ilmu negara part 2
TRANSCRIPT
irwanasolole
BAB I
PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN ILMU NEGARA
DENGAN BEBERAPA PEMIKIRNYA
YUROMREPOPI
{Yunani Purba – Romawi – Middle Age – Renaissance – Positive State –
Politik Independence}
A. Yunani Purba
Sepanjang pengetahuan menurut pandangan dunia keilmuan barat
(Eropa), penyelidikan tentang negara timbul dan berkembang setelah di
Yunani Purba mengalami pemerintahan yang demokratis, di mana setiap
orang bebas untuk menyatakan hasil pikiran dan isi hatinya, sehingga
penyelidikan tentang ilmu negara bertepatan sekali dengan kebudayaan
Yunani Purba.
Pada masa itu negara-negara di kebudayaan Yunani Purba, masih bersifat
Polis-polis (polis berasal dari kata politeia atau politica) atau The Graek
State; yang pada mulanya merupakan suatu tempat di pucak bukit, seiring
dengan waktu semakin banyaklah orang-orang yang bertempat tinggal
bersama di sana, akhirnya disekeliling rumah-rumah para warga (citizen)
dibuatlah benteng sebagai tembok pertahanan untuk menjaga serangan
musuh dari luar.
Pemerintahan dalam polis merupakan hal yang tertinggi karena tidak ada
lagi suatu kekuasaan organisasi lain yang memerintah di sana, sistem
yang terlaksana adalah ‘direct government by all peoples’, hal demikian
terjadi karena identifikasi negara dalam pengertian kota dengan wilayah
terbatas dan penduduk yang berkuantitas sedikit, sehingga polis
kemudian diidentikkan dengan masyarakat negara dalam arti sebagai
negara kota (Standstaat atau Citystate) yang dalam istilah lain disebut
juga dengan Athenian State.
Selain turut serta secara langsung dalam pemerintahan, rakyat (waga
kota atau citizen) juga yang melakukan pengawasan dengan jalan
musyawarah rakyat (aclesia yang dalam istilah romawi disebut cometia).
Beberapa pemikir atau filsuf yang hidup pada masa itu, antara lain
SPAEZeP (Sokrates, Plato, Aristoteles, Epicurus, Zeno dan Polibius).
470-399 SM) : dengan metode dialektis ia berpandangan bahwa negara
melaksanakan dan menerapkan hukum objektif demi keadilan bagi
kepentingan umum, keadilan sejati sebagai dasar pedoman negara. Di
tengah keadaan dan suasana yang memperkosa hukum dan pri
kemanusiaan yang amat sangat membahayakan negara, Sokrates laksana
penjelmaan ‘Sri Rama’ yang berjuang memberantas dan mengikisnya
dangan tanpa gentar kapan dan di mana saja ia berada. Karena ajarannya
yang dianggap membahayakan negara, akhirnya ia dihukum mati (399
SM) dengan cara meminum racun oleh negara yang ia taati, sebab walau
bagaimana pun negara itu harus tetap dipatuhi walaupun negara itu
dalam keadaan rusak dan harus diperbaiki, ungkapan Sokrates ini terkenal
dengan semboyan ‘Right or Wrong my Country’.Sokrates (
Plato (429-347 SM) : lahir di Athena dari kalangan keluarga bangsawan
dan berpendidikan tinggi, buku karangannya berjudul Politeia (The
Republik / Negara), Politicos (The Statement / Ahli Negara) dan Nomoi
(The Law / UU). Plato membagi dunia menjadi ; Dunia Cita atau Kenyataan
Sejati (Logika, Etika, Estetika) & Dunia Alam atau Fana (Pikir, Rasa, Mau).
Agar dunia fana dapat bergabung dan menjadi dunia cita maka Pimpinan
Negara haruslah seorang Philosopher King.
Plato membuat Siklus Negara yaitu : Aristokrasi (Cerdik Pandai) – Oligarchi
(Gol. Kecil) – Timokrasi (Kekayaan) – Demokrasi – Tirani (Diktator) dan
kembali ke Aristokrasi lagi, kemudian seterusnya.
The Ideal Form : Monarchi, Aristokrasi, Demokrasi
The Corruption Form : Tirani, Oligarchi, Mobokrasi
Aristoteles (384-322 SM) : Murid Plato dari Kerajaan Mecedonia,
menggunakan metode Induktif Empiris sehingga oleh ilmuan modern
disebut sebagai ‘Empiris Sains Pather’, buku karangannya adalah Ethica /
Nichomachean Ethics dan Politica (yang terdiri dari delapan buku).
Aristoteles menyatakan bahwa Fungsi negara adalah untuk
menyelenggarakan kepentingan warga negara agar hidup baik dan
bahagia berasarkan keadilan. Di antara ungkapan terkenal Aristoteles
adalah ia menyatakan ‘man is zoon politicon’, ia juga merupakan
penganut prinsip universalitas.
Mengenai bentuk negara, Aristotelas pernah mengadakan penyelidikan
pada 150-200 buah konstitusi polis-polis di Yunani, kesimpulan yang
didapat menyatakan bahwa terdapat tiga bentuk dasar, yaitu bentuk cita
(ideal form), bentuk pemerosotan (corruption or degenerate form), dan
bentuk gabungan antara bentuk cita dan pemerosotan (mixed form).
Terdapat tiga bentuk negara yang tergolong ke dalam bentuk cita, dengan
kriterium atau ukuran kuantitas orang yang memerintah sebagai
pembedanya, yaitu :
1. ‘one man rule’ atau pemerintahan satu orang ‘monarchi’
2. ‘a few man rule’ atau pemerintahan sedikit / beberapa orang
‘aristokrasi’
3. ‘the many mans or the peoples rule’ atau pemerintahan orang banyak
untuk kepentingan umum (politea, polity atau republik)
Untuk bentuk pemerosotan juga terdapat tiga macam bentuk negara,
dengan kriterium atau ukuran kuantitatif berdasarkan dengan tujuan yang
hendak dicapai, yaitu :
1. kepentingan satu orang atau sendiri atau pribadi, atau pemerintahan
tirani ‘despotie’
2. kepentingan segolongan atau beberapa orang, atau pemerintahan
oligarchi atau clique form atau plutocrasi (plutos berarti kekayaan, cratia
atau cratein berarti memerintah)
3. untuk kepentingan dan atas nama rakyat seluruhnya ‘democratie’
Dengan dijulukinya Aristoteles sebagai ‘bapak ilmu pengetahuan empiris’
dikonstalasi, bahwa di dalam kenyataannya, bentuk negara cita tidak
pernah terlaksana, melainkan selalu menjadi bentuk campuran atau
malah pemerosotan, atas pandangan tersebut Aristoteles juga dianggap
sebagai seorang perintis sosiologi hukum.
Epicurus (342-271 SM) : seorang ahli pikir dan hukum yang dilahirkan di
Samos, mendapat pendidikan Yunani serta hidup dalam keadaan
keruntuhan negara-negara Yunani setelah menjadi jajahan Macedonia.
Dan ketika Alexander The Graet (Iskandar Agung) wafat, maka kerajaan
dunia itu terpecah-pecah, sehingga timbul perserikatan kota-kota di
Yunani seperti Atcoha dan Archacia, hingga pada masa Yunani berada di
bawah imperium Romawi.
Pendapatnya yang menyimpang dari pendapat umum di Yunani waktu itu
adalah pernyataannya bahwa masyarakat itu ada, karena adanya
kepentingan manusia, sehingga yang berkepentingan bukanlah
masyarakatnya sebagai satu kesatuan, tetapi manusia-manusia itu yang
merupakan bagian daripada masyarakat, karena pandangan ini ia
dianggap sebagai penganut paham individualis.
300 SM) :Zeno (
Zeno juga hidup dalam keadaan serba lesu dan morat-marit, pemimpin
dari aliran filsafat Stoazijnen (stoa; berarti jalan pasar yang bergambar), ia
memberikan dan mengajarkan pahamnya kepada para murid dengan
mengambil tempat di jalan yang bergambar dan banyak tonggak
temboknya, hasil dari aliran ini menimbulkan kebudayaan yunani yang
disebut ‘hukum alam’ atau hukum asasi yang ajarannya terbagi dua, yaitu
:
1. kodrat manusia ; dilihat kepada sifat-sifat manusia ialah kodrat yang
terletak dalam budi manusia yang merupakan zat hakikat sedalam-
dalamnya dari manusia, dan budi itu bersifat tradisional.
2. kodrat benda ; kodrat benda yang timbul di dalam kebudayaan Yunani,
ialah kodrat yang mempunyai pengertian sentral kosmos sebagai lawan
daripada chaos, sebagaimana Sokrates, Plato dan Aristoteles, pelukisan
dunia sebagai kosmos itu merupakan suatu tata susunan satu kesatuan
yang teratur rapi. Sedangkan dalam bentuk chaos itu dunia merupakan
paksaan yang tidak ada ‘ordening’ dan tidak mengenal tata sehingga di
dalam masyarakat terdapat kekacauan.
Paham dan cita-cita Zeno amat disukai oleh pimpinan negara Roma,
sewaktu mereka menyusun imperium Romawi yang terdiri dari berbagai
macam bangsa yang diperbolehkan memelihara kebudayaannya masing-
masing dan tidak perlu mencintai ibu negara Roma, asalkan mereka
tunduk dan mentaati segala ketentuan peraturan Roma. Paham Zeno
yang tidak terbatas pada negara kota, melainkan bersifat negara dunia
sehingga terdapat universalisme (kepentingan umum, individu bagian
masyarakat).
Polibius (204-122 SM) : seorang ahli negara dan sejarah dari Megalopolis,
pendapat pendidikan di lapangan sejarah dan kenegaraan Yunani hingga
bekerja sebagai ahli politik negara Yunani. Datang ke Roma sebagai
tawanan perang Romawi, namun mendapat kesempatan mempelajari dan
meneliti susunan sistem pemerintahan serta jalannya perkembangan
negara Romawi hingga berhasil mengarang buku sejarah Romawi
sebanyak empat puluh jilid.
Polibius merumuskan siklus negara mulai dari Monarchi, Tirani, Aristokrasi,
Oligarchi, Demokrasi, Okhlokrasi dan kembali lagi ke Monarchi. Ia juga
menyatakan tidak ada bentuk negara abadi dan terus akan selalu berubah
menurut siklus karena adanya sifat kemerosotan manusia, dalam hal
mana pada satu sisi dan kesempatan sebagian orang menginginkan
persamaan dan sebagian lainnya menghendaki hal yang sebaliknya.
B. Romawi dalam 5 masa KRPDC (Kerajaan, Republik, Prinsipat, Dominat
dan pada masa Cicero)
1. Kerajaan (Koningschap), negara dipimpin seorang raja sehingga bentuk
negara merupakan monarchi.
2. Republik atau republiek (res berarti kepentingan dan publica berarti
umum, sehingga republik merupakan sistem pemerintahan yang
menjalankan kepentingan umum). Biasanya pemerintahan dipegang oleh
dua orang konsul, akan tetapi bilamana di dalam keadaan bahaya atau
darurat, seperti adanya bahaya perang, bencana alam, paceklik atau
sejenisnya, maka para warganya memilih, menunjuk, dan mengangkat
seseorang untuk memegang segala kekuasaan di dalam pemerintahan
selama dan hingga keadaan bahaya dapat teratasi, kondisi ini biasanya
malahirkan kediktatoran, setelah itu rakyat menyerahkan kekuasaan
kembali kepada dua orang konsul, seperti Cincinnatus yang pernah
menjadi diktator selama enam bulan, setelah kondisi normal ia
mengembalikan kekuasaan dan kembali menjadi petani biasa.
3. Prinsipat ; masa ini dimulai dengan masa Caesar yang memerintah
mutlak berdasarkan perwakilan yang menghisap (Absorptieve
Representation), agar mendapatkan legitimasi maka dipakailah Konstruksi
Ulpianus “Kedaulatan Rakyat diberikan kepada raja melalui perjanjian di
dalam Leg Regia” selain itu terdapat Konstruksi Caesarismus yang
menyatakan bahwa kepentingan umum mengatasi undang-undang, dan
raja sendiri adalah penentu apa yang dinamakan dengan kepentingan
umum itu.
4. Dominat ; yaitu masa di mana para kaisar telah terang-terangan dan
tanpa malu menjadi raja yang mutlak serta bertindak menyeleweng
secara sewenang-wenag dalam memperkosa hukum dan menginjak-injak
pri kemanusiaan.
5. Cicero (106-43 SM) ; menulis buku berjudul De Republika (tentang
negara) dan De Legibus (tentang Undang-undang) yang melukiskan
pikiran ketatanegaraan pada masa imperium Romawi. Pahamnya menolak
pandangan Epicurus yang individualistik, pahamnya berdasarkan kepada
rasio yang murni, di mana hukum positif harus didasarkan kepada dalil-
dalil hukum alam, sehingga jika hukum positif bertentangan dengan
hukum alam, maka kekuatan mengikatnya pun lenyap. Seiring
perkembangan pertarungan politik di Romawi pada masa itu, di mana
Cicero merupakan salah satu pengikut dari partai Senat yang kalah, maka
bersama para tokoh partai Senat lainnya, ia pun dibuang dan meninggal
dunia di pembuangan karena dibunuh. Roma jatuh sewaktu diserbu kaum
Barbar Bangsa Jerman Kuno pada abad IV–V, sedangkan bagian baratnya
lenyap diserbu oleh kaum bangsa Jerman pada tahun 476, kemudian jatuh
pula bagian timur disebabkan penyerbuan oleh orang-orang Turki
(Kekhalifahan Turki Ustmani atau Ottoman) pada tahun 1453.
C. Masa Abad Pertengahan : dengan Tokoh AsTADAMar (Agustinus,
Thomas Aquino, Dante Alighieri dan Marsiglio di Padua)
Kebiasaan untuk memberi batas permulaan abad pertengahan dengan
tahun 476 saat runtuhnya Kerajaan Romawi Barat bagi sebagian ahli
adalah tidak tepat. Sebab Agustinus, seorang pemikir besar yang
menciptakan pandangan baru itu hidup setengah abad terlebih dahulu,
inghale praktek kenegaraan dan hukum ditutup dengan kodifikasi
‘Justinianus’ setengah abad kemudian di Romawi Timur.
Terjadilah kemudian sifat-sifat khas yang membentuk manusia abad
pertengahan, sebagaimana dilukiskan oleh Beerling bahwa manusia abad
pertengahan tak bebas bergantung kepada berbagai hal (kolektivitas),
dalam pandangan umum Eropa sendiri masa tersebut dinamai ‘the dark
ages’ yang oleh orang Inggris dianggap sebagai antitesis zaman
renaissance.
Abad pertengahan oleh Lamprecht, seorang ahli sejarah bangsa Jerman
dilukiskan sebagai ‘masa yang khas’. Pada mulanya dengan semakin
lebarnya pengaruh agama Kristen, penguasa-penguasa Romawi tak
mungkin lagi menghindarinya dan terpaksa menerima sebagai suatu
kekuatan yang nyata, sehingga timbullah problematika antara negara dan
gereja yang dalam perjalanannya gereja tumbuh menjadi sebagai faktor
utama dan berkuasa dalam susunan masyarakat serta kenegaraan.
Dimulai dari sini Eropa membentuk kepribadiannya untuk tahap zaman
pertengahan dan selanjutnya, pembentukan ini didorong pula oleh
tumbuh dan berkembang pesatnya kekuatan ‘Timur’ yang sedang
merekah (zaman keemasan bagi kebudayaan Islâm dengan sistem
pemerintahan kekhalifahannya).
Menurut Hegel, cara berpikir abad pertengahan adalah (teologis–
dogmatis) dan (theocratis–naturalis), selain itu terdapat beberapa tokoh
yang mewakili zaman ini, antara lain :
1. Agustinus (354-430) ; penyusun pemikiran baru abad pertengahan
dengan mengambil pikiran-pikiran masa Yunani Purba dan pikiran
kekristenan, pada usia lanjut ia diangkat menjadi uskup Hippo Regius di
Pantai Afrika Utara. Bukunya yang terkenal adalah Civitas Dei atau negara
Tuhan dan Civitas Terena (diabolis) atau negara setan.
Selanjutnya diuraikannya bahwa Civitas Terena merupakan hasil kerja
setan atau keduniawian yang bersifat kotor dan fana, sedangkan Civitas
Dei merupakan kerajaan Tuhan yang langgeng dan abadi, akan tetapi
semangat keduniawiannya terdapat dalam gereja Kristus sebagai wakil
dari Civitas Dei, Civitas Terena relatif menjadi baik bilamana tercapai
ampunan Tuhan dengan mengabdikan Civitas Terena kepada Civitas Dei,
sehingga terjadi percampuran antara agama, negara, ilmu pengetahuan,
kesenian dan sebagainya, konstelasi demikian menjadikan Civitas Terena
persiapan bagi Civitas Dei. Sebagaimana telah dijalankan oleh Konstantin
Theodisius di Konstantinopel.
2. Thomas Aquino (1225-1274) ; mengemukakan teori hukum alam
thomistis (thomistisch natuurrecht) yang pada mulanya tidak diindahkan
(diabaikan), tetapi kemudian menjadi dasar hukum yang berlaku bagi
golongan Katolik Roma. Di antara bukunya yang terkenal adalah ‘Summa
Theologica’ dan ‘de Regimene Proncipum’. Ia membagi asas hukum
menjadi dua jenis, yaitu Prinsipia Prima atau asas-asas umum yang
dengan sendirinya dimiliki oleh manusia yang berasio sejak saat
kelahirannya, mutlak diterima dan berlaku kapan serta di mana saja
seperti di dalam sepuluh perintah Tuhan (Tien Geboden atau The Ten
Command of God). Serta Principia Secundaria (asas turunan dari asas
umum) merupakan tafsiran prima yang dilakukan oleh manusia sendiri
menurut rasionya, bersifat selalu berubah-ubah, serta hanya berlaku pada
suatu tempat dan waktu tertentu. Seiring dengan itu, ia kemudian
membagi hukum menjadi empat golongan, yaitu :
a. Lex Aeterne (hukum abadi), yaitu rasio Tuhan sendiri yang mengatur
segala hal sesuai dengan tujuan dan sifatnya, karenanya menjadi sumber
dari segala hukum.
b. Lex Divina (hukum ketuhanan), yaitu sebagian kecil rasio Tuhan yang
diwahyukan kepada manusia.
c. Lex Naturalis (hukum alam), yaitu bagian dari lex divina yang dapat
ditangkap oleh rasio manusia atau merupakan penjelmaan dari lex
aeterna di dalam rasio manusia.
d. Hukum Positif, yaitu hukum yang berlaku dalam masyarakat.
Jika Agustinus berpendapat bahwa pada dasarnya hubungan antara
negara dan gereja terpisah satu sama lain, maka Thomas Aquino malah
menyatakan bahwa negara itu didukung dan dilindungi oleh gereja demi
tercapainya kemuliaan yang abadi.
3. Dante Alighieri (1265-1321) ; seorang penyair terkenal Italia yang
mendapat kedudukan dan jabatan tinggi di kota kelahirannya Florence,
pada masa Italia diliputi kemelut pertentangan dan perjuangan serta
kekacauan perebutan kekuasaan. Ia turut dalam perjuangan untuk
memperoleh kekuasaan antara golongan Neri dan Bianchi (golongan putih
yang ia ikuti). Golongan Chibelin ialah partai dari Kaisar melawan
golongan Neri atau Golongan Kaum Guelf dari partai Paus. Setelah Paus
Bonifacus yang dibantu Karel dari Valois Prancis berhasil memperoleh
kekuasaan, maka seluruh golongan putih termasuk Dante Alighieri diusir
dan dibuang ke Ravenna pada tanggal 27 Januari 1302, hingga menemui
ajalnya pada tahun 1321.
Sekitar tahun 1313 terbitlah bukunya ‘de Monarchia’ yang terbagi dalam
tiga bab, di mana ia memimpikan adanya suatu kerajaan dunia (lawan dari
kerajaan paus) guna menyelenggarakan perdamaian dunia dengan jalan
mengadakan Undang-undang yang sama bagi semua umat.
4. Marsiglio (1270-1340) ; ia yang juga disebut Marsilio lahir di kota
perdagangan Prancis bernama Padua yang juga sering disandingkan
menjadi nama belakangnya, Padua merupakan kota untuk mempelajari
falsafah Aristoteles yang menurut tafsiran berdiri di atas landasan
Averroesisme (Averroes adalah seorang Arab Muslim bernama asli Ibnu
Rosjid, yang berjasa menyampaikan ajaran Aristoteles ke Barat).
Dikota kelahirannya, ia memasuki golongan Ghibellin bersama dengan
William Occam (1280-1317) ia dikeluarkan dari gereja oleh paus di
Avignon, dan pergi ke Jerman serta tinggal di lingkungan Kaisar Louis
Bavaria, karena bertentangan dengan Paus Yohannes XXII, maka Louis
Bavaria juga dikeluarkan dari gereja. Pada tahun 1313 Marsiglio menjadi
Rektor Universitas Paris. Ia berpandangan bahwa negara sebagai
kekuasaan sedunia hendaknya diganti oleh negara sebagai pusat
kekuasaan yang berdiri lepas dengan hubungan sesuatu kekuasaan yang
lebih tinggi seperti gereja. Meskipun ia tinggal di lingkungan kaisar,
namun tidak membicarakan masalah kekaisaran, bahkan rakyat
diperbolehkan menghukum para penguasa bilamana melanggar Undang-
undang.
Marsiglio juga ingin mendemonstrasikan gereja, yaitu agar Paus dipilih
oleh rakyat, lalu kekuasan tertinggi diletakkan di tangan badan
permusyawaratan gereja-gereja (consilie), sehingga gereja hanyalah
mengurus kepentingan kerohanian saja, dan tempatnya tidak lebih tinggi
dari uskup lainnya. Kedudukan gereja berada di bawah negara dan tidak
berhak mengambil alih hak rakyat dalam membuat Undang-undang.
D. Masa Renaissance
Zaman ini selalu dipertentangkan dengan zaman pertengahan karena
pada zaman pertengahan berlaku beberapa kebenaran yang mutlak dan
tertentu menurut agama, pandangan dunia bersifat universalitas dan
manusia merupakan bagian dari dunia Kristen yang umum dengan
kekuatan gereja serta wahyu sebagai sandarannya.
Alam pemikiran zaman pertengahan mengandung hal yang bertentangan,
pada masa itu orang menyusun sintesis-sintesis falsafah teologie yang
menerangkan dan mengandalikan segenap kebenaran, tidak ada ilmu
pengetahuan yang bebas, falsafah turun derajatnya menjadi pembicaraan
abstrak menurut aturan yang telah ditentukan (a ancilla theologiae / babu
teologi), pengetahuan empiris nyaris tidak ada yang menjalankan dan
eksprimen pun jarang diketengahkan, bahkan Galileo Galilei yang
bersikeras tidak mau mancabut teori heleosentrisnya dalam memandang
susunan tata surya yang bertentang degan teori geosentris gereja,
akhirnya harus menjalani hukuman mati oleh gereja. Kemudian datang
zaman renaissance yang diselingi reformasi atas hegemoni gereja Katholik
Roma, seperti gerakan Martin Luther yang kemudian dalam bidang agama
juga melahirkan Kristen Protestan.
Beberapa pakar yang merupakan anak zaman dari masa renaissance ini,
antara lain :
1. Nicollo Machiavelli (1469-1527) ; seorang ahli sejarah dan negarawan
Italia, yang di tempat pengasingannya menulis buku yang berjudul
Discorsis opra la prima desa di Titus Livirus (Discourses on first Ten Books
of Titus Livius) dalam tiga jilid di tahun 1512-1517, serta Il Principe (The
Prince) pada tahun 1513, yang pada bab XVIII dinyatakannya bahwa
“penguasa, yaitu pimpinan negara harus mempunyai sifat-sifat seperti
kancil dan singa, ia harus menjadi kancil untuk mencari lubang jaring dan
menjadi singa untuk mengejutkan serigala”.
2. Jean Bodin (1530-1596) ; seorang sarjana hukum dan pengacara dari
Toulouse dan pada tahun 1551 datang ke Paris serta tinggal di dekat
istana, karya tulis terkenalnya ‘Les Six Livres de la Republique’ pada
tahun 1576, dan juga ‘Heptaplomeres’. Pada masanya, kekuasaan raja
Prancis makin meluas dan bertambah meskipun pada tahun 1614 telah
terjadi permusyawaratan terakhir dari Majelis Perwakilan, namun
pemerintahan absolut Henri IV (1589-1610) telah berurat berakar dengan
kuatnya. Maka dasar pemerintahan absolut itulah yang dirumuskan dan
dibenarkan Jean Bodin lewat bukunya Lex Six Livres de la Republique.
Kekuasaan yang berpusat pada negara, makin lama makin tegas tampak
dalam bentuk kekuasaan raja, sehingga dasar pemerintahan absolut
terletak dalam kedaulatan yaitu kekuasaan raja yang superior. Kedaulatan
berarti kekuasaan tertinggi untuk memerintah, yaitu kekuasaan tertinggi
yang dimiliki oleh negara terhadap para warga negaranya dan penduduk
lainnya di wilayah negara, jadi kedaulatan itu adalah kekuasaan mutlak
yang terletak di dalam tangan raja dan tidak dibatasi oleh Undang-
undang. Karena yang membuat Undang-undang itu adalah raja, maka
tidak mungkin pembuatnya diikat oleh buatannya sendiri, namun
berhubung adanya hukum alam, maka tidaklah ada kedaulatan yang
bersifat mutlak, melainkan kedaulatan terbatas di dalam maupun di luar
wilayah negara, atau juga di batasi oleh hak-hak pokok manusia dan oleh
hukum yang berlaku dalam pergaulan antara negara-negara (hukum antar
bangsa).
Dengan demikian, maka pengertian kedaulatan yang bersifat komparatif
diubah menjadi superlatif, raja lah yang berdaulat serta kedaulatan itu
menjadi sifat dan tanda negara. Atas ajarannya ini, maka Jean Bodin
mendapat julukan ‘Bapak Ajaran Kedaulatan’.
3. Aliran Monarchomachen
Monarchomachen artinya pembenci raja atau para musuh raja, namun
pengertian ini menurut Prof. Dr. Syahran Basah, S.H., C.N. tidaklah
mengenai sasarannya, karena hanya ditujukan pada perlawanan terhadap
keburukan-keburukannya yang tertentu saja juga tidak kepada
pemerintahan yang bersifat absolute atau terhadap rajanya sendiri.
Dua hal pokok dari ajaran golongan monarchomachen, ialah :
a. memberi dasar baru kekuasaan raja, berhubung raja tidak lagi seperti
Tuhan Yang Maha Adil.
b. memberi landasan bagi rakyat bilamana raja bertindak sewenang-
wenang dan melampaui batas-batas kekuasaannya. Maka rakyat diberi
dasar untuk mengadakan perlawanan.
Para tokoh gologan ini, yaitu antara lain :
Hotman; dengan karya ‘Franco Gallia’; yang menetang absolutisme
berdasar histories bukan teologis, tahun 1573,
Brutus; dengan buah tangan ‘Vindiciae contra Tyranos’; alat-alat hukum
melawan raja-raja yang sewenang-wenang, tahun 1579,
George Buchanan; dengan tulisan ‘De Jure regni apud Scotos’; tentang
kekuasaan raja pada bangsa Skot,
Johan Althaus / Johannes Althusius; dengan tajuk karangan ‘Pilitica
Methodice Digesta’; susunan ketatanegaraan yang sistematik,
Juan de Mariana; dengan karangan ‘De Rege ac Regis Institutione’;
tentang hal raja dan kedudukannya, tahun 1599,
Bellarmin (1542-1621); yang menyatakan bahwa menurut bentuk teori
negara yang baik adalah monarkhi absolute, akan tetapi kenyataan dalam
praktek menimbulkan keadaan yang sebaliknya karena kemerosotan
akhlak manusia,
Francesco Suarez (1548-1617); sarjana Spanyol dengan buku ‘Tractatus
de Legibus as De Regislatore’; uraian tentang Undang-undang dan Tuhan,
Pembentuk Undang-undang, tahun 1613,
John Milton; yang menyetujui pelaksanaan hukuman mati terhadap raja
Inggris Charles I, dan
John Knox; pemimpin aliran Kalvin di Skotlandia
E. Masa Hukum Kenegaraan Positif
Dengan timbulnya ajaran atau paham kedaulatan negara, maka
perkembangan memasuki babak kelima, di mana dari paham kedaulatan
negara itu kemudian timbul adanya ilmu pengetahuan mengenai hukum
kenegaraan positif. Hal ini di antaranya dipengaruhi aliran ‘Legisme’ yang
pada masa pikiran rasionalistik banyak pengikutnya disebabkan dasar
ajarannya sesuai dengan dan dapat diterima rasio waktu itu, yaitu :
1. Bahwa peraturan perundang-undangan menjadi hukum sebab
merupakan hasil pekerjaan badan pembentuk Undang-undang atau badan
legislatif yang mempergunakan rasionya
2. bahwa hukum kebiasaan tidak dapat diterima sebagai hukum yang
sungguh-sungguh karena tidak sesuai dengan sifat hukum alam yang
berlaku di mana-mana dan tidak berubah, sedangkan hukum kebiasaan
itu sifatnya berbeda-beda bergantung kepada tempat dan waktu
Anggapan di atas sesuai dengan ajaran-ajaran perjanjian masyarakat
(social contract) dari Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-
1704), dan Jean Jacques Rousseau (1712-1778). Pada pokoknya ajaran itu
mendasarkan pahamnya berlandaskan hukum alam yang bersifat
‘rasionalistis individualistis’ dan logis, yang pada masa sebelumnya telah
dirintis oleh Hugo de Groot atau Grotius yang mengubah landasan hukum
alam berasal dari agama ke rasio. Kemudian lewat trias politica Charles
Secondat baron de Labrede et de Montesquieu (1688-1755) yang pada
dasarnya bahwa suatu kaidah baru merupakan kaidah hukum bilamana
kaidah tersebut dibuat dan ditentukan oleh badan kenegaraan yang
diserahi tugas dan kekuasaan legislatif.
Masa hukum kenegaraan positif terdiri dari tiga fase yaitu :
1. Fase pertama yang bereaksi terhadap hukum Romawi dan hukum alam
dipelopori oleh K.F. von Gerber dan Paul Laband,
2. Fase kedua dipelopori oleh Bluntschli dan George Jellinek yang
keduanya merupakan mahaguru mata kuliah ilmu negara pada universitas
Heidelberg Jerman, kemudian
3. Fase ketiga yang diwakili oleh Hans Kelsen selaku pemimpin mazhab
atau aliran hukum Wina yang merupakan kelanjutan dari mazhab Malburg
yang dipimpin Cohen. Mmazhab Malburg sendiri merupakan pecahan dan
kelanjutan dari Neo-Kantiaanserichting atau aliran Neo Kantsian, yang
merupakan pembaharuan dari ajaran Immanuel Kant, yang pada
pokoknya membedakan tajam sekali antara Welt das Sein dengan Welt
das Solens.
F. Masa Ilmu Politik sebagai Ilmu yang berdiri sendiri
Ilmu politik dianggap sebagai ilmu yang beridri sendiri dikemukakan oleh
Hermann Heller, seorang sarjana abad XX yang terkenal dan berani
melancarkan serangan dan kritik, baik terhadap George Jellinek maupun
muridnya, Hans Kelsen. Secara keseluruhan reaksinya itu ditujukan
kepada aliran positivisme yang selama itu pendapatnya didukung sebagai
‘Communis opinie doctorum’ yang telah menjadi pendapat umum di
kalangan para cerdik pandai (cendekiawan). Dikatakan menentang
pendapat yang telah menjadi pendapat umum, karena pada waktu itu
pengaruh George Jellinek yang juga disebut sebagai Bapak Ilmu Negara
sangatlah besar.
Karena keberanian, kesadaran akan teori dan keasliannya itulah, maka
Paul Scholten selaku nestor (grootmeester) pertama di lapangan ilmu
hukum dari Universitas Amsterdam berkata tentang diri Hermann Heller,
di dalam bukunya yang berjudul ‘Verzemelde Geschriften’ bahwa
Hermann Heller adalah politikus asli yang paling baik di dalam lapangan
teori hukum dan teori negara.
Hermann Heller termasuk salah seorang pemimpin mazhab Baden yang
dipimpin oleh Dilthey, yang merupakan pecahan dari Neo
Kantiaanserichting sebagaimana mazhab Malburg.
BAB II
Pengertian Ilmu Negara Dan Terjadinya Negara
A. Istilah Ilmu Negara berasal dari bahasa :
Belanda : Staatsleer (De Staat ; negara), Jerman : Staatslehre(Der Staat ;
negara)
Inggris : Staatswissenschaft, Theory of State, The General Theory of State,
Political Science atau Politics. Perancis : Theorie d ‘etat
Staat atau State berasal dari bahasa Latin (Status atau Statum) yang
berarti menempatkan dalam keadaan berdiri, membuat berdiri, sifat
keadaan tegak dan tetap.
Negara (dalam bahasa Indonesia) berasal dari bahasa Sansekerta (Nagari
atau Nagara) yang berarti wilayah, kota atau penguasa; nama-nama yang
memakai kata ‘negara’ biasanya hanya khusus untuk kepala negara atau
orang-orang tertentu yang memegang peranan penting dalam
penyelenggaraan pemerintahan negara, sebagaimana praktek
pemerintahan kerajaan Majapahit pada abad XIV, lebih jauh pengunaan
warna merah-putih pun sebagai bendera negara Republik Indonesia
diIlhami oleh bendera merah-putih yang dikibarkan Mahapatih Gadjah
Mada di Sorong Irian Jaya, (Nagara Kartagama; Mpu Prapanca, 1365).
George Jellinek (Sarjana Jerman) adalah Bapak Ilmu Negara, seorang Guru
Besar pada Universitas Heidelberg (Berlin), buku karangannya :
Allgemeine Staatslehre (Ilmu Negara Umum).
B. Pengertian Ilmu (ilmu pengetahuan):
Drs. M. Hatta ; ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan
hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya,
menurut kedudukannya tampak dari luar, maupun menurut bangunannya
tampak dari dalam.
Drs. S. Abu Bakar ; ilmu adalah suatu pendapat atau buah pikiran yang
ilmiah, yaitu pendapat atau buah pikiran yang memenuhi persyaratan
ilmu pengetahuan terhadap suatu bidang masalah tertentu.
Hans Kelsen ; ilmu pengetahuan harus memiliki tiga syarat, yaitu
mempunyai lapangan ilmu pengetahuan tersendiri, mempunyai
peninjauan tersendiri, dan mempunyai sifat khusus yang tersendiri pula.
Prof. Dr. Syahran Basah, S.H., CN. ; ilmu ialah sesuatu yang didapat dari
pengetahuan, dan pengetahuan ini diperoleh dengan berbagai cara. Tidak
semua pengetahuan itu merupakan ilmu, sebab setiap pengetahuan itu
baru dinamakan ilmu kalau ia memenuhi syarat-syarat keilmuan dari
sesuatu pengetahuan.
Prof. Nawawi ; ilmu harus memiliki objek, metode, sistematika dan
universal.
Prof. Prajudi ; ilmu harus ada objek, terminologi, filosofis dan teori yang
khas.
Prof. Soerjono Soekamto ; ilmu adalah pengetahuan (knowledge) yang
tersusun sistematis dengan menggunakan kekuatan pikiran, pengetahuan
mana selalu dapat diperiksa dan ditelaah (dikontrol) dengan kritis oleh
setiap orang lain yang mengetahuinya.
Prof. Sondang Siagian ; ilmu didefinisikan sebagai suatu objek ilmiah
yang memiliki sekelompok prinsip, dalil, rumus yang melalui percobaan
yang sistematis dilakukan berulangkali telah teruji kebenarannya, prinsip,
dalil, rumus tersebut dapat diajarkan dan dipelajari.
Prof. Sutrisno Hadi ; ilmu merupakan kumpulan dari pengalaman dan
pengetahuan sejumlah orang yang dipadukan secara harmonis dalam
bangunan yang teratur.
Prof. Van Poelje ; ilmu adalah tiap kesatuan pengetahuan, di mana
masing-masing bagian bergantungan satu sama lain yang teratur secara
pasti menurut asas-asas tertentu.
The Liang Gie ; ilmu sebagai sekelompok pengetahuan teratur yang
membahas sesuatu sasaran tertentu dengan pemusatan perhatian kepada
satu atau segolongan masalah yang terdapat pada sasaran itu untuk
memperoleh keterangan-keterangan yang mengandung kebenaran.
Dari berbagai pendefinisian tersebut, Drs. H. Inu Kencana Syafiie, M.Si.
menyimpulkan bahwa ilmu pengetahuan itu konkrit, sehingga dapat
diamati, dipelajari dan diajarkan serta teruji kebenarannya, teratur,
bersifat khas atau khusus dalam arti mempunyai metodologi, objek,
sistematika dan teori tersendiri.
C. Pengertian Negara :
Dalam kajian ilmiah modern, mulai timbul pada zaman renaissance di
Eropa pada abad XV dengan istilah Lo Stato dari bahasa Italia yang
menjelma menjadi L’Etat dalam bahasa Prancis (Raja Louis XIV; L’Etad
Cest Moi). Kemudian seiring lahirnya demokrasi negara disebut sebagai
The Community that is Governed, yang pada waktu mulanya diartikan
sebagai suatu sistem tugas-tugas atau fungsi-fungsi publik dan alat-alat
kelengkapan yang teratur di dalam wilayah (daerah) tertentu.
Lebih lanjut perbedaan antara state dan government secara tepat
dinyatakan oleh The Supreme Court of the USA tahun 1870, pemberian
keputusan mengenai peristiwa tubrukan kapal Prancis Euryale dan kapal
AS Saphire, di mana Euryale tetap merupakan bagian dari negara Prancis
sekalipun pemerintahannya telah diganti Pemerintah Kaisar Napoleon III
kepada Pemerintah Republik Prancis (State = the national souvereignity,
Government = the agents of representative of the national souvereignity).
Dalam arti luas, negara merupakan kesatuan sosial (masyarakat) yang
diatur secara konstitusional untuk mewujudkan kepentingan bersama
(Teori; Du Contract Social), Harold J. Laski, Max Weber, dan Leon Duguit.
Sedangkan dalam tinjauan hukum tata negara, negara dianggap sebagai
organisasi kekuasaan, dan organisasi itu merupakan tata kerja dari alat-
alat perlengkapan negara yang merupakan suatu keutuhan, tata kerja
mana melukiskan hubungan serta pembagian tugas dan kewajiban antara
masing-masing alat kelengkapan negara guna mencapai tujuan negara.
Abdul Ghofur Anshori ; negara merupakan integrasi dari kekuasaan politik.
Negara adalah alat dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk
mengatur hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat dan
menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat.
Al-Farabi ; negara adalah satu tubuh yang hidup, sebagai halnya tubuh
manusia; tubuh manusia yang menyusun satu kesatuan.
Aristotes ; negara adalah persekutuan daripada keluarga dan desa, guna
memperoleh hidup yang sebaik-baiknya.
Bluntschli ; negara adalah suatu diri rakyat yang disusun dalam suatu
organisasi politik di suatu daerah tertentu.
Diponolo ; negara adalah suatu organisasi kekuasaan dengan susunan
tata-tertib suatu pemerintahan yang meliputi pergaulan hidup suatu
bangsa di suatu daerah tertentu.
George Jellinek ; negara ialah organisasi kekuasaan dari sekelompok
manusia yang telah berkediaman di wilayah tertentu.
George Wilhelm Friedrich Hegel ; negara merupakan organisasi kesusilaan
yang muncul sebagai sintesa (sistesis) dari kemerdekaan individu
(individual) dan kemerdekaan universal.
Hans Kelsen ; negara adalah suatu susunan pergaulan hidup bersama
dengan tata paksa, negara sebagai kesatuan ketentuan hukum yang
mengikat sekelompok individu yang hidup dalam wilayah tertentu.
Dengan kata lain, negara itu sebenarnya sama dengan hukum atau
dengan kata lain negara itu merupakan penjelmaan dari tata hukum,
maka sifat satu-satunya dari peninjauannya haruslah ‘yuridis’ saja.
Harold J. Laski (1950) ; negara adalah suatu masyarakat yang
diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan
yang secara sah lebih agung daripada individu atau kelompok yang
merupakan bagian dari masyarakat itu. Masyarakat adalah suatu
kelompok manusia yang hidup dan bekerjasama untuk mencapai
terkabulnya keinginan-keinginan mereka bersama. Masyarakat
merupakan negara kalau cara hidup yang harus ditaati baik oleh individu-
individu maupun asosiasi-asosiasi ditentukan oleh suatu wewenang yang
bersifat memaksa dan mengikat.
Nyatanya negara itu adalah kekuasaan tertinggi yang memaksa dalam
masyarakat politik, tapi dalam kenyataan pula negara itu dipergunakan
untuk menjaga dan memelihara interest mereka yang memiliki alat
produksi dalam masyarakat. Pada kesempatan yang lain Laski juga
menyatakan bagi tujuan administrasi praktis, negara adalah
pemerintahan.
Herman Finer ; negara merupakan suatu kesatuan wilayah di mana sosial
dan kekuatan individu dari segala perjuangan pada variasi kekuatannya
adalah untuk mengendalikan pemerintahan dengan kekuasan sah
tertinggi.
Hermann Heller ; kenyataan dari negara itu terletak pada fungsinya, kalau
negara itu mempunyai fungsi, maka nyatalah negara itu ada. Negara
merupakan ‘territoriale gezagsorganisatie’ artinya suatu organisasi
kewibawaan yang mempunyai wilayah tertentu.
Hugo de Groot ; negara adalah suatu persekutuan yang sempurna
daripada orang-orang yang merdeka untuk memperoleh perlindungan
hukum.
Jean Bodin (1500-1596) ; negara adalah suatu persekutuan keseluruhan
daripada keluarga-keluarga dengan segala milik dan kepentingannya yang
dipimpin oleh akal dari seorang penguasa yang berdaulat.
Lenin ; negara adalah mesin untuk mempertahankan kekuasaan satu
kelas atau kelas yang lain.
Nicolllo Machiavelli ; La Stato (buku Il Principe), negara sebagai kekuasaan
yang mengajarkan bagaimana raja memerintah dengan sebaik-baiknya.
Plato ; negara adalah manusia dalam ukuran besar.
Prof. Mr. Dr. L.J. Van Apeldoorn ; istilah negara dipakai dalam arti
penguasa, persekutuan rakyat, sesuatu wilayah tertentu, dan juga kas
negara atau fiskus.
Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H., M.Si. ; negara didefinisikan sebagai suatu
susunan kelas atau organisasi satu kelas yang terdiri atas kelas-kelas lain.
Atau satu-satunya organisasi yang mengatasi kelas-kelas dan mewakili
masyarakat sebagai satu keutuhan.
Prof. Dr. J.H.A. Logemann ; dalam buku Over De Theorie Van Stelling
Staadrecht, negara ialah suatu organisasi kekuasaan atau kewibawaan,
yang keberadaannya bertujuan untuk mengatur dan menyelenggarakan
masyarakat yang dilengkapi dengan kekuasaan tertinggi.
Prof. Drs. C.S.T. Kansil, S.H. dan Christine S.T. Kansil, S.H., M.H. ; negara
merupakan organisasi daripada fungsi-fungsi bersama (kenegaraan) yang
mengasumsikan jabatan-jabatan untuk fungsi-fungsi tersebut. Sehingga
ada yang menganggap sifat hakikat negara tidak lain adalah organisasi
jabatan (ambten-organisatie).
Prof. G. Pringgodigdo, S.H. ; negara ialah suatu organisasi kekuasaan atau
organisasi kewibawaan yang harus memenuhi persyaratan unsur-unsur
tertentu, yaitu harus ada Pemerintah yang berdaulat, wilayah tertentu dan
rakyat yang hidup dengan teratur sehingga merupakan suatu nation
(bangsa).
Prof. Hoegerwerf ; negara adalah suatu kelompok yang terorganisasi,
yaitu suatu kelompok yang mempunyai tujuan-tujuan yang sedikit banyak
dipertimbangkan, pembagian tugas dan perpaduan kekuatan-kekuatan.
Anggota-anggota kelompok ini para warga negara, bermukim di suatu
daerah tertentu. Negara memiliki kekuasaan tertinggi yang diakui
kedaulatannya di daerah ini. Ia menentukan bila perlu dengan jalan paksa
dan kekerasan, batas-batas kekuasaan dari orang-orang dan kelompok
dalam masyarakat di daerah ini. Hal ini tidak menghilangkan kenyataan
bahwa kekuasaan negara pun mempunyai batas-batas, umpamanya
disebabkan kekuasaan dari badan-badan internasional dan supra nasional.
Kekuasaan negara diakui oleh warga negaranya dan oleh warga negara
lain, dengan kata lain kekuasaan tertinggi disahkan menjadi wewenang
tertinggi. Maka ada suatu pimpinan yang diakui oleh negara yaitu
pemerintahan].
Prof. Mr. Krenenburg ; negara adalah suatu organisasi yang timbul karena
kehendak dari suatu golongan atau bangsanya sendiri. Pada kutipan lain
dinyatakan bahwa negara adalah suatu sistem daripada tugas-tugas
umum dan organisasi-organisasi yang diatur, dalam usaha negara untuk
mencapai tujuannya, yang juga menjadi tujuan rakyat atau masyarakat
yang diliputi, maka harus ada pemerintah yang berdaulat.
Prof. Mr. Soenarko ; negara ialah organisasi masyarakat yang mempunyai
daerah tertentu, di mana kekuasaan negara berlaku sepenuhnya sebagai
kedaulatan (souvereign).
Prof. R. Djokosoetono, S.H. (1950) ; negara ialah suatu organisasi manusia
atau kumpulan manusia yang berada di bawah suatu pemerintahan yang
sama.
Prof. Soemantri, S.H. ; negara adalah suatu organisasi kekuasaan, oleh
karenanya adalah suatu organisasi yang bernama negara, selalu kita
jumpai adanya organ atau alat perlengkapan yang mempunyai
kemampuan untuk memaksakan kehendaknya kepada siapa pun juga
yang bertempat tinggal di dalam wilayah kekuasaannya.
Robert M. Max Iver ; negara merupakan suatu sistem kelembagaan dan
perkumpulan, pembicaraan mengenai negara berarti tentang organisasi
pemerintahan yaitu organ atau badan-badan administrasinya. Secara lebih
rinci Max Iver mengupas negara dalam tiga makna yaitu : negara sebagai
persekutuan, negara dalam istilah soverenitas), dan negara dalam istilah
hukum.
Roger F. Soltau ; negara adalah alat (agency) atau wewenang (authority)
yang mengatur atau mengendalikan persoalan bersama atas nama
masyarakat.
Smith dan Zwicher sebagaimana dikutif Jacobsen dan Lipman (1960) ;
secara formalnya, negara modern diartikan sebagai lembaga politik yang
terorganisasi daripada orang-orang atau rakyat, atau yang mempunyai
daerah territorial tertentu serta hidup di bawah pemerintahan yang
seluruhnya atau hamper seluruhnya merdeka atau bebas dari control luar
dan sanggup memelihara ketaatan dari semua orang di dalamnya.
Valkenier ; negara ialah rakyat sebagai kekuasaan yang merdeka, hidup
dalam perasatuan hukum yang berlaku lama di suatu daerah yang
tertentu.
Pasal 1 konvensi Montevideo 1963 mengenai hak-hak dan kewajiban-
kewajiban negara (yang ditandatangani oleh Amerika Serikat dan
beberapa negara-negara Amerika latin) mengemukakan karakteristik-
karakteristik pokok dari suatu negara: “Negara sebagai subjek hukum
internasional harus memiliki syarat-syarat berikut: (a) Rakyat Subjek tetap
, (b) Wilayah tertentu, (c) Pemerintah, dan (d) Kemampuan melakukan
hubungan-hubungan dengan negara lain”.
Konvensi Montevideo di atas tidak menjelaskan tentang pengertian negara
tetapi lebih merupakan penetapan syarat yang harus dimiliki oleh negara.
Dari berbagai konsepsi yang ada mengenai pengertian negara dapat
disimpulkan bahwa negara merupakan suatu alat atau wewenang
(authority) yang mengatur atau mengendalikan pesoalan-persoalan
bersama dari masyarakat.
Ilmu Negara (bersifat abstrak, teoritis, universal dan statis) : ilmu
pengetahuan yang mengamati, menyelidiki, mengkaji dan mempelajari
sendi-sendi pokok (asas-asas pokok), pengertian-pengertian pokok, serta
sifat-sifat umum dari negara secara umum, yaitu antara lain :
asal-usul berdirinya negara,
muncul dan lenyapnya negara,
unsur-unsur negara,
perkembangan dan perjalanan negara,
tujuan yang hendak dicapai atau diwujudkan oleh negara, dan
jenis atau bentuk-bentuk dari negara pada umumnya.
Prof. Dr. J.H.A. Logemann dalam buku ‘Over De Theory Van Een Stelling
Staatsrecht’ mengemukakan bahwa keberadaan negara bertujuan untuk
mengatur serta menyelenggarakan masyarakat yang dilengkapi dengan
kekuasaan tertinggi (Authority). Maka sebagai organisasi kekuasaan, di
dalam negara terdapat suatu mekanisme tata hubungan kerja yang
mengatur suatu kelompok manusia (rakyat) agar berbuat dan bersikap
sesuai dengan kehendak negara. (pandangan ini diikuti Harold J. Laski,
Max Weber dan Leon Duguit).
D. Sifat Hakikat Negara (Das Wesen Des States)
Sifat Hakikat Negara berkaitan erat dengan dasar-dasar terbentuknya
negara, norma dasar (fundamental norm) yang menjadi tujuannya,
falsafah hidup yang ingin diwujudkannya, serta perjalanan sejarah dan
tata nilai sosial budaya yang telah berkembang di dalam negara. Menurut
Prof. Miriam Budihardjo sifat hakikat negara mencakup :
1. Sifat Memaksa ; mempunyai kekuatan fisik secara legal dengan sarana
polisi, tentara, dan alat penegak hukum lainnya.
2. Sifat Monopoli ; dalam menetapkan tujuaan bersama masyarakat, arah
pembangunan, pemanfaatan berbagai sumber daya, aliran kepercayaan,
flatform politik legal dan lain-lain.
3. Sifat Mencakup Semua (all-embracing) ; segala ketentuan, peraturan
dan kebijakan berlaku bagi semua yang berada di wilayah kekuasaan
negara.
Pada sisi lain, sifat hakikat negara tergantung dari sudut pandang
tinjauannya, secara historis dapat dikatakan bahwa :
1. Pada zaman Yunani, negara itu adalah polis atau negara kota (city-
state) dengan segala sifat-sifat khususnya, seperti demokrasi langsung dll.
2. Di abad pertengahan, negara dilihat sebagai suatu ‘organisasi
masyarakat’ yang bernama ‘civitas terena’ (keduniawian) di samping
‘civitas dei’ (keagamaan) dan ‘civitas akademika’ (ilmiah).
3. Di permulaan abad modern, terdapat pandangan bahwa negara itu
adalah ‘milik : suatu dinasti atau imperium, di mana sebagai aksesnya
yang paling menonjol nampak pada ungkapan “L ‘etad c’ est moi”.
4. Kemudian juga didapati pandangan bahwa negara itu sifat hakikatnya
adalah suatu ikatan tertentu atau status tertentu (staat = state), yaitu
status bernegara sebagai anonim daripada status belum bernegara (status
civilis vs. status naturalis; status dimana hak-hak sivil atau hak asasi
warga negara terjamin vs. status berhukum rimba).
5. Di zaman modern juga terdapat peninjauan dari segi sosialis dan yuridis
dalam batasan tertentu diterapkan di dalam ilmu negara khusus. Sosiologi
misalnya, melihat negara sebagai suatu ‘ikatan satu bangsa’ atau
‘organisasi kekuasan dalam arti negatif. Organisasi kewibawaan
bermaksud bukan sekedar berwibawa, yaitu berwibawa sebagai suatu
kesatuan memutuskan hal-hal yang penting (kenegaraan) bagi orang-
orang dan berwibawa untuk sebagai kesatuan kerjasama guna mencapai
hal-hal yang diputuskan bersama. Pandangan teori yuridis di antaranya :
a. melihat sifat hakikat negara dari segi hukum kepemilikan (hak milik
perdata) seperti yang dijadikan sandaran teori feodal, teori patrimonial
(hak milik) ini memungkinkan adanya jual beli, sewa menyewa, pinjam
meminjam tanah dengan hak-hak dan kewajiban kenegaraan.
b. melihat hakikat negara sebagai suatu (hasil) perjanjian timbal balik
antara dua pihak (hukum perdata), sifat dualistis ini akan jelas nampak
apabila kedua pihak yang berjanji tersebut lain kelompok kebangsaannya
dan beda kepentingannya. Sifat hakikat negara dalam hal ini ialah suatu
‘penjelmaan tata hukum nasional; daripada ide bernegara
(persoonieficatie van her rechtsorde)’.
E. Terjadinya Negara Secara Primer dan Sekunder
Terjadinya Negara Secara Primer (Primaires Wording) adalah teori yang
membahas tentang terjadinya negara yang tidak dihubungkan dengan
negara yang telah ada sebelumnya, terdiri atas fase Genootshap
(kelompok, eks suku dengan kepala suku sebagai Primus Inter Pares), fase
Reich (kerajaan; pentingnya unsur tanah / wilayah, dana / feodal,
kekuatan tentara dan sarana vital lain), fase Staat (negara; setelah
tumbuh kesadaran kebangsaan dan nasionalisme), fase Democratische
Natie (kesadaran berdemokrasi, kedaulatan di tangan rakyat) dan fase
diktator (menurut sarjana hukum Jerman, fase ini merupakan lebih lanjut
dari fase democratische natie, namun sarjana lain banyak menentangnya
dengan menyatakan bahwa fase ini hanyalah variasi atau penyelewengan
dari fase democratische natie).
Terjadinya negara secara sekunder (Secondary Wording) adalah teori yang
membahas tentang terjadinya negara yang dihubungkan dengan negara-
negara yang telah ada sebelumnya. Dalam konteks ini perhatian paling
penting berkaitan dengan masalah Pengakuan atau Erkening yaitu :
Pengakuan de facto (pengakuan sementara berdasarkan keadaan atau
fakta yang tidak dapat dipungkiri lagi bahwa telah terbentuk sebuah
negara baru, akan tetapi yuridis prosedural hukum legalnya masih dalam
penelitian), Pengakuan de Jure (pengakuan secara hukum, bersifat tetap
dan luas), pengakuan pemerintahan de facto (menurut Van Haller; yang
diakui hanya pemerintahannya saja, sedangkan wilayah kekuasaan dan
lain-lain belum diakui).
F. Contoh-contoh Asal Mula Negara berdasarkan Fakta Sejarah :
1. Occupatie (Pendudukan) ; terjadi ketika suatu wilayah (yang tidak
bertuan dan belum dikuasai) diduduki dan dikuasai, seperti Liberia yang
diduduki budak-budak Negro yang dimerdekakan tahun 1847.
2. Fusi (Peleburan) ; terjadi ketika negara-negara kecil yang mendiami
suatu wilayah mengadakan perjanjian untuk saling melebur menjadi
negara baru, seperti Federasi Kerajaan Jerman tahun 1871.
3. Cessie (Penyerahan) ; terjadi ketika suatu wilayah diserahkan kepada
negara lain berdasarkan oleh suatu perjanjian tertentu, seperti wilayah
Sleeswijk pada Perang Dunia I diserahkan oleh Austria kepada Prusia
(Jerman).
4. Accesie (Penarikan) ; terjadi ketika suatu wilayah terbentuk akibat
penarikan lumpur sungai atau timbul dari dasar laut (delta) kemudian
wilayah tersebut dihuni oleh sekelompok orang sehingga terbentuklah
negara, seperti wilayah negara Mesir yang terbentuk dari delta sungai Nil.
5. Anexatie (Pencaplokan/Penguasaan) ; terjadi ketika suatu negara berdiri
disuatu wilayah yang dikuasai (dicaplok) oleh bangsa lain tanpa reaksi
berarti, seperti pembentukan negara Israel tahun 1948, wilayahnya
banyak mencaplok daerah Palestina, Suriah, Yordania, dan Mesir.
6. Proclamation (Proklamasi) ; terjadi ketika penduduk pribumi dari suatu
wilayah yang diduduki bangsa lain mengadakan perjuangan atau
perlawanan sehingga berhasil merebut wilayahnya kembali dan
menyatakan kemerdekaannya, seperti NKRI yang merdeka tahun 1945
dari penjajahan Jepang dan Belanda.
7. Inovation (Pembentukan Baru) : munculnya suatu negara baru di atas
wilayah suatu negara yang pecah karena suatu hal dan kemudian lenyap,
seperti Columbia yang pecah dan lenyap dan kemudian berdiri negara
baru yaitu Venezuela dan Columbia Baru.
8. Separatise (Pemisahan); terjadi ketika suatu wilayah negara
memisahkan diri dari negara yang semula menguasainya kemudian
menyatakan kemerdekaannya, seperti Belgia yang memisahkan diri dari
Belanda dan menyatakan kemerdekaannya tahun 1831.
BAB III
ASAL MULA, TUJUAN, FUNGSI DAN BERAKHIRNYA NEGARA
A. Teori-teori Asal Mula Negara
1. Teori Ketuhanan (Teokrasi) ; negara, pimpinan negara dan hak
memerintah adalah atas kehendak Tuhan (by the grace of God). Tokohnya
antara lain : Agustinus (354-430), Thomas Aquino (1225-1274), Dante
Allieglieri (1265-1321), dan Marsiglio di Padua (1270-1340).
2. Teori Perjanjian Masyarakat ; negara timbul atas dasar perjanjian
masyarakat (perjanjian sebagai pactum uniones (perjanjian antara
individu untuk membentuk masyarakat politis atau negara) dan pactum
subjectiones (perjanjian antara individu untuk menyerahkan kekuasaan
rakyat kepada kepala negara); John Locke (1632-1704). Menurut Thomas
Hobbes (1588-1676) Pactum Uniones ditelan oleh Pactum Subjectiones
sehingga menimbulkan kekuasaan yang absolut (homo homini lupus),
sedangkan menurut J.J. Rousseau (1712-1778, pencetus teori contract
social) Pactum Unioneslah yang menelan Pactum Subjectiones sehingga
kepala negara semata-mata hanyalah mandataris rakyat (kedaulatan
rakyat). Immanuel kant (1724-1804) juga mendukung teori perjanjian
masyarakat ini.
Dalam prakteknya teori ini dapat pula berarti perjanjian antara pemerintah
dari negara penjajah dengan rakyat daerah jajahan seperti kemerdekaan
Filipina tahun 1946 dan India tahun 1947.
3. Teori Kekuasaan atau Kekuatan (Force Theory) ; negara muncul sebagai
hasil dominasi atau keunggulan kelompok yang kuat terhadap kelompok
yang lemah, baik secara fisik (seperti militer), ekonomi-keuangan (seperti
kolonialisme dan kapitalisme), dan sosial-politik. Tokohnya antara lain :
Harold J. Laski, Leon Duquit, Ludwin G., Kallikles, Voltaire, Karl Marx, dan
Openheimer.
4. Teori Penaklukan ; negara yang timbul karena serombongan manusia
menaklukkan daerah dari rombongan manusia lain dan kemudian untuk
mempertahankan kekuasaan dibentuklah suatu negara baru di daerah
tersebut.
5. Teori Kenyataan ; timbulnya negara karena faktor kenyataan yang
membuktikan bahwa unsur-unsur terbentuknya negara telah terpenuhi
(Prof. Drs. C.S.T. Kansil, S.H. dan Christine S.T. Kansil, S.H., M.H.).
6. Teori Patrilineal dan Matrilineal (Patriarkhal dan Matriarkhal) ; negara
timbul karena dalam suatu kelompok keluarga primitif, Ayahlah yang
berkuasa dan garis keturunan ditarik dari pihak Ayah. Keluarga kemudian
berkembang biak dan lahirlah beberapa keluarga yang kesemuanya
dipimpin oleh kepala induk (Ayah). Inilah benih-benih pertama negara
hingga akhirnya terbentuk pemerintahan yang desentralisir. Sedangkan
jika keturunan diambil dari garis Ibu, maka teori ini disebut dengan nama
Teori Matrilineal. Tokohnya, Wilken.
7. Teori Organis ; negara dalam konsep biologis (makhluk hidup) dianggap
sebagai manusia (laki-laki). Pemerintah dianggap sebagai tulang
kerangka, Undang-undang sebagai urat syaraf, kepala negara sebagai
kepala, dan masyarakat atau warga negara sebagai daging. Dengan
demikian negara itu dapat lahir, tumbuh, berkembang dan mati. Tokohnya
antara lain : Hegel dan Von Schelling.
8. Teori Daluarsa (Prescriptive Possession Theory) ; negara terbentuk
karena memang kekuasaan raja (baik diterima ataupun ditolak oleh
rakyat) sudah daluarsa memiliki kerajaan (sudah lama memiliki
kekuasaan, akhirnya menjadi hak milik oleh karena kebiasaan). Tokohnya
antara lain : Jean Bodin dan Loyseau sebagaimana dikemukakan oleh F.
Isjwara, S.H., LLM.
9. Teori Alamiah (Natural Theory) ; negara adalah ciptaan Alam. Karena
manusia dianggap sebagai makhluk sosial dan juga makhluk politik (zoon
politicon), oleh karenanya manusia ditakdirkan untuk hidup bernegara,
jadi dengan situasi dan kondisi setempat negara terbentuk dengan
sendirinya (Aristoteles). Akal manusia sangat berkuasa sehingga hukum
alam yang rasionalistis bersifat tetap dan Tuhan pun tidak dapat
mengubahnya, dengan kata lain Maha Kuasanya Tuhan sebagai dasar
berlakunya hukum alam diganti oleh maha kuasa rasio manusia (Grotius).
10. Teori Historis ; negara berikut lembaga-lembaga kenegaraannya
tumbuh secara evolusioner sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan manusia,
oleh karena itu terdapat pengaruh yang kuat dari kondisi lingkungan
setempat, waktu dan tuntutan zaman dalam sejarah masyarakat manusia
tempat hukum itu berlaku. Tokohnya antara lain : FC Von Savigny (1779-
1861) dan Volksgeist.
11. Teori Filosofis ; berdasarkan renungan-renungan tentang negara,
memikirkan bagaimana negara itu seharusnya ada, negara dianggap
sebagai kesatuan yang mistis, yang bersifat supra natural, namun
memiliki hakikat sendiri yang terlepas dari komponen-komponennya. Teori
ini kadang juga disebut dengan Teori Idealistis yang bersifat mutlak
(melihat negara sebagai suatu kesatuan yang omnipotent dan
omnikompetent) dan bersifat metafisis (adanya negara dianggap terlepas
dari individu yang merupakan bagian dari negara. Tokohnya antara lain :
Immanuel Kant (1724-1804) dan Hegel.
12. teori Pertentangan Kelas ; berdasarkan filsafat historis-materialisme, di
mana sebelum lahirnya negara, dalam keadaan masyarakat sederhana
dengan kondisi perekonomian yang sangat variatif dan cenderung
berkesenjangan tinggi, maka negara terbagi dalam kelompok-kelompok
kelas yang saling bertentangan, pengelompokkan kelas ini akhirnya
melahirnya adanya kelas atau kelompok penguasa dan kelas atau
kelompok yang dikuasai hingga kemudian terbentuklan sebuah negara.
Tokohnya antara lain : Karl Marx serta didukung oleh Harold J. Laski.
Terbentuknya Negara
Terbentuknya negara dapat terjadi karena proklamasi kemerdekaan
negara, perjanjian internasional, atau karena adanya plebisit. Proklamasi
kemerdekaan berarti pernyataan sepihak dari suatu bangsa bahwa dirinya
melepaskan diri dari kekuasaan negara lain dan mengambil penentuan
nasibnya di tangan sendiri. Dengan adanya proklamasi berarti suatu
masyarakat membentuk organisasi kekuasaan berupa pemerintahan yang
berdaulat. Dengan proklamasi juga berarti suatu masyarakat menerapkan
sistem hukumnya sendiri, menata sistem pemerintahannya sendiri untuk
mencapai tujuan negara sesuai falsafah yang dianutnya.
B. Tujuan Negara
1. Beberapa Pendapat tentang Tujuan Negara
Nama Teori, Tokoh & Latar Belakangnya Teori yang dikemukakan
Penguasa yang menerapkan
Kekuasaan Negara,
Lord Shang Yang (Tuan Tanah & Menteri Tiongkok (Cina) kuno)
- keadaan negeri Cina saat itu yang mengalami pemberontakan dan
perang saudara
(The Book of Lord Shang, karangan Prof. Duyvendak) Rakyat dan negara
harus berbanding terbalik. Bila negara ingin kuat, maka rakyat harus
lemah demikian sebaliknya (a weak people means a strong state and a
strong people means a weak state)
Negara harus berusaha mengumpulkan kekuasaan / kekuatan yang
sebesar-besarnya (militer yang kuat, disiplin dan loyalitas)
Keselamatan dan kemakmuran tidak diperlukan, asal negara sentosa
Rakyat harus dijauhkan dari kebudayaan adat, musik, nyanyian,
hikayat, kebaikan, kesusilaan, hormat pada orang tua, kekerabatan,
kejujuran dan sofisme (hal yang melemahkan jiwa prajurit) Atila
Jenghis Khan
Timur Lenk
Kubilai Khan
Kekuasaan Negara,
Niccolo Machiavelli
(pemikir dan politikus Italia, realis dan anti filsafat)
- keadaan negara banyak mengalami pergolakan dan perpecahan
Menitikberatkan pada sifat pribadi raja, agar dapat secerdik kancil dan
menakuti rakyatnya seperti singa
Pemerintah/penguasa dapat berbuat apa saja, asal untuk kepentingan
negara dalam mencapai kekuasaan, kebesaran, kehormatan dan
kesejahteraan negara yang sebesar-besarnya
Siapapun yang melawan pemerintah ditindak tanpa kompromi
Pemerintah menghalalkan segala cara, meskipun harus melanggar sila
kesusilaan dan kebenaran
Seorang penguasa yang cermat tidak memegang kepercayaan yang
melawan kepentingannya Frederik Yang Agung
Louis XIV
Adolf Hitler
Perdamaian Dunia,
Dante Alleighieri 1265-1321 (negarawan Italia,Florence)
- adanya pertentangan Paus dan Kaisar mengenai siapa yang berhak
berkuasa
(Buku; The Monarchia Libri III) Keamanan dan ketentraman manusia
dalam negara dapat dicapai apabila ada perdamaian dunia yang bukan
terletak pada masing-masing penguasa negara, sehingga diperlukan
pembentukan satu imperium negara dunia di bawah kekuasaan raja /
kaisar untuk kepentingan kemanusiaan
Pembentukan masing-masing negara merdeka hanya akan
menimbulkan peperangan Teori ini belum pernah diterapkan, tetapi
kemudian menjadi inspirasi pembentukan United Nations
Jaminan Hak–Kebebasan (ajaran negara polisi),
Immanuel Kant (pemikir besar dari Prusia / Jerman)
- manusia yang berebut kekuasaan dan penguasa yang sewenang-wenang
(Buku; Metaphysische Anfangs grunde der Rechstlehre) Negara harus
membentuk dan mempertahankan hukum agar hak dan kemerdekaan
warga negara terjamin dan terpelihara
Hukum yang dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan
merupakan penjelmaan kehendak umum
Perlunya pemisahan kekuasaan eksekutif dan legislatif
Peranan negara hanya sebagai penjaga ketertiban hukum dan
pelindung hak serta kebebasan warganya
Negara tidak mencampuri urusan pribadi dan ekonomi warganya
Negara-negara Eropa pada umumnya dan Amerika setelah abad XVIII
Negara Kesejahteraan (Welfare State),
Prof. Mr. Krenenburg (ahli hukum Jerman)
- manusia yang berebut kekuasaan dan penguasa yang sewenang-wenang
Negara bukan sekedar pemelihara ketertiban hukum belaka, tetapi
secara aktif mengupayakan kesejahteraan warganya
Negara harus benar-benar bertindak adil yang dapat dirasakan oleh
seluruh warga negara secara merata dan seimbang
Negara hukum bukan hanya untuk penguasa atau golongan tertentu,
tetapi untuk kesejahteraan seluruh rakyat di dalam negara Negara-negara
Modern pada umumnya yang menjunjung tinggi demokrasi dan
keseimbangan antar kepentingan
2. Hakikat Tujuan Negara antara lain :
a. Di dalam teori kenegaraan, kelompok pertama dari teori-teori tujuan
negara menganggap bahwa tujuan negara adalah memperoleh / mencapai
/ mempertahankan kekuasaan orang atau kelompok yang berkuasa. Jadi
tujuan negara adalah kekuasaan, teori ini mendukung lahirnya diktator
(machtstaat).
b. Kelompok kedua ialah teori-teori yang mengutamakan kemakmuran
negara ‘etatisme’. Teori ini berpangkal pada bahwa yang penting ialah
negara, dan negara adalah tujuannya sendiri, dan bukan alat untuk
mencapai kemakmuran rakyat (tife polizeistaat).
c. Kelompok ketiga ialah teori-teori yang mengutamakan kemakmuran
orang-seorang (individu). Kebebasan untuk mencapai kemakmuran ini
(hak-hak asasi) dijamin oleh dengan Undang-undang. Sehingga terdapat
kebebasan sepenuhnya (liberal) untuk mencapai kemakmuran tanpa
memperhatikan yang tidak mampu (tife formele rechtstaat).
d. Kelompok keempat ialah teori-teori yang mengutamakan kemakmuran
rakyat dicapai secara adil, sebagai tujuan bernegara (tife negara hukum
material – social service state).
3. Beberapa Pendapat Lain tentang Tujuan Negara
Aristoteles : Mencapai kepentingan hidup yang baik, bagus dan
harmonis.
H. Krabe : Menyelenggarakan ketertiban hukum dengan berdasarkan
dan berpedoman pada hukum sehingga tercipta masyarakat hukum guna
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat (ajaran negara hukum).
Harold J. Laski : Menciptakan keadaan di mana rakyat dapat mencapai
keinginan-keinginannya secara maksimal.
Plato : Memajukan kesusilaan manusia, baik sebagai individu maupun
sebagai makhluk sosial.
Roger F. Soltau : Memungkinkan rakyat untuk berkembang serta
mengungkapkan daya ciptanya sebebas mungkin.
Thomas Aquino & Agustinus : Mencapai penghidupan dan kehidupan
yang aman dan tentram dengan taat kepada atau di bawah pimpinan
Tuhan. Pemimpin negara menjalankan kekuasaan berdasarkan kekuasaan
Tuhan (ajaran teokratis atau kedaulatan Tuhan).
4. Beberapa Paham tentang Teori Tujuan Negara
a. Teori Fasisme ; berasal dari kata Fascio yang berarti kelompok,
kelompok ini menamakan dirinya ‘Fascio de Combattimento’ (Barisan-
barisan tempur). Menurut paham Fasis, negara bukan ciptaan rakyat,
melainkan ciptaan orang kuat, bila orang kuat sudah membentuk
organisasi negara, maka negara wajib menggembleng dan mengisi jiwa
rakyat secara totaliter, diktatorial dan nasionalistis. Seperti Italia semasa
Benito Musollini, Jerman semasa Adolf Hitler, dan Jepang semasa pra-
Perang Dunia II di bawah kekuasaan Tenno Heika.
b. Teori Sosialisme ; kelahiran Sosialisme terkait erat dengan keberadaan
Kapitalisme yang sudah sangat eksploitatif, Sosialisme menentang
kemutlakan milik perseorangan dan menyokong pemakaian milik tersebut
untuk kesejahteraan umum. Perkembangan Sosialisme muncul di daratan
Eropa setelah Revolusi Industri, guna menghindari penghisapan ekonomi
oleh segelintir orang (kaum kapitalis). Pelopor Sosialisme antara lain
Etienne Cabet, Robert Owen dan Albert Brisbane.
Dalam perkembangan lebih lanjut, Sosialisme dimanfaatkan secara politis
oleh gerakan-gerakan yang revolusioner. Di antara tokohnya adalah Karl
Marx, F. Engels, Lenin dan Stalin. Paham ini berkembang pesat di Eropa
Timur dan Uni Sovyet sebagai kiblatnya, dengan banyaknya muatan
politis, maka Sosialisme berubah menjadi Komunisme.
c. Teori Integralistik ; paham Integralistik ingin menggabungkan kemauan
rakyat dan penguasa (negara), paham ini beranggapan bahwa negara
didirikan bukan hanya untuk kepentingan perseorangan atau golongan
tertentu saja, tetapi juga untuk kepentingan seluruh masyarakat negara
yang bersangkutan. Kepentingan negara dimaksudkan untuk menjalin
rasa kekeluargaan dan kebersamaan, karena negara dilihat sebagai
susunan masyarakat yang integral dan anggota saling terkait sehingga
membentuk satu kesatuan yang organis. Teori ini dipelopori oleh B. de
Spinoza, Adam Muller dan Hegel.
Gagasan paham Integralistik di Indonesia pertama kali dikemukakan oleh
Prof. Dr. Soepomo pada permulaan sidang BPUPKI, menurutnya paham
Integralistik paling cocok dengan karakteristik bangsa Indonesia yang
bersifat kekeluargaan atau paguyuban. Hal ini kemudian menjadi dasar
penetapan tujuan negara sebagaimana termaktub pada alinea IV
Pembukaan UUD NRI 1945 (melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, serta turut serta dalam perdamaian
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial).
Perbedaan paham tujuan negara antara Sosialisme dan Komunisme
No Sosialisme Komunisme
1. Negara masih mengakui hak milik pribadi atas alat produksi terbatas
Negara melakukan penghapusan hak milik pribadi atas alat produksi
2. Untuk menciptakan kesejahteraan bersama, negara menggunakan
cara-cara damai Untuk menciptakan kesejahteraan bersama secara
revolusioner, negara menghalalkan segala cara
3. Keberadaan negara diperlukan untuk selama-lamanya Keberadaan
negara hanya untuk sementara waktu diperlukan
C. Fungsi Negara :
Pada umumnya fungsi negara sebagai pengatur kehidupan dalam negara
demi tercapainya tujuan negara. Adapun pandangan tokoh tentang fungsi
negara, yaitu antara lain :
Abdul Ghofur Anshori ; Secara umum negara mempunyai dua tugas yaitu :
1. Mengendalikan dan mengatur gejala-gejala kekuasaan yang asosial,
yakni bertentangan satu sama lain, supaya tidak menjadi antagonisme
yang membahayakan.
2. Mengorganisir dan mengintegrasikan kegiatan manusia dan golongan
ke arah tercapainya tujuan dari masyarakat secara keseluruhan.
Aristoteles ; fungsi negara menyelenggarakan kepentingan warga negara
agar hidup baik dan bahagia.
Goodnow ; fungsi negara mencakup dua tugas pokok (dwi praja atau
dichotomy) yaitu : Policy Making (membuat peraturan, Undang-undang
dan kebijaksanaan) dan Policy Executing (Penerapan atau pelaksanaan
Policy Making).
John Locke (1632-1704) ; dalam buku ‘Two Treaties on Civil Government’
pada tahun 1690 membagi fungsi negara menjadi tiga (divition atau
distribution of power) yaitu : fungsi Legislatif (membuat peraturan), fungsi
Eksekutif (melaksanakan peraturan, termasuk fungsi mengadili), dan
fungsi Federatif (berkaitan dengan urusan luar negeri, perang dan
perdamaian).
M. Kusnardi, S.H. ; fungsi negara terbagi atas dua bagian yaitu :
Melaksanakan Penertiban (Law and Order, negara bertindak sebagai
stabilisator), serta Menghendaki Kesejahteraan dan Kemakmuran Rakyat.
Montesquieu (1689-1755) ; dalam buku ‘L’Esprit Des Lois atau The Spirit of
The Laws’ tahun 1748 membagi fungsi negara mencakup tiga tugas pokok
yang terpisah satu sama lain (trias politica, saparation of power) yaitu :
fungsi Legislatif (membuat Undang-undang), fungsi Eksekutif
(melaksanakan Undang-undang), dan fungsi Yudikatif (mengawasi
pentaatan pelaksanaan Undang-undang, termasuk fungsi mengadili).
Catatan; trias politica berasal dari bahasa Yunani yang berarti politik tiga
serangkai.
Van Vollenhoven ; fungsi negara mencakup empat tugas pokok (catur
praja) yaitu : Regeling (membuat peraturan), Bestuur (menyelenggrakan
pemerintahan), Rechtspraak (fungsi mengadili), dan Politie (fungsi
ketertiban dan keamanan).
Fungsi Negara juga dapat diartikan sebagai Tugas Negara yang mencakup
dua hal pokok yaitu : Tugas Esensial (mempertahankan negara sebagai
organisasi politik yang berdaulat, baik secara internal dengan memelihara
perdamaian, ketertiban, ketentraman dan perlindungan hak warga
negara, maupun secara eksternal dengan mempertahankan kemerdekaan
atau kedaulatan negara) dan Tugas Fakultatif (memperbesar
kesejahteraan umum, baik moral, intelektual, sosial dan ekonomi); Drs.
Budiyanto.
D. Berakhir / runtuh / hilang / lenyap atau musnahnya negara disebabkan
antara lain :
1. Karena faktor Alam ; berupa dampak dari terjadinya peristiwa bencana
alam yang mengakibatkan berakhir / runtuh / hilang / lenyap atau
musnahnya sabagian maupun seluruhnya dari unsur-unsur pembentuk
negara.
2. Karena faktor Sosial ; yaitu setelah terjadinya penaklukan, revolusi
(kudeta yang berhasil), perjanjian, pemisahan atau pemecahan,
penggabungan dan lain-lain.
BAB IV3
UNSUR – UNSUR NEGARA
Secara klasik unsur-unsur negara hanya dikenal terdiri dari : (1) Wilayah
tertentu, (2) Rakyat, dan (3) Pemerintah yang berdaulat.
Menurut Logemann, secara yuridis unsur-unsur negara terdiri dari : [1]
Wilayah hukum (Gebiedleer) yang meliputi darat, laut, udara, serta orang
dan batas kewenangannya, [2] Subjek hukum negara (Persoonsleer) yaitu
pemerintah yang berdaulat, dan [3] Hubungan hukum (De leer van de
rechtsbetrekking) yaitu hubungan hukum antara penguasa dan yang
dikuasai, termasuk hubungan hukum ke luar dengan negara lain secara
internasional.
Menurut Rudolf Kjellin yang melanjutkan ajaran Ratzel, dalam bukunya
Der Staat als Lebensform, secara sosiologis unsur negara terdiri dari : (1)
Faktor sosial yang meliputi unsur masyarakat, unsur ekonomis, dan unsur
kulturil, serta (2) Faktor alam yang meliputi unsur wilayah dan unsur
bangsa.
Menurut Oppenheimer & Lauterpacht, syarat berdirinya suatu negara
haruslah memenuhi unsur-unsur : (1) Rakyat yang bersatu, (2) Daerah
atau wilayah, dan (3) Pemerintah yang berdaulat dan Pengakuan dari
negara lain.
Menurut Konvensi Montevideo (sebuah kota di Uruguay) pada tahun
1933, di mana konvensi hukum internasional ini menyebutkan bahwa
negara harus memenuhi empat unsur konstitutif yaitu : [1] Harus ada
penghuni (rakyat, penduduk, warga negara), nationallen, staatsburgers,
atau bangsa-bangsa (staatsvolk), [2] Harus ada wilayah yang permanent
tertentu atau lingkungan kekuasaan, [3] Harus ada kekuasaan tertinggi
(penguasa atau pemerintah yang berdaulat), [4] Kesanggupan
mengadakan hubungan internasional dengan negara lain, dan [5] Adanya
pengakuan (deklaratif).
Unsur Rakyat, Wilayah dan Pemerintah yang berdaulat merupakan
unsur Konstitutif atau Primer karena keberadaannya merupakan unsur
utama yang mutlak harus ada. Sedangkan Pengakuan dari negara lain
merupakan unsur Deklaratif atau Sekunder karena hanya bersifat
formalitas dalam rangka memenuhi tata aturan pergaulan atau hubungan
internasional.
A. Rakyat
1. Rakyat
Dalam arti politis Rakyat adalah semua orang yang berada dan berdiam
dalam suatu negara atau menjadi penghuni negara yang tunduk pada
kekuasaan negara itu.
Rakyat merupakan unsur terpenting negara karena Rakyat-lah yang
pertama kali berkehendak membentuk negara, Rakyat pula yang mulai
merencanakan, merintis, mengendalikan dan menyelenggarakan
pemerintahan negara. Di dalam suatu negara, Rakyat dapat dibedakan
menjadi Penduduk dan Bukan Penduduk serta Warga Negara dan Bukan
Warga Negara (warga negara asing).
Prof. Prajudi Atmosudirdjo membedakan pengertian antara Rakyat dengan
rakyat, karena Rakyat dimaksudkan sebagai keseluruhan dari rakyat yang
mempunyai hak pilih.
2. Penduduk, Bukan Penduduk, Warga Negara dan Bukan Warga Negara
Berdasarkan hubungannya dengan daerah wilayah negaranya, Rakyat
dibedakan menjadi Penduduk (mereka yang bertempat tinggal atau
berdomisili di dalam suatu wilayah negara atau menetap, dan bagi
mereka perlu dilakukan inventarisir; biasanya, penduduk adalah mereka
yang lahir secara turun temurun dan besar di dalam suatu negara
tertentu) serta Bukan Penduduk (mereka yang berada di dalam wilayah
suatu negara hanya untuk sementara waktu; seperti, para turis
mancanegara dan tamu-tamu instansi tertentu di dalam suatu wilayah
negara). Antara kedua status ini dapat dibedakan berdasarkan hak dan
kewajibannya, seperti hanya yang berstatus Penduduk saja yang dapat
melakukan suatu pekerjaan tertentu dalam wilayah negara.
Berdasarkan hubungannya dengan Pemerintah negaranya, Rakyat
dibedakan menjadi Warga Negara (mereka yang berdasarkan hukum
tertentu merupakan anggota suatu negara. Dengan kata lain, Warga
Negara adalah mereka yang menurut peraturan perundang-undangan
atau perjanjian atau melalui proses naturalisasi dan sejenisnya, diakui
sebagai warga Negara, Warga Negara ada yang berdiam di wilayah
negara dan ada pula yang berada di luar negeri karena keperluan dinas,
belajar, pekerjaan, perniagaan, wisata dan lain-lain) serta Bukan Warga
Negara atau Orang atau Warga Negara Asing (mereka yang masih
mengakui negara lain sebagai negaranya, dan / atau belum mendapat
pengakuan secara hukum). Antara kedua status ini dapat dibedakan
berdasarkan hak dan kewajibannya, seperti hanya yang berstatus Warga
Negara saja yang berhak memiliki tanah dan mengikuti pemilihan umum.
Prof. Dr. Dahlan Thaib, S.H., M.Si. mengemukakan bahwa warga negara
adalah penduduk sebuah negara atau bangsa yang berdasarkan
keturunan, tempat kelahiran, dan atau orang-orang atau bangsa lain yang
disahkan dengan Undang-undang sebagai warga negara yang mempunyai
kewajiban dan hak penuh sebagai warga negara dalam suatu negara
tertentu, baik yang menduduki jabatan sebagai alat kelengkapan negara
maupun rakyat biasa.
Menurut Hukum Internasional, setiap negara berhak untuk menentukan
sendiri siapa yang akan menjadi warga negaranya. Untuk itu ada dua azas
yang biasanya dipakai dalam penentuan kewarganegaraan, yaitu azas Ius
Soli (penentuan kewarganegaraan berdasarkan wilayah tempat kelahiran)
dan azas Ius Sanguinis (penentuan kewarganegaraan berdasarkan
pertalian darah keturunan dari orang tua kandung). Dalam pelaksanaan
kedua azas ini dapat terjadi :
a. Kewarganegaraan ganda (bipatride), yaitu ketika negara asal orang tua
menganut azas Ius Sanguinis sedangkan yang bersangkutan lahir di
negara lain yang menganut asas Ius Soli.
b. Memiliki satu kewarganegaraan tunggal (single/ monopatride), yaitu
ketika antara negara asal orang tua dan negara tempat yang
bersangkutan lahir, keduanya menganut asas yang sama.
c. Tidak memiliki kewarganegaraan sama sekali (apatride), yaitu ketika
negara asal orang tua menganut asas Ius Soli sedangkan yang
bersangkutan lahir di negara lain yang menganut azas Ius Sanguinis.
Indonesia pada termasuk negara yang manganut azas Ius Sanguinis (Pasal
26 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, jo Undang-
undang No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia).
Namun dalam Undang-Undang kewarganegaraan baru (Undang-undang
No. 12 Tahun 2006) disebutkan bahwa WNI yang menikah dengan pria
WNA tidak lagi dianggap otomatis mengikuti kewarganegaraan suaminya,
melainkan diberi tenggang waktu tiga tahun untuk menentukan pilihan,
apakah akan tetap jadi WNI atau melepaskannya. Selain itu, apabila istri
memutuskan tetap menjadi WNI, atau selama masa tenggang 3 tahun itu,
ia bisa menjadi sponsor izin tinggal suaminya di Indonesia. Bagian yang
paling penting dari UU baru ini adalah dianutnya asas campuran antara Ius
Sanguinis dan Ius Soli, dan mengakui kewarganegaraan ganda terbatas
pada anak-anak (dari pasangan kawin campur dan anak-anak yang lahir
dan tinggal di luar negeri) hingga usia 18 tahun. Artinya, sampai anak
berusia 18 tahun, ia diizinkan memiliki dua kewarganegaraan. Setelah
mencapai usai tersebut, plus tenggang waktu 3 tahun untuk
mempersiapkannya, barulah di anak diwajibkan memilih salah satunya.
Selain kedua asas tersebut di atas, kewarganegaraan seseorang juga
dapat diperoleh melalui cara :
a. Stelsel aktif ; di mana seseorang harus melakukan tindakan hukum
tertentu lebih dahulu untuk dapat memperoleh kewarganegaraan, seperti
mengajukan permohonan atau membuat pernyataan. Stelsel ini biasanya
tidak terbatas atau tidak ditentukan waktunya sehingga dapat memilih
(optie). Perkawinan dan turut orang tua juga bisa menjadi sebab atau
alasan dalam proses naturalisasi ini.
b. Stelsel pasif ; di mana seseorang memperoleh kewarganegaraan tanpa
melakukan suatu tindakan hukum tertentu, seperti kewarganegaraan
yang diberikan negara kepada seseorang karena jasanya (naturalisasi
istimewa). Stelsel ini biasanya terbatas waktunya sehingga seseorang
dapat menolak (repudiate).
3. Masyarakat
Menurut Kamus Bahasa Indonesia karangan Ananda Santoso dan S.
Priyanto, masyarakat adalah hubungan antar manusia, pergaulan hidup
manusia, sekelompok manusia yang hidup dalam lingkungan tertentu.
Definisi ini diperjelas oleh Drs. H. Inu Kencana Syafiie, M.Si. yang
menyatakan bahwa masyarakat adalah mereka yang bersama-sama
menjadi anggota dari suatu negara, yang harus dibina dan dilayani oleh
administrasi pemerintah setempat.
Sedang menurut Abdul Ghofur Anshori, masyarakat merupakan kelompok
manusia yang saling berhubungan dan menempati suatu wilayah. Untuk
melindungi kepentingannya dan menghindari terjadinya kebebasan tanpa
batas maka manusia membentuk suatu asosiasi yang bertujuan untuk
memudahkan memperoleh kebutuhannya dan membatasi kompetisi.
Negara adalah asosiasi yang lahir untuk memenuhi kebutuhan politik
warga negara.
Masyarakat tidak hanya ditandai oleh kebudayaannya sebagai ciri
khasnya, melainkan juga oleh situasi sosial ekonominya yang aktual. Oleh
sebab itu perhatian pemerintah dan para sarjana hukum tidak dibatasi
pada nilai-nilai kebudayaan yang bersigat spiritual, melainkan lebih-Iebih
diarahkan pada kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang bersifat material.
Pemerintah mengatur kehidupan masyarakat secara hukum atas dasar
situasi sosial-ekonomis konkret yang tertentu.
Ilmu yang mempelajari hukum dalam hubungan dengan situasi
masyarakat, dalam konteks masyarakat modern adalah sosiologi hukum.
Tujuan sosiologi hukum bersifat praktis, di mana yang dimaksud adalah
bahwa Undang-undang yang dibentuk sungguh-sungguh cocok dengan
kebutuhan-kebutuhan dan cita-cita suatu masyarakat tertentu.
4. Bangsa (Nation atau volks)
Bangsa merupakan kumpulan dari masyarakat yang membentuk negara.
Dalam arti sosiologis, bangsa termasuk ‘kelompok paguyuban’ yang
secara kodrati ditakdirkan untuk hidup bersama dan senasib
sepenanggungan di dalam suatu negara, beberapa pendapat para ahli,
antara lain :
Ernest Renan (Prancis) ; Bangsa terbentuk karena adanya keinginan
untuk hidup bersama (hasrat bersatu) dengan perasaan setia kawan yang
agung.
F. Ratzel (Jerman) ; Bangsa terbentuk karena adanya hasrat bersatu,
hasrat tersebut timbul karena adanya rasa kesatuan antara manusia dan
tempat tinggalnya (paham geopolitik).
Friedrich Hertz (Jerman) ; dalam bukunya ‘Nationality in History and
Politics’ mengemukakan bahwa setiap bangsa mempunyai empat unsur
aspirasi yaitu :
a. Keinginan untuk mencapai kesatuan nasional yang terdiri atas kesatuan
sosial, ekonomi, politik, agama, kebudayaan, komunikasi dan solidaritas.
b. Keinginan untuk mencapai kemerdekaan dan kebebasan nasional
sepenuhnya, yaitu bebas dari dominasi dan campur tangan asing
terhadap urusan dalam negerinya.
c. Keinginan dalam kemandirian, keunggulan, individualitas, keaslian atau
kekhasan. Seperti menjunjung tinggi bahasa nasional yang mandiri.
d. Keinginan untuk menonjol (unggul) di antara bangsa-bangsa dalam
mengejar kehormatan, pengaruh dan prestise.
Hans Kohn (Jerman) ; Bangsa adalah buah hasil tenaga hidup manusia
dalam sejarah, suatu bangsa merupakan golongan yang beraneka ragam
dan tidak bisa dirumuskan secara eksak. Kebanyakan bangsa memiliki
faktor-faktor objektif tertentu yang membedakannya dengan bangsa lain,
seperti persamaan keturunan, wilayah, bahasa, adat-istiadat, kesamaan
politik, perasaan dan agama.
Otto Bauer (Jerman) ; Bangsa adalah kelompok manusia yang
mempunyai persamaan karakter, karakteristik tumbuh karena adanya
persamaan nasib.
Bangsa adalah Rakyat yang telah mempunyai kesatuan tekad untuk
membangun masa depan bersama. Caranya adalah dengan mendirikan
sebuah negara yang akan mengurus terwujudnya aspirasi dan
kepentingan bersama secara adil. Faktor objektif terpenting dari suatu
bangsa adalah adanya kehendak atau kemauan bersama yang lebih
dikenal dengan istilah nasionalisme. Dalam kehidupan suatu bangsa, kita
harus menyadari adanya keanekaragaman yang dilandasi oleh rasa
persatuan dan kesatuan tanah air, bahasa dan cita-cita.
George Jellinek membagi pemberian status bangsa menjadi empat
macam, yaitu :
a. Status aktif ; status yang diberikan kepada warga negara untuk ikut
serta dalam pemerintahan, berupa hak memilih dan hak dipilih.
b. Status pasif ; status yang diberikan kepada warga negara untuk taat
kepada peraturan pemerintah dan negara.
c. Status positif ; status yang diberikan kepada warga negara untuk
menuntut hak mendapat perlindungan terhadap jiwa, harta, dan
kemerdekaan.
d. Status negative ; status yang diberikan kepada warga negara terhadap
kepentingan hak asasinya, dengan kata lain bahwa negara tidak campur
tangan terhadap kepentingan hak asasi warganya.
Rosseau membagi pengertian bangsa menjadi ‘citoyen’ yaitu golongan
atau bangsa yang berstatus aktif, dan ‘suyet’ yaitu bangsa yang tunduk
pada kekuasaan di atasnya atau bangsa yang berstatus pasif. Selain
bangsa juga sering dikenal istilah rumpun (ras) yang merupakan suatu
kesatuan karena mempunyai cirri-ciri jasmaniah yang sama, serta istilah
nazi (natie) yang diartikan sebagai sekumpulan manusia yang merupakan
suatu kesatuan karena mempunyai kesatuan politik yang sama.
B. Wilayah
Wilayah suatu negara merupakan tempat berlindung bagi Rakyat,
sekaligus sebagai tempat bagi Pemerintah untuk mengorganisir dan
menyelenggarakan pemerintahan, adapun luas dan sempitnya wilayah
tidaklah memiliki batasan luas minimal sebagai satu unsur negara.
Dalam konteks pengetahuan tentang geopolitik, ethnopolitik, ekopolitik
dan kraftpolitik terdapat teori yang menyatakan bahwa wilayah yang
dimaksud merupakan ‘lebensraum’ yaitu ruang hidup suatu negara. Dari
segi hukum, yang dapat berupa wilayah ruang, wilayah orang dan wilayah
soal atau bidang.
Menurut Drs. H. Inu Kencana Syafiie, M.Si. yang dimaksud dengan wilayah
adalah lokasi atau area tertentu, dengan segala kandungan potensi
wilayah tersebut, dan kekuatan yang dapat dimanfaatkan mulai dari laut,
darat dan udara, baik yang sifatnya fisik maupun non fisik, secara
kompleks menyangkut keseluruhan tata ruang dan sumber kekayaan alam
yang terkandung di dalam tempat tersebut.
Wilayah negara terdiri atas wilayah daratan, wilayah lautan, wilayah
udara, daerah ekstrateritorial, dan batas wilayah negara.
1. Daratan
Wilayah daratan negara adalah bagian dunia yang kering yang merupakan
bagian dari benua atau pulau yang mencakup juga wilayah perairan
daratan seperti danau dan sungai. Luas wilayah daratan suatu negara
dapat terjadi karena ditentukan sendiri secara sepihak oleh negara itu
sendiri, ditentukan dalam perjanjian internasional, ditentukan kebiasaan
dimasa lampau atau ditentukan oleh perkembangan setelah terbentuknya
negara tersebut.
Penentuan batas-batas wilayah daratan, baik yang mencakup dua negara
atau lebih, pada umumnya berbentuk perjanjian atau traktat (uraian,
risalah; perjanjian antar bangsa, kamus ilmiah popular-Burhani MS dan
Hasbi Lawrens serta Kamus Hukum-Yan Pramadya Puspa) seperti Traktat
antara Belanda dan Inggris pada tanggal 20 Juli 1891 yang menentukan
batas wilayah Hindia Belanda di Pulau Kalimantan. Dan Perjanjian antara
Republik Indonesia dan Australia mengenai garis-garis batas tertentu
dengan Papua Nugini yang ditandatangani pada tanggal 12 Februari 1973.
2. Lautan
Wilayah laut negara adalah massa air di dunia yang mengelilingi daratan
beserta tanah yang ada di bawahnya. Bagi negara pantai dan negara
kepulauan yang wilayah daratannya berbatasan dengan laut memiliki
previlige yaitu menguasai wilayah lautan tersebut.
Pada awalnya ada dua konsepsi (pandangan) pokok mengenai wilayah
lautan, yaitu Res Nullius (John Sheldon [1584-1654] dari Inggris dalam
buku ‘Mare Clausum’ atau ‘The Right and Dominion of The Sea’ ;
menyatakan bahwa laut itu dapat diambil dan dimiliki masing-masing
negara). Dan Res Communis (Hugo de Groot [Grotius] Bapak Hukum Laut
Internasional dari Belanda pada tahun 1608 dalam buku ‘Mare Liberum’
[Laut Bebas] menyatakan bahwa laut itu adalah milik masyarakat dunia,
sehingga tidak dapat diambil atau dimiliki oleh masing-masing negara).
Konferensi Hukum Laut Internasinal III tanggal 10 Desember 1982 di
Jamaika yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (United
Nations Conference on The Law of The Sea / UNCLOS) yang
ditandatangani oleh 119 peserta dari 117 negara dan 2 organisasi
kebangsaan di dunia, menjadi dasar hukum, di mana dalam bentuk
Traktat Multilateral, batas-batas laut terinci sebagai berikut :
a. Batas Laut Teritorial ; setiap negara mempunyai kedaulatan atas laut
territorial yang jaraknya sampai 12 mil laut diukur dari garis lurus yang
ditarik dari pantai saat air laut surut (Indonesia telah menganut ketentuan
batas ini sejak Deklarasi Juanda, 13 Desember 1957).
b. Batas Zona Bersebelahan ; sejauh 12 mil laut di luar batas laut
territorial atau 24 mil dari pantai adalah batas zona bersebelahan. Di
dalam wilayah ini negara pantai dapat mengambil tindakan dan
menghukum pihak-pihak yang melanggar undang-undang bea cukai,
fiskal, imigrasi, dan ketertiban negara.
c. Batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) ; adalah wilayah laut dari suatu
negara pantai yang batasnya 200 mil laut dari pantai. Di dalam wilayah
ini, negara pantai yang bersangkutan berhak menggali kekayaan alam
lautan serta melakukan kegiatan ekonomi tertentu, termasuk menangkap
nelayan asing yang menangkap ikan secara ilegal. Namun negara lain
bebas berlayar atau terbang di atas wilayah itu, serta bebas pula
memasang kabel dan pipa di bawah lautan itu.
d. Batas Landas benua ; adalah wilayah lautan suatu negara yang lebih
dari 200 mil laut. Di dalam wilayah ini negara pantai bolah mengadakan
eksplorasi dan ekploitasi, dengan kewajiban membagi keuntungannya
bersama masyarakat internasional.
3. Udara
Pasal 1 Konvensi Paris tahun 1919 yang diperbaharui oleh Pasal 1
Konvensi Chicago tahun 1944 dinyatakan bahwa setiap negara
mempunyai kedaulatan yang utuh dan eksklusif pada ruang udara (air
space) di atas wilayahnya. Namun tentang batas jarak ketinggian wilayah
udara, hingga saat ini masih sulit diukur dan terdapat silang pendapat di
kalangan para pakar, antara lain :
Henrich’s ; menyatakan bahwa negara dapat berdaulat di ruang
atmosfir selama masih terdapat gas atau partikel-partikel udara atau pada
ketinggian 196 mil, di luar atmosfir negara sudah tidak lagi memiliki
kedaulatan.
Lee ; menyatakan bahwa lapisan atmosfir dalam jarak tembak meriam
yang dipasang di darat dianggap sama dengan laut (dan / atau udara)
territorial negara. Di luar jarak tembak itu harus dinyatakan sebagai
lautan (dan / atau udara) bebas, dalam arti dapat dilalui oleh semua
pesawat udara negara mana pun.
Von Holzen Dorf ; menyatakan bahwa ketinggian ruang udara adalah
1.000 meter dari titik permukaan wilayah bumi tertinggi.
36.000 kilo meter.Indonesia ; berdasarkan pada Undang-undang
Nomor 20 Tahun 1982 menyatakan bahwa wilayah kedaulatan dirgantara
yang termasuk orbit geo-stationer adalah
Selain pendapat di atas juga terdapat dua teori tentang konsepsi wilayah
udara suatu negara yaitu :
Teori Udara Bebas (Air Freedom Theory) ; penganut teori ini terbagi
dalam dua aliran, yaitu Kebebasan Ruang Udara Tanpa Batas (ruang udara
bebas dan dapat digunakan oleh siapapun, tidak ada negara yang
mempunyai hak dan kedaulatan di ruang udara) dan Kebebasan Udara
Terbatas (aliran ini kembali terbagi dua dimana dinyatakan bahwa a)
setiap negara berhak mengambil tindakan tertentu untuk memelihara
keamanan dan keselamatannya, dan b) negara kolong hanya mempunyai
hak terhadap wilayah atau zona territorial).
Teori Negara Berdaulat di Udara (The Air Souvereignity) ; terbagi dalam
beberapa teori di antaranya :
a. Teori Keamanan ; menyatakan bahwa suatu negara mempunyai
kedaulatan atas wilayah udaranya sampai yang diperlukan untuk menjaga
keamanannya, dikemukakan oleh Fauchille yang pada tahun 1901
menetapkan wilayah ketinggian udara 1.500 meter namun pada tahun
1910 diturunkan menjadi 500 meter.
b. Teori Pengawasan Cooper (Cooper’s Control Theory) ; menurut Cooper
(1951) kedaulatan udara ditentukan oleh kemampuan negara yang
bersangkutan untuk mengawasi ruang udara yang ada di atas wilayahnya
secara fisik dan ilmiah.
c. Teori Udara (Schacter) ; menurut teori ini, wilayah udara itu haruslah
sampai suatu ketinggian di mana udara masih cukup mampu mengangkat
(mengapungkan) balon dan pesawat udara.
4. Daerah Ekstrateritorial
Berdasarkan hukum internasional yang mengacu pada hasil Reglemen
dalam Kongres Wina tahun 1815 dan dan Kongres Aachen tahun 1818,
maka pada perwakilan diplomatik setiap negara terdapat daerah
ekstateritorial. Daerah ini meskipun letaknya berada jauh di luar
wilayahnya (di negara lain), tetap memberlakukan hukum seperti di
negara asalnya yang diwakili.
Di daerah ektrateritorial berlaku larangan bagi alat negara, serta polisi
dan pejabat kehakiman negara setempat, untuk masuk tanpa izin resmi
pihak kedutaaan. Daerah ini juga bebas dari pengawasan dan sensor
terhadap setiap kegiatan yang ada dan berlangsung selama di dalam
wilayah perwakilan tersebut.
200 m3) yang berlayar di laut terbuka di bawah bendera negara
tertentu.Daerah ekstrateritorial juga dapat diberlakukan pada kapal-
kapal laut (volume isi
5. Batas Wilayah Negara
Penentuan batas wilayah negara baik berupa daratan atau lautan
(perairan), lazim dibuat dalam bentuk perjanjian (traktat) bilateral serta
multilateral. Dapat berupa batas alam (sungai, danau, pegunungan atau
lembah), batas buatan (pagar tembok, pagar kawat berduri, tiang tembok
atau gapura dan lain-lain) serta batas menurut geofisika seperti garis
lintang dan titik bujur koordinat. Batas wilayah negara memiliki arti
penting bagi keamanan dan kedaulatan negara dalam segala bentuknya,
seperti berkaitan dengan kepentingan pemanfaatan kekayaan alam,
pengaturan penyelenggaraan pemerintahan negara, dan pemberian status
hukum orang-orang yang ada di dalam wilayah suatu negara.
C. Pemerintah (Pemerintahan) yang Berdaulat
Secara etimologi, pemerintahan dapat diartikan sebagai :
Perintah berarti melakukan kegiatan menyuruh, yang berarti di
dalamnya terdapat dua pihak, yaitu yang memerintah (memiliki
wewenang) dan yang diperintah (memiliki kepatuhan akan keharusan).
Setelah ditambah awalan ‘pe’ menjadi pemerintah, yang berarti badan
yang melakukan kekuasan memerintah.
Setelah ditambah lagi dengan akhiran ‘an’ menjadi pemerintahan,
berarti perbuatan, cara, hal atau urusan dari badan yang memerintah
tersebut.
Menurut Prins, Pemerintah dalam arti luas adalah suatu organisasi
kekuasaan yang mempunyai wilayah tertentu dan berdaulat atas sejumlah
orang tertentu sebagai warga negara. Sedangkan dalam arti sempit
adalah lembaga yang ada dalam suatu negara yang memiliki kekuasaan
melaksanakan setiap peraturan yang dibuat oleh lembaga legislatif.
Di beberapa negara, antara pemerintah dan pemerintahan tidak
dibedakan, Inggris menyebutnya ‘Government’, Prancis menyebut
‘Gouverment’, keduanya berasal dari perkataan Latin ‘Gubernaculum’,
dalam bahasa Arab disebut ‘Hukumat’, Amerika Serikat menyebut
‘Administration’, sedangkan Belanda mengartikan ‘Regering’ sebagai
penggunaan kekuasaan negara oleh yang berwenang untuk menentukan
keputusan dan kebijaksanaan dalam rangka mewujudkan tujuan negara,
dan sebagai penguasa menetapkan perintah-perintah. Dalam kontek ini,
‘Regeren’ digunakan untuk pemerintahan pada tinggkat nasional,
sedangkan ‘Bestuur’ diartikan sebagi keseluruhan badan pemerintah dan
kegiatannya yang langsung berhubungan dengan usaha mewujudkan
kesejahteraan rakyat.
Pemerintah yang berdaulat berarti pemerintahan yang mempunyai
kekuasan tertinggi atas rakyatnya di dalam wilayah kedaulatan negara.
Pemerintahan yang berdaulat diperlukan sebagai organ (alat kelengkapan
pemerintahan) dan fungsi yang melaksanakan tugas-tugas esensial dan
fakultatif negara. Dalam pengertian ‘organ’ ini, pemerintah dapat
dibedakan dalam arti luas (kumpulan atau gabungan dari seluruh badan-
badan kenegaraan yang memiliki kekuasaan, wewenang dan tanggung
jawab memerintah di dalam wilayah kedaulatan negara, baik berupa
badan eksekutif, legislatif, yudikatif, federatif, konsultatif, eksaminatif,
inspektif, konstitutif dan lain-lain) serta dalam arti sempit (hanya
merupakan badan atau lembaga eksekutif).
1. Kedaulatan Negara
Kata ‘Daulat’ dalam pemerintahan berasal dari kata ‘Daulah’ (Arab),
‘Sovereignity’ (Inggris), ‘Sovereinitiet’ (Prancis), Souveranitat (Jerman),
Souverateit (Belanda), ‘Supremus’ (Latin) dan ‘Sovranita’ (Italia), yang
berarti ‘Kekuasaan Tertinggi’. Menurut Jean Bodin dari Prancis (1500-
1596), Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh negara
terhadap para warga negaranya dan penduduk lainnya di wilayah negara,
untuk memerintah dan menentukan hukum dalam suatu negara,
kedaulatan mempunyai sifat-sifat pokok, yaitu :
a. Asli (kekuasaan itu tidak berasal dari kekuasan lain yang lebih tinggi).
b. Permanen (kekuasaan itu tetap ada selama negara itu berdiri, sekalipun
pemegang kedaulatan dan pemerintahan negara terus berganti).
c. Tunggal atau Bulat (kekuasaan itu merupakan satu-satunya kekuasaan
tertinggi dalam negara yang tidak diserahkan atau dibagi-bagi kepada
badan-badan yang lain).
d. Tidak Terbatas atau Absolut (kekuasaan itu bersifat mutlak dan tidak
dibatasi oleh kekuasaan lain).
Sedangkan C.F. Strong membagi pengertian kedaulatan atau Kekuasan
tertinggi yang dimiliki pemerintah dalam dua pengertian yaitu :
d. Intern souvereinitiet (kekuatan atau kedaulatan yang berlaku ke
dalam), artinya pemerintah memiliki wewenang tertinggi dalam mengatur
dan menjalankan organisasi negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku terhadap semua orang dan semua
golongan yang terdapat dalam lingkungan kekuasaannya.
e. externe-souvereinitiet (kekuatan atau kedaulatan yang berlaku ke luar),
artinya pemerintah berkuasa bebas, kekuasaanya tidak berasal dan
terikat atau tunduk pada kekuatan lain, selain ketentuan hukum legal.
Demikian juga, negara lain harus menghormati kekuasaan negara yang
bersangkutan dengan tidak ikut campur dalam urusan dalam negerinya
dengan kata lain memiliki kedudukan yang sederajat dengan negara lain.
2. Beberapa Macam Teori Kedaulatan
Nama Teori, Tokoh & Latar Belakangnya Teori yang dikemukakan
Penguasa yang menerapkan
Kedaulatan Tuhan (Gods Souvereinitiet),
Agustinus, Thomas Aquino, Marsilius dan Friedrich Julius Stahl
- berkembang abad V-XV
- perkembangan agama Kristen dan maraknya Pantheisme (menyetarakan
Alam dengan Tuhan) Raja atau penguasa memperoleh kekuasaan
tertinggi dari Tuhan, sehingga raja tidak bertanggung jawab kepada siapa
pun selain Tuhan
Kehendak Tuhan menjelma ke dalam diri raja atau penguasa (Paus),
oleh sebab itu mereka disebut utusan Tuhan / titisan Dewa
Segala peraturan yang dijalankan oleh penguasa bersumber dari
Tuhan, oleh sebab itu rakyat harus patuh dan tunduk kepada perintah
penguasa Raja Haile Selassi di Ethiopia
Belanda dengan raja yang menjadi simbol
Tenno Heika di Jepang (the son of sun)
Raja ‘Jawa Kuno’ (Titisan Brahmana)
Kedaulatan Raja,
Niccolo Machiavelli, Jean Bodin, Thomas Hobbes dan Hegel
abad XV- berkembang
- perkembangan kekuasaan yang sudah bergeser dari gereja (Paus) ke
Raja Kedaulatan negara terletak di tangan raja sebagai penjelmaan
kehendak Tuhan
Raja juga merupakan bayangan dari Tuhan (Jean Bodin)
Agar negara kuat, raja harus berkuasa mutlak dan tak terbatas (N.
Machiavelli)
Raja berada di atas Undang-undang, rakyat harus rela menyerahkan
hak asasi dan kekuasaannya secara mutlak kepada raja (Thomas Hobbes)
Louis XIV (1643 – 1715) di PrancisKedaulatan Negara,
George Jellinek, dan Paul Laband
- berkembang abad XV-XIX
- diilhami gerakan Renaissance ajaran Niccolo Machiavelli (negara sebagai
sentral kekuasaan) Kekuasaan pemerintah bersumber dari kedaulatan
negara (staat souverieniteit)
Negera sumber kedaulatan dengan kekuasaan tak terbatas
Karena negara abstrak, kekuasaannya diserahkan kepada raja atas
nama negara
Negaralah yang menciptakan hukum, maka kedudukan negara sendiri
tidaklah wajib tunduk kepada hukum Menjelang revolusi Bolsywik (1917)
di Rusia
Hitler di Jerman
B. Musollini di Italia
Kedaulatan Hukum (Nomokrasi),
Immanuel Kant, H. Krabbe dan Kranenburg
- pasca revolusi Prancis
- diilhami semboyan Liberte, Egalite dan Fraternite Kekuasaan hukum
sebagi kekuasaan tertinggi dalam negara (rechts souvereinitiet)
Kekuasaan negara bersumber pada hukum dan hukum bersumber pada
rasa keadilan dan kesadaran hukum
Pemerintah/negara hanya penjaga malam yang melindungi HAM tanpa
campur tangan urusan sosial-ekonomi masyarakatnya (teori negara
hukum murni – Immanuel Kant)
Negara berdasarkan atas hukum / negara hukum (Krabbe)
Fungsi Welfare State (Kranenburg) Negara-negara Eropa pada
umumnya dan Amerika setelah abad XVIII
Kedaulatan Rakyat,
Solon, John Locke, Montesquieu dan Jean Jacques Rousseau
- sekitar abad XVII-XIX
- dipengaruhi kedaulatan hukum dan demokrasi; rakyat sebagai subjek
negara Rakyat merupakan kesatuan individu yang dibentuk sesuai
perjanjian masyarakat
Rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang memberikan
sebagian haknya kepada penguasa untuk kepentingan bersama
Penguasa dipilih/ditentukan atas dasar kehendak rakyat (Volonte
Generale) melalui perwakilan dan pemilihan
Pemerintah harus mengembalikan hak-hak sipil kepada warganya (Civil
Right) Hampir pada semua negara merdeka, namun pelaksanaanya
tergantung pada rezim yang berkuasa, ideologi, perkembangan politik,
sosial budaya dll.
D. Pengakuan dari Negara lain yang Berdaulat
Dalam tata hubungan internasional, adanya status negara yang merdeka
merupakan prasyarat yang harus dipenuhi. Walaupun hanya merupakan
unsur deklaratif atau sekunder, adanya pengakuan dari negara lain
dianggap penting atau strategis antara lain karena :
1. adanya kehawatiran terancam kelangsungan hidupnya, baik yang
timbul dari dalam (seperti kudeta) maupun intervensi dari luar atau
negara lain, dan
2. ketentuan hukum alam yang tidak dapat dipungkiri, bahwa suatu
negara tidak dapat berdiri sendiri tanpa bantuan dan kerjasama dengan
negara lain. Ketergantungan itu terutama terletak dalam usaha
memecahkan masalah-masalah ekonomi, politik, sosial, budaya,
pertahanan dan keamanan.
Pengakuan dari negara lain dapat dibedakan menjadi :
1. Pengakuan de facto yaitu pengakuan tentang kenyataan adanya suatu
negara yang dapat mengadakan hubungan dengan negara lain yang
mengakuinya, diberikan setelah unsur konstitutif atau primer terpenuhi
dan pemerintahan telah dapat berjalan stabil, menurut sifatnya
pengakuan ini dibedakan menjadi ; pengakuan de facto bersifat tetap
(pengakuan dari negara lain hanya dapat menimbulkan hubungan di
bidang perdagangan dan ekonomi [konsul], sedangkan untuk tingkat duta
masih belum dapat), dan pengakuan de facto bersifat sementara
(pengakuan sementara waktu menunggu stabil tidaknya pemerintahan
dan apakah negara tersebut dapat terus berjalan atau akan berakhir atau
mati yang kemudian pengakuan pun ditarik kembali).
2. Pengakuan de jure yaitu pengakuan secara resmi berdasarkan atas
hukum dengan segala konsekuensi hukumnya, menurut sifatnya
pengakuan ini dibedakan menjadi ; pengakuan de jure bersifat tetap
(pengakuan yang berlaku untuk selama-lamanya setelah melihat
kenyataan bahwa pemerintahan negara baru tersebut telah dapat berjalan
stabil hingga jangka waktu tertentu) dan pengakuan de jure yang bersifat
penuh (pengakuan yang berdampak dapat diadakannya hubungan dalam
segala bidang seperti perdagangan, ekonomi dan diplomatik-politik.
Sehingga atase, konsul, duta, perwakilan diplomatik dan lain sejenisnya
dapat dibuka.
Republik Indonesia yang memproklamirkan kemerdekaannya pada
tanggal 17 Agustus 1945 baru diakui oleh negara lain dalam beberapa
tahun kemudian seperti oleh Mesir pada tahun 1947, Belanda pada
tanggal 27 Desember 1949, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun
1950 (penerimaan pertama kali sebagai anggota).
BAB V
BENTUK NEGARA, KENEGARAAN, DAN PEMERINTAHAN
A. Bentuk Negara :
1. Negara Kesatuan (Unitarisme) adalah negara merdeka dan berdaulat
yang pemerintahannya diatur oleh pemerintah pusat.
Di dalam negara kesatuan, pemerintah pusat mempunyai wewenang
untuk mengatur seluruh wilayahnya melalui pembentukan daerah-daerah
(propinsi, kabupaten, kota, kecamatan, desa dan lain-lain). Sistem
pemerintahan negara dilaksanakan sesuai dengan asas atau kombinasi
asas, antara lain :
a. asas desentralisasi ; deerah diberikan kesempatan, kekuasaan,
kewenangan dan tanggung jawab untuk mengurus rumah tangganya
sendiri / otonomi daerah yang dinamakan daerah swatantra
b. asas sentralisasi ; segala sesuatu dalam negara diatur dan diurus
pemerintah pusat, sedangkan daerah tinggal melaksanakannya
c. asas dekonsentrasi ; pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat
kepada pejabat-pejabatnya di daerah, untuk melaksanakan urusan-urusan
pemerintahan pemerintah pusat yang ada di daerah, serta
d. asas tugas pembantuan ; tugas untuk turut serta dalam melaksanakan
urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada pemerintah daerah otonom
oleh pemerintah pusat atau daerah otonom tingkat atasnya dengan
kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan
Bentuk negara kesatuan pada umumnya memiliki sifat atau ciri antara lain
:
kedaulatan negara mencakup ke dalam dan ke luar yang ditangani
pemerintah pusat
negara hanya mempunyai satu Undang-Undang Dasar atau Konstitusi,
satu Kepala Negara, satu Dewan Menteri atau Kabinet dan satu Lembaga
Perwakilan atau Parlemen
hanya ada satu kebijaksanaan yang menyangkut persoalan politik,
ekonomi, sosial budaya, serta pertahanan dan keamanan
2. Negara Serikat (Federasi atau Bondstaat) pada umumnya adalah suatu
bentuk negara yang terdiri atas beberapa negara bagian yang
menggabungkan diri untuk membentuk suatu kerjasama yang efektif.
Negara-negara bagian tersebut hanya menyerahkan sebagian urusannya
kepada pemerintah federal (pusat) yang menyangkut kepentingan dan
tujuan bersama, seperti urusan keuangan, pertahanan negara, pos,
telekomunikasi, dan hubungan luar negeri. Meskipun demikian, kekuasaan
asli tetap ada pada negara bagian, karena negara bagian berhubungan
langsung dengan rakyatnya. Seperti Amerika Serikat, Australia, India,
Jerman, Malaysia, dan Swiss.
Ikatan kerjasama antar negara bagian yang membentuk negara federasi
umumnya berupa perjanjian multilateral, yang perjanjian itu sendiri dapat
bersifat erat maupun agak renggang, sehingga jika salah satu negara
bagian itu keluar dari ikatan kerjasama atau negara federasinya, maka
secara serta merta putus juga hubungan antara negara bagian itu dengan
negara federasi.
Bentuk negara serikat pada umumnya memiliki sifat atau ciri-ciri antara
lain :
a. tiap negara bagian berstatus tidak berdaulat, namun kekuasaan asli
tetap berada pada negara bagian.
b. kepala negara dipilih olah rakyat dan bertanggung jawab kepada
rakyat.
c. pemerintah pusat memperoleh kedaulatan dari negara-negara bagian
untuk urusan ke luar dan sebagian ke dalam.
d. setiap negara bagian berwenang membuat Undang-Undang Dasar atau
Konstitusi sendiri, selama tidak bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar atau Konstitusi Negara Serikat.
e. kepala negara mempunyai hak veto (pembatalan keputusan) atas
rancangan Undang-undang, peraturan atau kebijakan yang diajukan oleh
parlemen (senat atau kongres).
Berdasarkan sifat hubungan ikatan kerjasama antara pemerintah negara
federasi dengan pemerintah negara-negara bagian, maka negara federasi
dapat dibedakan menjadi dua macam jenis, yaitu Negara Serikat (Federal)
dan Perserikatan Negara (Konfederasi), perbedaannya menurut para ahli
antara lain yaitu :
a. George Jellinek ; apabila kedaulatan itu ada pada negara federal, jadi
yang memegang itu adalah pemerintah federal atau pemerintah
gabungannya, maka negara federasi itu disebut Negara Serikat (Federal).
Sedangkan kalau kedaulatan itu masih tetap ada pada negara-negara
bagian, maka negara federal yang demikian disebut Perserikatan Negara
(Konfederasi).
b. Kranenburg ; apabila peraturan-peraturan hukum yang dikeluarkan oleh
pemerintah negara federasi atau pemerintah gabungannya itu dapat
secara langsung berlaku atau mengikat terhadap para warga negara dari
negara-negara bagian, maka negara federasi itu adalah berjenis Negara
Serikat (Federal). Sedangkan kalau peraturan-peraturan hukum yang
dibuat dan dikeluarkan oleh pemerintah federasi atau pemerintah
gabungannya itu tidak dapat secara langsung berlaku atau mengikat
terhadap para warga negara dari negara-negara bagian sebelum
dikuatkan, disahkan, dan diberlakukan oleh masing-masing negara bagian
sendiri, maka negara federasi yang demikian disebut sebagai Perserikatan
Negara (Konfederasi).
Selanjutnya menurut Kranenburg antara Negara Federasi dan Negara
Kesatuan dapat ditunjukkan perbedaannya sebagai berikut :
a. Pada Negara Federasi negara-negara bagian mempunyai wewenang
untuk membuat UUD-nya sendiri (Pouvoir Constituant) dan dapat
menentukan bentuk organisasinya masing-masing dalam batas-batas
yang tidak bertentangan dengan konstitusi negara federal. Sedangkan
pada Negara Kesatuan daerah-daerah tidak dapat membuat UUD sendiri,
dalam hal ini organisasi kekuasannya telah ditentukan oleh pembuat
Undang-undang di pusat.
b. Dalam Negara Federasi wewenang pembuat Undang-undang
pemerintah federasi ditentukan secara terperinci sedangkan wewenang
lainnya ada pada negara-negara bagian (residu power atau reserved
power). Sebaliknya dalam Negara Kesatuan, wewenang secara terperinci
terdapat pada daerah-daerah dan residu power-nya ada pada pemerintah
pusat.
B. Bentuk Kenegaraan
1. Koloni adalah suatu negara yang menjadi jajahan dari negara lain.
Dalam negara koloni, urusan politik, hukum dan pemerintahan masih
tergantung pada negara yang menjajahnya. Seperti saat Indonesia masih
merupakan daerah kolonial Belanda
2. Trustee (Perwakilan) adalah wilayah jajahan dari negara yang kalah
dalam Perang Dunia II dan berada di bawah naungan Dewan Perwakilan
Perserikatan Bangsa-Bangsa serta negara yang menang perang. Seperti
Papua New Guinea, bekas jajahan Jepang yang berada di bawah naungan
Perserikatan Bangsa-Bangsa sampai tahun 1975
3. Mandat adalah suatu negara yang tadinya merupakan jajahan dari
negara yang kalah dalam Perang Dunia I dan diletakkan di bawah
perlindungan suatu negara yang menang perang dengan pengawasan
Dewan Mandat Liga Bangsa-Bangsa. Seperti negara Kamerun, bekas
jajahan Jerman yang menjadi Mandat Prancis
4. Protektorat adalah suatu negara yang berada di bawah lindungan
negara lain yang kuat, biasanya negara yang dilindungi tidak dianggap
merdeka dan berdaulat. Hal-hal yang berhubungan dengan urusan luar
negeri dan pertahanan negara diserahkan kepada negara pelindungnya
(Suzuren atau Suzerein). Seperti Tunisia, Maroko dan Indo-Cina sebelum
merdeka merupakan Protektorat Prancis
Menurut Samidjo, S.H., protektorat dapat dibedakan menjadi :
a. Protektorat Kolonial, yaitu bentuk protektorat yang menyerahkan
urusan hubungan luar negeri, pertahanan keamanan serta dalam negeri
kepada pemerintah pelindunganya (union francaise), dan
b. Protektorat Internasional, yaitu protektorat yang masih tetap
memperhatikan ketentuan-ketentuan hukum internasional. Dalam hal ini,
negara yang dilindungi dalam beberapa urusan luar negeri, pertahanan
keamanan serta dalam negeri tidak banyak bergantung pada negara
pelindungnya karena negara yang dilindungi dianggap sebagai subjek
hukum internasional. Seperti Mesir semasa Protektorat Turki tahun 1917,
Zanzibar semasa Protektorat Inggris tahun 1890, dan Albania semasa
Protektorat Italia tahun 1936
5. Dominion adalah merupakan bentuk negara yang khusus dalam
lingkungan Kerajaan Inggris, yaitu suatu negara yang sebelumnya
merupakan jajahan Inggris yang telah merdeka dan berdaulat, serta
mengakui Raja Inggris sebagai Rajanya (lambang persatuan). Negara-
negara Dominion ini tergabung dalam ‘The British Commonwealth of
Nations’ (Negara-negara Persemakmuran). Negara-negara Dominion
mempunyai kemerdekaan dan kedaulatan penuh dalam mengurus
praktek-praktek kenegaraannya baik yang bersifat ke dalam maupun
urusan luar negeri. Seperti Kanada, Australia, Selandia Baru, Afrika
Selatan, India, dan Malaysia
6. Uni adalah gabungan dua atau lebih negara merdeka dan berdaulat
dengan satu kepala negara yang sama. Dalam hal ini Uni dibedakan
menjadi :
f. Uni Personil atau Personale Unie, yaitu dua negara atau lebih yang
kebetulan mempunyai raja yang sama sebagai kepala negara, sementara
segala urusan dalam dan luar negeri diurus oleh masing-masing negara.
Seperti Benelux (Belgia, Nederland dan Luxemburg) yang tergabung
dalam Uni Personil tahun 1839-1890, dan
g. Uni Riil / Reele Unie, yaitu dua negara atau lebih yang berdasarkan
suatu traktat mengadakan ikatan yang dikepalai oleh seorang raja dan
membentuk alat kelengkapan ‘Uni’ guna mengatur kepentingan bersama
yang umumnya berupa persoalan-persoalan menyangkut urusan politik
luar negeri. Seperti Uni Australia-Hongaria tahun 1867-1919
Sedangkan Uni Indonesia-Belanda hasi KMB tanggal 27 Desember 1949
yang dibubarkan tanggal 21 April 1956, bukanlah merupakan Uni Personal
karena kedua negara tidak mempunyai kepala negara bersama dan juga
bukan Uni Riil karena tidak mempunyai alat kelengkapan bersama, tetapi
merupakan suatu bentuk Uni yang khas (Uni Sui Generis)
C. Tife-tife Negara
Teori tife-tife negara membahas tentang penggolongan negara dengan
didasarkan kepada ciri-ciri khas, yang secara garis besar dibedakan
menjadi tife negara menurut sejarah dan ditinjau dari sisi hukum, yaitu :
Tife negara menurut sejarah, antara lain :
1. tife negara Timur Purba, yang pada umumnya bertife tirani di mana
para raja (pemerintahan) berkuasa sangat mutlak atau absolut, sering
dianggap sebagai dewa, anak dewa atau titisan dewa, serta bersifat
‘atheoeraties’ (keagamaan)
2. tife negara Yunani Kuno, bertife polis atau negara kota (city state) yaitu
hanya sebesar kota yang dikelilingi benteng pertahanan, pemerintahan
demokrasi langsung dengan penduduk sedikit dan diberi palajaran ilmu
pengetahuan ‘encyclopaedie’, pemerintahan berjalan dengan
mengumpulkan rakyat di suatu tempat ‘acclesia’. Dalam rapat
dikemukakan kebijaksanaan pemerintah (yang selalu dipegang para ahli
filsafat) untuk dipecahkan bersama rakyat
3. tife negara Romawi, berupa imperium dan pada saat itu Yunani pun
merupakan daerah jajahannya. Pemerintahan Romawi dipegang oleh
Caesar yang menerima seluruh kekuasaan dari rakyat ‘Caesarimus’ dan
memerintah secara mutlak, pada sisi lain terdapat Undang-undang yang
dikenal dengan istilah Lex Regia
3. tife negara Romawi, berupa imperiumbaik antara penguasa dengan
rakyat sehingga kemudian timbul keinginan rakyat untuk membatasi hak
dan kewajiban antara raja dan rakyat lalu disepakati perjanjian dan
diletakkan dalam ‘leges fundamentalis’ yang berlaku sebagai Undang-
undang, pemilik dan penyewa tanah yang melahirkan feodalisme, serta
negarawan dan gerejawan yang melahirkan sekularisme
5. tife negara Modern, pada tife ini berlaku asas demokrasi, dianutnya
paham negara hukum, serta didominasi oleh susunan negara kesatuan,
dalam pengertian hanya ada satu pemerintahan yaitu pemerintahan pusat
yang mempunyai wewenang tertinggi
Tife negara ditinjau dari sisi hukum, di mana penggolongan negara-negara
dengan melihat hubungan antara penguasa dengan rakyat, antara lain :
1. Tife negara polisi (polizei staat), di mana negara bertugas hanya
menjaga tata tertib saja (penjaga malam), pemerintahan bersifat monarki
absolute. Pengertian polisi adalah ‘welvaartzorg’ (penyelenggara
kesejahteraan) yang mencakup pengertian ; penyelenggaraan negara
posistif (bestuur) dan penyelenggaraan negara negatif (menolak bahaya
yang mengancam keamanan negara).
2. Tife negara hukum (rechts staat), di mana setiap tindakan penguasa
dan rakyat harus berdasarkan hukum. Tife ini memiliki tiga bentuk yaitu :
a. tife negara hukum liberal; menghendaki supaya negara berstatus pasif,
artinya bahwa warga negara harus tunduk pada peraturan-peraturan
negara, penguasa dalam bertindak sesuai dengan hukum. Di sini kaum
liberal menghendaki agar antara penguasa dan yang dikuasai ada suatu
persetujuan dalam bentuk hukum, termasuk persetujuan yang
menguasasi negara
b. tife negara hukum formil; yaitu negara hukum yang mendapat
pengesahan dari rakyat, segala tindakan penguasa memerlukan bentuk
hukum tertentu harus berdasarkan Undang-undang. Negara hukum formil
ini disebut pula dengan negara demokratis yang berlandaskan negara
hukum. Dalam hal ini menurut Stahl seorang sarjana Denmark, negara
hukum formil haruslah memenuhi empat unsur, yakni :
1) bahwa harus ada jaminan terhadap hak-hak asasi
2) adanya pemisahan kekuasaan
3) pemerintah didasarkan pada Undang-undang, dan
4) harus ada peradilan administratif
c. tife negara hukum materiil; merupakan perkembangan lebih lanjut
daripada negara hukum formil, tindakan penguasa harus berdasarkan
Undang-undang atau adanya asas legalitas, maka dalam negara hukum
materiil tindakan dari penguasa dalam hal mendesak demi kepentingan
warga negaranya dibenarkan bertindak menyimpang dari Undang-undang
atau berlaku asas ‘opportunitas’
3. Tife negara kemakmuran (wohlfare staat / welfare state), negara
mengabdi sepenuhnya kepada masyarakat. Dalam negara kemakmuran,
maka negara adalah alat satu-satunya untuk menyelenggarakan
kemakmuran rakyat, di sini negara aktif dalam menyelenggarakan
kemakmuran warga negaranya, untuk kepentingan seluruh rakyat dan
negara. Jadi pada tife ini tugas negara semata-mata hanyalah
menyelenggarakan kemakmuran rakyat dengan seoptimal mungkin
D. Bentuk Pemerintahan
1. Bentuk Pemerintahan Klasik
Menurut pendapat Mac Iver dan Leon Duguit, Teori-teori tentang bentuk
pemerintahan klasik pada umumnya masih menggabungkan antara
bentuk negara dan bentuk pemerintahan. Prof. Padmo Wahyono, S.H.
berpendapat bahwa bentuk negara Aristokrasi dan Demokrasi adalah
bentuk pemerintahan klasik, sedangkan Monarki dan Republik adalah
bentuk pemerintahan modern. Dalam teori klasik, bentuk pemerintahan
dapat dibedakan atas jumlah orang yang memerintah dan sifat
pemerintahannya
Ajaran Plato (429-347 SM); bentuk pemerintahan terbagi atas Aristokrasi
(pemerintahan oleh kaum cendekiawan), Oligarchi (pemerintahan oleh
sekelompok golongan kecil), Timokrasi (pemerintahan oleh golongan
hartawan atau konglomerat), Demokrasi (pemerintahan rakyat),
Mobokrasi (kemerosotan demokrasi) dan Tirani (pemerintahan diktator
oleh seorang Tiran)
Ajaran Aristoteles (384-322 SM); bentuk pemerintahan terbagi atas
Monarchi, Tirani atau Despotie, Aristokrasi, Oligarchi atau Plutocrasi,
Politea atau Republik, dan Demokrasi
Ajaran Polibius (204-122 SM); bentuk pemerintahan terbagi atas Monarchi,
Tirani, Aristokrasi, Oligarchi, Demokrasi, dan Okhlokrasi (semakna dengan
Mobokrasi)
2. Bentuk Pemerintahan Monarchi (Kerajaan), yaitu apabila suatu
negara dikepalai oleh seorang raja, ratu, syah, sultan, kaisar atau
sejenisnya yang bersifat turun temurun dan untuk jabatan seumur hidup.
Monarchi dapat dibedakan menjadi :
a. Monarchi Absolut adalah bentuk pemerintahan dalam suatu negara
kerajaan di mana kekuasaan dan wewenang kepala negara tidak terbatas
dan segala fungsi kekuasaan pemerintahan (eksekutif, legislatif, yudikatif,
federatif dan lain-lain) menjadi satu padanya. Seperti Louis XIV di Prancis
(“L’etad C’est Moi”)
b. Monarchi Konstitusional adalah bentuk pemerintahan dalam suatu
negara kerajaan di mana kekuasaaan dan wewenang kepala negara
diatur, menurut dan dibatasi oleh Undang-Undang Dasar atau Konstitusi.
Hal ini dapat terjadi karena kehendak kepala negara itu sendiri seperti
Jepang dengan Hak Octrooi, maupun karena tuntutan revolusi rakyat
seperti Bill of Rights 1689 di Inggris, Yordania, Denmark, Saudi Arabia dan
Brunei Darussalam
c. Monarchi Parlementer adalah bentuk pemerintahan dalam suatu negara
kerajaan di mana kepala negara hanya merupakan simbol kekuasaaan
dan persatuan yang kedudukannya tidak dapat diganggu gugat serta
dipertanggungjawabkan (the King can do not wrong). Namun dalam
sistem pemerintahan, kekuasaan tertinggi dipegang oleh parlemen,
sedangkan kekuasaan eksekutif dipegang oleh perdana menteri dengan
dewan menteri atau kabinetnya yang bertanggung jawab kepada
parlemen baik secara sendiri atau bersama-sama (tanggung jawab politik,
pidana dan keuangan). Seperti Inggris, Belanda dan Malaysia
3. Bentuk Pemerintahan Republik, yaitu pemerintahan yang berasal
dari rakyat dan dipimpin oleh seorang presiden untuk masa jabatan
tertentu guna melaksanakan kepentingan umum (res publica berarti
kepentingan umum). Republik dapat dibedakan menjadi :
a. Republik Absolut, yaitu ketika pemerintahan berlangsung secara
diktator tanpa pembatasan kekuasaan dan mengabaikan konstitusi, untuk
legitimasi kekuasaan biasanya digunakanlah alat partai politik
b. Republik Konstitusional, yaitu ketika presiden selaku kepala negara dan
pemerintahan menjalankan roda pemerintahan menurut dan berdasarkan
ketentuan konstitusi serta perundang-undangan, di samping itu
pengawasan efektif juga dilaksanakan oleh parlemen
c. Republik Parlementer, yaitu ketika presiden hanya merupakan kepala
negara saja yang kedudukannya tidak dapat diganggu gugat dan
dipertanggungjawabkan. Namun dalam sistem pemerintahan, kekuasaan
tertinggi dipegang oleh parlemen, sedangkan kekuasaan eksekutif
dipegang oleh perdana menteri dengan dewan menteri atau kabinetnya
yang bertanggung jawab kepada parlemen baik secara sendiri atau
bersama-sama (tanggung jawab politik, pidana dan keuangan)
E. Sistem Pemerintahan
Setelah mengetahui tentang pemerintahan, dan sebelum menjabarkan
lebih lanjut tentang jenis-jenis sistem pemerintahan, kiranya perlu
diketahui terlebih dahulu tentang yang dimaksud dengan sistem, yang
dalam pandangan bebrapa ahli, antara lain dikemukakan :
Drs. H. Inu Kencana Syafiie, M.Si. ; Sistem adalah kesatuan yang utuh
dari sesuatu rangkaian, yang kait mengait satu sama lain, bagian atau
anak cabang dari suatu sistem, menjadi induk dari rangkaian selanjutnya.
Begitulah seterusnya sampai pada bagian yang terkecil, rusaknya salah
satu bagian akan mengganggu kestabilan sistem itu sendiri secara
keseluruhan
Musanef ; Sistem adalah suatu sarana yang menguasasi keadaan dan
pekerjaan agar dalam menjalankan tugas dapat teratur
Poerwadarminta ; Sistem adalah sekelompok bagian-bagian (alat dan
sebagainya), yang bekerja bersama-sama untuk melakukan sesuatu
maksud
Prajudi ; Sistem adalah suatu jaringan daripada prosedur-prosedur yang
berhubungan satu sama lain menurut skema atau pola yang bulat untuk
menggerakkan suatu fungsi yang utama dari suatu usaha atau urusan
Pramudji ; Sistem adalah suatu kebulatan atau keseluruhan yang
kompleks atau terorganisir, suatu himpunan atau perpaduan hal-hal atau
bagian-bagian yang membentuk suatu kebulatan atau keseluruhan yang
kompleks atau utuh
Sumantri ; Sistem adalah bagian-bagian yang bekerja bersama-sama
untuk melakukan suatu maksud. Apabila salah satu bagian rusak atau
tidak dapat menjalankan tugasnya, maka maksud yang hendak dicapai
tidak akan terpenuhi atau setidak-tidaknya sistem yang sudah terwujud
akan mendapat gangguan
Jenis sistem pemerintahan yang umum dikenal yaitu :
1. Sistem Pemerintahan Parlementer, di mana parlemen atau legislatif
atau dewan perwakilan, memiliki kekuasaan dan wewenang kontrol yang
sangat kuat terhadap eksekutif (perdana menteri bersama kabinet atau
dewan menterinya), dan apabila pertanggungjawabannya tidak diterima
parlemen dan / atau berdasarkan mosi tidak percaya, maka eksekutif pun
akan jatuh dan diganti
Maka ciri-ciri pemerintahan Parlementer antara lain :
a. kekuasaan parlemen atau legislatif atau dewan perwakilan lebih kuat
daripada kekuasaan eksekutif atau pemerintah (perdana menteri)
b. para menteri (kabinet atau dewan menteri) harus mempertanggung-
jawabkan semua tindakannya kepada parlemen atau legislatif atau dewan
perwakilan, artinya setiap kebijakan para menteri (kabinet atau dewan
menteri) harus mendapat kepercayaan, restu atau mosi dari parlemen
atau legislatif atau dewan perwakilan
c. program-program kebijakan para menteri (kabinet atau dewan menteri)
harus disesuaikan dengan kepentingan dan tujuan politik sebagian besar
anggota parlemen atau legislatif atau dewan perwakilan, karena parlemen
atau legislatif atau dewan perwakilan dapat menjatuhkan para menteri
(kabinet atau dewan menteri) dengan memberikan mosi tidak percaya
kepada pemerintah
d. kedudukan kepala negara (raja, ratu, syah, sultan, kaisar atau
sejenisnya) sebagai lambang atau simbol negara yang tidak dapat
diganggu gugat
2. Sistem Pemerintahan Presidensiil (Presidensial), di mana, presiden
selaku kepala negara sekaligus kepala pemerintahan (beserta kabinet
atau dewan menterinya) memiliki kekuasaan dan wewenang yang
cenderung kuat, sehingga walaupun parlemen tetap memiliki fungsi
kontrol, namun tidak sampai atau tidak mudah untuk menjatuhkan dan
mengganti eksekutif
Maka ciri-ciri pemerintahan Presidensiil (Presidensial), antara lain :
a. dikepalai oleh seorang presiden selaku pemegang kekuasaan eksekutif
(kepala pemerintahan sekaligus sebagai kepala negara)
b. kekuasaan eksekutif atau pemerintah dijalankan berdasarkan
kedaulatan rakyat yang dipilih dari, oleh dan untuk rakyat, baik secara
langsung ataupun melalui badan perwakilan
c. presiden mempunyai hak prerogatif untuk mengangkat dan
memberhentikan para pembantunya (menteri), baik yang memimpin
departemen maupun non departemen, walaupun terkadang terdapat
ketentuan bahwa hal demikian dilakukan dengan juga mendengarkan
aspirasi atau pandangan dari parlemen atau legislatif atau dewan
perwakilan
d. para menteri hanya bertanggungjawab kepada presiden, bukan
parlemen atau legislatif atau dewan perwakilan
e. presiden tidak bertanggungjawab kepada parlemen atau legislatif atau
dewan perwakilan. Oleh sebab itu antara keduanya tidak dapat saling
menjatuhkan, kecuali menurut tata cara yang diatur dalam Undang-
Undang Dasar atau konstitusi
3. Sistem Pemerintahan Campuran, merupakan kombinasi dari dua sistem
sebelumnya, di mana untuk kepala negara dipegang oleh seorang
presiden yang kedudukannya tidak dapat diganggu gugat, dipertanggung
jawabkan, dan dijatuhkan oleh parleman, bahkan selain sebagai simbol
negara, presiden dalam keadaan tertentu juga dapat membubarkan
parlemen atau legislatif atau dewan perwakilan. Namun dalam sistem
pemerintahan, kekuasaan tertinggi dipegang oleh parlemen atau legislatif
atau dewan perwakilan, sedangkan kekuasaan eksekutif dipegang oleh
perdana menteri dengan dewan menteri atau kabinetnya yang
bertanggung jawab kepada parlemen atau legislatif atau dewan
perwakilan baik secara sendiri atau bersama-sama (tanggung jawab
politik, pidana dan keuangan)
Pada praktek kenegaraan Swiss, di mana ajaran pemisahan kekuasaan
dari Montesquieu ditafsirkan dengan menempatkan badan eksekutif hanya
sebagai badan pelaksana, atau badan pekerja saja dari apa yang telah
diputuskan oleh badan legislatif, maka sistem pemerintahan seperti ini
disebut dengan Sistem Pemerintahan Badan Pekerja atau Referendum.
Sedangkan Prancis pernah pula melaksanakan sistem pemerintahan yang
disebut dengan Majelis Perwakilan
Berdasarkan struktur dari partai-partai politiknya, maka Maurice Duverger
mengklasifikasikan sistem pemerintahan menjadi :
1. Sistem Pemerintahan Berpartai Tunggal (mono / single party), seperti
Uni Sovyet (USSR)
2. Sistem Pemerintahan Berpartai Dua (duo / double / dwi party), seperti
Amerika Serikat (USA) dan Inggris
3. Sistem Pemerintahan Berpartai Banyak (multy party), seperti Prancis,
Jerman, Italia dan Indonesia
Jika selain struktur pemerintahan, juga diperhatikan kekuasaan para
penguasa dan cara-cara pembatasan kekuasaan, maka sistem
pemerintahan diklasifikasikan menjadi :
1. Sistem Pemerintahan Bebas, di mana kekuasaan penguasa dibatasi
sekeras-kerasnya, sedangkan kemerdekaan individu atau warga negara
dijamin secara istimewa, terkecuali dalam lapangan ekonomi. Seperti
Inggris, Amerika Serikat dan Swiss
2. Sistem Pemerintahan Setengah Bebas, di mana kekuasaan penguasa
dibatasi secara lemah, demikian pula jaminan bagi para individu atau
warga negara sifatnya lemah. Seperti di negara-negara Balkan dan
beberapa negara Amerika Selatan
3. Sistem Pemerintahan Totaliter atau Kolektif, di mana kekuasaan
penguasa bersifat mutlak atas para individu atau warga negara,
kekuasaan mutlak ini disokong oleh partai politik yang oleh Maurice
Deverger disebut dengan polisi politik, dengan monopoli atas media
massa, sensus dan sebagainya. Seperti Rusia, Jeman semasa Nazi, dan
Italia semasa Facis
Jika dilihat dari proses pemilihan dan pengangkatan penguasa negara,
maka klasifikasi sistem pemerintahan menjadi :
1. Sistem Pemerintahan Liberal, di mana pengangkatan para penguasa
dilakukan melalui pemilihan yang bebas
2. Sistem Pemerintahan Setengah Liberal, di mana pengangkatan para
penguasa dilakukan melalui pemilihan yang terpimpin
3. Sistem Pemerintahan Totaliter atau Kolektif, di mana pengangkatan
para penguasa tidak dilakukan melalui pemilihan, atau jika pun
dilaksanakan pemilihan, hanya bersifat formalitas dan pura-pura atau
plebisit
Sedangkan jika dilihat dari kenyataan yang setepat-tepatnya, lepas dari
penggolongan atau klasifikasi tertentu, dan hanya perpegangan pada
prakiraan dari segi logika, menurut Maurice Duverger, secara garis besar
pemerintahan di dunia hanya dibagi menjadi tiga tife dasar, yaitu :
1. Tife Inggris. Seperti Inggris, negara-negara dominion inggris dan di
kebanyakan Eropa Barat
2. Tife Amerika. Seperti pada sebagian besar negara di benua Amerika
selain Kanada
3. Tife Rusia. Seperti Rusia, negara bekas bagian Uni Sovyet (USSR) dan
negara-negara satelitnya
Di luar ketiga tife atau sistem tersebut di atas, menurut Maurice Deverger
kita hanya akan dapat menjumpai sistem pemerintahan ‘Arkais’, yaitu
sistem pemerintahan peninggalan dari jaman kono, dan rakyat-rakyat
jajahan atau setengah jajahan yang sama sekali tidak berpemerintahan
autonom
F. Khilâfah Islâmiyyah (The Special Model)
Khilâfah, sebagai sebuah istilah politik maupun sistem pemerintahan,
sesungguhnya bukanlah sesuatu yang baru. Hanya saja, keterputusan
kaum Muslim dengan akar sejarah masa lalu merekalah yang menjadikan
Khilâfah ‘asing’, bukan hanya dalam konteks sistem pemerintahan
mereka, tetapi bahkan dalam kosakata politik mereka. Kalaupun sebagian
kalangan Muslim mengakui eksistensi Khilâfah dalam sejarah, gambaran
mereka tentang Khilâfah bias dan beragam. Ada yang menyamakan
Khilâfah dengan kerajaan. Ada yang menganggap Khilâfah sebagai sistem
pemerintahan otoriter dan antidemokrasi. Ada yang memandang Khilâfah
sama dengan sistem pemerintahan teokrasi. Ada juga yang menilai
Khilâfah sebagai sistem pemerintahan gabungan antara demokrasi dan
teokrasi (baca: teodemokrasi).
Ketika dijelaskan bahwa sistem pemerintahan Khilâfah bukan monarki
(kerajaan), bukan republik, bukan kekaisaran (imperium) dan bukan pula
federasi, sebagian kalangan Muslim sendiri malah ada yang menyindir,
bahwa kalau begitu, Khilâfah adalah sistem pemerintahan yang ‘bukan-
bukan’. Sikap demikian wajar belaka mengingat: (1) Umat sudah lama
hidup dalam sistem pemerintahan sekuler; (2) Pendidikan politik di
bangku-bangku akademis/lembaga pendidikan selalu hanya mengenalkan
model-model pemerintahan tersebut [monarki, republik, imperium atau
federasi] tanpa pernah memasukkan sistem Khilâfah sebagai salah satu
model pemerintahan di luar model mainstream tersebut; (3) Jauhnya
generasi umat Islâm saat ini dari akar sejarah masa lalu mereka, termasuk
sejarah Kekhilâfahan Islâm yang amat panjang, lebih dari 13 abad.
Uraian berikut, meski serba ringkas, ingin mengenalkan apa itu Khilâfah.
Tidak lain agar kita sedikit-banyak mengenal hakikat Khilâfah sebagai
sebuah sistem pemerintahan Islâm yang khas, yang berbeda dengan
semua sistem pemerintahan di dunia saat ini.
1. Definisi Khilâfah
a. Secara Bahasa;
Khilâfah menurut makna bahasa merupakan mashdar dari fi’il madhi
khalafa, yang berarti: menggantikan atau menempati tempatnya
(Munawwir, 1984:390). Khilâfah menurut Ibrahim Anis (1972) adalah orang
yang datang setelah orang lain lalu menggantikan posisinya (Al-Mu‘jam al-
Wasîth, I/251. Lihat juga: Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arab, I/882-883)
Jadi, menurut bahasa, khalîfah adalah orang yang mengantikan orang
sebelumnya. Jamaknya, khalâ’if atau khulafâ’. Inilah makna firman Allâh
Swt.: Berkata Musa kepada saudaranya, Harun, “Gantikanlah aku dalam
(memimpin) kaumku.” (TQS. al-A’raf [7]: 142).
Menurut Imam ath-Thabari, makna bahasa inilah yang menjadi alasan
mengapa as-sulthan al-a’zham (penguasa besar umat Islâm) disebut
sebagai khalifah, karena dia menggantikan penguasa sebelumnya, lalu
menggantikan posisinya (Ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari, I/199).
b. Khilâfah menurut syariah;
Kata khilâfah banyak dinyatakan dalam hadits, misalnya:
Sesungguhnya (urusan) agama kalian berawal dengan kenabian dan
rahmat, lalu akan ada khilâfah dan rahmat, kemudian akan ada kekuasaan
yang tiranik. (THR. al-Bazzar).
Kata khilâfah dalam hadis ini memiliki pengertian: sistem pemerintahan,
pewaris pemerintahan kenabian. Ini dikuatkan oleh sabda Rasul saw.:
Dulu Bani Israel dipimpin/diurus oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi
wafat, nabi lain menggantikannya. Namun, tidak ada nabi setelahku, dan
yang akan ada adalah para khalifah, yang berjumlah banyak. (HR al-
Bukhari dan Muslim).
Dalam pengertian syariah, Khilâfah digunakan untuk menyebut orang
yang menggantikan Nabi saw. dalam kepemimpinan Negara Islâm (ad-
dawlah al-Islâmiyah) (Al-Baghdadi, 1995:20). Inilah pengertiannya pada
masa awal Islâm. Kemudian, dalam perkembangan selanjutnya, istilah
Khilâfah digunakan untuk menyebut Negara Islâm itu sendiri (Al-Khalidi,
1980:226. Lihat juga: Dr. Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi wa
Adillatuhu, IX/823).
c. Banyak sekali definisi tentang Khilâfah—atau disebut juga dengan
Imamah—yang telah dirumuskan oleh oleh para ulama. Beberapa di
antaranya adalah sebagai berikut:
1) Khilâfah adalah kekuasaan umum atas seluruh umat, pelaksanaan
urusan-urusan umat, serta pemikulan tugas-tugasnya (Al-Qalqasyandi,
Ma’âtsir al-Inâfah fî Ma‘âlim al-Khilâfah, I/8).
2) Imamah (Khilâfah) ditetapkan bagi pengganti kenabian dalam
penjagaan agama dan pengaturan urusan dunia (Al-Mawardi, Al-Ahkâm
as-Sulthâniyah, hlm. 3).
3) Khilâfah adalah pengembanan seluruh urusan umat sesuai dengan
kehendak pandangan syariah dalam kemaslahatan-kemaslahatan mereka,
baik ukhrawiyah maupun duniawiyah, yang kembali pada kemaslahatan
ukhrawiyah (Ibn Khladun Al-Muqaddimah, hlm. 166 & 190).
4) Imamah (Khilâfah) adalah kepemimpinan yang bersifat menyeluruh
sebagai kepemimpinan yang berkaitan dengan urusan khusus dan urusan
umum dalam kepentingan-kepentingan agama dan dunia (Al-Juwaini,
Ghiyâts al-Umam, hlm. 15).
Dengan demikian, Khilâfah (Imamah) dapat didefinisikan sebagai:
kepemimpinan umum atas seluruh kaum Muslim di dunia untuk
menerapkan hukum-hukum syariah dan mengemban dakwah Islâm ke
seluruh penjuru dunia. Definisi inilah yang lebih tepat. (Lihat: Nizhâm al-
Hukm fî al-Islâm, Qadhi an-Nabhani dan diperluas oleh Syaikh Abdul
Qadim Zallum, cet. VI [Mu’tamadah]. 2002 M/1422 H).
2. Khilâfah vs Non Khilâfah
Sesungguhnya sistem pemerintahan Islâm (Khilâfah) berbeda dengan
seluruh bentuk pemerintahan yang dikenal di seluruh dunia; baik dari segi
asas yang mendasarinya; dari segi pemikiran, pemahaman, maqâyîs
(standar), dan hukum-hukumnya untuk mengatur berbagai urusan; dari
segi konstitusi dan undang-undangnya yang dilegislasi untuk
diimplementasikan dan diterapkan; ataupun dari segi bentuknya yang
mencerminkan Daulah Islâm sekaligus yang membedakannya dari semua
bentuk pemerintahan yang ada di dunia ini.
Dalam buku yang berjudul, Azhijah ad-Dawlah al-Khilâfah (Libanon: Beirut,
2005), perbedaan sistem pemerintahan Khilâfah dengan non-Khilâfah
dijelaskan sebagai berikut.
a. Khilâfah bukan monarki (kerajaan).
Islâm tidak mengakui sistem kerajaan. Hal itu karena dalam sistem
kerajaan, seorang anak (putra mahkota) menjadi raja karena pewarisan;
umat tidak ada hubungannya dengan pengangkatan raja. Adapun dalam
sistem Khilâfah tidak ada pewarisan. Baiat dari umatlah yang menjadi
metode untuk mengangkat khalifah. Sistem kerajaan juga memberikan
keistimewaan dan hak-hak khusus kepada raja yang tidak dimiliki oleh
seorang pun dari individu rakyat. Hal itu menjadikan raja berada di atas
undang-undang. Raja tetap tidak tersentuh hukum meskipun ia berbuat
buruk atau zalim. Sebaliknya, dalam sistem Khilâfah, Khalifah tidak diberi
keistimewaan yang menjadikannya berada di atas rakyat sebagaimana
seorang raja. Khalifah juga tidak diberi hak-hak khusus yang
mengistimewakannya—di hadapan pengadi-lan—dari individu-individu
umat. Khalifah dipilih dan dibaiat oleh umat untuk menerapkan hukum-
hukum syariah atas mereka. Khalifah terikat dengan hukum-hukum
syariah dalam seluruh tindakan, kebijakan, keputusan hukum, serta
pengaturannya atas urusan-urusan dan kemaslahatan umat.
b. Khilâfah bukan kekaisaran (imperium).
Sistem imperium itu sangat jauh dari Islâm. Sistem imperium tidak
menyamakan pemerintahan di antara suku-suku di wilayah-wilayah dalam
imperium. Sistem imperium memberikan keistimewaan kepada pemerin-
tahan pusat imperium; baik dalam hal pemerintahan, harta, maupun
perekonomian.
Sebaliknya, Islâm menyamakan seluruh orang yang diperintah di seluruh
wilayah negara. Islâm menolak berbagai sentimen primordial (‘ashabiyât
al-jinsiyyah Islâm tidak menetapkan bagi seorang pun di antara rakyat di
hadapan pengadilan—apapun mazhabnya—sejumlah hak istimewa yang
tidak diberikan kepada orang lain, meskipun ia seorang Muslim.
Sistem pemerintahan Islâm, dengan adanya kesetaraan ini, jelas berbeda
dari imperium. Dengan sistem demikian, Islâm tidak menjadikan berbagai
wilayah kekuasaan dalam negara sebagai wilayah jajahan, bukan sebagai
wilayah yang dieksploitasi, dan bukan pula sebagai “tambang” yang
dikuras untuk kepentingan pusat saja. Islâm menjadikan semua wilayah
kekuasaan negara sebagai satu-kesatuan meskipun jaraknya saling
berjauhan dan penduduknya berbeda-beda suku. Semua wilayah dianggap
sebagai bagian integral dari tubuh negara.
c. Khilâfah bukan federasi.
Dalam sistem federasi, wilayah-wilayah negara terpisah satu sama lain
dengan memiliki kemerdekaan sendiri, dan mereka dipersatukan dalam
masalah pemerintahan (hukum) yang bersifat umum. Sebaliknya, Khilâfah
berbentuk kesatuan. Keuangan seluruh wilayah (propinsi) dianggap
sebagai satu-kesatuan dan APBN-nya juga satu, yang dibelanjakan untuk
kemaslahatan seluruh rakyat tanpa memandang propinsinya. Seandainya
suatu propinsi pemasukannya tidak mencukupi kebutuhannya, maka
propinsi itu dibiayai sesuai dengan kebutuhannya, bukan menurut
pemasukannya. Seandainya pemasukan suatu propinsi tidak mencukupi
kebutuhannya maka hal itu tidak diperhatikan, tetapi akan dikeluarkan
biaya dari APBN sesuai dengan kebutuhan propinsi itu, baik
pemasukannya mencukupi kebutuhannya ataupun tidak.
d. Khilâfah bukan republik.
Sistem republik pertama kali tumbuh sebagai reaksi praktis terhadap
penindasan sistem kerajaan (monarki). Kedaulatan dan kekuasaan
dipindahkan kepada rakyat dalam apa yang disebut dengan demokrasi.
Rakyatlah yang kemudian membuat undang-undang; yang menetapkan
halal dan haram, terpuji dan tercela. Lalu pemerintahan berada di tangan
presiden dan para menterinya dalam sistem republik presidentil dan di
tangan kabinet dalam sistem republik parlementer.
Adapun dalam Islâm, kewenangan untuk melakukan legislasi (menetapkan
hukum) tidak di tangan rakyat, tetapi ada pada Allâh. Tidak seorang pun
selain Allâh dibenarkan menentukan halal dan haram. Dalam Islâm,
menjadikan kewenangan untuk membuat hukum berada di tangan
manusia merupakan kejahatan besar. (Lihat: QS at-Taubah [9]: 31).
Sistem pemerintahan Islâm bukan sistem demokrasi menurut pengertian
hakiki demokrasi ini, baik dari segi bahwa kekuasaan membuat hukum—
menetapkan halal dan haram, terpuji dan tercela—ada di tangan rakyat
maupun dari segi tidak adanya keterikatan dengan hukum-hukum syariah
dengan dalih kebebasan. Ini jelas bertentangan dengan Islâm yang
menjadikan hak membuat hukum hanya ada pada Allâh (QS Yusuf [10]:
40).
Atas dasar ini, sistem pemerintahan Islâm (Khilâfah) bukan sistem
kerajaan, bukan imperium, bukan federasi, bukan republik, dan bukan
pula sistem demokrasi sebagaimana yang telah kami jelaskan
sebelumnya.
3. Khilâfah; Sistem pemerintahan khas
Sesungguhnya struktur negara Khilâfah berbeda dengan struktur semua
sistem yang dikenal di dunia saat ini, meski ada kemiripan dalam
sebagian penampakannya. Struktur negara Khilâfah diambil (ditetapkan)
dari struktur negara yang ditegakkan oleh Rasulullah saw. di Madinah
setelah beliau hijrah ke Madinah dan mendirikan Negara Islâm di sana.
Struktur negara Khilâfah adalah struktur yang telah dijalani oleh Khulafaur
Rasyidin setelah Rasulullah saw. wafat.
Dengan penelitian dan pendalaman terhadap nash-nash yang berkaitan
dengan struktur negara itu, jelaslah bahwa struktur negara Khilâfah
adalah: 1. Khalifah; 2. Para Mu’âwin at-Tafwîdh (Wuzarâ’ at-Tafwîdh); 3.
Wuzarâ’ at-Tanfîdz; 4. Para Wali; 5. Amîr al-Jihâd; 6. Keamanan Dalam
Negeri; 7.Urusan Luar Negeri; 8. Industri; 9. Peradilan; 10. Mashâlih an-Nâs
(Departemen-departemen); 11. Baitul Mal; 12. Lembaga Informasi; 13.
Majelis Umat (Syûrâ dan Muhâsabah).
BAB VI
TEORI KEKUASAAN, NEGARA HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
A. Kekuasaan
Menurut Max Weber, kekuasaan adalah kesempatan seseorang atau
sekelompok orang untuk menyadarkan masyarakat akan kemauan-
kemauannya sendiri, dengan sekaligus menerapkannya terhadap
tindakan-tindakan perlawanan dari orang-orang atau golongan-golongan
tertentu. Robert M. Mac Iver berpandangan bahwa kekuasaan adalah
kemampuan untuk mengendalikan tingkah laku orang lain, baik secara
langsung dengan jalan memberi perintah, maupun secara tidak langsung
dengan mempergunakan segala alat dan cara yang tersedia.
Drs. H. Inu Kencana Syafiie, M.Si. mendefinisikan kekuasaan sebagai hasil
pengaruh yang diinginkan seseorang atau sekelompok orang, sehingga
dengan demikian dapat merupakan suatu konsep kuantitatif, karena dapat
dihitung hasilnya, seperti berapa luas wilayah jajahan seseorang, berapa
banyak orang yang berhasil dipengaruhi, berapa lama yang bersangkutan
berkuasa, serta berapa banyak uang dan barang yang dimilikinya. Maka
secara filsafat, kekuasaan dapat meliputi ruang, waktu, barang, dan
manusia.
Sedangkan menurut pendapat Abdul Ghofur Anshori Kekuasaan
merupakan kemampuan seseorang atau kelompok orang untuk
mempengaruhi orang atau kelompok lain sehingga sesuai dengan
keinginan orang yang mempunyai kekuasaan tersebut. Kekuasaan politik
adalah kemampuan untuk mempengaruhi kebijakan umum (pemerintah)
baik terbentuknya, maupun akibat-akibatnya sesuai dengan keinginan
pemilik kekuasaan. Kekuasaan politik bagian dari kekuasaan sosial yang
ditujukan kepada negara sebagai satu-satunya institusi yang berkuasa.
Dalam penggunaan kekuasaan harus ada penguasa dan sarana kekuasaan
agar penggunaan kekuasaan itu berjalan dengan baik.
Kekuasaan negara merupakan kemampuan untuk mempengaruhi
kebijaksanaan umum (pemerintah), baik terbentuknya maupun akibat-
akibatnya sesuai dengan tujuan-tujuan pemegang kekuasaan (negara) itu
sendiri. Kekuasaan negara merupakan satu-satunya pihak berwenang
yang mempunyai hak untuk mengendalikan tingkah laku sosial dengan
paksaan.
Kekuasaan politik negara tidak hanya mencakup kekuasaan untuk
memperoleh ketaatan dari warga masyarakat, tetapi juga menyangkut
pengendalian orang lain dengan tujuan untuk mempengaruhi tindakan
dan aktivitas negara di bidang administratif (eksekutif, legislatif, yudikatif,
federatif, eksaminatif, inspektif, konstitutif dan lain-lain).
Kekuasaan negara dalam arti sosial lebih luas tinjauannya daripada dalam
arti politik. Hal ini terjadi karena kekuasaan negara tidak hanya berfokus
pada negara, tetapi juga pada cara mengendalikan tingkah laku sosial
(masyarakat) agar sesuai dengan tujuan negara.
Ossip K. Flechtheim membedakan kekuasaan politik atas :
1. Bagian dari kekuasaan sosial yang khususnya terwujud dalam negara
(kekuasaan negara atau state power), seperti lembaga pemerintahan.
2. Bagian dari kekuasaan sosial yang ditujukan kepada negara, seperti
partai politik, lembaga-Iembaga sosial yang mempengaruhi jalannya
kekuasaan Negara.
Hukum berasal dari negara, dan yang berkuasa dalam suatu negara
adalah pemerintah. Pemerintah melalui politiknya menetapkan hukum.
Apakah ada hubungan antara hukum dan kekuasaan? Ada dua pandangan
untuk menjawab hal ini :
1. Hukum tidak sama dengan kekuasaan. Hal ini didasarkan pada dua
alasan:
a. Hukum kehilangan artinya jika disamakan dengan kekuasaan karena
hukum bermaksud meneiptakan suatu masyarakat yang adil. Tujuan ini
hanya tereapai jika pemerintah juga adil dan tidak semena-mena dengan
kekuasaannya.
b. Hukum tidak hanya membatasi kebebasan individual terhadap
kebebasan individual yang lain, melainkan juga kebebasan (wewenang)
dari yang berkuasa dalam negara.
2. Hukum tidak melawan pemerintah negara, sebaliknya
membutuhkannya guna mengatur hidup bersama. Yang dilawan adalah
kesewenang-wenangan individual. Hal ini didasarkan pada dua alasan :
a. Dalam masyarakat yang luas, konflik hanya dapat diatasi oleh entitas
yang berada di atas kepentingan individu-individu, yaitu pemerintah.
b. Keamanan dalam hidup bersama hanya terjarnin bila ada pemerintah
sebagai petugas tertib negara.
Sesuai tinjauan hukum tata negara, di mana negara dianggap sebagai
organisasi kekuasaan, dan organisasi itu merupakan tata kerja daripada
alat-alat perlengkapan negara yang merupakan suatu keutuhan, tata kerja
mana melukiskan hubungan serta pembagian tugas dan kewajiban antara
masing-masing alat kelengkapan negara guna mencapai tujuan negara,
pandangan negara sebagai organisasi kekuasaan juga terdapat dalam
aliran atau teori modern yang dikemukakan oleh Kranenburg dan
Logemann, maka selain persoalan tentang negara dan hukum, persoalan
tentang legitimasi kekuasaan juga diterima sebagai persoalan kenyataan
pula, sehingga kesimpulan akhir tidak lain adalah bahwa benar di dalam
negara itu ada kekuasaan.
Pada tataran lebih lanjut, maka lahirnya pertanyaan seperti tentang
sumber kekuasaan, pemegang kekuasaan, dan pengesahan kekuasaan.
Ketiga pertanyaan ini sebenarnya merupakan satu rangkaian pertanyaan
yang satu sama lain saling berhubungan dan bahkan tidak dapat
dipisahkan, yaitu menanyakan tentang sumber atau asal lahirnya suatu
kekuasaan yang puncaknya berupa kekuasaan atau kedaulatan tertinggi,
di mana jawabannya merupakan suatu legitimasi atau pengesahan untuk
oleh dan bagi pemegang kekuasaan yang memperoleh kewenangan dan
tanggungjawab memegang kekuasaan atau kedaulatan tersebut.
B. Beberapa Cara Mendapatkan atau Memiliki Kekuasaan, yaitu antara lain
:
1. Legitimate Power (pengangkatan) ; yaitu kekuasaan diperoleh melalui
adanya surat keputusan atasan atau pengangkatan atau pemilihan
masyarakat banyak, seperti penobatan seorang putera mahkota menjadi
raja atau kaisar pada suatu negara kerajaan, termasuk pada tatanan
kenegaraan dewasa kini seperti pengangkatan seorang menteri, camat,
panglima tentara nasional, kepala kepolisian, lalu juga pemilihan presiden,
gubernur, bupati dan walikota serta sejenisnya. Dr. Talizi dan Prof.
Pamudji membedakan hasil suatu pengangkatan dengan pemilihan, di
mana pengangkatan hanya menghasilkan seorang kepala, sedangkan
pemilihan menghasilkan seorang pemimpin, perbedaan antara keduanya
adalah bahwa seorang kepala belum tentu bisa memimpin, akan tetapi
seorang pemimpin sudah barang tentu juga seorang kepala.
2. Coercive Power (kekerasan) ; yaitu kekuasaan diperoleh melalui cara
kekerasan dan kekuatan fisik, bahkan mungkin bersifat perebutan atau
perampasan bersenjata, yang sudah barang tentu di luar jalur
konstitusional. Hal demikian lazim disebut dengan istilah kudeta (coup
d’etad). Karena cara ini inkonstitusional, maka banyak kemungkinan yang
terjadi setelah perebutan kekuasaan, sebagian besar peraturan
perundang-undangan negara akan berubah, dan karena perubahan
tersebut dilakukan secara mendadak, maka disebut juga dengan istilah
revolusi.
Revolusi-revolusi besar yang menjadi sejarah perhatian dunia, di
antaranya :
• Jatuhnya Syah Iran ditandai dengan terusirnya Syah dan keluarganya,
setelah Imam Ayatullah Rohullah Khomeini tiba dari pengasingannya di
Prancis.
• Jatuhnya Presiden Niccolai Ceausescu dari Rumania ditandai dengan
demonstrasi besar-besaran dan pembantaian Ceausescu dan
permaisurinya.
• Jatuhnya kekaisaran Louis di Prancis, ditandai dengan penyerbuan ke
penjara Bastille dan pemotongan kepala raja sekeluarga.
Selain itu juga terdapat revolusi yang berjalan damai tanpa banyak jatuh
korban seperti :
• Jatuhnya Presiden Ferdinand Marcos di Filipina oleh penggantinya Ny.
Corozon Aquino.
• Jatuhnya kekuasaan rezim orde baru ‘Presiden Soeharto’ di Indonesia
pada bulan Mei 1998 oleh gerakan reformasi.
3. Expert Power (keahlian) ; yaitu kekuasaan diperoleh melalui keahlian
(ilmu pengetahuan, skill professional, seni mempengaruhi, serta budi
pekerti luhur) yang dimiliki seseorang, maksudnya pihak yang mengambil
kekuasaan memang memiliki kekuasaan seperti ini berlaku di negara
demokrasi, karena sistem personalianya dalam memilih karyawan
memakai merit sistem. Dalam pengisian formasi administrasi
kepegawaian dikenal motto ‘the right man on the right place’, sehingga
seseorang akan ditempatkan sesuai dengan proporsi dan
profesionalismenya. Apalagi bagi mereka yang memang dididik khusus
untuk itu, seperti penempatan dokter sebagai kepala rumah sakit, insinyur
pada jabatan teknis, tentara atau kepolisian pada jabatan keamanan dan
alumni STPDN/IIP/PIN sebagai camat.
Tetapi ada kalanya yang berlaku dalam praktek adalah sebaliknya, yang
menduduki suatu jabatan bukanlah orang yang mampu. Penempatannya
pada suatu jabatan oleh karena pengaruh ‘pressure group’ atau pengisian
jabatan oleh anggota keluarga pejabat yang berwenang, sistem
kepegawaian seperti ini disebut ‘spoil sistem’, sehingga pada gilirannya
kelompok elit pemerintahan terbentuk suatu ikatan primordial.
4. Reward Power (pemberian) ; yaitu kekuasaan yang diperoleh melalui
suatu pemberian atau karena berbagai pemberian, pemberian dilakukan
karena adanya suatu jasa atau sebagai balasan jasa, termasuk biasa
dapat diperoleh karena kemampuan keuangan yang sangat cukup untuk
‘membeli’ suatu kekuasaan.
5. Reverent Power (daya tarik) ; yaitu kekuasaan yang diperoleh melalui
daya tarik seseorang. Walaupun daya tarik tidak menjadi faktor utama
mengapa seseorang ditentukan menjadi kepala yang kemudian
menguasai keadaan, namun daya tarik penampilan seperti postur tubuh
dan wajah yang rupawan, dalam hal ini termasuk kecantikan dan
kelembutan wanita, dapat menentukan dalam mengambil perhatian orang
lain, dalam usaha menjadi kepala.
Seperti banyak orang yang tidak dapat memisahkan kekagumannya
kepada Jenderal Charles de Gaulle; antara postur tubuhnya yang gagah
dan tinggi besar dengan kecerdasannya mengepalai pemerintahan
Prancis, begitu juga presiden XVI Amerika Serikat Abraham Loncoln;
menjadi lebih terkenal sejak memelihara jenggot yang menutupi pipi
cekungnya sebelah kiri, presiden XXXV Amerika Serikat John F. Kennedy
yang rupawan, juga memanfaatkan kecantikan Madam Merilyn Monroe
yang memiliki ukuran tubuh sempurna, untuk memenangkan pemilihan
umum dalam kampanyenya di negara adi kuasa tersebut.
Di Indonesia, beberapa mantan presidennya juga dikenal memiliki daya
tarik penampilan yang khas seperti, Bung Karno dengan gingsulnya yang
terlihat apabila tertawa dan berpidato memperlihatkan kebolehannya
sebagai orator ulung dunia, Pak harto terkenal dengan senyumnya yang
kebapakan walaupun beliau seorang tentara sehingga disebut dengan ‘the
smilling general’, termasuk Pak Habibie dengan lesung pipit dan gerakan
khas kepalanya yang menggambarkan kecerdasan intetektual sains
teknologi yang dimilikinya.
Selain kelima hal di atas yang dikemukakan oleh J.R.P. French dan
Bertram Raven, para pakar lain juga menambahkan, yaitu :
6. Information Power (informasi) ; yaitu kekuasaan yang diperoleh karena
seseorang begitu banyak memiliki keterangan sehingga orang lain
membutuhkan dirinya untuk bertanya, biasanya orang yang bersangkutan
membatasi keterangannya agar terus menerus dibutuhkan.
7. Connection Power (relasi) ; yaitu kekuasaan yang diperoleh karena
seseorang memiliki hubungan keterikatan tertentu dengan seseorang
yang sedang berkuasa atau memiliki wewenang, hal demikian biasa
disebut dengan hubungan kekerabatan atau kekeluargaan (nepotisme)
Setelah kekuasaan diperoleh, Strauss mengemukakan pendapat tentang
bagaimana cara memotivasi orang-orang untuk mau melaksanakan
pekerjaan lebih giat, sesuai dengan keinginan kepala (pemerintahan) yang
memiliki kekuasaan, yaitu :
1. be strong approach, suatu pendekatan di mana untuk memotivasi
bawahan dan masyarakat dipergunakan cara paksa dengan keras.
2. be good approach, suatu pendekatan di mana untuk memotivasi
bawahan dan masyarakat dipergunakan cara pemanjaan.
3. be competition, suatu pendekatan di mana untuk memotivasi bawahan
dan masyarakat dipergunakan usaha mengadu mereka dalam berbagai
jenis perlombaan, baik antar individu, group, atau dengan organisasi /
negara lain.
4. internalized motivation, suatu pendekatan di mana untuk memotivasi
bawahan dan masyarakat dipergunakan penanaman kesadaran kerja
kepada mereka.
5. implicit bargaining, suatu pendekatan di mana untuk memotivasi
bawahan dan masyarakat dipergunakan cara dengan mengadakan suatu
perjanjian terlebih dahulu.
C. Negara Hukum
1. Pengertian Negara Hukum
Bambang Sutiyoso, S.H., M.Hum. dan Sri Hastuti Puspitasari, S.H.,
M.Hum. ; negara hukum pada prinsipnya menghendaki segala tindakan
atau perbuatan penguasa mempunyai dasar hukum yang jelas atau ada
legalitasnya, baik berlandaskan hukum tertulis maupun hukum tidak
tertulis
Drs. Budiyanto ; negara hukum adalah negara yang melaksanakan
kekuasaannya (pemerintah beserta alat kelengkapan negaranya)
berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku serta dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum
Prof. Padmo Wahyono, S.H., ; suatu negara hukum yang ideal pada abad
XX ini adalah jika segala tindakan penguasa (negara) selalu dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum
Prof. R. Djokosutono, S.H. ; sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
Dasar 1945, negara hukum adalah negara yang berdasarkan pada
kedaulatan hukum, hukumlah yang berdaulat atas negara tersebut,
negara merupakan subjek hukum dalam arti Rechtsstaat (badan hukum
publik). Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 juga disebutkan
“Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat) tidak
berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machsstaat)”. Ini mengandung arti
bahwa negara dalam meletakkan aktivitasnya (penyelenggaraan
pemerintahan) tidak boleh berdasarkan atas kekuasaan belaka, tetapi
harus berdasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku
(catatan; sesuai dengan hasil amandemen Undang-Undang Dasar 1945,
maka Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 kini tidak
lagi memiliki bagian penjelasan, tetapi dalam ketentuan pasal 1 ayat (3)
jelas disebutkan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”)
Sudargo Gautama ; bahwa dalam suatu negara hukum terdapat
pembatasan kekuasaan negara terhadap perorangan. Negara tidak maha
kuasa, tidak bertindak sewenang-wenang, tindakan negara terhadap
warganya dibatasi oleh hukum
Negara Hukum adalah Negara yang dalam segala aspek kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, termasuk dalam
penyelenggaraan pemerintahan harus berdasarkan hukum dan asas-asas
umum pemerintahan yang baik, yang bertujuan meningkatkan kehidupan
demokratis yang sejahtera, berkeadilan dan bertanggung-jawab (UU No.
37 Tahun 2008; Ombudsman RI)
Teori tentang berdirinya negara berdasar atas hukum, sudah dikenal sejak
abad V SM (Yunani Kuno). Gagasan mengenai negara hukum pada
hakikatnya bertujuan untuk melindungi hak-hak asasi manusia. Secara
teori maupun praktek, gagasan tentang negara hukum mengalami
kemajuan pesat sejak abad XV – XVIII.
Dalam selang waktu itu, peristiwa renaissance dan reformasi di Eropa
sangat berpengaruh terutama di bidang kehidupan politik dan hukum. Hal
ini dipelopori antara lain oleh Hugo de Groot, Thomas Hobbes, Benedectus
de Spinoza, John Locke, Montesquieu, J.J. Rousseau, dan Immanuel Kant
(1724-1804) yang dianggap sebagai pelopor yang paling berjasa dalam
meletakkan gagasan tentang ‘negara hukum murni atau formal’
Teori Immanuel Kant tentang negara hukum murni atau formal
menjadikan negara bersifat pasif hanya untuk mempertahankan
ketertiban dan keamanan negara (penjaga malam), sedangkan dalam
urusan sosial maupun ekonomi negara tidak boleh mencampurinya,
hingga lahirlah semboyan ‘Laissez Faire, Laissez Aller’ yaitu persaingan
bebas dalam bidang ekonomi, hingga muncullah istilah kapitalisme dalam
ekonomi dan liberalisme dalam bidang politik
Dalam prakteknya sekitar abad XIX, teori Kant yang banyak diterapkan di
belahan Eropa, Amerika dan Australia ini ternyata banyak melahirkan
eksploitasi manusia maupun alam, monopoli dan ‘free fight liberalism’,
serta kesenjangan sosial yang terus semakin melebar
Pada perkembangan lebih lanjut di akhir abad XIX, sebagai kritikan atas
penerapan teori Kant, Prof. Kranenburg memperkenalkan istilah ‘welfare
state’ (negara kesejahteraan). Teori ini dikenal dengan negara hukum
material, karena pandangannya yang menyatakan bahwa negara selain
bertugas membina ketertiban hukum, ia juga ikut bertanggungjawab
dalam membina dan mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya, praktek
teori ini banyak dianut oleh negara-negara berkembang seperti Indonesia
Dengan demikian, pengertian negara hukum memang berbeda atau
bahkan berlawanan dengan pengertian negara kekuasaan. Dasar
pemikiran negara hukum beranjak dari adanya kebebasan rakyat (Liberte
du Citoyen), bukan kebebasan negara (Gloire de I‘etat). Tujuannya adalah
untuk memelihara ketertiban hukum (rechtorde) dan mengabdi kepada
kepentingan umum yang berdasarkan kebenaran dan keadilan. Hukum
bersifat menentukan kekuasaan dan negara diabdikan untuk kepentingan
rakyat
2. Prinsip, Unsur dan Ciri Negara Hukum
Immanuel Kant ; mengemukakan empat prinsip yang menjadi ciri
negara hukum, yaitu :
a. pengakuan dan jaminan atas hak-hak asasi manusia
b. pemisahan kekuasaan untuk menjamin hak-hak asasi manusia
c. pemerintah berdasarkan atas hukum, dan
d. adanya pengadilan guna menyelesaikan masalah yang timbul akibat
pelanggaran hak asasi manusia
M. Kusnardi, S.H. dan H. Ibrahim, S.H. ; menyebutkan bahwa unsur-
unsur negara hukum dapat dilihat pada negara hukum dalam arti sempit
maupun formil. Dalam arti sempit, pada negara hukum hanya dikenal dua
unsur penting yaitu perlindungan terhadap hak asasi manusia dan
pemisahan kekuasaan. Sedangkan pada negara hukum dalam arti formil,
unsur-unsurnya mencakup antara lain :
a. perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia
b. pemisahan kekuasaan
c. setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan pada peraturan Undang-
undang, dan
d. adanya peradilan administrasi yang berdiri sendiri
Prof. Paul Scholten ; mengemukakan bahwa unsur negara hukum yang
utama adalah adanya pembatasan kekuasaan yang berlandaskan hukum,
dengan demikian asas legalitas terdapat di negara hukum. Pelanggaran
terhadap hak-hak individu hanya dapat dilakukan apabila diperkenankan
oleh peraturan perundang-undangan, sehingga setiap tindakan negara
harus selalu berdasarkan hukum
Bambang Sutiyoso, S.H., M.Hum. dan Sri Hastuti Puspitasari, S.H.,
M.Hum. ; mengemukakan beberapa ciri negara hukum, yaitu :
a. pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia, yang
mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi,
dan kebudayaan
b. peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh
suatu kekuasaan atau kekuatan apapun
c. legalitas dalam arti hukum dengan segala bentuknya
Prof. Dr. Ismail Suny, S.H., Mcl. ; sesuai hasil simposium tentang
‘Indonesia Negara Hukum’ yang diselenggarakan Fakultas Hukum
Universitas Indonesia pada tanggal 08 Mei 1966, maka ada tiga sifat atau
ciri negara hukum sebagaimana yang dianut oleh Indonesia yaitu :
a. pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia yang mengandung
persamaan dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, dan
kebudayaan. Hal ini berdasarkan atas ketentuan hukum
b. peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh
sesuatu kekuatan apa pun juga. Artinya, ada kekuasaan yang terlepas dari
kekuasaan pemerintah untuk menjamin hak-hak asasi sehingga hakim
betul-betul memperoleh putusan yang objektif dalam memutuskan
perkara
c. legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya, dengan ini suatu
tindakan harus sesuai dengan yang dirumuskan dalam peraturan hukum
3. Konsepsi Negara Hukum
Konsep negara hukum sangat terkait dengan sistem hukum yang dianut
oleh negara yang bersangkutan. Dalam literatur lama pada dasarnya
sistem hukum dunia dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu
sistem hukum Civil Law atau Rechsstaat – Eropa Kontinental serta sistem
hukum Common Law atau Rule of Law – Anglo Saxon, sehingga kedua
sistem itu seolah-olah membelah dunia hukum menjadi dua kubu.
Sedangkan dalam literatur keterkinian, selain menyebutkan kedua sistem
hukum tersebut, juga terdapat sistem hukum lain seperti sistem hukum
Islâm, sistem hukum Sosialis dan lain-lain.
Menurut Albert Venn Dicey terdapat tiga kelompok negara yang
terpengaruh oleh sistem hukum yaitu: (1) kelompok negara yang
dipengaruhi [seeded], (2) kelompok negara yang diduduki, (3) kelompok
negara yang ditaklukkan [conquered].
Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa ada tiga konsep negara hukum,
yaitu rechsstaat, the rule of law, dan negara hukum Pancasila. Dewasa ini
menurut M. Tahir Azhari, dalam kepustakaan ditemukan lima konsep
negara hukum, yang masing-masing memiliki prinsip-prinsip utama yang
dianut, di mana satu dengan lainnya dapat ditemukan persamaan dan
juga perbedaannya, kelima konsep tersebut adalah :
a. Nomokrasi Islâm
Nomokrasi Islâm, adalah konsep negara hukum yang pada umumnya
diterapkan di negara-negara Islâm. Istilah Nomokrasi Islâm adalah untuk
menyebutkan konsep negara hukum dari sudut pandang Islâm atau untuk
lebih memperlihatkan kaitan negara hukum itu dengan hukum Islâm yang
sumber utamanya adalah al-Qur’ân dan Sunnah Rasul
Menurut Bambang Sutiyoso, S.H., M.Hum. dan Sri Hastuti Puspitasari, S.H.,
M.Hum. Nomokrasi Islâm adalah suatu negara hukum yang memiliki
prinsip-prinsip, yaitu antara lain :
1) prinsip kekuasaan sebagai amanah (QS. an-Nisâ : 58)
2) prinsip musyawarah (QS. asy-Syuura : 38, Ali Imrân : 159)
3) prinsip keadilan (QS. an-Nisa : 135, Al-Mâidah : 8)
4) prinsip persamaan (QS. al-Hujurât : 13)
5) prinsip pengakuan dan perlindungan Hak Asasi Manusia (QS. al-Isra :
133, Qâf : 45, al-Bâqarah : 256)
6) prinsip peradilan bebas (QS. an-Nisâ : 58)
7) prinsip perdamaian (QS. al-Bâqarah : 190)
8) prinsip kesejahteraan (QS. Sabâ : 15, Adz-Dzâriyât : 19)
9) prinsip ketaatan rakyat (QS. an-Nisâ : 59)
Islâm tidak hanya berisi ajaran tentang keimanan atau aqidah, ibadah
serta moral belaka, tetapi juga berisi ajaran tentang hukum sebagaimana
dimaksud dalam konsep hukum modern. Islâm juga mengajarkan masalah
kekuasaan kehakiman yang pelaksanaannya memerlukan kekuasaan
negara. Oleh karena itu Islâm memerintahkan pembentukan badan
peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan (QS. an-Nisâ : 105,
135). Penegakkan hukum tersebut diperlukan karena sifat dasar manusia
yang antara lain senang kepada hawa nafsu dan berpotensi untuk saling
bermusuhan (QS. Ali Imrân : 14, Al-Kahfi : 54, dan Yâsin : 77).
Penyelenggaraan penegakkan keadilan itu dibimbing oleh hukum materiil
(substantive law) dan hukum formil (procedure law), yang mempunyai
hubungan amat erat satu sama lain. Hukum materiil tidak mungkin dapat
berdiri sendiri lepas dari hukum formil, begitu pula sebaliknya. Maka Al-
Qur’ân dan Hadist disamping mengajarkan asas-asas hukum materiil, juga
mengajarkan asas-asas hukum formil.
Dalam Islâm, peradilan itu merupakan tugas yang mulia dan agung,
karena di dalam kekuasaan peradilan terkandung “menyuruh ma’ruf dan
mencegah munkar”, “menyampaikan hak kepada yang harus
menerimanya dan menghalangi orang zalim untuk berbuat aniaya, serta
mewujudkan perbaikan umum”. Kekuasaan peradilan itu amat luas
bidangnya, baik menyangkut jiwa, barang-barang atau harta benda,
kehormatan atau martabat manusia dan lain sebaginya. Oleh karena itu
Islâm memberikan pedoman, agar para hakim dan peradilan tidak
menyimpang atau menyeleweng dari hal-hal yang sudah ditentukan
dalam Islâm itu sendiri (QS. al-Mâidah : 49, an-Nisâ : 58, 65).
b. Konsepsi Civil Law atau Rechsstaat
Civil Law atau Rechsstaat adalah konsep negara hukum yang diterapkan
dan bertumpu pada negara-negara dengan sistem hukum Eropa
Kontinental (Sentralnya; Jerman, Prancis, Belgia, Belanda dan
Skandinavia). Pada tife ini yang berdaulat adalah hukum, sehingga hukum
memandang negara sebagai subjek hukum yang dapat dituntut bila
melanggar hukum. Selain itu sistem hukum Eropa Kontinental
mengutamakan hukum tertulis, yaitu dengan cara mengkodifikasikan
peraturan perundang-undangan sebagai sendi utama sistem hukumnya.
Ide tentang negara hukum rechtsstaat mulai popular pada abad XVII
sebagai akibat dari situasi sosial politik di Eropa yang didominasi oleh
absolutisme raja. Sehingga rakyat menginginkan suatu perombakan
struktur sosial politik yang tidak menguntungkan itu dengan suatu negara
hukum yang liberal, agar setiap orang dapat dengan aman dan bebas
mencari penghidupan dan kehidupan masing-masing. Pemikiran dua tokoh
terkemuka, yaitu Immanuel Kant dan Freidrich Stahl cukup mewarnai
konsep negara hukum ini, karena konsepnya yang sejak semula
didasarkan pada filsafat individualistik, maka ciri individualistik itu sangat
menonjol dalam pemikiran negara hukum rechtsstaat ini.
Dalam sejarahnya tercatat enam pase perkembangan Civil Law yaitu :
i. Fase Formasi Hukum Romawi; Fase ini dimulai saat lahirnya sistem
hukum Eropa Kontinental yaitu krtika mulai diberlakukannya Undang-
undang Dua Belas Pasal (The Twelve Tables) di Romawi sekitar tahun 400
SM.
ii. Fase kematangan Hukum Romawi; Fase ini terjadi pada saat mulai
berlakunya kumpulan Undang-undang yang spektakuler di Romawi ketika
berlakunya ‘Corpus Juris Civilis’ yang dibuat atas supervisi raja Justinian di
abad VI M.
iii. Fase Kebangkitan Kembali Hukum Romawi; Fase ini terjadi ketika
timbulnya semangat di Eropa untuk memahami dan menerapkan kembali
hukum Romawi pada abad XI M.
iv. Fase Resepsi Hukum Romawi; Fase ini terjadi ketika sistem hukum
Romawi yang disebut ‘Jus Commune’ diberlakukan di berbagai negara
Eropa sejak awal abad XVI M.
v. Fase Kodifikasi Hukum; Fase ini terjadi ketika dibuat beberapa kodifikasi
di berbagai negara pada abad XiX M., seperti Code Napoleon di Prancis
yang terdiri dari Code Civil (Hukum Pedata), Code Penal (Hukum Pidana),
Code Du Commerce (Hukum Dagang), dan Code tentang Hukum Acara
Perdata dan Acara Pidana.
vi. Fase Resepsi Kodifikasi; Fase ini terjadi tidak lama setelah terciptanya
kodifikasi di Prancis yang ditandai dengan banyaknya negara di benua
Eropa yang memberlakukan Code Napoleon dengan beberapa
penyesuaian, seperti ketika Prancis menguasai Belanda (Tahun 1806–
1813) Code Civil dan Code Du Commerce diberlakukan di Belanda, bahkan
selama 24 tahun setelah kemerdekaannya kedua hukum peninggalan
Prancis tersebut masih berlaku, walaupun sejak tahun 1814 Belanda mulai
menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Sipil) atau KUHS Negeri
Belanda, berdasarkan kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh MR.J.M.
KEMPER disebut ONTWERP KEMPER namun sayangnya KEMPER meninggal
dunia 1824 sebelum menyelesaikan tugasnya dan dilanjutkan oleh
NICOLAI yang menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Belgia. Keinginan
Belanda tersebut terealisasi pada tanggal 6 Juli 1838 dengan
pembentukan dua kodifikasi yang baru diberlakukan pada tanggal 1
Oktober 1838 oleh karena telah terjadi pemberontakan di Belgia yaitu :
1. Burgerlijk Wetboek yang disingkat BW (atau Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata-Belanda),
2. Wetboek van Koophandel disingkat WvK (atau yang dikenal dengan
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang)
Kodifikasi ini menurut Prof Mr J, Van Kan BW adalah merupakan
terjemahan dari Code Civil hasil jiplakan yang disalin dari bahasa Perancis
ke dalam bahasa nasional Belanda Belanda. Kemudian ketika Belanda
menjajah Indonesia, Pada 31 Oktober 1837, Mr.C.J. Scholten van Oud
Haarlem diangkat menjadi ketua panitia kodifikasi dengan Mr. A.A. Van
Vloten dan Mr. Meyer masing-masing sebagai anggota yang kemudian
anggotanya ini diganti dengan Mr. J.Schneither dan Mr. A.J. van Nes.
Kodifikasi KUHPdt. Hindia Belanda diumumkan pada tanggal 30 April 1847
melalui Staatsblad No. 23 dan remi berlaku berlaku menurut asas
Konkordansi pada Januari 1948.
c. Konsepsi Common Law atau Rule of Law
Istilah Rule of Law mulai popular dengan terbitnya buku dari Albert Venn
Dicey tahun 1885, dengan judul ‘Introduction to The Study of The Law
Constitution’, konsep ini terutama berkembang dan diterapkan di negara
Anglo Saxon (Sentralnya; Inggris dan Amerika Serikat), tife ini bertumpu
pada ‘the rule of law’ yang menurut A.V. Dicey terbagi dalam tiga unsur
pokok, yaitu :
1) Supremacy of the law, yaitu hukum mempunyai kedudukan yang paling
tinggi. Pemerintah selaku penguasa tidak boleh bertindak sewenang-
wenang, setiap individu tanpa kecuali baik sebagai rakyat maupun
sebagai penguasa harus tunduk kepada hukum dan kalau bersalah harus
dihukum, ciri khas supremacy of the law adalah :
a) hukum berkuasa penuh terhadap negara dan rakyat
b) negara tidak dapat disalahkan, yang salah adalah pejabat negara, dan
c) hukum tidak dapat diganggu gugat, kecuali oleh ‘Supreme of Court’
(Mahkamah Agung)
2) Equality before the law, yaitu segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum. Rakyat maupun penguasa berhak
mendapatkan perlindungan hukum dan wajib pula mematuhi hukum
3) Constitution based on human rights, yaitu adanya jaminan hak-hak
asasi di dalam konstitusi. Hal ini merupakan penegasan bahwa hak-hak
asasi harus dilindungi
The rule of law ini kemudian direvisi kembali oleh ‘International
Commission of Jurists’ dalam konferensi di Bangkok tahun 1965. konsep
tersebut diperluas sehingga tidak lagi hanya menyangkut hak-hak politik,
tetapi juga menyangkut hak-hak sosial dan ekonomi.
Ada pun syarat-syarat dasar agar pemerintahan demokratis di bawah rule
of law terselenggara, yaitu antara lain :
2) Perlindungan konstitusional
3) Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak
4) Pemilihan umum yang bebas
5) Kebebasan untuk menyatakan pendapat
6) Kebebasan untuk berserikat, berorganisasi, dan beroposisi
7) Adanya pendidikan kewarganegaraan (civic education)
Sistem Anglo Saxon tidak menjadikan peraturan perundang-undangan
sebagai sendi utama sistem hukumnya, sendi utamanya adalah
Yurisprudensi. Sistem hukum Anglo Saxon berkembang dari kasus-kasus
konkrit yang kemudian berubah menjadi kaidah dan asas hukum, karena
itu sistem ini sering disebut sebagai sistem hukum yang berdasarkan
kasus (case law system).
Konsep Rule of Law ini juga tidak membedakan kedudukan antara pejabat
negara dengan rakyatnya, dalam arti baik rakyat maupun pejabat
pemerintah, apabila melakukan pelanggaran hukum sama-sama
diselesaikan melalui pengadilan umum biasa. Dengan demikian, putusan
hakim mendapatkan tempat yang terhormat sebagai jaminan tertinggi
dalam melindungi hak warga negaranya dalam segala hal yang muncul
dari hukum.
Sejarah sistem Common Law (Rule of Law) tidak dapat dipisahkan dengan
sejarah perkembangan negara Inggris. Hingga tahun 1066 M., tidak
dikenal keseragaman dalam sistem hukum yang bersifat nasional di
Inggris. Sebelum tahun 1066 sistem hukum Inggris merupakan sistem
hukum adat yang bervariasi antar satu daerah dengan daerah lainnya.
Sebagi contoh sistem hukum yang dikenal dengan sebutan “Jutes” yang
berlaku di Selatan Inggris berbeda dengan sistem hukum “Mercians” yang
berlaku di Inggris Tengah. Masing-masing wilayah memiliki sistem
pengadilan lokal sendiri yang disesuaikan dengan adat-istiadat setempat
yang bervariasi antara satu komunitas dengan komunitas lainnya.
Sistem hukum Inggris berkembang dari tradisi yang diimplementasikan
(tradition expessed in action), bermula dari hukum adat yang diterapkan
pada Pengadilan Kerajaan (King’s Court) untuk menyelesaikan sengketa
dan perkara yang berpengaruh secara langsung terhadap kerajaan,
awalnya dimulai secara sederhana dengan kasus-kasus kejahatan ringan
yang kemudian disebut dengan “Pleas of the Crown”.
Hingga Inggris diinvasi oleh Norman masih terdapat jenis pengadilan yang
berbeda yang terpisah dari pengadilan kerajaan, misalnya pengadilan
khusus yang terdapat di Devon dan Cornwall (the stannary [tin mining]
courts), pengadilan yang terkait dengan perburuan di hutan kerajaan (the
royal hunting forests), namun secara prinsip pengadilan-pengadilan ini
merupakan tandingan dari pengadilan kerajaan. Kemudian pada masa
pemerintahan Raja Henry II pengadilan mulai memiliki spesialisasi dalam
bidang hukum bisnis dan benar-benar bertindak dalam kapasitas bidang
judisial.
Pada 1154, Raja Henry II melembagakan Common Law dengan cara
menyeragamkan sistem pengadilan menjadi berlaku secara umum
(common) di seluruh negeri. Penyeragaman ini dengan mengambil nilai-
nilai lokal yang relevan atau menghapuskan sistem lokal yang tidak sesuai
untuk dinasionalkan. Penyatuan sistem hukum ini menghapuskan
keberlakuan sistem hukum lokal dengan berbagai bentuknya, dan juga
menerapkan sistem Jury dengan melibatkan warga negara yang
disumpah, untuk menilai kasus-kasus kriminal dan perdata.
Sistem hukum “Common” ini mengharuskan para hakim secara reguler
melakukan perjalanan ke daerah-daerah di seluruh negeri untuk
memastikan keadilan sampai kepada setiap warga negara yang
membutuhkannya. Tujuan pemberlakuan sistem hukum nasional ini
adalah agar ada sistem hukum yang berlaku umum (Common) di seluruh
Inggris sehingga kemudian sistem ini dikenal dengan sebutan “The
Common Law”
Para hakim yang melakukan persidangan dengan cara mendatangi
daerah-daerah kemudian bertindak sebagai hakim yang memiliki jurisdiksi
secara nasional yang tidak memiliki keterikatan dengan daerah yang
dikunjunginya. Di bawah pemerintahan Raja Henry II inilah untuk pertama
kalinya hakim mengenal sistem rotasi, mangadili daerah-daerah dan
mengambil alih persidangan-persidangan pengadilan lokal.
Mulanya putusan hakim hanya ditulis saja, tetapi dalam
perkembangannya mulai direkam, ditulis dan dipublikasikan yang
kemudian berkembang doktrin di mana putusan-putusan pengadilan masa
lalu (precedents) bersifat mengikat hakim berikutnya untuk perkara-
perkara yang sama. Perkembangan-perkembangan inilah yang terjadi
pada Common Law of England, hukum yang berlaku bagi seluruh negeri
Inggris.
d. Socialist Legality
Socialist Legality, adalah konsep negara hukum yang diterapkan di
negara-negara komunis. Substansi dari negara hukum Socialist Legality ini
berbeda dengan konsep negara hukum rechtsstaat atau rule of the law.
Dalam negara hukum socialist legality, hukum ditempatkan di bawah
‘Sosialisme’. Hukum adalah sebagai alat untuk mencapai sosialisme. Hak
perseorangan dapat disalurkan kepada prinsip-prinsip sosialisme,
meskipun hak tersebut patut mendapat perlindungan. Tradisi hukum
sosialis bukan didasarkan pada peranan peraturan perundang-undangan
atau yurisprudensi, melainkan pada dasar kebijaksanaan ekonomi dan
sosial. Menurut pandangan ini, hukum adalah instrument (alat)
kebijaksanaan dalam bidang ekonomi dan sosial (instruments of economic
and social policy)
e. Negara Hukum Pancasila
Menurut Prof. R. Djokosutono, S.H. negara hukum di Indonesia
berdasarkan kedaulatan hukum, sebab dalam prakteknya, kekuasaan
yang dijalankan oleh negara berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak
berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat), hal ini sesuai dengan
penegasan UUD 1945 hasil amandemen sebagaimana disebut pada pasal
1 ayat (3). Sebagai konsekuensi logisnya, maka tatanan kehidupan
masyarakat, berbangsa dan bernegara harus berpedoman pada norma-
norma hukum. Hukum ditempatkan sebagai ‘panglima’ di atas bidang-
bidang yang lain, seperti politik, ekonomi, sosial budaya dan yang lainnya
Karena Pancasila merupakan jiwa dan pandangan hidup bangsa yang
merupakan sumber dasar tertib hukum yang ada, maka negara hukum
Indonesia dapat pula dinamakan negara hukum Pancasila. Salah satu ciri
pokok dalam negara hukum Pancasila adalah adanya jaminan terhadap
‘freedom of religion’ atau kebebasan beragama. Kebebasan beragama di
sini dalam konotasi positif, artinya tiada tempat bagi atheisme. Negara
hukum Pancasila bertitik pangkal dari asas kekeluargaan dan kerukunan
secara terpadu, kepentingan rakyat banyak lebih diutamakan, namun
harkat dan martabat manusia tetap dihargai
Menurut Prof. Dr. H. M. Tahir Azhari, S.H., konsep negara hukum Pancasila
mempunyai ciri-ciri pokok, yaitu sebagai berikut :
1) ada hubungan yang erat antara agama dan negara
2) burtumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa
3) kebebasan beragama dalam arti yang positif
4) atheisme tidak dibenarkan dan komunisme dilarang
5) asas kekeluargaan dan kerukunan
6) sistem konstitusi
7) persamaan dalam hukum, dan
8) peradilan bebas
D. Hak Asasi Manusia
1. Pengertian Hak Asasi Manusia
Istilah Hak Asasi Manusia merupakan terjemahan dari ; droits de L’homme
(Prancis), human rights (Inggris), dan menselijke rechten (Belanda). Di
Indonesia, hak asasi umumnya lebih dikenal dengan istilah ‘hak-hak asasi’
sebagai terjemahan dari basic rights (Inggris), grond rechten (Belanda),
atau bisa juga disebut sebagai hak-hak fundamental (fundamental rights,
civil rights)
Menurut Drs. Usman Surur, M.Pd. Hak Asasi Manusia terdiri dari rangkaian
tiga buah kata, yaitu :
a. Hak berasal dari bahasa Arab yang artinya kebenaran, dalam kamus
bahasa Indonesia juga diartikan dengan kebenaran, dan yang berkaitan
dengan kepemilikan, kekuasaan atau kewenangan
b. Asasi berasal dari bahasa Arab Asasiyyun artinya bersifat prinsip,
maksudnya sesuatu yang prinsip itu adalah hal yang amat mendasar dan
tidak boleh tidak ada
c. Manusia dalam pengertian umum adalah makhluk yang berakal budi,
orang Jawa menyebut Manungso (Manunggaling Raso), baru disebut
manusia kalau memahami perasaan orang lain, atau dalam bahasa Arab
digunakan Nas dari kata Anasa yang artinya melihat, mengetahui atau
meminta ijin. Berdasarkan rangkaian kata tersebut, maka yang dimaksud
Hak Asasi Manusia adalah sejumlah nilai yang menjadi ciri khas manusia
yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi
Menurut Prof. Mr. Koentjoro Poerbapranoto (1976), hak asasi adalah hak
yang bersifat asasi, artinya hak-hak yang dimiliki manusia menurut
kodratnya yang tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya sehingga sifatnya
suci. Jadi, hak asasi dapat dikatakan sebagai hak dasar yang dimiliki oleh
pribadi manusia sebagai anugerah Tuhan yang dibawa sejak lahir. Hak
asasi itu tidak dapat dipisahkan dari eksistensi pribadi manusia itu sendiri
Menurut Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
pada pasal 1 angka 1 dinyatakan bahwa Hak Asasi Manusia adalah
“Seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan Anugerah-Nya
yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum,
pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat
dan martabat manusia”
2. Karakteristik, Kandungan Nilai dan Cakupan Hak Asasi Manusia
Ciri khas dari Hak Asasi Manusia, antara lain :
1) Qodrat, artinya Hak Asasi Manusia itu adalah pemberian dari Tuhan
kepada setiap manusia agar hidupnya terhormat
2) Hakiki, Hak Asasi Manusia itu melekat pada diri setiap manusia, tanpa
melihat latar belakang kehidupan dan status sosialnya
3) Universal, artinya Hak Asasi Manusia itu berlaku umum, tidak
membeda-bedakan manusia yang satu dengan yang lainnya
4) Tidak Dapat Dicabut, artinya Hak Asasi Manusia dalam keadaan
bagaimana pun, tetap ada pada setiap orang
5) Tidak Dapat Dibagi, artinya Hak Asasi Manusia itu tidak dapat diwakili
atau pun dialihkan kepada orang lain
kandungan Nilai Hak Asasi Manusia
Kebebasan atau Kemerdekaan ; manusia dilahirkan dalam keadaan
merdeka, karena itu menjadi harapan setiap manusia menjalani
kehidupannya dalam keadaan merdeka. Seperti merdeka memilih negara,
tempat tinggal, berkeluarga, bergerak, memilih pekerjaan, berserikat,
berkumpul, berekspresi, mengemukakan pendapat, memperoleh dan
mendayagunakan informasi dan lain sebagainya
Kemanusiaan dan Perdamaian ; manusia dalam menjalani kehidupannya
sangat mendambakan ketentraman, bebas dari rasa takut, terjamin
keamanannya dan senantiasa dalam suasana damai
Keadilan, Kesederajatan, dan Persamaan ; diperlakukan secara wajar dan
adil, mendapatkan kesempatan yang sama dalam memperoleh hak, tidak
dibeda-bedakan antara manusia yang satu dengan yang lain berdasarkan
alasan apa pun, merupakan keinginan setiap manusia
Berdasarkan Instrumen Internasional Hak Asasi Manusia, mencakup atau
meliputi tiga aspek utama (Karel Vassak dari Prancis menyebutnya tiga
generasi), yaitu :
Hak Sipil dan Politik (Generasi Pertama) ; mengedepankan hak-hak
individu yang bebas (merdeka). Paham ini dikembangkan di Amerika
Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Generasi Kedua) ; yang menjadi obsesi
untuk dikembangkan lebih awal, penekanannya lebih banyak pada aspek
kesejahteraan dan hak kolektif. Paham ini dikembangkan di negara-
negara non blok
Hak atas Pembangunan ; merupakan gabungan atau kombinasi dari dua
generasi sebelumnya, terutama dianut oleh negara berkembang
3. Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia
Latar belakang sejarah hak asasi manusia pada hakikatnya muncul karena
keinsyafan manusia terhadap harga diri, harkat dan martabat
kemanusiaannya, sebagai akibat tindakan sewenang-wenang dari
penguasa, penjajahan, perbudakan ketidakadilan dan kelaliman (tirani)
yang hampir melanda seluruh umat manusia, di antaranya :
Tahun 2500 – 1000 SM ; (1) Perjuangan Nabi Ibrahim AS. melawan
kelaliman Raja Namruds, (2) Nabi Musa AS. memerdekakan bangsa Yahudi
dari perbudakan Raja Fir’aun di Mesir agar terbebas dari kesewenang-
wenangan, dan (3) Hukum Hammurabi pada masyarakat Babylonia yang
menetapkan ketentuan-ketentuan hukum yang menjamin keadilan bagi
warganya
Tahun 600 SM ; di Athena Yunani, Solon telah menyusun Undang-undang
yang menjamin keadilan dan persamaan bagi setiap warganya. Untuk itu
ia membentuk Haliaea, yaitu Mahkamah Keadilan untuk melindungi orang-
orang miskin, dan Majelis Rakyat atau ‘Ecclesia’ yang karena itu ia
dianggap sebagai Bapak Pengajar Demokrasi, perjuangan Solon ini
didukung juga oleh Pericles, seorang tokoh negarawan Athena
Tahun 527 – 322 SM ; (1) Kaisar Romawi, Flavius Anacius Justianus
menciptakan peraturan hukum modern yang terkodifikasi, ‘Corpus Iuris’
sebagai jaminan atas keadilan dan hak-hak asasi manusia, (2) pada masa
kebangkitan, Yunani banyak melahirkan filsuf terkenal dengan visi hak
asasi seperti, Socrates dan Plato sebagai peletak dasar diakuinya hak-hak
asasi manusia, serta Aristoteles yang mengajarkan tentang pemerintahan
berdasarkan kemauan dan cita-cita mayoritas warga
Tahun 30 SM – 632 M ; Kitab suci Injil yang dibawa Nabi Isa Almasih,
sebagai peletak dasar etika Kristiani dan ide pokok tingkah laku manusia
agar senantiasa hidup dalam cinta kasih, baik terhadap Tuhan maupun
sesama manusia, (2) Kitab suci Al-Quran yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW. banyak mengajarkan tentang toleransi, berbuat adil,
tidak boleh memaksa, bijaksana, serta menerapkan kasih sayang, selain
itu ‘Madinah Charter’ sebagai dokumen tertulis perjanjian perdamaian
antar seluruh komunitas di Madinah setelah Nabi Muhammad SAW. hijrah,
selaku konstitusi pembentukan negara Madinah, juga menetapkan
perlindungan atas hak asasi manusia
Tahun 1215 ; salah satu langkah awal terjadinya gerakan Rasionalisme
dan Humanisme di Eropa bergolak secara revolusioner di bidang hukum,
hak asasi, dan ketatanegaraan pada abad XVII-XIX, yaitu lahirnya Magna
Charta (Pembatasan kekuasaan raja dan hak asasi manusia) di Inggris,
yang dipelopori antara lain John Locke dan Thomas Aquino
Tahun 1679 ; Habeas Corpus Act, di Britania Raya, yaitu jaminan
kebebasan warga negara dan mencegah pemenjaraan yang sewenang-
wenang terhadap rakyat
Tahun 1689 ; Bill of Rights di Britania Raya, yaitu Undang-undang tentang
hak-hak dan kebebasan warga negara
Tahun 1776 ; Declaration of Indefendence di Amerika yang banyak
dipengaruhi ajaran J.J. Rousseau (Prancis), hak asasi secara resmi termuat
dalam Constitution of United States of America (USA) tahun 1787, berkat
jasa presiden Thomas Jeferson, yang disusul Abraham Licoln, Woodrow
Wilson dan lain-lain
Tahun 1789 ; Declaration des Droit de I’homme et Du Citoyen, yaitu
pernyataan hak-hak asasi manuisa dan warga negara sebagai hasil
revolusi Prancis di bawah kepemimpinan Jenderal Lafayatte dengan simbol
Liberte, Egalite, dan Freternite (kemerdekaan, persamaan, dan
persaudaraan), untuk menjamin hak asasi manusia tercantum dalam
konstitusi. Revolusi ini diprakarsai oleh para pemikir besar Prancis,
seperti : J.J. Rousseau, Voltaire dan Montesquieu. Pada tahun berikutnya
diikuti oleh konstitusi negara lain seperti, Belgia (1831), Jerman (1919),
Autralia dan Ceko (1920), Uni Sovyet (1936), dan Indonesia (1945)
Tahun 1941 ; Atlantic Charter yang muncul pada saat berkobarnya perang
dunia II, dengan pelopornya F.D. Roosevelt, yang menyebutkan empat
kebebasan (The Four Freedom) sebagai tiang penyangga hak-hak asasi
yang mendasar, yaitu : (1) kebebasan untuk berbicara dan mengeluarkan
pendapat, (2) kebebasan untuk beragama, (3) kebebasan dari rasa takut,
dan (4) kebebasan dari kemelaratan
Tahun 1948 ; lahirnya Universal Declaration of Human Rights yang
diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa
pada tanggal 10 Desember 1948 (tanggal ini kemudian diperingati
sebagai hari Hak Asasi Manusia Internasional) melalui resolusi 217 A (III),
yaitu pernyataan sedunia tentang hak-hak asasi manusia atau juga
disebut Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), yang terdiri atas
30 pasal. Piagam tersebut menyerukan kepada semua anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan bangsa lain di dunia untuk menjamin dan
mengakui hak-hak asasi manusia yang termuat di dalam konstitusi negara
masing-masing. Pesan moral dari deklarasi ini adalah jangan ada perang,
jangan ada kesewenang-wenangan dari yang punya kekuatan, karena itu
harus ada usaha yang sungguh-sungguh untuk menjunjung tinggi
martabat manusia (Human Dignity), agar tetap menjadi makhluk mulia
Tahun 1966 ; hasil sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa
pada tanggal 16 Desember 1966 menerima ‘Covenants on Human Rights’
Resolusi 2200 A (XXI), Covenants telah diakui dalam hukum Internasional
dan diratifikasi oleh negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa,
yaitu antara lain :
a. The International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), yaitu
memuat tentang hak-hak sipil dan hak-hak politik (seperti berkaitan
dengan persamaan hak antara pria dan wanita)
b. The International Covenant on Economic, Social and Culture Rights
(ICESCR), yaitu berisi syarat-syarat dan nilai-nilai bagi sistem demokrasi
ekonomi, sosial dan budaya
c. Optional Protocol, yaitu adanya kemungkinan seorang warga negara
yang mengadukan pelanggaran hak asasi kepada ‘The Human Rights
Committee’ Perserikatan Bangsa-Bangsa setelah melalui upaya
pengadilan di negaranya
Tahun 1986 ; tepat pada tanggal 04 Desember 1986, Sidang Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa kembali telah mensahkan Deklarasi tentang
Hak untuk Pembangunan, inti deklarasi ini adalah menegaskan kembali
komitmen Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat melalui pembangunan seluruh aspek kehidupan
dengan tetap mengedepankan penghormatan terhadap hak asasi manusia
4. Macam-macam Hak Asasi Manusia Menurut Para Ahli
Pandangan tentang hak asasi sangatlah beragam dan kontemporer.
Berdasarkan pandangan Para tokoh seperti John Locke, Aristoteles,
Montequieu dan J.J. Rousseau, dapat ditarik kesimpulan bahwa hak asasi
mencakup :
a. hak kemerdekaan atas diri sendiri
b. hak kemerdekaan beragama
c. hak kemerdekaan berkumpul
d. hak menyatakan kebebasan warga negara dari pemenjaraan sewenang-
wenang (bebas dari rasa takut)
e. hak kemerdekaan pikiran dan pers
Menurut Brierly, pada dasarnya hak asasi manusia dapat dibagi menjadi :
a. hak mempertahankan diri (self preservation)
b. hak kemerdekaan (independence)
c. hak persamaan pendapat (equality)
d. hak untuk dihargai (respect)
e. hak bergaul satu sama lain (intercourse)
Menurut Drs. H. Inu Kencana Syafiie, M.Si., beberapa macam hak asasi
dibedakan menjadi sebagai berikut :
a. hak untuk diperlakukan dengan baik, biasanya dikenal dengan tata
karma sesuai anutan budaya yang bersangkutan
b. hak untuk mengembangkan diri, biasanya dikenal dengan harkat untuk
mewujudkan keberadaan
c. hak untuk memilih dan dipilih serta terpakai tenaganya dalam
pemerintahan, biasanya dikenal dengan demokrasi
d. hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam penerapan
peratuaran, biasanya dikenal dengan persamaan di dalam hukum
e. hak untuk memiliki, membeli, menjual dan memanfaatkan sesuatu,
biasanya dikenal dengan persamaan di dalam perlakuan ekonomi
f. hak untuk beribadah dan menjalankan syariah agama, biasanya dikenal
dengan kebebasan beragama
g. hak untuk menuntut ilmu dan melakukan penelitian serta
pengembangan pengetahuan, biasanya dikenal dengan kebebasan ilmiah
h. hak untuk mengeluarkan keterangan pernyataan, biasanya dikenal
dengan kebebasan berpendapat
Drs. Budiyanto, menyimpulkan dan membedakan hak-hak asasi manusia,
yaitu sebagai berikut :
hak-hak asasi pribadi atau personal rights, yang meliputi ; kebebasan
menyatakan pendapat, kebebasan memeluk agama, kebebasan bergerak,
dan sebagainya
hak-hak asasi ekonomi atau property rights, yaitu hak untuk memiliki
sesuatu, membeli, dan menjual, serta memanfaatkannya
hak-hak asasi politik atau political rights, yaitu hak untuk ikut serta dalam
pemerintahan, hak pilih (dipilih dan memilih dalam suatu pemilihan
umum, hak untuk mendirikan partai politik, dan sebagainya
hak-hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum
dan pemerintahan atau rights of legal equality
hak-hak asasi sosial dan kebudayaan atau social and culture rights,
seperti hak untuk memilih pendidikan, hak untuk mengembangkan
kebudayaan, dan sebagainya
hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan
perlindungan atau procedural rights, seperti adanya peraturan dalam hal
penggeledahan, penangkapan, penahanan, peradilan, dan sebagainya
5. Macam-macam Hak Asasi Manusia Menurut Instrumen Internasional
a. Hak-hak Sipil, yaitu :
1) hak untuk menentukan nasib sendiri
2) hak untuk hidup
3) hak untuk tidak ditahan sewenang-wenang, tidak disiksa, dihukum
mati, dan hak atas peradilan yang adil
b. Hak-hak Politik, yaitu :
1) hak untuk menyampaikan pendapat
2) hak untuk berkumpul dan berserikat
3) hak untuk mendapatkan persamaan di depan hukum
4) hak untuk memilih dan dipilih
c. Hak Ekonomi dan Sosial, yaitu :
1) hak untuk bekerja, tidak dipaksa bekerja, dan hak untuk cuti
2) hak untuk mendapatkan upah yang sama
3) hak atas makanan
4) hak atas perumahan, dan memperoleh perumahan yang layak
5) hak atas kesehatan dan pelayanan kesehatan yang memadai
6) hak atas pendidikan
7) hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang sehat
d. Hak-hak Budaya, yaitu
1) hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan kebudayaan
2) hak untuk menikmati kemajuan ilmu pengetahuan
3) hak untuk memperoleh perlindungan atas hasil karya cipta
BAB VII
KONSTITUSI
A. Tinjauan Umum tentang Konstitusi
1. Pengertian Konstitusi
Istilah konstitusi berasal dari bahasa Prancis (constituer) yang berarti
membentuk, pemakaian istilah konstitusi dimaksudkan sebagai
pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu
negara. Sedangkan istilah Undang-Undang Dasar merupakan terjemahan
istilah ‘Gronwet’ (dalam bahasa Belanda Gron berarti tanah atau dasar,
dan wet berarti Undang-undang)
Di negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa nasionalnya,
biasa mengunakan istilah ‘Constitution’ yang dalam bahasa Indonesia
menjadi Konstitusi, dalam prakteknya dapat berarti lebih luas daripada
pengertian Undang-Undang Dasar, walaupun sebagian ahli
menyamakannya dengan Undang-undang Dasar. Bagi para sarjana ilmu
politik istilah Constitution merupakan sesuatu yang lebih luas, yaitu
keseluruhan dari peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun tidak
tertulis yang mengatur secara mengikat cara-cara bagaimana sesuatu
pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat
Dalam bahasa Latin, kata konstitusi merupakan gabungan dari kata cume
dan statuere. Cume adalah sebuah preposisi yang berarti ‘bersamaan
dengan…’, sedangkan statuere berasal dari kata sta yang membentuk
kata kerja pokok stare yang berarti ‘berdiri’. Atas dasar ini, kata statuere
mempunyai arti ‘membuat sesuatu agar berdiri atau mendirikan atau
menetapkan’. Dengan demikian bentuk tunggal (constitution) berarti
menetapkan sesuatu secara bersama-sama, dan bentuk jamak
(constitusiones) berarti segala sesuatu yang telah ditetapkan
Mencermati dikotomi antara istilah constitution dengan gronwet, L.J.
Apeldorn telah membedakan secara jelas di antara keduanya, kalau
gronwet adalah bagian tertulis dari suatu konstitusi, sedangkan konstitusi
sendiri memuat baik peraturan tertulis maupun yang tidak tertulis.
Menurut Miriam Budihardjo, konstitusi adalah suatu piagam yang
menyatakan cita-cita bangsa dan merupakan dasar organisasi kenegaraan
suatu bangsa
Secara etimologis antara kata ‘konstitusi’, ‘konstitusional’, dan
‘konstitusionalisme’ inti maknanya sama, namun penggunaan atau
penerapannya berbeda. Konstitusi adalah segala ketentuan dan aturan
mengenai ketatanegaraan, jika tindakan atau prilaku seorang penguasa
berupa kebijakan yang diambil tidak berdasarkan atau menyimpangi
konstitusi, maka tindakan (kebijakan) tersebut adalah tidak konstitusional.
Berbeda halnya dengan konstitusionalisme, yaitu merupakan suatu paham
mengenai pembatasan kekuasaan dan jaminan hak-hak rakyat melalui
konstitusi
2. Sejarah Perkembangan Konstitusi
Catatan historis timbulnya negara konstitusional sebenarnya merupakan
proses sejarah yang panjang dan selalu menarik untuk dikaji. Konstitusi
sebagai suatu kerangka kehidupan politik telah disusun melalui dan oleh
hukum, yaitu sejak zaman sejarah Yunani, di mana mereka telah
mengenal beberapa kumpulan hukum (semacam kitab hukum). Pada
masa kejayaannya (624-404 SM), Athena pernah mempunyai tidak kurang
dari 11 konstitusi, koleksi Aristoteles sendiri berhasil terkumpul sebanyak
158 buah konstitusi dari berbagai negara
Pemahaman awal tentang konstitusi pada masa itu hanyalah merupakan
suatu kumpulan dari peraturan serta adat kebiasaan semata-mata.
Kemudian pada masa kekaisaran Roma, pengertian constitution
memperoleh tambahan arti sebagai suatu kumpulan ketentuan serta
peraturan yang dibuat oleh para kaisar atau para preator. Termasuk di
dalamnya pernyataan-pernyataan pendapat dari para ahli hukum
kenegaraan, serta adat kebiasaan setempat, di samping Undang-undang.
Konstitusi Roma mempunyai pengaruh cukup besar sampai abad
pertengahan, di mana konsep tentang kekuasaan tertinggi (ultimate
power) dari para kaisar Roma, telah menjelma dalam bentuk L’Etat
General di Prancis, bahkan kegandrungan orang Romawi akan ‘ordo et
unitas’ telah memberikan inspirasi bagi tumbuhnya paham ‘demokrasi
perwakilan’ dan ‘nasionalisme’, dua paham inilah yang merupakan cikal
bakal munculnya paham konstitusionalisme modern
Pada zaman abad pertengahan, corak konstitusionalismenya bergeser ke
arah feodalisme. Pada abad VII lahirlah piagam Madinah yang merupakan
konstitusi negara Madinah yang dibentuk pada awal masa klasik Islâm
tepatnya di tahun 622. Di Inggris pada tahun 1776, dua belas negara
koloni Inggris mengeluarkan Declaration of Independence dan
menetapkan konstitusinya sebagai dasar negara yang berdaulat. Di
Prancis tepat pada tanggal 20 Juni 1789 Estats Generaux
memproklamirkan dirinya Constituante, walaupun baru pada tanggal 14
September 1791 konstitusi pertama di Eropa (diilhami oleh De Declaration
des Droit de I’Homme at du Citoyen yang dijiwai oleh Tesis Rousseau
dalam Du Contract Social) diterima oleh Louis XVI
Pada tahun Tahun 1776 lahirlah Declaration of Indefendence di Amerika
yang juga banyak dipengaruhi ajaran J.J. Rousseau (Prancis), hingga
terbentuklah konstitusi tertulis pertama Amerika ‘Constitution of United
States of America (USA)’ tahun 1787, yang kemudian diikuti oleh Spanyol
(1812), Norwegia (1814), Nederland (1815), Belgia (1831), Italia (1848),
Austria (1861), dan Swedia (1866)), sampai pada abad XIX tinggal Inggris,
Hongaria, dan Rusia yang belum memiliki konstitusi secara tertulis
Pada masa Perang Dunia I tahun 1914 telah banyak memberikan
dorongan yang dahsyat bagi konstitusionalisme, yaitu dengan jalan
menghancurkan pemerintahan yang tidak liberal, dan menciptakan
negara-negara baru dengan konstitusi yang berasaskan demokrasi dan
nasionalisme. Upaya ini dikonkritkan dengan Pendirian Liga Bangsa-
Bangsa. Reaksi keras melawan konstitusionalisme politik muncul seiring
dengan revolusi Rusia (1917) yang diikuti meletusnya fasisme di Italia dan
pemberontakan Nazi di Jerman yang kemudian melahirkan Perang Dunia
II. Perang Dunia II telah memberikan kesempatan kedua kalinya kepda
bangsa-bangsa untuk menerapkan metode-metode konstitusionalisme
terhadap bangunan internasional melalui piagam Perserikatan Bangsa-
Bangsa
3. Materi Muatan Konstitusi
Ruang lingkup paham konstitusi (konstitusionalisme) terdiri dari :
anatomi kekuasaan (kekuasaan politik) tunduk pada hukum
jaminan dan perlindungan hak-hak asasi manusia
peradilan yang bebas dan mandiri
pertanggungjawaban kepada rakyat (akuntabilitas publik) sebagai sendi
utama dari asas kedaulatan rakyat
Dua orang ahli hukum tata negara Belanda, Henc van Maarseveen dan
Ger van der Tang dalam buku ‘Writen Constitution’ mengatakan bahwa
selain sebagai dokumen nasional, konstitusi juga merupakan alat untuk
membentuk sistem politik dan hukum negara, oleh karena menurut A.A.H.
Struycken Gronwet sebagai konstitusi tertulis merupakan sebuah
dokumen formal yang berisi :
a. hasil perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau
b. tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa
c. pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan di waktu
sekarang dan akan datang
d. suatu keinginan, dengan mana perkembangan kehidupan
ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin
Menurut Mr. J.G. Steenbeek, sebagaimana dikutip Sri Soemantri dalam
disertasinya, pada umumnya suatu konstitusi berisi tiga hal pokok, yaitu :
a. adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negaranya
b. ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat
fundamental
c. adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga
bersifat fundamental
Menurut Sri Soemantri, dengan mengutip pendapat Steenbeck, tiga materi
muatan yang pokok dalam konstitusi adalah :
a. jaminan hak-hak asasi manusia
b. susunan ketatanegaraan yang bersifat mendasar
c. pembagian dan pembatasan kekuasaan
Sedangkan menurut Miriam Bidihardjo, setiap Undang-Undang Dasar
memuat ketentuan-ketentuan mengenai :
a. organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan
legislatif, eksekutif, dan yudikatif, pembagian kekuasaan antara
pemerintah federal dan pemerintah negara bagian, prosedur
menyelesaikan masalah pelanggaran yurisdiksi oleh salah satu badan
pemerintah dan sebagainya
b. hak-hak asasi manusia
c. prosedur mengubah Undang-Undang Dasar
d. adakalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari
Undang-Undang Dasar
4. Kedudukan, Fungsi, dan Tujuan Konstitusi
Pada masa peralihan dari negara feodal monarki atau oligarki dengan
kekuasaan mutlak penguasa ke negara nasional demokrasi, konstitusi
berkedudukan sebagai benteng pemisah antara rakyat dan penguasa
yang kemudian secara berangsur-angsur mempunyai fungsi sebagai alat
rakyat dalam perjuangan kekuasaan melawan golongan penguasa
Setelah perjuangan dimenangkan rakyat, konstitusi bergeser kedudukan
dan peranannya dari sekedar penjaga keamanan dan kepentingan hidup
rakyat terhadap kezaliman golongan penguasa, menjadi senjata
pamungkas rakyat untuk mengakhiri kekuasaan sepihak satu golongan
dalam sistem monarki dan oligarki, serta untuk membangun tata
kehidupan baru atas dasar landasan kepentingan bersama rakyat dengan
menggunakan berbagai ideologi seperti individualisme, liberalisme,
universalisme, demokrasi dan sebagainya. Selanjutnya kedudukan dan
fungsi konstitusi tergantung ideologi yang melandasi negara
Dalam sejarah di dunia Barat, konstitusi dimaksudkan untuk menentukan
batas wewenang penguasa, menjamin hak rakyat dan mengatur jalannya
pemerintahan. Dengan kebangkitan paham kebangsaan sebagai kekuatan
pemersatu, serta dengan kelahiran demokrasi sebagai paham politik yang
progresif dan militan, konstitusi menjamin alat-alat rakyat untuk
konsolidasi kedudukan hukum dan politik, untuk mengatur kehidupan
bersama dan untuk mencapai cita-citanya dalam bentuk negara.
Berhubung dengan itu, konstitusi di zaman modern tidak hanya memuat
aturan-aturan hukum, tetapi juga merumuskan atau menyimpulkan
prinsip-prinsip hukum, haluan negara, dan patokan kebijaksanaan, yang
kesemuanya mengikat penguasa
Pada negara yang berdasarkan demokrasi konstitusional, konstitusi
mempunyai fungsi khas, yaitu membatasi kekuasaan pemerintah
sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat
sewenang-wenang, dengan demikian diharapkan hak-hak warga negara
akan lebih terlindungi (konstitusionalisme). Pembatasan kekuasaan
terhadap setiap lembaga politik kekuasaan meliputi ; pembatasan yang
meliputi isi kekuasaannya, dan waktu dijalankannya kekuasaan tersebut
Loewenstein dalam bukunya ‘Political Power and the Governmental
Proce’s’, menyatakan bahwa konstitusi itu merupakan suatu sarana dasar
untuk mengawasi proses-proses kekuasaan, oleh karena itu setiap
konstitusi mempunyai dua tujuan, yaitu :
a. untuk memberikan pembatasan dan pengawasan terhadap kekuasan
politik, dan
b. untuk membebaskan kekuasaan dari kontrol mutlak penguasa, serta
menetapkan bagi para penguasa tersebut batas-batas kekuasaan mereka
5. Klasifikasi Konstitusi
Merurut seorang pakar konstitusi Inggris, K.C. Wheare, klasifikasi
konstitusi antara lain :
a. konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis (written constitution and
no written constitution)
b. konstitusi fleksibel dan konstitusi rijid (flexible constitution and rigid
constitution)
c. konstitusi derajat-tinggi dan konstitusi tidak derajat-tinggi (supreme
constitution dan not supreme constitution)
d. konstitusi serikat dan konstitusi kesatuan (federal constitution and
unitary constitution)
e. konstitusi sistem pemerintahan presidensial dan konstitusi sistem
pemerintahan parlementer (presidential executive constitution and
parliamentary executive constitution)
6. Sistem Perubahan Konstitusi
Secara umum terdapat dua sistem perubahan konstitusi, yaitu :
a. Renewal (pembaharuan), apabila suatu konstitusi dilakukan perubahan
(dalam arti diadakan pembaharuan), maka yang diberlakukan adalah
konstitusi yang baru secara keseluruhan, sistem ini banyak dianut negara-
negara Eropa Kontinental seperti Belanda, Jerman, dan Prancis
b. Amandemen (perubahan), apabila suatu konstitusi diubah
(diamandemen), maka konstitusi yang lama (asli) tetap berlaku. Dengan
kata lain, hasil amandemen tersebut merupakan bagian atau dilampirkan
pada konstitusi aslinya, sistem ini banyak dianut negara-negara Anglo
Saxon seperti Amerika Serikat, dan juga diadopsi Indonesia (walau secara
umum corak hukum Indonesia lebih condong ke Eropa Kontinental)
Menurut K.C. Wheare ada empat cara yang dapat digunakan untuk
mengubah konstitusi melalui jalan penafsiran, yaitu melalui :
a. beberapa kekuatan yang bersifat primer (some primary forces)
b. perubahan yang diatur dalam konstitusi (formal amandement)
c. penafsiran secara hukum (judicial interpretation)
d. kebiasaan dan kebiasaan yang terdapat dalam bidang ketatanegaraan
(usage and convention)
Menurut C.F. Strong, terdapat empat macam prosedur perubahan
konstitusi, yaitu :
a. perubahan konstitusi yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan
legislatif, akan tetapi menurut pembatasan-pembatasan tertentu
b. perubahan konstitusi yang dilakukan oleh rakyat melalui suatu
referendum
c. perubahan konstitusi yang terjadi pada negara serikat, yang dilakukan
oleh sejumlah negara-negara bagian
d. perubahan konstitusi yang dilakukan dalam suatu konvensi atau
dilakukan oleh suatu lembaga negara khusus yang dibentuk hanya untuk
keperluan perubahan konstitusi
Salah satu langkah untuk mempertahankan eksistensi konstitusi, maka
sering kali perubahan konstitusi sengaja diformulasi dengan cara atau
prosedur yang sulit, hal demikian menurut K.C. Wheare dilakukan guna
mencapai empat sasaran, yaitu :
a. agar perubahan konstitusi dilakukan dengan pertimbangan yang
masak, tidak secara serampangan dan dengan sadar (dikehendaki)
b. agar rakyat mendapat kesempatan untuk menyampaikan
pandangannya sebelum perubahan dilakukan
c. agar hak-hak perseorangan atau kelompok seperti kelompok minoritas
bahasa, minoritas agama dan / atau kebudayaannya mendapat jaminan
d. khusus pada negara serikat juga agar kekuasaan negara serikat dan
negara-negara bagian tidak diubah semata-mata oleh perbuatan-
perbuatan masing-masing pihak secara tersendiri
B. Konstitusi Madinah dan Ketatanegaraan Modern
Jauh sebelum pemikir-pemikir Barat mengemukakan temuan mereka atas
berbagai konstitusi di Yunani, sejarah Islâm telah mencatat bahwa sejak
zaman Rasûlullâh Muhammad SAW. telah lahir konstitusi tertulis pertama
yang kemudian dikenal dengan konstitusi atau Piagam Madinah. Konstitusi
ini dibuat pada tahun 622 M, atau setelah 13 tahun masa kerasulan
Muhammad SAW. dan dakwah di kota Makkah yang kemudian memaksa
Beliau untuk hijrah ke Madinah yang sebelumnya bernama Yasrib
Tidak lama sesudah hijrah, di tengah kemajemukan penghuni kota
Madinah yang dihuni oleh beberapa macam golongan, Ia memandang
perlu meletakkan aturan pokok tata kehidupan bersama di Madinah, agar
terbentuk kesatuan hidup di antara seluruh penghuninya. Maka kemudian
dibuatlah kesepakatan antara golongan Muhajirin dan Anshar, serta
perjanjian dengan golongan yahudi, yang secara formal ditulis dalam
naskah yang disebut Shahifah. Kesatuan hidup baru (negara berdaulat)
yang dibentuk tersebut dipimpin oleh Nabi Muhammad SAW. sendiri
dalam konteks selaku kepala negara
Para ahli ilmu pengetahuan dan sejarah menyebut naskah politik
(Shahifah) tersebut dengan nama yang berbeda-beda, seperti W.
Montgomery Watt menyebutnya ‘Constitution of Medina, R.A. Nicholson
dengan istilah ‘Charter’, Majid Khadduri dengan ‘Treaty’, Philip K. Hitti
dengan ‘Agreement’, dan Zainal Abidin dengan istilah ‘Piagam’. Menurut
Ahmad Sukardja, kata Shahifah semakna dengan Charter dan Piagam,
yang lebih menunjuk kepada surat resmi yang berisi pernyataan tentang
sesuatu hal
Ditetapkannya piagam politik tersebut merupakan salah satu siasat Nabi
Muhammad SAW. untuk membina kesatuan hidup berbagai golongan
warga Madinah. Dalam piagam tersebut dirumuskan antara lain ;
kebebasan beragama, hubungan antar kelompok, dan kewajiban
mempertahankan kesatuan hidup. Berdasarkan isi piagam tersebut, warga
Madinah yang majemuk secara politis dibina di bawah pimpinan Nabi
Muhammad SAW.
Dalam berbagai tulisan yang disusun para ilmuan baik muslim maupun
non muslim, keberadaan piagam Madinah telah diakui sebagaimana
dinyatakan oleh W. Montgomery Watt bahwa piagam Madinah secara
umum diakui keotentikannya, dan bahkan menambahkan bahwa dokumen
tersebut merupakan sumber ide yang mendasari negara Islâm pada awal
pembentukannya
Jika dicermati dari 47 pasal yang termuat dalam konstitusi Madinah, dalam
banyak pasal terlihat beberapa gambaran tentang prinsip-prinsip negara
modern pada masa awal kelahirannya dengan Nabi Muhammad SAW.
sebagai kepala negara, yang warganya terdiri dari berbagai macam aliran,
golongan, keturunan, budaya dan juga agama
Baik disebut sebagai perjanjian maupun piagam, dan konstitusi, bentuk
dan muatan shahifat itu tidak menyimpang dari pengertian ketiga istilah
tersebut. Dilihat dari pengertian treaty; shahifat adalah dokumen
perjanjian antara beberapa golongan Muhajirin-Anshar-Yahudi dan
sekutunya bersama Nabi Muhammad SAW. Dilihat dari segi pengertian
charter; shahifat adalah dokumen yang menjamin hak-hak semua warga
Madinah dan menetapkan kewajiban-kewajiban mereka serta kekuasaan
yang dimiliki oleh Nabi Muhammad SAW. Kemudian dilihat dari pengertian
constitution; shahifat juga memuat prinsip-prinsip pemerintahan yang
bersifat fundamental
Artinya kandungan shahifat itu dapat mencakup semua pengertian dari
ketiga istilah tersebut. Sebab ia adalah dokumen (tertulis) perjanjian
persahabatan antara Muhajirin, Anshar, dan Yahudi serta sekutu-
sekutunya bersama dengan Nabi Muhammad SAW. yang menjamin hak-
hak mereka, menetapkan kewajiban-kewajiban mereka dan memuat
prinsip-prinsip pemerintahan yang bersifat fundamental yang sifatnya
mengikat untuk mengatur pemerintahan di bawah pimpinan Nabi
Muhammad SAW. Karena itu, Marduke Pickthal, H.A.R. Gibb, Wensinck,
dan W. Montgomery Watt menyebut shahifat tersebut sebagai konstitusi
Walau merupakan sebuah konstitusi, namun pada sisi lain harus diakui
pula bahwa piagam Madinah tidak dapat memenuhinya secara sempurna.
Sebab di dalamnya tidak ditemui penjelasan tentang pembagian
kekuasaan antara organ, badan atau lembaga pemerintahan, tetapi ia
menetapkan adanya pemegang hukum tertinggi. Namun demikian, ia
tetap dapat disebut konstitusi karena ciri-ciri lain dapat terpenuhi, yaitu
berupa naskah dokumen tertulis, menjadi dasar organisasi pemerintahan
masyarakat Madinah sebagai suatu umat (rakyat atau warga negara),
adanya kedaulatan negara yang dipegang oleh Nabi Muhammad SAW.,
dan adanya ketetapan prinsip-prinsip pemerintahan yang bersifat
fundamental, yaitu mengakui kebiasaan-kebiasaan masyarakat Madinah,
mengakui hak-hak mereka dan menetapkan kewajiban-kewajiban mereka.
Sebagai himpunan peraturan yang mengatur kehidupan masyarakat
Madinah, ia bercita-cita mewujudkan persatuan dan kesatuan semua
golongan menjadi satu umat yang bermoral, menjunjung tinggi hukum
dan keadilan atas dasar iman dan takwa
Prinsip-prinsip yang terkandung di dalam piagam Madinah dapat
dikatakan sebagai suatu ide yang revolusioner untuk saat itu. Dari sudut
tinjauan modern ia dapat diterima sebagai sumber inspirasi untuk
membangun masyarakat yang majemuk (seperti adanya cita-cita
mewujudkan masyarakat Madani dalam Undang-undang dan kebijakan
otonomi daerah di Indonesia). Dalam kaitan ini, mendiang almarhum Prof.
Dr. Nurcholis Madjid pernah menyatakan “Bunyi naskah konstitusi
(Madinah) itu sangat menarik. Ia memuat pokok-pokok pikiran yang dari
sudut tinjauan modern pun mengagumkan. Dalam konstitusi itulah untuk
pertama kalinya dirumuskan ide-ide yang kini menjadi pandangan hidup
modern, seperti kebebasan beragama, hak setiap kelompok untuk
mengatur hidup sesuai dengan keyakinannya, kemerdekaan hubungan
ekonomi dan lain-lain. Tetapi juga ditegaskan adanya suatu kewajiban
umum, yaitu partisipasi dalam usaha pertahanan bersama menghadapi
musuh dari luar.”
C. Konstitusi dan Negara
Menurut Sri Soemantri dalam disertasinya, tidak ada satu negara pun di
dunia sekarang ini yang tidak mempunyai konstitusi atau Undang-Undang
Dasar. Negara dan konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat
dipisahkan satu dengan lainnya, bahkan Max Boli Sabon menyatakan
bahwa tanpa konstitusi negara tidak mungkin ada
Embrio konstitusi sebagai hukum dasar (droit constitutional) dapat digali
dari dua sudut pandang, yaitu dari sudut bentuk negara dan dari sudut
pembentuk konstitusinya
Dari sudut bentuk negara, Hawgood dalam bukunya ‘Modern Constitution
Since 1787’ mengemukakan bahwa sebenarnya ada sembilan macam
bentuk negara yang sekaligus menunjuk bentuk-bentuk konstitusinya.
Tetapi kesembilan bentuk negara itu telah menjadi bangunan-bangunan
historis di mana sekarang sudah tidak mempunyai arti lagi. Maka dari itu
hanya diambil tiga bentuk negara, yaitu :
1. Spontaneous State (Spontane Staat). Konstitusinya disebut
Revolutionary Constitution ; adalah negara yang timbul sebagai akibat
revolusi, dengan demikian konstitusinya bersifat revolusioner, seperti
konstitusi Amerika Serikat dan Prancis
2. Negotiated State (Parlementaire Staat). Konstitusinya disebut
Parlementarian Constitution ; adalah negara yang berdasarkan pada
kebenaran relatif (relatieve waarheid), bukan berdasarkan pada absolute
waarheid seperti oosterse demokratie, yaitu Rusia
3. Derivative State (Algeleide Staat). Konstitusinya disebut Neo National
Constitution ; adalah negara yang konstitusinya mengambil pengalaman
dari negara-negara yang sudah ada (neo-national), seperti Burma, Thailan,
Vietnam, Idia, Pakistan, serta Indonesia
D. Faktor-faktor Daya Ikat Konstitusi
1. Pendekatan dari Aspek Hukum
Menurut K.C. Wheare, kalau berangkat dari aliran positivisme hukum,
maka konstitusi itu mengikat karena ia ditetapkan oleh badan yang
berwenang membentuk hukum, dan konstitusi itu dibuat untuk dan atas
nama rakyat (yang di dalamnya sarat dengan ketentuan sanksi yang
diatur lebih lanjut dalam Undang-undang organik)
Kemudian kalau dilihat dari prinsip-prinsip wawasan negara berdasar atas
hukum (rechtsstaat) sebagaimana dikatakan oleh Zippelius, konstitusi
merupakan alat untuk membatasi kekuasaan negara. Prinsip-prinsip ini
mengandung jaminan terhadap ditegakkannya hak-hak asasi, adanya
pembagian kekuasaan dalam negara, penyelenggaraan yang didasarkan
pada Undang-undang, dan adanya pengawasan yudisial terhadap
penyelenggraaan pemerintahan tersebut. Prinsip wawasan negara hukum
yang dikemukakan oleh Zippelius pada dasarnya sama dengan ketentuan
tentang materi muatan konstitusi sebagaimana dikemukakan Steenbeek
Berbicara tentang esensi hukum positif dan wawasan negara berdasarkan
hukum, inklusif di dalamnya pemahaman tentang konstitusi sebagai
dokumen formal yang terlembagakan oleh alat-alat kelengkapan negara
dan sekaligus sebagai hukum dasar yang tertinggi, oleh karena itu
konstitusi akan selalu mengikat seluruh warga negara
2. Pendekatan dari Aspek Politik
Menurut Prof. Dahlan Thaib, S.H., M.Si.; berdasarkan pendekatan politis,
maka hukum adalah produk politik yang telah menjadikan badan
konstituante (atau lembaga lain yang bekedudukan-fungsi sama) sebagai
badan perumus dan pembuat konstitusi suatu negara, kemudian peran itu
dilanjutkan oleh lembaga legislatif sebagai pembuat Undang-undang.
Proses yang dilakukan oleh kedua badan ini merupakan kristalisasi dan /
atau proses politik, sehingga produk politik yang berupa konstitusi atau
segala macam peraturan perundang-undangan mempunyai daya ikat
pemberlakuannya bagi warga negara. Kemudian hubungan hukum dengan
kekuasaan telah terimplementasikan dalam konstitusi baik dalam
pengertian hukum dasar tertulis maupun hukum dasar tidak tertulis, yang
pada dasarnya telah membatasi tindakan penguasa yang mempunyai
kewenangan memaksa warga negara untuk mentaatinya
3. Pendekatan dari Aspek Moral
Konstitusi sebagai landasan fundamental seyogyanya memiliki kesesuaian
keselarasan, dan keharmonisan dengan nilai-nilai universal serta etika
moral, bahkan William H. Hewet berpendirian bahwa moral mempunyai
kedudukan yang lebih tinggi di atas konstitusi, lebih tegas lagi Paul
Sholten menyatakan bahwa keputusan moral adalah otonom atau teonom
(teonom adalah hukum abadi, yaitu kehendak Ilahi yang mengarahkan
segala ciptaan-Nya ke arah tujuan mereka, sebagai landasan yang
terdalam dari segala hukum dan peraturan). Sehingga moral menuntut
kita kepada kepatuhan penyerahan diri secara mutlak tanpa tawar-
menawar, dengan esensi tujuan untuk mengatur hidup manusia tanpa
pandang bulu, suku, ras, dan agama, lebih dari itu moral tidak terikat dan
terbatas pada waktu dan tempat tertentu
Maka kemudian K.C. Wheare mnyimpulkan secara ‘constitutional
phylosophy’ bahwa jika aturan konstitusi bertentangan dengan etika
moral, maka konstituti tersebut dapat disimpangi, namun jika aturan
konstitusi justru menopang etika moral, maka konstitusi mempunyai daya
pemberlakuan di tengah-tengah masyarakat
Dalam kaitan sikap patuh masyarakat (warga negara) terhadap konstitusi,
sesuai dengan contoh visi keteladan ‘akhlak mulia’ dari misi kerasulan
Muhammad SAW. Alm. Baharuddin Lopa, S.H., menyatakan bahwa
kepatuhan warga negara kepada hukum (konstitusi) bisa disebabkan
karena faktor ‘keteladanan dan rasio’ yang lebih dahulu harus ditunjukkan
para aparatur pemerintahan mulai dari level teratas, dengan menunjukkan
sikap dan prilaku loyalitas terhadap hukum (konstitusi) dan akhlak mulia,
tanpa pemasungan struktural yang tidak pada tempatnya
BAB VIII
DEMOKRASI DAN POLITIK
A. Demokrasi
1. Pengertian dan Macam-macam Demokrasi
Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani, demos artinya rakyat dan
kratein artinya pemerintah. Hal ini berarti adanya kekuasaan
pemerintahan tertinggi yang dipegang oleh rakyat. Menurut Abraham
Lincoln (Presiden Amerika Serikat ke XVI), demokrasi adalah pemerintahan
yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat
Ada bermacam-macam demokrasi yang sudah menjadi bagian dari
pemerintahan negara-negara di dunia, keanekaragaman ini dapat dilihat
dari berbagai sudut pandang, seperti :
a. Atas dasar penyaluran kehendak rakyat, maka demokrasi dibedakan
menjadi :
1) demokrasi langsung
Demokrasi langsung berarti paham demokrasi yang mengikutsertakan
setiap warga negaranya dalam permusyawaratan untuk menentukan
kebijaksanaan umum negara atau Undang-undang
2) demokrasi tidak langsung
Demokrasi tidak langsung berarti paham demokrasi yang dilaksanakan
melalui sistem perwakilan, penerapan demokrasi seperti ini berkaitan
dengan kenyataan suatu negara yang jumlah penduduknya semakin
banyak, wilayahnya semakin luas, dan permasalahan yang dihadapinya
semakin rumit dan kompleks. Demokrasi tidak langsung atau demokrasi
perwakilan ini biasanya dilaksanakan melalui pemilihan umum
b. Atas dasar prinsip idiologi, maka demokrasi dibedakan menjadi :
1) demokrasi konstitusional (demokrasi liberal)
Demokrasi konstitusional adalah demokrasi yang didasarkan pada
kebebasan atau individualisme. Ciri khas pemerintahan demokrasi
konstitusional adalah kekuasaan pemerintahnya terbatas dan tidak
diperkenankan banyak campur tangan serta bertindak sewenang-wenang
terhadap warganya, karena adanya pembatasan dari konstitusi
Menurut M. Carter dan John Herz, suatu negara dinyatakan sebagai negara
demokrasi apabila yang memerintah dalam negara tersebut adalah
rakyat, dan bentuk pemerintahannya terbatas. Bila suatu lingkungan
dilindungi oleh konvensi dari campur tangan pemerintah atau hukum,
maka rejim ini disebut liberal
2) demokrasi rakyat
Demokrasi rakyat disebut juga demokrasi proletar yang berhaluan
Marxisme-Komunisme. Demokrasi rakyat mencita-citakan kehidupan yang
tidak mengenal kelas sosial. Manusia dibebaskan dari keterikatannya
kepada kepemilikan pribadi tanpa ada penindasan serta paksaan. Akan
tetapi, untuk mancapai masyarakat tersebut perlu dilakukan cara paksa
atau kekerasan. Menurut Kranenburg, demokrasi rakyat lebih mendewa-
dewakan pemimpin. Sementara menurut pandangan Prof. Miriam
Budihardjo, komunis selain merupakan sistem politik, juga mencerminkan
gaya hidup yang berdasarkan nilai-nilai tertentu. Negara adalah alat untuk
mencapai komunisme, dan kekerasan dipandang sebagai alat yang sah
2. Nilai-nilai Demokrasi
Demokrasi sebagai sistem pemerintahan mengandung nilai-nilai tertentu
yang berbeda dengan sistem pemerintahan yang lain. Henry B. Mayo
dalam bukunya ‘Introduction to democratic theory’, merinci beberapa nilai
yang terkandung di dalam demokrasi, antara lain :
a. menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara melembaga
b. menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu
masyarakat yang sedang berubah
c. menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur
d. membatasi pemakaian kekerasan sampai titik minimum
e. mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman
(diversity),
f. menjamin tegaknya keadilan
Untuk dapat menjamin tetap tegaknya nilai-nilai demokrasi tersebut, amat
perlu diselenggarakan lembaga-lembaga, antara lain :
a. pemerintah yang bertangungjawab
b. lembaga perwakilan rakyat yang menyalurkan aspirasi rakyat dan
mengadakan pengawasan (control) terhadap pemerintah
c. pembentukan organisasi atau partai politik
d. pers dan media massa yang bebas untuk menyatakan pandapat, dan
e. sistem peradilan yang bebas untuk menjamin hak-hak asasi dan
mempertahankan keadilan
B. Manusia Sebagai Makhluk Individu, Makhluk Sosial, dan Insan Politik
1. Sebagai Makhluk Individu
Secara kodrati, manusia merupakan makhluk monodualis, artinya di
samping sebagai makhluk pribadi sekaligus juga sebagai makhluk sosial.
Sebagai makhluk individu (pribadi) berarti manusia merupakan makhluk
ciptaan Tuhan yang terdiri dari unsur rohani dan jasmani yang tidak dapat
dipisah-pisahkan dengan kesatuan jiwa dan raga (individu). Manusia juga
diberi potensi atau kemampuan (akal, pikiran, dan perasaan) sehingga
sanggup berdiri sendiri dan bertanggungjawab atas dirinya. Disadari atau
tidak, setiap manusia akan senantiasa berusaha mengembangkan
kemampuan pribadinya guna memenuhi hakikat individualitasnya
2. Sebagai Makhluk Sosial
Sebagaimana yang dikemukakan Aristoteles, bahwa sebagai makhluk
sosial, manusia merupakan makhluk yang pada dasarnya selalu ingin
bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia lainnya. Status makhluk
sosial melekat pada setiap pribadi manusia karena dalam status individu,
manusia tidak dapat mencapai apa yang diinginkan dan dibutuhkannya.
Sejak lahir sampai meninggal dunia, manusia perlu bantuan atau
kerjasama dengan orang lain
3. Sebagai Insan Politik
Sebagai insan politik, manusia adalah elemen pokok yang melaksanakan
aktivitas-aktivitas politik kenegaraan, baik sebagai aktor utama maupun
sebagai objek tujuan. Negara sebagai suatu organisasi merupakan satu
sistem politik yang menyangkut proses penentuan dan pelaksanaan
tujuan tertentu
Untuk melaksanakan tujuan tersebut, setiap insan politik harus dapat
menunjukkan partisipasi dalam kegiatan yang berkaitan dengan warga
negara pribadi (private citizen) yang bertujuan untuk ikut mempengaruhi
pengambilan keputusan oleh pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari
kegiatan-kegiatan warga negara dalam bentuk partisipasi politik, seperti
antara lain :
a. terbentuknya organisasi-organisasi politik maupun kemasyarakatan
sebagai bagian dari kegiatan sosial, sekaligus sebagai penyalur aspirasi
rakyat yang ikut menentukan kebijaksanaan negara
b. lahirnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai kontrol sosial
maupun pemberi input terhadap kebijaksanaan pemerintah
c. pelaksanaan pemilihan umum yang memberi kesempatan kepada
warga negara untuk dipilih atau memilih
d. munculnya kelompok-kelompok kontemporer yang memberi warna
pada sistem input dan output kepada pemerintah, seperti unjuk rasa,
petisi, protes, demonstrasi dan sebagainya
Apabila sebagai insan politik, seorang warga negara tidak mau
menggunakan hak partisipasi politiknya, maka secara politik ia disebut
apatis
C. Sistem Politik dan Kepartaian
Keberadaan partai politik dalam suatu negara akan tumbuh subur
bilamana penerapan prinsip-prinsip demokrasi berjalan dengan baik dan
konsisten. Negara demokrasi mempunyai ciri khas mengikutsertakan
rakyat dalam pelaksanaan atau penyelenggaraan pemerintahan secara
langsung atau pun melalui wakil-wakilnya (parlemen) yang duduk pada
lembaga legislatif atau perwakilan. Peranan partai politik dalam kehidupan
ketatanegaraan merupakan motor penggerak atau jiwa yang
menghidupkan dinamika dari keseluruhan sistem kenegaraan
1. Pengertian Politik
Politik dalam bahasa Arab disebut ‘siyasah’ yang kemudian diterjemahkan
menjadi siasat, atau dalam bahasa Inggris disebut ‘politics’. Politik itu
sendiri berarti cerdik dan bijaksana, yang dalam pembicaraan sehari-hari
kita seakan-akan mengartikan sebagai suatu cara yang dipakai untuk
mewujudkan tujuan, serta bahkan saling menjatuhkan.
Asal mula kata politik itu sendiri berasal dari kata ‘polis’ yang berarti
negara kota, dengan politik berarti ada hubungan khusus antara manusia
yang hidup bersama, dalam hubungan itu timbul aturan, kewenangan,
kelakuan pejabat, legalitas keabsahan, dan akhirnya kekuasaan. Tetapi
politik juga dapat dikatakan sebagai kebijaksanaan, kekuatan, kekuasaan
pemerintah, pengaturan konflik yang menjadi Konsensus nasional, serta
kemudian kekuatan masa rakyat.
Menurut Dr. Wirjono Projodikoro, S.H., sifat terpenting dari bidang politik
adalah penggunaan kekuasaan (macht) oleh suatu golongan anggota
masyarakat terhadap golongan lain, pokoknya selalu ada kekuatan.
Secara umum dalam sistem politik terdapat empat variabel yaitu:
a. Kekuasaan; sebagai cara untuk mencapai hal yang diinginkan antara
lain membagi sumber-sumber di antara kelompok-kelompok dalam
masyarakat.
b. Kepentingan; tujuan yang dikejar oleh pelaku atau kelompok poIitik.
c. Kebijaksanaan; hasil dari interaksi antara kekuasaan dan kepentingan,
biasanya dalam bentuk perundang-undangan.
d. Budaya politik; orientasi subyektif dari individu terhadap sistem politik.
Musa Asy’ari membedakan politik menjadi dua, politik kekuasan dan
politik moral. Politik kekuasaan adalah tindakan politik yang semata-mata
ditujukan untuk merebut dan memperoleh kekuasaan, kawan dan lawan
politik ditentukan sepenuhnya oleh kepentingan-kepentingan poIitik
semata sehingga tidak ada lawan dan kawan abadi, yang ada adalah
kepentingan abadi, yaitu kepentingan kekuasaan. Sedangkan dalam
politik moral, kekuasaan bukan merupakan tujuan akhir, tetapi alat
perjuangan dari cita-cita moral dan kemanusiaan.
Ada bebcrapa tujuan poIitik hukum yang diuraikan oleh para sarjana,
yaitu:
a. Menjamin keadilan dalam masyarakat. Tugas utama pemerintah suatu
Negara ialah mewujudkan keadilan social (iustitia socialis) yang dulu
disebut keadilan distributive (iustitia distributive). Undang-undang disebut
adil yaitu Undang-undang yang mengatur sedemikan rupa kehidupan
manusia di mana untung dan beban dibagi secara pantas. Undang-undang
yang tidak adil adaIah yang melanggar hak-hak manusia atau
mengunggulkan kepentingan saIah satu kelompok saja.
b. Menciptakan ketentraman hidup dengan memelihara kepastian hukum.
Kepastian hukum berarti bahwa dalam Negara tersebut Undangundang
sungguh berlaku sebagai hukum, dan bahwa putusan-putusan hakim
bersifat konstan sesuai dengan Undang-undang yang berlaku.
c. Menangani kepentingan-kepentingan yang nyata dalam kehidupan
bersama secara konkret. Kepentingan tersebut nampak dalam cita-cita
masyarakat secara kolektif. Pemerintah kemudian menetapkan Undang-
undang untuk mendukung dan mengembangkan cita-cita tersebut.
Tujuan mana yang harus diprioritaskan antara keadilan, kepastian hukum
atau nilai-nilai khusus?. Menurut Huijbers yang harus diutamakan adalah
keadilan, yaitu pemeliharaan hak-hak yang berkaitan dengan tiap-tiap
manusia sebagai pribadi. Karena hak-hak azasi tidak jatuh di bawah
wewenang pemerintah dan tidak pernah dapat diserahkan kepada orang
lain. Negara didirikan atas dasar hak-hak itu sebagai azas-azas segala
hukum. Sesudah keadilan baru kepastian hukum, lalu salah satu nilai
khusus dapat dipilh sebagai tujuan poltik hukum, sesuai dengan cita-cita
dan kebutuhan-kebutuhan bangsa.
2. Pengertian Ilmu Politik
J. Barents ; ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari kehidupan negara
yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat.
Johan Kaspar Bluntschli ; ilmu politik adalah ilmu yang memerhatikan
masalah kenegaraan, yaitu berusaha keras untuk mengerti dalam paham
kondisi situasi negara, yang bersifat penting, dalam berbagai bentuk
manifestasi pembangunan.
Raymond G. Gettel ; ilmu politik adalah ilmu dari suatu negara, hal
tersebut berlaku baik antar seseorang dengan orang lain yang paling
ujung sekali pun disentuh oleh hukum, hubungan antar perorangan atau
pun kelompok dengan negaranya, serta hubungan negara dengan negara.
Robert A. Dahl ; ilmu politik adalah sudah barang tentu pelajaran tentang
siasat, atau lebih baik pula dikatakan, hal ini sebagai pelajaran terinci dari
berbagai cara, yaitu usaha pembahasan yang teratur untuk menemukan
pencegahan kebingungan yang kacau dalam pengertian yang lebih luas.
Roger F. Soltau ; ilmu politik, untuk selanjutnya akan dianggap pelajaran
(ilmu yang mempelajarai) tentang negara, maksud dan tujuan negara,
lembaga yang melaksanakan tujuan tersebut, hubungan antara negara
dan warga negaranya, antar negara, dan juga apa yang dipikirkan
warganya, ditulis tentang berbagai pertanyaan (artikulasi serta agregasi
kepentingan).
Lebih lanjut Drs. H. Inu Kencana Syafiie, M.Si. menyatakan, karena ilmu
politik, pemerintahan, administrasi publik, hukum tata negara, dan ilmu
negara sendiri berkembang menjadi disiplin ilmu yang masing-masing
mandiri, maka hubungan antara ilmu-ilmu kenegaraan tersebut sudah
barang tentu tetap sangat erat karena mempunyai objek materi yang
sama yaitu negara, sehingga menyebabkan timbulnya pertumpang-
tindihan (convergency), hal ini karena ilmu-ilmu tersebut memiliki
kesamaan dalam pokok masalah (subject matter) yang dibahas.
Yang membedakan berbagai disiplin ilmu itu adalah objek formanya, yaitu
sudut pandang khas yang berbeda dari setiap ilmu (focus of interest).
Objek forma ilmu politik adalah kekuasaan, objek forma ilmu
pemerintahan adalah hubungan rakyat dengan penguasa yang terlihat
dalam berbagai gejala dan peristiwa pemerintahan, objek forma ilmu
administrasi publik adalah pelayanan, objek forma ilmu hukum tata
negara adalah peraturan, dan yang menjadi objek forma ilmu negara
adalah konstitusi.
3. Pengertian Partai Politik
Beberapa pandangan para ahli tentang partai politik, antara lain :
Carl J. Friedrich ; partai politik adalah sekelompok manusia yang
terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan
penguasaan terhadap pemerintah bagi pimpinan partainya sehingga
penguasaan itu memberikan manfaat kepada anggota partainya, baik
yang bersifat idiil maupun materiil.
Drs. H. Inu Kencana Syafiie, M.Si. ; partai politik adalah sekelompok
orang-orang memiliki ideologi yang sama, berniat merebut dan
mempertahankan kekuasaan denan tujuan untuk (yang menurut pendapat
mereka pribadi paling idealis) memperjuangkan kebenaran, dalam suatu
level (tingkat) negara.
Edmund Burke : seorang negarawan inggris mengemukakan, bahwa
yang disebut partai politik ialah tidak lain merupakan sekelompok manusia
yang secara bersama-sama menyetujui prinsip-prinsip tertentu untuk
mengabdi dan melindungi kepentingan nasional.
Prof. E.M. Said : partai politik adalah suatu kelompok orang yang
terorganisir serta berusaha untuk mengendalikan, baik kebijaksanaan
pemerintah maupun pegawai negeri.
Prof. Miriam Budihardjo ; partai politik adalah organisasi atau golongan
yang berusaha untuk memperoleh dan menggunakan kekuasaan. Dalam
kutipan lain disebutkan pula bahwa partai politik adalah suatu kelompok
yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi nilai-
nilai dan cita-cita yang sama, tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh
kekuatan (kekuasaan) politik dan merebut kedudukan politik, (biasanya)
dengan cara konstitusional, untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan
mereka.
Roger F. Soltau ; partai politik adalah sekelompok warga negara yang
sedikit banyak terorganisir dan bertindak sebagai suatu kesatuan politik
dengan memanfaatkan kekuasaan untuk memilih, dengan tujuan untuk
menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijaksanaan umum
mereka.
Sigmund Naumann ; partai politik adalah organisasi tempat kegiatan
politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintah serta
merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan melawan suatu golongan
atau golongan-golongan lain yang tidak sepaham.
UU No. 31 Tahun 2003 tentang Partai Politik ; partai politik adalah
organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik
Indonesia secara suka rela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita
untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan
negara melalui pemilihan umum.
4. Fungsi Partai Poltik
Dalam negara demokrasi, partai politik akan memainkan beberapa fungsi,
antara lain :
a. Sebagai sarana komunikasi politik
Dengan fungsi ini partai politik berperan sebagai penyalur aspirasi dan
pendapat rakyat, menggabungkan berbagai macam kepentingan (interest
aggregation), dan merumuskan kepentingan (interest articulation) yang
menjadi dasar kebijaksanaannya. Selanjutnya partai politik akan
memperjuangkan agar aspirasi rakyat tersebut dapat dijadikan
kebijaksanaan umum (public policy) oleh pemerintah.
b. Sebagai sarana sosialisasi politik
Dengan fungsi ini partai politik berperan sebagai sarana untuk
memberikan penanaman nilai-nilai, norma, dan sikap serta orientasi
terhadap fenomena politik tertentu. Upaya partai politik dalam sosialisasi
ini, antara lain dilakukan melalui :
1) penguasaan pemerintah dengan memenangkan setiap pemilihan
umum.
2) menciptakan ‘image’ bahwa ia memperjuangkan kepentingan umum,
dan
3) menanamkan solidaritas dan tanggungjawab terhadap para anggotanya
maupun anggota lain (in group dan out group)
4) di negara-negara baru (berkembang), fungsi partai politik juga berperan
untuk memupuk identitas dan integrasi nasional.
c. Sebagai sarana rekruitmen politik
Dengan fungsi ini partai politik mencari dan mengajak orang berbakat
untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota dari partai, baik
melalui kontrak pribadi maupun melalui ‘persuasif’. Dalam hal ini, partai
politik juga memperluas keanggotaan partai, sekaligus mencari kader
militan yang dipersiapkan untuk mengganti pemimpin yang lama
(selection of leadership).
d. Sebagai sarana partisipasi politik
Mobilisasi warga negara ke dalam kehidupan dan kegiatan politik
merupakan fungsi khas partai politik. Di jaman modern partai politik
dibentuk ketika semakin banyak jumlah rakyat yang diberi hak pilih dan
kelompok-kelompok masyarakat menuntut mereka harus diberi hak untuk
memberi suara guna bersaing memperebutkan suatu jabatan di
pemerintahan.
e. Sebagai sarana pengatur konflik
Dengan ini partai politik berfungsi untuk mengatasi berbagai macam
konflik yang muncul sebagai konsekuensi dari negara demokrasi yang di
dalamnya terdapat persaingan dan perbedaan pendapat. Biasanya
masalah-masalah tersebut cukup mengganggu stabilitas nasional. Hal itu
mungkin saja dimunculkan oleh kelompok tertentu untuk kepentingan
popularitasnya.
f. Sebagai sarana artikulasi kepentingan
Menyatakan kepentingan mereka kepada badan-badan politik dan
pemerintah melalui kelompok-kelompok yang mereka bentuk bersama
orang lain yang memiliki kepentingan yang sama. Bentuk artikulasi yang
paling umum di semua sistem politik adalah pengajuan permohonan
secara individual kepada anggota dewan kota, parlemen, pejabat
pemerintahan atau dalam masyarakat tradisional kepada kepala desa
atau ketua suku.
g. Sebagai sarana agregasi kepentingan
Agregasi kepentingan merupakan cara bagaimana tuntutan-tuntutan yang
dilancarkan oleh kelompok-kelompok yang berbeda dapat digabungkan
menjadi alternatif-alternatif kebijaksanaan pemerintah. Dalam masyarakat
demokratik, partai merumuskan program politik dan menyampaikan usul-
usul pada badan legislative, dan calon-calon yang diajukan untuk jabatan-
jabatan pemerintah, mengadakan tawar-menawar dengan kelompok-
kelompok kepentingan, dengan pemenuhan kepentingan mereka kalau
kelompok kepentingan itu mau mendukung calon tersebut.
h. Sebagai sarana pembuat kebijaksanaan
Suatu partai politik akan berusaha untuk merebut kekuasaan di dalam
pemerintahan secara konstitusional, dan sesudah ia mendapatkan
kekuasaan tersebut, baik dalam bidang eksekutif maupun legislative,
maka ia akan mempunyai dan memberikan pengaruhnya dalam membuat
kebijaksanaan yang akan digunakan dalam suatu pemerintahan.
Menurut Sigmund Naumann, fungsi partai politik di negara demokrasi
adalah untuk mengatur keinginan dan aspirasi golongan-golongan di
dalam masyarakat. Sementara itu di negara komunis, fungsi partai adalah
untuk mengendalikan semua aspek kehidupan secara monolitik dan
rakyat dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan cara hidup yang sejalan
dengan kepentingan partai (enforcement of conformity).
5. Sistem Kepartaian
Sistem kepartaian lahir di Eropa Barat pada awal abad XX dengan
pelopornya yang terkenal, antara lain M. Astrogorsky (1902), Robert
Michels (1911), dan Sigmund Neumann (1956). Dalam perkembangan
lebih lanjut, sistem kepartaian sangat erat kaitannya dengan masalah
pembangunan politik negara (political development). Tentu saja
keterlibatan partai-partai politik sangat dominan dalam merebut puncak-
puncak kekuasaan (pimpinan) yang berfungsi sebagai pemberi keputusan
(decision maker) atau penentu kebijaksanaan umum (public policy).
Partisipasi rakyat dalam sistem kepartaian biasanya dapat dilihat dari
dasar pembentukan dan sikap yang ditunjukkan dalam suatu negara.
Dilihat dari dasar pembentukannya, partai politik dapat dibedakan
menjadi :
a. Partai Afeksi, yaitu partai yang didirikan berdasarkan cinta para
anggotanya terhadap orang atau keturunan tertentu.
b. Partai Kepentingan, yaitu partai yang didirikan berdasarkan
kepentingan para anggotanya.
c. Partai Ideologi atau Agama, yaitu partai yang berasaskan persamaan
agama atau cita-cita politik di antara para anggotanya.
Apabila dilihat dari ‘sikap’ yang ditunjukkan anggota terhadap keadaan
yang dihadapi, maka partai politik dapat dibedakan menjadi :
a. Partai Radikal, yaitu partai yang tidak puas dengan keadaan sekarang
dan ingin mengubah dengan cepat keadaan yang tidak mereka kehendaki
itu sampai ke akar-akarnya.
b. Partai Progresif, yaitu partai yang merasa tidak puas dengan keadaan
sekarang lalu ingin merubahnya, tetapi secara berangsur-angsur (evolusi).
c. Partai Konservatif, yaitu partai yang merasa puas dengan keadaan
sekarang dan ingin mempertahankan keadaan itu.
d. Partai Reaksioner, yaitu partai yang merasa tidak puas dengan keadaan
sekarang, serta ingin kembali kepada keadaan di masa lampau.
Apabila dilihat dari segi fungsi dan komposisi keanggotaannya, maka
partai politik dapat dibedakan menjadi :
a. Partai Massa, yaitu partai yang mengutamakan kekuasaan berdasarkan
keunggulan jumlah anggota partai, oleh karena itu biasanya terdiri dari
pendukung-pendukung dari berbagai aliran politik dalam masyarakat yang
sepakat bernaung di bawahnya dalam memperjuangkan suatu program
yang biasanya luas dan agak kabur. Kelemahan dari partai masa ialah
bahwa masing-masing aliran atau kelompok yang bernaung di bawah
partai masa cenderung untuk memaksakan kepentingan masing-masing,
terutama dalam masa kritis, sehingga persatuan partai menjadi lemah
yang memungkinkan salah satu atau sebagian golongan saat
kepentingannya kurang terakomodir sewaktu-waktu mudah memisahkan
diri dan mendirikan partai baru.
b. Partai Kader, yaitu partai yang mengutamakan kekuatan dan keketatan
organisasi dan disiplin kerja para anggota partai. Pimpinan partai biasanya
menjaga kemungkinan doktrin partai yang dianut dengan jalan
mengadakan saringan terhadap calon anggotanya dan memecat anggota
yang menyeleweng dari garis partai yang telah ditetapkan.
Sedangkan berdasarkan sifat dan orientasinya, maka partai politik dapat
dibedakan menjadi :
a. Partai Lindungan (Patronage Party), partai ini pada umumnya memiliki
organisasi nasional yang kendor, meskipun organisasi tingkat lokalnya
sering cukup ketat. Tujuan utama partai ini adalah memenangkan
pemilihan umum untuk anggota-anggota yang dicalonkan.
b. Partai Idiologi atau Partai Azas, partai ini mempunyai pandangan hidup
yang digariskan dalam kebijaksanaan pimpinan dan mengacu pada
disiplin partai yang mengikat dan kuat.
Maurice Duverger, dalam buku ‘Political Parties’, membagi sistem
kepartaian menjadi tiga bagian, yaitu :
a. Sistem Partai Tunggal (one party system)
Istilah sistem satu partai atau partai tunggal oleh sebagian sarjana
dianggap menyangkal diri sendiri (contradiction interminis). Istilah
tersebut dipakai untuk partai yang benar-benar merupakan satu-satunya
partai dalam suatu negara, maupun untuk partai yang sangat dominan di
dalam suatu negara.
Kondisi partai tunggal sangat statis (non competitive) karena diharuskan
menerima pimpinan dari partai dominan (pusat) dan tidak dibenarkan
melawan. Partai tunggal tidak mengakui adanya keanekaragaman sosial
budaya karena itu dapat dianggap menghambat usaha-usaha
pembangunan. Salah satu negara yang berhasil menerapkan sistem partai
tunggal adalah Uni Sovyet (Rusia) dan Republik Rakyat China (RRC),
kedua negara tersebut tidak mentolerir adanya partai-partai lain.
Sistem politik dengan partai tunggal di negara Uni Sovyet (Rusia) adalah
sebagai berikut :
1) Sistem pemerintahan : Politik Assembly Government
2) Supreme Rusia :
a) 650 orang, semasa empat tahunRusia of Nationalitie berjumlah
b) Rusia of Nation berjumlah 650 orang, untuk masa empat tahun
3) Presidium : berada di tangan Supreme Rusia
4) Sistem Kepartaian : Partai Tunggal PKS (Partai Komunis Rusia)
Dalam prakteknya kekuasaan tertinggi terletak di tangan Supreme Rusia.
Badan tersebut menjalankan kekuasaan legislatif yang terdiri dari Rusia of
Nationalitie (Majelis Tinggi) yang anggotanya dipilih langsung oleh rakyat
di negara-negara bagian dan republik otonom, sedangkan Rusia of Nation
(Majelis Rendah) yang anggotanya dipilih oleh seluruh warga negara
(rakyat Rusia).
Presidium merupakan pemegang kekuasaan eksekutif yang mempunyai
kekuasaan sangat luas, karena dapat mengeluarkan keputusan-keputusan
dan dekrit-dekrit. Badan tersebut juga dapat memberhentikan anggota-
anggota kabinet, bahkan jika perlu membubarkan legislatif.
b. Sistem Dwipartai (two party system)
Sistem ini merupakan ciri khas negara Anglo Saxon, seperti dianut oleh
Inggris, Amerika Serikat, dan Filipina. Pada sistem ini hanya ada dua partai
yang sangat dominan, yaitu partai yang berkuasa (yang menang dalam
pemilihan umum) dan partai oposisi (yang kalah dalam pemilihan umum).
Biasanya partai oposisi berperan sebagai pengecam setia (loyal
opposition) terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaan partai yang berkuasa
bila dianggap tidak sejalan.
Sistem dwi partai akan dapat berjalan dengan syarat-syarat, seperti :
1) masyarakatnya homogen
2) konsensus masyarakat yang kuat, dan
3) adanya kontinuitas sejarah
Sistem ini juga didukung oleh pelaksanaan pemilihan umum dengan
sistem distrik karena dapat menghambat laju partai kecil. Sebagai
gambaran mengenai sistem politik dalam dwipartai adalah sebagaimana
yang terjadi di Amerika, yaitu sebagai berikut :
1) sistem pemerintahan : Kabinet Presidensiil
2) kongres :
a) senat yang beranggotakan 100 orang, untuk masa 6 tahun
b) house of representatif berjumlah 435 orang, untuk masa dua tahun
3) presiden sebagai pemimpin eksekutif untuk masa jabatan 4 tahun
4) sistem politik : dwipartai yaitu Partai Republik dan Partai Demokrat
Kekuasaan eksekutif dipegang oleh presiden yang terpisah dengan
kekuasaan legislatif. Badan legislatif atau kongres terdiri dari senat
(merupakan perwakilan dari setiap negara bagian) dan house of
representatif (perwakilan dari seluruh rakyat atau warga negara). Untuk
menjamin masing-masing kekuasaan, dibuat sistem pengawasan dan
keseimbangan (checks and balances).
c. Sistem Multipartai (multy party system)
Sistem ini biasanya diterapkan di negara yang agama, ras, dan suku
bangsanya sangat beragam. Masyarakat cenderung membentuk ikatan-
ikatan terbatas (primordial) sebagai tempat penyaluran aspirasi politiknya,
beberapa negara penganutnya seperti Prancis, Malaysia, Indonesia, dan
India.
Apabila sistem multipartai digandakan dengan sistem pemerintahan
parlementer, akan tampak kekuasaan legislatif berada di atas eksekutif.
Apabila kabinet yang dibentuk tidak memperoleh suara mayoritas
parlemen, maka partai-partai dapat berkoalisi. Negara akan lebih stabil
jika diperoleh suara mayoritas partai yang akan menguasai pemerintahan.
Sistem politik dengan multipartai seperti yang diterapkan di Prancis, maka
akan nampak :
1) sistem pemerintahan : Parlementer Kabinet, dengan multipartai
2) keanggotaan parlemen :
a) 300 orang untuk masa sembilan tahunsenat :
b) national assembly 550 orang untuk masa lima tahun
3) jabatan Presiden untuk masa tujuh tahun, sedangkan jabatan Perdana
Menteri dipilih oleh Presiden, dan dibantu oleh para menteri.
6. Sistem Pemilihan Umum
Pada umumnya ada dua sistem pelaksanan pemilihan umum yang biasa
digunakan, yaitu :
a. Sitem Distrik
Sistem ini diselenggarakan berdasarkan lokasi daerah pemilihan, dalam
arti tidak membedakan jumlah penduduk, tetapi tempat yang sudah
ditentukan. Sehingga daerah yang sedikit penduduknya memiliki wakil
yang sama dengan daerah yang padat penduduknya. Oleh karena itu
sudah barang tentu banyak jumlah suara yang akan terbuang di satu
pihak, tetapi malahan menguntungkan pihak (daerah) yang renggang
penduduknya. Tetapi karena wakil yang akan dipilih adalah secara
langsung, maka pemilih biasanya cukup mengenal (akrab) dengan calon
wakilnya (personan stelsel). Satu distrik biasanya satu wakil (single
member constituency).
b. Sistem Proporsional
Sistem ini didasarkan pada jumlah penduduk yang akan menjadi peserta
pemilih, misalnya setiap 40.000 penduduk pemilih memperoleh satu wakil
(suara berimbang), sedangkan yang dipilih adalah kelompok orang yang
diajukan kontestan pemilihan umum, yaitu para partai politik (multi
member constituency) yang dikenal lewat tanda gambar (lijsten stelsel),
sehingga antara calon wakil dan pemilihnya biasanya kurang saling
mengenal (akrab).
Hal demikian cukup adil dalam keseimbangan jumlah, bahkan sisa suara
dapat digabung secara nasional untuk kursi tambahan, dengan demikian
partai kecil dapat dihargai tanpa harus beraliansi, karena suara pemilih
dihargai. Tetapi resikonya banyak wakil setoran dari pemerintah pusat
karena adakalanya salah satu jumlah yang memenuhi syarat tidak
memiliki wakil yang tepat.
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, terutama pada pelaksanaan
pemilihan umum tahun 2004, kedua sistem ini dapat dipadukan sehingga
lahirlah lembaga Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (selaku
refresentasi sistem distrik) di samping Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia (selaku refresentasi sistem proposional).