak atau untuk keperluan yang
terjadi di masa depan seperti biaya pendidikan atau pernikahan dan
mengatur segala jenis penggunaan uang pekerja memerlukan tabungan
atau simpanan. Simpanan bagi pekerja sangatlah penting, akan tetapi tidak
semua pekerja dapat mampu melakukan simpanan tiap bulannya. Terlebih
lagi bagi pekerja yang menerima upah dibawah Kebijakan UMK tahun
2016 di Kota Batu. Sebagian pekerja merasa kesulitan untuk menyisihkan
upah mereka karena telah habis untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
mereka terlebih lagi jika terjadi kenaikan harga kebutuhan bahan pokok
atau kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM). Ini seperti yang dikatakan
oleh Saudara AG (25 Tahun) yang bekerja di salah satu hotel di Jalan
Panglima Sudirman no.93 Kota Batu yang mengatakan bahwa :
“Kadang-kadang saya bisa untuk menyisihkan sebagian dari upah
saya jika ada rezeki yang berlebih dan tidak ada kenaikan
kebutuhan pokok tapi tidak seberapa karena habis untuk
114
membiayai kebutuhan sehari-hari dan untuk bayar hutang atau
cicilan. Tapi akhir-akhir ini saya tidak bisa menabung karena jika
ada sisa upah atau rezeki yang berlebih saya langsung kirimkan
untuk ibu saya yang lagi kesusahan di kampung”. (tanggal 23
Agustus 2016)
Di sisi lain Bapak DN (31 Tahun) yang bekerja di salah satu
perusahaan konveksi yang berlokasi di jalan Panglima Sudirman no.111
Kota Batu yang mengatakan bahwa :
“Upah yang saya terima dari perusahaan cuman bisa untuk
membiayai kebutuhan sehari-hari untuk saya, istri dan anak saya
yang baru lahir jangankan untuk menabung dengan upah segitu
saja masih kurang. Saya baru bisa menabung kalau dagangan saya
di pasar malam laris”. (tanggal 23 Agustus 2016)
Hal yang hampir serupa disampaikan oleh Bapak WN (32 Tahun)
seorang warga Jl. Dewi sartika Kelurahan Temas yang bekerja di salah
satu perusahaan camilan makanan di Kota Batu yang belokasi di jalan
Wukir V/17 Temas lebih lanjut mengatakan bahwa :
“Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja saya sangat
keberatan apalagi harus menyisihkan sebagian upah untuk
menabung tentu tidak mungkin mas. Malah kadang saya harus
meminjam kepada tetangga untuk menutup sebagian keperluan
belum lagi kalau anak membutuhkan biaya tambahan untuk
keperluan sekolahnya”. (tanggal 23 Agustus 2016)
Dari hasil wawancara yang disampaikan oleh pekerja yang
menerima upah dibawah kebijakan Upah Minimum Kota di Kota Batu
Tahun 2016 dapat disimpulkan bahwa para pekerja ini sangat kesulitan
untuk menyisihkan sebagian dari upah mereka bekerja untuk keperluan
menabung rata-rata dari mereka mengatakan bahwa upah yang diterima
hanya habis untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja. Kalau bisa
115
menabung pun mereka mendapatkan penghasilan dari tambahan pekerjaan
lain seperti berdagang diluar upah yang mereka terima.
Berbeda dengan pekerja-pekerja lain yang telah menerima upah
sesuai dengan Kebijakan Upah Minimum Kota tahun 2016 di Kota Batu.
Seperti yang dikatakan oleh saudara RO (20 Tahun) yang bekerja di
PT.Kusuma Satria Dinasasri Wisatajaya Batu :
“Untuk sekarang saya masih bisa buat menabung soalnya masih
belum berkeluarga jadi tidak ada tanggungan buat biaya istri dan
anak lebih lagi kebutuhan pokok tahun ini masih stabil tidak seperti
tahun-tahun sebelumnya yang banyak kebutuhan pokok harganya
melonjak naik sehingga susah untuk menabung”. (tanggal 24
Agustus 2016)
Di sisi lain pekerja lainnya yang sudah menerima upah sesuai
dengan kebijakan UMK ini yaitu Saudari AD (20 Tahun) yang bekerja di
Jawa Timur Park Kota Batu yang mengatakan :
“Dengan upah yang saya terima setiap bulannya sebesar 2 juta
bersyukur saya masih bisa menyisihkannya untuk ditabung jika
nanti ada keperluan yang mendesak yang membutuhkan biaya yang
cukup banyak saya tidak kerepotan lagi. Dan juga rencana saya
tabungan ini akan saya pakai untuk melanjutkan pendidikan saya
ke perguruan tinggi”. (tanggal 24 Agustus 2016)
Dari hasil wawancara diatas menunjukan bahwa pekerja yang telah
menerima upah sesuai dengan Kebijakan Upah Minimum Kota di batu
tahun 2016 mampu menyisihkan sebagian dari pada upah mereka untuk
ditabung itu semua tergantung pada kebutuhan masing-masing pekerja dan
tanggungan dari pada pekerja itu sendiri.
116
D. Pembahasan
Pada tahap ini akan dilakukan analisis dan pembahasan dari hasil
penelitian yang telah dilakukan dan telah disajikan diatas. Berikut peneliti
akan memaparkan analisis dan pembahasan data yang telah ada dan sesuai
dengan fokus penelitian secara berurutan.
1. Implementasi Kebijakan Upah Minimum Kota (UMK) di Kota
Batu
a. Tujuan dan Manfaat implementasi kebijakan Upah Minimum
Kota (UMK) di Kota Batu
Menurut Van Meter dan Van Horn, tujuan-tujuan dan sasaran
suatu kebijakan yang akan dilaksanakan harus diidentifikasikan dan
diukur karena implementasi tidak dapat berhasil atau mengalami
kegagalan bila tujuan-tujuan itu tidak dipertimbangkan. Begitu juga
dengan kebijakan Upah Minimum Kota (UMK) ini pasti memiliki
tujuan dan manfaat tertentu bagi masyarakat. Kebijakan Upah Minimum
yang merupakan kebijakan publik tersebut juga sesuai dengan pendapat
Islamy (1991:20) yang menjelaskan definisi kebijakan publik (publik
policy), yaitu “serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan
atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau
berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat”.
Pembuatan kebijakan Upah Minimum Kota merupakan suatu tindakan
yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh pemerintah yang berorientasi
pada upaya pencapaian tujuan demi kepentingan masyarakat yaitu
117
pihak pekerja agar mereka tidak dirugikan dengan pemberian upah yang
rendah dari pengusaha.
Sesuai dengan hasil penelitian yang ada dilapangan yang telah
disebutkan oleh petugas Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Batu,
bahwa Kebijakan Upah Minimum Kota (UMK) ini bertujuan untuk
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat khususnya bagi
para pekerja dan mempunyai manfaat sebagai jaring pengaman bagi
pekerja agar upah yang pekerja dapat tidak berada di level yang paling
rendah. Di dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Keternagakerjaan
juga memuat tujuan dari kebijakan Upah Minimum Kota ini yaitu untuk
mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan dan pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang
melindungi pekerja. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Anonymous
(2001:23) yang menyebutkan ada beberapa tujuan dari pada penetapan
upah minimum yaitu : Sebagai jaring pengaman, Pemerataan
pendapatan dan mempersempit kesenjangan dalam mewujudkan
keadilan sosial, Meningkatkan harkat dan martabat tenaga kerja dalam
rangka memanusiakan manusia, Mendorong meningkatkan disiplin dan
produktivitas kerja. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa
pembuatan kebijakan mengenai Upah Minimum Kota ini telah memuat
tujuan dan manfaat yang jelas ingin dicapai yaitu untuk mensejahterakan
khususnya bagi para pekerja/buruh.
118
b. Sumber-sumber Kebijakan Implementasi Kebijakan Upah
Minimum Kota (UMK) di Kota Batu
Sumber-sumber kebijakan secara umum didefinisikan sebagai
sesuatu yang dipandang memiliki nilai-nilai didalamnya. Dalam hal ini
sumber kebijakan yang dimaksud adalah sumber dalam kebijakan yang
diperlukan bukan karena untuk dirinya sendiri, melainkan diperlukan
untuk mencapai tujuan dari kebijakan itu. Mengenai teori proses
implementasi menurut Van Meter dan Van Horn sumber-sumber yang
dimaksud adalah perangsang yang mampu mendorong dan memperlancar
implementasi yang efektif. Dalam kebijakan Upah Minimum Kota (UMK)
ini di Kota Batu sudah memiliki sumber daya manusia yang kompeten ini
bisa dilihat dari jumlah banyaknya pegawai yang telah berpendidikan
sarjana guna menunjang pelaksanaan kebijakan ini.
Pada umumnya kebijakan harus mempunyai sumber dasar hukum
yang kuat agar kebijakan tersebut dapat dilaksanakan secara efektif. Dasar
hukum merupakan legitimasi bagi para pelaksana dalam melaksanakan
kebijakan yang ditetapkan secara politik. Ketika dasar hukum tidak ada,
maka kekuatan para implementator di mata publik tidak dilegitimasi,
sehingga dapat menggagalkan implementasi kebijakan tersebut. Di dalam
kebijakan Upah Minimum Kota (UMK) di Kota Batu ini telah memiliki
dasar hukum yang kuat. Sesuai dengan penelitian yang ada di lapangan
yang telah disampaikan oleh petugas Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota
Batu bahwa dasar hukum yang dipakai dalam pelaksanaan Kebijakan
119
Upah Minimum Kota (UMK) Batu adalah Peraturan Gubernur Jawa
Timur. Dalam Peraturan Gubernur Jawa Timur tersebut didalamnya
memuat landasan yang dipakai dalam pembuatan Peraturan Gubernur
tersebut yaitu Undang-undang No 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor kep/226/MEN/2000, keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor kep/231/MEN/2003, dan peraturan-peraturan
lainnya.
Peraturan Gubernur Jawa Timur tersebut setiap tahunnya akan
berubah disesuaikan dengan Kebijakan Upah Minimum Kota (UMK) yang
baru. Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 48 Tahun 2014
menyebutkan Upah Minimum Kota (UMK) di wilayah Jawa Timur untuk
tahun 2015, dimana Kota Batu untuk Tahun 2015 Upah Minimum Kota
(UMK) nya sebesar Rp. 1.817.000 sedangkan untuk Upah Minimum Kota
(UMK) tahun 2016 diatur dalam Peraturan Gubernur Jawa Timur No. 68
Tahun 2015 yang menyebutkan Upah Minimum Kota (UMK) Batu Tahun
2016 mengalami peningkatan menjadi sebesar Rp. 2.026.000 Peningkatan
ini disesuaikan dengan tingkat inflasi yang dari tahun ke tahun menjadi
semakin meningkat. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa
Kebijakan mengenai Upah Minimum Kota (UMK) ini telah memiliki
dasar hukum yang kuat, karena kebijakan mengenai UMK ini merupakan
kebijakan yang dibuat berdasarkan perintah dari Undang-undang dan
120
Keputusan Menteri sehingga semua Kota/Kabupaten pasti menggunakan
Kebijakan UMK ini.
c. Komunikasi Dinas Sosial dan Tenaga Kerja dalam Implementasi
kebijakan Upah Minimum Kota (UMK) di Kota Batu
Komunikasi merupakan hal yang sangat penting dalam
implementasi sebuah kebijakan. Keefektifan implementasi kebijakan
sangat dipengaruhi oleh komunikasi yang terjalin antar aktor kebijakan
tersebut. Menurut Van Horn dan Van Meter, pelaksanaan implementasi
dapat berjalan efektif bila disertai dengan ketepatan komunikasi antar para
pelaksana. Dalam implementasi kebijakan Upah Minimum Kota (UMK) di
Kota Batu, komunikasi yang terjalin diantara Dinas Sosial dan Tenaga
Kerja dengan pihak perusahaan telah berjalan dengan baik hal ini dapat
dilihat dari sosialisasi mengenai penetapan Kebijakan UMK yang baru
selalu dilaksanakan oleh Dinas Sosial dan Tenaga Kerja sebelum UMK ini
dilaksanakan dan dihadiri oleh seluruh perusahaan yang ada di Kota Batu
dan jika ada perusahaan yang merasa keberatan dapat melakukan
penangguhan kepada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja. Selanjutnya
komunikasi intern yang terjadi antara Dinas Sosial dan Tenaga Kerja serta
Dinas lain yang terkait juga sudah berjalan cukup baik akan tetapi masih
perlu adanya perbaikan. Komunikasi yang terjalin pada dewan pengupahan
yang diketuai oleh Dinas Sosial dan Tenaga Kerja terjadi hanya jika ada
pertemuan dan rapat-rapat sedangkan pertemuan dan rapat hanya sesekali
dilakukan saja. Seharusnya dibutuhkan intensitas pertemuan dengan forum
121
diskusi agar pertemuan antar anggota dewan pengupahan bisa meningkat
sehingga dengan diadakannya forum diskusi tersebut dapat saling tukar
menukar informasi tentang perkembangan terakhir dari implementasi
mengenai Kebijakan Upah Minimum Kota (UMK) di Kota Batu ini dan
jika ditemukan suatu masalah dapat diselesaikan secara bersama-sama
lewat forum ini.
d. Kegiatan-kegiatan Implementasi Kebijakan Upah Minimum Kota
(UMK) di Kota Batu
Menurut Van Meter dan Van Horn dalam Wahab (2008:65)
mengemukakan bahwa implementasi merupakan tindakan-tindakan yang
dilakukan baik individu/pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok
pemerintah atau swasta yang diarahkan pada pencapaian tujuan-tujuan
yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan. Kegiatan-kegiatan
implementasi kebijakan dilakukan berdasarkan pada arahan-arahan dan
strategi yang telah dirumuskan sebelum kebijakan tersebut
diimplementasikan. Menurut Van Meter dan Van Horn yang terdapat
dalam model implementasi kebijakan, kegiatan-kegiatan implementasi
kebijakan menjadi satu bagian dengan komunikasi. Hal ini dikarenakan
komunikasi dan kegiatan-kegiatan implementasi kebijakan adalah hal yang
tidak terpisahkan.
Penerapan ketentuan UMK lahir ketika diberlakukannya
otonomi daerah yang memberikan pandangan tentang pengelolaan dan
manajemen di dalam pemerintahan daerah dilakukan oleh daerah
122
sendiri, sehingga menghasilkan evaluasi terhadap berbagai sistem dalam
pemerintahan daerah salah satunya adalah sistem pengupahan.
Proses penetapan upah disini harus bisa mengakomodir kepentingan
antar pengusaha dengan pekerja/buruh yang bertujuan untuk
mendapatkan kesepakatan bersama tentang berapa jumlah upah yang
harus dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh, dan dengan
tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup layak dari setiap pekerja dan
produktifitas perekonomian. Menurut Anonymous (2001:23) ada
beberapa tujuan dari pada penetapan upah minimum yaitu sebagai jaring
pengaman, pemerataan pendapatan, meningkatkan harkat dan martabat
tenaga kerja dan mendorong meningkatkan disiplin dan produktifitas
kerja.
Dalam implementasi Kebijakan Upah Minimum Kota (UMK) di
Kota Batu semua arahan dan strategi telah terdapat pada Peraturan
Gubernur Jawa Timur Nomor 68 Tahun 2015, sehingga dalam kegiatan-
kegiatan pelaksanaan Kebijakan UMK berpedoman pada peraturan
tersebut. Penetapan dari kebijakan UMK oleh Gubernur didasarkan pada
masukan dewan pengupahan dari masing-masing daerah. Perhitungan
mengenai nominal besaran upah yang nantinya akan diusulkan
dilakukan Dewan pengupahan yang beranggotakan Dinas Sosial dan
Tenaga Kerja, Dinas Perindrustrian dan Perdagangan, BPS Kota Batu,
APINDO, SPSI, JAMSOSTEK dan Dewan Pakar dari Universitas.
Dengan diikutsertakan perwakilan dari serikat buruh dan serikat
123
pengusaha hal ini bisa dimaksudkan agar nantinya tidak ada yang
merasa keberatan atas nominal yang nantinya diusulkan. Dari hasil
perhitungan yang dilakukan oleh Dewan Pengupahan Kota Batu akan
diusulkan kepada Walikota untuk kemudian ditetapkan dengan surat
keputusan Walikota Batu. Hasil penetapan Walikota Batu, melalui surat
tertanggal 29 Oktober 2015 disampaikan kepada Gubernur Jawa Timur
(surat terlampir) sebagai bahan keputusan Gubernur Jawa Timur dalam
rangka Upah Minimum Kota yang ada di Jawa Timur.
Hasil Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur tentang Upah
Minimum Kota 2016 akan segera disosialisasikan kepada seluruh
perusahaan yang telah terdaftar di Kota Batu oleh Dinas Sosial dan Tenaga
Kerja. Sosialisasi merupakan tahapan yang krusial dalam implementasi
kebijakan. Sosialisasi sebuah kebijakan berguna untuk mengimformasikan
tentang kebijakan yang telah disahkan dan akan diimplementasikan. Sesuai
hasil wawancara terhadap salah satu petugas Dinas Sosial dan Tenaga
Kerja Kota Batu menyebutkan bahwa tujuan dari sosialisasi tersebut
adalah untuk memberikan pemahaman terhadap upah baru yang telah
ditetapkan selain itu juga untuk mengetahui keberatan atau penundaan
berkaitan dengan adanya Surat Keputusan Gubernur tersebur. Dari hasil
sosialisasi tersebut tidak ada perusahaan yang melakukan keberatan atau
mengajukan penundaan atas surat keputusan gubernur tersebut diatas,
maka dianggap seluruh perusahaan yang terdaftar dapat menerima Surat
keputusan gubernur diatas. Padahal dalam kenyataannya masih banyak
124
perusahaan yang tidak melaksanakan Surat Keputusan Gubernur tersebut.
Dalam hal ini dapat disimpulkan Dinas Sosial dan Tenaga Kerja sudah
memberikan pemahaman yang baik mengenai kebijakan upah yang baru
ditetapkan dengan mengadakan sosialisasi ini yang mengundang seluruh
perusahaan yang berada di Kota Batu. Tetapi dari pihak perusahaan masih
tidak terlihat kerjasama yang baik ini dapat dilihat dari adanya pihak
pengusaha yang belum membayarkan upah kepada pekerja akan tetapi
tidak melakukan penangguhan. Padahal pihak Dinas Sosial dan Tenaga
Kerja sudah sangat terbuka dengan adanya permintaan penangguhan tapi
ini tidak dimanfaatkan oleh perusahaan yang ada di Kota Batu.
Selanjutnya setelah proses sosialisasi dilakukan kegiatan
pengawasan yang juga dilakukan oleh Dinas Sosial dan Tenaga Kerja.
Pengawasan ini dimaksudkan untuk mengawasi jalannya pelaksanaan
UMK di lapangan, mana saja perusahaan yang sudah melaksanakan
UMK dan mana perusahaan yang belum melaksanakan UMK ini.
Sepanjang Tahun 2016, dari hasil penelitian berdasarkan data yang
masuk dalam bidang Pengawasan Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota
batu dari total kurang lebih 130 perusahaan di Kota Batu tidak
seluruhnya mampu untuk membayarkan upah sesuai dengan kebijakan
UMK Tahun 2016 Kota Batu yang pada waktu itu UMK Batu sebesar
Rp. 2.026.000. Jumlah perusahaan yang belum membayarkan upah
sesuai dengan UMK relatif besar. Perusahaan yang tidak membayarkan
upah sesuai dengan UMK yang ditetapkan pada tahun 2016 terdapat 70
125
perusahaan dan rata-rata yang sudah membayarkan upah sesuai dengan
kebijakan UMK adalah perusahaan menengah ke atas.
Khusus di bidang pengawasan telah dibagi tugas secara teratur
bahwa setiap satu pegawai diberi tugas megawasi dua sampai tiga
perusahaan sehingga dengan dua orang personel pengawas yang dimiliki
Dinas Sosial dan Tenaga Kerja dalam sebulan memeriksa 4 atau 6
perusahaan, dan setelah itu jika ada perusahaan yang belum
membayarkan upah sesuai dengan UMK Dinas Sosial dan Tenaga Kerja
akan memerintahkan pengusaha yang bersangkutan dalam bentuk nota
pemeriksaan kemudian diserahkan kepada perusahaan tersebut agar
mematuhi peraturan tentang upah minimum yang telah ditetapkan. Saat
ini pegawai pengawas berjumlah cukup sehingga pengawasan dapat
dilakukan secara ketat terhadap perusahaan yang berada di Kota Batu.
Sesuai dengan hasil penelitian di lapangan bahwa ketika pada saat,
mulai tanggal 1 januari UMK Batu dilaksanakan ternyata seiring dengan
berjalannya waktu, ada perusahaan yang melanggar kebijakan UMK maka
perusahaan tersebut akan dikenakan sanksi sesuai dengan pasal yang
berlaku. Dari hasil penelitian dilapangan proses pemberian sanksi yang
dilakukan oleh Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Batu terhadap
pengusaha yang tidak mengindahkan pembayaran upah minimum kepada
pekerja, dapat dilihat bahwa dalam memperlakukan pengusaha yang tidak
mematuhi pembayaran upah minimum pihak Dinas Sosial dan Tenaga
Kerja Kota Batu tidak langsung menjatuhkan sanksi atau hukuman yang
126
tegas. Akan tetapi terlebih dahulu dilakukan pembinaan dengan tujuan
perusahaan tersebut mau mematuhi pembayaran upah minimum kepada
para pekerja. Akan tetapi jika tidak juga mengindahkan baru ditindak
secara hukum sesuai dengan aturan yang ada.
Hal ini menunjukkan Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Batu
dalam menindak lanjuti perusahaan yang bermasalah tidak langsung
memberikan sanksi yang tegas, akan tetapi melalui proses pembinaan
terhadap perusahaan tersebut. Jika tidak juga mengindahkan kemudian
diproses melalui Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dilakukan oleh
pegawai penyidik negeri sipil Dinas Sosial dan Tenaga Kerja. Jika
masih juga tidak mengindahkan barulah perusahaan tersebut diserahkan
kepada pihak berwajib kemudian diproses secara hukum sesuai dengan
hukum yang berlaku.
e. Struktur Birokrasi Dinas Sosial dan Tenaga Kerja sebagai
pelaksana implementasi kebijakan Upah Minimum Kota (UMK) di
Kota Batu
Menurut Van Meter dan Van Horn, struktur birokrasi yang baik
akan mempengaruhi keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Struktur
birokrasi akan berdampak juga pada komunikasi dan koordinasi antar
pegawai Dinas Sosial dan Tenaga Kerja, maka dengan struktur birokrasi
yang jelas tugas dan fungsinya maka diharapkan komunikasi dan
koordinasi yang terbentuk juga akan baik. Struktur birokrasi dalam Dinas
Sosial dan Tenaga Kerja dalam hal koordinasi dan komunikasi sudah
127
berjalan dengan baik serta jelas dalam pembagian wewenang dan tugasnya
di setiap seksi-seksinya hal ini seperti yang dikatakan oleh pegawai dari
Dinas Sosial dan Tenaga Kerja yang mengatakan setiap divisi memiliki
kepala yang kompeten dan mudah diajak untuk berkoordinasi satu sama
lainnya, kerjasama antar atasan dengan staf juga terjalin dengan sangat
baik sehingga informasi mengenai kebijakan Upah Minimum Kota (UMK)
ini dapat dengan mudah disampaikan ke bawahan dan dapat dimengerti
oleh bawahan sesuai dengan tugasnya masing-masing. Dalam hal ini
berarti dapat dikatakan bahwa birokrasi yang terkait dalam pelaksanaan
Upah Minimum Kota (UMK) di Kota Batu ini sudah sangat mendukung
untuk bisa membuat kebijakan ini menjadi berhasil artinya tujuan utama
dari ditetapkannya kebijakan ini seharusnya dapat dicapai.
f. Lingkungan Ekonomi, Sosial dan Politik Implementasi Kebijakan
Upah Minimum Kota (UMK) di Kota Batu
Kondisi ekonomi, sosial dan politik implementator sangat
mempengaruhi tercapainya tujuan kebijakan. Dalam implementasinya
kondisi ekonomi sumber dana untuk melaksanakan implementasi ini telah
ditangani APBD. Artinya dalam masalah pendanaan mengenai
pelaksanaan implementasi kebijakan tidak ada kendala apapun. Kondisi
sosial dari kedua pihak baik dari pihak pekerja maupun dari pihak
pengusaha ialah positif, artinya tidak ada salah satu pihak pun di dalam
pelaksanaan kebijakan Upah Minimum Kota (UMK) yang menentang
kebijakan ini. Dalam implementasi kebijakan, kondisi politik juga
128
mempengaruhi kebijakan tersebut. Namun pada kebijakan dalam bidang
kesejahteraan terutama untuk pekerja ini, tidak ada unsur politik yang
tumbuh didalamnya.
2. Dampak Pelaksanaan Kebijakan Upah Minimum Kota (UMK)
Batu Terhadap Kesejahteraan Pekerja di Kota Batu
Berdasarkan teorinya William N. Dunn dalam Wibawa (1994:5),
yang menyebutkan bahwa “dampak kebijakan adalah perubahan kondisi
fisik maupun sosial sebagai akibat dari output kebijakan”. Output adalah
barang, jasa atau fasilitas lainnya yang diterima oleh sekelompok
masyarakat tertentu, baik kelompok sasaran maupun kelompok lainnya
yang dimaksud untuk disentuh oleh kebijakan. Kebijakan dalam hal ini
adalah kebijakan dari pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan Upah
Minimum Kota (UMK). Kebijakan UMK Kota Batu tentunya bukan tak
ada maksud tetapi pasti ada tujuan akhirnya seperti apa atau yang bisa
disebut yaitu output dari kebijakan itu sendiri. Dari output tersebut maka
akan diketahui suatu dampak dari kebijakan itu sendiri terhadap pekerja di
Kota Batu.
Sejak kebijakan UMK diterapkan di Batu, output dari kebijakan ini
bisa dilihat dari data terakhir hasil penelitian di lapangan yang mengatakan
bahwa pada Tahun 2016 perusahaan di Kota Batu sudah banyak yang
menerapkan Kebijakan UMK di tempatnya sehingga pekerja yang bekerja
di perusahaan tersebut sudah menerima upah sama dengan Kebijakan
129
UMK yang telah ditetapkan. Meskipun pada faktanya juga masih ada
sekitar 60 perusahaan di Kota Batu yang belum menerapkan kebijakan ini.
Dari output kebijakan UMK ini lah yang kemudian muncul dampak dari
kebijakan tersebut bagi pekerja.
Menurut William N. Dunn dalam Wibawa (1994:54) “ di dalam
dampak ada unit sosial pedampak yang merupakan unit-unit sosial yang
terkena dampak sebagai akibat dari dilaksanakannya kebijakan”. Unit
Sosial pedampak tersebut salah satunya adalah dampak individual yang
meliputi kondisi ekonomi. Seorang pekerja yang memiliki kondisi
ekonomi yang cukup baik dapat dikatakan tingkat kesejahteraannya juga
cukup baik, karena pekerja mampu untuk memenuhi kebutuhannya tanpa
terlalu memikirkan keuangan mereka. Apabila dikaitkan dengan Kebijakan
UMK, maka pekerja yang dapat memenuhi Kebutuhan hidupnya yang
meliputi kebutuhan dasar yaitu pangan, sandang, papan, pendidikan,
kesehatan, transportasi, rekreasi dan tabungan serta pekerja pun juga
merasa aman dan tenteram maka pekerja tersebut dapat dikatakan tingkat
kesejahteraannya sudah cukup baik.
Hal ini sesuai dengan Wullur (2009:13) yang mengutip pengertian
kesejahteraan sosial dalam Undang-undang No. 6 Tahun 1974 tentang
ketentuan-ketentuan pokok Kesejahteraan sosial bab 1 ayat 2 menyebutkan
bahwa kesejahteraan sosial ialah suatu tata kehidupan dan penghidupan
sosial, materil maupun spritual yang diliputi oleh rasa keselamatan,
130
kesusilaan, dan ketentraman lahir batin, yang memungkinkan bagi setiap
warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
jasmaniah, rohaniah dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga
serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban
manusia sesuai dengan pancasila. Dan Soedarjadi (2009:77) yang secara
singkat mengartikan kesejahteraan adalah “suatu keadaan yang dapat
terlaksana apabila pekerja dapat hidup dengan tenteram dan bahagia”.
a. Kemampuan pekerja di Kota Batu terhadap pemenuhan
kebutuhan sehari-hari
Kebutuhan sehari-hari adalah kebutuhan yang paling mendesak
yang harus dipenuhi oleh pekerja. Kebutuhan sehari-hari tersebut pada
umumnya meliputi makan, minum, keperluan anak sekolah, dan biaya
transportasi. Dalam menentukan kebijakan Upah Minimum Kota (UMK)
ini pemerintah harus benar-benar memastikan dengan nominal upah yang
telah ditentukan dapat memenuhi kebutuhan hidup bagi pekerja hal ini
juga sesuai dengan Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan, dalam pasal 88 ayat (4) diamanatkan bahwa pemerintah
menetapkan upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak dengan
memperhatikan produktifitas dan pertumbuhan ekonomi. Dari hasil
penelitian di lapangan ada sedikit perbedaan yang muncul pada pekerja di
Kota Batu yang menerima upah jauh di bawah UMK dengan pekerja di
131
Kota Batu yang menerima upah sesuai dengan Kebijakan UMK yang telah
ditetapkan.
Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pekerja di Kota
Batu yang menerima upah jauh di bawah Kebijakan UMK yang telah
ditetapkan, Rata-rata mereka sangat keberatan untuk memenuhi kebutuhan
mereka sehari-harinya seperti makan, minum, ongkos transportasi dan
keperluan anak mereka. Sebagian dari mereka mengatakan kebutuhan
pokok di kota Batu yang cukup tinggi dibandingkan dengan kota lainnya
tidak diimbangi dengan pemberian upah dari perusahaan yang terlalu
rendah. Untuk menambah pemasukan demi menutupi kekurangan
memenuhi kebutuhan sehari-hari sebagian dari mereka mencari tambahan
pekerja lainnya.
Pendapat lainnya disampaikan oleh pekerja yang sudah menerima
upah sesuai dengan Kebijakan UMK Kota Batu mereka mengatakan masih
dapat memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari tapi jika ada kenaikan
harga bahan pokok mereka mengaku kesulitan dengan itu. Hal ini
menjelaskan jika nominal UMK yang telah ditetapkan oleh pemerintah
sebesar Rp. 2.026.000 telah cukup untuk dapat memenuhi kebutuhan
hidup sehari-harinya seperti makan, minum dan biaya transportasi bagi
para pekerja tersebut.
b. Kemampuan pekerja di Kota Batu terhadap pemenuhan biaya
kesehatan dan pendidikan
132
Mahalnya biaya pendidikan masih menjadi perbincangan dan
permasalahan masyarakat setiapkali pergantian tahun ajaran, bukan hanya
terjadi pada sekolah/universitas swasta tetapi juga sekolah/universitas
yang berstatus negeri. Masyarakat harus berfikir kembali untuk
melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi lagi akibat semakin
tingginya biaya pendidikan. Selain itu adanya pengeluaran yang tidak
terduga apabila seseorang terkena penyakit, apalagi tergolong penyakit
berat yang menuntut stabilisasi yang rutin seperti hemodialisa atau biaya
operasi yang sangat tinggi. Hal ini berpengaruh pada penggunaan
pendapatan pekerja dari pemenuhan kebutuhan hidup pada umumnya
menjadi biaya perawatan dirumah sakit, obat-obatan, operasi, dan lain lain.
Hal ini tentu menyebabkan kesukaran ekonomi bagi diri sendiri maupun
keluarga. Situasi tersebut yang terkadang membuat para pekerja menjadi
resah, Khususnya pekerja-pekerja yang menerima upah dibawah
Kebijakan Upah Minimum Kota Tahun 2016 di Kota Batu. Para pekerja
akan memutar otak untuk mengatur keuangan mereka agar bisa memenuhi
biaya pendidikan dan kesehatan.
Dari hasil penelitian di lapangan baik pekerja yang menerima upah
dibawah Kebijakan Upah Minimum Kota (UMK) ataupun pekerja yang
sudah menerima upah sesuai dengan Kebijkan UMK untuk urusan biaya
kesehatan jika dia atau anggota keluarga sakit dan mengalami kecelakaan
sangat tertolong dengan adanya BPJS yang sudah membiayai semua
urusan biaya kesehatan mereka. Untuk urusan pendidikan bagi pekerja
133
yang menerima upah dibawah UMK merasa masih kesulitan, mereka
mengaku biaya pendidikan masih dirasa terlalu tinggi jika dibandingkan
dengan rendahnya upah yang mereka terima dari perusahaan apalagi tidak
adanya bantuan dari pemerintahan. Di sisi lain pekerja yang telah
menerima upah sesuai dengan Kebijakan Upah Minimum Kota di batu
tahun 2016 ada yang merasa mampu untuk melanjutkan pendidikan ke
jenjang berikutnya ada pula yang masih merasa takut upah yang mereka
terima tidak mencukupi untuk melanjutkan pendidikan mereka.
Hal ini menunjukkan para pekerja sangat tertolong dengan adanya
program dari pemerintah mengenai kesehatan gratis ini seandainya tidak
ada program kesehatan gratis ini tentunya semakin sangat memberatkan
bagi para pekerja khususnya yang menerima upah dibawah UMK untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari saja sudah sangat kesulitan. Untuk
urusan pendidikan sebaliknya pemerintah harus memikirkan ulang
kebijakan sistem pengupahan mereka dengan mempertimbangkan biaya
pendidikan bagi para pekerja karena pendidikan merupakan hak asasi yang
harus dipenuhi oleh negara secara merata sehingga semua masyarakat
dalam suatu bangsa dapat menikmatinya.
c. Kemampuan Pekerja di Kota Batu dalam melakukan saving
per bulan
Selain memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari seperti sandang,
pangan, papan dan biaya transportasi ada juga yang paling penting yaitu
134
kebutuhan akan saving (menabung). Saving atau simpanan bagi pekerja
merupakan hal yang penting juga dilakukan untuk menjaga terjadinya
sesuatu atau keinginan dari pekerja untuk melakukan hal yang baru di luar
dari rutinitas atau keinginan lain yang ingin dipenuhi di luar kebutuhan
sehari-harinya.
Sesuai hasil penelitian di lapangan, menunjukkan bahwa tidak
semua dari pekerja mampu untuk melakukan saving tiap bulannya dari
upah yang mereka terima, mereka mengaku upah yang mereka terima
hanya habis untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Terlebih lagi
pekerja di Kota Batu yang menerima upah dibawah Kebijakan UMK yang
telah ditentukan Tahun 2016 dapat disimpulkan bahwa para pekerja
tersebut umumnya tidak bisa menabung, meskipun ada sedikit yang bisa
menabung itupun bisa jika ada rezeki yang berlebih atau tambahan
pemasukan dari pekerjaan lainnya lalu kebutuhan yang harus dipenuhi
tidak terlalu banyak dan tidak ada kenaikan harga atau keadaan tertentu
yang mendesak.
Keadaan yang berbeda dirasakan oleh pekerja di Kota Batu yang
menerima upah sesuai dengan Kebijakan UMK Kota Batu yang telah
ditetapkan sebelumnya. Dimana pekerja-pekerja ini tidak merasa kesulitan
untuk menabung, karena upah yang mereka terima lebih dari cukup untuk
memenuhi kebutuhan sehari-harinya maka pekerja-pekerja tersebut dapat
menyisihkan sebagian dari upahnya untuk ditabung setiap bulannya. Bagi
pekerja-pekerja ini tabungan merupakan hal yang penting untuk mereka,
135
karena dengan menabung mereka dapat mengantisipasi hal-hal yang tidak
diinginkan.
Dari hasil penelitian yang ada dilapangan tersebut, bahwa pekerja-
pekerja di Kota Batu baik yang sudah berkeluarga ataupun belum yang
menerima upah dibawah kebijakan UMK yang telah ditentukan, belum
dapat dikatakan bahwa pekerja-pekerja itu sejahtera karena untuk
memenuhi kebutuhan sehari-harinya saja pekerja-pekerja tersebut harus
mencari pekerjaan alternatif lainnya seperti berdagang atau pas-pasan
sedangkan kebutuhan mereka tidak cuma makan, minum, keperluan anak
atau biaya transportasi. Tetapi masih ada komponen lainnya yang harus
mereka penuhi, belum lagi apabila terjadi kenaikan harga untuk kebutuhan
pokok sehari-harinya. Banyak kecemasan yang dirasakan dalam mengatur
keuangannya mereka.
Hal ini berbeda dengan yang dirasakan oleh pekerja-pekerja yang
menerima upah sesuai dengan Kebijakan UMK yang telah ditetapkan di
Kota Batu Tahun 2016, pekerja-pekerja tersebut dapat dikatakan tingkat
kesejateraannya cukup baik karena mereka mampu untuk memenuhi
kebutuhan mereka sehari-harinya dan bahkan sesuai dengan hasil
penelitian pekerja-pekerja tersebut mampu untuk menyisihkan sisa upah
yang mereka terima untuk ditabung tiap bulanya hal ini menunjukan
bahwa pekerja tersebut telah merasa aman dan tenteram. Jadi, Dampak
Kebijakan Upah Minimum Kota (UMK) Batu terhadap Kesejahteraan
pekerja di Kota Batu khususnya, hanya dapat dinikmati oleh pekerja yang
136
menerima upah sesuai dengan kebijakan UMK atau diatas saja. Hal ini
tentunya perlu adanya perbaikan dalam penerapan kebijakan UMK ini
dimana perlu adanya sanksi tegas kepada perusahaan yang belum
membayarkan upah sesuai dengan UMK agar kesejahteraan dapat
dirasakan oleh seluruh pekerja yang berada di Kota Batu ini.
137
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kebijakan Upah Minimum Kota yang termasuk dalam kajian
kebijakan publik merupakan pola kegiatan pemerintah untuk memecahkan
beberapa masalah publik. Khususnya dalam hal ini adalah masalah
pengupahan pekerja yang telah diatur di dalam Undang-undang No. 13
Tahun 2003. Kebijakan upah minimum ini salah satunya adalah kebijakan
Upah Minimum Kota (UMK). Kebijakan UMK Batu didasarkan pada
Peraturan Gubernur Jawa Timur yang menimbang rekomendasi dari
dewan pengupahan daerah yang diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga
Kerja Nomor PER-17/MEN/VIII/2005.
Secara garis besar berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan
dan sesuai dengan fokus yang ditetapkan, maka penulis menyimpulkan,
sebagai berikut :
1) Implementasi kebijakan Upah Minimum Kota (UMK) telah memiliki
dasar hukum yang kuat dengan disahkannya Peraturan Gubernur Jawa
Timur dan didasarkan pada Undang-undang No. 13 Tahun 2003 dan
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-17/MEN/VIII/2005.
Tujuan dari kebijakan UMK ini adalah untuk meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat khususnya bagi para
pekerja. Manfaat dengan adanya Kebijakan ini akan memberikan
138
jaring pengaman agar nantinya para pengusaha tidak memberikan
upah kepada pekerja di level yang paling rendah. Selain itu manfaat
lain dari kebijakan ini adalah untuk menghindari konflik yang terjadi
diantara pengusaha dan pekerja mengenai besaran upah yang akan
diberikan. Langkah-langkah kebijakan Upah Minimum Kota (UMK)
Batu Tahun 2016 dalam hal implementasi dan pengendalian kebijakan
yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah dalam hal ini adalah
Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Batu adalah Sosialisasi
Kebijakan Upah Minimum Kota (UMK) yang meliputi penyampaian
besaran UMK yang ditetapkan oleh Gubernur, proses penangguhan
UMK, dan Sanksi UMK Selain proses sosialisasi, Dinas Sosial dan
Tenaga Kerja Kota Batu juga melakukan pembagian tugas dan fungsi
serta koordinasi yang cukup baik.
2) Dampak Kebijakan UMK dapat dilihat dari output UMK yaitu sejak
adanya UMK, perusahaan di Kota Batu Tahun 2016, hampir sebagian
besar sudah menerapkan UMK walaupun masih ada beberapa
perusahaan yang masih belum membayarkan UMK. Dari situlah
muncul dampak kebijakan UMK bagi pekerja. Salah satunya dampak
individual yang meliputi kondisi ekonomi pekerja. Pekerja yang
menerima upah dibawah ketentuan Kebijakan belum dapat dikatakan
sejahtera karena pekerja dalam melakukan pemenuhan kebutuhan
sehari-hari saja sering merasa tidak tercukupi. Berbeda dengan pekerja
yang sudah menerima upah sesuai dengan ketentuan Kebijakan UMK
139
dapat dikatakan kondisi perekonomiannya mencukupi dalam
memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari yang meliputi makan,
minum dan biaya Transportasi atau untuk melakukan saving.
Sehingga pekerja yang sudah menerima upah sesuai dengan ketentuan
UMK bisa dikatakan sejahtera karena pekerja merasa aman dan
tenteram. Jadi, dampak Kebijakan Upah Minimum Kota (UMK) Batu
terhadap kesejahteraan pekerja di Kota Batu khususnya, hanya dapat
dinikmati oleh pekerja sudah menerima upah sesuai dengan ketentuan
Kebijakan UMK atau diatasnya saja.
B. Saran
Untuk mewujudkan pemerataan kesejahteraan bagi pekerja-pekerja
khususnya di Kota Batu melalui Kebijakan Upah Minimum Kota (UMK)
Batu, maka ada beberapa hal penting yang dapat dijadikan masukan, yaitu:
1) Perlu diadakannya lebih banyak lagi forum-forum yang
mendiskusikan masalah-masalah yang berkaitan dengan pengupahan,
selain itu perlu semakin banyaknya LSM-LSM selain serikat buruh
(SPSI) yang dapat membantu pekerja-pekerja atau buruh untuk
menyampaikan tuntutannya yaitu upah yang sesuai dengan kebijakan
UMK. Serta sosialisasi yang dilakukan oleh Pihak Dinas Sosial dan
Tenaga Kerja Kota Batu hendaknya dapat diperluas dengan cara
mensosialisasikan kebijakan UMK lewat banyak media baik cetak
maupun elektronik, sehingga dapat diketaui oleh banyak pekerja.
140
2) Dinas Sosial dan Tenaga Kerja harus lebih meningkatkan perannya
sebagai penengah antara pengusaha dan pekerja apabila terjadi
pelanggaran dan perlu perumusan sanksi yang lebih efektif yang
dilakukan oleh pemerintah daerah yang mengacu pada sanksi yang
diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 Pasal 90 misalnya dengan
mengeluarkan PERDA, sehingga pemerintah dapat bertindak tegas
terhadap perusahaan-perusahaan yang melanggar UMK tanpa
toleransi. Serta proses penangguhan bagi perusahaan yang tidak
mampu melaksanakan UMK hendaknya diperpanjang, mengingat
bahwa penangguhan UMK diberikan waktu hanya 10 hari yang dirasa
oleh perusahaan terlalu cepat dengan tidak diimbangi begitu
banyaknya syarat yang harus dipenuhi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab, Solichin. 2005. Analsis kebijaksanaan: Dari Formulasi ke
Implementasi Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara.
Agustino, Leo.2008. Dasar-dasar Kebijakan Publik, Bandung : CV. Alfabeta.
Anonymous, 2001. Modul DJJ : 12 C, Pengupahan Hubin Syaker Pusdiklat
Pegawai Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi.
Islamy, M irfan. 2003. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijakan Negara. Jakarta:
Bumi Aksara.
Khakim, Abdul. Aspek Hukum Pengupahan, Bandung : Citra Aditya Bakti.
Manullang, M. 1981. Manajemen Personalia, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Meleong, lexy. J. 2012. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT.
RemajaRosdakarya.
Print, Darwan. 2000. Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti.
Nugroho, Riant. 2003. Kebijakan Publik Formulasi, Implementasi, Evaluasi. PT.
Elex Media Komputindo : Jakarta.
Setyodarmojo, Soenarko. 2000. Public Policy: Pengertian Pokok untuk
Memahami dan Analisa Kebijaksanaan Pemerintah. Surabaya: Airlangga
University Press.
Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT. Grasindo.
Sugiono, 2014. Metode Penelitian Kuantitatif dan kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Sumarnonugroho, T, 1984. Sistem Intervensi Kesejahteraan Sosial, Yogyakarta:
PT Hamindito.
Sukarna, 1975. Prinsip-prinsip Usaha Perusahaan, Bandung: Alumni.
Wibawa, Samodra. 1994. Evaluasi Kebijakan Publik. Jakarta: P.T. Raja Grafindo
Persada
Widjaya, AW. 1990. Administrasi Kepegawaian, Jakarta: Rajawali Press.
Winarno, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik, Yogyakarta: Media
Pressindo
Peraturan Perundangan
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep. 226/MEN/2000 Tentang
Pengubahan Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 20, dan pasal
21 Permenaker No.01/MEN/1999 Tentang Upah Minimum
Peraturan Gubernur Jawa Timur No. 68 Tahun 2016