ilmu tasawuf
DESCRIPTION
ilmu tasawufTRANSCRIPT
D. Hubungan Ilmu Tasawuf dengan Ilmu Jiwa
Bukan merupakan sesuatu yang berlebih-lebihan bila kita mengatakan bahwa para
sufi adalah pakar ilmu jiwa sekaligus dokter jiwa. Seringkali datang kepada syekh sufi,
orang-orang yang menderita kejiwaan, lalu mereka mendapatkan disisinya perasaan santun,
keikutsertaan perasaan, perhatian, rasa aman, dan ketenangan. Inilah salah satu sebab dalam
percakapan sehari-hari, orang banyak mengaitkan tasawuf dengan unsur kejiwaan dalam diri
manusia. Hal ini cukup beralasan mengingat dalam substansi pembahasannya, tasawuf
selalu membicarakan persoalan-persoalan yang berkisar pada jiwa manusia. Hanya saja,
‘dalam jiwa’ yang dimaksud adalah jiwa manusia muslim, yang tentunya tidak lepas dari
sentuhan-sentuhan keislaman. Dari sinilah, tasawuf terlihat identik dengan unsur kejiwaan
muslim.
Mengingat adanya hubungan dan relevansi yang sangat erat antara spiritualitas
(tasawuf) dan ilmu jiwa, terutama ilmu kesehatan mental, kajian tasawuf tidak lepas dari
kajian tentang kejiwaan menusia itu sendiri.
Dalam pembahasan tasawuf dibicarakan tentang hubungan jiwa dengan badan agar
tercipta keserasian antara keduanya. Pembahasan tentang jiwa dan badan ini dikonsepsikan
para sufi untuk melihat sejauh mana hubungan perilaku yang dipraktikkan manusia dengan
dorongan yang dimunculkan jiwanya sehingga perbuatan itu dapat terjadi. Dari sini baru
muncul kategori-kategori perbuatan manusia sebagai perbuatan jelek atau perbuatan baik.
Jika perbuatan yang ditampilkan seseorang baik, ia disebut orang yang berakhlak baik.
Sebaliknya, jika perbuatan yang ditampilkan buruk, ia disebut sebagai orang yang berakhlak
buruk.
Dalam pandangan kaum sufi, akhlak dan sifat seseorang bergantung pada jenis jiwa
yang berkuasa atas dirinya. Jika yang berkuasa dalam tubuhnya adalah nafsu-nafsu hewani
atau nabati, yang akan tampil dalam perilakunya adalah perilaku hewani atau nabati pula.
Sebaliknya, jika yang berkuasa adalah nafsu insani, yang akan tampil dalam perilakunya
adalah perilaku insani.
Kalau para sufi menekankan unsur kejiwaan dalam konsepsi tentang manusia, hal itu
dapat pula berarti bahwa hakikat, zat, dan inti kehidupan manusia terletak pada unsur
spiritual atau kejiwaan. Ditekankannya unsur jiwa dalam konsepsi tasawuf tidak berarti
bahwa para sufi mengabaikan unsur jasmani manusia. Unsur ini juga mereka pentingkan
karena rohani sangat memerlukan jasmani dalam khalifah-Nya di bumi. Seseorang tidak
akan sampai kepada Allah dan beramal dengan baik dan sempurna selama jasmaninya tidak
sehat. Kehidupan jasmani yang sehat merupakan jalan kehidupan rohani yang baik.
Pandangan kaum sufi mengenai jiwa erat hubungannya dengan ilmu kesehatan mental. Ilmu
kesehatan mental ini merupakan bagian dari ilmu jiwa (psikologi).
Dalam masyarakat belakangan ini, istilah mental tidak asing lagi. Orang-orang dapat
menilai apakah seseorang itu baik mentalnya atau tidak. Dalam ilmu psikiatri dan
psikoterapi, kata mental sering digunakan sebagai nama lain kata personality (kepribadian),
yang berarti mental adalah semua unsur jiwa, termasuk pikiran, emosi, sikap (attitude), dan
perasaan dalam keseluruhan dan kebulatannya akan menentukan corak laku, cara
menghadapi suatu hal yang menekan perasaan, mengecewakan atau menggembirakan,
menyenangkan, dan sebagainya.
Bagi para ahli dibidang perawatan jiwa, terutama di negara-negara yang telah maju,
masalah mental ini telah menarik perhatian mereka sampai jauh sekali, sehingga dapat
melakukan penelitian-penelitian ilmiah yang menghubungkan antara kelakuan dan keadaan
mental. Mereka telah menemukan hasil-hasil yang memberikan kesimpulan tegas, yang
membagi manusia pada dua golongan besar, yakni golongan yang sehat dan golongan yang
kurang sehat.
Orang yang sehat mentalnya adalah orang yang mampu merasakan kebahagiaan
dalam hidup karena orang inilah yang dapat merasakan bahwa dirinya berguna, berharga,
dan mampu menggunakan segala potensi dan bakatnya semaksimal mungkin dengan cara
yang membawanya pada kebahagiaan dirinya dan orang lain. Disamping itu, ia mampu
menyesuaikan diri, yang dalam arti yang luas terhindar sari kegelisahan-kegelisahan dan
gangguan jiwa, serta tetap terpelihara moralnya.
Pada perilaku orang sehat mental akan tampak sikap yang tidak ambisius, tidak
sombong, rendah hati, dan apatis, tetapi tetap wajar, menghargai orang lain, merasa percaya
diri, dan selalu gesit. Setiap tindak-tanduknya ditujukan untuk mencari kebahagiaan
bersama, bukan kesenangan dirinya sendiri. Kepandaian dan pengetahuan yang dimilikinya
digunakan untuk meraih manfaat dan kebahagiaan bersama, kekayaan dan kekuasaan yang
ada padanya bukan untuk bermegah-megah dan mencari kesenangan sendiri tanpa
mengindahkan orang lain, tetapi digunakan untuk menolong orang miskin dan melindungi
orang lemah.
Sementara cakupan golongan orang yang kurang sehat sangatlah luas, dari yang
paling ringan hingga yang paling berat; berarti orang yang merasa terganggu ketenteraman
hatinya hingga orang yang sakit jiwa. Gejala umum yang tergolong pada orang yang kurang
sehat dapat dilihat dalam beberapa segi, antara lain:
1. Perasaan, yaitu perasaan terganggu, tidak tenteram, rasa gelisah tidak tentu yang
digelisahkan, tetapi tidak dapat pula menghilangkannya (anxiety), rasa takut yang
tidak masuk akal atau tidak jelas yang ditakutinya (fhobi), rasa iri, rasa sedih yang
tidak beralasan, rasa rendah diri, sombong, suka bergantung pada orang lain, tidak
mau bertanggung jawab, dan sebagainya.
2. Pikiran, gangguan terhadap kesehatan mental dapat pula memengaruhi pikiran,
misalnya anak-anak menjadi bodoh di sekolah, pemalas, pelupa, suka membolos,
tidak dapat berkonsentrasi, dan sebagainya. Demikian pula, orang dewasa mungkin
merasa bahwa kecerdasannya telah merosot. Ia merasa kurang mampu melanjutkan
sesuatu yang telah direncanakannya baik-baik, mudah dipengaruhi orang lain,
menjadi pemalas, apatis, dan sebagainya.
3. Kelakuan, pada umumnya kelakuan tidak baik, seperti nakal, keras kepala, suka
berdusta, menipu, menyeleweng mencuri, menyiksa orang lain, membunuh,
merampok, dan sebagainya, yang menyebabkan orang lain menderita dan hak nya
teraniaya.
4. Kesehatan, jasmaninya dapat terganggu bukan karena adanya penyakit yang betul-
betul mengenai jasmaninya itu, tetapi sakit akibat jiwa yang tidak tenteram. Penyakit
ini disebut penyakit pasikosomatik. Gejala penyakit ini, yang sering terjadi, seperti
sakit kepala, merasa lemas, letih, sering masuk angin, tekanan darah tinggi atau
rendah, jantung, sesak napas, sering pingsan (kejang), bahkan sampai sakit yang
lebih berat, seperti lumpuh sebagian anggota badan, lidah kelu, dan sebagainya.
Yang penting adalah penyakit jasmani ini tidak mempunyai sebab-sebab fisik sama
sekali.
Berbagai penyakit seperti yang dijelaskan di atas sesungguhnya akan timbul pada
diri manusia yang tidak tenang hatinya, yakni hati yang jauh dari Tuhannya.
Ketidaktenangan itu akan memunculkan penyakit-penyakit mental, yang pada gilirannya
akan menjelma menjadi perilaku yang tidak baik dan menyeleweng dari norma-norma
umum yang sepakati.
Harus diakui memang jiwa manusia sering kali sakit. Ia tidak akan sehat sempurna
tanpa melakukan perjalanan menuju Allah dengan benar. Jiwa manusia juga membutuhkan
perilaku (moral) yang luhur sebab kebahagiaan tidak akan diraih tanpa akhlak yang luhur,
juga tidak dapat menjadi milik tanpa melakukan perjalanan menuju Allah.
Bagi orang yang dekat dengan Tuhannya, yang akan tampak dalam kepribadiannya
adalah ketenangan. Perilakunya juga akan menampakkan perilaku atau akhlak-akhlak yang
terpuji. Semua ini tergantung kepada kedekatan manusia dengan Tuhannya inilah yang
menjadi garapan dalam tasawuf. Dari sinilah, tampak keterkaitan erat antara ilmu tasawuf
dan ilmu kesehatan mental.
TASAWUF AKHLAKI
A. Pengertian Tasawuf Akhlaki
Tasawuf akhlaki, jika ditinjau dari sudut bahasa, merupakan bentuk frase atau dalam
kaidah bahasa Arab dikenal dengan sebutan jumlah Idhafah ( االءضافة Frase .(جملة jumlah
idhafah merupakan gabungan dari dua kata menjadi satu kesatuan makna yang utuh dan
menentukan realitas yang khusus, yaitu kata ‘tasawuf’ dan ‘akhlak’.
Kata ‘tasawuf’, menurut kaidah ilmu sharaf merupakan bentuk isim masdar, yaitu
tashowwufan ( �ص�و�ف� �ص�و�ف�ا Menjadi ت yang berasal dari fi’il tsulatsi mazid khumasi, yaitu ,( ت
( �ص�و�ف� yang memiliki fungsi untuk membentuk makna lil mutowwa’ah atau transitif (kata (ت
kerja yang selalu memiliki objek dalam kalimat) dan lil-musyarakah atau membentuk kata
saling sehingga arti dari kata ‘tasawuf’ dalam bahasa Arab adalah ‘bisa membersihkan’ atau
‘saling membersihkan’ merupakan kata kerja transitif yang membutuhkan objek. Objek
tasawuf adalah akhlak manusia. ‘Saling membersihkan’ merupakan kata kerja yang
didalamnya harus terdapat dua subjek yang aktif memberi dan menerima.
Apabila fungsi lil-musyarokah digunakan dalam kata tasawuf, berarti ketika seorang
hamba hidup bertasawuf, pada dasarnya hamba tersebut berbuat sesuatu sesuai dengan
keinginan Tuhan dan Tuhan membalasnya dengan meng-ijabah segala keinginan hambanya.
Kamudian, ‘akhlak’ juga berasal dari bahasa Arab. Kata ‘akhlak’ ( �ق� �خ�ال merupakan (ا
bentuk jamak dari ‘khuluk’ ( �ق� ل .yang secara bahasa bermakna perbuatan atau penciptaan (خ�
Dalam konteks agama, akhlak bermakna perangai, budi, tabiat, adab, atau tingkah laku.
Konsepsi ajaran akhlak menurut Islam adalah menuju perbuatan amal saleh, yaitu
semua perbuatan baik dan terpuji, berfaedah dan indah untuk mencapai kebahagiaan di
dunia dan di akhirat yang diridai Allah, sedangkan amal saleh itu sendiri adalah inti ajaran
Islam yang harus diterapkan untuk melatarbelakangi konsepsi akhlak yang hendak
dilakukan oleh manusia.
Jika kata ‘tasawuf’ dengan kata ‘akhlak’ disatukan, akan terbentuk sabuah frase,
yaitu tasawuf akhlaki. Secara etimologis, tasawuf akhlaki ini bermakna membersihkan
tingkah laku atau saling membersihkan tigkah laku. Jika konteksnya adalah manusia,
tingkah laku manusia menjadi sasarannya. Tasawuf akhlaki ini bias dipandang sebagai
sebuah tatanan dasar untuk menjaga akhlak manusia, atau dalam bahasa sosialnya, yaitu
moralitas masyarakat.
Oleh karena itu, tasawuf akhlaki merupakan kajian ilmu yang sangat memerlukan
praktik untuk menguasainya. Tidak hanya berupa teori sebagai sebuah pengetahuan, tetapi
harus terealisasi dalam rentang waktu kehidupan manusia. Supaya lebih mudah
menempatkan posisi tasawuf dalam kahidupan bermasyarakat. Para pakar tasawuf
membentuk spesikafikasi kajian tasawuf ini pada ilmu tasawuf akhlaki, yang didasarkan
pada sabda Nabi Muhammad SAW.
�ق� ��خ�ال �آل ا �ار�م� م�ك �م�م� ��ت آل �ت� �ع�ث ب �م�ا ن � ا“ sesungguhnya aku telah diutus (dengan tujuan) untuk menyempurnakan kamuliaan
akhlak”
Tasawuf akhlaki merupakan gabungan antara ilmu tasawuf dan ilmu akhlak. Akhlak
erat hubungannya dengan perilaku dan kegiatan manusia dalam interaksi sosial pada
lingkungan tempat tinggalnya. Jadi, tasawuf akhlaki dapat terealisasi secara utuh jika
pengetahuan tasawuf dan ibadah kepada Allah dibuktikan dalam kehidupan sosial.
B. Tokoh dan Ajaran –ajaran Tasawuf Akhlaki
Untuk memahami lebih mendalam ajaran tasawuf akhlaki, berikut ini akan diuraikan
tentang biografi tokoh-tokoh sufi beserta ajarannya.
1. Hasan Al-Basri
a. Riwayat Hidup
Abu Sa’id Al-Hasan bin Yasar adalah nama lengkap dari Hasan Al-Basri. Ia adalah
seorang zahid yang amat masyur di kalangan tabiin. Ia adalah putra Zaid bin Tsabit, seorang
budak yang tertangkap di Maisan, yang kemudian menjadi sekretaris Nabi SAW. Ia
dilahirkan di Madiah pada tahun 21 H. (632 M) dan wafat pada hari kamis tanggal 10 Rajab
tahun 110 H (728 M). Ia dilahirkan dua malam sebelum Khalifah Umar bin Khatab wafat
dan dikabarkan bertemu dengan 70 orang sahabat yang turut menyaksikan Perang Badar dan
300 sahabat lainnya.
Hasan al-Basri yang mula-mula menyediakan waktunya untuk memperbincangkan
ilmu-ilmu kebatinan, kemurnian akhlak, dan usaha menyucikan jiwa di masjid Bashrah.
Ajaran-ajarannya tentang kerohanian senantiasa didasarkan pada sunnah Nabi. Para sahabat
Nabi yang masih hidup di zaman itu pun mengakui kebesarannya. Bahkan ketika ada orang
yang datang kepada Anas bin Malik – sahabat Nabi yang utama – untuk menanyakan
persoalan agama, Anas memerintahkan orang itu untuk menghubungi Hasan. Mengenai
kelebihan Hasan yang lain, Abu Qartadah berkata, “Bergurulah kepada Syekh ini. Saya
sudah saksikan sendiri (keistimewaannya). Tidak ada seorang tabiin yang menyerupai
sahabat Nabi, selainnya.”
Karier pendidikan Hasan Al-Basri dimulai dari Hijaz. Ia berguru hampir ke seluruh
ulama disana. Bersama ayahnya, ia kemudian pindah ke bashrah secara khusus dan ke
daerah-daerah lainnya secara umum. Tak heran pula kalau ceramah-ceramahnya dihadiri
oleh seluruh segmen masyarakat, disamping dikenal sebagai zahid, ia pun dikenal sebagai
seorang yang wara’ dan berani dalam memperjuangkan kebenaran. Diantara karya tulisnya
berisi kecaman terhadap aliran kalam Qadariyyah dan tafsir Al-Quran.
b. Ajaran Tasawuf
Abu Na’im Al-Ashbahani telah menyimpulkan pandangan tasawuf Hasan Al-Basri
sebagai berikut, “sahabat takut (khauf) dan pengharapan (raja’) tidak akan dirundung
kemuraman dan keluhan; tidak pernah tidur tenang karena selalu mengingat Allah.”
Pandangan tasawufnya yang lain adalah anjuran kepada setiap orang untuk senantiasa
bersedih hati dan takut kalau tidak mampu melaksanakan seluruh perintah Allah dan
menjauhi seluruh larangan-Nya sehingga Sya’rani pernah berkata, “Demikian takutnya
sehingga seakan-akan ia merasa bahwa neraka itu hanya dijadikan untuk dirinya (Hasan Al-
Bashri).”
Lebih jauh lagi, Hamka telah mengemukakan sebagian ajaran tasawuf Hasan Al-
Bashri seperti ini:
1. Perasaan takut yang menyebabkan hatimu tenteram lebih baik daripada rasa
tenteram yang menimbulkan perasaan takut.
2. Dunia adalah negeri tempat beramal. Barang siapa bertemu dunia dengan
perasaan benci dan zuhud, ia akan berbahagia dan memperoleh faedah darinya.
Namun, barang siapa bertemu dunia dengan perasaan rindu dan hatinya
tertambat dengan dunia, ia akan sengsara dan berhadapan dengan penderitaan
yang tidak dapat ditanggungnya.
3. Tafakkur membawa kita pada kebaikan dan berusaha mengerjakannya. Menyesal
atas perbuatan jahat menyebabkan kita untuk tidak mengulanginya lagi. Sesuatu
yang fana’ –betapa pun banyaknya- tidak akan menyamai sesuatu yang baqa’ –
betapapun sedikitnya. Waspadalah terhadap negeri yang cepat datang dan pergi
serta penuh tipuan.
4. Dunia ini adalah seorang janda tua yang telah bungkuk dan beberapa kali
ditinggalkan suaminya.
5. Orang yang beriman akan senantiasa berduka cita pada pagi dan sore hari karena
berada diantara dua perasaan takut, yaitu takut mengenang dosa yang telah
lampau dan takut memikirkan ajal yang masih tinggal serta bahaya yang akan
mengancam.
6. Hendaklah setiap orang sadar akan kematian yang senantiasa mengancamnya
dan kiamat yang akan menagih janjinya.
7. Banyak duka cita di dunia memperteguh semangat amal saleh.
Berkaitan dengan ajaran tasawuf Hasan Al-Basri, Muhammad Mustafa, guru besar
filsafat islam, menyatakan bahwa kemungkinan tasawuf Hasan Al-Bashri didasari oleh rasa
takut siksa Tuhan didalam neraka. Namun, lanjutnya, setelah kami teliti ternyata bukan
perasaan takut terhadap siksaan yang mendasari tasawufnya, tetapi kebesaran jiwanya akan
kekurangan dan kelalaian dirinya yang mendasari tasawuf. Sikap itu seirama dengan sabda
Nabi, “Orang beriman yang selalu mengingat dosa-dosa yang pernah dilakukannya adalah
laksana orang duduk dibawah gunung besar yang senantiasa merasa takut gunung itu akan
menimpa dirinya.
Diantara ajaran tasawuf Hasan Al-Basri dan senantiasa menjadi buah bibir kaum sufi
adalah:
Anak adam!
Dirimu, diriku!
Dirimu hanya satu,
Kalau ia binasa, binasalah engkau
Dan orang yang telah selamat tidak dapat menolongmu
Tiap-tiap nikmat yang bukan surga adalah hina
Dan tiap-tiap bala bencana yang bukan neraka adalah mudah.
Dalam menyampaikan ajaran-ajarannya, Hasan Al-Bashri menggunakan dua cara.
Pertama, ia mengajak murid-muridnya untuk menghidupkan kembali kondisi masa salaf,
seperti yang terjadi pada masa para sahabat Nabi SAW. Kedua, ia menyerukan kepada
murid-muridnya untuk bersikap zuhud dalam menghadapi kemewahan dunia. Zuhud
menurut pengertiannya adalah tidak tamak terhadap kemewahan dunia dan tidak pula lari
dari urusan dunia, tetapi sealu merasa cukup dengan apa yang ada.
2. Al-Muhasibi
Nama lengkapnya Abu Abdillah Al-Harits bin Hasad Al-Muhasibi (w.243 H). Ia
dilahirkan di Bashrah, Irak tahun 165 H/781 M, dan meninggal di Baghdad Irak, tahun 243
H/857 M. Al-Muhasibi adalah sufi dan ulama besar yang menguasai beberapa bidang ilmu,
seperti tasawuf, hadis dan fiqh. Ia meruapakan figur sufi yang dikenal senantiasa menjaga
dan mawas diri terhadap perbuatan dosa. Ia juga sering kali mengintrospeksi diri menurut
amal yang dilakukannya.
Dalam hidupnya, Al-Muhasibi menempuh jalan tasawuf karena hendak keluar dari
keraguan yang dihadapinya. Tatkala mengamati madzhab-madzhab yang dianut umat, Al-
Muhasibi menemukan beberapa kelompok. Diantara mereka, ada kelompok orang yang tahu
benar tentang keakhiratan, namun jumlah mereka sangat sedikit. Sebagian besar dari mereka
adalah orang-orang yang mencari ilmu karena kesombongan dan motivasi keduniaan.
Diantara mereka terdapat pula orang-orang yang terkesan sedang melakukan ibadah karena
Allah, tetapi sesungguhnya tidak demikian.
Al-Muhasibi memandang bahwa jalan keselamatan hanya dapat ditempuh melalui
ketakwaan kepada Allah, melaksanakan kewajiban-kewajiban, wara’, dan meneladani
Rasulullah. Tatkala sudah melaksanakan hal-hal diatas, menurut Al-Muhasibi, seseorang
akan diberi petunjuk oleh Allah berupa penyatuan antara fiqh dan tasawuf. Ia akan
meneladani Rasulullah dan lebih mementingkan akhirat daripada dunia.
a. Pandangan Al-Muhasibi tentang Makrifat
Al-Muhasibi berbicara pula tentang makrifat dan menulis sebuah buku tentang hal
itu, namun, dikabarkan bahwa ia –tidak diketahui alasannya- kemudian membakarnya. Ia
sangat berhati-hati dalam menjelaskan batasan-batasan agama, dan tidak sekali-kali
mendalami pengertian batin agama yang dapat mengaburkan pengertian lahirnya dan
menaburkan keraguan. Inilah yang mendasarinya untuk memuji kelompok-kelompok sufi
yang tidak berlebih-lebihan dalam menyelami pengertian batin agama. Dalam konteks ini
pula, dia menuturkan sebuah hadis Nabi, yaitu “Pikirkanlah makhluk-makhluk Allah dan
jangan coba memikirkan Dzat Allah sebab kalian akan tersesat karenanya.” Berdasarkan
hadis-hadis itu dan hadis-hadis senada, Al-Muhasibi mengatakan bahwa makrifat harus
ditempuh melalui jalan tasawuf yang mendasarkan pada kitab dan sunnah.
Al-Muhasibi menjelaskan tahapan makrifat sebagai berikut:
1. Awal dari kecintaan kepada Allah adalah taat. Taat tiada lain hanyalah merupakan
wujud konkret ketaatan hamba kepada Allah. Kecintaan kepada Allah hanya dapat
dibuktikan dengan jalan ketaatan, bukan sekedar pengungkapan ungkapan-ungkapan
kecintaan semata sebagaimana dilakukan sebagian orang. Mengekspresikan
kecintaan kepada Allah hanya dengan ungkapan tanpa pengamalan merupakan
kepalsuan semata. Di antara implementasi kecintaan kepada Allah adalah memenuhi
hati dengan sinar. Sinar ini kemudian melimpah pada lidah dan anggota tubuh yang
lain.
2. Aktivitas anggota tubuh yang telah disinari oleh cahaya yang memenuhi hati
merupakan tahap makrifat selanjutnya.
3. Allah menyingkapkan khazanah-khazanah keilmuan dan kegaiban kepada setiap
orang yang telah menempuh tahap kedua sehingga dapat menyaksikan berbagai
rahasia yang selama ini disimpan Allah.
4. Tahap yang dikatakan oleh sebagian sufi dengan fana’ yang menyebabkan baqa’.
b. Pandangan Al-Muhasibi tentang Khauf dan Raja’
Dalam pandangan Al-Muhasibi, khauf (rasa takut) dan raja’ (pengharapan)
menempati posisi seimbang dalam membersihkan jiwa. Ia terkesan menguraikan kedua sifat
itu dengan etika-etika keagamaan lainnya. Ketika disifati dengan dua sifat diatas, seorang
secara bersamaan disifati pula dengan sifat-sifat lainnya. Pangkal wara’, menurutnya,
adalah ketakwaan. Pangkal ketakwaan adalah instropeksi diri (muhasabah an-nasf). Pangkal
instropeksi diri adalah khauf dan raja’. Pangkal khauf dan raja’ adalah pengetahuan
tentang janji dan ancaman Allah, sedangkan pangkal pengetahuan tentang keduanya adalah
perenungan.
Menurut Al-Muhasibi, khauf dan raja’ dapat dilakukan dengan sempurna hanya
dengan berpegang teguh kepada Al-Quran dan As-Sunnah. Dalam hal ini, ia terkesan pula
mengaitkan kedua sifat itu dengan ibadah dan janji serta ancaman Allah. Untuk itu, ia
menganggap apa yang diungkapkan Ibn Sina dan Rabi’ah Al-‘Adawiyyah sebagai jenis
fana’ atau kecintaan kepada Allah yang berlebih-lebihan dan keluar dari apa yang telah
dijelaskan Islam sendiri serta bertentangan dengan apa yang diyakini para sufi dari kalangan
Ahlussunnah. Al-Muhasibi lebih lanjut mengatakan bahwa Al-Quran jelas berbicara tentang
pembalasan (pahala) dan siksaan. Ajakan-ajakan Al-Quran pun sesungguhnya dibangun atas
dasar targhib (sugesti) dan tarhib (ancaman). Al-Quran jelas pula berbicara tentang surga
dan neraka. Ia kemudian mengutip ayat-ayat berikut ini.
. . .
Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada didalam taman-taman (surga)
dan di mata air-mata air sambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Tuhan
mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu didunia adalah orang-orang yang
berbuat baik. Mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam, dan akhir-akhir malam,
mereka memohon ampun (kepada Allah). (Q.S. Adz-Dzariyat [51]: 15-18)
. .
. Ya Tuhan kami, sesungguhnya barang siapa yang Engkau masukkan ke
dalam neraka maka sungguh telah Engkau hinakan ia, dan tidak ada bagi
orang-orang yang zalim seorang penolong pun. Ya Tuhan kami,
sesungguhnya kami mendengar (suara) yang menyeru kepada iman (yaitu),
‘berimanlah kamu kepada Tuhanmu’ maka kami pun beriman. Ya Tuhan
kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami
kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang
berbakti. Ya Tuhan kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan
kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul Engkau. Dan janganlah Engkau
hinakan kami di hari Kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji.
(Q.S. Ali Imran [3]: 192-194)
Raja’ dalam pandangan Al-Muhasibi, seharusnya melahirkan amal saleh, tatkala
telah melakukan amal saleh, seseorang berhak mengharap pahala dari Allah. Inilah yang
dilakukan oleh mukmin sejati dan para sahabat Nabi sebagaimana digambarkan oleh ayat,
“sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihat
dijalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.”
3. Al-Qusyairi
a. Riwayat Hidup Al-Qusyairi
Nama lengkap Al-Qusyairi adalah ‘Abdul Karim bin Hawazin. Ia lahir tahun 376 H
di Istiwa, kawasan Naisabur, salah satu pusat ilmu pengetahuan pada masanya. Di sinilah, ia
bertemu dengan gurunya, Abu ‘Ali Ad-Daqdaq, seorang sufi terkenal. Al-Qusyairi selalu
menghadiri majelis gurunya, dan dari gurunya itulah, ia menempuh jalan tasawuf. Sang guru
menyarankan kepadanya untuk pertama-tama mempelajari syariat. Oleh karena itu Al-
Qusyairi belajar fiqh kepada seorang faqih, Abu Bakr Muhammad bin Abu Bakr Ath-Thusi
(w.405 H), dan mempelajari ilmu kalam serta ushul fiqh pada Abu Bakr bin Farauk (w.406
H). selain itu ia menjadi murid Abu Ishaq Al-Isfarayini (w.418 H) dan menelaah banyak
karya Al-Baqillani. Dari situlah, Al-Qusyairi berhasil menguasai doktrin Ahlussunnah wal
Jama’ah yang dikembangkan Al-Asy’ari dan muridnya. Al-Qusyairi adalah pembela paling
tangguh aliran itu dalam menentang doktrin aliran Mu’tazilah, Karimiyyah, Mujassamah,
dan Syi’ah. Karena tindakannya itu, ia mendapat serangan keras, bahkan dipenjara selama
sebulan lebih atas perintah Tughrul Bek karena hasutan seorang menterinya yang menganut
aliran mu’tazilah Rafidhah. Bencana yang menimpa dirinya itu, yang bermula tahun 445 H,
diuraikannya dalam karyanya, Syikayah Ahl As-Sunnah. Menurut B. Khallikan, Al-Qusyairi
adalah seorang yang mampu mengompromikan syariat dengan hakikat. Al-Qusyairi wafat
tahun 465 H.
Al-Qusyairi adalah seorang tokoh sufi utama dari abad kelima Hijriyah.
Kedudukannya demikian penting mengingat karyanya tentang para sufi dan tasawuf aliran
Sunni abad-abad ketiga dan keempat Hijriah membuat terpeliharanya pendapat dan
khazanah tasawuf pada masa itu, baik dari segi teoritis maupun praktis.
b. Ajaran-ajaran Tasawuf Al-Qusyairi
Apabila Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah karya Al-Qusyairi dikaji secara mendalam,
akan tampak jelas bagaimana Al-Qusyairi cenderung mengembalikan tasawuf pada landasan
doktrin Ahlus Sunnah, seperti pernyataannya berikut ini,
“Ketahuilah! Para tokoh aliran ini (maksudnya para sufi) membina prinsip-prinsip
tasawuf atas landasan tauhid yang benar sehingga terpeliharalah doktrin mereka dari
penyimpangan. Selain itu mereka lebih dekat dengan tauhid kaum salaf maupun
Ahlus Sunnah, yang tidak tertandingi serta (tidak) mengenal macet. Mereka pun tahu
hak yang lama, dan bisa mewujudkan sifat sesuatu yang diadakan dari ketiadaannya.
Oleh karena itu, tokoh aliran ini, Al-Junaid mengatakan bahwa tauhid adalah
pemisah hal yang lama dengan hal yang baru. Landasan doktrin-doktrin mereka pun
didasarkan pada dalil dan bukti yang kuat serta gamblang. Dan ini seperti dikatakan
Abu Muhammad Al-Jariri bahwa barang siapa tidak mendasarkan ilmu tauhid pada
salah satu pengokohnya, niscaya membuat tergelincirnya kaki yang tertipu dalam
jurang kehancurannya.”
Secara implisit dalam ungkapan Al-Qusyairi tersebut terkandung penolakan terhadap
para sufi syathahi, yang mengucapkan ungkapan-ungkapan penuh kesan terjadinya
perpaduan antara sifat-sifat ketuhanan, khususnya sifat terdahulu-Nya, dengan sifat-sifat
kemanusiaan, khususnya sifat baharunya. Bahkan, dengan konotasi yang lain, scara terang-
terangan Al-Qusyairi mengkrtitik mereka,
“Mereka mengatakan bahwa mereka telah bebas dari perbudakan berbagai belenggu
malah berhasil mencapai realitas-realitas rasa penyatuan dengan Tuhan (wushul).
Lebih jauh lagi, mereka tegak bersama yang Mahabesar, dimana hukum-hukum-Nya
berlaku atas diri mereka, sementara mereka dalam keadaan fana. Allah pun menurut
mereka, tidak mencela maupun melarang apa yang mereka nyatakan ataupun
lakukan. Dan kepada mereka disingkapkan rahasia-rahasia ke Esa-an, dan setelah
fana, mereka pun tetap memperoleh cahaya-cahaya ketuhanan, tempat bergantung
segala sesuatu…”
Selain itu Al-Qusyairi pun mengecam keras para sufi pada masanya karena
kegemaran mereka mempergunakan pakaian orang-orang miskin, sementara tindakan
mereka pada keadaan yang sama bertentangan dengan pakaian mereka. Ia menekankan
bahwa kesehatan batin dengan berpegang pada Al-Quran dan As-Sunnah lebih penting
daripada pakaian lahiriah. Sebagaimana perkataannya,
“Duhai, saudaraku! Janganlah kamu terpesona oleh pakaian lahiriah maupun sebutan
yang kau lihat (pada para sufi sezamannya). Sebab ketika hakikat realitas-realitas itu
tersingkapkan, niscaya tampak keburukan para sufi yang mengada-ada dalam
berpakaian… Setiap tasawuf yang tidak dibarengi dengan kebersihan maupun
penjauhan diri dari maksiat adalah tasawuf palsu serta memberatkan diri; dan setiap
yang batin itu bertentangan dengan yang lahir adalah keliru serta bukannya yang
batin… dan setiap tauhid yang tidak dibenarkan Al-Quran maupun As-Sunnah
adalah pengingkaran Tuhan serta bukan tauhid; dan setiap pengenalan terhadap Allah
(makrifat) yang tidak dibarengi kerendahhatian maupun kelurusan jiwa adalah palsu
serta bukannya pengenalan terhadap Allah.”
Dalam konteks yang berbeda, dengan ungkapan yang pedas, Al-Qusyairi
mengemukakan penyimpangan lain dari para sufi abad kelima Hijriah,
untuk belajar fiqh, logika, dan ushul kepada Imam Al-Haramayn, Abu Al-Ma’ali Al-
Juwaini. Kemudian, ia pindah ke Mu’askar dan berhubungan dengan Nidzam Al-mulk,
perdana menteri Bani Saljuk, yang kemudian mengangkatnya menjadi guru di Universitas
Nidzamiyah di Baghdad. Pekerjaan sebagai guru ia laksanakan dengan sangat baik sehingga
menjadi terkenal. Bahkan, Al-Ghazali sempat mendalami falsafat secara mandiri dan
menulis beberapa buku.
Pada tahun 488 H/1095 M, Al-Ghazali dilanda keraguan, skeptic tentang kegunaan
pekerjaan dan karyanya, sehingga ia menderita penyakit yang sulit diobati. Oleh karena itu,
ia tidak dapat memberikan kuliah di universitas tersebut. Lalu, ia meninggalkan
pekerjaannya dan seluruh kariernya sebagai ahli hukum dan teolog.
Selanjutnya, Al-Ghazali pindah ke Damaskus lalu Palestina. Di kota-kota ini, ia
merenung, membaca, dan menulis. Sesudah itu, tergeraklah hatinya untuk menunaikan
ibadah haji. Setelah selesai, ia pulang ke kota kelahirannya, thus. Disana, ia tetap seperti
biasanya, berkhalwat dan beribadah. Keadaan skeptic itu berlangsung selama sepuluh tahun,
terhitung sejak kepindahannya ke Damaskus. Pada masa inilah, Al-Ghazali menulis
karyanya yang terkenal, yaitu Ihya Ulum Ad-Din.
Karena desakan penguasa Saljuk pada masa itu, Al-Ghazali bersedia mengajar
kembali ke madrasah Nidzamiyah di Naisabur. Akan tetapi, pekerjaan itu hanya berlangsung
selama dua tahun, dan ia kembali lagi ke Thus. Di kota ini, Al-Ghazali kemudian
mendirikan sekolah untuk para fuqaha dan sebuah biara untuk mutashawwifin. Di kota ini
pula, Al-Ghazali meninggal dunia tahun 505 H/ 1111 M pada usia 54 tahun.
a.
b. Ajaran Tasawuf Al-Ghazali
Dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf Sunni yang berdasarkan Al-Quran
dan Sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlu As-Sunnah wa Al-Jamaah. Dari paham
tasawufnya itu, ia menjauhkan semua kecenderungan gnostis yang memengaruhi para filosof
Islam, sekte Ismailiyah, aliran Syi’ah, ikhwan Ash-Shafa, dan lain-lain. Ia menjauhkan
tasawufnya dari paha ketuhanan Aristoteles, seperti emanasi dan penyatuan, sehingga dapat
dikatakan bahwa tasawuf Al-Ghazali benar-benar bercorak Islam. Corak tasawufnya adalah
psikomoral yang mengutamakan pendidikan moral. Hal ini dapat dilihat dalam karya-
karyanya, seperti Ihya’ Ulum Ad Di, Minhaj Al-Abidin, Mizan Al-Amal, Bidayah Al-
Hidayah, Mi’raj As-Salikin, dan Ayuhal Walad.
Menurut Al-Ghazali, jalan menuju tasawuf dapat dicapai dengan mematahkan
hambatan-hambatan jiwa dan membersihkan diri dari moral yang tercela sehingga kalbu
lepas dari segala sesuatu selain Allah dan berhias dengan selalu mengingat Allah. Ia juga
berpendapat bahwa sosok sufi adalah menempuh jalan kepada Allah, dan perjalanan hidup
mereka adalah yang terbaik, jalan mereka adalah yang paling benar; dan moral mereka yang
paling bersih. Hal itu karena gerak dan diam mereka, baik lahir maupun batin, diambil dari
cahaya kenabian. Selain cahaya kenabian, didunia ini tidak ada lagi cahaya yang lebih
mampu memberi penerangan.
Al-Ghazali menilai negatif terhadap syathahat karena dianggap mempunyai dua
kelemahan. Pertama, kurang memerhatikan amal lahiriah, hanya mengungkapkan kata-kata
yang sulit dipahami, mengemukakan kesatuan dengan Tuhan, dan menyatakan bahwa Allah
dapat disaksikan. Kedua, syathahat merupakan hasil pemikiran yang kacau dan hasil
imajinasi sendiri. Dengan demikian, ia menolak tasawuf dan filsafat meskipun ia mau
memaafkan Al-Hallaj dan Yazid Al-Busthami. Ungkapan-ungkapan yang ganjil itu telah
menyebabkan orang-orang Nashrani keliru dalam menilai Tuhannya, seakan-akan ia berada
pada diri Al-Masih.
Al-Ghazali menolak paham hulul dan ittihad. Untuk itu, ia menyodorkan paham baru
tentang makrifat, yaitu pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) tanpa diikuti
penyatuan dengan-Nya. Jalan menuju makrifat adalah perpaduan ilmu dan amal, sementara
buahnya adalah moralitas. Ringkasnya, Al-Ghazali patut disebut berhasil mendeskripsikan
jalan menuju Allah SWT. Makrifat menurut versi Al-Ghazali diawali dalam bentuk latihan
jiwa, lalu diteruskan dengan menempuh fase-fase pencapaian rohani dalam tingkatan-
tingkatan (maqamat) dan keadaan (ahwal).
Oleh karena itu, Al-Ghazali mempunyai jasa besar dalam dunia Islam. Dialah orang
yang mampu memadukan ketiga kubu keilmuan Islam, yakni tasawuf, fiqh, dan ilmu kalam,
yang sebelumnya terjadi ketegangan.
Al-Ghazali menjadikan tasawuf sebagai sarana untuk berolah rasa dan berolah jiwa
sehingga sampai kepada makrifat yang membantu menciptakan (sa’adah).
1. Pandangan Al-Ghazali tentang Makrifat
Menurut Al-Ghazali –sebagaimana dijelaskan oleh Harun Nasution- makrifat adalah
mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala
yang ada. Alat untuk memperoleh makrifat bersandar pada sir, qalb, dan ruh.
Selanjutnya, Harun Nasution juga menjelaskan pendapat Al-Ghazali yang dikutip
dari Al-Qusyairi bahwa qalb dapat mengetahui hakikat segala yang ada. Jika
dilimpahi cahaya Tuhan, qalb dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dengan sir,
qalb, dan roh yang telah suci dan kosong, tidak berisi apapun. Saat itulah, ketiganya
akan menerima illuminasi (kasyf) dari Allah. Pada waktu itu pulalah, Allah
menurunkan cahaya-Nya kepada sufi sehingga yang dilihat sang sufi hanya Allah. Di
sini, sampailah ia ke tingkat makrifat.
Dalam kitab Ihya’ Ulum Ad-Din, Al-Ghazali membedakan jalan pengetahuan
sampai kepada Tuhan bagi orang awam, ulama dan orang arif (sufi) ia membuat
perumpaan tentang keyakinan bahwa si fulan ada di dalam rumah. Keyakinan orang
awam dibangun atas dasar taklid dengan hanya mengikuti perkataan orang bahwa si
fulan ada di rumah tanpa menyelidiki lagi. Bagi ulama, keyakinan adanya si fulan
dibangun atas dasar adanya tanda-tanda, seperti suaranya yang terdengar, walaupun
orangnya tidak kelihatan. Sementara orang arif tidak hanya melihat tanda-tandanya
melalui suara dibalik dinding. Lebih jauh dari itu ia pun memasuki rumah dan
menyaksikan dengan mata kepalanya bahwa si fulan benar-benar ada di dalam
rumah.
Makrifat seorang sufi tidak dihalangi hijab, sebagaimana ia melihat si fulan
ada di dalam rumah dengan mata kepalanya sendiri. Ringkasnya, makrifat menurut
Al-Ghazali tidak seperti makrifat menurut orang awam maupun ulama mutakallim,
tetapi makrifat sufi yang dibangun atas dasar dzauq ruhani dan kasyf ilahi. Makrifat
semacam ini dapat dicapai oleh para khawash auliya’ tanpa melalui perantara,
langsung dari Allah. Seperti ilmu kenabian yang diperoleh secara langsung dari
Tuhan walaupun dari segi perolehan ilmu berbeda antara nabi dan wali. Nabi
mendapat ilmu Allah melalui perantara malaikat, sedangkan wali mendapat ilmu
melalui ilham. Namun, keduanya sama-sama memperoleh ilmu dari Allah.
2. Pandangan Al-Ghazali tentang As-sa’adah
Menurut Al-Ghazali, kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi adalah melihat
Allah (ru’yatullah). Dalam kitab kimiya’ As-Sa’adah, ia menjelaskan bahwa As-
Sa’adah (kebahagiaan) itu sesuai dengan watak (tabiat), sedangkan watak sesuatu itu
sesuai dengan ciptaannya. Nikmatnya mata terletak ketika melihat gambar yang
bagus dan indah. Nikmatnya telinga terletak ketika mendengar suara yang merdu.
Demikian juga, seluruh anggota tubuh, masing-masing mempunyai kenikmatan
tersendiri.
Kenikmatan qalb –sebagai alat memperoleh makrifat- terletak ketika melihat
Allah. Melihat Allah merupakan kenikmatan paling agung yang tiada taranya karena
makrifat itu sendiri agung dan mulia. Oleh karena itu, kenikmatannya melebihi
kenikmatan yang lain. Sebagaimana perasaan dapat bertemu menteri akan lebih
bangga dan senang daripada perasaan dapat bertemu presiden. Hal ini dapat
dianalogikan dengan perasaan kalau sempat berhubungan dengan Allah, Tuhan
penguasa alam ini. Seseorang tentunya akan lebih senang dan bangga. Inilah
kesenangan dan kebahagiaan sejati yang tiada taranya.
Kelezatan dan kenikmatan dunia bergantung pada nafsu dan akan hilang
setelah manusia mati, sedangkan kelezatan dan kenikmatan melihat Tuhan
bergantung kepada qalb tidak ikut mati, malah kenikmatannya bertambah, karena
dapat keluar dari kegelapan menuju cahaya terang.
TASAUF IRFANI
Disamping tasawuf akhlaqi yang membahas moralitas yang terukur, seperti
kejujuran, keikhlasan, dan perkataan yang benar, ada juga tasawuf irfani yang tingkatannya
lebih tinggi lagi. Ini tidak hanya membahas masalah soal keikhlasan dalam hubungan antar
manusia, tetapi lebih jauh menetapkan bahwa apa yang kita lakukan sesungguhnya tidak
pernah kita lakukan. Ini tingkatan ikhlas yang paling tinggi. Kita tidak ingin dipuji, atau jika
dipuji pun, tidak pernah berubah, dan bila dicaci-maki pun tak pernah berubah. Semuanya
adalah untuk Allah.
Tokoh-tokoh sufi yang termasuk ke dalam aliran tasawuf irfani adalah rabi’ah Al-
Adawiyyah dengan konsep mahabbah-nya, Dzu An-Nun Al-Mishri dengan paham makrifat-
nya, Abu Yazid Al-Bustami dengan paham fana’ dan baqa’, dan abu Manhsur Al-Hallaj
dengan paham Al-hulul dan Wahdat Asy-Syudud.
Untuk lebih memahami tasawuf irfani, berikut ini dikemukakan biografi tokoh-tokoh
tasawuf irfani dan ajaran-ajaran.
A. RABI’AH AL-ADAWIYAH
1. Biografi Singkat Rabi’ah Al-Adawiyyah
Rabi’ah yang bernama lengkap Rabi’ah bin Ismail Al-Adawiyyah Al-Bashriyah Al-
Qaisiyah, diperkirakan lahir pada tahun 95 H/713 M atau 99 H/717 M di sebuah
perkampungan dekat kota Bashrah (Irak) dan wafat di kota itu pada tahun 185 H/801 M. ia
dilahirkan sebagai putri keempat dari keluarga yang sangat miskin. Karena ia putri keempat
orang tua menamakan nya Rabi’ah. Kedua orang tuanya meninggal ketika ia masih kecil.
Konon, pada saat terjadinya bencana perang di bashrah, ia dilarikan penjahat dan dijual
kepada keluarga atik dan suku Qais Banu Adwah. Dari sini, ia dikenal dengan Al-Qaisiyah
atau Al-Adawiyyah. Pada keluarga ini pulalah, ia bekerja keras, tetapi akhirnya di bebaskan
karena tuannya melihat cahaya yang memancar diatas kepala Al-Adawiyyah dan menerangi
seluruh ruangan rumah saat ia beribadah.
Setelah di merdekakan oleh tuannya, Rabiah pergi hidup menyendiri menjalani
kehidupan sebagai seorang zahidah dan sufiah. Ia menjalani sisa hidupnya hanya dengan
beribadah untuk mendekatkan diri kepada Allah sekaligus kekasihnya. Ia memperbanyak
taubat dan menjauhi hidup duniawi. Ia hidup dalam kemiskinan dan menolak segala bantuan
materi yang diberikan kepadanya. Bahkan, dalam doanya, ia tidak meminta hal-hal yang
bersifat materi dari Tuhan.
Pendapat ini ternyata dipersoalkan oleh Badawi. Rabi’ah, menurutnya, sebelum
bertaubat pernah menjalani kehidupan duniawi. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,
Rabi’ah tidak mendapakan jalan lain, kecuali menjadi penyanyi dan penari sehingga begitu
terbenam dalam kehidupan duniawi. Alasan yang digunakan Badawi untuk menguatkan
pendapatnya adalah intensitas tobat Rabi’ah itu sendiri. Menurut Badawi, tidak mungkin
iman dan kecintaan Rabi’ah kepada Allah begitu ekstreamnya, kecuali apabila ia pernah
sedemikian jauh dalam menjalani dan mencintai kehidupan duniawinya.
2. Ajaran Tasawuf Rabi’ah Al-Adawiyyah
Rabia’ah Al-‘Adawiyyah tercatat dalam perkembangan mistisisme Islam sebagai
peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah. Sementara generasi sebelumnya
merintis aliran asketisme Islam berdasarkan rasa takut dan pengharapan kepada Allah.
Rabi’ah pula yang pertama-tama mengajukan pengertian rasa tulus ikhlas dengan cinta yang
berdasarkan permintaan ganti dari Allah.
Sikap dan pandangan Rabi’ah tentang cinta dipahami dari kata-katanya, baik yang
langsung maupun yang disandarkan kepadanya. Al-Qusyairi meriwayatkan bahwa ketika
bermunajat, Rabi’ah menyatakan doanya, “Tuhanku, akankah Kau bakar kalbu yang
mencintai-Mu oleh api neraka?” tiba-tiba terdengar suara, “Kami tidak akan melakukan itu.
Janganlah engkau berburuk sangka kepada Kami.”
Diantara syair cinta Rabi’ah yang paling mahsyur adalah:
Aku mencintai-Mu dengan dua cinta,
cinta karena diriku dan karena diri-Mu.
Cinta karena diriku
adalah keadaan senantiasa mengingat-Mu.
Cinta karena diri-Mu
adalah keadaan mengungkapkan tabir sehingga Engkau ku lihat
baik ini maupun itu, pujian bukanlah bagiku
bagi-Mu pujian untuk kesemuanya.
Untuk memperjelas pengertian al-hubb yang diajukan Rabi’ah, yaitu hub al-hawa
dan hub anta ahl lahu, perlu dikutip tafsiran beberapa tokoh berikut. Abu Thalib Al-Makiy
dalam Qut Al-Qubub –sebagaimana dijelaskan Badawi- memberikan penafsiran bahwa cinta
yang timbul berasal dari nikmat-nikmat dan kebaikan yang diberikan Allah, sedangkan yang
dimaksud dengan nikmat-nikmat adalah nikmat materiil, tidak spiritual, sehingga hub disini
bersifat hub indrawi. Walaupun demikian, hub al-hawa yang diajukan Rabi’ah ini tidak
berubah-ubah, tidak bertambah, dan tidak berkurang karena bertambah dan berkurangnya
nikmat. Sebab Rabi’ah tidak memandang nikmat itu sendiri, tetapi sesuatu yang ada dibalik
nikmat. Adapun al-hubb anta ahl lahu adalah cinta yang tidak didorong kesenangan
indrawi, tetapi didorong Dzat yang dicintai. Cinta yang kedua ini tidak mengharapkan apa-
apa. Kewajiban-kewajiban yang dijalankan Rabi’ah ini timbul karena perasaan cintanya
kepada Dzat yang dicintai.
Sementara itu, Al-Ghazali memberikan ulasan tentang syair Rabi’ah sebagai berikut,
“Mungkin yang Rabi’ah maksudkan dengan cinta karena dirinya adalah cinta kepada
Allah karena kebaikan dan karunia-Nya di dunia ini, sedangkan cinta kepada-Nya
adalah karena layak dicintai keindahan dan keagungannya. Cinta yang kedua
merupakan cinta yang paling luhur dan mendalam serta merupakan kelezatan melihat
keindahan Tuhan. Hal ini seperti disabdakan dalam Hadis Qudsi, ‘Bagi hamba-
hamba-Ku yang saleh, Aku menyiapkan apa yang tidak terlihat mata, tidak terdengar
telinga, dan tidak terbersit di kalbu manusia.”
Cinta Rabi’ah kepada Allah begitu mendalam dan memenuhi seluruh relung hatinya
sehingga membuatnya hadir bersama Allah. Hal ini seperti terungkap dalam syairnya,
Kujadikan Kau teman berbincang dalam kalbu
Tubuhku pun biar berbincang dengan temanku
Dengan temanku, tubuhku bercengkerama selalu
Dalam kalbu terpancang selalu kekasih cintaku
Bagi manusia yang mempunyai cinta kepada Allah yang tidak tulus ikhlas, Rabi’ah
selalu mengatakan,
“Dalam batin,kepada-Nya kau selalu durhaka,
tetapi dalam lahir kau nyatakan cinta
sungguh aneh gejala ini.
Andaikan cinta-Mu memang tulus dan sejati
tentu yang Ia perintahkan kau taati
sebab pecinta selalu patuh dan berbakti pada yang dicintai”
Katika bermunajat, Rabi’ah kerap kali menyampaikan,
“Wahai Tuhanku, tenggelamkan aku dalam mencintai-Mu
sehingga tidak ada yang menyibukkan aku selain diri-Mu
Ya Tuhan, bintang dilangit telah gemerlapan, maka
Telah bertiduran, pintu-pintu istana telah dikunci, dan tiap pecinta telah menyendiri
dengan yang dicintai, dan inilah aku berada di hadirat-Mu.
Sewaktu fajar menyingsing, Rabi’ah berkata,
“Tuhanku, malam telah berlalu dan siang telah siap menampakkan diri
Aku gelisah apakah amalanku Engkau terima hingga aku merasa bahagia
ataukah Engkau tolak sehingga aku merasa bersedih
Demi kemahakuasaan-Mu, inilah yang akan aku lakukan
selama Engkau beri aku hayat,
sekiranya Engkau usir aku dari pintu-Mu
aku tidak akan pergi karena cintaku pada-Mu telah memenuhi hatiku.”
B. DZUN AN-NUN AL-MISHRI
1. Riwayat Hidup Dzun Al-Mishri
Dzun An-Nun Al-Misri adalah nama julukan bagi seorang sufi yang tinggal disekitar
pertengahan abad ketiga Hijriah. Nama lengkapnya adalah Abu Al-Faidl Tsauban bin
Ibrahim Dzun An-Nun Al-Mishri. Ia dilahirkan di Ikhmim, dataran tinggi Mesir tahun 180
H/796 M dan meninggal pada thun 246 H/856 M. julukan Dzun An-Nun diberikan
kepadanya sehubungan dengan berbagai kekeramatannya yang Allah berikan kepadanya.
Diantaranya ia pernah megeluarkan seorang anak dari perut buaya dalam keadaan selamat di
sungai atas permintaan ibu dari anak tersebut.
Asal mula Al-Misri tidak banyak diketahui, tetapi riwayatnya sebagai sufi banyak
diutarakan. Al-Misri dalam perjalanan hidupnya berpindah dari suatu tempat ke tempat lain.
Ia pernah menjelajahi berbagai daerah di Mesir, mengunjungi Bait Al-Maqdis, Baghdad,
mekkah, Hijaz, Syiria, pegunungan Libanon, Anthokiah, dan lembah Kan’an. Hal ini yang
menyebabkan ia memperoleh pengalaman yang banyak dan mendalam. Ia hidup pada masa
munculnya sejumlah ulama terkemuka dalam bidang ilmu fiqh, ilmu hadis, dan guru sufi
sehingga dapat berhubungan dan mengambil pelajaran dari mereka. Ia pernah mengikuti
pengajian Ahmad bin Hanbal, ia megambil riwayat hadis dari Malik, Al-Laits, dan lain-lain.
Adapun yang pernah mengambil riwayat darinya, antara lain Al-Hasan bin Mush’ib An-
Nakha’iy. Gurunya dalam bidang tasawuf adalah Syaqran Al-‘Abd atau Israfil Al-
maghribiy. Hal ini memungkinkan baginya untuk menjadi seorang yang alim, baik dalam
ilmu syariat maupun tasawuf.
Sebelum Al-Mishri, sebenarnya sudah ada sejumlah guru sufi, tapi ia orang pertama
yang memberi tafsiran terhadap isyarat-isyarat tasawuf. Iapun merupakan orang pertama di
Mesir yang berbicara tentang ahwal dan maqamat para wali dan orang yang memberi
definisi tauhid dengan pengertian yang bercorak sufistik. Ia mempunyai pengaruh besar
terhadap pembentukan pemikiran tasawuf. Tidaklah mengherankan kalau sejumlah penulis
menyebutnya sebagai salah seorang peletak dasar-dasar tasawuf.
Pendapat tersebut cukup beralasan mengingat Al-Mishri hidup pada masa awal
pertumbuhan ilmu tasawuf. Lagi pula, ia seorang sufi pengembara yang memiliki
kemampuan dan keberanian untuk menyatakan pendapatnya. Keberanian itu yang
menyebabkan ia harus berhadapan dengan gelombang protes yang disertai dengan tuduhan
zindiq. Akibatnya ia pernah dipanggil menghadap Khalifah Al-Mutawakkil. Namun, ia
dibebaskan dan dipulangkan ke Mesir dengan penuh perhormatan. Kedudukannya sebagai
wali diakui secara umum tatkala ia meninggalkan dunia yang fana ini.
2. Ajaran-ajaran Tasawuf Al-Misri
a. Pengertian Makrifat menurut Dzu An-Nun Al Misri
Dzu An-Nun adalah pelopor paham makrifat. Penilaian ini sangatlah tepat karena
bedasarkan riwayat Al-Qathfi dan Al-Mas’udi –yang kemudian dianalisis Nicholson- dan
Abd. Al-Qadir dalam Falsafah Ash Shufiyyah fi Al-Islam, Al-Misri berhasil
memperkenalkan corak baru dalam makrifat dalam bidang sufisme Islam. Pertama, ia
membedakan antara makrifat sufiyah dan makrifat akliyah. Apabila yang pertama
menggunakan pendekatan qalb yang biasa digunakan para sufi, yang kedua menggunakan
pendekatan akal yang biasa digunakan para teolog. Kedua, menurut Al-Misri, makrifat
sebenarnya adalah musyahadah qalbiyah (penyaksian hati) sebab makrifat merupakan fitrah
dalam hati manusia sejak azali. Ketiga, teori-teori makrifat Al-Mishri merupakan gnosisme
ala Neo-platonik. Teori-teorinya kemudian dianggap sebagai jembatan menuju teori-teori
wahdat asy-syuhud dan ittihad. Ia pun dipandang sebagai orang yang pertama kali
memasukkan unsure falsafah dalam tasawuf.
Pandangan-pandangan Al-Mishri tentang makrifat pada mulanya sulit diterima oleh
kalangan teolog. Karena itulah, ia dianggap sebagai zindiq. Karena itu pula, ia ditangkap
oleh khalifah, meskipun akhirnya dibebaskan. Berikut ini beberapa pandangan tentang
hakikat makrifat:
1. Sesungguhnya makrifat yang hakiki bukanlah ilmu tentang keesaan Tuhan,
sebagaimana yang dipercayai orang-orang mukmin, bukan pula ilmu burhan dan
nazhar milik para hakim, mutakallimin dan ahli balaghah, tetapi makrifat terhadap
keesaan Tuhan yang khusus dimiliki para wali Allah. Hal itu karena mereka adalah
orang yang menyaksikan Allah dengan hatinya sehingga terbukalah baginya apa
yang tidak dibukakan untuk hamba-hamba-Nya yang lain.
2. Makrifat yang sebenarnya adalah bahwa Allah menyinari hatimu dengan cahaya
makrifat yang murni seperti matahari yang tak dapat dilihat, kecuali dengan
cahayanya. Senantiasa salah seorang hamba mendekat kepada Allah sehingga terasa
hilang, mereka berbicara dengan ilmu yang telah diletakkan Allah pada lidah
mereka, mereka melihat dengan penglihatan Allah, mereka berbuat dengan perbuatan
Allah.
Kedua pandangan Al-Mishri diatas menjelaskan bahwa makrifat kepada Allah tidak
dapat ditempuh melalui pendekatan akal dan pembuktian-pembuktian, tetapi dengan jalan
makrifat batin, yakni Tuhan menyinari hati manusia dan menjaganya dari kecemasan
sehingga yang ada didunia ini tidak mempunyai arti lagi. Melalui pendekatan ini, sifat-sifat
rendah manusia perlahan-lahan terangkat keatas dan selanjutnya menyandang sifat-sifat
luhur seperti yang dimiliki Tuhan sampai akhirnya ia sepenuhnya hidup di dalam-Nya dan
lewat dirinya.
Al-Mishri membagi pengetahuan tentang Tuhan menjadi tiga macam, yaitu:
1. Pengetahuan untuk seluruh muslim
2. Pengetahuan khusus untuk para filosof dan ulama
3. Pengetahuan khusus untuk para wali Allah
Menurut Harun Nasution, pengetahuan jenis pertama dan kedua belum dimasukkan
dalam kategori pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Keduanya belum dapat disebut makrifat,
tetapi disebut dengan ilmu, sedangkan pengetahuan ketiga baru disebut dengan makrifat.
Dari ketiga macam pengetahuan tentang Tuhan diatas, jelaslah bahwa pengetahuan tingkat
auliya adalah yang paling tinggi tingkatannya karena mereka mencapai tingkatan
musyahadah. Sementara para ulama dan filosof tidak bisa mencapai maqam ini sebab
mereka masih menggunakan akal untuk mengetahui Tuhan, sedangkan akal mempunyai
keterbatasan dan kelemahan.
Dalam perjalanan rohani, Al-Mishri memiliki sistematika sendiri tentang jalan
menuju tingkat makrifat. Dari teks ajarannya, Abdul Halim Mahmud menggambarkan
sistematika Al-Mishri sebagai berikut:
1. Ketika ditanya tentang siapa sebenarnya orang bodoh itu, Al-Mishri menjawab,
“orang yang tidak mengenal jalan menuju Allah dan tidak ada usaha untuk
mengenal-Nya.”
2. Al-Miashri mengatakan bahwa jalan menuju Allah itu ada dua macam, yaitu tahariq
al-inabah. Jalan ini harus dimulai dengan meminta dengan cara ikhlas dan benar, dan
thariq al-ithiba’. Jalan ini tidak mensyaratkan apa-apa pada seseorang, kecuali
urusan Allah semata.
3. Di sisi lain, Al-Mishri menyatakan bahwa manusia terdiri atas dua macam, yaitu
darij dan wasil. Darij adalah orang yang berjalan menuju jalan iman, sedangkan
wasil adalah orang yang berjalan (melayang) di atas kekuatan makrifat.
Menurut pengalamannya, sebelum sampai pada maqam al-makrifat, Al-Mishri
melihat Tuhan melalui tanda-tanda kebesaran-Nya yang terdapat di alam semesta. Suatu
ungkapan puitisnya adalah:
“Ya Rabbi, Aku mengenal-Mu melalui bukti-bukti karya-Mu dan tindakan-Mu.
Tolonglah aku ya Rabbi, dalam mencari rida-Mu dengan rida-Ku, dengan semangat
Engkau dalam kecintaan-Mu, dengan kesentosaan dan niat teguh.”
Ketika ditanya bagaimana cara memperoleh makrifat, Al-Mishri menjawab,
“Aku mengenal Tuhan dengan (bantuan) Tuhan, kalau bukan karena bantuan-Nya,
aku tidak mungkin mengenal-Nya (‘Araftu rabbi bi rabbi wa laula rabbi lama
‘araftu rabbi).”
Ungkapannya itu menunjukkan bahwa makrifat tidak diperoleh begitu saja, tetapi
merupakan pemberian Tuhan, rahmat dan nikmat-Nya.
Adapun tanda-tanda bahwa seorang itu arif, menurut Al-Misri adalah sebagai berikut:
1. Cahaya makrifat tidak memadamkan cahaya kewara’annya.
2. Ia tidak berkeyakinan bahwa ilmu batin merusak hukum lahir.
3. Banyaknya nikmat Tuhan tidak mendorongnya menghancurkan tirai-tirai larangan
Tuhan.
Paparan Al-Mishri di atas menunjukkan bahwa seseorang arif yang sempurna selalu
melaksanakan perintah Allah, terikat hanya kepada-Nya, senantiasa bersama-Nya dalam
kondisi apa pun, dan semakin dekat serta menyatu kepada-Nya.
3.Pandangan Dzu An-Nun Al-Mishri tentang Maqamat dan Ahwal
Pandangan Al-Mishri tentang maqamat dikemukakan pada beberapa hal saja, yaitu
at-taubah, ash-shabr, at-tawakkal, dan ar-ridha. Dalam Dairat Al-Ma’rifat Al-Islamiyat
terdapat keteranan yang berasal dari Al-Mishri, yang menjelaskan bahwa symbol-simbol
zuhud itu adalah sedikit cita-cita, mencintai kefakiran dan memiliki rasa cukup yang disertai
dengan kesabaran. Walaupun demikian, dapat dikatakan bahwa jumlah maqam yang disebut
Al-Mishri lebih sedikit dibandingkan dengan apa yang dikemukakan sejumlah penulis
sesudahnya.
Menurut Al-Mishri, ada dua macam tobat awan dan tobat khawas. Orang awam
bertaubat karena kelalaian (dari mengingat Tuhan). Dalam ungkapan lain, ia mengatakan
bahwa sesuatu yang dianggap sebagai kebaikan oleh al-abrar dianggap sebagai dosa oleh al-
muqarrabin. Pandangan ini mirip dengan pernyataan Al-Junaidi bahwa tobat adalah ‘engkau
melupakan dosamu’. Pada tahap ini, orang-orang yang mendambakan hakikat tidak lagi
mengingat dosa mereka karena terkalahkan oleh perhatian yang tertuju pada kebesaran
Tuhan dan zikir yang berkesinambungan.
Lebih lanjut Al-Mishri membagi tobat menjadi tiga tingkatan, yaitu:
a. Orang yang bertobat dari dosa dan keburukannya
b. Orang yang bertobat dari kelalaian dan kealfaan mengingat Tuhan
c. Orang yang bertobat karena memandang kebaikan dan ketaatannya.
Pembagian tobat atas tiga tingkatan agaknya tidak harus dilihat sebagai keterangan
yang bertentangan dengan apa yang telah disebut di atas. Atas pembagian ini, Al-Mishri
membagi lagi orang khawas menjadi dua bagian, sehingga jenis tobat dibedakan menjadi
tiga macam. Perkembangan pemikiran itu merupakan salah satu refleksi dari proses
pencarian hakikat oleh seorang sufi yang mengalami tahapan secara gradual.
Keterangan Al-Mishri tentang maqam ash-shabr dikemukakan dalam bentuk
kepingan dialog dari sebuah riwayat. Suatu ketika, ia menjenguk orang yang sakit. Ketika
orang sakit itu merintih, Al-Mishri berkata, “Tidak termasuk cinta yang benar bagi orang
yang tidak sabar dalam menghadapi cobaan Tuhan.” Orang sakit itu kemudian menimpal,
“Tidak benar pula cintanya orang yang merasakan kenikmatan dari suatu cobaan.”
Berikut ini sebuah contoh ucapan Al-Mishri selagi kedua tangan dan haknya
dibelenggu sambil dibawa ke hadapan penguasa dengan disaksikan oleh orang banyak. Ia
berkata, “Ini adalah salah satu pemberian Tuhan karunia-Nya. Semua pembuatan Tuhan
merupakan nikmat dan kebaikan.”
Berkenaan dengan maqam at-tawakkal, Al-Mishri mendefinisikan sebagai ‘berhenti
memikirkan diri sendiri dan merasa memiliki daya yang kekuatan.’ Intinya adalah
penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah disertai perasaan tidak memiliki kekuatan.
Hilangnya daya dan kekuatan seolah-olah mengandung arti pasif atau ‘mati’. Ungkapan
seperti ini dikemukakan oleh Abu Ya’qub An-Nahrujuri bahwa at-tawakkal adalah kematian
jiwa tatkala ia kehilangan peluang, baik menyangkut urusan dunia maupun akhirat.
Ketika ditanya tentang ar-ridha, Al-Mishri menjawab bahwa ar-ridha adalah
kegembiraan hati menyangkut ketentuan Tuhan baginya. Pendapat ini sejalan dengan apa
yang dikatakan oleh Al-Qanad, ar-ridha adalah ketenangan hati dengan berlakunya
ketentuan Tuhan. Kedua pendapat ini pada dasarnya menunjukkan makna yang sama.
Perbedaannya hanya terletak pada pemilihan kata. Al-Mishri memilih kata ‘surur al-qalb
untuk ketenangan hati, sedangkan Al-Qannad memilih kata ‘sukun al-qalb’.
Berkenaan dengan ahwal, Al-Mishri menjadikan mahabbah (cinta kepada Tuhan)
sebagai urutan pertama dari empat ruang lingkup pembahasan tentang tasawuf. Sebab, tanda-
tanda orang yang mencintai Allah adalah mengikuti kekasih-Nya, yakni Nabi Muhammad
SAW. dalam hal akhlak, perbuatan, segala perintah, dan sunnahnya. Artinya orang-orang
yang mencintai Allah adalah orang-orang yang mengikuti sunnah Rasul, tidak mengabaikan
syariat. Untuk memberi pemahaman yang lebih jauh tentang mahabbah bagi orang yang
ingin mengetahuinya dengan terinci unsur-unsurnya, ia menyatakan bahwa ada tiga symbol
mahabbah, yaitu rida terhadap hal-hal yang tidak disenangi, berprasangka baik terhadap
sesuatu yang belum diketahui, dan berlaku baik dalam menentukan pilihan dan terhadap hal-
hal yang diperingatkan.
Dalam salah satu doanya, Al-Mishri berkata, “Ya Allah, sesunggunya rahmat-Mu
yang luas lebih kami dambakan daripada amal yang kami lakukan, dan kami lebih
mengharapkan ampunan-Mu daripada siksa-Mu.”
C. ABU YAZID AL-BUSTAMI
1. Riwayat Hidup Abu Yazid Al-Bustami
Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Surusyan Al-Bustami. Ia
lahir di daerah Bustam (Persia) tahun 874-947 M. Nama kecilnya adalah Taifur. Kakeknya
bernama Sursuryan, seorang penganut agama Zoroaster, kemudian masuk dan menjadi
pemeluk Islam di Bustam. Keluarga Yazid termasuk orang kaya di daerahnya, tetapi lebih
memilih hidup sederhana. Sejak dalam kandungan ibunya, Abu Yazid telah mempunyai
kelebihan. Menurut ibunya, bayinya yang dalam kandungan akan memberontak sampai
muntah jika sang ibu memakan makanan yang diragukan kehalalannya.
Sewaktu meningkat usia remaja, Abu Yazid juga terkenal sebagai murid yang pandai
dan seorang anak yang patuh mengikuti ajaran agama, serta berbakti kepada orang tuanya.
Suatu kali gurunya menerangkan suatu surat dari Al-Quran surat Luqan, “Berterimakasihlah
kepada Aku dan kepada kedua orang tuamu.” Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu
Yazid. Ia kemudian berhenti belajar dan pulang ke rumahnya untuk menemui ibunya. Itulah
gambaran bagaimana ia memenuhi setiap panggilan Allah.
Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi memerlukan waktu puluhan tahun.
Sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu telah menjadi
seorang fakih dari madzhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali A-
Sindi. Ia mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakiat, dan ilmu-ilmu lainnya kepada Abu Yazid.
Hanya saja, ajaran sufi Abu Yazid tidak ditemukan dalam bentuk buku.
Dalam menjalani kehidupan zuhud, selama 13 tahun Abu Yazid mengembara di
gurun-gurun pasir di Syam, dengan sedikit sekali tidur, makan, dan minum.
2. Ajaran Tasawuf Abu Yazid
Ajaran tasawuf Abu Yazid yang terpenting adalah fana’ dan baqa’. Dari segi bahasa,
“fana’ berasal dari kata faniya’, yang berarti musnah atau lenyap. Dalam istilah tasawuf,
fana’ adakalanya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur. Dalam hal ini, Abu Bakar Al-
Kalabadzi (w. 378 H/988 M) mendefinisikannya, “Hilangnya semua keinginan hawa nafsu
seseorang, tidak ada pamrih dari segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala
perasaannya yang dapat membedakan sesuatu secara sadar, dan ia telah menghilangkan
semua kepentingan ketika berbuat sesuatu,”
Pencapaian Abu Yazid ke tahap fana’ terjadi setelah meninggalnya segala keinginan
selain keinginan kepada Allah, seperti tampak dalam ceritanya,
“Setelah Allah menyaksikan kesucian hatiku yang terdalam, aku mendengar puas
dari-Nya. ‘Mintalah kepada-Ku semua yang kau inginkan,’ kata-Nya. ‘Engkaulah
yang aku inginkan,’ jawabku, “karena Engkau lebih utama daripada anugerah, lebih
besar daripada kemurahan, dan melalui Engkau, aku mendapat kepuasan dalam diri-
Mu…”
Dalam menuju fana’, menurut Abu Yazid, dikisahkan dalam mimpinya menatap
Tuhan. Ia bertanya, “Bagaimana caranya agar aku sampai kepada-Mu?” Tuhan menjawab,
“Tinggalkan dirimu (nafsu) dan kemarilah.” Abu Yazid pernah melontarkan kata ‘fana’ pada
salah satu ucapannya:
�ت� �ي ي �ه� ف�ح� �ه� ب ف�ت �م� ع�ر� �ت� ث �ي �ع�ر�ف�ه� ح�تى� ف�ن أ
“aku tahu kepada Tuhan melalui diriku sehingga aku fana’, kemudian aku
tahu kepada-Nya melalui diri-Nya, maka akupun hidup.”
Adapun baqa’ berasal dari kata baqiya”. Dari segi bahasa, artinya adalah tetap,
sedangkan berdasarkan istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah.
Faham baqa’ tidak dapat dipisahkan dengan faham fana’. Keduanya merupakan faham yang
berpasangan. Jika seorang sufi sedang mengalami fana’, ketika itu juga ia sedang menjalani
baqa’.
Ketika menerangkan antara fana’ dan baqa’, Al-Qusyaiti mengatakan,
“Barangsiapa meninggalkan perbuatan-perbuatan tercela, ia sedang fana’
syahwatnya, ia baqa’ dalam niat dan keikhlasan beribadah. … Barang siapa yang
hatinya zuhud dari keduniaan, ia sedang fana’ dari keinginannya, berarti pula sedang
baqa’ dalam ketulusan inabah-nya. …”
Ittihad adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah melalui tahapan
fana’ dan baqa’. Hanya saja dalam literatur klasik, pembahasan tentang ittihad ini tidak
ditemukan. Apakah karena pertimbangan keselamatan jiwa atau ajaran ini sangat sulit
dipraktikkan dan masih perlu pembahasan, merupakan pertanyaan yang perlu dianalisis
lebih lanjut. Namun, menurut Harun Nasution, uraian tentang ittihad banyak terdapat di
dalam buku karangan orientalis.
Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan Tuhan. Antara yang mencintai
dengan yang dicintai menyatu, baik substansi maupun perbuatannya. Dalam paparan Harun
Nasution, ittihad adalah satu tingkatan ketika seorang sufi telah merasa dirinya bersatu
dengan Tuhan, satu tingkatan dimana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu,
sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan kata-kata, “Hai,
aku.” Dengan mengutip A.R. Al-Baidawi, Harun menjelaskan bahwa dalam ittihad, yang
dilihat hanya satu wujud yang berpisah satu dari yang lain. Karena yang dilihat dan
dirasakan hanya satu wujud, dalam ittihad bisa terjadi pertukaran antara yang mencintai
yang dicintai, atau tegasnya antara sufi dan Tuhan.
Dengan fana’ –nya, Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi ke hadirat Tuhan.
Bahwa ia telah berada dekat pada Tuhan dapat dilihat dari syathahat yang diucapkannya.
Syatahahat adalah ucapan-ucapan yang dkeluarkan oleh sufi ketika ia mulai berada di pintu
gerbang ittihad. Ucapan-ucapan demikian belum pernah didengar dari sufi sebelum Abu
Yazid, umpamanya,
�ر� ف�ق�ي �د� ع�ب �ا �ن ف�أ �ك� ل ;ي� ب ح� م�ن� �ع�ج�ب� �ت أ ل�س�ت�
�ر� ق�د�ي م�ل�ك� �ت� �ن و�أ �ي� ل ;ك� ب ح� م�ن� �ع�ج�ب� �ت أ ;ي� �ن �ك و�ل
“Aku tidak heran terhadap cintaku pada-Mu karena aku adalah hamba
yang hina, tetapi aku heran terhadap cinta-Mu kepadaku, karena Engkau
adalah Raja Mahakuasa.
Tatkala berada dalam tahapan ittihad, Abu Yazid berkata,
ك� �ر� �ق�ي� غ�ي ل �ه�م� خ� �ل �ه�م� ك �ن �د� إ �ز�ي �ا ي ب� �ا أ ق�ال� : ي
�ت� �ن �ا أ �ن �ا و�أ �ن �ت� أ �ن : ف�أ ف�ق�ل�ت�
“Tuhan berkata, ‘Hai Abu Yazid! Mereka semua, kecuali engkau, adalah makhluk.’
Aku pun berkata, Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau.”
Selanjutnya Abu Yazid berkata lagi,
�م�ة� و�اح�د�ة� و�ص�ار� �ل �اج�ة� ف�ص�ار� الك �ق�ط�ع� الم�ن ف�ان
�ا �ه�: ي ، ف�ق�ل�ت� ب �ت� �ن �ا أ �ل; و�اح�د�ا. ف�ق�ال� ل�ي: ي �الك �ل� ب الك
د� ق�ال� �ا الف�ر� �ن د�. ق�ل�ت� : أ �ت� الف�ر� �ن �ا، ف�ق�ال� ل�ي: أ �ن أ
�ا �ن �ا أ �ن : أ �ت� �ن �ت� أ �ن ل�ي: أ
“Konversasi pun terputus, kata menjadi satu, bahkan seluruhnya menjadi
satu. Iapun berkata, ‘Hai engkau’. Aku pun dengan perantaraan-Nya,
menjawab, ‘Hai, Aku.’ Ia berkata, ‘Engkaulah yang satu’. Aku menjawab,
‘akulah yang satu’. Ia berkata lagi, ‘Engkau adalah Engkau’. Aku balik
menjawab, ‘Aku adalah aku’.”
Sehabis shalat subuh Abu Yazid pernah berucap,
�ي �د�ن �ا ف�اع�ب �ن � أ �ال �ه� إ �ل � إ �ا الله� ال �ن ;ي� أ �ن إ
“Sesungguhnya Aku adalah Allah. Tidak ada Tuhan selain aku, maka
sembahlah aku.”
Suatu ketika, seseorang melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu. Abu Yazid
bertanya, “siapa yang engkau cari?” orang itu menjawab, “Abu Yazid.” Abu Yazid berkata,
“pergilah, di rumah ini tidak ada Abu Yazid, kecuali Allah yang Mahakuasa dan
Mahatinggi.”
Ucapan-uicapan Abu Yazid diatas kalau didengar secara sepintas akan memberikan
kesan bahwa ia sudah syirik kepada Allah. Oleh karena itu, dalam sejarah, diantara para
sufi, ada yang ditangkap dan dipenjarakan disebabkan oleh ucapannya yang
membingungkan.
D. ABU MANSYUR AL-HALLAJ
1. Riwayat Hidup Al-Hallaj
Nama lengkap Al-Hallaj adalah Abu Mughist Al-Husain bin Manshur bin
Muhammad Al-Baidhawi. Ia lahir di Baidha, sebuah kota kecil di wilayah Persia, pada tahun
244 H/255 M. Ia tumbuh dewasa dikota Wasith, dekat Baghdad. Pada udia 16 tahun, ia
belajar pada seorang sufi terkenal saat itu, yaitu Sahl bin Abdullah Tusturi di Ahwaz. Dua
tahun kemudian, ia pergi ke Bashrah dan berguru kepada ‘Amr Al-Makki yang juga seorang
sufi. Pada tahun 878 M, ia masuk ke kota Baghdad dan belajar kepada Al-Junaid. Setelah
itu, ia pergi mengembara dari satu negeri ke negeri lain untuk menambah pengetahuan dan
pengalaman dalam ilmu tasawuf. Ia digelari Al-Hallaj karena penghidupannya yang
diperoleh dari memintal wol.
Dalam semua perjalanan dan pengembaraannya ke berbagai kawasan Islam, seperti
khurasan, Ahwaz, India, Turkistan, dan Mekah, Al-Hallaj banyak memperoleh pengikut. Ia
kemudia kembali ke Baghdad pada tahun 196 H/909 M. Di Baghdad, para pengikutnya
semakin bertambah banyak karena kecaman-kecamannya terhadap kebobrokan pemerintah
yang berkuasa pada waktu itu. Secara kebetulan, ia bersahabat dengan kepala rumah tangga
istana, Nash Al-Qusyairi, yang mengingatkan system tata usaha yang baik dan pemerintahan
yang bersih.
Al-Hallaj selalu mendorong sahabatnya untuk melakukan perbaikan dalam
pemerintahan dan selalu melontarkan kritik terhadap penyelewengan-penyelewengan yang
terjadi. Gagasan ‘pemerintahan yang bersih’ dari Nash Al-Qushuri dan Al-Hallaj ini jelas
berbahaya karena khalifah boleh dikatakan tidak memiliki kekuasaan yang nyata dan hanya
merupakan lambang. Pada waktu yang sama aliran-aliran keagamaan dan tasawuf tumbuh
dengan subur. Oleh karena itu, pemerintah sangat khawatir terhadap kecaman-kecamannya
yang sangat keras dan pengaruh sufi kedalam struktur politik.
Oleh karena itu ucapan Al-Hallaj, “Ana Al-Haqq” yang konon tidak bisa dimaafkan
para ulama fiqh dan dianggap sebagai ucapan kemurtadan, dijadikan alasan untuk
menangkap dan memenjarakannya. Setahun kemudian, ia dapat meloloskan diri dari penjara
berkat pertolongan sopir penjara. Akan tetapi empat tahun kemudian, ia tertangkap lagi di
kota Sus.
Setelah dipenjara selama delapan tahun, Al-Hallaj dihukum gantung, sebelum
digantung, ia dicambuk seribu kali, tetapi ia tidak mengaduh kesakitan, lalu kepalanya
dipenggal. Sebelum dipenggal, ia meminta waktu untuk melakukan shalat dua rakaat.
Setelah shalat, kaki dan tangannya dipotong, badannya digulung dalam tikar bambu, lalu
dibakar dan abunya dibuang ke sungai, sedangkan kepalanya dibawa ke Khurasan untuk
dipertontonkan. Akhirnya Al-Hallaj wafat pada tahun 922 M.
Kematian tragis Al-Hallaj yang tampak seperti dongeng tidak membuat gentar para
pengikutnya. Ajarannya masih tetap berkembang. Terbukti setelah satu abad kematiannya,
di Irak ada 4.000 orang yang menamakan dirinya ‘Hallajiah’. Di sisi lain, pengaruhnya
sangat besar terhadap para pengikutnya. Ia dianggap mempunyai hubungan dengan gerakan
Qaramitah.
2. Ajaran Tasawuf Al-Hallaj
Diantara ajaran tasawuf Al-Hallaj yang paling terkenal adalah al-hulul dan asy-
syuhud, yang kemudian melahirkan paham wihdat al-wujud (kesatuan wujud) yang
dikembangkan Ibnu ‘Arabi. Al-Hallaj memang pernah mengaku bersatu dengan Tuhan
(hulul). Kata al-hulul, berdasarkan pengertian bahasa, adalah menempati suatu tempat.
Adapun menurut istilah ilmu tasawuf, al-hulul berarti paham yang mengatakan bahwa
Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat didalamnya setelah
sifat-sifat kemanusiaan yang ada didalam tubuh itu dilenyapkan.
Al-Hallaj berpendapat bahwa dalam diri manusia sebenarnya terdapat sefat-sifat
ketuhanan. Ia menakwilkan ayat berikut,
Dan (ingatlah)ketika kami berfirman kepada para
malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam,” maka
sujudlah mereka, kecuali iblis; ia enggan dan takabur
dan ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.
Bahwa Allah memberi perintah kepada malaikat untuk sujud kepada Adam. Karena
yang berhak diberi sujud hanya Allah, Al-Hallaj memahami bahwa diri Adam sebenarnya
ada unsur ketuhanan. Ia berpendapat demikian karena sebelum menjadikan makhluk, Tuhan
melihat Dzat-Nya sendiri dan Ia pun cinta kepada Dzat-Nya sendiri, cinta yang tak dapat
disifatkan, dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari yang banyak ini. Ia
mengeluarkan sesuatu yang tiada dalam bentuk copy diri-Nya yang mempunyai segala sifat
dan nama. Bentuk copy ini adalah Adam, pada diri Adam lah, Allah muncul.
Teori diatas tampak dalam syairnya,
سر� سنا الهوته۩سبحان من اظهر ناسوته
الثاقب
في صورة األكل۩ثم� بدا لخلقه ظاهرا
والشارب
Maha suci Dzat yang sifat kemanusiaan-Nya membuka rahasia ketuhanan-Nya yang
gemilang. Kemudian kelihatan bagi makhluk-Nya dengan nyata dalam bentuk
manusia yang makan dan minum.
Melalui syair diatas, tampaknya Al-Hallaj hendak memperlihatkan bahwa Tuhan
mempunyai dua sifat dasar, yaitu sifat ketuhanan-Nya sendiri (lahut) dan sifat kemanusiaan
(nasut). Jika nasut Allah mengandung tabiat seperti manusia yang terdiri dari roh dan jasad,
lahut tidak dapat bersatu dengan manusia, kecuali dengan cara menempati tubuh setelah
sifat-sifat kemnusiaanya hilang, seperti yang terjadi pada diri Isa. Oleh karena itu, Al-Hallaj
mengatakan dalam syairnya,
كما روحى فى روحك الخمرة مزجت بالماء تمزجالزالل
مسنى شيئ مسك حال ۩ فإذا كل فى انا انت فإذاانا اهوى ومن اهوى من بدنا ۩ انا حللنا روحان نحن
ابصرته ابصرتنى ابصرتنا ۩ فإذا أبصرته فإذا
Jiwamu disatukan dengan jiwaku sebagaimana anggur disatukan dengan air suci.
Dan jika ada sesuatu yang menyentuh Engkau, ia menyentuh aku pula, dan ketika itu
dalam tiap hal Engkau adalah aku. Aku adalah Ia kucinta dan Ia yang kucintai
adalah aku, kami adalah dua jiwa yang bertempat dalam satu tubuh. Jika engkau
lihat aku, engkau lihat Ia, dan jika Engkau lihat Ia, engkau lihat kami.
Berdasarkan syair diatas, dapt dipahami bahwa persatuan antara Tuhan dan manusia
dapat terjdi dengan mengambil bentuk hulul. Agar bersatu, manusia harus menghilangkan
sifat-sifat kemanusiaannya. Setelah sifat-sifat kemanusiaannya hilang dan yang ada hanya
sifat ketuhanan dalam dirinya, di situlah Tuhan dapat mengambil tempat dalam dirinya, dan
ketika itu roh Tuhan dan roh manusia bersatu dalam tubuh manusia.
Menurut Al-Hallaj, pada hulul terkandung kefanaan total kehendak manusia dalam
kehendak ilahi sehingga setiap kehendaknya adalah kehendak Tuhan, demikian juga
tindakannya. Namun, dilain waktu, Al-Hallaj mengatakan,
“Barang siapa mengira bahwa ketuhanan berpadu jadi satu dengan kemanusiaan
ataupun kemanusiaan berpadu dengan ketuhanan, kafirlah ia. Sebab, Allah mandiri
dalam Dzat maupun sifat-Nya dari dzat dan sifat makhluk. Ia tidak sekali-kali
menyerupai makhluk-Nya dan mereka pun tidak sekali-kali menyerupai-Nya.”
Dengan demikian, Al-Hallaj sebenarnya tidak mengakui bahwa dirinya Tuhan dan
tidak juga tidak sama dengan Tuhan, seperti terlihat dalam syairnya,
ق۩انا سر� الحق� ما انا الحق بل انا حق� ففر�
بينناAku adalah rahasia yang mahabenar dan bukanlah yang mahabenar itu aku. Aku
hanya satu dari yang benar maka bedakanlah antara kami.
Dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa hulul yang terjadi pada Al-Hallaj tidaklah
real karena memberi pengertian secara jelas adanya perbedaan antara hamba dan Tuhan.
Dengan demikian, hulul yang terjadi hanya kesadaran psikis yang berlangsung pada fana’,
atau menurut ungkapannya, sekadar terlebarnya nasut dalam lahut, atau dapat dikatakan
antara keduanya tetap ada perbedaan, seperti dalam syairnya, “Air tidak dapat menjadi
anggur meskipun keduanya telah bercampur aduk.”
TASAWUF FALSAFI
A. PENGERTIAN DAN PERKEMBANGAN TASAWUF FALSAFI
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis
dan visi rasional pengasasnya. Berbeda dengan tasawuf akhlaki, tasawuf falsafi
menggunakan terminology filosofis dalam pengungkapannya. Terminology falsafi tersebut
berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat yang telah memengaruhi para tokohnya.
Menurut At-Taftazani, tasawuf falsafi mulai muncul dengan jelas dalam khazanah
Islam sejak abad ke enam Hijriah. Meskipun para tokohnya baru dikenal seabad kemudian,
sejak abad keenam, tasawuf jenis ini terus hidup dan berkembang, teruatama dikalangan
para sufi yang juga filosof, samapi menjelang akhir-akhir ini. Adanya pemaduan antara
tasawuf dan filsafat dalam ajaran tasawuf falsafi ini menjadikan ajaran tasawuf-tasawuf ini
bercampur dengan sejumlah ajaran filsafat diluar Islam, seperti Yunani, Persia, India, dan
agama Nashrani. Akan tetapi, orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang. Sebab,
meskipun mempunyai latar belakang kebuadayaan dan pengetahuan yang berbeda dan
beraneka ragam, seiring dengan ekspansi Islam yang telah meluas pada waktu itu, para
tokohnya tetap berusaha menjaga kemandirian ajaran aliran mereka, teruatama bila dikaitkan
dengan kedudukannya sebagai umat Islam. Sikap ini dapat menjelaskan kepada kita
mengapa para tokoh tasawuf jenis ini begitu gigih mengompromikan ajaran-ajaran filsafat
yang berasal dari luar Islam kedalam tasawuf mereka, serta menggunakan terminology-
terminologi filsafat, tetapi maknanya telah disesuaikan dengan ajaran tasawuf yang mereka
anut.
Masih menurut At-Taftani, ciri umum tasawuf falsafi adalah ajarannya yang samar-
samar akibat banyaknya istilah khusus yang hanya dapat dipahami oleh mereka yang
memahami ajaran tasawuf jenis ini. Tasawuf falsafi tidak dapat dipandang sebagai filsafat
karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq), tetapi tidak dapat pula
dikategorikan sebagi tasawuf dalam pengertiannya yang murni karena ajarannya sering
diungkapkan dalam bahasa filsafat dan lebih berorientasi pada penteisme.
Para sufi yang juga filosof pendiri ajaran tasawuf ini mengenal dengan baik filsafat
Yunani serta berbagai alirannya, seperti Socrates, Plato, Aristoteles, aliran Stoa, dan aliran
Neo Platonisme dengan filsafatnya yang seringkali disebut hermenetisme, yang karya-
karyanya banyak diterjemahkan kedalam bahasa Arab, dan filsafat-filsafat timur kuno, baik
dari Persia maupun India, serta filsafat-filsafat Islam, seperti yang diajarkan oleh Al-Farabi
dan Ibnu Sina. Mereka pun dipengaruhi aliran batiniah sekte Isma’illiyah aliran syi’ah, dan
risalah Ikhwan Ah-Shafa.
B. Tokoh-Tokoh Tasawuf Falsafi
Diantara tokoh-tokoh tasawuf falsafi adalah Ibn Arabi, Al-Jili, Ibn Sab’in, dan Ibnu
Masarrah.
1. Ibn ‘Arabi
a. Biografi singkat Ibn ‘Arabi
Nama lengkap Ibn’Arabi adalah Muhammad bin Ali bin Ahmad bin Abdullah Ath-
Tha’I Al-Haitami. Ia lahir di Murcia, Andalusia Tenggara, Spanyol, tahun 50 H dan berasal
dari keluarga berpangkat, hartawan dan ilmuwan. Namanya biasa disebut tanpa ‘al’ untuk
membedakan Abu Bakar Ibn Al-‘Arabi, seorang qadhi dari Seville yang wafat tahun 543 H.
di Seville (Spanyol), ia mempelajari Al-Quran, Al-hadis dan Fiqh pada sejumlah murid
seorang faqih Andalusia terkenal, yakni Ibn Hazm Azh-Zhahiri.
Setelah berusia 30 tahun, ia mulai berkelana ke berbagai kawasan Andalusia dan
kawasan Islam bagian barat. Diantara deretan gurunya, tercatat nama-nama, seperti Abu
Madyan Al-Ghauts At-Talimsari dan Yasmin Musyaniyah (seorang wali dari kalangan
wanita). Keduanya banyak memengaruhi ajaran-ajaran Ibn Arabi. Dikabarkan, ia pun pernah
berjumpa dengan Ibn Rusyd, filosof muslim dan tabin istana dinasti Barbar di alomohad di
Kordova. Iapun dikabarkan mengunjungi Al-Mariyyah yang menjadi pusat madrasah Ibn
Masarrah, seorang sufi falsafi yang cukup berpengaruh dan memperoleh banyak pengaruh di
Andalusia.
Diantara karya monumentalnya adalah Al-Futuhat Al-Makiyyah yang ditulis pada
tahun 1201 tatkala ia sedang menunaikan ibadah haji. Karya lainnya adalah Tarjuman Al-
Asuywaq, yang ditulisnya untuk mengenang kecantikan, ketakwaan, dan kepintaran seorang
gadis cantik dari keluarga seorang sufi dari Persia. Karya-karya lainnya, sebagaimana
dilaporkan oleh Maolavi, adalah masyahid Al-Asrar, Mathali’ Al-Anwar Al-Ilahiyyah, Hilyat
Al-Abdal, Kimiya As-Sa’adat, Muhadharat Al-Abrar, Kitab Al-Akhlaq, Majmu’ Ar-Rasa’il
Al-Ilahiyyah, Mawaqi An-Nujum, Al-Jam’wa At-Tafshil Fi Haqa’iq At Tan-zil, Al-Ma’rifah
Al-Ilahiyyah, dan Al-Isra’ila Maqam Al-Atsna.
b. Ajaran Tasawuf Ibn Arabi
Ajaran sentral Ibn Arabi adalah tentang wahdat al-wujud (kesatuan wujud).
Meskipun demikian, wahdat al-wujud yang dipakai untuk menyebut ajaran sentralnya itu
tidaklah berasal dari dia, tetapi berasal dari Ibnu Taimiyah, tokoh yang paling keras dalam
mengecam dan mengkritik ajaran sentralnya tersebut, atau setidaknya tokoh itulah yang
telah berjasa dalam mempopulerkan kedalam masyarakat Islam, meskipun tujuannya adalah
negative. Disamping itu, meskipun semua orang sepakat menggunakan istilah wahdat al-
wujud untuk menyebut ajaran sentral Ibn Arabi, mereka berbeda pendapat dalam
memformulasikan pengertian wahdat al-wujud.
Menurut Ibn Taimiyah, wahdat al-wujud adalah penyamaan Tuhan dengan alam.
Menurut penjelasannya, orang-orang yang mempunyai paham wahdat al-wujud mengatakan
bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu dan wajib al-wujud yang dimiliki oleh khaliq
adalah juga mumkin al-wujud yang dimiliki oleh makhluk. Selain itu, orang-orang yang
mempunyai paham wahdat al-wujud itu juga mengatakan bahwa wujud alam sama dengan
wujud Tuhan, tidak ada perbedaan.
Dari pengertian yang dikemukakan tersebut, Ibn Taimiyah telah menilai ajaran
sentral Ibn ‘Arabi itu dari aspek tasybih-nya (penyerupaan khaliq dengan makhluk) saja,
tetapi belum menilainya dari aspek tansih-nya (penyucian khaliq). Sebab, kedua aspek itu
terdapat dalam ajaran Ibn ‘Arabi. Akan tetapi, perlu disadari bahwa kata-kata Ibn ‘Arabi pun
banyak yang membedakan antara khaliq dengan makhluk dan antara Tuhan dengan alam.
Menurut Ibn ‘Arabi, wujud semua yang ada ini hanya satu dan wujud makhluk pada
hakikatnya adalah wujud khaliq pula. Tidak ada perbedaan antara keduanya (kahliq dan
makhluq) dari segi hakikat. Adapun kalau ada yang mengira bahwa antara wujud kahliq dan
makhluq ada perbedaan, hal itu dilihat dari sudut pancaindera lahir dan akal yang terbatas
kemampuannya dalam menangkap hakikat yang ada pada dzat-Nya dari kesatuan dzatiah
yang segala sesuatu berhimpun pada-Nya. Hal ini tersimpul dalam ucapan Ibn ‘Arabi,
“Mahasuci Tuhan yang telah menjadikan segala sesuatu dan Dia sendiri adalah
hakikat segala sesuatu
Menurut Ibn ‘Arabi wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah. Allah adalah
hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara wujud yang qadim, yang disebut khaliq dan wujud
baru yang disebut makhluq. Tidak ada perbedaan antara a’bid (penyembah) dan ma’bud
(yang disembah). Bahkan, antara yang menyembah dan yang disembah adalah satu.
Perbedaan hanya pada rupa dan ragam dari hakikat yang satu. Untuk pernyataan tersebut,
Ibn ‘Arabi mengemukakannya lewat syairnya,
Hamba adalah Tuhan, dan Tuhan adalah hamba. Demi syu’ur (perasaan)ku,
siapakah yang mukallaf? Jika engkau katakan hamba, padahal dia (pada
hakikatnya) Tuhan juga. Atau engkau katakan Tuhan, lalu siapa yang dibebani
taklif?
Kalau antara kahliq dan makhluq bersatu dalam wujudnya, mengapa terlihat dua? Ibn
‘Arabi menjawab bahwa penyebabnya manusia tidak memandangnya dari sisi yang satu,
tetapi memandang keudanya dengan pandangan bahwa keduanya adalah khaliq dari sisi
yang satu dan maklhkuq dari sisi yang lain. Jika mereka memandang keduanya dari sisi yang
satu, atau keduanya adalah dua sisi untuk hakikat yang satu, mereka pasti dapat mengetahui
hakikat keduanya, yakni dzat-Nya satu yang tidak terbilang dan berpisah.
Sehubungan dengan hal ini, Ibn’Arabi menyatakan dalam syairnya,
Pada satu sisi, Al-Haq adalah mahkluq, maka pikirlah. Pada sisi lain, Dia bukanlah
makhluk, maka renungkanlah. Siapa saja yang menangkap apa yang aku katakan
penglihatannya tidak akan pernah kabur. Tidak akan ada yang dapat
menangkapnya, kecuali orang yang memiliki penglihatan. Satukan dan pisahkan
(bedakan) sebab ‘ain (hakikat) itu sesungguhnya hanya satu. Hakikat itu adalah
yang banyak, yang tidak kekal (tetap), dan yang tidak pula buyar.
Dari keterangan diatas, terkesan bahwa wujud Tuhan adalah juga wujud alam dan
wujud Tuhan bersatu dengan wujud alam yang dalam istilah Barat disebut panteisme, yang
didefinisikan Hanry C. Theissen seperti berikut ini.
Panteisme adalah teori yang berpendapat bahwa segala sesuatu yang terbatas adalah
aspek modifikasi atau bagian belaka dari satu wujud yang kekal dan ada dengan
sendirinya. Ia memandang Tuhan sebagai satu dengan alam (natural). Tuhan adalah
semuanya, semuanya adalah Tuhan. Ia muncul dalam berbagai bentuk masa kini
yang diantaranya mempunyai pula unsur-unsur atestik, politeistik, dan teistik.
Apabila dilihat dari segi adanya kesamaan antara wujud Tuhan dan wujud alam dan
wujud Tuhan bersatu dengan alam, kemudian dibandingkan dengan pengertian panteisme di
atas, pemahaman Ibn Taimiyah tentang wahdat al-wujud ada benarnya. Meskipun demikian,
perlu pula diingat di sini bahwa apabila Ibn ‘Arabi